Anda di halaman 1dari 244

TEOLOGI HINDU

Dalam Ritual Kematian Pada


Masyarakat Jawa
Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
TEOLOGI HINDU
Dalam Ritual Kematian Pada
Masyarakat Jawa

Dr. Relin DE.

Penerbit PÀRAMITA Surabaya


Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Dr. Relin DE.

TEOLOGI HINDU
Dalam Ritual Kematian Pada
Masyarakat Jawa
Surabaya: Pàramita, 2012
x + 230 hal ; 148 mm x 210 mm
ISBN : 978-602-204-292-1

TEOLOGI HINDU
Dalam Ritual Kematian Pada
Masyarakat Jawa
Oleh : Dr. Relin DE.
Layout & cover : Nyoman Arsiana

Penerbit & Percetakan : “PÀRAMITA”


Email: info@penerbitparamita. com
http: //www. penerbitparamita. com
Jl. Menanggal III No. 32 Telp. (031) 8295555, 8295500
Surabaya 60234 Fax : (031) 8295555

Pemasaran “PÀRAMITA”
Jl. Letda Made Putra 16B Telp. (0361) 226445, 8424209
Denpasar Fax : (0361) 226445

Cetaka 2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Ida Sanghyang Widi


Wasa, sebab atas asung wara nugraha beliau, sehingga penelitian
dan penyusunan buku ini dapat dilaksanakan dan dapat diterbitkan
menjadi sebuah buku.
Agama Hindu di Jawa adalah komunitas unik. Sebagai
pusat peradaban Hindu di masa lalu pulau Jawa memiliki
berbagai kekayaan budaya, ritual, susastra dan seni yang bernafas
Hindu. Namun sayang, setelah ekspansi Islam di Jawa, terjadi
vandalisme budaya, dimana patung-patung dirobohkan atas
tuduhan musrik, candi-candi banyak dirusak, budaya dipreteli
dan dilarang. Perubahan besar di Jawa akhirnya terjadi sejak
keruntuhan kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu dan digantikan
dengan kesultanan Islam atas nama agama dan kebaikan.
Namun demikian, setelah sempat ‘dorman ‘ Hindu di Jawa
bangkit kembali. Budaya-budaya masa lalu mulai terdengar
kembali. Masyarakat yang dulunya terisolir dan melaksanakan
berbagai ritual masa lalu perlahan menemukan kepercayaan dirinya.
Berbagai ritual akhirnya digelar kembali bahkan diberbagai ranah
publik. Politik agama dan gesekan antar berbagai organisasi garis
keras bernafaskan agama tertentu, walau berpengaruh tetapi tidak
mampu sepenuhnya membendung arus kembali ke kejayaan Jawa
masa lalu.
Olehnya, diperlukan berbagai dukungan dan upaya guna
menyambut kebangkitan tersebut, diantaranya melalui riset
ilmiah dan kajian-kajian mendalam. Oleh karenanya, dilakukan
riset ilmiah berkaitan dengan ritual kematian di Pulau Jawa
khususnya yang berlaku umum di Blambangan (Banyuwangi).
Tantangan ritual di Pulau Jawa sangat berat ditengah modernitas
dan banyaknya ormas garis keras bernafaskan agama. Akan tetapi,

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa v


berbagai ritual seperti selamatan dilaksanakan bukan saja bagi
mereka yang beragama Hindu, tetapi yang ber-KTP Islam atau
dikenal sebagai Islam Abangan. Sementara ritual kematian bagi
umat Hindu dilaksanakan berbeda dengan mengkontruksi ritual
kuno dan disesuaikan dengan ajaran Hindu yang berkembang
dewasa ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penelitian dan penyusunan buku ini. Ucapan
terima kasih kepada suami penulis Dr. I Gusti Ngurah Sudiana,M.
Si yang selalu memberi dorongan kepada penulis, kepada putra
putri penulis yang senantiasa mendukung, kepada Ni Kadek Surpi
Aryadharma yang bersedia mengedit untuk dapat diterbitkan
dalam sebuah buku.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menerima saran
dan kritik demi perbaikan karya-karya dan penelitian berikutnya.
Kami berharap, semoga karya ini bermanfaat dan memberikan
khazanah pengetahuan. Juga kepada umat Hindu di Jawa, semoga
buku ini memberikan manfaat dan dukungan bagi pelaksanaan
ritual dan kebangkitan semangat dan agama Hindu di Jawa.

Denpasar, Agustus 2012


Penulis

Dr. Raden Roro Relin

vi TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


KATA PENGANTAR

REKTOR INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI


DENPASAR

Angayubagia kami sampaikan atas terbitnya buku hasil


penelitian Teologi Hindu Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat
Jawa. Buku ini memperkaya khazanah pengetahuan Hindu
nusantara. Terlebih keberadaan budaya, teologi dan ritual Hindu
di Jawa masih sangat kurang diterbitkan menjadi sebuah buku.
Kami menyambut baik penerbitan buku ini, yang diyakini akan
memberikan kontribusi yang sangat baik bagi ilmu pengetahuan.
Buku-buku Hindu berbasis penelitian selama ini masih sangat
kurang, padahal hasil penelitian merupakan fakta lapangan yang
harus diangkat, didiskusikan dan dicarikan jalan pemecahan jika
itu merupakan masalah.
Kami telah menulis sejumlah buku yang terkait dengan
teologi seperti Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama
Hindu, Teologi dalam Kesusasteraan Hindu, dan sejumlah buku
lainnya. Demikian pula sejumlah buku teologi telah ditulis oleh
saudara I Ketut Donder. Namun buku ini sangat unik karena
mengupas Teologi Hindu (Brahmavidya) yang berkaitan dengan
ritual kematian masyarakat Hindu di Jawa. Budaya Hindu yang
berkembang di nusantara diyakini bernilai tinggi. Namun sayang,
selama ini tidak banyak pihak yang mampu menjelaskan nilai
dibalik aktivitas ritual. Akibatnya, banyak yang berpikir salah
bahkan salah kaprah. Tugas intelektual, tugas masyarakat kampus
untuk mengupas dari sisi keilmuan agar masyarakat umum
mampu memahami dengan baik dan demikian pula para peneliti
atau mereka yang ingin menulis berbagai hal terkait Hindu
memperoleh perspektif yang benar.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa vii


Kami bangga dan bahagia, karena dalam beberapa tahun
belakangan semakin banyak insan akademik IHDN yang menulis
berbagai buku. Kedepan IHDN harus menjadi pelopor dalam
pengembangan keilmuan maupun SDM Hindu di Nusantara.
Bali untuk menjadi pusat Hindu dunia harus memiliki lebih
banyak kaum cendekiawan yang berdedikasi tinggi dan mampu
menghasilkan berbagai karya yang bermanfaat. Buku adalah salah
satu sarana untuk memperkenalkan Hindu nusantara ke kancah
global.
Selaku Rektor kami mendorong kepada segenap dosen,
pegawai dan mahasiswa IHDN untuk mengembangkan kreativitas
menulis dan menerbitkan buku. Sebab kemajuan suatu bangsa,
suatu peradaban dapat diukur dari aktivitas penulisan dan
penerbitan buku. Berdasarkan data, Indonesia masih tergolong
rendah dalam penerbitan buku. Olehnya cendekiawan Hindu
harus berkontribusi bagi pengembangan keilmuan di Indonesia
sekaligus memajukan bangsa ini dari sisi ilmu agama dan ilmu-
ilmu lainnya.
Sekali lagi kami ucapkan selamat atas penerbitan buku ini,
semoga buku ini memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
perkembangan Hindu di Jawa, dan daerah-daerah lainnya di
Indonesia.

Om Santih Santih Santih Om

Rektor

Prof. Dr. I Made Titib,P.hD

viii TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................ v


KATA PENGANTAR REKTOR INSTITUT HINDU
DHARMA NEGERI DENPASAR......................................... vii
DAFTAR ISI........................................................................... ix

BAB I AGAMA HINDU JAWA........................................ 1

BAB II UPACARA KEMATIAN DI JAWA DAN DI BALI..... 7


2.1. Ngaben di Jawa dan di Bali............................. 7
2.2. Ritual Kematian Perwujudan Sraddha dan
Bhakti ............................................................. 9
2.3 Struktur Teologi Melandasi Ritual Kematian.... 25

BAB III RITUAL KEMATIAN PADA MASYARAKAT


JAWA...................................................................... 63
3.1 Teologi Yang Melatar Belakangi Ritual
Kematian......................................................... 63
3.2 Penjelasan Ritual Kematian............................ 77

BAB IV ANALISIS TEOLOGI HINDU DALAM RITUAL


KEMATIAN............................................................ 79
4.1 Teologi Kematian Dalam Pandangan
Masyarakat Jawa............................................. 79
4.2 Sistem Pelaksanaan Ritual Kematian.............. 94
4.3 Bentuk, Fungsi, Makna dalam Ritual
Kematian......................................................... 153

BAB V TEOLOGI HINDU DALAM RITUALKEMATIAN


DI JAWA................................................................. 181

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa ix


BAB VI PENUTUP.............................................................. 213
6.1. Simpulan.......................................................... 213
6.2. Saran-Saran..................................................... 215

DAFTAR PUSTAKA.............................................................. 217


LAMPIRAN FOTO................................................................ 225

x TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


BAB I

AGAMA HINDU JAWA

Secara umum masyarakat Indonesia menganggap bahwa


agama Hindu hanya ada di sekitar wilayah Bali saja dengan segala
macam kekayaan ritual yang dimilikinya, sehingga agama Hindu
di Bali terkesan sebagai agama ritual. Padahal apabila ditelusuri
lebih jauh anggapan itu tidaklah benar sebab kenyataannya agama
Hindu banyak juga terdapat di luar Bali, seperti di Pulau Jawa,
Sulawesi, Kalimantan dan menyebar di kepulauan nusantara.
Pulau Jawa di masa lalu adalah pusat kebudayaan Hindu, utamanya
masa kejayaan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Blambangan.
Blambangan, yang oleh Sunan Kalijaga diberi nama
Banyuwangi merupakan daerah yang sangat penting bagi Hindu
di nusantara. Sebab setelah keruntuhan kerajaan besar Majapahit,
Kerajaan Blambangan merupakan benteng Hindu terakhir di
Pulau Jawa. Setelah kehancuran berbagai kebudayaan Hindu
dan digantikan dengan keislaman, Blambangan meneruskan
tradisi Hindu Jawa (Majapahit). Berbagai ritual Hindu masih
digelar. Setelah sempat tidak terdengar tentang penganut Hindu,
beberapa puluh tahun belakangan, Hindu di Blambangan bangkit
kembali. Seperti misalnya Desa Kumendung, Kecamatan Muncar,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tahun 2004, jumlah
umat Hindunya mencapai 822 0rang dari 5.305 penduduk yang
beragama Islam.
Demikian pula umat Hindu di Desa tersebut masih sangat
kental menjalankan Tradisi ritualnya sebagaimana layaknya umat
Hindu di Bali. Namun bentuk, cara dan prakteknya disesuaikan
dengan keadaan masyarakat setempat. Karena tradisi ritual itulah
menyebabkan masyarakat Hindu mempunyai identitas tersendiri

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 1


di suatu daerah. Apabila di Bali mengenal upacara terbagi menjadi
lima bagian (Panca Yadnya) demikian juga di Jawa mempunyai
konsep yang sama dalam kemasannya yang berbeda.
Aktivitas upacara/ritual bagi umat Hindu di Bali dijalankan
sebagai kewajiban semata dan sudah banyak mendapatkan perhatian
dari berbagai pihak termasuk para peneliti untuk dijadikan bahan
kajiannya. Berbeda halnya dengan upacara/ritual umat Hindu di
luar Bali hampir minim sekali mendapatkan perhatian, baik di
bidang pembinaan dan pengkajian nilai-nilai yang terkandung di
dalam pelaksanaan ritual tersebut. Seperti contoh upacara Ngaben
di Bali sudah banyak menulis dan mengkaji dari berbagai sudut
pandang keilmuan namun upacara/ritual kematian di Jawa belum
ada para peneliti yang berminat untuk mengkaji makna dan nilai-
nilai pelaksanaan upacara tersebut sehingga umat Hindu di sana
masih melaksanakannya secara gugon tuwon.
Agama Hindu dalam melaksanakan ritual keagamaannya
mengenal konsep daur hidup. Artinya Hindu tidak bisa melepaskan
dirinya dari ritual mulai manusia masih di dalam kandungan
sampai ia meninggal. Demikian juga ajaran Hindu mengenal
ritual keagamaan yang secara konseptual mengatur hubungan
manusia dengan lingkungan hidup di mana mereka berada.
Konsep ritual ini dilandasi oleh ajaran Tri Kona (Utpati, Stiti dan
Pralina). Artinya dalam sebuah ritual terkandung tujuan bahwa
semua di dunia ini melalui proses penciptaan, terpelihara/ hidup
dan akhirnya kembali kewujud asalnya. Kandungan idieologisnya
bahwa di dalam proses itu juga ada pemeliharaan sistem nilai-
nilai yang bersifat lokal dan universal. Jalaludin dalam tulisannya
menguraikan bahwa “di dalam kepercayaan agama Hindu dan
kepercayaan tradisional tertentu, terdapat kearifan ekologi yang
perlu kita manfaatkan untuk kelestarian lingkungan” (Tandjung,
1955 : 137).
Ritual yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali berbeda
cara berpikirnya dengan masyarakat Hindu di luar Bali. Jika

2 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


di Bali pola pelaksanaannya mengedepankan kemeriahan dan
variasi yang banyak, namun di luar Bali polanya sangat sederhana.
Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi sehingga umat
Hindu luar Bali mempunyai sifat non analistik (holistik-intuitif)
bergeser kearah pemikiran yang bersifat analitik. Demikian juga
“pengelolaan sumber daya yang dalam masyarakat tradisional
didasarkan pada kebiasaan, bergeser ke arah efisiensi baik teknis
maupun ekonomis” (Surisumantri 1986 : 51).
Pendapat ”di kalangan para ahli antropologi, tradisi ritual ini
dimasukkan ke dalam kelompok sistem kepercayaan animisme
dan dinamisme dengan berbagai cabangnya antara lain : Fetisisme.
Sistem relegi itu ditemukan dalam berbagai upacara relegius,
baik yang berkenaan dengan daur hidup seseorang maupun yang
berkenaan dengan keselamatan kesejahtraan atau kerajaan”
(Soewondo, 1983 : 55).
Walaupun ritual agama Hindu dimasukkan ke dalam
kelompok sistem kepercayaan, pengelompokan semacam itu bagi
Hindu tidaklah menjadi masalah sebab hal itu dibenarkan oleh
bunyi Manawadharmasastra, II. 6.

“Vedokilo dharmamulan, smrti sile ca tad vidam, acara


saiwa sadhunam atmanstusti rewasca

Artinya :
Weda srtuti adalah sumber pertama dari pada dharma,
kemudian baru smreti, disamping sila, Acara, dan
atmanastuti” (Pudja, 1977 : 7).

Bunyi sloka di atas memberikan pengayoman bahwa semua


aktivitas ritual yang dilakukan oleh umat Hindu di manapun berada
adalah benar. Misalnya, di dalam masyarakat Desa Kumendung
dan Jawa pada umumnya selalu melaksanakan ritual seperti dapat
dilihat dengan adanya berbagai altar di Pasren Kraton sebagai

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 3


altar Dewi Sri, Upacara Labuh yang dilaksanakan oleh para raja
Jawa–Islam yang sebenarnya sama dengan upacara tolak bala
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa umumnya. Upacara Merti
Desa, Ruwatan, sajian kepada senjata dan sebagainya” (Poeger,
1980 : 11).
Perkembangan masyarakat Jawa khususnya Desa
Kumendung, Banyuwangi, Jawa Timur ini cukup maju dalam
bidang kehidupan ekonomi dan keagamaan, walaupun mereka
dalam agama yang berbeda namun masih ada nafas ritual yang
sama diantara mereka sebagaimana layaknya Hindu yang
dilakukannya sampai sekarang. Masyarakat Jawa menyebutnya
dengan istilah Ngelakoni saja. Salah satu kebudayaan atau tradisi
yang paling tampak dilakoni oleh masyarakat Kumendung tersebut
adalah ritual kematian. Ritual ini masih berjalan dengan baik,
mereka dilaksanakan tanpa pernah mereka menyinggung akar
teologisnya. Dengan demikian perjalanan ritualnya hanya sebatas
tradisi belaka. Sehingga menjadi manarik untuk diteliti agar
dapat terungkap secara teologis maksud dan manfaat pelaksanaan
upacara itu. Bagi mereka kemungkinan mengangap bahwa “tradisi
ritual atau upacara itu adalah kegiatan yang dilakukan secara
tertib dan berpola yang tumbuh dan menyebar melalui bimbingan
yang diwujudkan dengan perubahan sikap dan perbuatan manusia
terhadap peristiwa alam dan peristiwa sosial tertentu.
Mereka menyebut sebagai upacara adat kejawen. Artinya
upacara itu dilakukan karena merupakan tradisi yang diterima
dari leluhurnya kemudian mereka melaksanakannya secara turun
temurun” (Poeger, 1980 : 12). Sebab itulah tradisi ini dilaksanakan
oleh mereka dengan tidak memandang apakah mereka menganut
agama Kristen, Islam, Hindu dan sebagainya. misalnya upacara
kematian yang tahapan pelaksanaannya mulai dari baru meninggal,
tiga hari, tujuh hari sampai seribu hari (Nyewu), sampai dengan
Pengeling-eling.

4 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Eksistensi kebudayaan dalam wujud ritual kematian masih
ada di tengah kehidupan masyarakat Kumendung, Muncar,
Banyuwangi, Jatim, namun usaha untuk menjelaskan dan
mengungkap nilai teologis (Hindu) dalam ritual kematian
tersebut belum ada menarik minat kalangan ilmiah. Sedangkan
disisi yang lain ada kemungkinan jika sebuah ritual dilaksanakan
tanpa diketahui akar teologisnya transisi ritual itu kemungkinan
perlahan akan ditinggalkan oleh pendukungnya sejalan
dengan perkembangan jaman. Sehingga Jawa akan kehilangan
dokumentasi kearifan lokal yang dahulunya tersimpan dalam
masyarakat non intlektual.
Sebab sudah menjadi hukum alam bahwa dalam dinamika
yang mengarah kepada integrasi adaftif yang ditandai dengan
gejala bahwa masyarakat Jawa semakin meninggalkan tradisi
dan semakin lama akan kehilangan kepribadiannya. Maka tidak
menutup kemungkinan tradisi kematian ini akan ditinggalkan
secara perlahan. Kekawatiran itu dapat diantisipasi dengan
melakukan pengkajian terhadap ritual ini secara ilmiah.
Pengkajian ini gunanya untuk membangun pertahanan teologis,
agar pelaksanaan ritual/upacara tersebut dapat dipahami, sebagai
tradisi yang luhur dan patut dilestarikan karena merupakan
kekayaan serta warisan adiluhung masyarakat Jawa dan bangsa
Indonesia.
Apalagi di era sekarang, “pengaruh modernisasi mampu
mengakibatkan benturan budaya yang tidak dapat dihindari. Hal
ini muncul dari berbagai kasus yang membawa dampak negatif,
fenomena distrorsi, degradasi, demoralisasi sampai dengan
berbagai macam pelecehan kultural” (Griya, 2000 : 3). Dinamika
kebudayaan dari tradisi masyarakat Jawa tradisional dengan
masyarakat Jawa modern mengandung ancaman serius dan
ketidak berdayaan masyarakat tradisional Jawa mengantisipasi
apalagi dengan pemahaman yang tidak berakar pada kultur yang

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 5


sama, misalnya dengan pemahaman Islam fundamental yang
menganggap semua tradisi Jawa adalah salah (musrik).
Pengaruh buruk dari tradisi modern dan pemahaman Islam
fundamental terhadap tradisi Jawa telah mengkhawatirkan
banyak pihak untuk melestarikan tradisi itu. Karena itulah LSM,
paguyuban, Keraton dan Dinas Kebudayaan banyak berbuat
untuk melestarikannya. Namun jika pelestarikan hanya dalam
tahapan inventarisasi saja akan menyebabkan kurang kuatnya
pengaruh pemaknaan bagi pendukungnya, apabila usaha
pelestarian disertai dengan pengungkapan makna teologis yang
terkandung di dalamnya maka usaha itu akan melengkapi usaha
yang sebelumnya.
Teologi Hindu dalam tradisi ritual Kematian pada masyarakat
Jawa studi di Desa Kumendung, Muncar Banyuwangi, Jatim,
menjadi sangat menarik untuk diteliti karena secara historis agama
Hindulah yang paling lama menjadi agama masyarakat Jawa,
termasuk di Desa Kumendung. Apakah benar kepercayaan kepada
leluhur dan roh orang yang telah meninggal yang diwujudkan
dalam tradisi ritual kematian dalam masyarakat Kumendung
mempunyai kedekatan teologis dengan konsep-konsep teologi
agama Hindu. Apabila kedekatan ada, maka kemungkinan akan
ditemukan juga bagaimana struktur teologi yang melatar belakangi
ritual/upacara kematian pada masyarakat Hindu di Kumendung
tersebut. Hubungan konsep-konsep teologis itu akan dapat
ditemukan apabila penelitian dilakukan terhadap penyelenggaraan
sistem ritual kematiannya, untuk mengungkapkan fungsi maupun
makna yang terkandung dalam komponen-komponen sistem
ritual kematian pada masyarakat Hindu di Desa Kumendung dari
sudut pandang teologi Hindu.

6 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


BAB II

UPACARA KEMATIAN DI JAWA DAN DI BALI

2.1. Ngaben di Jawa dan di Bali


Berkaitan dengan ritual kematian dibawah ini akan diuraikan
beberapa teks mengenai tulisan ritual kematian di Jawa dan
ngaben di Bali sebagai bahan perbandingan sebagai berikut :
Ida Bagus Purwita dalam bukunya yang berjudul “Upacara
Ngaben” diterbitkan oleh Upadha Sastra, tahun 1992.
Menguraikan tentang pelaksanaan upacara Pengabenan mulai dari
persiapan pengabenan sampai berakhirnya pengabenan itu. Di
dalam buku itu juga dijelaskan sedikit mengenai simbol upakara
yang dipergunakan namun sangat berbeda dengan apa yang
ditemukan dalam pelaksanaan ritual kematian di Jawa. Di dalam
buku itu tidak ada istilah Nyewu dan sebagainya. Di Bali upacara
Kematian sangat beragam, bisa selesai dalam satu hari, sampai
boleh diupacara Pengabenan dalam beberapa tahun kemudian. Di
dalam buku itu tidak termuat secara terperinci mengenai aspek
teologi upacara Pengabenan itu.
Ida Bagus Oka dalam bukunya, Tuntunan Pitra Yadnya,
diterbitkan oleh Upadhasastra Denpasar tahun 1992, juga
menguraikan rangkaian upacara pengabenan, sarana dan
pelaksanaan Pengabenan dengan menggunakan bahasa Bali.
Dalam buku itu tidak termuat teologi yang melatar belakangi
upacara tersebut.
Suryamataram, (1987 : 32-38) dalam buku Tatacara
Kematian, menguraikan bahwa upacara kematian dilakukan
secara bertahap mulai dari meninggal sampai dengan upacara
terakhir adalah Ritual Kematian. Selanjutnya disebutkan bahwa
tatacara upacara kematian disesuaikan dengan perkembangan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 7


jaman. Kalau dulu upakara memakai wadah daun pisang,
sekarang sudah memiliki kardus kecil-kecil. Berhubungan dengan
upacara Kematian di dalam Ritual Kematian beberapa hal yang
khusus, sebagai peringatan-peringatan kematian yang terakhir.
Oleh karena peringatan Nyewu merupakan peringatan yang
terakhir, maka selamatan ini sering diselenggarakan secara besar-
besaran. Umumnya dengan menyembelih kambing yang diambil
dagingnya lalu dimasak gulai, sate, dan lainnya, ditambah dengan
ayam (hitam dan putih), angsa, burung merpati, yang nantinya
dipakai sesaji. Sedangkan burung dara dilepaskan. Gulai dan sate
sisa sesaji digunakan untuk menjamu tamu.
Buku lainnya yang ditulis oleh Bratawijaya (1997: 132-133)
berjudul “Mengenal dan Mengungkap Budaya Jawa”, menulis
juga sekilas mengenai upacara kematian khususnya pemakaman,
sebagai berikut : “cara pemakaman Jenasah hanya untuk Islam,
Kristen dan Katolik dalam masyarakat Jawa, tata cara yang ia
lakukan adalah dengan tradisi upacara yang hanya dikenal oleh
masyarakat Hindu Jawa dan sebagainya. Di dalam buku itu tidak
diuraikan mengenai teologi yang terkandung di dalam upacara
tersebut, ada kemungkinan teologi upacara tersebut hanya bisa
dihubungkan dengan teologi Hindu, karena ritual itu merupakan
tradisi Hindu, bukan tradisi agama lain. Di dalam buku itu
hanya diuraikan tujuan selamatan saja seperti “Ngesur tanah
tujuannya memindahkan dari alam fana ke alam baka, tiga hari
menyempurnakan 4 perkara / anasir yaitu api, air, angin dan bumi,
tujuh hari menyempurnakan kulit dan kuku, empat puluh hari
untuk semua badan wadag, seratus hari untuk mengembalikan
unsur air dan padat dalam tubuh, darah, otot, daging, sumsum,
tulang, otot dan lain-lain. Mendak pisan menyempurnakan kulit,
daging dan jeroannya, mendak pindo untuk menyempurnakan
semua kulit, darah, daging dan semacamnya yang hanya tinggal
tulangnya saja, mendak telu menyempurnakan semua rasa dan
bau dan hingga semua rasa bau sudah lenyap”.

8 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Dari beberapa buku dan penelitian di atas hanya menguraikan
sekilas mengenai rangkaian ritual kematian serta beberapa
sarananya saja, namun sama sekali tidak menyinggung masalah
makna atau teologi yang terkandung dalam ritual tersebut baik
teologi lokal maupun teologi Hindu. Jadi bedanya penelitian ini
adalah pada kajian teologinya, baik teologi Jawa maupun teologi
Hindunya.

2.2. Ritual Kematian Perwujudan Sraddha dan Bhakti


Di dalam memaknai ritual kematian ke arah teologi maka buku
Bhagawadgita memberikan jalan pengetahuan bahwa semua jalan
yang ditempuh untuk melakukan upacara kepada leluhur adalah
dibenarkan sebagai salah satu saja mediasi menghubungkan roh
dengan Tuhan.
Jadi dapat dikatakan bahwa Ritual Kematian yang
dilaksanakan oleh masyarakat Kumendung Banyuwangi pada
khususnya merupakan tradisi upacara yang dipraktekan secara
turun temurun terhadap orang yang sudah meninggal dari mulai
wafat yang terakhir.
Kegiatan ritual Kematian itu diyakini sebagai sebuah wujud
Sradha dan bakti. Sradha (keyakinan terhadap Tuhan dan yang
berkaitan dengan itu). Bhakti (persembahan dan pelayanan).
Sradha di dalam agama Hindu diklasifikasikan dengan lima
kepercayaan yakni percaya dengan adanya Tuhan (Hyang Widhi),
percaya dengan adanya Atman/jiwa, percaya dengan adanya
reinkarnasi (samsara) dan percaya dengan adanya Moksa. Kelima
keyakinan ini masing–masing diaplikasikan ke dalam aktifitas
keagamaan yang salah satunya adalah ritual. Misalnya keyakinan
kepada Tuhan atau Ida Sanghyang Widhi diterjemahkan ke
dalam bentuk ritual Dewa Yadnya. Percaya dengan adanya
atman diaplikasikan dengan adanya Pitra yadnya dan sebagainya.
Intinya keyakinan itu ditata dengan konsep Tattwa, Susila dan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 9


acara/ritual. Namun yang menjadi catatan bahwa realisasi bentuk
ritual itu disesuaikan dengan masyarakat setempat. Dalam bahasa
agamanya disebut dengan Desa, Kala, Tatwa. Misalnya percaya
dengan adanya Tuhan dalam masyarakat Jawa bentuk ritualnya
yang digunakan adalah dengan cara Jawa seperti Nyewu,
Sandingan dan sebagainya. Dalam konsep tattwa kepercayaan
kepada Tuhan dalam masyarakat Hindu tetap mengacu kepada
Ekatwanekatwa swalaksana Bhatara. Tuhan dipuja dalam bentuk
tunggal dan dipuja juga dalam penampilanNYA yang banyak
dalam wujud manifestasiNYA seperti Dewa Brahma, Wisnu,
Iswara dan sebagainya.
Kata Bakti dari bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian
pelayanan yang tulus kepada Guru alam semesta yakni Tuhan itu
sendiri. Lalu berkembanglah pelayanan yang tulus itu ditujukan
kepada kepada manusia dan alam lingkungan . Banyak cara
yang dilakukan untuk melakukan pelayanan atau mencurahkan
rasa bakti itu misalnya dengan persembahyangan, beryadnya,
upacara, bekerja dan sebagainya. Namun dalam konteks Bhakti
dalam Catur marga disebut sebagai Bhakti marga yoga artinya
jalan untuk mempersatukan diri kepada Tuhan, manivestasinya
dan ciptaannya melalui rasa cinta kasih yang tulus. Di dalam Reg
Weda I.10.2. diuraikan :

Yat sanoh anum aruhad,


bhury aspasta kartvam,
tad indro artham cetati,
yuthena vrsnir ejati

Artinya.
Tuhan Yang Maha Esa melindungi mereka yang bhakti,
yang meningkatkan diri secara bertahap dengan berbagai
aktivitas. Tuhan yang Maha Esa akan hadir dengan
berbagai kemahakuasaanya untuk menganugrahkan
keberuntungan.

10 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Masih banyak sloka–sloka yang tersebar di dalam kitab suci
Bhagawadgita, Rgveda, Yajur dan sebagainya Bhakti kepada
Tuhan diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yakni tingkatan
Para Bhakti (bhakti yang tanpa pamerih) dan Aparabhakti (bhakti
dengan berbagai permohonan).
Jadi Sradha dan Bhakti ini merupakan suatu bentuk
kepercayaan kepada Tuhan dengan jalan melakukan pelayanan
yang tulus kepada Tuhan, manivestasiNya dan dengan segala
ciptaannya.
Sradha Bhakti umat Hindu di Jawa dapat dilihat dari
bagaimana kehidupan manusia Jawa dan kehidupan sosialnya.
Menurut Geezt dalam Magis Suseno menguraikan bahwa ada
dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam
masyarakat Jawa yakni pertama adalah prinsip kerukunan dan
sebutan prinsip hormat yang kedua. Diuraikan lebih lanjut bahwa
prinsip kerukunan sebagai prinsip yang pertama itu bertujuan
untuk mempertahankan masyarakat agar dalam keadaan harmonis
yang disebut rukun (selaras, tenang dan tentram). Selaras, tenang
dan tentram adalah merupakan pertahanan kondisi sosial budaya
dimana tidak terdapat perasaan-perasaan negatif yaitu suatu
keaadaan yang aman dan tentram.
Prinsip yang kedua yakni prinsip hormat artinya suatu
keadaan yang memainkan peranan penting di dalam memainkan
interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini berisi makna bahwa
setiap orang dalam setiap pergaulan, berbicara hendaknya bersikap
hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Cita–cita seperti ini menandakan bahwa di dalam tata pergaulan
ada sebuah keteraturan secara hirarki. Kedua prinsip masyarakat
Jawa ini di dalam tataran filosofi masyarakat agama di Jawa,
sangat sesuai dengan etika dalam ajaran agama Hindu, salah satu
ajarannya adalah melaksanakan Trikaya Parisudha. Tiga sifat atau
prilaku yang telah disucikan itu seperti bagaimana cara berpikir,

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 11


berbicara, bertingkahlaku seperti itu akan membawa masyarakat
Jawa ke dalam pemahaman agama untuk menuju Jagadhita dan
moksa. Menuju masyarakat yang jagadhita dan moksa ini sangat
dimungkinkan oleh kedua karakter manusia Jawa tadi. Pertanyaan
yang muncul adalah masihkan masyarakat Jawa pada masa ini
mampu memegang teguh ke dua karakter manusia Jawa ini?
Pertanyaan ini akan bisa dijawab oleh manusia Jawa itu
sendiri. Prinsip–prinsip keteraturan masyarakat itu akan berjalan
baik dan terpelihara jika masyarakat Jawa mulai dari diri sendiri,
keluarga dan kelompok masyarakat menanamkan ajaran sradha
bhakti. Sehingga menimbulkan perasaan cinta kasih kepada
semua mahluk serta lingkungannya.
Perasaan hormat dan kerukunan ini dapat terlihat dalam
wacika parisudha masyarakat di dalam pergaulan. Penggunaan
bahasa Jawa yang baik sesuai dengan wacika parisudha akan
dapat menyadarkan akan kedudukan masing-masing. Penggunaan
bahasa Jawa dan sikap hormat yang baik akan membawa
masyarakat Jawa pada situasi yang tenang, tentram serta rukun.
Di dalam tata pergaulan (kayika parisudha) masyarakat Jawa
menurut Magnis Suseno mulai masa kecil melalui pendidikan
keluarga diajarkan tiga sifat yakni Wedi (segan/takut), isin (malu)
dan sungkan rasa sopan, (hormat dan santun) pada orang lain.
Secara Filosofi kehidupan masyarakat Jawa dari sini tampak
jelas bahwa di dalam menumbuhkan kesadaran sradha dan baktinya
manusia Jawa memiliki ciri khas kesadaran yang kuat tentang arti
kebudayaan sebagai kehidupan sosial di masyarakatnya.
Di dalam buku paham masyarakat Jawa diuraikan mengenai
Sradha dan bhakti sangat berhubungan dengan dunia batin
masyarakat Jawa. Dunia batin adalah dunia berhubungan dengan
dunia lahir.
Dunia batin dunia yang bersifat sangat pribadi yang
terintegrasi, nyata dan tak terbagi (bersifat niskala). Di dalam

12 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


masyarakat Jawa dunia batin dibangun dengan sikap yang sesuai
dengan keadaan untuk mengatasi dunia material. Dunia material
akan menjadi hambatan jika tidak dikendalikan, sebab ada dua
macam bahaya yang ditimbulkan oleh kebutuhan material.
Kebutuhan itu adalah hawa nafsu dan pamrih. Di sini hawa nafsu
dipandang tidak ada yang jahat tetapi apabila orang selalu menuruti
hawa nafsunya ia menjadi kosong dan lemah. Hawa nafsu yang
tak terkendalikan akan dapat melemahkan prilaku sradha dan
bhakti manusia demikian juga pamrih yang berlebihan akan dapat
merusak keutuhan dirinya. Sebab dalam pamrih orang mengejar
kepentingan dirinya sendiri dan dapat bertabrakan dengan sesama
yang dapat menimbulkan berbagai macam konflik.
Untuk mengatasi masalah bahaya itu maka manusia Jawa
diharapkan mempunyai kemampuan mengolah batinya agar dapat
mengendalikan diri. Jika pengendalian diri terjadi baik dalam
kelompok maupun perorangan maka akan terjadi perubahan
kualitas sradha dan bakti masyarakat terhadap Tuhan serta
ciptaannya. Ide masyarakat untuk mempunyai kemampuan batin
atau sradha dan bakti yang tinggi dalam masyarakat Jawa adalah
dengan konsep kearifan lokal seperti Sepi Ing Pamerih. Yang
dilandasi oleh Eling, Sabar, Nrimo dan iklas.
Pikiran Eling adalah sikap yang melandasi pikiran dari mana
sebenarnya manusia itu ada, apa yang harus dilakukan, untuk
mencapai keharmonisan, ketentraman dan kedamaian. Sikap ini
akan menumbuhkan sikap mawas diri dan rendah hati.
Pikiran Sabar keadaan ini adalah sikap yang tenang, tidak
tergesa- gesa, tidak kawatir akan sesuatu. Alon–alon pasti kelakon.
Bagi masyarakat Jawa masalah waktu bukanlah menjadi masalah
penting yang terpenting adalah tercapainya suatu tujuan.
Pikiran Nrimo adalah kemampuan batin yang dapat menerima
kenyataan. Jadi bukan nrimo dalam arti kepasrahan dalam batin
yang tidak keberdayaan. Nrimo artinya keiklasan menerima

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 13


sesuai dengan keyakinan (sradha) bahwa semuanya Tuhanlah
yang mengatur semua ini.
Iklas adalah sikap batin yang merelakan apa saja. Disini ada
kesangupan untuk melepaskan apa saja yang dimilikinya jika
keadaan yang membuatnya demikian jika tuntutan serta tanggung
Jawab nasibnya mengaturnya.
Masyarakat Jawa mempunyai empat sikap sebagai ciri bahwa
masyarakat Jawa memiliki rasa sradha dan bakti yang tinggi akan
adanya Tuhan sebagai maha pengatur, pengasih dan penyayang.
Di dalam Bhagawadgita IX. 27 diuraikan :

Yat karosi, yat anasi yaj juhosi dadasi yat,


Yat tapasyasi kaunteya tat kurusva mad – arpanam

Artinya.
Apapun yang engkau kerjakan, kau makan,
kau persembahkan, kau dermakan dan disiplin diri apapun
yang kau laksanakan, lakukanlah semua itu,
wahai arjuna,hanya bakti kepadaku.

Konsep Bhagawadgita ini jika dikaitkan dengan kesadaran


rasa bhakti serta sradha kepada Tuhan dalam masyarakat Jawa
umumnya dan Kumendung khususnya sangatlah tepat, Sloka
ini salah satu konsep diantara banyak konsep yang dapat
menjembatani dan mempertebal keyakinan untuk menimbulkan
perilaku yang Eling, Sabar, nrimo dan iklas. Sebenarnya masih
sangat banyak sumber yang berkaitan dengan keempat sikap itu.
Masyarakat Jawa dalam menghormati ajaran leluhurnya
dilandasi oleh empat konsep tadi sepertinya telah mengakar
mulai masa anak–anak hingga Dewasa sehingga mampu
menumbuhkan sikap yang bijaksana. Bijaksana bukan berasal
dari norma–norma belaka tetapi lebih jauh dari itu yakni Roso.

14 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


(olah roso). Sebab dalam kesadaran masyarakat Jawa betindak
sesuai dengan norma-norma moral bukanlah perkara kehendak
tetapi pengertian barang siapa yang telah memenangkan sikap
batinnya dari nafsu itulah yang disebut memiliki rasa yang
benar. Dengan sendirinya akan bertindak benar. Orang yang
bijaksana adalah orang yang telah sampai kepada rasa yang
sebenarnya dan dapat dikenali dengan kehaluasannya. Apa
yang semulanya kasar pada dirinya kemudian dapat dijinakkan.
Menjinakkan nafsu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang telah mempunyai rasa bakti dan sradha yang tinggi.
Sradha dan bakti masyarakat Jawa kepada Tuhan
ditumbuhkan oleh konsep bahwa Tuhan adalah Sangsangkan
Paraning dumadi lan manunggal artinya usaha manusia untuk
kembali kepadanya dengan berbagai jalan (Marga Yoga)
baik secara jasmani maupun rohani. Salah satunya adalah
dengan Sradha dan Bhakti itu. Konsep itu dibicarakan karena
masih sangat erat kaitannya dengan ajaran manunggaling
kawula dan Gusti. Artinya dalam mencapai harmoni dengan
kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan dirinya selaku
Kawula terhadap Gustinya (ciptaan kepada sang pencipta).
Dalam ajaran Hindu disebut Moksa bersatunya atman dengan
Brahman. Melalui sikap KeTuhanan seperti itu menimbulkan
rasa bhakti yang tinggi, sebab ada kepasrahan serta ketulusan
yang tanpa pamerih dalam menjalani kehidupan ini. Sikap
yang muncul dari konsep ini adalah sikap Menep atau
mengendap (tenang). Sikap ini dihasilkan oleh kepasrahan
bahwa semuanya ditentukan oleh Tuhan (panesti dening
pangeran) . Tuhan disebut Sanghyang Tuduh karena dalam
konsep Jawa Tuhanlah yang menentukan atau sudah Undhuhan
(Karmapahla). Dari filosofis inilah lalu masyarakat Jawa
umumnya mempunyai istilah Nrimo ing pandum (menerima
apa yang sudah ditentukan oleh Tuhan).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 15


Melalui konsep inilah berdasarkan ajaran Bhagwadgita
yang tersembunyi dalam masyarakat Jawa menumbuhkan
karma sebagai bhakti yang diyakini dapat mengantarkan umat
manusia mencapai kebahagiaan sejati. Aajaran ini termuat
dalam Catur Marga Yoga terutama karma yoga (Manunggaling
kawula lan gusti) seperti Kris manjing Wrango. Langkah untuk
mencapai seperti itu adalah dibangun melalui filosofi cita–cita
masyarakat Jawa manifestasinya serta segala ciptaannya.
Manusia sebagai makhluk sosial diciptakan oleh Tuhan
melalui perantara leluhurnya, yaitu orang tuanya, bapak, ibu,
tanpa adanya bapak dan ibu manusia itu tidak akan ada. Bapak
dan ibu mereka-reka kita sehingga terbukalah atman untuk
menjelma menjadi manusia, maka dari itu ibu dan bapak
disebut dengan Guru Rupaka. Bila kita telusuri terus, maka
kita akan sampai pada leluhur kita yang pertama kali ada di
dunia, yaitu Manu, yang diciptakan oleh Tuhan, dari unsur
Prakerti dan Purusa, dengan ikatan Tri Guna.
Beberapa buku yang dijadikan dasar pelaksanaan
upacara Pitra yadnya/ritual kematian menurut ajaran Hindu
seperti Sarasamuscaya, Nitisastra, manawa Dharmasastra
dan sebagainya mempunyai pandangan yang sama bahwa si
anak berkewajiban menghormati orang tuanya, sebab Bapak
dan ibu merupakan awal kejadian dari pada manusia, seperti
dikatakan dalam kitab Sarasamuccaya yaitu :

“Carrametaukurutah pita mata ca bharata,


acaryanasta ya jatih sa diwya sajaramana”.
Nihan tattwaning bapebu, upadyaya, bapedu sangkaning carira,
ndatan langgeng ika, kuning iking jati makading kabrah
manam, sangkara dang Upadya, sangkanyang hana,
ikanang prasiddha tinut winara warah ing upadhyaya
yatika utama, ika tan kena ring lara pati.
(Sarasamuccaya,235)

16 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Beginilah hakekat ibu bapak, (dan) Upadhyaya;
Ibu bapak adalah asal mula badan yang tidak kekal itu,
adapun kelahiran setelah keBrahmanan (Seseorang)
disangaskara oleh sang Upadyaya, sebagai asal keadaan itu.
Hal itu patut diikuti yang merupakan ajaran yang diajarkan
oleh seseorang Upadyaya, itulah yang utama, itu terlepas
dari penderitaan (dan) kematian (Kajeng, 1977 : 184 – 185).

Karena manusia diciptakan melalui perantara leluhurnya


yaitu Bapak dan Ibu serta dipelihara mulai dari kandungan sampai
hidup berumah tangga dibesarkan dan dididiknya sehingga
menjadi orang. Karena manusia itu ada melalui bapak dan ibu
sebagai Guru Rupaka, maka manusia berhutang kepada orang
tuanya atau leluhurnya yang telah membesarkan dan berkewajiban
untuk membayarnya melalui sembah bakti dan pengabdiannya
melalui perwujudan tingkah laku danpada akhirnya melaksanakan
Upacara Pitra Yadnya.
Sebagai seorang anak yang baik dan berbudi pekerti luhur
yang merasa terpanggil secara moral dan rohaniah berkewajiban
mengangkat serajat serta menyelamatkan arwah orang tuanya dari
neraka “Put”. Untuk tugas itu seorang anak disebut dengan “Putra”
(Puja, 1984 : 154). Rasa hormat dan terima kasih seorang anak
dapat diwujudkan dengan mealalui pengekangan diri berupa tapa
dan penyucian diri serta berpegang teguh kepada dharma. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan pada kitab Sarasamuscaya yaitu :

“Tapacacaucawata nityam dharmasatyaratena ca,


marapitaroraharahah pujanam karyamanjasa”.
Ikang mwang gumawayaken kapujaning ramarena
Sari-sari langgeng magawe tapa ngaranika
Mwang langgeng macoca, apageh ring kasatyan
Mwang dharma ngaranika.
(Sarasamuscaya, 239)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 17


Artinya :
Orang yang hormat kepada bibi dan bapaknya
Setiap harinya, namanya teguh melakukan tapa dan
Senantiasa mensucikan dirinya, tetap teguh berpegang
Kepada yang disebut dharma itu (Kajeng, 1997 : 187).

Di dalam kitab Slokantara dikatakan bahwa anak yang suputra


adalah cahaya keluarga sehingga dapat mengangkat derajat orang
tuanya dari lembah sengsara. Slokantara mengatakan demikian :

“Caswaridipa cacandrah prabhate rawidipakah


Trailo kye dipako dharmah suputrah kuladipakah”.
Kalinganya, yan ing wengi Sang Hyang Candra sire
Pinaka damar. Yan ring rahina Sang Hyang Rawi
Pinaka damar. Yang ring triloka Sang Hyang Dharma Putra
Pinaka damar ling aji.
(Slokantara, 51)

Artinya :
Bulan itu lampunya malam. Surya itu lampunya dunia di
siang hari.Dharma itu ialah lampunya ketiga dunia ini.
Dan putra yang baik itu cahaya keluarga. Waktu malam
bulanlah sebagai lampunya : di siang hari suryalah di
ketiga dunia ini dharmalah seperti lampunya : dan dalam
suatu keluarga itu, putra yang baik itulah cahayanya.
Demikianlah kata kitab suci (Agung Oka, 1992 : 114).

Anak yang tahu akan kewajiban berbakti kepada orang


tuanya dan selalu menunjukkan sikap hormat serta menjunjung
tinggi martabat orang tua.

18 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Sang Hyang Candra rarangama pinaka dipamemadang
Rikala ring wengi, Sang Hyang Surya sedeng prabhasa maka
Dipa memadangi ri bhumi mandala widya castra sudharma
Dipanikang tri bhuana sumene prabhaswara, yan ing putra
Suputra sadhugunaean memadangi kula wadhu wandhawa.
(Nitisastra, IV.I)

Artinya :
Bulan dan bintang memberi penerangan di waktu malam,
matahari bersinar memberi penerangan di bumi,
ilmu pengetahuan, pelajaran dan peraturan-peraturan
yang baik menerangi ketiga jagad dengan sempurna,
putra yang baik, budiman dan bijaksana membahagiakan
kaum keluarga.

Kewajiban seorang anak dapat memberikan kebahagiaan


kepada keluarganya semasih hidup maupun nanti setelah
orang tuanya meninggal. Astiti bhakti para sentananya kepada
leluhurnya merupakan kewajiban sebagai balas budi betapa
besarnya jasa orang tua kepada diri kita. Sang Prabhu Dasarata
juga tidak melupakan akan jasa orang tuanya, ini tersirat dalam
Kekawin Ramayana yaitu :

“Gunamantha Sang Dasarata, wruh sire ring weda


bhakti ring Dewa, tar malupeng pitarapuja, masih
tasireng swagotra kabeh”.
(Kekawin Ramayana,1.3)

Artinya :
Kaya akan tabiat baik Sang Dasarata
Tahu akan kitab weda, taat kepada Dewa,
tak lupa akan pemujaan kepada roh leluhurnya,
bercinta kasihlah dengan rakyat sendiri.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 19


Dari beberapa penjelasan kitab-kitab suci agama Hindu
menandakan bahwa sangat besar jasa orang tua kepada sentananya
dari masih dalam kandungan sampai setelah berumah tangga,
karena besarnya jasa orang tua atau leluhur itu, maka sudah
sewajarnyalah preti sentananya selalu berbhakti menjunjung tinggi
kehormatan keluarganya dan leluhurnya. Kewajiban seorang anak
adalah selalu memberi cahaya kepada keluarganya, sehingga orang
tuanya merasa senang dan bahagia karena cinta kasih seorang ibu
jauh lebih berat dari beratnya bumi Demikianlah juga jauh lebih
tinggi kasih sayang seorang bapak dari pada tingginya langit,
demikian dikatakan dalam kitab Sarasamuscaya. Oleh karena itu
janganlah ragu-ragu menghormati leluhur atau orang tua.
Pahala berbuat bhakti kepada orang tua akan mendapatkan
kebahagiaan dan kekuatan serta kehormatan, seperti yang
dikatakan dalam kitab Sarasamuscaya sebagai berikut :

“Abhiwa danacaisya nityam ring wrddhopasawinah,


catwari tasya wardhanta krtirayuryaco balam”.
Kuneng pahalaning kabhaktin ring wwang atuha,
Pat ikang wrddhi, pratyekanya, kerti, ayusa, yaca,bala;
Kirti ngararing paleman ring hayu ayusa ngaraning
hurip bhayu, yatikuwuwuh paripurna, pahalaning
kabhaktin ring wwang atuha
(Sarasamuscaya, 250)

Artinya :
Adapun pahala berbuat bhakti kepada orang tua, empat
kepanjangan masing-masingnya Kirti, Ayusa, Yaca dan
Bala; Kirti artinya pujian tentang kebaikan, Ayusa
artinya kehidupan, Yaca artinya nama baik yang
ditinggalkan, Bala artinya kekuatan, kesemuanya
itulah yang bertambah-tambah sempurna sebagai
pahala bhakti terhadap orang tua (Kajeng, 1997 : 194)

20 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Hutang jasa kepada orang tua atau leluhur dibayar melalui
pengabdian secara tulus semasih hidup dan selanjutnya dibayar
dengan melaksanakan yadnya. Sebagai pengeJawantahan balas
budhi yang sadar akan kasih sayang, salah satunya adalah dengan
pelaksanaan Ritual Kematian.
Di dalam tradisi ritual kematian tersebut banyak
menggunakan mantram bahasa sanskerta dan lokal, semua
mantram itu bertujuan untuk memuja atau sebagai penghormatan
atau menjadikan suci para leluhur yang diupacarai atau yang
sudah meninggal (Puja 1984 : 76). Puja juga merupakan suatu
persembahan atau penghormatan yang berdasarkan kesucian
untuk keselamatan bersama kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Mantram atau Puja memiliki makna untuk membangkitkan
kekuatan supra pada diri manusia. “Pikiran yang luar biasa dapat
muncul dari kelahiran, obat-obatan, mantra-mantra, pertapaan
dan kontemplasi keDewataan” (Polak, 1986 : 4.1).
Sumber yang digunakan untuk melengkapi guna
mengungkapkan masalah teologi yang terdapat dalam ritual
kematian masyarakat Kumendung maka diuraikan juga, Titib juga
menguraikan bahwa mantram dapat mengikat pikiran. Makna
atau maksud dari mantra/Puja dapat dirinci sebagai berikut :
- Untuk mencapai kebebasan
- Untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
- Untuk memuja para Dewa
- Untuk berkomunikasi dengan para Dewa.
- Untuk memperoleh tenaga dari manusia super (Purusatama)
- Untuk menyampaikan persembahan kepada para roh leluhur
dan para Dewata
- Untuk berkomunikasi dengan roh-roh atau hantu-hantu
- Untuk mencegah pengaruh negatif
- Untuk mengusir roh-roh jahat
- Untuk mengobati sakit

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 21


- Untuk mempersiapkan air yang dapat menyembuhkan (air suci)
- Untuk mengancurkan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang
dan manusia-manusia.
- Untuk menetralkan pengaruh bisa atau racun dalam tubuh
- Untuk memberi pengaruh lain terhadap pikiran dan
perbuatan
- Untuk mengontrol manusia, binatang-binatang buas, Dewa-
Dewa dan roh-roh jahat
- Untuk menyucikan badan manusia (Titib, 2001 : 465).

Penelitian yang akan dilakukan penulis berbeda dengan semua


tulisan di atas. Perbedaannya terletak pada penggalian teologi
Hindu yang termuat dalam tradisi ritual kematian masayarakat
Jawa studi di Desa Kumendung dengan menggunakan pemahaman
lokal genius untuk mempermudah dalam mengungkap teologi
yang terdapat di dalam tradisi masyarakat tersebut .
Penggalian itu akan dapatkan dari lokal genius (simbol,
Mantram) dan sebagainya yang dilakukan oleh masayarakat
Kumendung.
Secara kontektual yang dimaksudkan lokal genius di dalam
penelitian ini adalah unsur-unsur upakara dalam tradisi kematian
yang menunjukan identitas masyarakat Jawa itu sendiri. Yang dapat
dibandingkan dengan hakekat lokal genius menurut Mundardjito
(Ayatrohaiedi,ed., 1996 : 40-41). Yaitu mampu bertahan terhadap
budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasikan unsur-
unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan
unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli, memiliki
kemampuan mengendalikan, memberi arah kepada perkembangan
budaya, terbuina secara komulatif, terbentuk secara evolusi, tidak
abadi, dapat menyusut, tidak selamanya tampak jelas secara
lahiriah
Mundardjito, lebih jauh mengemukakan bahwa karakteristik
budaya (cultural charakteristics) sebagai pedoman dari

22 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


lokal genius, yang diperluas pengertiannya dari yang bersifat
fenomenologis menjadi bersifat kognitif adalah orientasi yang
menunjukan padangan hidup serta sistem nilai masyarakat,
persepsi yang menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap
dunia luar, pola dan sikap hidup yang diwujudkan dalam
tingkahlaku masyarakat sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang
mewarnai pri kehidupan masyarakat.
Pengertian lokal genius menurut Nourhadi (1996 : 57)
yang sependapat dengan Bosch adalah kemampuan untuk
mempelajari, menghayati, serta kemudian mengelolanya kembali
dan merumuskannya sebagai suatu konsep yang baru. Orang
yang pertama melontarkan istilah lokal genius adalah arkeolog Q.
Wales dan diperkenalkan ke dalam pemikiran orang Indonesia oleh
Bosh. Menurut Wales (1948) yang maksud lokal genius adalah “
the sum of the cultural charakteristics which the vast majority of
peaple have in common as the resulf of their experiencis in eirly
life” (Poespowardjojo, 1986 : 30). Dijelaskan oleh Soebandio,
pengertian lokal genius dapat disamakan dengan cultural identify
yang diartikan sebagai indentitas atau kepribadian budaya suatu
bangsa yang menyebabkan bangsa bersangkutan lebih mampu
menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar wilayah
yang mendatanginya sesuai dengan watak dan kebutuhan
pribadinya (Sulistyawati, 2000 : 2).
Upacara / ritual kematian mempunyai nilai Kearifan lokal
Nusantara karena memiliki beberapa karakteristik sebagai
berikut:
1. “Kearifan lokal adalah kelompok, komunitas atau koletivitas
tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses
pembentuknya, yakni bersumberkan pada pengetahuan
pengalaman dalam konteks ruang di mana mereka berada.
2. Kearifan lokal merumuskan sesuatu yang diasumsikan benar,
karena teruji lewat pengalaman secara kontinyu kerena itu,

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 23


tidak diperlukan kebenaran alternatif maupun kekeritisan
pada saat melaksanakannya.
3. Kearifan lokal bersifat praktis, tetapi terkait dengan aspek
psikomotorik yakni praktek dalam kehidupan masyarakat
lokal.
4. Label lokal yang melekat pada kearifan lokal, menandakan
bahwa secara substantif, dia terkait suatu lokalitas hal ini
bermakna pula bahwa ketepatgunaan kearifan lokal tidak
universal.
5. Kearifan lokal tidak saja mencakup aspek praktis , tetapi
juga tata kelakuan. Karena itu pengaktualisasian kearifan
lokal ,pada dasarnya merupakan aktivitas moral.
6. Kearifan lokal bersifat holistik, karena menyangkut
pengetahuan dan pe-mahaman tentang seluruh kehidupan
dengan segala relasinya di alam semesta.
7. Kearifan lokal seringkali ada penjaganya, yakni orang bijak,
pemimpin agama atau guru. Karena itulah kearifan lokal
tahan lama atau bisa mentradisi. Penjaganya, bukan orang
ahli (tidak memiliki modal intelektual dan modal simbolik),
tetapi mereka bisa menduduki posisi sebagai penjaga
tradisi, karena mampu menafsirkan makna tradisi,baik
makna tekstual dan konstektual maupun makna implisit dan
eksplisit sehingga warga komunitas bisa memahami dan
mempraktekannya secara baik dan benar.
8. Kearifan lokal sering terkait dan atau menyatu dengan ajaran
maupun praktek-praktek keagamaan,misalnya ritual sehingga
menambah daya kebertahanannya.”(Atmadja,2004).

Delapan kriteria kearifan lokal ini sebagai dasar untuk


memahami bahwa ritual kematian mempunyai bentuk, fungsi
dan makna yang jelas manfaatnya bagi perkembangan peradaban
masayarakat Hindu Jawa yang adiluhung.

24 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


2.3 Struktur Teologi Melandasi Ritual Kematian
Menguraikan struktur teologi yang melandasi Ritual Kematian
akan di uraian menjadi tiga bagian yaitu : pertama, teologi secara
umum, kedua, teologi Hindu dan ketiga akan diuraikan teologi
jawa sebagai teologi lokal yang menjadi dasar pelaksanaan ritual
tersebut.

1. Teologi Secara Umum


Pada mulanya istilah teologi ini muncul di Eropa terutama
di daerah Yunani, sehingga teologi ini berasal dari bahasa Yunani
yaitu dari kata Theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti
ilmu. Jadi teologi ini berarti ilmu yang mempelajari tentang Tuhan.
Lebih jauh di dalam kamus An English Readers Dictionary oleh
Ashrnby and Ec Parn Well,1992 : 133).diuraikan bahwa arti teologi
ini sebagai: “.Science of the naptura of God and of the foundation
belief, yang artinya Teologi itu adalah ilmu pengetahuan tentang
alam semesta, tentang Tuhan, tentang keyakinan agama yang
mendasar”. Dengan memperhatikan rumusan tersebut di atas
maka peranan ilmu Teologi ini sangat besar untuk merumuskan
teori keTuhanan yang terdapat di dalam masing-masing agama
yang diyakini nya, tujuannya agar setiap sistem keTuhanan yang
ada pada masing-masing agama, dapat dipelajari secara sistematis
sehingga mudah dipahami oleh pemeluknya.
Melengkapi pengertian teologi itu di dalam Ensklopedia
Americana (1978 : 633) dijelaskan mengenai difinisi teologi
sebagai berikut :

“Theology is on intellectual discipline that aims at


setting forth in on orderly manner the content of
relegious faith. This difiniton olready indicates same
of the peculiarieties of the subject. Calling theology of
intlectual discipline involves the claim that theology has

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 25


its legitimate place in the spectrum of human knowledge
and the claim that it can make true statement. Theoforem
it can also point to defensible intllectual procedures in
support of this claims. Theology has in fact often been
colled a science”.

Dalam kamus filsafat disebutkan bahwa “pengertian teologi


secara sederhana adalah suatu studi mengenai pernyataan tentang
Tuhan dalam hubunganNya dengan dunia realitas. Dalam
pengertian yang lebih luas, teologi merupakan salah satu cabang
filsafat, atau bidang khusus inquiri filosofi tentang Tuhan. Teologi
juga bisa dihubungkan dengan dengan suatu agama tertentu
sehingga timbulah istilah-istilah teologi Kristen, Jewish dan
sebagainya. Teologi juga bisa disebut sebagai teori murni yang
mendiskusikan tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia”
(Runes, 1959 : 317).
Istilah teologi ini dalam pengantar Filsafat, diuraikan bahwa
“secara historis pertama muncul di Yunani karena pada zaman
dahulu Yunani memiliki keyakinan terhadap beraneka macam
kepercayaan terhadap para Dewa-Dewa terutama Dewa-Dewa
alam seperti :

a. Dewa langit antara lain :


1. Dewa Zeus yaitu sebagai Dewa cuaca yang dapat
menurunkan hujan, salju, kabut, dan menyebabkan
kesuburan. Di samping itu Dewa ini juga sebagai Dewa
kilat dan guntur.
2. Dewa Hera merupakan Dewa yang dapat memberikan
kebahagiaan di dalam perkawinan dan rumah tangga.
3. Dewa Pallos Athena: adalah Dewa kecerdikan dan
juga merupakan Dewa yang mengajarkan taktik dan
siasat dalam peperangan, Dewa kepandaian, Dewa

26 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


yang memberikan ilmu pengetahuan terutama di dalam
pembuatan perabot rumah tangga.
4. Appolo : adalah Dewa yang menciptakan cahaya
di tengah keglapan dan membuka kegelapan yang
menyelimuti pikiran para ahli nujum.
5. Arthemis : adalah Dewa yang selalu dipuja leh para
buruh.

b. Dewa jagat raya


1. Dewa Helios : Dewa ini berada pada matahair dan
memberikan kekuatan sinar kepada mataari, beliau
terbit dari arah timur dan tenggelam di arah barat.
2. Dewa Selena : adalah Dewa yang berada pada bulan
terutama pada bulan purnama di samping itu beliau juga
dipandang sebagai Dewa yang berada pada bintang.

c. Dewa-Dewa yang mengelilingi Dewa-Dewa terkemuka


1. Dewi Heba : adalah Dewi yang sering memberikan
minuman keras kepada para Dewa dan ia dipandang
juga sebagai Dewa keremajaan yang abadi.
2. Geny Medes : Dewa keremajaan yang abadi dan karena
parasnya yang cantik dan tampan maka Dewa ini
dipindahkan dari Gunung Ida ke gunung Oloimpus.
3. Dewa Iris : adalah Dewa Pelangi yang dipakai untuk
menghias langit dan ia dianggap sebagai Dewa
kemenangan.
4. Appolo : beliau dipandang sebagai Dewa Penyair.
a. Dewa-Dewa Bumi
b. Dianysos : adalah Dewa anggur dan dipandang
pula sebagai Dewa pertanian.
c. Oreadieia : adalah Dewa yang menjadi pemimpin
para Bidadari dan bertempat tinggal di gunung dan
di hutan.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 27


Karena pada zaman dahulu banyak Dewa yang dipuja di
Yunani, maka muncullah belakangan para ahli filosuf-filosuf
untuk mengetahui sistem teologi yang terdapat dan hidup pada
zaman Yunani kuno dan di samping itu ilmu teologi ini bukan
saja dipergunakan untuk mengetahui sisem KeTuhanan pada
zaman Yunani kuno namun ilmu ini dipergunakan pula untuk
meneliti sistem keTuhanan yang dianut oleh agama-agama yang
masih dipeluk oleh umat manusia di bumi sekarang. Di dalam
meneliti ajaran suatu agama terutama dalam bidang teologi
yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan pada
umumnya dapat dibagi menjadi beberapa bagian antara lain :

1. Polytheisme
Adalah suatu kepercayaan yang mengakui adanya banyak
Dewa, dimana Dewa-Dewa ini digambarkan memilik sifatnya
sendiri-sendiri. Penganut aliran Polytheisme di dalam mereka
memuja Tuhan mereka dapat berpindah dari satu Dewa ke Dewa
lainnya apabila mereka tidak mendapat terhadap Dewa yang
dipujanya.
Untuk memerinci suatu ajaran agama yang menganut sistem
KeTuhanan yang bersifat polytheisme, apabila ajaran agama
tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Di dalam penghayatan terhadap Tuhan yang dipuja maka
golongan polytheisme selalu mempergunakan nyanyian
yang berbentuk puisi karena yang diagungkan adalah bentuk-
bentuk Tuhan dan warnanya. Pemujaan melalui nyanyian ini
dapat menyentuh seluruh perasaan dengan mengutamakan
rasa keindahan.
2. Karena di dalam memuja Dewa selalu mempergunakan
syair-syair tersebut perlu ditafsirkan oleh para penyair yang
lainnya atau dengan kata lain syair itu perlu dimufakati
sebelumnya.

28 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


3. Ajaran Polytheisme cenderung menuju kepada kepuasan
batin maka mereka di dalam melakukan puja selalu cenderung
memakai sistem nyanyian-nyanyian yang berbentuk puisi
yang diiringi dengan upacara-upacara keagamaan beserta
tarian-tarian yang diikuti oleh musik atau gamelan dan lain-
lainnya.
4. Daya tarik dari ajaran Polytheisme adalah adanya syair-syair
seperti syair-syair seni dan lain-lainnya yang bersifat sepontan
dan bebas, oleh sebab itu pemujaan yang dilaksanakan
ditandai oleh keagamaan yang berbeda-beda di satu tempat
dengan tempat yang lainnya.
5. Polytheisme adalah suatu agama yang harus hidup dengan
penuh kreatif yang penuh dengan daya seni dan sastra
beserta menerima perubahan-perubahan dalam kemajuan
zaman namun identitas seni yang terdapat pada dirinya tetap
dipertahankan.
6. Polytheisme di dalam mengungkapkan jiwa puisi yang
sangat terbatas ia selalu disertai dengan simbol-simbol
keagamaannya sehingga imajinasi seseorang berkembang
dengan leluasa.

2. Monotheisme
Adalah suatu keyakinan terhadap adanya satu Tuhan. Adapun
tanda-tanda suatu agama atau suatu keyakinan yang disebut
monotheisme adalah sebagai berikut :
1. Monotheisme adalah suatu kepercayaan kepada perwujudan
Tuhan yang tunggal, dan lebih dititikberatkan kepada
ketunggalan dari Tuhan yang dipuja dan Tuhan yang tunggal
itu lebih bersifat individu.
2. Tuhan yang dipuja dalam ajaran monotheisme harus memiliki
jenis kelamin laki-laki.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 29


3. Tuhan di dalam monotheisme selalu dipanggil bapak dan
tidak boleh dipanggil kakak atau adik. Ia selalu dituakan di
dalam pemujaan.
4. Tuhan di dalam monotheisme ini selalu memiliki suatu
tempat tersendiri yang sering disebut dengan surga. Ia dapat
pergi ke mana-mana namun sebagai tempat tinggalnya yang
tetap adalah surga.
5. Tuhan dalam monotheisme merupakan raja surga yang
berkuasa penuh atas surga dan dunia. Sebagai seorang raja ia
selalu ingin dipuja dan disembah, manusia hendaknya sering
melakukan penghormatan untuk memuaskan hari sang raja
yang ada di surga, manusia harus memujinya dan harus takut
kepada Tuhan. Sebagai seorang raja, Ia ingin berkuasa penuh
dan bila manusia menyembah yang lainnya berarti suatu
pengkhianatan terhadap kerajaan Tuhan. Bila hal ini terjadi
maka Tuhan akan menghukum mereka dan menjebloskan ke
dalam Neraka.
6. Tuhan dalam monotheisme selalu mempunyai saingan atau
musuh yang disebut dengan Setan. Tuhan dan Setan selalu
bersaing dalam usaha mereka menguasai alam semesta.
Manusia yang ada didunialah yang selalu menjadi sasarannya,
bila manusia dipengaruhi oleh Setan maka Tuhan akan
menjadi marah kepadanya dan akan menjebloskan nanti ke
dalam neraka.
7. Titik sentral dalam keyakinan monotheisme adalah kerajaan
Tuhan yang memiliki kekuasaan yang absolut, Kehendak
Tuhan yang mahakuasa ini merupakan tuntunan bagi manusia
yang menempuh hidup di bumi. Kemauan dan kehendak
Tuhan yang ada di surga dapat diketahui oleh manusia yang
ada di bumi hanyalah melalui rasul-rasul yang dikirim oleh
Tuhan. Manusia yang taat melaksanakan kemauan Tuhan
maka ia masuk ke dalam surga sedangkan yang menentang
mereka dijebloskan ke dalam neraka.

30 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


3. Henotheisme
Adalah suatu teori keTuhanan yang menyebutkan bahwa
Dewa yang banyak situ adalah tunggal dan Tuhan yang tunggal
itu adalah banyak. Ciri-ciri yang dimiliki oleh suatu agama yang
berkeTuhanan henotheisme didasarkan atas:

a. Faktor Estetis
Setiap penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa selalu
disertai oleh nilai-nilai keindahan dan kesemarakan. Dalam
pandangan ini menguraikan bahwa Tuhan itu adalah Dewa
yang mulia dan bersinar sehingga konsepsi keTuhanan dalam
pandangan ini menguraikan bahwa Dewa yang banyak itu adalah
Dewa yang satu sehingga tidak terjadi suatu kontradiksi dalam
penampilan satu Dewa terhadap Dewa yang lainnya.

b. Faktor Etis
Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa Tuhan merupakan
perwujudan keindahan dan kemegahan seluruh alam termasuk
pula kebajikan kemuliaan kebaikan yang terdapat pada manusia.
Doa-doa yang disajikan kepada Tuhan dalam bentuk yang maha
utama, dalam usaha menggambarkan kemahakuasaan Tuhan
walaupun nama-nama Tuhan yang digunakan berbeda-beda.

c. Faktor Hakekat (metafisis)


Konsepsi keTuhanan yang bersifat metafisis adalah konsepsi
yang menggambarkan Tuhan dalam keadaan netral sebagai yang
maha Esa memenuhi seluruh alam. Kemahakuasaan Tuhan dalam hal
ini digambarkan bahwa Tuhan itu adalah paling tinggi, paling mulia,
memenuhi seluruh alam dan seluruh alam menyatu dengan Dia.

d. Monisme
Adalah konsepsi keTuhanan yang menyatakan bahwa Tuhan
yang satu itu adalah Tuhan yang benar dan dari yang satu itu

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 31


menjadi banyak dan akhirnya yang banyak itu kembali menjadi
satu. Jadi yang benar Tuhan yang ada ini hanya satu dan segala
yang ada di alam semesta muncul dari padanya” (Relin, 2004 :
2-5).

1. Teologi Hindu
Sesuai rumusannya, teologi adalah merupakan cabang filsafat
yang membahas tentang Tuhan yang dapat dipergunakan sebagai
sarana untuk merumuskan teologi dalam keyakinan dan agama-
agama maka di dalam Hindu temukan istilah teologi tersebut
dengan istilah lain seperti :
1. Brahma Widya
2. Brahma Tatwa Jnana

Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh


umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan sebagai pencipta
pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta
nanti pada saat zaman pralaya.
Brahma dalam pandangan umat Hindu adanya hanya Esa hal
ini dapat di lihat dalam bait sloka sebagai berikut :

Tonah pita janita yevidhatak


dhamani veda muvanani visva
yo devanam namagha eka eva
tam samprasman bhuvana yantyanya
(RG.X 82 – 38)

Artinya :
Bapa kami, pencipta kami penguasa kami,
yang mengetahui semua tempat, segala yang ada
Dialah satu-satunya, memakai nama Dewa yang
berbeda-beda
Dialah yang dicari oleh semua makhluk dengan renungan.

32 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Uraian Weda di atas memberikan keyakinan kepada umat
Hindu bahwa Tuhan itu Esa adanya namun ke-Esaan dari Tuhan
itu diberi bermacam-macam nama, sehingga Tuhan memiliki
bermacam-macam nama sesuai dengan sifat yang ingin dicari oleh
manusia pada saat hidup maupun saat meninggal dunia ini. Salah
satu nama lain yang dipersembahkan oleh si pemujanya kepada
Brahman adalah kebenaran di mana Tuhan itu sendiri merupakan
sumber dari kebenaran yang ada. Oleh sebab itu golongan filosuf
atau maha resi Hindu selalu menekankan kebenaran dalam usaha
mencapai kemanunggalan dengan beliau dan akhirnya kebenaran
ini menjadi dasar keyakinan dari pemeluk agama Hindu dalam
usaha bersatu kepadanya dan lepas dari ikatan duniawi.
Di samping Tuhan sebagai sumber kebenaran maka dalam
pandangan agama Hindu Tuhan itu sendiri juga merupakan
pelindung dan penyelamat manusia dan memberikan tuntunan
kepada pemeluknya agar mereka selalu berada di jalan yang telah
digariskan oleh Tuhan. Dalam kitab suci veda disebutkan bahwa
Tuhan itu adalah penyelamat umat manusia seperti pada bait
berikut :

Tarataram indram avitaram handaram


Havehave suhavam suram indram
Hvyamisatrampuruhutam indram
Svasti no mghava ghavindram
(Rg Veda VI. 47. 11)

Artinya :
Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat
Tuhan yang maha kuasa yang dipuja dengan gembira
dalam setiap pemujaan, Tuhan maha sakti, selalu dipuja
kami memohon semoga Tuhan yang maha Pemurah
melimpahkan rahmat kepada kami.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 33


Tuhan tempat berlindung bagi manusia
Prate yaksi iyarmi manem
bhuvo yatha vandhya no avesu
ghanva triva prapa ask tvagagna
iyaksavepurave pratna rajan.
(Rg X 4 –1).

Kepada itu kami persembahkan sesajian, kepadamu


kami panjatkan doa kami kepadamu yang dipuja pada
doa kami, Engkau adalah ibarat mata air dalam gurun
pasir, ya Tuhan. Bagi manusia yang menyembahmu oh
raja yang abadi.

Tuhan sebagai Penolong orang yang Hina


Vmrthivim Esa etam
ksetraya visnur manuse dasyayam
dhuvaso asya kerayo janasa
urusiktim sujanima cakra
(Rg weda VII. 100.4)

Wisnu membentangkan bumi ini dan menjadikan tempat


tinggal bagi manusia. Kaum yang hina aman sentausa
di bawah lingkungannya yang mulia telah menjadikan
bumi ini tempat mereka.

Tuhan Maha Pengasih


Tvam hi na pitam vaso
Tvam mata satakrato babhuvita
Agha te mumnam imahe
(Rg veda VIII. 98.11).

Ia maha pemurah Engkau adalah bapak kami dan ibu


kami dan ibu kami Ya Tuhan engkau maha ada, kini
kami mohon kemurahanmu.

34 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Melihat kutipan sloka di atas bahwa ilmu tentang Tuhan atau
teologi dalam agama Hindu telah dimulai sejak adanya veda. Hal
ini nampak seperti dalam bait-bait sloka tersebut di atas. Dalam
perkembangan selanjutnya pembahasan tentang Tuhan dalam
agama Hindu khusus mengenai teologi Hindu di jumpai dalam
kitab-kitab suci/tundra seperti Purusa sukta yang membahas
tentang adanya Tuhan sebagai berikut :

Purusa evedam sarvam yad bhutam yasco bhavyam


uthamritat vasyet sano, yad anena tirohati.

Sesungguhnya purusa adalah semua ini semua yang ada


sekarang dan yang akan datang ia adalah raja keabadian
yang terua membesar karena makanan.

Tasaad asva ajayanta ye ke chobayadatah


Gavoha jajnira tasmat tasmaj jata ajavatah.

Dari lahir lahirlah kuda dan binatang apa saja yang


bergigi dua baris,
Sapi lahir dari Dia. Dari dialah lahirnya kambing dan
biri-biri.

Di dalam Purusa sukta didapatkan pengetahuan bahwa Tuhan


disebut pula dengan nama purusa. Purusa inilah yang merupakan
sumber dan menjadikan alam semesta ini semua baik yang tampak
sekarang maupun yang akan datang.
Lebih jauh dalam kitab Isa Upanisad menguraikan tentang
adanya Tuhan sebagai berikut :

Isavasyam ida sarvam yat kinca jagattyam jagat,


Tena tyaktena bhujittha magradah kasya sivid dhanam.
(Isa Upanisad bait I)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 35


Artinya :
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa
ataupun yang tidak berjiwa dikendalikan oleh Isa yang
maha Esa oleh karena itu orang hendaknya menerima
apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak
menginginkan milik orang lain.

Tuhan di dalam kitab Upanisad ini sering disebut dengan


nama Isa yang berarti Tuhan yang maha Esa, Ia memberikan
kehidupan dari semua makhluk hidup di dunia ini dan apa
yang diperuntukkan olehnya kepada kita hendaknya kita harus
menerima sehingga apa saja yang kita terima hendaknya kita
manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan jangan mengharapkan
milik orang lain menjadi milik kita sendiri karena hal itu bukan
diberikan oleh Tuhan.
Dalam bait lainnya kitab Isa Upanisad menguraikan tentang
Tuhan sebagai berikut :

Sa paryacac chucram, akayam, avaranam


asnavirani suddhamapapa vidham kavir
manisi paribhuh svayambhur, yathatathyato
rtham wyadadhic chasvati bhyah samabhyah
(Isa Upanisad bait 8)

Artinya :
Hendaknya diketahui bahwa ia maha kuasa Tak
bertubuh, tak teraba, tak berurat nadi Suci, tak kena
oleh penderitaan, maha tahu Ahli pikir, maha besar, ada
tanpa diadakan Pemberi rahmat atas segala keinginan
sejak Zaman dahulu kala.

Pandangan Isa Upanisad terhadap adanya Tuhan telah


diuraikan dalam bait di atas di mana pada bait ini dijelaskan bahwa

36 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Tuhan itu tidak dapat diraba oleh indera manusia namun beliau
adalah maha kuasa, beliau tidak dapat terbunuh oleh senjata,
beliau dipandang sebagai ahli pikir dan beliau pemberi rahmat
atas segala keinginan yang diingin oleh ciptaannya.
Teologi Hindu menurut uraian di atas adalah suatu ilmu
yang membicarakan atau menguraikan masalah adanya
Tuhan yang disebut dengan nama beraneka ragam seperti Isa,
Brahman, Sanghyang Murbeng Dumadi dan lain-lainnya. Di
samping memiliki nama yang berbeda-beda teologi Hindu juga
membicarakan tentang Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini,
dan di dalam menciptakan alam semesta ini beliau mempergunakan
lima macam zat yang disebut dengan nama panca maha bhuta yang
terdiri dari : Pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (sinar), bayu
(udara), akasa (ether). Di samping beliau sebagai pencipta alam
semesta beliau juga dilukiskan sebagai pemelihara alam semesta
dan memberikan rasa cinta kasih kepada ciptaanya sehingga
Tuhan bagaikan orang tua yang memelihara putra-putranya.
Perlu dikemukakan bahwa ilmu keTuhanan dalam agama
Hindu telah dimulai dengan munculnya wahyu suci veda yang
penjelasannya terdapat pada kitab Purusa sukta, isadya sukta, dan
dari kedua kitab yang memberikan penjelasan tentang adanya
Tuhan pada weda dan lain-lainnya maka kemudian berkembang
menjadi beberapa kitab yang menguraikan dan membahas tentang
Tuhan dalam agama Hindu seperti kitab Brahma sutra, Purana,
kitab Tantrayana dan lain-lainnya.
Kepercayaan dan keyakinan orang terhadap Tuhan merupakan
suatu hal yang sangat penting dalam hidup seseorang oleh sebab
itu agama merupakan jalan terbaik untuk membawa seseorang
dalam menghayati dan meyakini dirinya terhadap adanya Tuhan.
Agama menuntun jalan hidup manusia dan masyarakat yang
beriman, sehingga apa yang ditulis dalam kitab suci merupakan
suatu yang benar dan harus diiikuti sehingga pada saatnya orang

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 37


merasa puas dengan adanya Tuhan melalui iman dalam ajaran
agama yang dianutnya. Akan tetapi lama kelamaan karena
manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidup dan perjuangannya
melawan alam dalam mempertahankan hidup sehingga timbullah
pertanyaan di dalam batin mereka tentang kebenaran dari
keberadaan Tuhan itu. Dalam batin mereka mulai timbul suatu
pertanyaan apakah Tuhan itu memang benar ada dan jika Tuhan
itu memang benar ada dapatkah dipertanggung Jawabkan secara
ilmiah keberadaannya? Ilmu pengetahuan yang pertama muncul
untuk memberi penjelasan dan arti tentang adanya Tuhan yang
didasarkan pada wahyu-wahyu yang terdapat dalam kitab suci
disebut dengan nama Teologi.
Di India wahyu yang pertama yang membicarakan tentang
adanya Tuhan diketemukan dalam kitab suci Hindu yang disebut
dengan nama Veda, oleh sebab itu veda ini bagi Hindu merupakan
wahyu langsung dari Tuhan sehingga weda ini disebut dan nama
weda sruti yang artinya wahyu langsung, yang didengar dari Tat
yang tertinggi oleh sebab itu weda bukan hasil karya manusia.
Weda yang diwahyukan oleh Tuhan kepada maharesi kemudian
dikelompokkan menjadi 4 buah yang terkenal dengan sebutan
catur weda antara lain :
a. Rg. Weda terdiri dari 10.522 mantra dan mantra-mantra ini
dipergunakan untuk memohon kehadapan Tuhan agar beliau
berkenan hadir pada upacara korban yang dilakukan oleh
para maharesi.
b. Sama Weda terdiri dari 1875 mantra dan mantra ini hampir
seluruhnya sama rg weda akan tetapi mantra-mantra di dalam
sama weda ini diberikan tembang dan diiringi oleh musik-
musik.
c. Yajur Weda berisi doa-doa yang terdiri dari 1975 sajak
yang dipergunakan untuk mempersembahkan korban-
korban kepada para Dewa yang wajib menerimanya dengan
menyebut nama Dewa-Dewa berulang-ulang.

38 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


d. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, dan mantra ini
dihubungkan dengan sihir dan tenung untuk menyembuhkan
orang sakit dan mengusir roh jahat.

Teologi dalam agama Hindu bertujuan untuk memberikan


penjelasan tentang adanya Tuhan yang telah diyakini oleh
masyarakat, oleh sebab itu di dalam membahas ke-Tuhanan
dalam weda maka kita tidak dapat lepas dari Tuhan yang selalu
dipuja dalam bait-bait weda tersebut di atas dan diyakini oleh
masyarakat pemeluknya antara lain adalah :
a. Samhita : Pada zaman samhita ini sering dipuja Dewa-Dewa
penguasa alam dan arwah nenek moyang dan Dewa yang
paling banyak mendapat pujian adalah Dewa Agni. Dewa
Surya, karena Dewa Surya ini adalah Dewa yang langsung
mempengaruhi kehidupan dan membawa perubahan musim,
siang dan malam. Di samping Dewa-Dewa seperti tersebut di
atas maka Dewa yang banyak mendapat persembahan adalah
Dewa Indra. Dewa Indra dipuja karena beliau merupakan
pemimpin para Dewa atau dipandang sebagai Dewa tertinggi,
beliau dipuja sebagai pemberi keberanian kekuatan, yang
merupakan kebutuhan utama dari pemujanya. Dewa Indra
dipandang pula sebagai Dewa guntur, Dewa pelindung bagi
yang lemah dan beliau dipuja pula sebagai Dewa kesuburan.
Di samping Dewa Indra maka Dewa Waruna merupakan
Dewa Kebijaksanaan, kebaikan, dan sebagai saksi agung dari
perbuatan baik-buruk manusia serta menjatuhkan hukuman
bagi mereka yang berdosa.
Pada umumnya hukuman yang dijatuhkan oleh Tuhan
terhadap manusia disebut dengan nama hukum Rta yaitu
hukum alam yang bersifat absolut yang nantinya akan
menjelma menjadi hukum karma atau hukum dharma.
Adapun maksud dan tujuan memuja Dewa-Dewa tersebut
di atas agar para pemujanya memperoleh pikiran yang suci

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 39


serta kehidupan yang baik. Dengan tuntunan gaib dari Tuhan
maka seseorang dapat melakukan perbuatan mulia dan setelah
mereka mati, mereka menuju ke alam surga dan menikmati
kehidupan yang bahagia.
b. Brahmana : Pada zaman Brahmana maka jalan yang ditempuh
dalam rangka mencapai kepuasan batin adalah dengan
melakukan persembahan atau yadnya kehadapan Dewa yang
dipuja dgn dipimpin oleh kaum Brahmana karena kaum
Brahmana beliau memiliki kemahiran di dalam melafalkan
doa-doa, di dalam mantra-mantra yang diucapkan beliau
banyak menyebut nama Dewa-Dewa yang diinginkan oleh
si pemuja karena Dewa bagi si pemuja merupakan sinar suci
Tuhan dalam memberikan kehidupan yang berhubungan
dengan pekerjaan. Walaupun nama dari Dewa-Dewa banyak
disebutkan akan tetapi dalam zaman Brahmana maka
mayarakat telah percaya akan adanya satu Tuhan dengan
kalimat yang berbunyi Ekam sat wiprah bahuda wadanti
yang artinya Tuhan hanya satu orang bijaksana memberi
nama yang beraneka macam sesuai dengan fungsi yang
dimohon oleh masyarakat.
Di dalam zaman Brahmana ini maka Tuhan yang tertinggi
yang menjadikan segala-galanya diberi nama Prajapati yang
berarti Tuhan penguasa alam semesta, dan beliau pemegang
hukum Rta sehingga pada zaman Brahmana ini segala
kegiatan ditujukan kepada Prajapati atau sinar sucinya guna
memohon kekuatan agar beliau menganugerahkan segala
yang menjadi keinginan masyarakat.
c. Upanisad : Tuhan yang disebut dengan panggilan Brahman
sudah dikenal dari zaman samhita namun dalam zaman
upanisad lebih ditekankan lagi sebagai Tuhan dalam penciptaan,
pemeliharaan dan pelebur. Dalam kitab Brihadaranyaka
upanisad dan munduknya upanisad dijelaskan bawah Tuhan

40 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


(Brahman) tersebut merupakan jiwa dari alam semesta, beliau
maha tahu dan merupakan jiwa dari segala sumber. Di dalam
kitab Sweta Swatara Upanisad maka Brahman dilukiskan
sebagai Tuhan dari para Dewa pengatur alam semesta, tidak
ada satupun yang dapat menyamai kemahakuasaan beliau
dan beliau merupakan sumber dari ilmu pengetahuan energi
dan gerak. Ia dipanggil pula dengan sebutan purusa karena
beliau menerangi kegelapan dan merupakan sumber yang
dituju dari semua makhluk.
Di dalam mencari beliau hendaknya setiap umat
melakukan praktek yoga dengan jalan melaksanakan
pengontrolan terhadap pikiran secara menyeluruh termasuk
juga pengaturan terhadap pernafasan, dan maksud terakhir
dari yoga ini adalah untuk bersatunya atman dengan brahman
sehingga atman bebas dari semua ikatan.
Dari uraian yang terlukis pada bagian di atas maka
Brahman dinyatakan sebagai prinsip semua Dewa, prinsip
jiwa alam semesta dan juga sumber atman. Kesemua ajaran
yang terurai dalam ajaran Upanisad hanyalah bersifat
filosofis untuk menuju ke jalan keyakinan tentang adanya
Tuhan (Brahman) melalui renungan atau yoga sehingga
manusia sampai kepada kepastian tentang prinsip hidup yang
menjiwai manusia dan alam semesta. Walaupun demikian
semua, hal tersebut di atas tidak cukup dapat membuka
pokok-pokok pikiran baru tentang ajaran ke-Tuhanan yang
menjadi sumber pembicaraan sepanjang zaman.

Di samping kitab suci Weda (Sruti) seperti tersebut di atas


maka kitab-kitab lain juga membicarakan masalah keTuhanan
dengan maksud memberikan penjelasan tentang pengertian Tuhan
yang terdapat dalam kitab suci sehingga dapat diterima oleh alam
pikiran manusia. Adapun kitab-kitab smrti yang ikut membahas
tentang keTuhanan dalam agama Hindu antara lain adalah :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 41


Dharma sastra : sering juga disebut kitab smrti yang
merupakan uraian terperinci dari sruti atau weda yang membahas
tentang ilmu kemasyarakatan, ilmu upacara yang terurai dalam
kitab suci weda. Pandangan weda smrti terhadap adanya Tuhan
dilukiskan dalam suatu syair yang berbunyi sebagai berikut :

Yaat karanama vyakta


Nityam sadasadatmakam
Tadwisrtah sa puruso
Loke brahmeti kertiyete

Artinya :
Dari asal itu, Ia yang tak nyata, kekal dan nyata,
Tak nyata, ia ciptakan purusa dikenal di dunia dengan
Nama Brahman. (Menawadharma sastra 1.2.)

Suatu hal yang sangat penting dalam upacara keagamaan


adalah puja yang bertujuan untuk memanggil nama Tuhan atau
Dewa yang dituju yang biasanya mempergunakan simbol dalam
pemujaan. Tuhan selalu dipuja di dalam hati dan di luar diri dan
pemujaan Tuhan diluar diri nampaknya seperti perayaan-perayaan
pada candi-candi dan pura-pura. Di dalam melakukan pemujaan
ada beberapa cara atau tingkatan yang harus diikuti dalam Smrti
antara lain adalah :
1. Dhyana : merenung/memusatkan pikiran kepada
Dewa yang dipuja.
2. Avahana : menyebut atau memanggil nama Dewa
yang diingini atau yang disimbolkan dalam
hati.
3. Asana : memberikan tempat duduk kepada Dewa
yang dipuja.
4. Padya : membasuh kaki para Dewa yang dipuja.
5. Arghya : pemusatan pikiran untuk melakukan puja.

42 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


6. Shana : mempersembahkan bau harum-harum
kepada para Dewa.
7. Wastra : mempersembahkan kain dan pakaian
kepada para Dewa.
8. Jadnya pawita : mempersembahkan benang suci kepada
para Dewa dan persembahan lainnya.
9. Gandha : mempersembahkan wangi wangian kepada
para Dewa.
10. Puspa : mempersembahkan bunga ke hadapan beliau.
11. Dupa : membakar bau harum-haruman kepada
beliau.
12. Naivedia : mempersembahkan makanan kepada para
Dewa.
13. Dipa : menyalakan lampu
14. Tambula : mempersembahkan daun sirih.
15. Nirajana : menyalakan api dari kayu sebelum persem-
bahan kepada para Dewa dilakukan.
16. Swarna puspa : mempersembahkan ornamen (hiasan)
kepada para Dewa.
17. Shoda upacara : upacara pesta yaitu upacara persembahan
makanan dan minuman soma ke hadapan
Tuhan atau Dewa yang dipuja.
18. Visarjana : mempersilahkan Tuhan dan para Dewa
kembali setelah upacara selesai (Pudja,
1977 : 5).

Selama upacara berlangsung maka pada saat menyongsong


Brahman atau para Dewa yang dipanggil maka pada candi di mana
upacara dilangsungkan diadakanlah pertunjukkan dari keagamaan
musik kidung gamelan dan lain-lainnya, yang dapat menambah
heningnya upacara tersebut. Pada saat Tuhan yang maha tinggi
diturunkan maka masyarakat yang beriman mulai merasakan
adanya getaran batin sehingga adanya Tuhan dapat dirasakan.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 43


Di samping kitab dharma sastra seperti dikutip di atas
kitab Purana juga membicarakan tentang kebesaran adanya dan
kemahakuasaan Tuhan. Kitab Purana pada umumnya banyak
mengandung cerita-cerita kuno yang sangat erat kaitannya dengan
agama filsafat, yoga dan mistik dengan tujuan untuk mencapai
kesucian rohani dari pengikutnya.
Kebesaran dan kehebatan dari Tuhan selalu diceritakan
sehingga dengan demikian timbul rasa hormat dan bakti terhadap
adanya Tuhan. Tuhan yang paling banyak dipuja dalam purana
adalah Dewa Siwa dan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu pernah
mengadakan awatara ke dunia dalam usaha memberikan
kebahagiaan kepada umat manusia di dunia. Adapun awatara
wisnu yang pernah dilukiskan dalam kitab purana adalah :
1. Matsya watara : Beliau turun ke dunia untuk menyelamatkan
sang manu dari bahaya dan menyelamatkan veda dari
kehancuran.
2. Kurma awatara : betara wisnu beliau mengadakan awatara
sebagai penyangga gunung mendarab yang diputari oleh
para Dewa dalam pencarian tirta amerta.
3. Vraha batara wisnu menjelma menjadi babi hutan untuk
menjaga dunia dari tarikan raksasa yang akan ditenggelamkan
ke tengah laut.
4. Nara singa awatara wisnu menjelma kedunia untuk
menghancurkan raksasa yang bernama Haranya kasipu.
5. Vamana awatara : Wisnu menjelma sebagai orang kerdil dan
dengan Triwikramanya ia dapat menguasai dunia.
6. Rama awatara : Wisnu menjelma ke dunia untuk menegakkan
dharma dan yang dianggap sebagai perusak adalah raksasa
rawana.
7. Parasu Rama awatara Wisnu menjelma ke dunia untuk
menegakkan kebenaran sebagai sang rama dengan membawa
kapak.

44 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


8. Krishna awatara : Beliau turun ke dunia untuk mendamaikan
perang antara Kurawa dan Pandawa.
9. Budha awatara beliau lahir dalam keluarga dan merupakan
putra sudodana yang menyebarkan agama Budha.
10. Kalki awatara : Beliau akan menjelma kembali ke dunia pada
masa zaman akhir kali yuga dan beliau akan menegakkan
dharma dengan menaiki kuda putih serta membawa pedang
terhunus.

Demikianlah sedikit uraian ke-Tuhanan yang terdapat dalam


kitab purana dengan harapan agar masyarakat lebih mantap
akan keyakinan terhadap adanya Tuhan yang telah dilukiskan
dalam kitab suci Weda. Lebih lanjut kitab Teologi Hindu yang
paling akhir yang sering disebut dengan nama Kitab Agama atau
Tantrayana juga membahas tentang adanya Tuhan yang merupakan
penjelasan terperinci dari kitab suci weda sehingga kitab suci harus
diyakini kebenarannya dan tidak perlu dibantah karena kitab ini
merupakan wahyu langsung dari Tuhan. Untuk lebih memudahkan
dan menghayati serta memahami ajaran keTuhanan dalam agama
Hindu maka masyarakat lebih cenderung mempelajari kitab agama
atau tantrayana pada kitab ini Tuhan yang dipuja disebut dengan
nama Siwa sebagai Tuhan yang maha agung dan luhur, dan bila
beliau menciptakan alam semesta beliau mengeluarkan tenaga
yang disebut dengan nama sakti dari sakti inilah kemudian keluar
kekuatan yang disebut dengan nama Dewa Brahma sebagai Dewa
pencipta Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Rudra atau
Dewa Iswara mengembalikan kepada sumbernya. KeTuhanan
yang diajarkan sebagai unsur iman dalam agama Hindu kita
jumpai dalam kitab Atarwa Weda yang menguraikan bahwa
Tuhan itu merupakan tempat untuk menyampaikan permohonan
dan segala yang diingini oleh manusia seperti sejak yang terlukis
pada atarwa weda sebagai berikut :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 45


Asvina saraghena ma
madhunaddta subhatpati
yatha bhrgasvati vacam
avadam jaman anu
(Atarwa weda VI 69.2)

Artinya :
Aswin Dewa cahaya
limpahkanlah kepada kami yang manis
sehingga kami mampu mengucapkan kata-kata yang
mulia kepada seluruh umat manusia.

Uraian dalam kitab weda seperti tersebut di atas, memberikan


analohi bahwa Tuhan merupakan tumpuan harapan manusia untuk
memohon segala keinginan yang dikehendaki oleh manusia.
Keinginan manusia untuk lebih banyak mengetahui yang
serba gaib itu maka ini akan dapat mendorong manusia untuk
merenungkan akan kebesaran dan kegaiban yang dimiliki oleh
Tuhan itu. Gambaran tentang Tuhan yang dipikirkan oleh setiap
orang maka dapat menimbulkan hal-hal yang berbeda dan hal ini
akan tampak dengan timbulnya bermacam-macam sistem filsafat
seperti Nyaya, waisasika, samkhya, yoga, mimamsa, dan wedanta
yang kesemuanya mengakui akan kemutlakan ajaran weda namun
argumentasi mereka berbeda yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian ilmu keTuhanan weda yang merupakan wahyu
suci yang diyakini oleh umat Hindu dapat mendorong munculnya
filsafat yang merupakan renungan dan hasil pikiran manusia
dalam rangka mencapai suatu kebenaran dalam bidang ilmiah.
Sumber-sumber Ajaran theologi Hindu (tatwa) di Indonesia
banyak termuat di dalam lontar-lontar di Bali. Di dalam berbagai
lontar Tattwa diuraikan berbagai hal yang berhubungan dengan
dasar-dasar ajaran Hindu yang menjadi dasar adanya hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama serta manusia

46 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


dengan alam sekitarnya menurut ajaran Hindu sehingga manusia
dapat menyempurnakan lahir dan bhatin, manusia tidak akan
dapat memisahkan diri dari kenyataan-kenyataan filsafat agama
itu sendiri. di dalam agama Hindu filsafat diidentikan dengan
Tattwa, walaupun pengertiannya belum sepenuhnya dapat
dibenarkan. “Sumber-sumber ajaran Tattwa dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
a. Sumber yang asli yakni yang merupakan sumber primer
sebagai sumber inspirasi serta menjadi dasar renungan dalam
perkembangan ajaran Tattwa berikutnya.
b. Sumber yang tidak asli adalah semua pustaka atau lontar-
lontar yang tumbuh dan berkembang dari sumber asli tadi
namun tetap menyajikan pikiran/ pandangan falsafati”
(Sindhu, dkk, 1981 : 1).

Berbicara mengenai sumber asli, maka sumber dari segala


sumber dharma (ajaran agama Hindu) ialah Weda. Tetapi Weda
sangat sukar untuk dimengerti, oleh karena itu Weda dijelaskan
secara filosofis rasional (ilmiah) dan penjelasannya itulah disebut
Upanisad. Upanisad itu sendiri menjadi sumber dari pada Tattwa.
Dinyatakan Upanisad sebagai sumber daripada ajaran Tattwa
dapat diketahui dari aspek bentuk kejadiannya Weda yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga hal yaitu :
a. Kelompok mantra, yang terdiri dari Rg. Weda, Sama Weda,
Yayur Weda dan Atharwa Weda.
b. Kelompok Brahmana terdiri dari penjelasan pokok untuk
tiap-tiap mantra, khususnya dibidang yadnya atau karma,
sehingga kelompok itu juga disebut dengan karma kanda.
c. Yang terakhir adalah kelompok Upanisad atau Aranyaka,
kelompok ini mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama
dengan kitab Brahmana hanya saja khusus dibidang pemahaman
tentang KeTuhanan yang hanya boleh atau dipelajari oleh orang-
orang tertentu saja dalam artian tidak sembarang orang dapat

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 47


memahaminya. Sehingga sering kitab ini disebut Rahasya atau
kitab rahasia. Kitab inilah yang paling penting dan termasuk
ke dalam jnana kanda (Pudja, 1984 : 36).

Kelompok yang terakhir inilah yaitu Jnana kanda merupakan


sumber pembahasan dari filsafat. Oleh karena sumber Tattwa
adalah Upanisad dan sumber Upanisad adalah Weda, maka
sumber daripada Tattwa adalah Weda, sehingga ajaran Tattwa
yang berkembang di Indonesia adalah tidak bertentangan dengan
Weda. Weda sebagai sumber-sumber ajaran dijelaskan dengan
tegas dalam slokanya antara lain :

“Wedo khilo mulam smrtiúila ca tadwidam,


àcaràúaiwa sàdhùnàm àtmanastusti rewa ca”
(Manawa Dharmasastra II.6)

Artinya :
“Seluruh pustaka suci Weda adalah sumber pertama
atau utama dari pada dharma (agama Hindu) kemudian
adat-istiadat (Smrti), dan lalu tingkah laku yang terpuji
dari orang budiman yang mendalami Weda (Sila),
juga kebiasaan orang-orang suci (acara) serta akhirnya
kepuasan diri sendiri (atmanastuti)”.

Kemudian dalam sloka berikutnya disebutkan :

“Ya weda nàhyàh smrtato yàúca kàúa kudrstayah.


sarwàsca nisphalàh pretya tuno nistha hitah smrtah”.
(Manawadharmasastra, XII, 95).

Artinya :
“Semua smrti dan semua sistem filsafat yang rendah
yang tidak berdasarkan weda, tidak akan membawa
pahala sesudah mati karena dinyatakan atau didasarkan
atas kegelapan”Pudja dan Sudharta, 1977/1978 : 64).

48 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Kedua sloka di atas dapat dipahami, bahwa sumber daripada
Tattwa adalah Weda. Selanjutnya dinyatakan bahwa kalau ada
sistem kefilsafatan yang sama dengan Tattwa tetapi bertentangan
dengan Weda, maka itu tidak akan bahkan justru dapat membawa
ke arah yang sesat.
Bila ditilik dari kebenaran usianya teks tersebut di atas maka
yang dipakai sebagai ukuran tua atau mudanya suatu naskah
adalah banyak sedikitnya teks Sanskerta dan baik tidaknya
teks atau sloka Sanskertanya. Semakin bagus dan banyak teks/
sloka Sanskertanya maka kitab tersebut lebih tua usianya bila
dibandingkan dengan kitab- kitab lainnya.
“Tattwa adalah ajaran agama yang pada hakekatnya adalah
ajaran kebenaran mengenai filsafat agama, juga mengenai Theologi
KeTuhanan dan Methaphisika dari agama itu sendiri serta dalam
penyampaiannya secara mithologi. Tattwa juga berarti kebenaran
itu sendiri. kata Tattwa berasal dari bahasa Sanskerta yang dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebenaran.
Di dalam lontar-lontar di Bali kata Tattwa inilah dipakai untuk
menyatakan kebenaran itu. Karena segi memandang kebenaran
itu berlain-lainan, maka kebenaran itupun tampaknya berlainan
pula sesuai dari segi memandangnya, walaupun kebenaran itu
satu adanya”(Sura, 1981 : 16).
Di dalam sistem pengetahuan tentang kepercayaan terhadap
Tuhan dalam agama Hindu ada tiga cara untuk mengenal Tuhan
yang disebut Tri Pramana. Tiga cara inilah yang berhubungan
dengan Tattwa atau Theologi agama Hindu bagiannya sebagai
berikut :

“Pratyaksanumanacca
Krtan tad wacanagamah
pramanan triwidampraktam
tat samyogjanam uttamam”

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 49


Ikang sang kahanan dening pramana telu ngaranya,
pratyaksa numanagama. Pratyaksa ngaranya, katon
kagamel, anumana ngaranyakadyangganing anon
kukus ring kadohan, yata manganumana hingaranya,
yeka anumana ngaranya. Agama ngaranya, ikang aji
inupapattyan de sang guru telu Pratyaksanumanagama,
yata sinaguh samyajnana ngranya. (Wrhaspati Tattwa, 26)

Artinya :
Orang yang dikatakan memiliki tiga cara untuk
mendapat pengetahuan (Pratyaksa, Anumana, Agama).
Pratyaksa (konon) namanya (karena) terlihat dan
terpandang. Anumana sebutannya sebagai melihat
asap ditempat jauh, untuk membuktikan kepastian
(adanya api) itulah disebut Anumana. Agama disebut
pengetahuan yang diberikan oleh para guru (sarjana)
itulah dikatakan agama. orang yang memiliki tiga cara
untuk mendapatkan pengetahuan Pratyaksa, Anumana
dan Agama dialah berpengetahuan lengkap.

Sloka di atas kalau direnungkan dalam-dalam segala benda


maupun kejadian yang menjadi pengetahuan dan pengalaman
kita sebenarnya semua didapat dengan Tri Pramana atau tiga cara
untuk mengetahui ini.
Ajaran Tri pramana sangat berhubungan dengan Pelaksanaan
kerangka dasar ajaran agama Hindu yaitu mengenai filsafat
Hindu (Tattwa), susila dan acara. Pelaksanaan ajaran ini di dalam
masayarakat Hindu di Kabupaten Banyuwangi sudah berjalan,
meskipun masih dalam bentuk yang sederhana. Misalnya adanya
perkumpulan yang dinamakan “Pengaksaran”. Pengaksaran adalah
pembinaan agama yang dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi
yang dipimpin langsung oleh para pemuka agama dan sekaligus
Parisada Hindu Dharma setempat. Tujuan dari pengaksaran tersebut
adalah membina umat Hindu dengan jalan melalui pertempuran-

50 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


pertempuran yang telah diatur dan didalam pertemuan itu diberi ajaran
agama yang berupa cerita-cerita Ramayana maupun Mahabrata,
maupun mengenai ajaran agama yang lainnya. Selain Pengaksaran
juga melalui Dharmatula yang dilaksanakan pada hari raya besar
seperti hari raya Galungan, Kuningan, Nyepi purnama, tilem dan
yang berkaitan dengan kematian dilaksanakan Puja Pitara.

2. Teologi Jawa
Di samping sistem teologi Hindu juga akan diuraikan sitem
teologi lokal Jawa yang melandasi pelaksanaan ritual kematian
itu. Teologi masyarakat Jawa termuat dalam beberapa buku
seperti buku Manunggaling Kawulo Gusti sebagai berikut :

Sejatine wong anembah iku yayi wandan kuning


kadya anganing baita amot uyah iku nini
Kang kinarya pralambi alayar tengah ing laut
Baitane kawratan kerem tengah ing jeladri
Ulihana uyah iku miring segara.
(Sinom Kode 1795.I,hal 228).

Artinya :
Manusia yang melakukan penyembahan sejati
seumpama sebuah kapal yang muatannya ialah garam.
Ini suatu pralambang
Dalam pelayaran di tengan laut, muatannya menjadi
terlalu berat dan kapalnya tenggelam di tengah laut.
Kembalilah garam ke laut (P.J Zoetmulder.2000 : 332).

Malar reke kang baita antuk isi ring jeladri


Mengkane rake panembah kang nyata ring suksma jati
Saosiki kang pesti dadi sembah pujanipun
Mengkana kang tan wikan dereng wruh ingkang sejati
Panemkane anembah ing tawang tuwuhnh.
(Sinom Kode 1795.I.hal 229)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 51


Artinya :
Lalu lautlah yang menjadi muatannya. Demikian juga
Penyembahan orang yang mengenal Hyang suksma Sejati
Sungguh, setiap perbuatannya menjadi sembah dan pujian
Tetapi demikian juga penyembahan seorang yang belum
Mengenal kebenaran mengenai hal itu, merupakan penyembahan
Terhadap kekosongan belaka (P.J Zoetmulder.2000 : 333).

Selain itu di dalam buku “Simbolisme Budaya Jawa”, di sana


diuraikan mengenai asal-usul manusia Jawa bahwa “ manusia
terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah, bagian batiniah adalah
roh, sukma, dan pribadinya. Bagian ini mempunyai asal-usul dan
tabiat Ilahi. Batin merupakan kenyataan yang sejati. Bagian lahir
ialah badan dengan segala hawa nafsu dan daya-daya rohani.
Badan inilah yang merupakan kerajaan rohnya, itulah dunia yang
harus dikuasainya. Maka badan ini sering disebut Jagad cilik.
Bila manusia dapat menguasai dunia kecil (dirinya sendiri) maka
dia telah menjadi seorang satria pinandita, seorang raja pahlawan
merangkap pinandita atau pujangga yang telah memahami hal
– hal yang sifatnya rahasia. Batinnya mempunyai asal-usul ilahi.
Demikian badannya mengalami proses spiritualisasi, berkembang
menjadi ruh ilahi dan telah mulai perkembangan yang harmonis
“(Herusatoto, 2001 : 77).
Lebih lanjut diuraikan bahwa “Masyarakat Jawa sangat
percaya dengan adanya dunia mikro (tubuh manusia) dan dunia
makro (alam semesta) yang sesungguhnya di luar dunia itu
ada kekuatan Tuhan yang mengendalikan kedua alam ini. Hal
itu ditemukan ketika orang Jawa menyebut Tuhan yang selalu
menggunakan bahasa Inggil dengan istilah seperti, Gusti Kang
Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng Dumadi, Pangeran Kang
Maha Tunggal Gusti Allah (Satoto, 2001 : 79).
Demikian juga dalam buku seni budaya Jawa yang telah
diuraikan mengenai adanya sarana untuk mencapai tujuan
manusia dalam menyelenggarakan tindakan dengan memakai

52 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


sarana atau alat agar tujuan yang diinginkan akan dapat
dicapainya. Tujuan itu diuraikan dalam serat Wiro Wiyoto
pada bait ke 7 (tujuh) yaitu :

Lamun tan mawa sarono


paran katekaning kapti,
lir bedug tanpa senjata,
hing ngasta nira Hyang Widhi,
tan karso mi turuti,
marang wong kang tanpa laku,
nir ngamal myang panembah,
kumudu dipun turuti,
ngendi ono Gusti rinreh ing kawulo.
(Harja Sarkars, tt : 9).

Artinya :
Kalau tanpa sarana atau alat tidak akan mungkin sampai
pada keinginannya, bagaikan bedug yang tanpa senjata,
dihadapan Hyang Widhi tidak akan mengabulkannya,
kepada orang yang tanpa pelaksanaan bagaikan sedekah
(yadnya) kepada Hyang Widhi (bhakti yang harus diikuti
aturan-aturannya), dimana ada penguasa diperintah oleh
anak buahnya.

Di dalam mantram ritual kematian juga diuraikan mengenai


struktur teologi ritual tersebut terjemahan sebagai berikut :
“Kehendak hamba mengantar atman, bersatulah atman
dengan brahman, atman Jiwatman : ....atman yang
samsara, atman sembah, Atman berjalan, atman kembali,
kembali pada Brahman, Menyatu ke alam siwa. Om
Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana ini,
Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan,
Atma swargi.... cahaya bening paduka Yang Maha suci.
tidak ada duanya, Saya serahkan jiwa raga swargi : ....Om

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 53


Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara, Prameswara,
juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra, Paduka/Bhatara
siwa meliputi semua wujud, Semoga atman swargi .....
diterima menyatu, Di Siwa baka (alam Brahman). Om
Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa swargi...., Penuh
dengan dosa, nista, penuh papa, Semoga mendapatkan
perlindungan dariMU, Om Paduka Bhatara, yang
saya sembah, Semoga Paduka membebaskan atman
jiwatman swargi...., Dari papa sengsara, dan tuntunlah
ke jalan yang benar. Om Paduka Bhatara, semoga
mendapatkan pengampunan, Semua dosa dari perbuatan,
pembicaraan, pikiran Dan kekeliruan prilaku dari swargi
.... Swargi .... asal kelahiran dari bumi, air, api, Angin,
udara, jiwamu bergetar di angkasa,Yang berasal dari
bumi,kembalilah ke bumi yang suci, Yang berasal dari
api, kembalilah kepada api yang suci,Yang berasal dari
angin, kembalilah kepada angin yang suci, yang berasal
dari air, kembalilah kepada air yang suci. Semoga
swargi ..... di terima atas pengayoman, Bhatara Siwa,
menyatu dengan kesucian Bhatara,Semoga swargi : .....
mendapatkan ketentraman, Menyatu swargi mencapai
kemoksaan, Semoga menemukan kesempurnaan sejati

Bahasa teologis lokal sangat kental dalam mantram di atas,


bahwa diuraikan memang ada hubungan yang sangat erat antara
alam besar (Bhuana agung) dengan alam mikro (bhuwana alit)
serta keduanya dengan Brahman. Teologi Ritual kematian yang
digunakan dalam mantram itu secara konseptual membawa pikiran
manusia Jawa untuk berserah kepada Tuhan agar Jiwa/Atman orang
yang meninggal bersatu dengan Brahman. Niatingsun manjurung
suksmo manunggalo kawulo, lan gusti, suksmo jiwanipun:......
suksmo loro,Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo Bali
marang suksmo jati, manunggal marang suksmo kawekas. Artinya
Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman, Menyatu

54 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


ke alam siwa. Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana
ini, Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan,Atma
swargi .....cahaya bening paduka Yang Maha suci.
Hubungan kedua alam dengan Tuhan (Gusti) terutama
untuk roh orang yang meninggal menurut penelitian ditegaskan
bahwa, orang Jawa tidak hanya mengadakan ritual sebagai doa
hanya ketika baru meninggal saja namun hubungan keyakinan itu
berlanjut sampai selesai seribu hari. Sebagai peringatan terhadap
orang yang sudah meninggal (Suryamataram, 1987 : 60). Mereka
melakukan hal itu berdasarkan atas kepercayaan Kejawen terhadap
arwah yang sudah meninggal yaitu terhadap adanya kehidupan
lain sesudah kematian itu. Memang hal itu tidak ada kepastiannya,
tetapi yang jelas pada orang tua di Jawa ada itikad yang baik untuk
mengadakan selamatan. Selamatan memperingati arwah orang
yang sudah meninggal itu agar menyatu dengan Tuhan sebagai
mana terurai dalam serat tersebut.
Secara struktur teologis masyarakat Jawa khususnya di
Kumendung mengenal nama Tuhan dengan sebutan Hyang
Maha Suci (Tuhan Yang Esa), Konsep bersatunya roh dengan
Tuhan (Manunggaling kawulo lan Gusti). Dalam bahasa
Jawanya anglunturno dumateng suksmo jiwanipun, swargi ........
cahyo kaweningan paduko ingkang Moho suci. Semoga Tuhan
menyucikan kekotoran jiwanya yang diupacarai, semoga ia
mendapatkan cahaya sorga keheningan dan menyatu dengan
Hyang Maha Suci. Secara kontektual sangat jelas ritual itu
bertujuan untuk mengantar sang Roh ke alam Tuhan setelah
dosanya disucikan kata Cahyo Kaweningan P aduko Ingkang
Moho Suci. Penyatuan roh dengan Hyang Maha Suci tegas
menggambarkan bahwa teologi Jawa sangat kental menguraikan
antara atman dengan Hyang Maha Suci.
Secara teologi Jawa bahwa Tuhan telah menciptakan manusia
terlebih dahulu maka manusia ingin membalas cinta kasihnya dalam
bentuk menyelenggarakan ritual, seperti halnya Ritual Kematian
yang dilaksanakan oleh masyarakat Kumendung,Banyuwangi.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 55


Dalam pencapaian tujuan hidup manusia, cinta kasih mempunyai
nilai yang tinggi untuk orang yang meninggal wujud cinta kasih itu
dibuat dalam bentuk ritual/yadnya yang merupakan pengorbanan
materi di dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut. Teologi
ritual ini dapat pula ditemukan dalam pelaksanaan kenduri sebagai
rangkaian ritual Kematian yang pada hakekatnya mempunyai nilai
“tat twam asi”. Hal ini dibuktikan setelah selesai upacara kenduri
atau setelah saji itu dihaturkan kepada Tuhan, maka sesaji tersebut
dibagikan kepada peserta kenduri. Tujuan dari masyarakat agar
mereka bertingkah laku “amangun karyenak sesama” artinya
membuat bahagia orang lain. Dari Tat twam asi ini menghasilkan
pandangan dalam agama-agama bahwa semua roh mahluk
hidup termasuk manusia bersumber dari Tuhan, sebab itulah
membahagiakan orang lain dimaknai juga dapat membahagiakan
diri sendiri. Di dalam teologi Jawa juga mengenal penyatuan Tuhan
dengan Tuhan sebagaimana tertuang dalam serat berikut ini.

Sanepane wong urip puniki


Aneng donya iku umpamane
Mung koyo wong mampir ngombe
Umpomo manuk mabur,lepas sakeng kurunganiki,
Pundi mencoke benjan, aja kongsi kleru,
Umpomo wong jan sinanjan, ora wurung mesti balik mulih,
mring asal kamulane

Artinya :
ditamsilkan orang hidup ini
di dunia itu seumpamanya
hanya seperti orang yang singgah minum
semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya,
ke mana hinggapnya kelak, janganlah sampai keliru,
seumpama orang saling berkunjung ketetangga,
akhirnya pasti pulang ketempat asal mulanya
(Mulyono, 1979 : 195).

56 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Uraian serat di atas menjadi jelas bahwa masyarakat Jawa mengenal
teologi dengan struktur teologisnya yaitu : hubungan antara atma dengan
Brahman/persatuan antara manusia dengan Tuhan/Manunggaling
kawulo lan gusti. Hubungan alam mikro dengam makro, hubungan
alam mikro, Makro dengan Tuhan. Sangat jelas maknanya kemana
manusia kembali kecuali kepada asalnya (Sangkan Paraning dumadi
dan yang bersatu dengan Tuhan hanyalah (cita tinunggil karsa) atau
hanya rohnya. Sebab itulah diisaratkan untuk lebih waspada menghayati
teologi ini karena merupakan ajaran rahasia. Ajaran ini ajaran kelepasan
untuk menghayati Tuhan yang satu namun ada di mana-mana. Seperti
diuraikan dalam pupuh Pangkur bait 12 sebagai berikut :

Awas roroning atunggil


Tan samar pamoring sukmo
Sinukmaya winakya ing ngasepi
Layap liyeping ngalayup
Pinda pasating supena
Sumusuping rasa sejati
Sejatining kang mangkana
Wus kekanan nugrahing Hyang Widhi
Bali alang asamung
Tan karem kare menyan
Ingkang sifat wisesa mas
Mulih mula niulanira

Artinya :
Hendaknya waspada terhadap penghayatan roroning
atunggil, agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma,
penghayatan ini terbukti dalam penyepian, tersimpan
di dalam pusat kalbu, adapun proses terungkapnya tabir
(penutup alam gaib), laksana terlindasanya dalam kantuk
bagi orang yang sedang mengantuk, penghayatan gaib
itu datang laksana lintasan mimpi, sesungguhnya orang
yang telah menghayati semacam itu, berarti telah tahu
jalan kemana pergi keasalnya (Soesilo, 2003 : 119-120).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 57


Pemikiran teologi manusia Jawa di atas menguraikan
beberapa makna hubungan manusia dengan Tuhan. Pertama
Tuhan di maknai sebagai roroning atunggil yaitu dua namun satu.
Kemudian di alam gaib sesungguhnya roh dan cita manusia bisa
menyatu dengan Tuhan (tan samar pamoring sukma). Jalan untuk
mengetahui adanya hubungan roh dengan Tuhan adalah dengan
menempuh jalan sepi/menyepi (yoga). Bagi orang yang melakoni
jalan ini ia sesungguhnya tahu alam moksa itu. Bagi masyarakat
umumnya yang belum menghayati benar makna roroning atunggil
ini, di dalam tradisi Jawa bila ada yang meninggal dibuatkanlah
ritual kematian untuk menjembatani hubungan manusia dengan
Tuhan serta sebagai permohonan agar Jiwa / sukma orang yang
meninggal diberikan jalan menuju kepadaNya.

Fungsi dan Simbol dalam Kontek Teologi


Menurut Molinowski “fungsi identik dengan guna yang
dikaitkan dengan kebutuhan fisikologis. Fungsi adalah kegunaan
dari instansi dalam rangka memenuhi kebutuhan fsikologis
individu-individu masyarakat. Demikian juga fungsi diuraikan
oleh Red Cliffe-Brown bahwa fungsi sebagai suatu sumbangan
dimana aktivitas sebagian berpengaruh bagi aktivitas seluruhnya.
fungsi memberikan struktur yang terdiri dari seperangkat
hubungan diantara entitas-entitas unik, keseimbangan struktur
dipertahankan atau dilestarikan oleh proses kehidupan yang
diwujudkan oleh unit-unit yang terdapat di dalamnya. Benet dan
Tumin menjelaskan bahwa fungsi aspek dari perilaku seseorang
atau bagi orang atau kelompok itu sendiri bagi orang atau kelompok
lainnya dimana seseorang atau kelompok itu berinteraksi.
Tradisi ritual kematian dalam masayarakat Jawa tidak dapat
dipisahkan dari fungsi dan strukturnya masing-masing, sebab
masing-masing elemen saling berhubungan antara yang satu
dengan yang lainnya. Dari berbagai pengertian tersebut diatas
pemakaian kata fungsi dalam kaitannya dengan Ritual Kematian
yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Desa Kumendung, Muncar,

58 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Banyuwangi, mengacu pada teori fungsi dari Molinowski yang
menjelaskan bahwa pengertian “Fungsi” identik dengan guna
yang dikaitkan dengan kebutuhan fisikologis. Fungsi adalah
kegunaan dari instusi dalam rangka memenuhi kebutuhan
fisikologis individu-individu masyarakat. Teori fungsi ini
dikembangkan menjadi teori fungsi struktural yang dianggap
relevan dalam menganalisis Teologi upacara tersebut. Ritual
Kematian memegang peranan penting dalam konsep kepercayaan
masyarakat setempat yang diyakini sebagai sarana pembebasan
roh para leluhur atau orang tua yang sudah meninggal agar
mencapai moksa atau Manunggaling Kawulo Marang Gusti.
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu Sumballo
(sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan,
memperbandingkan, bertemu, melempar menjadi satu, menyatukan.
Dari pengertian tersebut dalamditarik kesimpulan bahwa simbol
merupakan suatu penyatuan dua hal menjadi satu. Simbol juga
memiliki arti sebagai suatu hal atau keadaan yang merupakan
pengaturan pemahaman terhadap objek (Yudha Triguna, 2000 :
7). Simbol juga merupakan suatu atau menggambarkan sesuatu,
khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang material, abstrak,
suatu idea, kualitas, tanda-tanda, suatu objek, proses, dan lain-
lain (Titib, 2001 : 70).
Mengenai pengertian simbol beberapa pendapat para ahli
menguraikan sebagai berikut :
1. Sebagai yang mewakili atau yang menjadi ciri khas dari
sesuatu yang dipenuhi. Menurut Victor tuna dan Winangun,
simbol adalah suatu hal yang diterima dengan persetujuan
umum dengan kualitas analogi atau yang terdapat dalam
kenyataan atau pikiran.
2. Tuner sebagai mana dikutip Adam Wolanin yang menjelaskan
ada tiga dimensi simbol yakni pertama.Eksegentik yakni
dimensi simbol yang diberikan oleh informan asli kepada
peneliti. Dimensi ini meliputi apa yang dikatakan oleh
penduduk lokal atau pendukung ritus tertentu tentang

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 59


simbol-simbol ritual mereka. Kedua, dimensi operasional
yaitu simbol dilihat tidak hanya dari penafsiran secara verbal
melainkan ditangkap oleh pengamat atau peneliti. Ketiga
dimensi operasional yakni arti simbolik yang dipahami dalam
konteks relasi dengan simbol lainnya. Simbol memegang
peranan penting dalam ilmu. Samskara tujuan dan isi dari
simbolisme adalah untuk menyampaikan hakekat dan bentuk
mental kultur dan spiritualisme. Arca merupakan simbol,
gambar adalah simbol, rupa adalah simbol, sikap adalah
simbol (Pudja, 1991 : 39).

Simbol-simbol demikian banyak dijumpai di dalam agama


Hindu. Kendati demikian, simbol-simbol tersebut tidak lebih
artinya daripada penggambaran sifat-sifat Hyang Widhi yang
dituangkan dalam seni, baik seni rupa, seni sastra, maupun seni
bahasa. Bentuk simbol yang sering digunakan oleh umat Hindu
yakni diantaranya gambar Dewa-Dewa atau lukisan, pratima atau
patung arca, keris, barong, dan sebagainya.
Simbolisasi atau perlambangan memegang peranan, didalam
agama Hindu yang disebut Nyasa. Simboliasi tersebut diakui oleh
agama Hindu betapa pentingnya digunakan dalam upaya manusia
menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
Ida Sang Hyang Widhi Wasa hanya dapat diwujudkan dalam suatu
perlambangan. Disamping itu simbol-simbol tersebut sangat
penting juga artinya bagi ajaran psikokosmos, yaitu suatu ajaran
yang dijelaskan melalui simbol-simbol alam kejiwaan dan alam
dunia fana ini serta hubungan dengan alam gaib dalam bentuk
hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos atau Bhuwana
Agung dengan Bhuwana Alit. Pandangan kosmis menggambarkan
badan manusia secara keseluruhan sebagai Bhuwana Alit dan
alam semesta atau jagat raya ini dilambangkan sebagai Bhuwana
Agung. Agama Hindu mengajarkan agar hubungan Bhuwana
Agung dengan Bhuwana Alit selalu selaras, serasi, dan seimbang
atau harmonis, guna mencapai jagat Hita yang meliputi Wahya

60 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


dan Adhiatmika. Adanya pandangan manusia tentang Wahya/
Adhiatmika atau sekala dan niskala yaitu kongkret dan abstrak
adalah suatu ajaran monodualisme dalam ajaran agama Hindu.
Demikian adanya Purusa dan Prakerti, Suksma Sarira dan Stula
Sarira yang menyatu dalam perwujudan manusia adalah suatu
pengejewantahan daripada ajaran monodualisme yang pada
intinya memandang satu itu dua dan dua itu satu dalam suatu
perwujudan (Purwita, 1992 : 63).
Bagi agama Hindu simbol-simbol yang digunakan dalam
kehidupan sudah tentu memiliki arti dan fungsi yang diyakini
bernilai spiritual. Adapun fungsi simbol adalah :
1. Meningkatkan dan memantapkan sraddha dalam rangka
menumbuhkan bakti, yang akan membentuk kepribadian
umat manusia dengan moralitas yang tinggi yang pada
akhirnya akan mengakibatkan akhlak luhur masyarakat.
2. Manumbuhkembangkan dan tetap terpeliharanya nilai seni
budaya baik melalui seni arca, seni lukis, dan seni kriya
lainnya yang mengacu pada kitab Silpa sastra dimaksud.
3. Memupuk rasa kebersamaan dikalangan umat Hindu dalam
mewujudkan sarana pemujaan utamanya dalam kaitannya
dengan sakralisasi dan memfungsikan simbol-simbol yang
dibuat tersebut (Titib, 2001 : 73).

Swami Siwananda (1997 : 116) dalam bukunya yang berjudul


“All Abaut Hinduisme” dijelaskan manfaat simbol sebagai
berikut:
Bagaimanapun kecerdasan seseorang ia tidak dapat
berkonsentrasi tanpa bantuan suatu simbol pada awalnya,
dalam rangka ia berhubungan atau memuja Tuhan
(Brahman), simbol bermanfaat bila dipandang dari suatu
pandang yang benar, simbol akan memainkan suatu
bagian yang sangat penting dalam kehidupan material
dan kehidupan spiritual. Walaupun kelihatannya sangat
sederhana dan remeh, tetapi penggunaan simbol sangat

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 61


ilmiah dan efektif. Pratima atau patung merupakan
simbol pengganti dari yang ketiga, penggunaan
sarana berupa simbol sangatlah dibutuhkan oleh umat
dalam meningkatkan rasa baktinya kepada Brahman.
Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia
biasa, maka ia tidak akan berhubungan langsung atau
memuja Brahman tanpa menggunakan suatu simbol.
Lain halnya dengan Maha Yogin atau Vedatin mereka
mampu berhubungan dengan yang dipujanya tanpa
menggunakan simbol karena mereka sudah terlatih dari
sejak lama melalui ajaran yoga atau meditasi yang rutin,
sehingga mereka telah memncapai suatu keseddihian.

Penggunaan simbol dalam bentuk banten dalam upacara


merupakan suatu media untuk menyampaikan Sradha dan Bhakti
kepada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Banten merupakan
bentuk budaya sakral dalam agama yang berwujud lokal,
namun didalamnya terkandung nilai-nilai yang universal global.
Seperti halnya dalam pelaksanaan Upacara Puja Pitara dengan
berbagai bentuk bantennya, merupakan cetusan rasa bhakti umat
Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai
manifestasi-Nya. Umat Hindu memandang Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai pencipta (Utpeti), pemelihara (Stiti) dan sebegai
pelebur (Pralina). Sang Hyang Widhi melebur alam semesta
untuk selanjutnya memberikan sinergi baru sesuai zat-Nya. Sang
Hyang Widhi maha tunggal tetapi disebutkan dengan berbagai
nama, oleh karena kemahakuasaan-Nya sehingga umat tidak
kuasa untuk membayangkan betapa agung dan maha suci-Nya
beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta ini
dengan segala isinya.

62 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


BAB III

RITUAL KEMATIAN
PADA MASYARAKAT JAWA

3.1 Teologi Yang Melatar Belakangi Ritual Kematian


Teologi yang menjadi latar belakang pelaksanaan ritual
kematian dalam masayarakat Jawa adalah teologi Jawa itu sendiri.
Di dalam memahami teologi Jawa maka hendaknya dipahami
juga keyakinan masyarakat Jawa itu sendiri. Tujuannya adalah
untuk menemukan teologi yang tersimpan di dalam aktivitas ritual
masyarakatnya. Bantuan untuk memahami latar belakang teologi
itu dapat dijumpai dalam sistem ritual kematian mulai dari fungsi
bentuk dan maknanya ritual itu sendiri. Dengan memahami itu
maka ada pijakan untuk mengetahui sistem teologi atau sistem
KeTuhanan yang dianutnya. Apakah memang ada hubungan
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam lingkungan
dan atman dengan Tuhan. Hal itu dapat ditunjukan dengan
memperhatikan lokal genius atau kearipan lokal masayarakat
disana.
Hubungan itu setidaknya dapat dibaca dalam buku Simbolisme
Budaya Jawa, di sana diuraikan mengenai asal-usul manusia Jawa
bahwa “manusia terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah, bagian
batiniah adalah roh, sukma, dan pribadinya. Bagian ini mempunyai
asal-usul dan tabiat ilahi. Batin merupakan kenyataan yang sejati.
Bagian lahir ialah badan dengan segala hawa nafsu dan daya-daya
rohani. Badan inilah yang merupakan kerajaan rohnya, itulah dunia
yang harus dikuasainya. Maka badan ini sering disebut Jagad cilik.
Bila manusia dapat menguasai dunia kecil (dirinya sendiri) maka

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 63


dia telah menjadi seorang satria pinandita, seorang raja pahlawan
merangkap pinandita atau pujangga yang telah memahami hal–
hal yang sifatnya rahasia. Batinnya mempunyai asal-usul ilahi.
Demikian badannya mengalami proses spiritualisasi, berkembang
menjadi ruh ilahi dan telah mulai perkembangan yang harmonis
(Herusatoto, 2001 : 77).
Lebih lanjut diuraikan bahwa “Masyarakat Jawa sangat
percaya dengan adanya dunia mikro (tubuh manusia) dan dunia
makro (alam semesta) yang sesungguhnya di luar dunia itu
ada kekuatan Tuhan yang mengendalikan kedua alam ini. Hal
itu ditemukan ketika orang Jawa menyebut Tuhan yang selalu
menggunakan bahasa Inggil dengan istilah seperti, Gusti Kang
Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng Dumadi, Pangeran
Kang Maha Tunggal Gusti Allah (Satoto, 2001 : 79). Demikian
juga dalam buku seni budaya Jawa yang telah diuraikan
mengenai adanya sarana untuk mencapai tujuan manusia dalam
menyelenggarakan tindakan dengan memakai sarana atau alat
agar tujuan yang diinginkan akan dapat dicapainya. Tujuan itu
diuraikan dalam serat Wiro Wiyoto pada bait ke 7 (tujuh) yaitu :

Lamun tan mawa sarono


paran katekaning kapti,
lir bedug tanpa senjata,
hing ngasta nira Hyang Widhi,
tan karso mi turuti,
marang wong kang tanpa laku,
nir ngamal myang panembah,
kumudu dipun turuti,
ngendi ono Gusti rinreh ing kawulo.
(N.Ng. Harja Sarkars, tt : 9).

64 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Kalau tanpa sarana atau alat tidak akan mungkin sampai
pada keinginannya, bagaikan bedug yang tanpa senjata,
dihadapan Hyang Widhi tidak akan mengabulkannya,
kepada orang yang tanpa pelaksanaan bagaikan sedekah
(yadnya) kepada Hyang Widhi (bhakti yang harus diikuti
aturan-aturannya), dimana ada penguasa diperintah oleh
anak buahnya.

Bhakti kepada Tuhan bagi masyarakat Jawa selalu disertai


sarana yang berupa berbagai banten (sesaji). Orang yang
mengakui dirinya anggota masyarakat Jawa dia tidak akan berani
meninggalkan sesaji meskipun orang tersebut sudah memeluk
agama lain. Apalagi bagi masyarakat yang beragama Hindu,
maka mereka akan menjalankan upacara dengan beberapa sesaji
walaupun hanya bersifat sederhana saja. Sebagai misal mereka
“ngirim leluhur” selalu menggunakan sarana yang berupa air,
dupa (kemenyan), juga air bunga setaman yang dipakai untuk
menyiram makam yang dianggap sebagai leluhur mereka.
Di samping itu juga diuraikan mengenai kesempatan untuk
menjelma ke dunia menjadi manusia agar menyelenggarakan
upacara dengan mempergunakan sesaji atau banten yang akan
dapat mendatangkan keselamatan.
Di dalam mantram ritual kematian yang gunakan oleh
masyarakat Jawa dapat diamati teologi kematian, artinya
bagaimana hubungan roh dengan Tuhan. Di samping itu
sebenarnya menurut orang Jawa yang meyakini akan manfaat
ritual itu jalan kematian itu secara teologi Jawa sebuah jalan yang
dapat membawa roh yang diupacarai ke alam sorga bahkan moksa
sebagaimana tertuang dalam mantram sebagai berikut :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 65


Om Awignam Astu Nama Sidhi
Om tat sat eka adwa tyam brahman
Om bur bwah swah tat sawitur warenyam
Bargo Dewasye dimahi diyo yo yonah pracodayat
Niatingsun manjurung suksmo manunggalo kawulo
lan gusti, suksmo jiwanipun:.............. suksmo loro,
Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo
Bali marang suksmo jati, manunggal marang
suksmo kawekas.

Om pangeran inggih paduko, ingkang ngawaosi


tri loko bawono, puniko, ingkang Moho Suci,
soho sumbering sedoyo cahyo, mugi paduko
anglunturno dumateng suksmo jiwanipun,
swargi ........cahyo kaweningan paduko
ingkang Moho suci.

Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang


sampun dumados, ingkang bade dumados,
ing jagad seisi nipun puniko
Paduko mboten wujut, Paduko ambirat sekatahing
pepeteng,
Paduko Moho tunggal, wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun swargi..........

Duh Gusti, paduko ugi sinambut Hyang Siwah


Maha Dewa, Iswara, Parameswara, Brahma
Wisnu sarto Rudra, Paduko angliputi sekatahing wujud
Mugi suksmo jiwanipun swargi :............. ketampio
Manunggal dumateng Paduko

66 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Duh Gusti, suksmo jiwanipun swargi :.............
Kebak nisto serto kebak popo cintroko, mugi-mugi
Swargi......... pikantuko pangayomaning Pangeran

Duh Gusti, sesembahan kawulo,


Mugi Paduko angentasaken suksmo,
Jiwanipin swargi ............ sakeng popo cintroko
Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo
Dasanipun swargi : .......................

Duh Gusti pangayomaning sedoyo titah


kabebasno suksmo jiwanipun swargi ............
saking papo cintroko soho katuntuno dumateng
margi ingkang leres.

Duh Gusti, mugi pikantuko pangampunten sedoyo doso


Saking tindak tandhuk, pangucap, pangraos
Soho klenta klentuning tumindakipun swargi .........

Swargi :................ purno dumados pajenengan


Saking buni-geni-angin sarto banyu
Jiwo pajenengan Geter Pater ing angkoso

(kembali dibacakan sendiri)


Mugi-mugi swargi : ............... pikantuko
Ketentreman tumuju dumateng kaswargan,
Dumigiyo ing kamoksan,
Mugi-mugi amanggiho kasampurnaan jati

Artinya :
Kehendak hamba mengantar atman, bersatulah atman
dengan brahman, atman Jiwatman : .................. atman

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 67


sakit, atman sembah,
Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman,
Menyatu ke alam siwa.

Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana ini


Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan
Atma swargi ................... cahaya bening paduka
Yang Maha suci.

tidak ada duanya,


Saya serahkan jiwa raga swargi : ......................

Om Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara,


Prameswara, juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra
Paduka/Bhatara siwa meliputi semua wujud
Semoga atman swargi ...............diterima menyatu
Di Siwa baka (alam Brahman).
Om Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa swargi.............
Penuh dengan dosa, nista, penuh papa,
Semoga mendapatkan perlindungan dariMU

Om Paduka Bhatara, yang saya sembah


Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman
swargi....
Dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang benar.

Om Paduka Bhatara, semoga mendapatkan pengampunan


Semua dosa dari perbuatan, pembicaraan, pikiran
Dan kekeliruan prilaku dari swargi .....................

Swargi ................. asal kelahiran dari bumi, air, api,


Angin, udara, jiwamu bergetar di angkasa

68 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Yang berasal dari bumi,kembalilah ke bumi yang suci
Yang berasal dari api, kembalilah kepada api yang suci
Yang berasal dari angin, kembalilah kepada angin yang
suci, yang berasal dari air, kembalilah kepada air yang suci.

Semoga swargi ............ di terima atas pengayoman


Bhatara Siwa, menyatu dengan kesucian Bhatara
Semoga swargi : ............. mendapatkan ketentraman
Menyatu swargi mencapai kemoksaan
Semoga menemukan kesempurnaan sejati.

Mantram di atas secara teologis menunjukkan adanya


hubungan yang sangat erat antara alam besar (Bhuana agung)
dengan alam mikro (bhuwana alit) serta keduannya dengan
Brahman. Teologi Ritual kematian yang digunakan dalam
mantram itu secara konseptual membawa pikiran manusia Jawa
untuk berserah kepada Tuhan agar Jiwa/ Atman orang yang
meninggal bersatu dengan Brahman. Niatingsun manjurung
suksmo manunggalo kawulo, lan gusti, suksmo jiwanipun:........
suksmo loro,Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo
Bali marang suksmo jati, manunggal marang suksmo kawekas.
Artinya Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman,
Menyatu ke alam siwa. Om Bhatara hanya paduka penguasa
tri loka buwana ini, Sumber semua cahaya, semoga paduka
memberikan, Atma swargi..... cahaya bening padukaYang Maha
suci.
Alam dengan Tuhan (Gusti) terutama untuk roh orang
yang meninggal ternyata mempunya hubungan sangat erat,
bagi orang Jawa tidak hanya mengadakan ritual sebagai doa
hanya ketika baru meninggal saja namun hubungan keyakinan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 69


itu berlanjut sampai selesai seribu hari. Sebagai peringatan
terhadap orang yang sudah meninggal (Suryamataram, 1987 :
60). Mereka melakukan hal itu berdasarkan atas kepercayaan
Kejawen terhadap arwah yang sudah meninggal yaitu terhadap
adanya kehidupan lain sesudah kematian itu. Memang hal itu
tidak ada kepastiannya, tetapi yang jelas pada orang tua di Jawa
ada itikad yang baik untuk mengadakan selamatan. Selamatan
memperingati arwah orang yang sudah meninggal itu agar
menyatu dengan Tuhan sebagai mana terurai dalam serat
tersebut.

Ritual kematian itu juga sangat berkaitan dengan uraian


serat Sasangka Djati yang menguraikan dua masalah
manusia Jawa, pertama mempermasalahkan tentang
sikap hidup orang Jawa, kedua pandangan hidup orang
Jawa sebagai berikut : “1. terjadinya alam semesta
beserta isinya (Gumelaring Dumadi), 2. petunjuk Tuhan
(tunggal sabda), 3. Jalan kesejahtraan (dalan wahyu),
4. Arah yang dituju (sangkan Paran), 5. sembahyang
(menembah). Penjabaran di atas perkuat dengan
konsep Hasta Sila atau delapan sikap yang terdiri
dari dua pedoman, tri sila dan Panca sila merupakan
sikap pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh
manusia, dan tiga hal yangharus dituju oleh Bhudi
dan cipta manusia menyembah Tuhan yaitu, Eling
atau sadar, Pracaya atau percaya dan mamituhu atau
setia melaksanakn perintah. Sebelum manusia dapat
melaksanakan tri sila tadi manusia harus dulu memiliki
watak yang terpuji yang disebut dengan Panca Sila yaitu
temen, rela, nerimo, sabar dan budi luhur. Rela artinya

70 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


memiliki keiklasan hati, nerimo artinya menerima
apa adanya dengan tenang dan sabar, temen menepati
janji, sabar atau momot artinya bersikap tenang serta
kuat terhadap segala cobaan, dan b udi luhur artinya
selalu menjalankan hidupnya dengan petunjuk Hyang
Kuwosa, penuh kasih sayang terhadap semua mahluk.”
(Soenarto, 1966 : 210-214).

Kepercayaan masyarakat Jawa secara teologis dalam


ritual kematian yang puncak penyelenggarannya pada hari
yang keseribu sudah memiliki kepercayaan kepada Atman/
Jiwa, bahwa kehidupan manusia yang dihidupi oleh Atman
secara konseptual menunjukan hubungan yang erat antara
atman dengan Tuhan. Karena itulah ketika manusia meninggal
sesuai keyakinan orang Jawa dibuatkan tradisi upacara/ritual
yang berkaitan dengan kematian. Secara teologis mereka
mendoakan Jiwa orang yang meninggal supaya menyatu
dengan Hyang Maha Suci (Tuhan Yang Esa), Manunggaling
kawulo lan Gusti. Sebagaimana termuat dalam mantram ritual
kematian yaitu : anglunturno dumateng suksmo jiwanipun,
swargi ........cahyo kaweningan paduko ingkang Moho
suci. Semoga Tuhan menyucikan kekotoran jiwanya yang
diupacarai, semoga ia mendapatkan cahaya sorga keheningan
dan menyatu dengan Hyang Maha Suci. Secara kontektual
sangat jelas ritual itu bertujuan untuk mengantar sang Roh ke
alam Tuhan setelah dosanya disucikan kata Cahyo Kaweningan
Paduko Ingkang Moho Suci. Penyatuan roh dengan Hyang
Maha Suci tegas menggambarkan bahwa teologi Jawa sangat
kental menguraikan antara atman dengan Hyang Maha Suci
bisa menunggal.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 71


Dahulu adat kebiasaan orang Jawa mereka masih
melaksanakan ritual/ doa setiap hari sebagai permohonan
kepada Tuhan mulai seseorang meninggal dunia setiap
hari terus menerus sampai jenazah tadi boleh dianggap
lebur dengan sempurna. Tetapi di Jawa adat istiadat
kuno itu kemudian mengalami penyederhanaan. Wujud
penyederhanaan itu ialah peringatan dan selamatan
untuk orang yang meninggal itu tidak dilakukan terus
menerus setiap hari, mulai dari meninggalnya sampai
dengan seribu hari (waktu jenazah dianggap sudah
lebur luluh dengan sempurna), tetapi diadakan delapan
kali. Peringatan berupa selamatan delapan kali itu
adalah : “Bertepatan dengan atau sesudah pemakaman
jenazah di nyurtanah.Bertepatan dengan tiga harinya
dari waktu meninggalnya yang disebut nelung
ndinani.Bertepatan empat puluh hari disebut matang
puluhndinani.Bertepatan dengan setarus hari, yang
disebut dengan nyatus dina.Memperingati genap satu
tahun disebut mendhak sepisan.Disebut mendhak pindo
atau rong tahun yaitu memperingati dua tahun dari saat
meninggalnya.Disebut Nyewu memperingati sudah
seribu hari lamanya dari saat meninggalnya, kembali
ke alam Moksa. Doa dan peringatan kadang-kadang
peringatan Nyewu itu dibuat besar-besaran, artinya
tidak sama dengan peringatan sebelumnya yang sering
hanya diadakan secara sederhana saja. Secara tradisi
Jawa ritual kematian ini sebagai tanda bahwa atman/
roh orang yang meninggal itu diyakini sudah menyatu
dengan Hyang Murbeng Dumadi” (Ponijan, 25 Januari
2005)

Panca Maha Butha dalam kepercayaan orang Jawa


secara teologi perlu dipahami dengan benar agar tidak salah

72 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


menafsirkannya secara negatif, sebab dia membantu umat manusia
untuk naik tingkat. Niatingsun manjurung suksmo manunggalo
kawulo lan gusti, suksmo jiwanipun:...... suksmo loro, Suksmo
waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo Bali marang suksmo
jati, manunggal marang suksmo kawekas. Artinya Kehendak
hamba mengantar atman, bersatulah atman dengan Brahman,
Atman Jiwatman : ......Atman sakit, Atman sembah, Atman
berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman, Menyatu ke
alam Siwa.
Keyakinan masyarakat Jawa dalam pelaksanaan ritual ini
mengandung nilai teologi sebagaimana tertuang dalam mantram
ritual kematian yang menyadarkan manusia sebenarnya dalam
hidup ini manusia hendaknya memuja Tuhan, sebagai rasa terima
kasih atas belas kasihan-Nya. Sebagaimana diuraikan dalam
serat di atas “Duh Gusti, sesembahan kawulo, Mugi Paduko
angentasaken suksmo,Jiwanipin swargi..... sakeng popo cintroko
Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo Dosanipun swargi : .....
artinya : Om Paduka Bhatara, yang saya sembah, Semoga Paduka
membebaskan atman jiwatman swargi.... dari papa sengsara, dan
tuntunlah ke jalan yang benar.
Tujuan ritual kematian itu sangat berkaitan dengan teologi
dalam pelaksanaan ritual tersebut. Bertujuan agar atman/sukmo
orang yang meninggal tersebut secepatnya lebur dan cepat menyatu
dengan Hyang Murbeng Dumadi/Tuhan Yang Maha Esa. Melalui
ritual itu diharapkan berkenan Sang Sangkan Paraning Dumadi
memberi ampun atas dosa-dosa dan kesalahan almarhum, serta
memberikan anugrah dari semua amal bhakti almarhum pada
waktu masih hidup. Agar almarhum memperoleh keabadian dan
kesempurnaan mati yang sejati. Selain itu ritual ini bertujuan untuk
membersihkan dan mensucikan atma serta memohon keselamatan,
agar atma tersebut lepas dari pengaruh duniawi. Demikian pula
makna ritual dapat membantu menyempurnakan jiwa manusia

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 73


yang sudah meninggal, agar mendapat tempat yang baik setelah
numitis. Tujuan yang paling utama adalah untuk mempercepat
atau membantu proses “kamoksan” yaitu Manunggalin Kawulo
lan Gusti”.
Tuhan telah menciptakan manusia oleh sebab itu
manusia seharusnya membalas cinta kasih-Nya dalam bentuk
menyelenggarakan ritual. Seperti halnya Ritual Kematian yang
dilaksanakan oleh masyarakat Kumendung, Banyuwangi.
Dalam pencapaian tujuan hidup manusia, cinta kasih
mempunyai nilai yang tinggi untuk orang yang meninggal
wujud cinta kasih itu dibuat dalam bentuk ritual/yadnya yang
merupakan pengorbanan materi di dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianut. Teologi ritual ini dapat pula ditemukan
dalam pelaksanaan kenduri sebagai rangkaian ritual Kematian
yang pada hakekatnya mempunyai nilai “tat twam asi”. Hal
ini dibuktikan setelah selesai upacara kenduri atau setelah
saji itu dihaturkan kepada Tuhan, maka sesaji tersebut
dibagikan kepada peserta kenduri. Tujuan dari masyarakat
agar mereka bertingkah laku “amangun karyenak sesama”
artinya membuat bahagia orang lain. Dari Tat twam asi ini
menghasilkan pandangan dalam agama-agama bahwa semua
roh mahluk hidup termasuk manusia bersumber dari Tuhan,
sebab itulah membahagiakan orang lain dimaknai juga dapat
membahagiakan diri sendiri.
Membahagiakan diri sendiri demikian juga orang lain
termasuk roh orang yang meninggal dalam konsep kehidupan
orang Jawadi dasari oleh konsep Hasta Sila atau delapan sikap
yang terdiri dari dua pedoman, tri sila dan Panca sila merupakan
sikap pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia,
dan tiga hal yang harus dituju oleh Bhudi dan cipta manusia
menyembah Tuhan yaitu, Eling atau sadar, Pracaya atau

74 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


percaya dan mamituhu atau setia melaksanakn perintah.
Sebelum manusia dapat melaksanakan tri sila tadi manusia
harus dulu memiliki watak yang terpuji yang disebut dengan
Panca Sila yaitu temen, rela, nerimo, sabar dan budi luhur. Rela
artinya memiliki keiklasan hati, nerimo artinya menerima apa
adanya dengan tenang dan sabar, temen menepati janji, sabar
atau momot artinya bersikap tenang serta kuat terhadap segala
cobaan, dan budi luhur artinya selalu menalankan hidupnya
dengan petunjuk Hyang Kuwosa, penuh kasih sayang terhadap
semua mahluk. Penerapan konsep Hasta Sila dalam kehidupan
ini oleh masyarakat Jawa di dasari oleh konsep Manunggaling
Kawulo Lan Gusti ini. Menurut paham Jawa hidup ini akan
berakhir kembali ke asalnya, hidup ini hanyalah mampir minum
oleh sebab itu haruslah berbuat baik.

Sanepane wong urip puniki


Aneng donya iku umpamane
Mung koyo wong mampir ngombe
Umpomo manuk mabur,lepas sakeng kurunganiki,
Pundi mencoke benjan, aja kongsi kleru,
Umpomo wong jan sinanjan, ora wurung mesti balik mulih,
mring asal kamulane

Artinya :
Ditamsilkan orang hidup ini
di dunia itu seumpamanya
hanya seperti orang yang singgah minum
semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya,
ke mana hinggapnya kelak, janganlah sampai keliru,
seumpama orang saling berkunjung ketetangga,
akhirnya pasti pulang ketempat asal mulanya
(Mulyono, 1979 : 195).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 75


Teologi Jawa dalam serat di atas sangat jelas menguraikan
bahwa masyarakat Jawa mengenal teologi hubungan antara
atma dengan Brahman/ persatuan antara manusia dengan Tuhan/
Manunggaling kawulo lan gusti. Sangat jelas maknanya bahwa
manusia kembali pasti ke asal-Nya (Sangkan Paraning dumadi)
dan yang bersatu dengan Tuhan hanyalah (cita tinunggil karsa)
atau hanya rohnya. Sebab itulah diisaratkan untuk lebih waspada
menghati teologi ini karena merupakan ajaran rahasia. Ajaran ini
ajaran kelepasan untuk menghayati Tuhan yang satu namun ada
di mana-mana. Seperti diuraikan dalam pupuh Pangkur bait 12
sebagai berikut :

Awas roroning atunggil


Tan samar pamoring sukmo
Sinukmaya winakya ing ngsepi
Layap liyeping ngalayup
Pinda pasating supena
Sumusuping rasa sejati
Sejatining kang mangkana
Wus kekanan nugrahing Hyang Widhi
Bali alang asamung
Tan karem kare menyan
Ingkang sifat wisesa mas
Mulih mula niulanira

Artinya :
Hendaknya waspada terhadap penghayatan roroning atunggil,
Agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma,
penghayatan ini terbukti dalam penyepian,
tersimpan di dalam pusat kalbu,
adapun proses terungkapnya tabir (penutup alam gaib),
laksana terlindasanya dalam kantuk bagi orang yang
sedang mengantuk,

76 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


penghayatan gaib itu datang laksana lintasan mimpi,
sesungguhnya orang yang telah menghayati semacam
itu, berarti telah tahu jalan kemana pergi keasalnya
(Soesilo, 2003 : 119-120).

Pada pokoknya teologi Jawa menguraikan beberapa makna


hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Atman,
dan Atman dengan Tuhan. Pertama Tuhan di maknai sebagai
roroning atunggil yaitu dua namun satu. Kemudian di alam
gaib sesungguhnya roh dan cita manusia bisa menyatu dengan
Tuhan (tan samar pamoring sukma). Jalan untuk mengetahui
adanya hubungan roh dengan Tuhan adalah dengan menempuh
jalan sepi/menyepi (yoga). Bagi orang yang melakoni jalan
ini ia sesungguhnya tahu alam moksa itu. Bagi masyarakat
umumnya yang belum menghayati benar makna roroning
atunggil ini, di dalam tradisi Jawa bila ada yang meninggal
dibuatkanlah ritual kematian untuk menjembatani hubungan
manusia dengan Tuhan serta sebagai permohonan agar
Jiwa / sukma orang yang meninggal diberikan jalan menuju
kepadaNya.

3.2 Penjelasan Ritual Kematian


Ritual kematian dalam tradisi masyarakat Jawa dilakukan
mulai dari Geblak (baru meninggal) sampai ritual Nyewu sebagai
ritual terakhir dari seluruh rangkaian ritual kematian tersebut,
susunannya ritual kematian itu sebagai berikut :
1. Ritual Geblak (Baru Meninggal)
2. Tiga hari (telung dinane)
3. Upacara Tujuh Hari (pitung dina)
4. Upacara Empat Puluh Hari (petang puluh dina)
5. Upacara Seratus Hari (satus dina)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 77


6. Upacara Pendak Pisan (satu tahun setelah meninggal)
7. Upacara Pendak Pindo (dua tahun setelah meninggal)
8. Seribu Hari atau Nyewu (tiga tahun setelah meninggal)

Jenis-jenis Ritual kematian itu tahapan-tahapan dalam usaha


pengembalian unsur-unsur badan kasar dan penyucian roh leluhur
atau orang yang sudah meninggal.
Ritual Geblak (baru meninggal) adalah upacara perawatan
jenasah yaitu dari mulai menghembuskan nafas terakhir sampai
dengan penguburan. Ritual tiga hari (telung dina) dilaksanakan
pada tiga hari setelah meninggal. Ritual Tujuh Hari (pitung
dina) dilaksanakan tujuh hari setelah meninggal. Ritual Empat
Puluh Hari (petang puluh dina) adalah Ritual empat puluh hari
setelah meninggal. Ritual Seratus Hari (satus Dina) Ritual yang
dilaksanakan setelah seratus (100) hari meninggalnya seseorang.
Ritual Pendak Pisan dilaksanakan setelah satu (1) tahun kematian
sedangkan Upacara Pendak Pindo dilaksanakan setelah dua tahun
kematian.
Ritual Nyewu dilaksanakan setelah seribu hari dari
kematiannya. Ritual Nyewu merupakan Ritual puncak dari Ritual
Kematian, dan dalam ritual Nyewu juga dilengkapi dengan proses
Nyalini Kemul dan ritual Ngijing.

78 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


BAB IV

ANALISIS TEOLOGI HINDU


DALAM RITUAL KEMATIAN

4.1 Teologi Kematian Dalam Pandangan Masyarakat Jawa


Pada mulanya istilah teologi ini muncul di Eropa terutama
di daerah Yunani, sehingga teologi ini berasal dari bahasa Yunani
yang berasal dari kata Theos artinya Tuhan dan logos yang berarti
ilmu. Jadi teologi ini berarti ilmu yang mempelajari tentang Tuhan.
Lebih jauh di dalam kamus An English Readers Dictionary oleh
Ashornby and Ec Barn Well menjelaskan tentang arti teologi
ini adalah sebagai berikut, Teologi: n.Science of the naptura of
God and of the foundation belief, yang artinya Teologi itu adalah
ilmu pengetahuan tentang alam semesta, tentang Tuhan, tentang
keyakinan agama yang mendasar. Dengan memperhatikan
rumusan tersebut di atas maka peranan ilmu Teologi ini adalah
untuk merumuskan teori keTuhanan yang terdapat di dalam
masing-masing agama yang diyakini oleh penganutnya dengan
harapan agar setiap sistem keTuhanan yang ada pada masing-
masing agama, dapat dipelajari secara sistematis sehingga mudah
dipahami oleh pemeluknya.
Munculnya teologi ini di Yunani karena pada zaman
dahulu Yunani memiliki keyakinan terhadap beraneka macam
kepercayaan terhadap para Dewa-Dewa terutama Dewa-Dewa
alam seperti Dewa langit, Dewa Bumi, Dewa Jagatraya. Karena
pada zaman dahulu banyak Dewa yang dipuja di Yunani, maka
muncullah belakangan para ahli filosuf-filosuf untuk mengetahui
sistem teologi yang terdapat dan hidup pada zaman Yunani kuno
dan di samping itu ilmu teologi ini bukan saja dipergunakan untuk
mengetahui sistem keTuhanan pada zaman Yunani kuno namun

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 79


ilmu ini dipergunakan pula untuk meneliti sistem keTuhanan yang
dianut oleh agama-agama yang masih dipeluk oleh umat manusia
di bumi sekarang.
Di dalam memahami keyakinan masyarakat Jawa untuk
menemukan teologi yang tersimpan di dalam aktivitas ritual
masyarakatnya, maka harus dipahami terlebih dahulu sistem
ritual mulai dari fungsi bentuk dan maknanya, sehingga mendapat
pijakan untuk mengetahui sistem KeTuhanan yang dianutnya.
secara lokal genius atau kearipan lokal disana akan ditemukan
tatanan kehidupan masyarakat Jawa. Misalnya gambaran
hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan
alam semesta.
Hubungan itu setidaknya dapat dibaca dalam buku Simbolisme
Budaya Jawa, di sana diuraikan mengenai asal-usul manusia Jawa
bahwa “manusia terdiri atas bagian batiniah dan lahiriah, bagian
batiniah adalah roh, sukma, dan pribadinya. Bagian ini mempunyai
asal-usul dan tabiat ilahi. Batyin merupakan kenyataan yang sejati.
Bagian lahir ialah badan dengan segala hawa nafsu dan daya-daya
rohani. Badan inilah yang merupakan kerajaan rohnya, itulah dunia
yang harus dikuasainya. Maka badan ini sering disebut Jagad cilik.
Bila manusia dapat menguasai dunia kecil (dirinya sendiri) maka
dia telah menjadi seorang satria pinandita, seorang raja pahlawan
merangkap pinandita atau pujangga yang telah memahami hal
– hal yang sifatnya rahasia. Batinnya mempunyai asal-usul ilahi.
Demikian badannya mengalami proses spiritualisasi, berkembang
menjadi ruh ilahi dan telah mulai perkembangan yang harmonis
(Herusatoto, 2001 : 77).
Lebih lanjut diuraikan bahwa “Masyarakat Jawa sangat
percaya dengan adanya dunia mikro (tubuh manusia) dan dunia
makro (alam semesta) yang sesungguhnya di luar dunia itu
ada kekuatan Tuhan yang mengendalikan kedua alam ini. Hal
itu ditemukan ketika orang Jawa menyebut Tuhan yang selalu
menggunakan bahasa Inggil dengan istilah seperti, Gusti Kang

80 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Maha Agung, Pangeran Kang Murbeng Dumadi, Pangeran
Kang Maha Tunggal Gusti Allah (Satoto, 2001 : 79). Demikian
juga dalam buku seni budaya Jawa yang telah diuraikan
mengenai adanya sarana untuk mencapai tujuan manusia dalam
menyelenggarakan tindakan dengan memakai sarana atau alat
agar tujuan yang diinginkan akan dapat dicapainya. Tujuan itu
diuraikan dalam serat Wiro Wiyoto pada bait ke 7 (tujuh) yaitu :

Lamun tan mawa sarono


paran katekaning kapti,
lir bedug tanpa senjata,
hing ngasta nira Hyang Widhi,
tan karso mi turuti,
marang wong kang tanpa laku,
nir ngamal myang panembah,
kumudu dipun turuti,
ngendi ono Gusti rinreh ing kawulo.
(N.Ng. Harja Sarkars, tt : 9).

Artinya :
Kalau tanpa sarana atau alat tidak akan mungkin sampai
pada keinginannya, bagaikan bedug yang tanpa senjata,
dihadapan Hyang Widhi tidak akan mengabulkannya,
kepada orang yang tanpa pelaksanaan bagaikan sedekah
(yadnya) kepada Hyang Widhi (bhakti yang harus diikuti
aturan-aturannya), dimana ada penguasa diperintah oleh
anak buahnya.

Dengan adanya pengertian di atas maka masyarakat Jawa


pada umumnya selalu melakukan bhakti kepada Tuhan dengan
memakai sarana yang berupa berbagai banten (sesaji). Orang
yang mengakui dirinya anggota masyarakat Jawa dia tidak akan
berani meninggalkan sesaji meskipun orang tersebut sudah
memeluk agama lain. Apalagi bagi masyarakat yang beragama

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 81


Hindu, maka mereka akan menjalankan upacara dengan beberapa
sesaji walaupun hanya bersifat sederhana saja. Sebagai misal
mereka “ngirim leluhur” selalu menggunakan sarana yang berupa
air, dupa (kemenyan), juga air bunga setaman yang dipakai
untuk menyiram makam yang dianggap sebagai leluhur mereka.
Di samping itu juga diuraikan mengenai kesempatan untuk
menjelma ke dunia menjadi manusia agar menyelenggarakan
upacara dengan mempergunakan sesaji atau banten yang akan
dapat mendatangkan keselamatan.
Di dalam mantram ritual kematian yang gunakan oleh
masyarakat Jawa dapat diamati teologi kematian, artinya
bagaimana hubungan roh dengan Tuhan. Di samping itu
sebenarnya menurut orang Jawa yang meyakini akan manfaat
ritual itu jalan kematian itu secara teologi Jawa sebuah jalan yang
dapat membawa roh yang diupacarai ke alam sorga bahkan moksa
sebagaimana tertuang dalam mantram sebagai berikut :

Om Awignam Astu Nama Sidhi


Om tat sat eka adwa tyam brahman
Om bur bwah swah tat sawitur warenyam
Bargo Dewasye dimahi diyo yo yonah pracodayat
Niatingsun manjurung suksmo manunggalo kawulo
lan gusti, suksmo jiwanipun:.............. suksmo loro,
Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo
Bali marang suksmo jati, manunggal marang
suksmo kawekas.

Om pangeran inggih paduko, ingkang ngawaosi


tri loko bawono, puniko, ingkang Moho Suci,
soho sumbering sedoyo cahyo, mugi paduko
anglunturno dumateng suksmo jiwanipun,
swargi ........cahyo kaweningan paduko
ingkang Moho suci.

82 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang
sampun dumados, ingkang bade dumados,
ing jagad seisi nipun puniko
Paduko mboten wujut, Paduko ambirat sekatahing pepeteng,
Paduko Moho tunggal, wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun swargi..........

Duh Gusti, paduko ugi sinambut Hyang Siwah


Maha Dewa, Iswara, Parameswara, Brahma
Wisnu sarto Rudra, Paduko angliputi sekatahing wujud
Mugi suksmo jiwanipun swargi :............. ketampio
Manunggal dumateng Paduko

Duh Gusti, suksmo jiwanipun swargi :.............


Kebak nisto serto kebak popo cintroko, mugi-mugi
Swargi......... pikantuko pangayomaning Pangeran

Duh Gusti, sesembahan kawulo,


Mugi Paduko angentasaken suksmo,
Jiwanipin swargi ............ sakeng popo cintroko
Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo
Dasanipun swargi : .......................

Duh Gusti pangayomaning sedoyo titah


kabebasno suksmo jiwanipun swargi ............
saking papo cintroko soho katuntuno dumateng
margi ingkang leres.

Duh Gusti, mugi pikantuko pangampunten sedoyo doso


Saking tindak tandhuk, pangucap, pangraos
Soho klenta klentuning tumindakipun swargi .........

Swargi :................ purno dumados pajenengan


Saking buni-geni-angin sarto banyu
Jiwo pajenengan Geter Pater ing angkoso

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 83


(kembali dibacakan sendiri)
Mugi-mugi swargi : ............... pikantuko
Ketentreman tumuju dumateng kaswargan,
Dumigiyo ing kamoksan,
Mugi-mugi amanggiho kasampurnaan jati

Artinya :
Kehendak hamba mengantar atman, bersatulah atman
dengan brahman, atman Jiwatman : .................. atman
sakit, atman sembah,
Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman,
Menyatu ke alam siwa.

Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana ini


Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan
Atma swargi ................... cahaya bening paduka
Yang Maha suci.

Tidak ada duanya,


Saya serahkan jiwa raga swargi : ......................

Om Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara,


Prameswara, juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra
Paduka/Bhatara siwa meliputi semua wujud
Semoga atman swargi ...............diterima menyatu
Di Siwa baka (alam Brahman).
Om Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa swargi.............
Penuh dengan dosa, nista, penuh papa,
Semoga mendapatkan perlindungan dariMU

Om Paduka Bhatara, yang saya sembah


Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman swargi....
Dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang benar.

84 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Om Paduka Bhatara, semoga mendapatkan pengampunan
Semua dosa dari perbuatan, pembicaraan, pikiran
Dan kekeliruan prilaku dari swargi .....................
Swargi ................. asal kelahiran dari bumi, air, api,
Angin, udara, jiwamu bergetar di angkasa
Yang berasal dari bumi,kembalilah ke bumi yang suci
Yang berasal dari api, kembalilah kepada api yang suci
Yang berasal dari angin, kembalilah kepada angin yang
suci, yang berasal dari air, kembalilah kepada air yang suci.

Semoga swargi ............ di terima atas pengayoman


Bhatara Siwa, menyatu dengan kesucian Bhatara
Semoga swargi : ............. mendapatkan ketentraman
Menyatu swargi mencapai kemoksaan

Semoga menemukan kesempurnaan sejati.1

Agar lebih jelasnya di bawah ini dikutipkan dari kakawin


Niti Sastra :

Wwang dînàtithi yogya yan sungana dàna tekapira sang


uttameng praja, mwang Dewa-sthana tan winursita
rubuh wangunem ika paharja sembahen. Dina prita
sangaskaran-ta pahayun lepasakena tekeng úmaúana
ya. Byakta lebhaning acwamedha-kretu labhanira
siniwi ring suralaya.
(Kakawin Niti Sastra, Sargah IV.6).

Artinya :
Orang terkemuka patut memberi sedekah kepada tamu
yang miskin, membangun kembali candiyg sudah
roboh dan tidak terpakai lagi, lalu menghiasinya

1. wawancara, mangku Ponijan, 26 Pebruari 2005

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 85


dapat dipergunakan lagi sebagai tempat sembahyang
Ia patut mengadakan korban (sesaji) bagi jiwa-jiwa
yang sempurna supaya jiwa-jiwa itu terlepas dari
kubur. Dengan jalan begitu ia berjasa seperti orang
mengadakan korban Aswameda. Ia akan dimuliakan di
Suralaya.(sadia, 1983-1984 : 28)

Bahasa teologis sangat kental dalam mantram di atas bahwa


ada hubungan yang sangat erat antara alam besar (Bhuana
agung) dengan alam mikro (bhuwana alit) serta keduannya
dengan Brahman. Teologi Ritual kematian yang digunakan
dalam mantram itu secara konseptual membawa pikiran manusia
Jawa untuk berserah kepada Tuhan agar Jiwa/Atman orang yang
meninggal bersatu dengan Brahman. Niatingsun manjurung
suksmo manunggalo kawulo, lan gusti, suksmo jiwanipun:..............
suksmo loro,Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo
Bali marang suksmo jati, manunggal marang suksmo kawekas.
Artinya Atman berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman,
Menyatu ke alam siwa. Om Bhatara hanya paduka penguasa
tri loka buwana ini, Sumber semua cahaya, semoga paduka
memberikan, Atma swargi..... cahaya bening padukaYang Maha
suci.
Hubungan kedua alam dengan Tuhan (Gusti) terutama
untuk roh orang yang meninggal menurut penelitian ditegaskan
bahwa, orang Jawa tidak hanya mengadakan ritual sebagai doa
hanya ketika baru meninggal saja namun hubungan keyakinan itu
berlanjut sampai selesai seribu hari. Sebagai peringatan terhadap
orang yang sudah meninggal (Suryamataram, 1987 : 60). Mereka
melakukan hal itu berdasarkan atas kepercayaan Kejawen terhadap
arwah yang sudah meninggal yaitu terhadap adanya kehidupan
lain sesudah kematian itu. Memang hal itu tidak ada kepastiannya,
tetapi yang jelas pada orang tua di Jawa ada itikad yang baik untuk
mengadakan selamatan. Selamatan memperingati arwah orang

86 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


yang sudah meninggal itu agar menyatu dengan Tuhan sebagai
mana terurai dalam serat tersebut.

Ritual kematian itu juga sangat berkaitan dengan uraian


serat Sasangka Djati yang menguraikan dua masalah
manusia Jawa, pertama mempermasalahkan tentang
sikap hidup orang Jawa, kedua pandangan hidup orang
Jawa sebagai berikut : “ 1. terjadinya alam semesta
beserta isinya (Gumelaring Dumadi), 2. petunjuk Tuhan
(tunggal sabda), 3. Jalan kesejahtraan (dalan wahyu),
4. Arah yang dituju (sangkan Paran), 5. sembahyang
(menembah). Penjabaran di atas perkuat dengan konsep
Hasta Sila atau delapan sikap yang terdiri dari dua
pedoman, tri sila dan Panca sila merupakan sikap pokok
yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia, dan
tiga hal yangharus dituju oleh Bhudi dan cipta manusia
menyembah Tuhan yaitu, Eling atau sadar, Pracaya atau
percaya dan mamituhu atau setia melaksanakn perintah.
Sebelum manusia dapat melaksanakan tri sila tadi
manusia harus dulu memiliki watak yang terpuji yang
disebut dengan Panca Sila yaitu temen, rela, nerimo,
sabar dan budi luhur. Rela artinya memiliki keiklasan hati,
nerimo artinya menerima apa adanya dengan tenang dan
sabar, temen menepati janji, sabar atau momot artinya
bersikap tenang serta kuat terhadap segala cobaan, dan
b udi luhur artinya selalu menjalankan hidupnya dengan
petunjuk Hyang Kuwosa, penuh kasih sayang terhadap
semua mahluk.” (Soenarto, 1966 : 210-214).

Sehubungan dengan ritual kematian yang puncak


penyelenggarannya pada hari yang keseribu, secara konsep
teologi, masyarakat Jawa sudah memiliki kepercayaan kepada
Atman/Jiwa, bahwa kehidupan manusia yang dihidupi oleh

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 87


Atman secara konseptual menunjukan hubungan yang erat antara
atman dengan Tuhan. Karena itulah ketika manusia meninggal
sesuai keyakinan orang Jawa dibuatkan tradisi upacara / ritual
yang berkaitan dengan kematian. Secara teologis mereka
mendoakan Jiwa orang yang meninggal supaya menyatu dengan
Hyang Maha Suci (Tuhan Yang Esa), Manunggaling kawulo
lan Gusti. Sebagaimana termuat dalam mantram ritual kematian
yaitu : anglunturno dumateng suksmo jiwanipun, swargi ........
cahyo kaweningan paduko ingkang Moho suci. Semoga Tuhan
menyucikan kekotoran jiwanya yang diupacarai, semoga ia
mendapatkan cahaya sorga keheningan dan menyatu dengan
Hyang Maha Suci. Secara kontektual sangat jelas ritual itu
bertujuan untuk mengantar sang Roh ke alam Tuhan setelah
dosanya disucikan kata Cahyo Kaweningan Paduko Ingkang
Moho Suci. Penyatuan roh dengan Hyang Maha Suci tegas
menggambarkan bahwa teologi Jawa sangat kental menguraikan
antara atman dengan Hyang Maha Suci bisa menunggal.
Dahulu adat kebiasaan orang Jawa mereka masih
melaksanakan ritual/doa setiap hari sebagai permohonan kepada
Tuhan mulai seseorang meninggal dunia setiap hari terus menerus
sampai jenazah tadi boleh dianggap lebur dengan sempurna.
Tetapi di Jawa adat istiadat kuno itu kemudian mengalami
penyederhanaan. Wujud penyederhanaan itu ialah peringatan dan
selamatan untuk orang yang meninggal itu tidak dilakukan terus
menerus setiap hari, mulai dari meninggalnya sampai dengan
seribu hari (waktu jenazah dianggap sudah lebur luluh dengan
sempurna), tetapi diadakan delapan kali. Peringatan berupa
selamatan delapan kali itu adalah : “Bertepatan dengan atau
sesudah pemakaman jenazah di nyurtanah.Bertepatan dengan tiga
harinya dari waktu meninggalnya yang disebut nelung ndinani.
Bertepatan empat puluh hari disebut matang puluhndinani.
Bertepatan dengan setarus hari, yang disebut dengan nyatus dina.

88 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Memperingati genap satu tahun disebut mendhak sepisan.Disebut
mendhak pindo atau rong tahun yaitu memperingati dua tahun dari
saat meninggalnya.Disebut Nyewu memperingati sudah seribu
hari lamanya dari saat meninggalnya, kembali ke alam Moksa.
Doa dan peringatan kadang-kadang peringatan Nyewu itu dibuat
besar-besaran, artinya tidak sama dengan peringatan sebelumnya
yang sering hanya diadakan secara sederhana saja. Secara tradisi
Jawa ritual kematian ini sebagai tanda bahwa atman/ roh orang
yang meninggal itu diyakini sudah menyatu dengan Hyang
Murbeng Dumadi” 2
Kepercayaan orang Jawa secara teologi diuraikan bahwa
Panca Maha Bhuta perlu dipahami dengan benar sehingga
tidak membenci, sebab dia membantu untuk naik tingkat.
Niatingsun manjurung suksmo manunggalo kawulo lan gusti,
suksmo jiwanipun:.............. suksmo loro, Suksmo waluyo siksmo
ngumboro, suksmo baliyo Bali marang suksmo jati, manunggal
marang suksmo kawekas. Artinya Kehendak hamba mengantar
atman, bersatulah atman dengan Brahman, Atman Jiwatman :
.................. Atman sakit, Atman sembah, Atman berjalan, atman
kembali, kembali pada Brahman, Menyatu ke alam Siwa.
Keyakinan masyarakat Jawa dalam pelaksanaan ritual ini
mengandung nilai teologi sebagaimana tertuang dalam mantram
ritual kematian yang menyadarkan manusia sebenarnya dalam
hidup ini manusia hendaknya memuja Tuhan, sebagai rasa terima
kasih atas belas kasihan-Nya. Sebagaimana diuraikan dalam
serat di atas “Duh Gusti, sesembahan kawulo, Mugi Paduko
angentasaken suksmo,Jiwanipin swargi ............ sakeng popo
cintroko Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo Dosanipun
swargi : ....................... artinya : Om Paduka Bhatara, yang saya
sembah, Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman swargi....
dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang benar.
2. Wawancara dengan Ponijan, 25 Januari 2005

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 89


Berdasarkan bait-bait di atas dapat sedikit dipahami bahwa
banyak sedkitnya sesaji yang persembahkan bukan menjadi
ukuran di terima dan tidaknya oleh Tuhan namun hal itu sangat
tergantung dari sejauh mana ketulusan iklhas dari orang yang
melakukan persembahan.
Dalam yadnya yang diutamakan adalah rasa ketulusan hati
seseorang. Sedangkan yang menjadi tujuan dari pelaksanaan
yadnya dapat dipetikkan apa yang telah ditegaskan dalam kitab
Wedha Parikrama sebagai berikut
“Untuk sebagai tanda terima kasih dan menunjukkan
rasa bahagia. Upacara yang ditujukan pada tujuan ini
diproyeksikan dalam bentuk pesta, wayang dan lain-
lainnya. Istilah yang umum dipakai adalah istilah
kaulan, sifat keagamaannya hampir tak tampak, kecuali
mereka yang menyelenggarakan upacara itu. Sifat
sakramennya adalah pada mantra-mantra dan yadnya
yang dilakukan. Hampir semua proses upakara ini
tampak pada proses lahiriah saja, sedangkan ke dalam
adalah untuk menanamkan “Satya Wasana” Maha
bahagia. “Untuk menarik (meminta) agar pengaruh-
pengaruh yang baik membantu dengan meraga sukma ke
dalam tubuh pemohonnya, waktu melakukan samskara.
Caranya dapat berupa macam-macam perbuatan, seperti
mantra-mantra dan yadnya sebagai sarananya. Ini
dimungkinkan karena sifat kekuatan yang baik adalah
merupakan “prakasa” (divine light) dan bagi sifat itu
tidaklah halangan bagi-Nya untuk dapat meragainya
(Pudja, 1971 : 46-47).

Teologi ritual kematian itu sangat berkaitan dengan tujuan


pelaksanaannya ritual itu yakni bertujuan agar atman/ sukmo orang
yang meninggal tersebut secepatnya lebur dan cepat menyatu
dengan Hyang Murbeng Dumadi/Tuhan Yang Maha Esa. Melalui

90 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


ritual itu diharapkan berkenan Sang Sangkan Paraning Dumadi
memberi ampun atas dosa-dosa dan kesalahan almarhum, serta
memberikan anugrah dari semua amal bhakti almarhum pada
waktu masih hidup. Agar almarhum memperoleh keabadian dan
kesempurnaan mati yang sejati. Selain itu ritual ini bertujuan
untuk membersihkan dan mensucikan atma serta memohon
keselamatan, agar atma tersebut lepas dari pengaruh duniawi.
Demikian pula makna ritual dapat membantu menyempurnakan
jiwa manusia yang sudah meninggal, agar mendapat tempat
yang baik setelah numitis. Tujuan yang paling utama adalah
untuk mempercepat atau membantu proses “kamoksan” yaitu
Manunggalin Kawulo lan Gusti”3
Secara teologi Jawa bahwa Tuhan telah menciptakan manusia
terlebih dahulu maka manusia ingin membalas cinta kasihnya dalam
bentuk menyelenggarakan ritual, seperti halnya Ritual Kematian
yang dilaksanakan oleh masyarakat Kumendung,Banyuwangi.
Dalam pencapaian tujuan hidup manusia, cinta kasih mempunyai
nilai yang tinggi untuk orang yang meninggal wujud cinta kasih itu
dibuat dalam bentuk ritual/yadnya yang merupakan pengorbanan
materi di dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut.
Teologi ritual ini dapat pula ditemukan dalam pelaksanaan
kenduri sebagai rangkaian ritual Kematian yang pada hakekatnya
mempunyai nilai “tat twam asi”. Hal ini dibuktikan setelah
selesai upacara kenduri atau setelah saji itu dihaturkan kepada
Tuhan, maka sesaji tersebut dibagikan kepada peserta kenduri.
Tujuan dari masyarakat agar mereka bertingkah laku “amangun
karyenak sesama” artinya membuat bahagia orang lain. Dari
Tat twam asi ini menghasilkan pandangan dalam agama-agama
bahwa semua roh mahluk hidup termasuk manusia bersumber
dari Tuhan, sebab itulah membahagiakan orang lain dimaknai
juga dapat membahagiakan diri sendiri.
3. Wawancara dengan Ali Wahono, 11 Pebruari 2005).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 91


Membahagiakan diri sendiri demikian juga orang lain
termasuk roh orang yang meninggal dalam konsep kehidupan
orang Jawadi dasari oleh konsep Hasta Sila atau delapan sikap
yang terdiri dari dua pedoman, tri sila dan Panca sila merupakan
sikap pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia,
dan tiga hal yang harus dituju oleh Bhudi dan cipta manusia
menyembah Tuhan yaitu, Eling atau sadar, Pracaya atau percaya
dan mamituhu atau setia melaksanakn perintah. Sebelum manusia
dapat melaksanakan tri sila tadi manusia harus dulu memiliki
watak yang terpuji yang disebut dengan Panca Sila yaitu temen,
rela, nerimo, sabar dan budi luhur. Rela artinya memiliki keiklasan
hati, nerimo artinya menerima apa adanya dengan tenang dan
sabar, temen menepati janji, sabar atau momot artinya bersikap
tenang serta kuat terhadap segala cobaan, dan budi luhur artinya
selalu menalankan hidupnya dengan petunjuk Hyang Kuwosa,
penuh kasih sayang terhadap semua mahluk. Penerapan konsep
Hasta Sila dalam kehidupan ini oleh masyarakat Jawa di dasari
oleh konsep Manunggaling Kawulo Lan Gusti ini. Menurut
paham Jawa hidup ini akan berakhir kembali ke asalnya, hidup ini
hanyalah mampir minum oleh sebab itu haruslah berbuat baik.

Sanepane wong urip puniki


Aneng donya iku umpamane
Mung koyo wong mampir ngombe
Umpomo manuk mabur,lepas sakeng kurunganiki,
Pundi mencoke benjan, aja kongsi kleru,
Umpomo wong jan sinanjan, ora wurung mesti balik mulih,
mring asal kamulane

Artinya :
ditamsilkan orang hidup ini
di dunia itu seumpamanya

92 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


hanya seperti orang yang singgah minum
semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya,
ke mana hinggapnya kelak, janganlah sampai keliru,
seumpama orang saling berkunjung ketetangga,
akhirnya pasti pulang ketempat asal mulanya
(Mulyono, 1979 : 195).

Uraian serat di atas menjadi jelas bahwa masyarakat Jawa


mengenal teologi hubungan antara atma dengan Brahman/
persatuan antara manusia dengan Tuhan/Manunggaling kawulo
lan gusti. Sangat jelas maknanya kemana manusia kembali
kecuali kepada asalnya (Sangkan Paraning dumadi dan yang
bersatu dengan Tuhan hanyalah (cita tinunggil karsa) atau hanya
rohnya. Sebab itulah diisaratkan untuk lebih waspada menghati
teologi ini karena merupakan ajaran rahasia. Ajaran ini merupakan
ajaran kelepasan untuk menghayati Tuhan yang satu namun ada
di mana-mana. Seperti diuraikan dalam pupuh Pangkur bait 12
sebagai berikut :

Awas roroning atunggil


Tan samar pamoring sukmo
Sinukmaya winakya ing ngsepi
Layap liyeping ngalayup
Pinda pasating supena
Sumusuping rasa sejati
Sejatining kang mangkana
Wus kekanan nugrahing Hyang Widhi
Bali alang asamung
Tan karem kare menyan
Ingkang sifat wisesa mas
Mulih mula niulanira

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 93


Artinya :
Hendaknya waspada terhadap penghayatan roroning atunggil,
Agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma,
penghayatan ini terbukti dalam penyepian,
tersimpan di dalam pusat kalbu,
adapun proses terungkapnya tabir (penutup alam gaib),
laksana terlindasanya dalam kantuk bagi orang yang
sedang mengantuk,
penghayatan gaib itu datang laksana lintasan mimpi,
sesungguhnya orang yang telah menghayati semacam
itu, berarti telah tahu jalan kemana pergi keasalnya
(Soesilo, 2003 : 119-120).

Pemikiran teologi manusia Jawa di atas menguraikan


beberapa makna hubungan manusia dengan Tuhan. Pertama
Tuhan di maknai sebagai roroning atunggil yaitu dua namun satu.
Kemudian di alam gaib sesungguhnya roh dan cita manusia bisa
menyatu dengan Tuhan (tan samar pamoring sukma). Jalan untuk
mengetahui adanya hubungan roh dengan Tuhan adalah dengan
menempuh jalan sepi/menyepi (yoga). Bagi orang yang melakoni
jalan ini ia sesungguhnya tahu alam moksa itu. Bagi masyarakat
umumnya yang belum menghayati benar makna roroning atunggil
ini, di dalam tradisi Jawa bila ada yang meninggal dibuatkanlah
ritual kematian untuk menjembatani hubungan manusia dengan
Tuhan serta sebagai permohonan agar Jiwa/sukma orang yang
meninggal diberikan jalan menuju kepadaNya.

4.2 Sistem Pelaksanaan Ritual Kematian


Secara tradisi ritual mempunyai sistem tersendiri, demikian
juga dalam ritual kematian di Desa Kumendung, Muncar,
Banyuwangi, Jawa Timur, mempunyai juga sistem sebagaimana
upacara yang lain.

94 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Di Desa Kumendung, apabila ada anggota keluarga yang
dalam keadaan kritis, maka umumnya salah satu keluarga
segera menghubungi semua anggota keluarga dan juga pemuka
agama untuk mendampingi dan menuntun serta membimbing
yang bersangkutan untuk mengingat, mengenang, memusatkan
pikiran kepada Ida Sang Hyang widhi Wasa (Brahman) sambil
mengucapkan AUM, bila perlu dibisikkan ketelinganya ucapan
AUM tersebut secara terus-menerus. Hal tersebut dimaksudkan
agar yang bersangkutan tetap dalam kesadaran sampai pada ajalnya
dengan konsentrasi yang diarahkan kepada Ida Sang Hyang widhi
Wasa, agar dapat menolong perjalanan jiwa atau atman yang akan
meninggalkan badan jasmaninya Dapat juga dilakukan mantram
“Manjurung Suksmo” yaitu :

“Sir suci, mulyo sejati, bayu urip kang winasuhan


Sumber Hyang Widhi, sir gondo arum horo hari
Rogo mulih marang karso awor lan suksmo,
Suksmo sakuduping mlati, les angles ing samodro,
Suksmo larah, suksmo larih, suksmo mulyo,
Rogo tan keno kari rem lerem mapano mulyo,
Rogo tan keno kari rem lerem mapano marang
Panggonanmu dewe-dewe, pandango dalane,
Manunggalo kawulo lan marang Gusti.
Tentrem, tentrem, tentrem, lerem-lerem, leremo marang
Pangayomaning Pangeran” (PHDI Madiun, 1981 : 22).

Artinya :
Cipta suci, mulya sejati, air hidup yang dibersihkan
Dari sumber Bhatara Wisnu, cipta harum Siwa-Wisnu
Badan kembali pada cipta menyatu dengan atman,
atman sekumcup melati
Tenang-tenang di samudra, atman pilah atman pilih,
atma mulya

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 95


Raga tidak dapat tertinggal, kedamaian sejati, berada di
tempatmu
Masing-masing, terang jalannya, menyatu dengan Brahman,
Damai, damai, damai, tenang, tenang,
Tenanglah dalam perlindungan Tuhan.

Terhadap orang yang baru saja menghembuskan nafas


terakhirnya, hendaknya dilakukan puja atau doa (puja pralina)
oleh keluarga atau orang yang mengetahui pertama kali, sehingga
yang ditinggal dan yang pergi dapat tenang. Mantra Puja Pralina
tersebut adalah :

“Om A Ta Sa Ba I
Om Wa Si Ma Na Ya Mang Ang Ung
Murchantu Swargantu Moskantu Shamantu
Ang Ksama Sampurnaya namah swaha”

Artinya :
Semoga tenag menghembuskan nafas terakhir
Dalam perjalanan ke sorga dan semoga mencapai moksa
Semoga sempurna semuanya (Surayin, 2002 : 3).

Apabila tidak mengetahui Puja Pralina ini dapat dilakukan


mantra atau doa Pinuju Kelepasan (Pisahnya suksma dengan
rasa) yaitu :

“Baliyo marang asal purwo dumadimu dewe-dewe


kawulo manunggalo marang Gusti
Mugi-mugi swargi (nama orang yang diupacarai)
Pikantuko ketentreman tumuju dumateng kasawrgan
Dumugi ing kamuksan. Mugi-mugi sedoyo manggiho
Kasampurnaan jati. Om Santih, santih, santih Om”

96 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
“kembalilah keasal mulamu sendiri-sendiri
kawula menyatu kepada Betara
semoga swargi.............. mendapatkan ketentraman
menuju kepada kaswargan mencapai kemoksaan
semoga menemukan kesempurnaan sejati
Om damai, damai, damai Om”

Selanjutnya baju jenasah dilepaskan semua dan jenasah


diletakkan dilantai dengan dialasi tikar dengan posisi kepala
berada disebelah utara, mata dan mulutnya dikatupkan (kalau
dalam keadaan terbuka), apabila mulutnya terbuka dan sulit
untuk dikatupkan bisa diikat dengan tali dari kain yang masih
baru dan berwarna putih, kaki diluruskan dan kedua ibu jari kaki
di ikat dengan tali yang serupa, kemudian jenasah ditutup dengan
selembar kain (kemben) dan diatas kepalanya di taruh lampu
damar.
Warga yang mempunyai kematian, pertama-tama
menghubungi tetua agama (Modin Agama) lalu menyampaikan
kepada warganya, karena di Desa Kumendung, Muncar,
Banyuwangi, Jatim, umat Hindu berbaur dengan umat lain dan
juga karena jumlah umat Hindu yang sedikit, maka warga yang
dimaksud disini adalah warga secara umum. Selanjutnya tetua
agama meminta pendapat dari warga yang memiliki kematian,
apakah akan dikubur hari itu juga atau keesokan harinya. Setelah
mendapat kejelasan lalu tetua agama membagi tugas, ada yang
mengurus surat-surat ke RT/RW dan ke Kantor Desa untuk
mendapatkan surat keterangan kematian, serta menghubungi
Pemangku atau Pinandita dan warga yang lain untuk mengadakan
persiapan upacara. Sistem pelaksanaan upacara dimulai setelah

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 97


persiapan upacara selesai dilanjutkan dengan puja kepada leluhur,
yaitu :

1. Ritual Geblak
Ritual Geblak adalah ritual kematian pada tahap pertama.
Ritual Antyesti atau ritual kematian ini wujud nyatanya seperti
perawatan jenasah mulai dari saat menghembuskan nafas terakhir
(Geblak) sampai dengan penguburannya.
Upacara Geblak diawali dengan pembersihan jenasah,
yaitu:
a. Memandikan Jenasah.
- Perlengkapan memandikan jenasah :
- Air ditaruh dalam kendi (guci kecil)
- Air tiga (3) tempat yang isinya : air bunga setaman
(campur), air daun kelor dan air bening atau jernih
- Dupa
b. Pelaksanaan memandikan jenasah
- Jenasah di bawa keluar (biasanya dihalaman rumah)
kemudian ditaruh diatas pangkuan (orang yang ditugaskan
untuk memangku jenasah sewaktu jenasah dimandikan).
- Pemangku memantrai air yang ada dalam kendi dengan
mantra :

“Aum awigenam astu namah siddhi.


Aum Tat Sat Ekam Adityam Brahman.
Sir suci sejati. Banyu urip kang winasuhan
Sumber hyang widhi, air gondo arum horo hari
Rogo mulih marang karso, arso awor lan suksmo
Suksmo sekaduping melati, les angles ing samodro
Suksmo larah, suksmo larih, suksmo mulyo,
Rogo tan keno keri, lem-lerem, banyu iki dadiyo
Sarono anyuceni suksmane

98 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Semoga semua mendatangkan kebaikan
Cipta suci sejati, air hidup yang dibersihkan
Dari sumber Bhatara Wisnu
Cipta ranum Siwa-wisnu badan kembalilah
kepada cipta,
ingin menyatu dengan atman, sekuncup melati
Tenang, tenang di samudra, atman pilah atman pilih
Atman mulya, raga tidak dapat tertinggal
Dalam kedamaian sejati
Air ini menjadi sarana menyucikan ataman
........

