Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman yang

secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan memunculkan

hukum syara’ paraktis dari nash yang ada, baik dalam Al-Quran maupun As-

Sunnah.

Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz dari segi

maknanya, baik yang jelas maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz yang tidak bisa di

artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang menyebabkan banyak perbedaan

penafsiran makna terhadap lafadz tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di

bahas mengenai lafadz-lafadz dari segi ketidakjelasan makna (Khafi, Musykil,

Mujmal dan Mutasyabih) dan contohnya.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan lafadz dari segi ketidakjelasan Makna?

1.2.2 Jelaskan bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan makna dan

contohnya?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian lafadz dari segi ketidakjelasan makna.

1.3.2 Untuk mengetahui bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan makna

dan contohnya.
2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Lafazh dari Segi Ketidakjelasan Makna

Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu lafadz

yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya. Lafadz itu baru

dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar lafadz tersebut. Lafadz

dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.1

Nash yang kurang jelas dalalahnya ialah nash yang dalalahnya baru ditemui

melalui petunjuk dari luar nash itu. Kalau hal yang menyebabkan kurang jelas itu

dapat dihapuskan sesudah mengerahkan daya pikiran dan kesungguhan, maka

dinamakan al-khafi atau musykil. Kalau hanya dapat dihilangkan melalui

penjelasan dari pembuat peraturan itu sendiri dinamakan al-mujmal dan kalau

tidak dapat dihilangkan sama sekali dinamakan al-mutasyabih.2

1 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012) h.101

2 Khairul Uman dan H.A.Achyar Aminuddin, Ushul Fiqhi II, (Bandung:CV.Pustaka Setia, 1998)
h.14
3

2.2 Al-Khafi

2.2.1. Pengertian Al-Khafi

Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi.

Sedangkan Menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Adib Salih adalah

suatu lafal zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafal tersebut menjadi tidak jelas

karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada

jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.3

Khafi dalam istilah ushul, yaitu lafazh yang menunjukkan terhadap maknanya

dengan dalalah yang nyata. Akan tetapi dalam penerapan maknanya pada sebagian

satuan-satuannya terdapat semacam kesamaran dan ketersembunyian yang untuk

menghilangkan diperlukan analiasis dan pemikiran. Lafazh tersebut dianggap

khafi (samar, tersembunyi) dalam konteksnya dengan sebagian satuan-satuan ini.

Sebab munculnya kesamaran ini ialah bahwasanya satuan tertentu di dalamnya

ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya atau satu sifat

berkurang dari satuan itu atau ia mempunyai suatu nama khusus. Tambahan atau

kekurangan atau penamaan khusus ini menjadikannya sebagai tempat keserupaan.

Oleh karena itu, maka lafazh tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan

satuan ini, karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari

lafazh itu sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal yang khariji(eksternal).

Untuk menghilangkan ketidakjelasan makna lafal, maka perlu pencermatan dan

3 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka
Setia,2007) h.164
4

peninjauan. Atau dengan kata lain, untuk memahami makna khafi perlu ijtihad

ulama.4

2.2.2. Contoh Lafazh Khafi

Contohnya lafal ‫ارق‬


ِ ‫س‬َّ ‫ ال‬yang berarti pencuri dalam ayat:
 

 ………
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya…(QS.AL-Maidah:38)

Lafal ‫ارق‬
ِ ‫س‬َّ ‫( ال‬pencuri) berarti orang yang mengambil harta orang lain dari

tempat penyimpanannya dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi arti ini menjadi

tidak jelas, jika diterapkan pada satuannya yang mempunyai nama tersendiri.

Misalnya Nubasy, yakni seseorang yang mengambil kain kafan mayat dari dalam

kubur. Apakah termasuk dalam lafal ‫ارق‬


ِ ‫س‬َّ ‫( ال‬pencuri) atau tidak?

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.

2.2.2.1 Ulama Hanafiyah menyatakan Nubasy tidak termasuk dalam arti ‫ارق‬
ِ ‫س‬َّ ‫ال‬

(pencuri), sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan sebab (1) benda yang

diambil tidak termasuk benda yang disukai, (2) benda yang diambil tidak terdapat

ditempat penyimpanan, dan (3) benda yang diambil tidak ada pemiliknya, bukan

milik mayat dan bukan milik ahli warisnya.

