Anda di halaman 1dari 7

Kesepakatan dan Implikasi Kontrak Mudharabah

Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan ketentuan yang meliputi
aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan
hokum berjalannya mudharabah tersebut. Hal-hal yang harus disepakati, antara lain:

1. Manajemen. Ketika mudharib telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerja sama
mudharabah maka saat itulah ia mulai mengelola modal shahibul al-maal. Pengelola
usaha tersebut membutuhkan kreativitas dan keterampilan tertentu yang kadang-kadang
hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan
manajemen, kebebasan mudharib dalam merencanakan, merancang, mengatur dan
mengelola usaha merupakan faktor yang menentukan. Dalam mudharabah muthlaqah,
mudharib mendapatkan kebebasan untuk men-setup mudharabah sebagaimana yang ia
inginkan. Sebaliknya dalam mudharabah muqayyadah semua keputusan yang mengatur
praktik mudharabah ditentukan oleh Shahib al-maal. Mudharib tidak bebas mewujudkan
keinginannya tetapi dia harus dibatasi aturan-aturan yang ditetapkan oleh shahibal-maal
dalam sebuah kontrak.
2. Tenggang waktu (duration)
Tenggang waktu usaha dianggap penting karena tidak semua modal yang diberikan
kepada mudharib itu dana mati yang tidak dibutuhkan oleh pemiliknya. Di samping itu,
penentuan waktu adalah sebuah cara untuk memacu mudharib bertindak efektif dan
terencana.
3. Jaminan
Jaminan bertujuan untuk berjaga-jaga bahwa jika shahibu al-maal khawatir akan
munculnya penyelewengan dari mudharib.

Ketika sebuah kontrak telah disepakati, maka kontrak tersebut menjadi sebuah hukum
yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh
salah satu pihak, baik shahibul al-maal atau mudharib, maka kontrak menjadi gugur tidak
berlaku lagi. Kesepakatan kontrak mudharabah yang menjadi hukum tersebut membawa
beberapa implikasi, di antaranya:

1. Mudharib sebagai orang yang dipercayai, karena telah diserahkan modal kepadanya.
2. Mudharib sebagai w akil shahibu al-maal dalam semua transaksi yang ia
sepakati.Konsekuensinya hak-hak kontrak kembali kepadanya sebagai seorang yang
menyepakati transaksi.
3. Mudharib sebagai mitra dalam laba, karena ia akan mendapatkan laba dari usaha
yang telah ia lakukan.

Mudharabah yang dipahami oleh umat Islam sekarang ini mempunyai dua makna,
pertama Mudharabah sebagai sebuah sistem dan kedua Mudharabah sebagai sebuah produk.

Mudharabah sebagai sebuah sistem adalah menjadi pedoman umum bagi bank syariah
dalam melakukan berbagai transaksi produk perbankan yang tersedia. Dengan sistem ini bank
akan membagi keuntungan dengan para pengguna jasanya dan investornya. Pada posisi ini
mudharabah secara tepat dipahami sebagai pengganti dari sistem bunga.

Sementara mudharabah sebagai sebuah produk diterapkan dalam sebuah jenis pelayanan
yang disediakan oleh bank untuk para nasabah. Dalam kerangka ini mudharabah dibedakan
menjadi dua yaitu mudharabah yang bersifat tabungan atau akumulasi dana dan mudharabah
yang bersifat pembiayaan.

Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada:

1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan qurban dan sebagainya.
2. Deposito biasa.
3. Deposito spesial (special investment), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Sedangkan pada sisi pembiayaan,mudharabah diterapkan untuk:

1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.


2. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana khusus
dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh shahibu
aI-maal.1

1
Akhmad Mujahidin, Hukum Perbankan Syariah,(Jakarta, Rajawali Pers, 2016) h. 73-75
Etika Musyarakah

Menurut Ahmad Amin, etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

Adapun yang berhubungan dengan etika dalam Islam secara langsung adalah al-khuluq,
yang berasal dari kata dasar khaluqa-khuluqan, yang berarti tabi'at, budi pekerti, kebiasaan,
kesatriaan, keprawiraan. Etika Al-Qur'anmempunyai sifat humanistik dan rasionalistik.

Sifat humanistik dalam pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat


kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Sifat
rasionalistik, bahwa semua pesan-pesan yang diajarkan oleh Al-Qur'an terhadap manusia sejalan
dengan prestasi rasionalitas manusia yang tertuang dalam karya-karya para filosof. Pesan-pesan
Al-Qur'an seperti ajakan kepada kebenaran, keadilan. kejujuran, kebersihan, menghormati orang
tua, bekerja keras, cinta ilmu, semuanya tidak ada yang berlawanan dengan kedua sifat di atas.
Oleh karena itu, harus menjadi pedoman atau perhatian oleh para pengusaha Muslim dalam
kegiatan bisnisnya.

Sementara itu, pemikiran etika bisnis dalam islam muncul dengan landasan bahwa Islam
adalah agama yang sempurna. Secara garis besar mengajarkan aqidah, syariah dan akhlaq. ia
merupakan kumpulan aturan-aturan ajaran (doktrin) dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan
manusia dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup. Ketiga ajaran ini dapat dipilah
tapi tidak dapat dipisah, maka bisnis dalam lingkup syariah tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai
tauhid dan akhlak.2

Konsep dasar etika dalam musyarakah Islam seperti kesatuan (Tauhid/Unity) adalah
menjadikan harta sebagai sarana tolong-menolong antara hamba Allah, dan kecondongan
terhadap keuntungan tidak melebihi kecintaan kepada Allah.

2
Akhmad Mujahidin, Hukum Perbankan Syariah, h. 84-85
Dalam etika keseimbangan (Equilibrium/Adil) dalam musyarakah kepercayaan pemilik
modal diseimbangkan oleh pekerja dengan kejujuran, dan antara bagi hasil dan tanggungan
risiko.

Kehendak Bebas (Free Will) dalam perolehan keuntungan dibatasi dengan keuntungan
harus diperoleh dengan usaha, bukan dengan modal semata.

Tanggung jawab (Responsibility) menanggung risiko selama pekerja melaksanakan usaha


sesuai prinsip syariah yaitu kerja keras, amanah, dan jujur maka dia tidak bertanggung jawab atas
risiko, kerugian tetap ditanggung pemodal.3

Produk Hukum tentang Mudharabah

Dalam konteks hukum, di Indonesia telah ditemukan beberapa produk yang berkaitan
dengan mudharabah ini, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam
bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh DSN (Dewan Syariah Nasional) Majelis Ulama Indonesia.
Undang-undang pertama yang menyebutkan istilah mudhdrabah adalah UU Nomor 10 Tahun
1998. Dalam undang-undang ini, mudhdrabah disebutkan sebagai salah satu bentuk pembiayaan
bagi hasil.

Penggunaan mudharabah dalam undang-undang Iebih terperinci dikemukakan dalam UU


Nomor 21 Tahun 2008. Dalam pasal 1 ayat 21 disebutkan bahwa salah satu bentuk tabungan
adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah. Selanjutnya, dalam pasal 1 ayat 22
disebutkan bahwa deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudhdrabah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau UUS.
Lebih lanjut, pasal 1 ayat 24 menyebutkan bahwa investasi adalah dana yang dipercayakan oleh
nasabah kepada bank syariah dan/atau UUS berdasarkan akad mudhdrabah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk deposito, tabungan, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu. Dalam pasal 1 ayat 25 poin (a) disebutkan bahwa pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil
dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. Penggunaan mudhairabah dalam UU Nomor 21

3
Akhmad Mujahidin, Hukum Perbankan Syariah, h. 88
Tahun 2008 lebih lanjut digunakan dalam pasaI-pasal yang menjelaskan tentang jenis dan
kegiatan usaha perbankan syariah.

Undang undang lain yang menyebutkan mudharabah adalah UU Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa mudharabah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. yaitu suatu pihak sebagai penyedia modal dan
pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian, keuntungan dari kerja sama tersebut akan
dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi
akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh
kelalaian penyedia tenaga dan keahlian. Selanjutnya, dalam pasal 3 disebutkan bahwa SBSN
dapat berupa SBSN mudharabah, yang diterbitkan berdasarkan akad mudharabah.

Selain dalam undang-undang, akad mudharabah pun ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia, yakni PBl Nomor 7/24/PBl/2004 tentang Bank Umum yang Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah dan PBI Nomor 7/46/PBl/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam PBI tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mudharabah adalah penanaman
dana dari pemilik dana (Shahib aI-maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan
kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit
and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak
berdasarkan nisbah yang telah disepakatisebelumnya. Selain itu, dalam PBI ini pun dikemukakan
bahwa mudharabah digunakan pada dua kesempatan, yakni pada saat penghimpunan dana dan
penyaluran dana. Pada pengimpinandana diwujudkan dalam bentuk tabungan mudharabah dan
deposito mudharabah, sedangkan dalam penyaluran dana diwujudkan dalam bentuk pembiayaan
mudharabah.

