Anda di halaman 1dari 136

1

AGAMA HINDU :
SEJARAH, SUMBER DAN RUANG LINGKUP

I KETUT NYANADEVA NATIH


NYOMAN METTA N. NATIH

UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA


2016
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................


INTRODOKSI ...........................................
BAB I KARAKTER AGAMA HINDU 1
1.1 Istilah Hindu .. 1
1.2 Karakter agama Hindu 1
1.3 Istadevata dan adikara . 4

BAB II PERKEMBANGAN AGAMA HINDU. 9


2.1 Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India . 9
2.2 Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia .26

BAB III KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU 39


3.1 Konsep Ketuhan Menurut Veda 39
3.2 Agama Veda-Upanisad: Konsep Ketuhanan (Atman-Brahman 40
3.3 Kedudukan Para Dewa .. 45
3.4 Aspek Immanen dan Transendental Tuhan ... 50
3.5 Iswara dan Penciptaan ..52

BAB IV SUMBER DAN RUANG LINGKUP AGAMA HINDU ..57


4.1 Pengantar 57
4.2 Sumber Agama Hindu 58
4.3 Ruang Lingkup Agama Hindu 70

BAB V SIMBOL DALAM AGAMA HINDU 79


5.1 Pengantar 79
5.2 Makna dan Hakikat Simbol dalam Agama Hindu 79
5.3 Beberapa Contoh Simbol dalam Agama Hindu 81
3

BAB VI FILSAFAT HINDU: SISTEM DAN PERKEMBANGANNYA 84


6.1 Umur Veda . 84
6.2 Kedudukan Veda bagi Umat Hindu 85
6.3 Pembagian Kesusastraan Veda 86
6.4 Kitab-kitab Samhita 87
6.5 Kitab-kitab Brahmana 88
6.6 Kitab-kitab Aranyaka . 88

BAB VII SISTEM KALENDER DAN TAHUN HINDU DI INDIA 94


7.1 Kalender 94
7.2 Tahun Hindu di India 97

BAB VIII HARI RAYA SUCI AGAMA HINDU 101


8.0 Pendahuluan 101
8.1 Hari Raya Siwaratri . 102
8.2 Hari Raya Nyepi . 107
8.3 Hari Raya Galungan dan Kuningan 130
4

KATA PENGANTAR

Nasakah-naskah yang dihimpun menjadi satu buku ini, pada mulanya


merupakan naskah-naskah ceramah dan seminar agama Hindu yang kami berikan
di beberapa tempat, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta. Naskah-naskah
tersebut telah berulang-ulang diperbaiki dan diketik ulang disesuaikan dengan
bentuk himpunan yang saling berhubungan sampai dengan yang terakhir ini.
Materi naskah-naskah ini sekaligus kami pakai landasan dasar
penanaman kehinduan di kalangan mahasiswa kami, baik di Universitas Indonesia
maupun di beberapa universitas lainnya di Jakarta, tempat kami mengajar agama
Hindu. Misalnya di Universitas Indonesia, kami mengajar agama Hindu dan
Buddha sejak tahun 1967. Semenjak itu, kami berusaha mencari-cari bahan untuk
dijadikan dasar utama pengertian dan pemahaman agama Hindu (dan Buddha)
yang universal. Hal itu kami cari karena memang karakter kedua agama ini sangat
universal sehingga sangat bervariasi pelaksanaannya di seluruh dunia. Bahkan di
Indonesia saja pelaksanaannya sangat bervariasi.
Munculnya beraneka ragam variasi tersebut tidak saja disebabkan oleh
beraneka ragamnya suku-suku bangsa Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh
lokasi mereka. Umat Hindu (dan Buddha) tinggal begitu tersebar di seluruh pulau
dan kepulauan Indonesia. Keadaan itu mempengaruhi terhadap penyiapan dan
pemakaian sarana, lokasi, waktu dan sebagainya (desa, kala, dan patra) dalam
melaksanakan ritual atau upacara-upacara keagamaan.
Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai lembaga umat Hindu telah
berusaha membuat pokok-pokok dasar yang dianjurkan dipergunakan sebagai
pedoman dasar. Hal itu ditempuh untuk menghindari hambatan dan kendala yang
mungkin muncul di kalangan umat pada saat-saat melaksanakan kegiatan-
kegiatan keagamaan. Tentu tidak harus persis seperti di Bali pelaksanaannya
karena alasan seperti yang telah kami kemukakan tadi. Apalagi usaha
5

penyeragaman dalam segala bidang tidak mungkin bisa terjadi. Lagi pula usaha-
usaha kearah itu memang sulit, sukar, dan memang tidak perlu. Kecuali kesia-
siaan saja dipanen.
Oleh karena itulah, kami akhirnya dapat menjelaskan bahwa ada karakter
tertentu agama Hindu (dan Buddha) yang menyebabkan survivel dan
merambahnya Hindu sepanjang masa dan zaman. Sejak 6000SM sampai sekarang
Hindu terus dan tetap hidup berkembang merambah seluruh permukaan bumi
dengan corak, warna, wujud, gaya, dan sebagainya yang bervariasi. Sesuai dengan
nama panggilan aslinya sanatanadharma (agama yang kekal abadi) memang
Hindu tanpa awal dan tanpa akhir. Justru karena itulah Hindu terus dan terus
hidup bertumbuh kembang mengikuti pertumbuhkembangan budaya manusia di
mana pun mereka berada dan bermukim.
Pada kesempatan ini, dengan rendah hati kami mengucapkan
angayubhagya kepada para leluhur, para dewa samudaya, dan Sang Hyang Widi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Begitu juga terima kasih tidak terkira kami
sampaikan kepada Ibu Ketut Geniki yang sangat sabar dan tekun mendampingi
kami sejak 1958; juga kepada semua putra-putri dan menantu serta cucu kami
yang sangat kami kasihi dan sayangi.
Walaupun sekecil apa pun makna dan nilai buku ini di tenagh-tengah
buku-buku Hindu yang telah ada dan yang akan ada di persada Indonesia, kiranya
pada tempatnya kami berdoa dengan harapan semoga buku kecil ini ada
manfaatnya bagi siapa pun yang tekun mendalami Hindu atau pun yang ingin
mengetahui tentang agama Hindu. Untuk kesempurnaannya sangat diharapkan
bantuan semua pihak terutama para pembaca yang budiman dan bijaksana.
Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

Jakarta, Agustus 2016


1

BAB I
KARAKTER AGAMA HINDU

1.1 Istilah Hindu


Nama hindu sebenarnya tidak asli. Nama ini, diberikan oleh orang-orang
(para imigran) yang datang di India sejak berabad-abad yang lalu. Mereka datang
di India melalui celah-celah (pass) Kayber, di barat daya (north-western)
pegunungan Himalaya. Kata hindu hanya berarti: orang-orang yang mendiami
lembah Sungai Indus (Indus valley). Kemudian, keyakinan (faith, sraddha) yang
dianut oleh mereka itu dikenal sebagai Hinduisme (agama Hindu).
Sebenarnya istilah ekspresi yang biasanya dipakai dalam kitab suci di
India untuk Hinduisme, adalah vaidikadharma dan sanatanadharma, yang berarti:
agama atau Veda-veda dan agama yang kekal abadi (faith ethernal). Kitab suci
Veda berisi sumber otoritas untuk ajaran Hindu, yang kemudian dalam sejarah
perkembangannya menerima tambahan-tambahan dan interpretasi dalam literatur-
literatur agama yang ditulis baik dalam bahasa Sanskerta, maupun dalam bahasa-
bahasa lainnya. Kebenaran Veda ini, adalah kekal abadi, karena berisi ajaran-
ajaran realitas spiritual (spiritual reality).

1.2 Karakter Agama Hindu

Sesungguhnya setiap agama mempunyai karakter, sifat atau ciri. Karakter


itulah yang merupakan pola dasar proses perkembangan agama tersebut dalam
perjalanan sejarah penyebarannya ke seluruh penjuru dunia. Karakter tersebut
menjadi ciri khas sebuah agama, dan sekaligus menjadi barometer pembanding
antar agama di kawasan dunia ini.
Agama Hindu, sebagai agama besar dan paling tua di dunia, juga
mempunyai karakter tersendiri. Karakter itulah yang menyebabkan agama Hindu
memungkinkan dirinya mengalami variasi dalam proses perjalanan sejarah
panjang yang pernah dilaluinya sepanjang zaman (sejak 6000 BC). Adalah suatu
2

kenyataan bahwa tersebarnya keberadaan agama Hindu di seluruh dunia sangat


beraneka ragam, jadi sangat bervariasi. Tidak ada keseragamannya dalam segala
bidang apa pun. Keseluruhan pelaksanaan kegiatannya diwarnai oleh
keaneragaman budaya penganutnya di mana pun agama tersebut dianut. Keadaan
seperti itu sangat mengundang pertanyaan mengapakah demikian?. Misalnya
hari suci atau hari raya Hindu yang dirayakan umatnya tidak sama di permukaan
bumi ini. Segabai contoh, umat Hindu di India (bahkan umat Hindu keturunan
India di mana pun mereka bermukim), merayakan hari raya seperti : Dipavali,
Durgapuja atau Navaratri, Holi, Tahun Baru Telugu, Vasanta Pancami.
Sedangkan di Indonesia umat Hindu merayakan hari raya atau hari suci seperti :
Sivaratri, Nyepi, Pagerwesi, Galungan Kuningan, dan Saraswati. Hari raya
Sivaratri dan Nyepi dirayakan setahun sekali, sedangkan hari raya Pagerwesi dan
lain-lainnya itu dirayakan setiap 210 hari. Begitu juga aspek yang lainnya juga
sangat bervariasi. Mengapakah begitu?

1.2.1 Landasan pijakan agama Hindu

Sesungguhnya, hal yang menyebabkan para peneliti yang mempelajari


agama Hindu, sangat terpesona terhadap tradisi Hindu, adalah
keanekaragamannya. Dalam perjalanan perkembangan sejarah kehidupan agama
Hindu, - yang usianya telah mencapai ribuan tahun ( a.l.: menurut Tilak yang
menggunakan cara astronomi Rg Veda, veda yang tertua, dikomposisi sejak tahun
6000 SM), - kemudian lahir dan berkembang banyak sekte agama, dan aliran
filsafat yang muncul dari agama Hindu.

Kita akan menemukan berbagai macam ajaran, praktek agama, dan


beraneka ragam cara dan jenis pemujaan yang dilaksanakan oleh para
penganutnya di mana pun agama Hindu itu hidup dan berkembang.
Keanekaragaman seperti itulah yang sangat mempesonakan para cendekiawan
yang mempelajari agama Hindu. Oleh karena itu, timbullah pertanyaan di hati
3

mereka, bahkan di hati kita juga, "Mengapakah demikian? Tidakkah bisa


diseragamkan?"
Sebenarnya pasti ada 'sesuatu' di dalam agama Hindu (Hinduism) yang
menyebabkan agama Hindu bisa tetap hidup mengikuti irama zaman yang
dilaluinya, sejak 6000 SM sampai dengan sekarang, bahkan dengan masa yang
akan datang. Berbeda halnya dengan agama-agama kuno yang pernah hidup dan
berkembang di dunia ini yang bersamaan dengan agama Hindu saat itu. Misalnya:
agama Yunani Kuno, Mesir, Mesopotamya, Babylonia, Asyria dan lain-lainnya.
Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa agama-agama kuno itu kemudian
satu per satu berguguran di muka bumi ini. Jadi, agama Hindu sudah sempat
menyaksikan gugurnya agama-agama kuno yang pernah hidup sejaman
dengannya seperti: agama Mesopotamya, Babylonia, Syria, Persia, Mesir, dan
Yunani Kuno itu.
Adapun agama-agama kuno itu satu per satu berguguran di muka bumi
akibat karakternya tidak bisa mengikuti irama perubahan dan perkembangan yang
terjadi di alam ini. Berbeda halnya dengan agama Hindu. Agama Hindu
kendatipun usianya sangat tua (80 abad), namun masih tetap hidup subur dan jaya
dipermukaan bumi ini. Apakah yang menyebabkannya?
Adalah sangat menarik, seandainya kini kita melihat di sekeliling kita,
agama-agama yang seumur dan sezaman dengan agama Hindu, seperti tersebut
tadi. Jika kita pergi ke Itali dan Yunani misalnya, maka kita akan bertanya dalam
hati kita, "Di manakah agama dan peradaban Roma dan Yunani kuno? Apakah
kita dapat melihat agama kuno itu di Yunani dan Italia sekarang?"
Berbeda halnya jika seandainya kita pergi ke India --(yang juga dapat kita
temukan di Bali sampai sekarang) - ternyata agama dan budaya India kuno masih
tetap hidup sampai saat sekarang. Walaupun di sana-sini kita menemukan adanya
perubahan-perubahan, perkembangan, bahkan penyim pangan-penyimpangan,
namun pada dasarnya masih tertanam subur 'harta karun' spiritual yang
berlimpah-limpah. Tidak seperti di Yunani dan Italia. Mengapa demikian
keadaannya? Pertanyaan ini dari tadi muncul namun belum juga bertemu
jawabannya.
4

Sesungguhnya jawabannya sangat sederhana, yakni : bahwa salah satu


penyebab, mengapa agama Hindu masih tetap hidup berkembang dari zaman
6000 BC sampai sekarang, bahkan sampai masa-masa yang akan datang, adalah
karena dasar atau landasan berpijak agama Hindu tidak berada pada material
lines, tetapi pada spiritual lines. Jadi, landasan pijakan di atas spritual lines
itulah yang menjadikan agama Hindu tetap hidup subur sepanjang masa. Dengan
landasan itu, agama Hindu mampu menyesuaikan dirinya dengan irama
perkembangan dan perubahan alam semesta ini. Itu berarti, bahwa di belahan
bumi mana saja agama Hindu hidup, agama tersebut akan mampu hidup
berkembang subur menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Landasan
spirirtual lines itu , sebagai tempat berpijak agama Hindu, sangat universal, sangat
umum; bahkan dari landasan pijakan yang universal itulah muncul karakter
agama Hindu yang juga sangat umum.

1.3 Istadewata dan adhikara


Pada dasarnya, agama Hindu memiliki dua macam karakter: pertama,
ajaran mengenai konsep bentuk Tuhan yang dapat dipilih (ista devata), dan
kedua, ajaran tentang spiritual yang juga bisa dipilih (adhikara).

Pertama, dari ajaran dasar istadevata ini, ialah kebebasan yang diberikan
oleh agama Hindu kepada para pemeluknya, umat Hindu, untuk memilih bentuk
Tuhan, -- yang telah diterangkan dalam kitab-kitab suci, personal God atau
impersonal God,-- yang ingin mereka puja, sesuai dengan kesenangan dan
kemantapan hati nuraninya ( atmanastusthi, atau atmatusthi) Di sini juga ada
keunikan, sehingga Max Muller, --yang banyak menyelidiki Hinduisme pada abad
ke-19-- sangat terpesona terhadap bentuk-bentuk pemujaan dewa-dewa dalam
agama Hindu atau Hinduism. Menurut Max Muller, bahwa Hinduisme bukan
agama polytheisme.
Jika seandainya di dalam agama Hindu (Hinduism), terdapat seseorang
yang telah memilih satu Dewa tertentu untuk dipuja, sesuai dengan apa yang
tercantum di dalam kitab sucinya, maka dewa-dewa yang lainnya secara otomatis
5

menjadi "sub atau bagian" Dewa yang dipuja. Kedudukan para dewa lainnya
langsung berada di bawah kedudukan Dewa yang dipujanya. Jadi, bentuk
pemujaan seperti ini, sangat berlainan dengan bentuk polytheisme, yakni
kedudukan antara dewa yang dipuja dengan para dewa lainnya masih sejajar dan
sama, bahkan masih ada kompetisi kekuatan di antara para dewa tersebut.
Sehubungan dengan itu Max Muller kemudian menyebut agama Hindu
(Hinduism) sebagai agama Henotheism. Tetapi, menurut pandangan saya, istilah
"isme" di dalam studi agama-agama, sesungguhnya hanya dapat dipergunakan
oleh para sarjana Barat. Hal itu disebabkan, karena istilah "isme" ini sulit
diterapkan pada agama Hindu, karena sifat keunikan agama Hindu itu
sendiri.Seandainya kita menerima bentuk henotheism Max Muller, maka hal itu
juga dijadikan bahan argumentasi,- maka sekelompok indolog lainnya, seperti
Prof. Murti, -- yang mengatakan bahwa agama Hindu (Hinduism) adalah
pantheism ( semua reality adalah divine ).
Kedua, ajaran adhikara, memberikan kebebasan kepada penganut agama
Hindu untuk memilih disiplin, tatasusila dan tatacara yang sesuai dengan budaya,
kemampuan dan kesenangan serta kemantapan hati nuraninya (atmatusthi) . Jadi,
bagaimana caranya melaksanakan pemujaan dan dengan sarana apa saja yang
dipakai untuk pemujaan itu, adalah terserah kepada atmanastusthi mereka.
Kemudian dalam perkembangannya di daerah-daerah tertentu (misalnya di
Bali/Indonesia) disebut: desa, kala, dan patra atau tempat, waktu dan keadaan.
Menurut pandangan saya, kedua konsep ini muncul dari pandangan umat
Hindu, bahwa kitab suci Veda itu bersifat apaurushya (tidak dibuat oleh manusia),
dan nitya (kekal abadi). Kita dapati Veda itu melalui revalations atau sruti
(wahyu) yang diterima oleh para Maharesi Namun, oleh karena keadaan kita
yang masih belum sempurna (belum jivanmukti) inilah yang mengakibatkan
interpretasi kita terhadap Veda belum sempurna. Hal itulah yang membuat
agama Hindu (Hinduism) terdiri dari berbagai aliran filsafat, bahkan berbagai
aliran sekte dan agama, yang mampu hidup bertahan sejak zaman India kuno
Sampai-sampai bentuk pemujaan animistic dapat kita temukan bersamaan dengan
bentuk monotheistic dan monistic yang sangat tinggi. Agama Hindu berpendirian,
6

bahwa setiap bentuk pemujaan dianggap sebagai satu langkah maju yang sangat
berguna untuk menuju keadaan yang lebih tinggi.
Bahkan, setiap bentuk pemujaan itu dipandang dengan toleran dan
pengertian yang sangat mendalam. Agama Hindu tidak memaksa akan adanya
keseragaman bentuk pikiran dan cara berpikir serta dalam praktek. Agama Hindu
menyadari, bahwa setiap manusia memiliki pikiran, ucapan dan tindakan yang
beraneka ragam, bahkan menyadari bahwa setiap manusia berada pada tingkat
perkembangan spiritual yang berbeda.Sehubungan dengan itu, Mahatma Gandhi
mengatakan (Journal Young India, 8-4-1926) bahwa, " Hinduism adalah sebuah
organisme hidup, yang dapat berkembang dan juga mati, dan merupakan subjek
hukum Nature (Tuhan). Akarnya begitu besar dan kuat, yang sudah tumbuh pada
pohon yang besar, dengan cabang dan ranting yang tidak terhitung jumlahnya.
Perubahan musim mempengaruhinya: dia mempunyai musim gugur, musim
panas, musim dingin, dan musim bunga".
Dengan kata lain, Max Muller mengatakan, bahwa agama Hindu
mempunyai kamar untuk setiap agama , dan agama Hindu merangkul mereka
dengan toleran. Begitu juga, Dr. K. M. Sen mengatakan, bahwa definisi agama
Hindu (Hinduism) menghadirkan kesulitan lain. Agama Hindu (Hinduism) lebih
menyerupai sebatang pohon, yang tumbuh perlahan-lahan, daripada sebuah
bangunan megah yang dibangun oleh arsitek besar, pada saat tertentu dan dalam
satu waktu tertentu pula Lain daripada itu, agama Hindu tidak menekankan faith-
nya (keyakinannya) kepada seorang resi atau nabi. Hal itu dikarenakan bahwa
menurut agama Hindu, jalan menuju Tuhan sangat luas pada vision yang terus-
menerus dan experience pada Tuhan yang tanpa henti-hentinya. Tuhan ada tanpa
awal dan akhir.
Sehubungan dengan itu, Savepalli Radhakrisnam menulis ("The Hindu
View of Live, Macmillan, New York, 1973, hlm.55), " Hinduism lebih merupakan
suatu cara hidup daripada suatu bentuk pemikiran. Ketika dia memberikan
kebebasan mutlak dalam dunia pemikiran, agama Hindu menekankan satu etika
dan disiplin". Seterusnya dia melanjutkan, bahwa agama Hindu tidak
7

menekankan pada bidang kecocokan interpretasi agama, tetapi pada satu


spiritual dan ethika dalam kehidupan.
Jadi, terlihat agama Hindu (Hinduism) terdiri atas banyak sekte dan
ideologi. Namun, semua sekte itu dianggap sebagai interpretasi yang berbeda atas
satu Reality yang sama, serta sekte-sekte itu pada hakikatnya adalah cara yang
bebeda untuk mencapai goal atau tujuan yang sama Dengan kata lain, bahwa
keanekaragaman itu bukan bentuk akhir (final) agama Hindu (Hinduism), tetapi
semua bentuk atau sekte itu adalah laksana untaian sebuah persatuan dan
kesatuan. Kesatuan (unity) itu dapat kita temukan dalam nilai-nilai dan tujuan
(goal) terakhir yaitu moksa, serta beberapa konsep filsafat mereka yang sama,
misalnya: karma, samsara, dan sebainya, yang dianut oleh semua aliran dan
sekte yang beraneka ragam itu.
Jadi, walaupun beraneka ragam tetapi tujuannya sama Contoh berikut ini
semua akan menjelaskan, mengapa konsep filsafat yang kelihatannya bertolak
belakang, seperti monism-nya (hanya Tuhan yang real) Sankara, dan dualism-nya
"kapan hamba akan dapat menyembah kaki-Mu) aliran Bhakti, tidak
menimbulkan konflik kekerasan. Sumber kesatuan (unity) lainnya yang dalam
bahasa filsafatnya disebut caritra, conduct atau charackter (perilaku atau
karakter). Sudah juga adanya persetujuan tentang kode-kode etika dan nilai-nilai
atas perilaku.
Oleh sebab itu, untuk menerangkan prinsip-prinsip agama Hindu
(Hinduism) kepada orang yang belum familiar dengan agama Hindu, merupakan
usaha yang sulit dan tidak mudah. Salah satu penyebabnya, adalah banyaknya
istilah dalam agama Hindu (Hinduism), yang sulit dicarikan sinonimnya dalam
bahasa Eropa/Indonesia. Hampir semua penulis tentang agama Hindu (Hinduism),
dengan terpaksa harus menunjukkan bahwa dharma dan agama itu tidak sama,
mandira itu bukan 'gereja' Hindu, jati yang telah diterjemahkan menjadi 'kasta'
pun tidak begitu mantap (sreg) bagi penulis-penulis agama Hindu (Hinduism).
Satu kata, begitu penting bagi filsafat Hindu, misalnya kata sadhana tidak ada
persamaannya dalam bahasa Inggris. Dengan karakter istadevata dan adikara
tersebut, agama Hindu merangkul semua tradisi dan budaya penganutnya
8

setempat. Hal itu yang menimbulkan keanekaragaman bentuk dan cara


pelaksanaan upacara keagamaan di seluruh dunia. Bahkan di dalam Manawa
Dharmasastra atau Manusmrti dicantumkan bahwa sumber hukum agama Hindu
ada lima : Vedasruti, Vedasmrti, sila, acara, dan atmatusthi, yang diserap di
Indonesia menjadi tiga : desa, kala dan patra.

.
9

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA HINDU

2.1 Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India

Beberapa sarjana indolog sepakat membagi sejarah agama Hindu di India


menjadi lima periode, yaitu sbb.:
2.1.1 Periode Veda, dari tahun yang belum bisa dipastikan, 6000 SM
sampai tahun 600 SM
2.1.2 Periode Itihasa (Wiracarita), 600 SM - 200 M
2.1.3 Periode Sutra dan perkembangan sistematik filsafat Hindu, yang
mulai dari awal tahun Masehi
2.1.4 Periode Scholastic, tahun 1200 M - abad ke- 19 M
2.1.5 Periode Modern, berawal dari abad 19 M

2.1.1 Periode Veda / Mantra ( 6000 SM -- 600 SM)

Periode Vedic, mewakili zaman kedatangan bangsa Aryan ke India, dan


setelah menetap di daerah baru tersebut, secara perlahan-lahan mereka
mengembangkan kebudayaan dan peradabannya. Hasil kesusasteraan yang
terpenting pada zaman itu, ada tiga macam yang kemudian dikomposisikan sbb.:
1) Mantra samhita: (a) Rg Veda samhita, (b) Yajur Veda Samhita, (c)
Sama Veda Samhita, dan (d) Athtarva Veda Samhita.
2) Brahmana
3) Aranyaka dan Upanisad
10

2.1.1.1 Mantra Samhita

Kitab samhita terdiri dari empat Veda: Reg, Yajur, Sama dan Atharva
Veda SamhitaKitab Rig Veda terdiri dari 10 buku (mandala), dan 1028 hymne
(termasuk 11 suplementacy), dan 10.552 stanza (sloka). Kitab Yajur Veda
Samhita, terbagi atas 40 bab, dan 1975 stanza (sloka) dan unit-unit prosa. Kitab
Samaveda Samhita, terdiri atas 1875 stanza (sloka), dan dibagi atas dua bagian.
Terakhir kitab Atharva Veda Samhita, terbagi atas 20 buku: terdiri dari 730
hymne, 5987 stanza dan unit-unit prosa.
Dari empat samhita (himpunan) itu, yang paling tua usianya ialah Reg
Veda Samhita. .Di dalam Yajur Veda Samhita, yang berisi koleksi hymne, hampir
semua verse diambil dari Reg Veda Samhita (kecuali 75 verse/sloka), dan hymne-
hymne ini diatur atas beberapa nada atau lagu (chanda) khusus.
Sedangkan Atharva Veda Samhita, yang berisi hymne-hymne dan
magical formula, tidak saja berbeda dengan Reg Veda Samhita, tetapi juga
mewakili satu tingkatan pikiran yang lebih primitif (Macdonald, Religion and
Philosophy of Veda, hlm.31).

2.1.1.2 Brahmana

Kitab Brahmana adalah kitab yang ditulis dalam bentuk prosa, untuk
menerangkan arti suci berbagai upacara yang berbeda. Menurut Macdonald (Ibid.,
hlm: 31), dikatakan bahwa kitab-kitab Brahmana mewakili aktivitas intelektual
suatu zaman yang semua aktivitas dipusatkan pada upacara.
Sehubungan dengan itu, Prof. S. N. Dagsupta (History of Indian
Philosophy, Vo.1, hlm: 13) mengatakan, bahwa spekulasi pikiran yang bebas
adalah pembantu (subordinated) upacara, dan hasilnya merupakan satu produksi
suatu upacara yang sangat mengherankan sistem simbolik.
11

2.1.1.3 Aranyaka dan Upanisad

Kitab-kitab Aranyaka, adalah kitab 'hutan' yang mewakili satu


pemindahan perfomance upacara ke satu meditasi, dan dari simbol tertentu.Dalam
hal ini, Dasgupta menyarankan, karena upacara-upacara yang rumit tidak bisa
dilaksanakan di dalam hutan, yang disebabkan karena kurangnya bahan-bahan
yang diperlukan untuk upacara-upacara tersebut, maka kitab-kitab Aranyaka
digubah/disusun oleh para wanaprasthin (mereka yang mengundurkan diri dari
masyarakat lalu pergi ke hutan), dan lebih memusatkan dirinya pada meditasi,
ketimbang pada upacara (Ibid). Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa unsur-
unsur filsafat yang terdapat dalam samhita-samhita, membentuk satu jembatan
antara upacara kitab-kitab Brahmana dan filsafat kitab-kitab Upanisad.
Kitab-kitab Upanisad, adalah ajaran rahasia yang merupakan bagian
Aranyaka, dan berisi dasar ajaran-ajaran filsafat India. Upanisad juga disebut
sebagai Vedanta, karena Upanisad timbul dari akhir Veda. Jumlah Upanisad yang
ada, sekitar 200 buah, namun Muktika Upanisad menyebutkan hanya 108 buah
Upanisad. Di antaranya yang sangat penting antara lain: Isa Upanisad Kena
Upanisad, Katha Upanisad, Prasna Upanisad, Mundaka Upanisad, Mandukya
Upanisad, Taitriya Upanisad, Chandogya Upanisad, Brhadaranyaka Upanisad,
Kausitaki Upanisad, Mahanarayana Upanisad, dan Maitreyi Upanisad.
Veda, termasuk Mantra Samhita, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad,
termasuk golongan Sruti atau revelation. Setiap Samhita ( Rg, Yajur, Sama, dan
Atharva) memiliki Brahmana dan Aranyaka/ Upanisad Bentuk Veda yang
berlainan dengan Sruti, adalah Smrti atau recollection. Smrti, adalah hasil karya
manusia dan mengambil sumber dari Sruti. Smrti, merupakan tafsir terhadap
vedasruti.
Periode Smrti, secara kasar berkisar dari tahun 600 SM sampai tahun 1200
M, semenjak beberapa Purana (yang juga dianggap Smrti) mulai
dikomposisikan sampai pada abad ke-13 M. Dalam periode Smrti, kita
menemukan perkembangan: Vedangga, Upaveda, Purana, Ithihasa. Di samping
12

itu, dalam periode ini, juga terjadi perkembangan Sutra-sutra sekte bhakti
seperti: Vaisnavism, Saivism, dan Saktism, serta sistem filsafat Hindu.
Vedangga terdiri dari enam bidang: kalpa (ceremonial /upacara), siksa
(phonetic), chanda (prosody / metre, lagu), wyakarana (grammar / tatabahasa),
nirukta (etimology), dan jyotisa (astrology).
Sedangkan Kalpa Sutra, terdiri dari tiga jenis teks: Srauta Sutra,
membahas tentang upacara (sacrificialrites), hya Sutra, membahas upacara
domestik (domestic ceremonies), dan Dharma Sutra membahas sifat-sifat sosial
dan tugas-tugas individu.Karena Kalpa Sutra merupakan bentuk Vedangga, maka
ada tiga macam Kalpasutra yang berbeda, sebagai apendiks Veda yang berbeda
juga. Namun, hanya dalam Yajurveda ketiga teks itu disebutkan. Tidak ada
Dharmasutra yang berasal dari Atharvavedayang masih ada pada saat ini,
walaupun beberapa Dharmasutra milik kitab ini telah disebutkan dalam kitab
Mahabhasya-nya Patanjali.
Vasistha Dharmasutra dikatakan sebagai milik Rg Veda, dan Gautama
Dharmasutra milik Samaveda. Dharmasutra yang lainnya yang juga terkenal
antara lain: Visnu, Yajnavalkya, Baudhayana dan Apastamba adalah milik
Yajurveda
Manusmrti muncul dalam bentuknya sekarang pada zaman jauh sesudah
sutra-sutra tersebut, namun istilah 'manu' sudah dikenal semenjak zaman
dharmasutra. Sedangkan Manusmrti menyebutkan Dharmasutra - dharmasutra
yang lebih tua seperti: Atri, Vasistha, Gautama, dan Saunaka.

2.1.2 Periode Itihasa atau Wiracarita ( 600 SM - 200 M )

Perkembangan itihasa, -Ramayana dan Mahabharata-,termasuk smrti


dari periode tua (600 SM - 200 M). Di dalam kitab itihasa kitab-kitab kuno dan
legenda-legenda, manusia dikisahkan begitu bagus, dan sangat mendalam,
sehingga itihasa (epik) ini merupakan Veda bagi kaum awam, yang boleh
13

disebut 'veda terapan'. Jadi ajaran Upanisad dibawa ke rumah-rumah bagi


kaum awam, dalam satu bentuk yang nyata, yang mudah dimengerti, dihayati,
dan dipahami, karena pengetahuan yang dahulunya bersifat sangat rahasia dan
hanya dimiliki oleh beberapa golongan dapat diketahui oleh kaum awam.
Itihasa atauWiracarita yang sering disebut epik berisi geneologi raja-
raja, kisah-kisah yang berasal dari berbagai sumber dan petunjuk yang berbeda.
Kemungkinan besar, bahwa inti itihasa / wiracarita atau epik-epik itu sudah ada
sebelum epik atau itihasa / wiracarita itu disusun dalam bentuk kitab-kitab yang
seperti sekarang kita ketahui.
Kitab Taitriya Aranyaka menyebutkan kata Vyasa dan Visampayana,
tetapi tidak sebagai penulis. Panini menyebutkan, istilah atau kata mahabharata
tetapi tidak sebagai epik. Beliau juga menyebutkan Vasudeva, Arjuna, dan
Yuddhisthira (kedua yang pertama) sebagai dewa.
Mengenai usia Ramayana, para sarjana umumnya setuju mengatakan.
bahwa itihasa atau epik tersebut lebih tua dari Mahabharata. Bab I dan VIII
dalam Ramayana, dipandang sebagai bab-bab tambahan dari zaman
kesudahannya. Mahabharata dan Ramayana mempunyai bentuk-bentuk versi
yang berbeda menurut daerah. Seperti halnya Mahabharata, Ramayana juga
udah ada sebelum berbentuk sebagai satu komposisi yang populer seperti
sekarang.
Kitab Bhagavadgita membentuk satu bagian dari buku epik
Mahabharata. Bhagavadgita yang berisi 18 bab, yang terdiri atas 720 stanza
(sloka), masih tetap menjadi satu sumber inspirasi untuk perkembangan banyak
aliran filsafat Hindu, dan juga pada pergerakan modern Hinduisme. Beberapa
sarjana berpendapat, bahwa isi Bhagavadgita bersifat allegorical, sedang
beberapa sarjana lainnya menemukan di dalam Bhagavadgita satu dasar filsafat
perbuatan dalam kehidupan. Namun, yang jelas Bhagavadgita telah menjadi
satu sumber dasar aliran Vedanta dan bahkan sampai sekarang tetap menjadi
kitab yang paling bertpengaruh di dalam masyarakat Hindu.
Periode Smrti, termasuk periode disusunnya Purana-purana. Beberapa
sarjana menempatkan abad ke-4 Masehi sebagai tahun tertua pengkomposisian
14

purana. Beberapa Purana bahkan dikomposisi pada abad ke 14 Masehi.


