Anda di halaman 1dari 16

AKAD-AKAD TABARRU’ DALAM FIKIH

MUAMALAH SEHARI-HARI (WAKAF, WASIAT DAN


‘ARIYAH)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu: Dr. Maftukhatusolikhah, M.Ag

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4
Mareta Fitriyani (1930602240)
Egan Pratama (1930602201)
Ramadian Suciaty (1930602232)
Yoga Andi Pratama (1930602240)
Richo Juliansyah (1930602170)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN RADEN FATAH
PALEMBANG
2020
1
AKAD-AKAD TABARRU’ DALAM FIKIH MUAMALAH
SEHARI-HARI (WAKAF, WASIAT DAN ‘ARIYAH)

Disusun Oleh: Kelompok 4


Abstrak
Akad tabarru‟ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Meskipun pihak yang
berbuat kebaikan tidak boleh mengambil keuntungan dari transaksi tabarru‟,dia
masih bisa meminta kepada pihak lain yang menerima kebaikannya untuk sekedar
mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk transaksi tabarru‟ tersebut,
namun ia tetap tidak boleh mengambil keuntungan meskipun dalam jumlah sedikit
dari transaksi tabarru‟. Contoh akad-akad tabarru‟ adalah qard, rahn, hiwalah,
wakalah, kafalah, wadi‟ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dll

Abstract
Tabarru‟ contract are all kinds of agreements relating to non profit transactions.
Though the parties do good must not profit from the transaction tabarru‟, he still
could ask the other party receives a kindness to reimburse -costs incurred for the
transaction tabarru „is, but he still should not be taking advantage although a
small amount of the transaction tabarru‟. An example of a tabarru‟ contract are
qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi‟ah, hibah, waqf, shadaqah, gift, etc.

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi
tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak,
seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti
jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan
penawaran /pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan
kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada
sesuatu.1
Pengertian tabarru‟ itu sendiri: Tabarru‟ berasal dari kata tabarraa ya
tabarra‟ tabarrauan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang
menyumbang disebut mutabarri‟ (dermawan). Niat tabarru‟ merupakan
alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru‟ bermaksud memberikan
dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain
sesama peserta takaful, ketika di antara mereka ada yang mendapat musibah.2

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian akad, syarat serta jenis-jenis akad?


2. Jelaskan mengenai akad wakaf?
3. Jelaskan mengenai akad wasiat?
4. Jelaskan mengenai akad „ariyah?
C. Kerangka Teori

Akad dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, memilik arti: “Janji;


perjanjian; kontrak; Misal akad jual beli, akad nikah. Dan Akad juga bisa

1
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta:Rajawali Press, 2007), hlm. 35
2
M. ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: (Fiqh Muamalat), cet. Ke- 1,Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 101
3
disebut dengan Kontrak yang mempunyai makna : perjanjian,
menyelenggarakan perjanjian (dagang, bekerja, dan lain sebagainya). Misal,
kontrak antara penulis dan penerbit”.
Dalam Kamus Lengkap Ekonomi ditetapkan bahwa : Contract
(kontrak) merupakan: “suatu perjanjian legal yang bisa dikerjakan antara dua
pihak atau lebih. Suatu kontrak mencakup kewajiban untuk kontraktor yang
bisa ditetapkan seteknik lisan maupun tertulis. Sebagai contoh, perusahaan
memiliki perjanjian guna memasok produk ke perusahaan lain pada waktu
tertentu dan ukuran tertentu. Kedua belah pihak akan terikat untuk menepati
perjanjian mereka dalam penjualan dan pembelian dari barang”.

Akad terbagi berdasarkan kompensasinya terbagi menjadi dua yaitu:


akad tabarru dan akad tijarah. Akad tabarru‟ adalah akad tolong menolong
atau sosial. Sedangkan akad tijarah adalah akad bisnis atau komersial untuk
mencari keuntungan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

a. Mengikat, yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi
sebagai sepotong benda.
b. Sambungan, yaitu sambungan yang memegang kedua ujung itu dan
mengikatnya.
c. Janji, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah Al-Maidah ayat 1
yang berarti :

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak


dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”

Menurut istilah (terminology), yang dimaksud akad adalah perikatan,


perjanjian, dan pemufakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau
lebih, dimana isi kesepakatan tidak boleh menyimpang dan harus sejalan
dengan hukum-hukum syariah. Akad akan menjadi semacam pedoman dalam
bertransaksi, sekaligus mengandung konsekuensi bagi para pihak untuk
menaatinya.3

B. Syarat Sahnya Akad


Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang
merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah:
1. Al-Aqin atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau
badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan
hukum.

3
DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 70-71

5
2. Shighat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan
kabul.

3. Al-Ma‟qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal atau jasa yang
dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak.

4. Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara‟ dan tujuan
akad terkait erat dengan berbagai bentuk yang dilakukan.4

Di samping rukun, syarat akad juga harus terpenuhi agar akad itu sah.
Adapun syarat-syarat itu adalah:
1. Syarat adanya sebuah akad. Syarat ini terbagi menjadi dua yaitu syarat
umum dan syarat khusus, syarat umum ada tiga, yaitu: (1) syarat-syarat
yang harus dipenuhi pada rukun akad. (2) akad itu bukan akad yang
terlarang. (3) akad itu harus bermanfaat. Adapun syarat khusus adanya
sebuah akad adalah syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh suatu akad
khusus seperti adanya saksi dalam akad.

2. Syarat sah akad. Yaitu tidak terdapatnya lima hal perusak sahnya dalam
akad, yaitu: ketidakjelasan jenis yang menyebabkan pertengkaran (al-
jilalah), adanya paksaan (ikrah), membatasi kepemilikan terhadap suatu
barang (tauqif), terdapat unsur tipuan (gharar), terdapat bahaya dalam
pelaksanaan akad (dharar).

3. Syarat berlakunya (nafidz) akad. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu: (1)
Adanya kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas untuk
mengadakan akad, baik secara langsung ataupun perwakilan. (2) pada
barang atau jasa tersebut tidak terdapat hak orang.

4. Syarat adanya kekuatan hukum (Luzum Abad) suatu akad baru bersifat
mengikat apabila ia terbebas dari segala macam hak khiyar.5

4
Ibid., hlm. 73-74.
5
Ibid., hlm. 74-75.

6
C. Jenis-Jenis Akad
Dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, fiqh muamalah membagi
lagi akad menjadi dua bagian, yakni akad tabarru‟ dan akad tijarah.6

1. Akad Tabarru’
Yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-
mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali
tidak ada unsur mencari “return” ataupun motif. Akad yang termasuk
dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, „Ariyah, Ibra‟, Wakalah,
Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad. Atau dalam redaksi lain akad
tabarru‟ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba).7 Tujuh Transaksi ini
pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil.
2. Akad Tijarah
Yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan
keuntungan di mana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Akad yang
termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna‟ dan
ijarah muntahiya bittamlik serta Mudharabah dan Musyarakah. Atau
dalam redaksi lain akad tijari (conpensational contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction.8 Delapan akad
ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari keuntungan, karena itu bersifat
komersial.

D. Fungsi Akad Tabarru’


Akad tabarru‟ ini adalah akad-akad untuk mencari keuntungan
akhirat, karena itu bukan akad bisnis. Jadi, akad ini tidak dapat digunakan
untuk tujuan- tujuan komersil. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang
bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan akad-akad
tabarru‟ untuk mendapatkan laba. Bila tujuan kita adalah mendapatkan laba,

6
Ibid., hlm. 77.
7
Ibid., hlm. 77.
8
Ibid., hlm. 78.
7
maka gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad tijarah.
Namun demikian, bukan berarti akad tabarru‟ sama sekali tidak dapat
digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataanya, penggunaan
akad tabarru sering sangat vital dalam transaksi komersil, karena akad
tabarru ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-
akad tijarah.
G. WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Wakaf di ambil dari kata “waqafd”, menurut bahasa berarti
menahan atau berhenti. Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan
suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir
(penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola dengan
ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang
sesuai dengan syariat islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak
milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir, tetapi
menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.9

2. Sumber Hukum
a. Al-Qur‟an
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”. (QS. Ali- Imron (3) ayat 92).
b. Hadits
“Telah menceritakan kepada kami Shadaqah telah mengabarkan
kepada kami 'Abdurrahman dari Malik dari Zaid bin Aslam dari
bapaknya berkata; 'Umar radliallahu 'anhu berkata: "Kalaulah tidak
memikirkan Kaum Muslimin yang lain tentulah aku sudah membagi-
bagikan setiap wilayah yang aku taklukan sebagaimana Nabi

9
Ibid., hlm. 345.

8
shallallahu 'alaihi wasallam telah membagi-bagikan tanah Khaibar”.
(HR. Bukhari).
3. Macam-Macam Wakaf
Ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf
dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam:
a. Wakaf ahli: wakaf yang ditujukan untuk anak cucu atau kaum kerabat,
kemudian sesudah mereka itu ditujukan untuk orang-orang fakir. Wakaf
seperti ini juga disebut wakaf dzurri.10
b. Wakaf Khairi: wakaf yang diperuntukkan kebaikan semata-mata.
Dengan kata lain wakaf khairi merupakan wakaf yang secara tegas
untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan. Seperti
wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,
sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan, anak yatim dan lain
sebagainya.11

4. Rukun dan syarat wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.


Rukun wakaf ada empat (4), yaitu :

a. Wakif (orang yang mewakafkan harta);


b. Mauquf bih (barang atau benda yang diwakafkan);
c. Mauquf „Alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf);
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya).12

10
Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: PT
Garoeda Buana, 1992), hlm. 3.
11
Ibid., hlm. 5.
12
Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, dikutip oleh Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf), 2006, hlm, 21

9
Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dari rukun wakaf
yang telah disebutkan adalah:

1. Waqif (orang yang mewakafkan)


2. Mauquf bih (harta benda wakaf)
3. Mauquf „alaih ( penerima wakaf)
H. WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Wasiat (al-washiyyah) bermakna pesan atau janji seseorang kepada
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang
berwasiat masih hidup maupun setelah wafat. Wasiat adalah salah satu
bentuk sarana tolong-menolong antara sesama muslim baik yang bersifat
materi maupun manfaat.
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu
menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara terminologi wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau
manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat mati.13
2. Dasar Hukum Wasiat
Wasiat merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT pada akhir kehidupan seseorang agar
kebaikannya bertambah, karena dalam wasiat terdapat kebaikan. Dalam
Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah:180 dan Sunnah Allah SWT telah
berfirman.14

3. Syarat dan Rukun Wasiat


Rukun wasiat tersebut antara lain:
a. Mushiy (orang yang berwasiat)
b. Musha Lahu (Orang-orang yang diberi wasiat)

13
DR. Mardani, , Op.cit., hlm.125
14
Ibid., hlm. 127.
10
c. Musha Bihi (Barang yang diwasiatkan)
d. Sighat (Perjanjian)15

Syarat-syarat wasiat Syarat-syarat wasiat ada 4,16 yaitu :

a. Pemberi wasiat. Ada beberapa krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya


ialah : berakal, baligh, merdeka, kemauan sendiri.

b. Penerima wasiat Penerima wasiat haruslah mempunyai krateria untuk


menerima wasiat. Antaranya ialah :17 1) Penerima wasiat bukan ahli
waris pemberi wasiat. 2) Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan
wujud ketika wasiat dibuat. 3) Penerima wasiat hendaklah bukan
seorang pembunuh. 4) Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi

c. Barang yang diwasiatkan Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda


18
yang diwasiatkan adalah: 1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia
boleh diwarisi. 2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau
mempunyai nilai kewangan sama ada melibatkan benda atau manfaat
dari susut syarak. 3) Barang tersebut boleh dipindah milik sekalipun
tiada pada waktu berwasiat. 4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat
ketika berwasiat jika zatnya ditentukan. 5) Barang itu bukanlah sesuatu
yang maksiat seperti mewasiatkan rumah untuk dijadikan gereja, pusat
judi dan sebagainya. 6) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak
melebihi kadar 1/3 harta pewasiat.

d. Lafaz wasiat (ijab dan qabul) Adapun syarat-syarat bagi lafaz ijab dan
19
qabul adalah : 1) Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas

15
Ibid., hlm. 128.
16
Wahbah az-Zuhaili, opcit, hlm 169
17
Wan Abdul Halim, Pengurusan dan Pembahagian Harta Pusaka, (Kuala Lumpur :Dewan
Bahasa Dan Pustaka, 2006) hlm. 26
18
Ibid, hlm. 598
19
Wan Abdul Halim, opcit, hlm 27

11
ataupun kabur. 2) Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat
jika wasiat ini ditujukan kepada orang yang tertentu. 3) Hendaklah
persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat.

I. ‘ARIYAH

1. Pengertian ‘Ariyah

Ariyah adalah Peminjaman yang mana membolehkan kepada orang


lain mengambil manfaat sesuatu yang halal secara cuma-cuma atau dengan
tujuan menolong dengan tidak merusak zat barang tersebut, dan
dikembalikan setelah dipergunakan manfaatnya dalam keadaan tetap tidak
rusak zatnya. Maka ketika ada suatu pemberian pinjaman tersebut dituntut
adanya imbalan di dalamnya, maka hal tersebut bukanlah „Ariyah karena
salah satu ciri dari akad-akad tabarru‟ adalahny tidak adanya imbalan dan
berlandaskan pada tolong menolong.20

2. Dasar Hukum ‘Ariyah

a. Al-Qur’an
(Q.S. Al-Maidah (5) : 2).
Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.21

b. Hadis

Artinya : Hisyam bin „Amar beliau berkata : Isma‟il bin


„Ayyasy beliau berkata : Syurohbiil bin Muslim menuturkan kepadaku,
Beliau berkata “saya mendengar dari abi umamah” beliau berkata: saya
mendengar dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda : Al-„Ariyah

20
K Lubis Suhrawardi , dkk, Hukum Ekonomi syariah, ( Jakarta: sinar Grafika, 2012), hlm. 136.
21
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 94
12
(pinjaman) itu harus dikembalikan, Al-Minhah (Barang yang diambil
manfaatnya).

3. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

a. Rukun ‘Ariyah

Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun


„ariyah ada empat, yaitu :

1) Mu‟ir (yang meminjamkan)


2) Musta‟ir (peminjam)
3) Mu‟ar (barang yang dipinjam)
4) Shighat (ungkapan ijab Kabul/serah-terima)22
b. Syarat ‘Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad „ariyah sebagai berikut :
1) Syarat yang berhubungan dengan mu‟ir (yang meminjamkan) di
antaranya adalah sebagai berikut :
a) Berakal dan mumayyiz.
b) Orang tersebut tidak di-mahjur
c) Orang yang meminjamkan merupakan pemilik manfaat barang
yang akan dipinjamkan.
2) Syarat yang berhubungan dengan Musta‟ir (peminjam) diantaranya
sebagai berikut:
a) Orang yang meminjam harus jelas.
b) Peminjam harus orang yang mengerti dan cakap dalam
mempergunakan barang yang dipinjam.
3) Syarat yang berhubungan dengan mu‟ar (barang yang dipinjam)
diantaranya sebagai berikut:
a) Dapat dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya
(zatnya).

22
Ibid., hlm. 98.

13
b) Mempunyai manfaat dan diperbolehkan oleh syara‟ untuk
memanfaatkannya.
4) Syarat yang berhubungan dengan Shighat (ungkapan ijab
Kabul/serah-terima).23
4. Macam-Macam ‘Ariyah

Secara umum macam-macam „Ariyah terbagi menjadi dua yaitu


sebagai berikut:

a. Al-Ariyah Mutlak

Al-ariyah mutlak adalah bentuk peminjaman barang yang di


dalamnya tidak ada syarat apapun, sehingga peminjam bebas
mempergunkannya dikarenakan tidak jelas apakah hanya boleh
dimanfaatkan oleh peminjam saja atau boleh untuk orang lain.

b. Al-Ariyah Muqayyad (pinjaman Terbatas)

Al-ariyah muqayyad adalah meminjamkan sesuatu barang yang


dibatasi dari segi penggunaannya, waktu, dan tempat. Hukumnya,
peminjam diwajibkan untuk menaati batasan tersebut dan dilarang untuk
melanggarnya, kecuali adanya kesusahan yang menyebabkan peminjam
tidak dapat mengambil manfaat barang tersebut. Dengan demikian
peminjam dibolehkan melanggar batasan tersebut.24

23
Ibid., hlm. 100.
24
Ibid., hlm. 103.
14
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Akad tabarru‟ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang


menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba). Dalam akad tabarru‟,
pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun
kepada pihak lainya, namun pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta
kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang
dikeluarkanya untuk dapat melakukan akad tabarru‟ tersebut.
Pada hakekatnya, akad tabarru‟ adalah akad melakukan kebaikan yang
mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan komersil.
Wakaf merupakan salah satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus
sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si
pelaku wakaf sudah meninggal dunia.
Wasiat adalah salah satu bentuk sarana tolong-menolong antara sesama
muslim baik yang bersifat materi maupun manfaat.
Al-„Ariyah (pinjaman) adalah pemberian manfaat suatu barang kepada
orang lain secara gratis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta:Rajawali Press, 2007)

M. ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam: (Fiqh Muamalat), cet. Ke-
1,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)

WJS Poerwadarminta, KUBI, ( Jakarta, Balai Pustaka: 1976)


C.Pass, Bryan Lowes dan Leslie Davies, Kamus Lengkap Ekonomi, ( Jakarta,
Erlangga, 1999)

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta:Rajawali Press, 2007)

DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012)

Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia,
(Jakarta: PT Garoeda Buana, 1992)

Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, dikutip oleh


Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, 2006)

Wan Abdul Halim, Pengurusan dan Pembahagian Harta Pusaka, (Kuala Lumpur
:Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006)

K Lubis Suhrawardi , dkk, Hukum Ekonomi syariah, ( Jakarta: sinar Grafika,


2012)

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)

16

Anda mungkin juga menyukai