Anda di halaman 1dari 273

KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK

DALAM TRADISI MASYARAKAT MELAYU

Dr. Fuad Rahman, M.Ag.

Penerbit
Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi
Telp. (0741) 60731, email: pascasarjanauinstspres@gmail.com

i
Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi
Masyarakat Melayu

Penulis : Fuad Rahman


Editor : M.H. Abid
Sohiron
Layout : Cahaya Firdaus
Design Cover : Cahaya Firdaus

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


ISBN : 978-602-60957-7-0
viii, 268 hal (15,5x23 cm)
Cetakan Tahun 2020

Alamat Penerbit :
Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi
Telp. (0741) 60731, email: pascasarjanauinstspres@gmail.com

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun


2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan Hak Eklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundanga-undangan yang
berlaku
Lingkup Hak Cipta Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1
dan 2 dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- atau pidana penjara paling lama 7
tahun dan/atau paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
2. Barang siapa dengan dengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dipidana
dengan penjara paling lam 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,-

ii
KATA PENGANTAR

Buku Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi


Masyarakat Melayu adalah bagian dari ikhtiar penulis untuk
mengungkap fenomena keterhubungan antara adat dan
syarak. Masyarakat Melayu sebagai kelompok mayoritas yang
mendiami wilayah Indonesia serta merupakan bagian tak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku
Melayu berasal dari akar keturunan Mongoloid yang menjadi
nenek moyang bangsa Indonesia dan berkontribusi besar
dalam merumuskan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
pemersatu bangsa. Masyarakat Melayu yang mendominasi
kepulauan Sumatera, Kalimantan dan sebagian Sulawesi
terkenal dengan komunitas masyarakat yang
mengimplementasikan adat dan syarak, sehingga lekat dengan
slogan adatnya “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi
Kitabullah; Adat Mengato Syarak Memakai. Setiap wilayah
yang didiami masyarakat Melayu mengklaim
mengimplementasikan syarak dan adat, sekaligus penggagas
dari filosofi adat itu sendiri.
Oleh karenanya, kajian mengenai adat dan syarak di
tanah Melayu dalam konteks kekinian masih relevan dan
menarik utamanya ketika dikaitkan dengan Islamisasi
Nusantara, sebagai titik awal peradaban Islam-Melayu. Sejak
abad ke-14, Islamisasi hukum adat kelihatan jelas pada
beberapa wilayah yang sebelumnya lebih mengedepankan
budaya lokal, yang pada akhirnya terjadi asimilasi bahkan
integrasi antar keduanya yaitu hukum Adat dan hukum Islam.
Komitmen untuk mengawal pemberlakuan keduanya
dibentuklah lembaga adat yang merupakan refresentasi dari
tiga kepentingan yaitu; regulasi pemerintah, hukum Adat dan
hukum Islam. Meskipun dalam perjalanannya terjadi tarik
menarik kepentingan yang mengakibatkan terjadinya
pertrungan kuasa. Melalui metode deskriptif-kualitatif,
penulis menelaah tiga hal: 1) integrasi, praktik dan
keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak melalui

iii
teori resepsi, 2) negosiasi dan unifikasi sistem hukum dan
pemerintahan serta eksistensi kelembagaan adat melalui teori
maşlahah dan 3) kuasa simbolik, kontestasi dan relasi kuasa
kelembagaan adat serta yang mempengaruhi penerapan adat
dan syarak melalui teori habitus. Pendekatan Sosiologi Hukum
Islam penulis gunakan untuk mencermati praktik hukum dan
fenomena kontestasi dalam memperebutkan posisi dan
disposisi melalui kelembagaan adat internal maupun eksternal.
Menyadari banyaknya pembahasan yang disajikan,
maka buku ini penulis urai menjadi 3 tema besar. Bagian I,
menjelaskan ke pembaca proses adaptasi adat dengan syarak
yang berlangsung begitu cepat dan damai sejak kedatangan
Islam melalui perkawinan dengan penguasa lokal. Adat
dipersepsikan sebagai pola tutur, pola pikir dan pola tindak
yang berkaitan dengan etika, hukum dan kebiasaan yang
dilakukan oleh masyarakat. Sementara syarak dipersepsikan
oleh masyarakat Melayu Jambi sebagai sumber hukum teologis
karena mengandung pesan Allah dan Rasul-Nya, bersifat
universal, absolut, dan abadi. Keduanya diterima sebagai
aturan yang menjadi pegangan masyarakat Melayu Jambi
hingga saat ini, meski penerapannya berbeda berdasarkan
wilayah. Bagian II, menjelaskan sistem hukum dan
pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan masyarakat
Melayu lebih dipengaruhi oleh Islam dan adat lokal yang
dijalankan melalui kelembagaan adat Melayu Jambi, sebagai
penyedia modal politik, religius dan kultural, yang
memungkinkannya menjadi arena kontestasi kuasa antar
kelompok di dalam atau di luarnya dalam memperebutkan
legitimasi, posisi dan disposisi dengan mensubordinasi
kelompok lain meski hanya melahirkan hegemoni bukan
konflik.
Bagian III, kelembagaan adat berperan sebagai patron
masyarakat Melayu Jambi karena mampu memenuhi rasa
nyaman dan rasa keadilan dalam persoalan hukum (perdata
dan pidana), sosial dan agama. Selain itu, sebagai institusi
non-formal yang memproduksi dan mereproduksi hukum meski
ada institusi lain yang menangani persoalan yang sama
iv
sekaligus menjadi alasan menjadi potret ideal bagi daerah
maupun pusat dalam menyelesaikan persoalan kekinian
bidang agama, sosial, politik, dan budaya yang dihadapi
bangsa ini.
Akhirnya, penulis menyadari sajian buku ini sangat
sederhana dan sangat jauh dari harapan pembaca dalam
mengungkap gagasan tentang fenomena perberlakuan adat
dan syarak pada pada beberapa wilayah yang didominasi
masyarakat Melayu, karenanya kepada pembaca diharapkan
saran dan masukannya guna menambah khazanah keilmuan
dan kesempurnaan tulisan ini. Terima kasih buat ayah dan
bundaku tercinta, isteri dan anak-anakku tersayang, tak lupa
sahabat-sahabatku; Ahmad Fawaid (Probolinggo), Albert al-
Fikri (Lhoksumawe), Ridhotullah (Banjarmasin), dan teman-
teman seperjuangan serta semua pihak yang berkontribusi
dalam penyelesaian buku ini. Semoga karya ini menjadi bagian
dari pengabdian penulis terhadap tanah Jambi dan dunia
akademik pada umumnya.

Penulis

Dr. Fuad Rahman, M.Ag


NIP. 19730130200003 1 001

v
Daftar Isi

1 Pendahuluan ~ 1

2 Diskursus Syarak dan Adat: Mencari Dasar


Pijakan ~ 13
A Studi-studi Terdahulu ~ 13
B Relevansi, Kontribusi, dan Distingsi ~ 22

3 Rekonstruksi Syarak dan Adat: Resepsi, Maşlahah,


dan Habitus ~ 29
A Teori Resepsi ~ 30
B Teori Maşlahah dalam Yurisprudensi Islam ~ 33
C Teori Habitus ~ 36

4 Sejarah Singkat Melayu Jambi ~ 46


A Islamisasi dan Perkembangannya di Jambi ~ 47
B Akulturasi Syarak dengan Adat ~ 58
C Falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi
Kitabullah ~ 65
D Kelembagaan Adat Melayu Jambi ~ 74
E Realitas Aktual: Sosial, Agama, Politik, dan Budaya ~
80

5 Kontekstualisasi Syarak dan Adat dalam


Tradisi Masyarakat Melayu Jambi ~ 100
A Pemberlakuan Aturan Adat Melayu Jambi ~ 100
B Praktik Hukum dalam Masyarakat Melayu Jambi ~
111
C Sinkronisasi dan Diferensiasi Aturan Syarak
dengan Adat ~ 124
D Unifikasi sebagai Penjembatan Pergulatan
Syarak dengan Adat ~ 134

6 Pelembagaan Syarak dan Adat: Perspektif


Masyarakat Melayu Jambi ~ 144
A Persepsi Masyarakat Melayu Jambi tentang
Epistemologi Syarak dan Adat ~ 145

vi
B Keberterimaan Masyarakat Melayu Jambi
terhadap Syarak dan Adat ~ 155
C Otoritas Pemerintah dalam Pelembagaan Syarak
dan Adat ~ 169
D Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat ~ 181

7 Kelembagaan Adat Melayu Jambi sebagai


Arena Pertar- ungan Kuasa ~ 189
A Modal dalam Kelembagaan Adat ~ 189
B Struktur Hierarkis Kelembagaan Adat ~ 196
C Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa ~ 201
D Relasi Kuasa Internal dan Eksternal
Kelembagaan Adat ~ 208
E Kuasa Simbolik Mengatasnamakan
Kepentingan Pemerintah, Syarak, dan Adat ~ 213
F Kontribusi Syarak, Adat Kelembagaan Adat
dalam Ruang Agama, Sosial, dan Politik
Kontemporer ~ 232

8 Penutup ~ 242
A Kesimpulan ~ 247
B Implikasi ~ 244
C Rekomendasi ~ 244

Daftar Pustaka ~ 246


Biodata Penulis ~ 264

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan
B = ‫ب‬ Z = ‫ز‬ F = ‫ف‬

T = ‫ت‬ S = ‫س‬ Q = ‫ق‬

Th = ‫ث‬ Sh = ‫ش‬ K = ‫ك‬

J = ‫ج‬ Ṣ = ‫ص‬ L = ‫ل‬

Ḥ = ‫ح‬ Ḍ = ‫ض‬ M = ‫م‬

Kh = ‫خ‬ Ṭ = ‫ط‬ N = ‫ن‬

D = ‫د‬ Ẓ = ‫ظ‬ H = ‫ه‬

Dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ W = ‫و‬

R = ‫ر‬ Gh = ‫غ‬ Y = ‫ى‬

Vokal Pendek :a=‘ i=ِ u=ِ

Vokal Panjang :ā=‫ا‬ ī=‫ى‬ ū=‫و‬

Diftong : ay = ‫اى‬

viii
1 Pendahuluan

Studi tentang konstruksi adat dengan syarak di beberapa


daerah di Nusantara masih dipandang layak dilakukan
terutama untuk mengakomodasi kepentingan budaya lokal
dalam masyarakat dan agama.1 Upaya tersebut biasanya
dilakukan oleh sebuah institusi yang mempertemukan
representasi penguasa (pemerintah), tokoh agama, dan
kelembagaan atau pemangku adat.2 Dalam konteks Jambi,
institusi tersebut berjasa mempersatukan masyarakat sejak
awal melalui ikatan agama dan adat dalam bingkai kerajaan
Islam Melayu Jambi serta mengakomodasi dan menyatukan
berbagai kepentingan. Institusi tersebut juga berhasil
membangun relasi secara internal maupun eksternal, meski
pada akhirnya mereka saling mempertaruhkan modal politik,
agama, dan budaya. Masing-masing menganggap tawaran
1
Penggunaan istilah adat dalam buku ini adalah hukum adat Jambi,
sedangkan yang dimaksud syarak adalah hukum Islam. Penulis cenderung
menggunakan istilah syarak ketimbang hukum Islam karena terminologi tersebut
lebih akrab dan baku dalam masyarakat Jambi, terutama masyarakat adat.
Merujuk pada jargon adat, kedudukan syarak lebih tinggi ketimbang adat, meski
keduanya terangkum dalam falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah.
2
Menurut Parson, identitas sosial menduduki peran penting dalam
menentukan partisipasi seseorang dalam sistem sosialnya. Masyarakat yang
diwakili kelompok adat, agama, dan pemerintah memiliki gagasan umum tentang
konstruksi sosial terhadap apa yang mereka sebut masyarakat adat, umat, dan
warga negara yang bersifat total atau ideal berdasarkan evaluasi moral mereka
masing-masing. Dalam konteks ini, meminjam ide Michael E. Brown, konstruksi
itu akan menempatkan adat atau nilai-nilai yang terdapat di dalamnya menjadi
inisiator, yang dalam dinamika lanjutannya menyebabkan konflik, baik untuk
mengintegrasikan maupun menjadi ajang subordinasi semata. Lihat Adam dan
Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, edisi kedua
2000), hlm. 986.

1
mereka meniscayakan lahirnya upaya harmonisasi dalam tata
nilai suatu masyarakat, sekaligus sebagai kebutuhan yang
sepatutnya diberlakukan secara bersamaan.
Peran penguasa kerajaan Islam Melayu ketika itu dan
pemerintahan saat ini, tokoh agama, serta pemangku adat,
dalam upaya mendialogkan adat dan syarak sebagai
konstruksi kontekstual, tidak hanya dilihat dari wacana yang
ditawarkan oleh ketiga pihak tersebut sebagai kebutuhan
masyarakat Melayu Jambi, tetapi adat juga memeroleh
justifikasi syar‘ī—yang dibenarkan secara metodologis—dalam
proses penemuan hukum Islam. Pada titik ini, syarak dapat
dikatakan sebagai produk hukum yang dinamis; meliputi nilai-
nilai tsubut (konstan) dan murūnah (fleksibel) sesuai
kebutuhan zaman, sehingga meniscayakan syarak dalam
memberi pembenaran nilai-nilai yang dipraktikkan oleh
masyarakat.
Peran tersebut dipandang sejalan dengan praktik Nabi
Muhammad pada periode awal Islam, yakni memberi peluang
bagi para intelektual Muslim menyeleksi mana adat yang
dipertahankan, dimodifikasi, atau justru diabaikan, sejauh
tidak bertentangan dengan prinsip fundamental ajaran Islam
(maqāsid al-syarī‘ah). Penetapan konsep sunnah taqrīrīyah
menjadi bukti Muhammad tidak membatasi ruang-gerak kaum
intelektual mempraktikkan hal tersebut. Penetapan hukum
berdasarkan pertimbangan tradisi pada beberapa aturan fikih,
seturut kategori berikut ini. Pertama, penerapan hukum
keluarga (ahwāl al-syahsiyyah). Di satu sisi Muhammad
mempertahankan praktik pertunangan dan menghapus
praktik poliandri, free seks, perselingkuhan, pembunuhan bayi
perempuan, perceraian yang berulang-ulang, dan lain
sebagainya. Di sisi lain, Muhammad mengkompromikan
aturan agama dan kebutuhan sosial; memodifikasi praktik-
praktik hukum, seperti poligami, pembayaran mahar (mas
kawin) dan iqrār (pemberitahuan) dalam perkawinan.3 Kedua,
penerapan hukum transaksional (mu‘āmalah). Muhammad
mempertahankan transaksi bai' al-salām yang dipraktikkan
masyarakat Madinah sebelum hijrah, karena dianggap relevan

3Muhammed ‗Ullah, The Muslim Law of Marriage, (New Delhi: Kitab

Bhavan, 1986), hlm. iii.

2
dan disukai oleh masyarakat Arab ketika itu. 4 Ketiga,
penerapan hukum pidana (jināyah), Rasul mengadopsi praktik
qişāş (balasan sama) dan pembayaran diyāt (kompensasi bagi
ahli waris korban), sebagaimana dipraktikkan masyarakat
Arab pra-Islam. Kompensasi diberikan sesuai dengan standar
moral keadilan bagi pihak korban.5 Meskipun Alquran dan
Sunah memodifikasi sanksi bagi pelaku, ide atau tema pokok
dan prinsip yang melandasinya telah ada dan dipraktikkan
jauh sebelum kedatangan Islam.
Praktik akomodasi dan ijtihad mandiri diteruskan
sahabat dan tābi‘īn, utamanya para mujtahid, seperti konsep
amal ahl al-madīnah-nya Imam Malik6 dan qaul qadīm dan
qaul jadīd-nya Imam Syafi‘i.7 Selanjutnya, seiring meluasnya
ajaran Islam dan Indonesia menjadi negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia, Islam berkembang hingga mampu
mewarnai budaya kerajaan-kerajaan pada masa kerajaan.
Salah satu kerajaan Islam Nusantara yang berhasil
mengakomodasi dan mengintegrasikan adat dan syarak adalah

4Imam al-Bukhari, Shahīh al-Bukhāri, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981),

hlm. 44.
5N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1971), hlm. 18.


6Amal ahl al-madīnah adalah praktik hukum yang disepakati atau

minimal dipraktikkan oleh sebagian kebanyakan penduduk Madinah. Bagi


Imam Malik, amal penduduk Madinah merupakan destilasi atau kristalisasi
dan pengejawantahan sunah Rasulullah. Karena itu, menurut Imam Malik,
amal penduduk Madinah setara dengan Hadis mutawātir dan lebih dari
Hadis ahad. Ketika muatan Hadis ahad secara eksplisit bertentangan atau
tidak sejalan dengan Alquran atau Hadis mutawātir dan amal penduduk
Madinah, harus diabaikan karena diragukan kebenaran sumber atau asbāb
al-wurûd-nya. Hadis mutawātir diriwayatkan banyak sahabat dan
diamalkan dari generasi sahabat hingga generasi tābi‘īn dan tābi‘i at-tābi‘īn
seyogianya lebih meyakinkan dan lebih kuat dijadikan landasan hukum
ketimbang Hadis riwayat perorangan dan tidak menjadi amalan masyarakat
luas di Madinah. Lihat Yasin Dutton, Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk
Madinah, terj. Dedi Junaedi (Jakarta: Akademika Presindo, 1996), hlm. 11.
7Qaul qadīm adalah pendapat Imam Syafi‘i yang dikemukakan dan

ditulis ketika berada di Irak, sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam
Syafi‘i yang dikemukakan dan ditulis ketika berada di Mesir. Contoh-
contohnya adalah perubahan air yang terkena najis dengan kuantitas kurang
dari dua qullah, hukum azan ketika shalat sendirian, membaca talbiah
dalam tawaf, dan zakat terhadap buah-buahan yang tidak tahan lama. Lihat
Jaiz Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadīm dan
Qaul Jadīd, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.

3
kerajaan Islam Melayu Jambi. Di bawah kepemimpinan Sayid
Ahmad Salim Tajuddin bergelar Datuk Paduko Berhalo (1460-
1500) yang berasal dari Turki, dilanjutkan putranya Sayid
Ahmad Kamil bergelar Datuk Orang Kayo Hitam (1500-1515),
Islam semakin menemukan identitasnya sebagai agama
kerajaan Melayu Jambi.8 Pencapaian tersebut tentu dengan
strategi jitu yang mengupayakan integrasi antara ajaran
agama yang ditawarkan dan budaya yang sejak lama telah
dipraktikkan. Langkah strategis yang dilakukan adalah
menggagas Rapat Besar Adat (RBA) dengan mengundang raja,
tokoh agama, dan tokoh adat yang ada di kerajaan Islam
Melayu Jambi dengan maksud mengupayakan integrasi agama
dan budaya. Rapat tersebut berlangsung pada 1 Muharam 920
H (1502) di Bukit Siguntang (perbatasan antara wilayah
Jambi-Sumatra Barat atau Damasraya sekarang), melahirkan
konvensi yang dituangkan melalui falsafah adat bersendi
syarak, syarak bersendi Kitabullah. Dilanjutkan dengan Rapat
Besar Adat (RBA) kedua pada 1530 di Bukit Sitinjau Laut,
Kerinci, melahirkan konvensi yang dituangkan melalui
falsafah undang datang dari hulu, teliti dari hilir. Penting
untuk dicatat bahwa falsafah adat bersendi syarak, syarak
bersendi Kitabullah tidak hanya ada di Jambi, tetapi juga
mengemuka di seluruh daerah yang berbasis etnik Melayu
seperti Minangkabau dan Riau.
Lebih jauh, lahirnya falsafah itu berimplikasi pada
polarisasi adat menjadi empat kategori, yaitu adat sebenar
adat, adat yang diadatkan, adat nan teradat, dan adat
istiadat.9 Kategorisasi itu diprediksi untuk membedakan
antara ruang hukum: universal, konstan dan harus dipatuhi
sebagaimana ruang hukum lokalistik, fleksibel, dan boleh

8Menurut W.B. Hallaq, sejak abad ke-7 syarak telah berinteraksi


dengan budaya lokal bahkan menjadi kekuatan moral sekaligus hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat dan pemerintahan dalam Islam. Hukum
yang dinamis (harakah) tersebut merupakan bagian dari ciri hukum Islam,
yaitu takāmul, wasatiyah, dan harakah, senantiasa menjadi acuan bagi
masyarakat dalam berperilaku sehingga terbentuk tatanan masyarakat yang
aman dan teratur. Lihat Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politic,
and Modernity‘s Moral Predicament, terj. Akh Minhaji, (Yogyakarta: SUKA-
Press, 2015), hlm. 29.
9Sulaiman Abdullah, Agama dan Adat, (Jambi: Lembaga Adat Melayu

Jambi, 2010), hlm. 3-4;

4
diabaikan. Persis dalam falsafah itulah terlihat sinkronisasi
dan diferensiasi serta upaya integrasi antara adat dan
syarak.10
Integrasi antara adat dan syarak juga melahirkan
konfigurasi hukum baru yang lebih komprehensif, yaitu
Undang Adat Jambi, aturan yang berlaku di wilayah dan
kesatuan masyarakat kerajaan Islam Melayu Jambi.
Menariknya, integrasi keduanya melalui kelembagaan adat,
yang dipandang sebagai institusi yang mumpuni dan
berkompeten melakukan ijtihad kolektif (ijtihād jama‘ī) dalam
bentuk verifikasi, modifikasi, dan lainnya ketika itu.
Kerajaan Islam Melayu Jambi juga mengintegrasikan
dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan kerajaan
(Tumenggung) dan sistem pemerintahan kerapatan adat
(Perpatih). Sistem pemerintahan kerajaan melaksanakan
pemerintahan monarki, yakni pemerintahan dipimpin oleh
seorang raja dan diteruskan oleh generasi setelahnya secara
turun-temurun. Sistem itu mengedepankan kepentingan
syarak dan berlaku di daerah Jambi wilayah Timur atau sering
disebut Jambi Hilir. Sedangkan pemerintahan kerapatan adat
melaksanakan pemerintahan kolektif kolegial, dengan
pemerintahan dipimpin oleh forum tiga tali sepilin
(pemerintah, pegawai syarak, dan pemangku adat). Sistem
pemerintahan ini ditengarai dipengaruhi tradisi Minangkabau
yang mengedepankan kepentingan adat dan juga berlaku di
daerah Jambi wilayah Barat atau Jambi Hulu. Kolaborasi
sistem hukum dan sistem pemerintahan melalui kelembagaan
adat tersebut membuat Islam dan ajarannya berkembang cepat
di Jambi dan bertahan hingga saat ini.

10Menurut Schacht, secara teoretis keberadaan adat dalam kerangka

hukum Islam tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam yurisprudensi
Islam, meskipun secara praksis adat memainkan peran signifikan dalam
proses kreasi dan legislasi hukum. Peran adat tidak terbatas dalam
pengambilan inisiatif ketika sumber hukum lain tidak mengkaver atau tidak
memberikan jawaban. Atas dasar itu, menurut el-Awa, naşş, Alquran
maupun Sunah, mengakui adanya ragam interpretasi yang muncul
terhadapnya, namun satu-satunya metode (manhaj) yang diterima dalam
mengaktualisasikan aturan dengan mempertimbangkan adat yang ada
ketika itu. Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford:
The Clarendon Press, 1964), hlm. 62; Mohammed S. el-Awa, The Place of
Custom (‗Urf) in Islamic Legal Theory, (Indianapolis: American Trust
Publications, 1973), hlm. 180.

5
Menariknya, praktik dualisme hukum bahkan
―trilogisme‖ hukum terjadi, seperti dalam persoalan sistem
kekerabatan, di mana masyarakat Melayu Jambi
mempraktikkan dua model sistem kekerabatan dan kewarisan
berdasarkan letak geografis wilayah. Wilayah Timur atau Hilir
mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan patrilineal,
sedangkan sebagian Barat atau Hulu mempraktikkan sistem
kekerabatan dan kewarisan matrilineal. Begitu pula dalam
perkawinan, masyarakat Hilir membolehkan praktik eksogami,
sedangkan masyarakat Hulu, terutama suku Penghulu,
melarang praktik eksogami.
―Perberdayaan budaya‖ itu pada akhirnya melahirkan
―stereotipe‖ dan ―sentimen‖ kultural berbeda di kalangan
masyarakat Melayu Jambi. Anehnya, praktik itu justru
mendapat pembenaran adat melalui kelembagaan adat dan
dipandang tidak menyalahi syarak. Secara substansi terjadi
negosiasi antara pemilik modal politik, religi, dan sosial yang
pada akhirnya melahirkan kesepakatan untuk menjadikan
adat dan syarak berjalan seiring sesuai keinginan dan
kepentingan ketiganya, meskipun tidak menutup
kemungkinan terjadi subordinasi antara penguasa dan tokoh
agama di satu sisi dan kepentingan masyarakat adat di sisi
lain. Yang menarik, subordinasi tersebut tidak memunculkan
perseteruan atau konflik sebagaimana di Minangkabau.
Fenomena seperti itu sebenarnya dilematis mengingat
artikulasi dan implementasi syarak dalam kehidupan suatu
komunitas terkadang mengalami problem ideologis, kultural,
sosiologis, dan politik. Meskipun demikian, kenyataan inilah
yang dihadapi masyarakat sebuah kawasan yang dihuni oleh
mayoritas etnik Melayu.
Kelembagaan adat pada kenyataannya menjadi modal
sekaligus arena tarik-menarik kepentingan untuk
mendapatkan legitimasi atas suatu praktik hukum. Meskipun
demikian, patut diakui bahwa eksistensi kelembagaan adat
hingga saat ini masih dianggap penting oleh masyarakat
Melayu Jambi, bahkan berjasa dalam mempercepat masuk dan
berkembangnya Islam di Jambi. Kelembagaan adat
mempunyai hierarki mulai tingkat rukun tetangga (RT) hingga
provinsi dalam seloko bejenjang naik betanggo turun. Di
dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin yang terdiri atas

6
pemerintahan desa/dusun, pegawai syarak, dan pemangku
adat.
Sebagaimana telah disebutkan, forum itu
merepresentasikan kepentingan tiga kelompok (pemerintah,
umat Islam, dan masyarakat adat), dengan tugas memproduksi
dan mereproduksi hukum atau melahirkan putusan melalui
kerapatan adat. Melalui institusi kerapatan adat, mereka
memiliki kewenangan menelaah, mempertimbangkan, dan
memutuskan perkara yang berlaku di kalangan masyarakat
Melayu Jambi. Pemerintah mempersiapkan institusi formal
(Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dan nonformal
(Majelis Ulama Indonesia) dalam rangka mengakomodasi dan
menyelesaikan kasus hukum, sosial, dan agama, walaupun
kelembagaan adat tetap menjadi pilihan utama. Terbukti
banyaknya kasus yang diselesaikan melalui oleh kelembagaan
adat (lihat Tabel 1.1).11

11Data diperoleh dari Lembaga Adat Melayu dan Badan


Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jambi serta telah dikonfirmasi melalui
Lembaga Adat Melayu Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun, dan Tanjung
Jabung Timur.

7
Tabel 1.1. Rekapitulasi Penyelesaian Kasus di Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi, Batanghari,
Sarolangun, Muara Sabak

2012 2013 2014 2015


No. Jenis Kasus Keterangan
KJ BT SR MS KJ BT SR MS KJ BT SR MS KJ BT SR MS
01. Perzinahan 5 8 7 8 4 4 5 6 3 3 4 4 3 7 6 6 Selesai Melalui
02. Perselingkuhan 2 1 2 2 1 2 2 3 2 1 1 2 3 3 3 4 Lembaga Adat
03. Penganiayaan 1 2 3 2 2 3 1 2 1 2 1 2 4 1 4 4
04. Pembunuhan 0 1 1 0 1 1 2 0 3 3 4 4 2 3 4 3 Dilanjutkan ke
05. Pencurian 2 3 4 5 2 2 2 1 2 2 3 5 2 3 3 4 Polisi dan Meja
06. Hak waris 5 6 4 3 2 2 3 4 2 3 2 3 2 2 2 3 Hijau
07. Tanah wilayat 0 2 1 2 1 3 2 1 2 3 3 4 1 2 2 2

8
08. Batas tanah 0 5 2 2 1 2 2 0 2 2 1 2 4 1 1 2
09. Perkelahian antar 1 1 0 1 1 2 1 0 1 1 0 0 1 2 1 3
Kampung/suku
10. Pencemaran Nama 2 4 3 3 1 2 2 1 1 2 2 1 2 2 3 6
Baik/Fitnah
Jumlah Total 18 33 27 28 16 25 22 18 19 22 21 27 24 26 29 37
Catatan :
KJ = Kota Jambi
SR = Kabupaten Sarolangun
BT = Kabupaten Batanghari
MS = Kabupaten Muara Sabak
Tabel 1.1 menunjukkan banyak kasus terkait
persoalan hukum, sosial, dan agama diselesaikan melalui
kelembagaan adat, sekaligus mengindikasikan minat atau
tingkat kepercayaan terhadap institusi tersebut yang relatif
tinggi. Penyelesaian kasus melalui institusi tersebut tentu
melalui tarik-menarik kepentingan atau subordinasi di
kalangan internal kelembagaan adat, sebagaimana diakui
oleh anggota tiga tali sepilin. Menurut mereka, sering
terjadi pergulatan panjang dalam presidium kerapatan adat
untuk menentukan jenis dan sanksi pelanggaran perdata
dan pidana adat, meskipun hasil akhirnya sangat
bergantung pada keputusan pemangku adat yang notabene
dijabat oleh unsur pemerintah (kepala desa).12
Di luar kelompok tersebut, terdapat kelompok lain
yang dalam beberapa hal merasa kecewa, misalnya
pimpinan Kementerian Agama kabupaten/kota dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota. Mereka merasa
tidak dilibatkan dalam menyelesaikan persoalan sosial
keagamaan. Dalam kasus larangan duduk bersanding saat
akad dan kasus penistaan agama pada 2017, misalnya,
Lembaga Adat dianggap tidap berkonsultasi terlebih dahulu
kepada Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Kecemburuan kelompok lain juga kentara ketika
para pimpinan adat selalu terdepan dan mendominasi
dalam kegiatan-kegiatan seremonial pemerintah.13
Praktik semacam itu, sekali lagi, mengindikasikan
adanya subordinasi antara tiga kelompok (pemerintah, umat
Islam, dan masyarakat adat) dalam memproduksi dan
mereproduksi hukum serta dominasi satu kelompok
terhadap kelompok lainnya. Meskipun demikian, perlu

12Wawancara dengan anggota forum tiga tali sepilin Kabupaten

Batanghari (Fathuddin Abdi, Ferri Wilman, Saukani, Muhammad Zen,


Hasbi, dan Ismail) serta anggota forum tiga tali sepilin Kota Jambi (H.
Azra‘i al-Basyari, Sayuti, Sayuti, Kemas Husin, Abdul Hamid, dan
Samsul), 2 April-15 Mei 2015.
13Wawancara dengan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan

kepala Kantor Kementerian Agama Kota Jambi, Kabupaten Batanghari,


Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (A.
Tarmizi Sibawaihi, Samsuddin Ali, M. Samin, Suhar, Ikbal, Herman,
Sulaiman, dan Umar Yusuf), 12 Mei-15 Juni 2015.

9
dicatat, subordinasi tersebut selama ini tidak mengemuka
dan dipandang sebagai sesuatu yang wajar.
Buku ini mencermati berbagai fenomena di atas
sekaligus mengungkap praktik hukum yang terjadi selama
ini di dalam komunitas masyarakat Melayu Jambi:
hegemoni kuasa serta dominasi kelompok menggunakan
simbol agama (syarak) dan adat yang justru dijadikan
―tameng‖ untuk melegalkan posisi dan disposisi masing-
masing. Lebih spesifik, buku ini menelisik konstruksi dan
proses negosiasi antara adat dan syarak yang terjadi dalam
masyarakat Melayu Jambi berdasarkan tiga aspek teoretis.
Pertama, aspek historis-sosiologis; dengan menjadikan teori
resepsi sebagai dasar pijak, berusaha memperlihatkan
konstruksi antara adat dan syarak di masyarakat Melayu
Jambi. Kedua, aspek epistemologis yang berfungsi menelaah
hubungan antara adat dan syarak berdasarkan kerangka
maşlahah. Ketiga, aspek ideologis yang menunjukkan kuasa
simbolik terjadi dalam kelembagaan adat untuk
mempertahankan posisi mereka di lingkungan masyarakat
Melayu Jambi di satu sisi, dan untuk melihat secara
mendalam disposisi mereka terkait praktik adat dan syarak
di sisi lain.
Dalam aspek terakhir, teori habitus dari Pierre
Bourdieu digunakan sebagai dasar pijak menelusuri apa
yang tidak terlihat secara nyata di permukaan pada arena
kelembagaan adat. Forum tiga tali sepilin dalam
kelembagaan adat ini—meskipun sering berkumpul untuk
memecahkan persoalan adat dan syarak pada acara
kerapatan adat—tetap saja belum mampu mengakomodasi
keinginan kelompok pendukung penerapan agama dan
kelompok pendukung adat. Fenomena ini juga mengemuka
di luar kelembagaan adat. Tak jarang praktik perebutan
posisi dalam rangka memastikan tawarannya adalah yang
paling relevan dengan masyarakat Melayu Jambi
ditemukan. Negosiasi dan subordinasi antara ketiganya di
Jambi pada gilirannya memperlihatkan kelas dan hierarki
sosial yang bisa dibagi pada empat kelompok, yaitu elite
(pemangku adat), periperal (pegawai syarak), semi-periperal
(pemerintahan desa), dan marjinal (masyarakat hukum

10
adat/awam).14 Di setiap kelompok dalam hierarki sosial ini,
pertaruhan utamanya adalah apa yang disebut oleh
Bourdieu sebagai modal (capital). Jika pemangku adat
memegang modal kultural, pemerintah daerah memegang
modal politik, dan pegawai syarak memiliki modal religius.
Ketiga kelompok tersebut saling berebut posisi dan modal-
modal itu saling diinvestasikan, ditukarkan, dan
diakumulasikan untuk mempertahankan posisi mereka.
Termasuk pula subordinasi kelembagaan adat dengan
institusi yang ada di luarnya dan penerimaan masyarakat
terhadap eksistensi mereka selama ini. Singkatnya, isu-isu
historis, epistemologis, sosial, dan ideologis dari konstruksi
syarak, adat, dan kelembagaan adat Melayu Jambi serta
kuasa simbolik di dalamnya perlu untuk dikaji secara
komprehensif. Isu-isu tersebut, internal dan eksternal
kelembagaan adat (pemerintah desa, pegawai syarak, dan
pemangku adat), dipilih karena mereka yang dianggap
paling bertanggung jawab memperlihatkan adat dan syarak
itu terbentuk sebagai diskursus yang berkelanjutan dalam
masyarakat Melayu Jambi.
Untuk itu, pertanyaan yang akan dijawab oleh buku
ini adalah bagaimana syarak sebagai produk hukum yang
datang kemudian begitu cepat beradaptasi dengan adat
lokal yang telah mapan; bagaimana persepsi dan
keberterimaan masyarakat terhadap keduanya? Apa saja
upaya untuk menjembatani dualisme sistem hukum dan
sistem pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan
oleh masyarakat Melayu Jambi agar sejalan dengan prinsip
syariat Islam? Sejauhmana relasi pemerintah, agama, dan
adat sebagai modal dalam subordinasi eksistensi (integrasi
dan subordinasi) masing-masing? Bagaimana peran
kelembagaan adat dalam memproduksi dan mereproduksi
hukum, melakukan relasi kuasa secara internal dan dengan
institusi lainnya, serta berkontribusi dalam penyelesaian
persoalan-persoalan sosial, politik, dan agama kontemporer?

14
Charles Mills, The Power Elite, (London: Oxford University Press,
1956), hlm. 45.

11
Buku ini diharapkan menjadi bagian dari khazanah
pengetahuan masyarakat Melayu Jambi tentang adat dan
syarak yang mereka implementasikan sehari-hari,
melengkapi apa yang sudah dibahas banyak penulis
sebelumnya, seperti Ismail Thalaby,15 Irma Sagala,16 Ied al-
Munir,17 Fahmi Sy,18 M. Husnul Abid,19 Yuliatin,20 dan
Albert al-Fikri.21 Buku ini memperlihatkan gejala-gejala
kultural terkait dengan bagaimana konstruksi adat dan
syarak itu bekerja secara ideologis-politis di tengah
kelembagaan adat, sekaligus menunjukkan sisi lain dari
sistem dan hierarki sosial masyarakat Jambi yang jarang
atau bahkan tidak diungkap penulis dan masyarakat
umumnya.

15 Islamil Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya

dengan Hukum Islam‖, disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000).


16 Irma Sagala, ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model

Pemerintahan Adat Tiga Tali Sepilin di Provinsi Jambi Pasca-Reformasi‖,


dalam Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies,
(Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013).
17 M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci

Kampung‖, Proceedings of the First International Conference on Jambi


Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013).
18 Fahmi SY., Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat

Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014).


19 M. Husnul Abid, ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional,

Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam Muhammad Iqbal


Ahnaf (ed.), Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan
Koeksistensi, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies
(CRCS) UGM, 2015).
20 Yuliatin, ―Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi Pembagian

Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi)‖, disertasi UIN Sunan


Kalijaga Yogyakarta (2015).
21 Albert Al-Fikri, ―Diskursus Hukum Kewarisan ‗An Tarādin:

Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di


Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, tesis UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2016).

12
2 Diskursus Adat dan Syarak:
Mencari Dasar Pijakan

Bab ini membahas tentang kepustakaan-kepustakaan yang


pernah membahas mengenai adat dan syarak, topik yang
menjadi fokus buku ini, dengan tujuan memberikan dasar
pijakan yang kokoh bagi buku ini untuk menelisik proses
negosiasi, subordinasi, dan relasi kuasa yang terbangun
dalam konstruksi kelembagaan adat dalam forum tiga tali
sepilin di Jambi. Secara umum bab ini terdiri atas dua
bagian. Pertama-tama bab ini akan merangkum
kepustakaan-kepustaan yang pernah ada serta menjelaskan
signifikansi dan kontribusi masing-masing dalam
perdebatan mengenai topik konstruksi adat dan syarak.
Kepustakaan-kepustakaan tersebut juga akan dilihat
relevansi dan kontribusinya bagi buku ini, sekaligus
perbedaannya di antara mereka, yang akan disampaikan
dalam bagian kedua bab ini.

A. Studi-studi Terdahulu

Ada beberapa kepustakaan yang penting untuk diungkap


terutama terkait konstruksi adat dan syarak dalam tradisi
masyarakat Melayu Jambi. Kepustakaan-kepustakaan
tersebut dipilah menjadi tiga jenis, yaitu buku, disertasi,
dan proceeding.
Kepustakaan berupa buku yang relevan antara lain
ditulis Ratno Lukito, berjudul Islamic Law and Adat
Encounter: The Experience of Indonesia (1998). Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan normatif, sosial-politik.
Lukito menganalisis bagaimana pergulatan antara syarak

13
dan hukum adat di Indonesia. Di satu sisi ada yang
berpandangan selalu terjadi kontradiksi bahkan konflik
antara adat dan syarak. Pandangan semacam itu muncul
dari kalangan ahli hukum Barat, misalnya dengan
mengambil kasus Minangkabau. Di sisi lain, muncul
pandangan bahwa adat dan syarak di Indonesia berjalan
harmonis dan terintegrasi dengan baik, bahkan telah
menjadi bagian dari spirit hukum nasional. Lukito secara
tidak langsung menginformasikan stigma negatif terhadap
hukum Islam sebagaimana terjadi di Minangkabau tidak
seluruhnya benar, mengingat hampir di seluruh wilayah
Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim hukum
Islam dan hukum Adat berjalan harmonis. Untuk
menengahi pemikiran yang menyatakan adanya disparitas
bahkan konflik antara agama dan adat di satu sisi, serta
pemikiran yang menyatakan tidak ada konflik antar agama
dan adat di sisi lain, dilakukan pemetaan dari aspek masa
kemunculan pemikiran tersebut, yakni zaman kolonial yang
cenderung negatif dan zaman Kemerdekaan yang cenderung
positif, tentu dengan berpijak pada sisi dialogis, bukan
konfrontatif. Temuan Lukito menunjukkan bahwa secara
teoretis dan praktis kedua sistem hukum, yaitu hukum
Islam dan hukum adat, saling melengkapi. Dari satu segi,
hukum Islam secara substantif menerima keefektifan
hukum lokal (adat) dalam proses legislasinya. Dari segi lain,
hukum adat menerima hukum Islam sebagai titik kulmulasi
dan upaya penyempurnaan aturan yang ada. Fakta tersebut
guna mengeleminasi stigma negatif atas konfrontasi yang
berkepanjangan antara hukum Islam dan hukum adat yang
selama ini dimotori oleh sarjana Barat.22
Buku yang ditulis Yaswirman, Hukum Keluarga:
Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, mengkaji segala
persoalan yang terkait dengan hukum keluarga dalam adat
Minangkabau yang mencakup falsafah adat, sistem
kekerabatan, responsibilitas orang tua dalam keluarga, dan

22Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of

Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998).

14
karakteristik serta prospek hukum keluarga Islam dan adat.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi
hukum dengan mencermati dan menganalisis produk
hukum-hukum keluarga yang muncul sejak zaman kolonial,
Kemerdekaan, dan saat ini. Temuan Yaswirman adalah
doktrin hukum keluarga di Indonesia dipengaruhi oleh
politik hukum ketika itu, mulai dari masa kolonial,
Kemerdekaan, hingga sekarang. Hukum senantiasa
berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang selalu
berubah dan berkembang. Idealnya, hukum yang ada
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut. Berbeda
dengan yang terjadi saat ini, produk hukum yang ada hanya
mengedepankan kepentingan kolonial dan adat.23
A. Qodri Azizi menulis Eklektisisme Hukum Nasional:
Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Objek
kajiannya terfokus pada dikotomi yang begitu tajam antara
hukum Islam dan hukum umum atau positif. Termasuk
dalam hukum umum adalah hukum adat, yang pada masa
kolonial dipandang sebagai bagian dari politik ―culas‖
Belanda. Produk hukum adat yang ada kebanyakan tidak
sama dengan hukum kebiasaan (customary law) atau
hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law).
Pendekatan yang digunakan Azizi adalah deskriptif-analitik
dan empirik dengan maksud agar pembaca dapat berdiskusi
secara leluasa dengan kritis dan argumentatif. Kesimpulan
Azizi adalah syarak sedianya dapat menjadi sumber spirit
dan aspiratif bagi pembentukan hukum nasional, baik
menyangkut materi hukum, tataran operasional, maupun
sistem kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum (law
enforcement) yang lebih luas.24
Buku Integrasi antara Hukum Islam dan Hukum
Adat dalam Kewarisan Suku Melayu ditulis Abdullah

23Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin


Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011).
24A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara

Syarakdan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).

15
Syah,25 mengungkap titik temu dan saling pengaruh antara
hukum Islam dan hukum adat Melayu dalam persoalan
kewarisan. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis-
normatif untuk mengetahui bagaimana interaksi dan
integrasi antara hukum Islam dan hukum adat dapat
berjalan harmonis tanpa tarik-menarik secara berarti.
Kesimpulan buku ini adalah suku Melayu pada umumnya
menganut sistem kekeluargaan berdasarkan parental yang
sesuai dengan syarak yang dalam pembagian harta
menganut sistem individual bilateral. Dalam penerapan
hukum di dalam masyarakat senantiasa dikaitkan dengan
agama, sehingga pengaruh agama terlihat dominan. Suatu
persoalan yang timbul dalam masyarakat dilihat dari
kacamata agama; agama menjadi spirit hukum adat. Bila
terjadi ketidaksesuaian antara prinsip agama Islam dan
hukum adat, hukum Islam akan dikedepankan. Karena itu,
dalam tradisi masyarakat Melayu, pertentangan antara
syarak (agama) dan adat tidak terlihat atau tidak muncul.
Buku selanjutnya ditulis oleh Fahmi Sy, berjudul
Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu
Jambi. Pendekatan yang digunakan adalah antropologi
budaya, yang menekankan aspek budaya yang hidup dan
berkembang dalam komunitas masyarakat Melayu Jambi.
Buku ini mengkaji sekaligus mengungkap bagaimana pola
hidup masyarakat Melayu Jambi, terutama yang hidup di
wilayah pedesaan, yang merupakan bagian integral dari
suatu wilayah tertentu yang terikat dengan desa dan kota
yang ada di sekitarnya. Kehidupan dan budaya masyarakat
desa Melayu Jambi merupakan bagian dinamika kehidupan
masyarakat Melayu Jambi sejak ratusan tahun lalu, mulai
dari budaya kerja, kepemimpinan masyarakat, dan
pribumisasi Islam. Pola hidup tersebut menyatu dan
mengakar dalam kehidupan masyarakat yang bernuansa
islami. Integrasi antara budaya Islam dan budaya Melayu
pada akhirnya melahirkan budaya tersendiri yang dikenal
dalam falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi

25Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat

Dalam Kewarisan Melayu, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2009).

16
Kitabullah. Falsafah adat tersebut merupakan wujud
konkret dari asimilasi dua budaya yang kompromistis, tanpa
dominasi atau saling tekan, yang sekarang lebih lekat
dengan istilah kearifan lokal (local wisdom). Pola dan
komunikasi yang dipraktikkan masyarakat Jambi yang
hidup dalam nuansa islami dianggap mampu meredam
berbagai konflik dan kepentingan, sehingga masyarakatnya
hidup harmonis. Kesimpulan Fahmi tersebut terasa wajar
karena pendekatan antropologi budaya yang digunakan
berupaya melihat hubungan yang sinergis antara satu
kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat lainnya
yang diikat oleh kesepakatan dan kebersamaan melalui
kesamaan rumpun dan kultur. Kesimpulan Fahmi tersebut
merupakan gagasan rekonsiliasi kultural untuk
mendistorsikan kesan negatif terhadap perilaku minoritas
masyarakat Muslim.26
Sementara itu, kepustakaan berupa disertasi yang
relevan dengan buku ini antara lain ditulis Saifuddin Zuhri,
berjudul ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun
Kasuran, Seyegan, Sleman‖.27 Zuhri menggunakan
pendekatan sosiologis Bourdieu dengan menitikberatkan
penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan
participant observation. Hasil studi Zuhri menunjukkan
bahwa tidur tanpa kasur di Dusun Kasuran berawal dari
tiga jalur: Sunan Kalijaga, agama Hindu, dan pasukan
Pangeran Diponegoro. Kepercayaan tidur tanpa kasur di
dusun itu, bagi para warga, bukan sebentuk syirik, namun
merupakan satu tradisi turun-temurun dari leluhur yang
mereka jaga karena memang ada berbagai bentuk sanksi
yang mereka dapatkan bila dilanggar. Generasi saat ini
menyingkirkan kasur kapuk lebih karena mengikuti
perintah orang tua. Klaim mitologi itu selalu direproduksi
oleh para agen yang bermain di dusun tersebut sehingga
terpelihara secara turun-temurun dan disalahkenali
(misrecognized).

26Fahmi SY, Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat

Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014).


27Saifuddin Zuhri, ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun

Kasuran, Seyegan, Sleman‖, disertasi UGM Yogyakarta (2015).

17
Disertasi Ismail Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci
dan Akulturasinya dengan Hukum Islam‖,28 menggunakan
pendekatan deskriptif analitik dengan menitikberatkan
kepada survei normatif serta menggabungkan antara
penelitian kepustakaan dan lapangan. Objek penelitian
Thalaby adalah eksistensi hukum adat Kerinci dan
hubungannya dengan hukum Islam, seperti persoalan
kekerabatan, perkawinan, kewarisan, pertanahan, dan
pidana. Kesimpulannya, di dalam masyarakat Kerinci,
praktik adat dan syarak saling pengaruh-memengaruhi.
Penyesuaian adat dan syarak hanya dalam batas tertentu,
sedangkan dalam batas lain tetap saja adat yang berjalan.
Yuliatin menulis disertasi berjudul ―Hukum Islam
dan Hukum Adat: Studi Pembagian Harta Waris
Masyarakat Seberang Kota Jambi‖.29 Pendekatan yang
digunakan adalah sejarah sosial pemikiran Islam. Disertasi
ini mengkaji bagaimana pola pembagian harta waris di
kalangan masyarakat Muslim di Seberang Kota Jambi.
Kesimpulannya bahwa sistem kewarisan yang berlaku pada
masyarakat Seberang adalah individual, di mana harta
waris menjadi hak penuh ahli waris secara pribadi dan
bebas untuk dipergunakan. Ada tiga bentuk pembagian
harta waris di Seberang Kota Jambi. Pertama, sesuai
dengan hukum waris Islam: laki-laki mendapat bagian dua
kali lipat dibanding perempuan. Kedua, sesuai dengan waris
adat yang pelaksanaannya bervariasi: perolehan harta anak
laki laki sebanding dengan anak perempuan, atau anak
perempuan tertua mendapat jatah waris lebih banyak
karena ditugaskan merawat orang tua. Ketiga, harta
diberikan ketika orang tua masih hidup melalui hibah dan
realisasinya boleh pada saat itu dan setelah orang tua wafat.
Di samping buku dan disertasi, sumber kepustakaan
lainnya adalah artikel yang merupakan bagian dari buku

28Ismail Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya

dengan Hukum Syarak‖, disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(2000).
29Yuliatin, ―Hukum Islam dan Hukum Adat: Studi Pembagian

Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi‖, disertasi UIN Sunan


Kalijaga Yogyakarta (2014).

18
(book chapter), artikel proceeding konferensi atau seminar,
dan artikel jurnal. Artikel-artikel tersebut antara lain
ditulis M. Husnul Abid, berjudul ―Kontestasi Kemelayuan:
Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu
Jambi‖. Menggunakan pendekatan fenomenologis yang
berupaya mengungkap subordinasi dan pencarian identitas
kemelayuan di Jambi, artikel ini memotret pemaknaan
Melayu atau Kemelayuan yang terjadi dalam masyarakat
Jambi pasca-Reformasi. Abid memaparkan fenomena yang
terjadi dalam masyarakat Jambi, yang dia sebut sebagai
kebangkitan (adat) Melayu. Dari sana dicari pemaknaan
Melayu yang muncul. Karena (pe)makna(an) tidak pernah
tunggal, Abid juga menampilkan pemaknaan alternatif oleh
beberapa kelompok masyarakat. Bagi masyarakat Melayu
Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah
dua hal yang tidak terpisah. Memang dalam sejarahnya
semula masyarakat Melayu Jambi bukan penganut Islam.
Namun, ketika telah datang ke daerah ini, Islam dianut
secara kuat oleh orang Melayu Jambi. Adat diverifikasi
melalui proses teliti sehingga menghasilkan rumusan adat
yang selaras atau sesuai dengan Islam. Kuatnya Islam
dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa
implikasi, antara lain, penolakan masyarakat Jambi
terhadap hal-hal yang mereka anggap bukan Islam. 30
Artikel Albert Alfikri, “Diskursus Hukum Kewarisan
‗An-Tarād}in: Menjembatani Dialektika Kewarisan
Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi‖, ingin menjawab pertanyaan esensial
tentang problem paradigmatis, sosiologis, dan epistemologis
dalam sistem kewarisan masyarakat Muslim Sarolangun
dengan menggunakan kerangka pikir paradigma terpadu
George Ritzer. Menurut Alfikri, di satu kesempatan hukum
Islam lebih memengaruhi pilihan masyarakat, namun dalam
kesempatan lain hukum adat yang lebih berpengaruh.

30M. Husnul Abid, ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional,

Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam M. Iqbal Ahnaf (ed.),
Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan
Koeksistensi, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies
(CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2015).

19
Situasi semacam itu memunculkan pilihan materi hukum
yang tambal-sulam atau, meminjam istilah A. Qodry Azizi,
hukum yang eklektis; materi hukum yang digunakan
merupakan perbauran dari berbagai sistem hukum.31
Situasi subordinasi antarnorma masyarakat tersebut di
Indonesia tidak sepenuhnya diterima, terutama oleh
akademisi, pemuka adat, dan terlebih pemuka agama. Hal
itu terlihat dari perdebatan soal keberterimaan antara
hukum adat dan hukum Islam, termasuk dan terutama
dalam soal kewarisan. Meskipun demikian, interaksi dan
saling pengaruh antara hukum adat dan hukum Islam tak
bisa dihindari, sebagaimana terlihat dalam pembagian waris
dalam masyarakat Sarolangun. Mau tidak mau mereka
harus memilih antara mengikuti sistem hukum waris Islam
atau hukum adat.
Artikel ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model
Pemerintahan Adat Tiga tali sepilin di Provinsi Jambi Pasca
Reformasi‖ ditulis oleh Irma Sagala. Menggunakan
pendekatan struktural dan substansial, artikel ini
menemukan adanya reinvensi struktur pemerintahan adat
melalui forum tiga tali sepilin sebagai kebijakan menarik
yang terjadi di Jambi. Kebijakan itu memberi ruang bagi
penguatan kembali karakter budaya Melayu-Islam dalam
masyarakat Jambi, sekaligus menghidupkan kembali nilai-
nilai kearifan lokal (local wisdom) yang penting untuk
mewujudkan tatanan masyarakat yang bermartabat.
Reinvensi tradisi juga akan memberikan karakter unik bagi
daerah Jambi yang dapat dijadikan sebagai salah satu daya
tarik dalam pengembangan otonomi daerah, utamanya di
Jambi. Meskipun beberapa kabupaten/kota telah
menunjukkan komitmen ke arah tersebut, tampaknya tidak
demikian dengan Pemerintah Provinsi Jambi.32

31Albert Al-Fikri, ―Diskursus Hukum Kewarisan ‗An Tarādin:

Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di


Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, tesis UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2016).
32Irma Sagala, ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model
Pemerintahan Adat Tiga Tali Sepilin di Provinsi Jambi Pasca-Reformasi‖,

20
Subhan MA Rahman menulis artikel ―Pergulatan
Wacana al-Qur'an Bergambar Kandidat‖, dengan objek
kajian studi relevansi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Jambi dengan kondisi masyarakat Jambi yang didominasi
oleh umat Islam. Temuan Rahman adalah fatwa MUI Jambi
memunculkan polemik antara kalangan internal MUI
sendiri dan masyarakat Jambi, yang pada akhirnya
melahirkan kelompok-kelompok pro dan kontra, yang
merupakan imbas kecurigaan terhadap putusan fatwa MUI
Jambi yang diyakini sarat kepentingan politik. Menurut
Rahman, masing-masing kelompok mempunyai basis
argumentasi yang dianggap paling benar tanpa mencermati
dampak yang muncul setelahnya.33
Artikel M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-nilai Moral
dalam Tradisi Cuci Kampung‖, menggunakan pendekatan
filosofis yang berpijak pada nilai-nilai moralitas suatu
masyarakat. Artikel ini menegaskan bahwa tradisi cuci
kampung merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh
masyarakat untuk membersihkan wilayah/kampung
tertentu dari ―kotoran‖ yang melekat pada mereka akibat
perbuatan asusila. Tujuannya agar terhindar dari balak
atau petaka. Tradisi tersebut masih dianggap penting dan
dilaksanakan karena tertuang dalam dasar-dasar hukum
adat Jambi, baik Induk Undang, Pucuk Undang nan
Delapan, maupun Anak Undang Nan Dua Belas. Nilai-nilai
moral agama yang menjadi pondasi dalam tradisi cuci
kampung terhimpun dalam syarak yang mengatur tentang
pidana (jināyah) baik perzinahan maupun pembunuhan.34

dalam Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies,


(Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013).
33Subhan MA Rahman, ―Pergulatan Wacana al-Qur'an Bergambar‖,

laporan penelitian individual, Pusat Penulisan IAIN Sulthan Thaha


Saifuddin Jambi (2007).
34M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci

Kampung‖, Proceedings of the First International Conference on Jambi


Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013).

21
B. Relevansi, Kontribusi, dan Distingsi
Buku ini menyepakati temuan Ratno Lukito tentang
perlunya meluruskan stigma negatif tentang relasi antara
adat dan syarak. Hanya saja buku ini tidak menjelaskan
secara komprehensif relasi positif dan harmonis antara adat
dan syarak sebagaimana terjadi di Jambi, jauh sebelum
terjadinya pergumulan antara adat dan syarak seperti
terjadi di Minangkabau, yang selanjutnya digeneralisasi
secara negatif oleh Belanda. Minangkabau sendiri hanyalah
bagian kecil dari masyarakat Melayu yang
mempertentangkan adat dan syarak, yang pada akhirnya
memunculkan kesadaran untuk merekonsialisi keduanya.
Untuk menambah referensi tentang temuan Lukito sebagai
harmonisasi antara adat dan syarak, buku ini melihat
adanya harmonisasi antara adat dan syarak melalui proses
integrasi yang pada gilirannya melahirkan produk hukum
baru, yaitu Undang Adat Jambi. Proses integrasi tersebut
tentu melalui adaptasi dan tarik-menarik kepentingan,
namun tidak sampai kepada konflik.
Kontribusi riset Yaswirman tentang persilangan
hukum keluarga dalam konteks adat Minangkabau
terhadap buku ini bisa dilacak dari pendekatan yang
digunakan Yasirman dalam menyisir problem dualisme
hukum adat dan syarak. Namun, secara geografis Jambi
berbeda dari Minangkabau, meskipun secara kultural
keduanya memiliki persinggungan sejarah yang panjang,
utamanya sejak berkuasanya Putri Selaras Pinang Masak
(Minangkabau) dan Ahmad Salim bergelar Datuk Paduko
Berhalo (Jambi). Perbedaan lokus tersebut turut
memengaruhi perbedaan epistemologis dalam pengambilan
hukum di kedua daerah. Fenomena yang tidak disinggung
oleh Yasirman, dan berusaha dieksplorasi oleh buku ini,
adalah keberagaman kasuistik. Kalau Yasirman hanya
berfokus pada hukum keluarga, buku ini menyuguhkan isu-
isu lain yang lebih kompleks, termasuk penelusuran sejarah
lahirnya falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah yang selama ini diklaim berasal dari
Minangkabau.

22
Studi A. Qodri Azizi berkontribusi penting dalam hal
menjadikan hukum Islam dan hukum positif sebagai
bangunan teoretis untuk menjelaskan eklektisisme hukum
nasional. Namun, studi Azizi tidak terlalu terhubung secara
signifikan terhadap buku ini, bukan hanya karena luasnya
kasus-kasus yang disajikan di dalamnya, melainkan juga
penentuan sikap dan pengambilan hukum yang relatif
beragam pada masing-masing daerah. Sementara itu, buku
ini menampilkan bukan hanya proses pengambilan hukum,
melainkan juga proses politis yang melibatkan penguasa
ketika itu, dilanjutkan peran kelembagaan adat sebagai
institusi yang notabene bertanggung jawab terhadap
bagaimana dan apa yang seharusnya ditetapkan dari kedua
hukum tersebut. Hasil dari kesepakatan tersebut
melahirkan produk yang dipatuhi bersama oleh seluruh
stakeholders. Buku ini juga melihat terjadinya tambal-sulam
antara adat dan syarak, namun syarak tetap terdepan
dalam penentuan putusan yang diambil, meski tidak melalui
institusi formal.
Studi Abdullah Syah yang melihat harmonisasi
antara adat dan syarak yang melibatkan tiga orang penting
di dalamnya (tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh
masyarakat), mirip dengan kelembagaan adat Melayu
Jambi. Namun, buku ini tidak sepakat dengan prioritas
yang diberikan kepada syarak jika terdapat pertentangan
antara adat dan syarak, mengingat kondisi Jambi berbeda
dari masyarakat Melayu Riau yang sejak awal berbudaya
Islam. Jambi adalah kombinasi antara adat dan syarak.
Sebagian besar masyarakatnya lekat dengan adat, sehingga
memberi prioritas terhadap salah satu di antaranya bukan
perkara mudah. Meskipun demikian, syarak tetap menjadi
prioritas sekaligus dasar pijak dalam pengambilan setiap
keputusan, yang terlihat dari sumber adat dan falsafah adat
bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Secara formal
segala keputusan atau ketetapan lahir melalui kelembagaan
adat yang dijadikan corong dalam menyampaikan putusan
persoalan sosial keagamaan, namun kelembagaan itu juga
biasanya didominasi oleh orang yang mengerti syarak.

23
Buku ini juga menyepakati apa yang disebut Fahmi
Sy sebagai rekonsiliasi hukum dan rekonsiliasi kultural
antara adat dan syarak atau antara budaya Islam dan
budaya Melayu, yang selanjutnya melahirkan kearifan lokal
(local wisdom). Kelemahan studi Fahmi adalah fokusnya
pada aspek antropologis untuk memunculkan kesan positif
konflik antara adat dan syarak serta perilaku masyarakat
Muslim yang tersudutkan oleh minoritas masyarakat
Muslim lain. Selain itu, tawaran rekonsiliatasi yang tidak
terbatas pada hukum, namun juga aspek kebudayaan
(kultur), memberi kontribusi signifikan pada dinamika
politik pengambilan adat dan syarak di Jambi yang
melibatkan kelembagaan adat. Buku ini melihat bagaimana
adat dan syarak pada awalnya semacam ―dipertentangkan‖
namun pada akhirnya direkonsiliasikan menjadi aturan
yang disepakati bersama tanpa ada yang merasa
tersudutkan. Upaya mengakrabkan keduanya dapat
dilakukan dengan ketentuan saling memahami substansi
hukum masing-masing dari aspek filosofis.
Selanjutnya studi yang dilakukan Saifuddin Zuhri
berkontribusi terhadap buku ini dalam hal melihat tradisi
menjadi habitus dan melembaga serta menjadi acuan bagi
masyarakat, meski produsennya sudah tidak ada bahkan jauh
ke belakang. Tradisi tersebut dilakukan secara berkelanjutan
dan turun-temurun tanpa mempersoalkan siapa yang
melahirkannya dan situasi yang mengitarinya. Hanya saja,
habitus yang terbentuk merupakan pola tindak pribadi, tidak
dilakukan secara sistemik dan institusional. Kenyataan
tersebut berbeda dengan Jambi yang menjadi tradisi sistemik
dan institusional, bahkan mampu melahirkan posisi dan
disposisi secara terstruktur dan berkelanjutan. Keberadaan
kelembagaan adat dan hukum yang diproduksinya bahkan
terus dipegangi oleh masyarakat hingga saat ini.
Sementara itu, studi Ahmad Thalaby sejalan dengan
studi ini, yakni menyoroti bagaimana terjadinya proses
tarik-menarik kepentingan antara adat dan syarak. Hanya
saja, disertasi Thalaby cenderung melihat pertarungan
keduanya, yang berjalan beriringan ketika terdapat
kesamaan teks maupun tujuan hukum. Smentara, ketika

24
terjadi perbedaaan bahkan benturan, kepentingan adat atau
masyarakatlah yang seharusnya dimenangkan. Berbeda
dengan buku ini yang tidak hanya menyoroti tarik-menarik
teks hukum, tetapi lebih luas siapa yang berkontribusi
dalam produksi hukum dan memenangkan pertarungan
ketika kedua hukum lahir. Merekalah agen yang
sebenarnya berkontribusi dan memiliki kepentingan
terhadap perberlakuan hukum tersebut, yang masing-
masing akan tetap mempertahankan eksistensinya.
Kalau studi Yuliatin berfokus pada persoalan waris,
dengan objek penelitiannya adalah masyarakat Seberang
Kota Jambi, buku ini mengambil objek Kota Jambi,
Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Disertasi Yuliatin tentu
saja relevan dalam memberi gambaran antropologis-religius
tentang pembagian harta waris di Jambi, yang ternyata
terpecah menjadi tiga solusi (berdasarkan Islam, adat, dan
sukarela). Hal itu mempertegas asumsi awal tentang
perbedaan masyarakat Jambi dan masyarakat Melayu Riau;
Jambi selalu berada dalam subordinasi antara adat dan syarak.
Namun, ruang lingkup studi Yuliatin berfokus pada waris,
sedangkan buku ini lebih luas terkait konstruksi adat dan
syarak sekaligus bagaimana kelembagaan adat Melayu
Jambi memproduksi hukum kewarisan yang berbeda antara
Jambi bagian Barat dan Jambi bagian Timur. Kalau Jambi
wilayah Barat atau Jambi Hulu bercorak matrilineal, Jambi
bagian Timur atau Hilir bercorak patrilineal bahkan
sebagian parental-bilateral sebagaimana temuan Yuliatin di
Seberang Kota Jambi.
Studi Irma Sagala berfokus pada kelembagaan adat
Melayu Jambi yang di dalamnya terdapat forum tiga tali
sepilin sebagai subjek kajian. Artikel Sagala memberikan
relevansi bagi buku ini karena membuka peluang kritik
terhadap relasi kuasa yang bekerja dalam struktur hierarki
sosial masyarakat Jambi. Sayangnya, Sagala hanya
berupaya membuktikan efektivitas kerja kolektif dalam
kelembagaan adat tanpa memberi kasus tertentu yang
dimungkinkan bisa diselesaikan oleh kolektivitas ketiganya.
Buku ini juga tidak seluruhnya sepakat dengan gagasan

25
reinvensi yang diusung Sagala. Kolektivitas dalam
kelembagaan adat juga memungkinkan pergumulan,
konstruksi, dan negosiasi yang tidak sederhana. Terlebih di
Jambi, struktur hierarki internal kelembagaan adat tidak
seimbang, dengan pemangku adat dan pemerintah desa
memiliki struktur hierarki yang jelas sehingga dapat
dikondisikan untuk berkoordinasi dan konsolidasi.
Sementara itu, pegawai syarak tidak mempunyai hierarki
dan organisasi yang secara khusus mewadahi, sehingga
tidak bisa dinilai kualitasnya secara pasti apakah laik atau
tidak untuk melakukan ijtihad atau menyelesaikan
persoalan sosial keagamaan.
Artikel M. Husnul Abid relatif memiliki kesamaan
dengan fokus buku ini yang juga menelisik identitas
masyarakat Melayu Jambi melalui berbagai tradisi yang
menunjukkan eksistensi masyarakat Melayu Jambi sejak
berdirinya kerajaan Islam Melayu Jambi. ―Totalitas‖
identitas Islam yang diterima masyarakat Melayu Jambi
membuatnya sangat ketat dalam menerima berbagai budaya
luar. Selain itu, pemberdayaan kelembagaan adat sebagai
institusi yang diberi kepercayaan untuk menyelesaikan
berbagai persoalan sosial keagamaan mengindikasikan
kebangkitan etnis Melayu dalam keragaman budaya
Nusantara. Kelembagaan adat itu pada awalnya menaungi
berbagai etnis yang menetap di Jambi, namun setelah
terjadi perubahan nomenklatur menjadi Lembaga Adat
Melayu Jambi terkesan hanya milik etnik Melayu secara
eksklusif. Perbedaaannya, buku ini mencermati bagaimana
adat dan syarak diproduksi oleh tokoh dominan dan
pertarungan dalam memperlihatkan atau memperebutkan
posisi dan eksistensi masing-masing. Upaya harmonisasi
keragaman tradisi yang datang dengan tradisi, misalnya,
diramu dan ditengahi menjadi satu melalui adaptasi,
negosiasi, bahkan subordinasi. Keberterimaan masyarakat
Melayu Jambi ditandai banyaknya kasus yang
menggunakan jasa Lembaga Adat untuk penyelesaiannya.
Studi Albert mencermati bagaimana kompromi
antara adat dan syarak meskipun harus melakukan apa
yang diistilahkan A Qodri Azizi sebagai tambal-sulam

26
hukum. Albert juga menjelaskan persoalan keberterimaan
masyarakat Jambi, yang dalam buku ini ditelusuri dengan
teori resepsi. Yang tidak disinggung Albert dalam artikelnya
adalah kuasa simbolik dan relasi kuasa yang terjadi dalam
proses negosiasi tersebut. Buku ini justru memperlihatkan
betapa keberterimaan terhadap hukum tertentu tidak lepas
dari agen-agen dominan yang terlibat di dalamnya, yang
berperan dalam pengambilan setiap keputusan bahkan
saling berebut pengaruh.
Selanjutnya, buku ini juga menggunakan perspektif
relasi kuasa sebagaimana dipakai oleh Subhan MA Rahman
dalam artikelnya mengenai wacana Alquran bergambar
kontestan politik. Relevansinya terletak pada cara Rahman
melacak subordinasi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan masyarakat, sesuatu yang juga akan dilakukan oleh
buku ini dalam menelusuri pergulatan politis antara ulama,
tokoh adat, dan pemerintah lokal. Sayangnya Rahman
hanya berfokus pada wacana Alquran yang sifatnya
sosiologis, sementara studi ini mengambil isu yang jauh
lebih kompleks terkait maşlahah dan relasinya dengan
hukum adat.
Terakhir, artikel M. Ied al-Munir tentang kasus cuci
kampung memungkinkan buku ini untuk melihat lebih jauh
negosiasi antara adat dan syarak serta implementasinya
dalam masyarakat Melayu Jambi. Namun, yang membuat
buku ini berbeda dibanding artikel al-Munir adalah gagasan
relasi kuasa yang dibangun dan subordinasi di dalamnya.
Jika al-Munir berfokus pada perbandingan nilai-nilai Islam
dan adat dalam kasus tertentu, buku ini berfokus bukan
hanya pada nilai-nilainya, tetapi juga memperlihatkan
bagaimana nilai-nilai itu diproduksi dan direproduksi oleh
otoritas-otoritas terkait.
Dari semua kepustakaan-kepustakaan yang telah
ada, dapat ditarik benang merah bahwa hampir semuanya
berpijak pada subordinasi kultural-politik-religius dalam
implementasi hukum. Meskipun ada yang bersentuhan
dengan hubungan interaktif dan interkonektif berbagai
elemen yang ada pada daerah tertentu, sifatnya global.
Sedangkan buku ini secara spesifik dan komprehensif

27
menyelami bagaimana konstruksi adat dan syarak di Jambi
serta kuasa simbolik kelembagaan adat masyarakat Melayu
Jambi. Dari situ akan diketahui bagaimana proses tarik-
menarik kepentingan dan yang paling dominan dari
kepentingan tersebut. Setting politis, sosiologis, dan
fenomenologis yang muncul menjadi kajian intensif sehingga
dapat diketahui dengan benar konstruksi pemikiran yang ada.
Buku ini menemukan beberapa persoalan yang belum
terungkap selama ini mengenai Jambi sebagai pusat perdaban
Melayu tertua berlokasi di Candi Muarajambi, yang lebih awal
bersentuhan dengan Islam tepatnya pada Abad Ke-1 H
melalui pelabuhan internasional Muarasabak. Islamisasi di
Jambi yang bertolak dari istana juga berbeda dengan
kerajaan Islam di Nusantara umumnya, demikian pula
falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah
yang muncul justru dari Jambi. Akulturasi antara adat dan
syarak di Jambi sejak abad ke-15, ketika tranformasi
Kerajaan Melayu menjadi Kerajaan Islam Melayu, yang
melahirkan undang adat Jambi yang masih menjadi acuan
dalam menyelesaikan kasus sosial keagamaan melalui
kelembagaan adat hingga saat ini, juga akan dibahas.
Dengan demikian, buku ini jelas memposisikan diri
berbeda dari studi-studi terdahulu, tidak hanya
mengafirmasi studi-studi terdahulu dengan menekankan
interaksi, negosiasi, dan integrasi antara adat dan syarak,
tetapi juga menyangkut relasi, keberterimaan, dan respons
masyarakat serta peran kelembagan dalam memproduksi
dan mereproduksi hukum. Lebih dari itu, buku ini juga
mencermati bagaimana kelembagaan adat menjadi pusat
pertarungan kuasa di kalangan internal maupun eksternal,
bagaimana relasi kuasa dan dominasi antar-kelembagaan
adat. Isu-isu itu hampir tidak ditemukan dalam
keseluruhan studi-studi terdahulu, memperlihatkan
perbedaannya yang substansial antara buku ini dan studi-
studi sebelumnya. Artinya, buku ini menekankan sikap
kritis: menerima negosiasi antara adat dan syarak demi
kepentingan masyarakat banyak (maşlahah al-‗ammah),
sekaligus mengkritik negosiasi tersebut dalam konteks
relasi kuasa yang bekerja di dalamnya.

28
3 Konstruksi Adat dan Syarak:
Resepsi, Maşlahah, dan Habitus

Sedikitnya terdapat tiga teori yang digunakan untuk


menganalisis problem akademik yang termuat dalam buku
ini, yakni teori resepsi, maşlahah, dan habitus. Teori resepsi
digunakan untuk mengetahui bagaimana proses
keberterimaan masyarakat terhadap syarak sejak
kedatangan Islam dan transformasi Kerajaan Melayu Jambi
menjadi Kerajaan Islam Melayu Jambi dan Kesultanan
Jambi, kolonisasi Belanda, Jepang, dan era Kemerdekaan.
Selain itu, untuk melihat seberapa besar peran penguasa
dalam mengkonstruksi hukum ketika itu.
Sedangkan teori maşlahah digunakan untuk
menyeleksi dan menilai konstruksi produk syarak dan
produk adat yang dinegosiasikan sedemikian rupa oleh
kelembagaan adat sehingga melahirkan konfigurasi hukum
baru Undang Adat Jambi. Selanjutnya, seberapa signifikan
integrasi keduanya dan kompetensi kelembagaan dalam
memproduksi dan mereproduksi hukum serta sejalan-
tidaknya dengan prinsip ajaran Islam. Adapun teori habitus
digunakan untuk mengetahui siapa yang berperan dan
berkuasa dalam memproduksi dan mereproduksi hukum
serta relasi dan subordinasi antar-mereka dan dengan
institusi di luarnya selama ini.

29
A. Teori Resepsi
Untuk menganalisis adat dan syarak, digunakan
teori penerimaan hukum, yaitu receptio in complexu dan
receptie.35 Keduanya membahas tentang penerimaan hukum
Islam maupun hukum Adat untuk diterapkan di Indonesia
ketika itu.
Pertama, Teori receptio in complexu dipadankan
dengan sebutan teori penerimaan secara kompleks atau
sempurna atau utuh, digagas oleh Lodewijk Willem
Christian Van Den Berg (1845–1927), penasihat bahasa
Timur dan hukum Islam (1878-1887), guru besar Indische
Instelling, dan walikota di Deft, Belanda (1887-1900), serta
penasehat bagian jajahan (Department van Kalonien) di
Belanda (1900-1902). Menurut teori ini, bagi pemeluk agama
tertentu berlaku hukum agamanya. Untuk kaum Hindu
berlaku hukum Hindu, untuk kaum Kristen berlaku hukum
Kristen, dan untuk kaum Islam berlaku hukum Islam.
Hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang
seharmoni dengan agama yang diimaninya. Teori ini
menegaskan hukum Islam seharusnya diterima dan
diberlakukan secara utuh oleh seluruh warga negara sesuai
agamanya, terutama yang beragama Islam.36 Oleh sebab itu,
jika seseorang beragama Islam, maka secara langsung
hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian

35Kedua teori ini tidak disadur dari buku aslinya karena kesulitan
dalam perolehannya, namun beberapa pakar hukum yang dianggap
representatif memuat teori ini, antara lain: Hazairin, Soekamto, Sayuti
Thalib, dan lainnya. Selain itu, ini sebagai langkah menghindari plagiasi
dalam pengutipan.
36Buku asli karangan Van Den Berg berjudul ―De Behinselen van

het Mohammadaansche Recht, volgens de Imams Abu Hanifah en Syafi‘i


(Dasar-dasar Hukum Islam Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi‘i),
(Batavia: Ernsten Co.s‘ Gravenhage, 1883), diedit oleh M. Nijhorf.
Pemikiran Van Den Berg ini sebenarnya lebih terinspirasi pada
pemikiran pendahulunya yaitu Karel Frederik Winter (1799-1859) dan
Salomon Keyzer (1823-1868). Lihat H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam,
(Chicago: The University of Chicago, 1972), 116; Sajuti Thalib, Receptio a
Contrario, (Jakarta: Akademika, 1980), 5; dan Soekanto, Meninjau
Hukum Adat di Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum
Adat, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), 53.