Produk hukum lain yang berbicara tentang mudharabah adalah Fatwa DSN (Dewan
Syariah Nasional) MUI. Ada beberapa fatwa DSN MUI yang berkaitan dengan mudharabah ini.
Fatwa pertama yang dikeluarkan DSN MUI adalah Fatwa Nomor 7 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh). Fatwa ini menjelaskan tentang ketentuan mudharabah ketika
diimplementasikan di lembaga keuangan syariah, terutama di perbankan syariah sebagai produk
perbankan.
Implementasi mudharabah ini dilanjutkan dalam obligasi syariah,yang aturan hukumnya
ditetapkan dalam Fatwa DSN MUI Nomor 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah dan Fatwa
DSN MUI Nomor 59 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi.Fatwa DSNMUI lainnya
yang menjelaskan status hukum mudharabah adalah Fatwa DSN MUI Nomor 38 tentang
Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA) dan Fatwa DSN MUI Nomor 51
tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah.4

Produk Hukum dalam Musyarakah

Dalam konteks hokum di Indonesia telah ditemukan beberapa produk hokum yang
berkaitan dengan masalah musyarakah ini, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan
maupun dalam bentuk fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) Majelis Ulama Indonesia. Undang-
undang pertama yang menyebutkan istilah musyarakah adalah UU Nomor10 Tahun 1998.
Dalam undang-undang ini, musyarakah disebutkan sebagai salah satu bentuk pembiayaan bagi
hasil.

Penggunaan musyarakah dalam undang-undang lebih terperinci dikemukakan dalam UU


Nomor 21 Tahun 2008. Dalam pasal 1 ayat 25 disebutkan bahwa pembiayaan adalah penyediaan
dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk
mudharabah dan musyarakah. Penggunaan musyarakah dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 lebih
lanjut digunakan dalam pasal-pasalyang menjelaskan tentang jenis dan kegiatan usaha perbankan
Syariah.

Undang-undang lain yang menyebutkan musyarakah adalah UU Nomor 19 Tahun 2008


tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua atau lebih untuk menggabungkan modal, baik dalam bentuk
uang maupun dalam bentuk lainnya,dengan tujuan memperoleh keuntungan, yang akan
dibagikan sesuaidengan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang
timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
Selanjutnya dalam pasal 3 disebutkan bahwa SBSN dapat berupa SBSN musyarakah, yang
diterbitkan berdasarkan akad musyarakah.

4
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, (Bandung, Remaja Rosdakarya Offset, 2015) h. 62-63.
Produk hukum Iain yang berbicara tentang musyarakah adalah Fatwa DSN (Dewan
Syariah Nasional) MUI. Ada beberapa fatwa DSN MUI yang berkaitan dengan musyarakah ini.
Fatwa pertama yang dikeIuarkan DSN MUI adalah Fatwa Nomor 8 tentang Pembiayaan
Musyarakah. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan musyarakah adalah
pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan
dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Fatwa DSN lain yang berkaitan dengan musyarakah adalah Fatwa DSN MUI Nomor 55
tentang Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musyarakah. Dalam fatwa tersebut disebutkan
bahwa Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening
koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) Musyarakah adalah PRKS yang dilakukan
berdasarkan akad musyarakah dan boleh disertai dengan wa'd. Dalam hal ini lembaga keuangan
syariah dan nasabah bertindak selaku mitra (syarik), yang masing-masing berkewajiban
menyediakan modal dan kerja. Namun demikian, lembaga keuangan syariah dapat mewakilkan
kepada nasabah dalam melaksanakan usaha sepanjang disepakati pada saat akad. Sedangkan
nisbah bagi hasil untuk masing-masing pihak disepakati pada saat akad. Dasar perhitungan bagi
hasil boleh menggunakan jumlah dana yang telah terpakai dan keuntungan yang diperoleh dari
usaha.

Selanjutnya, keberadaan musyarakah ini ditetapkan pula dalam Fatwa DSN MUI Nomor
73 tentang Musyarakah Mutanaqisah. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan musyarakah
mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah
satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. Akad
musyarakah mutanaqisah ini terdiri dari akad musydrakah/syirkah dan bay’ (jual-beli).5

5
Yadi Janwari, Lembaga Keuangan Syariah, h. 78-79.

Anda mungkin juga menyukai