Anda di halaman 1dari 15

HADITS SHAHIH, HASAN DAN DHAIF

Oleh :

NADYA SYAVIRA ARANI


2020103099

Dosen Pengampu :

MARSAID, MA.

UIN RADEN FATTAH PALEMBANG

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji Syukur kehadirat Ilahi Rabbi – Tuhan Yang Maha Esa, Penagsih dan
Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga
tugas makalah “ Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif” dapat terselesaikan. Shalwat serta
salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, sebagai USwtun khasanah, sosok
model yang paling ideal bagi sekalian manusia untuk meraih kesuksesan dunia dan
akherat. Dapat terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari dukungan, bantuan dan
motivasi yang sifatnya spritual dan materil dari banyak pihak. Sehingga penulis
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya.
Demikian yang bisa penulis sampaikan, dengan harapan semoga Allah Swt,
Senantiasa membalas segala kebaikan mereka dan makalah ini dapat memberi
manfaat sebaik-baiknya. Amien Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. ……… 1

A. Latar belakang penulisan …………………………………………………….1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………… 3

C. Tujuan Penuliasan ……………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………..4

A. Pengertian Hadits ………………………………………………………………4

B. Hadits Shahih ……………………………………………………………………6

C. Hadits Hasan………………………………………………………………………… 7

D. Hadits Dhaif …………………………………………………………………………..9

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………..16

A. Kesimpulan……………………………………………………………………… 16

B. Saran ………………………………………………………………………………….16

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………17


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits, oleh umat islam diyakini sebagai sumber pokok ajaran islam sesudah Al-
Qur’an. Dalam tataran aplikasinya, hadits dapat dijadikan hujjah keagamaan dalam
kehidupan dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Secara
struktural hadits merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an yang bersifat global.
Artinya, jika kita tidak menemukan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan
di dalam Al-Qur’an, maka kita harus dan wajib merujuk pada hadits. Oleh karena itu,
hadits merupakan hal terpenting dan memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu
hukum yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul
(hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan haditst Mardud (hadits yang tertolak
sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan,
sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if.
Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Kualitas keshahihan suatu hadits merupakan hal yang sangat penting, terutama
hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits, atau dalil lain yang lebih kuat. Dalam
hal ini, maka kajian makalah ini diperlukan untuk mengetahui apakah suatu hadits dapat
dijadikan hujjah syar’iyyah atau tidak.

B. Rumusan masalah.

1. Apa pengertian hadits Shahih Hasan dan Dhoif?


2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta macam-macamnya?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan shahih?

C. Manfaat Penulisan.

Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai sarana untuk menambah ilmu
pengetahuan yang telah kita miliki terutama tentang ilmu hadits mengenai Hadits
Shahih, Hasan dan Dhoif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat hadatsa secara bahasa yaitu
baru, terjadi, sedangkan secara istilah adalah
‫ِض َام‬
َ ‫في‬
ْ َ ‫ىل‬
َ َْ َّ ‫ل ِّى ي ِْ ْل‬
‫َّى ي‬ َ ‫مىي َس‬
َ ُ ‫ِىَ ِي ْل‬ ْ َِّ ‫ْى ْر َِّ َ َ َِ ْْ ِى ْر‬
َ ََ ‫َّةَ ْف َ َ َِ ٍ َ ِر ْقي َِق َ َ َِ ٍْ ِل َو َ َ َِ ٍَ َِ َو ْا ِن‬
Apa yang disandarkan kepada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan,
persetujuan dan shifat tabiat dan akhlaqnya. Didalam pembahasan ilmu mustholahul
hadits ada satu pembahasan mengenai khobar (hadits) terdapat yang maqbul dan
mardud. Khobar maqbul adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu
lebih kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan
mengamalkanya. Sedangkan khobar mardud adalah kebenaran orang yang
menyampaikan khobarnya itu tidak kuat/terpercaya serta tidak boleh dijadikan sebagai
hujjah (dalil). Adapu khobar maqbul ditinjau dari perbedaan derajat dibagi atas dua yaitu
shahih dan hasan.

B. Hadits Shahih

Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa


sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah
yaitu :
َ َ ‫ُهَ َد َان َل‬
‫ص َات َام‬ ‫ل اهَلثا ْ َا‬
َ ‫َن َ طَمِضا َ لَدَتا ِهَ َقتا‬ ‫ن َا َهلَََم َان َ َا‬ َ ‫ٍذَ َو ُاذ‬
‫ِرَيا ا َا‬ َ َ‫ْلَ ُال َو ال‬.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki
hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan
tidak pula cacat”
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung
sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz
dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan
dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits
secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga
tidak sampai kepada Nabi.

