Anda di halaman 1dari 11

JUDUL

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah : Kontrak Bisnis Syariah
Kontemporer

Dosen Pengampu : Deddy Purwinto, S.E., M.H.

Disusun oleh :
Alvin Syahrur R. 1717301002

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF K.H. SAIFUDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsep bagi hasil atau mudharabah digali dari pemikiran-pemikiran para ahli
yurispundensi Islam yang kemudian dimodifikasi agar sesuai dan bisa diterapkan di
berbagai negara dan berbagai kondisi atau situasi. Salah satu penerapan yang paling
terkenal adalah pada bidang perbankan syariah. Konsep ini ternyata mampu mendongkrak
perkembangan segala bidang yang menerapkan sistem ini tanpa terkecuali di bidang
perbankan. Secara istilah, akad mudharabah ialah suatu transaksi yang melibatkan kedua
belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal / investor (shahibul maal) dan
pihak kedua sebagai pengelola / pekerja (mudharib) yang menyumbangkan waktu dan
tenaganya untuk menjalankan usaha dengan ketentuan yang telah disepakati oleh
keduanya di awal. Para ulama fikih mendefinisikan mudharabah ialah sebagai bentuk
kerja sama antara kedua belah pihak, dimana pemilik modal mempercayakan sebagian
hartanya untuk dikelola oleh pengelola (mudharib).
Salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik modal dengan
seseorang adalah bagi hasil atau mudharabah, yang dilandasi oleh rasa saling tolong
menolong. Sebab ada orang yang memilki modal tetapi tidak memiliki keahlian dalam
menjalankan roda perusahaan. Ada juga sebaliknya orang yang mempunyai keahlian dan
waktu tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian apabila ada kerja sama dalam
menggerakkan roda perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan
keuntungan modal dan skill atau keahlian dipadukan menjadi satu.

Rumusan Masalah

Bagaimana konsep bagi hasil atau mudharabah dan penerapannya pada lembaga
keuangan syariah maupun non LKS di Indonesia?
A. Pengertian Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu yang memiliki arti memukul


atau berjalan, yang berarti seseorang yang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha.1 Mudharabah dapat disebut juga dengan al-qiradh atau al-
muqaradhu yang mempunyai makna al-qath’u yakni memotong. Maksudnya,
pemilik modal memotong bagian hartanya untuk pekerja dengan mendapatkan
bagian keuntungan, sedangkan pekerja memotong keuntungannya untuk pemilik
modal yang dihasilkan dari usahanya atas dasar modal tersebut. Secara istilah,
akad mudharabah ialah suatu transaksi yang melibatkan kedua belah pihak,
dimana pihak pertama sebagai pemilik modal / investor (shahibul maal) dan pihak
kedua sebagai pengelola / pekerja (mudharib) yang menyumbangkan waktu dan
tenaganya untuk menjalankan usaha dengan ketentuan yang telah disepakati oleh
keduanya di awal. Para ulama fikih mendefinisikan mudharabah ialah sebagai
bentuk kerja sama antara kedua belah pihak, dimana pemilik modal
mempercayakan sebagian hartanya untuk dikelola oleh pengelola (mudharib).2
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 20 ayat (4),
mudarabah adalah kerja sama antara pemilik modal atau penanam modal dan
pengelola modal untuk melakukan suatu usaha tertentu dengan pembagian hasil
berdasarkan nisbah.3
Jadi, dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa mudarabah
ialah suatu bentuk kerja sama dalam dunia bisnis dan usaha yang di dalamnya
terdapat kombinasi antara investasi (aspek bisnis) dan manajemen (tata kelola),
dimana pihak investor bersifat pasif dan pihak pengelola bisnis bersifat aktif di
dalam menjalankan bisnisnya dengan kesepakatan untuk mendapatkan return
tertentu.4
B. Dasar Hukum Mudharabah
Secara umum landasan dasar mudharabah lebih mencerminkan anjuran
untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat-ayat al-Qur’an, hadis serta dasar
hukum lainnya:5
a. Al-Qur’an

