Anda di halaman 1dari 17

3.

FIQIH MUAMALAH
3.1. HARTA
3.3.1. PENGERTIAN HARTA
Secara etimologi harta dalam bahasa Arab yaitu ‫ المال‬yang asal katanya ‫مال‬- ‫ ميال‬-‫ بميل‬yang
berarti condong, cenderung, atau berpaling dari tengah keslah satu sisi.
Berdasarkan terminologi ialah:
‫انمال هو ما يميم انيه طبع اإلنسان إدخاره انى وقت انحاجت‬.
Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan)
pada saat diperlukan.

3.3.2. UNSUR-UNSUR HARTA


para fuqoha dapat kita cerna, bahwa maliyah dalam pandangan fuqaha itu berdasarkan
pada dua asas dan dua unsur, yaitu „ainiyah dan „urf.
yang dimaksud dengan ainiyah, ialah: “harta itu merupakan benda, ada wujudnya dalam
kenyataan”. Yang dimaksud dengan „urf, ialah: “harta itu dipandang harta oleh manusia,
baik oleh semua manusia, ataupun sebagian mereka; dapat diberi atau tidak diberi”.

3.3.3 FUNGSI HARTA


a. Berfungsi menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang mahdah, sebab untuk ibadah
diperlukan alat-alat yang harus dimiliki demi terjadinya kelancaran ibadah.
b. Untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
c. Meneruskan (melangsungkan) kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.
d. Untuk menyelaraskan/menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
e. Untuk mengembangkan dan menegakan ilmu-ilmu.
f. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
g. Untuk menumbuhkan silaturrahim.

3.2. AKAD
3.2.1. PENGERTIAN AKAD
Akad adalah termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam.
Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak
syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan.

3.2.2. RUKUN AKAD


Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad)
Pihak-pihak yang ber-akad (al-muta‟aqidain)
Objek akad (al-ma‟qudalaihi)

3.2.3 SYARAT AKAD


 Para pihak yang melakukan akad telah cakap menurut hukum (mukallaf).
 Memenuhi syarat-syarat objek akad.
 Akad tidak dilarang oleh nash Al-Qur‟an dan hadis.
 Akad yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad
itu.
 Akad harus bermanfaat.
 Pernyataan ijab harus tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul.
 Tujuan akad harus jelas, dan diakui syara‟.

3.2.4. PEMBAGIAN AKAD


 Akad Sahih
Akad sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat akad.
 Akad yang tidak sah
Akad yang tidak sah apabila terdapat kekurangan pada rukun atau syarat- syarat akad,
sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak
yang berakad.

3.3. Milik
3.3.1. Pengertian Milik
Sedang dalam artian bahasa milik adalah Penguasaan terhadap sesuatu, yang
penguasaannya dapat melakukan sendiri tindakan-tindakan terhadap sesuatu yang
dikuasainya itu dan dapat menikmati manfaatnya apabila tidak ada halangan syara‟

3.3.2. Pembagian Milik


Milik ada dua macam, yaitu milik sempurna dan milik tidak sempurna, milik atas zat
benda (Raqabah) dan manfaatnya adalah milik sempurna, sedang milik atas salah satu zat
benda atau manfaatnya saja adalah tidak sempurna.

3.4 Jual Beli


3.4.1. PENGERTIAN JUAL BELI
Menurut terminologi, para fuqaha menyampaikan pendapatnya berbeda-beda: Menurut
Imam Nawawi dalam al-Majmu‟
‫مقاباة بال بمال تمهيكا‬.
“Pertukaran harta dengan harta untuk tujuan kepemilikan”.
3.4.2. Rukun Jual Beli
Menurut Jumhur Ulama ada empat rukun jual beli, yaitu:
 Pihak penjual (Ba‟i)
 Pihak pembeli (mustari)
 Ijab Qabul (Sighat)
 Obyek jual beli (Ma‟qus alaih)

3.4.3 Syarat Jual Beli


Dalam akad jual beli harus disempurnakan empat (4) syarat, yaitu:
 Syarat In‟iqad (dibolehkan oleh syar‟i)
 Syarat Nafadz (harus milik pribadi sepenuhnya)
 Syarat Umum (terbebas dari cacat)
 Syarat Luzum (Syarat yang membebaskan dari khiyar)

3.4.4. Pembagian Jual Beli


 Bai’ al-Muqayyadah, Yaitu jual beli barang dengan barang yang biasa disebut
jual beli barter.
 Bai’ al-Muthlaq,Yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau
menjual barang dengan harga secara mutlak.
 Bai’ al-Sharf, Yaitu menjualbelikan alat pembayaran dengan yang lainnya.
 Bai’ al-Salam, Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai
mabi‟ melainkan berupa dain (tanggungan)Hal ini ditunjukkan dengan adanya
jual beli di dunia maya,

