Anda di halaman 1dari 130

HAND OUT

PENGANTAR AGAMA HINDU

OLEH :
DRA. NI KADEK MULIATI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
POLITEKNIK NEGERI BALI
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2005

KATA PENGANTAR

Om, Swastiastu
Puji syukur penyusun panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, diktat Mata Kuliah
Agama Hindu ini, bisa diselesaikan sesuai dengan rencana. Mata Kuliah Agama
Hindu merupakan mata kuliah dasar umum yang wajib diajarkan di seluruh
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Sementara, literatur dan buku-buku
pegangan untuk mata kuliah itu, masih sangat kurang, dalam hal ini kiranya diktat
yang sederhana ini dapat dimanfaatkan.
Maksud dan tujuan penulisan diktat ini adalah untuk menanamkan dan
meningkatkan rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membangkitkan
kesadaran bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan dan
kepuasan bathin baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu dengan
mempelajari ajaran agama, juga memberikan motivasi dan dorongan bagi umat
manusia untuk berbuat baik, selain sebagai penunjang ilmu yang diperoleh di
bangku kuliah.
Seiring dengan banyak dan luasnya materi mata kuliah agama yang patut
diketahui, sedangkan waktu perkuliahannya hanya satu semester, jadi materimateri yang bersifat ulangan yang telah diberikan di Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas tidak disajikan lagi. Materi yang
akan dipergunakan di perguruan tinggi hanya bersifat praktis agar dapat
menunjang ilmu dan pekerjaan setelah menamatkan sekolah.
Penyusun menyadari sesuai dengan perkembangan pembangunan agama,
bahwa materi kuliah ini banyak kekurangannya sehingga memerlukan tambahan
dan penyempurnaan. Penyusun mengharapkan kepada pembaca agar memberikan
kritik dan saran-saran untuk penyempurnaan penyusunan selanjutnya.

Om, Santih, Santih, Santih, Om


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................


DAFTAR ISI ..............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN....................................................................
A. Sejarah Agama Hindu di India ...........................................
B. Masuknya Agama Hindu ke Indonesia ..............................
C. Penyebaran Agama Hindu di Indonesia .............................
D. Penyebaran Agama Hindu di Bali ......................................

BAB II

SUMBER AJARAN AGAMA HINDU...................................


A. Sruti ....................................................................................
B. Smerti .................................................................................
C. Upaweda.............................................................................

BAB III

SRADHA (KEIMANAN) ........................................................


A. Panca Sradha ......................................................................
B. Diksa (Inisiasi) ...................................................................
C. Tapa (Pengendalian Diri) ...................................................
D. Brahma atau Pujian ............................................................

BAB IV

CATUR MARGA ....................................................................


A. Bhakti Marga......................................................................
B. Jnana Marga .......................................................................
C. Karma Marga .....................................................................
D. Raja Marga .........................................................................

BAB V

YADNYA ................................................................................
A. Pengertian Yadnya .............................................................
B. Panca Maha Yajna .............................................................
C. Upakara Dalam Upacara Agama Hindu .............................
D. Hubungan Agama Dengan Kebudayaan ............................

BAB VI

SAD DARSANA .....................................................................


A. Nyaya Darsana ...................................................................
B. Vaisasika Darsana ..............................................................

C. Sankhya Darsana ................................................................


D. Yoga Darsana .....................................................................
E. Mimamsa Darsana..............................................................
F. Vedanta Darsana ................................................................
BAB VII RAJA DHARMA .....................................................................
A. Pengertian Kepemimpinan .................................................
B. Syarat-syarat Seorang Pemimpin .......................................
C. Tugas dan Wewenang Seorang Pemimpin .........................
D. Sifat-sifat Kepemimpinan ..................................................
E. Azas-azas Kepemimpinan ..................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Sasaran Belajar
-

Menjelaskan tentang proses penyebaran ajaran Agama Hindu di India

Menjelaskan tentang proses penyebaran agama Hindu di Indonesia

Menjelaskan tentang penyebaran agama Hindu di Bali

A. Sejarah Agama Hindu di India


Ajaran Agama Hindu sudah ada sekitar 6000 tahun yang lalu bahkan
merupakan ajaran pertama di dunia, hal ini dapat dibuktikan dari berbagai
aspek ajaran itu sendiri. Weda sebagai kitab suci Agama Hindu telah
diwahyukan Tuhan sejak bangsa Arya belum berpindah ke India dan catur
Weda itu diturunkan dalam kurun waktu yang agak lama yang diterima oleh 7
(tujuh) Maharesi. Setelah bangsa Arya menetap di India barulah Weda itu
dikodifikasikan menjadi Catur Weda seperti : Rg Weda, Sama Weda, Yayur
Weda dan kemudian baru muncul Atharwa Weda. Setelah kedatangan bangsa
Arya di India sekitar tahun 1500 SM terjadilah sincretisme antara kepercayaan
bangsa Arya dengan bangsa asli India (bangsa Dravida) yang kemudian
melahirkan konsepsi baru yang berkembang ke berbagai pelosok dunia
termasuk ke Indonesia sekitar abad-abad pertama masehi. Bangsa Arya
sebelum berpindah ke India mendiami suatu tempat di pedalaman. Dari hasil
penggalian tersebut didapatkan bukti bahwa tingkat peradaban lembah sungai
Sindhu mempunyai nilai yang sangat tinggi mutunya yang berasal sekitar
tahun 3000 SM, peninggalan benda-benda kepurbakalaan yang didapat
diantaranya banyak berupa arca yang melukiskan dewa dan dewi, meterai dari
terracotta yang menunjukkan corak keHinduannya seperti lukisan.
Siwa Pasupati dan konsepsi Trisula serta arca perempuan yang
melambangkan Dewi Kesuburan atau konsepsi Ibu Dewi yang lebih dikenal
sebagai Mother Goddes. Kemudian sekitar tahun 1500 SM datanglah bangsa
Arya yang berhasil mendesak bangsa asli Dravida dengan membawa

kepercayaan yang melahirkan ajaran agama Hindu dengan tetap berpegang


pada kitab Suci Weda. Peradaban lembah sungai Sindu inilah kiranya
memberikan inspirasi terhadap kepercayaan mereka yang kemudian dikenal
dengan nama Hindu (Agama Hindu). Dengan masuknya bangsa Arya di India
(tahun 4500) di India mulai memasuki jaman sejarah yang dokumen tertuanya
adalah Rg Weda. Bangsa Arya yang datang di India dalam kurun waktu yang
cukup panjang menjadi beberapa suku bangsa Alinas, Bhalanases, Siwas,
Vishanis dan suku bangsa terbesar adalah suku bangas Bharatas dan Purus.
Kedua suku bangsa ini (Bharatas dan Purus) pada mulanya mereka saling
bermusuhan tetapi akhirnya bersatu yang melahirkan suku bangsa Purus
sebenarnya suku bangsa Arya lainnya yang tergabung dalam kelompok Panca
Janas (Anus, Druhyus, Turvasas, Yadus dan Purus). Setelah terjadi evolusi
politik di India peranan bangsa Arya semakin menentukan sosial masyarakat
India termasuk perkembangan Agama Hindu semakin pesat. Rg Weda sebagai
sumber ajaran Agama Hindu yang pertama kemudian dikembangkan lagi
dalam Sama weda dan Yayur Weda, ketiga Weda inilah menjadi panutan umat
Hindu yang disebut Trayi Weda. Dalam waktu yang akan lama baru muncul
Atharwa Weda sehingga semuanya disebut Catur Weda. Dari weda-weda
inilah diketahui bahwa Agama Hindu menyembah dewa-dewa seperti Indria,
Agni, Varuna, Vayu dan lain-lainnya. Kendatipun banyak dewa tetapi
semuanya disebut Catur Weda. Kendatipun banyak dewa tetapi semuanya itu
merupakan prabhawa Tuhan Yang Maha Esa. Setelah jaman Weda
berlangsung muncullah jaman Brahmana di India. Pada Jaman ini kaum
Brahmana sangat menentukan corak keagamaan yang berorientasi pada
persembahan yadnya yang dibuktikan dengan munculnya kitab Brahmana
yaitu kitab pedoman pelaksanaan yadnya. Berikutnya muncul-muncul jaman
Upanisad yaitu jaman yang menandai munculnya berbagai Filsafat (Darsana)
dalam melaksanakan ajaran Weda. Sejalan dengan itu muncul pula Itihasa dan
Purana

yang sangat digemari oleh masyarakat India sebagai sarana

pengajaran weda kepada umatnya. Sejak munculnya jaman Itihasa dan Purana

pemujaan Tuhan dalam wujud Trimurti menjadi sangat populer di India yang
kemudian menyebar ke pelosok dunia yang diantaranya ke Indonesia

B. Masuknya Agama Hindu ke Indonesia


Data yang memuat secara rinci masuknya agama Hindu ke Indonesia
belum dijumpai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tetapi dari beberapa
kitab di bawah ini menyebutkan antara lain :
1. Kitab Ramayana yang digubah sebelum masehi pada bagian
Kiskinda Kanda menyebutkan bahwa Sugriwa dalam usaha
mencari Dewi Sita memerintahkan pada Wenara pengikutnya
untuk pergi ke Jawadwipa maupun Swarnadwipa (Sumatra). Kitab
ini menunjukkan bahwa sebelum masehi sudah ada hubungan
antara India dengan Indonesia.
2. Kitab Periploustes Erythastolesses yang ditulis oleh nahkoda
Yunani merupakan buku pedoman berlayar di Samudra Indonesia
(lautan Erythrasa) buku ini menyebutkan adanya hubungan India
dengan wilayah yang bernama chryse (emas) yang mengingatkan
kita pada Swarnadwipa (pulau emas).
3. Kitab Giographika Hipegesis disusun oleh seorang Yunani di
Iskandaria pada abad ke 2 masehi menyebutkan beberapa tempat
seperti Ahryse Chora (negeri perak), Chryse chora (negeri emas),
Chryse Chersonesus (Semenjanjung emas) dan juga menyebutkan
tempat bernama Jabadion yang dalam bahasa Sanskerta sama
dengan Jawadwipa.

Dengan data tersebut diatas jelaslah bahwa India dengan Indonesia


telah berhubungan sejak lama. Tentang masuknya agama Hindu ke Indonesia
disebutkan dari beberapa teori sebagai berikut :
a. Mookerjee (ahli India) tahun 1912 menyatakan bahwa masuknya
pengaruh Hindu ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan
armada yang besar. Setelah sampai di pulau Jawa mereka mendirikan

koloni dan membangun kota-kota yang langsung mengadakan hubungan


dengan Idia dalam kontak inilah terjadinya penyebaran agama Hindu ke
Indonesia.
b. Moens (ahli Belanda) menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat
besar peranannya dalam proses kolonisasi melalui proses ini pula pengaruh
Hindu menyebar ke Indonesia.
c. Krom (ahli Belanda) dengan teori Wesya dalam bukunya Hindu Javance
Gesehindenis bahwa diterimanya pengaruh Hindu oleh Indonesia melalui
penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh pedagang (waisya)
India.
d. Bosch (ahli Belanda) menyatakan bahwa dalam penyebaran kebudayaan
Hindu ke Indonesia peranan kaum Brahmana sangat berperan.
e. Dari data peninggalan sejarah di Indonesia disebutkan Rsi Agastya
menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia.

C. Penyebaran Agama Hindu di Indonesia


Dengan demikian penyebaran agama Hindu ke Indonesia terjadi
melalui beberapa cara dan damai. Para ahli sejarha berkesimpulan bahwa
masukan agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi sekalipun
tidak ada bukti tertulis atau benda-benda purbakala dari kehidupan pada masa
itu. Kehidupan keagamaan di Indonesia baru daapt diketahui dengan jelas
pada abad ke-4 masehi dengan diketemukannya tujuh Yupa peninggalan
kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Pada dua dari tujuh yupa tersebut
menyatakan bahwa Yupa tersebut didirikan untuk memperingati Yadnya yang
dilaksanakan oleh raja Mulawarman melakukan Yadnya pada suatu tempat
yang bernama Vaprakeswara (tempat pemujaan Dewa Siwa).
Setelah di Kutai ternyata berkembang ke Jawa Barat pada abad ke 5,
hal ini dibuktikan oleh tujuh prasasti seperti prasasti Cearuteum, Kebonkopi,
Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan prasasti Lebak. Prasasti tersebut
memakai huruf palawa dengan bahasa sansekerta. Dari keterangan tersebut
dapat dipastikan bahwa raja Purnawarman adalah raja Tarumanegara

bernama Hindu, sesuai dengan isi prasasti Cearutereum dekat Bogor


menyebutkan Purnawarman adalah raja gagah berani dan lukisan tapak kaki
Dewa Wisnu. Kesaksian lain yang membuktikan kehidupan agama Hindu di
Jawa Barat ialah diketemukannya arca perunggu di Cibuaya yang memakai
atribut Dewa Siwa yang diperkirakan dibuat pada masa Tarumanegara.
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa raja Purnawarman adalah
penganut agama Hindu dengan pemujaan Tri Murti.
Penyebaran agama Hindu selanjutnya bergeser ke Jawa Tengah,
kehidupan dan perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah dibuktikan
dengan adanya prasasti Tukmas di lereng Gunung Marbabu. Prasasti ini
berbahasa Sansekerta memakai huruf palawa dengan tipe lebih muda daripada
prasasti Purnawarman. Berdasarkan tipe hurufnya dinyatakan berasal dari
tahun 650 Masehi. Prasasti Tukmas ini berisi gambar atribut Tri Murti yaitu :
Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga teratai mekar. Kesaksian yang
membuktikan agama Hindu di Jawa Tengah ialah prasasti Canggal dengan
berbahasa sansekerta dan memakai huruf pallawa. Dari isi prasasti ini dapat
diketahui bahwa prasasti Canggal dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun
654 Saka dengan Candra Sengkala berbunyi Sruti Indrya Rasa. Keseluruhan
prasasti itu berbentuk syair terdiri dari 13 bait dengan tiga diantaranya memuat
pujaan terhadap Dewa Siwa, satu bait untuk Dewa Wisnu dan satu bait untuk
Dewa Brahma. Di samping itu perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah
dibuktikan pula oleh kelompok candi Arjuna di daratan tinggi Dieng dekat
Wonosobo dari abad 8 masehi. Pada kelompok candi di Dieng ini dijumpai
pula candi Srikandi yang dindingnya dihiasi pahatan arca Dewa Tri Murti
yang ditempatkan pada sebuah candi, dibagian lain dijumpai pula di candi
Prambanan yang didirikan pada tahun 856 Masehi. Disini dijumpai pula arca
Dewa Tri Murti dengan Ciwa sebagai Mahaguru (Agastya). Demikianlah
kehidupan agama di Jawa tengah telah hidup dan berkembang dari abad ke 7
sampai abad ke 9 pemujaan terhadap Dewa Ciwa yang menonjol.
Lama kelamaan agama Hindu menyebar ke Jawa Timur yang dibuktikan
dengan diketemukannya prasasti Dinaya dekat kota Malang berbahasa

Sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuna yang berangka tahun 682 saka
diketahui bahwa pada tahun 760 Masehi raja Simha dari kerajaan Kanjuruhan
mengadakan upacara besar yang dilaksanakan oleh para ahli veda, para
Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Bangunan suci sebagai
peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa timur ialah candi Badut di daerah
Malang. Dengan berakhirnya Kanjuruhan muncullah dinasti Isana Wansa yang
mengemban tugas kehidupan tugas kehidupan agama Hindu dengan Mpu
Sindok (929-947) sebagai peletak dasar kerajaan. Mpu Sindok bergelar Sri
Isanottunggadewa Wijaya yang artinya raja yang sangat memuliakan
pemujaan terhadap Dewa Ciwa setelah Mpu Sindok wafat diganti oleh
Dharma Wangsa pada masa pemerintahan raja ini disusun sebagai kitab
Hukum Hindu yang bernama Purwadigama

yang bersumber dari Weda

Smerti. Selanjutnya yang memerintah kerajaan Medang Kemulan ialah


Airlangga (1019 1042) yang ternyata juga penganut Hindu yang setia
terbukti dengan diarcakannya Airlangga sebagai Wisnu di atas Garuda.
Setelah

Wamsa

Isana

berakhir

muncullah

kerajaan

Kediri

sebagai

pengembang agama Hindu (1042 - 1222) pada jaman ini banyak karya sastra
Hindu yang dihasilkan oleh pujangga seperti Kitab Smaradhana, Bharatayuda
dan Kresnayana. Perkembangan agama Hindu selanjutnya adalah pada masa
kerajaan Singosari dari tahun 1222 1292 sebagai raja pertamanya adalah Ken
Arok yang bergelar Bhatara Guru sekaligus membuktikan Ken Arok memeluk
agama Hindu dan peninggalan yang lain dibuktikan dengan didirikannya
Candi Kidal, Candi Jago dan Candi Singosari. Pada abad ke 13 kekuasaan
Singosari berakhir kemudian muncullah kerajaan kerajaan Majapahit dengan
bukti didirikannya candi Panataran yang merupakan bangunan suci agama
Hindu terbesar di Jawa Timur dan kitab negara kertagama yang menguraikan
tentang kerajaan Majapahit.

D. Penyebaran Agama Hindu di Bali


1. Kepercayaan Pra Hindu
Sebelum mendapat pengaruh Hindu di Bali telah memiliki sistem
kepercayaan antara lain :
a. Kepercayaan kepada gunung sebagai alam arwah yaitu tempat
bersemayam roh nenek moyang.
b. Kepercayaan adanya alam nyata dan alam tidak nyata yang sebagai
tempat roh orang meninggal.
c. Kepercayaan setelah mati ada kehidupan di alam lain dan akan
menjelma ke alam nyata.
d. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang akan dapat
diminati perlindungan.

2. Masuknya Agama Hindu di Bali


Kedatangan Hindu di Bali merupakan kelanjutan dari perkembangan
Hindu dari Jawa Timur yang mulai masuk ke Bali pada abad ke 8, dengan
bukti, arca ini bertipe sama dengan arca Ciwa di Dieng Jawa Tengah yang
berasal dari abad ke 8. Bersamaan dengan masuknya agama Hindu ke Bali
abad ke 8 ternyata agama Budha Mahayana datang ke Bali dengan bukti
peninggalan berupa stupika-stupika tanah liat di Pejeng Gianyar, kedua
agama ini hidup bersampingan dengan aman dan tertib.

3. Masa Bali Kuno


Menurut uraian lontar-lontar di Bali terkenal Mpu Kuturan sebagai
pembaharu agama Hindu di Bali, beliau datang ke Bali pada abad ke 11
pada masa pemerintahan Udaya dan penerusnya. Kedatangan Maharesi
Kuturan membawa pembaharuan yang sangat besar, sekte-sekte yang
hidup sebelumnya dapat disatukan pada pemujaan melalui Kahyangan
Tiga dan Sanggah Kemulan seperti yang termuat dalam Usana Dewa,
konsepsi pemujaan terhadap Tri Murti di masyarakatkan pada desa
pakraman melalui kahyangan Desa. Sebagai penghormatan atas jasa.

Beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang pada kebanyakan pura di


Bali sedangkan sebagai tempat moksa Beliau didirikanlah pura Silayukti.

4. Masa Bali Pertengahan


Pada masa ini ekspidisi Gajah Mada tahun 1343 ke Bali sampai akhir
abad ke 19 masih terjadi pembaharuan dalam pengamalan ajaran agama.
Kehidupan agama pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong
merupakan jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirarta ke Bali
pertengahan abad ke 16, Beliau sangat berjasa dalam bidang sastra, agama
dan arsitektur tempat-tempat suci juga banyak dibangun seperti pura
Rambut Siwi, Peti Tenget, Dalem Gandamayu (Klungkung). Konsepsi KeEsaan Tuhan mulai dirintis dengan membuat bangunan Padmasana. Beliau
juga mengajarkan ukuran nista, media, utama dalam upakara yang
disesuaikan dengan kemampuan dan keikhlasan umat. Untuk menghormati
jasa Beliau dibangunlah beberapa pura seperti pura Pulaki, Tanah Lot,
Puncak Sangkur, Air Jeruk, Sakenen dan Ponjok Batu.

5. Masa Bali Baru


Setelah runtuhnya kerajaan di Bali kehidupan agamanya kurang ada
yang mengayomi demikian keagamaan di Bali diatur oleh Desa Adat dan
Geria-geria (Sulinggih) secara lokal dan berbeda-beda mempengaruhi
kehidupan agama sehingga terjadi perbedaan dan keanekaragaman teknis
dalam mengamalkannya.
Hal inilah masih ada sampai sekarang sehingga muncullah istilah
desamawacara yaitu masing-masing desa mempunyai tata cara tersendiri.
Dalam usaha pembinaan umat Hindu di Bali muncullah organisasiorganisasi keagamaan seperti : Suita Gama Tirta tahun 1921 di Singaraja,
Sara Poestaka 1923 di Ubud Gianyar, Surya Kanta tahun 1925 di
Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwada Sastra
Sabha tahun 1950 di Denpasar, Yayasan Dwijendra

tahun 1959 di

Denpasar dan banyak lagi organisasi keagamaan yang turut dalam

pembinaan umat. Pada tanggal 23 Pebruari 1959 beberapa organisasi


keagamaan itu mengadakan pertemuan membentuk Majelis Agama Hindu,
kemudian tanggal 17 sampai 23 Nopember 1961 umat Hindu berhasil
menyelenggarakan Dharma Asrama para sulinggih di Campuhan Ubud
yang menghasilkan Piagam Campuhan yang merupakan titik awal dan
landasan pembinaan umat Hindu. Tanggal 7 sampai 10 Oktober 1964
diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis Keagamaan
yang bernama Parisada Dharma Hindu Bali.

BAB II
SUMBER AJARAN AGAMA HINDU
Sasaran belajar
-

Mahasiswa dapat menjelaskan sumber-sumber ajaran Agama Hindu.


Mahasiswa memahami pengertian Sruti
Mahasiswa memahami pengertian Smerti
Mahasiswa memahami pengertian Upadewa

A. Sruti
Semua agama mempunyak kitab suci. Kitab suci adalah kitab yang
dipandang suci oleh umat agama itu. Kitab ini dianggap suci dan dinyatakan
kitab suci karena di dalamnya memuat sabda-sabda suci. Sabda ini dapat
berupa wahyu atau sruti dapat pula merupakan gubahan kembali yang
maksudnya adalah tulisan ulang yang isinya merupakan bagian-bagian yang
penting. Setiap agama mempunyai kitab suci yang menjadi sumber keyakinan
dan kepercayaan kepada Tuhan disamping sumber etika dari tingkah laku
seseorang. Kitab suci agama Hindu adalah Weda yang memuat wahyu yaitu
suara Tuhan yang diterima secara gaib melalui Maharesi-maharesi. Karena
kesucian bathin beliau mampu melihat apa yang tidak kelihatan dan
mendengar suara-suara gaib yang tidak dapat didengar oleh manusia biasa dan
telinga biasa. Wahyu di dalam bahasa sansekertanya dinamakan sruti, jadi
tidak sembarangan sabda dapat dikatakan wahyu, ini harus diuji kebenaranya
misalnya kita harus mengetahui dan siapa penerimanya, bagaimana
riwayatnya, sifat-sifatnya dan banyak lagi yang harus kita ketahui terlebih
dahulu menguji keberannya. Ada ribuan wahyu yang diturunkan melalui
berbagai orang-orang yang telah diuji kebenarannya dan tempat wahyu
diturunkan tidak sama, wahyu diturunkan di berbagai tempat di dunia ini dan
umumnya memberikan keterangan dan petunjuk kepada manusia agar berbuat
baik. Bahkan kadang-kadang wahyu itu memuat tentang penjelasan apa yang
belum dialami oleh manusia. Karena wahyu amat banyak dan tersebar maka

timbul usaha manusia untuk mengumpulkan wahyu-wahyu itu. Bhagawan


Abyasa dengan para sisyanya mengumpulkan semua wahyu-wahyu yang ada
pada waktu itu. Ada empat bidang yang dikumpulkan kemudian kita
menjumpai empat himpunan yang disecut Catur Samhita seperti :
-

Rg Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Pulaha

Sama Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Jamini

Yajur Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Waisampayana

Atharwa Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Sumantha


Dalam ajaran agama Hindu orang hanya menyebutkan Catur Weda

yang secara garis besarnya isi Weda itu dijabarkan dalam 3 sifat, yaitu :
-

Mantra isinya terdiri dari empat himpunan (samhita) yaitu Rg Weda


Samhita, Sama Weda Samhita, Yajur Weda Samhita dan Atharwa Weda
Samhita.

Brahmana adalah himpunan doa-doa dan tuntunan yang dipergunakan


untuk keperluan upacara yajna, ceritra-ceritra dan simbul-simbul yang bisa
dipergunakan untuk memantapkan rasa hati percaya kepada Tuhan.

Upanisad adalah ajaran yang memuat soal teori mengenai Tuhan dan
ciptaannya.

B. Smerti (Wedangga)
Disamping kitab suci yang tergolong Sruti Agama Hindu juga
mempunyai kitab suci pelengkap yang disebut kitab Smerti (Wedangga), kitab
ini dinamakan pelengkap yang disebut kitab pelengkap dari kitab Sruti agar
mudah dimengerti. Pada umumnya sebagai pelengap memuat bagian-bagian
saja. Kitab Smerti Weda tersebut memuat bagian-bagian antara lain : Ilmu
Ponetika (Siksa), bahasa (Wyakarana), guru lagu (Chanda), arti kata yang
sama atau lawan kata (Nirukta), ilmu astronomi (Jyotikasa) dan Kalpa (tata
cara melakukan yajnya, penebus dosa dan lain-lain).
Dari pembagian itu jelas betapa luasnya bidang smerti karena isinya bersifat
kuhusus maka pembahasannya lebih terarah dan terbatas. Umumnya kitab
pelengkap ini memuat tafsir umum mengenai apa yang terdapat pada para

maha Resi yang telah mendalami kitab Sruti. Karena itu melihat dari
penulisannya kitab ini disebut kitab Smerti yang memuat apa yang diingat
oleh para maha Resi. Adapun Kitab Smerti yang paling menonjol adalah
Manawadharmasastra.

C. Upaweda
Istilah Upadewa terdiri dari dua kata yaitu Upa yang berarti dekat atau
sekitarnya dan Weda berarti kitab suci Weda jadi kitab Upaweda adalah kitab
yang ada kaitannya dengan Weda. Adapun kitab-kitab itu seperti :
1. Itihasa, adalah kitab epos yang memuat sejarah yang sifatnya masih umum
dan mitologis karena disini diceritakan hubungan kehidupan dunia dan
alam sorga.
2. Purana adalah kitab yang memuat cerita kuno.
3. Dharmasastra adalah kitab yang memuat tentang empat tujuan hidup
manusia yang antara lain dharma, arta, kama dan moksa.
4. Kamasastra adalah kitab yang membahas tentang aestika dalam kehidupan
manusia.
5. Ayurweda adalah kitab yang isinya menyangkut bidang ilmu kedokteran.
6. Gandarwaweda adalah kitab yang isinya membahas tentang ilmu seni.

BAB III
SRADDHA (KEIMANAN)

Sasaran belajar

Menjelaskan tentang Panca Sraddha

Melaksanakan Panca Sraddha dalam kehidupan sehari-hari.

Mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada satu garis yang dijadikan ukuran keimanan seseorang beragama
Hindu. Kitab suci weda yang menjadi pegangan dan pedoman dasar bagi umat
Hindu memuat banyak hal penting termasuk keimanan atau sraddha. Kata sraddha
berarti kepercayaan dan juga berarti upacara pemujaan kepada arwah leluhur yang
diwajibkan bagi setiap umat Hindu. Kepercayaan atau keimanan di dalam ajaran
agama Hindu dikenal dengan istilah :
A. Panca Sraddha
Panca Sraddh adalah lima macam kepercayaan atau lima macam
keimanan yang antara lain :
1. Keyakinan Terhadap Adanya Tuhan (Widhi Tattwa)
Yang menyebabkan timbulnya keyakinan di dalam diri terhadap
adanya Tuhan melalui tiga cara yaitu :
a. Agama Pramana yaitu keyakinan yang timbul berdasarkan
petunjuk-petunjuk atau ucapan dari orang yang dapat dipercaya
seperti Maha Resi dan tokoh agama. Dalam hal ini keyakinan
timbul berdasarkan dengan membaca kitab-kitab suci Weda dan
mendengarkan petuah-petuah dari orang yang wajar dipercaya.
Oleh karena itulah Weda yang merupakan wahyu Tuhan maka
kesaksian Wedalah yang sempurna. Ada sloka yang menyatakan
keyakinan berdasarkan agama pramana seperti :
-

Janma dhyasya yatah (Brahma Sutra 1.1.2)


Artinya :
Tuhan ialah dari mana asal semua ini.

b. Pratyaksa Pramana yaitu dengan langsung merasakan atau


mengalami

adaNya.

Beliau

dirasakan

secara

gaib

dan

mengherankan Tuhan melimpahkan ajaran-ajaran suci untuk


membimbing umat manusia mencapai kesempurnaan lahir bathin.
Hanya orang beriman serta suci secara lahir bathin dapat
merasakan getaran-getaran Tuhan secara gaib. Para Maha resi
adalah orang suci yang dapat mengalami dan merasakan getaran
Tuhan secara langsung. Tuhan membuka tabir kebesaran dan
keagunganNya dihadapan para resi. Bagi para resi Tuhan tidak
lagi menjadi obyek keyakinan lagi melainkan pengalaman. Di
dalam Arjuna Wiwaha diterangkan bahwa dengan kesucian bathin
seseorang dapat merasakan wujud Tuhan.

Sasimbha haneng ghata mesi banyu


ndan asing suci nirmala mesi wulan
iwa mangkana rakwa ketang kedadin
nidang embeki yoga heting sakala (arjuna wiwaha, ii.1)

Artinya :

Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air


di dalam air yang suci jernih terdapatlah bulan
demikian konon dikau pada mahluk pada
orang yang melakukan yoga engkau menampakkan diri

Sebagian besar umat biasa yakin berdasarkan agama atau sabda pramana
dan anumana pramana serta sebagian kecil saja yang yakin berdasarkan
pratyaksa pramana.
Ekam Evadvityam Brahman (hanya ada satu Tuhan Brahman, tiada
duanya), Ekam sat viprah bahuda vadanti (hanya ada satu hakekat Yang

Maha Esa Agung para arif bijaksana menyebutkan dengan berbagai


gelar).

Demikianlah disebutkan di dalam Mahavakya yang berarti ungkapan


agung atau kitab suci Weda. Tuhan adalah Maha Esa tetapi disebut dengan
berbagai gelar Brahman, purusa menurut kitab suci Weda. Para pendeta
memuja Tuhan dengan doa pujiannya setiap hari dengan gelar Siwa yang
berarti Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Mulia, atau Narayana, Tuhan
yang Maha Esa dan Maha Kuasa pelindung kerohanian dan kesucian yang
disebut Dharma di dalam ajaran Agama Hindu seperti doa di bawah ini :

Om bhur bvah svah


tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat

Artinya :
Oh Tuhan (yang memenuhi) dunia (bhur), udara (bvah) dan akasa
(svah), Tuhan yang Maha Agung dan Maha cemerlang semoga kami
menerima suciMu yang gemilang semoga dikau membimbing pikiran
kami untuk mencapai kebenaran.

Om narayanad evedan sarvam


yadbhutam yasca bhavyam
niskalo nirjano nirvikalpo
nirakhyatah suddho devo eko
narayanah na dvityo sti kascit

Artinya :

Dari narayana, seluruh (isi alam semesta) ini muncul baik yang telah
ada maupun yang akan terjadi. Dia Maha Gaib, tiada ternoda, tidak
dapat dibayangkan, tidak terungkapkan (dengan kata-kata wujudNya).
Narayana, Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Esa, tiada duanya.

Demikian sebagian dari doa pujian para pendeta atau umat Hindu
mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa, pelindung kerohanian dan
kesusilaan atau dharma, Yang Maha Pengasih, penyayang dan
pengampunan, namun dewa-dewa bukanlah dewa tetapi perwujudan atau
personifikasi dari sifat-sifat kemahakuasaan atau keagungan Tuhan yang
mengatur alam semesta, dunia dan akhirat dengan segala isinya.
Tuhan hanya satu tetapi umat Hindu memberi gelar atau menyebutkan
Tuhan (Hyang Widhi) itu dengan berbagai nama sesuai dengan fungsinya
atau swabawanya masing-masing seperti :
a. Tri Murti adalah tiga manifestasi atau perwujudan dari Tuhan, seperti :
-

Dewa Brahma adalah sebutan Tuhan dalam perwujudannya


sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya.

Dewa Wisnu adalah sebutan Tuhan dalam perwujudan sebagai


pemelihara atau pelindung.

Dewa Ciwa adalah sebutan Tuhan dalam perwujudannya sebagai


pengembalian ke asal (pralina)

Sang Hyang Tunggal


Sang Hyang Tunggal adalah Tuhan yang bersifat Maha Esa, Maha
Tunggal tidak ada duanya atau tidak ada bandingannya (Ekam Eva
Advityam Brahman).

Sang Hyang Guru


Sang Hyang Guru adalah Tuhan yang merupakan guru dari seluruh
alam dan isinya.

Sang Hyang Sangkan Paran


Sang Hyang Sangkan Paran adalah Tuhan yang menjadi asal atau
tujuan kembalinya seluruh atman. Sangkan artinya asal permulaan,

Paran artinya tujuan kembali kepada seluruh alam dan isinya


termasuk mahluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan).

Sang Hyang Jagatnatha


Sang Hyang Jagatnatha adalah fungsi Tuhan yang menjadi raja dari
seluruh alam semesta beserta isinya.

Sang Hyang Parameswara


Sang Hyang Parameswara adalah Tuhan yang memang pimpinan
tertinggi terhadap seluruh alam.

Sang Hyang Tri Loka Sarana


Sang Hyang Tri Loka Sarana adalah Tuhan sebagai pelindung Tri
Buana (bhur loka, bhuwah loka, swah loka).

Sang Hyang Acintya


Sang Hyang Acintya adalah keadaan Tuhan yang tidak terbatas itu
tidak dapat dipikirkan oleh manusia yang mempunyai pikiran
terbatas. Karena seorangpun tidak ada yang dapat mengerti tentang
keadaan yang sebenarnya.

Sang Hyang Paramatma


Sang Hyang Paramatma adalah Tuhan dalam keadaan sebagai atma
yang tertinggi atau jiwa yang maha besar menjiwai seluruh
mahluk.

Sang Hyang Paramakawi


Sang Hyang Paramakawi adalah gelar Tuhan sebagai perencana
atau pengrang tertinggi.

Sang Hyang Wenang


Sang Hyang Wenang adalah Tuhan sebagai pemegang wewenang
dan kekuasan mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan
alam.

Sang Hyang Tuduh


Sang Hyang Tuduh aadalah gelar Tuhan sebagai pemegang nasib
makhluk terutama manusia.

Sang Hyang Parama Wisesa

Sang Hyang Parama Wisesa adalah gelar Tuhan dalam keadaan


sebagai pengusasa tertinggi yang menguasai segala-galanya baik
yang nampak maupun yang gaib baik yang sudah ada maupun yang
akan ada.

Brahman
Brahman adalah sebutan Tuhan dalam Upanisad sebagai pencipta
alam semesta ini. Di dalam Weda disebut Icwara dalam Whraspati
Tattwa disebut Parama Ciwa dan lontar Puwa Bhumi Kamulan
disebut Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun namaNya tetapi yang
dimaksud adalah Beliau yang merupakan asal mula, pencipta dan
tujuan

akhir

dari

seluruh

alam

semesta

ini.

Di

dalam

perwujudannya sebagai Brahma pencipta, Wisnu pemelihara dan


Ciwa sebagai pengembali keasalnya disebut dengan Tri Murti. Tri
Murti adalah tiga perwujudan dan tiga kemahakuasaan Tuhan yang
disebut dengan Tri Cakti yaitu Utpeti, Stiti dan Pralina. Tuhan
Ciwa Mahadewa yang Maha Esa dan Maha Kuasa disimbulkan
dengan aksara Om (A, U, M) yang disebut juga Omkara atau
Pranawa. Oleh karena itu tiap-tiap mantra itu dimulai dengan Om,
sebagaimana inti kekuatan doa mantra itu hendaknya dapat
meggetarkan dan menggerakkan alam semesta.
Tuhan yang kekal dan abadi tiada awal dan akhir tidak ada yang
menciptakan atau melahirkan melainkan menciptakan atau
melahirkan diri sendiri. Oleh karena itu ia disebut Swayambhu.
Selain dari pada Trisakti Tuhan juga mempunyai empat sifat maha
kuasa yang disebut catur Cakti atau Cadu sakti yaitu wibhu Cakti
(maha ada), Prabhu Cakti (maha kuasa), Jnana Cakti (maha tahu)
dan Karya Cakti (maha karya). Selain dari ke empat cakti tersebut
Tuhan juga mempunyai delapan mahakuasa yang disebut Asta
Cakti atau Asta Eswarya antara lain :
Anima (sifat yang sangat halus).
Laghima (sifat yang ringan)

Mahima (maha besar)


Prapti (mencapai segala tempat)
Prakamya (segala kehendak selalu terjadi)
Icitwa (merajai segala-galanya)
Wacitwa (paling kuasa)
Yatrakamawasaayitwa

(tidak ada yang dapat menentang

kondratnya).
Kedelapan sifat keagungan Tuhan Yang Maha Esa ini disimpulkan
dengan singasana teratai yang berdaun delapan (astadala) lambang
delapan sifat kemahakuasa Tuhan yang menguasai dan mengatur
alam semesta dan mahluk semua.
Selain hal tersebut di atas Tuhan adalah sebagai pelindung Dharma
atau agama demi untuk mencapai kesempurnaan berupa Dharma
atau budi luhur yang memberi kesejahteraan umat manusia,
kedelapan roh dari samsara Tuhan mewahyukan ajaran kerohanian
kedunia. Bagi umat yang menempuh jalan bhakti marga Tuhan
memegang peranan penting karena Tuhan dipergunakan sebagai
kiblat pujaan sebagai Icwara catur bhuya, Tuhan yang bertangan
empat yang melambangkan pengampunan, keadilan, kasih sayng
dan pelindung, untuk memohon restu kepadaNya hendaknya Ia
merahmati umatNya yang lemah dengan laksana dan budi yang
tinggi dan melindungi mereka dari dosa dan malapetaka. Selain itu
di dalam agama Tuhan menjadi saksi Agung pelindung keadilan
rohaniah yang bergelar Yamadipati atau Dharma dan yang dapat
mengetahui segala gerak langkah semua makhluk mengadili roh
manusia dengan menjatuhi hukuman niskala terhadap yang
berdosa, di akhirat, kini dan penjelmaan yang akan datang dan
mengampuni yang tobat serta merahmati yang beramal dengan
kebahagiaan lahir bathin. Hyang Widhi Wasa sebagai pelindung
Dharma adalah pengendali kalbu semua makhluk mengendalikan
hati umat manusia untuk menempuh jalan yang lurus guna

mencapai kesempurnaan, mencapai dharma, mendapat kebahagiaan


kesejahteraan makhluk dan manunggalnya atma dengan Parama
Ciwa atau Moksa.

b. Dewa
Sang Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa dan perkataan Dewa
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu urat kata Div yang artinya sinar
(nur). Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi yang
memberikan kekuatan suci guna untuk mengendalikan alam semesta.
Dewa-dewa dihubungkan untuk satu aspek tertentu dan khusus
phenomena alam semesta ini. Tiap-tiap aspek dikuasai oleh satu dewa
atau lebih dengan ciri-ciri dan lambang khusus pula. Tiap-tiap dewa
mempunyai

kekuatan

yang

tidak

terpisahkan

dari

padanya

sebagaimana halnya suami istri. Saktinya diwujudkan dalam bentuk


Dewi yang dianggap istri dewa, sebab dewa tidak akan mempunyai
kekuatan sesuai dengan fungsinya bila tidak disertai dengan kekuatan
saktinya.

c. Dewata
Istilah dewata dipegunakan Dewa yang lebih tinggi kedudukan dari
dewa yang lain. Dewata adalah Dewa dari para dewa di dalam agama
Hindu dewa-dewa itu merupakan sinar-sinar sucinya Hyang Widhi
yang banyak sekali jumlahnya. Hyang Widhi diumpamakan sebagai
Matahari sedangkan dewa itu merupakan sinar matahari tidak ada
secara otomatis sinar-sinar tersebut tidak ada. Kita dapat mengatakan
matahari itu panas tetapi matahari belum pernah menyentuh secara
langsung sedangkan yang langsung menyentuh adalah hanya sinarsinar.

d. Bhatara
Bhatara adalah prabhawa atau manifestasi dari kekuatan Hyang Widhi
untuk memberi perlindungan terhadap ciptaannya. Kata Bhatara
berasal dari kata bhatr yang artinya pelindung dan kadang-kadang
Bhatara sebagai Raja atau yang dipertuan. Istilah Bhatara sebagai
pelindung sering timbul pengertian baru dalam masyarakat Hindu
dimana kadangkala raja-raja jaman dahulu yang berkuasa penuh diberi
gelar Bhatara karena bersifat melindungi antara kata dewa dengan
Bhatara sering pemakaiannya diartikan sama. Misalnya dewa Wisnu
disebut juga Bhatara Wisnu, dewa Ciwa juga disebut Bhatara Ciwa
karena Beliau juga melindungi makhluk. Jadi jelaslah dewa dan
Bhatara itu adalah merupakan sinar suci atau manifestasi dari Tuhan.

e. Awatara
Yang dimaksud awatara adalah Tuhan yang turun kedunia yang
menjelma sebagai manusia. Beliaulah inilah Guru dari segala Guru.
Apakah tanda-tanda yang memungkinkan kita untuk mengenal seorang
awatara ?. Yang jelas adalah sidhi yang kekuatannya adikodrati atau
luar biasa tidak bisa diikuti oleh pikiran.
Beliau bisa membuat apa saja semuanya tanpa belajar tanpa
menggunakan mantra. Seorang Maha Rsi yang sudah tinggi
tingkatannya bisa juga membuat keajaiban tetapi kalau sering
dipertunjukkan akan punah lama-kelamaan akan hilang. Seorang
awatara tidak demikian seorang awatara tidak perlu belajar yoga
kekuatannya sudah dibawa sejak lahir dan tidak punah karena sidhi itu
adalah alamnya walaupun sering digunakan. Sidhi seorang awatara
tidak bermotif pamer dan mencari keuntungan materi maupun nama
dan selalu digunakan untuk yang bermanfaat.
Awatara yang dikenal dalam agama Hindu adalah sepuluh awatara
Wisnu yang terkenal adalah Rama dan Sri Kresna. Seorang awatara
bisa melihat masa lalu masa sekarang dan masa yang akan datang bisa

disamakan dengan manusia biasa. Seorang awatara baru turun ke dunia


kalau keadaan sudah buruk, kejahatan merajalela hukum agama
dilanggar dan itulah jaman kali. Guru-guru spiritual diturunkan oleh
Tuhan, guru-guru spiritual itu adalah orang-orang suci yang mendapat
tugas membimbing umat manusia. Jika di dunia terjadi gangguan dan
penyimpangan-penyimpangan kecil maka diturunkanlah orang suci
yang mendapat sinar kekuatan dari Tuhan untuk memperbaiki dunia
ini. Kalau kejahatan yang lebih besar maka diturunkanlah orang suci
yang lebih tinggi dan jika sudah jaman kali Tuhan sendiri turun
menjadi manusia dan disebut awatara. Jika ada kerusuhan kecil maka
cukup dikirim agen polisi untuk mengatasi keadaan jika yang datang
perampok maka dikirimkanlah kapten polisi dan jika yang membuat
kerusuhan itu adalah satu batalion pemberontak maka jendral polisi
yang dikirim.
Dalam Bhagawadgita disebutkan :
yada-yada hi dharmasya
gianir bhavati bharata
aghyutthanam adharmasya
tada tmanam srijama aham bhag. iv.6.
artinya :
Manakala Dharma hendak sirna dan adharma hendaknya
merajalela saat itu wahai keturunan Bharata, Aku sendiri
turun ke dunia.
Mengapa Tuhan harus turun ke dunia berwujud manusia, bukanlah
Tuhan cukup dari tempat Beliau memusnahkan kejahatan itu ?. Jika
raning pohon dihinggapi benalu cukup rantin itu saja yang dipotong
tetapi jika seluruh batang pohon yang dihinggapi benalu apakah
seluruh pohon itu ditebang ?. Demikian pulalah jika diseluruh dunia
kejahatan sudah merajalela maka seorang awatara akan turun
membersihkan dunia ini dengan tidak perlu memusnahkan dunia ini.
Mengapa Tuhan harus berwujud manusia ?, agar bisa mendekati dan

membimbing manusia serta bisa dimengerti oleh manusia kata-kata


isyarat serta petunjuk Beliau, seperti jika ada seseorang anak yang
tenggelam maka si penolong harus menceburkan diri ke air untuk
dapat menolong orang yang tenggelam tersebut. Karena seorang
awatara hidup sebagai manusia biasa, orang sering tidak menyangka
bahwa Beliau awatara. Demikianlah Sri Krisna masih kanak-kanak,
lari kesana kemari dengan nakalnya maka Yosada ibu angkatnya
berusaha untuk mengikat si anak pada suatu tonggak dengan seutas
tali.
Diambilnya tali tetapi kurang panjang maka diambillah tali yang lebih
panjang lagi tidak cukup dan akhirnya setelah tidak ada tali yang
cukup untuk mengikat si anak kecil itu adalah awatara Tuhan.
2. Keyakinan Terhadap Adanya Atma
Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat maha ada maha kekal tanpa awal
dan akhir (wyapaka nirwikara). Di dalam Weda Parikrama dikatakan
sebagai berikut :
Eko Devah Sarvabhutesu Sarvavyapi Sarvabhutaratma karmudhyaksah
sarvabhgutadi ceto kavala Nirgunasca.
Maksudnya :
Satu That yang tersembunyi di dalam setiap mahkluk yang mengisi
semuanya yang merupakan jiwa bathin semua makhluk. Raja dari semua
perbuatan yang tinggal dalam setiap makhluk, saksi yang hanya terdapat
dalam pikiran saja.

Percikan dalam tubuh manusia disebut Atma atau Jiwatma


Di dalam upanisad kedua, 8, ditandaskan :
Ia (Atman) adalah Brahman Tuhan pada diri manusia dan juga pada
matahari alam semesta yang mana sebenarnya adalah satu. Atma adalah
Brahma. Sebagai yang telah kita ketahui bahasa yang disebut Bhuana Alit
itu ialah diri kita sendiri. Kita yakin dan harus yakin bahwa kita adalah Ia
dari Atma, titisan ini menitis dari asalnya yang mulanya Nirguna

kemudian memasuki saguna yang disebut Perdana atau Prakerti yang biasa
kita sebut jiwa raga atau badan jasmani. Atman disebut juga jiwa karena ia
memberikan hidup raga itu. Jiwa yaitu sesuatu yang hidup dan memberi
nama rupa. Jiwatma disebut nama, raga disebut rupa tegasnya jiwatma
itulah yang diberi nama si A, B, C dan lain-lainnya. Apabila jiwatma itu
hilang dari raganya disebut mati. Yang mati itu bukan si A, B C melainkan
raga itu karena ditinggal oleh Atmanya. Ramuan raga (tubuh) terdiri dari
Zat Panca Maha Bhuta yaitu :
a. Zat padat/pertiwi seperti tulang belulang dan daging,
b. Zat apah seperti darah, lemak, kelenjar-kelenjar dan air
c. Teja atau geni seperti panas.
d. Bayu seperti napas.
e. Aksara seperti rambut dan badan.
Sel darah putih perkembangan dari jiwatma dan sel darah merah dari zat
Predana sari-sari Panca Maha Bhuta.

Tubuh manusia memiliki Daca-Golakatma marga yaitu sepuluh jalan bagi


sinar kekuatan jiwatma sehingga dapat bekerja merupakan Dasendrya
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Panca Budhindrya yaitu :

Caksuindrya adalah indrya yang menilai baik dan buruknya benda


melalui mata.

Srotendrya adalah indrya yang menilai baik dan buruknya suara


melalui telinga.

Ghranendrya adalah indrya yang menilai baik dan buruknya bau


melalui hidung.

Jihwendrrya adalah indrya yang menilai sad rasa suatu benda


melalui perasaan indah.

Tuakindrya adalah indrya yang menilai perasaan panas dingin


halus dan kasar melalui kulit.

b. Panca Karmendrya yaitu :

Panindrya adalah indrya pekerja dengan tangan.

Padendrya adalah hidup pekerja dengan kaki.

Gharbendrya adalah indrya pekerja dengan kelamin laki dan


Bhagendrya indrya adalah pekerja dengan kelamin perempuan.

Payuindrya adalah indrya pekerja dengan pantat.

Dasar golakatma marga ini dapat melakukan tugasnya sebagai dasendrya


apabila dapat sinar kekuatan dari jiwatma.
Tubuh kita mempunyai tiga lapis badan yang dinamai Tri Sarira yaitu :
Sthula Sarira yaitu badan kasar yang terdapat pada tingkatan alam
terendah atau bhur-loka sthula sarira ia bergerak mengadakan kerja
guna tamas yang bersifat sakti serta gerak kerjanya berat sebagai alun
gelombang-gelombang samudra yang besar dan bersifat keduniawian.
Bekerja malas dan selalu merasa kurang senang dan mengharap
keuntungan dengan jalan mudah.
Suksma sarira atau lingga sarira adalah badan halus yang didapat pada
tingkatan alam kerja dari bawah yang dinamai bhuah loka ia
mengadakan kerja yang disebut guna rajas dengan gerak yang sangat
gelisah meresah hebat laksana air samudra ditiup angin ribut
menimbulkan gelar keinginan dan cita-cita menjadi orang pandai,
berkuasa, kaya, sakti dan lain-lain.
Anta karana sarira adalah badan yang lebih luas yang terdapat pada
ruang sendiri di alam tingkat ketiaga dari bawah yaitu swah loka
Antakarana Sarira apabila kena kekuatan jiwatma ia bergerak
mengadakan kerja yang disebut guna sattwam dan bersifat dharma.
Kerjanya tentram laksana air kolam yang terlindung dari rayuan
hembusan angin menimbulkan sifat-sifat dan bakat yang sabar dan
adil tahu akan hak dan rasa ke-Tuhanan yang sangat yakin dan
merasakan adanya suatu kebahagiaan.

Tri Guna berhubungan erat dengan Dasendrya yaitu :


Guna rajah (rajas) menguasai Panca Budhindrya.
Guna Sattwa (sattwam) menguasai Panca tan Mantra.
Guna Tamah (tamas) menguasai Panca Karmendrya.

Di dalam pelaksanaannya sehari-hari adalah demikian. Mula-mula Panca


Budhindrya yang bekerja dengan bantuan guna rajas yang menaruh sakti
kama, misalnya mata melihat suatu benda tetapi bila tidak disertai rajas
maka mata itu tidak menaruh perhatian kepada benda yang dipandangnya,
sama halnya dengan pandangan mata yang sedang termenung tidak
memperhatikan apa-apa. Tetapi bila mata itu dibantu oleh rajas maka
merupakan caksuindrya menaruh perhatian sungguh-sungguh dengan
nafsu yang ingin mengetahui. Setelah pandangan kepada benda itu lewat
maka diruang pandangan khayalnya tampak pula benda yang dilihat tadi
itu nyata-nyata inilah dinanai rupa tan matra.
Demikian pula halnya dengan pendengaran telinga yang disertai dengan
crotendrya memberikan bekas pada ruang pendengaran khayalnya suatu
sabda tan matra, pencium bau granendrya memberi kesan gandha tan
matra, persentuhan atau perabaab kulit kepada suatu benda memberikan
kesan sparsa tan matra. Kesan-kesan yang merupakan Panca Tan Matra itu
disamping oleh Tri Guna yaitu sattwam, rajas dan tamas yang bersifat
sakti yaitu : Dharma, Artha dam Kama. Timbangan sattwam dilakukan
dengan Dharma yaitu seni untuk menilai baik, buruk atau indah kasar saja.
Timbangan tamas hanya dilakukan dengan artha yaitu ketamakan tentang
artha benda dunia dan menjadi pembantunya rajas, kalu rajas mengatakan
baik, tamas ingin mengambil saja kalau rajas mengatakan buruk tamas
ingin menolak. Rajas dan tamas itu juga merupakan enam musuh dalam
badan yang disebut sad ripu, yaitu : kama (keinginan), kroda (kemarahan),
lobha (loba), Moha (kemabukan), Mada (congkak), Matsarya (irihati).
Sad ripu ini bisa menganggu kita sehari-hari sehingga sering dadsa kita
merasa panas keinginan-keinginan karena kemarahan, loba mabuk dan

irihati. Karena Atman

itu sesunguhnya Brahman yang keadaannya

terkurung dalam tiap-tiap makhlukj maka Atman itu luput pada lahir, mati,
sakit dan lain-lain akan tetapi jiwa dapat kena hal tersebut karena dapat
digelapkan oleh bada rohani. Jika badan wadag mati Atman tersebut akan
kembali kepada asalnya atau berpindah kepada wadag yang baru. Kitab
suci Weda mengajarkan bahwa Atman / jiwatman yaitu roh pada tiap-tiap
makhluk sama wujud dan sifatnya dengan nirguna. Ajaran tersebut
menandaskan Brahma Atma itu dapat berpisah disebabkan oleh sifat
Avidya dan karena Avidya itu orang mudah terpengaruh oleh maya yang
mengakibatkan kesenangan, akan tetapi orang yang sadar akan berusaha
untuk menghindarkan diri dari belenggu maka ia akan mencapai
kebebasan yang agung dan hidup kembali.

3. Keyakinan Akan Adanya Hukum Karma


Karma berasal dari urat kata Kr yang berarti membuat atau
perbuatan. Menurut hukum sebab akibat segala sebab akan membawa
akibat. Segala sebab yang berupa akan membawa akibat hasul perbuatan
segala karma akan mengakiatkan karma phala, hukum rantai sebab dan
akibat dan phala perbuatan diwahykan ke dunia dengan perantara para
resi-resi maka segala perbuatan baik dan buruk akan membawa akibat
tidak saja di dalam hidup sekarang ini tetapi juga di akhirat. Setelah atma
dengan sukma sariranya terpisah dari sthula sarira dan membawa akibat
pula dalam penjelasan yang akan membawa akibat tidak saja di dalam
hidup sekarang ini tetapi juga di akhirat. Setelah atma dengan sukma
sariranya terpisah dari sthula sarira dan membawa akibat pula dalam
penjelasan yang akan datang setelah atma bersama-sama dengan suksma
sariranya

bersenyawa

lagi

dengan

sthula

sarira

Tuhan

akan

menghukumNya, yakni hukum yang bersendikan pada Dharma dan dia


akan merahmati Atma seseorang yang berjasa dan yang melakukan amal
salleh serta kebajikan yang suci dan diapun akan mengampuni atma
seseorang yang pernah berbuat dosa bila ia tobat tidak melakukan dosa

lagi. Tuhan akan menjatuhi hukuman kepada Atma yang henti-hentinya


kejahatan dan memasukkan ke dalam neraka. Disini Atma mengalami hasil
perbuatannya yang berupa nantinya akan menjelma menjadi orang yang
sangat nista dan derajatnya semakin bertambah merosot jika ia selalu
berbuat jahat. Pengaruh karma itu pulalah yang menentukan corak serta
ilai daripada watak manusia. Oleh karena itu bermacam-macam jenisnya
dan tidak banyaknya maka watak manusiapun beraneka macam pula
ragamnya. Karena yang baik menciptakan watak yang baik dan karma
yang jelek akan mewujudkan watak yang jelak dan jahat hukum karma
yang mempengaruhi seseorang bukan saja diterimanya sendiri melainkan
akan diwariskan oleh anak cucu atau keturunannya. Oleh karena itu ajaran
agama menekankan hendaknya manusia berlaku tidak menyimpang dari
petunjuk kerohanian atau Dharma. Dharma sebagai tujuan hidup yang
utama dan mengabdi terhadap sesama makhluk serta menjunjung tinggi
keadilan dan kebenaran, maka orang itu akan mendapat berkah dari Tuhan
apabila dia menjelma akan mendapat kebahagiaan hidup di dunia.

4. Keyakinan Akan Adanya Punarbhawa


Memang banyaklah orang yang menyangsikan kebenaran dari
Punarbhawa itu bahkan banyak pula yang mencemoohkannya terutama
orang pikirannya telah tercengkam oleh paham tertentu. Tetapi kalau kita
meninjau dengan seksama di dalam sejarah kehidupan manusia atau
kejadian-kejadian yang aneh mengenai kelahiran atau bakat-kabat dan
keadaan dari manusia di dalam kehidupan sehari-hari maka dapatlah kita
mengambil titik tolak untuk menerangkan adanya punarbhawa itu. Kalau
kita perhatikan keadaan disekeliling akan terlihatlah bermacam-macam
keadaan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Ada
yang lahir di tempat yang kaya, berpribadi yang halus, tata susila yang
baik dan keadaan jasmani yang sempurna sedangkan yang lainnya ada
orang miskin cacat dan lain-lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut ada
beberapa orang yang acuh tak acuh mengatakan bahwa keadaan tersebut

adalah terjadi secara kebetulan saja. Di dunia ini tidak ada yang terjadi
secara kebetulan, kalau tanpa sebab ada yang menyebabkan inilah yang
susah dipikirkan oleh orang yang hanya mempunyai kemampuan pikiran
yang biasa karena hal-hal itu terjadi pada kehidupan jauh di dalam
kehidupan yang sekarang dan kehidupan yang dahulu. Proses kelahiran
atau penjelmaan dari satu bentuk kehidupan dalam bentuk kehidupan yang
lainnya itulah yang dinamai Punarbhawa.

5. Keyakinan Akan Adanya Moksa


Yang merupakan tujuan hidup umat Hindu ialah mendapatkan
kebahagiaan lahir dan bathin Mokshartam Jagadhita. Kebahagiaan bathin
yang terdalam ialah bersatunya atman dengan Brahman yang disebut
Moksa. Moksa berarti kebebasan, kemerdekaan lepas dari ikatan karma
kelahiran, kematian dan penderitaan. Moksa adalah tujuan dari seluruh
umat Agama Hindu dengan menjalankan sembahyang bathin dengan
Dharma (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan Semadi
(mengheningkan cipta) manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai
tujuan hidupnya yang tertinggi bebas dari segala ikatan keduniawian untuk
bersatunya Atma dengan Brahman. Jiwa yang besar itu adalah sukar
mencari banyak makhluk akan keluar dan mati serta hidup kembali tanpa
kemauan sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tidak tampak dan kekal
tiada bnasa rikala semua makhluk binasa, nah yang tak tampak inilah
harus menjadi tujuannya yang utama supaya tidak mengalami penjelmaan
kedunia itu; lah tempatku yang tertinggi oleh karena itu haruslah berusaha
demi Aku. Jika kau ingat kepadaKu tak usah disangsikan, engkau akan
kembali kepadaKu. Untuk mencapai inilah orang selalu bergulat, berbuat
baik sesuai dengan ajaran agamanya.

B. Diksa (Inisiasi)
Diksa berarti pensucian atau penyucian. Di dalam kita Atharwa Weda
XII. 1.1. Diksa dianggap merupakan salah satu daripada Sraddha. Diksa juga

disebut Abhiseka. Sebagai unsur dalam pokok keimanan diksa, tapa dan
yadnya dianggap merupakan satu rangkaian pengertian yang arti dan
fungsinya sama sebagai alat untuk sampai pada kesucian oleh karena itu di
dalam kitab yayur weda XX.25. dinyatakan :

Dengan melakukan brata seseorang memperoleh diksa


dengan melakukan diksa seseorang memperoleh daksina
dengan daksina seseorang memperoleh sradha dan
dengan sradha seseorang memperoleh satya.

Dari penjelasan itu diksa adalah dapat dilakukan melalui brata. Dengan brata
itulah seseorang itu didiksa ia menjadi seseorang diksa yang berwenang untuk
melakukan upacara yaitu ngeloka palasraya.
Dengan wewenang untuk melakukan ngeloka paalsraya itu seorang diksita
akan memperoleh atau menerima daksina. Diksa adalah cara untuk melewati
dari satu fase kehidupan kepada fase kehidupan yang baru dari yang belum
sempurna ke dalam dunia yang lebih sempurna. Dengan diksa itulah seseorang
akan dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan dengan melalui diksa itu ia
dapat mempelajari sifat Tuhan. Yang merupakan fungsi dari diksa adalah
sebagai dasar keimanan yang harus diyakini kebenarannya. Dengan keyakinan
akan diksa itu seseorang akan dapat memulai mempelajari ilmu pengetahuan
yang terdapat di dalam weda dan dapat pula mengajarkannya. Sedangkan
tujuan dari diksa adalah untuk menyucikan diri seseorang secara lahir dan
bathin sehingga dengan upacara diksa itu ia akan dapat melakukan tugas
ngeloka palasraya dan mengajarkan weda serta belajar weda.

C. Tapa (Pengendalian Indria)


Tapa adalah merupakan unsur keimanan yang mempunyai arti
penguasaan atas nafsu atau melakukan hidup suci untuk dapat hidup baik dan
suci seseorang harus menguasai dirinya sendiri atau penguasaan terhadap
panca indria dan pikiran (manah). Keenam hal tersebut harus dikendalikan

dengan baik karena keenam jenis alat itu mampu akan menjatuhkan manusia
dan menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu pengendalian atas keenam
jenis itu disamakan seperti pengendalian atas keenam itu disamakan dengan
seperti pengendalian atas musuh (ripu) yang dianggap mampu mencelakakan
diri orang itu. Adapun yang merupakan keenam musuh yang ada pada diri
manusia itu adalah kroda, moha, lobha, mana, mada, dan rasa yang artinya
masing-masing artinya marah, nafsu, lobha, kesombongan, mabuk, dan
bersenangan yang berlebihan. Di dalam kitab Dharmasastra dijelaskan bahwa
seseorang yang melakukan perbuatan dosa atau mereka yang sadar bahwa
mereka berdosa berkewajiban untuk selalu membersihkan diri. Membersihkan
diri ini disebut wisudha atau melakukan parisudha dengan melakukan tapa
atau brata. Di dalam weda telah dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia
mempunyai kesadarna akan dosa. Hidup mereka tidak luput dari dosa. Dosa
yang ditimbulkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan atau tingkah laku
yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja. Semua itu mampu
menimbulkan penderitaan yang menyiksa lahir bathin manusia dan menjadi
hambatan untuk dapat mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Tuhan yang
maha suci hanya dapat didekati melalui kesucian. Untuk mensucikan pikiran
dan indria inilah dilakukan dnegan melakukan tapa (brata). Tapa dapat
dilakukan dengan berbagai cara tergantung maksud daripada tapa itu dan besar
kecilnya dosa yang akan disucikan. Ada yang melakukan tapa dengan cara
berpuasa tidak makan dan minum pada hari-hari tertentu ada yang melakukan
dengan cara tidak tidur selama waktu tertentu, ada yang melakukan
mengurangi makan dan minum lain-lainnya. Yang penting di dalam hal ini
bahwa pada dirinya ada niat dan ketetapan untuk dapat memperbaiki dirinya.
Dari uraian di atas bahwa mempunyai arti yang sangat penting dalam
pembentukan watak manusia dan untuk menyempurnakan sifat manusia
supaya menjadi makhluk yang baik tingkah lakunya, kata-kata dan
perbuatannya.

D. Brahma atau Pujian


Pujian adalah semacam doa yang dalam sehari-hari disebut Mantra
atau Sruti. Mantra adalah ayat-ayat suci yang dipergunakan untuk melakukan
pemujaan karena itu mantra yang dinamakan doa tetapi sebagai alat doa itu
mantra. Kata-kata lain yang sering dipergunakan yang sama artinya ialah
Atotra atau Stawa yang merupakan ayat-ayat yang dipergunakan untuk
melakukan pujian kepada Tuhan atau lainnya. Di dalam kitab Atharwaweda
XII. 1.1. sebagaimana kita telah baca di atas istilah yang sama artinya dengan
kata doa atau mantra itu adalah Brahma. Dalam kehidupan beragama unsur
kepercayaan akan doa (Brahma) merupakan bagian yang sangat penting dalam
setiap kejadian. Doa selalu disampaikan untuk segala tujuan ini merupakan
ciri khas dari tata kehidupan beragama. Tanpa percaya akan kedudukan dan
penggunaan doa itu maka tidaklah ada artinya doa itu. Telah dikemukakan
bahwa doa adalah salah satu daripada unsur keimanan dalam ajaran agama
Hindu. Dengan fungsi kedudukan doa sebagai salah satu unsur sradha dalam
agama menyebabkan kedudukan doa dalam agama sangat penting selain itu
juga doa berfungsi yang tergantung pada tujuan daripada penggunaan doa itu.
Misalnya seorang yang lagi susah maka berdoa berarti sebagai permohonan
untuk supaya Tuhan mau mendengarkan permintaan mereka dan begitu pula
bagi mereka yang dalam keadaan biasa doa bagi mereka adalah bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang melakukan upacara doa
mereka adalah memohon agar mereka dapat diberikan kesucian sehingga
dengan demikian mereka dapat melakukan sembahyang mereka dengan
sempurna. Permohonan kesucian ini diperlukan karena Tuhan yang bersifat
Mahasuci hanya dapat didekati dengan sifat-sifat yang suci pula. Oleh karena
itu setiap mulai ada upacara terlebih dahulu diadakan upacara pensucian
(prayascita).

BAB IV
CATUR MARGA

Sasaran Belajar.

Mengerti tentang Catur Marga

Melaksanakan Catur Marga dalam Menjalankan Aktivitas Keagamaan

Catur Marga adalah empat buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai
tujuan Mokshartham Jagadhita, keempat jalan itu sama utamanya. Yang disebut
Catur Marga. Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai
dengan kondisi masing-masing. Keempat marga ini hendaknya digerakkan secara
harmonis seperti seekor burung, sayap kanannya adalah bhakti marga, sayap
kirinya adalah jnana marga, sedangkan ekornya burung adalah raja marga dan
kekuatan pendorongnya adalah karma marga. Seekor burung akan bisa melayang
dengan baik kalau sayap kiri dan kanannya seimbang. Burung tidak akan
mencapai tujuan yang dikehendaki kalau tidak mempunyai daya dorong yang
kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaikbaiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.

A. Bhakti Marga
Bhakti artinya cinta kasih istilah itu digunakan adalah untuk pernyataan
cinta kasih kepada sesuatu yang lebih dihormati seperti : Ida Sang Hyang
Widhi, Negara, serta pribadi-pribadi yang mesti dihormati. Bhakti dibagi atas
dua tingkat yaitu :
1. Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya lebih rendah dan
dipraktekkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kerohanian
yang lebih tinggi.
2. Parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi
dan kerohaniannya lebih meningkat.

Ajaran Bhakti adalah ajaran yang langsung mencari Tuhan yang mudah
diterima dan dilaksanakan oleh orang awam, baik orang miskin, kaya, petani,
orang pandai, pejabat dapat menempuh jalan ini. seorang Bhakta (penganut
bhakti marga) adalah orang yang penuh cinta kasih cinta kepada Tuhan, cinta
kepada alam semesta ciptaan Tuhan. Bagi seorang Bhakti tidak perlu tahu
apakah Tuhan itu baik atau buruk, besar atau kecil, kuasa atau tidak kuasa
yang penting bagi mereka Tuhan adalah dicintai.
Seorang Bhakta mencintai Tuhan karena ingin mendapat imbalan supaya
masuk sorga maupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu
adalah bercinta kepada Tuhan. Bhakti Marga menggunakan rasa sebagai
sarana, rasa cinta yang alamiah tetapi meluap-luap, rasa cinta yang seperti
aliran sungai yang bergerak dengan deras karena rindunya bertemu dengan
laut. Hampir semua agama besar yang ada di dunia adalah berdasar kepada
cinta kasih atau Bhakta Marga, jalan ini disamping mudah juga wajar bagi
semua lapisan masyarakat bisa melaksanakan dan bahayanyapun kurang.
Adapun gejala-gejala bhakti dalam kehidupan sehari-hati adalah :

1. Kerinduan Untuk Bertemu


Sebagaimana hanya seorang yang jatuh cinta maka setiap saat
rasanya dia ingin mengunjungi kekasihnya, dia rindu untuk bertemu
menyampaikan rasa hatinya. Di dalam agama keinginan untuk bertemu itu
diwujudkan dengan sembahyang. Demikian orang yang sudah tergetar
dengan rasa cinta kepada Tuhan akan taat melaksanakan persembahyangan
dan setiap sembahyang tiba dia merasakan kerinduan yang mendesak.
Sebelum rasa demikian dirasakan maka secara jujur belum boleh
seseorang menyebutkan dirinya bhakti, meskipun mereka sembahyang
seribu kali dalam sehari, sembahyang tanpa dorongan kerinduan tidak akan
banyak manfaatnya apalagi sembahyang sekedar ikut-ikutan atau terpaksa
adalah perbuatan yang sia-sia. Kesungguhan dan kemantapan adalah dasar
utama untuk dapat merealisasi Tuhan dalam pikiran.

2. Keinginan Untuk Berkorban


Rasa bhakti dan rasa cintalah yang melahirkan suatu keikhlasan
untuk berkoban. Sebagaimana halnya seorang pemuda yang jatuh cinta
pada seorang gadis disamping rindu ingin bertemu juga ingin memberikan
sesuatu yang berbentuk materi maupun tenaga. Inginlah dia menyerahkan
segala harta miliknya ingin pula dia berbuat sesuatu yang bisa
menyenangkan kekasihnya meskipun kekasih belum memintanya.
Demikianlah pula kita lihat di masyarakat Hindu, meskipun mereka tidak
memiliki uang tidak segan-segan untuk meminjam kepada teman mereka
agar dapat mempersembahkan sajen pada waktu upacara. Dengan rasa
bhakti mereka menjadi mantap, upacara sangat penting dilakukan dengan
penuh keikhlasan berkorban dan bebas dari pamrih.
Di dalam Bhagawadgita disebutkan sebagai berikut :
Yajna dana tapah karma
Na tyajyam karyam eva tat
Yadano danam chai va
Pavanani manishim (Bhg. XIII.5)
Artinya :
Mengadakan upacara, sedekah dan tapa brata jangan diabaikan melainkan
harus dilakukan sebab upacara sedekah serta tapa brata adalah bagi orang
arif bijaksana.

Demi bhakti kehadapan Tuhan umat Hindu ikhlas membeli buah-buahan


untuk membuat gebogan, memotong ayam, melengkapi dengan telor dan
sebagainya yang bisa menghabiskan uang puluhan ribu rupoiah. Kalau
tidak dengan alasan upacara agama, belum tentu mereka akan membeli
buah ataupun daging walaupun semuanya memberikan manfaat kesehatan
bagi seluruh anggota keluarganya. Andaikata dia mempunyai kebun pisang
dan berbuah masak, mereka lebih suka menjualnya agar dapat uang lebih
banyak disisihkan yang kecil-kecil saja untuk diberikan anak-anaknya,
mereka masih lebih mencintai uang daripada kesehatan. Tetapi sebaliknya

kalau ada keperluan upacara mereka rela untuk mengeluarkan uang demi
upacara.

Inilah

ciri

dari

seorang

bhakti

keinginan

untuk

mempersembahkan segala sesuatu yang mereka memiliki demi bhakti.


Dalam melaksanakan upacara dan pentangan-pentangan yang perlu
ditaati seperti tidak boleh marah, tetap memegang kesucian dan kejujuran.
Seorang bhakta tidak kenal payah, pura-pura yang jauh dipuncak gunung
maupun

ditepi

laut

mereka

kunjungi,

persiapan-persiapan

yang

memerlukan tenaga berhari-hari mereka melaksanakan dengan senang


karena bhakti. Pengorbanan seorang bhakta adalah pengorbanan tanpa
pamrih demi Tuhan yang mereka cintai.

3. Keinginan Untuk Mewujudkan Tuhan


Apakah Tuhan agama Hindu mempunyai wujud? Apakah Tuhan
agama

Hindu

dipersembahkan

itu

sama

sajen-sajen

dengan
yang

manusia
terdiri

sehingga

dari

kepadanya

bermacam-macam

makanan?, kalau tidak mengapa umat Hindu membuat patung-patung,


sajen-sajen dan sebagaina. Untuk memahami marilah kita jangan melihat
filsafatnya saja tetapi hendaknya memahami bagaimana cara-cara
penghayatan bagi orang awam. Dalam bait Tri Sandya disebutkan Om
Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) yang diberi gelar Narayana,
segala makhluk yang ada berasal dari Tuhan, Dikau bersifat gaib tak
berwujud, tak terbatas oleh waktu, Dikau maha cemerlang, maha suci,
maha esa, tidak ada duanya, disebut Narayana dan dipuja oleh semua
makhluk. Di sini jelas Tuhan itu tidak berwujud dan tidak dapat
diwujudkan tetapi mengapa ada patung-patung dewa? Marilah kita
lepaskan segala prasangka dan tuduhan dengan mengambil banding pada
apa yang dilakukan oleh orang intelek dan modern. Kita tahu semua
bangsa di dunia mencintai dan menghormati bangsanya tetapi tidak
seorangpun tahu bagaimana sebenarnya rupa dari bangsa itu. Bangsa
Indonesia menggambarkan simbul bangsanya itu dengan bendera merah
putih, Garuda Pancasila dan sebagainya. Apakah memang betul bangsa

Indonesia itu?, Bendera Merah Putih itu hanya secarik kain yang terdiri
dari warna merah dan warna putih apakah kita menghormati kain? Yang
merupakan ciptaan manusia. Apakah kita menghormati binatang seperti
burung garuda semua itu hanya merupakan simbul keinginan manusia
yang ingin menvisualisasikan bentuk-bentuk yang abstrak, untuk lebih
mudah dimengerti atau dihayati oleh orang awam. Demikianlah Tuhan
dalam agama Hindu seperti yang terdapat dalam weda bahwa Tuhan tidak
dapat digambarkan, dipikirkan juga tidak. Tetapi kalau orang sembahyang
tidak menggambarkan bentuk yang disembah maka konsentrasinya tidak
akan sempurna. Meskipun tidak berwujud patung orang sembahyang tentu
menggambarkan Tuhan itu di dalam hatinya dalam bentuk pikiran,
namapun juga sebuah simbul, nama baru ada kalau ada bentuk walaupun
bentuk yang bersifat abstrak. Istilah Tuhan adalah simbul untuk menamai
bentuk pikiran yang tidak dapat dilukiskan karena sebenarnya,
kecenderungan ingin melukiskan Tuhan dalam bentuk patung adalah
cetusan rasa cinta.

4. Persembahkan
Jika kita melihat Hindu membawa sajen ke Pura penuh dengan buahbuahan dan makanan yang lezat tentu orang berpikir apakah Tuhan agama
Hindu seperti manusia suka makan yang enak-enak.
Demikian pula jika pura dihias dan diukir demikian indah mungkin
orang berpikir Tuhan umat Hindu suka dengan seni dan suka pula dengan
nonton tari-tarian. Secara filosopis kita bisa mengatakan bahwa Tuhan
Maha Esa, Beliau menciptakan alam semesta ini semua, Tuhan tidak
memerlukan semua ini hanya manusialah yang menganggap ini perlu,
semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk rasa bakti atau
cintanya kepada Tuhan. Seperti seorang ibu yang mencintai bayinya yang
berumur tiga bulan, si ibu membuatkan baju bagus untuk anaknya di
buatkan kalung emas buat bayinya padahal bayinya tidak meminta bahkan
tidak mengerti apa arti daripada kalung tersebut dan baju yang bagus itu.

Semua pemberian dari si ibu yang lahir dari dorongan rasa cinta kasih itu
membikin bahagia si ibu karena dia merasa telah berbuat sebaik-baiknya
untuk bayinya yang dikasihinya. Demikianlah sajen dan kesenian yang
disuguhkan pada waktu ada upacara agama Hindu,secara spiritual
memberikan kebahagian kepada orang yang melaksanakan karena semua
alat ini mereka bisa mencurahkan rasa bhakti atau rasa cinta kasihnya.
Tuhan tidak minta untuk dipja tetapi manusialah yang mencurahkan rasa
bhaktinya. Bagi orang awam persembahan itu diyakini akan membikin
Tuhan menjadi senang. Cetusan rasa cinta yang suci terwujud dalam
keinginan untuk memberi dan berkorban, tetapi sebaliknya jika cinta telah
dihinggapi oleh keserakahan maka lahirlah keinginan untuk memiliki dan
menuntut dengan penuh nafsu.

5. Tempat dan Arah Memuja Ida Sanghyang Widhi


Umat Hindu percaya bahwa alam semesta dengan bintang dan planet
diruang angkasa yang tidak terlihat oleh mata bahkan teropong-teropong
bintang sekalipun, sebenarnya ada di dalam diri Ida Sanghyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa). Bumi kita tidak lebih dari sebuah sel dari tubuh
Ida Sanghyang Widhi. Kalau kita bandingkan diri kita seperti satu titik di
dalam samudra, titik air tidak boleh dikatakan samudra tetapi sebaliknya di
dalam samudra titik air ini merupakan bagian kecil dari samudra. Dalam
titik air ini sifat asin dari samudra ada, demikian pulalah manusia
walaupun berada di dalam diri Tuhan tidak bisa mengatakan dirinya
Tuhan, meskipun sifat-sifat ketuhanan itu ada dalam diri manusia. Dalam
susunan yang demikian maka sulit untuk mengatakan dimana sebenarnya
Tuhan itu bertahta. Beliau ada di mana-mana dan tidak ada tempat di mana
Beliau tidak ada. jika Tuhan berada dimana-mana mengapa manusia
memuaja Tuhan ditempat-tempat

ibadat, apa perlunya membuat pura

balikan dan tempat tidur saja bisa sembahyang? Cara yang paling mudah
dan indah untuk mendekati Tuhan adalah melalui rasa. Untuk
membangkitkan rasa agama, rasa cinta kepada Tuhan maka diperlukan

suatu kondisi tertentu, kondisi yang bisa menggiring agar rasa ketuhanan
muncul dan bergelora dengan mantap. Hal inilah yang menyebabkan umat
Hindu membuat pura mereka ditempat-tempat yang indah, tempat-tempat
bersejarah atau tempat-tempat yang bisa membangkitkan kekaguman akan
kebesaran Tuhan disamping dekat dan mudah dicapai oleh umatnya. Purapura Sad Kahyangan di Bali merupakan pura-pura inti seperti pura
Besakih, Batur, Lempuyang, Uluwatu, Watukaru, Puncak mangu dan lainlainnya semua penuh dengan ketenangan. Keindahan dan keagungan.
Ditempat-tempat ini orang dirinya kecil ditengah-tengah kebesaran dan
keindahan alam yang diciptakan oleh Ida Sanghyang Widhi. Dalam
kondisi yang demikian maka orang akan mudah mengagumi dan
menghormati Tuhan, di tempat yang demikian rasa ego mulai melenyap
diganti rasa kagum dan hormat maka konsentrasi pikiran kepada Tuhanpun
akan lebih mantap dan terpusat. Bahan dan bentuk purapun tidak dibuat
menyerupai

rumah

tempat

tinggal

ataupun

menyerupai

gedung

perkantoran. Bagi umat Hindu pura itu dengan bentuk dan bahan yang lain
dari yang lain, sehingga bila kita masuk pura maka perasaanpun seperti
masuk Kahyangan dan Tuhan rasanya disana. Gunung dan matahari adalah
merupakan kiblat (arah) dimana umat Hindu menundukkan kepala
kehadapan Ida Sang

Hyang Widhi sebagai perwujudan rasa bhakti.

Gunung yang dikenal dengan nama Acala Lingga yang berarti tempat
Tuhan yang tidak bergerak, karena kenyataannya gunung tidak bisa
dipindahkan namun, umat Hindu yakin gunung adalah sebagai linggih Ida
Sang Hyang Widhi. Mengapa Tuhan dipuja dipuncak gunung bukanlah
Tuhan ada dimana-mana? Meskipun Tuhan ada dimana-mana tetapi pada
saat umatnya memujanya Beliau didudukkan ditempat yang ketinggian.
Makin tinggi suatu tempat maka makin mulialah yang dipujannya. Itu pula
sebabnya gunung Mahameru yang tertinggi di India dianggap sebagai
linggih Ciwa. Di pulau Jawa gunung gunung semerulah yang merupakan
gunung Mahamerunya umat Hindu pada jaman dahulu. Sedangkan di Bali
gunung Tolangkir atau gunung Agung adalah merupakan linggih Ida Sang

Hyang Widhi (Ciwa). Di pura-pura bangunan meru merupakan simbul


gunung, dimana kata meru mengingatkan kita kepada gunung Mahameru
dan Semeru. Hal kedua yang menyebabkan gunung yang mempunyai arti
penting adalah karena dengan adanya gunung inilah manusia dapat
menikmati air untuk diminum maupun untuk mengaliri sawahnya. Gunung
dengan hutan dan tanahnya yang gembur menyebabkan air hujan masuk
dan disimpan di dalam tanah serta sedikit demi sedikit dialirkan melalui
sungai, hingga hampir sepanjang tahun kita bisa menikmati aliran air
sungaitidak henti-hentinya, meskipun di waktu malam di saat kita tidur
nyenyak air sungai terus mengalir. Gunung adalah waduk ciptakan Tuhan,
karena itu wajarlah kalau umat Hindu menghadap ke gunung karena
disana tempat Tuhan menyampaikan anugrah berupa kemakmuran dan
keselamatan, maka melalui gunung pula umat Hindu menyampaikan
terima kasih. Perwujudan rasa hormat itu tampak pada sebagai hulu, kata
Kaja berasal dari kata keadya yang berarti ke gunung, dimana adya arti
gunung. Sedangkan Kelod berasal dari kata laut dan dianggap sebagai
hilir. Di masyarakat pegunungan jika mereka tidur kepala mereka tentu
ada di arah gunung karena gunung dianggap sebagai hulu atau kepala.
Demikianlah pula jika menguburkan mayat maka letak kepala si mayat ada
di arah gunung. Di samping arah gunung dan arah matahari terbit yaitu
arah timur adalah arah yang dianggap suci. Letak bangunan-bangunan
pura umat Hindu sebagian besar diarah timur menghadap ke barat,
sehingga orang yang sembahyang akan menghadap ke timur, mengapa
arah matahari terbit itu disucikan?
Matahari adalah merupakan simbul kekuasaan Ida Sang Hyang
Widhi menurut para ahli ilmu bumi, planet katanya berasal dari pecahan
matahari dan jassad manusia berasal dari unsur panca Mahabhuta yaitu air,
tanah, panas, angin, dan angkasa yang berasal dari unsur-unsur kita ini.
kekuatan yang diciptakan oleh matahari menyebabkan bumi kita berputar
angin dan air beredar. Dengan sinar matahari semua makhluk bisa hidup

jika matahari tidak ada maka bumipun akan mati. Dalam Niti Castra
disebutkan :
Jika tidur kearah matahari terbit menyebabkan panjang umur, jika tidur
dengan kepada di arah utara (gunung) akan menyebabkan murah rejeki.
Jika Utara berasal dari urat kata Ud yang artinya menonjol atau menjulang
yang dimaksud dalam hal ini ialah tanah yang menjulang tinggi yaitu
gunung.
Dalam kenyataannya matahari memang mempunyai pengaruh terhadap
keselamatan,

sedangkan

gunung

mempunyai

pengaruh

terhadap

kemakmuran dimana tanah gunung yang gembur berfungsi sebagai waduk


air, yang merupakan sumber-sumber aliran sungai dengan arinya yang
memberikan kemakmuran. Mengapa Tuhan memilih gunung, matahari dan
pura-pura sebagai tempat Beliau padahal Beli dimana-mana menguasai
alam semesta. Demikianlah mengapa umat Hindu mencakupkan tangannya
memuja Tuhan ke arah matahari terbit ke arah gunung, tempat dari Ida
Sang Hyang Widhi, menympaikan kasihnya Beliau yang berlimpah
kepada semua makhluk di planet ini. Matahari dan gunung adalah anugrah
Tuhan sebagai tanda kasih Tuhan maka wajarlah dari mana datangnya
kasih melalui itu pula umat Hindu menundukkan kepala menyatakan
terima kasih.

6. Bhakti Melahirkan Rasa Seni


Keinginan untuk menggambarkan Tuhan dan menghias Tuhan yang
dicintai itu seperti menghias anak yang dikasihi, pura-pura yang dibangun
selalu diukir dengan indah sedangkan untuk bangunan rumah belum tentu
akan diperbuat sedemikian rupa. Jajan untuk sajen yang berwarna-warna
dan jenisnya lebih dari seratus tetapi jajan untuk makanan sehari-hari
paling banyak hanya sepuluh macam. Hiasan seni janur yang
beranekaragam penjor dan lamak serta perlengkapan lainnya mengandung
simbul dan penuh kreasi seni. Seni pahat dan seni ukir dapat diselamatkan
di Bali karena Agama Hindu yang diperlu adalah Hindu cinta melahirkan

simbul-simbul kiasan inilah maka imaginasi berkembang dan lahirlah seni.


Hubungan seni dengan Bhakti Marga sangat erat sekali dia saling mengisi
dan saling memperkaya karena dasarnya satu yaitu rasa. Dengan rasa pula
Tuhan lebih dihayati, memuja Tuhan yang ada di pura atau tempat ibadah
adalah bukan kemauan akal karena akal jauh lebih terlambat untuk
menghayati hal-hal yang abstrak, akal mulai menanggapi sesuatu dengan
curiga. Seorang Bhakta tidak perlu apakah Tuhan itu baik atau tuhan itu
buruk, seperti seorang pemuda jatuh cinta kepada kekasihnya adalah
terbaik dan terburuk.

7. Bhakti Melahirkan Rasa Terharu


Orang yang bhakti sering mengeluarkan air mata pada waktu
sembahyang air mata yang aneh bukan karena sedih bukan pula gembira
melainkan air karena terharu.
Rasa terharu nampak pula dalam bunyi-bunyian seperti gambelan
dan kidung di pura. Menurut lontar Aji Gurita adalah gambelan yang
melagukan semarapagulingan, suara yang mengharukan dan sedih tetapi
manis. Demikian pura kehidupan yang dipergunakan di pura nadanya
sedih seperti orang sedih dan rindu rupanya rindu pada kekasihnya
memang demikian kalau dia bicara seperti orang sedih, lemah lembut.

8. Doa
Doa adlaha salah satu cara yang paling mudah, tepat dan alamiah
dalam menghubungkan diri dengan Tuhan. Doa adalah cetusan hati yang
lugu dari kerendahan hati seseorang. Dalam Agama Hindu Gayatri
Mantram adalah doa yang paling mendalam dan setiap Trisandya,
sembahyang tiga waktu, pagi, siang, dan sore bagi umat Hindu. Doa yang
umum yang bersifat spiritual tidak mengandung permohonan yang bersifat
pemuasan kebutuhan indrawi dan duniawi. Cobalah camkan dan rasakan
serta hayati dengan arti dari mantram gayatri itu akan terkandung tiga
unsur pokok yaitu :

a. Pengakuan akan kelamahan diri dan ketidakmampuan dalam


menghadapi suatu hal yang memuncak dengan penyerahan diri.
b. Mengandung unsur pengharapan dan permohonan.
c. Mengandung unsur puji dan syukur.
Bagaimanapun pandai para dokter selalu saja timbul penyakit yang belum
disembuhkan, betapapun banyaknya penemuan-penemuan baru masih
terlalu banyak rahasia alam yang belum diungkapkan. Apa yang disebut
ciptaan para sarjana tidak lebih dari kepandaian mengubah dari bentuk
lama menjadi bentuk baru dari unsur yang sudah ada. Manusia tidak bisa
mengadakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, gempa bumi, angin ribut,
yang menimbulkan bencana, membikin manusia tidak berdaya dan
akhirnya menyerah dan mengakui bahwa ada kekuatan yang jauh lebih
dari padanya. Tuhan menghendaki agar kita maju rahasia demi rahasia
Beliau buka satu persatu namun pada saat-saat tertentu Beliau tunjukkan
kemuzizatan dan kehebatan yang di luar kemampuan pikiran manusia.
Dengan tujuan agar manusia jangan sombong. Bencana dan penderitaan
adalah pelajaran yang diberikan oleh Tuhan agar manusia mengurangi
egonya dan mengakui bahwa ada kekuatan yang lebih hebat daripada yang
mereka miliki. Doa yang mengandung unsur pengakuan dan penyerahan
diri adalah alat yang paling ampuh untuk meredakan kobaran
kesombongan, Tuhan sengaja menurunkan bencana dan penderitaan yang
sukar diatasi untuk melumpuhkan keangkuhan manusia. Kapan mereka
tidak berdaya maka mulailah mereka kepada Tuhan dan berdoa tidak saja
diucapkan pada waktu mereka mendapat bencana atau penderitaan tetapi
setiap hari dan setiap saat baik di waktu sembahyang maupun tidak saat
sembahyang. Bagi mereka yang sadar terhadap hakekat hidup malahan
menganggap penderitaan adalah tantangan yang menguntungkan. Doa
menjadi orang rendah hati kita tidak boleh menjadi keangkuhan dari
keserakahan. Dengan doa orang akan mendapatkan rasa aman dan tabah
tenang terlindung dari bahaya dan penderitaan. Itulah karunia Tuhan yang
menjadi dasar keberhasilan karenaNya patutlah kita bersyukur. Orang

biasa bersyukur adalah orang yang sudah dapat menundukkan egonya


orang yang rendah hati dan penuh iman.

9. Bersyukur
Suka dan duka adalah seperti riaknya lautan yang datang silih
berganti, nikmatilah semua dengan tabah dan rasa syukur, orang bisa
bersyukur dalam keadaan yang paling menyedihkan adalah orang yang
optimis yang merupakan dasar kekuatan hidup. Orang yang pesimis,
dalam pertempuran orang pesimis sudah kalah sebelum dia berperang,
orang bisa bersyukur adalah orang yang percaya kepada takdir dan
mengakui bahwa itu ditentukan oleh Tuhan. Penyerahkan diri secara total
kepada Tuhan adalah penting seperti emas jika bisa meleleh sampai cair
akan mempermudah si tukang emas untuk memberikan bentuk yang
diinginkan. Demikian hati seorang Bhakta yang pasrah kepada Tuhan
seperti emas yang meleleh mudah dituntun dan diarahkan oleh Tuhan.

10. Pengampunan
Dalam Kitab Bhagawadgita disebutkan :
Ye tu sarvani karmani
Mayi samyasya matparah
Ananyenai va yogena
Man dhayayanta upasale Bhag. XII.6
Artinya :
Tetapi sesungguhnya mereka yang menumpahkan segala kegiatan hidup
mereka kepadaKu, memikirkan bermeditasi hanya padaKu dengan
kebaktian yang terpusatkan.
Dalam sloka ini jelaslah bahwa kebaktian kepada Tuhan dengan sepenuh
hati dan pikiran dapat membebaskan karma tidak baik atau dosa, disinilah
peranan bhakti yang bisa melonggarkan karma dan pengampunan Tuhan
bisa masuk kedalamnya. Dalam setiap doa disamping berisi pengakuan
hampir selalu diikuti dengan permohonan ampun. Apakah dengan

pengampunan ini orang akan bertambah berani berbuat dosa karena setelah
mohon ampun dosanya akan hapus. Dalam masalah pengampunan marilah
kita ambil banding keringanan hukuman yang diberikan oleh pengadilan.
Jika ada seseorang membunuh orang tetapi setelah membunuh dia
menyatakan penyesalan dan penyerahan diri pada polisi akhirnya
diproseslah di pengadilan. Di pengadilan pemuda itu mengaku terus terang
disertai dengan penyesalannya. Menurut hukum mestinya si pembunuh
dijatuhi

hukuman

20

tahun

penjara,

tetapi

karena

menyatakan

penyesalannya dan menyerahkan diri dengan sukarela ditambah lagi


dipersidangan tidak berbelit-belit maka rencana hukuman yang 20 tahun
itu diringankan menjadi 14 tahun. Selama dipenjara pemuda itu
menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik dan penuh setelah sepuluh
tahun pengadilan pun memberikan keringanan lagi dan membebaskan dari
penjara.
Dengan demikian pemuda yang telah membunuh itu telah mendapatkan
pengampunan berupa keringanan hukuman selama sepuluh tahun
semuanya ini adalah akibat dari tingkah laku yang baik. Betul-betul
bertobat dengan mengurangi sebagian dari penderitaan yang mestinya dia
terima. Tampaklah disini karma tetap berjalan dan pengampunan bisa
terjadi.

B. Jnana Marga
Di muka sudah dijelaskan bahwa weda menurut isinya dibagi dalam
tiga bagian yaitu : Mantra, Brahman, dan Upanisad. Dalam membicarakan
jnana marga maka kita akan banyak mengambil sumber dari upanisad dan
Tattwa. Apakah bedanya antara weda, upanisad dan tattwa, weda adalah
sumber tetapi sangat sukar untuk dimengerti oleh karena itu weda dijelaskan
secara filosofis dan penjelasannya ini disebut Upanisad. Tattwa adalah inti
agama, tidak merupakan teori lagi tetapi sepenuhnya harus dipercaya, namanama yang dipergunakan adalah nama dewa-dewa yang dipuja, demikianlah
Brahman dalam Upanisad disebut Parama Ciwa atau Sang Hyang Widhi

dalam Tattwa, istilah samsara dalam Upanisad disebut neraka di dalam


Tattwa. Demikian dalam ajaran agama Hindu orang tidak pernah memuja
prakerti dan Brahman melainkan Dewi Uma dan Parama Ciwa. Dalam Tattwa
Brahman dipersonifikasikan dengan nama Ciwa di Bali disebut Sang Hyang
Widhi. Ciwa mempunyai tiga nama lagi sesuai dengan sifat, fungsi dan
aktifitasnya sebagai akibat yang ditimbulkan oleh ada tidaknya atau sedikit
banyaknya pengaruh maya (prakerti) sehingga dibedakan sebagai berikut :

Parama Ciwa disebut juga Cetana atau Purusa yang dalam istilah umumnya
kita sebut Tuhan, keadaannya tanpa aktifitas, kekal abadi tiada awal dan akhir
ada dimana-mana dan maha tahu diberi gelar Nirguna Brahman.
Sada Ciwa adalah Brahman yang sudah berkrida yang sudah kena imbas dari
prakerti atau Acetana (sumber materi) sehingga mempunyai sifat, fungsi dan
aktifitas dan diberi gelar Saguna Brahman.
Ciwa atau Ciwatama adalah Parama Ciwa juga tetapi dalam keadaan yang
telah banyak terpengaruh oleh prakerti sehingga sifat kemahakuasaanNya
berkurang. Ciwatma inilah yang memberikan hidup (jiwa) kepada semua
makhluk hidup.
1. Pencipta Alam Semesta
Mama yonir mahad Brahma
Tasmin garban dadhamy aham
Sambhawah sarvabhutanam
Tato bhavati bharata Bhag. VIV.3.
Artinya :
Kandungan Ku adalah Brahmayoni yang esa
Di dalamnya Aku letakkan benih
Dan dari sanalah terlahir
Semua makhluk wahai Barata

Dalam bait di atas Tuhan atau Brahman dipersonifikasikan sebagai


manusia yang mengandung. Isi kandungannya adalah Brahmayoni yang

Esa tidak lain adalah alam sesesta ini. Brahmayoni ini di dalam filsafat
Samkhya disebut juga Prakerti. Isi kandungan Brahman ini diisi benih
kehidupan sehingga alam semesta ini menjadi tempat terlahirnya semua
makhluk termasuk manusia sendiri. Di dalam Bhrihadaranyaka Upanisad
digambarkan hanya seperempat bagian dari badan Brahman yang berkrida
jadi kalu dihubungkan ulasan Bhagawadgita maka seperempat bagian dari
tubuhnya Brahman inilah kandungan Brahman. Dengan demikian dapatlah
kita bayangkan bagaimana terbatasnya Brahman itu. Kalau mata
memandang ke langit di waktu malam dimana terhampar jutaan planetplanet yang tidak dapat dihitung jumlahnya, tetapi juga yang belum kita
lihat jauh lebih banyak maka betul-betul belum terpikirkan rahasia Tuhan
yang maha hebat ini. Umat Hindu boleh bangga karena abad ke 7 sebelum
masehi di India telah lahir tokoh terkenal dibidang filsafat yang mengulas
tentang rahasia terjadinya alam semesta dengan teori evolusinya dengan
teori-teori yang dikagumi sampai sekarang. Beliau itu tidak lain dari Resi
Kapla yang terkenal dengan filsafat sankhyanya. Pokok-pokok yang
menonjol dari teori Kapila adalah :
a. Sesuatu yang tidak mungkin lahir dari yang tidak ada, dengan
demikian Brahman atau Tuhan itu memang betul ada meskipun
tidak dapat dilihat dan mata lahiriah.
b. Teori sebab akibat yang dikenal dengan hukum karmapala, bahwa
terjadinya

perkembangan

ini

karena

sebab

akibat

yang

berksinambungan.
c. Kehancuran berarti pengembalian kebentuk asal.
d. Bahwa hukum alamini tertib dan teratur.
e. Terbentuknya cosmos ini adalah hasild ari evolusi Prakerti, evolusi
mulai apabila keseimbangan benda-benda terganggu, kepadatannya
menjadi tidak seimbang dengan bagian-bagian lain dan prakerti itu.
Proses mencari keseimbangan yang terus menerus menyebabkan
terjadinya evolusi.

Phase pertama dan evolusi energi cosmos ini adalah terciptanya aksa bila
aksa ini digetarkan oleh prana yang dikeluarkan oleh Purusa maka
teciptalah angin. Bila angin digetarkan oleh prana yang dikeluarkan oleh
purusa maka terjadilah panas atau teja (timbul pergesekan angin).
Perputaran ini menyebabkan terjadinya pusat-pusat panas yang akan
menimbulkan radiasi sehingga temperatur menjadi turun bagian luar inti
panas ini dan gas yang membungkus inti panas lalu berubah menjadi
benda cair. Prana dari purusa terus menggetarkan lagi zat cair ini dan
akibat dari turunnya panas yang terus-menerus maka terjadilah proses
kimiawi antara benda cair dan gas ini sehingga terjadi benda padat yaitu
pertiwi dan tanah. Demikianlah bumi kita tercipta mulai dari Tuhan yang
terpikirkan yang juga disebut purusa, Brahman, Sang Hyang Widhi yang
menciptakan prana dan akasa. Dari akasa dan prana inilah terjadi Panca
Mahabhut yang masing-masing mempunyai sifat yang jumlahnya lima
disebut Panca Tan Matra (rasa, suara, sentuhan, bentuk dan bau).
Ether hanya memiliki suara gerakannya begitu halus tak terbatas
sanggup menembus segala zat dengan perantaraan ether inilah gelombang
radio disalurkan, angin hanya mempunyai dua sifat yaitu suara dan
sentuhan, kita dapat merasakan sentuhan angin yang mendesir dan dapat
mendengar suara berkobarnya api dapat merasakan panasnya api dan dapat
melihat bentuk dan rupa air. Zat cair mempunyai empat sifat yaitu kita
mendengar suara air yang mengalir dapat merasakan sentuhan air dapat
dilihat bentuknya dapat merasakan rasa air kalau diminum. Pertiwi
memiliki kelima unsur di atas yaitu punya suara kalau bergerak punya rasa
kalau dicicipi punya bau kalau dicium punya rasa kalau disentuh punya
bentuk dapat dilihat. Teori penciptaan benda-benda alam ini sesuai dengan
teori-teori penemuan para ahli modern sekarang seperti teori dari Prof.
Setevens. Dr. Lewes dan Dr. Jeans, perkembangan evolusi dari benda alam
melahirkan tumbuh-tmbuhan kemudian binatang dan akhirnya manusia.
Manusia adalah tingkatan tertinggi dari makhluk ciptaan Tuhan, perbedaan
manusia dan binatang serta tumbuh-tumbuhan sebenarnya bersifat gladual

dasar dan asal-usul bahannya sama yaitu Purusa (jiwa) dengan Panca
Mahabhuta hanya tingkatan kwalitasnya yang berbeda. Kalau binatang
hanya punya instink, instink itu telah meningkat menjadi pikiran sehingga
pada manusia dikenal moral etik serta budaya. Semua makhluk yang
berbeda-beda bentuk dan jenisnya hanya mempunyai satu jalan untuk
bebas dari penjara kelahiran di dunia ini melalui lahir sebagai manusia.
Dewa-dewapun untuk mencapai moksa harus lahir sebagai manusia utama
terlebih dahulu. Tujuan utama dari evolusi dari kehidupan makhluk alam
semesta ini adalah kesempurnaan spiritual dan itulah yang disebut moksa.

2. Manusia
Ditinjau dari arti kata maka manusia itu berasal dari kata manushya
yang berarti makhluk yang mempunyai pikiran, pikiran inilah yang
membedakan manusia dengan binatang serta tumbuh-tumbuhan. Tumbuhtumbuhan hanya mempunyai satu kemampuan yaitu untuk tumbuh dan
bergerak (bayu), binatang mempunyai kemampuan yang lebih dari
tumbuh-tumbuhan yaitu bergerak dan berbicara (bayu dan sabda) dan
manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari ciptaan Tuhan karena
manusia memiliki kemampuan bergerak, berbicara dan berpikr (bayu,
sabda dan idep). Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk
mengantarkan dirinya menemui ciptaannya yaitu Tuhan. Dengan memiliki
pikiran manusia bisa merubah nasibnya dan memperbaiki dirinya seperti
apa yang disebutkan dalam Sarascamuscaya sebagai berikut :
Manusah sarwa bhutesu wartate wal cubhachubhe
acubhesu sawasitam cublieswewa wakaryet
Artinya :
Dari demikian banyaknya makhluk hidup yang dilahirkan sebagai manusia
itu saja yang dapat berbuat baik dan buruk kemampuan melebur perbuatan
buruk ke baik demikianlah pahalanya menjadi manusia.
Disinilah peranan kita sangat penting karena dengan pikiran bisa
membedakan

baik

dan

buruk

karena

manusia

bisa

melakukan

pembaharuan sehingga memiliki sarana budaya sarana untuk mendekatkan


diri dengan Tuhan. Bila kita meninjau manusia dari tattwa dan upanisad
maka manusia adalah paduan antara purusa dan prakerti antara jiwa
dengan jasad perpaduan antara yang abstrak dengan yang kongkrit.
Pertemuan dengan prakerti melahirkan kehidupan. Seperti listrik
merupakan pertemuan positif melahirkan kehidupan. Seperti listrik
merupakan pertemuan positif dengan negatif menjadikan bola lampu yang
menyala. Bila kita tinjau dari sejarah kelahiran manusia adalah hasil
evolusi alam yang terakhir dari makhluk hidup yang paling sederhana
yang berwujud protoplasma meningkatkan diri menjadi tumbuh-tumbuhan
kemudian binatang dan akhirnya manusia. Maharesi Kapila dengan ajaran
samkhyanya mengatakan bahwa yang berevolusi bukanlah pysiknya
melainkan rohaninya, peningkatan rohani dari binatang bisa menjadi
manusia meskipun dalam kualitasnya yang lebih rendah bentuk rohaninya
yang memesan bentuk jasmani bukan sebaliknya. Menurut Kapila bukan
saja kera tetapi semua binatang dalam tingkatan yang tertinggi akan bisa
berinkamasi lahir menjadi manusia. Sang Budha sendiri sebagai orang suci
yang sudah jiwan mukti membenarkan bahkan beliau mengatakan sebelum
lahir sebagai manusia beliau pernah lahir sebagai gajah. Jika kita meninjau
asal usul manusia dari Purana maka manusia adalah keturunan manu.
Manu dianggap sebagai leluhur atau cikal bakal manusia. Diceritakan
bahwa ada suatu hari Manu yang sedang berdoa ditepi sungai Gangga,
tiba-tiba didatangi oleh seekor ikan kecil yang sedang diburu oleh seekor
ikan besar yang mau memangsanya. Manapun menyelamatkan ikan kecil
tersebut, ikan itu dibawa pulang dan ditaruh dalam sebuah bak kecil
dirumahnya tetapi besoknya ikan itu sudah bertambah besar sebesar bak
dimana ikan itu ditempatkan. Manupun memindahkan ke tempat yang
lebih besar lagi namun besoknya kejadian yang sama berulang kembali.
Manapun memindahkan ikan itu ke sungai, sungaipun sesak lalu manupun
memindahkan ikan ke laut. Setelah sampai di laut ikan itu berkata : Saya
telah mengambil bentuk ini untuk memberitahu kepadamu, bahwa saya

akan menenggelamkan dunia ini. Oleh karena itu buatlah sebuah perahu
taruhlah masing-masing sepasang dari semua jenis binatang dan tumbuhtumbuhan bersama keluargamu di dalam perahu itu. Bila air naik
ikatkanlah tali dari perahumu disiripku, bila air telah surut barulah kamu
turun kembali kedaratan.
Berdasarkan cerita ini maka Manu bukanlah manusia pertama ada, tetapi
adalah manusia yang selamat dari banjir besar dan menjadi cikal bakal
manusia sekarang. Rupanya air besar yang menenggelamkan sebagian dari
dunia ini adalah lukisan peristiwa pada waktu mencairnya es batu di
kutub-kutub dunia kita ini akibat dari bertambahnya suhu panas dari bumi.

3. Tri Guna
Prilaku seseorang ditentukan oleh dua hal yaitu :

Faktor pembawaan adalah merupakan karakter atau guna seseorang


yang dibawa sejak lahir. Guna atau karakter dari kehidupan yang
lampau dibawa juga jika seseorang berincarnasi atau lahir kedunia.

Faktor lingkungan termasuk pendidikan budaya dan pengalaman yang


dialami sesudah lahir.

Dari

guna

inilah

muncullah

kecenderugan-kecenderungan

prilaku

seseorang, apapun macamnya guna ini begitulah sifat dari pikiran, prilaku
seseorang akan ditentukan oleh intensitas pengalaman salah satu dari tri
guna itu. Bila sifat sattwa yang mengusai pikiran orang itu akan bijaksana
tahu benar dan salah hormat dan sopan lurus hati dan kasih sayang suka
membantu orang menderita, setia dan bakti serta tidak mementingkan diri
sendiri. Bila guna rajas yang menguasai pikiran orang itu akan mempunyai
pribadi yang keras, kasar, cepat, tersinggung suka mengagung-agungkan
diri sendiri kurang belas kasihan pemarah angkuh, egois, loba, bengis,
kata-katanya menyakitkan hati. Bila guna tamas menguasai pikiran orang
itu akan menjadi pribadi pemalas, pengotor, suka makan, suka tidur,
dungu, besar birahinya, iri hati. Dari uraian di atas jelas bahwa sattwa
mempunyai sifat tenang, rajas mempunyai sifat dinamis dan tamas

mempunyai sifat malas. Ketiga inilah yang menyebabkan manusia


mempunyai keinginan dan dari uraian keinginan inilah timbul gerak, orang
yang tidak memiliki ketiga guna ini sama dengan batu, tidak akan
mempunyai aktifitas. Dalam Tattwa Jnana 10 disebutkan, bila sattwa
bertemu dengan rajas terang bercahaya pikirannya itulah yang
mengantarkan atma bisa mencapai sorga. Sifat sattwa ingin berbuat baik
dan sifat rajas giat bekerja melaksanakan kehendak sattwa. Bila sifat
sattwa rajas dan tamas seimbang menguasai piiran atma itu akan lahir
menjadi manusia. Semua realisasi manusia adalah realisasi kerja ketiga
guna tersebut. Sifat tamas (malas) harus dibangunkan oleh rajas yang bisa
memaksakan tamas. Setelah rajas menguasai tamas barulah sattwa
menundukkan dan menguasai rajas. Dalam Ramayana Wibisana sebagai
simbul sattwa, Rahwana sebagai simbul rajas dan Kumbakarna sebagai
simbul tamas. Kumbakarna yang suka tidur dan makan saja baru berperang
setelah dicaci maki dan dihina lebih dahulu oleh Rahwana. Ini merupakan
simbul bahwa tamas harus ditundukkan oleh Rajas. Akhirnya Tamas dan
rajas harus dikalahkan oleh Sattwa, dalam ceritra disimbulkan Wibisana
diangkat jadi raja di Alengka setelah Rahwana dan Kumbakarna Gugur.
Selama hidup sebagai manusia selama itu Tri Guna sangat bermanfaat.
Tanpa Tri Guna manusia tidak mempunyai kemauan untuk bergerak kalau
diumpamakan hidup ini sebagai suatu perjalanan naik mobil, tubuh kita
seumpama badan mobil, pedal rem ibarat sifat tamas, pedal gas dan
kemudi ini memegang peranan penting. Bila rajas berkawan dengan sattwa
minus tamas sama sperti mobil yang remnya oblong, maka lajunya mobil
tidak tertahan kemudian tidak mampu untuk mengendalikannya. Bila
tamas bertemu dengan sattwa tanpa rajas tidak ada sesuatu pekerjaanpun
yang bisa dilakukannya. Dalam hal ini sulit membedakan antara orang
malas dengan orang sadhu, karena sama-sama tidak suka bekerja. Di India
banyak kita lihat orang malas menyamar seperti orang sadhu ia memintaminta. Bila tamas berkawan dengan rajas minus sattwa sama seperti mobil
berjalan tanpa tujuan. Pahamilah Tri Guna itu yang menjadi motor

penggerak dari pikiran, sehingaa sangat berguna selama hidup. Ia dapat


mengantarkan ketempat tujuan namun setelah sampai ia harus dilepaskan.

4. Sorga dan Negara


Sejak kecil anak-anak telah diberi dongeng mengenai sorga yang
penuh dengan keindahan dengan widyadara dan widyadari yang genteng
dan cantin-cantik, gamelan sorga yang ditabuh oleh para gandarwa dengan
menawan, pohon kalpataru yang berbuat segala macam keindahan yang
terdapat di dunia, memberikan khayalan yang menarik dan memancing
pikiran anak-anak untuk berbuat baik, karena dengan berbuat baik mereka
akan mendapatkan sorga. Sebaliknya kesengsaraan di neraka dengan jenis
siksaan yang dilakukan oleh algojo neraka Sang Cikrabala dan Jogormanik
dengan saksi yang tidak bisa ditipu Sang Citragota atau Sang Suratma dan
hakim yang menakutkan Sang Hamadipati. Kawah Candra Gohmuka
dengan arwah-arwah yang penuh dosa dimana lintah dan ulat
menggerayangi dan menggigitnya terendam di dalam air yang terdiri dari
kotoran. Dibagian lain dilukiskan roh-roh yang diikat di bawah pohon
kayu yang berdaun bermacam-macam senjata yang tajam-tajam yang pada
setiap saat berjatuhan menimpa diri mereka. Lukisan neraka yang
dilukiskan dalam lontar Atma Prasangsa cukup membikin kecut dan takut
hati setiaporang yang mendengarnya, baik cerit asorga maupun cerita
neraka telah memberi banyak andil di dalam mengendalikan moral umat
Hindu untuk takut berbuat dosa, khususnya mereka yang masih gugon
tuwon. Tetapi dengan majunya ilmu pengetahuan anak-anak sudah
berpikir secara kritis maka muncullah pertanyaan-pertanyaan yang sukar
untuk dijawab. Kalau pada jaman dahulu jika ada orang yang menanyakan
dimana sorga itu maka si bapak akan cepat menjawab sorga itu ada di atas
si anak cukup puas, dengan majunya ilmu pengetahuan pertanyaan
mengenai sorga dan negara perlu mendapat jawaban yang ilmiah. Untuk
itu maha resi maha resi sejak seribu lima ratus tahun sebelum masehi telah
mengupas soal itu dan ajarannyapun tidak disebar ke masyarakat awam

karena masyarakat awam belum mampu untuk mengartikannya. Sorga dan


neraka menurut Upanisad bukan suatu tempat bukan pula suatu bentuk
melainkan suatu keadaan pikiran bahagia atau pikiran menderita. Kalau
pikiran dalam keadaan senang dan bahagia maka itulah sorga, bila pikiran
sedih dan menderita itulah neraka, baik pikiran semasih hdiup maupun
pikiran yang membungkus roh sesudah mati. Neraka adalah suatu istilah
untuk menyebutkan keadaan yang menderita setelah meninggal.
Sebagaimana diketahui roh seseorang semasih hidup oleh pikiran (suksma
sarira) san sthula sarira yang tidak lain adalah jasad atau tubuh manusia itu
sendiri. Pada waktu meninggal sthula sarira hancur menjadi abu karena
dibakar tetapi jiwa dan pikiran bisa terbakar dan lepas seperti angin yang
tetap dibungkus oleh pelembungan. Sewaktu masih hidup gerak roh masih
berat karena masih digandoli oleh jasad sedangkan sesudah mati roh itu
dapat pergi dengan cepat kemana saja bersama pikiran. Bagaimana
penderitaan roh sesudah meninggal, jika seseorang pada waktu hidupnya
suka dengan minuman keras dan suka mabuk mabukan, setelah meninggal
kesukaannya itu masih melekat dalam pikiran, tidak hangus terbakar. Roh
ini ingin menikmati minuman keras, roh itu datang ketempat dia biasa
minum, melihat bekas temannya semasih hidup minum sampai mabok, roh
itu ingin ikut minum tetapi tidak bisa karena tidak lagi mempunyai mulut
dan tubuh, dia kecewa dan itulah penderitaan di alam sesudah mati. Jadi
sorga dan neraka itu bukan suatu tempat tetapi suatu keadaan pikiran. Rohroh yang tidak tertarik lagi dengan benda-benda sukar sekali dipanggil
melalui dukun karena itu bukannya jauh tetapi karena ia tidak tertarik lagi
dengan benda-benda duniawi. Sebaliknya roh-roh yang lebih rendah lebih
mudah memanggilnya, diberikan badan berupa kayu, orang-orangan serta
sekedar makanan sudah bisa cepat datang, jauh dan dekat tidak ada bagi
roh yang tidak lagi digandoli oleh jasad. Jika pikiran roh masih terikat
maka kontakpun cepat dilakukan sebaliknya roh suci yang tidak terikat
sulit sekali untuk mengadakan hubungan jauh dekat hanya ada dalam
pikiran.

5. Moksa
Mengapa kelahiran sebagai manusia dianggap sebagai tingkat
terakhir dari usaha mencapai kebebasan? Kelahiran sebagai adalah
merupakan pintu gerbangnya moksa karena dewa-dewapun akan lahir
menjadi manusia untuk dapat meningkatkan diri agar bisa moksa. Moksa
adalah suatu istilah untuk menyebutkan kalau roh manusia telah kembali
dan menjadi satu dengan Tuhan. Dimana roh tidak mengalami kelahiran
kembali artinya bebas dari inkarnasi serta mencapai kebahagiaan tertinggi
yaitu kebahagiaan tanpa wali duka. Sebenarnya manusia dengan atmanya
ini telah pernah bersatu dengan Brahman dan telah pernah merasakan
kenikmatan dari suka tanpa wali duka. Dengan kridanya Brahman maka
dia terlempar lagi kegelombangnya maya. Di dalam maya ini segala
kebahagiaan dan kesukaan itu selalu disertai dengan kedudukan atau
dimana kesukaan tentu ada penderitaan yang mengikuti. Jadi Atma rindu
kembali kepada asalnya yaitu Tuhan, seperti halnya titik-titik air lain yang
menjadi embun dan kemudian jatuh menjadi hujan serta mengalir menjadi
sungai melaju dengan derasnya karena rindu bertemu lagi dengan laut
(sumbernya). Ajaran agama Hindu mengajarkan orang agar melalui
kehidupan di dunia secara bertahap melepaskan keterikatan terhadap
benda-benda duniawi. Catur Asrama adalah contoh tahap-tahap hidup
yang harus ditempuh mulai dari Brahmacari sampai dengan Biksuka hal
ini bukan berarti umat Hindu tidak mementingkan dunia, justru dunia
merupakan alat untuk mencapai moksa, melalui pengenalan terhadap dunia
orang baru bisa membebaskan diri dari dunia. Dunia adalah tempat praktek
untuk melepaskan diri dari ikatan dunia moksa hanya akan bisa dicapai
melalui kelahiran di dunia sebagai manusia.
Dalam Brahman Purana 228.45 disebutkan :
Djharmarthakamamokshanam sariram sadhanam, yang artinya bahwa
tubuh adalah alat untuk mendapatkan dharma arta, kama dan moksa.

Selanjutnya kitab Sarascamusya sloka 12 menyebutkan :


Kamarhau lipsamanastu dharmameditasearet
Na hi dharmadapetyartha kamo wapi kadacana
Artinya :
Pada hekekatnya jika arta dan kama dituntut maka seharusnya
dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu tak disangsikan lagi pasti
akan diperoleh artha dan kama itu nanti tidak akan ada jika artha dan
kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Dalam sloka-sloka di atas dapa disimpulkan bahwa untuk mencapai moksa
orang harus lahir dan mempunyai tubuh sebagai manusia.
Tubuh manusia ini perlu dipelihara, diberi makan (artha) diberi
kenikmatan (kama). Artha dan kama hanya bisa didapat didunia sebab itu
manusia harus lahir di dunia. Meskipun dunia ini menyediakan artha dan
kama tetapi kalau mendapatkan artha dan kama itu menyimpang dari
dharma, maka disamping sia-sia, juga akibatnya akan menderita. Sebab itu
carilah artha dan kama itu melalui Dharma. Dharma adalah ajaran agama
yang memberikan petunjuk, seperti rambu-rambu lalu lintas, jalan yang
mana boleh ditempuh dan jalan mana dilarang untuk dilalui. Demi
kesehatan tubuh agama tidak melarang mencari artha dan kama, tetapi
hendaknya di dapat dengan jalan halal tidak menyalahi ajaran agama.
Agama Hindu tidak menolak artha dan kama, melainkan disuruh mencari
artha

itu

sebanyak-banyaknya

untuk

kemudian

diabaikan

demi

kepentingan umat manusia. Demikianlah artha itu dicari dengan jalan yang
halal dan dipergunakan untuk kepentingan mereka yang membutuhkan
tanpa mementingkan diri sendiri. Usaha yang demikian merupakan jasa
yang bisa mengantarkan seseorang mencapai moksa. Janganlah di salah
artikan melepaskan kepentingan duniawi ini dimaksud tidak boleh
mencari artha, ajaran agama Hindu tampaknya kontradiktif. Untuk Mosak
orang harus lahir ke dunia dan bergulat mengatasi dunia. Untuk bisa
membebaskan diri dari ikatan artha orang harus mencari artha.
Sebagaimana halnya untuk naik menjadi pemimpin yang baik, orang harus

terjun kepada masyarakat. Keinginan juga sangat penting sebagai motor


penggerak, karena adanya keinginan maka orang mau bergerak dan
bekerja. Setelah keinginan kuat, perlu pengendalian. Keinginan terkendali
sangat berguna untuk peningkatan spiritual. Tubuh pikiran dan panca indra
yang melahirkan keinginan akan bisa jadi kendaraan dari jiwa menuju
alam moksa, tetapi telah sampai ditempat semuanya ini harus ditinggalkan.
Tubuh ini seperti mobil hanya diperlukan selama masih perjalanan, setelah
sampai mobilpun ditinggalkan. Demikianlah pentingnya arti dunia dan
tubuh yang merupakan anugrah Tuhan

sebagai kendaraan perjalanan

menuju moksa.

C. Karma marga
Karma Marga adalah ajaran yang menekankan pada pengabdian yang
berwujud kerja tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam kitab Bhagawadgita disebutkan :
Na chi kascity ksanam api jatatisthaty akarmakrit
Karyate hy awasah karma sarwah prakrituair gunaih
Artinya :
Walau sesaat juga tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena manusia
tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksa bertindak.
Kenyataannya memang benar demikian tiada orang yang bisa menghindarkan
diri untuk bekerja walaupun waktu tidur karena jantung tetap berdetak darah
selalu mengalir dan selalu bekerja walaupun kita tidak sadari. Pikiran yang
menjadi motivasi dari kerja menentukan hasil suka dalam karma sebab
berpikir saja melahirkan karma, lebih-lebih kalau pikirkan itu dituangkan
dalam bentuk ucapan atau perbuatan maka sempurnalah karma yang
dibuatnya. Supaya hidup kita yang singkat ini tidak sia-sia dan banyak waktu
yang tidak dapat dimanfaatkan maka bekerjalah dengan giat sebab berbuat
lebih baik daripada tidak berbuat, janganlah kita takut keliru atau salah asal
jangan sengaja berbuat kesalahan. Kekeliruan atau kesalahan akan
memberikan hikmah tidak berani mencoba karena takut salah tidak beda

halnya seperti anak kecil yang taku mencob berjalan karena khawatir akan
jatuh, akhirnya lama dia baru bisa berjalan oleh sebab itu jangan takut coba
terus biar jatuh akhirnya akan bisa berlari. Kerja adalah simbul hidup dengan
bertambahnya pengalaman dan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian
manusia berkemampuan yang terbatas perlu bekerja dengan seefesien
mungkin (tepat guna) catur Asrama adalah pembagian tugas kewajiban
berdasarkan umur yang erat sekali kaitannya dengan kemampuan. Manusia
adalah ciptaan dan juga gambaran Tuhan dalam pengertian Bhuana Agung dan
Bhuana Alit, jika Tuhan diumpamakan sungai yang mengalir maka manusia
adalah titik air yang ikut dalam arus sungai tersebut. oleh karena itu maka
manusia hendaknya meniru geraknya Tuhan jika menginginkan seperti apa
yang disebutkan dalam :
Bhagawadgita III.23.24.
Yadi hy aham na wateyam
jatu karmany atandritah
mama wartn nuwartante
mansyah partha sarwasah
Utsideyur ime loka
na kuryam karma ced aham
samkarasya ce karta syam
upahanyam imah prajah
Artinya :
Sebab kalau aku tidak selalu bekerja, aku jadi pencipta kekacauan itu,
dalam segala bidang apapun juga.
Dunia ini akan hancur jika Aku tidak bekerja, Aku jadi pencipta
kekacauan itu,memusnahkan manusia itu semua.
Dengan demikian jika orang tidak bekerja dia akan dilindas oleh harus
berputarannya dunia dan menderita. Penderitaan akan menjadikan kehancuran
diri sendiri dan dia sendiri sebagai pencipta kehancuran dirinya. Untuk
mengatur alam semesta ini agar tidak hancur Tuhan telah menurunkan hukum
karma atau hukum sebab akibat.

Karma Phala
Istilah karma phala berarti hasil dari perbuatan, karena setiap perbutan
pasti ada akibatnya, berwujud baik dan buruk, suka atau duka, penderitaan
atau kebahagiaan. Tidak ada perbuatan yang sia-sia semua akan membuahkan
hasil disadari atau tidak disadari. Dalam bayangan kebanyakan orang hasil
atau akibat dari perbuatan itu bentuknya seperti apa yang menjadi sebab,
misalnya jika saya memukul orang maka saya akan menerima balasan
pukulan, kalau saya menanam padi hasilnyapun padi. Jika demikian jalannya
karma maka orang akan takut untuk berbuat, seorang tentara tidak akan berani
maju kemedan perang membunuh musuh karena takut kena karma
pembunuhan. Proses karma phala sungguh rumit sekali, sifatnya komplek
wujudnya bisa kongkret atau abstrak, walaupun demikian karma phala adalah
suatu kebenaran suatu yang nyata-nyata ada. jika kita berdiri di pantai maka
kita akan mendengar deburan ombak yang menakutkan menerjang batu
karang, dari mana datangnya suatu yang begitu hebat? Tidak lain adalah
akibat dari titik-titik air dengan sesamanya dan sentuhan titik-titik air dalam
jumlah yang banyak menghantam pantai. Bayangkan kalau hanya setitik air
yang menghantam pantai karang tidak akan terdengar suara yang besar.
Demikian pula karma yang banyak kita perbuat secara sadar maupun secara
tidak sadar karma baik dan karma buruk semuanya tercatat dalam otak
ditampung dalam pikiran di bawah sadar. Demikian pula waktu dan situasi
pada waktu karma itu dibuat. Marilah kita lihat jalannya karma yang dibuat
oleh Dewi Drupadi dalam cerita Mahabrata. Dewi Drupadi menerima karma
malu, karena secara kasar ditelanjangi oleh Dussasana ata perintah Duryodana
setelah Panca Pandawa kalah main dadu. Sebaliknya Dewi Drupadi menerima
karma pertolongan dari Sri Kresna yang membantunya dari jauh dengan kain
yang berlapis-lapis tidak habis-habisnya sampai Dussasana kehabisan tenaga
tidak mampu menelanjanginya.
Karma apa yang diperbuat oleh Drupadi? Pada waktu istana Indra
Prasta telah selesai dibangun dan akan dilangsungkan upacara Rajasuya,
Kaurawapun diundang. Duryodana dan Dussasana dengan saudara-saudaranya

datang, ditengah gedung istna ada kolam yang airnya sangat jernih sehingga
dasar kolam kelihatan jelas. Pada waktu itu Duryodana dan Dussasana sedang
terheran-heran kekaguman melihat indahnya istana tidak melihat ada kolam di
depannya sehingga Duryodana dan Dussasana terperosok ke dalam kolam
sampai pakaiannya basah kuyup, kejadian ini dilihat oleh Dewi Drupadi dan
secara tidak sadar ia tertawa. Duryodana dan Dussasana memang menaruh hati
kepada Dewi Drupadi dan sekarang ditertawai oleh orang yang dipujanya
bukan main malunya. Dendampun tertanam pada diri mereka kejadian inilah
yang merupakan karma pada Dewi Drupadi sehingga patut mendapat malu
dan ditertawai oleh mereka. Malu dibalas dengan malu pertolongan yang
diterima bisa berbeda dengan bentuk malu dan pertolongan ketika Drupadi
membuatnya. Karma phala ini adil obyektif dan tidak memihak, namun karena
kebanyakan orang tidak mengetahui proses terjadinya sehingga ada tanggapan
yang keliru. Hubungan karma orang mempunyai kebebasan sepenuhnya
menentukan langkah berikutnya tergantung pada reaksi yang ditimbulkan oleh
langkah pertama itu. Demikianlah selanjutnya sampai permainan selesai,
langkah selanjutnya adalah merupakan jawaban dari langkah sebelumnya.
Semua sebab menimbulkan akibat dari akibat itu menimbulkan akibat baru.
Karma phala yang kita terima sekarang sebagian besar merupakan hasil dari
perbuatan yang lampau dan adanya hasil karma yang baru saja dibuatnya. Ada
beberapa jenis karma phala yang didasarkan atas waktu karma phala itu
diterima yaitu :
1. Prarabda karma pahala yaitu perbuatan yang dibuat pada waktu hidup
sekarang dan diterima dalam waktu hidup sekarang juga. Orang Bali
menyebut karama semacam ini karma cicih umumnya pada jaman
kaliyuga dan saat-saat kekacauan prarabda karma itu sering terjadi.
2. Kryamana Karma Phala yaitu perbuatan yang diperbuat sekarang ini
tetapi hasilnya akan diterima di alam baka setelah mati, jika perbuatan
baik yang dilakukan maka akan menikmati sorga dan begitu pula
sebaliknya karmanya buruk dia akan mendapat siksaan di neraka.

3. Sancita Karma Phala yaitu perbuatan yang dibuat sekarang di dunia ini
yang hasilnya akan diterima pada kelahiran yang akan datang.

D. Raja Marga
Raja Marga adalah salah satu jalan dari empat jalan yang dikenal di
dalam Agama Hindu untuk mencapai moksa, tiga diantaranya yaitu bhakti,
karma dan jnana marga telah diuraikan dimuka. Raja Marga menggunakan
pikiran sebagai alat karena itu pengenalan terhadap pikiran itu sangat penting,
tergantung dari tidaknya kita mengendalikan/mengalahkan pikiran.
Di dalam kitab Bhagawadgita ada disebutkan beberapa cara melakukan
meditasi :
Biarlah yogi memusatkan pikirannya
Terus menerus pada atman ditempat yang aman
Sendirian menguasai jiwa dan raganya
Bebas dari nafsu keinginan dan harta benda. (Bhag.G.VI.10).

Dengan tubuh duduk ditempat suci, diatur untuk


dirinya tidak tinggi dan tidak rendah
dialasi dengan rumput suci kusa (alang-alang)
ditutup dengan kulit rusa dan kain. Bhag.VI.11.

Disana dengan memusatkan pkiran kesatu arah


mengendalikan panca indra dan kerja panca indra
duduk di atas tempat duduknya
melaksanakan yoga dan menyucikan jiwa. bhag.g.vi.12

Dengan badan dan leher tegak


duduk diam tiada bergerak
tetap mamandang keujung hidungnya
dan tanpa menoleh-noleh kesekitarnya bhag.g.vi.13.

Dengan tentramnya atman tidak takut


teguh melakukan brahmacari,memikirkan
aku dalam bhaktinya, biarlah ia duduk dengan
aku jadi tujuannya bhag.g.vi.14

Seperti lampu ditempat tak berangin


nyalanya tak terkedip
dengan pikirannya yang dikendalikan
terlatih mengendalikan diri. bhag.g.vI.21

Disana dimana pikiran telah tentram


terkendalikan oleh konsentrasi yoga jiwa
menyaksikan jiwa bertemu jiwa
merasa dalam bahagia, bahagia. bhag.g.vi.22

Kalau kita perhatikan bait-bait diatas telah disebutkan pokok-pokok tata cara
orang utuk melaksanakan meditasi adalah sebagai berikut :
Pertama-tama carilah tempat suci yang tentang ada suci jauh dari keramaian
yang pada hakekatnya hal itu bisa dilakukan dimana saja yang suasananya bisa
mengiring ketenangan. Setelah temapt didapatkan berubah duduk dengan
sikap Padmasana yaitu kaki kanan diletakkan di atas kaki kiri, kaki kiri
diletakkan di atas kaki kanan.
Pada mulanya posisi ini memang sukar tetapi kalau sudah sering dilatih
dan dibiasakan akan terasa enak dan stabil, jari-jari harus bersentuhan erat satu
dengan yang lainnya dan kedua jari tangan harus diletakkan di depan. Mata
bisa dipejamkan sepenuhnya tetapi sebaiknya setengah terbuka. Apabila
semua hal tersebut telah terlaksana baru kita mengkonsentrasikan pikiran. Di
dalam mengkonsentrasikan pikiran ada dua arah yang bisa ditempuh :
a. Pemusatan pikiran Tuhan dianggap di luar diri sendiri seperti di
Padmasana, Pratima, Gambar Ciwa atau Guru pada Daksina Pelinggih,

semua hal tersebut bukan saja dianggap sebagai alat untuk memusatkan
pikiran tetapi dipercaya Tuhan berada di dalamnya.
b. Pemusatan pikiran bahwa Tuhan berada di dalam diri sendiri, umumnya
sebagian besar dari pemeluk agama mencari Tuhan di luar dirinya sendiri
tetapi para yogin sebaliknya Tuhan dicari di dalam dirinya sendiri sebagai
rumah Tuhan (pura) adalah badan sendiri. Di dalam Upanisad disebutkan
bahwa di dalam diri kita bertahta Atma dan Paramatma dilukiskan seperti
dua ekor burung yang bertengger pada sebuah dahan yang satu dari
padanya aktif menikmati buah yang ada di dahan itu sedangkan yang
lainnya lainnya hanya menonton hanya menyaksikan apa yang dilakukan
oleh temannya tetapi kedua burung itu adalah burung yang sama. Meditasi
adalah pertemuan atma dengan Patamatma antara jiwa dengan jiwa seru
sekalian alam antara titik air dengan samudra.
Pemusatan pikiran dengan tujuan mencari Tuhan di dalam diri sendiri
memang sulit dan berbahaya sebab itu tuntunan guru sangat diperlukan.
Adapu dasar-dasarnya yang diperlukan dalam pemusatan pikiran adalah
sebagai berikut :
1. Kesucian Pikiran
Pikiran dapat disucikan dengan peningkatan guna sattwa mula-mula
dengan mengatasi pengaruh rajas dan tamas lama kelamaan menggantikan
keseluruhannya dengan guna sattwa. Penyucian pikiran secara garis
besarnya dapat dilaksanakan melalui :
a. Peningkatan Kesucian Melalui Makanan. Chandogya Upanisad
VI.5.4. menyebutkan :
Makanan yang kita makan dirubah menjadi tiga hal yaitu : sebagian
besar daripadanya menjadi kotoran bagian yang lainnya akan menjadi
daging dan yang terhalus akan menjadi pikiran. Makanan yang bersifat
suci akan menambah kesucian pikiran sedangkan pikiran yang bersifat
buruk akan menambah kekotoran pikiran. Bagi para yogi makan daging
binatang

memang

dipantangkan

karena

mengandung unsur-unsur yang bersifat rajas.

kebanyakan

daging

Makanan yang kita makan harus didapat dengan cara baik dengan
memperoleh makanan secara halal dan juga tempat menghidangkan
atau waktu menghidangkan atau waktu menghidangkan serta pada saat
membuatnya alat-alat yang dipergunakan harus bersih.
b. Peningkatan Kesucian Melalui Kebersihan Jasmani
Hubungan jasmani dan rohani sangat erat dan bersifat timbal balik bila
pikiran sedang sedih maka nasipun rasanya tidak enak dan nafsu makan
berkurang serta pikiranpun tidak terasa enak.
Kebersihan rohani bisa dirangsang dengan kebersihan jasmani bila baru
habis mandi maka badanpun terasa enak/segar serta pikirannya menjadi
jernih. Orang tidak akan merasa nyaman melakukan persembahyangan
kalau badan masih penuh dengan lumpur baru datang dari sawah. Oleh
karena itu sebelum melakukan persembahyangan hendaknya mandi atau
paling sedikit mencuci muka terlebih dahulu.
c. Japa, Dhayan dan Smara menyucikan pikiran kita dari semua
kemelaratan duniawi. Japa yaitu selalu menyebutkan nama Tuhan atau
selalu mengucapkan Om, Dhyana yaitu memusatkan pikiran kepada
Tuhan dan Smara yaitu ingatan selalu membayangkan Tuhan.
Ketiganya ini adalah alat yang ampuh dalam menyucikan pikiran
sebagaimana halnya sabun yang digunakan untuk membersihkan
kotoran jasmani.
d. Mengunjungi tempat suci, selalu bergaul dekat dengan orang suci

membersihkan pengaruh yang besar terhadap kesucian diri sendiri.


Para raja-raja pada jaman dahulu mengambil berkah dengan
mengunjungi pura ataupun candi serta tempat pemukiman para
petapa dengan tujuan menambah kesucian yang ada pada diri raja
itu sendiri. Getaran kesucian yang dipancarkan oleh orang suci
mempengaruhi pikiran orang yang ada didekatnya. Pura yang selalu
disucikan mengeluarkan pula gelombang kesucian seumpama
kolam yang bisa membersihkan badan seseorang yang menceburkan
diri kedalamnya. Itu pulalah sebabnya pergi sembahyang ke Pura

adalah lebih utama dari dirumah sendiri. Pura adalah rumah Tuhan
yang disucikan oleh umatnya pada waktu upacara penyucian
bangunan Pura tersebut. Oleh karena itu pancaran kesucian Tuhan
yang keluar dari tempat suci ini akan hebat dari rumah kita sendiri
yang kita sering pergunakan untuk memenuhi kebutuhan duniawi.
Namun walaupun demikian arti suci itu tidak sama dengan bersih,
dalam arti suci terkandung lahiriah dan kebersihan rohaniah.

BAB V
YADNYA

Sasaran Belajar

Mahasiswa Mengerti tentang makna Yadnya


Mahasiswa Memahami Pelaksanaan Yadnya
Mahasiswa Melaksanakan Ajaran Yadnya

Di atas telah disebutkan semua perbuatan yang dilakukan dengan sadar


maupun tidak sadar disebut karma yang secara garis besarnya dibagi dua yaitu
karma baik (subha karma) dan karma buruk (asubha karma). Karma baik yang
disertai dengan keikhlasan berkorban untuk orang lain maupun untuk Tuhan
disebut Yajna.
Dalam yajna terkandung suatu pengertian kesengajaan berkorban untuk
kebaikan orang lain, sengan pengorbanan kepentingan atau keinginan serta
kesenangan pribadi demi untuk menyenangkan orang lain .
Pengorbanan secara garis besarnya dapat dibagi dua yaitu :
a. Pengorbanan ini bisa berbentuk upacara yang dikenal dengan upacara yajna
seperti : manusia yajna, bhuta yajna, pitra yajna, dewa yajna dan rsi yajna.
Semua pengorbanan itu dilakukan dalam bentuk simbul dituangkan dalam
bentuk upakara-upakara (banten). Simbul-simbul yang dituangkan dalam
bentuk ini adalah peragaan dari tattwa dan filsafat, karena yajna tersebut
merupakan wujud konkrit dari filsafat. Bila diteliti upakara-upakara itu
sungguh-sungguh mengagumkan artinya semua hal-hal yang abstrak bisa
digambarkan dalam banten. Tuhan tidak bisa dipikirkan bisa digambarkan
dengan banten seperti banten di sanggar surya, pikiran yang tidak bisa dilihat
bisa dilukiskan dengan berjenis-jenis macam sesayut, pikiran mohon maaf saja
bisa dilukiskan dengan banten guru piduka.
b. Pengorbanan yang berbentuk Tri Kaya yaitu pengorbanan yang berbentuk
pikiran mau mengerti kebenaran orang lain bersikap toleransi bisa menghargai
pendapat orang lain adalah sesuatu yajna. Pengorbanan berbentuk kata-kata
yang baik tidak menyakiti orang lain lemah lembut mengendalikan diri tidak

sampai mengeluarkan kata-kata kasar adalah suatu yajna. Dengan demikian


yang disebut yajna adalah segala pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang
dengan tujuan berbuat kebaikan kepada orang lain termasuk kepada Tuhan
dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri bahkan diri sendiri/pribadi.

Pengertian Yadnya
Yajna berasal dari bahasa Sansekerta dengan urat kata yaj yang artinya
memuja atau memberi pengorbanan atau menjadi suci. Kata ini juga diartikan
mempersembahkan bertindak sebagai perantara. Dari urat kata itu timbul kata
yajna yang berarti pemujaan, doa dan persembahan yang kesemuanya berarti
sama dengan Brahma. Di dalam Rg. Weda VIII 40.4 kata yajna berarti kurban
atau pemujaan. Dari istilah yayus yang bersumber dari urat kata yaj, timbul
pula istilah yajur Weda yaitu himpunan Weda Mantra yang menguraikan
mengenai pokok-pokok ajaran tentang berayajna atau hubungan antara
manusia yang disembah. Disamping itu juga yajna adalah cara atau acara
dalam persembahyangan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Weda.
Disamping penjelasan diatas terdapat pula keterangan lain yang dapat kita
ungkapkan dari berbagai sumber Weda yang menyebutkan makna yajna secara
umum yang dapat dipergunakan untuk menambah penjelasan tentang makna
atau arti kata yajna antara lain :
a. Yajna sebagai cara pelaksana ajaran agama. Dengan ajaran yajna sabdasabda suci dalam Rg. Weda akan dikembangkan jadi yajna adalah salah
satu sistim penerapan dan pengembangan dalam mengamalkan ajaran
Weda.
b. Yajna merupakan pengorbanan lahir bathin. Di dalam Rg. Weda X.13.4
dan Atharwa Weda XVII 3.49 diungkapkan bahwa bentuk yajna yang
tertinggi adalah pengorbanan lahir bathin.
Dari pengertian diatas dapat diungkapkan yajna ialah berkorban demi Tuhan
dan kemanusiaan dalam menegakkan kebenaran maupun untuk melindungi
kemanusiaan adalah merupakan jalan yang paling utama bagi orang yang
imam dalam menjalankan ajaran agama atau mengamalkannya.

Di dalam kitab Rg, Weda menjelaskan teori penciptaan dunia melalui yajna
dikemukakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan jalan Yajna
dimana untuk keperluan yajna itu ia telah menjadi dirinya sebagai dasar yajna.
Ide yang terkandung didalamnya adalah perantara kedudukan yajna sebagai
lembaga kurban untuk kepentingan kemanusiaan. Dengan melakukan yajna
saja bukan merupakan jaminan mutlak bahwa orang itu akan dapat mencapai
moksa atau Brahma Nirwana.
Menurut sumber-sumber tertulis sebagaimana disebut dalam Kitab Sruti
maupun Smerti sebagai sumber ajaran yajna dasar hukum berlakunya yajna
bersumber pada kaedah etika sosio moral religius yang dapat dibedakan dalam
dua macam, yaitu :
a. Yajna berdasarkan Teori Rna atau hutang, manusia pada hakekatnya
dinyatakan sejak lahir terikat oleh adanya hutang. Ada tiga macam hutang
yang diajarkan di dalam Agama Hindu yaitu :
-

Dewa Rna atau hutang kepada Tuhan

Rsi Rna atau hutang kepada Rsi

Fitra Rna yaitu hutang kepada para leluhur.

Rna artinya hutang yang menurut azas hukum setiap hutang harus dibayar.
Apabila orang tidak membayar hutangnya sendiri selama hidupnya dan
demikian pula ketenangannya atau anaknya sebagai penurun keluarga
tidak dapat membayar hutangnya itu maka selamanya orang itu terikat
oleh hutang yang menyebabkan pada suatu saat ia harus turun menjelma
atau

turun

kembali

ke

dunia

ini

agar

supaya

mereka

dapat

menyempurnakan dirinya sampai akhirnya mencapai moksa dan tidak lagi


menjelma untuk selama-lamanya.
b. Kesadaran berdosa sebagai dasar berlakunya yajna dengan kesadaran
berdosa artinya bahwa manusia secara langsung maupun secara tidak
langsung menyadari bahwa dirinya adalah berdosa. Inilah yang mendorong
manusia untuk berusaha secara terus menerus tanpa henti-hentinya dengan
penuh kesadaran untuk menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh
pikiran, perkataan dan perbuatan dengan harapan bila kesucian telah

dicapai maka akan membantu mempermudah bagi dirinya untuk mencapai


moksa.

Lembaga yajna sebagai acara bersifat publik (umum) yang dapat dibedakan
menjadi lima macam yajna atau Panca Maha Yajna. Perbedaan kelima macam
bentuk yajna itu didasarkan pada cara pelaksanaannya dan obyek
pelaksanaannya.
Baik obyek maupun cara pelaksanaannya pada garis besarnya akan
melakukan lima macam bentuk tata cara yajna yang disebut Panca Maha
Yajna.

Panca Maha Yajna


Dasar utama dari ajaran agama Hindu adalah Panca Maha Yajna.
Panca artinya lima, Maha artinya besar sedangkan Yajna artinya kurban atau
persembahan. Jadi Panca Maha Yajna lima macam cara utama dalam
melakukan persembahan atau yajna. Adapun kelima macam maha yajna itu
adalah :
1. Dewa Yajna
Dewa yajna adalah yang diadakan dan ditujukan sebagai penghormatan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa. Istilah Dewa mengandung dua
arti yaitu :
a. Dewa yaitu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan dalam hal ini
sebagai Dewata.
b. Dewa yaitu sebutan untuk segala jenis mahluk Tuhan yang dijadikan
dari sinar atau mahluk cahaya.
Menurut ajaran agama Hindu bahwa Dewa adalah wujud sifat
kemahakuasaan yang bersifat khas atau khusus. Ini tidak berarti Tuhan
tidak memegang peranan. Justru adanya dan bentuk sifat kekuasaan
Tuhan. Karena Dewa itu adalah perwujudan Tuhan, karena itu cara
penghormatanNya yang dikaitkan pada salah satu sifat kekuasaan Tuhan
akan menimbulkan cara penghormatan yang bermacam-macam. Dewa

yajna adalah pemujaan atau persembahyangan yang ditujukan kepada


Tuhan Yang Maha Esa dan kepada segala bentuk perwujudan
(manifestasinya). Berbakti, sujud menyembah kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah merupakan dasar keimanan yang pertama dalam panca maha
yajna.
Yang merupakan tujuan dari Dewa Yajna adalah :
-

Menyampaikan hormat dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rakhmat dan nikmat yang diberikan yang disampaikan setiap
hari dalam bentuk Trisandhya dan pada hari-hari tertentu.

Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, umur panjang,


kesaksian, kemuliaan, bimbingan, petunjuk-petunjuk yang benar,
keselamatan untuk diri sendiri, keluarga dan orang lain, kesucian,
kesempurnaan, keberhasilan dalam segala usaha dan kekuatan lahir
bathin.

Menyampaikan rasa syukur.

Di dalam kitab Purana terdapat beberapa petunjuk tentang tata cara


pemujaan Tuhan Yang Maha Esa meliputi :
-

Membersihkan diri dan segala alat upakara.

Melakukan Sandhya atau menghubungkan diri kepada Tuhan


Yang Maha Esa dengan memusatkan pikiran kepada Tuhan Yang
Maha Esa termasuk membayangkan wujudNya, keadaanNya dan
mengusahakan sampai terbanyak seakan-akan beliau hadir.

Menyampaikan puji-pujian sebagai pujaan kepada Tuhan Yang


Maha Esa dengan memakai mantra-mantra stotra atau stawa.

Menyuguhkan acmania dan padyargha dan segala persembahan


seperti sesajen dan mantra-mantra.

Menyampaikan niat tujuan sembahyang yang dilakukan dengan


memohon agar diperkenankan.

Menyampaikan perasaan terima kasih dan permohonan maaf


kepada para dewa-dewa dan para pitra atau permohonan yang

disampaikan serta serba kekurangan atau ketidak sempurnaan


segala yang dipersembahkan baik mantra maupun sesajen.
-

Permohonan berkah dan rahmat yang ditujukan dalam bentuk


ucapan yang disampaikan seperti Sri-Sukha-Purna dan kemudian
air tirtha untuk diterima sebagai pemberian dan dipergunakan
sebagai acamania.

Memakai basma sebagai cara pensucian lahir bathin membasmi


segala kekotoran.

Yang perlu diperhatikan ialah bahwa dalam melakukan pemujaan kepada


Tuhan pada umumnya banyak pantangan dan hambatan karena mahlukmahluk lain terutama yang sifatnya berlawanan dengan Tuhan pada
hakekatnya tidak menghendaki agar doa permintaan kita didengar oleh
Tuhan. Oleh karena itu tidak jarang kalau tujuan sembahyang itu tidak
berhasil. Untuk itu harus diperhatikan hal sebagai berikut :
-

Kesucian

Sikap mental serta dan niat yang belum siap menyatu, tidak boleh ragu
atau setengah-setengah kita harus yakin dan percaya kepada Tuhan

Mengusahakan membuat perlindungan pada diri dari segala gangguan


atau serangan dari berbagai jenis kekuatan yang tidak tampak.

Menjauhkan mahluk-mahluk dari tempat itu yang ingin menganggu


biak secara halus dengan pemberian dana atau dengan cara kekerasan.

Yang merupakan bentuk acara Dewa Yajna adalah sebagai berikut :


-

Yang bersifat rutin.

Yang dikaitkan dengan upacara pujawali yaitu jadinya Pura tempat


upacara itu (pemakuh, pemelaspas dan ngenteg linggih).

Yang dikaitkan dengan hari tertentu tergolong upacara umum seperti


antara lain :

Budha Keliwon Pager Wesi, Tumpek Landep,Tumpek Wariga, Galungan,


Kuningan, Tumpek Uye, Tumpek Wayang, Saraswati, Siwaratri dan
Nyepi.

Yang bersifat insidentil misalnya dalam hal melakukan tirta yatra pergi ke
tempat-tempat suci dan Pura-Pura.

2. Resi Yajna
Resi Yajna juga disebut Brahma yajna, intinya adalah yajna yang
ditujukan kepada Resi atau Brahmana yang dianggap sebagai penerima
wahyu dan pengubah Weda. Menurut Agama Hindu berpegang pada Weda
pandangan hidup Hindu berdasar Weda. Hindu menjadi manusia yang
berbudaya dan berbudi pekerti luhur adalah karena Weda. Karena itu
setiap umat Hindu menganggap dirinya dan dianggap berhutang pula
kepada para Maha Resi atau Brahmana.
Brahmana adalah Dewa yang dianggap berkuasa atas Weda. Ia dianggap
menyampaikan ajaran itu melalui Maha Resi. Karena itu baik Brahma maupun
Resi dianggap sangat berjasa terhadap umat manusia. Dengan demikian wajib
hukumnya untuk membayar hutang kepada mereka sebagai balas budi. Untuk
balas budi itu diwajbikan melakukan yajna kepada para Maha resi atau
Brahma itu. Inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Resi Yajna itu.
Pelaksanaan Resi Yajna secara garis besarnya dapat dibagi beberapa cara
antara lain :
1. Melakukan Swadhyaya atau belajar sendiri kitab-kitab suci Weda.
2. Memperingati hari turunnya Weda.
3. Menyebar luaskan ajaran Weda.
4. Melakukan punia dan daksina kepada para pandita pada hari-hari
tertentu sesuai dengan ketentuan kitab Suci Weda.
Dinyatakan bahwa mereka yang rajin melakukan punia dan tidak lupa
memberi daksina kepada para pendeta karyanya pasti berpahala. Bahkan
pengisian sarin canang pada waktu upacara itupun merupakan Brahma
yajna pula. Karena itu bila menyampaikan sesajen berupa canang sari atau
lainnya jangan lupa mengisi sarinya canang berupa uang sebagai daksina
atau yajna. Yang penting adalah kesadaran dan tanggung jawab kita untuk
memenuhi keawjiban itu. Agama Hindu akan bertambah kuat dan baik

apabila setiap umat sadar dan terpanggil untuk beryajna termasuk Resi
Yajna.

3. Manusya Yajna
Salah satu yajna panca yajna adalah manusya yajna. Di dalam
berbagai kitab ajaran agama, manusya yajna dapat dibedakan dalam dua
macam yaitu :
1. Untuk manusia itu sendiri yang umum disebut manusya yajna.
2. Untuk manusia tetapi bukan diri sendiri yaitu untuk orang lain dan
umum disebut dengan Ahtiti yajna.
Jadi atithi dan manusa yajna itu keduanya disebut manusya yajna pula.
Untuk menekankan perbedaan kedua jenis yajna itu sering dipergunakan
istilah samskara untuk mengganti manusa yajna. Kata Samskara sering
dipakai kata sangaskara tetapi kata sangaskara itu sendiri sering diartikan
dalam pengertian yang lebih sempit yaitu upacara pensucian atau
prayascita.
Yang merupakan tujuan dari upacara manusa yajna adalah :
a. Untuk menjadikan lahir dan bathin agar manusya itu menjadi suci.
b. Untuk mendidik secara lahir dan bathin agar manusia itu menjadi
sempurna lahir dan bathin.
c. Untuk meningkatkan status manusia dari satu tingkat ke tingkat yang
lebih tinggi.
d. Untuk menjadikan manusia itu sempurna sehingga dapat berhubungan
dengan Tuhan.
e. Untuk memberi perlindungan secara spiritual sehingga luput dari
segala gangguan.
f. Untuk meningkatkan budhi daya manusia sehingga lebih mulia.
Dari pokok pengertian itu jelas kepada kita bahwa upacara manusa yadnya
adalah merupakan yajna yang amat penting. Penting dalam arti kita harus
selalu membuat badan pikiran dan ucapan itu suci. Bagi mereka yang
belum mampu menyucikan dirinya itu mereka perlu dibantu dan dalam hal

ini

kewajiban

setiap

orang

tua

terhadap

keturunannya

untuk

mensucikannya.
Hidup dalam kesucian merupakan dambaan mereka itu jalan kesucian
harus ditempuh. Dinyatakan bahwa Tuhan bersifat suci dan mulia dan
karena itu yang suci dan yang mulia itu. Ini terutama dirasakan perlu
karena pada hakekatnya orang yang iman mereka mempunyai kesadaran
dosa yang tinggi atau selalu berusaha mensucikan diri lahir dan bathin.

Bagaimanakah cara pelaksanaan manusya yajna itu ? Pertanyaan ini sering


timbul pada diri kita. Untuk menjawab pertanyaan itu kita harus
mengetahui tidak saja pengertian manusya yajna itu tetapi juga manusya
yajna.
Disamping itu kitapun harus mengenal sifat-sifat berbagai macam sifat
benda yang akan disucikan karena ketentuannya tidak sama. Benda rohani,
jasmani dan benda materi semuanya berbeda. Badan, benda-benda tertentu
apabila kotor harus dibersihkan dengan air. Pikiran manusia yang tidak
suci harus disucikan dengan ucapan kata-kata yang jujur dan berpikir yang
selalu baik. Roh manusia dapat dibersihkan melalui Yoga Semadhi dan
dengan yajna sedangkan budhi indrya manusia harus disucikan dengan
pengetahuan yang baik dan benar. Jadi jelas tidak semua benda atau obyek
yang akan disucikan dapat dilakukan dengan cara yang sama. Manusia
dalam keadaan tidak suci atau kotor harus disucikan baik dilakukan sendiri
maupun atas bantuan orang lain. Ketidak sucian itu terjadi pula karena kita
ada dosa. Disadari atau tidak setiap manusia yang lahir menurut ajaran
agama Hindu adalah dianggap berdosa atau mempunyai dosa. Karena itu
kewajibannya adalah melenyapkan dosa-dosa itu.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membersihkan diri
manusia dalam upacara samskara yaitu :
a. Melakukan upacara byakala. Kata Byakala artinya memberi sedekah
kepada kala. Acara ini juga disebut dengan beakaon yaitu pemberian

dengan harapan roh jahat meninggalkan tempatnya atau mengusir dan


mendatangkan roh yang baik.
b. Upacara

melukat

(ngelukat)

atau

Prayascita

adalah

upacara

membersihkan diri. Upacara ini juga tergolong upacara prayascita


sebagaimana dimaksud di dalam kitab Weda. Dinamakan melukat
karena di dalam uparaca ini sarana upacara terpenting adalah tirta
palukatan yang khusus diperuntukkan untuk tujuan itu.
Pangkulat fungsinya membersihkan diri raga itu dari semua noda dan dosa
baik yang timbul dari ucapan pikiran maupun perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja atau tidak sengaja. Khusus di Bali acara ini dibedakan
dalam tiga macam, yaitu :
1. Penglukatan sederhana yang paling kecil.
2. Padudusan Alit yang berikutnya lebih besar dari pengkulatan biasa.
3. Pedudusan Agung yaitu pengkulatan yang paling besar.

Ketiga macam itu menentukan jenis upacara yang berbeda-beda pula.


Untuk kesaksian rokhani dilakukan dengan membuat daksina atau lebih
besar lagi adalah sanggar Surya dan diselenggarakan di bala paruman atau
balai Agung. Ketiga cara itu sebagai pengganti bentuk tapa brata.

c. Ucapara Natab (ngayab) adalah cara pemanggilan atau mengundang


kekuatan yang dianggap suci seperti para Dewa.

d. Upacara

Muspa

(sembahyang)

intinya

adalah

pada

upacara

padyargha yaitu memohon tirta masuh pada. Muspa artinya


menyembah kepada Tuhan, Dewa-dewa, Dewa Bhatara dan Pitara
(Dewa Hyang) untuk mohon perkenan merakhmati apa yang diminta
oleh mereka yang sembahyang.

e. Brata atau tapa pada umumnya ditentukan sebagai cara pensucian lahir
bathin sebagai akibat perbuatan dosa.

f. Pranayama adalah merupakan cara pensucian badan rokhani.


Pranayama artinya mengatur jalannya nafas mulai dari cara mengambil
nafas, menahan nafas dan mengeluarkan nafas. Ini dibagi atas :
1. Recaka (mengeluarkan nafas)
2. Kumbaka (menarik nafas)
3. Menahan nafas menyebarkan keseluruh tubuh.
Apabila pranayama dapat dilakukan dengan baik dan benar pikiran
akan menjadi tentang, dosa-dosa secara bertahap dapat dihapuskan dan
badan rokhani akan menjadi suci.
Sebelum melakukan Tri Sandhya dianjurkan melakukan pranayama,
demikian pula sebelum melakukan yoga samadhi. Pranayama di dalam
purana dianggap sebagai salah satu bentuk yajna. Kesehatan dapat pula
dipelihara melalui jalan pranayama secara terakhir. Untuk memberi
kekuatan dan memperkirakan lama waktu pranayama dapat dibantu
dengan pengucapan mantra dan pemakaian Japa Aksamala.

g. Pengucapan mantra-mantra
Mantra adalah lafal-lafal yang dianggap sangat penting. Yajna tanpa
mantra dan doa dianggap belum sempurna, oleh karena itu dalam setiap
yajna peranan dan fungsi pedanda atau pemangku amat penting. Akan
lebih baik apabila setiap orang mempelajari dan menghafalkan mantramantra tertentu. Jaman Kaliyuga seperti sekarang ini bantuan pedanda
memang amat perlu. Ini tidak berarti mutlak karena apabila setiap orang
dapat memantra sudah cukup. Mantra diucapkan berkali-kali dan
bentuknya singkat dinamakan japa. Melakukan japa berkali-kali disebut
Prajapala. Untuk membantu dalam prajalpa dipergunakan aksamala.

Disamping itu masing ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
acara manusa yajna yaitu tentang waktu-waktu yang tepat untuk melakukan
manusa yajna. Sebagaimana berbagai macam yajna memerlukan landasan

yang kuat dan rational demikian pula manusa yajna itu. Di dalam
Dharmasastra dan Purana dibedakan antara :
1. Nitya Karma (setiap hari)
2. Naimitika Karma (kandangkala)
3. Kamya Karma (upacara wajib)

a. Nitya Karma yaitu ritus-ritus yang wajib dilakukan setiap harinya dan
yang bersifat mutlak. Sifat wajib karena telah ditetapkan demikian.
Adapun yang bersifat rutin harian misalnya puja Tri Sandhya pemuja
setiap hari melalui Ista Dewata dan Kula Dewata, di samping itu
termasuk ewajib adalah Panca Mahayana.
b. Naimitika Karma yaitu upacara atau ritus yang dilakukan secara
khusus dan bersifat sukarela. Upacara ini dilakukan karena untuk
tujuan tertentu misalnya upacara hari ulang tahun atau piodalan
upacara untuk minta hujan, upacara hari ulang tahun atau untuk
keselamatan dari wabah, karena habis sakit, setelah melakukan pitra
yajna. Melakukan Tapa Brata seperti puasa pada hari-hari tertentu
dapat pula berarti Naimitika karma walaupun dalam pelaksanaan
tertentu tapa brata itu adalah merupakan Naimitika Karma. Tapa
berarti pengendalian panca indrya dan lahir bathin sedangkan brata
artinya melakukan puasa untuk tidak makan makanan tertentu atau
tidak makan sama sekali pada hari tertentu.
c. Kamya Karma adalah upacara keagamaan atau ritual yang bersifat
mutlak atauwajib yang harus dilakukan oleh setiap umat Hindu. Bila ia
tidak melakukannya ia dianggap berdosa, adapun diantara berbagai
upacara yang bersifat wajib adalah Panca Maha Yajna.

Pada garis besarnya upacara manusya yajna dibedakan antara lain yaitu :

1. Upacara sebelum lahir


Upacara sebelum lahir dikenal dengan istilah upacara megedonggedongan. Upacara ini dilakukan untuk calon bayi itu berumur 6 bulan
di dalam kandungan. Kebiasaan upacara ini dan tata pelaksanaannya
tidak sama antara masing-masing daerah, kebiasaan yang serupa kita
jumpai hampir disemua daerah yang pernah mendapat pengaruh
Hindu. Yang merupakan tujuan dari upacara ini adalah :
a. Mengundang kekuatan yang baik untuk memberi perlindungan
kepada calon bayi.
b. Menjauhkan dari semua pengaruh-pengaruh buruk.

Oleh karena itu ada dua jenis banten yang diperlukan yaitu tataban dan
beakala. Di samping itu ada beberapa pantangan yang harus dilakukan
oleh calon ibu dan calon ayah dari calon bayi yang intinya agar tidak
terkena pengaruh buruk atau jahat. Maksudnya adalah untuk
menjauhkan pengaruh sifat-sifat karena apa-apa yang diperkirakan dan
yang dikerjakan oleh orang tuanya, cenderung akan menimbulkan
akibat seperti yang diperlukan dan menurun kepada calon bayi itu.

2. Upacara sesudah lahir


Upacara-upacara sesudah bayi lahir meliputi masa sejak lahir
sampai perkawinan, adalah tanggung jawab orang tuanya. Jenisnya
banyak dan dikaitkan pada umur atau tingkat perkembangan anak itu
sendiri. Adapun upacara-upacaranya antara lain :
1. Upacara Medapetan
Upacara Medapetan beasal dari kata dapat atau memperoleh,
yaitu memperoleh anak yang lahir. Jadi dapat pula diartikan
upacara yang berkaitan dengan lahirnya seorang anak pada
keluarga.
Upacara ini bertujuan :
a. Rasa terima kasih kepada Tuhan karena telah dirakhmati anak.

b. Memberi perlindungan kepada sang bayi.


c. Melakukan perawatan pada ari-ari

Menurut kepercayaan Hindu ari-ari adalah saudara kembar sang


bayi. Ari artinya adik yang secara rakhmat dalam kehidupan ini
selalu dianggap menyertai saudaranya. Oleh karena ari-ari adlaah
satu jasad dengan lain iapun harus mendapat perawatan dan
dikubur dengan acara singkat.
Pada mulanya ari-ari dibersihkan lalu dibungkus dengan kain putih
dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah dua untuk dikubur di
halaman rumah tinggal, belahan kelapa itu ditulis lafal aksara
Omkara dan Angkara.
2. Upacara Lepas Puser
Upacara lepas pusar adalah upacara yang dilakukan pada hari lepas
pusarnya yang terjadi setelah seminggu atau sembilan hari.
Upacara ini juga merupakan saat permulaan sang ibu tidak lagi
melakukan brata atau pembatasan makanan yang dilakukan pada
saat setelah melahirkan. Di samping itu upacara bertujuan untuk
memohon bantuan kepada Hyang Kumara yang di dalam mitologi
dianggap sebagai putra Siwa. Tujuan utama adalah membersihkan
lingkungan disamping untuk memberi upacara kepada pusar yang
lepas dari tubuh sibayi.
3. Upacara Lepas Hawon
Upacara pada saat bayi 12 hari, inti upacara sama dengan upacara
lepas pusar dan tujuannya adalah penyucian bagi sang bayi dan
mohon keselamatan. Asal mula upacara ini adalah merupakan
acara pemberian nama.
4. Upacara Kambuhan
Upacara kambuhan adalah upacara bayi pada umur satu bulan
tujuan hari atau 42 hari. Dinamakan kambuhan karena pada hari itu
bayi diberi kambuh atau benang pawitra yang tujuannya adalah

untuk memberi perlindungan dan kekuatan karena sejak hari itu


sang bayi sudah boleh dibawa keluar rumah.
Upacara ini disebut juga upacara macolongan. Intinya adalah
bersifat upacara prayascita bagi si ibu karena dengan acara ini sang
ibu telah menjadi bersih kembali dan diperkenankan untuk masuk
ketempat suci.
5. Upacara Tiga Bulan
Upacara tiga bulan bertujuan untuk memberi kekuatan dan
perlindungan kepada si anak karena sesudah upacara ini si anak
mulai diajarkan menyentuh tanah. Upacara ini juga dimaksudkan
untuk pemberi kesucian dan karena itu semua upacara supaya
diselaraskan pula dengan tujuan.
Pada umumnya upacara ini diikuti pula dengan pemberian nama.
Yang merupakan upacara yang umum dipakai dalam upacara ini
adalah, pengelepasan, penyambutan, banten kumara, tataban, bila
lebih besar ditambah dengan pulagembal. Tempat upacara
sebaiknya dilakukan di depan sanggar kemulan.
6. Upacara Otonan (210 hari)
Oton artinya satu siklus kalender waktu dan karena itu disebut
sutatahu wuku yang lama 210 hari yaitu 7 x 30 wuku. Asal mula
upacara ini di dalam Weda disebut Cudakarana yaitu potong
rambut pertama dan ditinggalkan sedikit saja pada ubun-ubun si
bayi karena masih dalam keadaan lemah. Tujuan upacara ini adalah
untuk memohon perlindungan keselamatan dan pensucian. Upacara
ini adalah untuk memohon perlindungan keselamatan dan
pensucian. Upacara ini diikuti dengan upacara turun ke tanah di
beberapa daerah dikenal pula dengan upacara tidak siti.
7. Upacara Tumbuh Gigi
Upacara tumbuh gigi disebut upacara ngempugin. Upacara ini
dilakukan pada saat matahari terbit adapun tujuan penyelenggaraan
upacara ini seperti halnya dengan upacara-upacara lainnya adalah

untuk memohon keselamatan dan perlindungan yang ditujukan


kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai
Surya, Brahma dan Sri.
8. Upacara Lepas Gigi
Upacara lepas gigi disebut upacara melupak seperti halnya dengan
upacara

tumbuh

gigi.

Tujuan

upacara

adalah

memohon

keselamatan.
Pada saat ketus (lepas gigi) si anak tidak lagi dibawah asuhan
Dewa Kumara dan karena itu Dewa Kumara tidak lagi diadakan.
Yang penting si anak telah mulai siap untuk mempelajari berbagai
macam ilmu dan karena itu tidak Weda pada saat umur ini
dianggap saat paling baik untuk memulai melakukan Brahmacari
dengan upacara Upanayana. Kadang kala upacara ini tidak
dilakukan tepat pada waktu lepas itu tetapi dipilih saat bersamaan
dengan otonan, hari ulang tahun menurut kalender pawukon.
Upacara upanayana sama tujuannya dengan upacara mawinten
karena dengan upacara mawinten ini seseorang diperbolehkan
membaca Weda mantra. Inti upakara lepas gigi adalah pabiakalaan
dan sesayut tetebasan.
9. Upacara Meningkat Dewasa
Upacara ini dimulai sejak hasil pertama dan perubahan suara pada
anak pria sebagai ciri meningkat dewasa dan bagi anak yang
perempuan biasanya ditandai dengan datang bulan pertama.
Upakaranya sederhana saja yaitu pebiakalaan dan prayascitra atau
dilengkapi sesuai dengan tujuan yaitu untuk keselamatan dan
perlindungan.
10. Upacara Potong Gigi (Mepanes)
Upacara potong gigi atau mepanes adalah upacara bersamaan pula
dengan telah meningkat dewasa. Karena itu tujuan upacara ini
sering digabung. Potong gigi sebagai upacara bertujuan untuk

mengurangi sad ripu yang ada pada diri seseorang yang secara
simbolis dilakukan dengan cara memotong gigi seri dan taring.
Pada jaman dahulu pemotongan gigi sampai tampak rata dan rapi,
dewasa ini hanya proform atau simbolis saja. Adapun sad ripu
yang dimaksud adalah sifat loba, suka menipu, suka dipuji, suka
marah, suka menyakiti mahluk dan suka memfitnah.
Sesuai dengan tujuan upacara maka upakaranya adalah jenis-jenis
yang menunjang seperti pabekalaan, prayascita, panglukatan dan
tataban, yang lebih besar ditambah dengan pulagembal dan berarti
minta perlindungan dari Dewa Gana. Upacara ini tampak merah
dan megah karena sering dilengkapi dengan berbagai tambahan
upacara dan pemakaian berbagai sarana untuk membantu
pelaksanaannya.
11. Upacara Mawinten
Upacara Mawinten adalah upaca inisiasi untuk dapat diperbolehkan
mempelajari Weda. Latar belakang upacara ini adalah pada upacara
Ipanayana yaitu upacara untuk seseorang yang direstui menjadi
Brahmacari atau belajar pada perguruan.
12. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan atau pawiwahan adalah merupakan upacara
manusya Yajna paling akhir yang wajib dilakukan oleh orang tua
terhadap para sentananya. Wiwaha atau pewiwahan sebagai
upacara kesaksian dan meresmikan ikatan lahir bathin sebagai
suami istri sehingga terjadi kesatuan yang selaras seperti
Ardhanareswari. Mengenai tata cara terjadinya perkawinan diatur
di dalam kitab suci dan pengesahannya ditentukan di dalam UU
No. 1 Tahun 1974. Apabila telah disahkan secara agama maka
resmi dan sah sebagai suami istri. Perkawinan yang sah harus
dicatat pula pada Kantor Catatan Sipil atau yang ditunjuk menurut
UU. Adapun urutan upacaranya seperti :

1. Upacara makala-kalaan atau medengen-dengen.


2. Upacara natab dan mapejati bertujuan untuk pemberkahan dan
kesaksian.

Disamping upacara itu terdapat pula berbagai jenis uparaka yang


secara simbolis bertujuan menunjang tata cara upacara seremonial
itu seperti Upakara : Peras, Daksina, Suci, Prayascita dan
pengelukatan, Pabyakalan, Canang, Pajati dan Penegtegan.

Dengan selesainya kesemua upacara manusya yajna itu maka


selesailah tanggung jawab orang tua kepada para sentananya baik
rohaniah dan sosial. Dengan upacara perkawinan itu sesungguhnya
tanggung jawab orang tua telah berakhir dan anaknya harus berdiri
sendiri lepas dari orang tua dan terjun ke masyarakat menjadi
anggota masyarakat yang baru.
Selain daripada manusya yajna diatas yang juga merupakan
golongan manusya yajna adalah Atithiyajna. Atithiyajna adalah
penghormatan tamu atau yang datang berkunjung ke rumah sebagai
tamu dan bukan keluarga. Atithiyajna ini mengandung ajaran
sosipo moral diwajibkan kepada setiap umat Hindu untuk
melakukannya dengan penuh tanggung jawab dna keimanan. Yang
merupakan pelaksanaan daripada Atithiyana adalah sebagai
berikut :
1. Diwajbikan agar menerima para tamu dengan penuh hormat
dan sopan.
2. Dilarang mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak hormat
kepada para tamu.
3. Diwajibkan untuk mempersilahkan duduk dan menyuguhkan
air penyapa baik sebagai suguhan.

4. Bila kemalaman dan tamunya berasal dari daerah jauh wajib


diudang menginap dan memberi makan apa adanya bila santap
malam telah tiba.
5. Dilarang mengusir tamu dengan maksud untuk menghindarkan
kewajiban itu.

Apabila hal tersebut dilaksanakan maka ia telah melakukan


Atithiyajna.

4. Upacara Pitra Yajna


Pitra Yajna adalah yajna yang ditujukan kepada para Pitra. Pitra
adalah roh suci para leluhur, orang tua atau keluarga yang telah meninggal
dan telah disucikan. Arwah para orang tua leluhur atau sanak keluarga
yang

belum

disucikan

disebut

Preta.

Selama

belum

disucikan/disempurnakan dianggap sering gentayangan dan mengganggu.


Adapun gangguan itu sifatnya memberi peringatan kepada para sentananya
agar mereka melakukan belas budi dengan melakukan upacara pengabenan
atau tiawah atau Pitra Yajna.
Apabila

upacara itu telah dilakukan maka berobahlah status itu menjadi

Pitara. Sebagai Pitara, Roh atau Atmanya masih selalu berhubungan dan
cenderung akan datang kembali. Untuk meningkatkan status Pitra ketingkat
yang lebih tinggi yaitu setingkat dengan Dewa dapat dilakukan dengan
upacara Atma Wedana. Upacara ini ada beberapa macam seperti maligia,
ngeroras, nyekah dan mukur. Tujuan upacara terakhir ini adalah meningatkan
status pitara ke tingkat para Dewa. Pitara menjadi Dewa Hyang dan diarcakan
atau disucikan dengan berbagai jenis padharman atau dadia. Yang merupakan
dasar hukum berlakunya Upacara Pitra Yajna adalah karena kewajiban
seorang anak adalah :
1. Untuk membayar hutang yaitu salah satu hutang yang disebut Pitri
Rna.

2. Sebagai seorang anak yang baik dan berbudi luhur yang merasa
terpanggil secara moral atau rohaniah berkewajiban mengangkat
derajat serta menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.

Pelaksanaan upacara Pitra Yajna ini bertujuan adalah mengembalikan


jasad atau wadag ini ke alam asalnya yaitu Panca mahabhuta dan
mensucikan roh orang yang akan meninggal sehingga dari Preta berubah
menjadi Pitara.

Secara garis besarnya Upacara Pitra Yajna dapat dibagi dalam beberapa
tahap seperti :
a. Sawa Prateka (Sawa Wedana)
Sawaprateka atau sawa wedana adalah tata cara dan upacara perawatan
dan penyelesaian jenasah. Upacara ini dilakukan sesaat setelah orang
itu meninggal dunia. Orang yang meninggal perlu dirawat dengan baik
sebagai penghormatan kepadanya. Menurut ajaran agama Hindu
sesungguhnya orang itu tidak mati karena roh atau jiwa atau Atmanya
tetap hidup. Badan raganya yang terdiri dari Panca Maha Bhuta perlu
dirawat dan disimpan atau dikembalikan ke alam asalnya. Ada
beberapa cara ynng disebut dalam Weda yaitu :
a. Dibakar (disimpan dalam api)
b. Ditanam di tanah
c. Ditaruh di peranginan
d. Disimpan di rumah
e. Dikubur di dalam air

Tetapi yang paling umum adalah dikubur terlebih dahulu kemudian


tulangnya dibakar setelah setahun atau dua tahun atau lebih,
kadangkala dibakar langsung sebelum diaben. Sebelum penyelesaian
itu jenasah harus dimandikan, diberi pakaian dan diberi penghormatan
atau disembahkan dan dikubur. Karena Atmanya masih hidup

walaupun tidak tampak harus dihormati dengan cara pemberian


makanan atau tarpana. Sesajen yang dipersembahkan kepada arawah
orang meninggal dinamakan tarpana. Selesai jenasah dibawa
kekuburan untuk dikubur atau dibakar langsung. Abu jenasah
dikumpulkan kemudian dibuang ke laut atau ke sungai. Menurut tradisi
Cina abunya disimpan di rumah abu sebagai tempat penyimpanan.

b. Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara perawatan tulang orang yang telah
meninggal. Upacara ini merupakan upacara memperabukan tulang dan
lebih umum disebut ngaben atau memperabukan. Jenasah yang telah
dikubur diangkat tulangnya dan kemudian diupacarakan dalam upacara
pengabenan. Dapat pula upacara ini ditempuh langsung setelah orang
itu meninggal tanpa dikubur terlebih dahulu. Upacara ini disebut
Swasta. Sebelum upacara pembakaran terlebih dahulu diadakan
upacara yang intinya sama seperti orang yang baru saja meninggal.
Ada tiga macam bentuk upacara Asti Wedana yaitu :
-

Sawa Wedana yaitu apabila yang dibakar adalah jenasah itu


langsung dalam acara pengabuan ini disebut Swata.

Asti Wedana yaitu apabila yang dibakar dan diupacarakan adalah


tulang dari jenasah yang telah lama meninggal dan dikumpulkan
dari kuburan atau yang disekah atau disimpan dalam rumah.

Ngerca Wedana yaitu apabila yang dibakar dan diuparakan adalah


simbul penggantian tulang orang yang meninggal karena pada
umumnya apabila telah lama dikubur tulangnya, tidak diketemukan
lagi untuk itu sebagai pengganti tulang dibuatkan badan pengganti
dari kayu cendana atau bunga.

c. Atma Wedana
Atma Wedana adalah upacara yang ditujukan pada penyempurnaan Atma
orang yang telah diaben. Tujuan Atma Wedana adalah untuk
menyeberangkan Atma dari alamnya sekarang di surga menuju alam

moksa. Ada beberapa istilah yang lazim dipergunakan untuk Atma


Wedana, yaitu :
-

Ngeroras

Mukur

Maligia

Dengan upacara ini leluhur yang telah diaben diupacarakan dengan


tujuan meningkatkan statusnya dan bentuk Pitara menjadi Dewa
Hyang. Upacara Atma Wedana yang disebut Ngeroras (mukur,
maligia) adalah merupakan upacara Suci yang berbeda dengan upacara
Asti Wedana maupun sawa prateka. Pada umumnya sebelum
melakukan upacara yajna ini dilakukan dengan penurunan Roh melalui
orang-orang tertentu yang disebut Balian Sadeg. Beliau dianggap
mampu berkomunikasi dengan para roh dan dapat diajak berdialog
langsung oleh para sentananya. Pada kesempatan ini dapat ditanyakan
keinginan untuk melakukan Upacara Maligia dan meminta keterangan
tentang keinginannya. Menurut Kitab Purana dinyatakan bahwa
upacara mailigia yang diikuti dengan cara pemberian punia kepada
para pendeta dinyatakan sangat terpuji.
Bentuk upacara ini hampir sama seperti upacara ngaben tetapi yang
diupacarakan adalah Puspalingga sebagai pengganti badan rohani.
Puspalingga dibangun dalam bentuk tumpeng yang disebut ukur dan
dibuatkan pula alat pengangkutannya yang disebut bukur. Karena itu
upacara ini disebut Mukur. Karena inti yajna adalah mendudukkan
para pitara untuk disempurnakan menjadi Dewa upacara ini disebut
pula Maligia. Upacara dianggap selesai setelah mapralina yaitu
pembakaran puspa sarira dan dilarung ke laut. Dengan uapcara ini
semua Upacara Pitra Yajna dianggap selesai. Adapun acara nuntun
sesudah Maligia adalah tidak tergolong Pitra Yajna melainkan upacara
Dewa Yajna. Para pitara yang telah berobah statusnya sebagai Dewa
Hyang diistanakan pada Pedharman atau pura-pura Dadia yang khusus

dibangun untuk tujuan itu. Sejak itu upacara yang diselenggarakan


bersifat Sraddha ditempatkan pada Dewa Hyang.

5. Upacara Bhuta Yajna


Bhuta Yajna adalah yajna yang khusus ditujukan kepada para
Bhuta dan Kala. Bhuta dan Kala adalah berbagai macam jenis Roh halus
yang lebih rendah tingkat kedudukannya dan pada umumnya dianggap :
a. Sebagai penjaga tempat-tempat tertentu dengan fungsi dan
tugas khusus diberikan wewenang oleh para Dewa-Dewa.
b. Sebagai pengganggu terhadap manusia yang dianggap dapat
menyesatkan atau menimbulkan akibat yang lebih baik.
Apabila orang ingin mengadakan hubungan dengan Tuhan mereka
selalu menghambat, mereka merasa berhak mengendalikan atau paling
tidak merasa paling kuasa. Untuk mengatasi dan mendamaikan atau paling
tidak merasa paling kuasa. Untuk mengatasi dan mendamaikan atau
membujuknya ibarat menghadapi anak kecil mereka harus pula dilayani
dan dipuaskan keinginannya. Untuk itu mereka harus diberi sedekah atau
sesajen sebagai bea atau dana berupa makanan dan minuman. Semua ini
disebut Caru, Caru adalah suguhan kepada Bhuta kala disajikan pada
tempat-tempat tertentu diikuti dengan ucapan mantra dan permintaan apa
yang kita kehendaki dari mereka.
Pada umumnya jenis Caru itu terdiri dari atas benda-benda yang berbau amis
dan tajam seperti : bawang, jae, jeroan, darah, nasi dan minum-minum yang
merangsang, semua diramu ditata sesuai dengan tujuan dan besar kecilnya
Caru yang akan disajikan. Yang paling utama cukup nasi dengan garam dan
bawang sebagai lauknya dengan jumlah yang secukupnya.
Yang merupakan tujuan daripada melakukan Bhuta yajnya adalah
sebagai berikut :
a. Mengusir Rokh-rokh jahat.
b. Memberi kesenangan kepada Rokh-rokh yang bertugas untuk
tugas-tugas tertentu.

c. Mengadakan perdamaian kepada Rokh-rokh atau Bhuta dan


Kala agar tidak mengganggu atau setidak-tidaknya mau
memberi jalan bagi terlaksananya upacara.
Ada beberapa jenis upacara bhuta yajnya yang sering dilakukan
menurut besar kecilnya upacara atau tujuan upacara antara lain :
a. Segehan
Segehan adalah bentuk yajnya terkecil yang dilakukan setiap hari atau
hari-hari tertentu misalnya purnama tilem atau setiap kajeng kliwon dan
lain-lain
Ada beberapa macam segehan yang dikenal antara lain : Segehan
kepel, segehan cacahan dan segehan agung.
b. Gelar Sanga
Gelar Sanga adalah bentuk segehan pula tetapi dalam bentuk dan isi yang
lebih lengkap lebih banyak dan lebih sempurna. Penggunaannya tidak
tentu dan pada saat ada upacara piodalan yang termasuk gelar sanga adalah
seperti : gelar sanga alit dan gelar sanga agung.
c. Caru
Bentuk bhuta yajna yang besar dan bersifat umum disebut dengan caru dan
diadakan tujuan tertentu seperti mengusir roh jahat mensucikan wilayah
dan lain-lain. Yang merupakan macam-macam cara antara lain : seperti
caru kesanga, caru untuk membangun rumah baru, resi gana, panca sanak
dan lain-lain.
d. Beakaon
Beakaon adalah semacam caru pula tetapi ditujukan untuk pensucian
badan jasmani manusia. Umumnya dilakukan pada hari-hari tertentu yang
ada kaitannya dengan manusa yajna.

Upakara Dalam Agama Hindu


Upakara yajna adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan karia itu
selesai sempurna. Di dalam upacara agama urutan dalam melaksanakan ritual
kita memerlukan saran penunjang yang disebut uparaka atau sadhan taua

sarana. Jadi yang dimaksud dengan upakara adalah segala macam peralatan
yang diperlukan untuk melaksanakan upacara terutama dalam melaksanakan
panca maha yajna sarana ini adalah simbol atau lambang-lambang sebagai
pengganti untuk menyampaikan ekspresi antara pemuja dengan yang dipuja.
Agama Hindu adalah agama yang penuh dengan simbul dengan simbolisma.
Simbul adalah salah satu repleksi atau pantulan pemikiran yang dipergunakan
sebagai pengganti seakan-akan yang dimaksud adalah seperti sebenarnya.
Simbol atau tanda pengganti sebagai syarat yang amat penting adalah sebagai
saran komunikasi antara penyampai dengan penerima atau antara komunikator
dengan diajak berkomunikasi. Penggunaan simbol dalam dunia kehidupan ini
cukup banyak. Simbol adalah ibarat bahasa perasaan dari orang yang bisu.
Makin tinggi filsafatnya makin rumit pula bahasanya dalam teknologi modern
bahasa simbol itu makin sulit pula.
Kadang-kadang hanya berbentuk gambar titik-titik gerakan tangan nada-nada
tertentu dan berbagi kata sandhi yang bersifat rahasia. Agama adalah salah
satu bentuk kehidupan spiritual dimana terdapat hubungan antara pemuja
dengan yang dipuja. Yang diajak berkomunikasi yaitu Tuhan Yang Maha Esa,
Dewa-Dewa, Dewa Resi, Pitara Bhuta yang kesemuanya merupakan hakekat
yang tak dapat dilihat dengan mata. Bahasannya pun kita tidak mengerti dan
karena itu kita selalu ia yang mengetahui sebagai yang maha tahu mengerti
segala bahasa dan mengerti segala makna dan judul simbol. Ada pun Dewa,
Resi Pitara dan Bhuta kadang kala kita mengukur pada diri kita sendiri.
Bahasannya adalah bahasa sehari-hari yang kita ketahui. Apabila sulit maka
simbol adalah sarana pengganti dalam komunikasi.
Upacara yajna adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan karya
itu selesai sempurna. Di dalam Upacara agama urutan dalam melaksanakan
ritual kita memerlukan sarana penunjang yang disebut upakara atau sadhana
atau sarana. Jadi yang dimaksud dengan uparaka adalah segala macam
peralatan yang diperlukan untuk melakukan upacara terutama dalam
melaksanakan Panca Maha Yajna. Sarana ini adalah simbol atau lambang-

lambang sebagai pengganti untuk menyampaikan ekspresi antara pemuja


dengan yang dipuja.
Agama Hindu adalah agama yang penuh dengan simbol dengan simbolisme.
Simbol adalah salah satu refleksi atau pantulan pemikiran yang dipergunakan
sebagai pengganiti seakan-akan yang dimaksud adalah seperti sebenarnya.
Simbol atau tanda pengganti sebagai syarat yang amat penting adalah sebagai
sarana komunikasi antara penyampai dengan penerima atau antara
komunikator dengan yang diajak berkomunikasi. Penggunaan simbol dalam
dunia kehidupan ini cukup banyak. Simbol adalah ibarat bahasa perasaan dari
orang yang bisu. Makin tinggi filsafatnya makin rumit pula bahasanya dalam
teknologi modern bahasa simbol itu makin sulit pula.
Kadang-kadang hanya berbentuk gambar titik-titik gerakan tangan nada-nada
tertentu dan berbagai kata sandhi yang bersifat rahasia. Agama adalah salah
satu bentuk kehidupan spiritual dimana terdapat hubungan antara pemuja
dengan yang dipuja. Yang diajak berkomunikasi yaitu Tuhan Yang Maha Esa,
Dewa-Dewa, Dewa Resi, Pitara dan Bhuta yang kesemuanya merupakan
hakikat yang tak dapat dilihat dengan mata. Bahasanya pun kita tidak
mengetahui dan karena itu kita selalu beranggapan ia yang mengetahui
sebagai Yang Maha Tahu mengerti segala bahasa dan mengerti segala makna
dan tujuan simbol. Adapun Dewa, Resi, Pitara dan Bhuta kadangkala kita
mengukur pada diri ktia sendiri Bahasanya adalah bahasa sehari-hari yang kita
ketahui. Apabila sulit maka simbol adalah sarana pengganti dalam
berkomunikasi. Dengan banyak simbol maka filsafat dan pemahaman makna
amat penting dan perlu diketahui. Dengan filsafat kita tidak hanya memahami
maknanya tetapi lebih lanjut bertujuan untuk menata dan membudayakannya.
Karena itu apabila kita melakukan upacara yajnya itu tidak lain adalah
merupakan refleksi tingkat budaya agama Hindu itu sendiri Satu benda
sebagai simbol dapat pula berarti banyak dan karena itu latar belakang yang
menalari arti dan sejarah benda itupun harus diketahui. Banyak yang perlu kita
pahami dan yang dapat kita pelajari dari sejarahnya dan mitologinya. Ini tidak

berarti memersulit diri kita sendiri justru untuk lebih memperoleh ketatapan
dan kejujuran atau ketulusan dari seorang dalam melakukan yajnya.

Dari sekian banyak sarnaa atau uparaka yang umum dan khusus kita jumpai di
dalam Weda disebutkan antara lain : Api, air, wangi-wangian, bunga, daun,
buah, biji, uang, benda-benda logam, barang pecah belah, sesajen, gambar,
mudra, mantra, dan lain-lain. Semua benda-benda yang disebut di atas
mengandung arti simbolis dan sakral. Untuk singkatnya perhatikan makna dan
fungsi serta penggunaannya dalam upacara menurut ajaran agama Hindu baik
satu persatuan maupun dirangkai sebagaimana terurai dalam uraian berikut :

1. Api (Ageni)
Api adalah sarana yang paling penting dalam pelaksanaan ajaran agama
Hindu terutama fungsi sembahyang. Fungsi api dalam Weda disebut
sebagai berikut :
a. Api berfungsi sebagai Dewa yang paling utama.
b. Api berfungsi sebagai saksi dalam sumpah dan persembahyangan.
c. Api berfungsi sebagai pendeta yang akan melakukan tugas-tugas
kependetaan dalam upacara yang dilakukan oleh manusia.
d. Api sebagai akhli upacara, akhli Weda yang memberi inspirasi kepada
para pendeta dan para resi mengubah mantram.
e. Api berfungsi sebagai duta atau utusan yang siap menerima perintah
untuk mendatangkan para Dewa yang dikehendaki hadir dalam
upacara.
f. Api berfungsi sebagai mulut para Dewa dan semua kekuatan yang
tidak kelihatan untuk menerima sesajen yang dipersembahkan untuk
disantap.
g. Api sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan bagi orang
berumbah tangga karena fungsinya didapur.
h. Api berfungsi sebagai penjaga dan mengusir roh-roh yang jahat dan
akan mengganggu jalannya upacara.

i. Api berfungsi sebagai pemberi tenaga atau kekuatan kepada yang


memakainya.
j. Api sebagai sarana penyucian benda-benda keramik atau logam mulia
lainnya.
k. Api sebagai sarana penolak bala dan balik sumpah agar tidak mengenai
diri.

Jadi sangat banyak fungsi dan tugas api sehingga menempati tempat yang
amat penting di dalam upacara. Karena api selalu dipakai dalam setiap
upacara api dikenal sebagai Dewa yang selalu muda artinya dihidupkan
setiap hari setiap rumah tangga. Karena itu agama Hindu kita selalu
menghormati api karena fungsi dan kedudukannya. Hanya sekarang
tergantung kepada manusia apakah kita dapat memanfaatkan kedudukan
dan fungsi api secara terarah. Bila tidak apipun dapat menjadi bencana,
membakar habis semua yang terkena. Ada beberapa jenis api yang disebut
dalam ajaran agama Hindu adalah :
1. Api yang ada di dapur
2. Api yang terdapat dalam diri manusia
3. Api yang ada pada matahari

Disamping itu juga dikenal juga istilah Tri Agni seperti :


1. Api di dapur untuk masak makan
2. Api sebagai sarana membakar jenasah
3. Api sebagai sarana waktu upacara pewiwahan

Di dalam upacara ritual kita jumpai istilah Agni Homa yaitu api yang
dinyalakan sebagai sarana pengantar semua sesaji seperti api takep dan api
pasepan.

2. Air
Agama Hindu melihat kedudukan air amat penting bagi keidupan
manusia dan seluruh makhluk hidup termasuk pohon-pohonan. Bila tidak
ada air maka matilah semua kehidupan ini. Kita mengenal banyak istilah
untuk air seperti : toya, tirta, banyu, nara apah dan lain-lain. Fungsi airpun
amat banyak dalam upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi
air dalam upacara ritual dipergunakan sebagai berikut :
1. Sebagai alat penyuci segala sarana upacara (tirta pabersih)
2. Sebagai tirtha amrta atau ambrosia
3. Sebagai wasuh pada disebut ancamannya dan padyargha
4. Sebagai air penyuci roh orang meninggal (tirtha pengentas)
5. Sebagai air minum tarpana atau keperluan minum sehari-hari.
Oleh karena itu berfungsi bermacam-macam cara pembinaanpun
bermacam-macam pula yang jelas air yang dipakai adalah air bersih baik
sumur ledeng atau ditempat-tempat khusus seperti mata air, air dari
pertemuan dua sungai atau campuhan. Apabila air itu diambil dengan tata
cara upacara ritual maka fungsi dan arti air itu berubah mengandung aspek
magis. Air yang telah diastrani dengan mantra-mantra dicampur dengan
kembang harum telah merubah arti air biasa menjadi air suci dan langsung
dapat dipergunakan untuk tujuan upacara misalnya menyucikan segala alat
upacara dengan memercikannya. Apabila air atau toya itu diletakkan di
Padmasana yaitu altar untuk Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa maka
fungsi air sebagai tirtha bisa berubah menjadi Tirtha Amrta yang
mempunyai nilai amat tinggi dalam agama Hindu. Disamping tirtha amrta
terdapat pula air wasuh pada yaitu air suci sebagai penyapa sewaktu
upacara kepada Yang Maha Esa san para Dewa yang tidak kelihatan.
Pembudayaan itu berakar tata cara menerima tamu menghormati tamu
yang dimulyakan yaitu untuk menyapa dengan menyuguhkan air bersih
untuk cuci tangan, berkumur, minum dan mencuci kaki sebelum
dipersilahkan duduk dan menyantap hidangan. Kedua ir itu umum dalam
semua upacara keagamaan terutama dalam persembahyangan umum. Tirta

Amrta dan wasuh pada dicampur sebagai rakhmat yang dibagi-bagi dan
dipercikkan kepada para peserta dalam upacara untuk kesucian dan
rakhmat.

3. Wangi-wangian
Dalam setiap upacara kita memerlukan wangi-wangian baik
berbentuk kayu cendana, minyak wangi, bunga-bunga yang wangi
kemenyan dan lain-lain. Intinya adalah segala yang berbau harum karena
itu disebut pengharum-haruman.

4. Bija (biji-bijian)
Biji-bijian dapat dipergunakan beras dan kacang-kacangan, bijibijian ini adalah biji dan lambang sebagai Ganapati. Di dalam berbagai
upacara pemakaian tepung tawar wujudnya berupa berbagai biji-bijian
terdiri dari beras kuning yang diberi warna kuning yang dicampur dengan
daun dapdap dan areng sebagai lambang pensucian.

5. Daun-daunan (Lawa)
Penggunaan daun dalam upacara yajna sangat banyak tidak saja
berfungsi sebagai sarana alas atau taledan tetapi juga sebagai hiasan dan
simbol. Diantara berbagai daun tersebut yang sering dipergunakan antara
lain : Daun beringin, daun dapdap, daun enau, daun kelapa dan lain-lain.
Dinatara berbagai daun tersebut yang sering dipergunakan antara lain
adalah : daun beringin adalah daun yang paling umum dipergunakan
sebagai lambang kesucian lambang Agni dan sebagai alas untuk kesucian
dalam upacara dewa yajna.

6. Puspa (bunga-bungaan)
Bunga atau kembang adalah merupakan sarana yang penting
hampir dalam setiap yajna kita memerlukan kembang baik sebagai bunga
rampai atau kembang-kembang tertentu. Pemakaian bunga yang baik

adalah untuk keharuman baunya dan warnanya (merah, putih, ungu, atau
hitam, kuning dan warna campuran).

7. Wastu (benda-benda)
Dalam upacara sering diperlukan benda-benda tertentu seperti
kayu, batu, besi, tembaga, emas, perak, kaca dan lain-lain. Benda itu
dipergunakan dalam berbagai upacara tertentu. Batu sebagai simbol
keteguhan dan ketetapan iman agama seperti bata. Kayu cendana atau garu
untuk bangunan agama dan untuk mendapatkan bau yang baik. Besi dan
logam merupakan lambang kekuatan.

8. Gambar atau Huruf


Gambar atau huruf tertentu dipergunakan dalam berbagai y ajna
baik sendiri-sendiri atau kedua-duanya, gambar sebagai pengganti pratima
baik gambar tertentu maupun sekedar bentuk garis tertentu atau titik-titik.
Gambar mengandung pengertian yang paling luas dan pada jaman Mesir
Kuno gambar sebagai pengganti huruf dan berfungsi sebagai sarana
komunikasi yang paling ampuh baik untuk mendatangkan gaib ataupun
untuk mengusir roh jahat lainnya. Adapun gambar atau huruf yang banyak
dipergunakan seperti gambar Swastika, padma, huruf Ongkara dan lainlainnya.

9. Canang
Canang adalah persembahan yang sederhana berupa buah-buahan
dan kue, ada beberapa macam jenis canang dan dibedakan menurut
kelengkapan dan tujuan penggunaannya seperti : cangn genten, canang
tubungan, canang burat wangi/lenge wangi, canang tadah pawitra, canang
sari, canang oyodan, canang rebong, canang meraka dan canang gebongan.

10. Daksina
Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian
spiritual, Daksina adalah lambang Hyang Guru dan karena itu
dipergunakan sebagai saksi Dewata sedangkan isi daripada daksita antar
lain : beras, kelapa, uang, telur itik, benang putih, bijaratus, gantusan,
pisang mentah dan kemiri, pangi, daun sirih dan canang genten. Ada
beberapa jenis daksina antar alain : daksina alit, daksina pekala-kalaan,
daksina krepa, daksina gede dan daksina gulahan.

11. Bhojana (makan-makanan)


Salah satu jenis upakara yang selalu dipersembahkan pada setiap
upacara adalah makanan, persembahan makanan untuk berbagai tujuan
dan diberi nama berbeda-beda, seperti :
a. Persembahan untuk para Dewa-deaw disebut ajuman
b. Persembahan untuk arwah meninggal disebut sodaan
c. Persembahan untuk bhuta kala disebut caru
d. Persembahan untuk para pitara disebut saji tarpana
Makin besar dan makin lengkap isinya berbeda pula namanya, tujuan dan
fungsi tetap sama seperti contoh :
a. Saeban atau jotan adalah persembahan nasi dengan garam dan irisan
bawang sebagai bentuk yang paling kecil dan sederhana.
b. Bila nasi itu dilengkapi dengan lauk pauk yang lebih sempurna seperti
ikan, daging, sayur, telur dan lain-lain disebut perauyman atau
perangkat.
c. Apabila perayuman dilengkapi dengan peras dan daksina disebut
rayuman bawa atau bawa saja.
d. Apabila rayuman bawa ditambah dengan suci dan punia disebut Resi
Bojana.

12. Peras
Peras yaitu sesajen untuk upacara dan dipergunakan untuk tujuan
keberhasilan upacara (sidha karya), dinyatakan apabila tidak ada peras
tujuan upacara tan prasida (tidak tercapai). Peras adalah merupakan simbol
Triguyna Sakti. Isi peras tersebut antara lain : beras, daun sirih, tumpeng
dengan lauk pauknya, buah-buahan, tebu, canang genten dan sampian
peras.

13. Kewangen
Kewangen adalah sarana sembahyang dan fungsinya sama seperti
bunga. Yang dibuat dalam bentuk kojong terdiri dari : daun pisang, daun
sirih, kapur sirih, gambir, pinang, bunga, uang dan pelawa. Kewangen
banyak dipergunakan pada upacara Pitra Yajna dan Dewa Yajna sebagai
lambang Ardhanareswari. Karena itu penggunaannya akan sangat tepat
apabila diikuti dengan pemakaian mantra.

Hubungan Agama Dengan Kebudayaan


Suatu kenyataan yang dapat diingat bahwa Agama Hindu telah
memberi warna dan jiwa pada segala corak kesenian di Bali ini. Di samping
itu pula agama memelihara kelangsungan perkembangan dan hidup seni
karena agama itu ikut aktif berpartisipasi di dalamnya, mengingat dengan
berbagai macam mytologi dan disucikan dalam bentuk upacara-upacara dan
banten-banten. Jalinan yang demikian erat menyebabkan kesenian Bali itu
mempunyai corak yang berbeda dengan kesenian di luar Bali. Untuk
memberikan gambaran yang singkat dan umum dari kaitan seni dan agama itu
baiklah kami akan mengemukakan satu persatu dari beberapa seni di bawah
ini :

a. Seni Bangunan
Bangunan-bangunan rumah adat di Bali baik untuk pura-pura
maupun bale-bale pada mula membuatnya maupun setelah selesainya
selalu diupacarai dengan secara agama.
Umat Hindu percaya bahwa rumah itu merupakan buana alit
ciptaan manusia, oleh sebab itu ia meniru sifat-sifat dan hakekat buana
agung yang diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi. Kalau buana agung
terdiri dari bhur, bwah dan swah loka maka suatu bangunanpun dibuat
sedemikian rupa. Dimana dasar bangunan adalah bhur loka ruangannya
adalah bwah loka sedangkan atapnya adalah swah loka setelah itu
diadakan upacara-upacara pengurip-urip. Sebagaimana kita ketahui semua
alat bangunan itu adalah berbeda-beda mati seperti kayu, alang-alang,
kapur, pasir dan lain-lain, sebab itu benda-benda itu harus dihidupkan
secara ritual upacara. Fungsi dan namanya harus dirubah kalau
sebelumnya bernama alang-alang maka setelah menjadi bangunan berubah
bernama atap. Nama baru ini disertai dengan hidup baru. Untuk memberi
hidup baru ini diupacarailah dengan bakang-bakang atau sasar yaitu
sejenis sampan seprti orang-orangan yang mempunyai mata dan lainlainnya. Sebab itu bangunan yang sudah selesai diisi secarik aksa dengan
bertuliskan Ongkara Padma Acintya atau naga. Tetapi kalau bangunan itu
untuk memohonkan kemakmuran dan kesejahteraan diluksikan gambar
naga sebagai simbul Naga Basuki dan Naga Anatabhoga. Sebagai
dimaklumi Naga Basuki adalah simbul keselamatan dan Ananta artinya
tidak habis-habis sedangkan bhoga, upabhoga dan pabhoga artinya
makanan, pakaian dan perlengkapan. Jadi suatu bangunan bagi umat
Hindu bukan sekedar tempat tidur melainkan sifat dan jiwa.

b. Seni Tari
Sebagaimana telah diputuskan di dalam seniman seni sacral maka
tari-tarian Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Tari Wali
2. Tari Bebak
3. Tari Balih-balihan
Dari ketiga jenis tari ini maka tari Wali dan Bebali yang paling erat
hubungannya dengan agama Tari Wali berfungsi sebagai pelaksanaan
upacara baik dia maupun semuanya erat sekali kaitannya dengan jalannya
upacara seperti tari rejang berfungsi menuntun Ida Bhatara pada waktu
meleasti atau tedun ke pasekang. Uang bolongnya berfungsi sebagai
ngayai para Dea dan roh-roh suci untuk memberkahi upacara itu Topeng
Sidakarya dengan peras dengan beras kuning dan uang bolongnya sebagai
pupuk karya dengan disimbulkan dengan beras kuning dan uang boloang.
Wayang Mpu Leger dan wayang Sapu Leger duan-duannya berfungsi
sebagai penyucian bayi atau anak lahir pada tumpek wayang. Sedangkan
tari bebali berfungsi lebih ringan dari wali karena setengahnya bersifat
hiburan dan setengahnya menunjang succesan upacara.
Disamping fungsi-fungsi dari tari wali dan bebali ini telah ditetapkan
sedemikian rupa juga untuk menguatkan dan memantapkan keyakinan dan
umat maka dikuatkanlah mytologi-mytologi yang memuat asal-usul dan
tarian tersebut hampir semua tari-tarian Bali menggunakan sajen-sajen
baik dan balih-balihan, tan wali dan bebali. Tujuannya tidak lain adalah
memohon kehadapan Ida Bhatara agara tari-tarian ini succes. Disamping
penggunaan sajen secara umum di Bali dikenal upacara Mamasupam
dimana alat-alat seperti topeng, rangda, barong atau gelungan dan juga
orang yang menarikan itu dipasupasi. Dibuatkan sesajen khusus untuk
memohon kekuasaan supermater material power untuk menurun dan
mengarahkan peran tersebut secara gaib sehingga menarik atau
menakutkan. Kata Pacupati berasal dari kata pacu yang berarti hewa dan
pati berarti raja. Maksudnya yaitu dimana di penari diumpamakan sebagai
hewan gembalaan dimana Ida Bhatara sebagai pengembalanya maka gaya
tarik yang ditimbulkan oleh si penari ini bukanlah semata-mata disebabkan

oleh kelemasan dan kecantikan si penari tetapi adalah disbabkan oleh


kekuatan niskala dari Ida Bhatara tempat penari nunas pacupan.

c. Seni Tabuh
Gambelan dianggap mempunyai Dewa sebab itu ada upacara untuk
memperingati atau memohon kekuatan pada gong itu yaitu pada hari
tumpek klurur. Kata klurur berarti cinta kasih mungkin hal ini ada
hubungannya dengan mytologi-mytologi terciptanya gong atau bunyibunyian dimana Sang Hyang Semara menciptakan bunyi-bunyian yang
pertama yang dinamai smarapegulingan. Kemudian Bhatara Siwa Bhatara
Wisnu dan Bhatara Indra meniru ciptaan Sang Hyang Semara ini maka
terciptalah Semara Aruru, Semara Wungu, Semara Ngadeg, Para bhutakala
tidak mau ketinggalan dan ikut juga meniru ciptaan Sang Hyang Semara
dibuatlah gegambelan Bebonangan oleh para Bhutakala.

Tata penggunaan gambelan disesuaikan dengan jenis upacara yang dilakukan,


misalnya upacara Dewa Yajna dipergunakan Semar Pegulingan dan
Selonding. Kalau upacara Pitra Yajna dipergunakan bebonangan dengan tabuh
boganjur, gelak dan gambang. Upacara manusia yajna dipergunakanlah semar
Pegulingan, Gong Gede dan sebagainya.

d. Seni Sastra
Seni sastra lama lebih-lebih yang berbahasa Bali boleh dikatakan
hampir semuanya berbau etik mengandung tutur yang berpankal pada
ajaran agama. Kidung-kidung dan kekawinan yang sering sekali anomynya
tidak disebut nama pengarangnya menunjukkan suatu etika ketimuran
yang tidak menonjolkan namanya sendiri. Bahkan isinya dihubungkan
dengan tokoh-tokoh Dewa atau orang yang terkenal pada jaman dahulu.
Mereka beranggapan kalau namanya ditonjolkan nilai sastranya akan
berkurang. Sebagian lagi pengarang-pengarang Bali ini akan menyebutkan
namanya tetapi bukan nama asli melainkan nama samaran. Apa sebabnya

orang Bali tidak mau menonjolkan diri karena ini merupakan watak orang
timur yang kemudian dibenarkan lagi oleh etika agama Hindu dianjurkan
Anresangsya hak yang Dharma artinya tidak mementingkan diri sendiri
adalah kebajikan yang tertinggi. Selain itu juga pada waktu upacara
dinyanyikan kidung-kidung dan pembacaan kekawinan yang baik biasanya
diambil dari ceritera-ceritera ramayana dan Mahabarata. Kidung dan
kekawin itupun disesuaikan dengan jenis upacara/jalannya upacara.

BAB VI

SAD DHARSANA
Sasaran belajar

Menjelaskan pandangan Hindu yang Ortodok (Astika)

Menjelaskan perbedaan pandangan antara berbagai filsafat

Mengerti masing-masing Dharsana tersebut

Pndangan Hindu yang Ortodok disebut juga astika secara garis besarnya dapat di
bagi menjadi enam antara lain :

A. Nyanya Dharsana (filsafat Nyanya)


Filsafat Nyanya ditulis oleh seorang resi yaitu Resi Gotama. Filsafat
Nyanya ini adalah filsafat yang realistic yang mendasarkan dirinya pada ilmu
logika. Filsafat ini dalam memecahkan ilmu pengetahuan empat jalan antara
lain :
1. Pratyaksa adalah pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan
melalui panca indria secara langsung. Di dalam memperoleh pengetahuan
secara pratyaksa ini dapat dibagi atas dua bagian yang di sebut Bahya
adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan indra luar seperti
melihat dengan mata langsung dan sentuhan langsung melalui kulit
sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran disebut dengan
manas.

2. Anumanas adalah pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan


tidak melalui penglihatan dari tanda-tanda yang diperoleh yang
merupakan kesimpulan dari suatu objek yang ditentukan.
3. Upamanas adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan melalui
perbandingan dari nama suatu benda nama ini akan dapat memberikan
pengertian kepada masing-masing jenis famili objek yang dicari.
4. Sabda

adalah

pengetahuan

yang

dengan

menurunkan

atau

mendengarkan dari penjelasan-penjelasan orang yang patut dipercaya.

Obyek ilmu pengetahuan yang diuraikan dalam ilmu filsafat Nyaya adalah
mengenai : Atman, tentang tubuh, Panca Indria, Budhi Manas, Pravrtti,
Dosa, Prethyabhava (lahir kembali), Phala, Dunkha dan Apavarga (bebas
dari pengetahuan).
Samahalnya dengan filsafat-filsafat India lainnya filsafat Nyaya juga
mencari pandangan-pandangan dari ilmuwan yang diyakini tentang dir kita
sendiri. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa atman merupakan sinar dari
tubuh dan pikiran. Tubuh kita merupakan adonan dari benda-benda yang
terbuat dari benda-benda yang terbuat dari bahan-bahan tertentu sedangkan
manas merupakan bagian yang sangat halus yang tidak dibagi yang
merupakan bagian yang kekal abadi yang sering disebut dengan Ana,
demikian pula mengenai jiwa merupakan sifat dari perasaan sedih dan lainlainnya. Atman merupakan bagian yang unik antara pikiran dan tubuh dan
atman memperoleh kontak kesadaran ketika atman tersebut berhubungan
dengan suatu obyek melalui indra. Tetapi kesadaran belum dapat dikatakan
inti yang penting dari atman akan tetapi hal tersebut merupakan
pengalaman atau kejadian yang nantinya dapat membawa atman ke alam
kebebasan yang disebut dengan istilah Mukti. Pikiran merupakan sesuatu
yang tiada terbatas dan sangat kecil seperti

atom

demikian

pula

mengenai atman meliputi segala-galanya tak dapat dihancurkan dan


kekal abadi. Atman adalah merupakan dari senang atau tidak senang pada
suatu obyek, gembira, sedih dan berbuat sesuatu kebodohan dari suatu
yang benar dan gerakan dari nafsu yang salah, keseganan, kebingungan
semua itu merupakan dorongan atman sehingga akhirnya dapat diketahui
bahwa hal tersebut adalah baik atau buruk yang dapat membawa manusia
ke dunia dosa, penderitaan, kelahiran dan kematian. Kebebasan yang
disebut Apawarga adalah suatu kebebasan yang tidak terikat akan
kesedihan penderitaan sehingga dapat membawa manusia kepada
kebenaran pengetahuan yang disebut dengan Tattwa Jnana, sehingga
banyak orang menyebutkan hal tersebut sebagai bahagia walaupun pada

kenyataannya itu adalah salah dimana tidak ada kesenangan tanpa


penderitaan dan bukan kesenangan atau kebahagiaan.
Mengenai adanya Tuhan pada filsafat Nyaya dapat dikemukakan dengan
bermacam-macam argumentasi. Tuhan adalah sebagai pencipta, pemelihara
dan sebagai pelebur alam semesta. Ia tidak menciptakan dunia ini tidak
dengan benda-benda luar diri-Nya sendiri, akan tetapi ia menciptakan
dengan kekekalan dari atom, ruang, waktu, ether, pikiran dan jiwa.
Setelah dunia ini tercipta maka diperintahkan jiwa perorangan dengan
demikian dapatlah dirasakan bahagia, senang atau menderita, sedih untuk
melakukan sesuatu jasa atau tidak selama hidup atau selama berada
didunia. Suatu teori yang sangat terkenal tentang adanya Tuhan adalah
dengan melihat semua benda-benda di dunia ini adalah hasil ciptaan-Nya
seperti gunung dan laut. Matahari dan bulan yang semuanya itu mereka
Kerjakan dari bagiannya itulah sebabnya dijuluki Karta (pembuat dan
perancang). Atman dari setiap orang tidak dibuat atau diciptakan oleh alam
semesta sebab dunia ini sangat terbatas dalam kekuatan dan pengetahuan
lagi pula tidak dibuat atau diciptakan oleh bersifat umum.
Pengetahuan lagi pula tidak banyak terdapat bagian-bagian yang halus
seperti atom pada semua bagian adonan tubuh. Oleh karena itu pencipta
dunia sewajarnya mempunyai kejiwaan kekuatan yang tidak terbatas dan
kebijaksanaan yang luar biasa beserta pemelihara moral dan dunia. Tuhan
menciptakan alam semesta adalah untuk kebahagiaan dan bukan untuk
saling jegal. Apabila setiap individu telah memiliki sedikit kebebasan
mereka akhirnya akan melakukan perbuatan baik atau buruk yang dapat
membawa kebahagiaan dan kepahitan pada diri mereka sendiri. Akan tetapi
dengan adanya tuntunan dari Dewa-Dewa yang merupakan sinar suci
Tuhan maka semua ciptaan akan segera menuju dharma yang akhirnya
dapat membebaskan diri dari penderitaan yang disebut Mukti.

B. Vaisasika Dharsana
Peletak dasar dari filsafat Vaisasika adalah Maha Resi Kanada yang
sering juga beliau dijuluki Rsi Uluka. Dalam pandangan umum filsafat
Vaisasika ini hampir kebebasan dari jiwa setiap individu.
Pandangan filsafat ini terhadap ilmu pengetahuan tentang dunia dibagi 9 atas
tujuh bagian :
Dravya : Zat yang berada pada dunia.
Guna

: Mutu dari dunia.

Karma

: Perbuatan.

Samaya : Isi umum.


Vesesa

: Keistimewaan, inti.

Samavaya : Berpaut dengan


Abhada : Tidak berwujud
Dravya adalah kekuatan dan kegiatan zat-zat yang terdapat pada lapisan dunia
paling bawah. Zat jumlahnya ada sembilan antara lain : tanah, air, api, udara,
ether, waktu, ruang, jiwa dan pikiran.
Tanah, air, api, udara, dan ether diberi nama bhutas dan dapat menimbulkan
bau, rasa, warna, sentuhan, dan suara. Bagian ii merupakan campuran dari
empat elemen dari atom, pertiwi, air api dan udara merupakan bahan yang
tidak tampak. Atom merupakan sesuatu yang tidak berwujud dan merupakan
sesuatu yang abstrak yang nantinya merupakan dari benda material yang
didalamnya terdapat bagian-bagian yang kecil yang tidak dapat dibagi lagi.
Akasa, ruang dan waktu adalah suatu zat yang tidak berbentuk yang
kesemuanya dapat memenuhi semua ruangan. Pikiran sering disebut dengan
manas juga merupakan suatu zat yang sangat kekal namun tidak meliputi
keseluruhan akan tetapi hal ini sangat halus bagaikan atom. Pada manas inilah
merupakan sentral dari semua fungsi kegiatan indra baik yang langsung
maupun tidak langsung seperti pengamatan, perasaan dan kemauan. Pikiran
adanya seperti atom yang sangat sulit diketahui kecuali melalui sesuatu
pengalaman yang sewaktu-waktu. Jiwa juga bersifat kekal abadi dan meliputi
kesemuanya dari zat-zat sampai pada zat yang terbawah yang merupakan

kesadaran yang luar biasa. Jiwa perseoranganpun dapat memahami secara


mendalam oleh pikiran seseorang seperti yang disebutkan oleh seseorang.
SAYA BAHAGIA. Tuhan merupakan pencipta alam semesta. Tuhan
menciptakan alam semesta diluar atom yang kekal. Partikel-partikel dari atom
yang terurai maupun tersusun kemudian diatur menurut kemauannya sendiri
dan sumber penggeraknya adalah Tuhan yang langsung mengerjakan sebagai
hukum karma. Atom-atom tersebut berbentuk dunia dengan mengetur pula
bagian-bagiannya yang cocok . Atom-atom tersebut berbentuk dunia dengan
mengatur pula bagian-bagiannya yang cocok bagaikan jiwa pada manusia
yang telah ditakdirkan olehNya.
Sifat kekuatan yang terdapat pada dasar suatu zat bukan seperti atma yang
dapat menimbulkan keaktipan atau gerak akan tetapi zat-zat yang dapat
diberikan kekuatan oleh sang atma tidaklah sama dengan kekuatan dari suatu
benda. Karena itulah pada benda tidak terdapat

suatu langkah gerakan.

Tenaga untuk melakukan gerakan seperti sifat yang hanya dimiliki oleh zat
dasar jumlahnya ada lima seperti :
1

Utsepana

: Gerak menuju keatas

Aveksepana : Gerak menuju kebawah

Akuncana

: Gerak yang berlawanan

Prasarana

: Gerak yang menyerang

Gamana

: Gerak yang pergi

Visesa adalah keistimewaan yang dimiliki oleh masing-masing benda yang


berbeda. Biasanya perbedaan suatu benda dengan benda lain disebabkan
kevisesaan (keistimewaan) yang dimiliki oleh sifat masing-masing benda
tersebut. Dengan demikian pemberian nama terhadap vaisasika berasal dari
visesa yang merupakan sistim katagori dan keistimewaan sifat pada benda.

Samavaya adalah sifat yang kekal yang terdapat pada masing-masing bagian
dari benda sifat umum maupun sifat istimewa mengenai mutu gerak kerja dari
suatu benda.

Penghormatan terhadap Tuhan dan kebebasan jiwa setiap orang mempunyai


suatu persamaan dengan filsafat nyaya.

C. Sankhya Dharsana
Sankhya adalah filsafat yang serba dua, diturunkan oleh Maha Rsi
Kapila. Keistimewaan dari filsafat ini adalah pemecahan serba dua yang
disebut dengan nama Purusa dengan prakerti, serta adanya sangat netral.
Purusa adalah suatu prinsip kesadaran yang sangat tinggi yang tidak
berbentuk tetapi merupakan suatu yang sangat penting dimana Purusa ini
merupakan sinar ketenangan dari tubuh termasuk panca indria dan pikiran.
Purusa ini berada diantara dunia dan obyek dari itu merupakan kesadaran
yang kekalpun pula ia merupakan saksi dari segala perbuatan di dunia,
namun ia menunjukkan ke jalan yang besar. Bentuk dari suatu benda
seperti kursi dipan dan lain-lainnya adanya benda ini bertujuan untuk
menyenangkan diri sendiri dan makhluk lainnya. Walaupun Purusa ini
merupakan sinar cahaya dari prakerti sehingga timbul hubungan antara
beberapa jenis purusa pada beberapa benda yang nanti dapat menimbulkan
ada orang senang dan sedih, mati dan lahir. Prakerti adalah penyebab dari
terbentuknya dunia. Sifat prakerti adalah ketidak sadaran yang selalu
berubah-ubah dan tidak pernah diam yaitu sattwa, rajas dan tamas. Dengan
adanya guna itu dapat membuat sifat yang senang, sedih yang kita jumpai
pada semua benda di dunia.
Hal yang sangat menarik seperti suka tidak suka kepada apa yang
menyenangkan atau tidak senang yang dirasakan oleh setiap orang di
dalam kondisi yang berada seperti menikmati selada, pada beberapa orang
rasanya nikmat dan yang lainnya tidak. Kondisi-kondisi yang demikian
akan terwujud seperti minyak wangi merupakan perubahan dari bibit
minyak yang ada. Demikian pula benda-benda di dunia mempunyai sifat
menghasilkan senang, sedih, dan sesuatu yang tidak satwam, rajas dan

tamas yang berada pada wilayah senang, sedih dan bosan yang nantinya
dapat membawa pengaruh yang aktif dan pasif. Perubahan-perubahan yang
ada dalam akibat dari pertemuan purusa dan pradana yang nantinya dapat
menimbulkan perubahan pada ketenangan yang sejati dari seseorang yang
kemudian dapat menimbulkan gerakan untuk berbuat. Proses timbulnya
perubahan itu adalah sebagai berikut : adalah dari Prakerti yang
menimbulkan gerakan-gerakan yang dimaksud dengan nama Mahat sifat
kesadaran pada diri seseorang secara reflek akan bangkit dan timbul sadar
pada dirinya, yang kemudian bangkitlah secara alami yaitu alam pikir
seseorang yang diberi nama budhi, budhi kemudian berkembang menjadi
pemikiran yang sangat kreatif. Ahankara muncul kemudian yang
merupakan hasil kedua dari budhi.

D. Yoga Dharsana
Maha rsi Patanjali adalah peletak ajaran filsafat Yoga. Filsafat Yoga
ini sebagian besar mengambil atau menitikberatkan ajaran Epistimologi
dan Metha phisis dari filsafat Yoga hanya ditambahkan adanya Tuhan.
Yang sangat menarik dalam filsafat ini adalah praktek dari latihan yoga
untuk mencapai VIVEKA JNANA atau pengetahuan untuk membedabedakan yang merupakan penunjang pada filsafat Sankhya mengenai
kebebasan. Tentu saja dalam filsafat ini dipraktekkan cara pengertian
mengenal fungsi-fungsi yang berhubungan dengan jiwa yang disebut Cita
Vrtiniroda.
Dalam filsafat yoga ini terdapat lima tingkatan dari fungsi jiwa
antara lain :
Ksipa : Pikiran untuk pengumbaraan nafsu bercumbu rayu dengan suatu
obyek.
Mudha : Kondisi bodoh seperti orang tidur.
Vrksipta : Adalah kondisi yang tenang tidak menentu.
Ukraga : Pemusatan pikiran pada suatu obyek dan renungan.

Niruddha : Pemberhentian dari fungsi gerak pada renungan.


Ada delapan langkah untuk harus dilaksanakan dalam mempraktekkan
ajaran yoga antara lain :
1. Yama : Latihan menahan penderitaan hidup dari kepalsuan dunia seperti
pencurian, melampiaskan hawa nafsu dan ketamakan.

2. Nyama : Adalah kesusilaan dengan melaksanakan perbuatan baik


seperti penyucian, ketenangan, penebusan dosa, mempelajari weda dan
melakukanrenungan dengan tuhan.
3. Asana : adalah mengambil sikap badan yang menyenangkan.
4. Pranayama : mengatur keluar masuknya pernafasan.
5. Pratyara : pengontrolan terhadap indra dan membawa indra
kegambaran dari suatu obyek.
6. Dharana : membawa pikiran pada suatu obyek yang ada di dalam
maupun di luar seperti pandangan mata ke ujung hidung.
7. Dhyana : adalah meditasi untuk merenung kepada obyek dimana
pikiran tidak terpecah lagi.
8. Semadi : disini telah berada pada lenyapnya kesadaran dalam renungan
pada suatu obyek dan tidak sadar akan dirinya.

Yoga adalah suatu sistem filsafat yang membicarakan Ketuhanan Sankhya


yang berbeda dengan teori Sankhyanya Rsi Kapila yang secara umum tidak
membicarakan mengenai Tuhan. Filsafat ini percaya sepenuhnya kepada
Tuhan yang menjadi obyek renungan yang utama bagi yang melakukan
semadi dan melaksanakan diri sendiri.

E. Mimamsa Dharsana
Filsafat Mimamsa terkenal dengan sebutan Purwa Mimamsa yang
ditulis oleh Maha Rsi Jaimini. Obyek yang utama dalam filsafat ini adalah
keyakinan akan kebenaran dari upacara-upacara dalam weda. Dalam
filsafat ini akan dijumpai suatu pendangan dunia yang ditinjau dari segi

upacara. Penulis dari ajaran ini memepergunakan dasar dari upacaraupacara dalam weda dimana dalam rumusan mengenai pandangan filsafatfilsafat mimamsa terhadap weda, bahwa weda tersebut bukan dibuat oleh
manusia. Weda adalah kekal abadi dan penulis weda adalah para Maha Rsi
yang diturunkan hanya pada saat tertentu saja. Mengenai kumurnian Weda
maka filsafat Mimamsa beranggapan bahwa pengetahuan yang terdapat
pada weda merupakan pengerjaan dari Maha Rsi dengan sangat teliti
sehingga pemecahan terhadap suatu obyek adalah benar karena setiap
pengetahuan merupakan Wahyu Tuhan. Konsep dari ajaran Mimamsa
tentang kebebasan hanya bersifat negatif yaitu tidak lahir kembali dan
bebas dari semua penderitaan. Jiwa adalah sesuatu zat yang kekal abadi,
apabila jiwa tersebut meninggalkan kematian dan telah mengikuti ajaranajaran atau suruhan-suruhan weda mengenai upacara maka jiwa tersebut
akan menuju sorga walaupun tidak tahu sama sekali. Filsafat Mimamsa
juga memberikan argumantasi yang bebas seperti halnya filsafat Jaina
dimana jiwa itu adanya kekal abadi dan filsafat ini menolak pendangan
metrealsitis pada diri manusia. Tetapi filsafat ini tidak membicarakan
tentang kesadaran yang merupakan hal yang hakiki dari jiwa sebab
kesadaran itu akan tumbuh hanya dengan adanya kesatuan antara atman
tubuh dan obyek ilmu pengetahuan yang terdiri dari lima indra dan manas.
Kebebasan untuk melakukan perbuatan inilah yang terpenting dan filsafat
mimamsa. Jiwa yang terdapat dalam tubuh berbeda dengan ilmu
pengetahuan salah satu aliran dari filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh
Maha Rsi Prabhakara beliau mengatakan adanya lima sumber pramana
antara lian :
Pratiaks

: penglihatan langsung

Anumana : menarik kesimpulan


Upamana : mengadakan perbandingan
Sabda

: pembuktian

Arthapati : perempuan

Aliran lain dari filsafat Mimamsa yang diajarkan oleh Maha Resi Kumarila
Bhatta beliau menjelaskan mengenai pengamatan yang

merupakan

tambahan dari lima teori di atas yang disebut anupalabi yang berarti tanpa
pengamatan. Antara lain dijelaskan seseorang yang masuk kedalam salah
satu kamar dan melihat berkeliling dalam kamar tersebut bahwa di kamar
itu tidak kipas, kita mengatakan tidak ada kipas karena kita tidak melihat
kipas. Penglihatan itu timbul terhadap suatu obyek apabila indra tersebut
dirangsang oleh suatu obyek dan tidak adanya obyek yang diketahui karena
indra tidak dirangsang olehnya demikianlah ilmu pengetahuan yang dapat
melalui Anupalabdhi yaitu kita memberi pertimbangan tentang kipas tadak
ada karena kita tidak melihat kipas melalui pengamatan.
Filsafat Mimamsa percaya akan kenyataan dari dunia phisik melalui
kekuatan dan penglihatan walaupun filsafat ini adalah realistis namun
filsafat ini percaya juga mengenai keberadaan dan jiwa akan tetapi filsafat
ini tidak percaya bahwa Brahman atau Tuhan sebagai pencipta alam
semesta. Bahan penciptaan dunia dibentuk dari bahan-bahan luar yang
sesuai dengan karma dari jiwa-jiwa oleh sebab itu hukum karma
merupakan penguasa dunia. Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila
setiap orang melaksanakan sedikit saja mengenai upacara maka jiwa
tersebut diangkat oleh suatu kekuatan yang diberi nama Apurwa yang
kemudian hari dapat menghasilkan buah yang dikerjakan dengan baik.
Perhitungan dari Apuwa secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya
dilakukan dengan bentuk upacara yang nantinya dapat memberikan hasil
yang sangat memuaskan.

F. Vedanta Dharsana
Teori dari filsafat vedenta ini diambil dari Upanisad yang
merupakan titik terakhir ilmu weda, itulah sebabnya filsafat ini diberi nama
wedanta yang berarti akhir dari weda, sebagai telah kita perhatikan bahwa
Vedanta ini berkembang melalui dasar-dasar kebenaran dari ajaran

Upanisad. Bahan-bahan yang menjadi pokok uraian dalam filsafat ini


adalah ajaran Brahma Sutra dari Badra Yana.
Kitab Brahma Sutra Upanisad ini diberikan tafsir tulisan oleh dua orang
Maha Rsi yang bernama Resi Sankara dan Resi Ramanuja. Purusa adalah
meliputi semua lam semesta dan tidak ada celah yang tidak diisi olehnya.
Demikian terurai didalam Mantra Reg Weda, semua benda-benda yang ada
di alam semesta ini merupakan bagian dari purusa. Di dalam Upanisad
semua yang ada berasal dari satu yaitu SAT, atau merupakan suatu rencana
dari satu purusa atau satu brahman sehingga semua ini adalah kesamaan.
Dunia berasal dari Purusan berada pada-Nya dan kembali pada-Nya di beri
nama Pralaya. Kenyataan yang bermacam-macam yang terdapat di alam
semesta tidak dapat dibantah bahwa kesemua itu merupakan kesatuan dari
purusa sehingga timbul sebutan Sarwam Khalu Idam Brahma artinya
semua adalah Brahman demikian pula mengenai jiwa adalah Brahman juga
dan tidak ada banyak dialai ini. Purusa dan Pradana adalah satya. Ia tidak
terbatas dari jnana dan ananda. resi sankara memberikan tafsir terhadap
Upanisad dan Brahman Sutra bahwa Purusa itu amat suci dan tidak ternoda
walaupun bercampur ditempat tersebut. Purusa hanyalah satya, bukan salah
satu indra saja beliau berada namun disemua indra beliau juga menempati
segala sesuatu yang berlarang dari keseluruhan merupakan kesatuan dari
jiwa atau Brahman. Brahman menghidupkan alam semsta sehingga
Brahman mengetahuinya semua diketahui olehnya sehingga pandangan
sama dengan yang terdapat dalam Upanisad. Beraneka ragam benda
disebabkan oleh Brahman termasuk juga Siwa hal yang sama dengan
terurai dalam Weda. Akan tetapi di dalam Weda penciptaan itu dilakukan
oleh Maya. Brahman menyebutkan bahwa penciptaan dunia dilakukan
melalui kekuatan maya. Samkara tetapi beliau berpegang bahwa di alam ini
hanya da satu Brahman. Dunia ini tidak diciptakan dalam bentuk yang
nyata akan tetapi Tuhan menciptakan dunia dan tidak menampakkan diri.
Brahman melakukan dengan kekuatan yang rahasia yang disebut maya.

Mengenai pengertian terhadap maya beliau menjelaskan hal tersebut


dengan

suatu

pengalaman

yang

biasa

saja

kemudian

beliau

menginterprotasi kekuatan itu dengan gambaran biasa dalam hidup ini


dengan mempergunakan tali sebagai contoh dimana dibuat tali sebagai luar
atau kerang yang berkilauan berubah menjadi perak di dalam hal ini
merupakan dasar dari bayangan yang nyata dari suatu benda yang nampak
seperti ular dan perak imajinasi yang semacam ini dihasilkan oleh pencipta
yang pandai untuk orang yang bodoh, kebodohan ini tidak hanya diterima
oleh golongan lapisan bawah tetapi juga orang lain dapat melihat hal
semacam. Sehingga apersepsi tentang dunia dapat disamakan dengan
contoh diatas kita melihat beraneka ragam obyek dari Brahman olehkarena
itu kebodohan kita kenyataan, sebenarnya adalah Brahman berselubung
dan kepada kita dipertunjukkan beraneka ragam obyek. Dalam pandangan
Sankara mengenai fakta adanya dua zat yaitu Tuhan dan Maya maka
pikiran mengenai teori semua ini adalah satu mendapat suatu pukulan akan
tetapi lebih jauh Samkara menjelaskan bahwa Maya merupakan kekuatan
dari Tuhan yang kelihatannya saja berbeda namun ia satu seperti api
dengan kekuatan membakarnya, oleh karena itu bukanlah dua adanya
namun tetap satu. Inilah yang disebut Advaita. Untuk maya yang tidak
dapat dipercaya akan adanya hanya dapat dilihat melalui akal muslihat
sehingga ilmu maya itu akan menjadi lenyap dan akhirnya nampaklah
bahwa Tuhan mencipta itu tidak dengan kekuatan maya. Sama halnya
barang siapa dapat keselubungan Tuhan dalam dunia, maka Tuhan akan
berhenti mempunyai kekuatan Maya atau kekuatan lain untuk mencipta.
Pandangan Sankara terhadap hal tersebut terdapat dua macam perbedaan
yaitu :

1. Vya Vararika : adalah sesuatu yang tidak memberikan keterangan


kepada orang bahwa dunia ini adalah betul-betul ada, sebab itu hidup
ini harus memperhatikan kebebasan diatasnya, dari pandangan ini

muncullah bahwa dunia adalah nyata dan Tuhan adalah Maha Kuasa
maha tahu sebagai pencipta pemelihara dan pelebur sehingga Tuhan
muncullah sifatnya yang disebut Saguna dan jumlahnya banyak oleh
Sankara. Tuhan dalam hal ini disebut Saguna Brahma.

2. Paramartika : adalah pandangan yang memberikan pengertian bahwa


dunia ini betul-betul ada dan muncullah dunia tidak oleh dirinya sendiri
tetapi oleh Tuhan. Dari pandangan ini muncullah pemikiran bahwa
dunia kekal Tuhan pencipta sesuatu yang kekal.

Kita hendaknya belajar ilmu Vedanta di bawah asuhan Guru dan berusaha
untuk mempergunakan Meditasi. Setelah tiba saatnya yang tepat guru akan
memberikan bisikan terakhir kepadanya bahwa jiwa adalah Brahman.
Tuhan memiliki semua sifat kemaha tahuan dan kemaha kuasaan sebagai
laba-laba yang membuat sarangnya keluar dari tubuhnya demikian halnya
dengan Tuhan menciptakan alam semesta ini keluar dari dirinya juga
mengenai jiwa yang digambarkan sebagai hal yang tak terbatas kecilnya
dan kekal adanya mereka terwujud dari kesadaran sifat alam dan
kecermelangan sifat jiwa. Setiap jiwa ia berada dibawah dari tubuh dan
didalamnya menyesuaikan diri dengan hukum karma. Semua ciptaan baik
dunia maupun yang lainnya berasal dari Tuhan yang satu akan tetapi
monismennya Ramanuja adalah Visistadvaita yaitu satu Tuhan namun
adanya

beraneka

ragam.

Tuhan

memiliki

kesadaran

ketidaksadaran benda yang kesemuanya itu adalah satu.

jiwa

dan

BAB VII

RAJADHARMA
Sasaran belajar

Mahasiswa memahami pengertian Kepemimpinan

Mahasiswa dapat Mengimplementasikan Kepemimpinan

Mahasiswa makna ajaran Rajadharma


Agama Hindu tidak saja merupakan agama tertua didunia, tetapi juga

merupakan agama yang mengandung segala aspek kehidupan manusia, karena


Agama Hindu yang nama asalnya Sanatha Dharma diturunkan oleh Ida Sang
Hyang Widhi Wasa untuk meningkatkan peradaban dan kebudayaan manusia.
Disamping itu pula Agama Hindu merupakan hukum atau aturan yang
membimbing umat manusia untuk mencapai Moksartham Jagad Ita termasuk
di dalamnya asas kepemimpinan.
A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu sistem mengkoordinasikan, kemampuan untuk
mengadakan

perencanaan,

kemampuan

menggerakkan

serta

dapat

mengadakan pengawasan. Kepemimpinan merupakan tindakan-tindakan


pemimpin menurut tugas dan fungsi pokoknya. Kepemimpinan juga adalah
seni untuk mempengaruhi tingkah laku orang dan kemampuan untuk
membimbing

orang-orang.

Berdasarkan

pengertian

diatas

dapatlah

disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan,


pengetahuan dan kelebihan tertentu dari bawahannya. Sehingga dengan
kelebihan itu bawahannya menjadi patuh taat dan percaya dalam rangka
melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan bersama.
B. Syarat-syarat Seorang Pemimpin

Seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat intlek, karakter, rasa


tanggung jawab, kesiapsiagaan yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Intelegensi adalah kemampuan dalam mengobservasi pengetahuand an


kemampuan dan menghadapi situasi baru kemampuan melihat kenyataan
dalam situasi baru. Dengan intelegensi yang tinggi memungkinkan
seorang pemimpin untuk mengambil keputusan secara tepat dan cepat.

2. Karakter adalah sifat-sifat kepribadian yang berhubungan dengan nilainilai karakter meliputi segala pada seseorang yang dilihat dari
pandangan benar tidaknya, baik buruknya. Gelaja ini dilihat dari
kesungguhan kejujuran dan kepercayaan.
3. Kesiapsiagaan adalah selalu awas dan waspada terhadap suatu
kemungkinan yang terjadi dengan memelihara fisik dan memelihara
kesadaran jiwa.
4. Satya adalah kesetiaan. Kesetiaan adalah merupakan kode etik dan
semua dari semua umat Hindu. Hal ini ditegaskan dengan kata-kata
seperti :
a. Satya Hradaya adalah jujur terhadap diri sendiri.
b. Satya Wacana adlah jujur terhadap ucapan/perkataan.
c. Satya Semaya adalah setia kepada janji, harus konsekwen yakni
selalu menepati atau memenuhi segala janji yang pernah diucapkan.
d. Satya Mitra adalah setia terhadap sahabat, walaupun sudah
mendapatkan kedudukan yang baik.
e. Satya Laksana adalah jujur dalam perbuatan (tidak pernah berbuat
curang).

C. Tugas dan Wewenang Pemimpin


Tugas adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Wewenang adalah hak
untuk bertindak. Dalam rangkaian pencapaian tujuan tertentu seorang
pemimpin harus mendahulukan tugas daripada wewenang. Dan harus
disadari bahwa antara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Tidak ada tugas tanpa wewenang dan tidak ada wewenang tanpa tugas.
Demikianlah seorang pemimpin harus melaksanakan tugas-tugasnya sesuai

dengan wewenang dan wewenang seorang pemimpin adalah hak untuk


menggerakkan bawahannya. Setiap pemimpin selalu memiliki pengikat.
Kepengikutan itu diambil karena pemimpin itu memiliki :

a. Abhiganika yaitu dapat menarik simpati orang.


b. Pradnya yaitu selalu bertindak bijaksana.
c. Atma Sampart yaitu bermoral dan berbudi pekerti yang luhur.
d. Sakya Sataka yaitu selalu bertindak teliti dan cermat.

D. Sifat-sifat Kepemimpinan
Pada umumnya seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :

1. Integritas ialah berpaduan keteguhan watak, sehat dalam prinsip-prinsip


moral mengutamakan kebenaran lurus hati dan perasaan halus
mengenai tata susila keadilan dan kebenaran.
2. Pengetahuan ialah ingin memperdalam pengetahuan dalam segala
bidang dengan cara rajin membaca buku latihan berpikir secara serius.
3. Keberanian ialah memiliki sifat ksatria. Seorang pemimpin harus
mempunyai keberanian fisik dan moral yang dapat dikembangkan
dengan cara selalu merasa tanggung.
4. Inisiatif ialah kemampuan berbuat walaupun tidak ada perintah dan
memberikan saran-saran guna kemajuan dan tercapainya suatu tujuan
dengan

baik.

Inisiatif

itu

dapat

dikembangkan

dengan

cara

menumbuhkan keberanian bekerja seacra berencana.


5. Kecakapan mengambil keputusan ialah mengambil tindakan bila
diperlukan.
6. Kebijaksanaan, adalah kekuatan berpikir atau menganalisa suatu
masalah kemudian mempertimbangkan, sehingga dapat mengambil
suatu keputusan yang sehat.

7. Keadilan, ialah memberikan keputusan secara adil, tidak memihak


salah satu dan konsekuwen dalam keputusan.
8. Dapat dipercaya, adalah kesanggupan menjalankan tugas dan
kewajiban tanpa pengawasan, karena memberi tugas itu telah yakin
kepada yang diberi tugas akan mampu dan sanggup mengerjakan
kewajiban dengan baik dan jujur.
9. Sikap, adalah segala tindakan, perbuatan dan perkataan yang
menunjukkan kepribadian yang luhur.
10. Tahan menderita, ialah memiliki daya tahan jasmaniah dan rohaniah
dengan kesanggupan menahan letih, tahan menghadapi kesukaan dan
penderitaan serta selalu ulet dalam segala usaha.
11. Kegembiraan, yaitu menunjukkan perhatian yang tulus ikhlas dalam
melaksanakan segala kewajiban.
12. Tidak mementingkan diri sendiri, yaitu menjauhkan diri dari keinginan
mendapat suatu yang menyenangkan diri sendiri atau keuntungan diri
sendiri dengan merugikan orang lain.
13. Loyalitas, ialah kualitas kesetiaan seseorang terhadap negara bangsa
dan terhadap atasan atau bawahan.
14. Mampu untuk mempertimbangkan, adalah kemampuan atau, kualitas
seseorang,

tentang

memperhatikan

fakta-fakta

atau

kenyataan-

kenyataan yang ada kemungkinan pembenahan persoalannya dan


mewujudkannya dalam bentuk keputusan yang sehat.

E. Asas-asas Kepemimpinan Hindu


1. Asta Brata
Asta Brata berasal dari dua kata yaitu asta yang berarti delapan
sedangkan brata berarti pedoman/pegangan. Jadi asta brata berarti
delapan pegangan atau pedoman yang harus dijalankan oleh seorang
pemimpin. Adapun yang bagian-bagian yang termasuk asta brata itu
antara lain :

a. Indra Brata
Seorang pemimpin harus bertindak seperti sifat Dewa Indra yaitu
dapat memberikan kesenangan dapat memenuhi kebutuhan anak
buahnya akan sandang dan pangan. Pemimpin mempunyai
kewajiban untuk kebenaran dan keadilan. Pemimpin yang
menjalankan Indra Brata akan berusaha memberikan kecukupan
kebutuhan hidup kepada pengikutnya bagaikan Ida Sang Hyang
Indra memberikan hujan dan ari yang menyebabkan hidupnya
tumbuh-tumbuhan dan makhluk lainnya di dunia ini. Sebagai
kesimpulan bahwa Indra Brata mengajarkan seorang pemimpin
untuk memikirkan nasib anak buahnya selalu bekerja untuk
mencapai kemakmuran masyarakat secara menyeluruh tidak boleh
mementingkan dirinya sendiri saja.
b. Yama Brata
Dewa Yama dalam myuthologi Hindu adalah sifat Tuhan sebagai
penyabut nyawa atau dalam Asta Brata ini menjadi penghukum
segala bentuk kejahatan tanpa pandang bulu. Setiap orang yang
melakukan perbuatan jahat harus dijatuhi hukuman sesuai dengan
kesalahannya. Pemimpin harus bertindak tegas.
c. Surya Brata
Dalam Surya Brata tersimpul ajaran seorang pemimpin harus dapat
memberikan kekuatan kepada anak buahnya baik jasmani dan
rohani. Pimpinan harus dapat memberikan kesadaran akan tanggung
jawab kepada anak buahnya. Seperti matahari yang Memancarkan
sinar sucinya keseluruh pelosok penjuru demikinlah hendaknya
seorang pemimpin tidak jemu-jemunya mengadakan hubungan
dengan bawahannya sehingga pemimpin mengetahui benar keadaan
anak buahnya.

d. Candra Brata
Candra adalah rembulan yang memberikan penerangan sejuk dan
nyaman di malam hari. Pemimpin yang mempunyai sifat candra itu
akan menyenangkan anak buahnya.
Casi brata hunar sukang rat katon, ulah ta merdu komala yan katon,
guyun ta mamanis ya tulya marta, asing matuha pandi zat swagaten.

Artinya :
Kalau Dewa Bulan adalah memberikan kegembiraan, hendaknya
tingkah lakumu kelihatan lemah lembut. Semua orang tua yang
cerdik pandai hendaknya engkau jamu dengan selayaknya.
e. Bayu Brata
Seorang pemimpin harus dapat mengetahui segala hal ihwal dan
pikiran anak buahnya. Bayu menunjukkan pendirian yang teguh
tidak dapat mengembalikan semangat kerja jika diketahui anak
buahnya mengalami krisis mental
f. Dhana/Kuwera Brata
Adalah dewa kekayaan. Ajaran yang dalam Kuwera Brata ini adalah
seorang pemimpin itu harus berpakaian rapi. Sebelum mengatur
orang lain, pemimpin hendaknya dapat mengatur diri sendiri
terlebih dahulu.
g. Paca Brata
Pada adalah Dewa Baruna yang memiliki senjata Nagapasa.
Kesakitan seorang pemimpin adalah ilmu pengetahuan yang luas
untuk membimbing anak buahnya, seorang pemimpin harus
bijaksana. Seorang pemimpin hendaknya dapat mendengarkan dan
memperhatikan pendapat anak buahnya seingga mendorong
kegairahan kerja karena sesuai dengan hati nurani bawahannya.

h. Agni Brata
Dalam Agni Brata terdapat ajaran yang mengatakan bahwa dalam
menghadapi kesukaran hendaknya diatasi dengan sebaik-baiknya
sampai tuntas. Seorang pemimpin harus mempunyai semangat anak
buahnya yang diarahkan melaksanakan tugas. Secara keseluruhan
dikatakan bahwa Asta Brata memuat faktor-faktor hubungan antar
manusia yang sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila oleh
karena itu dapat kita terapkan dewasa ini dalam bidang
kepemimpinan karen bagaimanapun juga kita sebagai ahli waris
daripada kebesaran umat Hindu jaman dahulu sudah selayaknya kita
mengetahui tentang tehnik-tehnik kepemimpinan yang tidak
mengenal diri kita sendiri.

Disamping

Asta

Brata

seorang

pemimpin

harus

juga

menerapkan ajaran Catur Pariksa seperti :

a. Sama
Seorang pemimpin harus bertindak dan berbuat sama terhadap anak
buahnya atau anak didiknya setiap orang mempunyai kesempatan
yang sama untuk maju dan berkembang. Seorang pemimpin tidak
boleh pilih kasih ia harus memandang pengikutnya secara adil dan
menyeluruh sesuai dengan dharma buktinya. Jasa dan nama baik
harus dituntut dengan cepat jangan ditangguhkan. Jasa orang
membikin telaga sama dengan membikin sebuah sumur. Jasa orang
yang membikin seratus buah telaga sama dengan orang yang
melaksanakan tugas dengan baik. Ini semua dengan seorang yang
mempunyai putra yang baik sebagai alat untuk mencapai sorga loka.

b. Beda
Pemimpin harus dapat menilai anak buahnya dengan mencurahkan
perhatian yang tidak berbeda-beda. Bagi mereka yang rajin dan
tekun diberikan penghargaan yang lebih besar dibandingkan denga
mereka yang malas. Pemimpin harus menunjukkan keadilan
walaupun dalam hal ini harus dibedakan antara yang rajin dengan
yang malas. Setiap bawahannya hendaknya dapat menerima apa
yang menjadi haknya. Sendi keadilan itu bersumber pada ajaran
karma phala yang mengatakan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan phala sesuai dengan karmanya. Pemimpin harus dapat
membedakan antara hubungan dinas dan hubungan pribadi.
Pemimpin harus membedakan mana hal yang penting yang perlu
segera dikerjakan dan mana yang dapat ditanggungkan dan
pemimpin harus ambeg paramarta (tidak mementingkan diri
sendiri).

c. Dhana
Pemimpin hendaknya senantiasa rela mengeluarkan tenaga untuk
menolong orang yang benar-benar memerlukan pertolongan
demikian pula terhadap anak buahnya senantiasa dapat memberikan
bantuannya apabila bawahannya mengalami kesukaran sesuai
dengan kemampuannya dan fasilitas yang ada.
Bagaikan air yang menggenangi pohon tebu tidak hanya pohon tebu
itu saja tergenangi oleh air, tetapi juga rumput-rumputnya, pohonpohon kecil lainnya, serta segala yang dekat kepada tebu itu turut
mendapat Genangan. Demikianlah orang yang melaksanakan
dharma turut bawahannya mendapat kebahagiaan sesuai dengan
kewajiban. Ajaran ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak
hanya memikirkan nasibnya sendiri, melainkan harus pula
memikirkan nasib anak buahnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya

terhadap ketaatan bawahannya itu sendiri, karenanya harus


diperhatikan oleh seorang pemimpin.

d. Denda
Seorang pemimpin harus berani bertindak tegas yaitu berani
memberikan sangsi kepada setiap bawahan yang melanggar
ketentuan-ketentuan

yang

berlaku.

Pemimpin

menegakkan disiplin kerja kepada para pengikutnya.

harus

dapat

DAFTAR PUSTAKA

1. Adia Wiratmadja, Drs. I. G. K. Nitya Karma. CV. Kayu Mas.


2. Ardana I Gusti Gde. Hari Raya Saraswati. Proyek Peningkatan
Prasarana dan Sarana Kehidupan beragama.
3. Bajrayasa, BA. I Gede dan Arisudhana, BA. Ida Bagus. Acara III.
4. Cudamani, 1987. Pengantar Agama Hindu, Yayasan Wisma Karma,
Jakarta.
5. Mantra, Prof. Dr. Ida Bagus, Bhagawadgita.
6. Mas Putra. Ny. I. G. Ag. Upacara Dewa Yadnya, Yayasan Dharma
Sarati Jakarta.
7. Musna, Drs. I Wayan, Sad Dharsana, CV. Kayu Mas.
8. Nesawan, BA. I Nyoman, Pendidikan Agama Hindu, Ganesa
Exact, Bandung.
9. Sadia, BA. Wayan dan Gede Pudja, MA. SH. 1992. Rg. Weda, Proyek
Pengembangan Kitab Suci Hindu Departemen Agama Republik
Indonesia.
10. Setia. Putu. Cendikiawan Hindu Bicara, Yayasan Dharma Naradha.
11. Swami Vivekkananda, 1991. Karma Marga, Hanuman Sakti Jakarta.
12. Sugiono, Drs. R. 1985/1986. Atharwa Weda, Direktorat Jenderal Bimas
Hindu dan Budha Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu,
Jakarta.
13. Pasek. Kt, dan Ketut Wiana, Niti Sastra, Proyek Pembinaan Mutu
Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama Republik
Indonesia.
14. Pudja, MA. SH. 1985. Pengantar Agama Hindu, Mayasari Jakarta.
15. Pudja, MA. SH. 1974. Weda, Jakarta.
16. Pusja, MA. SH. Menawa Dharma Sastra. Mayasari Jakarta.

17. Punytamadja, Drs. Ida Bagus Oka, 1992. Panca Sradha, Upaca Sastra.
18. Purwita, Ida Bagus, 1989/1990. Upacara Potong Gigi.
19. Pemda Tingkat I Bali, 1983. Catur Yadnya, Proyek Pengembangan
Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama.
20. Oka, I Gusti Agung, Lambang Swastika.

Anda mungkin juga menyukai