Abstrak
Konteks fikih muamalah, terdapat dua terminologi yang berkaitan dengan hukum perikatan, yaitu
akad dan wa‟ad. Ulama sepakat terbentuknya transkasi apabila terpenuhinya rukun dan syarat akad.
Perbedaan tersebut dilatarbelakang mengenai hukum janji itu mengikat atau tidak mengikat dalam
sebuah transkasi. Dalam tataran implementasinya, terdapat beberapa fatwa DSN-MUI yang
mengyinggung mengenai konsep wa‟ad (janji). Akad wakalah bil ujrah merupakan suatu akad yang
sering menimbulkan kesulitan dalam penerapan di kehidupan sehari-hari, baik pada penitipan
pembelian barang maupun jual beli pada umumnya. Dimana apabila salah dalam
penerapannya, dapat menyebabkan pendapatan dalam suatu jual beli menjadi haram hukumnya
karena mengalami kesalahan dalam memahami akad yang dipakai dan tidak menggambarkan
kemaslahatan yang memiliki peranan penting dalam penentuan hukum islam. Dalam kajian ini,
observer menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji penelitian yang
menggambarkan, menjelaskan, dan menginformasikan informasi yang dikumpulkan oleh
peneliti, serta mendokumentasikan hasil akhir. Hasil kajian menunjukkan bahwa semua fuqūha
sepakat bahwa janji (wa’ad) merupakan perbuatan yang diperbolehkan, tetapi mereka berbeda
pendapat tentang masalah terikat atau tidaknya sebuah janji dalam hukum formal. Begitupun
akad wakalah bil ujrah dibolehkan jika memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Pendahuluan
Akad memiliki peranan yang penting dalam bertransaksi. Para fuqaha ketika
memperkenalkan konsep akad tentu dengan menyandarkan pada dalil-dalil syari’at (al-rujû‟ ilâ
al-Qur‟ân wa alsunnah) untuk menentukan keabsahannya. Tujuan akad adalah agar nilai-nilai
syariat yang ada di balik akad itu, yaitu berupa kepastian bentuk transaksi dapat dicapai
sehingga terhindar dari praktik transaksi yang manipulatif.
Pada mulanya, akad hanya digunakan untuk transaksi antara perseorangan. Namun dalam
perkembangan, konsep akad banyak digunakan untuk mengembangkan berbagai produk
keuangan/bisnis syari‟ah yang melibatkan institusi lembaga dan perusahaan. DSN-MUI (Dewan
Syari‟ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga fatwa Islam di bidang ekonomi
hingga pertengahan 2017 telah mengeluarkan 116 fatwa terkait keuangan/bisnis syari‟ah.
Bahkan, dari fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut, tidak sedikit yang mengadopsi konsep akad untuk
dijadikan sebagai landasan transaksi (underlying transaction) sehingga keabsahannya
terlegitimasi.
Untuk melakukan transaksi bisnis, selalu diperluan akad sebagai dasar perikatan
(underlying contract). Akad berasal dari kata al-‟uqûd merupakan bentuk jamak dari al-aqd
yang secara bahasa berarti ikatan (Wahbah al-Zuhaili, 2012, Juz. 4, 80). Kata akad memiliki akar
di dalam QS. al-Mâ`idah 5:1. Dari segi istilah, al-aqd memiliki banyak makna di antaranya
adalah irtibâth îjâb bi qabûl „alâ wajh masyrû‟ yatsbutu atsaruhu fî mahallihi (perikatan ijâb
qabûl berdasarkan syara‟ yang menimbulkan akibat (hukum) terhadap obyeknya). Dengan
demikian, ketika terpenuhinya komponen dari sebuah akad (rukun dan syarat) maka akad itu
memiliki implikasi, yaitu munculnya hak dan kewajiban para pihak.
