Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH KODIFIKASI HADITS DAN ILMU HADITS

Mata Kuliah Studi Al Hadits

Dosen Pengampu : Muhammad Ali Jum’ah Rahmatullah, M.Pd

OLEH KELOMPOK 1

1. Rahmat Yasin
2. Rizki Zainudin Atsani
3. Santriwati
4. Wirangga

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-Nya
Kami bisa menyelesaikan tugas makalah mata kuliah yang berjudul : Sejarah Kodifikasi
Hadits dan Ilmu Hadits . Sholawat beserta salam tak lupa kita haturkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam kejahilan menuju alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan, dakwah dan ajaranya yang sangat mulia

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing kami
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu Kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua terkhususnya
bagi kami.

Amin ya robbal alamin.....


DAFTAR ISI
BAB I....................................................................................................................................................1
Pendahuluan..........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................................2
D. Manfaat......................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
Pembahasan...........................................................................................................................................3
A. Definisi Kodifikasi Hadis..........................................................................................................3
B. Sejarah kodifikasi Hadits...........................................................................................................3
1. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriah...........................................................................................4
2. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah..........................................................................................5
3. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah...................................................................................5
4. Kodifikasi Hadis Abad Ketujuh Sampai Sekarang.................................................................7
C. Faktor-faktor Pendorong Kodifikasi Hadis................................................................................8
D. Penentu Kebijakan Kodifikasi dan Ulama yang terlibat di dalamnya........................................9
1. ‘Umar ibn Abd Al-‘Aziz dan Kebijakannya..........................................................................9
2. Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm dan Kiprahnya.........................................................10
3. Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri dan Aktivitas kodifikasinya.............................................11
E. Metodologis Kodifikasi Hadis.................................................................................................12
BAB III................................................................................................................................................14
Kesimpulan..........................................................................................................................................14
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Hadis merupakan salah satu pedeman umat islam dalam menjalankan agama Islam
disamping Al-Qur’an. Maka dari itu, menjaga kemurnian hadis agar tetap menjadi sumber
ajaran Islam yang mampu membawa pada kemaslahatan menjadi tanggung jawab umat Islam,
terutama dari kalangan intelektual Islam. Salah satu persoalan dalam studi hadis yang
senantiasa menjadi perdebatan adalah masalah kodifikasi hadis. Masalah ini selalu menjadi
perdebatan yang cukup hangat dan menyita banyak energi di kalangan para sarjana
keislaman, khususnya bagi mereka yang menaruh minat yang sangat tinggi pada bidang
kelimuan hadis. Masalah kodifikasi apabila ditinjau dari sejarahnya cukup memiliki berbagai
macam persoalan didalamnya, mulai dari munculnya kepentingan aliran, wafatnya para
penghafal hadis, hingga banyaknya hadis yang tercampur dengan pendapat para sahabat serta
tabi’in, serta hal yang tak kalah pentingnya dibicarakan adalah kerangka metodologis
kodifikasi (tadwin) hadis itu sendiri. Kajian seputar metodologis dalam kodifikasi tersebut
tentunya akan mengungkap data penting tentang bagaimana proses historis tadwin hadis
dibangun di atas landasan dan dasar-dasar metodologis yang kokoh. Berbagai macam
persoalan kodifikasi tersebut tentunya perlu diluruskan untuk kepentingan kemaslahatan
berama, khususnya umat islam.

B. Rumusan Masalah
Sebagaimama paparan diatas, maka disini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah
yang akan dijawab, antara lain:

• Bagaimanakah sejarah kodifikasi hadis serta dinamika yang ada didalamnya?


• Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong dilakukannya kodifikasi hadis?
• Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang memiliki peranan cukup penting dalam
proses kodifikasi hadis?
• Bagaimanakah metodologis yang dikembangkan oleh ulama hadis dalam proses
kodifikasi hadis?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:

• Mendeskripsikan sejarah kodifikasi hadist serta dinamika-dinamika yang ada


didalamnya
• Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dilakukannya kodifikasi hadis di
masa lampau
• Mengetahui kebijakan-kebijakan apa sajakah yang memiliki peranan cukup penting
dalam proses kodifikasi hadis
• Mengetahui metodologis yang dikembangkan oleh ulama hadis dalam proses
kodifikasi hadis.

D. Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan sebagaimana dijelaskan diatas, maka manfaat dari
penulisan makalah ini antara lain:

• Sebagai bekal untuk lebih mengamalkan ajaran agama islam, dimana hadis sebagai
salah satu pijakannya.
• • Sebagai sedikit sumbangsih utuk pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu hadis.
• • Sebagai wawasan dan pengetahuan untuk masyarakat, khususnya
bagi yang memiliki minat terhadap ilmu hadis.
BAB II

Pembahasan
A. Definisi Kodifikasi Hadis
Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification, yaitu
mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan
hadis Nabi secara resmi berdasar perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel
yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perorangan ataupun untuk
kepentingan pribadi.

Kodifikasi hadis yang dimaksudkan disini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan
hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz
(99-101 H/ 717-720 M), khalifah kedelepan Bani Umayah, yang kemudian kebijakannya itu
ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga pada masa-masa berikutnya hadis-
hadis terbukukan dalam kitab-kitab hadis.

Namun al-tadwin juga dapat didefiniskan luas yang diartikan dengan al-jam’u
(mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai upaya mengikat yang
berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri
dari lembaran-lembaran.

B. Sejarah kodifikasi Hadits


Pada abad pertama hijriah, mulai dari masa Rasul, masa khulafa Rasyidin, dan sebagian
besar Zaman Muawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijriah , hadis- hadis itu berpindah
dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan
hafalannya.4

Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis,
bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan
al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka
yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab
secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara
sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis
menulis pada saat itu masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada
umumnya masyarakat masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka. Pada
masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama
pada masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara
langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas pada
ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa Rasulullah, tapi kemudian
diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul.
Perkembangan Islam yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat
perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah Rasulullah
serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai hal yang terkait dengan
kehidupan manusia. Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan,
kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhatihati dalam menerima
hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin
kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan. Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia,
barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembela Ali
(Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku,
Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah
khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah
Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak
memalsukan hadis. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah
memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang isinya sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi
Thalib dan kecaman terhadap dua Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Kodifikasi Hadis secara resmi terjadi pada khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, salah seorang
khalifah Bani Umayah. Proses kodifikasi hadis yang baru dilakukan pada masa ini dimulai
dengan khalifah mengirim surat ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir
tahun 100 H yang berisi perintah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah segera
dihimpun, ‘Umar yang didampingi Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/
742 M), seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, menggalang agar para ulama hadis
mengumpulkan hadis di masing-masing daerah mereka. al-Zuhri berhasil menghimpun hadis
dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah
ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya. ‘Umar juga memerintah
Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis yang
terdapat pada Amrah binti ‘Abd al-Rahman (murid kepercayaan ‘Asiyah) dan Qosim ibn
Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq.

1. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriah


Pada abad kedua, para ulama dalam aktivitas kodifikasi hadis, tidak melakukan penyaringan
dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in
juga dimasukkan ke dalam kitab-kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadis pada abad
kedua ini disamping memasukkan hadis-hadis Nabi juga perkataan para sahabat dan para
tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-hadis marfu, hadis-
hadis mawquf, dan hadis-hadis maqthu.

Pada abad kedua ini ulama yang berhasil menyusun kitab tadwin dan sampai pada kita adalah
Malik ibn Anas (93 – 179) yang menyusun kitab al-Muwaththa’. Kitab ini disusun sejak
tahun 143 H. Pada masa khalifah al-Manshur, salah seorang khalifah Bani ‘Abbasiyah. Kitab
ini tidak hanya memuat hadis Rasul saja, tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan tidak
sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktik ulama dan masyarakat Madinah.
Imam al-Syafi’i, muridnya memberikan pujian terhadap karya Imam Malik ini dengan
sebutan: kitab paling sahih setelah al-Qur’an adalah Muwaththa’ Malik.

Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, diantara kitab-kitab abad kedua ini yang mendapat perhatian
umum ulama adalah al-muwaththa’ karya Imam Malik, al- Musnad, Muskhtalif al-Hadis
susunan Imam al-Syafi’ie, dan al-Maghazie wa al- Siyar yang terkenal dengan al-Sirah al-
Nabawiyyah karya Muhammad ibn Ishaq. Kitab-kitab tersebut banyak menjadi perhatian dan
rujukan dalam kajian-kajian hadis dan sirah. Meskipun pada abad kedua hadis tidak
dipisahkan dari fatwa sahabat dan pendapat tabi’in, pada abad ini sudah ada pemisahan antara
hadis-hadis umum dengan hadis-hadis tafsir, sirah dan maghazi.

Disamping itu, pada abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadis yang
telah ada semenjak masa khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib dan menyebabkan sebagian ulama pada
abad ini tergugah untuk mempelajari keadaan para periwayat hadis, disamping pada waktu itu
memang banyak periwayat yang lemah, meskipun tidak berarti pada abad pertama tidaka da
perhatian sama sekali terhadap keberadaan para periwayat hadis. Pada abad kedua, kegiatan
telaah terhadap ahwal al-ruwah (keberadaan para periawayat hadis) semakin diintensifkan,
meskipun saat itu belum terbentuk ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam bentuk disiplin ilmu yang
mandiri.

2. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah


Pada abad ketiga Hijriah merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda
Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani
‘Abbasyiyah, yakni masa al-Ma’mun sampai al-muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Periode
penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bisa dipisahkan antara hadis marfu’,
mawquf, dan maqthu, hadis yang dha’if dari yang sahih ataupun hadis yang mawdhu’ masih
tercampur dengan yang sahih. Pada saat itu pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat
untuk menentukan apakah suatu hadis itu sahih atau dha’if. Para periwayat pun tidak luput
dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan dan lain sebagainya.
Materi kodifikasi yang dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadis Nabi, pendapat
sahabat dan tabi’in, meskipun hadis-hadis yang dihimpun tidak diterangkan antara yang
sahih, hasan, dan dhaif. Para ulama mengkodifikasikan hadis-hadis dalam kitab-kitab mereka
dalam keadaan masih tercampur antara ketiga macam hadis tersebut. Mereka hanya menulis
dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab
hadis hasil karya mereka disebut dengan istilah musnad.

3. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah


Jika pada abad pertama, kedua dan ketiga, Hadis berturut-turut mengalami masa
periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan
tabi’in, dan hadis yang telah didewankan oleh ulama Mutaqqadimin (ulama abad kesatu
sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh
ulama Muta-akhkhirin (ulama abad keempat dan seterusnya). Mereka berlomba-lomba untuk
menghafal sebanyak-banyaknya hadis-hadis yang telah terdewan itu, hingga tidak mustahil
sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadis. Sejak periode inilah timbul
bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-
Hafidh, dan lain sebagainya.

Pada abad keempat merupakan abad pemisah antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam
menyusun kitab hadis mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in penghafadh
hadis dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama Muthakkhirin yang dalam usahanya
menyusun kitab-kitab hadis, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh
Mutaqaddimin. Hadis-hadis yang dikumpulkan oleh ulama hadis pada abad keempat dan
seterusnya kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab karya ulama mutaqaddimun,
sedikit sekali yang mengumpulkan hadis dari usaha mencari sendiri kepada para
penghafalnya. Dengan kata lain, kebanyakan mereka meriwayatkan hadis dengan berpegang
pada kitab-kitab yang sudah ada. Periwayatan hadis langsung dari para periawayat
sebagaimana abad pertama sampai ketifa hijriah jarang dilakukan para ulama hadis,
disamping karena hampir semua hadis sudah ditulis dalam beberapa kitab yang sudah ada
juga tradisi periwayatan mulai berkurang.

Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il alamshar (penyampaian
hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat kecil dan tabiin yang menjadi pengajar
agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita
yang berkait dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru
sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah
Umayyah.

Pembukuan hadis pada periode ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen-
tadwin-an terhadap kitab-kitab hadis yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari
kemunculan al-Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad
ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk
jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadis untuk topik-topik
tertentu.

Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadis pada abad-abad ini meliputi beberapa hal
berikut:

1) Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab


sebagaimana dilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal dengan sebutan
Ibn al- Furrat (w. 414 H) dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Jawzaqa dengan
kitabnya al- Jami’ bayn al-Shahihayn.
2) Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab,
sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd al-Rahman al-Syibli yang
dikenal dengan ibn al-Khurrath dengan kitabnya al-Jami’.
3) Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab ke dalam satu kitab,
sebagaimana dilakukan oleh al-Imam.
4) Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab hadis, sebagaimana
dilakukan oleh Ibn Taymiyah dengan kitabnya Muntaqa al-Akhbar yang
kemudian disyarah oleh al-Syawkani dengan kitabnya Nayl al-Awthar.
5) Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadis yang terdapat dalam kitab
Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim sebagai petunjuk kepada materi hadis
secara keseluruhan, seperti Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H) yang menyusun
kitab Athraf al-Shahihayn, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam
sebagaimana dilakukan oleh Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi (w. 507 H)
dengan kitabnya Athraf al-kutub al-Sittah, dan hadis-hadis dalam kitab sunan
yang empat seperti dilakukan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H) dengan
karyanya Athraf al-Sunan al-Arba’ah yang diberi judul al-Isyraf ‘ala Ma’rifah
al-Athraf.
6) Men-takhrij dari kitab-kitab hadis tertentu, kemudian meriwayatkan dengan
sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab tersebut,
sebagaimana yang dilakukan oleh al-hafizh Abu ‘Awanah (w. 316) dengan
kitabnya Mustakhraj Shahih Muslim dan oleh al-Hafizh ibn Mardawayh (w.
416) dengan kitabnya Mustakhraj Shahih al-Bukhari.