1. Syarat-syarat Hadits Shahih


a. Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat
sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak
perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits
langsung dari Nabi,bersambung dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau lebih
dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang
rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
b. Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong
terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala
tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
c. Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya
ingat yang sempurna terhada hadits yang diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar al-
Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar
secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya
kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
d. Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan
hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di
mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini
dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik
dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi
yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian
negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
e. Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena
tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan
samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi tidak
shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di
dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik
pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;
‫ْ َِدَبا َا َدهَهَم‬ ‫و َِ َا‬
َ ‫ن‬ ‫ُ َا‬ َ ‫ه ََِنا َْنا َام اَا ا َ َنَِ َيهَم ََم َات رَ َو‬
‫َن ٍََم ُا‬ ‫ُالَمَا ََم َات اَِرَثا ْ َا‬
‫َن َا َضلطا َِنا ََِِرَيا َِنا َا َا َادا ْ َا‬ َ ‫ُ َو َات‬
َ ‫ط با َي‬.‫م‬
َ ‫َ ِنميي( نَوي(“ ِم ُّض َويا َ َ َا َْيها يف ََ َيا‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan
kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari
ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat
maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
Pertama: Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut
mendengar dari gurunya.
Kedua: Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi
hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wata’dil sebagai berikut :

1) Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin.


2) Malik bin Annas = imam hafidz
3) Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
4) Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
5) Jubair bin muth’imi = Shahabat.
Ketiga Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat
serta tidak cacat.

2. Klasifikasi Hadits Shahih


a. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari
permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang
sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.
b. Hadits Shahih Li-Ghairihi
Hadits Shahih Li-Ghairi Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih,
misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang
menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi.
Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
‫ث ا ُ هم ادر هث ر كون ا لل ِ م صدق ا ٍَويَ ك وه ث اع ِ ض َ طم ي ظ َ ام ديِل ا لأنيَْن يوَل ث امك من هو‬
‫ي رث َ ق صويَ وََ ع ذَ ا ر ِ ِي ام اوَيِح ضير قث ا ُمو َني ضير ق ان ي رث وِد ط‬
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula merupakan
hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka
kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”

3. Kehujahan Hadits Shahih


Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai
hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan
fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal
atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan
hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
4. Tingkatan Hadits Shahih.
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat
seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla =
budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya
dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin
Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya
dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh
tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a. Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL Bukhari dan Muslim.
e. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g. Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai
berikut:
a. Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
b. Shahih Muslim (w. 261 H).
c. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
d. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
e. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
f. Shahih Ibn As-Sakan.
g. Shahih Al-Abani.

C. Hadits Hasan

1. Pengertian Hadits Hasan


Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna”
artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan
menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
‫ص َات َام‬ َ ‫ي َ َلَدَتا ِهَ َقتا‬
َ َ ‫ُهَ َدنَا َل‬ ‫و َ َذ َا‬
‫طَاِ َن َا‬
َ َ‫ض اث‬ ‫ن َا َهلَََم انَ َ َل اهَلثا ْ َا‬
َ ‫َن‬ َ ‫ٍذَ َو ُاذ‬
‫ِرَيا ا َا‬ َ َ‫“ ْلَ ُال َو ال‬.
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya
yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat.
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali
hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang
meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan
hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
‫ن َِ َلفَ َاي َا َدهَهَم ََل َ َرَِ الَ ا َدهَهَم‬
‫ُلَ َر َامنَا َِ َا‬
َ ‫طَِلف‬ ‫َن َ َِ ََوهف ْ َا َيَنا اَِ َا‬
‫ف ْ َا‬
ُّ َ ‫َن‬ ‫ُف اَِف َِنا َِكَيا اَِف ْ َا‬
َ ‫ي َا َو‬
‫ٍلَي َا‬ َ ‫اَِف‬
َ َ َ َ ‫ ََم َات‬: ‫ُالَمَا‬
‫ط َيحا‬َ ‫ رَقَ َو َات َ لَد لاَو ِ َا‬: ‫ُ َو َات ََم َات‬ َ ‫ ط م با َي‬: ‫َه َنَا‬ ‫ُرَ َووا ظلَتا لَاَ مَا َ َ َِهَلا اَِ ََو َا‬ُّ َ ….. ‫“ َ ادر ث‬
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin
sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku
mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda :
sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayanga pedang…”
(HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).

2. Klasifikasi Hadits Hasan


a. Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit
meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan
(syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.
b. Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi
dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits,
kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur
ulama muhaddisin memeberikan definisi tentang haditst hasan li-Ghairihi sebagai
berikut:
‫ و رس اه ل ر لث ل لا قق ط ا ُ لوي ان املر ن لوَ ُ همدن‬.‫ ُ ِه ا هث ولظَي َ نضمء ك ه ري ا ْ ف ل‬,‫ا ف ُق‬
‫آني وِث ان ه اون او ا ه لث ِ يور لل ا ليوي م َ ادر ث ا لن ور كون‬
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if. Kemudian ada
petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi,
sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dha’if.

3. Kehujahan Hadits Hasan


Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau
hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama
ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.