4 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Semarang: Dina Utama Semarang,1994) h.259
5

2.2.2.1 Imam syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf,

menyatakan bahwa Nubasy termasuk kedalam arti lafal ‫ارق‬


ِ ‫س‬َّ ‫ال‬ (pencuri), oleh

karena itu ia dikenakan hukuman potong tangan kepada yang mengambilnya,

dengan alasan (1) bahwa pengambilan benda itu dilakukan disaat sepi, (2) bahwa

tempat penyimpanan benda adalah sangat disesuaikan dengan bendanya dan tidak

ada tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali dalam kubur.

Contoh yang lain adalah hadis nabi yang berbunyi:

‫ا َ ْلقَاتِلل الَيَ ِرث‬


Pembunuh itu tidak berhak menerima warisan dari yang di bunuhnya.

Lafal ‫( ا َ ْلقَاتِلل‬pembunuh) dalam hadis diatas cukup jelas artinya dan tidak

diragukan untuk menerapkan hukum terhalang dari hak warisan orang yang

membunuh secara sengaja dan terencana. Akan tetapi, apakah lafal ‫ا َ ْلقَاتِلل‬

(pembunuh) dan hukum halangan warisan itu dapat diberlakukan pula terhadap

”pembunuhan tersalah”(tidak sengaja), “pembunuhan bersebab”, “pembunuhan

bersama” (dilakukan secara bersama oleh lebih dari dua orang). Hal ini menjadi

objek ijhtihad para ulama mujtahid.5

Contoh macam ini dalam undang-undang syara’ dan hukum positif banyak

sekali. Diantara yang paling jelas adalah sebagai tindakan kriminal yang

mengandung keserupaan mengenai apakah ia pidana atau pelanggaran biasa.

5 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Sumatra Utara :
Amzah,2005),h.164
6

Cara untuk menghilangkan kesamaran ini ialah pembahasan dan pemikiran

oleh seorang mujtahid. Jika ia berpendapat lafazh tersebut mencakup satuan

tersebut, kendatipun dengan maka ia menetapkannya termasuk dari yang

ditunjuki oleh lafazh itu, lalu ia mengambil hukumnya. Acuan mereka dalam

ijtihad untuk menghilangkan kesamaran ini ialah illat hukum dan hikmanya, nash-

nash yang berkenaan dengan hal ini.6

2.3 Al-Musykil

2.3.1 Pengertian Al-Musykil

Lafaz musykil ialah suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu

sendiri.

Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas

perbedaannya. Sedangkan menurut istilah musykil adalah suatu lafal yang tidak

jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui

maksudnya diperlukan ada indikator tertentu untuk dapat menjelaskan kerumitan

itu, dengan jalan pembahasan dan pemikiran yang mendalam.7

Kemusykilan lafadz itu disebabkan oleh hal-hal berikut:

2.3.1.1 Karena lafaz itu musytarak , yaitu diciptakan untuk beberapa arti sedang

sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.

6 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.261


7 Rachmat Syafe’i, op.cit., h.165
7

2.3.1.2 Adanya dua lafaz yang saling berlawanan. Artinya, kedua nash jelas

dalalahnya tetapi, kemuskilannya terletak dalam men-taufiq-kan

(mengompromikan) antara kedua nash yang saling berlawanan.8

2.3.2 Contoh Lafazh Musykil


Contohnya firman allah swt.:

 
  
 ........
Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri dari mereka

menunggu tiga kali quru’.....(QS.Al-Baqarah:228).

ْ َ ‫)ا َ ْْل‬
Lafal tersebut secara bahasa memiliki dua arti, yaitu makna suci (‫ط َهار‬

َ ‫)ا َ ْل َح ْي‬. Apakah iddah wanita yang ditalak suaminya, berakhir


dan haid (‫ضات‬

dengan tiga kali haid atau dengan tiga kali suci.

Imam Syafi’I dan sebagian Mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud

lafal al-quru’ dalam ayat diatas adalah suci. Qarinah-nya adalah pen-ta’ nits-an

isim adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan bahwasanya yang

dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci bukan haid.

Ulama Hanafiyah dan sekelompok mujtahid lainnya berpendapat bahwa

lafal al-quru pada ayat diatas adalah haid. Qarinah-nya, sebagai berikut:

8 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),h.204
8

2.3.2.1 Hikmah pen-tasyri-an iddah. Hikmah dalam kewajiban idddah atas wanita

yang ditalak adalah mengetahui kebersihan rahimnya dari kehamilan, sedangkan

yang memberitahukan hal ini adalah haid bukan suci.

2.3.2.2 Firman allah swt.: QS.Ath-Thalaq : 4

  


   
  
....    
Artinya:”perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause)di

antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya

mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak

haid…. (QS. Ath-Thalaq : 4)

Pada ayat diatas, sebab dihitungnya tiga bulan masa iddah karena tiadanya

haid wanita yang ditalak. Oleh karena itu, dapat ditetapkan bahwa pada dasarnya

masa iddah dihitung dengan haid.

