Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

INSTRUMEN DAN MEKANISME KEUANGAN SYARIAH

Mata kuliah: Manajemen Keuangan Syariah

Dosen pengampu: Ibu Seftina Diyah Miasary

Disusun oleh:

1.Fauyan Reza Prasetia (1608046025)

2.Dwi irmayanti (1708046001)

3. Ita kartika sari (1708046020)

4. Eva Lutfi Hamidah (1708046030)

Jurusan Matematika
Fakultas Sains Dan Teknologi
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018/2019

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan
meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk untuk memenuhi sebagian perintah
Allah seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad), dan sebagaianya.
Harta dikatakan halal dan baik apabila niatnya benar, tujuannya benar dan cara atau sarana
untuk memperolehnya juga benar, sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Al
Quran dan As sunah.
Transaksi yang dilarang dalam islam adalah riba, penipuan, perjudian, gharar, penimbunan
barang, monopoli, rekayasa permintaan dll. Mak dari itu pelarangan riba, pembagian resiko,
larangan melakukan kegiatan spekulatif, kesucian kontrak, aktivitas usaha harus sesuai syariah
merupakan sistem keuangan islam sebagaimana diatur melalui Al Quran dan As-sunah untuk
melaksanakan aktivitas masyarakat dalam dunia ekonomi islam.

2. Rumusan Masalah

A. Apa saja kontrak dalam keuangan syariah?


B. Apa saja instrumen dalam keuangan syariah?
C. Jelaskan mekanisme yang ada dalam keuangan syariah!
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kontrak Keuangan Syari’ah


Aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi manapun dapat dilihat sebagai kontrak (akad)
antara pelaku-pelaku ekonomi. Instrumen keuangan juga merupakan akad, di mana syarat dan
kondisinya akan menentukan risiko dan profil keuntungan instrumen tersebut. Konsep, isi dan
aplikasi seluruh struktur inti Hukum Ilahi dalam Islam bersifat kontraktual. Sebuah kontrak
dianggap legal dan berkekuatan hukum oleh syari’ah jika pasal kontrak tersebut bebas dari
semua yang dilarang atau diharamkan.

Sistem ekonomi Islam memiliki serangkaian kontrak inti, yang berfungsi sebagai landasan
bagi pendesainan instrumen keuangan yang lebih rumit dan kompleks. Tidak ada klasifikasi
kontrak baku dalam sistem hukum Islam, akan tetapi dari sudut pandangan bisnis dan
komersial, seseorang dapat mengelompokkan kontrak tertentu sesuai dengan fungsi dan
tujuannya dalam ekonomi dan sistem keuangan. Kontrak yang berhubungan dengan transaksi
komersial dan bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar yaitu :

1. Kontrak Transaksional
Kontrak transaksional berhubungan dengan sektor transaksi ekonomi riil yang
memfasilitasi pertukaran, penjualan, dan perdagangan komoditas dan jasa. Inti kontrak
transaksional didasarkan pada aktivitas perdagangan atau pertukaran. Pertukaran dapat
berbasis on the spot atau berjangka (deffered) dan dapat berupa pertukaran komoditas
dengan komoditas, jual beli barang dengan harga tertentu, atau jual beli dengan utang.
Berbagai kontrak ini menciptakan aset, yang bisa menjadi basis peluang pendanaan dan
investasi. Karena itu pertukaran ini membentuk inti sistem ekonomi dan keuangan yang
lebih luas.

Islam sangat menganjurkan berdagang dan memberikan prioritas kepada aktivitas


perdagangan dibandingkan bentuk bisnis lain. Perdagangan yang dimaksud bukan hanya
memperdagangkan aset fisik tetapi juga memperdagangkan hak untuk menggunakan aset
fisik. Karena itu kontrak dasarnya adalah kontrak pertukaran, penjualan aset atau penjualan
hak untuk menggunakan aset. Kontrak pertukaran dan penjualan menimbulkan pengalihan
kepemilikan, sedangkan kontrak penggunaan aset hanya mengalihkan hak untuk
menggunakan barang dari satu pihak ke pihak lain.

2. Kontrak Pembiayaan
Kontrak pembiayaan (financing contract) menawarkan jalan untuk menciptakan dan
memperluas kredit, memfasilitasi pembiayaan kontrak transaksional, dan memberikan
saluran untuk pembentukan kapital dan mobilisasi sumber daya antara investor dan
pengusaha. Ciri utama kontrak pembiayaan adalah tidak adanya kontrak utang. Kontrak
pembiayaan dimaksudkan untuk pendanaan kontrak transaksional dalam bentuk trade
finance (pembiayaan perdagangan) atau asset-backed securities (sekuritas berbasis aset),
atau menyediakan modal melalui equity partnership (kemitraan dalam modal) yang dapat
diwujudkan dalam beberapa bentuk seperti kemitraan, penyetaraan kepemilikan atau
kemitraan lainnya.

Jika dilihat dari perspektif risiko relatifnya, pada salah satu ujung kontinum risiko
sistem tersebut menawarkan sekuritas dengan aset risiko rendah, dan pada ujung kontinum
satunya ia akan mempromosikan pembiayaan ekuitas berisiko, seperti modal ventura dan
ekuitas privat. Di antara kedua ujung kontinum ini, ada sekuritas yang berasal dari
kontrak ijarah dan istishna yang dikaitkan dengan aset riil yang dapat memuaskan
kebutuhan investor yang mencari jatuh tempo pendek dan menengah.

