OLEH:
Nafhatul Hasaniah
Raudah
Sarbani
Makalah yang kami susun di bawah ini yaitu tentang “kajian hadis dalam
pandangan sunni dan syiah”. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua
yang membacanya. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini pasti terdapat
kekurangan, untuk itu kami mengharapkan adanya kritik ataupun saran yang
membangun, agar kedepannya kami perbaiki ke arah yang lebih baik lagi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Simpulan .................................................................................... 30
B. Saran ..................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hadis dalam studi keislaman mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia
pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Kodifikasinya
pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antar kelompok
Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Sampai pada
akhir abad ke-9 M, usaha kodifikasi tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi
besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi
hadis lainnya.
1
2
gunakan dalam mengukur keshahihan sebuah hadis yang diduga kuat bersumber
dari Rasulullah saw.
Berdasarkan uraian di atas, banyak hal yang terkait dan juga menarik untuk
dikaji dan diteliti. Mulai dari penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni
dan Syi’ah, literatur-literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, klasifikasi dan
persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, sampai pada
bagaimana penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah.
Berangkat dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian
tentang hadis dalam pandangan Sunni dan Syi’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan
Syi’ah.?
2. Apa saja Literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.?
3. Bagaimana Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis dikalangan Sunni
dan Syiah.?
4. Bagaimana Penggunaan hadis sebagai hujjah dikalangan Sunni dan
Syiah.?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui cara Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan
Sunni dan Syi’ah.
2. Untuk mengetahui Literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.
3. Untuk mengetahui Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis dikalangan
Sunni dan Syiah.
4. Untuk mengetahui Penggunaan hadis sebagai hujjah dikalangan Sunni dan
Syiah.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Al-Baghdadi, Taqyid al-'Ilm, hal. 5; al-Qurtubi, Jâmi' Bayan al-'Ilm, I hal. 76
2
Sir William Muir, Life of Mahomet, London, 1894, hal. Xxx-xxxi, London, 1894
3
Ignaz Goldziher, Muhammadanische Studien, hal. 241-250; lihat Subhi Shaleh, 'Ulûmu al-
Hadîts, hal. 34
4
MM. Azami, Hadits Nabawî, hal. 108
5
Ja'fariyan, Tadwin., vol. VI, no. 1
3
4
Umar bin Abd al-Aziz6. Kebenaran pendapat ini karena ia mengira bahwa kitab
al-Muwaththa' Imam Malik (93-179 H.) merupakan kitab hadis pertama. Tetapi
harus dipahami bahwa kitab tersebut hanya merupakan hadis pertama yang
dibukukan berdasarkan metode penyusunan kitab-kitab hukum.
6
Muhammad Musthafa al-'Adzami meraih gelar doktor di Cambridge University dengan
judul disertasi Studies in Early Hadith Literature, yang kemudian disertasinya diterbitkan di
Indiana Polish, Amerika pada tahun 1978. Pada tahun 1980 diterjemahkan kedalam bahasa Arab
dengan judul Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawi wa al-Tarîkh Tadwînih
7
MM. Azami, Ulumul Hadis dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 110
8
Al-Asqalani, Fath al-Bâri, I hal. 208
9
MM. Azami, Metodologi Kritik Hadis, hal. 55-56 dan Hadis Nabawi., hal. 155. Nabi Abbott
dan M.M Azami memaparkan secara detail tentang bukti konkrit tradisi penulisan hadis pada
5
10
MM. Azami, Hadis Nabawi., hal. 155-156
11
Makki al-Syami, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu al-Mubtadi'ah fiha, (Amman, Dâr
'Imâr, thn. 1999), hal. 49
penulisan hadis. Namun bila status hadis itu marfu’ maka pelarangan itu
menurutnya lebih cenderung hanya bersifat sementara artinya pelarangan itu
berlaku pada saat penulisan hadis bersamaan dengan penulisan Al-Qur'an karena
khawatiran akan terjadi percampuran12.
sarjana-sarjana hadis dengan karyanya yang agung. Penulisan pada masa ini
dalam sejarah sunnî dimulai dengan metode isnad yaitu mengumpulkan dalam
satu bab hadis-hadis yang diriwayatkan oleh shahabat meskipun hanya berbagai
pokok bahasan saja. Yang pertama merintis dan pelopor usaha ini yaitu Abu Daud
Ibn al-Jarad al-Thayalisi (w. 204 H) diikuti oleh Abdullah bin Musa al-Absi al-
Kufi, Musaddad al-Bashri, Asad bin Musa dan Na'im bin Muhammad al-Khuzai.
