Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN KE-5

HUKUM AKAD DALAM EKONOMI SYARIAH

A. PENGANTAR

Dalam bahasa Arab terdapat sejumlah istilah yang digunakan berkaitan dengan

perjanjian yaitu al-wa’ad, al-aqad, al-ahdu, dan iltizam. Dalam konteks Indonesia terdapat

juga sejumlah istilah, yaitu perikatan, perjanjian, dan kontrak.

Istilah Dan Konsep Dalam Hukum Islam


Al-Ahdu Ikatan yang terjadi antara manusia dan Tuhan, berupa perjanjian Primordial di
alam rahim dan perjanjian terjalinnya fitrah manusia yang tunduk pada
kebaikan, serta perjanjian para nabi dengan Allah untuk menyampaikan
pesan/perintah kepada umat manusia.
Al-Wa’ad Janji yaitu keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan
sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam rangka memberi keuntungan
bagi pihak lain. Mayoritas utama (Hanafiyah, syafiyah, Hanabilah, dan
sebagian malikiyah) berpendapat bahwa janji hanya mengikat secara moral
(mulzimun diyanah) tidak mengikat secara hukum (mulzimun qadhaan/legally
binding). Sebagian kecil ulama (Ibnu Subrumah, Ishaq, hasan basri, sebagian
malikiyah janji tidak hanya mengikat secara moral tetapi juga mengikat secara
hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab atau adanya pemenuhan suatu
kewajiban, baik disebutkan dalam pernyataan wa’ad atau tidak.
Al-Aqad Ikatan antara dua hal, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara
maknawai, dari satu segi maupun dari dua segi. Akad adalah hubungan antara
ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya
pengaruh(akibat) hukum pada objek perikatan.
Iltizam Keadaan dimana seseorang diwajibkan hukum syara’ untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain. Kata iltizam awalnya
digunakan hanya untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak
sepihak saja. Namun, belakangan sering digunakan untuk menyebut perikatan
secara keseluruhan.

Istilah Dan Konsep Dalam Hukum Perdata (Umum)


Memorandum Dokumen yang memuat saling pengertian antara para pihak sebelum
of perjanjian dibuat.
Understanding
(MOU)

1
Perikatan Suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya hak dan kewajiban.
(verbintenis) Satu pihak menuntut sesuatu, dan dipihak lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan tersebut.
Perjanjian Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap
(overeenkomst satu orang lain atau lebih (KUH Perdata Pasal 1313). Dengan demikian,
) Perjanjian merupakan bagian dari perikatan.
Kontrak Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban
(contract) untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Kontrak
mengandung tiga unsur utama, yaitu 1) adanya fakta kesepakatan antara
para pihak, 2) adanya persetujuan tertulis, 3) adanya para pihak yang
memiliki hak dan kewajiban untuk membuat kesepakatan/persetujuan
tertulis.

Berdasarkan tabel diatas difahami bahwa antara akad dan perjanjian dalam hukum

perdata memiliki sedikit perbedaan. Dalam hukum perdata terdapat sebutan yang beragam

yaitu perjanjian, perikatan, kontrak, perkongsian, dan transaksi. Perbedaan antara akad dan

perjanjian perdata terletak pada tahapan perjanjiannya. Pada akad, janji pihak pertama

terpisah dari janji pihak kedua kemudian lahirlah perikatan (akad). Adapun menurut KUH

Perdata perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua ialah satu tahap yang kemudian

menimbulkan perikatan antara mereka.

Selanjutnya perbedaan antara akad dalam Islam dan perikatan dengan hukum lain

disebutkan oleh Gemala Dewi dalam Table berikut :

Perbedaan Akad Islam Perikatan Barat Perikatan Adat


Landasan Religus (berasal dari Sekuler (berasal dari Religio-magis, ada
filosofis ketentuan syariah Islam pemikiran dan nilai kepercayaan
yang bersumber dari Al- penalaran manusia yang dituankan
Qur’an dan Sunnah). tidak ada nilai dalam simbol-simbol.
agama).
Sifat Individual proporsional. Individual liberal. Komunal
Ruanglingku Meliputi hablum minallah Hanya hubungan Hubungan manusia
p (substansi) (hubungan manusia dengan manusia dengan dengan manusia
allah) dan hablum minannas manusia, manusia (horizontal)
wal’alam (hubungan dengan benda.
manusia dan alam/harta
benda, dan lingkungan).

2
Proses Adanya pengertian Adanya pengertian Perjanjian
pembentukan perjanjian-persetujuan- perjanjian (overeen Persetujuan
perikatan (ahdu-wa’du- komst) (1333 BW) Perbuatan
aqdu). (QS. Ali ‘Imraan dan perikatan Simbolis
{3}; 76; QS. al-Maaidah (verbintebsis) (1233 Perikatan
{5} ;1). BW).
Sahnya 1. Halal. 1. Sepakat 1. Terang
perikatan 2. Sepakat 2. Cakap 2. Tunai
3. Cakap 3. Hal tertentu
4. Saling rela (bebas dari 4. Halal (1320 BW)
paksaan, tipuan,
kesamran0.
5. Ijab dan kabul
Sumber 1. Sikap tidak yang 1. Persetujuan 1. Perjanjian
didasarkan syariah 2. Undang-undang 2. Sikap tindak
2. Persetujuan yang tidak (1233 BW) tertentu (tolong
melanggar syariah menolong, gotong
royong).
3. Penyelewengan
perdata.

