Anda di halaman 1dari 37

KAJIAN HADIS DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYIAH

MATA KULIAH: METODE STUDI HADIS AS


DOSEN PENGAMPU : SAHIBUL ARDI BIN AMIR HASAN, SHI, MA
ASISTEN DOSEN : -

OLEH:

Nafhatul Hasaniah

Raudah

Sarbani

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

‫ب ِۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱ َّلرمۡح َ ٰ ِن ٱ َّلر ِح ِمي‬


Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Yang dengan rahmat, taufik, dan
hidayah serta inayah-Nya jualah, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak
lupa shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW.
Yang dengan perjuangan beliaulah sehingga kita dapat menikmati nikmat Islam
yang begitu indah.

Makalah yang kami susun di bawah ini yaitu tentang “kajian hadis dalam
pandangan sunni dan syiah”. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua
yang membacanya. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini pasti terdapat
kekurangan, untuk itu kami mengharapkan adanya kritik ataupun saran yang
membangun, agar kedepannya kami perbaiki ke arah yang lebih baik lagi.

Kandangan, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1


B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 3

A. Penulisan dan pengumpulan hadis dikalangan Sunni dan Syiah. 3


B. Beberapa literatur hadis dikalangan Sunni dan Syiah ................ 11
C. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis dikalangan Sunni
dan Syiah ..................................................................................... 22
D. Penggunaan hadis sebagai hujjah dikalangan Sunni dan Syiah . 28
BAB III PENUTUP............................................................................... 30

A. Simpulan .................................................................................... 30
B. Saran ..................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis dalam studi keislaman mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia
pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Kodifikasinya
pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antar kelompok
Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Sampai pada
akhir abad ke-9 M, usaha kodifikasi tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi
besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi
hadis lainnya.

Terdapat satu anggapan, bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran Islam


berdampak atau bahkan merupakan sumber pada perbedaan hadis yang diakui
oleh masing-masing kelompok. Kelompok Sunni misalnya, hanya berpegang pada
riwayat Sunni saja, sementara kelompok Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis
riwayat kelompok Syi’ah saja. Demikian seterusnya. Masing-masing kelompok
cenderung egois dan hanya mementingkan kelompoknya. Lebih parah lagi, hadis-
hadis yang ada banyak dibuat oleh kelompok tertentu demi kepentingan
kelompoknya, bahkan tidak sedikit yang mendiskreditkan mazhab yang
berseberangan. Dampak terbesar dari anggapan ini adalah, hadis-hadis yang ada
tidak bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya karena dibuat/dipalsukan oleh
mazhab-mazhab tertentu demi kepentingan mereka.

Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis antara Sunni dan


Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistimologi. Upaya untuk melihat konstruk
hadis ini sangat urgen lantaran hadis sebagai laporan sejarah masa lampau
mengenai kehidupan Nabi yang telah lenyap ditelan waktu, sebuah pengalaman
yang berada jauh dari jangkauan pengetahuan inderawi. Jarak waktu yang cukup
lama antara Nabi dan para penghimpun hadis serta adanya perbedaan visi dan misi
politik mazhab menambah rumitnya pembuktian otentisitas hadis. Prinsip
mendasar yang perlu dicermati adalah kriteria-kriteria yang kedua faksi ini

1
2
gunakan dalam mengukur keshahihan sebuah hadis yang diduga kuat bersumber
dari Rasulullah saw.

Berdasarkan uraian di atas, banyak hal yang terkait dan juga menarik untuk
dikaji dan diteliti. Mulai dari penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni
dan Syi’ah, literatur-literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, klasifikasi dan
persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, sampai pada
bagaimana penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah.
Berangkat dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian
tentang hadis dalam pandangan Sunni dan Syi’ah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan
Syi’ah.?
2. Apa saja Literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.?
3. Bagaimana Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis dikalangan Sunni
dan Syiah.?
4. Bagaimana Penggunaan hadis sebagai hujjah dikalangan Sunni dan
Syiah.?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui cara Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan
Sunni dan Syi’ah.
2. Untuk mengetahui Literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.
3. Untuk mengetahui Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis dikalangan
Sunni dan Syiah.
4. Untuk mengetahui Penggunaan hadis sebagai hujjah dikalangan Sunni dan
Syiah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah

Hampir tidak ada kesepakatan di kalangan ulama sunnî mengenai proses


kodifikasi hadis. Sebagian mereka mengakui kodifikasi secara resmi baru dimulai
pada awal abad kedua Hijriyah atas ide dan prakarsa Khalifah Umar bin Abd al-
Aziz (99-101 H.) ketika ia memerintahkan Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm
dan penduduk Madinah untuk menghimpun dan menuliskan hadis1. Ibnu Hajar al-
Asqalani (w. 852 H.) mengatakan bahwa al-Zuhri lah (w.124 H.) orang pertama
yang menyelesaikan tugas khalifah tersebut2. Pendapat ini dipegangi pula oleh
Imam malik3.

Para orentalis memandang masalah ini dengan pendapat yang berbeda-beda.


William Muir (Inggris) setuju dengan pendapat mayoritas sunnî dengan
argumentasi tidak ditemukannya peninggalan yang otentik dari kompilasi
manapun sebelum pertengahan abad kedua Hijriyah4. Goldziher (orientalis
terkemuka dari Hongaria, 1850-1921) juga berpendapat bahwa pencatatan hadis
baru dilakukan pada awal abad kedua Hijriyah. Meskipun ia mengakui adanya
shahifah yang ditulis pada masa Rasulullah saw. namun pernyataan dan kebenaran
informasi ini menurutnya banyak meragukan5.

Joseph Schahct mengatakan bahwa informasi penulisan hadis yang


dilakukan al-Zuhri adalah palsu, sebab hadis-hadis fikih baru muncul sesudah

1
Al-Baghdadi, Taqyid al-'Ilm, hal. 5; al-Qurtubi, Jâmi' Bayan al-'Ilm, I hal. 76

2
Sir William Muir, Life of Mahomet, London, 1894, hal. Xxx-xxxi, London, 1894

3
Ignaz Goldziher, Muhammadanische Studien, hal. 241-250; lihat Subhi Shaleh, 'Ulûmu al-
Hadîts, hal. 34

4
MM. Azami, Hadits Nabawî, hal. 108

5
Ja'fariyan, Tadwin., vol. VI, no. 1

3
4
Umar bin Abd al-Aziz6. Kebenaran pendapat ini karena ia mengira bahwa kitab
al-Muwaththa' Imam Malik (93-179 H.) merupakan kitab hadis pertama. Tetapi
harus dipahami bahwa kitab tersebut hanya merupakan hadis pertama yang
dibukukan berdasarkan metode penyusunan kitab-kitab hukum.

Kronologi keterlambatan penulisan hadis di kalangan sunnî disebabkan


karena beberapa faktor. Menurut Ja'fariyan faktor-faktor tersebut yaitu; pertama,
karena sunnî meyakini betul adanya pelarangan penulisan hadis yang bersumber
dari Nabi saw. Pendapat ini berbeda dengan kaum syi'ah yang mengabaikan
pelarangan tersebut; Faktor kedua adalah karena tindakan politis kedua khalifah
yaitu Abu Bakr dan Umar bin Khaththab yang berinisiatif sendiri melarang
penulisan hadis dengan maksud mengekang kritikan dan mengkonsolidasikan
kekuasaannya lebih jauh7. Alasan yang kedua ini menurut penulis masih perlu
ditelusuri dan ditelaah lebih lanjut tentang kebenarannya. Keterlambatan
pembukuan hadis sampai seratus tahun lebih menurut Muhammad Mustafa
Azami8 dalam disertasi doktornya karena mereka hanya mengikuti pendapat yang
telah populer di kalangan sunnî seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-
Asqalani. Menurut al-Asqalani tidak dibukukannya hadis Nabi saw. pada masa
sahabat dan tabi'in besar karena tiga faktor. Pertama, mayoritas mereka tidak
dapat tulis-menulis; kedua, hafalan mereka sangat kuat sehingga lebih
mengandalkan hafalan; ketiga, semula karena adanya larangan penulisan hadis
yang diduga kuat bersumber dari nabi saw. –seperti tersebut dalam kitab hadis
shahih Muslim- karena kekhawatiran bercampur dengan Al-Qur'an sekaligus
menjadi alasan keterlambatan penulisan hadis9.

6
Muhammad Musthafa al-'Adzami meraih gelar doktor di Cambridge University dengan
judul disertasi Studies in Early Hadith Literature, yang kemudian disertasinya diterbitkan di
Indiana Polish, Amerika pada tahun 1978. Pada tahun 1980 diterjemahkan kedalam bahasa Arab
dengan judul Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawi wa al-Tarîkh Tadwînih

7
MM. Azami, Ulumul Hadis dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 110

8
Al-Asqalani, Fath al-Bâri, I hal. 208

9
MM. Azami, Metodologi Kritik Hadis, hal. 55-56 dan Hadis Nabawi., hal. 155. Nabi Abbott
dan M.M Azami memaparkan secara detail tentang bukti konkrit tradisi penulisan hadis pada
5

Ketiga alasan itu, dianalisa kembali oleh Azami sekaligus dibantahnya


dengan beberapa argumentasi. Pertama Azami menolak argumentasi pertama
karena sudah banyak shahabat yang pandai menulis. Bila hal ini kita tolak,
bagaimana al-Qur'an dapat ditulis? Apa maksud larangan penulisan hadis bila para
shahabat tidak pandai menulis? Disamping itu di temukannya informasi tentang
banyaknya sekretaris Nabi saw. dari kalangan sahabat yang mahir membaca dan
menulis. Alasan kedua, tentang kekuatan hafalan mereka, namun dalam sejarah
mereka aktif menulis syair-syair dan lain sebagainya. Penolakan alasan yang
ketiga bahwa ada tiga sahabat yaitu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah dan Zaid bin
Tsabit yang meriwayatkan pelarangan penulisan hadis. Di antara ketiga shahabat
ini hanya satu jalur sanad yang sahih yaitu Abu Sa'id al-Khudri melalui jalur
periwayatan Hamman bin Yahya. Hadis lainnya yaitu dari Zaid bin Tsabit dan
Abu Hurairah adalah dha'îf (lemah). Kualitas hadis itu lemah karena riwayatnya
melalui seorang periwayat yang bernama Abdurahman bin Zaid yang dikenal
dalam kalangan ahli hadis berstatus lemah. Hadis riwayat Zaid bin Sabit adalah
mursal karena salah seorang periwayatnya yang bernama al-Muthalin bin
Abdullah tidak belajar atau menerima langsung dari Zaid bin Aslam. Adapun
hadis Abu Sa'id di atas yang dianggap berkualitas shahih namun Bukhari
menilainya hadis mawquf karena merupakan pernyataan Abu Sa'id sendiri10. Dari
6
uaraian itu menurut Azami tidak ada satupun alasan yang konkrit untuk melarang
penulisan hadis11.

Nampaknya al-Azami cenderung kepada pendapat Imam Bukhari yang


mengatakan hadis itu mawquf, atau Imamiyah yang menolak hadis pelarangan
masa awal Islam. Namun bukti-bukti yang diajukan keduanya dibantah oleh Juynboll. Menurut
Juynboll manuskrip-manuskrip yang dimaksud tidak realistik (unearthed) dan hanya bersifat
dugaan sebagai teks-teks kuno yang gampang dipalsukan pada generasi berikutnya. Bukti yang
ditunjukan Azami dan Abbott dianggap lemah ditinjau dari aspek filologi. Lihat M.M. Azami, Hadis
nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah Mustafa Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, thn 1994) hal.
132-134 dan G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition Studies in Chronologi, Provenance and Authorship
of early Hadith (Cambridge: Cambridge University Press, thn 1967), hal. 6-32

10
MM. Azami, Hadis Nabawi., hal. 155-156

11
Makki al-Syami, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu al-Mubtadi'ah fiha, (Amman, Dâr
'Imâr, thn. 1999), hal. 49
penulisan hadis. Namun bila status hadis itu marfu’ maka pelarangan itu
menurutnya lebih cenderung hanya bersifat sementara artinya pelarangan itu
berlaku pada saat penulisan hadis bersamaan dengan penulisan Al-Qur'an karena
khawatiran akan terjadi percampuran12.

Terlepas dari perbedaan yang telah dideskripsikan namun hampir sepakat


ulama sunnî bahwa orang yang pertama memikirkan pengumpulan pencatatan
sunnah dari kalangan tabi'in adalah Umar bin Abdul Aziz (dari bani Umayah).
Sejarah mencatat peristiwa ini ketika Umar mengirim Abu Bakr ibn Hazm, yaitu
menteri dan qadhinya ke Madinah13 dan berpesan; "Perhatikanlah apa dari hadis
Rasulullah saw. kemudian catatlah, karena aku khawatir akan hilangnya ilmu
karena perginya (wafat) para sarjana". Tugas suci inipun dilakukannya dan ia
menulis untuk Umar hadis yang ada pada 'Umrah bin Abdurahman al-Anshariyah
(w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr (w. 120 H). Intruksi ini
bukan hanya pada Ibnu Hazm, Abu Naim menceritakan dalam bukunya, Tarikh
Isbahan, bahwa Umar menulis kepada penduduk daerah, "Perhatikanlah hadis
Rasulullah saw. dan kumpulkan".14 Usaha pengumpulan hadis yang dilakukan
Ibnu Hazm belum maksimal, artinya ia belum sempat menuliskan semua sunnah
dan merekam secara tercatat cerita masa lalu yang ada di Madinah. Pencatatan
hadis selanjutnya disempurnakanlah oleh Imam Muhammad ibn Muslim ibn
Syihab al-Zuhri (w. 124 H) seorang ahli hadis yang menonjol di zamannya dalam
bidang sunnah. Umar bin Abdul Aziz telah mengutus pembantunya untuk
menemuinya. Al-Zuhri disebut-sebut oleh Muslim telah mengetahui dan memiliki
sembilan puluh hadis yang tidak dituturkan oleh orang selainnya. Ulama hadis
menilainya sekiranya bukan karena al-Zuhri, maka pasti banyak sunnah yang
hilang. Meskipun pada zamannya ada al-Hasan. Pencatatan yang dilakukan al-
Zuhri pun belum sempurna seperti pembukuan yang telah di lakukan Bukhari,
Muslim atau Ahmad dan sarjana hadis. Pencatatan itu baru sebatas penulisan yang
12
Ibnu Hajar, al-Asqalani, Fathu al-Bari, juz I, (Mesir, Matha,ah al-Halabi tth.) hal. 174
13
Muhammad Zuhri, Hadis Nabi (Tela'ah Histori dan Metodologi), (Yogyakarta. PT Tiara
Wacana, thn. 1997) hal. 58
14
Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi (Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam), penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, thn. 1991) hal. 75
7

telah di dengar dari shahabat tanpa membaginya ke dalam bab-bab tertentu.


Pencatatan pada masa ini masih tercampur antara sabda Nabi saw., dengan ucapan
para sahahabat, dan perkataan tabi'in. 15 Al-Zuhri diakui oleh sunnî sebagai orang
yang pertama meletakkan batu pondasi dalam pembukuan sunnah pada saat
sejumlah tabi'in masih alergi dan benci penulisan sunnah (ilmu). Umumnya
mereka menolak rencana pembukuan sunnah dengan argumentasi akan
melemahkan hafalan. Al-Zuhri termasuk menolak usaha ini pada awalnya.16

Usaha pencatatan hadis berkembang pesat setelah generasi al-Zuhri.


Pengumpul hadis yang pertama di Makkah oleh Ibnu Juraij (w. 150 H) dan Ibnu
Ishaq (w. 151 H), di Madinah oleh Sa'id bin Abi 'Urûbah (w. 156 H), al-Rabih ibn
Shabiîh (w. 160 H), Imam Malik (w. 179 H), di Bashrah oleh Hammad bin
Salamah (w. 176 H), di Kufah oleh Sufyan al-Tsaurî (w. 161 H), di Suriah/Syam
oleh Abu Amr al-Awzâi (w. 156 H) di Wasith oleh Hasyim (w. 188 H), di
Khurasan oleh Abdul malik ibn Mubarak (w. 181 H), di Yaman oleh Ma'mar (w.
153 H) di Ray oleh Jarir bin Abdul hamid (w. 188 H). Pencatatan hadis pun di
lakukan oleh Sufyan bin 'Uyainah (w.198 H) di Makkah, Laits bin Sa'ad (w. 175
H) di Mesir dan Syu'bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) di Bashrah/Irak.17

Pada abad ketiga, mulailah semarak pengkajian hadis dengan tampilnya 8

sarjana-sarjana hadis dengan karyanya yang agung. Penulisan pada masa ini
dalam sejarah sunnî dimulai dengan metode isnad yaitu mengumpulkan dalam
satu bab hadis-hadis yang diriwayatkan oleh shahabat meskipun hanya berbagai
pokok bahasan saja. Yang pertama merintis dan pelopor usaha ini yaitu Abu Daud
Ibn al-Jarad al-Thayalisi (w. 204 H) diikuti oleh Abdullah bin Musa al-Absi al-
Kufi, Musaddad al-Bashri, Asad bin Musa dan Na'im bin Muhammad al-Khuzai.
15
Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manhaj al-Muhadditsîn, cet. Ke II, (Kairo, tp. 1988) hal.
32; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn bi Naqdi al-Hadîts, hal. 59-61; Mustafa
al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. Sunnah dan Peranannya dalam
Penetapan Hukum Islam, penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka Firdaus, thn.
1991) hal. 76

16
Ibid. hal.69

17
Hasyim Ma'ruf al-Husainî, Dirasah fil-Hadîts, hal. 118
Imam Ahmad pun menulis kitab Musnadnya yang dikenal (Kitab al-Muwaththa')
dan Ishaq bin Rahawih dan Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain. Metode yang
mereka tempuh adalah menyusun secara terpisah hadis Nabi saw. dengan ucapan
shahabat dan fatwa para tabi'in. Kelemahan metode ini, karena mereka masih
mencampuradukkan yang otentik dengan lainnya, hadis shahih dan lemah,
pengulangan lafaz hadis yang diriwayatkan oleh banyak shahabat, sulitnya
mencari hadis-hadis yang membahas suatu permasalahan tertentu seperti hukum.
Adapun kelebihannya mudah mencari hadis bila pencari hadis mengetahui perawi
'alâ (nama shahabat yang meriwayatkan hadis).18

Kondisi itulah yang mendorong para ahli hadis selanjutnya sekaligus


tantangan bagi mereka untuk menempuh metode baru dalam karyanya yaitu
dengan hanya membatasi kepada pencatatan hadis yang shahih saja menurut
metodenya sendiri. Usaha ini menurut sunnî dipelopori oleh Muhammad bin
Ismail al-Bukhari (w. 256 H) dengan di tulisnya kitabnya yang masyhur, al-Jâmi
al-Shahîh. Kemudian usaha ini diikuti oleh ahli hadis sezamannya dan muridnya
yaitu Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairî (w. 261 H), dengan disusunnya kitab
shahihnya yang terkenal Shahîh Muslim. Metode penulisan yang dilakukan
Muslim sedikit berbeda dengan pendahulunya.

Karya kedua ulama sunnî ini diakui oleh sebagaian kaum Sunnî sebagai
karya yang sudah lolos sensor terutama Imam Bukhari, "Setiap yang diriwayatkan
dari Bukhari pasti telah melewati jembatan" Maksudnya kualitas periwayatannya
standar di atas syubhat dan ihtimâlat.19 Kedua ahli hadis sunnî itu berjasa dalam
meratakan jalan di depan para peneliti hadis untuk mengetahui mana hadis shahih
dan dha'if tanpa harus meneliti sendiri dan bertanya kepada tokoh Hadis. Secara
umum keduanya telah menghimpun hadis-hadis shahih dalam kitab al-Shahihain.
Keshahihan hadis yang mereka maksud bukan berarti tidak ada yang mengoreksi
keshahihan. Dalam perkembangan kajian hadis banyak ulama hadis sesudahnya
18
Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Raudh al-Dânî fî al-Fawaid al-Hadîtsiyah, cet I,
(Amman, al-Maktabah al-Islamiyah, thn. 1422 H), hal. 72

19
Mahmud al-Thahan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsatu al-Asânîd, (Beirut, Dârul al-Qur'an al-
Karîm, thn. 1979) hal. 45
9

mengkaji ulang dan mengkritisinya. 20 Menurut penulis nampaknya inilah salah


satu yang menjadi perbedaan antara Sunnî dengan Syi'î, di mana kaum Syi'ah
Imamiyah tidak pernah mengklaim satupun kitab hadisnya yang sudah lewat
jembatan. Sebaliknya mereka membuka peluang selebar-lebarnya untuk dikritisi.

Prakarsa dari kedua ulama hadis sunnî inilah menjadi motivator ahli hadis
sesudahnya dengan tersusunnya beberapa kitab hadis yang ditulis oleh pakar hadis
di antaranya; Abu Daud (w. 275 H), al-Nasa'i (303 H), al-Turmudzi (w. 279 H),
Ibnu Madjah (w. 273 H). Setelah priode ini berakhir, para ahli hadis pada abad
keempat tidak terlalu banyak kontribusinya terhadap perkembangan hadis, mereka
hanya menambah sedikit yang mereka temukan. Kegiatan mereka sekedar
menghimpun apa yang telah dikumpulkan oleh pendahulunya, dengan bersandar
kepada metode kritik yang telah ada pada mereka dan memperbanyak saluran
hadis. Para pemuka yang terkenal abad ini ialah Imam Sulaiman bin Ahmad al-
Tabrani (w, 360 H) yang meyusun tiga buah Mu'jam yang berisikan nama
shahabat di susun berdasarkan abjad dan memuat duapuluh ribu limaratus
limapuluh hadis dan disusun pula nama-nama gurunya berdasarkan abjad.
Termasuk tokoh abad ini ialah al-Daraquthni (w. 385 H), Ibnu Hibban al- Busthi
(w. 354 H), Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan al-Thahawi (w. 321 H). 21 Kemudian
bagi ulama priode berikutnya hanya melakukan enovasi dan sedikit
penemuanpenemuan baru yang dipelopori di antaranya al-Hakim (w. 405 H), al- 10

Baihaqi (w. 458 H) dan terakhir oleh al-Bagawi (w. 505 H).

Berakhirnya priode tersebut, maka selesailah menurut Sunnî pembukuan sunnah,


pengumpulan dan pemisahannya, yaitu mana hadis yang shahih dari yang lainnya.
Bagi ulama hadis pada abad-abad selanjutnya tidak ada yang tersisah kecuali
beberapa penemuan baru dan para ulama pun menerima sebagian dari penemuan
itu dan menolak sebagian lainnya.

20
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, (Beirut, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H.) hal.
1346
21
Al-Khatib al-Baghadadi, al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah, (Haydarabat: Dâirah al-Ma'ârif al-
Islamiyah, thn. 1313 H.) hal. 50
Sedangkan di kalangan Syi’ah, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya,
bahwa Syi’ah meyakini sumber hadis tidak hanya terletak pada hal ihwal yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Secara doktrinal, sumber hadis di
kalangan Syi’ah berbeda dengan ortodoks muslim. Sumber hadis tidak hanya
sebatas dari ucapan dan perbuatan Nabi, tetapi mencakup semua ucapan dan
perilaku para imam ma’shum, termasuk ucapan Fatimah binti Muhammad saw.,
karena termasuk dalam khitab ahl al-Bait yang dijamin kesuciannya oleh wahyu.
Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak
zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya
meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Beliau mendiktekan
hadis-hadis kepada ‘Ali ra. Yang kemudian ditulis dalam lembaran-lembaran dan
disimpan dalam sarung pedangnya. Tatkala Rasulullah wafat, Ali ra.
memeliharanya dengan baik. Sahifah itu kemudian dikenal dengan “sahifah ‘Ali”.
Selain sahifah, yang umumnya memuat hukum diyat dan beberapa persoalan
lainnya, Rasulullah saw. juga mendiktekan kepada ‘Ali ra. hadis-hadis lain yang
disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar yang kemudian
dikenal dengan nama al-Jami’ah.22
Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha
membukukan kembali hadis-hadis yang saat itu sempat tercecer. Mereka memulai
dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung dari orang ke
orang hingga sampai pada Rasulullah saw., atau sampai ke salah satu imam dua
belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qibti al- 11
Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam, dan al-Qadaya.23
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya
ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis
utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la
Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min
Akhbar.
22
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
23
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), juz1,3.
B. Beberapa literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah
1. Shahih Bukhariy dan Sunni

Keseriusan Imam Bukhari menghimpun dan menyeleksi hadis yang


dituangkan dalam kitab shahihnya tidak diragukan. Karya Imam Bukhari ini
diakui oleh kaum sunnî sebagai hadis yang paling tershahih di antara
kitabkitab hadis shahih yang ada. Keunggulanan karya Imam Bukhari dari
karya ulama-ulama hadis lainnya menjadikan kitab hadisnya sebagai kitab
hadis yang menempati posisi teratas dari kitab-kitab hadis lainnya sekalipun
sekelompok kecil sunnî mendahulukan kitab Shahih Muslim. Kitab ini ditulis
oleh Imam Bukhari sebagai karya monumental yang sangat berharga di
bidang hadis sunnî. Kitab ini menghimpun hadis-hadis shahih yang berjudul
al-Jâmi' al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Umûri Rasulillah saw, wa
sunanih wa Ayyâmih yang lebih dikenal Shahih Bukhari. Signifikansi kitab
hadis ini terlihat banyaknya ulama hadis memberikan perhatian serius baik
kelompok sunnî maupun dari kelompok syî'î tentang hadis yang terdapat di
dalamnya. Sekitar 80-an lebih karya susulan yang lahir untuk men-syarah
kitab ini di antaranya –yang terkenal- Fath al-Bârî karya Ibnu Hajar al-
Asqalani (852 H), 'Umdat al-Qârî oleh al-'Aini (855 H), Irsyad al-Târî oleh
Ahmat al-Qasthalâni (923 H), dan lain-lain.24

Shahih Bukhari ditulis oleh orang yang terkemuka di bidang hadis 12


sunnî. Di kalangan pemerhati hadis sunnî nama penulisnya tidak asing lagi
bahkan di kalangan komunitas syî'î pun sangat dikenal. Nama lengkapnya
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-
Bukhari, atau Abu Abdillah al-Bukhari, lahir di Bukhara tahun 194 H. Beliau
wafat di desa Khartank, Samarkand pada tahun 256 H. dalam usia 62 tahun.25

Ibnu Hajar seorang pakar hadis sunnî mengatakan bahwa seluruh hadis
yang terdapat dalam shahih Bukhari yang matan-nya bersambung tanpa

24
Subhi Shalih, 'Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 396-397
25
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 9 no. 53, hal 41-42, dan Imam al-Suyuthi,
Thabaqât al-Huffâdz, juz I, no. 560, hal. 252-253
pengulangan redaksi hanya berjumlah 1602. Sementara hadis yang matan-nya
mu'allaq dan marfu' namun sanad-nya tidak di-istishal-kan di tempat lain
sebanyak 159 hadis sehingga jumlah keseluruhan hanya 1761 hadis. Menurut
al-Hasani sebanyak 7397. Jumlah hadis itu akan lebih banyak menurut al-
Hasani bila hadis-hadis mu'allaq dan mutaba'at digabungkan, maka jumlah
secara keseluruhannya sebanyak 9072. Hadis itu, akan berkurang menjadi
2762 bila hadis-hadis tersebut dikeluarkan hadis-hadis yang berulang-ulang
dan dihitung hanya hadis muttashil sanad-nya sampai kepada Rasulullah
saw.26

Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis melalui periwayatan shahabat-


shahabat Nabi saw. Di antara shahabat tersebut yaitu dari Marwan bin
Hakam, Abu Sufyan, Mu'awiyah, Amr bin 'Ash, Mughirah bin Syu'bah,
Abdullah bin Amr bin 'Ash, Nu'man bin Basyir al-Anshari. Hadis yang paling
banyak diriwayatkan oleh Bukhari ialah hadis yang diriwayatkan Abu
Hurairah sebanyak 446 hadis, Abdullah bin Abbas sebanyak 217 hadis, -
kabanyak hadisnya melalui jalur periwayatan Ikrimah yang tertuduh sebagai
pengikut Khawarij, Aisyah sebanyak 242 hadis, Mu'awiyah sebanyak 50
hadis, Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar sebanyak 270 hadis, Abdullah
bin Amr bin Ash, Ali hanya 29 hadis, Abu Musa al-Asy'ari sebanyak 57
hadis, Mughirah bin Syu'bah sebanyak 8 hadis, Nu'man bin Basyir sebanyak
13
6 hadis, Miqdad bin Aswad sebanyak satu hadis, Ammar bin Yasir dan
Salaman hanya 4 hadis, Fatimah al-Zahrah hanya satu hadis, dan sama sekali
tidak meriwayatkan hadis dari Hasan dan Husen yang digelar sebagai syabab
ahlu jannah (pemudah ahli surga) oleh Nabi saw.27

2. Komentar Ahli Hadis tentang Bukhari dan Kitab Shahihnya

Banyaknya komentar positif tentang Imam Bukhari dan kitab


shahihnya, menunjukkan keunggulannya dalam bidang hadis di kalangan
kaum sunnî. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki Imam Bukhari,

26
al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 123
27
al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 124
cukup bagi penulis untuk menginformasikan penilaian para ulama hadis yang
memberikan gelar dan penghargaan tertinggi di bidang hadis dengan gelar
Amir al-Mukminîn fî al-Hadîts.28 Kaum sunnî pun menempatkan karya al-
Jâmi' al-Shahih-nya yang paling shahih di antara kitab-kitab hadis yang ada
setelah Al-Qur'an.29

3. Kritik kepada Imam Bukhari dan Kitab Shahihnya

Eksistensi Imam Bukhari dan kitab Shahihnya tidak lepas dari kritikan.
Kritik pertama datang dari eksternal (luar kelompok Islam) yaitu kelompok
orientalis di antaranya dilontarkan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921 M). dan
Maurice Bucaille. Goldziher memandang struktur kitab hadis (al-Jâmi' al-
Shahîb termasuk Shahih Bukhari) bukan merupakan hadis-hadis yang murni.
Kedua kritik dari internal kelompok Islam baik sunnî lebih lebih kaum Syi'î.
Kritik sunnî terhadap Imam Bukhari dan kitab shahihnya di antaranya
diwakili oleh Muhammad Amin dan al-Daraquthni, dan Ibnu Mubarrad (w.
909 H). Keseriusan al-Daraquthni dalam mengkritik Bukhari dengan menulis
kitab al-Tatabbu'. Sekitar 200 hadis yang dia kritik di dalam shahih Bukhari.

Kritik yang paling tajam muncul dari kelompok syî'î. Ulama hadis Syî'î 14

banyak mengeritik Imam Bukhari dan kitabnya. Di antaranya mereka


menganggap bahwa Imam Bukhari tidak proporsional dalam menerima
periwayat hadis dari kalangan shahabat. Data otentik membuktikan bahwa
Imam Bukhari sangat sedikit meriwayatkan hadis dari keluarga Nabi saw.
terutama kepada al-Hasan cucu Nabi saw. dan Ja'far al-Shadiq padahal ia
hidup semasa Imam Bukhari.

