Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AKAD DAN PERMASALAHANNYA

FIKIH MUAMALAH

DOSEN PENGAMPU : HIDAYATINA

Disusun Oleh :

KELOMPOK : 4

CUT MUTIA

(201943059)

UNIT 3 AKUNTANSI SYARIAH

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSITUT AGAMA ISLAM NEGER LHOKSEMAWE

2020-2021
LATAR BELAKANG

Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dengan istilah perjanjian. Kata akadberasal dari

al-‘aqd yang berarti mengikat, menyambung ataumenghubungkan.Adapun secara

terminologi, ulama fiqih memberikan dua makan, makna khusus dan makna umum. Adapun

akad dalam arti khusus adalah pertanyaan dari duapihak atau lebih (ijab dan qobul) yang

menghasilan hukum syar’i yangmelazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak.

Sedangkan akad dalam artiumum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan

hukum syar’iyang melazimkan dirinya.Berakhirnya kontrak dapat diartikan sebagai putusnya

hubungan di antara parapihak yang mengadakan akad. Dengan putusnya hubungan tersebut,

perbuatanpara pihak yang berakaitan dengan akad tidak akan menimbulkan akibat hukum.

Walaupun dalam hukum perjanjian, juga ada permasalahan tentang sebab-sebab yang dapat

mengakhiri kontrak, namun realita tetap dijumpai beberapa perbedaan yang terkait dengan

sebab-sebab berakhirnya suatu akad. Suatukontrak yang dikatakan berakhir pada prinsipnya

apabila hubungan hukum diantara para piha telah terputus. Dengan putusnya hubungan

tersebut, makaketerkaitan para pihak terhadap ketentuan syara’ yang terkait dengan akad

untukmelaksanakan hak dan kewajiban, maka kesepakatan para pihak tersebut sudahtidak

berlaku.
A. Pengertian Transaksi (Akad)

[1]Transaksi (akad) berasal dari bahasa arab Al-aqad yang secara etimologi berarti perikatan,

perjanjian, dan permufakatan (al-itifaq) sebagai suatu istilah hukum Islam. Ada beberapa

defnisi yang berkaitan dengan akad diantaranya:

Pertama, akad adalah keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibatkan timbulnya

akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul adalah

jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak

pertama.

Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang

menyatakan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak dari lain.

Sedangkan, secara terminologi fiqh akad adalah:

“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan)

sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan”

Pencantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariah” maksudnya adalah bahwa

seluruh perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih tidak dianggap sah

apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’ .Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi

yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah:

“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan keridahan kedua

belah pihak”[2]

Pengertian perikatan itu berdasarkan yang tercantum dalam KUHPerdata Pasal 1233,

perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang.[3]

Jadi dapat di simpulkan bahwa dari pengertian akad di atas akad adalah pertalian antara ijab

dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang bertujuan melahirkan akibat hukum terhadap

objek. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu 1
1
[ 1]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm 58
sebagai berikut:2

a. Pertalian ijab dan kabul

Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan seseuatu atau tidak

melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib

tersebut oleh pihak lain (qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam suatu petikatan atau

perjanjian.[4]

b. Dibenaran oleh syara’

Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ atau hal-hal yang diatur oleh

Allah SWT dalam al-qur’an dan hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad

tidak boleh bertentangan dengan syara’, apabila bertentangan dengan syara’ akan

mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu akad yang mengandung riba atau

objek perikatan yang tidak halal, maka mengakibatkan tidak sahnya suatu akad menurut

hukum Islam[5].

c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya

Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum. Adanya akad akan menimbulkan akibat

hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan

konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.[6]

B. Rukun–rukun Akad

Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang

atau lebih, berdasarkan keridhaan masing-masing. Dari hal tersebut adapun rukun-rukun yang

harus di penuhi dalam melaksanakan akad ialah sebagai berikut:

a. Aqid ialah orang yang berakad, orang yang berakad masing-masing terdiri dari satu orang
atau beberapa orang, pihak-pihak yang melakukan akad disebut dengan subjek hukum atau

2
[2]Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50
[3] Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 311
[4] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013) hlm 54
yang orang yang melakukan akad. Dalam hal ini orang yang melakukan akad hendaknya
memiliki kecakapan bertindak da kewenangan.
b. Ma’qud’alaih ialah benda-benda yang diakadkan , seperti benda yang dijual dalam akad jual
beli, akad hibah (pemberian), dan akad gadai.
c. Maudhu’al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka
berbedalah tujuan pokok akad. Misalnya, dalam akad jual beli tujua pokoknya ialah
memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti.
Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebgai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Sedangkan
qabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya
ijab.[7]
C . Syarat-syarat Akad
Syarat-syarat akad pada umumnya harus dipenuhi dalam berbagai macam dalam akad,
diantaranya:[8]
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap dalam bertindak (ahli). Hal ini sangat berpengaruh
dalam akad, tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila.
b. Yang dijadikan objek dapat menerima hukumnya.
c. Tempat akad, adalah tempat bertrasaksi antara kedua belah pihak yang sedang berakad, yaitu
bersatunya kata sepakat di tempat yang sama.
d. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya
walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
e. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’
f. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila ranh dianggap sebagai imbangan
amanah.
g. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum jadi qabul. Maka bila ornag yang berijab
menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
h. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila sehingga bila seseorang yang berijab sudah
berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut batal.
Syarat hukum ini dapat juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping

syarat-syarat umum, seperti syarat adanya saksi. Sedangkan yang menjadi syarat sah dalam

akad adalah segala yang disyaratkam syara’ untuk menjamin dampak keaslian akad. Jika3

[ Gemala Dewi,ibid, Hlm 54


3 5]
akad tidak terpenuhi maka akad tersebut rusak. Diantaranya yamg menjadikan akad itu rusak 4

yaitu, paksaan dan adanya kemudratan. Kemudian syarat dalam pelaksanaan akad terbagi

menjadi dua, yaitu:

a. Kepemilikan, adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas

dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’

b. Kekuasaaan, adalah kemampuan seseorang dalam berakad sesuai dengan ketetapan syara’.

Apabila ada yang berperan sebagai pengganti atau yang mewakili maka barang yang di

akadkan harus ada izin dari pemiliki yang asli, serta barang yang dijadikan tidak berkaitan

dengan kepemilikan orang lain.

D. Macam-macam Akad

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika

dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari

akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan

mengikat kepada pihak-pihak yang berakad, diantaranya:

1. Akad Nafiz, adalah akad yang bebas dari faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad
tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan
langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya akad.
2. Akad Maukuf, adalah akad yang tidak dapat secaralangsung dilaksankan akibat hukumnya
sekalipun telah dibuat secara sah, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah
mumayiz.
b. Akad tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun dan syaratnya, sehingga

seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat para pihak yang berakad.

4
[6]Gemala Dewi, Ibid, hlm 54
[7]Abdul Hanan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 83
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet ke-9, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm 50
Menurut ulama Hanafiyah ada dua macam akad yang tidak sahih yaitu:[9]

1. Akad Batil, adalah akad yang secara syara’ tidak sah pokok dan sifatnya. Secara pokok yang
dimaksud ialah tidak memenuhi rukun dan syarat sebgaimana yang disebutkan.
2. Akad Fasid, ialah akad yang telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’i hanya saja
terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya kerena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan
akad.

Hal-hal Yang Merusak Akad

Adapun hal-hal yang dapat merusak suatu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak

diantaranya:[10]

a. Pemaksaan dan keterpaksaan, yaitu akad yang terjadi bukan atas dasar kesadaran dan

keinginan yang sempurna dari salah satu pihak. Keterpaksaan ini biasanya akibat dari kondisi

ekonomi sehingga menjadi terpaksa tuk melakukan itu.

b. Ghalat (Kesalahan), misalnya kesalahan dalam menjelaskan sifat dan jenis terhadap objek

akad. Misalnya, menyebutkan objeknya emas padahal yang terjadi sebenarnya adalah perak.

c. Tadlis (Penipuan), terjadi untuk menyembunyikan cacat atau kerusakan atas suatu barang.

Seperti: perbuatan, menyebutkan sifat yang tidak nyata pada objek akad. Ucapan, berbohong

tentang suatu barang supaya orang tertarik padahal tidak senyatanya.

d. Ghaban, ketidakseimbangan antara sifat dan kenyataanya. Misalnya menjual barang yang

ditawarkan, tetapi pada kenyataanya tidak seperti itu.

E. Akhibat atau hukum akad

Terjadinya sebuah persetujuan akad (kontrak) secara langsung menimbulkan hak dan

kewajiban bagi para pihak yang terlibat dalam suatu akad, dan merupakan hal yang logis, jika

hak secara otomatis menimbulkan kewajiban. Terciptanya kerelaan serta kecakapan para

pihak dalam melakukan akad, merupakan salah satu yang sangat menentukan sah atau5

tidaknya suatu akad. Terpenuhinya semua rukun, syarat dan asas akad, berimplikasi langsung

5
[9]Abdul Rahman Ghazali, lbid,Hlm 271
pada timbulnya akibat hukum baik kewajiban maupun hak-hak para pihak Untuk itu,

pemahaman yang dalam akan keberadaan hukum perjanjian syariah menjadi kebutuhan

mendesak untuk mengimbangi perkembangan lembaga keungan syariah yang ada, karena

perjanjian yang digunakan pada lembaga keuangan yang saat ini, dibuat berdasarkan akad-

akad muamalah yang memiliki pengertian sebagai tindakan yang terjadi antara dua belah

pihak (ijab dan qabul) yang menimbulkan pengaruh pada objek akad (kontrak), sehingga

memberikan akibat hukum yang mengikat. Oleh karena itu, jika terjadinya terminasi atas

akad tentu pula membutuhkan solusi yang sesuai pula dengan ajaran Islam.

F. Berakhirnya akad

[11]Berakhirnya akad berbeda fasakh dan batalnya akad. Berakhirnya akad karena fasakh

adalah rusak atau putusnya akad yang mengikat antara muta’aqidain (kedua belah pihak yang

melakukan akad) yang disebabkan karena adanya kondisi atau sifat-sifat tertentu yang dapat

merusak iradah. Akat yang batal adalah akad yang menurut dasar dan sifatnya tidak

diperbolehkan seperti akad yang tidak terpenuhi salah satu rukun atau syaratnya. Sedangkan

berakhirnya akad adalah berakhirnya ikatan antara kedua belah pihak yang melakukan akad

(mujib dan qabil) setelah terjadinya atau berlangsungnya akad secara sah.

Para fuqaha berpendapat bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:

a. Telah jatuh tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah disepakati, apabila akad

tersebut memiliki proses waktu. Seperti pada akad ijarah yang telah habis masa kontraknya.

b. Terealisasinya tujuan daripada akad secara sempurna. Misalnya pada akad tamlikiyyah

yang bertujuan perpindahan hak kpemilikan dengan pola akad jual beli, maka akadnya

berakhir ketika masing-masing pihak yang telah melakukan kewajiban dan menerima haknya.

Penjual telah menyerahkan barangnya dan pembeli memberikan staman/harga yang telah
disepakati.678

c. Barakhirnya akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang berakad. Prinsip 9

umum dalam fasakh ialah masing-masing pihak kembali kepada keadaan seperti sebelum

terjadi akad atau seperti tidak pernah berlangsung akad.

Berakhirnya akad karena fasakh ada kalanya bersifat muntanad (berlaku surut), ada kalanya

bersifat mughtashar (tidak berlaku surat). Pada kasus pencabutan pemberian kuasa. Maka

segala tasharrufnya yang telah dilakukan sebelum fasakh tetap berlaku, karena pencabutan

kuasa tidak berlaku surut tetapi berlaku semenjak fasakh.[12]

akad dipandang berakhir juga apabila terjadi fasakh, fasakh terjadi dengan sebab-sebab

sebagai berikut:

Di fasakh karena adanya hal-hal yang tidk dibenarkan syara’.

Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.

Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas

akad yang baru saja dilakukan.

Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adnya akad tidak dipnuhi oleh pihak-pihak

bersangkutan. Misalnya khiyar pembayaran (khiyar naqd) [13]

d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini para ulama fiqh

6
[11]http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1626. Ruslan Abd Ghofur
7

[12]Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fiqh
dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 271

[13] Mugiyati, S, Ag., MEI, Hukum Perjanjian Islam, hal. 42

[14] Kh. Ahmad Azhar Basyir, MA, Asas-asas Hukum Muamalat,yogya, 2000,hal. A30-31

9
menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak

yang melaksanakan akad. Akad yang bisa berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang

melaksanakan akad, di antaranya adalah akad sewa menyewa, ar-rahn, al-kafalah, ays-

syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah. Akad juga akan berakhir dalam bai’al-fudhuli (suatu

bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila

tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal.[14]

Mengenai Para fuqaha tidak sependapat menurut ulama mazdhab hanafi akad sewa-menyewa

akan berakhir apabila salah satu meninggal, sedangkan menurut syafi’I tidak dalam akad

gadai juga kematian pihak pemegang gadai tidak mengakinatkan berakhirnya akad, tetapi

dilanjutkan oleh ahli warisnya,guna mnjamin hak atas piutangnya.[15]

e. Berakhirnya akad dengan sebab tidak adanya kewenangan dalam akad yang mawquf.

Akad mauquf akan berakhir jika yang berwenang wilaya al akad tidak mengizinkan.

Demikian juga pada akad fuduli yaitu akad yang dilakukan oleh orang yang bertindak

pada hak orang lain tanpa disuruh atau diminta melakukannya seketika berakhir jika

tidak adanya izin dari yang berwenang.[16]10

KESIMPULAN

Akad adalah kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan qobul

yang melahirkan akibat hukum baru. Akad memiliki rukun dan syarat yaitu: ‘Aqid, Ma’qud
10
[15] Naroen Haroen, Fiqh Muamalah, hal 109

[16]Ibib, hal.44
‘alaih, Maudhu’ al-‘aqd, dan Shighat al-‘aqd. sedangkan syarat akad meliputi :syarat

terbentuknya akad, syarat keabsahan akad, dan syarat-syarat berlakunya hukum akibat.

Pada dasarnya akad memiliki penghalang yang scara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu:

ikrah (melalui paksaan) dan haqqul ghair (hak orang lain). Akad dibagi menjadi beberapa

bagian diantaranya: Berdasarkan ketentuan syara’, Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah,

Berdasarkan zat benda yang diakadkan, Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya,

Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad, Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek

dalam akad, Berdasarkan cara melakukannya, Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad,

Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan, Berdasarkan tukar menukar hak, Berdasarkan harus

ganti tidaknya, Berdasarkan tujuan akad, Berdasarkan faur dan istimrar, dan Berdasarkan

asliyah dan tabi’iyah.

Secara garis besar macam-macam akad yaitu: ‘Uqudun musammatun dan ‘Uqudun

ghairu musammah. Hikmah dari mempelajari dan mempraktekkan akad dalam kehidupan

sehari-hari yaitu: Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi

atau memiliki sesuatu, Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian,

karena telah diatur secara syar’i, Akad merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan

sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.

Dasar dari hukum melakukan akad yaitu wajib hal ini terdapat dalam Al-qur’an surah

Al-Maidah ayat 1. Berakhirnya suatu akad dapat dikarenakakan beberapa hal diantaranya

ialah: Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu,

Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat, Salah

satu pihak yang berakad meninggal dunia.

Dartar pustaka
*Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm 58
*Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50
* Soedharyo Soimin, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 311
* Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013) hlm 54
*Gemala Dewi,ibid, Hlm 54
*Gemala Dewi, Ibid, hlm 54
*]Abdul Hanan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 83
* Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet ke-9, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014), hlm 5
*Abdul Rahman Ghazali, lbid,Hlm 271
*http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1626. Ruslan Abd Ghofur

*Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fiqh
dan Hukum Internasional), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm 271

* Mugiyati, S, Ag., MEI, Hukum Perjanjian Islam, hal. 42

* Kh. Ahmad Azhar Basyir, MA, Asas-asas Hukum Muamalat,yogya, 2000,hal. A30-31

*Naroen Haroen, Fiqh Muamalah, hal 109

*Ibib, hal.44

Anda mungkin juga menyukai