Anda di halaman 1dari 3

NADYA SYAVIRA ARANI (202010309)

USHUL FIQH LANJUTAN UAS / HPI 3

SOAL

1. jelaskan apa yg di maksud lafalnas yang jelas dilalah nya dan tingkatan-tingkatan nya atau peringkat
nya beserta contoh nya masing-masing

2. ijtihad, jelaskan pengertian ijtihad dan syarat-syarat nya serta berikan 1 contoh

3. imam syafei membagi dilalah lafahnas menjadi 2 macam yaitu dilalah mantuk dan manfum, jelaskan
pengertian kedua dari istilah tersebut dan berikan contoh masing-masing

JAWABAN

1. Maksud dari lafaz yang jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar.[1] Lafaz yang jelas juga biasa disebut dengan
zhahirud, maksud dari zhahirud adalah suatu lafaz yang menunjuk kepada makna yang
dikehendaki oleh sighat (bentuk) lafaz itu sendiri, artinya untuk memahami makna dari lafaz itu
tidak tergantung kepadasuatu hal dari luar

Tingkatan-tingkatan nya :
- Azh-Zhahir adalah nash yang dapat menunjukkan makna yang di maksud dengan bentuk
nash itu sendiri tanpa memperhatikan pemahaman dari faktor luar
CONTOH : Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 275 :
‫و احل هللا البيع و حرم الربوا‬...
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…”
Hukum yang jelas itu wajib di amalkan menurut sesuatu yang sudah tampak jelas, selama
tidak ada dalil yang menghendaki mengamalkan selain hukum yang tampak jelas.

- An-Nash
An-Nash adalah nash yang di bentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkan kepada makna
yang di maksud oleh asal redaksi katanya dan bisa menerima takwil
Contoh : Firman Allah SWT
‫و احل هللا البيع و حرم الربوا‬...
“Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba-“
Maka sudah jelas sekali bahwa ayat tersebut meniadakan persamaan antara jual beli dan riba.
Hukum an-Nash itu adalah hukum zhahir, jadi wajib mengamalkan makna yang dinash oleh
hukum zhahir itu.
- Al-Mufassar
Al-Mufassar adalah lafal yang petunjuknya jelas untuk makna yang di maksud dari rangkaian
lafal tersebut serta masih mungkin di Mansukh
Contoh : Firman Allah SWT :
‫فا جلدو هم ثما نين جلدة‬
“Maka deralah mereka itu delapan puluh kali dera.”
Dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung bilangan yang lebih ataupun kurang.
Hukum mufassar wajib di amalkan sebagai mana penjelasannya, yang mana penjelasannya
tidak mengandung kemungkinan di palingkan dari makna sesungguhnya.

- Al-Muhakkam
Al-Muhakkam adalah sesuatu yang menunjukkan kepada artinya yang tidak menerima
pembatalan dan penggantian dengan sendirinya secara jelas dan sama sekali tidak
mengandung takwil
Contoh: sabda Rasulullah SAW ,
‫الجها د ما ض الي يوم القيامة‬
“Jihad itu berlangsung sampai hari kiamat.”
Hukum al-Muhakkam itu secara pasti wajib diamalkan dan tidak bisa dipalingkan dari
pengertian formalnya dan tidak pula dapat dihapus.

2. Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja
yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al
Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Contoh ijtihad :
dalam perkara muamalah kontemporer adalah hukum transaksi pinjaman di bank. Di masa Nabi
Muhammad SAW, tidak ada bank seperti sekarang. Karena itulah, perlu dilakukan penggalian
hukum syariat, apakah halal atau haram meminjam sejumlah uang di bank. Berdasarkan ijtihad
Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 1 Tahun 2004, melakukan transaksi pinjaman ke bank
konvensional dengan bunga tertentu termasuk dalam konteks riba yang diharamkan Islam.

Syarat-syarat Ijtihad :
- Pertama, mujtahid harus menguasai bahasa Arab dengan berbagai cabang keilmuannya,
seperti nahwu, saraf, balagah, dan aspek-aspek lainnya.

- Kedua, memiliki pengetahuan tentang Al-Quran secara mendalam.

- Ketiga, mempunyai pengetahuan komprehensif tentang sunah Nabi Muhammad SAW,


khususnya enam kitab hadis induk yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah, serta kitab-kitab lainnya,
seperti Sunan Baihaqi, Sunan Daraqutni, Sunan Thabrani, Sunan Darimi, dan sebagainya.
- Keempat, mengetahui ijmak atau kesepakatan ulama sebelumnya. Jangan sampai
seorang mujtahid mengeluarkan suatu hukum yang bertentangan dengan ijmak
sebelumnya.

- Kelima, mengetahui ilmu usul fikih, mencakup kaidah ijtihad, metodenya, dan prinsip-
prinsip dasar seperti maqashid syariah, al-urf (adat kebiasaan penduduk setempat),
maslahah mursalah, dan sebagainya.

- Keenam, mengetahui objek yang akan diijtihadi. Seorang mujtahid harus memahami
secara penuh kasus yang ia hadapi, sehingga ia tidak keliru memutuskan hukum syariat
atas perkara umat Islam.

3. - DILÂLAH MANTHUQ
lâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal
nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:

ٰ ُ ‫خَوتُ ُك ْم َو َع ٰ ّمتُ ُك ْم َو ٰخ ٰلتُ ُك ْم َوبَ ٰن‬


‫َّضا َع ِة‬ َ ‫ض ْعنَ ُك ْم َواَ َخ ٰوتُ ُك ْم ِّمنَ الر‬ َ ْ‫ت َواُ َّم ٰهتُ ُك ُم الّتِ ْٓي اَر‬ ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫خ َوبَ ٰن‬ِ َ ‫ت ااْل‬ ٰ َ‫ت َعلَ ْي ُك ْم اُ َّم ٰهتُ ُك ْم َوبَ ٰنتُ ُك ْم َوا‬ْ ‫حُرِّ َم‬
ۤ
‫َاح َعلَ ْي ُك ْم ۖ َو َحاَل ۤ ِٕى ُل اَ ْبنَا ِٕى ُك ُم‬ ۖ ٰ ۤ ٰ ۤ ۤ
َ ‫ت نِ َسا ِٕى ُك ْم َو َربَا ِٕىبُ ُك ُم الّتِ ْي فِ ْي ُحجُوْ ِر ُك ْم ِّم ْن نِّ َسا ِٕى ُك ُم الّتِ ْي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاِ ْن لَّ ْم تَ ُكوْ نُوْ ا َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن‬ ُ ‫َواُ َّم ٰه‬
‫هّٰللا‬ ۙ َّ
‫َّح ْي ًما ۔‬ ِ ‫ال ِذ ْينَ ِم ْن اَصْ اَل بِ ُك ْم َواَ ْن تَجْ َمعُوْ ا بَ ْينَ ااْل ُ ْختَ ْي ِن اِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ اِ َّن َ َكانَ َغفُوْ رًا ر‬

“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan
kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjuk-kan secara jelas bahwa
haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah
digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu ; mantûq sarih dan mantuq gairu
sharih.

- DILÂLAH MAFHUM
dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang
didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’ (17): 23:

‫ضى َربُّكَ اَاَّل تَ ْعبُد ُْٓوا آِاَّل اِيَّاهُ َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن اِحْ ٰسنً ۗا اِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِع ْندَكَ ْال ِكبَ َر اَ َح ُدهُ َمٓا اَوْ ِك ٰلهُ َما فَاَل تَقُلْ لَّهُ َمٓا اُفٍّ َّواَل تَ ْنهَرْ هُ َما‬
ٰ َ‫َوق‬
ِ ‫َوقُلْ لَّهُ َما قَوْ اًل ك‬
‫َر ْي ًما‬

“jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu
membentak keduanya”.

Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar
“uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan
hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul
orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.

Anda mungkin juga menyukai