2.3.2.3 Sabda Rasullullah saw.

ِ َ ‫ضت‬
‫ان‬ ِ َ ‫طالَق ْاالَ َم ِة ِث ْنت‬
َ ‫ان َو ِعدَّت َها َح ْي‬ َ

Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haid.

Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haid merupakan

penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafal al-quru’u dalam iddah

perempuan yang merdeka. Adapun pen-takhsish-an nama hitungan, ia

dimaksudkan untuk ke mudzakkar lafal yang dihitungnya, yaitu lafal al-quru’.9

2.4 Al-Mujmal

9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.cit.,h.237


9

2.4.1 Pengertian Al-Mujmal

Mujmal adalah: Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat garis besar.

Secara bahasa Mujmal berarti samar. Secara istilah, para ahli ushul fiqhi

mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam Sarakhasi mendefinisikan

mujmal sebagai suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada

penjelasan dari yang menegeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannnya

diketahui makasud lafal tersebut.

Wahbah al-zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafal yang sulit dipahami

maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang

mengucapkan).

Jalaluddun Abd.Rahman mendefinisikan mujmal sebagai lafal yang dalalahnya

tidak jelas.10

Dari beberapa definisi diatas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal

yang dikutif oleh syar’i dari makna kebahasaanya dan ditetapkan untuk berbagai

makna terminologis yang bersifat syar’i secara khusus seperti lafazh sholat, zakat,

puasa, dsb. Bukan makna secara kebahasaan.11

2.4.2 Contoh Lafazh Mujmal

Lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’,

seperti lafaz shalat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz shalat menurut bahasa diartikan

dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai

dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang menerangkan arti syara’ tersebut

10 http://susilawatirahmadi.blogspot.co.id/2015/01/qawaid-al-tafsir-dalalah-sharih-ghairu.html
11 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit.,h.265
10

adalah pembuat peraturan itu sendiri karena ditemui sunnah qauliyah dan sunnah

fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’.

Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh

nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam firman Allah

swt. surah Al-Qari’ah ayat 1-4:

  


  
  
   
 

“Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?

Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-

gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan”.(QS. Al-Qori’ah: 1-4).

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa suatu lafal dapat menjadi mujmal

karena : maknanya musytarak, dipalingkan dari makna bahasa pada makna syara,

dan lafal itu jarang dipergunakan.12

Contoh lain adalah lafal  dalam ayat:


  
“Dan laksanakanlah shalat….(QS.Al-Baqarah:43)
Apabila terhadap lafal mujmal itu mendapat penjelasan dari syara’ secara

sempurna maka mujmal menjadi mufassar. Ayat diatas dijelaskan melalui hadis

Nabi Muhammad saw. Baik dengan perkataan maupun perbuatan yang

menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan caranya.

12 Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2000) h.289-290
11

Rasullullah saw.bersabda:

‫ص ِل ْى‬ َ ‫صلُّ ْو ا َك َم‬


َ ‫اراَ يْتمونِى ا‬ َ
Salatlah seperti kamu lihat aku melakukan shalat.(HR.Bukhari)
Apabila lafal mujmal mendapat penjelasan dari syara’ tetapi tidak secara

sempurna dan pasti maka masih perlu ijtihad untuk menjelaskannya. Jika

demikian yang terjadi, mujmal menjadi musykil, sehingga untuk mujmal yang

semacam ini diberlakukan ketentuan pada musykil.

2.5 Al- Mutasyabih

2.5.1 Pengertian Al-Mutasyabih

Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan

pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum,

lafadz mutasyabih adalah lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat

digunakan untuk mencapai artinya.13

Lafadz mutasyabih menurut ulama ushul fiqih adalah lafaz yang sighatnya

tidak menunjukkan maksudny dengan sendirirnya, dan tidak ditemukan qarinah

eksternal yang menerangkannya, dan syar’I memonopoli pengertiannya tanpa

menafsirkannya.

13 http://blackjack1994.blogspot.co.id/2015/01/lafadz-yang-tidak-terang-artinya-khafi.html
12

Mutasyabih hanyalah ditemukan pada tempat-tempat lain daripada nash,

seperti potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surah al-qur’an: Alif

Lam Mim, Qaf, Shad, Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang zhahirnya bahwasanya

allah swt. Menyerupai makhluknya dalam hal bahwa dia mempunyai tangan, mata

dan tempat.

