Anda di halaman 1dari 23

RINGKASAN MATERI

“AKAD DAN TRANSAKSI BISNIS ISLAM”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam

Dosen Pengampu:
Muhrom Ali Rozai, S.E., M.Sy., M.Si., CRMO.
Disusun Oleh:
Kelompok 7
1. Rosmaulida Nur Hasanah (175221039)
2. Putri Eka Permatasari (175221050)
3. Dwi Andriani (175221056)
4. Lutfia Althaf Nur Ariba (175221101)
5. Sofiah Ayu Lestari (175221103)
Akuntansi Syariah 7C

AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2020
A. PENGERTIAN AKAD

Akad dalam bahasa Arab al-‘aqd yang berarti ikatan atau mengikat (al-rabth).
Menurut terminologi hukum Islam, akad adalah pertalian antara penyerahan (ijab) dan
penerimaan (qabul) yang dibenarkan oleh syariah, yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya (Ghufron Mas’adi, 2002). Menurut Abdul Razak Al-Sanhuri dalam
Nadhariyatul ‘aqdi, akad adalah kesepakatan dua belah pihak atau lebih yang
menimbulkan kewajiban hukum yaitu konsekuensi hak dan kewajiban, yang mengikat
pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam kesepakatan tersebut
(Ghufron Mas’adi, 2002).

Muhammad Salam Madkur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami, menjelaskan


pengertian akad berupa suatu hal yang diikatkan oleh seseorang atau suatu urusan yang
harus dikerjakan atau tidak dikerjakan karena adanya suatu kepastian yang mengikat
atasnya. Dari definisi tersebut telah mencakup segala bentuk perjanjian atau perikatan
yang mempunyai konsekuensi untuk dilaksanakan bagi semua pihak yang
mengadakannya.

Maka, dapat dipahami bahwa dalam definisi akad memiliki beberapa unsur yang
harus ada. Pertama, adanya pihak yang mengikatkan diri atau saling mengikatkan diri.
Kedua, adanya suatu perjanjian yang ingin ditaati dan mengikat. Ketiga, adanya objek
perjanjian yang jelas bagi pihak yang mengikatkan diri.

Dalam buku Pengantar Fiqh Mua’malah milik Hasbi Ash-Shiddiqy disebutkan


bawha terdapat unsur-unsur yang harus ada dalam akad yang disebut sebagai rukun.
Adapun rukun akad di antaranya yaitu: Pertama, ’aqid atau pelaku akad atau dua belah
pihak yang saling bersepakat untuk memberikan sesuatu hal dan yang lain
menerimanya. Kedua, mahal al-‘aqd atau ma’qud ‘alayh, yaitu benda yang menjadi
objek dalam akad. Ketiga, ijab dan qabul atau shigah al-‘aqd, yaitu ucapan atau
perbuatan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak.

B. JENIS-JENIS AKAD

Di bawah ini terdapat beberapa jenis-jenis akad, antara lain sebagai berikut:

1. Akad Mudharabah

1
PSAK 105 mendefinisikan mudharabah sebagai akad kerja sama antara
dua pihak di mana pihak pertama (pemilik dana/shahibul maal) menyediakan
seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola/mudharib) bertindak selaku
pengelola, dan keuntungan dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan
sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pemilik dana. Apabila
kerugian terjadi diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana, maka kerugian
akan ditanggung oleh pengelola dana.
Akad mudharabah merupakan suatu transaksi investasi yang
berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam
akad mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola
dana. Kepercayaan dalam akad mudharabah sangat penting dikarenakan
pemilik dana tidak boleh ikut campur di dalam manajemen perusahaan atau
proyek yang dibiayai dengan dana dari pemilik dana tersebut, kecuali sebatas
memberikan saran-saran dan melakukan pengawasan pada pengelola dana.
Dalam akad mudharabah, pemilik dana tidak boleh mensyaratkan
sejumlah tertentu untuk bagiannya karena dapat dipersamakan dengan riba
yaitu meminta kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor penyeimbang (iwad)
yang diperbolehkan syariah. Dalam PSAK, mudharabah diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, antara lain:
a. Mudharabah Muthlaqah adalah mudharabah di mana pemilik dana
memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan
investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat.
b. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharabah di mana pemilik
dana memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai
dana, lokasi, cara, dan/atau objek investasi atau sektor usaha.
Mudharabah jenis ini disebut juga investasi terikat. Jika pengelola
dana bertindak bertentangan dengan syarat-syarat yang diberikan
oleh pemilik dana, maka pengelola dana harus bertanggung jawab
atas konsekuensi yang ditimbulkannya, termasuk konsekuensi
keuangan.
c. Mudharabah Musytarakah adalah mudharabah di mana pengelola
dana menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi.

2
Mudharabah ini disebut mudharabah musytarakah yang merupakan
perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah.
Menurut Ijmak Ulama, mudharabah hukumnya jaiz (boleh). Hal ini
dapat diambil dari kisah Rasulullah yang pernah melakukan mudharabah
dengan Siti Khadijah. Siti Khadijah bertindak sebagai pemilik dana dan
Rasulullah sebagai pengelola dana. Jenis bisnis ini sangat bermanfaat dan
sangat selaras dengan prinsip dasar ajaran syariah, oleh karena itu akad ini
diperbolehkan secara syariah.
Akad mudharabah dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut
(Sabbiq, 2008):
a. Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka
mudharabah berakhir pada waktu yang telah ditentukan.
b. Salah satu pihak memutuskan untuk mengundurkan diri.
c. Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal.
d. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola
usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad.
Sebagai pihak yang mengemban amanah ia harus beritikad baik dan
hati-hati.
e. Modal sudah tidak ada.
2. Akad Musyarakah
Musyarakah menurut PSAK No. 106 adalah akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana seluiruh pihak sama-sama
memberikan kontribusi dananya dengan pembagian keuntungan berdasarkan
kesepakatan dan pembagian kerugian berdasarkan kontribusi dana dalam
akad. Dalam musyarakah, dapat ditemukan aplikasi dari ajaran islam yaitu
gotong royong, keadilan dan persaudaraan.
Jenis-jenis akad musyarakah dibagi berdasarkan ulama fikih dan PSAK.
Berdasarkan ulama fikih antara lain:
a. Syirkal al-Milk, artinya kepemilikan bersama yang muncul ketika
kedua pemilik atau lebih memperoleh kepemilikan bersama atas
suatu kekayaan atau asset. Kepemilikan tersebut dapat bersumber

3
dari warisa, hibbah, wasiat atyau membeli suatu asset secara
bersama.
b. Syirkah Al-‘Uqud, artinya mitra yang dibentuk denan kesepakatan
dua orang atau lebih untuk bekerjasama dengan tujuan tertentu.
Syirkah ini dibagi menjadi beberapa macam:
1) Syirkah Abdan, adalah bentuk kerja sama anta dua pihak atau
lebih yang berasal dari kalangan pekerja/profesional yang
sepakat uintuk bekerja sama melakukan suatu pekerjaan dan
berbagi penghasilan yang diterima. Contoh: Akuntan, Dokter,
Ahli Hukum, Tukang Jahit.
2) Syirkah Wujuh, adalah kerja sama dimana masing-masing pihak
sama sekali tidak menyerahlan modalnya. Mereka bekerja sam
atas dasar reputas, kepercayaan dan nama baik.
3) Syirkah ‘Inan, adalah bentuk kerja sama dimana komposisi
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak sama.
4) Syirkah Mufawwadhah, bentuk kerja sama dimana komposisi
pihka-pihak di dalamnya harus sama.
Berdasarkan PSAK antara lain:
a. Musyarakah permanen, adalah musyarakah dimana ketentuan baian
dana setiap pihak akan selalu sama dari masa akad sampai
berakhirnya akad.
b. Musyarakah menurun/mutanaqisah, adalah musyarakah dimana
ketentuan bagian dana dari salah satu pihak akan dialihkan secara
bertahap kepada pihak lainnya sehingga pada masa kahir akad pihak
lain tersebut menjadi pemilik penuh sebuah usaha.
Dasar syariah akad musyarakah terdapat dalam surat An-Nisa ayat 12:
“Maka mereka berserikat pada sepertiga” serta tercantum dalam surat Shaad
ayat 24: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebagian mereka berbuat salah pada sebagian yang lain kecuali orang
yang beriman dan beramal saleh.”. Rukun akad musyarakah antara lain: (a)
pelaku, (b) objek musyarakah, (c) ijab kabul, dan (d) nisbah. Akad
musyarakah berakhir ketika:

4
a. Salah seorang mitra menghentikan akad
b. Salah seorang mitra meninggal atau hilang akal
c. Modal musyarakah hilang/habis.
Penetapan nisbah dalam akad musyarakah antara lain:
a. Pembagian keuntungan proporsional sesuai modal
b. Pembagian keuntungan tidak proporsional dengan modal.
Pada hal ini dipertimbangkan tangung jawab, pengalaman, kompetensi dan
waktu kerja yang lebih panjang.
3. Akad Murabahah
Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu yang
berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan secara sederhana
Murabahah adalah suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah
keuntungan yang disepakati, jadi singkatnya murabahah adalah akad jual
beli dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli
Murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun berangsur. Hal inilah yang
membedakan Murabahah dengan jual beli lainnya dimana penjual harus
memberitahukan kpada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta
jumlah keuntungan yang diperoleh.
Dasar hukum akad murabahah terdapat dalam surat An-Nisa ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta
kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan
yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian,
sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.”
Rukun akad murabahah terdiri dari: (a) penjual (ba’i), (b) pembeli (al-
musytari’), (c) barang yang dibeli (al-mabi’), (d) harga (tsaman), dan (e) ijab
qabul (shighat).
4. Akad Salam
Salam merupakan salah satu jenis akad jual beli, dimana pembeli
membayar terlebih dahulu atas suatu barang yang spesifikasi dan
kuantitasnya jelas, sedangkan barangnya baru akan diserahkan pada saat
tertentu dikemudian hari. Dengan demikian, akad salam dapat membantu

5
produsen dalam penyediaan modal sehingga ia dapat menyerahkan produk
sesuai dengan yang telah dipesan sebelumnya. Sebaliknya, pembeli
mendapat jaminan memperoleh barang tertentu, pada saat ia membutuhkan
dengan harga yang disepakatinya di awal. Akad salam biasanya digunakan
untuk pemesanan barang tertentu.
Jenis-jenis akad salam antara lain:
a. Salam, dapat didefinisikan sebagai transaksi atau akad jual beli di
mana barang yang diperjual belikan belum ada ketika transaksi
dilakukan, dan pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan
penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.
b. Salam paralel, artinya melaksanakan dua transaksi salam yaitu
antara pemesanan pembeli dan penjual serta antara penjual dengan
pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika
penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan kepada pihak
lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut. Salam parallel
dibolehkan asalkan akad salam kedua tidak tergantung pada akad
yang pertama yaitu akad antara penjual dan pemasok tidak
tergantung pada akad antar pembeli dan penjual, jika saling
tergantung atau menjadi syarat tidak diperbolehkan.
Sumber hukum akad salah dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar..”. Selain itu tercantum juga dalam al-hadis yang berbunyi “Barang
siapa melakukan salam, hendaknya ia melakukannya dengan takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
(HR Bukhari Muslim).
Rukun dan ketentuan akad salam antara lain sebagai berikut:
a. Pelaku yang cakap hukum dan baligh.
b. Objek akad
1) Ketentuan syariah yang terkait dengan modal salam:
a) Modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya.

6
b) Modal salam bebrbentuk uang tunai.
c) Modal salam diserahkan ketika akad berlangsung, tidak
boleh utang atau pelunasan piutang.
2) Ketentuan syariah barang salam:
a) Barang tersebut harus dapat dibedakan mempunyai
spesifikasi dan karakteristik yang jelas sehingga tidak ada
gharar.
b) Barang tersebut harus dapat dikuantifikasikan.
c) Waktu penyerahan barang harus jelas.
d) Barang tidak harus ada ditangan penjual tetapi harus ada
pada waktu yang ditentukan.
e) Apabila barang tidak ada pada waktu yang ditentukan maka
akad menjadi fasakh/ rusak dan pembeli dapat memilih
apakah menunggu sampai barang yang dipesan tersedia atau
membatalkan akad.
f) Apabila barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan
yang disepakati maka pembeli boleh melakukan khiar atau
memilih untuk menerimaataumenolak.
g) Apabila barang yang dikirim memiliki kualitas yang lebih
baik, maka penjual tidak boleh memintata bahan
pembayaran
h) Apabila barang yang dikirim kualitasnya rendah, pembeli
boleh memilih ataumenolaknya.
i) Barang boleh dikirim sebelum jatuh tempoasalan diketahui
oleh kedua belahpihak.
j) Penjualan kembali barang yang dipesan sebelum diterima
tidak dibolehkan secara syariah.
k) Kaidah penggantian barang yang dipesan dengan barang
lain.
l) Apabila tempat penyerahan barang tidak disebutkan, akad
tetap sah.
c. Ijab kabul

7
Berakhirnya akad salam apabila terjadi hal-hal seperti berikut ini:
a. Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
b. Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati
dalam akad.
c. Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih
untuk menolak atau membatalkan akad.
d. Barang yang dikirim kualitsnya tidak sesuai akd tetapi pembeli
menerimanya.
e. Barang diterima.
5. Akad Istihna’
Istishna adalah akad pemesanan suatu barang dari pihak 1 (pemesan) ke pihak
2 (produsen). Adapun dalam Istishna, pemesan memiliki kriteria sendiri untuk
dibuatkan barang tersebut oleh produsen. Singkat kata, produsen harus membuatkan
barang pesanan sesuai dengan keinginan pemesan. Jenis-jenis akad istishna’
antara lain:
a. Istishna yang akad jual belinya dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria atau persyaratan tertentu yang
disepakati antara pemesan mustashni dan shani’.
b. Istishna pararel adalah suatu bentuk akad istishna antara penjual dan
pemesan memenuhi kewajiban pemesan, penjual melakukan akad
istishna dengan pihak lain yang dapat memenuhi pesanan yang
dipesan oleh pemesan.
Sumber hukum akad istishna’ tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat
283 yang artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu
menuliskannya.” Selain itu dalam al-hadits dijelaskan bahwa: Amr Bin Auf
berkata: “perdamaian dapat dilakukan diantara kamu muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram,
dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal” (HR. Tirmidzi).
Dalam jual beli istishna’, terdapat rukun yang harus
dipenuhi, (mustashni’) yakni pihak yang membutuhkan  dan memesan
barang. Dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang

8
pesanan, barang/ objek (mashnu’) dan sighat (ijab qabul). Di samping itu,
ulama juga menentukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli
istishna’. Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkannya transaksi jual
beli istishna’ adalah:
Adanya kejelasan jenis, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan
objek transaksi yang harus di ketahui spesifikasinya. Merupakan barang
yang biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan antar manusia. Dalam
arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam
kehidupan manusia, seperti barang property, barang industry dan lainnya.
Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu peyerahan
barang ditetapakan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akadsalam.
Ketentuan objek (barang) dalam istishna’ antara lain: Harus jelas ciri-
cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan
spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian. Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Pembeli tidak
boleh menjual barang sebelum menerimanya.
Berakhirnya akad istishna’ terjadi dikarenakan:
a. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
b. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kotrak
c. Pembatalan hukum kontrak ini jika muncul sebab yang masuk akal
untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya,
dan masing masing pihak bisa menuntut pembatalannya
6. Akad Ijarah
Menurut Sayyid Sabiq dalam fikih sunah, al Ijarah ini berasal dari kata
al Ajru yang mempunyai makna al ‘Iwadhu atau ganti atau kompensasi.
Akad ijarah adalah akad pemindahan manfaat terhadap suatu barang atau
asset dalam waktu tertentu tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
dari barang atau asset tersebut.Akad ijarah ini mewajibkan si pemberi sewa
untuk dapat menyediakan barang yang bisa dipakai atau dapat diambil
manfaat darinya selama periode akan. Dan memberikan hak kepada pemberi
sewa untuk menerima pembayaran sewa terhadap barang yang disewakan.
Jika setelah dilakukan akad terdapat kerusakan sebelum barang digunakan,

9
maka akad bisa dibilang batal atau pemberi sewa harus mengganti barang
yang disewakan dengan barang baru yang sejenis.
Jenis akad ijarah berdasarkan objek yang disewakan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu: (a) manfaat terhadap asset yang tidak bergerak. Misalnya seperti
rumah, mobil dan motor, dan (b) manfaat terhadap aset jasa. Misalnya
seperti yang berasal dari hasil karya atau dari pekerjaan seseorang.
Berdasarkan PSAK Nomor 107, akad ijarah dibagi menjadi empat jenis
yaitu sebagai berikut:
a. Ijarah adalah kegiatan sewa menyewa objek ijarah tanpa adanya
perpindahan dari hak kepemilikan barang atau asset.
b. Ijarah Muntahiya Bit Tamlik adalah ijarah dengan janji atau wa’ad
perpindahan kepemilikan barang yang diijarahkan pada saat
tertentu. Perpindahan kepemilikan bisa dilaksanakan apabila semua
pembayaran sewa terhadap objek ijarah yang dialihkan sudah
diselesaikan dan objek ijarah sudah diserahkan kembali kepada
pemberi sewa. Selanjutnya, untuk perpindahan kepemilikan akan
dibuatkan akad yang baru, dan terpisah dari akad ijarah sebelumnya.
Perpindahan kepemilikan ini bisa dilakukan dengan melalui
penjualan, hibah, atau penjualan secara bertahap (angsuran) setiap
penyewa melakukan pembayaran dari harga total sampai dengan dia
mempunyaiassetataubarangtersebutsecarapenuhdiakhirakad.
c. Jual-dan-Ijarah adalah transaksi untuk menjual objek ijarah kepada
pihak lain, dan selanjutnya disewa kembali objek yang sudah dijual
tersebut.
d. Ijarah-lanjut adalah menyewakan lebih lanjut kepada pihak lain
terhadap asset atau barang yang sebelumnya disewa dari pemilik.
Sumber hukum akad ijarah tercantum dalam Al-Quran yaitu: “Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah
meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agas
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Az-Zukhruf:

10
32). Selain itu dalam al-hadist dari Saad bin Abi Waqqash r.a bahwa
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda: “Dahulu kami menyewa
tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah
Shallallahu `alaihi Wa Sallam melarang kami cara itu dan memerintahkan
kami agar membayarnya dengan uang emas dan perak.”(HRNasa’i).
Rukun dan akad ijarah ada tiga yaitu: (a) pelaku, yang terdiri dari
pemberi sewa atau pemberi jasa (lessor atau mu’jir) dan penyewa atau
pengguna jasa (lesse atau musta’jir), (b) objek, yang berupa manfaat dari
asset/barang (ma’jur) dan pembayaran sewa, atau manfaat jasa dan
pembayaran upah, dan (c) ijab kabul.
Akad ijarah berakhir apabila:
a. Periode akad sudah selesai sesuai dengan perjanjian awal, namun
kontrak masih bisa berlaku meskipun dalam perjanjian sudah selesai
dengan beberapa macam alasan. Misalnya keterlambatan masa
panen apabila menyewakan lahan untuk kegiatan pertanian, maka
dapat memungkinkan berakhirnya akad setelah panen selesai.
b. Periode akad belum selesai namun pemberi sewa dan penyewa
sepakat untuk mengakhiri perjanjian atau akad.
c. Terjadi kerusakan pada objek ijarah.
d. Penyewa tidak bisa membayar sewa.
e. Salah satu pihak yang terlibat dalam akad meninggal dunia dan ahli
waris tidak mempunyai keinginan untuk melanjutkan akad karena
memberatkan-nya. Apabila ahli waris merasa tidak masalah maka
akad akan tetap dijalankan. Kecuali akad-nya adalah upah
menyusui, maka jika sang bayi atau penyusu-nya meninggal maka
akad-nya menjadi batal.
C. JENIS AKAD LAINNYA
1. Akad Sharf
Sharf menurut bahasa adalah penambahan, penukaran, penghindaran,
atau transaksi jual beli. Sharf adaah transaksi jual beli suatu valuta dengan
valuta lainnya. Transaksi jual beli atau pertukaran mata uang, dapat
dilakukan baik dengan mata uang yang sejenis (misalnya rupiah dengan

11
rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dolar atau
sebaliknya).
Dari Abu Said al-Khudri r.a, Rasulullah saw bersabda: “Transaksi
pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke
tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, perak dengan perak harus sama
takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba,
gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke
tangan (tunai), kelebihannya adalah riba, tepung dengan tepung harus sama
takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba,
kurma dengan kurma harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba, garam dengan garam harus sama takaran,
timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.” (HR
Muslim).
Terdapat empat jenis transaksi pertukaran valuta asing, antara lain:
a. Transaksi “spot”, yaitu transaksi pembelian dan penjualan vas dan
penyerahannya pada saat itu atau penyelesaiannya maksimal dalam
jangka waktu dua hari, transaksi ini dibolehkan secara syariah,
karena dianggap tunai. Fleksibilitas waktu 2 hari adalah proses yang
tidak bisa dihindari dan merupakan batas normal suatu transaksi
internasional.
b. Transaksi “forward”, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas
yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk
waktu yang akan datang. Jenis transaksi ini tidak diperbolehkan
dalam syariah (terdapat usur gharar), karena harga yang
dipergunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan
penyerahannya dilakukan di kemudian hari dan harga pada waktu
penyerahan belum tentu sama dengan harga yang disepakati.
c. Transaksi “swap”, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan
valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian
atau penjualan valas yang sama dengan harga forward, hukumnya
harm karena ada unsur spekulasi/judi/maisir.

12
d. Transaksi ”option”, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam
rangka membeli (call option) atau hak untuk menjual (put option)
yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan
jangka waktu atau tanggal tertentu, hukumnya haram karena ada
unsur spekulasi/judi/maisir.
Dengan demikian, secara syariah transaksi pertukaran valuta asing
dibolehkan sepanjang dilakukan secara tunai dan tidak digunakan untuk
tujuan spekulasi. Bila penjualannya tunai tapi kalau tujuannya untuk
spekulasi, tetap tidak dibolehkan karena seperti yang sudah dijelaskan di atas
ang bukanlah komoditas.
2. Akad Wadiah
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Sumber hukum akad wadiah tercantum dalam Al-Quran yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. An-Nisa: 58).
Rukun dan syarat akad wadiah antara lain:
a. Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafi adalah ijab
dan qabul, yaitu penitip berkata kepada orang lain. Sedangkan
menurut jumhur ulama, rukun akad wadi’ah ada empat yaitu dua
orang yang melakukan akad orang yang titip dan orang yang dititipi,
sesuatu yang dititipkan dan sighah (ijab qabul).
b. Syarat akad wadiah antara lain:
1) Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan
maupun perbuatan.
2) Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan
akad-akad yang berkaitan dengan harta.

13
Macam-macam akad wadiah antara lain sebagai berikut:
a. Wadi’ah Yad amanah merupakan titipan murni, yakni pihak yang
dititipi tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipi
tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan berhak
meminta biaya penitipan.
b. Wadi’ah Yad Dhamanah titipan yang penerima titipan
diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari
barang titipan tersebut.
3. Akad Al-Wakalah
Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh
Muamalah adalah akad yang dapat diterima. Wakalah dapat disebut juga
dengan perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-
dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh). Wakalah dapat diartikan juga
dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.
Sumber hukum akad al-wakalah terdapat dalam Al-Quran yang artinya:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Q.S Yusuf: 55).
Rasullulah saw semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada
sahabatnya dan banyak hadist yang menunjukan dibolehkannya praktek
wakalah. Hadist tersebut yang artinya: “Dan dari Sulaiman bin Yasar:
Bahwa Nabi saw, mengutus Abu Rafi’, hamba yang pernah
dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu
menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (nabi
saw) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah). (HR Maliki
dalam Muwaththa).”
Rukun dan syarat akad al-wakalah antara lain:
a. Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
1) Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan
memiliki hak untuk tasharruf pada bidang-bidang yang
didelegasikannya.

14
2) Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang
dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa
itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
b. Orang yang diwakilkan (Al-Wakil)
1) Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu
aturan.
2) Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki
kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh
pemberi kuasa.
c. Obyek yang diwakilkan (Muwakkal fih)
Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain,
seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang
berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
d. Ijab Qabul (Shighat).
Berakhirnya akad al-wakalah berakhir jika terdapat hal-hal berikut ini:
a. Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat
sah akad adalah orang yang masih hidup.
b. Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah
satunya orang yang berakad mempunyai akal.
c. Dihentikanya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti,
dalam keadaan seperti ini al-wakalah tidak berfungsi lagi.
4. Akad Al-Kafalah
Akad kafalah adalah pemberian jaminan yang diberikan penanggung
(kafi’il) kepada pihak ketiga (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau pihak yang ditangung (makful anhu). Pada akad tersebut terdapat
perjanjian seseoran untuk memberikan penjamin kepada seorang kreditur
yang member hutang kepada debitur. Contoh akad tersebut: garansi bank,
stand by letter of credit, akseptasi, dan sebagainya.
Sumber hukum akad kafalah tercantum dalam surat al-Imran ayat 37
yang artinya: “Dan Dia (Allah) menjadikan Zakaria sebagai Penjaminnya
(Maryam).” Selain itu dalam Yusuf ayat 27 artinya: “Dan bagi siapa yang

15
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya.”
Rukun dan ketentuan syariah akad kafalah:
a. Pelaku
1) Pihak Penjamin (kafil): Baligh, berakal sehat, nerhak penuh
melakukan tindakan hokum
2) Makful ‘anhu: sanggup menyerahkan tanggungannya, dikenal
penjamin
3) Makful Lahu: diketauhi identitasnya, dapat hadir waktu akad,
berakal sehat.
b. Objek Penjamin (makful bih): merupakan tanggungan pihak yang
berutang, bisa dilaksanakan penjamin, harus merupakan utang yang
mengikat, jelas nilai dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan
syariat.
c. Ijab Kabul.
Berakhirnya akad kafalah disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a. Ketika utangnya telah diselesaikan.
b. Kreditur melepaskan utangnya kepada pihak yang berutang.
c. Ketika utang tersebut telah dialihkan.
d. Kreditur dapat mengakhiri kontrak kafalah
5. Qardhul Hasan
Qardhul hasan adalah pinjaman tanpa dikenakan biaya (hanya wajib
membayar sebesar pokok utangnya), pinjaman uang seperti inilah yang
sesuai dengan ketentuan syariah (tidak ada riba), karena kalau meminjamkan
uang maka ia tidak boleh meminta pengembalian yang lebih besar dari
pinjaman yang diberikan. Namun, si peminjam boleh saja atas kehendaknya
sendiri memberikan kelebihan atas pokok pinjamannya.
Pinjaman qardh bertujuan untuk diberikan pada orang yang
membutuhkan atau tidak memiliki kemampuan finansial, untuk tujuan sosial
atau untuk kemanusiaan. Cara pelunasan dan waktu pelunasan pinjaman
ditetapkan bersama antara pemberi dan penerima pinjaman. Biaya
administrasi dalam jumlah yang terbatas diperkenankan untuk dibebankan

16
kepada peminjam. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena
kelalaiannya maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman.
Sumber hukum Qardhul Hasan diambil dari as-Sunah yakni: Dari Abu
Qatadah: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika aku berjihad dengan jiwa
dan hartaku, aku bertempur penuh sabar demi mengharap pahala Allah dan
maju terus pantang mundur, apakah aku masuk surga?” Rasulullah
menjawab: “ya” Beliau mengatakan sebanyak tiga kali, kemudian ia
bersabda: “kecuali jika kamu mati dan kamu punya utang serta kamu tidak
membayarnya...” (HR Muslim).
Rukun dan ketentuan syariah qardhul hasan antara lain: (a) pelaku yang
terdiri dari pemberi dan penerima pinjaman, (b) objek akad, berupa uang
yang dipinjamkan, dan (c) ijab kabul.
6. Akad Al-Hiwalah
Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dengan
demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil
atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan pihak yang
menerima pemindahan (muhal ‟alaih). Beberapa prinsip dari hiwalah yaitu:
(a) tolong-menolong, (b) tidak boleh menimbulkan riba, dan (c) tidak
digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
Landasan syariah atas hiwalah dapat dijumpai dalam al-Qur’an, Hadis
dan Ijmak. Landasan syariah hiwalah dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]:
282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah eorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”
Landasan syariah atas hiwalah dalam Hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda
yang artinya: “Menunda pembayaran bagi orang mampu adalah suatu
kezaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan)
kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hiwalah itu.”
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang
melakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan

17
menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal alaih (pihak
ketiga). Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah ada 6
yaitu: Muhil (orang yang berutang kepada pihak yang haknya dipindahkan),
Muhal (orang yang menerima pemindahan hak, pemberi pinjaman, yaitu
pemilik piutang yang wajib dibayar oleh pihak yang memindahkan utang),
Muhal alaih (penerima akad pemindahan utang), Piutang milik muhāl yang
wajib dilunasi oleh muhīl (objek hukum akad pemindahan utang), Piutang
milik muhil yang wajib dilunasi oleh muhal alaih, dan Shighat (ijab dan
qabul).
Jenis-jenis hiwalah:
a. Hiwalah Al-Muqayyadah (pemindahan bersyarat) yaitu pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak
kedua.
b. Hiwalah Al-Mutlaqah (pemindahan mutlak) yaitu pemindahan
utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang
pihak pertama kepada pihak kedua.
Berakhirnya Hiwalah terjadi apabila:
a. Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil
menjadi gugur.
b. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka
menurut pendapat Jumhur.
c. Menurut Imam Maliki jika muhil “menipu” muhal, di mana ia
menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir),
maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
d. Jika Muhāl alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal.
e. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta
hiwalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan.
f. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah
kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
g. Jika Muhal menghapus bukan kewajiban membayar hutang kepada
Muhal Alaih
7. Akad Al-Rahn

18
Rahn adalah barang jaminan, pinjaman, agunan adan tangguhan. Akad
Rahn adalah sebuah perjanjian pinjaman dengan jaminan atau dengan
penahanan harta milik si peminjam dengan jaminan atas pinjaman yang
duterimanya.
Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai merupakan kewajiban
rahin namun dapat dilakukan oleh pihak murtahin dengan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang ditanggung oleh rahin. Apabila pada
saat jatuh tempo, pihak rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka brang
jaminan tidak semata-mata lansung menjadi pemilik murtahin atau dapat
mengganti piutangnya. Namun, barang jaminan tersebut harus dijual dan
penjualan bersih diguynakan untuk melunasi hutang.
Rahn Tajlisi atau Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yhang hak
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda tersebut.
Dalam pelaksanaan rahn tajlisi, biaya pemeliharaan harus ditanggung oleh
pihak yang menggadaikan, pihak penerima gadai dapat menyimpan bukti
kepemilikan sedangkan pihak penggadai dapat menggunakan barang
gadaian, apabila terjadi eksekusi jaminan barang gadai tersebut dapat dijual
atas dasar izin pemilik baran gadai.
Dasar hukum akad rahn tercantum dalam Al-Quran yang artinya: “Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tangungan
yang dipegang oleh yang berpiutang” (QS Al-Baqarah: 283).
Rukun dan ketentuan syariah akad rahn:
a. Pelaku, terdiri dari pihak penggadai (rahin) dan pihak yang
menerima gadai (murtahin), pihak tersebut haruslah cakap hokum
dan baligh
b. Objek yang digadaikan (marhun)
1) Barang gadai (marhun): dapat dijual dan nilainya seimbang,
harus dinilai dan dapat dimanfaatkan, harus jelas, harus milik
sendiri.

19
2) Utang (marhun bih), nilai utang harus jelas termasuk jatuh
temponya.
c. Ijab Kabul.
7. Akad Ju’alah
Ju’alah berasal dari kata ja’ala yang memiliki banyak arti: jumlah
imbalan, meletakkan, membuat, menasabkan. Menurut fiqih ju’alah adalah
suatu bentuk tanggung jawab dalam bentuk janji memberikan hadiah tertentu
secara sukarela terhadap orang yang berhasil nmelakukan perbuatan atau
memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai
dengan yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan hukum positi maka akad
ju’alah bisa dikatakan sebagai sayembara, imbalan, upah atau perlombaan.
Para ahli fikih sepakat bahwa akad ju’alah merupakan hal yang boleh,
termasuk madzab Maliki, Syafii, Hambali, serta Syiah.
Sumber hukum akad ju’alah antara lain:
a. Al-Quran
“Penyeru-penyeru itu berkata:” Kami kehilangan piala raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (QS
12: 71).
b. As-Sunah
“Dari Abu Said Al Khudri r.a tentang seorang disengat kala pada
suatu kaum arab, ia berkata : Demi Allah aku sesunggunya sanggup
mengobati akan tetapi demi Allah kami meminta makan kepadamu.
Apabila kamu tidak mau menjamu kami, aku tidak akan mengobati
kamu hingga kamu janjikan kepada kami satu hadiah. Lalu mereka
janjikan 30 ekor biri-biri maka berjalanlah ia, lalu dicobanya
mengobati orang yang sakit itu seolah-olah terlepas dari ikatan
(sembuh)….k emudian mereka datang men kepada Nabi SAW,
lantas menceritakan kepada Nabi dan Nabi bersabda:” Di mana
engkau mengetahui bahwa al fatihah itu obat? Perbuatanmu itu
betul.” (HR Muttafaq alaih).
Rukun dan ketentuan syariah akad ju’alah:

20
a. Rukun Ju’alah adalah sebagai berikut:
1) Pihak yang membuat sayembara/penugasan (al aqid/ja’il)
2) Objek akad berupa pekerjaan yang baru dilakukan (al maj’ul).
3) Hadiah yang akan diberikan (al ji’l).
4) Ada sighat dari pihak yang menjanjikan (ijab)
b. Ketentuan Syariah yaitu:
1) Pihak yang membuat sayembara: cakap hukum, baligh, dan
dapat dilakukan oleh orang lain.
2) Objek yang harus dikerjakan:
a) Harus mengandung manfaat yang jelas
b) Boleh dimanfaatkan secara syariah.
3) Hadiah yang diberikan harus sesuatu yang bernilai (harta) dan
jumlahnya harus jelas.
4) Sah dengan ijab saja tanpa ada qabul.

21
DAFTAR PUSTAKA

Akbar. 2011. “Makalah Akad Salam”. https://makalahakadsalam.blogspot.com/.


Diakses pada Minggu 27 September 2020 pada Pukul 07.49.

Hafidz. 2012. “Rukun dan Syarat Salam (Jual Beli Dengan Pesanan)”.
https://bundadhafiz-growingide.blogspot.com/2010/12/rukun-dan-syarat-
salam.html. Diakses pada Minggu 27 September 2020 pada Pukul 16.17.

Mastah, Bisnis. 2020. “Akad Ijarah”. https://mastahbisnis.com/akad-ijarah/. Diakses


pada Minggu 27 September 2020 pada pukul 17.21.

Nurhayati, Sri., dan Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4. Jakarta:
Salemba Empat.

Prowandita, Citra. 2016. “Akad Istishna”.


https://citralianiprowandita.wordpress.com/2016/12/07/akad-istishna/. Diakses
pada Minggu 27 September 2020 pada puku; 16.56.

Rahmawati. 2011. Dinamika Akad dalam Transaksi Ekonomi Syariah. Al-Iqtishad: Vol.
III, No. 1, hlm. 19-34. Diakses pada hari Minggu, 27 September 2020 pukul
19:44 WIB.

22

Anda mungkin juga menyukai