Dalam perkembangannya, selain akad terdapat topik khusus yang hampir serupa dengan
akad, yakni wa‟ad atau janji. Dalam konteks fikih muamalah, akad dan wa‟ad hal yang berbeda
meskipun keduanya hampir sama yang merupakan bentuk perjanjian. Akad merupakan suatu
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat, maupun
tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Sedangkan
wa‟ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak
memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Hal ini memberikan isyarat bahwa, wa‟ad
memiliki perbadaan dari segi implikasi hukum semenjak tercapainya kesepakatan, yakni dalam
akad menimbulkan hak dan kewajiban, akan tetapi dalam wa‟ad tidak menimbulkan hak dan
kewajiban.
A. Konsep Wa’ad
Pengertian Wa’ad
Secara definisi, Wa‘d berasal dari bahasa Arab al-Wa‘du dalam bentuk jamak disebut al-
Wuud/al-Wa‘dah yang berartikan janji (promise). Pengertian Wa‘d secara terminologi adalah apa
yang menjadikan seseorang wajib untuk dilakukan kepada orang lain (mengikatkan diri) selama
hidupnya dari segi harta atas dasar tolong-menolong, dan diluar ketentuan ‘aqad. Wa‘d adalah
janji atau promise antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara ‘aqad adalah kontrak antara
dua belah pihak. Wa‘ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang diberi janji berkewajiban
untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan yang diberi janji tidak memikul kewajiban
terhadap pihak lainnya. Dalam wa‘d, terms, dan condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan
spesifik atau belum well defined. Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya hanya merupakan sanksi moral.1
Janji atau dalam bahasa arab disebut dengan al-wa`du ( ) الوعدmerupakan bentuk masdar
dari kata wa`da ya`idu wa`dan wa`idatan wamau`dan ( )وعد يعد وعدا. داHدة وموعHH وعKata wa`ad
digunakan untuk sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk, tetapi kebanyakan digunakan untuk
sesuatu yang baik.2 Sedangkan menurut istilah, wa`ad adalah mengikat bagian-bagian yang akan
dilakukan dengan ijab dan qabul yang sesuai dengan syariah.3 Berjanji merupakan hal yang
dibolehkan dalam Islam, seorang muslim diperbolehkan berjanji atau melakukan perjanjian
dengan orang lain pada sesuatu yang tidak diharamkan oleh syariat Islam, tetapi imam Ghazali
mengingatkan hendaknya manusia menjaga lisan, karena sesungguhnya ketika lisan berjanji
1
Jaih Mubarok dan Hasanudin , Teori Al-Wa‘d dan Implementasinya dalam Regulasi
Bisnis Syariah, Jurnal Ahkam: Vol. XII, No. 2, Juli 2012, hlm. 78
2
Majma` al-Lughah, al-`Arabiyah, al-Mu`jam al-Wajīz, (Kairo: Dār alTahrīr, 1986), h. 674.
3
Ahmad al-Syarbāshi, al-Mu`jam al-Iqtishādi al-Islāmī, (Kairo: Dār alJail, 1981), h. 298.
mungkin saja jiwa tidak dapat memenuhi janji tersebut, sehingga janji yang telah terucap tidak
dapat dipenuhi dan hal tersebut merupakan salah satu sifat orang munafik yaitu apabila berjanji
dia tidak memenuhinya.
Namun demikian, tidak setiap janji harus dipenuhi, adakalanya janji atau perjanjian yang
telah dilakukan harus dibatalkan (haram untuk dipenuhi) seperti perjanjian untuk membayar
bunga pinjaman oleh peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman. Ibnu Hazm
berkata barangsiapa yang berjanji pada sesuatu yang tidak dihalalkan, maka
baginya tidak halal untuk memenuhi sesuatu tersebut seperti berjanji untuk
melakukan perzinahan atau berjanji untuk meminum khamr (minuman keras) dan
yang lainnya. Dalam konteks fiqih muamalah ada akad dan juga wa`ad. Akad dan wa`ad hal
yang berbeda meskipun keduanya hampir sama yang merupakan bentuk perjanjian. Akad
merupakan suatu kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan,
isyarat, maupun tulisan yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.