3. Kontrak Intermediasi
Kontrak intermediasi adalah kontrak yang memfasilitasi pelaksanaan kontrak
transaksional dan finansial yang efisien dan transparan. Kontrak ini memberikan kepada
agen ekonomi seperangkat alat untuk melaksanakan intermediasi keuangan sekaligus
menawarkan jasa profesional (fee based) untuk aktifitas ekonomi. Kontrak intermediassi
mencakup mudharabah (kontrak dengan perwalian), musyarakah (penyertaan
modal), kafalah (penjaminan), amanah(kepercayaan), takaful (asuransi), wakalah (agensi
), jo’ala (jasa profesional).

Dalam kontrak mudharabah, agen ekonomi dengan modal (pemilik modal) dapat
menjalin kemitraan dengan agen akonomi lain yang memiliki keterampilan dengan
perjanjian bagi hasil. Walaupun kerugian ditanggung pemilik modal,mudharib dapat
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tidak pantas atau
pengacuhan pada pihaknya.

Kontrak mudharabah dan musyarakah merupakan hal penting dalam penciptaan kredit
dan modal, namun kontrak lain seperti wakalah, jo’ala, dan rahn memainkan peran penting
dalam memberikan jasa ekonomi penting yang bisa ditawarkan oleh intermediator
finansial konvensional.

4. Kontrak Kesejahteraan Sosial


Kontrak kesejahteraan sosial ialah kontrak antara individu dan masyarakat untuk
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka yang kurang mampu. Walaupun
fasilitas kontrak kesejahteraan adalah di luar cakupan intermediasi, namun intermediasi
dapat menawarkan layanan masyarakat dengan menginstusionalisasikan kontrak
kesejahteraan sosial.

B. Instrumen Keuangan Syariah

1) Instrumen Keuangan Syariah Primer

Berdasarkan teori akad sebagaimana dijelaskan, dapat diformulasikan kontrak-kontrak


keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen keuangan.

1. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana)
dan mudharib (pengelola) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka. Jika
usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana, kecuali
ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola dana. Seperti penyelewengan,
kecurangan dan penyalahgunaan dana.

Mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu Mudharabah Muthlaqah(investasi tidak


terikat) dan Mudharabah Muqayyah (investasi terikat).Mudharabah Muthlaqaah adalah
mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam
mengelola investasinya. Mudharabah Muqayyah adalah mudharabah di mana pemilik
dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat, cara, dan obyek
investasi.

2. Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang mencampurkan
modalnya untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah, mitra dan bank sama-
sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usah tertentu, baik yang sudah berjalan
maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan modal tersebut berikut bagi
hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus kepada bank.

Pembiayaan Musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva non
kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi dan hak paten.
Laba musyarakah dibagi di antara para mitra dan bank secara proporsional sesuai dengan
modal yang disetorkan (baik kas maupun aktiva lainnya) atau sesuai dengan nisbah yang
disepakati oleh semua mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional sesuai
dengan modal yang disetorkan (baik berupa kas maupun aktiva lainnya).

Musyarakah dapat bersifat musyarakah permanen maupun menurun. Dalam


musyawarah permanen, bagi modal setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya
tetap hingga akhir masa akad. Sedangkan musyarakah menurun, bagian modal bank akan
menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik usaha tersebut.

3. Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual maupun pembeli. Murabahah dapat
dilakukan berdasarkan pesanan maupun tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan
pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.
Murabahah berdasarkan pesanannya dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat
nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat
pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli
bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai
sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual
(bank) dan penjual akan mengurangi nilai akad.

Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan. Selain itu, dalam
murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara
pembayarannya yang berbeda.

Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah:

a. Mempercepat pembayaran cicilan atau,


b. Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.

Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus
diberitahukan. Jika bank mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu
merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad, maka pembagian
potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat dalam akad.

Bank dapat meminta nasabah untuk menyiapkan agunan atas piutang murabahah,
antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank. Bank dapat meminta
urban kepada nasabah sebagai uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah
pihak bersepakat.

Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan yang
diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa
nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah yang mampu yang
menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk
membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai yang
diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana
sosial (qardhul hasan).

4. Salam dan Salam Paralel


Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan penangguhan
pengiriman oleh muslam alaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan segera oleh
pembelian sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Rukun salam adalah sebagai berikut :
a. Ada si penjual dan si pembeli
b. Ada barang dan uang
c. Ada sighat (lafaz akad)
Adapun syarat-syarat salam meliputi :
a. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad.
b. Barangnya menjadi utang bagi si penjual.
c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waku yang dijanjikan.
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan ataupun
bilangannya.
e. Disebutkan tempat menerimanya.

Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika
bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan
barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel dapat
dilakukan dengan syarat:
a. Akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan
pembeli akhir.
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

5. Istishna dan Istishna Paralel


Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani(produsen
yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli menugasi
produsen untuk menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang
disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang sudah disepakati. Cara
pembayaran dapat dilakukan dengan pembayaran di muka, cicilan, atau ditangguhkan
sampai jangka waktu tertentu.

Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksiistishna’. Jika
bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (sub-kontraktor)
untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini disebut istishna
paralel. Istishna paralel dapat dilakukan dengan syarat:
a. Akad kedua antara bank dan sub-kontraktor terpisah dari akad pertama dari bank dan
pembeli akhir.
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

6. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik


Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi’il: ajara - ya’juru - ajran”. Ajran semakna dengan
kata al-awadh yang mempunyai arti ganti atau upah, dan dapat juga berarti sewa. Dengan
kata lain ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik ma’jur(obyek sewa)
dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa dan penyewa untuk
mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya.

Ijarah muntahiyah bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa
dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya dengan
opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.

7. Wadiah
Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila
nasabah yang bersangkutan menghendaki, bank bertanggung jawab atas pengembalian
titipan.

