Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Diantara sekian banyak akad perbankan yang dikembangkan dalam sistem


perbankan syariah, salah satu diantaranya akad wakalah, yang berarti pemberian kuasa,
sebagaimana diatur dalam pasal 1792 KHUP perdata yang berbunyi pemberian kuasa
adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang
lain uyang menyelenggarakan suatu urusan.
Menurut ulama hukum Islam akad adalah ikatan atau perjanjian. Ulama Mazab
dan kalangan syafi’iyaah, malikiyah, dan hanabillah mendefinisikan akad sebagai
sesuatu perikatan atau perjanjian, ibnu’ taimiyah mengatakan akad adalah setiap
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan aktifitas
perdagangan, perwakafan, hibah, perkawinan,dan pembebasan.
Rumusan akad diatas mengartikan bahwa perjanjian harus merupakan
perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tenatng perbuatan yang akan
dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Pengertian akad secara bahasa ikatan,
mengikat, menyambung atau menghubungkan dikatakan ikatan (Al-rabith) maksudnya
adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya
pada yang lainnya hingga keduanya bersambung menjadi seutas tali. Dalam hukum
Islam kontemporer istilah iltizam disebut perikatan (ferbintenis) dan istilah akad ini
disebut juga perjanjian (overeenkomst) akad diwujudkan pertama dalam ijab kabul. Ijab
adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan
kabul adalah pernyataaan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan kabul ini diadakan
untuk menunjukkan adanya suka rela timbal balik terhadap yang dilakukan oleh dua
pihak yang bersangkutan sesuai dengan kehendak syariat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Akad?
2. Bagaimana Rukun-rukun Akad?
3. Bagaimana Syarat-syarat Akad?
4. Bagaimana Macam-macam Akad?
5. Bagaimana Akad dan Hukum Konsekuensinya?

C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui Tentang Akad
2. Untuk mengetahui Rukun-rukun akad
3. Untuk mengetahui Syarat-syarat Akad
4. Untuk mengetahui Macam-macam Akad
5. Untuk mengetahui Akad dan Hukum Konsekuensinya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Kata akad berasal dari kata Arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang
mempunyai arti antara lain :

1. Mengikat (al-rabith), yaitu :

ٍُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُ‫ٍَُواَحُّدَة‬ ْ ‫صْب َحا َكق‬


َ ‫ط َعة‬ ْ ‫َُو ََيَشَُّدَُأ َ ََحُّدُُه َماِب ْااْلخ ََر ََحَّتىُ ََيَّتُصالََُفَْي‬
َ ‫َط ََرَفَ ْْيُ ََح ْْبَلَْيِْن‬
َ ُُ‫خ َْمع‬
Artinya: “mengupulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya
menjadi sepotong benda.
2. Sambungan (al-aqad), yaitu:

ْ ‫ا َ ْل َم ْوصلُالذ‬
ُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُ‫ُىَُي ْمسكه َماُ ََوَي َوتقه َما‬

Artinya: “Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan


mengikatnya.”

3. Janji (al-‘ahd), sebagaimana yang dijelaskan Al-qur’an dalm surat Ali


Imran 76 :

َُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُُ‫ُّللٌاَُيحبُُا ٌ ْلمَّتقْيِن‬ َ ‫َِبَلَىُ َم ِْنَُأ َ َْوَفَىُِب َع ْهُّدَه‬


َ ٌ ‫َُواٌت َقىَُفَإن‬
Artinya: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji
(yang dibuat)nya dan bertaqwa. Maka sesungguhnya allah
menyujkai orang-orang yang bertaqwa.”1

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian akad paling


mencakup:
a. Perjanjian (al-‘ahd)
b. Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih
c. Perikatan (al-‘aqd)

1
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011),hlm 25-26

3
Dalam akad pada dasarnya dititik beratkan pada kesepakatan antara dua belah
pihak yang ditandai dengan ijab qabul. Dengan demikian ijab qabul adalah suatu
perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu ikatan.