15
Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manhaj al-Muhadditsîn, cet. Ke II, (Kairo, tp. 1988) hal.
32; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn bi Naqdi al-Hadîts, hal. 59-61; Mustafa
al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. Sunnah dan Peranannya dalam
Penetapan Hukum Islam, penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka Firdaus, thn.
1991) hal. 76
16
Ibid. hal.69
17
Hasyim Ma'ruf al-Husainî, Dirasah fil-Hadîts, hal. 118
Imam Ahmad pun menulis kitab Musnadnya yang dikenal (Kitab al-Muwaththa')
dan Ishaq bin Rahawih dan Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain. Metode yang
mereka tempuh adalah menyusun secara terpisah hadis Nabi saw. dengan ucapan
shahabat dan fatwa para tabi'in. Kelemahan metode ini, karena mereka masih
mencampuradukkan yang otentik dengan lainnya, hadis shahih dan lemah,
pengulangan lafaz hadis yang diriwayatkan oleh banyak shahabat, sulitnya
mencari hadis-hadis yang membahas suatu permasalahan tertentu seperti hukum.
Adapun kelebihannya mudah mencari hadis bila pencari hadis mengetahui perawi
'alâ (nama shahabat yang meriwayatkan hadis).18
Karya kedua ulama sunnî ini diakui oleh sebagaian kaum Sunnî sebagai
karya yang sudah lolos sensor terutama Imam Bukhari, "Setiap yang diriwayatkan
dari Bukhari pasti telah melewati jembatan" Maksudnya kualitas periwayatannya
standar di atas syubhat dan ihtimâlat.19 Kedua ahli hadis sunnî itu berjasa dalam
meratakan jalan di depan para peneliti hadis untuk mengetahui mana hadis shahih
dan dha'if tanpa harus meneliti sendiri dan bertanya kepada tokoh Hadis. Secara
umum keduanya telah menghimpun hadis-hadis shahih dalam kitab al-Shahihain.
Keshahihan hadis yang mereka maksud bukan berarti tidak ada yang mengoreksi
keshahihan. Dalam perkembangan kajian hadis banyak ulama hadis sesudahnya
18
Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Raudh al-Dânî fî al-Fawaid al-Hadîtsiyah, cet I,
(Amman, al-Maktabah al-Islamiyah, thn. 1422 H), hal. 72
19
Mahmud al-Thahan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsatu al-Asânîd, (Beirut, Dârul al-Qur'an al-
Karîm, thn. 1979) hal. 45
9
Prakarsa dari kedua ulama hadis sunnî inilah menjadi motivator ahli hadis
sesudahnya dengan tersusunnya beberapa kitab hadis yang ditulis oleh pakar hadis
di antaranya; Abu Daud (w. 275 H), al-Nasa'i (303 H), al-Turmudzi (w. 279 H),
Ibnu Madjah (w. 273 H). Setelah priode ini berakhir, para ahli hadis pada abad
keempat tidak terlalu banyak kontribusinya terhadap perkembangan hadis, mereka
hanya menambah sedikit yang mereka temukan. Kegiatan mereka sekedar
menghimpun apa yang telah dikumpulkan oleh pendahulunya, dengan bersandar
kepada metode kritik yang telah ada pada mereka dan memperbanyak saluran
hadis. Para pemuka yang terkenal abad ini ialah Imam Sulaiman bin Ahmad al-
Tabrani (w, 360 H) yang meyusun tiga buah Mu'jam yang berisikan nama
shahabat di susun berdasarkan abjad dan memuat duapuluh ribu limaratus
limapuluh hadis dan disusun pula nama-nama gurunya berdasarkan abjad.
Termasuk tokoh abad ini ialah al-Daraquthni (w. 385 H), Ibnu Hibban al- Busthi
(w. 354 H), Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan al-Thahawi (w. 321 H). 21 Kemudian
bagi ulama priode berikutnya hanya melakukan enovasi dan sedikit
penemuanpenemuan baru yang dipelopori di antaranya al-Hakim (w. 405 H), al- 10
Baihaqi (w. 458 H) dan terakhir oleh al-Bagawi (w. 505 H).
