OLEH :
Om, Swastiastu
Puji syukur penyusun panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya, diktat Mata Kuliah
Agama Hindu ini, bisa diselesaikan sesuai dengan rencana. Mata Kuliah Agama
Hindu merupakan mata kuliah dasar umum yang wajib diajarkan di seluruh
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Sementara, literatur dan buku-buku
pegangan untuk mata kuliah itu, masih sangat kurang, dalam hal ini kiranya diktat
yang sederhana ini dapat dimanfaatkan.
Maksud dan tujuan penulisan diktat ini adalah untuk menanamkan dan
meningkatkan rasa percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membangkitkan
kesadaran bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan dan
kepuasan bathin baik di dunia maupun di akhirat. Di samping itu dengan
mempelajari ajaran agama, juga memberikan motivasi dan dorongan bagi umat
manusia untuk berbuat baik, selain sebagai penunjang ilmu yang diperoleh di
bangku kuliah.
Seiring dengan banyak dan luasnya materi mata kuliah agama yang patut
diketahui, sedangkan waktu perkuliahannya hanya satu semester, jadi materi-
materi yang bersifat ulangan yang telah diberikan di Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas tidak disajikan lagi. Materi yang
akan dipergunakan di perguruan tinggi hanya bersifat praktis agar dapat
menunjang ilmu dan pekerjaan setelah menamatkan sekolah.
Penyusun menyadari sesuai dengan perkembangan pembangunan agama,
bahwa materi kuliah ini banyak kekurangannya sehingga memerlukan tambahan
dan penyempurnaan. Penyusun mengharapkan kepada pembaca agar memberikan
kritik dan saran-saran untuk penyempurnaan penyusunan selanjutnya.
Sasaran Belajar
- Menjelaskan tentang proses penyebaran ajaran Agama Hindu di India
- Menjelaskan tentang proses penyebaran agama Hindu di Indonesia
- Menjelaskan tentang penyebaran agama Hindu di Bali
Sasaran belajar
- Mahasiswa dapat menjelaskan sumber-sumber ajaran Agama Hindu.
- Mahasiswa memahami pengertian Sruti
- Mahasiswa memahami pengertian Smerti
- Mahasiswa memahami pengertian Upadewa
A. Sruti
Semua agama mempunyak kitab suci. Kitab suci adalah kitab yang
dipandang suci oleh umat agama itu. Kitab ini dianggap suci dan dinyatakan
kitab suci karena di dalamnya memuat sabda-sabda suci. Sabda ini dapat
berupa wahyu atau sruti dapat pula merupakan gubahan kembali yang
maksudnya adalah tulisan ulang yang isinya merupakan bagian-bagian yang
penting. Setiap agama mempunyai kitab suci yang menjadi sumber keyakinan
dan kepercayaan kepada Tuhan disamping sumber etika dari tingkah laku
seseorang. Kitab suci agama Hindu adalah Weda yang memuat wahyu yaitu
suara Tuhan yang diterima secara gaib melalui Maharesi-maharesi. Karena
kesucian bathin beliau mampu melihat apa yang tidak kelihatan dan
mendengar suara-suara gaib yang tidak dapat didengar oleh manusia biasa dan
telinga biasa. Wahyu di dalam bahasa sansekertanya dinamakan sruti, jadi
tidak sembarangan sabda dapat dikatakan wahyu, ini harus diuji kebenaranya
misalnya kita harus mengetahui dan siapa penerimanya, bagaimana
riwayatnya, sifat-sifatnya dan banyak lagi yang harus kita ketahui terlebih
dahulu menguji keberannya. Ada ribuan wahyu yang diturunkan melalui
berbagai orang-orang yang telah diuji kebenarannya dan tempat wahyu
diturunkan tidak sama, wahyu diturunkan di berbagai tempat di dunia ini dan
umumnya memberikan keterangan dan petunjuk kepada manusia agar berbuat
baik. Bahkan kadang-kadang wahyu itu memuat tentang penjelasan apa yang
belum dialami oleh manusia. Karena wahyu amat banyak dan tersebar maka
timbul usaha manusia untuk mengumpulkan wahyu-wahyu itu. Bhagawan
Abyasa dengan para sisyanya mengumpulkan semua wahyu-wahyu yang ada
pada waktu itu. Ada empat bidang yang dikumpulkan kemudian kita
menjumpai empat himpunan yang disecut Catur Samhita seperti :
- Rg Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Pulaha
- Sama Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Jamini
- Yajur Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Waisampayana
- Atharwa Weda Samhita dikumpulkan oleh Bhagawan Sumantha
Dalam ajaran agama Hindu orang hanya menyebutkan Catur Weda
yang secara garis besarnya isi Weda itu dijabarkan dalam 3 sifat, yaitu :
- Mantra isinya terdiri dari empat himpunan (samhita) yaitu Rg Weda
Samhita, Sama Weda Samhita, Yajur Weda Samhita dan Atharwa Weda
Samhita.
- Brahmana adalah himpunan doa-doa dan tuntunan yang dipergunakan
untuk keperluan upacara yajna, ceritra-ceritra dan simbul-simbul yang bisa
dipergunakan untuk memantapkan rasa hati percaya kepada Tuhan.
- Upanisad adalah ajaran yang memuat soal teori mengenai Tuhan dan
ciptaannya.
B. Smerti (Wedangga)
Disamping kitab suci yang tergolong Sruti Agama Hindu juga
mempunyai kitab suci pelengkap yang disebut kitab Smerti (Wedangga), kitab
ini dinamakan pelengkap yang disebut kitab pelengkap dari kitab Sruti agar
mudah dimengerti. Pada umumnya sebagai pelengap memuat bagian-bagian
saja. Kitab Smerti Weda tersebut memuat bagian-bagian antara lain : Ilmu
Ponetika (Siksa), bahasa (Wyakarana), guru lagu (Chanda), arti kata yang
sama atau lawan kata (Nirukta), ilmu astronomi (Jyotikasa) dan Kalpa (tata
cara melakukan yajnya, penebus dosa dan lain-lain).
Dari pembagian itu jelas betapa luasnya bidang smerti karena isinya bersifat
kuhusus maka pembahasannya lebih terarah dan terbatas. Umumnya kitab
pelengkap ini memuat tafsir umum mengenai apa yang terdapat pada para
maha Resi yang telah mendalami kitab Sruti. Karena itu melihat dari
penulisannya kitab ini disebut kitab Smerti yang memuat apa yang diingat
oleh para maha Resi. Adapun Kitab Smerti yang paling menonjol adalah
Manawadharmasastra.
C. Upaweda
Istilah Upadewa terdiri dari dua kata yaitu Upa yang berarti dekat atau
sekitarnya dan Weda berarti kitab suci Weda jadi kitab Upaweda adalah kitab
yang ada kaitannya dengan Weda. Adapun kitab-kitab itu seperti :
1. Itihasa, adalah kitab epos yang memuat sejarah yang sifatnya masih umum
dan mitologis karena disini diceritakan hubungan kehidupan dunia dan
alam sorga.
2. Purana adalah kitab yang memuat cerita kuno.
3. Dharmasastra adalah kitab yang memuat tentang empat tujuan hidup
manusia yang antara lain dharma, arta, kama dan moksa.
4. Kamasastra adalah kitab yang membahas tentang aestika dalam kehidupan
manusia.
5. Ayurweda adalah kitab yang isinya menyangkut bidang ilmu kedokteran.
6. Gandarwaweda adalah kitab yang isinya membahas tentang ilmu seni.
BAB III
SRADDHA (KEIMANAN)
Sasaran belajar
• Menjelaskan tentang Panca Sraddha
• Melaksanakan Panca Sraddha dalam kehidupan sehari-hari.
• Mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada satu garis yang dijadikan ukuran keimanan seseorang beragama
Hindu. Kitab suci weda yang menjadi pegangan dan pedoman dasar bagi umat
Hindu memuat banyak hal penting termasuk keimanan atau sraddha. Kata sraddha
berarti kepercayaan dan juga berarti upacara pemujaan kepada arwah leluhur yang
diwajibkan bagi setiap umat Hindu. Kepercayaan atau keimanan di dalam ajaran
agama Hindu dikenal dengan istilah :
A. Panca Sraddha
Panca Sraddh adalah lima macam kepercayaan atau lima macam
keimanan yang antara lain :
1. Keyakinan Terhadap Adanya Tuhan (Widhi Tattwa)
Yang menyebabkan timbulnya keyakinan di dalam diri terhadap
adanya Tuhan melalui tiga cara yaitu :
a. Agama Pramana yaitu keyakinan yang timbul berdasarkan
petunjuk-petunjuk atau ucapan dari orang yang dapat dipercaya
seperti Maha Resi dan tokoh agama. Dalam hal ini keyakinan
timbul berdasarkan dengan membaca kitab-kitab suci Weda dan
mendengarkan petuah-petuah dari orang yang wajar dipercaya.
Oleh karena itulah Weda yang merupakan wahyu Tuhan maka
kesaksian Wedalah yang sempurna. Ada sloka yang menyatakan
keyakinan berdasarkan agama pramana seperti :
- Janma dhyasya yatah (Brahma Sutra 1.1.2)
Artinya :
Tuhan ialah dari mana asal semua ini.
b. Pratyaksa Pramana yaitu dengan langsung merasakan atau
mengalami adaNya. Beliau dirasakan secara gaib dan
mengherankan Tuhan melimpahkan ajaran-ajaran suci untuk
membimbing umat manusia mencapai kesempurnaan lahir bathin.
Hanya orang beriman serta suci secara lahir bathin dapat
merasakan getaran-getaran Tuhan secara gaib. Para Maha resi
adalah orang suci yang dapat mengalami dan merasakan getaran
Tuhan secara langsung. Tuhan membuka tabir kebesaran dan
keagunganNya dihadapan para resi. Bagi para resi Tuhan tidak
lagi menjadi obyek keyakinan lagi melainkan pengalaman. Di
dalam Arjuna Wiwaha diterangkan bahwa dengan kesucian bathin
seseorang dapat merasakan wujud Tuhan.
Artinya :
Sebagian besar umat biasa yakin berdasarkan agama atau sabda pramana
dan anumana pramana serta sebagian kecil saja yang yakin berdasarkan
pratyaksa pramana.
Ekam Evadvityam Brahman (hanya ada satu Tuhan Brahman, tiada
duanya), Ekam sat viprah bahuda vadanti (hanya ada satu hakekat Yang
Maha Esa Agung para arif bijaksana menyebutkan dengan berbagai
gelar).
Artinya :
Oh Tuhan (yang memenuhi) dunia (bhur), udara (bvah) dan akasa
(svah), Tuhan yang Maha Agung dan Maha cemerlang semoga kami
menerima suciMu yang gemilang semoga dikau membimbing pikiran
kami untuk mencapai kebenaran.
Artinya :
Dari narayana, seluruh (isi alam semesta) ini muncul baik yang telah
ada maupun yang akan terjadi. Dia Maha Gaib, tiada ternoda, tidak
dapat dibayangkan, tidak terungkapkan (dengan kata-kata wujudNya).
Narayana, Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Esa, tiada duanya.
Demikian sebagian dari doa pujian para pendeta atau umat Hindu
mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa, pelindung kerohanian dan
kesusilaan atau dharma, Yang Maha Pengasih, penyayang dan
pengampunan, namun dewa-dewa bukanlah dewa tetapi perwujudan atau
personifikasi dari sifat-sifat kemahakuasaan atau keagungan Tuhan yang
mengatur alam semesta, dunia dan akhirat dengan segala isinya.
Tuhan hanya satu tetapi umat Hindu memberi gelar atau menyebutkan
Tuhan (Hyang Widhi) itu dengan berbagai nama sesuai dengan fungsinya
atau swabawanya masing-masing seperti :
a. Tri Murti adalah tiga manifestasi atau perwujudan dari Tuhan, seperti :
- Dewa Brahma adalah sebutan Tuhan dalam perwujudannya
sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya.
- Dewa Wisnu adalah sebutan Tuhan dalam perwujudan sebagai
pemelihara atau pelindung.
- Dewa Ciwa adalah sebutan Tuhan dalam perwujudannya sebagai
pengembalian ke asal (pralina)
• Sang Hyang Tunggal
Sang Hyang Tunggal adalah Tuhan yang bersifat Maha Esa, Maha
Tunggal tidak ada duanya atau tidak ada bandingannya (Ekam Eva
Advityam Brahman).
• Sang Hyang Guru
Sang Hyang Guru adalah Tuhan yang merupakan guru dari seluruh
alam dan isinya.
• Sang Hyang Sangkan Paran
Sang Hyang Sangkan Paran adalah Tuhan yang menjadi asal atau
tujuan kembalinya seluruh atman. Sangkan artinya asal permulaan,
Paran artinya tujuan kembali kepada seluruh alam dan isinya
termasuk mahluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan).
• Sang Hyang Jagatnatha
Sang Hyang Jagatnatha adalah fungsi Tuhan yang menjadi raja dari
seluruh alam semesta beserta isinya.
• Sang Hyang Parameswara
Sang Hyang Parameswara adalah Tuhan yang memang pimpinan
tertinggi terhadap seluruh alam.
• Sang Hyang Tri Loka Sarana
Sang Hyang Tri Loka Sarana adalah Tuhan sebagai pelindung Tri
Buana (bhur loka, bhuwah loka, swah loka).
• Sang Hyang Acintya
Sang Hyang Acintya adalah keadaan Tuhan yang tidak terbatas itu
tidak dapat dipikirkan oleh manusia yang mempunyai pikiran
terbatas. Karena seorangpun tidak ada yang dapat mengerti tentang
keadaan yang sebenarnya.
• Sang Hyang Paramatma
Sang Hyang Paramatma adalah Tuhan dalam keadaan sebagai atma
yang tertinggi atau jiwa yang maha besar menjiwai seluruh
mahluk.
• Sang Hyang Paramakawi
Sang Hyang Paramakawi adalah gelar Tuhan sebagai perencana
atau pengrang tertinggi.
• Sang Hyang Wenang
Sang Hyang Wenang adalah Tuhan sebagai pemegang wewenang
dan kekuasan mutlak dalam membentuk susunan dan peraturan
alam.
• Sang Hyang Tuduh
Sang Hyang Tuduh aadalah gelar Tuhan sebagai pemegang nasib
makhluk terutama manusia.
• Sang Hyang Parama Wisesa
Sang Hyang Parama Wisesa adalah gelar Tuhan dalam keadaan
sebagai pengusasa tertinggi yang menguasai segala-galanya baik
yang nampak maupun yang gaib baik yang sudah ada maupun yang
akan ada.
• Brahman
Brahman adalah sebutan Tuhan dalam Upanisad sebagai pencipta
alam semesta ini. Di dalam Weda disebut Icwara dalam Whraspati
Tattwa disebut Parama Ciwa dan lontar Puwa Bhumi Kamulan
disebut Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun namaNya tetapi yang
dimaksud adalah Beliau yang merupakan asal mula, pencipta dan
tujuan akhir dari seluruh alam semesta ini. Di dalam
perwujudannya sebagai Brahma pencipta, Wisnu pemelihara dan
Ciwa sebagai pengembali keasalnya disebut dengan Tri Murti. Tri
Murti adalah tiga perwujudan dan tiga kemahakuasaan Tuhan yang
disebut dengan Tri Cakti yaitu Utpeti, Stiti dan Pralina. Tuhan
Ciwa Mahadewa yang Maha Esa dan Maha Kuasa disimbulkan
dengan aksara Om (A, U, M) yang disebut juga Omkara atau
Pranawa. Oleh karena itu tiap-tiap mantra itu dimulai dengan Om,
sebagaimana inti kekuatan doa mantra itu hendaknya dapat
meggetarkan dan menggerakkan alam semesta.
