Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN DAN DINAMIKA AGAMA HINDU DI PULAU JAWA PASCA

KEMERDEKAAN
Kata Pengantar

Sejarah perkembangan agama Hndu di Indonesia telah memberikan gambaran


mengenai bagaimana sebuah budaya besar dari India berinteraksi dengan budaya asli dari
Nusantara. Merupakan suatu objek penelitian yang menarik untuk dibahas baik itu
mengenai sejarah masuknya ke Indonesia ataupun bagaimana perjuangan dari agama
Hindu itu sendiri dalam hal menunjukan eksistensinya di Indonesia yang notabenenya
merupakan agama minoritas. Hal ini tentu menjadi suatu kajian yang menarik untuk
dibahas serta dapat sangat bermanfaat dalam hal menambah wawasan terkait dengan hal-
hal yang akan disampaikan dalam makalah ini.

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................1

Daftar Isi.................................................................................................................2

Doa Pembuka..........................................................................................................3

Pendahuluan............................................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................4


B. Rumusan Masalah.......................................................................................5
C. Tujuan Penelitian........................................................................................5

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

A. Sejarah Agama Hindu6...............................................................................6


B. Sejarah Masuknya Agama Hindu ke Indonesia..........................................7
C. Perkembangan Agama Hindu Pasca Kemerdekaan ...................................11
D. Dinamika Agama Hindu di Berbagai Provinsi di Pulau Jawa....................13

KESIMPULAN17...................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA18.........................................................................................18

2
Doa Pembuka

3
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan agama Hindu jika ditelisik secara historis tidak dapat dipungkiri
bahwa sumber ajarannya berasal dari India, di mana veda pertama kali diwahyukan dan
diterima oleh Maha Rsi. Pada perkembangan selanjutnya, dengan menyebarnya peradaban
manusia dalam memahami ajaran agama, pola pembelajaran agama di India adalah dengan
sistem upanisad atau mengikuti garis parampara atau perguruan yang dipusatkan
pembelajaran veda pada Ashram yang dipimpin oleh seorang Acharya atau Rsi.
Berkembangnya pola pembelajaran ini membentuk sebuah konsep bahwa murid yang sudah
lulus dapat menggunakan gelar sesuai dengan identitas acharyanya. Seperti halnya identitas
maha Rsi Markandeya dapat ditemui pada kisah Siva Purana dan juga terdapat dalam sejarah
Bali yang menanam panca datu di Pura Besakih.

Perkembangan sektarian di India, menjadi sebuah fondasi yang besar dalam


kehidupan beragamanya. Di mana masing-masing sekta memiliki organisasi yang terstruktur
dan memiliki Acharya atau guru yang menuntunya dalam melaksanakan pemujaan. Hal
tersebut berkembang sampai dengan ke Bali sebagai penyebaran Hindu yang berasal dari
India. Kemudian pada zaman Mpu Kuturan pola sekta ini disatukan dengan
mengakulturasikan sistem ajarannya ke dalam konsep tri murti yang berpahamkan ajaran
siwa siddhanta. Hal inilah kemudian yang diwarisi pada masyarakat Bali sampai sekarang ini
yang menjadikan identitas pada sistem religi dan kebudayaannya.

Perkembangan agama Hindu itu sendiri memang cukup baik di Indonesia apalagi jika
melihat sejarah bahwa beberapa kerajaan besar Nusantara merupakan berasal dari agama
Hindu-Buddha. Tetapi perjuangan sesungguhnya dalam hal menunjukkan eksistensi serta
pengakuan dari Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dimulai pasca kemerdekaan
Indonesia atau setelah tahun 1945. Beberapa hal dilakukan agar Agama Hindu menjadi
agama resmi yang diakui oleh Pemerintah Indonesia sehingga menimbulkan persebaran yang
lebih baik tidak hanya penganutnya, tetapi juga pembangunan tempat-tempat ibadah di
berbagai daerah khususnya Pulau Jawa.

4
Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah masuknya agama Hindu ke Indonesia ?


2. Bagaimana Perkembangan agama Hindu pasca kemerdekaan ?
3. Bagaimana dinamika perkembangan agama Hindu pada beberapa Provinsi di Pulau
Jawa ?

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sejarah masuknya agama Hindu ke Indonesia.


2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan agama Hindu di Indonesia pasca
kemerdekaan.
3. Untuk mengetahui bagaimana dinamika perkembangan agama Hindu pada beberapa
Provinsi di Pulau Jawa.

5
PEMBAHASAN

A. Sejarah Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang berasal dari India dan termasuk agama yang paling
tertua di dunia. Agama Hindu ini berasal dari bahasa Sansekerta Sindhu, nama sungai Indus
di India dan menjadi nama agama Hindu. Agama Hindu disebut dengan nama “Sanatama
Dharma” yang berarti agama yang kekal abadi atau dengan sebutan “Waidika Dharma”
berarti agama Weda yang menjadi kitab dasar agama Hindu.

