Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS


Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
ULUMUL HADIS

Dosen Mata Kuliah:


Dr. Hasan Bisri, M.Pd.I

Disusun oleh:
KELOMPOK 5
1. MALIK AL – AZIS (23862081063)
2. MUHAMAD FAKHRUR ROZZI (23862081038)
3. LAILATUL MUBAROKAH (23862081048)
4. TRI RATNA MILA (23862081059)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, berkat rahmat dan karunia Allah SWT. Penulis dapat


menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul Sejarah Perkembangan Hadits,
sebuah makalah yang membahas tentang sejak kapan hadits itu muncul dan
berkembang di kalangan Masyarakat. Dan tak lupa sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhmammad SAW, keluarga,
sahabat, tabiin, dan kita semua sebagai umat yang taat dan turut terhadap ajaran
yang dibawanya.

Terima kasih kami kepada kelompok lima yang telah berdedikasi membantu
menyelesaikan tugas ini, serta terlebih lagi kepada Bapak Dosen Dr. Hasan Bisri
selaku pengampu mata kuliahan yang senantiasa membimbing dan memberi saran
yang baik kepada kelompok kami sehingga dapat menyelesaikan makalah mata
kuliahan Ulumul Hadits ini.

Pembuatan makalah ini disusun bukan hanya untuk memenuhi tugas tetapi
diharapkan dapat memeberi wawasan kepada pembaca tentang perkembangan
hadits. Semoga pembaca bisa lebih mendalami tentang kapan hadits itu mulai di
percayai hingga saat ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Terlepas dari kekurangan makalah ini, kami berharap semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Malang, 18 September 2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

JUDUL...........................................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
1.1 Latar Belakang..................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................

1.3 Tujuan................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
2.1 Lahirnya Ilmu Hadits.......................................................................................
2.2 Penulisan Hadits................................................................................................
2.3 Pembukuan Hadits...........................................................................................
2.4 Sejarah Perkembangan Hadits.....................................................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................


3.1 Kesimpulan.......................................................................................................
3.2 Saran..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Al Quran adalah firman Allah yang mencangkup segala aspek persoalan
kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-NYA, sesama manusia
dan alam semesta yang merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan manusia,
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui perantara malaikat Jibril
dan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara mutawatir atau berangsur-
angsur. Ketika membacanya dicatat sebagai ibadah, selain menjadi mukjizat
terbesar dimuka Bumi Al-Quran juga merupakan sumber pertama hukum islam .

Sedangkan hadits adalah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi


Muhammad SAW. Baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat atau sirah
beliau baik sebelum kenabian atau setelahnya, tetapi ada beberapa orang yang
menyatakan bahwa hadits bukan hanya yang disandarkan kepada nabi tapi juga
disandarkan pada para sahabat dan tabi’in. Kemudian hadis diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu hadis marfu’ hadis yang berasal dari rasulullah, hadis mauquf
berasal dari para sahabat, dan hadis maqtu berasal dari para tabi’in.

Hadits dan Al-Qur'an merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu
dan lainnya sebagai pedoman hidup atau sumber hukum dan ajaran islam. Pada
dasarnya, hadits berfungsi menjelaskan dan merinci hal-hal yang belum jelas
dalam Al-Quran, seperti memperkuat hukum yang sudah ada dalam Al-Quran
(bayan taqrir), Merinci hukum yang masi bersifat global atau mujmal (bayan
tafsir), menetapkan hukum yang belum ada dalam Al-Quran (bayan tasyri),
membatasi ayat Al-Quran yang bersifat umum (bayan nasakh),

Jika Al-Quran di mushafkan pada masa Khalifa Abu Bakar As-shiddiq


tepatnya setelah wafatnya Rasulullah, maka beda halnya dengan hadist,
pembukuan hadis baru marak pada abad ke-3, tapi pada zaman Rasulullah juga
ada yang menulis hadist namun hanya sedikit.