Pemangku menyiramkan air dalam kendi ke


jenasah (tidak sampai habis) dengan mengucap-
kan mantra :

“Ane tunjunge seto sakuduping mlati arso sesuci,


kanggo ngadep ibu pertiwi,
Bhatari durgo sing ngosoki
Sang Hyang Wisnu sung musuh anyuceni,
Sang Bantolo kang bakal nerimo”.

Artinya :
Ada tunjung putih, sekuncup melati akan
menyucikan diri
Untuk menghadap ibi pertiwi, Bhatari Durga
Yang membersihkan, Bhatara Wisnu yang menyucikan
Bhatara Bantala yang akan menerima

- Air sisa dari kendi ditaruh dalam air untuk memandikan 3


(tiga) tempat
- Waktu memandikan jenasah :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 99


Pandito/Wasi (Pemangku) memegang bunga dan
mengucapkan mantra sebagai berikut :

Om snanantu pitaro Dewa, snantu pitaro Ganam,


Sanantu pitaro Sarwa ya namah swadu

Om asucir wasucir wapi sarwa kama gatopiwa


Cintayed Dewanan isnam sawahya byantara suci

Artinya :
Oh roh mandilah engkau, si kumpulan roh
Mandilah semua kumpulan roh untuk menjadikan suci

Bila seseorang sudah suci atau dapat


Menghilangkan segala keinginannya apabila ia
Memusatkan pikirannya kepada Sang Hyang Widhi
Maka sucilah lahir dan batin

- Sesudah mayat dianggap bersih, kemudian jenasah


dimantrai sebagai berikut :

Mundut kembang kang ono banyu setaman.

Artinya :
Mengambil bunga di air setaman.

Sesudah jenasah dimantrai seperti tersebut diatas,


jenasah yang sudah dimandikan dibawa kedalam rumah
dan ditempatkan di tempat semula.
a. Penyucian Jenasah
- Sebelum jenasah dibungkus dengan kain putih
(lawon), jenasah terlebih dahulu disucikan dengan
mantra sebagai berikut :

100 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Ibu Pertiwi jasatipun swargi..........Ingkang asal
saking siti wangsulo dateng siti.
(ganti bunga) Sang Hyang Baruno, jastipun
swargi........ingkal asal saking toyo, wangsulo
dateng toyo (ganti bunga) Sang Hyang Agni,
jasatipun swargi ....... ingkang asal saking latu,
wangsulo dateng angin. (ganti bunga) Sang
Hyang Akosos, jasatipun swargi ...... ingkang
asal saking akoso wangsulo dateng akoso. (ganti
bunga) Sang Hyang Brahman Atmanipun swargi
.......wangsulo dateng gesang pribadi, manunggal
dumateng ingkang Moho Suci.

Murcantu, Swargantu, Moksantu, Samantu.


Ang ksama sampurnaya namah swaha
Om santih santih santih Om.

Artinya :
Ibu pertiwi badan swargi : .................. yang
berasal
Dari tanah kembali ke tanah
Sang Hyang Baruna, badan swargi...........
yang berasal
Dari air kembalilah ke air
Sang Hyang Agni, badan swargi :.............
yang berasal
Dari api kembalilah ke api
Sang Hyang Bayu, badan swargi :.............
yang berasal
Dari angin kembalilah ke angin
Sang Hyang Akosso, badan swargi :..........
yang berasal
Dari udara kembalilah ke udara

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 101


Sang Hyang Brahman, atman ..................
kembalilah ke hidup pribadi, bersatu dengan
yang Maha suci.

b. Membungkus (Mbuntel) jenasah


Setelah jenasah disucikan kemudian jenasah dirias
dan dipakaikan pakaian sembahyang dan selanjutnya
dibungkus dengan kain putih.
c. Perlengkapan membungkus jenasah
- Kapas
- Lawon (kain putih)
- Lengo Kenongo (minyak kenanga)
- Lengo Wangi (minyak harum)
d. Pelaksanaan Membungkus Jenasah
- 9 (sembilan) lubang yang ada ditutup dengan kapas
(kedua mata, kedua lubang hidung, kedua lubang
telinga, lubang mulut, lubang kemaluan, lubang
anus)
- Jenasah diolesi dengan minyak harum (lengo wangi)
secukupnya
- Minyak kenanga diusapkan ke tujuh tempat (dahi,
ulu hati,kelamin, siku kanan dan kiri, lutut kanan
dan lutut kiri)
- Tangan dilipat (disendekepake) dan diletakkan
diatas pusar dengan posisi tangan berada diatas
tangan kiri.
- Kain (lawon) yang akan dipakai membungkus
jenasah disucikan dengan mantra sebagai berikut :

Sang Hyang Nilogondo asari pudak kasutri


Sang Hyang Gondosono asari menuh angsono
Sang Hyang Pudak setegel asari gambir
hermoyo

102 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Gondo lepas mulih marang Dewo,
Banyu mulih marang Nilowati
Banyu, idep-titi jati-Pralino.

Artinya :
Sang Hyang Nilaganda berbunga pundak
kasutri
Sang Hyang Gondosono berbunga mawar
angsona
Sang Hyang Pundak setegel berbadan gambir
hermaya
Gondo lepas kembali kepada Dewa
Air kembali ke nilawati
Banyu, idep, titi jati, pralina.

- Kemudian jenasah dibungkus dengan kain putih


yang panjang atau lebarnya disesuaikan dengan
jenasah. Setelah dibungkus kemudian diikat pada
tiga tempat, yaitu pada kain yang terletak diatas
kepala, dibawah kaki dan di pusar.
- Apabila jenasah yang akan dikuburkan ditempatkan
ke dalam peti, peti tersebut disucikan dengan mantra
sebagai berikut :

Wahono Mulyo Tumpak nipun swargi

Artinya :
Wahono Mulya kendaraannya swargi :
.................

- Sesudah jenasah dimasukkan peti atau usungan,


kemudian disuguhkan banten terpana yang terdiri
dari :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 103


- Bubur Pitara
- Padang lepas
- Nasi punjung

- Banten terpana tersebut dihaturkan dengan Mantra


Terpana, sebagai berikut :

Astra mantram, utpeti, stiti


Bhukyantu pitaro Dewa
Bhukyantu pitaro ganam
Bhukyantu pitaro sarwa ya namah swada

Trepyantu pitaro Dewa


Trepyantu pitaro ganam
Trepyantu pitaro sarwa ya namah swada

Ksamantu pitaro Dewa


Ksamantu pitaro ganam
Ksamantu pitaro sarwa ya namah swada

Artinya :
Silahkan makan oh para roh suci (Dewa)
Silahkan makan oh kumpulan roh
Silahkan makan oh semua roh
Hormat kepada semua roh

Puaslah oh para roh suci


Puaslah oh kumpulan roh
Puaslah oh semua roh
Hormat kepada semua roh

Maafkan oh para roh suci


Maafkan oh kumpulan roh
Maafkan oh semua roh
Hormat kepada semua roh

104 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


e. Sembahyang Panjurungng Suksmo
Persembahyangan Panjurungng suksmo dilengkapi
dengan banten sebagai berikut :
- Cok bakal (bawang merah, bawang putih, cabai, trasi,
ketumbar, jahe, kencur, cabe, kelapa secuil, asam,
teri, kunci, pala, kluwek, kemiri, kunyit,lengkuas,
daun jeruk purut), segawu, suri serit, kaca lawe,
ketan putih, ketan hitam, kembang telon (bunga tiga
warna), air, minyak wangi, minyak kelapa, bedak
tepung, slepi, kacang merah, canang gental).
- Pabyakala = 3 buah (isi pabyakala : bawang merah,
jahe, garam, beras, nasi kepal, daun jempiring, bunga)
- Ajuman = 1 buah (isi ajuman : buceng putih kuning
berlaukkan telur atau krasemen).
- Bubur pitara = 1 buah
- Banyu kunir = 1 tempat
- Canang sari = 2 buah
- Panyopo = 1 buah (isis panyopo : sirih, pinang,
gambir, tembakau, enjet).
- Buceng Monco Warno = 1 buah (merah, putih,
kuning, hitam, abu-abu)
- Londo ketan ireng = 1 tempat
- Gendonan = 7 kepalan

Banten tersebut dihaturkan (pasrah sesaji) dengan


mantra sebagai berikut :

Om Hyang angaturaken sari


Om Hyang amukti sari
Sari pawitran ya namah swaha

Om bhukyantu pitaro Dewam


Om bhukyantu pitaro ganam
Om bhukyantu pitaro sarwam byo namah swaha

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 105


Om Ksamantu pitara Dewam
Om Ksamantu pitaro ganam
Om Ksamantu pitaro sarwa byo namah swaha

Om treptyantu pitaro Dewam


Om treptyantu pitaro ganam
Om Treptyantu pitaro sarwa byo namah swaha

Artinya :
Om Hyang menghaturkan bunga
Om Hyang kebahagiaan bunga
Sari pawitram ya namah swaha

Silahkan makan oh para roh suci (Dewa)


Silahkan makan oh kumpulan roh
Silahkan makan oh semua roh
Hormat kepada semua roh

Puaslah oh para roh suci


Puaslah oh kumpulan roh
Puaslah oh semua roh
Hormat kepada semua roh

Maafkan oh para roh suci


Maafkan oh kumpulan roh
Maafkan oh semua roh
Hormat kepada semua roh


Apabila jenasah sudah selesai dirapikan dan
siap untuk diberangkatkan ke kuburan, dilakukan
persembahyangan Panjurungng Suksmo, yang
diikuti oleh anggota keluarga yang memiliki upacara
kematian dan umat Hindu yang mendatangi upacara
kematian tersebut yang dipimpin oleh Pandito/Wasi
(Pemangku)

106 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Adapun urutan dari persembahyangan Panjurung
Suksma tersebut adalah sebagai berikut :
- Asana
- Pranayama
- Karasodana
- Sikap Siwa Dwara
- Gayatri Mantaram (3x)
- Ksantawya...................(Tri Sandya bait ke 6)

1. Sikap Granasika, mengucapkan :


Om Bhukyantu pitaro Dewah
Bhukyantu pitaro ghanam
Bhukyantu pitaro sarwe
Pitaro sarwe byo namah swada
Om Preptyantu pitaro Dewah
Preptyantu pitaro ghanam
Preptyantu pitaro sarwe
Pitaro sarwe byo namah swadha
Om Ksamantu pitaro Dewah
Ksamantu pitaro ghanam
Ksamantu pitaro sarwe
Pitaro sarwe byo namah swadha

2. Sikap trajubahu :
Om Dewa pitaro sarwah
Pariwara guna saha
Harsaya sarwa pujanam
Prasiddhantu sukha kritam
Om Dewa bhujti mahasuddhanam
Bhojanam parama suddam
Dewa tusta pariwaram
Triptya sarwa Dewa mritanam

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 107


Om Triptyantati mahaDewam
Sarwam ritam ca sukha wanam
Dewa tusta pariwaram
Amrita sarwa Dewamritanam
Om Ya atma bhaladha
Yasya wisya upasate
Prasesan yasya Dewa
Yasya tyaya mritam
Yasya kasai Dewa ya
Hawisa widhina

3. Sikap Asana :

Atasabai wasinmanaya mang ung mang


Om murcantu, swargantu, moksantu, sumantu
Om ang ksama sampurna ya namah swaha (3x)

Setelah selesai dilakukan persembahyangan


Panjurung Suksma, jenasah siap diberangkatkan
kekuburan dengan membawa obor atau dupa.
Sesampainya dikuburan, setelah jenasah dimasukkan
kelubang lahat yang telah dipersiapkan, pemangku
mengadakan puja atau mengucapkan mantra sebagai
berikut :

Hridese arjuna tisthati


Dharmayan sarwa bhutati
Yantrarudhanti narayana

Artinya :
Gusti Hyang Maha suci iku dumunung ana ing
dalem baline
Sarupane makluk, iku sumurupo .....................

108 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Dene dayaneng suksmo sarupaning makluk mau
nyakrama
Gilingankaya dene kadelah ing ruda kang mubeng.

Bhatara Yang Maha Suci itu berada di dalam hati


Semua yang hidup ketahuilah :..................sedang
Kekuatan atman semua hidup itu berputar
seperti roda
Menuju kehadapan Bhatara.

Om tam sarwanamgacheha
Sarwa bhavena bharata
Tat pramadahat paramdantim
Thanam prasyasisasvatam

Tumujuan marang pajenengane Gusti minangka


Pangayomaning klawan sekabehing oh
.................
Saka kamurahaning sire bakal oleh ketentremankang
Luhur Dewa, tumeka ing papan kang langgeng.

Artinya :
Tertuju kepada Gusti yang melindungi
semuanya oh....
Dari kerurahannya, kamu akan mendapatkan
yang paling tinggi mencapai tempat yang
langgeng.

Om iti teyjnanam akhyatah


Guhyat guhyattaram maya
Vimrisyar tat asesnena
Yathe chahati yata kuru

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 109


Kaya mangkana nggoningsum nerengake kawicakcanam
Kang luwih winadhi, kang ngluwihi wewadining
Samubarang, iku kabeh pikeren kang temen lan
sawise
Tindakne kang manut karep ira

Artinya :
Begitulah cara saya menerangkan kebijak-sanaan
Yang lebih rahasia, yang melebihi semua rahasia
Maka pikirkan semua dengan serius dan setelah itu,
Lakukan menurut kehendakmu.

Om sarva guhyattanam bhyah


Srinu me paranama vachah
Istho si me dritam iti
Tato vakshyami te hitam

Mangkono dawuh ingsun kang wingit iki,


Yaikiwawadining samubarang sire iku banget
ingsun trisnani
Mula ingsun arsongendika kang agawe
karahayonan ira.

Artinya :
Begitulah nasehat saya yang benar ini
Itulah rahasia segalanya, kamu itu sangat saya
sayangi
Maka saya akan berkata yang membuat
keselamatanmu.

Om Manmana bhava mabhakto


Nam syasi satyamte
Pratyane priyo si me

110 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Tunjukna ciptaan ira marang ingsun,
Bektiyo marangingsun denana marang ingsun
Sira bakal teka marang ingsun, iku wis ingsun
tentoake
Sire teka marang ingsun.

Artinya :
Tunjukkan ciptaanMu padaku
Berbaktilah padaKu, beryadnya padaku
Kamu akan mencapai kepadaKu, itu sudah Aku
tentukan
Kamu akan sampai padaKu

Om sarwa dharman parityaya


Nam ekam saranam eraya
Aham twa sarva pabebyo
Muksayishyami suchah

Artinya :
Tinggalno sekabehing kwajibanmu nalika isih
Hurip ing alamdonyo, ngayomo marang ingsun
Ingsun bakal ngluwari sira saka sekabehing disa.
Wis aja melu apa-apa

Tinggalkan semua kewajibanmu pada waktu


Masih hidup di dunia, berlindunglah padaKu
Aku akan melepaskan semua dari dosa
Sudah jangan ikut apa-apa lagi.

Om idham na tapaskana
Na bhakta ya kadhacana
Ha ca nam yo bhasyuyati

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 111


Artinya :
Ojo ngandarake piwulang iki marang
Wong kang ora duwe kepercayan opo meneh
Marang wong kang ora bekti lan ora manut
Mangkono ugo marang wong nyepelekake marang
ingsun

Jangan menyampaikan ajaran ini


Kepada orang yang tidak punya kepercayaan
Apalagi orang yang tidak berbakti
Dan tidak menurut, taat
Begitu juga orang yang menghianati-Ku

Om ya paranam guhyam
Madbhakteshoabidasyate
Bhaktim mayi param kritva
Ma evai shyateasamsayah

Artinya :
Sing sape wae mulangake wewadi kang luhur iki,
Marang wong kang bekti marang ingsun
Siro kabeh iku wis kena tinamtoake bekal tumeka
marang ingsun

Siapa saja yang mengajarkan rahasia yang utama ini


Kepada orang yang berbakti padaKu
Pasti kamu semua akan dapat ditentukan
Akan mencapai padaku.

Ditutup dengan mantra sebagai berikut :

Om bhur bwah swah tat sawitur wareneyam


Bhargo Dewasaya dimahi dyo yonah pracodayat

112 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Om ksanta wya kayika dosah, ksanta wyo wacika
mama , Ksanta wyo manasah dosah tatpramadhat
swamah

Om I BA SA A NA MA SI WA YA Mang Ung Mang


OM SA BA TA A I NA MA SI WA YA Ang Ung Mang
Om murcantu, swargantu, moksantu, samantu
Ang Ksama sampurna ya namah swaha
Om Santi, Santi, Santi Om

2. Upacara Tiga Hari dan Tujuh Hari


Setelah jenasah ditanam atau kubur, malam harinya
dilaksanakan Ritual kematian yang diikuti oleh umat Hindu yang
berada disekitar atau yang berkesempatan datang kerumah yang
memiliki kematian tersebut selama tujuh malam berturut-turut dan
pada malam ke tujuh (tujuh hari setelah meninggal) pelaksanaan
Ritual kematian untuk tiga hari dan tujuh hari digabung menjadi
satu. Adapun sesajinya sebagai berikut :

Om Bhatara siwa, paduka sember segala yang


Sudah terjadi menjadi terjadi, paduka
menghilangkan kegelapan, Paduka maha tunggal,

- Canang sari (1)


- Pabyakala (3)
- Bubur pitara (1)
- Bunga lengkap
- Panyopo (1)
- Buceng monco warno (1)
- Ajuman (1)
- Nasi brok (1)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 113


Pada pelaksanaan Ritual kematian untuk tujuh hari ini
rangkaian upacaranya adalah sebagai berikut :
1. Pandito/Wasi (pemangku) membakar dupa, dengan mantra
sebagai berikut :

Om agnir-agnir djotir
Om dupam samar payami
Om ang dupa diprasta ya namah swaha

2. Pandita/Wasi (Pemangku) memohon tirta suci, dengan


mantra sebagai berikut :
- Astra mantra : (mengambil bunga dengan sikap mustikarana)

Om ung rhah pat astra ya atma tat wat maq


sudha mam swaha
Om ksama sampurna ya namah om sri pasupati umpat
Om gring wausat, om sriyam bhawantu, Om
purnam bhawantu
Om sukham bhawantu ya namah swaha
(lalu bunga dibuang kekanan)

- Apedeku : (mengambil bunga dengan sikap mustikarana)

Om anatasara ya namah, om padmasana ya namah


Om Dewa pratista ya namah
Om hrang hring sah parama Siwa aditya ya
namah swaha
(bunga dibuang ke kiri)

- Utpethi : (mengambil bunga putih dengan sikap mustikarana)

OM I BA SA TA A OM YA NA MA SIWAYA
OM MANG UNG ANG
(bunga dimasukan gelas yang berisi air untuk tirta suci)

114 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


- Stithi : (mengambil bunga merah dengan sikap mustikarana)

Om Dewa prastita, hrang sah parama Siwa aditya


ya namah swaha
Om SA BA TA A I NAMAH SIWA YA OM UNG
MANG
(bunga dimasukkan ke dalam gelas)

- Siwa Sutaram (mengambil bunga dengan sikap mustikarana)

Om siwa yadnya pawitram parama pawitram


Prajapati yo hayao syam bhalamastu tejo paramu
Guhyam tri ganam tri gunat makam
Ariyokoti sutya prakasa candra koti hrdayah
Iti weda mantra goyaiti mata mantra sodaksara
Karyopita Dewa swayambhu bhargo Dewa sya dimahi
(bunga dimasukkan ke dalam gelas dan diaduk-aduk)

- Ayuwerdhir : (gelas diangkat)

Om ayur werdir yaso werdir,werdi pratnya sukha


sriyam
Dharma santana werdisca santute sapta wardayah
Om dirgayur astu tat astu astu
Om awignam astu tat astu astu
Om sriyam bhawantu, Om sukham bhawantu
Om purnam bhawantu yanamah swaha
Om Santhi, Santhi, Santhi Om

- Brahmaprajapati

Om brahma prajapati sertah swayambhu waradam guru


Padma yodi catur waktra brahma sakaya musiate

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 115


- Pemujaan Tirta Suci

Om pancaksaram maha rirtha, pawitram papasanam


Papkoti sahan sranam ganda bahwa sasaran
Gangga sidhu Saraswati sidhu pase kosi kinia
Dyamuna maha namah serta sarasta maha nadi
Om bhur bwah maha gangga pawitram yanamah swaha
(dupa diletakkan dan dibuang ke depan)

- Percikan :
- Di ubun-ubun :
Om bhudamaha pawitra yanamah swaha
Om dharma maha tirtha yanamah swaha
Om Sang Hyang Brahma toyam yanamah swaha

- Minum (3x)
Om Brahma pawaka
Om Wisnu amerta
Om Siwa jnana

- Raup (3x)
Om suksma ya namah
Om parama sukma yanamah
Om sukma ksama sampurna yanamah swaha

- Menyelipkan bunga ditelinga :


Om sri asmara yanamah swaha

3. Mercik sesaji/pasrah sesaji (sambil memerciki sesaji


mengucapkan mantra)
Om Hyang angaturaken sari
Om hyang amukti sari, sari pawitram yanamah swaha
Om bhukyantu pitaro Dewam
Om bhukyantu pitaro ganam
Om bhukyantu pitaro sarwam byo namah swaha

116 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Om ksamantu pitaro Dewam
Om ksamantu pitaro ganam
Om ksamantu pitaro sarwa byo namah swaha
Om treptyantu pitaro Dewam
Om treptyantu pitaro ganam
Om treptyantu pitaro ganam byo namah swaha

Selanjutnya dilakukan Puja kepada Pitaro yang dipimpin


oleh pemangku, dengan urutan sebagai berikut :
Pertama :
- Asana
- Pranayama
- Karasodana
- Sikap Siwa Dwara
- Mengucapkan gayatri mantram (3x)
- Ksantawya .................. (Tri Sandya bait ke enam)
- Om Santhi, Santhi, Santhi Om.

Kedua :
- Sembah sungkem
- Asana
- Pranayama
- Karasodana
- Sikap Memuja/Muspa kosong (diucapkan secara bersama-
sama)

Om sembah hulun mugi kunjuk ing ayunannipun


Gusti hulun Sang Hyang widhi Wasa. Lumantar
Gusti panutan hulun, pribadi hulun, soho
hulun matur nembah nuwun sanget saking sih
palipurno pikulun dumunung wonten pepeteng
dalu, sedalu winengkuho ing rahayu, ing mangke
hulun nampi pepadang ipun rohino sedinten soho
selajengipun, winengkuho rahayu.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 117


Soho hulun nyurun pinaringono teguh santoso ing
batos hulun, padang jagat hulun, tentram manah
hulun, saras badan wadak hulun. Panyuwun hulun
mugi hulun kantutuno dateng margi ingkang anjok
ing kautaman. Pinaringono rejeki ingkang lumintu,
soho hulun nyuwun pinaringono wonten selo selaning
garu fukuning ndoyo kalisno sekathahin beboyo,
kalisno sekatahing rubedo, pinaringono panjing
punjung, panjaung yuswo hulun, panjang rejeki
hulun, pinaringono sabdo rahayu selami nipun.

Artinya :
Sang Hyang Widhi, sembah sungkem kami
sampaikan, semoga kami senantiasa dalam
perlindunganMu. Hyang widhi engkau adalah
penuntun kami, tujuan hidup kami, dan kami
sangat berterima kasih karena engkau telah
melebur kegelapan seperti gelapnya malam dengan
mendatangkan sinar terang seperti siang hari dan
seterusnya. Semoga semuanya mendatangkan
kerahayuan. Hyang widhi kami mohon limpah-
kanlah teguh sentausa dalam batin ami, sinar
terang dalam kehidupan kami, tentram jiwa kami,
sehat jasmani kami, dan leburlah segala dosa kami.
Kami mohon semoga Engkau senantiasa menuntun
kami menuju jalan yang benar, limpahkanlah
rejeki yang senantiasa datang pada kami, dan kami
mohon agar Engkau menghindarkan kami dari
segalqa kesalahan dalam perjalanan hidup kami,
hapuslah segala bahaya, hapuslah segala perbedaan,
limpahkanlah panjang umur, panjang rejeki kami,
limpahkanlah kerahayuan dalam segalanya.
(Wawancara, Samingan Waluyo, 25 Pebruari 2005).

118 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Ketiga :

Om bhur bwah swah ........................ (Trisandya bait 1)


1. Om Narayana ........................... (Trisandya bait 2)
2. Om Twam Siwa ....................... (Trisandya bait 3)

3. Om nawa siwaya sarwaya


Dewa Dewa ya wai namah
Rudraya buai saya
Siwa rupa ya tan namah

4. Om Papo Ham papa .................(trisandya bait 4)

5. Om Brahma Wisnu Iswara Dewam


Iwatmanam trilokanam sarwa jagat pratisanam
Sarwa rogo winursitam rogo ragane .............sampurno
Sarwa wigna winasanam wigna Desa wisanam

6. Om Ksama swama .....................(Trisandya bait 5)

Semua puja pada Puja Pitara ini diucapkan sebanyak 49


kali secara bersama-sama.

Ke empat :

Om bhukyantu pitaro Dewam


Bhukyantu pitaro ganam
Bhukyantu pitaro sarwe
Pitaro sarwe byo namah swaha

Om trepyantu atmanipun ...............mukse


Ksamantu atmanipun .................... mukse
Murcantu atmanipun ..........................
Swargantu atmanipun .........................

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 119


Moksantu atmanipun .........................
Ksamantu atmanipun .........................

Mantra ini diucapkan sebanyak 7 kali

Murcantu, Swargantu, Moksantu, Ksamantu


Ang ksama sampurna ya namah swaha

Setelah puja-puja tersebut selesai dilaksanakan


kemudian salah satu dari yang hadir membacakan mantra
sebagai berikut :

Om Awigenam Astu Nama Sidhi


Om tat sat eka adwa tyam brahman
Om bur bwah swah tat sawitur warenyam
Bargo Dewasye dimahi diyo yo yonah pracodayat
Niatingsun manjurung suksmo manunggalo kawulo
lan gusti, suksmo jiwanipun:.............. suksmo loro,
Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo
Bali marang suksmo jati, manunggal marang
suksmo kawekas.

Om pangeran inggih paduko, ingkang ngawaosi


tri loko bawono, puniko, ingkang Moho Suci,
soho sumbering sedoyo cahyo, mugi paduko
anglunturno dumateng suksmo jiwanipun,
swargi ........cahyo kaweningan paduko
ingkang Moho suci.
Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang
sampun dumados, ingkang bade dumados,
ing jagad seisi nipun puniko
Paduko boten wujut, Paduko ambirat
sekatahing pepeteng,

120 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Paduko Moho tunggal, wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun
swargi..........

Duh Gusti, paduko ugi sinambut Hyang Siwah


Maha Dewa, Iswara, Parameswara, Brahma
Wisnu sarto Rudra, Paduko angliputi sekatahing wujud
Mugi suksmo jiwanipun swargi :............. ketampio
Manunggal dumateng Paduko

Duh Gusti, suksmo jiwanipun swargi :.............


Kebak nisto serto kebak popo cintroko, mugi-mugi
Swargi......... pikantuko pangayomaning Pangeran

Duh Gusti, sesembahan kawulo,


Mugi Paduko angentasaken suksmo,
Jiwanipin swargi ............ sakeng popo cintroko
Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo
Dasanipun swargi : .......................

Duh Gusti pangayomaning sedoyo titah


kabebasno suksmo jiwanipun swargi ............
saking papo cintroko soho katuntuno dumateng
margi ingkang leres.

Duh Gusti, mugi pikantuko pangampunten


sedoyo doso
Saking tindak tandhuk, pangucap, pangraos
Soho klenta klentuning tumindakipun swargi .........

Swargi :................ purno dumados pajenengan


Saking buni-geni-angin sarto banyu
Jiwo pajenengan Geter Pater ing angkoso

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 121


(kembali dibacakan sendiri)
Mugi-mugi swargi : ............... pikantuko
Ketentreman tumuju dumateng kaswargan,
Dumigiyo ing kamoksan,
Mugi-mugi amanggiho kasampurnaan jati

Artinya :
Kehendakku mengantar atman, bersatulah atman
dengan brahman, atman Jiwatman : ..................
atman sakit, atman sembah,

Atman berjalan, atman kembali, kembali pada


Brahman, Menyatu ke siwa baka.

Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka


buwana ini
Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan
Atma swargi ................... cahaya bening paduka
Yang Maha suci.

tidak ada duanya,


Saya serahkan jiwa raga swargi : ......................

Om Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara,


Prameswara, juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra
Paduka/Bhatara siwa meliputi semua wujud
Semoga atman swargi ...............diterima menyatu
Di Siwa baka (alam Brahman).
Om Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa
swargi.............
Penuh dengan dosa, nista, penuh papa,
Semoga mendapatkan perlindungan padaku

122 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Om Paduka Bhatara, yang saya sembah
Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman
swargi....
Dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang benar.

Om Paduka Bhatara, semoga mendapatkan


pengampunan
Semua dosa dari perbuatan, pembicaraan, pikiran
Dan kekeliruan prilaku dari swargi .....................

Swargi ................. asal kelahiran dari bumi, air, api,


Angin, udara, jiwamu bergetar di angkasa

Yang berasal dari bumi,kembalilah ke bumi yang suci


Yang berasal dari api, kembalilah kepada api
yang suci
Yang berasal dari angin, kembalilah kepada
angin yang suci, yang berasal dari air, kembalilah
kepada air yang suci.

Semoga swargi ............ di terima atas pengayoman


Bhatara Siwa, menyatu dengan kesucian Bhatara
Semoga swargi : ............. mendapatkan ketentraman
Menyatu swargi mencapai kemoksaan
Semoga menemukan kesempurnaan sejati.
(wawancara, mangku Mungin, 26 Peruari 2005).

Kelima :

Dilanjutkan dengan mengidungkan kidung lelayu


(karena hanya beberapa orang saja yang bisa mengidungkan
kidung ini, maka kidung ini hanya dibaca oleh salah satu
orang yang hadir dalam upacara tersebut).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 123


Kidung Lelayu

Duh Gusti pepunden hulun


Kang amrbo tri bawana
Poro wargo jalu wanito
Sung pujo panjurung suksmo

Suksmo jiwanggo lelaku


Tinedahno margo mulyo
Wangsul manunggal hyang suksmo
Yekti palastro sampurno

Wangsul mula mulanipun


Siti wangsul mring bantolo
Hagni wangsul mring pawoko
Bayu wangsul mring samirono

Kang warih wangsul mring banyu


Ponang suksmo langgeng gesang
Ngumboro lelono broto
Miturut larasing karmo

Den prayitni lampahipun


Manungso ing marcopodo
Marsudi laku utomo
Nulodo tulusing wedo

Jroning wedo kah sinebut


Piwulang kang manco warno
Nora gampang hinayatan
Yen yan antuk parnaning hyang

Om santih santih santih Om.


(Wawancara, mangku subroto, 25 pebruari 2005).

124 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


3. Upacara Empat Puluh Hari
Upacara Empat Puluh Hari bagi yang telah meninggal
dilaksanakan tepat menjelang empat puluh hari meninggalnya
seseorang. Pelaksanaan Ritual Kematian untuk Empat Puluh Hari
ini sama dengan pelaksanaan tujuh hari atau Pitong Dinoan, baik
upakara, puja/mantra maupun pelaksanaan persembahyangannya
sebagai berikut : Om Bhatara siwa, paduka sember segala yang
Sudah terjadi menjadi terjadi, paduka menghilangkan kegelapan,
Paduka maha tunggal,
- Canang sari (1)
- Pabyakala (3)
- Bubur pitara (1)
- Bunga lengkap
- Panyopo (1)
- Buceng monco warno (1)
- Ajuman (1)
- Nasi brok (1)

Pada pelaksanaan Ritual kematian untuk empat puluh hari


ini rangkaian upacaranya adalah sebagai berikut :
1. Pandito/Wasi (pemangku) membakar dupa, dengan mantra
sebagai berikut :

Om agnir-agnir djotir
Om dupam samar payami
Om ang dupa diprasta ya namah swaha

2. Pandita/Wasi (Pemangku) memohon tirta suci, dengan


mantra sebagai berikut :
- Astra mantra : (mengambil bunga dengan sikap mustikarana)

Om ung rhah pat astra ya atma tat wat maq


sudha mam swaha
Om ksama sampurna ya namah om sri pasupati umpat

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 125


Om gring wausat, om sriyam bhawantu, Om
purnam bhawantu
Om sukham bhawantu ya namah swaha
(lalu bunga dibuang kekanan)

- Apedeku : (mengambil bunga dengan sikap mustikarana)

Om anatasara ya namah, om padmasana ya


namah
Om Dewa pratista ya namah
Om hrang hring sah parama Siwa aditya ya
namah swaha
(bunga dibuang ke kiri)

- Utpethi : (mengambil bunga putih dengan sikap mustikarana)

OM I BA SA TA A OM YA NA MA SIWAYA
OM MANG UNG ANG
(bunga dimasukan gelas yang berisi air untuk
tirta suci)

- Stithi : (mengambil bunga merah dengan sikap mustikarana)

Om Dewa prastita, hrang sah parama Siwa


aditya ya namah swaha
Om SA BA TA A I NAMAH SIWA YA OM UNG MANG
(bunga dimasukkan ke dalam gelas)

- Siwa Sutaram (mengambil bunga dengan sikap mustikarana)

Om siwa yadnya pawitram parama pawitram


Prajapati yo hayao syam bhalamastu tejo paramu
Guhyam tri ganam tri gunat makam
Ariyokoti sutya prakasa candra koti hrdayah

126 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Iti weda mantra goyaiti mata mantra sodaksara
Karyopita Dewa swayambhu bhargo Dewa sya dimahi
(bunga dimasukkan ke dalam gelas dan diaduk-aduk)

- Ayuwerdhir : (gelas diangkat)

Om ayur werdir yaso werdir,werdi pratnya sukha sriyam


Dharma santana werdisca santute sapta wardayah
Om dirgayur astu tat astu astu
Om awignam astu tat astu astu
Om sriyam bhawantu, Om sukham bhawantu
Om purnam bhawantu yanamah swaha
Om Santhi, Santhi, Santhi Om

- Brahmaprajapati

Om brahma prajapati sertah swayambhu waradam guru


Padma yodi catur waktra brahma sakaya musiate

- Pemujaan Tirta Suci

Om pancaksaram maha rirtha, pawitram papasanam


Papkoti sahan sranam ganda bahwa sasaran
Gangga sidhu Saraswati sidhu pase kosi kinia
Dyamuna maha namah serta sarasta maha nadi
Om bhur bwah maha gangga pawitram yanamah swaha
(dupa diletakkan dan dibuang ke depan)

- Percikan :

- Di ubun-ubun :
Om bhudamaha pawitra yanamah swaha
Om dharma maha tirtha yanamah swaha
Om Sang Hyang Brahma toyam yanamah swaha

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 127


- Minum (3x)
Om Brahma pawaka
Om Wisnu amerta
Om Siwa jnana

- Raup (3x)
Om suksma ya namah
Om parama sukma yanamah
Om sukma ksama sampurna yanamah swaha

- Menyelipkan bunga ditelinga :


Om sri asmara yanamah swaha

3. Mercik sesaji/pasrah sesaji (sambil memerciki sesaji


mengucapkan mantra)

Om Hyang angaturaken sari


Om hyang amukti sari, sari pawitram yanamah swaha
Om bhukyantu pitaro Dewam
Om bhukyantu pitaro ganam
Om bhukyantu pitaro sarwam byo namah swaha

Om ksamantu pitaro Dewam


Om ksamantu pitaro ganam
Om ksamantu pitaro sarwa byo namah swaha

Om treptyantu pitaro Dewam


Om treptyantu pitaro ganam
Om treptyantu pitaro ganam byo namah swaha

Selanjutnya dilakukan Puja kepada Pitaro yang dipimpin


oleh pemangku, dengan urutan sebagai berikut:
Pertama :

128 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


1. Asana
2. Pranayama
3. Karasodana
4. Sikap Siwa Dwara
4.1 Mengucapkan gayatri mantram (3x)
4.2 Ksantawya ..................(Tri Sandya bait ke enam)
Om Santhi, Santhi, Santhi Om.

Kedua :
1. Sembah sungkem
2. Asana
3. Pranayama
4. Karasodana
5. Sikap Memuja/Muspa kosong (diucapkan secara
bersama-sama)

Om sembah hulun mugi kunjuk ing ayunannipun


Gusti hulun Sang Hyang widhi Wasa. Lumantar
Gusti panutan hulun, pribadi hulun, soho
hulun matur nembah nuwun sanget saking sih
palipurno pikulun dumunung wonten pepeteng
dalu, sedalu winengkuho ing rahayu, ing mangke
hulun nampi pepadang ipun rohino sedinten soho
selajengipun, winengkuho rahayu.
Soho hulun nyurun pinaringono teguh santoso ing
batos hulun, padang jagat hulun, tentram manah
hulun, saras badan wadak hulun. Panyuwun hulun
mugi hulun kantutuno dateng margi ingkang anjok
ing kautaman. Pinaringono rejeki ingkang lumintu,
soho hulun nyuwun pinaringono wonten selo selaning
garu fukuning ndoyo kalisno sekathahin beboyo,
kalisno sekatahing rubedo, pinaringono panjing
punjung, panjaung yuswo hulun, panjang rejeki
hulun, pinaringono sabdo rahayu selami nipun.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 129


Artinya :
Sang Hyang Widhi, sembah sungkem kami
sampaikan, semoga kami senantiasa dalam
perlindunganMu. Hyang widhi engkau adalah
penuntun kami, tujuan hidup kami, dan kami
sangat berterima kasih karena engkau telah
melebur kegelapan seperti gelapnya malam
dengan mendatangkan sinar terang seperti
siang hari dan seterusnya. Semoga semuanya
mendatangkan kerahayuan. Hyang widhi kami
mohon limpahkanlah teguh sentausa dalam
batin ami, sinar terang dalam kehidupan kami,
tentram jiwa kami, sehat jasmani kami, dan
leburlah segala dosa kami. Kami mohon semoga
Engkau senantiasa menuntun kami menuju jalan
yang benar, limpahkanlah rejeki yang senantiasa
datang pada kami, dan kami mohon agar Engkau
menghindarkan kami dari segalqa kesalahan
dalam perjalanan hidup kami, hapuslah segala
bahaya, hapuslah segala perbedaan, limpahkanlah
panjang umur, panjang rejeki kami, limpahkanlah
kerahayuan dalam segalanya.
(Wawancara, mangku Subroto, 25 peruari 2005).

Ketiga :
1. Om bhur bwah swah .....................(Trisandya bait 1)
2. Om Narayana............................ (Trisandya bait 2)
3. Om Twam Siwa ....................... (Trisandya bait 3)

4. Om nawa siwaya sarwaya


Dewa Dewa ya wai namah
Rudraya buai saya
Siwa rupa ya tan namah

130 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


5. Om Papo Ham papa .................(trisandya bait 4)

6. Om Brahma Wisnu Iswara Dewam


Iwatmanam trilokanam sarwa jagat pratisanam
Sarwa rogo winursitam rogo ragane .............
sampurno
Sarwa wigna winasanam wigna Desa wisanam

7. Om Ksama swama .....................(Trisandya bait 5)

Semua puja pada Puja Pitara ini diucapkan sebanyak


49 kali secara bersama-sama.

Ke empat :

Om bhukyantu pitaro Dewam


Bhukyantu pitaro ganam
Bhukyantu pitaro sarwe
Pitaro sarwe byo namah swaha

Om trepyantu atmanipun ...............mukse


Ksamantu atmanipun .................... mukse
Murcantu atmanipun ..........................
Swargantu atmanipun .........................
Moksantu atmanipun .........................
Ksamantu atmanipun .........................

Mantra ini diucapkan sebanyak 7 kali

Murcantu, Swargantu, Moksantu, Ksamantu


Ang ksama sampurna ya namah swaha

Setelah puja-puja tersebut selesai dilaksanakan


kemudian salah satu dari yang hadir membacakan mantra
sebagai berikut :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 131


Om Awigenam Astu Nama Sidhi
Om tat sat eka adwa tyam brahman
Om bur bwah swah tat sawitur warenyam
Bargo Dewasye dimahi diyo yo yonah pracodayat

Niatingsun manjurung suksmo manunggalo kawulo


lan gusti, suksmo jiwanipun:.............. suksmo loro,
Suksmo waluyo siksmo ngumboro, suksmo baliyo
Bali marang suksmo jati, manunggal marang
suksmo kawekas.

Om pangeran inggih paduko, ingkang ngawaosi


tri loko bawono, puniko, ingkang Moho Suci,
soho sumbering sedoyo cahyo, mugi paduko
anglunturno dumateng suksmo jiwanipun,
swargi ........cahyo kaweningan paduko
ingkang Moho suci.

Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang


sampun dumados, ingkang bade dumados,
ing jagad seisi nipun puniko
Paduko boten wujut, Paduko ambirat sekatahing
pepeteng,
Paduko Moho tunggal, wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun swargi..........

Duh Gusti, paduko ugi sinambut Hyang Siwah


Maha Dewa, Iswara, Parameswara, Brahma
Wisnu sarto Rudra, Paduko angliputi sekatahing wujud
Mugi suksmo jiwanipun swargi :............. ketampio
Manunggal dumateng Paduko
Duh Gusti, suksmo jiwanipun swargi :.............
Kebak nisto serto kebak popo cintroko, mugi-mugi
Swargi......... pikantuko pangayomaning Pangeran

132 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Duh Gusti, sesembahan kawulo,
Mugi Paduko angentasaken suksmo,
Jiwanipin swargi ............ sakeng popo cintroko
Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo
Dasanipun swargi : .......................

Duh Gusti pangayomaning sedoyo titah


kabebasno suksmo jiwanipun swargi ............
saking papo cintroko soho katuntuno dumateng
margi ingkang leres.

Duh Gusti, mugi pikantuko pangampunten


sedoyo doso
Saking tindak tandhuk, pangucap, pangraos
Soho klenta klentuning tumindakipun swargi
.........
Swargi :................ purno dumados pajenengan
Saking buni-geni-angin sarto banyu
Jiwo pajenengan Geter Pater ing angkoso

(kembali dibacakan sendiri)


Mugi-mugi swargi : ............... pikantuko
Ketentreman tumuju dumateng kaswargan,
Dumigiyo ing kamoksan,
Mugi-mugi amanggiho kasampurnaan jati

Artinya :
Kehendakku mengantar atman, bersatulah atman
dengan brahman, atman Jiwatman : ..................
atman sakit, atman sembah,
Atman berjalan, atman kembali, kembali pada
Brahman,
Menyatu ke siwa baka.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 133


Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka
buwana ini
Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan
Atma swargi ................... cahaya bening paduka
Yang Maha suci.

tidak ada duanya,


Saya serahkan jiwa raga swargi : ......................

Om Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara,


Prameswara, juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra
Paduka/Bhatara siwa meliputi semua wujud
Semoga atman swargi ...............diterima menyatu
Di Siwa baka (alam Brahman).
Om Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa
swargi.............
Penuh dengan dosa, nista, penuh papa,
Semoga mendapatkan perlindungan padaku

Om Paduka Bhatara, yang saya sembah


Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman
swargi....
Dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang
benar.

Om Paduka Bhatara, semoga mendapatkan


pengampunan
Semua dosa dari perbuatan, pembicaraan, pikiran
Dan kekeliruan prilaku dari swargi .....................

Swargi ................. asal kelahiran dari bumi, air, api,


Angin, udara, jiwamu bergetar di angkasa
Yang berasal dari bumi,kembalilah ke bumi yang suci

134 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Yang berasal dari api, kembalilah kepada api yang suci
Yang berasal dari angin, kembalilah kepada
angin yang suci, yang berasal dari air, kembalilah
kepada air yang suci.

Semoga swargi ............ di terima atas pengayoman


Bhatara Siwa, menyatu dengan kesucian Bhatara
Semoga swargi : ............. mendapatkan ketentraman
Menyatu swargi mencapai kemoksaan
Semoga menemukan kesempurnaan sejati.
(wawancara, mangku Mungin, 26 Peruari 2005).

Kelima :
Dilanjutkan dengan mengidungkan kidung lelayu
(karena hanya beberapa orang saja yang bisa mengidungkan
kidung ini, maka kidung ini hanya dibaca oleh salah satu
orang yang hadir dalam upacara tersebut).

Kidung Lelayu
Duh Gusti pepunden hulun
Kang amrbo tri bawana
Poro wargo jalu wanito
Sung pujo panjurung suksmo

Suksmo jiwanggo lelaku


Tinedahno margo mulyo
Wangsul manunggal hyang suksmo
Yekti palastro sampurno

Wangsul mula mulanipun


Siti wangsul mring bantolo
Hagni wangsul mring pawoko
Bayu wangsul mring samirono

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 135


Kang warih wangsul mring banyu
Ponang suksmo langgeng gesang
Ngumboro lelono broto
Miturut larasing karmo

Den prayitni lampahipun


Manungso ing marcopodo
Marsudi laku utomo
Nulodo tulusing wedo
Jroning wedo kah sinebut
Piwulang kang manco warno
Nora gampang hinayatan
Yen yan antuk parnaning hyang

Om santih santih santih Om.4

4. Upacara Seratus Hari


Ritual kematian Seratus Hari (satus Dine) oleh
masyarakat Jawa secara umum dikenal dengan Nyatus dine.
Ritual Nyatus ini dilaksanakan tepat setelah seratus hari
meninggalnya seseorang. Pelaksanaan ritual Nyatus ini
adalah sama dengan pelaksanaan ritaul untuk Pitong Dinoan
dan ritual emujaan terhadap Pitara Empat Puluh Hari
(Petang Puluhan).

5. Ritual Pendak Pisan


Ritual Pendak Pisan adalah ritual yang dilaksanakan
setelah satu tahun meninggalnya seseorang. Pelaksanaan
Upacara Pendak Pisan dilaksanakan setelah orang yang
meninggal mendapat satu tahun dan kemudian dicari
hari kematiannya. Perhitungan bulan yang dipakai untuk
menghitung adalah perhitungan kalender Jawa, dimana dalam

4. (Wawancara, mangku Subroto, 25 Pebruari 2005)

136 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


satu bulan ada tiga puluh lima (35) hari (wawancara, Mangku
Subroto tgl 25 pebruari 2005). Pelaksanaan Upacara Puja
Pitara untuk Pendak Pisan ini baik pelaksanaan, mantra dan
susunan persembahyangannya sama dengan pelaksanaan
ritual kematian terhadap Pitara untuk Pitongdinoan, Petang
Puluhan dan Nyatus.

6. Ritual Pendak Pindo


Ritual Pendak Pindo dilaksanakan setelah orang yang
meninggal mencapai dua tahun kemudian dicari kematiannya.
Perhitungan untuk melaksanakan Ritual Pendak Pindo
adalah sama dengan perhitungan pada pelaksanaan Ritual
Pendak Pisan, yaitu dengan perhitungan kalender Jawa
dimana dalam satu bulan terdiri dari 35 hari.
Pelaksanaan Upacara Pendak Pindo adalah sama
dengan pelaksanaan Ritual Pitong Dinoan, Petang Puluhan,
Nyatus dan Pendak Pisan baik mantra, upakara dan susunan
persembahyangan.

7. Ritual Seribu Hari / Nyewu


Ritual Nyewu dalam rangkaian pelaksanaan Ritual
Kematian dapat dibagi menjadi empat tahapan antara lain :
1. Waktu Pelaksanaan Ritual Kematian
Ritual Kematian lazimnya diadakan pada waktu
orang yang meninggal setelah 1000 (seribu) hari dari
kematian. Untuk menghitung upacara dilaksanakan
Nyewu, diharapkan tidak boleh sampai meleset bahkan
menjaga agar jangan sampai keliru.maka dari itu harus
diingat atau betul-betul dicatat tanggal dan bulan pada
waktu meninggalnya. Bila meninggalnya pda tanggal 5
bulan Mei maka hitungannya harus tepat pada 5 Mei
tahun berikutnya, sampi mencapai hitungan keseribu
yaitu pada hari Senin Pon tanggal 5 bulan Mei, maka

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 137


dalam Ritual Kematian nantinya harus tepat yaitu tanggal
5 bulan Mei pasarannya Senin Pon, sesuai dengan hari
yang keseribunya. (Untung M., Wawancara, 13 Januari
2005). Akan tetapi orang Jawa pada umumnya sering
mempergunakan bulan Jawa, tetapi tujuannya sama
yaitu sama-sama mencari hari yang tepat dan tanggal
yang sama dengan hari sewaktu kematian.
Di samping itu pada masyarakat Jawa sekarang ini
lebih cenderung melakukan Ritual Kematian, mengikuti
petunjuk dari Pinandita atau Dukun. Maksudnya
masalah hari pelaksanaannya selalu memperhitungkan
peDewasaan. PaDewasaan maksudnya adalah hari
bulan (bulan Jawa), Panca Wara dan pawukon yang
sesuai (cocok)
Masyarakat dalam menyelenggarakan Ritual
Kematian selalu mengingat hari lahir orang yang
meninggal tersebut. Hal ini dimaksudkan bahwa orang
yang ditinggal itu menghormati pada orang yang
meninggal dan orang yang meninggal tersebut selalu
diingat padanya. Dalam menentukan hari pelaksanaan
Ritual Kematian tersebut harus disiapkan secara matang,
tepat dan sesuai dengan hari kematiannya. (Ponijan,
Wawancara, 15 Juli 2005). Maka dari itu pihak keluarga
yang akan melaksanakan Ritual Kematian itu harus
mengadakan musyawarah dengan sesepuh keluarga di
samping mengundang Pinandita atau Dukun.

2. Persiapan Upacara
Setelah penentuan hari pelaksanaan Ritual
Kematian selanjutnya dua hari sebelum hari diadakan
upacara, keluarg yang akan melakukan upacara tersebut
menghubungi sanak familinya agar ikut serta membantu
kerja dalam upacara nanti. Dalam mempersiapkan

138 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


upacara juga dibantu oleh para tetangga (tonggo teparo)
dan juga tak lupa yaitu para remaja putri yang disebut
dengan “magersari”, sebab mereka ini dianggap
kerjanya trampil dan cekatan.
Sehari sebelum upacara berlangsung, maka orang
yang akan melakukan upacara tersebut melaksanakan
upawasa atau puasa tidak makan tidak minum dan selalu
berdoa agar diberikan keselamatan dalam upacara nanti.
Hal ini mempunyai persamaan dengan pelaksanaan
mekemit yang ada di Bali sebelum upacara dilakukan,
tetapi perbedaannya kalau mekemit dilakukan di
lingkungan Pura.
Pada siang hari setelah banten atau sesaji lengkap,
biasanya papa pinggir wadah tempat sesaji tersebut
terpampang foto almarhum yang akan disewu. Pihak
keluarga yang mengadakan upacara tersebut sore harinya
sebelum acara kenduri dimulai terlebih dahulu harus
“Ngirim Luhur” pada orang tua yang sudah meninggal
dan sudah diadakan Ritual Kematian dan yang dianggap
sebagai pitara. Maksudnya arwah yang sudah dianggap
suci. Ngirim luhur adalah pergi ke kuburan dengan
banten tarpana dan dilengkapi6 dengan bunga, dupa, air
(tirta), dan kemenyan. Dengan maksud untuk memohon
anugerah pada leluhur yang telah disucikan juga
dimaksudkan untuk mengirim sang Pitara.

3. Upacara Kenduri, Upacara Ngirim Luhur, Upacara


Pamasangan Nisan.
1. Upacara Kenduri
Kenduri secara metafisika berasal dari
kendaraan yaitu ka + Indra + an yang berarti sarana,
alat untuk menghubungkan diri dengan penguasa
(Tuhan). Dalam upacara Kenduri ini menitik

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 139


beratkan pada pemujaan Tuhan melalui berbagai
manifestasi-Nyaspt cikal bakal, Pitara yang
berkuasa pada suatu Desa (Danyang). (Syaban,
Wawancara, 1 Agustus 2005). Dalam pelaksanaan
upacara ini selalu mempergunakan mantra setiap
mengadakan sesaji kenduri.
Adapun mantra yang dipakai dalam
mewedakan dengan maksud menghaturkan sesaji
dalam kenduri dalam bahasa Jawa adalah sebagai
berikut :

Om Aghnam Astu,

Kanti tat rakit sesaji saha wilujengan dipun


wujud aken sekul suci, ulam suci, ambengan suci,
asahan tumpeng, apem, pisang, jenang, baro-
baro saha jajan pasar meniko nunggil sediyo saha
panuwun :
1. Sedaya wau kangge sarana ngabekti, utawi
ngluhuraken asmanipun, ingkang kawilujengan
tansah nyuwun kanugrahan, katentreman saha
kawilujengan utawi sak penunggalanipun.
Sedaya niat lam keperluan ikang wanci puniko
mugi tinibuk, kepareng, lan kademengan.
2. Dene sesaji ingkang wujud ambengan, sekul
golong ingkang sejodo kangge caos dahar
cikal-bakal. Danyang, ingkang semoro siti
dusun........ (nama Desa) utawi ngabekti
dumateng ingkang baurekso, wonten ing
dusun ...... (nama Desa) mila caos dahar mugi
lancar angganipun pados pangapa jiwa.
3. Dene ingkang wujud apem, ambengan kangge
ngantun puji para pepunden ingkang sampun

140 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


kondur dumateng alam kelanmggengan
sageto dipunparingi pangapunten sedaya
kalepatanipun (dosanipun) mugi sageto
langgeng kalinyan alamipun Hyang Widhi
Wasa. Golong ingkang sejodo malih kanggo
caos dahar Hyang Prajapati ingkang dipun
saranani suwargi supados kaparengo enggal
nyampurnaaken jasadipun ingkang dumados
saking unsur lima prakawis sageto wungsul
dumateng asal usulipun. Roh (atma) sageto
manunggal kaliyan ingkang Murbeng
Dumadi. Sak lajengipun sageto mangsulaken
sedaya kelawarga saha sederek ingkang tinilar
mugi binerkahan, jinangkung rinten daluipun
gampil anggenipun ngupaya pangupaya jiwa
mirah sandang pangan lan seger kewarasan.
4. Ingkang sajodo malih kangge caos dahar
dumateng eyang cikal bakal ingkang
murwakani tanah Jawi awit kalebet dipun
caosi dahar keparengo ngiyatuken ingkang
anyarengi dinten Nyewunipun...... (nama
orang) mugi sageto binerkahan kaliyan
ingkang Akaryo Jagat (Pangeran sageto
tinerbuko ingkang dados panyuwungipun ......
(yang punya hajat).
5. Ikang sajodo masih kangge caos dahar
dumateng Bapa Angkasa saha Ibu Pertiwi,
ingkang nguasani latu (Agni) nguasani Toyo
(Udaka), nguasani angin (Maruta) suwito
gesang ngginaaken peso ingkang gesang
ngawontenaken godong, kayu, latu lan sanes-
sanes ipun menawi wonten kalepatan nyuwun

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 141


pangapunten lan sageto binerkahan kaliyan
Sang Hyang Widhi Wasa.
6. Ngawontenaken sekul adu seger (sekul
janganan ingkang seperlu kangge caos dahar
dumateng ingkang momong badan wadag
inggih pounika Kyai Among Nini Amoing
Swagotra, Kyai Sumantoro, Nyai Sumantoro
keparengo jangkung rinten dalunipun tansah
binerkahan saha kekuatan mindhakaken
pakaryan.
7. Jenang abrit petak kange sesaji dumateng Bapa
Akasa Ibu Pertiwi mugi tansah maringaken
karahayon.
8. Jenang baro-baro kangge nyajeni dumateng
sederek kakang kawah adi ari-ari utawi
kangge nyajeni sederek papat limo pancer,
cedak tanpa senggolan, adoh tanpo wangenan
awit dipunaajeni sageto jangkung anggenipun
makaryo pikantuk sandhang pangan, mirah
rejeki sageto pajek gejeh, bakuh kukuh saha
atem tentram.
9. Tukon pasar, gecok kangge nyajemi para bhuta
kala (lelembut) ingkang rumeksa wonten
pratigan, prapatan, pundi margi, jaban sedaya
papan sampun ngantos ngganggu anggenipun
ngleksanaken Ritual Kematian puniko.
10. Sekul asahan kangge ngesahaken ingkang
dados niat utawi kreteg ingkang wedal puniko
sageto ngleksanaken Ritual Kematian kanti
wilujeng.
11. Pisang satengkep kangge caos dahar dumateng
Bhatara Sedana lan Dewi Sri ingkang nguwaosi

142 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


sandang pangan dipun suwun anggenipun
suwita gesang tansah pinaringan ayem tentrem
seger kewarasan.
12. Jajan pasar kangge caos dahar dumateng
pekenan gangsal dinten pitu, sasih rolas, windu
papat utawi suasana ingkang dados niatipun
sederek (nama yang punya hajat) ing pangajab
mugi sedaya panyuwuhan sageto kaleksanan.

Mantra pangujuban yang dikapai dalam Ritual


Kematian secara bebas dapat diartikan sebagai
berikut :
Penghaturan kurban suci dengan beberapa
sesaji (banten) yang diwujudkan dalam bentuk nasi
suci, daging suci, nasi ambengan suci, tumpeng,
apem, pisang, golong, sayur mayur, bubur merah,
putih, baro-baro dan jajan pasar ini mempunyai
maksud dan tujuan :
1. Semuanya itu untuk sarana berbhakti,
mengangungkan nama-Nya, yang melakukan
upacara memohon wara nugraha, ketentraman,
keselamatan dan sejenisnya.
2. Semua niat dna keperluanpada waktu itu
semoga bisa dibabarkan dan dicapainya.
3. Adapun sesaji yang berwujud ambengan nasi
goreng sepsang untuk dihaturkan kepada
cikal bakal (Danyang) yang menguasai Desa
..... (nama Desa) atau berbhakti kepada yang
dianggap berkuasa di Desa ..... (nama Desa)
maka diberi haturan semoga lancar dalam
suatu pekerjaan upacara.
4. Adapun yang berwujud apem, ambengan,
untuk mengirim kepada leluhur semoga

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 143


diampuni dosanya dan kembali ke alam
kelanggengan menyatu dengan Tuhan. Nasi
golong yang sejodoh dihaturkan kepada Hyang
Prajapati dan yang dikirim doa semoga cepat
sempurna jasadnya yang terjadi lima unsur
(Panca Maha Bhuta) kembali keasal usulnya
atma menunggal dengan Tuhan. Selanjutnya
sanak saudara (famili) selalu dianugrahi dan
dilindungi siang dan malam` serta murah
rejeki dan sehat.
5. Satu jodoh lagi dihaturkan kepada Hyang
cikal bakal yang pertama kali menempati
tanah Jawa, karena sebagai cikal bakal
semoga memberikan keselamatan atau rahmat
dan memberikan kekuatan kepada orang yang
melakukan Ritual Kematian semoga dapat
terkabul permintaannya.
6. Satu jodoh lagi untuk dipersembahkan kepada
Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi yang menguasai
Api (Agni), Air (Udaka), Angin (Maruta)
dalam hidup menggunakan itu semua Ia hidup
menggunakan daun kayu, api dan lainnya
kalau ada kesalahan mohon maaf dan selalu
mendapat anugrah dari Hyang Widhi Wasa.
7. Adanya nasi tumpeng sayur mayur
dipersembahkan kepada yang memelihara
badan wadag (kasar) yaitu Kaki Among
dan Nini Among, Kyai Sumantoro dan
Nyai Sumantoro semoga melindungi dalam
melakukan karya.
8. Bubur merah putih dihaturkan kepada Bapa
Akasa dan Ibu Pertiwi semoga memberikan
keselamatan.

144 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


9. Bubur baro-baro untuk sesaji kepada saudara
kadang kawah adi ari-ari atau saudara empat
(catur sanak) dan lima sebagai pancer yang
dekat tanpa bersentuhan dan jauh tanpa ada
batas. Itu semua diberikan sesaji semoga bisa
melindungi dalam kerja serta teguh, berdiri
tegak dan tenang dihati.
10. Sesaji tukon pasar, gecok disajikan kepada para
bhuta kala yang berkuasa dipertigaan jalan,
perempatan jalan dan dimana saja jangan sampai
mengganggu yang melaksanakan Nyewu.
11. Nasi ambengan asahan untuk mengesahkan
apa yang menjadi niat pada waktu itu semoga
bisa melakukan upacara dengan selamat.
12. Pisang satu sisir untuk dihaturkan kepada
Bhatara Sedana dan Dewi Sri yang menguasai
sandang pangan semoga dalam hidup tentram,
damai serta selalu dalam keadaan sehat.Jajan
pasar untuk dihaturkan kepada hari tujuh
pasaran lima (panca wara), bulan dua belas,
windu empat, keadaan yang ada di dunia ini
semoga menyaksikan niat saudara ...... (nama
yang punya hajat) dengan harapan semoga
niatnya terkabul.

Dengan melihat puja dalam bentuk pengujuban


tersebut di atas maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa
upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat
Jawa, khususnya Banyuwangi sebagai pelaksanaan
yadnya yang layak dilakukan oleh umat Hindu di Bali.
Namun pelaksanaannya sudah dipengaruhi oleh tradisi
setempat yang disesuaikan dengan Desa (tempat),
Kala (waktu), Patra (keadaan).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 145


Mengenai waktu pelaksanaan upacara kenduri
tersebut dilakukan pada waktu sore hari menjelang
malam atau waktu “sandya kala”. Yang memimpin
upacara kenduri ini biasanya Pinandita, waci,
dukun. Dan pada malam itu juga sehabis upacara
kenduri, Pinandita melepaskan sepasang burung
dara sebagai lambang kesempurnaan atma menuju
atau bersatu dengan Hyang widhi.

2. Upacara Ngirim Luhur (leluhur)


Dalam melaksanakan upacara kirim leluhur
biasanya dalam wujud berbagai upakara, seperti
selayaknya hidangan sewaktu masih hidup dan
ditambah upakara-upakara tertentu, yang pokok
untuk kehadapan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, seperti kembang setaman (bunga melati,
mawar, kenanga) sebagai lambang perwujudan
warna Tri Murti. Semua sesaji tersebut dihaturkan
di sanggah yang bangunannya terletak di samping
Padmasana. Setelah dihaturkan Pinandita atau
Pinesepuh keluarga memanjatkan mantra yang
berbahasa Jawa sebagai berikut :

Sang galing gangjati arane menyan winurjati


wrubing menyan jaluk gawemu minangka
bektiku barang bapa biyung (ngirim sekar
bapa biyung) kaki nini ku ngirim sekar kaki
niniku, luhurku (ngirim sekar mbah buyut
sapandhuwur). Urubing menyan gebyar-
gebyar umanjing swarga, tinampan bapa
biyungku, kaki niniku, utowo leluhurku.
Kulo sowan caos bekti lan nyuwun pangestu.
Wilujeng lan kasembadannono saking sedoyo,
binelakung ing Pangeran

146 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Sang galing gangjati namanya menyan
atau kemenyan kebiru-biruan nyalanya
kemenyan, saya minta nyalanya kemenyan,
merupakan bhaktiku kepada leluhur, juga
menyebutkan asal mula keluarga yang
disebut kaki nini atau leluhur 9 dari orang
yang sudah mati sampai selanjutnya),
nyalanya kemenyan memancar sampai ke
sorga, diterima oleh leluhurku, dan saya
menghaturkan bhakti dan minta terlaksana
apa yang kami cita-citakan semua,
semoga direstui oleh Tuhan. (Bentaljemur
Adammakna, 1991, hal. 233).

Setelah selesai membacakan mantra tersebut,


kemudian sesaji dihaturkan selama satu malam.
Pada pagi harinya semua sesaji tersebut dilorot
(diambil dan boleh dimakan).

3. Upacara Pemasangan Nisan (tanda peringatan)


Dalam masyarakat Jawa umumnya dan di
Banyuwangi pada khususnya dalam melakukan
ritual kepada orang yang meninggal bukan saja
di rumah saja, melainkan dilanjutkan setelah
pemakaman dan dalam waktu selama seribu hari.
Guna mengingat makam dari almarhum maka
pada hari pemakaman dilakukan pemasangan
tanda dengan Batu Nisan. Demikian juga setelah
upacara terakhir seribu hari (Nyewu). Pemasangan
nisan sangat penting artinya, setelah ritual Nyewu
karena merupakan upacara kematian yang terakhir.
Upacara selanjutnya hanyalah berupa peringatan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 147


yang bersifat sederhana dan hanya tanda nisan itu
saja yang diperlukan. Pada umumnya pemasangan
tanda orang yang sudah meninggal itu dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Pada waktu memakamkan, wujudnya berupa
maesan yang dibuat dari kayu atau bambu dan
memasangnya bersamaan dengan menimbun
liang kubur. Maesan ini sering diberi sepotong
papan kayu untuk menulis; nama dan tanggal
kematian. Pada umumnya maesan itu hanya
bersifat sementara dan nanti akan diganti
dengan tanda yang lebih baik serta dapat tahan
lama.
b. Sesudah beberapa waktu kemudian, umumnya
pemasangan ditetapkan pada selamatan Nyewu
atau pada pagi hari sesudah Ritual Kematian.
Tanda yang masih berupa maesan dapat
diganti dengan Nisan yang bagus bentuknya
dan dibuat dari batu, ada yang dibuat dengan
dihias ukir-ukiran yang berpola bunga-bungaan
atau ornamen yang lain. Nisan kuno umumnya
panjang-panjang ukurannya, kadang-kadang
sampai dua setengah meter. Nisan inilah yang
sampai sekarang dipergunakan bagi umat
Hindu dan modalnya diselaraskan dengan
indahnya dari bentuk Nisan, sesuai dengan
bentuk jasmani almarhum/almarhumah.

Untung seorang tokoh Hindu di Kumendung


mengatakan bahwa “Nisan bisa dibuat dari batu
alam yang berwarna hitam di jaman dahulu tidak
dibuat utuh, tetapi nisan tadi dibuat seperti batu
candi dan diatur sampai berwujud nisan. Batu-batu

148 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


yang dibuat sepereti bata tadi diatur atau ditumpuk
tanpa menggunakan semen (alat perekat). Jadi
hanya beradu seret seperti yang ditemukan pada
bangunan-bangunan candi peninggalan leluhur,
seperti candi Prambanan, candi Borobudur dan
lain-lainnya. Pembuatan nisan seperti ini disebut
“Nyandi Pasarean”. Bisa juga nisan tersebut dibuat
dari batu hitam yang berasal dari batu andesit
atau batu granit yang berasal dari muntahan
gunung berapi. Juga disebut batu yang sudah tua
dan tidak Mberas” (mudah keropos) dan pada
umumnya lunak. Batu yang sudah tua itu ada
yang menyebutnya sebagai batu hitam, nisan juga
ada yang terbuat dari batu marmer. Jadi dengan
demikian bahan yang dipakai untuk memasang nisan
harus betul-betul diperhatikan, sebab bahan yang
dipergunakan bila tidak bermutu atau berkualitas
lemah, maka biayanya untuk pemasangan nisan
tersebut sangat besar. Hal ini sangat dihindarkan
bagi masyarakat Jawa. Sebab pemasangan nisan
itu harus dilandasi dengan hati yang tulus bagi
pemasangannya.Di dalam memasang nisan
tersebut, masih menggunakan banten (sesaji).
Adapun sesaji (upakara) yang dipergunakan adalah
sebagai berikut :
a. Sebuah daksino lengkap dengan sesarinya.
b. Satu rangkaian ketan, kolak, apem selanjutnya
diwadahi tangkir dan diberi tindih.
c. Nasi wajar lengkap dengan lauk pauknya
kemudian ditempatkan ditangkir.
d. Pisang ayu satu sisir dan sirih ayu yang dikitari
benang lawa satu ukel.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 149


e. Bunga telon yang terdiri dari mawar, melati,
kenanga, kemudian ditempatkan ke dalam
gelas atau tempat yang khusus dipakai sebagai
tempat tirta dan bunga tersebut dimasukkan
ke dalamnya kemudian diberi air yang masih
sukla (suci).
f. Sarana persembahyangan yang berupa kembang
awur-awur (melati, kenanga, cempaka), air
untuk tirta dan tidak ketinggalan dupa.
Setelah banten disiapkan, kemudian Pinandita
atau pemangku memberikan mantra-mantra dan
setelah itu barulah dimulai pemasangan nisan).
Jadi pemasangan nisan tersebut adalah untuk
mempermudah pihak keluarga dalam berziarah
(penghormatan kepada leluhurnya). Sebab dalam
nisan tersebut masih tercantum nama, hari dan
tanggal dari orang yang telah meninggal. Di samping
itu juga nisan yang dipasang itu merupakan tanda
peringatan terakhir khususnya dalam kaitannya
dengan ritual Kematian.

c. Upacara Pemujaan atau Persembahyangan


Setelah selesai upacara pemasangan nisan,
maka pada malam harinya dilanjutkan dengan
upacara pemujaan yang dipimpin oleh Pinandita
atau Pemangku yang diikuti oleh umat Hindu
yang lainnya. Mantra yang dipergunakan sebagai
berikut:

OM A TA SA BA I OM WA SI MA NA YA MANG
ANG UNG
Murchantu swargantu moksantu shamantu
Ang ksamasampurnaya namah swadha

150 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Semoga tenang dalam menghembuskan nafas
terakhir dalam perjalanan ke sorga dan semoga
mendapat moksa. Semoga semuanya sempurna.

Mantra tersebut diucapkan berulang-ulang


sampai tengah malam.5
Upacara pemujaan ini dilaksanakan
setelah agama Hindu berkembang kembali
di daerah tersebut, juga sebagai pengaruh
kebudayaan yang ada di Bali. Upacara pemujaan
diselengarakan demi kepuasan bathin bagi orang
yang melaksanakan Ritual Kematian tersebut.
Dengan berakhirnya ritual Nyewu sebagai
ritual terakhir dari kematian itu. bukan berarti
telah berakhir pula rangkaian ritualnya, akan
tetapi masih ada rangkaiannya lagi. Rangkaian
selanjutnya ialah melakukan tirakatan seperti
begadang yang dilaksanakan oleh semua
keluarga yang melakukan Ritual Kematian
tersebut. Tirakatan ialah begadang semalam
suntuk sambil mengadakan kekidungan atau
mengundang pemuka agama untuk memberikan
ajaran-ajaran suci dan diselingi dengan cerita-
cerita kepahlawanan seperti kitab Mahabrata,
Ramayana dan lainnya.
Pada pagi harinya keluarga yang
menyelenggarakan Ritual Kematian tersebut
pergi ke makam untuk memberi bunga setaman
dan dupa. Keluarga tersebut memanjatkan doa
agar orang yang meninggal sudah diupacarai
tersebut cepat lebur dan mencapai kesempurnaan
5. (Wawancara, Romo Subroto, 12 Januari 2005).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 151


hidup di alam baka, serta keluarga yang ditinggal
diberi kekuatan lahir dan bhatin dari Hyang
Murbeng Dumadi atau Sang Hyang Widhi
Wasa, maka dengan demikian berakhir pulalah
rangkaian Ritual Kematian yang dilakukan oleh
masyarakat Banyuwangi tersebut.
Secara teori fungsional menurut
Molinowski bahwa Fungsi ritual kematian
secara strutur mempunyai kaitan dengan
kebutuhan fisikologis masyarakat Kumendung
ketika melaksanakan ritual kematian. Di dalam
kehidupan masyarakatnya fungsi ritual kematian
langsung atau tidak langsung melalui tradisinya
itu mempunyai fungsi untuk memenuhi
kebutuhan fsikologis keluarga dan masyarakat
yang di tinggalnya. Ritual ini mampu berfungsi
memenuhi kebutuhan fsikologis individu-
individu masyarakat Kumendung.
Red Cliffe-Brown menjelaskan bahwa
fungsi adalah suatu sumbangan dimana aktivitas
sebagian berpengaruh bagi aktivitas seluruhnya.
Jika diperhatikan fungsi ritual kematian di
dalam masyarakat Jawa merupakan ativitas
yang melibatkan banyak manusia dengan tidak
memandang agama yang dianutnya. Fungsi ritual ini
merupakan sumbangan besar terhadap pemenuhan
psikologis masyarakat setempat dan pelaksanaan
ini sangat mempengaruhi fungsi dinamika hidup
masyarakat Kumendung untuk melakukan
hubungan sesama masayarakat, memberikan
peluang untuk bersimpati dan mengucapkan ikut
beduka. Demikian juga memberikan fungsi sosial
budaya yang demikian tinggi untuk melakukan

152 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


aktivitas relegi sehingga hampir semua aktivitas
masayarakat menyatu ke dalam proses ritual yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Apabila ritual ini dilihat fungsinya
menggunakan pandangan Brown dalam bukunya
yang berjudul “Structure and Funtion Primitive
Society” maka fungsi ritual kematian dari mulai
meninggal Geblak sampai Nyewu itu secara konsep
mempunyai struktur yang jelas dalam setiap
pelaksanaan rangkaian ritual masing-masing yang
mana ritual itu terdiri dari seperangkat hubungan
diantara entitas-entitas unik, artinya hubungan itu
hanya diketahui, dimengerti serta dilaksanakan
oleh masayarakat Jawa saja. Semua struktur ritual
itu selalu dipertahankan sesuai makna tatanan
nilai yang di kandungnya. keseimbangan struktur
dipertahankan atau dilestarikan oleh proses
kehidupan yang diwujudkan oleh unit-unit yang
terdapat di dalamnya. Proses ritual ini membawa
keseimbangan struktur kehidupan psikologis
masayarakat setempat yang digambarkan oleh
masing-masing unit kegiatan ritual itu.

4.3 Bentuk, Fungsi, Makna dalam Ritual Kematian


4.3.1 Bentuk Upakara
1. Bentuk Upakara Geblak
a. Memandikan Jenasah.
- Perlengkapan memandikan jenasah :
- Air ditaruh dalam kendi (guci kecil)
- Air tiga (3) tempat yang isinya : air bunga setaman
(campur), air daun kelor dan air bening atau jernih
- Dupa

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 153


b. Perlengkapan membungkus jenasah
- Kapas
- Lawon (kain putih)
- Lengo Kenongo (minyak kenanga)
- Lengo Wangi (minyak harum)
c. Sembahyang Panjurung Suksmo
Persembahyangan Panjurung suksmo
dilengkapi dengan banten sebagai berikut :
- Cok bakal (bawang merah, bawang putih,
cabai, trasi, ketumbar, jahe, kencur, cabe,
kelapa secuil, asam, teri, kunci, pala, kluwek,
kemiri, kunyit,lengkuas, daun jeruk purut),
segawu, suri serit, kaca lawe, ketan putih,
ketan hitam, kembang telon (bunga tiga
warna), air, minyak wangi, minyak kelapa,
bedak tepung, slepi, kacang merah, canang
gental).
- Pabyakala = 3 buah (isi pabyakala : bawang
merah, jahe, garam, beras, nasi kepal, daun
jempiring, bunga)
- Ajuman = 1 buah (isi ajuman : buceng putih
kuning berlaukkan telur atau krasemen).
- Bubur pitara = 1 buah
- Banyu kunir = 1 tempat
- Canang sari = 2 buah
- Panyopo = 1 buah (isis panyopo : sirih, pinang,
gambir, tembakau, enjet).
- Buceng Monco Warno = 1 buah (merah, putih,
kuning, hitam, abu-abu)

154 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


- Londo ketan ireng = 1 tempat
- Gendonan = 7 kepalan

2. Bentuk Upakara Tiga dan Tujuh Hari


Bentuk upakaranya adalah :
- Canang sari (1)
- Pabyakala (3)
- Bubur pitara (1)
- Bunga lengkap
- Panyopo (1)
- Buceng monco warno (1)
- Ajuman (1)
- Nasi brok (1) (wawancara, mangku subroto, 25
pebruari 2005).

3. Bentuk Upakara Empat Puluh Hari


- Canang sari (1)
- Pabyakala (3)
- Bubur pitara (1)
- Bunga lengkap
- Panyopo (1)
- Buceng monco warno (1)
- Ajuman (1)
- Nasi brok (1) (wawancara, mangku Subroto, 25
Pebruari 2005)

4. Bentuk Upakara Seratus Hari


- Canang sari (1)
- Pabyakala (3)
- Bubur pitara (1)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 155


- Bunga lengkap
- Panyopo (1)
- Buceng monco warno (1)
- Ajuman (1)
- Nasi brok (1) (wawancara, mangku Subroto, 25
Pebruari 2005)

5. Bentuk Ritual Pendak Pisan dan Pindo


- Canang sari (1)
- Pabyakala (3)
- Bubur pitara (1)
- Bunga lengkap
- Panyopo (1)
- Buceng monco warno (1)
- Ajuman (1)
- Nasi brok (1) (wawancara, mangku Subroto, 25
Pebruari 2005)

6. Bentuk Upakara Ritual Nyewu


- Canang Sari
- Pabyakala
- Bunga lengkap
- Nasi Janganan
- Nasi brok
- Nasi golong sepasang
- Jajan pasar
- Jenang merah
- Jenang putih
- Jenang baro-baro
- Pisang setangkep
- Buceng monco warno

156 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


a. Upakara Kenduri
Sekul suci, ulam suci (itik, burung dara),
ambengan suci, asahan tumpeng, apem, pisang,
jenang baro-baro, golong, sayur mayur, jenang
abang, jenang putih, dan jajan pasar.

b. Upakara Ngirim Luhur (leluhur)


Upakaranya : sepasang canang sari, kembang
setaman (bunga melati, mawar, kenanga), nasi putih
ditambah lauk pauk, apem, cok bakal, rokok dan
kinangan, kopi atau teh, jajan pasar (Wawancara,
Ponijan 12 Juli 2005)

Demikian bentuk upakara yang dipergunakan dalam ritual


kematian mulai dari meninggal sampai Upacara seribu hari (Nyewu),
di Desa Kumendung, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.

4.3.2 Fungsi Upakara Kematian


Bagi masyarakat Hindu di Desa Kumendung, Muncar
Banyuwangi, sarana yang digunakan dalam pelaksanaan Ritual
kematian sangat sederhana, namun diyakini memiliki kekuatan
spiritual yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan,
Ritual Kematian memiliki fungsi dan simbol yang sangat tinggi
menrut keyakinan masyarakat setempat apabila diditinjau dari
nilai sarana yang digunakan.
Sarana pokok yang digunakan dalam Ritual Kematian yaitu :
air (tirtha), bunga, api (dupa), daksina, pabyakala, ajuman, bubur
pitara, canang sari, panyopo, buceng ponco warno, nasi brok,
londo ketan ireng. Fungsi dari penggunaan masing-masing sarana
Upacara Puja Pitara dimaksud adalah sebagai berikut :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 157


1) Air/Tirtha
Penggunaan air ini dalam upacara yadnya oleh umat Hindu
dikenal dengan sebutan Tirtha.
Selain digunakan dalam kehidupan sehari-hari air
juga memegang peranan penting di dalam upacara-upacara
keagamaan. Odaka (odakem) merupakan air dalam arti yang
biasa, sedangkan air yang sudah disucikan disebut dengan
Tirtha (Mas Putra, tt : 11). Istilah yang sama artinya adalah toya
(toyem), hanya saja istilah ini kadang-kadang dimaksudkan air
dalam arti umum yang biasa dipakai untuk berkumur, mencuci
tangan, ataupun minum sebagai pelepas dahaga. Istilah lainnya
adalah wangsuhpada yaitu untuk menyebutkan air suci dimohon
dari pura atau pelinggih.
Tirtha merupakan air yang sudah disucikan. Secara rohaniah
kesucian tersebut dapat diperoleh dengan jalan mengucapkan
mantram Ganggastawa dan sebagainya yang berkaitan dengan
pemujaan terhadap air suci.,memohon tirta dengan menempatkan
disebuah pelinggih, atau mengambil di suatu tempat dengan
cara khusus, seperti membawa banten tertentu. Secara lahiriah
diusahakan menggunakan alat-alat yang baru/bersih (anyar).
Demikian juga dengan air yang digunakan hendaknya air yang
baru diambil dari sumbernya (yeh anyar).
Berdasarkan penggunaannya tirtha dapat dibagi menjadi tiga
golongan yaitu :
- Tirtha yang digunakan dalam upacara persembahyangan yang
umum. Tirtha ini biasanya dimohon disalah satu pelinggih
dimana upacara itu diselenggarakan, atau disuatu tempat
yang memiliki hubungan erat dengan pelinggih tersebut.
Tirtha ini sering disebut dengan tirtha wangsuhpada.

158 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


- Tirtha yang dipakai sebagai penyucian terhadap tempat-
tempat, bangunan, alat-alat upacara, atau diri seseorang.
Tirtha ini diperoleh dengan memantrai air oleh orang yang
dianggap wajar untuk maksud tersebut. Tirtha ini adalah
seperti tirtha panglukat, prayascita durmenggala dan
sebagainya.
- Tirtha yang dipakai untuk penyelesaian dalam upacara
kematian, seperti : tirtha penembak, pemanah dan
pengentas

Cara pemakaian tirtha adalah dengan cara mencipratkan atau


memerciki pada bangunan atau banten yang dipergunakan pada
suatu upacara. Akan tetapi apabila digunakan pada seseorang
selain dipercikkan juga akan diminum serta dipakai mencuci muka.
Pencipratan tirtha pada ubun-ubun/kepala adalah sebagai tanda
sujud terhadap kesucian dan kekuatan yang dimilikinya, minum
serta mencuci muka adalah sebagai penyucian lahir bathin.
Fungsi pemakaian air sebagai tirtha dalam upacara Ritual
Kematian adalah sebagai penyucian lahiriah maupun rohaniah
yaitu dengan kekuatan/kesucian yang ada pada air tersebut. Selain
itu juga Tirtha memiliki fungsi sebagai lambang pembersihan,
penciptaan dan pemelihara.

2) Bunga
Cara penggunaan bunga bagi setiap orang adalah berbeda-
beda. Akan tetapi bunga memegang peranan yang sangat
penting didalam kehidupan umat manusia untuk menyampaikan
perasaannya dan yang menerima diharapkan merasa puas serta
memahami apa yang dimaksud.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 159


Demikian juga umat Hindu bunga dipakai untuk menunjukkan
kesucian hati dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan. Oleh
karena itulah bunga yang dipakai dalam upacara diharapkan
memakai bunga yang baru mekar, berbau wangi dan sebaliknya
tidak memakai bunga yang disukai oleh serangga atau bekas
dimakan ulat.
Bunga yang dipakai dalam upacara yadnya adalah sebagai
lambang restu Ida Sang Hyang widhi Wasa (Wiana 1992 :
34). Dalam Ritual Kematian, bunga mempunyai peranan yang
sangat penting, sebab bunga memiliki fungsi sebagai lambang
persembahan yang tulus iklah dan suci yang melambangkan sifat
maha kasih dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu juga bunga
memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai lambang keagamaan,
sebagai lambang jiwa dan sebagai lambang keprawiraan.

3) Api/Dupa
Api memegang peranan sangat penting dalam agama Hindu,
boleh dikatakan setiap upacara didahului dengan menyalakan api.
Menurut sumber-sumber yang ada, penggunaan api yang demikian
menonjol, disebabkan karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu :
1. Panasnya meresap ke segala pelosok baik di dalam air, udara,
tumbuh-tumbuhan ataupun mahluk hidup lainnya termasuk
manusia. Asapnya dapat terangkat sendiri keangkasa
memancarkan sinar putih berkilauan, kemudian menyebar
kesegala penjuru. Sifat api yang demikian menyebabkan api
dianggap sebagai perantara bumi dengan langit, manusia
dengan pencipta, penolongnya, dan pembawa persembahan.
2. Api selalu menimbulkan nyala yang baru, sinar cahaya
memancar kesegala penjuru, dapat memberi penerangan pada

160 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


setiap saat baik siang maupun malam. Hal ini menyebabkan api
dianggap sebagai petunjuk jalan, pembimbing dan penolong
bagi mereka yang sedang kesusahan atau kegelapan.
3. Api dengan nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar
apa saja yang dilemparkan kepadanya, sehingga dianggap
sebagai pembasmi mala petaka.
4. Api yang disebut Dewa Agni adalah Dewa (Div = sinar) yang
selalu dekat serta dapat dilihat dengan nyata oleh manusia,
hal ini yang menyebabkan api dianggap sebagai saksi di
dalam segala perbuatan terutama yang bersifat sepiritual.
5. Api selalu dinyalakan didalam rumah tangga sehingga
disebut dengan grhapati yang artinya pemimpin atau raja
dalam rumah tangga (Mas Putra, tt : 14).

Mengingat sifat-sifat yang dimiliki khususnya sebagai sumber


panas (energi) wajarlah bila api disebut pula Dewa Brahma, tetapi
api/Dewa Agni tidak sama dengan Tuhan. Di dalam Sama Weda
disebutkan :

Pra wo yahwam purunam wicam Dewayatinam


Agnim suktebhirwacobhir wromahe yam
Samidanya indhate (sama weda I.I.2.I).

Artinya :
Dengan hymne dan sanjungan suci
Kami memohon kepada Agni-Mu ya Tuhan dari banyak
Keluarga yang melayani Dewa-Dewa sesungguhnya
Kepada-Nya juga orang-orang lain menyalakan-Nya.

Dalam pelaksanaan Upacara Puja Pitara api memiliki fungsi


yaitu :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 161


- Sebagai pendeta pemimpin upacara
Api sebagai lambang pendeta pemimpin umat, hal tersebut
dijelaskan dalam kitab Isa Upanisad sebagai berikut:

Agne naya supatharaya asman


Wiswani dana wayanam widwan
Yuyudhy asmany juhura nam
Enobhugis tham tena nama uktim widhena
(Isa Upanisad, 18)

Artinya :
Oh Tuhan, kuat laksana api, Maha Kuasa tuntunlah
kami semua segala yang hidup ke jalan yang baik
Segala tingkah laku menuju kepada-Mu yang bijaksana
Jauhkan dari jalan yang tercela yang jatuh dari pada-Mu
Baik penghormatan maupun kata-kata yang hamba
lakukan.

- Sebagai perantara pemuja dan yang dipuja


Hal ini sesuai dengan isi Bhagawadgita sebagai brikut :

Brahmaarpanam brahma havir


Brahmagnau Brahmana hutam
Brahmaiva tena gantavyam
Brahma-kama-samadhina
(Bhagawadgitha, IV.24)

Artinya :
Brahma adalah persembahan itu, brahma adalah mentega
Yang dipersembahkan pada api Brahma
Hanya kepada Brahmanlah ia yang mengetahui Brahman
Menghadap dalam kegiatan kerjanya (Puja, 199 : 121)

162 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Daivam evapare yajnam
Yoginah paryupasate
Brahmagnav apare yajnam
Yajnenaivopajuhvati
(Bhagawadgitha, IV.25)

Artinya :
Beberapa orang yogi hanya mempersembahkan
Kurban kepada para Dewa yang lain mempersem-
bahkan
Sang diri sebagai kurban oleh sang diri
Ke dalam api Brahman (Puja, 199 : 121)

- Sebagai pembasmi kotoran dan pengusir roh jahat


- Sebagai saksi upacara dalam kehidupan

4) Daksina/cok Bakal
Alas dari Daksina/Cok Bakal disebut dengan wakul-daksina
atau bebedogan. Pada dasarnya isi daksina dapat dibagi menjadi
4 jenis yaitu :
1. Jenis daun-daunan (pesel-peselan, plawa atau sirih)
2. Jenis buah-buahan (beras, bija dan lainnya)
3. Jenis bunga (bunga pada canang atau canang sari)
4. Air, yaitu air pada kelapa (air kelapa)

Di dalam Ritual Kematian, daksina/ cok bakal digunakan


hampir dalam setiap rangkaian atau tahapan ritual tersebut.
Misalnya Cok Bakal yang digunakan pada upacara Geblak adalah:
beras, telur, kelapa, gula merah, segawu, suri serit, kaca lawe,
ketan putih, ketan hitam, kembang telon, minyak wangi, minyak

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 163


kelapa, tepung tawar, slepi, kacang merah, canang gantal, uang
(sesari).
Penggunaan banten Cok Bakal/Daksina dalam Ritual
Kematian khususnya pada tahapan Geblak/Antyesti memiliki
fungsi sebagai wujud lahiriah dari keseluruhan yadnya. Selain
itu juga sebagai persembahan atau rasa terima kasih dan sebagai
persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi khususnya kepada
Dewa Siwa, karena sifat Ida Sang Hyang Widhi yang tidak pernah
diam. Sebab bila beliau diam, maka ketiga dunia ini akan hancur.
Hal ini sesuai dengan yang ada dalam Bhagawadgitha yaitu :

Utsideyur ime aham,


Na karyam karma ced syam
Sankarasya ca karta syam
Upahanyam imah prajah.
(Bhagawadgitha, III.24)

Artinya :
Jika AKU berhenti bekerja maka ketiga dunia ini kan
hancur lebur
Dan AKU akan menjadi pencipta dari kehidupan yang
tak teratur
Dan AKU akan merusak manusia ini.

5) Pabyakala
Penggunaan banten pabyakala dalam Ritual Kematian
memiliki fungsi sebagai penyucian, menolakmenetralisir para
Bhuta Kala yang tidak sewajarnya berada pada tempat upacara
atau diri orang yang diupacarai. Pabyakala digunakan sebagai
pendahuluan suatu upacara.

164 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


6) Ajuman
Banten ajuman merupakan salah satu banten yang sifatnya
khusus dipergunakan dalam upacara kematian atau orang
meninggal. Banten ajuman yang digunakan pada upacara kematian
atau ditujukan kehadapan para leluhur ini salah satu peneknya
diisi kunyit atau dibuat dari warna kuning (disebut ajuman putih-
kuning).
Fungsi ajuman pada Ritual Kematian adalah sebagai
pelengkap banten-banten yang lain, sebagai persembahan atau
bekal kepada sang hyang Atma menuju alam sunia.

7) Bubur Pitara
Dalam pelaksanaan Ritual Kematian, bubur pitara memiliki
fungsi sebagai suguhan ditujukan kepada Sang Hyang Atma.

8) Banyu Kunir
Banyu Kunir yang dipergunakan pada upacara kematian atau
Ritual Kematian yang diutamakan adalah warna kuningnya, karena
warna kuning merupakan warna yang dianggap suci tetapi lebih
mengutamakan hal-hal yang bersifat duniawi seperti keagungan,
kemakmuran, kewibawaan, kemuliaan ataupun kesempurnaan.
Oleh karena itu penggunaan warna kuning ini lebih diutamakan
pada hal-hal yang bersifat penyucian seperti Bhuta-yadnya dan
Pitra-yadnya.

9) Panyopo dan Londo Ketan Ireng


Panyopo merupakan banten utama yang digunakan
oleh masyarakat Jawa secara umum dalam melaksanakan
upacara yang ditujukan kepada para leluhur atau orang

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 165


yang sudah meninggal. Adapun fungsi Panyopo dan Londo
Ketan Ireng dalam pelaksanaan Ritual Kematian adalah
sebagai persembahan atau suguhan Sanghyang Atma yang
diupacarai dan kepada para leluhur yang menhadiri ritual
tersebut.

10) Buceng Ponco Warno


Merupakan banten yang berfungsi sebagai persembahan dan
ucapan terima kasih kepada Panca Dewata atas terselenggara dan
terselesaikannya Ritual Kematian tersebut.

11) Canang Sari


Canang sari yang dipergunakan dalam Upacara Puja Pitara
memiliki fungsi sebagai persembahan.

12) Nasi Brok


Nasi brok adalah banten yang digunakan untuk melengkapi
setiap upacara yadnya yang dilaksanakan oleh masyarakat
Jawa secara umum. Fungsi penggunaan nasi brok adalah untuk
menutupi segala kekurangan dalam pelaksanaan upacara yang
dilaksanakan tersebut.

13) Burung Dara


Burung dara digunakan dalam Ritual Nyewu atau seribu
hari. Penggunaan burung dara ini adalah dengan cara mengambil
dagingnya untuk diikut sertakan pada banten nasi brok. Fungsi
penggunaan daging burung dara ini adalah untuk melepaskan
Sanghyang Atma orang meninggal untuk yang terakhir
kalinya.

166 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


14) Itik atau Angsa
Itik atau angsa juga menyertai banten Nasi Brok untuk Nyewu
atau seribu hari. Fungsi dari penggunaan angsa atau itik ini adalah
agar Atma orang yang meninggal atau yang diupacarai tersebut
dapat mencapai moksa dengan kebijaksanaan.
Ritual kematian dalam masyarakat Jawa apabila dipandang
dari teori fungsional Malinowski bahwa fungsi ritual kematian
secara struktur mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan
fisikologis masyarakat. Di dalam masyarakat Kumendung secara
fungsional ritual itu digunakan sebagai media berkomonikasi
antara keluarga yang masih hidup dengan roh orang yang telah
meninggal. Demikian jugasebagai media berkomonikasi dengan
Tuhan dengan memakai berbagai sarana berupa air, dupa, api,
cok bakal sebagai simbol bahwa manusia harus selalu ingat
kepadaNya. Demikian juga menyampaikan maksud doa untuk
menyucikan dosa orang yang meninggal dengan melaksanakan
ritual kematian dapat diterima olehNya. Fungsi lain di dalam
kehidupan masyarakatnya langsung atau tidak melalui tradisi itu
mempunyai fungsi sosial untuk memenuhi kebutuhan interaksi
antara keluarga yang ditinggalkan dengan masyarakat yang
bersimpati atas duka yang dirasakan oleh keluarga almarhum.
Ritual ini juga mampu berfungsi memenuhi kebutuhan psikologis
individu-individu masyarakat Kumendung untuk menunjukan
rasa simpati yang mendalam sebagai wujud belasungkawa
atas kematian yang dialami oleh anggota keluarga yanag
ditinggalkannya.
Di sisi lain Cliffe-Brown menjelaskan bahwa fungsi adalah
suatu sumbangan dimana aktivitas sebagian berpengaruh bagi
aktivitas seluruhnya. Jika diperhatikan fungsi ritual kematian ini

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 167


sesungguhnya merupakan aktivitas keluarga yang melibatkan
masyarakat sekitarnya. Artinya ritual ini mempunyai pengaruh
yang demikian luas di dalam fungsi sosial relegius di untuk
membentuk kehidupan sosial yang secara dinamika berlangsung
secara spontan melalui gerakan atas nama tradisi itu. Sehingga
fungsi kecil itu memberikan sumbangan yang cukup besar
meringankan beban fsikologis bagi keluarga dan masyarakat yang
merasa ditinggalkan. Melalui pelaksanaan ritual ini, keluarga
almarhum secara fungsional telah melakukan kewajibannya
kepada orang yang meninggal untuk ikut mendoakan supaya roh
yang meninggal mampu menyatu dengan Sang Sangkan Paraning
Dumadi. Masyarakat akan merasakan ada beban fsikologis jika
belum melaksanakan ritual kematian itu, artinya ada fungsi
keluarga yang masih hidup itu mengalami stagnasi. Sebab
menurut keyakinan mereka yang telah mengakar bahwa orang
yang telah meninggal di dalam masyarakat, harus dibuatkankan
ritual sebagaimana mestinya mulai dari meninggalnya sampai
hari keseribu. Jadi fungsi keluarga dalam ritual kematian akan
dapat membuat interaksi masyarakat yang akan mempengaruhi
fungsi sosial dalam dinamika hidup masyarakat Kumendung.
Menurut Brown dalam buku“Structure and Funtion Primitive
Society” menjelaskan bahwa konsep fungsi memberikan struktur
yang terdiri dari seperangkat hubungan diantara entitas-entitas
unik, keseimbangan struktur dipertahankan atau dilestarikan
oleh proses kehidupan yang diwujudkan oleh unit-unit yang
terdapat di dalamnya. Apabila diperhatikan ritual Kematian, di
sana akan ditemukan dengan sangat jelas bahwa fungsi ritual
itu secara tidak langsung memiliki dan didukung oleh struktur
tradisional yang terdapat dalam masing-masing entitas unik

168 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


selama pelaksanaan ritual kematian itu. Secara fungsional ritual
kematian itu harus di dukung oleh seperangkat fungsi sosial yang
berperan sebagai pelaksana ritual. Di sana ada keluarga, sesepuh
Desa, Pemangku, dan masayarakat sebagai partisipan sekaligus
pelaku ritual. Masing-masing unit itu mempunyai fungsi sesuai
dengan struktur tradisional yang telah ditetapkan secara alami.
bila diperhatikan bahwa Keluarga almarhum harus datang kepada
para elit tradisional seperti pemangku untuk memohon agar mau
sebagai peminpin di dalam melaksaanakan ritual kematian itu,
sesepuh Desa harus bertindak sebagai penggerak serta saksi
pelaksanaan ritual dan keluarga sebagai penggerak harus tahu jalur
hubungan sosial serta fungsi masing-masing unit pelaksana itu.
Berkaitan dengan itu maka benarlah uraian Benet dan Tumin yang
menjelaskan bahwa fungsi aspek dari perilaku seseorang atau bagi
orang atau kelompok itu sendiri bagi orang atau kelompok lainnya
dimana seseorang atau kelompok itu berinteraksi. Wujud fungsi
dan interaksi masayarakat Kumendung di dalam melaksankan
ritual Kematian dapat diperhatikan mulai pelaksanaan ritual yang
pertama sampai terakhir yaitu Nyewu.
Di samping itu fungsi dan struktur tidak hanya ditemui di
dalam interaksi sosial namun juga ditemukan di dalam proses
pembuatan dan penggunaan sarana ritual itu sendiri, misalnya
pembuatan Banten harus memenuhi unsur-unsur relegius sesuai
dengan tatanan yang berlaku di dalam masyarakat Jawa. Seperti
penempatan sarana ritual tidak boleh tertukar, sebab secara
keyakinan hal itu akan merubah fungsi atau menjadi disfungsi
sarana itu demikian merubah makna yang terkandung dalam
banten itu yang sesungguhnya bermakna relegius menjadi tanpa
makna.karena itulah keseimbangan struktur dalam proses itu

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 169


harus diperhatikan secara benar oleh unit yang berperan dalam
fungsinya masing-masing sebagai pelaku dan pendukung ritual
tersebut.. Umpama canang sari di taruh di bawah nasi brok,
dupa di taruh di bawah canang, nasi brok di taruh di bawah
cok bakal. Semuanya itu akan merubah fungsi dan makna yang
dikandungnya. Sebab canangsari secara fungsi relegius struktur
bantennya harus di taruh di atas cok bakal (sejenis Daksina di
bali), Nasi Brok pisah dengan canang sari, dupa harus di atas
cok bakal sehingga sarana itu menjadi fungsional sesuai dengan
strukturnya masing-masing. Demikian juga pemangku secara
struktur harus menjadi peminpin upacara tidak boleh fungsinya
diganti oleh yang Kamitua dan sebagainya.

4.3.3 Makna Simbol dalam Ritual Kematian


Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu Sumballo
(sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan,
memperbandingkan, bertemu, melempar menjadi satu,
menyatukan. Dari pengertian tersebut dalamditarik kesimpulan
bahwa simbol merupakan suatu penyatuan dua hal menjadi
satu. Simbol juga memiliki arti sebagai suatu hal atau keadaan
yang merupakan pengaturan pemahaman terhadap objek
(Yudha Triguna, 2000 : 7). Simbol juga merupakan suatu atau
menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan
sesuatu yang material, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-
tanda, suatu objek, proses, dan lain-lain (Titib, 2001 : 70).
Mengenai pengertian simbol beberapa pendapat para ahli
menguraikan sebagai berikut :
1. Sebagai yang mewakili atau yang menjadi ciri khas dari
sesuatu yang dipenuhi. Menurut Victor tuna dan Winangun,

170 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


simbol adalah suatu hal yang diterima dengan persetujuan
umum dengan kualitas analogi atau yang terdapat dalam
kenyataan atau pikiran.
2. Tuner sebagai mana dikutip Adam Wolanin yang menjelaskan
ada tiga dimensi simbol yakni pertama.Eksegentik yakni
dimensi simbol yang diberikan oleh informan asli kepada
peneliti. Dimensi ini meliputi apa yang dikatakan oleh penduduk
lokal atau pendukung ritus tertentu tentang simbol-simbol
ritual mereka. Kedua, dimensi operasional yaitu simbol dilihat
tidak hanya dari penafsiran secara verbal melainkan ditangkap
oleh pengamat atau peneliti. Ketiga dimensi operasional
yakni arti simbolik yang dipahami dalam konteks relasi
dengan simbol lainnya. Simbol memegang peranan penting
dalam ilmu. Samskara tujuan dan isi dari simbolisme adalah
untuk menyampaikan hakekat dan bentuk mental kultur dan
spiritualisme. Arca merupakan simbol, gambar adalah simbol,
rupa adalah simbol, sikap adalah simbol (Pudja, 1991 : 39).

Simbol-simbol demikian banyak dijumpai di dalam agama


Hindu. Kendati demikian, simbol-simbol tersebut tidak lebih
artinya daripada penggambaran sifat-sifat Hyang Widhi yang
dituangkan dalam seni, baik seni rupa, seni sastra, maupun seni
bahasa. Bentuk simbol yang sering digunakan oleh umat Hindu
yakni diantaranya gambar Dewa-Dewa atau lukisan, pratima atau
patung arca, keris, barong, dan sebagainya.
Simbolisasi atau perlambangan memegang peranan, didalam
agama Hindu yang disebut Nyasa. “ Simboliasi tersebut diakui oleh
agama Hindu betapa pentingnya digunakan dalam upaya manusia
menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 171


Ida Sang Hyang Widhi Wasa hanya dapat diwujudkan dalam suatu
perlambangan. Disamping itu simbol-simbol tersebut sangat
penting juga artinya bagi ajaran psikokosmos, yaitu suatu ajaran
yang dijelaskan melalui simbol-simbol alam kejiwaan dan alam
dunia fana ini serta hubungan dengan alam gaib dalam bentuk
hubungan makrokosmos dengan mikrokosmos atau Bhuwana
Agung dengan Bhuwana Alit. Pandangan kosmis menggambarkan
badan manusia secara keseluruhan sebagai Bhuwana Alit dan
alam semesta atau jagat raya ini dilambangkan sebagai Bhuwana
Agung. Agama Hindu mengajarkan agar hubungan Bhuwana
Agung dengan Bhuwana Alit selalu selaras, serasi, dan seimbang
atau harmonis, guna mencapai jagat Hita yang meliputi Wahya
dan Adhiatmika. Adanya pandangan manusia tentang Wahya/
Adhiatmika atau sekala dan niskala yaitu kongkret dan abstrak
adalah suatu ajaran monodualisme dalam ajaran agama Hindu.
Demikian adanya Purusa dan Prakerti, Suksma Sarira dan Stula
Sarira yang menyatu dalam perwujudan manusia adalah suatu
pengejewantahan daripada ajaran monodualisme yang pada
intinya memandang satu itu dua dan dua itu satu dalam suatu
perwujudan”(Purwita, 1992 : 63).
Bagi agama Hindu simbol-simbol yang digunakan dalam
kehidupan sudah tentu memiliki arti dan fungsi yang diyakini
bernilai spiritual. Adapun fungsi simbol adalah :
1. Meningkatkan dan memantapkan sraddha dalam rangka
menumbuhkan bakti, yang akan membentuk kepribadian
umat manusia dengan moralitas yang tinggi yang pada
akhirnya akan mengakibatkan akhlak luhur masyarakat.
2. Manumbuhkembangkan dan tetap terpeliharanya nilai seni
budaya baik melalui seni arca, seni lukis, dan seni kriya
lainnya yang mengacu pada kitab Silpa sastra dimaksud.

172 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


3. Memupuk rasa kebersamaan dikalangan umat Hindu dalam
mewujudkan sarana pemujaan utamanya dalam kaitannya
dengan sakralisasi dan memfungsikan simbol-simbol yang
dibuat tersebut (Titib, 2001 : 73).

Dalam buku yang berjudul “All Abaut Hinduisme”


dijelaskan manfaat simbol sebagai berikut :
Bagaimanapun kecerdasan seseorang ia tidak dapat
berkonsentrasi tanpa bantuan suatu simbol pada awalnya,
dalam rangka ia berhubungan atau memuja Tuhan (Brahman),
simbol bermanfaat bila dipandang dari suatu pandang
yang benar, simbol akan memainkan suatu bagian yang
sangat penting dalam kehidupan material dan kehidupan
spiritual. Walaupun kelihatannya sangat sederhana dan
remeh, tetapi penggunaan simbol sangat ilmiah dan efektif.
Pratima atau patung merupakan simbol pengganti dari
yang ketiga, penggunaan sarana berupa simbol sangatlah
dibutuhkan oleh umat dalam meningkatkan rasa baktinya
kepada Brahman. Mengingat keterbatasan yang dimiliki
oleh manusia biasa, maka ia tidak akan berhubungan
langsung atau memuja Brahman tanpa menggunakan suatu
simbol. Lain halnya dengan Maha Yogin atau Vedatin
mereka mampu berhubungan dengan yang dipujanya tanpa
menggunakan simbol karena mereka sudah terlatih dari
sejak lama melalui ajaran yoga atau meditasi yang rutin,
sehingga mereka telah mencapai suatu kesidhian. (Swami
Siwananda, 1997 : 116)
Penggunaan simbol dalam bentuk banten dalam upacara
merupakan suatu media untuk menyampaikan Sradha dan
Bhakti kepada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Banten

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 173


merupakan bentuk budaya sakral dalam agama yang berwujud
lokal, namun didalamnya terkandung nilai-nilai yang
universal global. Seperti halnya dalam pelaksanaan Ritual
Kematian dengan berbagai bentuk bantennya, merupakan
cetusan rasa bhakti umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi-Nya. Umat Hindu
memandang Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta
(Utpeti), pemelihara (Stiti) dan sebegai pelebur (Pralina).
Sang Hyang Widhi melebur alam semesta untuk selanjutnya
memberikan sinergi baru sesuai zat-Nya. Sang Hyang Widhi
maha tunggal tetapi disebutkan dengan berbagai nama, oleh
karena kemahakuasaan-Nya sehingga umat tidak kuasa untuk
membayangkan betapa agung dan maha suci-Nya beliau
sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta ini
dengan segala isinya.
Pemaknaan ritual kematian yang diuraikan di atas merupakan
sebuah cara masyarakat Jawa untuk berhubungan dengan keluarga
yang telah meninggal dan mempergunakan acara tersebut sebagai
media lokal untuk berkomunikasi dengan Tuhan sesuai dengan
pendapat Atmaja dalam tulisannya Kearifan Lokal dan Agama
pasar memiliki beberapa karakteristik yakni :
1. Kearifan lokal adalah kelompok, komunitas atau koletivitas
tertentu yang melokal. Hal ini sejalan dengan proses
pembentuknya, yakni bersumberkan pada pengetahuan
pengalaman dalam konteks ruang di mana mereka berada.
2. Kearifan lokal merumuskan sesuatu yang diasumsikan benar,
karena teruji lewat pengalaman secara kontinyu kerena itu,
tidak diperlukan kebenaran alternatif maupun kekeritisan
pada saat melaksanakannya.

174 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


3. Kearifan lokal bersifat praktis, tetapi terkait dengan aspek
psikomotorik yakni praktek dalam kehidupan masayarakat
lokal.
4. Label lokal yang melekat pada kearifan lokal, menandakan
bahwa secara substantif, dia terkait suatu lokalitas hal ini
bermakna pula bahwa ketepatgunaan kearifan lokal tidak
universal.
5. Kearifan lokal tidak saja mencakup aspek praktis , tetapi juga
tata kelakuan. Karena itu pengaktualisasian kearifan lokal,
pada dasarnya merupakan aktivitas moral.
6. Kearifan lokal bersifat holistik ,karena menyangkut
pengetahuan dan pe-mahaman tentang seluruh kehidupan
dengan segala relasinya di alam semesta.
7. Kearifan lokal seringkali ada penjaganya,yakni orang bijak,
pemimpin agama atau guru. Karena itulah kearifan lokal
tahan lama atau bisa mentradisi. Penjaganya ,bukan orang
ahli(tidak memiliki modal intelektual dan modal simbolik)
,tetapi mereka bisa menduduki posisi sebagai penjaga
tradisi, karena mampu menafsirkan makna tradisi,baik
makna tekstual dan konstektual maupun makna implisit dan
eksplisit sehingga warga komunitas bisa memahami dan
mempraktekannya secara baik dan benar.
8. Kearifan lokal sering terkait dan atau menyatu dengan ajaran
maupun praktek-praktek keagamaan,misalnya ritual sehingga
menambah daya kebertahanannya.(Atmadja, 2004).

Masyarakat Jawa terutama umat Hindu telah lama dan teruji


menggunakan kearifan lokal tadi di dalam sistem hidup beragama.
Ritual Kematian telah teruji dan dilestarikan oleh masayarakat
Jawa sejak lama. Mereka mempunyai struktur tersendiri,

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 175


pemaknaan dan sistem penerapan kearifan ini sampai sekarang.
Tafsir terhadap kearifan ini terus dikembangkan sehingga makna
tektual dan kontektualnya ditafsirkan untuk mempermudah
warga pendukungnya melaksanakan dan memahami ritual yang
ia lakukan. Umat Hindu di Jawa dan dimanapun berada hampir
semua kegiatan hidupnya disertai dengan Ritual atau upakara
dan upacara. Demikian juga dalam Ritual Kematian di dalam
masyarakat Jawa di di dalam setiap tahapan pelaksanaannya
disertai dengan menggunakan sesajen, banten atau upakara.
Sarana ritual ini mencirikan betapa kentalnya kearifan lokal
terpelihara dalam komonitas masayarakat Jawa. Misalnya dalam
penggunaan cok bakal, nasi brok, buceng monco warno dan lain-
lain. Pemaknaan kearifan lokal yang berkaitan dengan ritual itu
diuraikan sebagai berikut :
Sarana air atau tirtha yang dipergunakan dalam ritual kematian
memiliki makna sebagai magnit, misalnya magnit yang ditaruh
pada sebatang besi/baja, karena pengaruh imbas dari magnit, maka
besi/baja tadi bisa menjadi magnit walaupun bersifat sementara.
Tetapi bila terus menerus diimbas, lama kelamaan besi tersebut
akan menjadi magnet. Dalam hal ini tirtha adalah sebagai magnit,
sedangkan sipemakai diumpamakan besi/baja yang diimbas.
Karena pengaruh kesuciannya diharapkan sipemakai juga akan
menjadi suci. Selain itu air sebagai simbol Dewa Wisnu sebagai
lambang peleburan segala mala.
Sarana bunga di dalam ritual kematian dimaknai sebagai
simbol pikiran yang suci dan sebagai lambang ketulusan hati di
dalam melaksanakan ritual tersebut.
Sarana berupa api atau dupa selalu digunakan di dalam
tahapan ritual kematian. Dalam pelaksanaan Ritual Kematian,

176 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


dupa merupakan sarana pokok. Makna api atau dupa dalam Ritual
Kematian adalah sebagai simbol Dewa Brahma tetapi api (Dewa
Agni) yang disimbulkan sebagai Dewa Brahma adalah tidak sama
dengan Tuhan.
Penggunaan daksina sebagai sarana Ritual Kematian adalah
sangat penting sebab cok bakal/daksina sebagai simbol dunia dan
memiliki makna sebagai patni-ning yadnya, yang artinya sebagai
istri dari pada yadnya. Pengertian istri dalam hal ini adalah sakti/
pradana yaitu wujud lahiriah dari pada yadnya. Selain itu sarana-
sarana yang ada dalam daksina memiliki makna sebagai berikut :
Wakul daksina melambangkan bumi yang bulat, simbul dari kulit
manusia, angkasa yang tidak terbatas. Tampak melambangkan
swastika yang netral. Beras adalah simbul dari pokok kehidupan
kebutuhan yang primer, kelapa yang sudah berisi padat dan sudah
mengandung minyak, berisi air separo/setengah memiliki simbul
dunia bulan, melambangkan jiwa yang suci. Bija melambangkan
saling ketergantungan. Cok bakal melambangkan sujud bhakti,
alat perasa, simbul penghormatan serta pengendalian tri guna
: kembang telon melambangkan restu dari Dewa Tri Murti,
tepung tawar, slepi, kacang merah bermakna sebagai sarana
pembersihan dari segala kotoran, noda dan dosa untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Uang simbul dari intisari pikiran dan arta
berana. Benang simbul dari hubungan, tali pengikat, canang
genten atau canang gental melambangkan Ida Sang Hyang widhi
Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, canang sari
melambangkan linggih Ida sang Hyang Widhi Wasa. Minyak
wangi mengandung makna sebagai simbul ketenangan atau
kesegaran dan minyak kelapa melambangkan Sang Hyang Tri
Murti dan Tri Purusha.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 177


Pebyakala cukup banyak memakai sarana. Sarana-sarana
tersebut memiliki simbol dan makna sebagai berikut : “ayakan
(sidi) sebagai simbol pemisah antara yang baik dengan yang
buruk. Kulit sesayut simbol Sang Hyang Atma, kelanggengan,
selalu mendiami badan manusia, kulit peras simbul bahwa
pekerjaan telah selesai, kesaksian pekerjaan yang ditangani
telah tuntas adanya. Penek adalah dibuat dari nasi simbol bukit,
rerasmen simbol pangan, hasil dari daratan dan lautan, inti
daripada persembahan, pembersihan. Sisig bermakna sebagai
sarana pembersihan, porosan simbol Dewa Tri Murti, tepung
tawar, segawu dan bija bermakna sebagai sarana pembersih dari
segala kotoran, noda, dosa untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Sampian nagasari, reringgitan simbol kesungguhan hati, plawa
(daun-daunan) simbol ketenangan hati, lis simbol dunia, padma
simbol menciptakan tirtha. Telur sebagai simbol dunia dan simbol
kesucian. Tumpeng simbol penetralisir para Bhuto Kolo. (Subroto,
22 Januari 2005).
Penggunaan banten ajuman dalam ritual Kematian memiliki
makna sebagai berikut : Penek melambangkan bukit, jajan, buah-
buahan dan rerasmen melambangkan pangan, hasil dari daratan
dan lautan, merupakan inti dari persembahan dan pembersihan.
Pisang melambangkan Sang Hyang Kumara.
Banyu kunir yang digunakan pada Antyesti merupakan
bagian dari serangkaian banten yang melambangkan kesucian,
keduniawian serta kemakmuran.
Banten Panyopo selalu menyertai upacara yang ditujukan
kepada leluhur. Dalam Ritual Kematian, Panyopo juga merupakan
banten atau upakara pokok. Adapun makna dari panyopo adalah
sebagai simbol sujud bhakti kepada para leluhur.
Banten Buceng Monco Warno yang digunakan dalam Ritual
Kematian merupakan lambang penghormatan kepada Panca
Dewata.

178 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Dilihat dari bagian-bagiannya sarana yang digunakan dalam
canang sari memiliki berbagai simbol sebagai berikut jejahitan/
tetuwasan/ reringgitan simbol kesungguhan hati. Plawa (daun-
daunan) simbol ketenangan hati, porosan melambangkan Tri
Murti, bunga melambangkan ketulusan hati yang suci dan bersih,
wangi-wangian sebagai alat untuk merangsang pikiran kearah
ketenangan atau kesegaran.
Nasi Brok digunakan untuk menyertai banten atau upakara
yang lainnya dalam ritual Kematian. Adapun makna penggunaan
nasi brok dalam Ritual Kematian adalah sebagai simbol rasa
terima kasih kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan atas berkah
atau segala yang sudah diberikan serta sebagai wujud rasa terima
kasih atas terlaksananya upacara tersebut.
Burung Dara yang digunakan untuk menyertai banten nasi
brok pada Ritual Kematian untuk seribu hari merupakan simbol
kelepasan atau simbol lepasnya sukma untuk mencapai moksa.
Itik atau angsa merupakan binatang yang diidentikkan
dengan kebijaksanaan. Dalam Ritual Kematian untuk seribu
hari angsa juga digunakan untuk melengkapi banten nasi brok
yang maknanya sebagai simbol kebijaksanaan dalam pencapaian
moksa.
Di dalam Ritual Kematian semua banten-banten yang
dipergunakan dapat mempunyai makna dalam pelaksanaan ritual
tersebut sebagai salah satu sarana penyucian untuk melepaskan
dosa yang menyelimuti sanghyang Atma orang yang meninggal
agar mencapai moksa dalam istilah Jawa manunggaling kawulo
marang gusti.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 179


180 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa
BAB V

TEOLOGI HINDU
DALAM RITUALKEMATIAN DI JAWA

Ajaran agama Hindu meliputi lahiriah dan batiniah serta


individual dan kolektif. Sifat ajarannya fleksibel dan elastis
yang dinyatakan dalam istilah Desa, Kala, Patra yang artinya
agama Hindu dapat dilaksanakan menurut keadaan, tempat dan
waktu serta kondisi. Sifat inilah yang memberikan pelaksnaaan
ajaran agama Hindu menyesuaikan diri dengan peningkatan
teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan dan karena Weda
menjadi sumber ajarannya bersifat mengatasi ruang dan waktu.
(Cudamani, 1982 : 6).
Memahami agama Hindu tidaklah cukup jika memandangnya
hanya dari sisi aktivitas upacaranya saja, tetapi patut juga dihayati
inti ajarannya secara mendalam melalui teologinya. Hakekat
ajaran agama Hindu tertuang dalam makna Panca Srada yang
artinya lima keyakinan (kepercayaan) yang diterima melalui
proses berpikir. Maka dari itu agama Hindu adalah agama yang
penuh filosofis, karena membentangkan ajarannya melalui
metode berpikir yang mendalam. Dengan demikian ajaran agama
Hindu bukanlah ajaran yang membuta, melainkan ajaran yang
penuh kebenaran berpikir dan merenungkan, disinilah letak
keluwesan serta kebenaran ajaran agama Hindu. Sebaliknya juga
suatu kepercayaan yang diterima tanpa melalui proses berpikir
yang disebut dogmatis, dimana pikiran kurang berperan untuk
mengoreksinya karena ajaran-ajaran itu telah dibakukan harus
diterima sesuai yang telah dicanangkan.
Untuk membahas mengenai teologi Hindu dalam ritual
kematian di Kumendung, Muncar, Banyuwangi sebaiknya

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 181


harus dipahami dahulu apa sesungguhnya dimaksudkan dengan
teologi Hindu itu sendiri. Teologi Hindu di dalam kitab suci
Hindudi kenal dengan sebutan Tattwa sebab tattwa itu sediri
membahas tentang Ke-Tuhanan. Sebagaimana diuraikan di
bahwa “Tattwa adalah ajaran agama yang pada hakekatnya
adalah ajaran kebenaran mengenai filsafat agama, juga
mengenai Theologi KeTuhanan dan Methaphisika dari agama
itu sendiri serta dalam penyampaiannya secara mithologi.
Tattwa juga berarti kebenaran itu sendiri. kata Tattwa berasal
dari bahasa Sanskerta yang dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan kebenaran. Di dalam lontar-lontar di
Bali kata Tattwa inilah dipakai untuk menyatakan kebenaran
itu. Karena segi memandang kebenaran itu berlain-lainan, maka
kebenaran itupun tampaknya berlainan pula sesuai dari segi
memandangnya, walaupun kebenaran itu satu adanya ”(Sura,
1981 : 16).
Teologi Hindu membahas tentang Tuhan dan alam semesta
beserta isinya. Salah satu nama Tuhan dalam agama Hindu
disebut Brahman. Istilah ini di kenal dalam kitab Upanisad dan
dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan
sebagai pencipta pemelihara maupun pelebur alam beserta isinya.
Termasuk manusiapun tidak luput dari hukum Brahman itu.
Demikian pula Brahman merupakan tujuan akhir dari manusia
Hindu yang disebut Moksa. Secara garis besar konsep teologi
Hindu tentang Tuhan ada empat pandangan yakni Tuhan diyakini
sebagai Yang Esa, Tuhan sebagai sumber segala, Tuhan ada di
mana-mana dan Tuhan tak terpikirkan (sunia). Semua pandangan
itu termuat dalam Weda sebagai berikut :
Tuhan Yang Esa (Brahman) dalam pandangan umat Hindu
sesungguhnya hanya Esa, hal ini dibaca dalam bait sloka sebagai
berikut :

182 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Tonah pita janita yevidhatak
dhamani veda muvanani visva
yo devanam namagha eka eva
tam samprasman bhuvana yantyanya

Artinya :
Bapa kami, pencipta kami penguasa kami,
yang mengetahui semua tempat, segala yang ada
Dialah satu-satunya, memakai nama Dewa yang
berbeda-beda
Dialah yang dicari oleh semua makhluk dengan renungan.
(RG.X 82 – 3)

Dalam bait lainnya kitab Isa Upanisad juga diuraikan tentang


Tuhan Yang Esa sebagai berikut :

Sa paryacac chucram, akayam, avaranam


asnavirani suddhamapapa vidham kavir
manisi paribhuh svayambhur, yathatathyamto
rtham wyadadhic chasvati bhyah samabhyah
(Isa Upanisad bait 8)

Artinya :
Hendaknya diketahui bahwa ia maha kuasa
Tak bertubuh, tak teraba, tak berurat nadi
Suci, tak kena oleh penderitaan, maha tahu
Ahli pikir, maha besar, ada tanpa diadakan
Pemberi rahmat atas segala keinginan sejak
Zaman dahulu kala.

Isavasyam ida sarvam yat kinca jagattyam jagat,


Tena tyaktena bhujittha magradah kasya sivid dhanam.
(Isa Upanisad bait I)

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 183


Artinya :
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa
ataupun yang tidak berjiwa dikendalikan oleh Isa yang
maha Esa oleh karena itu orang hendaknya menerima
apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak
menginginkan milik orang lain.

Uraian Weda dan Upanisad di atas memberikan keyakinan


kepada umat Hindu bahwa Tuhan itu Esa adanya namun keesaan
dari Tuhan itu diberi bermacam-macam nama, sehingga Tuhan
memiliki bermacam-macam nama sesuai dengan sifat yang ingin
dapat dibayangkan atau dipikirkan ,dicari oleh manusia pada
saat hidup maupun meninggalkan dunia ini. Salah satu nama lain
yang dipersembahkan oleh si pemujanya kepada Brahman adalah
kebenaran di mana Tuhan itu sendiri merupakan sumber dari
kebenaran yang ada. Oleh sebab itu golongan filosuf atau maha
resi Hindu selalu menekankan kebenaran dalam usaha mencapai
kemanunggalan dengan Brahman dan akhirnya kebenaran ini
menjadi dasar keyakinan bagi pemeluk agama Hindu dalam usaha
bersatu kepadanya dengan melepaskan diri dari ikatan duniawi.
Tuhan merupakan sumber segala yang ada ini. Sebagai
sumber segala termasuk sumber Kebenaran. Karena sebagai
sumber kebenaran maka Tuhan memberikan tuntunan kepada
pemeluknya melalui kitab suci agar mereka selalu berada di
jalan yang telah digariskan oleh Tuhan. Dalam kitab suci veda
disebutkan bahwa Tuhan itu adalah penyelamat, pelindung,
penolong dan pengasih umat manusia seperti pada bait berikut :

Yathorna nasbih srjate grhnate ca


Yatha prthivyam osadhayas sambhavati
Yata satah purusat kesalomani
Tathasarat sambhavatiha visvam
(Mundaka Upanisad I.7).

184 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Seperti laba-laba yang mengeluarkan dan menarik benangnya,
seperti tumbuh-tumbuhan bahan obat yang tumbuh di bumi,
seperti rambut yang tumbuh di kepala dan badan orang,
demikianlah alam semesta ini muncul dari Tuhan.

Di dalam Reg Veda juga diuraikan bahwa Tuhan sebagai


sumber segala termasuk sumber penolong, pelindung, pemberi
anugrah, sumber kebahagiaan dan lain-lain.

Tarataram indram avitaram handaram


Havehave suhavam suram indram
Hvyamisatrampuruhutam indram
Svasti no mghava ghavindram
(Rg Veda VI. 47. 11)

Artinya :
Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat
Tuhan yang maha kuasa yang dipuja dengan gembira
dalam setiap pemujaan, Tuhan maha sakti, selalu dipuja
kami memohon semoga Tuhan yang maha Pemurah
melimpahkan rahmat kepada kami.

Prate yaksi iyarmi manem


bhuvo yatha vandhya no avesu
ghanva triva prapa ask tvagagna
iyaksavepurave pratna rajan.
(Rg X 4 –1).

Artinya :
Kepada itu kami persembahkan sesajian, kepadamu kami
panjatkan doa kami kepadamu yang dipuja pada doa kami,
Engkau adalah ibarat mata air dalam gurun pasir, ya Tuhan.
Bagi manusia yang menyembahmu oh raja yang abadi.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 185


Vmrthivim Esa etam
ksetraya visnur manuse dasyayam
dhuvaso asya kerayo janasa
urusiktim sujanima cakra
(Rg weda VII. 100.4)

Artinya :
Wisnu membentangkan bumi ini dan menjadikan tempat
tinggal bagi manusia. Kaum yang hina aman sentausa
di bawah lingkungannya yang mulia telah menjadikan
bumi ini tempat mereka.

Tvam hi na pitam vaso


Tvam mata satakrato babhuvita
Agha te mumnam imahe
(Rg veda VIII. 98.11).

Ia maha pemurah Engkau adalah bapak kami dan ibu


kami dan ibu kami Ya Tuhan engkau maha ada, kini
kami mohon kemurahanmu.

Membaca kutipan sloka diatas di dalamnya terdapat konsep


keyakinan dan pengetahuan tentang Tuhan sebagai sumber segala
yang ada. Semua isi dunia ini Tuhanlah yang menyebabkannya.
Tuhanlah sebagai sumbernya. Tuhan sebagai sumber penolong,
penyelamat serta pengasih umat manusia di dunia ini. Penjelasan
ajaran itu sangat logis sebab ketika manusia kebingungan mencari
pertolongan, dan keselamatan dirinya, akhirnya manusia hanya
bisa berserah kepada Tuhan untuk memberikan welas asihNya
agar mau menolong manusia dari segala yang membahayakan,
sumber prtolongan yang terakhir itu hanya ada dari Tuhan.
Tuhan sumber semua Ciptaan dan mengembalikannya ke
asalnya jika waktunya sudah tiba dalam teologi Hindu banyak

186 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


diuraikan dalam kitab-kitab suci/tundra seperti Purusa sukta
berikut :

Yatho va imani bhutani jayante


Yena jatani jivanti
Yat prayanty abhisam viasanti
Tad vijijnasasva tad brahmeti
(Taittiriya Upanisad III. 1)

Artinya :
Dari mana semua ada ini lahir, dengan apa yang lahir
ini hidup,
Kemana mereka masuk setelah kembali, ketahuilah
bahwa itu adalah Brahman.

Lwir Bhatara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran


mangreka jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat,
Rudra rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira
bheda nama (Bhuvanakosa III. 76).

Artinya :
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan
dunia ini ialah; Brahma wujudnya waktu menciptakan
dunia ini, Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia,
Rudra wujudnya waktu memerelina dunia ini, demikianlah
tiga wujudnya (tri Murti) hanya beda nama.

Sakwehning jagat kabeh mijil sakeng Bhatara Siwa ika,


riwekasan lina ring Bhatara Siwa juga ya
(Bhuvanakosa III. 80).

Artinya :
Seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, kemudian
lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 187


Di dalam Purusa sukta dibaca Tuhan disebut bernama
purusa. Purusa inilah yang merupakan sumber dan menjadikan
alam semesta ini semua baik yang sudah ada maupun yang akan
datang.sedangkan di dalam Bhuvanakosa disebut sebagai Bhatara
Siwa, sedangkan di dalam Upanisad disebut sebagai Brahman,
Isa sebagai sumber semua ciptaan ini.
Di dalam konsep Teologi/Tattwa Hindu juga dikenal pengetahuan
Tuhan berada di mana-mana, di alam ini Tuhan meresap memenuhi
dunia dan dipanggil dengan banyak nama serta berada secara wyapi
wayapaka, sebagaimana diuraiakan sebagai berikut :

Tad eva agnis tad adityas


Tad vayus tad u cadramah
Tad eva sukram tad brahma
Ta apah sa prajapatih
(Yajurveda, XXXII.1.)

Artinya :
Tuhan yang Esa dipanggil dengan banyak nama,
Dewa Agni, Aditya, Vayu, Candrama, sukra, Brahman
Apah juga Dewa Prajapati (Raja semua mahluk)

Agnir yathaik bhvanam pravisto rupam prati rupo


babhuva ekas tatha sarva bhutantaratma rupam rupam
prati rupo bahisca (Katha Upanisad II. 2.9).

Artinya :
Seperti api yang satu adanya, menyusupi segenap alam,
bentuknya menjadi bermacam-macam sesuai dengan
objek yang dibakarnya, demikian juga halnya Tuhan
yang tunggal dalam semua mahluk menjadi bermacam-
macam sesuai dengan apa (yang ia masuki), namun Ia
juga berada di luar (itu semua).

188 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Di dalam Swetasvataraupanisad II.17. diuraikan juga tentang
Tuhan meresap keseluruh alam semesta. “Yo devo gnau yo psu,
yo visvam bhvanamawisesa, yo osadhisu yo vanaspatisu, tasmai
devaya namo namah, artinya sujud pada Tuhan yang berada pada
api, yang berada dalam air,yang meresapi seluruh alam semesta,
yang ada dalam tumbuh-tumbuhan, yang ada dalam pohon-
pohon kayu”. Ajaran upanisad ini dapat ditemukan dalam praktek
kehidupan relegius umat Hindu. Dalam kontek ini pengetahuan
meyakini Tuhan ibarat merasakan garam yang telah larut dalam
air, walaupun ia tidak tampak namun dapat dirasakan. Demikian
juga orang Hindu sesuai ajarannya mereka dapat merasakan
kehadiran Tuhan walaupun ia sembahyang di bawah pohon, di
gunung, di pantai atau dimana saja.
Konsep teologi Hindu juga membahas Tuhan yang bersifat
Transenden (acintya) (tak terpikirkan) sebagai berikut :

Sivah sarvagatah suksmah


Bhutanam antariksavat
Acintya mahagrhyante
Na indriyam parigrhyantem
Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng
angen-angen, kadyangga ning akasa, tan kagrehita
dening manah mwang indriya. (Bhuvanakosa, III.80).

Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat
dipikirkan, ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh
pikiran dan indriya.

Konsep Tuhan yang tidak dapat dipikirkan dan tak dapat


diraba indriya manusia sangat jelas diuraikan di dalam kitab di
atas, konsep itu sangat logis sebab konsep ini analoginya bahwa
pikiran manusia yang terbatas pasti tidak mampu memikirkan
Tuhan yang tak terbatas dengan pikiran yang sangat terbatas.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 189


Demikian juga kekuatan indriya manusia yang sangat lemah
tidak mungkin dapat meraba Tuhan sepenuhnya karena Tuhan
berada di luar jangkaun indrya manusia. konsep ini di dalam
kitab suci Hindu disebut bersifat Nirguna Brahman, Paramasiwa,
Paramanirbana dan lain-lain. Alamnyapun disebut alam nirpada,
nirbana,nirvana, sunia dan sebagainya.
Konsep teologi Hindu di atas jika digunakan untuk
menganalisis teologi Hindu yang ada dalam ritual kematian
pada masyarakat Jawa umumnya dan Kumendung khususnya
maka terlebih dahulu harus dipahami bahwa ritual kematian itu
mempunyai makna pengembalian badan wadag ke Panca Maha
Bhuta dan sebagai media mendoakan agar Atman orang yang
meninggal bersatu dengan Tuhan (Moksa). Kenapa demikian
menurut keyakinan Hindu di Jawa bahwa orang yang meninggal
dan sudah diupacarai ia akan menjadi Sidha Dewata. Sebab ritual
yang dilakukan itu rangkaiannya mulai dari Geblak, sampai
dengan Upacara Nyewu. Semuanya merupakan penghormatan
kepada leluhur yang telah disucikan. “Sidha Dewata”. Kata
Sidha Dewata ini berarti mencapai alam Dewata (Wiana, tt :
118). Dalam istilah Jawa dikatakan sebagai mulih ikang sangkan
paraning dumadi atau berada dalam alam Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Roh atau Atma yang telah suci atau “Sidha Dewata secara
simbolis diyakini bisa menyatu setelah pelaksanan Ritual Nyewu
itu.
Teologi Hindu yang dimaksudkan di atas pokok analisisnya
hanya yang berkaitan dengan pengetahuan terhadap Tuhan Yang
Tunggal, Tuhan sebagai sumber segala Tuhan berada di mana-
mana dan Tuhan Tak terpikirkan.

1. Tuhan Yang Maha Esa


Konsep teologi Hindu mengenai Tuhan Yang Esa (Brahman)
dalam Ritual Kematian pada masyarakat Jawa yang diawali

190 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


dengan Ritual Geblak dan berakhir dengan Nyewu, secara
simbolis bermakna sebagai media untuk memberikan jalan agar
arwah orang yang meninggal tersebut secepatnya lebur dan cepat
menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana uraian
(RG.X 82 – 3) : Tonah pita janita yevidhatak, dhamani veda
muvanani visva, yo devanam namagha eka eva, tam samprasman
bhuvana yantyanya. Artinya : Bapa kami, pencipta kami penguasa
kami,yang mengetahui semua tempat, segala yang ada Dialah
satu-satunya, memakai nama Dewa yang berbeda-beda, Dialah
yang dicari oleh semua makhluk dengan renungan.
Uraian Reg Weda tersebut diucapkan dalam mantram Ritual
Kematian yakni Niatingsun manjurung suksmo manunggalo
kawulo lan gusti, suksmo jiwanipun:.............. suksmo loro, Suksmo
waluyo suksmo ngumboro, suksmo baliyo Bali marang suksmo
jati, manunggal marang suksmo kawekas. Artinya Kehendak
hamba mengantar atman, bersatulah atman dengan brahman,
atman Jiwatman : .................. atman sakit, atman sembah, Atman
berjalan, atman kembali, kembali pada Brahman, Menyatu ke
alam siwa. Secara teologis sloka Reg Weda dan Mantram itu ada
kesamaan teologis yang intinya bertujuan agar Atman orang yang
meninggal bisa mencapai penyatuan dengan Tuhan yang tunggal.
tam samprasman bhuvana yantyanya atau Niatingsun manjurung
suksmo manunggalo kawulo lan gusti, menuju kepada Brahman
atau suksmo jati yaitu Tuhan yang tunggal. Penyatuan antara
Atman dengan Tuhan ini dalam ajaran Hindu disebut dengan
moksa.
Di dalam kontek yang lain ajaran keTuhanan/teologi Hindu
yang sifatnya monoteisme terdapat juga dalam Upanisad sloka 1:
Isavasyam ida sarvam yat kinca jagattyam jagat,Tena tyaktena
bhujittha magradah kasya sivid dhanam. Artinya ; Sesungguhnya
apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang tidak
berjiwa dikendalikan oleh Isa yang maha Esa oleh karena itu

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 191


orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan
baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.
Uraian Weda dan Upanisad di atas memberikan keyakinan
kepada umat Hindu bahwa Tuhan itu Esa adanya namun keesaan
dari Tuhan itu diberi bermacam-macam nama, sehingga Tuhan
memiliki bermacam-macam nama sesuai dengan sifat yang
dapat dibayangkan atau dipikirkan, dicari oleh manusia pada
saat hidup maupun meninggalkan dunia ini. Salah satu nama lain
yang dipersembahkan oleh si pemujanya kepada Brahman adalah
nama Isa (tunggal). Tuhan sebagai kebenaran tunggal tidak ada
lagi kebenaran yang lebih tinggi dari kebenaran Tuhan. sebab
Tuhan itu sendiri merupakan sumber dari kebenaran yang ada.
Dalamperdebatan tentang Tuhan oleh maha Resi Hindu selalu
menekankan kebenaran dalam usaha mencapai kemanunggalan
dengan Brahman dan akhirnya kebenaran ini menjadi dasar
keyakinan bagi pemeluk agama Hindu dalam usaha bersatu
kepadaNya dengan melepaskan diri dari ikatan duniawi. Walupun
diberikan berbagai macam nama namun Upanisad menyebutnya
dengan satu nama saja yaitu Isa sebagai yang tunggal. Sedangkan
dalam ritual kematian konsep keTuhanan semacam itu juga ada
sebagai mana tertuang dalam mantram ritual berikut ini.” Duh
Gusti, paduko ugi sinambut Hyang Siwah,Maha Dewa, Iswara,
Parameswara, Brahma,Wisnu sarto Rudra, Paduko angliputi
sekatahing wujud,Mugi suksmo jiwanipun swargi :.............
ketampio,Manunggal dumateng Paduko artinya ; Om Bhatara
Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara, Prameswara, juga disebut
Brahma, Wisnu, Rudra, Paduka/Bhatara siwa meliputi semua
wujud, Semoga atman swargi ...............diterima menyatu, Di
Siwa baka (alam Brahman).
Di dalam Upanisad Tuhan disebut sebagai Isa artinya
Tunggal, sedangkan di dalam ritual kematian diberikan gelar
Bhatara Siwa sebagai yang tunggal dengan banyak nama yaitu

192 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Iswara, Parameswara, Brahma Wisnu Rudra, yang meliputi
semua wujud. Tuhan dengan nama Siwa itulah dituju oleh Atman
ketika Atman mencapai moksa/swargi itu. Mugi-mugi swargi,
pikantuko, Ketentreman tumuju dumateng kaswargan, Dumigiyo
ing kamoksan, Mugi-mugi amanggiho kasampurnaan jati,
artinya ; semoga mendapatkan sorga, mencapai Ketentraman
menuju saorga, semoga mendapatkan moksa dan mendapatkan
kesempurnaan yang sejati.
Para tokoh budaya Jawa seperti Soesilo, bukunya Simbolisme
Budaya Jawa. Mengingatkan betapa pentingnya manusia memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang Tuhan yang sifatnya
monotheisme yang dalam istilah Jawa disebut sebagai roroning
atunggil dan pamoring sukmo. Konsep ini memandang mengenai
penyatuan Jiwa (pamoring suksma) dengan Tuhan sebagai objek
yang dituju ketika kematian atau kembali ke asal/alam Hyang
Widhi.

Uraian selengkapnya sebagai berikut : “Awas roroning


atunggil,Tan samar pamoring sukma, Sinukmaya
winakya ing ngsepi, Layap liyeping ngalayup, Pinda
pasating supena, Sumusuping rasa sejati, Sejatining kang
mangkana, Wus kekanan nugrahing Hyang Widhi, Bali
alang asamung, Tan karem kare menyan,Ingkang sifat
wisesa mas, Mulih mula niulanira, Artinya : Hendaknya
waspada terhadap penghayatan roroning atunggil, Agar
tiada ragu terhadap bersatunya sukma, penghayatan ini
terbukti dalam penyepian, tersimpan di dalam pusat
kalbu, menyusup di dalam rasa sejati, adapun proses
terungkapnya tabir (penutup alam gaib), atas anugrah
HyangWidhi, laksana terbalutnya dalam kantuk bagi
orang yang sedang mengantuk, penghayatan gaib itu
datang laksana lintasan mimpi, sesungguhnya orang
yang telah menghayati semacam itu, berarti telah tahu
jalan kemana pergi keasalnya“(Soesilo, 2003 : 119-120).

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 193


Apabila konsep di atas ditinjau dari konsep teologi Hindu
yang tertuang dalam Bhuwanakosa maka akan ditemukan bahwa
sesungguhnya roroning atunggal sama dengan konsep “Sa eko
Bhagavan sarwah siva karana karanam, aneko viditah sarvah,
catur vidhasya karanam, Ekatwanekatwa swalaksana Bhatara.
Ekatwa ngaranya, kahidep makalaksana ng Siwatattwa. Ndatan
tunggal, tan rwatiga kahidepnira, mangekalaksana Siwa karana
juga, tan paprabheda. ……. Caturdha ngaranya laksananiran
sthula suksma parasunya. Artinya : sifat Bhatara adalah Eka
(Esa) dan aneka artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatatatwa.
Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa
saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pensipta tiada perbedaan
…….. caturdha artinya beliau berbadan gaib (kosong)” (Sura,
2001: 26-27).
Konsep roroning atunggal dalam Bhuvanakosa disebut
sebagai sa eko bhgawwan sarwah, Siwa karana karanan,
sifat Tuhan yang satu dalam banyak dan banyak dalam satu,
sebab itulah Tuhan disebutkan dengan banyak nama. Namun
sesungguhnya Tuhan satu dalam dua, dua dalam satu, satu
dalam aneka/banyak, aneka dalam eka. Beliaulah yang dipuja
dalam ritual kematian tersebut.
Jadi makna Tuhan dalam ritual kematian tersebut secara
konsep dasar memiliki kesamaan teologi dengan teologi
Hindu dalam memandang Tuhan. Dimana Tuhan yang dipuja
ketika kematian adalah Esa dalam aneka, sesungguhnya Tuhan
itu Esa adanya, tunggal dengan gelar banyak nama. Dalam
upanisad disebut Brahman, Isa dalam Ritual disebut sebagai
Gusti, Hyang Murbeng Dumadi dan Bhatara Siwa.

2. Tuhan sebagai Sumber segala yang ada


Tuhan merupakan sumber segala yang ada dan mengembalikan
semua ini ke asalnya. Tuhan sebagai sumber segala yang ada
maka Tuhan juga termasuk sumber Kebenaran. Karena itu Tuhan

194 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


di dalam Upanisad dikatakan sebagai sumber segala ciptaan,
pengembalidan sumber kebenaran. Seperti terbaca ; Yathorna
nasbih srjate grhnate ca,Yatha prthivyam osadhayas sambhavati,
Yata satah purusat kesalomani, Tathasarat sambhavatiha visvam,
(Mundaka Upanisad I.7) artinya : seperti laba-laba yang
mengeluarkan dan menarik benangnya,seperti tumbuh-tumbuhan
bahan obat yang tumbuh di bumi, seperti rambut yang tumbuh di
kepala dan badan orang, demikianlah alam semesta ini muncul
dari Tuhan. Hal yang sama terdapat pula dalam mantram ritual
kematian yang berbunyi ; Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo
ingkang, sampun dumados, ingkang bade dumados, ing jagad seisi
nipun puniko,Paduko mboten wujut, Paduko ambirat sekatahing
pepeteng, Paduko Moho tunggal, mboten wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun swargi......... artinya;
Ya Tuhan/ Gusti Engkau sumber dari dari semua yang ada ini,dan
yang akan terjadi, di duniadengan segalaisinya itu, yang ada dan
yang akan ada, Engkau tidak kelihatan, Engkau menghilangkan
segala kegelapan, Engkau Maha Tunggal, tiada kembar,hamba
berserah semoga Jiwa almarhum mendapatkan sorga.
Sedangkan di dalam lontar di Bali, misalnya Bhuwanakosa
menguraikan juga mengenai Tuhan sebagai sumber alam semesta
ini.

“Lwir Bhatara Siwa magawe jagat, Brahma rupa siran


mangreka jagat, Wisnu rupa siran pangraksa jagat,
Rudra rupa sira mralayaken rat, nahan tawak nira
bheda nama”
(Bhuwanakosa III. 76).

Artinya :
Adappun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan
dunia ini ialah; Brahma wujudnya waktu menciptakan
dunia ini, Wisnu wujudnya waktu memelihara

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 195


dunia, Rudra wujudnya waktu memerelina dunia ini,
demikianlah tiga wujudnya (Tri Murti) hanya beda
nama” Sura, 2001:28).

Di dalam sloka tersebut disebutkan Bhatara Siwa sebagai


pencipta dunia dan melalui Sanghyang Tri Murti Brahma, Wisnu
dan Rudra. Sedangkan dalam konsepnya yang monotheisme
disebut semua ini muncul dari Bhatara Siwa dan kembali juga
kepada Bhatara siwa juga, sebagai uraian dalam sloka berikutnya
; “Sakwehning jagat kabeh mijil sakeng Bhatara Siwa ika,
riwekasan lina ring Bhatara Siwa juga ya (Bhuwanakosa III. 80).
Artinya : Seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, kemudian
lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga.
Konsep Tuhan sebagai penyebab kembalinya semua isi
alam initermasuk manusia (badan wadag dan badan halus/atman)
termuat di alam mantram ketika memandikan mayat sebagai
berikut :

Ibu Pertiwi jasatipun swargi..........Ingkang asal saking


siti wangsulo dateng siti.
(ganti bunga) Sang Hyang Baruno, jastipun swargi........
ingkal asal saking toyo, wangsulo dateng toyo (ganti
bunga) Sang Hyang Agni, jasatipun swargi .............
ingkang asal saking latu, wangsulo dateng angin. (ganti
bunga) Sang Hyang Akosos, jasatipun swargi ..............
ingkang asal saking akoso wangsulo dateng akoso.
(ganti bunga) Sang Hyang Brahman Atmanipun swargi
...............wangsulo dateng gesang pribadi, manunggal
dumateng ingkang Moho Suci.

Murcantu, Swargantu, Moksantu, Samantu.


Ang ksama sampurnaya namah swaha
Om santih santih santih Om.

196 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Ibu pertiwi badan swargi : .................. yang berasal
Dari tanah kembali ke tanah
Sang Hyang Baruna, badan swargi........... yang berasal
Dari air kembalilah ke air
Sang Hyang Agni, badan swargi :............. yang berasal
Dari api kembalilah ke api
Sang Hyang Bayu, badan swargi :............. yang berasal
Dari angin kembalilah ke angin
Sang Hyang Akosso, badan swargi :.......... yang berasal
Dari udara kembalilah ke udara
Sang Hyang Brahman, atman ..................kembalilah ke
hidup pribadi, bersatu dengan yang Maha suci.
(Wawancara, Mangku Ponimin, 23 pebruari 2005).

Di dalam mantram itu sangat jelas disebutkan bahwa semua


badan kasar itu termasuk atman dikembalikan ke tempat asalnya
yakni Brahman/ Hyang Moho Suci. Sesuai dengan konsep
penciptaan dunia besar (makro) dan dunia kecil (mikro) bahwa
bahan penciptaan ini asalnya adalah dari Panca Mahabhuta, zat
padat, cair, panas, udara, dan ruang. Semua itu secara simbolis
dikembalikan ke asalnya. Bahan yangh dari air kembali ke aair,
dari api kembalike api, dan sebagainya, sedangkan atman kembali
ke Brahman/ Hyang Maha suci.
Konsep Tuhan sebagai Pencipta alam ini dan menguasai
semua yang ada ini termuat jugadalam mantram Ritual Kematian
sebagai berikut Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang,
sampun dumados, ingkang bade dumados.
Menyimak uraian konsep keTuhanan yang termuat
dalam Upanisad dan mantram Ritual kematian itu, maka
dapat ditemukan benang merah antara teologi Hindu yang
menguraikan pengetahuan tentang Tuhan sebagai sumber dan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 197


pengembali yang ada ini, dengan mantram ritual kematian
yang berbunyi paduko sumbering sedoyo ingkang, sampun
dumados, ingkang bade dumados, ing jagad seisi nipun
puniko, (Engkau (Tuhan) Paduko sebagai sumber semua yang
ada ini, dan seluruh isi alam semesta ini. Sedangkan di dalam
upanisad di uraikan sebagai Tathasarat sambhavatiha visvam
(alam semesta muncul dari Tuhan (Purusa). Sesungguhnya
sumber segala yanga da ini adalah dinamakan purusa, Brahman
dan juga paduko.
Demikian juga Pustaka suci veda menguraikan bahwa
Tuhan itu sebagai sumber penyelamat, pelindung, penolong
dan pengasih, pemberi anugrah, sumber kebahagiaan umat
manusia seperti tertuang dalam :

Tarataram indram avitaram handaram


Havehave suhavam suram indram
Hvyamisatrampuruhutam indram
Svasti no mghava ghavindram
(Rg Veda VI. 47. 11)

Artinya :
Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat
Tuhan yang maha kuasa yang dipuja dengan gembira
dalam setiap pemujaan, Tuhan maha sakti, selalu dipuja
kami memohon semoga Tuhan yang maha Pemurah
melimpahkan rahmat kepada kami.

Sa paryacac chucram, akayam, avaranam


asnavirani suddhamapapa vidham kavir
manisi paribhuh svayambhur, yathatathyamto
rtham wyadadhic chasvati bhyah samabhyah
(Isa Upanisad bait 8)

198 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Artinya :
Hendaknya diketahui bahwa ia maha kuasa
Tak bertubuh, tak teraba, tak berurat nadi
Suci, tak kena oleh penderitaan, maha tahu
Ahli pikir, maha besar, ada tanpa diadakan
Pemberi rahmat atas segala keinginan sejak
Zaman dahulu kala.

Tvam hi na pitam vaso


Tvam mata satakrato babhuvita
Agha te mumnam imahe
(Rg veda VIII. 98.11).

Ia maha pemurah Engkau adalah bapak kami dan ibu


kami dan ibu kami Ya Tuhan engkau maha ada, kini
kami mohon kemurahanmu.

Prate yaksi iyarmi manem


bhuvo yatha vandhya no avesu
ghanva triva prapa ask tvagagna
iyaksavepurave pratna rajan.
(Rg X 4 –1).

Artinya :
Kepada itu kami persembahkan sesajian, kepadamu
kami panjatkan doa kami kepadamu yang dipuja pada
doa kami, Engkau adalah ibarat mata air dalam gurun
pasir, ya Tuhan. Bagi manusia yang menyembahmu oh
raja yang abadi.

Sedangkan di dalam Mantram ritual kematian juga


di ditemukan konsep Tuhan sebagai penolong, pemurah,
penganugrah, sumber kebahagiaan dan sebagainya seperti
tertuang dalam mantram berikut :

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 199


Duh Gusti, suksmo jiwanipun swargi :.............
Kebak nisto serto kebak popo cintroko, mugi-mugi
Swargi......... pikantuko pangayomaning Pangeran

Artinya :
Om Paduka Bhatara Siwa, atman jiwa swargi.............
Penuh dengan dosa, nista, penuh papa,
Semoga mendapatkan perlindungan dariMU

Duh Gusti, sesembahan kawulo,


Mugi Paduko angentasaken suksmo,
Jiwanipin swargi ............ sakeng popo cintroko
Mugi Paduko paring pangamuten sedoyo
Dosanipun swargi : .......................

Artinya :
Om Paduka Bhatara, yang saya sembah
Semoga Paduka membebaskan atman jiwatman swargi....
Dari papa sengsara, dan tuntunlah ke jalan yang benar.

Duh Gusti pangayomaning sedoyo titah


kabebasno suksmo jiwanipun swargi ............
saking papo cintroko soho katuntuno dumateng
margi ingkang leres.
Swargi :................ purno dumados pajenengan
Saking bumi-geni-angin sarto banyu
Jiwo pajenengan Geter Pater ing angkoso

Artinya :
Ya Tuhan (gusti) melindungi semua yang hidup,
bebeskanlah sukmanya nya dia (yang meninggal) dari
penderitaan semua dosa, berikanlah jalan yang lurus.
Swargi ................. asal kelahiran dari bumi, air, api,
Angin, udara, jiwamu bergetar di angkasa

200 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Duh Gusti, mugi pikantuko pangampunten sedoyo doso
Saking tindak tandhuk, pangucap, pangraos
Soho klenta klentuning tumindakipun swargi .........

Artinya :
Ya Tuhan, semoga kau mengapuni segala prilaku, ucapan-
ucapan, kata-kata almarhum dan semua kesalahan yang
ia perbuat, semogamendapatkan sorga.

Om pangeran inggih paduko, ingkang ngawaosi


tri loko bawono, puniko, ingkang Moho Suci,
soho sumbering sedoyo cahyo, mugi paduko
anglunturno dumateng suksmo jiwanipun,
swargi ........cahyo kaweningan paduko
ingkang Moho suci.

Om Bhatara hanya paduka penguasa tri loka buwana ini


Sumber semua cahaya, semoga paduka memberikan
Atma swargi ................... cahaya bening paduka
Yang Maha suci.
tidak ada duanya Saya serahkan jiwa raga swargi :
......................

Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang


sampun dumados, ingkang bade dumados,
ing jagad seisi nipun puniko
Paduko mboten wujut, Paduko ambirat sekatahing pepeteng,
Paduko Moho tunggal tan wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun swargi..........

Ya Tuhan hanya engkau sebagai sumber yang telah ada


dan akan ada di dunia ini, seisi jagat ini, Engaku maha
gaib, Engkau menghilangkan segala bentuk kegelapan,
Engkau maha Tunggal dan taiada kembaranMu. Hamba
pasarah semoga atman si meninggal mendapatkan sorga.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 201


Di dalam uraian lain juga ditemukan konsep kemana
kembalinya semua yang ada ini termasuk manusia. Jawabannya
semua itu tiada lain adalah kembali ke asalnya yang diibaratkan
sebagaimana seseorang yang bebepergian ke tetangga akhirnya
akan kembali kerumahnya pula. Diibaratkan bahwa hidup ini
hanyalah seperti orang yang singgah minum, waktunya hanya
sebentar, akhirnya beerpulang ke pada Tuhan. Uraiannya sebagai
berikut :

Sanepane wong urip puniki


Aneng donya iku umpamane
Mung koyo wong mampir ngombe
Umpomo manuk mabur,lepas sakeng kurunganiki,
Pundi mencoke benjan, aja kongsi kleru,
Umpomo wong jan sinanjan, ora wurung mesti balik mulih,
mring asal kamulane

Artinya :
ditamsilkan orang hidup ini
di dunia itu seumpamanya
hanya seperti orang yang singgah minum
semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya,
ke mana hinggapnya kelak, janganlah sampai keliru,
seumpama orang saling berkunjung ketetangga,
akhirnya pasti pulang ketempat asal mulanya
(Mulyono, 1979 : 195).

Membaca kutipan sloka, mantram Ritual kematian dan pupuh


di atas, ternyata di dalamnya terdapat persamaan konsep teologi
yang berkaitan dengan keyakinan dan pengetahuan tentang Tuhan
sebagai sumber segala yang ada. Termasuk sebagai sumber
penyelamat, penolong, asal semua yang ada. Semua isi dunia ini
Tuhanlah yang menyebabkannya. Tuhanlah sebagai sumbernya.

202 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Tuhan sebagai sumber penolong, penyelamat serta pengasih umat
manusia di dunia ini. Penjelasan ajaran itu sangat logis dapat
diterima, sebab ketika manusia kebingungan mencari pertolongan,
dan keselamatan dirinya, akhirnya manusia hanya bisa berserah
kepada Tuhan. Memohon agar memberikan welas asihNya untuk
menolong manusia dari segala yang membahayakan. Sumber
pertolongan yang terakhir itu hanya bertumpu kepada Tuhan.
Termasuk saat kematian hanya Tuhanlah sebagai pengampun
semua dosa, memberikan jalan yang terang terhadap Atman yang
meninggal, Tuhan sebagai penyelamat, penolong dan pengasih
dalam Weda diberi nama Purusa, Indram, mata, pita, sedangkan
di dalam Ritual Kematian disebutkan bernama Gusti, Paduko,
Hyang Maha suci,Hyang Moho Tunggil. Bahkan dalam mantram
yang lain diharapkan atman itu menyatu dengan sumbernya
yaitu Hyang Widhi, Hyang Moho Suci, Bhatara dan Brahman.
Uraiannya seperti berikut :

“Sir suci, mulyo sejati, bayu urip kang winasuhan


Sumber Hyang Widhi, sir gondo arum horo hari
Rogo mulih marang karso awor lan suksmo,
Suksmo sakuduping mlati, les angles ing samodro,
Suksmo larah, suksmo larih, suksmo mulyo,
Rogo tan keno kari rem lerem mapano mulyo,
Rogo tan keno kari rem lerem mapano marang
Panggonanmu dewe-dewe, pandango dalane,
Manunggalo kawulo lan marang Gusti.
Tentrem, tentrem, tentrem, lerem-lerem, leremo marang
Pangayomaning Pangeran”
(PHDI Madiun, 1981 : 22).

Artinya :
Cipta suci, mulya sejati, air hidup yang dibersihkan
Dari sumber Bhatara Wisnu, cipta harum Siwa-Wisnu

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 203


Badan kembali pada cipta menyatu dengan atman,
atman sekumcup melati
Tenang-tenang di samudra, atman pilah atman pilih, atma mulya
Raga tidak dapat tertinggal, kedamaian sejati, berada di tempatmu
Masing-masing, terang jalannya, menyatu dengan Brahman,
Damai, damai, damai, tenang, tenang,
Tenanglah dalam perlindungan Tuhan.

“Baliyo marang asal purwo dumadimu dewe-dewe


kawulo manunggalo marang Gusti
Mugi-mugi swargi (nama orang yang diupacarai)
Pikantuko ketentreman tumuju dumateng kasawrgan
Dumugi ing kamuksan. Mugi-mugi sedoyo manggiho
Kasampurnaan jati. Om Santih, santih, santih Om”

Artinya :
“kembalilah keasal mulamu sendiri-sendiri
kawula menyatu kepada Betara
semoga swargi.............. mendapatkan ketentraman
menuju kepada kaswargan mencapai kemoksaan
semoga menemukan kesempurnaan sejati
Om damai, damai, damai Om”

Jadi Tuhan sebagai sumber alam semesta ini di dalam Purusa


sukta disebut purusa.di dalam Weda disebut Brahman, Upanisad
disebut Isa sedasngkan di dalam Ritual Kemataian disebut Hyang
Moho Suci, Gusti Hyang Murbeng dumadi dan sebagainya, di
dalam lontar Tattwa disebut Bhatara Siwa. Artinya semua sebutan
itu untuk menyebut Tuhan sebagai sumber semuanya ini. Termasuk
sumber kebenaran, pengampunan, penganugrah, penyelamat dan
sebagainya. Tuhanlah sumber dan menjadikan alam semesta ini
baik yang sudah ada maupun yang akan datang.

204 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


3. Tuhan Berada Di Mana-Mana
Di dalam konsep Teologi/Tattwa Hindu juga dikenal
pengetahuan Tuhan berada di mana-mana, di alam ini Tuhan
meresap memenuhi dunia dan dipanggil dengan banyak nama
serta berada secara wyapi wyapaka, sebagaimana diuraikan
sebagai berikut :

Tad eva agnis tad adityas


Tad vayus tad u cadramah
Tad eva sukram tad brahma
Ta apah sa prajapatih
(Yajurveda, XXXII.1.)

Artinya :
Tuhan yang Esa dipanggil dengan banyak nama,
Dewa Agni, Aditya, Vayu, Candrama, sukra, Brahman
Apah juga Dewa Prajapati (Raja semua mahluk)

Agnir yathaik bhvanam pravisto rupam prati rupo


babhuva ekas tatha sarva bhutantaratma rupam rupam
prati rupo bahisca
(Katha Upanisad II. 2.9).

Artinya :
Seperti api yang satu adanya, menyusupi segenap alam,
bentuknya menjadi bermacam-macam sesuai dengan
objek yang dibakarnya, demikian juga halnya Tuhan
yang tunggal dalam semua mahluk menjadi bermacam-
macam sesuai dengan apa (yang ia masuki), namun Ia
juga berada di luar (itu semua).

Duh Gusti, paduko ugi sinambut Hyang Siwah


Maha Dewa, Iswara, Parameswara, Brahma

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 205


Wisnu sarto Rudra, Paduko angliputi sekatahing wujud
Mugi suksmo jiwanipun swargi :............. ketampio
Manunggal dumateng Paduko

Om Bhatara Siwa, disebut Maha Dewa, Iswara,


Prameswara, juga disebut Brahma, Wisnu, Rudra
Paduka/Bhatara siwa meliputi semua wujud
Semoga atman swargi ...............diterima menyatu
Di Siwa baka (alam Brahman).

Sanepane wong urip puniki


Aneng donya iku umpamane
Mung koyo wong mampir ngombe
Umpomo manuk mabur,lepas sakeng kurunganiki,
Pundi mencoke benjan, aja kongsi kleru,
Umpomo wong jan sinanjan, ora wurung mesti balik mulih,
mring asal kamulane

Artinya :
ditamsilkan orang hidup ini
di dunia itu seumpamanya
hanya seperti orang yang singgah minum
semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya,
ke mana hinggapnya kelak, janganlah sampai keliru,
seumpama orang saling berkunjung ketetangga,
akhirnya pasti pulang ketempat asal mulanya
(Mulyono, 1979 : 195).

Di dalam Swetasvataraupanisad II.17. diuraikan juga tentang


Tuhan meresap keseluruh alam semesta. “Yo devo gnau yo psu,
yo visvam bhvanamawisesa, yo osadhisu yo vanaspatisu, tasmai
devaya namo namah, artinya sujud pada Tuhan yang berada pada
api, yang berada dalam air,yang meresapi seluruh alam semesta,
yang ada dalam tumbuh-tumbuhan, yang ada dalam pohon-

206 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


pohon kayu”. Ajaran upanisad ini dapat ditemukan dalam praktek
kehidupan relegius umat Hindu. Dalam kontek ini pengetahuan
meyakini Tuhan ibarat merasakan garam yang telah larut dalam
air, walaupun ia tidak tampak namun dapat dirasakan. Demikian
juga orang Hindu sesuai ajarannya mereka dapat merasakan
kehadiran Tuhan walaupun ia sembahyang di bawah pohon, di
gunung, di pantai atau dimana saja. Jadi sesungguhnya Tuhan
ada di mana, hadir di mana-mana, namun hanya dapat dirasakan
bukan dilihat, Hanya orang-orang yangterpilihlah yang dapat
mengetahui Tuhan berada di mana-mana.

4. Tuhan Tak Terpikirkan


Konsep teologi Hindu juga membahas Tuhan yang bersifat
Transenden/acintya (tak terpikirkan) sebagai berikut :

Sivah sarvagatah suksmah


Bhutanam antariksavat
Acintya mahagrhyante
Na indriyam parigrhyantem
Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng
angen-angen, kadyangga ning akasa, tan kagrehita
dening manah mwang indriya.
(Bhuvanakosa, III.80).

Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat
dipikirkan, ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh
pikiran dan indriya.

Konsep Tuhan yang tidak dapat dipikirkan dan tak dapat


diraba indriya manusia sangat jelas diuraikan di dalam kitab di
atas, konsep itu sangat logis, sebab secara logika bahwa pikiran
manusia yang terbatas mana mungkin mampu memikirkan Tuhan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 207


yang tak terbatas dengan pikiran yang sangat terbatas. Demikian
juga kekuatan indriya manusia yang sangat lemah tidak mungkin
dapat meraba Tuhan sepenuhnya karena Tuhan berada di luar
jangkaun indrya manusia. konsep ini di dalam kitab suci Hindu
disebut bersifat Nirguna Brahman, Paramasiwa, Paramanirbana
dan lain-lain. Alamnyapun disebut alam nirpada, nirbana,
nirvana, sunia dan sebagainya.maka Ia tidak dapat dipikirkan
oleh manusia.
Ritual Kematian juga memuat ajaran teologis mengenai
bersatunya atman dengan Brahman sampai dengan ke alam
Tuhan yang di luar jangkauan pikiran manusia itu. Sebagaimana
doa yang digunakan dalam ritual itu yang bunyinya : Mugi-mugi
swargi : ............... pikantuko, Ketentreman tumuju dumateng
kaswargan, Dumigiyo ing kamoksan, Mugi-mugi amanggiho
kasampurnaan jati, artinya : semoga mendapatkan sorga,
tentram menuju alam sorga, semoga juga mendapatkan Moksa
dan semoga mendapatkan kesempurnaan sejati. Alam moksa atau
kesempurnaan sejati adalah alam Tuhan yang tak terjangkau oleh
otak manusia. Hal yang sama juga dimuat dalam mantram ritual
kematian itu di bawah ini.

Duh Gusti, paduko sumbering sedoyo ingkang


sampun dumados, ingkang bade dumados,
ing jagad seisi nipun puniko
Paduko mboten wujut, Paduko ambirat sekatahing pepeteng,
Paduko Moho tunggal tan wonten kekembaranipun,
Kawulo namung pasrah suksmo jiwanipun swargi..........

Artinya :
Ya Tuhan hanya engkau sebagai sumber yang telah ada
dan akan ada di dunia ini, seisi jagat ini, Engkau maha
gaib, Engkau menghilangkan segala bentuk kegelapan,
Engkau maha Tunggal dan taiada kembaranMu. Hamba
pasarah semoga atman si meninggal mendapatkan sorga.

208 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Apabila dicermati ajaran teologi Hindu di dalam Mantram
Ritual tadi sangatlah jelas bahwa pelaksanaan ritual itu secara
murni mengandung teologi Hindu mengenai Tuhan yang acintya
dalam kalimat Paduko mboten wujut (Engkau Maha Gaib).
Apabila dilihat dari konsep atman di mana mantram memberikan
makna dan jalan agar atman itu pergi ke sorga bahkan moksa
sedangkan sloka ayur weda juga memberikan ajaran dengan tegas
permohonan itu agar kelak atman masuk ke alam Tuhan yang di
sebut dengan Moksa itu. Semua ajaran Hindu baik dalam Weda
maupun dalam tafsir hampir semuanya bertujuan untuk membantu
menyempurnakan jiwa manusia yang sudah meninggal, agar
mendapat tempat yang baik moksa / sorga loka ataukah kembali/
numitis lagi bagi yang sudah meninggal.” Ritual yang sangat
mendukung ajaran teologi itu adalah mantram ketika pelaksanaan
ritual Nyewu yang intinya bertujuan untuk mempercepat atau
membantu proses “kamoksan” yaitu Manunggaling Kawulo lan
Gusti”.

Pemikiran teologi manusia Jawa di atas menguraikan


beberapa makna hubungan manusia dengan Tuhan.
Pertama Tuhan di maknai sebagai roroning atunggil yaitu
dua namun satu. Kemudian di alam gaib sesungguhnya
roh dan cita manusia bisa menyatu dengan Tuhan (tan
samar pamoring sukma). Jalan untuk mengetahui adanya
hubungan roh dengan Tuhan adalah dengan menempuh
jalan sepi / menyepi (yoga). Bagi orang yang melakoni
jalan ini ia sesungguhnya tahu alam moksa itu. Bagi
masyarakat umumnya yang belum menghayati benar
makna roroning atunggil ini, di dalam tradisi Jawa
bila ada yang meninggal dibuatkanlah ritual kematian
untuk menjembatani hubungan manusia dengan Tuhan
serta sebagai permohonan agar Jiwa/sukma orang yang
meninggal diberikan jalan menuju kepadaNya. Di dalam

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 209


teologi Jawa alam nirgunabrahman itu di sebut alam
sunyo (kosong) ,alam Suksma, alam tampa rupa seperti
uraian Serat Dewa Ruci dibawah ini:

“Yen wruh pamoring kawulo Gusti,


sarta suksma kang sinedya ana,
de warnaning ssire nggone
lir wayang sarireku
sakeng dalang solahing ringgit,
mangka panggung kang jagat
lire badan iku,
asolah lamun pinolah,
sasolahe kumedep miarsa ninggali,
tumindak lan pangucap.
Kawisesa amisesa sami,
Dtan antara pamoring karsa,
Jer tanpa rupe rupane,
Wus aneng ing sireku,
Umpamane aesan jati,
Ingkang ngilo Hyang suksma,
Wayangan puniku,
Kang ana sajroning kaca,
Iya sire jenening manuso iki,
Rupa sajroning kaca
(Pupuh Dhangdhanggulo, 36-27)

Artinya :
Kalau tahu Pamoring Kawula Gusti,
Serta Suksma yang dituju ada,
Oleh warna pada kamu tempatnya,
Seperti wayang kamu itu,
Dari dalang gerak wayang,
Padahal panggung itu jagat,

210 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Seperti badan itu,
Bergerak jika digerakkan,
Pergerakannya tertatap mendenar melihat,
Bertindak dan berkata.
Sama menguasai dikuasai,
Tak antara pamoring karsa,
Memang tanpa rupa,
Sudah ada pada dirimu,
Umpama paesan jati,
Yang berkaca Hyang Suksma,
Wayangan adalah,
Yang ada dalam kaca,
Yaitu kamu nama manusia,
Rupa dalam kaca.
(Purwadi, 2003 : 238).

Tuhan yang tak terpikirkan itu dalam kontek teologi Jawa


disebut sebagai Tuhan yang Suksma, artinya Tuhan maha gaib,
tidak mampu diraba oleh pikiran dan indria manusia, dalam
upanisad disebut sebagai Parabrahman, dalam Siwatattwa
disebut Paramasiwa dalam Bhuwanakosa disebut Suksma (Sivah
sarvagatah suksmah) kata suksmah diatas mempunyai arti gaib.
Tuhan dalam teologi ini mempunyai sifat Acintya yaitu tidak dapat
dipikirkan oleh manusia karena Tuhan berada diluar jangkauan
pikiran manusia itu sediri.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 211


212 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa
BAB VI

PENUTUP

6.1. Simpulan
Ritual kematian dilaksanakan oleh masyarakat Jawa secara
umum tanpa memandang agama yang dianutnya. Ritual ini masih
sangat kental dilaksanakan dengan segala attacaranya umumnya
di dalam masyarakat Kejawen dan masyarakat Hindu di Jawa.
Banyak orang melaksanakan namun hampir sebagaian besar
belum ada mengetahui secara mendalam mengenai makna teologis
pelaksanakaan ritual itu. Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Ritual Kematian adalah merupakan tradisi leluhur orang
Jawa yang dilaksanakan ketika ada keluarga meninggal
dunia, Ritual ini digunakan sebagai sarana persembahan
kepada Tuhan untuk mendoakan almarhum agar rohnya bisa
mencapai sorga bahkan moksa.
2. Ritual kematian ini rangkaian Pelaksanaannya mulai dari
meninggal Ritual Geblak (Baru Meninggal), Tiga hari (telung
dinane),Upacara Tujuh Hari (pitung dina),Upacara Empat
Puluh Hari (petang puluh dina), Upacara Seratus Hari (satus
dina), Upacara Pendak Pisan (satu tahun setelah meninggal),
Upacara Pendak Pindo (dua tahun setelah meninggal), Seribu
Hari atau Nyewu (tiga tahun setelah meninggal).
3. Fungsi ritual Kematian adalah untuk membantu proses
kesempurnaan roh orang yang meninggal dan cepat lebur
serta cepat bersatu dengan Tuhan (tercapainya Manunggaling
Kawula lan Gusti).Teologi Hindu terdapat dalam Ritual
Kematian pada masyarakat Jawa yakni teologi yang
berhubungan dengan 1). Tuhan Yang Tunggal/Esa sebagai

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 213


berikut : Konsep roroning atunggal dalam bhuvanakosa
disebut sebagai sa eko bhagawan sarwah, Siwa karana
karanan, sifat Tuhan yang satu dalam banyak dan banyak
dalam satu, sebab itulah Tuhan disebutkan dengan banyak
nama. Namun sesungguhnya Tuhan satu namun dua, dua
dalam satu, satu dalam aneka/banyak dan banyak dalam eka/
satu. Beliaulah yang dipuja dalam ritual kematian tersebut.
Jadi makna Tuhan dalam ritual kematian tersebut secara
konsep dasar memiliki kesamaan teologi dengan teologi
Hindu dalam memandang Tuhan. Dimana Tuhan yang dipuja
ketika kematian adalah Esa dalam aneka, sesungguhnya
Tuhan itu Esa adanya, tunggal dengan gelar banyak nama.
Dalam Upanisad disebut Brahman, Isa dalam Ritual
disebut sebagai Gusti, Hyang Murbeng Dumadi dan Bhatara
Siwa. 2. Tuhan sebagai sumber segala yang ada ini, dapat
pula ditemukan dalam Upanisad dan mantram Ritual
kematian itu, sebagai benang merah antara teologi Hindu
yang menguraikan pengetahuan tentang Tuhan sebagai
sumber dan pengembali yang ada ini, dengan mantram ritual
kematian yang berbunyi paduko sumbering sedoyo ingkang,
sampun dumados, ingkang bade dumados, ing jagad seisi
nipun puniko, Engkau (Tuhan) Paduko sebagai sumber semua
yang ada ini, dan seluruh isi alam semesta ini. Sedangkan di
dalam upanisad di uraikan sebagai Tathasarat sambhavatiha
visvam (alam semesta muncul dari Tuhan Purusa).
Sesungguhnya sumber segala yanga da ini adalah dinamakan
purusa, Brahman dan juga paduko. 3). Tuhan diyakini berada
di mana-mana juga terdapat teologi Hindunya dalam ritual
kematian. Swetasvataraupanisad memuat tentang Tuhan
meresap keseluruh alam semesta. “Yo devo gnau yo psu,
yo visvam bhvanamawisesa, yo osadhisu yo vanaspatisu,
tasmai devaya namo namah, artinya sujud pada Tuhan yang

214 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


berada pada api, yang berada dalam air,yang meresapi
seluruh alam semesta, yang ada dalam tumbuh-tumbuhan,
yang ada dalam pohon-pohon kayu”. Ajaran upanisad ini
dapat ditemukan dalam praktek kehidupan relegius umat
Hindu. Dalam kontek ini pengetahuan meyakini Tuhan
ibarat merasakan garam yang telah larut dalam air, walaupun
ia tidak tampak namun dapat dirasakan.
Demikian juga orang Hindu sesuai ajarannya mereka
dapat merasakan kehadiran Tuhan walaupun ia sembahyang
di bawah pohon, di gunung, di pantai atau dimana saja. Jadi
sesungguhnya Tuhan ada di mana, hadir di mana-mana,
namun hanya dapat dirasakan bukan dilihat, Hanya orang-
orang yang terpilihlah yang dapat mengetahui Tuhan berada
di mana-mana. Dan 4). Tuhan tak terpikirkan atau acintya.
Dalam kontek teologi Jawa disebut sebagai Tuhan yang
Suksma, artinya Tuhan maha gaib, tidak mampu diraba oleh
pikiran dan indria manusia, dalam upanisad disebut sebagai
Parabrahman, dalam Siwatattwa disebut Paramasiwa dalam
Bhuwanakosa disebut Sira Suksma (Sivah sarvagatah
suksmah) kata suksmah diatas mempunyai arti gaib. Tuhan
dalam teologi ini mempunyai sifat Acintya yaitu tidak
dapat dipikirkan oleh manusia karena Tuhan berada diluar
jangkauan pikiran manusia itu sediri.

6.2. Saran-Saran
Demi kelanggengan dan kelestarian tentang Ritual Kematian
yang merupakan salah satu warisan tradisional maka dianjurkan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Karena pelaksanaan Ritual Kematian yang menurut agama
Hindu merupakan saraana menyempurnakan atman, maka
hendaknya para pendukungnya melaksanakan sesuai dengan

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 215


urutan yang berlaku pada masyarakat setempat. Atau sesuai
dengan Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (keadaan).
2. Kepada pihak Parisada Hindu Dharma dan para intelektual
Hindu kami berharap hendaknya selalu memberi pengarahan
yang menyangkut segala bentuk pelaksanaannya mengenai
upacara tradisional dalam masyarakat Banyuwangi.

216 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss


dan Karya Sastra. Yogyakarta : Galang Printika.
Anonim, 1978, Upadeca, Parisada Hindu Dharma Indonesia;
Upada Sastra.
_________, 1981, Acara I, Proyek Pembinaan Mutu Guru agama
Hindu dan Budha Departemen agama Republik Indonesia.
_________, 1990, Panca Yadnya, Proyek Peningkatan Sarana
dan Prasarana Kehidupan Beragama
_________, 2004, Data Monografi Desa Kumendung, Kec.
Muncar, Kab. Banyuwangi, Prop. Jawa Timur.
_________, tt, Kekawin Arjuna Wiwaha, Proyek Bimbingan dan
Penyuluhan Kehidupan Beragama
Arifin, Bustanul dan Abdul Rani, 2000, Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana, Jakarta. Depdiknas, Dikti, Direkiorat P4M.
Astra, I Gede Semadi. 2003. “Epigrafi, Historigrafi, dan
Kearifan Lokal dalam Perspekif Multikultural”. Denpasar :
Universitas Udayana.
Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Reformasi ke Arah Kemajuan
yang Sempurna dan Holistik. Surabaya : Paramita.
_________, 2004. Kearipan Loal dan Agama Pasar, Ikip
Negeri Singaraja.
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Bandung :
Pustaka Jaya.
Bakker, Anton, 1994, Metode-Metode Filsafat, Penerbit Balai
Aksara-Yudhistira dan Pustaka Saadiyah.
Bertens, K., 1975, Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius.
_________, 1989, Ringkasan Sejarah Filsafat, Penerbit
Kanisius.
Bleicher, Josef 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta :
Fajar Pustaka Barun.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 217


Ciptoprawiro, Abdullah, 1986, Filsafat Jawa, Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta.
Cudamani, 1989, Pengantar Agama Hindu, Penerbit Yayasan
Dharma Sharati, Jakarta.
_________, 1990, Pengantara Agama Hindu Untuk perguruan
Tinggi, Jakarta : Hanuman Sakti
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Dati I Bali, Kamus Bali
Indonesia.
Drijarkara, SJ, N., 1978, Percikan Filsafat, Penerbit PT.
Pembangunan Jakarta, Cetakan 3.
Edward, Djamaris. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian
Filologi”. Dalam Bahasa dan Sastra Tahun III Nomor 1.
_________, 1991. “Metode Penelitian Filologi”. Bahasa
Penataran Penelitian Kesusastraan Proyek Pembinaan
Tenaga Kebudayaan 1-21 Juli. Jakarta : Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara, Suwardi, 2003, Bhudi Pekerti Budaya Jawa,
Hanindita Graha Widya, Yogjakarta
Frondizi, Risieri. 2001. Pengamar Filsafat Nilai. Yogyakarta :
Pusat Pelajar.
Gatot Muniarto, 1997/1998, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Griya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki
Abad XXI. Denpasar : Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Hadiwiyono, Hanis, 1983, Konsepsi Kebatinan Jawa, Seri Budi
No. I, Penerbit Sinar Harapan, Anggota IKAPI, Jakarta.
Hendropuspito, 1993, Metodologi Penelitian Bidang sosial,
Yogyakarta Gajah Mada
Jelantik, Ida Bagus. 1995. “Geguritan Krama Selam : Kajian
Tentang Kedudukan, Makna dan Fungsinya”. Yogyakarta :
Tesis Program Pascasarjana Universitas Gajahmada.
Jendra, I Wayan, 1997, Yadnya, Kedudukan, Fungsi dan Makna
Simbolik Filosofis, Raditya No. 10

218 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Jong, S. De, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Penerbit
PT. Gramedia, Jakarta, Cetakan 2.
Kajeng, I Nyoman, Dkk, 1997. Sarasamuccaya, Jakarta :
Hanuman Sakti
Kaler, I Gusti Ketut, 1993, Ngaben : Mengapa Mayat Harus di
Bakar, Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Koentjaraningrat, 1982, Beberapa Pokok Ajaran Antropologi
Sosial, Jakarta : Dian Rakyat
_________, 1984. Kebudayaun Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta : Gramedia.
Kuntowijoyo. 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang
Realita Esai-Esai Budaya dan Politik. Yogyakarta :
Mizan Pustaka.
Kusuma, ananda, Sri reshi, 1985, Aum Upacara Pitra Yadnya,
CV Kayu Mas
Lasiyo, dan Yuwono, 1984, Pengantar Ilmu Filsafat, Penerbit
Liberty Yogyakarta.
Leaky, Louis, 1985, Manusia Sebuah Misteri, Penerbit Gramedia,
Jakarta.
Lupito, Yuliani. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Luxemburg, Jan Van. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta :
Gramedia.
Mantra, I.B. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar :
Yayasan Dhartna Sastra.
Mantra, I.B., 1989/1990, Bhagawadgita, Proyek Penerbitan Milik
Pemda I Bali.
Mastuhu. ed. 1996. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjanan
Antara Displin Ilmu. Jakarta : Pusjalit.
Menaka, Made, 1983, Kekawin Arjuna wiwaha, Singaraja :
Yayasan Kawi Sastra Mandala
Moleong, Lexy J.2001. Metodologi Penelitian, singaraja : FIB
Unud Singaraja

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 219


Mulder, Nias, 1983, Kebatinan Dan Hidup Sehari-hari Orang
Jawa Kelangsungan Dan Perubahan Kulturil, Penerbit
Gramedia, Jakarta.
Musna, I Wayan, 1986, Pengantar Filsafat Hindu Sad Dharsana,
Penerbit CV. Kayumas Denpasar.
Netra, Ida Bagus, 1976, Metodelogi Penelitian, Singaraja : FIB
Unud Singaraja
Parisada Hindu Dharma Pusat, 1978, Upadeúa Tentang Ajaran
Agama Hindu.
Pemda Tingkat I Bali, 1989/1990, Catur Yadnya.
Pendit, Nyoman S., 1980, Mahabrata, Penerbit Bhatara Kayu,
Jakarta Cetakan 2.
PGAH 6 Tahun Singaraja, 1983/1984, Niti Úastra Dalam Bentuk
Kekawin, Parisada Hindu Dharma Pusat Denpasar.
PHDI Kabupaten Banyuwangi, 1986, Keputusan Loka Maha Sabha
IV Parisada Hindu Dharma Kabupaten Banyuwangi.
PHDI Pusat, 1988/1989, Kumpulan Beberapa Keputusan tentang
Yadnya.
PHDI, Kodya Madiun, 1981, Tuntunan Sembahyang Hindu
Dharma, Madiun
Poeger, 1981/1982, Upacara Tradisional Daerah Yogyakarta,
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1962. Kepustakaan Jawa. Djakarta :
Balai Pustaka.
_________, 1958 : Kepustakaan Jawi, Djambatan Jakarta
Poerwadarminta, WJS. Baoesastrro DJawa, J.B. Wolters Uitgevers
– Maatschappij, N.V. Gronigen, Batavia.
Polak, Drs. IBF. Maijor, Tentang Unsur-Unsur Mistik, Agama
Hindu, Intern, IHD.
Porbatjaraka, R.M, Ng, 1958, Kepustakaan Jawi, Djambatan
Jakarta.
Pudja, Gede, 1984, Sradha, Jakarta : Mayasari

220 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Pudja, Gde dan Sadian Wayan, 1978/1979, Rg. Weda Mandala I,
Penerbit Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu.
Pudja, Gde, 1971, Wedaparikrama, Proyek Penerbitan Kitab
Sutji Hindu dan Budha Dirjen Bimas Hindu dan Budha
Departemen Agama RI.
_________, 1982, Bhagawadgita, (Pancamaweda), Cetakan 2.
_________, 1985, Upacara Dewa Yadnya, Yayasan Dharma
Duta, Jakarta.
_________, 1985, Upacara Pitra Yadnya, Penerbit Yayasan
Dharma Duta, Jakarta.
_________, 1985/1986, Sarasamuscaya, Dep. Agama RI
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan
Budha, Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Hindu,
Jakarta.
_________, Isa Upanisad, Lembaga Penterjemah Kitab Suci
Weda, Jakarta.
_________, 1991, Wedaparikrama, Jakarta : Hanuman Sakti
_________, 1996, Manawa Dharmasastra, Jakarta : Hanuman
Sakti
_________, 1999, Bhagawadgitha, Surabaya : Paramita
Punyatmadja, I.B. Okla, 1976, Panca Sradha, Parisadha Hindu
Dharma Pusat, Denpasar.
Purbakawatja, dan Harapan, MA, 1981, Ensiklopedia Pendidikan,
Penerbit Gunung Agung Jakarta.
Purwadarminta, WJS, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Penerbit Balai Pustaka.
Purwadi, 2003. Sosiologi Mistik Jawa, Persadha Yogjakarta
Purwita, Ida Bagus Putu, 1992, Upacara Ngaben, denpasar :
Upada Sastra
Putra IGA, Mas, 1982, Panca Yadnya, Yayasan Dharma Sarathi,
Jakarta.
_________, 1988, Wrhaspati Tattwa, Yayasan Dharma Sarathi,
Jakarta.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 221


_________, 1982, Upakara Yadnya, Denpasar : Yayasan Agama
Hindu dan Budha
Raried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi.
Yogyakarta : BPPF UGM.
Rohmadi, Hadipuspita, 1969, Upatjara-Upatjara Sha Upasana
Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma Surakarta
Hadiningrat.
Sobur, Alex, 2001, Analisis Teks Media. Bandung. Remaja Rosda
Karya.
Soemadiyah N. Ny. Siti, 1980, Kitab Primbon Betaljemur
Adammakna, Penerbit Soemodidjojo MahaDewa.
Soemargono, Soejono, 1983, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Penerbit
Nur Cahya Yogyakarta.
Soesilo, 2003, 80 Piulang Ungkapan Orang Jawa Jilid I, Amaanah,
Imogiri Barat Yogjakarta
Suamba I.B. Putu 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar :
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas
Hindu Indonesia.
Suata, I Putu Gede. 2003. Adaptasi Metris Mantra Astawa ke
Bentuk Sastra Agama : sebuah Strategi Transformasi Nilai
Pendidikan Agama Hindu. Denpasar : Proposal Penelitian
Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia.
Sudarsana, Ida Bagus, 2002, Ajaran Agama Hindu : Upacara
Pitra Yadnya, Yayasan Dharma Acarya
Sudarto, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Sukada. I Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Depasar,
Kayumas.
Sumardjo, Jakob 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yagyakarta:
Qalam.
Sumaryono. E. 1996. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta : Pustaka Filsafat.

222 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


Sura, I Gede, 1973, Pengendalian diri dan Etika Dalam Agama
Hindu, Jakarta : Hanuman Sakti
_________, 1998, Tattwa Jnana, Paramita Suraaabaya
_________, 2001, Siwa Tattwa, Pemda propinsi Bali
Sura, I Gede, Dkk, 2001, Kamus Sansekerta Indonesia, Proyek
Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama
Surakhman, Winarno, 1968, Pengantar Penelitian Ilmiah
Surayin, Ida Ayu Putu, 2002, Pitra Yadnya, surabaya. Paramita
Suryabrata, EDS, Phd, Methologi Penelitian.
Suryamataram, JCM, 1987, Tata Cara kematian Di Daerah
Yogyakarta, Penerbit Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi DIY Bagian Inspekdi Kebudayaan.
Sutrisno, Hadi, Methode Research, Penerbit, Fakultas Psikologi
UGM, Yogyakarta.
Team Ahli, 1975, Catur Yadnya, Departemen Agama Propinsi
Bali.
Teewu A. 1983, Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta :
Gramedia
_________, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori
Sastra. Bandung : Pustaka
Tim Penyusun, 1983, Antyesti Samskara, Jakarta
_________, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka
_________, 2001, Arti dan Fungsi Sarana Upakara
Titib, I Made, 1989, Intisari Sad Dharsana, Institut Hindu Dharma
Denpasar.
_________, 1997, Pengantar Weda Untuk D.III, Jakarta :
Hanuman Sakti
_________, 2001, Teologi dan Simbul-Simbul Dalam agama
Hindu, Surabaya : Paramita
Tri Eka Santi, Romo Mangku, tt, Manggala Upacara : Malang
Triguna. I.B Gede Yudha 2001, Teori Tentang Simbol. Denpasar
: Widya Dharma.

TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 223


Tukiman Taruna, 1987. Ciri Budaya Manusia Jawa, Kanisius
Yogjakarta
Vredenbregt, 1979, Metode dan Teknik penelitian Masyarakat,
Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, Cetakan 2.
Wiana, I Ketut, 1987, Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan,
Yayasan Wisma Karma, Jakarta.
_________, 1989/1990, Pelinggih di Pemerajan, Proyek
Penerbitan buku-buku Agama Dati I Bali.
_________, 1992, Sembahyang Manurut Hindu, Denpasar :
Yayasan Dharma Naradha
Wikarman, I Nyoman Singgin, 2002, Ngaben, surabaya :
paramita
Wiratmaja, I.G.K. Adia, 1980, Etika Tata Susila Hindu Dharma,
Institut Hindu Dharma.
Wiryamartana, Kuntara, 1990, Kekawin Arjuna wiwaha,
Yogyakarta : Duta Wacana University Pers
Wiyoso, Thomas Broto, 1988, Upacara Tradisional Masyarakat
Jawa, Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
Wojowarsito, Prof dan Suwojo, Drs, Kamus Kawi Indonesia,
Penerbit Jurusan Bahasan dan Sastra Indonesia, FKSS,
IKIP Malang.
Yasa, BA, IG. Badjera, Goda, BA, IG Gde, Acara Agama II,
Proyek pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan
Budha Departemen Agama RI.
Yudha Triguna, Ida Bagus Gede, 2000, Teori Tentang
Simbul Dalam agama Hindu, Denpasar : Widya Dharma
Zoetmulder, P.J, 1995, Kamus Jawa Kuno Indonesia, Jakarta :
Gramedia Pustaka Indonesia
_________, 2002, Manunggaling Kawulo Gusti, Jakarta :

224 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa


TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 225
226 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa
TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 227
228 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa
TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 229
230 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa
TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa 231
232 TEOLOGI HINDU Dalam Ritual Kematian Pada Masyarakat Jawa

Anda mungkin juga menyukai