Sedangkan wa`ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji
tidak memikul kewajiban apaapa terhadap pihak lainnya. Hal ini memberikan isyarat bahwa,
wa`ad memiliki perbadaan dari segi implikasi hukum semenjak tercapainya kesepakatan, yakni
dalam akad menimbulkan hak dan kewajiban, akan tetapi dalam wa`ad tidak menimbulkan hak
dan kewajiban.
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari pengertian wa‘d adalah pernyataan kehendak
dari seseorang atau satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu
yang buruk) kepada pihak lain (mau'ud) di masa yang akan datang. Adapun dalam ketentuan
hukum janji (wa‘d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syari’ah adalah mulzim dan wajb
dipenuhi ( ditunaikan ) oleh wa'id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Fatwa ini DSN – MUI.
menjaga kemuliaan Akhlak semata. Apabila seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu, maka
pemenuhan janji tesebut bukanlah sesuatu yang wajib melainkan sunnah.5 Hal ini didasari oleh
َٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا لِ َم تَقُوْ لُوْ نَ َما اَل تَ ْف َعلُوْ نَ َكبُ َر َم ْقتًا ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْن تَقُوْ لُوْ ا َما اَل تَ ْف َعلُوْ ن
Terjemahannya: Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan?. Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu kerjakan.6
1. Pendapat mayoritas fukaha dari Hanafiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan satu pendapat dari
Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diniyah)
dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karena wa‟ad merupakan akad
tabarru‟ (kebijakan/kedermawanan) dan akad tabarru‟ tidaklah lazimah (mengikat).
2. Pendapat sebagian ulama, diantaranya adalah Ibn Syubrumah (144 H) Ishaq bin Rawahiyah
(237H), Hasan Basri (110 H) dan sebagian pendapat Malikiyah, yang menyatakan bahwa
“Janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum”. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah Swt “Hai orangorang yang beriman janganlah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu lakukan. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bagi orang yang berkata akan tetapi
tidak dilaksanakan”. (Q.S Ash-Shaff: 1) dan hadis tentang tanda-tanda orang munafik,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga...).
3. Pendapat sebagaian fukaha Malikiyah yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat
secara hukum apabila janji tersebut berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun sebab tersebut
4
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Qur’an Kemeneg In Ms Word) (Jakarta :Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2019).
5
Zuhaily, W. (2007). Al-fiqh al-islamy wa adillatuhu (Cet. 10). Damascus: Daar el-Fikr.
6
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Qur’an Kemeneg In Ms Word) (Jakarta :Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2019).
tidak menjadi bagian/disebutkan dari pernyataan janji (mau‟ud) tersebut. Misalnya ungkapan:
Aku hendak menikah, aku mau membeli barang ini, jika aku menyelesaikan utangku maka
aku akan meminjamkkan ini, atau aku mau jalan-jalan besok maka pinjamkan binatangmu
padaku, dan seterusnya.
4. Pendapat Malikiyah, yang populer di antara mereka adalah pendapat Ibn Qasim, yang
menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi apabila berkaitan dengan sebab
dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji (mau‟ud fîh) tersebut. Misalnya,
jika seseorang membeli seorang budak untuk permintaan seseorang dengan seribu dirham, dia
berkata kepada si Fulan “saya beli Anda dengan seribu dirham”, maka terbelilah budak
tersebut. Keadaan seperti ini mengikat bagi si Fulan.7
Pendapat terakhir didasarkan pada Q.S as-Shafat 2-3 dan hadis tentang tanda-tanda orang
munafik, yang salah satunya apabila berjanji dia mengingkari janjinya. Pada hadis tersebut kata
berjanji/janji merupakan terjemahan dari wa‟ad. Pendapat pertama dipegang oleh mazhab
Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali, sedangkan yang kedua dipegang oleh mazhab Maliki. Pendapat
Maliki di atas, yang berpendapat wa‟ad dapat mengikat secara hukum, tampaknya menjadi
argumen yang dijadikan dasar dan disepakati oleh para ulama yang berbeda dalam Perkumpulan
Ulama Fikih (Majma al-Fiqh alIslami/The Council of Islamic Fiqh Academy) pada saat
memberikan fatwa berkaitan dengan masalah janji (wa‟ad).8
Wa’ad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
7
Muhammad Usman Syabir. (1992). alMu‟âmalat al-Mâliyah alMu‟âshirah. Yordan: Dar al-Nafais.