1 Anggi Mawaddah, Nur Aeni Hidayah, dan Zulfiandri, “Rancang Bangun Sistem Informasi Simpan
Pinjam Mudharabah pada Koperasi Baitul Maal wa Tamwiil Ar-Rum”, Studi Informatika, Jurnal
Sistem Infoemasi, Vol. 4 No. 2 (2011), hlm. 2.
2 Arif Fauzan, “Kontrak Penyertaan dalam Bisnis = Mudharabah “, Jurnal ATSAR UNISA Vol. 1 No. 1
September 2020 ,hlm. 12.
3 Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.
150.
4 Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, hlm. 12.
5 Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, hlm. 13.
Q.S. Al-Muzzammil (73) : 20
“...dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah..”
2. Q.S. An-Nisa (6) : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b. Hadis
Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah) dan mencampur jewawut dengan gandum untuk
keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR Ibnu Majah, 2289).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, berkata ia: ada Sayyidina Abbas bin
Abdul Muthalib ketika menyerahkan hartanya sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratannya
dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Maka sampai persyaratan
itu kepada Rasululah saw, dan beliau memperbolehkannya. (HR Thabrani).
c. Ijma’
Diriwayatkan sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma.
d. Qiyas
Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah
(Sholihin, 2010).
e. Kaidah Fikih Muamalah
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
f. UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (pasal 6 huruf m), kemudian
diperbaharui dengan keluarnya UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
yang menjadi dasar hukum beroperasinya dual banking system,yakni bank
konvensional dan bank syariah. Terakhir di sahkannya UU No.21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah, undang-undang ini menjadi
independensi perbankan syariah dari perbankan konvensional.

C. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum Mudharabah terbagi menjadi dua jenis: Mudharabah
Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.6
a. Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah akad mudharabah dimana
shahibul maal memberikan keleluasaan atau kebebasankepada
pengelola modal (mudharib) dalam menjalankan investasinya /
usahanya.7 Jadi, mudharabah juga bisa disebut bentuk kerja sama
antara shohibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas
dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah
bisnis. Dalam pembahasan fikih ulama Salaf ash Shalih sering kali
dicontohkan dengan ungkapan If’al ma syi’ta (lakukanlah
sesukamu) dari shohibul maal ke mudharib yang memberi
kekuasaan sangat besar.

b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau di sebut juga dengan istilah
restricted mudharabah/sfecified mudharabah adalah kebalikan dari
mudharabah muthlaqah. Si mudharib di batasi dengan batasan jenis
usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali
mencerminkan kecendrungan umum si shahibul maal dalam
memasuki jenis dunia usaha.
c. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah mustarakah ialah salah satu bentuk kerja sama
antara shahibul maal dan mudharib, yang dimana
pengelola(mudharib) itu sendiri juga ikut menyertakan modal
dalam aktivitas menjalankan usaha.
D. Perlakuan bagi Keuntungan dan Kerugian
a. Persentase
Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk
persentase antara kedua belah pihak bukan dalam bentuk nominal.
Contoh kesepakatan kedua belah pihak di awal untuk membagi
keuntungan sebanyak 50:50 / 70:30.
b. Bagi Untung dan Bagi Rugi
Keuntungan usaha dibagi berdasarkan kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak di awal, sedangkan kerugian ditanggung
oleh pemilik modal (shahibul maal) selama kerugian tersebut tidak
di sebabkan oleh kelalaian/kecurangan si pengelola(mudharib). 8
Bagi untung dan bagi rugi ini merupakan konsekuensi logis,
apalagi

6
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Gema Insani Press : Jakarta, 2001), hlm.
15.
7
Imam Mustofa, Fikih Mu’amalah Kontemporer, hlm. 157.
8 Dr. Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 249.
akad mudharabah ini masuk ke dalam kontrak investasi. Di mana,
kalau yang menjadi pertimbangan adalah kinerja sektor riilnya.
Kalau laba yang dihasilkan itu banyak maka pembagian
keuntungannya banyak, namun jika sedikit maka sedikit pula
labanya. Jadi pembagian untungnya berdasarkan atas nisbah yang
telah disepakati di awal.
Namun, jika suatu bisnis/usaha mengalami kerugian,
presentasi nisbah ini berlaku hanya untuk pemegang saham
saja/investor/pemilik modal. Jadi, jika shohibul maal ini
memberikan dana untuk modal usaha itu 100% dan pengelola
(mudharib)nya 0% maka, kerugian dipegang bagi pemilik modal.
c. Jaminan
Dalam hal jaminan, pembagian kerugian di atas hanya
berlaku akibat risiko bisnis (bussines risk) bukan karena karakter
buruk mudharib (character risk). Kalau kerugian itu diakibatkan
karakter buruk mudharib, maka pemilik modal (shahibul maal)
tidak perlu menanggung kerugian, jadi kerugian itu hanya berlaku
bagi mudharib saja.
Adapun jika adanya jaminan, menurut para fuqaha, hal itu
tidak boleh sebagaimana pada akad-akad syirkah lainnya. Namun,
jaminan ini diperbolehkan sebagai alat untuk menghindari moral
hazard mudharib bukan untuk menghindari risiko bisnis. Karena
bagaimanapun, mudharib ini sebagai wakail shahibul maal dalam
menjalankan bisnis dan juga maal nya, jadi jaminan ini gunanya
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
d. Menentukan Besarnya Nisbah
Besarnya nisbah ditentukan oleh masing-masing pihak yang
berkontrak. Jadi, hasil akhir/kesepakatan besarnya nisbah bisa jadi
hasil dari tawar-menawar antara shahibul maal dan mudharib.
e. Cara Menyelesaikan Kerugian
a) Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena
keuntungan merupakan pelindung modal.
b) Bila kerugian melebihi keuntungan maka yang perlu
diambil dari pokok modal.
E. Rukun Mudharabah
a. Pelaku kedua belah pihak (shahibul maal dan mudharib)
b. Objek mudharabah (modal dan kerja)
c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab kabul)
d. Nisbah keuntungan
F. Penerapan Mudharabah dalam Lembaga Bisnis Syariah (LBS) dan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Jika dalam mekanisme ekonomi konvensional menerapkan instrumen
bunga, namun dalam ekonomi Islam menerapkan instrumen bagi hasil.
Tampaknya sistem bagi hasil yang diterapkan dalam Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) ini menarik minat masyarakat untuk berbisnis. Dalam skema bagi hasil
(profit sharing) ini merupakan prinsip dan landasan umum bagi lembaga keuangan
maupun bisnis syariah secara keseluruhan.
Adapun adanya pembaharuan mudharabah klasik ke kontemporer sebagai
bentuk inovasi berjalannya hukum Islam dengan kondisi sosial masyarakat. Ada
beberapa alasan kenapa mudharabah klasik sudah tidak relevan lagi dipakai untuk
saat ini :
a) Sistem kerja pada bank adalah berkelompok, jadi mereka tidak saling
mengenal satu sama lain, kecil kemungkinan mereka untuk terjadi
hubungan yang langsung dan personal.
b) Banyak investasi pada sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah
besar, puluhan, ratusan, bahkan ribuan shohibul maal untuk membangun
satu proyek tertentu.
c) Lemahnya disiplin pada ajaran Islam sehingga menyebabkan bank
kesulitan dalam mendapatkan jaminan.
Untuk mengatasi masalah diatas, khususnya masalah pertama dan kedua.
Ulama kontemporer melakukan inovasi baru atau skema baru mengenai
mudharabah, yakni dengan melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga disini ialah
bank, yang mempertemukan pihak shahibul maal dengan mudharib. Jadi bank
berperan sebagai perantara. Adanya evolusi ini menjadikan yang sebelumnya
direct financing menjadi indirect financing.
G. Bentuk-Bentuk Produk Mudharabah pada LKS dan LBS
1. Tabungan berjangka dan deposito berjangka
Aplikasi prinsip ini adalah bahwa deposan atau penyimpan
bertindak sebagai shahibul maal dan bank (LKS) sebagai mudharib. Dana
digunakan untuk melakukan pembiayaan akad jual beli maupun syirkah.
Jika terjadi kerugian maka LKS tersebut bertanggungjawab atas kerugian
yang terjadi.9
Berdasarkan kewenangan prinsip mudharabah dibagi menjadi
beberapa bagian.
1) Mudharabah Mutlaqah
Prinsip ini tidak ada pembatasan bagi LKS dalam
menggunakan dana yang dihimpun. Adapun ketentuan umumnya
sebagai berikut:
a) LKS wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai
nisbah dan tatacara pemberitahuan keuntungan dan atau

9
Dr. Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, hlm. 18-20.
pembagian keuntungan secara risiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana, yang dicantumkan
dalam akad.
b) Untuk tabungan mudharabah, LKS dapat memberikan buku
tabungan sebagai bukti penyimpanan. Untuk deposito
mudharabah, LKS memberikan sertifikat atau tanda
penyimpanan deposito kepada deposan.
c) Tabungan mudharabah bisa diambil setiap saat oleh
penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
d) Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai jangka
waktu yang telah disepakati.
e) Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan
deposito atau tabungan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentang dengan syariah.
2) Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus
(restricted investment) di mana pemilik dana dapat menerapkan
syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank sebagai LKS.
Karakteristik jenis simpanan ini:
a) Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus
diikuti oleh bank.
b) Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana
mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan.
c) Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti
simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari
rekening lain. Untuk deposito mudharabah, bank wajib
memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan deposito
kepada deposan.
3) Mudharabah Muqayadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana
mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, di mana bank
sebagai LKS bertindak sebagai perantara yang mempertemukan
antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank
dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan
usahanya. Karakteristiknya:
a) Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti
simpanan khusus.
b) Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
c) Rekening khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening
administratif.
d) Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung
kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
e) Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua
belah pihak.
f) Antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah
bagi hasil.
2. Pembiayaan mudharabah, yakni kerjasama dimana bank sebagai
LKS berperan menjadi shohibul maal yang memberikan dana
kepada mudharib (nasabah pembiayaan) yang memiliki keahlian.
Adapun ketentuan umum yang yang berlaku dalam akad
mudharabah adalah:
1) Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku
pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang
atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang.
Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas
tahapannya dan disepakati bersama.
2) Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah
dapat diperhitungkan dengan cara:
a) Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan
dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang
disepakati. Bank selaku pemilik modal
menanggung seluruh kerugian kecuali akibat
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah
(mudharib), seperti penyelewengan, kecurangan
dan penyalahgunaan dana.
b) Bank berhak melakukan pengawasan terhadap
pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan
pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji
dengan sengaja misalnya tidak mau membayar
kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban,
dapat dikenakan sanksi administratif. Untuk
mudharabah muqayadah, pada dasarnya sama
dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah
terletak pada adanya pembatasan penggunaan
modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
3. Asuransi Syariah
Dalam bisnis asuransi syariah, secara umum peserta
asuransi syariah tidak memberikan syarat tertentu yang membatasi
tentang cara pengelolaan dana sehingga akad ini dikategorikan
sebagai mudharabah mutlaqah. Sedangkan dalam posisinya sebagai
mudharib di satu sisi dan shaibul maal di sisi yang lain maka
asuransi syariah layaknya bank syariah. Kemudian dana peserta
yang terkumpul akan diinvestasikan ke dalam instrumen investasi
syariah dan apabila ada keuntungan (profit) maka hasilnya akan
dibagikan kepada peserta dan perusahaan berdasarkan nisbah atau
rasio yang telah disepakati di awal perjanjian, misalnya 50:50,
70:30, dan sebagainya.
4. Investasi Mudarabah Antarbank (IMA)
Investasi ini merupakan instrumen Pasar Uang Antarbank
Syariah (PUAS). Jangka waktu maksimumnya 90 hari. Sertifikat
ini diterbitkan oleh Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Untuk sertifikat ini, pengalihan jual hanya boleh dilakukan oleh
bank penerbit. Sedangkan bank pembeli tidak boleh mengalihkan
kepada pihak berikutnya. Imbalan dibayarkan setiap awal bulan
sebesar realisasi tingkat imbalan deposito investasi mudharabah
pada bank penerbit.
5. Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa
bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada
saat jatuh tempo. Emiten dalam obligasi syariah mudharabah
adalah mudharib sedangkan pemegang obligasi syariah
mudharabah adalah shahibul maal.
6. Mudharabah Non-LKS
Skema ini diterapkan pada transaksi bisnis secara luas, bukan
hanya di LKS saja. Misalnya, secara perorangan atau perusahaan
memberikan dana investasi kepada pengusaha perorangan maupun
investasi.
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Gema Insani
Press : Jakarta. 2001.
Dr. Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2014.
Fauzan, Arif, “Kontrak Penyertaan dalam Bisnis = Mudharabah “, Jurnal ATSAR
UNISA Vol. 1 No. 1 September 2020.

Mawaddah, Anggi, Nur Aeni Hidayah, dan Zulfiandri. “Rancang Bangun Sistem
Informasi Simpan Pinjam Mudharabah pada Koperasi Baitul Maal wa Tamwiil
Ar-Rum”. Studi Informatika, Jurnal Sistem Infoemasi, Vol. 4 No. 2, 2011.
Mustofa, Imam. Fikih Mu’amalah Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2016.

Anda mungkin juga menyukai