EKONOMI ISLAM
Materi 9
PENGERTIAN AKAD
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan
makhluk lainnya dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk
memenuhinya dan harus berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan antar
satu manusia dengan manusia lain, terdapat aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan
dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya lazim disebut dengan proses untuk
berakad atau melakukan kontrak.
Secara bahasa kata akad berasal dari Arab al-‘Aqd yang berarti perikatan, perjanjian
dan permuwakafan al-Ittifaq. Akad (al-'Aqd) adalah pertalian antara ijab dan qabul
sesuai dengan ketentuan syara' yang menimbulkan pengaruh terhadap obyek akad.
Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam
kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan, dibandingkan
dengan tiga pemilikan terdahulu.
Dari segi sebab pemilikan dibedakan antara uqud jabariyah dan tamlik jabariy.
Uqud jabariyah (akad secara paksa) yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilan
secara langsung atau melalui kuasa hukumnya. Seperti paksaan menjual harta
untuk melunasi hutang, kekuasaan hakim untuk memaksa menjual harta
timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan umum.
Tamlik jabari (pemilikan secara paksa) dibedakan menjadi dua.
Pertama, adalah pemilikan secara paksa atas mal'uqar (harta tidak bergerak)
yang hendak dijual. Hak pemilikan paksa seperti ini dalam fikih mu'amalah
dinamakan 'syufah. Hak ini dimiliki oleh sekutu dan tetangga.
Kedua, pemilikan secara paksa untuk kepentingan umum. Ketika ada
kebutuhan memperluas bangunan masjid, misalnya, maka Syari'at Islam
membolehkan pemilikan secara paksa terhadap tanah yang berdekatan dengan
masjid, sekalipun pemiliknya tidak berkenan menjualnya. Demikian juga
ketika terjadi kebutuhan perluasan jalan umum dan lain sebagainya. Tentunya
pemilikan tersebut dilakukan dengan harga yang sepadan, yang berlaku.
Secara terminologi fiqh, menurut Ibnu Abidin dalam Nasron Haroen mengatakan
akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek
perikatan.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam Dimyauddin Djuwaini mengatakan akad secara luas
merupakan ikatan antara beberapa pihak. Makna linguistik ini lebih dekat dengan
makna istilah fiqh yang bersifat umum, yakni keinginan seseorang untuk melakukan
sesuatu, baik keinginan tersebut bersifat pribadi (diri sendiri), seperti talak, sumpah
atau pun terkait dengan keinginan pihak lain untuk mewujudkannya seperti jual
beli, sewa menyewa dan lainnya.
Makna akad secara syar’i yaitu hubungan antara ijab dan kabul dengan cara yang
dibolehkan oleh syar’i dan mempunyai pengaruh secara langsung. Ini berarti bahwa
akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan
syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang
kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.
Akad ini telah lama terkenal dalam masyarakat manusia. Menurut penelitian, akad
timbul sesudah adanya ihrazul mubahat. Sebelum timbulnya ihrazul mubahat,
belumlah timbul akad ini, sehingga kita tidak dapat mengetahui bagaimana
pertumbuhan akad dalam kehidupan manusia di dunia ini, sejak dari zaman
purbakala sampai zaman kita.
RUKUN AKAD
Menurut jumhur ulama fiqh, rukun akad terdiri atas:
Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tidak berhak mensyaratkan
imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah
Swt., bukan dari manusia. Namun, demikian pihak dari yang berbuat kebaikan
tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya
(cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.
Namun, ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh
akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah,
sedekah, dan lain sebagainya.
a. Jika salah satu pihak meminjamkan suatu objek yang berbentuk uang maka transaksi ini
disebut Qardh.
b. Jika Salah satu pihak meminjamkan suatu objek yang berbentuk uang yang disertai jaminan,
maka transaksi ini disebut Rahn.
c. Jika salah satu pihak meminjamkan suatu objek yang berbentuk uang untuk mengambil alih
piutang/hutang dari pihak lain, maka transaksi ini disebut Hawalah.
d. Jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk jasa atau dapat juga disebut
sebagai meminjamkan dirinya untuk melakukan sesuatu atas nama dari pihak lain, maka
transaksi ini disebut Wakalah.
e. Jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk jasa yang lebih spesifik yakni
Custodian (penitipan atau pemeliharaan), maka transaksi ini disebut Wadi’ah.
f. Jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk jaminan atas kejadian tertentu
di masa yang akan datang, maka transaksi ini disebut Kafalah.
g. Jika salah satu pihak memberikan suatu objek yang berbentuk uang ataupun objek lainnya
tanpa disertai kewajiban mengembalikan, maka transaksi ini disebut Hibah.
AKAD TIJARAH (PROFIT ORIENTED)
Akad tabarru’ adalah pada hakekatnya untuk mencari keuntungan akhirat olehnya
itu bukan akad bisnis. Berbeda dengan akad tijarah adalah segala macam perjanjian
yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan untuk mencari
keutungan, karena bersifat komersial. Contoh akad tijarah adalah akad-akad
investasi, jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Pada skema nanti akan diberikan
ringkasan yang komperhensip mengenai akad-akad yang lazim digunakan dalam
fikih mu’amalah dalam bidang ekonomi.