Dalam hukum Islam kesepakatan atau peringatan dapat dikategorikan akad di dasarkan

pada keridhaan dan kesesuaian dengan syariat Islam. Dalam konteks Islam, ijab dan kabul

merupakan unsur yang penting pada setiap transaksi. Apabila ada dua janji antara para pihak

disepakati dan dilanjutkan dengan ijab dan kabul, maka terjadilah akad (perikatan Islam).

Dengan demikian, sesuatu disebut akad apabila :

1. Diwujudkan dalam ijab dan kabul yaitu pernyataan kehendak para pihak yang

melakukan akad yaitu pernyataan melakukan atau tidak melakukan sesuatu (ijab) dan

pernyataan atau menerima (kabul).

2. Sesuai dengan kehendak syariat yaitu pelaksanaan akad tidak boleh bertentangan

dengan ketentuan syariat baik terutama terkait dengan rukun dan syaratnya.

3. Adanya akibat hukum pada objek akad yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang

mengikat masing-masing pihak yang berakad.

3
Dalam KHES Buku II Bab I Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa akad adalah

kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau

tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Mengacu pada konsep akad, para ulama

membaginya menjadi dua, yaitu : pertama, dalam pengertian umum segala sesuatu yang

dikerjakanoleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri seperti wakaf dan talakdan

sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, wakalah,

dan gadai. Kedua, dalam pengertian ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

B. ASAS-ASAS DAN SUMBER HUKUM AKAD

Ada sejumlah asas dalam berakad yang menjadi tumpuan berpikir dan alasan pendapat

dalam penegakan dan pelaksanaan hukum berakad dalam Islam, yaitu :

1. Asas ilahiyah (tauhid), yaitu keyakinan akan keesaan Allah dan kesadaran bahwa

seluruh yang ada dimuka bumi dan dilangit adalah miliknya. Allah yang menentukan

rezeki untuk setiap makhluk-Nya dan membimbing setiap insan menuju kesuksesan.

Oleh karenanya, manusia dalam berakad mesti selalu berada pada batas-batas yang

telah ditetapkan Allah. Tauhid mesti menjadi titik tolak dalam berakad, menggunakan

sarana yang tidak lepas dari syariat Allah serta bertujuan akhir meraih ridha Allah. Oleh

karenanya, manusia yang berasas ilahiyah dalam berbagai aktivitasnya tidak akan

bertindak sembarangan atau melampaui batas karena mesti menyelaraskan diri dengan

ketetapan Allah SWT.

2. Asas kebebasan (hurriyah), yaitu para pihak yang melakukan akad memiliki kebebasan

untuk membuat perjanjian baik mengenai objek perjanjian maupun menentukan

persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi

perselisihan. Kaidah dibidang muamalah adalah “Asal sesuatu adalah boleh sampai ada

dalil yang menunjukkan keharamannya”. Oleh karenanya, berbagai aktivitas manusia

4
sepanjang dalam hal yang mubah dan tidak terlarang, maka para pihak memiliki

kebebasan dalam bertransaksi dan menentukan berbagai segi dari transaksi tersebut.

3. Asas persamaan atau kesetaraan (al-musawah), yaitu setiap orang memiliki kesempatan

yang untuk melakukan suatu perikatan atas asas persamaan dan kesetaraan. Para pihak

menentukan hak dan kewajiban secara setara. Tidak diperkenankan adanya eksploitasi

(kezhaliman) salah satu pihak atas pihak lainnya.

4. Asas keadilan (al-‘adalah), yaitu para pihak yang berakad dituntut untuk berlaku benar

dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah dibuat,

dan memenuhi semua kewajiban. Segala hal yang bertentangan dengan sikap adil tidak

boleh dilakukan dalam berakad, seperti transaksi ribawi, mengurangi takaran dan

timbangan dari yang semestinya, menunda-nunda pembayaran utang bagi pihak yang

mampu.

5. Asas kerelanaan (al-ridha), yaitu segala transaksi yang dilakukan mesti dilakukan atas

dasar suka sama suka atau kerelaan masing-masing pihak yang menunjukkan

keikhlasan dan iktikad baik dari masing-masing pihak. Dalam aktivitas muamalah tidak

boleh ada penipuan, paksaan, dan kesamaran yang menyebabkan hilangnya kerelaan

para pihak.

6. Asas kejujuran dan kebenaran (al-shidq), yaitu para pihak berakad mesti bertransaksi

secara jujur dan benar. Hal ini berarti mengungkapkan berbagai segi transaksi apa

adanya tanpa ada rekayasa dan penipuan. Selain itu, transaksi juga mesti mengandung

manfaat bagi para pihak, masyarakat sekitar, dan lingkungan. Tidak dibenarkan berakad

yang mendatangkan mudharat seperti berlaku boros dan sebagainya.

7. Asas tertulis (al-kitabah), yaitu dianjurkan dalam suatu perikatan dilakukan secara

tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi. Apabila transaksi tidak secara tunai maka dapat

dipegang suatu benda sebagai jaminan.

5
Dalam KHES disebutkan bahwa akad dilakukan berdasarkan sejumlah asas :

1. Ikhtiyari/sukarela, yaitu setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari

keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

2. Amanah/menepati janji, yaitu setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai

dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama

terhindar dari cedera-janji.

3. Ikhtiyati/kehati-hatian, yaitu setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang

dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

4. Luzum/tidak berubah, yaitu setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan

perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atai maisir.

5. Saling menguntungkan, yaitu setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para

pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

6. Taswiyah/kesetaraan, yaitu para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang

setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

7. Transparansi, yaitu setiap akad dilakukan dengan pertanggung jawaban para pihak

secara terbuka.

8. Kemampuan, yaitu setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para piahk,

sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

9. Taisir/kemudahan, yaitu setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan

kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

10. Iktikad baik, yaitu akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak

mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

11. Sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum

dan tidak haram.

6
C. PEMBENTUKAN AKAD (RUKUN DAN SYARIAT)

Pembentukan akad yang didasarkan pada terpenuhnya rukun dan syarat menurut para

ulama, sebagai berikut :

Hanafiyah
Ijab Penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang
diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang
menerima.
Kabul Ucapan setelah ijab yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang
pertama. Hal-hal selain ijab dan kabul yang menunjang terjadinya akad
tidak dikategorikan rukun pleh Hanafiyah karena keberadaannya sudah
pasti.

Jumhur Ulama
Pihak yang ‘Aqid harus ahli (cakap bertindak hukum) dan memiliki kemampuan
berakad(‘aqid) untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika
ia menjadi wakil. Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak
(ahli)seperti orang gila, orang berada dibawah pengampunan (mahjur).
Pihak yangberakad adalah orang persekutuan, atau
Badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan
hukum. Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus
berakal yaitu mumayiz (berusia minimal 7 tahun dan memahami
pembicaraan), akad anak kecil yang belum mumayiz dan orang gila
tidak sah. Tasharruf (aktivitas atas benda) anak mumayiz dipandang
sah, antara lain : 1) tasharruf yang bermanfaat bagi dirinya sendiri tanpa
memerlukan kabul seperti menerima hibah/hadiah), 2) tasharruf yang
mengandung kemudharatan secara murni tanpa memerlukan kabul
seperti memberi hibah atau pinjaman dan 3) tasharruf yang berada
antara manfaat dan mudharat yang berdampak untung atau rugi maka
mesti dilakukan dengan seizin wali dan sepanjang tidak dibatalkan wali
hukumnya sah.
Ulama syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid harus baligh
(terkena perintah syara’), berakal, telah mampu memelihara agama dan
hartanya. Anak kecil boleh ber-tasharruf membeli barang kecil dan
sederhana dan tasharruf atas seizin wali.
Sesuatu yang 1. Objek/barang mesti suci dan sesuai dengan ketentuan syariah. Tidak
diakadkan sah akad atas barang yang diharamkan seperti babi, bangkai, darah,
(ma’qud alaih) minuman keras, pelacuran dan perdagangan manusia (human
trafficking), organ tubuh manusia, dan sebagainya. Ulama selain

7
Hanafiyah menerangkan bahwa objek/barang mesti suci (dapat
dimanfaatkan menurut ketentuan syariah), tidak najis dan mutanajis.
Anjing, darah, dan bangkai tidak sah diakadkan. Ulama Hanafiyah
hanya melarang yang jelas dilarang oleh syariah, seperti anjing,
khamar, dan bangkai. Adapun pemanfaatan bulu binatang, kulit
bangkai bukan untuk dikonsumsi adalah boleh.
2. Objek/barang mesti ada ketika akad. Berkaitan dengan barang yang
tidak nampak ulama Syafiiyah dan Hanafiyah melarang secara
mutlak barang yang tidak nampak kecuali dalam hal upah.
Menggarap tanah, dan lainnya. Hanafiyah juga mengecualikan akad
salam dan istisna’. Ulama Malikiyah melarang pada akad yang
sifatnya saling menyerahkan dalam hal harta. Tidak pada akad
tabarru’ seperti hibah dan sedekah. Ulama Hanabilah menganggap
cukup adanya larangan syara’ terhadap akad tanpa objek.
3. Objek/barang dapat diserahterimakan pada waktu akad baik secara
fisik maupun secara hukum. Namun dalam hal tabarru’ ulama
Malikiyah membolehkan hubah atas barang yang hilang/kabur.
4. Objek/barang mesti diketahui, jelas, dan dikenali oleh kedua pihak
yang berakad bukan objek yang gharar.
Sighat (ijab dan 1. Ijab dan kabul mesti jelas maksudnya sehingga difahami oleh para
kabul) pihak yang berakal.
2. Antara ijab dan kabul mesti sesuai.
3. Menunjukkan kesungguhan kemauan dan kerelaan dari pihak-pihak
yang berakad tidak ada unsur paksaan atau ancaman.
4. Antara ijab dan kabul mesti bersambung dan berada ditempat yang
sama jika kedua pihak hadir, atau berada ditempat yang sudah
diketahui oleh para pihak. Jika berada ditempat para pihak sudah
sama-sama dimaklumi (diketahui). Oleh karenanya, boleh ijab kabul
dengan alat komunikasi modern seperti media telepon, surat,
fakimile, dan alat komunikasi lainnya yang sama-sama dimaklumi
para pihak.
Ungkapan ijab dan kabul dapat dilakukan lewat :
1. Ucapan lisan. Jumhur ulama sepakat bahwa akad dengan lisan tidak
disyaratkan menyebutkan sesuatu yang dijadikan objek akad kecuali
dalam akad pernikahan.
2. Akad dengan isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara. Bagi
yang mampu menggunakan ungkapan akad lisan atau tertulis.
3. Akad dengan tulisan dibolehkan bagi mereka yang mampu bicara
atau tidak dengan syarat tulisan mesti jelas, tampak, dan dapat
dipahami para pihak. Kecuali akad nikah yang para pihak hadir,
maka tidak boleh tertulis. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah
mengesahkan akad nikah dengan tulisan jika para pihak yang
berakad tidak hadir.

8
4. Akad dengan perbuatan (saling memberi dan menerim/mu’athah)
seperti transaksi di swalayan atau supermarket. Ulama Hanafiyah
dan Hanabilah membolehkan akad dengan perbuatan terhadap
barang-barang yang sudah sangat diketahui secara umum oleh
manusia. Jika belum diketahui secara umum, maka akadnya batal.
Mazhab Maliki membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas
menunjukkan kerelaan kecuali dalam pernikahan. Ulama Syafiiyah
dan zhahiriyah tidak membolehkan akad dengan perbuatan karena
tidak ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut.
Maudhu’(tujuan Tujuan akad mesti sesuai ketentuan syariah, benar, jelas, bukan
) akad merupakan kewajiban, pihak tanpa akad dimaksud, terkait erat dengan
berbagai bentuk akad, dan tujuan mesti terpelihara mulai dari proses
awal hingga akad berakhir. Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah
menetapkan hukum akad yang dinilai sah secara lahir tetapi dihukumi
makruh tahrim karena mengandung unsur kemaksiatan, yaitu : 1) jual
beli yang menjadi perantara munculnya riba, 2) menjual anggur untuk
dijadikan khamar, 3) menjual senjata untuk menunjang pemberontakan
atau fitnah. Adapun ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan
bahwa akad tidak hanya dipandang dari segi lahirnya saja tetapi juga
bathin. Apabila tujuan akad tidak berkesuaian dengan ketentuan
syariah, maka akad dipandang Batal.

Adapun rukun akad menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri atas :

1. Pihak-pihak yang berakad, yaitu pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan,

atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.

2. Objek akad, yaitu amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-

masing pihak.

3. Tujuan-poko akad yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan

pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.

4. Kesepakatan.

Hal-hal yang berkaitan dengan syarat akad ada sejumlah hal, yaitu :

Syarat terjadinya Segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad yang
akad (al-Iniqad) tanpanya akad menjadi batal. Ada syarat umum yang mesti ada pada
setiap akad, yaitu : 1) terpenuhinya lima rukun akad yaitu sighat,
objek akad, para pihak yang berakad, tujuan pokok akad, dan

9
kesepakatan, 2) akad tidak terlarang seperti mengandung
kekhilafan, dibawah paksaan (ikrah), penipuan (tadlis), atau
kesamaran (ghubn), 3) akad harus bermanfaat. Adapula syarat
khusu yaitu syarat yang mesti ada pada sebagian akad namun tidak
disyaratkan pada sebagian akad lainnya seperti menghadirikan saksi
dalam transaksi yang memiliki nilai yang tidak sedikit.
Syarat sah akad Segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin keabsahan
suatu akad yang tanpanya akad menjadi rusak. Disyaratkan
terhindarnya sejumlah perusak akad yaitu kebodohan, paksaan,
pembatasan waktu yang tidak jelas, perkiraan/ketidakjelasan jenis
yang menyebabkan perselisihan, adanya unsur
kemudharatan/bahaya dalam melaksanakan akad (dharar), adanya
unsur tipuan, terbatasnya kepemilikan (tauqif), dan adanya syarat
jual beli rusak (fasid).
Syarat pelaksanaan Pelaksanaan akad tergantung pada dua syarat yaitu kepemilikan dan
akad (nafidz) kemampuan bertasharruf : 1) objek akad mestilah kepunyaan orang
yang berakad. Atau apabila menjadi wakil, maka sangat bergantung
pada izin pemilik sebagai pemilik otoritas (al-wilayah), 2) objek
akad tidak berkaitan dengan hak atau kepemilikan orang lain.
Syarat kekuatan Akad membutuhkan kepastian agar menjadi luzum (memiliki
hukum (luzum) kekuatan hukum), maka akad mesti terbatas dari berbagai macam
khiyar (hak untuk meneruskan atau membatalkan akad) seperti
khiyar syarat, khiyar ‘aib, dan lainnya.

Indikator adanya keinginan untuk melakukan akad ada dua yaitu keinginan secara lahir

(niat dan maksud) dengan adanya kerelaan dan adanya kehendak bebas (ikhtiar) dalam

berakad. Ulama Hanafiyah membedakan kerelaan dan ikhtiyar sedangkan ulama lainnya

tidak membedakan. Keinginan lahir diwujudkan dengan lafaz atau sighat yang

mengungkapkan keinginan bathin. Apabila keinginan lahir dan bathin sesuai, maka akad

dinyatakan sah. Dalam hal keinginan ini terdapat sejumlah penjelasan, yaitu :

1. Akad yang berlangsung pada lahir akad sedangkan batinnya tersembunyi menurut

jumhur ulama dikategorikan tidak sah, antara lain :

 Akad ketika gila, tidur, belum mumayiz.

 Tidak mengerti apa yang diucapkan.

 Akad ketika belajar atau bersandiwara.

10
 Akad karena kesalahan.

 Akad karena terpaksa.

2. Kebebasan (ikhtiar) dalam berakad merupakan landasan utama. Kebebasan berakad

dilandasi oleh adanya keridhaan berdasarkan QS. an-Nisaa’ [4];29. Berdasarkan

syaratnya akad ada dua yaitu akad tanpa syarat (munjiz) yaitu tanpa memberikan

batasan atau syarat sehingga langsung menimbulkan dampak hukum dan akad bersyarat

(ghair munjiz). Akad bersyarat ada tiga, yaitu ta’liq syarat, taqyid syarat, dan syarat

ifadhah. Kebebasan menentukan syarat menurut ulama dasar hukumnya adalah boleh.

Menurut Hanabilah syarat akad adalah mutlak yaitu setiap syarat yang tidak didapatkan

keharamannya, maka hukumnya mubah. Menurut Hanabilah syarat akad adalah batasan

yaitu setiap syarat yang tidak menyalahi batasan yang telah ditetapkan syara’

dipandang sah.

Akibat Bersayarat

Ta’liq Syarat Taqyid Syarat Syarat Ifadhah


Terjadinya suatu akad Terjadinya suatu akad Menyandarkan suatu akad
bergantung pada urusan lain karena adanya syarat pada dengan suatu masa yang
yang jika tidak terpenuhi, suatu akad yang umunya akan datang, contoh : “sya
maka akad juga tidak tidak lazim dalam suatu akan menjadikan Anda
terpenuhi, contoh : “saya transaksi, contoh : “saya wakil saya mulai bulan
akan menanggung utang akan membeli kulkas kamu depan “.
kamu, apabila pihak yang dengan syarat kamu
berutang pergi”. menanggung biaya kirim
sampai ke rumah saya “.

D. KATEGORI AKIBAT HUKUM AKAD DAN JENIS-JENIS AKAD

Akad berdasarkan ketentuan akibat hukum yang ditetapkan oleh syara’ memiliki

beberapa kategori, yaitu :

11
Pembagian Akad Menurut Ulama
Akad Sahih Akad Tidak sahih
Akad yang Akad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan
memenuhi unsur jumhur ulama tidak membedakan akad batal dan fasid. Adapun ulama
dan syarat yang Hanafiyah membedakan anatara akad batal dan fasid.
telah ditetapkan Akad batal adalah akad yang tidak Adapun akad fasid adalah
memenuhi rukun seperti tidak ada akad yang memenuhi
objek yang diakadkan atau akad yang persyaratan dan rukun
dilakukan bukan golongan cakap namun dilarang syara’
hukum berakad seperti orang gila. seperti menjual objek yang
tidak diketahui sehingga
menimbulkan perselisihan.

Pembagian Akad Dalam KHES


Akad yang sah Akad yang fasad/dapat dibatalkan Akad yang batal/batal demi
hukum
Yaitu akad yang Yaitu akad yang terpenuhi rukun dan Yaitu akad yang kurang
terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi rukun dan syarat-syaratnya.
syarat-syaratnya. atau hal lain yang merusak akad Akad batal ini tidak
Akad tidak sah tersebut antara lain karena menimbulkan akibat hukum
apabila bertentangan pertimbangan maslahat. Akibat bagi pihak yang berakad.
dengan syariat Islam, hukum akad fasid adalah akad
peraturan berhenti sementara sehingga hal
perundang- yang merusak akad dapat
undangan, dan diselesaikan.
ketertiban umum,
dan kesusilaan.

Adapun jenis-jenis akad selain berdasarkan akibat hukumnya di atas dapat di

klasifikasikan lagi dalam sejumlah kategori, yaitu :

1. Jenis Akad Berdasarkan Tujuan akad


Akad tabarru’, yaitu bukan Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk untuk
transaksi komersil (mencari mencari dan mendapatkan keuntungan (komersial),
keuntungan) hanya dimaksudkan contoh : akad jual beli, sewa, dan kerja sama.
untuk menolong dan murni semata-

12
mata mencari ridha dan pahala dari
Allah, contoh : hibah, wakaf,
wasiat.
2. Jenis Akad Berdasarkan Nama
Akad bernama (al-musamma), Akad tidak bernama (ghair al-musamma) yaitu akad
yaitu akad yang sudah ditentukan yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh.
namanya oleh pembuat hukum Akad jenis ini dibuat sesuai dengan kepentingan dan
dan sudah ditentukan kebutuhan para pihak yang berakad serta sejalan
ketentutannya secara khusus. dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Beberapa jenis akad bernama, Akad ini umumnya didasarkan pada dalil ‘urf, istihsan,
antara lain : al-bay’, al-ijarah, al- qiyas, dan masalih musalah, contoh akad ini adalah
kafalah, al-wakalah, al-rahn, al- istishna’, bay’wafa’, danijarah muntahiya bi al-tamlik.
wadiah, al-‘ariyah, al-hibah, al- Akhirnya akad-akad ini juga memiliki nama.
syirkah, al-mudarabah, al-qardh,
al-muzaraah, dan al-musaqah.
3. Jenis Akad berdasarkan Kedudukannya
Akad poko (al-ashl), yaitu akad Akad asesoir (al-tabi’i), yaitu akad yang bergantung
yang berdiri sendiri dan tidak pada suatu hk yang menjadi dasar adanya atau sahnya
bergantung pada sesuatu hal yang suatu akad tertentu dan akad ini tidak bisa berdiri
lain, contohnya jual beli, sewa, sendiri, contohnya kafalah dan rahn.
penitipan, dan sebagainya.
Jenis Akad Berdasarkan Keberlakuan
Akad konsensual (al- Akad formalitas (al-syakli’), Akad riil (al-‘aini) yaitu akad
radha’i) yaitu akad yang yaitu akad yang tunduk pada yang terjadi dengan adanya
tercipta cukup berdasarkan syarat-syarat formalitas yang penyerahan (qabadh) tunai
pada kesepakatan para pihak ditentukan oleh pembuat objek transaksi. Termasuk
tanpa perlu formalitas- akad. Apabila syarat-syarat dalam kad ini hibah, ‘ariyah
formalitas tertentu, formal tidak terpenuhi maka (pinjam), wadi’ah
contohnya jual beli, sewa, akad tidak sah, contohnya (penitipan), utang ((qardh),
utang. akad nikah. dan gadai.
4. Jenis Akad Berdasarkan Larangan Syara’
Akad masyru’ yaitu akad Akad terlarang yaitu akad yang dilarang oleh syara’ seperti
yang dibenarkan oleh syara’ akad riba, jual beli gharar, transaksi yang bertentangan
dan tidak ada larangan dengan kesusilaan dan moral.
untuk dilakukan. Contohnya
jual beli, sewa, syirkah.
5. Jenis Akad Berdasarkan Pengarus Akad
Akad munjaz yaitu memiliki Akad mudhaf yaitu akad Akad muallaq yaitu akad
akibat hukum seketika yang disandarkan pada waktu yang digantungkan pada
setelah terjadi ijab dan yang akan datang atau adanya syarat tertentu. Akad
kabul, contohnya dalam adanya syarat. Seperti terjadi apabila syarat yang
akad jual beli seketika membeli tiket pesawat digantung terjadi. Kecuali
setelah ijab kabul para pihak dengan syarat pembayaran syarat yang ditetapkan

13
melaksanakan kewajiban terlebih dahulu. Akad ini sah menghalangi terlaksananya
masing-masing. dan sempurna karena atas rukun atau syarat
kerelaan para pihak. bertentangan dengan syariat,
contoh : “sya jual rumah ini
kepadamu dengan syarat saya
boleh tempatidulu sebulan”.
6. Jenis Akad Berdasarkan Pelaksanaannya
Akad nafiz yaitu dapat Akad mauquf yaitu akad yang memerlukan adanya
secara sah dan langsung persetujuan dari pihak lain baru dapat dilaksanakan. Seperti
menimbulkan akibat hukum transaksi yang bersifat timbal balik anak mumayiz perlu izin
sejak saat terjadi transaksi. wali, tranksaski orang yang terpaksa mesti setelah hilang
unsur paksaan, transaksi fudhuli mesti setelah mendapat izin
pihak yang berhak.
7. Jenis Akad Menurut Sifat Mengikat
Akad mengikat ( lazim) adalah akad yang rukun dan Akad tidak mengikat (ghairu
syaratnya telah terpenuhi maka mengikat bagi para lazim) yaitu masing-masing
pihak. Ada akad yang mengikat kedua belah pihak pihak boleh membatalkan akad
seperti jual beli dan sewa menyewadimana kedua pihak tanpa persetujuan pihak lain. Ada
tidak dapat membatalkan akad tanpa persetujuan pihak akad yang terbuka untuk difasakh
lain. Adapula yang mengikat satu pihak saja seperti seperti wakalah, syirkah, hibah,
kafalah, dan rahn. Akad ini hanya mengikat pihak kafil wadi’ah, dan ‘ariyah. Adapula
dan penggadai boleh membatalkan akad secara sepihak. akad yang tidak mengikat karena
masih dalam masa khiyar.
8. Jenis Akad Berdasarkan Pelakunya
Akad al-dhaman yaitu pihak Akad al-amanah yaitu barang Akad bersifat dhamanah
penerima akad menerima yang diakadkan bersifat sekaligus amanah. Seperti
risiko atas kerusakan barang amanah sehingga tidak ada dalam akad sewa, barang
sekalipun sebagai akibat kewajiban menanggung sewaan bersifat amanah di
dari keadaan memaksa. risiko atas barang kecuali ada tangan penyewa. Namun
unsur kesengajaan dan unsur manfaat menjadi tanggungan
melawan hukum. Jenis akad penyewa sehingga
ini antara lain wadi’ah bagaimana pun ia wajib
(penitipan), ‘ariyah membayar sewa.
(pinjaman), dan wakalah.
9. Jenis Akad Berdasarkan Tujuan Akad
Akad unilateral (sepihak atau satu arah) yaitu Akad bilateral (dua pihak atau dua arah
akad dari kehendak perorangan berdasarkan hak timbal balik) yaitu perbuatan hukum
yang dimilikinya untuk tujuan kebaikan atau yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih
yang menimbulkan hak-hak dan
bersifat bantuan dan menimbulkan kewajiban
kewajiban bagi para pihak secara timbal
hanya pada satu pihak saja (akad balik (al-mu’awadhat atau tijari).
kebajikan/tabrru’).
Tabarru’at selamanya Tabarru’at yang dapat Jual beli, ijarah. Syirkah.
seperti hibah, waqaf, dan berubah menjadi mu’awadhat

14
sedekah. seperti hawalah, kafalah, dan
wakalah.

Klasifikasi Akad Bilateral Berdasarkan Tujuan Akad


1. Akad kepemilikan/pertukaran (al- Suatu akad yang dimaksudkan untuk
tamlikat/al-mu’awadhat) memberikan perpindahan hak pemilikan atas
harta atau manfaat kepada pihak lain lewat
pertukaran dan pembayaran, misalnya barter
(muqayyadah) : pertukaran suatu benda
dengan benda lain yang sepadan, jual beli (al-
bay wa al-syira’) : pertukaran antara uang
dan benda, sewa (ijarah): pertukaran uang
dengan jasa/manfaat, dan sharf : pertukaran
mata uang asing senilai kurnya.
2. Akad kerja sama/percampuran Suatu akad kerja sama usaha antara satu atau
(isytirak) beberapa orang yang mencampurkan modal
dengan modal atau modal dengan kerja,
misalnya musyarakah, mudarabah, muzaraah,
musaqah.
3. Akad pemberian kepercayaan Akad yang dimaksudkan memberikan
(tautsiqat). penjaminan terhadap piutang atau menjamin
utang, misalnya kafalah, hawalah, dan rahn.
4. Akad pemberian ijin dan kewenangan Akad yang memberikan kuasa kepada
(al-ithlaqat) seseorang atau pihak lain untuk melakukan
sesuatu, misalnya akad al-wakalah dan al-
tauliyah.
5. Akad pemeliharaan/titipan 9al-hifzh) Akad yang dimaksudkan untuk menjaga
keselamatan atas barang yang dititipkan,
misalnya al-wadi’ah.

6. Akad melepaskan hak (al-isqathat) Akad yang dimaksudkan mengugurkan atau


melepaskan suatu hak, misalnya talaq,
khulu’, al-‘ibra (melepaskan hak tanggungan
atas utang), dan hak syuf’ah.
7. Akad pembatasan (al-taqyidat). Akad yang memberikan batasan atau
larangan kepada seseorang atau pihak lain
untuk melakukan sesuatu perbuatan/tindakan,
misalnya perintah hakim atas muflis.

15
Adapula pembagian akad berdasarkan penggunaan dan penyusun akad yaitu akad

tunggal dan multi-akad. Akad tunggal adalah penggunaan hanya satu akad pada suatu

transaksi seperti transaksi jual beli, sewa, atau hibah. Hasanuddin menjelaskan multi-akad

merupakan penggunaan sejumlah akad dalam satu transaksi. Hukum multi-akad ini terbagi

dua pandangan :

Hukum Multi-Akad
Mayoritas ulama Hanfiyah, sebagian pendapat ulama Ulama lain, terutama dari
Malikiyah, ulama Syafi’iyah dan Hanbali berpendapat kalangan dhairiyyah
bahwa hukum multi-akad sah dan dibolehkan menurut mengharamkan multi-akad.
syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa Menurut kalangan Dhahiriyah
hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak hukum asal dari akad adalah
diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum dilarang dan batal kecuali yang
yang mengharamkan atau membatalkannya. Standar ditunjukkan boleh oleh agama.
pengaharaman multi-akad, yaitu : apabila 1) dilarang
karena nash agama, 2) sarana hilah ribawi, 3) multi-akad
menyebabkan jatuh ke riba, 4) multi-akad terdiri dari
akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak
belakang atau berlawanan.

Hasanuddin juga menyebutkan sejumlah istilah untuk menyebutkan multi-akad, sebagai

berikut :

Macam Nama Multi-Akad


Al-uqud al- Berarti akad ganda (rangkap), yaitu kesepakatan dua pihak untuk me
murakkabah laksanakan suatu akad yang mengandung akad atau lebih-seperti jual beli
dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf
(penukaran mata uang ), syirkah, mudarobah-sehingga semua akibat
hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban
yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
Al-‘uqud al- Terhimpunnya ndua akad atau lebih dalam satu akad. Ijtima’ (mujtami’ah)
mujtami’ah lebih luas daripada murakkab, karena ijtima’ mencakup murakkab dan
tidak murakkab. Ada persamaan antara istilah murakkab dan mujtami’ah.
Yaitu adanya unsur terhimpunnya beberapa akad dalam satu akad.
Bedanya, dalam murakkab beberapa akad itu lebur menjadi satu akad
( transaksi) yang memiliki implikasi dan satu akibat hukum. Adapun
dalam mujtami’ah, belum tentu terjadi peleburan akad. Artinya, dalam

16
ijtima’ beberapa akad itu dapat melebur menjadi satu akad dan dapat pula
akad-akad tersebut berdiri sendiri-sendiri. Dalam kondisi pertama, akad
mujtami’ah dapat disebut dengan dan merupakan salah satu bentuk-akad
murakkab, sedangkan dalam kondisi kedua (tidak melebur menjadi satu),
ia tidak dapat dikategorikan akad murakkab, contoh : akad mujtami’ah
adalah akad sewa menyewa (ijarah) dan jual beli (ba’i) yang digabungkan
menjadi satu meskipun kedua akad tetap eksis.
Al-‘uqud al- Adanya tambahan jumlah syarat, akad, pelaku, harga, objek, atau sejenis
muta’addidah nya, istilah ta’addud lebih umum daripada murakkab. Akad murakkab
yang diartikan sebagai terhimpunnya dua akad atau lebih dalam satu akad,
adalah makna dari terbilang (ta’addud) dalam akad. Bedanya, ta’addud
mengandung persoalan-persoalan yang tidak termasuk dalam tujuan akad
murakkab, seperti berbilangnya dua pihak, atau dalam harga, benda atau
lainnya. Karena itu ada perbedaan mendasar antara murakkab dan
ta’addud, dimana murakkab mengandung konsekuensi satu, sedangkan
ta’addud konsekuensinya bisa berbilang.
Al-‘uqud al- Akad al-tikrar berarti mengulangi akad yang telah dilakukan sebelumnya.
mutakarrirah Bedanya dengan murakkab dalam akad, kalau al-tikrar meski berarti pula
mengumpulkan tetapi maksud yang paling tetap untuk istilah ini adalah
mengulangi akad yang sudah dilakukan dalam beberapa transaksi. Adapun
dalam murakkab yang terjadi adalah terhimpunnya dua akad atau lebih
menjadi satu akad atau transaksi.
Al-‘uqud al- Al-tadakhul mengandung makna pengumpulan. Akan tetapi, pengumpulan
mutadakhilah akad di sini dapat tercukupi dengan salah satu akadnya, tanpa akad yang
lain. Sementara pada murakkab, kedua akad atau lebih tidak bisa
dipisahkan satu dari yang lainnya. Keduanya digabungkan menjadi satu
transaksi tersendiri yang berakibat hukum pada objek transaksi dengan
akibat yang satu. Jadi jelas, perbedaan mendasarnya bahwa murakkab
meniscayakan leburnya dua atau lebih akad menjadi satu yang memiliki
akibat hukum yang satu pula (dalam arti tidak bisa dipisahkan), namun
akad-akad tersebut harus dilaksanakan.
Al-‘uqud al- Akad mukhtalith digunakan pula untuk menyebutkan akad murakkab.
mukhtalithah Keduanya memiliki makna yang sama, hanya berbeda dari sisi kedalaman
maknanya saja. Kata murakkab lebih spesifik dan khusus untuk multi-akad
ketimbang mukhtalith yang dapat pula mengandung arti yang lain. Baik
akad murakkab maupun mukhtalith dimaksudkan untuk menyatakan
terhimpunnya beberapa akad menjadi satu akad dan berimplikasi hukum
satu pada objek akadnya.

17

Anda mungkin juga menyukai