Anda di halaman 1dari 50

KODIFIKASI HADIS

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Bapak Moch. Nasrullah, M.S.I.

Disusun Oleh :
(Kelompok 3)

1. Dewi Maemunah (2618022)


2. Nita Tri Sufanti (2618104)
3. Muhammad Nur Fain Syamsi (2618126)
4. Safira Indah (2618129)
Kelas A

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


TADRIS MATEMATIKA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Kodifikasi Hadis”. Meskipun
dalam prosesnya banyak sekali halangan dan hambatan, penyusun dapat
menyelesaikannya dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh
karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kami
jadikan sebagai bahan evaluasi.kami juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan baru bagi pembaca dan bermanfaat bagi tugas kami
selanjutnya.
Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini.

Pekalongan, 21 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1

C. Tujuan Makalah ............................................................................................................. 2

D. Manfaat Makalah........................................................................................................... 2

E. Metode Penyusunan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................. 4

A.Pengertian Tadwin ......................................................................................................... 4

B. Metode Tadwin .............................................................................................................. 5

C. Sumber-Sumber Kodifikasi Hadis ............................................................................. 17

D. Polemik Kodifikasi Hadis ........................................................................................ 26

E. Klasifikasi Kitab Hadis ..................................................................................................... 37

BAB III PENUTUP

A. Simpulan.......................................................................................................................44

B. Saran ..............................................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................44

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hadis nabi merupakan sumber ajaran agama Islam yang kedua
setelah Al-Quran. Hadis adalah ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li) serta
sikap dan kesan (taqrir) Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu. Hadis
dalam risalah Islam merupakan teladan yang wajib diikuti. Sebagian besar
hadis diriwayatkan secara lisan oleh sahabat kepada generasi penerus
mereka para tabi’in.
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis
bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW, masa sahabat, masa tabi’in, dan masa-masa berikutnya.
Usaha mempelajari hal ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan
tindakan umat Islam, khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta
usaha pembinaan dan pemeliharaannya tiap periode.
Pengetahuan tentang sejarah perkembangan hadis dan
kodifikasinya sangat penting bagi mahasiswa, agar mereka memiliki
pemahaman yang utuh dan komprehensif mengenai hakekat hadis dan
sumber-sumber rujukannya. Oleh karena itu, agar mengetahui lebih lanjut
mengenai perkembangan hadis, maka dalam makalah ini akan diuraikan
mengenai kodifikasi hadis lebih lengkap.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Tadwin?
2. Apa Saja Metode Tadwin?
3. Apa Saja Sumber-Sumber Kodifikasi Hadis?

1
4. Bagaimana Polemik Dalam Kodifikasi Hadis?
5. Bagaimana Klasifikasi Kitab Hadis?

C. TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari makalah, sebagai berikut:
1. Mengetahui Pengertian Pengertian Tadwin
2. Mengetahui Metode Tadwin
3. Mengetahui Macam-Macam Sumber-Sumber Kodifikasi Hadis
4. Mengetahui Polemik Polemik Dalam Kodifikasi Hadis
5. Mengetahui Klasifikasi Kitab Hadis

D. MANFAAT MAKALAH
Adapun manfaat dari makalah, sebagai berikut :
1. Bagi pembaca, mampu memahami dengan baik mengenai
pengertian tadwin, metode nya, macam-macam sumber kodifikasi
hadis serta klasifikasi kitab hadis.
2. Bagi penulis, diharapkan dapat memahami lebih dalam mengenai
pengertian tadwin, metode nya, macam-macam sumber kodifikasi
hadis serta klasifikasi kitab hadis.

E. METODE PENYUSUNAN
Metode Penulisan
a. Metode Pustaka
Kami melakukan metode ini dengan mempelajari dan
mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat baik
berupa buku, jurnal, maupun informasi di internet.
b. Diskusi
Kami mendapatkan data dengan cara saling bertukar pikiran dan
menggabungkan hasil yang kami peroleh.
c. Revisi

2
Kami memeriksa kembali isi dan penggunaan kata, kalimat, ejaan,
dan tanda baca.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tadwin
Kodifikasi atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau
pembukuan hadis. Yang dimaskud dengan kodifikasi hadis periode ini
adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepada negara, dengan
melibatkan beberapa sahabat yan ahli di bidangnya, tidak seperti
kodifikasi yang dilakukan secara perorangan untuk kepentingan pribadi.1
Kegiatan ini dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Alasan pengkodifikasian hadis ini karena khalifah Umar khawatir
hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang.
Selain itu, ia khawatir akan tercampurnya anatar hadis-hadis yang shahih
dengan hadis-hadis yang palsu. Kemudian dengan semakin meluasnya
daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in anatar satu
dengan yang lainnya tidak sama. Khalifah Umar sebagai pelopor yang
memberi instruksi untuk membukukan hadis, turut terlibat mendiskusikan
hadis yang dihimpun2
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang
berarti codification,yaitu mengumpulkan dan menyusun.3 Secara istilah,
kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadist Nabi secara resmi
berdasar perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli
dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk
kepentingan pribadi.4 Dengan kata lain, tadwin al-hadist (kodifikasi hadis)
adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis Nabi atas perintah
resmi dari penguasa negara (khalifah) bukan dilakukan atas inisiatif
perorangan atau untuk keperluan pribadi. Kodifikasi hadist dimaksudkan
untuk menjaga hadis Nabi dari kepunahan dan kehilangan baik
1
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 105.
2
Ranuwijaya, Utang. IlmuHadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 66 – 68.
3
Rahi Ba’laka, al-Mawrid, (beirut: Dar al-‘ilm li al-Malayin,1993), hlm.243.
4
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hlm.66.

4
dikarenakan banyaknya periwayatan penghafal hadis yang meninggal
maupun karena adanya hadis-hadis palsu yang dapat mengacaubalaukan
keberadaan hadis-hadis Nabi.
Kodifikasi hadis yang dimaksudkan disini adalah penulisan,
penghimpunan, dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasar
perintah resmi khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H/ 717-720 M),
khalifah kedelapan Bani Umayah, yang kemudian kebijakannya itu
ditindaklanjuti oleh para ulama di berabagai daerah hingga pada masa-
masa berikutnya hadis-hadis terbukukan dalam kitab-kitab hadis.

B. Metode Tadwin
1. Juz’
Secara bahasa kata juz’ berarti bagian. Menurut terminologi ahli
hadis, kata juz’ digunakan setidaknya untuk dua hal. Pertama, tipe
penulisan kitab hadis dengan mengumpulkan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang saja dari kalangan sahabat atau orang
sesudahnya, seperti kitab Juz’ Ma Rawahu Abu Hanifah ‘an al-
Shahabah karya Abu Ma’syar ‘Abd al-Karim ibn ‘Abd al-Shamad al-
Thabrani (178 H). Kedua, tipe penulisan kitab yang memuat hadis-
hadis yang membahas tentang topik tertentu secara panjang lebar dan
tuntas. Seperti kitab ‘Juz Raf’ al-Yadayn fi al-Shalah dan Juz’ Qiraah
al-Fatihah Khalf al-Imam karya Imam al-Bukhari.5
Dengan demikian, metode juz’ dapat dilihat dari dua segi, yaitu
sanad dan matan. Dari segi sanad dilakukan dengan mengumpulkan
hadis-hadis berdasar nama periwayat hadis tertentu dan dari segi
matan berdasar pada topik tertentu. Kegunaan kitab dengan tipe
penulisan ini adalaah untuk mencari hadis riwayat salah seorang

5
Mahmud al-Thahhan, Ushal al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Beirut : Dar al-Qur’an al-Karim,
1979 M), hlm.120

5
sahabat atau periwayat masyhur yang hadis-hadisnya telah dihimpun,
atau untuk mencari hadis tentang masalah tertentu.6
Penulisan hadis ini termasuk metode yang sederhana dimana
matan-matan hadis disusun berdasar guru yang meriwayatkan hadis
kepada penulis kitab, seperti kitab tulisan Suhayl ibn Abi Shalih (138
H) yang hanya menyebutkan satu jalur sanad yang meriwayatkan
hadis-hadis yang ditulisnya, yaitu : Abu Shalih, Abu Hurayrah, Nabi
SAW.
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa karakteristik
penulisan kitab hadis berdasar kitab hadis metode juz’ adalah :
a. Mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu orang
saja dari kalangan sahabat atau orang sesudahnya.
b. Memuat hadis-hadis yang membahas tentang topik tertentu
secara panjang lebar dan tuntas.
Kegunaan metode ini adalah memudahkan untuk mencari hadis
yang diriwayatkan dari jalur sahabat atau salah satu periwayat yang
masyhur atau untuk mengetahui hadis-hadis yang berkaitan dengan
tema tertentu.

2. Metode Athraf
Kata athraf merupakan bentuk jamak dari thraf. Secara bahasa,
athraf berarti pangkal-pangkal atau bagian-bagian., yaitu bagian dari
matan hadis yang dapat menunjukkan keseluruhannya. Secara
terminologis, metode athraf metode pembukuan hadis dengan
menyebutka pangkal hadis saja sebagai petunjuk pada matan hadis
selengkapnya.7 Dengan kata lain, metode athraf adalah metode
penulisan kitab hadis dengan menyebutkan sebagian hadis saja sebagai
tanda kelanjutan hadis yang dimaksud, atau metode penulisan kitab

6
Ibid., hlm.121.
7
Ibid., hlm. 47-48.

6
hadis yang menghimpun hadis hanya awal matannya saja tanpa
menyebutkan matan hadis seutuhnya.8
Kitab athraf di tulis dengan hanya menyebutkan bagian (thraf)
hadis yang dapat menunjukkan pada keseluruhannya, kemudian
menyebutkan sanad-sanadnya, baik secara menyeluruh atau hanya
dinisbahkan pada kitab-kitab tertentu. Akan tetapi, sebagian pengarang
kitab athraf ada yang menyebutkan sanadnya secara menyeluruh dan
ada pula yang hanya menyebutkan gurunya saja.
Penyusunan kitab dengan metode athraf setidaknya menggunakan
dua cara :
a. Berdasar nama-nama sahabat sesuai huruf hijaiyah , misalnya
dimulai dari sahabat yang namnaya dimulai dengan huruf alif
kemudian ba’ dan seterusnya.
b. Berdasar huruf awal matan hadis seperti yang dilakukan oleh
Abu al-Fadhl ibn Thahir dalam kitabnya athraf al-Gharaib wa
al-afrad dan Muhammad ibn al-Husayni dalam kitabnya al-
Kasyf fi Ma’rifah al-Athraf yang memuat kitab hadis enam.9
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan
kitab yang disusun berdasar metode athraf adalah :

a. Dapat mengetahui sanad-sanad hadis yang berbeda-beda yang


terdapat dalam satu tempat yang selanjutnya dapat diketahui
status hadis-hadis tersebut apakah termasuk hadis gharib, ‘aziz,
atau masyhur.
b. Dapat mengetahui jumlah hadis-hads yang diriwayatkan oleh
setiap sahabat dalam kitab-kitab yang menggunakan metode
athraf

8
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1988), hlm.
132.
9
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij, hlm. 47.

7
c. Dapat mengetahui para periwayat hadis , yaitu para ulama yang
mengarang kitab-kitab hadis pokok bab yang mereka
riwayatkan.10
Kitab hadis yang menggunakan metode penulisan athraf tidak
memaparkan hadis secara sempurna. Jika seseorang ingin mengetahui
matan hadis secara utuh, maka ia dapat merujuk pada sumber yang
diisyaratkan oleh kitab athraf itu.

Penulisan kitab hadis dengan metode athraf ini telah dilakukan


oleh ulama hadis semenjak abad kedua hijriah sebagaimana dilakukan
oleh 'Awf ibn Abu Jamilah al-‘Abadi (146 H).11 Metode ini banyak
berkembang pada abad keempat dan kelima Hijriah. Dalam menyusun
kitab berdasar tipe athrâf ini, biasanya para ulama menyusun kitab-
kitab mereka berdasarkan nama sahabat yang diurut sesuai huruf
hijaiah (alfabetis), mulai dengan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat
yang
awalan namanya alif dan seterusnya. Sebagian ulama juga menyusun
kitabnya sesuai dengan redaksi permulaan matan hadis, seperti kitab
Athrâf al-Gharâib wa al-Afrâd karya Abu Fadhl ibn Thahir dan al-
Kasyf fi Ma'rifah al-Athrâf oleh Muhammad ibn Ali al-Khusayni.12

3. Metode Muwaththa'
Secara bahasa, muwaththa' berarti sesuatu yang dipersiapkan (al-
muhayya') dan dimudahkan (al-muyassar). Menurut istilah ulama
hadis,
muwaththa' adalah tipe pembukuan kitab hadis yang didasarkan pada
klasifikasi hukum Islam (abwâb al-fighiyyah) dengan mencantumkan
hadis-hadis marfu' (disandarkan pada Nabi), mawqaf (disandarkan
pada sahabat), dan maqthu' (disandarkan pada tabi'in).13 Dari kata

10
Ibid., hal. 48.
11
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, al-Sunnah, hlm. 48.
12
Al-Kattani, al-Risalah al-Mustathfarah, (Damaskus : Nasyr Dar al-Fikr, 1383 H), hlm. 170.
13
Ibid., hlm. 137.

8
muwaththa' timbul kesan bahwa motivasi pembukuan hadis dengan
metode ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadis.
Kandungan kitab ini adalah hadis Nabi, fatwa sahabat, dan pendapat
tâbi'în. Berdasar definisi di atas, karakteristik tipe muwaththa' adalah
a. disusun berdasar bab tertentu, biasanya klasifikasi hukum
Islam.
b. mencantumkan hadis-hadis marfu', mawqûf, dan maqthu'
c. didalamnya terdapat hadis-hadis sahih, hasan, dan dha'if
Ada dua kemungkinan latar belakang penyebutan nama
muwaththa'. Pertama, pengarangnya telah memudahkan dan
mempersiapkannva kepada masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam
pengertian secara bahasa di atas. Kedua, kitab ini disepakati oleh
sebagian ulama. Imam Malik menyebut kitabnya dengan muwaththa'
sebab ia pernah berkata bahwa kitab yang disusunnya itu diajukan
kepada tujuh puluh ahli fiqh Madinah kemudian mereka berkata, "Wa
athani 'alayh (dia sependapat denganku)", kemudian kami
menyebutnya dengan Muwaththa' (yang disepakati).14

Kitab-kitab yang menggunakan metode muwaththa' disusun oleh


para ulama antara lain Ibn Abi Dzi'b (158) H), Malik ibn Anas (179 H)
Abu Muhammad al-Marwazi (293 H), dan lain-lain.15 Dari sekian
banyak kitab al-Muwaththa' itu yang paling dikenal adalah karya Malik
ibn Anas sehingga jika disebut al-Muwaththa' yang dimaksudkan
adalah kitabnya itu

4. Metode Mushannaf
Meskipun secara bahasa, kata mushannaf berarti sesuatu yang
disusun, tetapi menurut terminologi ulama hadis, kata ini sama artinya
dengan al-muwaththa', yaitu tipe pembukuan hadis berdasar klasifikasi
hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis-hadis

14
Ibid.
15
Ibid., hlm. 135-136.

9
marfu', mawquf, dan maqthu'.16 Sebagaimana halnya muwaththa', tipe
mushannaf digunakan pada pembukuan hadis-hadis dengan
mengklasifikasikannya berdasarkan topik atau bab-bab tertentu.
Berdasar definisi di atas, karakteristik tipe mushannaf ialah:
a. disusun berdasar bab tertentu, biasanya klasifikasi hukum Islam
b. mencantumkan hadis-hadis marfu', mawguf, dan maqthû'
c. di dalamnya terdapat hadis-hadis sahih, hasan, dan dha'if.
5. Metode Sunan
Kata sunan bentuk jamak dari kata sunnah, menurut terminologi
ahli hadis adalah kitab-kitab hadis yang disusun berdasar bab-bab fiqh
dan hanya memuat hadis-hadis marfu', tidak memuat hadis-hadis
mawquf dan maqthû', sebab menurut mereka, dua macam hadis
terakhir tidak disebut sunnah melainkan disebut hadis.17 Menurut
Manna' al-Qaththan, metode sunan merupakan metode penyusunan
kitab hadis berdasar bab-bab fiqh, hanya memuat hadis-hadis marfu'
saja agar kitab itu dijadikan sumber bagi para fuqaha' dalam
mengambil kesimpulan hukum, atau tipe penyusunan kitab berdasar
bab fiqh yang di dalamnya tercampur antara hadis sahih, hasan, dan
dha'if dengan memberikan penjelasan tentang kualitas hadis yang
bersangkutan.18
Dalam kitabnya al-Risalah al-Mustahrafah, al-Kattani menyatakan
bahwa di antara metode penyusunan kitab-kitab hadis adalah metode
sunan, metode penyusunan kitab hadis menurut bab-bab fiqh yang
dimulai dari bab thahârah, shalat, zakat, dan seterusnya dan di
dalamnya tidak terdapat hadis mawquf, karena hadis mawquf tidak
disebut sebagai sunnah hanya disebut hadis saja.19
Apabila dalam kitab sunan terdapat hadis yang mawquf dan
maqthu' maka jumlahnya hanya sedikit saja, berbeda dengan

16
Ibid., hlm. 118.
17
Mahmud al-Thahhan, Ibid., hlm. 131.
18
Manna al-Qaththan, Mabahits, hlm. 87.
19
Al-Kattani, al-Risalah al Mustathfarah. Hlm. 32.

10
penyusunan kitab berdasar metode muwaththa' dan mushannaf yang
banyak memuat hadis- hadis mawqüf dan maqthu', meskipun tipe
penyusunannya sama berdasarkan bab fiqh. Dengan demikian,
karakteristik tipe sunan adalah:
a. bab-babnya berurutan berdasarkan bab-bab fiqh.
b. penyusunan bab-babnya dilakukan secara sistematis.
c. hanya memuat hadis-hadis marfu' saja, dan kalaupun ada yang
mawquf dan maqthu' jumlahnya sangat sedikit.
d. tercampur antara hadis sahih, hasan, dan dha'if.
e. pada sebagian kitab dicantumkan penjelasan tentang kualitas
hadis yang bersangkutan.
6. Metode Musnad
Kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang
meriwayatkannya menggunakan metode musnad. Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat tertentu dikelompokkan menjadi satu,
demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain.
Misalnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah menjadi
satu tanpa membedakan topik dan kandungannya. Demikian pula
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, dan seterusnya. Urutan
nama-nama sahabat dalam musnad itu sebagian berdasarkan huruf
hijaiah (alfabetis), ada yang berdasar pada kabilah dan suku, serta
sebagian yang lain berdasar yang terlebih dahulu masuk Islam, atau
berdasar negara di mana mereka lahir atau tinggal.20
Dengan kata lain, metode musnad digunakan dalam kitab yang
menghimpun hadis-hadis berdasar nama sahabat. Menurut sebagian
ahli hadis, metode musnad adalah metode penyusunan kitab hadis
berdasarkan bab-bab fiqh atau berdasarkan huruf-huruf hijaiah, tidak
berdasarkan nama sahabat, karena pada dasarnya hadis riwayat sahabat
bernilai musnad dan marfü' kepada Rasulullah, seperti Musnad al-

20
Manna al-Qaththan, Mabihits, hlm. 93.

11
Bayhaqi ibn Makhlaq al-Andalusi (276 H) yang disusun berdasar bab-
bab fiqh.21
Karakteristik kitab-kitab hadis yang ditulis berdasar metode
musnad sebagai berikut:
a. disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan
hadis.
b. hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu
dikelompokkan menjadi satu, demikian pula hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain.
c. urutan nama-nama sahabat dalam musnad itu sebagian
berdasarkan huruf hijaiah (alfabetis), ada yang berdasar pada
kabilah dan suku, serta sebagian yang lain berdasar yang
terlebih dahulu masuk Islam, atau berdasar negara di mana
mereka lahir atau tinggal
d. sebagian tipe musnad disusun berdasarkan bab-bab fiqh atau
berdasarkan huruf-huruf hijaiah.
7. Metode Jâmi'
Secara bahasa kata jâmi' berarti sesuatu yang mencakup,
mengumpulkan, dan menggabungkan. Menurut terminologi ahli hadis,
jâmi' adalah tipe penyusunan kitab-kitab hadis yang memuat hadis-
hadis berbagai macam masalah keagamaan seperti akidah, hukum,
perbudakan, tata cara makan dan minum, bepergian dan tinggal di
rumah, tafsir, sejarah, perilaku hidup, pekerti baik dan buruk, dan
sebagainya.22 Dengan kata lain, Metode jami' ini mencakup segala
aspek keagamaan tidak hanya terbatas pada bidang fiqh saja
sebagaimana kitab-kitab muwaththa',mushannaf, dan sunan tetapi
bidang-bidang keagamaan umumnya.