1
Pengkodifikasian hadists resmi baru terjadi pada masa Khalifah umar bin
Abd Al-Aziz, seorang pemimpin bani umayyah, kenyataan ini memicu berbagai
macam spekulasi yang berkaitan dengan otentisitas sebuah hadis. Karena dalam
masa yang cukup Panjang ini telah terjadi banyak pemalsuan hadis oleh beberapa
golongan dengan tujuan tertentu. Adapun hadis yang menjadi obyek penelitian
adalah hadis berkategori ahad akan tetapi keshahihan hadis belum terlalu di
perhatikan sehingga masi banyak hadis hadis dhaif yang beredar luas. Oleh karena
itu para ulama mulai meneliti sanad dan perawinya. Untuk itu kami akan
membahas tentang kapan munculnya hadits, kapan hadits itu mulai ditulis dan
dibukukan, dan bagaimana sejarah perekmbangan hadits.

1. 2 RUMUSAN MASALAH

1. Kapan munculnya ilmu hadits ?


2. Kapan hadits itu mulai ditulis dan dibukukan ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits ?

I.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui kapan hadits itu lahir.


2. Untuk mengetahui kapan hadits mulai dituls dan dibukukan.
3. Untuk mengetahui hadits mulai berkembang sampai saat ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 LAHIRNYA ILMU HADITS

Ilmu hadis muncul sejak masa Rasulullah SAW dan perhatian para sahabat
terhadap hadis atau sunnah sangat besar. Mereka memelihara hadis dengan cara
menghapal, mengingat, bermudzakarah, menulis, menghimpun, dan
mengodifikasikan ke dalam kitab-kitab hadis yang tidak terhitung jumlahnya.

Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadis secara


kredibilitas perawi (ilmu dirayah) masih tersisip dalam buku buku yang belum
spesifik, berbaur dengan berbagai makalah seperti yang di lakukan imam al-syafi'i
dan lainnya dalam karya-karya mereka. Tidak di temukan kepastian tahun berapa
ilmu hadis lahir, tetapi yang jelas ilmu ini lahir ketika hadis sudah terkodifikasi
pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisana ilmu hadis adalah terjadi pada abad
ke-3 H. Memang seperti itu pengetahuan tentang kredibilitas perawi sudah ada
sejak zaman Rasulullah SAW. Tetapi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu
yang berdiri sendiri.

Ilmu hadits atau yang dikenal dengan ulumul hadits lahir dari proses ijtihad
para pemerhati yang berusaha dari segala bentuk tanggung jawab terhadap
pelestarian hadits Nabi SAW, untuk mempertahankan kekuatan dari segala bentuk
yang dapat menjatuhkan hadits nabi sebagai hujjah setelah al qur'an. Kehadiran
ilmu hadits pada abad H adalah sebagai upaya membentengi sumber syariat dari
sesuatu yang menjatuhkan rangkaian periwayatan sanad maupun materi matan
hadits itu sendiri. Ilmu hadits mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang
sangat pesat dengan terbentuk metodologi tersendiri, tersusun secara utuh dan
terpissh dari kitab hadits sekitar abad ke 4 H.

Ulumul hadits dalam pandangan ulama berisi pedoman untuk mengkaji


kebenaran unsur-unsur yang ada dalam hadits. Sebagaimana definisi yang
dikemukakan oleh ibn jama'ah yang dikutip oleh okam al- Suyuti ( 911H ) bahwa
ulumul hadis adalah:

3
‫ منحيث‬،‫ يعرف بها احوال السند والمتن‬،‫القبولوالرد علم با صول وقواعد‬
“ilmu hadits adalah ilmu yang membahas pedoman-pedoman (kaidah) untuk
mengetahui kondisi atau keadaan sanad dan matan,dari hadits-hadits yang
diterima atau ditolak”.

Munculnya kitab ilmu hadits pertama kali dipelopori oleh al-Qodhi abu
Muhammad al-Ramahurmuzi (360H) yang dianggap sebagai pelopor pertama
melahirkan ilmu hadits dengan karyanya yaitu al-Muhaddis al-Fashil baina al-
Rawi wal Wa'i, kemudian diikuti oleh ulama lainnya yaitu Imam al-Hakim an
Naysaburi (405H) dengan karya Ma'rifah Ulum al-Hadits dan seterusnya hingga
muncul karya Muqaddalimah ibn shalah.

Kemunculan kitab Muqaddimah ibn shalah dalam disiplin ilmu hadits ditandai
sebagai awal kesempurnaan penyusunan kitab ulumul hadits karna dianggap telah
tersusun seluruh cabang ulumul hadits secara sistematis.