30
seterusnya.37 Hukum perkawinan dan kewarisan di sebuah
kerajaan Islam, misalnya, dinyatakan tetap berlaku, namun
penerapannya dapat dilihat dalam peraturan Resolutie der
Indische Regeering yang ditetapkan VOC pada 25 Mei 1760.
Begitu pula pemberlakuan hukum Islam bagi rakyat
pribumi yang beragama Islam sebagaimana termuat dalam
R.R Staatbblad 1855; 2 pasal 75, 78, 109. Diperkuat dengan
R.R Staatbblad 1882; 152 reorganisasi Lembaga Peradilan.38
Bahkan, menurut Ismail Suny, hukum Islam yang berlaku
sejak zaman VOC tidak jarang dijadikan dasar hukum
dalam penetapan Regeerning Ingsreglement (R.R) Tahun
1885. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 75: ―oleh hakim
Indonesia itu hendaknya diperlakukan undang-undang
agama (godsdientigewetten)...‖39
Kedua, teori receptie, dipadankan dengan sebutan
penerimaan atau pertemuan, yakni hukum adat sebagai
penerima dan hukum Islam sebagai yang diterima. Teori ini
digagas oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936),
penasihat orang Timur dan hukum Islam (adviseur voor
Oostersche en Mohammadaansch) pada 1891 dan berganti
menjadi Hindia Belanda (adviseur voor Inlandsch) serta
penasihat perdagangan orang Arab (adviseur voor Inlandsch
en Arabische).40 Teori ini berawal dari kesimpulan bahwa

37Gagasan ini pada dasarnya telah dimunculkan oleh Karel

Frederik Winter, pakar tentang persoalan Java-Javanici (1799-1859 M.)


yang lahir dan meninggal di Yogyakarta. Ia adalah Guru ilmu bahasa dan
kebudayaan Hindia Belanda yang produktif menulis tentang Islam
bahkan menterjemahkan al-Qur‘an ke dalam bahasa Belanda. Lihat
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam
dan Adat dalam Masyarakat Matrilinial Minangkabau, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), 64-65.
38Reorganisasi ini substansinya membentuk baru mendampingi

Pengadilan Negeri yaitu Pengadilan Agama untuk mewadahi kepentingan


umat Islam yang dinamakan ―Dewan Ulama‖ sama halnya dengan
―Dewan Pendeta‖. Lihat Mahadi, Kedudukan Pengadilan Agama di
Indonesia Sampai Tahun 1882, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Kemenag
RI, 1985), 99-113.
39Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta:

Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987), 5-6.


40Teori ini selanjutnya ditumbuh-kembangkan oleh pakar hukum

adat Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892–
1941). Tujuannya adalah agar orang-orang pribumi tidak terlalu kokoh

31
hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum
ketika hukum adat menerimanya. Oleh karena itu, jika
didapati syarak dipraktikkan di dalam kehidupan
masyarakat, pada hakikatnya ia bukanlah syarak,
melainkan adat. Adat sebagai penerima dan syarak sebagai
hukum yang datang. Artinya, syarak berlaku ketika telah
diterima atau masuk ke dalam hukum Adat, meskipun
sebenarnya hukum tersebut bukan lagi syarak tetapi telah
menjelma menjadi hukum adat. Teori ini berkebalikan
dengan teori sebelumnya, yang justru menyatakan bahwa
yang berlaku bagi rakyat pribumi seharusnya hukum adat,
bukan syarak. Syarak baru bisa berlaku jika telah diterima
atau masuk ke dalam hukum adat, dalam artian syarak
merupakan bagian dari hukum adat. Hal ini disebabkan
bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa yang tidak memiliki
tatanan hukum yang bersumber dari tradisi yang mengakar
selama ini, yaitu hukum adat. Hukum adat (Adatrecht)
merupakan terma yang dipopulerkan oleh Hurgronje.
Kedua gagasan inilah yang merepresentasikan
pandangan tentang variasi hubungan adat dan syarak
sekaligus sebagai bukti subordinasi antara keduanya dalam
arena sistem hukum. Selain itu, pergumulan itu dijadikan
sebagai alasan pembenar oleh Belanda bahwa kedua sistem
hukum tersebut tidak mungkin disatukan apalagi
diharmonisasikan. Alasan klasik yang dimunculkan adalah

memegang ajaran Islam karena mempersulit masuknya peradaban Barat.


Gagasan ini mendapat legitimasi melalui Undang-undang Dasar Hindia
Belanda yang dikenal Indische Staatsregeling (I.S). Syarak dicabut dari
tata hukum Belanda, sebagaimana tertuang pada Pasal 134 ayat 2 dari
I.S. tahun 1929: dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat
mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan
sesuatu ordonansi. Upaya penyebaran teori ini dilakukan dengan cara
mengembangkan negara Indonesia (yang dahulu dikenal dengan
nusantara) menjadi 19 wilayah hukum adat, antara adat satu dan yang
lainnya berbeda-beda. Bahkan, upaya kongkrit pemerintah Hindia
Belanda menghambat implementasi hukum Islam, sebagaimana temuan
Afdol dan Ichtijanto.Ichtiyanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum
lslam di Indonesia, dalam Juhaya S. Praja, Hukum lslam di Indonesia
Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),
97.

32
kasus Perang Paderi, konflik antara kaum Muda dan kaum
Tua.

B. Teori Maşlahah dalam Yurisprudensi Islam


Metode penetapan syarak (hukum Islam) secara
sederhana dapat diartikan sebagai cara-cara menetapkan,
meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber
dari naşş hukum untuk diimplementasikan dalam
kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.
Metode ini terkandung dalam suatu disiplin ilmu yang
dikenal dengan ilmu uşūl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang
membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar
(ijmal), cara pemanfaatannya, dan keadaan orang yang
memanfaatkannya, yakni mujtahid.41
Kalangan ulama usūl al-fiqh mengklasifikasikan
metode penetapan syarak ke dalam dua bagian.42 Pertama,
metode verbal (at-turūq al-lafziyah), yaitu metode penetapan
hukum yang bertumpu pada analisis kebahasaan, misalnya
lafaz 'āmm, khās, mutlaq, muqayyad, ‗amar, nahī. Kedua,
metode substansial (at-turūq al-ma'nawiyah), yaitu metode
penetapan hukum yang bertumpu pada pengertian implisit
nass dengan penggalian substansi syarak (al-iltifāt ilā al-

41Menurut Atho‘ Mudzhar, uşul al-fiqh adalah pengetahuan yang


membahas tentang dalīl-dalīl hukum secara garis besar (ijmâl), cara
pemanfaatannya dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yaitu
mujtahid. Melalui ilmu ini pengetahuan tentang syarak dapat
diwujudkan, sehingga ilmu Uşūl al-Fiqh diidentifikasi sebagai metodologi
konvensional dalam studi hukum Islam, atau koleksi teori-teori hukum
Islam. Lihat M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, (Yogyakarta: Pusaka pelajar, 1998), 2.
42Dua aliran yang berbeda dalam merumuskan kaidah uşūl.

Pertama, aliran Mutakallimīn atau Syâfi'iyah, yang membangun kaidah


Uşūl al-Fiqh secara teoritis, logis dan rasional, didukung oleh
argumentasi yang kuat baik naqlī maupun 'aqlī. Kedua, aliran fuqahâ
atau Hanafiyah, yang membangun dan merumuskan kaidah-kaidahuşūl
berpijak pada masalah cabang dalam maźhab, setelah meneliti dan
menganalisis masalah cabang tersebut. Selanjutnya, muncullah aliran
konvergensi, yang berusaha memadukan metode perumusan kaidah yang
ditempuh dua aliran di atas. Lihat Zakariyâ Sabrī, Maşâdir al-Ahkâm al-
Islâmī, (Kairo: Kulliyah al-Huqūq Jâmi'ah al-Qâhirah, 1973), 11-12.

33
ma'ānī wa al-maqāşid), seperti ijmā‘, qiyās, ‘urf (adat),
istihsān, maşlahah.43
Buku ini mengadopsi model terakhir dari metode
substansial tersebut, yaitu maşlahah.44 Secara etimologis
maşlahah semakna dengan manfaat atau suatu pekerjaan
yang mengandung manfaat.45 Menurut asy-Syātibi, ke-
maşlahah-an (al-masālih) haruslah merujuk pada dua aspek
yaitu: khiţāb syar‘ī (epistemologis) dan realitas sosial
(waqā‘i‗ al-wujūd). Terkait aspek khiţāb syar‘ī
(epistemologis), bagaimana hukum itu diproduksi dan
direproduksi oleh institusi tiga tali sepilin melalui
kerapatan adat dengan mencarikan argumentasi yang
sesuai dengan prinsip syar‘ī. Aspek khiţāb syar‘ī harus
berpijak pada konsep munāsib (kesesuaian), yakni ada atau
tidaknya kesesuaian antara maşlahah yang
dipertimbangkan dengan tujuan umum syarī‘ah (maqāsid
al-syarī‘ah) dan tidak dijumpai syāhid atau 'illah, indikator
yang membedakannya dengan qiyās, dan tidak ditemukan
dalīl khusus mengenai status hukumnya.46
Munāsib pada konteks ini mengandung tiga makna.
Pertama, munāsib yang keberadaannya diakui oleh syāri‘
dengan menyebutkan dalīl khusus, seperti disyari'atkannya
qişāş untuk memelihara jiwa manusia demi terjaminnya
keberlangsungan hidup dan memelihara anggota tubuh
manusia. Kedua, munāsib yang keberadaannya ditolak oleh
syāri‘ karena dianggap hasil pemikiran subjektif manusia
yang motivasinya hawa nafsu an sich dan bertentangan

43Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-

‗Arabī, 1958), 115.


44Substansi maşlahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syarak (Jalb al-masâlih
wa Daf‘u al-Mafâsid li Muhâfazah Maqâsid al-Syari‘ah). Tujuan syarak
yang harus dipelihara mencakup lima hal, yaitu; memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-
Musytaşfâ fi ‗Ilm al-Ushūl, (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1983), I,
38.
45Husain Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maşlahah fi al-Fiqh al-

Islamīy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-‗Arabiyyah), 3-4.


46Abū Ishâq Ibrâhīm ibn Mūsâ Asy-Syâţibī, al-Muwâfaqât fī Uşūl

asy-Syarī‘ah, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973), II, 38.

34
dengan dalīl-dalīl syarak. Ketiga, munāsib yang
keberadaannya tidak diakui ataupun ditolak oleh syāri‘,
dalam pengertian tidak dijumpai naşş khusus untuk
memegangi ataupun meninggalkannya. Dengan kata lain,
tidak dijumpai dalil partikular yang mengindikasikan boleh
atau tidaknya dipraktikkan oleh orang yang beriman.
Munāsib dalam konteks ini mengandung dua kemungkinan:
adanya naşş yang mengkonfirmasi, seperti 'illah yang
menghalangi pembunuh mendapatkan warisan, atau telah
sejalan dengan pandangan syarak secara universal, bukan
dengan dalīl partikular.47 Konteks terakhir inilah yang
dimaksud asy-Śyāţibī sebagai al-istidlāl al-mursal atau
al-maşlahah al-mursalah.48
Terkait realitas sosial (waqā‘i‗ al-wujūd), bagaimana
keinginan dan komitmen masyarakat Muslim Jambi untuk
mempraktikkan dan mengintegrasikan adat dan syarak
sehingga dapat dilaksanakan secara bersamaan, 49
mengingat adanya hukum kausalitas dalam konteks adat
dan syarak, di mana adat merupakan sabab (penyebab) bagi
adanya musabbab (hukum), umpamanya tentang
kemampuan fisik untuk melakukan suatu perbuatan atau
keadaan bālig dan lain-lain. Hal-hal itu merupakan

47Ibid.,39-40.
48Menurut al-Ghazali maşlahah al-mursalah dapat diterima jika
memenuhi kriteria: sejalan dengan tindakan syarak, tidak meninggalkan
atau bertentangan dengan naşş; dan masuk dalam kategori dharurī, kullī
dan qath‘ī. Pertama,dharurī (pokok), keberadaan maşlahah terkait
dengan pemeliharaan kebutuhan esensi manusia yang mencakup
pemeliharaan lima hal pokok, yakni: agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Kedua,qath‘ī (pasti), jika itu tidak dilakukan maka dapat
dipastikan akan terjadi kerusakan. Ketiga,kullī, yang dilindungi adalah
kepentingan umat secara umum (maşlahah al-ammah, bukan
kepentingan personal. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaşfâ ..., 394.
49Menurut asy-Syâţibī, taklif hukum terhadap Mukallaf didasarkan

kepada kontinyuitas adat, mengingat hukum terkait erat dengan


perbuatan mukallaf sebagai implementasi adat. Oleh karenanya,
keberadaan dan keberlangsungan adat dalam kaitan dengan hukum
merupakan keniscayaan, kalaupun terjadi perbedaan mengharuskan
perbedaan proses penentuan dan perbedaan klasifikasi hukum serta
al-khiţâb. Lihat Abū Ishâq Ibrâhīm ibn Mūsâ Asy-Syâţibī, al-
Muwâfaqât..., Juz II, 44,79.

35
sebab-sebab langsung bagi musabbab (hukum) dan hal-hal
itu diatur oleh pembuat syarak (syāri‘).
Begitu pentingnya prinsip ini, sehingga
dirumuskanlah kaidah ikhtilāf al-ahkām ‗inda ikhtilāf
al-‗awā‘id.50 Artinya, perbedaan hukum ketika terjadi
perbedaan adat; jika adat berubah dan berbeda, hukum juga
dapat berubah dan berbeda.

C. Teori Habitus
Teori habitus digagas oleh Pierre Bourdieu (1930-
2002), sosiolog Prancis yang dikenal karena pandangan
―politiknya‖ yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu
publik.51 Habitus dipahami sebagai ―logika permainan‖,
―rasa praktis‖ yang mendorong agen-agen bertindak dan
bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara
yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan
bukan sekadar kepatuhan sadar kepada aturan-aturan.
Habitus merupakan kondisi internal dan dapat menjadi
semacam blueprint bagi seseorang atau semacam ―skenario
yang telah ditentukan‖ bagi kebiasaan hidup, bahkan karir
sosial, jika tidak terdapat kondisi eksternal yang
berpengaruh dan dapat mengubah skenario.
Habitus memiliki tiga prasyarat definitif. Pertama,
habitus adalah product of structure, hasil dari struktur
sosial/kultural/religius yang sudah ada. Kedua, habitus
adalah producer of practice, yang menciptakan sekaligus
memperkuat praktik yang sudah ada. Ketiga, habitus
adalah reproducer of structure, yang berarti habitus tersebut
secara tak langsung—melalui praktik yang telah dihasilkan
dan bekerja terus menerus—menciptakan kembali sekaligus
memperkuat struktur yang sudah ada sejak awal.
Singkatnya, meminjam istilah Bourdieu, ia dibentuk oleh
struktur dan sekaligus membentuk kembali struktur itu.

50Ibid.
51Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production: Essays on Art

and Literature, (Cambridge: Polity Press, 1990), diedit oleh Randal


Johnson, 53.

36
Habitus bersifat sirkuler dalam ketegangan antara struktur
dan praktik.
Dalam konteks Jambi, masyarakatnya mayoritas
Muslim dan terkenal sebagai ―masyarakat agamis‖,52 namun
di sisi lain juga mengklaim sebagai masyarakat adat dan
tradisi yang dilakukan lebih kental berpijak pada aturan
yang tertuang dalam aturan adat (Undang Adat Jambi).
Aturan adat inilah yang menjadi panduan masyarakat
Jambi, dan untuk melegalkannya dibuatlah falsafah adat
bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah; undang datang
dari hulu, teliti dari hilir. Aturan yang tertuang dalam adat
dan kepatuhan masyarakat terhadapnya memberikan
pemahaman bahwa sebenarnya ada kekuatan kekuasaan
yang mampu membentuk budaya yang tetap kokoh dan
eksis menjadi habitus hingga saat ini. Apa yang
diperintahkan oleh aturan adat mereka laksanakan dan apa
yang dilarang oleh aturan adat mereka tinggalkan.
Perberlakuan aturan adat ini dalam perkembangan
selanjutnya membentuk kelas-kelas sosial dalam
masyarakat dan pada akhirnya mereka saling bernegosiasi
bahkan bersubordinasi dalam memperebutkan posisi dan
disposisi dalam masyarakat adat Melayu Jambi.
Ketiga teori tersebut diformulasikan menggunakan
pendekatan sosiologi hukum Islam, suatu pendekatan
mencermati proses integrasi adat dan syarak, praktik
dualisme hukum, dan eksistensi kelembagaan adat sebagai
produsen hukum yang senantiasa memproduksi dan

52Klaim masyarakat Jambi sebagai ―masyarakat agamis‖ agaknya

tidak berlebihan karena didasarkan pada beberapa hal. Pertama, realitas


bahwa hampir seratus persen masyarakat Jambi penganut agama Islam,
kecuali segelintir masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang awalnya
tidak mau dijajah lari dan menetap ke hutan dan kebanyakan migran
dari Minangkabau dan Palembang, teologi mereka masih bercampur
dengan ajaran animis. Dan saat ini telah kembali kepada ajaran Islam
Kedua, Jambi merupakan kerajaan Melayu pertama yang
memproklamirkan Islam sebagai agama kerajaan, tepatnya abad ke-15.
Sejak saat itu agama kerajaan adalah Islam dan seluruh rakyat Jambi
penganut Islam, bahkan segala aturan adat yang ada harus bersendikan
pada ajaran Islam (Syarak). Lihat Sulaiman Abdullah, Agama dan Adat
Masyarakat Jambi, (Jambi: LAM Jambi, 2010), 10.

37
mereproduksi hukum melalui kerapatan adat, meskipun
terkadang terjadi subordinasi di internal institusi yang
bekerja di dalamnya dan dengan institusi di luarnya.
Mengingat fokus studi sosiologi adalah interaksi antara
individu dengan masyarakat, esensinya interaksi dalam
kehidupan sehari-hari,53 sedangkan fokus pendekatan
sosiologi hukum adalah hukum dan tindakan sosial, di mana
hukum adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi
masyarakatnya.54
Dalam konteks hukum Islam, M. Atho‘ Mudzhar
menjabarkan tiga segmen dalam penelitian hukum Islam
sebagai gejala sosial, yaitu doktrin asas, normatif, dan gejala
sosial.55 Pendekatan dalam buku ini lebih mendekati pada

53Pendekatan sosiologi juga penulis gunakan untuk mengamati

historis masyarakat tempo Jambi dulu, yang di dalamnya memuat kajian


bagaimana peran kelompok sosial tertentu, relasi, tarik menarik
kepentingan, pelapisan sosial dan sebagainya. Lihat Dudung
Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), 11.
54Menurut Geral Turkel sebagaimana dikutip Ahmad Ali bahwa

secara konvensional ada tiga pendekatan dalam mencermati hukum.


Pertama, pendekatan moralitas, focal concern-nya landasan moral
hukum, dan validitas hukumnya adalah konsistensi hukum dengan etika
eksternal atau nilai-nilai moral. Kedua, pendekatan yurisprudensi (ilmu
hukum normatif), focal concern-nya independensi hukum, dan validitas
hukumnya adalah konsistensi internal hukum dengan aturan, norma, dan
asas yang dimiliki hukum itu sendiri. Ketiga, pendekatan sosiologi, focal
concern-nya hukum dan tindakan sosial, dimana validitas hukumnya
adalah konsekuensi hukum bagi masyarakatnya. Lihat Ahmad Ali,
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (legisprudence),
(Jakarta: Kencana, 2009), 176.
55Segmen penelitian hukum Islam, yaitu; Pertama, hukum Islam

sebagai doktrin asas, sasaran utamanya dasar-dasar konseptual syarak


seperti masalah sumber hukum, konsep Maqâsid al-Syarī‘ah, Qawâ‘id al-
Fiqhiyyah, Thurūq al-Istinbâth, dan Manhaj al-Ijtihâd. Kedua, hukum
Islam normatif, sasaran utamanya syaraksebagai norma atau aturan,
baik yang masih berbentuk naşş maupun yang sudah menjadi produk
pikiran manusia. Aturan dalam bentuk naşş meliputi ayat-ayat dan
hadits ahkâm. Sedangkan aturan yang sudah dipikirkan manusia antara
lain berbentuk fatwa-fatwa ulama dan bentuk-bentuk aturan lainnya
yang mengikat seperti kompilasi hukum Islam, dustūr, perjanjian
internasional, surat kontrak, kesaksian dan sebagainya. Ketiga, hukum
Islam sebagai fenomena sosial, sasaran utamanya perilaku hukum
masyarakat Muslim dan persoalan interaksi antar sesama manusia, baik

38
segmen ketiga, yaitu penelitian hukum Islam sebagai gejala
sosial, pendekatan yang berupaya memahami secara dekat
mengenai konstruksi adat dan syarak dalam tradisi
masyarakat Melayu Jambi. Untuk itu, langkah-langkah
yang dilakukan sebagai berikut:
a. Membuat rumusan pertanyaan, sebagaimana dituangkan
dalam Bab 1, untuk melihat kontribusi akademik dari
buku ini.
b. Menjadikan kelembagaan adat sebagai subjek, mengingat
di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin yang sering
berebut pengaruh bahkan kuasa dalam menentukan
posisi dan disposisi masing-masing baik pada tataran
internal maupun eksternal.
c. Melacak, mengumpulkan, dan memilah data-data yang
terkait dengan topik buku ini untuk diklasifikasikan dan
diteliti sesuai kebutuhan.
d. Menganalisis data yang berhasil dikumpulkan dan
dijadikan bahan analisis.
e. Menyajikan data yang dianggap valid, selanjutnya
dinarasikan dengan cara yang baik sesuai kaidah
kebahasaan agar pembaca memahami isi tulisan dan
mendapatkan informasi baru dan merasa tertarik

sesama Muslim maupun dengan non Muslim. Ini mencakup persoalan-


persoalan seperti politik perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al-
syarī‘ah), perilaku penegak hukum, perilaku pemikir hukum seperti;
mujtahīd, fuqahâ‘, mufti dan anggota badan legislatif, persoalan
administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan dengan segala
graduasinya dan perhimpunan penegak serta pemikir hukum seperti
perhimpunan hakim agama, perhimpunan studi peminat hukum Islam,
lajnah-lajnah fatwa dari organisasi-organisasi keagamaan dan lembaga-
lembaga penerbitan atau pendidikan yang menspesialisasikan diri atau
mendorong studi-studi hukum Islam. Dalam jenis penelitian ini juga
tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum,
masalah pengaruh syarakterhadap perkembangan masyarakat atau
pemikiran hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah pemikiran
hukum, sejarah administrasi hukum serta masalah kesadaran dan sikap
hukum masyarakat. Lihat M. Atho‘ Mudzhar, Pendekatan Sosiologi dalam
Studi Hukum Islam‖, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan, editor M. Amin Abdullah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
34-35.

39
melakukan kajian lebih intensif atau bahkan kajian
lanjutan.
f. Mencatat sumber data melalui referensi, dokumen,
informan, dan data otentik lainnya, sehingga informasi
yang disajikan konsisten kapan dan di mana pun.
g. Membuat simpulan terakhir sebagai hasil penulisan
minimal seirama dengan pertanyaan dalam rumusan
masalah, guna mempermudah memahami temuan.56
Melalui pendekatan tersebut, terungkap konstruksi
adat dan syarak dalam kelembagaan adat Melayu Jambi,
proses akulturasi, konstruksi, keberterimaan terhadap adat
dan syarak, kuasa simbolik dalam kelembagaan adat dalam
mengkonstruksi adat dan syarak dalam masyarakat Melayu
Jambi, serta relasi antar ketiganya dan dengan institusi di
luarnya.
Untuk penulis membuat desain kerangka teoretik
sebagaimana tertuang dalam bagan berikut ini.

56Akh Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori,


Metodologi dan Implementasi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2013),
180-226.

40
41

41
42
Berdasarkan teori yang dugunakan, terdapat tiga
unit analisis dalam buku ini. Pertama, akulturasi, persepsi,
dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap
adat dan syarak, yang akan dianalisis dengan teori resepsi.
Kedua, konstruksi, negosiasi, konfigurasi, sinkronisasi (titik
temu) dan diferensiasi (titik beda), prosedural lahirnya
putusan, serta unifikasi antara adat dan syarak, dianalisis
menggunakan teori maşlahah. Ketiga, persoalan sosiologis
mengenai peran kelembagaan adat melalui forum tiga tali
sepilin, yang mencakup kuasa simbolik, dominasi,
subordinasi, dan relasi kuasa antara ketiganya yang
memengaruhi struktur dan praktik penerapan adat dan
syarak di Jambi. Teori habitus digunakan untuk
menganalisisnya. Tiga unit tersebut secara sederhana sudah
diuraikan berdasarkan tiga kerangka teoretik yang telah
disebutkan di atas.
Dalam unit analisis pertama, akulturasi, persepsi
dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap
adat dan syarak melalui gagasan historis, teori resepsi
dijadikan sebagai pijakan historis untuk melihat
keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak
melalui lembaga-lembaga otoritatif di sana. Teori receptie in
complexu memberikan jawaban historis mengapa penguasa
Belanda saat itu menginginkan adanya penetapan syarak
dibanding adat, sementara teori receptie menawarkan
perspektif lain mengapa justru adat yang perlu
diberlakukan dibanding syarak. Namun, kesamaan dari dua
teori tersebut adalah bahwa dalam proses implementasi
kebijakan adat dan syarak, selalu ada kepentingan politis
yang berkuasa di baliknya. Jika dulu yang berkuasa adalah
Kerajaan Melayu Jambi, Kerajaan Islam Melayu Jambi,
Kesultanan Jambi, VOC, Belanda, dan Jepang, sekarang
penguasa menjelma dalam kelembagaan adat. Masing-
masing pihak dalam kelembagaan tersebut menawarkan
kebijakan yang diklaim lebih dekat atau lebih sesuai dengan
masyarakat Jambi, namun pada akhirnya kebijakan
tersebut tak lebih dari represi hegemonik yang mereka
jalankan atas kepentingan mereka sendiri.

43
Dalam unit analisis kedua, konstruksi, negosiasi,
konfigurasi, sinkronisasi dan diferensiasi, eksistensi
kelembagaan adat, prosedural lahirnya putusan, unifikasi
antara syarak dengan adat, digunakan teori maşlahah
sebagai dasar pijak. Maşlahah merupakan bagian dari
metode ushūl fiqh, memberi peluang metodologis untuk
menelaah sinkronisasi dan diferensiasi antara adat dan
syarak di Jambi. Maşlahah memungkinkan untuk
mengetahui nilai-nilai hukum universal yang berlaku bagi
seluruh komunitas Muslim dan nilai-nilai hukum lokal
(kultural) yang berlaku untuk masyarakat tertentu,
sebagamana di Jambi. Terhadap nilai-nilai hukum yang
bersifat universal, bisa dibuktikan adanya homogenitas
penerimaan masyarakat Muslim di Jambi, baik yang
mendukung adat maupun tidak. Universalitas syarak juga
bisa ditarik kesamaan nilai-nilainya dengan hukum lain
yang berlaku bagi masyarakat adat non-Muslim di Jambi.
Sementara itu, terhadap nilai-nilai syarak yang bersifat
lokal, Islam dinegosiasikan sedemikian rupa agar sesuai
(mulā‘im) dengan hukum yang berlaku di daerah Jambi,
sebagaimana tertuang dalam hukum adat. Bahkan, tidak
menutup kemungkinan, berdasarkan dalil al-‗ādah al-
muhakkamah,57 adat di Jambi bisa menjadi dasar penetapan
syarak itu sendiri. Dalam konteks ini, buku ini melihat
adanya ruang bagi teori maşlahah, dengan mencermati adat
merupakan hukum yang hidup di masyarakat yang perlu
ditumbuh-kembangkan dengan ketentuan tidak
bertentangan atau menyalahi prinsip Islam.
Terkait unit analisis ketiga, persoalan sosiologis
mengenai peran kelembagaan adat yang di dalamnya forum
tiga tali sepilin, kuasa simbolik, dominasi, subordinasi, dan
relasi kuasa ketiganya dan institusi di luarnya sangat
memengaruhi struktur dan praktik penerapan adat dan
syarak di Jambi; digunakan teori habitus, yang
penerapannya sejalan dengan teori dan maşlahah
sebelumnya. Perbedaannya, jika teori sebelumnya

57Jalaluddin as-Suyuti, al-Asbâh wa al-Nazâ‘ir fi al-Furū‘,


(Semarang: Toha Putra, t.th), 32.

44
menawarkan perspektif sosiologi historis, habitus
menawarkan pendekatan sosiologi politis yang
memungkinkan untuk melihat kondisi sosial-keagamaan di
Jambi dalam kerangka hierarki, dominasi, dan relasi kuasa.
Asumsinya adalah masing-masing kelompok dalam
kelembagaan adat saling berebut kuasa dalam sebuah arena
sosial-keagamaan di Jambi untuk memperkuat struktur
mereka di satu sisi dan membumikan praktik atas kebijakan
mereka di sisi lain. Disposisi hukum yang berhasil
dipraktikkan secara dominan oleh masyarakat Jambi akan
memastikan pula posisi mereka dalam hierarki sosial Jambi
itu sendiri. Begitu pula, siapa saja yang dianggap paling
berkuasa di daerah Jambi, punya peluang paling besar
untuk memperkuat praktik penerapan hukum yang
dikeluarkan. Persis di titik inilah struktur kelas sosial di
Jambi berkorelasi positif dengan praktik penerapan adat
dan syarak di Jambi itu sendiri.

45
4 Sejarah Singkat Melayu Jambi

Jambi sebagai wilayah yang dihuni oleh mayoritas


masyarakat etnik Melayu, sejak abad ke-15 berhasil
mengakulturasikan dan mengrintegrasikan syarak dengan
adat secara mapan. Bahkan kuat dugaan falsafah―adat
bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖ justru lahir di
wilayah ini. Secara historis Jambi diakui oleh sejarahwan
sebagai pusat peradaban Melayu kuna di Nusantara.
Realitas tersebut berimplikasi pada pembentukan tatanan
keagamaan, sosial, politik, dan budaya sejak kedatangan
Islam hingga saat ini,58
Bab ini akan membahas secara singkat sejarah
Melayu dan Kemelayuan tersebut di Jambi. Cara yang
paling tepat untuk melacak dan menuliskannya tentu saja
dengan memandang sejarah tersebut sebagai sejarah sosial 59

58Tahapan penelusuran sejarah sosial yaitu: Pertama,berorientasi


pada sejarah dan gerakan sosial (social movement) yang cenderung
marjinal dan menyempit dari arus utama masyarakat atau tatanan sosial
yang telah mapan; kedua, berorientasi pada studi historis yang sulit
diklasifikasikan, berkaitan dengan tata cara, adat istiadat, dan aktivitas
keseharian; ketiga, berorientasi pada kajian sejarah sosial dan ekonomi
yang memengaruhi perubahan struktur dan sosial masyarakat; dan
keempat, berorientasi pada akulturasi agama dan budaya
setempat.‖Ahmad Baso dalam Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan
Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), 17-20.
59Sejarah sosial berusaha mencari ―esensi‖ makna fenomena yang

dialami oleh individu atau kelompok pada wilayah dan masa tertentu.
Penelitian ini berusaha memahami teks-teks syarak dan adat Melayu
agar dapat dipadukan dan dibandingkan sehingga diketahui persamaan
dan perbedaannya untuk dikonfirmasikan kepada informan. Begitupula
subordinasi antar pihak yang terlibat dalam memproduksi dan
mereproduksi hukum, selanjutnya dianalisis secara intensif dengan
menggunakan argumentasi. Lihat Akh Minhaji, Sejarah Sosial ..., 50-51;

46
yang diuji secara kritis dan analitis menyangkut
peninggalan dan rekaman masa lalu Melayu di Jambi. 60 Bab
ini pertama-tama akan mengetengahkan proses Islamisasi
dan perkembangannya di Jambi, disusul satu bagian
tentang akulturasi adat dan syarak. Falsafah adat bersendi
syarak, syarak bersendi Kitabullah, yang dipegangi secara
kuat oleh masyarakat Melayu Jambi, akan menjadi bahasan
dalam bagian selanjutnya, sebelum masuk ke bagian
mengenai kelembagaan adat Melayu di Jambi. Di bagian
paling akhir akan disampaikan tentang realitas terkini dari
masyarakat Melayu Jambi secara khusus dan masyarakat
Jambi secara umum, yang dibahas dari aspek sosial, agama,
politik, dan budaya.

A. Islamisasi dan Perkembangannya di Jambi


Perkembangan komunitas Muslim yang begitu pesat saat
ini, bahkan menjadi mayoritas di Nusantara menjadi salah
satu faktor penyebab sejarahwan (muarrikhîn) mengajukan
teori tentang asal usul kedatangan Islam di Nusantara,
tidak luput dari kajian tersebut adalah bagaimana
Islamisasi di Jambi.61 Setidaknya ada dua teori besar terkait
dengan kedatangan Islam di Nusantara sebagaimana
dikutip Azyumardi Azra.62

Azyumardi Azra, ―Historiografi Kontemporer Indonesia‖, dalam Henri


Chambert Loir dan Hasan Mu‘arif Ambong (ed), Panggung Sejarah,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 65.
60Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj. Noto Susanto, (Jakarta,

UI Press, 1986), 33; Bandingkan dengan Akh Minhaji, Ibid.


61Teori masuknya Islam sebetulnya bukan merupakan bangunan

teori (theory building) yang lengkap, yang mencakup paradigma,


konstruksi teori (kerangka konseptual), dan metodologi pemecahan
masalah, melainkan hanya sekedar merujuk kepada paradigma
(keyakinan ilmiah) tentang negeri tempat asal Islam yang diperkenalkan
ke Indonesia, tetapi di mana persisnya ―landing‖ Islam di daerah tujuan
tidak pernah ada kepastian dengan rujukan bukti-bukti sejarahnya yang
kuat, kecuali sangat fragmentaris. Karena alasan itu, maka dalam
wacana sejarah Islam Nusantara, para ahli biasanya membedakan secara
kasar dua konsep: ―Islam datang‖ dan ―Islam berkembang‖ (Islamisasi).
62Azyumardi Azra, Kajian Naskah Keagamaan Islamisasi
Nusantara: Penilaian Ulang, dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol.9. No.

47
Pertama, Teori Gujarat (India), orang Arab
bermazhab Syafi‘i migrasi ke India dan anak benua India,
yakni; Gujarat dan Malabar, merekalah cikal-bakal
keturunan yang kemudian—melalui jalur perdagangan—
membawa Islam ke Nusantara. Teori ini didukung oleh
sarjana Belanda seperti; Pijnappel, Moquette, Kern,
Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, Hall dan
Snouck Hurgronje. Bahkan Marrison dan Arnold
menambahkan bahwa Islam Nusantara berasal dari
Coromandel dan Malabar, meski mereka tidak menampik
Islam Nusantara juga berasal dari Arabia.63
Kedua, Teori Arab, Islam Nusantara berasal dari
Arabia tepatnya Hadramaut-Yaman. Teori ini didukung oleh
Crawfurd, Niemann, De Hollander, meski mereka juga tidak
menampik peran ulama dari pantai Timur India bahkan
Mesir dalam penyebaran Islam di Nusantara. Naguib al-
Attas mengamini teori ini, menurutnya teori umum tentang
Islamisasi Nusantara seyogyanya mereferensi literatur
sejarah Islam Melayu-Indonesia dan sejarah dunia Melayu
sebagaimana terlihat melalui keyword dalam literatur
Melayu-Indonesia abad abad 10-11 H./14-17 M.
Kesimpulannya tidak satupun literatur keagamaan Islam
Melayu-Nusantara menyebutkan pengarang dari India,
kalaupun ada sebenarnya merupakan karya Arab atau
Persia, dan sebagian kecil lagi berasal dari Turki atau
Maroko.64
Teori kedua lebih tepat memposisikan asal asul
kedatangan Islam di Jambi, sejalan dengan Elisabeth
Locher yang menyebutkan titik tolak Islamisasi di Jambi
oleh pengusaha Turki bernama Ahmad Salim abad ke-14.65

1 Juni 2011, 4-8; Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 31.
63Berbeda dengan Nur Syam, yang mengungkap empat teori

Islamisasi di Nusantara yaitu: Arab, Gujarat, Persia, dan China.


Elaborasi lengkap lihat Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS,
2005).
64Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,

(Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan Melayu, 1972), 33-34.


65Elisabeth Locher Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial

48
Bukti awal dijumpai melalui folklore,66 cerita rakyat seluruh
desa/dusun seluruh Jambi dan penemuan makam Ahmad
Salim alias ―Datuk Paduko Berhalo‖ di Pulau Berhala.67
Meskipun menurut M.D. Mansur Islam telah eksis di
Jambi sebagaimana dalam berita-berita Cina lama
disebutkan ―San-fotse‖ dekat sekali dengan kata ―Tembesi‖.
Bandar Utama Sriwijaya adalah Muara Sabak, dalam
pemberitaan Arab disebut ―Zabaq‖. Orang Arab
mentransliterasi ―Sriwijaya‖ sebagai ―Sribuzzi‖ dan berita-
berita Cina menuliskan ―che-li-foche‖. Berita tersebut
menyebutkan pada abad ke-7 M. saudagar-saudagar Cina
dan Arab telah sampai ke Sabak dan Minangkabau Timur.
Diduga pengusaha Arab ketika itu berbisnis sekaligus
melakukan kegiatan dakwah hingga pada abad ke-7 M,
diduga telah ada satu dua orang yang menganut agama
Islam di daerah sekitar ―Bandar Zabaq‖. Diperkuat dengan
bukti korespondensi Raja Melayu Jambi dengan Khalifah
Umar Bin Abdul Aziz (717-720) Dinasti Umayyah tersimpan
di Museum Spanyol Madrid berupa surat.68

State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism 1830-1907, terj. the Dutch
by Beverley Jackson, (USA: Conell SEAP, 2004), 38.
66Folklore atau cerita rakyat dapat berfungsi sebagai alat

pengesahan kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma


masyarakat dan pengendalian masyarakat. Lihat James Danandjaja,
Folklore Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 2002), 19.
67Gelar ―Datuk Paduko Berhalo‖ disandang Ahmad Salim karena

keberhasilannya memusnahkan semua berhala yang menjadi sesembahan


masyarakat di Pulau Berhala ketika itu. Meski, Pulau Berhala saat ini
menjadi bagian Provinsi Kepulauan Riau setelah terjadi gugatan atas hak
wilayah antara Jambi dan Kepulauan Riau (Kepri) dan dimenangkan oleh
Kepulauan Riau (Kepri) berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung
Nomor 49 P/HUM/2011. Lihat Syekh HMO Bafadhal, Pengungkapan
Sejarah Islam di Indonesia, disampaikan pada Pra Seminar Nasional
Masuk dan Berkembangnya Islam di Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi, 4-
5; Ian, Pulau Berhala Resmi Milik KEPRI, dalam www.indopos.co.id, 22
Februari 2013.
68Khalifah Umayyah (661-680) menjalin hubungan baik dengan

Raja Jambi di Muara Sabak, Sri Maha Raja Lokitawarman, ketika itu
menjadi pusat perdagangan Lada di Bandar Muara Sabak yang dikuasai
oleh Cina Tang. Pada tahun 715- 717 M. Khalifah Sulaiman bin Abdul
Malik memerintahkan angkatan lautnya di Teluk Persia yang terdiri atas
35 buah kapal menduduki Muara Sabak, dengan tujuan memonopoli

49
Berbeda dengan apa yang tertuang dalam teks kitab
―Ajdib al-Hind‖, karangan Buzurg ibn Syahriyar al-
Ramahurmuzi tahun 390 H./1000 M., aslinya berbahasa
Persia, yang menyebutkan adanya komunitas muslim lokal
di wilayah kerajaan Hindu-Budha ―Zabag‖, kerajaan
Sriwijaya. Hasil perkawinan antara orang Arab dengan
penduduk lokal terbentuklah nucleus, komunitas muslim
Arab pendatang dan penduduk lokal. Pengusaha Arab
menyaksikan langsung tradisi masyarakat muslim lokal
maupun pendatang ketika itu yang ingin menghadap raja
harus bersila. Namun, tradisi ini dihapus setelah mendapat
protes keras dari pengusaha Oman karena dianggap
menyimpang dari ajaran Islam.69
Korespondensi Timur Tengah dan Cina juga terjadi
dengan kerajaan Minangkabau Timur dan Sumatera
Selatan, menurut K.H.O. Gadjahnata, perdagangan laut ke
Sumatera Selatan terlebih dahulu melewati pesisir Melayu
Jambi dan Semenanjung Selat Malaka dari Cina ke Timur
Tengah atau sebaliknya. Sebagai tempat transit, tentunya
terjalin komunikasi dan saling pengaruh dengan budaya
penduduk setempat, terlebih Islam yang mengajarkan
umatnya untuk senantiasa mendakwakan dan menyebarkan
Islam.70 Kedatangan Islam ke Sumatera Barat dan
Sumatera Selatan yang merupakan bagian wilayah rentetan
Islamisasi ke Jambi karena wilayah keduanya berdekatan
dan berbatasan langsung dengan Jambi. Jalur perdagangan
yang memungkinkan wilayah Jambi dan sekitarnya
dikunjungi pengusaha internasional dapat dilihat melalui
peta berikut:71

perdagangan Lada. Hampir bersamaan dengan serangan Cina Tang ke


kerajaan Jambi karena merasa kepentingan ekonominya di Sabak terusik
bahkan terancam oleh Dinasti Umayyah. Sejak saat itu pelabuhan Sabak
berhasil dikuasai oleh Cina Tang. Lihat M.D. Mansur, Sejarah
Minangkabau, (Jakarta: Bhatara, 1976), 12.
69Azra, Kajian Naskah Keagamaan ..., 6.
70K.H.O.Gajahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera

Selatan, (Jakarta: UI Press, 1996), 31.


71Peta sebagaimana dikutip Sri Purnama Syam, Kerajaan Melayu

Jambi telah berkorespondensi dengan Tiongkok tahun 644/645 ditandai


dengan pengiriman pasukan dan tahun 670 pendeta Budha bernama I-

50
Gambar 4.1. Peta Jalur Perdagangan Asia Tenggara

Peta di atas merefleksikan kawasan Asia Tenggara


yang sejak awal Masehi menjadi bagian penting dari lokus
jaringan jalur lintas perdagangan Timur-Barat lewat ‗Jalan
Sutera‖ (Silk Road), yaitu jalur jalan Darat yang
menghubungkan Cina dan Roma.72 Cabang lain jalan Sutera
lewat jalan laut yang menghubungkan kawasan sekitar Asia
Timur dengan Asia Tenggara. Dari Asia Tenggara menuju
ke Asia Selatan. Selanjutnya terdapat hubungan pelayaran
antarbenua menuju ke Barat sebelum akhirnya mencapai
Eropa. Cabang lain dari Asia Tenggara menerobos ke utara
sampai ke Cina dan sebaliknya. Dalam hal ini ada dua jalur
utama yang menghubungkan Asia dan Eropa: (i) melalui
jalur darat lewat Jalan Sutera dan melalui jalur laut, Jalur
Maritim (India dan Cina).

Tsing dalam perjalanannya menuju India singgah di Sriwijaya dan


menetap di Melayu Jambi selama 2 bulan. I-Tsing menulis buku berjudul
―nan-hai Chi Kuei-nai fa-Ch‘uan‖ diterjemahkan Takakusu ke bahasa
Inggris, A Record of the Buddhist religion as practiced in India and the
Malay Archipelago, dan bukunya Ta-A‘ang-si-yu-ku-fa kao-seng Chuan
diterjemahkan Chavanco ke bahasa Ferancis: Memoire compose a‘lopoque
delagrande Cherher la loi dans les pays d‘Occident, disebutkan negeri
Melayu ketika itu bagian dari kerajaan Sriwijaya. Lihat Sri Purnama
Syam, Seni dan Budaya ..., 6-7.
72Jalur Sutera adalah jalur jalan terpanjang yang membentang di

antara dua benua, menghubungkan Tiongkok dengan dunia Barat yang


sejak dulu digunakan sebagai rute perdagangan melalui darat. Penamaan
Sutera dikarenakan Tiongkok terkenal sebagai penghasil kain sutera dan
perdagangannya melalui jalur ini. Diakses melalui Peradaban
Kuno.wordpress.com tanggal 10 November 2016.

51
Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia
Tenggara mulai diperhitungkan dalam kancah
perekonomian internasional, utamanya abad ke-5 M.
Kehadiran pengusaha dan pelaut yang melintasi wilayah
tersebut dengan menggunakan teknologi pelayaran kuno
(astronomi dan teknologi kapal) membuat kawasan ini
dikenal di Eropa dan tercatat dalam sejarah kuno
(Ptolemeus: ingat the Golden Kehrsonesis).73
Peta tersebut tidak memberikan informasi yang jelas
dan tepat kapan permulaan kedatangan Islam di Nusantara,
namun dapat ditelusuri yang menjadi salah satu motivasi
pengusaha melakukan bisnis sampai ke Nusantara adalah
kondisi alam mereka yang tandus sehingga sulit
mengembangkan perekenomian, membentuk alam dan demi
kelangsungan hidup.74 Kota yang memungkinkan untuk
dikunjungi adalah kota yang berada di sekitar pesisir pantai
atau muara sungai. Sebab masyarakat kota pusat kerajaan
Maritim lebih menitikberatkan kehidupannya kepada
perdagangan, dari pada pertanian. Hubungan lalu-lintas
melalui sungai dan lautan dengan mempergunakan perahu
dan kapal layar dianggap lebih tepat dan mudah. Asumsi ini
didukung oleh Charles M. Cooley bahwa hubungan lalu-
lintas menjadi penyebab utama lokasi kota-kota besar di
muara atau pertemuan sungai-sungai menjadi rute bisnis.75
Referensi tentang masuknya Islam di atas tidak
menyebutkan secara detail sosok orang yang berjasa meng-
Islamisasi Jambi dan negara asalnya. Terlepas dari itu,
menurut Syekh HMO Bafadhal dan Elisabeth Locher,
kedatangan Ahmad Salim merupakan embrio Islamisasi di
Jambi dan berdirinya kerajaan Islam Melayu. Utamanya
setelah perkawinan Ahmad Salim dengan Ratu Putri
Selaras Pinang Masak, notabene Ratu kerajaan Melayu

73Ibid., 8.
74Al-Muhandis Zakaria Hasyim, al-Mustasyriqîn al-Islâm, (Kairo:
Maktabah Darul Ma‘arif, 1965), 161.
75Sebagaimana dimuat dalam Max Weber, The City Transleted and

Edited By Don Mardinal and Getrud Neurith, (New York: The free Press,
1966), 16.

52
Jambi, sehingga kekuasaan kerajaan Melayu Jambipun
berpindah tangan kepadanya.76
Setelah Ahmad Salim wafat, tongkat kekuasaan
diteruskan putranya silih berganti hingga ke tangan Ahmad
Kamil alias ―Datuk Orang Kayo Hitam‖. 77 Di tangannyalah
transformasi kerajaan Melayu Jambi menjadi kerajaan
Islam Melayu Jambi sekaligus meng-Islamisasi negeri
Melayu Jambi.78 Hal ini sebagaimana tertuang dalam
Piagam Jambi pasal 36.

76Sejarahwan berbeda pendapat mengenai sosok Ahmad Salim

Tajuddin, pertama, keturunan raja Turki Usmani yang sengaja dikirim


oleh Khilafah Usmaniyah untuk menaklukkan kerajaan Melayu Jambi
karena terdapat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh
pengusaha dari berbagai negara; kedua, pengusaha Turki yang terdampar
di Pulau Berhala, dan ketiga, pendakwa muslim yang sengaja
menyebarkan Islam di Jambi. Terlepas dari itu, yang jelas beliau singgah
dan menetap di Jambi, merupakan keturunan ketujuh dari Saidina Zainal
Abidin bin Sayyidina Husein putra Sayyidatuna Fatimah binti
Muhammad Saw. Beliau mengawini Ratu Putri Selaras Pinang Masak
dan dikaruniai tiga orang putra dan satu orang putri yaitu; Sayid Ibrahim
(Orang Kayo Pingai/1480-1490), Sayid Abdurrahman (Orang Kayo
Pedataran/1490-1500), Sayid Ahmad Kamil (Orang Kayo Hitam/1490-
1515) dan Syarifah Siti Alawiyah (Orang Kayo Gemuk). Lihat Tim
Penyusun, Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11 tentang
Sumatera Tengah, (Jakarta: Kemenpen RI, 1964), 70-74; Raden Abdullah,
Kenang-kenangan Jambi nan Betuah, (Jambi: ttp., 1970), 7.
77Gelar kebangsaan Melayu, seperti; wan, raja, datuk, orang kaya

(orang kayo), dan kejeruan. Lihat Luckman Sinar Basarshah dalam


―Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur‖.
http:/www.kerajaan nusantara.com/id/kesultanan-Serdang/article/ 117-
Perkembangan-Islam-di-Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur.
Diakses tanggal 12 Oktober 2016.
78Berikut nama Raja dan Sultan yang pernah memimpin kerajaan

dan kesultanan Jambi, yaitu; Putri Selaras Pinang Masak dan Ahmad
Salim (Datuk Paduko Berhalo/1460-1480 M.), Ibrahim (Datuk Orang Kayo
Pingai/1480-1490 M.), Abdurrahman (Datuk Orang Kayo Pedataran
/1490-1500 M.), Ahmad Kamil (Orang Kayo Hitam/1500-1515 M.),
Pangeran Hilang Diair (Pangeran Kabul di Bukit) disebut Panembangan
Rantau Kapas (1515-1540 M.), Panembahan Rengas Pandak (1540-1565
M.), Panembahan Kota Baru (1565-1590 M.), Pangeran Kedah gelar
Sultan Abdul Kahar (1590-1615 M.), Pangeran Depati Anom gelar Sultan
Abdul Djafri, disebut Sultan Agung (1615-1643 M.), Raden Penulis gelar
Sultan Abdul Mahji disebut Sultan Ingologo (1643-1665 M.), Raden
Tjakra Negara (Pangeran Depati) gelar Sultan Kiyai Gede (Sultan Raja
Kiai Gede (1665-1690 M.), Kiyai Singo Patih gelar Abdul Rachman,

53
Gambar 4.2. Piagam Jambi

―Pasal yang tiga puluh enam: Peri menyatokan awal


Islam di Jambi zaman Datuk Orang Kayo Hitam bin
Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo.
Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700
tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan
kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada
waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi
mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo
waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah,
barulah berdiri rukun Islam yang limo‖.79

Langkah Islamisasi berawal dari proklamasi


kerajaan Melayu Jambi sebagai kerajaan Islam, dilanjutkan
dengan meng-Islamisasi lingkungan istana, sepupu
sekaligus menobatkan Sunan Muaro Pijoan, Sunan
Kembang Seri, dan Sunan Pulau Johor sebagai penguasa
wilayah masing-masing. Keluarga istana sejak awal telah

berkedudukan di Bangun Jayo; Raden Tjulip (Djurat), di Bukit Serpeh


Sumai (1690-1696 M.), Sultan Muhammad Syah (1696-1740 M.); Sultan
Sri Maharaja Batu (1690-1721 M.); Sultan Istera Ingologo (1740-1770 M.);
Sultan Ahmad Zainuddin (1770-1790 M.); Sultan Mas‘ud Badaruddin
(1790-1812 M.); Sultan Muhammad Mahiddin (1812-1833 M.); Sultan
Muhammad Fachruddin (1833-1841 M.); Sultan Abdurrahman
Nazaruddin (1841-1855 M.); dan Sultan Thaha Saifuddin (1855-1904 M.).
Junaidi T Noer, Mencari Jejak Sangkala; Mengirik Pernak Pernik Sejarah
Jambi, (Jambi: Jambi Heritage, 2007). 22-23.
79Ibid., 29.

54
Muslim dan mempraktikkan tradisi ke-Islaman, ditandai
saling bertukar sorban saat penobatan sebagai Raja. Sejak
saat itu, Islam dikembangkan dari istana dan menurut
sejarahwan berkebalikan dari apa yang terjadi di
Minangkabau dan daerah lain sekitarnya, dimana Islam
datang dari rakyat bukan dari istana.80
Selanjutnya, Islam semakin kokoh dan berkembang
menjadi agama rakyat Jambi serta tersebar ke seluruh
pelosok kerajaan Islam Melayu Jambi, sekaligus bukti
keseriusan Ahmad Kamil membumikan syariat Islam
dengan menetapkan undang-undang bagi rakyat, yaitu
Undang Raja. Selain itu, ulama mulai mendapatkan posisi
penting di kerajaan dan rakyat, agama (syarak) dan adat
saling beradaptasi, saling melengkapi dan saling sandar
sesuai falsafah―adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah‖. Sepeninggalan Ahmad Kamil, perkembangan
Islam di Jambi diteruskan oleh ulama berikutnya yang
datang dari Arab, Hadramaut-Yaman. Hal ini diperkuat
melalui penemuan beberapa makam di antaranya;
a. Makam ―Datuk Paduko Berhalo‖ di Pulau Berhala, pulau
kecil di gugusan daerah Kabupaten Tanjung Jabung
Timur provinsi Jambi.
b. Makam Putri Selaras Pinang Masak di desa
―Pemunduran‖ sebelah Timur Laut Jambi.
c. Makam Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M). di
Tambak, Seberang Kota Jambi.
d. Makam Syekh Muhammad Shoufi bin Umar Bafadhal
(1635 M)., di Tambak, Seberang Kota Jambi.
Dari sekian banyak ulama tersebut, Habib Husein
merupakan tokoh sentral yang berkontribusi besar dalam
pengembangan Islam di Jambi.81 Beliau menikah dengan

80Di penghujung abad ke-16, Islam menempuh perjalanan dan

perjuangan yang amat panjang untuk masuk ke Istana Pagarugung, dan


tersebar secara merata pada seluruh wilayah di Minangkabau pada abad
ke-19. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 104.
81Habib Husein Baragbah ke Jambi diprediksi tahun 1034 H atau

1088 H sekitar tahun 1615 atau 1668 M. pada masa pemerintahan Sultan
Abdul Kahar (1615-1665 M) dan putranya Abdul Muhyi gelar Sultan Sri
Angologo (1665-1690). Menikah dengan Putri Sintai dan wafat tahun 1173

55
Nyai Resih binti Sintai, setelah 4 tahun menetap di Jambi
dan kembali ke Hadramaut. Sepulangnya ke Jambi
membawa ulama besar seperti; Syekh Muhammad Shoufi
bin Abdullah Bafadhal dan Said Alwi al-Baiti, dan diikuti
ulama lokal. Berikut nama ulama yang berkontribusi dalam
penyebaran Islam di Jambi.
a. Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M.)
b. Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal (1635
M.)
c. Sayyid Alwi al-Baiti (1637 M.)
d. H. Ishak bin H. Karim Mufti Jambi (1700 M.)
e. Kemas H. Muhammad Zen bin Kemas H. Abd. Rauf al-
Jambi Asy-Syafi‘i al-Naqsyabandi (1815 M.)
f. Pangeran Penghulu Noto Agamo Kampung Magatsari
(1852 M.)
g. Al-Qodi Abd. Gani bin H. Abd. Wahid ( 1888 M.)
h. K.H. Abd. Majid bin H. M. Yusuf Keramat (1893 M.).82
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan Islam
datang ke Jambi jauh sebelum kerajaan Melayu Jambi
menjadi kerajaan Islam, fakta ini didukung beberapa
argumentasi, yaitu: Pertama, sejak abad ke-7 Islam telah
menginjakkan kaki di tanah Jambi, bersamaan dengan
ramainya pelabuhan internasional Zabag (Sabak) yang
dikunjungi oleh pengusaha asing. Kedua, Kunjungan
pengusaha asing dan pengusaha muslim ke bandar
(pelabuhan) internasional Zabag (Sabak) dalam rangka
bisnis dan menjalin hubungan bilateral dan multilateral
seperti; Cina dan Semenanjung Arabia. Ketiga, Islamisasi

H, dimakamkan di perkuburan Keramat Tambak, Kecamatan


Pelayangan, seberang Kota Jambi. Habib Husein bin Ahmad Baragbah
dikenal sebagai Tuanku Keramat Tambak, merupakan turunan
Rasulullah Saw. Nama lengkapya Said Husein bin Abdurrahman bin
Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin al-Faqih al-
Muqaddam bin Muhammad bin Ali Ba‘lawi bin Muhammad bin Shohibu
Marbat bin Ali al-Khalil Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Abdullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad al-Wajib bin Ali
al-Uraidhi bin Ja`far As-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Husein bin Fatimah binti Rasulullah Saw. Lihat Syekh HMO
Bafadhal, Pengungkapan Sejarah Islam ..., 18-19.
82Ibid. 20.

56
secara terbuka di Jambi berlangsung pada abad ke-14 M.
ketika kerajaan Islam Melayu Jambi dipimpin oleh Ahmad
Kamil.
Adapun pola Islamisasi sebagaimana penyebaran
Islam di Nusantara yang dipilah menjadi tiga pola yaitu;
integratif, dialogis dan integratif-dialogis. Pertama, pola
integratif, sebagian besar aspek kehidupan dan kebudayaan
suatu komunitas diintegrasikan dengan pandangan hidup,
gambaran dunia, sistem pengetahuan dan nilai-nilai Islam,
seperti pada masyarakat etnik-etnik Melayu di Sumatera
dan Kalimantan, termasuk Aceh, Palembang, Melayu Riau,
Banjar, dan sebagainya. Begitu pula pada masyarakat Jawa
Pesisir, seperti; Banten, Jawa Timur, dan Madura. Pola ini
dapat dilakukan karena sebelum raja atau penguasa
memeluk Islam, masyarakat sudah ramai memeluk agama
Islam dan mengembangkan kebudayaan bercorak Islam.
Kedua, pola dialogis, Islam dipaksa berdialog dengan tradisi
lokal seperti pada masyarakat Jawa pedalaman, yang
langsung berada di bawah pengaruh keraton. Mistisisme
Islam berkembang di wilayah ini berbaur dengan tradisi
mistik lama warisan zaman Hindu, seni dan sastra zaman
Hindu dipertahankan dengan memberi corak Islam. Pola ini
dilakukan karena sistem kekuasaan masih
mempertahankan sistem lama, dan masyarakat masih
belum sepenuhnya ter-Islamkan. Ketiga, pola dialogis-
integratif, kombinasi pola dialogis dan integratif yang
dilakukan secara bersamaan, seperti pada masyarakat
Jambi dan Sulawesi.
Adapun pola Islamisasi dan penyebaran Islam di
Jambi melalui pola dialogis-integratif, dimana Raja dan
bangsawan lebih dahulu masuk Islam selanjutnya diikuti
oleh rakyat, sehingga penyebaran Islam lebih cepat dan
komprehensif. Ini pulalah yang membedakan Islamisasi di
Jambi dengan wilayah yang didominasi etnik Melayu di
Sumatera, utamanya Minangkabau.

57
B. Akulturasi Syarak dengan Adat Lokal
Syarak merupakan bagian inheren dari ajaran Islam
dan lahir bersamaan dengan hadirnya misi kerasulan
Muhammad, sumber teoretisnya adalah al-Qur‘an dan
sumber praktisnya adalah Rasul sendiri. Sebagai praktisi,
Rasul tidak hanya membawa ajaran baru dengan merombak
segala tradisi masyarakat Jahiliyah yang dianggap
menyimpang dari aturan Ilahi dan norma kemanusiaan saat
itu, tetapi juga menyempurnakan dan menyelesaikan segala
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Menyikapi
kondisi ini, Rasul tidak hanya mengandalkan wahyu, akan
tetapi juga menggunakan nalar (al-ra'y) secara optimal.
Pada masa Rasul telah terjadi akulturasi antara
syarak dengan adat lokal (adat masyarakat setempat),
beliau menseleksi sekaligus memverifikasi adat mana yang
perlu diteruskan, dimodifikasi atau ditinggalkan. Meski,
bukan bentuk revolusi hukum melawan adat atau
menghancurkannya setelah diketahui bersumber dari
tradisi jahiliyah. Justru Rasulullah dalam kapasitasnya
sebagai ―pembuat hukum‖ banyak melegalisasi adat
masyarakat Arab dan memberi ruang bagi praktik adat
dalam sistem hukum Islam. Legalisasi hukum kewarisan
misalkan membuktikan Rasul tidak menghapuskan secara
total sistem hukum yang berlaku pada masyarakat ketika
itu, meski al-Qur‘an memperkenalkan model reformasi
hukum kewarisan. Tradisi pra-Islam manakala ayah wafat
maka yang berhak menerima harta warisan hanya ayah,
sedangkan ketentuan Islam mendistribusikan warisan tidak
hanya kepada ayah, tetapi juga garis keturunan ke atas
(kakek) atau menyamping (paman/bibi).83 Rasul tidak
menentang tradisi masyarakat yang sejalan dan sesuai

83Substansinya, kewarisan pada keluarga orang Arab pra Islam


diatur sebagai berikut: (i) Keturunan laki-laki dari jalur laki-laki yang
mewarisi harta; (ii) keturunan perempuan dan jalur perempuan tidak
dapat mewarisi; (iii) hubungan garis ke bawah lebih diutamakan daripada
hubungan ke atas dan hubungan menyamping; (iv) ketika keturunan laki-
laki mempunyai hubungan kekerabatan yang sama jauhnya, maka harta
warisan dibagikan dengan cara perkapita. Lihat A.A. Fyzee, Outlines of
Muhammadan Law, (London: Oxford University Press, 1949), 333.

58
dengan prinsip Islam, seperti; pinangan, diyât, dan
lainnya.84
Setelah Rasul wafat (632 M), 85 Sahabat
―mengkonstruksi‖ syarak dengan menjabarkan pesan al-
Qur‘an dan Sunnah Rasul agar mudah dipahami dan
diimplementasikan oleh umat Islam baik secara tekstual
maupun kontekstual. Sahabat sering dihadapkan pada
berbagai persoalan baru "rumit dan bertubi-tubi", yang tidak
ditemukan dalam naşş (al-Qur‘an dan Sunnah) secara
eksplisit. Oleh karenanya, mereka melakukan ijtihad
dengan meniru praktik-praktik yang pernah dilakukan oleh
Rasul. Upaya ijtihad dilakukan melalui beberapa langkah
strategis yaitu; mulai pelacakan terhadap al-Qur‘an,
diteruskan kepada Sunnah dan apabila juga tidak
ditemukan ketetapan hukumnya maka baru dilakukan
upaya ijtihad baik secara kolektif (ijma‘) maupun personal
(fardi).
Hal ini dapat dibenarkan mengingat otoritas ijtihad
saat ini berada pada masing-masing pribadi sahabat,
seluruh sahabat secara pribadi berhak melakukan ijtihad
apabila dianggap mampu. Keputusan yang diambil para
sahabat dalam perkembangan selanjutnya dipandang

84Menurut Schacht, Nabi Muhammad tidak mempunyai alasan

yang kuat untuk merubah hukum adat yang tumbuh dan hidup dalam
masyarakat sejalan dengan misinya yang bukan membuat sistem hukum
baru akan tetapi lebih berorientasi pada pengajaran kepada umat
manusia tentang bagaimana cara bertutur dan bertingkah laku serta
memilah dan memilih perbuatan mana yang harus dilakukan atau
dihindari agar mendapatkan kebahagian hakiki dunia dan akhirat. Lihat
Joseph Schacht, Origin and Development of Islamic Law, (Washington:
The Middle East, 1955), 31.
85Umat Islam saat itu dihadapkan pada persoalan pelik mengenai

siapa yang lebih tepat untuk menggantikan posisi Rasul sebagai


pemimpin umat (negara) ketika itu, sehingga memaksa mereka untuk
mencari pengganti Rasul paling tepat. Pada akhirnya sahabat terpecah
menjadi tiga golongan yaitu; golongan Muhâjirin, Anşâr dan Ahl al-Bait.
Golongan Muhâjirin dan Anşâr menggelar pertemuan di Saqifah Bani
Sa'idah dan melalui perdebatan yang alot berhasil merekomendasikan
Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasul (pemimpin umat
Islam), sedangkan golongan ahl al-Bait saat itu sedang sibuk mengurus
jenazah Rasul yang belum dimakamkan. Lihat Muhammad S. Elwa, On
Political System of Islam, (London: Edinburg, 1983), 33-34.

59
sebagai bagian dari teks-teks suci meskipun dilakukan
tanpa acuan langsung kepada naşş, sebagaimana
dipraktikkan Umar ibn al-Khaţţab, yang mengakomodir dan
meneruskan sistem diwân (registrasi) yang dipraktikkan
kaisar Bizantium, dan institusi ini mengatur segala urusan
finansial (kharâj).86 Begitupula penggunaan timbangan (al-
kail) dan ukuran (al-wazn), biji-bijian dan buah-buahan (al-
hubub wa al-tsimar) tetap dipandang sebagai kaili (yang
diukur berdasarkan kapasitasnya), sementara emas dan
perak digolongkan sebagai wazn (yang diukur berdasarkan
beratnya). Meski, tidak jarang beliau menghapus tradisi
sebelumnya seperti praktik bai‘ al-salâm terhadap buah
yang belum muncul pada pohonnya.87
Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib
mempraktikkannya terhadap binatang, dengan menjual
untanya, ‗usfur, untuk mendapatkan dua puluh onta pada
waktunya sesuai kesepakatan Bai‘ al-Salâm. Abd Allah ibn
Umar juga mempraktikkan ini ketika menjual satu ontanya
untuk mendapatkan empat onta dengan pembayaran yang
ditunda sampai waktu tertentu.88
Begitupula pada praktik pembayaran uang darah
(diyât), jika Rasul mengadopsi praktik qişâş (balasan sama)
dan pembayaran diyât (kompensasi bagi ahli waris korban),
sebagaimana dipraktikkan masyarakat Arab pra-Islam.
Kompensasi diberikan sesuai dengan standar moral
keadilan bagi pihak korban.89 Sementara Umar
membedakan penggunaan koin emas dan koin perak dalam
pembayaran diyât, untuk emas 1000 Dinar dan untuk perak
12.000 Dirham.
Menurut Imam Malik, pembayaran uang darah
sesuai dengan jenis mata uang yang digunakan orang yang
terlibat, bagi masyarakat desa yang bentuk pembayarannya

86Ahmad Syalabi, Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islamîy, (Beirut: Dâr al-Fikr,

t.th), 319.
87Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî bi Syarh Shahih al-Bukhârî,

(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), V, 181.


88Al-Sarkhisi, Al-Mabsûth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), XII, 110.
89N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1971), 20.

60
bukan uang, boleh melalui aset kekayaan, seperti onta.90
Begitupula pada apa yang dipraktikkan oleh asy-Syafi‘i
melalui qaul al-qadimnya ketika berada di Irak dan qaul al-
jadidnya ketika berada di Mesir.91 Praktik-praktik tersebut
merefleksikan akulturasi budaya Islam (syarak) dengan
budaya lokal (adat) yang dilakukan oleh Rasul, sahabat dan
tabi‘în dengan prinsip ajaran Islam.
Selain itu, penerimaan terhadap adat merupakan
bentuk akomodasi dari keinginan masyarakat Arab ketika
itu, mengingat hukum Adat dalam persoalan tertentu
dianggap mampu memberikan solusi terhadap keinginan
masyarakat. Oleh karenanya, aturan-aturan yang
bersumber dari adatpun idealnya diukur sesuai dengan
keinginan masyarakat atau sebaliknya. Manakala praktik
dan tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat maka
harus dipertahankan, manakala tidak sesuai dengan
keinginan masyarakat maka harus ditinggalkan. Menurut
Robert C. Ellickson, yang menentukan terealisasi atau
tidaknya suatu hukum bukan hukum itu sendiri melainkan
rakyat sebagai adresat hukum. Fungsi peraturan hanya
sebagai titik tolak (starting point), rakyatlah yang akan
menawar harga keuntungan yang didapat dari peraturan
tersebut untuk keuntungan mereka.92
Praktik semacam ini juga berlangsung di Jambi,
dimana terjadi akulturasi syarak dengan adat Melayu Jambi
sejak kedatangan Ahmad Salim. Oleh karenanya, Ia
dianggap berjasa dalam meletakkan dasar-dasar
membumikan ajaran Islam di tengah adat Melayu Jambi.
Diteruskan putranya Ahmad Kamil yang memverifikasi
adat yang ada untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip
Islam.

90Imam Malik, al-Muwaththa‘, (Beirut: al-Maktabah al-


Tsaqafiyyah, 1414 H), II, 850.
91Muhammad Mustafa Syalabi, Uşûl al-Fiqh al-Islamîy, (Beirut:

Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1986), 322.


92Sebagaimana dikutip Satcipto Raharjo, Biarkan Hukum
Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum,
(Jakarta: Kompas, 2007), 32.

61
Gagasan ini sekilas kelihatan seirama dengan teori
―receptio in complexu‖-nya Van Den Berg, yang menyatakan
seharusnya hukum yang berlaku bagi masyarakat sesuai
dengan hukum agamanya.93Artinya, jika sebelumnya
kerajaan Melayu Jambi menganut agama Hindu dan hukum
yang berlaku sesuai ajaran agama Hindu maka setelah
kerajaan Islam Melayu Jambi menganut Islam seyogyanya
hukum yang berlaku sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagaimana kebijakan hukum Belanda, yang
memberlakukan hukum sesuai dengan agama yang dianut
seseorang.94 Menurut Datuk Raden Jayo:95
―Sebelum agama Islam tibo di Jambi, masyarakat Jambi la
punyo aturan berupo adat istiadat, namun sudah Islam
datang dan atas perintah Datuk Orang Kayo Hitam, adat
atau tradisi yang ado harus disesuaikan dengan syari‘at
Islam. Akhirnyo dikumpulkan seluruh kerajaan yang ado
di sekitar kekuasaan kerajaan Islam Melayu Jambi hingga
Pagaruyung Minangkabau untuk menentukan macam
mano adat yang sudah ado ko. Keputusannyo adat atau
undang yang ado harus diteliti, harus sesuai dengan
ajaran Islam. Sehinggonyo lahirlah seloko ―Undang datang

93Teori ini dibangun oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg
(1854-1927), yang pernah menetap di Indonesia tahun 1870-1887. Van
Den Berg, pakar hukum yang menemukan dan memperlihatkan
berlakunya syarak di Indonesia dan berjasa mengusahakan agar hukum
perkawinan dan kewarisan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda
dengan bantuan para penghulu, qadhi. Menurut Van Den Berg,
sebagaimana dikutip H.A.R. Gibb: ―Bagi rakyat pribumi, yang berlaku
bagi mereka adalah hukum agamanya.‖ Lihat H.A.R. Gibb, Modern
Trends In Islam, (Chicago: The University of Chicago, 1972), 115-116.
94Sebelum Islam tiba dan berkembang di Arab, sebenarnya telah

ada tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat seluruh penjuru bumi


secara turun temurun, bahkan tradisi itu lahir seiring dengan keberadaan
masyarakat itu sendiri yang dikenal hukum chthonic (hukum asli).
Menurut Edward Goldsmith, sebagaimana dikutip Ratno,
chthonic merupakan wujud harmonisasi kehidupan antara manusia dan
bumi, selanjutnya menjadi adat (tradisi) atau hukum adat. Tradisi ini
diteruskan ke generasi berikutnya secara berkesinambungan dan diyakini
kebenarannya dengan asumsi perbuatan tersebut baik untuk
diimplementasikan. Lihat Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: Teras, 2008), 3-4.
95Wawancara, Salah seorang turunan Raja Jambi bergelar Raden

Pamuk, 20 Juni 2015.

62
dari Hulu, Teliti dari Hilir‖. Maksudnyo, adat yang ado
harus disesuaikan dan sejalan dengan ajaran Islam.‖

Pandangan ini dipertegas oleh Dr. Ridwan:96


―Akulturasi nilai Islam terhadap nilai adat telah lama
menyatu pada masyarakat Sepucuk Jambi Sembilan
Lurah. Atas dasar itu, masyarakat Jambi dikenal arif dan
bijaksana menghadapi problema sosial dan tidak pernah
terjadi konflik secara frontal. Inklusivitas masyarakat
Jambi dalam menerima nilai positif Islam menjadi modal
solidaritas dan spirit serta kebersamaan dalam
berinteraksi tanpa membedakan status sosial. Selain itu,
penghargaan terhadap nilai kemanusiaan tanpa
membedakan status sosial atau lainnya‖.

Kedua statemen di atas, mempertegas eksistensi adat


dan syarak sekaligus integrasi keduanya dalam tradisi
masyarakat Melayu Jambi. Syarak yang datang kemudian
justru memverifikasi hukum adat yang ada, dan praktik
semacam ini sejak masa Rasulullah. Banyak tradisi
Jahiliyah diverifikasi oleh Islam untuk selanjutnya
dilegalkan atau ditolak. Pada saat itu, syarak merupakan
hukum terdepan dalam menyelesaikan segala persoalan
keagamaan dan peran pegawai syarak sebagai refresentasi
dari kelompok agama sangat dominan.
Dipertegas dengan keinginan Masyarakat Melayu
Jambi ketika itu yang menghendaki perpaduan hukum dan
pemberlakuan keduanya secara bersamaan. Menyikapi hal
ini Ahmad Kamil mengambil jalan tengah dengan
menjembatani keduanya sehingga lahirlah falsafah ―adat
bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.‖ Pada periode
berikutnya untuk menguatkan akulturasi keduanya lahir
pula falsafah ―Undang datang dari Hulu teliti dari Hilir.‖
Dengan demikian, akulturasi adat dan syarak sejak
awal terjadi di Jambi meski tidak mudah dan memerlukan
proses, utamanya ketika Islam pertama kali masuk ke
Jambi, dimana masyarakatnya telah memiliki aturan yang
mapan baik hukum adat atau agama sebelumnya. Proses

96Wawancara, Ketua Laskar Melayu Jambi (LAMAJA), 15 Juli


2015.

