Anda di halaman 1dari 6

Sumber-sumber perikatan menurut Al-Zarqa’ yaitu istilah sumber-sumber perikatan

diartikan dengan segala sesuatu atau kejadian yang darinya lahir sebuah perikatan. Sedangkan
al-Sanhury  mendefinisikan sumber perikatan sebagai sebab yang bernuansa hukum
(perundangan) yang dapat mewujudkan perikatan.
Berdasarkan penelitian induktif dan mengintroduksi pemikiran fiqih, al-Zarqa
menyebut sumber-sumber perikatan (masadir al-iltizam) dalam Islam ada lima macam,
yaitu: akad (al-’aqd), kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah), perbuatan merugikan
(al-fi’l al-dar), perbuatan bermanfaat (al-fi’il al-nafi’) dan syara’. Sementara itu, menurut
al-Sanhury kelima hal tersebut tidak cukup dipandang sebagai sumber perikatan. Karena
para pemikir hukum Islam tidak membuat bab khusus yang mengkaji tentang perikatan,
sumber dan efek yang ditimbulkannya. Karena itu, sumber-sumber perikatan tersebut
perlu dilihat kembali, apakah semua itu diakui sebagai sumber perikatan oleh syariat
Islam. Sumber-sumber tersebut harus dikembalikan ke asas mantiqy (dasar logika).
Berdasarkan hal ini, sebab-sebab tersebut tidaklah hanya terbatas pada  haq al-
syakhsiyyah, melainkan juga pada haq al-’ayniyyah. Menurutnya, sumber-sumber
perikatan pada dasarnya berupa al-waqa’i al-qanuniyyah dan al-tasarrufat atau al-a’mal
al-qanuniyyah. Pemikiran al-Sanhury ini dikomentari al-Zarqa’,  bahwa al-waqa’i itu ada
yang bersifat tabi'iyah (alamiah),  dan ada juga yang bersifat  ikhtiyariyyah
(diciptakan). Sedangkan al-waqa’i al-ikhtiyariyyah itu adakala berupa a’mal maddiyyah
dan ada yang berupa tasarrufat syar’iyyah  (al-qanuniyyah). Adapun tasarrufat
syar’iyyah ada yang berbentuk sebelah pihak dan ada yang berbagai pihak. Berdasarkan
hal ini, sumber perikatan yang berupa ‘aqd dan kemauan sepihak masuk dalam tasarrufat
syar’iyyah. Sedangkan sumber al-’amal al-dar dan al-’amal al-nafi’ masuk dalam a’mal
maddiyyah. Adapun a’mal maddiyyah dan tasarrufat syar’iyyah keduanya termasuk al-
waqa’i al-ikhtiyariyyah dan sebagai bandingannya adalah al-waqa’i al-thabi’iyyah yang
menisbatkan sumber-sumber perikatan ke syara’ (qanun).

Sementara dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu


perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang (Pasal 1233). 
Selanjutnya disebutkan, perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-
undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
(Pasal 1352).  Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang,
muncul yang perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum (Pasal 1353).

1. akad (al-’aqd)
Akad secara bahasa artinya ikatan, mengikatan. Istilah al-‘aqdu dapat
disamakan dengan istilah verbintenis (perikatan) dalam KUHPerdata. Sedangkan
istilah al-ahdu (janji) dapat disamakan dengan istilah overeenkomst (perjanjian),
yaitu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu
yang berkaitan dengan orang lain.1
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai:
pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap objeknya.
Dari definisi akad diatas dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung di
dalamnya, yaitu sebagai berikut:
a. Pertalian ijab dan kabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh salah satu pihak (mujib) untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan
menerima dan menyetujui kehendak (mujib) tersebut oleh pihak lainnya
(qabil). Ijab kabul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau
kesepakatan dua pihak yang melakukan akad.2 Pengungkapan yang dilakukan
dalam ijab kabul itu menunjukkan jenis akad yang dimaksud karena setiap
akad itu memiliki ketentuan hak-hak, kewajiban, dan akibat hukum yang
berbeda.3
b. Dibenarkan oleh syara’
Pelaksanaan akad, tujuan akad, dan objek akad tidak boleh bertentangan
dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-qur’an dan
dalam Hadits. Jika bertentangan mengakibatkan akad itu tidak sah.
c. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari bentuk tindakan hukum (tasharruf). Adanya
akad akan menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang
diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan
kewajiban yang mengikat para pihak.
B. Kehendak Sepihak (al-iradah al-munfaridah)
Perbuatan hukum sepihak yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak
saja dan menimbulkan kewajiban pada satu pihak pula. 4 Kehendak sepihak dalam
hukum Islam yaitu tindakan yang menimbulkan akibat hukum yang luas dan bermacam-
macam. Adapun akibat hukum tersebut antara lain:
1) Tindakan akibat hukum berdasarkan kehendak sepihak berdasarkan kehendak
sepihak tanpa adanya pertemuan dengan kehendak pihak lain, yaitu:
a) Perikatan (al-iltizam)
Iltizam ialah keharusan mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu
untuk kepentingan orang 1ain. Ada yang menyatakan bahwa al-iltizam ialah

1
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), hlm. 248
2
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 51
3
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fiqh Muamalah Dinamika Teori Akad Dan Implementasinya Dalam
Ekonomi Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm. 29
4
Umi Rohmah, Perikatan (Iltizam) Dalam Hukum Barat Dan Islam, Jurnal Al-‘Adl: Vol 7 No. 2, Juli
2014, hlm. 5
‫ﻜﻮﻦﺸﺨﺺﻤﻜﻠﻒﺸﺭﻋﺎﺒﻌﻤﻞﺍﻮﺍﻤﺘﻨﺎﻉﻤﻦﻋﻤﻞﻠﻤﺼﻠﺤﺔﻏﻴﺮﻫ‬
Setiap perikatan dipastikan memiliki dua dampak, yaitu dampak umum dan
dampak khusus. Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam
pelaksanaan suatu perikatan atau maksud utama dari perikatan, seperti
pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
Sedangkan dampak khusus yaitu segala sesuatu yang mengiringi setiap atau
sebagian besar perikatan, baik dari segi hukum atau hasil.

b) Janji (sepihak)
Orang yang menetapkan atas dirinya untuk melakukan sesuatu dimasa
akan datang, misalnya berjanji akan menjual sesuatu kepada orang lain (janji
melakukan jual beli), atau janji memberi hadiah apabila atas sesuatu yang
dilakukan orang lain (al-ju’alah).
Janji dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan
wajib dipenuhi oleh wa’id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam fatwa ini:
- Wa’id harus cakap hukum
- Dalam hal janji dilakukan oleh pihak yang belum cakap hukum, maka
efektifitas/keberlakuan janji tersebut tergantung pada izin pengampunya
- Wa’id harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mewujudkan
mau’ud bih
- Wa’id harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian
- Wa’id harus dikaitkan dengan sesuatu syarat yang harus dipenuhi atau
dilaksanakan mau’ud
- Mau’ud bih tidak bertentangan dengan syariah
- Syarat yang dimaksud pada angka 2 tidak bertentangan dengan syariah
- Mau’ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana yang
dimaksud.5
C. Nazar
Orang yang berniat untuk melakukan sesuatu dimasa datang sebagai suatu
perbuatan ibadah kepada Tuhan.
2) Tindakan hukum yang diperselisihkan oleh ahli hukum Islam mengenai tindakan
sepihak semata atau diperlukan adanya ijab dan kabul dari dua belah pihak,
tindakan hukum tersebut antara lain: Hibah (al-hibah), pinjam pakai (a1-‘ariah)
penanggungan (a1-kafa1ah), dan pinjam uang (a1-qard).6

5
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 85/DSN/MUI/XII/2012 Tentang Janji (wa’d) dalam transaksi
keuangan bisnis Syariah
6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Akad Dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2010), hlm. 61
Pandangan yang kuat dalam hukum Islam mengenai ini menyatakan bahwa, karena
pada akhirnya merupakan tindakan timbal balik (atas beban), meskipun awalnya
bersifat Cuma-Cuma, maka diperlukan pernyataan kehendak timbal bah‘k dari
kedua pihak yang berupa ijab clan kabul, artinya bukan lagi kehendak sepihak
melainkan harus berdasarkan kehendak dua pihak.
c. Perbuatan Merugikan/Perbuatan Melawan Hukum (al-fi’l al-dar)
Menurut ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan melawan hukum, yang
oleh karenanya menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugiannya. Dari ketentuan
pasal tersebut jelas terlihat unsur-unsur perbuatan melawan hukum antara lain:
Perbuatan tersebut harus melawan hukum, harus ada kesalahan, harus ada kerugian
yang ditimbulkan, dan adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.7
Perbuatan melawan hukum tidak hanya melawan undang-undang tetapi juga
melanggar hal-hak subjektif orang lain, kesusilaan, dan ketentuan umum. Menurut HR.
1919, perbuatan melawan hukum adalah atau tidak berbuat yang disebutkan sebagai
berikut:
1) Melanggar hak orang lain
Hak orang lain bukan semua hak, tetapi hanya hak-hak pribadi, seperti integritas
tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain serta hak-hak absolut, seperti hak-hak
kebendaan, octroi (hak istimewa), nama perniagaan, hak cipta, dan lain-lain.
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Kewajiban hukum hanya yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3) Bertentangan dengan kesusilaan
Perbuatan yang dilakukan seseorang bertentangan dengan sopan santun yang tidak
tertulis, yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan oleh masyarakat. Aturan
tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok yaitu:
- Aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya.
- Aturan-aturan yang melarang karena merugikan orang lain ketika hendak
menyelenggarakan kepentingan.
d. Perbuatan Bermanfaat (al-fi’il al-nafi’)
Perbuatan bermanfaat yaitu seseorang yang melakukan hal yang menguntungkan
orang lain. Perikatan yang dilakukan seseorang dan prestasinya berupa perbuatan nyata,
misalnya berbuat atau memberi sesuatu kepada orang lain.8 Sehingga dalam perbuatan
bermanfaat tidak ada unsur yang dapat menyebabkan kerugian kepada orang lain.
Jika kita kaitkan dalam bidang muamalat maka seperti tidak diperblehkannya
melakukan transaksi yang mengandung unsur sebagai berikut:
1) Maysir
7
Wawan Muhwan, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), hlm. 85
8
Komariah, Hukum Perdata, (Malang: UMM Press, 2010), hlm. 140
Arti harfiyahnya memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras, atau
mendapat keuntungan tanpa kerja keras. Singkatnya transaksi ini mengandung
perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi. Karena dalam berjudi kita
menggantungkan keuntungan hanya pada keberuntungan.
2) Gharar
Secara bahasa adalah khathr yaitu pertaruhan, majhul al-aqibah tidak jelas hasilnya,
ataupun dapat juga diartikan sebagai Al-mukhatarah pertaruhan. Gharar adalah
bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain.
Berdasarkan pengertian tersebut gharar yaitu semua transaksi yang didalamnya
mengandung unsur-unsur ketidakjelasan. Sehingga mengakibatkan atas hasil yang
tidak pasti terhadap hak dan kewajiban dalam suatu transaksi.9
3) Riba Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang perbankan syariah,
disebutkan bahwa riba yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil), antara
lain dalam transaksi penukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas.
Dalam transaksi pinjam meminjam yang mensyaratkan penerima fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya
waktu.
e. Syara’
Perikatan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’ al-
qur’an, hadits dan sunnah rasullah. Demikian objek akad tidak boleh bertentangan
dengan syara’ apabila bertentangan maka akad itu dikatakan tidak sah.
Ketentuan syara’ juga bisa menimbulkan perikatan seperti ikatan pernikahan, atau
antara anak dengan orang tua, suami dengan istri. Adanya hubungan hak dan kewajiban
yang melekat didalamnya.
Sumber hukum perikatan dalam Islam berasal dari Al-qu’an, Al-hadits dan Ijtihad,
adapun perbuatan yang diakukan dalam perikatan tidak boleh dengan hal tersebut, yaitu:
1) Al-Qur’an
a) Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
b) Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu
c) Hai orang-orang beriman penuhilah akad-akad itu.
2) Hadits
a) Hadits Nabi Muhammad Saw diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Saw.
telah bersabda, “janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibel oleh
orang lain”.

9
Nadratuzzaman Hosen, Analisis Bentuk Gharar dalam Transaksi Ekonomi, Al-Iqtishod: Vol. 1, No. 1,
Januari 2009, hlm. 2
b) Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim Siapa saja yang melakukan jual beli salam
(salaf), maka lakukanlah dalam ukuran (takaran tertentu), timbangan tertentu,
dan waktu tertentu.10
3) Ijtihad.
Kedudukan Ijtihad dalam muamalat memiliki peran yang sangat penting hal
ini disebabkan, sebagian besar ketentuan muamalat yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan hadits yang masih bersifat umum. Oleh karena ayat Al-qur’an dan Hadtis
hukum yang menjadi objek ijtihad hanyalah yang bersifat dzanni.11
Dewan Syariah Nasional diantaranya mengeluarkan masalah-masalah yang
berhubungan kegiatan keuangan, produk, jasa keuangan syariah

10
M. Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), Cet. 1, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 145
11
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet.
8, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 81

Anda mungkin juga menyukai