Tuhan yang kekal dan abadi tiada awal dan akhir tidak ada yang
menciptakan atau melahirkan melainkan menciptakan atau
melahirkan diri sendiri. Oleh karena itu ia disebut Swayambhu.
Selain dari pada Trisakti Tuhan juga mempunyai empat sifat maha
kuasa yang disebut catur Cakti atau Cadu sakti yaitu wibhu Cakti
(maha ada), Prabhu Cakti (maha kuasa), Jnana Cakti (maha tahu)
dan Karya Cakti (maha karya). Selain dari ke empat cakti tersebut
Tuhan juga mempunyai delapan mahakuasa yang disebut Asta
Cakti atau Asta Eswarya antara lain :
Anima (sifat yang sangat halus).
Laghima (sifat yang ringan)
Mahima (maha besar)
Prapti (mencapai segala tempat)
Prakamya (segala kehendak selalu terjadi)
Icitwa (merajai segala-galanya)
Wacitwa (paling kuasa)
Yatrakamawasaayitwa (tidak ada yang dapat menentang
kondratnya).
Kedelapan sifat keagungan Tuhan Yang Maha Esa ini disimpulkan
dengan singasana teratai yang berdaun delapan (astadala) lambang
delapan sifat kemahakuasa Tuhan yang menguasai dan mengatur
alam semesta dan mahluk semua.
Selain hal tersebut di atas Tuhan adalah sebagai pelindung Dharma
atau agama demi untuk mencapai kesempurnaan berupa Dharma
atau budi luhur yang memberi kesejahteraan umat manusia,
kedelapan roh dari samsara Tuhan mewahyukan ajaran kerohanian
kedunia. Bagi umat yang menempuh jalan bhakti marga Tuhan
memegang peranan penting karena Tuhan dipergunakan sebagai
kiblat pujaan sebagai Icwara catur bhuya, Tuhan yang bertangan
empat yang melambangkan pengampunan, keadilan, kasih sayng
dan pelindung, untuk memohon restu kepadaNya hendaknya Ia
merahmati umatNya yang lemah dengan laksana dan budi yang
tinggi dan melindungi mereka dari dosa dan malapetaka. Selain itu
di dalam agama Tuhan menjadi saksi Agung pelindung keadilan
rohaniah yang bergelar Yamadipati atau Dharma dan yang dapat
mengetahui segala gerak langkah semua makhluk mengadili roh
manusia dengan menjatuhi hukuman niskala terhadap yang
berdosa, di akhirat, kini dan penjelmaan yang akan datang dan
mengampuni yang tobat serta merahmati yang beramal dengan
kebahagiaan lahir bathin. Hyang Widhi Wasa sebagai pelindung
Dharma adalah pengendali kalbu semua makhluk mengendalikan
hati umat manusia untuk menempuh jalan yang lurus guna
mencapai kesempurnaan, mencapai dharma, mendapat kebahagiaan
kesejahteraan makhluk dan manunggalnya atma dengan Parama
Ciwa atau Moksa.
b. Dewa
Sang Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa dan perkataan Dewa
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu urat kata Div yang artinya sinar
(nur). Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi yang
memberikan kekuatan suci guna untuk mengendalikan alam semesta.
Dewa-dewa dihubungkan untuk satu aspek tertentu dan khusus
phenomena alam semesta ini. Tiap-tiap aspek dikuasai oleh satu dewa
atau lebih dengan ciri-ciri dan lambang khusus pula. Tiap-tiap dewa
mempunyai kekuatan yang tidak terpisahkan dari padanya
sebagaimana halnya suami istri. Saktinya diwujudkan dalam bentuk
Dewi yang dianggap istri dewa, sebab dewa tidak akan mempunyai
kekuatan sesuai dengan fungsinya bila tidak disertai dengan kekuatan
saktinya.
c. Dewata
Istilah dewata dipegunakan Dewa yang lebih tinggi kedudukan dari
dewa yang lain. Dewata adalah Dewa dari para dewa di dalam agama
Hindu dewa-dewa itu merupakan sinar-sinar sucinya Hyang Widhi
yang banyak sekali jumlahnya. Hyang Widhi diumpamakan sebagai
Matahari sedangkan dewa itu merupakan sinar matahari tidak ada
secara otomatis sinar-sinar tersebut tidak ada. Kita dapat mengatakan
matahari itu panas tetapi matahari belum pernah menyentuh secara
langsung sedangkan yang langsung menyentuh adalah hanya sinar-
sinar.
d. Bhatara
Bhatara adalah prabhawa atau manifestasi dari kekuatan Hyang Widhi
untuk memberi perlindungan terhadap ciptaannya. Kata Bhatara
berasal dari kata bhatr yang artinya pelindung dan kadang-kadang
Bhatara sebagai Raja atau yang dipertuan. Istilah Bhatara sebagai
pelindung sering timbul pengertian baru dalam masyarakat Hindu
dimana kadangkala raja-raja jaman dahulu yang berkuasa penuh diberi
gelar Bhatara karena bersifat melindungi antara kata dewa dengan
Bhatara sering pemakaiannya diartikan sama. Misalnya dewa Wisnu
disebut juga Bhatara Wisnu, dewa Ciwa juga disebut Bhatara Ciwa
karena Beliau juga melindungi makhluk. Jadi jelaslah dewa dan
Bhatara itu adalah merupakan sinar suci atau manifestasi dari Tuhan.
e. Awatara
Yang dimaksud awatara adalah Tuhan yang turun kedunia yang
menjelma sebagai manusia. Beliaulah inilah Guru dari segala Guru.
Apakah tanda-tanda yang memungkinkan kita untuk mengenal seorang
awatara ?. Yang jelas adalah sidhi yang kekuatannya adikodrati atau
luar biasa tidak bisa diikuti oleh pikiran.
Beliau bisa membuat apa saja semuanya tanpa belajar tanpa
menggunakan mantra. Seorang Maha Rsi yang sudah tinggi
tingkatannya bisa juga membuat keajaiban tetapi kalau sering
dipertunjukkan akan punah lama-kelamaan akan hilang. Seorang
awatara tidak demikian seorang awatara tidak perlu belajar yoga
kekuatannya sudah dibawa sejak lahir dan tidak punah karena sidhi itu
adalah alamnya walaupun sering digunakan. Sidhi seorang awatara
tidak bermotif pamer dan mencari keuntungan materi maupun nama
dan selalu digunakan untuk yang bermanfaat.
Awatara yang dikenal dalam agama Hindu adalah sepuluh awatara
Wisnu yang terkenal adalah Rama dan Sri Kresna. Seorang awatara
bisa melihat masa lalu masa sekarang dan masa yang akan datang bisa
disamakan dengan manusia biasa. Seorang awatara baru turun ke dunia
kalau keadaan sudah buruk, kejahatan merajalela hukum agama
dilanggar dan itulah jaman kali. Guru-guru spiritual diturunkan oleh
Tuhan, guru-guru spiritual itu adalah orang-orang suci yang mendapat
tugas membimbing umat manusia. Jika di dunia terjadi gangguan dan
penyimpangan-penyimpangan kecil maka diturunkanlah orang suci
yang mendapat sinar kekuatan dari Tuhan untuk memperbaiki dunia
ini. Kalau kejahatan yang lebih besar maka diturunkanlah orang suci
yang lebih tinggi dan jika sudah jaman kali Tuhan sendiri turun
menjadi manusia dan disebut awatara. Jika ada kerusuhan kecil maka
cukup dikirim agen polisi untuk mengatasi keadaan jika yang datang
perampok maka dikirimkanlah kapten polisi dan jika yang membuat
kerusuhan itu adalah satu batalion pemberontak maka jendral polisi
yang dikirim.
Dalam Bhagawadgita disebutkan :
yada-yada hi dharmasya
gianir bhavati bharata
aghyutthanam adharmasya
tada tmanam srijama aham bhag. iv.6.
artinya :
Manakala Dharma hendak sirna dan adharma hendaknya
merajalela saat itu wahai keturunan Bharata, Aku sendiri
turun ke dunia.
Mengapa Tuhan harus turun ke dunia berwujud manusia, bukanlah
Tuhan cukup dari tempat Beliau memusnahkan kejahatan itu ?. Jika
raning pohon dihinggapi benalu cukup rantin itu saja yang dipotong
tetapi jika seluruh batang pohon yang dihinggapi benalu apakah
seluruh pohon itu ditebang ?. Demikian pulalah jika diseluruh dunia
kejahatan sudah merajalela maka seorang awatara akan turun
membersihkan dunia ini dengan tidak perlu memusnahkan dunia ini.
Mengapa Tuhan harus berwujud manusia ?, agar bisa mendekati dan
membimbing manusia serta bisa dimengerti oleh manusia kata-kata
isyarat serta petunjuk Beliau, seperti jika ada seseorang anak yang
tenggelam maka si penolong harus menceburkan diri ke air untuk
dapat menolong orang yang tenggelam tersebut. Karena seorang
awatara hidup sebagai manusia biasa, orang sering tidak menyangka
bahwa Beliau awatara. Demikianlah Sri Krisna masih kanak-kanak,
lari kesana kemari dengan nakalnya maka Yosada ibu angkatnya
berusaha untuk mengikat si anak pada suatu tonggak dengan seutas
tali.
Diambilnya tali tetapi kurang panjang maka diambillah tali yang lebih
panjang lagi tidak cukup dan akhirnya setelah tidak ada tali yang
cukup untuk mengikat si anak kecil itu adalah awatara Tuhan.
2. Keyakinan Terhadap Adanya Atma
Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat maha ada maha kekal tanpa awal
dan akhir (wyapaka nirwikara). Di dalam Weda Parikrama dikatakan
sebagai berikut :
Eko Devah Sarvabhutesu Sarvavyapi Sarvabhutaratma karmudhyaksah
sarvabhgutadi ceto kavala Nirgunasca.
Maksudnya :
Satu That yang tersembunyi di dalam setiap mahkluk yang mengisi
semuanya yang merupakan jiwa bathin semua makhluk. Raja dari semua
perbuatan yang tinggal dalam setiap makhluk, saksi yang hanya terdapat
dalam pikiran saja.
B. Diksa (Inisiasi)
Diksa berarti pensucian atau penyucian. Di dalam kita Atharwa Weda
XII. 1.1. Diksa dianggap merupakan salah satu daripada Sraddha. Diksa juga
disebut Abhiseka. Sebagai unsur dalam pokok keimanan diksa, tapa dan
yadnya dianggap merupakan satu rangkaian pengertian yang arti dan
fungsinya sama sebagai alat untuk sampai pada kesucian oleh karena itu di
dalam kitab yayur weda XX.25. dinyatakan :
Dari penjelasan itu diksa adalah dapat dilakukan melalui brata. Dengan brata
itulah seseorang itu didiksa ia menjadi seseorang diksa yang berwenang untuk
melakukan upacara yaitu ngeloka palasraya.
Dengan wewenang untuk melakukan ngeloka paalsraya itu seorang diksita
akan memperoleh atau menerima daksina. Diksa adalah cara untuk melewati
dari satu fase kehidupan kepada fase kehidupan yang baru dari yang belum
sempurna ke dalam dunia yang lebih sempurna. Dengan diksa itulah seseorang
akan dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan dengan melalui diksa itu ia
dapat mempelajari sifat Tuhan. Yang merupakan fungsi dari diksa adalah
sebagai dasar keimanan yang harus diyakini kebenarannya. Dengan keyakinan
akan diksa itu seseorang akan dapat memulai mempelajari ilmu pengetahuan
yang terdapat di dalam weda dan dapat pula mengajarkannya. Sedangkan
tujuan dari diksa adalah untuk menyucikan diri seseorang secara lahir dan
bathin sehingga dengan upacara diksa itu ia akan dapat melakukan tugas
ngeloka palasraya dan mengajarkan weda serta belajar weda.
Sasaran Belajar.
• Mengerti tentang Catur Marga
• Melaksanakan Catur Marga dalam Menjalankan Aktivitas Keagamaan
Catur Marga adalah empat buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai
tujuan Mokshartham Jagadhita, keempat jalan itu sama utamanya. Yang disebut
Catur Marga. Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai
dengan kondisi masing-masing. Keempat marga ini hendaknya digerakkan secara
harmonis seperti seekor burung, sayap kanannya adalah bhakti marga, sayap
kirinya adalah jnana marga, sedangkan ekornya burung adalah raja marga dan
kekuatan pendorongnya adalah karma marga. Seekor burung akan bisa melayang
dengan baik kalau sayap kiri dan kanannya seimbang. Burung tidak akan
mencapai tujuan yang dikehendaki kalau tidak mempunyai daya dorong yang
kuat. Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaik-
baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.
A. Bhakti Marga
Bhakti artinya cinta kasih istilah itu digunakan adalah untuk pernyataan
cinta kasih kepada sesuatu yang lebih dihormati seperti : Ida Sang Hyang
Widhi, Negara, serta pribadi-pribadi yang mesti dihormati. Bhakti dibagi atas
dua tingkat yaitu :
1. Aparabhakti adalah cinta kasih yang perwujudannya lebih rendah dan
dipraktekkan oleh mereka yang belum mempunyai tingkat kerohanian
yang lebih tinggi.
2. Parabhakti adalah cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi
dan kerohaniannya lebih meningkat.
Ajaran Bhakti adalah ajaran yang langsung mencari Tuhan yang mudah
diterima dan dilaksanakan oleh orang awam, baik orang miskin, kaya, petani,
orang pandai, pejabat dapat menempuh jalan ini. seorang Bhakta (penganut
bhakti marga) adalah orang yang penuh cinta kasih cinta kepada Tuhan, cinta
kepada alam semesta ciptaan Tuhan. Bagi seorang Bhakti tidak perlu tahu
apakah Tuhan itu baik atau buruk, besar atau kecil, kuasa atau tidak kuasa
yang penting bagi mereka Tuhan adalah dicintai.
Seorang Bhakta mencintai Tuhan karena ingin mendapat imbalan supaya
masuk sorga maupun moksa, karena bagi mereka kebahagiaan tertinggi itu
adalah bercinta kepada Tuhan. Bhakti Marga menggunakan rasa sebagai
sarana, rasa cinta yang alamiah tetapi meluap-luap, rasa cinta yang seperti
aliran sungai yang bergerak dengan deras karena rindunya bertemu dengan
laut. Hampir semua agama besar yang ada di dunia adalah berdasar kepada
cinta kasih atau Bhakta Marga, jalan ini disamping mudah juga wajar bagi
semua lapisan masyarakat bisa melaksanakan dan bahayanyapun kurang.
Adapun gejala-gejala bhakti dalam kehidupan sehari-hati adalah :
4. Persembahkan
Jika kita melihat Hindu membawa sajen ke Pura penuh dengan buah-
buahan dan makanan yang lezat tentu orang berpikir apakah Tuhan agama
Hindu seperti manusia suka makan yang enak-enak.
Demikian pula jika pura dihias dan diukir demikian indah mungkin
orang berpikir Tuhan umat Hindu suka dengan seni dan suka pula dengan
nonton tari-tarian. Secara filosopis kita bisa mengatakan bahwa Tuhan
Maha Esa, Beliau menciptakan alam semesta ini semua, Tuhan tidak
memerlukan semua ini hanya manusialah yang menganggap ini perlu,
semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk rasa bakti atau
cintanya kepada Tuhan. Seperti seorang ibu yang mencintai bayinya yang
berumur tiga bulan, si ibu membuatkan baju bagus untuk anaknya di
buatkan kalung emas buat bayinya padahal bayinya tidak meminta bahkan
tidak mengerti apa arti daripada kalung tersebut dan baju yang bagus itu.
Semua pemberian dari si ibu yang lahir dari dorongan rasa cinta kasih itu
membikin bahagia si ibu karena dia merasa telah berbuat sebaik-baiknya
untuk bayinya yang dikasihinya. Demikianlah sajen dan kesenian yang
disuguhkan pada waktu ada upacara agama Hindu,secara spiritual
memberikan kebahagian kepada orang yang melaksanakan karena semua
alat ini mereka bisa mencurahkan rasa bhakti atau rasa cinta kasihnya.
Tuhan tidak minta untuk dipja tetapi manusialah yang mencurahkan rasa
bhaktinya. Bagi orang awam persembahan itu diyakini akan membikin
Tuhan menjadi senang. Cetusan rasa cinta yang suci terwujud dalam
keinginan untuk memberi dan berkorban, tetapi sebaliknya jika cinta telah
dihinggapi oleh keserakahan maka lahirlah keinginan untuk memiliki dan
menuntut dengan penuh nafsu.
8. Doa
Doa adlaha salah satu cara yang paling mudah, tepat dan alamiah
dalam menghubungkan diri dengan Tuhan. Doa adalah cetusan hati yang
lugu dari kerendahan hati seseorang. Dalam Agama Hindu Gayatri
Mantram adalah doa yang paling mendalam dan setiap Trisandya,
sembahyang tiga waktu, pagi, siang, dan sore bagi umat Hindu. Doa yang
umum yang bersifat spiritual tidak mengandung permohonan yang bersifat
pemuasan kebutuhan indrawi dan duniawi. Cobalah camkan dan rasakan
serta hayati dengan arti dari mantram gayatri itu akan terkandung tiga
unsur pokok yaitu :
a. Pengakuan akan kelamahan diri dan ketidakmampuan dalam
menghadapi suatu hal yang memuncak dengan penyerahan diri.
b. Mengandung unsur pengharapan dan permohonan.
c. Mengandung unsur puji dan syukur.
Bagaimanapun pandai para dokter selalu saja timbul penyakit yang belum
disembuhkan, betapapun banyaknya penemuan-penemuan baru masih
terlalu banyak rahasia alam yang belum diungkapkan. Apa yang disebut
ciptaan para sarjana tidak lebih dari kepandaian mengubah dari bentuk
lama menjadi bentuk baru dari unsur yang sudah ada. Manusia tidak bisa
mengadakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, gempa bumi, angin ribut,
yang menimbulkan bencana, membikin manusia tidak berdaya dan
akhirnya menyerah dan mengakui bahwa ada kekuatan yang jauh lebih
dari padanya. Tuhan menghendaki agar kita maju rahasia demi rahasia
Beliau buka satu persatu namun pada saat-saat tertentu Beliau tunjukkan
kemuzizatan dan kehebatan yang di luar kemampuan pikiran manusia.
Dengan tujuan agar manusia jangan sombong. Bencana dan penderitaan
adalah pelajaran yang diberikan oleh Tuhan agar manusia mengurangi
egonya dan mengakui bahwa ada kekuatan yang lebih hebat daripada yang
mereka miliki. Doa yang mengandung unsur pengakuan dan penyerahan
diri adalah alat yang paling ampuh untuk meredakan kobaran
kesombongan, Tuhan sengaja menurunkan bencana dan penderitaan yang
sukar diatasi untuk melumpuhkan keangkuhan manusia. Kapan mereka
tidak berdaya maka mulailah mereka kepada Tuhan dan berdoa tidak saja
diucapkan pada waktu mereka mendapat bencana atau penderitaan tetapi
setiap hari dan setiap saat baik di waktu sembahyang maupun tidak saat
sembahyang. Bagi mereka yang sadar terhadap hakekat hidup malahan
menganggap penderitaan adalah tantangan yang menguntungkan. Doa
menjadi orang rendah hati kita tidak boleh menjadi keangkuhan dari
keserakahan. Dengan doa orang akan mendapatkan rasa aman dan tabah
tenang terlindung dari bahaya dan penderitaan. Itulah karunia Tuhan yang
menjadi dasar keberhasilan karenaNya patutlah kita bersyukur. Orang
biasa bersyukur adalah orang yang sudah dapat menundukkan egonya
orang yang rendah hati dan penuh iman.
9. Bersyukur
Suka dan duka adalah seperti riaknya lautan yang datang silih
berganti, nikmatilah semua dengan tabah dan rasa syukur, orang bisa
bersyukur dalam keadaan yang paling menyedihkan adalah orang yang
optimis yang merupakan dasar kekuatan hidup. Orang yang pesimis,
dalam pertempuran orang pesimis sudah kalah sebelum dia berperang,
orang bisa bersyukur adalah orang yang percaya kepada takdir dan
mengakui bahwa itu ditentukan oleh Tuhan. Penyerahkan diri secara total
kepada Tuhan adalah penting seperti emas jika bisa meleleh sampai cair
akan mempermudah si tukang emas untuk memberikan bentuk yang
diinginkan. Demikian hati seorang Bhakta yang pasrah kepada Tuhan
seperti emas yang meleleh mudah dituntun dan diarahkan oleh Tuhan.
10. Pengampunan
Dalam Kitab Bhagawadgita disebutkan :
Ye tu sarvani karmani
Mayi samyasya matparah
Ananyenai va yogena
Man dhayayanta upasale Bhag. XII.6
Artinya :
Tetapi sesungguhnya mereka yang menumpahkan segala kegiatan hidup
mereka kepadaKu, memikirkan bermeditasi hanya padaKu dengan
kebaktian yang terpusatkan.
Dalam sloka ini jelaslah bahwa kebaktian kepada Tuhan dengan sepenuh
hati dan pikiran dapat membebaskan karma tidak baik atau dosa, disinilah
peranan bhakti yang bisa melonggarkan karma dan pengampunan Tuhan
bisa masuk kedalamnya. Dalam setiap doa disamping berisi pengakuan
hampir selalu diikuti dengan permohonan ampun. Apakah dengan
pengampunan ini orang akan bertambah berani berbuat dosa karena setelah
mohon ampun dosanya akan hapus. Dalam masalah pengampunan marilah
kita ambil banding keringanan hukuman yang diberikan oleh pengadilan.
Jika ada seseorang membunuh orang tetapi setelah membunuh dia
menyatakan penyesalan dan penyerahan diri pada polisi akhirnya
diproseslah di pengadilan. Di pengadilan pemuda itu mengaku terus terang
disertai dengan penyesalannya. Menurut hukum mestinya si pembunuh
dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, tetapi karena menyatakan
penyesalannya dan menyerahkan diri dengan sukarela ditambah lagi
dipersidangan tidak berbelit-belit maka rencana hukuman yang 20 tahun
itu diringankan menjadi 14 tahun. Selama dipenjara pemuda itu
menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik dan penuh setelah sepuluh
tahun pengadilan pun memberikan keringanan lagi dan membebaskan dari
penjara.
Dengan demikian pemuda yang telah membunuh itu telah mendapatkan
pengampunan berupa keringanan hukuman selama sepuluh tahun
semuanya ini adalah akibat dari tingkah laku yang baik. Betul-betul
bertobat dengan mengurangi sebagian dari penderitaan yang mestinya dia
terima. Tampaklah disini karma tetap berjalan dan pengampunan bisa
terjadi.
B. Jnana Marga
Di muka sudah dijelaskan bahwa weda menurut isinya dibagi dalam
tiga bagian yaitu : Mantra, Brahman, dan Upanisad. Dalam membicarakan
jnana marga maka kita akan banyak mengambil sumber dari upanisad dan
Tattwa. Apakah bedanya antara weda, upanisad dan tattwa, weda adalah
sumber tetapi sangat sukar untuk dimengerti oleh karena itu weda dijelaskan
secara filosofis dan penjelasannya ini disebut Upanisad. Tattwa adalah inti
agama, tidak merupakan teori lagi tetapi sepenuhnya harus dipercaya, nama-
nama yang dipergunakan adalah nama dewa-dewa yang dipuja, demikianlah
Brahman dalam Upanisad disebut Parama Ciwa atau Sang Hyang Widhi
dalam Tattwa, istilah samsara dalam Upanisad disebut neraka di dalam
Tattwa. Demikian dalam ajaran agama Hindu orang tidak pernah memuja
prakerti dan Brahman melainkan Dewi Uma dan Parama Ciwa. Dalam Tattwa
Brahman dipersonifikasikan dengan nama Ciwa di Bali disebut Sang Hyang
Widhi. Ciwa mempunyai tiga nama lagi sesuai dengan sifat, fungsi dan
aktifitasnya sebagai akibat yang ditimbulkan oleh ada tidaknya atau sedikit
banyaknya pengaruh maya (prakerti) sehingga dibedakan sebagai berikut :
Parama Ciwa disebut juga Cetana atau Purusa yang dalam istilah umumnya
kita sebut Tuhan, keadaannya tanpa aktifitas, kekal abadi tiada awal dan akhir
ada dimana-mana dan maha tahu diberi gelar Nirguna Brahman.
Sada Ciwa adalah Brahman yang sudah berkrida yang sudah kena imbas dari
prakerti atau Acetana (sumber materi) sehingga mempunyai sifat, fungsi dan
aktifitas dan diberi gelar Saguna Brahman.
Ciwa atau Ciwatama adalah Parama Ciwa juga tetapi dalam keadaan yang
telah banyak terpengaruh oleh prakerti sehingga sifat kemahakuasaanNya
berkurang. Ciwatma inilah yang memberikan hidup (jiwa) kepada semua
makhluk hidup.
1. Pencipta Alam Semesta
Mama yonir mahad Brahma
Tasmin garban dadhamy aham
Sambhawah sarvabhutanam
Tato bhavati bharata Bhag. VIV.3.
Artinya :
Kandungan Ku adalah Brahmayoni yang esa
Di dalamnya Aku letakkan benih
Dan dari sanalah terlahir
Semua makhluk wahai Barata
2. Manusia
Ditinjau dari arti kata maka manusia itu berasal dari kata manushya
yang berarti makhluk yang mempunyai pikiran, pikiran inilah yang
membedakan manusia dengan binatang serta tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-
tumbuhan hanya mempunyai satu kemampuan yaitu untuk tumbuh dan
bergerak (bayu), binatang mempunyai kemampuan yang lebih dari
tumbuh-tumbuhan yaitu bergerak dan berbicara (bayu dan sabda) dan
manusia adalah makhluk yang paling sempurna dari ciptaan Tuhan karena
manusia memiliki kemampuan bergerak, berbicara dan berpikr (bayu,
sabda dan idep). Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk
mengantarkan dirinya menemui ciptaannya yaitu Tuhan. Dengan memiliki
pikiran manusia bisa merubah nasibnya dan memperbaiki dirinya seperti
apa yang disebutkan dalam Sarascamuscaya sebagai berikut :
Manusah sarwa bhutesu wartate wal cubhachubhe
acubhesu sawasitam cublieswewa wakaryet
Artinya :
Dari demikian banyaknya makhluk hidup yang dilahirkan sebagai manusia
itu saja yang dapat berbuat baik dan buruk kemampuan melebur perbuatan
buruk ke baik demikianlah pahalanya menjadi manusia.
Disinilah peranan kita sangat penting karena dengan pikiran bisa
membedakan baik dan buruk karena manusia bisa melakukan
pembaharuan sehingga memiliki sarana budaya sarana untuk mendekatkan
diri dengan Tuhan. Bila kita meninjau manusia dari tattwa dan upanisad
maka manusia adalah paduan antara purusa dan prakerti antara jiwa
dengan jasad perpaduan antara yang abstrak dengan yang kongkrit.
Pertemuan dengan prakerti melahirkan kehidupan. Seperti listrik
merupakan pertemuan positif melahirkan kehidupan. Seperti listrik
merupakan pertemuan positif dengan negatif menjadikan bola lampu yang
menyala. Bila kita tinjau dari sejarah kelahiran manusia adalah hasil
evolusi alam yang terakhir dari makhluk hidup yang paling sederhana
yang berwujud protoplasma meningkatkan diri menjadi tumbuh-tumbuhan
kemudian binatang dan akhirnya manusia. Maharesi Kapila dengan ajaran
samkhyanya mengatakan bahwa yang berevolusi bukanlah pysiknya
melainkan rohaninya, peningkatan rohani dari binatang bisa menjadi
manusia meskipun dalam kualitasnya yang lebih rendah bentuk rohaninya
yang memesan bentuk jasmani bukan sebaliknya. Menurut Kapila bukan
saja kera tetapi semua binatang dalam tingkatan yang tertinggi akan bisa
berinkamasi lahir menjadi manusia. Sang Budha sendiri sebagai orang suci
yang sudah jiwan mukti membenarkan bahkan beliau mengatakan sebelum
lahir sebagai manusia beliau pernah lahir sebagai gajah. Jika kita meninjau
asal usul manusia dari Purana maka manusia adalah keturunan manu.
Manu dianggap sebagai leluhur atau cikal bakal manusia. Diceritakan
bahwa ada suatu hari Manu yang sedang berdoa ditepi sungai Gangga,
tiba-tiba didatangi oleh seekor ikan kecil yang sedang diburu oleh seekor
ikan besar yang mau memangsanya. Manapun menyelamatkan ikan kecil
tersebut, ikan itu dibawa pulang dan ditaruh dalam sebuah bak kecil
dirumahnya tetapi besoknya ikan itu sudah bertambah besar sebesar bak
dimana ikan itu ditempatkan. Manupun memindahkan ke tempat yang
lebih besar lagi namun besoknya kejadian yang sama berulang kembali.
Manapun memindahkan ikan itu ke sungai, sungaipun sesak lalu manupun
memindahkan ikan ke laut. Setelah sampai di laut ikan itu berkata : Saya
telah mengambil bentuk ini untuk memberitahu kepadamu, bahwa saya
akan menenggelamkan dunia ini. Oleh karena itu buatlah sebuah perahu
taruhlah masing-masing sepasang dari semua jenis binatang dan tumbuh-
tumbuhan bersama keluargamu di dalam perahu itu. Bila air naik
ikatkanlah tali dari perahumu disiripku, bila air telah surut barulah kamu
turun kembali kedaratan.
Berdasarkan cerita ini maka Manu bukanlah manusia pertama ada, tetapi
adalah manusia yang selamat dari banjir besar dan menjadi cikal bakal
manusia sekarang. Rupanya air besar yang menenggelamkan sebagian dari
dunia ini adalah lukisan peristiwa pada waktu mencairnya es batu di
kutub-kutub dunia kita ini akibat dari bertambahnya suhu panas dari bumi.
3. Tri Guna
Prilaku seseorang ditentukan oleh dua hal yaitu :
• Faktor pembawaan adalah merupakan karakter atau guna seseorang
yang dibawa sejak lahir. Guna atau karakter dari kehidupan yang
lampau dibawa juga jika seseorang berincarnasi atau lahir kedunia.
• Faktor lingkungan termasuk pendidikan budaya dan pengalaman yang
dialami sesudah lahir.