2.2 PENULISAN HADITS

A. PRO DAN KONTRA PENULISAN HADITS

Hadis Nabi saw sampai kepada kita melaliui proses sejarah cukup panjang,
di mulai sejak masa Nabi saw awal abad 1H. Sampai dengan penyempurnaan
penyusunan kitab-kitab hadis, sekitar abad IV-V H. Pengetahuan tentang sejarah
perjalanan hadis Nabi saw ini sangat penting bagi studi hadis dan sesungguhnya
bagaimana hadis Nabi saw di tuturkan dan di sebarkan dengan pengawalan ekstra
hati-hati sehingga kaidah periwayatnya dan penerimaan hadis.

Dari beberapa catatan tentang hadis pada masa Nabi saw, ada dua hal yang
perlu di kemukakan, yaitu larangan menulis hadis dan perintah menulis hadis.
Pada awalnya, Nabi saw melarang para sahabat untuk menulis hadis karena dk
khawatirkan akan terjadi percampuran ayat-ayat Al-qur'an dengan hadis. Misalnya
dalam sebuah hadis riwayat Abu Sa'id al-Khudzri di sebutkan:

‫ال تكتبوا عنى و من كتب عنى غيرالقران فليمحه و حدثوا عنى وال خرج و من‬

‫كذب علي قالهمام احسبه قال متعمدا فليتبواءمقعده من النر‬

4
"Janganlah kalian tulis dariku (selain al qur'an) dan barang siapa menulis dariku
selain al qur'an, makahapuslah. Riwayatkan hadis dariku tidak apa-apa. Barang
siapa berdusta atas namaku - Himam berkata, aku menyangka beliau bersabda -
maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka" (HR.Muslim).

Larangan ini di lakukan karena Rasulullah khawatir hadis tercampur


dengan al-Qur'an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Namun demikian,
harus pula di pahami bahwa larangan itu tidak bersifat umum.

Pada kesempatan yang lain, Nabi justru memerintah agar hadis-hadisnya


di tulis, sebagaimana di riwayatkan oleh 'Abd Allah ibn 'Umar katanya: "Aku
pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga
dan menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy melarangku melakukanya.
Mereka berkata, "kamu hendak menulis (hadis) padahal Rasulullah bersabda
dalam keadaan marah dan senang". Kemudian aku menahan diri (untuk tidak
menulis hadis) hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda:

‫اكتب فوالذى نفسى بيده ما خرج عنى اال حق‬


"Tulislah, maka demi Dzat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah
keluar dariku selain kebenaran" (HR. Ahmad ibn Hanbal).

Menghadapi dua hadis yang tampaknya bertentangan di atas, ada beberapa


pendapat tentang ini. Pertama larangan menulis hadis terjadi pada periode
permulaan, sedangkan izin penulisannya di berikan pada periode akhir kerasulan.
Kedua larangan penulis hadis itu di tujukan bagi orang yang kuat hafalanya dan
tidak dapat menulis dengan baik, sehingga di khawatirkan salah dan bercampur
dengan Al-qur'an. Izin menulis hadis di berikan kepada orang yang pandai
menulis dan tidak di khawatirkan salah serta bercampur dengan Al-qur'an. Ketiga
larangan itu di tujukan bagi orang yang kurang pandai menulis di khawatirkan
tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak di larang menulis
hadis. Keempat larangan menulis hadis di cabut (di-mansukh) oleh izin menulis
hadis karena tidak di khawatirkan tercampurnya catatan hadis dan al-Qur'an.
Kelima larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat khusus
kepada para sahabat yang dijamin tidak mencampurkan catatan hadis dan catatan

5
al-Qur'an. Keenam larangan di tujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin di
tujukan untuk sekedar dalam bentuk catatan yang di pakai sendiri. Ketujuh
larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum di hafal dan dicatat. Sedangkan
ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan di catat, maka penulisan hadis
diizinkan.

B. PENULISAN HADIS PADA MASA RASULULLAH DAN PARA SAHABAT

Pada masa rasulullah, kodifikasi hadis belum mendapatkan perhatian yang


lebih khusus dan serius dari para sahabat. Para sahabat lebih banyak mencurahkan
diri untuk menulis dan menghafalkan ayat-ayat al-Qur'an, meskipun dengan
sarana dan prasarana yang sangat sederhana. Hadis pada waktu itu lebih banyak
dihafal dan diamalkan.

Meskipun penulisan hadis belum mendapatkan perhatian dari para sahabat,


Rasulullah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan. Muhammad 'Ajjaj al-Khathib dalam bukunya al-Sunnah qabl al-
Tadwin menyebutkan tentang sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan. Di
antara sikap Rasulullah saw terhadap ilmu pengetahuan adalah seruannya untuk
mencari ilmu, seruannya untuk menyampaikan ilmu, kedudukan orang yang
mengajarkan ilmu pengetahuan (ulama), kedudukan orang yang mencari ilmu, dan
wasiat atau pesan Rasulullah saw untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan.

Penulisan hadis sebenarnya sudah terjadi pada masa Rasulullah saw,


walaupan sifatnya masih individual. Mereka yang mempunyai kemampuan
menulis melakukannya sendiri-sendiri seperti seperti yang di lakukan 'Abd Allah
ibn Umar. Para sahabat tidak menulis semua hadis. Hanya hadis-hadis yang
dipandang terlalu panjang dan spesifik. Itulah sebabnya ketika Abu Bakar
mengintruksikan untuk memerangi kaum murtad, Umar mengintirepsinya:
"Menurut catatan saya, Nabi hanyalah diperintah untuk memerangi umat sampai
mereka berikrar tiada tuhan selain Allah. Apabila mereka mengatakannya, maka
terjagalah darahnya, hartanya, dan harga dirinya". Maka Abu Bakar berkomentar:
"Catatan anda belum sempurna”. Kelanjutannya adalah " kecuali dengan haknya".

6
Hadis yang panjang-panjang selalu ditulis oleh para sahabat, seperti hadis
tentang zakat yang hendak dikirim kepada Abu Musa al-Asy'ari yang pada waktu
itu di ditugaskan oleh Nabi ke Yaman, memohon agar ketentuan zakat di tuliskan.
Maka sebelum tulisan hadis zakat itu dikirim ke Yaman oleh Umar dinukil
kembali untuk diarsip terlebih dahulu, sehingga Umar ibn Khattab di kenal
dengan bapak pengarsipan dokumen.

Pendek kata, setelah para sahabat mulai pandai tulis menulis, dan dapat
membedakan antara firman Allah dengan sabda Nabi, maka gerakan penulisan
begitu marak, sehingga pada akhirnya Nabi berwasiat:

‫تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب هللا و سنة نبي‬
"Saya tinggalkan dua perkara yang tidak akan tersesat apabila berpegang
keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan sunnah Nabi-Nya (hadis)". (HR.
Malik ibn Anas).

Meskipun secara khusus hadis belum mendapatkan perhatian yang serius,


namun kegiatan periwayatan hadis sudah mulai berkembang meskipun dengan
jumlah yang masih sedikit. Hal ini karena Abu Bakar, Umar juga dua khalifah
terakhir (Usman dan Ali) sangat berhati-hati dalam menerima periwayatan sahabat
lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurayrah yang dalam hal periwayatan hadis
dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis.

Sikap hati-hati ini dilakukan untuk mencegah beredadnya hadis-hadis


palsu palsu untuk kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya pada saat mulai
terjadinya friksi dalam tubuh islam, sejak tahun ketujuh masa pemerintahan
khalifah 'Usman bin 'Affan. Dengan demikian jumlah periwayatan hadis pada
masa sahabat masih sangat sedikit, meskipun tergolong banyak apabila
dibandingkan dengan jumlah penulisan hadis pada periode Nabi saw. Dapat
dikatakan bahwa hadis dalam periode ini adalah membatasi periwayatan.