8
Fathurrahman Djamil. (2013). Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Terdapat fatwa khusus yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang berkaitan dengan wa’ad
atau janji yakni, Fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d) dalam
Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
DSN-MUI menetapkan Fatwa Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d)
dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah yang substansinya menetapkan bahwa janji
(wa‟d) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi
(ditunaikan) oleh wa‟id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Wa 'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
2. Wa'd harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau 'ud
(wa 'd bersyarat);
3. Mau 'ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
5. Mau 'ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.9
Dalam bahasa Arab wakalah atau wikalah artinya pendelegasian, penyerahan, atau
pemberian mandat. Dalam bahasa Arab juga hal itu dapat dipahami sebagai at-tafwidh
(melimpahkan). Kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili makna dari kata
wakalah.10 Wakalah secara terminologi adalah menunjuk seseorang atau badan hukum untuk
bertindak atas nama oran lain atau sebagai perwakilan orang lain (Iqbal & Mirakhor, 2007).
Wakalah Bil Ujrah merupakan sebuah akad perwakilan atau pelimpahan kekuasaan oleh pihak
pertama sebagai muwakkil kepada pihak kedua sebagai wakil dalam perkara yang boleh
diwakilkan. Muwakkil merupakan pihak yang memberikan kuasa sedangkan wakil merupakan
9
Fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN-MUII/XII/2012 tentang Janji (wa`ad) dalam Transaksi
Keuangan dan Bisnis Syariah.
10
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/7478/05.2%20bab%202.pdf?
sequence=6&isAllowed=y Diakses Tanggal 20 Mei 2023
11
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), 104
Beberapa ulama berpendapat terkait definisi akad Wakalah Bil Ujrah secara umum, meliputi:
1. Imam Taqiy Al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini berpendapat bahwasannya
wakalah merupakan penyerahan suatu pekerjaan yang dapat diwakilkan kepada orang lain
2. Hasbi Ash Shiddieqy berpendapat bahwa wakalah merupakan akad pemberiaan kekuasaan
dimana seseorang akan memilih orang lain dalam menjalankan kekuasaan yang telah
dilimpahkan kepadanya.
3. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa wakalah merupakan dipilihnya seseorang guna berada
pada posisi tertentu dalam melakukan tasharruf atau menyerahkan tasharruf kepada wakil.
kegiatan penyerahan seseorang terhadap sesuatu perbuatan yang dapat diwakilkan dimana
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Wakalah Bil Ujrah merupakan suatu
akad yang dilakukan dimana pihak pertama (muwakkil) akan melimpahkan kuasa kepada pihak
kedua (wakil) untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang sesuai dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan, kemudian atas jasa yang diberikan oleh pihak kedua maka pihak pertama wajib
memberikan imbalan berupa pemberian upah/ujrah kepada pihak kedua. Menurut fatwa DSN
MUI penerima kuasa dalam hal ini dapat meminta ujrah atau fee (upah) kepada pemberi kuasa
atas jasanya. Akad wakalah yang dapat meminta upah dinamakan akad wakalah bil ujrah. Akad
wakalah bil ujrah adalah akad wakalah yang disertai imbalan berupa upah. Dengan akad ini,
lembaga keuangan selaku badan hukum yang mewakili nasabah dapat melakukan berbagai
tindakan hukum atas nama nasabah sesuai dengan perjanjian pada saat akad dan lembaga
Hikmah disyariatkan wakalah merupakan tugas asal tanggung jawab urusan seseorang
yang terkadang tidak dapat meneruskan tugas itu oleh sebab keuzuran yang timbul pada pemberi
12
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, and Shaifuddin Shidiq, Fiqh Muamalah (Jakarta: Beirut
Publishing, 2014), 115–117.