Wadiah dibagi atas wadiah yad-mudhamanah dan wadiah yad-amanah. Wadiah yad-
mudhamanah adalah titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip dapat
dimanfaatkan oleh penerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh
keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima penitipan. Sedangkan dalam
prinsip wadiah yad-amanah, penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan
tersebut samai diambil kembali oleh penitip.

8. Qardh dan Qardh Hasan


Pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang
meminjamkan kewajiban peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu.Qardh hasan adalah pinjaman tanpa jaminan yang memungkinkan peminjam
untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan
dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati.

9. Sharf
Sharf adalah transaksi jual beli dengan komoditi berupa alat pembayaran(nuqud), atau
mata uang (suatu valuta dengan valuta lainnya).[18] Transaksi valuta asing pada Bank
Syariah (di luar jual beli banknotes) hanya dapat dilakukan dengan tujuan lindung nilai
(hedging) dan dibenarkan untuk tujuan spekulatif. Selisih penjabaran aktiva dan kewajiban
valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai pendapatan atau beban.

10. Wakalah
Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/ nasabah)
kepada wakil (penerima kuasa/ bank) untuk melaksanakan suatu taukil (tugas) atas nama
pemberi kuasa. Akad wakalah tersebut dapat digunakan antara lain dalam pengiriman
transfer, penagihan utang baik melalui kliring maupun inkaso, dan realisasi L/C.

11. Kafalah
Kafalah adalah kemestian seseorang yang diperbolehkan mengelola hartanya sendiri
untuk menunaikan suatu hak yang diwajibkan kepada seseorang atau kemestian
menghadirkannya ke hadapan hakim (pengadilan). Pengertian kafalah al-khafalahmenurut
bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban)
dan za’amah(tanggungan). Menurut Sayyit Sabiq, yang dimaksud dengan al-
khafalah adalah proses penggabungam tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam
tuntunan dengan benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjan.
Kafalah adalah akad pemberian pinjaman yang diberikan oleh kafil (penerima jaminan)
dan pinjaman tertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban yang menjadi
hak penerima jaminan.

12. Hiwalah
Hiwalah adalah pemindahan pengalihan hak dan kewajiban baik dalam bentuk
pengalihan piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan/ pengalihan dana dari satu orang
ke orang lain atau satu pihak ke pihak lain.

2) Instrumen keuangan Syariah Sekunder


Instrumen keuangan syari’ah sekunder banyak diaplikasikan pada lembaga keuangan
dalam bentuk pasar modal. Instrumen keuangan sekunder merupakan instrumen turunan dari
instrumen keuangan primer. Ada berbagai macam instrumen pasar modal, menurut Obaidullah
instrumen penting yang dapat diperdagangkan sebagai hasil pemikiran menurut hukum Islam,
di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Dana Mudharabah (Mudharabah Fund)


Dana Mudharabah merupakan instrumen keuangan bagi investor untuk pembiayaan
bersama proyek besar berdasarkan prinsip bagi hasil. Instrumen ini diperbolehkan menurut
hukum Islam.

2. Saham Biasa Perusahaan (Common Stock)


Saham biasa yang diterbitkan oleh perusahaan yang didirikan untuk kegiatan bisnis
yang sesuai dengan Islam diperbolehkan.

3. Obligasi Muqaradah (Profit Sharing Bond)


Obligasi ini diterbitkan untuk pembiayaan proyek yang menghasilkan uang atau proyek
yang terpisah dari kegiatan umum perusahaan.

4. Obligasi Bagi Hasil (Profit Sharing Bond)


Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan yang aktivitas bisnisnya sesuai dengan
syariah Islam dan berdasarkan prinsip bagi hasil jenis ini diperbolehkan.

5. Saham Preferen (Preferred Stock)


Saham ini memiliki hak-hak istimewa seperti deviden tetap dan prioritas dalam
likuidasi. Karena ada unsur pendapatan tetap (seperti bunga), maka dilarang menurut
hukum Islam.

C. Mekanisme Pembiayaan dalam Perbankan Syariah


I. Berbasis Bagi Hasil
Sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan
bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan
adanya pembagian hasil atas keuntungan yang di dapat antara kedua belah pihak atau
lebih.
Dalam sistem perbankan Islam bagi hasil merupakan suatu mekanisme yang
dilakukan oleh bank Islam (mudharib) dalam upaya memperoleh hasil dan
membagikannya kembali kepada para pemilik dana (shahibul mal) sesuai kontrak yang
disepakati di awal bersama. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah
pihak ditentukan kesepakatan dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (AtTarodhim)
oleh masing-masing pihak tanpa adanya paksaan.
a. Metode bagi hasil
Metode bagi hasil terdiri dari 2 sistem, yaitu :
1) Bagi Untung ( Profit Sharing)
Bagi untung (Profit Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari
pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Pola ini digunakan untuk
keperluan disttribusi hasil usaha. Secara sederhana bahwa yang dibagi hasilkan
adalah laba dari sebuah usaha /proyek. Contoh : sebuah usaha atau proyek
menghasilkan penjualan sebesar Rp. 3.000.000,00 dan biaya-biaya usaha Rp.
1.000.000,00, maka yang dibagi hasilkan adalah sebesar Rp. 2.000.000,00.
2) Bagi hasil (Revenue Sharing)
Bagi hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari total
pendapatan pengelola dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan
untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah. Bagi hasil
bruto adalah bagi hasil yang di dasarkan pada pendapatan usaha atau proyek
yang tidak dikurangi dengan biaya-biaya yang timbul. Contoh : sebuah usaha
atau proyek menghasilkan penjualan sebesar Rp.3.000.000,00 dan biaya-biaya
usaha sebesar Rp.1.000.000,00 maka yang dibagi hasilkan adalah sebesar
penjualan itu yaitu Rp.3.000.000,00.
b. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara
umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah,
Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada
sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama
pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
1) Mudharabah
Mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal
(shahibul mal/rabbul mal) menyediakan modal (100 persen) kepada pengusaha
sebagai pengelola, biasa disebut mudharib, untuk melakukan aktivitas
produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dhasilkan akan dibagi di
antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad
(yang besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar).1
Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan
karena kelalaian atau kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya
oleh pemilik modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang
telah dicurahkannya. Apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan
pengelola, maka pengelola bertanggungjawab sepenuhnya.
Adapun rukun-rukun dari akad mudharabah yaitu:
1. Pihak yang berakad
a) Pemilik modal (shahibul maal)
b) Pengelola modal (mudharib)
2. Objek mudharabah
a) Modal, modal harus ada saat akad dan transaksi dilakukan tidak boleh
berupa utang.
b) usaha
c) Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul). Pelafalan dalam ijab dan
qabul harus dilakukan dengan cara yang tepat agar dapat
mengindikasikan ke arah terlaksananya perjanjian, baik berupa ucapan
atau tindakan.
d) Nisbah Keuntungan
Syarat syarat dari mudharabah yaitu:
1. Pihak yang berakad, kedua belah pihak yang melakukan akad harus
mempunyai kemampuan dan kemauan untuk kerjasama mudharabah.
2. Objek yang diakadkan
a) Harus dinyatakan dalam jumlah atau nominal yang jelas.
b) Jenis pekerjaan yang dibiayai, dan jangka waktu kerjasama pengelolaan
dananya.
c) Nisbah (porsi) pembagian keuntungan telah disepakati bersama dan
ditentukan tata cara pembayarannya.
3. Sighat
a) Pihak-pihak yang berakad harus jelas dan disebutkan.

1
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal:
95.
b) Materi akad yang berkaitan dengan modal, kegiatan usaha/kerja dan
nisbah telah disepakati bersama saat perjanjian (akad).
c) Resiko usaha yang timbul dari proses kerjasama ini harus diperjelas
pada saat ijab kabul, yakni apabila terjadi kerugian usaha maka akan
ditanggung oleh pemilik modal dan pengelola tidak mendapatkan
keuntungan dari usaha yang telah dilakukan.
Mudharabah secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
1. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah mudharabah dimana pemilik dana
memberikan kebebasan kepada pengelola dana (mudharib) dalam
pengelolaan investasinya. Ketentuannya mudharabah muthlaqah adalah
sebagai berikut:2
a) Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang
telah disepakati di awal akad.
b) Pemilik modal tidak boleh ikut serta dalam pengelolaan usaha, tetapi
diperbolehkan membuat usulan atau melakukan pengawasan. Mudharib
mempunyai kekuasaan penuh untuk pengelola modal dan tidak ada
batasan, baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usahanya.
c) Penerapan mudharabah muthlaqah dapat berupa tabungan dan deposito,
sehingga terdapat dua jenis himpunan dana, yaitu tabungan
mudharabah dan deposito mudharabah.
d) Pemilik modal (tabungan mudharabah) dapat mengambil dananya,
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan sesuai dengan perjanjian yang
disepakati, namun tidak diperkenankan mengambil saldo negatif.
e) Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka
waktu yang telah disepakati 1,3,6 atau 12 bulan.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah adalah dimana pemilik danamemberikan
batasan kepada pengelola dana (mudharib) mengenai tempat, cara, dan
obyek investasinya. Ketentuan mudharabah muqayyadah sebagai berikut:

2
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hal: 146-147
a) Bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (baik
pemerintah maupun lembaga keuangan lainnya) atau nasabah korporasi
untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-
proyek tertentu yang mereka sepakati.
b) Rekening dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah.
c) Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungan biasanya
dinegoisasikan secara kasus per kasus.
Mudharabah Muqayyadah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Mudharabah muqayyadah on balance sheet adalah akad
mudharabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari
shahibul maal untuk investasi-investasi tertentu.3 Pemilik dana akan
memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh pengelola
dana. Simpanan yang menggunakan mudharabah muqayyadah on
balance sheet memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
 Adanya syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh pemilik
dana (pemodal).
 Nisbah yang dikelola oleh pengelola dana wajib diberitahukan
kepada nasabah atau pemilik dana.
 Kedua pihak sepakat dengan keuntungan dan syarat yang
ditetapkan. Pengelola dana atau bank harus menerbitkan tanda
bukti khusus sebagai tanda bukti simpanan dan memisahkan
dana tersebut dari rekening lain.
 Sertifikat atau tanda bukti penyimpanan wajib diberikan
pengelola dana atau bank kepada deposan yang menyimpan
dananya dalam bentuk deposito mudharabah.

b) Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet


Bank hanya bertindak sebagai perantara dalam mudharabah
muqayyadah off balance sheet, yang mempertemukan antara nasabah
pemilik dana dan nasabah pelaksana usaha. Mudharabah jenis ini

3
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009),
h.al: 78
merupakan mudharabah yang menyalurkan dananya langsung kepada
pelaksana usaha, yang dipertemukan oleh bank sebagai perantara.
Penetapan syarat tertentu oleh pemilik dana kepada bank dalam
mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai. Karakteristik simpanan
yang menggunakan akad mudharabah muqayyadah off balance sheet
adalah sebagai berikut:
 Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti
simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening
lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam
rekening administratif.
 Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada
pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
 Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak.
Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku
nisbah bagi hasil.4
2) Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)
Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta
lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian
lain musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah adalah suatu
kerjasama antara bank dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai usaha
atau proyek secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek
dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah total biaya
proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari
usaha atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah
ditetapkan terlebih dahulu.
II. Mekanisme Jual Beli
1. Piutang Murabahah

4
Adimarwan A. Karim, Bank Islam: Analisis fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010),
hal: 111
Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian
barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba/keuntungan dalam
jumlah tertentu.
a) Teknis Perbankan
Murabahah adalah akad jual beli barang sebesar harga pokok barang
ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Berdasarkan akad jual-
beli tersebut bank membeli barang yang dipesan oleh dan menjualnya kepada
nasabah. Harga jual bank adlah harga beli dari supplier ditambah keuntungan
yang disepakati. Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang
kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Murabahah dapat dilakukan
berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan
pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari
nasabah. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak
mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Pembayaran
murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan.
b) Rukun Murabahah
 Penjual (Ba’i)
 Pembeli (Musytari)
 Objek Jual Beli (Mabi)
 Harga (Tsaman)
 Ijab Qabul
2. Piutang Salam
Secara etimologi, salam artinya salaf (pendahuluan). Secara terminologi (ta’rif)
muamalah salam adalah: penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya
sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan penjual,
di mana syarat-syarat tersebut diantaranya adalah mendahulukan pembayaran pada
waktu di akad majlis (akad disepakati).
Bank dapat bertindak sebagai pembeli dan atau penjual dalam suatu transaksi salam.
Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk
menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
a) Teknis Perbankan
Salam adalah akad jual beli suatu barang (komoditi) di mana harganya
dibayar dengan segera ( pada saat akad disepakati), sedang barang akan
diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati.
Salam paralel adalah suatu transaksi dimna bank melakukan dua akad salam
dalam waktu yang sama. Dalam akad salam pertama bank (selaku muslim)
melakukan pembelian suatu barang kepada pihak penyedia barang (muslam
ilaihi) dengan pembayaran di muka dan pada akad salam kedua bank (selaku
muslam ilaihi) menjual lagi kepada pihak lain (muslim) dengan jangka waktu
penyerahan yang disepakati bersama. Pelaksanaan kewajiban bank selaku
muslam ilaihi (penjual) dalam akad salam kedua tidak tergantung pada akad
salam yang pertama.
b) Tujuan Penggunaan
Produk salam ini diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil
produksi pertanian atau perternakan atau perkebunan. Menurut Ibn Qudamah,
“karena orang-orang mempunyai kebutuhan akan salam dan karena petani,
pekebun dan peternak memerlukan uang untuk biaya-biaya hidup mereka dan
melakukan pengeluaran atas usaha mereka agar mendatangkan hasil, sehingga
mereka menghadapi kebutuhan keuangan”. Salam-lah sebagai salah satu cara
bagi mereka sehingga mereka bisa mengambil manfaat.
c) Rukun Salam
 Pembeli (Muslim/Salam)
 Penjual (Muslam Ilaihi)
 Hasil produksi/Barang yang akan diserahkan (Muslam fiih)
 Harga (Ra’su Al Maali as Salam)
 Ijab Qabul.
3. Piutang Istishna
Istishna berarti minta dibuatkan. Secara terminologi mauamalah (ta’rif) berarti
akad jual beli dimana Shanni’ (produsen) ditugaskan untuk membuat suatu barang
(pesanan) oleh Mustashni (pemesan).
Menurut Jumhur Ulama, istishna sama dengan salam yaitu dari segi obyek
pesanannya yaitu harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus.
Perbedaannya hanya pada sistem pembayarannya, salam pembayarannya dialkukan
sebelum barang diterima dan istishna bisa di awal, di tengah, atau di akhir pesanan.
a) Teknis Perbankan
Istishna adalah jual beli dalam bentuk pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati atara pesanan (pembeli,
mustashni) dan penjual (pembuat, shani).
Jika pembelian dalam akad istishna tidak mewajibkan bank untuk membuat
sendiri barang pesanan, maka untuk memenuhi kewajiaban pada akad pertama,
bank dapat mengadakan akad istishna kedua dengan pihak ketiga
(subkontraktor). Akad istishna kedua ini disebut istishna paralel. Akad istishna
dapat dihentikan jika kedua belah pihak telah memenuhi kewajibannya.
b) Rukun Istishna
 Produsen/Pembuat (Shanni’i)
 Pemesan/Pembeli (Mustashni)
 Barang/Jasa yang dipesan (Mashnu)
 Harga (Tsaman)
 Ijab Qabul (Shigat)
4. Metode Penentuan Harga Jual Dan Profit Margin Untuk Pembiayaan Berbasis Jual
Beli
Ada empat metode penentu profit margin yang diterapkan pada bisnis/bank
konvensional, yaitu : (1) mark-up Pricing (2) Target-Return Pricing (3) Perceived
Value Pricing dan (4) Value Pricing. Dari keempat tersebut dapat dipilih salah
satunya untuk diadopsi dalam menghitung harga jual dan profit margin dari
pembiayaan murabahah di bank syariah.
Penetapan Harga Jual Murabahah Yang Syari
Bank-bank syariah pada umumnya telah menggunakan murabahah sebagai
model pembiayaan yang utama. Praktik pada bank syariah di Indonesia, portofolio
pembiayaan murabahah mencapai 70-80 %. Kondisi demikian ini tidak hanya di
Indonesia, namun juga terjadi pada bank-bank syariah, seperti di Malaysia,
Pakistan.
Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam
operasi investasi perbankan syariah: (1) murabahah adalah suatu mekanisme
investasi jangka pendek, dibandingkan dengan sistem bagi hasil (musyarakah dan
mudharabah), cukup memudahkan. (2) mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan
sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan
yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi
saingan bank-bank syariah (3) murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada
pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem bagi hasil. Dan (5) murabahah
tidak memungkin bank-bank syariah untuk mencampuri manejemen bisnis, karena
bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adlah
hubungan antara kreditur dan debitur.

