Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

USHUL FIQH
QIYAS
Dosen Pengampuh: Drs. Tarmizi Daud M. Ag

Di
s
u
s
u
n
Oleh:
Jeki Lahanda (140209107)

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan


Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry
Darussalam-Banda Aceh
2014-2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul Asbabun Nuzul dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Study Ushul Fiqh yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan
makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas saya.

Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan
penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca yang
budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.

Darussalam, 20 Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................. 4
A. Latar belakang.............................................................................. 4
B. Pembahasan.................................................................................. 4
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................... 5
A. Pengertian Qiyas................................................................................... 5
B. Unsur-unsur Qiyas................................................................................ 5
C. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara........................................................ 6
D. Syarat-Syarat Qiyas............................................................................... 7
E. Pembagian Qiyas................................................................................... 9
F. Tempat Berlakunya Qiyas..................................................................... 11
G. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas............................................... 11
BAB III
PENUTUP............................................................................................. 13
A. Kesimpulan.......................................................................................... 13
B. Saran.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 14

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syariah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari) ditengah
masyarakat. Meskipun demikian, syariah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh dalam
berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syariah ini kemudian
melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan
interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah tersebut
menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjsutifikasi pluralotas formulasi epistemologi
hukum disebabkan adanya peran langage games yang berbeda.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan
ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat
dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut. Formulasi umum yang
dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara cara mengeluarkan hukum dari dalil) dalam
menetapkan hukum biasanya beranjak dari : al-Quran, al-Sunah dan al-Rayu berdasarkan
firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan rayu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 150 H. / 700 767 M),
Malik Ibn Anas (94 179 H. / 714 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 241 H) biasanya
mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas (al-qiyas atau lengkapnya, al-qiyas al-
tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada
ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya
ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan
umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang
dituangkan dalam konsep konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari
kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah
al-mursalah).
Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan Mahasiswa
yang masih belum memahami sumber hukum islam Qiyas. maka penulis tertarik untuk
membuat makalah tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Berikut
akan Kami sampaikan secara garis besarnya saja.

B. Pembahasan
1. Pengertian Qiyas
2. Unsur-unsur Qiyas
3. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara
4. Syarat-Syarat Qiyas
5. Pembagian Qiyas
6. Tempat Berlakunya Qiyas
7. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Secara etimologis kata qiyas berarti qadar artinya mengukur, membandingkan
sesuatu dengan semisalnya. Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni
mengukur dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah: menghubungkan hukum
sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang
menyebaban hukumnya juga sama. Redaksi yang berbeda di jelaskan oleh Sulaiman
Abdullah mengenai istilah yang disampaikan oleh ahli ushul yakni:qiyas adalah
mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan
peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum
yang ditentukan nash.

Tentang arti qiyas menurut terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi
berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi tersebut yakni:
1. Al-Gazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dan keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
2. Qadhi Abu Bakar memberikan definisi yang mirip dengan definisi di atas dan disetujui
oleh kebanyakan ulama, yaitu
menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal
menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada
hal yang sama antara keduanya.
3. Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi:
Menghasilkan (menetapkan)hokum ashal pada furu karena keduanya sama dalam illat
hokum menurut mujtahid. Dan masih banyak lagi pendapat ulama lainnya.

B. Unsur-unsur Qiyas
Mengenai hakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun) pada setiap qiyas, yaitu:
1. Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum.
Ini disebutmaqis alaihi atau ashal atau musyabah bihi.

5
2. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash
syara. Ini disebutmaqisataufuruataumusyabbah.
3. Hukum yang disebutkan sendiri pembuat hukum (syari) pada Ashal. Berdasarkan
kesamaan ashal itu dengan furu,dalam illatnya para mujtahid dapat menetapkan
hukum pada furu ini disebut hukum ashal.
4. Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu.

C. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara


Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara, Muhammad
Abu Zahrah membagi tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara. Mereka
menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran atau
Sunnahdan dalam ijma ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan
dan tidak melampui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas
secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan illat atas suatu hukum Dan tidak
menganggap perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Merekapun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-
kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara adalah:
1. Dalil Al-Quran
a. Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua
hal sebagaimana terdapat dalam surat yasin ayat 78-79
Artinya:Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya;
ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur
luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
b. Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaiman dipahami dari beberapa ayat al-
Quran seperti dalam surat al-Hasr ayat 2.
c. Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat ayat 59.
2. Dalil Sunnah
a. Hadis mengenai percakapan Nabi dengan uadz Ibn Jabal saat ia diutus ke Yaman
untuk menjadi penguasa disana.

6
b. Nabi member petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan
membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan
tersebut.
3. Atsar Sahabat
Adapun argumentasi jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan
qiyas adalah;
a. Surat Umar ibn Khatab kepada Abu Musa al-Asyari sewaktu diutus menjadi qadhi di
yaman.
b. Para sahabat Nabi banyak menetapkan pedapatnya berdasarkan qiyas. Misalnya
contoh yang populer adalah kesepakatan sahabat menggangkat Abu Bakar
menjadi khalifah pengganti Nabi.

D. Syarat-Syarat Qiyas
1. Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-syaratnya
a. harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya,
baik secara nauI atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
b. harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.

2. Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)


a. illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada
ashal.
b. harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik
yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan
sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
c. Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qati.
d. Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan
hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat qiyas itu.
e. Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
f. Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
3. Hukum Ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada
furu. Adapu yang menjadi syarat-syaratnya
a. Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk
mengetahui hukum syara pada furu.
b. Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
c. Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di
nasakh.

7
d. Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
e. Hukumashal itu harus disepakati oleh ulama.
f. Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.

4. Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
a. Bentuk-bentuk illat
1) Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya tanpa
bergantung kepada urf atau lainnya.
2) Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati oleh alat indra.
3) Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur namun dapat dirasakan bersama.
4) Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam artian
bahasa.
5) Sifat syari, yaitu sifat yang keadaannya sebagai bentuk hukum syari
dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum.
6) Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan
adanya suatu hukum.

b. Fungsi illat
1) Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya dengan hukum
merupakan penyebab atau penetap adanya hukum, baik dengan nama
muarif ,muassir, atau baits.
2) Penolak yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi,
tetapi tuidak mencabut hukum itu seandainya ilat tersebut terdapat pada saat
hukum tengah beraku.
3) Pencabut, yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila illat itu
terjadi dalam masa tersebut.
4) Penolak atau pencegah, yakni illat yang hubungannya dengan hukum dapat
mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila
hukum itu telah berlangsung.

c. Syarat-syarat illat
1) Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum
dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
2) Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
3) Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas,
sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
4) Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat
yang akan menjadi illat.
5) Illat itu harus mempunyai daya rentang.

8
6) Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk
menjadi illat.

E. Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada
ilat yang terdapat pada ashal.
a. Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c. Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut
memenuhi persyaratan.

2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya


a. Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik
pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b. Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya
diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat
zhanni.

3. Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum;


a. Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi
Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan
nash yang syarih atau ijma.
Kedua,qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan
furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
b. Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan
hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.

4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu

9
a. Qiyas mana atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya
tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat
dibedakan, sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b. Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c. Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum
itu sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi
petunjuk akan adanya illat.

5. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam
furu.
a. Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode
syabah.
c. Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode
sabru wa taqsim.
d. Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.

F. Tempat Berlakunya Qiyas


Sebagian ulama diantara Imam SyafiI berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua
hukum syariah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah
ditetapkan) dan hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-
syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-
bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum lainnya.

Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah
hudud (pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab ia termasuk batas yang telah ditetapkan
Allah yang tidak bisa diketahui illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi pezina.
Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan kesyubhatan (ketidak
jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan
cara dzanny bukan qati. Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali
dengan dalil yang qati. Adapun soal uqubat yang tidak ditentukan bentuk pidananya, yang

10
disebut dengan Tazir maka qiyas dalam soal ini dapat berlaku. Demikian menurut
kesepakatan para ulama Fiqh.

Qiyas juga tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti uqubat, maka
hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal rukhsah,
sebab ia merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak berlaku pada
pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan pada
ibadah yang sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu yang akal tidak
mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi hukum maupun bagian-bagiannya, sehingga
tidak boleh mensyariatkan sesuatu ibadah yang tidak diizinkan Allah SWT.

G. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas


Ijtihad mengenai kejadia-kejadian baik yang ada nash, tetapi dzanni wurudnya dan
dalalahnya dan yang tak ada nash. Ijtihad yang ada nash dzanni, adalah untuk menentukan
apa yang harus kita pahami dan untuk mengetahui apakah itu am atau khas. Dan kalau dia
am apakah dia masih tetap am atau mutlaq atau mukayyad. Ijtihad terhadap yang tidak ada
nash ialah menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ataupun
dengan dalil yang lain yang dibenarkan syara.

Bidang qiyas ialah kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi terdapat dalam syara,
sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya. Maka qiyas adalah sesuatu sumber ijtihad,
sedang ijtihad itu lebih umum dari pada qiyas. Dan kadang pula ijtihad dengan qiyas
dipandang sama. Diantara perbedaan-perbedaan ijtihad dengan qiyas ialah qiyas yidak dapat
berlaku dalam bidang ibadah, hudud dan kafarat, sementara ijtihad dapat dilakukan disegala
bidang.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qiyas adalah suatu cara penggunaan rayu untuk menggali hukum syara dalam hal
yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Ada dua macam
cara penggunaan rayu yakni penggunaan rayu yang masih merujuk kapada nash dan
penggunaan rayu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara
sederhana disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dan sebab.

Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan
dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun asus lain itu tidak dijelaskan
hukumnya oleh Allah, namun karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang
ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan kepada kasus
lain tersebut.

12
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum Allah,maka setiap
muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukumnya. Sebagian hukum
dapat dilihat secara jelas dalam nash syara namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep
mumatsalahperistiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya dengan yang
ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang menggunakan
metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi)

B. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan
sumberpengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Saya menyadari sepenuhnya
bahwa saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami
sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saya sangat harapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan,
agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008
Abdullah,Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar
Grafika. 2004
As Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka
Rizki Putra. 1997
Hallaq,Wael B.,Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Ushul Fiqh Mazhab
Sunni,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001
Syarifuddin,Amir. Ushul Fiqh I. Jakarta: Kencana. 2009
Syukur,Syarmin. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1993

13
14

Anda mungkin juga menyukai