63
negosisasi dan konfigurasi tersebut melahirkan kompilasi
hukum yang mewakili aspirasi kepentingan syarak dan
kepentingan adat.
Selanjutnya Islam datang ke Jambi sebagaimana
agama lainnya seperti Budha dan Hindu membawa
perubahan besar pada aspek ideologis dan paradigma
berpikir masyarakat ketika itu, meski tidak secara totalitas.
Terbukti tradisi masyarakat Melayu yang ada sebelum
kedatangan agama tersebut tetap eksis hingga saat ini,
utamanya aturan dan simbol adat. Idealnya segala aturan
adat dirubah secara totalitas oleh Islam setelah kerajaan
Melayu Jambi bertransformasi menjadi kerajaan Islam
Melayu Jambi. Ahmad Salim dan Ahmad Kamil sebagai
penguasa sekaligus ahli dakwah, tidak memaksakan Islam
kepada rakyatnya yang terbiasa dengan adat. Namun,
mereka menunjukkan dan memperkenalkan keagungan
Islam, setelah masyarakat mengenal dan akrab dengan
Islam, selanjutnya tradisi masyarakat dibenahi melalui
verifikasi apakah telah sejalan dengan prinsip Islam atau
sebaliknya. Praktik ini sebagaimana dilakukan oleh Rasul
ketika menghadapi adat masyarakat Arab-Jahiliyah pra-
Islam, dimana langkah Rasul meneruskan atau
memodifikasi tradisi yang ada, jika tidak memungkinkan
baru dihapus.
Praktik inilah pada perkembangannya melahirkan
beragam corak pemikiran fikih, bila diidentifikasi faktor
penyebabnya antara lain.97 Pertama, adanya dorongan
keagamaan yang merupakan sumber norma dan nilai
normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga
upaya sosialisasi dan internalisasi senantiasa dibutuhkan.
Kedua, terjadinya perubahan sosial budaya sebagai
konsekuensi meluasnya imperium Islam terutama pada
masa kekhalifahan Umar ibn Khaţţab karena itu
dibutuhkan upaya penanganan terhadap persoalan hukum
secara serius, sehingga kelihatan dominasi beliau dalam
menetapkan keputusan baru melalui ijtihad. Ketiga, adanya

97Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi

Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung; Mizan, 1989), 33-35.

64
independensi yang diberikan oleh penguasa kepada para
ahli hukum Islam untuk mengembangkan pemikiran
mereka. Keempat, adanya prinsip fleksibilitas (harakah)
yang terkandung dalam hukum Islam itu sendiri, sehingga
sesuai dengan segala masa dan keadaan tanpa terikat oleh
ruang dan waktu.

C. Falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi


Kitabullah

Pergumulan antara aturan yang termuat dalam


syarak dan aturan yang termuat dalam adat pada
perkembangan selanjutnya melahirkan aturan perundang-
undangan bagi masyarakat Melayu Jambi yang dikodifikasi
melalui keputusan Ahmad Kamil, raja kerajaan Islam
Melayu Jambi ketika itu. Syarak, sebagai produk hukum
yang datang pasca pembentukan aturan adat, dituntut
mampu beradaptasi dengan kondisi sosialnya. Meski
regulasi hukum yang ditawarkan oleh syarak tidak selalu
‗dianggap‘ sebagai aturan yang kompatibel bagi masyarakat
Muslim Melayu, tetapi justeru perlu dipelajari dan/atau
diseleksi untuk kemudian diakrabkan dengan adat mereka.
Upaya adaptasi inilah pada akhirnya melahirkan
falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖,
yang sangat populer di kalangan masyarakat etnik Melayu
di Nusantara bahkan Asia, begitu populernya memunculkan
klaim dari daerah-daerah yang dihuni oleh mayoritas etnik
Melayu di dalam maupun di luar wilayah Nusantara,
seperti; Aceh, Sumatera Barat (Minangkabau), Sumatera
Selatan, Lampung, Riau maupun mancanegara, seperti;
Malaysia, Brunai Darussalam, dan Singapura. Falsafah ini
berlaku pada seluruh wilayah kerajaan Melayu atau mereka
yang mengklaim sebagai bagian dari etnik Melayu, meski
klaim tersebut lebih dikenal lahir dalam tradisi
Minangkabau. Perebutan ini tentunya membuka ruang
analisis bahkan kritik bagi setiap kelompok yang
memperebutkan eksistensi keber-Islaman adat mereka.
Inilah yang oleh Ibn Khaldun (779 H.) dalam
Muqaddimah-nya, dikatakan:

65
―Sering terjadi kesalahan dalam catatan sejarah
disebabkan sejarahwan hanya menukil tanpa memeriksa
benar-salahnya. Mereka tidak mengevaluasinya dengan
prinsip-prinsip yang berlaku pada situasi historis, dan
tidak pula membandingkannya dengan materi-materi yang
serupa. Misalnya, ketika menyatakan bahwa Nabi Musa
telah menghitung tentara Israel di padang pasir Tiih
berjumlah enam ratus ribu orang lebih, kebanyakan para
sejarahwan lupa menghitung apakah luas Mesir dan Syria
cukup memuat tentara sebanyak itu?‖98

Kerancuan ini juga terjadi pada masyarakat Melayu


ketika mereka saling klaim mengenai eksistensi falsafah
adat ini. Implikasinya terjadi kesimpangsiuran sejarah yang
menjadi acuan penerapan hukun masyarakat saat ini, untuk
menengahinya menurut penulis perlu dicermati melalui dua
sudut pandang, yaitu; perlunya mengkaji ulang dan
menduduk-benarkan klaim masyarakat Minangkabau atas
falsafah tersebut, mengingat sistem kekerabatan dan
kewarisan Minangkabau bercorak matrilineal dan jika benar
berasal dari Minangkabau, maka pembenaran itu hanya
mengafirmasi kemunculannya secara kultural, bukan secara
konstitusional, sebab rekonsiliasi antara agama dan adat di
Minangkabau terjadi pasca perang Paderi, tepatnya tahun
1830 di Bukit Marapalam.
Kekaburan sejarah tersebut dapat dilihat dari
beberapa aspek; Pertama, sejarahwan menulis raja
Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain
(Alexander de Grote) yang mempunyai tiga putra, yaitu;
Maharaja Alif, Maharaja Dipang dan Maharaja Diraja,
ketiganya terdampar di Puncak Gunung Merapi pada
pertengahan Pulau Sumatera. Maharaja Diraja menetap di
Minangkabau, Maharaja Dipang migran ke Cina dan
Maharaja Alif migran ke Anatolia (Turki), semuanya
menjadi raja di wilayah masing-masing. Kedua, sistem
kekerabatan dan kewarisan yang mereka anut bercorak
matrilineal, ada yang menghubungkan sistem ini

98‗Abd ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami,

Muqaddimah, terj. Ahmadie, cet-10, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 13.

66
terpengaruh dengan pemikiran filosof Cina Meng Tze
(Mencius), yang hidup sezaman dengan Alexander de Grote,
mengembangkan prinsip ―persamaan‖ manusia di bawah
unsur alam yang dinaungi satu langit.99 Meski demikian,
kedua riwayat tersebut menurut A.A Nafis tidak dapat
ditelusuri secara jelas kapan dan siapa yang menggagas
tradisi ini.100
Kekaburan tersebut menurut penulis menyentuh
pada klaim terhadap falsafah adat,101 dimana Minangkabau
sejak awal mengklaim falsafah ini lahir dari tradisi mereka
sejak terjadinya kesepakatan rekonsiliasi antara Ulama
dengan tokoh adat melalui Traktat Bukit Marapalan 1830
M. Kesepakatan ini setelah terjadinya konplik yang pada
akhirnya terjadi Perang Paderi, yang oleh Belanda
diasumsikan sebagai ―Perang Hitam Putih‖ perang antara
kaum adat dengan kaum agama.102 Taufik Abdullah juga

99M. Rasyid Manggis, Minangkabau; Sejarah Ringkas dan Adatnya,

(Padang: Sri Dharma, 1971), 144


100Kekerabatan Matrilineal di Minangkabau adalah garis
keturunan yang disandarkan kepada perempuan (ibu lurus ke atas, anak
perempuan lurus ke bawah). Elaborasi lengkap lihat A.A. Nafis, Alam
Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:
Grafiti Press, 1984), 129-130.
101Beberapa tulisan yang memaparkan tentang falsafah ―Adat

bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖, tidak menjelaskan secara


detail waktu dan historis proses peralihan dan integrasi syarak dan adat,
di antaranya: Pertama, Hamka, berjudul ―Islam dan Adat Minangkabau‖,
(Jakarta: Pani Mas, 1984). Kedua, Taufik Abdullah, berjudul ―Sejarah dan
Masyarakat; Lintasan Historis Islam di Indonesia‖. Sejarah dan
Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987); Taufik Abdullah, ―Adat and Islam: An Examination of
Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesa, Volume 2 Oktober 1966.
Ketiga, Yaswirman, berjudul ―Hukum Keluarga: Karakteristik dan
Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilinial
Minangkabau‖, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011). Dan Keempat
Ramayulis, berjudul ―Traktat Marapalam ―adat basandi syara‘, Syara‘
basandi Kitabullah‖, yang mengungkap terjadinya konsensus penyatuan
syarak dan adat di Minangkabau terjadi pada tahun 1830 bertempat di
Bukit Marapalam setelah terjadi perang Paderi antara Kaum Ulama
Puritan dengan Kaum Adat.‖ (2015).
102Ratno Lukito melalui disertasinya menyebutkan rekonsiliasi ini

berangkat dari konflik terbuka antara kelompok Kaum Tua (Old


Generation) yang mewakili kepentingan adat dengan Kaum Muda (Young

67
sepakat bahwa dalam masyarakat Minangkabau terdapat
kesinambungan konflik antara kaum adat dan kaum
agama.Kesinambungan sejarah itu melahirkan berbagai
gerakan sosio-religius yang dimulai dengan gerakan
Wahabi. Gerakan ini merupakan usaha radikal untuk
meniadakan kesenjangan antara keharusan agama dengan
realitas hubungan dan kehidupan sosial.103 Namun gerakan
itu secara substansial tidak berhasil mengubah struktur
sosial, kultural, dan politik di Minangkabau. Perang Paderi
berimplikasi semakin menguat dan besarnya pengaruh
agama dalam sistem kemasyarakatan Minangkabau.
Pandangan ini dibantah oleh Hamka, menurutnya Perang
Paderi merupakan bentuk perlawanan ulama kepada
Belanda.104
Sebelumnya aturan adat mereka bersumber pada
―jumhur‖ yaitu penilaian berdasarkan baik dan buruk,
kemudian ―adat bersendi ke alur dengan patut, alur bersendi
ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran.‖ Sumber adat
ini juga berlaku pada wilayah yang didominasi etnik
Melayu, termasuk Jambi dan bahkan dalam beberapa
literatur dan informasi dari informan juga mengklaim
bahwa falsafah adat tersebut berasal dari Jambi.
Meskipun di Jambi dalam merespons falsafah ini ada
dua versi yang berkembang. Pertama, menurut Dr. Kemas
Arsyad Somad dalam bukunya ―Mengenal Adat Jambi dalam
Perspektif Modern‖ falsafah ini jika dilihat dari budaya
merupakan percampuran antara budaya Jambi dan
Minangkabau, sebagaimana seloka ―Adat dari
Minangkabau, Teliti dari Jambi‖ yaitu adat dari
Minangkabau, tetapi hukum dan undang-undang dari Jambi
yang cenderung bercorak paternalisitik.105 Kedua, menurut
Fahmi SY, M.Si dalam bukunya ―Silang Budaya Islam-

Generation) yang mewakili kepentingan kaum agama melahirkan Perang


Paderi. Lihat Lukito, Islamic Law..., 45.
103Taufik Abdullah, ―Adat and Islam: An Examination of Conflict in

Minangkabau‖, Jurnal Indonesa, Volume 2 Oktober 1966, 1.


104Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Panjimas,

1984), 173.
105Kemas Arsyad, Adat dan Budaya Jambi: Menelisik Akar Sejarah

JAmbi, (Jambi: Diknas Prov. Jambi, 1995), 20.

68
Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi‖. Falsafah
adat ini lahir ketika terjadi transisi kebudayaan lama
Melayu Tua, Melayu Muda, hingga masa kerajaan Islam
Melayu Jambi yang jika bercermin pada pendapat yang
mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya berada di Jambi hari
ini menjadi identitas Sumatera Selatan meski bukti pusat
peradabannya ada di Jambi, maka besar kemungkinan
justru Minangkabau yang mengadopsi falsafah tersebut.
Terlebih hingga saat ini masyarakat Melayu Jambi
―mayoritas muslim dan budayanya‖ bercorak
paternalistik.106
Berbeda dengan Muchtar Agus Cholif,107 falsafah
adat ini telah dipraktikkan di Jambi sejak abad ke-15 jauh
sebelum terjadinya Traktat, meminjam istilah Ramayulis, di
Bukit Marapalam Tanah Datar pada paruh abad ke-19,
tepatnya pada tahun 1830 M.108 Traktat Marapalan
merupakan penegasan bagi masyarakat Minangkabau
untuk kembali kepada khittah menjadikan adat dan syarak
berjalan seiring dan harmoni. Hal senada juga disampaikan
Junaidi T Noer, berpijak pada studi sejarah Islam lahir di
Jambi lebih awal daripada Minangkabau, begitupula dengan

106Fahmi SY, Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat

Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014), 41.


107Wawancara, Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 20

September 2015.
108Ramayulis menyebutkan lahirnya falsafah Adat bersendi syarak,

Syarak bersendi Kitabullah merupakan bagian dari konsensus Traktat di


Bukit Marapalam-Tanah Datar yang memuat perjanjian damai antara
pemuka adat dengan pemuka agama (ulama Paderi) setelah terjadinya
konplik. Meskipun penggunaan istilah kurang tepat karena traktat
merupakan bagian perjanjian atau kesepakatan antar negara, sebelum
merdeka boleh disebut kerajaan. Traktat (treaties) sebagai segala bentuk
perjanjian internasional, namun secara khusus merujuk kepada
perjanjian internasional yang sangat formal dan penting. Biasanya
Traktat (treaties) digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat
multilateral, namun ada yang menggunakannya dalam tingkatan
bilateral sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman.
Lihat Ramayulis ―Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘-Syara‘
Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan
Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau –
Sumatera Barat), diakses tanggal 21 Januari 2017.

69
penerapan falsafah adat tersebut sejak awal abad ke-15
M.109
Terlepas dari itu, yang jelas dalam perspektif
sejarahwan Jambi pada awal abad ke-15 Ahmad Kamil
(1500-1515 M.), sebagai raja kerajaan Islam Melayu Jambi
mendeklarasikan kerajaan Melayu Jambi bertransformasi
menjadi kerajaan Islam Melayu Jambi dan Islam sebagai
agama kerajaan. Selanjutnya Ia menghendaki agar seluruh
wilayah dalam kekuasaannya menjadikan Islam sebagai
agama sekaligus mempraktikkan ajarannya, digagaslah
Rapat Besar Adat (RBA) dengan mengundang raja, tokoh
agama dan tokoh adat, yang berada di sekitar kerajaan
Islam Melayu Jambi, dengan tujuan mengupayakan
integrasi antara agama dan adat. Rapat berlangsung pada
tanggal 1 Muharram tahun 920 H/1502 M bertempat di
Bukit Siguntang Damasraya, perbatasan antara wilayah
Jambi-Sumatera Barat.110 Rapat ini melahirkan konvensi
yang dituangkan dalam falsafah ―Adat bersendi syarak,
syarak bersendi Kitabullah‖.111

109Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.


110Rapat ini mengundang raja dari kerajaan tetangga, antara lain;
Demang Selebar Daun Raja Palembang, Pat Petulay Raja Rejang Lebong,
Raja Inderapura Teluk Air Manis Muko-Muko, Raja Bakilat Alam Rajo
Minangkabau di Pagaruyung, dan seluruh kepala adat dalam wilayah
Tanah Pilih. Karena kesulitan transfortasi, yang hadir hanya Raja
Bakilat Alam Rajo Minangkabau dari Pagaruyung beserta para penghulu
dan kepala negeri. Setelah terjadi perundingan antara raja, kepala adat
dan tokoh agama yang dihadiri rakyat dari berbagai negeri, Ahmad Kamil
menyampaikan beberapa persoalan penting, yaitu; bahwa kerajaan
Melayu Jambi adalah kerajaan Islam, adat dipadu dengan syarak, Pucuk
undang adalah dasar negara, hukum dasar adalah Adat nan Empat,
hukum Adat Sembilan Pucuk, Islam merupakan agama kerajaan, Melayu
adalah Islam dan Islam adalah Melayu, dan bahasa resmi kerajaan
adalah bahasa Melayu Jambi. Lihat Muchtar Agus Kholif, Kodifikasi
Hukum Adat Jambi, (Jambi: Lembaga Adat Melayu (LAM), 2010), 140-
141.
111Deklarasi (Declaration) adalah suatu perjanjian yang berisi

ketentuanketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut


berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dimasa
yang akan datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta
menyampingkan ketentuan-ketentuan yang bersifat formal seperti
diperlukannya ―Surat Kuasa‖, atau persyaratan kualifikasi. Lihat

70
Pada masa kerajaan Melayu falsafah adat Jambi
merujuk ke jumhur, yaitu penilaian umum tentang baik dan
buruk, yang sangat bergantung pada naluri kemanusiaan
(fitrah). Dalam konsep teologis Islam penilaian semacam ini
dikenal dengan terminlogi al-Husn (baik) dan al-Qabih
(buruk). Menurut kalangan al-Asy‘ariyah keduanya hanya
dapat diketahui melalui wahyu, kalaupun akal manusia
dapat membedakan perbuatan al-Husn dan al-Qabih serta
itu dijadikan landasan dalam melakukan perbuatan maka
perbuatan tersebut tidak dapat dinilai sebagai suatu pahala
atau dosa. Berbeda kelompok Mu‘tazilah yang
berpandangan manusia dengan akalnya dapat menentukan
sekaligus membedakan al-Husn dan al-Qabih baik dan yang
buruk.112
Pada perkembangan selanjutnya falsafah adat
tersebut beralih ke ―adat bersendi ke alur dengan patut, alur
bersendi ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran‖.
Setelah Islam datang dan ajarannya terintegrasi dengan

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta,


Bina Cipta, 1990), 79 & 84.
112Konsep baik (al-Husnu) dalam perspektif ulama Usul Fiqh

sebagaimana dirangkum oleh Nasrun Haroen mengandung empat makna,


yaitu: pertama, seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia
seperti rasa manis dan menolong orang lain; kedua, sifat yang sempurna
seperti pengetahuan dan kemuliaan; ketiga, sesuatu yang boleh
dikerjakan manusia dan dikenali kebalikannya serta sanggup dikerjakan;
keempat, sesuatu yang jika dikerjakan pelakunya mendapat pujian di
dunia dan ganjaran pahala di akhirat. Sedangkan buruk (al-Qabih)
mengandung makna sebaliknya yaitu; sesuatu yang tidak disenangi
tabiat manusia; sifat negatif yang merupakan kekurangan seseorang
seperti bodoh dan kikir; sesuatu yang tidak boleh dikerjakan manusia dan
tidak dapat dicapai oleh akal; atau sesuatu yang jika dikerjakkan maka
pelakunya mendapat cercaan di dunia dan ganjaran dosa di akhirat.
Menurut ulama al-Asy‘ariyah pengertian baik dan buruk pada point
ketiga dan keempat bersifat syar‘i dan harus ditentukan oleh syarak
karena keduanya hanya dapat diketahui oleh syarak. Baik dan buruk
tidak terdapat pada zat namun bersifat nisbi (relatif). Berbeda dengan
ulama Muktazilah yang meyakini baik dan buruk dapat dijangkau oleh
akal secara keseluruhan tanpa melalui informasi syarak. Baik dan buruk
satu sisi terdapat pada zat dan di sisi lain terletak pada manfaat dan
mudarat, serta baik dan buruk. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,
(Jakarta: Logos, 1996), 288-289.

71
adat lokal falsafah adat masyarakat Melayu Jambi beralih
lagi ke Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.
Pada saat bersamaan sebagian besar wilayah
kekuasaan kerajaan Islam Melayu telah mempraktikkan
aturan hukum dan pemerintahan adat, utamanya wilayah
Timur, merealisasikan hasil konvensi tersebut serta
menjabarkannya melalui institusi kerapatan adat, di
dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin sebagai
representasi dari kepentingan raja alam (penguasa), raja
ibadat (agama) dan raja adat (pemangku adat), yang telah
ada sebelumnya diperkuat. Untuk itu, Ia mengeluarkan
kebijakan sebagai upaya mengawal eksistensi syarak
dengan mengganti kedudukan raja ibadat dengan pegawai
syarak.113 Pegawai syarak mendapat kompensasi (gaji) dari
pihak kerajaan atas pekerjaannya setiap bulan. Sejak saat
itu, adat dan syarak terintegrasi secara mapan dan tidak
dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi sehingga
terjadi keseimbangan.
Atas dasar itu, Ahmad Kamil merupakan tokoh
sentral yang berjasa mengkolaborasikan aturan hukum
kerajaan yang bernuansa Islami dengan aturan hukum adat
yang bernuansa Budha dan Hindu, meski menyatukan
kedua sistem hukum tersebut bukan pekerjaan mudah.
Terlebih harus merespons situasi dan kondisi serta
keinginan rakyat ketika itu. Upaya ini bertujuan memuat

113Kebijakan-kebijakan Ahmad Kamil menghidupkan tradisi Islam,

yaitu:1. Memerintahkan dan menghadiahkan siapa saja yang mampu


menulis dan memperbanyak al-Qur‘an, mempelajari al-Qur‘an dan
menkhatamkannya; 2. Merayakan tahun baru Hijriyah 1 Muharram , 10
Muharram, Awal bulan Ramadhan, Nuzul al-Qur‘an, menghidupkan
malam bulan Ramadhan dengan Tarawih dan Tadarusan Malam Lailah
al-Qadr, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Isra‘ Mi‘raj, Nispu
Sya‘ban, Idul Fitri, Idul Adha (Qurban); 3. Setiap anak lelaki yang telah
cukup usianya wajib dikhitan; 4. Setiap lelaki dewasa tanpa ‗uzur wajib
shalat Jum‘at dan puasa di bulan Ramadhan ; 5. Calon pengantin harus
bisa baca al-Qur‘an dan mengerti tentang tata cara shalat; 6. Syukuran
dan membayar zakat setelah memanen hasil pertanian dan perkebunan;
7. Setiap kampung harus ada mesjid; 8. Pegawai Syarak harus ada pada
setiap kampung yang digaji oleh kerajaan; 9. Setiap dusun harus ada
gelanggang (arena) untuk belajar beladiri; dan setiap dusun harus ada
pandai besi. Lihat Muchtar Agus Kholif, Kodifikasi Hukum ..., 163-164.

72
aturan tentang tata cara bertutur, bertindak, berinteraksi,
dan memutuskan perkara sosial keagamaan yang berlaku
bagi seluruh rakyat, endingnya mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur, sejahtera dan agamis.
Alhasil, tradisi syarak merupakan tradisi hukum
yang inheren dengan realitas dan nilai kebudayaan
setempat, selanjutnya penyandaran adat kepada syarak
memberikan pengaruh signifikan terhadap integritas
masyarakat Melayu. Meski implikasinya daerah yang
berbasis budaya Melayu justru saling-memperebutkan
eksistensinya sebagai yang lebih awal menjadi wilayah
Melayu Islam dan keber-Islaman adatnya. Masyarakat
Melayu Minangkabau misalkan mengklaim adatnya
bersendi syarak dan syaraknya bersendi al-Qur‘an,
sementara masyarakat Melayu Jambi dan Riau-pun
demikian, perebutan ini mengindikasikan klaim keber-
Islaman adat mereka. Masyarakat Melayu Jambi
mengklaim Ahmad Kamil-lah yang menjadi penggagas
pertama rekonsiliasi antara syarak dengan adat. Selain itu,
keberterimaan terhadap adat sebagai sebuah ruang
memperkenalkan prinsip fleksibilitas (murunah) syarak
sebagai bagian dari devine law yang mampu menjawab
berbagai situasi dan perkembangan zaman.114
Dengan demikian, tak dapat dipungkiri, Jambi
sebagai wilayah yang dihuni masyoritas masyarakat etnik
Melayu menjadi bagian penting dan integral dari sejarah
Islam Nusantara. Hal ini dapat ditelisik melalui beberapa
aspek, pertama, dari aspek kultural nenek moyang bangsa
Indonesia adalah Etnik Melayu dan bahasa nasional
diadopsi dari bahasa Melayu, sedangkan Jambi merupakan
pusat peradaban Melayu. Kedua, di antara jalur
perdagangan internasional terpenting dan pusat penyebaran
Islam di Sumatera pada abad ke-7 adalah Zabag, yang
secara geografis berada di Kabupaten Muara Sabak Provinsi
Jambi. Ketiga, Jambi merupakan kerajaan yang sejak awal
memproklamirkan sebagai kerajaan Islam serta
memadukan adat dan syarak menjadi undang negara, yang

114Lukito, Pergumulan ..., 17-18.

73
diberlakukan terhadap seluruh rakyat. Pada bab
selanjutnya, penulis memaparkan kontekstualisasi adat dan
syarak dalam praktik keberagamaan masyarakat Melayu
Jambi.

D. Kelembagaan Adat Melayu Jambi


Kajian sejarah kelembagaan adat Melayu Jambi
dipandang signifi- kan dalam upaya mendudukkan-
benarkan akar sejarah Melayu Jambi dan kelembagaan
adatnya. Mengingat masih terjadi kekaburan di kalangan
peneliti dalam mempersepsikan etnis Melayu Jambi sebagai
salah satu suku tertua di Nusantara dan merupakan cikal
bakal berdirinya kerajaan Melayu. Selain itu, Jambi hingga
saat ini masih menjadikan Kelembagaan Adat sebagai
institusi pilihan masyarakat Melayu Jambi untuk
menyelesaikan kasus sosial keagamaan.
Kelembagaan adat mengandung makna yang luas,
baik menyangkut institusi adat maupun nilai nilai, asas
atau prinsip maupun norma norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Sebagai contoh nilai nilai
ketuhanan, kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan
sebagainya terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip
musyawarah mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya,
semuanya terdapat dalam kelembagaan adat. Norma norma
yang disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak
lingkungan hidup, dan sebagainya, telah disepakati sejak
dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku. Namun
dalam konteks Jambi adalah nama lembaga yang diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang
dihadapi masyarakat Melayu Jambi yang mencakup aturan
formil dan materil. Aktor yang bekerja di dalamnya
representasi dari penguasa/pemerintah, pegawai syarak dan
pemangku adat.
Tak dapat dipungkiri, lahirnya kelembagaan adat ini
bersamaan dengan berdirinya kerajaan Melayu Jambi, jauh
sebelum kedatangan Islam ke Jambi. Bahkan hingga saat
ini masih eksis dan masih menjadi pilihan yang diminati
oleh kebanyakan masyarakat Melayu Jambi dalam

74
menyelesaikan kasus sosial keagamaan. Pilihan ini berjalin
erat dengan kepercayaan masyarakat dan tradisi yang me-
lingkupinya, sekaligus merepresentasikan kepentingan yang
ada di dalamnya yaitu; penguasa, agama dan adat. Pada
awalnya institusi ini dikenal dengan nama Kerapatan Adat,
yang praktiknya hampir sama dengan tradisi Minangkabau,
bahkan ada yang mempersepsi- kan tradisi ini merupakan
adopsi tradisi Minangkabau atau bias Minangkabau. Meski,
sebenarnya sulit memisahkan antara budaya Jambi dan
Minangkabau, mengingat keduanya abad ke-12 sampai
dengan abad ke-14 menjadi bagian integral dari kerajaan
Pagaruyung, meski pada abad akhir abad ke-14
memisahkan diri setelah terjadi pertempuran di Padang si
Busuk.115
Kelembagaan adat menjadikan semua elemen
penting dan tak terpisahkan dalam pengambilan keputusan,
sehingga hasilnya di- anggap adil dan dipatuhi stakeholders.
Praktik semacam ini merupakan konsekuensi dari sistem
pemerintahan Perpatih (demokrasi), yang memberdayakan
semua komponen untuk terlibat dalam penetapan maupun
putusan melalui Kerapatan Adat. Sistem pemerintahan
yang berlangsung sejak masa kerajaan Melayu, kerajaan
Islam Melayu, dan kesultanan Jambi, dan berlanjut masa

115Pusat kerajaan Melayu Jambi pada awalnya berada di Candi


Muaro Jambi di bawah kepemimpinan Raja Srinamat Trailokia Raja
Tiribuana Bhusana Mawarmadewa (1178-1210 M.) namun setelah
diserang kerajaan Singosari, implikasinya pusat kerajaan beralih ke
Damasraya dan berganti nama men- jadi kerajaan Melayu Swarnabumi.
Beberapa tahun kemudian kerajaan Ma- japahit berhasil menaklukkan
kerajaan Singosari, dan pusat kerajaan Melayu Swarnabumi dialihkan ke
Pagaruyung. Pada tahun 1347 M, Adityawarman yang ketika itu berada
di Melayu, daerah asal ibundanya, menggantikan Raja Mauliwarmadewa
dan dinobatkan menjadi Maharaja Diraja untuk kerajaan Melayu Jambi
seluruh Sumatera. Setelah mangkat tahun 1376 M. digantikan putranya
Maharaja Mauli (Ananggawarman), dan saat itu kerajaan Pagar- uyung
berusaha melepaskan diri dari kerajaan Majapahit. Perjuangan ber- hasil
dan kerajaan Pagaruyung pecah menjadi dua; Luhak Nan Bepenghulu ke
Minangkaba dan Alam nan Berajo ke kerajaan Melayu Jambi. Lihat Sri
Purnama Syam, Seni dan Budaya Melayu Jambi, makalah disampaikan
pada seminar ―Menggali Warisan Negeri Melayu Jambi‖, tanggal 10 Mei
2014, 5.

75
kolonial Belanda. Berkebalikan dengan sistem Tumenggung
(otokrasi) yang menjadikan penguasa sebagai ujung tombak
pembuat putusan.
Pada masa kolonial Belanda melalui pasal 131 ayat 8
Indische Staatsregeling (IS) dikukuhkan oleh Belanda
sistem pemerintahan adat yang mengatur pemerintahan
sampai kepada desa. Dipertegas dengan Indische Gemonte
Ordonentic Buitengewesten (IGOB) yang diterbitkan pada
tanggal 3 September 1938 (Stbl. No. 490) yang diberi nama
Peraturan Negeri Otonom di luar Jawa dan Madura. 116
Pasal 1 menegasi susunan dan hak-hak negeri dan susunan
badan pengurus negeri dan susunan dari alat negeri lainnya
terkecuali sebagaimana tersebut dalam pasal 8 akan diatur
menurut hukum adat (Adatrecht). Juga dijelaskan negeri
adalah suatu Indische Rechtspersoen yang diwakili oleh
kepala negeri, yang mempunyai Rechtsgebied (daerah
hukum) sendiri. Setelah masa kolonisasi Belanda be- rakhir,
tahun 1942 pemerintahan beralih ke tangan Jepang. Ketika
itu, sistem pemerintahan adat tidak mengalami perubahan.
Hanya saja beberapa nama diubah dan disesuaikan dengan
bahasa mereka. Seperti, istilah keresidenan ditukar menjadi
Syu, sedangkan residen disebut Syucukon.
Implementasi dari ketentuan ini, seluruh setiap desa
dibentuk marga yang dipimpin oleh Pasirah, di Kerinci
dibentuk mendapo dip- impin oleh Kepala Mendapo, dan di
Kota Jambi dibentuk kampung dipimpin oleh Kepala
Kampung. Kesemuanya menaungi beberapa dusun dan desa
serta merangkap sebagai kepala adat. Pada masa
kemerdekaan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1948 terbentuklah DPRD dan DP pada setiap marga,
mendapo, dan kampung.
Sayangnya, lembaga ini tidak bisa bertahan lama
karena adanya agresi Belanda I dan II, dan tahun 1965
Indische Gemonte Or- donentic (IGO) dan Indische Gemonte
Ordonentic Buitengewesten (IGOB) dicabut dan diganti
dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1965 tentang

116 A. Wahab Madjid, Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintah

di Jambi, (Jambi, Lembaga Adat Melayu Jambi, 1999), 3-4.

76
Desapraja sebagai bentuk peralihan akselerasi terwu-
judnya daerah Tingkat II di seluruh wilayah Republik
Indonesia.
Materinya sarat nuansa politik kolonial dan belum
mampu memberi otonomi penuh kepada desa serta tidak
sejalan dengan spirit adat, pada akhirnya memunculkan
gejolak dari rakyat.117 Ditambah munculnya dualisme
pemerintahan pada level Desa dan Kecamatan karena
undang-undang ini menegasi struktur hierarki
pemerintahan mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan dan desa. Oleh karenanya, sistem pemerintahan
marga hilang dan diambil alih oleh negara berdasarkan
peraturan pemerintahan, akhirnya pemberlakuan undang-
undang tersebut dibatalkan. Selanjutnya, pada tahun 1975
kelembagan adat disahkan menjadi institusi formal dengan
nama Lembaga Adat Provinsi Jambi, beberapa tahun
setelah itu pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor
5 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa,
yang menekankan pada pengaturan pemerintahan secara
administratif. Namun, persoalan keamanan, keadaan desa
dan adat istiadat belum diakomodir, sehingga masih
memunculkan gejolak dari masyarakat adat. Kemuncu- lan
Undang-undang ini justru menjadi pemicu
ketidakseimbangan atau terganggunya tatanan
pemerintahan adat pada level pemerintahan terkecil di
beberapa daerah di Indonesia. Jambi sebagai daerah yang
terkena imbasnya dengan kehilangan model pemerintahan
adatnya dan memudarnya nilai-nilai kearifan lokal yang
bercorak Melayu Islam.118
Untuk mengantisipasi gejolak pada tingkat grassroot,
diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11
tahun 1984 ten- tang Pembinaan dan Pengembangan Adat
Istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan. Peraturan ini
menyatakan bahwa adat istiadat adalah kebiasaan yang
hidup serta dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-
hari dalam masyarakat sesuai pancasila. Pada pasal 5

117 Asnawi AB, MM., Kedudukan Adat Dalam Rangka Menunjang

Penyelengga- raan Pemerintahan Desa, (Jambi, Pemprov Jambi, 2010), 2.


118 Irma Sagala, Peluang dan Tantangan ..., 1-2.

77
dinyatakan bahwa Camat dan Kepala Desa/Lurah beserta
perangkatnya wajib melakukan pembinaan dan
pengembangan terhadap adat istiadat yang hidup di
kalangan masyarakatnya.
Problema-problema terkait kepentingan masyarakat
adat Melayu Jambi belum terwadahi secara kelembagaan
legal-formal, Lembaga Adat belum dikenal, mengingat
struktur pemerintahan Desa mencakupi tugas kelembagaan
adat. Kelembagaan Adat secara institusional baru eksis
setelah sistem hukum adat digantikan dengan
pemerintahan Desa. Adanya kekhawatirkan memudar
bahkan hilangnya budaya (adat) Melayu Jambi dibentuklah
Lembaga Adat berdasarkan Peraturan Daerah (Perda)
Tingkat I Provinsi Jambi No. 11 Tahun 1991 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat Istia- dat Kebiasaan
Masyarakat dan Lembaga Adat di Desa/Kelurahan dalam
Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. Mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1984 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat
Desa/Kelurahan.
Berikutnya, lahir Undang-undang No. 22 tahun 1999
dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dimana desa atau kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan nasional berkedudukan di kabupaten/kota.
Substansi aturan tersebut melegalisasi sistem pemerintahan
(kepemimpinan) yang berlaku dalam tradisi masyarakat
adat, tak luput dari itu masyarakat Melayu Jambi, sehingga
kepemimpinan adat diaktifkan sesuai seloka ―berjenjang
naik bertanggo turun bak tali berjalin berpintal tigo, bak tigo
tungku sejerangan‖. Lebih jauh, mereka diberi ruang
memformulasi aturan untuk disesuaikan dengan kebutuhan
lokal (local wisdom). Artinya kelembagaan adat yang di
dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin (trilogi kuasa)
yang diakui oleh negara dan memiliki payung hukum yang

78
kuat.119 Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa (Kades),
Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Perwakilan Desa
(LPM), sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat
memiliki kewenangan dalam mengelola pemerintahan di
desanya. Begitupula pegawai syarak terdiri dari; alim
ulama, imam, khatib dan bilal, memiliki kewenangan dalam
mengelola segala persoalan keagamaan. Sedangkan
pemangku adat terdiri dari; cerdik pandai, tuo tengganai
dan nenek mamak), memiliki kewenangan dalam mengelola
persoalan adat. Kesemuanya menyatu dalam musyawarah
dan mufakat melalui kerapatan adat.
Selanjutnya, Lembaga Adat Provinsi Jambi berubah
nama men- jadi Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi setelah
terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007
tentang Lembaga Adat Melayu Jambi. Perda ini merupakan
revisi dari Perda Nomor 11 Tahun 1992 tentang Pembinaan
dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan. Pemerintahan
di lingkungan provinsi Jambi memfasilitasi kelem- bagaan
adat dalam upaya mengakomodir dan menyelesaikan berba-
gai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di kalangan
masyarakat Melayu-Muslim Jambi. Hal ini dibuktikan
dengan diterbitkannya peraturan daerah (perda) tentang
legalitas lembaga adat dan aturan yang melekat di
dalamnya, sebagaimana tertuang dalam Perda No. 4 tahun
2014 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Sepucuk Jambi
Sembilan Lurah.

119 Dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi forum ini dikenal


dengan sebutan tigo tali sepilin, sedangkan dalam tradisi masyarakat
Melayu Minangkabau dikenal dengan tali tigo sepilin, ketiganya pada
awalnya merupakan refre- sentasi dari; Raja Alam, Raja Adat dan Raja
Ibadat. Pertama, Raja Alam adalah penguasa kerajaan ketika itu. Kedua,
Raja Adat, orang yang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat
mengerti tentang norma adat. Ke- tiga, Raja Ibadat, adalah orang sangat
memahami persoalan keagamaan. Di Minangkabau pada awalnya posisi
Raja Ibadat dijabat oleh ―pandito (pen- deta)‖, yang kemudian diganti
dengan alim ulama. Sedangkan di Jambi oleh Ahmad Kamil diganti
dengan istilah Pegawai Syarak, yang terdiri dari imam, khatib dan bilal.
Pegawai syarak dibebani tanggung jawab oleh kerajaan me- melihara
eksistensi dan keberlangsungan syarak. Sejak saat itulah muncul istilah
pegawai syarak sesuai falsafah adat. Lihat Asnawi AB, MM., Kedudu- kan
..., 10.

79
Perda ini merupakan revisi dari Perda No. 11 Tahun
1992 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat,
Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di
Desa/Kelurahan dalam Provinsi Daerah Tingkat I Jambi.120
Perubahan nama lembaga adat berkonsekuensi pada
perubahan nomenklatur, jika nama Lembaga Adat Provinsi
Jambi bersifat netral menaungi seluruh masyarakat yang
berdomisili di Jambi tanpa membedakan rasial, etnik dan
agama yang mengemuka berdasarkan administrasi wilayah,
namun pada nama Lembaga Adat Melayu Jambi lebih
spesifik menaungi masyarakat Melayu Jambi. Dalam Pasal
1 Perda Nomor 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa ―Lembaga
Adat Melayu Jambi merupakan sebuah lembaga yang
berperan penting dalam membina dan menjaga kelestarian
adat istiadat Melayu Jambi.‖
Lembaga ini memiliki kewenangan mengurusi segala
persoalan terkait hukum adat dan tata cara
penyelesaiannya, yang mempunyai turunan hingga
desa/kampung. Keberadaan lembaga ini mengindikasikan
menguatnya eksistensi hukum Adat atau peraturan adat
sebagai aturan non-formal yang dipraktikkan masyarakat
Jambi.

E. Realitas Sosial, Agama, Politik dan Budaya


Aspek Sosial
Secara sosiologis, masyarakat Jambi adalah kumpulan
orang atau etnik Melayu yang berdiam di wilayah Jambi
mulai dari Ujung Jabung sampai Durian Betakuk Rajo,
dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa
Melayu. Masyarakat Melayu berasal dari Ras Melayu, yang
diasumsikan nenek moyang bangsa Indonesia, terbagi dua
yaitu Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro
Melayu).

120 M. Husnul Abid, Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional,


Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi, dalam Muhammad Iqbal
Asnaf ―Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia Kontesatasi dan
Koeksistensi‖, (Yogya- karta: Center for Religious and Cross-cultural
Studies/CRCS UGM, 2015), 181-182.

80
Menurut AL. Kroeber sebagaimana dikutip Idris
Jakfar, ada 8 (delapan) ras terpenting di dunia yaitu; Ras
Caucasoid, Mongoloid, Negroid, Bushman, Veddoid,
Austroloid, Polynesian; dan Ras Ainu. Ras Mongoloid
menyebar ke Selatan benua Asia sampai ke benua Amerika
melalui Selat Bering.121 Sub-Ras Mongoloid, Malayan
Mongoloid, mendominasi penduduk Asia Tenggara lautan
dan daratan masyarakat yang berbudaya Melayu
percampuran orang Austro-Melanisoid dari Selatan dengan
Paleoo-Mongoloid dari Utara. Manusia Anstro-Melanisoid
awalnya mendiami kawasan dekat pantai dan sungai, hidup
dalam goa batu kerang atau abris sous roches, goa ini
dijumpai di Sumatera (Jambi, Medan, Langsa/Aceh),
Sulawesi, Irian, Kedah dan Pahang Malaysia. Migrasi
manusia Ras Mongoloid ke perairan Asia Tenggara
melahirkan manusia Proto Malay (Melayu Tua) dan Deutro
Malay (Melayu Muda).122

121Orang Melayu Tuo (Proto Melayu) diprediksi datang ke Jambi

sekitar 3500 SM dan orang Melayu Muda (Deutro Melayu) sekitar tahun
350 SM. Melayu Tua (Proto Malay) adalah suku yang kebudayaannya
sangat sedikit bercampur dengan kebudayaan asing dan tinggal di
dataran tinggi, sedangkan Melayu Muda (Deutro Malay) adalah suku
yang kebudayaannya telah bercampur dengan kebudayaan asing dan
tinggal di dataran rendah. Idris Jakfar, Akar Budaya Melayu Jambi,
(Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 1990), 10-15.
122Menurut G.E. Gerini kata ―Melayu‖ berasal bahasa Sanskrit

―malayakom atau malaikurram‖, yang merujuk pada Tanjung Kuantan di


Semenanjung Malaysia. Sebaliknya, Roland Bradell menganggap tempat
itu merujuk kepada Tanjung Penyabung. Istilah Malaya dvipa muncul
dalam kitab Purana, kitab Hindu purba yang ditulis sebelum zaman
Gautama Buddha sejak 500 M. Dwipa bermaksud ―tanah yang dikelilingi
air‖ dan Malaya dwipa terdapat di Pulau Sumatera yaitu Jambi. Istilah
―Mo-lo-yu‖ tercatat dalam buku pengembara Cina tahun 644-645 M.,
sezaman dengan ―Dinasti Tang‖. Mayoritas peneliti sejarah
menyimpulkan kata ―Mo-lo-yo‖ adalah kerajaan yang terletak di Jambi
Pulau Sumatera, Sriwijaya. Terma Melayu diprediksi adalah nama anak
Sungai Melayu di hulu Sungai Batang Hari, Sumatera, tempat berdirinya
―Kerajaan Melayu‖ sekitar 1500 tahun sebelum atau semasa adanya
Kerajaan Sriwijaya. Penggunaan terma ―Melayu‖ muncul sekitar tahun
100-150 Masehi dalam karya Ptolemy, Geographike Sintaxis, dikenal
dengan ―maleu-kolon‖. Melayu mengandung 4 makna yakni; sebagai
Etnis, sebagai Bahasa, sebagai Kebudayaan dan Melayu sebagai Kerajaan
Tua yang pernah ada tahun 644/645 M. Keempat makna tersebut

81
Masyarakat Jambi yang didominasi etnik Melayu
saat ini terpolarisasi menjadi dua kelompok yaitu; penduduk
asli dan penduduk pendatang, kesemuanya terangkum
dalam 7 suku atau bangsa, yaitu:123 Pertama, Suku Kubu,
atau Suku Anak Dalam (SAD), hidup dalam keadaan
terasing (terisolasi), tingkat kebudayaannya masih rendah.
Hidup dalam komunitasnya sendiri dan kurang komunikasi
dengan masyarakat lain, jika berkomunikasi dengan pihak
luar melalui perantara yaitu Jenang. Kedua, Suku Bajau,
hidup terisolasi di pinggiran laut dan menjadikan laut
sebagai sentral kehidupan. Tingkat pendidikan dan
kebudayaan masih tergolong rendah dan mendiami daerah
pantai Utara wilayah Kabupaten Tanjung Jabung, dikenal
dengan Orang Laut. Ketiga, Suku Batin, mendiami sebagian
besar wilayah kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun dan
Bangko. Keempat, Suku Kerinci, mendiami Kota Sungai
Penuh dan Kabupaten Kerinci, hidup di daerah subur dan
pegunungan, sebagian besar mata pencahariannya bertani
dan berkebun. Tradisi masyarakatnya bidang kekerabatan,
waris, dan dialek hampir sama dengan Suku Penghulu.
Kelima, Suku Penghulu, migran dari Minangkabau dan
mendiami wilayah Suku Batin, kedatangan mereka ke
Jambi berawal dari misi mencari pekerjaan (penghidupan)
dengan menambang emas di hulu Sungai Batang Hari.
Kebanyakan mereka mendiami wilayah; Pelawan, Batang
Asai, Pangkalan Jambu, Limun, Ulu Tabir, Ting Ting,
Nibung, Sungai Abang dan di beberapa wilayah lain dalam
Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Merangin.
Keenam, Suku Pindah, orang pindahan dari Sumatera
Selatan yang berbatasan dengan Jambi, seperti Rupit dan
Rawas. Faktor pendorong mereka migran ke Jambi belum
diketahui secara pasti dan mereka mendiami wilayah Pauh,

diidentifikasi tercover dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi.


Kebudayaan Melayu Jambi dan masih dapat dikontruksikan
keberadaannya di Jambi. Kebudayaan Melayu Jambi yang diwarnai oleh
3 corak kebudayaan yakni, Kebudayaan Melayu Prasejarah, Kebudayaan
Melayu Budhis dan Kebudayaan Melayu Islam. Lihat Fahruddin
Saudagar, dalam ―Sejarah Adat ..., 9.
123Ibid., 7-8.

82
Mandiangin dalam sebagian kecil wilayah Sarolangun,
Bangko dan Batanghari. Ketujuh, Suku Melayu Jambi,
mendiami sekitar sungai Batanghari yaitu; Kabupaten
Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, serta sebagian
Bungo dan Tebo, Muara Sabak (Tanjung Jabung Timur),
dan Tungkal (Tanjung Jabung Barat). Mereka diasumsikan
sebagai penduduk asli dari kerajaan Islam Melayu Jambi.124
Sedangkan Suku Pendatang merupakan migran dari
berbagai daerah di Indonesia seperti; Jawa, Sunda,
Tapanuli, Banjarmasin, Makasar, Palembang,
Minangkabau, dan daerah lainnya. Datang ke Jambi dengan
motivasi dan kepentingan berbeda serta dalam waktu yang
tidak bersamaan. Selain itu, yang termasuk penduduk
pendatang adalah orang asing migran dari; Arab, India,
Malaysia dan Cina, mendiami beberapa daerah dalam
provinsi Jambi, utamanya Kota Jambi. Diantara mereka ada
yang berasimilasi dengan penduduk setempat dikarenakan
adanya ikatan emosional dan persamaan agama dengan
penduduk asli Jambi, berbeda dengan Cina yang terkesan
eksklusif namun memegang tampuk perekonomian. Hampir
semua sektor ekonomi dipegang oleh orang Cina meski
mereka belum dapat berasimilasi secara total dengan
penduduk setempat, karena adanya perbedaaan keyakinan
dan budaya serta stratifikasi ekonomi. Orang Cina dikenal
sangat kuat memegang budaya, inilah faktor terpenting
menurut penulis sebagai penghambat terjadinya asimiliasi
dengan penduduk asli.
Dari sisi etnisitas, persentasi masyarakat Jambi
dapat dilihat melalui tabel berikut:

124Junaidi T. Noer, Mencari Jejak ..., 14-19.

83
Tabel 4.1. Komposisi Etnisitas di Jambi

Etnisitas Persentase
Melayu 37,87
Jawa 27,64
Kerinci 10,56
Minangkabau 5,47
Banjar 3,47
Sunda 2,62
Bugis 2,59
Lain-lain 9,78

Porsentase etnis Jawa cukup besar di Jambi


dikarenakan sejak masa Orde Baru beberapa tempat di
Jambi menjadi tujuan transmigrasi, mayoritas peserta
transmigrasi dari Jawa disebar ke beberapa wilayah
transmigrasi seperti; Sungai Bahar di Kabupaten
Batanghari, Rimbo Bujang di Kabupaten Tebo, dan
Purwodadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Ditambah
dengan migran karena alasan mengikuti kerabat yang
sukses, mencari pekerjaan, perkawinan dan lainnya.125
Meski demikian, semua suku ini menyatu dalam
kebinekaan di Jambi, mengingat masyarakat Jambi
terkenal inklusif dan toleran dengan pendatang serta
budaya yang mereka bawa, ditandai dengan kebebasan
masyarakat pendantang menggunakan bahasa sehari-hari,
acara seremonial, dan tidak adanya konflik SARA yang
dipicu oleh perbedaan; kultur, etnisitas dan agama. Meski,
mayoritas etnik Melayu muslim, kecuali segelintir
masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) awalnya penganut
animis, saat ini secara gradual menjadi muslim atau
Kristiani.

125Sebagaimana dikutip M. Husnul Abid dalam Leo Suryadinata,

dkk. Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing


Political Landscape, (Singapura: ISEAS, 2013), 23.

84
Aspek Agama
Dari aspek agama, sedikitnya tiga agama yang pernah
mewarnai kepercayaan masyarakat Jambi setelah ajaran
animisme, yakni; Budha, Hindu dan Islam. Pada abad
pertama Masehi datang agama Budha Hinayana dan diikuti
Budha Mahayana yang masuk ke Jambi dan berkembang
sebagai agama kerajaan dan rakyat. Perkembangan agama
Budha di kerajaan Melayu Jambi begitu pesat terbukti
ditemukannya candi-candi seperti; Candi Tinggi dan Candi
Astano di Kabupaten Muaro Jambi.126 Selanjutnya, abad ke-
3 M. agama Hindu tiba di Jambi dan semakin berkembang
ketika kerajaan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya abad
ke-7 dan ke-8 M. Inilah yang dikatakan Junaidi T. Noer
ketika menyebut Melayu Jambi adalah penanda satuan
wilayah keserumpunan dan kebudayaan Melayu,
masyarakatnya mengalami proses symbiotics relationship,
tidak hanya ajaran Islam, melainkan pengaruh Animisme,
Hindu, Budha dan bangsa-bangsa lain dalam semangat
pergaulan.127
Sejak kedatangannya, Islam dari aspek hukum dan
spirit telah memberi warna terhadap tradisi yang berlaku di
kerajaan Melayu Jambi, utamanya sejak kerajaan Islam
Melayu Jambi dipimpin oleh Ahmad Kamil. Sejak itu, adat
(hukum Adat) Jambi ada diyakini sebagai aturan hukum
kontekstual karena merupakan kesepakatan antar
penguasa, alim-ulama, dan tokoh adat Jambi. Bahkan adat
yang telah diverifikasi kedudukannya dianggap ―sejajar‖
dengan syarak, sejalan dengan falsafah adat.
Akulturasi keduanya justru memberi semangat
keagamaan masyarakat Jambi untuk mengimplementasikan
ajaran agama dan adat, karena dianggap sejalan. Pada
perkembangannya bersamaan kedatangan ulama Arab dan

126Yusuf Majid, Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau, Sekarang

dan yang Akan Datang, (Jambi: Lembaga Adat Tanah Kota Jambi, 1997),
7-8.
127Junaidi T. Noer, Sekilas tentang Sejarah dan
Peradaban/Kebudayaan Islam di Provinsi Jambi‖ Makalah, Silaturahim
Peradaban Islam Festival Maulid Nusantara 1431 di Palu-Sulawesi
Tengah, 1.

85
munculnya ulama lokal yang terus mengembangkan Islam
melalui pendidikan formal maupun non-formal. Melalui
pendidikan formal ditandai maraknya pendirian pesantren
Salafi, di antaranya; Pesantren Nurul Iman, As‘ad,
Jauharain, Nurul Islam dan Sa‘adatuddarain, yang justru
berada di satu wilayah yaitu Seberang Kota Jambi. 128
Pondok pesantren ini menjadi pelopor pengembangan Islam
dan berdirinya pondok pesantren di seluruh pelosok negeri
Jambi.129
Kitab-kitab yang menjadi referensi (maraji‘) di
pesantren ini berorientasi pada pemahaman dan
penghayatan terhadap isi al-Qur‘an dan Sunnah,
penelaahan terhadap keduanya melahirkan; Ilmu Tauhîd,
Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Badî‘, Bayân, dan lain-lain.
Adapun kurikulum pesantren di Jambi.130
Secara garis besar sistem pengajaran di pesantren
atau madrasah di Jambi dipilah menjadi dua pola; Pertama
Pola Salafi, memiliki ciri; tetap mempertahankan kitab-
kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya; sistem
sorogan; tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan
umum. Kedua Pola Khalaf, dengan ciri; adanya pelajaran

128Pemberian nama kelima Madrasah ini melalui musyawarah para

pendiri dan Ulama dari Mekkah. Guru Kemas H. Muhammad Soleh bin
Kemas H. Muhammad Yasin tinggal di Kampung Tanjung Pasir
(kampung paling Hulu), memilih nama Nurul Islam, guru Guru H.
Ibrahim bin Syekh Abdul Majid al-Jambi (Mudir Pertama Nurul Iman),
memilih nama Nurul Iman. Karena dua nama ini telah dipilih, maka guru
Guru H. Ahmad bin H. Abdus Syakur di Kampung Tahtul Yaman memilih
nama Madrasah Sa‘adatud Darain, dan Guru H. Usman bin H. Ali
memilih nama Madrasah Jauharain. Pada tahun 1926 Madrasah al-
Jauharain dipindahkan ke kampung Tanjung Johor Jambi.
129Pesantren di Jambi menekankan penguasaan Kitab kuning,

kitab-kitab berbasis aliran ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (aswaja) dan


bermadzhab Syafi‘i. Menurut Van Bruinessen, dalam persoalan hukum
dan doktrin, Muslim tradisionalis mengikuti ulama besar di masa lalu
ketimbang melakukan derivasi kesimpulan dari al-Qur‘an dan al-Hadits
secara langsung. Lihat Van Bruinessen, ―Tradisi Menyongsong Masa
Depan‖, Tradisionalis Radikal. (Yogyakarta: LKIS, 1997), 142.
130Husein Muhammad, Kontekstualisasi Kitab Kuning; Tradisi

Kajian dan Metode Pengajaran dalam Marzuki Wahid, et. al., Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 270.

86
umum atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan
pesantren yang umumnya bersifat klasikal.131
Paradigma ke-Islaman yang berkembang di
pesantren ketika itu bidang teologi berorientasi pada
pemikiran Asy‘ari, bidang ushul fikih dan fikih berorientasi
pada pemikiran asy-Syafi‘i dan bidang tasawuf berorientasi
pada pemikiran al-Ghazali.132 Artinya, secara kultural
mayoritas masyarakat Melayu Jambi dan pesantren-
pesantren yang ada di Jambi berorientasi pada faham
keagamaan Ahl Sunnnah wa al-Jama‘ah plus Nahdhatul
Ulama (NU) kultural (NU oriented). Ditandai dengan
tradisi; pembacaan talqin dan tahlil, shalat tarawih 20
rakaat, pembacaan doa qunut ketika shalat subuh. Faham
keagamaan lain seperti; Muhammadiyah, Salafi (Wahabi),
Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) atau Jamaah
Islamiyah, dan al-Irsyad al-Islamiyyah relatif tidak
berkembang. Kalaupun ada hanya di wilayah perkotaan
sebagai implikasi pluralisme sosial keagamaan.
Di sisi lain, ini membuktikan begitu besar spirit
keagamaan masyarakat melalui pendirian institusi
pendidikan keagamaan guna melestarikan agama Islam di
Jambi, yang pada akhirnya membuat Islam semakin kokoh
di Jambi dan menjadi agama mayoritas masyarakat. Hal ini
sesuai dengan jumlah penganut agama Islam dan agama
lain, yaitu; 92,95 % beragama Islam, Katolik sebesar 2,31 %,
Protestan 2,26 %, Budha 1,17 %, Hindu 0,23 %, dan
Konghucu 1,08 %.133

131Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang


Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta, LP3ES, 1994), Cet. VI, 41–42.
132Abdul Kadir Sobur, Teologi Progreaif: Mengungkap Corak

Teologi dan Doktrin Aqidah Masyarakat Melayu, disertasi 2012, 244.


133Jambi in Figure, tahun 2016, 134-135.

87
Grafik 4.1. Prosentase Agama yang Dianut

Grafik di atas merefleksikan mayoritas masyarakat


Jambi adalah Muslim dan sangat menjunjung tinggi
moralitas dan pengamalan keagamaan, karenanya Jambi
bahkan oleh sejarahwan pernah mendapat julukan Serambi
Mekah.134 Dengan demikian, kondisi keagamaan di Jambi
bervariasi namun masyarakat Jambi saat ini masuk
kategori masyarakat inklusif yang jauh dari konplik vertikal
maupun horizontal. Jika dijumpai adanya subordinasi
antara berbagai kelompok internal maupun eksternal masih
dipandang wajar sebagai dinamika kehidupan masyarakat.

Aspek Politik
Dari aspek politik, entry point sejarah perpolitikan di Jambi
ketika dipimpin oleh Raja Perempuan, Putri Selaras Pinang
Masak, yang kawin dengan Ahmad Salim dan dilanjutkan

134Gelar Serambi Mekah disandarkan ke Jambi karena merupakan


daerah awal penyebaran Islam di Sumatera melalui pelabuhan Muara
Sabak, yang sudah dikenal dunia Internasional sebagai pusat
perdagangan sejak abad ke-1 Masehi. Selain itu, sejak berdirinya
madrasah Islam banyak berdatangan ulama besar dari Mekkah yang
diundang oleh Mudir Madrasah untuk mengajar dan melakukan Imtihân
al-waqf (ujian akhir kelulusan kelas 7). Lihat Syekh HMO Bafadhal,
Pengungkapan Sejarah ..., 18-19.

88
oleh ketiga putranya.135 Namun ketika tampuk kekuasaan di
tangan Ahmad Kamil perubahan besar terjadi melalui
inovasi dan langkah cerdas bidang politik, sosial, maupun
keagamaan.
Sepeninggalan Ahmad Kamil, kepemimpinan
kerajaan Islam Melayu Jambi berlanjut secara turun
temurun hingga kesultanan Jambi. Meski kepemimpinan
setelahnya tidak membawa perubahan politik signifikan
dalam upaya mendongkrak reputasi kerajaan Islam Melayu
atau kesultanan Jambi. Terlebih setelah Belanda berusaha
menginjakkan kaki di tanah Jambi dengan maksud
menjajah. Kalaupun ada hanya berupa perlawanan atau
gerilya dalam upaya mengusir kolonial, sebagaimana yang
dilakukan oleh Sultan Thaha Saifuddin.
Meski demikian, sejak abad ke-19 hingga awal abad
ke-20, pemerintah Hindia Belanda selalu menghadapi
berbagai pemberontakan dari penduduk asli di Jawa
maupun Sumatera.136 Seperti Perang Cirebon (1802–1806),
Perang Diponegoro (1825– 1830), Perang Padri (1821–1857),

135Pada abad ke-3 kerajaan Melayu Jambi pernah dikuasai oleh

kerajaan Koying dan Tupo, disusul kerajaan Kantoli abad ke-5. Setelah
ketiganya runtuh berdirilah kerajaan Melayu Jambi, pada abad ke-7
kembali dikuasai Kerajaan Sriwijaya meski mengalami kemunduran pada
abad ke-12 kerajaan Sriwijaya. Meski sejarahwan hingga saat ini belum
bisa memastikan pusat kerajaan Sriwijaya di Jambi atau Palembang,
saling klaimpun masih terjadi. Meski bukti pendukung adanya istana
kerajaan, tempat peribadatan, pusat pendidikan, pesanggrahan dan
pemandian raja beserta keluarga kerajaan Sriwijaya terbesar seluas + 600
hektar justru berlokasi di Jambi. Implikasinya jika pusat kerajaan
Sriwijaya berada di Jambi maka Palembanglah yang menjadi daerah
jajahan Jambi tempo dulu, begitupula sebaliknya. Lihat Ngebi Sutho
Dilogo, Alih Aksara dan Kajian Naskah Silsilah Raja Jambi, Undang-
Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi, terj. Syamawi Darahim et.al.,
(Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005), 5-6.
Buku ini telah dialih bahasakan dari aksara Arab Melayu, teks aslinya
berada di tangan Ratumas Siti Zahrah salah seorang turunan (ahli waris)
Sultan Thaha Saifuddin.
136Syamsir Salam, Mencari Ufuk Baru dalam Pengembangan

Masyarakat Jambi, dalam Kertas Kerja pada Diskusi LPKS tahun 1982,
3.

89
Perang Aceh (1872-1908), dan Perang Jambi (1858-1906).137
Berbagai alasan menjadi pemicu pergolakan, seperti;
Pertama, gerakan petani, perang yang melambangkan
kepentingan kelas ekonomi ataupun sosial. Kedua, Perang
Sabil, perang yang melambangkan kepentingan agama.
Ketiga Perang Kekuasaan, perang yang melambangkan
kepentingan politik atau kekuasaan yang dipelopori oleh
Sultan atau bangsawan karena merasa kekuasaannya
terancam dengan kekuasaan Belanda. Perang Jambi masuk
pada kategori terakhir yaitu perang memperebutkan
kekuasaan, dimotori oleh Sultan Thaha Saifuddin.138
Menyikapi perlawanan berkepanjangan dari rakyat
pribumi, pemerintah Belanda mengangkat Cristian Snouck
Hurgronye menjadi penasehat politiknya. Snouck
Hurgronye, sebagai sosiolog handal, melakukan penelitian di
beberapa daerah di Nusantara mengamati fenomena
gerakan perlawanan dan sampai pada kesimpulan mengenai
langkah strategis menghadapi gerakan rakyat pribumi, yang

137Pemicu perang Jambi adalah keengganan Sultan Thaha


menandatangani perjanjian yang dibuat Belanda memuat; negeri Jambi
dikuasai dan dilindungi oleh Belanda dan Belanda berhak mendirikan
kekuatan militer di Jambi jika dianggap perlu. Perjanjian ini
mengindikasikan Belanda tidak hanya mempunyai kepentingan dagang
di Pantai Timur Jambi namun ingin menjajah daerah Jambi. Berlanjut
tanggal 15 Desember 1834, pemerintah Belanda melalui Residen
Palembang Practonis, memperluas perjanjian karena khawatir monopoli
perdagangan dikuasai atau diganggu oleh pengusaha Inggris, Portugis
dan Amerika, yang juga mempunyai kepentingan dagang di daerah
Pantai Timur sebagai penghasil rempah. Bahkan Amerika Serikat tahun
1851 mengirim kapal Flirt, di bawah komando Walter Gibson berhasil
memprovokasi Sultan Nazaruddin melawan Belanda meski akhirnya
gagal. Ibid., 5; Anonim, Kementerian Penerangan Republik Indonesia No.
11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954, 70–74.
138Gelar Saifuddin (pedang agama) diberikan kepada Sultan Thaha

oleh Sultan Aceh karena tekad dan ketekunannya menggali ilmu


pengetahuan dan keterampilan perang, setelah ayahandanya Sultan
Muhammad Fachruddin mengirimnya ke Aceh untuk menuntut ilmu.
Sultan Thaha juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasanya
membela bangsa dan negara berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
No. 079/TK/1977 tertanggal 24 Oktober 1977. Lihat Junaidi T. Noor,
Mencari Jejak ..., 133.-141.

90
dinamai garis politik etis.139 Perubahan fundamental
kebijakan politik yang sebelumnya mengedepankan konplik
militer melalui kontak senjata dialihkan menjadi ideologis-
etis, strategi Snouck Hurgronye dengan mengklasifikasikan
aktivitas ajaran Islam kepada tiga bentuk, yaitu;
keagamaan murni (ibâdah), kemasyarakatan (mu‘âmalah)
dan politik (siyâsah).
Oleh karenanya, nasihat Snouck Hurgronye kepada
pemerintahan Belanda terkait dengan persoalan ibâdah,
pemerintah jangan melakukan intervensi, terkait persoalan
mu‘âmalah pemerintah harus mendorong dan memberikan
fasilitas sesuai kebutuhan warga pribumi, sedangkan
terkait persoalan politik pemerintah harus bersikap tegas.
Selain itu, konversi pendekatan militer menuju pendekatan
sosio-kultural bertujuan mengambil hati rakyat agar merasa
nyaman dengan keberadaan dan peraturan pemerintahan
Belanda serta tidak melakukan gerakan yang dapat
mengganggu stabilitas politik. Gagasan ini diprediksi
menjadi referensi bagi pemerintah Hindia Belanda untuk
mempertahankan kekuasaannya di Nusantara. Kebijakan
ini juga berimbas ke Jambi ketika itu yang sedang gencar
melakukan gerakan perlawanan dipimpin kalangan
bangsawan dan ulama.140

139Cristian Snouck Hurgronye, Islam di Hindia Belanda, terj. S.

Gunawan, Judul asli tulisan ini De Islam in Nederlandsch Indie, Terbit


dalam ―Groote Godsdiensten‖, (Jakarta: Bhatara, 1973), Seri II, No. IX, 8-
9.
140Empat orang ulama yang mendukung gerakan perlawanan

terhadap kolonial yaitu; Guru Ibrahim, Guru Ahmad, Guru Usman dan
Guru Kms. H. M. Shaleh, semuanya murid Guru K.H. Abd. Majid Bin H.
M. Yusuf Keramat (1893 M). Guru K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf
Keramat adalah guru Sultan Thaha Saifuddin dan ulama besar yang
populer dan paling berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam ke
seluruh pelosok Jambi. Sebegitu besar pengaruhnya, sehingga ketika
menunaikan ibadah Haji Belanda melakukan pencekalan agar ia tidak
lagi kembali ke Jambi. Usaha Belanda berhasil dan akhirnya beliau
menetap di Mekkah dan menjadi guru pada salah satu serambi Masjidil
Harâm. Guru. H. Abd. Majid menjadi warga Mekkah, sambil mengajar
agama Islam dan melayani Umat Islam utamanya jama‘ah haji dari
Jambi. Lihat Syamsir Salam, Perukunan Tsamaratul Insan Sebagai
Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi, (Jakarta:
Badan Litbang Departemen Agama RI, 1979), 12.

91
Tak lama kemudian, efek gerakan nasional di Jambi
memunculkan Gerakan Sarekat Islam (S.I) di bawah
pimpinan Roni bin Akib, yang terpolarisasi menjadi dua
yaitu; Kota dan Uluan.141 Sarekat Kota merupakan
refresentasi mayoritas pendatang yang tidak mempunyai
lahan pertanian dan bisnis mereka bergantung pada
perekonomian pasar, yang dikuasai China sebagai investor
(pemodal) dan Belanda sebagai penguasa. Sedangkan
gerakan Uluan merupakan refresentasi petani dan mantan
pengikut setia Sultan Thaha, sebagai bentuk protes
terhadap peraturan Belanda yang dianggap diskriminatif,
utamanya dalam penguasaan atas tanah. Selain itu,
gerakan ini dimanfaatkan pengikut setia Sultan Thaha yang
kalah untuk kembali menegakkan kesultanan Jambi.
Menyikapi kondisi ini dan sebagai upaya menghindari
gejolak sosial atau perang antara Belanda dan penduduk
pribumi. Pemerintah Belanda meminta nasihat Snouck
Hurgronye, akhirnya ia berhasil memetakan organisasi ini
sesuai misi yang diemban.142
Kedua gerakan dipolarisasi menjadi dua yaitu; Kota
dan Uluan. Gerakan Kota, cenderung bergerak pada bidang
doktrinasi dan pendidikan, harus dicermati secara serius
bentuk doktrinasi yang dikembangkan. Sedangkan gerakan
uluan, cenderung pada bidang politik sehingga harus
dihadapi dengan kekuatan militer. Selain itu, Belanda juga
berhasil dengan mudah membenturkan dua sistem yang
berkembang di kalangan umat Islam, yaitu Islam ortodok
dan Islam modern. Islam ortodok didukung warga pribumi,
sedangkan Islam Modern didukung pendatang dari Jawa
dan Minangkabau.143 Pihak Belanda menilai bahwa

141Jang A. Muttalib, Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan

Sosial di Jambi Pada Perempat Pertama Abad ke 20 Prisma, 1980, 77.


142Hurgronye, Islam ..., 359 – 392.
143Pola yang diterapkan Belanda dalam upaya mengorganisir

sekaligus membuat konflik antar keduanya dengan memberikan


kesempatan kepada Sarekat Islam Kota mengorganisir internal
organisasi agar tidak berbentuk disfuse, sehingga sulit dikendalikan.
Untuk itu, Belanda menerbitkan izin untuk perukunan Tsamaratul
Insan, yayasan sosial yang seluruh pengurus dan anggotanya adalah

92
organisasi ini memungkinkan menjadi penyeimbang
sekaligus kontra produktif atas aktivitas Sarekat Kota,
melalui politik devide et impera-nya Belanda benturkan
kedua gerakan sehingga dengan mudah terjadi konplik.144
Langkah awal dengan menciptakan sistem dan
struktur ekonomi yang memposisikan kelompok pribumi-
pendatang sebagai kelompok ketiga dalam struktur
masyarakat. Slogan perbaikan sektor ekonomi pribumi yang
digaungkan oleh Sarekat Islam mendapat sambutan baik
kelompok ini, sehingga terbentuklah dua kekuatan sosial,
harapan pemerintah Belanda terjadi konflik di antara kedua
kubu, dan Belanda menjadi mediator atau arbitrase.145 Pola
managemen konflik tersebut untuk menghindari munculnya
ledakan sosial dalam bentuk violence, sehingga benturan
yang terjadi antara kelompok Kota dengan kelompok
Tsamaratul Insan, hanya berkisar pada tata nilai dan
sistem nilai yang dikembangkan oleh faksi masing-
masing.146 Sedangkan langkah menghadapi Sarekat Islam
Uluan, yang diklaim sebagai organisasi radikal dan fanatik,
tidak ada pilihan lain kecuali dengan kekuatan militer.
Mengingat kelompok ini sering melakukan penyerangan di
beberapa pusat militer Belanda.147

warga asli daerah Jambi dari kalangan Islam ortodok. Lihat Samsir
Salam, Perukunan Tsamaratul Insan ..., 25-26.
144Organisasi ini berdiri pada tahun 1914, atas persetujuan

pemerintah Belanda, SK nomor 1636 tanggal 10 September 1915, yang


dipimpin oleh H. A. Shomad bin H. Ibrahim H. A. Madjid, Kemas H. M.
Sholeh bin H. M. Yasin, H. Ahmad bin H. Sjakur dan H. Usman bin H. M.
Ali. Ibid.
145Nasrun, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial di

Indonesia, (Yogyakarta: Fak. Sospol UGM, 1974), 26-29.


146Berikutnya beberapa penyerangan ke pusat pemerintahan

Belanda di antaranya; penyerangan ke pusat pemerintahan di Muara


Tembesi tanggal 26 Agustus 1916, di Sarolangun tanggal 31 Agustus 1916
menewaskan Controleur Water dan pengawalnya. Berlanjut penyerangan
ke Muaro Tebo tanggal 12 September 1916, dan kembali berlanjut
penyerangan ke Bangko tanggal 11 September 1916. Anehnya,
keseluruhan daerah basis Sarekat Abang (SA) merupakan basis pengikut
Sultan Thaha Saifuddin. Muttalib, Suatu Tinjauan ..., 98.
147Ada lima daerah terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan

oleh Belanda yaitu; Aceh (1914), Nias (1914), Bali (1908), Tapanuli (1907),

93
Menurut Jang A. Muttalib, pergerakan rakyat Jambi
terpolarisasi menjadi dua gerakan kekuasaan dan
messianistis. Gerakan yang murni mempertahankan
wilayah dan kekuasaan sejak abad ke-2 M. sampai abad ke-
19 dan gerakan pada abad ke-20 utamanya pada perempat
abad ke-20, baik di Jambi maupun pedalaman Palembang
melawan Belanda mengandung unsur Messianistis. 148
Berbeda dengan Syamsir Salam, menurutnya tidak semua
perlawanan di Jambi dikategorikan sebagai Messianistis.
Perbedaan ini didasarkan perbedaan rentang waktu
peristiwa, Jang A. Muttalib menandai sejak perempat abad
ke-20, sedangkan Syamsir Salam sejak pembatalan
perjanjian oleh Sultan Thaha Tahun 1855 sampai dengan
1907.
Selanjutnya, sejak kedatangan Islam kerajaan
Melayu Jambi menjadi kuat dan sulit ditaklukkan oleh
kerajaan lain sekitarnya sampai kedatangan Belanda.
Perjuangan Belanda yang panjang dan menelan banyak
korban dalam menaklukkan Jambi tidak membuat
masyarakat Jambi menyerah begitu saja hingga pemimpin
mereka dari kalangan penguasa dan bangsawan gugur.
Bahkan para pejuang Jambi sanggup mengorbankan simbol-
simbol kekuasaan mereka untuk mempertahankan tanah
air.
Aspek Budaya
Dari aspek budaya (kultural), masyarakat Melayu Jambi
mempunyai budaya tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan
budaya lainnya, mengingat setiap kelompok masyarakat
memiliki identitas dan ciri khas tersendiri, baik itu
pengetahuan, norma maupun nilai budaya. Pengetahuan
dan nilai tersebut dijadikan pedoman dalam mensiasati pola
hidup, tutur dan tindak tidak hanya terkait dengan hal yang
dianggap penting dan berharga dalam hidup, begitu pula
sebaliknya. Selain itu, juga berfungsi sebagai pendorong

dan Jambi (1904). Sumber htttp. ―lima daerah terkuat di Indonesia yang
sulit ditaklukkan Belanda‖, diakses tanggal 10 Juli 2016.
148Samsir Salam, Perukunan Tsamaratul ..., 12.

94
kelakuan manusia yang hidup dan membentuk siklus
kehidupan masyarakat sebagai suatu sistem dan tata nilai.
Di antara budaya masyarakat Melayu Jambi yaitu
ketika penyampaian pesan atau nasehat menggunakan
seloka adat. Seloka adalah ungkapan tradisional yang
mewarnai kultur masyarakat, sebagai bagian dari tradisi
lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk
tutur kata.149 Seloka adat Jambi merupakan ungkapan yang
mengandung pesan, amanat, petuah, atau nasehat yang
bernilai etik dan moral adat masyarakat Melayu Jambi.
Pesan yang terkandung di dalamnya berupa ungkapan yang
jelas maupun analogi sebagai tradisi masyarakat sehari-hari
sebagai pengokoh nilai-nilai dan norma-norma.150
Menurut Datuk Junaidi T Noer, seloka sebagai
memori kolektif tradisi tutur bijak masyarakat Melayu
Jambi.151 Seloka merupakan bagian dari nilai budaya

149Ada tujuh kategori seloka, yaitu; 1) Hukum Adat, 2) Perkawinan,

3) Kepemimpinan, 4) Perbuatan Buruk, 5) Kehidupan Bermasyarakat, 6)


Kewajiban Diri Sendiri, dan 7) Kehidupan Keluarga. Kultur ini masih
dapat dipertahankan oleh masyarakat Melayu Jambi hingga saat ini,
meski terjadi pergeseran imbas dari pengaruh budaya asing.
150Pada beberapa daerah penggunaan istilah ini bervariasi, seperti;

masyarakat Jawa menggunakan istilah seloka, dan masyarakat


Minangkabau menggunakan istilah petatah petitih. Dalam sastra Melayu
klasik, seloko termasuk jenis puisi yang berisi pepatah atau
perumpamaan yang mengandung olok-olok, ejekan, senda gurau, dan
sindiran. Biasanya seloka ditulis dalam empat baris dengan memakai
bentuk pantun atau syair, tetapi juga sering ditulis kurang atau lebih
dari empat baris. Menurut Hawkes seloka adalah kisah berisi petuah
dan amanat yang disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-
temurun tanpa diketahui siapa pengarangnya. Ajaran, petuah, dan pesan-
pesan itu disampaikan dengan bahasa rakyat. Lihat Terence Hawkes,
Structuralism and Semiotics, (Canada: Routledge, 2003), 104.
151Masyarakat Melayu Jambi menggunakan dialek yang sedikit

berbeda dalam pengungkapan kata berakhiran huruf ‗a‘. Jika mayoritas


masyarakat Melayu lain menggunakan ‗e‘, maka masyarakat Melayu
Jambi menggunakan huruf akhiran ‗o‘, seperti; apa menjadi ‗ape: apo‘,
kemana menjadi ‗kemane:kemano‘, paduka berhala menjadi ‗paduke
berhale;paduko berhalo‘ dan sebagainya. Sedangkan dalam
pengungkapan pesan moral mereka menggunakan seloka, adagium atau
slogan, contoh seloka Jambi ― Apabila berjalan memakai Tongkat,
takkan terasa Lelah dan Penat, apabila iman sudah Melekat, takkan
susah Dunia dan Akhirat: apabila halaman sudah di Sapu, tidakkan ada

95
masyarakat Jambi yang mencerminkan pandangan hidup
(way of life), seperti; nilai religiuitas, nilai etik (moral) dan
nilai sosial. Nilai-nilai yang meliputi kaidah-kaidah, pranata
sosial dan tingkah laku yang diasumsikan sesuatu benar
dan pantas oleh masyarakat. Oleh karenanya, seloka Jambi
dipersepsikan bagian dari ayat Allah yang keluar dari lisan
orang Jambi. Karena apa yang disampaikan melalui seloka
dapat menyentuh dan menyadarkan orang lain. Mereka
yang menyimaknya akan mengerti kenapa ini diucapkan
tanpa ada perasaan tersinggung atau sakit hati.
Selain itu, salah satu budaya yang merupakan
identitas masyarakat Melayu Jambi adalah cuci kampung,
sebuah tradisi untuk membersihkan sebuah wilayah
(kampung) dari kotoran setelah terjadi perbuatan asusila
atau perbuatan mesum, tidak senonoh, atau amoral. Secara
umum cuci kampung dikenakan bagi siapa saja yang
melanggar larang pantang, tindak perdata maupun tindak
pidana adat. Praktiknya melalui doa bersama agar
terhindar dari bala dan malapetaka serta pelaksanaannya di
atas bumi sebagai simbol pembersihan bumi yang tercemar
karena perilaku manusia. Denda adat yang dikenakan
untuk mencuci kampung berupa 2 ekor ayam, 1 ekor
kambing, atau 1 ekor kerbau. Kambing adalah batasan yang
boleh dilakukan oleh nenek mamak. Sementara bila
melebihi kambing harus dengan putusan raja.152 Boleh jadi
pada kasus tertentu dikenakan denda melebihi kambing.
Contohnya, peristiwa dalam lingkup menikam bumi,

Sampah dan Debu, apabila iman sudah Menyatu, tentulah hilang


Bimbang dan Ragu; Ulat bulu dibatang Pisang, kena bulunya terasa
Miang, Nasehat guru dikenang-kenang, supaya hidup tiada Terbuang;
Mengail di Tanjung menjala di Pantai, bila mendapat makan Beramai,
Keadilan dijunjung Kebenaran dipakai, Dunia akhirat aman dan damai;
Bekato merendah rendah, mandi dibawah-bawah, bekato dulu sepatah,
bejalan dulu selangkah, rajo alim rajo disembah, rajo zalim rajo
disanggah, menyanggah rajo dengan undang, menyanggah alim dengan
kitab. Kota la Jambi dilintas sungai, Sungai benamo si Batanghari,
Baikla budi elok perangai, dimano-mano orang kasihi; Asal kapas
menjadi benang, Benang di tenun menjadi kain, Kasih yang lepas jangan
dikenang, sudah menjadi si orang lain.‖.
152Wawancara, Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jambi, 12

Mei 2015.

96
mencarak telur, bersunting bungo setangkai, dan mandi di
pancuran gading. Atau peristiwa orang yang dituakan dan
dihormati di kampung, seperti imam mesjid melakukan
zina, maka hukumannya berupa 1 ekor kerbau, 100 gantang
beras dan diusir dari kampung. Hukumannya menjadi lebih
berat karena kampung menjadi sangat tercemar oleh karena
perilaku manusia yang menyerupai perilaku hewan. Orang
tua belaku budak, orang besak belaku kecik. Pelaku
dihukum seberat-beratnya. Sementara bila bujang gadis
hanya‘ didenda 1 ekor kambing, 20 gantang beras dan
dinikahkan.
Namun demikian, saat ini karena beralasan maksud
memudahkan tradisi cuci kampung diganti dengan uang
yang besarannya tergantung pada harga denda dan
perundingan serta batas kemampuan pihak yang didenda.
Uang dimasukkan ke dalam kas RT/kampung atau
diserahkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti
panti asuhan. Selain dalam persoalan denda, cuci kampung
juga memiliki perbedaan dalam hal perkara yang dikenakan
cuci kampung. Umumnya, perkara yang dikenakan denda
adalah perkara-perkara hubungan laki- laki dan perempuan
yang menjurus pada perzinaan atau perzinaan itu sendiri.
Padahal sebenarnya, cuci kampung juga dapat dilakukan
untuk semua bentuk kerusuhan, contoh, untuk
mendamaikan dua kelompok pemuda yang berkelahi atau
kasus pembunuhan.
Setelah denda dikenakan, maka yang paling penting
dalam tradisi cuci kampung adalah menanggulangi resiko
yang ditanggung oleh pihak korban, dan
mempersaudarakan antara pelaku dan korban. Lebam balu
ditepung tawar, luka lukih dipampas, mati dibangun. Luka
dipampas, bukan sekadar didamaikan dengan kambing,
namun juga pihak korban diobati hingga sembuh dan segala
kerugian diganti. Mati dibangun, maka dalam hal ini ruh
korbannya yang dibangunkan dalam bentuk ikut membantu
keluarga korban sehingga seakan-akan korban masih tetap
hidup.
Selanjutnya, sebagai bagian dari kebudayaan melayu
digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak

97
perkotaan dan didominasi aktivitas perdagangan dan
kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang relasi Islam dan
Melayu dijumpai melalui makam-makam kuno bertulis
huruf Arab dan huruf daerah tentang ketokohan penguasa
dan bangsawan Melayu di berbagai wilayah Nusantara.
Fenomena legitimasi raja-raja Melayu Islam ini
mengindikasikan Islam menjadi bagian integral dari
kehidupan masyarakat Melayu.
Tak dapat dipungkiri, Islam memberi pengaruh amat
besar terhadap budaya pikir dan tindak serta kepribadian
masyarakat Melayu Jambi sehingga menjadi lebih arif,
toleran dan berkualitas. Pengaruh tersebut dapat dilihat
dari tiga aspek, yaitu; pertama, aspek bahasa, pengaruh
Islam pada budaya melayu seperti dipergunakannya aksara
Arab-melayu, Arab Gundul, pada literatur dan karya tulis
tentang kerajaan dan perdaban Melayu Jambi. Kedua, aspek
kesenian, masyarakat Jambi banyak mengadopsi kesenian
yang bernuansa Islami seperti; Zapin (Gambus), Qasidah,
burdah, kompangan, barzanji nazam dan Diba‘. Ketiga,
adat, suatu tradisi berpegang teguh pada falsafah―Adat
bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖. Ketentuan-
ketentuan adat yang bertentangan dengan syarak tak boleh
dipakai, syaraklah yang dominan karena dianggap memiliki
sandaran yang kuat yaitu al-Qur‘an dan Sunnah.153
Sejak saat itu, Islam memberi warna terhadap adat
sehingga melahirkan stereotipe kultural Islam-Melayu,
Melayu-Islam. Bahkan, Islam dan melayu menjadi dua kata
yang sering dan harus berjalan beriringan; Islam menjadi
bagian integral kehidupan masyarakat melayu, sebaliknya
masyarakat melayu juga menjadi identik dengan Islam.
Keduanya mengakar di kalangan masyarakat Melayu,
sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam dengan
sendirinya nilai Islami termanifestasi dalam kehidupan dan
perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam
mengekspresikan gagasan-gagasan sosial-politik, seperti
konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa

153Muhammad Yusrizal, Pola Sistem Pemerintahan Melayu.


Diakses 20 September 2016.

98
dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah
sosial-politik.154
Dengan demikian, dari perspektif budaya identitas
Melayu Jambi ditentukan oleh tiga aspek, yaitu; berbahasa
melayu, beradat- istiadat melayu, dan beragama Islam. Atas
dasar itu, masyarakat Melayu nusantara dipersatukan oleh
adanya kerajaan-kerajaan melayu pada masa lampau.
Kebesaran kerajaan-kerajaan melayu telah meninggalkan
tradisi-tradisi dan simbol-simbol kebudayaan melayu yang
menyelimuti berbagai suasana kehidupan hampir sebagian
besar masyarakat wilayah kepulauan tersebut. Kerajaan-
kerajaan besar melayu tidak hanya terkonsentrasi di Pulau
Sumatera, namun penyebarannya mencapai sebagian besar
wilayah Nusantara.
Hal ini memungkinkan karena beberapa penguasa
beserta pengikutnya melarikan diri yang dipicu oleh
berbagai faktor, dan selanjutnya mendirikan kerajaan
Melayu baru di daerah lain. Simbol-simbol kebudayaan
Melayu digunakan dalam upaya menjembatani berbagai
suku bangsa dan golongan etnis yang berbeda sehingga
saling berinteraksi melalui bahasa dan etika Melayu.
Dengan kata lain, kebudayaan Melayu Jambi memiliki ciri-
ciri utama yang bersifat fungsional dan inklusif dalam
mengakomodasi perbedaan rasial, etnik dan agama.
Budaya inilah yang merupakan sebagian kecil dari
identitas budaya masyarakat Melayu Jambi yang masih
berlaku, tidak menutup kemungkinan terjadi perkembangan
atau pergeseran seiring dengan perkembangan zaman.
Meski mayoritas masyarakat Jambi muslim, namun
khazanah adat tetap terjaga dan menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

154Iswara N. Raditya, Menyoal (Kembali)―Dwitunggal‖, Islam dan

Melayu. Dunia Melayu Sedunia, Diakses 20 September 2016.

99
5. Kontekstualisasi Adat dan Syarak
dalam Tradisi Masyarakat Melayu
Jambi

Syarak diformulasikan sebagai sekumpulan aturan agama


yang mengatur perilaku kehidupan kaum Muslim dalam
segala aspeknya individual maupun kolektif, seringkali
bertransformasi dari yang awalnya abstrak menuju yang
bersifat kongkret. Sementara adat sebagai seperangkat
aturan yang berlaku di masyakarat dalam waktu dan
tempat tertentu, namun terkadang tidak sesuai
diberlakukan oleh masyarakat di waktu dan tempat yang
berbeda.
Transformasi ini seringkali melalui proses saling
beradaptasi, beraktualisasi, dan bersinkronisasi antara
syarak dengan adat. Pada titik inilah terjadi dinamika
syarak antara nilai-nilai tsubut (konstan) dan murûnah
(fleksibel) sesuai kebutuhan zaman. Syarak dituntut selalu
adaptif dan menerima nilai-nilai baru dari masyarakat
secara kontekstual, mengingat syarak merupakan
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini mengikat seluruh umat muslim. Pada bab ini
penulis mengelaborasi kontekstualisasi adat dan syarak
dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi.

A. Pemberlakuan Aturan Adat Melayu Jambi


Pergulatan aturan ketetapan syarak dengan aturan
ketetapan adat dinegosiasikan sedemikian rupa melahirkan

100
konfigurasi Undang Adat Jambi yang dikodifikasi melalui
keputusan Ahmad Kamil, raja kerajaan Islam Melayu Jambi
ketika itu. Sebagaimana aturan hukum lainnya, Undang
Adat Jambi memiliki falsafah, sumber, teks, institusi dan
teknis operasional tersendiri. Falsafah Undang Adat Jambi
adalah Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah,
meskipun sebelumnya telah ada falsafah adat bersendi ke
alur dengan patut, alur bersendi ke mufakat, mufakat
bersendi ke kebenaran.
Konsep ini jika sejalan dengan pemikiran hukum
Socrates sebagaimana dikutip Bernard L. Tanya,
menurutnya hukum adalah tatanan kebajikan, sejatinya
hukum membuat usernya aman dan damai sejalan dengan
tujuan hidup manusia yaitu meraih kebahagiaan
(eudaimonia).155 Tangga menggapai kebahagiaan
(kesempurnaan jiwa) itu adalah kemampuan membedakan
mana yang baik dan buruk (arete) dan melakukan kebajikan
(virtue).156
Adapun sumber adat Melayu Jambi yaitu pucuk
undang lima,terdiri dari: Titian teras bertanggo batu;
Cermin nan idak kabur; Lantak nan idak goyah, kaping idak
tagenso; Kato mupakat dan Dak lapuk dek hujan dak lekang
dek panas.157 Secara spesifik menurut Junaidi T. Noer:158

155Dalam konsepsi Islam tujuan hidup manusia menggapai

kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Q.S. al-Baqarah [2]: 201-202.


156Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, (Yo gyakarta: Genta Publishing, 2013), 28.
157Menurut Zevenbergen sumber hukum merupakan sumber

terjadinya hukum. Pada hakekatnya sumber hukum secara konvensional


dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal.
Menurut Utrecht sumber hukum materil yaitu perasaan hukum
(keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang
menjadi determinan materil membentuk hukum, menentukan isi dari
hukum, sedangkan sumber hukum formil, yaitu menjadi determinan
formil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming),
menentukan berlakunya dari hukum. Sumber hukum formil antara lain:
Undang-Undang, Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam
keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi,
dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrina). Lihat E. Utrecht/Moh.
Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: 1989,
Djambatan), 84-85.
158Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.

101
―Sumber atau sokoguru masyarakat Melayu Jambi adalah
lima Pucuk Undang atau lima undang-undang dasar.
Pertama, Titian teras bertanggo batu, yaitu segala syariat
Islam yang bersumber dari al-Qur‘an dan Hadits; Kedua,
Cermin nan idak kabur, yaitu ketentuan hukum adat yang
ada sejak dahulu dan dijadikan tradisi oleh masyarakat
setempat tidak boleh diubah; Ketiga, Lantak nan idak
goyah, kaping idak tagenso, yaitu ketentuan hukum adat
yang ada dari dulu harus dipelihara, jika diubah terjadi
kekacauan (chaos) sehingga harus dipelihara seoptimal
mungkin; Keempat, Kato mupakat, yaitu keputusan harus
melalui musyawarah adat. Kelima, Dak lapuk dek hujan
dak lekang dek panas, yaitu keputusan yang telah
disepakati melalui musyawarah harus dipatuhi dan
menjadi tanggung jawab bersama.‖

Sumber inilah sebagai dasar pijak (uşûl al-mazhab)


forum tiga tali sepilin dalam pengambilan setiap keputusan
melalui presidium kerapatan adat. Selanjutnya adat
terpolarisasi kepada empat kategori, yaitu; Adat Sebenar
Adat, Adat yang Diadatkan, Adat nan Teradat, dan Adat
Istiadat.159 Tidak dijumpai alasan kenapa dan kapan

159Pertama, Adat Sebenar Adat, aturan yang berhubungan dengan

persoalan; ibadah, bisnis (muâmalah), perdata (akhwâl al-syahsiyyah),


pidana (jinâyah), keluarga (munâkahât), dan ketatanegaraan (siyâsah).
Kesemuanya merujuk pada al-Qur‘an dan Hadits serta hasil ijtihad ulama
‗ahl Sunnah wa al-Jamâ‘ah; Kedua, Adat yang Diadatkan, aturan yang
bersumber dari budaya manusia dan ditetapkan menjadi hukum Adat
pada kasus pidana, perdata, dan tata negara sesuai keinginan
masyarakat adat. Seperti sanksi pembunuhan, penganiayaan, pencurian,
zina, dan model perdamaian antara pelaku dan korban; Ketiga, Adat nan
Teradat, aturan yang bersumber dari budaya suatu tempat atau daerah,
diubah hanya melalui musyawarah karena dianggap tidak relevan dengan
situasi dan kondisi. Contoh, sebelum menikah harus ada acara seremonial
pertunangan (letak tando) agar kepala desa dan ketua adat mau hadir
pada saat pesta pengantin. Aturan ini dapat berubah sesuai dengan
kesepakatan pengurus adat; dan Keempat, Adat Istiadat, aturan tradisi
warisan nenek moyang, contoh, setiap akan membaca doa pada acara
seremonial selamatan, kematian dan lainnya diawali dengan membakar
kemenyan. Tradisi ini dapat berubah kapanpun bergantung pada
keinginan masyarakat sebagai adresat hukum, termasuk meningkatkan
klasifikasi adat seperti peningkatan status adat istiadat atau adat nan
teradat naik levelnya menjadi adat yang diadatkan melalui. Hanya saja

102
terjadinya polarisasi adat tersebut, oleh karenanya saling
klaim dan polemik tak terhindarkan. Versi Jambi, menurut
Sulaiman Abdullah dan Junaidi T. Noer polarisasi adat
munculnya bersamaan dengan kemunculan falsafah adat
meski penerapannya berawal dari wilayah Jambi bagian
Hilir.160 Setelah ekspansi kerajaan Islam Melayu Jambi ke
wilayah Barat pemberlakuan falsafah merata ke seluruh
wilayah kerajaan, meskipun pada beberapa kasus
penerapannya berbeda antara Barat/Hulu dan Timur/Hilir.
Versi Minangkabau, menurut Taufik Abdullah dan
Ramayulis polarisasi adat muncul bersamaan lahirnya
Traktat Marapalam.161
Terlepas dari itu, menurut penulis asumsi mengenai
polarisasi adat dipetakan menjadi dua berdasarkan
kronologisnya. Pertama, masa kerajaan Melayu
sebagaimana klaim masyarakat Melayu Jambi bahwa
falsafah dan polarisasi adat lahir sejak abad ke-15. Kedua,
masa kolonial Belanda sebagaimana klaim masyarakat
Melayu Minangkabau yang memungkinkan dua hal. Satu
sisi sebagai strategi umat Islam Minangkabau menghadapi
politik Belanda yang hanya mengakui keberadaan adat
sehingga disiasati agar Belanda tetap mengakui keberadaan
syarak melalui polarisasi adat. Di sisi lain, justru sebagai
strategi pemerintah Belanda yang menghendaki
pemberlakuan hukum mereka dan upaya mengkerdilkan
syarak sehingga yang mengemuka hanyalah adat bukan
syarak. Disinilah entitas adat semakin kelihatan jelas,
sebaliknya eksistensi syarak justru menjadi ―redup‖.
Secara substantif polarisasi adat sebagai upaya
memilah mana ruang hukum universal, konstan dan harus

perubahan status tersebut melalui kerapatan adat manakala dianggap


urgen. Lihat Sulaiman Abdullah, Agama ..., 5; Herman Basyir, Mengenal
Adat Budaya Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, (Jambi: LAM
Provinsi Jambi, 2005), 10-12..
160Wawancara, Ketua MUI dan Ketua Lembaga Adat Melayu

Jambi, 21 Mei – 13 Juni 2015.


161Ramayulis, Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘- Syara‘

Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan


Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau –
Sumatera Barat), 3, diakses tanggal 21 Januari 2017.

103
dipatuhi, dan mana ruang hukum lokalistik, fleksibel dan
boleh diabaikan. Aturan syarak dengan adat
dikompromikan sehingga lahirlah Undang Adat Jambi dan
Undang Kerajaan Islam Melayu Jambi, negara ketika itu,
yang dikodifikasi oleh Ahmad Kamil. 162 Pada masa itu
hukum didominasi oleh syariat Islam, berbeda dengan masa
kolonial Belanda dimana hukum yang ada lebih didominasi
hukum Belanda utamanya hukum Pidana sehingga undang
adat Jambi mulai termarginalkan dan hanya dipahami oleh
tokoh adat. Setelah dihidupkannya kembali lembaga adat,
Undang Adat Jambi kembali dikumpulkan dan
disosialisasikan kepada masyarakat. Materi pokoknya
dalam Undang Duapuluh, terpolarisasi menjadi dua yaitu;
Undang Delapan (Induk Undang) dan Undang Duabelas
(Anak Undang). Polarisasi ini untuk menentukan sanksi
bagi pelaku, menetapkan nama atau tingkatan kesalahan
dan menentukan kompensasi yang patut diterima pihak
korban, yang dijabarkan dalam aturan lain sesuai domain,
motivasi dan bentuk pelanggaran.163

162Undang Adat Jambi termuat dalam Hukum Adat kabupaten/kota

mencakup adat istiadat, asas berlakunya hukum adat, hukum


kekerabatan, undang-undang adat, undang-undang hukum tentang adat,
bayyinah, ikrar, sumpah, waris dan bentuk perceraian. Aturan pokok adat
termuat dalam undang duapuluh, yang dipolarisasikan menjadi dua
yaitu; Pucuk Undang Delapan dan Anak Undang Duabelas. Namun
keduanya mengatur bentuk kejahatan (hukum publik) dan tata tertib
masyarakat yang berkaitan dengan paranata ekonomi (hukum
privat/sipil). Sedangkan Undang raja, yaitu peraturan yang ditetapkan
oleh raja yang berlaku bagi seluruh rakyat kerajaan, seperti delapan
ketetapan Raja Ahmad Kamil, mengenai ―larang pantang‖ bagi rakyat
Jambi, yaitu: pertama, Menikam Bumi, yaitu seorang anak laki-laki
berzina dengan ibu kandungnya; Kedua, Mencarak Telur, yaitu seorang
bapak menzinai anak kandungnya; Ketiga, Besunting Bungo Setangkai,
yaitu berzina dengan saudara kandungnya; Keempat Mandi di Pancuran
Gading, yaitu berzina dengan istri raja, atasan atau pejabat; Kelima,
Nutuh Kepayang Nubo Tepian, yaitu merusak fasilitas umum berupa;
pohon, air, atau sumber alam lainnya. Lihat Azra‘i Basyari, Adat Budaya
Jambi, (Jambi: LAM, 2005), 6-7.
163Aturan adat dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi berbeda

dengan tradisi Minangkabau, di Minangkabau mencakup empat bentuk


susunan nagari, yaitu; teratak, dusun, koto dan nagari. Empat bentuk
kata, yaitu; kata pusaka, kata mupakat, kata dahulu dan kata kemudian.

104
Ketika mengelaborasi Undang Duapuluh, penulis
menambahkan contoh terkini agar pembaca memahami
kasus berikut contohnya.164 Undang Delapan terdiri dari:
Pertama, Dago Dagi. Dago yaitu kesalahan seseorang atau
sekelompok orang terhadap negeri (pemerintah), sementara
Dagi, yaitu kesalahan individu atau kelompok yang
memfitnah orang lain dan mengakibatkan terjadinya konflik
antar kelompok masyarakat, seperti konflik Ambon, Poso,
Sampit, Teroris Amrozi, Azhari Cs dan sebagainya.
Kedua, Sumbang Salah. Sumbang yaitu perbuatan
menurut penilaian umum masuk kategori perbuatan tercela,
seperti, pergaulan yang tidak etis antara laki-laki dan
perempuan bukan muhrim (ajnabi), dalam seloka adat
―tegak baduo-duo, bagandeng duo di tempat sepi, tegak
menanti lengah, duduk menunggu sepi. Perbuatan yang
dinilai tidak pantas dan lazim dalam pandangan
masyarakat setempat, satu kali melanggar dinamakan
sumbang dan kali dua kali pelaku mendapat tegur sapo dari
pemangku adat. Namun jika berulang kali menurut Amin
Khudori hukumnya berubah menjadi salah, pelaku
dikenakan sanksi cuci kampung.165
Sedangkan pada kasus perselingkuhan antara
perempuan dan lelaki lajang atau perselingkuhan antara
perempuan bersuami menurut Datuk Tabroni, M.Pd.I sanksi
adatnya berbeda:166

Empat tingkat adat, yaitu; adat yang sebana adat, adat yang diadatkan,
adat yang teradat dan adat istiadat. Empat bentuk hukum, yaitu; hukum
ilmu, hukum bayyinah (sumpah), hukum qarinah dan hukum
perdamaian. Empat bentuk undang-undang, yaitu; undang-undang luhak
dan rantau, undang-undang nagari, undang-undang dalam nagari dan
undang-undang duapuluh. Sistem kekerabatan, perkawinan, kewarisan
dan tanggung jawab terhadap ke keponakan, lihat Idrus Hakimi,
Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), 106-107.
164Azra‘i Basyari, Adat Budaya ..., 8-10; Fathuddin Abdi, dkk.,
Undang-undang ..., 7.
165Wawancara, Ketua Lembaga Adat Desa Rambutan Masam

Kabupaten Batanghari, 10 Mei 2015.


166Wawancara, Ketua Lembaga Adat Sungai Duren Jambi, 15 April

2015.

105
―Jika terjadi perselingkuhan antara lelaki baik bujang,
duda atau beristeri dengan perempuan bersuami, maka
suami dapat mengajukan gugatan atas isterinya
dilengkapi bukti ke peradilan adat dan minta kepada
sidang adat menghukum isteri dan lelaki selingkuhannya.
Berdasarkan aturan adat mereka harus menjalani
persidangan dan jika terbukti maka peradilan adat
menghukum si istri dan lelaki selingkuhannya. Bagi isteri
dibebani biaya membayar tebus talak (‗iwadh) dan diusir
dari rumah dengan pakaian seadanya. Selanjutnya suami
meminta ganti rugi kepada lelaki yang menodai istrinya
untuk membayar ganti rugi dengan dua pilihan yaitu;
sepenyebutan atau sepenjemputan. Pertama, Sepenyebutan,
maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai keinginannya
karena laki-laki tersebut karena telah menodai isterinya
dan menjatuhkan martabatnya di tengah masyarakat.
Kedua, Sepenjemputan, maksudnya suami meminta ganti
rugi sesuai dengan jumlah uang yang ia keluarkan ketika
melamar isterinya.

Ketiga, Samun Sakal. Samun yaitu mengambil harta


benda orang lain dengan kekerasan, seperti; ancaman,
pencideraan dan pembunuhan. Sanksinya jika korban
meninggal, pemangku adat wajib melaporkan pelaku ke
aparat hukum (polisi) dan jika diperlukan ikut menangkap
pelaku dan jika korban hanya diteror/disakiti, pelaku
dikenakan sanksi ―salah ambik balikkan, salah makan
muntahkan, utang kecik dilunasi, utang gedang diangsur.‖
Keempat, Upas Racun. Upas yaitu meracuni korban
melalui makanan atau minuman mengakibatkan korban
mati secara perlahan. Sedangkan racun meracuni korban
dengan zat beracun sehingga korban mati seketika, seperti;
kasus Munir penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang
diracuni oleh Poli Carpus, pilot sebuah maskapai
penerbangan di Indonesia dan kasus I Wayan Mirna Solihin
yang diracuni oleh Jessica Kumala Wongso dengan zat yang
disebut sianida.
Kelima, Siur Bakar. Siur yaitu membumi-hanguskan
pemukiman penduduk, lahan perkebunan (pertanian), atau
tempat pengembalaan ternak merugikan orang lain, seperti

106
kasus pembakaran hutan (karhutla) yang terjadi di wilayah
Sumatera dan Kalimantan.
Keenam, Tipu–Tepok. Tipu–Tepok yaitu tindakan
menipu individu atau kelompok dengan modus berbuat baik
mengakibatkan kerugian moril maupun materil, seperti;
korupsi, money laundring, human trafiking, coin mas, arisan
fiktif, bisnis narkoba, penggandaan uang oleh Kanjeng
Dimas Taat Pribadi, janji politik dalam pemilihan kepala
daerah, anggota legislatif dan presiden.
Ketujuh, Maling Curi. Maling yaitu mengambil hak
milik orang lain di tempat terkunci atau tersembunyi tanpa
sepengetahuan pemiliknya, seperti curanmor. Sementara
curi yaitu mengambil hak milik orang lain di tempat yang
tidak terkunci atau tersembunyi tanpa sepengetahuan
pemiliknya seperti; rampok dan begal.
Kedelapan, Tikam Bunuh. Tikam yaitu tindakan
menikam seseorang dengan senjata tajam atau tumbuh,
sementara Bunuh adalah tindakan menghilangkan nyawa
seseorang dengan sesuatu alat sehingga orang itu mati baik
seketika maupun setelah rentang waktu. Pelaku dikenakan
sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖. Menurut
Habib Muhammad, Denda adat disimbolkan dengan
binatang ternak berupa kerbau atau kambing, makanan
pokok, buah-buahan dan lain-lain. Tujuannya memberi efek
jera bagi pelaku dan menengahi konflik yang terjadi antara
pelaku dan korban, agar tidak menyisakan dendam bagi
korban dan terjalin hubungan persaudaraan antara pelaku
dan korban.167
Sedangkan Undang Duabelas, terdiri dari: Pertama,
Lebam-balu ditepung tawar, yaitu menyakiti tubuh orang

167Pada kasus besar seperti ini langkah awal Pemangku Adat

melaporkannya kepada aparat penguasa atau pemerintah. Selain itu,


pelaku dikenakan sanksi adat, yaitu: 1). 1 ekor kambing; 2). Selemak
semanis seasam segaram; 3). 20 gantang beras; 4). 5 hasta kain putih; 5).
20 tali/tandan kelapa. Jika kematian seseorang itu akibat upas, maka
pampasnya lebih berat menjadi seekor kerbau, 100 gantang beras, 8 hasta
kain, dan 100 tandan kelapa. Jika korban mengalami luka ringan maka
tidak perlu cuci kampung, cukup membayar denda adat, yaitu; 1). 1 ekor
ayam; 2). Selemak semanis seasam segaram; 3). 1 gantang beras.
Wawancara, Pemerhati Adat Jambi, 20 Agustus 2015.

107
lain dan pelaku berkewajiban mengobatinya sampai sembuh
dan baik kembali sampai hilang bekasnya. Kedua, Luka-
lekih dipampas, yaitu melukai tubuh orang lain luka dan
pelaku dikenakan sanksi membayar pampas sesuai
tingkatan luka rendah, tinggi atau parah. Ketiga, Orang
gedang berlaku kecik, yaitu kesalahan orang yang
seharusnya menjadi contoh tauladan masyarakat seperti;
pemimpin, penguasa, pemangku adat, imam, khatib, kepala
desa. Keempat, Gawal menyembah, yaitu kesalahan yang
tidak disengaja seperti; kesalahan istri terhadap suami atau
sebaliknya. Kelima, Salah makan diludah, Salah bawak
dikembalikan, Salah pakai diluruskan, yaitu perbuatan
yang merugikan orang lain sehingga pelaku wajib
mengganti atau membayar senilai kerugian yang
ditimbulkan. Keenam, Hutang kecil dilunasi, Hutang Besar
diangsur, kewajiban melunasi hutang jika kuantitasnya
kecil dilunasi sekaligus, jika kuantitasnya besar boleh
diangsur. Ketujuh, Golok Gadai Timbang Lalu, harta benda
yang digadaikan sebagai jaminan beralih kepemiliknya jika
telah lewat waktu (taqâdum). Kedelapan, tegak mengintai
lengang, duduk menanti kelam, tegak begandeng duo, salah
bujang dengan gadis kawin, pergaulan antar orang bujang
dengan seorang gadis yang diduga kuat melanggar adat dan
memberi malu kampung tanah sisik siang harus
dikawinkan. Kesembilan, memekik mengentam tanah,
menggulung lengan baju, menyingsingkan kaki celana, yaitu
menantang orang lain berkelahi dikenakan sanksi sesuai
status sosial yang ditantang. Kesepuluh, menempuh nan
bersamo, mengungkai nan berebo, yaitu larangan memasuki
wilayah atau memanjat yang ada tanda larangannya baik
berupa pagar atau tanda khusus. Kesebelas, Meminang di
atas pinang, Menawar di atas tawar, yaitu larangan
meminang gadis yang telah dipinang orang lain Keduabelas,
Umo bekandang siang, Ternak bekandang malam, yaitu
petani harus menjaga kebun dan sawahnya di siang hari
dan peternak harus mengurung ternaknya di malam hari.168

168 Cholif, Hukum Pidana Adat..., 50-55.

108
Undang Duapuluh secara konseptual menjadi spirit
masyarakat Melayu Jambi dalam menyelesaikan kasus
hukum, selain sebagai warisan leluhur yang harus
dipertahankan. Meski penetapan sanksinya bisa jadi
berbeda sesuai wilayah dan eco pakai. Secara umum segala
bentuk pelanggaran ―larang pantang‖ dalam Undang
Duapuluh dikenakan sanksi adat berupa ―denda adat atau
pampas‖, namun berbeda sesuai jenis dan tingkat
kesalahan, yang diklasifikasikan pada tiga kategori yaitu;
ringan, sedang dan berat.
Pada awalnya pemberlakuan aturan adat secara
universal pada bidang perdata, pidana, kelautan,
kehutanan, ketatanegaraan dan undang raja. Namun, sejak
Indonesia merdeka kompetensi peradilan adat hanya pada
bidang pidana dan perdata. Bidang perdata meliputi: 1).
Hukum Orang, yaitu hukum mengenai orang menurut adat
setempat yang dipakai meliputi orang perorangan sebagai
subjek hukum dan badan hukum, tempat tinggal,
kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan
pendewasaan dan pencatatan peristiwa hukum. 2). Hukum
Kekerabatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan
keluarga, darah, perkawinan, keturunan, kekuasaan orang
tua, harta benda perkawinan, warisan, pertalian, dan
perceraian. 3). Hukum perkawinan, yaitu hukum yang
mengatur tatacara melakukan ikatan suami istri dan
perceraian antar keduanya serta akibat hukum yang muncul
setelahnya.
Sedangkan bidang pidana adat berorientasi pada
hukum yang tidak terjangkau secara langsung oleh Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mencakup: 1)
pidana ringan seperti pencurian dan perkelahian; 2) Delik
aduan; perzinaan, penghinaan, pencurian dalam keluarga;
3) Delik adat seperti pemangku adat melanggar aturan adat.
Ketidakterjangkauan dimaksud disebabkan dua hal;
pertama, banyaknya kasus ringan yang harus ditangani oleh
aparat hukum setempat; kedua, keinginan dari masyarakat
sebagai adresat hukum memberdayakan dan
mengoptimalkan peran peradilan adat.

109
Berikut urutan-turunan Struktur Hierarki Undang
Adat Jambi:169

Gambar 5.1. Struktur Hierarki Undang Adat Jambi 1502-


1906

Bagan struktur di atas merefleksikan hukum adat


Jambi meliputi berbagai persoalan hukum yang dihadapi
masyarakat kecuali bidang ibadah yang tidak dicover dalam
undang adat mengingat persoalan tersebut diatur secara
eksplisit oleh Islam melalui naşş al-Qur‘an maupun Sunnah.
Begitupula bidang perdata (akhwâl al-syahsiyyah) dan
bidang pidana (akhwâl al-janâ‘iyyah), bidang bisnis

169Struktur hukum adat ini merupakan simpulan dari beberapa


referensi tentang adat yang penulis baca dan pahami melalui Undang
Adat Jambi yang dipublis Lembaga Adat Melayu Jambi di wilayah
Provinsi Jambi utamanya Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun dan
Muara Sabak, utamanya tulisan Mucktar Agus Cholif.

110
(muâmalah), dan ketatanegaraan (siyâsah), kesemuanya
termuat dalam aturan undang adat Jambi.170
Dengan demikian, aturan kerajaaan Islam Melayu
Jambi dalam bentuk Undang Adat ketika itu telah komplit
mengakomodir segala kebutuhan hukum rakyat, aturan
materil berupa peraturan tentang cara berinteraksi antar
personal, kelompok maupun penguasa dengan rakyat.
Begitupula dengan aturan formil yang mengatur tentang
cara beracara mulai dari gugatan terhadap orang yang
melanggar peraturan.

B. Praktik Hukum dalam Masyarakat Melayu Jambi


Kedatangan Islam ke kerajaan Melayu Jambi, memberi
pengaruh besar terhadap warna adat yang awalnya
bersendikan kepada alur, alur bersendikan ke patut dan
patut bersendi ke kebenaran menjadi ―Adat bersendi syarak,
dan syarak bersendi Kitabullah. Selanjutnya dijabarkan
menjadi ―Adat nan lazim syarak nan qawi; Syarak mengato
adat memakai, Haram kato syarak dihukum kata adat,

170Ibadah adalah segala usaha lahir dan batin sesuai dengan


perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup,
baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun alam semesta.
Terma ibadah sangat lekat dengan bahasa Melayu, sebagai perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Allah dilandasi ketaatan mengerjakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan muamalah adalah
segala bentuk hubungan antara sesama manusia, terkait dengan harta
dan kebutuhannya kepada pemilikan harta yang melahirkan Fiqh
Muamalah, seperti; jual beli, sewa menyewa, serikat usaha dan
sebagainya. Hubungan antar sesama manusia berkaitan dengan
pelanggaran kasus dan sanksi pencegahan melahirkan Fiqh Jinayah
(Hukum Pidana), seperti; zina, teroris, penghinaan, pencurian,
perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Hubungan antar sesama
manusia berkaitan dengan penyaluran nafsu syahwat guna meneruskan
keturunan secara sah melairkan Fiqh Munakahat (Ahwal al-Syahsiyyah),
seperti nikah, cerai, waris, pengasuhan anak, dan sebagainya. Hubungan
antar sesama manusia sebagai kelompok dengan pemimpinnya dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa melahirkan Fiqh Dusturiyah
(Hukum Tata Negara). Hubungan antar sesama manusia dalam suatu
negara dengan negara lain dalam masa perang maupun damai
melahirkan Fiqh Dualiyah (Hukum Internasional). Lihat Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 14-17.

111
Larang kato syarak pantang kato adat.‖ Inilah dasar
ideologis dan sosiologis bagi masyarakat Melayu Jambi
dalam penerapan hukum sejak abad ke-15 hingga saat ini
yang cenderung mengupayakan integrasi keduanya, meski
tak luput dari tarik ulur memperebutkan kepentingan
masing-masing.
Secara umum masyarakat Melayu Jambi
mempraktikkan syarak sesuai ajaran Islam, komitmen
idealnya tertancap dalam lubuk hati setiap muslim. Meski
karena persoalan sosial-politik, historis dan tarik menarik
kepentingan akhirnya menyebabkan mereka dihadapkan
persoalan yang mengalihkannya kepada praktik hukum
lain. Kenyataan ini dialami masyarakat Jambi yang
menjadikan kelembagaan adat sebagai institusi
menyelesaikan kasus sosial keagamaan.
Konsistensi penerapan aturan adat dan menjadikan
kelembagaan adat sebagai alternatif dalam penyelesaian
kasus perdata maupun pidana adat dapat dilihat pada
kasus-kasus hukum yang diselesaikan melalui peradilan
adat, sebagaimana pada latar belakang. Menurut Datuk
Drs.Azrai Basyari,171 praktik hukum yang berlaku pada
masyarakat Melayu Jambi secara substantif terkait dengan
hubungan antar personal, kelompok dalam masyarakat
berupa kebiasaan, hukum atau etika bergaul mengacu pada
Undang Adat Jambi, meskipun pada beberapa kasus
penerapannya berbeda. Perbedaan tersebut sesuai wilayah
geografis provinsi Jambi, yaitu wilayah Timur dan Barat.
Posisi Provinsi Jambi di bagian tengah Pulau
Sumatera secara geografis sekaligus memetakan Jambi yang
terdiri dari wilayah Timur dan Barat, kedua wilayah ini
yang dalam stereotip-kultural masyarakat Jambi dikenal
dengan sebutan Hilir dan Hulu (Mudik). 172 Wilayah Hilir
tradisi masyarakatnya cenderung pada tradisi masyarakat
Melayu Riau, Deli-Sumatera Utara bahkan Malaysia,
berlaku di Kota Jambi, Batanghari, Muara Jambi, Muara
Sabak, Tungkal, sebagian Muara Bungo dan Tebo. Berbeda

171Wawancara, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, 20 Mei 2015.


172Jambi dalam Angka 2015, 20.

112
dengan wilayah Hulu, tradisi masyarakatnya cenderung
kepada tradisi Minangkabau, berlaku di sebagian besar
Sarolangun, Merangin, Sungai Penuh, Kerinci dan sebagian
kecil Muara Bungo dan Tebo. Wilayah ini terintegrasi
dengan Provinsi Jambi secara georgafis, namun tidak secara
kultural karena terjadi saling-pengaruh antar-kebudayaan
yang pada gilirannya justru melahirkan kebudayaan Jambi
bias Minangkabau.
Menurut Barbara Watson Andaya, Hilir dan Hulu
merupakan pemetaan wilayah dalam kerajaan Islam Melayu
Jambi.173 Hilir adalah wilayah Jambi bagian yang berada di
pinggir laut dan berdataran rendah berawa yang dihuni oleh
beragam etnisitas, daerah awalnya ini dihuni oleh etnis
Melayu, namun dalam perkembangannya migran dari
berbagai etnis utamanya Bugis, Jawa dan Banjar
berdatangan dan terjadi kompetisi budaya serta budayanya
lebih pluralistik. Sedangkan Hulu adalah wilayah Jambi
bagian Barat yang berdataran tinggi, kebudayaannya lebih
seragam. Selain di wilayah sentra transmigrasi, daerah ini
dihuni oleh mayoritas Melayu dan Minangkabau karena
berbatasan secara geografis dengan Sumatera Barat.174
Menariknya, pada kedua wilayah ini terjadi terjadi
dualisme (ambivalen) hukum, meminjam istilah George
Rizert hukum berparadigma ganda), antara Hilir dan Hulu.
Pada beberapa kasus masyarakatnya menerapkan hukum
berbeda satu dengan lainnya, seperti; sistem kekerabatan,
kewarisan dan perkawinan eksogami.175 Pertama, praktik

173Barbara Watson Andaya, ―Upstreams and Downstreams in Early

Modern Sumatera‖, dalam The Historian, 57, III, 1995, 537-552.


174Heinzpeter Znoj, ―Sons versus Nephews: A Highland Jambi
Alliance at War with the British East India Company, ca. 1800‖, dalam
Indonesia, 97, 1998, 97-121.
175Masyarakat Arab Jahiliyah, membagi harta waris hanya kepada

laki-laki dewasa, sementara perempuan dan anak-anak tidak tergolong


ahli waris. Mereka berkata ―apakah kami perlu mewariskan harta kepada
orang yang tidak bisa memegang pedang dan menunggang kuda?‖
Perempuan yang ditinggal mati suaminya, hanya diberikan warisan
dalam bentuk nafkah dari harta yang ditinggalkan, selama setahun/masa
‗iddah. Pada awal mula Islam, mereka mulai mewariskan harta kepada
sadara laki-laki, keponakan, istri saudara dan paman dari ayah, secara
terpaksa. Kemudian, ketentuan iddah di-naskh dengan Q.S. al-Baqarah

113
kekerabatan masyarakat Melayu Jambi wilayah Hilir
menggunakan sistem kekerabatan patrilineal, sementara
masyarakat Melayu Jambi wilayah Hulu sebagian besar
mempraktikkan sistem kekerabatan matrilineal, utamanya
Suku Penghulu. Menurut Hazairin ada tiga bentuk
kekerabatan yang dipraktikkan masyarakat Indonesia.176
1. Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menimbulkan
kesatuan kekeluargaan besar dengan suku, klan dan
marga yang dihubungkan hanya kepada ayah, dan
karenanya seseorang bernasab ke ayah, seperti di tanah
Batak, Palembang, dan di tanah Arab.
2. Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan dalam bentuk
kesatuan kekeluargaan besar dengan suku dan klan
yang dihubungkan hanya kepada ibu, dan karenanya
seseorang bernasab ke ibu, seperti di Minangkabau.
3. Bilateral atau Parental, sistem kekerabatan yang
menimbulkan satu kesatuan kekeluargaan besar, seperti
trible atau rumpun yang dihubungkan kepada keduanya,
ibu dan ayah, seperti di tanah Jawa.
Praktik kekerabatan Patrilineal berimplikasi pada
praktik kewarisan Patrilineal, dimana pihak laki-laki
mendapat jatah warisan dua kali lipat melebihi perempuan.
Begitupula dengan kekerabatan Matrilineal, dimana pihak
perempuan menerima bagian waris lebih besar ketimbang
laki-laki. Inilah yang dipraktikkan oleh masyarakat Jambi
bagian Hulu. Menurut penulis ada dua prediksi embrio

[2]: 234, wa yatarabbas}na bi‘anfusihinn arba‗ah asyhur wa ‗asyra, hak


perempuan ditetapkan dengan Q.S. an-Nisa‘ [4]:12, walahunn ar-rubu‗
dan mewariskan secara terpaksa di-naskh oleh ayat ―wala yahill lakum
an taris an-nisâ‘ karha. Selanjutnya, secara berkala, al-Qur‘an merubah
sistem kewarisan Jahiliyah. Dari hanya diberikan kepada keluarga
partisipan perang dengan dua syarat: pertama, dengan mengikrarkan
sumpah ―wa allazin ‗aqadat aimânakum fa‘tuhum nasibahum‖, Q.S. an-
Nisâ‘ [4]:33. Kedua, dengan berhijrah ―inna allazin âmanu wa hâjaru wa
jâhadu bi amwâlihim wa an fusihim sampai pada hatta yuhâjiru‖ al-Anfâl
[7]: 72. Setelah masyarakat beradaptasi dengan ketentuan tersebut,
diturunkan Q.S. an-Nisa‘ 4:11, sebagai afirmasi terhadap gagasan tiga
sebab kewarisan; nasab, nikah, dan wulâ‘. Lihat Ibrâhîm al-Bâjûri,
Hâsyiah al-Bâjûrî, (Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-Turâs| al-‗Arabi, 1426 H), II. 96.
176Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‘an dan

Hadith, cet-2, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), 11-12.

114
lahirnya corak matrilineal dalam tradisi Minangkabau,
utamanya di kerajaan Pagaruyung. Pertama, strategi
masyarakat Minangkabau yang ingin menghilangkan bekas-
bekas dan tradisi kerajaan Majapahit yang pernah menjadi
kolonial di Minangkabau setelah kerajaan Pagaruyung dan
kerajaan kecil sekitarnya berhasil memisahkan diri dari
kerajaan Majapahit ketika dipimpin Ananggawarman
setelah perang terbuka di Padang Si Busuk. Kedua, strategi
Raja Beramah kerajaan Pagaruyung yang berkuasa pada
abad ke-4 M. yang tidak mempunyai anak laki-laki sebagai
penerus tahta, selanjutnya mendoktrinasi masyarakat
Minangkabau agar menerima kepemimpinan perempuan
dalam kerajaan.
Doktrin ini pada akhirnya merambah ke persoalan
sistem kekerabatan dan kewarisan, sebagaimana diakui
Ismail Zen:177 ―Tradisi masyarakat Hulu, utamanya
Kabupaten Sarolangun maupun Merangin
mengklasifikasikan harta warisan (peninggalan) menjadi
tiga bentuk yaitu; harta berat, harta ringan dan seko. Harta
Berat adalah harta yang oleh anak laki-laki dianggap berat
hati untuk dibawa pergi karena anak perempuan lebih
pantas menerimanya berupa benda keras, seperti; rumah,
sawah, kebun, toko, dan aset bernilai lainnya yang ditinggal
oleh orang tua (Muwarris) diperuntukkan bagi anak
perempuan. Begitupula rumah peninggalan orang tua
diberikan kepada anak perempuan bungsu. Sedangkan
harta ringan adalah harta bergerak diberikan kepada anak
laki-laki sebagai pencari nafkah, seperti; kendaraan, ternak
dan lainnya. Adapun seko adalah pangkat, gelar atau
jabatan yang diturunkan kepada anak laki-laki tertua.‖
Statemen ini diperkuat penelitian Albert al-Fikri
tentang kewarisan paradigmatik di Sarolangun,
menurutnya tidak mudah bagi masyarakat Muslim
Sarolangun—utamanya kelompok pendukung kewarisan
matrilineal—meninggalkan sistem kewarisan adat warisan
nenek moyang. Praktik adat mereka percayai sebagai
aturan ―dak lekang dek panas, dak lapuk dek hujan,‖

177Wawancara, Ketua Lembaga Adat Sarolangun, 25 Mei 2015.

115
(sesuatu yang spontan dan tak akan pernah berubah
kapanpun). Bagi pendukung matrilineal falsafah adat
diyakini kompatibel dengan materi adat itu sendiri,
sedikitnya dua argumentasi untuk mengabsahkan praktik
tersebut: 1) Karena adat telah diverifikasi oleh syarak. 2)
Karena masyarakat adat tidak harus mempraktikkan
keduanya akan tetapi boleh memilih salah satunya.
Sementara itu, masyarakat Melayu Jambi bagian
Hilir pendukung praktik kewarisan patrilineal
menginginkan keselarasan syarak dengan adat sesuai pesan
Islam menuntut pemeluknya mengimplementasikan Islam
secara totalitas (kâffah).178 Kelompok ini menjadikan
falsafah adat sebagai cara pandang (frame of thinking)
dalam mempraktikkan sistem kewarisan sebagaimana
adanya, seperti di Batanghari dan Muara Sabak yang
mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan
Patrilineal, yaitu pemberian hak waris kepada anak laki-
laki dua kali lipat ketimbang anak perempuan. Hal ini
ditegaskan oleh Fathuddin Abdi dan Samsul: 179 ―Masyarakat
Batanghari sejak awal komit dengan falsafah adat, oleh
karenanya apapun putusan syarak itulah yang harus
dijalani atau diamini adat. Tidak hanya itu, bahkan
pengurus adat Batanghari saat ini banyak memverifikasi
adat yang berlaku dianggap ganjil untuk disesuaikan
dengan syarak baik persoalan lama maupun persoalan baru.
Persoalan lama seperti; upacara pengantin menginjak
kerbau ditiadakan, mengambur beras kunyit diganti dengan
mengambur biji pinang. Sedangkan persoalan baru seperti;
larangan duduk bersanding saat aqad nikah, menulis
bismillah foto bersanding di undangan.‖
Berbeda dengan masyarakat Kota Jambi yang
mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan
bilateral/parental, yaitu kekerabatan yang bertumpu kepada
ayah dan ibu secara seimbang dan pemberian hak waris

178Albert al-Fikri, Diskursus Hukum ..., 24-25.


179Wawancara, Ketua Lembaga Adat Batanghari dan Muara Sabak,
23-25 Mei 2015.

116
kepada anak laki-laki sama kuantitasnya dengan anak
perempuan baik diberikan melalui hibah ataupun wasiat. 180
Sebagaimana dikatakan Azra‘i Basyari:181 ―Pada
umumnya masyarakat Melayu Jambi menganut prinsip
kekerabatan bilateral, dimana setiap individu ketika
menarik garis keturunannya selalu menghubungkan dirinya
kepada pihak ayah ataupun ibu. Kekerabatan seorang anak
dengan kerabat pihak ayah sebanding dengan kerabat pihak
ibunya, sehingga dikenal dalam adagium―Anak dipangku
kemenakan dijinjing‖. Sistem billateral juga tidak
mempunyai akibat yang selektif karena bagi setiap individu
semua kerabat ayah maupun ibu masuk dalam hubungan
kekerabatannya sehingga tidak mengenal batas. Garis
keturunan ditarik dengan menempatkan faktor keluarga
sebagai kelompok masyarakat terkecil dan menjadi basis
perhitungan batas hubungan kekerabatan di antara satu
sama lain. Statemen ini diperkuat penelitian Yuliatin yang
menyimpulkan praktik kewarisan msyarakat Kota Jambi
dan sekitarnya adalah parental/bilateral. 182

180Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan tentang ketentuan

waris secara damai, sebagaimana termuat dalam Pasal 183 ―para ahli
waris dapat bersepakat mekakukan perdamaian dalam pembagian harta
warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.‖ Menurut Imâm
asy-Syâfi‗i kerelaan merupakan prioritas utama dalam perdamaian
(s}ulh), bahkan s}ulh tidak sah jika tidak diiringi tîb an-nafs (kerelaan).
Pendapat ini memperjelas kedudukan an-tarâd}in sebagai prasyarat
mutlak bagi penerapan waris secara damai. Kewarisan secara damai
tidak dapat dilakukan tanpa kerelaan, dasar argumentatifnya al-Qur‘an
pada kata‗‗an-tarâd}in‖ dan hadis ―innahu la yahill mâl imri‘in Muslim
illâ bi t}îbah min nafsih‖ Lihat Muhammad bin Ismâ‘îl bin al-Amîr al-
Yamani as-San‘ani, Subul as-Salâm Syarh Bulûg} al-Marâm min Adillah
al-Ahkâm, (Kairo: Dar al-Hadîs}, 1428 H), III, 80-81.
181Wawancara, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, 20 Mei 2015
182Penelitian Yuliatin menyimpulkan sistem kekerabatan yang

berlaku pada masyarakat Kota Jambi bilateral/parental, dimana garis


keturunan adari pihak Ayak dan ibu diperlakukan sama atau seimbang,
sehingga masyarakat setempat memiliki ikatan kekeluargaan yang luas
karena berasal dari keduanya. Sedangkan praktik kewarisan yang
berlaku ada dua bentuk, yaitu; patrilineal dengan merujuk kepada
aturan Islam, parental/bilateral dengan merujuk kepada aturan dan
pembagian waris dalam bentuk hibah yang diberikan secara merata saat
muwarris masih hidup. Lihat Disertasi Yuliatin, Hukum Islam dan

117
Apapun perspektifnya, kompleksitas fenomena
patrilineal-matrilineal dalam pergulatan adat dan syarak
tetap saja berkontribusi memberikan gambaran umum
(common sense) tentang pengaruh adat terhadap kewarisan
matrilineal dan pengaruh syarak terhadap kewarisan
patrilineal masyarakat Melayu Jambi. Dapat dimaklumi
masing-masing kelompok memiliki cara pandang sendiri,
baik secara adat maupun syarak.
Substansinya, selagi tidak menimbulkan
perselisihan, sebagaimana dipraktikkan mayoritas
masyarakat Melayu Sarolangun melalui pembagian waris
secara adat, yakni matrilineal. Ketika pihak ahli waris laki-
laki merasa keberatan maka dapat menempuh jalur farâ‘id
melalui Pengadilan Agama. Keabsahan praktik ini
bergantung pada sudut pandang masing-masing, pendukung
matrilineal menganggap sistem kewarisannya sah secara
adat, sementara pendukung patrilineal justru menganggap
praktik waris mereka yang ‗sebenarnya‘ dan sejalan dengan
falsafah adat. Masing-masing kelompok mempunyai
argumentasi dan pandangan paradigmatik yang kemudian
melahirkan subordinasi kewarisan berparadigma ganda
antara Hilir dan Hulu.
Terlepas dari itu, Islam menerapkan sistem
kekerabatan yang mempunyai hubungan keluarga yang
dapat ditarik baik dari garis keturunan bapak (laki-laki)
maupun dari garis keturunan ibu (perempuan).183 Islam
memposisikan laki-laki dan perempuan setara dalam
masyarakat dan keluarga serta tidak mengutamakan garis
keturunan bapak atau menafikan garis ibu. Atas dasar itu,
menurut Sulaiman Abdullah:184 ―Praktik waris adat saat ini
secara umum ada dua yaitu komunitas masyarakat yang
cenderung mengamalkan sistem kewarisan Patrilineal yang
diasumsikan bersumber dari warisan Islam dan sistem
kewarisan Matrilineal yang diasumsikan bersumber dari
tradisi Minangkabau. Prinsip pembagian waris adalah

Hukum Adat (Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota


Jambi), 126-135.
183Syarifuddin, Hukum Kewarisan..., 188.
184Wawancara, Ketua MUI Jambi, 10 Agustus 2015.

118
berdasarkan kerelaan dari kedua pihak, jika pihak laki-laki
merelakan harta warisan diberikan lebih banyak kepada
pihak perempuan maka hukumnya boleh, meskipun
praktiknya sangat bergantung pada keinginan dan
kenyamanan pelakunya karena keduanya memiliki
landasan hukum, terlepas landasan hukum tersebut sejalan
dengan syarak atau sebaliknya. Substansinya dan
terpenting masyarakat Melayu Jambi selama ini hidup
nyaman dan damai, jangan sampai terjadi konflik hanya
karena harta waris.‖
Statemen ini menjelaskan aturan hukum Adat Jambi
yang mencakup berbagai persoalan sosial keagamaan.
Segala aturan yang dibuat dalam upaya menjadikan
masyarakat Jambi hidup dalam suasana yang damai tanpa
melanggar pola tutur dan tindak yang mengakibatkan orang
lain terganggu. Artinya, secara substantif baik syarak
maupun adat menawarkan aturan sekaligus sanksi dengan
tujuan mengedepankan nilai ideologis, moralitas dan sosial.
Dari ketiga sistem kekerabatan dan kewarisan
tersebut masyarakat Melayu Jambi mempraktikkan
semuanya, hanya saja disesuaikan dengan kondisi wilayah.
Wilayah Hilir tradisinya ‗mirip‘ dengan Riau, Deli-Sumatera
Utara dan Malaysia, seperti; Kabupaten Muaro Bungo,
Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, Tanjung
Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, mempraktikkan
sistem kekerabatan patrilineal dan bilateral. Sedangkan
wilayah Hulu, seperti; Kabupaten Sarolangun, Merangin,
Sungai Penuh dan Kerinci, sebagian besar masyarakatnya
mempraktikkan sistem kekerabatan matrilineal.
Kedua, praktik perkawinan eksogami, yang berlaku
di kalangan masyarakat adat ber-penghulu yakni tidak
boleh kawin dengan satu klan atau marga. Padahal
implikasinya jika tidak dibolehkan perkawinan tersebut
berarti tidak sah alias batal. Larangan seperti ini tidak
didasari atau bersendi kepada syarak, hanya saja dianggap
―tidak baik, melanggar baso‖ (tidak baik, karena
bertentangan dengan budi-bahasa). Dengan kata lain,
adanya ketidakjelasan status hukum pada kasus ini, yang
seharusnya melahirkan hukum mubah. Menurut Hazairin

119
ada tiga model perkawinan di Indonesia, yaitu; endogami,
eksogami, dan eleutherogami.185 Pertama Endogami, yaitu
ketentuan yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di
lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial, atau lingkungan
pemukiman. Praktik semacan ini dapat dijumpai di tanah
Toraja, meski jarang terjadi, terlebih di tengah era
globalisasi. Kedua Eksogami, ketentuan yang
mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan
sosial, kerabat, kelas sosial, atau lingkungan pemukiman,
sebagaimana terjadi di Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau,
Sumatera Selatan, Boru dan Seram. Ketiga Eleutherogami,
tidak mengenal larangan sebagaimana endogami dan
eksogami, yang dilarang jika terdapat hubungan nasab atau
keluarga (musahharah) sebagaimana yang diajarkan oleh
Islam.186 Praktik semacam ini dapat dijumpai di hampir
seluruh wilayah Nusantara seperti; Sumatera, Jawa,
Madura, Sulawesi, Lombok, termasuk masyarakat Melayu
Jambi.
Menurut A Lutfi di kalangan masyarakat adat yang
ber-penghulu berlaku larangan kawin dengan satu suku dan
sepupu se-ibu. Alasannya hubungan terlalu dekat
berimplikasi pada keluarga tidak berkembang dan perasaan
persaudaraan yang masih begitu terasa seperti saudara
sendiri.187 Meski aneh mengingat argumentasi yang
dikemukakan justru bukan adat, melainkan syarak.
Padahal dalam syarak, semua pernikahan kekerabatan
dibolehkan kecuali yang ditentukan oleh syarak itu sendiri.
Lutfi menambahkan bahwa kekhawatiran tersebut juga
pada susuan (rad}â‘ah) di masa kecil antara kedua
mempelai—ternyata—menjadi sebab larangan perkawinan
sepupu se-ibu dengan tujuan (sadd az|-z|arî‘ah). Di sinilah
(dis)fungsi syarak dipertanyakan; teliti (hukum syarak) yang
awalnya difungsikan sebagai korektor aturan yang termuat

185Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat,


(Jakarta: Masagung, 1982), 32.
186Q.S. an-Nisa‘ [3]: 23.
187Wawancara, Pegawai Syarak Desa Tanjung Kabupaten
Sarolangun, 25 Mei 2015.

120
dalam adat untuk diteliti kemudian mengatur adat, justru
‗diperalat‘ untuk melegalkan kehendak adat.
Anehnya, pemetaan wilayah berdasarkan adat ini
berlangsung hingga saat ini dan tradisi mendua ini justru
mendapat ‗pembenaran-etis‘ dari adat dan syarak. Praktik
perberdayaan ―budaya‖ inilah yang akhirnya melahirkan
stereotipe-kultural bahkan ―sentimen kultural‖ berbeda di
kalangan masyarakat Melayu Jambi.188
Fenomena-fenomena inilah yang terjadi di Jambi
meski sebenarnya ―tidak dihendaki‖ oleh Islam, mengingat
syarak sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia.
Sementara adat seperangkat aturan yang berlaku bagi
suatu golongan masyarakat pada waktu dan tempat
tertentu. Secara umum, dapat diillustrasikan bahwa
pemberlakuan syarak bersifat mutlak, ia senantiasa
berstatus halal sejauh tidak ada faktor yang memaksanya
menjadi haram, seperti hukum berwudu dengan air curian.
Pada dasarnya wudhu‘ merupakan suatu kewajiban yang
berkonsekuensi pahala, namun jika air yang digunakan
untuk berwudu adalah air curian, hukumnya berubah
menjadi haram karena faktor yang mempengaruhinya.
Sebaliknya hukum memakan babi adalah haram, sampai

188Stereotipe adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang

atau sekelompok orang yang bercorak negatif, yang pembentukannya


didasarkan pada generalisasi, sehingga sifatnya subjektif. Lebih jauh,
stereotipe merupakan produk dari proses interaksi antarkelompok etnis
atau yang terdapat dalam masyarakat di dalamnya ada kelompok
mayoritas dan minoritas. Sedangkan ―Sentimen Kultural‖, yaitu
munculnya stigma negatif dari kedua kubu untuk menonjolkan diri dan
mendeskreditkan kelompok lain. Kenyataan ini dicermati ketika
masyarakat Hulu lebih akrab dan senang dipanggil ―Budak Mudik‖
ketimbang putra Jambi, karena ingin membuktikan diskriminasi,
keunggulan, atau superioritas ketimbang ―Budak Hilir‖. Persepsi ini bisa
jadi tidak berlaku bagi masyarakat Melayu Hilir yang masyarakatnya
heterogen dan lebih megedepankan pluralitas. Tidak ada referensi yang
menjelaskan tentang pihak mana yang memulai memunculkan paradigma
dikotomik ini, namun patut diakui bahwa ini terus terjadi bahkan pada
momen tertentu sering mengemuka. Tidak jelas faktor pemicu, kapan
dikotomi ini muncul dan siapa menjadi provokator atau penanggung
jawab manajemen konplik ini. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar
Studi Islam, (Yogyakarta: Akademia Tazaffa, 2009), 209.

121
kondisi darurat memaksa untuk memakannya, maka
hukumnya menjadi boleh. Berbeda dengan adat yang pada
beberapa item penerapannya mensyaratkan nilai-nilai etik,
yakni di suatu tempat ia dapat dikatakan pantas, namun di
tempat yang lain ia bisa pula dikatakan sebaliknya.
Meski demikian, masyarakat Melayu Jambi tetap
mempraktikkan dualisme hukum bahkan ―trilogisme
hukum‖ yaitu hukum positif yang dioperasionalkan oleh
pemerintah melalui lembaga peradilan umum yang
merupakan produk hukum Belanda, hukum Islam yang
dioperasionalkan oleh pemerintah melalui lembaga
peradilan Agama yang merupakan produk hukum Islam,
dan hukum adat yang dioperasionalkan oleh kelembagaan
adat melalui presidium kerapatan adat (qadhi).189 Selain itu,
hukum Islam yang dioperasionalkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) atas dasar permintaan masyarakat muslim,
sebagai organisasi non-formal.
Praktik semacam ini dalam perspektif Islam
mengundang problem signifikan menyangkut ideologi,
sosial, politik dan kultural. Pertama, Problem Ideologi, yaitu
umat Islam idealnya secara holistik mengimplementasikan
syarak tanpa memilah dan memilih atau bahkan
mencampuradukkan dengan aturan hukum lain termasuk
Adat. Selain itu, pemberlakuan kedua hukum secara
bersamaan merupakan refleksi terjadinya ambivalensi adat
dan syarak atau manipestasi dari praktik hukum
berparadigma ganda, meminjam istilah George Ritzer,
dalam memegangi hukum.190

189Menurut Bustanul Arifin ketiga hukum tersebut sebenarnya


hingga kini masih berlangsung, namun dengan argumen mengedepankan
kepentingan nasional dan disesuaikan dengan kasadaran hukum
masyarakat dibahasakanlah oleh sarjana hukum Indonesia bahwa hukum
nasional Indonesia diramu dari unsur hukum Islam, Adat dan Barat.
Lihat Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP IKAHA, 1994),
40.
190George Ritzer merupakan penggagas teori Paradigma Ganda

karena berhasil menjembatani dua paradigma filsafat dalam sosiologi.


Menurutnya, ada tiga faktor penyebab perbedaan paradigma dalam
sosiologi. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari

122
Kedua, Problem Kultural, yaitu apakah seorang
muslim telah mengalami pembatinan (internalisasi) nilai-
nilai Islam dalam kepribadiannya sehingga benar-benar
menyadari bagaimana mengekspresikannya ke dalam pola
pikir, sikap, dan tindakan (eksternalisasi). Demikian pula
sebaliknya, sering terjadi keterputusan reflektif disebabkan
oleh desakan lingkungan yang sangat pluralistik, dikemas
dengan logika komunikasi yang menawan dan otoritas yang
kuat, terhadap komitmen individu muslim untuk
mengimplementasikan norma agama dan adat.
Ketiga, Problem Sosial, yaitu hukum yang
merupakan refleksi tata nilai masyarakat dijadikan sebagai
pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan beragama. Atas dasar itu, syarak
seharusnya perlu menangkap aspirasi umat yang
berkembang pada persoalan kekinian, dan menjadi pijakan
mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik
masa mendatang.
Keempat, Problem Politis, dalam sejarah Jambi sejak
abad ke-15 terjadi antara syarak dengan adat, sehingga
melahirkan berbagai kesepakatan melalui deklarasi yang
dituangkan dalam falsafah adat. Endingnya dimenangkan
oleh syarak meski mengatasnamakan adat. Selanjutnya
pada masa kolonial Belanda munculnya politik unifikasi
hukum yang memaksakan hukum mereka untuk
diberlakukan di negeri jajahan sehingga berimplikasi pada
lahirnya tiga sistem hukum, yaitu; syarak, adat dan hukum
Belanda. Artinya terjadi subordinasi antara tiga sistem
hukum yang pada awalnya dimenangkan oleh syarak

pemikiran komunitas masing-masing sosiolog tentang pelajaran yang


semestinya dipelajari. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perbedaan
pandangan itu, pendukung masing-masing sistem tidak hanya
mempertahankan pandangannya, tetapi juga melancarkan serangan
terhadap pandangan berbeda. Ketiga, metode memahami dan
menerangkan substansi disiplin itu pun berbeda pula. Inilah yang
menjadi dasar rupakan pijak penerapan teori paradigma terpadu
menjembatani dialektika dua paradigma kewarisan di kalangan
masyarakat Muslim Sarolangun. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Ali Mandan, (Jakarta;
Rajagrafindo Persada 2014), 6-8.

123
berdasarkan masukan Christian Van Den Berg melalui teori
―Receptio in complexiunya‖, namun setelah kedatangan
Christian Snouck Hurgronje keadaan menjadi berbalik yang
dimenangkan oleh adat, hingga syarak dapat berlaku
manakala sesuai atau sejalan dengan adat, meski idealnya
syarak terdepan sebagai panduan terhadap pola tindak
umat Islam.191 Kondisi ini semakin ironi ketika intervensi
kolonial Belanda mempersempit ruang gerak praktik syarak
dengan menerapkan teori receptie Christian Snouck
Hurgronje. Gagasannya didasarkan pada fakta bahwa
syarak hanya diterima dan berlaku di Indonesia ketika ia
mendapatkan justifikasi adat. Persis ketika penguasa
kolonial Belanda, penguasa adat dan komunitas Muslim
saling subordinasi inilah adat dan syarak dihadapkan pada
persoalan eksistensi.
Pada masa berikutnya, setelah kemerdekaan dan
sampai saat ini pemerintah daerah Jambi belum menegasi
perlunya pemberlakuan syarak secara total atau merevisi
undang adat yang ada untuk disesuaikan dengan
perkembangan situasi, kondisi dan keinginan masyarakat
Jambi. Terlebih memberlakukannya ke seluruh warga
masyarakat Jambi tanpa memandang sekat etnik, domisili
dan agama.

C. Sinkronisasi dan Diferensiasi Aturan Syarak


dengan Adat

Aturan syarak sebagai produk hukum yang muncul


kemudian dipadukan dengan aturan adat yang telah mapan
pada suatu wilayah. Ketika keduanya terintegrasi dan
dikompilasi menjadi Undang Adat Jambi tentu dijumpai
sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi (titik beda) antar
keduanya.

191Syarak yang bersumber dari naşş al-Qur‘an maupun Sunnah,

keduanya memberikan skema kehidupan (the scheme of life) sangat jelas


bagi masyarakat muslim yang tunduk pada kehendak Ilahi. Nilai baik
dan buruk yang terkandung di dalamnya seyogyanya menjadi landasan
etis untuk pengembangan seluruh dimensi kehidupan. Lihat Amin Rais,
Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1987), 50- 51.

124
Sinkronisasi Aturan Syarak dengan Adat
Sinkronisasi (titik temu) antara aturan adat dan syarak
dapat ditelisik dari dua aspek; Pertama, sinkronisasi dalam
artian produk hukum yang bersumber dari ajaran Islam
masuk pada klasifikasi Adat Sebenar Adat. Produk hukum
kategori ini bersendi kepada syarak dengan ideologi ahl
sunnah wa jama‘ah yang berorientasi pada pemahaman
keagamaan NU kultural (NU Cultural Oriented), praktiknya
hampir sama pada seluruh daerah sesuai dengan ―ideologi‖
masing-masing. Kedua, adat yang di-Islamisasi atau
terintegrasi dengan syarak karena substansi pesannya
sejalan dengan pesan syarak. Produk hukumnya
disandingkan dengan syarak, dalam artian aturan adat yang
ada dipaksakan sejalan dengan syarak meski praktiknya
berbeda. Keduanya dipadukan melahirkan konfigurasi
Undang Adat Jambi dan berlaku di seluruh wilayah Jambi.
Produk hukum kategori kedua ini sebagaimana
termuat dalam Undang Duapuluh dan beberapa kasus
hukum lain menjadi dasar pijak penetapan hukum di Jambi.
Pertama, Undang tentang Pampas, sebagaimana tertuang
dalam seloka adat: ―luka-lekih dipampas‖, pelaku yang
melukai badan/fisik orang lain diberi sanksi membayar
pampas (denda) yang dibedakan atas 3 kategori, yaitu:192
1. Luka Rendah, pampasnya seekor ayam, segantang beras,
dan kelapa setali (dua buah).
2. Luka Tinggi, pampasnya seekor kambing dan 20 gantang
beras, dan
3. Luka Parah, pampasnya dihitung setengah/separo
bangun. Mati Dibangun, pelaku yang membunuh orang
lain, dihukum membayar bangun dimana pelaku harus
membayar denda (diyât) sebesar 2.400 gram emas, dan
biaya cuci kampung berupa seekor kerbau, selemak
semanis seasam segaram, 20 gantang beras, 5 hasta kain
putih, dan 20 tandan kelapa.193

192Aulian Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, diakses

tanggal 6 Juni 2016.


193Nawawi, Hukum Adat Jambi, (Jambi: LAM Kota Jambi, 2005),

13.

125
Sanksi pampas dikenakan terhadap pelaku tindak
kriminal (jarîmah) seperti; membunuh, melukai fisik orang
lain, atau menghilangkan bagian anggota tubuh korban. 194
Pelaku pembunuhan dikenakan sanksi diyât (denda adat),
karena diupayakan seoptimal mungkin oleh unsur
pemerintahan desa, pegawai syarak dan tokoh adat
terjadinya perdamaian (işlâh) antara kedua belah pihak
yaitu pelaku dan ahli waris korban. Hanya saja, kuantitas
diyât yang harus dikeluarkan oleh pelaku berbeda dengan
ketentuan fikih dan disesuaikan dengan tradisi setempat.
Substansinya hukum tetap ditegakkan dan diharapkan
pelaku jera atas sanksi yang diberikan sehingga tidak
mengulanginya.195 Sedangkan dalam Islam diberlakukan
hukum Qişâş terhadap pelaku pembunuhan, terkecuali
dimaafkan oleh ahli waris korban sehingga sanksinya
dialihkan menjadi sanksi diyât.196 Dengan demikian,
penetapan sanksi adat dan syarak sejalan ketika ada upaya
mendamaikan antara pelaku dengan ahli waris korban.
Kedua, Penantang Berkelahi (dago dagi), pelaku
dikenakan sanksi denda sebagaimana adagiumadat
―Memekik Mengentam Tanah, Menggulung Lengan Baju,
Menyingsing Kaki Celana‖. Jika yang ditantang orang biasa
sanksinya 1 ekor ayam, 1 gantang beras dan 2 buah kelapa,

194Syarak mengenal tiga bentuk Jarîmah (pidana), yaitu; Jarîmah


Hudud, Jarîmah qişâş dan Jarîmah Ta‘zîr. Pertama, Jarîmah Hudud
yaitu pelanggaran tindak pidana yang telah ditentukan standar
sanksinya oleh Allah melalui naşş (al-Qur‘an dan Sunnah) berupa rajam
atau cambuk bagi pelaku zina, potong tangan bagi pencuri, li‘an dan
lainnya karena merupakan hak Allah. Kedua, Jarîmah qişâş yaitu
pelanggaran tindak pidana yang telah ditentukan standar sanksinya
sebagai hak adamî, seperti; berupa qişâş (balasan yang sama) terhadap
pelaku pembunuhan dengan sengaja. Ketiga, Jarîmah Ta‘zîr, yaitu
pelanggaran tindak pidana yang ketentuan dan kadar sanksinya
diberikan keleluasaan kepada pemerintah. Lihat Imam Nawawi, al-
Majmu‘: Syarh al-Muhazzab, (Jedah: Maktabah al-Irsyad, t.th.), XXII, 3-5.
195Dalam literatur fikih dijelaskan sanksi terhadap pelaku
pembunuhan adalah membayar diyât sebesar 100 onta dengan jenis yang
berbeda. Kalau tidak mampu dikenakan sanksi qişâş yaitu balas bunuh.
Lihat Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bajuri, (Beirut: Dar al-Ihya at-
Turats al-Araby, 1980), Jilid II, 280-281.
196Q.S. al-Baqarah [2]; 178.

126
sedangkan yang ditantang atasan atau kedudukannya lebih
tinggi sanksinya 1 ekor kambing, 20 gantang beras dan 20
buah kelapa.197 Dalam kasus ini, tidak dijumpai naşş şahîh
yang secara eksplisit menjelaskan tentang status dan sanksi
hukum bagi pelaku yang menantang orang lain,
sebagaimana adat Melayu Jambi. Namun, spirit yang
termuat dalam naşş menunjukkan dorongan kepada umat
Islam untuk menjalin persaudaraan, hubungan baik
bertetangga, bahkan untuk mendamaikan konflik internal
maupun eksternal antar sesama muslim.198
Di sisi lain, banyak dijumpai naşş al-Qur‘an maupun
Sunnah Rasul melarang perilaku sombong, berbuat
keonaran dan kericuhan yang berujung pada
disharmonisasi, perselisihan bahkan konflik
berkepanjangan dengan orang lain.199 Dipertegas oleh hadis
Muslim mengenai larangan menantang orang lain, 200 dan
larangan menakut-nakuti muslim lain (teror).201

197Azra‘i al-Basyari, Undang-undang Adat ..., 5-8.


198Q.S. al-Hujurat [49]: 9-10.
199Q.S. Luqman [31]: 18.
200Teks hadis:

‫ قَ َال أَبُو‬:‫ول‬ُ ‫ يَػ ُق‬،َ‫ت أ َََب ُىَريْػَرة‬ ِ ‫ ع ِن اب ِن ِس ِري‬،‫ عن أَيُّوب‬،َ‫ ح َّدثػََنا س ْفيا ُن بن عيػيػَنة‬:‫ قَ َال عمرو‬،‫ وابن أَِِب عمر‬،‫ح َّدثَِِن عمرو النَّاقِ ُد‬
ُ ‫ ََس ْع‬،‫ين‬ َ ْ َ َ ْ َ ْ َُ ُ ْ َ ُ َ ٌْ َ ََ ُ َُْ ٌْ َ َ
ِ‫ ح ََّّت ي َدعو وإِ ْن َكا َن أَخاه ِِلَبِ ِيو وأُِمو‬،‫ فَِإ َّن اْلم ََلئِ َك َة تَػْلعنُو‬،‫َشار إِ ََل أ َِخ ِيو ِِب ِد َيد ٍة‬ ِ ِ
َّ َُ َ َُ َ َ ُ َ َ َ َ َ ‫ « َم ْن أ‬:‫صلَّى هللاُ َعَلْيو َو َسلَّ َم‬ َ ‫اْل َقاس ِم‬
―Telah menceritakan kepadaku 'Amr an-Naqd dan Ibn Abiy 'Umar, 'Amru
berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibn 'Uyainah dari
Ayyub dari Ibn Sirin Aku mendengar Abu Hurairah berkata; Abu Qasim
bersabda: "Barang siapa yang mengacungkan senjata kepada saudaranya,
maka malaikat akan melaknatinya hingga ia menurunkannya kembali.
Meski dia saudara sebapak atau saudara seibu. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada
kami Yazid bin Harun dari Ibnu 'Aun dari Muhammad dari Abu Hurairah
dari Nabi Saw dengan hadits yang serupa.‖ Lihat Abu al-Husain Muslim
ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, şahîh Muslim, hadis
No 2616 (125) juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 2020.
201Teks hadis:

‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ِ ‫ ح َّدثػََنا أَصَاب رس‬:‫ َعن َعب ِد ا َّلر ْْحَ ِن ب ِن أَِِب لَيػلَى قَ َال‬،ِ‫اْلهِِن‬ َِّ ‫ عن عب ِد‬،‫ ح َّدثػَنا ْاِلَعمش‬،‫اَّلل بن ُنَُ ٍري‬ ِ
َ ‫اَّلل‬ َُ ُ َ ْ َ ْ ْ ْ ْ ّ َُْ ‫اَّلل بْ ِن يَ َسا ٍر‬ َْ ْ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َّ ‫َح َّدثػََنا َعْب ُد‬
،‫َخ َذ َىا‬ ٍ ِ ِ ٍ ِ ِ َّ ِ َّ َِّ ‫ أَنػ َُّه ْم َكانُوا يَسريُو َن َم َع َر ُسول‬،‫هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬
ِ ِ
َ ‫ض ُه ْم إ ََل نػَْبل َم َعوُ فَأ‬ ُ ‫ فَانْطَلَ َق بػَ ْع‬،‫ فَػنَ َام َر ُجلٌ مْنػ ُه ْم‬،‫صلى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم ِف َمسري‬ َ ‫اَّلل‬
ِ ِ
ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬ َ ‫ إََِّل أَ ََّّن أ‬،‫ ََل‬:‫ فَػ َقالُوا‬، »‫ضَ ُك ُك ْم‬
ُ ‫ فَػ َق َال َر ُس‬،‫َخ ْذ ََّن نَػْب َل َى َذا فَػ َف ِز َع‬ ْ ُ‫ « َما ي‬:‫ فَػ َق َال‬،‫ك الْ َق ْوُم‬ َ َِ ‫ض‬ َ َ‫ ف‬،‫ِع‬ َ ‫الر ُج ُل فَز‬َّ ‫استَػْيػ َق َظ‬
ْ ‫فَػلَ َّما‬
»‫ «ََل ََِي ُّل لِ ُم ْسلِ ٍم أَ ْن يػَُرِّو َع ُم ْسلِ ًما‬:‫َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬

―Telah menceritakan kepada kami 'Abd Allah ibn Numair telah


menceritakan kepada kami al A'masy dari 'Abd Allah ibn Yasar al-

127
Secara substantif Islam mengajarkan manusia saling
menolong, mengasihi, menyayangi, kedamaian, dan
melarang memicu konflik apalagi permusuhan, meski tanpa
menyebutkan secara spesifik tingkatan sanksi bagi pelaku.
Dorongan untuk berbuat baik dan larangan berbuat
kerusakan (jalb al-maşâlih wa daf‘ al-mafâşid) endingnya
menciptakan ke-maşlahah-atan bersama antar sesama
manusia dan makhluk hidup, sesuai tujuan hidup manusia
(maqâşid al-Syari‘ah).
Berpijak pada asas maşlahah dan menjaga diri
(Hifzun Nafs) dari segala mudarat itulah dalam hukum adat
Melayu Jambi diberlakukan beberapa standar hukum,
tujuannya memberi efek jera bagi para pelakunya agar tidak
mengulanginya dan menjaga ketentraman masyarakat.
Mengingat Islam tidak menolak pemberlakuan sanksi,
sejalan dengan kaidah ―Adat yang baik (yang sudah
diketahui secara umum) sebagai syariat dan bersifat
mengikat‖.202 Bahkan dalam kaidah lain ditegaskan bahwa
―al-Ma‘rûfu ‗urfan kal masyrûthi syarthan, al-Tsâbit bil ‗urfi
ka al-Tsâbit bi al-Naşş‖, (yang baik itu menjadi ‗urf,
sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat, dan yang
ditetapkan melalui ‗urf sama dengan ditetapkan melalui
naşş). Larangan melawan atasan, pemimpin, atau bahkan
melakukan kudeta terhadap penguasa (wali al-amr).203
Ketiga, tentang Pinangan, dimana pada adat Melayu
Jambi aturan peminangan sebelum menikah dimuat dalam
seloka adat: ―Meminang di atas Pinang, menawar di atas

Juhaniy dari 'Abd ar-Rahman ibn Abu Laila berkata: telah menceritakan
kepada kami para sahabat bahwa mereka berjalan bersama Rasulullah
Saw dalam suatu perjalanan lalu seseorang di antara mereka tidur,
sebagian dari mereka mendekati anak panahnya lalu mengambilnya
kemudian orang itu terbangun dan kaget, orang-orang tertawa kemudian
Rasul bersabda: "Apa yang membuat kalian tertawa?" mereka berkata:
Tidak, kami hanya mengambil anak panah orang ini lalu ia kaget.
Rasulullah Saw bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim menakut-
nakuti muslim lain." Lihat Ahmad ibn Hanbal Musnad Ahmad ibn
Hambal, hadis No-23064 (Beirut: ar-Risalah, t.th.), XXXVIII, 163.
202Ali Haidar, Durar al-Hukkâm: Syarh al-Majallah al-Ahkâm,

(Beirut: al-Kutub al-‗Alamiyah, t.th.), I, 66.


203Ahmad bin Ruslan, Shofwa al-Zubâd, (Madinah: t.tp., 1417 H.),

5.

128
tawar. Artinya, jika seorang gadis telah dipinang oleh orang
lain dan jelas pinangan itu diterima, maka status gadis
tersebut adalah tunangan orang lain dan tidak boleh lagi
dipinang. Pelanggaran ketentuan ini, dihukum dengan 1
ekor kambing dan 20 gantang beras.‖ Penerapan sanksi adat
ini sejalan pesan Rasul yang secara tegas melarang
seseorang meminang perempuan yang dipinang oleh laki-
laki lain, kecuali setelah meminta izin dari peminang
sebelumnya atau peminangan dibatalkan.204
Menurut Kemas Husin, jika pembatalan pinangan
(lamaran) oleh pihak laki-laki secara sepihak maka
pembatalan tersebut diakui oleh adat maka barang
bawaannya ketika melamar berupa cincin dan barang
lamaran lainnya yang telah diberikan kepada pihak
perempuan dianggap hangus. Berbeda ketika inisiatif
pembatalan tunangan dari pihak perempuan maka pihak
perempuan dikenakan sanksi adat dengan mengembalikan
cincin dan barang lamaran dua kali lipat kepada pihak laki-
laki.205
Tradisi masyarakat Melayu Jambi mengenai
larangan meminang perempuan yang telah dipinang orang
lain, sejalan dengan ketentuan syarak. Sementara itu,
persoalan denda/hukuman yang ditentukan itu pada
prinsipnya hanyalah untuk menjaga dan mencegah
terjadinya permusuhan, prasangka buruk, kebebasan dan
moral (akhlak) yang tidak baik serta menjaga sikap saling
menghargai sehingga tercipta ketenangan dan kedamaian di
tengah masyarakat. Hal seperti ini tidak bertentangan
dengan Islam.206
Keempat, tradisi Cuci Kampung, yaitu ritual adat
ketika ada perbuatan salah (asusila) yang terjadi antara

204Teks hadis:
ِ‫ «نَػهى النَِِّب صلَّى هللا عَليو‬:‫ول‬ َّ ‫َن ابْ َن ُع َمَر َر ِض َي‬
َّ ‫ث أ‬ ِ ِ ‫ ََِسع‬:‫ قَ َال‬،‫ ح َّدثَػنا ابن جري ٍج‬،‫ح َّدثَػنا م ِّكي بن إِبػر ِاىيم‬
ْ َ ُ َ ُّ َ ُ ‫ َكا َن يَػ ُق‬،‫اَّللُ َعْنػ ُه َما‬ ُ ‫ ََُي ّد‬،‫ت ََّنف ًعا‬ُ ْ ْ َ ُ ُ ْ َ َ َ َْ ُ ْ ُّ َ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
»‫ب‬ُ ‫اط‬ ‫اخل‬
َ ‫و‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ن‬
َ ‫ذ‬
َ ْ
‫َي‬
َ ‫َو‬
ْ ‫أ‬ ‫و‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ػ‬‫ب‬ْ‫ػ‬‫ق‬
َ ‫ب‬
ُ ‫اط‬ ‫اخل‬
َ ‫ك‬َ ‫ر‬
ُ ‫ػ‬‫ت‬ْ‫ػ‬
َ‫ي‬ ‫َّت‬
َّ ‫ح‬
َ ، ‫يو‬‫خ‬ َ
‫أ‬ ‫ة‬ ‫ب‬
َ‫ط‬
ْ ‫خ‬ ‫ى‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬
َ ‫ل‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ب‬
َ ‫ط‬
ُ ‫َي‬
َْ ‫َل‬
َ ‫و‬َ ،‫ض‬ ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بػَْي ِع بػَ ْع‬ َ ِ‫َو َسلَّ َم أَ ْن يَب‬
ُ ‫يع بػَ ْع‬
Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Al-Jami‘ ash-
Shahîh. hadis No 5142 (t.th) (Kairo: Mathba‘ah as-Salafiyah, t.th), VII, 19.
205Wawancara, Ketua Adat Simpang Rimbo, 28 Mei 2015.
206Asy-Syafi‘i, al-Umm, (T. Tp: Dar al-Wafa‘ li al-Thoba‘ah wa al-

Nasyr wa al-Tauzi, 2001), VI, 107-108.

129
sesama Bujang Gadis (perjaka-perawan), atau antara
Bujang Gadis dengan orang yang sudah menikah. Mengenai
Cuci Kampung tercermin dalam adagium adat: ―Tegak
mengintai Lenggang, Duduk Menanti Kelam, Tegak berdua
begandeng dua, Salah Bujang Gadis dikawinkan‖.
Pergaulan Bujang Gadis yang diduga kuat melanggar adat
dan memberi malu kampung tanpa sisik siang harus
dikawinkan. Sanksi pertama diberi nasehat, jika masih
mengulangi perbuatan tersebut maka dikenakan sanksi
berupa denda cuci kampung sebanyak 1 ekor kambing, dan
20 gantang beras serta dikawinkan. Secara tekstual sanksi
seperti ini tidak sejalan dengan pesan al-Quran.207
Penegasan al-Qur‘an terhadap sanksi bagi pelaku
zina harus dijilid (dicambuk), terkesan tidak sejalan dengan
sanksi yang diimplementasikan melalui adat. Padahal
secara substantif sanksi yang diterapkan sesuai dengan
spirit Islam, meski tidak persis dengan putusan syarak.
Menikahkan keduanya berarti telah menutup pintu maksiat
berikutnya dan memberi kesempatan pelaku bertobat
kepada Allah atas kekhilapannya. Sedangkan ritual cuci
kampung merupakan sanksi sosial yang harus dijalani
pelaku beserta keluarga yang memakan waktu tidak
terbatas bahkan ke beberapa generasi. 208 Atas dasar itu,
solusinya dengan mengawinkan pelaku zina laki-laki dan
perempuan sebagai sanksi atas perbuatan mereka,
perkawinan sarana terbaik sekaligus langkah apresiatif
terhadap ajaran Islam. Pemberlakuan hukum rajam atau
cambuk dirasa berat, namun harus dicarikan solusi agar
tidak terulang kembali perbuatan asusila tersebut.209
Dengan demikian, terlihat adanya sinkronisasi (titik
temu) antara putusan syarak dan putusan adat yaitu;
pertama, dasar pijak keduanya adalah al-Qur‘an dan
Sunnah (ayat maktûbah) dan tradisi yang hidup dalam

207Q.S.an-Nur [24]: 3.
208Pelaku zina dalam Islam dikenakan sanksi, Muhsan sanksinya
adalah rajam jika telah terpenuhinya 4 syarat; baligh, berakal, merdeka
dan pernah berjima‘. Lihat Imam Nawawi, al-Majmu‘..., 320-322.
209Khotib Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat al-Fadh al-

Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), III, 492.

130
masyarakat serta lingkungan sekitar (ayat kauniyah).
Kedua, materi teksnya mencakup semua aspek fikih, yaitu:
ibâdah, akhwâl al-syahsiyyah, jinâyah, muâmalat dan
siyâsah, berikut sanksi bagi pelaku serta konpensasi bagi
korban. Ketiga, paradigmanya menciptakan maşâlih dan
menghindari mafâsid, stabilitas sosial-politik, kompromistis,
dan ukhuwah. Keempat, subjek hukumnya adalah umat
Islam. Kelima, pada kasus tertentu memiliki institusi
yudikatif secara hierarkis.
Diferensiasi Aturan Syarak dengan Adat
Adat Melayu Jambi sejak awal abad ke-15 telah diverifikasi
oleh syarak dengan falsafah ―adat bersendi syarak, syarak
bersendi Kitabullah‖, dan ―undang datang dari hulu teliti
dari hilir‖, namun demikian tidak menutup kemungkinan
adanya diferensiasi (titik beda) antar-keduanya. Misalkan
dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan hukum pidana
mengatur pelaku dihukum Qişâş dan diyât, berbeda dengan
hukum adat yang mengatur pelaku dikenakan sanksi adat
berupa cuci kampung, membayar pampas dan meminta
maaf kepada korban serta membayar bangun atau diyât
sesuai dengan aturan adat.
Perbedaan putusan syarak dan putusan adat terlihat
pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat. 210
Pertama, larangan kawin dengan satu klan atau marga.
Jika tidak boleh mafhûm-nya tidak sah. Larangan ini, pada
dasarnya tidak bersendi syarak, namun bagi masyarakat
wilayah Hulu (Barat) praktik semacan ini ―kurang baik,
melanggar baso‖ (sû‘u al-adab). Konsekuensinya, larangan
itu tidak ditentang tetapi juga tidak dianjurkan; nahy tapi
tidak tahrîm. Begitupula larangan menikahi sepupu se-ibu,
argumentasi yang dimunculkan justru bukan adat
melainkan syarak. Padahal ketetapan syarak membenarkan
seluruh pernikahan kecuali ditemukan ketentuan dalil yang
melarangnya.211 Kekhawatiran susuan (rad}â‘ah) di masa

210George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai

Perkembangan Terakhir Post Modern, alih bahasa Saut Pasaribu, et. al.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014).
211Q.S. an-Nisa‘ [4]; 23.

131
kecil antara kedua mempelai—ternyata—menjadi sebab
larangan perkawinan sepupu se-ibu dengan tujuan (sadd
az|-z|arî‘ah). Di sinilah (dis)fungsi syarak dipertanyakan;
apakah teliti (hukum syarak) difungsikan sebagai yang
meneliti kemudian mengatur adat, atau justru ‗diperalat‘
untuk melegalkan keinginan adat.
Kedua, perempuan yang pernah menikah (al-Tsaib)
tidak berhak mendapatkan lamaran (hantaran) alias tanpa
lamaran dari pihak lelaki, berbeda dengan gadis yang
berhak menerima lamaran bahkan ikut menentukan jumlah
lamaran. Dalam Islam perbedaan perempuan gadis dan
janda hanya saat menikah, dimana perempuan gadis
diberikan hak kepada orang tuanya menentukan calon
suami (wali al-mujbir), sedangkan perempuan janda
mempunyai hak sendiri memilih pasangan hidupnya. Hadis
ini tidak menetapkan perbedaan dalam nilai ataupun
jumlah lamaran, namun dalam adat Jambi dibedakan
jumlah dan nilai lamaran bagi perempuan janda.
Perempuan janda tidak berhak menentukan jumlah
lamaran, tergantung kemauan pihak laki-laki atau
sekedarnya saja Meski belum dijumpai alasan yang kuat
tentang dasar penetapan hukum tersebut.
Ketiga, dalam sistem kekerabatan dan kewarisan
terjadi dualisme penerapan hukum antara masyarakat
Melayu Jambi Hulu (Barat) menganut sistem kekerabatan
matrilineal menisbatkan anak kepada ibu, berbeda dengan
masyarakat Melayu Jambi wilayah Hilir (Timur) menganut
sistem patrilineal yang menisbatan anak kepada ayah dan
ini merupakan refleksi dari pemahaman terhadap konsep
Islam.
Keempat, sanksi perselingkuhan, penerapan sanksi
bagi istri dengan membayar tebus thalak sebagai syarat
perceraian dan diusir dari rumah dengan membawa pakaian
seadanya dan bagi selingkuhannya sanksi wajib membayar
tebus talak kepada suami agar suami dapat
menceraikannya atas dasar permintaan isteri, lalu isteri
diusir dari rumah dengan membawa pakaian yang sedang ia
pakai (sepelulusan). Selanjutnya suami meminta ganti rugi
kepada lelaki yang menodai isterinya untuk membayar

132
ganti rugi dengan dua pilihan yaitu; sepenyebutan atau
sepenjemputan. Pertama, Sepenyebutan, maksudnya suami
meminta ganti rugi sesuai keinginannya karena laki-laki
tersebut karena telah menodai isterinya dan menjatuhkan
martabatnya di tengah masyarakat. Kedua, Sepenjemputan,
maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai dengan jumlah
uang yang ia keluarkan ketika melamar isterinya.
Berpijak pada beberapa contoh kasus tersebut
disimpulkan perbedaan antara syarak dengan adat dijumpai
pada beberapa aspek: pertama, penerapan sanksi hukum
Islam lebih mengedepankan praktik ijtihad istinbathy
(maksud naşş), sedangkan adat lebih mengedepankan
ijtihad tathbiqy (maksud adat).212 Kedua, penerapan sanksi
Islam lebih mengedepankan implementasi khiţâb syar‘i dan
aspek jera guna mewujudkan maqâsid al-syar>i‗ah,
sedangkan adat lebih mengedepankan, meminjam istilah
Pahmi Sy, kompromi antara pelaku dan korban. Adat selalu
selalu menginterpretasikan khiţâb syar‘i untuk disesuaikan
dengan keinginan masyarakat adat dan kondisi di lapangan
meski dalam persoalan tertentu tidak sejalan dengan khiţâb
syar‘i. Seperti pada kasus mengganti mati-bangun
pembunuhan dengan kerbau, sebagaimana dicontohkan
pada kasus penyembelihan Nabi Ismail As. digantikan
dengan Kibas. Begitupula dengan cuci kampung sebagai
bentuk pengakuan atas kesalahan dan permohonan ampun
sehingga disucikan dengan doa bersama.
Mencermati sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi
(titik beda) antara putusan syarak dan putusan adat,
beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, secara
umum syarak mengakomodir adat, baik dari aspek prinsip
maupun implementasi. Contoh, prosedur acara seremonial
sebelum acara pernikahan, mulai dari perkenalan,
pinangan, lamaran, dan tunjuk ajar (nasihat perkawinan).
Kedua, bila terjadi perbedaan prinsip terkait persoalan

212Ijtihad
menurut asy-Śyâţibî
‫اَلجتهاد ىواستفراغ اْلهد وبذل غاية والوسع ىف ادارك اَلحكام الشرعية‬
―Pengetahuan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali
hukum syarak.‖ Lihat Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ Asy-Syâţibî, al-
Muwâfaqât ..., Juz. IV, 89.

133
ideologis antara aturan adat dengan adat, maka aturan
syarak menjadi prioritas utama dan putusan adat dapat
dilaksanakan bila keadaan memungkinkan. Contoh kasus
perdata, kuantitas pembagian harta waris 2:1 atau lebih
bagi anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Ketiga,
memodifikasi berbagai bentuk sanksi terhadap pelanggaran
kasus pidana maupun perdata. Contoh kasus pidana,
menetapkan sanksi Dibangun bagi pelaku tindak pidana
pembunuhan dengan kewajiban membayar seekor kerbau
dan kain putih, beras, kelapa dan selemak semanis, dengan
tujuan memberikan modal penghidupan bagi keluarga
korban. Dalam bidang perdata, penetapan wajib nikah bagi
pelaku dan membayar denda cuci kampung berupa seekor
kambing dan peralatan dapur lainnya bagi pelaku sumbang
salah untuk ritual pembacaan doa dengan tujuan agar
kampung tersebut jauh dari balak bencana. Pengadopsian
terhadap adat seperti ini, pada hakikatnya yang berlaku
adalah syarak meskipun materinya diterima dari adat.
Meski antara syarak dengan adat berbeda dalam
definisi dan epistemologi sehingga memunculkan
sinkronisasi dan diferensiasi, namun misinya sama yaitu
mewujudkan tatanan masyarakat yang hidup damai dalam
perspektif politis maupun sosiologis.

D. Unifikasi sebagai Penjembatan Pergulatan Syarak


dengan Adat
Unifikasi merupakan upaya menyeragamkan aturan yang
awalnya berbeda menjadi satu baik berupa hukum dan
pemerintahan, sebagaimana terjadi di Jambi sejak abad ke-
15. Penyeragaman aturan syarak dengan aturan adat
melahirkan Undang Adat Jambi, begitupula dengan
penyeragaman aturan pemerintahan berdasarkan kerajaan
(Temenggung) dengan pemerintahan berdasarkan kerapan
adat (Perpatih) melahirkan Pemerintahan Adat Melayu.213

213Kedua aturan tersebut jelas, terarah dan sistemik sehingga

menjadi sistem. Sistem adalah batasan metode dimana metode tersebut


memkoridorkan batasan masalah yang di hubungkan atau komponen
yang memiliki suatu parameter kesamaan saling terhubung dalam suatu

134
Pertama, unifikasi sistem hukum, dalam sejarah
kerajaan Islam Nusantara, salah satu kerajaan yang
berhasil menyunifikasi syarak dengan adat adalah kerajaan
Islam Melayu Jambi oleh Ahmad Kamil. Beliau berjasa
memadukan adat dan syarak menjadi aturan dan
dikodifikasi menjadi undang negara dengan nama Undang
Adat Jambi. Unifikasi ini justru jauh sebelum terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berawal dari
kedatangan Islam yang memberi pengaruh besar terhadap
warna adat yang awalnya bersendikan kepada alur, alur
bersendikan ke patut dan patut bersendi ke kebenaran
menjadi adat bersendi syarak, dan syarak bersendi
Kitabullah. Sejak saat itu, kerajaan Melayu Jambi
mendasarkan syariat Islam sebagai dasar ideologis dan
sosiologis sehingga muncul seloka ―Adat nan lazim syarak
nan qawi‖, syarak mengato adat memakai, haram kato
syarak dihukum kata adat, larang kato syarak pantang kato
adat.‖
Sementara wilayah Jambi bagian Barat tetap berlaku
―adat bersendi alur, alur bersendi patut, patut bersendi
kebenaran‖.214 Pada abad ke-15 M. mulailah kerajaan ini
berusaha memasukkan wilayah Barat sebagai bagian dari
wilayah kerajaan secara keseluruhan dan hukum yang
diberlakukan adalah hukum yang didasarkan pada syariat
Islam. Untuk mempercepat dan mempermudah penguasaan
wilayah Barat, seorang wakil raja ditempatkan di wilayah
Barat yang berkedudukan di Muaro Masumai – Bangko.

batasan. Ada dua sistem yang berhasil dikombinasikan pada masa


kerajaan Islam Melayu yaitu; sistem hukum dan sistem pemerintahan.
Pertama, sistem hukum yaitu kesatuan dari tatanan yang terdiri dari
bagian atau unsur yang saling berhubungan dan berkaitan secara erat.
Kedua, sistem pemerintahan, yaitu suatu sistem untuk menjaga
kestabilan masyarakat dalam banyak segi sosial, norma, dan ekonomi,
menjaga kestabilan sistem dalam menjaga kedaulatan negara, menjaga
kekuatan dari segi pertahanan, ekonomi, politik dan keamanan dimata
dunia sehingga menjadi berkelanjutan untuk memenuhi tugas esensial
dan fakultif dari Negara. Lihat Lilik Mulyadi, Sistem Hukum
Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaji dari Perspektif
Yurisprudensi dan Pergeseran ―kebijakan‖ Mahkamah Agung Republik
Indonesia, diakses tanggal 10 April 2017.
214Ibid.

135
Ketika itu wilayah Sarolangun Bangko (Sarko) berada di
bawah sistem persekutuan adat Depati Setio Rajo, Depati
Setio Nyato dan Depati Setio Rajo.
Mengingat Jambi wilayah Barat tidak mempunyai
persekutuan sebagaimana sistem kerajaan, dengan mudah
dikuasai oleh kerajaan Islam Melayu Jambi. Wilayah Muaro
Masumai yang termasuk sistem persekutuan adat Depati
Setio Rajo harus tunduk kepada aturan kerajaan yang
dikepalai oleh Temenggung Kabul Dibukit pada awal abad
ke-15 M. Selanjutnya, atas perintah raja beliau
mengupayakan agar sistem hukum adat yang ada
disesuaikan dengan spirit ajaran Islam.
Sejak saat itu terjadi ambivalen dalam penerapan
hukum di wilayah Jambi bagian Barat, mereka mempunyai
hukum adat sendiri semenjak dulu kala dipaksakan untuk
menerapkan syarak. Sebelumya di Kerinci dan Sarko
semenjak tahun 1347-1526 M. memberlakukan hukum adat
yang disebut Undang berasal dari Pagaruyung. 215 Atas
dasar itu, menurut Junaidi T Noer muncul seloka―Undang
turun dari hulu, Teliti mudik dari Tanah Pilih, Undang
Tibo dulu Taliti Tibo kurian, Undang datang bertali gial,
Teliti tibo bertali tajuk, Undang talanjuo kile Teliti telanju
mudik‖.216
Implikasinya timbul kesulitan penerapan hukum
pidana adat, memberlakukan hukum pidana dari
Pagaruyung atau hukum pidana dari Tanah Pilih. Untuk
menengahinya digagaslah Rapat Besar Adat (RBA) kedua di
Bukit Sitinjau Laut tahun 1530 M. melalui konvensi yang
dituangkan dalam falsafah―Undang datang dari Hulu, Teliti

215Undang diasumsikan adat yang berasal dari Minangkabau,


sedangkan Teliti diasumsikan aturan yang bersumber dari ajaran Islam.
Asumsi pertama ini tidak seluruhnya benar dengan alasan, pertama, adat
Minangkabau dan adat Jambi pada awalnya inheren dalam kesatuan adat
Melayu di bawah kekuasaan kerajaan Melayu. Penggunaan bahasa
adatpun relatif sama sebagaimana termuat dalam undang duo puluh,
yang tidak hanya dipakai dalam terminologi Minangkabau akan tetapi
juga digunakan pada beberapa etnis dan bangsa Melayu di dalam dan
luar negeri. Kedua, jika bahasa Melayu yang dijadikan acuan maka cikal
bakal etnis Melayu justru dari Jambi.
216Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.

136
dari Hilir.‖ Tujuannya adalah memadukan Undang dengan
Teliti yang penerapannya berbeda, sesuai seloka: ‗Apo kato
Teliti, apo pulo kato Undang, cukil mato pembunuh kato
Teliti, cukil mato kerbau kato Undang, potong tangan
pencuri kato Teliti, potong tangan kambing kato Undang‖.
Begitupula kesulitan menjatuhkan sanksi pada kasus
pembunuhan, menurut Teliti ahli waris korban mempunyai
pilihan satu diantara dua hukum, menerima uang denda
(diyât) atau qişâş yaitu pelaku dihukum mati. Berbeda
dengan sistem hukum menurut Undang pelaku wajib bayar
bangun, yaitu membayar kepada pihak korban dan denda
adat, serta cuci kampung, dan berdamai saling memaafkan
antara pihak korban dan pelaku, maka untuk menyatukan
Undang dengan Teliti diusulkan oleh adanya Rapat Adat
pada tahun 1530 bertempat di Bukti Sitinjau Laut
perbatasan antara Kerinci dengan Padang.
Sejak saat itu syarak dengan adat terintegrasi secara
mapan dan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling
melengkapi sehingga terjadi keseimbangan karena mampu
mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok sebagai
adresat hukum. Meskipun lahirnya falsafah ini
mengindikasikan terjadinya subordinasi antara dua hukum
dalam suatu arena yang disimbolkan dengan undang dan
teliti.217 Integrasi keduanya dirumuskan dalam Undang
Adat Jambi, yang di dalamnya memuat undang duapuluh
dan undang raja.218

217Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara ..., 25-27.


218Di antara undang kerajaan Jambi sebagai ditulis Ngebi Sutho
Dilogo, sebagai peraturan yang berlaku pada waktu itu dan harus ditaati
oleh semua masyarakat yang bernaung dalam kerajaan Jambi terdiri dari
33 pasal dan 70 pasal. Kesimpulan 33 pasal 1). Raja adalah pemegang
kekuasaan tertinggi, karena keputusan pengadilan harus disahkan oleh
raja; 2). Kedudukan setiap priyayi atau raja kecil sama dengan kerajaan
yang dua belas bangsa; 3). Rakyat dapat membantah priyayi yang berlaku
zalim baik secara perorangan maupun secara bersama-sama. 4).Tidak ada
hukum kurungan, yang ada hanya hukum denda, pukul, rantai, kerja
paksa, luka berpampas, mati membangun; 5). Hukuman yang dijatuhkan
tidak dapat diganggu gugat; 6). Hukuman yang tidak setimpal dengan
dakwaan maka dibolehkan naik banding dalam jangka tujuh hari; 7).
Hukum adat itu lebih kuat daripaada hukum celaga; dan 8). Semua
perkara yang diajukan haruslah dengan bukti yang lengkap. Ibid, 34.

137
Kedua, Ahmad Kamil juga berhasil menyatukan dua
sistem pemerintahan otonom, yaitu; berdasarkan kerajaan
(Temenggung) dan berdasarkan kerapatan adat
(Perpatih).219 Sistem pemerintahan yang awalnya terpisah,
di wilayah Hilir menerapkan pemerintahan berdasarkan
kerajaan (Temenggung), sedangkan di wilayah Hulu
menerapkan pemerintahan berdasarkan kerapatan adat
(Perpatih).
Sedangkan pemerintahan Kerapatan Adat hanya
menetapkan pemerintahan adat berdasarkan falsafah
Berjenjang naik, Bertanggo turun. Sebagai bukti
ditemukannya gelar pemuka adat mulai dari Sigindo,
Pamuncak hingga Depati. Sistem ini mempunyai beberapa
ciri, yaitu; tidak mengenal raja dalam pengertian absolut
karena posisi raja bergantian, kepemimpinan adat
berdasarkan kesepakatan berdasarkan ‗alur dan waris‘
secara bergantian antar kaum kerabat dalam komunitas
tersebut. Sistem pemerintahan ini didasarkan pada adat
dan lembaga pemerintahannya disebut dengan Lembaga
Adat yang merepresentasikan kepentingan penguasa
(pemerintah), pegawai syarak dan pemangku adat.220 Sistem

219Aulia Tasman, Memahami Adat Lamo di Wilayah Jambi,

makalah dalam "Seminar Adat Melayu Jambi", 2014, 2.


220Kedua model pemerintahan baik Temenggung maupun Perpatih

diprediksi adopsi dari tradisi Minangkabau, keduanya yang diidentikkan


dengan otokrasi dan demokrasi. Pertama, Otokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang.
Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani derivasi dari kata oto yang
berarti sendiri dan kratos berarti pemerintah. autokratôr yang secara
harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Otokrasi
merupakan Pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh seseorang
yang berkuasa secara penuh dan tidak terbatas masanya. Sedangkan
yang memegang kekuasaan disebut otokrat yang biasanya dijabat oleh
pemimpin yang berstatus sebagai raja atau yang menggunakan sistem
kerajaan. Para pendukung otokrasi biasanya mengajukan pendapat
bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif
untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses
pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang
beragam, atau persaingan antar kelompok menjadi relatif terkurangi oleh
sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan. Negara yang
mempraktikkan pemerintahan ini antara lain: Inggris, Swedia, Denmark,
Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol.

138
pemerintahan ini dikenal dengan istilah Perpatih
(pemerintahan adat yang dipimpin oleh Pemangku Adat).
Pemangku Adat memimpin forum tiga tali sepilin yang ada
dalam kelembagaan adat melalui kerapatan adat dan
merupakan representasi dari; pertama, Raja Alam, Raja dari
kerajaan dan sedang berkuasa; kedua, Raja Ibadat, orang
sangat memahami persoalan keagamaan, dan ketiga, Raja
Adat, orang yang paling berpengaruh di masyarakat dan
sangat mengerti tentang norma adat. Raja ibadat awalnya
dalam tradisi Minangkabau adalah ―pandito (pendeta)‖,
kemudian diganti oleh Ahmad Kamil dengan istilah pegawai
syarak, yang terdiri dari imam, khatib dan bilal. Inilah kali
pertama munculnya istilah pegawai syarak sesuai falsafah
―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖. Pegawai
syarak dibebani tanggung jawab oleh kerajaan memelihara
eksistensi dan keberlangsungan syarak pada setiap marga
dan kampung. Kedua sistem hukum dan ―pemerintahan
adat‖ inilah yang masih berlaku di Jambi, meski kelihatan
unik namun tetap diakui dan dipraktikkan oleh masyarakat
Melayu Jambi.
Setelah kerajaan Islam Melayu yang mempraktikkan
sistem kerajaan (Temenggung) dengan berhasil
menaklukkan Kerinci dan Sarolangun-Bangko (Sarko) yang
ketika itu memberlakukan sistem kerapatan adat
(Perpatih), terjadi kolaborasi kedua sistem pemerintahan
sehingga lahirlah sistem pemerintahan Adat Melayu Jambi.
Struktur pemerintahan Melayu Jambi ini merupakan
kolaborasi dari dua sistem pemerintahan dan dipraktikkan

Di negara-negara ini, otokrasi menjadi instrumen pemersatu yang cukup


efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang
ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju
seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki.
Kedua, Demokrasi, dimana kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat,
bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan
demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang
dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi
langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative
democracy). Lihat Carlton Clymer Rodee, dkk., Introducti on to Political
Science, terj. Zulkipli Hamid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 64,
159.

139
secara bersamaan sesuai tugas masing-masing. Dalam
sistem pemerintahan Melayu Jambi, kerajaan dipimpin oleh
seorang Raja atau Sultan secara hierarkis merupakan
pemimpin tertinggi dibantu oleh Perdana Menteri, yang
bertugas mengendalikan administrasi kerajaan dan calon
pengganti Raja atau Sultan. Pendana menteri bergelar
Pangeran Ratu membawahi dua dewan, yaitu Dewan Patih
Dalam dan Dewan Patih Luar. Patih Dalam dan Patih Luar
sama dengan kedudukan Menteri dalam kabinet
presidensial. Anggota-anggota kerapatan Patih Dalam
terdiri dari Panggeran yang mempunyai gelar masing-
masing.221
Saat ini, sistem hukum yang ada di wilayah Jambi
bagian Barat masih tetap memberlakukan sistem hukum

221Sistem pemerintahan asli masyarakat Jambi tidak banyak


berbeda sejak dari kerajaan Melayu sampai zaman kesultanan Jambi,
kerajaan disusun berdasarkan adat, pada zaman kesultanan adat
bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah. Bentuk dan struktur
pemerintahan kerajaan adalah berjenjang naik bertanggo turun, asas
demokrasi berdasarkan kepribadian seorang raja, yang tercermin dalam
pepatah ―raja adil raja disembah raja zalim raja disanggah‖. Secara
hierarkis raja atau sulthan adalah pucuk pimpinan tertinggi yang dibantu
oleh seorang perdana menteri (Pangeran Ratu). Tugas perdana menteri
ini adalah mengendalikan administrasi kerajaan. Perdana menteri adalah
seorang bergelar Pangeran Ratu sebagai calon seorang pengganti Raja
atau Sultan. Pangeran Ratu atau perdana menteri membawahi dua
macam dewan, yaitu Dewan Patih Dalam dan Dewan Patih Luar, yang
mana pemerintahan Jambi terdiri dari Dewan kerajaan Melayu Islam
adalah sistem pemerintahan yaitu: Kuasa Sultan, Kuasa Patih Dalam,
Kuasa Patih Luar, Rantau Sekato Jenang, Negeri Sekato Batin, Luhak
Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, dan Rumah Sekato Tengganai.
Patih Dalam dan Patih Luar adalah merupakan kerapatan Sultan
(sistem) sekarang sama dengan kabinet dalam menjalankan
pemerintahan. Anggota-anggota kerapatan Patih Dalam terdiri dari
Panggeran-pangeran yang bergelar: 1. Pangeran Adipati Mangkuningrat
(Pangeran ratu) Calon Sultan; 2. Pangeran Soetie Nyato Kereno; 3.
Pangeran Djojoningrat; 4. Pangeran Ario Djoyo Kusumo; 5. Pangeran Noto
Manggolo; dan 6. Pangeran Wiro Kusumo. Sedangkan anggota kerapatan
patih luar terdiri dari: 1. Pangeran Soero Mangku Negoro; 2. Pangeran
Mangku Negoro; 3. Pangeran Prabunegoro; 4. Pangeran Joyokusumo; 5.
Pangeran Keromodelogo; dan 6. Pangeran Koesoemo Dilogo. Hierarki
pemerintahannya dikenal dengan adagium―berjenjang naik bertanggo
turun‖. Lihat Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara ..., 30.

140
adat bias pemerintahan kerapatan adat (Perpatih),
sementara sistem pemerintahan yang awalnya kerajaan
(Temenggung) sejak kemerdekaan kembali kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam konteks ini
pemerintah Indonesia telah yang mempunyai struktur
hierarkis dari pusat sampai daerah (lurah/desa) bahkan
sampai tingkat Rukun Tetangga (RT).222
Pengalaman ―mendamaikan‖ isi teks syarak dengan
adat sebagai hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah
sosial yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga
masyarakat lokal) dan sistem pemerintahan ini dipandang
sukses membawa masyarakat Melayu Jambi menuju
kedamaian, inklusifitas dan fluralitas. Pluralitas hukum
rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan
paham partikularisme pada zaman kerajaan Melayu
berlanjut pada masa kerajaan Islam Melayu dan kesultanan
hingga saat ini. Begitupula dengan mendamaikan kedua
sistem pemerintahan sebagai kesatuan hukum dan politik
substansinya menyerap aspirasi dari berbagai kelompok dan
kekuatan di tengah pluralitas masyarakat untuk
selanjutnya diganti dengan hukum flural yang
diunifikasikan dan bahkan dikodifikasikan.223 Berikut

222Pemerintahan Temenggung digagas oleh Datuk


Ketemenggungan yang dipraktikkan di seluruh wilayah Melayu seperti;
Jambi, Palembang, Riau dan Aceh dengan ciri, antara lain:
mempraktikkan sistem otokrasi, kekerabatan dan kewarisan patrilineal,
aturan hukum berorientasi kepada syarak, sanksi hukum berorientasi
pada pengajaran (efek jera). Sedangkan Pemerintahan Perpatih digagas
oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, yang dipraktikkan di wilayah
Minangkabau, Negeri Sembilan, Malaka dan sebagian wilayah Jambi
bagian Hulu dengan ciri, antara lain: mempraktikkan sistem demokrasi,
setiap suku bersaudara, kekerabatan dan kewarisan matrilineal, aturan
hukum berorientasi kepada adat dan sanksi hukum berorientasi pada
pemulihan dan persaudaraan. Lihat ―Sistem Perundangan Kerajaan
Melayu, diakses tanggal 25 Januari 2017.
223Unifikasi hukum adalah langkah penyeragaman hukum atau

penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di


suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara
tersebut. Sedangkan kodifikasi hukum adalah suatu langkah pengkitaban
hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab undang-undang
(codex) yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Beberapa contoh
hukum yang telah dikodifikasikan di Indonesia adalah: Hukum pidana

141
refleksi unifikasi sistem hukum dan sistem pemerintahan
Melayu Jambi.

Gambar 5.2. Unifikasi Sistem Hukum dan Pemerintahan

Dalam konteks pembauran dan kolaborasi sistem


hukum dan sistem pemerintahan, oleh Mahfud MD
dikatakan sedikitnya ada dua yaitu karakter produk hukum
responsif (otonom) dan produk hukum konservatif
(ortodoks).224 Produk hukum responsif karakternya
mencerminkan pemenuhan atas tuntutan- tuntutan baik
individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam
masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa
keadilan di masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif
ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi
masyarakat, serta lembaga peradilan, hukum diberi fungsi
sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat;
sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak
terbuka untuk diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan
visi pemerintah sendiri.

yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP);Hukum perdata yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdsata); Hukum dagang yang telah
dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);
dan Hukum acara pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
224Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta:

Gama Media, 1999), 8-9

142
Sedangkan Produk hukum konservatif karakternya
mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan, sehingga
pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi
masyarakat secara serius. Pada produk demikian biasanya
diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau
menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program
penguasa. Rumusan materi hukum pokok-pokoknya saja
sehingga memungkinkan penguasa dapat
menginterpretasikan sesuai visi dan kehendaknya sendiri
dengan berbagai peraturan pelaksanaan.
Dengan demikian adat dan syarak di Jambi
mengalami dinamika yang cukup panjang sampai hari ini,
mulai dari mencari formulasi hukum dengan
mempertimbangkan kepentingan syarak, masyarakat
mempraktikkan ambivalensi hukum dalam kehidupan
meskipun pada kenyataan mengalami dilematis manakala
terjadi trigolisme (pemerintah, agama dan adat) hukum
pada tataran teoritis, dan dualisme hukum. Begitupula pada
aspek pemerintahan dengan mengkolaborasikan dua model
pemerintahan pada tataran praktis berdasarkan wilayah
geografis yaitu Hulu dan Hilir. Gagasan cemerlang dan luar
biasa yang patut diakui dan diteladani dalam rangka
menjaga stabilitas hukum, politik dan kepentingan
multikultural.
Gagasan ini pada akhirnya menyebabkan Islam
begitu cepat diterima dan berkembang di Jambi. Menurut
penulis, beberapa aspek penyebab Islam dan ajarannya
berkembang pesat di Jambi yaitu aspek internal dan
eksternal. Aspek Internal, yaitu budaya inklusif masyarakat
Jambi terhadap budaya luar, yang juga dimiliki masyarakat
Melayu Nusantara. Sedangkan aspek eksternal dimana
Islam mampu masuk ke dalam sistem hukum dan sistem
pemerintahan sehingga mempunyai legitimasi yang kuat
dari penguasa, adat dan masyarakat. Pada bab berikutnya
mengurai persepsi masyarakat Melayu Jambi terhadap
epistemologis adat dan syarak.

143
6 Adat dan Syarak serta Pelembagaannya:
Perspektif Masyarakat Melayu Jambi

Syarak sebagai produk hukum yang muncul kemudian


inheren dengan agama Islam, dibawa oleh Ahmad Salim ke
tanah Jambi dan dibumikan Ahmad Kamil serta diikuti
ulama Arab berikutnya. Sementara adat merupakan produk
hukum yang lahir dari budaya masyarakat Melayu Jambi
yang terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu, keduanya
dipadukan melalui kelembagaan adat sehingga lahirlah
Undang Adat Jambi. Konfigurasi dan praktik keduanya
dalam konteks kekinian terkadang dilematis karena
masyarakat dihadapkan pada kecenderungan berteologi di
satu sisi dan kecenderungan melestarikan tradisi warisan
nenek moyang di sisi lain. Oleh karenanya penelusuran
mengenai persepsi, keberterimaan masyarakat terhadap
adat dan syarak, otoritas kelembagaan adat serta pola
penyelesaian konflik yang terkonstruksi dalam pergulatan
ideologis, sosial, dan kultural dewasa ini sangat diperlukan
sekaligus menjadi kajian bab ini.

144
A. Persepsi Masyarakat Melayu Jambi tentang
Epistemologi Adat dan Syarak

Masyarakat Melayu Jambi sebagaimana masyarakat etnik


Melayu muslim lainnya sangat akrab dengan terminologi
adat dan syarak, sejalan dengan falsafah ―Adat bersendi
syarak, Syarak bersendi Kitabullah.‖ Namun, sejauhmana
persepsi mereka terhadap keduanya perlu pendalaman
dengan berpijak pemahaman terhadap substansi makna
keduanya.

Persepsi Masyarakat tentang Epistemologi Adat


Masyarakat Jambi sebagai masyarakat Melayu-Muslim
mempunyai persepsi tersendiri tentang adat, untuk itu
perlu penegasan terlebih dulu makna adat secara universal.
Terma adat derivasi dari kata ‫ عاد – يعود – عادة‬atau ―‫‖العادة‬
berarti ―kebiasaan atau tradisi‖, dalam bahasa Inggris
digunakan custom, practice, legal practice.225 Terma ini
diserap ke dalam bahasa Indonesia berarti kebiasaan, yakni
kebiasaan yang berulang dan terus-menerus (mengkristal)
dilakukan oleh masyarakat adatnya tanpa perubahan pada
sifatnya, mempunyai nilai atau norma yang dianut dan
dipatuhi bersama serta diberi sanksi bagi pelanggarnya.
Mustafa Ahmad Zarqa memaknai adat:226
‫األمر املتكرر من غري عالقة عقلية‬
"Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa
ada hubungan dengan pemikiran (rasional).‖

Adat merupakan keberulangan sesuatu sehingga


mudah melaksanakannya bahkan dianggap bagaikan naluri
kedua, berbeda dengan keberulangan sesuatu yang
disebabkan hubungan pemikiran rasional atau konsekuensi
logis (‫)تلزم املعقلى‬. Penyebutan adat biasanya dengan kata ‗urf
(ma‘rûf) yang berarti ―segala macam kebaikan yang

225Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York:

Sage Pub., 2002), 606.


226Mustafa Ahmad Zarqa, al-Fiqh al-Islamîy fi Tsaubih al-Jadîd:

al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, (Damsiq: Tharbin, 1968), Cet. X, 838.

145
disetujui dan diterima oleh akal sehat serta disenangi oleh
jiwa yang tentram.‖227 Al-Jurjani dalam Ta‘rifât-nya
memaknai ‗urf :
‫ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول وتلقته الطبائع ابلقبول‬

―Sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa


merasakan ketenangan dalam mengerjakannya
karena sejalan dengan logika dan dapat diterima
oleh watak kemanusian.‖228

Persoalan al-‗âdah sama atau semakna dengan


al-‗urf, di kalangan fuqahâ‘ berbeda pandangan ada yang
menyamakan dan ada yang membedakan.229 Terlepas dari
itu, Akh Minhaji memahami adat dari perspektif berbeda
dengan berpijak pada teks ayat yang mendorong berbuat
baik dan mencegah orang berbuat mungkar.230 Pada ayat ini

227Qurtubi, al-Jami‘ al-Ahkâm al-Qur‘ân, (Kairo: Dar al-Kitab al-

Arabiy, 1967), Juz VII, 346.


228Ali ibn Muhammad al-Sayyîd al-Syarif a-Jurjanîy, al-Ta‘rifât,

(Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 125. Pemaknaan ini sejalan dengan firman
Allah dalam Q.S. al-A‘râf [7]: 199 dan Q.S. al-A‘râf [7]:157.
229Fuqaha berbeda pandangan tentang pemaknaan al-‗âdah dan

al-‗urf: Pertama, fuqahâ‘ yang meyakini al-‗âdah berbeda dengan al-‗urf.


al-‗âdah adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa
adanya hubungan rasional. Pemaknaan ini memungkinkan al-‗âdah
ditafsirkan secara luas dan praktiknya sangat mungkin bersumber dari
empat kecenderungan: 1) kecenderungan pribadi, seperti; kebiasaan tidur,
makan, minum; 2) kecenderungan kolektif, seperti; kebiasaan melakukan
upacara-upacara tertentu; 3) kecenderungan alamiah, seperti; kebiasaan
cepat atau lambatnya seseorang menjadi bâlig, atau 4) kecenderungan
hawa nafsu dan akhlak maźmûmah, seperti; kebiasaan mabuk-mabukan.
Sementara itu, al-‗urf adalah kebiasaan mayoritas suatu kaum, berupa
perkataan maupun perbuatan. Kedua, fuqahâ‘ yang meyakini tidak ada
perbedaan antara al-‗âdah dan al-‗urf, sebagaimana dikemukakan Sobhi
Mahmassani al-‗urf dan al-‗âdah memiliki kesamaan makna (al-‗urf wa
al-‗âdah bi ma‘na al-wâhid). Oleh karena itu, apabila kedua itu
dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: ―hukum itu didasarkan pada
âdah dan ‗urf‖, tidaklah berarti kata âdah dan ‗urf itu berbeda
maksudnya. Kata ‗urf di sini adalah sebagai penguat terhadap kata âdah.
Lihat Ahmad Fahmî Abu Sunnah, al-‗Urf wa al-‗âdah fi Ra‗yi al Fuqahâ‘,
(Mesir: Dâr al-Fikr al-‗Arabî, t.th.); Sobhi Mahmassani, Falsafat at-
Tasyri‘al-Islamîy, (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1952), 179.
230Q.S. Ali Imran [3]: 104.

146
terdapat dua kata kunci (key word) yaitu; al-khair dan al-
ma‘rûf, keduanya bermakna ‗kebaikan‘. Namun jika ditelisik
keduanya berbeda, al-khair merupakan kebaikan normatif-
universal, kebaikan tingkat tertinggi serta tidak terbatas
ruang dan waktu, sedangkan al-ma‘rûf merupakan
kebaikan yang terbatas pada ruang dan waktu. 231
Ditambahkannya, al-khair merupakan kebenaran normatif,
sedangkan al-ma‘rûf merupakan kebenaran historis-
operasional.232
Berbeda dengan asy-Syâţibî yang memaknai adat
mencakup tiga hal yaitu;233 Pertama, kebiasaan dan prilaku
manusia semata-mata serta berlaku umum, seperti; makan,
minum, gembira, sedih, tidur, jaga, mendapatkan kebaikan
dan kesenangan, menghindari rasa sakit dan sebagainya.
Kedua, adat istiadat atau custom, seperti keadaan
berpakaian, tempat tinggal (bentuk rumah), keramah-
tamahan, lambat dan cepat dalam berbagai urusan, egositis
dan sebagainya. Ketiga, sebagai imbangan dari ibadah yaitu
mu‘amalat.
Bertolak dari kompleksitas pemaknaan adat di atas,
adat dirumuskan pada tiga aspek; Pertama, adat berarti
hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan, kesepakatan,
tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dan
sebagainya. Kedua, adat berarti kebiasaan yang
dipraktikkan oleh masyarakat dalam wilayah tertentu.
Ketiga, adat sebagai kumpulan dari literatur tentang
adat.234
Dalam konteks Jambi, menurut Datuk Ramli:
―Masyarakat Melayu Jambi memahami ada tiga arti adat
yaitu; pertama, adat berupa perintah maupun larangan,
ukurannya adalah hukum syarak dan hukum adat
sebagaimana termuat dalam Undang Adat Jambi seperti;
membunuh, mencuri, berzina dan lain sebagainya. Kedua,
adat sebagai kebiasaan masyarakat dalam bentuk etika,
ukurannya adalah kepantasan atau kepatutan seperti;

231 Akh Minhaji, et., al., Antologi ..., 8.


232Ibid.,9.
233Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ asy-Syâţibî, al-Muwâfaqât..., Jilid

II, 266.
234Lukito, Tradisi Hukum..., 5-6.

147
sholat tidak pakai kopiah dan sarung, ta‘ziah tidak pakai
kopiah hitam dan sebagainya. Ketiga, adat sebagai
perbuatan yang didiamkan, tidak disuruh atau mendapat
celaan, seperti; acara tujuh bulanan, membaca surah
Yusuf dan Maryam saat hamil dan sebagainya.235
Pandangan senada disampaikan Datuk Roni: ―Inti
pemahaman masyarakat Melayu Jambi tentang adat
termuat dalam adat nan empat¸ yaitu; adat sebenar adat,
adat yang teradat, adat yang diadatkan dan adat istiadat.
Segala persoalan pribadi maupun kelompok tercakup di
dalamnya baik hukum, tingkah laku ataupun kebiasaan. 236
Selain itu, adat sebagai sumber utama tata nilai yang
membentuk sikap mental atau pola pikir masyarakat serta
mempengaruhi dan membentuk pola tingkah dalam
berbagai aspek kehidupannya yang pada gilirannya
melahirkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dinamika adat selanjutnya sangat bergantung pada
kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan
pemahaman para pengembannya, yaitu; politisi, hakim,
pengacara, birokrat dan masyarakat serta situasi dan
kondisi yang mengitarinya.237 Substansinya adat merupakan
gagasan kebudayaan mencakup; nilai, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan tradisi yang lazim dilakukan.
Pelanggaran terhadapnya memunculkan kerancuan yang
berdampak pada sanksi sosial karena dianggap melanggar
larang pantang.238 Sedangkan hukum Adat sebagai istilah
teknis ilmiah mereferensi pada kebiasaan pada masyarakat

235Wawancara, Salah seorang turunan Sultan Thaha Saifuddin, 21

Juni 2016.
236Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Muara Sabak, 22

April 2015.
237M.J Saptenno, Menata Kembali Hukum Adat dan Kelembagaan

Adat untuk Kedamaian dan Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat,


diakses tanggal 10 Januari 2017.
238Berbeda dengan fuqahâ‘ yang menetapkan kriteria tertentu agar

adat menjadi hukum, antara lain: Adat diterima oleh perasaan dan akal
sehat serta diakui oleh pendapat umum; Adat dilakukan berulangkali dan
berlaku umum dalam masyarakat; Adat telah ada saat transaksi
dilakukan; Tidak ada persetujuan atau pilihan lain dari kedua belah
pihak; dan Tidak bertentangan dengan nass. Lihat Mahmassani, Falsafat
at-Tasyri‘ ..., 185-186.

148
tertentu dan tidak diundangkan. Substansi hukum adat
adalah refleksi dari keyakinan dalam masyarakat terhadap
tradisi untuk dijadikan pandangan hidup (way of life) sesuai
perasaan keadilan dan kepatutan. Inilah yang dipersepsikan
oleh masyarakat Melayu Jambi terhadap adat.
Selanjutnya, atas gagasan Snouck Hurgroyne sekitar
tahun 1900 nomenklatur adatpun berubah menjadi hukum
Adat (Adat Recht), yang dipopulerkan oleh C.Van Vollen
Hoven.239 Unger mendefinisikan hukum adat adalah setiap
pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara banyak
individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif
eksplisit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola-
pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku
timbal-balik yang harus dipenuhi.240 Menurutnya, hukum
Adat pada umumnya tidak mesti sesuatu yang positif,
bersifat interaksionalis dan masih kaburnya batasan das
sein dan das sollennya, hukum adat juga lebih berorientasi
pada sesuatu yang implisit ketimbang eksplisit. Pengertian
ini mengindikasikan adat yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia merupakan hukum asli atau hukum pribumi dan
tidak dilembagakan dalam bentuk perundang-undangan,
mengandung norma adat dan syarak serta telah menyatu
dalam kehidupan komunitas masyarakat. Sebagai produk
hukum, adat di Indonesia berpijak pada paradigma tertentu,
sehingga menjadi sebuah sistem yang mapan dan dipatuhi
masyarakat adat.241
Adat (hukum Adat) merupakan aturan hukum yang
sebagian besar sifatnya tidak tertulis dibentuk
berdasarkan kesepakatan bersama dan masyarakat

239I Gede Ab. Wiranata, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung: Citra


Aditya Bakti, 2005), 21.
240Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis:Posisi Hukum dalam

Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa


Media, cet. IV, 2010), 63-64.
241Ada banyak istilah yang digunakan menamai hukum lokal, di

antaranya; hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat,


dan khusus di Indonesia – hukum ―adat―. Lihat Keebet Von Benda-
Beckmann, Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan
Teoritis, dalam Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner,
(Jakarta: Ford Fondation, 2006), 21.

149
tunduk dan patuh terhadapnya. Kesepakatan
tersebut mengalami dinamika berdasarkan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat, oleh
karenanya adat dipandang sebagai hukum yang
hidup (living law). Selain itu, aturan adat
sebagaimana hukum lainnya mengandung falsafah
dan norma yang mampu menata kehidupan
masyarakat adat secara baik dan teratur serta
bernilai manfaat yang dirasakan stakeholders agar
menjadi referensi dalam menyelesaikan berbagai
kasus yang dihadapi.
Persepsi Masyarakat tentang Epistemologi Syarak
Terma syarak semakna dengan hukum Islam, dalam
literatur Barat dikenal ‗Islamic Law‘,242 sementara literatur
uşûliyyîn menyebut tiga istilah: syariah Islam (al-Syarî‘ah
al-Islâmiyah), fikih Islam (al-fiqh al-Islâmîy) dan hukum
syar‘i (al-Hukm asy-Syar‘îy). Substansinya relatif sama
namun—dalam kaitannya dengan perspektif dan kerangka
keilmuan hukum secara umum—sering dikeliru-pahamkan
berupa ambiguitas antara fikih sebagai hukum praktis yang
diadopsi dari dalil tafsîlîy (terperinci) dan syariat sebagai
peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia
dalam relasi imanen-transenden.243 Karenanya, perlu
menduduk-benarkan definisinya, seturut penjelasan berikut:
Pertama, syariah derivasi dari ‫شرع‬--‫يشرع‬-‫ شريعة‬berarti
―jalan menuju ke tempat keluarnya air untuk diminum,
jalan setapak yang harus ditempuh atau jalan mengalirnya
air sungai (the clear path to the folowwed).244 Menurut
Mahmud Syaltut, syariah berarti hukum-hukum dan tata
aturan yang Allah syariatkan bagi hamba-Nya untuk

242Joseph Schacht, . An Introduction to Islamic Law, (USA; Oxford

University Press, 1964), 1.


243Akh Minhaji, Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas

(Perspektif Sejarah Sosial), dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada


Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga, 25 September 2004, 30-35.
244Louis Ma‘luf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, (Beirut: Da>r

al-Masyriq, 1986), 383.

150
diikuti.‖245 Syariah terkadang diidentikkan dengan agama
meski dikhususkan untuk hukum amaliyah.246
Pengkhususan ini untuk membedakan agama dengan
syariah karena pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku
universal, sementara syariah berbeda antara satu umat
dengan umat lainnya.
Kedua, fikih, derivasi dari ‫ فقيه‬- ‫ يفقه‬- ‫ فقه‬berarti
―mengetahui hukum syarak secara detail.‖ 247 Menurut al-
Amidi, fikih berarti ‗ilmu tentang seperangkat hukum
syarak yang bersifat furu‘iyah yang didapatkan melalui
penalaran dan istidlâl.248 Ketiga, hukum Islam berarti
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau
Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui
dan diyakini mengikat semua umat Islam. Sumber syarak
adalah wahyu mencakup al-Qur‘an dan Sunnah dan ra‘yu,
wahyu mencakup; rasio, akal, daya pikir, dan nalar. Akal
amat penting sebagai sumber dan piranti memahami wahyu,
terutama persoalan hukum yang tidak dinyatakan secara
tegas (sharih). Pada konteks inilah ruang ijtihad terbuka
terutama persoalan berdimensi instrumental.249
A.A. Fyzee menyebut syarî'ah sebagai canon law of
Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah berupa naşş,

245Mahmûd Syaltût, Aqîdah wa al-Syarî‘ah, (Kairo: Dâr al-Qalam,


T.Th), 5.
246Agama atau religi (Latin), Religion atau Religious (Inggris),

berasal dari relegere, dan ad-Dîn (Arab)berarti ―mengumpulkan dan


membaca‖. Makna terakhir, ad-Dîn berarti balasan dan pahala, taat,
adat, keadaan, ketundukan, kekuasaan dan paksaan. Dapat juga
diartikan ―tingkah laku, cara, jalan, adat, keadaan, kekuasaan,
ketetapan, keputusan, semakna dengan millat‖. Sedangkan menurut
Ibrahim Unais agama (ad-Dîn) :
‫وضع إذلى سائق لذوى العقول السليمة إبختيارىم إايه إَل الصَلح ىف احلال والفَلح ىف ادلال‬
―Agama adalah "peraturan Ilahi yang mengantarkan orang yang berakal
sehat, atas kehendak mereka sendiri menuju kebahagiaan dunia akhirat."
Lihat Ibnu al-Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), Jil.
XIII, 170-171; Ibrahim Unais, Mu‘jam al-Wasith, (Mesir: Majma‘ al-
Lughah al-Arabiyyah, 1972), 307.
247Ibrahim Unais, Mu‘jam ..., II, 635.
248Saifuddin al-Amidi, al-Ih}kâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Kairo:

Muassasah al-Halabî, 1967), I, 8.


249Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir at-Tasyrî‗ al-Islâmîy fî Mâ lâ

nas}s{a Fîh, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1987), 8.

151
sedangkan fikih atau hukum Islam yaitu pengetahuan
tentang hak dan kewajiban seseorang yang diketahui dari
al-Qur‘an dan Sunnah, disimpulkan dari keduanya, atau
kesepakatan pakar ahli hukum agama.250 Sri Wahyuni
mengartikan syariah sebagai hukum Tuhan (devine law)
mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa memilah
moralitas atau hukum, juga memuat aspek hukum seperti;
ibâdah, akhwâl al-syahsiyyah, jinâyah, muâmalat, siyâsah,
dualiyah dan dusturiyah. Inilah pembeda hukum Islam
(devine law)—yang mengatur antara manusia dengan Tuhan
dan hubungan antara manusia dengan lingkungan
sekitarnya—dengan hukum positif (legal positivism)—yang
hanya mengatur tata masyarakat dalam hubungan antar
sesama individu, kelompok dan negara.251
Pengertian terakhir sejalan dengan epistemologi
syarak yang dipersepsikan oleh masyarakat Melayu
Jambi,252 meski mereka cenderung menggunakan istilah
syarak, sebagaimana ditegaskan Prof. DR. KH. Sulaiman
Abdullah, adat Melayu Jambi merupakan warisan leluhur

250A.A. Fyzee, The Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Idarah-I

Adabiyah, 1981), 19-20.


251Sri mengemukakan hukum Islam merupakan hukum yang

bersumber dari Tuhan, tidak memisahkan antara law dan morality, dan
sanksinya bersifat eskalogis. Sedangkan hukum positif merupakan karya
manusia dalam masyarakatnya, memisahkan antara law dan morality
serta sanksinya tegas. Sri Wahyuni, ―Pengaruh Hukum Barat dalam
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-Negara Muslim‖, dalam
Akh Minhaji, et., al., Antologi Hukum Islam, (Yogyakarta: PPs UIN Sunan
Kalijaga, 2015), 120.
252Epistemologis umumnya mengarah pada epistemologi burhâni,

yaitu pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-


hukum logika. Episteme burhâni—sering disebut pendekatan rasional
argumentatif—adalah pendekatan yang mendasarkan kekuatan rasio
melalui instrumen logika, seperti induksi dan deduksi. Pendekatan ini
menjadikan realitas sebagai sumber kajian yang mencakup realitas alam
(kauniyyah), realitas sejarah (târîkhiyyah), realitas sosial (ijtimâ‘iyyah)
dan budaya (s|aqâfiyyah). Mengingat sumber kajian episteme adalah
realitas kehidupan sosial keagamaan secara lebih memadai, diperlukan
pendekatan-pendekatan lain, seperti; sosiologi, antropologi, budaya,
sejarah dan lain-lain. Lihat M. Amin Abdullah, ―al-Ta‘wiîl al-‗Ilm: Ke Arah
Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci‖ Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 39
No. 2 July-Desember 2001, 379-380.

152
memuat pesan hukum, etika dan tradisi. Ketika Islam
datang dan mampu menyentuh jiwa masyarakat (volkgeist),
ia-pun diterima dan dijadikan panduan, terlebih setelah
keduanya dipadukan. Syarak dipersepsikan sebagai hukum
Tuhan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan menjadi
sandaran (sendi) adat sehingga keduanya saling melengkapi
dan menguatkan.253
Ditambahkan oleh Muhammad Zen, syarak
merupakan hukum Tuhan yang harus dipatuhi meski telah
menjelma menjadi adat, tak heran praktiknya masyarakat
ada menggunakan istilah berbeda syarak atau adat.
Masyarakat yang memahami ilmu agama menggunakan
kata syarak, sedangkan masyarakat yang kurang mengerti
ilmu agama menggunakan kata adat. Substansinya sama
dan syaraklah yang jadi pionir atau sendi dalam hukum
yang dipraktikkan masyarakat. Sah menurut syarak, sah
pula menurut adat, keduanya menyatu dan sulit
dibedakan.‖254
Kedua statemen ini mengindikasikan epistemolgi
syarak telah akrab di kalangan masyarakat Melayu Jambi,
meski pada tataran praksis syarak digunakan masyarakat
yang lebih faham tentang Islam, sedangkan masyarakat
awam terbiasa menggunakan terma adat.255 Menurut

253Wawancara, Ketua MUI Provinsi Jambi, 13 Juni 2015.


254Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Sarolangun, 19 Mei
2015.
255Syarak merupakan parsial dari agama, paradigma agama antara

lain; Pertama adanya kepercayaan kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang


diwujudkan dalam berbagai bentuk baik berupa; Tuhan atau Allah yang
dalam agama Islam sebagai Sang Pencipta, ruh atau jiwa, benda sakti,
atau lainnya; Kedua kepercayaan perolehan kebahagiaan di dunia dan
akhirat yang sangat bergantung pada komunikasi dengan kekuatan gaib
dimaksud; Ketiga respon emosional berupa perasaan cinta pada agama
monoteisme; dan Keempat keyakinan adanya kitab suci sebagai panduan
dalam menjalani kehidupan. Atas dasar itu, dua aspek yang menjadi
kewenangan agama yaitu keyakinan dan tradisi. Keyakinan mencakup
aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi
kehidupan beragama. Sedangkan tradisi mencakup eksternal keagamaan,
aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam
masyarakat. Kedua aspek ini sebagaimana dikutip M. Arfan Mu‘amar,
dikategorikan oleh Charles J. Adam sebagai inward experience dan
outward experience. Inward experience adalah hal yang bersifat batiniyah

153
Mohammad Daud Ali, persepsi masyarakat Indonesia
tentang syarak diklasifikasikan ke dalam dua bentuk:256
a. Syarak bersifat normatif, yaitu berkaitan dengan aspek
ibadah murni yang pelaksanaannya mensyaratkan iman
dan kepatuhan umat Islam kepada agamanya.
b. Syarak bersifat yuridis formal, yaitu berkaitan dengan
aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan
diupayakan pula dalam bidang pidana sekalipun sampai
sekarang masih dalam tahap perjuangan) yang telah
menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.
Keduanya berbeda pada tataran implementatif,
namun esensinya syarak di Indonesia merupakan hukum
yang hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat
normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa
berupa Undang-undang, fatwa ulama dan yurisprudensi. 257
Dengan demikian, persepsi masyarakat Melayu Jambi
terhadap syarak mencakup dua hal, yaitu: pertama, syarak
dipahami sebagai sumber hukum teologis, sebagai pesan
Allah dan Rasulnya yang harus dipatuhi oleh umat Islam.
Kedua, pesan syarak mencakup segala persoalan yang
diperintahkan Allah untuk dilaksanakan sebagai kewajiban
bidang perdata, pidana maupun lainnya. Melaksanakan
perintah syarak sama halnya melaksanakan perintah
agama karena substansi syarak merupakan bagian tak
terpisahkan dari agama. Segala putusan adat diafirmasi

dalam agama dan merupakan wilayah kesadaran perasaan dan tanggung


jawab yang bersifat personal, yang tidak dapat dikomunikasikan serta
hanya secara parsial dapat dipahami oleh orang lain. Sedangkan outward
experience adalah wujud luar atau manifestasi eksternal dari agama yang
dapat diamati dan dikomunikasikan. Lihat Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 14-15; M. Arfan
Mu‘ammar dan Abdul Wahid Hasan, Studi Islam Perspektif
Insider/Outsider, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), 83.
256Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam dalam Negara

Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum pada Pendidikan Kader


Ulama di Jakarta, 17 Mei 1995, 3.
257Uraian lengkap mengenai eksistensi hukum Islam di Indonesia

melalui pendekatan historis, ataupun teoritis. Lihat Ichtijanto,


Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Tjum
Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), 101.

154
melalui putusan syarak sehingga keduanya saling
menguatkan dan diterima dengan mudah.

B. Keberterimaan Masyarakat Melayu Jambi


terhadap Adat dan Syarak
Syarak merupakan produk hukum yang datang kemudian
dituntut mampu beradaptasi dengan adat sebagai produk
hukum yang mapan pada suatu wilayah. Studi sejarah
Islam Nusantara memperlihatkan proses Islamisasi di
Indonesia merefleksikan toleransi para penyiar Islam
terhadap realitas adat yang hidup dan berkembang sehingga
terjalin harmonisasi antara syarak dengan adat. 258 Inilah
salah satu penyebab syarak begitu cepat terintegrasi dengan
hukum lokal (adat) karena tidak serta menghancurkan
tatanan hukum yang ada dan mapan.
Praktik ini mereferensi pada ajaran Rasulullah
ketika terjadi tranformasi dari tatanan budaya Jahiliyah
menuju budaya Islam, ditambah karakter fleksibel dan
universalitas syarak sehingga mudah diterima oleh
komunitas manapun. Selain itu, syarak masuk melalui
sistem hukum yang berada dalam kelembagaan adat, meski
setelah keduanya terkonstruksi menjadi satu pada akhirnya
mengundang respons berbeda dalam penerapan dan
penerimaan terhadap keduanya sebagaimana praktik
hukum di Jambi bagian Hilir dan Hulu.
Secara universal penerimaan adat dan syarak pada
beberapa wilayah Nusantara, utamanya Jambi, yang dihuni
mayoritas masyarakat muslim dipilah menjadi dua fase,
yaitu ; sebelum dan setelah kemerdekaan.259

Fase Pra-Kemerdekaan
Fase Pra-Kemerdekaan meliputi masa kerajaan
Islam, kesultanan, kolonial Belanda dan Jepang yang
dipilah menjadi dua: Pertama, berlakunya syarak secara

258AbdullahSyah, Integrasi Antara Hukum Islam ..., 8.


259Ismail Sunny, ―Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia,‖ dalam Bustanul Arifin, Prospek Hukum
Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, 200.

155
utuh sejak masa kerajaan Islam seperti; Kesultanan Aceh
Darussalam, Riau, Palembang, Padang, Deli, Siak,
Kesultanan Johor, Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan
Brunei dan lainnya. Meskipun kemunculan syarak sebagai
produk hukum baru tidak serta merta diterima masyarakat
yang ketika itu penganut agama Hindu.260 Dalam konteks
Jambi, kedatangan Islam dan penerimaan (resepsi)
terhadap syarak sejak kedatangan Ahmad Salim dan
dibumikan oleh putranya Ahmad Kamil. Masyarakat
Melayu Jambi menerima syarak secara utuh sebagai
kebutuhan ideologis-sosiologis dan meyakini penerimaan
terhadap agama berkonsekuensi terhadap penerimaan
segala aturan hukum di dalamnya, yaitu syarak (Hukum
Islam).261
Menurut Fathuddin Abdi, masyarakat muslim Jambi
sangat menyadari syarak bagian dari agama Islam,
sedangkan adat merupakan tradisi warisan nenek moyang.
Setelah keduanya dipadukan dan saling melengkapi harus
dipatuhi sebagai wujud menjunjung tinggi idealisme
keberagamaan dan keberadatan mereka.262 Pandangan
senada disampaikan KH. Samsuddin Ali, masyarakat

260Pada masa Pra-Kolonial corak adat masyarakat Melayu


Indonesia diwarnai budaya Hindu dan Budha yang merupakan corak asli,
dibuktikan dengan beberapa prasasti: Prasasti Raja Sanjaya tahun 734
M., ditemukan di Gunung Wukir dekat Kedu Jawa Tengah, tertulis dalam
aksara pahlawan tentang keagamaan perekonomian dan pertambangan;
Prasasti Buldi dari Rakai Gunung Talun tahun 860, memuat aturan
tentang peradilan perkara perdata; Prasasti Raja Tuladong tahun 919
berupa susunan lembaran tembaga mengatur jabatan pemerintah, hak
raja atas tanah, ganti rugi tanah dan keagamaan (zaman Mataram).
Sedangkan pada masa kolonial corak adat masyarakat Melayu Indonesia
diwarnai oleh budaya Islam sebagaimana dijumpai melalui: Catatan
hukum adat di keraton Bone dan Goa oleh Bosscchenaar Van Dirk
Chlootwisxk, Gubernur Pantai Sulawesi 1757-1755; Kitab hukum Freiser,
memuat hukum perkawinan dan waris menurut syarak untuk
pengadilan-pengadilan kompeni, dibuat atas perintah Gubernur Jenderal
Mossel dan disahkan 1679; Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu
Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), 51; Soerojo
Wignodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1985), 35-36.
261Q.S. al-Baqarah [2]: 208.
262Wawancara, Ketua Adat Kabupaten Batanghari, 20 Juli 2015 .

156
Melayu Jambi sejak Islam datang sepakat Islam sebagai
panduan hidup, sesuai falsafah ―adat bersendi syarak,
syarak bersendi Kitabulllah; syarak menetapkan suatu
hukum maka adat merealisasikannya, ketentuan syarak
direalisasikan oleh adat sehingga keduanya sejalan dan
tetap harmonis.263
Kedua statemen ini merefleksikan keberterimaan
terhadap syarak secara totalitas sebagai panduan hidup
(way of life), menurut H.A.R. Gibb umat Islam yang
menerima Islam sebagai agamanya secara otomatis
menerima otoritas pemberlakuan syarak terhadap
dirinya.264 Sejalan dengan Robert Van Niel, menurutnya di
Indonesia agama tidak bisa dipisahkan dari seluruh aspek
kehidupan begitupula dengan seluruh kebijakan yang
melekat di dalamnya harus seturut dengan apa yang
diterapkan terhadap masyarakat setempat. Artinya Islam
menjadi elemen penting dalam kultur kehidupan
masyarakat Indonesia.265 Terlebih setelah syarak
terintegrasi dengan adat masyarakat Melayu Jambi dan
melahirkan Undang Adat Jambi sebagai sumber hukum
otoritatif. Penerimaan tersebut diimplementasikan melalui
kepatuhan terhadap hukum berupa perintah melaksanakan,
perintah meninggalkan ataupun perintah memilih. Inilah
yang menjadi salah satu alasan keberterimaan masyarakat
Melayu Jambi yang mayoritas muslim dan religius.
Kedua, berlakunya syarak secara parsial sejak
kemunculan VOC. Pada awalnya Belanda memberlakukan
teori ―Receptio in Complexu‖, atas gagasan W.C. Van Den
Berg, yang mendukung pemberlakuan syarak terhadap
umat Islam. Setelah posisi Belanda semakin kokoh melalui
VOC-nya, pada tanggal 25 Mei 1760 M dikeluarkan
peraturan Resolutio der Indischer Regeering atau
Compendium Freijer, yang membatasi pemberlakuan syarak
pada bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan)

263Wawancara, Ketua MUI Kabupaten Batanghari, 21 Maret 2016.


264H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam, (Chicago: The University
of Chicago, 1972), 116.
265Akh Minhaji dalam ―Pemikiran dan implementasi hukum Islam

di Indonesia.‖ (Teori dan Respon), diakses tanggal 20 Juli 2016.

157
ansich dan mengganti kewenangan peradilan Islam menjadi
peradilan Belanda.266 Selanjutnya Belanda memberlakukan
Teori Receptie gagasan Cristian Snouk Hurgronje (1857-
1936),267 yang justru mempersempit ruang gerak syarak
dengan memberlakukan adat terhadap umat Islam. Syarak
diverifikasi begitu ketat agar dapat legalisasi dari adat
sehingga baru dapat diterima dan diberlakukan setelah
diterima oleh adat.268 Jika asumsi kedua ini benar maka
gagasan ini diprediksi muncul setelah pemerintah Belanda
menerima masukan dari Christian Snouck Hurgronje,
melalui teori Receptie, menurutnya syarak hanya berlaku
setelah mendapat justifikasi dari adat dan melebur ke
dalam adat agar diakui sebagai hukum.269

266Keberadaan syarak di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh

Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-


angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 Nomor 354. Dalam
Staatsbled 1882 Nomor 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di
Jawa dan Madura dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam
melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fikih. Lihat M.
Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Risalah, 1984), 12.
267Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), 13;

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar ..., 28.


268Penguatan pemberlakuan Teori Resepsi diprediksi konspirasi

Snouck Hurgronje dengan Van Vollen Hoeven untuk mengkerdilkan


pemberlakuan syarak dan menomor-satukan adat. Usaha mereka berhasil
hingga Belanda menerapkan dualisme hukum yaitu; hukum Erofah dan
hukum adat, sedangkan syarak tidak muncul karena dianggap bagian
integral dari hukum adat. Van Vollen Hoeven juga berhasil memetakan
hukum adat di Indonesia menjadi 19 wilayah, yaitu; 1). Aceh, 2). Tanah
Gayo, Alas dan Batak, 3). Tanah Minangkabau, 4). Sumatera Selatan
yang terdiri dari Bengkulu (Rejang Lebong), Lampung (Abung, Peminggir,
Pubian, Rebang, Gedong Tataan, dan Tulang Bawang), Palembang (Anak
Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah dan Semendo), Jambi (penduduk
Batin dan Penghulu). 6). Tanah Melayu, 7). Bangka Belitung, 8).
Minahasa, 9). Gorontalo, 10). Tanah Toraja dan Sulawesi Tengah, 11).
Sulawesi Selatan, 12). Kepulauan Ternate, 13). Kepulauan Ambon, 14).
Irian, 15). Kepulauan Timor, 16). Bali dan Lombok, 17). Jawa Tengah,
Timur, dan Madura, 18). Daerah Kerajaan (Solo dan Yogyakarta), dan 19).
Jawa Barat. Sebagaimana dikutip Yaswirman dalam Cornelis Van Vollen
Hoeven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, (Leiden: E.J. Brill, 1928),
78.
269Snouck Hurgronje mengemukakan tidak hanya pada tataran

teoritis, namun lebih pada tataran praksis konsekuensi sebagai penasehat

158
Menurut penulis kemunculan teori ini tidak luput
atau minimal ―terinspirasi‖ dari praktik hukum di Jambi
yang mengharuskan adat beradaptasi dengan syarak, meski
melalui kelembagaan adat. Berbeda dengan gagasan Snouck
Hurgronje yang mendistorsikan gagasan Ahmad Kamil dan
Islam secara umum dengan mengharuskan syarak
mendapat justifikasi dari adat. Argumentasi yang
mendukung prediksi ini, pertama, Snouck Hurgronje pernah
menetap di Jambi bersamaan kunjungannya ke Aceh
meneliti tentang tradisi Islam, rute perjalanan darat dari
pusat kolonial yaitu Batavia (Jakarta) ke Acehpun
memungkinkan ia melewati Jambi terlebih dahulu, minimal
tempat transit. Snouck selaku sosiolog sekaligus penasehat
Belanda tidak mungkin melewati momen mencermati
formulasi penerapan adat dan syarak di setiap rute daerah
yang dilaluinya.270 Kedua, Jambi sejak abad ke-15
mempraktikkan verifikasi aturan adat agar sejalan dengan
prinsip ajaran Islam sehingga melahirkan falsafah ―Adat
bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖ dan ―Undang
datang dari Hulu teliti dari Hilir.‖
Implementasi teori Receptie ini pada perkembangan
selanjutnya justru menjadi pemicu ketidak-seimbangan
artikulasi dan penerapan hukum, dominasi politik
berimplikasi pada ketidaksinkronan syarak dengan adat.

hukum Belanda bidang hukum Islam dan anak negeri (bumi putera)
(adviseur voor Inlandsch), penasehat orang Timur dan Hukum Islam
(adviseur voor Oostersche taken en Mohammedaansch) dan penasehat
perdagangan untuk orang Arab (adviseur voor Oostersche Inlandsch en
Arabische zaken). Lihat Soekanto, Meninjau Hukum ..., 36.
270E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje

Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936,


(Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS),
1995), XIV. Buku ini memuat nasehat Snouck Hurgronje kepada Belanda
mengenai strategi dan sikap pemerintah Belanda menghadapi rakyat
Jambi yang melakukan gerakan perlawanan secara maupun sosial.
Pembahasan tentang Jambi memuat 118 halaman. Di antara pesan
penting dalam buku ini adalah strategi Belanda menghadapi gejolak
berupa perlawanan atau gerakan masyarakat Jambi sehingga harus
dihadapi dengan Etis, yang tidak mengedepankan konflik senjata dan
tidak mengintervensi persoalan keagamaan masyarakat termasuk hukum
utamanya tentang ibadah.

159
Sebegitu kuatnya pengaruh politis ini menyebabkan syarak
sulit berkembang secara natural di Indonesia, sementara
berbagai kebijakan Belanda menekan syarak bergerak
leluasa. Hal inilah memberi ruang terjadinya dominasi
terhadap produk hukum, bahkan antar produk hukum.271
Teori ini dan peraturan pelaksananya diprediksi
sebagai upaya melumpuhkan sistem dan kelembagaan
syarak serta membumikan hukum Barat di Indonesia.
Mengingat ruang gerak adat sangat terbatas dan pada
kasus-kasus tertentu membutuhkan hukum Barat. Sejak
saat itu syarak mengalami kemunduran sebagai rekayasa
Belanda yang sangat memahami letak kekuatan moral umat
Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya
terhadap ajaran Islam.272 Meski, kedua teori ini tidak

271Pergantian secara resmi dengan diterbitkannya Wetop de

Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling


(I.S), Stbl 1929: 212 memuat hukum Islam dicabut dari lingkungan tata
hukum Hindia Belanda sekaligus pembatalan Pasal 75 Regeerings
Reglement (RR) Tahun 1885, tentang legalitas hakim Indonesia yang
memberlakukan UU agama. Perkara perdata antar umat Islam
diselesaikan hakim muslim jika adat menghendakinya, begitu pula
pencabutan wewenang Pengadilan Agama dalam masalah waris
wewenang Pengadilan Negeri. Implementasi teori Receptie dan peraturan
pelaksanaannya diprediksi upaya melumpuhkan sistem dan kelembagaan
syarak serta membumikan hukum Barat di Indonesia. Mengingat ruang
gerak adat sangat terbatas dan pada kasus-kasus tertentu membutuhkan
hukum Barat. Sejak saat itu syarak mengalami kemunduran sebagai
rekayasa Belanda yang sangat kekuatan moral umat Islam pada
komitmen terhadap ajaran Islam. Langkah politis Belanda semakin
kentara dengan terbitnya Wetop de Staatsinrichting van Nederlands
Indie, Stbl 1929: 212 syarak dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia
Belanda sekaligus pembatalan Pasal 75 Regeerings Reglement (RR) Tahun
1885, tentang legalitas hakim Indonesia yang memberlakukan UU
Agama. Lihat Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan
Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1963), 9-12.
272Misi utama kolonialisasi adalah mengeruk keuntungan ekonomi

(gold) dari tanah jajahan (glory), selain itu missionaris (gospel), upaya
yang dilakukan Belanda dengan mengintervensi persoalan hukum di
Indonesia dan mempertentangkan syarak sebagai hukum yang hidup di
masyarakat ketika itu dengan adat sehingga pertumbuhan syarak
menjadi terhambat dan secara gradual tersingkirkan. Misi utama
Belanda mendeskriditkan syarak dan mengadu domba umat Islam
dengan kaum nasionalis berhasil melalui indoktrinasi seakan syarak
milik orang Asing dan adat milik kaum Nasionalis. Kompetisi antara

160
berkembang di Jambi mengingat wilayah ini sangat sulit
ditaklukkan dan hanya dikuasai oleh Belanda dalam
rentang waktu 36 tahun (1906-1942) dan Jepang selama 3
tahun (1942-1945).
Kebijakan Belanda menyerahkan persoalan
masyarakat Melayu Jambi ke Badan Peradilan yaitu
Kerapatan Adat, kecuali bagi mereka yang tunduk pada
perundangan Hindia Belanda diadili berdasarkan Hukum
Perdata/Hukum Pidana. Berlanjut masa kolonisasi Jepang,
dimana perhatian terhadap pengembangan adat dan syarak
sangat kurang karena rakyat hidup dalam kondisi politik
dan ekonomi yang memprihatinkan. Pada masa ini politik
hukum yang mereka kembangkan tidak memberi pengaruh
signifikan terhadap tatanan hukum adat yang ada di Jambi
dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi secara
totalitas terhadap pemberlakuan adat dan syarak. Adat dan
syarak terintegrasi dan inheren laksana satu mata ruang
sesuai seloka ―syarak mengato, adat memakai‖. Meski
penerapannya terkadang berbeda antara Jambi wilayah
Hulu dan Hilir.
Menurut penulis dua alasan penyebab teori hukum
Belanda tidak berkembang di Jambi baik internal maupun
eksternal. Secara internal; Pertama, Jambi telah
mempunyai institusi, hukum dan peradilan adat yang
mumpuni untuk menyelesaikan segala persoalan hukum,
moral, sosial dan agama. Kedua, spirit dan moralitas cinta
tanah air merupakan salah satu indikator keberimanan
seorang muslim (Hubb al-Watan min al-Imân) dan pantang

syarak dengan adatpun dimenangkan adat, sedangkan gagasan unifikasi


hukum dianggap gagal, sehingga melahirkan stratifikasi penduduk
Indonesia menjadi tiga; Erofa, Timur Asing dan Inlanders. Bahkan
Belanda mempolarisasi golongan masyarakat berdasarkan status sosial
yaitu: Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, Indo (turunan pribumi dan
Eropa), Timur Asing (Cina) dan Bumiputera/pribumi (Inlanders)
merupakan golongan paling bawah itupun dibedakan berdasarkan
keturunan, pekerjaan dan pendidikan yaitu bangsawan, pemimpin agama
dan adat serta rakyat biasa. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas
Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum
Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
Cet. 1, 23.

161
dijajah senantiasa dikobarkan dan dibangkitkan oleh
penguasa, bangsawan dan ulama meski Jambi berhasil
ditaklukkan Belanda. Sedangkan secara eksternal; Pertama,
Belanda disibukkan dengan gerakan perlawanan dari
penguasa, bangsawan dan ulama secara terang-terangan
maupun gerilya seperti gerakan Kota dan Uluan. Kedua,
secara geografis wilayah Jambi berbukit dan dikelilingi
sungai yang panjang serta hutan lebat sehingga
memudahkan rakyat pribumi melakukan serangan terbuka
maupun gerilya serta mudah melarikan diri ke sungai atau
ke hutan. Ketiga, kolonial Belanda dan Jepang tidak perlu
menguras tenaga menginterversi institusi hukum adat
sebagai penyeimbang syarak sejalan dengan teori Receptie.

Fase Pasca-Kemerdekaan
Fase ini berawal dari diproklamirkannya Indonesia sebagai
negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan lahirnya
Piagam Jakarta sebagai sumber persuasif UUD-45 sekaligus
sebagai titik tolak peralihan hukum. Sarjana hukum
terkemuka saat itu berspekulasi tentang sifat dan corak
hukum yang berlaku untuk Bangsa Indonesia ke depan,
sebelumnya ―disetting‖ tunduk pada sistem hukum Belanda.
Kaum nasionalis menginginkan unifikasi adat dan hukum
positif atau minimal menjadi spirit atau sumber hukum
nasional. Keinginan ini wajar mengingat adat juga
merupakan sistem hukum yang dibangun dari bahan asli
yang konkrit dan ideal milik bangsa Indonesia.273 Meski di
balik ini ada upaya membatasi gerak syarak yang dibungkus
dengan pluralisme agama, sosial, dan budaya serta
dikondisikanlah seolah-olah terjadi tarik-menarik bahkan
konflik antara ketiga sistem hukum tersebut.
Implikasinya adat tetap eksis bahkan mendapat
legitimasi kuat dari pemerintah dengan argumen Indonesia
bukan negara agama (Islam) baik melalui undang-undang
maupun peraturan perundangan lainnya. Pemerintah
sebagai pemegang otoritas memberi ruang seluas-luasnya

273M. Koesno, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum,

(Bandung: Mandar Maju, 1992), 101-105.

162
pemberlakuan adat di daerah. Kebijakan ini sedikit
ambivalen karena bagaimana mungkin satu masyarakat
menggunakan dua atau bahkan tiga hukum pada kasus
pidana maupun perdata yang sama.
Akhirnya pemerintah berusaha melepaskan diri dan
menggali hukum secara mandiri hingga lahirnya ―teori
Receptio a Cantrario‖ (penerimaan yang tidak bertentangan)
yang menghendaki hukum adat baru dapat diberlakukan
jika tidak bertentangan dengan syarak.274 Meski gagasan ini
awalnya muncul sebagai bentuk penentangan Hazairin
sekaligus upaya mengcounter teori Receptie Snouck
Hurgronje yang dikatakannya sebagai Teori ―Iblis‖,
menurutnya hukum yang berlaku bagi umat Islam di
Indonesia adalah adat dan syarak baru bisa berlaku kalau
tidak bertentangan dengan syarak. Gagasan Receptio a
Contrario sebenarnya bukan merupakan teori mapan
namun cenderung pada pemikiran yang sangat keberatan
dengan pemikiran Christian Snouck Hurgronje
memberlakukan hukum yang tidak sesuai dengan keinginan
dari user hukum. Lebih jauh, gagasan ini diasumsikan
sebagai kritik atas teori receptie yang dianggap
mengangkangi umat Islam secara terbuka karena tidak
mungkin umat Islam meninggalkan syarak sebagai ideologi
mereka.275

274Secara de jure dan de facto syarak telah eksis dan menjadi

entitas hukum negara pada masa kerajaan Islam Melayu-Nusantara.


Elaborasi lengkap lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. I, 12; Rahmat Djatmika,
Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Abdurrahman Wahid, et.,
al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1991), Cet. I, 230.
275Kritik terhadap teori Receptie disampaikan oleh Prof. Mr.

Hazairin (1905-1975), ketika mengikuti Konferensi Kementrian


Kehakiman Salatiga Tahun 1950, sebagai Guru Besar Hukum Islam dan
Hukum Adat Universitas Indonesia ia menyampaikan syarak hubungan
hukum agama dengan hukum adat. Melalui pernyataannya ―Hai orang
Islam, meski al-Qur‘an melarang perzinahan dengan ancaman pidana,
janganlah takut melakukannya selama tradisi masyarakat
mempraktikkannya. Begitupula jangan takut dihukum menurut
peraturan Gubernemen, selama tidak melanggar syarat-syarat acara
bebas dalam peraturan Gubernemen, misalnya dengan istri orang kecuali

163
Gagasan ini mendorong ruang gerak syarak menjadi
lebih leluasa dan sejak saat itu, syarak banyak
berkontribusi terhadap lahirnya hukum nasional terutama
dalam menunjang Program Legislasi Nasional Repelita III
(1979-1984), BPHN ikut aktif dalam pembuatan peta hukum
nasional, hingga tahun 1989 tercatat berhasil menerbitkan
35 Undang-undang. Usaha mewujudkan hukum baru
nasional itu tetap berlangsung, meski berbagai kendala
untuk menghentikan proses kemunculan hukum baru
tersebut terus disuarakan oleh bukan hanya penganut teori
resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah elit politik
dan masyarakat Indonesia.276 Utamanya kalangan
perguruan tinggi umum yang tidak menginginkan dominasi
syarak dalam hukum nasional, melainkan juga oleh
kalangan ulama Islam sendiri yang ―masih dangkal‖
pengetahuannya tentang Islam dan terjebak dalam
kerangka fanatisme mazhab secara sempit (taklid buta),
sehingga lebih tersibukkan oleh berbagai konflik internal
dengan mengabaikan peningkatan kesadaran untuk
mengimplementasikan syarak dalam realitas kehidupan
umat.
Keberterimaan masyarakat Melayu Jambi didasari
pada keyakinan bahwa adat yang berlaku selama ini
bersumber dari syarak, mengamalkan adat sama halnya
melaksanakan agama itu sendiri. Menurut Suhar AM.,
Undang Adat Jambi merupakan kompilasi dari ijtihad forum
tiga tali sepilin yang memadukan syarak dengan adat

jika adat mengizinkan seperti di Minahasa, dengan orang yang belum


matang badannya dan dengan perkosaan.‖ Gagasan ini terus bergulir dan
menjadi titik awal pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‘ah
di luar Jawa dan Madura yang dimuat dalam lembaran negara Nomor 99
Tahun 1957. Lihat Hazairin terhadap gagasan Snouck Elaborasi lengkap
dapat dilihat Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Timtamas,
1986), 8-10; A. Qodri Azizi, Eklektisisme ..., 158.
276Teori ―Receptie‖ menggariskan bahwa syarak bukanlah "hukum"

dan tidak dapat menjadi "hukum" manakala belum diverifikasi dan


diresepsi oleh hukum adat. Meski sebenarnya sejak berlakunya UU
Perkawinan pada 1 Oktober 1974, eksistensi teori ini hilang dengan
sendirinya, spiritnya ternyata masih melekat dalam benak sebagian
sarjana hukum Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia:
Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 85.

164
berpijak pada falsafah adat. Meski kenyataannya ada
rumusan hukum yang benar-benar bersendikan (bersandar)
kepada syarak dan ada yang hanya disendikan
(disandingkan) kepada syarak, kategori kedua ini yang
terkadang mengundang polemik di kalangan masyarakat,
seperti ritual perkawinan, sistem kekerabatan dan
kewarisan dan sebagainya. Namun, secara substantif
keduanya berbanding lurus dengan tujuan hukum yaitu
menciptakan kemaslahatan masyarakat.277
Penerimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap
keduanya semakin kokoh manakala di lapangan banyak
kasus konflik sosial dan keagamaan diselesaikan melalui
presedium kerapatan adat yang melahirkan fatwa atau
petuah adat. Kenyataan ini dialami Isro, SH. warga
masyarakat Kelurahan Bagan Pete Kecamatan Kota
Baru:278
―Kami pernah kebingungan menghadapi masalah perilaku
warga pendatang yang berbeda keyakinan dan atnik
namun selalu meresahkan masyarakat hampir setiap
malam dengan pesta minum tuak dan miras hingga larut
malam bahkan subuh. Ketika ditegur oleh warga bahkan
bersama aparat hukum, jawabnya minuman ini bagi kami
biasa dan tidak dilarang agama. Akhirnya, kami meminta
pendapat tokoh agama beliau menyarankan agar
melibatkan tokoh adat. Selanjutnya, warga bersama
aparat, tokoh agama dan tokoh adat menjelaskan tentang
aturan adat di Jambi dan sanksi bagi pelanggarnya sesuai
seloka ―Dimana tembilang dicacak, Disitu tanaman
tumbuh, Dimana bumi dipijak, Disitu langit dijunjung.
Masalah yang kami hadapipun teratasi dengan damai
tanpa kekerasan.‖
Pengalaman ini mengindikasikan penerimaan aturan
adat sebagai bagian integral dari pesan agama, meski
masyarakat umumnya lebih memilih menggunakan simbol
adat ketimbang syarak. Menariknya, beberapa tahun
terakhir muncul penolakan terhadap praktik adat

277Wawancara, Ketua Majelis Ulama Sarolangun, 2 Februari 2016.


278Wawancara, Ketua Pemuda Kelurahan Bagan Pete Kota Baru
Jambi, 16 Maret 2015.

165
sebagaimana temuan M. Husnul Abid.279 Menurutnya, pasca
Reformasi bermunculan kelompok-kelompok agama yang
oleh beberapa sarjana dikatakan sebagai gerakan trans-
nasional, seperti Tarbiyah. Gerakan ini berkembang pesat
tidak hanya di Jambi bahkan hampir di seluruh wilayah
Indonesia, utamanya di kampus-kampus. Diimbangi dengan
kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada
pendidikan Islam seperti madrasah, terlebih dengan
munculnya kebijakan Menteri Pendidikan Nasional
mengenai full day school. Kebijakan ini diasumsikan dapat
melemahkan pendidikan agama (Madrasah Diniyah
Takmiliyah) yang biasa diselenggarakan pada sore hari
sebagai tambahan bagi siswa yang sekolah pagi.
Perkembangan gerakan Tarbiyah cukup signifikan
terutama di kampus Universitas Jambi (UNJA) dan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Jambi serta di sekolah yang
berbasis Tarbiyah seperti; Sekolah Islam Terpadu Nurul
Ilmi, Diniyah al-Azhar, ash-Shiddiqi dan lainnya. Kehadiran
gerakan ini belakangan memunculkan gesekan dengan
kalangan adat dengan memunculkan kritik terhadap klaim
keber-Islaman adat masyarakat Melayu Jambi selama ini

279Contoh kasus di Jambi pada pertengahan 2014, putri HS dilamar

seorang lelaki. HS mempersiapkan segala yang terkait dengan hajatan,


mulai dari undangan, membentuk panitia, memesan tenda dan sound
system, termasuk menghubungi kerabatnya di Lembaga Adat Melayu
untuk mengisi acara nasihat perkawinan berupa ―Tunjuk Ajar‖,
memimpin upacara adat, dan lainnya. Setelah persiapan lengkap dan
selesai, putrinya tiba-tiba menolak menikah dengan cara-cara adat dan
berdalih adat Melayu sebagaimana dilaksanakan dalam acara pernikahan
selama ini di Jambi tidak sesuai syariat Islam. HS marah dan putrinya
tetap tidak bergeming, alhasil daripada harus membatalkan undangan
yang sudah tersebar, HS terpaksa mengalah saat pernikahan
berlangsung, semua kerabat HS heran tidak ada upacara adat, tempat
tamu dipisah laki-laki dengan perempuan, panitianya teman-teman
putrinya. Setelah diselidiki putri HS menikah dijodohkan murabbiyyah-
nya. Anaknya mengisi formulir berisi biodata dirinya dan kriteria laki-
laki yang diinginkan, murabbiyah-nya mencocokkan formulir isian laki-
laki tersebut lewat murabbi-nya. Setelah cocok, mereka menikah melalui
arahan dan pengawasan murabbi-murabbiyah keduanya. Panitia
disiapkan oleh mereka, begitupula tatacara pernikahan dan musik
hiburan. Praktik inilah yang mereka klaim sebagai budaya Islami. Lihat
M. Husnul Abid, Kontestasi Kemelayuan ..., 193-195.

166
terutama praktik adat dalam prosesi perkawinan mulai dari
lamaran sampai penganten (walimah al-‗arusy), mereka
menampilkan Islam secara ―berbeda‖ dengan identitas;
jilbab panjang, berbicara dengan istilah dalam bahasa Arab,
cenderung eksklusif, dan hanya peduli dengan sesama
mereka. Tampilan inilah yang mereka klaim sebagai Islam
yang sebenarnya sebagaimana dipraktikkan Nabi tempo
dulu.
Pandangan ini diamini oleh Dr. H. Husin Abdul
Wahab, Praktik hukum adat masyarakat Melayu Jambi
kekinian pada beberapa kasus tidak sejalan dengan prinsip
Islam, seperti; proses ta‘aruf antara calon pasangan dan
pihak keluarga, ritual perkawinan dengan menginjak kepala
kerbau dan mengambur beras kunyit, mencuci kampung
atas kasus perzinahan, larangan perkawinan eksogami,
praktik waris matrilineal dan bilateral dan sebagainya. Oleh
karenanya, perlu dicarikan solusi agar adat yang ada tidak
membuat masyarakat menjadi dilematis antara
keberpihakan terhadap syarak atau sebaliknya.280
Pandangan terakhir refleksi sebagian kecil
masyarakat yang mungkin mengklaim sebagai kelompok
―tercerdaskan‖ dengan ilmu agama namun belum tentu
dengan ilmu metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh), yang
memungkinkan kelompok etnik, ras, agama berbeda
mengkritisi praktik adat bahkan tidak patuh terhadap
putusan adat. Terlepas dari itu, masyarakat Jambi yang
beridentitas etnik Melayu menjadikan adat yang
bersendikan syarak sebagai panduan dalam menjalani
aktivitas kehidupan dan menerima secara total keberadan
kelembagaan adat sebagai sumber inspirasi moralitas dan
institusi penengah dari berbagai konflik hukum, agama dan
sosial. Meski perlu direformulasi agar menjadi obyektif dan
ideal sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman guna
mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Inilah yang oleh Kluckhon sebagaimana dikutip
Hilman Hadikusuma, nilai merupakan ―a conception of
desirable‖ (suatu konsepsi yang diinginkan) yang memuat

280Wawancara, Sekretaris MUI Kota Jambi, 20 Januari 2016.

167
nilai primer dan sekunder.281 Singkatnya, nilai primer
memuat nilai luhur menyangkut etika, budi pekerti, dan
epistimologis-sosiologis, sedangkan nilai sekunder memuat
aturan tentang penghargaan sosial atas siapa saja yang
mengimplementasikan aturan adat. Syarak yang
merupakan produk Ilahi mencakup nilai ideologis-
epistemologis (vertikal dan horizontal), sedangkan adat
sebagai hukum yang dibangun berdasarkan nilai:
harmonisasi, keselarasan, keutuhan menentukan corak,
sifat, karakter hukumnya. Keduanya mengajarkan kebaikan
dan menghindari keburukan, jika syarak mengajarkan
kebaikan berdasarkan pada doktrin Islam, sedangkan adat
mengajarkan kebaikan berdasarkan kepantasan (eco pakai)
yang merupakan penilaian umum kemanusiaan.282
Implikasinya adat dan syarak dipersepsikan secara
positif dan relatif sama sebagai aturan hukum bertujuan
mewujudkan tatanan masyarakat yang hidup damai secara
politis-sosiologis, meski pada beberapa aspek tetap ada
perbedaan. Secara spesifik perbedaan syarak dengan adat
sebagaimana dihantarkan pada sub bab sebelumnya
diketahui melalui beberapa aspek. Kesamaan epistemologis
dan harmonisasi keduanya berimplikasi terhadap
penerimaan masyarakat secara utuh terhadap produk
hukum hasil konfigurasi adat dan syarak dan praktik
hukum, meski belakangan mendapat sorotan bahkan kritik
tajam dari sekelompok kecil masyarakat Jambi.

281Hilman Hadikusuma, PengantarIlmu Hukum ..., 8.


282Paradigama adat mencakup beberapa dimensi, yaitu; Pertama
keagamaan, yaitu adanya dunia ghaib yang mengatur kehidupan manusia
(magic religius) seperti tradisi cuci kampung; Kedua kebersamaan sebagai
mahluk sosial (zoon politicon); Ketiga dinamis dan fleksibel, struktur dan
fungsi masyarakat bergerak mengikuti situasi dan perkembangan zaman;
Keempat inklusif dan sederhana, keterbukaan dan kesederhanaan
memberi ruang bagi norma dan budaya lain untuk disinergikan dengan
adat yang ada; Kelima konvensi (tidak terkodifikasi), secara umum adat
tidak dikodifikasi dan ditulis dengan baik dan lengkap, hanya diketahui
oleh orang-orang tertentu; Keenam musyarawah dan mufakat, antara
komponen pemangku adat dan tokoh masyarakat; dan ketujuh
tradisional, dalam tradisi manapun adat merupakan produk warisan
turun-temurun. Ibid., 1-2.

168
Syarak merealisasikan tujuan penciptaan manusia
yakni mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan
akhirat melalui aturan secara vertikal maupun horizontal,
sedangkan adat bertujuan menciptakan tatanan sosial,
tutur, sikap, perasaan agar terjadi keseimbangan sosiologis-
axiologis dalam setiap individu atau kelompok demi
ketentraman lahir maupun bathin. Keduanya menyatu
dalam sistem hukum sejak daerah Jambi menjadi kerajaan
Islam Melayu dipimpin oleh Ahmad Kamil, meskipun
memerlukan proses yang panjang tentunya untuk dapat
beradaptasi bahkan berasimilasi antara syarak dengan adat
setempat.
Pada praktiknya syaraklah yang menseleksi adat
mana yang relevan dengan ideologi Islam atau sebaliknya.
Jika adat yang berlaku sejalan dengan syarak (pesan
agama) diteruskan dan disesuaikan kondisi dan kebutuhan,
begitupula sebaliknya jika adat bertentangan dengan syarak
maka diverifikasi untuk disesuaikan dengan syarak. Proses
saling beradaptasi dengan damai inilah pada akhirnya
melahirkan Undang Adat Jambi.

C. Otoritas Pemerintah dalam Pelembagaan Adat dan


Syarak

Otoritas merupakan kemampuan seseorang atau


sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga
tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari
orang yang memiliki kekuasaan itu. Robert Bierstedt
memaknai otoritas sebagai suatu kekuasaan yang
dilembagakan (institutionalized power),283 pengertian ini
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Laswell dan Kaplan
bahwa otoritas adalah kekuasaan formal (formal fower). 284
Artinya, ada legitimasi yang dimiliki untuk mengharapkan

283Robert Bierstedt, ―Power and Progress: Essays on Sociological


Theory‖ (review), American Journal of Sociology, Vol. 81, No. 4 (Januari,
1976), 34.
284Harold Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Society: A

Framework for Political Inquiry, (Yale: Yale University Press, 2014), 56.

169
kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya,
sedangkan legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota
masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang,
kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut
dihormati.285
Substansi kekuasaan adalah milik bersama dan
merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan
terdapat di semua bidang kehidupan dan mencakup
kemampuan memerintah dan memberi keputusan yang
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
tindakan pihak lainnya. Dengan kata lain, idealnya ia tidak
berdiri sendiri tetapi menuntut otoritas lain sebagai
pendukung.
Setiap lembaga mempunyai otoritas yang oleh
Bourdieu disebut posisi, sebagai tolok ukur kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia memengaruhi tingkah
laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari pemangku kekuasaan. Ketika dikatakan
seseorang memiliki kekuasaan atas orang lain, berarti orang
pertama membuat orang kedua tidak bisa memilih tindakan
lain.286
Kekuasaan idealnya netral sehingga bergantung
pada pemangkunya untuk menilai baik atau buruknya guna
kepentingan masyarakat, substansinya kekuasaan mesti
ada pada seluruh lapisan masyarakat. Pemangku
kekuasaan di Jambi awalnya adalah kerajaan dipimpin oleh
Raja, setelah kemerdekaan beralih menjadi pemerintahan
dipimpin oleh Presiden. Pemerintah mempunyai otoritas
kuat mengejewantahkan tujuan negara (pemerintah)
bekerjasama dengan rakyat demi mencapai cita-cita
bersama.287 Peran pemerintah sangat penting dalam

285Miriam Budiarjo, Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Gramedia,

1994), 90-91.
286Pierre Bourdieu, Mengungkap Kuasa Simbol, terj. Fauzi Fashri,

(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 25-26.


287Menurut Finer pemerintah mengandung empat pengertian; 1).

Pemerintah mengacu kepada proses memerintah yakni pelaksanaan

170
mewujudkan cita-cita politik, stabilitas sosial, pembangunan
moral, pendidikan, agama, budaya.288 Pemerintahlah yang
memiliki kekuasaan mengimplementasikan sekaligus
memaksakan tujuan bernegara dalam upaya mewujudkan
stabilitas politik, kemakmuran, dan kesejahteraan
masyarakat. Meskipun sering dijumpai fenomena dalam
mengaktualisasikan kekuasaan di mana kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku
orang lain acapkali tidak disertai kewibawaan sehingga
tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak
dilandasi oleh kesadaran secara sukarela melainkan karena
pemaksaan oleh instrumen atau alat kekuasaan. Dalam
konteks ini, kajian mengenai otoritas (authority) dan
legitimasi (legitimacy) menjadi amat penting dan tidak bisa
dilepaskan dalam kekuasaan.
Atas dasar itu, menurut Ibnu Taimiyah nilai
(organisasi pemerintah) bagi kehidupan kolektif manusia
merupakan salah satu kebutuhan yang terpenting, tanpa
tumpangannya institusi sosial bahkan agama serta lainnya
tidak dapat tegak dengan kokoh. Lebih spesifik dalam
konteks ketatanegaraan Islam keberadaan pemerintah
dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik dan
sosial melalui konsep seruan kepada kebenaran dan celaan
terhadap keburukan (jalb al-maşâlih wa daf‘u al-
mafâsid).289
Menyikapi signifikansi pemerintah dalam menjaga
stabilitas hukum, sosial dan politik menurut Ibnu Khaldun

kekuasaan oleh yang berwenang; 2). Eksistensi dari proses pemerintahan


yang memiliki aturan; 3). Orang atau sekelompok orang yang menduduki
jabatan tertentu dalam masyarakat atau lembaga; dan 4). Bentuk,
metode, atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat, yakni
struktur dan pengelolaan dinas pemerintahan dan hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah. Lihat John Curtice, ―Pemerintah‖ dalam
Adam dan Jessica Kupper, The Social..., I, 418-419.
288April Carter, Otoritas dan Demokrasi, (Jakarta: Rajawali Press,

1979), 54-56.
289Ibnu Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dâr al-Kutub

al-'Arabi, 1952), 174; Ibnu Taimiyah, Majmu‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm


Ahmad Ibnu Taimiyah, (Riyadh: Mathba‘ al-Riyadh, 1963), Jilid XXVIII,
disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, 62.

171
ada tiga kategorisasi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan
Natural (Siyâsah Thabî‘iyah), yaitu pemerintahan yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan syahwat dan
masyarakatnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang
sama (passion oriented). Pemerintahan lebih
mengedepankan kehendak dan hawa nafsunya tanpa
memperhatikan kepentingan rakyat sehingga rakyat tidak
patuh dan muncul teror pada berbagai tempat dan situasi,
tirani dan anarkis, mirip Pemerintahan Otoriter,
Individualis, Otokrasi, atau Inkonstitusional. Kedua,
Pemerintahan berdasarkan Nalar (Siyâsah ‗Aqliyah), yaitu
Pemerintahan yang mendorong rakyatnya untuk cerdas,
kreatif dan bermoral sesuai rasio mencapai kemaslahatan
duniawi dan mencegah kemudharatan, mirip Pemerintahan
Republik, atau Monarki, dan Insitusional. Ketiga,
Pemerintahan berlandaskan Agama (Siyâsah Dîniyyah),
yaitu pemerintahan yang mendorong rakyatnya untuk taat
menjalankan agama. Model terakhir menurut Ibnu Khaldun
terbaik dan ideal, karena muncul interaksi dalam
memandang komunitasnya sebagai sub sistem berupa
organisasi sosial maupun keagamaan.290
Ibnu Khaldun menambahkan untuk
mempertahankan kekuasaan atau kekuatan politik
manapun perlu support dari agama dan solidaritas sosial
(aşabiyah).291 Tanpa keduanya kekuasaan yang ada akan
segera hancur, karena tidak mendapat legitimasi yang kuat
dari arus bawah yang menjadi mayoritas user dari
kekuasaan itu sendiri. Selain itu, agama dan solidaritas

290‗Abd ar-Rahmân bin Muhammad bin Khaldun al-Had}rami,


Muqaddimah ..., 128-131.
291‗Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas

kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial,


dalam artian cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara
atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau
disakiti. Ibnu Khaldun dalam konteks ini hal ini memunculkan dua
kategori sosial fundamental yaitu Badawah (‫( )بداوة‬komunitas pedalaman,
masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (‫)حضارة‬
(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena
yang alamiah dan Niscaya (dharury). Ibid.

172
sosial dapat memperkuat eksistensi kekuasaan sehingga
terwujud kekuasaan yang solid dan kokoh.
Menariknya, model pemerintahan ideal dan integratif
versi Ibnu Khaldun ini secara substantif justru dipraktikkan
oleh masyarakat Melayu Jambi sejak masa kerajaan Islam
Melayu. Secara kultural kekuasaan dalam tradisi
masyarakat Jambi berada pada kelembagaan adat Melayu
Jambi melahirkan produk adat dan syarak sebagai
manifestasi hubungan sosial dalam dinamikanya yang
saling bersinergi hingga terwujud stabilisasi dan
harmonisasi untuk menjaga maupun mengubah tatanan
sosial. Institusi justru mengcover tiga sistem kekuasaan dan
kepentingan sekaligus melalui forum tiga tali sepilin (trilogi
kuasa). Forum ini merupakan representasi dari penguasa,
pegawai syarak dan pemangku adat, yang telah beberapa
kali mengalami perubahan nomenklatur. Forum ini
merepresentasikan kepentingan yaitu; pemerintah yang
diwakili oleh pemerintahan daerah, kepentingan agama dan
adat.
Praktik ini juga secara institusional mengakomodir
tiga pilar yaitu; pilar politik, religius dan kultural, inilah
yang oleh Bourdieu disebut sebagai modal yang dimiliki oleh
anggota kelembagaan adat sebagai subjek untuk
melanggengkan posisi dan disposisi mereka masing-masing,
yang terbentuk menjadi habitus dalam setiap momen
pengambilan kebijakan, terlepas ada yang mendominasi
atau sebaliknya.292 Pertama Pilar Politik, seberapa besar

292Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri

seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan


kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan
cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Habitus tumbuh
dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat
panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat
menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat
melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi
dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga
bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke
waktu. Habitus dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau
selama periode sejarah panjang. Lihat Pierre Bourdieu, Outline of Theory
of Practice, (England: Cambrige university Press, 1977), 170.

173
dukungan pemerintah terhadap praktik kepemimpinan
kolegial (collegial management) dan mengawal
pemberlakuan adat dan syarak. Meski telah ada lembaga
yang mengurusi persoalan hukum, moralitas, sosial dan
keagamaan formal maupun non-formal. Eksistensi
kelembagaan adat tetap diakui pemerintah bahkan putusan
adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum oleh
pengadilan formal, begitupun kasus yang tidak dicover oleh
perundangan yang ada dapat diputuskan melalui peradilan
adat.293
Oleh karena itu, pemerintah pusat senantiasa
mendorong keberadaan kelembagaan adat sebagai bagian
potensial dan khazanah hukum Nusantara, terlebih setelah
Orde Reformasi sebagai babak baru bagi daerah
mendapatkan kewenangan mengatur sistem pemerintahan
dan pengelolaan keuangan sendiri. 294 Otonomisasi
memberikan fleksibilitas bagi daerah merencanakan
pembangunan, khususnya dalam pembuatan Peraturan

293Secara substantif politik mengandung dua makna yaitu sebagai


instrumen manusia mencapai tujuan bersama dan kesadaran. Politik
sebagai instrumen manusia untuk mencapai tujuan implementasinya
melalui institusi formal dan organisasi masyarakat. Institusi formal yang
merujuk pada eksistensi sebuah negara yang menghendaki adanya
eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan organisasi masyarakat
merupakan perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan
bangsa dan negara. Adapun politik sebagai kesadaran, manusia sebagai—
subjek atau objek politik—menyadari pentingnya menjalin relasi dan
bertanggung jawab terhadap orang lain. Tanggung jawab berupa
kesadaran menentukan pilihan dan rencana untuk diwujudkan secara
bersama yaitu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, nyaman dan
sejahtera melalui pemenuhan hak dan kewajiban. Lihat Andreas Doweng
Bolo. dkk, Pancasila Kekuatan Pembebas, (Yogyakarta: Kanisius, 2012),
192.
294Sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 10 Ayat [1] dan [3]. Pemerintahan Daerah


menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi
urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah sebagaimana dimaksud Ayat [1] meliputi (a) luar negeri, (h)
pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, (f)
agama‖.

174
Daerah guna mencapai tujuan pembangunan nasional.
Pemerintah memberikan kewenangan kepada kepala desa
mempraktikkan sistem pemerintahan adat dalam konteks
penyelesaikan problem sosial keagamaan. Menyusul
lahirnya UU dan peraturan pemerintah lainnya sebagai
refleksi peran pemerintah dalam memberdayakan bahkan
melembagakan hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan
dari tata hukum nasional.295
Upaya merevitalisasi lembaga adat mulai dengan
komunikasi antar daerah yang difasilitasi beberapa lembaga
swadaya masyarakat di Indonesia sehingga lahir gerakan

295Peraturan pemerintah tentang otoritas adat dijumpai melalui: I.

UU Darurat Nomor 1 tahun 51 Pasal (5) ayat 3 huruf b, 1) ―bila suatu


kejahatan diatur oleh hukum Adat dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHP); (a) ―bila suatu kejahatan diatur hukum Adat dan tidak
diatur Kitab UU Hukum Perdata (KUHP), maka yang dipakai hukum
Adat. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP dipakai hukum Adat
namun sanksinya maksimal 3 bulan kurungan; Jila masih dirasa kurang
adil atas pertimbangan hakim (hakim adat) maka hakim boleh
menjatuhkan hukuman maksimal 10 tahun. II. UU Adat Nomor 5 Tahun
1960, Pasal (2) Ayat 1 ―bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh
negara‖. Hak menguasai negara implementasinya dapat dikuasai daerah
dan masyarakat hukum adat. Selanjutnya pasal 3 ―pelaksanaan hak
ulayat masyarakat hukum Adat sepanjang masih ada, sesuai Pasal (4)
dan (5) Hukum Agraria juga berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan negara Republik
Indonesia. III. UU Nomor 41 Tahun 1999, Pasal [67] dan [68]
‖Masyarakat Adat berhak melaksanakan pungutan hasil hutan dan
berhak memperoleh kompensasi atas hilangnya akses hutan mereka. IV.
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal [6]
Ayat 1 ―dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), perbedaan
dan kebutuhan masyarakat Adat harus diperhatikan, dilindungi oleh
hukum masyarakat dan pemerintah‖; dan ayat 2 ―Identitas budaya
masyarakat hukum Adat termasuk hak tanah ulayat dilindungi; serta
ayat 3 ―dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), identitas
budaya nasional masyarakat hukum Adat, hak-hak adat masih dipegang
teguh masyarakat hukum adat setempat. V. UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah, Pasal [22] huruf m ―dalam menyelenggarakan
otonomi, daerah berkewajiban melestarikan nilai budaya. Seterusnya
Pasal [23] Ayat 1 ―wakil kepala daerah punya tugas membantu kepala
daerah dalam upaya pengembangan dan pelestarian sosial budaya. VI.
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal (2) ―kewenangan adat,
pemerintahan secara adat, peraturan adat diakui oleh negara jo. Pasal
(103 - 111).

175
masyarakat adat.296 Pada tanggal 21 Maret 1999
masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres
pertama di Jakarta dan mendeklarasikan tanggal 17 Maret
sebagai ―Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara.‖297
Untuk merealisasikan komitmen tersebut,
pemerintahan daerah (Pemda) Jambi sebagai perpanjangan
tangan pemerintah pusat berperan aktif mendorong
aktivitas kelembagaan adat melalui pemberian fasilitas
seperti; kantor yang representatif, kendaraan dan dana
operasional. Menurut Chumaidi Zaidi, Pemerintah Daerah
(Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Jambi senantiasa mendorong tumbuh kembangnya adat
melalui pemberdayaan organisasi dan kegiatan sosial-
keagamaan baik itu melalui Lembaga Adat Melayu Jambi
maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi. Tahun 2017
dana yang digelontorkan sebesar 1.9 Milyar, melebihi
anggaran untuk Musabaqah Tilawatil Qur‘an (MTQ) tingkat
provinsi Jambi sebesar 1.8 Milyar, dana operasional untuk
kegiatan Majelis Ulama Indonesia provinsi Jambi sebesar
500 Juta.298
Statemen ini seirama dengan Kailani dan Syargawi,
keduanya menyatakan pemerintah daerah kabupaten/kota

296Leena A Vonius dan Sehat Ihsan Shadiqin, "Revitalisasi Adat di

Indonesia dan Aceh", dalam Leena Avonius dan Sehat lhsan Shadiqin,
(ed.), Adat dalam Dinamika Aceh, (Banda Aceh: ICAIOS dan ARTI,
2010), 9.
297Hasil kongres menyepakati beberapa point keputusan: 1. Adat

adalah sesuatu yang bersifat luhur dan landasan kehidupan Masyarakat


Adat; 2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk sehingga tidak ada ruang
kebijakan Negara mensergamkannya; 3. Jauh sebelum negara berdiri,
Masyarakat Adat di Nusantara telah berhasil mengembangkan sistem
―ideal dan harmonis‖ oleh karenanya Negara harus menghormati
kedaulatan Masyarakat Adat; 4. Masyarakat adat sebagai kumpulan
manusia sehingga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut
nilai-nilai sosial yang berlaku. Segala bentuk tindakan dan kebijakan
negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan
melanggar rasa keadilan yang dipahami Masyarakat Adat harus segera
diakhiri. Keputusan masyarakat Adat ini dikutip dari tulisan Rosnidar
Sembiring, Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi, diakses
tanggal 5 Januari 2016, 5.
298Wawancara, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Provinsi Jambi, 27 September 2016.

176
memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan dan
pelestarian adat budaya Jambi melalui kelembagaan adat.
Alasannya sederhana secara historis daerah Jambi lahir dan
berkembang karena identitas adatnya yang melahirkan
spirit moral, sosial dan agama sehingga hidup harmonis dan
aman tanpa konflik vertikal maupun horizontal. Selain itu,
pemerintah daerah sesuai aturan yang berlaku dituntut
mampu mendorong dan memfasilitasi tumbuh-kembangnya
adat dan budaya lokal sesuai nilai kearifan lokal.299
Statemen ini diamini Junaidi T. Noer, Azra‘i Basyari
dan Fathuddin Abdi, A. Roni dan Muhammad Zen, patut
diakui begitu besar dukungan pemerintah daerah dalam
memberdayakan Lembaga Adat Melayu (LAM) pada tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota ditandai dengan
pemberian fasilitas kantor dan alokasi dana yang besar
serta kesempatan seluas-luasnya melaksanakan acara atau
momen seremonial adat, seperti; sosialisasi, pemberian
gelar, dan lainnya. Terakhir diterbitkannya peraturan
daerah (perda) tentang legalitas lembaga adat dan aturan
yang melekat di dalamnya, sebagaimana tertuang dalam
Perda No. 4 tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu
Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
Kedua Pilar Religius, dimainkan oleh Pegawai
Syarak yang notabene bagian dari ulama. Secara historis
dan sosiologis ulama dipahami sebagai ―orang yang berilmu‖
dan selalu dikaitkan dengan terma ilmu pengetahuan
agama baik pengertian gnosis maupun eksetoris hukum
agama. Legalisasi otoritas ulama dijumpai dalam al-Qur‘an
maupun Sunnah.300 Bahkan di Indonesia saat ini maknanya
lebih dipersempit melalui pengakuan masyarakat pada
organisasi struktural yang menggunakan simbol ulama
seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Nadhatul

299Wawancara, Sekda Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari, 23-


25 Maret 2016.
300Q.S. Fâtir [35]: 28 ― Sesungguhnya di antara hamba-hamba yang

takut kepada-Ku adalah ulama‖, sedangkan hadis ―Inna al-‗ulamâ


waratsah al-Anbiyâ‘ (sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi).
Uraian secara komprehensif mengenai legitimasi ulama tersebut lihat Ibn
Hajar al-Asqalany, Fath al-Bâriy, (Mesir: al-Baby al-Halaby, 1959), I,
169.

177
Ulama (NU), terlepas dari keilmuan yang dimiliki benar-
benar dalam atau sebaliknya. Dengan kata lain, mereka
yang memberikan pengajian atau ceramah, sering berbicara
di muka umum tentang Islam, turunan ulama,
menggunakan atribut atau simbol ulama, organisaisi ulama
dilekatkan dengan terma ulama, bukan pada fungsionalnya
dan kemampuan substansialnya pada ilmu-ilmu agama.301
Secara umum tugas ulama mencerahkan umat atau
amar ma‘ruf nahi munkar, yang jika dirinci meliputi empat
hal, yakni : 1). Menyebarkan dan mempertahankan ajaran
dan nilai agama; 2). Melakukan kontrol dalam masyarakat
(social control); 3). Menyelesaikan segala persoalan yang
dihadapi umat; 4). Menjadi agen perubahan sosial (agent of
social change).302 Di bidang pemerintahan, ulama sebagai
penasihat pemerintah dalam pengambilan kebijakan
berkenaan dengan persoalan sosial keagamaan. Peran
ulama selanjutnya terus mengalami dinamika seiring
dengan perkembangan zaman dan keadaan sebagai
refresentasi kepentingan agama.
Ketiga, Pilar Kultural, yang dimainkan kelembagaan
adat sebagai institusi yang berwenang menangani berbagai
kasus hukum, sosial dan agama yang dihadapi oleh
masyarakat Melayu Jambi.303 Kelembagaan adat

301Di Indonesia terdapat dua lembaga formal maupun non-formal

yang menangani persoalan hukum, sosial dan agama. Lembaga formal


merupakan institusi yang dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah
seperti kementerian hukum, agama dan sosial. Sedangkan lembaga non-
formal yang concern mengurusi persoalan sosial-keagamaan, yaitu
lembaga sosial kemasyarakatan dan lembaga sosial keagamaan. Lembaga
sosial kemasyarakatan seperti; paguyuban, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), lembaga adat, organisasi lingkungan hidup, dan lainnya.
Sedangkan organisasi sosial keagamaan seperti; Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Irsyad al-Islamiyyah,
Tarbiyah Islamiyah, Front Pembela Islam (FPI) dan lainnya. Organisasi
kedua ini tidak bersentuhan langsung dengan kelembagaan adat Melayu
Jambi sehingga mereka betul-betul otonom dan independen dalam
pengambilan setiap keputusan.
302Masykuri Abdillah, Kiprah Ulama dalam Kehidupan
Masyarakat dan Negara Dewasa ini, dalam Mimbar Agama dan Budaya,
(Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, (1999), 1.
303Terma lembaga mempunyai beberapa arti, antara lain : 1) asal

mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan);

178
mengandung makna yang luas, baik menyangkut institusi
adat maupun nilai nilai, asas atau prinsip maupun norma
norma yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Sebagai contoh nilai nilai ke-Tuhanan,
kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan sebagainya
terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip musyawarah
mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya, semuanya
terdapat dalam kelembagaan adat. Norma norma yang
disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak
lingkungan hidup, dan sebagainya, telah disepakati sejak
dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku.
Kelembagaan ini lebih menekankan pada aturan
main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action)
untuk mewujudkan kepentingan bersama. Pada awalnya
institusi ini sebagai wahana mengkaji dan menyelesaikan
segala persoalan hukum, moral, sosial, politik dan agama,
namun pada masa pasca-kemerdekaan beralih menjadi
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain
itu, awalnya kelembagaan adat merupakan institusi formal
berubah menjadi institusi non-formal, namun tetap diakui
oleh pemerintah Republik Indonesia (Rl) sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa/konflik horizontal antar
masyarakat.
Meskipun sejak berdirinya kelembagaan adat Melayu
Jambi mengalami beberapa kali perubahan nomenklatur
mulai dari Kerapatan Adat, Lembaga Adat Provinsi Jambi,
dan Lembaga Adat Melayu Jambi tentunya berimbas pada
perubahan paradigma. Institusi ini sejak masa kerajaan
Melayu memainkan perang penting dalam membantu
penguasa menyelesaikan berbagai kasus dengan pola dan
pendekatan tersendiri.304 Perubahan nomenklatur dan

(2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan; ikatan (tentang mata cincin
dan sebagainya); (4) badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola
perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di
suatu kerangka nilai yang relevan. Lihat W.J.S Poerwadarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 1991), 979.
304Lembaga adat yang merupakan wadah atau organisasi
permusyawaratan/permufakatan para pengurus adat, pemuka-pemuka

179
pasang surut kewenangannya tidak membuat institusi ini
kehilangan jati diri, ia tetap hidup dan menjadi wahana
alternatif dan patron bagi masyarakat Melayu Jambi.
Begitupula praktik adat bersendi syarak, awalnya
diapropriasi sebagai bagian budaya, bahkan sebagai faktor
determinan yang memproduksi budaya itu sendiri,
akhirnya tak lebih menjadi arena pertarungan politik.
Sejarah mencatat bagaimana pertarungan muncul sejak
Jambi dipimpin Puteri Selaras Pinang Masak yang
beragama Hindu dan Ahmad Salim yang beragama Islam,
keduanya menikah dan berhasil ―meng-Islamkan‖ kerajaan
Melayu, klimaksnya masa Ahmad Kamil hingga munculnya
otoritas pemerintah Belanda yang berupaya
―mengkerdilkan‖ syarak melalui politik hukumnya.
Begitupula otoritas pemerintah masa modern dan
pemerintah daerah yang juga ikut andil dalam
pembentukan praktik adat dan syarak.
Dengan demikian, dukungan terhadap pelembagaan
adat dan syarak sangat signifikan dan optimal, utamanya
sejak awal kerajaan Islam Melayu melahirkan kolaborsi
sistem pemerintahan dan sistem hukum, yang berimplikasi
pada pribumisasi ajaran Islam dan akselerasi penyebaran
Islam di Jambi. Dukungan ini berlanjut oleh pemerintah
pasca kemerdekaan sehingga syarak tetap bertahan meski

adat/masyarakat yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan,


tugas pokok Lembaga Adat sebagaimana termuat dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 1997 sebagai
berikut: Pasal 1 huruf e. (Permendagri No. 3 tahun 1997 dan Juklaknya
In-Mendagri Nomor 15 Tahun 1998 telah dicabut dengan Permendagri
Nomor 4 Tahun 1999 bersama 45 Peraturan, Keputusan, dan Instruksi
Menteri Dalam Negeri lainnya). Pertama, menampung dan menyalurkan
pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan
perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan masyarakat. Kedua, memberdayakan, melestarikan, dan
mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan
masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan. Ketiga,
menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif
antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka
adat dengan aparat pemerintah di daerah.

180
menjadi hukum lokal, meski sebagian telah menjadi spirit
bagi hukum nasional.

D. Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat


Masyarakat Melayu Jambi merupakan bagian dari
masyarakat hukum Adat dengan indikator adanya kesatuan
dalam masyarakat yang bersifat tetap dan teratur,
anggotanya terikat ranah domisili tertentu dan hubungan
keturunan berupa pertalian darah atau kekerabatan. 305
Penekanannya pada signifikansi kelompok kebangsaan agar
kewibawaan hukum dan kekuasaan kelompok tadi dapat
berjalan teratur, memiliki otoritas dan kewibawaan.
Masyarakat yang tidak teratur bukanlah masyarakat
hukum karena tidak adanya otoritas dan kewibawaan
karena setiap sistem hukum mengkaji siapa saja yang
menjadi stakeholders, pemberlakuan dan kontinuitas dan
kepatuhan stakeholders sehingga tercipta stabilitas sesuai
keinginan pembuat hukum.306
Konsekuensi dari masyarakat hukum adat adanya
pengakuan dan kepatuhan terhadap aturan terkait dengan
adat seperti; undang-undang adat, pemangku adat,

305Masyarakat hukum adat adalah komunitas sosial manusia yang

mempunyai aturan sebagai pedoman untuk dilaksanakan atau


ditinggalkan sesuai situasi dan kondisi serta mempunyai rasa persatuan
dan struktur masyarakat untuk menentukan sistem hukum. Masyarakat
hukum adat dipetakan menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama,
Genealogis, yaitu kesatuan masyarakat yang teratur, keanggotaannya
berasal dari dan terikat pada kesamaan keturunan melalui hubungan
darah maupun perkawinan, menganut sistem kekerabatan patrilineal,
matrilineal, dan parental/bilateral. Kedua, Territorial, yaitu masyarakat
yang tetap dan teratur terikat pada daerah kediaman tertentu, baik
jasmani sebagai tempat kehidupan maupun rohani tempat pemujaan
terhadap roh leluhur, terdiri dari persekutuan desa (dorpsgemeenschap);
segolongan atau komunitas sosial yang senantiasa hidup bersama
berasaskan pandangan, hidup dan sistem kepercayaan serta kediaman
yang sama. Ketiga, Territorial Genealogis, yaitu kesatuan masyarakat
yang bersifat tetap dan teratur serta terikat pada ranah domisili tertentu
dan hubungan keturunan dalam pertalian darah atau kekerabatan. Lihat
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Suatu Pengantar (Jakarta:
Pradya Paramita, 1997), 42; I Gede AB. Wiranata, Hukum Adat..., 113.
306Ibid.

181
komunitas masyarakat adat, dan peradilan adat.307 Point
terakhir merupakan salah satu tugas kelembagaan adat
Melayu Jambi yaitu menengahi atau mengadili kasus-kasus
hukum, moralitas dan agama. Praktik peradilan adat
berlangsung sejak masa kerajaan Melayu, kerajaan Islam
Melayu, kesultanan, kolonialisme dan kemerdekaan, meski
telah ada kerajaan atau pemerintah.
Pada masa pra kolonialisme, kerajaan dan
kesultanan melayu, kewenangan peradilan adat sangat luas
mencakup segala persoalan yang dihadapi masyarakat
kecuali pelanggaran berat yang menghendaki putusan
penguasa. Selanjutnya masa kolonial Belanda sejak tahun
1930 terjadi perubahan politik hukum adat (adat recht
politic) guna mengantisipasi kemungkinan perubahan
kondisi hukum. Ditandai pengakuan secara formal terhadap
perangkat hukum adat, seperti: Hukum desa diberi
pengakuan oleh pemerintahan Belanda; peradilan adat di
daerah diperintah dan diatur melalui ordonansi (1928-1932)
serta dalam peraturan pelaksanaan yang dibuat residen
setempat; dan 1 Januari 1938, melalui Raad Justitie di kota
Betawi didirikan Adat Kamer (kamar adat) yang bertugas
mengadili tingkat banding perkara adat, hukum privat adat
yang ditentukan dan diputuskan oleh Landraden di Jawa,
Palembang, Jambi dan Kalimantan. Segala persoalan sosial
terkait dengan peradilan bagi Bumi Putera/Pribumi
diserahkan kepada Badan Peradilan (Kerapatan Adat)
kecuali mereka yang tunduk pada perundangan Hindia
Belanda diadili berdasarkan Hukum Perdata dan Pidana.
Sedangkan masa Kolonial Jepang, perhatian terhadap
pengembangan adat dan syarak sangat kurang karena

307Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 Ayat [1]

menyatakan Masyarakat (Hukum) Adat diakui keberadaanya jika


menurut kenyataanya memenuhi unsur antara lain: Masyarakatnya
masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschap); Ada kelembagaan
dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; Ada wilayah hukum adat
yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan
adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil
hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-
hari.

182
rakyat hidup dalam kondisi politik dan ekonomi
memprihatinkan.308
Selanjutnya, masa kemerdekaan kewenangan
peradilan ini dikoordinir oleh pemerintahan pusat dengan
membentuk lembaga peradilan yang secara khusus
mengurusi persoalan perdata, pidana, administrasi negara
dan militer serta mendapat legitimasi melalui undang-
undang tentang kekuasaan kehakiman. Sistem
pemerintahan Republik Indonesia yang menganut trias
politika yaitu; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga
yudikatif di bawah payung Mahkamah Agung RI UU Nomor
14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
memetakan empat jenis pengadilan yaitu; Pengadilan
Agama (PA), Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (PM). Dalam
peradilan ini yang menentukan putusan dan melaksanakan
persidangan adalah hakim, panitera, penggugat,
tergugat,saksi dan alat bukti.
Meski demikian, peradilan adat tetap berjalan
dengan menyelesaikan berbagai kasus hukum, moral, sosial
dan agama di bawah payung kelembagaan adat Melayu. 309
Menurut Ahmad Rasyid segala persoalan yang dihadapi
dapat diselesaikan melalui peradilan adat sesuai
seloka―tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan, keruh

308Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum: Bekal Pengantar, (Yogyakarta:

Liberty, 1981), 94.


309Pemerintah Belanda tidak mengintervensi persoalan adat dan

membiarkan konstruksi adat yang ―mapan‖ ketika itu bahkan


memberikan perhatian serius terhadap adat, ini dilihat pada beberapa
tulisan di antaranya: Kitab hukum Mogharaer, Tahun 1750, acuan
Pengadilan Negeri di Semarang, sebagian besar justru memuat pidana
Islam; Catatan hukum adat di keraton Bone dan Goa oleh Bosscchenaar
Van Dirk Chlootwisxk, Gubernur Pantai Sulawesi 1757-1755; Kitab
hukum Freiser, memuat hukum perkawinan dan waris menurut syarak
untuk pengadilan Kompeni, atas perintah Gubernur Jenderal Mossel dan
disahkan 1679; Tulisan Nicholasses Engelhard Gurbenur Pasundan
tentang penduduk asli dan pendatang di Pasundan Tahun 1805; Hasil
penelitian Dirk Van Hogendrop dan Gezaghebber tentang pantai Timur
Pulau Jawa (1794-1798) mengenai soal milik tanah. Lihat Soerojo
Wignodipuro, Pengantar ..., 36-37.

183
yang tidak dapat dijernihkan.‖310 Peradilan adat di Jambi
aktif membantu pemerintah daerah menyelesaikan masalah
hukum, oleh karenanya banyak kasus terselesaikan secara
adat sehingga tidak perlu diteruskan kepada peradilan
umum (Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri).
Legalitas putusan peradilan adat diakui melalui
sistem perundangan yang berlaku di Indonesia dan oknum
yang bekerja di dalamnya adalah forum tiga tali sepilin
melalui presedium kerapatan adat. Forum ini merupakan
refresentasi dari kepentingan tiga kelompok yaitu;
pemerintahan desa, pegawai syarak dan pemangku adat.
Teknis operasionalnya terkait dengan aturan beracara dan
materi undang adat diatur sedemikian rupa laiknya suatu
peradilan seperti; proses beracara, prosedur pelaporan atau
pengaduan, persyaratan administratif, biaya sidang,
pelaksanaan sidang, sanksi bagi pelaku ataupun
kompensasi bagi korban, kekuatan hukum putusan,
perangkat yang melakukan eksekusi dan lainnya.
Penerapan aturan administratif dan denda terhadap pelaku
variatif sesuai situasi dan kondisi wilayah (eco pakai).
Peradilan adat Melayu Jambi, sebagaimana
peradilan lainnya, mempunyai kompetensi absolut (absolute
competency) dan kompetensi relatif (relative competency). 311
Pertama, Kompetensi Absolut, yang terkait dengan cakupan

310Wawancara, Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari, 20 Mei 2015.


311Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan dalam

memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat


diperiksa oleh badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku. Pertama, Peradilan Umum (UU Nomor 2
Tahun 1986) memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana
(umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga); Kedua, Peradilan
Agama (UU Nomor 7 Tahun 1989) memeriksa dan memutus perkara
perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah; Ketiga, Peradilan
Tata Usaha Negara (UU Nomor 5 Tahun 1986) memeriksa dan memutus
sengketa Tata Usaha Negara; Keempat, Peradilan Militer memeriksa dan
memutus perkara pidana anggota TNI. Sedangkan Kompetensi Relatif
adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara berdasarkan wilayah
perkara, sesuai tingkatan pengadilan yaitu: Pengadilan tingkat Pertama,
Pengadilan tingkat Kedua (Banding); dan Pengadilan tingkat Ketiga
(Kasasi).

184
jenis kasus yang dapat diselesaikan oleh peradilan adat
yaitu; kasus pidana dan perdata sebagaimana tertuang
dalam Undang Adat Jambi, utamanya yang tidak
terjangkau oleh aturan hukum positif bidang Pidana dan
Perdata. Kasus pidana seperti; pembunuhan, perkelahian,
zina, pengrusakan, pencurian, penipuan, pencemaran nama
baik, perbuatan tidak menyenangkan dan lainnya.
Sedangkan kasus perdata seperti; kepemilikan tanah,
penetapan hak waris, wakaf, hibah, penentuan batas tanah,
perselingkuhan, konflik keluarga, perkawinan, perceraian
dan lainnya. Kedua, Kompetensi Relatif, yang terkait
dengan wilayah sesuai domisili penggugat dan tergugat
serta tingkatan peradilan adat, sesuai seloka ―Berjenjang
naik bertanggo turun,‖ sesuai dengan tingkatan masing-
masing yaitu; Kerapatan Tengganai pada tingkat rukun
tetangga (RT), Kerapatan Nenek Mamak pada tingkat
rukun warga (RW) atau dusun dan Kerapatan Desa/Lurah
pada tingkat desa/kelurahan.
Adapun tahapan pelaksanaan sidang mulai dari
pelaporan sebagaimana dijelaskan oleh Datuk Hasbi, Feri
Yulman, SE dan Drs. Sayuti Abdullah.312
1. Pihak penggugat mengajukan gugatannya secara lisan
maupun tertulis kepada pemerintahan desa, pegawai
syarak atau tokoh adat dengan memenuhi persyaratan
administrasi dan biaya sidang adat untuk honor,
konsumsi peserta sidang dan alat tulis kantor (ATK)
sesuai seloka ―Sirih secabik pinang setemih.‖ Pada kasus
pidana penggugat menyerahkan tanda patuh kepada
pemangku adat, kasus pampas (darah) sebilah keris dan
kasus bangun (nyawa) sebatang tombak, sebagai tanda
keseriusan penggugat mengharapkan keadilan ―kusut
diurai, keruh dijernihkan, angkang disusun, selang
dipasut.‖
2. Setelah persyaratan administratif terpenuhi dan gugatan
diterima pemangku adat menetapkan jadual sidang
Kerapatan Adat dan menunjuk Majelis Hakim (LID) yang

312Wawancara, Ketua Adat, Kepala Desa, dan Pegawai Syarak Desa

Kuap Kabupaten Batanghari Jambi, 12 Mei 2015.

185
menyidangkan terdiri dari pimpinan dan dua orang
anggota refresentasi tiga tali sepilin.
3. Majelis hakim melalui presidium kerapatan adat
menjalani sidang sesuai tahapan dengan melibatkan
pihak penggugat, tergugat dan saksi-saksi serta alat
bukti.
4. Hasil sidang dilaporkan kembali ke Pemangku Adat
untuk disampaikan kepada pihak yang berperkara.
Setelah putusan disampaikan, pihak penggugat ataupun
tergugat yang keberatan atas hasil putusan sidang dapat
mengajukan banding ke tingkat yang lebih tinggi.
Ditambahkan Ambasri kehadiran pihak tergugat
dalam persidangan tidak mempengaruhi jalannya
persidangan dan eksekusi terhadap putusan sidang melalui
dua jalur, yaitu: diserahkan kepada penguasa untuk
mengambil keputusan atau Nenek mamak dari tersangka
mengambil alih tanggung jawab perbuatan hukum
tersangka.313 Menurut Arfan sesuai seloka adat: 314
―Bilo seseorang keras tak dapat ditarik, runcing tanduk
untuk mengewang, gedang kelaso hendak mendorong,
lembut tidak bersudu maka nenek mamak menyerahkan
kepada ombak yang berderu, angin yang mendengung
(raja/penguasa) disebabkan mereka memegang bungkal
yang piawai teraju yang berkatok. Rajolah yang menetak
putus menyincang abis‖.

Para pihak yang berperkara baik penggugat ataupun


tergugat yang tidak dapat bekerjasama dengan pihak
peradilan adat maka putusannya dikembalikan kepada
penguasa sebagai pihak yang berkompeten mengeksekusi
sanksi pihak yang dinyatakan bersalah. Begitu pula, mereka
yang keberatan atas putusan peradilan adat dapat
mengajukan banding sesuai hierarki peradilan adat yaitu
tingkat kerapatan tengganai, kerapatan nenek mamak,
kerapatan kampung. Jika putusan tingkat kampung belum

313Wawancara, Pemangku Adat Kecamatan Batin XXXIV, 20

Februari 2016.
314Wawancara, Pemangku Adat Rambutan Masam, 21 Februari

2016.

186
mampu memuaskan pihak yang berperkara maka dapat
mengajukan ke pengadilan lain agama ataupun umum,
artinya institusi yang menjadi wahana penyelesaian kasus
bergantung pada keinginan masyarakat, meminjam istilah
Satcipto sebagai adresat hukum. Oleh karena itu, setiap
akhir putusan peradilan adat ditutup dengan kalimat
demikianlah putusan ini dibuat dengan ketentuan ―Yang
patuh balik ke batin, Yang ingkar balik ke rajo.‖
Menurut Ambasri pihak berperkara yang mematuhi
putusan adat diakui sebagai masyarakat Melayu Jambi
yang berpegang kepada adat, sebaliknya pihak yang tidak
mematuhi putusan berarti ia telah keluar dari masyarakat
hukum adat dan disilahkan mengajukan kasusnya ke
pengadilan.315 Jika masyarakat menghendaki penyelesaian
kasusnya melalui peradilan adat maka berlakulah aturan
adat, sebaliknya jika masyarakat menghendaki Peradilan
Agama atau Umum maka berlakulah aturan perdata dan
pidana. Begitupula jika masyarakat merasa kurang puas
atas putusan peradilan adat maka dapat melaporkannya
kembali ke peradilan lain sesuai kewenangannya.
Praktik ini sejalan dengan aturan yang berlaku di
Indonesia yang memberikan alternatif pada masyarakat
untuk menyelesaikan persoalan internal melalui peradilan
adat. Hal ini mengindikasikan ada dua model penyelesaian
hukum yang berlaku bagi masyarakat Melayu Jambi yaitu
Litigasi dan Non- Litigasi.316 Litigasi yaitu gugatan atas
suatu konflik antara para pihak yang saling bertentangan
sehigga harus diambil keputusan dua pilihan yang
bertentangan. Litigasi sangat formal terkait pada hukum
acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling
beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga
(hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya
bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transparan,
hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau
pertimbangan hakim. Sedangkan Non-Litigasi yang sering
disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif

315Wawancara, Pimpinan Adat Batanghari, 20-22 Februari 2016


316Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), 8-9.

187
Penyelesaian Sengketa untuk melindungi hak keperdataan
pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien, mengingat
penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung
membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak
sedikit sekaligus membantu menyelesaikan penumpukan
perkara di tingkat Mahkamah Agung.
Begitupula pada saat penyampaian putusan melalui
presidium kerapatan sidang, pihak kelembagaan adat
melalui perangkatnya mengundang instansi terkait untuk
menyaksikan hasil keputusan, seperti; Camat, Danramil,
Kapolsek, Ketua MUI serta semua pihak dan instansi
terkait dengan kasus yang dihadapi. Hal in i merefleksikan
dukungan pemerintah dan perangkatnya terhadap kinerja
dan pemberdayaan kelembagaan adat sebagai salah satu
pilar yang dapat membantu pemerintah dalam penyelesaian
masalah hukum dan konflik sosial-agama yang terjadi di
masyarakat. Pada bab berikutnya diurai tentang
kelembagaan adat yang menjadi arena tarik menarik atau
bahkan subordinasi internal dan dengan institusi di
luarnya.

188
7 Kelembagaan Adat Melayu Jambi
sebagai Arena Pertarungan Kuasa

Kelembagaan Adat Melayu Jambi yang hadir sejak masa


kerajaan Melayu mempunyai peran signifikan dalam
membantu penguasa menyelesaikan persoalan hukum,
sosial, kenegaraan dan agama. Kelembagaan adat yang di
dalamnya forum tiga tali sepilin memainkan tiga peran
sekaligus yaitu ―eksekutif, legislatif dan yudikatif‖. Meski
dalam perkembangannnya peran ini bergeser menjadi
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, sosial dan agama. Bahkan
terkadang justru menjadi arena subordinasi dalam
memperebutkan posisi bahkan disposisi melalui kuasa
simbolik.
Bab ini menjelaskan kuasa simbolik (symbolic power)
dalam kelembagaan adat dapat beroperasi dengan
mengubah sesuatu dan menciptakan realitas agar diakui
dan dikenal secara absah, yang pada akhirnya membentuk
suatu habitus. Habitus dibuat secara tidak sadar sehingga
diterima oleh masyarakat, meski di dalamnya terjadi
negosiasi bahkan subordinasi dalam memproduksi hukum
dan memperebutkan kuasa atau kepentingan.

A. Modal dalam Kelembagaan Adat


Modal dapat berupa; kultural, religius, pendidikan, sosial,
simbolis, politis dan ekonomis, namun bagi Bourdieu modal
bisa berupa kultural, sosial, simbolis, dan ekonomis serta

189
tidak bisa dihubungkan oleh seperangkat materi semata.317
Sedangkan modal kultural bisa berupa; kompetensi, skill,
dan kualifikasi yang memungkinkan para agen dominan
memobilisasi otoritas kultural dan dapat menjadi sumber
salah pengenalan dan kekerasan simbolik. Selain itu, modal
kultural turut berpengaruh terhadap penciptaan modal
simbolik yang dimiliki oleh para agen.
Para pemegang modal simbolik bisa mempengaruhi
para agen lain yang tidak memiliki modal ini,
mendiseminasikan nilai-nilai sosial, yang diharapkan bisa
menjadi habitus yang tanpa disadari oleh mereka. Dalam
proses transformasi dan pengalih-rupaan inilah, dominasi
bahkan tekanan bekerja secara diam-diam. Karena berada
dalam sebuah arena yang di dalamnya para agen saling
berdialektika membentuk habitus, meskipun dominasi itu
tidak lagi dirasakan sebagai sebuah ‗tekanan‘, melainkan
sebagai praktik kultural yang given.
Modal kultural yang masih diakui oleh masyarakat
Melayu Jambi ada pada kelembagaan adat, yang
memainkan peran signifikan dalam percaturan agama dan
budaya.318 Fakta inilah yang terjadi dalam kelembagaan

317Bourdieu, ―The Forms of Capital‖, terj. dari bahasa Jerman oleh

Richard Nice, dalam J.G. Richardson (Ed.), Handbook for Theory and
Research for the Sociology of Education, (New York: Greenwood Press,
1986), 65.
318Menurut John Hick agama merupakan subyek yang amat luas

dan kompleks sehingga dapat dilihat dari berbagai perspektif sehingga


melahirkan teori tentang watak agama, seperti; antropologi, sosiologi,
psikologi, naturalis dan teori keagamaan (wahyu). Atas dasar itu, Titus
mengklasifikasikan agama kepada dua aspek; pertama, agama lahir dari
kemauan manusia untuk menjalani dan menyempurnakan kehidupannya.
Kedua, agama berasal dari kesadaran manusia untuk mengakui
keberadaan alam sekitarnya yang lebih sempurna dan memberi
kontribusi terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan budaya
(kebudayaan) menurut E.B Taylor merupakan sesuatu yang kompleks
mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum adat istiadat,
kesenia dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat manusia
sebagai anggota masyarakat. Lihat Ali Sunarso dan Mochlasin Sofyan,
Islam Doktrin dan Konteks; Studi Islam Komprehensif, (Yogyakarta:
Yayasan Ummul Qur‘an, 2006), 25-26; Tim Penyusun, Islam dan Budaya
Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2005), 8.

190
adat Melayu Jambi sebagai institusi yang dibebani tanggung
jawab menyelesaikan persoalan sosio-religius yang dihadapi
oleh masyarakat. Institusi ini pada kenyataannya
merupakan bagian penyedia modal kultural untuk
mendapatkan kekuasaan ataupun status sosial, ketika agen
memiliki modal tertentu maka di titik awal dari sebuah
ranah agen lebih diuntungkan. Karena ranah bergantung
pada, dan juga menghasilkan lebih banyak lagi, modal.
Dengan demikian agen bisa menggunakan keuntungan
modalnya untuk mengakumulasi lebih banyak lagi dan
mencapai keberhasilannya dengan mudah ketimbang agen
lain.
Modal kultural ini dipandang signifikan karena di
dalamnya terdapat beberapa sub modal yaitu; modal politik,
modal religius dan modal sosial. Menurut Junaidi T. Noer,
kelembagaan adat sangat berjasa meng-unifikasi syarak
dengan adat sehingga melahirkan falsafah ―Adat bersendi
syarak, Syarak bersendi Kitabulllah,‖ meski nomenklatur
yang dimunculkan hanya adat hasil negosiasi antara
penguasa, pegawai syarak dan tokoh adat.319 Hal senada
disampaikan Lukman Hakim, menurutnya secara historis
kontribusi kelembagaan adat sangat besar terhadap
tegaknya hukum dan moralitas di negeri Sepucuk Jambi
Sembilan Lurah. Institusi ini bahkan berhasil
mempersatukan dua sistem hukum yaitu sistem syarak dan
sistem adat menjadi satu entitas, bahkan syarak dijadikan
sebagai korektor terhadap adat.320
Selanjutnya Datuk Sayuti dan Pakdo Ismail
menambahkan kinerja kelembagaan adat selama ini telah
terbukti dan teruji mampu membawa masyarakat Jambi
hidup rukun dan damai pada seluruh lapisan masyarakat
karena mengharmoniskan syarak dengan adat. Islampun
begitu pesat dan merata di Jambi setelah instiusi ini mampu
mengkolaborasikan syarak dengan adat menjadi entitas

319Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 5 April 2016.


320Wawancara, Ketua Ikatan Tarbiah Islamiyah Provinsi Jambi, 6
April 2016.

191
hukum di bawah payung Undang Adat Jambi.321
Pandangan di atas secara substantif mengakui peran
signifikan kelembagaan adat sebagai korektor (nâqid) dan
mediator (wasâil) antar syarak dengan adat, bahkan
pemersatu masyarakat Melayu Jambi sebagai representasi
kepentingan pemilik modal politik, religius dan kultural.
Institusi ini memiliki otoritas agar ada legitimasi sehingga
dapat dipatuhi oleh pihak lain secara individual maupun
kolektif. Legitimasi dimaksud berupa keyakinan anggota-
anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada
seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut
dihormati.322 Dalam sistem pemerintahan berdasarkan
Kerapatan Adat (Perpatih), presidium yang dihadiri oleh
forum tiga tali sepilin ini memiliki otoritas tertinggi dalam
menyelesaikan berbagai persoalan sosial, moral dan agama,
memproduksi dan mereproduksi hukum bahkan
menentukan kebijakan strategis bahkan saat ini berperan
dalam memilih perangkat pelaksana harian pemerintahan
desa.
Ketiga modal dimaksud yaitu; pemerintahan desa,
pegawai syarak dan pemangku adat. Pertama, Pejabat
Pemerintahan Desa (Pemdes), sebagai organisasi terkecil
penyelenggara negara idealnya memiliki otoritas
mengejawantahkan tujuan negara (pemerintah)
bekerjasama dengan rakyat demi mencapai cita-cita
bersama. Sejalan dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat [1, 3].
Kepemimpinan desa adalah kepala desa yang dipilih oleh
masyarakat setempat dan dalam melaksanakan tugas,
dibantu oleh perangkat desa, kepala dusun dan ketua rukun
tetangga. Kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat
desa sebagai wujud demokrasi, bertugas merencanakan,
melaksanakan dan membuat kebijakan di desa. Kepala Desa
dan perangkatnya menjadi tumpuan utama bagi
masyarakat desa dalam mengatasi persoalan hidup, dari

321Wawancara, Tokoh Adat Kota Jambi dan Batanghari, 2 Mei


2016.
322Miriam Budiarjo, Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Gramedia,

1994), 90-91.

192
persoalan pribadi sampai persoalan bersama.
Saat ini kepemimpinan desa adalah kepala desa yang
dipilih oleh masyarakat setempat, tugas kepala desa dibantu
oleh perangkat desa, kepala dusun dan ketua rukun
tetangga, yang memiliki peran signifikan dalam mengelola
desa. Untuk menjabat kepala desa, diperlukan kriteria
tertentu, disamping pendidikan yang baik, akhlak, dan juga
yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki ketrampilan
atau kemampuan dalam memimpin.323
Konsepsi umum kepemimpinan masyarakat Melayu
Jambi mensyaratkan seorang pemimpin memiliki beberapa
karakter umum. Pertama, kemuliaan budi pekerti atau
akhlak yang baik. Kedua, siap dan rela berkorban untuk
orang lain. Ketiga, siap menghadapi segala macam resiko
yang ditimbulkan, baik karena ditimbulkan oleh perbuatan
masyarakat maupun juga dampak dari keputusan yang
diambil. Keempat, tidak lari dari masalah bahkan selalu
siap menyelesaikan setiap persoalan. Kelima, seorang
pemimpin mesti berada dan berdiri di tiap-tiap kelompok
sehingga berguna bagi semuanya.324
Kedua, Pegawai Syarak, merupakan organ
kelembagaan adat yang masuk dalam sistem pemerintahan
Adat Melayu Jambi dengan fungsi memimpin urusan ibadah
dan pemberi pertimbangan aspek syariah pada pemerintah.
Pegawai Syarak merupakan refresentasi dari alim ulama,
imam, khatib, bilal, orang yang dalam struktur masyarakat
Melayu Jambi menempati posisi terhormat sebagai tokoh
agama yang memberikan pengetahuan keagamaan sekaligus
intelektual Muslim.
Meskipun peran ulama selanjutnya mengalami
dinamika seiring perkembangan zaman, berkontribusi besar
dan memainkan peran dalam percaturan pemikiran hukum
Islam di Jambi. Kontribusi ulama dapat ditelusuri sejak
peralihan kerajaan Melayu Jambi ke tangan Ahmad Salim,
dilanjutkan Ahmad Kamil. Islam menampakkan

323Ibrahim Lakoni, Adat Kepemimpinan Desa, Kampung, Dusun,

dan Pembangunan Arus Bawah Serta Peranan Tali Tigo Sepilin, (Jambi:
Lembaga Adat Melayu Jambi, 2001), 4.
324Ibid., 5-10.

193
eksistensinya bahkan raja memproklamirkan kerajaan
Islam yang bersendikan syariat Islam. Setelahnya
penyebaran dan pribumisasi Islam melalui ulama Arab-
Yaman berkolaborasi dengan ulama lokal. Saat ini
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jambi mengatur
berbagai kebijakan tentang tugas Pegawai Syarak yaitu
untuk meningkatkan penyelenggaraan dan pembinaan
ibadah ke-Islaman di mesjid.
Ketiga, Pemangku Adat, sekelompok orang pilihan
refresentasi dari Penghulu, Nenek Mamak, Tuo Tengganai
dan Cerdik Pandai, dipilih berdasarkan hubungan
keturunan dan memenuhi kriteria tertentu. Untuk menjadi
pemangku adat harus memiliki syarat-syarat tertentu,
seperti; memiliki pengetahuan tentang adat, baik itu
pengetahuan tentang hukum adat, falsafah dan seloka adat
maupun pengetahuan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat.325 Syarat lain Pemangku Adat harus memiliki
integritas dan perilaku terpuji (akhlak al-karimah) sesuai
tugasnya yaitu; menggali, mengembangkan, memelihara
persoalan terkait dengan adat. Ketiganya bernaung di
bawah payung kelembagaan adat, melalui forum tiga tali
sepilin, yang eksis selama berabad-abad bersamaan adanya
kerajaan Melayu Jambi.326

325Pada masyarakat Melayu Jambi wilayah Hulu, Pemangku Adat

diangkat oleh Depati atau suatu Lembaga Adat untuk memimpin suatu
bagian dari wilayah adat tertentu, dan bertanggung jawab kepada kepala
wilayah kedepatian tertentu, atau menjalankan tugas ninek mamak
untuk hal-hal yang telah disepakati adat. Tugas Pamangku adalah
memangku segala urusan. Dari pemangku ini baru diteruskan kepada
yang berkepentingan, apakah untuk depati, ataukah orang tua cerdik
pandai, untuk alim ulama ataupun masyarakat dan lain-lainnya.
Pemangkulah yang bertugas membawa dan menyampaikannya. Lihat
Ismail Thalaby, Adat Sakti ..., 12.
326Sejak awal Pegawai Syarak bertanggung jawab mengawal

implementasi syarak sekaligus menjadi dewan pertimbangan syariah


pemerintah. Meski saat ini telah terjadi distorsi makna dan fungsi
utamanya setelah adanya institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
mengklaim sebagai lembaga otoritatif dalam menjawab persoalan
keumatan. Pegawai Syarak ini diangkat melalui SK Bupati meliputi
Imam, Khatib, Bilal, dan mudim (penjaga) masjid, bahkan pada beberapa
wilayah Pegawai Syarak hanya penanggung jawab kegiatan ibadah ritual,
atau lebih tepatnya shalat berjamaah. Defenisi dan ruang lingkup kerja

194
Singkatnya, modal dalam kelembagaan adat ini
terkonstruksi menjadi modal politik, sosial dan agama, yang
disimbolkan dengan modal kultural. Modal kultural,
menempati posisi signifikan dalam relasi kekuasaan sosial,
karena ia menyediakan sejenis strategi dominasi dan
hierarki non-ekonomi terhadap kelas-kelas dalam tatanan
sosial.327 Dengan modal ini aspirasi stakeholders dapat
diakomodir dan bertahan terus yang pada akhirnya
menurut Bourdieu membentuk habitus. Modal kultural bagi
masyarakat Melayu Jambi disimbolkan melalui
kelembagaan adat yang di dalamnya sub-sub modal politik
dan agama serta kultural. Berbeda dengan Bourdieu yang
memisahkan modal menjadi ekonomi, budaya, sosial dan
simbolik serta tidak memasukkan agama dan politik sebagai
bagian dari modal.
Boudieu secara khusus tidak memasukkan agama
sebagai salah satu modal kapital, namun setidaknya 10
essay Bourdieu mengenai agama serta beberapa bagian
mengenai agama yang berserakan di berbagai karyanya,
salah satu karyanya The Algerians menunjukkan bahwa dia
sangatlah tertarik dengan pengaruh agama dalam
kehidupan orang-orang Algeria.328 Meski demikian, secara
substantif modal yang ada dalam kelembagaan adat Melayu
Jambi mengcover modal dimaksud, yang dipilah ke dalam
empat jenis yakni; modal ekonomi (uang, aset), budaya
(bentuk pengetahuan, kecenderungan dalam seni), sosial
(keluarga, agama, jaringan) dan simbolik (kejujuran,
kepercayaan).
Ketiga organ tersebut sebagai modal dalam
kelembagaan memiliki peran secara proporsional sesuai

Pegawai Syarak mengalami penyempitan dibandingkan dengan masa


lalu, meskipun sebagai organ kelembagaan adat Pegawai Syarak memiliki
ikatan emosional di tengah masyarakat Melayu yang notabene muslim.
327Pierre Bourdieu, Handbook for Theory and Research for the

Sociology of Education, (New York: Greenwood Press,1986), 65.


328Pierre Bourdieu, Habitus X Modal + Ranah = Praktik, editor

Richard Harker: pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre


Bourdieu, et. al., (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 48-50; Fauzi Fashri,
Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, (Yogyakarta: Jalasustra,
2014), 55; Pengantar Paling 50-52

195
dengan kompetensi masing-masing, meski pada praktinya
tentu ada yang mendominasi. Dari aspek materi hukum
didominasi kepentingan agama, dari aspek fasilitator dan
penentu kebijakan didominasi kepentingan pemerintah dan
aspek institusional didominasi oleh kepentingan adat.
Kesemuanya berkolaborasi dalam membuat memproduksi
dan mereproduksi hukum serta meneyelesaikan segala
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Melayu Jambi.

B. Struktur Hierarkis Kelembagaan Adat


Habitus memiliki tiga prasyarat definitif. Pertama, habitus
adalah product of structure, hasil dari struktur
sosial/kultural/religius) yang sudah ada. Kedua, habitus
adalah producer of practice, menciptakan sekaligus
memperkuat praktik yang sudah ada. Ketiga, habitus adalah
reproducer of structure, secara tak langsung—melalui
praktik yang dihasilkan dan bekerja terus menerus—
menciptakan kembali sekaligus memperkuat struktur yang
sudah ada sejak awal.
Singkatnya, ia dibentuk oleh struktur dan sekaligus
membentuk kembali struktur itu (Structure of structure),
habitus bersifat sirkuler dalam ketegangan antara struktur
dan praktik.329 Struktur dalam kelembagaan inilah pada
akhirnya menjadi habitus dan membentuk hierarki, yang
melahirkan posisi dan disposisi yang mapan hingga saat ini.
Inilah yang nantinya dijadikan sebagai arena kekuasaan
yang di dalamnya terdapat beragam potensi yang eksis.
Potensi inilah yang dimiliki oleh aktor-aktor yang
melakukan perjuangan memperebutkan atau
mempertahankan posisi demi eksistensi dan situasi
kongkret.
Jika memang habitus adalah produk dari struktur
suatu masyarakat tertentu, sebenarnya struktur
masyarakat Melayu Jambi itu sendiri yang berhasil
menciptakan habitus ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi

329Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement

of Taste, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (London:


Routledge.1984), 170.

196
Kitabullah; ―Undang datang dari Hulu, Teliti dari Hilir.
Secara struktural semua organ dalam kelembagaan adat
mempunyai posisi strategis dalam masyarakat bahkan
dapat menentukan sanksi terhadap pelanggar norma agama
dan adat. Sedangkan secara fungsional mereka mempunyai
disposisi terhadap kehidupan masyarakat dan memainkan
peran dominan dalam tradisi masyarakat bahkan dalam
perpolitikan di Jambi melalui simbol agama dan adat.
Selanjutnya, struktur hierarki kuasa yang dimiliki
kelembagaan adat menurut Kemas Husin dikemas dalam
seloka adat ―Berjenjang Naik Bertanggo Turun.‖330 Seloka
ini tidak hanya berlaku pada sistem kepemimpinan, dimana
hierarki kepemimpinannya terstruktur mulai dari raja,
patih, jenang, kepala kampung, penghulu, dan tiga tali
sepilin. Namun juga berlaku pada sistem peradilan adat,
dimana hierarkinya mulai dari kerapatan Tengganai,
kerapatan Nenek Mamak dan kerapatan Kampung.
Begitupula dengan posisi dan disposisi organ internal
kelembagaan adat mulai dari pemerintahan desa, pemangku
adat, pegawai syarak dan masyarakat adat.
Secara kongkret, struktur sosial kultural Jambi
dilihat berdasarkan hierarki atau segmentasi berikut. 331
Pertama adalah kaum elit kultural, yang fanatik pada adat
dan syarak serta memiliki posisi strategis, seperti yang
diwakili oleh kelompok pemangku adat, Junaidi T. Noer,
Mukhtar Agus Cholif, Fathuddin Abdi, Azra‘i al-Basyari,
Pakdo Ismail, dan Hasbi. Dikatakan sebagai kaum elit
karena didukung oleh institusi kultural tertentu yang
memungkinkan mereka untuk mengakumulasi modalnya
masing-masing. Tidak hanya itu pada institusi inilah modal
tersebut bisa direproduksi, dilipatgandakan, bahkan

330Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Simpang Rimbo, 10

April 2016.
331Hierarki adalah suatu jenjang atau tatanan atau peringkat

kekuatan, prestise atau otoritas. Dalam pengertian yang umum, konsep


hierarki diserap oleh ilmu sosial dan menjadi istilah yang umum. Lihat
Adam dan Jessica Kupper, The Social Science..., 433; Charles Mills, The
Power ..., 39.

197
dipindahkan untuk mencapai tujuan politis yang mungkin
tidak mereka sadari.
Kekuatan kaum elit ini hampir selalu berpijak pada
privasi tertentu yang anggota-anggotanya mampu
menunjukkan posisi tingginya di masyarakat. 332 Untuk
mempertahankan posisinya dalam masyarakat, mereka
senantiasa menggunakan adat sebagai modal sosial-
kultural-politik untuk tampil dalam setiap momen acara
seremonial. Modal dasar yang dimiliki oleh kaum elit ini
menurut Mills adalah budaya, meski tidak seluruhnya benar
mengingat perebutan posisi bagi kaum elite berpijak pada
modal, status, dan kelas.333
Pada level kedua yaitu kaum elit organisasional yang
memiliki posisi struktural namun terkadang mengkritik
praktik dominasi adat, secara institusional diwakili
sebagian pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kepala
Kantor Kementerian Agama, kelompok tokoh masyarakat
dan tokoh muda lainnya, seperti: Tarmizi, Husin Abdul
Wahhab, Muallim, Abdul Hamid Bafadhal, Dahlan Malik,
Ikbal, dan Herman, Izzat, dan Husin Jufri. Mirip dengan
kaum elit kultural, kelompok ini juga mempertahankan
posisinya melalui kerjasama saling memahami satu sama
lain namun antarkelompok tak jarang terjadi ‗subordinasi‘.
Dalam perspektif Bourdieu, lembaga, jabatan, posisi, status,
memiliki peran penting dalam menentukan suatu disposisi.
Meski demikian, dalam konteks masyarakat Jambi, mereka
yang dikategorikan sebagai elit kultural dan organisasion al
dibedakan atas dasar bahwa keduanya memiliki level
kepercayaan, keyakinan, atau disposisi yang berbeda

332Elit adalah setiap orang yang berkuasa, berharga, cakap,

memiliki hak istimewa, atau kelompok yang mempunyai keunggulan.


Istilah ini untuk membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya
sesuai fakta mereka merupakan kelompok dengan jenis kekuasaan
khusus, orang yang menduduki posisi puncak dalam hierarki komando.
Lihat John Scott, Sociology ..., 99.
333
Menurut Karl Marx, kelas-kelas yang ada dalam masyarakat
ditentukan oleh kepemilikan atau ketidak-pemilikan alat produksi yang
pada akhirnya akan menjadi modal. Modal ini yang dijadikan sumber
relasi sekaligus yang membedakan pemilik modal atau sebaliknya. Ibid.,
46.

198
terhadap praktik adat bersendi syarak. Itulah mengapa
meskipun kedua kelompok dianggap memiliki posisi namun
disposisi yang mereka hasilkan berbeda dalam merespons
praktik tersebut.
Pada level ketiga yaitu kelompok semi-periperi yang
fanatik, tapi tidak memiliki posisi, seperti masyarakat
awam yang mendukung pemberlakuan adat bersendi
syarak, yang umumnya di wilayah Jambi bagian Barat
yaitu; Kerinci, Sungai Penuh, Sarolangun, Merangin,
sebagian Muaro Bungo dan Tebo. Dianggap sebagai
masyarakat semi-periperal karena syarat utama
pembentukan habitus, yakni posisi yang tidak dimiliki oleh
kelompok ini. Mereka hanya mengikuti disposisi dari orang
yang memiliki posisi institusional (elit kultural) dalam
struktur masyarakat Melayu Jambi. Meskipun kelompok ini
hanya memiliki satu syarat pembentukan habitus (disposisi)
sebagaimana kaum elit organisasional (posisi), tesis
Bourdieu yang menempatkan disposisi berada subordinat di
bawah posisi membuat kelompok semi periperi juga berada
subordinat di bawah elit organisasional. Dalam proses
reproduksi modal, mereka berperan membantu elit kultural
mengakumulasi putusan adat, sekaligus mengukuhkan
posisi elit kultural tanpa memberi dampak sebaliknya pada
diri mereka sendiri.
Pada level keempat yaitu kelompok periperal atau
marginal. Karena menurut Bourdieu ―kelas sosialmu
menentukan seleramu‖ atau ―posisimu menentukan
disposisimu‖, maka begitulah para pemangku adat Jambi
menjadi bourjuis kultural, dan masyarakat awam menjadi
proletar kultural. Inilah kelompok yang dalam kelas
Marxian-Bourdieu dianggap sebagai kaum ploretariat yang
tidak memiliki modal apapun khususnya modal kultural.
Peran kelompok ini ada dua, pertama mendukung disposisi
kelompok elit organisasional, namun dukungan mereka
terkendala oleh posisi mereka yang tidak punya efek pada
disposisi itu sendiri; dan kedua, mereka turut bertarung
dalam arena, namun potensi keberhasilannya sangat
terbatas.

199
Gambar 7.1. Struktur Hierarkhis Kelembagaan Adat

Keterangan:
Positif/ mendukung atau didukung
Negatif/ tidak mendukung atau tidak
didukung
Praktik adat bersendi syarak ini bertahan lama
hingga saat ini, karena para elit kultural memiliki praktik
dan struktur kekuasaan atas praktik tersebut. Praktik ini
direproduksi terus oleh para elit kultural dan diikuti serta
diamini oleh kelompok periperal, sementara posisi elit
struktural meramaikan, kelompok yang mengcounter
praktik, dan mereproduksi perlawanan dan praktik ini.
Pada akhirnya melahirkan habitus dan struktur baru
(structure of structure).

200
C. Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa
Laiknya sebuah pertarungan diperlukan suatu arena
(ranah), yang oleh Bourdieu diasumsikan sebagai field of
struggle. Para aktor berjuang sekuat tenaga dan dengan
berbagai strategi untuk meningkatkan posisi mereka. Inilah
yang dikatakan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus dalam
sambutannya pada hari Ulang Tahun Jambi tahun 2015:334
―Jambi hari ini telah menjadi pondokan besar yang
terhampar luas bagi orang melayu dan suku-suku yang
berasal dari penjuru Indonesia, tidak hanya itu hadir juga
secara cukup lama bangsa-bangsa besar di dunia seperti
komunitas Arab, India, dan Cina, semuanya menyatu
menjadi masyarakat Jambi. Ikatan-ikatan sosial budaya
telah menyatukan mereka dalam naungan adat dan budaya
Jambi, hal ini menjadi kekuatan besar dalam mewujudkan
Jambi ke depan lebih baik dan lebih sejahtera‖. Pada
praktiknya tidak tertutup kemungkinan adanya gesekan
antar budaya, meski tradisi masyarakat Jambi yang inklusif
menerima fluralisme etnik, budaya maupun agama. Inilah
aset terbesar yang kita punya yang perlu diberdayakan dan
dimaksimalkan.‖

Statemen ini merefleksikan adanya keragaman


kultur dan struktur masyarakat yang mendiami wilayah
Jambi, di satu sisi, masyarakat dibentuk oleh perbedaan
distribusi dan penguasaan modal, di sisi lain, para individu
ini berjuang memperbesar modal mereka. Sehingga
hanya melalui field yang di dalamnya terjadi apa yang
disebut Bourdie sebagai field of struggle ditambah modal,
Bourdieu hendak menampilkan sosiologi kritisnya bahwa di
suatu masyarakat selalu ada praktik dominasi antara yang
mendominasi dan yang didominasi.
Pada masyarakat Melayu Jambi sebenarnya
kelembagaan adat memainkan peran dominan dalam
percaturan sosial dan agama yang melahirkan doxa, yaitu
kecenderungan keberpihakan atau lebih menguntungkan
tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa
pada agen dominan serta menganggap posisi dominan

334Koran Harian Jambi Independen, 8 Januari 2015.

201
mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya
dan diinginkan secara universal.335 Secara lebih spesifik,
Bourdieu menyatakan doxa merupakan hubungan ketaatan
langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus
dan ranah dimana ia disesuaikan, diterima begitu saja
terhadap dunia yang terjadi secara praverbal yang berasal
dari rasa praktis.336
Menurut Mukhtar Latif, fenomena sosial di Jambi
hari ini memudarkan pemahaman nilai agama dan adat di
kalangan masyarakat Melayu Jambi, utamanya generasi
muda. Secara institusional ini tidak hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah melalui dinas
pendidikan namun juga tanggung jawab Majelis Ulama
Indonesia Jambi dan Lembaga Adat Melayu. Meskipun di
lapangan peran kelembagan adat lebih dominan ketimbang
Majelis Ulama Indonesia, mungkin ini disebabkan faktor
historis dan kemampuan komunikasi dari petinggi kedua
institusi tersebut.337
Realitas semacam ini diamini oleh Fachrori Umar,
menurutnya adat istiadat warisan pendiri negeri ini
mengandung nilai ideologis dan estetika yang sejalan
dengan prinsip agama. Oleh karenanya perlu dilestarikan
dan disosialisasikan kepada masyarakat terutama generasi
muda yang mulai terkontaminasi dengan budaya luar dan
kurang memahami budi pekerti. Tanggung jawab
menanamkan nilai agama dan moral tersebut tidak hanya
dibebankan pada pemerintah daerah, namun juga pada

335Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa

melalui proses pemikiran yang diasumsikan terbukti universal yang


menginformasikan tindakan dan pemikiran agen pada ranah tertentu.
Doxa cenderung menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan
perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi
dominan sebagai realitas kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan
kata lain doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi
dalam praktik antara sebuah habitus dengan ranah dimana ia
disesuaikan dan diterima secara given. Lihat Pierre Bourdieu, The Logic
of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (Stanford:
Stanford University Press 1992), 66-68.
336Ibid.
337Wawancara, Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

Jambi dan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi, 10 Januari 2016.

202
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga adat.
Sementara yang keduanya terkesan berjalan sendiri-sendiri
dan saling memperebutkan posisi dan pengaruh dalam
menarik perhatian masyarakat.338
Ditambahkan Fachruddin Razi, satu sisi, tokoh
agama kurang kreativitas dalam membentuk dan
mengembangkan nilai moral masyarakat. Di sisi lain, tokoh
adat dengan segudang pengalaman terus bergerak
membangun komunikasi intensif dengan kepala daerah dan
masyarakat sehingga terdepan dalam acara seremonial serta
senantiasa dilibatkan dalam membahas persoalan sosial
keagamaan. Keduanya berjalan secara tidak seimbang
sehingga terkesan ada yang mendominasi. 339
Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Husin
Abdul Wahab seharusnya lembaga adat mulai dari level
terendah senantiasa berkoordinasi dengan Majelis Ulama
Indonesia dalam menyelesaikan persoalan keagamaan,
mengingat ada banyak pegawai syarak yang tidak
memenuhi standar ―ulama apalagi mujtahid. Begitupula
dengan putusan yang terkadang bersinggungan dengan
kinerja dan kepentingan institusi di luarnya. Pandangan ini
diamini oleh Sulaiman Abdullah, Suhar, Ahmad Tarmizi,
Ikbal, Herman, dan Dahlan Malik.
Ditambahkannya, secara kelembagaan pengurus
Majelis Ulama Indonesia Jambi tidak mendapat konfirmasi
atau undangan dalam rapat adat. Padahal ada banyak
kasus yang ditangani oleh lembaga adat utamanya pada
tingkat desa, yang dominan bahkan murni syarak, seperti;
nikah, cerai, penetapan waris, perselingkuhan, zina, dan
lain sebagainya.340 Belum lagi, dominasi adat pada berbagai
momen seremonial. Hal ini menimbulkan kesan publik
terjadi fenomena dominasi atau bahkan subordinasi yang
sepertinya terus muncul meski tidak secara prontal, oleh
karenanya Bourdieu dengan tegas menyatakan pertarungan

338Wawancara, Wakil Gubernur Jambi, 10 Januari 2016.


339Wawancara, Cendikiawan, Rektor Universitas Batanghari
(UNBARI) Jambi, 11 Januari 2016.
340Wawancara, Pengurus MUI Kota, Batanghari, Sarolangun dan

Muara Sabak, 20-25 Januari 2016.

203
sosial semacam ini seyogyanya dilenturkan melalui
klasifikasi-klasifikasi simbolik, praktik-praktik kultural
dengan menempatkan individu dan kelompok ke dalam
hierarki kelas dan status yang kompetitif, arena-arena
pertarungan itu pada akhirnya turut mempengaruhi upaya
memperebutkan sumber daya potensial, menerapkan
strategi-strategi mencapai kepentingan masing-masing
dalam arena tersebut, dan selanjutnya mereproduksi
kembali tatanan stratifikasi sosial. Endingnya bukan
sekedar bebas dari politik, melainkan sebuah ekspresi atas
politik itu sendiri.
Contoh kongkrit perdebatan yang tak kunjung usai
hingga saat ini adalah klaim falsafah adat, pemberlakuan
syarak dengan adat, penerapan sanksi, dualisme sistem
kekerabatan, praktik kewarisan, dan praktik hukum serta
upacara seremonial. Selain itu, konflik penentuan batas dan
hak atas tanah wilayat antara masyarakat Suku Anak
Dalam (SAD) Kabupaten Batanghari dengan perusahaan
sawit PT. Asiatik dan antara masyarakat Tungkal Ulu
(Merlung) Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan
perusahaan kertas PT. Wira Karya Sakti (WKS).
Rekonsiliasi antara masyarakat dan perusahaan telah
melibatkan semua komponen tiga tali sepilin, perdebatan
panjang dan tarik menarik kepentingan tak dapat dihindari.
Bahkan negosiasi antara pihak pemerintah daerah, lembaga
adat, dan PT. Asiatik di kabupaten Batanghari justru
berakhir pada kasus suap yang memasuki ranah hukum
pidana.
Di sini terlihat jelas bahwa praktik adat bersendi
syarak yang awalnya hanya dimanfaatkan sebagai modal
simbolik di level kultural secara perlahan bergeser nilai dan
fungsinya di level ekonomis. Posisi yang tidak melulu
merujuk pada posisi struktural di mana Pemangku Adat
hendak melengserkan posisi Pegawai Syarak atau
Pemerintah Desa, tetapi lebih merepresentasikan suatu
kondisi dimana semakin banyak social recognition yang
diperoleh, semakin besar kesempatan mempengaruhi
‗struktur berpikir‘ masyarakat di sekitarnya. Inilah yang
dikatakan Bourdieu mengenai pergeseran modal dari modal

204
yang satu ke modal lain seperti ekonomi dan seberapa kuat
resistensi antar agen politik itu—menurut Bourdieu—
bergantung pada seberapa banyak modal yang mereka
miliki.
Untuk mendapatkan posisi ‗strategis secara kultural‘
itu, mereka perlu menerapkan strategi, upaya seseorang
untuk mendapat pengakuan atau sebagai produk intuitif
pengetahuan tentang aturan permainan di dalam ranah
tertentu. Dalam konteks politik-ekonomi, strategi ini bisa
berbentuk strategi reproduksi dan strategi penukaran
(reconversion). Kedua strategi ini sama-sama dimaksudkan
untuk memperoleh sumber daya dan/atau dukungan
masyarakat, sekali lagi pengakuan sosial, yang lebih luas di
kalangan penduduk Jambi.
Strategi reproduksi, ditunjukkan melalui akumulasi
praktik adat bersendi syarak dan akumulasi wacana tentang
adat bersendi syarakitu sendiri. Mereka yang mendukung
posisi dan atau disposisi Pemangku Adat terus menerus
melakukan praktik tersebut, sehingga dimungkinkan
menjadi model bagi masyarakat lain. Begitu pula, setiap kali
Pemangku Adat diwawancarai oleh orang asing terkait
dengan mitos itu, ia juga terus mengakumulasi wacana
untuk memastikan bahwa posisinya secara politik tak
tergantikan di wilayah Jambi. Hal yang sama juga
dilakukan oleh para pemuka agama dan/atau ormas lain.
Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan Junaidi T. Noer,
Hasip Kalimuddin Syam dan Azra‘i al-Basyari, Fathuddin
Abdi, M. Zen dan Samsul dalam berbagai momen seremonial
yang digelar oleh pemerintah daerah. Terlepas dari pro dan
kontra atau bahkan kekecewaan internal dan eksternal
kelembagaan adat, yang terpenting kelembagaan adat
memiliki posisi strategis dan modal simbolik yang besar
sehingga memungkinkannya menjadi agen atau pemilik
kuasa yang diyakini paling legitimate untuk menjelaskan
praktik adat. Artinya, posisinya dalam struktur hierarki
sosial masyarakat Jambi, yang membuat sebagian besar
orang merasa perlu mengkonfirmasi apapun yang terkait
dengan praktik adat bersendi syarak.
Parson menyebutnya sebagai identitas sosial yang

205
menduduki peran penting dalam menentukan partisipasi
seseorang dalam sistem sosialnya.341 Masyarakat yang
diwakili kelompok pemerintah, agama, adat memiliki
gagasan umum tentang konstruksi sosial terhadap apa yang
mereka sebut masyarakat adat, umat, dan warga negara
yang bersifat total atau ideal berdasarkan evaluasi moral
mereka masing-masing.342 Dalam konteks ini, memakai ide
Michael E. Brown, maka konstruksi itu menempatkan adat
atau nilai-nilai di dalamnya menjadi inisiator, yang pada
dinamika lanjutannya menyebabkan konflik, baik untuk
mengintegrasi maupun ajang subordinasi semata.343
Sementara itu, strategi penukaran yang—dalam
konteks politik praktis—bisa diibaratkan sebagai ‗lobi-lobi
politik‘ melalui komunikasi informal, basa-basi, keakraban,
dan gurauan. Di belakang, baik Pemangku Adat maupun
pegawai syarak boleh saja saling berebut wacana hukum
adat dan syarak, begitupula yang terjadi dengan institusi di
luarnya berebut pengaruh dalam mengambil hati
masyarakat. Namun saat bertemu dan bertatap muka di
acara kerapatan adat dan momen seremonial serta rapat
dengan pemerintah daerah, misalkan, keduanya menjaga
diri untuk memastikan stabilitas masyarakat Jambi.
Kolektivitas kultural mereka sudah jelas, mitologisasi ‗adat
bersendi syarak; namun individualitas politik mereka juga
terang benderang, saling bermain dan berebut pengaruh di
belakang arena kekuasaan, agama dan adat Jambi.
Begitupula pada praktik adat bersendi syarak,
awalnya diapropriasi sebagai bagian budaya, bahkan
sebagai faktor determinan yang memproduksi budaya itu
sendiri, akhirnya tak lebih menjadi arena pertarungan
politik. Sejarah mencatat bagaimana pertarungan muncul
sejak Jambi dipimpin Puteri Pinang Masak yang beragama
Hindu dan Ahmad Salim yang beragama Islam, keduanya
menikah dan berhasil ―meng-Islamkan‖ kerajaan Melayu,
klimaksnya masa Ahmad Kamil hingga munculnya otoritas

341Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi ..., 986.


342Ibid.,743.
343Sebagaimana dikutip oleh Samsul Hadi dalam ―Disintegrasi

Pasca Orde Baru‖, (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), 23.

206
pemerintah Belanda yang berupaya ―mengkerdilkan‖ syarak
melalui politik hukumnya. Begitupula otoritas pemerintah
masa modern dan pemerintah daerah yang juga ikut andil
dalam pembentukan praktik adat dan syarak.
Selanjutnya, bisa dilihat Jambi dibentuk oleh
serangkaian diskursus politik dari para agen sejarah yang
berbeda, sehingga berada di tapal batas antara politik dan
kebudayaan. Singkatnya, Jambi berada dalam subordinasi
genealogis antara Hindu (yang diwakili oleh Putri Pinang
Masak, yang kini menjelma menjadi para pemangku adat),
Islam (yang diwakili oleh Ahmad Salim, yang kini menjelma
sebagai lembaga syarak), dan nilai-nilai sekular (diwakili
oleh pemerintah daerah). Pada titik ini, harus mengamini
apa yang dikatakan Foucault genealogi pengetahuan itu
ternyata tak lepas dari pengaruh kekuasaan.344
Demikian pula, Jambi diproduksi oleh agen-agen
sejarah yang—meski tak bertemu langsung—terlibat dalam
pertarungan simbolik, dan pertarungan itu kini
mematerialkan diri menjadi pertarungan politik. Hal ini
pula yang tampaknya menjadi alasan mengapa praktik itu
menjadi sejenis ‗diskursus‘ yang terus diperebutkan oleh
subjek-subjek politik demi mencapai kepentingannya
masing-masing. Kepentingan di sini bukanlah kepentingan
perebutan jabatan administratif (job atau artefak),
melainkan minat tak sadar (uncounsciousness interests) atau
sejenis ideologi untuk mengakumulasi modal masing-
masing. Sederhananya, sebagaimana yang sudah disebutkan
di muka, kepentingan di sini adalah ruang sosial yang
memiliki daya tarik tersendiri bagi peminatnya, baik secara
sadar maupun tak sadar untuk merebut social
recognition. Perebutan itu bisa dilakukan secara terang
benderang ataupun samar-samar misalnya menolak
wacana simbolik atau disposisi yang dimiliki oleh subjek
lain.
Karena arena yang dihuni oleh subjek itu adalah
kebudayaan, lebih tepatnya ―praktik adat bersendi syarak,

344Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, (London:

Tavistock,1972), 117.

207
syarak bersendi Kitabullah dan undang datang Hulu, Teliti
dari Hilir‖ sebagai habitus kultural, tidak mengherankan
jika pertarungan simboliknya lebih kuat dibanding
pertarungan struktural. Pertarungan antar kekuatan
simbolik—atau meminjam istilah Foucault ‗kekuatan
diskursus‘—itu sudah dijelaskan di bagian awal. Politik
selalu mensyaratkan perebutan posisi dan sumber daya,
yang dijalani setiap tokoh yang memiliki posisi struktural di
masyarakat Jambi, demi mengakumulasi modalnya masing-
masing, dengan keterlibatan dalam strategi reproduksi dan
pertukaran. Sumberdaya dan posisi tersebut bahkan tidak
hanya berwujud ruang immaterial melainkan materi itu
sendiri.

D. Relasi Kuasa Internal dan Eksternal Kelembagaan


Adat
Menurut Bourdieu, kekuasaan pada level teoritik adalah
kemampuan mempengaruhi orang lain atau kemampuan
menentukan keputusan sehingga orang lain mengikuti
keputusan tersebut sesuai dengan kehendak yang membuat
putusan.345 Kekuasaan selalu menjadi paradigma dalam
menilai atau menganalisis suatu kebijakan beserta aturan
yang terikat di dalamnya, yang termanipestasikan dalam
hubungan simetris dan asimetris. Hubungan simetris
berkaitan dengan persahabatan, hubungan sehari-hari, dan
hubungan bersifat ambivalen. Sedangkan hubungan
asimetris berkaitan dengan popularitas, peniruan,
mengikuti perintah, tunduk pada pemimpin formal atau
informal dan lainnya.
Oleh karenanya, kekuasaan idealnya tidak berdiri
sendiri dan menuntut otoritas lain sebagai pendukung
seperti agama (syarak) dan adat (solidaritas sosial).
Kekuasaan, agama dan adat terintegrasi dan mengakar
dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi, seyogyanya
bernaung dalam lembaga Pemerintah Daerah (Pemda),
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Adat Melayu
(LAM). Kekuasaan sebagai refresentasi dari kepentingan

345Pierre Bourdieu, Mengungkap ..., 27.

208
penguasa, kepentingan agama, dan kepentingan masyarakat
adat, yang membutuhkan sinergitas dan relasi.
Wujud kongkret dari kerjasama kolaboratif organ ini
terlihat ketika kelembagaan adat pada level desa
dihadapkan pada kasus yang harus diselesaikan, setelah
menerima laporan atau pengaduan atas laporan masyarakat
pemangku adat sesuai mekanisme menentukan jadual
rapat dengan mengundang unsur tiga tali sepilin, yaitu;
representasi pemerintah diutuslah aparat desa atau Badan
Perwakilan Desa (BPD), representasi pegawai syarak
diutuslah alim ulama/ imam/khatib/bilal, dan representasi
adat diutuslah nenek mamak/tuo tengganai. Sekaligus
wujud pemberdayaan berbagai potensi yang ada di sekitar
dengan melaksanakan kepemimpinan kolegial (collegial
management).
Menurut Junaidi T. Noer, forum tiga tali sepilin
merupakan sarana masyarakat adat menyampaikan
aspirasi, keluhan, permasalahan dan meminta nasihat atau
petuah. Selama ini segala persoalan yang ditengahi melalui
kerapatan adat selalu sukses tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan atau dizalimi. Karena penyelesaian kasus melalui
mekanisme yang tepat dan mengedepankan prinsip keadilan
dan kompromi serta kerjasama antar ketiganya harmonis.
Harmonisasi organ kelembagaan adat tersebut sejak awal
berdirinya kerajaan Melayu tetap terjaga karena semuanya
merupakan utusan pilihan dari kelompok masing-masing.
Meskipun, seiring perkembangan zaman dan
perubahan nomenklatur pemerintahan serta
bermunculannya kasus baru yang belum tercover dalam
aturan adat. Disparitas dan volume kerja yang terus
mengalami dinamika mempertanyakan integritas dan
kompetensi organ bahkan institusi ini mempoduksi hukum
utamanya syarak, mengingat telah ada institusi yang
mengurusi persoalan tersebut sebut saja Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jambi. Menurut Herman saatnya
mereformulasi konsep pegawai syarak mengingat di
lapangan banyak pegawai syarak dalam kelembagaan adat
yang kapasitas keilmuan agamanya belum mumpuni untuk

209
melakukan ijtihad.346
Pandangan serupa dilontarkan oleh Dahlan Malik,
MHI., menurutnya selama ini penentuan pegawai syarak
terkesan hanya didasarkan pada kegiatan ritual ibadah
seperti; imam shalat, pembaca doa, khatib atau bilal bukan
pada profesional pemahaman keilmuan agama sebagaimana
yang dipersyaratkan ulama terdahulu (salafi). Ditambahkan
KH. Lohot Hasibuan penetapan pegawai syarak sebagai
keterwakilan ulama harus diperketat sesuai dengan standar
minimal ulama seperti bisa membaca kitab sebagaimana
pegawai syarak terdahulu yang merangkap ulama pada
suatu wilayah bahkan bergelar Tuan Guru.347
Ditambahkan Pakdo Ismail konsep awal pegawai
syarak secara historis adalah orang yang mendampingi
penguasa agar mengimplementasi syarak sekaligus memberi
masukan kepada penguasa. Berawal dari kebijakan Ahmad
Kamil pada setiap kampung harus ada pegawai syarak,
sebagai ujung tombak mengawal pemberlakuan syarak dan
memberi nasihat atau masukan kepada kepala kampung,
marga, Mendapo, Rio dan seterusnya seturut ke atas sesuai
pangkat dan jabatan, membantu mereka menyelesaikan
berbagai kasus yang dihadapi serta memverifikasi adat
setempat untuk disesuaikan dengan prinsip ajaran Islam. 348
Dengan kata lain, pegawai syarak adalah ulama yang
memiliki kapasitas keilmuan agama yang mumpuni, utusan
raja dan mendapat gaji bulanan dari kerajaan serta berhak
melakukan ijtihad sehingga melahirkan fatwa adat dan
fatwa hukum.349

346Wawancara, Ka-Kan Kemenag Batanghari, 2 Maret 2016.


347Wawancara, Tokoh masyarakat Jambi, 27 April 2016.
348Wawancara, Tokoh Adat Pemayung Batanghari, 2 Mei 2016.
349Fatwa ‫ الفتوى‬bermakna : petuah, nasehat dan jawaban terhadap

suatu pertanyaan. Dapat juga dipahami sebagai suatu pendapat yang


diperoleh melalui ijtihad sebagai respon terhadap suatu kasus hukum
yang muncul melalui peminta fatwa dan ketetapannya tidak mengikat.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak punya daya ikat namun
dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk membuat suatu
putusan, banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan
otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa yang
dijadikan rujukan bagi negara dalam mengambil keputusan baik dalam

210
Selain itu, setelah lahirnya organisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI) tahun 1975 tugas melahirkan fatwa beralih
kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), idealnya segala
persoalan yang terkait dengan syarak diselesaikan melalui
institusi ini. Namun, pada praktiknya justru institusi ini
tidak pernah dilibatkan dalam menetapkan fatwa adat. Hal
ini sebagaimana diakui oleh A. Tarmizi, M. Samin, Husin
Abdul Wahab, Ikbal dan Herman, selaku pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama kami tidak
mendapatkan konfirmasi atau undangan dalam rapat adat
untuk menyelesaikan kasus atau meminta fatwa, meski
kami sering berjumpa dalam momen tertentu.350
Kenyataan ini sebenarnya juga terjadi pada organ
kelembagaan adat, dimana menueurt pengakuan Alwi Jufri,
Ahmad Ridwan, dan Saiful pegawai syarak pada beberapa
wilayah, menurut mereka dalam sidang kerapatan adat
pegawai syarak hanya memberikan pertimbangan dan
argumentasi namun kata putusnya didominasi putusan adat
dan bergantung pada pemangku adat.351 Pertimbangan yang
diberikan berpijak pada argumentasi aturan Islam, namun
tidak semua diterima dan diimplementasikan.
Menurut Fathuddin Abdi, patut diakui pada
beberapa kasus baru aturan adat perlu dibenahi karena
sudah melenceng dari prinsip syarak. Oleh karenanya,
melalui musyawarah adat dikaji kembali persoalan yang
perlu dilurus-benarkan agar jangan terjadi kesalahfahaman
dan permasalahan ideologis masyarakat. Di samping itu,

pembentukan hukum, kebijakan maupun peradilan. Hal ini dapat dilihat


pada hukum materil yang memberlakukan syarak sebagai acuan dalam
lalu lintas hukum bidang keuangan dan perbankan, asuransi, surat
berharga syari‘ah, jaminan produk halal dan lainnya. Sedikitnya terdapat
87 fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi rujukan hukum
dalam bisnis syari‘ah. Lihat Lihat Ibn Mandzur, Lisân ..., IV, 175; Abu
Husain, al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah,
1975), 357; Hamdan Zoelva, Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam Bingkai Kenegaraan, disampaikan pada seminar Nasional
IAIN STS Jambi, 10 Mei 2016, 3.
350Wawancara, Pimpinan MUI dan Kemenag Kota Jambi dan

Kabupaten Batanghari, 5-8 Mei 2016.


351Wawancara, Pegawai Syarak Kelurahan Beringin, Loundrang,

Sungai Baung Kota Jambi, Batanghari dan Sabak, 9-11 Mei 2016.

211
pimpinan adat dan pegawai syarak sudah banyak yang
mumpuni mengkaji persoalan keagamaan tersebut.‖352
Statemen ini mendeskripsikan ―kurangnya
sinergitas‖ institusi ini dalam menyelesaikan berbagai
persoalan hukum yang dihadapi dengan institusi di luarnya.
Keterlibatan ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jambi dan Kementerian Agama kalaupun
dilibatkan hanya sebatas saksi untuk mendengarkan hasil
putusan adat (fatwa adat), bersamaan dengan undangan
lainnya seperti; polsek, koramil, forum dai dan tokoh
masyarakat. Idealnya kelembagaan adat menjalin hubungan
interaktif-konektif secara internal namun juga dengan
institusi eksternal utamanya yang terkait langsung dengan
putusan yang dilahirkan seperti Majelis Ulama dan
Kementerian Agama. Secara implisit ini merefleksikan
terjadi pergulatan kuasa antar ketiganya dan institusi di
luarnya, meskipun sejauh ini masih dalam batas wajar.
Indikasinya belum dijumpai konflik apalagi konprontasi
secara prontal dan saling menjatuhkan.
Dengan demikian, sedikitnya ada lima proposisi
terkait relasi kuasa (kekuasaan): Pertama, kekuasaan
bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau
dibagikan sebagai sesuatu yang digenggam atau bahkan
punah; tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat
dengan relasi yang terus bergerak. Kedua, relasi kekuasaan
bukanlah relasi struktural hierarkhis yang mengandaikan
ada yang menguasai dan dikuasai. Ketiga, kekuasaan itu
datang dari bawah yang mengandaikan tidak ada lagi
distingsi binary opositions karena mencakup dalam
keduanya. Keempat, relasi kekuasaan itu bersifat
intensional dan non-subjektif. dan Kelima, dimana ada
kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance).
Resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap
orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalanpun
untuk keluar darinya.353

352Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari, 22 Mei 2016.


353Michael Foucault, Discipline and Punish; The Birth of the Prison,

(Pantheon: Penguin Book, 1975), 93.

212
Terlepas dari tarik menarik tersebut, yang relasi
internal kelembagaan adat Melayu Jambi secara umum baik
dan terbukti dapat mempersatukan masyarakat dalam
ikatan politik, agama dan adat melalui forum tiga tali
sepilin. Ditambah dengan minat masyarakat yang cukup
tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus melalui
kelembagaan adat. Kekuasaan yang dimiliki kelembagaan
adat merupakan wujud dari kekuasaan, meminjam istilah
weber kekuasaan tradisional.354 Kekuasaan yang telah
mengakar di daerah Jambi dalam perspektif adat telah
turun temurun bahkan menjadi tradisi yang melembaga.
Meskipun, secara kelembagaan tidak semua organ
kelembagaan adat memiliki hierarki instruktif-koordinatif
sebagaimana Pemerintah daerah (Pemda) dan Lembaga
Adat Melayu (LAM).

E. Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Kepentingan


Pemerintah, Syarak, dan Adat
Kuasa simbolik (symbolic power) menurut Bourdieu adalah
kuasa mengubah sesuatu dan menciptakan realitas, yakni
mengubah dan menciptakannya agar diakui dan dikenal
secara absah. Kuasa simbolik yang terjadi pada suatu ranah
pada akhirnya membentuk suatu habitus, yang dibuat dan
direproduksi secara tidak sadar sehingga diterima oleh
masyarakat, meski di dalamnya terjadi negosiasi bahkan

354Menurut Weber ada tiga tipe kekuasaan, yaitu; kekuasaan


tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Pada konteks pertama
Kekuasaan Tradisional, menurut Weber berada dalam tata sosial yang
bersandar pada kebiasaan-kebiasaan lama dimana status dan hak
pemimpin ditentukan adat kebiasaan serta memerlukan unsur kesetiaan
pribadi (personal attachment) yang menghubungkan ―tuan‖ dan
―hambanya‖. Aturan-aturan yang menghubungkan mereka biasa- nya
tidak tertulis, namun masing-masing saling memahami tentang posisi
dan apa yang harus dilakukan.Tipe-tipe Weber tersebut dikaitkan dengan
bentuk aksi sosial dan hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai
kelompok masyarakat. Memang tipologi yang dirumuskan Weber
diletakkan dalam konteks kepemimpinan (politik). Namun, karena
kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari otoritas, maka tipologi ini juga
bisa kita adaptasi dalam melihat otoritas keagamaan. Sebagaimana
dikutip April Carter, Otoritas ..., 54-56..

213
subordinasi dalam memproduksi hukum dan
memperebutkan kuasa atau kepentingan.
Penggunaan idiom-idiom dan simbol-simbol serta
logika, kekuasaan, keagamaan dan adat sebagai bentuk
kuasa simbolik yang pada akhirnya merupakan bentuk
hegemoni dengan mengatasnamakan kepentingan politik,
agama dan adat.355 Kenyataan ini sering disaksikan dalam
berbagai momentum seperti; pemilukada, bisnis advertising,
penggunaan stiker dalam al-Qur‘an dan surat yasin, sarana
pendidikan, pengalihfungsian tempat ibadah, tempat
pemakaman umum (TPU), larangan duduk bersanding saat
akad nikah, dan penistaan asma Allah serta penguatan
terhadap seloka adat.
Penulis mengelaborasi kuasa simbolik (symbolic
capital) dalam kaitannya perebutan kuasa, meski selama ini
secara simbolik pemerintah, adat dan syarak terintegrasi

355Hegemoni adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap

kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga


gagasan-gagasan yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap
kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common
sense). Teori ini menekankan bagaimana penerimaan kelompok terhadap
kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam proses damai, tanpa
reaksi kekerasan. Proses marjinalisasi wacana berlangsung wajar, apa
adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau
dimanipulasi oleh media. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi,
cara penerapan, mekanisme untuk mempertahankan dan
mengembangkan diri melalui para korbannya, sehingga berhasil dan
mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Melalui hegemoni,
ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan
dapat dipertukarkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi atau
indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, ketika orang menerima
sebagai kewajaran dan sukarela. Kebalikannya adalah Counter Hegemoni
(hegemoni tandingan), upaya melawan proses memunculkan kepatuhan
aktif terhadap penguasa tertentu. Munculnya sikap perlawanan
dikarenakan membaiknya aspek kognisi masyarakat, mencairnya
hubungan negara dan rakyat karena adanya faktor yang melahirkan
keterbukaan, dan nilai-nilai kepatuhan yang ingin didoktrinasi
berseberangan dengan nilai-nilai yang lebih sakral maupun universal.
Lihat Roger Simon, Gramsci‘s Political Thought, terj. Kamdani dan Imam
Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 19-22; Muhammad A.S.
Hikam, Bahasa dan Politik: Penghampiran ―Discursive Practice‖, dalam
Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, (Bandung : Mizan, 1996), 77.

214
serta terjalin hubungan harmonis-interaktif. Kasus simbolik
yang terjadi di Jambi, terkait dengan dominasi pemerintah,
agama dan adat, di antaranya:

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Pemerintah


Pemerintah (Penguasa) adalah organisasi yang mempunyai
kekuatan besar dalam suatu negara mengurus masyarakat,
territorial dan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan
Negara. Tahapan membentuk atau membangun posisi-posisi
kekuasaan dalam masyarakat berguna sebagai pengambil
keputusan-keputusan terkait dengan kondisi masyarakat
dinamakan politik. Intervensi politik bahkan ‘politisasi‘
terhadap persoalan sosial keagamaan sejauh ini merupakan
hal yang lumrah dan dianggap epektif dalam upaya
memobilisasi berbagai kepentingan politik pihak tertentu.
Sejak abad ke-14 Islam Ahmad Salim dan putranya Ahmad
Kamil menggunakan kekuatan politik berhasil memadukan
adat dan syarak dan mengkolaborasikan dua sistem
pemerintahan Tumenggung (otokrasi) dan Perpatih
(demokratis) sehingga melahirkan konfigurasi hukum dan
sistem pemerintahan kolaboratif.
Praktik ini berlanjut masa kolonial Belanda yang
membatasi wilayah cakupan syarak hanya pada persoalan
perdata dan mengabaikan hukum pidana adat. Sementara
dalam bidang ―pemerintahan‖ pemerintah Belanda
mengambil alih secara total dan kelembagaan adat tetap
dihidupkan mengimbangi bahkan mempersempit gerak
syarak. Klaim tersebut didasari kekhawatiran politis
terhadap kelompok militan Islam, meski faktanya
masyarakat adat justru mengafirmasi hukum pidana Islam
agar beradaptasi dengan aturan-aturan adat. Mereka
menggunakan istilah ―tikam bunuh‖ untuk menyatakan
aturan qişâş, semua bentuk pelanggaran hukum dikenakan
sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖. Klimaksnya,
terjadi politisasi syarak dengan menjadikan syarak sebagai
hukum yang berada di balik adat atau berada di bawah
bayang-bayang adat.
Politisasi dalam konteks ini adalah upaya organ
kelembagaan adat di Jambi menjadikan aspirasi mereka

215
diakomodir dan bertahan terus akhirnya menurut Bourdieu
membentuk habitus. Konsep ini juga dapat dilihat pada
budaya patrimonial dalam budaya masyarakat Jawa,
dimana ketundukan rakyat pada raja (penguasa) dan tabu
menentang segala titah raja. Pemimpin (raja, penguasa,
pemerintah) merupakan titisan Tuhan di muka bumi dan
budaya patrimonial pada pemerintahan orde baru dengan
sistem pemerintahan otoriter. Semua struktur
pemerintahan terpusat di bawah tampuk komando Soeharto,
segala titah Soeharto harus dilaksanakan. Budaya
―bapakisme‖ atau asal bapak senang sudah terinternalisasi
selama 32 tahun.
Kasus yang juga terkait dengan dominasi politik
adalah kasus pengalihfungsian tempat pemakaman umum
(TPU), dimana pada tahun 1992 atas permintaan
pemerintah daerah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi
Jambi mengeluarkan fatwa tentang kebolehan membongkar
kuburan Muslim (tempat pemakaman umum) yang
bertempat di Kelurahan Sungai Puteri Kecamatan
Telanaipura. Argumentasi melegalkan putusan ini dimana
letak tempat pemakaman umum (TPU) tersebut dianggap
sangat strategis guna pengembangan Kota Jambi karena
berdekatan dengan jalan protokol. Keputusannya lebih baik
dimanfaatkan bagi pembangunan sarana prasarana sosial
untuk kepentingan umum (maşlahah al-Ammah), meskipun
kenyataanya di atas tanah tersebut justru berdiri Gedung
Mercusuar yakni Hotel Tepian Ratu, yang saat ini berganti
nama menjadi "Ratu Convention".
Fatwa ini mengundang reaksi keras dan tendensius
dari kalangan ulama salaf dan sebagian masyarakat agamis
karena dianggap sangat menyinggung perasaan pihak
keluarga yang anggota keluarganya dimakamkan pada
pemakaman ini.356 Implikasi negatif lain yakni terjadi krisis

356Guru Zaini merupakan salah seorang ulama salaf yang


bermukim di seberang Kota Jambi sebagai salah seorang ulama yang
sangat terkemuka dan berpengaruh saat itu, beliau merasa sangat
tersinggung dengan lahirnya fatwa tersebut dan sempat berkirim surat
dengan menggunakan Bahasa Arab bernada tendensius kepada Ketua

216
kepercayaan atau memudarnya pencitraan positif terhadap
eksisitensi lembaga dan ulama utamanya yang berada
dalam lingkaran institusi ini.

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Agama


Agama sebagai sistem simbol berperan mengukuhkan
suasana hati dan motivasi yang kuat serta mendalam pada
setiap diri manusia dengan memformulasikan konsepsi
tentang tatanan umum eksistensi dan membungkus
konsepsi itu dengan aura aktualitas bagi perasaan dan
motivasi realistis. Artinya, simbol keagamaan
memformulasikan adanya kesesuaian mendasar tentang
tipe kehidupan partikular dengan pola pikir yang
mensistesis tradisi, gagasan, estetika, nilai-nilai spiritual.
Selain itu, simbol agama mengandung makna yang dapat
dielaborasi dengan berbagai cara salah satunya melalui
ritual.357
Kuasa simbolik yang mengatasnamakan agama juga
terjadi di Jambi ketika beredarnya al-Qur'an bergambar
kandidat gubernur di Provinsi Jambi menjelang pemilihan
kepala daerah (pilkada) Mei 2005, melahirkan polemik
berkepanjangan di kalangan umat Islam Jambi. Kasus cover
al-Qur'an bergambar yang menuai respon pro dan kontra
dari berbagai lapisan masyarakat Jambi.358 Kelompok yang
pro diwakili oleh Sulaiman Abdullah, Said Magwie dan
kawan-kawan beragumentasi bahwa al-Qur'an tersebut
murni sumbangan, dan karena jauh dari masa Pilkada
berkisar delapan bulan, terhitung dari 30 Oktober 2004
sampai proses pemilihan 12 Juni 2005, maka al-Qur'an
tersebut bukan untuk Pilkada. Dan hanya ditempeli sticker
dengan photo ZN 1 dimensi dan berupa pas photo, bukan
melalui proses cetak al-Qur'an secara keseluruhan

Komisi Fatwa dan menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Provinsi.
357Haidar Nasier, Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah,

1998), 172-173.
358Naskah fatwa MUI No.05/KP-MUI/II/1992 dan No.01/KP-

MUI/VI/2005

217
bersamaan dengan photo sejak awal.359
Kelompok yang kontra dan ekstrim diwakili Chatib
Quzwain, Buya Satar, Ahmad Tarmizi Sibawaihi, Husin
Wahhab dan kawan-kawan berpandangan tindakan
mencantumkan gambar pada kitab suci pada cover al-Qur'an
salah satu bentuk penghinaan (Ihânah) terhadap al-Kitab
Suci Qur'an dan bahkan bentuk ke-kufuran, zhalim,
penistaan agama dan sebagainya dengan menggunakan
argumentasi tertentu.360 Sedangkan kelompok moderat
berargumentasi tindakan ini bukan implementasi dari
penghinaan terhadap al-Qur'an ansich apalagi sampai kufr,
bahkan status hukum yang terjadi hanyalah mubah (boleh)
dengan argumentasi yang lain lagi.
Paling tidak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi
telah menggunakan simbol politik dan agama untuk
mengabsahkan putusannya. Simbol ini dianggap memiliki
kekuatan membentuk, melestarikan, dan mengubah realitas
sehingga mengandung energi magis yang bisa membuat
orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang
diciptakan oleh tata simbol. Bahkan kekuatan simbol
mampu mengarahkan siapapun untuk mengakui,
melestarikan atau mengubah persepsi hingga sampai pada
tingkah laku seseorang, kelompok saat bersentuhan dengan
realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada
kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi
realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan makna-
makna simbol.
Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol,
individu-individu terikat dalam proses pembentukan
(constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting)
makna yang sedang berlangsung. Keterikatan tersebut
dapat menjelaskan logika dan praktik permainan sosial
yang dipadati semangat kompetisi antar agen/pelaku sosial.
Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar

359Subhan MA Rahman, Pergulatan Wacana ..., 20.


360Kasus penistaan agama (Ihanah al-Din) dan simbol-simbol
agama merupakan perbuatan pelanggaran tindak pidana sebagaimana
termuat dalam pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).

218
kuasa yang dijalankan agen/pelaku sosial dalam berbagai
posisi yang ditempati, maupun yang sedang memperebutkan
posisi-posisi tertentu.361
Selain itu, dengan memberikan fatwa boleh (mubah)
tersebut, jelas Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki dan
memainkan modal religius, sejenis disposisi objektif yang
kepadanya masyarakat dibuat percaya objektivitas
pernyataan mereka tentang kebolehan itu. Di sini, umat
Muslim yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mendukung fatwa tersebut, yang jelas posisi mereka tetap
berpijak pada agensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
memonopoli diskursus itu dalam konteks keberagamaan
masyarakat Jambi yang lebih luas. Mereka melihat fatwa
itu sebagai hukum, bukan mitos.
Kedua bentuk fatwa kontroversi tersebut
mengatasanamakan pemerintah ataupun agama menuai
kritikan tajam terhadap eksistensi dan kinerja Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, yang selama ini
dipercaya sebagai wadah atau kumpulan ulama yang sangat
dihormati. Meski, menurut pengakuan ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, putusan tersebut tidak
dipengaruhi oleh pihak manapun dan sudah sesuai dengan
ketentuan Islam.362 Namun putusan kontroversial tersebut
tetap melahirkan polemik yang cukup dilematis bahkan
membuat sebagian masyarakat Jambi ada yang pro maupun
kontra.
Respon tersebut sampai pada mobilisasi umat dan
massa, meski dipandang wajar dalam proses politik
manapun terutama bagi masyarakat Indonesia yang masih
memegang teguh agama dan adat, meski dikhawatirkan
melahirkan polemik lanjutan antar keduanya. Persoalannya
masyarakat Muslim Jambi dibuat tidak sadar (miss-
recognized) fatwa tersebut hakikatnya hanya
menguntungkan pihak tertentu yaitu pemerintah dan
pemuka Majelis Ulama Indonesia (MUI). Merekalah yang
memonopoli fatwa itu sebagai produk religius demi menjaga

361Pierre Bourdieu dan Wacquant JD., An Invitation to Reflexive

Sociology, (Chicago: University Press, 1992), 75.


362Wawancara, Ketua MUI Jambi, 22 Juli 2015.

219
akumulasi kerja simbolik yang berkelanjutan. Mereka inilah
sebagai religious specialists (para spesialis agama) yang
dianggap berwenang menentukan ‗versi religius‘ fatwa
tentang al-Qur‘an bergambar di Jambi, pengalihfungsian
Tempat Pemakaman Umum (TPU), dan lainnya.

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Adat


Proses adaptasi antara adat dan syarak di Jambi tidak serta
merta menjadikan adat yang ada berubah secara totalitas,
simbol adat tetap eksis dan bahkan mengalahkan simbol
agama meski filosofinya mengedepankan agama melalui
syarak sesuai falsafah adat. Kuasa simbolik mengataskan-
namakan adat tetap terjadi dan dianggap wajar padahal
simbol inilah yang memiliki kekuatan membentuk,
melestarikan, dan mengubah realitas sehingga mengandung
energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui,
serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata
simbol. Bahkan kekuatan simbol mampu mengarahkan
siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah
persepsi hingga sampai pada tingkah laku seseorang,
kelompok saat bersentuhan dengan realitas.
Pertama, Praktik Cuci Kampung, meski bukan
merupakan hal baru dalam budaya masyarakat Melayu,
bahkan juga berlaku di daerah yang dihuni etnik Melayu
lainnya seperti; Minangkabau, Bengkulu dan Palembang.
Namun, bagaimana tradisi tersebut diimplementasikan dan
berdampak terhadap persoalan ideologis dan sosiologis itu
yang menjadi pertanyaan. Mengingat substansi dari pesan
hukum terkesan bergeser atau bahkan terabaikan, menurut
Abdul Hamid kami sepakat dengan sanksi bagi pelanggar
aturan adat, namun perlu kejelian dan obyektivitas dalam
penerapan sanksi adat. Seperti aturan yang melarang lelaki
dan perempuan yang berduaan harus cuci kampung meski
belum tentu berbuat zina, ditambah prioritas sanksi berupa
denda adat cuci kampung bukan menikahkan kedua belah
pihak.363

363Wawancara, Tokoh Adat Kampung Manggis, 13 Mei 2016

220
Ditambahkan Syarifuddin, akhir-akhir ini denda adat
tersebut yang katanya atas kesepakatan lembaga adat
digantikan dengan uang untuk dialihkan ke kepentingan
umum dan sosial. Pelaku tidak mesti nikah asal membayar
denda adat, praktik ini tidak sesuai lagi dengan apa yang
dipraktikkan oleh tua-tua adat tempo dulu.364
Statemen ini mengindikasikan adanya kritik atas
kebijakan tokoh adat yang ditengarai ―inkonsisten dan
kurang obyektif‖ dalam menerapkan hukum melalui
kelembagaan adat. Terlebih kasus zina merupakan bagian
dari kasus hudud yang harus disikapi secara serius dan
hati-hati karena menyangkut nama baik korban beserta
keluarga. Selain itu, polemik tentang penerapan tradisi cuci
kampung yang terkesan ―semaunya‖ dan berlaku pada
hampir seluruh bentuk pelanggaran adat.
Kedua, Larangan Duduk Bersanding, pada tahun
2014 dimana lembaga adat Melayu Kaupaten Batanghari
mengeluarkan fatwa adat tentang larangan duduk
bersanding bagi pasangan yang sedang melaksanakan akad
nikah.365 Fatwa adat tersebut berlaku bagi seluruh warga
masyarakat yang berdomisili di wilayah Kabupaten
Batanghari, menurut Fathuddin Abdi ada banyak fenomena
yang terjadi di masyarakat yang memerlukan inisiasi atau
kebijakan dari tokoh adat menyikapinya tentunya melalui
fatwa adat. Dalam rangka merespons fenomena inilah
lembaga adat Melayu Kabupaten mengkaji dan menetapkan
beberapa putusan sebagai panduan bagi masyarakat. Fatwa
tentang larangan duduk bersanding bagi pasangan yang
melaksanakan akad nikah, karena duduk berduaan lelaki

364Wawancara, Pegawai Syarak Desa Dusun Aro, 15 Mei 2016


365Ada beberapa fatwa adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat
Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari yang menyatakan larangan; duduk
bersanding saat akad nikah, poto pra wedding, dan menuliskan kalimat
bismillah dalam undangan pernikahan, mencantumkan foto dalam Surat
Yasin, mewajibkan bagi anak rantau yang menikah di Batanghari
memiliki ayah angkat dan lainnya, namun fatwa tersebut ada yang
bersinggungan dengan kompetensi institusi di luarnya sehingga menuai
pro dan kontra di masyarakat, begitupula sebaliknya.

221
dan perempuan hakikatnya dilarang oleh agama, sedangkan
agama menjadi sendi adat masyarakat Batanghari.366
Meskipun pada akhirnya fatwa tersebut menuai
kritik dari pimpinan Kementerian Agama Kabupaten
Batanghari karena dianggap menyulitkan pihak Kemenag di
lapangan, utamanya Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Menurut Herman, seyogyanya sebelum mengeluarkan
fatwa, pimpinan lembaga adat berkoordinasi dengan
Kementerian Agama yang berkompeten mengurusi
persoalan pernikahan. Terlebih fatwa tersebut
menyebabkan pihak Penghulu kesulitan mendapatkan
informasi intensif mengenai status dan persetujuan
mempelai perempuan, mengingat pejabat harus memastikan
terlebih dahulu pernikahan tersebut apakah atas
kesepakatan bersama atau sebaliknya.367 Ditambahkannya
pada Bab IV Pasal 6 Peraturan Menteri Agama (PMA) RI
Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah
dinyatakan bahwa ―Pernikahan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.‖ Persetujuan ini tidak
bisa diperoleh tanpa menghadirkan pihak mempela
perempuan saat akaad nikah.
Ketiga, Perdamaian Kasus Penistaan Asma Allah,
pada tanggal 25 Desember 2016 terjadi kasus penistaan
terhadap Asma Allah yang dilakukan oleh oknum di Hotel
Novita Jambi bertepatan dengan momen Natal umat
Kristiani. Dimana pihak manajemen hotel membuat
ornamen natal dengan menambahkan tulisan lapaz Allah
pada alas kaki ornamen tersebut.
Atas kasus ini, umat muslim Jambi yang diwakili
umat muslim Kota Jambi diikuti oleh kabupaten lainnya
tidak terima dan melakukan aksi demo menuntut
penutupan Hotel Novita dan meminta aparat hukum
mengadili pemilik beserta manajemen hotel serta dihukum
seberat-beratnya, karena telah menghina Tuhan umat
muslim, yang notabene mayoritas di Jambi. Mengamati

366Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten

Batanghari, 22 Mei 2016.


367Wawancara, Ka-Kan Kemenag Kabupaten Batanghari, 15 Juli

2015.

222
kondisi ini, pimpinan Lembaga Adat Melayu berinisiasi dan
memediasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara
adat merekomendasikan agar pihak manajemen hotel
meminta maaf kepada umat Islam Jambi dan mengadakan
acara seremonial cuci kampung sebagai bentuk pelanggaran
Sumbang Salah yang difasilitasi oleh pemerintah provinsi
dan kota Jambi. Sedangkan aparat hukum diminta tetap
memproses kasus pidana ini hingga pelaku diadili sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku.
Rekomendasi lembaga adat direspon positif oleh
pemerintah daerah, lembaga adat dinilai tanggap terhadap
fenomena yang terkini.368 Meski demikian, pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menilai persoalan ini tugas mereka,
seyogyanya pihak lembaga adat tidak ikut mencampuri
apalagi mengambil alih tugas yang bukan domain mereka. 369
Alhasil, kelembagaan adat memainkan peran dominan
dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi dengan melahirkan
fatwa adat sekaligus merupakan modal kultural yang
memungkinkan untuk diinvestasi, diakumulasi, dan
dipertukarkan demi melipat-gandakan profit. Selain itu,
kelembagaan adat telah berhasil menggunakan dominasi
simbol adat melalui nomenklatur institusi, falsafah, dan
organ penentu putusan.
Pertama, aspek nomenklatur, sejak masa kerajaan
Melayu Jambi nomenklatur institusi yang berkompeten
mengurusi persoalan hukum, sosial dan agama adalah
kerapatan adat, seiring perkembangan zaman berubah
menjadi lembaga adat provinsi Jambi dan terakhir Lembaga
Adat Melayu (LAM) Jambi. Ditambah dengan hierarki
institusi dan peradilan adat yang begitu mapan. Kedua,
aspek falsafah, yang menjadi icon budaya Melayu-Islam
falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi
Kitabullah.‖ Falsafah inilah yang melahirkan polarisasi
adat nan empat¸ yaitu; adat sebenar adat, adat yang teradat,
adat yang diadatkan dan adat istiadat, yang tidak hanya

368Wawancara, Ketua Lembaga Adat dan Ketua Laskar Melayu

Jambi, 29 Desember 2016


369Wawancara, Sekretaris MUI Kota Jambi, 1 Januari 2017.

223
diklaim oleh masyarakat Melayu Jambi namun juga
masyarakat Melayu Nusantara lainnya.370
Daya magis simbol tidak hanya terletak pada
kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi
realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan makna-
makna simbol. Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol,
individu-individu terikat dalam proses pembentukan
(constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting)
makna yang sedang berlangsung. Keterikatan tersebut

370Polarisasi adat juga berlaku di Melayu lainnya seperti;


Minangkabau, Aceh dan Bugis. Minangkabau mempolarisasi adat kepada
empat, sebagaimana di Jambi, yaitu; Pertama, adat nan sebenar
adat,yaitu hukum Alam atau Sunnatullah seperti adat tajam melukai,
adat air membasahi, adat api menghanguskan dan sebagainya; Kedua,
adat nan teradat, yaitu segala aturan yang merupakan karya cipta Datuk
Ketumenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang; Ketiga, adat nan
diadatkan yaitu adat setempat; dan Keempat, adat istiadat, yaitu tradisi
acara ritual. Sedangkan di Aceh mempolarisasi adat menjadi tiga;
Pertama, Adat bak Peuteu Merehum, yaitu tradisi yang merujuk kepada
kebiasaan dan tatacara upacara yang berlaku dalam lingkungan istana;
Kedua, Hukom bak Syiah Kuala, yaitu merujuk kepada hukum Islam,
fikih, atau hukum syariah di bawah kawalan dan pengurusan Syeikhul
Islam dan Kadi Malikul Adil, Syah di Kuala; dan Ketiga, Meujeuleueih
kanun bak puteu phang, Resam bak bentara-bentara, yaitu atau majelis
kanun, atau urusan kanun kebijaksanaan Maharani Puteri Pahang
(permaisuri Sultan Iskandar Muda). Keempat, resam bak bentara-bentara,
artinya urusan resam (adat tempatan) urusan Panglima, Bentara, atau
hulubang (ulebalang) masing-masing wilayah. Dengan kata lain, resam
semacam adat yang dijalankan oleh penguasa setempat, atau adat
tempatan, dalam tradisi Minangkabau disebut ―adat yang teradat.‖
Adapun di Bugis mempolarisasi adat menjadi lima; Pertama, Ade‘ pura
onro, yaitu peraturan yang sudah tetap mengatur hubungan antara raja
dengan rakyat disaksikan olah Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat diubah
lagi, perubahan dan pelanggaran terhadap adat ini boleh membuat
negara runtuh. Kedua, Ade‘ assituruseng yaitu peraturan yang telah
disepakati bersama melalui musyawarah boleh diubah harus melalui
musyawarah pula; Ketiga, Ade‘ maraja ri arunggo, adalah adat yang
berasaskan kepatutan yang berlaku terutama di kalangan raja dan kaum
bangsawan; Keempat, Ade‘ abiasane wanuae, yatu adat yang berlaku
untuk seluruh rakyat harus didasarkan atas persetujuan bersama dan
harus dilaksanakan oleh rakyat; Kelima, Ade‘ tanro anang, yaitu adat
yang lahir dari kepala-kepala kampung (tua-tua desa). Lihat Amri
Marzali, Adat Categories in Melayu-Nusantaran Culture, diakses tanggal
20 Januari 2017.

224
dapat menjelaskan logika dan praktik permainan sosial
yang dipadati semangat kompetisi antar agen/pelaku sosial.
Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar
kuasa yang dijalankan agen/pelaku sosial dalam berbagai
posisi yang ditempati, maupun yang sedang memperebutkan
posisi-posisi tertentu.371
Keberadaan dan peran institusi ini mendominasi
persoalan sosial keagamaan masyarakat sejalan dengan
gagasan Snouck Hurgronje dalam teori Receptie-nya, yang
menghendaki agar syarak masuk ke dalam adat atau
menjadi bagian dari sistem adat dalam konteks ini
kelembagaan adat. Institusi inilah yang menjadi korektor
sekaligus corong penetapan syarak, artinya syarak yang
dipraktikkan masyarakat selama ini hakikatnya bukanlah
syarak melainkan adat. Adat sebagai penerima dan syarak
sebagai hukum yang datang, syarak berlaku manakala telah
diterima atau masuk ke dalam sistem adat dan menjelma
menjadi produk adat.
Dengan kata lain, sebenarnya kelembagaan adat
memainkan peran dominan dalam percaturan sosial dan
agama pada masyarakat Melayu Jambi yang melahirkan
doxa, yaitu kecenderungan keberpihakan atau lebih
menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan
perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap
posisi dominan mereka sebagai sesuatu yang terbukti
dengan sendirinya dan diinginkan secara universal. 372
Secara lebih spesifik, Bourdieu menyatakan doxa

371Pierre Bourdieu dan Wacquant JD., An Invitation to Reflexive

Sociology, (Chicago: University Press, 1992), 75.


372Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa

melalui proses pemikiran yang diasumsikan terbukti universal yang


menginformasikan tindakan dan pemikiran agen pada ranah tertentu.
Doxa cenderung menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan
perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi
dominan sebagai realitas kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan
kata lain doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi
dalam praktik antara sebuah habitus dengan ranah dimana ia
disesuaikan dan diterima secara given. Lihat Pierre Bourdieu, The Logic
of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (Stanford:
Stanford University Press 1992), 66-68.

225
merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam
praktik antara sebuah habitus dan ranah dimana ia
disesuaikan, diterima begitu saja terhadap dunia yang
terjadi secara praverbal yang berasal dari rasa praktis. 373
Dalam perspektif maşlahah, menurut asy-Syâtibi ke-
maşlahah-an (al-mas}âlih) haruslah merujuk pada dua
aspek yaitu: khiţâb syar‘î (epistemologis) dan realitas sosial
(waqâ‘i‗ al-wujûd).374 Pertama aspek khiţâb syar‘î
(epistemologis), keberadaan kelembagaan adat dan
perannya selama ini dalam memproduksi dan mereproduksi
hukum merupakan prototipe yang belum ada referensinya
dalam studi hukum Islam sehingga tidak ditemukan dalîl
khusus mengenai status hukumnya. Kedua, realitas sosial
(waqâ‘i‗ al-wujûd), masyarakat Melayu Jambi berkomitmen
memberdayakan kelembagaan adat mempraktikkan hukum
adat hasil integrasi syarak dengan adat. Begitupula dengan
memfungsikan kelembagaan adat sebagai agen
memproduksi dan mereproduksi hukum.375
Selain itu, ada status hukum persoalan yang tidak
tercakup dalam naşş hukum partikular, sehingga perlu
diteliti berdasarkan naşş universal. Pada kasus yang
didiamkan Syâri‘ berupa al‘afwu (kema‘afan), ulama
memprediksi jawaban terhadap kasus diamnya Syâri‘,
dengan menyatakan setiap kasus dijelaskan oleh cakupan
makna naşş dan dapat dilacak melalui qiyâs. Dalam konteks
undang adat dan kelembagaan adat Jambi, kedua aspek
tersebut secara umum telah terpenuhi sehingga dapat
disimpulkan bahwa undang adat Jambi dan kelembagaan
adat Jambi memenuhi kriteria kemaşlahatan.
Menurut asy-Syâtibi adat diklasifikasikan dalam dua
bentuk: Pertama, al-‗awa`îd asy-syar‘iyah, yaitu adat yang
ditetapkan atau ditiadakan oleh dalîl syarak. Artinya,

373Ibid.
374Teori maşlahah menjadi referensi pemikir hukum Islam
kontemporer yang merespons dan menggunakan pemikiran asy-Syâţibî, di
antara pemikir dimaksud; Mahmûd Syaltût (w. 1971 M.), Fazlu Rahman
(w. 1988 M.), Abdullâh Darrâz dan Wael B. Hallaq.
375Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ Asy-Syâţibî, al-Muwâfaqât ..., Juz

II, 44,79.

226
syarak memerintahkan sebagai sesuatu yang wajib atau
nadab, atau melarangnya sebagai larangan haram atau
makruh, atau syarak memberikan ruang pilihan untuk
dilakukan atau ditinggalkan (mubah). Mengingat adat
macam yang pertama ini sifatnya tetap, maka ia sama
dengan hukum-hukum syarî‘ah yang tetap dan
terus-menerus. Undang duapuluh dalam adat Jambi
mencakup aspek fikih mu‘amalah (sumbang salah, tipu
tepok), munakahat, siyasah (dago dagi, siur bakar) dan
jinayat (samun sakai, upas racun, maling curi, tikam
bunuh).
Kedua, al-‗âwa`id al-jâriyah, yaitu adat yang tanpa
ada dalîl syarak secara khusus yang menetapkan atau
meniadakannya. Model adat ini dikembangkan dalam kajian
tentang hubungan naşş-naşş dengan adat. Asy-Syâţibî
mengakui adanya perubahan hukum ketika terjadi
perubahan adat, praktik ini dijumpai dalam undang
duapuluh, dimana jenis sanksi (denda/pampas) yang
dikenakan bagi pelaku maupun kompensasi yang diterima
korban atau keluarga korban berbeda dengan ketentuan
syarak meski substansinya sama yaitu memberikan
hukuman dan epek jera. Seperti cuci kampung dengan
membayar pampas bagi pelaku atas segala bentuk
pelanggaran tindak pidana perdata, maupun
ketatanegaraan yang meliputi; bidang muamalah,
munakahat, jinayat maupun siyasah, pada konteks inilah
menjadi ruang kajian maşlahah.
Pandangan ini sejalan dengan Abd. al-Rahman Taj,
yang mengkategorisasi hukum dari perspektif sumber
mencakup siyâsah syar‘iyyah dan wad‘iyyah. Siyâsah
Syar‘iyyah adalah peraturan perundang-undangan yang
bersumber pada wahyu atau agama, sedangkan Siyâsah
Wad‘iyyah adalah peraturan perundang-undangan yang
bersumber pada manusia sendiri dan lingkungannya,
seperti; arâ‘ al-basyar (pendapat ahli atau pakar), ‗urf atau
adat, al-tajârib (pengalaman) dan al-auda‘ al-maurusah

227
(aturan terdahulu yang merupakan warisan pendahulu).376
Sumber kedua ini senantiasa berkembang sesuai situasi dan
kondisi, ia dapat diterima jika memenuhi kriteria antara
lain:377
1. Mutâbaqah (sejalan) dan tidak bertentangan dengan
prinsip syariat Islam;
2. Raf‘u al-haraj, tidak memberatkan atau membebani
masyarakat di luar kemampuan mereka;
3. Tahqîq al-‗Adâlah, tujuannya menegakkan keadilan;
4. Tahqîq al-masâlih wa daf‘u al-madharr, dapat
merealisasikan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan;
5. Menempatkan manusia pada posisi yang sama di mata
hukum dan pemerintahan kecuali pada kasus tertentu;
6. Peraturan atau kebijakan yang ditetapkan harus berpijak
pada asas musyawarah.
Adapun dari perspektif sosiologi, tugas sosiologi
mengeksplorasi produksi, sirkulasi, dan konsumsi berbagai
jenis modal ekonomi, kultural, dan—termasuk juga—agama.
Namun, berbeda dengan konsepsi tentang ―modal manusia‖
(human capital), ―modal kultural‖ Bourdieu lebih berfokus
pada variasi kelas dalam konteks makna dan fungsi modal
demi memperoleh tujuan akhir yang diinginkan. Bahkan, Ia
melampaui gagasan yang hanya melihat minat simbolik itu
sekadar ―perspektif‖ untuk melihat praktik-praktik kultural.
Menurutnya, kepemilikan modal itu justru menyimpan
dimensi kekuasaan, sehingga memungkinkannya
membentuk hierarki sosial. 378
Sebagaimana modal kapital, modal kultural dan pada
hakikatnya berperan dalam menciptakan hierarki sosial itu.
Modal religius dapat berupa status atau posisi tertentu
dalam institusi-institusi keagamaan yang secara formal

376Abd. al-Rahman Taj, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah wa al-Fiqh al-


Islamîy, (Mesir: Matba‘ah Dâr al-Ta‘lif, 1953), 8.
377Abd. Wahhab Khallâf, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dâr al-

Ansar, 1977), 4; Muhammad Diya al-Din al-Ris, an-Nazariyyah al-Siyâsah


al-Islamiyyah, (Kairo: Dâr al-Mâ‘arif, 1967), 280-292.
378Elaborasi lengkap dapat dilihat dalam Gary Becker, The

Economic Approach To Human Behavior, (Chicago: University of Chicago


Press, 1976), 20.

228
diakui oleh masyarakat Jambi. Status dan posisi inilah yang
membuat pemilik modal dan posisi, secara tidak langsung
mempengaruhi struktur berpikir atau disposisi masyarakat,
karena status individu dapat mempengaruhi kepercayaan
masyarakat. Kepada lembaga inilah masyarakat merasa
perlu untuk menyandarkan kepercayaannya terhadap isu-
isu sosial dan keagamaan di Jambi.
Hal ini berarti dengan modal kultural tersebut para
pemangku jabatan di kelembagaan adat Melayu sangat
berperan dalam membentuk persepsi, opini, disposisi, dan
selera masyarakat. Asumsinya, semakin masyarakat
percaya terhadap lembaga ini dan produk fatwa yang
dikeluarkan maka semakin kuat pula struktur sosial atau
religius masyarakat Jambi. Di sini, modal kultural harus
dipahami bukan sekadar sebagai pengetahuan tentang adat,
melainkan juga yang terpenting sebagai modal yang
fungsinya mirip dengan modal ekonomi dalam industri
kapital. Mereka yang memiliki modal berada dalam
posisi kelas yang lebih tinggi dibanding mereka yang
tidak memiliki modal atau status tertentu dalam
masyarakat Melayu Jambi.
Inilah yang menjadi dasar logis mengapa para
pemuka adat dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi
sebenarnya sedang menginvestasikan modal sosial dan
religius itu melalui posisi dan disposisi mereka kepada
masyarakat, implikasinya semakin kuatnya habitus dan
kelas-kelas sosial di Jambi. Begitu kuatnya pengaruh kedua
aspek tadi yaitu adat dan agama, seringkali menjadi
komuditas politik oleh sebagian orang menggapai ambisi
pribadi maupun kelompok. Intervensi politik bahkan
politisasi terhadap persoalan agama dan adat dan selama ini
merupakan hal yang lumrah dan dianggap epektif dalam
upaya memobilisasi berbagai kepentingan politik pihak
tertentu.
Selain itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat
mengarah kepada pembentukan cara lebih halus sebagian
masyarakat untuk menguasai mayoritas masyarakat lain.
Kegiatan mendominasi tersebut dengan menggiring
pemikiran mayoritas melalui diskursus dan pewacanaan.

229
Permainan otoritas dapat dilakukan oleh kelembagaan adat
melalui forum tiga tali sepilin yang dalam masyarakat
dipandang memiliki keistimewaan dan kuasa.
Dalam kasus larangan duduk bersanding saat akad
nikah dan penistaan asma Allah, lembaga adat sedang
menggiring pemikiran khalayak kepada kebenaran
individual miliknya. Pengetahuan baru sedang diproduksi
menjadi satu kebenaran dengan kekuasaan dan kekayaan,
dan halayak sedang ‗dibimbing‘ untuk mengikuti kebenaran
yang telah ditetapkan tersebut. Begitupula yang dilakukan
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kementerian
agama-pun dalam konteks ini sedang terlibat, baik sebagai
bagian pihak yang memproduksi wacana dan pemahaman
maupun mungkin korban dari wacana yang sedang
dikembangkan oleh otoritas yang lebih mendominasi
daripada organisasi tersebut.
Perasaan semacam ini yang tanpa disadari ini oleh
Gramsci melahirkan hegemoni kelompok kepada kelompok
lain dengan mengatasnamakan kepentingan politik, agama
atau adat. Melalui ini kekuasaan akan dapat dipertahankan
dalam jangka waktu lama bahkan permanen (abadan),
namun untuk merealisasikannya dibutuhkan minimal dua
piranti.379 Pertama, piranti kerja yang mampu melakukan
tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata
lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang
bernuansa law enforcemant. Piranti kerja yang biasanya
dipraktikkan oleh pranata negara (bilad) melalui lembaga
seperti; peradilan, hukum, militer, polisi dan bahkan
penjara. Kedua, piranti kerja untuk membujuk masyarakat
beserta pranata agar taat pada penguasa melalui kehidupan
beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga.
Piranti kerja yang dipraktikkan masyarakat sipil (civil

379Pemetaan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik


sebagai pisau analisis. Kedua suprastruktur itu, pada kenyataannya
sangat diperlukan, satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa
kedua level itu sangat diperlukan bisa dilihat dengan gamblang dalam
konsepsi tentang negara yang lebih luas, dimana ia tunjuk sebagai
―negara integral‖ meliputi tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga
msyarakat politik yang didefinisikan negara = masyarakat politik +
masyarakat sipil. Lihat Roger Simon, Gramsci‘s ..., 99-100.

230
society) melalui lembaga masyarakat seperti; majelis ulama,
lembaga adat, organisasi sosial-keagamaan, dan sebagainya.
Dengan demikian, praktik semacam ini bentuk lain
dari dominasi simbolik atau penindasan dengan
menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak
dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang
secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan
tersebut mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas
itu sendiri. Praktik penindasan juga dapat terjadi pada
seorang istri yang tidak dapat membela diri, meski
dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar,
telah menerima statusnya sebagai yang tertindas. 380 Namun
konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat
dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon.
Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan
mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-
orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi
mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol
kekuasaan secara nyata.
Setiap sistem simbol memiliki kekuatan untuk
memberikan pemaknaan bagi realitas sosial, sebagai produk
perjuangan agen (individu, kelompok, institusi) dalam
mendapatkan modal dalam sebuah ranah tertentu. Ranah
tersebut merupakan arena sosial (field) yang di dalamnya
terdapat berbagai macam tindakan agen untuk
memperebutkan sumber pertaruhan dengan akses terbatas.
Arena dalam ranah, seperti dikatakan Bourdieu merupakan
ruang sosial yang terstruktur, terorganisir hierarkis, dan
menciptakan ketidaksetaraan objektif dalam
pendistribusian berbagai modal sekaligus spasial bagi
dominasi dan resistensi yang terkait secara relasional
dengan yang lain. Lewat proses pencitraan, sistem simbol
memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna,
menggiring cara pandang, hingga memengaruhi praktik
seseorang maupun kelompok.
Contoh, kekuasaan Keraton Yogyakarta dengan sosok
Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai simbol kekuasaan di

380Pierre Bourdieu, Mengungkap Kuasa ..., 21-22.

231
masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung
rakyatnya, Sri Sultan sebagai simbol kekuasaan kerajaan
sangat dikagumi dan diakui kharismanya oleh masyarakat.
Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat
Yogyakarta, tanpa memberikan perintah sudah dengan
sendirinya masyarakat Yogyakarta hidup tertib, aman,
nyaman.
Contoh lainnya budaya ―Patriarki‖ atau kedudukan
perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam adat
budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu
menjadi subordinat dari laki–laki dalam berbagai hal. Posisi
subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami
dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga
sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada
dibawah laki–laki. Seaktif apapun peranan perempuan di
luar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis,
hukum, maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap
kedudukan perempuan menjadi istri rumah tangga, laki-laki
yang menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi kebiasaan
dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi
perempuan untuk melakukan tugas laki–laki, termasuk
dalam terjun dalam arena politik.

F. Kontribusi Syarak, Adat Kelembagaan Adat dalam


Ruang Agama, Sosial, dan Politik Kontemporer
Struktur masyarakat manapun pada awalnya berada dalam
ketidak-seimbangan, minimal terjadi dominasi antara yang
satu dengan lainnya. Kenyataan ini yang diungkap oleh
Roscoe Pound, oleh karenanya perlu penataan ulang hukum
agar aplikatif dan melingkupi semua kepentingan. Hukum
dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social
Engineering), karena berfungsi menata perubahan dan
kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kepentingan
dimaksud meliputi tiga aspek yaitu; umum, sosial dan
pribadi. Pertama kepentingan umum, yaitu kepentingan
negara sebagai badan hukum dan sebagai penjaga
kepentingan sosial. Kedua kepentingan sosial, yaitu
kepentingan yang terkait dengan keamanan umum, institusi

232
sosial, moral umum, pengamanan sumber daya sosial,
kemajuan sosial, dan kehidupan individual. Ketiga
kepentingan pribadi/individual, yaitu kepentingan yang
terkait dengan integritas dan privasi, internal
keluarga/domestik, dan perlindungan hak milik serta
kebebasan melakukan transaksi dan komunikasi dengan
orang lain.381
Perubahan dalam struktur masyarakat seiring
dengan bermunculannya kasus-kasus hukum baru
setidaknya disebabkan beberapa faktor, antara lain:
perubahan situasi, perubahan anggota kelompok dan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam situasi sosial dan
ekonomi. Kenyataan ini beralasan mengingat dinamika
masyarakat yang sering melahirkan persoalan-persoalan
baru. Untuk mencari solusi terhadap persoalan yang
dihadapi setidaknya ada dua hal yang harus dipahami.
Pertama, problema yang dihadapi telah dinyatakan tegas
status hukumnya melalui sumber formal atau non-formal.
Kedua, seberapa epektif penyelesaian problema tersebut
atau sanksi yang dijatuhkan sudahkah memberi epek jera
bagi pelaku, begitupula kepatuhan menjalani sanksi dan
implikasi setelahnya.
Pada kategori kedua inilah kelembagaan adat
memegang peran signifikan dan diharapkan mampu
memberikan jawaban dan menyelesaikan persoalan hukum
yang dihadapi umat Islam. Terlebih hukum yang berlaku di
Indonesia selama ini umumnya merupakan hukum warisan
kolonial Belanda, oleh A Qodri Azizi disebut hukum yang
dalam kajian ke-Indonesiaan kontemporer sebagai hukum
yang telah mati. Hukum masa depan adalah merupakan
perwujudan eklektisisme dalam ilmu hukum dan pengaruh
globalisasi yang selalu terjadi dan berkembang. Hampir
mustahil saat ini sebuah negara dapat lepas dari pengaruh
dunia Barat, namun demikian adat merupakan hukum yang
hidup di masyarakat (customary law).382

381Bernard L. Tanya., dkk, Teori Hukum .., 140-141.


382A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum ..., 175-176

233
Banyaknya problem yang dihadapi bangsa ini pada
skala nasional maupun lokal yang sulit terselesaikan ketika
hanya mengandalkan salah satu elemen dalam satu wilayah
bahkan negara. Pada skala nasional, kasus yang melibatkan
Basuki Cahaya Purnama (Ahok) mengguncang stabilitas
politik nasional tidak hanya sejak diunggah oleh Bunyamin
melalui Media Sosial tetapi diprediksi akan terus berlanjut
sampai suksesi kepemimpinan nasional ke depan. Belum
lagi, bagaimana perekrutan kelompok teroris yang
melakukan berbagai pengeboman di Indonesia yang
dihubungkan dengan aksi teroris ISIS yang berpusat di
Sirya. Konflik sosial yang cenderung berbau SARA di
berbagai daerah seperti Poso, Ambon, Sampit, dan lainnya.
Belum lagi penumpukan kasus yang tidak terselesaikan oleh
Mahkamah Agung.383
Pada tingkat lokal menurut penulis ada banyak
persoalan sosial-agama lokal yang belum terselesaikan
bahkan belum tersentuh sama sekali oleh pemerintah
daerah, kalangan ulama dan tokoh adat di Jambi, seperti:
maraknya penambang emas tambang illegal (PETI), konflik
tanah wilayat (tanah adat) antara perseroan terbatas (PT)
dengan masyarakat, perselingkuhan, prostitusi,
pembakaran hutan milik negara maupun masyarakat
(karhutla), penghianatan terhadap komitmen oleh kepala
daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat, peredaran
narkoba dan sebagainya.
Langkah strategis yang harus dilakukan. Pertama,
menelisik problema yang dinyatakan dengan tegas status
hukumnya melalui sumber formal atau non-formal atau
tidak. Kedua, seberapa epektif penyelesaian problema
tersebut atau sanksi yang dijatuhkan sudahkah memberi
epek jera bagi pelaku, begitupula kepatuhan menjalani

383Detik News Jumat (29\/10\/2010) melansir berita tentang


kerepotan pihak Mahkamah Agung (MA) dalam menyelesaikan kasus-
kasus yang mereka hadapi, penumpukan ini bukan tanpa upaya
penyelesaian banyak yang telah dilakukan, namun menurut pengakuan
Ketua MA Harifin Tumpa hasilnya tetap belum optimal. Ditambahkan
Ketua MA yang baru Hatta Ali pada tahun 2016 sebanyak 2 juta perkara
yang dapat dilihat di direktorat putusan. Ini di dunia terbanyak yang
sampai 2 juta lebih Rabu (28/12/2016).

234
sanksi dan implikasi setelahnya. Kenyataan seperti ini
sebenarnya sejalan dengan frame work politik hukum itu
sendiri, berupa pembangunan hukum yang berintikan
perbuatan dan pembaharuan terhadap materi hukum agar
sesuai dengan kebutuhan dan implementasi hukum yang
telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga.384 Selain itu,
dari perspektif formal eksistensi hukum tentunya tidak
hanya terkait erat dengan kebijakan hukum dan rumusan
produk hukum melainkan dapat juga dilihat dari kronologis,
setting sosial politik yang melatar-belakangi lahirnya legal
policy tersebut.
Begitupula yang terjadi di Jambi manakala terjadi
tarik menarik antara politik, hukum dan adat maka
hukumlah yang terpengaruh oleh politik karena sub sistem
politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar
daripada hukum. Jika terjadi benturan maka hukum berada
pada pihak yang lemah. Politik sering mengintervensi
hukum apakah hukum agama (hukum Islam) ataupun
hukum adat. Diskriminasi politik terhadap hukum
bermuara pada tujuan atau kepentingan tertentu, baik
sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, sarana
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, atau sarana untuk
memfasilitasi proses rekayasa sosial (social engeenering).
Meski demikian, terjadi subordinasi internal dan
eksternal kelembagaan adat Melayu Jambi, pemerintahan
yang mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali
sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konflik
vertikal-horizontal. Menurut Jimly Asshiddiqie sebenarnya
kebudayaan Melayu telah memainkan peran dominan dalam
kebudayaan Nusantara. Sebelum pergerakan kemerdekaan,
bahasa, kebudayaan, serta adat Melayu telah berkembang
menjadi identitas dan entitas budaya bangsa Indonesia.
Bahkan sejak Sriwijaya, bahasa Melayu telah diterima
sebagai bahasa Nusantara dari Sabang sampai Merauke.385

384M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES,


1998), 9.
385Jimly Asshiddiqie, Peranan Adat Melayu dalam Membangun

Identitas Budaya dan Upaya Pembinaan Karakter Bangsa, Makalah

235
Menurut Clifford Geertz kebudayaan Melayu
digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak
perkotaan dan kegiatannya adalah perdagangan dan
kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang hubungan Islam
melayu diperoleh dari makam-makam kuno bertulis huruf
Arab dan huruf Melayu tentang ketokohan raja-raja atau
sultan melayu di berbagai wilayah nusantara. Fenomena
yang merupakan usaha legitimasi raja-raja melayu Islam ini
memberikan indikasi bahwa Islam telah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat melayu.386
Terlebih dengan lahirnya aturan yang memberikan
legitimasi yang kuat terhadap berlakunya adat pada
masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang-
undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa
daerah eksekutif maupun legislatif mendesain model
peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal. Putusan yang
lahir melalui musyawarah tali tiga sepilin dinilai bijak dan
adil demi meminimalisir konflik lanjutan dari korban
maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat
kesadaran dan kebersamaan. Lembaga-lembaga sosial
seperti lembaga pendidikan maupun agama menjadi sarana
strategis sekaligus mesin epektif dalam menjalankan
operasi penundukan tersebut.
Hal ini menjadikan kesadaran yang terbangun tidak
lebih sebagai kontrol simbolik terhadap kemungkinan
penyelewengan ataupun pengingkaran terhadap dominasi
kekuasaan. Aspek kritis yang berada dalam sistem kognitif
individu, sosial, maupun kolektif diredam, dan dibatasi
sehingga seolah-olah setiap pernyataan kritis yang bersifat
evaluatif terhadap kekuasaan menjadi asing dan kehilangan
maknanya. Hegemoni yang dilakukan kekuasaan telah
meniadakan kreativitas berpikir yang berwujud pada sikap
kritis menjadi sekedar pernyataan dan tindakan tanpa
pengaruh, karena tidak sesuai dengan nilai, carapikir yang
dipahami bersama yang sebenarnya ilusif.

disampaikan pada Musyawarah Besar VI Lembaga Adat Melayu,


Pekanbaru: 14 Februari 2012.
386Clifford Geertz, Local Knowledge, Further Essays in Interpretive

Anthropology, (New York, Basic Books. Inc. Publisher, 1983), 98.

236
Contoh konkret yang bisa dilihat disini mulai
memudarnya kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air
dan pelbagai hasilnya karena adanya dorongan yang kuat
dari kapitalisme global. Akibatnya, terasa lebih bangga
menjadi konsumen barang-barang impor daripada tampil
sebagai bangsa yang memproduksi atau menggunakan
produk-produk dalam negeri. Selain itu ada dorongan untuk
tampil lebih percaya diri bila mengikuti icon-icon budaya
populer dalam berpakaian, berkomunikasi dibandingkan
tampil apa adanya serta bicara dengan bahasa resmi dan
sewajarnya.
Selain itu, rasa asketis berlebihan terhadap suatu
nilai keyakinan yang dipercayai dengan membedakan diri
dari yang lain melalui simbol yang dikenakan, seolah-olah
menjalankan misi suci (mission sacre) namun tetap
terindividualisasikan, terlepas dari tanggungjawab
sosialnya bahwa persoalan kemiskinan, menegakkan
kemashalatan bagi orang banyak seolah-olah bukan
tanggungjawabnya, meskipun setiap keyakinan
mengharuskan para pengikut-pengikutnya untuk
merealisasikan kewajiban-kewajiban sosial tersebut. Dalam
kaitan politik, kekuasaan tiga unsur yang berada pada
tingkat terendah dalam struktur pemerintahan yaitu
pemerintahan desa dalam setiap wilayah di daerah Jambi,
disimbolkan dengan kekuasaan tiga tali sepilin. Tiga
kekuasaan yang terdiri dari; pemerintahan desa desa,
pegawai syarak dan pemangku adat.
Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan
pelembagaan (institusionalisasi), diawali oleh proses
eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga
terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian
menghasilkan pembiasaan (habitus). Habitus yang
berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi.
Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke
generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah terdapat
peranan tokoh agama dan adat di dalam tatanan
kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan
pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman
tersebut. Artinya, mempresentasikan tatanan kelembagaan

237
atau lebih jelasnya; pelaksanaan peran sebagai representasi
diri sendiri. Peran dalam mempresentasikan suatu
keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya
peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor
hukum.387
Pemerintahan yang mengaplikasikan sistem
pemerintahan model tiga tali sepilin dinilai kuat dalam
upaya meminimalisir konplik vertikal maupun horizontal.
Terlebih dengan lahirnya undang-undang yang memberikan
legitimasi yang kuat terhadap berlakunya hukum adat pada
masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang-
undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa
daerah eksekutif maupun legislatif mendesain model
peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal. Putusan yang
lahir melalui musyawarah tali tiga sepilin dinilai bijak dan
adil demi meminimalisir konplik lanjutan dari korban
maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat
kesadaran dan kebersamaan. Lembaga-lembaga social
seperti lembaga pendidikan maupun agama menjadi sarana
strategis sekaligus mesin efektif dalam menjalankan operasi
penundukkan tersebut.
Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai kearifan lokal
(local wisdom) merupakan fenomena menarik di berbagai
daerah Indonesia, yang berpijak pada norma agama dan
adat. Dalam konteks kesatuan masyarakat Me layu,
umumnya norma adat dikonsepsi dalam kepaduan dengan
norma agama, yaitu Islam. Maka falsafah ―Adat bersendi

387Sebagian daerah mengeluarkan peraturan daerah secara parsial

untuk tema-tema tertentu, namun ada juga yang membuat kebijakan


reinvensi nilai-nilai lokal sebagai sebuah sistem adat seperti masa lalu.
Pendekatan yang digunakan masing-masing daerah juga berbeda, antara
pendekatan struktural dan pendekatan substansial. Contoh pendekatan
struktural yang cukup fenomenal dalam mengembalikan sistem adat di
Era Reformasi sebagaimana di Sumatera Barat melalui Gerakan Kembali
ke Nagari-nya. Pada tahun 2000, dua tahun setelah reformasi, Sumatera
Barat segera meresmikan kembalinya sistem pemerintahan Nagari di
Sumatera Barat melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Pokok Pemerintahan Nagari. Pendekatan struktural yang digunakan
karena gerakan ini lebih menonjolkan pada pengaktifan kembali struktur
adat, ketimbang mengawalinya dengan penanaman kembali nilai-nilai
adat (tradisi).

238
syarak, Syarak bersendi kitabullah‖ yang berarti adat
berdasarkan syariat dan syariat berdasarkan Kitabullah (al-
Qur‘an), tidak asing bagi masyarakat Mela yu Jambi.
Upaya-upaya sejenis juga terjadi di Provinsi Jambi,
sebagaimana diuraikan di atas karakteristik Melayu-Islam
saat ini mulai tercerabut dari kehidupan masyarakat Jambi.
Realitas sosial dalam kelompok masyarakat, selalu ada
upaya pengendalian sosial (social control) terhadap perilaku
masyarakat. JS Roucek dalam Wulansari mengatakan
pengendalian sosial merupakan seluruh proses baik yang
direncanakan, bersifat mendidik, mengajak bahkan
memaksa warga masyarakat agar patuh pada nilai dan
kaidah kemasyarakatan yang berlaku, dimana menurut
Soekanto proses tersebut dapat dilakukan oleh satu
kelompok terhadap kelompok lainnya.
Upaya-upaya pengendalian sosial seringkali
dikaitkan tidak hanya dengan hukum positif melainkan juga
dengan hukum adat yang mengandung nilai-nilai kearifan
lokal. Sebagai sebuah tatanan nilai yang tumbuh dan
mengakar pada kehidupan masyarakat secara turun-
temurun, hukum adat diyakini memiliki kekuatan kontrol
yang lebih kuat dalam masyarakatnya. Kecenderungan ini
juga terjadi di Provinsi Jambi bahkan sejak awal tahun
1990-an dan semakin masif setelah reformasi yang
semangatnya mengembalikan hak-hak asal-usul daerah.
Studi sejarah memperlihatkan ketika masyarakat
menghadapi kerumitan sosial, ekonomi, politik, konflik
agama, dan lain-lain, banyak bangsa yang menemukan
solusi dari tradisi. Membangun tradisi berarti membangun
seperangkat institusi adat yang pernah berfungsi dalam
memenuhi kebutuhan sosial-politik pada masa tertentu
yang terus-menerus direvisi sesuai dengan perubahan
kebutuhan. Kebudayaan berfungsi sebagai kontrol dan
hampir semua unsur kebudayaan bertranformasi, ada yang
gugur dan munculnya yang baru, meski terkadang yang
gugur dapat muncul kembali dengan interpretasi baru.
Craig J. Calchoon dan AJ Francis menyebutkan ―individu

239
yang lahir di tengah masyarakat tidak menciptakan
kulturnya sendiri, tetapi dibentuk kultur lingkungannya. 388
Secara sosiologis kelembagaan adat tidak hanya
mampu memadukan dua sistem hukum yaitu adat dan
syarak, namun juga berhasil memadukan dua kekuatan
dalam masyarakat Melayu ketika itu yaitu masyarakat
Aristokrat dan Komunal.389 Masyarakat Aristokrat adalah
golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan
terhormat seperti raja dan keturunannya, pejabat kerajaan,
dan pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial.
Sedangkan Masyarakat Komunal adalah kelompok yang
memiliki perasaan atau sentimen bersama berdasarkan
ikatan kedaerahan, loyal, satu darah, dan asal-usul
keturunan, kekerabatan, dan kepercayaan terhadap
keyakinan batin tertentu. Keduanya menyatu dalam satu
institusi yang dikenal dengan kelembagaan adat.
Secara politis, kelembaganaan adat mampu
mengkolaborasikan dua sistem pemerintahan yaitu
Tumenggung dan Perpatih. Pemerintahan yang
mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali
sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konflik
vertikal maupun horizontal. Terlebih dengan lahirnya
undang-undang yang memberikan legitimasi berlakunya
hukum adat pada masyarakat hukum adat di beberapa
daerah dan undang-undang otonomisasi yang memberi
ruang bagi penguasa daerah baik eksekutif maupun
legislatif mendesain model peraturan lokal berdasarkan
kearifan lokal (local wisdom). Putusan yang lahir melalui
kerapatan adat dinilai bijak dan adil demi meminimalisir
konflik lanjutan dari korban maupun pelaku, sehingga
ditaati dengan semangat kesadaran dan kebersamaan.
Adapun aspek agama, secara internal keberadaan
kelembagaan adat selama ini mampu menjadi penengah
berbagai persoalan keumatan dan kemasyarakatan bahkan
kenegaraan serta untuk keberlangsungan adat diperlukan

388Craig J. Calchoon and Francis A.J., The Anthropological Study of

Education, (Paris: The Hague Movton Publisher, 1976), 12.


389Yusron Razak, Sosiologi sebuah Pengantar: Tujuan Pemikiran

Sosiologi Perspektif Islam, (Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008), 77.

240
lembaga yang secara khusus mengelola aturan adat sesuai
tuntutan masyarakat agama maupun masyarakat adat.
Sedangkan secara eksternal pemerintah manapun
membutuhkan kekuatan agama dan kekuatan sosial sebagai
penopang kekuatannya dalam rangka mensukseskan
pembangunan, kedua kekuatan tersebut ada dalam
kelembagaan adat. Dengan demikian, model penyelesaian
kasus politik, sosial dan agama melalui kelembagaan
dianggap ideal karena melibatkan seluruh komponen
refresentasi dari pemerintah, agama dan adat. Meski berada
dalam subordinasi bahkan dominasi, institusi ini terbukti
mampu meredam berbagai konflik vertikal maupun
horizontal.
Lebih jauh, keberadaan sekaligus pengalaman
kelembagaan adat Jambi mampu ―mendamaikan‖ dua
sistem hukum yaitu syarak dengan adat dapat dikatakan
sukses. Meski pada kenyataannya pluralitas hukum rakyat
yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham
partikularisme pada kerajaan Melayu tidaklah mudah
diteruskan pada masa kerajaan Islam Melayu, kolonial,
kemerdekaan hingga saat ini.

241
8 Penutup

A. Kesimpulan
Berpijak pada uraian mengenai kons truksi syarak dan adat
(mengungkap kuasa simbolik kelembagaan adat Melayu
Jambi), maka ada beberapa poin penting yang menjadi
kesimpulan disertasi ini.
Pertama, proses adaptasi syarak dengan adat di
Jambi berlangsung damai sejak kedatangan Islam,
terjadinya perkawinan dengan penguasa lokal dan integrasi
antar keduanya. Akselerasi perkembangan Islam yang
spektakuler dan merata di seluruh wilayah Jambi
dikarenakan Islam masuk melalui sistem hukum dan sistem
pemerintahan. Syarak sebagai produk hukum yang datang
pasca pembentukan aturan adat beradaptasi dengan budaya
lokal serta kondisi sosial sekitarnya. Syarak dipersepsikan
oleh masyarakat Melayu Jambi sebagai sumber hukum
teologis karena mengandung pesan Allah dan Rasul-Nya,
bersifat universal, absolut, dan abadi. Sementara adat
sebagai pola tutur, pola pikir dan pola tindak yang berkaitan
dengan etika, hukum dan kebiasaan yang dilakukan oleh
masyarakat. Oleh karenanya, keduanya dapat diterima
sebagai aturan yang menjadi pegangan masyarakat Melayu
Jambi hingga saat ini, meskipun dalam penerapannya
berbeda berdasarkan peta wilayah Barat/Hulu dan Timur
Hilir.
Kedua, sistem hukum dan sistem pemerintahan yang
dikonstruksi dan dipraktikkan oleh masyarakat Melayu
Jambi pada awalnya dipengaruhi oleh Islam dan adat lokal,
atas gagasan Ahmad Kamil keduanya dinegosiasikan
sedemikian rupa melalui dua kali Rapat Besar Adat (RBA)
melalui konvensi sebagaimana tertuang dalam adagium
―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah dan

242
Undang datang dari Hulu, Teliti dari Hilir― sehingga
lahirlah konfigurasi hukum dan pemerintahan baru yaitu
Undang Adat Jambi dan Pemerintahan Adat Melayu Jambi.
Sejak saat itu tugas memverifikasi, memodifikasi dan
memproduksi hukum dibebankan kepada kelembagaan
adat, yang berganti nama mulai dari kerapatan adat,
lembaga adat Provinsi Jambi dan lembaga adat Melayu
Jambi, perubahan nama tersebut berimplikasi pada
perubahan nomenklatur. Upaya unifikasi sistem hukum dan
sistem pemerintahan melalui kelembagaan adat secara
substantif tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam.
Ketiga, kelembagaan adat Melayu Jambi
merepresentasikan kepentingan politik, agama dan adat
sebagai penyedia modal politik, religius dan kultural yang
memungkinkannya menjadi arena subordinasi kuasa antar
kelompok di dalam atau di luarnya untuk memperebutkan
legitimasi, posisi dan disposisi dengan mensubordinasi
kelompok lain sehingga menjadi habitus. Meskipun
subordinasi tersebut ini tidak melahirkan konflik seperti
terjadi di daerah lain, yang terjadi justru hanya hegemoni
atau dominasi.
Keempat, kelembagaan adat sejak awal merupakan
institusi yang sangat berjasa dalam membumikan syarak
dan memadukan syarak dengan adat dan hinggga saat ini
menjadi patron masyarakat Melayu Jambi karena dianggap
mampu memenuhi rasa nyaman dan rasa keadilan
masyarakat dalam penyelesaian kasus hukum (perdata dan
pidana), sosial dan agama. Selain itu, kelembagaan adat
diakui sebagai institusi non-formal yang memproduksi dan
mereproduksi hukum meski ada institusi lain yang
menangani persoalan yang sama sekaligus menjadi salah
satu alasan dapat menjadi potret ideal bagi daerah maupun
pusat dalam menyelesaikan persoalan kekinian bidang
agama, sosial, politik, dan budaya yang dihadapi bangsa ini.

243
B. Implikasi
Ada beberapa implikasi dari kesimpulan sebagaimana di
atas. Pertama, pembentukan teks hukum dalam konteks apa
pun tentunya tidak terlepas dari kondisi dan keinginan dari
penguasa, kelompok tertentu (agama/adat) atau masyarakat
yang berkepentingan secara politis, sosial dan agamis
dengan eksistensi hukum tersebut. Dengan kata lain,
muatan teks, nilai atau konstruksi hukum yang lahir
ditentukan oleh seberapa besar power, kebijakan, dan
pengaruh kelompok yang menginginkan hukum itu
terbentuk. Kedua, hukum tetap berlaku selama adresat
hukum (user) merasa masih nyaman dan perlu
mempertahankannya. Ketiga, eksistensi kelembagaan
dianggap penting meski perlu mereformulasi paradigmanya
untuk disesuaikan dengan kepentingan stakeholders yang
menaungi berbagai kepentingan tanpa sekat aliran, eknik
dan agama sehingga dapat berlaku universal. Keempat,
perlu reformulasi nomenklatur pegawai syarak agar
produksi dan reproduksi hukum sejalan dengan prinsip
syariat Islam. Kelima, bagi para pakar sejarah dan sosiologi,
disertasi ini memberi refleksi betapa konstruksi hukum
adalah bagian inheren kekuasaan dan peristiwa masa lalu
serta selalu berada dalam setiap hierarki sosial masyarakat.

C. Rekomendasi
Buku ini tentu saja tidak lepas dari berbagai kelemahan
teoretis dan empiris. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi
yang dapat diberikan. Pertama, pemerintah daerah Jambi
perlu mengkaji dan merekonstruksi paradigma dan
nomenklatur aturan adat yang merupakan warisan
penguasa, ulama dan tokoh adat terdahulu untuk
disesuaikan dengan kondisi saat ini sehingga mendapat
legalisasi dan berkontribusi terhadap hukum lokal maupun
nasional.
Kedua, eksistensi kelembagaan adat dapat dijadikan
prototipe kepemimpinan dan penyelesaian kasus serta
sampai kapanpun dipandang penting bahkan amat penting
sebagai perekat kepentingan tiga tali sepilin yaitu penguasa,

244
agama dan adat. Selain itu, sebagai perekat dari sekat etnik,
agama, budaya agar bangsa Indonesaia terhindar dari
kemungkinan disintegrasi.
Ketiga, dibutuhkan studi lebih lanjut terhadap
konstruksi politik dalam memproduksi dan mereproduksi
adat dan syarak di Jambi dengan lokasi penelitian yang
jauh lebih luas dibanding yang sudah dilakukan buku ini.
Keempat, diharapkan muncul suatu riset yang berusaha
melihat relasi kuasa bukan hanya di level kelembagaan
adat, tetapi juga di level pemerintahan pusat dan penguasa-
penguasa grassroot, seperti kepala dusun, kepala desa, atau
di beberapa komunitas agama dan adat.

245
Daftar Pustaka

Tim Penyusun Kemenag RI. al-Qur‘an dan Terjemahnya.


Jakarta: Binbaga Islam, 1990.
‗Ullah, Muhammed. The Muslim Law of Marriage. New
Delhi: Kitab Bhavan, 1986.
A.A. Fyzee. Outlines of Muhammadan Law. London: Oxford
University Press, 1949.
Abdi, Fathuddin, dkk.. Undang-undang Adat Batanghari.
Muara Bulian: Lembaga Adat Melayu Batanghari,
2010.
Abdillah, Masykuri. ―Kiprah Ulama dalam Kehidupan
Masyarakat dan Negara Dewasa ini‖, dalam Mimbar
Agama dan Budaya. Jakarta, IAIN Syarif
Hidayatullah, 1999.
Abdullah, M. Amin. ―al-Ta‘wiîl al-‗Ilm: Ke Arah Perubahan
Paradigma Penafsiran Kitab Suci‖ Jurnal Al-
Jami‘ah, Vol. 39 No. 2 July-Desember 2001, 379-386.
Abdullah, Raden. Kenang-kenangan Jambi nan Betuah.
Jambi: ttp., 1970.
Abdullah, Sulaiman. Agama dan Adat Masyarakat Jambi.
Jambi: LAM Jambi, 2010.
Abdullah, Taufik. ―Adat and Islam: An Examination of
Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesia, Volume
2 Oktober 1966.
Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan
Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987.
Abdurrahman, Dudung. ―Metode Penelitian Sejarah‖.
Jakarta: Logos, 1999.
Abid, M. Husnul. ―Kontestasi Kemelayuan: Islam
Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas
Melayu Jambi‖, dalam Muhammad Iqbal Ahnaf
Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia
Kontesatasi dan Koeksistensi. Yogyakarta: Center for
Religious and Cross-cultural Studies/CRCS UGM,
2015.

246
Abu Husain. al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-
Kutub al-Alamiyah, 1975.
Ahmad, Imam. Hadis No-23064.Beirut: ar-Risalah, t.th.
Al-Amidi, Saifuddin. al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Kairo:
Muassasah al-Halabî, 1967, I.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh Shahih al-
Bukhârî. V. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Al-Attas, Naguib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu. Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan
Melayu, 1972.
Al-Bâjûri, Ibrâhîm. Hâsyiah al-Bâjûrî. Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-
Turâs| al-‗Arabi, 1426 H, II.
Al-Bukhari, Imam. Shahîh al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Fikr,
1981.
al-Bukhari. Imam. Al-Jami‘ ash-Shahîh. hadis No 5142. VII.
Kairo: Mathba‘ah as-Salafiyah, t.th.
Al-Fikri, Albert. Diskursus Hukum Kewarisan ‗an-tarâd}in
(Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik
dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi), 2015.
Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Musytaşfâ fi ‗Ilm al-Ushûl, I.
Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1983.
Al-Hadrami, ‗Abd ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun.
Muqaddimah, terj. Ahmadie, cet-10. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2011.
Ali Haidar. Durar al-Hukkâm: Syarh al-Majallah al-Ahkâm,
I. Beirut: al-kutub al-‗Alamiyah, t.th.
Ali, Ahmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk
Interpretasi Undang-undang (legisprudence).
Jakarta: Kencana, 2009.
Ali, M. Daud. Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum
di Indonesia. Jakarta: Risalah, 1984.
Ali, M. Daud. Penerapan Hukum Islam dalam Negara
Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum pada
Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, 17 Mei 1995.
Al-Jurjanîy, Ali ibn Muhammad al-Sayyîd al-Syarif. al-
Ta‘rifât. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

247
Al-Manzur, Ibnu. Lisân al-Arab. Jil. XIII. Beirut: Dar al-
Shadr, t.th.
Al-Muhandis Zakaria Hasyim. al-Mustasyriqîn al-Islâm.
Kairo: Maktabah Darul Ma‘arif, 1965.
Al-Ris, Muhammad Diya al-Din. an-Nazariyyah al-Siyasah
al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-MA‘arif, 1967.
Al-Sarkhisi. Al-Mabsûth. XII. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas;
Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman.
Bandung; Mizan, 1989.
Andaya, Barbara Watson. ―Upstreams and Downstreams in
Early Modern Sumatera‖, dalam The Historian, 57,
III, 1995.
Anonim. Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11
tentang Sumatera Tengah, (Jakarta: Kemenpen RI,
1964).
Anonim. Kementerian Penerangan Republik Indonesia No.
11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954.
Arifin, Bustanul. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia.
Jakarta: PP IKAHA, 1994.
Arikunto, Suharsimi. Metodologi Penulisan. Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.
Arsyad, Kemas. Adat dan Budaya Jambi: Menelisik Akar
Sejarah Jambi. Jambi: Diknas Prov. Jambi, 1995.
Asnawi AB. Kedudukan Adat Dalam Rangka Menunjang
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jambi,
Pemprov Jambi, 2010.
As-San‘ani, Muhammad bin Ismâ‘îl bin al-Amîr al-Yamani.
Subul as-Salâm Syarh Bulûg al-Marâm min Adillah
al-Ahkâm III. Kairo: Dar al-Hadîs, 1428 H.
Asshiddiqie, Jimly. ―Peranan Adat Melayu dalam
Membangun Identitas Budaya dan Upaya
Pembinaan Karakter Bangsa‖ Makalah disampaikan
pada Musyawarah Besar VI Lembaga Adat Melayu,
Pekanbaru: 14 Februari 2012.
As-Suyuti, Jalaluddin. al-Asbâh wa al-Nazâ‘ir fi al-Furû‘.
Semarang: Toha Putra, t.th.

248
Asy-Syafi‘i, Imam. al-Umm. VI. T. Tp: Dar al-Wafa‘ li al-
Thoba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 2001.
Asy-Syâţibî, Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ. al-Muwâfaqât fî
Uşûl asy-Syarî‘ah, II. Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973.
Azizi, A. Qodri. Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi
Antara Syarakdan Hukum Umum. Yogyakarta:
Gama Media, 2002.
Azra, Azyumardi. ―Historiografi Kontemporer Indonesia‖,
dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Mu‘arif
Ambong (ed), Panggung Sejarah. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1999.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Azra, Azyumardi. ―Kajian Naskah Keagamaan Islamisasi
Nusantara: Penilaian Ulang‖, Jurnal Lektur
Keagamaan Vol.9. No. 1 Juni 2011.
Bafadhal, Syekh HMO., ―Pengungkapan Sejarah Islam di
Indonesia‖, disampaikan pada Pra Seminar
Nasional Masuk dan Berkembangnya Islam di
Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi.
Basarshah, Luckman Sinar. ―Perkembangan Islam di
Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur‖.
http:/www. Kerajaan Nusantara.com/id /kesultanan-
Serdang/article/117-Perkembangan-Islam-di-
Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur.
Diakses tanggal 12 Oktober 2016.
Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama,
Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan,
2005.
Basyari, Azra‘i. Adat Budaya Jambi. Jambi: LAM, 2005.
Basyir, Herman. Mengenal Adat Budaya Bumi Sepucuk
Jambi Sembilan Lurah. Jambi: LAM Provinsi
Jambi, 2005.
Becker, Gary. The Economic Approach To Human Behavior.
Chicago: University of Chicago Press, 1976.
Benda-Beckmann, Keebet Von. „Pluralisme Hukum, Sebuah
Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis―, dalam

249
Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan
Interdisipliner. Jakarta: Ford Fondation, 2006.
Bierstedt, Robert. ―Power and Progress: Essays on
Sociological Theory‖ (review), American Journal of
Sociology, Vol. 81, No. 4 (Januari, 1976).
Bolo, Andreas Doweng. dkk, Pancasila Kekuatan Pembebas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2012).
Bourdieu, Pierre. ―The Forms of Capital‖, terj. dari bahasa
Jerman oleh Richard Nice, dalam J.G. Richardson
(Ed.), Handbook for Theory and Research for the
Sociology of Education. New York: Greenwood
Press, 1986.
Bourdieu, Pierre. Outline of Theory of Practice. England:
Cambridge University Press, 1977.
Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production: Essays
on Art and Literature. Cambridge: Polity Press,
1990, diedit oleh Randal Johnson
Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice, terj. dari bahasa
Prancis oleh Richard Nice. Stanford: Stanford
University Press 1992.
Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the
Judgement of Taste, terj. dari bahasa Prancis oleh
Richard Nice, London: Routledge, 1984.
Bourdieu, Pierre. Handbook for Theory and Research for the
Sociology of Education. New York: Greenwood
Press,1986.
Bourdieu, Pierre dan Wacquant JD.. An Invitation to
Reflexive Sociology. Chicago: University Press, 1992.
Bourdieu, Pierre. Habitus X Modal + Ranah = Praktik, editor
Richard Harker: pengantar Paling Komprehensif
kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, et. al.
Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Van Bruinessen, Martin. Tradisi Menyongsong Masa Depan:
Tradisionalis Radikal. Yogyakarta: LKIS, 1997.
Budiarjo, Miriam. Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia,
1994.
Bungin, Burhan. Analisis Data Penulisan Kualitatif:
Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah

250
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
Calchoon, Craig J. and Francis A.J.. The Anthropological
Study of Education. Paris: The Hague Movton
Publisher, 1976.
Carter, April. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta: Rajawali
Press, 1979.
Coulson, N.J.. A History of Islamic Law. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1971.
Danandjaja, James. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka
Grafiti pers, 2002.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai. Cet. VI. Jakarta, LP3ES,
1994.
Dilogo, Ngebi Sutho. Alih Aksara dan Kajian Naskah
Silsilah Raja Jambi, Undang-Undang, Piagam dan
Cerita Rakyat Jambi, terj. Syamawi Darahim
et.al..Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Provinsi Jambi, 2005.
Djatmika, Rahmat. ―Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia‖,
dalam Abdurrahman Wahid, et., al, Kontroversi
Pemikiran Islam di Indonesia. Cet. I.Bandung,
Remaja Rosdakarya, 1991.
Dokumentasi Madrasah Nurul Iman, Nurul Islam,
Jauharain, dan Sa‘adatud Darain 2015.
Dutton, Yasin. Malik‘s Use of the Qur‘an in the Muwatha‘,
terj. oleh Dedi Junaedi, dengan judul: Sunnah,
Hadits dan Amal Penduduk Madinah. Jakarta:
Akademika Presindo, 1996.
El-Awa, Mohammed S.. The Place of Custom (‗Urf) in Islamic
Legal Theory. Indiana Polis: American Trust
Publications, 1973.
Elwa, Muhammad S.. On Political System of Islam. London:
Edinburg, 1983.
Eriyanto. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS, 2006.
Fahmi SY. Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika
Masyarakat Melayu Jambi. Ciputat: Pustaka
Kompas, 2014.

251
Fauzi, Fashri. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol.
Yogyakarta: Jalasutra, 2014.
Fyzee, A.A. The Outlines of Muhammadan Law. Delhi:
Idarah-I Adabiyat-I, 1981.
Foucault, Michel. Discipline and Punish; The Birth of the
Prison. Pantheon: Penguin Book, 1975.
Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. London:
Tavistock,1972.
Gajahnata, K.H.O.. Masuk dan Berkembangnya Islam di
Sumatera Selatan. Jakarta: UI Press, 1996.
Geertz, Clifford. Local Knowledge, Further Essays in
Interpretive Anthropology. New York, Basic Books.
Inc. Publisher, 1983.
Gibb, H.A.R.. Modern Trends In Islam. Chicago: The
University of Chicago, 1972.
Gobee, E. dan C. Adriaanse. Nasihat-nasihat C. Snouck
Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. XIV
Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in
Islamic Studies (INIS), 1995.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Noto Susanto.
Jakarta, UI Press, 1986.
Hadi, Samsul. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta:
Yayasan Obor, 2007.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1992.
Hakimi, Idrus. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di
Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Hallaq, Wael B.. The Impossible State: Islam, Politic, and
Modernity‘s Moral Predicament. alih bahasa Akh
Minhaji. Yogyakarta: SUKA-Press, 2015.
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Panjimas,
1984.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos, 1996.
Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maşlahah fi al-Fiqh
al-Islamîy. Kairo: Dar al-Nahdhah al-‗Arabiyyah.
Hawkes, Terence. Structuralism and Semiotics. Canada:
Routledge, 2003.
Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tinta Mas, 1973.

252
Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Timtamas,
1986.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‘an
dan Hadith, cet-2, Jakarta: Tintamas Indonesia,
1982.
Hikam, Muhammad A.S.. ―Bahasa dan Politik:
Penghampiran ―Discursive Practice‖, dalam Bahasa
dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde
Baru, Editor Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim.
Bandung : Mizan, 1996.
Hoeven, Cornelis Van Vollen. Het Adatrecht Van
Nederlandsch Indie. Leiden: E.J. Brill, 1928.
Hosen, Ibrahim, Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum
Pidana Islam, dalam Jamal D. Rahman, et. al,
Wacana Baru Fiqih Sosial; 70 Tahun Prof. Ali
Yafie. Bandung: Mizan, 1994, 33.
Hurgronye, Cristian Snouck. Islam di Hindia Belanda, terj.
S. Gunawan, Judul asli tulisan ini De Islam in
Nederlandsch Indie, Terbit dalam ―Groote
Godsdiensten‖., Seri II, No. IX. Jakarta: Bhatara,
1973.
Ian, Pulau Berhala Resmi Milik KEPRI, dalam
www.indopos.co.id, 22 Februari 2013.
Ichtiyanto. ―Pengembangan Teori Berlakunya Hukum lslam
di Indonesia‖, dalam Juhaya S. Praja, Hukum lslam
di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Jakfar, Idris. Akar Budaya Melayu Jambi. Jambi: Lembaga
Adat Melayu Jambi, 1990.
Jambi dalam Angka 2015.
Khallâf, Abd al-Wahhâb. Masâdir at-Tasyri‗ al-Islâmiy fî Ma
la Nassa Fih. Kairo: Dâr al-Fikr, 1987.
Khallâf, Abd al-Wahhâb. Abd. Wahhab, al-Siyasah al-
Syar‘iyyah, Kairo: Dar al-Ansar, 1977.
Kholif, Muchtar Agus. Kodifikasi Hukum Adat Jambi.
Jambi: Lembaga Adat Melayu (LAM), 2010.
Koesno, M.. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum.
Bandung: Mandar Maju, 1992.

253
Kuper, Adam dan Jessica. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial.
Edisi II. Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.
Jakarta: Bina Cipta, 1990.
Lakoni, Ibrahim. Adat Kepemimpinan Desa, Kampung,
Dusun, dan Pembangunan Arus Bawah Serta
Peranan Tali Tigo Sepilin. Jambi: Lembaga Adat
Melayu Jambi, 2001.
Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. Power and Society: A
Framework for Political Inquiry. Yale: Yale
University Press, 2014.
Lukito, Ratno. Islamic Law and Adat Encounter: The
Experience of Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.
Lukito, Ratno. Tradisi Hukum Indonesia. Yogyakarta:
Teras, 2008.
M.D., Mansur. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara,
1976.
Ma‘luf, Louis. al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm. Beirut:
Dar al-Masyriq, 1986.
Madjid, A. Wahab. Hukum Adat Dalam Pelaksanaan
Pemerintah di Jambi. Jambi, Lembaga Adat Melayu
Jambi, 1999.
Mahadi. Kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia
Sampai Tahun 1882. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam
Kemenag RI, 1985.
Mahmassani, Sobhi. Falsafat at-Tasyri‘al-Islamîy. Beirut:
Dar al-Kasysyaf, 1952.
Majid, Yusuf. Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau,
Sekarang dan yang Akan Datang. Jambi: Lembaga
Adat Tanah Kota Jambi, 1997.
Malik, Imam. al-Muwaththa‘. II.. Beirut: al-Maktabah al-
Tsaqafiyyah, 1414 H.
Manggis, M. Rasyid. Minangkabau; Sejarah Ringkas dan
Adatnya. Padang: Sri Dharma, 1971.
Marzali, Amri, Adat Categories in Melayu-Nusantaran
Culture, diakses tanggal 20 Januari 2017.
MD, Mahfud. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi.
Yogyakarta: Gama Media, 1999.

254
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES,
1998.
Miles, Mattew B. dan Michael Huberman. Qualitative Data
Analysis: A Source Book of New Methods. London:
Sage Publication, 1994.
Mills, Charles. The Power Elite. London: Oxford University
Press, 1956.
Minhaji, Akh. dalam ―Pemikiran dan Implementasi Hukum
Islam di Indonesia (Teori dan Respon)‖, diakses
tanggal 25 April 2016.
Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori,
Metodologi dan Implementasi. Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2013.
Minhaji, Akh. Hukum Islam antara Sakralitas dan
Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), dalam Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syari‘ah
UIN Sunan Kalijaga, 25 September 2004.
Mu‘ammar, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan. Studi Islam
Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta: IRCiSoD,
2013.
Mubarak, Jaiz. Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang
Qaul Qadîm dan Qaul Jadîd. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002.
Mudzhar, M. Atho‘. ―Pendekatan Sosiologi dalam Studi
Hukum Islam‖, dalam M. Amin Abdullah (ed),
Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Mudzhar, M. Atho‘. Pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998.
Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat, Suatu
Pengantar. Jakarta: Pradya Paramita, 1997.
Muhammad, Husein. ―Kontekstualisasi Kitab Kuning;
Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran‖ dalam
Marzuki Wahid, et. al., Pesantren Masa Depan:
Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Mulyadi, Lilik. Sistem Hukum Pemeriksaan Perkara Tindak
Pidana Korupsi Dikaji dari Perspektif Yurisprudensi

255
dan Pergeseran ―kebijakan‖ Mahkamah Agung
Republik Indonesia, diakses tanggal 10 April 2017.
Munir, M. Ied. ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi
Cuci Kampung‖, dalam "The First International
Conference on Jambi Studies": 2013.
Muslim, Imam. Şahîh Muslim, hadis No 2616 (125) juz IV.
Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muttalib, Jang A.. ―Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa
Gerakan Sosial di Jambi Pada Perempat Pertama
Abad ke 20‖, Prisma, 1980.
N.J. Coulson. A History of Islamic Law. Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1971.
Nafis, A.A.. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press,
1984.
Nasier, Haidar. Atas Nama Agama. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998.
Naskah fatwa MUI No.05/KP-MUI/II/1992 dan No.01/KP-
MUI/VI/2005
Nasrun. Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem
Sosial Di Indonesia. Yogyakarta: Fak. Sospol UGM,
1974.
Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:
Akademia Tazaffa, 2009.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012.
Nawawi. Hukum Adat Jambi. Jambi: LAM Kota Jambi,
2005.
Nawawi, Imam. al-Majmu‘: Syarh al-Muhazzab, XXII.
Jedah: Maktabah al-Irsyad, t.th.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta:
Ekalia, 1988.
Noer, Junaidi T. Mencari Jejak Sangkala Mencari Jejak
Sangkala; Mengirik Pernak Pernik Sejarah Jambi.
Jambi: Jambi Heritage, 2007.
Noer, Junaidi T. ―Sekilas tentang Sejarah dan
Peradaban/Kebudayaan Islam di Provinsi Jambi‖,
Makalah, Silaturahim Peradaban Islam Festival
Maulid Nusantara 1431 di Palu-Sulawesi Tengah.

256
Notosusanto. Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan
Agama di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada,
1963.
Peorwadarminta, W.J.S.. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta, Pustaka Pelajar, 1991.
Praja, S. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Qurtubi. al-Jami‘ al-Ahkâm al-Qur‘ân, Juz VII. Kairo: Dar
al-Kitab al-Arabiy, 1967.
Raditya, Iswara N.. Menyoal (Kembali)―Dwitunggal‖, Islam
dan Melayu Sedunia, Diakses 20 September 2016.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995.
Raharjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis
Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta:
Kompas, 2007.
Rahman, Subhan MA. Pergulatan Wacana al-Qur'an
Bergambar, dalam Laporan Penelitian Individual
Pusat Penulisan IAIN STS Jambi tahun 2007.
Rais, Amin. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta.
Bandung: Mizan, 1987.
Ramayulis. ―Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘-
Syara‘ Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat
Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama
dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau
– Sumatera Barat), diakses tanggal 21 Januari 2017.
Ramulyo, Mohd. Idris. Asas-Asas Hukum Islam Sejarah
Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum
Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Cet. 1.
Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Razak, Yusron. Sosiologi sebuah Pengantar: Tujuan
Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Tangerang:
Mitra Sejahtera, 2008.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda, terj. Ali Mandan. Jakarta: Rajagrafindo
Persada 2014.
Rodee, Carlton Clymer dkk.. Intoducton to Political Science,
terj. Zulkiply Hamid. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995.

257
Roger, Simon. Gramsci‘s Political Thought, terj. Kamdani
dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2014.
Ruslan, Ahmad. Shofwa al-Zubâd. Madinah: t.tp., 1417 H.
Sagala, Irma. ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model
Pemerintahan Adat Tiga tali sepilin di Provinsi
Jambi Pasca Reformasi‖, dalam The First
International Conference on Jambi Studies: 2013.
Salam, Syamsir. Mencari Ufuk Baru dalam Pengembangan
Masyarakat Jambi, dalam Kertas Kerja pada
Diskusi LPKS tahun 1982.
Salam, Syamsir. Perukunan Tsamaratul Insan Sebagai
Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya
Jambi. Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama
RI, 1979.
Saptenno, M.J.. Menata Kembali Hukum Adat dan
Kelembagaan Adat untuk Kedamaian dan
Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat, diakses
tanggal 10 Januari 2017.
Saudagar, Fahruddin. ―Sejarah Adat Budaya Melayu
Jambi‖, makalah disampaikan pada seminar
Mengungkap Cikal Bakal Adat Budaya Melayu
Jambi, 2014
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law. Oxford:
The Clarendon Press, 1964.
Schacht, Joseph. Origin and Development of Islamic Law.
Washington: The Middle East, 1955.
Scholten, Elisabeth Locher. Sumatran Sultanate and
Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch
Imperialism 1830-1907, terj. the Dutch by Beverley
Jackson. USA: Conell SEAP, 2004.
Sembiring, Rosnidar. Kedudukan Hukum Adat dalam Era
Reformasi, diakses tanggal 5 Januari 2016.
Sobur, Abdul Kadir. Teologi Progresif: Mengungkap Corak
Teologi dan Doktrim Aqidah Masyarakat Melayu.
disertasi 2012.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Suatu
Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat.
Jakarta: Rajawali Press, 1981.

258
Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo, 2001.
Shiddieqy, Nouruzzaman. Fiqih Indonesia Penggagas dan
Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, 65.
Sudiyat, Imam. Asas-asas Hukum: Bekal Pengantar.
Yogyakarta: Liberty, 1981.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum
(Teori dan Praktek). Bandung: Remaja Rosdakarya,
1997.
Sunarso, Ali dan Mochlasin Sofyan. Islam Doktrin dan
Konteks; Studi Islam Komprehensif. Yogyakarta:
Yayasan Ummul Qur‘an, 2006.
Sunny, Ismail. ―Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia,‖ dalam Bustanul Arifin,
Prospek Hukum Islam dalam Kerangka
Pembangunan Hukum Nasio nal di Indonesia.
Sunny, Ismail. Hukum Islam dalam Hukum Nasional.
Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987.
Suryadinata, Leo, dkk. Indonesia‘s Population: Ethnicity and
Religion in a Changing Political Landscape.
Singapura: ISEAS, 2013.
Syah, Abdullah. Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum
Adat Dalam Kewarisan Melayu. Bandung: Cita
Pustaka Media, 2009.
Syalabi, Ahmad. Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islamîy. Beirut: Dâr al-
Fikr, t.th.
Syalabi, Muhammad Mustafa. Uşûl al-Fiqh al-Islamîy.
Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1986.
Syaltût, Mahmûd. Aqîdah wa al-Syarî‘ah. Kairo: Dâr al-
Qalam, T.Th.
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Syam, Sri Purnama. ―Seni dan Budaya Melayu Jambi‖,
makalah disampaikan pada seminar Menggali
Warisan Negeri Melayu Jambi, tanggal 10 Mei 2014.
Syarbini, Khotib. Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat al-Fadh al-
Minhaj, III. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana,
2003.

259
Taimiyah, Ibnu. al-Siyâsah al-Syar‘iyyah. Kairo: Dâr al-
Kutub al-'Arabi, 1952.
Taimiyah, Ibnu. Majmu‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad
Ibnu Taimiyah. Jilid XXVIII, disunting oleh
Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim. Riyadh:
Mathba‘ al-Riyadh, 1963.
Taj, Abd. al-Rahman, al-Siyasah al-Syar‘iyyah wa al-Fiqh
al-Islamiy, Mesir: Matba‘ah Dar al-Ta‘lif, 1953.
Tanya, Bernard L. dkk.. Teori Hukum: Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013.
Tasman, Aulia. Memahami Adat Lamo di Wilayah Jambi,
makalah dalam "Seminar Adat Melayu Jambi",
2014.
Tasman, Aulian. Membongkar Adat Lamo Pusako Usang,
diakses tanggal 6 Juni 2016.
Thalaby, Ismail. ―Adat Sakti Alam Kerinci dan
Akulturasinya dengan Hukum Islam‖, Disertasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.
Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario. Jakarta: Akademika,
1980.
Tim Penyusun. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.
Unais, Ibrahim. Mu‘jam al-Wasith. Mesir: Majma‘ al-Lughah
al-Arabiyyah, 1972.
Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis:Posisi Hukum dalam
Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri
Widowatie. Bandung: Nusa Media, cet. IV, 2010.
Usman, Rachmadi. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
Utrecht, E. dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar Dalam
Hukum Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1989.
Vonius, Leena A., dan Sehat Ihsan Shadiqin. "Revitalisasi
Adat di Indonesia dan Aceh", dalam Leena Avonius
dan Sehat lhsan Shadiqin, (ed.), Adat dalam
Dinamika Politik Aceh, Banda Aceh: ICAIOS dan
ARTI, 2010.
Wahyuni, Sri. ―Pengaruh Hukum Barat dalam
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-

260
Negara Muslim‖, dalam Akh Minhaji, et., al.,
Antologi Hukum Islam. Yogyakarta: PPs UIN Sunan
Kalijaga, 2015.
Weber, Max.. The City Transleted and Edited By Don
Mardinal and Getrud Neurith. New York: The free
Press, 1966.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. New
York: Sage Pub., 2002.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Azas-azas Hukum
Adat. Jakarta: Masagung, 1982.
Wignodipuro, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum
Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1985.
Wiranata, I Gede Ab.. Hukum Adat di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005.
Yaswirman. Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek
Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat
Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Yuliatin. ―Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi
Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota
Jambi)‖, Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2014.
Yusrizal, Muhammad. Pola Sistem Pemerintahan Melayu.
Diakses 20 September 2016.
Zahrah, Muhammad Abû. Uşûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Fikr
al-‗Arabî, 1958.
Zakariyâ Sabrî. Maşâdir al-Ahkâm al-Islâmîy. Kairo:
Kulliyah al-Huqûq Jâmi'ah al-Qâhirah, 1973.
Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Fiqh al-Islamîy fi Tsaubih al-
Jadîd: al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, Cet. X. Damsiq:
Tharbin, 1968.
Znoj, Heinzpeter. ―Sons versus Nephews: A Highland
Jambi Alliance at War with the British East India
Company, ca. 1800‖, dalam Indonesia, 97, 1998.
Zoelva, Hamdan. ―Eksistensi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Bingkai Kenegaraan‖,
disampaikan pada seminar Nasional IAIN STS
Jambi, 10 Mei 2016.

261
Zuhri, Saifuddin. ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di
Dusun Kasuran, Seyegan, Sleman‖. Disertasi. UGM
Yogyakarta, 2015.

Media dan Sumber Internet


Harian Jambi Independen, 8 Januari 2015.
―Lima Daerah Terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan
Belanda‖, diakses tanggal 10 Juli 2016.
―Sistem Perundangan Kerajaan Melayu, diakses tanggal 25
Januari 2017.
Detik News, Jumat (29/10/2010)

Wawancara
Wakil Gubernur Jambi.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi Jambi.
Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jambi dan
Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi.
Ketua Ikatan Tarbiah Islamiyah Provinsi Jambi.
Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi.
Ketua Lembaga Adat (LAM) Kota Jambi.
Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari.
Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Sarolangun.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jambi.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Batanghari.
Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Muara Sabak.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Jambi.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Batanghari.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Sarolangun.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Muara
Sabak.
Ka-Kan Kemenag Kota Jambi.
Ka-Kan Kemenag Kabupaten Batanghari.
Ka-Kan Kemenag Kabupaten Sarolangun.
Ka-Kan Kemenag Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Sekretaris MUI Kota Jambi.

262
Tokoh Masyarakat Kampung Manggis.
Ketua Adat Desa Rambutan Masam.
Ketua LAM Kecamatan Batin Kabupaten Batanghari Jambi.
Ketua Laskar Melayu (LAMAJA) Jambi.
Ketua Lembaga Adat Desa Rambutan Masam Kabupaten
Batanghari.
Ketua Lembaga Adat Melayu Simpang Rimbo.
Ketua Lembaga Adat Sungai Duren Jambi.
Ketua Pemuda Kelurahan Bagan Pete Kota Baru Jambi.
Keturunan Raja Jambi bergelar Raden Pamuk.
Pegawai Syarak Desa Dusun Aro Kabupaten Batanghari.
Pegawai Syarak Desa Tanjung Kecamatan Bathin VIII
Sarolangun.
Pemangku Adat Desa Kuap.
Pemerhati Adat Jambi.
Penasehat Laskar Melayu Jambi (LAMAJA).
Penasehat Lembaga Adat Melayu Muara Sabak.
Rektor Universitas Batanghari (UNBARI) Jambi.
Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten
Batanghari.
Sekretaris Lembaga Adat Melayu Batanghari.
Tokoh Adat Kota Jambi.
Tokoh Adat Pemayung Batanghari.
Tokoh masyarakat Jambi.
Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Jambi.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sarolangun.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Tanjung
Jabung Timur.

263

Anda mungkin juga menyukai