Berdasarkan kondisi dan alasan praktik murabahah di bank syariah, maka ada
semacam “kecaman” atau penilaian masyarakat terhadap praktik bank syariah tidak
jauh berbeda dengan bank konvensional (bank bunga). Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh BI menunjukan bahwa 15% responden menilai bank syariah tidak
ada bedanya dengan bank konvensional, hanya beda bungkusnya. Kalangan awam
juga menilai bahwa bank syariah dalam mengambil keuntungan lebih besar
dibandingkan dengan bank konvensional.
Kondisi inilah yang harus dicarikan solusinya. Karena selama ini kalangan
awam menilai yang namanya lembaga syariah selalu identik dengan harga murah.
Sehingga jika terjadi penjualan barang oleh bank syariah dengan harga lebih tinggi
dibandingkan harga jual bank tidak syariah, maka bank syariah dinilai lebih tidak
islami. Padahal, suatu ketika memang bisa terjadi demikian adanya. Oleh karena
itu, perlu kiranya dicarikan kemasan produk murabahah yang meberikan
keuntungan secara adil antara pihak bank syariah dengan nasabah peminjam
murabahah.
Bank syariah harus tidak hanya menjadikan tingkat suku bunga sebagai rujukan
penentuan harga jual (pokok + margin) produk murabahah. Cara penetapan margin
yang hanya mengacu pada suku bunga merupakan langkah sesat sekaligus
menyesatkan dan lebih berat lagi dapat merusak reputasi bank syariah. Dalam
praktiknya, barangkali tingginya margin yang diambil oleh pihak bank syariah
adalah untuk mengantisipasi naiknya suku bunga di pasar atau inflasi. Sehingga
kalu terjadi kenaikan suku bunga yang besar, maka bank syariah tidak mengalami
kerugian secara riil, namun demikian apabila suku bunga di pasar tetap stabil atau
bahkan turun, maka margin murabahah akan lebih besar dibandingkan dengan
tingkat bunga pada bank konevensional.
Dengan penetapan margin keuntungan murabahah yang tinggi ini, secara tidak
langsung bahkan akan dapat meyebabkan inflasi yang lebih besar daripada yang
disebabkan oleh suku bunga. Oleh karena itu, perlu dicari format atau formula yang
tepat, agar nilai penjualan dengan murabahah tidak mengacu pada sikap
mngantisipasi kenaikan suku bunga selama masa pembayaran cicilan. Karena,
mengaitkan margin keuntungan murabahah dengan bunga perbankan konvensional,
baik di atasnya maupun di bawahnya, tetaplah bukan cara yang baik.
Sebaiknya, penetapan harga jual murabahah dapat dilakukan dengan cara
Rasulullah ketika berdagang. Dalam menentukan harga penjualan, Rasul secara
transparan menjelaskan berapa harga belinya, berapa biaya yang telah dikeluarkan
untuk setiap komoditas dan berapa keuntungan wajar yang diinginkan. Cara yang
dilakukan oleh Rasulullah ini dapat dipakai sebagai salah satu metode bank syariah
dalam menentukan harga jual produk murabahah.

III. Mekanisme Berbasis Sewa Menyewa


Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola
sewa atau ijarah. Ijarah adalah istilah dalam Fikih Islam dan berarti memberikan
sesuatu untuk disewakan.
Ada dua jenis ijarah dalam hukum Islam, yaitu:

1. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa,yaitu memperkejakan jasa seseorang


dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut
must’jir, pihak pekerja disebut ajir, upah yang dibayarkan disebut ujrah.
2. Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau property, yaitu memindahkan hak
untuk memakai dari asset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan
biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syariah.
Sementara itu, ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau
pembiayaan di perbankan syariah.
Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa barang tanpa alih kepemilikan di akhir
periode. Ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) adalah transaksi
sewa beli dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir
periode sehingga transaksi ini di akhiri dengan alih kepemilikan objek sewa.
a. Sewa atau ijarah
Sewa atau ijarah dapat dipakai sebagai bentuk pembiayaan, pada mulanya bukan
merupakan bentuk pembiayaan, tetapi merupakan aktivitas usaha seperti jual beli.
Bentuk pembiayaan ini merupakan salah satu teknik pembiayaan ketika kebutuhan
pembiayaan investor untuk membeli asset terpenuhi, dan investor hanya membayar
sewa pemakaian tanpa harus mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membeli
aset tersebut.
a) Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
b) Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset, dan
mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak yang menyewakan aset.
c) Objek akad, yaitu ma’jur (asset yang disewakan), dan ujrah (harga sewa).
d) Shifhah, yaitu ijab dan qabul.