20
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, (Beirut, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H.) hal.
1346
21
Al-Khatib al-Baghadadi, al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah, (Haydarabat: Dâirah al-Ma'ârif al-
Islamiyah, thn. 1313 H.) hal. 50
Sedangkan di kalangan Syi’ah, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya,
bahwa Syi’ah meyakini sumber hadis tidak hanya terletak pada hal ihwal yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Secara doktrinal, sumber hadis di
kalangan Syi’ah berbeda dengan ortodoks muslim. Sumber hadis tidak hanya
sebatas dari ucapan dan perbuatan Nabi, tetapi mencakup semua ucapan dan
perilaku para imam ma’shum, termasuk ucapan Fatimah binti Muhammad saw.,
karena termasuk dalam khitab ahl al-Bait yang dijamin kesuciannya oleh wahyu.
Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak
zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya
meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Beliau mendiktekan
hadis-hadis kepada ‘Ali ra. Yang kemudian ditulis dalam lembaran-lembaran dan
disimpan dalam sarung pedangnya. Tatkala Rasulullah wafat, Ali ra.
memeliharanya dengan baik. Sahifah itu kemudian dikenal dengan “sahifah ‘Ali”.
Selain sahifah, yang umumnya memuat hukum diyat dan beberapa persoalan
lainnya, Rasulullah saw. juga mendiktekan kepada ‘Ali ra. hadis-hadis lain yang
disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar yang kemudian
dikenal dengan nama al-Jami’ah.22
Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha
membukukan kembali hadis-hadis yang saat itu sempat tercecer. Mereka memulai
dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung dari orang ke
orang hingga sampai pada Rasulullah saw., atau sampai ke salah satu imam dua
belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qibti al- 11
Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam, dan al-Qadaya.23
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya
ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis
utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la
Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min
Akhbar.
22
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
23
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), juz1,3.
B. Beberapa literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah
1. Shahih Bukhariy dan Sunni
Ibnu Hajar seorang pakar hadis sunnî mengatakan bahwa seluruh hadis
yang terdapat dalam shahih Bukhari yang matan-nya bersambung tanpa
24
Subhi Shalih, 'Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 396-397
25
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 9 no. 53, hal 41-42, dan Imam al-Suyuthi,
Thabaqât al-Huffâdz, juz I, no. 560, hal. 252-253
pengulangan redaksi hanya berjumlah 1602. Sementara hadis yang matan-nya
mu'allaq dan marfu' namun sanad-nya tidak di-istishal-kan di tempat lain
sebanyak 159 hadis sehingga jumlah keseluruhan hanya 1761 hadis. Menurut
al-Hasani sebanyak 7397. Jumlah hadis itu akan lebih banyak menurut al-
Hasani bila hadis-hadis mu'allaq dan mutaba'at digabungkan, maka jumlah
secara keseluruhannya sebanyak 9072. Hadis itu, akan berkurang menjadi
2762 bila hadis-hadis tersebut dikeluarkan hadis-hadis yang berulang-ulang
dan dihitung hanya hadis muttashil sanad-nya sampai kepada Rasulullah
saw.26
26
al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 123
27
al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 124
cukup bagi penulis untuk menginformasikan penilaian para ulama hadis yang
memberikan gelar dan penghargaan tertinggi di bidang hadis dengan gelar
Amir al-Mukminîn fî al-Hadîts.28 Kaum sunnî pun menempatkan karya al-
Jâmi' al-Shahih-nya yang paling shahih di antara kitab-kitab hadis yang ada
setelah Al-Qur'an.29
Eksistensi Imam Bukhari dan kitab Shahihnya tidak lepas dari kritikan.
Kritik pertama datang dari eksternal (luar kelompok Islam) yaitu kelompok
orientalis di antaranya dilontarkan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921 M). dan
Maurice Bucaille. Goldziher memandang struktur kitab hadis (al-Jâmi' al-
Shahîb termasuk Shahih Bukhari) bukan merupakan hadis-hadis yang murni.
Kedua kritik dari internal kelompok Islam baik sunnî lebih lebih kaum Syi'î.
Kritik sunnî terhadap Imam Bukhari dan kitab shahihnya di antaranya
diwakili oleh Muhammad Amin dan al-Daraquthni, dan Ibnu Mubarrad (w.
