Anda di halaman 1dari 22

Tugas Terstruktur Kelas: Fisika

Ulumul Hadits Dosen Pengasuh: Tamjidnor, S. Ag., M. Pd. I

MENGENAL KITAB HADITS ( KUTUBUT TIS’AH )

Kelompok 6

1. Nada Nisrina 180101100316


2. Ratna Sartika 180101101080

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI TADRIS FISIKA
BANJARMASIN
2019
DAFTAR ISI
Cover ............................................................................................................................ 1
Daftar Isi ....................................................................................................................... 2
Bab I Pengantar ............................................................................................................ 3
Latar Belakang.............................................................................................................. 3
Bab II Pembahasan ....................................................................................................... 4
Mengenal Kitab Hadis (Kutubut Tis’ah) ...................................................................... 4
1. Kitab Sahih al-Bukhari ..................................................................................... 4
2. Kitab Sahih Muslim .......................................................................................... 6
3. Kitab Sunan Abu Dawud .................................................................................. 8
4. Kitab Sunan al-Tirmizi ................................................................................... 11
5. Kitab Sunan al-Nasa’i..................................................................................... 13
6. Kitab Sunan Ibn Majah ................................................................................... 14
7. Kitab Musnad Ahmad Ibn Hanbal .................................................................. 15
8. Kitab al-Muwatta Imam Malik ....................................................................... 17
9. Kitab Sunan al-Darimi .................................................................................... 18
Bab III Penutup ........................................................................................................... 20
Kesimpulan ................................................................................................................. 20
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 22

2
BAB I PENGANTAR
Latar Belakang
Pada masa Rasulullah, apabila ada suatu ketidakpahaman dalam sebuah ajaran
Islam maka para sahabat bisa langsung menanyakan tentang solusi tersebut kepada
Rasulullah. Namun sepeninggalan Rasulullah para sahabat dapat memperoleh hukum-
hukum dalam Islam dari pengalaman ketika Rasulullah masih hidup melalui ucapan,
perbuatan , dan ketetapan beliau atau yang disebut sunah.
Sumber hukum ajaran Islam yang utama adalah Al- Qur’an dan Sunnah atau Hadis,
hal ini telah disepakati oleh mayoritas Muslim dari berbagai mazhab Islam. Di dalam Al-
Qur’an hanya menjabarkan ajaran Islam secara global atau universal. Namun dengan
adanya sunah atau hadis ini maka ajaran Islam menjadi lebih jelas dan rinci, hal tersebut
sesuai dengan fungsi hadis yaitu menjelaskan ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an
menjadi lebih rinci dan spesifik.
Oleh karena itu, para ulama hadits berinisiatif untuk menulis dan membukukan
hadis-hadis dari Rasulullah ke dalam kitab-kitab untuk mempermudah umat Islam.
Sepanjang sejarahnya, para ulama hadis berjuang keras untuk mewujudkan keinginan yang
kuat dalam membukukan hadis dalam sebuah kitab. Mereka para ulama hadis, berkelana ke
berbagai penjuru kota Islam untuk mencari dan mengumpulkan informasi berbagai hadis.
Sehingga hadis-hadis yang ada dalam berbagai kitab telah melalui proses penelitian yang
sangat ketat dan rumit untuk menghasilkan kualitas hadis yang diinginkan para
penghimpunnya.
Dalam makalah ini, penulis ingin mengenalkan kitab-kitab hadis dari 9 imam yang
pupuler dikalangan umat atau yang disebut dengan Kutubut Tis’ah. Kutubut Tis’ah berasal
dari dua kata dalam bahasa arab, yaitu kutub yang berarti kitab-kitab dan Tis’ah yang
berarti sembilan. Jadi, dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kutubut tis’ah ialah kitab-
kitab yang memuat hadis-hadis populer yang diriwayatkan oleh sembilan imam dan
disusun oleh mereka masing-masing.
Adapun sembilan imam yang dimaksud itu adalah antara lain, Imam al-Bukhari
atau lebih dikenal dengan Sahih Bukhari, Imam Muslim atau yang dikenal dengan Sahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah,
Musnad Ahmad, Muwatta al-Malik, dan Sunan ad-Darimi.

3
BAB II PEMBAHASAN
Mengenal Kitab Hadits (Kutubut Tis’ah)

1. Kitab Sahih al-Bukhari


Imam al-Bukhari adalah seorang yang memiliki ketekunan, ketelitian, dan
kecerdasannya dalam mencari, menyeleksi dan menghafal hadis, serta banyak menulis
kitab, menjadikan ia cepat dikenal sebagai seorang ahli hadis dan mendapat gelar Amir
al-Mu’minin fi al-hadis.
Ishaq ibn Ruhawaih salah seorang guru Imam al-Bukhari pernah berwasiat
kepadanya “hendaklah engkau menyusun sebuah kitab yang khusus berisi sunnah rasul
yang sahih.” Jadi, wasiat gurunya inilah yang mendorong dan mengilhami beliau untuk
menyusun sebuah kitab yang berbeda dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama
sebelumnya, yaitu dengan cara hanya membukukan hadis-hadis yang shahih saja. Untuk
itu kitab susunannya ia beri judul dengan nama al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-
Mukhtasar min Umur Rasul Allah Saw wa Sunanih wa Ayyamih.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, yang dimaksud dengan kata al-Jami’ adalah
dalam kitab tersebut termuat hadis-hadis tentang hukum, keutamaan amal, tata
pergaulan, sejarah dan kabar yang akan datang. Kata al-Musnad mengandung arti
bahwa Imam al-Bukhari hanya memasukkan hadis-hadis yang sanadnya bersambung
sampai Rasulullah, dan kata al-Sahih dimaksudkan bahwa dalam kitab tersebut tidak
dimasukkan hadis-hadis yang dha’if.1
Para praktisi hadits, termasuk adz-Dzahabi, memberi penilaian bahwa kitab shahih
al-Bukhari adalah kitab yang bernilai sangat tinggi, bahkan paling baik setelah Al-
Qur’an. Al-Bukhari, dalam menyajikan kitab koleksi haditsnya terdorong oleh hal-hal
berikut:
a. Melihat koleksi kitab hadits terdahulu yang mencampurkan hadits shahih dan hadits
dha’if, serta tanpa membedakan apakah hadits itu maqbul (diterima sebagai hujjah)
atau mardud (ditolak dijadikan hujjah).
b. Semakin meluasnya pengaruh hadits palsu (maudhu’), bahkan ada yang telah
bercampur ke dalam beberapa kitab koleksi hadits para kolektor terdahulu.

1
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h. 47.

4
c. Perhatian atas fungsi hadits sebagai dalil syar’i tidak tampak dalam kitab koleksi
hadit terdahulu. Bahkan dapat dikatakan, sikap kolektornya cenderung mengabaikan
keberadaan hukum fiqh yang terkandung di dalam sebuah hadits.
Terdorong oleh hal-hal itulah, Imam Bukhari selama 16 tahun rihlah ke berbagai
tempat di daerah kekuasaan Islam untuk menemui para kolektor (penyusun) hadits dan
mencari kepastian status keshahihan hadits. Sebuah hadits dikatakan shahih oleh Imam
Bukhari apabila:
a. Sanadnya tersambung.
b. Periwayatannya berasal dari orang-orang yang benar-benar tsiqqah.
c. Ada pertemuan langsung antara guru dan murid atau minimal guru dan murid hidup
pada satu zaman.
Karena ketekunan, kejelian dan syarat yang ketat dalam mengoleksi hadits, al-
Bukhari (dalam shahih-nya) hanya mencatumkan 9082 hadits dari 600.000 hadits yang
dihafalnya, yang diterimanya dari sekitar 90.000 perawi hadits. Itulah kenapa semua
hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dinilai shahih.2
Dalam rangka menyusun kitabnya ini dan guna memastikan keshahihan sebuah
hadits, disamping berusaha secara fisik ternyata ia juga tidak meninggalkan aspek non
fisik. Dari informasi yang disampaikan bahwa salah seorang muridnya yang bernama
al-Firbari bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari berkata, “Aku menyusun Al-Jami’
al-Musnad al-Shahih ini di Masjid al-Haram, aku tidak memasukkan sebuah hadits pun
ke dalam kitab itu sebelum aku shalat istikharah dua rakaat setelah itu aku baru betul-
betul merasa yakin bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih.”
Dalam hal penulisan sebuah kitab hadits dikenal ada empat macam sistematika:
a. Sistematika kitab shahih dan sunan; kitab yang disusun dengan cara membagi
menjadi beberapa kitab dan tiap-tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab.
b. Sistem Musnad; sebuah kitab hadits yang disusun menurut nama periwayat pertama
yang menerima dari Rasul.
c. Sebuah kitab hadis yang disusun berdasarkan lima bagian-bagian tertentu yaitu
bagian hadits yang berisi perintah, larangan, khabar, ibadah dan tentang af’al secara
umum.
d. Kitab yang disusun menurut sistematika kamus.

2
M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan
Musthalah Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h. 229-231.

5
Kitab hadits karya al-Bukhari disusun dengan memakai sistematika model pertama,
yaitu dengan membagi menjadi beberapa judul tertentu dengan istilah kitab berjumlah
97 kitab. Istilah kitab dibagi menjadi beberapa sub judul dengan istilah Bab berjumlah
4550 bab dengan jumlah hadits secara keseluruhan 7275 buah hadits termasuk
pengulangan atau sebanyak 4000 buah hadits tanpa pengulangan.3
2. Kitab Sahih Muslim
Imam Muslim, disamping keinginan yang sangat kuat untuk menyusun kitab hadits
shahih, latar belakang Imam Muslim dalam menyusun shahihnya ada 2 hal yaitu:
a. Masih banyaknya kitab hadits yang mencampuradukkan hadits shahih dengan hadits
dha’if, baik dari sisi matan maupun sanad. Meski Imam Bukhari sudah
membukukan hadits shahih, menurut Imam Muslim, berbagai penjelasan hadits
dalam Shahih al-Bukhari masih sulit dipahami, terutama oleh orang-orang yang
tidak berkecimpung dalam bidang hadits.
b. Makin meluasnya penyebaran hadits maudhu’.4
Kitab himpunan hadits shahih karya Muslim ini judul aslinya ialah al-Musnad al-
Sahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasul Allah saw.,
namun lebih dikenal dengan nama al-Jami’ al-Sahih atau Sahih Muslim.
Penyusunan kitab ini memakan waktu 15 tahun. Imam Muslim mengerjakan proyek
monumental ini secara kontinu. Proses persiapan dan penyusunan kitabnya itu beliau
lakukan baik ketika sedang berada di tempat tinggalnya maupun dalam perlawatan ke
berbagai wilayah. Dalam penggarapannya itu, beliau menyeleksi ribuan hadits baik dari
hafalannya maupun catatannya. Informasi lain menyatakan bahwa kitab al-Jami’ al-
Sahih atau Sahih Muslim ini merupakan hasil seleksi dari sejumlah 300.000 hadits.
Kitab ini memuat hadits yang cukup banyak. Hanya saja mengenai penentuan
jumlah haditsnya, terdapat informasi / pendapat yang berbeda-beda. Secara eksplisit Dr.
‘Ajjaj al-Khatib menyatakan bahwa jumlah hadits dalam Sahih Muslim dengan tidak
termasuk yang diulang-ulang (gair mukarrar) ada 3.030 hadits sedangkan jumlah
seluruhnya termasuk yang diulang-ulang atau yang melalui (seluruh jalur) sanad yang
berbeda-beda memuat sekitar 10.000 hadits. Perbedaan tersebut terjadi karena ada yang

3
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h. 49-50.
4
M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadits dan
Musthalah Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), h. 232.