4. Sahih Muslim

28
Ajjaj al-Khatib, Ushul., hal. 449
29
Di antara pujian kitab Shahih Bukhari misalnya Al-Zahabî berkata; Jami'u al-Bukhari al-
Shahih kitab yang agung dan yang afdhal setelah Al-Qur'an. Lihat Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad
bin Muhammad al-Qasthalanî, Irsyad al-Sari ilâ Shahih al-Bukhari, jilid I, (Bairut, Darul Fikr tth.)
hal. 29 dan Muhammad Najmi, Ta'ammulât fî al-Shahihain, (Beirut, Darul Ulum thn. 1408/1988
M), hal. 71
Nama penyusunnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin
Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, lahir pada tahun 206 H, dan wafat pada 25
rajab tahun 261 H dalam usia 55 tahun.

Seusai belajar agama kepada ulama di negerinya, pada tahun 218 H,


Muslim bin al-Hajaj mulai belajar hadis, kemudian melanjutkan kegemaran
belajarnya ke berbagai wilayah negeri. Untuk itu, Muslim mengadakan
perlawatan ke berbagai wilayah negeri, seperti Baghdad, berulang kali.
Kunjungan terakhirnya ke Baghdad pada 259 H. Negeri-negeri lain yang
dikunjunginya ialah Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, dan Khurasan.

Al-Jami’ al-Shahih merupakan karya puncak Muslim bin al-Hajaj,


nama atau judul aslinya ialah, “al-Hadits al-Shahih al-Mujarrad al-Musnad
Ila Rasulillah saw,” merupakan salah satu dari 12 karya Muslim. Kitab ini
ditulis dalam waktu 15 tahun, memuat hadis sebanyak 12.000 buah, termasuk
yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk yang diulang-ulang
penulisannya, maka hadisnya hanya 4.000 buah hadis saja. Hadis sebanyak
itu merupakan hasil seleksi dari 300.000 hadis yang berhasil dihafalnya.

Seperti halnya kitab Sahih al-Bukhari yang berdasar pengakuan


penulisnya, tidak dimasukkan ke dalamnya kecuali yang sahih. Kitab Sahih
Muslim pun demikian adanya. Muslim pernah berkata, “Tidak kumasukkan
ke dalam kitabku ini kecuali yang sahih dan telah disepakati.” Disusun
dengan menggunakan sistem mushannaf, dalam 54 kitab. Pada awalnya kitab
Sahih Muslim tidak terbagi dalam bab demi bab, sebab penyusunnya hanya
15
mengumpul berbagai hadis yang membahas satu tema, pada judul yang satu
pada tempat yang satu. Para pen-syarah-nya yang telah membaginya dalam
bab demi bab. Diawali dengan kitab al-Iman dan diakhiri dengan kitab al-
Tafsir.30

5. Sunan Abi Dawud

30
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 320-323.
Nama lengkap penyusunnya adalah Sulaiman bin al-Asyi’ats bin Ishaq
bin Basyir bin Syadad bin ‘Amer bin ‘Umran Abu Dawud al-Azdiy al-
Sijistani, lahir di Sijistan, salah satu desa di negeri Bashrah pada 202 H.
karena itu ia disebut al-Sijistani. Wafat di Bashrah pada hari Jumat tahun 275
H.

Sampai berumur 21 tahun Abu Dawud bermukim di Baghdad, untuk


mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu dasar lainnya yang berhubungan
dengan agama Islam. Sesudah merasa cukup, Abu Dawud meneruskan ke
berbagai madrasah (hadis) yang berada di berbagai wilayah negeri, seperti
Hijaz, Syam, Mesir, Iraq, Kufah, Khurasan, dan Tarsus.

Kitab Sunan Abu Dawud merupakan salah satu dari 9 karya Abu
Dawud. Menurut pengakuan penulisnya, Sunan Abu Dawud memuat hadis
sebanyak 4800 buah hadis, merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis yang
dihafalnya. Menurut sebagian ulama, termasuk di dalamnya Muhammad
Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, jumlah hadis kitab Sunan Abu Dawud ada 5274
buah hadis. Selisih perhitungan sangat boleh jadi terjadi lantaran adanya hadis
yang ditulis berulang, oleh seorang ulama dihitungnya sebagai satu hadis, dan
oleh ulama lainnya dihitung lebih dari satu.

Hadis sebanyak 5274 telah disusun sedemikian rupa dalam 35 kitab,


yang masing-masing kitab terbagi lagi dalam banyak bab, kecuali tiga kitab
yang tidak terbagi dalam bab, yaitu kitab al-Luqathah, kitab al-Huruf wa al- 16
31
Qira’at, dan kitab al-Mahdi. Jumlah babnya ada 1871 bab.

6. Sunan al-Turmudzi

Nama lengkap penyusunnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin
Saurah bin Musa bin al-Dlahak al-Sulaimi al-Dlarir al-Bughi al-Turmudzi,
lahir 209 H dan wafat pada hari Itsnain tanggal 13 Rajab 279 H.

31
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 324-327
Dikenal sebagai hafizh, sekaligus pengarang kitab. Ketika dalam proses
pembelajaran hadis, banyak mengunjungi berbagai wilayah negeri seperti
Khurasan, Irak, Hijaz, dan sebagainya.

Sunan al-Turmudzi ada juga yang menyebutnya al-Jami’ al-Turmudzi,


dan malah ada juga yang menyebut al-Jami’ al-Shahih, sebagaimana
dilakukan oleh al-Jalabi (pengarang kitab Kasyf al-Zhanun) dan juga
Muhammad Syakir, merupakan salah satu karya terbaik al-Turmudzi.

Mengenai jumlah hadisnya, para pengulas seperti Muhammad Abu


Syahbah, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, tidak menyebutnya. Sementara itu al-
Turmudzi pun tidak menginformasikan kepada kita berapa jumlah hadis yang
berhasil dihimpun dalam kitabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Dawud dalam Sunan Abu Dawudnya.

Barangkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tetapi


itulah kenyatannya, berdasarkan praktis operasional ditemukan nomor akhir
hadis al-Turmudzi dalam kitab Sunan al-Turmudzi wa al-Jami’ al-Shahih
yang telah ditashih oleh ‘Abd al-Rahman Muhammad Usman, menunjuk
angka 4107.

Betapapun ketika kitab Sunan al-Turmudzi disampaikan kepada ulama


Hijaz, Irak, dan Khurasan, menurut pengakuan penyusunnya mereka sama
ridla dan menganggap bagus (membaguskannya). Akan tetapi, berdasarkan
berbagai komentar ulama, dalam Sunan al-Turmudzi ditemukan berbagai 17

macam hadis, baik yang sahih, hasan, dhaif, dan bahkan ada yang mungkar.
Menurut Fuad Muhammad ‘Abd al-Baqi, hadis-hadis Sunan al-Turmudzi
sebagaimana tersebut di atas, terbagi dalam 46 kitab dan 2114 bab.32

7. Sunan al-Nasa’i

32
Uraian mengenai al-Turmudzi dan kitab sunannya, merujuk kepada Muhammad Abu
Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah (Mesir: Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyah al-Azhar, 1969 M), hlm. 116-126.
Kitab kelima dari kutub al-Sittah ini disusun oleh Abu ‘Abd al-Rahman
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan al-Nasai. Lahir di desa Nasa’,
sebuah desa di Khurasan pada Tahun 215 H, dan wafat di Makkah tahun 303
H.33

Judul asli kita yang sedang kita bicarakan adalah al-Mujtaba’ atau al-
Mujtama’ Min al-Sunan, merupakan hadis hasil seleksi dari hadis-hadis yang
ada pada kitab Sunan al-Kubra, karya al-Nasa’i sendiri. Hadis pilihan yang
dianggapnya sahih tersebut kemudian dibukukan dalam kitab yang kemudian
disebut Sunan al-Sughra.