kuasa dengan sebab dan urusan lain atau sakit sehingga berhalangan yang tidak dapat dihndari
maka seseorang berhajat kepada orang lain yang boleh bertindak untuk menyempurnakan
tanggung jawab tersebut maka terpaksa dia mewakilkan bagi pihak dirinya untuk faedah dan
kebaikannya. Huum ber wakalah ada pada syara adalah harus berdasarkan al-qur’an dan sunnah.
ْض يَوْ ۗ ٍم قَالُوْ ا َربُّ ُك ْم اَ ْعلَ ُم بِ َما لَبِ ْثتُ ۗ ْمَ ك بَ َع ْث ٰنهُ ْم لِيَتَ َس ۤا َءلُوْ ا بَ ْينَهُ ۗ ْم قَا َل قَ ۤا ِٕى ٌل ِّم ْنهُ ْم َك ْم لَبِ ْثتُ ۗ ْم قَالُوْ ا لَبِ ْثنَا يَوْ ًما اَوْ بَع
َ َِو َك ٰذل
ف َواَل يُ ْش ِع َر َّن بِ ُك ْم ْ َّق ِّم ْنهُ َو ْليَتَلَطHٍ فَا ْب َعثُ ْٓوا اَ َح َد ُك ْم بِ َو ِرقِ ُك ْم ٰه ِذ ٖ ٓه اِلَى ْال َم ِد ْينَ ِة فَ ْليَ ْنظُرْ اَيُّهَٓا اَ ْز ٰكى طَ َعا ًما فَ ْليَْأتِ ُك ْم بِ ِر ْز
اَ َحدًا
Terjemahannya:“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di
antara mereka sendiri. Berkata salah seorang di antara mereka, „Sudah berapa lamakah
kamu berada di sini?‟ Mereka menjawab, Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah
hari. Berkata (yang lain lagi), “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan
hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seseorang pun.‟ (al-Kahfi: 19)13
Ayat diatas menceritakan tentang perginya salah satu ashhabul kahfi untuk mewakili teman-
temannya dalam memilih dan membeli makanan (Antonio, 2001).
13
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Qur’an Kemeneg In Ms Word) (Jakarta :Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2019).
14
Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Qur’an Kemeneg In Ms Word) (Jakarta :Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2019).
Hadits Nabi diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Sa'idi ra
Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Humaid Al-Sa'idi r.a, ia berkata: Rasulullah SAW
mengangkat seorang laki-laki dari suku Asd bernama Ibnu Lutbiyah sebagai Amil
(petugas) untuk menarik zakat dari bumi Sulaim, ketika pulang (dari tugas tersebut)
Rasulullah memeriksanya."15
Kaidah Fiqih
Artinya: "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya."16
Ijma
Artinya: "Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan.
Hal tersebut dikarenakan Nabi Muhammad SAW pernah mewakilkan kepada Unais untuk
melaksanakan hukuman, kepada Urwah untuk mewakilkan pembelian kambing, dan kepada Abu
Rafi' untuk melaksanakan qabul nikah semua kegiatan tersebut tanpa memberikan imbalan. Nabi
juga pernah mengutus para pegawainya untuk memungut sedekah (zakat) dan beliau memberikan
Hukum Islam telah menetapkan bahwa suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah
memenuhi rukun dan syarat yang berlaku. Dalam Implementasi akad Wakalah Bil Ujrah
dikatakan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat dibawah ini:
1. Seorang muwakkil merupakan orang yang memiliki kuasa penuh atas harta/barang tertentu.
Apabila seorang muwakkil bukan merupakan pemilik penuh atas barang/harta tertentu maka
akad Wakalah Bil Ujrah tersebut batal. Diperbolehkan mewakilkan suatu perkara kepada anak
kecil baligh yang mampu membedakan baik dan buruk dalam hal-hal seperti perwakilan untuk
menerima hibah, sedekah, serta wasiat.
