Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sebagi makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan bantuan dari orang
lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga
terkadang secar pribadi ia tak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang
lain. Hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam emmenuhi ebutuhannya, harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan
keduanya. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kabutuhan keduanya,
lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakan
sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh allah karena itu merupakan kebutuhan sosial sejak manusia
mulai mengenal arti hak milik. Islam memberikan atauran yang cukup jelas dalam akad untuk
dapat digunakan dalam kehidupan sehari hari.

Kata kada dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat.jika dikatakan aqada al-habla
maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya,kemudian makna ini berpindah
dari hal yang bersipat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari
kedua belah pihak yang sedang berdialog.dari sinilah kemudian makna akad diterjemahkan
secara bahsa sebagai ;”menghubungkan antara dua perkataan,masuk juga didalamnya janji dan
sumpah, karen sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isis saumpah atau
meninggalkanya.demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua
belah pihak yang berjanji dan menguat

1.2. Rumusan masalah


1.2.1.Pengartian akad
1.2.2.Rukun dan syarat akad
1.2.3.Implikasi akad
1.2.4.Aqad ghair lisan
1.2.5.Macam macam akad
1.2.6.Berakhirnya akad

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN AKAD

Kata kada dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat.jika dikatakan aqada al-habla
maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya,kemudian makna ini berpindah
dari hal yang bersipat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari
kedua belah pihak yang sedang berdialog.dari sinilah kemudian makna akad diterjemahkan
secara bahsa sebagai ;”menghubungkan antara dua perkataan,masuk juga didalamnya janji dan
sumpah, karen sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakan isis saumpah atau
meninggalkanya.demikian juga halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua
belah pihak yang berjanji dan menguat.1

Abu Bakar Al-Jashshash berkata : setiap apa yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu urusan
yang akan dilaksankannya atau ikatannya kepada orang lain untuk dilaksanakan secara wajib,
karena makna asal dari akad adalah ikatan lalu dialihkan pada makna sumpah dan akad seperti
akad jual beli dan lainnya, makna maksudnya adalah ilzam (mengharuskan) untuk menunaikan
janji dan ini dapat terjadi jika ada harapan-harapan tertentu yang akan dijanjikan pada waktu-
watu tertentu. Dinamakan jal beli jika sewa menyewa dan akad jual beli yang lain karena setiap
pihak telah memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya dan dinamakan sumpah terhadap
sesuatu dimasa mendatang sebagai akad karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan
dirinya untuk memenuhi janjinya baik dengna berbuat atau meninggalkan. Perkonsian (sirkah),
bagi hasil (mudarabah) dan yang lainnya dinamakan akad karena seperti yang dijelaskan karena
wajibnya menunaikan janji seperti yang telah diisyaratkan oleh kedua belah pihak tentang
pembagian untung, kerja dan mengharuskan dirinya demikian juga janji suaka karena orang yang
memberikan telah mewajibkan dirinya untuk menunaikan janjinya demikian juga setiap syarat
yang ditetapakan seseorang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu dimasa mendatang yang
dinamakan akad.2

1
Al-Qamus Al-Muhith, 1/312, Lisan Al- ‘Arab, 4/288.
2
Ahkam Al-Qur’an, 2/360

2
Dari sini kita melihat bahwa al-jashshash mendefiniskan akad sebagai setiap ucapan yang keluar
untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan dan didefinisikan juga bagi setiap
ucapan yang keluar untuk menjelaskan satu keinginan seorang diri.

Adapun makna akad secara syar’ih yaitu : hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengeruh secara langsung. “ini artinya bahwa akad
termasuk kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syarah antara dua orang
sebagian hasil dari kesepakatan antar keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab
dan qabul. Jika ijab dan qabul dan terpenuhi semua syarat maka syarah akan menganggap ikatan
antar keduanya dan akan terihat hasilnya pada barang yang diakadkan yang menjadi tujuan
kedua belah pihak membuat akad. Pengaruhnya adalah berupa keluarnya barang yang akan di
akadkan dari kondisi pertama terhadap kondisi baru.3

2.2. RUKUN DAN SYARAT AKAD


2.2.1. RUKUN AKAD

Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi rukun akad yang merupakan unsur asasi dari akad
rukun akad tersebut adalah.

1. Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad

Adalah orang,persekutuhan atau badang usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum.karena itu orang gila dan amak kecil yang belum mumayyid tidak sah
melakukan transaksi jual beli kecuali membeli sesuatu yang kecil kecil atau murah seperti korek
api,korek kuping dll.4 Ijab dan qabul yang oleh hanafiah diapandang satu satunya rukun dalam
akad timbul dari orang orang yang melakukan akad. Dialah pelaku dari setiap transaksi, namun
tidak setiap orang layak untuk menyatakan suatu akad. Sebagian dari manusia ada yang sama
sekali tidak layak untuk melakukan semua akad sebagian lagi ada yang layak untuk melakukan
sebagian akaddan sebagian lagiada yang layak untuk melakukan sepenuhnya akad.