21
Al-Kattani, al-Risalah al- Mustahtrafah,hlm. 74-75.
22
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij, hlm.110

12
Kitab-kitab yang disusun menggunakan metode jâmi' mempunyai
karakteristik tersendiri berbeda dengan metode-metode yang lain.
Karakteristik metode penyusunan kitab jami' sebagai berikut:
a. penyusunan kitab secara topikal berdasarkan bab-bab fiqh.
b. penyusunan bab-babnya dilakukan secara sistematis
c. kebanyakan hadis-hadisnya marfu’
d. kualitas hadisnya kebanyakan sahih
e. memuat hadis-hadis berbagai macam masalah keagamaan
seperti akidah, hukum, perbudakan, tata cara makan dan
minum, bepergian dan tinggal di rumah, tafsir, sejarah, perilaku
hidup, pekerti baik dan buruk.
8. Metode Mu'jam
Kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama para sahabat,
guru-guru hadis, negeri-negeri, dan lain-lain menggunakan metode
mu’jam. Biasanya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu'jam
(alfabetis), jamaknya ma'ajim. Dengan kata lain, kitab mu'jam adalah
Kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat, guru-guru,
negara, kabilah, dan lain-lain yang umumnya susunan nama-nama
sahabat itu berdasarkan huruf hijaiah.23
Karakteristik metode mu'jam adalah:
a. disusun berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadis
negeri-negeri, dan lain-lain;
b. nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu'jam (alfabetis)
c. kualitas hadis yang dihimpun beragam ada yang sahih, hasan,
dan dha'if.
d. tidak disusun berdasar bab-bab fiqhiyah
e. sulit digunakan untuk mencari hadis berdasar topik tertentu.
9. Metode Mustakhraj
Penyusunan kitab hadis berdasarkan penulisan kembali hadis-
hadis yang terdapat dalam kitab-kitab lain. kemudian penulis kitab

23
Ibid., hlm. 129-130.

13
yang pertama tadi mencantumkan sanadnya sendiri menggunakan
metode mustakhraj. Misalnya, kitab mustakhraj atas kitab Shahih al-
Bukhârî, penulisannya menyalin kembali hadis-hadis yang terdapat
dalam Shahih al-Bukhâri kemudian mencantumkan sanad dari dia
sendiri bukan sanad yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhâri itu.
Dalam hal ini, kitab-kitab hadis di-takhrij oleh seorang pengarang
dengan menggunakan sanadnya sendiri bukan sanad pengarang kitab
hadis yang di-takhrîj-kan, namun keduanya bertemu pada satu guru
yang sama atau periwayat di atasnya bahkan pada tingkatan sahabat
dengan syarat tidak bertemu pada guru yang lebih jauh sehingga
putuslah sanad yang menghubungkan pada guru yang lebih dekat,
kecuali terdapat sebab seperti sanad yang 'ali atau terdapat ziyâdah
yang penting. Akan tetapi, terkadang mus-takhrij (pen-takhrij)
membuang hadis yang tidak mempunyai sanad yang dapat diterima
dan terkadang pula menyebutkan hadis dari sanad pengarang kitab
yang di-takhrij-kan hadisnya.24
Dilihat dari segi sistematika penulisannya, kitab mustakhraj harus
sesuai dengan kitab yang di-takhrij-kan hadisnya baik susunan maupun
pembagian babnya sebab topik pembahasan kitab-kitab mustakhraj
adalah topik pembahasan kitab-kitab jawami' yang di-takhrij itu baik
susunan, jumlah pembahasan, maupun bab-babnya. Di samping itu,
menurut Mahmud al-Thahhan, cara penggunaannya sama dengan
penggunaan kitab-kitab jâmi'. Kitab-kitab mustakhraj selain terhadap
kitab jami' misalnya mustakhraj terhadap Sunan Abu Dâwud karya al-
Qasim ibn Usbugh dan mustakhraj karya Abu Nu'aym al-Ashfahani
terhadap kitab al-Tawhid oleh Ibn Hizaymah tidak sama dengan kitab
mustakhraj terhadap kitab jâmi' tetapi hanya seperti kitab-kitab di-
takhrij itu sendiri.25
10. Metode Mustadrak
24
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm.112.
25
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij, hlm. 115-116.

14
Metode mustadrak adalah metode penyusunan kitab hadis yang
dilakukan dengan menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum
dalam suatu kitab hadis yang lain, namun dalam penulisan hadis-hadis
susulan itu penulis kitab mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang
dipakai oleh kitab lain itu. Dengan kata lain, metode mustadrak adalah
metode penyusunan kitab yang menghimpun hadis-hadis yang tidak
dimuat dalam kitab-kitab hadis tertentu sesuai dengan syarat-syaratnya
kemudian dimasukkan sebagai tambahan pada kitab lain.26
Karakteristik metode mustadrak adalah:
a. menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu
kitab
hadis tertentu
b. dalam penulisan hadis-hadis susulan itu penulis kitab
mengikuti persyaratan periwayatan hadis yang dipakai oleh
kitab itu.
c. kualitas hadis yang diriwayatkan beragam ada yang sahih,
hasan, dan dha'if
11. Metode Majâmi'
Di samping metode jâmi' dikenal pula metode majami' bentuk
jamak dari majma'. Secara terminologis, metode majâmi' adalah
metode penyusunan kitab-kitab hadis dengan menghimpun hadis-hadis
dari berbagai kitab sesuai dengan susunan kitab-kitab tersebut.27
Perbedaan antara metode jami' dan majâmi' adalah pada metode jâmi'
penyusunannya memuat hadis-hadis berbagai macam masalah
keagamaan seperti akidah, hukum, perbudakan, tata cara makan dan
minum, bepergian dan tinggal di rumah, tafsir, sejarah, perilaku hidup,
pekerti baik dan buruk, dan sebagainya dan hadis hadisnya diperoleh
dari para periwayat hadis, sedang pada metode majami' hadis hadisnya
dikumpulkan dari kitab kitab hadis yang sudah ada dengan pokok

26
Ibid., hlm.116.
27
Ibid., hlm. 85.

15
bahasan sesuai dengan pokok bahasan dalam kitab- kitab yang hadis
hadisnya dikumpulkan itu. 28
Kitab-kitab majámi' disusun berdasar bab bab fiqh sebagaimana
kitab-kitab jami' dan untuk menggunakannya harus terlebih dahulu
mengetahui pokok bahasan setiap hadis. Penyusunan kitab-kitab
majami' dilakukan kira-kira semenjak abad kelima Hijriah dengan
menggabungkan kitab-kitab hadis yang sudah ada, Barangkali
penyusunan kitab-kitab kategori ini dimaksudkan dalam rangka untuk
memudahkan orang untuk merujuk hadis. Dengan demikian
karakteristik metode majami' adalah:
a. hadis-hadisnya dikumpulkan dari kitab-kitab hadis yang sudah
ada dengan pokok bahasan sesuai dengan pokok bahasan dalam
kitab-kitab yang hadis-hadisnya dikumpulkan itu
b. disusun berdasar bab-bab fiqh sebagaimana kitab-kitab jami'
dan untuk menggunakannya harus terlebih dahulu mengetahui
pokok bahasan setiap hadis
c. dimaksudkan dalam rangka untuk memudahkan orang untuk
merujuk hadis
d. kualitas hadisnya beragam sesuai dengan kualitas hadis pada
kitab-kitab yang dirujuk
12. Metode Zawâid
Secara bahasa, zawâid berarti tambahan-tambahan. Menurut
terminologi ulama hadis, metode zawaid adalah metode penulisan
kitab hadis dengan menghimpun hadis-hadis tambahan dalam sebagian
kitab selain yang terdapat dalam kitab tertentu. Kitab zawaid berisi
hadis-hadis yang ditulis oleh seorang mukharrij dalam kitabnya dan
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis lain. Misalnya, kitab Mishbah
al-Zujâjah fi Zawaid Ibn Majah karya al-Busayri ( 840 H) yang berisi
hadis-hadis yang ditulis oleh Ibn Majah dalam kitab Sunan-nya dan hal
itu tidak terdapat dalam Lima Kitab hadis yang lain (Shahih al-

28
Ibid., hlm. 86.

16
Bukhâri, Shahih Muslim, Sunan al-Turmudzi, Sunan Abû Dâwud, dan
Sunan al-Nasâ'î).29
Karakteristik metode zawâid adalah:
a. berisi hadis-hadis yang ditulis oleh seorang mukharrij dalam
kitabnya dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis lain.
b. kebanyakan disusun berdasar bab-bab fiqh
c. kualitas hadis di dalamnya bervariasi ada yang sahih, hasan,
dan dha'if

C. Sumber-Sumber Kodifikasi Hadis


Apakah benar perkataan dan tingkah laku Nabi sedikitpun tidak
dicatat atau dituliskan padamasa Nabi masih hidup? Secara umum terdapat
dua jawaban atas pertanyaan ini, pertama : pendapat yang secara tegas
mengatakan bahwa hadis telah dicatat oleh para sahabat ketika
Muhammad masih hidup. Pendapat ini secara mayoritas diikuti oleh
banyak pemikir muslim, dan diwakili oleh tokoh hadis ternama, Al-Azami.
Kedua, pendapat yang menolak bahwa hadis atau perkataan dan tingkah
laku Nabi telah dicatat sejak Nabi masih hidup. Pendapat ini disetujui oleh
sebagian besar pemikir Barat Modern, termasuk juga beberapa pemikir
Muslim Modern. Beberapa tokoh Barat yang terkenal dengan pendapat ini,
diantaranya Goldziher, Schacht, Juyinboll, Sprenger dan lain-lain. 30
1. Penulisan Hadits Pada Masa Nabi dan Sahabat.
Dalam pembahasan terdahulu telah dikatakan bahwa pada masa
jahiliyyah dan masa pertama Islam aktivitas tulis-menulis telah ada.
Bahkan, penulisan hadis pada masa sahabat sebenarnya telah ada,
walaupun tidak sebanyak pada masa Tabi’in apalagi masa setelahnya.
Hal ini dikarenakan hadis larangan penulisan selain Al-Qur’an sangat
mengena dibenak para sahabat. Mulai dari tahun pertama hijriyah,
hadits tidaklah di bukukan. Hadits itu berpindah dari mulut ke mulut.
29
Ibid., hlm. 119-120.
30
Yusran,Kodifikasi Hadis Sejak Masa Awal Islam Hingga Terbitnya Kitab Al-Muwattha’, Tahdis.
Vol. 8 No. 2, Makassar, 2017, Hlm. 176-177.

17
Masing–masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan
hafalannya. 31
Selanjutnya hadis-hadis Nabi telah ditulis hingga menyebar luas
pada diri para sahabat. Walaupun demikian hadis-hadis tersebut masih
otentik sehingga tidak diperlukan adanya penelitian atau pemeriksaan
terhadap keraguan atas keabsahannya, sehingga cenderung tidak ada
masalah terhadap agama bahkan hadis itu sendiri. Kalaupun terdapat
masalah-masalah yang bersinggungan erat pada agama, maka para
sahabat langsung bersegera menanyakan kepada Nabi. Oleh karenanya,
pada masa Nabi, pada awal mulanya beliau melarang menulis hadis
karena mengutamakan pada konsentrasi Al-Qur’an. Hanya saja
sebagian sahabat atas nama pribadi dan secara diam-diam mecatat
hadis-hadis tersebut bahkan menghafalnya. Maka bermuncullah teks-
teks (sahaif) nama-nama dari pengumpulnya. Sahaif adalah suatu buku
kecil berisikan sunnah Nabi dengan jumlah yang sangat terbatas.
Pasca penulisan Al-Qur’an selesai dan telah disebarkan kedaerah-
daerah perluasan Islam, sebagian para sahabat mulai
mengkonsentrasikan diri pada al-Sunnah dengan menghafalnya,
mempelajari isi kandungannya dan tidak sedikit yang memulai
menulisnya. 32
2. Penulisan Hadis pada Masa Tabi’in.
Jika para sahabat Nabi sudah banyak yang mengkoleksi hadis-
hadis Nabi, maka para Tabi’in yang notabenenya para murid sahabat
juga banyak mengkoleksi hadis-hadis Nabi bahkan pengkoleksian ini
mulai disusun menjadi suatu kitab yang beraturan. Metode yang
dilakukan para Tabi’in dalam mengkoleksi dan mencacat hadis adalah
melalui pertemuan-pertemuan (Al-Talaqqi) dengan para sahabat

31
Masturi Irham, Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi dari Tinjauan Sejarah, Addin. Vol. 7 No. 2,
Kudus, 2013, Hlm. 280.
32
Ibid., Hlm. 281.