6
menghitung hadits-hadits dengan yang berulang-ulang dan ada yang tidak. Karenanya
perbedaan tersebut dapat dipahami sekaligus dapat dikompromikan.5
Kitab ini disusun dengan sistematika yang baik, sehingga isi hadis-hadisnya tidak
bertukar-tukar dan tidak berlebih dan berkurang sanadnya. Secara global kitab ini tidak
ada bandingannya di dalam ketelitian menggunakan isnad. Sahih Muslim telah disharah
oleh ulama’-ulama’ hadis sebanyak 15 buah, seperti al-Mu’lim bi Fawaidi Muslim oleh
Mazary, al-Ikmal oleh al-Qadi ‘Iyad, Minhaj al-Muhaddithin oleh al-Nawawiy, Ikmal
al-Ikmal oleh al-Zawawi, dan Ikmal al-Ikmal li Mu’lim oleh Abu Abd. Allah
Muhammad Abi al-Maliki. Di antara yang mengikhtisarkannya ialah al-Qurtubi yang
disyarahkan kembali dalam kitabnya al-Mufhim. Zawaidnya telah di sharah oleh Ibn al-
Mulaqqin.
Berdasarkan jalan yang ditempuh Muslim dalam men takhrij kan hadis-hadisnya,
para ulama’ memandang bahwa Muslim meriwayatkan hadis yang sempurna yang
memiliki sharat-sharat kesahihan, memiliki sanad muttasil (sambung menyambung
sanadnya) dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi saw.) dengan sharat adil dan kuat
hafalan (dabit) dari awal hingga akhir tanpa shadh dan illat.
Di samping itu Muslim sangat teliti, sehingga ia bedakan antara kata haddasana
dengan kata akhbarana. Yang pertama mengandung pengertian bahwa hadis tersebut
langsung didengar melalui ucapan guru, sedangkan yang kedua hadis itu dibacakan atas
nama guru. Hadis-hadis tersebut ditulis dengan matan yang sempurna tanpa
pengulangan.6
Keterangan Imam Muslim dalam muqaddimah shahih-nya sebagaimana
dikemukakan oleh Imam Nawawi dalam syarahnya, akan lebih dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai syarat-syarat yang dipakai dalam kitab Sahih-nya itu.
Beliau mengategorikan hadits kepada 3 macam, yaitu:
a. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para periwayat yang adil dan dabit.
b. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para periwayat yang tidak diketahui
keadaannya (mastur) dan kekuatan hafalannya sedang-sedang saja.
c. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para periwayat yang lemah (hafalannya) dan
para periwayat yang haditsnya ditinggalkan orang.

5
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.65-66.
6
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2013), h. 107-108.

7
Dari ketiga kategori tersebut, apabila Imam Muslim telah selesai meriwayatkan
hadits kategori pertama, beliau senantiasa menyertakan hadits kategori kedua.
Sedangkan hadits kategori ketiga, beliau tidak meriwayatkannya.
Setelah selesai membukukan kitabnya, Imam Muslim memperlihatkan kitabnya
kepada para pakar hadits terkemuka yaitu seorang huffaz Makki bin ‘Abdan dari
Naisabur. Ia berkata: “Saya mendengar Muslim berkata: “Aku perlihatkan kitabku ini
kepada Abu Zur’ah al-Razi. Semua hadits yang diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya,
aku meninggalkannya. Dan semua hadits yang dikatakannya shahih, itulah yang
kuriwayatkan.” Ini menunjukkan ke-tawadu’-an atau kerendahatiannya.7
Para ulama menilai bahwa Sahih Muslim di samping Sahih al-Bukhari merupakan
dua kitab koleksi hadits yang paling sahih di antara kitab-kitab koleksi hadits lainnya.
Dalam kaitan ini, al-Dar al-Qutni dengan nada yang agak menyanjung pernah berkata,
“Seandainya tidak ada al-Bukhari dan Muslim, maka pembahasan hadits tidak akan
muncul.”
Hadits-hadits dalam Sahih Muslim pada umumnya berkualitas sahih atau dinilai
sahih oleh sebagian besar ulama hadits. Imam Muslim pernah menyatakan bahwa ia
tidak memasukkan semua hadits sahih ke dalam kitabnya, melainkan hanya hadits-
hadits yang disepakati oleh ulama hadits saja. Menurut Ibnu Salah, mungkin yang
dimaksudnya itu ialah beliau hanya memasukkan hadits yang memenuhi persyaratan
sahih yang telah disepakati oleh para ulama hadits.
Para ulama hadits sering membandingkan nilai hadits-hadits dalam kitab ini dengan
kitab lainnya. Umumnya mereka menilai bahwa kualitas hadits-hadits dalam kitab ini
menempati posisi kedua setelah kitab Sahih al-Bukhari.8
3. Kitab Sunan Abu Dawud
Abu Dawud mewariskan banyak keterangan dalam bidang hadis yang berisi
masalah hukum. Di antara karya-karyanya, antara lain : Kitab al-Sunan, kitab al-
Marasil, kitab al-Qadar, al-Nasikh wa al-Mansukh, Fada’il al-‘Amal, kitab al-Zuhd,
Dala’il al-Nubuwah, Ibtida’, al-Wahyu dan Ahbar al-Khawarij. Diantara karya-karya

7
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.72-73.
8
Ibid., h. 74.

8
tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab al-Sunan,
yang kemudian terkenal dengan nama “Sunan Abu Dawud”.9
Kitab ini dijadikan Abu Dawud sebagai rujukan dalam mengajarkan hadits di
Baghdad, yaitu sebelum dia menetap di Bashrah. Ketika kitab itu ditunjukkan kepada
Ahmad bin Hanbal (gurunya), dia mengatakan bahwa kitab tersebut sangat bagus.
Bahkan, Ibrahim al-Harabi, seorang ulama hadits menyatakan: “Hadits telah
dilunakkan Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan Nabi Dawud.” Ungkapan
tersebut adalah perumpamaan bagi seorang ahli hadits, yang telah mempermudah yang
rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.
Kitab sunan menurut ahli hadits adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-
bab fiqih. Kitab sunan ini hanya memuat hadits-hadits marfu’, tidak memuat hadits
mauquf atau maqtu’, sebab dua macam hadits ini tidak disebut sunnah, termasuk hal-
hal yang berkaitan dengan moralitas, sejarah, dan zuhud.10
Abu Dawud menyusun kitabnya dengan mengumpulkan hadits-hadits yang
berkaitan dengan hukum dan dalam penyusunannya berdasarkan urutan bab-bab fiqih,
seperti taharah, shalat, zakat, dan sebagainya dengan beraneka kualitas dari yang
sahih sampai yang dha’if.
Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadis-hadis sahih semata
sebagaimana yang dilakukan al-Bukhari dan Muslim, tetapi ia memasukkan hadis
sahih, hasan dan da’if yang tidak terlalu lemah dan hadis yang tidak disepakati oleh
para ulama untuk ditinggalkan. Hadis-hadis sangat lemah diterangkan kelemahannya.
Cara yang diterima Abu Dawud dalam menulis kitabnya, dapat diketahui dari
suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah atas pertanyaan yang diajukan
mengenai kitab sunannya. Inti dari surat tersebut adalah : Abu Dawud mendengar dan
menulis hadis 500.000 dan diseleksi menjadi 4.800 hadis. Ia menghimpun hadis-hadis
sahih, semi sahih dan tidak mencantumkan hadis yang disepakati ulama’ untuk
ditinggalkan. Hadis yang lemah diberi penjelasan atas kelemahannya dan hadis yang
tidak diberi penjelasan bernilai sahih.11
Dalam al-Maliki dan Syuhbah, Abu Dawud berkata:

9
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2013), h.113.
10
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.91-92.
11
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2013), h. 113-114.

9
“Aku telah menulis hadis-hadis dari Rasulullah SAW. Sebanyak 500.000 hadis, dan
dari jumlah itu aku memilih apa yang aku sebutkan mana-mana yang shahih dan yang
mendekati shahih. Dan dalam urusan agama bagi seseorang, kiranya cukup dengan
berpegang empat hadis saja dari sekian banyak hadis yang aku sebutkan..............”12
Empat hadis yang dimaksud oleh Abu Dawud tersebut yaitu:13
1) ‫إنما األعمال بالنيات‬
“Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya.”
Tentang niat dan keikhlasan yang menjadi dasar utama dalam setiap amal.
2) ‫من حسن اسال م المرء تركه ما ال يعنيه‬
“Termasuk tanda kesempurnaan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan hal-hal
yang tiada berguna baginya.”
Ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk melakukan setiap yang bermanfaat
bagi agama dan dunia.
3) ‫اليكون المؤمن مؤمنا حتى يرضى الخيه مايرضاه لنفسه‬
“Seorang mukmin tidak akan sempurna keimanannya sampai dia rela terhadap
saudaranya sebagaimana dia merelakan terhadap dirinya sendiri.”
Mengatur orang lain, meninggalkan sifat egois, menjauhi sifat iri dan dengki.
4) ‫إن الحال ل بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات‬
“Sesungguhnya perkara yang halal itu sudah jelas, dan yang haram juga sudah
jelas, sedang di antara keduanya merupakan sesuatu yang syubhat.”
Cara mencapai sifat wara’, yakni dengan menjauhi yang musykil dan syubhat.
Karena mempermudah melakukan yang syubhat akan membuat seseorang
meremehkan yang haram.
Dalam Sunan Abu Dawud, beliau membagi haditsnya dalam beberapa kitab dan
setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Adapun perinciannya adalah 35 kitab, 1871
bab, serta 4800 hadits. Tetapi menurut Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,
jumlahmya sebanyak 5274 hadits. Perbedaan hitungan tersebut karena Abu Dawud
sering mencatumkan sebuah hadits di tempat yang berbeda, hal ini dilakukan karena

12
Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 278-279. Lihat pula M. Muhammad Abu Syuhbah, Kutubus Sittah: Mengenal Enam Kitab Pokok
Hadis Shahih dan Biografi Para Penulisnya (Surabaya: Pustaka Progressif, 2006), 108-109.
13
Ibid.

10
untuk menjelaskan suatu hukum dari hadits tersebut dan untuk memperbanyak jalur
sanad.14
4. Kitab Sunan al-Tirmizi
Karya paling besar dari Abu Isa adalah kitab al-Jami’. Kitab ini merupakan salah
satu ensiklopedia hadits dan dikenal juga dengan Sunan al-Tirmizi. Al-Tirmizi tidak
memuat hadits di dalam kitab al-Jami’ kecuali telah diamalkan oleh fuqaha yaitu hadits
yang sudah dipakai berhujjah oleh yang berhujjah dan telah diamalkan oleh orang yang
mengamalkan.
Menurut Ahmad Muhammad Shakir kekhasan Sunan Tirmidhi adalah sebagai
berikut :
a. Mencantumkan riwayat dari sahabat lain tentang masalah yang dibahas dalam hadis
pokok, baik isinya semakna atau dengan makna lain bahkan yang bertentangan sama
sekali, atau keterkaitannya hanya isyarat meskipun sangat samar.
b. Menyebutkan pendapat kalangan fuqaha’ pada setiap masalah fiqih dan argumentasi
mereka, serta menyebutkan beberapa hadis yang berbeda dalam masalah tersebut. Cara
ini dinilai penting karena membawa pencapaian tujuan ‘ulum al-hadith yaitu memilih
yang sahih untuk kepentingan berhujjah dan beramal.
c. Memperhatikan ta’lil hadis. ia menyebutkan tingkat kesahihan dan keda’ifan serta
menguraikan pendapatnya tentang ta’lil dan rijal al-Hadith dengan rinci.15
Kitab al-Jami’ al-Sahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama,
diantaranya yaitu: akidah, budi luhur, adab, tafsir al-Qur’an, sejarah dan jihad Nabi,
tabi’t, fitnah, dan al-manaqib wa al-masalib. Oleh sebab itu kitab hadits ini disebut
dengan al-Jami’.
Secara keseluruhan, kitab al-Jami’ al-Sahih atau Sunan al-Tirmizi ini terdiri dari 5
juz, 2376 bab dan 3956 hadits. Kitab ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari bab
taharah seterusnya sampai dengan bab akhlaq, do’a, tafsir, fada’il dan lain-lain. Al
Tirmizi dalam menulis hadits dengan mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz,
kitab, bab dan sub bab. 16

14
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.93.
15
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2013), h. 118-119.
16
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.115.

11
Al-Tirmizi banyak memuat hadits hasan, dengan itu membuat kitab tersebut
populer dengan kitab hasan. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai hadits
hasan itu, termasuk guru-guru maupun murid-murid al-Tirmizi, karena beliau tidak
memberi definisi yang pasti untuk itu, terlebih beliau juga menggabungkan dengan
istilah yang beraneka ragam, seperti: hadits hasan sahih, hasan gharib dan hasan sahih
garib.
Ada satu hal yang penting ialah usaha besar al-Tirmizi dalam mengukir sejarah
tentang pembagian hadits menjadi hadits sahih, hasan, dan dha’if yang sebelumnya
hanya sahih dan dha’if. Imam al-Nawawi dalam kitab Taqrib yang disyaratkan oleh al-
Suyuti mengatakan: “Kitab al-Tirmizi adalah asal untuk mengetahui hadits hasan, ia lah
yang memasyhurkannya, meskipun sebagian ulama dan generasi sebelumnya telah
membicarakannya secara terpisah.”17
Imam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah juga mengatakan: “Abu Isa al-Tirmizi dikenal
sebagai orang pertama yang membagi hadits menjadi sahih, hasan, dan dha’if, yang
tidak diketahui oleh seorang pun tentang pembagian itu sebelumnya. Abu Isa telah
menjelaskan yang dimaksud dengan hadits hasan itu ialah hadits yang banyak jalannya,
perawinya tidak dicurigai berdusta dan tidak syadz”.18
Ada beberapa hal yang perlu diketahui mengenai ungkapan yang digunakan al-
Tirmizi, menimbulkan berbagai penafsiran para ulama.
1) Hadits hasan sahih; mempunyai 3 kemungkinan makna, yaitu: (a) Hadits ini hasan
lizatih yang naik menjadi hadits sahih ligairih, karena mempunyai banyak sanad
hasan yang menguatkan satu sama lain. (b) mempunyai banyak sanad, sebagian
bernilai sahih, sebagian hasan. (c) sanad atau sebagian rawinya diperselisihkan,
sebagian ulama memandang hasan dan sebagian ulama memandang sahih.
2) Hadits hasan gharib; mempunyai 4 kemungkinan makna, yaitu (a) mempunyai satu
sanad. (b) hadits hasan yang dalam hubungannya dengan rawi tertentu hanya
mempunyai satu sanad. (c) mempunyai banyak sanad, tetapi yang bernilai hasan
hanya satu. (d) mempunyai banyak sanad hasan, tetapi rawi-rawinya satu negeri.

17
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 54.
18
Al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdis, (Kairo: Al-Halabi ‘Isa al-Babi, 1961), h. 103.

12
3) Hadits hasan sahih gharib; mempunyai dua kemungkinan, yaitu: (a) mempunyai
satu sanad, tetapi sebagian rawinya diperselisihkan. (b) sebagian sanadnya hasan,
sebagian sanadnya sahih, tetapi rawi-rawinya satu negeri.19
5. Sunan al-Nasa’i
M. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya “Usul al-Hadis” bahwa al-Nasa’i
mengarang kurang lebih 15 buku dalam bidang ilmu hadis dan yang paling utama dan
masyhur di antaranya adalah Kitab al-Sunan (Sunan al-Kubra) yang akhirnya terkenal
dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.20 Kitab Sunan al-Nasa’i adalah kitab yang muncul
setelah Kitab Sahihain yang paling sedikit hadis da’if nya, tetapi paling banyak
21
pengulangannya, sebagaimana hadis tentang niat diulangnya sampai 16 kali. Jadi
dapat kita ketahui bahwa dalam kitab Sunan al-Nasa’i tersebut tidak hanya terikat hadis
sahih, akan tetapi terdapat pula hadis hasan atau yang mendekati keduanya bahkan juga
terdapat hadis dha’if.
Dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra masih terdapat berbagai macam hadis yang
belum teridentifikasi, apakah itu sahih, hasan atau dha’if. Oleh karena itu, beliau
menyeleksi lagi hadis-hadis tersebut dengan hanya memasukkan hadits sahih saja ke
dalam sebuah kitab yang beliau namakan dengan kitab al-Sunan al-Sughra atau
dinamakan juga kitab al-Mujtaba min al-Sunan dan disebut juga kitab al-Mujtaba.
Dengan demikian, kitab al-Sunan al-Sugra ini merupakan kitab yang memuat hadis
dha’if paling sedikit setelah Sahih Bukhari dan Muslim. Kitab inilah yang ada pada kita
sekarang yang dikenal dengan Sunan al-Nasa’i dan menjadi pegangan para Muhaddisin
dalam meriwayatkan hadits dari al-Nasa’i, di dalamnya terdapat 5761 hadis. 22
Kitab al-Sunan ini sederajat dengan Sunan Abu Dawud atau sekurang-kurangnya
mendekati satu tingkatan kualitas yang sama dengan Sunan Abu Dawud, karena al-
Nasa’i sangat teliti dalam meriwayatkan dan menilai suatu hadits. Hanya saja, karena
Abu Dawud lebih banyak perhatiannya kepada matan-matan hadits yang ada

Daelan M. Danuri, Ulumul Hadis II, (Yogyakarta: Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
19

Yogyakarta, 1988), h. 84-86.


20
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ‘Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustahuh, (Beirut, Dar al-Fikr, 1989),
h. 325.
21
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995) , h. 344.
22
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ‘Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustahuh, (Beirut, Dar al-Fikr, 1989),
h. 325.

13
tambahannya, dan lebih terfokus pada hadits-hadits yang banyak diperlukan oleh para
fuqaha, maka Sunan Abu Dawud lebih diutamakan sedikit dari Sunan al-Nasa’i. Oleh
karenanya, Sunan al-Nasa’i ditempatkan pada tingkatan kedua setelah Sunan Abu
Dawud dalam deretan kitab-kitab hadis al-Sunan.23
Dilihat dari namanya, kitab hadits al-Nasa’i ini disusun berdasarkan metode sunan.
Kata sunan adalah jamak dari kata sunnah yang pengertiannya juga sama dengan hadits.
Sementara itu yang dimaksud dengan metode sunan di sini adalah metode penyusunan
kitab hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah) dan hanya
mencatumkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja (hadis
marfu’). Bila terdapat hadis-hadis yang bersumber dari sahabat (mauquf) atau tabi’in
(maqtu’), maka relatifnya jumlahnya hanya sedikit.24
6. Kitab Sunan Ibn Majah
Ibn Majah hidup pada masa Dinasti Abbasiyah yakni pada masa pemerintahan
Khalifah al-Makmun (198H/813M) sampai akhir pemerintahan Khalifah al-Muqtadir
(295H/908M).25
Guru pertama Ibn Majah adalah Ali Ibn Muhammad al-Tanafasy dan Jubarah Ibn
al-Muglis. Sejumlah nama guru Ibn Majah yang banyak menyumbangkan hadis antara
lain Mus’ab Ibn Abdullah al-Zubairi, Abu Bakar Ibn Abi Syaibah, Muhammad Ibn
Rumh dan masih banyak guru lain yang dapat dilihat dalam karyanya secara langsung,
Sunan Ibn Majah. Sedangkan murid-murid Ibn Majah yang banyak mengambil hadis
dari Ibn Majah adalah Muhammad Ibn Isa al-Abhari, Abu Hasan al-Qattan, Sulaiman
Ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih.
Penilaian ulama terhadap doro Ibn Majah adalah dalam tingkatan yang baik dan
tinggi. Seperti penialian al-Mizzi yang mengatakan bahwa Ibn Majah adalah sosok yang
alim, pengarang kitab yang sangat bermanfaat dan pengalaman yang luas. Abu Ya’la al-
Khailili menilai bahwa Ibn Majah dapat dipercaya, dapat dijadikan hujjah, banyak
mengetahui hadis dan menghafalnya, dan banyak melakukan perjalanan ilmiah ke
berbagai kota untuk menulis hadis.

23
Hasbi ash-Shiddieqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 194-
195.

24
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.142.

25
Ibid., h.160.

14
Dalam menyusun sunannya, Ibn Majah sama dengan Nasa’i, yaitu menurut tertib
sistematika fiqh. Ia menyusun menjadi beberapa kitab dan bab. Sunan ini terdiri dari 32
kitab dan 1500 bab, jumlah hadisnya sebanyak 4.000 buah.26
Sunan Ibn Majah memiliki 4.341 hadis yang sahih, hasan dan da’if, bahkan ada
hadis yang sangat lemah. Abu Faraj Ibn al-Jauzi berpendapat sebagaimana disitir Abu
Shuhbah bahwa ada 30 hadis mawdu’ terdapat didalam sunan Ibn Majah. Melihat hal
tersebut, maka inilah yang membuat turunnya derajat Sunan Ibn Majah.
Maka ulama Muttaqaddimin keberatan memasukkan Ibn Majah kedalam deretan al-
kutub al-sittah, sebagai gantinya adalah al-Muwatta’ Imam Malik. Jelasnya Sunan Ibn
Majah lebih rendah dari al-Muwatta’ Imam Malik dan Sunan al-Darimi.
Masuknya kitab Sunan Ibn Majah dalam peringkat terakhir terkait erat dengan
lemahnya syarat yang dijadikan standar penilaian hadis. Di dalam kitabnya tidak hanya
hadis sahih saja melainkan berbagai macam hadis yang dalam keadaan cacat,
periwayatnya banyak dinilai negatif oleh kritikus hadis, dha’if, matruk¸dan pendusta.27
Dibandingkan dengan kitab-kitab lain, Sunan Ibn Majah memiliki kelebihan antara
lain terletak pada cara pengemasannya yang dapat mempermudah seseorang untuk
mencari hadis. Selain itu juga memuat hadis-hadis yang tidak ditemukan dalam kutub
al-khamsah. Oleh karena itu, hal tersebut dapat dijadikan informasi tambahan dan dapat
dijadikan penelitian. Jumlah pasal-pasal dalam kitab Sunan Ibn Majah banyak dan ditata
dengan baik dan sedikit sekali adanya pengulangan. Sedangkan kelemahan kitab ini
adalah minimnya informasi atas hadis-hadis yang dinilai dha’if dan maudu’. Selain itu,
perlu penelitian lebih jauh atas hadis-hadis yang dinilai dha’if.28
7. Musnad Ahmad
Sebuah kitab dinamakan musnad apabila penyusunnya memasukkan semua hadis
yang pernah ia terima, dengan tanpa menyaring dan menerangkan derajat hadis-hasis
tersebut29. Pengertian lain dari kitab musnad ialah kitab yang hadis-hadis di dalamnya

26
Ibid., h. 170.

27
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h. 172.
28
Ibid., h. 173-174.
29
Hasbi ash-Shiddieqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 194-
104.

15
disebutkan berdasarkan nama sahabat yang lebih dahulu masuk Islam atau berdasarkan
nasab.30
Koleksi hadis dalam al-Musnad semula diangkat dari hasil seleksi terhadap kurang
lebih 750.000 hadis yang oleh Ahmad Ibn Hambal ditekankan norma, seleksinya pada
segi nilai kelayakan hadis, ushul fiqh serta tafsir. Hasil seleksi tersebut dibukukan
dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika diteritkan dalam edisi ketikan mesin
menjadi 6 jilid format sdang. Betapa hanya format enam buku berformat sedang, namun
melihat muatan hadis yang tertampung didalmnya sekitar 40.000 hadis pantas
dipandang sebagai kitab koleksi hadis terbesar.
Daya tampung al-Musnad terhadap hadis sebanyak itu disebabkan Imam Ahmad
Ibn Hambal adalah gur besar ulama’ mehaddithin generasi berikutnya apabila hadis
yang memadati kutub al-sittah termuat juga dalam al-Musnad Imam Ahmad ibn Hambal
dan segi kuantitas hadis dan ketinggian susunan tata kalimat matannya tidak tertandingi
oleh kitab bentuk musnad manapun.31
Tekad Imam Ahmad Ibn Hambal adalah mengupayakan koleksi hadis yang
berpotensi sebagai hujjah, berbekal tekad itu pula telah dilakukan penelitian seksama
agar setiap hadis agar setiap hadis dalam al-Musnad bermutu sahih. Atas dasar
penegasan Imam Ahmad itulah Abu Musa al-Madini pesimis memandang setiap hadis
layak dijadikan hujjah. Penilaian serupa pernah dinyatakan oleh Jalaludin al-Suyuti.
Sdikit moderat adalah sikap al-hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani yang hasil penelitiannya
berakhir dengan kesimpulan baha dari sejumlah 40.000 hadis al-Musnad hanya ada 3
atau 4 hadis yang belum diketahui secara pasti sumber riwayatnya dengan ungkapan
lain bahwa dalam al-Musnad terdapat sejumlah hadis bermutu sahih dan hadis da’if atau
mendekatu hasan ligairihi.
Derajat hadis didalam Musnad Ahmad diperselisihkan oleh para ulama’.
Setidaknya ada penilaian terhadap hadis-hadis kitab ini. Pertama, seluruh hadis
didalamnya dapat dijadikan hujjah. Kedua, didalam Musnad Ahmad terdapat hadis yang
sahih, da’if, bahkan maudu’. Ketiga, didalamnya terdapat hadis sahih dan da’if yang
mendekati derajat hasan. Terlepas dari kemungkinan adanya hadis da’if bahkan maudu’,

30
Subhi Al-Salih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm wa al-Malayin, 1998), h.
123.

31
Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Kanantuha, (Kairo : Dar al-Qaumiyyah lilh Thiba’ah wal Nasyr,
1949), 402-404.

16
kitab musnad Ahmad tetap memuat banyak hadis yang berkualitas sahih. Oleh karena
itu, kitab ini tetap dijadikan rujukan oleh kaum muslim dalam masalah-masalah
keislaman.32
8. Muwatta Malik
Al-muwatta’ adalah kitab koleksi yang disusun oleh Imam Malik. Kitab tersebut
disusun pada abad kedua Hijriah atas anjuran Abu Ja’far al-Mansur, seorang Khalifah
Bani Abbasyiah tatkala mereka bertemu pada musim haji. Al-mansur pernah meminta
izin kepada Imam Malik untuk menjadikan kitab al-Muwatta’ sebagai konstitusi negara,
namun ditolaknya.33
Kitab al-Muwatta’ adalah kitab hadis yang bersistematika Fiqh. Berdasar kitab
yang telah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqi, kitab al-Muwatta’ terdiri dari 2
Juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadis.
Kitab ini menghimpun hadis-hadis Nabi, pendapat sahabat, qaul tabi’in, Ijma ahl
al-Madinah dan pendapat Imam Malik. Tentang jumlah hadis yang terdapat dalam kitab
al-Muwatta’, para ulama berbeda-beda pendapat. Perbedaan ini terjadi karena
perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan. Ada
ulama hadis yang hanya menghitung hadis berdasar jumlah hadis yang disandarkan
kepada Nabi saja, namun ada pula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa
sahab at, fatwa tabi’in yang memang termaktub dalam kitab ini.34
Secara eksplisit, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai
Imam malik dalam menghimpun kitab al-Muwatta’. Namun secara implisit, dengan
melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode
pembukuan hadis berdasar klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan
mencantumkan hadis Marfu’ (berasal dari Nabi), mauquf (berasal dari sahabat) dan
maqtu’ (berasal dari tabi’in).35
Bahkan bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan
tahapan-tahapan berupa (a) penseleksian terhadap hads-hadis yang disandarkan kepada

32
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2013), h. 95-96.

33
Subhi Al-Salih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm wa al-Malayin, 1998),
h. 387.

34
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h. 9-10.
35
Musthafa Ali Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 76.

17
Nabi, (b) Asar/fatwa sahabat, (c) fatwa Tabi’in, (d) Ijma’ ahli Madinah dan (e) Pendapat
Imam Malik Sendiri.
Tujuan Imam Malik mengumpulkan hadis adalah unntuk melihat fiqih dan undang-
undangnya bukan kesahihannya dan beliau menyusun kitabnya dalam bab-bab
bersistematika fiqih. Senada dengan dengan Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir juga
melihat al-Muwatta’ sebagai kitab fiqih dengan dalil hadis.36
Selain al-Muwatta’ ada juga karya-karya Imam Malik seperti: (a) kitab ‘Aqdiyah,
(b) kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar, (c) kitab Manasik, (d)
Kitab Tafsir li Garib al-Qur’an, (e) Ahkam al-Qur’an, (f) al-Mudawanah al-Kubra, (g)
Tafsir al-Qur’an, (h) Kitab Masa’ Islam, (i) Risalah ila al-Lais, (j) Risalah ila ibn Wahb.
Namun, dari beberapa karya tersebut yang sampai kepada kita hanya dua yakni, al-
Muwatta’, dan al-Mudawwanah al-Kubra.37
9. Sunan Ad-Darimi
Penyusun kitab sunan al-Darimi adalah Abdurrahman Ibn Abdirrahman Ibn al-Fadl
Ibn Bahram Ibn Abdus Shamad. Kunyahnya adalah Abu Muhammmad. Al-Darimi
dilahirkan pada tahun 181 H dikota Samarqand. Imam al-Darimi meninggal pada hari
tarwiyah tahun 255 H setelah salat asar dan dikubur pada hari jum’at bertepatan pada
hari Arafah. Ketka al-Darimi meninggal umurnya telah mencapai 75 tahun. Ada satu
pendapat yang menyatakan bahwa ia meninggal pada tahun 250 H, tetapi ini diragukan
kebenarannya.38
Al-Darimi sejak lahir telah dikaruniai kecerdasan sehingga ia mudah untuk
memahami dan menghafalkan setiap apa yang ia dengar.
Disamping merupakan ahli hadis, al-Darimi juga mmerupakan ahli fiqh dan ahli
tafsir. Dalam bidang hadis ia adalah hafiz sekaligus kritikus hadis yang sangat paham
terhadap ‘ilal al-Hadith dan Ikhtilaf al-Ruwwat. Dalam bidang fiqh ia menguasai fiqh
berbagai aliran madhhab fiqih, dan mampu memilah ajaran fiqih yang berdasar kepada
nash yang ma’surah. Dalam bidang tafsir, ia ahli bidang Ma’ani Al-Qur’an. Muhammad
Ibn Ibrahim Ibn Mansur al-Shairazi menngomentarinya sebagai “Mufassir yang
sempurna”.

36
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h. 11.

37
Ibid., h.5-6.

38
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al-Muna, 2013), h. 131.

18
Al-Darimi belajar hadis dari Yazid Ibn Harun, Ya’la Ibn ‘Ubaid, Ja’far Ibn ‘Aun,
Basyar Ibn ‘Umar al-Zahrani, Abu ‘Ali ‘Ubaidillah Ibn ‘Abdul Majid al-Hanafiy, dan
Abu Bakar ‘Abd al-Kabir. Disamping itu, ia juga berguru kepada Muhammad Ibn Bakar
al-Barsaniy, Wahab Ibn ‘Amir, Ahmad Ishak al-Hadrami, dan Abu ‘Ashim. Ia juga
belajar hadis kepada Abu Nu’aim, ‘Affan, Abu al-Walid, Muslim, Zakariya Ibn ‘Adiy,
Yahya Ibn Hissan, Khalifah Ibn Khayyat Ibn Ma’in, Ahmad Ibn Hanbal, ‘Aliy Ibn al-
Madiniy, dan Duhaim.39
Adapun murid-muridnya antara lain: Muslim, Abu Dawud, Tirmidhi, Abdullah Ibn
Humaid, Raja’ Ibn Marja’, Hasan Ibn al-Shabbah al-Bazzar, Muhammad Ibn Basar,
Bandar, Muhammad Ibn Yahya, Baqit Ibn Makhlaf, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Salih Ibn
Muhammad Jazrah, Ibrahim Ibn Abu Talib, Ja’far Ibn Ahmad Ibn Faris, Ja’far al-Faribi,
Abdullah Ibn Ahmad, Umar Ibn Muhammad Ibn Bujair, Muhammad Ibn Nadar al-
Jarudi dan Isa Ibn Umar al-Samarqandi.
Kitab hadis karya al-Darimi berjudul “al-Hadith al-Musnad al-Marfu’ wa al-
Mawquf wa al-Maqtu”. Kitab ini disusun dengan sistematika penyusunan berdasar pada
bab-bab fiqih, karenanya kitab hadis ini lebih popular dengan “Sunan al-Darimi”.
Kitab ini berisi hadis-hadis Marfu’, mawquf, dan maqtu’. Disamping kitab hadis, al-
Darimi juga menyusun kitab tafsir dan kitab al-Jami, tetapi kedua kitab karya al-Darimi
ini tidak bisa diketemukan pada masa ini.
Kredibilitas al-Darimi diakui sebagai imam dibidang hadis, hafiz dan arif oleh para
pengikutnya. Dalam penyusunan kitab, al-Darimi tampaknya tidak berkehendak untuk
memperbanyak jalur sanad, tetapi ia lebih berkeinginan untuk menyusun suatu kitab
yang ringkas.

39
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2003), h.181.

19
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
1. Imam al-Bukhari adalah seorang ahli hadits kenamaan yang mendapat gelar tertinggi
bagi ahli hadits yaitu, Amir al-Mu’minun fi al-Hadis dan disepakati sebagai pengarang
kitab hadis yang paling sahih. Kriteria hadis sahih menurut Imam al-Bukhari adalah
dalam hal persambungan sanad ia menekankan adanya informasi tentang periwayat
bahwa mereka benar-benar bertemu atau minimal berada satu masa.Beliau dalam
menyusun kitabnya menggunakan sistematika kitab sahih dan sunan.
2. Kitab Sahih Muslim adalah kitab koleksi hadits Nabi Muhammad SAW. yang
penyusunnya sangat dikenal sebagai orang yang terpercaya karena integritas
kepribadian dan intelektualnya. Studi menunjukkan bahwa hadis-hadis dalam kitab ini
umumnya berkualitas sahih dan merupakan hasil seleksi yang sangat teliti dari ratusan
ribu hadis.
3. Kitab Sunan Abu Dawud disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang dimulai dengan bab
al-Taharah dan diakhiri bab al-adab. Di dalamnya hanya memuat hadits-hadits yang
marfu’ yakni bersumber dari Nabi Muhammad SAW. dan hadis yang mawquf dan
maqtu’ tidak dimuat.
4. Kitab al-Jami’ al-Sahih atau Sunan al-Tirmizi ditulis pada abad ke-3 H pada periode
“penyempurnaan dan pemilahan”. Kitab ini memuat seluruh hadis, kecuali hadis yang
sangat dha’if dan munkar. Melalui kitab ini pula beliau memperkenalkan hadis hasan,
yang sebelumnya hanya dikenal istilah hadis sahih dan dha’if.
5. Kitab hadis Sunan al-Nasa’i ditulis dengan metode al-Sunan, yaitu sistematikanya
mengikuti bab-bab yang ada dalam kitab fiqih. Kitab ini ringkasan dari kitab beliau
sebelumnya yaitu Sunan al-Kubra, yang isinya belum diseleksi. Maka dalam kitab
Sunan al-Nasa’i hanya memilih hadis sahih, hasan dan sangat sedikit yang berkualitas
dha’if.
6. Kitab Sunan Ibn Majah mempunyai ciri khas yang tidak dijumpai pada kutub al-
khamsah sebelumnya, yaitu adanya hadis zawa’id. Walaupun ditulis pada masa sesudah
gerakan awal pembukuan hadis, kitab ini menghipun berbagai macam hadis baik sahih
maupun yang tidak sahih.
7. Musnad Ahmad termasuk kitab termasyhur dan terbesar yang disusun pada periode
kelima perkembangan hadis. Kitab ini salah satu warisan penting yang berharga bagi

20
perumusan pemikiran dan penyelesaian masalah kontemporer, sehingga sampai
sekarang tetap dibaca dan dijadikan sember rujukan.
8. Kitab al-Muwatta tidak hanya menghimpun hadis Nabi, tetapi juga memasukkan
pendapat para sahabat, Qaul Tabi’in, Ijma’ Ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik.
Menurut Fuad al-Baqi, al-Muwatta memuat 1824 hadis dengan kualitas beragam dan
metodde penyusunan hadis berdasar klasifikasi hukum (abwab fiqhiyyah).
9. Kitab Sunan al-Darimi memiliki judul asli al-Hadis al-Musnad al-Marfu’ wa al-
Mauquf wa al-Maqtu’. Kitab ini memuat hadis-hadis yang yang beragam dari yang
marfu’, mauquf dan maqtu’.

21
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M., Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: TERAS, 2003.
Arifin, Zainul, Studi Kitab Hadis, Surabaya: Al-Muna, 2013.
Al-Salih, Subhi, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm wa al-Malayin,
1998.
Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972.
Al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdis, Kairo: Al-Halabi ‘Isa al-Babi, 1961.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, ‘Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustahuh, Beirut, Dar al-
Fikr, 1989.
Al-Siba’i, Mustafa al-Sunnah wa Kanantuha, Kairo : Dar al-Qaumiyyah lilh Thiba’ah
wal Nasyr, 1949.
Al-Bandari, Abdul Gafur Sulaiman al-Manusu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, juz III
Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1993.
Ash-Shiddieqi, Hasbi Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Danuri, Daelan M., Ulumul Hadis II, Yogyakarta: Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1988.
Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1995.
Syuhbah, M. Muhammad Abu, Kutubus Sittah: Mengenal Enam Kitab Pokok Hadis
Shahih dan Biografi Para Penulisnya, Surabaya: Pustaka Progressif, 2006.
Ya’qub, Musthafa Ali Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Zein, M. Ma’shum, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits dan Musthalah Hadits, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016.

22

Anda mungkin juga menyukai