3
Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Al-Alusi, 6/43
4
Mardani, praktik jual beli via telepon dan internet, (Tangerang: Majalah Hukum dan Ham, Vol. IV No.8 Agustus
2009), hlm 26.

3
Kelayakan dan kepatutan seseorang dalam melakukan akad tergangtung kepada adanya
kecakapan dalam melakukan akad baik untuk dirinya sendiri ataupu untuk mewakili orang lain.

2. Al maqud alaih (sesuatu yang diakadkan)

Adalah sesuatu yang dijadikan objek akad. Objek akad adalah amwal jasa yang dihalalkan yang
dibutuhka masing masing pihak.5

Objek akad adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran atau tujuan akad. Jenisnya kadang-
kadang benda yang bersifat maliyah seperti barang yang dijual, digadaikan, atau dihibahkan dan
ada kalanya bukan maliyah seperti perempuan dalam akad nikah dan ada kalanya berupa
mamfaat seperti benda yang disewakan.

Dalam hal ini kenyataannya tidak semua benda bisa dijadikan objek akad. Khamr atau babi
misalnya bagi muslim tidak bisa dijadikan objek akad karena bukan mal mutaqawwim,
perempuan yang dilarangan dinikaho karena hubungan nasab atau susuan tidak bisa dijadikan
objek akad nikah. Benda benda yang dibolehkan untuk dijadikan objek akad adalah benda benda
yang memenuhi syarat.

3. shighat

Sighat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan qabul.definisi ijab
menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang
diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyrahkan maupun yang menerimah. Sedangkan
qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridaan atas ucapan pertama. Dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh
penjual. Sedangkan qabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.6

5
Hisranuddin, Hukum perbankan syariah di indonesia, (yogyakarta: gentapress, 2008), hlm 8.
6
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm 202.

4
2.2.2. SYARAT-SYARAT AKAD

Syarat akad juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapaun syarat syarat itu adalah :

a. Syarat in’iqad
Syarat in’iqad adalah sesuatu yang diisyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu
akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat tidak tewujud maka akad menjadi
batal.
Syarat ini ada dua maam yaitu
1. Syarat umum yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad. Syarat ini meliputi
syarat dalam shighat, aqid, objek akad,.
2. Syarat khusus yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad bukan dalam akad
lainnya contohnya seperti syarat saksi dalam akad nikah, syarat penyarahan barang
dalam akad akad kebendaan (hibah, I’arah,gadai dan lain-lain).7
b. Syarat sah
syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara untuk timbulnya akibat akibat hukum
dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasiq tetapi tetap
sah dan eksis. Contohnya seperti dalam jual beli diisyaratkan oleh hanafiah terbebas dari
salah satu aib atau cacat, yaitu jahalah (ketidak jelasan), ikrah ( paksaan), tauqit
(pembatasan waktu) gharar (tipuan atau ketidakpastian), dharar, syarat yang fasiq.8
c. Syarat nafadz (kelangsungan akad)
Untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat yaitu:
1. Adanya kepemilikan atau kekuasaan artinya orang yang melakukan harus pemilik
barang yang menjadi objek akad atau empunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila
tiadak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan ), maka akad tidak bisa
dilangsungkan melainkan mauquf atau ditanggungkan, bahkan menurut as syafi’ih
dan ahmad , akadnya batal.9
2. Didalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila didalamnya barang yang
menjadi objek akad terdapat orang lain, maka akadnya maukuf tidak nafidz. Hak
orang lain tersebut ada tiga macam yaitu:

7
Ibid., hlm 226.
8
Ibid., hlm 228.
9
Ibid., hlm 229-230.

5
1. Hak orang laintersebut berkaitan dengan jenis barang yang menjadi objek akad,
seperti menjual barang orang lain.
2. Hak tersebut berkaitan dengan nilai dari harta yang menjadi objek akad, seperti
tasarruf orang yang pailit yang belum dinyatakan mahjur’alaih terhadap hartanya
yang mengakibatkan kerugian kepada para krediator.
3. Hak tersebut berkaitan dengan kemaslahatan si aqid,bukan dengan barang yang
menjadi objek akad, seperti tasarrufi orang yang memiliki ahliyatul ada’ yang
tidak sempurna (naqishah) yang telah dikatakan mahjur alaih.10
d. Syarat Luzum
Pada dasarnya setiap akad itu mengikat (lazim). Untuk mengikatnya (lazim-nya)suatu
akad,seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar (pilihan),
yang memungkinkan di fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila didalam akad
tersebut terdapar khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar ru’yat, maka akad
tersebut tidak mengikat (lazim) lagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam
kondisi seperti itu ia boleh embatalkan akad atau menerimanya.11
2.3. MACAM-MACAM AKAD

Akad dapat dibagi kepada beberapa bagian dengan ditinjau dari segi. Peninjauan tersebut antara
lain dari segi hukum dan sifatnya dan dari segi watak dan adanya hubungan antara hukum
dengan shighat-nya dan dari segi maksud dan tujuannya.