18
selanjutnya mereka mencatat apa yang didapat dari pertemuan tersebut.
33

3. Penulisan Hadits pada Masa Az-Zuhri


Kodifikasi secara resmi ialah kodifikasi atas prakarsa penguasa.
Ide penghimpunan hadist Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya
dikemukan oleh Khalifah Umar bin Khatab (w. 23 H/644 M). Namun,
ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir umat Islam
terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an .
Pada tahun 99 H, seorang khalifah dari bani Umayyah yang
terkenal adil dan wara' yaitu Umar Ibnu Abdul Aziz tergerak hatinya
untuk membukukan hadits. Beliau sadar jika semakin banyak perawi
yang meninggal dunia. Beliau khawatir jikalau hadist itu tidak segera
dibukukan, maka akan lenyap bersama para penghafal tersebut.
Pada tahun 100 H, sang khalifah memerintahkan kepada para
gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm
untuk membukukan hadist-hadist dari penghafalnya. Umar bin Abdul
Aziz menulis surat kepada gubernur, yaitu : “Perhatikanlah apa yang
dapat diperoleh dari hadist rasul, lalu tulislah karena aku takut akan
lenyap ilmu disebabkan meninggalnya para ulama, dan jangan diterima
selain hadist Rasul saw, dan hentikanlah disebarluakan ilmu dan
diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya
dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasikan.”
Selain kepada gubernur Madinah, Khalifah juga menulis surat
kepada gubernur lain supaya mengusahakan pembukuan hadist.
Khalifah juga secara menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Abdilllah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri
mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah
satu ulama yang pertama kali membukukan hadist.34

33
Ibid., Hlm. 282.
34
Fadzila Yudi Mardana, Kodifikasi Hadits, Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim, 2014, Hlm. 5-
6.

19
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz
untuk menyelamatkan hadis, antara lain :
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan hadis seperti
waktu yang sudah-sudah, kerena beliau khawatir akan hilang dan
lenyapnya hadis dari perbendaraan masyarakat, disebabkan belum
didewankan dalam hadis.
b. Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara
hadis dari hadis-hadis maudhu’ yang membuat orang-orang untuk
mempertahankan ideologi golongannya dan mempertahankan
mazhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib.
c. Alasan tidak terdewankannya hadis secara resmi di zaman
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, kerena adanya kekhawatiran
bercampur aduknya dengan Al-Qur’an telah hilang, disebabkan Al-
Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan sudah merata
keseluruh pelosok. Ia telah dihafal diotak dan diserapkan ke dalam
hati sanubari beribu-ribu orang.
d. Kalau zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah terbayangkan dan
terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir,
demikian pula perang saudara antara orang muslim yang sekian
hari semakin menjadi-jadi yang sekaligus berakibat berkurang
jumlah ulama hadis, maka pada saat itu konfrontasi tersebut benar-
benar terjadi.
Untuk itu beliau mengintruksikan kepada seluh pejabat dan ulama
yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk
mengumpulkan Al–Hadits.35
4. Penulisan Hadits Pasca Az-Zuhri
Pada awalnya penyusunan hadits dalam kitab, hadits–hadits
Nabi tidak dipisahkan dari fatwa para sahabat dan tabi’in, tidak pula
diadakan pemilihan bab–bab tertentu. Semua itu dibukukan besama–

35
Ibid., Hlm. 4-5.

20
sama. Maka terdapatlah dalam kitab–kitab itu hadits–hadits marfu’,
hadits–hadits mauquf, dan hadits–hadits maqthu’.
Adapun sistematika penulisan kitab hadits tersebut adalah
dengan menghimpun hadits–hadits yang tergolong dalam munasabah,
atau hadits–hadits yang ada hubungannya antara yang satu dengan
yang lainnya dihimpun dalam satu bab, kemudian disusun menjadi
beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Para ulama masih
mencampur adukkan antara hadits dengan atsar sahabat dan tabi’in.
Kemudian, masa penulisan hadits secara terpisah ini dapat
dianggap masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab
pada masa ini Ulama Hadits telah berhasil memisahkan hadits–hadits
Nabi dari yang bukan Hadits (fatwa sahabat dan tabi’in). Akan tetapi
satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak
memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits
shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha’if. Segala hadits
yang mereka terima, dibukukan dengan tidak menerangkan
keshahihannya. Dan selanjutnya telah berhasil pula mengadakan
penyaringan yang sangat teliti terhadap apa saja yang dikatakan hadits
Nabi (diteliti matan dan sanadnya). Masa ini disebut “Masa
Menghimpun dan Mentasbih Hadits.” Masa ini berlangsung sejak
pemerintahan Al-Ma'mun sampai awal pemerintahan Al-Muqtadir dari
khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama hadist memusatkan
pemeliharaan pada keberadaan hadist, terutama kemurnian hadist Nabi
saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist
yang semakin marak. 36
Oleh sebab itu para ulama melakukan kunjungan ke daerah-
daerah untuk menemui para perawi hadist yang jauh dari pusat Kota.
Imam Al Bukhary lah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang
dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur,

36
Ibid., Hlm. 6-7.

21
Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi Kota yang dia
kunjungi.
Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang
tersebar diberbagai daerah. 16 tahun lamanya al Bukhary menjelajah
untuk menyiapkan kitab shahihnya.
Pada abad ini banyak beredar buku-buku kumpulan hadits
seperti : Al- Al-Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi
rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut merupakan
sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang
mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad Ibnu
Hanbal, Ali Ibnu Al-Madini, Al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq Ibnu
Rahwaih dan lain-lain. 37
5. Timbul Dugaan Hadis Di Tulis Pada Abad Ke 2 Hijriah
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa usaha pembukuan
hadis dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah
Umar bin Abdul Aziz (Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah),
melalui intruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan
mengumpulkan hadis dari para penghapalnya. Seruan khalifah ini
disambut positif oleh gubernur yang berkuasa pada saat itu dan
membuahkan hasil dengan tampilnya dua pelopor kodifikator, yaitu
Muhammad Ibnu Hazm (w.117 H) dan Muhammad Ibnu Syihab Al-
Zuhri (w.124 H). Ulama menetapkan Al-Zuhri sebagai penyusun kitab
hadis pertama. Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama mengenai
siapa yang menjadi tokoh utama dalam menyusun kitab hadis di antara
mereka.
Namun Rasyid Ridha berpendapat, boleh jadi orang yang
pertama menulis hadis di kalangan tabi’in abad pertama hijriah dalam
bentuk koleksi adalah Khalid bin Mi’dan Al-Himshi (w.103 atau 104
H). Konon, ia sempat bertemu dengan tidak kurang dari tujuh puluh
orang sahabat. Sungguhpun demikian, Ridha mengakui bahwa

37
Ibid., Hlm. 10-11.

22
pendapat yang masyhur adalah bahwa orang yang pertama
membukukan hadis adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri atas perintah Umar
bin Abdul Aziz.
Munculnya kitab-kitab Al-Mushannaf, menggambarkan bahwa
gerakan pembukuan hadis mendapat sambutan hangat dari para ulama.
Di antara sekian banyak kitab hadis yang ditulis, hanya kitab Al-
Muwattha’ karya Imam Malik yang sampai kepada kita sekarang.
Sementara, Muwattha’ ditulis oleh Imam Malik pada pertengahan
abad kedua. Karena kitab tertua yang sampai kepada kita itu produk
abad ke-2, maka tidak heran kalau timbul kesan bahwa kitab hadis
dibukukan pada abad ke-2.Gagasan besar seperti kodifikasi resmi
yang dilakukan oleh Khalifah tentunya tidak luput dari pengalaman
kritik dan tanggapan.
Di antara kritik yang menyangkut dengan kodifikasi resmi yang
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah anggapan
bahwa penulisan hadis baru ada pada abad ke-2 Hijriah, dan penulisan
hadis yang dilakukan Az-Zuhri hanyalah atas dasar eksploitasi
penguasa Bani Umayyah untuk tujuan politik.
Orientalis seperti Goldziher menurunkan satu pasal khusus
tentang penulisan hadis-hadis dalam pembahasannya
Muhammedanische Studien, yang jilid keduanya diterjemahkan dalam
bahasa Perancis. Ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan
bahwa pencatatan hadis dilakukan pada permulaan abad kedua hijriah.
Sejalan dengan Goldziher, Schacht dan Sprenger menyimpulkan
bahwa hadis-hadis Nabi sama sekali tidak ada hingga sekitar
pertengahan abad ke-2 Hijriah. 38
Para orientalis terutama seorang Yahudi bernama Goldziher
berpendapat bahwa As-Sunnah belum dibukukan, kecuali setelah
terjadinya perselisihan antara pengikut Umayyah dengan musuh

38
Erha Saufan Hadana, Pengumpulan dan Kodifikasi Hadits, Banda Aceh : PPs UIN Ar-Raniry,
2016, Hlm. 5-7.

23
mereka dari Ahlul Bait dan pengikut Zubair secara bersamaan. Setiap
kelompok membuat hadis untuk memperkuat pendapatnya, dan tidak
menjadi hujjah bagi lawannya. Dan pengikut Umayyah dengan
kecerdikannya mereka memanfaatkan Imam Az-Zuhri untuk hal itu.
Dan tidak hanya terbatas pada pemalsuan hadis-hadis politik bahkan
melampaui sampai kepada masalah-masalah ibadah. Goldziher tidak
menuduh Ibnu Syihab Az-Zuhri bekerja sama dengan Bani Umayyah
dalam memalsukan hadis kerena motif kejahatan, melainkan atas
alasan-alasan stabilitas negara, kendati terkadang ia meragukan hal
seperti itu, tapi ia tidak dapat mengelakkan lingkungan resmi yang
menekan secara tak menentu. Goldziher juga beranggapan Az-Zuhri
penulis pertama tentang hadits atau hadits-hadits tersebut lebih berasal
dari dirinya ketimbang dari generasi sebelumnya. Asumsi ini cukup
beralasan, jika tesis ini benar maka mayoritas hadits akan runtuh
dengan sendirinya, melihat posisi Az-Zuhri sebagi poros ulama pada
masanya dan pemegang otoritas tertinggi sebagai perawi hadits.
Di sisi lain, Az-Zuhri dituduh telah diperalat oleh khalifah.
Anggapan di atas tidak cukup beralasan kerena latar belakang Az-
Zuhri tidak dipakai sebagai pertimbangan bahkan diabaikan sama
sekali. Latar belakang Az-Zuhri, dengan kemampuan hafalan yang
luar biasa, dia telah menghafalkan Al-Qur’an dalam waktu 80 malam,
juga terdapat hadits (hafalannya) yang telah teruji oleh ulama lainnya.
Bantahan hal tersebut telah disampaikan oleh para peneliti Islam, di
antaranya Musthafa As-Siba’i dan Dr. Yusuf Al-‘Isy. Bahwa itu
adalah bohong dan dusta kepada para khalifah dinasti Umayyah, dan
kepada para ulama Islam secara menyeluruh, bertentangan dengan
kenyataan yang menjelaskan tentang mereka. Disebutkan oleh Ibnu
Sa’ad dan para ahli sejarah lainnya, ia (Az-Zuhri) adalah ahli ibadah
dan takwa sejak masa kecilnya, sehingga orang-orang menjulukinya
sebagai “Merpati Masjid” dan Az-Zuhri beserta sahabatnya dari para
ulama, tidak pernah menjadi permainan di tangan seorang penguasa,

24
bahkan mereka dikenal dengan ketakwaan dan izzah mereka dengan
Islam. Para ulama Al-Jarh Wa At-Ta’dil sepakat bahwa Az-Zuhri
adalah seorang yang tsiqah, amanah, dan mempunyai kedudukan yang
agung dalam hadis.
Sedangkan anggapan Goldziher tentang adanya hubungan
dengan Bani Umayyah dan pemanfaatan dirinya dalam pemalsuan
hadis demi mengikuti hawa nafsu mereka, hanyalah merupakan
tuduhan yang mengada-ada, yang tidak pantas bagi seorang Az-Zuhri
dengan segala sikap amanah dan ketakwaannya. 39
Menurut Al-Azami tentang pendapat Goldziher, konklusi-
konklusi yang terdapat di dalam buku tersebut berangkat dari deduksi-
deduksi yang rapuh dan tidak lengkap. Melimpahnya literatur hadis
secara tiba-tiba pada masa Umayyah bukanlah menjadi alasan yang
benar untuk mengatakan bahwa hadis baru dibuat dan muncul
belakangan. Ini adalah logika yang terbalik, karena fenomena
kelimpahan tiba-tiba literatur hadis pada masa Umayah tersebut
seharusnya memakai logika “Penghimpunan”, bukan “Pembuatan”.
Logika penghimpunan ini sama halnya ketika digunakan dalam
melihat kasus al-Quran yang dihafal dan dicatat oleh orang per-orang,
lalu selanjutnya di masa khalifah Utsman baru kemudian dihimpun
dan dikumpulkan. Menurut Al-Azami, jika konklusi pemikir barat
tersebut malah sebaliknya, maka itu hanyalah fikiran yang
mengesankan sangat anti-Umayyah. 40
Masih pada periode abad kedua hijriah, para ulama
meningkatkan perhatian sebagai kelanjutan penulisan hadis di
berbagai wilayah seperti : Ibnu Juraij (w.150 H) di Makkah, Malik bin
Anas (w.179 H) di Madinah, Hammad bin Salamah (w.167 H) di
Bashrah, Sufyan Al-Tsauri (w.161 H) di Kufah, Ma’mar bin Rasyid
(w.158 H) di Yaman, Al-Auza’i (w.157 H) di Syam, Abdullah bin Al-

39
Ibid., Hlm. 8-9.
40
Yusran, Op. Cit., Hlm. 178.

25
Mubarak (w.181 H) di Khurasan, Jarir bin Abdul Al-Hamid (w.188)
di Ray, dan lain-lain.
Sebagai hasil dari usaha para ulama abad kedua hijriah dalam
mengumpulkan hadis adalah dalam bentuk kitab-kitab hadis. Di antara
kitab-kitab hadis abad kedua yang terkenal antara lain : Kitab
Muwaththa’ karya Imam Malik, Musnad Al-Syafi’i karya Imam
Syafi’i dan kitab Mukhtalif Al-Hadis juga karya Imam Syafi’i. 41

D. Polemik Kodifikasi Hadis


Apakah Rasulullah Melarang Penulisan Hadis?

Di samping adanya bukti-bukti yang menunjukkan bolehnya


penulisan hadis pada masa Rasulullah saw, ada juga riwayat-riwayat
dalam berbagai kitab kumpulan hadis yang menunjukkan bahwa Rasul
saw melarang penulisan hadis. Dengan riwayat-riwayat ini, sebagian
ulama Ahlusunnah mengambil kesimpulan bahwa Rasul saw pada masa
hidupnya atau (paling tidak) pada sebagian masa hidupnya tidak setuju
pada penulisan hadis. Bahkan beliau sempat mengeluarkan perintah untuk
melenyapkan berbagai macam tulisan hadis. Berkenaan dengan masalah
ini, Mahmud Abu Rayyah menulis “Terdapat hadis-hadis dan riwayat-
riwayat pasti, yang kesemuanya menunjukkan pelarangan Rasul saw atas
penulisan hadis.”42

Doktor Subhi Shalih juga menulis: “Pada masa-masa awal


turunnya wahyu, Rasyl saw melarang penulisan hadis karena khawatir
keterangan dan tafsiran beliau bercampur dengan al-Qur’an. Oleh sebab
itu, beliau berkata kepada para sahabatnya, ‘Janganlah kalian tulis dariku
selain al-Qur’an. Apabila ada yang telah menulis selain al-Qur’an,
hendaklah ia menghapus tulisan itu.’ Namun, setelah sebagian ayat al-
Qur’an turun, pada hafiz wahyu telah menghapal ayat-ayat al-Qur’an dan

41
Erha Saufan Hadana, Op. Cit., Hlm. 7.
42
Kulaini, Al-Kahfi, juz 6, hal.446; Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 47, hal.16 dan 223.

26
kekhawatiran bercampurnya ayat dengan hadis telah sirna, beliau justru
memerintah kaum muslim untuk menulis hadis seraya berkata,
‘‘Simpanlah ilmu dengan menulisnyaa’’

Dari keterangan di atas, kita menyimak bahwa menurut


pemahaman Abu Rayyah, Rasul saw sepanjang masa hidupnya tidak
pernah setuju dengan penulisan hadis, sementara menurut Shubhi Shalih
Rsul saw hanya melarang penulisan hadis di awal bi’tsah. Pada waktu itu,
berkenaan dengan alasan pelarangan penulisan hadis juga terdapat
perbedaan pandangan termasuk dua tokoh ini dikalangan ulama
Ahlusunnah. Karena menurut pandangan Abu Ruyyah, alasan pelarangan
penulisan hadis, adalah untuk mencegah meluasnya lingkup hukum-
hukum dan masalah-masalah syar’i, sementara kebanyakan ulama mereka,
Shubhi Shalih, berpendapat bahwa alasan pokok dari pelarangan penulisan
hadis adalah kekhawatiran Rasul saw akan bercampurnya al-Qur’an dan
hadis. Para ulama Ahlusunnah dalam mendasari pandangan-pandangannya
bersandar pada berbagai nas yang telah diriwayatkan dari Abu Said
Khudri, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit.

A. Riwayat Abu Said Khudri


Dalam kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Abu Sa’id Khudri
(berkenaan dengan masalah ini) mempunyai dua bentuk. Pertama,
adalah riwayat-riwayat yang Rasul saw secara langsung melarang
penulisan hadis, perintah beliau ini seperti halnya sebuah surat
keputusan atau undang-undang. Bentuk lainnya adalah riwayat-
riwayat yang di situ beliau memberikan jawaban ats permohonan izin
pada sahabat untuk menulis hadis yang tidak disetujui oleh beliau.
Berikut contoh dari riwayat-riwayat ini.
1. Abu Said Khudri berkata bahwa rasulullah saw bersabda,
“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an.
Barangsiapa yang telah menulisnya, hendaknya ia menghapus
tulisan itu.”

27
2. Diriwayatkan dari Abu Said Khudri bahwa ia berkata, “Kami
memohon izin dari Rasul saw untuk menulis (hadis), namun
beliau tidak mengizinkan kami.”
3. Abu Said Khudri berkata, “Aku memohon izin kepada Nabi saw
untuk menulis hadis, namun beliau enggan memberikan izin
padaku.”
B. Hadis Riwayat Abu Hurairah
Abu Hurairah meriwayatkan, “Rasul saw mendatangi kami,
sementara kami sedag menulis hadis. Lalu beliau berkata, ‘Apa yang
sedang kalian tulis?’ Kami menjawab, ‘Hadis-hadis yang telah kami
dengar darimu.’ Beliau berkata, ‘Apakah kalian mengehendaki sebuah
kitab selain Kitabullah?! Umat-umat sebelum kalian tidak jatuh dalam
kesesatan kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab
Allah.
Perlu diingat, dengan sanad yang sama, ada hadis lain yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah, dalam riwayat itu Rasul saw berkata,
“Sucikannlah Kitabullah, murnikanlah Kitabullah!” Dalam lanjutan
riwayat itu, Abu Hurairah berkata, “Kita mengumpulkan apa-apa yang
telah kami tulis dan membakarnya, lalu bertanya, ‘Ya Rasulullah,
apakah kami masih bisa meriwayatkan sabda-sabdamu?” Beliau
berkata, “Tidak masalah, namun barangsiapa yang dengan sengaja
dusta kepadaku, tempatnya adalah neraka.” Bisa diperhatikan,
riwayat-riwayat ini dengan sanad yang sama juga dinukil dari Abu
Said.
C. Riwayat Zaid bin Tsabit
1. Muthallib bin Abdullah meriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit
berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw memerintahkan kami
untuk tidak menulis sesuatu pun dari hadistnya”
Dalam hadis ini, riwayat ini sampai dengan redaksi sebagai
berikut. Suatu hari Zaid bin Tsabit mendatangi Muawiyah, lalu
Muawiyah bertanya kepadanya tentang sebuah hadis sambil

28
memerintahkan juru tulis untuk menulis hadis itu, namun Zaid bin
Tsabit berkata kepada Muawiyah, “Rasul saw telah
memerintahkan kepada kami untuk tidak menulis sesuatu pun dari
hadis beliau, lalu hadis (yang telah ditulis) itu dihapus.
2. Dengan sanad yang sama, telah diriwayatkan hadis lain dari Zaid
bin Tsabit, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw telah
melarang untuk ditulis hadisnya.”
Sampai di sini, telah dinukil beberapa riwayat seputar
larangan menulis hadis. Tentu riwayat-riwayat ini akan
berhadapan dengan riwayat-riwayat lain yang justru memberikan
pesan dan perintah untuk menulis hadis. Karenanya, para ulama
Ahlusunnah telah bekerja keras untuk bagaimana caranya
mempertemukan dua kelompok riwayat yang saling bertentangan
ini. Berikut ini adalah beberapa contoh dari usaha dan jerih payah
mereka.43
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, maka muncul di kalangan
para ulama pendapat yang menyatakan bahwa menuliskan hadis Rasul
saw adalah dilarang. Bahkan di kalangan para sahabat sendiri terdapat
sejumlah nama yang menurut Al-Khathib al-Baghdadi, meyakini akan
larangan penulisan hadis tersebut, mereka di antaranya adalah Abu
Sa’id Khudri, ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abu
Hurairah, ‘Abd Allah ibn ‘Abbas, dan Abd Allah ibn ‘Umar. Al-
Baghdadi, sebagaimana yang dikutip oleh Azami, juga menuliskkan
sejumlah nama para Tabi’in yang diduga menentang penulisan hadis,
yaitu Al-Amasy, ‘Abidah, Abu al-‘aliyah, ‘Amr ibn Dinar, Al-
Dhahhak, al-Nakha’i, dan lain-lain.
Diantara hadis-hadis Nabi saw yang memerintahkan atau
membolehkan menuliskan hadis adalah:
1. Hadis yang berasal dari Rafi’

43
Majid Ma’arif, Sejarah Hadis, (Jakarta: Nur al-Huda. 2012), hlm.62-65

29
Dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia menceritakan, kami bertanya
kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami
mendengar dari engkau banyak. Hadis, apakah boleh kami
menuliskannya?” Rasululllah menjawab, “ Tuliskanlah oleh
kamu untukku dan tidak ada kesulitan.” (HR Khatib)
2. Hadis Anas ibn Malik
Dari Anas ibn Malik bahwa ia berkata, Rasulullah saw
bersabda, “Ikatlah ilmu itu dengan tulisan(menuliskan-nya)”
3. Dari hadis yang berasal dari Wahid ibn Muslim dari Al-Auza’ii
dari Yahya ibn Abi Katsir dari Abi Salamah ibn ‘Abd al-
Rahan dari Abu Hurairah, dia menceritakantentang khotbah
Nabi saw di Mekah ketika penaklukan kota Mekah. Setelah
penyampaian khotbah tersebut, berdiri Abu Syah, seorang laki-
laki dari negeri Yaman, seraya berkata:
Berkata Abu Syah, “Tuliskanlah bagi ku ya Rasul. “Maka
Rasulullah saw bersabda, “Tuliskanlah untuk kamu untuk Abu
Syah.” Wahid berkata, “Aku bertanya kepada Al-Auza’i,
“Apakah yang dimaksudkan dengan perkataan Rasul saw,
tuliskanlah olehmu untuk Abu Syah. “Auza’i menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dengan perkataan menjelaskan, “Yang
dimaksud dengannya adalah khotbah yang didengarnya dari
Rasul saw.” (HR Bukhari)
4. Hadis ‘Abd Allah ibn ‘Amr
Dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr, aku berkata, “(Bolehkah) aku
menuliskan apa yang aku dengar dari engkau?” Rasulullah
menjawab, “Boleh.” Aku berkata selanjutnya, “Dalam keadaan
marah dan senang?” Rasul saw menjawab lagi, “Ya,
sesungguhnya aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang haq
(kebenaran).” (HR Ahmad)
Keempat hadis diatas menunjukkan bahwa Rasul saw
membolehkan bahkan tampak menganjurkan para sahabat untuk

30
menuliskan hadis-hadis beliau. Hal tersebut terlihat dari saran beliau
untuk mengikat ilmu pengetahuan, tentunya termasuk di dalamnya
hadis-hadis beliau, dengan cara menuliskannya.44
Pandangan Para Ulama dalam Mempertemukan antara Riwayat
yang Mengizinkan dan Melarang Penulisan Hadis :
Doktor Ajjaj Khathib dalam bukunya Al-Sunnah Qabla al-
Tadwin menulis: “Dalam usaha mempertemukan antara riwayat-
riwayat yang melarang dan mengizinkan penulisan hadis, para ulama
memberikan pandangan mereka dalam empat jalan keluar:
1. Sebagian mengatakan bahwa hadis Abu Said Khudri bersifat
mauqufah dan tidak dapat dijadikan sandaran. Pandangan ini
diberikan oleh Bukhari dan beberapa yang lain. Namun,
pandangan ini tidak dapat diterima begitu saja karena
kemusnadan hadis telah terbukti bagi Muslim. Sebagai
kesimpulannya, hadis ini sahih dan didukung oleh riwayat-
riwayat Abu Said Khudri yang lain, seperti: “Aku memohon
izin kepada Nabi saw untuk menulis hadis, namun beliau
enggan memberikan izin.
2. Larangan penulisan hanya berkaitan dengan masa awal islam
dan alasannya adalah takut bercampur dengan al-Qur’an.
Namun setelah banyaknya jumlah muslimin dan bertambahnya
pengetahuan serta pengenalan mereka dalam membedakan
antara al-Quran dan hadis, maka kekhawatiran itu telah hilang
dengan sendirinya dan larangan penulisan hadis telah di cabut.
Dengan demikian, hubungan antara riwayat-riwayat yang
melarang dan yang mengizinkan penulisan hadis adalah
hubungan nasikh-mansukh. Ibnu Qutaibah menjadikan kasus
ini sebagai salah satu contoh dari penasakhan sunnah dengan
sunnah. Pandangan ini merupakan pandangan kebanyakan dari

44
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 1998), hlm. 97-101.

31
para ulama dan Allamah Muhaqqiq Ustadz Ahmad Syakir juga
menerimanya.
3. Larangan dan izin terjadi pada masa yang sama, dengan
keterangan: larangan untuk menulis ditunjukkan kepada
mereka yang hapalannya kuat agar memorinya tidak menjadi
lemah dengan penulisan, namun izin diberikan kepada mereka
yang diketahui memorinya lemah, seperti halnya Abu Syat
Yamani.
4. Larangan menulis keluar dari lisan Rasulullah saw bersifat
umum, namun riwayat yang mengizinkan bersifat khusus.
Artinya, kepada mereka yang mempunyai kemampuan baca-
tulis dan tidak ada kekhawatiran pada kekeliruan serta
kesalahan mereka, mereka secara khusus diberi izin untuk
menulis hadis, seperti Abdullah bin Amr yang telah diizinkan
beliau untuk melakukan penulisan hadis. Alasan ini merupakan
makna lain yang telah dipahami oleh Ibnu Qutaibah dari
kelompok riwayat-riwayat ini.
Setelah menyebutkan beberapa kemungkinan di atas, Doktor
Ajjaj Khathib menambahkan, “ Selain kemungkinan pertama, yang
menurut saya tertolak, tiga kemungkinan lain yang dapat dijadikan
sebagai jembatan dalam mempertemukan antara riwayat-riwayat yang
memerintah dan melarang penulisan hadis karena kami berkeyakinan
bahwa kebijaksanaan Rasul saw secara umum mengarah pada
larangan penulisan hadis. Namun berkaitan dengan orang-orang
tertentu yang dapat menjaga agar al-Quran tidak bersampur dengan
hadis, seperti Abdullah bin Amr bin Ash, maka beliau memberikan
izin kepada mereka untuk menulis sunnahnya.
Doktor Shubhi Shalih sebagaimana yang telah disebutkan
berkeyakinan bahwa larangan Nabi saw atas penulisan hadis berkaitan
dengan masa-masa awal bi’tsah dan alasannya adalah kekhawatiran
beliau akan bercampurnya al-Quran dengan hadis. Namun setelah

32
turunnya sebagian surah al-Quran , di tulis dan dihapalnya ayat-ayat
al-Quran oleh para katib dan hafiz, beliau sudah merasa tenang
dengan kondisi al-Quran, lalu memerintahkan penulisan hadis. Shubhi
Shalih kemudian menambahkan, “Larangan atas penulisan telah
dikeluarkan dalam bentuk umum dan terhadap seluruh para sahabat,
namun pada saat itu juga, Rasul saw telah mengizinkan beberapa
sahabat tertentu untuk menulis hadis-hadis beliau. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa terdapat dua izin untuk penulisan hadis: (a)
Izin khusus pada zaman pelarangan secara umum. (b) Izin umum
pascaturunnya sebagian besar al-Quran.”
Shubhi Shalih kemudian memaparkan sebagian hadis yang
ditulis di zaman hadis, sekaligus mengkritik pandangan kaum
Orientalis pada beranggapan bahwa penulisan hadis baru terjadi pada
permulaan abad kedua.
Dalam mempertemukan antara riwayat larangan dan izin
penulisan hadis, Sayid Muhammad Rasyid Ridha menulis: “Apabila
kita menganggap bahwa di antara riwayat-riwayat itu terdapat
pertentangan, yang benar adalah bahwa dua jenis riwayat itu, salah
satunya bersifat nasikh dan yang lain mansukh. Lalu dengan dua dalil,
kita dapat membuktikan bahwa riwayat—riwayat yang akhir atau
yang bersifat nasikh adalah riwayat-riwayat yang melarang penulisan
hadis:
1. Berdalih dengan pandangan mereka yang menghindari
penulisan hadis, karena hal itu merupakan sirah para sahabat
yang diriwayatkan pasca wafatnya Rasul saw.
2. Para sahabat tidak melakukan penulisan dan penyebaran hadis
karena apabila mereka melakukan itu, tentunya kumpulan-
kumpulan hadis mereka akan beredar banyak di tangan
generasi-generasi setelah mereka.
Rasyid Ridha kemudian memberi penjelasan tentang tidak
berminatnya para sahabat untuk menulis dan mengumpulkan hadis,

33
bahkan sebagian mereka justru melenyapkan hadis-hadis yang telah
mereka tulis. Rasyid Ridha menyimpulkan, “Paling maksimal, dapat
dikatakan bahwa para sahabat dan tabiin menulis hadis hanya untuk
menghapalnya. Setelah hapal, mereka akan melenyapkannya. Apabila
kita tambahkan pada realitas ini, keengganan para pembesar sahabat
dalam meriwayatkan hadis, dugaan ini akan semakin kuat bahwa
mereka memang tidak ingin menjadikan hadis-hadis Nabi seperti al-
Quran sebagai sumber umum dan tetap bagi agama. Apabila mereka
memahami keterangan-keterangan Rasul saw, bahwa beliau
menganjurkan penulisan dan pengumpulan hadis, dapat dipastikan
mereka akan menulis hadis-hadis beliau dan berpesan kepada yang
lain untuk juga menulisnya.”
Mahmud Abu Rayyah, yang juga seperti Rasyid Ridha
berkeyakinan pada penasakhan riwayat-riwayat larangan menulis
hadis, menulis: ”Hikmah yang paling dekat dengan kebenaran
berkaitan dengan larangan Nabi saw atas penulisan hadis adalah
karena beliau tidak menginginkan lingkup tasyri’ melebar atau dalil-
dalil hukum-hukum meluas. Ya, hal ini memang merupakan sesuatu
yang senantiasa dihindari oleh Rasulullah saw. Karena hal ini pula,
beliau menunjukkan ketidaksukaannya pada banyaknya pertanyaan
dari para sahabat.”45
Al-Azami mencoba memberi solusinya sebagai berikut: Hadis-
hadis yang melarang penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga orang
sahabat, yaitu Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin
Tsabit. Hadis dari Abu Sa’id Khudri mempunyai dua versi, satu versi
diriwayatkan melalui jalur A’Abd al-Rahman ibn Zaid. Para ulama
hadis sepakat menyatakan bahwa ‘Abd al-Rahman ibn Zaid ini adalah
seorang perawi yang lemah (dha’if).
‘Abd al-Rahman ibn Zaid yang sama juga terdapat pada sanad
hadis yang berasal dari Abu Hurairah. Oleh karenanya, hadis Abu

45
Majid Ma’arif,Op. Cit., hlm 65-69.

34
Hurairah tentang larangan menuliskan hadis tersebut adalah lemah dan
tidak tidak dapat diterima. Sedangkan hadis yang berasal dari Zaid bin
Tsabit statusnya adalah Mursal, karena Al-Muthalib ibn ‘Abd Allah
yang meriwayatkan hadis tersebut tidak bertemu dengan Zaid bin
Tsabit. Oleh karena itu, hadis Zaid bin Tsabit tersebut juga tidak bisa
diterima. Mengenai hadis ini terdapat dua versi; yang pertama
menyatakan bahwa larangan penulisan hadis tersebut adalah berdasar
pada pernyataan Nabi saw sendiri, sedangkan yang kedua, larangan
tersebut adalah karena yang dituliskan itu merupakan pemikiran
pribadinya.
Dari keterangan di atas, maka hanya ada satu hadis mengenai
larangan menuliskan hadis yang bisa diterima, yaitu hadis yang
berasal dari Abu Sa’id al-Khudri, versi yang bukan merupakan jalur
‘Abd al-Rahman ibn Zaid. Versi ini berbunyi:
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an,
maka hendaklah ia menghapusnya.” (HR Muslim).

Hadis Abu Sa’id al-Khudri versi ini pun tidak terlepas dari
adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam
Bukhari, hadis ini sebenarnya adalah pernyataan Abu Sa’id al-Khudri
sendiri, oleh karenanya adalah keliru apabila disandarkan kepada Nabi
saw. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat cenderung mengatakan
bahwa pernyataan tersebut adalah pernyataan Rasul (Hadis). Dan
maksud sebenarnya yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa tidak
ada yang boleh ditulis bersama-sama dengan al-Quran pada lembaran
kertas yang sama, karena hal yang demikian dapat menyebabkan
seorang yang membacanya menganggap kalimat-kalimat yang
dituliskan di margin atau di antara baris ayat-ayat al-Quran tersebut
adalah sebagai bagian dari ayat al-Quran. Hal ini yang perlu diingat,
adalah bahwa larangan tersebut disampaikan Rasul saw pada masa al-

35
Quran masih sedang turun dan teks al-Qur’an itu sendiri masih belum
lengkap. Dan, apabila kondisi yang demikian tidak ada lagi, maka
tidak ada alasan yang tepat untuk melarang menuliskan hadiis-hadis
Nabi saw.46

Kritik dan Analisis atas Pendapat-Pendapat Ulama Ahlusunnah

Dalam setiap alasan yang telah disebutkan. Sudah dikemukakan


pula kritikan-kritikan yang membuat alasan-alasan itu menjadi sulit untuk
diterima. Kebanyakan kritikan ini, dilakukan oleh apara ulama
Ahlusunnah sendiri. Fakta ini menunjukkan bahwa di antara mereka
terdapat perselisihan dalam hal mempertemuka antara riwayat-riwayat
yang melarang penulisan hadis dan yang mengizinkannya.
Mahmud Abu Rayyah dalam mengkritisi pandangan Shubhi
Shalih, menulis.

Sebagian berpendapat bahwa larangan Nabi saw atas penulisan hadis


disebabkan beliau takut al-Quran akan bercampur dengan hadis. Akan
tetapi, dalil ini sama sekali tidak dapat memuaskan dan diterima oleh
seorang ulama, muhaqqiq dan peneliti di mana saja, kecuali apabila kita
meletakan balaghah hadis sejajar dengan balaghah al-Quran dan gaya
bahasanya dari sisi mukjizat sepadan dengan al-Quran. Tentu saja, hal ini
tidak dapat diterima oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang berpendapat
seperti di atas, karena akan berakibat pada pembatalan mukjizat al-Quran
dan laksana menggoyah pondasi sebuah bangunan. Lebih daripada itu,
apabila sedianya hadis-hadis itu harus ditulis, ia akan ditulis dalam
kumpuan-kumpulan hadis yang terpisah dari al-Quran. Tidak diragukan
lagi, terdapat banyak perbedaan antara al-Quran dan hadis yang tidak akan
yang tertutup dari pandangan orang-orang yang mempunyai cita rasa
(bahasa) dan pengetahuan. (Terdapat perbedaan yang sangat mencolok)
antara al-Quran dan hadis dari sisi balaghah, ma’ani dan bayan.

46
Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm 101-103.

36
Mumammad Abuzhu dalam mengkritisi pandangan Rasyid Ridha,
menulis.

Apabila hadis Abu Said tidak dianggap mauqufah dan


penisbahannya pada pribadi Rasul saw kita terima, pendapat yang benar
menurut kami adalah bahwa riwayat-riwayat yang mengizinkan penulisan
hadis merupakan sikap terakhir beliau dan berlaku sebagai nasikh bagi
riwayat-riwayat yang melarang penulisan hadis, karena (1) Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasul saw menjelang wafatnya
berkata, “Hadirkan untukku kertas dan pena agarkutuliskan bagi kalian
tidak akan sesat setelahku...” Hadis ini dapat menjadi bukti bagi
penasakhan riwayat-riwayat Abu Said Khudri; (2) Para Muhadis dari
berbagai jalur meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Di
antara para sahabat Nabi, tak seorang pun ada yang lebih mengetahui
tentang hadis Rasul saw daripada aku kecuali Abdullah bin Amr bin Ash
karena ia menulis hadis-hadis beliau. Abdullah meminta izin kepada
Rasulullah saw, namun beliau memberikan izin kepada yang memintanya.
Dibanding dengan para sahabat yang lain, Abdullah tidaklah memiliki
keistimewaan di sisi Rasul saw, sehingga hanya dia yang diberi izin untuk
menulis riwayat, karenanya Rasul saw tidak meninggal dunia melainkan
telah memberikan izin atas penulisan riwayat.47

E. Klasifikasi Kitab Hadis


1. Kitab Shahih
Kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist shahih,
sdangkan yang tidak shahih tak masuk kedalamnya. Bentuk
penyusunannya adalah bentuk mushannaf, yaitu penyajian
berdasarkan bab-bab masalah tertentu sebagaimana metode kitab-
kitab fiqih, aqidah, akhlak, sejarah, dan tafsir. Contoh kitab shahih

47
Majid Ma’arif, Op. Cit.,hlm.69-70.

37
adalah : shahih bukhari dan shahih muslim. Bentuk klasifikasi kitab
ini pada abad ketiga hijriah.48
Ulamâ’ yang menjadi pelopor penulisan jenis ini adalah
Muhammad Ismâ’il -Bukhârî (194-256 H) dengan kitabnya yang
populer disebut Shahîh al-Bukhari. Imâm alBukhârî menulis kitab
Shahîh-nya selama 16 tahun dan merupakan hasil seleksi dari
sekitar 600.000 Hadits.Setiap kali dia ingin meletakkan suatu Hadits
shahîh dalam kitabnya selalu didahului dengan bersuci dan shalat
dua rakaat.49Al-Bukhârî hanya menulis Hadits dalam kitabnya dari
kelompok periwayat tingkat pertama dan sedikit dari tingkat kedua,
yaitu yang memiliki sifat âdil dan kuat hafalan, teliti, jujur, dan
lama dalam berguru. Tingkat kedua memiliki kriteria sama dengan
yang pertama, namun tidak lama dalam berguru.50
Penyusunan yang dilakukan al-Bukhârî kemudian diikuti
oleh salah seorang muridnya Imâm Abî al-Husayn Muslim ibn al-
Hajjaj alQusyayri al-Naysaburi (206-261 H) dengan kitabnya
Shahîh Muslim.Kitab ini menggunakan sistematika jâmi` sama
dengan shahîh alBukhârî.Dalam muqaddimah-nya Muslim
mengklasifikasikan Hadits menjadi tiga macam, yakni Hadits yang
diriwayatkan oleh para periwayat yang `âdil dan dlâbit,
diriwayatkan oleh para periwayat yang tidak diketahui keadaannya
(mastûr) dan hafalannya biasa-biasa saja, diriwayatkan oleh
periwayat yang lemah hafalannya dan Haditsnya ditinggalkan
orang.Dari kategori di atas, apabila Muslim telah meriwayatkan
kategori pertama beliau selalu menyertakan kategori kedua, sedang
kategori ketiga dia tidak menggunakannya.51Dua kitab ini (al-
Bukhârî dan Muslim), menurut para ulamâ’ adalah kitab yang
paling shahîh setelah al-Qur`an, karena syarat yang digunakan

48
Saifudin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur kelompok HUMANIORA,2011), hlm. 67.
49
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 61-62.
50
Al-Zahraniy, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah, hlm. 246.
51
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 61.

38
mereka demikian ketat.18 Metode ini setelah itu diikuti oleh
beberapa ulamâ’ yang menyusun kitabnya berdasarkan syarat
alBukhârî dan Muslim, di antaranya Shahîh Abû `Awânah, Shahîh
ibn Khuzaymah (w. 311 H), dan Shahîh ibn Hibbân (w. 254 H).52
2. Kitab sunan
Didalam kitab ini selain dijumpai hadist-hadist shahih, juga
didapati hadis yang berkualitas dhaif dengan syarat tidak telalu
lemah dan tidak munkat.Terhadap hadis yang dhaif, umumnya
dijelaskan ke-dhaif-annya.Bentuk penyusunannya berbentuk
mushannaf dan hadis-hadisnya terbatass pada masalah fiqh
(hukum). Contoh-contohnya adalah : sunan Abu Dawud, Sunan al-
Tirmidzi, Sunan al-NasaI, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan al-
Dharimi. Bentuk klasifikasi kitab ini pada abad ketiga hijriyah.53
Sulaiman ibn al-Asy’ats ibn Ishaq ibn Basyir ibn Syadad ibn
‘Amr ibn Imran al-Azdy al-Sijistani. Lahir di Sijistani pada 202 H.
Dalam periwayatannya, Abu Dawud banyak menerima dari imam-
imam hadis terkenal. Kitab ini tidak hanya memuat hadis shahih,
namun juga hadis hasan. Beberapa kitab syarah telah ditulis untuk
menafsirkan dan menerangkan kitab Sunan ini.54 Kitab ini menjadi
pegangan orang-orang Irak, Mesir, dan orang-orang dari Maghribi,
dan dari segala penjuru dunia. Ibnu Al-Qayyim berkata, “Oleh
karena itu, kitab Sunan karya Abu Daud diberi kekhususan oleh
Allah menempati posisi tersendiri dalam dunia Islam. Kitab itu
menjadi hukum di antara orang-orang Islam, dan menjadi hakim
bagi mereka yang berselisih pendapat. Orang-orang suci telah
mengambil hukum darinya, dan mereka yang kritis pun menerima
hukumnya, karena ia merupakan kitab himpunan yang mencakup
semua hadis hukum, yang disusunnya dengan sistematis, selektif,
dan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang cacat dan dhaif
52
Mahmud al-Tahhan, Taisir Mustalah al-Hadis,( Riyad: Maktabah al-Ma‘arif), hlm. 188
53
Saifudin Nur, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur kelompok HUMANIORA,2011), hlm. 68.
54
Octoberrinsyah, dkk. op. cit., hlm. 55 – 56.

39
dihilangkan, sehingga menjadi sebuah kitab yang layak dijadikan
bekal utama.”55
Abu Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Bahr ibn
Sinan ibn Dinar al-Nasa’i. Lahir 214/215 H di Nasa’, sebua kota
terkenal di Khurasan. Kitab ini merupakan gabungan dari kitab
56
Sunan al-Kubra dan Sunan al-Sugra. Kitab Sunan al-Kubra telah
direvisi sehingga menjadi kitab Sunan al-Sugra. Penyusunannya
menggunakan sistematika bab-bab fiqh. Al-Nasa’i melakukannya
dengan teliti. Kitab ini bermuatan hadis-hadis shahih, hasan, dan
dhaif, namun yang dhaif jumlahnya sangat sedikit.57
Al-Imam al-Hafidz Abu Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah
ibn Musa ibn Dhahak al-Sulamy al-Turmudzi. Lahir pada 209 H, di
kampung Buj di wilayah Turmudz. Secara garis besar, hadis-hadis
yang tercantum dalam kitab ini adalah:58
a. Hadis-hadis yang dipastikan keshahihannya.
b. Hadis-hadis yang memenuhi syarat Abu Dawud dan Al-Nasa’i.
c. Hadis-hadis yang jelas cacatnya.
d. Hadis-hadis yang masuk dalam cakupan pernyataannya, “Aku
tidak meriwayatkan hadis dalam kitabku ini, kecuali ahdis
yang telah diamalkan oleh sebagian ulama”.
Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid ibn Abdillah ibn Majah al-
Rabi’i al-Qazwani. Lahir di Qazwani pada 207 H. Perbedaan
Sunan Ibn Majah dengan kitab lainnya, adalah:59
a. Ibn Majah meriwayatkan beberapa hadis dengan sedikit sanad,
sehingga antara dia sampai dengan Nabi SAW hanya terdapat
tiga perawi.

55
Muhammad Alawi Al-Maliki. op. cit., hlm. 280.
56
Octoberrinsyah, dkk. op. cit., hlm.57 – 58.
57
Muhammad Alawi Al-Maliki. op cit., hlm. 281
58
Octoberrinsyah, dkk. op. cit., h. 59 – 61.
59
Ibid., hlm. 61 – 63.

40
b. Adanya tambahan 428 hadis dari perawi uang siqqat dan shahih
sanadnya, serta 199 hadis yang hasan sanadnya, merupakan
keistimewaan tersendiri bagi Sunan Ibn Majah.
c. Ibn Majah tidak memberikan catatan apapun terhadap hadis
yang dihimpunnya.
Di antara kitab-kitab jenis ini adalah Sunan Abû Dawûd yang
ditulis oleh Abû Dawûd bin Sulaymân al-Sijistan (202-275 H),
Sunan al-Tirmidzi karya Abû ‘Isâ Muhammad ibn ‘Isâ ibn Sawrah
al-Tirmidzi (209-279 H), Sunan alNasa`i (al-Mujtabâ) oleh Ahmad
ibn Syu`ayb ibn Alî ibn Sinan ibn Bahr alias Abû Abd al-Rahman
al-Nasa`i (215-303 H), Sunan ibn Mâjah, dan lain-lain. Pada era
ini, istilah-istilah baru yang berdasarkan pada klasifikasi kualitas
Hadits bermunculan, di antaranya Hadits hasan. Istilah ini
dimunculkan oleh al-Tirmidzî, sebelumnya ulamâ’ hanya
membagi Hadits kepada dua kategori yakni, Hadits shahîh dan
dla`îf.21 Karena kitab al-Tirmidzî banyak memuat Hadits hasan,
maka kitab ini populer pula dengan sebutan kitab Hadits hasan.
3. Kitab Musnad
Didalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama
perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang
berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan bani hasyim dari
yang lainnya, ada yang bedasarkan nama sahabat menuut urutan
waktu mmeluk islam, dan ada yang mnurit irutan lainnya. Pada
umumnya didalam kitab jenis ini tidak dijelaskan hadis-hadisnya.
Contoh kitab musnad adalah : musnad Ahmad Ibn Hambal,
musnad Abu al-Qasim al-Baghawi, dan musnad Usman ibn Abi
Syaibah. Bentuk klasifikasi kitab ini pada abad ketiga hijriyah.60
Orang pertama yang menyusun Hadits dengan konsep ini adalah
Abû Dawûd Sulaymân ibn al-Jarrad al-Tayyalasi (133-204 H).

60
Ibid.,hlm. 68.

41
Kitab sejenis yang dianggap paling luas dan memadai
adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, yang disusun oleh Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal bin Hilâl (164-241 H). Kitab ini berisi
40.000 Hadits, diulang-ulang sekitar 10.000. Putranya yang
bernama Abdullâh menambahkan sekitar 10.000 Hadits, demikian
pula rawî yang meriwayatkan dari Abdullâh, yaitu Ja`far al-Qathi`i,
memberikan beberapa tambahan di dalamnya. Seperti diketahui,
bahwa Ahmad ibn Hanbal telah terlebih dahulu meninggal dunia
sebelum memperbaikinya.Oleh karena itu, yang berperan dalam
mengurutkan kitab Musnad itu adalah anaknya,
Abdullâh.Sedangkan yang mengurutkan Musnad berdasarkan huruf
hija`iyah adalah Abû Bakr Muhammad ibn Abdillâh al-
Muqaddasi.61 Karena sistematika yang dipakai adalah Musnad,
maka pencarian Hadits dalam kitab ini harus berdasarkan nama
sahabat yang meriwayatkan, dimulai dari Musnad Abû Bakr dan
diakhiri dengan Musnad Fâthimah bint Abî Jaysy.62
Kitab-kitab jenis ini, selain karya Ahmad bin Hanbal adalah
Musnad Abû Hanîfah, Musnad Ishaq bin Rahawiyah, Musnad
alBazzar, Musnad al-Humaydi, dan lain sebagainya.
4. Kitab mu’jam
Mu‘jam artinya didalam kitab ini menghimpun hadis-hadis
yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad. Kitab
Mu‘jam yang terkenal dengan menggunakan metode ini ialah kitab
yang ditulis oleh Sulaiman bin Ahmad al-Tabraniy (w. 360 H)
yang terbagi pada tiga Mu‘jam, yaitu al-Mu‘jam al-Kabir,
alMu‘jam al-Awsat dan al-Mu‘jam al-Asgar. Bentuk klasifikasi
kitab ini pada abad keempat hijriyah sampai abad keenam
hijriyah.63

61
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 57
62
Ibid.,hlm. 57-58
63
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,(Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 60.

42
Mu’jam disusun mengikut tertib huruf ejaan, atau mengikut
susunan nama guru-guru mereka. Nama guru-guru mereka juga
disusun mengikut ejaan nama atau laqob mereka.Mu’jam juga
hanya mengumpulkan Hadis-hadis nabi s.a.w tanpa melihat
kwalitas Hadis-hadisnya. Contoh kitab-
kitab mu’jam ialah Mu’jam Tabrani, Mu’jam kabir, Mu’jam as-
Sayuti, dan Mu’jam as-Saghrir, Mu’jam Abi Bakr, ibn Mubarak,
dan sebagainya. Kitab rijal yang mengumpulkan
orang-orang yang tersebut dalam meriwayatkan Hadis-hadis nabi
s.a.w. mengikiut ejaan bersama dengan kuniyyahnya.Ini semua
adalah untuk memastikan kesahihan sesebuah Hadis.64

64
Jalaluddin Rakhmat, Pemahaman Hadis: Perpektif Historis, Bandung, Jurnal Al-Hikmah No.17,
Vol VII, 1996.

43
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang
berarti codification,yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara
istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadist Nabi
secara resmi berdasar perintah khalifah dengan melibatkan beberapa
personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara
perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Metode dalam tadwin dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
metode juz', athraf, muwaththa', mushannaf, sunan, musnad, jami',
mu'jam, mustakhraj, mustadrak, majami', dan zawaid.
Sumber-sumber kodifikasi hadis terdiri dai beberapa masa, antara
lain :

1. Hadits masa Nabi saw, pada masa ini hadits diriwayatkan melalui
mulut ke mulut karena mereka lebih mengutamakan kekuatan
hafalannya. Tetapi, sebagian juga ada yang menuliskan dalam
catatan kecil secara individual dengan tujuan untuk menguatkan
hafalannya.
2. Hadits pada masa tabi'i, pada masa ini para tabi'in
mengumpulkan hadits nabi melalui pertemuan-pertemuan (At-
Talaqqi) dengan para sahabat kemudian dicatat.
3. Hadits pada masa Az-Zuhri, pada masa ini Az-Zuhri
diperintahkan oleh khalifah dari Bani Umayyah yaitu Umar Bin
Abdul Aziz untuk menulis hadits-hadits nabi dan dibukukan.
Umar Bin Abdul Aziz membukukan hadits karena didasari
beberapa fakto, salah satunya yaitu takut akan hilang dan
lenyapnya hadits nabi dari para penghafal yang meninggal.

44
4. Hadits pada masa pasca Az-Zuhri, pada masa ini mulai dilakukan
pemisahan antara hadits nabi dan fatwa para sahabat karena
sebelumnya belum dipisahkan. Selanjutnya juga dipisahkan
antara hadits shahih, hadits maudhu, dan hadits dhaif yang
kemudian dibukukan.
5. Timbulnya dugaan hadits pada abad 2 hijriah, karena adanya
kitab Muwattha’ yang ditulis oleh Imam Malik pada pertengahan
abad kedua. Karena kitab tertua yang sampai kepada kita itu
produk abad ke-2.
Polemik-polemik dalam kodifikasi hadits, yaitu munculnya hadits
tentang larangan menulis hadits contohnya hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Said Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid Bin
Tsabit. Sedangkan munculnya hadits yang memperbolehkan
menulis hadits diriwayatkan oleh Rafi', Anas Ibn Malik, Wahid
ibn Muslim dari Al-Auza’ii dari Yahya ibn Abi Katsir dari Abi
Salamah ibn ‘Abd al-Rahan dari Abu Hurairah, dan 'Abd Allah
Ibn 'Amr.
Dan maksud sebenarnya yang terkandung di dalam larangan
menulis hadits adalah bahwa tidak ada yang boleh ditulis
bersama-sama dengan al-Quran pada lembaran kertas yang sama,
karena hal yang demikian dapat menyebabkan seorang yang
membacanya menganggap kalimat-kalimat yang dituliskan di
margin atau di antara baris ayat-ayat al-Quran tersebut adalah
sebagai bagian dari ayat al-Quran.
Klasifikasi kitab hadits, antara lain :
1. Kitab Shahih, bentuk penyusunannya adalah bentuk
mushannaf, yaitu penyajian berdasarkan bab-bab masalah
tertentu sebagaimana metode kitab-kitab fiqih, aqidah,
akhlak, sejarah, dan tafsir.
2. Kitab Sunan, bentuk penyusunannya berbentuk mushannaf
dan hadis-hadisnya terbatass pada masalah fiqih (hukum).

45
3. Kitab Musnad , hadis yang disusun berdasarkan nama perawi
pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan
urutan kabilah, seperti mendahulukan bani hasyim dari yang
lainnya, ada yang bedasarkan nama sahabat menuut urutan
waktu mmeluk islam, dan ada yang mnurit irutan lainnya.
Pada umumnya didalam kitab jenis ini tidak dijelaskan hadis-
hadisnya.
4. Kitab Mu'jam, hadits yang disusun mengikut tertib huruf
ejaan, atau mengikut susunan nama guru-guru mereka. Nama
guru-guru mereka juga disusun mengikut ejaan nama atau
laqob mereka.Mu’jam juga hanya mengumpulkan Hadis-
hadis nabi s.a.w tanpa melihat kwalitas Hadis-hadisnya.

B. SARAN
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menguraikan
dan membukukan setiap materi tentang makalah diatas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertangung
jawakan. Oleh karena itu penulis memohon kritik dan sarannya
sebagai bahan evaluasi dan koreksi untuk lebih kedepan.

46
DAFTAR PUSTAKA

al-Kattani. (1963). Risalah al-Mustathfarah. Damaskus : Nasyr Dar al-Fikr.

Idri. (2010). Studi Hadis. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.

Irham, M. (2013). Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi Dari Tinjauan Sejarah.


Addin , 273.

Khon, A. M. (2010). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Ma'arif, M. (2012). Sejarah Hadis. Jakarta: Nur al-Huda.

Mudasir. (1999). Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Nur, S. (2011). Ulumul Hadis. Bandung: Tafakur Kelompok Humaniora.

Rahmat, J. (1996). Pemahaman Hadis. Perspektif Hadis .

Ranuwijaya, U. (2001). Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Saufan Hadana, E. (2016). Pengumpulan dan Kodifikasi Hadits. Banda Aceh: PPs
UIN Ar-Raniry.

Yudi Mardana, F. (2014). Kodifikasi Hadits. Malang: UIN Maulana Malik


Ibrahim.

Yuslem, N. (1998). Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.

Yusran. (2017). Kodifikasi Hadis Sejak Masa Awal Islam Hingga Terbitnya Kitab
Al-Muwattha’. Tahdis , 172.

47

Anda mungkin juga menyukai