C. PENULISAN HADITS PADA MASA KODIFIKASI

7
Seiring dengan program Umar ibn Khatthab meluaskan peta dakwah Islam,
membuat para sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Mereka membawa hadis
yang sudah dihafal maupun yang sudah ditulisnya ke tempat penugasan masing-
masing. Sehingga di berbagai wilayah bermunculan pusat-pusat kajian islam
termasuk pusat kajian al-Qur'an dan hadis. Pasca wafatnya Umar ibn Khatthab,
kebijakan itu di lanjutkan oleh khalifah Usman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Thalib
sehingga untuk menguasai hadis-hadis nabi pada waktu itu tidaklah mudah.
Seseorang harus melakukan rihlah (perjalanan) ke berbagai wilayah untuk
menemui para sahabat dan kader-kadernya. Sentra-sentra hadis, sebagaimana di
kemukakan Muhammad Abu Zahw adalah:

1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: 'Aisyah Abu Hurayrah, Ibn
'Umar, Abu Sa'id al-Khuzri, dan lain-lain. Tokoh darikalamgan tâbi'în: Sa'id ibn
Musayyib, 'Urwah ibn Zubayr, Nafi' maula Ibn 'Umar, dan lain-lain.

2. Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibn 'Abbas, 'Abd Allah Ibn
Sa'id, dan lain-lain. Dari kalangan tabi'in, tokoh hadis antara lain: Mujahid Ibn
Jabr, 'Ikrimah mawla Ibn 'Abbas, 'Atha Ibn Rabah, dan lain-lain.

3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: 'Abd Allah Ibn Mas'ud, Sa'ad ibn
Abi Waqqas, Salman al-Farisi, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi'in: Maruq
ibn al-Ajda', Syuraikh ibn al-Haris, dan lain-lain.

4. Basrah dengan tokoh dari kalangan sahabat: 'Utbah ibn Gahzwan, 'Imron ibn
Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi'in dikenal tokoh: al-Hasan al-Basri, Abu
al-'Aliyah, dan lain-lain.

5. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu'adz ibn jabal, Abu al-Darda',
'Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi'in: Abu idris,
Qabishah ibn Zuaib, Makhul ibn Abi Muslim, dan lain-lain.

6. Mesir dengan tokoh dari kalangan sahabat: 'Abd Allah ibn Amr ibn al-'Ash,
'Uqbah ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi'in: Yazid ibn Abi
Hubayb, Abu Başrah al-Ghifari, dan lain-lain.

Kegiatan kodifikasi hadis dimulai pada masa pemerintahan islam dipimpin


oleh khalifah 'Umar ibn 'Abd al-Aziz (99-101 H). Ada beberapa faktor yang
8
melatar belakangi kodifikasi hadis pada masa 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz tersebut.
Menurut Muhammad al-Zafzaf kodifikasi hadis tersebut dilakukan karena:
pertama para ulama' hadis telah tersebar ke berbagai negeri, di khawatirkan hadis
akan menghilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus
diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap ilmu hadis. Kedua banyak berita
yang diada-adakan oleh pelaku bid'ah (al-mubtadi') seperti Khawarij, Rafidah,
Syi'ah dan lain-lain yang berupa hadis-hadis palsu.

D. PENULISAN HADIS PADA MASA PASCA KODIFIKASI

Satu hal yang perlu di catat dari upaya pembukuan hadis tahap awal adalah
masih bercampurnya hadis Nabi Muhammad saw dengan berbagai fatwa sahabat
dan tabi'in. Hanya catatan ibn Hazm (Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm,
gubernur kota Madinah di masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz) yang secara
khusus menghimpun hadis Nabi Muhammad saw karena Khalifah Umar ibn
'Abdul Aziz menginstruksikan kepanya hanya untuk menulis hadis Nabi. Hanya
saja, sangat di sayangkan bahwa manuskrip Ibn Hazm tersebut tidak sampai ke
generasi sekarang. Namun demikiqn, pada masa ini pula lahir ulama' hadis ke-
enam seperti Imam Malik, Sufyan al-Tsauri, al-Auza'i, al-Syafi'i, dan lainya. Di
antara kitab-kitab hadis terkenal pada abad ini adalah: Muwațța' karya imam
Malik, Musnad dan Mukhtalif Hadis karya al-Syafi'i. Kitab-kitab ini terus menjadi
bahan kajian sampai sekarang.

Selanjutnya, pada permulaan abad ke-3 H, para ulama' hadis berusaha untuk
memilah atau memisahkan hadis dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Karena
itulah, ulama' hadis banyak menyusun kitab-kitab musnad yang bebas dari fatwa
sahabat dan tabi'in. Salah satu kelemahan yang dapat di ungkap adalah belum di
sisihkannya hadis-hadis yang dha'if, termasuk hadis palsu yang sengaja di
sisipkan untuk kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Melihat kelemahan
tersebut, ulama' hadis tergerak untuk menyelamatkan hadis dengan membuat
kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menilai keshahihan suatu hadis. Dengan
adanya kaida dan syarat-syarat tersebut, lahir apa yang disebut ilmu dirāyah hadis
yang sangat banyak cabangnya, disamping juga ilmu riwayat hadis.

9
Abad ke-3 ini lazim disebut dengan abad atau periode seleksi dan
penyusunan kaidah serta syarat periwayatan hadis yang melahirkan sejumlah
karya monumentel dalam bidang hadis, seperti Sahih al-Bukhāri, Sahih Muslim,
Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmudzi, Sunan al-Nasa'i, dan lainnya.

Di antara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada abad ini ialah 'Ali ibn al-
Madani, Abu Hatim al-Razi, Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Muhammad ibn
Sa'ad Ishaq ibn Rahawaih, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Nasa'i, Abu Dawud, al-
Turmudzi, Ibn Majah, Ibn Qutaybah al-Dainuri. Sedangkan kitab kitab hadis
diantarannya yang muncul pada abad ini adalah al-Kutub al-Shittah (kitab enam
yang pokok) yaitu Shahih al-Bukhari, Shaih Muslim, Sunan al-Nasa'i, Sunan Abi
Dawud, Sunan al-Turmudzi, dan Sunan ibn Majjah.

2.3 PEMBUKUAN HADITS

Hadits Nabi (Rasulullah) SAW yang sampai kepada kita dalam bentuk
penuturan maupun tulisan adalah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Jika al-
Qur'an sejak zaman Nabi sampai terwujudnya pembukuan (mushaf) sebagaimana
kita saksikan hari ini memerlukan waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 15
tahun, maka untuk hadits Nabi memerlukan waktu yang relatif panjang dan penuh
variasi. Oleh karena itu mengetahui sejarah perkembangan yang dilalui, sejak
masa Rasulullah SAW masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin sampai masa
pembukuan dan penyempurnaan sistematikanya menjadi sangat penting.

Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW, masa Khulafaur
Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah, hingga akhir abad pertama
hijrah, hadits itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-
masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan
hapalannya. Memang hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu
menyampaikan kembali hadits-hadits yang pernah direkam dalam ingatannya Ide
penghimpunan hadits Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan
oleh khalifah Umar bin Khattab (23/H/644M). Namun ide tersebut tidak
dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu
perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.

10
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan
akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang
mendukung pembukuan hadits (yaitu sebuah usaha pembukuan hadits yang secara
resmi berdasar perintah kepala negara dengan melibatkan beberapa personil,
bersifat terbuka dan untuk kepentingan publik). Umar bin Abdul Azis seorang
khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang
sebagai khalifah Rasyidin yang kelima. Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa
para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit
jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera
dikumpulkan dan dikodifikasi dalam buku-buku hadits dari para perawinya,
mungkin hadits-hadits itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya.
Maka tergeraklah untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi dari para penghafal
yang masih hidup. Pada tahun 100H. Khalifah Umar bin Abdul Azis
memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer
bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para
penghafal.

Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang
berbunyi:

‫أنظر ما كان حديث رسول هللا عليه وسلم فاكتبه فإنى خفت دروسى‬
‫العلم وذهاب العلماء والتقبل اال حديث الرسول هللا عليه و سلم ولفتشوا العلم‬
‫سترا‬ ‫ولتجلسوا حتى يعلم من ال يعلم فإن العلم ال يهلك حتى يكون‬
"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul lalu tulislah. karena
aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima
selain hadits Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan
majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat
mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu tidak sirna sampai dirahasiakan."

Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada


Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadits. Khalifah juga secara khusus
menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin
Syihab Az-Zuhri. Kemudian Ibnu Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah

11
khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang
pertama kali membukukan hadits.

Dari Ibnu Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh


ulama-ulama berikutnya, pembukuan hadits dilanjutkan oleh Malik bin Anas (93-
179 H) Ibn Juraij (150 H), Ar-Rabi' bin Shabih (160 H) Ibnu Abi Dzi'bin (80-158
H) Hammam bin Sulaiman (176) Sufyan al- Tsawri (97-161 H) Al-Awza'I (88-157
H) Ibnu al-Mubarak (118-181 H) Jarir bin Abd Hamid (110-188 H) Muhammad
bin Ishaq (151) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya.

Di antara kitab hadits yang disusun pada abad II H, dan dapat sampai di tengah-
tengah kita adalah:

1. Al-Muwatha', disusun oleh Imam Malik bin Anas atas permintaan khalifah Abu
Ja'far al-Manshur.
2. Musnad al-Syafi'i, disusun oleh Muhammad bin Idris al- Syafi'i Kumpulan
hadits ini dimuat juga di dalam kitab beliau,Al-Umm
3. Mukhtalif al-Hadits, susunan Muhammad bin Idris al- Syafi'i. Di dalamnya
dibahas tentang cara menerima hadits sebagai hujjah, dan cara mengompromikan
hadits- hadits yang secara lahiriyah tampak berlawanan.
4. Al-Sirat al-Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq, berisi antara lain tentang
perjalanan Nabi SAW dan peperangan yang terjadi zaman Nabi.

2.4 SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah


dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan
memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di
zaman Nabi SAW. meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang
memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis
dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda
dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yang membagi dalam tiga periode,
lima periode, dan tujuh periode.

M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh


periode, sejak periode Nabi SAW. hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

12
1. Periode Pertama : Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW.

Periode ini disebut 'Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa per turunnya


wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir
berupa sabda (aqwal), af'al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-
Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.

Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung.


Penerimaan secara langsung misalnya pada saat Nabi SAW, memberi ceramah,
pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun
penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau
dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau
utusan daerah yang datang kepada Nabi.

Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat
sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di
kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami,
memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari,
serta mentabligkan nya kepada orang lain.

Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak
ada sahabat yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-
nama sahabat yang menulis hadis, di antaranya

a. 'Abdullah Ibn Amr Ibn 'Ash, shahifah-nya disebut Ash- Shadiqah


b. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga,
dan lain-lain.
c. Anas Ibn Malik.

2. Periode Kedua : Perkembangan Hadits Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin


(11H-40H)

Periode ini disebut 'Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al- Riwayah (masa


membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW. wafat pada tahun 11 H.
Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman

13
hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh
aspek kehidupan umat.

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara
terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi.
Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak
meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan al-Quran."

Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:.

1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi
SAW. yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena
tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.

3. Periode Ketiga : Perkembangan Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin

Periode ini disebut 'Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amsha,(masa


berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam
sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun
93 H, meluas sampai ke Spanyol, Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para
sahabat ke daerah. daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku
jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.

Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW.
diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk
menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah
tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan
hadis ke pelosok- pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis
pun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah
bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai
daerah di seluruh negeri.

4. Periode Keempat : Perkembangan Hadits Pada Abad II dan III Hijriah

14
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan
pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara
perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa
tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW. 13

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada
masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H.14 Sebagai
khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam
hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya,
ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi
bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta


kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120
H) -yang menjadi guru Ma'mar-Al-Laits, Al- Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu
Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita
yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn 'Ades,
seorang ahli figh, murid 'Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724
M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-
Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha
Madinah yang tujuh

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di


bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal
di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan
hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn
Ubaidillah Ibn Syihab Az- Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan
hadis, 16 Beliau adalah guru Malik, Al-Auza'i, Ma'mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan
Ibnu Abi Dzi'bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas
anjuran Khalifah.

Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis
pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita, dan

15
kitab itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Pembukuan
seluruh hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim
Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari
ulama-ulama hadis pada masanya.

5. Periode Kelima : Masa Men-Tashih-kan Hadits dan Penyusunan Kaidah-


Kaidahnya

Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis 1 Sesudah


kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa’-Al-Malik terseba dalam masyarakat dan
disambut dengan gembira, kemauan menghap hadis, mengumpul, dan
membukukannya semakin meningkat da mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain da sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yan terdapat di


kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antar mereka yang pergi ke kota
lain untuk kepentingan pengumpulan hadis

Keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan


daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadi Beliau pergi ke Maru,
Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufal Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qusariyah, 'Asqalani, dan Hims

Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulka hadis yang tersebar


di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajah untuk
menyiapkan kitab Shahih-nya.

Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para rawi lal menulis ke dalam
kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syar menerimanya dan tidak memerhatikan
sahih-tidaknya. Namu setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari
oran orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun melakuk hal-hal
berikut.

a) Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi Ar


keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b) Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan
men-tashih-kan hadis.
16
6. Periode Keenam : Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.

Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada
masa 'Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-
Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami'

Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari
Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata- mata berpegang pada
usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang
tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama
abad keempat ini dan seterusnya digelari 'Mutaakhirin'. Kebanyakan hadis yang
mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin,
hanya sedikit yang dikumpul- kan dari usaha mencari sendiri kepada para
penghapalnya.

Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab
sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:

1) Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah


2) At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3) Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
4) Ash-Shalih, susunan Abu 'Awanah
5) Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
6) Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Maqdis

7. Periode Ketujuh : 656 H sampai Sekarang

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII


Al-Mu'tasim (656 H.) sampai sekarang. Periode ni dinamakan Ahdu As-Sarhi wa
Al-Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan,
pen-tahrij-an, pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa
ini adal menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun enam
kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab Jami' yang umum.

17
Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa’id, yaitu mengumpulkan hadis
yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya dalam sebuah kitab tertentu, di
antaranya Kitab Zawa'id susun Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa'id yang lain.

Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis
yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya
adalah Kitab Jami' Al-Masanid was Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan
Al-Hafidz Ibnu Katsir dan Jami'ul Jawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 Η).

Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak
disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha
menerangkan tempat-tempat pengambili hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam
sebuah kitab yang tertentu, antaranya Takhrij Hadis Tafsir Al-Kasysyaf karangan
Al-Zailai'i (762) Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajard
'Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun munt ulama-ulama


hadis yang menyusun kitab-kitab Athraf, di antaran Ithaf Al-Maharah bi Athraf
Al-'Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu'tali bi Athraf
Al-Musnad Al-Hanbali ol Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang
lainnya

18
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hadist Adalah sumber hukum kedua setelah Al-Quran, dan hadist sudah ada
sejak zaman Rasulullah, dan penulisan hadis dilakukan mulai dari zaman
Rasulullah, zaman para Khalifah, Bani umayyah dan sampai sekarang, penulisan
hadis yang dari zaman-kezaman, namun penulisan hadis di zaman Rasulullah
menimbulkan pro dan kontra, pada awalnya Rasulullah melarang adanya
penulisan hadis dikarenakan takut terjadi sebuah percampuran dengan Ayat-ayat
Al-quran karena pada masa itu Al-Quran masi dalam masa penurunan tapi
kemudian pada kesempatan yang lain rasul memerintah agara hadis hadisnya di
tulis seperti yang telah di riwayatkan oleh 'Abd Allah ibn 'Umar, setelah itu Para
muhaddisin membagi periode penulisan hadis menjadi beberapa periode dari 3
sampai 7 periode perjalanan, pada zaman nabi sudah ada penulisan hadis namun
belum resmi kemudian diresmikan pada zaman bani umayyah panjangnya
perjalanan perkembangan hadis itu menimbulkan banyak masalah seperti
munculnya hadis hadis palsu yang dibuat oleh beberapa glongan untuk tujuan
tertentu, lalu para ulama mulai melakukan penelitian tentang ke otentikasian
hadist, seperti memperhatikan sanad dan perawinya.

3.2 SARAN

Tiada gading yang tak retak dan tiada sungai yang tak bermuara, tidak ada
di dunia ini yang sempurna kecuali Allah SWT. Karena itu, jika ada kekurangan
dan kesalahan yang penyusun tulis, kiranya dengan segala kekurang dan
kerendahan hati, penyusun memohon maaf, Kritik dan saran sangat penyusun
harapkan untuk mencapai kesempurnaan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Drs M. Agus Solahudin M.Ag, Agus Suyadi Lc. M.Ag (2008) ULUMUL
HADITS. Bandung: Pustaka Setia

M.Nawawi (2013) PENGANTAR STUDI HADITS. Surabaya: Kopertais IV Press

Prof. Dr H. Idri, M.Ag, dkk (2015) STUDI HADIS. Surabaya: UIN SUNAN
AMPEL SURABAYA

20

Anda mungkin juga menyukai