A. Ditinjau dari segi Hukum dan Sifatnya


Ditinjau dari segi hukum dan sifatnya akad, menurut jumbur ulama terbagi kepada dua
bagian yaitu :
a. Akad shahih
b. Akad ghair shahih (batil / fasil)
Sedangkan menurut hanafiah akad terbagi kepada tiga bagian dengan membagi akad
ghair shahih menjadi dua bagian yaitu :

10
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta:sinar Grafik Offset), 2010, hlm 152.
11
Ibid ., hlm 152.

6
a. Akad shahih
b. Akad ghair shahih
1. Akad yang batil
2. Akad yang fasid12

Dari pembagian tersebut terlihat adanya perbedaan antara jumhur dan hanafiah. Jumhur ulama
membagi akad kepada shahih dan batil atau fasid, sementara hanafiah membaginya kepada tiga
again yaitu shahih, fasid dan batil. Jumhur ulama tidak emmbedakan antara fasid dan batil
sedangkan hanafiah menganggap bahwa fasid tidak sama dengan batil. Perbedaan fasid dan batil
akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.

a. Akad shahih
1. Definisi akad shahih
Hanafiah sebagaimana dikutif oleh wahbah zuhaili memberikan definisi akad yang shahih
sebgai berikut:
Akad yang shahih adalah suatu akad yang disyaratkan dengan asalnya dan sifatnya.
Dari definisi tersebut dapat dapat dipahami bahwa akad yang shahih adalah suatu akad
yang terpenuhi asalnya dan sifatnya. Yang dimaksud dengan asal dalam definisi tersebut
adalah rukun, yakni ijab dan qabul, para pihak yang melakukan akad, dan objeknya
sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah hal hal yang tidak termasuk rukun dan
objek seperti syarat.
Akad yang shahih adalah timbulnya akibat hukum secara spontan antar kedua belah pihak
yang melakukan akad, yakni hak dan kewajiban sebagai contoh, jual beli yang dialkukan
oleh para orang-orang yang memiliki ahliyatul ada’ yang sempurna. Dengan objek mal
mutaqawwim, untuk tujuan yang dibenarkan oelh syara’. Menimbulkan akibat hukum
berupa tetapan hak milik atas barang yang dijual bagi pembeli dan uang harga barang
bagi penjual.
2. Pembagian akad shahih
Akad shahih menurut hanafiah dan malikiyah terbagi kepada dua bagian yaitu:
a. Akad yang nafidz (bisa dilangsungkan)
b. Akad yang mauquf (ditangguhkan)

12
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm 409.

7
Pengertian akad nafidz adalah akad yang dilakukan oleh orang yang memiliki
ahliyatul ada’ (kecakapan) dan kekuasaan. Contohnya seperti akad yang dilakukan
oleh orang yang baliq, berakal, dan cerdas (mampu) mengurus hartanya sendiri atau
wakil (orang yang diberi kuasa oelh sipemilik) hukum akad semacam ini
menimbulkan akibat-akibat hukum secara langsung tanpa menunggu persetujuan
orang lain.13

Pengertian akad mauquf adalah suatu akad yang dialkukan oleh orang yang emiliki
ahliyah (kecakapan) untuk melakukan akad, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan
karena ia tidak memperoleh mandat untuk melakukannya. Contohnya seperti akad
fudhulli, atau akad yang dialkukan oleh anak yang mumayyis dalam akad yang
spekulatif (mungkin menguntungkan, mungkin merugikan). Hukumnya adalah akad
semacam ini tidak menimbulkan akibat hukum kecuali apabila disetujuai oelh orang-
orang yang berkepentingan, apabila tidak dietujuai maka akad tersebut hukumnya
batal. Akan tetapi menurut syafi’iyah dan hanafiah hukumnya batal.

Akad nafidz terbagi atas dua bagian yaitu

1. Akad lazim
2. Akad ghair lazim

Pegertian akad lazim adalah suatu akad yang tidak bisa dibatalkan oleh saalh satu
pihak tanpa persetujuan pihak yang lain. Seperti jual beli dan ijarah (sewa menyewa).
Dasar hukum akad lazim ini adalah firman allah swt dalam surah al ma’idah(5) ayat
1:

“hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.”

Sifat luzum(terikat) menurut hanafiah dan malikiyah timbul dengan selesainya akad
(ijab dan qabul) akan tetapi menurut syafi’iyah dan hanabilah akad tersebut belum
mengikat kecuali setelah para pihak yang melakukan akad berpisah secar fisik atau
mereka melakukan khiyar dan kemudian meilih akad yang dilanjutkan.dasar yang

13
Ibid., hlm 154.

8
digunakan oleh syafi’iyah dan hanabilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari dari hakim ilmu hizam dari Nabi beliau bersabda bahwa

“ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selam mereka berdua belum berpisah,
apabila keduanya benar(jujur) dan jelas maka berdua dibri keberkahan dalam jual beli
mereka. Tetapi apabila mereka berdusta dan menyembunyikan sesuatu maka
dihapuslah keberkahan jual beli mereka.

