Anda di halaman 1dari 11

DI SUSUN

OLEH :

NURUL WALIDA

YAYASAN ALMUSLIM PEUSANGAN


IAI ALMUSLIM ACEH
BIREUEN
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk
melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat
merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu
yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya
seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya,
namun tetap mempunyai resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor
yang sudah menjadi sunnatullah.1
Salah satu paradigma keberadaan bank syariah adalah dapat memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan ini
bank syariah memposisikan diri sebagai mitra bagi nasabah, sehingga hubugan
bank syariah ini tidak lagi antara kreditur dan debitur melainkan hubungan
kemitraan.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas tentang:
1. Apa yang dimaksud dengan akad musyarakah?
2. Bagaimanadasar hukum, Rukun dan Syarat akad Musyarakah?
3. Apa saja jenis akad Musyarakah?

1
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah berasal dari kata syarika yang berarti persekutuan. Secara
etimologi as-syarikah atau al-musyarakah mengndung makna al-ikhtilāt wa al-
imtijāzyaitu percampuran. Dalam lisan al-’Arab disebutkan as-syirkah dan as-
̣ as-syarikaini (bercampur
syarikahmengandung makna yang sama mukhalatatu
atau bergabungnya dua orang) untuk melalukan kerja sama.2
Menurut ulama Malikiyah, Syirkah (musyarakah) adalah suatu izin untuk
bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali diuraikan bahwa syirkah adalah hak bertindak
hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Sedangkan
mazhab Hanafi mendefinisikan syirkah yang berupa akad yang dilakukan oleh
orang-orang yang bekerjasama dengan modal dan keuntungan.3
Dikemukakan pula dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua
belah pihak, maka semua pihak yang mengikat diri berhak bertindak hukum
terhadap harta syarikat itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai yang
disepakati.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13
April 2000, bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan
usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain melalui
pembiayaanmusyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan
kontrbusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
Sedangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.
32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, pasal 28 butir b.2.b. sebagaimana dijabarkan
dalam lampiran 6 bahwa penyaluran dana masyarakat dapat dilakukan dalam

2
Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan
Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004
3
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1994)

3
bentuk musyarakah yaitu akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau
lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif.
Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.
Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Skim musyarakah berbeda dengan sistem bunga dari berbagai aspek.
Dalam bank konvensional, bank membiayai proyek dengan sistem bunga.
Hubungan bank dengan resiko yang mungkin akan menimpa proyek dapat
dipastikan tidak ada. Tanggung jawab hanya dibebankan kepada nasabah. Artinya
jika proyek tidak memperoleh keuntungan, para peminjam tetap berkewajiban
untuk mengembalikan pokok pinjaman berikut bunga kepada pihak bank.
Sedangkan dalam musyarakah, semua tanggung jawab, keuntungan dan kerugian
dibagi secara adil kepada bank, investor dan para penabung sejalan dengan kaidah
fiqh : keuntungan dan kerugian didistribusikan sesuai dengan jumlah modal yang
disertakan.

B. Landasan Syariah
Sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/VI/2000 tentang
pembiayaan musyarakah disebutkan bahwa pembiayaan musyarakah yaitu
pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Menurut fatwa yang sama pembiayaan musyarakah memiliki keunggulan
dari segi kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun
resiko kerugian.
1. Firman Allah QS. Shaad: 24
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan

4
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian
mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan
Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada
Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.

2. Firman Allah QS. Al-Ma’idah: 1


Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
3. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
Allah swt. Berfirman: ’Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satu pihak tidak menghianati pihak yang lain. Jika salah
satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka” (HR. Abu Daud, yang
disahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
4. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ’Amr bin ”Auf:
Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal dan atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalakan yang haram.”
Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh
masyarakat pada saat itu.
5. Ijma Ulama atas bolehnya musyarakah.
Kaidah fiqh: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”.

C. Rukun, Syarat dan ketentuan dalam Pembiayaan Musyarakah


Adapun rukun dari akad musyarakah itu sendiri ada 4, yaitu:4
1. Pelaku terdiri dari para mitra

4
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)

5
2. Objek musyarakah berupa modal dan kerja
3. Ijab qabul
4. Nisbah keuntungan (bagi hasil)
Sedangkan syarat dan ketentuan dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat
dalam fatwa DSN no. 8 tentang musyarakah adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
1) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
2) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
b. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-
hal berikut:
1) Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
2) Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra
melaksanakan kerja sebagai wakil.
3) Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses
bisnis normal.
4) Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola
aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan
aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa
melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
5) Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan
dana untuk kepentingannya sendiri.
c. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
1) Modal
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan

6
sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai
dan disepakati oleh para mitra.
· Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar
kesepakatan.
· Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun
untuk menghindari terjadinya penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
dapat meminta jaminan.
2) Kerja
· Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat.
Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan
dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
· Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil
dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan
dalam kontrak.
3) Keuntungan
· Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan
dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi
jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
4) Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham
masing-masing dalam modal.
d. Biaya Operasional dan Persengketaan
1) Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.

7
2) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

D. Jenis Musyarakah
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:5
1. Musyarakah permanen (syirkah ‘uqud) adalah musyarakah dengan ketentuan
bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga
akhir masa akad.Jenis ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a. Inan, yaitu Usaha bersama (kongsi) dimana modal dan keahlian yang
diberikan tidak sama.
b. Mufawadhah, yaitu Usaha bersama dimana modal dan keahlian yang
diberikan sama jumlah dan kualitasnya.
c. Abdan, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah keahlian/
tenaga.
d. Wujuh, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah nama
baik.
2. Musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha) adalah musyarakah dengan
ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap kepada mitra
sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad mitra
akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut.

E. Contoh Kasus Akad Musyarakah


Bapak Hasan adalah pengusaha batik yang memiliki omzet rata-rata Rp
35.000.000/ bulan atau Rp 420.000.000/th. Untuk memajukan usahanya Bapak
Hasan mengajukan pembiayaan ke Bank Syariah Sejahtera sebesar Rp
120.000.000.
1. Asumsi peningkatan omzet usahanya setelah dibiayai meningkat sebesar 20%,
dari omzet sebelum dibiayai.

5
Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap Produk Perbankan
Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004

8
2. Expected Return Bank 20% pa.
3. Jangka waktu pembiayaan 1 tahun ( 12 bulan)
Penyelesaian :
Diketahui :
- Pembiayaan Bank Rp 120.000.000
- Omzet / bulan Rp 35.000.000
- Omzet / tahun Rp 420.000.000.
- Keuntungan Bank 20 %
- Jangka Waktu 1 Tahun ( 12 Bulan)
Jawaban :
Ø Keuntungan bank ( E.R ) = Pembiayaan bank x ER x JW
= Rp 120.000.000 x 20 % x 1th
= Rp 24.000.000

Penigkatan Omzet = Omzet/ th x ( 100% + Peningkatan omzet )


= Rp 420.000.000 x 120%
= Rp 504.000.000
Ø Perhitungan Bagi Hasil

E.R
Bagi Hasil Bank = x 100%
Proyeksi Peningkatan Omzet
= Rp 24.000.000 x 100%
Rp 504.000.000
= 4,76%
Bagi Hasil Nasabah = 100 % - 4,76 %
= 95,24%

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan
bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai
dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
3. Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah ‘Uqud
dan Mutanaqisha.
4. Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang
paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank
dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah
digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek.
Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan
berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Mudah-mudahan bisa
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pembaca. Dan tidak lupa kritik dan
sarannya sangat kami harapkan untuk memperbaiki pembuatan makalah yang
selanjutnya. Apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun penyampaian serta
kurangnya pengetahuan, kami mohon maaf. Dan sesungguhnya kebenaran semata
hanyalah dari Allah SWT. Semoga bermanfat. Amin.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997)

Al-Munjid Fi al-Lughah, (Bairut: Dar al-Masyrik, 1987)

Antonio, M.Syafi'i, Bank Syariah suatu Pengenalan Umum, Yogyakarta: BI dan


Tazkia Institute, 1999

Asmuni, Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam; Studi Fiqh terhadap


Produk Perbankan Islam, Jurnal Hukum Islam Al-Mawarid, Edisi XI, 2004

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,


(Jakarta: Sinar Grafika, 1994)

11

Anda mungkin juga menyukai