Purana-purana, seperti epik-epik, membahas penciptaan (creation), pralaya,
dan creation kembali, geneologi para dewa, zaman-zaman Manu, dan geneologi
para raja. Hal itu disebut sebagai pancalaksana atau lima karakter purana.
Secara tradisi, ada 18 purana yang dimasukkan sebagai Mahapurana. Beberapa
purana membawa tanda-tanda sektarianism dan dibagi menjadi tiga jenis
menurut sifanya, yaitu: Visnu, Siva, dan Brahma. Dengan demikian purana-
purana itu dibagi menjadi tiga kelompok : Vaisnava purana, Saivapurana,
danSaktapurana.
Periode Smrti juga disamakan dengan karakter perkembangan sekte-
sekte bhakti Vaisnavism dan savism. Visnu dan Siva yang merupakan dewa-
dewa minor dalam vedicliterature kuno, namun kini menjadi sangat penting.
Sekte-sekte bhakti itu menunjukkan bentuk pengaruh keagamaan non-Aryan.
Vaisnavism memasukkan pemujaan kepada Krsna-Vasudewa di dalam
sektenya. Bersamaan dengan itu, kemungkinan besar bahwa bentuk yoni yang
terdapat pada sebuah setempel tanah liat di Harappa adalah bentuk Siwa. Para
sarjana berpendapat bahwa pemujaan lingga pada Saivisme berasal dari unsur
Dravida. Yang jelas, bahwa Siva dan Visnu menjadi sangat penting daan
menonjol setelah peroide Weda (Vedic periode).
Begitu juga konsep tentang Siwa dan Wisnu menjadi kian bertambah
kaya, melalui pengidentitasan-Nya dengaan dewa-dewa Vedic lainnya.
Misalnya, Narayana diidentitaskan dengan Visnu, Rudra dengan Siva. Akhirnya
Vaisnavism dan Sivaism terangkat menjadi sangat penting pada abad ke-7 dan
ke-8 Masehi. Alvar pada Vaisnavism dan Nayanmar pada Saivism memperkaya
tradisinya dengan mistik melalui hymne-hymne atau seloka bhakti
mereka.Kesepuluh Alvar adalah santo, para rahib/resi Vaisnavism yang hidup di
India Selatan. Kata 'mystic Alvar-alvar menunjukkan pengaruh buku suci Weda,
hanya mereka berkiblat atau beracu kepada mythological mysticism purana-
purana.
Para Alvar juga mengkomposisi kitab agama-agama yang menyediakan
tatacara upacara pemujaan kepada Wisnu. Betapa pentingnya kehidupan dan
15

ajaran para Alvar sangat terasa, karena mereka merupakan sumber inspirasi
untuk perkembangan Vasistadvaita bagi Ramanujja dan juga berpengaruh besar
terhadap aliran filsafat itu dibawah pimpinan para filosof (philosopher-
philosopher) pasca /post Ramanuja, terutama Vedanta Desika.
Kitab Nalayiradivya Prabhandam, adalah sebuah kumpulan ucapan-
ucapan para Alvar, yang dianggap sangat suci di daerah-daerah Tamil dan
dianggap sama kedudukannya dengan Weda oleh kaum Vaisnava di daerah
Tamil. Bahkan sampai sekarang verse-verse, sloka-sloka, syair-syair kitab
tersebut selalu dibacakan pada setiap upacara-upacara suci.
Hasil karya yang paling bagus di kalngan Sivaisme adalah hymne-
hymne, puja, sthawa, brahma, mantra, pemujaan kepada 63 Nayanmar. Hymne-
hymne Tamil kepada tiga Nayanmar besar: Appar, Sambandar,dan Sundarar
membentuk Thevaram, kitab pertama dari 12 kitab suci yang disebut Tirumarai
(kitab suci). Tirumarai ke-18 adalah Tiruvacagam salah satu Nayanmar,
Manivavagar. Hasil-hasil karya para Naayanmar itu disebut Dravida sruti, dan
dianggap sangat suci oleh sebagian besar Siavit.
Saiva Siddhanta, adalah salah satu kitab theologi Tamil Sivaism yang
sistematik. Kitab itu berkembang pada awal pertama pertengahan abad ke-13.
Sivajnana Bondham, sebuah kitab Tamil yang ditulis oleh Meykandar,
adalah kitab pertama yang mencoba membuat satu bahasan yang sistematik
tentang Sivaisme. Berikutnya mnncul Sivajnana Siddhiyar yang juga sangat
penting dalam Sivaisme.
Kemudian kitab-kitab itu diikuti oleh 8 kitab yang bersifat mendukung
apa yang ditulis oleh Umapathi Sivacarya. Tamil Sivaisme lebih theistic dalam
pandangan mereka, sedangkan Kashmira Sivaism yang berkembang pada abad
ke-9, mempunyai sifat pandangan yang monistic.
Karya-karya dasar aliran Sivaism Kashmir adalahsbb.:(a)Agama Sastra,
menurut kepercayaan ditulis oleh Vasugupta, berisi 77 Sivasutra, yang
mengajarkan jalan mencapai moksa dan komentar-komentar; (b) Spanda sastra,
menurut tradisi ditulis oleh Kallata,membentuk komentar pendek atas Sivasastra-
sastra; dan (c) Pratyabhijnana sastra, yang dikomposisi oleh Somananda.
16

2.1.3 Periode Sutra dan perkembangan sistem fifsafat Hindu (awal Masehi)

Sistem-sistem filsafat India mulai berkembang pada awal abad-abad


Masehi. Kitab-kitab sistematik berbagai aaliran disuguhkan dalam bentuk yang
berurut dan logika memakai bentuk aphorism yang disebut sutra (syair, sloka).
Kitab-kitab itu dijadikan penuntun yang dipergunakan oleh para pengikut aliran
filsafat tertentu, supaya mereka mampu mempertahankan dan memahami
doktrin-doktrin utama tersebut.
Adapun keenam sistem filsafat yang disajikan dalam bentuk sutra-sutra
itu: (1) Nyaya sutra, (2) Vaisesika sutra, (3) Samkhya sutra, (4) Yoga sutra, (5)
Mimamsa sutra, dan (6) Vedanta sutra. Dari sutra-sutra tersebut, secara
perlahan-lahan muncul aliran filsafat yang kuat, melalui komentar-komentar
yang intensip dan sub-subkomentar. Kemudian dalam perjalanan waktu sejarah
perkembangan yang dilaluinya, keenam sistem yang saling berbeda itu, akhirnya
masing-masing berpasang-pasangan, menjadi tiga pasang: (1) Nyaya-Vaisesika,
(2) Samkhya-Yoga, dan (3) Mimamsa-Vedanta.
Namun, yang perlu disimak dalam pasangan-pasangan tersebut, bahwa
pasangan antara Mimamsa dan Vedanta ternyata tidak begitu erat, tidak begitu
harmonis dan mesra. Berbeda halnya dengan pasangan yang terjadi antara
sistem Nyaya dan Vaisesika dan antara Samkhya dan Yoga.
Hubungan dan percampuran antara kedua pasangan sistem itu (Nyaya-
Vaisesika, dan Samkhya-Yoga), saling memberi dan saling menerima. Misalnya:
(1) Nyaya memberikan sistem logika kepada Vaisesika, dan sebaliknya
Vaisesika memberikan struktur metapfisik kepada Nyaya. (2) Samkhya
menyediakan prinsip-prinsip metafisik kepada Yoga, sebaliknya Yoga
menyediakan delapan jalan yoga (astanggayoga) kepada Samkhya sebagai
praktek untuk mencapai moksa atau nirwana. Sedangkan Vedanta menerima
beberapa kitab-kitab komentar Mimamsa, namun perbedaan dan ketidaksamaan
serta ketidaksetujuan di antara kedua sistem filsafat itu nampak lebih nyata dan
17

menonjol. Dari keenam sistem filsafat tersebut, ternyata karakter aliran Nyaya
yang sangat nyata: dari aliran Nyaya adalah cara uji yang sangat teliti atas satu
objek, sumber dan keberlakuan pengetahuan.

2.1.3.1 Sistem Nyaya

Kitab Nyayasutra yang utama karya Gautama, ditulis sekitar abad ke-3
SM. Ada beberapa komentar kitab itu yang ditulis oleh Vatsyayana pada awal
abad ke-4 M: Udyotkara, pada abad ke-7 dan Udayana pada abad ke-10. Di
samping itu, Nyaya Kusumanjali karya Udayaana, juga merupakan hasil karya
yang penting. Kitab Nyaya Kusumanjali itu menunjukkan bukti-bukti logika
untuk mempertahankan adanya Tuhan di dalam bentuk suguhan sistematik
untuk pertama kalinya.
Aliran Nyaya baru, dikenal sebagai Navya Nyaya, dimulai dengan
Gangesa Upadhyaya karya Mithila pada abad ke-13 Masehi. Agak berbeda
dengan aliran Nyaya yang mengutamakan episthemologi dan methaphisika,
aliran baru itu (Navya Nyaya) mengutamakan epistemologi untuk menguji
keempat pramana: pratiaksa (sense perception), anumana (inference), upamana
(analogy), dan sabda (scriptural testimony). Di samping itu perlu juga
disebutkan tafsir / komentar karya Gangesa Upadhyaya oleh Ragunath Siromani
(tahun 1500 M), Mathura Bhattachaarya (tahun 1580 M), dan Gadadara (tahun
1650 M).

2.1.3.2 Sistem Vaisesika

Sistem Vaisesika mengambil nama dari 'visesa' (particulary) yang


membahas arti particular. Sistem itu mengutamakan pembedaan objek
pengetahuan (padartha), sebagai perbedaan dengan Nyaya yang mengutamakan
analisis jalan / cara pengetahuan (pramana). Yang membentuk dasar aliran
18

Vaisesika sutra, ialah Kanada. Adapun karya-karya aliran Vaisesika yang


terpenting antara lain: Padarthadharma Samgraha karya Prasasta pada abad ke-
4 M, Nyaya Kandali karya Sridhara (abad ke-10 M), dan Apasakara karya
Snkhara Mirsa (abad ke-15 M).

2.1.3.3 Sistem Samkhya

Aliran Samkhya terkenal berkat teorinya tentang evolusi permanen


katagorinya yaitu purusa dan prakrti, yang mempunyai tiga guna(kualitas):
sattva, rajas, dan tamas. Triguna itu berpartisipasi dalaam tingkatan yang
berbeda sebagaai prakrti dibagi menjadi 24 kategori: mahat, buddhi, ahamkara,
manas, lima alat persepsi, lima alat perbuatan, lima sub elemen, dan lima gross
elemen.
Biasanya semua kategori itu diterima oleh aliran filsafat lainnya , bahkan
dipakai dalam sistem aliran mereka. Hasil karya Kapila tentang Samkhya sutra,
sangat utama dalam aliran tersebut. Karya-karya aliran itu yang juga penting
diketahui : Samkhya Karikanya karya Iswara Krisna, Tattwa Kamudhi karya
Vacaspati Mirsa (abad ke-10), Vrti dan vrti Bhasya atas Samkhya sutra karya
Aniruddha (abad ke-15), dan Vijnana Bhiksu (abad ke-16).

2.1.3.4 Siatem filsafat Yoga

Aliran filsafat Yoga dikembangkan oleh Patanjali. Dalam


mengembangkan aliran itu Patanjali dilatarbelakangi oleh aliran Samkhya
Menurut aliran Samkhya, ultimate entities, prakrti dan purusa, berbeda dan
memiliki perbedaan karakter secara total. Prakrti terdiri dari triguna dan
bersifat aktip. Purusa tidak mempunyai triguna dan sifatnya diam.
Samsara terjadi ketika sifat dasar perbedaan itu dilupakan dan dianggap
keduanya sama (identik). Adapun identisasi yang salah itu terjadi tatkala ada
19

perubahan buddhi danpurusa. Sekarang purusa tidak berhasil menyadari bahwa


transformasinya buddhi adalah merupakan bagian prakrti. Kemudian moksa
baru bisa akan dialami, bila keadaan bingung seperti itu telah berakhir. Untuk
menuju pencapaian ke pengalaman moksa itulah yoga menyediakan jalan yang
mengacu kesempurnaan itu. Jalan yang mengacu ke arah kesempurnaan guna
tercapainya moksa tersebut ada delapan tangga atau disiplin. Kedelapan disiplin
yoga itu disebut asthanggayoga: (1) yama, (2) nyama, (3) asana, (4)
pranayama, (5) pratyara, (6) dharana, (7) dhyana, dan (8) samadhi.

2.1.3.5 Sistem filasafat Mimamsa


Masalah yang diutamakan di dalam aliran purva mimamsa adalah
investigasi atas dharma (tugas), sebagai disebutkan di dalam Weda. Aliran
filsafat purvamimamsa menganggap bahwa Weda kekal abadi. Weda bukan
buatan manusia atau apauruseya,namun ciptaan Tuhan.
Weda menjanjikan satu bentuk sangat indah, bahagia di alam yang lain;
menurut mimamsa bentuk nan indah itulah yang disebut moksa. Selanjutnya,
menurut aliran mimamsa, bahwa kehidupan dikontrol oleh satu hukum yaitu
apurva (tenaga tak terlihat) yang berhubungan dengan perbuatan untk
menghasilkan akibat (consequence). Seandainya perbuatan baik dilakukan,
seperti juga disebut di dalam Weda, maaka seseorang akan menikmati buahnya
dan itulah sammum bonum, tujuan akhir seseorang. Jadi, mimamsa menekankan
perbuatan, berbeda dengan samkhya yang menekankan intelektual.
Mimamsa sutra karya Jaimini merupakan kitab mimamsa yang paling
utama, yang ditulis tahun 200 SM. Adapun komentar yang penting atas sutra itu:
Sabara Bashya oleh Prabhakara dan Kumarila. Dari situ timbul dua aliran baru
mimamsa yang tidak sama, keduanya berbeda satu dengan lainnya.
Perbedaannya itu di bidang masalah epistemologi tertentu.
20

2.1.3.6 Sistem Vedanta


Purvamimamsa karya Jaimini sangt erat hubungannya dengan
karmakanda atau bagian Weda yang membahas karma (perbuatan). Sedangkan
Uttaramimamsa karya Badarayana (200 SM) erat hubungannya dengan
jnanakanda, atau bagian keagamaan dan filsfaat Weda terutama Upanisad.
Kedua kitab tersebut sama-sama menggunakan dasar isi Weda secara lengkap.
Kitab Badarayana Sutras juga disebut sebagai Brahmanasutraskarena
membahas doktrin Brahman. Brahma sutras terdiri dari 555 verse / seloka, isinya
mensistematikkan ajaran-ajaran Upanisadic, yang terdiri dari ide-ide yang begitu
tinggi, maaka dirasakan sangat memerlukan banyak komnetar / tafsir.
Perbedaan sistem-sistem Vedanta, Advaita, Visistadvita dan Dvaita, timbul
disebabkan oleh karena adanya perbedaan komentar / tafsir: Sankara, Ramanuja,
dan Madhva atas prasthanatraya, yaitu Upanisad, Brahmasutra dan Bagavadgita.
Sankhara biasanya dikatakan hidup pada abad ke 8 (788 - 820 M),
Kebangkitan kembali filsafat monistik dimulai dalam Mandukya Karika karya
Gaudapada, sebuah komentar /tafsir terhadap Mandukya Upanisad. Ajaran
Gaudapada itu mencapai Sankara melalui Govinda yang merupakan gurunya
Sankara, dan Govinda adalah murid Gaudapada. Ajaran utama filsafaat Advaita
yang diajarkan oleh Sankara, adalah bahwa ultimate dan Absolute Reality
(Tuhan) adalah satu, walaupun nampak berbeda-beda dalam berbagai bentuk.
Kalimat Upanisadic " That Are Thou / Tat twam asi dan jamak (banyak) itu tidak
ada', diartikan oleh aliran itu bahwa ultimate Reality (Tuhan) adalah Tuhan Yang
Maha Esa.
Sankara menulis komentar/ tafsir atas Upanisad, Brahma sutras, dan
Bhagavadgita. Ketiga kitab itu merupakan kitab utama bagi semua aliran
Vedanta. Komentar/tafsir Sankara atas Brahmasutra membangkitkan komentar
lainnya. Anadagiri, seorang pengikut Sankara, menulis satu komentar atas Brah-
masutra Bhasya-nya Sankara yang bernama Nyaya Nirnaya.
Komentar /tafsir penting yang lainnya adalah komentar /tafsir yang ditulis
oleh Vacaspathi Misra (abad ke-10) yang bernama Bhamati. Naiskarmya Siddhi
karya Suresvara (abad 9) adalah komentar /tafsir bebas atas filsafat Sankara.
21

Advaita adalah satu aliran filsafat yang hidup dengan pengikut yang sangat
besar. Ajaran nondual Sankara tidak memberikaan dampat yang saaangat besar
terhadap elemen theistik Hindu. Keinginan untuk membahas elemen theistik
membnagkitkan kembali theisme dalam Hinduisme.
Ramanuja (tahun 1017 M) berusaha untuk menunjukkan satu bahasan
yang sistematik tentang theisme dalam Hinduisme dan aliran filsafat visitadvaita
terbentuk. Doktrin-doktrin Ramanuja berdasarkan atas itihasa/epik (Ramayana
dan Mahabharata), purana-purana, pancaratras dan tulisan-tulisan para Alvar
sebagai tambahan atas Prasthanatraya. Karakter Visistadvaita yang menonjol
adalah konsep atas erality (Tuhan). Sedang menguatkan kesatuan ultimate
dengan Absolute (Tuhan), dia mengizinkan perbedaan melalui metode-
metodenya (prakaras) tanpa menambahkan satu fundamental perbedan di dalam
reality (Tuhan) sendiri.
Visistadvaita menerima tiga tattva yang kekal : matter (acit), jiwa individu
(cit), dan Tuhan (Isvara). Matter dan self (jiwa) sangat bergantung pada Tuhan.
Ketergantungan itu mirip dengan ketergantungan badan atas jiwa. Menurut
aliran itu, matter dan soul membentuk badan Tuhan dan matter-soul itu
didukung oleh Tuhan untuk tujuan-Nya.
Madva yang erat hubungannya dengan aliran Dvaita hidup pada abad ke-
13 dan 14 (1238-1317). Madva menulis 37 kitab di antaranya: Sepuluh
monograf filsafat, Komentari atas sepuluh Upanisad, Komentari atas
Bhagavadgita dan Brahmasutra, Komentari pendek atas tiga bab pertama
Rgveda, Satu epitome atas Mahabharata dalam bentuk verse-verse, dan Catatan
pendek atas Brahmasutra dikenal sebagai Anuvyakyana. Karya itu kemudian
dikomentari oleh Jayatirtha, yang merupakan komentator Madva yang terbaik,
di dalam kitab Tattva Prakasika-nya.
Adapun nama lainnya yang penting juga dalam aliran Dvaita adalah
Vyasaraya (1478 - 1539) yang terkenal atas karya-karyanya: Nyayamrta,
Tarkatandava, dan Tatparya Chandirika. Aliran Dvaita Vedanta menekankan
perbedaan yang absolut antara invidu dan Tuhan. Dalam hal ini juga asal- usul
jiwa individu dan perlunya berkah Tuhan untuk keberhasilan mencapai moksa.
22

Madva percaya atas lima perbedaan antara eternal entities (pancabheda).


Ini adalah perbedaan-perbedaan yang fundamental, yang tidak dapat
dimusnahkan walau sudah dalam keadaan moksa. Tuhaan adalah berbeda
dengan alam semesta. uhan adalah berbeda dengan jiwa-jiwa. Jiwa adalah
berbeda dengan alam semesta. Masing-maasing jiwa berbeda satu dengan yang
lainnya. AAlam semesta terbuaat dari bermacam-macam entity.
Konsep perbedaan total itu mungkin aksi menyerang aliran advaita yang
dianggap 'menyeret Tuhan ke bawah ke level yang sama dengan manusia'
Madhva dengan tegas menekankan bahwa invidu saangat tergantung pada
Tuhan (paratantra), sedangkan Tuhan bebas tidak tergantung (swatantra) atas
jiwa-jiwa. Jadi mereka (jiwa) tidak bisa diidentitaskan atau menyatu kepada
Tuhan.

2.1.4 Periode Scholastic (1200 M - 1800 / abad 18 M)

Periode yang berlangsung dari abad ke-13 sampai akhir ad ke-18,


menjadi periode perkembangan semua aliran filsafat India dengan komentar dan
subkomentarnya. Periode itu juga merupakan periode perkembangan sekte-sekte
agama Sivaism, Vaisnavaism, dan Saktism. Di dalam Vaisnavaisme muncul dua
sekte: vadagalai dan tengalai di India Selatan, atas dasar pertanyaan yang
berbeda tentang usaha manusia dan keberkahan Tuhan serta posisi bentuk
wanita pada diri Tuhan, Sri. Yang menonjol dari dua sekte itu , bahwa sekte
tenglai mengajarkan penyerahan diri secara total kepada Tuhan termasuk
tanggung jawab seseorang untuk mencapai moksa.
Ide di belakang ini dijelaskan menlaaalui sebuah analogi seekor kucing
membawa anak kucing (moksa-kucing; markata nyaya). Sedangkan sekte
vadagalai mengajarkan usaha manusia yang tiada henti-hentinya sebagai
tambahan atas keberkahan Tuhan. Analogi yang digunakan di sini adalah
23

sebagai anak kera yang terus-menerus memeluk ibunya ketika bergerak ke sana
kemari (marjala nyaya).
Pada kejadian pertama, anak kucing harus tetap diam; dan pada kejadian
kedua anak kera harus memeluk dan bekerja sama dengan ibunya. Atas
pertanyaan aspek wanita Tuhan, tengalai menjawab , bahwa Sri adalah satu
finite self (jiwa yang terbatas) yang diangkat ke pangkat sebagai istri Tuhan.
Sedangkan vadalai mempertahankan bahwa sri adalah infinite, tidak terbatas,
dan uncreated, tidak terciptakan.
Pergerakan agama pada peruode itu yang lain dipusatkan atas pemujaan
inkarnasi Visnu, pemujaan Siva, dan Sakti (power dan energy keaktipan Tuhan,
dipersonalkan menjadi istri Siva). Dua inkarnasi Visnu, Rama dan Krisna,
menjadi sangat menonjol. Mahabharata, Ramayana dan purana-purana
menyediakan tanah yang subur untuk perkembangan banyak sekte agama.
Pemujaan Krisna-Radha menjadi karakter sekte Ramananda, dan ini
menimbulkan banyak subsekte seperti: Kabirpanthis, Mulakdasis, Raidasis,
Senapanthis, dan sebagainya. Tulasidas, penulis Ramayana versi Hindu (tahun
1574) juga berasal dari sekte Ramananda.
Beberapa saint yang memuja Krisna yang penting disebut di sini adalah
Jnanesvara, Namdev dan Tukaram. Sekte vallabhacaris juga mengajarkan dan
mempraktekkan pemujaan Kresna; bentuk pemujaan yang diajarkan oleh sekte
ini adalah bentuk pemujaan yang menggunakan cinta Radha terhadap Krisna.
Sedangkan pihak lain, mereka dari sekte Sahajiya seperti Jayadeva,
penulis kitab Gita Govinda, Candideva dan Vidyapathi mempraktekkan
Saktibhava. Di sini bentuk pemujaan adalah analogi cinta seseorang terhadap
temannya yang dia ingin bersatu dengan kekasihnya.Berlawanan dengan sekte-
sekte Vaisnava, sekte-sekte Siva mempraktekkan asceteism (pertapaan) dan
menekankan perlunya menuntun kehidupan seperti petapa di dalam pencaharian
kesadaran spiritual. Sekte-sekte penting di dalam Saivite adalah: Dandis, Yogis,
Singayats, Paramahamsas, Aghoris, Sannyasis, dan Nagas. Di samping itu ada
kelompok sekte terdiri dari : Dakshinas, Vamacaris, Kanchbians, dan Kararis.
Semua sekte itu menentang adanya sistem kasta yang dipraktekkan oleh
24

masyarakat India. Semua sekte menerima anggotanya tidak berdasarkan kasta,


semuanya berhak menjadi anggota dan menduduki tempat yang sama. Sebagai
satu mommunity pemuja Tuhan, mereka melihat tidak adanya perbedaan antara
seseorang dengan yang lainnya.
Penggunaan atas tindakan asceticism di dalam sekte Sivaite menjurus ke
satu bentuk aksi pamer yogic power dan juga penyiksaan diri sendiri. Hal itu
semua mengakibatkan satu praktek keagamaan yang bersifat kejam dan kadang-
kadang menyangkut praktek upacara korban manusia.
Aspek hitam pergerakan sekte Vaisnava dan Sivaite tersebut membawa
sekte itu ke arah keruntuhan. Namun, tentu di samping aspek hitam itu, keduaa
sekte tersebut mempunyai aspek yang luhur sehingga banyak melahirkan santo-
santo besar agama Hindu di India.

2.5 Periode Modern (berawal dari abad ke-19 M)

Sri Raja Rammohan Roy, dapat dianggap sebagai pelopor pergerakan


modern dalam agama Hindu. Masuknya ilmu teknologi arat dan ideologi Barat
membentuk laatar belakang periode modern. Bersamaan dengan itu datang
ajaran-ajaran Kristen yang menekankan pelayanan masyarakat mereka yang
hina.
Teknologi modern membutuhkan satu pola kehidupan sosial yang baru.
Sistem tua tentang adanya kasta di masyarakat India terbukti sangat sulit di
dalam pembangunan industri yang menarik semua manusia dari semua kasta.
Pendidikan cara Inggris dengan bahasa Inggris membuka pikiran orang-orang
India terhadap ideologi Barat pada waktu itu. Dalam keadaan seperti itu ajaran
Kristen memberikan pengaruhnya terhadap pikiran intelek India pada waktu itu.
Di bawah pengaruh besar seperti itu, masyarakat Hindu di India mengalami
beberapa benturan. Kaum intelek mulai menyelediki beberapa hal yang di luar
tradisi mereka. Perlahan-lahan cara pandangan idea yang baru itu mempengaruhi
pandangan intelek mereka. Mereka melihat Hinduisme dari satu perspektip baru
25

dan itu membawa kesatuan bentuk nilai Hindu yng baru. Ketertarikan yang
dalam atas personality Jesus dan nilai prakteknya, banyak kaum Hindu
mencoba menemukan kemiripan nilai-nilai itu di dalam tradisi agamanya
sendiri.
Masyarakat Hindu perlu perubahan meningkatnya estenalitas di dalam
praktek agama dan banyak pemimpin agama bangkit untuk menunjukkan
pikiran kaum Hindu, dari eksternalitas ke satu titik inner spiritual. Banyak juga
yang membangkitkan nilai-nilai asli Hindu kembali untuk satu alat untuk
membela diri atas serangan kaum missionaris Kristen yang menjadi agresip
menentang filsafat agama dan bentuk masyarakat India.
Pergerakan Brahma Samaj yang didirikan oleh Raja Rammohan Roy
(1772-1835), dikembangkan oleh Debendranath Tagore (1817-1905), Keshub
Chandra Sen (1838-1884) menghendaki beberapa penghilangan noda-noda evil
(bersifat setan /jelek) yang menjadi benalu dalam struktur masyarakat Hindu di
India. Dia juga berusaha memasukkan harmoni di dalam kehidupan beragama.
Pergerakan Dev Dharma yang didirikan oleh Agnihotri (1850-1929), merupakan
cabang Brahma Samaj. Cabang itu mengajarkan saatu doktrin rasionalistik dan
etika humanisme.
Arya Samaj, didirikan oleh Swami Dayanand Sarasvati (1824-1883)
bergerak menentang kegiatan missionasir Kristen dan mengembalikan nilai-
nilai asli Hindu.
Anne Besant (1847-1930) yang berjuang untuk pergerakan Theosophical
sosciety, membuat pertahanan yang gigih pada Hindusime dan berusaha gigih
untuk mempopulerkan Hinduism melalui kegiatannya yang penuh energi.
Swami Ramakrisna Paramamhamsa (1836-1886) dengan baktinya yang
terus-menerus, menciptakan percakapan sederhana dan penggunaan parabel-
parabel yang bersifat sederhana menjadi satu sumber inspirasi banyak umat
Hindu di India. Beliau menekankan kepada pengikutnya saatu spirit
renunciation (meninggalkan keduniawian) daan pelayanan kepada kemanusiaan.
Pengikutnya, Swami Vivekananda (1863-1902), membawa pesan-pesan
gurunya ke seluruh dunia dan mengatakan bahwa Vedanta berisi satu ajaran
26

universal, dan dia percaya bahwa Vedanta adalah satu antidote (obat anti)
menentang materialisme Barat. Dalam hal itu dia memulai apa yang dikatakan
banyak sarjana sebagai counter attack from the East yang menunjukkan
kehebatan Hinduisme tidak hanya pada masyarakat modern India tetapi juga
keseluruh dunia. Jerih payah Swami Vivekananda berhasil diteruskan oleh
sarjana Prof. Radhakrisnan. Integral Yoga-nya Sri AAurobindo (1872-1950),
pesan-pesan spiritual dan ajaran-ajaran Ramana Maharesi (1879-1855), nature
mysticism-nya Rabindranath Tagore (1861-1941) dan usaha dedikasi agama
serta ideals ke dalam politiknya Mahatma Gandhi (1869-1948), telah membawa
ajaran dan pesaan-pesan Hinduism sampai jauh dan meluas dan berhasil
memberikan ide spiritual agama yang begitu kuno itu.
Hinduisme hari ini penuh dengan hidup dan dinamika. Berisi di
dalamnya banyak sekte agama, ahli akademika, beragama sarja Vedantic,
bervariasi yogi daan tentu saja pemimpin-pemimpin agama darisekte orthodoks.
Ada satu kesadaran beragama di antara massa (masyarakat Hindu). Juga ada satu
kenginan kaum intelek untuk mengerti lebih baik tradisi agamanya dan
menngunakannya. Studi pada agama menjadi sangat populer dan diskusi antar
agama sering terjadi. Keinginan masyarakat Hindu yang sangat besar untuk
kembali mempelajari agama mereka dan mempraktekkannya menunjukkan
bahwa Hinduisme akan terus kekal menjadi sumber inspirasi dan pemandu
kegiatan mansuia.

2.2 Sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia

Pada zaman pertengahan, ketika Portugis muncul di atas panggung


sejarah Asia Tenggara, ternyata Asia Tenggara telah dibagi menjadi dua wilayah
kebudayaan yangbesar. Wilayah kebudayaan yang pertama, oleh para sarjana
Perancis, disebut dengan nama I' Inde Exterieure, yang didominasi oleh penga-
ruh India. Sedangkan wilayah kebudayaan yang kedua, yang terdiri dari
27

Tongking, Annam dan Cochinchina, didominasi oleh pengaruh China, dengan


jatuhnya kerajaan Hindu Champa pada abad ke-15 M.
Banyak para sarjana mengatakan, bahwa penggunaan istilah-istilah
seperti: "Further India", "Greater India", atau "Little China", sebenarnya
kurang tepat. Karena, istilah sepereti itu bisa membawa kita ke arah kekaburan
dan dapat menimbulkan keberatan yang cukup serius. Memang kenyataanya,
daerah-daerah tersebut banyak mendapat pengaruh India, namun dibalik itu
semua sesungguhnya mereka juga memiliki ciri kebudayaan asli yang sangat
kuat. Misalnya, seni dan arsitektur yang berkembang dengan subur dan indahnya
di Angkor, Pagan, Jawa Tengah, dan kerajaan lama Champa, sangat berbeda
dengan seni dan arsitektur Buddhis dan Hindu di India.
Adapun kunci untuk dapat mengertikan semua hal itu, adalah dengan
mempelajari kebudayaan-kebudayaan asli yang melahirkannya. Di samping itu
juga harus disadari, bahwa semuanya telah berkembang menurut garis-garis ciri
khas keperibadiannya sendiri.Pengaruh-pengaruh India terhadap Asia Tenggara
yang tidak bertalian dengan politik, berbeda prosesnya dengan pengaruh China.
Dalam proses penyerapan pengaruh tersebut oleh masyarakat asli di Asia
Tenggara, ditransformasikan dengan cara yang sama dengan pengaruh Yunani
kuno terhadap Eropah Barat. Proses tersebut bisa sama, karena masyarakat asli
Asia Tenggara yang merasakan rangsangan kebudayaan India itu, bukannlah
'orang-orang liar', melainkan masyarakat yang telah berperadaban relatif
tinggi. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh George Coedes, dalam
Les Etats Hinduises et d'Indonesia (1948: 27).
Seperti apa yang disebutkan, bahwa negara-negara yang telah
dihindukan tersebut ternyata sebagian besar masyarakatnyaa dalam waktu yang
cukup panjang tidak tersentuh sama sekali oleh kebudayaan India. Sebaliknya
masyarakat asli Asia Tenggara menyerap kebudayaan India itu dan
mengubahnya dengan menyalurkannya sejalan dengan pikiran-pikiran dan
praktek-praktek kebudayaan asli.
Dengan demikian, struktur masyarakat secara luas tidak terpengaruh oleh
pengaruh kebudayaan India. Misalnya, sistem kasta yang sangat mendasar
28

dalam masyarakat India, ternyata sangat kecil pengaruhnya terhadap masyarakat


asli Asia Tenggara. Begitu juga kedudukan wanita tetap dipertahankan yakni
tetap tinggi, seperti sebelum masuknya pengaruh kebudayaan India.
Jadi, baik Hinduisme maupun Buddhisme dalam perkembangannya di
Asia Tenggara mengalami penyesuaian disesuaikan dengan agama yang telah
mereka anut sebelum mereka datang.(Hal itu justru bisa terjadi, karena agama
Hindu dan Buddha mempunyai sifat: isthadewata dan adhikara).
Adapaun peradaban Asia Tenggara yang telah dimilikinya pada saat
pengaruh India datang, Coedes telah merangkumnya sebagai berikut:a. Bidang
material : (1) persawahan / perladangan padi dengan irigasi, (2) peternakan sapi
dan kebau, (3) penggunaan logam, dan (4) ahli dalam navigasi b. Bidang sosial :
(1) pentingnya kedudukan wanita dan keturunan garis ibu, -- di India posisi
wanita ditinggikan pada zamannya aliran sakti tumbuh subur, yaitu sekitar abad
ke-8 M dan kitaaa bisa menyaksikan pentingnya kedudukan para wanita dalam
kehidupan sosial dan agama dalam masyarakat sakta di propinsi West Bengal
dan Orissa-, dan (2) organisasi sebagai hasil pertanian dengan irigasi.c. Bidang
agama : (1) animisme, (2) pemujaan nenek moyang dan dewa bumi, (3) lokasi
tempat suci di tempat yang tinggi,--di India hal itu tidak penting, bahkan altar
suci orang-orang India diletakkan di lantai, (4) penguburan dalam guci / gentong
atau dalam dolemen, dan (5) mythology bercampur dengan dualisme
cosmogony gunung laut, mahluk bersayap lawan mahluk dalam air, orang
gunung dengan orang pantai.
Kemudian Krom dalam studinya pada orang Jawa menambah kan hasil
penelitiannya ke dalam daftar Coedes: (1) orkes gamelan, (2) wayang, dan (3)
kerajinan batik. Lebih lanjut, banyak para indolog / indologist berendapat bahwa
istilah Hinduisasi terhadap negara-negara Asia Tenggara sesungguhnya tidak
tepat. Hal itu dinyatakan demikian, karena sebenarnya bukan Hindu saja yang
mempengaruhi Asia Tenggara, tetapi juga Buddhisme. Bahkan, pengaruh
Buddhisme di Asia Tanggara besar sekali, terutama di Burma, Arakan, Kamboja
dan Thailand. Namun, harus disadari, bahwa sangat susah untuk mencari garis
pemisah antara kedua agama itu (Hindu dan Buddha).
29

Apalagi dalam agama Buddha Tantrayana; bahkan pada abad ke-13 M di


Jawa terdapat pemujaan terhadap Siva Buddha sekali gus. Di samping itu, di
setiap negara yang didominasi oleh agama Buddha Theravada, masyarakatnya
masih tetap menggunakan upacara Hindu. Mungkin saja hal seperti itu yang
menyebabkan istilah Hinduisasi masih sering juga digunakan.
Sebenarnya, hubungan perdagangan antara India dan Asia Tenggara,
sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Misalnya, dengan ditemukan banyak
koloni-koloni kecil India di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara. Namun, juga
sebaliknya kita dapat menemukan adanya koloni-koloni dagang Indonesia di
pelabuhan-pelabuhan dagang Bengal dan Coromandel. Hal itu tidak mustahil,
karena orang-orang Indonesia adalah pelaut yang ulung Munculnya kerajaan-
kerajaan di Semenanjung dan di Indonesia, yang kemudian munculnya praktek
agama dari India, kesenian dan adat serta bahasa Sanskerta sebagai bahasa suci.
Semua hal itu masih sulit dipastikan kapan tepatnya dimulai. Sedangkan bahan-
bahan yang berasal dari catatan-catatan China, India dan Eropah masih sulit juga
memberikan keterangan yang pasti. Kitab Jataka yang banyak berisi ceritera-
ceritera tentang pelaut Jawa dan Sumatera. Demikian juga kitab Ramayana.
Sylvain Levi juga menyebutkan kitab berbahasa Pali Niddesa banyak
menyebutkan nama-nama tempat di Indonesia.
Catatan-catatan mengenai Indonesia, kebanyakan berasal dari era
berkisar abad ke-5 M. Kutai memakai tulisan Sansekerta, berasal dari raja
Mulawarman, bera pertengahan abad ke-5 M. Patung-patung Buddha bergaya
Amaravati ditemukan di Kedah, Sulawesi. Catatan tertua Cina tentang Indonesia
berasal dari buku riwayat dinasti Han "Tsien-han-shu" yang berkisar abad 206
SM - 24 SM. Catatan berikutnya bertahun 132 M yang menceritakan Kaisar Han
menerima utusan-utusan yang membawa hadiah dari Raja Ye-tiao yang bernama
Tiao-pien. Istilah China itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Sansekerta oleh para indolog menjadi Javadvipa, dan rajanya Devavarman.
Beregang paga catatan itu mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada
tahun itu sudah ada proses Hinduisasi di Indonesia.
30

Adapun sebab-sebab penyebaran kebudayaan India ke Asia Tenggara,


tidak mudah diketahui. Sehubungan dengan itu ada dua teori untuk menentukan
nya. Teori yang pertama mengatakan, bahwa orang Kalingga karena desakan
berdarah yang dilakukan Asoka pada abad ke-3 SM. Yang kedua mengatakan,
adanya imigrasi yang disebabkan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh dinasti
Kushana pada abad ke-1 M. Kedua teori itu masih belum diterima oleh semua
sarjana Sementara itu hipotesis Coedes mengatakan, bahwa tidak ada imigrasi
besar-besaran, namun yang ada adalah hubungan perdagangan. Terutama pada
zamannya dinasti Kushana. (Silk road, tumbuh subur pada era pemerintahan
dinasti Kushana, terutama pada zamannya Kanishka) Selama dua abad sebelum
masehi, India kehilangan import logam berharga. Kaisar Vespasianus (69 - 70
M) dari Roma menghentikan eksport logamnya ke India. Di sinilah Coedes
mengirakan India berpaling ke Svarnabhumi (dataran Asia Tenggara) dan
Svarnadvipa (Sumatera) yang merupakan tempat emas yang terkenal. Pada
zaman transportasi laut sudah maju, ada kapal berpenumpang 700 orang dengan
peralatan yang mampu berlayar menentang angin. Buddhisme menolong
kemajuan kelautan itu, sebab sebelumnya orang-orang Hindu sangat takut
kehilangan kastanya, seandainya menyeberangi lautan. (Hilangnya kasta
seseorang karena mengarungi lautan juga menyebabkan pemberontakan Sepoy,
pemberontakan tentara Inggeris pada tahun 1835. Salah satu penyebab
pemberontakan itu adalah usaha pengiriman tentara untuk menundukkan Burma
dengan jalan laut dari Calcutta).
Maka melalui perdagangan terbawalah kebudayaan India dan
kesusastraan Sansekerta. Menurut Dr. Hall dengan begitu sebenarnya tidak ada
imigrasi massal yang mengubah tipe fisik penduduk. Juga ada laporan orang-
orang Cina, bahwa masyarakatnyalah yang telah mengambil kebudayaan Cina,
jadi bukan koloni-koloni orang India.Adalah sangat langka dokumen-dokumen
yang dapat memperlihatkan yang menyatakan baahwa dari bagian India yang
manakah asalnya pengaruh kebudayaan India itu yang mengalir masuk ke Asia
Tenggara / Indonesia Ho-ling, nama Cina untuk kerajaan kuno di Jawa.
31

Mungkin yang dimaksudkan adalah Keling, yang juga dipakai di India Selatan,
Kalingga.
Orang Batak Karo mempunyai nama-nama marga seperti Chola, Pandya,
Pallawa dan Malaya, semua itu adalah nama-nama India dari bangsa Dravida.
Menngenai aksara atau huruf, Prof. Dr. R.C. Majumdar berpendapat bahwa
inskripsi / prasasti tertua berbahasa Sansekerta di Funan menggunakan tulisan
Kushana. Sehubungan dengan itu N.A. Nilakanta Sastri berpendapat bahwa
semua abjad yang dipakai di Asia Tenggara berasal dari India Selatan; bahkan
tulisan Pallawa mempunyai pengaruh besar.
Tetapi Coedes menunjukkan bahwa ada banyak pengaruh Bengali pada
huruf-huruf yang dipakai di Asia Tenggara pada abad-abad ke-8 dan awal abad
ke-9 M. Sementara itu Kalimantan menunjukkan bukti-bukti tertua pengaruh
India, pada tujuh prasasti yang ditemukan di Kuati. Prasasti-prasasti itu bertahun
400 M yang dkeluarkan oleh Raja Mulawarman, yang menyebutkan kakeknya
bernama Kudungga dan ayahnya bernama Asvavarman. Nama kakeknya
ternyata bukan nama Sansekerta, tetapi masih memakai nama asli Indonesia. Di
lembah-lembah sungai Kapuas dan Mahakam, banyak ditemukan patung-patung
Hindu dan Buddha yang bergaya Gupta.
Sedangkan prasasti yang tertua di Jawa ditemukan dekat Bogor, bertahun
kira-kira 450 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Purnawarman dari kerajaan
Tarumanagara, waktu mengadakan upacara Hindu untuk memulai penggalian
irigasi. Nama kerajaannya mengingatkan nama daerah di India Selatan dekat
Tanjung Comorin. Kerajaan itu masih ada sampai pertengahan abad ke-7 M,
yang dinuktikan oleh orang-orang Cina yang mencatat utusan dari To-lo-mo,
pada tahun 666-669 M. Diperkirakan 20 tahun kemudian ditaklukkan oleh
Srivijaya.
Berkuasanya Sailendra yang beragama Buddha di Jawa Tengah pada
abad ke-8 M, menyebabkan Sivaisme mencari tempat pengungsian di bagian
timur pulau Jawa. Terdapat bukti adanya kerajaan merdeka di sana dalam
pertengahan abad itu, dengan pusatnya di sekitar Malang. Kerajaan itulah yang
mendahului kerajaan Singasari. Ada bangunan-bangunan yang gayanya sama
32

dengan gaya bangunan Sailendra di Jawa Tengah, tetapi bangunan- bangunan


itu diperuntukkan guna pemujaan Agastya, maharesi Hindu yang menghindukan
India Selatan. Dokumen tertua di Jawaa Timur bertahun sekitar abad itu, ada
yang bertahun 760 M, berbahasa Sansekerta, dan menyebutkan pendirian tempat
suci untuk Agastya, di Dinoyo oleh seorang raja yang berama
Gajayana.Kembalinya Sivaisme pada pertengahan abad ke-9 M dianggap
sebagai petunjuk runtuhnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah. Kemudian
Balitung (898 - 910 M) dalam prasastinya menyebutkan nama kerajaan Mataram
yang untuk pertama kalinya dan dia merupakan empat raja pertama yang
beragama Siva.
Sedangkan pengganti Balitung, Dhaksa (910-919 M) mungkin yang
mendirikan kelompok candi Prambanan, dengann 8 candi terbesarnya
diperuntukkan guna pemujaan Siva. Salah satunya adalah patung Durga yang
dikenal sebaagai Loro Jonggrang, "gadis ramping". Sestelah itu Mpu Sendok
(929-947 M) memindahkan kerajaan itu ke Jaawa Timur dengan alasan yang
masih belum diketaaahui dengan pasti oleh para sarjana. Mungkin karena wabah
penyakit dan gempa bumi. Atau mungkin saja karena rasa ketakutan terhadap
kekuasaan Srivijaya yang menuntut wilayah Sailendra di Jawa Tengah. Mpu
Sendoklah sebagai pendiri dinasti baru yang memerintah Jawa Timur sampai
tahun 1222 M. Di memerintaah bersama-sama dengan permaisurinya Rakryan
Bawang dan kemudian penggantinya adalah putrinya, Sri Isanatunggavijaya. Hal
itu menunjukkan kedudukan wanita waktu itu sangat penting dalam masyarakat.
Karena perpindahan itu, banyak lahan pertanian yang belum digarap secara
intensip sehingga ekonomi kerjaan berpaling yakni ditekannkan pada perdangan
dengan luar Jawa: dengan Maluku, Sumatra, dan Semenanjung Melayu. Dalam
hal itu Bali untuk pertama kali memainkan peranan yang penting dalam sejarah
Jawa. Kemudian pada abad ke-10 M seorang raja Bali mengawini putri cucunya
Sendok dan dengan demikian terbuka jalan untuk memasukkan kebudayaan
Jawa ke Bali.
Kemudian keturunan Sendok, Dharmawangsa (985 - 1006 M), adalah
raja yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Atas perintahnya banyak
33

hukum Hindu dibukukan dan banyak terjemahan dilakukan dari bahasa


Sansekerta ke bahasa Jawa. Salah satu di antaranya adalah bagian Mahabharata.
Pada saat itulah berkembang kesusastraaan prosa tertua di Indonesia.
Pengganti Dharmawangsa, adalah Airlangga putra raja Bali
Dharmodayana, dari perkawinannya dengan cucunya Sendok. Kesusastraan juga
mengalami masa-masa emas pada zamannya. Salah satu di antaranya adalah
Arjuna wiwaha-nya Mpu Panuluh. Yang mungkin mengumpamakan
perkawinannya Airlangga sendiri. Versi itu diterima dengan populer dan
disajikan dalam pentas-pentas Jawa dan menjadi tema populer dalam wayang.
Dalam syair dan wayang susunanya sepenuhnya bersifat Jawa.
Pada masa itu agama Hindu berdampingan secara damai dengan agama
Buddha. Menurut Prof. Dr. Hall, kedua agama itu sudah menjurus kepenyatuan.
Sivaisme dianggap tingkat pertama pada jalan menuju cahaya kebenaran.
Setelah melalui itu yang bersangkutan siap diberi pelajaran pengetahuan Bud-
dhisme yang lebih tinggi daripada Hindu.
Kemudian setelah Airlangga wafat, ia sendiri dipuja sebagai penjelmaan
Visnu di Belahan. Praktek seperti itu menjadi umum oleh keturunannya, yakni
setelah mangkat lalu dipuja dalam bentuk Visnu. Pemujaan nenek moyang
adalah tugas khusus yang dibebankan kepada seorang raja. Pada waktu-waktu
tertentu raja harus melaksanakan upacara yang berhubungan dengan nenek
moyang untk memperkuat posisinya dengan menerima kekuatan-kekuatan
magis. Karena itu banyak kita temukan candi-candi tersebar di Jawa Timur
untuk memperingati seorang raja dalam pakaian Siva, Visnu, Avalokitesvara.
Mereka itu semua adalah pusat-pusat pemujaan nenek moyang dan menujukkan
survival pemujaan pre-Hindu.
Di Bali, agama Hindu terdiri dari tiga aspek: Hindu, Buddha, dan aspek-
aspek prapengaruh India. Selain dengan India, Bali sebenarnya sudah
mengadakan hubungan dengan China sejak dahulu kala. Banyak orang-orang
China yang datang ke Bali, bekerja pada raja-raja Bali sebagai tukang Walaupun
tugas kontrak mereka sebagai tukang sudah selesai, tetapi banyak di antara
mereka yang tidak maau pulang kembali ke negerinya. Mereka memilih lebih
34

baik tinggal menetap terus di Bali. Kemudian mereka membuka usaha dagamg
berbagai macam barang di Bali. Pengaruh mereka nampak pada seni dan
arsitektur di Bali, misalnya: meru, barong, rumah dan pekarangan dan
sebagainya.
Kemudian akhirnya Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 M.
Bathara Maospahit (Maspahit, Majapahit), sampai kini masih dipuja di setiap
merajan, (di altar / pelinggih yang berisi patung kepala menjangan) di Bali.Kitab
Buddhis Manjusri Mulakalpa, bertahun sebelum 920 M, menyebutkan nama
Bali sebagai negeri tempat tinggal kaum barbarian. Sedangkan catatan China
abad ke-5 - 6 M menyebutkan P'o-li. Nama Dwa-pa-tan (negeri di timur Kaling),
yang disebutkan pada dinasti Tang (647 M) mungkin Bali. Catatan itu
memberikan informasi bahwa huruf-huruf ditulis di atas daun, mayatnya dibakar
di atas tumpukan kayu api, dihiasi emas, dan dengan emas di mulutnya, dengan
segala macam harum-haruman.
Bukti langsung, adalah lempengan copper (tembaga), bertahun 882-914
M menyebutkan berdirinya satu pertapaan di Sukawana ( di bukit Penulisan),
dan peletakan dasar sebuah pura untuk bhatara Da Tonta di desa Trunyan.
Kedua tempat itu masih sangat penting bagi umat Hindu di Bali. Bhatara Da
Tonta masih dipuja. Prasasti Bali menggunakan tahun Saka. Prasasti-prasasti tua
tidak menyebutkan nama raja. Singhamandava yang disebutkan pasti tempat
tinggal raja. Nama raja disebutkan pertama kalinya pada prasasti tugu batu
Sanur 914 M, namanya Adhipatih Sri Kesari Varma ..., nama istanya
Singhadhavala.
Prasasti Seri Singhamandava berikutnya brtahun 915 - 933, berisi nama
raja Sang Ratu Sri Ugrasena. Setelah berjarak 20 tahun, pengganti-penggantinya
adalah:
1) Sang Ratu Sri Aji Tabanendra dan isteri Subhadrika (tiga prasasti
bertahun 955).
2) Sang Ratu Sri Chandrabhayasingha (960)
3) Sang Ratu Sri Janasadhu (975)
4) Sri Maharaja Sri Mahadevi (984)
35

Kecuali yang terakhir, semua raja di atas setelah tahun 955 memakai nama famili
Varmadeva.
Sanur Pillar (Tugu Sanur) setengah berbahasa Bali kuno dan
setengahnya Sansekerta. Melihat tulisan yang dipakai yaitu tulisan pre Nagari
atau early Nagari. Tulisan tersebut dipakai pada tugu-tugunya Soka (abad 3
SM), dan di negara-nrgara Buddha di Bengal. Jadi tidak sepenuhnya sama
dengan tulisan di Jawa Tengah. Kelihatannya ada hubungaan langsung dengan
Bali. Cap-cap di Pejeng (Pejeng clay seals) kemungkinan besar datangnya dari
negeri-negeri Buddha Bengal. Walaupun ada catatan dari kitab-kitab Jawa,
carita Parahyangan yang mencatat raja Sanjaya (730) menaklukkan Baali,
namun jelas ada hubungan langsung antara Bali dengan India.
Bahasa yang kini disebut 'bahasa Bali kasar', ternyata tidak ada
hubungannya dengan bahasa Jawa. Bahasa ini lebih erat hubungannya dengan
Sumbawa dan Sasak. Dari penggunaan baahasa di pulau Nusa Penida dan desa-
desa yang sulit terjangkau di Bali Utara, ternyata mereka lebih cenderung
menggunakan bahasa Bali kasar. Penggunaan bahasa Jawa kuno, dimulai pada
akhir abad ke-10 di kalangan istana. Penggantian bahasa Bali kuno ke bahasa
Jawa kuno, berhubungan erat dengan perkawinan Sang Ratu Maharani Sri
Gunapriyadhamapatni yang berasal dari Jawa dengan Sang Ratu Maharani Sri
Dharmodayana Varmadeva (989).
Dalam prasasti Calculta Stone (1041) dikatakan bahwa
Gunapriyadharmapatni adalah titel yang diberikan oleh ayahnya Mahendradatta
(ibunya Airlangga). Ayahnya Mahendradatta adalah Sri Makutavangsa
Vardhana, cucunya Mpu Sendok, raja Jawa Timur yang pertama. Pada prasasti-
prsasti yang dikeluarkan oleh pasangan itu nama Sang Ratu selalu disebutkan
pertama, mungkin dia lebih penting kedudukannya atau mungkin karena dia
putri Jawa.
Patung Durga yang amat cantik diperuntukkan untuk Mahendradatta di
Kutri. Menurut Goris, gambaran patung itu berhubungan dengan ilmu
blackmagic yang dikuasai oleh Gupriya. Jadi ada hubungannya kebenarannya
dengan kisah calon arang (kisah itu mengisahkan bahwa ada perjanjian yakni
36

Udayana boleh memperistri Gunapriyaa asalkan Udayana tidak kawin lagi.


Ketika Udayana tidak menepati janjinya, maka Gunapriya mempelajari ilmu
hitam dan kemudian ia diusir.
Menurut dugaan gambaran Durga yang cantik itu mungkin saja sama
dengan gambaran di India, yang melambangkan kebesaran kasih sayang ibu
kepada anak-anaknya. Kenapa Gunapriya tidak dipatungkan dalam bentuk yang
menakutkan, seandainya dia dianggap begitu menakutkan
Setelah adanya gap selama 25 tahun, uncul nama raja baru di Bali yaitu
Paduka Haji Anak Wungsu. Prasastinya yang terakhir bertahun 1078. Patung
wanita di pura Penulisan yang bertuliskan Bhatari Mandul mungkin isterinya.
Melihat prasasti-prasasti dan pentingnya gunung Kawi, menunjukkaan
bagaimana besarnya anak Wungsu. Beliau merupakan salah satu raja Bali yang
besar. Monumen-monumen yang berasal dari zamannya sangat kaya dan
banyak, tersebar di daerah-daerah dari sungai Petanu sampai Pakerisan.
Adapunraja dan ratu yang menyusul Anak Wungsu adalah sebagai berikut:
1) Seorang ratu, Paduka Sri Maharaja Sakalendukirana Isanag
unadharmalshmdhara Vijayottunggadevi; namanya disebutkan pada
prasasti Canggi 1098.
2) Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa (1115, 1119), prasasti yang
bertahun 1119 menyebutkan nama Bhatara Sri Haji Uganedra
Dharmadeva, namun para sarjana belum tahu pasti siapa dia.
3) Jayasakti (1146-1150)
4) Jayapangus (1178-1181)
5) Paduka Sri Maharaja Haji-ra-ajaya dan ibunya Paduka Sri-rta-ya
(1200)
6) Paduka Bhatara Guru Sri AAdikunti-ketana dan putranya Sira Bhatara
Paramesvara Sri Wirama dan ratunya Dhanadeviketu (1204)

Tahun 1284 merupakan awalnya satu era baru pada hubungan Bali dan
Jawa. Setelah kehidupannya yaang pendek namun menjadi periode yang sangat
penting dari Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Bahasa resmi dan mungkin
37

bahasa istana dipakai bahasa Jawa. Namun, tidak ada tanda-tanda adanya
pengaruh politik langsung. Agama pada masa itu adalah Siwa dan Buddha.
Tetapi ada juga sekte-sekte kecil lainnya. Misalnya, sekte Ganapatya yang
menyembah Gana atau Ganesa dan Sora yang menyembah surya dan
sebagainya. (Patung Ganesa terdapat di gunung Penulisan, pura Penataran Sasih
Pejeng, Pura Pusering Jagat dll). Sedangkan pemujaan kepada Surya
(suryasevana), sampai sekarang kita dapati pada kebaktian kepada Surya atau
Sivaditya.
Sebelum Mpu Kuturan datang di Bali (tahun 1039), di Bali waktu itu
telah terdapat beberapa sekte agama Hindu. Konsep rwabhineda (dualisme)
telah dikenal pula seperti: siang malam, baik buruk, naik turun dan sebagainya.
Dalam agama dikenal Pura Penataran bertempat di hulu desa (kaja), dan Pura
Setra di hilir desa (kelod). Mpu Kuturan datang di Bali dan tinggal di Padang
(Padangbai), yang sekarang pura Silayukti. Ia mengajarkan konsep Trimurti dan
membuat Kahyangan tiga yaitu: Pura Puseh di hulu desa untuk memuja Wisnu,
Pura Desa di pusat desa untuk memuja Brahma, dan Pura Dalem di hilir desa
untuk memuja Siwa (Durga).
Adapun raja Bali kuna terakhir, adalah Sri Artasura Ratna Bhumi Banten
(1337-1343), menganut agama Bhairawa, (gama Bhairawa itu pernah
berkembang subur di Singosari), dan berkedudukan di Bedahulu, dengan Patih
Pasunggrigis. Kemudian ditundukkan oleh Majapahit, di bawah pimpinan Gajah
Mada pada tahun 1343. Perbedaan agama Bhairawa yang dianut oleh Astasura
dengan agama yang dianut di Majapahit, yakni Siwa Buddha, menyebabkan raja
Artsura disebut 'bedahulu'. Peninggalannya sekarang tertdapat di Pura Kebo
Edan di desa Bedulu, Gianyar.Namun demikian Bali baru aman pada
pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (cucunya Sri Kresna Kepakisan), setelah
Pura Dasar di Gelgel dijadikan sebagai pura Pusat kerajaan (sama dengan pura
Pusering Jagat pada masa Bedahulu), dan menjadikan Pura Besakih sebagai pura
pusat di seluruh Bali.
Kemudian pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550),
datanglah di Bali Dang Hyang Nirartha (tahun 1480) dengan membawa banyak
38

perubahan, baik di bidang ketatamasyarakatan maupun agama. Dibidang


ketatamasyarakatan diadakan pembagian golongan secara tegas sbb: 1) keempat
putranya menduduki tempat tertinggi yang disebut brahmana yaitu: (a)
kemenuh, putranya yang ibunya dari Daha, (b) keniten, putranya yang ibunya
dari Pasuruan, (c) manuaba, putranya yang ibunya dari Blambangan, dan (d)
Mas, putranya yang ibunya dari Mas (Gianyar). 2) tempat yang kedua untuk
keluarga yang memerintah, yang disebut ksatrya, dan 3) yang ketiga waisya.
Sedangkan di bidang agama, Dang Hyang Nirartha mengajarkan sistem
Ketuhanan yaitu: Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa. Paramasiwa adalah
Nirguna Brahma dan Nirguna Brahman adalah Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Yang Maha Esa.
Selanjutnya Dang Hyang Nirartha, atau Dang Hyang Dwijendra atau
Pedanda Sakti Wau Rawuh, membangun pelinggih meru untuk memuja Wisnu,
gedong anda untuk memuja Brahma, dan gedong cungkub untuk memuja Siwa
(Durga). Sedangkan pelinggih padmasana untuk memuja Tripurusa.
39

BAB III
KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

3.1 Konsep Ketuhanan Menurut Veda

Di India ( dunia Timur ) tidak seperti di Eropa (dunia Barat), yaitu garis
pemisah antara filsafat dan agama sangat tipis. Bahkan sering tidak ada
batas pemisahnya dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Hal itu yang
menyebabkan fisafat India sama dengan agama Hindu, dan sebaliknya
agama Hindu sama dengan filsafat India (dharsana).
Kenyataan seperti itu sangat jelas dalam agama Hindu dan dapat
dibuktikan dalam Veda, kitab suci agama Hindu. Veda berkedudukan sebagai
otoritas mutlak terhadap keenam sistem filsafat orthodok Hindu (saddharsana,
astika dharsana).
Dalam keenam sistem filsafat (saddharsana) itu, Vedalah yang
dijadikan sebagai titik akhir semua perbedaan pendapat filsafat. Bahkan,
definisi Hindu orthodok (astika), yang berbeda dengan Hindu hetherodok
(nastika) dan agama-agama India seperti Buddhisme dan Jainisme, didasari
atas kepercayaan kebenaran kitab Veda.
Hal itu bisa kita lihat dalam kenyataan, bahwa sekte-sekte agama Hindu
tetap rukun atas kemutlakan Weda. Padahal agama Hindu terdiri dari berbagai
cabang yang kemudian merupakan berbagai sekte, akibat menempuh zaman
yang sangat panjang, tidak pernah berkelahi atas kemutlakan Veda. Semuanya
berawal dari Veda dan berakhir pada Veda.
Semuanya menuntut bahwa Veda sebagai otoritas yang selalu benar,
karena mereka percaya bahwa isi Weda adalah rekaman atau liputan
revelation atau sruti (wahyu) langsung.
40

Revelation atau sruti dari Brahman (Tuhan) yang diterima oleh para resi
semenjak zaman yang tidak bisa ditentukan kapan mulai pendapat di atas yang
mengatakan bahwa ajaran-ajaran Veda sangat penting, yang menyebabkan
agama Hindu disebut sebagai vaidika dharma (agama Veda). Jadi konsep
Tuhan dalam agama Hindu adalah konsep Tuhan menurut Veda.

3.2 Ajaran-ajaran Veda-Upanisad (Vedic Upanisadic) atau konsep


tentang Tuhan: Ide tentang identitas Self God (Atman - Brahman)

Mempelajari tentang Tuhan melalui inti sari ajaran Veda sesungguhnya


tidak mudah, karena Veda mempunyai metafora dan allegori yang begitu
kaya , sangat banyak dan bervariasi. Pembagian tema Veda Sruti menjadi tiga
bagian yang masing-masing berbeda (samhita/mantra, brahmana, upanisad),
membuat masalah itu semakin sulit, sebab isi bagian yang satu nampaknya
berbeda dengan bagian yang lainnya. Jadi, seorang pembaca yang tidak
mendalami, yang hanya melihat halaman-halaman Weda, maka nada
polytheistik samhita dan brahmana, yang di dalammnya terdapat sejumlah
dewa dan pemberian sajen kepadanya (dewa-dewa), tampak bagi pembaca itu,
jelas berbeda dengan konsep monoteistik Tuhan Upanisadic.
Banyak sekali elemen-elemen upanisad yang tidak terhitung, mencoba
untuk menjelaskan suatu ajaran yang penting dan mendasar dengan berbagai
cara: Hanya satu Tuhan, tidak ada duanya (Ekam evam advityam)(Chandogya
Upanisad, VI. 21).
Universal Being Tuhan itu disebutkan di dalam Upanisad berbeda-beda
seperti: Brahma, Isawara, Paramatma dan sebagainya, yang sesungguhnya
semuanya dapat juga digunakan sebutan God (Tuhan), walaupun masing-
masing mempunyai satu karakter yang tidak dapat dibedakan satu dengan
yang lainnya. Jadi, perbedaan pendapat berbagai bagian Veda itulah yang
menyulitkan bagi kita untuk mempelajari tentang konsep Tuhan di dalam Weda.
41

Dengan demikian timbullah masalah, yang perlu diteliti dan didalami yakni:
Apakah konsep polytheisnya samhita dan brahmana yang benar, ataukah
konsep monotheisnya Upanisad, yang sesungguhnya benar-benar menyatakan
ide Veda yang sebenarnya. Masalah itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Untuk itu kita mencoba melihat, seandainya samhitanya Veda, yang
politheismenya sangat menonjol dapat membawa kita ke satu pemecahan.
Mantram (verse, sloka) gayatri dinyatakan amat penting, karena
mengandung spiritual life (kehidupan sepiritual), baik dalam Weda maupun
dalam beberapa tulisan Sanskerta (Rgv, III,62.10).
Di dalam Atharvaveda, gayatri, diterangkan sebagai ilmu Veda
(AV.XIX,712) mengandung inti kehidupan sepiritual (spiritual life). Jadi
Gayatri Veda salah satu elemen Veda yang paling vital. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa dalam gayatri mantram terkandung satu universal being
(Tuhan ) menjelmakan diri-Nya dan bersinar sendiri dari manifestasi diri-Nya,
baik di dalam alam ini maupun di dalam alam-alam lainnya, dan Being
(Tuhan) itu juga bersemayam di dalam hati manusia, sebagai penguasa
batin manusia itu sendiri (inner ruler).
Adapun konsep Gayatri atas satu self-luminous universal spirit dan Dia
bersemayam di dalam hati manusia, di kemudian hari dikristalkan di dalam
kitab-kitab Upanishad, yang merupakan bagian kesimpulan Veda, ke dalam
doktrin bahwa Brahman (Tuhan) ada di mana-mana yang sama identitasnya
dengan individual self (atman). Individual self (atman), walaupun nampaknya
terbatas dan tidak sempurna, dalam bentuk akhirnya adalah Divine
(Tuhan/Brahman); karena Dia bersemayam di dalamnya.
Doktrin tentang identitas Atman dan Brahman, pertama kali
diutarakan di dalam Gayatri dan kemudian dikembangkan oleh Upanishad-
Upanishad menjadi pusat ajaran Veda dan Hinduisme pada umumnya.
Seperti mahavakya Upanishad-Upanishad: that thou art (tat tvam asi), I am
Brahman (Aham Brahmasmi)dan sebagainya. Jelas bahwa konsep atman
menjadi titik pusat upanisad-upanisad.
42

Menurut Upanisad, atman adalah inti sari (inner essence) manusia,


substance yang permanen yang selalu tetap dan stabil, tidak berubah-ubah dari
segala macam perubahan badan, alat-alat indria (sence of organs), dan
pikiran. Badan jasmani manusia bisa berubah-ubah dalam berbagai bentuk.
Begitu juga indra-indra lainnya dapat dihancurkan, juga pikiran ; bahkan dapat
dijadikan dalam keadaan tidak sadar, emosinya, indria, citranya dan
sebagainya dapat dihancurkan.
Tetapi dalam kenyataan Dia (manusia) tidak pernah kehilangan self
identity terhadap dirinya sendiri. Hal itu membuktikan bahwa Dia di dalam
dirinya ada satu relitas yang menyaksikan semua perubahan dan penghancuran
itu, tetapi tidak dipengaruhi oleh mereka. Substance yang permanen itu
disebut self (atman). Atman (self) itu tidak hanya inner essance mahluk
hidup (kita, manusia), tetapi juga outter essance of the universe (alam
semesta).
Upanishad tidak membuat perbedaan antara with in dan with out. Kita
lihat dalam Kathopanishad: Apa yang within kita juga without. Apa yang
without juga within. Dia yang melihat perbedaan antara apa yang within dan
apakah without, pergi terus-menerus dari satu kematian ke kematian (KU, II,
1.10).
Kalau kita memandang sebagai The Ultimate Methaphysical principle
outter universe, Atman itu disebut sebagai Braahman. Ada perubahan without
yang tidak henti-hentinya di dalam bentuk pergerakan, pertumbuhan,
kehancuran dan kema tian; dan di dalam hati manusia semua perubahan itu ada
satu reality yang kekal dan disebut Brahman.
Lagi, di dalam perubahan yang tidak henti-hentinya within (di dalam)
badan dan pikiran kita satu reality kekal yang disebut Atman, dan kedua pokok
pendapat (principle) itu dipergunakan sebagai hal yang satu dan sama: aikyam
atma Brahman (self itu adalah Brahman) adalah satu ucapan besar
(mahavakya) yang digunakan oleh Upanishad untuk menyimpulkan ajaran
Upanishad tersebut.
43

Tetapi ada satu pertanyaan yang kiranya sulit dijawab, yang dapat kita
tampilkan di sini, seandainya atman yang kekal adalah inti reality maanusia
dan alam semesta (universe), dan bagimana kita harus memnadang phenomena
perubahan dan becoming of changes yang menjadi karakter dunia penglaman
kita sehari-hari. Jawaban Upanishad adalah, hal-hal yang mengalami
perubahan dan tidak berasal dari luar nilai-nilai yang dimiliki sendiri dan tidak
mempunyai reality sendiri.
Jadi perubahan dan becoming (menjadi) itu dianggap tidak benar dan
dianggap sebagai sumber penderitaan. Hanya atman yang tidak terjangkau oleh
perubahan dan penderitaan, tetapi walaupun dia tidak terjangkau oleh
perubahan dan penderitan, Atman dibawah pengaruh satu kebodohan cosmic
(avidya), melupakan sifat aslinya sendiri, dan dengan salah menyamakan
dirinya dengan perubahan fenomena badan dan pikiran.
Yang terakhir itu bukan bagian self sendiri, tetapi kosa-nya self atau
pembungkus atman, misalnya badan dan mental bertanggung jawab atas
semua penderitaan mahluk karena atman salah membayangkan milik-milik
sifat badan dan pikiran sebagai sifat-sifatnya sendiri.
Hanya ketika atman berhasil membebaskan diri dari pembungkus-
pembungkus (kosa) itu dengan cara spiritual traening dibawah tuntunan
seorang guru (guru spiritual), bersinar maju di dalam bentuk devine-nya sama
dengan Brahman. Tetapi selama itu tidak terjadi self menderita dari illusion
(bayangan semu) yang merupakan subjek semua evils, ketidaksempurnaan dan
keterbatasan pembungkus luar; jadi membuat dirinya korban penderitaan dan
kematian. Tetapi pada saat yang sama, setiap individu berkeinginan untuk lolos
dari penderitaan dan menentang kematian, itu membuktikan bahwa semua
penderitaan bukan sifat self dan bukan tujuan akhir.
Seandainya ada elemen asing yang memasuki badan kita atau satu duri
ke dalam daging, badan kita langsung bereaksi kepadanya dan mencoba untuk
mengenyahkan, seperti semua orang ingin mengenyahkan kesedihan dan
kesengsaraan kehidupan manusia. Itu menunjukkan bahwa mereka bukan milik
self tetapi elemen asing yang masuk. Itu menyatakan karakter self adalah satu
44

keadaan yang sempurna dan damai atau bliss (damai mutlak, ananda), bebas
mutlak dari semua penderitaan dan ketidaksempurnaan.
Keadaan yang bahagia mutlak disebutkan dalam berbagai istilah di dalam
Upanishad-Upanishad sebagai: mukti, moksa, kaivalya, apavarga, dan
sebagainya dan pencapaian manusia (caramapurusartha).
Bagaimana caranya mencapai tujuan utama itu? Hanya dengan jalan
menyobek penutup kosmik yang menghalangi pandangan kita (avidya), dan
berhasil menyadari identitas Atman dengan Brahmaan; itulah jawaban yang
diberikan Upanishad atas pertanyaan tersebut.
Ketika seseorang menyadari keidentitasannya itu dia akan tahu
kebenaran sejati. Atman akan bebas dari ketentuan, bebas dari kematian, bebas
dari kesedihan, bebas dari lapar dan haus (ChUI, 1.3). Itulah sebabnya manusia
disebutkan di dalam upanisad-upanisad sebagai putra dan putri "kekal abadi"
(amrtsya putrah).
Doktrin kepentingan spiritual identitas antara atman dan Brahman
mewakili inti pandangan spiritual maharesi-maharesi Vedic - Upanisadic dan
memberikan Hinduisme satu karakter khas.
Agak menarik dicatat di sini doktrin kuno Upanisadic tentang Atman -
Brahman mempunyai keparalelan dengan mediaval Christian mystic Eckhart:
"untuk mengukur jiwa (soul) kita harus mengukurnya dengan Tuhan, karena
dasar Tuhan dan dasar jiwa (soul) adalah satu dan sama" (To gauge the Soul we
must gauge it with God, for the groud of the God and the Soul are one and the
same) (Aldous Huxley, Perennial Philosophy, 19).
Untuk mengetahui atman (self), kita harus mengetahui Brahman
(Tuhan). Dengan mengetahui Tuhan adalah mengetahui semuanya, karena
semua di alam semesta ini dihadiri oleh Tuhan. "Semua ini diciptakan oleh
Tuhan" (Isopanisad). Jadi ada pertanyaan aneh -- Apa yang diketahui semuanya
yang lain diketahui? -- menemukan jawabannya pada jiwa manusia: atmanam
Viddhi, diketahui self-mu sendiri Karena hal itu yang menyebabkan semua
kitab-kitab Upanisad dinamakan Atmavidya, satu studi tentang atman.
45

3.3 Kedudukan para Dewa dalam Agama Hindu

Sebagai kita ketahui Upanisad-upanisad disebut sebagai Atmavidya,


juga Samhita-samhita, bagian Veda yang pertama dan tertua, dikenal juga
sebagai Devavidya, yaitu satu studi tentang sifat-sifat Dewa. Disebut demikian,
karena samhita merupakan koleksi himne-himne dan persembahyangan yang
ditujukan kepada para /berbagai dewa. Misalnya, sebuah sloka /verseRg.Veda
(VIII,28) dan komentar tradisional atas Veda, menyebutkan 33 dewa antara
lain: Indra, Varuna, Pusa, Agni, dan sebagainya.
Dewa-dewa tersebut dikatakan sebagai super natural dan luminious
(bersinar sendiri). Kenyataannya, kata deva, diambil dari akar kata
Sansekerta "dev" yang artinya "bersinar". Mereka itu (para dewa), aktif dan
menuntun berjenis- jenis objek alam dan fenomena untuk mampu berfungsi.
Perlu dimengerti dalam hal ini, bahwa Indra adalah dewa hujan, petir, dan
badai. Pusa adalah dewi fajar. Agni adalah dewa api dan sebagainya.
Walau hubungan dewa Vedic itu dengan alam sangat intim (erat
hubungannya), namun dewa bukan personifikasi kekuatan-kekuatan alam,
seperti banyak dimengerti oleh para sarjana. Akan lebih benar, jika para dewa
dimengertikan sebagai personalitas yang menguasai berbagai fenomena alam
(abhimana devatas) dan menuntun dewa-dewa.
Persembahyangan yang ditujukan untuk para dewa adalah bersifat
kepada dewa yang lebih berkuasa dari manusia dan mengontrol alam; dan
sebagai personalitas dewa-dewa bersifat pemberkah. Tetapi sebuah pertanyaan
langsung timbul di sini. Bagaimana mungkin adanya banyak dewa seperti
yang kita dapatkan dari Samhita Veda dapat disetujui dengan doktrin dasar
Upanisadic, bahwa Brahman adalah satu dan hanya satu, dan individual atman
adalah identik / sama dengannya. Kalau pertanyaan ini tidak terjawab, maka
semua isi Veda menjadi tidak ada artnya dan berkontradiksi.
46

Satu contoh jawaban yang khas Hindu, adalah tidak pernah ada
polytheisme yang asli dalam agama Hindu. Apa yang nampak sebagai
polytheisme di dalam verse-verse /sloka-sloka Samhita, adalah benar-benar
monotheisme dan hanya berselimut polytheistik semu/ samaran. Ini membawa
kita ke satu pertanyaan yang lebih mendasar ke dalam sifat adanya para dewa
dan status methaphysikanya.
Seandainya kita ambil agama pra Kristen dari klasikal Yunani dan Roma
sebagai contoh yang beanr politheisme tidak sulit bagi kita melihat kenapa
Hinduisme masuk golongan ini. Di dalam polytheisme Yunani dan Roma
perbedaan pokok antara dewaa-dewa daan manusia berbeda dalam hal
yang pertama ialah immortal (kekal, anitya), sedangkan maanusianya tidak;
dan manusia mortal, nitya (tidak kekal) tidak akan mencapai status sebagai
dewa. Tetapi dalam Hinduisme, manusia dan dewa mempunyai nasib yang
sama: bahwa mereka, keduanya diciptakan olel Brahman, Tuhan Maha
Pencipta; dan sebagai mahluk mereka bernasib lahir dan mati.
Seperti manusia biasa, nasib para dewa itu juga ditentukan oleh hukum
karmaphala, hukum sebab akibat. Hukum tersebut berfungsi sebagai awal
dan akhir kedudukan mereka sebagai dewa. Menurut hukum karmapala,
kebahagiaan dan penderitaan seseorang tergantung pada perbuatan baik
(punya atau subha karma, kusala karma), dan perbuatan jelek, jahat (papa,
asubhakarma, akusala karma), yang dilakukan seseorang. Perbuatan baik
akan berakibat kebahagiaan, dan perbuatan jelek / jahat akan berakibat
kesedihan, penderitaan.
Sekarang seandainya hasil perbuatan baik seseorang begitu besar,
sehingga semua kebahagiaan di dunia ini tidak dapat menyamainya. Ketika
badan wadag orang mati, ia akan lahir sebagai seorang dewa di sorga. Untuk
menikmati hasil-hasil perbuatannya dan tetap di sana, sebagai mahluk dengan
kekuatan supernatural (adikodrati), dan menguasai satu kekuatan alam.
Kebahagiaan yang berlimpah dan kekuatan superhuman menjadi
karakter kehidupan dewa-dewa di sorga. Lagi, seandainya seseorang yang
mendapat hasil perbuatan baik yang tertinggi dengan melakukan bebrapa
47

pertapaan khusus dan upacara Veda (Yajna) mati, maka dia akan lahir kembali
tidak hanya sebagai dewa, tetapi sebagai raja dewa-dewa yang disebut Indra,
dan semua dewa yang lebih kecil akan menuruti perintahnya. Tetapi kehidupan
para dewa itu termasuk Indra akan berakhir, seandainya hasil perbuatan
baiknya sudah habis dinikmatinya dan mereka akan mati dan kemudian akan
lahir kembali dalam bentuk menurut hasil perbuatannya yang lalu. Lingkaran
hidup dan mati itu disebut samsara.
Lingkaran hidup dan mati manusia atau dewa akan terus berputar,
selama mereka belum menyadari identitas mereka dengan Brahman. Adalah
sangat menarik untuk kita catat di sini, bahwa dewa-dewa Vedic tersebut
dideklarasikan sebagai karyawan kosmos (cosmic) yang memegang jabatan
tertentu (pada), dan mempunyai tugas-tugas tertentu. Jadi, istilah Indra, -raja
dewa-dewa-, bukan nama seseorang tetapi nama satu kedudukan / jabatan
(Indrapada). Setiap orang yang mempunyai hasil perbuatan baik mencukupi
lahir untuk menjadi seorang Indra, dia berhak menduduki kedudukan /jabatan
tersebut. Tetapi kalau karma baiknya sudah habis, dia harus meninggalkan
kedudukan tersebut, dan Indra lainnya (yang baru) akan mengambil
kedudukannya.
Jadi walaupun kedudukan dewa-dewa itu (pada) adalah konstan, namun
individu-individu yang melakukan tugas sebagai Indra, Agni dan sebagainya
yang berubah. Sekarang melihat hal-hal yang tersebut di atas yang khas deva
Vedic, kekekalan dan kemampuan mereka untuk mengangkat dirinya
menjadi dewa-dewa, kita tidak menyebut Vedic polytheisme, sebagai
polytheisme sejati pada agama Yunani dan Roma kuno.
Satu hal yang sangat penting yang kita perhatikan pada dewa-dewa
Vedic, adalah walaupun mereka berkekuatan cukup untuk mengontrol
kekuatan-kekuatan alam, mereka tidak pernah dinyatakan sebagai menciptakan
mahluk dan alam. Pencipta di dalam Hinduisme adalah hanya Tuhan Yang
Maha Esa (Iswara), yang Dia sendiri tidak tercipta.
Dewa-dewa / para dewa dalam agama Hindu, agak mirip dengan
malaikat-malaikat dan santo-santo dalam agama Kristen, yang mereka sendiri
48

adalah mahluk Tuhan pencipta. Dewa Hindu juga mirip dengan santo-santo
Kristen dalam hal pencapaian kedudukan tinggi tersebut, tidak semenjak awal.
Para malaikat diciptakan oleh Tuhan bersamaan waktu penciptaan.

Berbicara secara teknikal malaikat dan saint-saint adalah mahluk


semiiternal, yaitu mereka mempunyai satu awal tetapi tidak punya akhir. Dan
juga kemunculan mahluk-mahluk semiternal itu tidak mempengaruhi dasar
monotheisme Kristianiti, juga adanya berbagai dewa tidak mengganggu teori
Tuhan Yang Maha Esa-nya Upanisad. Tetapi ini, bukan semua cerita tentang
dewa-dewa Vedic, dan Hinduisme pergi lebih dalam dari ini, di dalam
menerangkan tentang mereka.
Di antara banyak ragamnya dewa-dewa, terdapat sebuah fondamental
unity, satu unity (kesatuan), yang menahan Hinduisme jatuh ke dalam
bentuk polytheisme. Titik itu dengan jelas diterangkan oleh Swami
Vivekananda, seorang santo agama Hindu, dengan satu perbandingan studi
dengan non-Hindu polytheistic, mithologis (Svami Vivekananda, Hinduism:
hlm.324).
Di dalam mithologi-mithologi itu, kata Vivekananda, selalu kita
temukan satu Dewa tertentu berkompetisi/berlomba dengan dewa-dewa lainnya,
untuk menjadi lebih menonjol dan mengambil kedudukan yang lebih tinggi di
atas yang lain, sedang dewa-dewa yang lainnya secara perlahan menjadi bawa-
han. Jadi, di dalam mithologi Yahudi (Jewish), Jehovah menjadi supre
(paling tinggi) dari semua molochos dan molocho-molocho lainnya dilupakan
dan menghilang selama-lamanya. Jehovah menjadi God of gods.
Sama dengan methologi Yunani, Zeus menjadi dewa yang terkemuka
dan mengambil bagian yang terpenting, menjadi God of the universe dan dewa-
dewa lainnya turun menjadi malaikat-malaikat minor. Hal itu nampaknya
menjadi proses umum.
Tetapi dalam mithologi Hindu, kita temukan agak berbeda. Dari semua
dewa Vedic salah satu,- yang mana saja,- diangkat ke status omnipoten
49

God(Tuhan Maha Kuasa) atas semuanya, sewaktu-waktu ketika dia dipuja


oleh resi-resi Vedic.
Jadi ketika Indra dipuja, dikatakan bahwa Dialah yang Maha Kuasa,
maha tahu, suprem Lord atas para dewa lainnya, seperti: Varuna, Agni dan
sebagainya, hanya mengikuti perintah-Nya.
Tetapi di dalam buku Veda berikutnya atau kadang-kadang pada buku
yang sama, ketika hymne-hymne ditujukan kepada Varuna dikatakan, bahwa
Varuna adalah yang maha kuasa dan Tuhan Maha Tahu. Sedangkan Indra dan
yang lain-lainnya hanya mengikuti perintah-Nya. Dengan jalan begitu, maka
semua dewa yang lain memiliki posisi sebagai suprem Lord secara bergantian.
Menyelidiki kekhasan dewa-dewa Vedic, Prof. Max Muller tidak mengkarak-
terkan kepercayaan Vedic sebagai polytheisme, memberikan istilah baru
yaituhenotheisme.Tetapi, dengan memberikan nama baru kepada situasi yang
baru itu ternyata tidak memperjelas situasi tersebut. Jadi, dengan penggunaan
istilah henotheism, Max Muller tidak benar-benar menerangkan kenyataan
kenapa berbeda-beda para dewa Vedic, mengatasi satu saama linnya
bergantian sampai menduduki posisi sebagai Tuhan alam semesta. Namun,
keterangannya ada di dalam kitab Veda sendiri. Di sana sudah diterangkan,
dalam satu hymne-hymne Veda: Ekam sat vipra bhahuda vadanti (Rg Veda, I.
164.46). Dia hanya satu, para resi menyebutnya dengan berbagai nama.
Jadi hanya nama-nama atau konsep-konsep para dewa yang lain tetapi
reality. Berbagai tingkat kekuatan intelektual individu-individu yang berbeda di
dalam mengertikan reality yang satu dan sama menghasilkan satu formasi
berjenis-jenis konsep dewa-dewa. Tetapi di dalam hati berbagai pendapat,
satu reality tetap berkuasa: Dia ada hanya satu, para resi memanggilnya dengan
berbagai nama. Dan hal ini nyata sekali bukan polytheisme. Apa yang
nampaknya polytheisme dalam Samhita Veda, kenyataannya adalah
monotheisme.
Lagi pula walaupun bahasa politheisme menarik perhatian kita di dalam
verse-verse, sloka-sloka Samhita, namun mereka membisikkan nada-nada
monotheisme tidak absen di dalamnya, sebagai yang terbukti dari verse, sloka
50

Gayatri Rg Veda. Harus monotheisme dibagian pertama dan tertua dari


Veda, Samhita menjadi harus yang dominan dalam Upanisad ketika resi-resi
Upanisadic secara bersatu mengatakan istilah: Ekam eva advityam. Hanya ada
satu Tuhan, tidak ada duanya.
Teori Tuhan Yang Maha Esa itu adalah ajaran Veda utama dan konsep
ketuhanan Hindu harus diartikan dalam bentuk itu. Hinduisme tidak pernah
menganut agama pure polytjeism (politheisme sejati).

3.4 Aspek-aspek Immanent dan Transcendental Tuhan

Walaupun Tuhan satu dan hanya satu (The God one and only), Veda
telah membagi dua sifat Tuhan yang berbeda yaitu: (1) immanent, dan (2)
transcendental. Di dalam apsek imanentnya, Tuhan dikatakan sebagai:
pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta (srsti, sthiti, pralaya
karta).Konsep Tuhan sebagai maha pencipta, adalah satu fundamenatal hampir
pada semua agama di dunia dan Hinduism termasuk di dalamnya.
Tetapi satu bentuk yang khas konsep Hindu tentang Tuhan Maha
Pencipta, adalah setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berada
atau berdiri di luar alam semesta, tetapi Tuhan berada di dalam alam semesta.
Konsep Tuhan tinggal di sorga, di atas alam semesta, dan kadang-kadang
turun ke alam semesta pada waktu krisis, cukup asing bagi pikiran Hindu.
Tuhan menurut Hinduisme, tetap berada di dalam universe / alam semesta
bahkan menjadi satu dengannya, mengontrol dan tetap bersamanya
(Bhagavadgita, XV, 13).
Jadi, Tuhan diterangkan oleh kitab suci Hindu sebagai pencipta, intern
dan mengontrol di dalam dunia, atau dalam bahasa Sansekerta antaryamin.
Untuk menghargai pengertian tentang Tuhan dikatakan interatly embedded di
dalam universal, kita perlu mengerti teori Hindu tentang penciptaan, (diskusi
secara detail tentang ini di bahas dalam bagian berikutnya).
51

Namun, untuk keperluan sekarang ini cukup kita mencatat Tuhan dalam
bentuk imanennya: adalah bentuk personal God, di dalam pemujaan bhakti
Hinduism di kemudian hari diberikan enam sifat yaitu: (1) maha agung,
(majesty, aisvarya), (2) maha kuasa (omnipotence, virya), (3) maha
mulia, (glory, yasa), (4) maha cantik/indah, (beauty, sri), (5) maha tahu,
(knowledge, jnana), dan (6) maha adil, (dispassin, vairagya).
Tuhan dalam bentuk imanent dengan sifat-sifat tersebut di atas,
dinamakan juga sebagai Saguna Brahman, dan dapat dipuja serta disembah
dalam bentuk Isvara, seperti disebutkan dalam kitab Upanisad. Walaupun
Tuhan berada dalam alam semesta dan menjadi satu dengannya, namun dalam
kenyataannya Tuhan tetap ada dan Dia di luar jangkauan alam semesta. Jadi,
Tuhan selain immanent,(tetap ada), juga mempunyai hubungan transcendental
(di luar pengertian, pikiran) dengan alam semesta. Tentang itu dikatakan
dalam satu hymne/sloka Rg Veda yaitu Purusa Sukta : "Tuhan menyatu
dengan seluruh dunia, dengan seperempat tubuhnya, sedangkan tiga per
empatnya berdiri kekar di langit. Tuhan menyatu dengan seluruh dunia dengan
seperempat tubuh-Nya, sedangkan tiga perempat-Nya berdiri sebagai kekal di
langit (Rg Veda, I, 90.3).
Bahasa ukuran yang digunakan dalam hymne /sloka itu tentu saja
mettaforika, seperti akan kita lihat kemudian, bahwa Tuhan dalam aspek
transcendental di luar jangkauan ukuran manusia dalam istilah kuantitas
maupun kualitas. Tuhan adalah di luar jangkauan alam semesta, aspek
transcendental Tuhan itu disebut Brahman. Tidak hanya di dalam Rg Veda,
tetapi juga dalam kitab-kitab suci Hindu lainnya sudah berkali-kali dijelaskan
yaitu Tuhan mempunyai aspek yang luar jangkauan fenomena (misalnya
Brhadaranyaka Upanishad, III, 9.26; Bhagavagita, X.42, XIV.16-17).
Sekarang, aspek transcendental Tuhan tentu tidak ada satu keterangan
linguistk yang mampu menerangkan tentang Tuhan, Kita ambil dari
Upanishad: Brahman adalah dari di mana pikiran dan perkataan bingung di
dalam pencahariannya (Taittirya Upanisad, II,9.1).
52

Jadi, segala bentuk komentar-komentar fenomena tentang Brahman


semuanya tidak memberikan pengetahuan yang benar. Juga pikiran konseptual
kita tidak mampu menerangkan tentang Brahman secara positip. Kalau pun
mencoba menerangkan tentang Brahman, kita hanya sampai pada kemampuan
menyatakan "neti-neti", bukan ini (Brhadaranyaka Upanisad,III,9.26).
Satu proses yang panjang praktek spiritual (yoga), akan mampu
membawa pikiran kita dari konsep-konsep itu dan mengubah memindahkan
reason tak menentu kita ke dalam suatu keadaan transcendental intuition.
Pemindahan keadaan itu, keadaan pikiran tanpa konsep, dikenal sebagai
samadhi di dalam Yoga Sutra-nya Patanjali, dan dikatakan bahwa pengetahuan
tentang sifat dan karakter-karakter Brahman yang sebenarnya berada dalam
keadaan itu.
Di dalam keadaan pengalaman intuitif transcendental (samadhi),
Upanisad menerangkan sifat Brahman sebagai: Sat cit ananda. Tetapi semua
pernyataan kitab-kitab suci itu dan tidak akan mampu menerangkan apa itu
Brahman (sifat Brahman). Dari semua itu kita dapat menyimpulkan
pemikiran, bahwa Brahman itu tidak kosong (sunya), tetapi Dia adalah
sumber objek dan pengalaman, dan Dia adalah satu tanpa duanya.
Brahman kalau dipandang sebagai kreatif energi (sakti) alam, disebut
Isvara dan tidak ada perbedaan di antara ke dua itu Brahman dan Isvara).
Isvara adalah kemungkinan tertinggi pikiran kemanusiaan kita yang terbatas
untuk mengetahui Brahman; di luar jangkauan mental kita, Tuhan berdiri
sebagai Transcendental dan impersonal absolut, yang sukar terjangkau oleh
cinta dan pemujaan. (Pada bagian berikut ini akan dijelaskan tentang Isvara
personal God sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur dunia).

3.5 Isvara (Tuhan) dan Penciptaan


53

Teori Vedic Upanisadic tentang penciptaan (creation) bersandar pada


dua teori yang saling berlawanan: penciptaan exnihilo dan penciptaan bahan-
bahan yang ada di alam semesta.
Menurut teori yang pertama, tidak ada yang ada kecuali Tuhan, sebelum
penciptaan dan Tuhan menciptakan alam semesta dari yang tidak ada (exnihilo)
dengan sifat kreatif keinginan Tuhan. Kita temukan teori penciptaan ini
disebutkan dan ditolak di dalam salah satu Upanisad yang terpenting dan
perdebatan yang digunakan untuk menolak teori tersebut adalah: bahwa
salah satu hal yang tidak pernah diproduksi dari yang tidak ada (kathamasatah
sajjayettiti) (Chandogya Upanisad, VI,2.1-2).
Adapun perdebatan tersebut bersandar pada sebuah pandangan
penyebaban dikenal sebagai sat-karya-vadah, di dalam sistem sankhya salah
satu filsafat Hindu. Menurut pandangan itu akibat (karyaa), harus ada (sat) di
dalam bahan penyebab, sebelum dia diproduksi. Seseorang bisa mendapat
minyak dari kacang-kacangan, minyak dikandung dalam kacang-kacangan,
sebelum diproses menjadi minyak. Ribuan usaha untuk memproduksi setetes
minyak dari bahan pasir, tidak kan berhasil, karena pasir tidak mengandung
minyak.
Jadi, apa yang disebut produksi atau penciptaan, berarti evolusi suatu
benda yang sudah mengandung bahan-bahan penyebab. Apa yang involved
menjadi envolved, apa yang envolved menjadi denvolved, apa yang laten
menjadi patent, dan inilah yang dimaksud penciptaan (creation), dalam Hindu-
ism. Jadi suatu hal atau benda tidak bisa diciptakan dari hal atau benda yang
tidak ada yang juga tidak mengandung sifat-sifat sebelumnya.
Jadi, mengatakan Tuhan menciptakan dunia dengan ex nihilo, tidak
tepat dengan konsep creation di atas, sehingga lawan teori itu yaitu teori lain
tentang creation (penciptaan) dikemukakan oleh beberapa kosmologis dan
filosofis yang mungkin bisa dikatakan sebagai teori desain dunia.
Menurut teori itu, Tuhan menciptakan alam semesta tidak dari yang
tidak ada, tetapi dari bahan-bahan yang pre-existing, misalnya: atom-atom
(paramanu), ruangan dik), waktu (kala),dan lain-lain, yanng merupakan coval
54

entities yang sudah ada dengan Tuhan. Bahan-bahantersebut sudah ada


sebelum dan di luar Tuhan, dan Tuhan sebagai satu concious efficient agin,
hanya membentuk dan mendesain dunia ini dari mereka. Di dalam teori tersebut,
Tuhan tidak begitu pencipta sebagai satu desainer dan arsitek alam semesta.
Tetapi Hinduisme menolaak teori itu, sama halnya dengan menolak
teori yang pertama tentang creation. Kelemahan utama teori tersebut, berada
di dalam kenyataan penurunan Tuhan sebagai satu keadaan ketergantungan,
keterbatasan, dan mahluk terbatas. Seorang arsitek harus menggantungkan diri-
nya seluruhnya pada bahan-bahan creationya, dan dia hanya dapat berbuat
apa-apa, yang bahan-bahannya memberi ia kemampuan untuk membuat. Dengan
jalan itu Tuhan menjadi disempitkan oleh bahan-bahan creationnya, dan
kemahakuasaan-Nya hilang.
Jadi, walau teori disain menghindari kelemahan teori ex nihilo tentang
penciptaaan, Dia tidak mempertahankan konsep kemahakuasaan Tuhan. Jadi
kita tidak bisa diterima sebagai kesimpulan yang memuaskan di dalam
menghadapi masalah penciptaan.
Setelah menolak kedua pandangan di atas, Upanisadic Hinduisme
memberikan teorinya sendiri, tentang penciptaan di dalam bentuk positip.
Menurut Upanisadic Hinduism, Tuhan menciptakan alam semesta tidak dari
ketidakadaan atau tidak dari bahan-bahan yang sudah ada dikatakan Tuhan,
tetapi dari dalam dirinya sendiri. Tuhan adalah bahan-bahan penyebab dan
penimbul aktif alam semesta (abhinna nimittopadana).
Di dalam keadaan empirikal biasa produksi, material cause (upadana
karana) dan efisien cause (nimitta karana), adalah dua hal yang berbeda.
Material cause (bahan penyebab) berada di luar effisience cause (penyebab
aktif). Di dalam hal produksi kendi tanah, tanah liatnya (bahan baku) untuk
membuat kendi itu adalah material cause dan membuat kendi, yang sadar
membuat kendi adalah effisiencee cause setelah kendi terbuat, kendi terus
mempunyai satu keadaan yang bebas dan di luar pembuat kendi. Di sini Isvara
dikatakan sebagai effisience cause dan material cause alam sewmesta, Tuhan
55

menciptakan alam-alam semesta dari sifat-sifat diri-Nya sendiri. Dia


pencipta dan juga bahan ciptaan alam semesta dalam waktu yang sama.
Jadi, setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berdiri di alam
semesta, tetapi menyebabkan dirinya sendiri berada di setiap bagian kecil alam
semesta, sebab Tuhan sendiri menjadi alam semesta: alam semesta adalah
satu extention diri-Nya sendiri, alam semesta adalah satu proyaksion
innernature (prkerti) Tuhan.
Kita petik dari Upanisad: Seperti halnya laba-laba mengeluarkan
benang-benang dari dalam dirinya sendiri dan menarik kembali ke dalam .....
juga demikian Tuhan (aksara) menciptakan alam semesta (Mundaka Upanisad,
I, 1.7).
Bentuk lainnya yang menrik dalam teori Hindu tentang penciptaan
adalah bahwa sifat penciptaan dikatakan sebagai kekal tanpa awal dan akhir.
Tidak ada titik yang dapat dibayangkan kapan Tuhan ada sebelum terciptanya
alam semesta. Dunia mempunyai satu awal dan satu akhir.
Tidak bisa kita katakan, bahwa alam semesta diciptakan beberapa ribu
tahun setelah penciptaannya. Tidak pada titik tertentu Tuhan menciptakan
alam semesta dan semenjak itu Tuhan beristirahat dengan damai, kecuali
kadang-kadang ikut campur dalam urusan alam semesta.
Energi creasion Tuhan selalu berjalan; Tuhan kekal dalam penciptaan
dan tidak pernah beristirahat. Di dalam Bhagavadgita, Sri Krisna, yang
dianggap sebagai avatara Visnu (Tuhan), satu sekte Hindu mengatakan, "
Kalau saya tetap tidak aktif dalam satu detik waktu, seluruh alam semesta
akan hancur menjadi berkeping-keping" (Bhagavadgita, III,24). Akan tetapi,
bagaimana dapat ide penciptaan yang kekal tanpa awal dan akhir bisa disatukan
dengan konsep lingkaran peleburan alam semesta, atau disebutkan oleh kitab
suci Hindu lainnya sebagai pralaya.
Jawabannya di bawah ini menurut metafisik Hindu alam semesta yang
diciptakan adalah suatu kumpulan-kumpulan getaran (vibrations) yang tetap
pada satu level frekwensi tertentu. Tetapi ada satu periode ketika semua
56

kumpulan vibrations itu menjadi sangat cair dan mulai kembali dan akhirnya
diserapkan kembali ke dalam Tuhan, dari mana Dia diproyeksikan sebelumnya.
Kumpulan getaran (vibrations) yang tidak bergerak dari alam semesta
di dalam Tuhan itu dikenal sebagai pralaya /peleburan atau cosmic
dissolution. Tetapi harus tidak diartikan sebagai penghancuran mutlak alam
semesta. Alam semesta pralaya, tidak meledak menjadi ketidakadaan mutlak
selama-lamanya. Setelah mencapai level frekwensi terendah alam semesta
tetap ada sebagai suatu keadaan yang tidak terbentuk (humanitested
condation).
Segala apa pun yang telah berkembang (evolved) dari Tuhan akan
menjadi satu (involved) kembali di dalam Tuhan. Tetapi setelah satu periode
involution sementara seluruh alam semesta kembali berkembang ke depan
pada awal satu lingkaran yang baru. Proses involution dan evolution alam
semesta berjalan ke belakang dan ke depan seperti ombak samudra dalam
kekekalan.
Lagi pula pralaya itu tidak mengambil tempat secara beruntun di semua
bagian alam semesta ini. Satu solar sistem tertentu seperti solar sistem kita
mungkin diserap tetapi ribuan yang lainnya tetap melanjutkan kenyataannya di
dalam kenyataannya masing-masing.
Jadi, penciptaan sebagai satu keseluruhan adalah kekal abadi dalam arti
tidak mempunyai awal yang absolut dan akhir yang absolut. Ketika kitab suci
Hindu menggunakan kata 'awal' dan 'akhir' dunia ini, mereka harus diartikan
sebagai awal dan akhir satu lingkaran tertentu tidak lebih dari itu.
57

BAB IV
SUMBER DAN RUANG LINGKUP AGAMA HINDU

4.1 Pengantar

Pada bab terdahulu telah dijelaskan, bahwa agama Hindu, seperti


agama-agama besar lainnya, juga memiliki karakter yang merupakan sifat yang
khas dan mendasar sebagai pembeda dengan agama-agama yang lainnya.
Dengan mengetahui dan memahami karakteristik Hindu itu, sebagai umat Hindu
akan mempunyai pandangan yang luas dan wawasan universal. Pengertian,
pengetahuan dan pemahaman tersebut, akan merupakan dasar wiweka
(pengambilan kebijaksanaan) yang sangat utama, baik di dalam Hinduisme
sendiri maupun ekstern. Di situlah sesungguhnya letak dasar utama
ketoleransian Hinduisme. Keanekaragaman dalam berbagai variasi bisa
berdampingan, bahkan bisa saja saling isi mengisi dalam pertumbuhan dan
perkembangannya.Sementara itu, para sarjana indologi mengatakan, bahwa
sumber data agama Hindu berdasarkan dua faktor: (1) berdasarkan tradisi, yang
dihiasi berbagai methologi, dan (2) berdasarkan sejarah. Faktor yang pertama,
sangat dipengaruhi oleh legenda, metologi, folklore dan kepercayaan secara
tradisi. Sedangkan dasar yang kedua, sejarah, memerlukan fakta-fakta dan
pembuktian sejarah.Dalam sejarah perkembangan agama Hindu sepanjang masa,
kedua faktor itu sangat berperan, dan saling melengkapi. Atas dasar itu, pada
bab ini akan dijelaskan: sumber dan ruang lingkup agama Hindu.

4.2 Sumber agama Hindu

Sesuai dengan karakter, dan dasar sumber datanya, agama Hindu


mempunyai sumber dua macam: (1) sumber yang tertulis, (Vedasruti dan
Vedasmrti), dan (2) sumber yang tidak tertulis (sila, acara, dan atmatusti).
Ketentuan seperti itu dapat kita simak apa yang tersirat pada sloka dalam
58

pustaka Manawa Dharmasastra (II,6, 1977: 64): Idanim dharma


pramananyaha, vedo'khilo dharmamulam; smrticile ca tadvidam acaraccaivaa
sadhunam atmanastutireva ca. Terjemahannya:Seluruh pustaka suci Veda
adalah sumber dharma yang pertama, kemudian Smrti, sila yang terpuji para
budiman yang mendalami pustaka suci Veda, tradisi para orang suci, dan
akhirnya kepuasan pribadi.
Menyimak apa yang tersirat dalam sloka itu, dapat kita mengetahui
bahwa sumber hukum dan ajaran agama Hindu ada lima sumber: (1) Vedasruti,
(2) Vedasmrti, (3) sila, (4) acara, dan (5) atmanastusti (atmatusti).
Rincian tersebut tersusun secara kronologi, menurut otoritasnya. Itu
berarti bahwa , sumber hukum atau agama (dharmamulam) yang paling tinggi
kedudukannya adalah : sruti, kemudian berturut-turut smrti, sila, acara dan
yang paling rendah kedudukannya adalah atmanastusti atau atmatusti. Jadi,
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, secara kronologi diurut
pencariannya dimulai dari Vedasruti. Seandainya dalam Vedasruti tidak
ditemukan, barulah dicari di dalam Vedasmrti/Dharmasastra. Demikian
seterusnya dicari sampai ditemukan dalam sumber yang paling kahir. Namun,
dalam keseharian tidak tampak yang yang mendominasi, karena sangat
bergantung pada pelaksananya. Setiap bangsa yang menganut agama Hindu
tenatu sangat dipengaruhi oleh acara atau tradisi dan budayanya.
Oleh karena itu, walaupun nampaknya dalam sloka itu Vedasruti
kedudukannya lebih tinggi dari Vedasmrti atau Dharmasastra, namun keduanya
dianggap sama sebagai sumber dharma. Hal itu dijelaskan pada sloka II.10 (Ibid:
65):Crutistu vedo vijneyo dharmacastram tu vai smrtih;te savarthesvamimamsye
tabhyam dharmohi nirbabhau.Terjemahannya:Yang dimaksud dengan sruti
ialah Veda, dan yang dimaksud dengaan smrti ialah Dharmasastra; kedua
pustaka suci itu tidak boleh diragukan kebenarannya, karena keduanya
merupakan sumber hukum (agama Hindu).
Dalam sloka di atas jelas, bahwa sruti dan smrti sama kedudukannya
dalam menentukan kebenaran. Bahkan, tanpa diragukan lagi. Cara penerimaan
pengetahuan tentang kebenaran seperti itulah yang disebut sabdapramana.
59

Bahkan, seandainya di antara kedua sumber itu terdapat perbedaan atau


pertentangan, maka kedua-duanya diterima. Jadi, tidak ada penghapusan sloka,
atau tidak ada sebuah sloka tigugurkan oleh sloka yang lainnya. Kedua sloka
tersebut diterima apa adanya (Ibid:II,14,:66).Cruti dvaidham tu yatra syattatra
dharmavubhau smrtau; ubhavapi hitau dharmau samyaguktau mani.
Terjemahannya:Seandainya dalam kedua pustaka suci itu terdapat suatu
perbedaan, maka keduanya dianggap sebagai hukum, sebab keduanya telah
ditetapkan sebagai hukum (dharma) oleh para bijaksanawan.
Dalam pustaka Sarasamuscaya sloka 37 dan 39, juga diungkapan betapa
hubungan antara Vedasruti dan Vedasmrti sbb.:
Srutirvedah samakhyato dharmasastram tu vai smrti;
te sarvathesvamimamsye tabhyamdharmo vinirbhrtah
(SS,37).

Itihasapuranabhyam vedam samupavrmhayet; bibhe


tyalpasrutadavedo mamayam pracrisyati (SS,39).

Terjemahannya:
Ketahuilah, bahwa Sruti adalah Veda, (dan) Smrti sesungguhnya
adalah Dharmasastra; keduanya harus diyakini dan dituruti, agar
sempurnalah dalam dharma itu.Hendakya Veda itu dihayati
dengan sempurna melalui itihasa dan purana; karena pengetahuan
yang sedikit itu menakutkan (dinyatakan) janganlah mendekati
saya (SS,37,39).

4.2.1 Weda sruti

Kata veda berasal dari urat kata vid artinya pengetahuan.Oleh orang
Inggris diterjemahkan menjadi Knoledge, dengan huruf 'K'besar. Jadi, Veda
berarti ilmu pengetahuan dalam arti yang sangat luas. Memang Veda, bukan
60

pengetahuan rohani saja, atau bukan pengetahuan suci saja, melainkan juga
berisi ilmu pengetahuan biasa/duniawi dan ilmiah. Jadi juga berisi ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengertian sehari-hari. Dengan demikian,
Veda tidaklah semata-mata yang berbentuk buku itu saja, tetapi mengandung
makna buku abstrak.
Lebih lanjut kata veda yang memakai 'a' panjang, artinya 'kata-kata yang
diucapkan dengan lagu, atau dinyanyikan'. Memang sloka-sloka dalam Veda
digubah dalam bentuk puisi (chanda) dan mempunyai berbagai lagu: gayatri.
Sebab itulah, kemudian sloka-sloka itu lebih dikenal dengan sebutan mantra.
Sedangkan kata sruti, berarti mendengar, atau apa yang didengar. Kata
srota artinya telinga. Dengan demikian kata sruti identik dengan kata wahyu.
Memang, para resi menerima dari pendengarnnya (sruti) dari Brahman/Tuhan
Yang Maha Esa, Sang Hyang Widi Wasa. Sruti itu diterima oleh para resi: (1)
Grtsamada, (2) Visvamitra, (3) Vamadeva, (4) Atri, (5) Bharadvaja, (6)
Vasistha, (7) Kanva, (8) Agastya, (9) Narayana, (1)) Prajapati, (11)
Hiranyagarbha dan lain-lainnya.
Adapun resi nomor 1 - 7 , termasuk dalam golongan sapta resi yang
menghimpun sloka-sloka Rgveda, mandala II - VIII. Sedangkan Resi Agastya
beserta siswanya menghimpun sloka-sloka Rgveda mandala I. Selanjutnya Resi
Narayana, Prajapati serta Hiranyagarbha, menghimpun sloka-sloka Rgveda
mandala IX - X. Jadi, Rgveda atau Rgvedasamhita, yang merupakan himpunan
sloka (stanza) sejumlah 10.552 mantra, terdiri dari 10 mandala, adalah sruti
(wahyu) yang didengar (diterima) oleh para resi tersebut ( dengan srota atau
telinga) dari Brahman/Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Maharesi Manu, membagi veda menjadi dua : sruti dan smrti, yang lebih
lanjut merincinya masing-masing. Begitu juga Vedasruti dibagi menjadi tiga
bagian: (1) mantra, (2) brahmana (karmakanda), dan (3) upanisad / aranyaka
(jnanakanda). Bagian mantra terdiri lagi dari empat macam himpunan (samhita)
: (a) Rgvedasamhita, terdiri dari 10.552 sloka (mantra, stanza); (b)
Samavedasamhita, terdiri dari 1.875 sloka / mantra / stanza; (c)
Yajurvedasamhita, terdiri dari 1.975 mantra (beberapa mantra dalam bnetuk
61

prosa liris); dan (d) Atharvavedasamhita, terdiri dari 5.987 sloka / mantra /
stanza (beberapa sloka dalam bentuk prosa liris). Jika sloka-sloka keempat veda
(caturveda) itu dijumlahkan semuanya, maka seluruh himpunan mantra atau
veda ada 20.389 mantra (sloka). Rg vedasmhita, merupakan kumpulan mantra
yang paling tua, yang mengandung ajaran umum dalam bentuk pujaan. Kitab ini
disusun berdasarkan 5 resensi: Sakala, Baskala, Asvalayana, Sankhyayana, dan
Mandukeya. Di antara kelima resensi itu, Sakala yang masih utuh dan sempurna.
Seperti telah dikemukakan di depan, Rgvedasamhita terdiri dari 10 mmandala:
mandala 2 - 8 hasil himpunan warga saptaresi, yang berhasil dipelihara oleh
para keluarganya secara oral turun-temurun. Sedangkan mandala (bab) 1, 9 dan
10 merupakan himpunan beberapa resi.Samavedasamhita, himpunan mantra
tentang lagu-lagu pemujaan, yang dipetik dari Rgveda. Samaveda terdiri dari 2
bagian: arcika, mantra pujaan (Rgveda), dan uttracika, himpunan mantra
tambahan.Yajurvedasamhita, himpunan mantra mengenai pokok-pokok yajus,
sebagian besar dipetik dari Rgveda, dan dari sumber lain sebagai mantra
tambahan (prosa). Yajurvesamhita, terdiri dari dua aliran: (a) Krsna
Yajurveda(Yajurveda hitam), mengenai makna yadnya, dan (b) Sukla
yajurveda, (Yajurveda putih), mantra waktu upacara. Juga terdapat pokok-pokok
upacara darsapurnamamasa, upaca bulan purnama dan tilem (bulan
gelap/mati).Atharvavedasamhita, atau Atharvangira, kumpulan mantra petikan
Rgveda.Keempat himpunan itu kemudian terkenal dengan nama caturveda,
bahkan sering hanya tiga himpunan yang ditonjolkan (Rg, Sama dan Yajur)
dengan sebutan triveda. Bagian Brahmana (karmakanda), berisi himpunan puja,
sthava, brahma, yang dipakai dalam upacara yadnya. Setiap mantra (Rg, Sama,
Yajur, Atharva), mempunyai brahmana. Kata 'brahma' artinya doa, puja,
sthava, stotra. Brahmana, juga merupakan penjelasan arti dan makna
mantra.Bagian Upanisad dan Aranyaka (Jnanakanda), merupakan himpunan
mantra pembahasan aspek Ketuhanan. Setiap mantra samhita juga mempunyai
upanisad (aranyaka) yang merupakan rahasia jnana (jnanakanda). Jumlah
Upanisad diperkirakan ada 1180 buah buku, namun kebanyakan para sarjana
menyetujui adanya 108 buah upanisad. Perinciannya sbb.:
62

1) Upanisadnya Rgveda 10 buah: Aitareya, Kausitaki, Nadabindu,


Atmaprabodha, Nirvana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saughagya,
dan Bahvrca upanisad.
2) Upanisadnya Samaveda, 14 buah: Kena, Chandogya, Aruni,
Maitryani, Vajrasucika, Yogasudamani, Vasudeva, Mahat, Sanyasa,
Avyakta, Kondika, Rudraksajabala, Darsana, Jabali.
3) Upanisadnya Yajurveda :
(a) Yv hitam, 32 buah:Kathavali, Taitriyaka, Brahma, Kaivalya,
Svetasvatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Asartanada,
Katagnirudra, Kausika, Sarvasara, Sukharahasya, Tejobindu,
Dhyanabindu, Yogatattva, Daksinamurti, Skanda Sariraka, Yoghasikha,
Ekaaksara, Aksi, Avadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini,
Pancabrahma, Pranagnihotra, Varaha, Kalisandarana, dan
Sarasvatirahasya.
(b) Yv putih, 19 buah:Isavasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa,
Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhibrahmana,
Mandalabrahmana, Advanyataraka, Pingala, Bhiksu, Turiyatita,
Adhyatma, Tarasara, Yajnavalkya, Satyayani, dan Muktika.
4) Upanisadnya Atharvaveda, 31 buah: Prasna, Munduka, Mandukya,
Athavasira, Atharvasikha, Brhajjabala, Nrsimhatapini,
Naradaparivrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya,
Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa parivrjaka, Annapurna, Surya,
Atma, Pasupata, Parabrahmana, Tripuratapini, Devi, Bhavana, Brahma,
Gamapati, Mahavakya, Gopalatapini, Krsna, Hayagriva, Dattatreya,
dan Garuda upanisad.

4.2.2 Weda smrti

Seperti telah diuraikan di depan, bahwa Smrti atau dharmasastra juga


dianggap sebagai veda, bahkan sama kedudukannya dengan Vedasruti
(Manavadharmasastra II,10 ).
63

Sebagai sumber hukum /dharma, smrti mengandung hukum-hukum suci


kuno (sanatana varnasrama dharma), penjelasan ritualia. Jadi, smrti
menjelaskan dan mengembangkan dharma, serta menetapkan hukum yang
mengatur kewajiban pribadi, sosial dan warganegara (dharmanagara). Dalam
arti luas, kata 'smrti' meliputi semua hasil karya sastra Hindu, kecuali
Vedasruti.Smrti selalu berubah mengikuti perkembangan dan perubahan
zamannya, sehingga smrti itu berbeda dari satu zaman ke zaman yang
lainnya.Menurut tradisi, smrti merupakan kelompok veda yang disusun kembali
berdasarkan ingatan yang diperoleh dari vedasruti. Vedasmrti, dibagi menjadi
dua kelompok: (1) Vedangga, (merupakan batang tubuh veda) dan (2)
Upaveda(veda tambahan).

4.2.2.1 Vedangga
Kelompok Vedangga, disebut batang tubuhnya veda, karena isinya
merupakan penuntun dan penjelasan bagi orang yang mendalami Vedasruti.
Jadi, seperti sebuah "buku pinter" (manual). Dengan mempelajari Vedangga,
diharapkan seseorang dapat mengeti bahasa, makna yang tersirat dalam sloka-
sloka. Sehubungan dengan itu, Vedanggaterdiri dari enam bidang veda: (a)
Siksa, (b) Vyakarana, (c) Chanda, (d) Nirukta, (e) Jyotisa, dan (f) Kalpa.Siksa,
berisi uraian tentang fonologi atau ilmu fonetik dalam bahasa Sanskerta yang
dipakai menggubah Veda. Isinya memuat petunjuk tentang lafal, matra, dan lagu
mantra. Terdapat banyak buku yang menjelaskan tentang fonologi veda tersebut
Sarjana di bidang fonologi Veda: Bhagavan Saunaka, Katyayana, Bharadvaja,
Vyasa (Abyasa), Vasistha dan Yajnavalkya.
Vyakarana, mengandung tatabahasa Sanksterta. Untuk dapat menyimak,
mengertikan dan memahami isi Vedasruti, serta menghayatinya, pemahaman
dan penguasaan tentang ketatabahasaannya (Sanskerta), harus terlebih dahulu
dikuasai.Sudah tentu, sistem fonolgi di atas terlebih dahulu dikuasai.Banyak
sarjana di bidang bahasa Sanekerta: Sakatayana, Panini, Patanjali dan Yaksa.
Panini yang pertama kali mengetahui sistem tatabahasa Sankserta Veda.
64

Kemudian Patanjali memperkenalkan bahwa bahasa veda adalah bahasa


Sanskerta, yang sebelumnya disebut bahasa dewa (Daivivak).
Chanda, membahas lagu, irama, matra veda. Melalui lagu (chanda) itu,
mantra itu diikat dan dipelihara secara turun-temurun. Dengan lagu itu, sloka-
sloka veda dapat dilestarikan.
Nirukta, berisi tentang etimologi, semantik, dan kosakata. Penulisnyaa:
Bhagavan Yaksa (+800 SM).
Jyotisa, isinya memuat astronomi Hindu, yang sangat dipentingkan
dalam melaksanakan upacara yadnya. Di samping itu juga berisi ilmu
pembahasan peredaran tatasurya, bulan, dan badan ruang angkasa yang
mempengaruhi pelaksanaan yadnya. Bukunya: Jyotisavedangga, dihubungkan
dengan Rg dan Yajurveda.
Kalpa, kelompok vedangga yang terbesar dan utama. Isinya dipetik dari
Brahmana: (a) Sautra, mengenai tatacara yadnya, penebusan dosa yang
berhubungan dengan upacara keagamaan; (b) grhya, memuat peraturan
tatalaksana yadnya bagi grahastin (orang yang berumah tangga). Kitab
Dharmasutra, merupakan kitab Kalpa yang terutama, berisi berbagai aspek
tentang hidup bermasyarakat dan bernegara (dharmanagara).

4.2.2.2 Upaveda
Kelompok Upaveda, merupakan veda tambahan, yang mengandung
berbagai disiplin ilmu, antara lain: (a) Itihasa, (b) Purana, (c) Arthasastra, (d)
Ayurveda, dan (e) Gandharvaveda.Itihasa, merupakan veda terapan,
mengandung pokok-pokok ajaran Veda, yang disajikan dalam bentuk cerita
kegagahberanian, kepahlawanan, (viracarita). Ia menyajikan cerita indah,
menarik dan bermakna yang mengandung ajaran agama Hindu yang sangat
mendasar. Setiap orang akan terasuki jiwanya bahkan sampai seluruh darah dan
dagingnya. Di sana sini terselip hukum smrti dan prinsip Veda, yang dilukiskan
melalui figur tokoh agung nan mulia dan luhur. Metode itu ternyata sangat
memudahkan kaum awam untuk memahami dan menghayati ajaran dan filsafat
Hindu yang cukup sulit. Sungguh sangat tepat dan bijaksana metoda yang dipilih
65

oleh Walmiki dan Vyasa, untuk menerapkan ajaran Veda atau memasyarakatkan
veda. Itihasa sering juga disebut epos yang besar (mahavakya).
Itihasa, terdiri dari dua macam: (a) Ramayana, dan (b) Mahabharata.
Namun, ada juga yang menambah lagi dua, yaitu: (c) Yogavasistha, dan (d)
Harivamsa. Biasa juga disebut Suhritsamhita (pembahasan populer), sedangkan
Vedasruti disebut prabhusamhita (pembahasan serius).Ramayana digubah oleh
Maharesi Valmiki, terdiri dari 7 kanda, yang isinya menceritakan zaman
tretayuga. Ramayana, selesai ditulis sebelum 500 SM. Sedangkan ceritanya,
sudah populer sejak 3.100 SM. Isinya dibagi menjadi 7 kanda: Balakanda,
Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda,
dan Uttarakanda. Cerita Ramayana itu tersebar dan tersohor di seluruh pelosok
dunia, termasuk di Indonesia.
Mahabharata, menurut tradisi digubah oleh Bhagavan Vyasa (Abyasa),
terdiri dari 18 buku (asthadasaparva), dua buku sisipan: Harivamsa dan
Bhagavadgita. Ceritanya diperkirakan terjadi sejak + 950 SM, namun menurut
tradisi kejadian itu pada awal zaman kaliyuga 3101 SM. Mahabharata terdiri
dari 18 parva: AAdiparva, Sabhaparva, Vanaparva, Virataparva, Udyogaparva,
Bhismaparva, Dronaparva, Karnaparva, Salyaparvaa, Sauptikaparva,
Santiparva, AAnusasanaparva, AAsvamedhikaparva, sramavasikaparva,
Mausalaparva, Mahaprasthanikaparva, dan Svargarohanaparva.Bhagavan
Vyasa (Abyasa), putra Maharesi Parasara, juga terkenal menyusun kodifikasi
caturvedasamhita bersama dengan siswanya.
Purana, merupakan cerita kuno. Ciri-cirinya mengandung atau
mengungkapkan: sejarah, kosmogoni, penciptaan tahap kedua, silsilah para raja,
dan Manvantara (pancalaksana). Sedangkan menurut VisnupuranaIII.6.24.
kelengkapan purana diukur kandungan isinya meliputi: (1)kosmogoni (cerita
penciptaan alam semesta; (2) pralaya (cerita tanda dan terjadinya kiamat); (3)
cerita silsilah para dewa dan bhatara; (5) cerita silsilah keturunan dinasti
Suryavangsa dan Candravangsa.
Jenis kitab purana ada 18 (Mahapurana): Brahmanda, Brahmavaivarta,
Markandeya, Bhavisya, Vamana, Brahma, Visnu, Narada, Bhagavata, Garuda,
66

Padma, Varaha, Matsya, Kurma, Lingga, Siva, Skanda, dan Agni. Berdasarkan
sifatnya, purana-purana dikelompokkan menjadi tiga: (a) Satvikapurana (Visnu,
Narada, Bhagavata, Garuda, Padma, dan Varaha); (b) Rajasikapurana
(Brahmanda, Brahmavaivarata, Markandeya, Bhavisya, Vamana, dan Brahma);
(c)Tamasikapurana (Matsya, Kumara, Lingga, Siva, Sakda, dan Agnipurana).
Penulisan purana dimulai pada 500 SM dan mencapai kesempurnaannya pada 600
M, pada zama Raja Harsa Vardhana memerintah wilayah Aryavarta. Penulis
utama purana, sepanjaang masa yang tiada taranya sampai sekarang adalah Vyasa
atau Krsnadvipayana putra Bhagavan Parasara.
Arthasastra, berisi pokok-pokok ilmu pemerintahan negara dan politik.
Misalnya: Usana, Nitisastra, Sukraniti, dan Astrasastra. Dalam Ramayana dan
Mahabharata, tersirat juga pokok-pokok ajaran Arthasastra. Cabang ilmunya
disebut: Nitisastra, Rajadharma, Dandaniti. Para acarya di bidang politik Hindu:
Bhagavan Brhaspati, Bhagavan Usana, dan Resi Canakya. Penulis lainnya:
Visalaksa, Bharadvaja, Dandin, dan Visnugupta. Adapun jenis Arthasastra yang
digubah di Indonesia:Usana, Nitisara.
Ayurveda, isinya mengenai bidang ilmu kedokteran, kesehatan jasmani,
dan rohani. Jadi, memuat fisfasat kehidupan, baik etis maupun medis,sehingga
ruang lingkupnya cukup luas. Kitab ini erat hubungannya dengan kitab-kitab
Dharmasastra dan Purana. Penulisnya: Maharesi Punarvasu. Materi Ayurveda
meliputi 8 bidang: (1) Salya (ilmu bedah), (2) sajkya(ilmu penyakit), (3)
kayakitsa (ilmu usada/obat-obatan), (4) bhutavidya (ilmu psikoterapi), (5)
kaumarabhrtya (ilmu pendidikan anak dan dasar ilmu jiwa anak), (6) agdatantra
(ilmu toksikologi), (7) rasayamatantra (ilmu mujizat), dan (8) vajikaranatantra
(ilmu jiwa remaja). Kitab Yogasara dan Yogasastra, karya Bhagavan Nagarjuna,
memuat pokok-pokok ilmu yoga dikaitkan dengan sistem anatomi, guna
pembinaan kesehatan jasmani rohani. Kitab Kamasastra atau Kamasutra (juga
cabang Ayurveda), karya Bhagavan Vatsyayana, memuat seni cinta dalam
kebahagiaan keluarga.
Gandharvaveda, membahas berbagai aspek cabang ilmu seni.
67

4.2.3 Sila
Kelompok sumber hukum Hindu / dharma yang kedua yang bersifat
tidak tertulis, seperti yang telah dikemukakan di depan adalah sila, acara, dan
atmanastusti. Mengingat sifatnya tidak tertulis, sumber itu sangat ditentukan
dan dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungannya. Jadi, ia mengikuti keadaan
dan perkembangan masyarakatanya, dalam segala bidangnya, geografi, dan
keadaan alam lingkungannya. Dengan demikian, ia selalu berubah berkembang
sepanjang masa dan zaman. Dengan karakter universalnya (istadevata dan
adikara) agama Hindu menerima dan menyesuaikan dirinya dengan ketiga
keadaan itu. Karena itulah pelaksanaan agama Hindu sanga bervariasi. Setiap
daerah, wilayah dan etnis mempunyai varian tersediri, seperti kenyataan yang
kita kihat dan kita alami. Justru kevariasiaannya itulah yang memberi kekuatan
agama Hindu selalu bisa hidup subur sepanjang masa, sejak 6000 SM.
Adapun yang dimaksudkan sila itu adalah contoh-contoh perbuatan, baik
dalam bentuk (manacika, vacika, dan kayika) pikiran, ucapan, maupun laksana,
yang pernah dan telahdikakukan oleh para resi, baik yang berada di India,
maupun yang berada di luar India, seperti di Indonesia, baik pada masa lampau,
sekarang maupun pada masa yang akan datang. Semua contoh sila-sila tersebut,
baik yang tercantum dalam Vedasruti, Vedasmrti, maupun dalam Itihasadan
lain-lainnya, merupakan suri tauladan yang seyogyanya patut ditiru dan sebagai
cermin kehidupan umat Hindu di manapun mereka berada. Hal-hal seperti itu,
banyak sekali terdapat di dalam Ramayana, Mahabharata, Bhagavadgita,
Sarasamuscaya dan lain-lainnya. Sila atau etika yang baik dan luhur itulah yang
menjadi pegangan dan pedoman umat Hindu. Misalnya, dalam Bhagavadgita,
Krisna memberi contoh apa yang pernah dilaksanakan oleh raja Janaka, yang
seyogyanya ditiru oleh Arjuna. Jika dirinci, ajaran sila yang tersirat dalam
Ramayana, Mahabharata, Bhagavadgita, Sarasamuscaya, Vrhaspatitattva, dan
sebagainya akan ditemukan 'harta karun' nan tak luntur dan berharga itu. (dalam
uraian mengenai sila atau etika Hindu dan pengendalian diri, akan kami uraikan
tersendiri nanti).
68

4.2.4 Acara
Acara adalah tradisi, kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga yang
pernah dilakukan oleh seseorang dan masyarakat, yang kemudian dilakukan,
ditiru pada masa sekarang. Tradisi itu, tentu pada mulanya merupakan contoh-
contoh sila, perbuatan yang baik yang pernah dilakukan oleh seseorang, resi,
tokoh agama dan atau masyarakat pada masa lalu, yang masih relevan untuk
dilakukan pasa masa kini. Mengenai tradisi atau adat istiadat itu banyak sekali
ditemukan dalam masyarakat beragama apapun termasuk masyarakat yang
beragama Hindu. Sumber tradisi itu bermula dan berpangkal pada sila. Bahkan
semua aspek kebudayaan, bisa menjadi sumber dan bahan dasar tradisi suatu
orde masyarakat berikutnya.
Karena itu, trdisi itu bisa berkembang dan bertumbuh terus, tergantung
pada daya tarik masyarakatnya.Agama Hindu, sesuai dengan karakternya,
ternyata tradisi itu merupakan pemberi pola dan variasi yang paling dominan.
Makin beraneka ragam kebudayaan masyarakatnya, makin beraneka warna pula
variasi agama Hindu itu. Oleh sebab itu, tidaklah bijaksana kalau umat Hindu
berusaha membedakan dan memisahkan antara agama dan adat atau tradisi.
Adalah sudah demikian rupa variasi agama Hindu, yang ditimbulkan oleh
karakternya sendiri. Justru agama Hindu bisa semarak dan hidup sejak tahun
6000 SM hingga kini, adalah berkat karakternya, sifatnya, yang bisa
menampung dan menerima kebudayaan, tradisi masyarakatnya. Varian-varian
yang beraneka ragam ada di dunia ini, adalah diakibatkan oleh tradiri tersebut.
Semua jenis upacara yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu dari etnis Bali
misalnya, adalah merupakan sebuah contoh varian Hindu tersendiri, begitu juga
varian Hindu yang ditimbulkan oleh masyarakat India.Dengan uraian itu, jelas
bahwa acara, sadacara atau tradisi, adat, juga merupakan sumber dan
memberi pola varian-varian Hindu.
69

4.2.5 Atmanastusti
Atmanastusti atau atmatusti, adalah kepuasan pribadi yang sanga
subjektif. Setiap orang, masyarakat, etnis dan bangsa secara kovensi
berkesamaan membuat satu atmatusti. Berawal dari perseorang, atmatusti itu
merupakan hak yang paling azasai baginya untuk melaksanakan keagamaannya.
Hak individu dan martabat individu sangat dihormati dalam agama Hindu. Hal
itu menimbulkan variasi yang paling kecil dalam agama Hindu. Kemudian,
sebagai mahluk sosial ( di samping sebagai mahluk individu) manusia (dalam
hal ini masyarakat Hindu), secara bersama-bersama membuat satu ketetapan
atmatusti yang lebih luas. Begitu seterusnya, atmatustui terbentuk melalui
kelompok-kelpmpok mayarakat, yang berawal dari perseorangan, keluarga,
masyarakat, etnis, bangsa dan seterusnya. Dalam agama Hindu di Indonesia
misalnya, peranan Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai majelis agama
Hindu yang tertinggi sangat utama. Melalui mahasabha, pesamuhan agung, dan
lokasabha lembaga tersebut menetapkan berbagai keputusan, sebagai atmatusti
secara makro yang diperkirakan memberi kepuasan masyarakat Hindu di
wilayahnya (Indonesia). Atmatusti (dalam arti sempit/perseorangan) itu, menjadi
budaya yang memberi kelonggaran bahkan kebebasan mutlak terhadap seorang
umat Hindu dalam melaksanakan ajaran agamanya. Justru, atmatusti itulah yang
memberikan warna dan merupakan akar yang sangat mendasar bagi kehidupan
agama Hindu itu dalam diri pribadi penganutnya. Atmatusti itulah yang
membentuk religius experient, atau 'keagamaan' dalam diri setiap individu.
Misalnya, dalam sebuah keluarga saja, keagamaan, atau kadar, pola penghayatan
agama itu bervariasi.Atas dasar itulah, munculnya berbagai cara, jalan atau
marga menuju tujuan akhir agama Hindu. Ajaran catur marga yoga(karma,
bahkati, jnana, dan raja marga yoga) itu, pada hakikatnya bermula dan
berpangkal pada atmanastusti atau atmatusti itu. Justru, atmatusti, itu
merupakan benih yang menyuburkan kihidupan agama Hindu, Bersama-sama
dengan sila dan acara, ketiga faktor itu memberi kesuburan hidupnya agama
Hindu.
70

4.3 Ruang lingkup agama Hindu

Dharma, juga mempunyai arti agama, maksudnya agama Hindu. Di


dalam dharma itu sendiri terkandung ciri-ciri khas agama Hindu, yang pada
hakikatnya sebagai dasar ajaran agama Hindu dan sekaligus merupakan pokok-
pokok atau ruang lingkup agama Hindu. Unsur-unsur dharma itu menjadi
pokok-pokok ajaran agama Hindu Ketentuan tentang unsur-unsur itu, kita dapat
menemukannya di dalam Atharvaveda (XII, 1.1): satyam brhad rtam ugram
diksa, tapo brahma yajna prthivim dharayanti. (Sesungguhnya satya, rta, diksa,
tapa, brahma, dan yajna yang menyangga dunia). Prithivim dharmana dhritam
(bumi / dunia ditegakkan / disangga oleh dharma: Ath.XII.1-17).Beranjak dari
sloka itu, kita dapat penjelasan dan pengetahuan, bahwa dunia ini disangga oleh
dharma. Sebagai penyangga dunia / alam semesta, dharma memliki enam buah
'pilar'atau tiang, sehingga alam semesta /dunia itu berkeadaan mantap, stabil,
dan harmonis di atas dharma (agama).
Mengingat pada mulanya agama Hindu disebut atau disamakan dengan
dharma, maka agama Hindu mempunyai pokok-pokok ajaran yang sangat
mendasar yaitu: satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajna. Keenam unsur
sebagai pokok dasar itu pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai isi pokok
agama Hindu, atau dasar-dasar agama Hindu yang merupakan ruang lingkup
agama Hindu.

4.3.1 Satya

Kata 'satya' artinya: 'kebenaran, kejujuran, kesetiaan'. Kata satya yang


berarti 'kebenaran' ada dua macam: (1) kebenaran mutlak, yaitu sifat hakikat
Sang Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sama dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) kebenaran mutlak itu, juga merupakan salah
satu sifat Tuhan dan dewa; dan (3) kebenaran dalam arti relatip, dalam
kehidupan sehari-hari. Kata 'satya' berarti 'kebenaran atau truth', sama dengan
71

ajaran mengenai kepercayaan kepada Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang


Maha Esa.
Jadi satya, adalah salah satu aspek ajaran agama Hindu tentang
Ketuhanan dengan segala aspeknya. Kata satya berarti Tuhan (RV, VIII,62.12).
Sat atau biasa ditulisZhat artinya 'Yang Maha Ada. Baik dalam Rgveda maupun
Upanisad banyak ditemukan kata sat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari
Om tat sat, Sat cit ananda, Ekam Sat (Om itu adalah Satya,Tuhan bersifat satya,
Tuhan bersisat citta (pikiran), Tuhan bersifat ananda, bahagia,tak terbatas)
sangat populer. Sehubungan dengan itu dikemukakan dua contoh adagium:at cit
ananda Brahman artinya (Sesungguhnya) Tuhan adalah kebenaran, pengetahuan,
tak terbatas. Ekam sad vipra bahudha vadanti, agniyamammatarisvanam ahuh,
artinya Tuhan yang Esa, para arif bijaksana mengatakannya banyak (nama),
Agni, Yama, Matarisva . Janmadhyasya yatah (Tuhan) merupakan asal mula
semua ini
Sedangkan pengertian satya sebagai 'kejujuran, kebenaran' dalam
kehidupan sehari-hari adalah kejujuran dan kebenaran dalam kontek dalam
masyarakat. Misalnya, satyavacana, satya mitra dan sejenisnya. Jadi makna
dalam arti etika, sila: jujur, benar . Sifat jujur, benar dan setia merupakan sifat
yang terpuji. Karena itu setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan harus dilandasi
satya.
Di dalam Veda, satya (kebenaran mutlak) disimbolkan sebagai inti
Ketuhanan. Bahkan para dewa pun dianggap sebagai perwujudan kebenaran
(satya). Savita satyadharma (dewata memiliki kebenaran, keberadaanya sebagai
hukum). Satya (kebenaran) sangat diutamakan dalam agama Hindu (vedic
religion). Satya lebih diutamakan daripada ritus. Doa dan ritus yang benar, lahir
dari hidup yang benar dan hati yang sejati: satyam vadam
satyakarman(perkataan yang benar, perbuatan yang benar). Bahkan atmanpun
harus diwujudkan melalui satya (kebenaran): satyena labhya. Pandangan itulah
yang menimbulkan keyakinan penuh, bahwa: satyam eva jayate na anritam
(kebenaran pasti menang, bukan ketidakbenaran).
72

4.3.2 Rta

Unsur dharma yang kedua : r t a (baca: rita atau reta); rtasering


diterjemahkan : orde atau lowyaitu hukum (kekal abadi).Rta adalah hukum
alam semesta yang kekal abadi, hukum murni yang bersifat absolut
transendental. Sedangkan hukum (rita) yang dijabarkan untuk mengatur
manusia, bangsa disebut dharma. Begitu juga hukum agama yang disebut
dharma bersifat relatip, karena dikaitkan dengan pengalaman manusia setempat.
Oleh karena itu, istilah dharma (sebagai hukum) beraneka ragam, disesuaikan
dengan tradisi stempat. Rta, dapat dilihat dari berbagai segi: (1) aspek rita yang
etis, (2) rita sebagai hukum alam semesta, (3) rita sebagai aspek estetika, (4) rita
sebagai ritus, (5) rita sebagai tertib sosial, dan (6) satya dan rita sebagai Brah-
man dan kshatra.
Dalam aspek moral rta dan satya berasal dari satu rumpun dan lahir pada
permulaan yang ada atas kemauan spiritual (Rgv.X,110.1). Rita lebih luas
daripada satya, karena meliputi keadilan, kebaikan, etika (dharma). Ritalah yang
menyebabkan menangnya kebenaran atas kebatilan.Sebagai hukum alam
semesta, rita merupakan hukum alam yang abdi, yang mengatur keterpaduan
alam semesta, dan menghindarkan kekacauan dan ketidakteraturan. Tuhan pun
diidentifikasikan sebagai Rita. Sebagai pengendali rita, Tuhan disebut Ritawan.
(Para dewa adalah Ritawan, dan para dewi adalah Ritawati). Rita dalam
fungsinya mencegah kekacauan, dan sebaliknya menata kesimetrisan dan
keharmonisan alam semesta, rita dapat menimbulkan kemegahan dan keindahan
(estetika). Rita menyatupadukan alam dengan hukum alam, di samping
merupakan disiplin hidup melalui aturan moral, juga disiplin bentuk yang
menciptakan keindahan. Dengan menegakkan rita, semuanya tertib, indah dan
baik.
Sebagai ritus, rita menyimbolkan bagian upacara yadnya,
persembahyangan, merupakan kegiatan yang sangat umit, namun bersifat seni.
Bentuk yadnya juga menurut aturan tertentu. Aturan yang diterapkan dalam
ritus, merupakan simbol hukum abadi, termasuk ketentuan kehidupan moral.
73

Rita sebagai hukum alam semesta dan hukum moral adalah rita yang abadi
sebagai ritus yang berubah menurut waktu, dan perlu diperbaharui agar sesuai
dengan keinginan manusia akan perubahan: Navyo jayatam ritam, biarlah ritus
yang baru tumbuh (Rgv.I,105.15).
Menurut Weda, setiap dewa dinyatakan sebagai pelindung rita, tatanan
alam semesta. Bahkan dewa tertentu, digambarkan sebagai raja, yang
menlindungi rita. Seperti Mitra dan Varuna digambarkan sebagai penegak rita
(Rgv.VIII,25.3). Para raja meniru Mitra dan Varuna, yaitu menegakkan hukum
(rita) untuk diterapkan dalam kehidupan sosial. Karena itu, raja disebut kshatra
= kshatrya), pelindung, pembela dan pejuang Dewa yang dianggap kesatria dan
penegak hukum dengan semangat yang tinggi adalah Indra (Rgv.III,46.2).
Dengan kshatra (kekuasaannya), para raja menjadi pelindung masyarakatnya,
seperti dewa (Indra, Vishnu), menggunakan kekuasaannya dalam alam semesta
sesuai dengan rta.
Rta (rita) bukan merupakan suratan takdir. Rita tetap merupakan hukum
abadi dan keadilan abadi. Karena itu, manusia tidak bisa menghindar dari akibat
perbuatannya. Apa yang ditanam, itulah yang akan dipetiknya. Itulah yang
membawa kepada ajaran hukum karma. Dengan menerima ajaranpunarbhawa
(tumimbal lahir), setiap jiwa (atman) akan lahir membawa karmakelahiran
terdahulu (praktana) yang tidak tampak (adrishta), yang menunutun hidupnya
sampai mencapai kebahagiaan atau kesengsaraan, menurut hakikat rita. Dengan
demikian ajaran rta dan dharma merupakan dasar ajaran karma dan
karmaphala. Bahkan rta dan dharma (dalam arti luas) mencakup pengertian
hukum (orde) abadi, ajaran sila, estetika, dan hukum sosial.
Satya dan rta bagaikan Brahman dan kshatra. Satya (dalam arti
metafisis dan moral) dan rta (dalam arti luas meliputi: hukum kosmos, etis,
estetis, sosial, dan ritual), merupakan kepentingan yang lebih mulia dan luhur
dalam hidup. Satya (hidup berlandaskan filosofi agama) dan rta (bersifat moral
politis), digambarkan seperti Brahman dan kshatra.
74

4.3.3 Diksa

Diksa, artinya penyucian, penasbihan, inisiasi, sakramen. Diksa juga


disebut abhiseka. Dikatakan, bahwa diksa, tapa, brahma, dan yajna merupakan
sarana yang berfungsi untuk mencapai peningkatan kesucian atau spiritual.
Diksa dan tapa, diutamakan guna perwujudan satya (kebenaran mutlak).
Dalam Yajurveda Samhita (XIX,30) diungkapkan bahwa: "dengan
melaksanakan pengabdian (vrata) ia akan mencapai kesucian (diksa); dengan
melaksanakan diksa ia akan mencapai kemuliaan (dakshina); dengan melalui
dakshina ia akan mencapai kehormatan/keyakinan (sraddha); dan dengan
melalui sraddha ia akan mencapai kebenaran mutlak (satya).Sesungguhnya
diksha bukan semata-mata merupakan inisiasi formal. Dalam peristiwa itu
tersirat satu ajaran yang sangat mendalam, yaitu adanya hubungan pribadi yang
sangat intim antara guru (acharya) dan murid sishya). Menurut Atharvaveda
(XI,5.3) disebutkan, bahwa dalam pediksaan itu seolah-olah murid berada di
dalam diri sang guru, bagaikan seorang ibu yang sedang mengandung bayi; dan
kemudian setelah menjalani brata atau vrata selama tiga hari, secara simbolis
murid (sisya) dilahirkan menjadi orang yang sangat mulia, dengan disaksikan
oleh para dewa. Itulah sebabnya, pediksaan merupakan transisi dari gelap ke
terang, dari ketidakbenaran ke kebenaran. Jadi diksa merupakan cara untuk
melewati tahap-tahapan kehidupan suci, dari satu tingkat ke tingkat berikutnya,
dari satu kebenaran (truth) ke tingkat kebenaran berikutnya. 'Hamba menuju
kebenaran dengan menghindari ketidakbenaran' (Yvs,1.5).
Dengan demikian, diksha bertujuan untuk menyucikan manusia lahir
batin, agar ia dapat melaksanakan tugas memimpin upacara yadnya (ngeloka
palasraya) dan belajar serta mengajarkan veda. Diksha berfungsi sebagai
lembaga inisiasi yang bersifat formal. Oleh sebab itu, sebelum didiksa ia tidak
dibenarkan mempelajari dan mengajarkan Veda. Setelah didiksa status
seseorang berbeda, karena ia telah berdwijati(lahir untuk kedua kalinya).
Diksha sebagai lembaga formal, kemudian di Indonesia dibatasi
penggunaannya, yakni hanya dilakukan bagi calon pandita, pedanda, resi, empu.
75

Jadi diksha dilaksanakan hanya untuk penasbihan pandita. Pada mulanya (asli)
diksa dipergunakan secara umum dipakai untuk mencapai tahap-tahap kehidu-
pan suci melalui upacara yadnya. Namun, karena pengkhususan seperti di atas,
maka pengertian sejenis diksha untuk itu disebut samskara, sangaskara,
sakramen, yang lebih populer dengan sebutan pewintenan.

4.3.4 Tapa
Tapa, artinya 'disiplin'. Yang dimaksud dengan tapa dalam Atharvaveda,
adalah pengendalian diri, penguasaan terhadap nafsu, pengendalian panca indrya
dan pikiran. Jadi, berusaha melaksanakan hidup suci. Dengan pengendalian diri
itu, diharapkan terciptanya trikaya parisuddha dalam diri manusia. Bersihnya
atau sucinya ketiga bagian tubuh manusia: pikiran (manacika), ucapan (vacika),
dan perbuatan (kayika).
Tapa merupakan usaha nan tak kenal lelah, perjuangan dan kerja keras
yang pantang menyerah, untuk mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi, dan
yang lebih luhur. Jadi, tapa merupakan awal segala sesuatu yang luhur dan
mulia. Kesucian (diksha) hanya dapat dicapai dengan melaksanakan disiplin
(vrata atau brata). Vrata atau brata adalah bentuk tapa. Setiap orang yang
sadar, selalu berusaha membersihkan (visuddha) atau melakukan parisuddha
dengan tapa atauvrata, brata. Istilah prayascita, parisuddha, dan brata sama
dengan tapa. Tapa dapat dilakukan dengan berbagai variasi: upavasa (berpuasa),
monabrata (tidak berbicara), jagra, aturu (tidak tidur), bahkan ada dengan cara
penyiksaan diri dsbnya. Namun, tapa harus dilaksanakan dengan kesadaran.

4.3.5 Brahma

Brahma arti harfiahnya: mantra, puja, stawa, stotra, stuti, doa dan
pujian. Brahma adalah sloka-sloka atau ayat-ayat suci Veda, yang dipergunakan
untuk melaksanakan pemujaan kepada Sang Hyang Widi Wasa/TuhanYang
76

Maha Esa. Karena itu, Veda disebut buku doa dan ilmu Veda. Brahmacharya
artinya kegiatan untuk menguasai Veda dan ilmu Veda. Brahmana orang yang
mencari Brahman (Jnanayoga),orang yang mengetahui Brahmanatau isi Veda.
Para resi sejak zaman dahulu mengakui betapa kemanjuran gema gaya
suci mantra Veda. Mantra Veda termasuk karya puisi yang sangat tinggi dalam
sejarah umat manusia. Fungsi mantra, brahman, puja itu bergantung pada tujuan
penggunaannya, dan jenis isi yang terkadung dalam mantra itu sendiri. Namun,
pada umumnya gaya suci yang ditimbulkan oleh karena pemujaan mantra itu,
mampu menciptakan suasana tenang, damai dan tenteram di lingkungan dan
dalam diri yang mengucapkannya. Gaya suci dan spiritual itu mampu
mempengaruhi diri pribadi manusia dan mahluk metafisika serta lingkungan
wilayah pembacaan mantra tersebut. Situasi seperti itu akan membantu usaha
manusia untuk menjalankan meditasi mengendalikan pikirannya dan
meningkatkan kesadarannya, untuk mencapai kesucian dan tingkatan-tingkatan
samadhi, kebijaksanaan dan pandangan terang.
Sesungguhnya, manusia dapat membersihkan dan menyucikan
pikirannya dengan mengucapkan mantra. Misalnya, dengan mengucapkan
mantra atau puja trisandhya setiap hari, merupakan kegiatan yang sangat
berfaedah bagi dirinya lahir batin, bahkan juga terhadap lingkungannya. Gema
dan getaran mantra itu menimbulkan gaya-gaya suci yang sangat diperlukan
untuk menciptakan suasana tenang, tenteram dan damai. Oleh karena itu,
peranan dan kedudukan mantra, brahman dalam agama Hindu sangat dominan.

4.3.6 Yajna
Kata 'yajna' (Sanskerta) berasal dari urat kata 'yaj', yang artinya
'memuja', atau memberi pengorbanan atau menjadikan suci',
mempersembahkan, bertindak sebagai perantara'. Kata 'yajna' (Rgv.VIII,40.4)
berarti 'kurban', 'pemujaan'.
Yajna ialah upacara (Veda) yang mempersembahkan sajen (banten, atau
upakara) kepada para dewa. Upacara itu sangat indah diiringi mantra, nyanyian,
77

kidung disertai gerakan-gerakan (mudra). Perkembangan selanjutnya upacara


kian besar, sehingga kian menjadi rumit, namun dapat menambah kesemarakan
upacara pemujaan. Oleh karena itu diperlukan para ahli di bidang itu, yaitu
kaum brahmana yang memang menguasai Veda. Kata yajna juga berarti proses,
yakni proses penciptaan alam semesta. Yadnya yang hebat dan besar itu
dilakukan oleh Purusa/Brahman/ Sang Hyang Widi Wasa /TYME saat
menciptakan alam semesta ini.
Yajna mengandung pengertian luas: perbuatan/pengurbanan dalam arti
yang lebih luas, upacara agama/ceromony/samskara. Samskara adalah ritual
yang menyempurnakan, menyucikan badan dan spiritual.
Bhagavadgita mengajarkan bahwa yajna itu sangat penting dan wajib
dilaksanakan oleh setiap orang, terutama bagi mereka yang berumah tangga
(grhastha). Makna yajna (yadnya) adalah melakukan pekerjaan dengan tulus
ikhlas, dan tidak mengikatkan diri serta tidak mengharapkan hasilnya. Jadi,
melakukan pekerjaan tanpa pamrih. Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Pada
zaman dahulu, Prajapati pun beryadnya untuk menciptakan alam semesta dan
isinya termasuk manusia. Para dewa akan memberikan kesenangan dan
keinginan manusia, jika mereka melaksanakan yadnya. Sebaliknya, ia akan
disebut sebagai pencuri, jika ia hanya mau menikmati pemberian tanpa
melakukan yadnya. Dari makanan muncullah mahluk, dari hujan muncullah
makanan, dari yadnya muncullah hujan, dan dari pekerjaan muncullah yadnya
(Bhg.III,8-16).
Dalam Rgveda (X,71) diungkapkan empat cara untuk mencapai tujuan
hidup tertinggi (moksa): (a) bhaktimargha, dengan mengucapkan mantra; (b)
wibhutimargha, dengan cara menyanyikan lagu pujaan (hymne), mantra, stotra;
(c) jnanamargha, dengan ilmu pengetahuan; dan (d) karmamargha, dengan
melakukan yajna. Jadi, menurut Rgveda, yajna merupakan salah satu di antara
empat jalan yang dapat dipergunakan untuk memuja Sang Hyang Widi
Wasa/TYME. (Di Indonesia, keempat cara itu sekaligus dilaksanakan untuk
memuja Sang Hyang Widi Wasa/TYME). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa yajna
78

bagaikan 'kapallaut yang suci' yang akan dapat mengantarkan manusia menuju
tujuannya.
Di dalam Manavadharmasastra disebut rincian panca mahayajna (lima
macam upacara besar): devayajna, rsiyajna, pitriyajna, manusayajna, dan
bhutayajna. (Uraian lebih lanjut tentang itu lihat bab: yadnya).
79

BAB V
SIMBOL (NYASA) DALAM AGAMA HINDU

5.1 Pengantar

'Simbol', adalah suatu kegiatan, gerakan, benda atau yang dibendakan,


yang mengandung makna/arti atau yang mewakili sesuatu Dalam kehidupan
sehari-hari, sejak zaman purba kala sampai pada zaman sekarang, manusia
selalu menggunakan simbol-simbol tersebut kalau mereka berkomunikasi.
Justru, kemampuan manusia menciptakan dan menggunakan simbol-simbol itu
untuk berkomunikasilah, yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia
berbudaya, karena memiliki pikiran (tripramana: bayu, sabda, hidep atau
manah). Sedangkan hewan tidak memiliki pikiran/manah (dwipramana: bayu,
sabda).
Demikianlah manusia menggunakan berbagai jenis simbol, mulai dengan
tanda 'tambah' ( + ) dan 'kurang' ( - ), gerakan-gerakan, dan kata-kata, sampai
pada 'bahasa', khayalan dan aktivitas yang mengandung arti dan interpretasi
dalam berkommunikasi.