15
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja'fari, Shahih Bukhari (Beirut:
Maktabah Syamilah Isdar, 2004).
16
A. Djazuli, Kaidah Kaidah Fiqh (Jakarta: Kencana, 2019), 127
17
DSN MUI, “Fatwa DSN MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Wakalah Bil Ujrah.”
2. Seorang wakil merupakan orang yang menerima kuasa dalam hal ini seorang wakil harus
memiliki akal sehat. Menurut madzhab Hanafiyyah menyebutkan bahwasannya anak kecil
yang mumayyiz boleh menjadi seorang wakil dikarenakan tindakan yang dilakukan dalam
urusan duniawi sama seperti orang baligh.
3. Objek akad, terdapat beberapa syarat mengenai objek akad dalam transaksi akad Wakalah Bil
Ujrah antara lain:
a. Objek akad merupakan pekerjaan/kegiatan yang dapat diwakilkan serta sesuai dengan
ketentuan syariah. Perkara ibadah tidak sah apabila diwakilkan, karena ibadah merupakan
kegiatan yang tidak dapat diwakilkan.
b. Muwakkil merupakan orang yang memiliki hak penuh atas kepemilikan Objek akad serta
memiliki kewenangan penuh untuk memberikan kuasa kepada orang lain atas objek
tersebut.
c. Objek akad merupakan barang/jasa yang dapat diketahui dengan jelas oleh
muwakkil dan wakil.
4. Shighat, shighat merupakan lafadz yang diucapkan seseorang ketika sedang melakukan
perjanjian baik secara tertulis maupun tidak tertulis.18
1. Wakalah mutlaqah, merupakan pelimpahan kekuasaan yang tidak terikat oleh syarat-syarat
tertentu.
2. Wakalah muqayyadah, merupakan pelimpahan kekuasaan yang terikat oleh syarat-syarat
tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.19
Transaksi Wakalah Bil Ujrah dinyatakan berakhir disebabkan oleh beberapa hal berikut yaitu:
18
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 87–89
19
Jaih Mubarok, Fiqih Muamalah Maliyah (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), 112.
3. Pemutusan perjanjian oleh pihak muwakkil terhadap wakil. Menurut Imam Syafi'i dan Imam
Hambali pemutusan perjanjian dapat dilakukan meskipun pihak wakil tidak mengetahui.
Sedangkan menurut Imam Hanafi pihak wakil berhak mengetahui tindakan pemutusan
Lembaga Keuangan Bukan Bank didirikan sejak tahun 1973 yang berdasarkan Keputusan
Mentri Keuangan No. Kep. 38/MK/I/197 yang menerbitkan bahwa lembaga-lembaga keuangan
bukan Bank bisa melakukan usaha-usaha yaitu:
1. Fatwa DSN MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Asuransi Syariah dan Reasuransi
Syariah menggunakan implementasi akad Wakalah Bil Ujrah yang mana berlaku dhawabith
dan hudud.
2. Fatwa DSN MUI No. 67/DSN-MUI/III/2008 tentang Anjak Piutang Syariah menggunakan
implementasi akad Wakalah Bil Ujrah yang mana berlaku dhawabith dan hudud.
3. Fatwa DSN MUI No. 88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah menggunakan implementasi akad Wakalah Bil
Ujrah yang mana berlaku dhawabith dan hudud.