909 H). Keseriusan al-Daraquthni dalam mengkritik Bukhari dengan menulis
kitab al-Tatabbu'. Sekitar 200 hadis yang dia kritik di dalam shahih Bukhari.
Kritik yang paling tajam muncul dari kelompok syî'î. Ulama hadis Syî'î 14
4. Sahih Muslim
28
Ajjaj al-Khatib, Ushul., hal. 449
29
Di antara pujian kitab Shahih Bukhari misalnya Al-Zahabî berkata; Jami'u al-Bukhari al-
Shahih kitab yang agung dan yang afdhal setelah Al-Qur'an. Lihat Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad
bin Muhammad al-Qasthalanî, Irsyad al-Sari ilâ Shahih al-Bukhari, jilid I, (Bairut, Darul Fikr tth.)
hal. 29 dan Muhammad Najmi, Ta'ammulât fî al-Shahihain, (Beirut, Darul Ulum thn. 1408/1988
M), hal. 71
Nama penyusunnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin
Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, lahir pada tahun 206 H, dan wafat pada 25
rajab tahun 261 H dalam usia 55 tahun.
30
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 320-323.
Nama lengkap penyusunnya adalah Sulaiman bin al-Asyi’ats bin Ishaq
bin Basyir bin Syadad bin ‘Amer bin ‘Umran Abu Dawud al-Azdiy al-
Sijistani, lahir di Sijistan, salah satu desa di negeri Bashrah pada 202 H.
karena itu ia disebut al-Sijistani. Wafat di Bashrah pada hari Jumat tahun 275
H.
Kitab Sunan Abu Dawud merupakan salah satu dari 9 karya Abu
Dawud. Menurut pengakuan penulisnya, Sunan Abu Dawud memuat hadis
sebanyak 4800 buah hadis, merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis yang
dihafalnya. Menurut sebagian ulama, termasuk di dalamnya Muhammad
Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, jumlah hadis kitab Sunan Abu Dawud ada 5274
buah hadis. Selisih perhitungan sangat boleh jadi terjadi lantaran adanya hadis
yang ditulis berulang, oleh seorang ulama dihitungnya sebagai satu hadis, dan
oleh ulama lainnya dihitung lebih dari satu.
6. Sunan al-Turmudzi
Nama lengkap penyusunnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin
Saurah bin Musa bin al-Dlahak al-Sulaimi al-Dlarir al-Bughi al-Turmudzi,
lahir 209 H dan wafat pada hari Itsnain tanggal 13 Rajab 279 H.
31
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 324-327
Dikenal sebagai hafizh, sekaligus pengarang kitab. Ketika dalam proses
pembelajaran hadis, banyak mengunjungi berbagai wilayah negeri seperti
Khurasan, Irak, Hijaz, dan sebagainya.
macam hadis, baik yang sahih, hasan, dhaif, dan bahkan ada yang mungkar.
Menurut Fuad Muhammad ‘Abd al-Baqi, hadis-hadis Sunan al-Turmudzi
sebagaimana tersebut di atas, terbagi dalam 46 kitab dan 2114 bab.32
7. Sunan al-Nasa’i
32
Uraian mengenai al-Turmudzi dan kitab sunannya, merujuk kepada Muhammad Abu
Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah (Mesir: Majma’ al-Buhuts al-
Islamiyah al-Azhar, 1969 M), hlm. 116-126.
Kitab kelima dari kutub al-Sittah ini disusun oleh Abu ‘Abd al-Rahman
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan al-Nasai. Lahir di desa Nasa’,
sebuah desa di Khurasan pada Tahun 215 H, dan wafat di Makkah tahun 303
H.33
Judul asli kita yang sedang kita bicarakan adalah al-Mujtaba’ atau al-
Mujtama’ Min al-Sunan, merupakan hadis hasil seleksi dari hadis-hadis yang
ada pada kitab Sunan al-Kubra, karya al-Nasa’i sendiri. Hadis pilihan yang
dianggapnya sahih tersebut kemudian dibukukan dalam kitab yang kemudian
disebut Sunan al-Sughra.
Nama penulis kitab keenam dari kutub al-Sittah ini adalah Muhammad
bin Yazid Abu Abdillah bin Majah al-Qazwini al-Hafiz, lahir di Qazwin
(suatu kota di Irak) pada 209 H, dan wafat pada hari Senin dan baru dikubur
pada hari Selasa tanggal 22 Ramadhan 273 H. Sejak kecil sudah belajar hadis,
dan untuk keperluan belajar hadis, Ibnu Majah sering mengunjungi berbagai
negeri, seperti Mesir, Hijaz, Syam, Bashrah, Ray dan Baghdad.
33
Diperkirakan kampung kelahiran Ahmad bin Syu’bah disebut al-Nasa’, terambil dari
kalimat al-Nisa (perempuan), sebab desa tersebut ketika diserang oleh lascar Muslimin, semua
penduduk laki-lakinya telah meninggalkan tempat, tinggallah yang perempuan-perempuan saja.
Al-Nasa’i sering disebut-sebut mati syahid lantaran siksaan orang-orang Mu’awiyah terhadap diri
al-Nasa’I sebagai akibat ketidakmauannya memenuhi permintaan Mu’awiyah agar disusunkan
suatu kitab yang berisikan keutamaan Mu’awiyah.
34
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 337-341.
Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar dari banyak karya Ibnu
Majah. Sunan Ibnu Majah memuat 4000 hadis, tersebar dalam 1500 bab.
Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir merupakan kitab
yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang Fiqih- hanya saja di
dalamnya ditemukan banyak hadis dhaif, dikatakan jumlahnya sampai 1000
buah hadis, bahkan ada juga yang mungkar dan juga beberapa maudhu’.
Karena saking banyaknya yang dhaif, sampai-sampai al-Mizziy berkata, “Jika
Ibnu Majah bersendiri dalam meriwayatkan hadis dari yang al-Khamsah,
maka hadisnya adalah dhaif.”
Sunan Ibnu Majah terbagi dalam 32 kitab dan 1500 bab- demikian
menurut penulisnya- dengan menggunakan metode penyusunan kitab Fiqih.
Atau terbagi dalam 37 kitab, dalam 1511 bab, demikian menurut pengamatan
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.35
9. Usul al-Kafi
Kitab al-Kafi ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq
al-Kulaini al-Razi. Wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Riwayat
hidupnya sangat sedikit sekali diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai 19
dirinya, seperti apakah nama yang dinisbatkan kepadanya adalah al-Kulini
atau al-Kulaini. Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada
sebuah dusun di Iran asal beliau dilahirkan.36
Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi saw. serta para
Imam dan diteruskan kepada kaum muslimin oleh murid-murid para imam.
Kata “al-Kafi” berarti “yang mencukupi”, sebuah buku yang dimaksudkan
Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, 342-344.
35
Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-
36
Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para
imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa,
ada anggapan teologis, di mana para imam yang ma’shum memiliki otoritas
dalam menyampaikan syariat yang bersumber langsung dari Nabi saw. Oleh 20
sebab itu, tidak heran jika surat-surat khutbah dan lain-lain yang memiliki
keterkaitan dengan syari’at didudukkan setara dengan hadis. Hal ini nampak
dari apa yang dilakukan oleh al-Kulaini yang ditampilkan dalam juz terakhir
yang disebut al-Raudah.
Kitab ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Babawaih al-
Qummil yang digelari dengan al-Saduq. Dia mendapat gelar ini karena
37
Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi
notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1411/1990), juz
1, hlm. 41.
38
Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-Najashi
(Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418), hlm. 266.
keluasan pengetahuan dan ketelitiannya dalam proses periwayatan hadis serta
kekuatan hafalannya yang menjadikan setiap orang yang mendengar riwayat
darinya merasa yakin akan kebenaran hadis yang diriwayatkannya. Ia juga
dikenal sebagai salah satu tokoh besar hadis dalam kamus ulama Syi’ah.
Di sisi lain, buku ini juga diharapkan untuk dapat menjadi rujukan
masyarakat awam Syi’ah dalam praktik kebutuhan hukum Islam, dan tidak
ditujukan khusus bagi para sarjana dan peneliti. Penulis menggunakan metode
dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi menarik
ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali nampak
21
dalam penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat porsi
penjelasan yang panjang.39
Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah Abu Ja’far Muhammad ibn al-
Hasan ibn Ali al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Karirnya
menandai puncak dan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah.