4. Kodifikasi Hadis Abad Ketujuh Sampai Sekarang


Kodifikasi hadis yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi
kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab
jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis- hadis hukum, men-takhrij hadis-
hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrij hadis-hadis yang terkenal di
masyarakat, menyusun kitab takhraf, mengumpulkan hadis-hadis disertai dengan
menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadis-hadis dalam Shahih al-bukhari dan Shahih
Muslim, men- tashhih sejumlah hadis yang belum di-tashhih oleh ulama sebelumnya,
mengumpulkan hadis-hadis tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadis dalam jumlah
tertentu.

Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika muncul kitab-kitab
hadis yang model penyusunannya hampir sama seperti penyusunan kitab-kitab jami’, kitab-
kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan dan pembukuan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam
kitab hadis sebelumnya dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah kitab zawaid.
C. Faktor-faktor Pendorong Kodifikasi Hadis
Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat diklasifikasi menjadi
dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa: Pertama, pentingnya
menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, karena hadis di samping sebagai sumber agama
Islam yang kedua setelah al-Qur’an, juga merupakan panduan bagi umat Islam dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Hadis Nabi sangat berarti dalam rangka untuk
memberikan petunjuk bagi umat Islam untuk keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia
dan akherat. Kedua, semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang
sangat berharga karena Nabi memang pernah bersabda bahwa beliau meinggalkan dua hal
yang jika umat Islam berpegang pada keduanya mereka tidak akan tersesat selamanya, yaitu
al-Qur’an dan hadis Nabi (HR. al-Hakim al-Naysaburi). Ketiga, semangat kelimuan yang
tertanam di kalangan umat Islam saat itu termasuk di dalamnya aktivitas tulis-menulis dan
periawayatan hadis. Keempat, adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu.
Kelima, para penghafal dan periawayat hadis semakin berkurang karena meninggal dunia
baik disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya. Keenam, rasa bangga dan puas
ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian meriwayatkannya.

Faktor penyebab dilakukannya kodifikasi yang bersifat eksternal antara lain adalah:
Pertama, penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga
banyak periawayat hadis yang tersebar ke berbagai daerah. Dengan tersebarnya para sahabat
di berbagai daerah, hadis-hadis dikhawatirkan lama- kelamaan hilang bersamaan dengan
meninggalnya para penghafal hadis di berbagai daerah itu. Kedua, kemunculan dan
meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan antara lain oleh perbedaan politik dan aliran.
Kemunculan hadis-hadis palsu dapat mengancam keberadaan hadis-hadis Nabi. Hadis
mawdhu’ dapat pula memalingkan umat islam dari jalan yang lurus dan membawa pada
kesesatan. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, para pembuat hadis palsu telah melakukan
kejahatan terhadap agama, dengan kedutaan, mereka mencoreng harkat dan martabat islam.
Ini terutama terlihat pada ulah kaum Zindik yang sengaja membuat hadis palsu dengan
motivasi merusak Islam dari dalam Semenjak wafatnya Rasulullah SAW, memang terjadi
beberapa kelompok politik: Muhajir, Anshar, dan pengikut Ali (sebagian besar dari Bani
Hasyim). Masing-masing kelompok mengutip hadis Nabi SAW untuk membenarkan
kepemimpinan mereka. Pada waktu itu lah muncul hadis-hadis fadha-il (keutamaan-
keutamaan sahabat tertentu). Hadis-hadis itu sebagian (besar) memang berasal dari
Rasulullah SAW. Terpecahnya umat Islam kepada golongan-golongan tersebut, membawa
masing-masing mereka, didorong oleh keperluan dan kepentingan golongan, untuk
mendatangkan keterangan- keterangan yang diperlukan golongan. Maka bertindaklah mereka
membuat hadis- hadis “palsu” dan menyebarkannya ke dalam masyarakat. Mulai saat itu
terdapatlah di antara riwayat-riwayat yang shahih, riwayat-riwayat yang palsu. Dan kian
bertambah banyaknya dan beraneka rupa. Mula-mula mereka memalsukan hadis mengenai
pribadipribadi orang yang mereka agung-agungkan. Dan yang mula- mula melakukan
pekerjaan sesat ini ialah: golongan Syi’ah sebagai yang diakui sendiri oleh Ibn Abil Hadid,
seorang ulama Syi’ah dalam kitabnya Nahyu’l – Balaghah, dia menulis: “ketahuilah bahwa
asal-asalnya timbul hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan
Syi’ah sendiri”. Sejak masa-masa yang lama sekali, umat islam telah memelihara
peninggalan Nabi Muhammad SAW, menjaganya dari segala persangkaan negatif dan
menganggap kebohongan yang dilakukan oleh siapa saja berkaitan dengan beliau sebagai
jalan menuju azab kekal di neraka. Hal tersebut mengingat bahwa yang demikian itu adalah
bagian dari pemalsuan terhadap agama serta pendustaan keji terhadap Allah dan Rasulnya.
Sabda Nabi SAW: “Kebohongan yang dilakukan berkaitan dengan aku (yakni tentang ucapan
dan perbuatan beliau) tidaklah sama dengan kebohongan yang berkaitan dengan siapa pun
selain aku. Barangsiapa berbohong tentang aku secara sengaja, hendaknya ia bersiap-siap
menduduki tempatnya di neraka.”