4. Fatwa DSN MUI No. 91/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan Sindikasi (atTamwil al
Mashri al-Mujamma') menggunakan implementasi akad Wakalah Bil Ujrah yang mana
berlaku dhawabith dan hudud.
5. Fatwa DSN MUI No. 93/DSN-MUI/IV/2014 tentang Keperantaraan (Wasathah) dalam Bisnis
Properti menggunakan implementasi akad Wakalah Bil Ujrah yang mana berlaku dhawabith
dan hudud.
6. Fatwa DSN MUI No. 95/DSN-MUI/VIII/2014 tentang Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) Wakalah menggunakan implementasi akad Wakalah Bil Ujrah yang mana berlaku
dhawabith dan hudud.
20
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah: Konsep Dan Praktek Di Beberapa Negara (Jakarta: Bank
Indonesia, 2006), 101.
7. Fatwa DSN MUI No. 99/DSN-MUI/XII/2015 tentang Anuitas Syariah untuk Program
Pensiun menggunakan implementasi akad Wakalah Bil Ujrah yang mana berlaku dhawabith
dan hudud.
Ketentuan Lainnya
1. Apabila terdapat salah satu pihak yang tidak menunaikan kewajiban yang telah dilimpahkan
kepadanya atau karena adanya perselisihan antara kedua belah pihak yang sedang melakukan
akad, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan syariah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Penerapan fatwa DSN MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah Bil Ujrah dalam
kegiatan atau produk usaha memiliki kewajiban mendapatkan opini dari Dewan Pengawas
Syariah (DPS) terlebih dahulu.
3. Fatwa DSN MUI No. 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah Bil Ujrah berlaku sejak
tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan, maka akan
diubah dan kemudian disempurnakan sebagaimana mestinya.21
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat diambil simpulan, semua fuqūha sepakat bahwa janji
merupakan perbuatan yang diperbolehkan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang masalah
terikat atau tidaknya sebuah janji dalam hukum formal. Perbedaan tersebut antara lain: Mayoritas
fuqaha berpendapat hukumnya adalah mustahab; Sebagian fuqaha yang lain seperti Ibnu
Syubrumah berpendapat hukumnya wajib secara mutlak, Sebagian fuqaha Malikiyah seperti
Sahnun berpendapat hukumnya wajib mu‟allaq. Menurut hemat penulis pendapat yang lebih
unggul dan dipilih adalah terikatnya janji baik secara agama maupun secara hukum formal. Hal
tersebut didasarkan pada beberapa alasan berikut: memberikan kemaslahatan bagi pihak-pihak
21
http://etheses.iainkediri.ac.id/6562/5/931421418_BAB2.pdf Diakses tanggal 19 Mei 2023
yang bertransaksi di lembaga keuangan Syari’ah, mencegah terjadinya pertentangan dan
kemudaratan bagi pihak yang melakukan transaksi di lembaga keuangan Syari’ah, memberikan
ketenangan bagi pihak yang bertransaksi. Pada akad wakalah bil ujrah terhadap penitipan
pembelian barang yang pembayarannya tidak ditangguhkan pada si wakil, si wakil dapat
meminta fee/ujrah kepada si muwakkil, sebagaimana pada awal kesepakatan dibuat. Tetapi,
haram hukumnya untuk mendapat pertambahan nilai.
SARAN
1. Sebagai umat muslim haruslah jeli dalam pelaksanaan tata cara bermuamalah yang sesuai
dengan syari’at,
2. DSN-MUI hendaknya mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum janji atau hukum perjanjian
dalam setiap skema transaksi keuangan syari’ah. Hal tersebut untuk lebih memberikan
kejelasan dan jaminan ketenangan bagi pihak yang berakad;
3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bank Indonesia (BI) hendaknya mengatur dalam undang-
undang atau peraturan lembaga keuangan syariah masalah janji yang bersifat terikat. Hal
tersebut diperlukan untuk menjamin secara hukum formal bagi pihak yang berakad;
DAFTAR PUSTAKA