Dua hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan ijarah sebagai bentuk
pembiayaan. Pertama, beberapa syarat harus dipenuhi agar hukum-hukum syariah
terpenuhi, dan yang pokok adalah:

a) Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh asset yang akan disewakan tersebut
harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b) Kepemilikan asset tetap pada yang menyewakan yang bertanggungjawab atas
pemeliharaannya sehingga asset tersebut terus dapat memberikan manfaat kepada
penyewa.
c) Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan
manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad
ijarah masih tetap berlaku.
Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya
pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual, harganya akan ditentukan pada
saat kontrak berakhir.
Syarat-syarat di atas menyiratkan bahwa pemilik dana atau pemilik aset tidak
memperoleh keuntungan tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Tingkat keuntungan
baru dapat diketahui setelahnya.
Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai patokan tingkat keuntungan dengan
alasan:
a) Pemilik aset tidak mengetahui dengan pasti umur aset uang bersangkutan.
b) Pemilik aset tidak tahu pasti sampai kapan aset tersebut dapat terus disewakan
selama masa produktifnya. Pada saat sewa pertama berakhir, pemilik belum tentu
langsung mendapatkan penyewa berikutnya. Apabila sewa diperbaharui, harga
sewa mungkin berubah mengingat kondisi prokdutivitas aset mungkin telah
berkurang.
b. Ijarah muntahiya bittamlik
Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk
menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri
dengan alih kepemilikan objek sewa. Berbagai bentuk alih kepemilikan IMBT antara
lain:
a) Hibah di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset dihibahkan
kepada penyewa.
b) Harga yang berlaku di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset
dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu.
c) Harga ekuivalen dalalm periode sewa, yaitu ketika penyewa membeli aset dalam
periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen.
d) Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika ‘alih kepemilikan dilakukan bertahap
dengan pembayaran cicilan selama periode sewa.
Bagan proses pembiayaan ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) dapat dilihat pada
gambar dibawah ini
IV. Mekanisme Berbasis Sewa Titipan (Wadiah)
Wadi’ah secara etimologi adalah wada`a yang berarti meninggalkan/
meletakkan atau titipan. Secara terminologi, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Dalam
mendefinisikannya, paling tidak ada tiga ulama mazhab yang berupaya
menjelaskannya, ulama mazhab Hanafi mengatakan wadi’ah adalah mengikut sertakan
orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat.
Sedangkan menurut ulama mazhab Syaf’i dan Maliki yaitu mewakilkan orang lain
untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu
yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia
meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat
diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun
badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya.
Al-wadi’ah adalah amanah bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib
mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali firman Allah SWT;
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-
MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro
yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan
produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-
MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Dalam penjelasan undang-undang perbankan syari’ah tahun 2008, pasal 19,
ayat 1, huruf a, dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang
antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan
dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau
uang.”
Definisi ini selaras dengan definisi wadi’ah dalam ilmu fiqih. Dalam kitab
I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah adalah: “Suatu akad
yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dapat diketahui bahwa wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki. Selain itu, menurut Bank Indonesia, wadi’ah adalah
akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak
yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang/uang.
Dilihat dari segi akadnya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu : Pertama, wadiah
yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima titipan tidak
diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab
atas kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang bukan di akibatkan perbuatan
atau kelalaian penerima titipan. Kedua, wadiah yad dhamanah adalah akad penitipan
barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang
dapat memanfaatkan barang/uang dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan barang/uang titipan.
Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan
prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk
tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah
yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan
dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang
sifatnya bertentangan namun dipaksakan.
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadiah yad dhamanah, karena di dalam
praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun Tabungan Wadiah, bank meminta pihak
penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola
titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil yang diperoleh dari
pemanfaatan titipan nasabah, yang dengan kata lain bank tidak dikenai tanggungjawab
(kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan suatu titipan dalam
bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh
pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian
dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar
prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadiah dan qard,
namun lebih layak berlandaskan qard.
Wadiah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi
posisisnya sebagai pihak penolong. Karena itulah, sifat dari wadiah adalah amanah.
Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah adalah:
“Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank
syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala
resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih
jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan
‘bagi hasil’.
Jika kita bandingkan antara menitipkan di perbankan syariah dan menabung di
bank konvensional, menabung di perbankan konvensional, paling sedikit kita
mendapatkan dua ‘keuntungan': Pertama, dana aman dan kedua, bunga tabungan yang
didapatkan setiap bulan. Sedangkan besaran bunga yang and didapatkan setiap bulan,
sesuai dengan suku bunga yang ditetapkan bank. Dengan memahami dua konsep
transaksi ini, secara sederhana kita bisa menangkap adanya kemiripan antara konsep
wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional, jika mengacu bahwa menitipkan
uang harus mendapat kelebihan.
Jika kita cermati lebih lanjut, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah yang
ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih.
Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum
dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai
proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada
dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi
penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk
menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari atau yang secara bahasa bermakna
account.
Sehingga apa yang diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad
hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadiah. Bila demikian tidak diragukan
keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba, berdasarkan
kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba” (al-Qawaid an-
Nuraniyah, hlm. 116)
Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan
menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain
(hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad
wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang
dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala konsekwensinya, berbagai hukum utang piutang
berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah.
Permasalahan ini harus dikuasai dan senantiasa diingat, agar tidak terkecoh
dengan perubahan nama atau sebutan riba. Masyarakat pada zaman ini telah mengubah
nama riba menjadi bunga atau faidah, dan mengubah nama piutang menjadi tabungan
atau wadi’ah.
Piutang (al-qardhu) adalah suatu akad berupa memberikan harta kepada orang
yang akan menggunakannya dan kemudian ia berkewajiban mengembalikan gantinya.
Adapun akad tabungan atau wadi’ah adalah menyerahkan harta kepada orang yang
menjaganya/menyimpankannya (baca Mughni al-Muhtaj, 3/79, Kifayah al-Akhyaar
oleh Taqiyuddin al-Hishny, 2/11 dan asy-Syarhu al-Mumti’, 10/285).

V. Berbasis Hutang (Qardh) dan titipan (Qardhul Hasan)


Secara etimologi qardh berarti potongan, sedangkan pengertian secara
terminologi berarti pemberian harta kepada orang lain yang dapat diminta kembali
dengan jumlah yang sama atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan atau tambahan.
Sedangkan Qardhul Hasan adalah suatu interest free financing. Kata “ hasan”
berasal dari bahasa arab yaitu ”ihsan” yang artinya kebaikan kepada orang lain. Qardhul
Hasan yaitu jenis pinjaman yang diberikan kepada pihak yang sangat memerlukan
untuk jangka waktu tertentu tanpa harus membayar bunga atau keuntungan. Penerima
Qardhul Hasan hanya berkewajiban melunasi jumlah pinjaman pokok tanpa diharuskan
memberikan tambahan apapun. Namun penerima pinjaman boleh saja atas
kebijakannya sendiri membayar lebih dari uang yang dipinjamnya sebagai tanda terima
kasih kepada pemberi pinjaman. Tetapi hal tersebut tidak boleh diperjanjikan
sebelumnya di muka.5
Qardhul Hasan atau benevolent loan adalah suatu pinjaman lunak yang
diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dimana si peminjam tidak dituntut untuk
mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. Pada dasarnya Qardhul Hasan
merupakan pinjaman sosial yang diberikan secara benevolent tanpa ada pengenaan
biaya apapun, kecuali pengembalian modal asalnya.
Adapun Perbedaan qardh dan qardhul hasan antara lain:
1. Qardh adalah pemberian pinjaman kepada orang lain yang dapat ditagih kembali,
sedangkan Qardhul Hasan pemberian pinjaman kepada orang lain, dimana
peminjam tidak diharuskan mengembalikan pokoknya apabila dirasakan benar-
benar peminjam tidak mampu untuk mengembalikannya. Sehingga Qardhul Hasan
ini dianggap sadaqah. Walaupun pada prinsipnya bukanlah produk yang Profitable
namun tetap harus diperhatikan sistem dari produk ini agar lebih optimal dan
meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.

5
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk - P roduk dan Aspek - Aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana,
2014), hal: 342-343.
2. Dilihat dari segi sumber dana, sumber dana qard berasal dari dana komersial atau
modal. sedangkan sumber dana Qardhul Hasan berasal dari dana sosial yakni dana
zakat, infaq, dan sadaqah.

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No: 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang qardh:


Pertama: Ketentuan Umum al-Qardh

1. Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqridh) yang


memerlukan.
2. Nasabah Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu
yang telah disepakati bersama.
3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah LKS dapat meminta jaminan
kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
4. Nasabah Qardh dapat meminta tambahan (sumbangan) dengan suka rela kepada
LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
5. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada
saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS
dapat:
a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b) Menghapus (write off) sebagian/seluruh kewajibannya.

Kedua: Sanksi

1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau


seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat
menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah dapat berupa (dan tidak terbatas pada)
penjualan barang jaminan.
3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya
secara penuh.

Ketiga: Sumber Dana Qardh

1. Bagian modal LKS/Bank Syariah (paid up capital).


2. Keuntungan LKS yang disisihkan.
3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaknya kepada
LKS
Keempat

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimanA
mestinya.
3. Rukun dan Syarat Qardhul Hasan

Rukun Qardhul Hasan adalah:

1. Orang yang meminjamkan pinjaman (muqtaridh)


2. Pihak yang memberi pinjaman (muqridh)
3. Objek akad yang merupakan pinjaman yang dipinjamkan oleh pemilik kepada
pihak yang menerima pinjaman (dana/qardh)
4. Ijab qabul (sighat)

Syarat-Syarat Qardhul Hasan adalah:

1. Pihak yang meminjam (muqtaridh) wajib mengembalikan pinjaman.


2. Orang yang memberikan pinjaman (muqridh) benar-benar memiliki harta yang
akan dipinjamkan.
3. Pinjaman tidak memberikan nilai manfaat yang disyaratkan
4. Tidak digabungkan dengan akad lain

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kontrak Keuangan Syari’ah terdiri dari:


1. Kontrak Transaksional
2. Kontrak Pembiayaan
3. Kontrak Intermediasi
4. Kontrak Kesejahteraan Sosial

Instrumen Keuangan Syariah dibedakan menjadi 2 yaitu instrumen keuangan syariah primer
dan sekunder. Adapun instrumen keuangan syariah primer terdiri dari mudharabah,
musyarakah, murabahah, salam dan salam paralel, istishna dan istishna paralel, wadiah, qardh
dan qardhul hasan, sharf, ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik, wakalah, kafalah, dan hiwalah.
Sedangkan instrumen keuangan syariah sekunder terdiri dari: dana mudharabah (mudharabah
fund), saham biasa perusahaan (common stock), obligasi muqaradah (profit sharing bond),
obligasi bagi hasil (profit sharing bond), dan saham preferen (preferred stock).
Mekanisme pembiayaan dalam perbankan syariah dibedakan menjadi lima,
1. Berbasis bagi hasil, yaitu mudharabah dan musyarakah.
2. Berbasis jual beli, yaitu murabahah, salam, dan isthisna.
3. Berbasis sewa menyewa, yaitu ijarah
4. Berbasis titipan (wadiah)
5. Berbasis hutang (qardh) dan kebaikan (qardhul hasan).
DAFTRA PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
Karim, Adimarwan A. Bank Islam: Analisis fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2010.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Sjahdeini , Sutan Remy. Perbankan Syariah Produk - P roduk dan Aspek - Aspek Hukumnya.
Jakarta: Kencana, 2014.
Sutedi, Adrian. Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009.

Anda mungkin juga menyukai