Disusun Oleh:
Achmad Fahrul Zubaidi (23682081020)
Puji syukur kita panjatkan kehadirat allah swt yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata
kuliah ulumul hadits Progam Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di bawah
bimbingan dosen pengampu: Irfan Musaddat, S.Ag, MA. Dengan judul “Sejarah
Perkembangan Sunnah dan Pembukuannya”, penyusunan ini terdiri dari
beberapa refrensi buku dan sumber media online. walaupun masih banyak
kekurangan dan kesalahan karena terbatasnya ilmu pengetahuan kami tentang
sejarah pendidikan islam mohon dimaafkan. Maka dari itu kritik dan sarannya
agar menjadi lebih lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang sudah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Kelompok 8
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber ajaran islam kedua setelah al-quran. Istilah
hadits biasanya mengacu pada segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi
muhammad saw., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya (fisik
ataupun psikis). Pada zaman dahulu hadits ditulis di pelepah kurma dan media-
media tulis pada saat itu. Ada ahli hadis yang menyakini proses penulisan sabda
Rasulullah SAW dimulai pada era Nabi Muhammad. Namun, ada juga ahli hadis
yang berpendapat bahwa Nabi SAW melarang umatnya pada waktu itu untuk
menulis hadis.
Tulislah (hadis itu!) Demi Allah, tidak keluar dari Rasul itu kecuali
kebenaran, sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
Imam Bukhari. Perintah itu disampaikan Rasulullah kepada sahabat Abdullah bin
Amr bin As. Hadis ini dijadikan dasar bolehnya penulisan hadis sejak zaman Nabi
SAW masih hidup.
Kedua hadis itu benar, ungkap ulama dari al-Azhar Kairo, Syekh Abdul
Halim Mahmud. Larangan menulis hadis yang disampikan Rasulullah itu bersifat
umum, sedangkan diperbolehkannya menulis sabdanya bersifat khusus. Hadis yang
membolehkan, kata ahli hadis dari Suriah, Syekh Muhammad Ajaj al-Khatib, justru
lebih kuat.
4
Kekhalifahan Umayyah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pemimpin yang dikenal jujur dan adil itu memerintahkan pengumpulan, penulisan,
dan pembukuan hadis.
Saat itu, satu persatu penghafal hadis meninggal dunia. Meluasnya daerah
kekuasaan Islam juga membuat para penghafal hadis terpencar-pencar ke berbagai
wilayah. Di tengah kondisi itu, upaya pemalsuan hadis demi memuluskan berbagai
kepentingan merajalela.
Dan oleh karenanya perkembangan hadits pada abad ketiga berupaya
bagaimana hadits tetap terjaga keasliannya dengan menyeleksi riwayat hadits
sehingga hadits tidak tercampur dengan hadits palsu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan ilmu hadits pada abad ketiga?
2. Bagaimana perkembangan ilmu hadits pada abad keempat?
C. Tujuan
1. Memahami perkembangan ilmu hadits pada abad ketiga
2. Memahami perkembangan ilmu hadits pada abad keempat
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
disebabkan rasa kekhawatiran beliau akan hilangnya hadis, karena pada masa itu
keadaan para generasi penerus tidak menaruh perhatian besar terhadap hadis.
Selain itu, pada masa itu juga sudah banyak berita yang diada-adakan oleh
pelaku bid‟ah (al- Mubtadi‟) seperti Khawarij, Rafidhah, Syi‟ah dan bahkan pada
saat itu sudah mulai bermunculan hadis-hadis palsu sehingga Umar bin Abdul
Aziz mengkhawatirkan hilangnya hadis-hadis Nabi saw. Seruan Umar bin Abdul
Aziz akan kodifikasi hadis mendapatkan respon dan antusias umat Islam dan dari
para ulama hadis, sehingga pada masa itu hadis dapat berhasil dikodifikasikan.
