Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PENGARUH AGAMA DAN KEBUDAYAAN

HINDU BUDDHA DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
Chandra Setiawardana – (8)
Muhammad Zaenal Saputra – (28)
Rafi Saputra – (32)
Rafly Diandra S. – (33)
Rezky Haekal Aqsamadin – (34)
Yunandra Tarangga – (36)

SMK N 7 SEMARANG
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sejarah tentang
pengaruh agama dan kebudayaan hindu budha di Indonesia

Makalah sejarah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai buku dan artikel yang kami baca sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pembuat buku dan
artikel yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
sejarah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah sejarah tentang pengaruh agama dan
kebudayaan hindu budha di Indonesia ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Agama Hindu dan Buddha.......................................................................4
B. Teori Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia........5
C. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia....................................................6
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan...........................................................................................................7
B. Saran.....................................................................................................................8
• BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Anda pasti sudah tidak asing dengan candi Borobudur, candi Prambanan, maupun
peninggalan lain berupa prasasti dan lain sebagainya, yang tersebar di Indonesia dan menjadi
objek wisata popular.

Hal tersebut merupakan bukti bahwa pengaruh agama Hindu dan Budha di Indonesia cukup
besar dan menjadi salah satu pembentuk keanekaragaman budaya di tanah air Indonesia.

Masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia berawal melalui jalur perdagangan, pada
masa tersebut sebelum Bangsa kolonial datang ke Nusantara. Indonesia melakukan transaksi
perdagangan bersama dengan Bangsa asing, terutama Tiongkok dan India yang merupakan
pusat agama Hindu dan Buddha terbesar di Asia

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana masuknya agama Hindu dan Buddha di Indonesia ?


2. Teori-teori apa saja yang membuat agama Hindu dan Buddha bisa masuk ke Indonesia?
3. Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia?

TUJUAN PENULISAN

Untuk memenuhi tugas membuat makalah kelompok mapel Sejarah Indonesia yaitu
menelaah dan membahas bagaimana sejarah masuknya agama Hindu-Buddha bisa masuk ke
Indonesia ini. Dan mendalami sejarah sejarah perkembangan kerajaaan Hindu-Buddha di
Indonesia.
• BAB II PEMBAHASAN

A.SEJARAH AGAMA HINDU DAN BUDDHA


1.Agama Hindu
Agama Hindu diperkirakan muncul di India antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM ( ada
yang mengatakan sekitar tahun 1500 SM ). Agama ini tumbuh bersamaan dengan masuknya
Bangsa Arya, yaitu Bangsa nomaden yang masuk India dari Asia Tengah melalui Celah
Kaiber. Lama kelamaan dalam perkembangan selanjutnya, terjadi percampuran antara
kebudayaan Bangsa Arya dan Bangsa Dravida yang menghasilkan Kebudayaan Hindu.

a. Zaman Weda ( 1500 SM )


Zaman ini dimulai ketika Bangsa Arya berada di Punjab di lembah Sungai Sindhu, sekitar
2500 – 1500 SM, setelah mendesak Bangsa Dravida ke sebelah Selatan sampai ke Dataran
Tinggi Dekkan. Bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi. Agama Hindu ini adalah
agama monoteistis, bukan politeistis. Pada Zaman Weda inilah, masyarakat dibagi menjadi 4
kasta yaitu : Brahmana ( Ulama dan Pendeta ), Kesatria ( Raja, Bangsawan, Panglima, dan
tentara ), Waisya ( Pedagang ), dan Sudra ( pelayan semua golongan diatasnya ).
b.Zaman Brahmana ( 1000-750 SM )
Pada zaman ini, kekuasaan kaum brahmana amat besar dalam kehidupan keagamaan.
Merekalah yang mengantarkan persembahan umat kepada para dewa. Pada zaman ini pula,
mulai disusun tata cara upacara keagamaan yang teratur dalam sesuatu yang kemudian
disebut Kitab Brahmana.
c.Zaman Upanisad ( 750 - 500 SM )
Pada zaman ini, yang dipentingkan tidak hanya upacara dan sesaji saja, tetapi lebih
daripada itu, yaitu pengetahuan batin yang lebih tinggi. Zaman ini adalah zaman
pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar
Weda.
d.Zaman buddha ( 500 SM - 300 M )
Zaman ini dimulai ketika putra Raja Suddhodana yang bernama Siddharta menafsirkan
Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi sebagai jalan untuk
mendekatkan diri dengan Tuhan.
2.Agama Buddha
Agama Buddha adalah perkembangan lebih lanjut dari agama Hindu. Buddha, sebenarnya,
adalah sebutan bagi seseorang yang telah memperoleh pencerahan. Hal tersebut sesuai
dengan asal kata Buddha yang berasal dari bahasa India berarti sejati. Awalnya, Buddha
bukanlah agama, melainkan ajaran dari seseorang yang telah memperoleh pencerahan
bernama Siddartha Gautama.
Pangeran Siddharta adalah anak raja yang beragama Hindu dari suku Sakya bernama
Suddhodana. Sebagai anak raja, ia dilimpahi kemewahan. Ia dilahirkan pada tahun 563 SM.
Konon, Raja Suddhodana sedih mendengar ramalan tersebut karena jika sang Pangeran
menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi takhta. Suatu hari, pada usianya yang ke-29,
Siddharta menyelinap keluar dari istana, ditemani seorang kusir. Dalam perjalanan, ia
bertemu pengemis, orang tua, orang sakit, dan orang meninggal. Hal tersebut adalah
pengalaman yang tak pernah ia jumpai sebelumnya.
Suatu saat, sampailah ia di Kota Bodh Gaya dan beristirahat di bawah pohon bodhi. Di sini,
kemudian, pada saat bulan purnama, bulan Wai-sakha (April-Mei), ia memperoleh jawaban
atas pertanyaan itu. Pengalaman itu kemudian dilukiskan sebagai Pencerahan dan Kesadaran
Sempurna.
Buddha menemukan bahwa hidup ini adalah penderitaan (ketidakpuasan). Penderitaan atau
pengalaman ketidakpuasan itu disebabkan oleh nafsu keinginan (keserakahan), ketidaksukaan
(kebencian), dan kebodohan (kegelapan, kurangnya kebijaksanaan). Ada keadaan damai,
yakni tidak ada penderitaan atau pengalaman ketidakpuasan, yang disebut Pencerahan atau
Nirwana.
Sepeninggal Buddha, para penganutnya menyebarkan ajarannya dan lahirlah agama
Buddha dengan kitab sucinya, yakni Tripitaka. Agama ini berkembang sangat pesat di India
di bawah Raja Ashoka.
Pada tahun 78 M, terjadi perpecahan di antara para penganut Buddha. Perpecahan
melahirkan dua aliran, yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Hinayana. Ajaran dalam Buddha
Mahayana lebih kompleks karena banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan lain,
seperti agama Hindu atau Taoisme sehingga mengenal dewa-dewi juga. Adapun Buddha
Hinayana mendekati ajaran Buddha yang sesungguhnya. Di Indonesia, termasuk juga
Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos, aliran (Hinayanalah yang berkembang,
sedangkan aliran Mahayana lebih berkembang di Tiongkok, Korea, Taiwan, dan Jepang.

B.TEORI MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU


DAN BUDDHA DI INDONESIA
Indonesia adalah negara kepulauan yang letaknya strategis Akarena berada di jalur
pelayaran yang menghubungkan negara-negara Barat dan Timur. Hubungan dagang antara
Indonesia dan India terjadi sejak tahun 1 M. Hubungan perdagangan ini diikuti pula oleh
hubungan kebudayaan, seperti agama, sistem pemerintahan, sosial, dan budaya sehingga
terjadi percampuran kebudayaan di antara dua bangsa tersebut

Berikut adalah beberapa teori (hipotesis) terkait proses masuknya agama dan kebudayaan
hindu dan budha ke Indonesia.

1. Teori Waisya
Teori ini, dikemukakan oleh N. J. Krom, didasarkan pada alasan bahwa motivasi terbesar
datangnya bangsa India ke Indonesia adalah untuk berdagang. Golongan terbesar yang datang
ke Indonesia adalah para pedagang India (kasta waisya). Mereka menyebarkan dan
memperkenalkan agama dsn kebudayaan mereka lewat interaksi sosial masyarakat dan juga
dengan pemimpin masyarakat. Teori waisya diragukan kebenarannya. Jika para pedagang
yang berperan terhadap penyebaran kebudayaan, pusat-pusat kebudayaan mestinya hanya
terdapat di wilayah perdagangan, seperti di pelabuhan atau di pusat kota yang ada di
dekatnya.
2. Teori Kesatria
Menurut Teori Kesatria, yang dikemukakan F.D.K Bosch, pada masa lampau, di India,
sering terjadi perang antargolongan. Para prajurit yang kalah atau jenuh menghadapi perang
lantas meninggalkan India. Rupanya, di antara mereka, ada pula yang sampai ke wilayah
Indonesia merekalah yang menyebarkan dan memperkenalkan agama dan kebudayaan hindu.
3. Teori Brahmana
Menurut teori yang dikemukakan J.C. van Leur ini, para brahmana datang dari India ke
Indonesia atas undangan pemimpin suku dalam rangka melegitimasi kekuasaan mereka
sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini didasarkan pada pengamatan terhadap
sisa-sisa peninggalan kerajaan- kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, terutama prasasti-
prasasti berbahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Teori ini pun diragukan kebenarannya.
Alasannya, kendati benar hanya para brahmana yang dapat membaca dan menguasai Weda,
para pendeta Hindu itu pantang menyeberangi lautan.
4. Teori arus balik
Menurut teori yang dikemukakan oleh G. Coedes ini, berkembangnya pengaruh dan
kebudayaan India ini dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia mempunyai
kepentingan untuk datang dan berkunjung ke India, seperti mempelajari agama Hindu dan
Buddha. Sekembalinya dari India, mereka membawa pengetahuan tentang agama dan
kebudayaan di India.
Sekitar abad V, agama Buddha mulai dikenal di Indonesia. Pada akhir abad V, seorang
biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Tengah
sekarang. Pada akhir abad VII, I Tsing, peziarah Buddha dari Tiongkok, berkunjung ke Pulau
Sumatra, kala itu disebut Swarnabhumi, tepatnya di Kerajaan Sriwijaya. Ia menemukan
bahwa ajaran Buddha diterima luas oleh rakyat, dengan Sriwijaya sebagai pusat penting
pembelajaran ajaran Buddha.
Pada pertengahan abad VIII, Jawa Tengah berada di bawah kekuasaan raja-raja Dinasti
Syailendra yang merupakan penganut Buddha. Mereka membangun berbagai monumen
Buddha di Jawa, seperti Candi Borobudur, yang selesai dibangun awal abad IX.

C. KERAJAAN KERAJAAN HINDU BUDDHA DI INDONESIA


1. Kerajaan Kutai
A. Lokasi dan sumber sejarah
Kutai (Kutai Martadipura) merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia,
Berdiri sekitar abad IV, kerajaan ini berlokasi di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Pusat
pemerintahannya diperkirakan di hulu Sungai Mahakam dengan wilayah kekuasaan meliputi
hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur.
Bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah temuan prasasti yang ditulis di atas tujuh
buah yupa (tugu batu). Prasasti tersebut ditemukan antara tahun 1879 dan 1940 di daerah
hulu Sungai Mahakam. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa (huruf yang banyak
digunakan di wilayah India selatan) dan berbahasa Sanskerta.
Dari salah satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat
itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya
menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Prasasti-prasasti tersebut tidak
memiliki angka tahun. Namun, gaya bahasa dan ciri tulisan dalam prasasti tersebut banyak
digunakan di India sekitar abad IV.
B. Keadaan masyarakat dan kehidupan sosial budaya
Sumber tentang Kerajaan Kutai sangat terbatas. Namun, dari ketujuh yupa dapat
disimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, disebutnya nama Kudungga yang menurut para
sejarawan merupakan nama asli Indonesia. Disebutkan pula, Kudungga mempunyai putra
bernama Aswawarman, yang disebut-sebut sebagai pendiri dinasti.
Kedua, Raja Mulawarman melakukan upacara pengurbanan dan memberikan hadiah atau
sedekah kepada para brahmana sejumlah 20.000 ekos sapi.
Kutai kemungkinan besar menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang India yang akan
berlayar ke Tiongkok dengan melalui Makassar dan Filipina. Pada masa Kerajaan Kutai pula,
mulai dikenal kebiasaan menulis di atas batu. Hal ini keberlanjutan dari tradisi megalitik yang
sudah ada sebelum masuknya pengaruh Hindu, yaitu dalam bentuk menhir dan punden
berundak. Kerajaan Kutai (bercorak Hindu) berakhir saat raja Kutai Maharaja Dharma Setia
tewas di tangan raja Kutai Kartanegara ke-13 Aji Pangeran Anum Panji Mendapa (kerajaan
Islam).

2. Kerajaan Tarumanagara
A. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Hindu tertua lainnya adalah Kerajaan Tarumanagara. Letaknya di wilayah Jawa
Barat sekarang. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah prasasti di daerah sekitar Bogor
(Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan Prasasti Muara Clanten), Prasasti
Tugu di Cilincing (Jakarta dan Prasasti Cidanghiang di Desa Lebak, Banten. Utara),
Kerajaan ini diperkirakan ada sejak abad V, sezaman dengan Kerajaan Kutai. Hal ini
diperkuat oleh berita Tiongkok yang menyebut kerajaan To-Lo-Mo (Tarumanagara)
mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 528, 538, 665, dan 666 M untuk sebuah
kunjungan persahabatan yang didasari hubungan dagang. To-Lo-Mo disebutkan terletak di
sebelah tenggara Tiongkok. Kata taruma berasal dari kata tarum yang berarti nila. Sampai
sekarang, nama ini masih dapat kita jumpai sebagai nama sungai, yaitu Sungai Citarum
B. Kondisi sosial politik Kerajaan
Gambaran kondisi sosial-politik Kerajaan Tarumanagara didapat melalui tinggalan
prasasti-prasasti. Dalam Prasasti Ciaruteun atau Prasasti Ciampea tertulis: "Inilah (tanda)
sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu ialah telapak yang mulia sang
Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia." Cap telapak kaki
melambangkan kekuasaan atau penaklukan raja atas daerah tempat ditemukannya prasasti
tersebut.
Raja Purnawarman diibaratkan Dewa Wisnu (dewa pemelihara alam semesta), yang
menunjukkan pada masa itu rakyat menganggap Raja Purnawarman sebagai pemelihara dan
pelindung rakyat. Tulisan ini juga menggambarkan pemerintahan di Kerajaan Tarumanagara
telah menerapkan konsep dewa raja: raja yang memerintah disamakan dengan Dewa Wisnu.
Tulisan yang ada di atas batu dapat dibaca secara melingkar, yang isinya antara lain
menyebutkan tentang pembangunan saluran air yang panjangnya 6.112 tombak (setara
dengan 11 km) yang diberi nama Gomati. Kutipan terjemahan lengkap prasasti tersebut:
"Dahulu sungai bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang
memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnawarman, untuk mengalirkannya ke laut,
setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termasyhur. Pada tahun ke-22
dari takhta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilau-kilauan karena kepandaiandan
kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja- raja, (maka sekarang) beliau pun
menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati
namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tengah tanah
kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai
pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Phalguna dan selesai pada tanggal 13 paroh terang
bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut
panjangnya 6.122 tombak. Selamatan baginya dilakukan oleh para brahmana disertai 1.000
ekor sapi yang dihadiahkan."

3. Kerajaan Pajajaran (Sunda)


A. Lokasi dan sumber sejarah
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad VII-XVI) pernah berdiri
di wilayah barat Pulau Jawa, meliputi Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian
Jawa Tengah sekarang. Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau
Sumatra. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu
kotanya sehingga Kerajaan Sunda sering disebut Kerajaan Pajajaran. Kerajaan ini bercorak
Hindu dan Buddha. Sekitar abad XIV, diketahui kerajaan ini telah beribu kota di Pakuan
Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di
Sunda Kalapa dan Banten (Banten Girang). Informasi penting di atas baru diketahui ketika
ditemukan Prasasti Canggal (732 M). Prasasti ini menyebutkan seorang bernama Sanjaya
membangun sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Siwa di daerah Gunung Wukir, Jawa
Tengah. Disebutkan pula nama dua orang bernama Sanna dan Sanaha, orang tua Sanjaya.
B. Kondisi sosial-politik kerajaan
Menurut Carita Parahyangan, Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669
(591 Saka). Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan
Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman (memerintah
666-669 M), memiliki dua anak, semuanya perempuan. Dewi Manasih, putri sulungnya,
menikah dengan Tarusbawa dari Sunda (kerajaan bawahan Tarumanagara), sedangkan yang
kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa, pendiri Kerajaan
Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada
menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, juga kerajaan bawahan
Tarumanagara, bernama Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari
Tarumanagara serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Dalam Prasasti Sang Hyang Tapak yang ditemukan di daerah Cibadak, Sukabumi, Jawa
Barat (berangka tahun 1030 M) yang menggunakan bahasa Jawa Kuno dan huruf Kawi,
disebutkan seorang raja bernama Maharaja Sri Jayabhupati dan berkuasa di Prahajyan Sunda.
Prahajyan Sunda di sini adalah sebutan lain untuk Kerajaan Sunda atau Pajajaran, bukan
sebuah kerajaan sendiri. Prasasti ini menyebutkan adanya pemujaan terhadap tapak kaki.
Terlihat juga bahwa Raja Jayabhupati memeluk agama Hindu aliran Siwa; hal ini jelas
ditunjukkan oleh gelarnya sendiri, yaitu Wisnumurti. Raja Jayabhupati digantikan oleh
Rahyang Niskala Wastukencana, dan kemudian baru disebut-sebut nama Prabu Maharaja
Linggabuana, yang dalam kitab Pararaton diceritakan terlibat dalam Perang Bubat dengan
Kerajaan Majapahit pada tahun 1357.
Kerajaan (Pakuan) Pajajaran mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Prabu
Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja Ratu Aji (memerintah 1482-1521). Resmi, la tercatat
memiliki dua orang istri, yaitu Mayang Sunda dan Subanglarang. Mayang Sunda adalah
permaisuri (istri pertama) karena putra pertama mereka, yaitu, Surawisesa, kelak
menggantikan Prabu Siliwangi menduduki takhta Pajajaran. Adapun putra kedua mereka,
yaitu Surosowan, menjadi adipati Banten sejak Prabu Siliwangi bertakhta.
Pada 1442, Walasungsang memutuskan meninggalkan istana Pakuan Pajajaran, yang
diikuti oleh adiknya, Larasantang beberapa waktu kemudian. Berbagai literatur menyebutkan
Subanglarang dan anak-anaknya menganut agama Islam. Keputusan meninggalkan istana
disebutkan karena ingin mendalami agama Islam. Prabu Siliwangi juga disebutkan tidak
menolak agama yang relatif baru di kerajaannya tersebut.
Walasungsang dan Nyai Larasantang naik haji ke Mekkah. Mereka berara di Mekkah
selama dua tahun. Di Mekkah, Nyai Larasantang bertemu dan menikah dengan Syarif
Abdullah dari Mesir. Mereka memiliki seorang anak bernama Syarif Hidayatullah (lahir
tahun 1448). Dengan demikian, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Prabu
Siliwangi. Selanjutnya, Cirebon terus berkembang pesat serta menjalin hubungan yang baik
dengan kerajaan Islam yang lain, yaitu Demak Hubungan dengan Pajajaran mulai memburuk
sejak Demak bersama Cirebon berambisi menguasai seluruh Pulau Jawa, dimulai dari Banten
dan Sunda Kelapa, dua pelabuhan besar Pajajaran saat itu.
Naskah Nagara Kretabhumi memberitakan, penerus takhta Cirebon Syarif Hidayatullah
(kemenakan Walasungsang sekaligus menantu Surosowan) menghentikan pengiriman upeti
tahunan ke Pakuan Pajajaran. Untuk mengantisipasi serangan Pajajaran, Cirebon meminta
bantuan Demak. Prabu Siliwangi memutuskan untuk menyerang Cirebon, namun kemudian
dicegah oleh Ki Purwa Galih, pendeta tertinggi kerajaan (purohita). Saat Prabu Siliwangi
hidup, literatur tidak menyebutkan adanya perang antara Cirebon dan Pakuan Pajajaran.
Menurut hipotesis populer, tiadanya perang lebih karena adanya rasa hormat dan sungkan
para putera Prabu Siliwangi di Cirebon kepada ayahanda mereka.
Perang tak terhindarkan saat Prabu Siliwangi wafat pada tahun 1521. Cirebon dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah dengan dukungan Walasungsang, Pakuan Pajajaran dipimpin oleh
pangerannya, yaitu Prabu Surawisesa (memerintah 1521- 1535). Menurut Carita
Parahiyangan, selama 14 tahun masa pemerintahannya, Pajajaran terlibat 15 kali pertempuran
dengan gabungan pasukan Cirebon-Demak. Pada 1531, Pakuan Pajajaran dan Cirebon
menandatangani perjanjian damai dan menghentikan peperangan, setelah terlibat
pertempuran sengit di Sunda Kelapa. Pada masa damai inilah Prabu Surawisesa memiliki
waktu untuk kembali mengurusi negaranya, termasuk membuat Prasasti Batutulis (1533)
untuk mengenang kebesaran ayahnya, Prabu Siliwangi.
Raja Pajajaran berikutnya adalah Prabu Ratu Dewata (memerintah 1535-1543). Pada masa
pemerintahannya, terjadi serangan dari Banten (kerajaan bawahan Sunda) yang telah
bercorak Islam di bawah pimpinan Maulana Hassanudin. Serangan berikutnya masih dari
Kerajaan Banten: kali ini dipimpin oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Serangan ini
mengakhiri riwayat Kerajaan Sunda (Pajajaran), dan disimbolkan dengan diboyongnya
Palangka Sriman Sriwacana (singgasana raja) dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan
di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu diboyong
karena tradisi politik agar di Pajajaran tidak dimungkinkan lagi dilakukan penobatan raja
baru. Selain itu, hal tersebut menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda
yang sah (buyut perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja, raja Sunda). Singgasana
tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat
Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti batu mengilap atau berseri.
Konon, saat ditaklukkan Banten, sejumlah punggawa istana Kerajaan Pajajaran
meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan
mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy (inl adalah sebutan
dari peneliti Barat terhadap mereka; sementara mereka sendiri menyebut diri urang Kanekes
atau orang Kanekes). Meski demikian, kebenaran tentang asal-muasal orang Baduy sebagai
bekas punggawa istana Pajajaran masih menjadi kontroversi.

4. Kerajaan Melayu
A. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Melayu adalah kerajaan bercorak Buddha yang terletak di Sumatra. Lokasinya
dekat Selat Malaka, yaitu sekitar Jambi (Chan-pei), persisnya di tepi kiri-kanan Sungai
Batanghari. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan berupa candi dan arca di tempat
ini.
Lokasinya strategis: pelabuhan perdagangan yang menghubungkan India dan Tiongkok.
Selat Malaka memang merupakan jalur perdagangan yang ramai. Umumnya kapal-kapal
dagang berlabuh untuk membongkar, memuat barang dagangan (terutama lada), serta
menambah perbekalan. Sumber sejarah Kerajaan Melayu berasal dari Tiongkok dan kitab
Nagarakertagama. Kitab Nagarakertagama pada pupuh XII bait 1 menyebutkan nama-nama
negeri yang berada dalam perlindungan Majapahit, salah satunya Kerajaan Melayu. Tidak
ada sumber dari prasasti. Berita dalam sejarah Dinasti Tang (618-906 M), misalnya, mencatat
tentang datangnya utusan dari Mo-lo-yeu pada tahun 644 M dalam rangka hubungan dagang
dengan membawa hasil bumi sebagai perkenalan. Disebutkan juga berdirinya beberapa
kerajaan lain di Sumatra, seperti To- lang-po-hwang (Tulangbawang), Mo-lo-yeu (Melayu),
dan Che- li-fo-che (Sriwijaya). Seorang pendeta Buddha bernama I-Tsing pada tahun 671 M
melakukan perjalanan dari Kanton (Tiongkok) ke India. Dalam perjalanan, ia singgah di
Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Pada tahun 685 M. I-Tsing kembali lagi ke
Sriwijaya dan menerjemahkan beberapa kitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke
dalam bahasa Tiongkok. I-Tsing tinggal selama empat tahun lamanya di Sriwijaya. Saat
kembali lagi ke Sriwijaya tahun 692 M, Kerajaan Melayu tidak ada lagi karena telah
ditaklukkan Sriwijaya (sekitar tahun 692 M).
B. Kondisi sosial politik Kerajaan
Penduduk Kerajaan Melayu sebagian besar memeluk agama Buddha. Seorang pendeta
Buddha bernama Dharmapala pernah didatangkan secara khusus dari India untuk
mengajarkan agama ini. Sekitar tahun 692 M, kerajaan ini ditaklukkan Sriwijaya. Sampai
abad XII, tidak ada lagi keterangan sedikit pun tentang kerajaan ini (Melayu).
Sekitar tahun 1275, kerajaan ini pulih kembali (pusatnya di Dharmasraya) dengan
menguasai Sriwijaya serta perdagangan di Selat Malaka. Menurut kitab Nagarakertagama,
Raja Kertanagara dari Singasari melancarkan Ekspedisi Pamalayu yang diikuti pengiriman
Arca Amoghapasa pada tahun 1286 sebagai hadiah kepada Maharaja Melayu Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ekspedisi Pamalayu dimaksudkan untuk menjalin
persahabatan serta menggalang kekuatan militer bersama untuk membendung kemungkinan
serangan dari bangsa Mongol (di bawah Kubilai Khan).
Kerajaan Melayu mencapai puncak perkembangan pada masa pemerintahan
Adityawarman, putra bangsawan Majapahit dari ibu seorang putri Melayu bernama Dara
Jingga (putri dari Maharaja Melayu Mauli Marwadewa). Wilayah kekuasaannya mencakup
seluruh pantai timur Sumatra. Hingga tahun 1347 M, Adityawarman memperluas wilayah
kerajaannya sampai Pagaruyung, Sumatra Barat. Namun, kerajaan-kerajaan Hindu dan
Buddha di Sumatra berakhir menjelang abad XIII.

5. Kerajaan Sriwijaya
A. Lokasi dan sumber sejarah
Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari (maritim) bercorak Buddha yang pernah
berdiri di Pulau Sumatra dan memberi banyak pengaruh di Nusantara. Daerah kekuasaannya
membentang dari Kamboja, Thailand selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan
pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan
wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan, maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan
yang gilang-gemilang. Meskipun dikenal kuat secara ekonomi dan militer, nyaris tidak ada
bukti yang menunjukkan letak persis kerajaan ini di Sumatra.
Berdasarkan temuan sumber tertulis serta berita Tiongkok dan Arab, Kerajaan Sriwijaya
diperkirakan berdiri sekitar abad VII. I Tsing, pendeta Tiongkok, yang melakukan kunjungan
ke Sumatra dalam perjalanan studinya ke Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695,
melaporkan Sriwijaya menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. I Tsing juga melaporkan
terdapat 1.000 orang pendeta yang belajar agama Buddha pada Sakyakirti, seorang pendeta
terkenal di Sriwijaya. Berdasarkan berita Arab, diketahui banyak pedagang Arab melakukan
kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat kerajaan ditemukan
perkampungan-perkampungan sementara orang Arab. Sumber dan bukti tertulis lainnya
adalah prasasti-prasasti, seperti Kota Kapur, Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu,
Karang Berahi, dan Ligor.
Prasasti tertua adalah Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka dan berangka tahun
686 M. Melalui prasasti ini, kata "Sriwijaya" pertama kali dikenal. Di dalamnya disebutkan
"bumi Jawa tidak mau tunduk pada Sriwijaya" (yang dimaksud "bumi Jawa" adalah Kerajaan
Tarumanagara). Prasasti berikutnya adalah Kedukan Bukit yang berangka tahun 605 Saka
atau 688 M.
•Hasil-hasil buminya, seperti emas, perak, dan rempah- rempah, menjadi komoditas
perdagangan yang
•Berharga. Armada lautnya kuat karena menjalin kerja sama dengan armada laut kerajaan-
kerajaan di India dan
•Tiongkok. Pendapatan melimpah dari upeti raja-raja yang ditaklukkan, cukai terhadap kapal-
kapal asing dan barang dagangan, serta hasil buminya sendiri. I Tsing menyebutkan adanya
seorang pendeta Buddha terkenal bernama Sakyakirti. Selain itu, menurut berita dari Tibet,
seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) dalam rangka
belajar agama Buddha dari seorang guru bernama Dharmapala. Sriwijaya mengalami
kemunduran sekitar abad XII yang antara lain disebabkan oleh sebagai berikut.
•Serangan Kerajaan Medang Kamulan, Jawa Timur, di bawah Raja Dharmawangsa pada 990
M. Saat itu, Sriwijaya diperintah oleh Raja Sudamaniwarwadewa. Meski tidak berhasil,
serangan ini cukup melemahkan Sriwijaya.
•Serangan Kerajaan Colamandala dari India pada 1023 M dan 1030 M. Tidak ada sumber
tertulis tentang sebab- sebab terjadinya serangan tersebut; tetapi diperkirakan masalah politik
dan persaingan perdagangan
•Negara-negara yang pernah ditaklukkan seperti Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan,
Pahang, Jambi, dan Sunda, satu per satu melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Hal ini
tentu saja berakibat pada kemunduran ekonomi dan perdagangan.
•Terdesak oleh Kerajaan Thailand yang mengembangkan kekuasaannya sampai Semenanjung
Malaya.
•Serangan Majapahit pada 1477 M dan berhasil menaklukkan Sriwijaya. Sejak itu,
berakhirlah kekuasaan Sriwijaya.

6. Kerajaan Kalingga
A. Lokasi dan sumber sejarah
Kalingga adalah kerajaan bercorak Buddha di Jawa Tengah yang berdiri sekitar abad VII.
Nama "Kalingga" berasal dari sebuah nama kerajaan yang terdapat di wilayah India selatan.
Lokasinya masih diperdebatkan, kemungkinan di sekitar Blora dan Cepu (Jawa Tengah).
Sumber sejarah kerajaan ini kebanyakan diperoleh dari sumber Tiongkok, tradisi atau kisah
setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian. Sumber-
sumber manuskrip Tiongkok ditulis pada masa Dinasti Tang, oleh I Tsing yang menyebut
kerajaan ini dengan nama Ho- ling (Kalingga) dan berlokasi di Cho-po (Jawa). Di dalam
catatan itu, disebutkan, misalnya, hal-hal sebagai berikut:
•Kalingga terletak di Jawa, tepatnya di Laut Selatan. Kerajaan ini berada di antara Kamboja
di sebelah utara, Bali di sebelah timur, dan Sumatra di sebelah barat.
•Ibu kota kerajaan pada waktu itu dikelilingi benteng yang terbuat dari tonggak kayu.
•Raja tinggal di istana kerajaan yang tersusun atas bangunan bertingkat yang besar,
mempunyai atap dari daun aren, serta singgasana dari gading gajah.
•Penduduknya pandai membuat arak dari nira pohon kelapa.
•Selain gading gajah dan cula, kerajaan ini menghasilkan banyak barang tambang berupa
perak dan emas.
Pada tahun 664 M, di Ho-ling datang seorang pendeta Tiongkok yang bermaksud
menerjemahkan kitab suci agama Buddha. Sesampainya di sana, la mendapat bantuan dari
pendeta Ho-ling bernama Janabadhra
B. Kondisi sosial politik Kerajaan
Karena keterbatasan sumber sejarah, tidak banyak yang dapat diceritakan tentang
kehidupan sosial-politik kerajaan ini. Berita Tiongkok hanya menyebutkan kerajaan ini
memiliki hasil bumi yang sangat laku diperdagangkan, seperti emas, perak, cula badak, dan
gading gajah. Disebutkan juga pada 674 M. Kerajaan ini dipimpin seorang ratu bernama
Sima yang memerintah dengan keras tetapi adil. Di bawah pemerintahannya, rakyat hidup
aman dan makmur.
Konon, sepeninggal Sima, Kalingga terbagi dua, yaitu Kalingga utara (dikenal dengan
nama Bumi Mataram) di bawah Sanaha (cucu Ratu Sima) dan Kalingga selatan (Bumi
Sambara) di bawah Dewasinga. Sanaha menikah dengan Bratasenawa atau Sanna (raja ketiga
Kerajaan Galuh), yang melahirkan Sanjaya. Sanjaya kelak menikahi putri Dewasinga
bernama Dewi Sudiwara yang melahirkan Rakai Panangkaran, raja kedua Kerajaan
Medang/Mataram Kuno.

7. Kerajaan Mataram
A. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Mataram (Mataram Kuno atau Mataram Hindu atau Kerajaan Medang periode
Jawa Tengah) adalah kelanjutan dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah sekitar abad VIII,
yang kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad X. Sebutan "Mataram Kuno" atau "Mataram
Hindu adalah untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada
abad XVI. Kerajaan Mataram ini runtuh pada awal abad XI.
Kerajaan ini berlokasi di pedalaman Jawa Tengah, di sekitar daerah yang banyak dialiri
sungai, seperti Sungai Progo, Bogowonto, dan Bengawan Solo. Daerah ini juga dilingkari
oleh pegunungan. Sumber tertulis tentang kerajaan ini adalah Prasasti Canggal (732 M) dan
Prasasti Mantyasih. Keduanya menyebutkan seorang raja bernama Sanjaya memeluk agama
Siwa (Hindu). la membangun kuil pemujaan kepada Siwa berbentuk candi dengan hiasan
patung lembu, yang dipercaya sebagai kendaraan Dewa Siwa. Prasasti Canggal juga
menyebutkan beberapa hal, seperti pendirian sebuah lingga (pusat pemerintahan) di Desa
Kuntjarakunya oleh Raja Sanjaya, kondisi ekonomi Jawa yang kaya akan padi dan emas
(Jawadwipa), dan asal-usul Sanjaya. Menurut prasasti ini, Jawa mula-mula diperintah oleh
Raja Sanna (beristrikan Sanaha), raja ketiga Kerajaan Galuh.

8. Kerajaan Medang Kamulan


A. Lokasi dan sumber sejarah
Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah Prasasti Paradah (943 M) dan Prasasti
Anjukladang (973 M). Keduanya menyebutkan nama ibu kota Kerajaan Medang, yakni
Watugaluh, sekarang sebuah desa di dekat Jombang di tepi aliran Sungai Brantas.
Kerajaan bercorak Hindu ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Pada abad X,
kerajaan ini dipindahkan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmottunggadewa alias Mpu Sindok ke Jawa Timur; karena itu, disebut juga
Kerajaan Medang periode Jawa Timur, Mpu Sindok adalah menantu Raja Wawa, yang pada
masa pemerintahan Raja Tulodhong dan Raja Wawa menjabat sebagai mahamantri (jabatan
tingkat tinggi yang biasanya hanya diisi putra mahkota). la naik takhta pada tahun 929 M dan
dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Dinasti Isana, mengikuti nama raja
pertamanya.
Menurut para ahli, pemindahan Kerajaan Mataram (Medang) ke Jawa Timur disebabkan
terjadinya letusan Gunung Merapi yang disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik
yang memorak-porandakan sebagian besar wilayah Jawa Tengah. Faktor lain adalah adanya
konflik perebutan takhta di dalam istana. Adanya konflik semacam ini ditunjukkan dalam
Prasasti Wanua Tengah III.
B. Kondisi sosial-politik kerajaan
Mpu Sindok memerintah bersama-sama dengan permaisurinya. Beberapa prasasti lainnya
menyebutkan pada masa pemerintahannya negara aman dan tenteram. Meskipun menganut
Hindu aliran Siwa, ia tetap menaruh toleransi yang besar terhadap agama lain.
Dharmawangsa pernah menyerang Sriwijaya pada tahun 990 M dan menguasai pesisir pantai
Sriwijaya sehingga hubungan Sriwijaya dengan dunia luar terputus.
Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta pada tahun 1019 M dan membangun
pusat kerajaan di Kahuripan, Sidoarjo (kelak dipindahkan lagi ke Daha, Kediri).Lebih dari
itu, ia dikenal sangat memperhatikan rakyat. Selama masa pemerintahannya pun, karya-karya
sastra berkembang, di antaranya kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada 1035 M.
Usaha Airlangga untuk meningkatkan kesejahteraan Medang, antara lain sebagai beberikut
•Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh di muara Kali Brantas. Pelabuhan Hujung Galuh dan
Tuban menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja, dan
Champa berkunjung ke kedua tempat itu.
•Membangun Waduk Waringin Sapta untuk mencegah banjir musiman.
•Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan.
Sebelum mengundurkan diri sebagai raja, Airlangga membagi dua kerajaannya kepada dua
putranya: Kerajaan Jenggala kepada Mapanji Garasakan (anak istri kedua Airlangga) dengan
ibu kota Kahuripan, dan Kerajaan Panjalu atau Kediri kepada Sri Samarawijaya (putra
mahkota) dengan ibu kota Daha. Tindakan tersebut dilakukan untuk menghindari
pertumpahan darah karena perebutan takhta.

9. Kerajaan Kediri
A. Lokasi dan sumber sejarah
Wilayah Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas dengan
pelabuhan meliputi Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Adapun wilayah Kediri meliputi
Kediri dan Madiun sekarang.
B. Kondisi sosial-politik kerajaan
Kerajaan Kediri adalah kerajaan agraris dengan raja pertama Sri Samarawijaya, yang
kemudian digantikan oleh (secara berturut-turut) Sri Jayawarsa dan Bameswara. Kisah
perang saudara antara Jenggala dan Kediri kemudian diabadikan dalam sebuah kakawin
(kitab) berjudul Barathayudha (tahun 1157) yang oleh ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh. Ketika berhasil menguasai Jenggala pada masa pemerintahan Jayabhaya, Kediri
menjadi satu-satunya kerajaan yang berdiri di Jawa Timur pada masa tersebut.
Jayabhaya adalah raja Kediri yang sangat terkenal dengan ramalan-ramalannya; ia juga
dikenal sebagai seorang sastrawan. Ramalan-ramalannya kemudian dibukukan dalam buku
berjudul Jangka Jayabhaya. Pada masa pemerintahannya, Kediri mencapai puncak kejayaan:
tidak saja berkembang sebagai negara agraris, tetapi juga kerajaan maritim. Adanya jabatan
Senapati Sarwajala, yang dapat disamakan dengan laksamana atau panglima angkatan laut,
menunjukkan kemajuan Kediri dalam bidang maritim. Sesudah Jayabhaya, ada seorang raja
yang cukup terkenal, Raja Kameswhara (1182). la terkenal karena pada masa
pemerintahannya karya sastra Jawa berkembang pesat, seperti kitab-kitab dalam bentuk
kakawin dan cerita Panji atau kisah kepahlawanan lainnya.
Masa pemerintahan Kameswhara tidak lama. Pada 1185 ia digantikan oleh Kertajaya
(Prabu Dandang Gendis). Pada masa pemerintahannya, situasi Kediri penuh ketidakstabilan.
Pokok permasalahannya adalah perselisihan dengan para brahmana. Bersekutu dengan para
brahmana, seorang akuwu (bupati) dari Tumapel (bagian dari Kediri) bernama Ken Arok
mengalahkan Kertajaya dalam pertempuran di Ganter (1222). Meninggalnya Kertajaya dalam
pertempuran tersebut menandal berakhirnya kekuasaan Dinasti Isyana di Jawa Timur.

10. Kerajaan Singasari (Tumapel)


A. Lokasi dan sumber sejarah
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur yang didirikan
oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah
Singasari, Malang. Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singasari adalah
Tumapel.
Raja pertamanya adalah Ken Arok (memerintah 1222 -1227). Ken Arok lahir dari keluarga
petani. Berkat jasa seorang pendeta bernama Lohgawe, ia menjadi pengawal pribadi akuwu
(bupati) Tumapel bernama Tunggul Ametung. Tunggul. Ametung memiliki seorang istri yang
sangat cantik bernama Ken Dedes. Kecantikannya menimbulkan hasrat Ken Arok untuk
memperistrinya. Ken Arok memesan sebuah keris kepada seorang ahli pembuat keris
bernama Mpu Gandring dan dengan keris itu ia membunuh Mpu Gandring dan Tunggul
Ametung. la kemudian memperistri Ken Dedes lalu menjadi akuwu Tumapel yang baru.
B. Kondisi sosial-politik kerajaan
Hanya menjadi akuwu tidak memuaskan Ken Arok. la mencari cara untuk dapat
mengalahkan Kertajaya, la mendapatkan kesempatan ketika datang serombongan brahmana
dari Kediri meminta perlindungan. Para brahmana ini tidak mau tunduk pada keinginan
Kertajaya agar menyembahnya sebagai dewa. Kertajaya juga konon mengeluarkan peraturan-
peraturan yang membatasi kewenangan para brahmana. Ken Arok kemudian tewas dibunuh
oleh Anusapati, anak dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Anusapati memerintah selama
21 tahun (1227-1248). Berita tentang kematian Ken Arok akhirnya sampai juga ke telinga
Tohjaya, anak Ken Arok dari istrinya yang lain bernama Ken Umang.
Masa pemerintahan Tohjaya hanya beberapa bulan. Hal itu karena Ranggawuni, anak dari
Anusapati, segera mengetahui ayahnya dibunuh Tohjaya. Ia pun menyerang Singasari untuk
membalas dendam. Tohjaya sempat melarikan diri dari istana, tetapi terbunuh oleh tombak
pengikut Ranggawuni. Ranggawuni kemudian menjadi raja (memerintah 1248-1268).
Kejayaan Singasari mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan putra
Ranggawuni bernama Kertanegara (memerintah 1268-1292). Pada masa pemerintahan
Kertanegara, armada laut Singasari semakin kuat dan disegani kerajaan- kerajaan di Asia
Tenggara. Armada laut yang kuat menjadikan Singasari berhasil melakukan ekspedisi
(penaklukan militer) dan/ atau kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara
yang berdampak pada kemajuan di bidang ekonomi. Hal itu tidak terlepas dari visi politik
Kertanegara, yaitu memperluas wilayah kekuasaan Singasari hingga ke seluruh Nusantara
(seluruh kerajaan di Asia Tenggara) atau yang lebih dikenal dengan politik Cakrawala
Mandala Dwipantara (secara harfiah berarti perluasan Nusantara dengan memandang ke luar
Pulau Jawa). Kertanegara diberitakan tidak segan-segan memecat para pejabat tingginya jika
menentang kebijakan politiknya tersebut, salah satunya Arya Wiraraja yang disingkirkan
menjadi bupati Sumenep (Madura).
Setelah berhasil menjalin hubungan persahabatan dan kerja sama politik-militer dengan
Maharaja Melayu, pada tahun 1286 Kertanegara mengirim ekspedisi kedua dengan membawa
Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk Maharaja Melayu Sri Maharaja Mauliwarmadewa.
Sebagai balasannya, Maharaja Melayu menyerahkan kedua putrinya, Dara Jingga dan Dara
Petak, untuk dinikahkan dengan bangsawan Singasari.
Ekspansi Mongol akhirnya memang sulit dibendung. Pada tahun 1281, Mongol berhasil
menguasai Kerajaan Champa (Vietnam) dan pada tahun 1287 menguasai Pagan (Birma).
Sejak tahun 1280 (hingga 1289), Kubilai Khan telah beberapa kali mengirim utusan ke
Singasari demi meminta Kertanagara untuk tunduk. Kertanagara menolak, bahkan menghina
Kubilai Khan dengan memotong telinga salah seorang utusan terakhir Mongol. Marah besar,
Kubilai Khan mengirim armadanya untuk menghukum Kertanagara. Namun, sebelum
pasukan Mongol datang, Raja Kertanagara tewas dibunuh oleh Jayakatwang (keturunan
Kertajaya, raja Kediri) atas saran Arya Wiraraja, bupati Sumenep. Arya Wiraraja sakit hati
karena disingkirkan menjadi bupati Sumenep (Madura), konon karena mengkritik langkah
ekspansi Kertanagara. Sementara itu, setelah lama menjadi bawahan Kertanegara,
Jayakatwang sendiri yang saat itu menjadi bupati Gelang-gelang (bagian dari Kerajaan
Singasari) ingin sekali memulihkan Kerajaan Kediri.
Raden Wijaya sendiri, atas saran Wiraraja, menyerah dan memohon ampun, serta
menyatakan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Terkesan dengan sikap dan kecerdasannya
selama masa pengabadian, Jayakatwang memberinya hadiah berupa sebidang tanah, yaitu
Hutan Tarik, sebuah tempat yang subur. Di tempat itu, ia membangun sebuah desa yang besar
bernama Majapahit. Perkembangan Majapahit cukup cepat karena Raden Wijaya berhasil
menarik orang-orang dari Kediri dan Singasari untuk tinggal di Majapahit. Karena letaknya
yang strategis, hubungan dengan Wiraraja di Sumenep berjalan lancar; bantuan orang-orang
Madura dalam membangun desa dan melatih tentara juga telah mempercepat perkembangan
desa yang menjadi cikal-bakal Kerajaan Majapahit ini.

11. Kerajaan Majapahit (1293-1500)


A. Lokasi dan sumber sejarah
Pusat Kerajaan Majapahit diperkirakan di daerah Trowulan sekarang, 10 km sebelah barat
daya Kota Mojokerto, Jawa Timur. Hal ini didasarkan temuan artefak berupa bekas tembok
dan fondasi bangunan, pintu gapura, candi, saluran air, dan tiang-tiang rumah. Tanggal pasti
berdirinya Kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja (memerintah
1293-1309 M), yaitu 10 November 1293.
Sumber utama para sejarawan mengenai Kerajaan Majapahit adalah Pararaton (Kitab Raja-
raja) dan Nagarakertagama. Pararaton tidak hanya menceritakan Ken Arok, tetapi juga
memuat sejarah ringkas lahirnya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan
puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah Hayam Wuruk. Apa
yang terjadi setelah masa itu tidak banyak yang tahu. Beberapa prasasti dalam bahasa Jawa
Kuno ataupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain juga membantu
menyingkapkan sejarah Majapahit.
B. Kondisi sosial-politik kerajaan
Raden Wijaya menghargai semua orang yang berjasa terhadapnya dengan memberi mereka
kedudukan dalam pemerintahannya atau kekuasaan di daerah tertentu di Majapahit.
Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara (memerintah 1309-1328 M), yang pada waktu
itu masih berusia sekitar 15 tahun. Berbeda dari ayahnya, Jayanegara tidak memiliki
kecakapan memerintah, sehingga ia mendapat julukan "Kala Gemet" yang berarti lemah dan
jahat. Pemerintahan Jayanegara diwarnai banyak pemberontakan. Dari seluruh
pemberontakan tersebut, pemberontakan oleh salah seorang kepercayaan dan penasihat raja
(disebut golongan Dharmaputra) bernama Ra Kuti disebut-sebut sebagai yang terbesar karena
hampir berhasil menggulingkan Majapahit. Namun, Gajah Mada, yang saat itu menjadi
bhayangkara (sebutan untuk pasukan pengawal raja) berhasil memadamkannya, la
menyelamatkan Jayanegara dengan mengungsikannya sementara ke sebuah desa bernama
Badander. Jayanegara akhirnya meninggal akibat operasi (penyakit) oleh seorang tabib
bernama Tancha, yang menaruh dendam terhadap Jayanegara. Tancha kemudian dibunuh
oleh Gajah Mada.
Karena Jayanegara tidak berputra, la digantikan oleh adiknya bernama Gayatri atau Bhre
Kahuripan, dengan gelar Tribhuwana Tunggadewi (memerintah 1328-1350 M). Pada masa
pemerintahannya, yaitu pada tahun 1331 M, terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta,
keduanya berada di wilayah Besuki, Jawa Timur. Pemberontakan ini dapat diatasi oleh Gajah
Mada Atas jasanya ini, ia diangkat sebagai Mahapatih Hamengkubumi Majapahit. Pada saat
pengangkatannya tahun 1336 M, Gajah Mada mengucapkan sumpah terkenalnya, yang
disebut Sumpah Palapa. Isinya: Gajah Mada pantang bersenang- senang sebelum dapat
menyatukan Nusantara. Kawasan yang dimaksud sebagai Nusantara adalah pulau-pulau yang
meliputi Malaka, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sunda Kecil (Nusa Tenggara),
dan Maluku. Gayatri meninggal tahun 1350 M dan digantikan oleh putranya, Hayam Wuruk
(memerintah 1350-1389 M).
Pada masa Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaan: wilayahnya sangat luas,
seluas wilayah Indonesia sekarang, bahkan pengaruhnya sampai ke beberapa negara lain di
wilayah Asia Tenggara. Tidak dapat dimungkiri peran Gajah Mada sangat besar, yang
konsisten mewujudkan Sumpah Palapa- nya. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pula
karya sastra mengalami kemajuan pesat. Pada tahun 1365, ditulis kitab Nagarakertagama oleh
Mpu Prapanca, demikian juga kitab- kitab lain, seperti Sutasoma dan Arjunawijaya oleh Mpu
Tantular. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan kutipan dari kakawin Sutasoma.
Sementara itu, seorang musafir Tiongkok, Ma-Huan, menulis pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk Majapahit telah mengenal kemajemukan budaya, agama, dan adat istiadat, Hal
ini karena pada waktu itu Majapahit juga dihuni oleh penduduk yang berasal dari Samudra
Pasai dan Malaka, orang-orang Tionghoa yang telah memeluk agama Islam, serta penduduk
asli yang beragama Hindu dan Buddha.
Politik penyatuan Nusantara Gajah Mada baru berakhir pada 1357 M dalam apa yang
disebut Perang Bubat, yaitu perang antara Kerajaan Pajajaran (Sunda) dan Kerajaan
Majapahit. Latar belakangnya sebagai berikut: Pada tahun 1357, Hayam Wuruk berniat
meminang putri Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja bernama Dyah Pitaloka Citraresmi atau
Citra Rashmi (1340-1357). Pihak Pajajaran menganggap lamaran ini sebagai perjanjian
persekutuan. Pada tahun 1357, rombongan raja Pajajaran beserta keluarga dan pengawalnya
bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri. Sri Baduga memerintahkan pasukannya
berkemah di lapangan Bubat menunggu Hayam Wuruk menjemput putrinya. Namun, Gajah
Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa Kerajaan Sunda takluk. la melarang
Hayam Wuruk menjemput dan menginginkan Sri Baduga sendirilah yang datang sebagai
tanda takluk. Sri Baduga murka dan menolak mentah-mentah. Perang pun tidak terelakkan.
Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, Sri Baduga dan seluruh anggota
pasukannya terbunuh. Dyah Pitaloka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela
kehormatan kerajaannya.
Gajah Mada meninggal tahun 1364. Selama tiga tahun berikutnya, jabatan mahapatih
mangkubumi dibiarkan kosong. Baru pada tahun 1367, diangkatlah Gajah Enggon sebagai
penggantinya.
Pada tahun 1389, Hayam Wuruk wafat. Sepeninggal Hayam Wuruk dan setelah mencapai
puncak kejayaannya pada abad XIV, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah,
terutama akibat konflik perebutan takhta. la digantikan oleh putrinya bernama
Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri,pangeran Wikramawardhana. Hayam
Wuruk juga memiliki seorang putra (dari selirnya) bernama Wirabhumi, yang juga menuntut
hak atas takhta. Sebetulnya, Wirabhumi telah diberi kekuasaan sebagai raja di Blambangan,
di bagian timur Jawa Timur sekarang. Diperkirakan pada tahun 1405-1406 terjadi perebutan
takhta antara Wirabhumi dan Wikramawardhana, yang dikenal dengan nama Perang
Paregreg. Perang ini berakhir dengan kemenangan Wikramawardhana, sementara Wirabhumi
ditangkap dan dipancung.
Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya. Negara-negara kecil yang selama ini menjadi taklukan Majapahit satu per satu
melepaskan diri. Kondisi ini tertulis dengan jelas dalam kitab Pararaton dan dalam beberapa
prasasti di Sawentar Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Wikramawardhana meninggal pada 1429,
setelah sebelumnya mengangkat Dewi Suhita, anak Bhre Wirabumi menjadi raja. Hal ini
dilakukan untuk mengobati kekecewaan Bhre Wirabumi yang tidak berhasil menjadi raja di
Majapahit. Pada tahun 1444, Suhita meninggal, dan digantikan oleh Dyah Kertawijaya;
demikian selanjutnya Majapahit masih terus berganti-ganti raja tanpa mampu mengembalikan
zaman keemasannya. Pada 1456, Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dan setelah itu
masih tercatat pemerintahan Bhre Ranawijaya (Brawijaya) hingga kemudian Majapahit
dikuasai oleh Demak, kerajaan Islam pertama di Indonesia yang muncul pada tahun 1522.

12. Kerajaan Bali


A. Lokasi dan sumber sejarah
Prasasti Bali yang tertua berangka tahun 882 M. Isinya adalah tentang pemberian izin
kepada para biksu agama Buddha untuk membuat pertapaan di Bukit Cintamani (Kintamani).
Dalam prasasti ini tidak disebutkan nama raja, tetapi disebut nama kerajaannya:
Singhamandawa. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan Kerajaan Bali pernah diserbu
Kerajaan Mataram (di bawah Raja Dyah Balitung) pada 730 M. Hubungan antara penerus
Mataram dan Kerajaan Bali memang dekat: Airlangga (raja Mataram) adalah putra hasil
perkawinan Raja Dharma Udayana Warmadewa (Bali) dan Ratu Mahendradatta (putri Raja
Dharmawangsa dari Mataram). Setelah peristiwa pralaya, Airlangga menggantikan
Dharmawangsa menjadi raja.
B. Keadaan sosial-politik kerajaan
Informasi tentang raja-raja yang memerintah Bali ditemukan melalui Prasasti Sanur (913
M). Prasasti yang ditulis dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Bali Kuno ini dibuat oleh raja
pertama Bali, Sri Kesarimarwadewa. Di dalamnya disebutkan Raja Ugrasena (memerintah
915-942 M) yang sezaman dengan pemerintahan Mpu Sindok (Medang Kamulan).
Raja-raja yang memerintah Bali berikutnya tidak meninggalkan catatan-catatan yang
berarti tentang pemerintahannya, kecuali pada masa pemerintahan Anak Wungsu (1049-
1077). Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Bali memperluas wilayah kekuasaannya dan ia
mengeluarkan sebanyak 28 prasasti yang menceritakan tentang sejumlah kegiatan yang
dilakukannya. Anak Wungsu tercatat sebagai raja Bali dari Dinasti Warmadewa yang terakhir
karena ia tidak memiliki keturunan, la meninggal pada tahun 1080 M dan dimakamkan di
Gunung Kawi, daerah Tampak Siring.
Raja-raja Bali yang paling banyak meninggalkan keterangan tertulis adalah Udayana,
Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam pemerintahan, raja dibantu oleh suatu
badan penasihat pusat, yang disebut panglapuan. Badan ini beranggotakan beberapa orang
senapati dan pendeta Siwa dan Buddha.
Dalam prasasti-prasasti sebelum masa kekuasaan Raja Anak Wungsu, disebut beberapa
jenis seni. Baru pada masa Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni yang ada ke
dalam dua kelompok besar: seni keraton dan seni rakyat. Terkadang seni keraton
dipertunjukkan juga kepada masyarakat di desa- desa, dan bukan monopoli raja atau keraton.
Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman Megalitikum,
sangat kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan pada pemujaan roh nenek moyang
yang disimbolkan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramida atau
bangunan berundak-undak. Terkadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu
monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu, hal ini terlihat pada
bangunan pura yang mirip punden berundak- undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung,
laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum Hindu tetap tercermin dalam kehidupan
masyarakat.
Sejak awal hingga masa pemerintahan Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti
agama yang dianut pada masa itu. Hanya dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama
Siwa, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Hindu Siwa. Pada
masa pemerintahan Raja Udayana, ada dua aliran agama besar di Bali, Hindu Siwa dan
Buddha. Raja terakhir Bali adalah Paduka Batara Sri Artasura atau yang lebih dikenal dengan
Raja Bedahulu. Raja ini memiliki dua orang patih terkenal bernama Kebo Iwa dan
Pasunggrigis, yang bersama-sama dengan rajanya berjuang mempertahankan kemerdekaan
Bali (meski akhirnya tunduk) dari ekspansi Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada.
• BAB III PENUTUPAN

KESIMPULAN

Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha dari India ke
Indonesia terjadi karena adanya hubungan antara bangsa Indonesia, India,dan bangsa- bangsa
lainnya di kawasan Asia Selatan Timur,dan Tenggara.Hubungan tersebut tidak hanya terjadi
melalui perdagangan tetapi juga terjadi melalui kegiatan politik dan diplomasi
pelayaran.pendidikan, dan kebudayaan. Melalui lalu lintas tersebut,terjadi pertukaran
barang,pengalaman,dan kebudayaan Hindu dan Buddha.
Pendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia, yaitu hipotesis Waisya, Hipotesis Ksatria, Hipotesis Brahmana dan teori Arus
Balik. Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa pengaruh
besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah
satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin
oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun- temurun. Kerajaan-kerajaan itu
antara lain: Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno,
Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit. Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah
membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun kebudayaan
asli Indonesia tidak begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses
penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah proses akulturasi kebudayaan.

SARAN

Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India.Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita membandingkan
peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan itu. Sebelum
kenaldengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat sederhana. Saat itu
belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton.
DAFTAR PUSTAKA

Hapsari, Ratna dan M.Adil. 2012. Sejarah Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai