Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makhluk sosial yang tak terlepas dari hubungan antar sesamanya guna pemenuhan
kebutuhan hidup yang beragam, itulah manusia. Fiqih muamalah merupakan segala
peraturan yang diciptakan Allah swt. untuk mengatur tata kehidupan hubungan manusia
dengan manusia lain. Salah satu dari ruang lingkup fiqih muamalah yang beragam sesuai
dengan pembagiannya adalah pembahasan tentang ‘uqud (perikatan dan perjanjian).
Sesuatu yang mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang
mengadakan janji kemudian ada orang lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula
suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua
buah janji ('ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang
lain disebut perikatan (‘aqad).
Selain itu akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing.Sebelum membahas lebih lanjut tentang
fungsi akad, rukun-rukun serta syarat-syaratnya, pembagian atau macam-macam akad
secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang nantinya akan dijadikan
sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus dan kita pun dapat
mengetahui akibat dari hukum akad tersebut. Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan
mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam
pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apakah definisi akad ?
2. Apakah fungsi akad?
3. Apa sajakah rukun-rukun akad?
4. Apa sajakah syarat-syarat akad?
5. Ada sajakah macam-macam akad?
6. Apakah hukum akibat dari akad?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian akad.
2. Mengetahui fungsi akad.
3. Mengetahui rukun-rukun akad.
4. Mengetahui syarat-syarat akad.
5. Mengetahui macam-macam akad.
6. Mengetahui akibat hukum dari akad.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Manusia telah mengenal ihwal akad sejak dahulu kala. Bukan suatu hal yang aneh,
jika ada orang yang mengikat dirinya dengan transaksi yang harus dilaksanakan saat itu
juga atau beberapa waktu berikutnya. Namun belum diketahui secara pasti bagaimana
pemikiran untuk mengadakan transaksi itu muncul dan faktor dominan yang
melatarbelakanginya. Semua yang diungkap dalam masalah ini hanyalah perkiraan semata.
A. Definisisi Akad
Kata ‘aqad menurut bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Jika dikatakan ‘aqada
al habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya, kemudian
makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak
antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog.1
Akad secara etimologi mencakup makna ikatan, pengokohan dalam penegasan dari
satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan
apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqih, di mana kita mendapati sebagian kalangan
ulama fiqih menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua
keinginan yang ada kecocokan. Sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan
tidak dinamakan akad tetapi dinamakan janji. Dengan landasan ini Ath-Thusi membedakan
antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini
tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu
orang.
Adapun makna akad secara terminologi syar’i yaitu: “Hubungan
antara ijab dan qabul dengan cara yang diperbolehkan oleh syari’at yang mempunyai
pengaruh secara langsung.” Ini artinya bahwa akad termasuk dalam katagori hubungan
yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara keduanya yang kemudian dua
keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.
Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua syarat yang ada, maka syara’ akan
menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada barang yang
diakadkan berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak pembuat akad.
Pengaruhnya dari kondisi pertama kepada kondisi baru, jika pada jual beli, maka barang-

1 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta : Raja Gravindo Persada, 2002), hal. 44

3
barang yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli dan nilai harga dari tangan pembeli
ke tangan penjual.
Dibatasinya makna ikatan harus dalam bentuk yang diperbolehkan oleh syariat
untuk mengeluarkan semua ikatan yang tidak dibolehkan oleh syariat seperti jika ada
orang berkata: “Saya sewa engkau untuk membunuh si fulan dengan bayaran begini, atau
merusakkan tanamannya, atau mencari harta,” lalu ia menjawab: “Saya terima,” maka ini
tidak boleh dan tidak ada pengaruh dari akad yang dibuat.2
B. Fungsi Akad
Akad dalam Islam mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting, karena
akad merupakan alat paling utama dalam menentukan sah atau tidaknya muamalah dan
menggambarkan tujuan akhir dari muamalah. Jadi dapat dikatakan bahwa, apabila akadnya
tidak sesuai, maka transaksi yang dilakukan menjadi tidak sah.
URGENSI AKAD DALAM HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Manusia sebagai makhluk sosial pasti butuh pada orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Ini berarti, setiap orang pasti butuh untuk hidup bersama dengan orang di
sekelilingnya. Allâh yang Maha Pengasih dan Maha Tahu memberikan anugerah kepada
manusia dengan menciptakan alam semesta untuk mereka.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
‫س هخ َر لَ ُك ْم َما‬ ْ َ‫ي ْالفُ ْلكُ فِي ِه ِبأ َ ْم ِر ِه َو ِلت َ ْبتَغُوا ِم ْن ف‬
َ ‫ َو‬Ѻ َ‫ض ِل ِه َولَ َعله ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬ َ ‫س هخ َر لَ ُك ُم ْالبَحْ َر ِلتَجْ ِر‬
َ ‫َّللاُ الهذِي‬
‫ه‬
Ѻ َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَتَفَ هك ُرون‬ ٍ ‫ض َج ِميعًا ِم ْنهُ ۚ ِإ هن فِي َٰذَلِكَ ََليَا‬ ِ ‫ت َو َما فِي ْاْل َ ْر‬ ِ ‫س َم َاوا‬
‫فِي ال ه‬

Allâh-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal berlayar padanya


dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-
mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi kaum yang
berfikir. (al-Jâtsiyah(45):12-13)
Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang
konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari
sini, seorang muslim mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi,

2 Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat. (Jakarta: AMZAH. 2010) hal. 15-18

4
mulai dari menyusun konsep, managemen dan mensukseskannya. Karena Allah Azza wa
Jalla berfirman :
‫َيا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا أ َ ْوفُوا ِب ْالعُقُو ِد‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (al-Mâidah(5):1)
Oleh sebab itu, sangat diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum yang
berkaitan dengan transaksi, terutama saat berbagai transaksi menggiurkan bermunculan
seperti jamur di musim hujan. Antusias masyarakat luas dan respon positif mereka telah
mengecoh banyak kaum muslimin untuk ikut andil. Padahal seharusnya sebagai seorang
muslim, kita harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama kita. Jika transaksi
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama dan berminat melakukannya, barulah
kita diperbolehkan ikut andil. Namun jika bertentangan dengan syariat, maka
tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.
C. Rukun-Rukun Akad
Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menentukan rukun akad. Jumhur
ulama menyatakan bahwa rukun akad tersebut terdiri atas:
1. Pernyataan untuk mengikatkan diri atau sigah al-‘aqd(ijab-qabul);
2. Pihak-pihak yang berakad (muta’akidain); dan
3. Objek akad (barang yang diakadkan).
Ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu sigah al-
‘aqd. Sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka, tidak
termasuk rukun akad tapi termasuk syarat akad. Karena menurut mereka, yang dikatakan
rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri. Sedangkan pihak-pihak
yang berakad dan objek akad sudah berada di luar esensi akad.
Berikut adalah perincian dari rukun-rukun akad.
Pertama: Kalimat Transaksi (Shigh al-‘Aqd).
Yang dimaksudkan adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari
transaktor untuk menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan
sekaligus mengisyaratkan keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih
membahasakannya dengan îjâb dan qabûl (serah terima), namun mereka berbeda pendapat
tentang definisi ijâbdan qabûl. Menurut madzhab Hanafiyyah, ijâb adalah kalimat
transaksi yang diucapkan sebelum qabûl, baik bersumber dari pihak pemilik barang (dalam
akad jual-beli, sewa-menyewa) ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual
beli).

5
Sementara menurut jumhur ulama, îjâb adalah statemen penyerahan
dan qabûl adalah statemen penerimaan. Sehingga menurut jumhur ulama, ijâb itu mestinya
diucapkan oleh orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon
isteri dan lain sebagainya. Dan qabûl karena dia adalah penerimaan, maka berasal dari
orang yang akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain
sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijâbsementara calon pemilik kedua
yang mengucapkan qabûl.
Kedua: Pihak Pihak yang Melakukan Akad (Transaktor).
Maksudnya adalah dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi. Kedua orang
ini harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat tersebut
adalah :
a) Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini
ditandai dengan ‘aqil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal
karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya
tidak sah.
b) Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah. ( ‫عن‬
‫)تراض‬
c) Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak
memiliki khiyâr (hak pilih/opsi, boleh memilih antara dua, meneruskan akad atau
mengurungkan). Seperti khiyar syarath(hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar
‘aib (cacat) dan sejenisnya.3
Ketiga: Obyek Akad (mahallul aqd/ al-ma’qûd ‘alaihi).
Sesuatu yang menjadi obyek akad, terkadang berupa harta benda/ barang dan
terkadang non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual dalam akad
jual beli, atau yang disewakan dalam akad sewa-menyewa dan sejenisnya.
Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu
adalah :
1) Obyek akad adalah suatu yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini
disepakati para ulama fiqih. Penulis Bidâyatul Mujtahid (2/166), Ibnu Rusyd
rahimahullah mengatakan, "(Jika obyek akad itu) barang, maka (syaratnya adalah)
boleh diperjual-belikan, sedangkan (jika obyek akad itu adalah) manfaat (jasa)
maka harus dari sesuatu yang tidak dilarang syari'at. Dalam masalah ini, ada

3 H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2012) ,hal. 286-287

6
beberapa masalah yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Di
antara yang sudah disepakati (oleh para ulama') adalah batalnya akad sewa-
menyewa atas semua manfaat (jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya
haram. Demikian juga semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti
upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan ini, apabila obyek
akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka akadnya tidak sah. Misalnya
pada akadmu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang menjadi obyek haruslah
barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak terkait dengan hak
orang lain.
2) Obyek akad itu ada ketika akad dilakukan.
3) Obyek transaksi bisa diserahterimakan. Barang yang tidak ada atau ada tapi tidak
bisa diserahterimakan, tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.
4) Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan secara langsung, maka
traksaktor harus mengetahui wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan
kriterianya, apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan transaktor namun
barang tersebut tidak ada di lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam,
berdasarkan sabda Nabi saw., "Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam,
hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan
yang jelas, dalam batas waktu yang jelas."
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam
mengadakan akad, ada pula hal-hal lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk
berakad, maka para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh, yaitu:
1. Dengan cara tulisan (kitabah), seperti dua aqid yang berjauhan tempatnya,
maka ijab-qabul boleh dengan cara ini, atas dasar paraFuqaha membentuk kaidah:

‫كالخطاب‬
ِ ‫ال ِكتابة‬
“Tulisan itu sama dengan ucapan.” Dengan ketentuan kitabahtersebut dapat
dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
2. Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan
dan tulisan, seperti seorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab-qabul dengan
bahasa orang yang pandai baca tulis, lalu orang bisu dan tidak pandai baca tulis
tersebut dapat melakukan akad dengan cara isyarat. Maka dibuatlah kaidah:

7
ِ ‫اإلشارة ال َم ْعهودَة ُ ِْلحْ َر ٍس كالبَيان‬
‫باللسان‬
“Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah.”4
D. Syarat-Syarat Akad
Syarat dalam akad ada empat, yaitu :
a) syarat berlakunya akad (in’iqod);
b) syarat sahnya akad (shihah);
c) syarat terealisasikannya akad (Nafadz); dan
d) Syarat Lazim.5
Syarat in’iqod ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada
setiap akad, seperti syarat yang harus pada pelaku akad, objek akad dan shigah akad, akad
bukan pada sesuatu yang diharamkan dan akad-akad pada sesuatu yang bermanfaat.
Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu,
seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat Shihah, yaitu syarat yang
diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus
bersih dari cacat. Syarat nafadz yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak
menggunakannya). Syarat Lazim, yaitu bahwa akad dilaksanakan apabila tidak ada cacat.
E. Macam-Macam Akad
Akad dibagi menjadi beberapa bentuk, tergantung dari aspek tinjauannya.
Pertama, pembagian akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi
menjadi dua:
1. Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda tertentu. Baik
untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non komersial, seperti hibah,
hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu,
seperti akad mudharabah, muzara`ah atau musaqah.
2. Akan ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja tanpa
ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai), mewakilkan,
wasiat, dan lain-lain.
Ada akad yang tergolong maliyah dari satu sisi dan ghairu maliyah dari sisi yang
lain. Contohnya: akad nikah, khulu’, shulhu, dan sebagainya.
Bagaimana bila sesuatu yang diwasiatkan berupa harta benda?

4 Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si., Fiqih Muamalat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002) hal. 48-49
5 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Yogyakarta : Gadjaj Mada
University Press, 2010), hal. 28

8
Jawaban 1.
1. Apabila yang ditanyakan tentang‘ warisan’, maka itu bukan termasuk akad
maliyah atau akad ghairu maliyah, karena salah satu rukun akad yakni harus
adanya shighah (ijab dan qabul), sedangkan dalam hal warisan tidak
terdapat shighah.
2. Apabila yang ditanyakan tentang ‘wasiat yang berupa harta’, maka itu
termasuk akad maliyah.
Wasiat yang ada dalam contoh akad ghairu maliyah di atas adalah wasiat yang
dalam bahasa fiqihnya al-Wishayyah ataual-Isha. Sedangkan ‘wasiat yang berupa harta’
itu termasukakad maliyah dengan bahasa fiqihnya al-Washiyyah. Kalau warisan bukan
termasuk akad, karena di dalamnya tidak ada rukun ijab dan qabul.
Berikut referensi yang diambil dari kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyyah:

َ ‫ا ْلعُقُو ُد ا ْل َماليَّةُ َوا ْلعُقُو ُد‬


: ‫غي ُْر ا ْل َماليَّة‬
‫س َوا ٌء أ َ َكانَ نَ ْقل ِم ْل ِكيه ِت َها‬
َ ،‫اء‬ ِ ‫ق ْالفُقَ َه‬ِ ‫ع ْقدًا َما ِليًّا ِباتِفَا‬
َ ‫س همى‬ َ ُ‫ان ي‬ِ ‫عي ٍْن ِمنَ اْل َ ْع َي‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ْال َع ْقدُ ِإذَا َوقَ َع‬
‫ َك ْال ِه َب ِة‬،‫ض‬ ٍ ‫ض ِة َونَحْ ِوهَا أ َ ْم ِبغَي ِْر ِع َو‬ َ َ‫سلَ ِم َو ْال ُمقَاي‬
‫ف َوال ه‬ ِ ‫ص ْر‬ ‫ َك ْالبَيْعِ ِب َج ِميعِ أ َ ْن َوا ِع ِه ِمنَ ال ه‬،‫ض‬ ٍ ‫ِب ِع َو‬
‫اربَ ِة‬ َ ‫ساقَاةِ َو ْال ُم‬
َ ‫ض‬ َ ‫ع ِة َو ْال ُم‬ َ َ‫ َك ْال ُمز‬، ‫ أ َ ْو بِعَ َم ٍل فِي َها‬،‫[) َونَحْ ِوهَا‬9](‫ان‬
َ ‫ار‬ ِ ‫ض َو ْال َو‬
ِ َ‫صيه ِة بِاْل َ ْعي‬ ِ ‫َو ْالقَ ْر‬
.‫َونَحْ ِوهَا‬
‫ع ْن‬ ِ ‫ أ َ ِو ْال َك‬،)[10](‫صايَ ِة‬
َ ‫ف‬ َ ‫ َو ْال ِو‬، ‫ع َم ٍل ُمعَي ٍهن دُونَ ُمقَابِ ٍل َك ْال َو َكالَ ِة َو ْال َكفَالَ ِة‬ َ ‫علَى‬ َ ‫أ َ هما إِذَا َوقَ َع‬
‫غي ُْر َما ِلي ٍ ِمنَ ه‬
‫الط َرفَ ْي ِن‬ َ ٌ‫ع ْقد‬َ ‫ب ؛ فَ ُه َو‬ ِ ‫ع َم ٍل ُمعَي ٍهن َكعَ ْق ِد ْال ُه ْدنَ ِة بَيْنَ ْال ُم ْس ِل ِمينَ َوأ َ ْهل ْال َح ْر‬
َ
Kita pahami terlebih dahulu pengertian di atas, yakni:
1) Akad maliyah: yaitu apabila transaksi tersebut bersangkutan pada harta benda
tertentu dinamakan akad maliyah menurut kesepakatan ulama fiqih, sama halnya
dengan tukar menukar barang secara komersial seperti: jual beli dan segala macam
jenisnya dari thasarruf, salam, muqayyadah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang
bersifat non komersial seperti:hibah, qard, wasiat dengan harta, dan lain
sebagainya ataupun yang berkaitan dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu
sepert: akad muzara’ah, mudharabah, dan lain sebagainya
2) Akad ghairu maliyah: yaitu apabila transaksi tersebut hanya berkaitan dengan
pekerjaan tertentu tanpa adanya kompensasi seperti: akad perwakilan (wakalah),
akad jaminan (kafalah), dan wasiat, atau cukup dengan perbuatan

9
seperti akad hudnah baina al-Muslimin wa ahlu al-Harb, maka itu adalah akad
ghairu maliyah dari dua sisi.6
Selanjutnya kita pahami perbedaan kedua contoh di atas, yakni:
a) Wasiat yang berupa harta (baca; (al-Washiyyah) ‫)الوصية‬
Akad yang berupa wasiat dengan harta tersebut termasukakad maliyah, karena
transaksi di sini lebih mengarah pada wasiat pada harta atau benda yang diwasiatkan.
Misalkan, Zaid berkata: “Aku wasiatkan 100 dinar ini kepada Umar.” Dapat disimpulkan
bahwa Zaid memfokuskan akad tersebut pada hartanya yang dituju, oleh karena itu masuk
dalam definisiakad maliyah.
b) Wasiat (baca; (al-Isha) ‫ اإليصاء‬atau (al-Wishayyah), ‫)ا ْلوصَايَة‬
Akad yang berupa wasiat (untuk mengelola sesuatu) secaramuthlak tersebut
termasuk akad ghairu maliyah, karena transaksi di sini lebih mengarah pada pekerjaan
yang ingin diperoleh. Misalkan, Zaid berkata: “Aku wasiatkan pada Umar dalam melunasi
hutangku, atau dalam mengembalikan barang yang dititipkan kepadaku.” Dapat
disimpulkan bahwa Zaid lebih mengarahkan pada pekerjaan Umar yang tanpa kompensasi
tersebut, oleh karena itu masuk dalam definisi akad ghairu maliyah.
Jawaban 2.
Wasiat yang berupa harta benda itu termasuk akad maliyahdari satu sisi, karena akad
tersebut berkaitan dengan harta benda yaitu sesuatu yang diwasiatkan dan termasuk akad
ghairu maliyah dari sisi yang lain, karena pada dasarnya atau pada umumnya wasiat
termasuk akad ghairu maliyah.
Kedua, pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya, dibagi dua:
1. Akad lazim, adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga
masing-masing pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad kecuali dengan
kerelaan pihak yang lain. Contoh: akad jual-beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan
semacamnya.
2. Akad jaiz atau akad ghairu lazim, adalah akad yang tidak mengikat. Artinya salah
satu pihak boleh membatalkan akad tanpa persetujuan rekannya. Contoh: akad
pinjam-meminjam,wadi`ah, mewakilkan, dan lain-lain.

6 Ulama Kementrian Agama Kuait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 30, hal. 227-
228, (Maktabah Syamilah).

10
Ketiga, pembahasan akad ditinjau dari keterkaitan dengan hak pilih.
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi
menjadi enam:
1. Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua bentuk:
a. Akad yang memberi kesempatan untuk khiyar majlisdan khiyar syarat. Misalnya
akad jual beli yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh (serah terima), transaksi jasa
untuk suatu pekerjaan tertentu.
b. Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Seperti transaksi
tukar-menukar uang, transaksi salam, dan transaksi tukar menukar barang ribawi.
Semua transaksi ini tidak boleh ada khiyar.
2. Akad mengikat namun bukan komersial. Seperti akad pernikahan, khulu`, wakaf,
atau hibah. Semua akad ini tidak ada hak pilih untuk membatalkan dari salah satu
pihak.
3. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak mengikat pihak lainnya.
Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi pihak rahin (orang yang
menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat bagi murtahin (orang yang
memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi ini tidak ada hak khiyar. Karena
akad bagi murtahin adalah akad jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi
kapan saja tanpa menunggu persetujuan pihak rahin.
4. Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat transaksi. Sepertiakad syirkah,
mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah, atau wasiat. Pada kasus transaksi
semacam ini tidak ada hak khiyarkarena masing-masing bebas menentukan
keberlanjutan transaksi tanpa harus ada persetujuan dari pihak lain.
5. Akad pertengahan antara jaiz dan lazim, seperti musaqah danmuzara`ah. Yang
lebih mendekati kebenaran, keduanya adalahakad jaiz. Sehingga tidak perlu ada
hak khiyar, karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan
transaksi tanpa persetujuan pihak lain.
6. Akad lazim, dimana salah satu pihak transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah.
Dalam akad ini tidak ada khiyar, karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya
tidak memiliki hakkhiyar. Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak
memiliki hak khiyar maka pihak yang lain juga tidak memilikikhiyar.

11
Keempat, akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:
1. Akad Tabarru` (akad non komersial). Contoh akad hibah, `ariyah, wadi`ah,
wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dan lain-lain.
2. Akad Mu`awadhat (akad komersial). Contoh: jual beli, salam, tukar-menukar mata
uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara`ah, musaqah, dan lain-lain.
Kelima, pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi
menjadi dua:
1. Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya terpenuhi.
Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan hak kemanfaatan dalam
sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual beli yang sah maka konsekwensinya,
penjual berhak mendapatkan uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
2. Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap tidak sah jika
tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan konsekwensi apapun. Baik karena
bentuk transaksinya yang dilarang, seperti judi, riba, jual beli bangkai, dan
seterusnya. Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak terpenuhi, misalnya
menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila, dan seterusnya.
Keenam, akad terkait adanya qabdh (serah-terima) dibagi dua:
1. Akad yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh di tempat akad. Misalnya akad jual
beli secara umum, ijarah, nikah, wasiat, wakalah, hiwalah, dan yang lainnya.
Dalam akad jual beli, transaksi jual beli sah jika sudah ada ijab-qabul. Baik
sekaligus dilakukan serah terima barang maupun serah terimanya ditunda.
Demikian pula akad nikah. Tepat setelah akad, masing-masing telah berstatus
suami istri, baik serah terima mahar dilakukan di tempat akad maupun ditunda.
2. Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Akad ini dibagi
menjadi beberapa macam:
a. Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk dinyatakan sah berpindahnya
kepemilikan. Meskipun akadnya dianggap sah sebelum adanya qabdh, namun
kepemilikan belum berpindah sampai Seperti hibah, hutang, atau `ariyah (pinjam-
meminjam). Dalam transaksi hibah, barang yang hendak dihibahkan tidak secara
otomatis pindah kepada orang yang diberi hanya dengan ijab-qabul. Namun
disyaratkan adanya penyerahan barang dengan izin orang yang memberi. Demikian
pula dalam transaksi hutang-piutang. Kreditur tidak secara otomatis memiliki uang

12
yang dihutangkan dengan sebatas ijab-qabul, sampai dia menerima uang tersebut
dari debitur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, andaikan uang
yang hendak dihutangkan itu hilang sesudah transaksi namun sebelum dilakukan
serah terima, maka uang itu menjadi tanggungan debitur bukan kreditur.
b. Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk bisa dinilai sah. Jika tidak ada
serah terima di tempat transaksi maka transaksi dianggal batal. Contoh: transaksi
tukar-menukar mata uang, tukar-menukar barang ribawi, transaksi salam,
mudharabah, musaqah, atau muzara`ah. Ini berdasarkan hadis, Nabi saw.
bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali yang beratnya
sama dan tunai”. (HR. Muslim 1584). Untuk jual beli salam (uang dibayar di
muka, barang tertunda), mayoritas ulama berpendapat bahwa uang harus sudah
diserahkan sebelum berpisah antara penjual dan pembeli. Ini berdasarkan hadis:
“Barangsiapa yang ingin melaksanakan transaksi salam maka hendaknya dia
tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya”. (HR. Muslim 1604).
Ketujuh, ditinjau dari konsekwensinya, akad dibagi dua:
1. Akad Nafidz (terlaksana). Akad yang sempurna untuk dilaksanakan; akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang
untuk melaksanakannya. Akad dianggap nafidz ketika akad tersebut sah dan tidak
ada lagi keterkaitan dengan hak orang lain. Contoh akad jual beli yang sempurna.
Barang yang dijual tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sementara uang
yang diserahkan adalah murni milik pembeli. Akad nafidz hanya bisa dilakukan
oleh orang yang memiliki ahliyatu tasharruf(kemampuan untuk bertransaksi).
2. Akad Mauquf (menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih memiliki
keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain tanpa izin.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad mauquf hukumnya sah, hanya saja
konsekwensi akad bergantung pada pemilik barang atau pemilik uang. Sehingga
pembeli tidak boleh menerima barang sampai mendapatkan izin dari pemiliknya.
Demikian pula penjual tidak boleh menerima uang sampai dia mendapat izi dari
pemilik uang.
Kedelapan, Akad ditinjau dari batas waktunya
1. Akad Muwaqqat (terbatas dengan batas waktu tertentu).Akad muwaqqat adalah
semua akad yang harus dibatasi waktu tertentu. Misalnya: ijarah,
musaqah, atau hudnah (perjanjian damai).

13
2. Akad Mutlaq (tanpa batas waktu), ada dua bentuk:
a. Akad yang tidak boleh dibatasi waktu tertentu. Misalnya: akad nikah, jual beli,
jizyah, atau wakaf. Tidak boleh seseorang nikah untuk jangka waktu tertentu.
Demikian pula terlarang menjual barang, tetapi untuk jangka waktu tertentu.
b. Akad yang boleh dibatasi waktu, namun terkadang tidak membatasi, seperti hutang.
Terkadang dibatasi waktu, namun jika kreditur tidak mampu melunasi pada batas
waktu yang ditentukan maka wajib ditunggu.
F. Akibat Hukum Dari Akad
Menurut ulama fikih, setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya
sasaran yang ingin dicapai sejak semula. Seperti perpindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak
boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang dibenarkan syarak. Seperti terdapat
cacat pada objek akad, atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.7

7 Habsyi Ahs Shiddieqy, Fiqih Mu’amalah (Yokyakarta : Bulan Bintang, 1971), hal. 31

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau
kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki
implikasi hukum tertentu. Terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas
dari rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah
akad.
Adapun mengenai macam-macam akad dapat dilihat dari berbagai perspektif, baik
dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, konsekwensinya, tujuannya, dan lain-
lain. Semua mengandung unsur yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar
kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang
melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban
diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam
kehidupan kita sehari-hari.
B. Saran

Demikian paparan dari makalah kami, mengenai : Asal-usul ‘Aqad, pengertian


‘Aqad, rukun-rukun ‘Aqad, Syarat-syarat Aqad, macam-macam ‘Aqad, Ilzam dan Iltizam
dari materi ‘Uqud. Kami kira bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, sehingga
demi kesempurnaan isi makalah ini sekirannya dari Bapak Dosen dan dari teman-teman
sekalian atas sarannya kami ucapkan banyak terima kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: AMZAH.
Rasyid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ulama Kementrian Agama Kuait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Maktabah
Syamilah.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta : Raja Gravindo Persada, 2002.
Ghofur Anshori, Abdul Hukum. Perjanjian Islam di Indonesia. Yogyakarta : Gadjaj Mada
University Press, 2010.
Ahs Shiddieqy, Habsyi. Fiqih Mu’amalah. Yokyakarta : Bulan Bintang, 1971.

16

Anda mungkin juga menyukai