D. Hadits Dhoif

1. Pengertian Hadits Dhoif.


Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara
istilah yaitu;
‫ُنا صفَ الَ رََِ َا َاع َ َاط َام‬
َ ‫ن ٍ ََيضا ِفَ َقدا َ َ َا‬
‫ٍ ََي َوضثا ا َا‬
“Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya
satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi
tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga
syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang
sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikan-
nya sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
َ‫ي َاما َ َن َي َِ اث‬ ‫َن َ ََ َِرَاف لَا َر َالا اَِف ْ ََنا”َ َهَ َيطا اَكرَطا“ َضيرَقا ا َا‬
‫ن َ ل ل َيارَذ َا‬ ‫ف َْنا ه ََير ََي احَ اَِف ْ َا‬ ‫ ََم َات ط م َ هَِ لا‬:‫ا‬
”‫ن‬ ‫ْلَل ا َ َه َز َات ِ َام َكفَ َاي يَقَ َاد كَم َههَم ا َ َاو َدَِي َهم يف َ َا َيا احَ ا َ َاو اَمضطام َ اَلَف َا َا‬
َ ‫ا‬
‫“ لا ُاد َا َا‬
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-
Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita
haid atau seorang perempuan pada duburnya
atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepa
da nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak
mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini
didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya
terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-
Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.

2. Penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:


a. Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian
yang perama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
b. Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau
lebih secara berurutan.
c. Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in
(Sahabat).
d. Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
e. Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
f. Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:

1) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan


memperbagus untuk dzohir haditsnya.
2) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman
dengannya apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia
dengar dan yang lainnya seperti qaala.
3. Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah
dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu
:
a. Pendusta
b. Tertuduh dusta
c. Fasiq
d. Bid’ah
e. Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan) yaitu
a. Jelek hafalannya
b. Lalai
c. Menyelisihi yang tsiqat
d. Ucapan yang menipu

4. Klasifikasi Hadits Dha’if


a. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya

1) Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya
disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
2) Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-
turut.
3) Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah
nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama
menerima hadits dari Rasul saw.

1) Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
2) Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi
karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman
dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
4) Hadits Mu’dhal
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut,
baik sahabat Bersama tabi’i, tabi’I Bersama tabi’ al tabi’in maupun dua orang sebelum s
hahabiy dan tabi’iy.
5) Hadits Mudallas
Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak
terdapat cacat.

b. Dha’if karena tiadanya syarat adil


1) Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya
dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
2) Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang
diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun
perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.

c. Dha’if karena tiadanya Dhabit.


1) Hadits Mudraj
Hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
2) Hadits Maqlub
Hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya.
Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan,
atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau
dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
3) Hadits Mudhtharib
Hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu
perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bias ditarji
h.
4) Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi
karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits
Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal
kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

d. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan


1) Hadits Syadz
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi
bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
2) Hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun
pada lahirnya tampak selamat dari cacat

e. Dha’if dari segi matan


1) Hadits Mauquf.
Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung
maupun terputus.
2) Hadits Maqthu
Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan
maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu
adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
Kehujahan Hadits Dhoif Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat
semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
3) Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah,
asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang
level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara
fadahilul a’mal (keutamaan amal).
4) Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu
harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada dibawa
h nash yang sudah shahih.
5) Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini
100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang
kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini
dari Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan
shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan
keadaan perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan bagi para
peneliti hadits untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti
yang paling terkenal adalah kitab “tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan
tentang keadaan perawinya, apakah dia itu pendusta, bid’ah, fasiq dan yang lainnya.
Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang keshahihan hadits yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak perlu lagi untuk meneliti atas
kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat hadits-hadits selain dari
imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali akan keshahihannya.

B. Saran-saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,


apalagi ia hanyalah penjelasan-penjelasan singkat dari point-point penting tentang
hadis. Namun yang pasti, ia setidaknya dapat memberi sedikit pengetahuan mengenai
pentingnya studi hadis. Penulis menyarankan supaya pembaca dapat lebih menggali
dan mencari sendiri untuk dapat memperdalam kajian tentang hadis, sebab hadis
mempunyai berbagai keindahan dan kenikmatan yang tak kalah hebatnya dengan al-
Qur’an. Wallah a’lam bi al-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah ibn Abd Rahman Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi (Cet. I; bairut: Dar al-
Kitab al-Arabi, 1407 H)
Abustani Ilyas dan Laode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet.II;Surakarta; Zadahasina
Publishing, 2013)
Departemen pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Ed. II; Balai
Pustaka)
H. Said Agil Hasim Munawwar, Abdul Mustakim, Asbabul Urud ( Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001)
Ilyas Hasan, Kontropersi Hadis di Mesir, (Cet. I, Bandung: Mizan, 1999)
M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Cet I; Jakarta: Pustaka Firdaus,1994)
M.Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet.X; Bandung: Penerbit angkasa, 1994)
Muhammad Abd al-Azizal Kulli, Tarikh Funun al-Hadis (Jakarta:Dinamika berkah utama)
Muhammad Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kesahihan Hadis, ( Cet. I; Bandung: Pustaka
Setia,1998)
T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Perngantar Ilmu Hadis, (Cet IV; Semarang: Pustaka
Reski Putra, 1999)
Wahyudin Darmalaksana, Hadis Dimata Orientalis, (Cet. I; Bandung: Benang Merah Press,
2004)

Anda mungkin juga menyukai