Dari guna inilah muncullah kecenderugan-kecenderungan prilaku
seseorang, apapun macamnya guna ini begitulah sifat dari pikiran, prilaku
seseorang akan ditentukan oleh intensitas pengalaman salah satu dari tri
guna itu. Bila sifat sattwa yang mengusai pikiran orang itu akan bijaksana
tahu benar dan salah hormat dan sopan lurus hati dan kasih sayang suka
membantu orang menderita, setia dan bakti serta tidak mementingkan diri
sendiri. Bila guna rajas yang menguasai pikiran orang itu akan mempunyai
pribadi yang keras, kasar, cepat, tersinggung suka mengagung-agungkan
diri sendiri kurang belas kasihan pemarah angkuh, egois, loba, bengis,
kata-katanya menyakitkan hati. Bila guna tamas menguasai pikiran orang
itu akan menjadi pribadi pemalas, pengotor, suka makan, suka tidur,
dungu, besar birahinya, iri hati. Dari uraian di atas jelas bahwa sattwa
mempunyai sifat tenang, rajas mempunyai sifat dinamis dan tamas
mempunyai sifat malas. Ketiga inilah yang menyebabkan manusia
mempunyai keinginan dan dari uraian keinginan inilah timbul gerak, orang
yang tidak memiliki ketiga guna ini sama dengan batu, tidak akan
mempunyai aktifitas. Dalam Tattwa Jnana 10 disebutkan, bila sattwa
bertemu dengan rajas terang bercahaya pikirannya itulah yang
mengantarkan atma bisa mencapai sorga. Sifat sattwa ingin berbuat baik
dan sifat rajas giat bekerja melaksanakan kehendak sattwa. Bila sifat
sattwa rajas dan tamas seimbang menguasai piiran atma itu akan lahir
menjadi manusia. Semua realisasi manusia adalah realisasi kerja ketiga
guna tersebut. Sifat tamas (malas) harus dibangunkan oleh rajas yang bisa
memaksakan tamas. Setelah rajas menguasai tamas barulah sattwa
menundukkan dan menguasai rajas. Dalam Ramayana Wibisana sebagai
simbul sattwa, Rahwana sebagai simbul rajas dan Kumbakarna sebagai
simbul tamas. Kumbakarna yang suka tidur dan makan saja baru berperang
setelah dicaci maki dan dihina lebih dahulu oleh Rahwana. Ini merupakan
simbul bahwa tamas harus ditundukkan oleh Rajas. Akhirnya Tamas dan
rajas harus dikalahkan oleh Sattwa, dalam ceritra disimbulkan Wibisana
diangkat jadi raja di Alengka setelah Rahwana dan Kumbakarna Gugur.
Selama hidup sebagai manusia selama itu Tri Guna sangat bermanfaat.
Tanpa Tri Guna manusia tidak mempunyai kemauan untuk bergerak kalau
diumpamakan hidup ini sebagai suatu perjalanan naik mobil, tubuh kita
seumpama badan mobil, pedal rem ibarat sifat tamas, pedal gas dan
kemudi ini memegang peranan penting. Bila rajas berkawan dengan sattwa
minus tamas sama sperti mobil yang remnya oblong, maka lajunya mobil
tidak tertahan kemudian tidak mampu untuk mengendalikannya. Bila
tamas bertemu dengan sattwa tanpa rajas tidak ada sesuatu pekerjaanpun
yang bisa dilakukannya. Dalam hal ini sulit membedakan antara orang
malas dengan orang sadhu, karena sama-sama tidak suka bekerja. Di India
banyak kita lihat orang malas menyamar seperti orang sadhu ia meminta-
minta. Bila tamas berkawan dengan rajas minus sattwa sama seperti mobil
berjalan tanpa tujuan. Pahamilah Tri Guna itu yang menjadi motor
penggerak dari pikiran, sehingaa sangat berguna selama hidup. Ia dapat
mengantarkan ketempat tujuan namun setelah sampai ia harus dilepaskan.
C. Karma marga
Karma Marga adalah ajaran yang menekankan pada pengabdian yang
berwujud kerja tanpa pamrih untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam kitab Bhagawadgita disebutkan :
Na chi kascity ksanam api jatatisthaty akarmakrit
Karyate hy awasah karma sarwah prakrituair gunaih
Artinya :
Walau sesaat juga tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena manusia
tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksa bertindak.
Kenyataannya memang benar demikian tiada orang yang bisa menghindarkan
diri untuk bekerja walaupun waktu tidur karena jantung tetap berdetak darah
selalu mengalir dan selalu bekerja walaupun kita tidak sadari. Pikiran yang
menjadi motivasi dari kerja menentukan hasil suka dalam karma sebab
berpikir saja melahirkan karma, lebih-lebih kalau pikirkan itu dituangkan
dalam bentuk ucapan atau perbuatan maka sempurnalah karma yang
dibuatnya. Supaya hidup kita yang singkat ini tidak sia-sia dan banyak waktu
yang tidak dapat dimanfaatkan maka bekerjalah dengan giat sebab berbuat
lebih baik daripada tidak berbuat, janganlah kita takut keliru atau salah asal
jangan sengaja berbuat kesalahan. Kekeliruan atau kesalahan akan
memberikan hikmah tidak berani mencoba karena takut salah tidak beda
halnya seperti anak kecil yang taku mencob berjalan karena khawatir akan
jatuh, akhirnya lama dia baru bisa berjalan oleh sebab itu jangan takut coba
terus biar jatuh akhirnya akan bisa berlari. Kerja adalah simbul hidup dengan
bertambahnya pengalaman dan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian
manusia berkemampuan yang terbatas perlu bekerja dengan seefesien
mungkin (tepat guna) catur Asrama adalah pembagian tugas kewajiban
berdasarkan umur yang erat sekali kaitannya dengan kemampuan. Manusia
adalah ciptaan dan juga gambaran Tuhan dalam pengertian Bhuana Agung dan
Bhuana Alit, jika Tuhan diumpamakan sungai yang mengalir maka manusia
adalah titik air yang ikut dalam arus sungai tersebut. oleh karena itu maka
manusia hendaknya meniru geraknya Tuhan jika menginginkan seperti apa
yang disebutkan dalam :
Bhagawadgita III.23.24.
Yadi hy aham na wateyam
jatu karmany atandritah
mama wartn nuwartante
mansyah partha sarwasah
Utsideyur ime loka
na kuryam karma ced aham
samkarasya ce karta syam
upahanyam imah prajah
Artinya :
Sebab kalau aku tidak selalu bekerja, aku jadi pencipta kekacauan itu,
dalam segala bidang apapun juga.
Dunia ini akan hancur jika Aku tidak bekerja, Aku jadi pencipta
kekacauan itu,memusnahkan manusia itu semua.
Dengan demikian jika orang tidak bekerja dia akan dilindas oleh harus
berputarannya dunia dan menderita. Penderitaan akan menjadikan kehancuran
diri sendiri dan dia sendiri sebagai pencipta kehancuran dirinya. Untuk
mengatur alam semesta ini agar tidak hancur Tuhan telah menurunkan hukum
karma atau hukum sebab akibat.
Karma Phala
Istilah karma phala berarti hasil dari perbuatan, karena setiap perbutan
pasti ada akibatnya, berwujud baik dan buruk, suka atau duka, penderitaan
atau kebahagiaan. Tidak ada perbuatan yang sia-sia semua akan membuahkan
hasil disadari atau tidak disadari. Dalam bayangan kebanyakan orang hasil
atau akibat dari perbuatan itu bentuknya seperti apa yang menjadi sebab,
misalnya jika saya memukul orang maka saya akan menerima balasan
pukulan, kalau saya menanam padi hasilnyapun padi. Jika demikian jalannya
karma maka orang akan takut untuk berbuat, seorang tentara tidak akan berani
maju kemedan perang membunuh musuh karena takut kena karma
pembunuhan. Proses karma phala sungguh rumit sekali, sifatnya komplek
wujudnya bisa kongkret atau abstrak, walaupun demikian karma phala adalah
suatu kebenaran suatu yang nyata-nyata ada. jika kita berdiri di pantai maka
kita akan mendengar deburan ombak yang menakutkan menerjang batu
karang, dari mana datangnya suatu yang begitu hebat? Tidak lain adalah
akibat dari titik-titik air dengan sesamanya dan sentuhan titik-titik air dalam
jumlah yang banyak menghantam pantai. Bayangkan kalau hanya setitik air
yang menghantam pantai karang tidak akan terdengar suara yang besar.
Demikian pula karma yang banyak kita perbuat secara sadar maupun secara
tidak sadar karma baik dan karma buruk semuanya tercatat dalam otak
ditampung dalam pikiran di bawah sadar. Demikian pula waktu dan situasi
pada waktu karma itu dibuat. Marilah kita lihat jalannya karma yang dibuat
oleh Dewi Drupadi dalam cerita Mahabrata. Dewi Drupadi menerima karma
malu, karena secara kasar ditelanjangi oleh Dussasana ata perintah Duryodana
setelah Panca Pandawa kalah main dadu. Sebaliknya Dewi Drupadi menerima
karma pertolongan dari Sri Kresna yang membantunya dari jauh dengan kain
yang berlapis-lapis tidak habis-habisnya sampai Dussasana kehabisan tenaga
tidak mampu menelanjanginya.
Karma apa yang diperbuat oleh Drupadi? Pada waktu istana Indra
Prasta telah selesai dibangun dan akan dilangsungkan upacara Rajasuya,
Kaurawapun diundang. Duryodana dan Dussasana dengan saudara-saudaranya
datang, ditengah gedung istna ada kolam yang airnya sangat jernih sehingga
dasar kolam kelihatan jelas. Pada waktu itu Duryodana dan Dussasana sedang
terheran-heran kekaguman melihat indahnya istana tidak melihat ada kolam di
depannya sehingga Duryodana dan Dussasana terperosok ke dalam kolam
sampai pakaiannya basah kuyup, kejadian ini dilihat oleh Dewi Drupadi dan
secara tidak sadar ia tertawa. Duryodana dan Dussasana memang menaruh hati
kepada Dewi Drupadi dan sekarang ditertawai oleh orang yang dipujanya
bukan main malunya. Dendampun tertanam pada diri mereka kejadian inilah
yang merupakan karma pada Dewi Drupadi sehingga patut mendapat malu
dan ditertawai oleh mereka. Malu dibalas dengan malu pertolongan yang
diterima bisa berbeda dengan bentuk malu dan pertolongan ketika Drupadi
membuatnya. Karma phala ini adil obyektif dan tidak memihak, namun karena
kebanyakan orang tidak mengetahui proses terjadinya sehingga ada tanggapan
yang keliru. Hubungan karma orang mempunyai kebebasan sepenuhnya
menentukan langkah berikutnya tergantung pada reaksi yang ditimbulkan oleh
langkah pertama itu. Demikianlah selanjutnya sampai permainan selesai,
langkah selanjutnya adalah merupakan jawaban dari langkah sebelumnya.
Semua sebab menimbulkan akibat dari akibat itu menimbulkan akibat baru.
Karma phala yang kita terima sekarang sebagian besar merupakan hasil dari
perbuatan yang lampau dan adanya hasil karma yang baru saja dibuatnya. Ada
beberapa jenis karma phala yang didasarkan atas waktu karma phala itu
diterima yaitu :
1. Prarabda karma pahala yaitu perbuatan yang dibuat pada waktu hidup
sekarang dan diterima dalam waktu hidup sekarang juga. Orang Bali
menyebut karama semacam ini karma cicih umumnya pada jaman
kaliyuga dan saat-saat kekacauan prarabda karma itu sering terjadi.
2. Kryamana Karma Phala yaitu perbuatan yang diperbuat sekarang ini
tetapi hasilnya akan diterima di alam baka setelah mati, jika perbuatan
baik yang dilakukan maka akan menikmati sorga dan begitu pula
sebaliknya karmanya buruk dia akan mendapat siksaan di neraka.
3. Sancita Karma Phala yaitu perbuatan yang dibuat sekarang di dunia ini
yang hasilnya akan diterima pada kelahiran yang akan datang.
D. Raja Marga
Raja Marga adalah salah satu jalan dari empat jalan yang dikenal di
dalam Agama Hindu untuk mencapai moksa, tiga diantaranya yaitu bhakti,
karma dan jnana marga telah diuraikan dimuka. Raja Marga menggunakan
pikiran sebagai alat karena itu pengenalan terhadap pikiran itu sangat penting,
tergantung dari tidaknya kita mengendalikan/mengalahkan pikiran.
Di dalam kitab Bhagawadgita ada disebutkan beberapa cara melakukan
meditasi :
Biarlah yogi memusatkan pikirannya
Terus menerus pada atman ditempat yang aman
Sendirian menguasai jiwa dan raganya
Bebas dari nafsu keinginan dan harta benda. (Bhag.G.VI.10).
Kalau kita perhatikan bait-bait diatas telah disebutkan pokok-pokok tata cara
orang utuk melaksanakan meditasi adalah sebagai berikut :
Pertama-tama carilah tempat suci yang tentang ada suci jauh dari keramaian
yang pada hakekatnya hal itu bisa dilakukan dimana saja yang suasananya bisa
mengiring ketenangan. Setelah temapt didapatkan berubah duduk dengan
sikap Padmasana yaitu kaki kanan diletakkan di atas kaki kiri, kaki kiri
diletakkan di atas kaki kanan.
Pada mulanya posisi ini memang sukar tetapi kalau sudah sering dilatih
dan dibiasakan akan terasa enak dan stabil, jari-jari harus bersentuhan erat satu
dengan yang lainnya dan kedua jari tangan harus diletakkan di depan. Mata
bisa dipejamkan sepenuhnya tetapi sebaiknya setengah terbuka. Apabila
semua hal tersebut telah terlaksana baru kita mengkonsentrasikan pikiran. Di
dalam mengkonsentrasikan pikiran ada dua arah yang bisa ditempuh :
a. Pemusatan pikiran Tuhan dianggap di luar diri sendiri seperti di
Padmasana, Pratima, Gambar Ciwa atau Guru pada Daksina Pelinggih,
semua hal tersebut bukan saja dianggap sebagai alat untuk memusatkan
pikiran tetapi dipercaya Tuhan berada di dalamnya.
b. Pemusatan pikiran bahwa Tuhan berada di dalam diri sendiri, umumnya
sebagian besar dari pemeluk agama mencari Tuhan di luar dirinya sendiri
tetapi para yogin sebaliknya Tuhan dicari di dalam dirinya sendiri sebagai
rumah Tuhan (pura) adalah badan sendiri. Di dalam Upanisad disebutkan
bahwa di dalam diri kita bertahta Atma dan Paramatma dilukiskan seperti
dua ekor burung yang bertengger pada sebuah dahan yang satu dari
padanya aktif menikmati buah yang ada di dahan itu sedangkan yang
lainnya lainnya hanya menonton hanya menyaksikan apa yang dilakukan
oleh temannya tetapi kedua burung itu adalah burung yang sama. Meditasi
adalah pertemuan atma dengan Patamatma antara jiwa dengan jiwa seru
sekalian alam antara titik air dengan samudra.
Pemusatan pikiran dengan tujuan mencari Tuhan di dalam diri sendiri
memang sulit dan berbahaya sebab itu tuntunan guru sangat diperlukan.
Adapu dasar-dasarnya yang diperlukan dalam pemusatan pikiran adalah
sebagai berikut :
1. Kesucian Pikiran
Pikiran dapat disucikan dengan peningkatan guna sattwa mula-mula
dengan mengatasi pengaruh rajas dan tamas lama kelamaan menggantikan
keseluruhannya dengan guna sattwa. Penyucian pikiran secara garis
besarnya dapat dilaksanakan melalui :
a. Peningkatan Kesucian Melalui Makanan. Chandogya Upanisad
VI.5.4. menyebutkan :
Makanan yang kita makan dirubah menjadi tiga hal yaitu : sebagian
besar daripadanya menjadi kotoran bagian yang lainnya akan menjadi
daging dan yang terhalus akan menjadi pikiran. Makanan yang bersifat
suci akan menambah kesucian pikiran sedangkan pikiran yang bersifat
buruk akan menambah kekotoran pikiran. Bagi para yogi makan daging
binatang memang dipantangkan karena kebanyakan daging
mengandung unsur-unsur yang bersifat rajas.