5.2 Makna dan hakikat simbol dalam agama Hindu


Agama Hindu berangkat melewati segala kemampuan yang dapat
disentuh dan dialami oleh manusia setiap hari, dalam kehidupannya. Hal itu
menyebabkan semua ekspresi dan komunikasi agama Hindu , hanya dapat
disampaikan melalui simbol (nyasa). Maka dari itu, agama Hindu sangat banyak
mempergu nakan simbol atau lambang, yang disebut nyasa (baca: niyasa).
Simbol atau nyasa tersebut meliputi berbagai poin, misalnya: kata-kata (istilah)
keagamaan yang khusus dan penggunaanya juga secara khusus, kata-kata biasa,
objek/benda yang terlihat (iconography), gerakan khusus (mudra) untuk jenis
ritual, musik, gamelan, drama, tari, lagu dsbnya. Bahkan kombinasi semua yang
80

tersebut di atas dalam hubungannya dengan persembahyangan. Sebaliknya dalam


hal itu 'diam' (silence) mungkin juga dapat menjadi sebuah simbol.
Nyasa (simbol) itu sangat banyak ragamnya, mulai dari perlambangan
jiwa atau atman sampai pada perlambangan untuk para dewata. Di dalam Veda
terdapat berbagai jenis dan bentuk perumpamaan, kias atau simbol tersebut.
Misalnya:kereta, kapal, lembu, sapi, dsbnya. Kadang-kadang 'kereta' dipakai
sebagai perumpamaan untuk mengganti: 'upacara keagamaan'(yadnya), dan
badan jasmani manusia. Jadi, penggunaannya tidak tetap, melainkan selalu
berubah. Hal itu mempengaruhi cara berpikir yang menimbulkan pengaruh besar
dalam pertumbuhkembangan agama Hindu. Penggunannya, sekedar untuk
menambah nilai spiritual atau sifat-sifat kemuliaan atas hal-hal yang akan
digambarkan.
Untuk membuat simbol itu dapat dipergunakan beraneka ragam bahan,
antara lain: aksara, warna, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya. Selanjutnya, untuk memproduksi objek-objek yang memiliki nilai
simbolik, para seniman tidak saja memerlukan teknik penggarapannya, tetapi ia
hasur juga berada dalam suatu keadaan yang sangat khusus (ekstase). Dengan
cara melalui suatu proses transformasi spiritual pada dirinya sendiri, dia (para
seniman) juga mentransformasikan bahan-bahan untuk membuat patung
misalnya, menjadi suatu receptacle of divine power, wadah atau tempat
kekuatan Ida Sang Hyang Widi Wasa/TYME.
Begitu juga kita seyogyanya memahami makna dan hakikat khusus
sebuah arca, pratima, patung atau gambar dan kemudianmengidentifikasikan
diri kita dengan gaya kekuatan di dalammnya. Demikian juga, tatkala kita
mempersembahkan sajen atau banten; kita menggunakan sajen (banten) itu,
sebagai alat untuk menyampaikan life breath ke dalam internal image yang
telah ditransformasikan ke dalam internal vision Ida Sang Hyang Widi
Wasa/TYME.
Jadi, dengan melalui simbol atau nyasa dan pengetahuan bagaimana kita
seyogyanya bersikap, kita dapat menyadari kemungkinan dalam
81

subconciusnesskita sendiri, bahkan memahami kekuatan alam semesta dan


mengadakan hubungan dengan Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.

5.3. Beberapa contoh simbol

a. lingga yoni
Dalam sejarah agama Hindu baik di India maupun di Nusantara
(Indonesia) pemujaan terhadap lingga dan yoni sangat populer. Lingga dan yoni
merupakan simbol kekuatan (creative energi) pria dan wanita. Itulah sebabnya,
kedua simbol ini seringkali dipadukan, yakni yoni menjadi dasar tempat lingga
itu tegak. Dari zaman Hindu kuno, lingga tersebut sudah dikenal dan dipuja,
sebagai simbol creative energi Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
dalam aspeknya sebagai Siva.

b. Patung Siva Nataraja


Patung Siva yang sedang menari, sedangkan kakinya berpijak pada
seorang bhuta. Patung ini menggambarkan Siva sedang menari. Tarian yang
dilakukan oleh Siva sebagai Nataraja, merupakan sombol ritme alam semesta.
Arca-arca mendukung kehadiran Tuhan. Dewi Durga yang memerangi kerbau
raksasa duduk di atas sing, mengandung makna bahwa kekuatan-kekuatan alam
semesta yang positip dan juga simbol kemenangan kebajikan atau kebenaran
atas kebatilan/ketidakbenaran. Relief-relief bentuk wanita dan pria yang
berpelukan, melam bangkan penyatuan dua unsur yang berbeda dan
mengandung makna proses regenerasi yang kekal abadi.

c. Suastika
Svastika (keadaan yang baik) merupakan simbol yang juga diyakini oleh
umat Hindu. Svastika mempunyai kekuatan suci yang sangat sakti. Svastika juga
merupakan simbol roda dunia yang melambangkan gerak kosmik dan perputaran
evolusi pada pusat yang tetap. Dalam Brhatsamhita (IV.15) disebutkan bahwa
82

svastika harus dilukis atau dipasang pada pintu pura. Bahkan sering juga dilukis
pada rumah untuk melindungi keluarga dari kejahatan. (Asal-usul simbol ini
masih menjadi teka-teki para indologis; namun contohnya banyak sekali
ditemukan di: lembah Indus, Mesopotamia, Palestina, Amerika Selatan, dan
pulau Easter).

d. Arsitektur suci (pura)


Pura, biasanya didirikan dan dibangun di tempat yang khusus, tempat
yang tertentu, indah dan suci.Pura, adalah ibarat sebuah pintu yang terbuka
untuk berhubungan ke atas dengan leluhur, para dewa, dan Sang Hyang Widi
Wasa/TYME. Karena itu, bentuk luarnya harus dapat membangkitkan perasaan
untuk harapan akan bertemu dengan Sang Hyang Widi Wasa. Keindahan objek
menyumbangkan kekuatannya sebagai alat yang sakral/suci. Oranamennya
menolong proses pengundangan kekuatan suci ke dalamnya. Setiap segi
icogographinya memiliki nilai simbolik tersendiri pada satu pemahaman yang
lebih mendalam tentang berbagai aspek kekuatan Sang Hyang Widi Wasa dan
berangkat dari dunia external menuju pemujaan internal. Pada kebanyakan umat
Hindu penempatan dan penyucian arca menjadi satu wadah energi, menjadi satu
alat yang dapat membantu akan keberadaan Sang Hyang Widi Wasa di
hadapannya.

e. Senjata Nawasangha (sikep Nawasangha)


Menurut methologi, setiap arah mata angin dikuasai oleh dewa. Bahkan
hari pun dikuasai oleh dewa. Mengingat arah penjuru mata angin ada sembilan,
maka dewa pun ada sembilan (navasangha). Masing-masing dewa tersebut
menguasai setiap penjuru itu dan mempunyai senjata (sikep), sebagai berikut.:
83

No. Nama Dewa sakti senjata warna tempat


1 Isvara Uma bajra putih purva/ timur
2 Mahesora Laksmi dupa dadu agneya
3 Brahma Sarasvati Gada Merah daksina
4 Rudra Camodi Moksala M muda nairiti
5 Mahadeva Sanci Nagapasa Kuning pascima
6 Sangkara Rodri Angkusa hijau bayavya
7 Visnu Sri Cakra Hitam utara
8 Sambu mahadevi trisula Biru tua Timur laut
9 Siva Uma Padma Pancawarna tengah
84

BAB VI
FILSAFAT HINDU: SISTEM DAN PERKEMBANGANNYA
(Filsafat Veda, dan Brahmana)

6.1 Umur Veda

Para sarjana, hampir semuanya berpendapat bahwa Veda, sebagai kitab


suci agama Hindu, merupakan kitab tertulis yang tertua di antara kitab-kitab
tertulis bangsa Indo European. Walaupun demikian, para sarjana masih belum
bisa menemukan kata sepakat tentang kapan sebenarnya kitab suci itu dibuat.
Banyak di antara para sarjana itu mencoba menerkanya, tetapi
terkaannya selalu gagal, seandainya dibuktikan secara logika. Max Muller,
sebagai sarjana indologi dan bapak ilmu perbandingan agama, menentukan
tahun awal pembentukan kitab suci Veda pada tahun 1200 SM. Sarjana lainnya,
Hang, berpendapat tahun 2400 SM , sebagai awal terbentuknya kitab suci Veda.
Sedangkan Gangadhar Tilak, menentukan tahunnya pada 4000/6000 SM.
Sebagaimana diketahui pada zaman India kuno, orang-orang India tidak
mempunyai kebiasaan meninggalkan atau membuaat catatan (record) yang
menerangkan tahun dan nama penulisnya sangat membanggakan. Hal itu terjadi
pada bidang sastra, politik, maupun dalam bidang agama. Juga kita dapat
mengetahuinya, bahwa mereka tidak menulis hasil ciptaannya. Misalnya, kitab
suci Veda, diturun-temurunkan tidak melalui titab tertulis, tetapi melalui secara
lisan, dari mulut ke mulut, dalam kurun waktu yang tidak mampu kita menerka
betapa lamanya. Namun, umat Hindu yakin, bahwa Veda itu tidak dibuat oleh
manusia (apaurusya).Umat Hindu meyakini (sraddha), bahwa Tuhanlah yang
secara langsung mengajarkan isi Veda itu kepada para resi; atau para resi
mendapat wahyu (sruti) tentang hymne-hymne suci (sloka-sloka) yang terdapat
pada kitab suci Veda, melalui seer (dengan supernatural power) atau adikodrati
mereka atau mantradrsta.
85

6.2 Kedudukan Veda bagi umat Hindu

Pada waktu kitab suci Veda dibentuk, mungkin sekali orang India kuno
belum mempunyai sistem tulis. Jadi, hal itu merupakan suatu hal yang yang luar
biasa, yang dilakukan oleh para pemuka dan penekun agama (Brahmana), untuk
mempelajari kitab suci Veda itu. Beliau menekuninya dengan cara yang luar
biasa, mengingat dan mengapalkan semua ajaran Veda dalam ingatannya,
dengan cara yang luar biasa juga, dalam kurun waktu yang lamanya sangat sulit
ditentukan, seandainya kita mencoba menentukannya. Paling sedikit selama
3000 tahun mereka mempelajari Veda dengan cara seperti itu, yakni secara lisan
turun temurun dari mulut ke mulut.
Seandainya kita mempelajari dan menyimak sejarah India kuno, dengan
jelas sekali kita bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi semenjak zaman
Veda sampai zaman later Vedic. Tetapi kitab Veda selalu merupakan kitab
tersuci bagi umat Hindu dalam setiap zaman. Bahkan, sampai saat kini, semua
upacara dalam kehidupan umat Hindu, seperti: upacara perkawinan
(vivahasamskara), upacara kelahiran (jatakarma samskara), upacara kematian
(antyesti samskara), dan sebagainya, masih tetap dilakukan mengikuti dan
menurut petunjuk kitab Veda.
Jadi mantra-mantra, doa-doa suci, yang dipergunakan oleh umat Hindu
pada saat sekarang, umurnya sudah ribuan tahun. Mantra Gayatri misalnya, kita
temukan di antara hymne-hymne (sloka-sloka) yang terdapat dalam Rg Veda,
Veda yang paling tua di antara keempat Veda. Lagi pula, mantra Gayatri
tersebut sudah merupakan mantra yang paling suci di antara semua hymne
(sloka) dalam Rg Veda.Pengaruh Veda, tidak saja kita rasakan sangat kuat
dalam kehidupan umat Hindu sehari-hari, tetapi juga pada karya sastranya, yang
lahir pada zaman setelah zaman Veda Semuanya berdasarkan Veda dan para
penulis menerima bahwa hasil karya mereka berdasarkan kitab suci Veda.
Pada keenam sistem filsafat Hindu (saddharsana) kita temukan bahwa
mereka selalu 'baku hantam' dalam mempertahankan ketenaran ide mereka,
bahwa ide atau filsafat merekalah yang paling setia kepaada kitab suci Veda.
86

Semua hukum dan peraturan-peraturan yang terdapat di India saat ini juga
berdasarkan Veda Bahkan, pada zaman Inggris menguasai India pun pemerintah
Inggris membuat hukum dan peraturan-peraturan di India berdasarkan kitab suci
Veda. Misalnya, pada hukum tentang warisan, pengangkatan anak dan
sebagainya. Jadi, walaupun kitab suci Veda itu sudah sangat tua usianya, namun
Veda masih tetap segar bugar bagi umat Hindu. Tidak ada perubahan yang
terjadi pada kitab suci Veda menurut umat Hindu. Kitab suci Veda selalu
merupakan kitab suci bagi umat Hindu dari zaman ke zaman.

6.3 Pembagian kesusatraan Veda

Bagi kita yang baru pertama kali mempelajari kesusastraan Sanskerta,


biasanya sering bingung ketika kita menemukan kata 'veda' atau 'sruti'. Kata
veda sebenarnya bukan nama satu jenis kitab, tetapi merupakan hasil
kesusastraan pada zaman tertentu dan berkelanjutan dalam jangka kurtun waktu
amat lama, lebih dari 2000 tahun lamanya. Karena itulah para sarjana sepakat
membuat pembagian untuk kitab itu karena jangka waktu yang begitu lama
masa pembuatannya (masa terbentuknya), serta melibatkan banyak resi pada
pembentukannya.
Seandainya secara kasar kita membuat pembagian kitab Veda itu atas
dasar subjek yang dibicarakan dan bahasanya, kita bisa menemukan empat tipe
yang berbeda. Keempat tipe tersebut adalah: (1) kitab Samhita atau koleksi
verse-verse; (2) kitab Brahmana; (3) kitab-kitab Aranyaka (harta dari hutan);
dan (4) adalah kitab-kitab Upanisad.
Kitab-kitab tersebut di atas, dianggap amat suci bagi umat Hindu dan
para resi. Oleh karena itu, mereka merasa tidak patut mencatatnya atau
menulisnya. Tetapi mereka harus mendengarkan uraian-uraian para guru (resi),
dan kemudian disimpan dalam ingatan semua ajaran itu. Tradisi itu juga yang
menyebabkan, kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab sruti, yang berarti
87

semua yang didengar. (seperti para resi mendengar ajaran itu (wahyu) dari
Tuhan/Brahman).

6.4 Kitab-kitab samhita

Kita menemukan adanya empat samhita (kumpulan): (1) Rg Veda


samhita, (2) Samaveda samhita, (3) Yajurveda samhita, dan (4) Atharvaveda
samhita. Dari keempat samhita itu, Rg Veda merupakan yang tertua. Samaveda
hampir tidak mempunyai arti banyak, karena semua stansa (sloka) yang terdapat
di dalamnya diambil dari Rgveda. Fungsinya hanya untuk diucapkan menurut
melodi. Sedangkan Yajurveda samhita menambahkan banyak formula kitab Rg
Veda. Lalu Samaveda dibuat sedemikian rupa untuk Soma sacrifice (upacara
Soma). Sedangkan Atharvaveda samhita berfungsi pada waktu pembuatan
upacara-upacara.
Rigveda samhita agak berbeda dengan ketiga samhitaa lainnya, karena
syair-syairnya (sloka-slokanya, verse-verse) diatur menurut kepada Dewa siapa
sloka-sloka itu ditujukan. Jadi, pada Rigveda kita menemukan, misalnya, sloka-
sloka/verse untuk: Dewa Agni, Indra, dan sebagainya.
Samhita yang keempat, Atharvaveda samhita, merupakan samhitayang
termuda. Kita catat pendapat Prof. Machdonell atas Atharvaveda: Kitab ini
sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kitab Rigveda. Hanya Atharvaveda
mencerminkaan (mewakili) jalan pemikiran orang yang lebih primitif.Sementara
kitab Rigveda melibatkan dewa-dewa, Atharvaveda melibatkan magic-magic
mantra untuk para raksasa, blackmagic dan sebagainya. Jadi Mackdonell
berpendapat, bahwa Rigveda dan Atharvaveda-lah yang terpenting dari keempat
veda samhita itu.

6.5 Kitab-kitab Brahmana


Kitab-kitab ini merupakan kitab 'theological' dan tumbuh setelah
samhita, serta sangat berbeda dengan samhitaa. Kitab itu ditulis dalam bentuk
88

prosa. Isinya menerangkan tentang arti-arti rahasia bermacam-macam ritual


(upacara) bagi umat Hindu yang awam.
Kitab Brahmana bersifat intelektual, mendiskusikan semua upacara,
mengenai arti, gunanya, asal-usul upacara tersebut dan sebagainya. Jadi, pada
kitab-kitab Brahmana itu, kita banyak menemukan simbol-simbol dan juga
penuh dengan dogma-dogma. Dari kitab Brahmana itulah kita mendapatkan
gambaran, bahwa sebelumnya, upacara-upacara di dalam agama Hindu
dilakukan dengan cara yang sangat sederhana Tetapi ketika kitab itu mulai
terbentuk, upacara-upacara di dalam agama Hindu menjadi sedemikian rumit. Di
situ mulai timbul banyak jenis upacara yang harus dilakukan oleh pandita dan
jenisnya juga banyak, menurut derajat para pandita.
Kita bisa menarik kesmipulan di sini, bahwa pada zaman itulah sistem
kasta mulai terbentuk dan semenjak itu juga semua urusan yang bersangkutan
dengan agama dikonsentrasikan pada upacara. Para sarjana berpendapat, zaman
kitab Brahmana berlangsung sebelum tahun 500 SM.

6.6 Kitab-kitab Aranyaka


Setelah kitab-kitab yang telah kita sebutkan di depan, bentuk lain yang
berkembang adalah Aranyaka (artinya harta benda hutan belantara). Kitab-kitab
itu kemungkinan disusun (kompused) bagi mereka yang melakukan kehidupan
sebagai sanyasin atau bhiksuka, hidup di hutan belantara. Jadi, mereka tidak
mampu untuk melakukan upacara-upacara.
Di dalam kitab-kitab itu meditasi kepada simbol tertentulah yang
diutamakan. Sedangkan upacara ditempatkan pada nomor dua. Di situ kita
menemukan satu tahap perkembangan yang drastis sekali di dalam agama
Hindu. Upacara-upacara tidak begitu penting lagi. Di situ timbul satu filsafat
yang berusaha menekuni dan mencari arti apakah kebenaran itu.
Seandainya kita mempelajarinya, misalnya dari Brihadaranyaka
Upanisad: bentuk upacara kuda (asvamedha) yang sangat populer pada saat itu
sudah berubah bentuknya menjadi satu bentuk meditasi yang ditujukan kepada
Usas (Sang dewi Fajar) sebagai kepala kudanya, dan matahari sebagai mata
89

kudanya, serta udara sebagai kehidupannya kuda dan sebagainya. Jadi, upacara-
upacara kini beralih ke bentuk meditasi dan filsafat, serta pengetahuan tentang
kebenaran menjadi tujuan hidup yang utama
Pada zaman itu, di zaman Aranyaka, terjadi suatu perubahan darastis
dalam jalan pikiran umat Hindu. Dalah hal itu, Aranyakalah yang membuka
jalan untuk munculnya ajaran-ajaran Upanisad, ajaran filsafat yang berpedoman
kepada Veda. Kemudian Upanisadlah yang menjadi sumber aliran-aliran filsafat
Hindu dan menjadi sumber jalan pikiran umat Hindu.

6.7 Polytheistik, Henotheistik, dan Monotheistik


Banyaknya jumlah dewa yang kita temukan di dalam kitab Veda,
mungkin membuat orang mempunyai pikiran, bahwa Vedic Hindu bersifat
polytheistik. Tetapi bagi mereka yang mempelajari kitab Veda dengan sangat
cermat, serta teliti, dan bagi mereka yang intelligent, mereka akan menemukan
bahwa agama Hindu (Vedic Hindu), tidak politeisme dan juga tidak monoteisme,
tetapi mempunyai sistem kepercayaan tersendiri.Di dalam Vedic Hindu kita
menemukan: seandainya seseo rang mempunyai dan memuja satu Dewa
tertentu, maka dewa-dewa lainnya secara otomatis menjadi dewa-dewa minor,
subdewa dalam fungsinya.
Max Muller menamakan bentuk kepercayaan itu sebagai bentuk
henoteisme atau katenoisme, yang berarti percaya kepada satu dewa di antara
para dewa dan setiap dewa secara bergiliran menjadi yang tertinggi.Tetapi jalan
pikiran pada kepercayaan itu, terus berkembang bersamaan dengan
perkembangan zaaman dan bentuk monotheism kian menjadi nyata pada sejarah
perkembangan agama Hindu.
Di dalam kitab Hindu kuno, kita menemukan satu bentuk, misalnya
Prajapati (lord/raja semua mahluk). Tentang itu jelas sekali diterangkan dalam
Rgveda X.121 (Rgv., X.121), bahwa Prajapatilah yang tertinggi dan maha
kuasa. Jalan pikiran agama Hindu yang terus menuju bentuk monotheism juga
kita temukan padaRgveda X .82.3, yaitu untuk Visvakarma , pencipta semuanya.
90

Baiklah kita mencoba menerjemahkan sloka (verse) Rgveda X.82.3:


"Siapa Bapak, Pencipta dan pembuat kita. Dia yang mengetahui segala tempat
dan segala mahluk. Dari siapa semua dewa mendapat nama mereka. Kepada Dia
semua mahluk memohon diri-Nya".

6.8 Brahman
Menyusul yang telah diuraikan di depan, kemudian kita menemukan
munculnya konsep Brahman sebagai Tuhan. Hal itu kita temukan pada aliran
filsafat Vedanta. Sedangkan arti dan makna Brahman yang sesungguhnya masih
diperdebatkan oleh para sarjana. Salah seorang resi, bernama Resi Sayana
memberi arti tentang brahman itu sebagai Mahabesar. Sedangkan menuerut
kitab Satapatha Brahmana, Brahman(netral), adalah asal mula alam semesta.
Dia (Brahman), menciptakan dewa-dewa dan memberi tugas-tugas para dewa
untuk mengatur alam semesta ini, misalnya : Agni mengatur api, Vayu untuk
angin dan sebagainya. Kemudian sebagai Yang Maha Kuasa, Brahman kadang-
kadang juga disebut sebagai Prajapati, Purusa, dan Prana. Di samping itu
Brahman sering juga disebut sebagai Svayambhu.

6.9 Konsep Atman menurut filsafat Veda


Umat Hindu percaya (sraddha), bahwa jiwa (atman) manusia akan dapat
terpisah pada saat mereka meninggal. Di dalam kitab Satapatha Brahmana
disebutkan, bahwa barang siapa yang tidak melakukan kejidupan dengan
semestinya, akan terlahir kembali (reinkarnasi, punarbhava), setelah ia
meninggal dan akan kembali mengalami kesengsaraan (samsara), jara marana,
dan seterusnya akan mengalami kematian kembali, dan seterusnya.
Dalam sloka Rg Veda (X. 58.), disebutkan bahwa jiwa (atman) seseorang
tanpa disadari dapat diundang untuk kembali kepadanya dari pohon, langit, dan
sebagainya.Bahkan pada banyak sloka (hymne) juga kita mendapat gambaran,
bahwa ada alam lainnya yaitu alam yang penuh dengan kebahagiaan, seandainya
mereka berbuat baik pada masa hidupnya atau alam yang penuh dengan
penderitaan, seandainya berbuat jahat pada masa hidupnya.
91

Kitab Satapatha Brahmana menerangkan, bahwa setelah kematian


seseorang / mereka harus melewati api yang membakar mereka yang tidak baik
tingkah lakunya selama masa hidupnya dan membiarkan mereka yang tidak
hangus terbakar Semua uraian yang disebutkan di depan, membuktikan bahwa
sudah ada konsep moral idea pada zaman itu. Begitu juga sudah ada satu hukum
yang bernama hukum karma.
Di dalam Rg Veda juga banyak kita temukan kata-kata seperti: manas,
atman, dan asu untuk jiwa. Justru kata atman inilah yang kemudian hari terus
dipakai sampai sekarang dalam agama Hindu. Jadi, kesimpulan kita adalah pada
zaman sebelum zaman Upanisad sudah ada kepercayaan (sraddha) terhadap
atman.

6.10 Upacara (sacrifice = kurban = asal mula hukum karma)

Walaupun tendensi agama Hindu menuju ke bentuk monotheisme terus


berlangsung dengan pesat pada zaman itu, bentuk-bentuk upacara (sacrifice) untuk
dewa-dewa atau sacrifices untuk bentuk polytheism masih tetap terus berlangsung dan
bahkan bertambah rumit. Tetapi atas power/kekuatan para dewa yang dipuja di dalam
sacrifices tersebut menjadi tidak begitu penting dan utama. Tetapi justru kekuataan
magic terletak pada bentuk upacara (sacrifices) sendiri.
Bentuk banten (sesajen, offering) tidak disadari atas devotion (bhakti) seperti
halnya bentuk banten yang kita temukan pada zaman Hindu berikutnya, terutama
setelah timbulnya sekte Vaisnava.Karena begitu penting dan powerfulnya sacrifices,
maka mereka (umat Hindu) harus sangat hati-hati melakukannya. Tidak boleh salah
mengucapkan mantra-mantranya dan nadanya.
Lain daripada itu, juga tidak boleh salah sewaktu menuangkan mentega (gee) ke
dalam api upacara dan tidak boleh salah mengatur perlengkapan-perlengkapan upacara.
Kesalahan sedikit saja dapat menyebabkan kefatalan dan kegagalan bagi mereka yang
melakukan sacrifice /upacara yadnya itu. Contoh seperti itu, bisa kita temukan dalam
mitologi, bagaimana raksasa Tvastr salah mengucapkan mantra sehingga justru dia yang
terbunuh oleh musuhnya, Indra.Tetapi seandainya sacrifice / upacara sudah dilakukan
92

dan berjalan dengan sempurna, maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu
menggagalkan tujuan upacara tersebut.
Jadi jelaslah di sini, bahwa hasil upacra tidak tergantung pada belas kasih para
dewa, tetapi tergantung pada upacaranya sendiri, pada hasil upacaranya sendiri.Menurut
umat Hindu, sacrifices (upacara kurban) itu sama seperti halnya dengan kitab Veda
bersifat kekal dan tidak mungkin kita bisa mencari dan menentukan asal mulanya. Di
samping itu umat Hindu juga percaya, bahwa alam semesta ini (macrocosmos, bhuwana
agung) tercipta karena sacrifices (upacara yadnya) yang dilakukan oleh
Brahman/Purusa (Tuhan).
Jadi, upacara yadnya /sacrifices, sesungguhnya tidak ditujukan atau tidak
dipersembahkan kepada para dewa. Hasil yang dicapai (melalui yadnya) tergantung dan
diperoleh langsung dari kekuatan upacara itu sendiri, seandainya upacara yadnya itu
dilakukan secara sempurna.Walau kita kadang-kadang menemukan tentang
disebutkannya beberapa dewa dan pemberian atau persembahan sesajen, banten
kepadanya. Tetapi sebenarnya fungsi dewa-dewa tersebut hanyalah sebagai alat
pelengkap keberhasilan sacrifices/upacara/yadnya. Jadi, sacrifices / upacara / yadnya
mempunyai potensi power, yang luar biasa, yang bahkan lebih besar dari kekuatan para
dewa. Malahan, kita juga menemukan , bahwa mereka /umat Hindu yang melakukan
upacara/yadnya kadang-kadang bisa menjadi dewa karena kesempurnaan upacara
yadnya /sacrifices yang mereka lakukan.
93

BAB VII
SISTEM KALENDER DAN TAHUN HINDU INDIA

7.1 Kalender

Sistem perhitungan dan pencatatan waktu di India, tidak berdasarkan


sistem solar, tetapi menggunakan sistem tihti atau lunar day. Satu bulan tithi
(lunar) ada 30 hari. Sedangkan kalau sistem solar, satu bulannya ada 29 hari.
Kemudian yang satu bulan itu dibagi menjadi dua bagian atau paksa: (1) dimulai
dengan 'bulan penuh' (purnima vasya), dan (2) 'bulan baru ' (amavasyaatau
bahula vasya). Masing-masing bagian atau paksa, terdiri dari 15 hari. Dua
minggu yang pertama, dimulai pada 'bulan pertama'(baru, Bali: tanggal
pisan,sehari setelah tilem), disebut 'pertengahan terang' (suklapaksa), dan dua
minggu berikutnya, dimulai setelah bulan purnama (Bali: panglong pisan),
disebut 'paro bulan gelap' atau kresnapaksa.
Menurut tradisi India Utara dan sebagian Deccan, bulan dimulai dan
diakhiri pada 'bulan penuh' atau purnama (purnima). Sedangkan di daerah
Tamil, bulan biasanya dimulai pada 'bulan baru.' Perlu juga diketahui, bahwa di
India sampai sekarang kalender Hindu masih dipergunakan sebagai kepentingan
agama.Jadi, suklapaksa mulai dari 'bulan baru' (Bali: tanggal pisan), sampai
dengan 'bulan purnama' (purnima), dan kresnapaksa mulai 'bulan purnama'
sampai 'bulan baru' (amavasya atau bahula vasya).
Selanjutnya, penentuan kapan 'hari' (tithi) itu dimulai, menurut sistem
solar? Biasanya, dimulai pada jam berapa saja; atau dengan kata lain tidak
ditetapkan secara pasti dan tegas. Namun, untuk memudahkan pencatatan waktu,
perhi tungan 'hari' (tithi), dimulai pada saat matahari terbit, dan berakhir pada
saat sebelum matahari terbit berikutnya. Jadi, bukan pada pukul 00.00, seperti
sistem pergantian hari secara masehi.Dalam satu tahun Hindu (India) ada 12
lunar (bulan).
94

Adapun nama-nama bulan tersebut sebagai berikut:


1) Caitra, (Maret-April)
2) Vaisakha, (April-Mei)
3) Jyaistha, (Mei-Juni)
4) Asadha, (Juni-Juli)
5) Sravana, (Juli-Agustus)
6) Bhadrapada atau Pransthapada, (Agustur-September)
7) Asvina atau Asvayuja, (September-Oktober)
8) Kartika, (Oktober-November)
9) Mayasira atau Agrahayana, (November-Desember)
10) Pausa atau Taisa, (Desember-Januari)
11) Magha , (Januari-Pebruari)
12) Phalguna, (Pebruari-Maret)

Sedangkan pada zaman kuno, nama-nama bulan yang kita temukan


dalam Veda atau puisi/sastra adalah sebagai berikut:
1) Madhu 7) Urja
2) Madhava 8) Sahas
3) Sukra 9) Sahasya
4) Suci 10) Tapas
5) Nabhas 11) Tapasya
6) Jsa

Menurut sistem di India, biasanya perhitungan tahun dimulai pada bulan


Caitra. Namun, kadang-kadang ada kalanya dimulai pada bulan Kartika atau
pada bulan yang lainnya.
Di samping itu, di India ada juga sistem penentuan musim (rtu). Setiap
musim lamanya dua bulan. Dengan demikian, di India ada enam musim (rta)
sebagai berikut:
1) Vasanta, Spring, (Maret-April)
2) Grisma, Summer, (Mei-Juni)
95

3) Varsa, rains, (Juli-Agustus)


4) Sarad, autum, (September-Oktober)
5) Hemanta, winter, (November-Desember)
6) Sisira, cool, (Januari-Pebruari)
Dalam satu tahun kalender Hindu (12 bulan), ada 354 hari; jadi berbeda
dengan tahun Masehi, yakni 365 hari. Untuk mengatasi perbedaan itu, sejak
zaman dahulu sudah diselesaikan permasalahannya. Dalam setiap 62 bulan
lunar, dikira-kirakan sama dengan 60 bulan solar.Jadi, setiap 30 bulan lunar ada
sisipan satu bulan ekstra dalam satu tahun, seperti juga di Babylonia. Penamba-
han bulan ekstra itu, biasanya dilakukan setelah bulan Asadha atau Sravana,
yang disebut Asadhadvitya atau Sravana dvitya(Asadha, Sravana
kedua).Dengan demikian, setiap tahun kedua dan ketiga terdiri dari 13 bulan,
dan berarti 29 hari lebih panjang daripada tahun lainnya.
Kalender Hindu (India) memang kurang efisien, karena sangat berbeda
dengan kalender solar lainnya. Bahkan sangat sulit untuk mengetahui hari-hari
penting Hindu (Bali: dewasa ala ayu), dalam waktu singkat. Sistem penulisan
tanggal India, ditulis menurut urutan sebagai berikut: bulan paksa, tithi, istilah
tambahan sudi dan badi, untuk pertengahan terang dan gelap. Misalnya, Caitra
sudi 7, berarti hari ketujuh bulan baru/purnama bulan Caitra.Sesungguhnya
sistem 'kalender solar' diimport dari 'astronomi Barat', yang juga sudah dikenal
sejak zaman Raja Gupta (ke atas). Namun, pengaruh itu tidak mendesak dan
tidak mennggeser kedudukan sistem kalender luni solar kuno. Walaupun
penggunaan penanggalan sistem kalender solar dalam pencatatan kuno lebih
tepat, dengan kedominanan naksatra hari dipertanyakan, setelah penanggalan
hari solar yang teratur.
Nama-nama bulan kalender solar, diberi nama menurut nama-nama
zodiak, yang penerjemahannya sangat mirip dengan yang asli Yunani, yaitu
sebagai berikut:
1) Mesa Aries
2) Vrshaba Taurus
3) Mituna Gemini
96

4) Karkata Cancer
5) Simha Leo
6) Kanya Virgo
7) Tula Libra
8) Vrscika Scorpio
9) DhanusSagitarius
10) Makara Capricorn
11) Kumbha Aquarius
12) Mina Pisces

Di samping itu kalender solar juga memperkenalkan bahwa dalam satu


minggu ada 7 hari. Kemudian ketujuh hari tersebut diberi nama menurut nama-
nama planet, seperti yang ada pada sistem Greco-Roman, yaitu sebagai berikut:
1) Ravivara Minggu (matahari) Redite
2) Somavara Senin (bulan) Soma
3) Manggalavara Selasa Anggara
4) Budhavara Rabu Budha
5) Brhaspativara Kamis Wraspati
6) Sukravara Jumat Sukra
7) Sanisvara Sabtu Saniscara

7.2 Tahun Hindu (India)


Menurut penyelidikan, ternyata sampai pada abad pertama sebelum
Masehi (abad 1 BC), tidak ditemukan adanya bukti yang bisa dipercaya, bahwa
India telah mempunyai sistem regular yang dipakai untuk mencatat tahun
kejadian-kejadian, dengan menulis penanggalan pada satu era (tahun) yang difi-
nitip seperti AUC bangsa Roma atau era Christiannya Eropa.
Prasasti-prasasti (inscripsi) kuno, biasanya ditulis tanggalnya pada tahun
berkuasanya seorang raja. Sedangkan ide penanggalan panjangnya satu periode
dari titik tahun, jelas dibawa ke India oleh para invader dari north-west.Mereka
97

meninggalkan prasasti-prasastinya memakai tahun India. Namun, sayang sekali


bangsa India tidak mengikuti dan tidak memakai satu jenis sitem tahun dengan
seragam.Di India berlaku atau dipakai beberapa jenis sistem tahun (era) antara
lain sebagai berikut:

7.2.1 Tahun Vikrama atau Vikrama era (58 BC)


Menurut tradisi (kepercayaan, tidak menurut fakta sejarah), tahun
Vikrama didirikan oleh seorang raja, bernama Vikramaditya. Beliau berhasil
mengusir mengusir bangsa Saka keluar dari wilayah Ujjayini dan kemudian
mendirikan tahun (era) Vikrama, sebagai tanda untuk merayakan
kemenangannya pada tahun 58 BC (sebelum Masehi).
Tetapi menurut sejaarah, bahwa satu-satunya raja yang memaakai titel
atau nama Vikramaditya dan yang berhasil mengenyahkan kaum Saka keluar
dari Ujjayini, adalah Candra Gupta II. Rjaa itu hidup lebih dari 400 tahun
sesudah tahun (era) itu sendiri berdiri (58 BC ). Dengan demikian, legenda atau
tradiri itu tidak benar.
Di dalam prasasti-prasasti kuno yang menggunakan tahun (era) ini
semua prasasti ini berasal dari western India, eranya disebut sebagai kreta
(didirikan atau diturunkan oleh suku Malava). Beberapa sarjana percaya,
baahwa banyak prasasti kaum Saka Palava dari north-west India menggunakan
tahun ini, yang didirikan oleh Azes, salah seorang raja kunanya. Namun hal itu
masih diragukan kebenarannya.
Era (tahun) ini (Vikrama) paling populer di India Utara aslinya. Tahun
Vikrama dimulai pada bulan Kartika, tetapi pada zaman abad pertengahan
;tahun Vikrama dimulai pada paro (pertengahan) terang (suklapaksa) bulan
Caitra di Utara, dan pada pertengahan (paro) gelap (kresnapaksa) bulan yang
sama di Penisula.