Pengertian akad ghair lazim atau akad jaiz adalah suatu akad yang bisa di fasakh
(dibatalkan) oleh salah satu pihak tanpa memerlukan persetujuan dari pihak lain.
Kondisi ini bisa terjadi karena watak akadnya itu sendiri seperti akad wakalah dan
iarah (pinjaman), atau kemaslahatan orang yang melakukan akad seperti akad yang
mengandung khiyar.14

b. Akad ghair lazim


Akad ghair shahih didefinisikan oleh wahah zuhailih sebagai berikut.
Akad ghair shahih adalah suatu akad yang salah satu unsurnya yang pokok atau syaratnya
telah rusak (tidak terpenuhi).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahw akad ghair shahih adalah suatu akad yang
rukun dan syaratya tidak terpenuhi. Mislanya jual beli yang dialkukan oelh anak dibawah
umur atau jual beli babi dan minuman keras. Dilihat dari aspek hukumnya akad ghair
shahih tidak menimbulakan akibat hukum yakni tidak ada hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para pihak sebagai akibat dari akad tersebut.
Jumhur fuqahah selain hanafiah memandang akad ghair shahih itu meliputi akad yang
batil dan fasid, yang kedua duanya mempunyai pengertian yang sama. Akan tetapi
fuqahah hanafiah berpendapat bahwa akad ghair shahih itu terbagi atas dua bagian yang
masing masing mempunyai pengertian yang berbeda yaitu batil dan fasid. Hanya saja
pembagian ini terbatas kepada akad akad yang menyebabkan perpindahan hak milik atau
akad akad yang menimbulkan kewajiban timbal balik antar para pihak yang melakukan
akad seperti jual beli, ijarah, hibah, hiwalah, qardh, syirkah, muzdraah dan sevagainya.
Adapun akad-akad yang bukan maliyah seperti waklah, wasiat dan pernikahan, dan akad

14
Ibid., hlm 156.

9
maliyah yang tidak ada kewajiban timbal balik seperti I’arah(pinjaman), wadi’ah
(titipan), talak, waqaf dan lain lain, maka tidak ada perbedaan antara batil dan fasid.
Pengertian akad yang batil menurut hanafiah adalah sebagai berikut
“adapun akad yang batil adalah suatu akad yang rusak (tidak terpenuhi) rukunya tau
objeknya atau akad yang tidak disyaratkan dengan asalnya dan tidak ada sifatnya.”
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa akad yang batil adalah akad yang sama
sekali tidak terpenuhi rukun ,objek, dan syartanya. Olehkarena itu hukum akad batil
adalah tidak sah dan tidak sama sekali menimbulkan akibat hukum yakni tidak ada hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang melakukan akad. Contohnya
jual beli oleh orang gila atau nak yang dibawah umur, jual beli mal ghair mutaqawwim
seperti babi, minuman keras dan ikan yang masih ada didalam air laut.
Pengertian akad yang fasid menurut hanafiah adalah sebagai berikut
“akad yang fasid adalah suatu akad yang disyaratkan dengan asalnya tidak dengan
sifatnya.”
Maksud dari definisi ini adalah bahwa akad fasid itu adalah suatu akad yang rukunnya
terpenuhi. Pelakunya memiliki ahliyah, objeknya dibolehkan oleh syarah ijab qabulnya
beres, tetapi didalamnya terdapat sifat yang dilarang oleh syara. Contohnya seperti jual
beli berang yang majhul(tidak jelas), yang bisa menimbulkan perselisihan. Menjual mal
mutaqawwim dengan harga pembayaran berupa mal ghair mutaqawwim, jual beli salah
satu mobil dari mobil mobil yang ada tanpa menentukan mobil mana yang dijual.
akad fasid hukumnya fasakh (dibatalkan). Baik oleh slah satu pihak atau hakim, apabila
ia mengetahui bahwa akadnya dilanrang oleh syara fasakh ini berlaku dengan dua syarat
yaitu sebagai berikut.
a. Barang yang menjadi objek akad masih ada dan masih utuh seperti halnya sebelum
diterima. Apabila barangnya telah rusak atau telah berubah bentuknya misalnya
tepung telah dimasak menjadi roti maka fasakh tidak berlaku.
b. Barang yang menjadi objek akad tidak ada kaitannya dengan hak orang lain. Apabila
ada sangkutan dengan hak orang lain maka fasakh tidak berlaku.

Akad yang batil dilarangan karena ada faktor asasi yang tidak tepenuhi sedangkang
akad fasid dilarang ada sifat yang menetapkan (mulazim) dengan akad. Apabila
rangan itu karena sifat yang ghair lazim (tidak menyatu), melainkan karena sifat yang

10
bergandengan (mujawir), maka hukum akadnya adalah mukruh karahah tahrim
menurut hanafiah, dan dan haram yang mengakibatkan dosa menurut jumhur
fuqahah.diantara akad akad yang makruh dan haram tetapi shahih antara lain

