Anda di halaman 1dari 7

2.

Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah)


Secara etimologi, asy-syirkah berarti pencampuran, yaitu pencam puran
antara sesuatu dan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Secara terminologi,
pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh para ulama fikih hanya berbeda
secara redaksional sedangkan esensi yang terkan dung di dalamnya sama, yaitu
ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.
Dasar hukumnya akad syirkah dibolehkan, menurut ulama fikih,
berdasarkan Al Qur'an dan Hadis. Al-Qur'an QS. Shaad (38): 24 QS. an-Nisaa' (4):
12 Merupakan ayat hukum kewarisan yang menunjukkan adanya persekutuan mi
lik antara para ahli waris terhadap harta warisan sebelum dibagi. Hadist rasul,
kemitraan usaha dan pembagian hasil telah dipraktikkan selama masa Rasulullah.
Para sahabat terlatih dan mematuhinya dalam men jalankan metode ini. Rasulullah
tidak melarang bahkan menyatakan persetujuannya dan ikut menjalankan metode
ini. Imam ad-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari NabiSAW yang
bersabda: Allah SWT berfirman: "Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha
Melindungi) bagi dua orang yang melakukan svirkah, selama salah seorang di
antara mereka tidak berkhianat kepada perseronya. Apabila di antara mereka
ada yang berkhin nat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi). HR.
Abu Daud: "Umat Islam bersekutu dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api
"..... HR. Nasa't: Dari Abdullah: "... Aku, Ammar, dan Sa'ad bersyirkah dalam
perolehan perang Badar. Lalu Sa'ad mendapat dua ekor kuda sedangkan Aku dan
Ammar tidak mendapatkan apa pun.
Rukun dan Syarat, Syirkah mempunyai syarat umum, yaitu:
1) Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah
satu pihak jika bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin
pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
2) Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat
dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
3) Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba perserikatan bukan dari harta lain.
Syarat umum ini juga berlaku bagi syirkah inan dan wujuh. Adapun syarat
khusus untuk masing-masing syirkah amlak dibahas dalam bab wasiat, hibah,
wakaf, dan waris. Ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah
secara umum dan secara khusus. Adapun hal-hal yang menyebabkan ber akhirnya
akad perserikatan secara umum adalah sama dengan berakhir nya akad pada
umumnya. Jika dilihat dari bentuk perserikatan secara khusus, ada beberapa hal
berakhirnya akad, sebagai berikut:
a) Pada syirkah anwal, akad dinyatakan batal bila semua atau sebagian modal
perserikatan hilang, karena objek perserikatan ini adalah harta.
b) Pada syirkah mufawadhah, perserikatan dinyatakan batal bila modal masing-
masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena mufawadhah berarti persamaan,
baik dalam modal, kerja, maupun keuntunganyang dibagi.
Terdapat juga bentuk dari syirkah. Syirkah secara umum terbagi
dalam tiga bentuk, yaitu syirkah ibahah, syirkah amlak, dan syirkah uqud.
1) Syirkah Ibahah, yaitu: persekutuan hak semua orang untuk diboleh kan
menikmati manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaan seseorang.
2) Syirkah Amlak (Milik), yaitu: Persekutuan antara dua orang atau lebih
untuk memiliki suatu benda. Syirkah Amlak (Milik) terbagi dua yaitu:
a) Syirkah Milik Jabriyah yang terjadi tanpa keinginan para pihak. yang
bersangkutan, seperti persekutuan ahli waris.
b) Syirkah Milik Ikhtiyariyah yang terjadi atas keinginan para pihak yang
bersangkutan.
3) Syirkah Akad, yaitu: persekutuan antara dua orang atau lebih yang
timbul dengan adanya perjanjian. Syirkah akad terbagi empat, yaitu: syirkah
amwal, syirkah 'amal, syirkah wujuh, dan syirkah mudharabah.
a) Syirkah Amwal, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam
modal/harta. Syirkah Amwal terbagi dua, yaitu:
(1) Syirkah al 'Inan, adalah persetujuan antara dua orang atau lebih untuk
memasukkan bagian tertentu dari modal yang akan diperdagangkan dengan
ketentuan keuntungan dibagi di antara para anggota sesuai dengan
kesepakatan bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus sama.
(2) Syirkah al Mufawadhah adalah persekutuan antara dua orang atau lebih
dalam modal dan keuntungannya dengan. syarat besar modal masing-
masing yang disertakan harus sama, hak melakukan tindakan hukum
terhadap harta syir kah harus sama dan setiap anggota adalah penanggung
dan wakil dari anggota lainnya.
b) Syirkah 'Amall'Abdan (persekutuan kerja/fisik), yaitu perjanjian persekutuan
antara dua orang atau lebih untuk menerima pe kerjaan dari pihak ketiga yang
akan dikerjakan bersama dengan ketentuan upah dibagi di antara para anggotanya
sesuai dengan kesepakatan mereka. Dasar hukumnya Hadis Riwayat Nasa'i
dariAbdullah Ibnu Mas'ud: "... Aku, Ammar, dan Sa'ad bersyirkah dalam
perolehan perang Badar, lalu Sa'ad mendapat dua ekor kuda, dan Aku serta
Ammar tidak mendapatkan apa pun.
c) Syirkah Wujuh, yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal
harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama-sama tersebut dengan
membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Syirkah ini berdasarkan
kepercayaan yang bersifat kredibilitas."
d) Syirkah Mudharabah (Qirah)
Perjanjian bagi hasil disebut juga syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu
berupa kemitraan terbatas adalah perseroan antara tenaga dan harta, seseorang
(pihak pertama/supp lier/pemilik modal/mudharib) memberikan hartanya kepa da
pihak lain (pihak kedua/ pemakai/ pengelola/ dharib) yang digunakan untuk
berbisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi
oleh masing masing pihak sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugi an, maka
ketentuannya berdasarkan syara' bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan
kepada harta, dan tidak di bebankan sedikit pun kepada pengelola, yang bekerja."
Bentuk mudharabah dan muqaradhah keduanya berarti peminjaman uang untuk
keperluan bisnis. Orang Irak me nyebut jenis kemitraan ini adalah mudharabah,
yang bera sal dari bahasa Arab dardh, yang berarti berjalan di atas atau bepergian
di muka bumi. Dalam bahasa hukum, mudharab ah berarti suatu kontrak kerja
sama, yang salah satu pihak (pemilik) berhak mendapatkan bagian keuntungan,
karena sebagai pemilik barang (rabbimal) dan mitra lainnya (dha rib/pengelola)
berhak memperoleh bagian keuntungan atas pekerjaannya sendiri. Orang Madinah
menyebut kemitraan ini dengan Mugaradhah (qaradhlqiradh), yang berarti pem
berian hak atas modal oleh pemilik modal kepada pemakai modal. Disebut
pinjaman karena pemilik modal telah kehi langan hak untuk menggunakan
modalnya dan menyerahkannya kepada pemakai modal (dharib)."
Dasar hukumnya adalah Al-Qur'an yaitu QS. al-Muzzammil (73): 20 , QS.
al-Baqarah (2): 198 dan Hadis Rasul HR. Thabrani "Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke
mitra usahanya se cara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersang kutan bertanggung jawab atas
dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan
Rasulullah mem bolehkannya." HR. Ibnu Majah "Dari Shalih bin Suhaib r.a.
bahwa Rasulullah bersabda: Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual
beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual."
Bentuk kerja sama boleh dilakukan antara sesama mus lim, atau antara
sesama non-Muslim, termasuk antara Muslim dengan non-Muslim. Melakukan
muamalah de ngan mereka diperbolehkan, namun orang non-Muslim tidak boleh
menjual yang haram (seperti, minuman ke ras, babi) ketika mereka melakukan
kerja sama dengan orang Muslim.
Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah binUmar yang mengatakan:
"Rasulullah SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar (padahal mereka orang
orang Yahudi) dengan mendapat bagian dari hasil panen buah dan tanaman." HR.
Imam Bukhari, dengan sanad dari Aisyah: Rasulullah SAW pernah membeli
makanan dari orang Yahudi lalu beliau menggadaikan baju besi kepada orang
Yahudi tersebut.
Imam at-Tarmidzi juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang me ngatakan: "Nabi
SAW telah wafat, sedangkan baju besi beliau tergadaikan dengan dua puluh sha'
makanan (sama dengan 43,52 kg gandum), yang beliau ambil untuk menghidupi
keluar ga beliau."
Imam at-Tarmidzi pernah meriwayatkan Hadis dengan sanad dari Aisyah: "Bahwa
Rasulullah SAW telah mengutus kepada se orang Yahudi untuk meminta dua baju
(untuk diserahkan) kepa da Maisaroh."
Adapula dasar hukum dari ijtihad yaitu para ulama beralasan, bahwa
praktik mudharabah dila kukan sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain tidak
membantah. Bahkan, harta yang dilakukan secara mud harabah itu di zaman
mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat,
Hadis, dan praktik para sahabat, para ulama fikih menetapkan, bah wa akad
mudharabah bila telah memenuhi rukun dan syaratnya, hukumnya adalah boleh.
Rukun dan Syarat Sah Mudharabah, Terdapat rukun dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam melakukan akad mudharabah, sebagai berikut:
(a) Pemodal dan Pengelola
1) Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan trans aksi dan sah
secara hukum.
2) Keduanya harus mampu bertindak sebagai wakil dan ka fil dari masing-
masing pihak.
3) Ada tiga kategori tindakan bagi mudharib, sebagai berikut:
a) Tindakan yang berhak dilakukan mudharib berda. sarkan kontrak,
yaitu menyangkut seluruh pekerjaan utama dan sekunder yang
diperlukan dalam penge lolaan usaha berdasarkan kontrak.
b) Tindakan yang berhak dilakukan mudharib berdasar kan kekuasaan
perwakilan secara umum, yaitu tin dakan yang tidak ada hu-
bungannya dengan aktivitas utama tapi membantu melancarkan
jalannya usaha. c) Tindakan yang tidak berhak dilakukan mudharib
tanpa izin eksplisit dari penyedia dana, misalnya meminjam atau
menggunakan dana mudharabah untuk keperluan pribadi.
4) Tindakan yang dilakukan shahibul maal dalam mudha rabah antara lain
tindakan yang berhubungan dengan pengambilan kebijakan teknis
operasional, seperti mem beli dan menjual.

(b) Sighat
1) Sighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat
yang diajukan dalam penawaran, atau salah satu pihak meninggalkan tempat
berlangsungnya nego siasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan
disempurnakan.
2) Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau secara tertulis dan
ditandatangani atau dapat juga melalui korespon densi dan cara-cara
komunikasi modern, seperti faksimi le dan komputer (e-mail) menurut
Akademi Fiqh Islam dari Organisasi Konferensi Islam (OKI).
(c) Modal
1) Harus diketahui jumlah dan jenisnya (yaitu, mata uang).
2) Harus tunai. Beberapa ulama membolehkan modal mudharabah
berbentuk aset perdagangan, misalnya inventaris. Pada waktu akad, nilai
aset tersebut serta biaya yang telah ter kandung di dalamnya (historical cost)
harus dianggap sebagai modal mudharabah. Mazhab Hambali membo
lehkan penyediaan aset-aset nonmoneter, seperti pesa wat, dan kapal untuk
modal mudharabah. Pengelola me manfaatkan aset-aset ini dalam suatu
usaha dan berbagi hasil dari usahanya dengan penyedia aset dan pada
akhirmasa kontrak pengelola harus mengembalikan aset-aset tersebut.
(d) Nisbah keuntungan
1) Harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan
mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak yang lain.
2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketa hui pada waktu
berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan, misalnya 60 persen
dari keuntungan untuk pemodal dan 40 persen dari keuntungan untuk
pengelola.
3) Bila jangka waktu mudharabah relatif lama (tiga tahun ke atas), maka
nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang
ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola.
Kesepakatan ini pen ting, karena biaya akan memengaruhi nilai keuntungan.
5) Untuk pengakuan keuntungan harus ditentukan suatu waktu untuk
menilai keuntungan yang dicapai dalam su atu mudharabah. Menurut Fikh
Islam OKI, keuntungan dapat dibayarkan ketika diakui, dan dimiliki dengan
per nyataan atau revaluasi dan hanya dapat dibayarkan pada waktu
dibagikan.
6) Menurut Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Syafi'i, keuntungan harus
diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum
dibagikan). Adapun Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali menye
but, bahwa keuntungan hanya dapat diakui ketika diba gikan secara tunai
kepada kedua pihak.
7) Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan. mengembalikan
lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul maal, namun kebanyakan
ulama menyetujui bila kedua pihak sepakat membagi keuntungan tanpa
mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerja sama masih
berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan
untun Bila keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami
kerugian, sebagian ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta
menutupi kerugian tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan
kepadanya.

Bentuk Mudharabah. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan oleh pemilik
modal (shahibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib), fasilitas pembiayaan
bagi hasil mudharabah terbagi dua, yaitu al mudha rabah mutlaqah dan al
mudharabah muqayyadah. Pada mudharabah mutlaqah (mutlak) pengelola, yaitu
mudharib diberi suatu kebebasan untuk mengelola modal dengan usaha apa saja
yang bisa mendatangkan keuntungan dan tidak dibatasi pada daerah tertentu,
namun bidang usaha yang dikelola tetap tidak boleh ber-tentangan dengan hukum
syariah.
Pada mudharabah muqayyadah (terbatas), mudharib harus mengikuti syarat-
syarat yang ditetapkan oleh shahibul maal, seperti berdagang barang tertentu, di
daerah tertentu, dan mem beli barang pada orang tertentu. Syarat-syarat yang
ditentukan oleh shahibul maal juga tidak boleh bertentangan dengan lan dasan
hukum syariah. Dengan demikian, perbedaan utama antara keduanya adalah ter
letak pada ada atau tidak adanya pembatasan dalam mengelola usaha yang
mengakibatkan ada atau tidak adanya persyaratan yang ditentukan oleh shahibul
maal pada mudharib.
Syirkah dalam KHES diatur dalam Buku Kedua pada Bab 6 dan Bab7. Pada
Bab 6 Pengaturan tentang Syirkah dibagi menjadi 6 bagian, yang terdiri atas:
Ketentuan Umum Syirkah (Pasal 134-145); Syirkah al-Amwal (Pasal 146-147);
Syirkah Abdan (Pasal 148-164); Syirkah Mufawadhah (Pa sal 165-172): Syirkah
'Inan (pasal 173-177); Syirkah Musytarakah (Pasal 178-186). Pada Bab 7 khusus
membahas tentang Mudharabah, terbagi menjadi 2 bagian, yaitu tentang: Syarat
Mudharabah (Pasal 187-193) dan Ketentuan Mudharabah (Pasal 94-210).

Anda mungkin juga menyukai