Makanan yang kita makan harus didapat dengan cara baik dengan
memperoleh makanan secara halal dan juga tempat menghidangkan
atau waktu menghidangkan atau waktu menghidangkan serta pada saat
membuatnya alat-alat yang dipergunakan harus bersih.
b. Peningkatan Kesucian Melalui Kebersihan Jasmani
Hubungan jasmani dan rohani sangat erat dan bersifat timbal balik bila
pikiran sedang sedih maka nasipun rasanya tidak enak dan nafsu makan
berkurang serta pikiranpun tidak terasa enak.
Kebersihan rohani bisa dirangsang dengan kebersihan jasmani bila baru
habis mandi maka badanpun terasa enak/segar serta pikirannya menjadi
jernih. Orang tidak akan merasa nyaman melakukan persembahyangan
kalau badan masih penuh dengan lumpur baru datang dari sawah. Oleh
karena itu sebelum melakukan persembahyangan hendaknya mandi atau
paling sedikit mencuci muka terlebih dahulu.
c. Japa, Dhayan dan Smara menyucikan pikiran kita dari semua
kemelaratan duniawi. Japa yaitu selalu menyebutkan nama Tuhan atau
selalu mengucapkan Om, Dhyana yaitu memusatkan pikiran kepada
Tuhan dan Smara yaitu ingatan selalu membayangkan Tuhan.
Ketiganya ini adalah alat yang ampuh dalam menyucikan pikiran
sebagaimana halnya sabun yang digunakan untuk membersihkan
kotoran jasmani.
d. Mengunjungi tempat suci, selalu bergaul dekat dengan orang suci
membersihkan pengaruh yang besar terhadap kesucian diri sendiri.
Para raja-raja pada jaman dahulu mengambil berkah dengan
mengunjungi pura ataupun candi serta tempat pemukiman para
petapa dengan tujuan menambah kesucian yang ada pada diri raja
itu sendiri. Getaran kesucian yang dipancarkan oleh orang suci
mempengaruhi pikiran orang yang ada didekatnya. Pura yang selalu
disucikan mengeluarkan pula gelombang kesucian seumpama
kolam yang bisa membersihkan badan seseorang yang menceburkan
diri kedalamnya. Itu pulalah sebabnya pergi sembahyang ke Pura
adalah lebih utama dari dirumah sendiri. Pura adalah rumah Tuhan
yang disucikan oleh umatnya pada waktu upacara penyucian
bangunan Pura tersebut. Oleh karena itu pancaran kesucian Tuhan
yang keluar dari tempat suci ini akan hebat dari rumah kita sendiri
yang kita sering pergunakan untuk memenuhi kebutuhan duniawi.
Namun walaupun demikian arti suci itu tidak sama dengan bersih,
dalam arti suci terkandung lahiriah dan kebersihan rohaniah.
BAB V
YADNYA
Sasaran Belajar
• Mahasiswa Mengerti tentang makna Yadnya
• Mahasiswa Memahami Pelaksanaan Yadnya
• Mahasiswa Melaksanakan Ajaran Yadnya
Pengertian Yadnya
Yajna berasal dari bahasa Sansekerta dengan urat kata “yaj” yang artinya
memuja atau memberi pengorbanan atau menjadi suci. Kata ini juga diartikan
mempersembahkan bertindak sebagai perantara. Dari urat kata itu timbul kata
yajna yang berarti pemujaan, doa dan persembahan yang kesemuanya berarti
sama dengan Brahma. Di dalam Rg. Weda VIII 40.4 kata yajna berarti kurban
atau pemujaan. Dari istilah yayus yang bersumber dari urat kata yaj, timbul
pula istilah yajur Weda yaitu himpunan Weda Mantra yang menguraikan
mengenai pokok-pokok ajaran tentang berayajna atau hubungan antara
manusia yang disembah. Disamping itu juga yajna adalah cara atau acara
dalam persembahyangan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Weda.
Disamping penjelasan diatas terdapat pula keterangan lain yang dapat kita
ungkapkan dari berbagai sumber Weda yang menyebutkan makna yajna secara
umum yang dapat dipergunakan untuk menambah penjelasan tentang makna
atau arti kata yajna antara lain :
a. Yajna sebagai cara pelaksana ajaran agama. Dengan ajaran yajna sabda-
sabda suci dalam Rg. Weda akan dikembangkan jadi yajna adalah salah
satu sistim penerapan dan pengembangan dalam mengamalkan ajaran
Weda.
b. Yajna merupakan pengorbanan lahir bathin. Di dalam Rg. Weda X.13.4
dan Atharwa Weda XVII 3.49 diungkapkan bahwa bentuk yajna yang
tertinggi adalah pengorbanan lahir bathin.
Dari pengertian diatas dapat diungkapkan yajna ialah berkorban demi Tuhan
dan kemanusiaan dalam menegakkan kebenaran maupun untuk melindungi
kemanusiaan adalah merupakan jalan yang paling utama bagi orang yang
imam dalam menjalankan ajaran agama atau mengamalkannya.
Di dalam kitab Rg, Weda menjelaskan teori penciptaan dunia melalui yajna
dikemukakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan jalan Yajna
dimana untuk keperluan yajna itu ia telah menjadi dirinya sebagai dasar yajna.
Ide yang terkandung didalamnya adalah perantara kedudukan yajna sebagai
lembaga kurban untuk kepentingan kemanusiaan. Dengan melakukan yajna
saja bukan merupakan jaminan mutlak bahwa orang itu akan dapat mencapai
moksa atau Brahma Nirwana.
Menurut sumber-sumber tertulis sebagaimana disebut dalam Kitab Sruti
maupun Smerti sebagai sumber ajaran yajna dasar hukum berlakunya yajna
bersumber pada kaedah etika sosio moral religius yang dapat dibedakan dalam
dua macam, yaitu :
a. Yajna berdasarkan Teori Rna atau hutang, manusia pada hakekatnya
dinyatakan sejak lahir terikat oleh adanya hutang. Ada tiga macam hutang
yang diajarkan di dalam Agama Hindu yaitu :
- Dewa Rna atau hutang kepada Tuhan
- Rsi Rna atau hutang kepada Rsi
- Fitra Rna yaitu hutang kepada para leluhur.
Rna artinya hutang yang menurut azas hukum setiap hutang harus dibayar.
Apabila orang tidak membayar hutangnya sendiri selama hidupnya dan
demikian pula ketenangannya atau anaknya sebagai penurun keluarga
tidak dapat membayar hutangnya itu maka selamanya orang itu terikat
oleh hutang yang menyebabkan pada suatu saat ia harus turun menjelma
atau turun kembali ke dunia ini agar supaya mereka dapat
menyempurnakan dirinya sampai akhirnya mencapai moksa dan tidak lagi
menjelma untuk selama-lamanya.
b. Kesadaran berdosa sebagai dasar berlakunya yajna dengan kesadaran
berdosa artinya bahwa manusia secara langsung maupun secara tidak
langsung menyadari bahwa dirinya adalah berdosa. Inilah yang mendorong
manusia untuk berusaha secara terus menerus tanpa henti-hentinya dengan
penuh kesadaran untuk menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan oleh
pikiran, perkataan dan perbuatan dengan harapan bila kesucian telah
dicapai maka akan membantu mempermudah bagi dirinya untuk mencapai
moksa.
Lembaga yajna sebagai acara bersifat publik (umum) yang dapat dibedakan
menjadi lima macam yajna atau Panca Maha Yajna. Perbedaan kelima macam
bentuk yajna itu didasarkan pada cara pelaksanaannya dan obyek
pelaksanaannya.
Baik obyek maupun cara pelaksanaannya pada garis besarnya akan
melakukan lima macam bentuk tata cara yajna yang disebut Panca Maha
Yajna.
2. Resi Yajna
Resi Yajna juga disebut Brahma yajna, intinya adalah yajna yang
ditujukan kepada Resi atau Brahmana yang dianggap sebagai penerima
wahyu dan pengubah Weda. Menurut Agama Hindu berpegang pada Weda
pandangan hidup Hindu berdasar Weda. Hindu menjadi manusia yang
berbudaya dan berbudi pekerti luhur adalah karena Weda. Karena itu
setiap umat Hindu menganggap dirinya dan dianggap berhutang pula
kepada para Maha Resi atau Brahmana.
Brahmana adalah Dewa yang dianggap berkuasa atas Weda. Ia dianggap
menyampaikan ajaran itu melalui Maha Resi. Karena itu baik Brahma maupun
Resi dianggap sangat berjasa terhadap umat manusia. Dengan demikian wajib
hukumnya untuk membayar hutang kepada mereka sebagai balas budi. Untuk
balas budi itu diwajbikan melakukan yajna kepada para Maha resi atau
Brahma itu. Inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Resi Yajna itu.
Pelaksanaan Resi Yajna secara garis besarnya dapat dibagi beberapa cara
antara lain :
1. Melakukan Swadhyaya atau belajar sendiri kitab-kitab suci Weda.
2. Memperingati hari turunnya Weda.
3. Menyebar luaskan ajaran Weda.
4. Melakukan punia dan daksina kepada para pandita pada hari-hari
tertentu sesuai dengan ketentuan kitab Suci Weda.
Dinyatakan bahwa mereka yang rajin melakukan punia dan tidak lupa
memberi daksina kepada para pendeta karyanya pasti berpahala. Bahkan
pengisian sarin canang pada waktu upacara itupun merupakan Brahma
yajna pula. Karena itu bila menyampaikan sesajen berupa canang sari atau
lainnya jangan lupa mengisi sarinya canang berupa uang sebagai daksina
atau yajna. Yang penting adalah kesadaran dan tanggung jawab kita untuk
memenuhi keawjiban itu. Agama Hindu akan bertambah kuat dan baik
apabila setiap umat sadar dan terpanggil untuk beryajna termasuk Resi
Yajna.
3. Manusya Yajna
Salah satu yajna panca yajna adalah manusya yajna. Di dalam
berbagai kitab ajaran agama, manusya yajna dapat dibedakan dalam dua
macam yaitu :
1. Untuk manusia itu sendiri yang umum disebut manusya yajna.
2. Untuk manusia tetapi bukan diri sendiri yaitu untuk orang lain dan
umum disebut dengan Ahtiti yajna.
Jadi atithi dan manusa yajna itu keduanya disebut manusya yajna pula.
Untuk menekankan perbedaan kedua jenis yajna itu sering dipergunakan
istilah samskara untuk mengganti manusa yajna. Kata Samskara sering
dipakai kata sangaskara tetapi kata sangaskara itu sendiri sering diartikan
dalam pengertian yang lebih sempit yaitu upacara pensucian atau
prayascita.
Yang merupakan tujuan dari upacara manusa yajna adalah :
a. Untuk menjadikan lahir dan bathin agar manusya itu menjadi suci.
b. Untuk mendidik secara lahir dan bathin agar manusia itu menjadi
sempurna lahir dan bathin.
c. Untuk meningkatkan status manusia dari satu tingkat ke tingkat yang
lebih tinggi.
d. Untuk menjadikan manusia itu sempurna sehingga dapat berhubungan
dengan Tuhan.
e. Untuk memberi perlindungan secara spiritual sehingga luput dari
segala gangguan.
f. Untuk meningkatkan budhi daya manusia sehingga lebih mulia.
Dari pokok pengertian itu jelas kepada kita bahwa upacara manusa yadnya
adalah merupakan yajna yang amat penting. Penting dalam arti kita harus
selalu membuat badan pikiran dan ucapan itu suci. Bagi mereka yang
belum mampu menyucikan dirinya itu mereka perlu dibantu dan dalam hal
ini kewajiban setiap orang tua terhadap keturunannya untuk
mensucikannya.
Hidup dalam kesucian merupakan dambaan mereka itu jalan kesucian
harus ditempuh. Dinyatakan bahwa Tuhan bersifat suci dan mulia dan
karena itu yang suci dan yang mulia itu. Ini terutama dirasakan perlu
karena pada hakekatnya orang yang iman mereka mempunyai kesadaran
dosa yang tinggi atau selalu berusaha mensucikan diri lahir dan bathin.
e. Brata atau tapa pada umumnya ditentukan sebagai cara pensucian lahir
bathin sebagai akibat perbuatan dosa.
f. Pranayama adalah merupakan cara pensucian badan rokhani.
Pranayama artinya mengatur jalannya nafas mulai dari cara mengambil
nafas, menahan nafas dan mengeluarkan nafas. Ini dibagi atas :
1. Recaka (mengeluarkan nafas)
2. Kumbaka (menarik nafas)
3. Menahan nafas menyebarkan keseluruh tubuh.
Apabila pranayama dapat dilakukan dengan baik dan benar pikiran
akan menjadi tentang, dosa-dosa secara bertahap dapat dihapuskan dan
badan rokhani akan menjadi suci.
Sebelum melakukan Tri Sandhya dianjurkan melakukan pranayama,
demikian pula sebelum melakukan yoga samadhi. Pranayama di dalam
purana dianggap sebagai salah satu bentuk yajna. Kesehatan dapat pula
dipelihara melalui jalan pranayama secara terakhir. Untuk memberi
kekuatan dan memperkirakan lama waktu pranayama dapat dibantu
dengan pengucapan mantra dan pemakaian Japa Aksamala.
g. Pengucapan mantra-mantra
Mantra adalah lafal-lafal yang dianggap sangat penting. Yajna tanpa
mantra dan doa dianggap belum sempurna, oleh karena itu dalam setiap
yajna peranan dan fungsi pedanda atau pemangku amat penting. Akan
lebih baik apabila setiap orang mempelajari dan menghafalkan mantra-
mantra tertentu. Jaman Kaliyuga seperti sekarang ini bantuan pedanda
memang amat perlu. Ini tidak berarti mutlak karena apabila setiap orang
dapat memantra sudah cukup. Mantra diucapkan berkali-kali dan
bentuknya singkat dinamakan japa. Melakukan japa berkali-kali disebut
Prajapala. Untuk membantu dalam prajalpa dipergunakan aksamala.
Disamping itu masing ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
acara manusa yajna yaitu tentang waktu-waktu yang tepat untuk melakukan
manusa yajna. Sebagaimana berbagai macam yajna memerlukan landasan
yang kuat dan rational demikian pula manusa yajna itu. Di dalam
Dharmasastra dan Purana dibedakan antara :
1. Nitya Karma (setiap hari)
2. Naimitika Karma (kandangkala)
3. Kamya Karma (upacara wajib)
a. Nitya Karma yaitu ritus-ritus yang wajib dilakukan setiap harinya dan
yang bersifat mutlak. Sifat wajib karena telah ditetapkan demikian.
Adapun yang bersifat rutin harian misalnya puja Tri Sandhya pemuja
setiap hari melalui Ista Dewata dan Kula Dewata, di samping itu
termasuk ewajib adalah Panca Mahayana.
b. Naimitika Karma yaitu upacara atau ritus yang dilakukan secara
khusus dan bersifat sukarela. Upacara ini dilakukan karena untuk
tujuan tertentu misalnya upacara hari ulang tahun atau piodalan
upacara untuk minta hujan, upacara hari ulang tahun atau untuk
keselamatan dari wabah, karena habis sakit, setelah melakukan pitra
yajna. Melakukan Tapa Brata seperti puasa pada hari-hari tertentu
dapat pula berarti Naimitika karma walaupun dalam pelaksanaan
tertentu tapa brata itu adalah merupakan Naimitika Karma. Tapa
berarti pengendalian panca indrya dan lahir bathin sedangkan brata
artinya melakukan puasa untuk tidak makan makanan tertentu atau
tidak makan sama sekali pada hari tertentu.
c. Kamya Karma adalah upacara keagamaan atau ritual yang bersifat
mutlak atauwajib yang harus dilakukan oleh setiap umat Hindu. Bila ia
tidak melakukannya ia dianggap berdosa, adapun diantara berbagai
upacara yang bersifat wajib adalah Panca Maha Yajna.
Pada garis besarnya upacara manusya yajna dibedakan antara lain yaitu :
1. Upacara sebelum lahir
Upacara sebelum lahir dikenal dengan istilah upacara megedong-
gedongan. Upacara ini dilakukan untuk calon bayi itu berumur 6 bulan
di dalam kandungan. Kebiasaan upacara ini dan tata pelaksanaannya
tidak sama antara masing-masing daerah, kebiasaan yang serupa kita
jumpai hampir disemua daerah yang pernah mendapat pengaruh
Hindu. Yang merupakan tujuan dari upacara ini adalah :
a. Mengundang kekuatan yang baik untuk memberi perlindungan
kepada calon bayi.
b. Menjauhkan dari semua pengaruh-pengaruh buruk.
Oleh karena itu ada dua jenis banten yang diperlukan yaitu tataban dan
beakala. Di samping itu ada beberapa pantangan yang harus dilakukan
oleh calon ibu dan calon ayah dari calon bayi yang intinya agar tidak
terkena pengaruh buruk atau jahat. Maksudnya adalah untuk
menjauhkan pengaruh sifat-sifat karena apa-apa yang diperkirakan dan
yang dikerjakan oleh orang tuanya, cenderung akan menimbulkan
akibat seperti yang diperlukan dan menurun kepada calon bayi itu.
Secara garis besarnya Upacara Pitra Yajna dapat dibagi dalam beberapa
tahap seperti :
a. Sawa Prateka (Sawa Wedana)
Sawaprateka atau sawa wedana adalah tata cara dan upacara perawatan
dan penyelesaian jenasah. Upacara ini dilakukan sesaat setelah orang
itu meninggal dunia. Orang yang meninggal perlu dirawat dengan baik
sebagai penghormatan kepadanya. Menurut ajaran agama Hindu
sesungguhnya orang itu tidak mati karena roh atau jiwa atau Atmanya
tetap hidup. Badan raganya yang terdiri dari Panca Maha Bhuta perlu
dirawat dan disimpan atau dikembalikan ke alam asalnya. Ada
beberapa cara ynng disebut dalam Weda yaitu :
a. Dibakar (disimpan dalam api)
b. Ditanam di tanah
c. Ditaruh di peranginan
d. Disimpan di rumah
e. Dikubur di dalam air
b. Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara perawatan tulang orang yang telah
meninggal. Upacara ini merupakan upacara memperabukan tulang dan
lebih umum disebut ngaben atau memperabukan. Jenasah yang telah
dikubur diangkat tulangnya dan kemudian diupacarakan dalam upacara
pengabenan. Dapat pula upacara ini ditempuh langsung setelah orang
itu meninggal tanpa dikubur terlebih dahulu. Upacara ini disebut
Swasta. Sebelum upacara pembakaran terlebih dahulu diadakan
upacara yang intinya sama seperti orang yang baru saja meninggal.
Ada tiga macam bentuk upacara Asti Wedana yaitu :
- Sawa Wedana yaitu apabila yang dibakar adalah jenasah itu
langsung dalam acara pengabuan ini disebut Swata.
- Asti Wedana yaitu apabila yang dibakar dan diupacarakan adalah
tulang dari jenasah yang telah lama meninggal dan dikumpulkan
dari kuburan atau yang disekah atau disimpan dalam rumah.
- Ngerca Wedana yaitu apabila yang dibakar dan diuparakan adalah
simbul penggantian tulang orang yang meninggal karena pada
umumnya apabila telah lama dikubur tulangnya, tidak diketemukan
lagi untuk itu sebagai pengganti tulang dibuatkan badan pengganti
dari kayu cendana atau bunga.
c. Atma Wedana
Atma Wedana adalah upacara yang ditujukan pada penyempurnaan Atma
orang yang telah diaben. Tujuan Atma Wedana adalah untuk
menyeberangkan Atma dari alamnya sekarang di surga menuju alam
moksa. Ada beberapa istilah yang lazim dipergunakan untuk Atma
Wedana, yaitu :
- Ngeroras
- Mukur
- Maligia
Dengan upacara ini leluhur yang telah diaben diupacarakan dengan
tujuan meningkatkan statusnya dan bentuk Pitara menjadi Dewa
Hyang. Upacara Atma Wedana yang disebut Ngeroras (mukur,
maligia) adalah merupakan upacara Suci yang berbeda dengan upacara
Asti Wedana maupun sawa prateka. Pada umumnya sebelum
melakukan upacara yajna ini dilakukan dengan penurunan Roh melalui
orang-orang tertentu yang disebut Balian Sadeg. Beliau dianggap
mampu berkomunikasi dengan para roh dan dapat diajak berdialog
langsung oleh para sentananya. Pada kesempatan ini dapat ditanyakan
keinginan untuk melakukan Upacara Maligia dan meminta keterangan
tentang keinginannya. Menurut Kitab Purana dinyatakan bahwa
upacara mailigia yang diikuti dengan cara pemberian punia kepada
para pendeta dinyatakan sangat terpuji.
Bentuk upacara ini hampir sama seperti upacara ngaben tetapi yang
diupacarakan adalah Puspalingga sebagai pengganti badan rohani.
Puspalingga dibangun dalam bentuk tumpeng yang disebut ukur dan
dibuatkan pula alat pengangkutannya yang disebut bukur. Karena itu
upacara ini disebut Mukur. Karena inti yajna adalah mendudukkan
para pitara untuk disempurnakan menjadi Dewa upacara ini disebut
pula Maligia. Upacara dianggap selesai setelah mapralina yaitu
pembakaran puspa sarira dan dilarung ke laut. Dengan uapcara ini
semua Upacara Pitra Yajna dianggap selesai. Adapun acara nuntun
sesudah Maligia adalah tidak tergolong Pitra Yajna melainkan upacara
Dewa Yajna. Para pitara yang telah berobah statusnya sebagai Dewa
Hyang diistanakan pada Pedharman atau pura-pura Dadia yang khusus
dibangun untuk tujuan itu. Sejak itu upacara yang diselenggarakan
bersifat Sraddha ditempatkan pada Dewa Hyang.
Dari sekian banyak sarnaa atau uparaka yang umum dan khusus kita jumpai di
dalam Weda disebutkan antara lain : Api, air, wangi-wangian, bunga, daun,
buah, biji, uang, benda-benda logam, barang pecah belah, sesajen, gambar,
mudra, mantra, dan lain-lain. Semua benda-benda yang disebut di atas
mengandung arti simbolis dan sakral. Untuk singkatnya perhatikan makna dan
fungsi serta penggunaannya dalam upacara menurut ajaran agama Hindu baik
satu persatuan maupun dirangkai sebagaimana terurai dalam uraian berikut :
1. Api (Ageni)
Api adalah sarana yang paling penting dalam pelaksanaan ajaran agama
Hindu terutama fungsi sembahyang. Fungsi api dalam Weda disebut
sebagai berikut :
a. Api berfungsi sebagai Dewa yang paling utama.
b. Api berfungsi sebagai saksi dalam sumpah dan persembahyangan.
c. Api berfungsi sebagai pendeta yang akan melakukan tugas-tugas
kependetaan dalam upacara yang dilakukan oleh manusia.
d. Api sebagai akhli upacara, akhli Weda yang memberi inspirasi kepada
para pendeta dan para resi mengubah mantram.
e. Api berfungsi sebagai duta atau utusan yang siap menerima perintah
untuk mendatangkan para Dewa yang dikehendaki hadir dalam
upacara.
f. Api berfungsi sebagai mulut para Dewa dan semua kekuatan yang
tidak kelihatan untuk menerima sesajen yang dipersembahkan untuk
disantap.
g. Api sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan bagi orang
berumbah tangga karena fungsinya didapur.
h. Api berfungsi sebagai penjaga dan mengusir roh-roh yang jahat dan
akan mengganggu jalannya upacara.
i. Api berfungsi sebagai pemberi tenaga atau kekuatan kepada yang
memakainya.
j. Api sebagai sarana penyucian benda-benda keramik atau logam mulia
lainnya.
k. Api sebagai sarana penolak bala dan balik sumpah agar tidak mengenai
diri.
Jadi sangat banyak fungsi dan tugas api sehingga menempati tempat yang
amat penting di dalam upacara. Karena api selalu dipakai dalam setiap
upacara api dikenal sebagai Dewa yang selalu muda artinya dihidupkan
setiap hari setiap rumah tangga. Karena itu agama Hindu kita selalu
menghormati api karena fungsi dan kedudukannya. Hanya sekarang
tergantung kepada manusia apakah kita dapat memanfaatkan kedudukan
dan fungsi api secara terarah. Bila tidak apipun dapat menjadi bencana,
membakar habis semua yang terkena. Ada beberapa jenis api yang disebut
dalam ajaran agama Hindu adalah :
1. Api yang ada di dapur
2. Api yang terdapat dalam diri manusia
3. Api yang ada pada matahari
Di dalam upacara ritual kita jumpai istilah Agni Homa yaitu api yang
dinyalakan sebagai sarana pengantar semua sesaji seperti api takep dan api
pasepan.
2. Air
Agama Hindu melihat kedudukan air amat penting bagi keidupan
manusia dan seluruh makhluk hidup termasuk pohon-pohonan. Bila tidak
ada air maka matilah semua kehidupan ini. Kita mengenal banyak istilah
untuk air seperti : toya, tirta, banyu, nara apah dan lain-lain. Fungsi airpun
amat banyak dalam upacara maupun dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi
air dalam upacara ritual dipergunakan sebagai berikut :
1. Sebagai alat penyuci segala sarana upacara (tirta pabersih)
2. Sebagai tirtha amrta atau ambrosia
3. Sebagai wasuh pada disebut ancamannya dan padyargha
4. Sebagai air penyuci roh orang meninggal (tirtha pengentas)
5. Sebagai air minum tarpana atau keperluan minum sehari-hari.
Oleh karena itu berfungsi bermacam-macam cara pembinaanpun
bermacam-macam pula yang jelas air yang dipakai adalah air bersih baik
sumur ledeng atau ditempat-tempat khusus seperti mata air, air dari
pertemuan dua sungai atau campuhan. Apabila air itu diambil dengan tata
cara upacara ritual maka fungsi dan arti air itu berubah mengandung aspek
magis. Air yang telah diastrani dengan mantra-mantra dicampur dengan
kembang harum telah merubah arti air biasa menjadi air suci dan langsung
dapat dipergunakan untuk tujuan upacara misalnya menyucikan segala alat
upacara dengan memercikannya. Apabila air atau toya itu diletakkan di
Padmasana yaitu altar untuk Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa maka
fungsi air sebagai tirtha bisa berubah menjadi Tirtha Amrta yang
mempunyai nilai amat tinggi dalam agama Hindu. Disamping tirtha amrta
terdapat pula air wasuh pada yaitu air suci sebagai penyapa sewaktu
upacara kepada Yang Maha Esa san para Dewa yang tidak kelihatan.
Pembudayaan itu berakar tata cara menerima tamu menghormati tamu
yang dimulyakan yaitu untuk menyapa dengan menyuguhkan air bersih
untuk cuci tangan, berkumur, minum dan mencuci kaki sebelum
dipersilahkan duduk dan menyantap hidangan. Kedua ir itu umum dalam
semua upacara keagamaan terutama dalam persembahyangan umum. Tirta
Amrta dan wasuh pada dicampur sebagai rakhmat yang dibagi-bagi dan
dipercikkan kepada para peserta dalam upacara untuk kesucian dan
rakhmat.
3. Wangi-wangian
Dalam setiap upacara kita memerlukan wangi-wangian baik
berbentuk kayu cendana, minyak wangi, bunga-bunga yang wangi
kemenyan dan lain-lain. Intinya adalah segala yang berbau harum karena
itu disebut pengharum-haruman.
4. Bija (biji-bijian)
Biji-bijian dapat dipergunakan beras dan kacang-kacangan, biji-
bijian ini adalah biji dan lambang sebagai Ganapati. Di dalam berbagai
upacara pemakaian tepung tawar wujudnya berupa berbagai biji-bijian
terdiri dari beras kuning yang diberi warna kuning yang dicampur dengan
daun dapdap dan areng sebagai lambang pensucian.
5. Daun-daunan (Lawa)
Penggunaan daun dalam upacara yajna sangat banyak tidak saja
berfungsi sebagai sarana alas atau taledan tetapi juga sebagai hiasan dan
simbol. Diantara berbagai daun tersebut yang sering dipergunakan antara
lain : Daun beringin, daun dapdap, daun enau, daun kelapa dan lain-lain.
Dinatara berbagai daun tersebut yang sering dipergunakan antara lain
adalah : daun beringin adalah daun yang paling umum dipergunakan
sebagai lambang kesucian lambang Agni dan sebagai alas untuk kesucian
dalam upacara dewa yajna.
6. Puspa (bunga-bungaan)
Bunga atau kembang adalah merupakan sarana yang penting
hampir dalam setiap yajna kita memerlukan kembang baik sebagai bunga
rampai atau kembang-kembang tertentu. Pemakaian bunga yang baik
adalah untuk keharuman baunya dan warnanya (merah, putih, ungu, atau
hitam, kuning dan warna campuran).
7. Wastu (benda-benda)
Dalam upacara sering diperlukan benda-benda tertentu seperti
kayu, batu, besi, tembaga, emas, perak, kaca dan lain-lain. Benda itu
dipergunakan dalam berbagai upacara tertentu. Batu sebagai simbol
keteguhan dan ketetapan iman agama seperti bata. Kayu cendana atau garu
untuk bangunan agama dan untuk mendapatkan bau yang baik. Besi dan
logam merupakan lambang kekuatan.
9. Canang
Canang adalah persembahan yang sederhana berupa buah-buahan
dan kue, ada beberapa macam jenis canang dan dibedakan menurut
kelengkapan dan tujuan penggunaannya seperti : cangn genten, canang
tubungan, canang burat wangi/lenge wangi, canang tadah pawitra, canang
sari, canang oyodan, canang rebong, canang meraka dan canang gebongan.
10. Daksina
Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian
spiritual, Daksina adalah lambang Hyang Guru dan karena itu
dipergunakan sebagai saksi Dewata sedangkan isi daripada daksita antar
lain : beras, kelapa, uang, telur itik, benang putih, bijaratus, gantusan,
pisang mentah dan kemiri, pangi, daun sirih dan canang genten. Ada
beberapa jenis daksina antar alain : daksina alit, daksina pekala-kalaan,
daksina krepa, daksina gede dan daksina gulahan.
13. Kewangen
Kewangen adalah sarana sembahyang dan fungsinya sama seperti
bunga. Yang dibuat dalam bentuk kojong terdiri dari : daun pisang, daun
sirih, kapur sirih, gambir, pinang, bunga, uang dan pelawa. Kewangen
banyak dipergunakan pada upacara Pitra Yajna dan Dewa Yajna sebagai
lambang Ardhanareswari. Karena itu penggunaannya akan sangat tepat
apabila diikuti dengan pemakaian mantra.
b. Seni Tari
Sebagaimana telah diputuskan di dalam seniman seni sacral maka
tari-tarian Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1. Tari Wali
2. Tari Bebak
3. Tari Balih-balihan
Dari ketiga jenis tari ini maka tari Wali dan Bebali yang paling erat
hubungannya dengan agama Tari Wali berfungsi sebagai pelaksanaan
upacara baik dia maupun semuanya erat sekali kaitannya dengan jalannya
upacara seperti tari rejang berfungsi menuntun Ida Bhatara pada waktu
meleasti atau tedun ke pasekang. Uang bolongnya berfungsi sebagai
ngayai para Dea dan roh-roh suci untuk memberkahi upacara itu Topeng
Sidakarya dengan peras dengan beras kuning dan uang bolongnya sebagai
pupuk karya dengan disimbulkan dengan beras kuning dan uang boloang.
Wayang Mpu Leger dan wayang Sapu Leger duan-duannya berfungsi
sebagai penyucian bayi atau anak lahir pada tumpek wayang. Sedangkan
tari bebali berfungsi lebih ringan dari wali karena setengahnya bersifat
hiburan dan setengahnya menunjang succesan upacara.
Disamping fungsi-fungsi dari tari wali dan bebali ini telah ditetapkan
sedemikian rupa juga untuk menguatkan dan memantapkan keyakinan dan
umat maka dikuatkanlah mytologi-mytologi yang memuat asal-usul dan
tarian tersebut hampir semua tari-tarian Bali menggunakan sajen-sajen
baik dan balih-balihan, tan wali dan bebali. Tujuannya tidak lain adalah
memohon kehadapan Ida Bhatara agara tari-tarian ini succes. Disamping
penggunaan sajen secara umum di Bali dikenal upacara Mamasupam
dimana alat-alat seperti topeng, rangda, barong atau gelungan dan juga
orang yang menarikan itu dipasupasi. Dibuatkan sesajen khusus untuk
memohon kekuasaan supermater material power untuk menurun dan
mengarahkan peran tersebut secara gaib sehingga menarik atau
menakutkan. Kata Pacupati berasal dari kata pacu yang berarti hewa dan
pati berarti raja. Maksudnya yaitu dimana di penari diumpamakan sebagai
hewan gembalaan dimana Ida Bhatara sebagai pengembalanya maka gaya
tarik yang ditimbulkan oleh si penari ini bukanlah semata-mata disebabkan
oleh kelemasan dan kecantikan si penari tetapi adalah disbabkan oleh
kekuatan niskala dari Ida Bhatara tempat penari nunas pacupan.
c. Seni Tabuh
Gambelan dianggap mempunyai Dewa sebab itu ada upacara untuk
memperingati atau memohon kekuatan pada gong itu yaitu pada hari
tumpek klurur. Kata klurur berarti cinta kasih mungkin hal ini ada
hubungannya dengan mytologi-mytologi terciptanya gong atau bunyi-
bunyian dimana Sang Hyang Semara menciptakan bunyi-bunyian yang
pertama yang dinamai smarapegulingan. Kemudian Bhatara Siwa Bhatara
Wisnu dan Bhatara Indra meniru ciptaan Sang Hyang Semara ini maka
terciptalah Semara Aruru, Semara Wungu, Semara Ngadeg, Para bhutakala
tidak mau ketinggalan dan ikut juga meniru ciptaan Sang Hyang Semara
dibuatlah gegambelan Bebonangan oleh para Bhutakala.
d. Seni Sastra
Seni sastra lama lebih-lebih yang berbahasa Bali boleh dikatakan
hampir semuanya berbau etik mengandung tutur yang berpankal pada
ajaran agama. Kidung-kidung dan kekawinan yang sering sekali anomynya
tidak disebut nama pengarangnya menunjukkan suatu etika ketimuran
yang tidak menonjolkan namanya sendiri. Bahkan isinya dihubungkan
dengan tokoh-tokoh Dewa atau orang yang terkenal pada jaman dahulu.
Mereka beranggapan kalau namanya ditonjolkan nilai sastranya akan
berkurang. Sebagian lagi pengarang-pengarang Bali ini akan menyebutkan
namanya tetapi bukan nama asli melainkan nama samaran. Apa sebabnya
orang Bali tidak mau menonjolkan diri karena ini merupakan watak orang
timur yang kemudian dibenarkan lagi oleh etika agama Hindu dianjurkan
Anresangsya hak yang Dharma artinya tidak mementingkan diri sendiri
adalah kebajikan yang tertinggi. Selain itu juga pada waktu upacara
dinyanyikan kidung-kidung dan pembacaan kekawinan yang baik biasanya
diambil dari ceritera-ceritera ramayana dan Mahabarata. Kidung dan
kekawin itupun disesuaikan dengan jenis upacara/jalannya upacara.
BAB VI
SAD DHARSANA
Sasaran belajar
• Menjelaskan pandangan Hindu yang Ortodok (Astika)
• Menjelaskan perbedaan pandangan antara berbagai filsafat
• Mengerti masing-masing Dharsana tersebut
Pndangan Hindu yang Ortodok disebut juga astika secara garis besarnya dapat di
bagi menjadi enam antara lain :
Samavaya adalah sifat yang kekal yang terdapat pada masing-masing bagian
dari benda sifat umum maupun sifat istimewa mengenai mutu gerak kerja dari
suatu benda.
Penghormatan terhadap Tuhan dan kebebasan jiwa setiap orang mempunyai
suatu persamaan dengan filsafat nyaya.
C. Sankhya Dharsana
Sankhya adalah filsafat yang serba dua, diturunkan oleh Maha Rsi
Kapila. Keistimewaan dari filsafat ini adalah pemecahan serba dua yang
disebut dengan nama Purusa dengan prakerti, serta adanya sangat netral.
Purusa adalah suatu prinsip kesadaran yang sangat tinggi yang tidak
berbentuk tetapi merupakan suatu yang sangat penting dimana Purusa ini
merupakan sinar ketenangan dari tubuh termasuk panca indria dan pikiran.
Purusa ini berada diantara dunia dan obyek dari itu merupakan kesadaran
yang kekalpun pula ia merupakan saksi dari segala perbuatan di dunia,
namun ia menunjukkan ke jalan yang besar. Bentuk dari suatu benda
seperti kursi dipan dan lain-lainnya adanya benda ini bertujuan untuk
menyenangkan diri sendiri dan makhluk lainnya. Walaupun Purusa ini
merupakan sinar cahaya dari prakerti sehingga timbul hubungan antara
beberapa jenis purusa pada beberapa benda yang nanti dapat menimbulkan
ada orang senang dan sedih, mati dan lahir. Prakerti adalah penyebab dari
terbentuknya dunia. Sifat prakerti adalah ketidak sadaran yang selalu
berubah-ubah dan tidak pernah diam yaitu sattwa, rajas dan tamas. Dengan
adanya guna itu dapat membuat sifat yang senang, sedih yang kita jumpai
pada semua benda di dunia.
Hal yang sangat menarik seperti suka tidak suka kepada apa yang
menyenangkan atau tidak senang yang dirasakan oleh setiap orang di
dalam kondisi yang berada seperti menikmati selada, pada beberapa orang
rasanya nikmat dan yang lainnya tidak. Kondisi-kondisi yang demikian
akan terwujud seperti minyak wangi merupakan perubahan dari bibit
minyak yang ada. Demikian pula benda-benda di dunia mempunyai sifat
menghasilkan senang, sedih, dan sesuatu yang tidak satwam, rajas dan
tamas yang berada pada wilayah senang, sedih dan bosan yang nantinya
dapat membawa pengaruh yang aktif dan pasif. Perubahan-perubahan yang
ada dalam akibat dari pertemuan purusa dan pradana yang nantinya dapat
menimbulkan perubahan pada ketenangan yang sejati dari seseorang yang
kemudian dapat menimbulkan gerakan untuk berbuat. Proses timbulnya
perubahan itu adalah sebagai berikut : adalah dari Prakerti yang
menimbulkan gerakan-gerakan yang dimaksud dengan nama “Mahat” sifat
kesadaran pada diri seseorang secara reflek akan bangkit dan timbul sadar
pada dirinya, yang kemudian bangkitlah secara alami yaitu alam pikir
seseorang yang diberi nama budhi, budhi kemudian berkembang menjadi
pemikiran yang sangat kreatif. Ahankara muncul kemudian yang
merupakan hasil kedua dari budhi.
D. Yoga Dharsana
Maha rsi Patanjali adalah peletak ajaran filsafat Yoga. Filsafat Yoga
ini sebagian besar mengambil atau menitikberatkan ajaran Epistimologi
dan Metha phisis dari filsafat Yoga hanya ditambahkan adanya Tuhan.
Yang sangat menarik dalam filsafat ini adalah praktek dari latihan yoga
untuk mencapai VIVEKA JNANA atau pengetahuan untuk membeda-
bedakan yang merupakan penunjang pada filsafat Sankhya mengenai
kebebasan. Tentu saja dalam filsafat ini dipraktekkan cara pengertian
mengenal fungsi-fungsi yang berhubungan dengan jiwa yang disebut Cita
Vrtiniroda.
Dalam filsafat yoga ini terdapat lima tingkatan dari fungsi jiwa
antara lain :
Ksipa : Pikiran untuk pengumbaraan nafsu bercumbu rayu dengan suatu
obyek.
Mudha : Kondisi bodoh seperti orang tidur.
Vrksipta : Adalah kondisi yang tenang tidak menentu.
Ukraga : Pemusatan pikiran pada suatu obyek dan renungan.
Niruddha : Pemberhentian dari fungsi gerak pada renungan.
Ada delapan langkah untuk harus dilaksanakan dalam mempraktekkan
ajaran yoga antara lain :
1. Yama : Latihan menahan penderitaan hidup dari kepalsuan dunia seperti
pencurian, melampiaskan hawa nafsu dan ketamakan.
2. Nyama : Adalah kesusilaan dengan melaksanakan perbuatan baik
seperti penyucian, ketenangan, penebusan dosa, mempelajari weda dan
melakukanrenungan dengan tuhan.
3. Asana : adalah mengambil sikap badan yang menyenangkan.
4. Pranayama : mengatur keluar masuknya pernafasan.
5. Pratyara : pengontrolan terhadap indra dan membawa indra
kegambaran dari suatu obyek.
6. Dharana : membawa pikiran pada suatu obyek yang ada di dalam
maupun di luar seperti pandangan mata ke ujung hidung.
7. Dhyana : adalah meditasi untuk merenung kepada obyek dimana
pikiran tidak terpecah lagi.
8. Semadi : disini telah berada pada lenyapnya kesadaran dalam renungan
pada suatu obyek dan tidak sadar akan dirinya.
E. Mimamsa Dharsana
Filsafat Mimamsa terkenal dengan sebutan Purwa Mimamsa yang
ditulis oleh Maha Rsi Jaimini. Obyek yang utama dalam filsafat ini adalah
keyakinan akan kebenaran dari upacara-upacara dalam weda. Dalam
filsafat ini akan dijumpai suatu pendangan dunia yang ditinjau dari segi
upacara. Penulis dari ajaran ini memepergunakan dasar dari upacara-
upacara dalam weda dimana dalam rumusan mengenai pandangan filsafat-
filsafat mimamsa terhadap weda, bahwa weda tersebut bukan dibuat oleh
manusia. Weda adalah kekal abadi dan penulis weda adalah para Maha Rsi
yang diturunkan hanya pada saat tertentu saja. Mengenai kumurnian Weda
maka filsafat Mimamsa beranggapan bahwa pengetahuan yang terdapat
pada weda merupakan pengerjaan dari Maha Rsi dengan sangat teliti
sehingga pemecahan terhadap suatu obyek adalah benar karena setiap
pengetahuan merupakan Wahyu Tuhan. Konsep dari ajaran Mimamsa
tentang kebebasan hanya bersifat negatif yaitu tidak lahir kembali dan
bebas dari semua penderitaan. Jiwa adalah sesuatu zat yang kekal abadi,
apabila jiwa tersebut meninggalkan kematian dan telah mengikuti ajaran-
ajaran atau suruhan-suruhan weda mengenai upacara maka jiwa tersebut
akan menuju sorga walaupun tidak tahu sama sekali. Filsafat Mimamsa
juga memberikan argumantasi yang bebas seperti halnya filsafat Jaina
dimana jiwa itu adanya kekal abadi dan filsafat ini menolak pendangan
metrealsitis pada diri manusia. Tetapi filsafat ini tidak membicarakan
tentang kesadaran yang merupakan hal yang hakiki dari jiwa sebab
kesadaran itu akan tumbuh hanya dengan adanya kesatuan antara atman
tubuh dan obyek ilmu pengetahuan yang terdiri dari lima indra dan manas.
Kebebasan untuk melakukan perbuatan inilah yang terpenting dan filsafat
mimamsa. Jiwa yang terdapat dalam tubuh berbeda dengan ilmu
pengetahuan salah satu aliran dari filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh
Maha Rsi Prabhakara beliau mengatakan adanya lima sumber pramana
antara lian :
Pratiaks : penglihatan langsung
Anumana : menarik kesimpulan
Upamana : mengadakan perbandingan
Sabda : pembuktian
Arthapati : perempuan
Aliran lain dari filsafat Mimamsa yang diajarkan oleh Maha Resi Kumarila
Bhatta beliau menjelaskan mengenai pengamatan yang merupakan
tambahan dari lima teori di atas yang disebut anupalabi yang berarti tanpa
pengamatan. Antara lain dijelaskan seseorang yang masuk kedalam salah
satu kamar dan melihat berkeliling dalam kamar tersebut bahwa di kamar
itu tidak kipas, kita mengatakan tidak ada kipas karena kita tidak melihat
kipas. Penglihatan itu timbul terhadap suatu obyek apabila indra tersebut
dirangsang oleh suatu obyek dan tidak adanya obyek yang diketahui karena
indra tidak dirangsang olehnya demikianlah ilmu pengetahuan yang dapat
melalui Anupalabdhi yaitu kita memberi pertimbangan tentang kipas tadak
ada karena kita tidak melihat kipas melalui pengamatan.
Filsafat Mimamsa percaya akan kenyataan dari dunia phisik melalui
kekuatan dan penglihatan walaupun filsafat ini adalah realistis namun
filsafat ini percaya juga mengenai keberadaan dan jiwa akan tetapi filsafat
ini tidak percaya bahwa Brahman atau Tuhan sebagai pencipta alam
semesta. Bahan penciptaan dunia dibentuk dari bahan-bahan luar yang
sesuai dengan karma dari jiwa-jiwa oleh sebab itu hukum karma
merupakan penguasa dunia. Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila
setiap orang melaksanakan sedikit saja mengenai upacara maka jiwa
tersebut diangkat oleh suatu kekuatan yang diberi nama Apurwa yang
kemudian hari dapat menghasilkan buah yang dikerjakan dengan baik.
Perhitungan dari Apuwa secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya
dilakukan dengan bentuk upacara yang nantinya dapat memberikan hasil
yang sangat memuaskan.
F. Vedanta Dharsana
Teori dari filsafat vedenta ini diambil dari Upanisad yang
merupakan titik terakhir ilmu weda, itulah sebabnya filsafat ini diberi nama
wedanta yang berarti akhir dari weda, sebagai telah kita perhatikan bahwa
Vedanta ini berkembang melalui dasar-dasar kebenaran dari ajaran
Upanisad. Bahan-bahan yang menjadi pokok uraian dalam filsafat ini
adalah ajaran Brahma Sutra dari Badra Yana.
Kitab Brahma Sutra Upanisad ini diberikan tafsir tulisan oleh dua orang
Maha Rsi yang bernama Resi Sankara dan Resi Ramanuja. Purusa adalah
meliputi semua lam semesta dan tidak ada celah yang tidak diisi olehnya.
Demikian terurai didalam Mantra Reg Weda, semua benda-benda yang ada
di alam semesta ini merupakan bagian dari purusa. Di dalam Upanisad
semua yang ada berasal dari satu yaitu SAT, atau merupakan suatu rencana
dari satu purusa atau satu brahman sehingga semua ini adalah kesamaan.
Dunia berasal dari Purusan berada pada-Nya dan kembali pada-Nya di beri
nama Pralaya. Kenyataan yang bermacam-macam yang terdapat di alam
semesta tidak dapat dibantah bahwa kesemua itu merupakan kesatuan dari
purusa sehingga timbul sebutan “Sarwam Khalu Idam Brahma” artinya
semua adalah Brahman demikian pula mengenai jiwa adalah Brahman juga
dan tidak ada banyak dialai ini. Purusa dan Pradana adalah satya. Ia tidak
terbatas dari jnana dan ananda. resi sankara memberikan tafsir terhadap
Upanisad dan Brahman Sutra bahwa Purusa itu amat suci dan tidak ternoda
walaupun bercampur ditempat tersebut. Purusa hanyalah satya, bukan salah
satu indra saja beliau berada namun disemua indra beliau juga menempati
segala sesuatu yang berlarang dari keseluruhan merupakan kesatuan dari
jiwa atau Brahman. Brahman menghidupkan alam semsta sehingga
Brahman mengetahuinya semua diketahui olehnya sehingga pandangan
sama dengan yang terdapat dalam Upanisad. Beraneka ragam benda
disebabkan oleh Brahman termasuk juga Siwa hal yang sama dengan
terurai dalam Weda. Akan tetapi di dalam Weda penciptaan itu dilakukan
oleh Maya. Brahman menyebutkan bahwa penciptaan dunia dilakukan
melalui kekuatan maya. Samkara tetapi beliau berpegang bahwa di alam ini
hanya da satu Brahman. Dunia ini tidak diciptakan dalam bentuk yang
nyata akan tetapi Tuhan menciptakan dunia dan tidak menampakkan diri.
Brahman melakukan dengan kekuatan yang rahasia yang disebut maya.
Mengenai pengertian terhadap maya beliau menjelaskan hal tersebut
dengan suatu pengalaman yang biasa saja kemudian beliau
menginterprotasi kekuatan itu dengan gambaran biasa dalam hidup ini
dengan mempergunakan tali sebagai contoh dimana dibuat tali sebagai luar
atau kerang yang berkilauan berubah menjadi perak di dalam hal ini
merupakan dasar dari bayangan yang nyata dari suatu benda yang nampak
seperti ular dan perak imajinasi yang semacam ini dihasilkan oleh pencipta
yang pandai untuk orang yang bodoh, kebodohan ini tidak hanya diterima
oleh golongan lapisan bawah tetapi juga orang lain dapat melihat hal
semacam. Sehingga apersepsi tentang dunia dapat disamakan dengan
contoh diatas kita melihat beraneka ragam obyek dari Brahman olehkarena
itu kebodohan kita kenyataan, sebenarnya adalah Brahman berselubung
dan kepada kita dipertunjukkan beraneka ragam obyek. Dalam pandangan
Sankara mengenai fakta adanya dua zat yaitu Tuhan dan Maya maka
pikiran mengenai teori semua ini adalah satu mendapat suatu pukulan akan
tetapi lebih jauh Samkara menjelaskan bahwa Maya merupakan kekuatan
dari Tuhan yang kelihatannya saja berbeda namun ia satu seperti api
dengan kekuatan membakarnya, oleh karena itu bukanlah dua adanya
namun tetap satu. Inilah yang disebut Advaita. Untuk maya yang tidak
dapat dipercaya akan adanya hanya dapat dilihat melalui akal muslihat
sehingga ilmu maya itu akan menjadi lenyap dan akhirnya nampaklah
bahwa Tuhan mencipta itu tidak dengan kekuatan maya. Sama halnya
barang siapa dapat keselubungan Tuhan dalam dunia, maka Tuhan akan
berhenti mempunyai kekuatan Maya atau kekuatan lain untuk mencipta.
Pandangan Sankara terhadap hal tersebut terdapat dua macam perbedaan
yaitu :
Kita hendaknya belajar ilmu Vedanta di bawah asuhan Guru dan berusaha
untuk mempergunakan Meditasi. Setelah tiba saatnya yang tepat guru akan
memberikan bisikan terakhir kepadanya bahwa jiwa adalah Brahman.
Tuhan memiliki semua sifat kemaha tahuan dan kemaha kuasaan sebagai
laba-laba yang membuat sarangnya keluar dari tubuhnya demikian halnya
dengan Tuhan menciptakan alam semesta ini keluar dari dirinya juga
mengenai jiwa yang digambarkan sebagai hal yang tak terbatas kecilnya
dan kekal adanya mereka terwujud dari kesadaran sifat alam dan
kecermelangan sifat jiwa. Setiap jiwa ia berada dibawah dari tubuh dan
didalamnya menyesuaikan diri dengan hukum karma. Semua ciptaan baik
dunia maupun yang lainnya berasal dari Tuhan yang satu akan tetapi
monismennya Ramanuja adalah Visistadvaita yaitu satu Tuhan namun
adanya beraneka ragam. Tuhan memiliki kesadaran jiwa dan
ketidaksadaran benda yang kesemuanya itu adalah satu.
BAB VII
RAJADHARMA
Sasaran belajar
• Mahasiswa memahami pengertian Kepemimpinan
• Mahasiswa dapat Mengimplementasikan Kepemimpinan
• Mahasiswa makna ajaran Rajadharma
Agama Hindu tidak saja merupakan agama tertua didunia, tetapi juga
merupakan agama yang mengandung segala aspek kehidupan manusia, karena
Agama Hindu yang nama asalnya Sanatha Dharma diturunkan oleh Ida Sang
Hyang Widhi Wasa untuk meningkatkan peradaban dan kebudayaan manusia.
Disamping itu pula Agama Hindu merupakan hukum atau aturan yang
membimbing umat manusia untuk mencapai Moksartham Jagad Ita termasuk
di dalamnya asas kepemimpinan.
A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu sistem mengkoordinasikan, kemampuan untuk
mengadakan perencanaan, kemampuan menggerakkan serta dapat
mengadakan pengawasan. Kepemimpinan merupakan tindakan-tindakan
pemimpin menurut tugas dan fungsi pokoknya. Kepemimpinan juga adalah
seni untuk mempengaruhi tingkah laku orang dan kemampuan untuk
membimbing orang-orang. Berdasarkan pengertian diatas dapatlah
disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan,
pengetahuan dan kelebihan tertentu dari bawahannya. Sehingga dengan
kelebihan itu bawahannya menjadi patuh taat dan percaya dalam rangka
melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan bersama.
B. Syarat-syarat Seorang Pemimpin
Seorang pemimpin harus memiliki syarat-syarat intlek, karakter, rasa
tanggung jawab, kesiapsiagaan yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Intelegensi adalah kemampuan dalam mengobservasi pengetahuand an
kemampuan dan menghadapi situasi baru kemampuan melihat kenyataan
dalam situasi baru. Dengan intelegensi yang tinggi memungkinkan
seorang pemimpin untuk mengambil keputusan secara tepat dan cepat.
2. Karakter adalah sifat-sifat kepribadian yang berhubungan dengan nilai-
nilai karakter meliputi segala pada seseorang yang dilihat dari
pandangan benar tidaknya, baik buruknya. Gelaja ini dilihat dari
kesungguhan kejujuran dan kepercayaan.
3. Kesiapsiagaan adalah selalu awas dan waspada terhadap suatu
kemungkinan yang terjadi dengan memelihara fisik dan memelihara
kesadaran jiwa.
4. Satya adalah kesetiaan. Kesetiaan adalah merupakan kode etik dan
semua dari semua umat Hindu. Hal ini ditegaskan dengan kata-kata
seperti :
a. Satya Hradaya adalah jujur terhadap diri sendiri.
b. Satya Wacana adlah jujur terhadap ucapan/perkataan.
c. Satya Semaya adalah setia kepada janji, harus konsekwen yakni
selalu menepati atau memenuhi segala janji yang pernah diucapkan.
d. Satya Mitra adalah setia terhadap sahabat, walaupun sudah
mendapatkan kedudukan yang baik.
e. Satya Laksana adalah jujur dalam perbuatan (tidak pernah berbuat
curang).
D. Sifat-sifat Kepemimpinan
Pada umumnya seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :
1. Integritas ialah berpaduan keteguhan watak, sehat dalam prinsip-prinsip
moral mengutamakan kebenaran lurus hati dan perasaan halus
mengenai tata susila keadilan dan kebenaran.
2. Pengetahuan ialah ingin memperdalam pengetahuan dalam segala
bidang dengan cara rajin membaca buku latihan berpikir secara serius.
3. Keberanian ialah memiliki sifat ksatria. Seorang pemimpin harus
mempunyai keberanian fisik dan moral yang dapat dikembangkan
dengan cara selalu merasa tanggung.
4. Inisiatif ialah kemampuan berbuat walaupun tidak ada perintah dan
memberikan saran-saran guna kemajuan dan tercapainya suatu tujuan
dengan baik. Inisiatif itu dapat dikembangkan dengan cara
menumbuhkan keberanian bekerja seacra berencana.
5. Kecakapan mengambil keputusan ialah mengambil tindakan bila
diperlukan.
6. Kebijaksanaan, adalah kekuatan berpikir atau menganalisa suatu
masalah kemudian mempertimbangkan, sehingga dapat mengambil
suatu keputusan yang sehat.
7. Keadilan, ialah memberikan keputusan secara adil, tidak memihak
salah satu dan konsekuwen dalam keputusan.
8. Dapat dipercaya, adalah kesanggupan menjalankan tugas dan
kewajiban tanpa pengawasan, karena memberi tugas itu telah yakin
kepada yang diberi tugas akan mampu dan sanggup mengerjakan
kewajiban dengan baik dan jujur.
9. Sikap, adalah segala tindakan, perbuatan dan perkataan yang
menunjukkan kepribadian yang luhur.
10. Tahan menderita, ialah memiliki daya tahan jasmaniah dan rohaniah
dengan kesanggupan menahan letih, tahan menghadapi kesukaan dan
penderitaan serta selalu ulet dalam segala usaha.
11. Kegembiraan, yaitu menunjukkan perhatian yang tulus ikhlas dalam
melaksanakan segala kewajiban.
12. Tidak mementingkan diri sendiri, yaitu menjauhkan diri dari keinginan
mendapat suatu yang menyenangkan diri sendiri atau keuntungan diri
sendiri dengan merugikan orang lain.
13. Loyalitas, ialah kualitas kesetiaan seseorang terhadap negara bangsa
dan terhadap atasan atau bawahan.
14. Mampu untuk mempertimbangkan, adalah kemampuan atau, kualitas
seseorang, tentang memperhatikan fakta-fakta atau kenyataan-
kenyataan yang ada kemungkinan pembenahan persoalannya dan
mewujudkannya dalam bentuk keputusan yang sehat.
Artinya :
Kalau Dewa Bulan adalah memberikan kegembiraan, hendaknya
tingkah lakumu kelihatan lemah lembut. Semua orang tua yang
cerdik pandai hendaknya engkau jamu dengan selayaknya.
e. Bayu Brata
Seorang pemimpin harus dapat mengetahui segala hal ihwal dan
pikiran anak buahnya. Bayu menunjukkan pendirian yang teguh
tidak dapat mengembalikan semangat kerja jika diketahui anak
buahnya mengalami krisis mental
f. Dhana/Kuwera Brata
Adalah dewa kekayaan. Ajaran yang dalam Kuwera Brata ini adalah
seorang pemimpin itu harus berpakaian rapi. Sebelum mengatur
orang lain, pemimpin hendaknya dapat mengatur diri sendiri
terlebih dahulu.
g. Paca Brata
Pada adalah Dewa Baruna yang memiliki senjata Nagapasa.
Kesakitan seorang pemimpin adalah ilmu pengetahuan yang luas
untuk membimbing anak buahnya, seorang pemimpin harus
bijaksana. Seorang pemimpin hendaknya dapat mendengarkan dan
memperhatikan pendapat anak buahnya seingga mendorong
kegairahan kerja karena sesuai dengan hati nurani bawahannya.
h. Agni Brata
Dalam Agni Brata terdapat ajaran yang mengatakan bahwa dalam
menghadapi kesukaran hendaknya diatasi dengan sebaik-baiknya
sampai tuntas. Seorang pemimpin harus mempunyai semangat anak
buahnya yang diarahkan melaksanakan tugas. Secara keseluruhan
dikatakan bahwa Asta Brata memuat faktor-faktor hubungan antar
manusia yang sesuai dengan prinsip demokrasi Pancasila oleh
karena itu dapat kita terapkan dewasa ini dalam bidang
kepemimpinan karen bagaimanapun juga kita sebagai ahli waris
daripada kebesaran umat Hindu jaman dahulu sudah selayaknya kita
mengetahui tentang tehnik-tehnik kepemimpinan yang tidak
mengenal diri kita sendiri.
a. Sama
Seorang pemimpin harus bertindak dan berbuat sama terhadap anak
buahnya atau anak didiknya setiap orang mempunyai kesempatan
yang sama untuk maju dan berkembang. Seorang pemimpin tidak
boleh pilih kasih ia harus memandang pengikutnya secara adil dan
menyeluruh sesuai dengan dharma buktinya. Jasa dan nama baik
harus dituntut dengan cepat jangan ditangguhkan. Jasa orang
membikin telaga sama dengan membikin sebuah sumur. Jasa orang
yang membikin seratus buah telaga sama dengan orang yang
melaksanakan tugas dengan baik. Ini semua dengan seorang yang
mempunyai putra yang baik sebagai alat untuk mencapai sorga loka.
b. Beda
Pemimpin harus dapat menilai anak buahnya dengan mencurahkan
perhatian yang tidak berbeda-beda. Bagi mereka yang rajin dan
tekun diberikan penghargaan yang lebih besar dibandingkan denga
mereka yang malas. Pemimpin harus menunjukkan keadilan
walaupun dalam hal ini harus dibedakan antara yang rajin dengan
yang malas. Setiap bawahannya hendaknya dapat menerima apa
yang menjadi haknya. Sendi keadilan itu bersumber pada ajaran
karma phala yang mengatakan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan phala sesuai dengan karmanya. Pemimpin harus dapat
membedakan antara hubungan dinas dan hubungan pribadi.
Pemimpin harus membedakan mana hal yang penting yang perlu
segera dikerjakan dan mana yang dapat ditanggungkan dan
pemimpin harus ambeg paramarta (tidak mementingkan diri
sendiri).
c. Dhana
Pemimpin hendaknya senantiasa rela mengeluarkan tenaga untuk
menolong orang yang benar-benar memerlukan pertolongan
demikian pula terhadap anak buahnya senantiasa dapat memberikan
bantuannya apabila bawahannya mengalami kesukaran sesuai
dengan kemampuannya dan fasilitas yang ada.
Bagaikan air yang menggenangi pohon tebu tidak hanya pohon tebu
itu saja tergenangi oleh air, tetapi juga rumput-rumputnya, pohon-
pohon kecil lainnya, serta segala yang dekat kepada tebu itu turut
mendapat Genangan. Demikianlah orang yang melaksanakan
dharma turut bawahannya mendapat kebahagiaan sesuai dengan
kewajiban. Ajaran ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak
hanya memikirkan nasibnya sendiri, melainkan harus pula
memikirkan nasib anak buahnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya
terhadap ketaatan bawahannya itu sendiri, karenanya harus
diperhatikan oleh seorang pemimpin.
d. Denda
Seorang pemimpin harus berani bertindak tegas yaitu berani
memberikan sangsi kepada setiap bawahan yang melanggar
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pemimpin harus dapat
menegakkan disiplin kerja kepada para pengikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
3. Bajrayasa, BA. I Gede dan Arisudhana, BA. Ida Bagus. Acara III.
9. Sadia, BA. Wayan dan Gede Pudja, MA. SH. 1992. Rg. Weda, Proyek
Pengembangan Kitab Suci Hindu Departemen Agama Republik
Indonesia.
13. Pasek. Kt, dan Ketut Wiana, Niti Sastra, Proyek Pembinaan Mutu
Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama Republik
Indonesia.
14. Pudja, MA. SH. 1985. Pengantar Agama Hindu, Mayasari Jakarta.