3.5. Khiyar
3.5.1. Pengertian Khiyar
khiyar dalam jual beli menurut syara‟ ialah hak memilih bagi penjual atau pembeli
untuk meneruskan akad jual beli atau membatalkannya
3.5.2. Pembagian Khiyar
 Khiyar majlis, yaitu hak memilih antara meneruskan dan membatalkan jual beli
selama penjual dan pembeli masih berada ditempat akad jual beli
 Khiyar syarat ialah hak memilih antara meneruskan dan membatalkannya dengan
syarat tertentu, jika syarat itu terpenuhi, maka akad jual beli tidak jadi (batal).
 Khiyar „aibi ialah hak memilih antara meneruskan dan membatalkan akad jual beli
yang disebabkan karena terdapat cacat pada barang yang dijual.

3.6. Syirkah
3.6.1. Pengertian Syirkah
Menurut istilah, pengertian syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak
atau lebih yang telah bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
3.6.2. Bentuk Syirkah
 Syirkah „inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing- masing
memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah dalam Islam hukumnya
boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma‟ sahabat.
 Syirkah „abdan (syirkah ‟Amal) adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa memberikan
kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti
penulis naskah) maupun kerja fisik (seperti sesama tukang batu, sesama Tukang Gali
Kubur, sesama Tukang dodos sawit). Syirkah ini juga disebut syirkah „amal.
 Syirkah wujuh merupakan kerja sama karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh
adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja
(amal) dengan adanya pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
 Syirkah mufawadhah merupakan syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah yang telah dijelaskan di atas. Syirkah
mufawadhah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah
yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi
sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah „inan, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufawadhah, atau
ditanggung oleh mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujuh.
3.7.Ijarah
3.7.1.Pengertian Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa Arab yaiu Al Ajru yang berarti Al „Iwadhu atau imbalan atau
lebih dikenal dengan ganti atau upah. Dalam ekonomi syariah yang sudah dikenal Akad Al
Ijarah memiliki pengertian yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.

3.7.2.Rukun Ijarah
Seperti halnya akad ataupun perjanjian lainnya, ada beberapa rukun atau pondasi yang
harus dilengkapi. Adapun rukun akad ijarah antara lain:
 Adanya „Aqid (orang yang akad). Orang yang akad terdiri dari Mu‟ajir
(pengupah/menyewakan) dan Musta‟jir (upaha/penyewa). Kedua pihak yang akan
melakukan akad harus memiliki syarat antara lain : Baligh, berakal, cakap dalam
mengendalikan harta, dan saling meridhoi.
 Shigat Akad atau ijab Kabul. Dalam melakukan Ijab dan Qabul ini haruslah
menggunakan kalimat yang jelas dan terbuka sehingga dimengerti da dipahami oleh
pihak penyewa.
 Ujrah (Upah). Besar upah yang dikeluarkan haruslah diketahui oleh kedua belah
pihak.Manfaat. Selalu perhatikan manfaat yang akan didapat ketika akan melakukan
akad Ijarah ataupun akad perjanjian lainnya.

3.7.3.Syarat Akad Ijarah


Setelah mengetahui Rukun Ijarah, maka selanjutnya yang harus diketahui adalah Syarat
akad Ijarah, beikut diantanya:
Syarat Terjadinya Akad.
Syarat Terjadinya akad ini berkaitan dengan „Aqid, Zat dan tempat akad. Ketiga hal ini
harus diketahui oleh pihak yang akan melakukan akad. Seperti untuk „Aqid (telah
dijelaskan pada bagian Rukun Ijarah) dimana sebaiknya Baligh, berakal, cakap dalam
mengendalikan harta, dan saling meridhoi. Akan tetapi menurut oendapat Ulama
Hanafiyah, seorang „Aqid haruslah berusia minimal 7 tahun dan tidak harus baligh.
Syarat Pelaksanaan Akad
Barang yang dimiliki oleh penyewa haruslah dimiliki sepenuhnya atau memiliki kekuasaan
atas barang tersebut. Jadi, apabila barang yang akan di sewakan tidak memiliki kekuasaan
penuh atau mendapatkan izin dari pemilik barang oleh penyewa maka perjanjian atau akad
ijarah tidak akan sah.
Syarat Sah Ijarah
Sah nya akad ijarah berkaitan dengan adanya orang yang akad, keridhaan dari kedua belah
pihak yang melakukan akad, dan barang yang menjadi objek akad memiliki manfaat yang
jelas. Selain itu, dalam melakukan akad ini, barang yang akan di akad harus dijelaskan
kepada pihak penyewa. Baik manfaat, pembatasan waktu, atau juga menjelaskan jenis
pekerjaan dan lingkup pekerjaan apabila yang akan di akad adalah pekerjaan atau jasa
seseorang.
Syarat Kelaziman
Syarat yang terakhir adalah syarat kelaziman. Syarat ini meliputi: Mauquf „alaih (barang
sewaan) terhindar dari cacat. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad. Uzur yang
dimaksud adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemadharatan bagi yang akad.