Kitab al-Istibsar adalah karya keempat dan terakhir karya kitab utama
madzhab Syi’ah. Isinya mencakup bidang yang sama dengan al-Tahdhib,
namun dengan porsi yang lebih singkat, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa
22
kitab terakhir ini merupakan ringkasan dari kitab al-Tahdhib, dan dilakukan
dengan tujuan untuk menjelaskan riwayat-riwayat yang dinilai bertentangan.
40
Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah
Imamiyah, hlm. 61
41
I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib
al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal
Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.
lebih singkat dan padat. Bahkan dalam beberapa hal, nampak mirip dengan
yang terdapat dalam al-Tahdhib.
b. Hadis Ahad
24
Menurut al-Thahhan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-
syarat hadis mutawatir.43 Senada dengan definisi al-Thahhan tersebut, menurut al-
Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. 44
Dengan demikian bahwa semua hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada
tingkat mutawatir dinamakan hadis ahad. Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga
bagian, masyhur, ‘aziz, dan gharib.
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. 45 Jika diteliti
42
Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-
Riwayah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.), hlm. 50.
43
Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
1987), hlm. 21.
44
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah
Wahbah, tt.) hlm. 98
45
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 99
lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini tidak semuanya berkualitas sahih,
karena jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin kesahihannya kecuali
disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya sahih. Dengan
demikian hadis masyhur dapat dikelompokkan kepada yang berkualitas sahih,
hasan, dan dha’if.
Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua
perawi pada seluruh tingkatan/generasi.46 Hadis ‘aziz ini bisa dinilai sahih, hasan
maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan
penelitian terhadapnya.
Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi dimanapun hal
itu terjadi.47 Artinya bahwa hadis gharib ini tidak disyaratkan harus satu orang
perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan
sanad dengan satu orang perawi.
2. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya
Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup
hadis masyhur, ‘aziz, dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat bahwa hadis
mutawatir seluruhnya bernilai sahih. Dalam hal ini, ulama hadis membagi kualitas
25
hadis pada tiga bagian, yakni sahih, hasan, dan dha’if.
a. Hadis Sahih
Subhi Shalih mendefinisikan hadis sahih sebagai hadis musnad, yakni hadis
yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai
awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya,
tanpa adanya syadz dan ‘illat.48 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadis
sahih adalah hadis yang memenuhi syarat yang berupa kebersambungan sanad
dalam periwayatan hadis, para perawinya adil, para perawinya harus dhabit,
kemudian terhindar dari syadz (kerancuan) dan kecacatan (‘illat).
b. Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh
periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta terhindar
46
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101.
47
Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101
48
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 145.
dari syadz dan ‘illat.49 Perbedaan prinsip antara hadis sahih dan hasan terletak
pada keadaan perawinya. Pada hadis sahih perawinya sempurna dhabitnya,
sedangkan pada hadis hasan, kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena
itulah kualitas hadis hasan diposisikan di bawah hadis sahih.
c. Hadis Dha’if
Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat
hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan. Misalnya, sanadnya ada yang terputus,
di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.
Namun secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam
Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi tiga
tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if.
Sedangkan metode yang dipakai oleh Syi’ah, sebagaimana kriteria-kriteria
kesahihan hadis yang diuraikan di atas, hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena
hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang
mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis
dan maksudnya.50 Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka
26
menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang
menafikan ketetapan amir al-Mukminin Ali ra. sebagai imam.
Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam empat tingkatan atau
empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad (eksternal) dan matan
(internal), dan keempat tingkatan tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi
rujukan setiap bagian yang lain. Empat klasifikasi hadis dalam tradisi Syi’ah,
yaitu:
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya
berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang
49
Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 156.
50
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, (Jakarta:
Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 125
memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka
yang ma’shum.51
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum
dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis
tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah
Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.52
Berdasarkan pada pengertian hadis sahih, ulama Syi’ah membatasi tentang
hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, Ali bin
Abi Talib dan Imam dua belas.53 Suatu keterangan yang dapat dipetik dari
pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi
saw. dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada
27
Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dalam hal
kehujjahannya.
2. Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam
semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.54
3. Hadis Muwassaq
Hadis muwassaq55 adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang bukan
Syi’ah, namun ia adalah orang yang tsiqah dan terpercaya dalam periwayatan.
Jadi hadis muwassaq adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam
yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pengikut Syi’ah,
namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda
51
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, hlm. 126
52
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, hlm. 127.