1. Jual beli najsy (bai’an najsy)


Yaitu jual beli dengan cara menambah atau menaikkan harga barang, padahal
sipelaku tidak berniat membeli dengan tujuan agar harga lebih mahal dan
dipemilik mendapat keuntungan. Hukum jual beli najsy adalah haram atau
makruh tahrim karena ada hadis nabi yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan
muslim dari ibnu umar ia berkata:“Rasulullah melarang jual beli najsy”.
Menurut hanafiah jual beli najsy tidak makruh apabila tambahan harga barang
masih dalam batas harga pasaran, mesekipun sipelaku tidak bermaksud
membelinya.15
2. Menyongsong para pedagang (talaqqi ar rukban)
Menyongsong atau mencegat para pedagang yang datang dari desa oleh orang
orang kota. Sebelum mereka sampai dipasar lalu membeli barang-barang yang
dibawa oleh orang desa itu dan mereka (orang-orang kota) yang menjual dipasar.
Tindakan ini merugikan pada pedagang yang berasal dari desa tersebut karena
mereka belum tahu harga pasar. Menjrut hanafiah tindakan ini termasuk makruh
tahrim, apabila merugikan para pedagang dari desa, apabila tidak merugikan
karena yang ditawarkan harga pasaran maka hukumnya tidak makruh.16
3. Jual beli pada waktu adzan jum’at
Yaitu jualbeli yang dilakukan sejak imam naik mimbar untuk khutbah jum’at
sampai selesai shalat jum’at ini menurut jumhur ulama. Menurut hanafiah mulai
sejak adzan awal jual beli pada waktu adzan jum’at ini hukumnya shahih, tetapi
makruh tahrim menurut hanafiah dan shahih tetapi haram menurut syafi’iyah.
Menurut malikiyah jual beli ini termasuk fasid, da menurut qaul dam mahsyur
harus di fasakh. Sedangkang menurut hanabilah jual beli ini hukumnya tidak sah.
Hal ini didasarkan pada firman allah dalm surah al-jumuah (62)ayat 9

15
Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm 239.
16
Ibid., hlm 159.

11
“hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat jum’at
maka bersegeralah kamu kepada mengingat allah dan tinggalkanlah jual beli yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mnegetahui.”
B. Ditinjau dari segi tabiat atau hubungan antara hukum dengan shighatnya.
Rukun akad sebagaiman telah dijelaskan dimuka adalah ijab dan qabul. Dan ijab dan
qabul itulah timbul timbul suatu akad atau transaksi dari dua belah pihak yang kemdian
menimbulkan akibat-akibat hukum. Berupa hak dan kewajiban. Akibat hukum tersebut
kadang-kadang langsung bisa dilaksanakan begitu ijab dan qabul telah selesai diucapkan,
tetapi terkadang harus ditunda beberapa waktu. Hal ini tergangtung kepada bentuk dan
redaksi dari ijab dan qabul itu sendiri.
Ditinjau dari segi apakah ijab dan qabul itu langsung menimbulkan akibat hukum tau
tidak, maka akad dapat dibagi kepada tiga bagian:
a. Akad yang dapat dilaksanakan (al-aqdu al-munjaz)
b. Akad yang disandarkan pada masa mandatang (al-aqdu al-mudhaf li al-mustaqbal)
c. Akas yang digangtungkan kepada syarat (al-uqdu al mu’alaq ala syarh)
a. Akad yang dapat dilaksanakan ( al aqdu al-munjaz)
Yang dimaksud akad munjaz adalah suatu akad yang dengan menggunakan shighat yang
tidak menggantungkan dengan syarat dan tidak disandarkan kepada masa yang akan
datang. Dengan demikian dalam akad munjaz yang akadnya tidak memerlukan
penerimaan atas barang yang menjadi objek akad, shighat ijab dan qabul semata mata
sudah cukup untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu timbulnya ha dan kewajiban dari
masing masing pihak. Dalam jual beli misalnya dengan telah sempurnanya akad melalui
ijab dan qabul, hak milik atas barang yang dijual otomatis berpindah kepada pembeli dan
uang harga barang otomatis berpindah kepada penjual. Akan tetapi dam akad-akad yang
akadnya harus diserahterimakan, seperti hibah, qardh, ariyah, dan rahn (gadai), shighat
dan ijab qabul semata mata beum cukup untuk menimbulkan akibat hukum secara
langsung melainkan harus disertai dengan penyerahan atau penerimaan objek akad
(ma’qud alaih) ini pendapat hanafiah dan syafi’iyah.17
Malikiyah berpendapat bahwa dalam masalah hibah, ariyah (pinjaman), dan rahn (gadai),
shighat ijab dan qabul semata mata telah cukup untuk menimbulkan akibat hukum tanpa