B. Rukun-rukun Akad
Rukun akad terdiri dari :
1. ‘Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan akad ini
dapat terdiri dari dua orang atau lebih.
2. Ma’qud ‘alaih adalah benda-benda yang diakadkan.
3. Maudhu’ al-‘aqd yaitu tujuan pokok dalm melakukan akad.
4. Shigat al-‘aqd yang terdiri dari ijab qabul.2

C. Syarat-syarat Akad
Setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib
disempurnakan,syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam :
1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad.
2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib
ada dalam sebagian akad, syarta khusus ini juga yang disebut sebagai idhafi
(tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat
adanya saksi dalam pernikahan.

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad:

1. Kedua orang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak
cakap (orang gila, orang yang berada dibawah pengampan (mahjur) karena
boros dan lainya) akadnya tidak sah.
2. Yang dijadikan objek akad dapat menrima hukumnya.
3. Akad itu di izinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya, walaupun dia bukan aqid yang memliki barang.
4. Akad bukan jenis akad yang dilarang, seperti jual beli mulamasah.3

2
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011),hlm 28-29
3
Ibid, hlm 32

4
5. Akad dapat memberikan faedah, maka tidaklah sah apabila akad rahn
dianggap sebagai amanah.
6. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apbila ijab tersebut dicabut
(dibatalkan) sebelm adanya qobul.
7. Ijab dan qobl harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah
sebelum terjadinya qobul, maka ijab yang demikian diangap tidak sah (batal).

D. Macam-macam Akad
a. Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya
akad.
b. Aqad Mualaq yaitu akad yang dalam pelaksaaanya terdapat syarat-syarat
yang telah ditentukan dalam akad.
c. Aqad Mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
mengenai penangguhan pelaksanaan akad.4

Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan, yaitu:


1. Dalam keadaan muwadhaah (taljih), yaitu kesepakatan dua orang secara
rahasia untuk mengumumkan apa yang tidak sebenarnya, dalam hal ini ada
tiga bentuk:
a. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad, bahwa berdua akan
mengadakan jual atau yang lainnya secara lahiriah saja, untuk
menimbulkan sangkaan orang lain bahwa benda tersebut dijual seperti
menjual harta untuk menghindari penguasa yang dhalim atau menjual
harta untuk menghindari pembayaran hutang, hal ini disebut
mu’tawadhah.5
b. Muawadhah, terhadap benda yang dignakan unyuk akad, seperti dua
orang besepakat mentebutkan mahar dalam jumlah yang besar di
hadapan naib, wali pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita
sepakat menyebut dalam jumlah yang besar, sedangkan mereka
sebenarnya telah sepakat dalam jumlah yang lebih kecil. Dari jumlah

4
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011),hlm 33
5
Ibid, 34

5
yang disebutkan dihadapan naib, hal ini disebut juga muwadhah ‘fi al-
badhal’.
c. Muawadhah, pada pelaku (ism mustatir), ialah sesorang yang secara
lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri yang sebenarnya barang
tersebut untuk keperluan orang lain. Seperti orang lain membeli mobil
atas namanya, kemudian diatur surat-surat dan keperluan-keperluan
lainya, setelah selesai semuanya baru dia mengumumkan bahwa akad
yang telah dilakukan sebenarnya untuk orang lain, pembeli sbenarnya
hanya merupakan wakil dari pembeli yang sebenarnya, hal ini disebut
wakallah sirriah (perwakilan rahasia).
2. Hazl, ialah ucapan-ucapan yang dikatakan secara main-main, mengolok-
olok (iztihza’) yang tidak dikehendaki adanya akibat dari hukum dari akad
tersebut. Hazl, terwujud dalam beberapa bentuk antara lain dengan
muwadhaah yang terlebih dahulu dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang
yang melakukan akad. Bahwa akad tersebut bahwa main-main, atau
disebutkan dalam akad, seperti seseorang berkata; buku ini pura-pura saya
jual kepada anda” atau dengan cara lain yang menunjukkan adanya
kharinah hazl.

Kecederaan-kecedaraan kehendak ialah karena:

a. Ikhrah, cacat yang terjadi pada keridhaan.


b. Khilabah, ialah bujukan yang membuat sesorang menjual suatu benda.
c. Ghalath, ialah persangkaan yang salah.6
Disamping akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf, pada dasarnya macam-macam
akad masih banyak jenisnya, tergantung dari sudut tinjauannya. Perbedaan-
perbedaan tinjauan akad dapat diklasifikasikan dari segi:
1. Ada dan tidaknya qismah, pada akad, pada segi ini akad dibagi menjdai 2
bagian:
a. Akad musammah yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada
hukum-hukumnya, seperti jual beli, ghibah, ijjarah, dll.
b. Akad ghair musammah, ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’
dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.

