Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KLASIFIKASI HADIS
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Qur’an Hadis
Dosen Pengampu : Muhammad Nisful Lail, Lc., M.A

Disusun oleh :
Kelompok 8 HES-B
Naila Zulfa (2220210043)
Siti Himmatul Choiriyyah (2220210044)
Khalimatus Sa’diyyah (2220210051)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-
Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Klasifikasi Hadis” ini tepat pada
waktu tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan. Ucapan terimakasih kepada
bapak Muhammad Nisful Lail, Lc., M.A sebagai dosen pengampu mata kuliah Studi Qur’an
Hadis yang telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah
ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu penyusunan sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………ii
BAB 1 PENDAHULUAN
a. Latar Belakang……………………………………………………………………..1
b. Rumusan Masalah…………………………………….............................................1
c. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN
a. Sejarah kodifikasi hadis serta dinamika yang ada di dalamnya…………………….3
b. Faktor pendorong kodifikasi hadis………………………………………………….6
c. Penentu Kebijakan Kodifikasi dan Ulama yang terlibat di dalamnya………………7

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan…………………………………………………………………………10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadis merupakan salah satu pedoman umat islam dalam menjalankan agama islam
disamping Al-Qur’an. Maka dari itu, menjaga kemurnian hadis agar tetap menjadi sumber
ajaran islam yang mampu membawa pada kemaslahatan menjadi tanggung jawab umat islam,
terutama dari kalangan intelektual islam. Salah satu persoalan dalam studi hadis yang
senantiasa menjadi perdebatan adalah masalah kodifikasi hadis. Masalah ini selalu menjadi
perdebatan yang cukup hangat dan menyita banyak energi di kalangan para sarjana
keislaman, khususnya bagi mereka yang menaruh minat yang sangat tinggi pada bidang

keilmuan hadis. Masalah kodifikasi apabila ditinjau dari sejarahnya cukup memiliki
berbagai macam persoalan didalamnya, mulai dari munculnya kepentingan aliran, wafatnya
para penghafal hadis, hingga banyaknya hadis yang tercampur dengan pendapat para sahabat
serta tabi’in, serta hal yang tak kalah pentingnya dibicarakan adalah kerangka metodologis
kodifikasi (tadwin) hadis itu sendiri. Kajian seputar metodologis dalam kodifikasi tersebut
tentunya akan mengungkap data penting tentang bagaimana proses historis tadwin hadis
dibangun di atas landasan dan dasar-dasar metodologis yang kokoh. Berbagai macam
persoalan kodifikasi tersebut tentunya perlu diluruskan untuk kepentingan kemaslahatan
bersama khususnya umat islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah kodifikasi hadis serta dinamika yang ada di dalamnya?


2. Apa faktor yang mendorong kodifikasi hadis?
3. Bagaimana metodologis yang dikembangkan oleh ulama’ hadis dalam proses
kodifikasi hadis?

1
C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi hadis serta dinamika yang ada di dalamnya
2. Untuk memahami faktor yang mendorong kodifikasi hadis
3. Untuk mengetahui metodologis yang dikembangkan oleh ulama’ hadis dalam
proses kodifikasi hadis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah kodifikasi hadis serta dinamika yang ada di dalamnya


Definisi kodifikasi hadis, kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-
tadwin yang berarti codification yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah,
kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi berdasar perintah
khalifah dengan melibatkan beberapa ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan
secara perorangan ataupun untuk kepentingan pribadi.1
Kodifikasi hadis yang dimaksudkan disini adalah penulisan, penghimpunan, dan
pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah ‘Umar
ibn ‘Abd al ‘Aziz (99-101H/717-720M), khalifah ke-8 Bani Umayyah, yang
kemudian kebijakannya itu ditindak lanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga
pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan dalam kitab-kitab hadis.2
Namun al-tadwin juga dapat didefinisikan dengan al-jam’u (mengumpulkan). Al-
Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai upaya mengikat yang berserakan
kemudian mengumpulkan menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-
lembaran.3
Sejarah kodifikasi hadis
1. Pada abad I Hijriyah, mulai dari masa Rasul, masa khulafaurrasyidin, dan
sebagian besar zaman muawiyah, yakni hingga akhir abad I Hijriyah, hadis-
hadis itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannnya berdasarkan kepada kekuatan hafalannnya.4
Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum
banyak ditulis, bahkan awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena
khawatir bercampur dengan Al-Qur’an. Para sahabat merupakan penyambung
lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal
secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian

1
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 93
2
ibid
3
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), 89
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Peengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 78

3
dengan tetangganya menghadiri majlis Nabi. Namun banyak diantara sahabat
yang tidak menulisnya karena ada larangan, alat-alat pendukung menulis saat
itu belum banyak, dan yang paling utama adalah masyarakat masih belum
tahu tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.
2. Pada abad II Hijriyah, ulama berhasil menyusun kitab tadwin dan sampai pada
kita adalah Malik ibn Anas (93-179) yang menyusun kitab Al-Muwaththa’.
kitab ini disusun tahun 143 H, pada masa khalifah Al-Manshur, salah seorang
khalifah Bani Abbasiyyah. Kitab ini tidak hanya memuat hadis Rasul saja,
tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan banyak yang berupa pendapat
Malik sendiri atau praktik ulama dan masyarakat Madinah. Imam Al-Syafi’i,
muridnya memberikan pujian terhadap karya Imam Malik ini dengan sebutan
kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah Al-Muwaththa’ Malik.
Disamping itu, pada abad ini diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadis
yang telah ada semenjak masa khalifah Ali bin Abi Thalib dan menyebabkan
sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk mempelajari keadaan para
periwayat hadis, disamping itu banyak periwayat yang lemah, meskipun tidak
berarti pada abad pertama tidak ada perhatian sama sekali terhadap
keberadaan para periwayat hadis. Pada abad ke-2, kegiatan terhadap ahwal al-
ruwah (keberadaan para periwayat hadis) semakin diintensifkan, meskipun
saat itu belum terbentuk ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam bentuk disiplin ilmu
yang mandiri.5
3. Pada abad III H, merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda
Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini terjadi
pada zaman Bani Abasyiyah, yakni masa al-ma’mun sampai al-muktadir
(sekitar tahun 201-300 H). Periode penyeleksian ini terjadi karena pada masa
tadwin belum bisa dipisahkan antara hadis marfu’, mawquf, dan maqhtu,
hadis yang dha’if dari yang shahih ataupun hadis yang mawdhu’ masih
tercampur dengan yang shahih. Pada saat itu pula mulai dibuat kaidah-kaidah
dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu hadis itu shahih atau dha’if.
Para periwayat pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti

5
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 96

4
kejujuran, kekuatan hafalan dan lain sebagainya. Materi kodifikasi yang
dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadis Nabi, pendapat sahabat dan
tabi’in, meskipun hadis-hadis yang dihimpun tidak diterangkan antara yang
shahih, hasan, dan dha’if. Para ulama mengkodifikasikan hadis-hadis dalam
kitab-kitab mereka dalam keadaan masih tercampur antara ketiga macam
hadis tersebut. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi
lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab hadis hasil karya
mereka disebut dengan istilah musnad.6
4. Pada abad IV sampai VII H, pada abad pertama, kedua dan ketiga, hadis
berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan (pendewaan) dan
penyaringan dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, dan hadis yang telah di
dewankan oleh ulama mutaqqadimin (ulama abad ke I sampai ke III) tersebut
mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama
Muta-akhkhirin (ulama abad ke IV dan seterusnya).7
Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il alamshar
(penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat kecil dan
tabi’in yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah Rasulullah,
sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait dengan Rasulullah
dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru sebatas dilakukan
oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan pihak para khalifah
Umayyah. Pembukuan hadis pada periode ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab hadis yang sudah
ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al-Kutub, al-Sittah, al-
Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn Hanbal, para
ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk
jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadis untuk
topik-topik tertentu.
Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadis pada abad-abad ini meliputi
beberapa hal berikut:

6
Ibid, 97
7
Fatchur Rahman, ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974), 58

5
1) Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab
sebagaimana dilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Furrat (w. 414 H) dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al-
Jawzaqa dengan kitabnya al-Jami’ bayn al-Shahihayn.
2) Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab,
sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd al-Rahman al-Syibli
yang dikenal dengan ibn al-Khurrath dengan kitabnya al-Jami’
3) Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab ke dalam satu kitab,
sebagaimana dilakukan oleh al-Imam
5. Pada abad VII hingga sekarang, kodifikasi hadis yang dilakukan pada abad
ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-kitab hadis,
menyaringnya, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’
yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hukum, mentakhrij
hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrij hadis-hadis yang
terkenal di masyarakat, menyusun kitab takhraf, mengumpulkan hadis-hadis
disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadis-hadis dalam
Shahih al bukhari dan Shahih Muslim, mentashhih sejumlah hadis yang belum
di tashhih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadis-hadis tertentu sesuai
topik, dan mengumpulkan hadis dalam jumlah tertentu. Periode ini memang
tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika muncul kitab-kitab hadis
yang model penyusunannya hampir sama seperti penyusunan kitab-kitab
jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan dan pembukuan hadis-
hadis yang tidak terdapat dalam kitab hadis sebelumnya dalam sebuah kitab
yang dikenal dengan istilah kitab zawaid.8
B. Faktor pendorong kodifikasi hadis
Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat diklasifikasi
menjadi dua, yaitu :
1. Faktor internal berupa:
a. Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, karena hadis di samping
sebagai sumber agama Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, juga merupakan

8
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 101

6
panduan bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Hadis
Nabi sangat berarti dalam rangka untuk memberikan petunjuk bagi umat Islam
untuk keselamatan dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat.
b. Semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat
berharga karena Nabi memang pernah bersabda bahwa beliau meninggalkan
dua hal yang jika umat Islam berpegang pada keduanya mereka tidak akan
tersesat selamanya, yaitu Al-Qur’an dan hadis Nabi (HR. al-Hakim al-
Naysaburi).
c. Semangat keilmuan yang tertanam di kalangan umat Islam saat itu termasuk
didalamnya aktivitas tulis-menulis dan periwayatan hadis.
d. Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu
e. Para penghafal dan periwayat hadis semakin berkurang karena meninggal
dunia baik disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
f. Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal
dan kemudian meriwayatkannya.9
2. Faktor eksternal berupa:
a. Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam,
sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
b. Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan antara lain
oleh perbedaan politik dan aliran.
C. Penentu Kebijakan Kodifikasi dan Ulama yang terlibat di dalamnya.
1. Umar ibn Abd Al-‘Aziz dan Kebijakannya
‘Umar ibn Abd Al‘Aziz adalah seorang khalifah Bani Umayyah yang ke-8. Karena
kearifan, keadilan, kewaraan dan keluhuran budinya, menurut Manna’ al-Qaththan, oleh
para sejarawan ‘Umar ibn ‘Abd al‘Aziz dimasukkan dalam jajaran al-Khulafa’ al-
Rasyidun. Peranannnya dalam sejarah perkembangan hadis, disamping terkenal sebagai
khalifah pelopor yang memberikan instruksi untuk membukukan hadis, secara pribadi ia
juga merupakan aset dan mengambil bagian dalam kegiatan ini. Menurut beberapa
riwayat, ‘Umar ibn ‘Abd al‘Aziz turut terlibat mendiskusikan hadis-hadis yang sedang
dihimpun, disamping ia sendiri memiliki beberapa tulisan tentang hadis-hadis yang

9
Ibiid, 104

7
diterimanya. Untuk keperluan tadwin tersebut, Sebagai Khalifah, ‘Umar memberikan
instruksi kepada Abu Bakar ibn Muhammad Ibn Hazm, seorang gubernur Madinah, agar
mengumpulkan dan menghimpun hadis-hadis yang ada pada Amrah binti ‘Abd al-
Rahman al-Anshari dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Dalam versi yang lain,
memang dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah, Umar bin Abdul al-Aziz pernah
mengeluarkan surat perintah secara resmi yang ditujukan kepada seluruh pejabat dan
ulama di berbagai daerah agar seluruh hadis yang tersebar di masing-masing daerah
segera dihimpun.
2. Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm dan Kiprahnya

Dalam sejarah perkembangan hadis, Abu Bakar ibn Hazm yang pada saat itu
sebagai gubernur Madinah, mendapat instruksi dari khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz
untuk menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Instruksi tersebut dapat dilihat pada
surat yang dikirmkan oleh ‘Umar kepadanya, yang berbunyi:

“Perhatikanlah hadis-hadis Rasulullah lalu tulislah, karena sesungguhnya aku khawatir


akan lenyapnya ilmu (hadis) dengan meninggalnya para ulama. Dan janganlah diterima
kecuali hadis Rasulullah. Hendaklah kalian tebarkan ilmu dan adakan majelis-majelis
supaya orang-orang yang tadinya tidak berilmu menjadi berilmu. Karena sesungguhnya
ilmu itu tidak akan lenyap hingga dijadikan sebagai barang yang rahasia.”

3. Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri dan Aktivitas kodifikasinya

Menurut penilaian ‘Umar ibn ‘Abd al‘Aziz, Ayyub, dan al-Layts, tidak ada ulama
yang lebih tinggi kemampuannya khususnya di bidang hadis daripada Muhammad ibn
Syihab al-Zuhri. Karena kemampuannya di bidang ilmu agama, ia mendapat beberapa
gelar, yaitu al-faqih, al-hafizh al-Madani, ‘alim al-Hijaz wa al-Syam, dan salah seorang
dari pemimpin dunia. Dalam sejarah perkembangan hadis, sebagaimana Abu Bakar Ibn
Hazm, al-Zuhri mendapat kepercayaan dari khalifah untuk mengumpulkan dan
membukukan hadis-hadis Nabi. Hasil karyanya oleh para ulama dinilai lebih lengkap
dibanding karya Abu Bakar ibn hazm. Hasil karya keduanya sama-sama hilang sehingga
tidak sampai kepada kita.10

10
Idri,Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 108

8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulan bahwa penulisan hadis telah dimulai saat
Nabi Muhammad SAW masih hidup, zaman khulafaurasyidin, tabi‟in, tabi‟i at-tabi‟in namun
masih dalam bentuk shahifah. Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran
dan segala yang diambil dari Rasulullah baik perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat. Kodifikasi
hadis ialah penghimpunan, penulisan dan pembukuan hadis. Sejarah kodifikasi hadis dengan
berjalannya waktu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hadis memiliki priodesasi dalam
perkembangan keilmuannya karena termasuk panduan dalam menetapkan hukum. Faktor yang
mempengaruhi pembukuan hadis yang dilakukan para sahabat, tabi’in, tabi’, attabi’in adalah
semangat dorongan dari Rasul saw. Sedangkan faktor kedua dipengaruhi oleh keadaan politik
perebutan kekuasaan, dengan membuat hadis-hadis palsu untuk mencari pengaruh. Adanya
pembukuan hadits mempunyai banyak implikasi-implikasi terhadap perkembangan pemahaman
tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul hadits itu sendiri
khususnya implikasi praksis yang memudahkan pencarian hukum-hukum syariat, memudahkan
ppenilaian hadis,terpeliharanya kemurnian tradisi Nabi, Memungkinkan adanya penulisan -
penulisan buku hadits baru setelah penulisan kitab-kitab terdahulu dan Implikasi teoritis meliputi
Hadits ahad dapat diterima, Ilmu hadits akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya
tantangan yang dihadapi oleh hadits, Pintu ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin
sempit.Namun tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum
terinventarisir dengan baik oleh penulis. Metodologis dalam kodifikasi antara lain adalah pada
bagaimana sama-sama mengakui tiga unsur kaidah kesahihan hadis: (1) sanad bersambung; (2)
periwayat bersifat adil; dan (3) periwayat bersifatdabit. Menurut ulama Sunni, kriteria sanad
bersambung, adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad bersambung dari awal hingga
akhir(muttashil) dan sampai kepada Nabi saw.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Peengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013)
Rahman, Fatchur, ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974)
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis (Jakarta : Rajawali Pers, 2013)

10

Anda mungkin juga menyukai