FIKIH MUAMALAH
Disusun Oleh :
KELOMPOK : 4
CUT MUTIA
(201943059)
2020-2021
LATAR BELAKANG
Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dengan istilah perjanjian. Kata akadberasal dari
terminologi, ulama fiqih memberikan dua makan, makna khusus dan makna umum. Adapun
akad dalam arti khusus adalah pertanyaan dari duapihak atau lebih (ijab dan qobul) yang
menghasilan hukum syar’i yangmelazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak.
Sedangkan akad dalam artiumum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan
hubungan di antara parapihak yang mengadakan akad. Dengan putusnya hubungan tersebut,
perbuatanpara pihak yang berakaitan dengan akad tidak akan menimbulkan akibat hukum.
Walaupun dalam hukum perjanjian, juga ada permasalahan tentang sebab-sebab yang dapat
mengakhiri kontrak, namun realita tetap dijumpai beberapa perbedaan yang terkait dengan
sebab-sebab berakhirnya suatu akad. Suatukontrak yang dikatakan berakhir pada prinsipnya
apabila hubungan hukum diantara para piha telah terputus. Dengan putusnya hubungan
tersebut, makaketerkaitan para pihak terhadap ketentuan syara’ yang terkait dengan akad
untukmelaksanakan hak dan kewajiban, maka kesepakatan para pihak tersebut sudahtidak
berlaku.
A. Pengertian Transaksi (Akad)
[1]Transaksi (akad) berasal dari bahasa arab Al-aqad yang secara etimologi berarti perikatan,
perjanjian, dan permufakatan (al-itifaq) sebagai suatu istilah hukum Islam. Ada beberapa
Pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibatkan timbulnya
akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul adalah
jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak
pertama.
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang
menyatakan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak dari lain.
“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan)
Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariah” maksudnya adalah bahwa
seluruh perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih tidak dianggap sah
apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’ .Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi
“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan keridahan kedua
belah pihak”[2]
Pengertian perikatan itu berdasarkan yang tercantum dalam KUHPerdata Pasal 1233,
Jadi dapat di simpulkan bahwa dari pengertian akad di atas akad adalah pertalian antara ijab
dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang bertujuan melahirkan akibat hukum terhadap
objek. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu 1
1
[ 1]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm 58
sebagai berikut:2
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan seseuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib
tersebut oleh pihak lain (qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam suatu petikatan atau
perjanjian.[4]
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ atau hal-hal yang diatur oleh
Allah SWT dalam al-qur’an dan hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad
tidak boleh bertentangan dengan syara’, apabila bertentangan dengan syara’ akan
mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu akad yang mengandung riba atau
objek perikatan yang tidak halal, maka mengakibatkan tidak sahnya suatu akad menurut
hukum Islam[5].
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum. Adanya akad akan menimbulkan akibat
hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan
B. Rukun–rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
atau lebih, berdasarkan keridhaan masing-masing. Dari hal tersebut adapun rukun-rukun yang
a. Aqid ialah orang yang berakad, orang yang berakad masing-masing terdiri dari satu orang
atau beberapa orang, pihak-pihak yang melakukan akad disebut dengan subjek hukum atau
2
[2]Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50
[3] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 311
[4] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013) hlm 54
yang orang yang melakukan akad. Dalam hal ini orang yang melakukan akad hendaknya
memiliki kecakapan bertindak da kewenangan.
b. Ma’qud’alaih ialah benda-benda yang diakadkan , seperti benda yang dijual dalam akad jual
beli, akad hibah (pemberian), dan akad gadai.
c. Maudhu’al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka
berbedalah tujuan pokok akad. Misalnya, dalam akad jual beli tujua pokoknya ialah
memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti.
Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebgai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Sedangkan
qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya
ijab.[7]
C . Syarat-syarat Akad
Syarat-syarat akad pada umumnya harus dipenuhi dalam berbagai macam dalam akad,
diantaranya:[8]
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap dalam bertindak (ahli). Hal ini sangat berpengaruh
dalam akad, tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila.
b. Yang dijadikan objek dapat menerima hukumnya.
c. Tempat akad, adalah tempat bertrasaksi antara kedua belah pihak yang sedang berakad, yaitu
bersatunya kata sepakat di tempat yang sama.
d. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya
walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
e. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’
f. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila ranh dianggap sebagai imbangan
amanah.
g. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum jadi qabul. Maka bila ornag yang berijab
menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
h. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila sehingga bila seseorang yang berijab sudah
berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut batal.
Syarat hukum ini dapat juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping
syarat-syarat umum, seperti syarat adanya saksi. Sedangkan yang menjadi syarat sah dalam
akad adalah segala yang disyaratkam syara’ untuk menjamin dampak keaslian akad. Jika3
yaitu, paksaan dan adanya kemudratan. Kemudian syarat dalam pelaksanaan akad terbagi
a. Kepemilikan, adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas
b. Kekuasaaan, adalah kemampuan seseorang dalam berakad sesuai dengan ketetapan syara’.
Apabila ada yang berperan sebagai pengganti atau yang mewakili maka barang yang di
akadkan harus ada izin dari pemiliki yang asli, serta barang yang dijadikan tidak berkaitan
D. Macam-macam Akad
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika
dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari
akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan
1. Akad Nafiz, adalah akad yang bebas dari faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad
tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan
langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya akad.
2. Akad Maukuf, adalah akad yang tidak dapat secaralangsung dilaksankan akibat hukumnya
sekalipun telah dibuat secara sah, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah
mumayiz.
b. Akad tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga
seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat para pihak yang berakad.
4
[6]Gemala Dewi, Ibid, hlm 54
[7]Abdul Hanan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 83
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet ke-9, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm 50
Menurut ulama Hanafiyah ada dua macam akad yang tidak sahih yaitu:[9]
1. Akad Batil, adalah akad yang secara syara’ tidak sah pokok dan sifatnya. Secara pokok yang
dimaksud ialah tidak memenuhi rukun dan syarat sebgaimana yang disebutkan.
2. Akad Fasid, ialah akad yang telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’i hanya saja
terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya kerena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan
akad.
Adapun hal-hal yang dapat merusak suatu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak
diantaranya:[10]
a. Pemaksaan dan keterpaksaan, yaitu akad yang terjadi bukan atas dasar kesadaran dan
keinginan yang sempurna dari salah satu pihak. Keterpaksaan ini biasanya akibat dari kondisi
b. Ghalat (Kesalahan), misalnya kesalahan dalam menjelaskan sifat dan jenis terhadap objek
akad. Misalnya, menyebutkan objeknya emas padahal yang terjadi sebenarnya adalah perak.
c. Tadlis (Penipuan), terjadi untuk menyembunyikan cacat atau kerusakan atas suatu barang.
Seperti: perbuatan, menyebutkan sifat yang tidak nyata pada objek akad. Ucapan, berbohong
d. Ghaban, ketidakseimbangan antara sifat dan kenyataanya. Misalnya menjual barang yang
Terjadinya sebuah persetujuan akad (kontrak) secara langsung menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terlibat dalam suatu akad, dan merupakan hal yang logis, jika
hak secara otomatis menimbulkan kewajiban. Terciptanya kerelaan serta kecakapan para
pihak dalam melakukan akad, merupakan salah satu yang sangat menentukan sah atau5
tidaknya suatu akad. Terpenuhinya semua rukun, syarat dan asas akad, berimplikasi langsung
5
[9]Abdul Rahman Ghazali, lbid,Hlm 271
pada timbulnya akibat hukum baik kewajiban maupun hak-hak para pihak Untuk itu,
pemahaman yang dalam akan keberadaan hukum perjanjian syariah menjadi kebutuhan
mendesak untuk mengimbangi perkembangan lembaga keungan syariah yang ada, karena
perjanjian yang digunakan pada lembaga keuangan yang saat ini, dibuat berdasarkan akad-
akad muamalah yang memiliki pengertian sebagai tindakan yang terjadi antara dua belah
pihak (ijab dan qabul) yang menimbulkan pengaruh pada objek akad (kontrak), sehingga
memberikan akibat hukum yang mengikat. Oleh karena itu, jika terjadinya terminasi atas
akad tentu pula membutuhkan solusi yang sesuai pula dengan ajaran Islam.
F. Berakhirnya akad
[11]Berakhirnya akad berbeda fasakh dan batalnya akad. Berakhirnya akad karena fasakh
adalah rusak atau putusnya akad yang mengikat antara muta’aqidain (kedua belah pihak yang
melakukan akad) yang disebabkan karena adanya kondisi atau sifat-sifat tertentu yang dapat
merusak iradah. Akat yang batal adalah akad yang menurut dasar dan sifatnya tidak
diperbolehkan seperti akad yang tidak terpenuhi salah satu rukun atau syaratnya. Sedangkan
berakhirnya akad adalah berakhirnya ikatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad
(mujib dan qabil) setelah terjadinya atau berlangsungnya akad secara sah.
a. Telah jatuh tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah disepakati, apabila akad
tersebut memiliki proses waktu. Seperti pada akad ijarah yang telah habis masa kontraknya.
b. Terealisasinya tujuan daripada akad secara sempurna. Misalnya pada akad tamlikiyyah
yang bertujuan perpindahan hak kpemilikan dengan pola akad jual beli, maka akadnya
berakhir ketika masing-masing pihak yang telah melakukan kewajiban dan menerima haknya.
Penjual telah menyerahkan barangnya dan pembeli memberikan staman/harga yang telah
disepakati.678
c. Barakhirnya akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang berakad. Prinsip 9
umum dalam fasakh ialah masing-masing pihak kembali kepada keadaan seperti sebelum
Berakhirnya akad karena fasakh ada kalanya bersifat muntanad (berlaku surut), ada kalanya
bersifat mughtashar (tidak berlaku surat). Pada kasus pencabutan pemberian kuasa. Maka
segala tasharrufnya yang telah dilakukan sebelum fasakh tetap berlaku, karena pencabutan
akad dipandang berakhir juga apabila terjadi fasakh, fasakh terjadi dengan sebab-sebab
sebagai berikut:
Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.
Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas
Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adnya akad tidak dipnuhi oleh pihak-pihak
d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama fiqh
6
[11]http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1626. Ruslan Abd Ghofur
7
[12]Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fiqh
dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 271
[14] Kh. Ahmad Azhar Basyir, MA, Asas-asas Hukum Muamalat,yogya, 2000,hal. A30-31
9
menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak
yang melaksanakan akad. Akad yang bisa berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang
melaksanakan akad, di antaranya adalah akad sewa menyewa, ar-rahn, al-kafalah, ays-
syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah. Akad juga akan berakhir dalam bai’al-fudhuli (suatu
bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila
Mengenai Para fuqaha tidak sependapat menurut ulama mazdhab hanafi akad sewa-menyewa
akan berakhir apabila salah satu meninggal, sedangkan menurut syafi’I tidak dalam akad
gadai juga kematian pihak pemegang gadai tidak mengakinatkan berakhirnya akad, tetapi
e. Berakhirnya akad dengan sebab tidak adanya kewenangan dalam akad yang mawquf.
Akad mauquf akan berakhir jika yang berwenang wilaya al akad tidak mengizinkan.
Demikian juga pada akad fuduli yaitu akad yang dilakukan oleh orang yang bertindak
pada hak orang lain tanpa disuruh atau diminta melakukannya seketika berakhir jika
KESIMPULAN
Akad adalah kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan qobul
yang melahirkan akibat hukum baru. Akad memiliki rukun dan syarat yaitu: ‘Aqid, Ma’qud
10
[15] Naroen Haroen, Fiqh Muamalah, hal 109
[16]Ibib, hal.44
‘alaih, Maudhu’ al-‘aqd, dan Shighat al-‘aqd. sedangkan syarat akad meliputi :syarat
terbentuknya akad, syarat keabsahan akad, dan syarat-syarat berlakunya hukum akibat.
Pada dasarnya akad memiliki penghalang yang scara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu:
ikrah (melalui paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain). Akad dibagi menjadi beberapa
bagian diantaranya: Berdasarkan ketentuan syara’, Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah,
Berdasarkan zat benda yang diakadkan, Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya,
Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad, Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek
dalam akad, Berdasarkan cara melakukannya, Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad,
Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan, Berdasarkan tukar menukar hak, Berdasarkan harus
ganti tidaknya, Berdasarkan tujuan akad, Berdasarkan faur dan istimrar, dan Berdasarkan
Secara garis besar macam-macam akad yaitu: ‘Uqudun musammatun dan ‘Uqudun
ghairu musammah. Hikmah dari mempelajari dan mempraktekkan akad dalam kehidupan
sehari-hari yaitu: Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi
atau memiliki sesuatu, Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian,
karena telah diatur secara syar’i, Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan
Dasar dari hukum melakukan akad yaitu wajib hal ini terdapat dalam Al-qur’an surah
Al-Maidah ayat 1. Berakhirnya suatu akad dapat dikarenakakan beberapa hal diantaranya
ialah: Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu,
Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat, Salah
Dartar pustaka
*Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm 58
*Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50
* Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 311
* Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013) hlm 54
*Gemala Dewi,ibid, Hlm 54
*Gemala Dewi, Ibid, hlm 54
*]Abdul Hanan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 83
* Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet ke-9, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm 5
*Abdul Rahman Ghazali, lbid,Hlm 271
*http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1626. Ruslan Abd Ghofur
*Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fiqh
dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 271
* Kh. Ahmad Azhar Basyir, MA, Asas-asas Hukum Muamalat,yogya, 2000,hal. A30-31
*Ibib, hal.44