53
Jelas definisi ini berbeda dengan definisi hadis dari kalanggan sunni yang hanya
menyandarkan segala hal yang bersumber dari Nabi Saw, baik perkataan, perbuatan, dan
ketetapan. Menurut M. H. Thabathaba’i, sekalipun hadis itu disandarkan kepada Nabi SAW dan
Imam, namun keduanya dibedakan dengan jelas, yang keduanya merupakan satu himpunan
tunggal. M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya (Jakarta: Grafiti Press,
1989), hlm. 278.
54
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,
hlm. 129.
55
Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat)
karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.
dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian
periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.
4. Hadis Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi
salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang
yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang
yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis.56
Dalam hadis sahih, mereka menilai periwayat selain Ja’fariyah sebagai
orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan dha’if yang tidak boleh
diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari selain Ja’fariyah kecuali orang
yang dinyatakan tsiqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-
Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman) dan sahabat yang lain, tabi’in, serta
para imam ahli hadis dan fuqaha. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di
dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi
tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut
28
dinyatakan dha’if oleh Syi’ah.
Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan berarti tidak dapat diamalkan.
Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis
tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka. Dengan demikian nampak
bahwa terdapat pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang berkembang di
kalangan pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang
muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji, di
dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja, melainkan
memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad dan para
imam mereka.
D. Penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah.
Sunni menempatkan hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai
sumber referensi atau pandangan hidup. Al-Qur’an adalah peraturan atau undang-
56
Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,
hlm. 130.
undang yang komprehensif dan meliputi aspek ushul dan kaidah asasi Islam:
ideologi, ibadah, etika, muamalat, dan sopan-santun. Adapun hadis berfungsi
sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh kandungan al-Qur’an. Dengan
demikian, hukum serta arahan yang ditunjukkan hadis mesti diikuti dan ditaati. 57
Logikanya, apabila taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kewajiban,
demikian pula kepada apa saja yang disampaikan Nabi tentang al-Qur’an.
Penjelasan seperti ini dapat ditemukan dan dipahami melalui al-Qur’an, hadis itu
sendiri, konsensus ulama, serta akal dan penalaran umat manusia.
Meski menjadikan hadis sebagai salah satu hujjah, Syi’ah tentu saja berbeda
dengan Sunni. Perbedaan itu bisa dilihat dari pengertian hadis dari kalangan
Syi’ah, jika Sunni memberi definisi hadis berupa hal ihwal yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw., maka di kalangan Syi’ah Hadis mempunyai
pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, Nabi
Muhammad saw. dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.
29
Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua setelah
al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, tidak hanya terbatas pada
hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun meliputi perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan itu setara dengan hadis Nabi.
57
Yusuf al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, hlm. 70.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal wafat
nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu bukan
berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan riwayat
yang menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada juga yang
menulis hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka maksud
ungkapan hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara resmi atas
perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk menulis ayat-ayat
al-Qur’an.
Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis secara resmi
dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).
Sedangkan di kalangan Syi’ah, Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis
telah berkembang sejak zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni.
Namun Syi’ah hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib.
Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya
ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis
utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la
Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min
Akhbar.
1. Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis
kutub al-Sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Abu Dawud,
Turmudzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i. sedangkan Syi’ah mempunyai dan
berpegang teguh pada empat kitab hadis, yaitu: al-Kafi, Man Laa
Yahduruh al-Faqih, al-Tahdhib, dan al-Istibshar.
2. Secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam Sunni
adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi
tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if. Sedangkan Syi’ah membagi
hadis kepada mutawatir dan ahad.
30
Hadis sahih menurut sunni adalah hadis yang bersambung sanadnya,
yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir 31
sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya, tanpa
adanya syadz dan ‘illat. Sedangkan hadis sahih menurut Syi’ah adalah,
hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil
dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain,
hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar
periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang
ma’shum.
3. Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua
setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, hadis tidak
hanya terbatas pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun
meliputi perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan
itu setara dengan hadis Nabi.
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih belum sempurna.
Oleh sebab itu, kami harapkan kepada pembaca atau pun pendengar agar dapat
mencari sumber-sumber lainnya tentang “kajian hadis dalam pandangan sunni
dan syiah” sehingga pengetahuan dan wawasan kita tidak terbatas oleh
pembahasan pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA