Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan
bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk
memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu
manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan
yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses
untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya,
lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan
ini merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah karena itu merupakan
kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.

Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan


bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi
kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk membahas
mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di
dalam kehidupan kita sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah pengertian akad?
2. Bagaimanakah rukun-rukun akad?
3. Bagaimanakah syarat-syarat akad?
4. Bagaimanakah macam-macam akad?
2

C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan pada makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian akad.
2. Untuk mengetahui rukun-rukun akad.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat akad.
4. Untuk mengetahui macam-macam akad.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Kata akad berasal bahasa Arab al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian,
persetujuan dan permufakatan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat
karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah,

ْ ‫االتَِف‬
ُُ ْ‫الرب‬ ) dan kesepakatan ( ‫اق‬
kata akad diartikan dengan hubungan ( ‫ط‬
ّ
ِ  ).

Menurut bahasa ‘Aqd mempunyai beberapa arti antara lain


1. Mengikat

ٍ ‫اح َد‬
‫ت‬ ِ‫تو‬ ٍ ِ ِ ‫َّصالَ َفي‬ ِ ‫مَجْح طَريَف حبلَ ِ وي ُش ُّد َأح ُدمُه ا بِاألخ ِرحىَّت يت‬
َ ‫صبحاَ َكقطْ َع‬
ُْ َ َ َ َ َ َ َ ‫َ ْ َ ْ نْي‬
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain
sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2. Sambungan

‫اَلْ َم ْو ِص ُل الّ ِذ ْى مُيْ ِس ُك ُه َما َويُ َوثِّ ُق ُه َما‬


“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3. Janji
ِ ُّ ِ‫بِلى من اَوىَف بِعه ِد ِه و َّات َقى فَِإ َّن اللّه حُي‬
َ ‫ب املُتَّقنْي‬ َ َْ ْ ْ َ
“Siapa saja menepati janjinya dan takut kepada Allah, sesungguhnya Allah
mengasihi orang-orang yang taqwa.”

‫اَأو َف ْوابالعُ ُق ْو ِد‬ ِ


ْ ‫يَا ايُّ َهاالذيْ َن َامُن ْو‬
“Hai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu.”
Menurut istilah terminologi yang dimaksud dengan akad adalah

ِ ‫الثر‬ ٍ ِ
‫اض ْى‬ ََ ‫ت‬ُ ِ‫قب ْو ٍل َعلَى َو ْجه َم ْش ُر ٍع يُثْب‬ِ ِ
ُ ‫ْإرتبَا ُط ِإل جْيَاب ب‬
4

“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan
kedua belah pihak.”

‫اح ُدالْ َقاِئ ُم َم َقا َم ُه َما‬


ِ ‫مح َقبو ِل األخ ِراَِّوالْ َكالَم الْو‬ ِ ‫َأح ِدالطّر َفنْي‬ ِ ِ
َ ُ َ ُْ َ َ َ َ ‫جَمْ ُم ْوعُ اجْيَاب‬
“Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan
seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”

ِ ‫اآلرتِب‬
‫اط احْلُ ْك ِم ِّي‬ ِ ِ
ِ َ ِ‫اب وال َقبو ِل ِإ َّد َعاي َقوم م َقا مهما مح ذل‬
َْ ‫ك‬ َ َ ََُ َ ُ ْ َ ْ ُ َ َ‫جَمْ ُم ْوعُ اجْي‬
"Berkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya
serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”

‫شر ًعا‬ ِ ِ ِ ِ َ ّ‫اع الت‬


ْ ‫صُّرف باْإلجْيَاب َوال َقُب ْول‬ ِ ‫َأجَز‬
ْ ‫ط‬ ُ ْ‫َرب‬
“Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara serah terima.”1

Secara istilah fiqh, akad didefinisikan dengan: Pertalian ijab (pernyataan


melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. Pencantuman kata-
kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan
dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba,
menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman
kata-kata “berpengaruh kepada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya
perpindahan pemilikan dari satu pihak(yang melakukan ijab) kepada pihak lain
(yang menyatakan kabul).2
Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-
Sanhury, akad ialah: “ perikatan ijab kabul yang dibenarkan syara’ yang
menetapkan kerelaan kedua belah pihak”. Adapula yang mendefinisikan, akad
ialah: “Ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah
pihak.”3
1
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 43.
2
Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 51.
3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 15.
5

Dapat disimpulkan Akad ialah pertalian ijab (ungkapan tawaran disatu


pihak yang mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak
lain) yang memberikan pengaruh pada suatu kontrak.