Oleh karena itu untuk melengkapi koleksi hadis Nabi, jalan satu-satunya
adalah melakukan pelawatan ke tempat-tempat yang dimaksud. Usaha ini
dipelopori oleh Bukhori. Selama 16 tahun Bukhori telah melakukan perlawatan ke
kota Makkah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Demaskus, Naisabur
dan sebagainya. Ringkasnya, Bukhari membuat langkah baru untuk
mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Kemudian diikuti Muslim,
Abu Dawud, at-Turmudzi, an-Nasa‟I dan lain-lain
7
2. Mengadakan kualifikasi hadis dan seleksi hadis antara shahih dan dhaif.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pembukuan hadis yang dimulai sejak
abad ke-2 H belum begitu sempurna. Kitab-kitab hadis karya ulama abad ke-2
masih berisi campuran antara hadis shahih dan dha‟if. Begitu pula belum
dipisahkan antara hadis yang marfu‟, mauquf dan maqthu‟. Usaha klasifikasi
pembukuan hadis ini semata-mata dilakukan untuk memisahkan hadis marfu‟,
mauquf dan maqthu‟. Dengan usaha ini, maka hadis Nabi telah terpelihara dari
percampuran dengan fatwa sahabat dan fatwa tabi‟in. Sebelumnya ulama
menerima hadis dari perawi, lalu menulisnya ke dalam buku dengan tidak
menetapkan syarat-syarat menerima hadis dan tidak memperhatikan shahih atau
dhaifnya. Dari sini, terasa ada ruang untuk menambahkan lafal hadis atau
membuat hadis maudhu‟ sehingga mempengaruhi ke ontetikannya. Melihat dari
hal ini, ulama membagi hadis dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat
ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain.
8
3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-Keadaan Mereka tentang
kebenarannya ataupun Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan
hadis-hadis yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal
ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah
perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari
keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan– segan
menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada khalayak
umum. Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk
menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga
menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima hadisnya.
Hasilnya, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta‟dil.
9
mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadis yang berkualitas tidak shahih
biasanya, oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya. Kitab sunan termasuk
disusun dengan metode mushannaf. Contohnya adalah Kitab Sunan Abu
Dawud, Sunan at-- Turmudzi, Sunan an-Nasa‟i, Sunan Ibnu Majah dan Sunan
ad-Darimi.
3) Kitab Musnad
Kitab hadis yang disusun dengan menggunakan nama-nama perawi pertamanya
(rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadis-hadis yang
diriwayatkan A‟isyah, dihimpun di bawah titel A‟isyah. Hadis-hadis yang
diriwayatkan Ibnu Abbas, dihimpun di bawah titel Ibnu Abbas dan seterusnya.
Kitab musnad ini berisi hadis yang berkualitas shahih dan tidak shahih, tetapi
tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang penyusun. Contoh Kitab Musnad , karya
Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim alBaghawi, kitab
Musnad , karya Utsman bin Abi Syaibah.
10
8. al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
9. al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).
12. al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276H).
15. al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. al-Musnad oleh Imam „Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
17. al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H)
18. al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307 H).
19. al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad
atTamimi (282 H).
20. al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi „Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani
(wafat 287 H).
21. al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani
(wafat 243 H).
22. al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H).
23. al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).
24. al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228 H).
11
Faktor internal pertama yaitu, kelemahan dan ketidakmampuan khalifah
dalam memimpin dan mempertahankan perselisihan dalam aspek politik.
Runtuhnya Bani Abbasiyah berawal dari tindakan Al-Makmun pada tahun 813-
842 yang mengangkat saudara kandungnya untuk melanjutkan pemerintahannya
yaitu Al-Mukhtasin pada tahun 833-842. pada masa pemerintahan Al-Mukhtasin,
ia memindahkan ibu kota yang semulanya di Baghdad beralih ke kota Samaara
sekitar 75 km dari hulu sungai Tigris. Perbuatan tersebut bertujuan untuk
memperkuat pemerintahannya. Selain itu, ia juga mengangkat dan mengumpulkan
orang Turki untuk mendorong kemajuan dalam pemerintahannya. Namun,
rencana tersebut belum berjalan sepenuhnya karena beliau menghembuskan nafas
terakhir pada tahun 842. Sehingga tahta pemerintahan di wariskan kepada
khalifah selanjutnya yang memiliki kredibilitas lemah. Faktor lainnya yaitu,
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Lahirnya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri, kemunduran sistem perekonomian, munculnya aliran-aliran
sesat, dan fanatisme dalam keagamaan. Itulah penyebab yang mempengaruhi
kemunduran peradaban Bani Abbasiyah.