17
Muhammad Yusuf Musa, op.cit., hlm 444.

12
memerlukan penerimaan barang yang dihibahkan(mauhub). Syafi’iyah dan hanabilah
dalam maslah rahn atau gadai pendapatnya sama dengan hanfiah yaitu mensyaratkan
penerimaan (qabdh), sedangkan dalam ariyah hak yang diperoleh hanya ibahah, bukan
akad dalam arti yang khusus.
Pada dasarnya semua akad bis munjaz dalam arti bahwa akibat hukum akan timbul secara
otomatis dengan adanya ijab dan qabul kecuali wasiat dan isha. Hal ini dikarenakan
menurut tabiatnya kedua akadnya ini pelaksanaanya menunggu wafatnya orang yang
memberikan wasiat.pengertian wasiat ini adalah kepemilikan terhadap suatu barang yang
disandarkan kepada meninggalnya orang yang berwasiat. Sedangkan pengertian isha
adalah pengankatan seorang washiy (pemegang wasiat) untuk anaknya yang masih
dibawah umur setelah wafatnya wali.
b. Akad disandarkan pada masa yang mendatang
Yang dimaksud pada kada yang disandarkan pada masa yang mendatang adalag suatu
akad yang menggunakan shighat dengan ijab yang disandarkan kepada masa depan bukan
masa sekarang. Misalkan saya sewakan rumah saya kepada anda mulai tahun
depan.hukum akad semacam ini adalah sah untuk masa sekarang, ketika akad diucapkan
namun akibatkan hukumnya baru berlaku pada saat yang disbutkan dalam ijab tersebut.
c. Akad yang berkaitan dengan syarat (al aqdu al-mu’alaq ala syarh)
Pengertian akad yang dikaitkan dengan syarat adalah suatu akad yang digantungkan
(dikaitkan) dengan sesuatu yang lain denga menggunakan salah satu alat syarat
contohnya “jika engkau pergi kejakarta maka engkau adalah wakil saya.” Dalam contoh
ini penunjukan sebagi wakil dikaitkan dengan kepergian kejakarta.
Akad ini berbeda dengan akad yang disandarkan pada maa yang mendatang karena dalam
akad yang digantungkan dengan syarat hukumnya tidak sah kecuali pada saat adanya
syarat yang digantungkan itu. Sedangkan akad yang disandarkan kepada masa depan
hukum akadnya sah pada saat akad diucapkan. Tetapi akibat hukumnya baru berlaku
nanti, yakni pada saat yang ditetapkan dalam akad.18
C. Ditinjau dari segi dan maksud tujuannya
Ditinjau dari segi maksud dan tujuannya akad dapat dibagi pada bagian
a. Akad at tamlikat

18
Ibid., hlm 163.

13
Yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk memiliki suatu benda baik jenisnya
maupun mamfaatnya.apabila pemilikan tersebut dengan imbalan maka akadnya
disebut akad mu’awadhah seperti jual beli, ijarah, shulk (perdamaian), istishaddan
lain lain. Yang didalamnya terdapat mu awadhah antar dua pihak. Apabila pemilikan
terjadi tanpa imbalan (iwadh) maka akadnya disebut akad tabarru seperti hibah,
shadaqah, wakaf, ijarah dan hiwalah.
b. Akad isqathat
Yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk menggugurkan suatu hak, baik dengan
penggati maupun tanpa pengangti. Apabila isqath (pengguguran) dilakukan tanpa
penggantian dari pihak lain maka akadnya disebut al isqath al mahdh atau
pengguguran murni. Seperti talak tanpa imbalan mal, pengampunan dari qishash dan
pembebasan utang. Apabila pengguguran (isqath) dengan penggangtian atau imbalan
dari pihak lain maka akadnya disebut al isqath al muawdhah seperti ialah dengan
penggangtian mal dan pengempunan dari qishash dengan pengangtian diyat.
c. Akad ithlaqat
Yaitu pelepasan oleh seseorang kepada tangan orang lain dalam mengerjakan suatu
pekerjaan. Contohnya seperti wakalah (pemberian kuasa), persetujuan kepada orang
yang mahjur alaih untuk melakukan tasarruf dan isha atau pengangkatan sebagai
pemegang wasiat (washiy).
d. At tautsiqat atau at ta minat atau uqudadh dhaman
Yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk menanggung ulang bagi pemiliknya dan
mengamankan orang yang memiliki piutang tas utangnya yaitu akad kafalah, hiwalah,
dan rahn (gadai).
e. Al isytirak
Yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk bekerja sama dalam pekerjaan dan
keuntungan seperti akad syirkah dengan berbagai jenisnya, akad mudharabah,
muzdraah dan musaqah.
f. Al hifshu
Yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara harta bagi
pemiliknya, seperti akad wadiah (penitipan).19

19
Ibid., hlm 165.

14
2.4. IMPLIKASI AKAD

Menurut ulama fiqih setiap akad mempunyai akibat hukum yaitu tercaoainya sasaran yang ingin
dicapai sejak semula artinya setiap akad yang dibentuk oleh pihak yang melakukan akad,
memiliki tujuan dasaryang ingin diwujudkannya. Seperti perpndahan kepemilikan terhadap akad
jual beli, kepemilikan mamfaat bagi penyewa dalam akad ijarah (sewa), hak untuk menahan
barang dalam akad rahn dan lainnya. Dengan terbentuknya akad akan muncul hak dan kewajiban
diantar pihak yang berakad misalnya dalam jual beli, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan
uang sebagai harga atas objek akad dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan penjual
berkewajiban untuk menyerahkan barang dan berhak menerima uang sebagai konpensasi barang.
Demikian juga akad-akad yang lain pasti memiliki akibat hukum sesuai dengan bentuk akad
yang dibentuk oleh kedua belah pihak.