2.5.2 Contoh Lafazh Mutasyabih

Contoh lafal dalam firman allah swt.:


 
…….. 
Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk

wahyu kami”.(QS.Hud:37)

Dan firmanNya:

    …


    
   
    
    
…   
Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang, melaingkan

Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan) antara lima orang,

melaingkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara(

jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melaingkan dia ada bersama

mereka dimanapun mereka berada…”(QS. Al-Mujadalah: 7).

Ayat yang mengandung lafal yang mutasyabihat seolah-olah menyerukan

tuhan kepada makhluk-nya seperti lafal tangan, mata dan allah berada di dekat
13

manusia, tidak mungkin diketahui arti dan maknanya melalui bahasa , karena

Allah Mahasuci dari kemiripan dari makhluk-nya.

Dalam menghadapi lafal Mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat.

Para ulama salaf hanya menyerahkan kepada allah saja, karena allah yang maha

tahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia wajib mengimaninya dan

tidak mencari-cari ta’wilnya.

Adapun pendapat ulama khalaf, maka bahwasanya ayat-ayat ini, zhahirnya

mustahil, sebab allah tidaklah bertangan, tidak pula bermata, tidak pula bertempat.

Setiap sesuatu yang zhahirnya mustahil dikehendakinya, maka wajib di ta’wilkan

dan dipalingkan dari yang zhahir ini, dan dimaksudkan makna yang mungkin bagi

lafazh itu, meskipun dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan khaliq

dengan makhluknya. Firman allah swt.:

  ………..


……… 
…..Tangan allah diatas tangan-tangan mereka…..”(QS. Al-Fath:10)
Ta’wilnya adalah kekuasaan allah berada diatas kekuasaan mereka.

Firman allah swt.:

    …


Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang….”
Pentakwilanya adalah bahwasanya allah swt. Bersama setiap orang yang

saling berbicara secara rahasia , dengan pengetahuannya dan pengawasannya.

Demikian seterusnya.
14

Munculnya perbedaan ini ialah perselisihan mereka mengenai firman allah

swt. Mengenai halnya ayat-ayat mutasyabihat:

   


   
  
    
Artinya: “…..Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melaingkan

allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :” Kami beriman kepada

ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami”.(QS.Ali-Imran:7)

Barangsiapa yang menjadikan pemberhentian (waqaf) pada lafaz

keagungan (allah), maka ia berpendapat tiada yang mengetahui mutasyabih

kecuali allah, maka kami beriman kepadanya dan menyerahkan pengertianya

kepadanya, serta kami tidak mengkaji pentakwilannya. Dan barangsiapa yang

meletakkan pemberhentian (waqaf) pada kata

 , maka ia

berpendapat: “Tiada yang mengetahui takwilnya kecuali allah dan orang-orang

yang mendalam ilmunya. Mereka mngetahui takwilnya dengan memaksudkan

makna yang mungkin dikandung oleh lafazh dan sesuai dengan pensucian Khaliq

dari penyerupaan dengan makhluknya.


15

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Khafi adalah lafaz yang dari segi ketidakjelasan timbul ketika menerapkan

pengertian itu kepada kasus tertentu yang merupakan bagian dari satuan-

satuannya. Sehingga untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan analisis

dan pemikiran yang mendalam. Musykil adalah lafaz yang memiliki kesamaran

yang disebabkan dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu digunakan untuk arti yang

banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya. Karena hal tersebut, sehingga

diperlukan qarînah untuk menjelaskan maksudnya. Mujmal adalah lafaz yang

dengan sighatnya tidak menunjukkan arti yang dimaksud. Sehingga sebab

kesamarannya bersifat tekstual (lafzhiy) dan bukan hal yang datang kemudian.

Mutasyâbbih adalah lafaz yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh

lafal itu sendiri, sehingga tidak ada qarînah yang dipergunakan untuk memberikan

petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak

terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan

saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya

Rabbal ‘Alamin.
16

Daftar Pustaka

http://blackjack1994.blogspot.co.id/2015/01/lafadz-yang-tidak-terang-artinya-

khafi.html

http://susilawatirahmadi.blogspot.co.id/2015/01/qawaid-al-tafsir-dalalah-sharih-

ghairu.html

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih.

Sumatra Utara : Amzah.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama

Semarang.

Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media.

Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung:

CV Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana

Prenada Media Group.

Uman, Khairul dan H.A.Achyar Aminuddin. 1998. Ushul Fiqhi II.

Bandung:CV.Pustaka Setia.

Yahya, Mukhtar. 2000. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.


17

Anda mungkin juga menyukai