D. Penentu Kebijakan Kodifikasi dan Ulama yang terlibat di dalamnya.

1. ‘Umar ibn Abd Al-‘Aziz dan Kebijakannya

‘Umar ibn Abd Al-‘Aziz adalah seorang khalifah Bani Umayah yang ke delapan. Karena
kearifan, keadilan, kewaraan dan keluhuran budinya, menurut Manna’ al-Qaththan, oleh para
sejarawan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz dimasukkan dalam jajaran al-Khulafa’ al-Rasyidun. Ada
pula yang menyebutnya ‘Umar al- Tsani dengan maksud ‘Umar ibn al-Khathab yang kedua
disamping karena sama- sama gigih dalam mempertahankan kebenaran, juga ia keturunan
‘Umar ibn al- Khaththab melalui jalur ibunya Umm ‘Ashim binti ‘Ashim. ‘Ashim ini salah
seorang anak dari ‘Umar ibn al-Khathab. Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-
hadis Rasulullah. Dia sering hadir di majelis Abu Hurairah dan para sahabat lain. Kemudian,
ia juga dikenal sebagai khalifah yang sangat adil, utamanya dalam bidang hukum, hal
tersebut terlihat dalam ungkapannya: “Apabila seorang hakim memiliki lima sifat, maka
sempurnalah dia, yaitu; mengetahui kejadian terdahulu, tidak mata duitan, tidak menaruh
dendam, berteladan dengan imam yang adil dan berteman dengan ahli ilmu dan ahli pikir”.

Peranannnya dalam sejarah perkembangan hadis, disamping terkenal sebagai khalifah


pelopor yang memberikan instruksi untuk membukukan hadis, secara pribadi ia juga
merupakan aset dan mengambil bagian dalam kegiatan ini. Menurut beberapa riwayat, ‘Umar
ibn ‘Abd al-‘Aziz turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis yang sedang dihimpun, di samping
ia sendiri memiliki beberapa tulisan tentang hadis-hadis yang diterimanya.

Untuk keperluan tadwin tersebut, Sebagai Khalifah, ‘Umar memberikan instruksi kepada
Abu Bakar ibn Muhammad Ibn Hazm, seorang gubernur Madinah, agar mengumpulkan dan
menghimpun hadis-hadis yang ada pada Amrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshari dan al-
Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Instruksi untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasikan hadis juga disampaikan kepada Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, seorang
ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Al-Zuhri menggalang agar para ulama hadis untuk
mengumpulkan hadis di masing- masing daerah mereka, dan ia berhasil menghimpun hadis
dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah
ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya. Meskipun hasil tadwin-
nya tidak sampai ke tangan kita, sebagai perintis formal dalam proses tadwin hadis, al- Zuhri
mempunyai jasa yang sangat besar dalam upaya penyelamatan hadis dari kemungkinan
hilang, salah, atau bahkan pemalsuan. Di samping kepada kedua ulama tersebut, ‘Umar juga
memberikan instruksi kepada para penguasa dan ulama- ulama yang lain di berbagai wilayah
negeri Islam saat itu.

Dalam versi yang lain, memang dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Umar bin
Abdul al-Aziz pernah mengeluarkan surat perintah secara resmi yang ditujukan kepada
seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah agar seluruh hadis yang tersebar di masing-
masing daerah segera dihimpun. Surat itu antara lain dikirim kepada gubernur Madinah, Ibn
Hazm Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr (w. 117 H). Isi dari surat itu adalah: (1) khalifah
merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis karena kepergian para ulama; dan (2)
khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman segera
dihimpun. Namun sayangnya, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah
telah meninggal dunia. Kemudian, penggantinya, Yazid II (Yazid bin Abdul Malik)
membebastugaskan Ibn Hazm sebagai gubernur Medinah, sehingga dia menghentikan
tugasnya, berikut orang-orang yang membantunya dalam penulisan hadis juga turut berhenti.
Penulisan hadis baru dimulai lagi secara aktif ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi
khalifah, dan itu diteruskan oleh Al-Zuhri. Sebenarnya Ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H),
seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, juga mendapatkan surat serupa dari Umar bin
Abdul Aziz. Al-Zuhri berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis sebelum khalifah
Umar II meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri ini bagian-bagiannya segera dikirim
ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya. Berdasarkan inilah para
ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri orang pertama yang
mengkodifikasikan hadis pada awal tahun 100 H dibawah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Maksudnya disini adalah orang yang paling awal menghimpun hadis dalam bentuk formal
atas instruksi dari seorang Khalifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya
penghimpunan telah dimulai sejak masa Rasulullah di kalangan para sahabat dan tabi’in,
namun belum menyeluruh, dan bukan berdasarkan instruksi seorang Khalifah.

2. Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm dan Kiprahnya


Dalam sejarah perkembangan hadis, Abu Bakar ibn Hazm yang pada saat itu sebagai
gubernur Madinah, mendapat instruksi dari khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al- Aziz untuk menulis
dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Instruksi tersebut dapat dilihat pada surat yang
dikirmkan oleh ‘Umar kepadanya, yang berbunyi:

“Perhatikanlah hadis-hadis Rasulullah lalu tulislah, karena sesungguhnya aku khawatir akan
lenyapnya ilmu (hadis) dengan meninggalnya para ulama. Dan janganlah diterima kecuacil
hadis Rasulullah. Hendaklah kalian tebarkan ilmu dan adakan majelis-majelis supaya orang-
orang yang tadinya tidak berilmu menjadi berilmu. Karena sesungguhnya ilmu itu tidak akan
lenyap hingga dijadikan sebagai barang yang rahasia.”

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Abu Bakar ibn Hazm mendapat instruksi dari khalifah
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz agar mengumpulkan dan menghimpun hadis- hadis yanga ada pada
Amrah binti “Abd al-rahman al-Anshari dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar.
Karena hanya menghimpun sebagian hadis yang ada pada kedua orang diatas, maka kitab
hadis yang disusun ole Abu Bakar Ibn Hazm kurang lengkap dalam menghimpun hadis-hadis
nabi, terutama hadis-hadis yang ada di Madinah.

3. Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri dan Aktivitas kodifikasinya


Menurut penilaian ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, Ayyub, dan al-Layts, tidak ada ulama yang
lebih tinggi kemampuannya khususnya di bidang hadis daripada Muhammad ibn Syihab al-
Zuhri. Karena kemampuannya di bidang ilmu agama, ia mendapat beberapa gelar, yaitu al-
faqih, al-hafizh al-Madani, ‘alim al-Hijaz wa al- Syam, dan salah seorang dari pemimpin
dunia.

Dalam sejarah perkembangan hadis, sebagaimana Abu Bakar Ibn Hazm, al- Zuhri mendapat
kepercayaan dari khalifah untuk mengumpulkan dan membukukan hadis-hadis Nabi. Hasil
karyanya oleh para ulama dinilai lebih lengkap dibanding karya Abu Bakar ibn hazm. Hasil
karya keduanya sama-sama hilang sehingga tidak sampai kepada kita.24

Al-Zuhri pernah mengatakan, “Kami diperintahkan Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun
hadis. Kami pun menuliskannya pada daftar demi daftar, lalu dikirim ke seluruh wilayah
kekuasaan Islam masing-masing satu daftar.” Kata daftar di sini berarti kumpulan besar
hadis. pada dasarnya naskah hadis yang telah ditulis oleh Al-Zuhri jumlahnya bukan hanya
satu, tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah: (a) Juz’ yang disampaikan secara
munawalahkepada Ibn Juraij; (b) Shahifah yang diberikan kepada ‘Abd al Rahman ibn ‘Amr
al-Auza’i; (c) Nuskhah yang disimpan oleh ‘Abd alRahman ibn Namirah al-Yahsubiy; (d)
Kitab besar yang disimpan oleh ‘Abd al-Rahman ibn Yazid; (e) Shahifah berisi sekitar tiga
ratus hadis yang ditulis oleh Hasyim ibn Basyir dari Al-Zuhri; (f) Shahifah yang dimiliki oleh
Sulaiman ibn Katsir; (g) Shahifah yang diserahkan kepada ‘Ubaidullah ibn ‘Amr untuk
disalin dan diriwayatkan; (h) Nuskhah yang dimiliki oleh Zakariya ibn ‘Isa; (i) Shahifah
berisi sekitar tiga ratus hadis yang khusus untuk Al-Zuhri sendiri; dan (j) Kitab yang
disimpan oleh Ibrahim ibn al-Walid
E. Metodologis Kodifikasi Hadis
Kegiatan kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis sebagai bagian dari proses sejarah tentu
tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor tertentu yang bukan hanya diungkap fakta-fakta
historis secara vertikal dan kronologis-diakronis, tetapi juga dilihat secara horizontal faktor-
faktor ideologis politis yang mempengaruhi proses perjalanan tadwin hadis. Sejumlah sarjana
berasumsi bahwa faktor aliran menjadi penyebab utama munculnya perbedaan sejarah tadwin
hadis. Namun, yang jelas hal itu tidak selalu menggiring kepada perbedaan dalam proses
penyusunan karya- karya kompilasi hadis di antara golongan-golongan Islam. Pasalnya, ada
aliran tertentu dalam Islam, seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dan Muktazilah, tidak
mempunyai karya kompilasi hadis tersendiri, meskipun golongan Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah, Syi’ah, dan Khawarij, dilaporkan memiliki karya kompilasi hadis. Hasil
penelusuran di sini menjelaskan bahwa faktor ideologis dan politis justru merupakan
penyebab utama bagi munculnya perbedaan sejarah tadwin hadis. Lebih lanjut, karena faktor
ideologis dan politis pula terjadi pendiaman timbal balik oleh ulama Sunni dan Syi’ah
menyangkut proses tadwin hadis. Sejauh ini, penulisan sejarah tadwîn hadis yang dilakukan
oleh ulama Sunni cenderung mendiamkan apa yang telah ditulis oleh ulama Syi’ah.
Sebaliknya, historiografi tentang tadwîn hadis di kalangan Syi’ah juga melakukan hal serupa
dengan mendiamkan apa yang telah dihasilkan oleh ulama Sunni. Berbeda dengan dua
kecenderungan tersebut, berusaha merekonstruksi secara menyeluruh proses historis tadwîn
hadis di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan Syi’ah.

Selama proses kodifikasi (tadwin) hadis, para ulama hadis juga berusaha merumuskan
perangkat metodologis yang penting artinya bagi kegiatan tadwin hadis. Semula perangkat
metodologis itu masih dalam bentuk yang sederhana dan kemudian mengalami
perkembangan hingga mencapai wujud yang lebih matang. Ketika telah mencapai
kematangan metodologis, proses tadwin hadis umumnya melewati tiga langkah kegiatan yang
satu dengan lainnya berjalan secara beriringan, mulai langkah pengumpulan sumber (hadis),
kritik sumber (hadis), sampai penyusunan kitab hadis. Penelusuran terhadap kerangka
metodologis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis secara lintas aliran (inter-sektarian)
memperlihatkan bahwa selama proses tadwin hadis ulama Sunni ataupun Syi’ah pada
dasarnya telah menempuh ketiga langkah di atas. Namun, secara lebih spesifik terdapat
kesejalanan, di samping juga perbedaan antara keduanya. Menyangkut langkah pengumpulan
sumber (hadis), baik ulama hadis Sunni ataupun Syi’ah sama-sama berupaya mengumpulkan
hadis dari para nara sumber. Untuk tujuan itu mereka melakukan pengembaran ke berbagai
kota atau negeri yang lebih dikenal dengan “alrihlat fî thalab al-hadîts” (perjalanan ilmiah
mencari hadis). Hal itu sesungguhnya telah dilakukan oleh sebagian sahabat, kemudian
dilanjutkan oleh para tabiin, dan akhirnya menjadi fenomena yang sangat umum bagi para
ahli hadis pada abad II H dan III H, atau setelahnya. Meskipun terdapat perbedaan tertentu
menyangkut kriteria kesahihan hadis, pada dasarnya para ulama Sunni dan Syi’ah
menerapkan standar yang ketat dalam proses penyeleksian hadis. Hal itu secara jelas
tercermin dari rumusan kaidah yang mereka tawarkan. Ulama Sunni dan Syi’ah (Imamiyah)
telah sama-sama mengakui tiga unsur kaidah kesahihan hadis:(1) sanad bersambung; (2)
periwayat bersifat adil; dan (3) periwayat bersifat dabit. Dabit sendiri maksudnya tidak jelek
hafalannya, tidak banyak salahnya, tidak bertentangan dengan riwayat orang yang siqah
(terpercaya), tidak banyak salah sangka (wahm) dan tidak banyak lupa. Menurut ulama
Sunni, kriteria sanad bersambung, adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad bersambung dari
awal hingga akhir (muttashil) dan sampai kepada Nabi saw. (marfu‘). Kriteria bagi periwayat
yang adil adalah mencakup unsur-unsur: beragama Islam, bertakwa, balig, berakal, tidak
berbuat dosa besar, tidak berbuat fasik, tidak berbuat bidah, dan memelihara muruah. Jumhur
ulama Sunni juga telah menetapkan bahwa seluruh sahabat berpredikat adil. Kriteria bagi
periwayat yang dabit adalah kuat hafalan mengenai apa yang didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki. Sementara bagi ulama Syi’ah,
kriteria sanad bersambung adalah rangkaian periwayatnya bersambung dari awal hingga akhir
(muttashil) dan marfu‘. Hanya yang membedakan dengan ulama Sunni, pengertian marfu‘ di
sini adalah sampai kepada Nabi saw. dan dua belas imam maksum. Kriteria periwayat yang
adil adalah beragama Islam, bertakwa, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat fasik, dan
memelihara muruah. Mereka pun berpendirian bahwa tidak seluruh sahabat berpredikat adil.
Kriteria periwayat yang dabit adalah kuat hafalan, tidak pelupa dalam meriwayatkan hadis.
Di luar ketiga unsur kaidah di atas, ulama hadis Sunni mengajukan dua unsur lagi: (1)
terhindar dari syadz; dan (2) terhindar dari ‘illah. Sementara di sisi lain, sebagian ulama hadis
Syi’ah hanya mengajukan unsur terhindar dari syadz dan tidak menyebutkan unsur terhindar
dari ‘illah, bahkan sebagian ulama Syi’ah lainnya tidak menyebutkan kedua unsur itu secara
eksplisit. Begitupun menyangkut langkah penyusunan kitab hadis, baik ulama Sunni ataupun
Syi’ah telah menawarkan metode yang beragam. Secara umum metode penyusunan yang
diajukan oleh ulama hadis Sunni telah tercermin dalam judul-judul kitab mereka, seperti juz’,
athraf, mushannaf, muwaththa’, musnad, sunan, jami‘, mustakhraj, mustadrak, mu‘jam,
majma‘, dan lainnya., dan lainnya.Sedangkan metode penyusunan yang diajukan oleh ulama
hadis Syi’ah sebagiannya juga telah tercermin dalam judul-judul karya mereka, seperti
musnad, jami‘, ataupun mustadrak, dan sebagian lagi tidak mudah diklasifikasikan
berdasarkan judul-judul kitab yang ada. Namun, secara substansial metode penyusunan kitab
hadis yang diajukan oleh kedua kelompok itu pada dasarnya tidak jauh berbeda. Ada
sebagian kitab hadis Sunni ataupun Syi’ah yang disusun berdasarkan satu topik tertentu, ada
sebagian lagi yang disusun menurut sistematika fikih, dan ada pula kitab hadis yang
sistematika pembahasannya mencakup seluruh topik agama.
BAB III

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan
mengenai kodifikasi hadis dengan berbagai macam dinamikanya, yang antara lain adalah:

• Sejarah Kodifikasi hadis dengen pembabakan waktunya masinh- masing memiliki


karakteristiknya masing-masing. Pada abad kedua, para ulama dalam aktivitas
kodifikasi hadis, tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak
membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan
ke dalam kitab- kitab mereka. Pada abad ketiga Hijriah merupakan masa
penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan
tabi’in. Hadis-hadis yang dikumpulkan pada abad keempat dan seterusnya
kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab karya ulama mutaqaddimun,
sedikit sekali yang mengumpulkan hadis dari usaha mencari sendiri kepada para
penghafalnya. Kodifikasi hadis yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan
dengan cara menertibkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun
dari kitab-kitab.
• Faktor-faktor pendorong dilakukannya kodifikasi cukup beragam,

• mulai dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal mulai dari menjaga
autentisitas dan eksistensi hadis, semangat menjaga autentisitas dan eksistensi
hadis hingga banyaknya, hingga wafatnya

• penghafal hadis. Faktor eksternal lebih mengarah pada banyaknya pemalsuan hadis.
• Kebijakan-kebijakan dari pemerintah atau kholifah sangat menentukan proses
kodifikasi hadis, utamanya ‘Umar ibn Abd Al-‘Aziz, Abu Bakar ibn
Muhammad ibn Hazm serta Syihab Al-Zuhri.
• Metodologis dalam kodifikasi antara lain adalah pada bagaimana sama- sama
mengakui tiga unsur kaidah kesahihan hadis: (1) sanad bersambung; (2)
periwayat bersifat adil; dan (3) periwayat bersifat dabit. Menurut ulama Sunni,
kriteria sanad bersambung, adalah tiap- tiap periwayat dalam sanad bersambung
dari awal hingga akhir (muttashil) dan sampai kepada Nabi saw.
Daftar Pustaka:

Al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Studi kritis Atas Hadis: Antara Pemahaman Tekstual Dan
Kontekstual. Bandung: Mizan, 1989.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

At Tahhan, Mahmud. Metode Tahrij Dan Penelitian Sanad Hadis. Surabaya: Bina ilmu, 1995

A. Hasjmy. Sejarah kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Idri. Studi Hadis.
Jakarta : Kencana, 2013.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2013.

https://www.academia.edu/43984116/Makalah_Kodifikasi_Hadis

LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pengembangan Pemikiran Terhadap


Hadis.Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: Alma’arif, 1974.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Saifuddin. Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011..

Qudsy, Saifuddin Zuhri.“Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis”.

ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013.

Saifuddin. Tadwin Hadis Dan Kontribusinya Dalam Perkembangan Historiografi Islam. Ilmu
Ushuluddin Vol 12, No1, Januari 2013.

Anda mungkin juga menyukai