2.5. AKAD GHAIR LISAN


1. Akad tanpa syarat (Akad Munjiz)
Akad munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memeberi batasan dengan
suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. Akad seperti dihargai syara’ sehingga
menimbulkan dampak hukum.
2. Akad bersyarat (Akad Ghair Munjiz)
Akad ghair munjiz adalah akad yang diucpkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu,
yakni apabila syarat atau kaitan itu tidqk ada, akad pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan
wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkn pelaksanaannya.
3. Syarat idafah
Maknanya menyandarkan kepada sesuatu masa yang akan datang atau idhafa mustaqbal,
ialah:
Artinya:
“Melambatkan hukum tasharruf qauli kemasa yang akan datang.”

2.6. BERAKHIRNYA AKAD

Akad dapat berakhir karena beberapa hal

15
1. Pembatalan (fasakh)
2. Pelaku meninggal dunia
3. Tidak adanya persetujuan dalam akad yang mauquf.

1. Berakhirnya akad karena fasakh (pembatalan)


Pembatalan akad kadang terjadi secara total dalam arti mengabaikan apa yang sudah
disepakati seperti dalam khiyar dan kadang kadang dengan menetapkan batas waktu
kedepan,seperti dalam ijarah (sewa menyewah)dan iarah (pinjaman) dan inilah arti fasakh
dalam pengertian yang umum.
Pembatalan dalam akad ghair lazimah terjadi karena watak akadnya itu sendiri, baik
akadnya dilakukan oleh dua pihak, maupun satu pihak. Dalam akad ghair lazim yang
dilakukan oleh dua pihak. Seperti wadiah (titipan), driyah (pinjaman), syirkah dan
wakalah maisng masing pihak berhak membatalkannya apabilaia menghendakinya
selama dalam wakalah tidak ada kaitannya dengan hak orang lain. Dalam akadnya yang
lazim dari satu pihak dan ghair lazim dari pihak lain, sepertirahn (gadai) dan kafalah
(jaminan),bagi murtahin (yang menerima gadai). Demikian pula bagi makful lah (orang
yang memiliki piutang) berhak membatalkan kafalah tanpa persetujuan mudin (orang
yang berutang).Seperti wadiah (titipan), driyah (pinjaman), syirkah dan wakalah maisng
masing pihak berhak membatalkannya apabilaia menghendakinya selama dalam wakalah
tidak ada kaitannya dengan hak orang lain. Dalam akadnya yang lazim dari satu pihak
dan ghair lazim dari pihak lain, sepertirahn (gadai) dan kafalah (jaminan),bagi murtahin
(yang menerima gadai). Demikian pula bagi makful lah (orang yang memiliki piutang)
berhak membatalkan kafalah tanpa persetujuan mudin (orang yang berutang).
Adapun pembatalan fasakh dalam akad akad lazimah terdapat beberapa bentuk
a. Fasakh karena akadnya rusak (fasid)
Apabila terjadi kerusankan (fasid) suatu akad seperti jual beli barang yang tidak jelas
(mafhul) maka wajib di fasakh (dibatalkan) baik melalui para pihak yang melakukan
akad atau melalui putusan hakim, kecuali apabila terdapat hal hal yang menghalangi
pembatalan tersebut. Misalnya sipembeli tidak menjual barang yang dibelinya atau

16
telah mengibahkannya kepada orang lain dalam hal ini si pembeli wajib menyerahkan
nilai barang yang dijual pada saat barang diterima bukan harga yang disepakati.
b. Fasakh karena khiyar bagi pemilik khiyar baik khiyar syarat, khiyar aib, maupun
khiyar ruyah dibolehkan untuk membatalkan akad semata mata karena kehendaknya,
akan tetapi dalam khiyar aib menurut hanafiah setelah barangnya diterima tidak boleh
di fasakh kecuali dengan persetujuan pihak penjual atau berdasarkan putusan hakim
c. Fasakh karena iqalah
Iqalah adalah pembatalan akad berdasarkan persetujuan kedua belah pihak apabila
salah satu pihak merasal dan ingin mengundurkan diri dan akad. Cara ini dianjurkan
berdasarkan hadis nabi
“dari abu hurairah ia berkata telah bersabda rasulullah barang siapa yang
membatalkan akad seorang muslim maka allah akan membatalkan kesulitannya pada
hari kiamat” (HR.ibnu majah).
d. Fasakh karena tidak bisa dilaksankan
Fasakh boleh dilakukan karena pihak lain tidak bisa melaksankan kewajibannya
dalam keadaan khiyar naqd (hak pilih pembayaran). Artinya apabilasetelah saat
dalam pembayaran tiba si pembeli tidak bisa melunasi kewajibannya membayar harga
tersebut maka jual beli menjadi batal.
Fasakh juga boleh dilakukan karena akibat hukum akad mustahil dilaksanakan
disebabkan musibah yang tidak bisa dhindarkan hal ini bisa terjadi dalam akad jual
beli dalam keaadaan barang yang menjadi objek akad rusak atau hancur sebelum
diserahkan kepada sipembeli.
2. Berakhirnya akad karena kematian
Akad bisa fasakh karena meniggalnya salah satu pihak yang melakukan akad diantara
akad yang berakhir akrena meninggalnya salah satu dari dua pihak sebagai berikut yaitu
a. Ijarah (sewa menyewah)
Menurut akad ijarah berakhir karena meninggalnya salah astu pihak yang melakukan
akad, meskipun akad ini termasuk akad yang lazim (mengikat) yang dilakukan oleh
dua pihak. Alasan mereka adalah bahwa orang yang menyewa memiliki mamfaat
sejak terjadinya akad dengan sedikit demi sedikit. Maka mamfaat yang tersisa setelah