6
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011),hlm 35

6
2. Disyariatkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad dibagi menjadi 2
bagian:
a. Akad mussyara’ah, ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’ seperti
gadai dan jual beli.
b. Akad mamnu’ah, ialah akad yang dilarang syara’ seperti menjual ikan
dalam kolam atau anak binatang yang masih dalam perut induknya.

3. Syah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini terbagi menjadi:
a. Akad shahihah, yaitu suatu akad yang telah memenuhu syarat-syarat
yang ditetapkan, baik syarat yang bersifat umum maupun khusus.
b. Akad fasidah, yaitu akad-akad yang cacat karena tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan baik dalam syarat umum ataupu khusus.
4. Sifat bedanya, ditinjau dari sifat ini benda akad dibagi menjadi:
a. Akad ‘ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-
barangnya, seperti jual beli.
b. Akad ghair ‘ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan
barang-barang, karena tanpa disertai penyerahan barang akad telah
berhasil, seperti akad amanah.
5. Akad titinjau dari segi cara melakukannya, yaitu:
a. Akad yang harus dilakukan dengan upacara tertentu sperti akad
pernikahan yang harus dihadiri oleh 2 orang saksi, wali atau petugas
pencatat nikah.
b. Akad rida’iyah yaitu akad yang dilakukan tanpa upacara dan terjadi
karena kedua belah pihak saling ridha, seperti yang telah terjadi pada
akad umumnya.
6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini dapar dibagi menjadi menjdai 2 :
a. Akad nafidzah, yaitu akd yang besas atau terlepas dari penghalang
halang akad.
b. Akad mauqiufah yaiutu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-
persetujuan, seperti akad fuduli (akad yang berlaku setelah di setujui
oleh pemilik harta).
7. Luzum dan dapat di batalkannya, dari segi ini akad dapat di bagi 4:

7
a. Akad lazim yang menjadi kedua belah pihak yang tidak dapat di
pindahkan seperti akad kawin ,manfaat perkawinan tidak dapat di
pindah kepada orng lain, seperti bersetubuh. Tetapi akad nikah di akhiri
dengan cara yang di benarkan syara’ seperti thalak dan khulu’.
b. Akad lazim ang menjadi kedua belah pihak dan dapat di pindahkan di
rusak kan, seperti jual-beli dan akad lainnya.
c. Akad lazim yang menjadi salah satu pihat, seperti rahn, orang yang
mengadekan suatu benda, puny kebebasan kapan saja dia dapat
melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya,
d. Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menungu
persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh di minta oleh orang
yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang
menerima titipan atau orang yang menerima titipan boleh
mengembalikan barang yang yang di titipkan kepada yang menitipkan
tanpa menungu persetujuan dari yang menitipkan.
8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akan di bagi menjadi 3 bagian:
a. Akad mu’awadhah yaitu yang berlaku atas dasar timbal balik seperti
jual-beli.
b. Akad tabarru’at yaitu akad-kad yang berlaku atas dasar pemberian dan
pertolongan, seperti hibah
c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah
pada akihirnya seperti qhiradh dan kafalah.
9. Harus di bayar ganti dan tidaknya dari segi ini akat di bagi menjadi 3 bagian:
a. Akad dhaman yaitu akan yang menjadi tangung jawab pihak kedua
sesusah benda-benda itu di terima seperti qhiradh.
b. Akad amanah yang tangung jawab kerusakan oleh oemilik benda, buakn
oleh pihak yang memegang barang, seperti titipan (ida’).
c. Akad yang di pengarui oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan
, dari segi dhaman yang lain merupakan yang lain merupakan amanah,
seperti rahn (gadai).
10. Tujuan kada yaitu, dari segi tujuanya akad dibagi menjadi 5 bagian:
a. Bertujuan memiliki (tamlik) seperti-jual beli
b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti
syairkah dan mudharabah

8
c. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan wasiah.
11. Temporer (faur) berkesinambungan (istimrar), dari segi ini akad dibagi
menjadi 2 bagian:
a. Akad furiyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja
(temporer), sperti jual beli
b. Akad istimrar disebut juga akad zamaniyyah yitu hukum akad terus
berjalan, seperti ‘ariyah.
12. Ashliyah dan thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi menjadi 2 bagian:
a. Akad ashliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya
sesuatu dari yang lain, seperti jual-beli.
b. Akad thabi’iyah yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain,
seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada hutang.7
E. Akad dan Konsekuensi Hukumnya

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai rukun-rukun akad,


dimana rukun-rukun akad tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan. Secara
garis besar persyaratan akad dekelompokan menjadi 4 macam:

1. Syarat in’qiad yaitu pesyaratan yang berkenaan dengan berlangsungan akad.


Persayaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi keberadaan akad. Karena itu juka
persyaratan ini tidak terpenuhi maka akibatnya akad menjadi batal (gagal).
Persyaratan yang termasuk kategori ini adalah persyaratan akad yang terlihat
umum berlaku pada setiap unsur akad (sebagaiman yang telah dijelaskan
dalam sub bab sebelumnya). Sedangkan sejumlah persyaratan khusus berlaku
pada akad-akad tertentu. Misalnya saksi dalam akad nikah dan serah terima
dalam akad ‘aniyah (kebendaan) dan lain-lain.
2. Syarat shalihah (sah) adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ yang
berkenaan dengan ada atau tidaknya akibat hukum. Apabila syarat ini tidak
terpenuhi maka akadnya menjadi rusak (fasad). Contoh persyaratan jenis ini
dalam jual-beli yang sangat populer dalam madhab Hanafi adalah keharusan
terhindarnya akad dari 6 perkara yaitu jihalah (tidak transparan), ikrah, tauqit
(batas waktu tertentu), dharar dan syarat fasid.

7
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011),hlm 36-39

9
3. Syarat nafadh adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan
dengan berlaku atau tidak berlakunya sebuah akad. Jika persyaratan ini tidak
terpenuhi akadnya menjadi mauquf (ditangguhkan). Syarat nafadh ada dua:
Pertama, milik atau wilayah, artinya orang-orang yang melakukan akad benar-
benar sebagai pemilik barang atau dia mempunyai otoritas atas obyek akad.
Kedua, obyek akad harus terbebas dari hak-hak pihak ketiga.
4. Syarat luzum yaitu pesyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan
kepastian sebuah akad, karena akad sendiri adalah sebuah ilzam (kepastian).
Jika sebuah akad belum dapat dipastikan berlakunya masih ada unsur-unsur
tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi
ghair luzum (tidak pasti), sebab masing-masing pihak masih mempunyai hak
untuk tetap melangsungkan atau membatalkan akadnya.8

8
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011),hlm 40-41

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akad/ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan
suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dalam suatu ikatan.
2. Rukun-rukun Akad :
1. Aqid yaitu orang yang berakad (bersepakat). Pihak yang melakukan
akad ini dapat terdiri dari dua orang atau lebih.
2. Ma’qud ‘alaih adalah benda-benda yang diakadkan.
3. Maudhu’ al-‘aqd yaitu tujuan pokok dalm melakukan akad.
4. Shigat al-‘aqd yang terdiri dari ijab qabul.
3. Syarat-syarat Akad:
a. Syarat umum
b. Syarat khusus
4. Macam-macam Akad :
a. Aqad Munjiz
b. Aqad Mualaq
c. Aqad Mudhaf
5. Hukum dan konsekuensi Akad :
a. Syarat in’qiad
b. Syarat shalihah (sah)
c. Syarat nafadh
d. Syarat luzum
B. Saran
Menurut kelompok kami masyarakat dan mahasiswa harus mengetahui
betapa pentingnya sebuah akad untuk memulai sebuah perjanjian,karena
sebagai umat Islam yang baik harus mengikuti syariat-syariat yang sudah diatur
dalam AL-Qur’an dan Hadist untuk berakad sebelum melakukan sebuah
perjanjian agar sebuah perjanjian itu di ridhoi oleh Allah SWT dan terhindar
dari keburukan.

11

Anda mungkin juga menyukai