Walaupun kitab ini merupakan kumpulan (5761 buah) hadis-hadis


pilihan dari Sunan al-Kubra, ternyata masih tersimpan di dalamnnya beberapa
hadis (walau hanya sedikit) yang dikritik oleh kritiks hadis. Dengan alasan
kitab ini sedikit sekali memuat hadis dhaif, ada ulama yang menempatkan
Sunan al-Nasa’i ini menjadi kitab ketiga setelah Sahih al-Bukhari dan Sahih
Muslim (ketiga dalam jajaran kutub al-sittah).34

8. Sunan Ibnu Majah 18

Nama penulis kitab keenam dari kutub al-Sittah ini adalah Muhammad
bin Yazid Abu Abdillah bin Majah al-Qazwini al-Hafiz, lahir di Qazwin
(suatu kota di Irak) pada 209 H, dan wafat pada hari Senin dan baru dikubur
pada hari Selasa tanggal 22 Ramadhan 273 H. Sejak kecil sudah belajar hadis,
dan untuk keperluan belajar hadis, Ibnu Majah sering mengunjungi berbagai
negeri, seperti Mesir, Hijaz, Syam, Bashrah, Ray dan Baghdad.
33
Diperkirakan kampung kelahiran Ahmad bin Syu’bah disebut al-Nasa’, terambil dari
kalimat al-Nisa (perempuan), sebab desa tersebut ketika diserang oleh lascar Muslimin, semua
penduduk laki-lakinya telah meninggalkan tempat, tinggallah yang perempuan-perempuan saja.
Al-Nasa’i sering disebut-sebut mati syahid lantaran siksaan orang-orang Mu’awiyah terhadap diri
al-Nasa’I sebagai akibat ketidakmauannya memenuhi permintaan Mu’awiyah agar disusunkan
suatu kitab yang berisikan keutamaan Mu’awiyah.
34
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 337-341.
Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar dari banyak karya Ibnu
Majah. Sunan Ibnu Majah memuat 4000 hadis, tersebar dalam 1500 bab.
Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir merupakan kitab
yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang Fiqih- hanya saja di
dalamnya ditemukan banyak hadis dhaif, dikatakan jumlahnya sampai 1000
buah hadis, bahkan ada juga yang mungkar dan juga beberapa maudhu’.
Karena saking banyaknya yang dhaif, sampai-sampai al-Mizziy berkata, “Jika
Ibnu Majah bersendiri dalam meriwayatkan hadis dari yang al-Khamsah,
maka hadisnya adalah dhaif.”

Sunan Ibnu Majah terbagi dalam 32 kitab dan 1500 bab- demikian
menurut penulisnya- dengan menggunakan metode penyusunan kitab Fiqih.
Atau terbagi dalam 37 kitab, dalam 1511 bab, demikian menurut pengamatan
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.35

Jika Sunni berpegang teguh pada kutub al-Sittah sebagaimana telah


dijelaskan di atas, maka berbeda dengan Syi’ah. Syi’ah berpegang teguh pada
empat kitab hadis yang berbeda dengan Sunni, yang dikenal dengan kutub al-
Arba’ah. Berikut akan dijelaskan masing-masing kitab secara singkat:

9. Usul al-Kafi

Kitab al-Kafi ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq
al-Kulaini al-Razi. Wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Riwayat
hidupnya sangat sedikit sekali diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai 19
dirinya, seperti apakah nama yang dinisbatkan kepadanya adalah al-Kulini
atau al-Kulaini. Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada
sebuah dusun di Iran asal beliau dilahirkan.36

Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi saw. serta para
Imam dan diteruskan kepada kaum muslimin oleh murid-murid para imam.
Kata “al-Kafi” berarti “yang mencukupi”, sebuah buku yang dimaksudkan
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, 342-344.
35

Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
36

Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.


untuk menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah dan faktor ini pula yang
mendorongnya untuk menyusun buku yang sejatinya dapat dijadikan rujukan
penganut Syi’ah. Hal itu dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kata pengantar
karyanya tersebut: “…..inilah sebuah buku yang akan mencukupi (kafin)
kebutuhan keagamaan Anda yang mencakup semua aspek pengetahuan (‘ilm)
agama, yang sesuai bagi para pelajar, dan guru untuk merujuknya. Dengan
demikian buku ini dapat digunakan oleh siapapun yang menginginkan ilmu
agama dan hukum praktis (‘amal) sesuai dengan hadis yang kuat dari sumber
yang sebenarnya…”37

Kedudukan al-Kafi bagi kalangan Syi’ah sama seperti kedudukan kitab


Bukhari bagi kalangan Sunni, yaitu dianggap sebagai kitab hadis paling sahih.
Untuk menyelesaikannya, al-Kulaini memerlukan waktu yang cukup panjang,
yaitu dua puluh tahun.38 Al-Kafi memang sebuah karya yang amat lengkap
dan luas, yang isinya dibagi menjadi tiga bagian: al-Usul, al-Furu’ dan al-
Raudah.

Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para
imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa,
ada anggapan teologis, di mana para imam yang ma’shum memiliki otoritas
dalam menyampaikan syariat yang bersumber langsung dari Nabi saw. Oleh 20

sebab itu, tidak heran jika surat-surat khutbah dan lain-lain yang memiliki
keterkaitan dengan syari’at didudukkan setara dengan hadis. Hal ini nampak
dari apa yang dilakukan oleh al-Kulaini yang ditampilkan dalam juz terakhir
yang disebut al-Raudah.

10. Man La Yahduruhu al-Faqih

Kitab ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Babawaih al-
Qummil yang digelari dengan al-Saduq. Dia mendapat gelar ini karena
37
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1411/1990), juz
1, hlm. 41.
38
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-Najashi
(Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418), hlm. 266.
keluasan pengetahuan dan ketelitiannya dalam proses periwayatan hadis serta
kekuatan hafalannya yang menjadikan setiap orang yang mendengar riwayat
darinya merasa yakin akan kebenaran hadis yang diriwayatkannya. Ia juga
dikenal sebagai salah satu tokoh besar hadis dalam kamus ulama Syi’ah.

Tidak banyak informasi yang merekam sejarah kelahiran al-Saduq.


Namun, ulama-ulama Syi’ah memperkirakan kelahirannya pada tahun 305 H
berdasarkan pertemuan ayahnya dengan Abu al-Qasim al-Husain ibn Rawh
yang hidup hingga awal abad ketiga.

Kitab Man la Yahduruh al-Faqih berisi ringkasan semua hadis yang


dikumpulkan sendiri oleh al-Saduq. Kitab ini disusun dengan tujuan sebagai
rujukan hukum agama yang berkisar pada masalah hukum halal dan haram
dan al-Ahwal al-Shakhsiyah. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh
al-Shaykh Ali Akbar al-Ghifari, didapatkan bahwa hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab ini berjumlah 5920 hadis dengan kualitas yang berbeda-beda.

Di sisi lain, buku ini juga diharapkan untuk dapat menjadi rujukan
masyarakat awam Syi’ah dalam praktik kebutuhan hukum Islam, dan tidak
ditujukan khusus bagi para sarjana dan peneliti. Penulis menggunakan metode
dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi menarik
ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali nampak
21
dalam penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat porsi
penjelasan yang panjang.39

11. Tahdhib al-Ahkam

Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah Abu Ja’far Muhammad ibn al-
Hasan ibn Ali al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Karirnya
menandai puncak dan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah.

Masa kejayaan Syi’ah diawali oleh al-Kulaini dengan karya besarnya


al-Kafi. Kemudian dilanjutkan oleh al-Shaykh al-Saduq ibn Babawaih, lalu
39
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, (Batu: Arifa Publishing, 2011), hlm. 59-60.
dinapaktilasi oleh al-Tusi dengan dua karyanya, Tahdhib al-Ahkam dan al-
Istibsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar.

Kitab al-Tahdib pada awalnya dimaksudkan sebagai syarah utuh dari


kitab al-Muqni’ah karya gurunya, al-Mufid. Namun banyaknya perselisihan
masyarakat dalam memahami teks-teks yang terkait dengan masalah al-Furu’
dalam al-Muqni’ah, ia memutuskan untuk fokus men-syarah-kan hadis-hadis
yang terkait dengan masalah-masalah furu’ saja dan meninggalkan al-Usul.40

Metode yang digunakan oleh al-Tusi adalah dengan mengutip hadis-


hadis dalam al-Muqni’ah dengan komentar al-Mufid lalu diuraikan oleh
beliau beserta komentar dan analisanya, bahkan tidak jarang terjadi diskusi
dalam penjelasan tersebut. Karya al-Tusi ini, berisi kajian yang amat luas
tentang hadis-hadis Syi’ah yang mencakup banyak aspek permasalahan
hukum.