3.8.Salam
3.8.1.Pengertian Salam
Pengertian dan Hukum Akad Salam, Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara
lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas
risiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan
melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual.
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip
jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan
barang harus ditentukan secara pasti.
Jual beli pesanan dalam fiqih islam disebut as-salam sedangkan bahasa penduduk hijaz,
sedangkan bahsa penduduk iraq as-salaf. Kedua kata ini mempunyai makna yang sama,
sebagaimana dua kata tersebut digunakan oleh Nabi, sebagaimana diriwayatkan bahwa
Rasulullah ketika membicarakan akad bay‟salam, beliau menggunakan kata as-salaf
disamping as-salam, sehingga dua kata tersebut merupakan kata yang sinonim.

3.8.2.Rukun Salam
 Muslim (pembeli atau pemesan)
 Muslam ilaih (penjual atau penerima pesanan)
 Ra‟s al-mal (harga pesanan atau modal yang dibayarkan)
 Muslam fih (barang yang dipesan)
 Sighat Ijab Qabul (ucapan/akad serah terima)

3.8.3.Syarat salam
Secara umum persyaratan dalam akad salam tidak berbeda dengan akad jual beli pada
umumnya, yaitu:barang yang dipesan adalah milik penuh muslam ilaih, bukan barang najis
dan bisa diserahterimakan. Akan tetapi dalam akad salam, tidak ada persyaratkan bagi
muslim (pemesan) untuk melihat barang yang di pesan. Ia hanya disyaratkan untuk
menentukan sifat-sifat barang pesanan tersebut secara jelas.

Sedangkan persyaratan secara rinci dapat dilihat dari rukun-rukun salam :

1. Syarat Aqidain: Muslim (pembeli atau pemesan) dan syarat muslam ilaih (penjual atau
penerima pesanan)
a. Harus cakap hukum
b. Suka Rela, tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa atau dibawah tekanan

2. Syarat Ra‟s al-Mal (dana yang dibayarkan)


a. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai
b. Modal harus diserahkan pada saat akad (tunai): modal dalam bentuk hutang tidak
diperbolehkan karena akan mengakibatkan jual beli hutang dengan hutang. Demikian
pembayaran salam tidak boleh berbentuk pembebasan hutang yang harus dibayar oleh
muslam ilah (penjual/penerima pesanan). Hal ini adalah untuk mencegah praktek riba
melalui mekanisme salam.
Artikel terkait: Pengertian, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam

3. Syarat Muslam Fih (barang yang dipesan)


a. Ditentukan dengan sifat-sifat tertentu, jenis, kualitas dan jumlahnya.
b. Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya
pengetahuan tentang macam barang tersebut, tentang klasifikasi kualitas serta mengenai
jumlahnya.
c. Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
d. Tempat penyerahan barang harus disepakati oleh pihak-pihak yang berakad.

3.9.Qardh
3.9.1.Pengertian Qardh
Adapun di dalam dunia Perbankan, akad qardh biasanya diterapkan sebagai berikut :
 Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya yang membutukkan dana talangan segera untuk masa yang relative
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjamnya itu.
 Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa
menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
 Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil, atau membantu sector
social. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu
qardhul hasan.

3.9.2 Sumber Dana


Sifat qardh tidak memberi keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat
diambil menurut kategori berikut :
 Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan
berjangka pendek, seperti talangan danda di atas, dapat diambilkan dari modal bank.
 Qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan social,
dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan shadaqah, dan juga dari pendapatan bank
yang dikategorikan seperti jasa nostro di bank korespondeng yang konvensional,
bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya.

3.9.3. Rukun dan Syarat


(1) Rukun :
- Muqridh (pemilik barang)
- Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam)
- Ijab qobul
- Qardh (barang yang dipinjamkan)
(2) Syarat sah qardh :
- Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika
tidak ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
- Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul seperti halnya dalam
jual beli.