17
meninggalnya salah satu pihak sudah bukan miliknya lagi. Sehingga dengan demikian
akad sudah berakhir dan tidak boleh dilanjutakan lagi.
b. Kafalah (jaminan)
Kafalah ada dua macam yaitu kafalah (jaminan) terhadap harta (kafalah bil mal) dan
kafalah (jaminan) terhadap jiwa ( kafalah bin nafs). Dari kedua jenis kafalah tersebut,
kafalah bin nafs (jaminan terhadap jiwa) dapat batal (fasakh) karena meninggalnya
ashil ( makful anhu) atau meninggalnya kafil (penjamin).
c. Syirkah dan wakalah
Syirkah dan wakalah termasuk ghair lazim yang dilakukan oleh dua pihak. Kedua
akad tersebut berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
Syirkah dapat batal dengan meniggalnya salah satu anggota syerikat baik anggota
syerikat lain mengetahui kematian tersebut atau tidak.
3. Berakhirnya akad karena tidak ada izin dalam akad mauquf
Akad yang mauquf (ditangguhkan)dapat berakhir apabila orang yang berhak tidak
memberikan persetujuannya. Misalnya dalam akad fudhuli. Persetujuan dari pemilik juga
tidak berlakuh (tidak sah) apabila pelaku fudhul atau orang yang berakad meinggal dunia.
Dengan demikian akad berakhir sebelum persetujuan . pelaku fudhul sendiri boleh
membatalkan akad yang dibuatnya, sebelum adanya persetujuan dari pemilik Untuk
menjaga kredibilitasnya.20

Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya dalam akad jual beli misalnya,
akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan
harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai dan pertanggungan(kafalah). Akad
dipandang telah berakhir apabila hutang telah dibayar.

Selain telah mencapai tujuannya, akan dipandang berakhir apa bila terjadi
fasakh(pembatalan) atau telah berakhir waktunya.
Fasakh terjadi dengan sebab sebab berikut:
1. Di fasakh (dibatalkan),karena danya hal-hal yang dibenarkan syara, seperti yang
disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli berang yang tidak ememnuhi syarat
kejelasan.

20
Ibid., hlm 166-170.

18
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena menyesal atais
akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqolah.dalam
hubungan ini hadis nabi riwayat abu daut mengajarkan, bahwa barang siapa
mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal asal akad jual beli yang
dilakukan, allah akan menghilangkan kesukarangnya pada hari kiamat kelak.
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihal-
[ihak yang bersangkutan. Misalnya dalam khiyar pembayaran(khiya naqd) penjual
mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila
dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli mejadi batal. Apabila
pembeli dalam waktu ditentukan itu belum membayar, akad berlangsung. Akan tetapi
apabila ia tidak membayar akad akan menjadi rusak atau batal.
5. Karena habis waktunya seperti akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan
tidak dapat diperpangjang.
6. Karena tidak dapat isin dari pihak berwenang
7. Karena kematian.

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Akad yang dipakai dalam teransaksi Muamalah Kontemporer yang lazim dipakai
dalam perbangkan syariah ternyata merupakan gabungan dari beberapa Akad, dimana
setiap akad antara yang satu dengan yang lain sudah ada sop yang jelas dan sudah
sesuai dengan perinsip dasar sebuah akad sehingga kodefikasinya sudah standar.
Demikian juga dari keabsahan dasar yang digunakan apalagi akad tersebut sudah di
godok melalui peroses yang panjang .

3.2. Saran

Dari makalah kami ini, kami berharap para pembaca mampu memanfaatkannya sebagai
sumber belajar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.Dan tak lupa kritik, masukan,
saran, dalam bentuk apapun sangat kami hargai agar kedepannya penulisan makalah kami
menjadi lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam.2010.sistem transaksi dalam fiqh islam,jakarta:sinar
grafika offset

Drs. H. Ahmad Wardi Muslich.2010,Fiqih Muamalat, jakarta : sinar grafika offset

Drs. Ghufron A. mas’adi, M.Ag. 2002, fiqh muamalah kontekstual, jakarta : PT Raja grafindo
persada

Dr. mardani. 2016, fiqh ekonomi syariah , jakarta : pt fajar interpratama mandiri

Prof.Dr.H.Rachmat syafei,MA.2001 , fiqih muamalah , bandung :cv pustaka setia

21

Anda mungkin juga menyukai