Anda di halaman 1dari 51

sai n Fiq

Selasa, 04 Juni 2013

Ushul Fifqh: Dalalah dan Tingkatannya

A. Latar Belakang Masalah

Suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan pada suatu makna, menurut Hanafiyah terbagi ke dalam
empat bagian, yaitu 'ibarah al-nash, isyarat al-nash, dalalah al-nash/dalalah al-dalalah dan iqtidha' al-
nash. Sedangkan menurut Syafi'iyah hanya terbagi kepada dua, yaitu mantuq dan mafhum.

Makalah ini akan mencoba membahas bagaimana suatu lafazh bisa menunjukkan pada 'ibarah al-nash,
isyarah al-nash, dalalah al-nash dan iqtidha' al-nash, seperti yang dikemukakan oleh Fuqaha dan ulama
Hanafiyah. Juga bisa menunjukkan pada mantuq atau mafhum, seperti pendapatnya ulama Syafi'iyah.
Sebelum kami bahas lanjut, kami kemukakan beberapa rumusan masalah yang terkait dengan dalalah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dari Dalalah?

2. Bagaimana Pembagian Dalalah Menurut Hanafiyah?

3. Bagaimana Pembagian Dalalah Menurut Syafi’iyah?

4. Dalalah Mana yang didahulukan Jika terjadi kontradiksi dengan dalalah lainnya?

C. Pembahasan

a. Pengertian Dalalah

Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau memahami sesuatu atas
sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul (‫ )المدلول‬- yang ditunjuk. Dalam
hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang
disebutkan kedua kalinya disebut dalil (‫ )دليل‬- yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum dalil itu disebut dalil hukum.

Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :

‫الدللة مايقتضيه اللفظ عند الطإلقا‬

Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq.[1]
b. Pembagian Dalalah Menurut Hanafiyah

Menurut Hanafiyah cara lafal menunjukkan makna dibagi menjadi empat, yaitu:

1. Makna Eksplisit / Dalalah 'Ibarah / 'Ibarah al- nash

Yaitu makna yang dipahami dari lafadz, baik berupa zhahir maupun nash, muhkam maupun tidak[2].
Maksudnya suatu lafadz dapat dipahami dari susunan kalimat lafadz itu sendiri. Contoh:

[3]‫حوأَححلَل اا ايلبحييحع حوححلَرحم الررحبا‬

Ayat di atas mempunyai dua pengertian bahwa jual beli tidak sama dengan riba dan jual beli hukumnya
halal.

Ciri 'Ibarah Nash: a. Membawa ketentuan definitive (hukum qath’i) b. Tidak memerlukan dalil
pendukung.

2. Makna Tersirat / Dalalah Isyarah / Isyarah al-Nash

Yaitu suatu pengertian dari lafadz sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan dan
bukan dari ungkapan itu sendiri.[4] Contoh:

‫حوحعحلىَ ايلحميوالودد لحها دريزقاهالَن حودكيسحوتاهالَن دبايلحميعارو د‬


[5]‫ف‬

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”.

Secara Eksplisit, menjelaskan bahwa kewajiban untuk menafkahi anak adalah dibebankan kepada ayah.
Dalam ayat tersebut merujuk pada hanya ayahlah yang bertanggung jawab.

Makna yang tersirat menjelaskan bahwa anak dikaitkan dengan ayah dan identitasnya merujuk pada
identitasnya ayah. Jadi jika ayahnya ingin mangambil harta anaknya maka tidak dianggap pencuri. Hal ini
diperoleh dari kombinasi antara nash tersebut dengan hadist Nabi:

‫ك‬ ‫ت حو حمالا ح‬
‫ك لدحوالددد ح‬ ‫احين ح‬

“Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”

Kekuatan Isyarah al-nash sama dengan 'Ibarah al-nash karena keduanya merupakan dasar dari
kewajiban, kecuali ada dalil yang menghendaki sebaliknya.[6]

3. Makna yang tersimpul / Dalalah al- Nash

Yaitu pengertian secara implisit tentang suatu hak lain yang dipahami dari pengertian nash secara
eksplisit. Karena adanya faktor penyebab yang sama. Contoh:

‫حفل تحقايل لحهاحما أَا ف‬


[7] ‫ف حول تحينهحيرهاحما حوقايل لحهاحما قحيول حكدريمما‬
“Dan janganlah berkata uff kepada mereka, dan janganlah membentak meraka. Dan berkatalah kepada
mereka dengan perkataan yang baik.“

Secara eksplisit ayat ini menjelaskan tentang tidak dibolehkannya mengucapkan “ah” kepada orang tua.
Secara implisit adalah bila ucapan “ah” dilarang maka memukul dan mencaci lebih diharamkan.

4. Makna yang dikehendaki / Dalalah Iqtidha’

Yaitu penunjukkan lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan
adanya sesuatu tersebut. Contoh:

[8]‫ف حوأَححداءء إدلحييده بدإ ديححسانن‬


‫ع دبايلحميعارو د‬
‫فححمين اعفدحي لحها دمين أَحدخيده حشييءء حفاترحبا ء‬

“…maka barang siapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya hendaklah (memaafkan) mengikutinya
dengan cara yang baik, dan hendaklah membayar diyat pada yang memberi maaf dengan cara yang
baik.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa jika keluarga orang yang dibunuh telah memaafkan, maka hendaklah
diikuti dengan sikap yang baik pula kepada yang diberi maaf. Yakni sebagai konsekuensi logis dari sikap
memaafkan tersebut adalah adanya imbalan harta benda yang berupa diyat

c. Pembagian Dalalah Menurut Syafi’iyah

Suatu lafazh menurut Syafi'iyah bisa menunjukkan kepada dua macam makna, yaitu mantuq dan
mafhum. Dalalah mantuq dalam istilah Hanafiyah mencakup tiga dalalah, yaitu 'ibarah, isyarah, dan
iqtidha' al-nash. Sedangkan dalalah mafhum dalam istilah Hanafiyah sama dengan dalalah al-nash atau
dalalah al-dalalah.

1. Mantuq

Mantuq adalah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Petunjuk yang
dikandungnya itu bisa diketahui dengan melihat atau memperhatikan kalimat yang dilafalkan. Contoh:

‫صحياام حثلثحدة أَحلَيانم دفي ايلححرج حوحسيبحعنة إدحذا حرحجيعتايم تديل ح‬


‫ك حعحشحرةء حكادملحةء حذلد ح‬
‫ك لدحمين‬ ‫فحإ دحذا أَحدمينتايم فححمين تححمتلَحع دبايلاعيمحردة إدحلىَ ايلححرج فححما ايستحييحسحر دمحن ايلهحيد د‬
‫ي فححمين لحيم يحدجيد فح د‬
[9]‫ضدري ايلحميسدجدد ايلحححرام‬ ‫لحيم يحاكين أَحيهلاها ححا د‬

"…Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji
(didalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak
menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah)…"
Dari ayat di atas, terdapat kalimat "berpuasa tiga hari waktu haji dan tujuh hari ketika sudah pulang, dan
itulah sepuluh hari yang sempurna". Dari kalimat tersebut dapat dipahami mantuq-nya berupa
kewajiban sejumlah yang disebutkan, yakni sepuluh hari.

2. Mafhum

Mafhum adalah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, tidak
bisa hanya dengan melihat langsung dari hurufnya tapi harus dengan pemahaman yang mendalam.

Dalalah mafhum ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

a. Mafhum muwafaqah. Dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dengan dalalah al-nash, yaitu
suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada
masalah yang tidak tertulis, namun hukum yang tidak tertulis itu sesuai dengan hukum yang tertulis
karena ada persamaan dalam makna. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis itu
sesuai dengan hukum yang tertulis.

Berdasarkan hubungan antara hukum yang tertulis dengan hukum yang tidak tertulis, ada kalanya hukum
yang tidak tertulis itu sama dalam penekanan pembebanan hukumnya, dan ada kalanya lebih tinggi atau
lebih berat dari pada hukum tertulis. Maka mafhum muwafaqah terbagi menjadi fahwa al-khithab dan
lahn al-khithab.

1) Fahwa al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis lebih berat penekanannya dari pada hukum
yang tertulis. Contoh

‫حفل تحقايل لحهاحما أَا ف‬


[10]‫ف حول تحينهحيرهاحما حوقايل لحهاحما قحيول حكدريمما‬

Ayat tersebut melarang berkata kasar kepada orang tua. Berdasarkan pemahaman kesesuaian (mafhum
muwafaqah) maka memukul dan menganiaya orang tua hukumnya lebih berat dari pada berkata kasar
kepada meraka.

2) Lahn al-khithab adalah hukum yang tidak tertulis sama tindakan hukumnya dengan hukum yang
tertulis. Contoh:

[11]‫صلحيوحن حسدعيمرا‬ ‫إدلَن اللَدذيحن يحأياكالوحن أَحيمحواحل ايليححتاحمىَ ظايلمما إدنلَحما يحأياكالوحن دفي با ا‬
‫طونددهيم حنامرا حوحسيح ي‬

Ayat di atas menunjukkan bahwa memakan harta anak yatim secara zhalim dilarang, maka membakar
atau membuangnya hukumnya juga dilarang karena sama-sama menghilangkan harta anak yatim.

b. Mafhum mukhalafah. Adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh
itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh, dan hukumnya bertentangan dengan
hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak ada batasan yang berpengaruh dalam hukum.

Mafhum mukhalafah menurut jenisnya terdiri dari beberapa macam. Ada yang membagi menjadi
lima[12], yaitu laqab, shifat, syarth, ghayah dan 'adad, ada yang membagi empat[13], yaitu shifat
(termasuk di dalamnya 'adad), syarth, ghayah dan hashr. Ada juga yang menjadikan hashr bagian dari
yang pertama, menurutnya mafhum mukhalafah terbagai menjadi enam bagian[14].

c. Tingkatan Dalalah

Ditinjau dari segi kuat dan lemahnya, ulama Hanafiyah menggolongkan dalalah menjadi empat, yaitu:
[15]

1. Dalalah al-'Ibarah

2. Dalalah al-Isyarah

3. Dalalah al-Nash

4. Dalalah al-Iqtidha’

Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi ketika terjadi kontradiksi antara dalalah yang satu
dengan yang lain. Bila hal itu terjadi, maka yang harus didahulukan adalah dalalah yang tingkatannya
paling tinggi.

Contoh dari didahulukannya penggunaan dalalah 'ibarah dibandingkan dengan dalalah isyarah. Dalam
firman Allah:

َ‫ص دفي ايلقحيتحلى‬ ‫ب حعلحيياكام ايلقد ح‬


‫صا ا‬ ‫حياأَحيَيحها اللَدذيحن حءاحمانوا اكتد ح‬

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh”.(al-Baqarah: 178)

Dengan firman Allah:

‫حوحمين يحيقتايل اميؤدممنا امتححعرممدا فححجحزااؤها حجهحنلَام حخالدمدا دفيحها‬

"Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka
jahannam, kekal di dalamnya”.(al-Nisa’: 93)

Bila dibandingkan dengan pembunuhan yang tidak disengaja, secara implisit ayat kedua menunjukkan
bahwa balasan bagi pembunuh yang sengaja hanya siksaan di akhirat dan tidak dinyatakan adanya
hukum qisas. Akan tetapi ayat yang pertama secara eksplisit menjelaskan bahwa adanya qisas bagi
pembunuh. Oleh karena itu, pengertian secara eksplisit pada ayat pertama didahulukan dari ayat kedua.

Terdapat perbedaan pendapat antara madzhab Syafi’iyah dengan madzhab Hanafiyah, menurut
Syafi’iyah dalalah nash lebih diutamakan dari dalalah isyarah. Syafi’iyah berpendapat bahwa pengertian
dalalah nash dipahami langsung dari nash (lebih dekat kepada dalalah 'ibarah ). Maka pengertian yang
dipahami secara eksplisit lebih dapat dipertanggungjawabkan dari pada pengertian secara implisit yang
dapat menimbulkan berbagai macam pemahaman. Disamping itu, menurut pandangan syara’ tujuan
yang terkandung dalam pengertian dalalah nash lebih nyata dibanding dengan dalalah isyarah. Menurut
Hanafiyah, sebab didahulukannya dalalah isyarah dari pada dalalah nash adalah karena dalalah isyarah
diperoleh dari konteks suatu nash. yang bila suatu akibat disebutkan, maka sebagai konsekuensi logisnya
termasuk di dalamnya.

D. Kesimpulan

Dalalah merupakan petunjuk yang menunjukan kepada yang dimaksud atau memahami sesuatu atas
sesuatu. Menurut Syafi’iyah dalalah dibagi menjadi dua bagian: 1. Dalalah Manthuq 2. Dalalah Mafhum.
Adapun ulama Hanafiyah membagi Dalalah menjadi empat bagian: 1. Dalalah Al-'Ibarah 2.Dalalah Al-
Isyarah 3. Dalalah Nash 4. Dalalah Al-Iqtidha’. Tingkatan-tingkatan tersebut mempunyai konsekuensi
ketika terjadi kontradiksi antara dalalah yang satu dengan yang lain. Bila hal itu terjadi, maka yang harus
didahulukan adalah dalalah yang tingkatannya paling tinggi.

E. Daftar Pustaka

Al-Khudlari, Muhammad Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Al-Qathan, Manna, Mabahits fi Ulum al-Quran, Riyadl: Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1973.

Al-Zuhaily, Wahbah Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr,1986.

Jumanto, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Amza.

Kamali, Muhammad Hasyim Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, (Terj. Noor Haidi), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, tt.

Zahra, M. Abu, Ushul Fiqh (terj.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

[1] Drs. Totok Jumanto, MA dan Drs. Samsul Munir Amin, M.ag, Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta:
Amza. hlm. 37.

[2] M. Abu Zahra, Ushul Fiqh (terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 204

[3] QS. Al-Baqarah: 275

[4] Ibid., hlm. 205.

[5] QS. Al-Baqarah: 232

[6] Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam, (Terj. Noor Haidi), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, tt
[7] QS. Al-Isra': 23

[8] QS. Al-Baqarah: 178

[9] QS. Al-Baqarah: 176

[10] QS. Al-Isra': 23

[11] QS. Al-Nisa': 10

[12] Yang membagi mafhum mukhalafah menjadi lima diantaranya adalah Muhammad al-Khudlari, Ushul
al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

[13] Manna al-Qathan, Mabahits fi Ulum al-Quran, Riyadl: Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1973.

[14] Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr,1986, hal. 365

[15] M. Abu Zahra, hal:205

sai_Fiq di 20.12

Berbagi

1 komentar:

Lailah 291016 April 2018 07.26

sangat bermanfaat

SATURDAY, FEBRUARY 27, 2016


makalah mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah

I. PENDAHULUAN

Ushul fiqh berasal dari kata ushul dan fiqh, fiqh berarti faham. Pemahaman seseorang terhadap suatu
hokum pasti berbeda-beda, perbedaan tersebur diakibatkan pada: pertama subjek, salah satunya pada
budaya dan lingkungan sekitar. Kedua pada metodologi atau sudut pandang, subyak melihat sudut
pandang yang berbeda sehingga perbedaan pemahaman terhadap suatu hokum. Ketiga pemahaman
obyek yang beda.

Ilmu ushul fiqh tidaklah tumbuh kecuali pada abad ke-dua hijriyah, karena pada abad pertama hijriyah,
ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah SAW. memberikan fatwa dan keputusan hukum
berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, berupa Al-Qur’an, dan berdasarkan
sunnah yang diilhamkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan
pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang menjadi pedoman untuk beristimbath dan berijtihad. Para
sahabatnya memberikan fatwa dan menetapkan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka fahami
berdasarkan kemampuan bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai kaidah
kebahasaan yang dapat membimbing mereka untuk memahami nash. Mereka mengistimbathkan
terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan mereka dalam persyari’atan hukum
islam yang tertanam di dalam jiwa mereka semenjak mereka berteman dengan Rasulullah. Di samping
itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an dan datangnya hadits-hadits, serta
mereka memahami betul terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar persyari’atan hukum.

Akan tetapi ketika kemenangan islam semakin bertambah luas dan bangsa Arab pun sudah bercampur
dengan bangsa-bangsa lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan kedalam
bahasa Arab telah masuk sejumlah kata dan uslub yang bukan bahaa Arab, maka kemampuan
kebahasaan itu tidak lagi tetap dalam kondisi yang murni, dan kesamaran- kesamaran dan kemungkinan-
kemungkinan lainnya banyak terjadi dalam memahami nash, maka kebutuhan sangat mendesak untuk
membuat berbagai ketentuan dan kaidah kebahasaan yang bisa digunakan untuk memahami nash
sebagaimana orang Arab, yang mana nash datang dengan bahasa mereka, memahaminya, sebagaimana
pula kebutuhan menuntut untuk membuat kaidah nahwu yang bisa dipergunakan untuk mengucapkan
bahasa secara benar.[1]

Disini pemakalah akan membahas mengenai mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Pada
makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian mafhum, mafhum muwafaqah, mafhum mukhalafah,
pembagian mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah, beserta contoh mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah. Dan kehujjahan mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

II. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengertian mafhum muwafaqah?

2. Bagaimana pengertian mafhum mukhalafah?

3. Bagaimana kehujjahan mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah?

III. PEMBAHASAN

A. MAFHUM MUWAFAQAH

Mafhum adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak ditempat pembicaraan, tetapi dari
pemahaman terhadap ucapan tersebut. Seperti Firman Allah SWT.:

‫فحلح تحقايل لحهاحما أَا ف‬


( ٢٣ : ‫ف )أَلسراء‬

Artinya : “maka janganlah kamu katakana kepada kedua orang ibu-bapakmu perbuatan yang keji”. (Q.S
Al-Isra’ : 23)

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mafhum yang tidak disebutkan, yaitu memukul dan
menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung pemahaman yang sama terhadap arti
dari ayat tersebut. Pemahaman yang diambil dari segi pembicaraan yang tidak nyata disebut mafhum.

Adapun yang disebut dilalah mafhum adalah:

‫ت حعينها أَيو حعحلىَ نحيفدي ايلاحيكدم حعينها‬


‫ت احيكدم حما اذدكحرلددما اسدك ح‬
‫ق حعحلىَ ثابايو د‬ ‫حدلحلحاةايلحميفهايودم حودهحي حدلحلحةا اللَيفدظ لحدفىَ حمححرل اليَن ي‬.
‫ط د‬

Artinya: “petunjuk lafal bahwa hukum dari lawan yang disebut berlawanan dengan hokum yang disebut”.

Mafhum muwafaqah yaitu:

‫ت حعينها امحوافدمقا لديلحمينطايو د‬


‫قا‬ ‫ما ح حكاحن ايلحميساكيو ا‬

Artinya: “Petunjuk lafal yang bersamaan antara hokum yang tidak disebut dengan hokum yang disebut”

Jadi mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang
disebutkan. Mafhum muwafaqah dapat dibagi dalam:

a) Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnyadengan Firman Allah SWT yang artinya:
“Janganlah kamu katakan kata-kata yang keji kepada dua orang ibu-bapakmu”. Kata-kata yang keji saja
tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

b) Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti
firman Allah SWT.:

‫إدلَن اللَدذييحن يحأياكلايوحن أَحيمحواحل ايليحتححمىَ ظايلمما إدنلَحما يحأياكلايوحن دفىَ با ا‬


‫طونددهيم حنامرا‬

( ۱۰: ‫(الننساء‬

Artinya: “mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api
kedalam perut mereka” ( QS. An-Nisa’ : 10)

Membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim sama haramnya
sebagaimana hartanya.[2]

B. MAFHUM MUKHALAFAH

Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan,baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu kebalikannya
daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :

‫صلودة دمين يحيودم ايلاجامحعدة حفايسحعيوا ادحلىَ دذيكدر اد حوحذاروا ايلبحييحع‬ ‫…إحذا نايو دد ح‬
َ‫ي دلل ل‬

Artinya :

“apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jumat,maka bersegeralah kamu
mengerjakannya dan tinggalkan jual beli”

Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari jumat sebelum azan si Mu’azin dan sesudah
mengerjakan sholat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab.[3]

Nash syara tidak mempunyai dalalah atas hokum menurut mafhum mukhalafah.

Apabila nash syara menunjukkan atas hokum suatu tempat (objek) yang dibarisi dengan suatu
batasan,seperti jika tempat (objek) itu mempunyi sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat,
atau dibatasi dengan suatu suatu batasan, atau dibatasi dengan bilangan, maka hokum nash atas
tempat(objek) yang telah dapat nyata di dalamnya batasan tersebut, disebut bunyi nash (Mantuq an-
Nash). Sedangkan atas tempat (objek) yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut Pengertian
nash yang berbeda (Mafhum al-Mukholif) atau Mafhum Mukholafah.[4]

Pengertian global kaidah ini, ialah bahwa nash syara itu tidak mempunyai dalalah atas hokum yang
terkandung dalam pengertian yang berbeda dengan bunyi nash. Karena hokum itu bukanlah madlul
(makna) nash dengan jalan diantara jalan dalalah yang empat. Bahkan hokum pengertian yang berbeda
dan didiamkan itu bisa diketahui dengan lain apa saja dari dalil-dali syara, yang diantaranya ialah
kebolehan yang bersifat asal (Al-Ibahah al-Ashliyyah).

Jadi firman Allah SWT yang berbunyi :

‫طإادعنم يح ي‬
‫طحعامها إللَ احين يحاكيوحن حمييتحةم أَحيوحدمما حميسفايومحا‬ َ‫قايل لح احدجاد فدييحما ااودححي ادلح ل‬.
‫ي امححلَرمماحعحلىَ ح‬

(۱۴۵ :‫) ال نعام‬

Artinya:

Katakanlah : tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir. (Q.S
6,al-An’am: 145).[5]

Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah

Syarat-syarat Mafhum Mukhalafah, ialah seperti yang dikemukakan oleh A. Hanafie dalam bukunya Ushul
fiqhi,sebagai berikut :

Untuk syahnya Mafhum Mukhalafah, diperlukan empat syarat:

1) Mafhum Mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun
mafhum muwafaqah.[6]

Contoh yang yang berlawanan dengan dalil mantuq:

‫حولح تحيقتالايوا احيولححداكيم حخيشيحةح اديملح ن‬


( ٣۱ : ‫قا )السراء‬

Artinya:

“jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”(Q.S Al-isra’ :
31)

Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan dibunuh,tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan
dengan dalil mantuq,ialah:

‫س اللَدتي ححلَرحم اا ادللَ دبالحح ر‬


( ٣٣ :‫ق )السراء‬ ‫حولح تحيقتاالوا النلَيف ح‬

Artinya:

“jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”(Q.S Al-isra’ :
33)

Contoh yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:


‫فحلح تحقايل للَهاحما اا ف‬
( ٢٣ : ‫ )السراء‬... ‫ف لَولح تحينهحيرهاحما‬

Artinya:

“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada oaring tua, dan jangan pula engkau hardik”(Q.S
Al-isra’ :23)

Yang disebutkan hanya kata-kata yang kasar mahfum mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhum ini
berlawanan dengan dalil mafhum muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukul.

2) Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.

Contoh :

... ( ٢٣ : ‫ )الننساء‬... ‫حوحرحبائدبااكام اللَدتىَ دفىَ احاجيودراكيم‬

Artinya: “dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (Q.S An-Nisa’ : 23)

Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada
dalam pemeliharaan boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan , sebab memang biasanya anak tiri
dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

3) Yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan . contoh:

(‫احيلاميسلدام حمين حسلدحم ايلاميسلداميوحن دمين لدحساندده حويحددده )الحديث‬

Artinya: “orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan lisan
maupun dengan tangannya” (hadits)

Dengan perkataan “orang-orang islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan
islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun
dan damai diantara orang-orang islam sendiri.

4) Yang disebutkan (mantuq) berdiri sendiri, tidak mengikuti pada yang lain. Contoh:

( ۱۸۷ : ‫حولح تاحبادشارهالَن حوأَحينتايم حعادكفايوحن دفىَ ايلحمحسادجدد )البقرة‬

Artinya: “janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) padahal kamu sedang beriktikaf di masjid”(QS.
Al-Baqarah :187)
Tidak dapat dipahamkan kalau tidak beriktikaf di masjid, boleh dicampuri.

Macam-macam mafhum mukhalafah

i) Mafhum shifat ( washfi), yaitu menghubungkan hokum sesuatu kepada salah satu shifatnya, seperti
Firman Allah SWT:

( : ‫فحتحيحدرييار حرقحبحنة اميؤدمنحنة )الننساء‬

Artinya: “maka hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin”.

Seperti pula pada contoh berikut:

‫حوححلحئدال أَحيبحنائداكام اللَدذييحن دمين أَح ي‬


( ٢٣ : ‫صلح بداكم ) الننساء‬

Artinya: dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandung (menantu). (Q.S Al-Isra’ : 23)

ii) Mafhum illat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu menurut illatnya. Contoh mengharamkan
minuman keras karena memabukkan.

( ۹۰ : ‫طادن حفايجتحندبايوها لححعللَاكيم تايفلداحيوحن )المائدة‬ ‫ب حوايلحيزلحام دريج ء‬


‫س دمين حعحمدل اللَشيي ح‬ ‫يحأ حيَيحها اللَدذييحن أَححمنايوا إدنلَحما ايلحخيمار حوايلحمييدسار حوايلح ين ح‬
‫صا ا‬

Artinya : wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk
berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
(Q.S Al-Maidah : 90)

iii) Mafhum’adat, yaitu menghubungkan hokum sesuatu, kepada bilangan yang tertentu. Firman Allah
SWT:

‫ت ثالَم لحيم يحأياتويا بدأ حيربححعدة اشهححداحء حفايجدلديوهايم ثححما ندييحن حجيلحدةم‬ ‫حواللَدذييحن يحيراميوحن ايلاميح ح‬...
‫صن ح د‬

(۴ : ‫) الننور‬
Artinya: “orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina). Kemudian mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah mereka delapan puluh kali pukulan”. (QS. An-
Nur: 4)

Mafhum mukhalafah ‘adad dalam ayat ini adalah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan tidak boleh
kurang dari delapan puluh kali.

iv) Mafhum ghayah, yaitu lafal yang menunjukkan hokum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan),
hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”

Seperti firman Allah SWT :

‫صحلودة حفايغدسلايوا اواجيوهحاكيم حواحييدديحاكيم ادحلىَ ايلحمحرافد د‬


‫ق‬ َ‫ ادحذا قايمتايم ادحلىَ ال ل‬...

(۶ : ‫) المائدة‬

Artinya:

“Bila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada kepada
siku” (QS. Al-maidah:6).

( ٢٣ : ‫طللَقححها فحلح تحدحيَل لحها دمين بحيعاد ححلَتىَ تحيندكحح حزيومجا حغييحرها )البقر ة‬
‫فحإ د ين ح‬

Artinya : kemudian jika si suami menalak (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al-Baqarah : 23).

Mafhum mukhalafah ghayahnya adalah sebelum istrinya menikah dengan suami kedua dan
diceraikannya maka dia belum halal bagi suami pertama.

v) Mafhum Had, yaitu menentukan hokum dengan disebutkan suatu ‘adad, di antara adat-adatnya,
seperti firman Allah SWT:

... ‫س احيوفديسمقا اادهلَل لدحغييدر اد بدده‬ ‫طإادعنم يح ي‬


‫طحعامها إللَ احين يحاكيوحن حمييتحةم أَحيوحدمما حميسفايومحا احيولحيححم دخيندزيينر فحا دنلَها دريج ء‬ َ‫قايل لح احدجاد فدييحما ااودححي ادلح ل‬
‫ي امححلَرمماحعحلىَ ح‬
( ۱۴۵ : ‫)النعام‬

Artinya :
“Katakanlah, tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau
daging babi,karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih dengan tidak atas
nama Allah.” (QS. Al-an’am : 145).

vi) Mafhum Laqaab, Yaitu menggantungkan hokum kepada isim alam atau isim fi’il, seperti sabda Nabi
Saw:

‫ حديث حسن‬. ‫ احبايو بحيكنرفددىَ ايلحجنلَدة حواعحمار دفىَ ايلحجنلَدة حواعيثحماان دفىَ ايلحجنلَدة حوحعلديي دفىَ ايلحجنلَدة ادحلىَ دعلَددة ايلحعحشحر‬: ‫صلَلىَ اا حعلحييده حوحسللَحم‬
‫قححل ح‬

Artinya:

“Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Usman masuk surga, Ali masuk surga sampai-sampai
bilangan itu sepuluh” (Hadis Hasan).[7]

Mafhum mukhalafah pada contoh lain seperti perkataan berikut:

‫امححلَمءد حراسوال اد‬

Artinya : Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasul Allah Swt.

C. KEHUJJAHAN MAFHUM MUWAFAQAH DAN MUKHALAFAH

Para ahli ushul fiqh sepakat untuk tidak mempergunakan hujjah dengan nash atas dasar mafhum
mukhalafah dalam suatu bentuk, dan sepakat menjadikannya sebagai hujjah dalam bentuk tertentu, dan
suatu bentuk lagi, mereka berbeda pendapat mengenai kehujjahannya.

1. Adapun mafhum mukhalafah yang mereka sepakati untuk tidak mempergunakan nash sebagai
hujjah berdasarkan mafhum mukhalafahnya ialah : mafhum laqab. Yang dimaksudkan dengan laqab,
ialah : lafazh jamid (tidak musytaq) yang ada dalam nash sebagai nama bagi suatu substansi yang
menjadi sandaran hukum yang disebutkan di dalam nash.

Contohnya, dalam hadits :


‫دفىَ ايلبحرر ح‬.
‫صحدقحةء‬

Artinya :

“pada gandum ada (kewajiban) zakat”.

Lafazh “buur” adalah nama bagi biji-bijian tertentu yang wajib zakat.

Dan dalam hadits :

‫دفىَ ايلحغنحدم حزحكاةء‬.

Artinya :

“pada kambing ada (kewajiban) zakat”.

Lafazh ghanam (kambing) adalah nama bagi binatang tertentu yang wajib zakat. Tidak bisa difahami, baik
menurut bahasa, menurut syara’, maupun menurut adat kebiasaan, bahwa penyebutan lafazh buur
mengecualikan segala biji-bijian lainnya. Tidak pula difahami, bahwasannya penyebutan ghanam
merupakan pengecualian terhadap jenis binatang ternak lainnya yang merumput. Tidak pula difahami,
bahwa pewajiban zakat pada buur (satu jenis gandum), memberikan pemahaman bahwa tidak ada
kewajiban zakat pada sya’ir (jenis gandum), jagung, biji-bijian lainnya. Tidak pula difahami bahwasannya
pewajiban zakat pada kambing memberikan pemahaman bahwa zakat tidak wajib pada unta, sapi dan
lainnya.

Oleh karena inilah, maka para ahli ilmu ushul fiqh sepakat untuk tidak mempergunakan hujjah dengan
mafhum mukhalafah dalam laqab ini. Karena sesungguhnya penyebutannya tidak dimaksudkan untuk
membatasi, tidak pula mentakhsish, dan tidak pula mengecualikan terhadap lainnya.

Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara nash syar’iyyah maupun nash perundang-undangan hukum
positif, akad perjanjian manusia, tasharruf mereka dan seluruh perkataan mereka. Kalimat “Muhammad
adalah Rasulullah”. Dari kalimat tersebut tidak dapat difahami bahwasannya selain Muhammad bukanlah
Rasulullah. Hutang orang yang meninggal dunia dibayarkan dari harta peninggalannya. Dari kalimat
tersebut tidak dapat difahami, bahwasannya selain hutangnya, seperti biaya persiapannya dan wasiat-
wasiatnya yang terlaksana, tidak dibayarkan dari harta peninggalannya. Jual beli memindahkan
pemilikan. Dari kalimat tersebut tidaklah difahami bahwa selain jual beli tidak dapat memindahkan
pemilikan. Bahwasanya penjualan hak pada harta peninggalan seseorang yang masih terikat dalam
kehidupan, walaupun dengan keridhaannya tidak batal. Oleh karena inilah Asy Syaukani berkata : “Orang
yang mengatakan mafhum mukhalafah pada laqab tidak menemukan hujjah, baik secara kebahasaan,
maupun aqliyyah, maupun syar’iyyah. Dari bahasa Arab diketahui, bahwa orang yang mengatakan : Saya
melihad zaid. Dari ucapannya tersebut tidaklah dapat difahami bahwa ia tidak melihat selain zaid.
Adapun apabila qarinah (tanda) menunjukkan penggunaannya pada suatu kasus khusus, maka hal itu
tidak lain karena ada qarinah itu”.
2. Adapun bentuk mafhum mukhalafah yang mereka sepakati untuk mereka pergunakan sebagai
hujjah, maka ia adalah mafhum sifat, atau mafhum syarat, mafhum ‘adad (hitungan) atau mafhum
ghayah (batasan maksimal) pada selain nash syar’iyyah, maksudnya ialah dalam berbagai perjanjian
antara mereka yang mengadakan perjanjian dan tasharruf mereka, perkataan manusia, ungkapan para
pengarang, dan peristilahan para ahli fiqh.

Misalnya, perkataan orang yang berwakaf : saya menetapkan seperempat wakafku sepeninggalku untuk
kerabatku yang fakir. Yang dikatakan adalah ketetapan pemberian hak kepada kerabatnya yang fakir.
Mafhum Mukhalafahnya ialah penafian hak kerabatnya yang tidak fakir. Nash tersebut merupakan hujjah
atas kedua hukum.

Juga perkataan orang yang berwakaf : saya menetapkan hasil penjualan penghasilan wakafku
sepeninggalku untuk jandaku apabila ia tidak kawin lagi. Yang dikatakan adalah penetapan hak kepada
jandanya apabila tidak kawin lagi. Mafhum Mukhalafahnya iaalah penafian haknya apabila telah kawin
lagi. Nash tersebut merupakan hujjah atas kedua hukum.

Demikianlah setiap susunan kalimat dari seseorang yang melaksanakan akad, orang yang bertasharruf,
pengarang, atau orang yang berkata manapun, apabila dibatasi dengan suatu sifat, atau syarat, atau
dibatasi dengan hitungan atau batas maksimal, adalah hujjah bagi ketetapan hukum yang ada padanya,
ketika ada sesuatu yang membatasinya, dan atas penafian hukum itu apabila batasan tersebut tidak ada.
Karena sebenarnya adat kebiasaan manusia dan peristilahan mereka dalam pemahaman dan
pengungkapan adalah berdasarkan ketentuan ini. Kalau sekiranya penafian dan penetapan tersebut tidak
difahami, niscaya pembatasan itu dalam kebiasaan mereka adalah suatu kesia-siaan, kecuali apabila
qarinah menunjukkan bahwasanya pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan.

3. Adapun bentuk mukhalafah yang masih diperselisihkan oleh para ahli ilmu ushul fiqh mengenai
pemakaiannya sebagai hujjah, maka ia adalah mafhum mukhalafah pada sifat, atau syarat, atau batas
maksimal, ataupun hitungan, pada nash syar’iyyah secara khusus.[8]

Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah. Hamper semua ulama’ berpendirian demikian, kecuali
golongan zhahiriyah: “semua mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab”.

Demikianlah pendapat kebanyakan ulama’ ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah ada
faedahnya. Juga dapat diketahui dari bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang
disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan bukan sifat lainnya.

Berlainan dengan pendapat diatas, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan zhahiriyah
mengatakan, bahwa semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan). Menyebutkan
salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.[9]
IV. KESIMPULAN

1. Mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang
disebutkan.

2. Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbath
(menetapkan) maupun naïf (meniadakan)

3. Kehujjahan mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah, adapun mafhum mukhalafah tidak bisa
menjadi hujjah.

V. PENUTUP

Sebagai manusia ciptaan Allah SWT yang tak luput dari kekhilafan. Kami tim penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih ada kesalahan baik dari segi pemahaman kami dan segi penulisannya
sendiri. Dan tim penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak hal yang belum sempat terbahas. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sebagai bahan evaluasi untuk memotifasi makalah kami selanjutnya.
Dan kami tim penulis minta ma’af apabila terdapat kesalahan kata pada tugas ini. Semoga tugas makalah
ini bermanfaat bagi kita semua dan kurang lebihnya minta ma’af.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Drs. Khairul Umam dkk, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001

Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994

Prof. Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), PT Raja Grafindo Persada,
1996

Drs. H. Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqh, CV Pustaka Setia, 1997


VII. REVISI

1) SEASON PERTANYAAN.

1. (112152) : menapa dalam mafhum muwafaqah tidak terdapat syarat-syarat seperti mafhum
mukhalafah?

2. (112167) : apakah yang dimaksud dengan dalil khitab, dan mengapa mafhum mukholafah juga
disebut dalil khitab?

3. (112172) : alasan-alasan apa saja yang menyebabkan lafal itu di mafhumkan?

2) SEASON JAWAB

1. (112158) : karena dalam mafhum muwafaqah lafalnya hanya memahami sesuatu menurut ucapan
lafal yang disebutkan. Sedangkan mafhum mukhalafah membutuhkan makna yang lebih rinci dan detail,
sehingga membutuhkan syarat-syarat untuk memahaminya. Selain itu juga pemakalah tidak menemukan
subbab bagian syarat-syarat mafhum muwafaqah pada buku-buku yang ada.

2. (112159) : dalil khitab ialah beban pembicaraan, mafhum mhkhalafah disebut juga dalil khitab
karena makna dari beban pembicaraan tidak secara tektual namun perlu dipahami secara kontekstual.

3. (112160) : jika kita lihat lafal-lafal yang ada dalam Al-Qur’an terdapat makna yang berarti khusus
dan makna yang berarti umum. Makna yang berarti khusus yakni makna yang sudah jelas
pemahamannya, adapun makna yang umum maka butuh penjelasan yang rinci. Sehingga mafhum disini
hadir untuk menjelaskan makna yang berarti umum. Contohnya:

‫فحلح تحقايل للَهاحما اا ف‬


( ٢٣ : ‫ )السراء‬... ‫ف لَولح تحينهحيرهاحما‬
Dari lafal tersebut membutuhkan pemahaman secara detail, yaitu kita tidak diperbolehkan mengatakan
kata-kata yang keji pada kedua orang tua kita, apalagi sampai memukulnya maka hal tersebut juga
diharamkan.

3) SEASON SANGGAHAN/TAMBAHAN

1. (112169) : mengenai syarat-syarat pada mafhum muwafaqah, menurutnya semua ilmu pasti ada
syarat-syaratnya. Seperti halnya mempelajari ilmu Al-Qur’an, pada ushul fiqh juga perlu memahami
syarat-syarat untuk mempelajarinya, misal alat bantu seperti ilmu balaghah, ilmu nahwu dan ilmu shorof
untuk membantu memahami lafal yang ada dalam Al-Qur’an dan membuat suatu hokum atas lafal
tersebut.

2. (112151) : menyangga dari pernyataan penyangga diatas, bahwa yang dimaksud dari penanya
tentang syarat-syarat mafhum muwafaqah adalah dalam memahami mafhum muwafaqah mengapa
tidak terdapat syarat-syarat seperti halnya pada mafhum mukhalafah?. Adapun mafhum muwafaqah
hanya dapat di bagi menjadi 2, yaitu lahnal khitab dan fahwal khitab.

[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hal.8

[2] Khairul umam dkk, Ushul Fiqh II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal.47

[3] H. Syafi’I karim , FIQIH-USHUL FIQIH, pustaka setia Bandung. 1997 hal 179-180

[4] Abdul Wahab Khalaf , Kaidah-Kaidah Hokum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1989, hal. 247

[5] Ibid, hal. 248

[6] Syafi’I Karim, Op.Cit, hal 180

[7] Ibid, hal. 186

[8] Op.Cit, hal.232-235

[9] Ibid, hal. 187

di February 27, 2016

Email This

BlogThis!

Share to Twitter
Share to Facebook

Share to Pinterest

1 comment:

Perbedaan mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah beserta contoh

Tanyakan detil pertanyaan Ikuti tidak puas? sampaikan! dari Selvi8640 25.03.2018

Jawabanmu

azizahsyafira Gemar Membantu

mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan.

contohnya :

1.memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya

2.Membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim haram hukumnya.

Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan,baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun Nafi(meniadakan).

contohnya:

1.oleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan si Mua’zin dan sesudah mengerjakan Shalat.

2.alal mengawini budak-budak perempuan yang beriman sebaliknya berdasarkan mufhum mukhalafah
sifatharam mengawini budak-budak yang kafir.

3.9

15 pilih

Terima kasih 10
Komentar (2) tidak puas? sampaikan!

typo 1.'BOLEH'

typo 2.'HALAl'

Masuk untuk menambahkan komentar

faizahdewi

faizahdewi Terpelajar

Mafhum muwafaqah adalah pernyataan bahwa kasus yg tidak disebutkan sejalan dengan kasus yg di
sebutkan.

contoh : Qs Al Isra 23 "wa la taqullahuma uffin" (dan janganlah kamu mengatakan kpd keduanya kata"
'hus')

mafhum mukhalafah adalah pemahaman yg berkebalikan dari teks karena keadaan yg juga berkebalikan
dengan teks tersebut.

contoh : Qs Al Fatihah 5 "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in " (pada mu kami menyembah dan kepadamu
kami mohon pertolongan). bahwa tidak boleh menyembah maupun meminta perlindungan selain allah

semoga bermanfaat

Al-iqtidhâ secara etimologi berarti meminta. Sementara secara terminologi adalah petunjuk suatu lafazh
terhadap suatu makna, di mana pengertian dari lafazh tersebut tidak sesuai kecuali dengan adanya
sesuatu tersebut. petunjuk makna tidak dapat dipahami dari lafazh, melainkan menuntut adanya lafazh
lain yang tersembunyi.[1]
Jika kebenaran suatu ungkapan kalimat, baik secara bahasa, syariat atau logika bergantung kepada
makna yang berada di luar lafazh tadi, maka pengambilan keputusan hukum dari lafazh yang
tersembunyi tersebut disebut sebagai dilalah al-iqtidha.

Contoh:

‫ت حعلحيياكام ايلحمييتحةا حوايللَدام حولحيحام ايلدخيندزيدر حوحما أَادهلَل لدحغييدر ن‬


‫اد بدده‬ ‫احررحم ي‬

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah: 3)

Maksudnya adalah diharamkan “memakan dan memanfaatkan” daging-daging tadi. Makna tersebut
diperoleh dari petunjuk lafazh karena tuntutan kalimat (iqtithâ’an). Hal ini karena pengharaman tidak
berkaitan dengan dagingnya, namun kepada pekerjaan memakan atau memanfaatkan daging. Hanya
saja, lafazh ‫( الكل‬makan) atau ‫( ادلنتفاع‬memanfaatkan) tidak tercantum dalam nash. Lafazh tersebut
diketahui sesuai dengan tuntutan redaksi dalam nash.

Contoh lain sabda Rasulullah Saw:

‫رفع عن أَمتي الخطأ و النسيان وما استكره عليه‬

Artinya: “Telah diangkat (dihapuskan) dari umatku akan kesalahan, lupa dan perbuatan yang dipaksa”.

Jika dilihat dari redaksi hadits di atas, dapat dipahami bahwa terdapat tiga perkara yang sudah diangkat
dari umat Islam, yaitu dosa, kesalahan dan perbuatan yang dipaksa. Sementara realitas umat sangat
berbeda. Umat Islam tetap saja ada yang melakukan kesalahan, lupa ataupun melakukan pekerjaan yang
dipaksa, karena memang umat Islam tidak maksum. Jika kita terpaku pada ungkapan lafazh tersebut,
tentu akan memberikan makna yang rancu. Maka sesungguhnya dalam nash di atas terdapat lafazh yang
terbuang, yaitu lafazh ( ‫ ) ناثم‬yang berti dosa. Dengan kata lain, yang diangkat dari umat Islam bukanlah
kesalahan, lupa, atau perbuatan yang dipaksa, namun maksudnya adalah dosa yang diperbuat oleh
mereka. Jadi, hadits di atas berbunyi:

‫رفع عن أَمتي )ناثم( الخطأ و النسيان وما استكره عليه‬

Artinya: “Telah diangkat (dihapuskan) dosa umatku dari kesalahan, lupa dan perbuatan yang dipaksa”.

Ditinjau dari segi keharusan menyembunyikan lafazh yang terbuang, para ulama ushul fiqih membagi
dilâlatu’l iqtidhâ’ menjadi tiga macam:

Dilâlatu’l iqtidhâ’ yang menyembunyikan lafazh yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami
dengan benar menurut syara’ kecuali dengan menyembunyikan lafazh tersebut.
Contoh: sabda Rasulullah Saw:

‫ل صيام لمن ل يبيت النية‬

Artinya: “tidak dianggap berpuasa bagi seseorang yang tidak berniat pada waktu malam”.

Hadits tersebut harus menyembunyikan lafazh ‫( الصحيح‬sah) agar dapat dipahami dengan benar. Bila
tidak, makna dari hadits tersebut menjadi rancu. Maka kemudian hadits itu berbunyi:

‫ل يقع الصيام صحيحا لمن ل يبيت النية‬

Artinya: “tidak dianggap sah puasa seseorang yang tidak berniat pada waktu malam”.

Dilâlatu’l iqtidhâ’ yang harus menyembunyikan lafazh yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat
dipahami secara sah menurut akal, kecuali dengan menyembunyikan lafazh tersebut.

Contoh:

‫فحيليحيد ا‬
‫ع حناددحيه‬

Artinya: “Maka biarlah ia memanggil suatu tempat”. (QS. Al-‘Alaq: 17)

Lafazh ‫ حناددحيه‬dari ayat di atas berarti tempat, yang menurut logika tentu mustahil dapat dipanggil. Makna
dari lafazh tadi juga rancu. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan lafazh ‫ حناددحيه‬dari ayat tadi adalah
orang-orang yang berada di tempat. Dengan demikian, ayat tersebut menyembunyikan kata ‫أَهل‬
(penduduk atau golongan), sehingga bunyi ayat menjadi:

‫فحيليحيد ا‬
‫ع أَهل حناددحيه‬

Artinya: “Maka biarlah ia memanggil golongannya (untuk menolong). (QS. Al-‘Alaq: 17)

Dilâlatu’l iqtidhâ’ yang harus menyembunyikan lafazh yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat
dipahami secara sah menurut syara’ kecuali dengan menyembunyikan lafazh.

Contoh:

‫ف حوأَححداء إدلحييده بدإ ديححسانن‬


‫ع دبايلحميعارو د‬
‫حفاترحبا ء‬

Artinya: Hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan baik (pula). (QS. al-Baqarah: 178).
Dalam pandangan syara’, perintah untuk bersikap baik bagi orang yang memaafkan kepada orang yang
diberi maaf memberikan imbalan harta benda kepada yang memaafkan.[2]

[1] Muhammad Abu Zahrah op. cit., hal. 133

[2] Ibid. hal. 134

Apakah Makna Menzihar Isteri di Surat Al-Mujadalah?

Assalamu’alaikum wr. wb.

Ustadz yth., saya ingin menanyakan soal menzihar isteri yang disebut di surat al-Mujadalah. Apa
maksudnya? Di tafsir dikatakan bahwa makna menzihar adalah mengatakan, "Kau seperti punggung
ibuku," yang maknanya mengharamkan berjima’ dengan isterinya, lagi menurut kebiasaan orang Arab
saat itu. Lalu dalam masyarakat kita, yang bagaimanakah menzihar isteri itu:
1. Seorang suami yang mengatakan pada isterinya, "Kamu mirip ibuku."

atau

2. Seorang suami yang mengatakan pada isterinya, "Aku tidak mau tidur denganmu lagi," atau, "Haram
tidur denganmu lagi," atau yang serupa dengan itu.

Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Istilah zhihar berasal dari kata zhahru yang artinya punggung. Sedangkan makna zhihar secara istilah
adalah perkataan seorang suami kepada isterinya dengan lafadz, "Kamu bagiku seperti punggung ibuku."
Atau perkataan lain yang sepadan dengannya di mana intinya mengharamkan dirinya dari menggauli
isteri sebagaimana mengharamkan ibu sendiri atau saudara yang mahram.

Zhihar ini punya konsekuensi hukum yaitu haramnya seorang laki-laki untuk menggauli isterinya, sampai
dia mencabut kembali apa yang telah diharamkan. Sebab dia telah menyamakan keharaman menggauli
isterinya sebagaimana keharaman dirinya menggauli ibunya sendiri.

Landasan syariahnya adalah firman Allah SWT:

َ‫ظادهاروحن دمناكم رمن نرحسائددهم لَما هالَن أَالَمحهاتددهيم إدين أَالَمحهاتاهايم إدلَل اللَلدئي حولحيدنحهايم حوإدنلَهايم لحيحاقوالوحن امنحكمرا رمحن ايلقحيودل حوازومرا حوإدلَن ل‬
‫اح لححعفايو حغافوءر‬ ‫اللَدذيحن يا ح‬

‫اا بدحما تحيعحمالوحن حخدبيءر‬ ‫ظادهاروحن دمن نرحسائددهيم ثالَم يحاعوادوحن لدحما حقاالوا فحتحيحدريار حرقحبحنة رمن قحيبدل حأَن يحتححمالَسا حذلداكيم اتوحع ا‬
َ‫ظوحن بدده حو ل‬ ‫حواللَدذيحن يا ح‬
Orang-orang yang menzihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal)
tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan
dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Mujadalah: 2-3)

Hukum zhihar ini haram, karena Allah SWT menyebutkan di dalam ayat 2 surat ini sebagai: mengucapkan
perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sebelum dia mencabut kembali kata-katanya, maka isterinya
haram baginya untuk digauli. Dan mencabut kembali kata-kata zhihar itu ada kaffarah yang hukumnya
wajib juga untuk dikerjakan.

Adapun kaffarah atau denda dari zhihar ini yang menandakan seseorang mencabut kembali kata-katanya
ada beberapa bentuk:

Membebaskan budak yang selamat dari ‘aib.

Puasa dua bulan berturut-turut.

Memberi makan 60 orang miskin dengan masing-masing sebanyak dua porsi makan.

Wallahu a’lam bishshawab, wasssalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.


Rumah Makalah

Friday, 6 February 2015

MAKALAH 'AMM DAN KHAS

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul
Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-
hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah
Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-
kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan. Dengan kaidah itu
diharapkan dapat memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang benar, dan juga dapat
membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain,
mentakwilkan nash yang ada bukti takwilnya, juga hal-hal lain yang berhubungan dengan pengambilan
hukum dari nashnya. Salah satu dari kaidah-kaidah ushul fiqh adalah lafadz ‘amm (lafaz umum) dan
lafadz khas (lafaz khusus).
BAB II

PEMBAHASAN

A. LAFAZ AMM (UMUM)

Amm ialah[1] suatu lafaz yang dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas (boleh)
dimasukan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka
lafaz ini meliputi semua laki-laki.

1. Ruang lingkup[2]

Setiap lafaz (kata) mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu (1) lafaz itu sendiri, yang tersusun dari
huruf-huruf, dan (2) makna atau arti yang terkandung dalam Lafaz itu. Para ulama ushul membahas
persoalan tentang lafaz ‘am, khushush, mutlaq dan muqayyad dalam konteks : “apakah berada dalam
lingkup lafaz atau lingkup makna”.

a. Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafaz, karena ia
menunjukkan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya.

b. Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa ‘am itu juga menyangkut makna.

c. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz ‘am dapat juga digunakan untuk makna, namun
penggunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam penggunaan yang sebenarnya, sebab
kalau ia hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna.

d. Qadhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitan kepada ‘am kecuali lafaz.
e. As-sharkisi (dalam kalangan ulama hanafi) berpendapat bahwa ‘am tidak dapat digunakan pada
makna kecuali bila penggunaannya hanya secara majazi, karenanya perlu penjelasan untuk itu.

f. Segolongan ulama Irak berpendapat bahwa ‘am itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum,
dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran akhirnya.

2. Lafat-lafat umum

a. Kullun, jami’un, dan ma’syara.

Contoh kullun:

“tiap-tiap umatku akan masuk ke dalam syurga kecuali orang yang enggan, siapa yang menta’atiku masuk
dia kedalam syurga dan siapa yang enggan membangkang kepadaku itulah orang yang enggaa”(HR.
Bukhary ).

“Tiap-tiap diri merasakan mati” (QS. Ali imran ayat 185)

Contoh jami’un:

“Dialah (allah) yang menjadikan kamu dipermukaan bumi ini seluruhnya” (QS. Al baqarah ayat 29).

Contoh kaffah:

“Tidak kami utus engkau (hai muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan
bagi manusia” (QS. Saba’ ayat 28).
Contoh ma’syara:

”Hai sekalian jin dan manusia! Tidaklah sampai kepadamu utusa-utusan yang menceritakan ayat-ku
kepadamu? Serta menakuti kamu akan pertemuanhari ini” (QS. An’am ayat 12).

b. Man, Maa, dan Aina pada Majas

Contoh Man:

Barangsiapa yang mengerjakan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu (QS. An-Nisa’; ayat
123)

Contoh Maa:

Apa-apa yang kamu berikan (belanjakan)berupa kebaikan,mak berfaedah kepada dirimu sedang kamu
tidak akan teraniaya (QS. Al-Baqarah; ayat 272).

Contoh Aina:

di mana juapun tempat tinggalmu,niscaya mati itu akan menimpa dirimu jua, sekalipun kamu tinggal
dalam benteng yang kuat (QS. An-Nisa; ayat 78)

c. Man, Maa, Aina dan Mata untuk Istifham (pertanyaan).


Contoh Man:

Siapa yang mau berpiutang kepada Allah denganpiutang yang baik (QS. Al-Baqarah; ayat 245)

Contoh Maa:

Apa sebabnya kamu masuk neraka? (QS. Al-Mudatsir; ayat 42)

Contoh Aina:

Di mana kamu tinggal?

Contoh Mata:

Kapan akan datang pertolongan Allah?

d. Ayyu

Contoh:

“Siapa saja di antara perempuan yang kawin tanpa seizin walinya, maka perkawinannya batal (tidak sah)”
(HR. Arba’ah)

e. Nakirah sesudah nafi

Contoh:
Takutlah kamu akan hari kiamat, hari yang tidak dapat menggantikan suatu diri terhadap lainnya sedikit
juapun, dan tidak diterima daripadanya tebusan dan tidak berguna pertolongan, sedang merekatidak
pula mendapat pertolongan” (QS. Al-Baqarah: ayat 123)

f. Isim Maushul

Contoh:

Orang-orang yang menuduh perempuan baik berbuat zina, kemudian mereka tidak mendatangkan
empatorang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan jangan kamu ambil kesaksian mereka
selama-lamanya (QS. An-Nur; ayat 4)

g. Idhafah

Contoh:

Jika kamu menhitung-hitung nikmat Allah tidak akan terhitung (QS. Ibrahim; ayat 34)

h. Alif lam harfiah

Contoh:

Bahwa sesungguhnya Allah suka kepada orang yang adil (Al-Maidah; ayat 42)
Allah kasih kepada orang yang berbuat kebajikan (QS. Al-Baqarah; ayat 195).[3]

3. Pembagian Am

Lafaz umum, seperti dijelaskan Mustafa Sa’id al-Khin, dibagi kepada tiga macam[4]:

a) Lafaz umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukan
tettutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya, ayat 6 Surat Hud:

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumu melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan temapat penyimpanannya. Semua tertulis dalamkitab
yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS. Hud/11: 6)

Yang dimaksud binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang
tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi
rezekinya.

b) Lafaz umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukan
makna seperti itu.

Contoh:

Tidaklah sepatutnyabagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Baduwi yang berdiam disekitar
mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul. (At-Taubah/9: 120)
Ayat tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab
sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi
berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-
orang yang mampu.

c) Lafaz umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud bahwa makna
umumnya atau adalah sebagian cakupannya.

Contoh :

Dan wanita – wanita yang di talak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru. ( QS.al-
baqarah/2:228)

Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita – wanita yang di talak), terbebas dari
indikasi yang menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna umumnya itu atau sebagian
cakupannya.

Takhsis adalah penjelasan bahwa yang di maksud dengan suatu lafal umum adalah sebagian dari
cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan – satuan yang
di cakup oleh lafal umum dengan dalil.

Di antara dalil – dalil pen takhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-quran, takhsis dengan sunnah, dan
takhsis dengan Qiyas. Lafal umum setelah di takhsis, ke umumannya menjadi khusus (makna sebagian).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat Al-Quran, dan hadist mutawatir (hadist yang di
riwayatkan sekelompok orang banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat men takhsis ayat-ayat
umum dalam Al-Quran.

B. LAFAZ KHAS (KHUSUS)

Lafaz khusus[5] adalah lafaz yang dibuat untuk menunjukan satu satuan tertentu;berupa orang, seperti
muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas,
seperti tiga belas,seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok dan lafal lain yang menunjukan jumlah
satuan dan tidak menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.

Hukum lafaz umum secara global adalah jika ia terdapat dalam nash syara’ yang menunjukan secara pasti
kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki dan hukum itu ditetapkan karena
petunjuknya secara pasti buka dugaan.
Lafaz yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri

Menurut definisi terakhir ini, lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukan satu satuan secara perorangan
seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau lafaz lain dalam bentuk satuannya
(yang masuk dalam pengertian ‘am)

Khushush adalah keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk
semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dan khushush, meskipun dalam pengertian
bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah
sebagian yang dikandung oleh lafaz. Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan
menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.

Ketentuan lafaz khas dalam garis besarnya adalah:

1. Bila lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia menunjukan artinya yang khas secara
qath’i al-dalalah (penunjuk yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum
yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i. Umpamanya firman Allah dalam surat al-
Maidah/5:89

Maka kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh orang miskin.

Hukum yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan sepuluh orang
miskin, tidak lebih dan tidak kurang.

2. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain, maka arti
khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda Nabi:

Untuk setiap empat puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing

Oleh ulama hanafi zakat kambing dalam hadist itu dita’wilkan kepada yang lebih umum yang mencakup
kambing dan nilai harganya. Juga menta’wilkan lafaz hadist: “segantang kurma” dalam kewajiban zakat
fitrah, kepada “haraga segantang kurma”.

3. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan pula hukum yang khushush dalam
kasus lain, maka lafaz khas itu membatasi pemberlakuan hukum ‘amm itu.

4. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm, terdapat perbedaan pendapat.
a. Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu bersamaan masanya, maka dalil yang khas
mentakhsiskan yang amm, karena tersedianya persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak
bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan: 1) bila lafaz amm terkemudian datangnya, maka lafaz
amm itu menasakh lafaz khas itu menasakh lafaz ‘amm dalam sebagian afradnya.

b. Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya pembenturan antara dalil ‘amm dengan dalil
khushush karena keduanya bila datang dalam waktu bersaan maka yang kahas memberi penjelasan
terhadap yang amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk zhahir yang tetap berkemungkinan
untuk menerima penjelasan di samping untuk diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui
adanya dalil khas. Lafaz khas itulah yang menjelaskan lafaz amm.

Macam-macam Lafadz khas

· Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau syarat

Contoh:

‫والذين يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من قبل ان يتماسا ذالكمتو عظون به وا بما تعملون خبير‬

Atinya : orang –orang yang mendzihar istri mereka. kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

· Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)

Contohnya surat Annisa’ 42

‫ومن قتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة‬

Artinya: barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seotang
hamba sahaya yang beriman.

· Lafadz khas berbentuk amr

Contohnya dalam syurat annisa’ 58

‫ان ا ياء مروكم ان تؤدواالمنت الىَ اهلها‬

Artinya : sesungguhnya Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerinanya

· Lafadz khas yang berbentuk larangan

Contoh surat annahl 90

‫ان ا ياء مرون با لعدل والءحسن وايتائ ذئ القربىَ وينهىَ عن الفحشاء والمنكروالبغىَ يعظكم لعلكم تذكرون‬
Artinya: sesungguhnya Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member kepada kaum
kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia member pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran

C. TAKHSHISH

1. Pengertian Takhshish

Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadh khas, tidak bisa terlepas dari takhshish. Menurut Khudari Bik
dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau
dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.

2. Macam-macam takhshish

a. Mentakhshish ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:

‫صحن حوايلام ح‬
‫طللَحقا ا‬
‫ت‬ ‫قاارونء ثححلثحةح بدأ حينفادسدهلَن يحتححربلَ ي‬

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu
dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:

‫ححيملحهالَن أَحين أَححجلاهالَن ايلحيححمادل حواأَوحل ا‬


‫ت‬

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.(At-Thalaq:4)

Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:

‫طإللَيقتااموهالَن دمين قحيبدل أَحين تححميَسوهالَن حعلحييدهلَن دمين دعلَدنة تحيعتحيَدونححها لحاكيم فححما‬ ‫حيا أَحيَيحها اللَدذيحن آححمانوا إدحذا نححكيحتاام ايلاميؤدمحنا د‬
‫ت ثالَم ح‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49).

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku
bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

b. Mentakhshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:

‫طاعوا أَحييدديحهاحما‬
‫قا حواللَسادرقحةا حفايق ح‬
‫حواللَسادر ا‬

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-
Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish
oleh sabda Nabi SAW:

‫لح قح ي‬
(‫ )رواه الجماعة‬. ‫طحع دفي أَحقحلَل دمين اريبدع ددييحنانر‬

“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari
seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama’ah).

Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat
dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

c. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya hadits Nabi SAW yang berbunyi:

‫ متفق عليه‬. ‫ضأ ح‬


َ‫ىَ يحتححو ل‬ ‫صلحةح أَحححدداكيم إدحذا أَحيححد ح‬
َ‫ث حخت ل‬ ‫لح يحيقبحال اا ح‬

“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq
‘Alayh).

Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6:

‫ضىَ أَحيو حعحلىَ حسفحنر أَحيو حجاحء أَحححءد دميناكيم دمحن ايلحغائددط أَحيو حلحميستاام النرحساحء فحلحيم تحدجادوا حمامء فحتحيحلَماموا ح‬
‫صدعيمدا ح‬
‫طإيرمبا‬ ‫حوإدين اكينتايم اجنامبا حفاطإلَهلَاروا حوإدين اكينتايم حمير ح‬

“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)”.
(Al-Maidah:6).

Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish
dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.

d. Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Misalnya hadits Nabi SAW:

‫ متفق عليه‬. ‫ت اللَسحمااء ايلاعيشار‬


‫فدييحما حسقح ي‬

“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alayh).

Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh
hadits lain yang berbunyi:

‫ متفق عليه‬. ‫صحدقحةء‬ ‫س فدييحما اديوحن حخيمحسدة أَحيواس ن‬


‫ق ح‬ ‫لحيي ح‬

“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)’.
(Muttafaq Alayh).

Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah
mencapai lima watsaq.

e. Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.

Contohnya
‫اد حوحذاروا ايلبحييحع‬
َ‫صحلدة دمين يحيودم ايلاجامحعدة حفايسحعيوا إدحلىَ دذيكدر ل‬ ‫إدحذا انودد ح‬
َ‫ي دلل ل‬

apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum’ah:9).

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah
sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.

f. Mentakhshish Al-Qur’an dengan qiyas.

Misalnya:

‫اللَزانديحةا حواللَزادني حفايجلدادوا اكلَل حوادحند دمينهاحما دمئحةح حجيلحدة‬

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera. (An-Nur:2).

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25:

‫ت دمحن ايلحعحذا د‬
‫ب‬ ‫ف حما حعحلىَ ايلاميح ح‬
‫صحنا د‬ ‫فحإ دحذا أَايح د‬
‫صلَن فحإ دين أَحتحييحن بدحفادححشنة فححعلحييدهلَن ند ي‬
‫ص ا‬

Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji
(zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-
Nisa’:25).

Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah
saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak
laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.

g. Mentakhshish dengan pendapat sahabat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan
menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabt itu yang meriwayatkan hadits yang
ditakhshishnya. Misalnya:

‫ متفق عليه‬. ‫ حمين بحلَدحل دديينحها حفايقتالايوها‬.

“Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah
dia”. (Muttafaq Alayh).

Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu
Abbas (perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya
dipenjarakan saja. Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan
yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat sahabat yang
mentakhshish keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata
Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa
sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul
Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-
hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah
Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-
kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan. Salah satu dari kaidah-
kaidah ushul fiqh adalah lafadz ‘amm (lafaz umum) dan lafadz khas (lafaz khusus). Amm ialah suatu lafaz
yang dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukan pada makna itu
dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafaz ini meliputi semua laki-
laki. Pengertian khash (khushush) adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). dengan demikian bila telah
memahami pengertian lafaz ‘am secara tidak langsung, juga dapat memahami pengertian lafaz khas.
takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan
sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.

[1] Nazar Bakry. Fiqh & Ushul Fiqh. 2003. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 198

[2] H. Amir Starifudin. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu. Hal: 48-49

[3] Ibid, hlm 47

[4] Satria Effendi. Ushul Fiqh.2008. Jakarta: Penerbit Kencana. Hal: 198-199

[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Amani. Hal: 281

Nurul Hidayani at 07:54

Share

1 comment:

ria anggara4 February 2017 at 16:57


thanks

Cari artikel atau penulis

Depan

Politik

Ekonomi

Hukum

Saintek

Perempuan

Keluarga

Olahraga

Lainnya

Silahkan Login untuk membaca dan mengakses fitur-fitur Qureta lainnya.

E-mail:

Password:

Login

Facebook

Twitter

Share

Facebook

Twitter

LinkedIn
WhatsApp

Small

Medium

Large

Apa Itu Dalalah?

Ngaji Mantik (Bag. 5)

Muhammad Nuruddin

Penulis

Follow

www.inkitab.me

26/11/2017

5.1rb

4 min baca

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti sering melihat petunjuk dari yang sesuatu yang berada di
sekeliling kita, baik itu dari buku yang kita baca, suara yang kita dengar, gerak yang kita lihat, bau yang
kita cium, isyarat yang kita tangkap, dan lain sebagainya.

Alam ini sendiri sejatinya adalah sebuah petunjuk. Apa yang kita baca, kita dengar, dan kita lihat di alam
semesta ini pada dasarnya menunjukan sesuatu, meskipun kita tidak selamanya memahami petunjuk
dari sesuatu yang ada di sekeliling kita itu.
Di saat Anda melihat teman Anda berawajah murung, Anda akan berkesimpulan bahwa teman Anda
sedang sedih dan galau. Ketika Anda menatap wajah pacar Anda yang mulai memerah, Anda akan sadar
bahwa pacar Anda sedang murka dan marah.

Tatkala Anda melihat lampu merah di pinggir jalan, Anda tahu bahwa itu adalah isyarat agar kita
menghentikan kendaraan. Banyak contoh yang bisa kita ambil dari petunjuk-petunjuk yang ada di
sekeliling kita.

Dalam bahasa Arab, penunjukan sesuatu atas sesuatu yang lain itu namanya dalalah (signification). Atau
bisa juga dibaca dilalah, dan dulalah. Tiga-tiganya boleh. Cuma yang lebih fasih ialah dalalah.

Pembahasan mengenai dalalah ini adalah lanjutan dari pembahasan dua jenis pengetahuan yang sudah
di singgung pada tulisan yang lalu. Kita tidak mungkin memperoleh pengetahuan dari sesuatu, baik yang
berbentuk tashawwur maupun tashdiq, kecuali jika sesuatu yang kita ketahui itu menunjukan makna
tertentu.

Kata sajadah, misalnya. Apa makna yang bisa kita tangkap dari kata tersebut? Biasanya, ketika disebut
kata sajadah, makna yang pertama kali mendarat di kepala kita ialah kain yang biasa digunakan sebagai
alas salat. Dalam hal ini, kata sajadah menjadi penunjuk, dan alas salat menjadi makna yang ditunjuk.
Inilah yang dimaksud dengan dalalah.

Jadi, intinya, dalalah itu ialah penunjukan sesuatu atas sesuatu yang lain. Atau, dengan pengertian lain,
dalalah itu ialah proses memahami sesuatu dari sesuatu.

Penting untuk diketahui bahwa bahasan mengenai dalalah ini bukan hanya ada dalam Ilmu Mantik, tapi
juga ditemukan dalam Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fikih dan disiplin keilmuan Islam yang lain.

Namun, dalalah versi ahli ilmu logika dengan dalalah versi para ulama tentu memiliki aturan yang sedikit
berbeda. Kita akan mengetahui perbedaan tersebut setelah nanti masuk kedalam pembahasan inti.
Sebelum kita masuk lebih jauh, ada baiknya kita jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
dalalah.
Makna Kebahasaan dan Istilah

Secara kebahasaan, dalalah bisa diartikan petunjuk (al-Hidayah) atau penunjukan. Terambil dari kata
kerja dalla-yadullu yang berarti “menunjukan”. Dalam pembahasan dalalah ini kita akan mengenal dua
istilah kunci. Pertama, apa yang disebut sebagai dâl (signify/yang menunjuk). Kedua, madlûl
(signified/yang ditunjuk).

Untuk memahami dua kata kunci tersebut, kita akan ambil contoh lain yang sangat sederhana. Misalnya
suatu ketika Anda berjalan sendirian di tengah hutan. Tiba-tiba, di pertengahan jalan, Anda menemukan
bekas perkemahan dan sisa-sisa perbekalan makanan, padahal di sana tidak ada orang.

Mata Anda memang tidak melihat adanya orang. Tapi, petunjuk yang Anda dapatkan dari sisa-sisa
bungkusan makanan tersebut bisa menjadi bukti bahwa tempat tersebut sudah dilalui orang. Akal Anda
akan mengatakan bahwa tidak mungkin makanan itu datang dengan sendirinya ke tengah hutan. Pasti
ada yang bawa.

Nah, perbekalan makanan yang menjadi petunjuk itu, dalam bahasa Arab, namanya dâl, karena dia
menunjukan sesuatu. Sedangkan makna atau gambaran yang terlintas dalam benak Anda setelah
melihat adanya dâl itu namanya madlûl (yang ditunjuk). Dan penunjukan itu dinamai dalâlah.

Dari sini, dalalah biasanya diartikan sebagai “proses memahami sesuatu dari sesuatu” (fahmu amrin min
amrin). Sesuatu yang diketahui atau dipahami itu namanya madlûl, sedangkan yang sesuatu yang
menjadi penunjuk dan memberikan pemahaman itu namanya dâl.

Ada definisi lain yang agak sedikit panjang. Dalalah itu ialah: “kaunu al-Syai’i bi hâlatin yalzamu min
al-‘Ilmi bihi al-‘Ilmu bisyain âkhar” (Keberadaan sesuatu dalam suatu kondisi atau keadaan tertentu, yang
dengan mengetahui sesuatu tersebut kita akan mengetahui sesuatu yang lain). Sesuatu yang pertama
disebut dâl, dan sesuatu yang kedua disebut madlûl.
Selanjutnya, dalalah atau signifikasi ini terbagi dua: ada yang disebut dalalah lafzhiyyah (signifikasi
verbal), kemudian ada yang disebut dalalah ghair lafziyyah (signifikasi non-verbal). Mengapa hanya ada
dua? Karena segala petunjuk yang ada di sekeliling kita tidak akan lepas dari dua jenis petunjuk tersebut.

Masing-masing dari dua jenis dalalah ini kemudian dibagi menjadi tiga, yaitu ‘aqliyyah (rasional),
thabi’iyyah (natural), dan wadh’iyyah (kontekstual). Para ahli ilmu logika biasanya hanya mengambil jenis
dalalah yang ketiga ini, yakni dalalah lafzhiyyah wadh’iyyah. Karena hanya dalalah yang ketiga inilah yang
bisa memberikan makna yang jelas.

Jenis dalalah yang lain tidak dianggap, atau, dalam bahasa Arabnya, ghair mu’tabar. Ilmu Mantik tidak
berurusan dengan dalalah lain selain dalalah lafzhiyyah wadh’iyyah. Karena selain tidak jelas, jenis-jenis
dalalah yang lain tidak bersifat tetap—dalam arti tidak berlaku sepanjang waktu—dan tidak berlaku bagi
semua orang.

Dalalah jenis ketiga ini kemudian dibelah lagi menjadi tiga, yaitu muthâbaqiyyah, tadhammuniyyah dan
iltizâmiyyah. Meskipun dalalah yang dijadikan dasar hanya ada satu, tapi penjelasan mengenai macam-
macam dalalah ini, insya Allah, akan dibahas satu-persatu.

Kesimpulannya sekarang, dalalah itu ialah penunjukan sesuatu atas sesuatu yang lain. Atau, “proses
memahami sesuatu dari sesuatu”. Sesuatu yang dipahami itu namanya madlûl (signified), sedangkan
yang memberikan petunjuk atau pemahaman itu namanya dâl (signify). Dan penunjukannya itu dinamai
dalalah (signification).

Kita Harus Bersaing?

segarasea

18/01/2019

Lakon Orde Tabung dan Potret Sosial Dekade 1980-an

Teguh Hindarto

Penulis

26/04/2019

Kewargaan Kritis di Era Krisis Kewargaan


Cicci Zuhriah

Peneliti

03/06/2019

Let's Confuse Kids Nowadays dengan Permainan Ini

Muhammed Ihsan Ibnu Yurin

Mahasiswa

30/03/2019

Sekolah Bukan Toko Kelontong

Gelar Riksa Abdillah

Penulis

15/03/2019

Meneladani Adnan Ibrahim

Muhammad Nuruddin

Penulis

08/05/2019

Dilema Ucapan Kitab Suci Fiksi

Jiva Agung

Pengajar

09/02/2019

Kita Harus Bersaing?

segarasea

18/01/2019

Lakon Orde Tabung dan Potret Sosial Dekade 1980-an

Teguh Hindarto

Penulis
26/04/2019

Kewargaan Kritis di Era Krisis Kewargaan

Cicci Zuhriah

Peneliti

03/06/2019

Let's Confuse Kids Nowadays dengan Permainan Ini

Muhammed Ihsan Ibnu Yurin

Mahasiswa

30/03/2019

Sekolah Bukan Toko Kelontong

Gelar Riksa Abdillah

Penulis

15/03/2019

Meneladani Adnan Ibrahim

Muhammad Nuruddin

Penulis

08/05/2019

Dilema Ucapan Kitab Suci Fiksi

Jiva Agung

Pengajar

09/02/2019

Kita Harus Bersaing?

segarasea

18/01/2019

Gabung Bersama
Kami.

Sepertinya kamu tertarik dengan artikel-artikel di Qureta. Silahkan Login untuk terus membaca dan
mengakses fitur-fitur Qureta lainnya.

Facebook

Twitter

Email

Sudah punya akun?

Anda mungkin juga menyukai