3.9.4. Sekilas mengenai Dayn


Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual beli
piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya
tersebut kepada orang lain. Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu
LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah
hukumnya?
Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi,utamanya dari Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily. Kesimpulannya adalah bahwa bai' ad-dayn boleh
dilakukan menurut Madzhab Syafi'i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat
bahwa :
 Dibayar dengan tunai (cash), dan tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil).
karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli
hutang dengan hutang. dan hal tersebut dilaran oleh Rasulullah SAW.
 Jual beli piutang dengan tunai diperbolehkan, apabila terhindar dari praktek riba.
Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang yang dijual,
dengan piutang yang akan diperoleh. sehingga tidak boleh misalnya menjual
piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya senilai Rp 11.000.000,-.
Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak
sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang diharamkan. Jadi, jual beli piutang
secara cash diperbolehkan dengan syarat harganya harus sama.
 Objek yang ditransaksikan haruslah jelas. Misalnya berapa jumlahnya, apa
objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst. Ketidakjelasan
pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada bay' gharar yang
diharamkan.
 Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas, seperti
adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya kepastian bahwa
orang yang berhutang sanggup untuk melunasi hutangnya, dsb.
 Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i, yaitu
bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal mustaqir
(yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa hutang tersebut
menjadi diputihkan), dsb. Apabila piutangnya adalah sesuatu yang bukan maal
mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan. Karena berarti adanya
ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai' gharar yang diharamkan.

3.10 Gadai (Rahn)


3.10.1. Pengertian Gadai(Rahn)
Perjanjian akad gadai dipandang sah dan benar menurut syari'at Islam memenuhi syarat
dan rukun yang telah diatur dalam hukum Islam, yakni sebagai berikut:

3.10.2. Syarat Gadai


Menurut Sayid Sabiq, syarat sahnya perjanjian atau akad gadai itu ada 4 yaitu:
 Berakal
 Baligh
 Barang yang dijadikan borg (jaminan) ada pada saat akad
 Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau
wakilnya.

3.10.3 Rukun Gadai


Di samping syarat-syarat dalam perjanjian gadai di atas, kita juga mengenal adanya
rukun dalam gadai. Menurut hukum Islam menyebutkan bahwa rukun gadai itu ada 4
(empat), yaitu:
 Shighat atau perkataan
 Adanya dua orang yang berakal
 Adanya barang yang diakadkan
 Adanya utang.

3.11 Murabahah
3.11.1. Pengertian Murabahah
adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan dengan jelas
barang yang diperjual belikan, termasuk harga pembelian barang kepada pembeli,
kemudian ia mensyaratkan atasnya laba atau keuntungan dalam jumlah tertentu.

3.11.2. RUKUN MURABAHAH


 Penjual (Ba‟i), Penjual merupakan seseorang yang menyediakan alat komoditas
atau barang yang akan dijual belikan, kepada konsumen atau nasabah.
 Pembeli (Musytari), Pembeli merupakan, seseorang yang membutuhkan barang
untuk digunakan, dan bisa didapat ketika melakukan transaksi dengan penjual.
 Objek Jual Beli (Mabi‟), Adanya barang yang akan diperjual belikan merupakan
salah satu unsure terpenting demi suksesnya transaksi. Contoh: alat komoditas
transportasi, alat kebutuhan rumah tangga dan lain lain.
 Harga (Tsaman), Harga merupakan unsur terpenting dalam jual beli karena
merupakan suatu nilai tukar dari barang yang akan atau sudah dijual.
 Ijab Qabul, Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual
beli adalah kerelaan kedua belah pihak, kedua belah pihak dapat dilihat dari
ijab qobul yang dilangsungkan. Menurut mereka ijab dan qabul perlu
diungkapkan secara jelas dan transaksi yang bersifat mengikat kedua belah
pihak, seperti akad jual beli, akad sewa, dan akad nikah. (Karim, 2001:94)

3.11.3. Syarat Ba‟i Al-Murabahah


 Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah. Bank harus memberitahu
secara jujur berkaitan dengan harga pokok pembiayaan dan harga pokok barang
kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
 Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
 Kontrak harus bebas dari riba. Transaksi yang dilandaskan dengan hukum Islam
merupakan syarat utama dalam pembiayaan diperbankan syari‟ah. Usaha yang
halal merupakan satu satunya transaksi yang dilakukan bank islam.
 Penjual harus menjelaskan pada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesuai
pembelian. Maka bank harus menjelaskan kualitas barang yang akan diperjual
belikan, baik dari segi fisik dan kelayakan nilai suatu barang agar mendapat
kepuasan pembelian yang dilakukan oleh nasabah.
 Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
 perbedaannya dengan jual neli adalah penjual wajibmemberitahukan harga jualnya

3.12. Riba
3.12.1. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa berarti ziyadah (tambahan) tau nama‟ (bekembang). Menurut
Yusuf al-Qardawi, setiap pinjaman yang mensyaratkan didalamnya tambahan adalah riba.

3.12.2. Macam-Macam Riba


 RIBA FADL (JUAL BELI), Riba fadl merupakan riba yang muncul akibat adanya
jual-beli atau pertukaran barang ribawi yang sejenis namun berbeda kadar atau
takarannya. Contohnya: 2 kg gandum yang bagus ditukar dengan 3 kg gandum yang
sudah berkutu.
 RIBA NASI‟AH, Riba nasi‟ah merupakan riba yang muncul akibat jual-beli atau
pertukaran barang ribawi tidak sejenis yang dilakukan secara hutang (jatuh tempo)
adanya tambahan nilai transaksi oleh perbedaan atau penangguhan waktu transaksi.
Contoh: Alpi pinjam uang kepada Lisa sebesar Rp 100.000 dengan tempo 1 bulan
jika pengembalian lebih satu bulan maka ditambah Rp 1.000.
 RIBA QARDH, Riba qardh merupakan riba yang muncul akibat tambahan atas
pokok pinjaman yang dipersyaratkan di muka oleh kreditur kepada pihak yang
berhutang yang diambil sebagai keuntungan. Contoh: Nuh memeberikan pinjaman
pada Udin sebesar Rp 500.000 dan wajib mengembalikan sebesar Rp 700.000 saat
jatuh tempo dan kelebihan uang ini tidak jelas untuk apa.
 RIBA YAD, Riba yad merupakan riba yang muncul akibat adanya jul-beli atau
pertukaran ribawi maupun bukan ribawi dimana terdapat perbedaan nilai transaksi
bila penyerahan salah satu atau kedua-duanya diserahkan kemudian hari. Contoh:
Tio dan Yoi sedang melakukan transaksi jual beli motor, Tio menawarkan motornya
kepada Yoi dengan harga Rp 13.000.000 jika dibeli secara tunai namun jika kredit
menjadi seharga Rp 15.000.000 hingga sampai akhir akhir ransaksi tidak adanya
keputusan mengenai harga.
 RIBA DAYN, Dalam Bahasa Sederhananya Riba Dayn adalah segala macam
pinjaman yang memberikan Manfaat

3.13. Mudharabah
3.13.1. Pengertian Mudharabah
Apa yang dimaksud dengan Mudharabah, yaitu akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shabulmaal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak
lainnya adalah pengusaha atau pengelola usaha yang akan dilakukan.

3.13.2. Syarat Akad Mudharabah:


Pihak yang berakad, yaitu Sahibul maal dan Mudharib. kedua-duanya harus memiliki
kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan.
Obyek, yang diadakan adalah modal, kerja dan Nisbah.
-Modal yang disetorkan kepada mudharib harus jelas jumlah dan mata uangnya.
-Jangka waktu pengelolaan modal
-Jenis pekerjaan yang di mudharabahkan
Proporsi pembagian keuntungan (Nisbah)
Akad (Sigot).
- Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad
-Antara Ijab-Qabul harus selaras, baik dalam modal, kerja dan penentuan Nisbah
-Tidak mengandung ketentuan yang bersifat menggantungkan kearasahan transaksi
pada hal/ kejadian yang akan datang.

3.13.3. Rukun Akad Mudharabah


Dua pihak yang berakad, yaitu:
-Pemilik modal (Shahibulmaal)
-Pengelola Dana (Mudharib)
Obyek yang diadakan, yaitu:
-Modal (shigot)
-Kerja
-Keuntungan
Akad (Shiqot)
-Serah (Ijab)
-Terima (Qabul)

3.13.4. Jenis-Jenis Mudharabah


Selanjutnya di PSAK no 59 paragraf 8 dan 9 secara rinci dijelaskan pengertian dari kedua
jenis Mudharabah ini :
 Mudharabah mutlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan
kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya
 Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan
batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara, dan objek investasi.

3.14. Hiwalah
3.14.1 Jenis-Jenis Hiwalah
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
 Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti
dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua). Sebagai
contoh: A memberi piutang kepada B sebesar 5 juta, sedangkan B memberi piutang
kepada C sebesar 5 juta. Kemudian, B mengalihkan haknya untuk menuntut
piutangnya yang berada pada C kepada A, sebagai ganti pembayaran utang B kepada
A. Dengan demikian, al-hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah
al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pengalihan hak).
Pada sisi lain, al-hiwalah al-muqayyadah sekaligus merupakan hiwalah ad-dain
karena kewajiban B kepada A dialihkan menjadi kewajiban C kepada A (pengalihan
utang).
 Al-hiwalah al-muthlaqah (pengalihan mutlak), yaitu pengalihan utang yang tidak
ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada
muhal(pihakkedua). Sebagai contoh: A berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian,
A mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A
kepada B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi
dari pembayaran utang C kepada A. Dengan demikian, al-hiwalah al-muthlaqah
hanya mengandung hiwalah ad-dain karena yang terjadi hanya: utang A kepada B
dipindahkan menjadi utang C kepada B.[5]

3.14.2. Rukun Dan Syarat Hiwalah


Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan al-hiwalah)
dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima al-hiwalah) dari muhal (pihak
kedua) kepada muhal „alaih (pihak ketiga).
Menurut Mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang menghiwalahkan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai
utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal „alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal „alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan perkataan, “Aku alihkan utangku
yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku
kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal
dengan kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.”[6]

3.15. Ariyah
3.15.1. Pengertian ‟Ariyah
Madzhab Maliki (Al Malikiyah), ‟Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan
itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam.[3] Maksudnya adalah memberikan hak
memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos.
Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda)
ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah
pada masa yang ditentukan. Maka pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan
„Ariyah (meminjamkan).

3.15.2. Rukun Dan Syarat ‟Ariyah


Adapun syarat-syart al-„ariyah itu diperinci oleh para ulama fiqh sebagai berikut :
Mu‟ir (orang yang meminjamkan)
Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak
menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Anak kecil dan
orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.

Mus‟tair (orang yang menerima pinjaman)


Baligh
Berakal
Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah
perlindungan, seperti pemboros. Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima
kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli
(tidak berhak) menerima kebaikan.

Mu‟ar (benda yang dipinjamkan)


– Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah „ariyah yang
mu‟arnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur
sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.[9]
– Pemanfaatan itu dibolehkan oleh syara‟ (tolong menolong dalam hal kebaikan),
maka batal „ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara‟.
Misalnya kendaraan yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat
dalam pandangan syara‟, seperti bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya. Dan
apabila kendaraan tersebut digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam
dicela oleh syara‟, sekalipun akad atau transaksi „ariyah pada dasarnya sah.
– Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun
dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan
manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam
tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang
dipinjamnya bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan
manfaat yang boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia
meminjam rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka
sisanya boleh diberikan kepada orang lain.
– Jenis barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau
musnah seperti rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang apabila diambil
manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.
– Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).

Barang yang dipinjam syaratnya :


Ada manfaatnya.
Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan
yang setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah
dipinjamkan.
Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya
dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga
berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang
dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan
merupakan perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam
barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan
adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum
asalnya, yaitu belum dikembalikan.

3.16. WAKALAH
3.16.1.PENGERTIAN DAN HUKUM WAKALAH
Wakalah menurut bahasa berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian madat.
Wakalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
Malikiyyah berpendapat bahwa wakalah adalah :
‫ٌص َاغ ْي َاره ِف َا ّ لَاوُ يَا َا َا َّرر ِي ِو‬ ْ ‫ُضيْم ) َا‬
ِ ‫اَا ْ يَانِيْب( ي‬
Artinya:
Seseoarang menggantikan (menepati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang
mengelola pada posisi itu.

3.16.2 RUKUN DAN SYARAT WAKALAH


Agar perwakilan itu dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan
syarak, mereka yang berwakalah harus mengikuti rukun sebagai berikut:
Ada yang mewakilkan dan wakil. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan
buruk dapat (boleh) mewakilkan dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat, seperti
prwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
Ada suatu yang diwakilkan.
Syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan adalah sebagai berikut.
1) Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk
mengerjakannya. Tidak sah mewkilkan Sesuatu, seperti shalat, puasa, dan membaca
ayat al-Qur‟an.
2) Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil. Oleh karena itu, batal mewakilkan
sesuatu yang akan di beli.
3) Diketahui dengan jelas. Batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti
seseorang berkata : “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk menikahkan salah
seorang anakku.”
Ada lafal yang menunjukkan rida yang mewakilkan dan wakil menerimanya.
Contoh: orang yang mewakilkan itu berkata, “saya wakilkan atau saya serahkan
kepada engkau untuk mengerjakan pekerjaan ini.” Pertanyaan ini tidak
membutuhkan Kabul dari pihak yang diwakilkan. Orang yang mewakili tidak boleh
mewakilkan kepada orang lain tanpa seizin dari pihak yang pertama mewakilkan.

3.16.3. SYARAT-SYARAT WAKALAH


 Terselenggaranya wakalah sah apabila memeenuhi persyaratan berikut.
 Orang yang mewakilkan adalah orang yang sah menurut hukum.
 Pekerjaan yang diwakilkan harus jelas. Tidak boleh mewakilkan pekerjaan
kepada orang lain yang tidak jelas.
 Tidak boleh mewakilkan dalam hal ibadah karena ibadah menuntut dikerjakan
secara badaniyyah dan dilakukan sendiri (seperti shalat, puasa, dan membca ayat
al-Qur‟an).

3.17.Wadi‟ah
3.17.1.Pengertian Wadi‟ah
Menurut bahasa wadiah artinya yaitu : meniggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan
sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Menurut istilah wadiah artinya yaitu
memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan
secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.

3.17.2. RUKUN WADIAH


Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang
menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1. Muwaddi ( orang yang menitipkan )
2. Wadi‟I ( orang yang dititipi barang )
3. Wadi‟ah ( barang yang dititipkan )
4. Shigot ( Ijab dan qobul )

3.17.3. SYARAT RUKUN WADIAH


Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh
rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi‟, wadii‟ dan
wadi‟ah. Muwaddi‟ dan wadii‟ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig,
berakal dan dewasa. Sementara wadi‟ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang
berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata.
Maksud dari Al-wadi'ah itu adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik
individu maupun badan hukum, yang harus di jaga dan dikembangkan kapan saja si
penitip menghendaki.
Adalah akad antara pemiliki barang (Mud'i) dengan penerima titipan (wad'i) untuk
menjaga harta atau modal (wadi'ah).
Syarat Wadi'ah (Titipan) :
Pihak yang berakad :
-Cakap Hukum
-Sukarela (Ridha), tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa dibawah tekanan.
Obyek yang diakadkan :
-Merupakan milik mutlak si penitip (muwaddi')
Siqot (Ijab dan qabul) :
-Jelas apa yang dititipkan
Tidak mengandung persyaratan-persyaratan lain.

3.17.4. Macam Macam Wadi‟ah


Al-Wadi‟ah terbagi menjadi dua, yaitu :[6]
Al-Wadi‟ah Yad al-Amanah (Trustee Depository), Wadi‟ah jenis ini memiliki
karekteristik sebagai berikut:
 Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
 Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh
memanfaatkannya.
 Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya
kepada yang menitipkan.
 Mengingat barang atau harta yang tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa
penitipan atau save deposit box.

Al-Wadi‟ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository), jenis ini memiliki


karekteristik sebagai berikut:
 Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang
menerima titipan.
 Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
 Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
 Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung
berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah,
pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak
ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai
tanda terima kasih dari pihak bank.
 Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank
syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
 Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi‟ah karena pada prinsipnya
tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat.
Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang
dipersamakan.

3.18. KAFALAH

3.18.1 PENGERTIAN KAFALAH


Menurut syara‟, Menurut madzhab Syafi‟i Al-Kafalah adalah “akad yang menetapkan
iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda
yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.

3.18.2. RUKUN KAFALAH


 Adh-Dhamin (orang yang menjamin)
 Al-Madhmun lahu (orang yang berpiutang)
 Al-Madhmun „anhu (orang yang berhutang)
 Al-Madhmun (objek jaminan) berupa hutang, uang, barang atau orang
 . Sighah (akad/ijab)

3.18.3. SYARAT KAFALAH


 Kafil yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah baligh, berakal,
merdeka dalam mengelola harta bendanya/tidak dicegah membelanjakan hartanya
dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
 Mafkul lahu. yaitu orang yang berpiutang, Syaratnya yang berpiutang diketahui oleh
orang yang menjamin karena manusia tidak sama dalam hal tuntutan, ada yang keras
dan ada yang lunak.
 Makful „anhu adalah orang yang berutang, tidak disyaratkan baginya kerelaan
terhadap penjamin karena pada prinsipnya hutang itu harus lunak, baik orang yang
berhutang rela maupun tidak. Namun lebih baik dia rela/ridha.
 Al-Makful adalah utang, barang atau orang. Disebut juga madmun bih atau makful
bih. Disyaratkan pada makfuln dapat diketahui dan tetap keadaannya (ditetapkan),
baik sudah tetap maupun akan tetap.
 Sighat atau lafadz adalah pernyataan yang diucapkan oleh penjamin, disyaratkan
keadaan sighat mengandung makna menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu
dan tidak berarti sementara.

3.18.4. JENIS KAFALAH DALAM PRAKTIK PERBANKAN


 Kafalah bin Nafs, Jenis kafalah ini merupakan akad memberikan jaminan atas diri.
Sebagai contoh dalam praktik perbankan untuk kafalah ini yaitu seorang nasabah
yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang
atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang
apapaun tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika
nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
 Kafalah bil Maal,Kafalah ini merrupakan jaminan pembayaran barang atau
pelunasasn utang.
 Kafalah Bit taslim, Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian
atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir.Jenis pemberian jaminan
ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk
kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran
bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang
jasa/fee kepada nasabah itu.
 Kafalah al Munazah, Kafalah al Munzah ini adalah jaminan mutlak yang tidak
dibatasi oleh jangka dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk
kafalah al munazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance Bonds
(jaminan prestasi), suatu hal yg lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai
dengan bentuk akad ini.
 Kafalah al Muallaqah, Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah
al munazah, baik oleh industry perbankan maupun asuransi.
4 TAHAP PELARANGAN RIBA
Baik kita mulai uraian tentang 4 fase pengharaman Riba dalam sejarah syariah Islam,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Doktor Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir.
sebagai berikut:

Pertama:
‫آَوَت ُت ِم ِمر ِم َت َت ِم َو ِما لَّن ِما َو َت ِم ْيل َو لَّن ِم‬
‫َو ْي ُت‬ ‫َو َو ْي ْي ْي ًب َو ْي ُت َو ْي َو‬
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.(QS. Ar-Ruum : 39 )

Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid (permulaan), atau awal mula dari
diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.