7.2.2 Tahun Saka atau Saka Era (mulai tahun 78 M)


Menurut legenda, tahun ini didirikan oleh Raja Saka, yang menduduki
Ujjayini, 137 tahun setelah Vikramaditya. Namun, menurut fakta sejarah, era
98

(tahun) ini didirikaan oleh Raja Kanishka, dari dinasti Kushana dan dengan pasti
tahun (era) ini digunakan oleh Westum Satraps pada awal abad kedua Masehi.
Westum Satraps menguasai Malawa, Kathiavar dan Gujarat. Jadi penggunaan
tahun Saka ini menyebar ke Deccan dan dieksport ke Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.

7.2.3 Tahun Gupta atau Gupta Era (320 M)


Tahun ini mungkin didirikan oleh Candra Gupta I, dan penggunaannya
dilanjutkan oleh dinasti Maitraka di Gujarat sampai beberapa abad lamanya
setelah kerajaan Gupta jatuh.

7.2.4 Tahun Harsa atau Harsa era (606 M)


Tahun ini didirikan oleh Raja Harsa Vasdhana dari Kanyakubja. Era ini
polpuler di India Utara sampai satu atau dua abad setelah kematiannya.

7.2.5 Tahun Kalacuri atau Kalacuriera (248 M)


Tahun ini mungkin didirikan oleh satu dinasti kecil, yang bernama
dinasti Traikuta. Era ini dipergunakan di India Tengah, sampai waktu invasi
Islam.

7.2.6 Tahun lokal dan penting pada periode tertentu

7.2.6.1 Tahun Laksmana (Laksmanaera), dari Bengal (1119 M).


Beberapa sarjana berpendapat, bahwa era ini didirikan oleh raja
Laksmana Sena, namun kebenarannya masih diragukan.

7.2.6.2 Tahun Saptarsi atau Laukita Era


Digunakan di Kashmir pada abad pertengahan dan dicatat di dalam
lingkaran mulai 75 tahun, setelah satu abad era Kristen.
99

7.2.6.3 Licchavi Eraa dan Neyar Era dari Nepal (Masehi 110 dan 878).

7.2.6.4 Kollam era dari Malamar (825 M).

7.2.6.5 Vikramaditya era VI Calukya (1075 M).

7.2.6.6 Kaliyuga era (3102 BC),


Lebih sering dipakai untuk tujuan keagamaan dan jarang untuk politik.

7.2.6.7 Buddha Era (544 SM)


Dipergunakan di Ceylon dari zaman yang sulit diterka.

7.2.6.8 Mahavira Era (528 SM)


Dipakai oleh umat Jaina.
Sampai saat kini di India hanya ada empat era (tahun) yang masih
dipergunakan untuk keagamaan, yaitu: Buddha era, Mahavira era, dan Saka
era. Sedangkan tahun-tahun yang lainnya sudah punah.
100

BAB VIII
HARI RAYA DAN UPACARA YADNYA

A. HARI RAYA / SUCI

8.0 Pendahuluan

Sesuai dengan karakter atau sifat agama Hindu yang universal


berdasarkan istadevata dan adikara, maka timbullah berbagai variasi di dalam
pelaksanaannya. Varian-varianpelaksanaan itu mengikuti kebudayaan
masyarakat penganutnya, yang meliputi sila, acara, dan atmatusti. Begitu juga
di Indonesia, yang juga memiliki kebudayaan tersendiri, dengan berbagai suku
bangsanya, menerima agama Hindu tersebut disesuaikan dengan desa, kala,
dan patra (tempat, waktu, dan keadaan), seperti apa yang ada sekarang.
Keseluruhan ajaran agama Hindu diramu sedemikan rupa (seperti telah
diuraikan pada buku yang lalu), termasuk hari-hari yang dirayakan dan
disucikan. Oleh karena itu, perayaan keagamaan pada umumnya bersifat lokal
dan regional. Ada perayaan keagamaan yang amat penting di
daerah/wilayah/negara tertentu, namun hampir tidak dikenal di
daerah/wilayah/negara lain. Bahkan, ada perayaan keagamaan yang
berdasarkan legenda atau mitologi setempat, sehingga tidak ditemukan
dalam pustaka suci. Itulah keunikannya.
Seperti juga telah diuraikan pada bab vii (sistem kalender), bahwa
pergantian hari terjadi pada pagi dini hari saat matahari terbit. Jadi tidak pada
pukul 00.00 seperti biasa yang dianut oleh tahun masehi, tetapi pada saat subuh
pukul 06.00. Di samping itu, sistem luni solar yang dipakai untuk menentukan
tahun Saka. Sedangkan di Indonesia, sudah membudaya sistem kalender
tersendiri yang disebut pawukon. Sistem itu berdasarkan wuku, banyaknya ada
30 wuku. Satu wuku ada tujuh hari. Dengan demikian satu putaran sistem
kalender pawukon ada 210 hari (30x7hari). Di samping wuku, ada lagi
beberapa pasar/ wara/ hari yang mempunyai sifat sendiri-sendiri. Namun,
101

yang berhubungan dengan hari raya yang disucikan hanyalah pancawara, dan
saptawara saja dikombinasikan denganpawukon tersebut. Pancawara terdiri
dari 5 wara/ hari: umanis atau legi, pahing, pon, wage atau cemeng, dan
kliwon. Dari legi atau umanis mencari umanis berikutnya ada lima hari.
Saptawara terdiri dari tujuh hari: Radite, Soma, Anggara, Budha, Wrehaspati,
Sukra, dan Saniscara (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu).
Ternyata, pengombinasian kedua wara dan wuku itulah yang dipakai
untuk menentukan hari raya, seperti: Pagerwesi, Galungan, Kuningan, dan
Saraswati. Di samping itu juga ada hari-hari yang dipergunakan untuk
piodalan dan hari raya lokal dan khusus untuk menghormati tertentu,
seperti: anggarkasih (Selasa kliwon), tumpek (Sabtu kliwon), buddha manis,
budha kliwon, dan budha wage, yang masing-masing ada enam macam dalam
210 hari (bukan hanya satu macam).
Jadi, hari-hari raya yang disucikan umat Hindu di Indonesia,
sebagian berdasarkan: (1) sistem luni solar (mengikuti India) dan (2)
sebagian berdasarkan sistem pawukon.
Hari-hari raya yang berdasarkan sistem lunisolar: (a) Sivaratri, dan (b)
Nyepi/Tahun Baru Saka. Sedangkan hari-hari raya yang berdasarkan
pawukon: (a) Pagerwesi, (b) Galungan, (c) Kuningan, dan (d) Saraswati

8.1 Hari Raya/Suci Sivaratri


Sivaratri (Sivalatri) adalah hari raya suci dalam agama Hindu yang
dirayakan setiap hari ke-14 paruh gelap (caturdasi krsnapaksa, atau panglong
ping 14), pada bulan ketujuh Magha-Palghuna atau kapitu), yaitu antara
februari-Maret. Jadi, setahun sekali, sebelum hari raya Nyepi.

8.1.1 Asal-usulnya

Dalam Purana disebutkan bahwa Brahma lahir dari bunga lotus


(teratai). Sedangkan lotus itu tumbuh dari pusarnya Visnu. Brahma ingin
mencari pangkal tangkai bunga lotus tersebut. Tangkainya panjang sekali.
102

Akhirnya, ia (Brahma) menemui Visnu sedang santai berbaring merendam


badannya dalam air yang sedang mengalir.
Brahma segera bertanya, "Wahai! Siapakah Anda sesungguhnya?"
Mendengar itu Visnu pun menjawab, sambil tersenyum, "Hai Brahma! Aku ini
Visnu! Aku adalah ayahmu!" Mendengar jawaban itu Brahma merasa tidak
percaya dan membantah keras. Perang mulut pun terjadi, tidak bisa dihindarkan.
Brahma emosi, bahkan menantang Visnu untuk mengadu kesaktiannya, yakni
perang tanding dengan senjata saktinya masing-masing. Visnu masih tetap
santai menerima tantangan tersebut.
Pertarungan senjata pun dimulai. Brahma mengeluarkan senjata
handalannya, yaitu Brahmastra, yang sangat terkenal kesaktiannya. Melihat itu,
Visnu pun mengeluarkan senjata ampuhnya yang bernama Pasupatastra.
Maka kedua senjata tersebut bertarung dengan dahsyat, sangat lama, tanpa
henti-hentinya sehingga para dewa di Suralaya merasa berkeberatan dan
langsung memprotesnya beramai-ramai.
Mendengar protes para dewa itu Brahma dan Visnu berusaha menarik
senjatanya masing-masing, namun ternyata tidak mudah. Di luar perhitungan
mereka, kedua senjata itu terus berlaga siang dan malam, tidak bisa
diberhentikan oleh siapa pun termasuk pemiliknya masing-masing. Hal tersebut
menjadikan keduanya (Brahma dan Visnu) menjadi bingung dan putus asa!
Berbarengan dengan keputusasaan itu, secara tiba-tiba muncullah sebuah
lingga berdiri tegak di hadapan mereka. Lingga itu sangat besar dan sangt
tinggi. Pangkal dan ujung nya tidak kelihatan. Brahma dan Visnu menjadi
heran dan tercengang. Saat itulah Brahma memulai pertandingan lagi.
Brahma menantang Visnu lagi untuk bertanding, masing-masing mencari
kedua ujung lingga tersebut. Perjanjiannya sebagai berikut: (1) Brahma akan
mencari ujung atau puncak lingga tersebut, dan (2) Visnu harus mencari
pangkal lingga itu. Siapa yang lebih dahulu menemukannya, dialah yang
menjadi pemenangnya.
Setelah setuju, maka Brahma pun langsung terbang membubung ke atas
mencari ujung atau puncak lingga tersebut. Makin tinggi Brahma terbang,
103

puncak lingga itu makin tinggi pulka. Akhirnya Brahma tidak sanggup mecapai
puncak lingga itu. Brahma pun turun ke bumi dengan sangat kecewa. Begitu
juga Visnu. Ia segera masuk ke dalam bumi untuk mencari pangkal lingga
itu. Sama dengan Brahma, makin dalam Visnu masuk ke dalam bumi,
terbnyata pangkal lingga itu bertambah makin ke dalam bumi. Akhirnya ia
gagal juga menemukan pangkalnya dan langsung naik ke atas bumi.
Keduanya sangat lelah dan masing-masing menceritakan
kegagalannya. Namun, anehnya dengan tiba-tiba pula lingga itu menghilang.
Dengan lenyapnya lingga tersebut, Brahma dan Visnu pun sangat heran dan
menyerah kalah. Dalam keadaan payah begitu, lenyaplah lingga dan
muncullah Siva. Dengan sangat mudahnya, dengan kedua tangannya Siva
dapat menangkap kedua senjata Brahma dan Visnu. Sambil tersenyum Siva
menyerahkan kedua senjata itu kepada pemiliknya masing-masing, yaitu
senjata brahmastra kepada Brahma, dan pasupatastra kepada Visnu.
Brahma dan Visnu ternganga keheranan dan tidak sempat berkata
sepatah pun sebagai komentar dan ucapan terima kasih. Siva pun langsung
berkata, "Wahai, Brahma dan Visnu! Ternyata Anda berdua tidak berdaya
menagkap kembali senjata Anda yang Anda pertarungkan siang dan malam,
sehingga mengganggu ketenteraman sorga. Para dewa pun pada memprotes
kejadian itu; namun Anda berdua tidak peduli. Bahkan Anda berdua
melanjutkan pertarungan Anda dengan berpacu mencari ujung dan pangkal
Lingga Siva yang muncul dan lenyap secara tiba-tiba di hadapan Anda berdua.
Oleh karena itu, sebagai sanksinya bahwa sejak saat ini Anda berdua beserta
pengikut Anda harus turut memuja Siva pada Sivaratri (Malam Siva).

8.1.2 Kebesaran Sivaratri

Dalam Sivaratrimahatmya dan Padmapurana disebutkan bahwa


Sivaratri mempunyai makna dan keajaiban yang sangat hebat. Dalam
Sivaratrimahaatmaya diceritakan bahwa Sukumara, putra seorang Brahmana
terkenal dan terhormat di kerajaan Kunjara, di tepi sungai Sindhu. Sukumara
104

mempunyai tiga dosa yang sangat besar, yaitu: (1) ia tidak mau mempelajari
Veda; (2) ia (Sukumara) kawin dengan seorang wanita candala, dan (3) terakhir
ia mengawini putrinya sendiri. Namun, karena ia pernah mengikuti upacara
pemujaan pada hari Sivaratri di pura Nagesvara, maka atmannya kemudian
diterima oleh Siva di Sivaloka.
Dalam Padmapurana diceritakan bahwa Nisada sebagai pemburu.
Kemudian Mpu Tanakung menyadur cerita itu dalam bentuk kakawin, dengan
judul Sivaratrikalpa. Tokoh utamanya adalah Lubdhaka. Cerita ini sangat
populer di Indonesia. Luar biasa keberhasilan karya sastra tradisional gubahan
Mpu Tanakung itu (Dalam Padmapurana kata 'lubdhaka' dipakai hanya dua
kali, dalam arti 'pemburu', bukan sebagai nama seorang tokoh). Mpu
Tanakung menyebutkan bahwa Lubdhaka adalah seorang pemburu dari suku
terasing Nisada.
Mpu Tanakung menceritakan bahwa Sivaratri telah diajarkan untuk
diperingat sejak zaman purba. Namun, kemudian tidak dirayakan lagi, bahkan
para dewa pun telah melupakannya. Hanya Lubdhaka yang merayakannya saat
'malam Siva' (Sivaratri) itu, walaupun dalam keadaan tidak sengaja dan tidak
sadar. Oleh karena itu, diumumkan klembali kepada masyarakat dan para
dewa, agar masyarakat dan para dewa, agar merayakannya kembali,
Demikianlah, sejak saat itu Sivaratri dibudayakan kembali, hingga saat kini.

8.1.3 Makna dan hakikatnya

Mengacu kepada Sivaratrikalpa, dijelaskan bahwa Lubdhaka adalah


seorang pemburu, yang jelas pekerjaannya membunuhi binatang-binatang
buruannya. Dalam agama Hindu, pekerjaan seperti itu sangat rendah disebut
papa, hina.
Dalam lontar itu diceritakan bahwa Lubdhaka pada saat Sivaratri telah
melakukan pajagran (tidak tidur). Istilah 'jagra' sering diganti dengan 'tan
aturu, tan mrema, atanghi, atutur yang artinya tidak tidur. Konsep ajaran Siva
(Vrehaspatitattva), dijelaskan bahwa manusia yang dibelenggu oleh indrianya
105

(raga) diibaratkan seperti orang yang sedang aturu (tidur). Selanjutnya,


manusia yang selalu aturu itu disebut papa. Bagaimana konsep manusia papa
bebas dari papaneraka? Kalau sang atma menyadari jati dirinya (... yan
matutur ikang atma ri jatinya).
Untuk itu ajaran tentang brata (vrata): mona brata, pavasa, dan jagra
seyogyanya dilaksanakan pada saat Sivaratri. Dilandasi dengan trivrata itu
dilakukan pemujaan dan pemusatan pikiran (meditasi/samadhi) terhadap
Siva/Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun pelaksanaan trivrata itu dilaksanakan sejak subuh saat
Sivaratri sampai subuh/sore keesokan harinya. Tentu sangat tergantung pada
kemampuan masing-masing. Kemudian pada saat tilem (bulan mati/gelap),
jika dilakukan berdana punya(danapunya), sangat mulia pahalanya.Jadi, pada
hakikatnya ajaran Sivaratri merupakan usaha manusia untuk membebaskan
dirinya dari belenggu yang mencekamnya sehingga terbenam dalam papaneraka
yang bergelimangan berbagai noda, dengan melaksanakan tapa, brata, yoga,
dan samadhi atau trivrata.
Kesimpulannya, dengan penyucian pikiran akan terwujud ucapan dan
tindakan suci menuju kebahagiaan lahir batin.

8.1.4 Pelaksanaannya

Secara bersama dapat dilakukan di sebuah lokasi (pura atau tempat


yang cocok). Jika sendirian dapat dilakukan di rumah, bersama keluarga.
Tingkatan perlu diperhatikan. Hal itu telah biasa diterapkan sejak lama.
Pelaksanaan dan pembudayaannya baru dimulai sekitar tahun 60-an.
Sebelumnya hanya dilakukan oleh para pandita/sulinggih. Sedangkan di
Lombok (Mataram) saat itu yang dipopulerkan hanyalah jagra-nya.
Jika di pura dilaksanakan, tentu tidak terlepas dari upacara
persembahyangannya dilengkapi dengan sarana selengkapnya. Hal itu pasti
bervariasi juga. Misalnya, di India caranya seperti seperti India juga.
Sedangkan di Indonesia, Parisada telah mengenalkan pola tertentu juga,
106

seperti Indonesia.

8.2 Hari Nyepi / Tahun Baru Saka

Hari Raya Nyepi dirayakan sebagai hari suci bagi umat Hindu di
Indonesia, yang biasanya jatuh pada bulan Maret atau April sehari setelah
tilem (bulan gelap/mati: tanggal pisan). Pada saat itu, mulai pergantian tahun
Saka, sehingga pantas juga disebut tahun baru Saka, walaupun belum biasa,
bagi umat Hindu di Indonesia. Namun, bagi umat Hindu masa kini, mereka
sudah membiasakan dirinya di samping merayakan Nyepi secara tradisional,
mereka juga memanfaatkan saat itu seperti merayakan tahun baru Masehi,
saling mengirimkan kartu dan telegram indah, bahkan sms (short messages
system). Tentu saja kelak cara dan kebiasaan itu akan mentradisi juga, seperti
halnya pengadaan dharmasanti (semacam halal-bihalal), yang telah ditetapkan
oleh Parisada sebagai salah satu hasil keputusan mahasabha (kongres besar).
Acara itu kini kian membudaya, apalagi setelah Hari Raya Nyepi dinyatakan
sebagai hari libur nasional oleh pemerintah.
Mengingat Hari Raya Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Saka,
maka sebelum diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan Hari Raya Nyepi itu,
terlebih dahulu diuraikan sejarah pendirian tahun Saka itu sendiri, yang bermula
di India. Jika demikian, Raja Kanishka dari dinasti Kushana yang sangat
berhubungan dengan pendirian tahun Saka tersebut.

8.2.1 Kushana

Kira-kira pada dekade keempat abad kedua sebelum Masehi --biasanya


tahun yang diterima oleh kebanyakan para indologist/indolog adalah 165 SM --
Hiung-nu, sebuah suku nnomad Turki, menang mutlak terhadap Yueh-chi,
tetangga mereka di Kan-su di sebelah barat laut (north-western) China.Dengan
kekalahan itu, bangsa Yueh-chi yang dipimpin oleh rajanya, terpaksa harus
meninggalkan negerinya, sambil membawa sanak keluarga dan harta benda yang
107

dapat diselamatan. Dalam migrasi ke arah barat, The Yueh-chi harus berhadapan
dengan bangsa Wu-sun di tepi sungai Ili. Dalam pertempuran itu, ternyata Yueh-
chi dapat mengalakan dan mengusir bangsa Wu-sun, bahkan berhasil membunuh
raja / pemimpin Wu-sun, yang bernama Nan-teou-mi. Bangsa Yueh-chi
menguasai seluruh wilayah bangsa Wu-sun. Namun, tidak berapa lama
kemudian, di daerah itu juga, bangsa Yueh-chi pecah menjadi dua seksi. Satu
divisi terus melanjutkan perjalanannya ke arah selatan dan kemudian menetap
di daerha perbatasan Tibet, yang kemudian dikenal dengan sebutan Yueh-chi
Kecil (Siao yueh-chi). Sedangkan divisi besarnya, terus melanjut-
kanperjalanannya dan berperang melawan bangsa Saka, (yang juga sudah
terdesak dari daerah asalnya di utara Jaxartes.
Namun demikian, bangsa Yueh-chi tidak lama tinggal didaerah
talukannya, sebab kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Kwen-mo putra
raja suku bangsa Wu-sun, yang dahulu dibunuh oleh Yueh-chi. Kwen-mo
datang menyerang mrbalas dendam dengan bantuan Hiung-nu pada tahun 140
SM.
Oleh karena kekalahan itu, bangsa Yueh-chi kemudian melanjutkan
perjalannya/pengembaraannya menuju lembah Oxus. Di lembah itu, Yueh-chi
harus berhadapan dengan kaum Tahia (Bactrian) yang bermukim di lembah itu,
yang terkenal makmur dan pencinta damai. Peperangan pun terjadi, dengan
diakhiri oleh kemenangan Yueh-chi terhadap kaum Tahia yang terkenal
pencinta damai itu. Secara bertahap bangsa Yueh-chi dapat menguasai Bactria
dan Sogdiana.
Kemudian pada awal abad Masehi mereka mulai menanggalakan
kebiasaan nomadiknya. Mereka mulai menjalani cara hidup baru yakni
menetap di daerah yang dikuasainya itu. Di situ bangsa Yueh-chi terbagi
menjadi lima grup / kelompok: Hieu-mi, Chouang-mo, Kouei-Chouang, Hi-
thun, dan Kao-fu.
Selanjutnya, kira-kira satu abad setelah pembagian kelompok itu, the
Yabghu atau Yavuga dari kelompok Kouei-Chouang (Kushana) dapat
mengalahkan keempat kelompok lainnya, dan berhasil dipersatukan kembali di
108

bawah satu kerajaan dengan nama K'ieou-tsieouk'io. Raja ini (Wang), kemu-
dian oleh para sarjana diidentasikan sebagai Kujula Kadphises. Pendapat itu
berdasarkan coin-coin yang memberi informasi tentang raja tersebut. Raja
Kujula Kadphises akhirnya dapat memperkuat pengaruhnya di kawasan itu,
pada saat melemahnya kejayaan dan pengaruh Yunani di lembah Kabul.
Beberapa koin memiliki nama Kujula Kasa dalam bahasa Kharosthi dan
Kozoulo Kadaphes dalam bahasa Yunani atau kadang-kadang Hermaeus.
Karena itu, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua raja itu
bersatu, dan mungkin untuk menahan kekuatan Pahlava. Namun, secara
perlahan-lahan akhirnya Kushana berhasil dapat menguasai daerah kekuasaan
Yunani di daerah Kabul.
Kemudian Kujula Kadphises menyerang Parthia, mengalahkan Kipin
(mungkin Gandhara), dan bagian selatan Afganisthan. Dia juga pasti berhasil
meraih kemenangan itu pada akhir-akhir masa hidupnya, setelah kematian
Gondophernes, yang menguasai Peshawar pada tahun 45 M menurut prasasti
Takht-i-Bahi. Para penulis China mengatakan, bahwa Kujula Kadphises hidup
sampai berumur 80 tahun. Jadi dari sini kita bisa mengambil tahun kematiannya
pada kira-kira pertengahan tida perempat abada kesatu Masehi.

8.2.2 Vima Kadphises

Melalui para sejarawan China, dapat diketahui bahwa Kujula


Kadphises kemudian diganti oleh putranya, bernama Yen-kao-chen. Nama raja
itu kemudian diidentitaskan sebagai"Raja Besar Uviama Kavthisa" atau Oemo
atau wema atau Vima Kadphises, yang tertera pada koin-koin. Dia dikenal
karena penaklukkannya atas India (T'ien-tchieou). Tetapi mungkin juga hal itu
tidak benar seadainya kita mengambil dari hasil literatur. Namun, dari
penyebaran koin-koin yang begitu sangat luas, dan mengambil landasan arti
titel-titelnya "raja besar, raja di raja, raja semua manusia", dan sebagainya,
menunjukkan bahwa kekuasaannya sampai bagian timur lembah Indus dan
sampai ke Punjab dan kemungkinan samapai ke United Provinces. Dia
109

memerintah daerahnya di India, melalui seorang Viceroy, yang memproduksi


banyak koin tembaga, yang dikenal sebagai koin-koin "Nameless king", yang
banyak ditemukan di India Utara. Tampak pula penggunaan istilah Mahesvara
dan Nandi, dan juga gambar Siva pada koin-koinnya. Vima Kadphises itu pasti
menganut Siva. Jadi terlihat jelas bagaimana cepatnya kaum Kushana
mengadaptasikan dirinya pada lingkungan Hindu mereka.

8.2.3 Kanishka

Sesungguhnya tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa Kanishka adalah


sosok raja yang paling besar di antara raja- raja Kushana India. Kanishka
adalah seorang raja penakluk dan pelindung yang sangat besar. Dia mampu
mengombinasikan kemampuan militer Candragupta Maurya dan kesadaran
keagamaan Asoka pada dirinya. Namun, sebenarnya pegetahuan kita tentang
Kanishka dan kronologinya, masih merupakan teka-teki bagi kita. Kita belum
mengetahui dengan pasti hubungannya dengan Vima Kadphises.
Kemungkinan akan adanya gap sedikit antara kedua raja itu, tidak bisa
dikesampingkan begitu saja. Namun, pergantian langsung mungkin yang
banyak diterima. Koin-koin Kanishka dan Vima Kadphises ditemukan bersama-
sama di beberapa tempat, seperti di Benares, Gopalpur Stupa di distrik
Gorakhpur, Begram dekat Kabul. Bentuk dan berat koin-koin tersebut ternyata
sama. Jadi, bukti numismaticnya dan stratifikasi penanggalan-penanggalan koin
Taxila menunjukkan zamannya Kanishka sangat berdekatan dengan Vima
Kadphises, dan yang pasti dia adalah pengganti Vima Kadphises.

8.2.3.1 Tahun Saka


Mengenai tahun pergantian antara Vima Kadphises dengan Kanishka,
terdapat beberapa pendapat sarjana. Namun, tahun pergantian tahtanya, pilihan
jatuh pada tahun 78 M dan 125 M. Walaupun ada beberapa tahun-tahun lainnya
yang disarankan oleh beberapa sarjana lainnya (R.C. Majumdar 248 M, Fleet 58
110

SM, R.G. Bhandarkhar 278 M). Kita tidak perlu membicarakan dasar
perbedaan pemikiran mereka di sini.
Hampir semua sarjana indologi berpendapat bahwa, sesungguhnya
Kanishkalah sebagai pendiri era 78 M. Hal itu tidak dapat diragukan lagi,
bahwa Kanishka mendirikan satu era, sejak cara penghitungannya dilanjutkan
oleh para penggantinya. Kita tidak mengetahui satu pun Samvat, yang berlaku
di India Utara, yang mulai pada akhir perempat pertama abad kedua Masehi.
Tahun 78 M itu biasanya diterima sebagai tahun Kanishka naik tahta.
Di samping, seandainya Kujula Kadphises wafat pada pertengahan
perempat ketiga abad pertama Masehi. Kalau begitu pasti Kanishka dekat
sekali dengan tahun itu, sebab Vima Kadphises naik tahta sebagai seorang
octogenerian. Jadi, dia pasti memerintah dalam waktu yang sangat pendek.

8.2.3.2 Penaklukannya
Kanishka adalah seorang prajurit yang sangat gagah perkasa dan
berhasil menang dalam banyak peperangan. Dia mengambil alih Kashmir dan
memasukkan ke dalam wilayahnya, kerajaan kushana. Dia sangat menyukai
daerah Kashmir yang baru ditaklukkannya itu.
Kalau kita mempercayai tulisan-tulisan para sejarawan China dan
Tibet, maka kita akan melihat bahwa kekuasaannya mencapai Saketa dan
Magadha. Dari sana dia berhasil membawa lari Bikkhu Buddha yang amat
terkenal bernama Asvaghosa. Selain itu juga disebutkan bahwa Kanishka
berhasil memukul mundur serangan yang dilakukan oleh raja bangsa Parthian.
Tetapi tindakannya yang paling penting adalah dengan banggsa China.
Tindakannya itu membuahkan hasil penanklukkannya atas Kashgar, Khotan, dan
Yarkand. Bangsa China yang kekuasaannya di Asia Tengah melemah pada akhir
dinasti Han pertama tahun 23 M.
Namun, mereka bangkit kembali setengah abad kemudian, dan
melakukan gerakan yang sangat mantap ke arah barat di bawah pimpinan
Jendral Pan-chao. Hal itu tentu saja mengusik raja Kanishka. Raja Kanishka
merasa bahwa kedudukannya sama dengan Kaisar China. Karena itu, ia
111

meminta seorang putri China untuk dijadikan istrinya dan dia minta diakui
sebagai seorang raja yang bertitel Devaputra.
Tetapi sebaliknya Pan-chao menganggap permintaan itu sebagai
penghinaan terhadap tuannya, Kaisar China. Maka Pan-chao pun menahan
utusan Kushana itu. Dengan tindakan penahanan utusan tersebut, Kanishka
lalu menyeberangi Pamir untuk menggempur Pan-chao. Namun, sayang
dalam peperangan tersebut, Kanishka ternyata mengalami beberapa kali
kekalahan. Akhirnya Kanishka minta diadakan perdamaian, namun dia harus
membayar upeti kepada kaisar China.
Beberapa tahun kemudian, Kanishka kembalimenyeberangi Pamir, dan
ternyata dalam peperangan saat itu dia menang, dengan mengalahkan Pan-
yang, putra Pan-chao. Beberapa sumber mengatakan, bahwa Kanishka
menuntut beberapa orang China sebagai sandera. Salah satu sanderanya adalah
putra kaisar China sendiri. Tetapi hal itu sulit untuk diterima akal. Namun, kita
diberi tahu bahwa sandrea-sandera itu diperlakukan dengan perlakuan yang
sangat terhormat. Pengaturan khusus dilakukan untuk tempat tinggal para
sandera di monasteri She-lo-ka di Kapisa (Kafiristan), Gandhara, dan di sebuah
tempat lagi bernama Chinabhukti di Punjab Timur. Dikatakan bahwa di sana
mereka memperkenalkan the peach and pear.

8.2.3.3 Dominasi Kanishka


Kanishka memerintah sebuah kerajaan sangat luas. Di luar India jelas
dia menguasai: Afganistan, bactria, Kashgar, Khotan, dan Yarkand.
Sedangkan kekuasaannya di India sulit dicari batas-batasnya. Prasasti-prasasti
pemerintahan Kanishka telah ditemukan di beberapa tempat seperti: di
Peshawar, Manikyala (dekat Rawalpindi), Sui Vihar (Bahawalpur State), Zeda
(dekat Und), Mathura, Sravasti, Kosambi, Sarnath. Sedangkan koin-koinnya
ditemukan di seluruh India Utara, termasuk Bihar dan Bengal.
Jadi, berdasarkan penemuan-penemuan benda-benda bersejarah itu,
jelaslah bahwa kekuasaan Kanishka di India terdiri dari: Punjab, Kashmir,
Sind, United Provinces, dan mungkin juga beberapa negara jauh ke timur dan
112

selatan.

8.2.3.4 Ibu kotanya


Menurut para sarjana sejarah, bahwa ibu kota negeri yang mempunyai
batas kekuasaan yang sangat luas itu adalah Purushapura atau Peshavar. Negara
itu menguasai rute utama, yang terbentang dari Afganistan sampai lembah-
lembah Indus. Jadi, terletak di tempat yang sangat strategis.

8.2.3.5 Satrap-satrapnya
Mengenai administrasi Kanishka, sangat sedikit yang dapat kita
ketahui. Misalnya, prasasti Sarnath yang berangka tahun 3 atau 81 M, namun
dengan dasar itu kita sedikit sekali memiliki pengetahuan tentang sistem
satrapanya di propinsi-propinsi. Kharapallana adalah mahasatrapanya,
kemungkinan besar dia berkedudukan di Mathura. Vanaspara memerintah di
daerah timur Benares, sebagai seorang ksatrapa

8.2.3.6 Karya-karya Kanishka


Seperti halnya raja asoka, Kanishka adalah pembangun stupa-stupa
dan bangunan-bangunan yang hebat. Dia membuat sebuah monasteri dan
menara dari kayu yang sangat besar di ibu kotanya. Di menara itu disimpan
relik-relik Sang Buddha. beberapa tahun yang lalu, sebuah peti berisi tulang-
tulang ditemukan di sana. Prasasti di dalamnya memberikan informasi yang
sangat menarik kepada kita, yang mengatakan bahwa stupatersebut didirikan
atas pengawasan seorang arsitek Yunani, bernama Agisala atau Agesilaos.
Kanishka membangun sebuah kota di dekat Taxila, dan Kanishkapura yang
disebut-sebut di dalam kitab Rajataranginimungkin juga didirikan olehnya.
113

8.2.3.7 Agamanya
Berdasarkan koin-koin yang ditemukan, tidak mampu memberikan
penjelasan yang pasti tentang agama yang dianut oleh Kanishka. Kalau pun
mereka memberikan bukti, hanya pada eclecticism-nya saja (sistem
filsafatnya), kecenderungan untuk menghormati gabungan dewa-dewa Yunani,
Mitraic, Zoroastrian, dan Hindu. (Atau mungkin dewa-dewa yang tertera pada
koin-koinnya itu hanya menunjukkan berbagai bentuk kepercayaan yang
dianut di kerajaan Kanishka yang memang sangat luas itu :Prof. Tripathi).
Pada koin-koinnya banyak kita temui figure-figure dewa-dewa Yunani
itu: Herakles, Serapis, Matahari dan Bulan dengan nama Yunaninya Helios
dan Selene, Miiro (matahari), Athro (Api), Nanaia, Siva dan sebagainya. Selain
itu, kita temukan juga Buddha, duduk dengan cara India dan kadang-kadang
berdiri dengan pakaian Yunani.
Penulis-penulis Buddhist sangat kuat mengatakan, bahwa agamanya
Kanishka adalah Buddha. Mereka mengatakan seperti halnya Asoka, Kanishka
memeluk Buddhism, setelah perasaan penyesalan yang luar biasa atas
kekejamannya terhadap musuh-musuhnya.
Tanpa diragukan lagi, tujuan utama cerita ini adalah untuk
menekankan pengaruh Buddhism terhadap seseorang, pengaruh yang bahkan
dapat mengubah besi biasa menjadi emas berkilau, namun tidak ada keraguan
bagi para indologist untuk tidak mempercayai terjadi conversion pada diri
kanishka. Pengabdiannya terhadap relik-relik Sang Buddha di satu tempat yang
luar biasa indah dan terhormatnya serta prakarsa pengadaan Buddhist Council
ke empat yang amat besar dan bersejarah, menambah point akan bukti agama
yang dianutnya.

8.2.3.8 Buddhist council IV


Pemerintahan Kanishka adalah periode yang sangat penting bagi sejarah
agama Buddha. Kita ketahui, karena merasa bingung atas studi theologinya, dia
atas persetujuan Parsvika atau Parsva, mengadakan satu council 500 bikkhu
114

(mahasangha), terdiri dari Sarvastivadin school, untuk memecahkan doktrin-


doktrin yang berselisih.
Konperensi Buddhist yang besar itu (Mahasabha) diadakan di
Kundalavana di lembah Kashmir yang indah - menurut Yuan Chwang (ada
catatan China lainnya yang mengatakan di Gandhara, dan yang lain di Jalandhar),
semua kegiatan diarahkan oleh Vasumitra. Seandainya dia absent Asvaghosa
bertindak sebagai presiden. Jerih payah mereka menghasilkan kitab Vibhasa
sastra dan beberapa komentari-komentari lainnya atas kitab Tripitaka. Dikatakan
semua itu ditulis di atas lempengan-lempengan tembaga merah dan setelah
disegel, ditaruh di sebuah stupa yang khusus dibangun untuk itu. Siapa tahu
dokumen-dokumen yang sangat tak ternilai harganya itu, yang masih terkubur
di sana, satu saat ditemukan kembali.

8.2.3.9 Kebangkitan Mahayana


Munculnya sang Buddha bersama-sama dengan dewa-dewa lain pada
koin-koinnya Kanishka, jelas sekali menunjukkan bahwa buddhism sudah
bergerak jauh berbeda dari Buddhism awal. Sedang Buddhism awal
menganggap Sang Buddha hanya sebagai seorang manusia, pandu dalam
mengarungi kehidupan ini. Sekarang Sang Buddha diangkat pada posisi dewa,
tempat pemujanya untuk memohon dan dikelilingi oleh para Boddhisattva dan
para dwa lainnya. Hal itu mengarah kepada penanaman doktrin salvation
(pembebasan) dengan jalan faith (keyakinan) kepada sang Buddha. Bentuk-
bentuk upacara juga muncul dalam bentuk baru Buddhism ini. Bentuk baru
Buddhism ini disebut mahayana.
Namun, ada bukti-bukti bahwa mahayana sudah muncul jauh seelum
periodenya Kanishka. Mungkin itu berawal dari elemen bhakti yang masuk
pada tubuh Buddhism, atau pada waktu Buddhism menyebar pada masyarakat
luas. Tentu saja diperlukan bentuk yang lebih catholic untuk menggantikan
idealism hinayana yang terasa dingin bagi massa yang sulit berdampingan
115

dengan konsep bhakti dan pemujaan mereka.

8.2.3.10 Gandhara art


Aliran baru menemukan ekspresi pada corak art (seni) yang berbeda.
Pada seni pahat Buddhism awal, seperti yang kita ketahui dari peninggalan-
peninggalan di Sanchi dan Bharhut, menggambarkan cerita-cerita yang
diambil dari kitab Jataka dan cerita-cerita lainnya yang berhubungan dengan
Sang Buddha.
Namun, Sang Buddha sendiri tidak pernah dipahat di atas batu-batu itu.
Kehadirannya hanya diindikasikan dalam simbol-simbol, seperti berbentuk
telapak kaki, pohon boddhi, kursi kosong, atau payung. Pada periode ini
sang Buddha menjadi subjek yang paling favourite bagi pahat-pahat seniman
patung. Sebagian besar dari jenis ini ditemukan di gandhara; yang dijadikan
pusatnya adalah Purusapura (Peshavar), art ini dinamai Gandharan oleh para
indologist yang diambil dari nama daerahnya. Namun kadang-kadang
disebut juga dengan lebel Graeco-Buddhist atau Indo-Hellenic, karena bentuk-
bentuk Yunani (Greek) dan teknik yang dipakai pada subjek-subjek yang
diambil dari Buddhism baru.
Jadi pengaturan hiasan dan pakaian mengikuti contoh-contoh
Hellenistic, dan untuk menggambarkan Sang Buddha, para seniman begitu
bebas sehingga citra-citra Sang Buddha kadang-kadang begitu mirip dengan
Apollo. Kemudian figure Sang Buddha disamakan, dan menjadi pola yang
diterima di mana-mana. dari sini kitamengetahui bagaimana besarnya
pengaruh Gandhara art pada seni (art) di Mathura dan Amaravati.

8.2.3.11 Istana Kanishka


Menurut tradisi, istana Kanishka dilengkapi dengan sekumpulan
kaum intelektual tinggi dan tokoh-tokoh Buddhist seperti Parsva, Vasumitra,
Asvaghosa, Nagarjuna, Caraka, Matriceta dan lain-lainnya. Tiga orang
116

pertama dikatakan ikut terjun dalam perguruan Buddhist councilnya


Kanishka. sisanya agak diragukan apakah mereka contemporarnya Kanishka.

8.2.3.12 Mangkatnya Kanishka


Dikatakan bahwa Kanishka mangkat dengan cara yang menyedihkan
di Utara ditangan orang-orangnya sendiri yang sudah merasa sangat lelah atas
perang yang terus-menerus diadakan. Dia memerintah kira-kira selama 23
tahun. tetapi seandainya dia identical dengan Kanishka dari prasasti Ara,
berarti tahun terakhirnya yang kita ketahui adalah tahun ke 41 ( 78 + 41 = 119
M ). Patung tanpa kepala raja besar ini ditemukan di Mat distrik Mathura, dan
merupakan salah satu reliknya yang paling nyata.
Jadi, dari uraian itu semua, tahun saka merupakan tahun penobatannya
Kanishka menjadi raja, yaitu pada tahun 78 M. Mengapa tahun itu lebih
dikenal dengan nama tahun Saka, dan bukan tahun Kanishka? Pada hal bangsa
Saka merupakan salah satu suku bangsa yang menjadi jajahan Kanishka. Hal
itu disebabkan, bahwa suku bangsa Saka yang menyebarluaskan tahun itu,
sehingga disebut tahun Saka. Menurut tradisi, tahun Saka didirikan oleh seorang
raja dari kaum Saka, yang menguasai Ujjaini 137 tahun setelah Vikramaditya.
Namun, sebagian besar para indologist berpendapat, bahwa tahun / era Saka itu
didirikan oleh Kanishka, dan yang pasti digunakan pada awl-awal abad ke-2
Masehi oleh "western satraps", yang menguasai Malva, Kathiavar, dan
Gujarat. Kemudian penggunaan tahun Saka itu tersebar ke Deccan dan
dieksport ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Nusantara). Sampai sekarang,
tahun Buddha (544 SM), tahun Mahavira (528 SM), dan tahun Saka (78 M),
masih dipergunakan untuk memperingati keagamaan (lihat tentang
tahun/kalender).
117

8.2.4 Methologi Raja Aji Saka

Menurut tradisi Indonesia, pada abad pertama Masehi, datanglah


seorang raja bernama Raja Haji Saka dengan beberapa pengiringnya.
Rombongannya mendarat di pantai utara Jawa Barat, tepatnya di pantai Banten.
Dua orang patihnya bernama Dhora dan Dhira yang sangat dipercaya oleh raja,
karena kesetiaan dan baktinya kepada raja.
Setelah cukup beristirahat, raja Aji Saka akan meruskan perjalannya ke
arah timur. Raja memerintahkan Dhora agar tetap tinggal di wilayah Banten.
Sebelum keberangkatannya, raja menitipkan keris saktinya kepada dhora. Raja
berpesan, bahwa Dhora harus menjaga dan mepertahankan keris itu dengan
mati-matian. Siapa pun yang memintanya agar tidak boleh diberikan,
walaupun dia mengaku atas nama raja. Sang Patih (pertama) dengan sangat
bakti dan setia mengiakan segala perintah raja itu.
Kemudian, Raja Aji Saka berangkatlah menuju ke timur diiringkan
oleh patih (kedua) dengan sebagian pasukannya. Namun, setelah sampai di
tempat tujuan, terjadilah mara bahaya yang tidak dapat dielakkan, tanpa
menggunakan kesris saktinya itu. Menyadari akan bahaya yang mengancam
itu, raja memeritahkan patih (kedua) kembali ke barat, untuk minta keris raja
yang sangat sakti itu. Sedangkan raja Aji Saka, dengan pasukannya menunggu
di wilayah yang baru diduduki itu.
Sang Patih II, dengan sigap dan cepat kembali ke barat. Tiada berapa
lama, sampailah Patih II di tempat pendudukan pertama. Ia segera menemui
Sang Patih I, untuk meminta keris sakti itu, atas perntah raja. Namun, Patih I
tidak akan memberikan keris tersebut, karena ia sangat patuh dan setia terhadap
perintah rajanya. Atas tindakan Patih I itu, maka Patih II pun sangat
tersinggung, karena ia tida dipercaya.
Maka terjadilah perang mulut, yang dilanjutkan dengan perkelahian
yang sangat sengit, seperti pertempuran antara dua orang yang bermusuhan.
Salah satu tak ada yang mau mengalah. Akhirnya, perkelahian perebutan keris
118

sakti atas perintah rajanya itu, diakhiri dengan kematian kedua-duanya. Patih I
setia mempertahankan keris itu, sedangkan Patih II setia meminta keris itu.
Keduanya atas perintah raja. Dan keduanya sangat patuh dan setia kepada
rajanya.
Sementara itu, Raja Aji Saka tersentak dan sadar. bahwa kedua
perintahnya sangat bertentangan dan pasti akan menimbulkan bahaya. Maka
raja pun segera balik ke barat, namun sudah terlambat. Ditemukannya kedua
patihnya yang gagah perkasa itu telah tergeletak menjadi mayat. Mereka
gugur keduanya dengan penuh keperkasaannya, yang diakibatkan oleh
kkhilafan raja sendiri.
Raja pun sangatsedih dan menyesali tindakannya. Kemudia sebagai
penghargaan dan penghormatannya kepada kedua patihnya, raja menulis
aksara Jawa dengan keris itu di batang pohon kayu. Aksara Jawa yang ditulis
itu, kemudian terkenal sampai saat sekarang. Adapun aksara itu sebagai berikut:
ha, na, ca, ra, ka, dha, tha, sa, wa, la, ma, ga, ba, ta, nga,pa, da, ja, ya, nya.
Atas dasar itu, mulailah tahun Saka dikenal di Indonesia berikut 20
aksara tersebut.Mitologi itu cukup terkenal dalam pustaka Jawa, yang
dianggap sebagai pembawa dan mulainya berlaku tahun Saka di
nusantara.Menurut tradisi, bahwa tahun Saka sampai tersebar di Nusantara /
Indonesia, dibawa oleh Raja Aji Saka.
Namun, dari kedua sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahun
Saka disebarluaskan dari Deccan ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara /
Indonesia. Cara masuknya agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara, ada
berbagai teori dan metoda: bramana, ksatria, dan waisya. Namun,
sesungguhnya yang paling disetujui adalah dengan cara, adanya beberapa
orang Indonesia datang ke India, melalui perdagangan dan mereka belajar di
sana (Gujarat), dan kemudian mereka menyebarkan dan mengembangkannya
di Nusantara. Dengan demikian, kebudayaan dan agama Hindu bisa tersebar
secara meluas di seluruh Nusantara.
Bersamaan dengan itu, awal-awal abad I Masehi, terbawa juga sistem
tahun Saka itu. Bukti itu dapat ditemukan pada beberapa prasasti yang tertua
119

sampai dengan prasasti yang termuda, ternyata memekai tahun Saka atau Isaka
Warsa. Dasar perhitungannya pun disesuaikan dengan sistem yang dipakai di
India.
Bahkan nama bulan-bulannya pun diambil dari India: (1) Sravana (sasih
kasa), (2) Bhadrapada (sasih karo), (3) Asvina (sasih katiga), (4) Kartika
(sasih kapat), (5) Marghasira (sasih kalima), (6) Pausa (sasih kanem), (7)
Magha (sasih (kapitu), (8) Phalguna (sasih kawolu), (9) Chaitra (sasih
kasanga), (10) Vaisakha (sasih kadasa), (11) Jyesta (sasih jyesta /kajyseta),
dan (12) Asadha (sasih sada /kasada) (lihat tentang tahun/era).

8.2..5 Rangkaian Perayaan / Upacara Hari Raya Nyepi

Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut, jelas bahwa tahun Saka telah


membudaya pemakaiannya di Nusantara. Pergantian tahun Saka itu, diperingati
dan dirayakan berdasarkan upacara dan filsafat hidup dan agama yang dimiliki
dan dihayati oleh umat Hindu di Nusantara pada saat itu. Pekasanaan rangkaian
upacara itu, merupakan tradisi atau sadacara yang kemudian diwariskan kepada
generasi-generasi berikutnya. Dalam proses pelembagaan upacara itu,
bertumbuh kembang dengan mengalami penambahan dan pengurangan serta
penyesesuaian dengan masyarakat pendukung berikutnya.
Dengan demikian, pada setiap pergantian tahun Saka itu, diadakan
upacara yadnya, terutama menjelang pergantian tahun, atau tepat pada akhir
tutup tahun Saka. Sedangkan pada saat tanggal satu atau tahun barunya,
dirayakan dengan keadaan yang sepi, hening, tanpa adanya suara dan kegiatan
apa pun.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan tentang rangkaian
upacara dan perayaan yang dilakukan pada saat pergantian tahun Saka itu,
yakni: (1) upacara makiis atau melis, malelasti, (2) upacara bhuta yadnya, (3)
sipeng atau penyepian, dan (4) ngembak api
120

8.2.5.1 Upacara makiis


Beberapa hari (biasanya tiga hari) sebelum upacara bhuta yadnya,
diadakan upacara melis, atau makiis,malelasti, yaitu suatu upacara prosesi ke
laut, (ke sungai, ke danau, bagi masyarakat jauh di pedalaman).
Upacara itu bertujuan untuk membersihkan diri, segala perlengkapan
dan sarana upacara keagamaan, termasuk arca, pratima, pralingga dan
sebagainya. Di samping itu, upacara makiis juga bertujuan untuk mengambil
tirtha amertha (air suci kehidupan), yang menurut metologi terdapat di
tengah samudera.(Bandingkan dengan cerita Navaruci, pemutaran
girimandara dalam ksirarnava).
Seluruh masyarakat Hindu secara bersamaan mengadakan pamelisan
atau upacara melis itu di manapun mereka berada. Dengan melaksanakan
upacara melelasti itu, diharapkan sempurnalah penyucian dan pembersihan
lahir batin, beserta seluruh perlengkapan dan sarana keagamaan itu. Prosesi
atau iring-iringan tersebut, sungguh sangat semarak dan indah, dengan
diiringi suara gamelan blaganjur, atau jenis gamelan lainnya. Makin banyak
jumlah anggota masyarakat Hindu setempat, makin ramai dan panjang prosesi
tersebut. (Tetapi kini, ada beberapa masyarakat dalam melaksanakan upacara
mekiis itu, dengan memakai kendaraan: bus, truk dan sebagainya).

8.2.5.2 Upacara bhuta yadnya


Setelah upacara makiis, melis, malelasti itu dilaksanakan, maka
menyusul rangkaian upacara yang kedua, yaitu upacara bhuta yadnya atau
lengkapnya upacara bhuta yadnya tawur kasanga. Pelaksanaan upacara itu
biasa juga dikenal dengan namamacaru (qurban). Jenis dan tingkatan
pacaruan itu cukup banyak, sehingga masyarakat yang bersangkutan
bermusyawarah untuk memilihnya satu bentuk di antara jenis bentuk yang
ada.
121

Namun, biasanya Parisada Hindu Dharma Pusat Indonesia, sebagai


majelis agama Hindu, jauh-jauh sebelum menjelang hari Nyepi itu, telah
menyebarluaskan pedoman dan petunjuk rangkaian upacar Nyepi tersebut. Hal
itu sudah termasuk jenis caru yang seyogianya dilaksanakan oleh
masyarakat dengan tetap mempedomani dan berpegang pada desa, kala, dan
patra.
Adapun jenis pacaruan itu, disusun bertingat-tingakat: tingkat propinsi,
kabupaten, kacamatan, desa, banjar, dan keluarga di rumah masing-masing.
Dengan adanya pedoman itu, masyarakat tidak ragu-ragu lagi untuk
melaksanakannya. Menurut tradisi, biasanya upacara pacaruan tawur kasanga
itu dilakukan di setiap perempatan jalan terbesar bagi desa tersebut.
Namun, di luar Bali, masyarakat Hindu melaksanakan upcara
pacaruan itu, di halaman depan pura setempat. Andai kata di tempat tersebut
ada pura lebih dari buah, maka upacara pacaruan dipusakan di pura yang
ditetapkan sebagai pusat; yang kemudian dilanjutkan upacara itu dilakukan di
halaman pura lainnya yang berada di tempat itu. (Misalnya, masyarakat Hindu
Jakarta, melaksanakan upcara pacaruansecara tradisi yang disepakati
bersama, dilakukan di halaman pura Adityajaya Rawamangun. Kemudian
dilanjutkan di setiap pura lainnya).
Setelah selesai upacara pacaruan taur kasanga itu, setiap anggota
masyarakat mendapat tirtha dan nasi caru itu untuk dibawa pulang ke rumah
mereka masing-masing. Sesampainya di rumah, mereka mengadakan upacara di
halaman / natar rumah masing-masing, dilanjutkan dengan pangrupukan atau
mebuu-buu. Kegiatan itu dilakukan dengan segenap anggota keluarga,
dengan cara berkeliling rumah sambil menciperatkan air suci atau ngetisang
tirtha, menyemburkan mesui yang dikunyah, menyalakan obor (sundih),
memukul-mukul kaleng (blek) dengan riuh rendah dan gegap gempita.
Setelah kegiatan /upacara pabuu-buuan, atau pangerupukan selesai,
semua sisa peralatan upacara (tirtha, caru, dan sundih / prakpak), dibuang
(dilebar) di depan pintu masuk halaman rumah. Selanjutnya, seluruh
122

masyarakat /tetangga melakukan kegiatan ngocang (seperti suara menumbuk


padi bertalu-talu pada ketungan /tempat menumbuk padai).
Seluruh desa masyarakat Hindu dengan serentak melakukan kegiatan
terebut, sehingga terdengan suara yang bukan main gaduh dan riuhnya, riuh
pikuk, diselingi sorak-sorai, dan bunyi koncangan sampai malam. (Kegiatan
seperti itu, mungkin hanya bisa dilakukan dengan sempurna di Bali, sedangkan
di luar Bali pelaksanaannya di sesuaikan dengan keadaan setempat, desa, kala,
dan patra).
Sebagai catatan, akhir-akhir ini (dimulai sekitar tahun , di kalangan
pemuda di Bali, membuat ogoh-ogoh, semacam patung dalam bentuk-bentuk
mahluk yang mengerikan, seperti: raksasa, monyet, naga, rangda, dan
sebagainya dalam ukuran besar. Ogoh-ogoh itu kemudian diarak keliling kota,
desa diiringi suara gamelan blaganjuran dan sorak-sorai yang riuh rendah,
hiruk pikuk, dan gegap gempita. Arak-arakan ogoh-ogog dan obor itu
dilaksanakan sesaat setelah selesai upaca pacaruan taur kasanga. Kegiatan
tambahan itu ternyata telah menjalar ke luar Bali, misalnya Jakarta, namun
ogoh-ogoh itu hanya diarak di halaman pura saja. Jadi geraknya terbatas,
disesuaikan dengan keadaan setempat. Selesai pengarak-arakan ogoh-ogoh
itu, di suatu tempat, seperti di pantai, ogoh-ogoh tersebut dibakar, ditaruh tanpa
dibakar. Terlepas dari pro dan contra masyarakat kehadiran ogoh-ogoh itu
sebagai pelengkap upacara pangrupukan masih memerlukan waktu dalam
proses penyesesuaiannya.
Semua kegiatan pada saat pangerupukan, pabuu-buuan,
pangoncangan, kentongan, pengarakan ogoh-ogoh, dan sebagainya itu
dilaksanakan dengan serentak dan secara sepontan. Sesungguhnya apakah
maksud dan tujuan serta maknanya? Ajaran agama Hindu sangat menjaga
keseimbangan jasmani dan rohani, mikrokosmos dan makrokosmos, bhuana
alit dan bhuana agung, badan jasmani dan alam semesta. Keseimbangan itu
(ajaran trihita karana) sangat dijaga, karena ketidakseimbangan akan
menimbulkan kegoncangan dan bahaya. Bahaya itu akan menimpa manusia,
semua mahluk, bahkan alam semesta juga.
123

Sehubungan dengan itu, dalam rangka menyambut tahun baru Saka,


atau pergantian tahun saka, semua faktor itu harus dalam keadaam bersih,
steril, dan suci. Sedangkan untuk membersihkan atau menyucikan alam
semesta dari segala noda dan polusi itu, adalah dengan mengadakan upacara
pacaruan / bhtayadnya taur kasanga itu. Dengan pelaksanaan upacara
bhuta yadnya itu, diharapkan dunia kita ini bersih dari segala bentuk dan jenis
polusi / gangguan/ noda. Sedangkan kegiatan atau upacara pabuu-buuan,
pangerupukan, pangoncangan, dan yang terakhir pengarakan ogoh-ogoh itu,
dimaksudkan penggusuran, pengusiran, para bhutakala, noda dan polusi dari
alam ini.
Dengan selesainya seluruh kegiatan dan upacara yang dilakukan pada
akhir hari tutup tahun Saka itu, diharapkan keadaan alam lingkungan ini bebas
noda, bebas polusi, dan bebas dari gangguan bhutakala dan sejenisnya. Semua
kegiatan upacara itu, dilaksanakan pada tilem bulan mati, sasih kasanga, jadi
sehari sebelum tahun baru Saka. Jika semua kegiatan itu selesai, maka puncak
kegiatan fisik berarti sudah berarkhir. Pemebrsihan diri dan alam selesai, dan
kini keadaan diri manusia dan alam seimbang dalam kesucian.

8.2.5.3 Nyepi / sipeng


Pelaksanaan sipeng atau nyepi(sepi) itu dimulai pada pagi hari
sebelum matahari terbit. Seperti telah diuraikan dalam bab tentang sistem tahu /
kalender, bahwa pergantian hari adalah pada pagi hari, saat matahari terbit. Jadi
tidak pada pukul 00.00 seperti sistem masehi. Tegasnya, setelah selesai upacara
pacaruan taur kasanga, dan pangerupukan, yang dilanjutkan dengan
pengarakan ogoh-ogoh keliling kota / desa / di halaman pura, serta kegiatan
pangoncangan dan suara kulkul (kentongan) yang bertalu-talu, besoknya
pada pagi hari saat matahari terbit, dilaksankanlah panyepian, serba sepi,
hening bening, sunyi lengang, tiada satu pun kegiatan sehari-hari terjadi saat
itu.
124

Pada hari itulah saat tanggal satu tahun baru Saka dengan bulan
Vaisakha (sasih kadasa, bulan sepuluh). Seluruh masyarakat Hindu, di
manapun mereka berada tinggal di rumah. Mereka menjalani 'penghentian
hidup sehari', atau melakukan 'penghentian sejenak', dalam rangka untuk
meneruskan perjalanan hidupnya selama setahun pada tahun Saka yang baru
muncul itu. Dalam sastra disebutkan, bahwa segenap umat Hindu
seyogianya melakukan sambang samadhi, yaitu melakukan tapa, brata, yoga,
dan samadhi, atau istilah populernya amati geni.
Sehubungan dengan itu, setiap umat Hindu diharapkan menjalani
catur brata panyepian: (a) amati geni, (b) amati karya, (c) amati lelunganan,
dan (d) amati lalangunan. Kesesemuanya itu dilaksanakan selama sehari dan
semalam, jadi 24 jam, mulai saat matahari terbit, sampai dengan besok paginya
pada saat matahari terbit juga.
Untuk jelasnya, akan diuraikan semua pelaksanaan disiplin nyepi itu,
berikut pengawasan oleh para petugas pada saat itu. (Uraian ini khas terjadi di
Bali, sedangkan di luar Bali menyesuaikan diri).

a) Amati geni
Amati geni, artinya 'tidak menyalakan api, pemadaman api'.
Pemadaman api, atau tidak menyalakan api itu mengandung dua makna dan
hakikat, yakni: memadamkan api dalam arti sesungguhnya, jadi tidak
menyalakan lampu, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan api yang
menyala.
Kegiatan itu dimulai pada pagi hari pada saat matahari terbit, sampai
besok paginya baru berakhir pada saat matahari terbit juga. Oleh sebab itu, pada
malam harinya terjadi suasana gelap gulita, tiada nyala lampu sedikit pun di
malam nan pekat itu. Benar-benar selama satu dan satu malam, pulau Bali
bebas dari nyala api. (Tentu ada perkecualian, atas dasar dispensasi yang
berlaku).
Sedangkan makna yang kedua, adalah pemadaman api yang berada di
dalam diri manusia. Api yang berada dalam diri manusia, antara lain berupa:
125

kebencian, kemarahan, dendam, kelobaan, keserakahan, kekejaman, kejahatan,


dan sebagainya. Jadi, segala napsu rendah yang menyeret manusia ke lembah
derita. Api atau geni itu juga termasuk 'musuh manusia yang bermukim
dalam dirinya sendiri, yang disebut sadripu. Justru, pemadaman sad ripuyang
berrupa menjadi berbagai 'hawa napsu' yang rendah itulah yang paling utama
harus dipadamkan. Lagi pula, hanya ia sendiri yang mampu memadamkannya.
Karena itu, setiap orang, akan berusaha 'berlomba dalam pemadaman' itu,
yakni dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi.
Sebenarnya, inilah tujuan tertinggi pelaksnaan penyepian itu. Sekaligus
dalam usaha pencarian dan penemuan identitas diri, dalam bentuk kesadaran
tertinggi, yang biasa juga disebut kebijaksanaan atau pradnya. Kepradnyanan
itu, merupakan hakikat hidup tertinggi, sebab dengan pandangan terang itu
manusia mampu 'melihat' dharma yakni kebenaran.
Bila seseorang telah memiliki pandangan terang itu, ia akan disebut
manusia yang dipenuhi oleh kebijaksanaan, kemuliaan, dan keluhuran.
Dengan melaksanakan tapa, brata, yoga dan samadhi itu, secara bertahap dan
yakin, seseorang akan mengalami dan memiliki pradnya itu. Jadi,
sesungguhnya itulah menjadi tujuan pokok dalam pelaksanaan penyepian. Di
samping amati geni menjadi salah satu disiplin dalam catur brata penyepian,
sesungguhnya ia juga menjadi tujuan utama. Tujuan utama itu, hanya bisa
dicapai, kalau dibantu oleh disiplin-disiplin yang berikutnya. Tanpa
dukungan ketiga disiplin itu, amati geni tidak akan dengan mudah dicapai.

b) Amati karya
Amati karya berarti tidak bekerja. Tidak melakukan kegiatan apa pun
yang berhubungan dengan pekerjaan. Di depan telah diuraikan, bahwa agar
bisa seseorang melaksanakan tapa, brata dan yoga samadhi, haruslah segala
kegiatan bentuk kerja dihentikan. Di sinilah yang dimaksud dengan
penghentian sejenak, agar tujuan amati geni itu tercapai. Tanpa itu,
bagaimana mungkin tapa, brata, dan yoga samadhi itu bisa terwujud dalam diri
126

kita. Jadi, jelaslah bahwa disiplin atau brata yang kedua ini, benar-benar
sangat diperlukan, dalam rangka pelaksanaan pemadaman api di dalam diri kita.

c) Amati lelunganan
Amati lelunganan artinya tidak bepergian. Biasanya, jika kita tidak
bekerja, muncul keinginan untuk pergi ke mana pun. Agar tujuan pemadaman
api dalam diri tercapai, dengan tidak bekerja saja tidak akan bisa. Hal itu baru
bisa terlaksana kalau dibarengi dengan tidak bepergian. Karena itu, disiplin
amatai lelunganan itu, diletakkan pada nomor tiga; sebab manusia yang tanpa
kerja pada saat itu ia akan ingin bepergian. Jadi, jelas sangat sistematis.

d) Amati lelangunan
Amati lelangunan artinya tidak menikmati keindahan, tontonan dan
hal-hal yang menimbulkan kenikmata. Pemadaman penikmatan itu, sangat
diperlukan sebagai daya dukung yang ketiga, setelah pemadaman
perkunjungan. Disiplin yang terakhir itu, terasa akan sangat menjadi
penghambat dan kendala pokok, yang sangatmengganggu proses sambang
samadhi, atau yoga samadhi. Jika proses pelaksanaanya terganggu, maka
tidak telak lagi tujuannya pun tidak akan tercapai. Pandangan terang (high
wisdom) tidak akan tercapai, sehingga hikmah pelaksanaan catur
bratapenyepian tidak dirasakan, karena tidak tercapainya tujuan brata itu.
Dari uraian itu, dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat Hari
Raya Nyepi, adalah pencarian dan penemuan jati diri kita, dalam rangka
memulai hidup baru di tahun baru yang baru saja muncul. Jika setahun itu
lamanya 365 hari, mengapa timbul kendala dan kesulitan dalam diri kita
mengunakan hanya satu hari satu malam untuk memawas diri? Inilah dilema
nan kunjung sirna dan selalu berulang setiap tahun. Karena itu, seyogianya
kita memanfaatkan kelahiran sebagai manusia ini sebaik-baiknya, sebab untuk
lahir menjadi manusia jauh lebih sulit daripada melaksnakan catur brata
127

penyepian itu setahun sekali dalam hidup sehari sebagai sanyasin.

8.2.5.4 Ngembak api / geni


Setelah sehari semalam (24 jam, mulai pagi matahari terbit sampai
besok paginya saat matahari terbit), melaksanakan caturbrata penyepian,
tibalah saatnya membuka kegiatan sehari-hari kembali sebagai biasa, yang
disebut ngembak api atau ngembak geni. Kegiatan yang dilakukan pada saat
itu, berlaku kebiasaan sehari-hari: para petani pergi ke sawah melakukan
tugasnya sebagaimana mestinya, para pedagang begitu juga, dan para
pengusaha dan pegawai negeri demikian juga, dan sebagainya. Mereka semua
mulai saat itu melakukan tugasnya masing-masing dengan semangat baru,
yang diwarnai oleh hikmah Nyepi yang diperoleh selama menjalani catur
brata penyepian itu.
Di samping itu, mereka mengadakan saling kunjungan, sebagai tanda
perwujudan rasa cinta kasih dan kasih sayang sesama manusia. Dengan
demikian, diharapkaan seluruh hidup dan perikehidupan diwarnai oleh berkah
termulia dan hikmah yang membahagiakan. Dengan semangat baru, mereka
bertugas sebaik-baiknya di dalam udara tahun baru Saka.
Atas dasar itu, Parisada sebagai pemegang bhisama, telah
menetapkan dharmashanti sebagai wadah yang perlu dibudayakan dan
dilsetarikan dalam konteks hidup pada zaman sekarang. Keputusan itu telah
diambil pada mahasabha yang lalu. Pengisian acara dharmashanti itu,
disesuaikan dengan kondisi setempat, dan terus akan berproses mencari
bentuk yang sesempurna-sempurnanya.

8.3 Hari Galungan dan Kuningan

Hari raya Galungan dan Kuningan, berdasarkan sistem kalender


pawukon, jadi selalu hadir setiap 210 hari sekali. Kehadiran kedua hari raya itu
128

selalu dibicarakan serentak, karena jaraknya hanya 10 hari. Di samping itu


menurut tradisi, masing-masing mengandung mitologi yang serangkai.

8.3.1 Hari raya Galungan

Hari raya Galungan, jatuh pada hari Budha (Rabu), kliwon, wuku
Dungulan (Galungan). Hadirnya setiap 210 hari, sesuai dengan sistem
pawukon (6 x 5 x 7 hari = 210 hari). Maksudnya: angka 6 menunjukkan, bahwa
dalam satu siklus kalender pawukon ada 6 Buddha kliwon ((1) Budha kliwon
Sinta,(2) Budha kliwon gumbreg, (3) Budha kliwon dungulan / galungan, (4)
Budha kliwon pahang, (5) Budha kliwon matal, dan (6) Budha kliwon ugu);
angka 5 menunjukkan, bahwa Budha kliwon hadirnya setiap 5 wuku; dan angka 7
menunjukkan usia setiap wuku 7 hari. Jadi hadirnya setiap Budha kliwon 35
hari (5 x 7 hari = 35 hari = satu bulan wuku).
Menurut tradisi, perayaan hari Galungan di Indonesia khususnya di Bali,
diawali pada tumpekwariga, atau tumpekuduh, tumpekpengarah, atau
tumpekpangatag. Tumpek pangatag itu jatuh pada hari Sabtu /Saniscara,
kliwon, wuku wariga, jakni 25 hari sebelum hari Galungan (-25). Hari
tumpek pangatag, diperingati sebagai 'hari tumbuh-tumbuhan', terutama pohon
buah-buahan yang berguna bagi kehidupan manusia. Memang pada hari
Galungan dan Kuningan, cukup banyak diperlukan buah-buahan, janur,
dedaunan, dan sebagainya, untuk perlengkapan banten (sajen). Segala
keperluan untuk hari Galungan dan Kuningan mulai dipersiapkan.
Setelah itu. berbagai kegiatan yang merupakan rangkaian hari Galungan
dengan tertib dan patuh dilaksanakan. Namun, berdasarkan sosial masyarakat,
beberapa anggota masyarakat di Bali, tidak lagi mematuhi rentetan kegiatan
tersebut secara utuh. Mereka hanya mengambil yang pokok-pokok menurut
aspirasinya.
Rangkaian yang paling terkenal dilaksanakan antara lain: (1)
panyajaan (hari membuat kue / jaja: Senin /Soma), dan (2) panampahan
129

(pemotongan hewan: babi, ayam, bebek untuk sajen, lawar, dan sebagainya:
Selasa /Anggara). Keesokan harinya (Rabu /Budha), barulah hari
Galungan.Menurut tradisi kegiatan pada hari Galungan: (1) persembahyangan di
Sanggah /Merajan, pura Pedharman, (2) ke kuburan membawa sajen bagi
mereka yang belum diabenkan oleh para keluarganya, sekaligus bersembahyang
di pura Dalem. (di beberapa daerah di Bali, acara ke kuburan ditiadakan, karena
mereka beranggapan paraatman sang newata (para roh yangmeninggal sudah
berada di rumah pada saat itu).
Setelah berdirinya Parisada Hindu Dharma Indonesia, melalui
berbagai sarana pembinaannya, masyarakat Hindu Di manapun berada, baik di
Bali maupun di luar Bali, mereka mengadakan persembahyangan bersama di
pura-pura, prahayangan, kahyanganyang ada di tempat mereka berada.
Persembahyang bersama itu, kini telah membudaya dan secara otomatis, tanpa
pemberitahuan / pengumuman lagi, mereka melaksanakan upcara persem-
bahyangan itu. Hal itu, merupakan salah satu keberhasilan Parisada yang tiada
taranya, sebab seluruh umat Hindu yang tersebar di seluruh pelosok tanah air
tercinta Indonesia, dengan penuh sraddha dan bhakti kepada Sang Hyang
Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, berbondong-bondong mengikuti
persembahyangan bersama di pura setempat.
Makna simbolis dan filosofis yang tersirat dalam hari Galungan,
sebenarnya merupakan pertarungan antara dharma (kebenaran) melawan
adharma (ketidakbenaran), yang diakhiri dengan kemenangan dharma. Satyam
eva jayate, na anrtham (kebenaran pasti menang, bukan ketidakbenaran).
Pertarungan itu diawali mulai pada hari Radite (Minggu), dan
berakhir pada hari Anggara (Selasa). Rangkaian pertempurannya sebagai
berikut: (1) pada hari Minggu (Radite), manusia diserang oleh Kala Galungan,
(2) pada hari Senin (Soma) datanglah Kala Dungulan yang ingin menundukkan
manusia, dan (3) pada hari Selasa (Anggara), datang lagi Sang Kala
Amangkurat, yang berhasrat menguasai manusia. Jadi, Sang Bhuta Kala Tiga
( Sang Bhtakala Galungan, Sang Bhtakala Dungulam, dan Sang Bhutakala
Amangkurat), secara berturut-turut datang menyerang, menundukkna dan
130

menguasai manusia. Namun, berkat dharma yang dipegang teguh oleh


manusia, maka Sang Bhutakala Tiga (adharma) itu akhirnya peperangan
dimenangkan oleh manusia . Atas kemenangan itulah, pada hari Rabu
(Budha), dirayakan oleh segenap umat manusia, dengan riang gembira.
Perayaan itulah kemudian disebut Hari Raya Galungan, hari kemenangan
dharma.
Dalam mitologi, disebutkan bahwa peperangan yang terjadi antara Raja
Mayadanawa dengan Bhatara Indra, yang begitu sengit, akhirnya kemenangan
berada di pihak Dewa Indra. Walaupun berbagai cara tipu dan daya
Mayadanawa, namun akhirnya kalah juga, karena ia berada di pihak
adharma. Sampai sekarang, masih ada 'bukti-bukti' nama dan tempat yang
pernah dijadikan gelanggang perang oleh Mayadanawa: Tampaksiring,
Tirthaempul, Sungai Patanu dan sebagainya.
Ada lagi disebutkan, bahwa raja Sri Jayakasunu takut naik tahta
menjadi raja, karena setiap raja hanya berumur satu tahun. Kematian dan
maut datang merenggut jiwa sang raja, sehingga rata-rata usia menjadi rata
hanya setahun. Oleh karena itu, Sri Jayakasunu, dengan didampingi oleh para
penasihatnya, bertapa di tengah kuburan, dengan memuja Dewi Durga.
Demikianlah, di tengah malam, Dewi Durga datang, dan memberi tahu, bahwa
sebab-musabab kejadian musibah itu, karena para raja tidak ingat lagi
merayakan hari raya Galungan. Setelah itu, Dewi durga pun gaiblah. Betapa
senang dan terima kasih sang raja, segera pulang ke istana. Kemudian
diumumkan, bahwa seluruh masyarakat agar merayakan hari raya Gakungan
seperti zaman dahulu. Sejak itulah, usia raja memerintah normal kembali
Sebenarnya, di Jawa Galungan telah dikenal dan dirayakan oleh raja
Kertanagara. Justru nama wuku dungulan di Bali, pada mulanya di Jawa
bernama wuku galungan Jelaslah bahwa hari raya Galungan telah lama dikenal
di Jawa.
Jika dibandingkan dengan perayaan Durgapuja di India dan biasa
disebut Vijayadasami, nafas dan maknanya sama dengan perayaan Galungan
di Indonesia. Dewi Durga telah berhasil membunuh 9 bhutakala (setiap hari
131

satu bhutakala), sehingga pada hari kesepuluh disebut hari kemenangan kesepu-
luh (Vijayadasami). Hakikat perayaan itu, juga merayakan kemenangan
dharma melawan adharma. Apakah filosofis itu diresepir di Indonesia,
mungkin saja. Namun, sampai kini belum ada sarjana yang meneliti tentang itu.

Anda mungkin juga menyukai