12. Al-Istbsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar

Kitab al-Istibsar adalah karya keempat dan terakhir karya kitab utama
madzhab Syi’ah. Isinya mencakup bidang yang sama dengan al-Tahdhib,
namun dengan porsi yang lebih singkat, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa
22
kitab terakhir ini merupakan ringkasan dari kitab al-Tahdhib, dan dilakukan
dengan tujuan untuk menjelaskan riwayat-riwayat yang dinilai bertentangan.

Proses peringkasan ini dilakukan oleh penyusunnya sebagai jawaban


dari permintaan beberapa rekannya yang mengharap adanya buku ringkas
yang berisi hukum-hukum agama yang sejatinya dapat dijadikan rujukan dan
pegangan bagi para pemula yang hendak mengkaji hukum-hukum agama.41

Metode yang digunakan dalam kitab ini serupa dengan kitab


sebelumnya, hanya saja dalam penjelasan dan kutipan hadis-hadisnya nampak

40
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, hlm. 61
41
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
lebih singkat dan padat. Bahkan dalam beberapa hal, nampak mirip dengan
yang terdapat dalam al-Tahdhib.

Demikian gambaran global kitab-kitab hadis mu’tamad di kalangan


Sunni dan Syi’ah yang selalu dijadikan sebagai rujukan dan kajian
keagamaan. Masing-masing kitab mereka telah memberikan gambaran umum
pemikiran hukum pengikutnya.

Perlu digaris bawahi, bahwa sekalipun masing-masing kitab dari


kalangan Sunni dan Syi’ah menjadi kitab sandaran hadis bagi penganutnya,
namun hadis-hadis yang ada di dalamnya terdapat sekian banyak hadis yang
masih diperselisihkan kualitas kesahihannya yang dikritisi oleh ulama hadis
masing-masing.

C. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan


Syi’ah
Yang dimaksud dengan klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang
digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas dan
kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat sanad
pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek inilah,
upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis 23
antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat
dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar hukum. Perbedaan kriteria yang
ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi klasifikasi terhadap kualitas hadis
masing-masing mazhab. Dalam hal ini, metode yang dipakai oleh ulama Sunni
adalah:
1. Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan
sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan
terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan
generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah barang tentu,
informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding informasi
yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian, maka
menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:
a. Hadis Mutawatir
Konsep mutawatir ini baru dikemukakan secara definitif oleh al-Baghdadi,
meskipun ulama sebelumnya, seperti  al-Syafi’i telah mengisyaratkan dengan
istilah “khabar ‘ammah“. Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah “suatu
hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang
menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.42 Sedangkan ulama yang
paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah al-‘Asqalani,
menurutnya, hadis mutawatir adalah “hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang mustahil, menurut kebiasaan, mereka melakukan kesepakatan untuk
berdusta dan merekalah yang meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir
sanad.” Jadi berdasarkan definisi ini, terlihat secara jelas bahwa proses mutawatir
ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama lainnya.

b. Hadis Ahad
24
Menurut al-Thahhan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-
syarat hadis mutawatir.43 Senada dengan definisi al-Thahhan tersebut, menurut al-
Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. 44
Dengan demikian bahwa semua hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkat mutawatir dinamakan hadis ahad. Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga
bagian, masyhur, ‘aziz, dan gharib.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. 45 Jika diteliti
42
Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-
Riwayah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.), hlm. 50.
43
Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
1987), hlm. 21.
44
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah
Wahbah, tt.) hlm. 98
45
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 99
lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini tidak semuanya berkualitas sahih,
karena jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin kesahihannya kecuali
disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya sahih. Dengan
demikian hadis masyhur dapat dikelompokkan kepada yang berkualitas sahih,
hasan, dan dha’if.
Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua
perawi pada seluruh tingkatan/generasi.46 Hadis ‘aziz ini bisa dinilai sahih, hasan
maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan
penelitian terhadapnya.
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi dimanapun hal
itu terjadi.47 Artinya bahwa hadis gharib ini tidak disyaratkan harus satu orang
perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan
sanad dengan satu orang perawi.
2. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup
hadis masyhur, ‘aziz, dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat bahwa hadis
mutawatir seluruhnya bernilai sahih. Dalam hal ini, ulama hadis membagi kualitas
25
hadis pada tiga bagian, yakni sahih, hasan, dan dha’if.
a. Hadis Sahih
Subhi Shalih mendefinisikan hadis sahih sebagai hadis musnad, yakni hadis
yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai
awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya,
tanpa adanya syadz dan ‘illat.48 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadis
sahih adalah hadis yang memenuhi syarat yang berupa kebersambungan sanad
dalam periwayatan hadis, para perawinya adil, para perawinya harus dhabit,
kemudian terhindar dari syadz (kerancuan) dan kecacatan (‘illat).
b. Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh
periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta terhindar
46
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101.
47
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101
48
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 145.
dari syadz dan ‘illat.49 Perbedaan prinsip antara hadis sahih dan hasan terletak
pada keadaan perawinya. Pada hadis sahih perawinya sempurna dhabitnya,
sedangkan pada hadis hasan, kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena
itulah kualitas hadis hasan diposisikan di bawah hadis sahih.
c. Hadis Dha’if
Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan. Misalnya, sanadnya ada yang terputus,
di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.
Namun secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam
Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi tiga
tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if.
Sedangkan metode yang dipakai oleh Syi’ah, sebagaimana kriteria-kriteria
kesahihan hadis yang diuraikan di atas, hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena
hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang
mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis
dan maksudnya.50 Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka
26
menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang
menafikan ketetapan amir al-Mukminin Ali ra. sebagai imam.
Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam empat tingkatan atau
empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad (eksternal) dan matan
(internal), dan keempat tingkatan tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi
rujukan setiap bagian yang lain. Empat klasifikasi hadis dalam tradisi Syi’ah,
yaitu:
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya
berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang

49
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 156.
50
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 125
memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka
yang ma’shum.51
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum
dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis
tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah
Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.52
Berdasarkan pada pengertian hadis sahih, ulama Syi’ah membatasi tentang
hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, Ali bin
Abi Talib dan Imam dua belas.53 Suatu keterangan yang dapat dipetik dari
pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi
saw. dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada
27
Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dalam hal
kehujjahannya.
2. Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam
semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.54
3. Hadis Muwassaq
Hadis muwassaq55 adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang bukan
Syi’ah, namun ia adalah orang yang tsiqah dan terpercaya dalam periwayatan.
Jadi hadis muwassaq adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam
yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pengikut Syi’ah,
namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda

51
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, hlm. 126
52
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, hlm. 127.
53
Jelas definisi ini berbeda dengan definisi hadis dari kalanggan sunni yang hanya
menyandarkan segala hal yang bersumber dari Nabi Saw, baik perkataan, perbuatan, dan
ketetapan. Menurut M. H. Thabathaba’i, sekalipun hadis itu disandarkan kepada Nabi SAW dan
Imam, namun keduanya dibedakan dengan jelas, yang keduanya merupakan satu himpunan
tunggal. M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Grafiti Press,
1989), hlm. 278.
54
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,
hlm. 129.
55
Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat)
karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.
dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah  dalam semua atau sebagian
periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.
4. Hadis Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi
salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang
yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang
yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis.56
Dalam hadis sahih, mereka menilai periwayat selain Ja’fariyah sebagai
orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan dha’if yang tidak boleh
diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari selain Ja’fariyah kecuali orang
yang dinyatakan tsiqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-
Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman) dan sahabat yang lain, tabi’in, serta
para imam ahli hadis dan fuqaha. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di
dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi
tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut
28
dinyatakan dha’if oleh Syi’ah.
Adapun hadis-hadis yang dha’if  bukan berarti tidak dapat diamalkan.
Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis
tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka. Dengan demikian nampak
bahwa terdapat pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang berkembang di
kalangan pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang
muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji, di
dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja, melainkan
memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad dan para
imam mereka.
D. Penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah.
Sunni menempatkan hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai
sumber referensi atau pandangan hidup. Al-Qur’an adalah peraturan atau undang-

56
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,
hlm. 130.
undang yang komprehensif dan meliputi aspek ushul dan kaidah asasi Islam:
ideologi, ibadah, etika, muamalat, dan sopan-santun. Adapun hadis berfungsi
sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh kandungan al-Qur’an. Dengan
demikian, hukum serta arahan yang ditunjukkan hadis mesti diikuti dan ditaati. 57
Logikanya, apabila taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kewajiban,
demikian pula kepada apa saja yang disampaikan Nabi tentang al-Qur’an.
Penjelasan seperti ini dapat ditemukan dan dipahami melalui al-Qur’an, hadis itu
sendiri, konsensus ulama, serta akal dan penalaran umat manusia.
Meski menjadikan hadis sebagai salah satu hujjah, Syi’ah tentu saja berbeda
dengan Sunni. Perbedaan itu bisa dilihat dari pengertian hadis dari kalangan
Syi’ah, jika Sunni memberi definisi hadis berupa hal ihwal yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw., maka di kalangan Syi’ah Hadis mempunyai
pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, Nabi
Muhammad saw. dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.
29
Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua setelah
al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, tidak hanya terbatas pada
hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun meliputi perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan itu setara dengan hadis Nabi.

57
Yusuf al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, hlm. 70.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal wafat
nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu bukan
berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan riwayat
yang menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada juga yang
menulis hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka maksud
ungkapan hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara resmi atas
perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk menulis ayat-ayat
al-Qur’an.
Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis secara resmi
dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).
Sedangkan di kalangan Syi’ah, Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis
telah berkembang sejak zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni.
Namun Syi’ah hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib.
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya
ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis
utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la
Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min
Akhbar.
1. Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis
kutub al-Sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i. sedangkan Syi’ah mempunyai dan
berpegang teguh pada empat kitab hadis, yaitu: al-Kafi, Man Laa
Yahduruh al-Faqih, al-Tahdhib, dan al-Istibshar.
2. Secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam Sunni
adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi
tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if. Sedangkan Syi’ah membagi
hadis kepada mutawatir dan ahad.

30
Hadis sahih menurut sunni adalah hadis yang bersambung sanadnya,
yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir 31

sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya, tanpa
adanya syadz dan ‘illat. Sedangkan hadis sahih menurut Syi’ah adalah,
hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil
dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain,
hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar
periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang
ma’shum.
3. Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua
setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, hadis tidak
hanya terbatas pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun
meliputi perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan
itu setara dengan hadis Nabi.

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih belum sempurna.
Oleh sebab itu, kami harapkan kepada pembaca atau pun pendengar agar dapat
mencari sumber-sumber lainnya tentang “kajian hadis dalam pandangan sunni
dan syiah” sehingga pengetahuan dan wawasan kita tidak terbatas oleh
pembahasan pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, al-Mustadrak


‘Ala al-Shahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi
Takhrij al-Mustadrak juz V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998.
Abd al-Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tarikhiha, Kairo: Dar al-
Khithab al-‘Arabi, 1967.
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan
diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin, Beirut: Dar al-Ta’aruf li-
al-Matbu’at, 1990.
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-
Najashi, Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418.
Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-
Riwayah, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan
Fiqih, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, Purwokerto: Penerbit
STAIN Purwokerto Press, 2010.
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.
Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3, Beirut:
Dar al-Ta’aruf, 1971.
Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1959.
Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit,  Kairo: t.tp., 1972.
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq,
Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-
Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers terj. Dan ed. Robert D. Lee, Colorado: Westview Press, Inc., 1994.
Muhammad Tijani al-Samawi, Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi, terj. Wahyul
Mimbar, Iran: Muassah ‘an Sariyan, 2000.
Mircea Eliade, (Ed), The Encyclopedia of religion, Vol. 6 , New York: Macmilian
Publishing Company, 1997.
Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Ma Tamassu Ilaihi
Hajah al-Qari Li al-Shahih al-Imam al-Bukhari, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
tth.
Muhammad Abu Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah,
Mesir: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah al-Azhar, 1969 M.
Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
1987.
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, Kairo: Maktabah
Wahbah, tt.
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalatuh, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,
1977.
Sa’dullah Al-Sa’di, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya, Jakarta: Grafiti
Press, 1989.
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, Terj.
Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Bandung: CV Pustaka Setia,
2007.
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, Batu: Arifa Publishing, 2011.
Abdul Aziz bin Abdurahman al-Said. 1408. Ibnu Qudamah wa Atsaruhu al-
Ushuliyah. cet. IV. Riyadh: Univ. Ibnu Sa'ud
Abu Syhbah. Fî al-Rihab al-Sunnah al-kutub al-Shihahi al-Sittah terjemahan
Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka Progressif
‘Ajjaj al-Khâtib. 1975. Ushûl al-Hadîts ‘Ulumuhâ wa Mushthalahuhâ. Beirut: Dâr
al-Fikr
Abdurahman bin Abu Bkr al-Syuthi. 1380. Tadrîb al-Rawî, fî Syarh Taqrîb al-
Nawawi. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Amidî. 1402. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. jilid 2, cet. II. Beirut: Al-Maktab
al-Islamiyah
Abu Ya'lâ Muhammad bin Husain al-Hanbalî. 1410. al-Uddatu fî Ushûl al-Fiqh,
jilid 3. cet. II
Abu al-Qasim al-Husainî bin Muhammad al-Raghib Al-Isfahani 1382. Al-
Mufradât fî gharîb al-Qur'ân. Mesir: Musthafa al-Babî al-Halabî wa
awladuh
Ahmad Mushthafa al-Maraghi. Tafsîr al-Marâghi. jilid II. Beirut: Dar al-Fikr
Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalanî. Irsyad al-Sari ilâ
Shahih al-Bukhari. jilid I: Bairut: Darul Fikr
Ali Musatafa Ya'qub. 1996. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu
Hadis, cet. III. Jakarta: Pustaka Firdaus
Abu Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daraquthnî. 1985. al-Iltizâmât
wa al-Tatabbu'. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah
al-Khatib, M. Ajaj. 1989. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar
al-Fikr
al-Salus, Ali Ahmad. 1997. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan
Hadis &Fiqih. Jakarta: Pustaka al-Kausar
al-Baghdadi, Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib. T.t. al-Kifayah fi ‘ilm al-
Riwayah. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah
al-Siba’i, Mustafa. 1991. Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam;
Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Terj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka
Firdaus
Azami, Muhammad Mustafa. 1999. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
Terj. Mustafa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus
al-Harabi, Mamduh. 2009. Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli al-Sunnah
wa al-Jama’ah. al-Jizah: Imraniyyah lil Aufasat
al-Zahraniy, Muhammad ibn Mathar. 1412 H. Tadwin al-Sunnat al-Nabawiyyah.
Tha’if: Maktabat al-Shadiq
Wahyuni sifatur rahmah. 2006. Epistimologi hadis dalam pandangan Sunni dan
Syiah. Yogyakarta: Junal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis
Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasîth cet. II/tp./.,/t.tp./.,juz I,/t.th./.,h.159-160
Muhammad Subhi Shâlih. 1989. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu. Beirut: Dâr
al-‘Ilm al-Malâyîn
M.M. Azami, 1994. Hadis nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah Mustafa
Ya'kub. Jakarta: Pustaka Firdaus
G.H.A. Juynboll. 1967. Muslim Tradition Studies in Chronologi, Provenance and
Authorship of early Hadith. Cambridge: Cambridge University Press
Al-Khatib al-Baghadadi. 1313. al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah. Haydarabat:
Dâirah al-Ma'ârif al-Islamiyah
Makki al-Syami. 1999. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu al-Mubtadi'ah fiha.
Amman: Dâr 'Imâr

Anda mungkin juga menyukai