Kedua:

‫ِّه ْي َو ْي َوسبِم ِمل لَّن ِم َوكثِم ًبري‬ ‫ت ِمُتحلَّنت َوَل ِمص ِم‬ ٍ ‫حَّن لَو لَو ِمه طَوِّب‬ ‫َوبِمظُتلْي ٍ ِم َو َّن ِمذ َو َوه ُتد‬
‫ْي ُت ْي َو َو‬ ‫َو ْي َو ْي ْي َو‬
‫ه‬‫َت‬ ‫ل‬ ‫َوكلِم ِمه َو َوا لَّن ِما ِم ْيب ِمط ِمل َو ْي َو ْي نَو ِملْي َوك ِم ِم ِم‬ ‫َوخ ِمذ ِمه ُت َِّو َوقَو ْي نَتُت ُته‬
‫َو ُت ْي‬ ‫ْي‬ ‫َو َو‬ ‫َو ْيل ُت َو ْي ْي ْي َو‬ ‫َو ْي‬
‫َو َوذ ًب َوِم ًبم‬
Artinya : Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. (QS. An-Nisa : 160-
61)

Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan
dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.
Dibalik ayat ini ada sebuah cerita yang menjelaskan bahwa memang prkatek Riba itu ada dan
dilakukan oleh orang-orang Yahudi yang membangkang dari syariat Nabi-Nabi mereka. merka
melakukannya jauh seblum Islam datang.
Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun
dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketiga:

‫َو َو َت َوه َّن ِمذ َو َو لُت َو آَوْي ُتكلُت َِّو َو ْي َو ًب ُت َو َو َو ًب َو آَّنَت ُت لَّن َو َو َولَّن ُتك ْي آُتَت ْي لِم ُت َوو‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.(Ali Imran : 130)

Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah
yang berlipat ganda.
Walaupun memang ada beberapa Ulama yang mengatakan bahwa kata "Adh'afan
Mudho'afah" (berlipat ganda) dalam ayat ini bukanlah sebagai syarat keharaman Riba itu.
Karena kalau itu sebagai syarat, maka riba menjadi haram hanya kalau banyak saja, kalau sedikit
tidak mengapa.
Tidak begitu! Ulama mengatakan bahwa "Adh'afan Mudho'afah" (berlipat ganda) itu bukan
syarat, akan tetapi menjadi "Hal" (keterangan), bahwa Riba itu mempunyai karakteristik yang
terus menerus melipat ganda sehingga menjadi sangat besar seiring berjalannya waktu.

Keempat:

‫ني َوِمإ ْيو َوَلْي آَوَت ْي َولُت‬ ‫ِم ِم‬ ‫ِم ِم‬ ‫ِم‬
‫َو َو َت َوه َّنذ َو َو لُت آَّنَت ُت لَّن َو َو ذَو ُتر َو َو َوي َو َِّو إِم ْيو ُتكْيلُت ْي ُت ْيؤ ل َو‬
‫ا َوْي َو ِم ُتك ْي آَوظْيلِم ُتم َوو َو آُتظْيلَو ُتم َوو‬ ‫ر‬ ‫ك‬
‫ُت‬ ‫ل‬
‫َو‬ ‫َت‬
‫َو‬ ‫ُت‬ ‫ب‬‫َت‬
‫ُت‬ ‫آ‬ ‫و‬
‫ْي‬ ‫ِم‬
‫إ‬ ‫َو ْي َوذنُت ِم ٍ ِم لَّن ِم رس ِمِم‬
‫َوْي َو َو َو ُت َو ْي ْي ْي ُت ُت ُت‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-
Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Al-
Baqarah : 278-279)

Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif
lam pada kata (‫ )الربا‬mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam
riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi'ah.

Hal yang sama pada alif lam pada kata (‫ )البيع‬yang berarti semua jenis jual-beli. Jadi segala
jenis riba itu haram hukumnya dan segala jenis jual-beli itu halal, akan tetapi jika ada hal-hal
yang membuat akad jual beli itu rusak atau terdapat didalamnya sesuatau yang haram, maka
menjadi haram pula-lah jual beli tersebut.

Anda mungkin juga menyukai