B. Rukun-Rukun Akad
Rukun-Rukun Akad sebagai berikut:
1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad (subjek akad); terkadang masing-
masing pihak terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari
beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar
biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk
memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa
orang.
2. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang akan diakadkan (objek
akad), seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam
akad hibah atau pemberian, gadai, dan utang. Ma’qud ‘Alaih harus
memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1) Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang
dilakukan.
2) Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang
diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh
oleh pemiliknya.
3) Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau
dimungkinkan dikemudian hari.
4) Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
5) Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang
najis.
3. Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud mengadakan akad.
Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual
beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari
penjual kepada pembeli dengan di beri ganti.
6

4. Shighat al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama
kali dilontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad,
sedangkan kabul adalah peryataan pihak kedua untuk menerimanya.
Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya
sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam
membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang
menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya
yang berlangganan majalah, pembeli mengirim uang melalui pos
wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari kantor pos.4
C. Syarat-Syarat Akad
Syarat-Syarat Akad sebagai berikut:
1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah
akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang
berada di pengampuan , dan karena boros.
2) Yang di jadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3) Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai
hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
4) Janganlah akad  itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli
mulasamah. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila
rahn (gadai) dianggap sebagai imbalan amanah (kepercayaan).
5) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila
orang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah
ijabnya.
6) Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seseorang yang berijab
telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

D. Macam-Macam Akad

4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Pustaka
Kencana:2010), hlm.51.
7

Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya,


lantaran berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan
nama-nama itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Istilah-istilah
ini tidak diberikan oleh para ulama, namun ditentukan agama sendiri. Karenanya
terbagilah akad kepada :
1. ‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh
syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.
2. ‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan
namanya secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu
oleh syara’ sendiri.
3. ‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam. Nama-nama ini
semuanya kita ketemukan satu persatu sesudah kita mempelajari bagian
muamalah maliyah dalam ilmu fiqh.
1)      Bai’

ِ ‫اس مبادلَِة امل ِال لُ ِيفي َد َتباد َل املِْل ِكي‬


‫ات َعلَى ال ّد َو َام‬ّ ُ َ ْ َ َ َُ ِ ‫َع ْق ٌد َي َق ْو ُم َعلَى اَ َس‬
“Akad yang berdiri atas dasar penukaran harta dengan harta lalu
terjadilah penukaran milik secara tetap”
Akad ini adalah pokok pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya
merupakan naqis ‘alaihi, dalam kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau kita
membaca kitab-kitab fiqh, maka yang mula-mula kita ketemukan dalam bab
muamalah, ialah: Babul ba’i (Kitabul Ba’i). Bab ini merupakan titil tolak untuk
membahas segala masalah muawadlah maliyah.

2)      Ijarah

‫َأى مَتْلِْي ُك َها‬ ٍ ٍ ‫ع ْق ٌد موضوعه املبادلَةُ علَى مْن َفع ِة ّ ِ مِب‬


ْ ‫الش ْيء ُّدة حَمْ ُد ْو َدة‬ َ َ َ َ َُ ُ ُ ْ ُ ْ َ َ
‫ض فَ ِه َي َبْي ُع املنَافِ ِع‬
ٍ ‫بِعِ َو‬
“Akad yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu
ُ
artinya: memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.
3)      Kafalah
8

‫ض ُّم ِذ َّم ٍة ِإىل ِذ َّم ٍة ىِف املطَالَبَ ِة‬


َ
“Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”.
ُ
Atau dalam ibarat yang lain dikatakan:

ِِ ِ ِ ٍ ‫ص حِب َ ِّق و ِاج‬


ُ‫ب َعلَى َغرْيِ ه َوا ْشَراك َن ْفسه َم َعه‬ ٍ ‫خ‬ ‫ش‬َ ‫ام‬ ‫ز‬ ِ‫ع ْق ٌد يتَض َّمن الْت‬
َ ْ َ َ ُ َ َ َ
‫ب‬ِ ِ‫ىِف املسُؤ لِيَّ ِة بِِه جُتَ َاه الطَّال‬
َْ
“Akad yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa padanya ada
hak yang wajib dipenuhi untuk selainnya dan menserikatkan dirinya bersama
orang lain itu dalam tanggung jawab terhadap hak itu dalam menghadapi
seseorang penagih”.
Multazim, dalam hal ini dinamakan kafiil. Multazim asli dinamakan makful
atau makful ‘anhu. Multazim bihi, yaitu benda, dinamakan makful bihi.
4)      Hawalah

‫اَألصلِ ِّي ِإىَل َغرْيِ ِه‬ ‫ِئ‬ ِ ِِ


ْ ‫ض ْوعُهُ َن ْق ُل املَ ْسُئوليَّة م َن الدَّا ِن‬
ُ ‫َع ْق ٌد َم ْو‬
“Suatu akad yang obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang
mula-mula berhutang kepada pihak lain”.
Madin dinamakan muhil, da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga
dinamakan muhal ‘alaih, hutang itu sendiri dinamakan muhal bihi.
5)      Rahn

ِ ِ ‫ع ْق ٌدموضوعه اِحتِباس م ٍال لَِقاءح ٍّق مُيْ ِكن‬


ُ‫استْي َفاُؤ هُ مْنه‬
ْ ُ ََ َ ُ َ ْ ُُ ُْ َْ َ
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna”.
Maka orang yang memegang rahn (mahrum) dinamakan murtahin. Orang
yang memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang
yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun bihi.
6)      Bai’ul Wafa’

ِ ‫اس احتِ َف‬


‫اظ الطَّر َفنْي ِ حِب َ ِّق التَّر ِّاد ىِف‬ ِِ
َ َ َ ‫ص ْو َر ِة َبْي ٍع َعلَى‬
ْ ِ ‫َأس‬ ُ   ‫َع ْق ٌدَت ْوفْيق ٌّي يِف‬
ِ ‫العِو ضَنْي‬
َ
9

“Akad taufiqi dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai
hak menarik kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”.
Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang bercampur antara bai’dan
iarah. Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya ada juga unsure iarah,
sedang hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini mengandung arti jual
beli; karena musytari dengan selesainya akad, memiliki segala manfaat yang
dibeli itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu, dapat disewakan. Berbeda
dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si murtahin dengan sesuatu
tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna rahn, karena si musytari
tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh memindahkan barang itu
kepada orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan itu bai’, karena si musytari
boleh mengambil manfaat barang itu, boleh bertasharruf dengan sempurna, dari
segi yang lain kita katakana rahn; karena si musytari tidak boleh menjual barang
itu kepada orang lain.
Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini harus mengembalikan barang
kepada si penjual, si penjual mengembalikan harga. Inilah yang dimaksudkan
dengan bai’ul wafa’. Dan si musytari dapaat mendesak si penjual mengembalikan
harga.
7)      Al’ida

‫ان بِغَرْيِ ِه ىِف ِح ْف ِظ َمالِِه‬


ِ ‫ضوعه استِعانَةُ اِإل نْس‬
َ َ ْ ُ ُ ْ ُ ‫َع ْق ٌد َم ْو‬
“Sebuah akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang
dalam memelihara harga si penitip itu”.
Si pemilik harga dinamakan mudi’; orang yang dipercaya untuk dititipkan
barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan itu dinamakan wadi’ah. Harta
wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’ dipandang amanah dan si
wadi’ dipandang ‘amiin.
8)      Al I’jarah

‫َّى ِءاِل ْستِ ْع َمالِِه َو َر ِّد ِه‬


ْ ‫الش‬ ‫ع‬
ِ ِ‫ع ْق ٌد ي ِردعلَى التَّبُّر ِع مِب ناف‬
ََ َ َ ُ َ َ
10

“Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan terhadap manfaat sesuatu


untuk dipakai dan kemudian dikembalikan”.
Dalam akad terdapat tamlik manfaat tanpa iwadl. Orang empunya barang
dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan musta’ir, barang yang
dipinjamkan namanya ‘ariyah.
I’jarah kebalikan ijarah. Ijarah, memiliki manfaat iwadl, atau menjual
manfaat, sedang I’arah memberikan manfaat tanpa bayaran. Karenanya dalam
ijarah wajib ditentukan batas waktu mengambil manfaat, umpamanya sebulan
lamanya.
9)      Hibah

ٍ ‫ان َمالَهُ لِغَرْيِ ِه جَمًّانًا بِاَل ِع َو‬


‫ض‬ ِ ‫ك اِإل نْس‬
َ ُ ‫ي‬
ْ
ِ‫ع ْق ٌدموضوعه مَتْل‬
ُُ ُْ َْ َ
“Akad yang obyeknya ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara
cuma-cuma tanpa adanya bayaran”.
Orang yang memberikan hibah dinamakan wahib, yang menerimanya
dinamakan mauhub lahu, harta yang diberikan itu dinamakan mauhub.
10)  Aqdul Qismati

ٍ ‫ص ُك ِّل ِمْن َها جِب ُْز ٍء ُم َعنَّي‬ ِ ِ ِ ‫ِإ ْفر ُازاحْلِص ِ ِئ ِ ىِف‬
ُ ‫ص الشَّا َعة ْ الْم ْلك َو ْحتصْي‬ َ ُ
“Mengasingkan (menentukan) bagian-bagian yang berkembang (yang
dimiliki bersama) dalam harta milik dan menentukan bagi masing-masing pemilik
dari bagian itu, bagian tertentu”.5

5
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed. Revisi,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 82
11

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akad ialah pertalaian ijab (ungkapan tawaran disatu pihak yang
mengadakan kontrak) dengan kabul (ungkapan penerimaan oleh pihak lain) yang
memberikan pengaruh pada suatu kontrak.

Rukun-Rukun Akad sebagai berikut: ‘Aqid, adalah orang yang berakad


(subjek akad); terkadang masing-masing pihak terdiri dari salah satu orang,
terkadang terdiri dari beberapa orang. Ma’qud ‘alaih, adalah benda-benda yang
akan diakadkan (objek akad).Maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud
mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Shighat
al-‘aqd, yaitu ijab kabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama kali dilontarkan oleh
salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan kabul adalah
peryataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab kabul dalam
pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau
ungkapan yang menunjukan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad.

B. Saran
Sebagai pemakalah kami menyadari bahwa penyusunan penulisan dam
penyampaian masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah
dimasa mendatang.
12

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Rahman Ghazaly, et.al, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.


Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 2010.
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta:Pustaka
Kencana:2010.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah; ed.
Revisi, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
13

MAKALAH

DI
S
U
S
U
N
OLEH:
SUSI
NIM: 141207978

Dosen Pebimbing:

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
2017
14

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “AKAD”
dengan lancar, dalam pembuatan makalah ini.
Bersama ini pula kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak, selaku
dosen pengajar yang telah memberi penjelasan dan bimbingan sehingga kami
dapat menyelasaikan makalah tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah
ini banyak pihak yang terlibat baik secara langsung atau maupun tidak langsung,
sehingga pekerjaan yang sangat berat ini menjadi sedikit ringan, maka tidak
berlebihan apa bila pada kesempatan ini kami menghanturkan dan menyampaikan
rasa terimakasih kepada teman-teman yang telah membantu sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun. Sekian terima kasih.

Lhokseumawe, 12 Desember 2017

Penyusun

i
15

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................1
BAB II: PEMBAHASAN ..................................................................................2
A. Pengertian Akad.................................................................................2
B. Rukun-rukun Akad.............................................................................4
C. Macam-macam Akad.........................................................................5
BAB II : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................10
B. Saran ...........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

ii

Anda mungkin juga menyukai