Adapun faktor eksternal yaitu terjadinya perang Salib dan penyerangan yang
dilakukan oleh bangsa Mongol ke Bani Abbasiyah. Perang Salib terjadi karena
keluarga Seljuk merampas Baitul Maqdis. Sehingga membuat umat Kristen
menanamkan kebencian pada umat Islam. Pada akhirnya, Paus Urbanus II pada
tahun 1095 memberikan perintah pada semua umat Kristen untuk melakukan
perang Suci atau yang disebut perang Salib. Meskipun angin abad ini membawa
hembusan propaganda, namun ilmu pengetahuan dan gerakan-gerakan ilmiah
masih berkembang pada saat itu, bahkan para ulama bermigrasi dari daerah satu
ke daerah lainnya untuk saling berbagi pengetahuan, mereka memperlihatkan
kitab-kitab dan riwayat-riwayat yang didengar kepada para guru. Sementara itu,
abad ke-4 Hijriyah ini adalah abad pemisah antara ulama mutaqoddimin, yang
dalam penyusunan kitab hadist mereka berusaha sendiri menemui para sahabat
atau tabi‟in penghafal hadist. Kemudian meneliti sendiri dengan ulama
mutaakhirin yang usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil
dari kitab-kitab ulama mutaqoddimin. Mereka juga memiliki geliat ilmiah dalam
mengkritik para perawi, mensyarah, meringkas dan memverifikasi hadist, baik
12
dalam ilat-ilat hadis, sejarah para perawi dan ilmu hadist secara umum. Mereka
juga menghimpun kitab-kitab hadist yang tercecer pada masa sebelumnya, atau
menyingkatnya dengan menghapus rantai sanad yang memang diaharuskan untuk
dibuang, mereka juga melakukan penertiban serta merevisi hadis-hadis.
Gerakan Syarah dan Ikhtisar ini dilakukan karena para ulama telah menyadari
bahwa upaya seleksi hadis telah mencapai puncaknya pada gerakan shahih yang
dipelopori oleh Bukhari sehingga pada abad IV Hijriah dan seterusnya para ulama
hanya sebatas menyalin, memeriksa, melengkapi, menyelidiki, mensyarah dan
meringkas karya-karya sebelumnya.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadis.
Secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledge,dan science. Sedangkan
hadis artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik
dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuan. Abad ke-3 H merupakan abad di
dalam periode kelima. Di mana, pada periode ini merupakan periode pemurnian,
penyehatan, dan penyempurnaan (al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) hadis. Abad
ini dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Abbasiyah angkatan pertama
yakni Khalifah al-Makmun sampai awal pemerintahan Bani Abbasiyah angkatan
ke dua yakni Khalifah alMuqtadir. Sistem penyusunan yang dipakai adalah
tashnid, yakni menyusun hadis dalam kitab-kitab berdasrkan nama sahabat
perawi.
Namun sistem ini kelemahannya adalah sulit untuk mengetahui hukum-
hukum syara‟ sebab hadis–hadis tersebut dikumpul dalam kitab tidak berdasarkan
satu topik bahasan. Kegiatan yang mereka lakukan adalah melakukan rihlah untuk
mencari hadis, mengadakan kulifikasi dan seleksi hadis antara yang shahih dan
dhaif, mengkritik perawi dan menerangkaan keadaan mereka tetang kebenarannya
dan kedustaannya, dan menyusun hadis sesuai dengan tema atau masalah. Bentuk
penyusunannya yaitu Kitab Shahih, Sunan, Musnad.
Pada abad ke IV H. dan selanjutnya, kontribusi para ulama hadits
didasarkan atas literatur hadits yang telah dihasilkan sebelumnya dan terfokus
pada upaya untuk menambah, mensyarah, meringkas, mengkritik, mengomentari
dan merevisi karya-karya yang sudah ada. Gerakan syarh dan ikhtishar ini
dilakukan karena para ulama telah menyadari bahwa upaya seleksi hadits telah
mencapai puncaknya pada gerakan shahih yang dipelopori oleh Bukhari sehingga
pada abad IV H. dan seterusnya para ulama hanya sebatas melengkapi, mensyarah
dan meringkas karya-karya sebelumnya.
14
B. Saran
Penulis menyadari lemahnya pemahaman akan materi yang diberikan oleh
dosen pembimbing. Tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan kami untuk lebih
maksimal dalam mengolah dan memperkaya isi makalah kami ini. Oleh sebab itu
kami meminta dengan setulus hati kepada para pembaca yang budiman agar
memberikan kirtik saran yang membangun supaya dengan kritik tersebut dapat
membuat kami menyadari kesalahan dan dapat memeprbaiki kesalahan itu di
makalah-makalah selanjutnya. Saran penulis agar lebih memahami isi makalah
kami. Kami minta pembaca yang budiman membaca dengan seksama isi makalah
kami ini. Salam dan Hormat dari penulis.
15
DAFTAR RUJUKAN
Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, al-Khatib,
Ajjaj. Ushul al-Hadis, t.d.
Tsauqi Abu Kholil, Atlas Hadits Nabawi, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
16