Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan dua sumber
hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i. konteks Al-Qur’an dan Al-Hadis
tersebut bisa berupa lafadz umum atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘am, ketetapan
hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada
dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai
arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan Al-Hadis juga ada yang berupa lafadz khusus (khash), maka
hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau
memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khash ini terdapat lafadz
mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil
yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang
diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu
haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak
bolehanya.
Takhsis adalah salah satu cara untuk memahami sebuah hadis, takhsis sangat erat
kaitannya dengan Am dan Khas, karena tanpa adanya Takhsis kita tidak akan bias
memahami makna sebuah Lafadz secara baik, walaupun ada Lafadz Am dan Khas yang
tidak perlu adanya takhsis.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian lafal al-Khash
2. Bentuk-bentuk lafal al-khash
3. Kehujjahan al-Khash
4. Pengertian Takhsis
5. Macam-macam takhsis

BAB II
PEMBAHASAN
LAFAL AL-KHASH
A. Pengertian Lafal al-Khash
Pengertian Khash adalah lawan dari pengertian ‘Am (umum). Dengan demikian, bila
telah memahami pengertian Lafash ‘Am secara tidak langsung, dapat memahami lafas
Khash.
Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash
ialah lafadz khash telah mengandung makna yang jelas baik jenis, jumlah, bentuk
maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan
sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau
menghendaki arti lain dari padanya.
Pengertian khas (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). Dengan
demikian bila telah memahami pengertian lafazh ‘am secara tidak lansung, juga dapat
memahami pengertian lafazh khas.
Pengertian al-khash menurut para tokoh-tokoh ushul fiqh adalah sebagai berikut:
a. Adib Shalih
Mendefenisikan Lafal al-Khash yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas.
b. Abu Zahra
Mendefenisikan Lafal al-Khash dalam nash syara’, menunjukan kepada pengertianya
yang yang khas secara qaht’I (pasti) dan hukum yang terkandung dikandungya
bersifat pasti (qaht’i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.
Pendapat Abu Zahra ini disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh.
c. Al Amidi
“satu lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak”.
d. Al Khudahari Beik
“lafazh yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri”.
Jadi pengertian al-Khash menurut penulis sendiri adalah suatu lafal yang telah jelas
hukum yang terkandung di dalam nash, baik itu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri,
sebelum ada dalil yang menghendaki arti lain, hukum yang diambil dari khash ini
adalah pasti (qath’i) bukan zhanny.
Contoh lafal al-Khash adalah surat al-Maidah ayat 89
َ‫مل يممؤاَطخمذمكمم ٱفلم طبٱِللفوغطو فطۥي أمويسممنطمك وم مو سلمطكن يممؤاَطخمذمكم بطمماَ معفقدَّتتمم ٱولمويسممنمن فممك سففمرتم ۥهۥُم إطوطمعاَمم معمشمرطة ممسمسطكيِمن طمون أموومسطط مما‬
‫ك مك سففمرةم أمويسممنطمك وم إطمذاَ محلموفتم موم موٱوحفمظمۥوااَ أمويسممنممك موم‬ ‫صميِاَمم ثم سلمثمطة أمفياَ مم سمذلط م‬
‫تموططعممومن أموهطليِمك وم أموو طكوسموتمهم وم أموو تموحطريمر مرقمبم م نة فمممن لف وم يمطجودَّ فم ط‬
٨٩ ‫ك يمبميِيمن ٱفلم لممك وم مءاَ سيمتططهۦِ لممعلفمك وم تموشمكمرومن‬ ‫مكسمذلط م‬
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa
tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan
kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” (Q. S. al-Maidah ayat 89).
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh.
Tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada
kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khash dalam al-Qur’an,
selama tidak ada dalil yang memalingkanya kepada pengertian lain.

B. Macam/Bentuk al-Khash
Telah dapat diketahui bersama bahwa betuk lafadz ‘am dalam al qur’an dan al-hadits itu
banyak sekali, begitu juga dalam lafadz khash, yang bentuknya dapat disimpulkan
menjadi 4 macam:
1. Lafadz khash berbentuk mutlak, yaitu lafadz khash yang tidak ditentukan dengan
sesuatu.
Maksudnya, jika di dalam nash itu ditemukan lafadz khash, maka lafadz ini harus
diartikan sesuai dengan arti yang haqiqi, selama tidak ada dalil lain yang
memalingkan arti hakiki ke arti lain.
Contoh dalam Firman Allah Q. S Annur ayat 4
‫ۥ‬
‫ت ثمفم لم وم يموأمتوااَ بطأ موربممعطة مشهممدَّاَمء مفٱِوجلطمدَّوهم وم ثمسممطنيِمن مجولمدَّدة مومل تموقبمملوااَ لمهم وم مش سهممدَّةة أمبمددَّماَ موأماوسلمئط م‬
‫ك هممم‬ ‫ص سنم ط‬
‫موٱلفطذيمن يمورممومن ٱولمموح م‬
٤ ‫ٱول سفمطسمقومن‬
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Hukuman 80 kali cambuk bagi penuduh zina, tidak boleh lebih dan tidak boleh
kurang.
2. Lafadz khash berbentuk khash (muqayad), yaitu lafadz yang ditentukan dengan
sesuatu.
Contoh dalam Firman Allah Q. S. al- Maidah: 6 masalah bersuci, yaitu:
‫صيلذة يفاَمغذسنلوُا نوُنجوُيهنكمم يوُأيميذديينكمم إذيلىَ امليميراذفذق يوُامميسنحوُا ذبنرنءوُذسنكمم يوُأيمرنجيلنكمم إذيلىَ امليكمعيبميذن ۚ يوُإذمن‬ ‫يياَ أييييهاَ اللذذيين آيمننوُا إذيذا قنممنتمم إذيلىَ ال ل‬
‫صذعيبدا‬ ‫جندوُا يماَبء يفيتييلمنموُا ي‬ ‫ضىىَ أيموُ يعيلىىَ يسيفرر أيموُ يجاَيء أييحدد ذممننكمم ذمين امليغاَئذذط أيموُ يليممسنتنم الننيساَيء يفيلمم يت ذ‬‫نكمننتمم نجننبباَ يفاَلطلهنروُا ۚ يوُإذمن نكمننتمم يممر ي‬
‫ان لذييمجيعيل يعليمينكمم ذممن يحيررج يوُ ىليذكمن نيذريند لذنييطنهيرنكمم يوُلذنيذتلم ذنمعيميتنه يعليمينكمم لييعللنكمم‬ ‫يطنيبباَ يفاَمميسنحوُا ذبنوُنجوُذهنكمم يوُأيميذدينكمم ذممننه ۚ يماَ نيذريند ل‬
‫يتمشنكنروُين‬
3. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur”.
Ayat ini menjelaskan tentang hukum wudhu, sebabnya adalah bersuci dengan cara
berwudhu, ayat ini menjelaskan tentang hukum bertayamum sebabnya adalah bersuci.
Kalau tidak menemukan air untuk berwudhu.
4. Lafadz khash berbentuk Amr
Jika lafadz khash berbentuk amar atau berbentuk kata yang mengandung arti amar
atau berbentuk khabar, maka hukumnya adalah wajib.
Contoh dalam firman Allah Q. S. al-Maidah ayat 38
‫يوُاللساَذرنق يوُاللساَذريقنة يفاَمقيطنعوُا أيميذديينهيماَ يجيزابء ذبيماَ يكيسيباَ ينيكاَبل ذمين ل‬
‫اذ ۗ يوُ ل‬
‫ان يعذزيدز يحذكيدم‬
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksa”.
Menurut pemahaman makalah bahwa surat al-Maidah ayat 38 berbicara tentang
pencuri baik laki-laki maupun perempuan dipotong kedua tanganya, sebagai
pembalasan apa yang telah dipebuatnya.
5. Lafadz khash berbentuk nahiy
Nahi ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengann cara penguasaan dan
bentuknya : “Jangan lakukan” dan sebagainya. Jika ada lafadz nahiy dibawakan dalam
bentuk lafadz khash atau berbentuk yang mengandung arti nahiy, maka hukum yang
terkandung didalamnya adalah haram.
Contoh terdapat dalam firman allah Q. S. al-Baqarah ayat 221
َ‫ت محتفسى يموؤطممفن موملمممرة تموؤطمنمةة مخويِرر يمن تموشطرمكمة مولموو أموعمجبموتمك موم مومل متنطكمحوااَ ٱولمموشطرطكيِمن محتفسى يموؤطممنوماا‬ ‫مومل متنطكمحوااَ ٱولمموشطرسمك ط‬
‫ۥ‬
‫مولممعوبردَّ تموؤطمةن مخويِرر يمن تموشطرمك مولموو أموعمجبممك موم أماوسلمئط م‬
ِ‫ك يمودَّمعومن إطملى ٱلفناَنطر موٱفلم يمودَّمعۥوااَ إطملى ٱولمجنفطة موٱولمموغفطمرطة بطإ طوذنط نطهۦِ مويمبميِيمن مءاَ سيمتططهۦ‬
٢٢١ ‫س لممعلفهم وم يمتممذفكمرومن‬
‫طللفناَ ط‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran”
Larangan pada ayat ini menunjukan hukum haram. Akan tetapi jika ada tanda yang
menunjukan bahwa arti ayat tersebut harus dipalingkan ke arti majazi, maka
pengertian hukumnya harus disesuaikan dengan tanda tersebut, sehingga
memungkinkan mengandung arti makruh, do’a, irsyad, dan sebagainya.

BAB III
PEMBAHASAN
TAKHSISH

A. Pengertian Takhsish
Ada beberapa definisi yang diajukan ulama Ushul mengenai takhsish.
a. Muhammad al-Kuddhari Beik merumuskan definisi takhsis :
“menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz am’ hanyalah sebagian dari yang
diatur oleh lafaz itu “
b. Abdul Wahab mendefinisikan :
“ Takhsish ialah penjelasan bahwa yang dimaksud oleh syari’ (pembuat hukum)
tentang lafaz ‘ am itu pada mulanya adalah sebagian afradnya.”
c. Qadhi al-Baidhawi memberikan definisi :
“ mengeluarkan apa-apa yang dikandung oleh suatu lafaz”
d. Ibn Suki juga mengemukakan definisi :
“ Takhsis ialah membatasi lafaz am’ kepada sebagian afradnya”
Dari beberapa definisi, ternyata tidak ada perbedaan antara definisi yang pertama dan
kedua kecuali dalam rumusan saja, sedangkan arahnya adalah sama, yaitu bahwa
takhsish itu adalah penjelasan tentang hukum pada lafaz ‘am yang sejak semula memang
ditentukan untuk sebagian afradnya saja.dengan demikian, takhsish itu berarti penjelasan
atau menjelaskan .
Para ulama telah sepakat bahwa penjelasan itu tidak boleh terlambat datangnya,
supaya manusiatidak berada dalam ketidaktahuan tentang hakikat yang dituju oleh
pembuat hukum (syari’). Bila takhsish terlamabat datangnya, maka ia tidak lagi disebut
takhish terlambat datangnya, maka ia tidak lagi disebut takhshish, tetapi nasakh.
Hukum takhshish adalah boleh bila takhshish itu memang dilakukan dengan dalil.
Dalil takhshish itu ada yang berupa dalil naqli, dalil aqli, dan lainnya. Tidak ada
perbedaan tentang bolehnya takhshish dengan dalil.

B. Dalil Takhshish
Bila suatu hukum datang dalam bentuk ‘am, maka diamalkanlah hukum itu menurut
keumumumannya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan adanya takhshish. Dalil takhsish
itu disebut mukhassis atau sesuatu yang men-takhish-kan.
Mukhassis itu ada dua macam yaitu : berbentuk nash (teks) dan bukan dalam bentuk nash.
Dalam hubungannya dengan lafaz am’ mukhassis itu ada yang terpisah dari lafaz am’ dan ada
pula yang menyatu dengan lafaz am’. Mukhassis yang terpisah dari lafaz am’ terbagi tiga
yaitu :
a. Takshish dengan nash, baik nash Al-Quran atau Sunnah.
b. Takhshish dengan akal pemikiran, baik melalui penyaksian maupun melalui pemikiran.
Contoh dalam bentuk penyaksian umpamanya firman dalam surah al-Ahqaf (46):25
‫ﻯ إطفل ممسمسطكنمهم موم مكسمذلط م‬
٢٥ ‫ك نموجطﺰﻱِ ٱولقموومم ٱولمموجطرطميِمن‬ ‫ﺻبممحوااَ مل يممر س ۥ‬
‫تممدَّيممر مكفﻞ مشويﺀۡطﺀ بطأ مومطر مربيمهاَ فمأ م و‬
“yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka
tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”
Ayat itu menjelaskan bahwa “angin menundukan segala 3sesuatu”. Secara am dalam
ayat itu mengandung arti : apa saja akan ditundukan oleh angina itu. Namun dengan akal
melalui penyaksian, akan mengatakan bahwa ada yang tidak tunduk kepada angina, yaitu
langit.
c. Takhshish dengan adat. Maksudnya adat kebiasaan dapat mengeluarkan beberapa hal yang
dimaksud lafaz am’ umpamanya am firman Allah dalam surah Al-baqarah (2):233
“para ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh.
Ayat tersebut secara am’ menghendaki setiap ibu menyusukan anaknya selama dua
tahun penuh. Tetapi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak menyusi sendiri anaknya men-
takhshish-kan keumumman ayat tersebut.

