(b) Sighat
1) Sighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat
yang diajukan dalam penawaran, atau salah satu pihak meninggalkan tempat
berlangsungnya nego siasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan
disempurnakan.
2) Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau secara tertulis dan
ditandatangani atau dapat juga melalui korespon densi dan cara-cara
komunikasi modern, seperti faksimi le dan komputer (e-mail) menurut
Akademi Fiqh Islam dari Organisasi Konferensi Islam (OKI).
(c) Modal
1) Harus diketahui jumlah dan jenisnya (yaitu, mata uang).
2) Harus tunai. Beberapa ulama membolehkan modal mudharabah
berbentuk aset perdagangan, misalnya inventaris. Pada waktu akad, nilai
aset tersebut serta biaya yang telah ter kandung di dalamnya (historical cost)
harus dianggap sebagai modal mudharabah. Mazhab Hambali membo
lehkan penyediaan aset-aset nonmoneter, seperti pesa wat, dan kapal untuk
modal mudharabah. Pengelola me manfaatkan aset-aset ini dalam suatu
usaha dan berbagi hasil dari usahanya dengan penyedia aset dan pada
akhirmasa kontrak pengelola harus mengembalikan aset-aset tersebut.
(d) Nisbah keuntungan
1) Harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu pihak tidak diperkenankan
mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada pihak yang lain.
2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketa hui pada waktu
berkontrak, dan proporsi tersebut harus dari keuntungan, misalnya 60 persen
dari keuntungan untuk pemodal dan 40 persen dari keuntungan untuk
pengelola.
3) Bila jangka waktu mudharabah relatif lama (tiga tahun ke atas), maka
nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang
ditanggung pemodal dan biaya-biaya apa saja yang ditanggung pengelola.
Kesepakatan ini pen ting, karena biaya akan memengaruhi nilai keuntungan.
5) Untuk pengakuan keuntungan harus ditentukan suatu waktu untuk
menilai keuntungan yang dicapai dalam su atu mudharabah. Menurut Fikh
Islam OKI, keuntungan dapat dibayarkan ketika diakui, dan dimiliki dengan
per nyataan atau revaluasi dan hanya dapat dibayarkan pada waktu
dibagikan.
6) Menurut Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Syafi'i, keuntungan harus
diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum
dibagikan). Adapun Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali menye
but, bahwa keuntungan hanya dapat diakui ketika diba gikan secara tunai
kepada kedua pihak.
7) Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan. mengembalikan
lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul maal, namun kebanyakan
ulama menyetujui bila kedua pihak sepakat membagi keuntungan tanpa
mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerja sama masih
berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan
untun Bila keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami
kerugian, sebagian ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta
menutupi kerugian tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan
kepadanya.
Bentuk Mudharabah. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan oleh pemilik
modal (shahibul maal) dengan pengelola usaha (mudharib), fasilitas pembiayaan
bagi hasil mudharabah terbagi dua, yaitu al mudha rabah mutlaqah dan al
mudharabah muqayyadah. Pada mudharabah mutlaqah (mutlak) pengelola, yaitu
mudharib diberi suatu kebebasan untuk mengelola modal dengan usaha apa saja
yang bisa mendatangkan keuntungan dan tidak dibatasi pada daerah tertentu,
namun bidang usaha yang dikelola tetap tidak boleh ber-tentangan dengan hukum
syariah.
Pada mudharabah muqayyadah (terbatas), mudharib harus mengikuti syarat-
syarat yang ditetapkan oleh shahibul maal, seperti berdagang barang tertentu, di
daerah tertentu, dan mem beli barang pada orang tertentu. Syarat-syarat yang
ditentukan oleh shahibul maal juga tidak boleh bertentangan dengan lan dasan
hukum syariah. Dengan demikian, perbedaan utama antara keduanya adalah ter
letak pada ada atau tidak adanya pembatasan dalam mengelola usaha yang
mengakibatkan ada atau tidak adanya persyaratan yang ditentukan oleh shahibul
maal pada mudharib.
Syirkah dalam KHES diatur dalam Buku Kedua pada Bab 6 dan Bab7. Pada
Bab 6 Pengaturan tentang Syirkah dibagi menjadi 6 bagian, yang terdiri atas:
Ketentuan Umum Syirkah (Pasal 134-145); Syirkah al-Amwal (Pasal 146-147);
Syirkah Abdan (Pasal 148-164); Syirkah Mufawadhah (Pa sal 165-172): Syirkah
'Inan (pasal 173-177); Syirkah Musytarakah (Pasal 178-186). Pada Bab 7 khusus
membahas tentang Mudharabah, terbagi menjadi 2 bagian, yaitu tentang: Syarat
Mudharabah (Pasal 187-193) dan Ketentuan Mudharabah (Pasal 94-210).