Agama Hindu berkembang di India sampai sekarang ini, dan tidak ada pendiri agama
Hindu yang dapat diakui sebagai sumber pengajaran Hindu dan hukum-hukumnya. Dalam
arti agama Hindu tidak mempunyai pendiri yang pasti maka begitu pula halnya dengan Weda.
Tetapi menurut Anand Krishna bahwa agama Hindu dibawaoleh para Rishi yang menerima
kebenaran dalam bentuk Shurti atau wahyu. Merekalah Nabi-Nabi atau Rasul-Rasul Hindu.’
Para Rishi itu, adalah Maha Rsi Wyasa atau dikenal dengan Krisna Dwipayana, Rsi Manu,
Gautama Wasista, Wismamiyra Kasyapa, Yajujawalkia, Walmiki dan lain-lain.

Agama Hindu banyak diwarnai dengan adat istiadat bangsa Arya yang memiliki kedudukan
tinggi di India, sehingga mereka tidak mau campur baur dengan penduduk India asli, hal ini
yang menyebabkan timbulnya kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat India, seperti
golongan ahli agama (Brahmana), golongan prajurit (Ksatria), golongan saudagar dan ahli
tukang (Waisya), dan golongan pesuruh dan hamba sahaya (Sudra), Di samping itu, diwarnai
dengan adat istiadat bangsa Dravida juga yang sudah memilliki patung Dewa tersebut,
sehingga kedua bangsa itu melebur menjadi satu. (Adi, 2021)

Dalam kaitan itu, agama Hindu banyak diwarnai dengan animisme primitif, plitiesme,
sampai pada pemikiran filsafat monisme dalam keyakinannya.”° Di samping menyakini para
dewa, alam, bahkan menyembah sapi. Oleh karenanya, sejarah agama Hindu dapat dilihat
dari tiga sisi, yaitu masa Weda, masa Buddha, dan masa Hindu. Masa Weda, adalah masa
masuknya bangsa arya di India sampai timbulnya agama Budha pada tahun 500 SM. Masa ini
meliputi masa Weda Purba, masa Brahmana, dan masa Upanisad.

 Masa Weda-purba atau masa Weda Samhita, dimulai pada tahun 1500 SM. — 1000
SM. Masa ini bangsa Arya masih berada di India, yaitu di daerah sungai Indus atau
Shindhu.
 Masa Brahmana, dimulai pada tahun 1000 ~ 750 SM. Pada masa ini pemikiran
falsafah mulai berkembang.

6
 Masa Upanisad, dimulai pada tahun 750-500 SM. Pada masa ini pemikiran falsafah
mulai berkembang.
 Masa Agama Buddha, dimulai pada tahun 500 - 300 SM. Pada masa ini timbullah
agama Buddha yang berlainan dengan agama Weda.
 Masa agama Hindu, dimulai pada tahun 300 SM. Sampai sekarang agama ini bangkit
karena didesak dengan keberadaan agama Buddha, sehingga agama Hindu
menampakkan keberadaannya.

Perkembangan agama Hindu yang demikian itu, disebabkan, dengan adanya


berkembangnya agama Budha. Agama Hindu menjadi sumber lahirnya agama Buddha dan
agama Jaina di India. Agama Budha berkembang ke Asia, begitu juga, agama Hindu sampai
ke Indonesia pada abad permulaan sebelum masehi pengaruh Hindu telah terjadi atas
kepulauan Indonesia. Hal ini, terbukti pada tahun 400 M. Adanya prasasti batu dalam bentuk
Yupa di tepi sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang menyebutkan kerajaan Kutai.
Bahkan agama Hindu ini, masih eksis di pulau Bali.

B. Sejarah Masuknya Agama Hindu ke Indonesia

Munculnya agama Hindu di Indonesia berawal dari hubungan dagang antara pusat Hindu
di Asia seperti China dan India dengan Nusantara. Hubungan dagang antara masyarakat
Nusantara dengan para pedagang dari wilayah inilah yang menyebabkan adanya asimilasi
budaya, sehingga agama Hindu lambat laun mulai berkembang di Nusantara.

Kepulauan Nusantara yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) serta oleh dua
samudra (Hindia dan Pasifik), mempunyai letak yang sangat strategis dalam jalur
perdagangan dunia kala itu. Hal ini membuat para pedagang asing dari negeri-negeri lain
seperti Cina, India, Persia, dan Arab sering singgah di kepulauan Nusantara. Para pedagang
asing ini tidak hanya berkepentingan untuk berdagang di Nusantara. Mereka juga menjalin
interaksi secara sosial budaya dengan masyarakat lokal, sehingga masuklah pengaruh-
pengaruh kebudayaan mereka ke Nusantara, termasuk pengaruh kebudayaan Hindu.
Sebenarnya ada beberapa teori yang diajukan oleh para ahli mengenai siapa sebenarnya yang
membawa agama Hindu di Indonesia, berikut adalah beberapa teori/hipotesa mengenai
masuknya agama Hindu ke Indonesia, yaitu: (Mansur, 2009)

1. Teori Brahmana
Van Leur mengajukan keberatan baik terhadap teori ksatria atau pun teori
Waisya. Keberatan pertama adalah mengenai kolonisasi. Suatu kolonisasi yang

7
melibatkan penaklukan oleh golongan ksatria tentunya akan dicatat sebagai suatu
kemenangan. Namun, catatan itu tidak ditemukan dalam sumber-sumber tertulis di
India. Di Indonesia pun tidak ditemukan prasasti-prasasti sebagai bukti adanya
penaklukan. Selain itu, suatu kolonisasi selalu disertai oleh pemindahan segala
unsur masyarakat dari tanah asal. Misalnya, sistem kasta, kerajinan, bentuk
rumah, tata kota, bahasa, pergaulan, dan sebagainya. Dalam kenyataannya apa
yang terdapat di Indonesia berbeda dengan yang terdapat di India. Kalaupun ada
pedagang-pedagang India yang menetap, mereka bertempat tinggal di
perkampungan-perkampungan khusus. Sampai sekarang masih ditemukan
Kampung Keling di beberapa tempat di Indonesia barat. (Mariana, 2020)
Mereka yang menetap di perkampungan khusus itu kedudukannya tidak
berbeda dengan rakyat biasa di tempat itu. Hubungan mereka dengan penguasa
hanyalah dalam bidang perdagangan, sehingga tidak dapat diharapkan adanya
pengaruh budaya yang membawa perubahan-perubahan dalam bidang tata negara
dan agama. Hal ini menjadi lebih jelas, karena sebagian besar pedagang itu adalah
pedagang keliling yang berasal dari kalangan masyarakat biasa.
Mengingat unsur-unsur budaya India yang terdapat dalam budaya Indonesia,
van Leur cenderung untuk memberikan peranan penyebaran budaya India pada
golongan brahmana. Para brahmana datang atas undangan para penguasa
Indonesia, sehingga budaya yang mereka perkenalkan adalah budaya golongan
brahmana. Sayangnya dari teori brahmana Van Leur itu masih belum jelas pada
yang mendorong terjadinya proses tersebut. Ia berpendapat bahwa dorongan itu
adalah akibat kontak dengan India melalui perdagangan. Bukan hanya melalui
orang-orang India yang datang, tetapi mungkin juga karena orang-orang Indonesia
melihat sendiri kondisi di India.
Terdorong oleh keinginan untuk dapat bersanding dengan orang-orang India
dengan taraf yang sama dan terdorong pula untuk meningkatkan kemakmuran
negerinya, mereka pun mengundang Brahmana. Para brahmana ini kemudian
melakukan upacara vratyastoma, yakni upacara inisiasi yang dilakukan oleh para
kepala suku agar menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia
Tenggara sangat berkepentingan dengan kebudayaan India guna mengangkat
status sosial mereka.
2. Teori Ksatria

8
R.C. Majundar berpendapat bahwa munculnya kerajaan Hindu di Indonesia
disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau prajurit India. Para prajurit India
diduga mendirikan koloni-koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada
umumnya. Namun, teori ksatria yang dikemukakan oleh R.C. Majundar tidak
didukung oleh data yang memadai. Selama ini belum ada bukti arkeologis yang
menunjukkan adanya ekspansi prajurit India ke Indonesia.
3. Teori Waisya
Pendapat lain yang masih berpegang pada anggapan adanya kolonisasi,
memberikan peranan utama pada golongan lain. Teori yang pada awalnya
diajukan oleh Krom ini memberikan peranan utama kepada golongan pedagang
(Waisya). Krom tidak sependapat bahwa golongan ksatria merupakan golongan
terbesar di antara orang-orang India yang datang ke Indonesia. Hal ini karena
orang-orang itu datang untuk berdagang maka golongan terbesar tentulah
golongan pedagang. (Subawa, 2022)
Mereka menetap di Indonesia dan kemudian memegang peranan dalam
penyebaran pengaruh budaya India melalui hubungan mereka dengan penguasa-
penguasa Indonesia. Krom mengisyaratkan kemungkinan adanya perkawinan
antara pedangang-pedagang tersebut dengan wanita Indonesia. Perkawinan
merupakan salah satu saluran penyebaran pengaruh kebudayaan yang penting.
Selain memberikan peranan pada golongan yang berbeda, teori Krom mempunyai
perbedaan lain jika dibanding dengan teori ksatria.
Berdasarkan pengamatan berbagai aspek budaya Indonesia-Hindu, Krom
berpendapat bahwa unsur Indonesia dalam budaya tersebut masih sangat jelas. Ia
menyimpulkan bahwa peranan budaya Indonesia dalam proses pembentukan
budaya India di Indonesia sangat penting. Hal itu tidak mungkin dapat terjadi jika
bangsa Indonesia hidup di bawah tekanan seperti yang digambarkan oleh teori
ksatria. Teori Krom mendapatkan banyak penganut di kalangan peneliti. Akan
tetapi dengan adanya kemajuan-kemajuan dalam penelitian, tumbuh pula pendapat
yang beranggapan bahwa teori ini masih kurang memberikan peranan pada bangsa
Indonesia. Walaupun Krom telah melihat adanya peranan yang penting dari
budaya Indonesia, tetapi masih terdapat kesan bahwa proses itu tidak sepenuhnya
ditentukan oleh bangsa Indonesia.
4. Teori Sudra

9
Teori Sudra dikemukakan oleh van Faber. Menurut teori ini, di India
banyak terjadi perang. Dengan demikian, banyak pula tawanan perang. Indonesia
dijadikan sebagai tempat pembuangan bagi tawanan-tawanan perang. Para
tawanan perang itulah yang menyebarkan kebudayaan Hindu di Indonesia.

5. Teori Arus Balik


Bosch sesuai pendirian dengan van Leur. Bertolak dari sifat unsur-unsur
budaya India yang diamatinya dalam budaya Indonesia. Ia juga berpendapat
bahwa proses indianisasi di Indonesia dilakukan oleh kelompok cendekiawan
dalam masyarakat yaitu para administrator atau clerk.
Untuk mengamati proses yang terjadi antara budaya Indonesia dan India,
Bosch menggunakan istilah penyuburan. Ia melihat dua jenis proses penyuburan.
Penyuburan pertama dan kemungkinan telah terjadi lebih dahulu adalah proses
melalui pendeta agama Buddha. Awal hubungan dagang antara Indonesia dan
India bertepatan pula dengan perkembangan pesat dari agama Buddha. Biksu-
biksu agama tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia melalui jalur-jalur
perdagangan tanpa menghiraukan kesulitan-kesulitannya. Mereka mendaki
pegunungan Himalaya untuk menyebarkan agamanya di Tibet. Dari Tibet
kemudian melanjutkan dakwahnya ke utara hingga akhirnya sampai ke Cina.
Kedatangan mereka biasanya telah diberitakan terlebih dahulu. Setelah mereka
tiba di tempat tujuan biasanya mereka berhasil bertemu dengan kalangan
bangsawan istana. (Wulandari, 2021)
Dengan penuh ketekunan para biksu itu mengajarkan agama mereka.
Selanjutnya dibentuklah sebuah sanggha dengan biksu-biksunya. Melalui biksu ini
timbul suatu ikatan dengan India, tanah suci agama Buddha. Kedatangan biksu-
biksu India di berbagai negeri ternyata mengundang arus balik biksu dari negeri-
negeri itu ke India. Para biksu kemudian kembali dengan membawa kitab-kitab
suci, relik dan kesan-kesan. Bosch menyebut gejala sejarah ini sebagai gejala arus
balik. Aliran agama lain dari India yang meninggalkan pengaruh di Indonesia
adalah agama Hindu. Berbeda dengan agama Buddha, para brahmana agama
Hindu tidak dibebani kewajiban untuk menyebarkan agama Hindu. Hal ini karena
pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir
sebagai Hindu.

10
Dengan konsep seperti, proses hinduisasi di Indonesia menjadi semakin
menarik, karena tidak dapat dipungkiri orang-orang Indonesia pasti awalnya tidak
dilahirkan sebagai Hindu, tetapi dapat beragama Hindu. Untuk dapat menjelaskan
fenomena ini harus dilihat terlebih dahulu watak khas agama Hindu. Agama
Hindu pada dasarnya bukanlah agama untuk umum dalam arti bahwa pendalaman
agama tersebut hanya mungkin dilakukan oleh golongan brahmana. Beranjak dari
kenyataan ini, terdapat berbagai tingkat keketatan pelaksanaan prinsip tersebut.
Hal itu tergantung dari aliran sekte yang bersangkutan. Adapun sekte agama
Hindu yang terbesar pengaruhnya di Jawa dan Bali adalah sekte Siwa-Siddhanta.
Aliran Siwa-Siddhanta sangat esoteris. Seseorang yang dicalonkan untuk
menjadi seorang brahmana guru harus mempelajari kitab-kitab agama selama
bertahun-tahun dan setealh diuji baru dizinkan menerima inti ajarannya langsung
dari seorang brahmana guru. Brahmana inilah yang selanjutnya membimbingnya
hingga ia siap untuk ditasbihkan menjadi brahmana guru. Setelah ditasbihkan, ia
dianggap telah disucikan oleh Siqa dan dapat menerima kehadirannya dalam
tubuhnya pada upacara-upacara tertentu.
Dalam keadaan demikian ia dianggap dapat merubah air menjadi amrta.
Brahmana itu lantas diundang ke Indonesia. Mereka melakukan upacara khusus
dapat menghindukan seseorang (vratsyastoma). Pada dasarnya kemampuan
mereka inilah yang menyebabkan raja-raja Indonesia mengundang para brahmana
ini. Mereka mendapat kedudukan yang terhormat di kraton-kraton dan menjadi
inti golongan brahaman Indonesia yang kemudian berkembang. Penguasaan yang
luas dan mendalam mengenai kitab-kitab suci menempatkan mereka sebagai
purohita yang memberi nasehat kepada raja, bukan hanya di bidang keagamaan
tetapi juga pemerintahan, peradilan, perundang-undangan dan sebagainya.
C. Perkembangan Agama Hindu Pasca Kemerdekaan

Identitas Hindu bila merujuk pada pandangan beberapa peneliti merupakan hasil
konstruksi baik oleh kalangan eksternal dan internal. Dalam buku Rethinking Hindu Identity
diungkapkan kronologis muasal nama Hindu yang dilabelkan oleh orang-orang non Hindu
termasuk oleh penjajah Inggris yang telah mengekspansi India. Identitas Hindu pada masa
kolonial Inggris digunakan untuk membangun identifikasi perbedaan antara penganut muslim
dan nasrani, selain untuk menunjukkan keserupaan atau persamaan kepercayaan lokal India
merujuk pada mazhab-mazhab Sanatana Dharma. (Adi, 2021)

11
Apa yang terjadi pada identitas Hindu di India, ternyata memiliki alur yang sama
dengan upaya membangun Identitas Hindu di Indonesia, khususnya Bali sebagai lokus
mayoritas Hindu. Para intelektual dan kekuasaan negara telah terlibat secara intens dalam
menciptakan identitas Hindu Bali atau Hindu Dharma seperti saat ini. Jauh sebelum
penelitian Picard dan Wijaya, telah dilakukan penelitian yang menyatakan bahwa dalam
menegaskan identitas Hindu modern mengalami negosiasi di tingkat lokal, nasional dan
global.

Selanjutnya pasca Agama Hindu Bali atau Hindu Dharma diakui sebagai agama resmi
tahun 1958, dalam perkembangannya telah menjadi payung aman bagi agama etnik lainnya di
Indonesia, meliputi; agama etnik Tengger, Aluk Todolo Ada’Mappurondo, Towani Tolotang,
Pemena, dan Kaharingan dianut oleh etnik Dayak Ngaju dan Luangan. Agama-agama etnik
tersebut secara resmi diakui sebagai varian atau sekte-sekte dalam Hindu Dharma, kendati di
satu sisi dengan bergabungnya kepercayaan lokal dalam payung Hindu justru kepercayaan-
kepercayaan lokal itu acap terpinggirkan. (Mariana, 2020)

Keterpinggiran dan rasa inferior kepercayaan lokal yang telah tergabung dalam Hindu
tidak hanya karena pengaruh agama-agama non Hindu, melainkan disebabkan pula oleh
kuatnya pengaruh Hindu Bali. Dengan demikian, hakikatnya perkembangan identitas Hindu
di Indonesia sangat dinamis, disatu sisi adanya keinginan mempertahankan kebudayaan lokal
dengan lokal jeniusnya, tetapi disisi lain tuntutan kemajuan dengan menggunakan identitas
Hinduisme terus berkembang.

Sejarah pengakuan Hindu di Indonesia dimulai dengan perjuangan I Gusti Bagus


Sugriwa dalam melaksanakan komunikasi secara intens untuk dapat diakuinya agama Hindu
bali secara Nasional dimulai dari tahun 1956. Namun, perjuangan itu membutuhkan tenaga
ekstra karena banyak upaya yang mengganjal dan menghalangi hal ini. Berbagai pertanyaan
dilontarkan tentang konsep ajaran agama Hindu Bali yang diajukan oleh Menteri Agama saat
itu yang dijawab dengan tegas dan lugas oleh I Gusti Bagus Sugriwa, yang salah satunya
tentang pemujaan banyak dewa, menyembah pohon, yang merupakan tradisi pemujaan yang
sudah ada sebagai warisan kuno peradaban nusantara, mencetuskan identutas Tuhan sebagai
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan lain sebagainya.

Perjuangan yang dilakukan I Gusti Bagus Sugriwa akhirnya berbuah manis, dengan
terbitnya keputusan Menteri Agama RI no. 40 tahun 1960 dan N0. 100 tahun 1962 yang
megakui keberadaan agama Hindu Bali. Kemudian di dukung pula Keputusan Presiden No. 1
tahun 1965 yang mengakui keberadaan Agama Hindu yang kemudian di Undangkan

12
berdasarkan UU No. 5 tahun 1969 maka secara resmi agama Hindu Bali menjadi Agama
Hindu yang menaungi kepercayaan Hindu di Nusantara/Indonesia.

Jika ditarik kembali perkembangan agama Hindu di Nusantara ini sesungguhnya


merupakan sebuah perpaduan atau akulturasi sistem kepercayaan. Hal ini perlu dipahami
bersama agar tidak saling menghujat kedepannya terhadap ajaran yang sudah diwarisi secara
turun-temurun, yang seharusnya sebagai orang yang berpendidikan harus memperkuat ajaran
ini, bukan malah sebaliknya melemahkan dan menyalahkan, ini yang menurut saya sebagai
alpaka atau tulah yang dapat merusak peradaban ajaran agama Hindu.

Munculnya ajaran agama Hindu di Bali pada khususnya dengan corak sistem religi
dan budaya sekarang ini, tidak bisa dilepaskan dari proses sinkritisme atau perpaduan antara
ajaran leluhur pra Hindu dan ajaran veda yang datang dari India. Konsep ajaran leluhur
sebelum masuknya Hindu adalah sebuah konsep pemujaan yang bersifat “Naturalistik”.
Maksudnya adalah sistem pemujaannya masih terkonsepkan kepada energy alam yang
dirasakan dapat berpengaruh kepada kehidupan manusia saat itu. Seperti halnya kepada
hujan, matahari, batu, pohon, binatang, angina dan lain sebagainya. Secara konsepsi
pemujaan ini sesungguhnya representasi dari energy semesta yang diyakini oleh masyarakat
mampu memberikan perlindungan dan anugerah dalam kehidupannya.

D. Dinamika Agama Hindu di Berbagai Provinsi di Pulau Jawa


1. Dinamika Hindu di Provinsi DKI Jakarta
Sebagai sebuah ibu kota negara, Jakarta tentu menjadi salah satu barometer
perkembangan Hindu di Indonesia. Tidak mengherankan jika berbicara tentang
Hindu di Indonesia tentu tidak terlepas dari kantong-kantong umat Hindu yang
terdapat di daerah sekitarnya. Dapat dimengerti, jika di beberapa daerah di Jakarta
dibangun tempat suci umat Hindu seperti pura di Jakarta Timur, Jakarta Utara dan
di tempat lainnya. Misalnya saja di provinsi lainnya seperti di Jawa Barat, di
Kabupaten Bogor telah dibangun sebuah pura atau Parahyangan Jagatkarta
sebagai tempat yang mempunyai arti signifikan dalam pembinaan umat Hindu di
Jawa Barat pada khususnya yang memiliki hubungan dengan umat Hindu yang
ada di Jakarta dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pembangunan pura atau
tempat suci umat Hindu ini sebagai sebuah wahana agar umat dapat melaksanakan
dharma agamanya dengan baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kondisi geografis yang sangat mendukung di samping aspek mobilitas sosial

13
penduduk yang tinggi sangat berpengaruh terhadap dinamika umat Hindu di
Jakarta pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.
Dapat dikatakan bahwa dengan berdirinya pura-pura yang dianggap
Kahyangan Tiga itu, maka seluruh umat Hindu yang ada di Jakarta memiliki
sebuah tempat sembah yang harus dirawat, dipelihara dan dipertahankan demi
keberlangsungan Hindu di Jakarta pada khususnya, dan di Indonesia pada
umumnya. (Aswarini, 2019)
2. Dinamika Hindu di Provinsi Jawa Tengah
Data historis menunjukkan bahwa Hindu sudah ada di wilayah Jawa Tengah
sejak abad ke-6, yakni dengan berdirinya Kerajaan Kalingga yang lokasinya
berada di pesisir utara Jawa Tengah. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan
tertua di Indonesia, bersama dengan Kerajaan Kutai dan Tarumanegara. Kerajaan
ini (Kalingga) yang dipimpin Ratu Shima, merupakan pendahulu dari Kerajaan
Mataram Kuna. Diduga kerajaan ini berpusat di wilayah di pesisir Laut Jawa di
sekitar Pekalongan. Peninggalan Kerajaan Kalingga adalah Prasasti Sojomerto
dan Prasasti Tukmas. Prasasti Tukmas bercerita tentang sebuah mata air di lereng
Gunung Merapi, menyerupai Sungai Gangga di India. Sedangkan Prasasti
Sojomerto bercerita tentang seorang tokoh bernama Dapunta Sailendra. Terdapat
juga prasasti lain berbahasa Sangsekerta yang berada di Gunung Wukir, Desa
Canggal, Kecamatan Kadiluwih, Distrik Salam, Kedu Selatan.
Perkembangan umat Hindu di Jawa Tengah pada mulanya lebih terkonsentrasi
di wilayah di sekitar Candi Prambanan. Pada masa kini, perkembangan agama
Hindu Jawa berlangsung secara berbeda-beda di setiap wilayah. Pada wilayah
sekitar candi, seperti Yogyakarta, perkembangan agama Hindu lebih bersifat
sporadis. Sementara di wilayah Klaten perkembangan Hindu Jawa mengalami
persentase tertinggi. Cukup sering terjadi bahwa keberadaan candi atau situs
Hindu di suatu daerah akan berpengaruh bagi masyarakat lokal untuk
menghubungkan diri kembali dengan agama Hindu.
Tanggal 29 Maret 1967 menjadi tonggak perkembangan agama Hindu di Jawa
Tengah, yakni ketika penganut kejawen yang dipimpin oleh seorang tokoh
spiritual kejawen yang berasal dari keluarga lingkungan keraton Baluwarti
Surakarta, R.Hardjanta Pradjapangarsa, melakukan upacara sudhiwadani atau
melaksanakan konversi ke agama Hindu yang diadakan oleh Parisadha Hindu
Dharma Yogyakarta. Upacara ini merupakan upacara yang wajib dilakukan bagi

14
umat non Hindu yang ingin memeluk agama Hindu. Upacara ini tidak saja
berfungsi sebagai pencatatan administratif bagi yang menjalankannya, tetapi juga
bermakna sebagai bentuk penyucian diri dan pernyataan spiritual bahwa yang
bersangkutan siap melaksanakan seluruh ajaran agama Hindu. Dalam pidato
sambutan acara itu dikatakan bahwa Bali menjadi benteng terakhir dari
kebudayaan Hindu Majapahit, yang khususnya dipancarkan dari daya magis Pura
Besakih, Pura Silayukti, Gunung Agung dan Gunung Rinjani. Perkembangan
umat Hindu di Jawa Tengah ini juga didorong oleh adanya migrasi orang-orang
Bali terutama dari wilayah Kabupaten Karangasem di Bali Timur ke luar Bali
setelah Gunung Agung meletus pada tahun 1963.
Pemukiman umat Hindu di Jawa Tengah terkonsentrasi di tiga kabupaten
(Boyolali, Karanganyar, Klaten) dan satu kota (Semarang) dengan pola hunian
dan pola hidup yang memperlihatkan kemiripan. Pola hunian dan potensi wilayah
Hindu di Kabupaten Karanganyar, cenderung terkonsentrasi di wilayah
pegunungan atau lereng Gunung Lawu, yakni di (1). Kecamatan Ngargoyoso
terutama memusat di Desa Berjo dan Kemuning, (2) Kecamatan Jenawi
khususnya memusat di desa Sidomukti. Meskipun terkonsentrasi di desa-desa itu,
mereka tinggal bersama dengan masyarakat agama lain, seperti Islam dan Kristen.
Secara umum masyarakat di wilayah ini masih melakukan tradisi Jawa yang sejak
lama menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan mereka.
3. Dinamika Hindu di Provinsi Jawa Timur
Eksistensi umat Hindu di Provinsi Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari
sejarah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, terutama periode setelah
kepindahan pusat kerajaan Mataram Kuna dari Karaton Ratu Boko di Yogyakarta
ke hulu Sungai Brantas sampai surutnya Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1945 setelah Indonesia merdeka, terdapat lima agama yang
berkembang di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan
Buddha. Kemudian pengakuan resmi dari negara Indonesia terhadap agama Kong
Hu Cu baru datang pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur di tahun 2000. Sehingga saat ini ada enam agama yang mendapat
pengakuan di Indonesia, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Kong Hu Cu. Jika dilihat dari persebarannya, pulau Bali dan pulau Lombok
bagian barat merupakan pulau dengan konsentrasi penduduk beragama Hindu
terbesar di Indonesia.

15
Umat Hindu di Jawa Timur sangat heterogen, dari segi latar belakang etnik
komunitas umat Hindu di Jawa Timur sebagian besar adalah suku Jawa, suku
Tengger dan suku Bali, dan sebagian kecil berlatar belakang suku Madura, etnik
Tionghoa, etnik India (terutama India bagian Selatan), dan suku-suku bangsa dari
seluruh Indonesia. Untuk tiga suku bangsa yang merupakan latar belakang
sebagian besar umat Hindu Jawa Timur: suku Jawa, suku Tengger dan suku Bali,
seluruhnya terkait dengan “sejarah” atau ingatan kolektif, bahwa mereka adalah
keturunan warga kerajaan Majapahit yang melakukan eksodus besar-besaran
pasca-jatuhnya Majapahit. (Aswarini, 2019)
Sebagian besar informan penelitian ini menyatakan alasan yang melatar-
belakangi eksodus itu adalah karena alasan prinsip, bahwa leluhur mereka tidak
bersedia konversi menjadi penganut agama Islam, kemudian melakukan
perjalanan panjang dengan dua pola besar: Pertama, eksodus ke arah hutan dan
lereng-lereng gunung, seperti lereng Gunung Bromo dan Gunung Semeru, lereng
Gunung Arjuno dan perbukitan sekitarnya, Alas Purwo dan Semenanjung
Blambangan, bahkan sampai ke lereng Gunung Lawu (Jawa Tengah), Gunung
Merapi (Jawa Tengah dan DIY) dan perbukitan Gunung Kidul (DIY); Kedua,
menyeberang ke Pulau Bali.
Peranan diaspora Bali dalam proses konfirmasi nilai, asimilasi dan
pembentukan kantong-kantong (enclaves) komunitas Hindu di Jawa Timur
dibenarkan oleh hampir seluruh informan penelitian ini. Sebagian kecil informan
mengetengahkan faktor pendidikan modern, ketahanan budaya dan kemandirian
masyarakat umat Hindu Jawa Timur sebagai faktor dominan terjadinya konfirmasi
nilai dan integrasi umat Hindu Jawa Timur.
Ketika memasuki era negara nasional, perpindahan penduduk Bali didasarkan
atas beberapa modus antara lain merantau secara swakarsa, merantau karena
keinginan untuk pergi dari daerah asalnya secara sukarela. Ada beberapa alasan
etnis Bali keluar Bali yaitu mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih
baik. Pada era awal kemerdekaan, orang Bali mulai masuk ke beberapa kota besar
di Jawa yang memiliki institusi pendidikan yang terkemuka seperti Jakarta,
Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Bandung. Dengan berbagai alasan, para
perantau terpelajar ini selanjutnya ada yang menetap di rantau, ada yang sebagian
pulang ke Bali.

16
KESIMPULAN

Agama Hindu adalah agama yang berasal dari India dan termasuk agama yang paling
tertua di dunia. Agama Hindu ini berasal dari bahasa Sansekerta Sindhu, nama sungai Indus
di India dan menjadi nama agama Hindu. Agama Hindu disebut dengan nama “Sanatama
Dharma” yang berarti agama yang kekal abadi atau dengan sebutan “Waidika Dharma”
berarti agama Weda yang menjadi kitab dasar agama Hindu. Munculnya agama Hindu di
Indonesia berawal dari hubungan dagang antara pusat Hindu di Asia seperti China dan India
dengan Nusantara. Hubungan dagang antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang
dari wilayah inilah yang menyebabkan adanya asimilasi budaya, sehingga agama Hindu
lambat laun mulai berkembang di Nusantara.

Perkembangan agama Hindu pasca kemerdekaan Indonesia tentu terdapat tokoh yang
menjadi tonggak awal sejarah agama Hindu menjadi salah satu agama yang diakui dalam
NKRI. Dimulai pada tahun 1956 oleh I Gusti Bagus Sugriwa yang melakukan perbincangan
dengan Menteri Agama kala itu agar keberadaan agama Hindu di Bali diakui keberadaannya
oleh negara secara konstitusi. Akhirnya pada tahun 1962 Menteri Agama mengeluarkan Surat
Keputusan yang intinya bahwa agama Hindu yang ada di Pulau Bali diakui keberadaannya.

Perkembangan agama Hindu tentu semakin menyebar keseluruh pelosok negeri


termasuk pada Pulau Jawa. Beberapa Provinsi besar yang berada di Pulau Jawa sudah mulai
terdapat penduduk yang beragama hindu dan tempat-tempat ibadah mereka mulai
bermunculan. Cara beribadah mereka secara garis besar masih sama dengan apa yang umat
Hindu di Bali lakukan. Akan tetapi, ada beberapa hal minor yang mengikuti kebudayaan
setempat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Adi, A. (2021). Varian Identitas Hindu di Indonesia: Antara Multikulturalisme dan Bhinneka Tunggal
Ika., (pp. 32-43). Palangkaraya.

Aswarini, I. K. (2019). Dinamika Hindu di Indonesia. Denpasar: Pustaka Larasan.

Mansur, S. (2009). Studi Sejarah Agama. AL-FATH , 18-31.

Mariana. (2020). Proses Masuk dan Berkembangnya Adama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di
Indonesia. Bekasi: Direktorat SMA.

Muslimin. (2012). Akulturasi Agama Hindu di Indonesia. Al-Adyan , 59-69.

Subawa, I. M. (2022). Mengurai Kembali Peta Perkembangan Agama Hindu di Bali dan Nusantara.
SPHATIKA:Jurnal Teologi , 150-161.

Suryani, P. E. (2021). Agama Hindu di Indonesia: Perumusan Konsep Keberagamaan Hindu dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Filsafat Sanjiwani , 136-148.

Wulandari, I. M. (2021). Peta Konsep Perkembangan Agama Hindu: Pemahaman Awal Pendidikan
Agama Hindu. Jurnal Guna Widya , 11-20.

18

Anda mungkin juga menyukai