BAB IV
MUKHASIS MUTTASIL

Mukhashshish mutasil adalah mukhashshish yang menyatu dengan lafaz


am’Mukhashshasish.
A. Macam-macam Mukhasis Muttasil
1. Istisna (pengecualian) ialah mengeluarkan dari pembicaraan yang sama dengan
menggunakan kata “kecuali” atau kata lain yang sama maksudnya dengan itu.
Umpamanya dalam surah al-Ashr (103) :2-3 :
٢ ‫إطفن ٱ و طﻟنسمسمن لمطفي مخوسﺮر‬
‫ﺻووااَ طبٱِل ف‬
٣ ‫صوبطر‬ ‫ﺻووااَ طبٱِولمح ي‬
‫ﻖ موتممواَ م‬ ‫إطفل ٱلفطذيمن مﺀاَمممنوااَ مومعطمملوااَ ٱل س ف‬
‫صلطسمح ط‬
‫ت موتممواَ م‬
“Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan
melakukan amal sholeh”
Kata al-insan (manusia) dalam ayat diatas adalah am’ karena ia lafaz jama’
yang disertai alif lam jinsiyyah. Secara am’ ayat ini mengandung arti bahwa semua
manusia akan merugi. Keumumman ayat itu di takhshish oleh istisna’ (pengecualian)
yang terdapat pada ayat sesudahnya. Yang dikecualikan dari orang yang merugi itu
adalah orang yang beriman dan beramal shaleh itu keluar dari keumuman kata al-
insan.
2. Syarat
Syarat ialah sesuatu yang lazim dengan tidak adanya, tidak ada yang diberi sifat
(mausuf) ; tetapi tidak lazim dengan adanya mausuf. Contoh takhshish lafaz am’
dengan syarat, adalah dalam Surah an-Nisa’ (4) : 101 :
‫صلمسوطة إطون طخوفتم وم مأن يموفتطنممكمم ٱلفطذيمن مكفممرۥومااَ إطفن ٱولسمكفططريمن‬ ‫ﺲ معلمويِمك وم مجمناَةﺡ مأن تموق م‬
‫صمروااَ طممن ٱل ف‬ ‫و‬
‫ﺿمروبتم وم طفي ٱلمور ط‬
‫ﺽ فملمويِ م‬ ‫موإطمذاَ م‬
١٠١ َ‫مكاَمنوااَ لممك وم معمدَّدﻭواَ تمطبيِدنا‬
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-
qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”
Kebolehan meng-qashar shalat yang disebutkan sacara am’ dalam ayat tersebut
dibatasi dengan syarat bahwa shalat itu dilakukan dalam perjalanan.
3. Sifat
Sifat adalah sesuatu hal atau keadaan yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat
atau perbuatan.
4. Limit waktu
Ghayah ialah limit waktu yang mendahului lafaz am sehinggan kalau ia tidak
ada, maka akan terliput semua afrad am (waktu). Contohnya dalam Surah al-Taubah
(9) :29
‫… محتفسى يموع م‬.. ‫… سقمتطملوااَ ٱلفطذيمن مل يموؤطممنومن‬
‫طوااَ ٱولطجوﺰيمةم‬
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman…, sehingga mereka membayar jizyah”
Potongan pertama ayat ini mengandung arti keharusan memerangi orang-
orang yang yang tidak beriman. Datngnya ucapan, “ hingga mereka membayar
jizyah” men-takhshish-kan atau membatasi keumuman kewajiban memerangi orang
kafir itu. Dengan ghayah itu berarti bahwa sesudah mereka memberi jizyah, maka
tidak ada lagi kewajiban memerangi mereka.
B. Macam-Macam Takhshish
1. Takhsis Sunnah dengan Sunnah.
Seperti hadist Nabi SAW yang Sohih : “Dalam (hasil pertanian) yang diairi
dari air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh”. Hadis ini bersifat umum (‘amm).
Keumuman Hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya, baik hasil
pertanian itu sedikit atau banyak. Hadist ini ditakhsis dengan hadist sohih yang lain,
yang berbunyi: “Tidak ada kewajiban zakat bagi hasil pertanian dibawah lima ausuq
(bagi hasil tanaman)”.
Dari kedua Hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati,
kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.

2. Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.


Contohnya: “apabila dipanggiluntuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.(Al-Jum’ah
ayat 9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalatJum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para
ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib
shalat Jum’at.
3. Mentakhshish Al-Qur’an dengan Qiyas.
Misalnya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (An-Nur ayat 2). Keumuman ayat di
atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25: “Apabila mereka telah menjaga diri dengan
kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
setengah hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”. (An-
Nisa’:25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina
budak perempuan adalah separuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang
berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman
bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
4. Mentakhshish dengan akal.
Takhsis dengan akal ini boleh untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan
suatu hukum. Sebagai contoh adalah firman Allah : “Allah adalah pencipta segala
sesuatu”. (Surat Arro’du ayat 16).
Maknanya adalah hakekat segala sesuatu itu wujud dari Daya Cipta Allah,
walau secara tidak langsung. Seperti wujud sebuah mesin, adalah ciptaan manusia.
Tetapi pada hakekatnya Allah lah yang dengan kekuasan-Nya menyebabkan seseorang
mampu membuat mesin.

5. Takhsis dengan rasa pemahaman.


Seperti halnya takhsis dengan akal, takhis ini berlaku untuk kasus non hukum.
Seperti firman Allah dalam surat An Anam: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang
wanita yang menguasai mereka (sebagai ratu) dan dia telah dikurniai segala
sesuatu,dan padanya ada tahta agung”. Dalam ayat ini seakan semua kerajaan adalah
milik dia, tetapi kenyataanya bahwa ada banyak kurnia yang lebih besar yang dimiliki
Nabi Sulaiman.
6. Takhsis dengan kalimat sebelumnnya.
Seperti firman Allah dalam surat Al- A’rof ayat 162: “Dan tanyakan pada mereka
tentang sebuah desa yang berada didekat laut”. Berdasarkan kalimat sebelumnya,
yang dimaksud dengan desa itu adalah para penduduknya, seperti firman Allah: “Yaitu
tatkala penduduk desa itu melanggar larangan Allah dihari Sabtu”.
7. Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish Hadis dengan pendapat sahabat tidak
diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat
itu yang meriwayatkan Hadis yang ditakhshishnya. Misalnya: “Barangsiapa
menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka
bunuhlah dia”. (MuttafaqAlayh).
Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad
hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi Hadis tersebut) berpendapat bahwa
perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa
perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum Hadis
tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman Hadis di atas tidak
dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-
lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat
tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengertian Khash adalah lawan dari pengertian ‘Am (umum). Dengan demikian, bila
telah
Ada beberapa definisi yang diajukan ulama Ushul mengenai takhsish.
Muhammad al-Kuddhari Beik merumuskan definisi takhsis :
“menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafaz am’ hanyalah sebagian dari yang diatur
oleh lafaz itu “
Abdul Wahab mendefinisikan :
“ Takhsish ialah penjelasan bahwa yang dimaksud oleh syari’ (pembuat hukum) tentang
lafaz ‘ am itu pada mulanya adalah sebagian afradnya.”

o REFERENSI

• Ushul Fiqh 2, prof. Dr. H. Amir Syarifuddin


• Ushul Fiqh 2, prof. Dr. H. Amir Syarifuddin
• Fiqh dengan ushul Fiqh, Nazar Bakry
DAFTAR PUSTKA
samsulhuda179.blogspot.com/2017/04/makalah-khas-dan-takhsis-iain-palu.html?m=1

DAFTAR ISI
Bab 1 Takhsis
A.Pengertian Takhsis
B.Dalil Takhsis
Bab 2 Mukhasis Muttasil
A.Macam-macam Mukhasis Muttasil
B.Macam-macam Takhsis
Bab 3 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai