Anda di halaman 1dari 216

1

PERJUANGAN ORANG MINAHASA DEMI TEGAKNYA NKRI

Perjuangan di Masa Pendudukan Jepang, Revolusi Fisik


Hingga Pergolakan Permesta (1942 – 1961)

Penulis : Drs. Valry S.H. Prang

Cover Depan : Tokoh /Pelaku

Desain Cover : Drs. Valry S.H. Prang

Penerbit : FORUM PEDULI PENDIDIKAN SULAWESI UTARA (FPP-SULUT)

Dipersembahkan kepada :
Semua masyarakat Inonesia, Papa & Mama, Kakak-kakak & adik-Adik, Istri &
anak-anakku

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG UNDANG


Dilarang keras menerjemahkan, memfoto-kopi, atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis & Penerbit.

2
PRAKATA

Puji Syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan yang penuh kasih sebagai sumber
segala hikmat, pengetahuan dan kebijaksanaan yang oleh kemurahan-Nya maka
penyusunan buku ini dapat kami selesaikan.

Melihat akan minimnya pengetahuan generasi muda tentang perjalanan sejarah


perjuangan bangsa Indonesia khususnya peristiwa-peristiwa perjuangan para tokoh
dan pelaku sejarah khususnya dari kalangan orang (Tou) Minahasa sejak jaman
pendudukan Jepang hingga pasca Pengakuan Kedaulatan Indonesia.
Buku ini berjudul :

“PERAN TOU MINAHASA


DALAM MENDUKUNG KEMERDEKAAN INDONESIA
DAN DEMI TEGAKNYA NKRI”

Penyusunan buku ini mulai dilaksanakan pada tahun 2018 diilhami dari keinginan
dari beberapa pelajar/generasi muda yang ingin mengetahui peristiwa yang menjadi
lembaran hitam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa antara tahun 1950-
1961. Dalam setiap budaya mempunyai unsur mengisahan cerita, apakah cerita
tersebut merupakan kisah nyata yang benar-benar terjadi, atau hanya berupa mitos
maupun hanya cerita legenda. Namun semua itu mempunyai maksud dan tujuan
yang positif, karena suatu kisah atau cerita selalu diuraikan dan dicatat untuk
diketahui oleh generasi berikutnya sehingga mereka dapat belajar dari kisah itu dan
menjadi lebih baik.

Adapun maksud dan tujuan penulisan buku ini untuk memaparkan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan NKRI, serta sebagai bahan
referensi pelajaran muatan nasional di sekolah-sekolah, untuk menambah
pemahaman pembaca khususnya generasi muda tentang peristiwa
mempertahankan integrasi bangsa khususnya di Indonesia bagian timur masa awal
Republik Indonesia Serikat tahun 1950.

Memang masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini yang perlu
diperbaiki dalam melengkapi kisah sejarah ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat
dan menambah wawasan masyarakat khususnya bagi generasi muda demi
kemajuan pembangunan bangsa Indonesia ke depan.

Tareran, 02 Maret 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

PRAKATA .....................................................................` i
DAFTAR ISI ...................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. i


BAB II KEADAAN INDONESIA DI AWAL KEMERDEKAAN ...........
A. KEADAAN POLITIK DAN EKONOMI …………………..
B. KEADAAN MILITER DIMASA TRANSISI ..........................
1. Membentuk Badan pertahanan dan keamanan
2. Keadaan Militer Sebelum Agresi Belanda
3. Masa Pendaratan Pasukan Sekutu dan NICA-Belanda
C. PERJANJIAN LINGGARJATI
D. AGRESI MILITER BELANDA PERTAMA
1. Pembatalan Sepihak Perjanjian Linggarjati Oleh Belanda
2. Latar Belakang Agresi Militer Belanda Pertama
3. Reaksi Dunia Internasional Terhadap Agresi Militer
E. PERJANJIAN RENVILLE
1. Terbentuknya Komisi Tiga Negara (KTN)
2. Pelaksanaan Perjanjian Renville
3. Dampak Perjanjian Renville Dan Jatuhnya Kabinet Amir
Syarifuddin
F. KONFLIK POLITIK DAN MILTER PASCA PERJANJIAN
RENVILLE

2. Program Reorganisasi Dan Rasionalisasi TNI


3. Keadaan Militer Pasca Pengakuan Kedaulatan
4. Tugas Para Perwira Asal Indonesia Bagian Timur
5. Plan Matekohi
4. MENGATASI GEJOLAK DI INDONESIA TIMUR ............
1. Keadaan Politik Di Negara Bagian NIT
2. Pengiriman Pasukan APRIS Ke Indonesia Timur

BAB III PERISTIWA GERAKAN 3 MEI DI MANADO-MINAHASA


A, LATAR BELAKANG AKSI 3 MEI 1950
1. Keresahan di Kalangan Serdadu KNIL ...................
2. Aksi Front Laskar Pemuda (FLP)
3. Usaha Belanda Dalam Rencana Matekohi
4. Kudeta di Minahassa Raad
5. Gagalnya Hasutan Dr. C. Soumokil
B. GERAKAN AKSI PRO REPUBLIK ..................
C. PEMBELOTAN SERDADU KNIL KE REPUBLIK
D. PELAKSANAAN AKSI GERAKAN 3 MEI ...................
E. PEMBENTUKAN BATALION 3 MEI ...................

BAB V PENUTUP .....................

LITERATUR ................................................................... VI
PROFIL PENULIS ................................................................... V
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... VI

4
BAB I
PEDAHULUAN

Sejarah adalah ibu dari pengetahuan manusia dan berusia setua dengan
ingatan manusia. Ketika manusia dilahirkan, ia hidup, bekerja, berbicara dan
memiliki sejarah. Hanya manusialah yang memiliki sejarah dan sanggup
mempelajari berbagai macam sejarah. Dalam sejarah seperti ini manusia
tampil sebagai pencipta sejarah. Dan karena itu sejarah merupakan agregat
dari aktifitas manusia. Inilah ungkapan dari seorang filsuf dan sejarahwan
Michel Foucault.

Salah satu guna sejarah adalah kegunaan edukatif. Maksudnya, dengan


mempelajari sejarah maka orang dapat mengambil hikmah dari pengalaman
yang pernah dilakukan manusiat pada masa lampau, yang tentu saja dapat
dikaitkan dengan masa sekarang. Keberhasilan di masa lampau akan dapat
memberi pengalaman pada masa sekarang. Sebaliknya, kesalahan manusia
di masa lampau akan menjadi pelajaran berharga yang harus diwaspadai di
masa kini.

Eksistensi kehidupan masyarakat di Indonesia khususnya kejadian/


peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa tahun 1945-1950 tentang
peristiwa pemberontakan dan pergolakan daerah di Indonesia, merupakan
salah satu lembaran hitam perjalanan sejarah Indonesia yang masih
menimbulkan perdebatan, pro dan kontra tentang apakah peristiwa
tersebut adalah sebuah „pemberontakan‟ atau „Perjuangan‟ yang dapat
mengancam integrasi nasional.

Integrasi nasional berasal dari dua kata, yaitu “integrasi” dan “nasional”.
Integrasi berasal dari bahasa Inggris, integrate, artinya menyatupadukan,
menggabungkan, mempersatukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
integrasi artinya pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang bulat dan
utuh. Kata nasional berasal dari bahasa Inggris, nation yang artinya bangsa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi nasional mempunyai arti
politis dan antropologis. Integrasi nasional secara politis berarti penyatuan
berbagai kelompok budaya dan sosial dalam kesatuan wilayah nasional yang
membentuk suatu identitas nasional. Sedangkan secara Antropologis,
Integrasi nasional berarti proses penyesuaian di antara unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam
kehidupan masyarakat.

Adapun faktor-faktor pembentuk integrasi nasional, adalah sebagai berikut :

5
 Adanya rasa senasib dan seperjuangan yang diakibatkan oleh
faktor sejarah.
 Adanya ideologi nasional yang tercermin dalam simbol negara
yaitu Garuda Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
 Adanya tekad serta keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa
indonesia seperti yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda.
 Adanya ancaman dari luar yang menyebabkan munculnya
semangat nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia.
 Penggunaan bahasa Indonesia.
 Adanya semangat persatuan dan kesatuan dalam bangsa, bahasa,
dan tanah air Indonesia.
 Adanya kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang
sama, yaitu Pancasila.
 Adanya jiwa dan semangat gotong royong, solidaritas, dan
toleransi keagamaan yang kuat.Pendidcasila dan anegaraan 157
 Adanya rasa senasib sepenanggungan akibat penderitaan
penjajahan.
 Adanya rasa cinta tanah air dan mencintai produk dalam negeri.

Sedangkan faktor-faktot penghambat integrasi nasional adalah :


 Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan yang bersifat
heterogen.
 Kurangnya toleransi antargolongan.
 Kurangnya kesadaran dari masyarakat Indonesia terhadap
ancaman dan gangguan dari luar.
 Adanya ketidakpuasan terhadap ketimpangan dan
ketidakmerataan hasil-hasil pembangunan.

Upaya untuk mencapai integrasi nasional dapat dilakukan dengan


cara menjaga keselarasan antarbudaya. Hal itu dapat terwujud jika
ada peran serta pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam proses
integrasi nasional.

Tantangan di lingkungan internal Indonesia untuk mengawal NKRI


agar tetap utuh dan bersatu, adalah munculnya disintegrasi bangsa,
baik yang datang dari internal pemerintahan sendiri maupun
datangnya dari kalangan militer, khususnya mengenai kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat serta masuknya
kepentingan politik dalam tubuh militer. Hal ini tentu saja
menimbulkan berbagai gejolak dalam negara yang terwujud dalam
suatu gerakan-gerakan protes bahkan mengarah pada pemberontakan
dengan memakai kekuatan militer. Yang dimaksud dengan Dis-
integrasi adalah keadaan yang tidak bersatu padu; keadaan yang
terpecah belah; hilangnya keutuhan dan persatuan; perpecahan.

6
Ancaman Disintegrasi bangsa yang yang pemberontakan dan
pergolakan di Indonesia, khususnya di awal tahun1950-an, berawal
dari hasil keputusan Konferensi Meja Bundar atau KMB yang
dilaksanakan di Den Haag pada tahun 1949. Dimana salah satu
hasilnya pembentukan Republik Indonesia Serikat atau RIS. Dengan
terbentuknya RIS, secara otomatis juga dilakukan pembenahan dalam
tubuh militer.

Dibentuknya APRIS atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat


ternyata menjadi permasalahan tersendiri dalam tubuh militer. Hal ini
disebabkan karena anggota KNIL dan TNI serta badan perjuangan
lainnya, harus bergabung menjadi satu pada APRIS. Kondisi tersebut
pastinya sulit khususnya bagi para anggota KNIL maupun TNI. Di
antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)
banyak yang tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Ringkasnya mereka tidak suka dengan terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada waktu itu bernama
RIS. Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional
Indonesia (TNI).

Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang setia tentu saja agak sulit
menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung
dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam
pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan. Kecemburuan KNIL
terhadap TNI semakin menjadi setelah diputuskan bahwa pimpinan
APRIS harus berasal dari TNI. Hal ini diperparah dengan sambutan
rakyat yang lebih simpatik terhadap keberadaan TNI. Pada titik inilah,
kaum reaksioner yang subversif memanfaatkan situasi untuk terus
menyebar hasutan guna merongrong pemerintah Indonesia.

Namun berbagai hasutan tersebut dapat diredam oleh para pejuang pro
republik di Sulawesi Utara, yang puncaknya terjadi pada tanggal 3 mei
1950, dimana para pejuang dibantu oleh pasukan KNIL pro Republik
Indonesia melakukan pengambilalihan kekuasaan militer dari NICA-
Belanda, yang saat itu terus berupaya untuk mempertahankan Negara
boneka Indonesia Timur ( NIT ).

*******

7
BAB II
KEADAAN INDONESIA DI AWAL KEMERDEKAAN

Indonesia pasca Penyerahan kedaulatan hingga menjelang akhir 1950-an,


merupakan negara yang penuh gejolak dan goncangan. Pemerintahan tidak
stabil, jatuh bangun kabinet yang dibentuk akibat mosi tidak percaya
membuat program pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik.
Menjamurnya partai politik dengan kepentingan masing-masing,
memperparah keadaan politik Indonesia.

A. KEADAAN POLITIK DAN EKONOMI

Sebagai negara yang baru merdeka, banyak permasalahan dibidang


politik dan ekonomi yang harus dihadapi oleh pemerintah pertama
Republik Indonesia khususnya dalam meletakkan dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara. Buruknya keadaan ekonomi merupakan akibat
masa kedudukan Jepang ditambah lagi dengan perang kemerdekaan yang
membuat pemerintah tak dapat berbuat banyak dalam mengatasi krisis
ekonomi tersebut. Hasil produk pertanian dan
perkebunan tidak dapat diexport karena diblokade
pihak Belanda. Berbagai cara pemerintah untuk
keluar dari krisis ekonomi dilakukan, mulai dari
program Plan Kasimo yang berisi anjuran untuk
memperbanyak kebun bibit dan padi unggul serta
melakukan rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan
perang untuk mengurangi beban negara, melakukan
nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia oleh Menteri Keuangan RI, Mr. A.A. Maramis (1946),
memperlakukan sistem Ekonomi Gerakan Benteng oleh Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, kemudian diganti menjadi sistem ekonomi Ali Baba
yang diprakarsai oleh Mr. Isqak Tjokrohadisurjo, namun semua belum
dapat mengangkat krisis ekonomi Indonesia, apalagi dalam keadaan
perang yang sedang menghadapi perjuangan mempertahankan
kemerdekaan terutama Agresi Militer Belanda.

Dibidang politik sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda,


konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/
Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi
perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan.

8
Masalah yang berhubungan dengan negara federal mulai timbul ketika
berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati akan berbentuk
negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI
menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah
negara Pasundan, negara Madura, Negara Indonesia Timur. BFO sendiri
adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI yang dibentuk
oleh Belanda. Awalnya,
BFO berada di bawah
kendali Belanda. Namun
makin lama badan ini
makin bertindak netral,
tidak lagi semata-mata
memihak Belanda.
Prokontra tentang
negara-negara federal
inilah yang kerap juga
menimbulkan
pertentangan.
(Kemendikbud, 2017)
Suasana sidang BFO

Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang


ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang
ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di
Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk
membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai
daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI
yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya
mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar bendera Merah-
Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara
Indonesia Timur (NIT) juga menadi persoalan yang tidak bisa diputuskan
dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh
karena persoalan negara federal ini (1947).

Dalam tubuh BFO juga bukan


tidak terjadi pertentangan.
Sejak pembentukannya di
Bandung pada bulan Juli
1948, BFO telah terpecah ke
dalam dua kubu. Kelompok
pertama menolak kerjasama
dengan Belanda dan lebih
memilih RI untuk diajak
bekerjasama membentuk
Negara Indonesia Serikat.
Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.

9
Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid
II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin
agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan
BFO.

Ketika Belanda melancarkan


Agresi Militer II-nya,
pertentangan antara dua
kubu ini kian sengit. Dalam
sidang-sidang BFO
selanjutnya kerap terjadi
konfrontasi antara Anak
Agung dengan Sultan
Hamid II. Dikemudian hari,
Sultan Hamid II ternyata
bekerjasama dengan APRA
Westerling mempersiapkan
pemberontakan terhadap pemerintah RIS.

Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung di Den Haag Negeri Belanda


dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Hasilnya adalah
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Hasil KMB kemudian
diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang pada
tanggal 6 Desember 1949 berhasil menerima KMB dengan 226 pro lawan
62 kontra. dan 31 anggota meningalkan sidang. Selanjutnya pada tanggal
15 Desember 1949 diadakan pemilihan presiden RIS dengan calon tunggal
Ir. Soekarno. Insinyur Soekarno terpilih sebagai presiden RIS pada 16
Desember 1949 dan keesokan harinya. tanggal 17 Desember 1949.
presiden RIS diambil sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949
Kabinet RIS yang pertama di bawah pimpinan Drs. Mohammad Hatta
selaku Perdana Menteri dilantik o1eh presiden.

Akhirnya pada tanggal 23


Desember 1949 delegasi RIS yang
dipinpin o1eh Drs. Mohammad
Hatta berangkat ke Belanda
untuk menandatangi "akte
penyerahan" kedau1atan dari
Pemerintah Belanda . Pada
tanggal 27 Desember 1949, baik
di Indonesia maupun Belanda
diadakan upacara
penandatanganan naskah
penyerahan
kedaulatan.bertempat di Ruang
Tahta Amsterdam. Ratu Juliana
, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AMJ

10
A. Sassen dan Ketua Delegasi RIS Drs. Mohammad Hatta bersama-sama
membubuhkan tandatangannya pada naskah penyerahan kedaulatan
kepada RIS.

Pada waktu yang sama di


Jakarta Sri Sultan Hamengku
Bowono IX dan Wakil Tinggi
Mahkota Belanda AHJ.
Lovink dalam suatu upacara
membubuhkan
tandatangannya pada naskah
penyerahan kedaulatan.
Dengan demikian secara
formal Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia dan
mengakui kedaulatan penuh
Negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Republik
Indonesia Serikat terdiri atas 16 negara bagian dengan masing-masing
mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Pada masa
RIS tidak sedikit kesukaran yang dihadapi oleh pemerintah dan rakyat.
Sebagai suatu negara yang baru diakui kedaulatannya , Indonesia harus
menghadapi rongrongan dari dalam yang dilakukan oleh beberapa
golongan yang mendapat dukungan dan bantuan dari pihak Belanda atau
mereka yang takut akan kehilangan hak-haknya bila Belanda
meninggalkan Indonesia.

Setelah terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari


16 negara bagian. Pemerintah pusat dapat memerintahkan setiap
warganegaranya secara langsung dalam hal-hal yang menjadi tugasnya,
khususnya mengatur hal-hal yang bersifat umum seperti peranan dan
urusan luar negeri. Sedangkan negara bagian berhak membuat undang-
undang dasar sendiri. Namun dalam Menjalankan pemerintahannya,
Perdana Menteri Muhammad
Hatta diperhadapkan pada
tuntutan sebagian besar
rakyat untuk kembali
kebentuk Negara Kesatuan.
RIS yang berbentuk federal,
tidak disenangi oleh sebagian
besar rakyat. Hal ini
disebabkan bahwa sejak
semula sistem federal
digunakan oleh Belanda
sebagai muslihat
menghancurkan negara
Republik Indonesia hasil
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Disamping itu, konstitusi

11
federal dianggap hanya menimbulkan perpecahan. Hal inilah yang
mendorong keinginan rakyat untuk mebubarkan RIS.

Tuntutan rakyat ini diwujudkan dalam aksi-aksi massa berupa


demonstrasi besar-besar diberbagai daerah seperti di negara-negara
bagian Jawa Timur dan Madura yang merupakan negara federal paling
akhir yang diciptakan Belanda. Di Daerah ini terjadi demostrasi besar-
besaran yang menuntut kesatuan diwujudkan kembali. Menjelang akhir
bulan Januari 1950, negara-negara tersebut memutuskan untuk
bergabung dengan Republik Indonesia.

Memasuki Juni 1950, ketika harga minyak dan karet melonjak Perang
Korea, Indonesia sebagai penghasil minyak ikut menikmati kenaikan itu,
sehingga mendongkrak dan membuat anggaran belanja pemerintah tahun
1951 surplus. Namun disisi lain nafsu mengimport barang-barang lain
yang mengurus devisa dari luar negeri mendadak naik, diikuti kenaikan
upah dan harga yang membuat inflasi. Ditambah lagi utang Indonesia
yang harus dibayarkan sesuai dengan Perjanjian KMB, sangat
memberatkan ekonomi indonesia.

Hal inilah yang menyebabkan keadaan politik dan ekonomi Indonesia


semakin kacau, Timbulnya beberapa pergolakan di daerah akibat adanya
demonstrasi rakyat dinegara-negara bagian yang menuntut dibubarkan
RIS. Kegagalan upaya kudeta oleh kelompok Angkatan Perang Ratoe Adil
(APRA) pada bulan Januari 1950 pimpinan KaptenRaymond Westerling,
mempercepat proses peleburan negara federal sampai yang tersisa adalah
negara Indonesia Timur dan
Sumatra Timur. Walaupun
kedua negara tersebut pada
awalnya menolak bergabung
dengan negara Republik
Indonesia, mereka akhirnya
setuju setelah bertemu dengan
Mohammad Hatta pada bulan
Mei. sehingga oleh Presiden
Sukarno mengumumkan
kembali ke bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950.

****

12
B. KEADAAN MILITER DIMASA TRANSISI

1. Membentuk Kekuatan Pertahanan dan Keamanan

Pada 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengesahkan secara resmi


berdirinya BKR sebagai badan kepolisian yang bertugas menjaga
keamanan. Mayoritas angota BKR terdiri dari mantan anggota PETA,
KNIL, dan Heiho. Terpilih sebagai pimpinan BKR pusat adalah
Kaprawi.

Dalam perkembangannya, kebutuhan untuk


membentuk tentara tidak dapat diabaikan lagi.
Apalagi setelah Sekutu membebaskan para
serdadu Belanda bekas tawanan Jepang dan
melakukan tindakan-tindakan yang mengancam
pertahanan dan keamanan. Soekarno kemudian
memanggil mantan Mayor KNIL Oerip
Soemohardjo dari Yogyakarta ke Jakarta. Oerip
Soemohardjo diberi tugas untuk membentuk
tentara nasional.

Berdasarkan maklumat Presiden RI, pada 5 Oktober 1945 berdirilah


Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Soepriyadi (tokoh perlawanan
tentara PETA terhadap Jepang di Blitar) terpilih sebagai pimpinan TKR.
Atas dasar maklumat itu, Oerip Soemohardjo segera membentuk
Markas Besar TKR yang dipusatkan di Yogyakarta.

Pada perkembangannya,
Tentara Keamanan
Rakyat berubah menjadi
Tentara Keselamatan
Rakyat pada 7 Januari
1946. Nama itu berubah
kembali menjadi Tentara
Republik Indonesia
(TRI) pada 24 Januari
1946 dengan Jendral
Sudirman sebagai
Panglima Besar Jenderal
TRI.

****

13
2. Program Militer Indonesia Ala Amir Syariffudin.

Bagi sebuah negara, militer tentu mempunyai fungsi sebagai garda


terdepan dalam perlingungan terhadap kedaulatan negara. Ketika
negara mendapat ancaman dari negara lain, militer bertanggung jawab
untuk melindungi wilayah kedaulatan negara. Saat Indonesia mulai
berdaulat secara de facto pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan
sebuah proses mudah untuk membentuk militernya sendiri. Prosesi
pembentukan Tentara Nasional Indonesia begitu panjang, melalui
penggabungan beberapa gerakan, laskar, dan organisasi militer, baik
buatan Belanda ataupun Jepang. Tentunya tiap unsur itu mempunyai
latar belakang dan pandangan yang berbeda-beda

Pada tanggal 14 November


1945, Amir Syarifudin
ditunjuk sebagai Menteri
Keamanan Rakyat Kabinet
Sjahrir I. Diawal tugasnya
mengurus pertahanan, Amir
melihat laskar-laskar dan
tentara reguler muncul
dengan latar-belakang
pembentukan yang berbeda-
beda. Laskar-laskar
berafiliasi pada partai-partai
politik tertentu dan berbeda
pandangan politik satu-sama lain. Diantara laskar sering terjadi
persaingan untuk saling merebut pengaruh, unjuk kekuatan bahkan
sampai insiden bersenjata.

Tentara reguler pada waktu itu kebanyakan berasal dari bekas KNIL
dan PETA yang membentuk kesatuan-kesatuan dalam TKR.
Nasionalisme sebagian besar perwiranya diragukan sebab pernah
menjadi tentara penjajah dan mudah diperalat oleh kekuasaan yang
menindas. Persaingan dan pertentangan diantara sesama tentara
reguler, juga antara laskar dengan tentara reguler, sering terjadi.
(Soemarsono, 11 Juli 2013.)

Amir Syarifuddin menginginkan tentara harus memiliki satu persepsi


perjuangan, tidak terkotak-kotak oleh kepentingan politik dan tidak
mengabdi kepada kekuasaan yang menindas rakyat. Tentara harus
mengabdi kepada revolusi, tunduk kepada otoritas sipil, hidup dan
berjuang bersama rakyat ibarat ikan dengan air, bukan sebagai alat
penjaga kapitalis-imperialis dan kaum feodal. (Koran Kedaulatan
Rakyat, 4 Juli 1946.) Langkah pertama yang dilakukan adalah

14
mengurus pertahanan adengan menyeragamkan persepsi perjuangan
diantara laskar dan tentara reguler.

Untuk mewujudkannya itu, Amir Syarifuddin berencana menyusun


program tentara seperti tentara merah di Uni Soviet. Rencana ini tentu
saja ditentang oleh TRI pimpinan Jenderal Sudirman dan Mayjend
Oerip Soemohardjo. Kedua petinggi TRI ini mengatakan bahwa TRI
merupakan tentara rakyat dan tentara pejuang, bukan tentara model
asing apalagi model tentara merah.

Pada tanggal 24 Januari 1946, dibentuklah Biro Pendidikan Politik


Tentara (Pepolit). Badan ini bertugas memberikan pendidikan ideologi
anti-imperialisme kepada laskar-laskar dan tentara reguler, sekaligus
untuk menghilangkan pengaruh buruk yang didatangkan oleh
imperialis Belanda dan fasis Jepang. Materi yang diajarkan
didalamnya; politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum
sebagai tuntunan perjuangan. Setiap divisi didampingi oleh seorang
Staf Pepolit berpangkat
jenderal mayor, yang
dibantu oleh 5 Opsir Pepolit
berpangkat letnan kolonel
untuk setiap resimen. Staf
Pepolit berjumlah 7 orang,
antara lain: Sukono
Djojopratikno, Anwar
Tjokroaminoto, Wijono,
Mustopo, Farid Ma‟roef,
Hadji Abdul Mukti,
Soemarsono. (Koran
Kedaulatan Rakyat, 20
Februari 1946.)

Usaha untuk menyatukan laskar-laskar dan tentara reguler dalam satu


payung bersama terus dilakukan. Sehingga pada tanggal 25 Mei 1946,
terbentuklah Biro Perjuangan, yang menampung laskar-laskar yang
tunduk kepada Panglima Besar, yang berkedudukan dibawah
Kementerian Pertahanan, dengan mendorong laskar-laskar dan tentara
reguler supaya terintegrasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang
berkaitan dengan aspek pertahanan. Usaha ini berhasil dengan
terbentuknya Dewan Pertahanan Negara (DPN), yang terdiri dari
Perdana Menteri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Kemakmuran, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Keuangan, Panglima Besar, perwakilan laskar dari golongan Sosialis,
Nasionalis dan Islam. Badan-badan yang tergabung di DPN memiliki
wewenang melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk
menyelamatkan negara dari keadaan bahaya.” (de Madioen Affair, hlm.
11.)

15
Pada akhir Mei 1947, diadakan rapat DPN yang dipimpin oleh Amir
Syarifuddin, untuk membahas tentang perubahan nama dan formasi
TRI. Hasil rapat disepakati tentang penyatuan laskar-laskar dengan
tentara reguler. Soemarsono, yang mewakili Laskar Pesindo
mengusulkan supaya nama Tentara Republik Indonesia diubah
menjadi Tentara Nasional Indonesia, dengan singkatan “T.N.I”. Usulan
ini diterima. Tanggal 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia
diresmikan. Keanggotaannya terdiri dari tentara reguler dan TNI-
Masyarakat. Pucuk pimpinan TNI dipegang oleh; Jenderal Sudirman
sebagai Panglima Besar,
Letjen Urip Sumohardjo
sebagai Kepala Staf,
Jenderal Mayor
Djokosujono sebagai
Panglima TNI-Masyarakat,
Laksamana Muda M. Nazir
sebagai KSAL dan Komodor
Suryadarma sebagai KSAU.
Ditetapkan pula bahwa TNI
tunduk pada otoritas
Menteri Pertahanan.
(Soemarsono, 12 Agustus
2013.)

Dengan demikian, hingga pertengahan 1947 pemerintah telah berhasil


menyusun, mengonsolidasi, sekaligus menyatukan alat pertahanan
dan keamanan.

Namun usaha Amir Syarifuddin melanjutkan program untuk


menyatukan laskar-laskar dan tentara reguler dalam satu payung,
sekali lagi mendapat tantangan dari sejumlah perwira tinggi yang tidak
menghendaki otoritas sipil atas militer. Tantangan paling keras datang
dari Jenderal Mayor A.H Nasution dan Jenderal Mayor Gatot
Subroto. Keduanya menuding Amir dan golongan komunis ingin
menguasai tentara melalui TNI-Masyarakat dan Pepolit. Nasution dan
Gatot Subroto melarang Staf dan Opsir Pepolit mengadakan pendidikan
di divisi yang mereka pimpin.

Kala itu, sedang terjadilah Agresi Belanda pertama dan Belanda


berhasil merebut beberapa daerah kekuasaan RI. Mereka lalu
menetapkan batas-batas daerah kekuasaan yang telah mereka rebut,
yang dikenal dengan Garis Van Mook.

****

16
C. PERJUANGAN DI MASA TRANSISI

Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut dengan gembira


seluruh rakyat Indonesia. Di Jakarta berita proklamasi disebar-luaskan
oleh para pemuda, pelajar dan mahasiswa melalui panflet-panflet atau
tulisan-tulisan pada tembok-tembok bangunan atau pagar-pagar rumah
agar dapat diketahui oleh umum. Pada ptang hari, para pemuda berhasil
menguasai kantor berita “Domei” dan menyiarkan berita proklamasi ke
seluruh Indonesia.

Sementara itu, para pemuda melakukan aksi perebutan kekuasaan


Jepang di beberapa kota. Sasaran para pemuda adalah menduduki
kantor-kantor pemerintah serta menurunkan bendera Jepang –
Hinomaru dan mengantikannya dengan bendera Merah Putih sebagai
simbol kedaulatan Indonesia. Jepang yang diperintahkan oleh Sekutu
untuk memtahankan status quo, berusaha menghalangi aksi para
pemuda sehingga terjadi bentrokan.

Untuk menghimpun aksi-aksi para pemuda tersebut, para pemimpin


organisasi pemuda di Jakarta membentuk Komite van Aksi, yang
kemudian memprakarsai terselenggaranya rapat raksasa dan
pengerahan massa pada tanggal 19 September 1945 di Lapangan Ikada.
Pada kesempatan itu, Soekarno datang dan memberikan pidato singkat.
Dia berseru agar rakyat memberikan kepervcayaan kepada Pemerintah
Republik Indonesia dengan jalan mematuhi perintah-perintahnya. (Amrin
Imran, Sejarah Nasional & Umum 2, 1999).

Para pemuda dan rakyat Jakarta dengan semangat kemerdekaan


menyerbu gudang senjata Jepang di Cilandak, Jakarta. Dan dibeberapa
tempat terjadi bentrokan-bentrokan kecil dengan pihak Jepang hingga
kedatangan pasukan Sekutu.

17
1. Pendaratan Pasukan Sekutu

Kekalahan dari Jepang


dalam Perang Asia Timur
Raya menyebabkan Belanda
harus meninggalkan Indonesia
pada tahun 1942. Setelah itu,
Indonesia dijajah oleh Jepang
hingga Indonesia menyatakan
Kemerdekaannya pada tanggal
17 Agustus 1945.

Ketika Jepang menyerah kepada


Sekutu, Jepang lalu menetapkan
'status quo' di Indonesia. Pada
tanggal 29 September 1945
satuan-satuan tentara Inggris mendarat dibawah komando Jendral Sir
Philip Christison pimpinan AFNEI (Allied Forces In the Nederland
East Indies). Salah satu tugas AFNEI adalah untuk melucuti tentara
Jepang yang telah menyerah kepada pasukan Sekutu. Namun
kedatangan mereka ternyata diboncengi oleh NICA (Netherlands-Indies
Civil Administration).

Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara


sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini
diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang
berhasil diusir dari daerah pendudukannya.

Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah


dikuasai oleh tentara Sekutu. Satuan tentara Australia yang merupakan
bagian dari tentara Sekutu, telah mendaratkan pasukannya
di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh
Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah.

18
Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh
satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan
Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat
Daya (South West Pacific Area
Command/SWPAC).

Setelah perang usai,


tentara Australia bertanggung
jawab terhadap Kalimantan dan
Indonesia bagian Timur, Amerika
Serikat menguasai Filipina dan
tentara Inggris dalam bentuk
komando SEAC (South East Asia
Command) bertanggung jawab
atas India, Burma, Srilanka, Malay
a, Sumatra, Jawa dan Indocina.

Penyerahan Jepang kepada Sekutu di Indonesia Timur pada tanggal 9


September 1945 di Morotai itu, diikuti dengan kedatangan misi-misi
militer Australia yang tiba di Sulawesi pada September 1945 untuk
melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara Jepang yang berjalan
tanpa keributan. Tugas
pelucutan tentara Jepang ini
dilaksanakan oleh Australian
Military Force (AMF. Tapi
tugas mereka hanya berjalan
hampir satu minggu lalu
kemudian diganti South East
Asia Command, Inggris. Lalu,
tugas itu dikembalikan lagi
kepada AMF. Untuk
memantapkan tugasnya,
dibentuklah semacam satuan-
satuan tugas. (Leirissa, 1977).

SEAC dengan Panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi


Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentara Jepang dan
mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil
sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).

Untuk tugas tersebut, tentara Sekutu di Asia Tenggara membentuk


Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) untuk mendaratkan
tentara Sekutu di Indonesia bagian Barat. Pendaratan tersebut di bawah
pimpinan oleh Letnan Jenderal Sir Phillips Christison.

AFNEI mendaratkan tiga pasukannya, sebanyak tiga divisi, yaitu Divisi


India 26 ke Sumatera, Divisi India ke 23 ke Jawa Barat dan Jawa

19
Tengah, dan Divisi India ke V ke Jawa Timur. Ternyata yang mendarat
terlebih dahulu di Jawa adalah Divisi India ke-23 yang dipimpin oleh
seorang panglima, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn. Selanjutnya Divisi
India ke-23 yang terdiri dari tiga brigade dibagi-bagi tugasnya masing-
masing. Brigade “Bethel” dikirim ke Semarang, Brigade “Mc Donald”
dikirim ke Bandung, serta Brigade ke-49 didaratkan ke Surabaya.

Di awal 1944, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. Van


Mook dan Panglima Tertinggi SWPA, Jenderal Douglas MacArthur dari
AS, menyepakati bahwa wilayah Hindia Belanda yang berhasil direbut
oleh pasukan Sekutu akan diserahkan kepada pemerintahan sipil NICA,
Berdasarkan Civil Affairs Agreement.

2. Mendaratnya Belanda diwakili NICA

Berdasarkan Civil Affairs


Agreement, pada tanggal 23
Agustus 1945 Inggris bersama
tentara Belanda mendarat di
Sabang, Aceh. Pada tanggal 15
September 1945, tentara
Inggris selaku wakil Sekutu
tiba di Jakarta, dengan
didampingi Dr. Charles van der
Plas, wakil Belanda
pada Sekutu.

Kehadiran tentara Sekutu ini,


diboncengi NICA (Netherland Indies Civil
Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda)
yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia
dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar
pidato siaran radio Ratu
Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau
konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa
ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang

20
dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu
Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk
sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan
Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.

Namun apa yang diharapkan oleh Belanda, ternyata tidak berjalan


seperti yang diharapkan. Pengiriman Tentara Inggris (AFNEI) ke
Indonesia (Jawa dan Sumatera) yakni pada tanggal 26 September 1945
atau satu setengah bulan sejak diproklamirkannya kemerdekaan
Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta, justru menguntungkan
Indonesia; yaitu :
Pertama, Api revolusi telah membara di seluruh Indonesia.
Kedua, Memberi kesempatan kepada Indonesia untuk
mengorganisasi pemerintahnya dan menyusun kekuatan
fisiknya.
Ketiga, Laksamana Mountbatten menyadari bahwa keadaan yang
dilaporkan oleh pihak Belanda tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan.

3. Keadaan Ibu kota Jakarta Pasca Proklamasi Kemerdekaan

Sejak Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh


Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. sebagai
respon daripada kemerdekaan itu, segenap rakyat di seluruh Nusantara
tua-muda, laki-perempuan mengangkat senjata rela berkorban baik
harta maupun nyawa untuk membela nusa dan hangsa. Disamping
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang telah dibentuk oleh pemerintah,
terdapat pula berbagai macam organisasi-organisasi lain seperti Barisan
Pelopor, Barisan Benteng Indonesia, Laskar Hisbullah, Barisan
Rakyat Indonesia, Angkatan Pemuda Indonesia, Angkatan Pemuda

21
Indonesia Sulawesi, Gabungan Pemuda Indonesia Sulawesi, dan lain-
lain.

Salah satunya kelompok


pemuda pejuang yang terkenal
adalah adalah terbentuknya
Angkatan Muda Sulawesi
(AMS) di bawah pimpinan
Gajus Gagola, mereka
mengadakan aksi pencoretan
seperti pada tembok-tembok,
kereta api dan lain-lain,
dengan maksud untuk
membangkitkan semangat
oang dan seluruh pemuda
beserta rakyatnya dalam mendukung Kemerdekaan RI. Usia AMS ini
tidak lama, ketika Barisan Keamanan Rakyat (BKR) terbentuk, AMS
bergabung ke dalam BKR ini, dalam wadah organisasi inilah para
pemuda AMS bertemu dengan para pemuda pimpinan Jan Rapar yang
terkenal sebagai preman „Senen”, yang sejak lama telah dibina sebagai
pasukan tempur istimewa dibawah bimbingan politis dari Mr. Ahmad
Subardjo, Mr. A.A. Maramis dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi.

Perjuangan para pemuda


beserta rakyat bergerak sangat
cepat, komando pemuda
berkumandang secara
revolusioner dari markasnya di
Menteng Raya 31. Serentak
pula kelompok pemuda
Sulawesi menggabungkan diri
dengan para pemuda Menteng
Raya 31, yang tergabung
dalam satu wadah organisasi
Angkatan Pemuda Indoensia
(API), sehubungan dengan itu
para pemuda Sulawesi pun
membentuk organisasi di
bawah koordinator API dengan nama Angkatan Pemuda Indonesia
Sulawesi (APIS) dengan markasnya di Jalan Dr. Sam Ratu Langie No 2,
namun demikian APIS ini di dalam segala aktivitas perjuangannya
bergerak searah dan satu tujuan dengan formasi perjuangan API
Menteng Raya 31, APIS selalu memelihara persatuan dan kesatuan
antara pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang untuk melenyapkan
segala bentuk penjajahan atas dasar perjuangan nasional seutuhnya .(
Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1978).

22
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibu
kota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan
terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan
kelompok pro-Belanda. Kelompok pro Belanda melakukan beberapa
intimidasi terhadap para tokoh dan pemimpin Republik Indonesia seperti
serangan fisik kepada Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad
Roem, demikian pula terhadap Perdana Menteri Siutan Syahrir dan
Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh
simpatisan Belanda (NICA). (Wikipedia Indonesia)

Melihat para pemimpin Indonesia dalam keadaan bahaya, para Pemuda


Pro Kemerdekaan di Jakarta mengadakan perlawanan terhadap pro
NICA- Belanda dan pasukannya, sehingga terjadi beberapa bentrokan
dan pertempuran-pertempuran kecil yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok kecil terdiri dari 3 sampai dengan 5 orang. Dengan keberanian
yang luar biasa, para pemuda pro kemerdekaan mengadakan serangan
dari berbagai lokasi di seluruh penjuru kota Jakarta seperti daerah
Senen, Keramat, Cikini, Jatinegara, Petojo hingga Tanjung Priok secara
serentak tanpa memperdulikan siapa komandan mereka, bertempur
dengan hasil yang gilang gemilang.

Beberapa kelompok yang sering


melakukan serangan kepada
tentara Sekutu dan NICA-Belanda
antara lain dari Kelompok
Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi (KRIS) pimpinan Lukas
Palar, Jopi Pesak, Endi
Ruminggit, Piet Sumilat, Piet
Sibih, Alex Pangemanan dan
lainnya, mereka bertempur
dengan gayanya masing masing.
(Dinas Museum dan Sejarah DKI
Jakarta, 1978).

Sejak kedatangan pasukan Sekutu ke Jakarta, yang didahului oleh


rombongan-rombongan kecil sebagai peninjau, mereks sering di hadang
oleh laskar KRIS, Misalnya yang di lakukan oleh pasukan-pasukan Alex
Pangemanan dan Ventje Lasut menyerang tangsi militer Sekutu di Jaga
Monyet, daerah Petojo. Dalam pertempuran sengit dengan pihak
kepolisian Belanda, salah satu pejuang pro kemerdekaan Alex
Pangemanan gugur. Banyak titik pertempuran yang dilakukan pasukan
KRIS pada hampir setiap sudut kota Jakarta. Termasuk pada
pertempuran-pertempuran terkenal di belakang Hotel Des Indes dan
Hotel Schomper.

Piet Sumilat memimpin pasukan KRIS dari daerah Tanah Tinggi


bertempur dengan Sekutu di Kemayoran, dekat bandara menghadapi

23
pasukan Sekutu untuk mencegah masuknya bantuan sekutu melalui
udara. Dalam pertempuran ini, Laskar KRIS bahu-membahu dengan
rakyat setempat serta laskar pejuang lainnya menghadapi pasukan
Sekutu.

Di antara Laskar KRIS yang terkenal, terdapat “kesebelasan maut” dan


tim terdiri dari Wim Rimporok, Daan Kawengian, Rudy Lumanauw,
Heintje Korouw, Loho, Anton Warouw dll. Mereka terdiri dari 11
tentara terlatih, dan memiliki persenjataan lengkap.
Mereka meyapu setiap musuh dimana saja bila dihadapi. Tidak
terkecuali menyergap pula pasukan Gurkha yang amat terkenal dan
menjadi andalan pasukan Inggris pada berbagai peperangan di dunia.
Tim sebelas ini sering menerima “order berperang” dari kelompok lain,
tidak hanya dari KRIS tetapi juga diluar lingkungan organisasi ini jika
menghadapi gempuran yang besar.

Hampir setiap hari tentara Sekutu menghadapi gempuran laskar KRIS.


Dengan persenjataan seadanya mereka tak gentar menggempur lawan
sekalipun adalah pemenang Perang Dunia II. Para pemuda KRIS tak
jarang melakukan hadangan terbuka di jalan raya. Begitupun dalam
menyerbu pos-pos musuh untuk mendapatkan senjata-senjata bagi
perjuangan kemerdekaan. Perjuangan dan keberanian Laskar KRIS,
diakui oleh laskar-laskar pejuang lainnya, karena paling sering
melakukan aksi pertempuran melawan pasukan Sekutu di Jakarta dan
sekitarnya, dan menjadi perhatian para pemimpin Republik.

Presiden Soekarno bersama Ibu negara Fatmawati, sempat


menyempatkan diri berkunjung ke rumah sakit untuk menjenguk para
korban pertempuran termasuk Dicky Pontoan dari laskar KRIS dan
beberapa rekannya yang terluka yang dirawat pasca pertempuran
dengan pihak Sekutu/NICA.(Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1978).

24
4. Ibu Kota RI Pindah ke Yogayakarta

Akibat beberapa perlawanan yang dilakukan para pemuda pro


kemerdekaan di Jakarta dan sekitarnya, ditambah dengan aksi anggota
NICA dan pro Belanda yang melakukan beberapa intimidasi terhadap
penduduk, bahkan pencobaan pembunuhan terhadap para pemimpin
RI, menjadikan keadaan kota Jakarta menjadi tidak kondusif bagi
pelaksanaan pemerintahan Indonesia yang masih bayi. Karena itu pada
tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah
rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan
rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara.

Pada tanggal 3 Januari 1946, Presiden Soekarno dan Wakil


Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya
meninggalkan Jakarta dengan kereta api dan pindah ke Yogyakarta,
sekaligus pula memindahkan ibu kota Republik Indonesia. Adapun
Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi
dengan Belanda tetap tinggal di Jakarta. Perpindahan para petinggi RI
ini dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus, sehingga
disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).

Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe


C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi
yang biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang
disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA). Rangkaian terdiri dari
delapan kereta, mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang
kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta
tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk presiden, dan satu kereta
inspeksi untuk wakil presiden[. Masinis adalah Kusen, juruapi (stoker)
Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei.

25
Perjalanan diawali sore hari,
dengan
KLB Rangsir dari Stasiun
Manggarai menuju Halte
Pegangsaan (sekarang sudah
dibongkar) dan kereta api
berhenti tepat di belakang
kediaman resmi presiden di
Jalan Pegangsaan Timur 56.
Setelah lima belas menit
embarkasi, KLB berangkat ke
Stasiun Manggarai dan
memasuki jalur 6. Kereta api
melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam.
KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu signal aman dari Stasiun
Klender. Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan perjalanan dengan lampu
dimatikan dan kecepatan lambat agar tidak menarik perhatian pencegat
kereta api yang marak di wilayah itu. Barikade gerbong kosong juga
diletakkan untuk menutupi jalur rel dari jalan raya yang sejajar di
sebelahnya.

Selepas Setasiun Klender, lampu


KLB dinyalakan kembali dan
kereta api melaju dengan
kecepatan maksimum 90 km per
jam. Pada pukul 20 KLB
berhenti di Stasiun Cikampek.
Pada pukul 01 tanggal 4
Januari 1946 KLB berhenti
di Stasiun Purwokerto, dan
kemudian melanjutkan
perjalanan hingga tiba pada
pukul 07 di Stasiun Yogyakarta.
(Wikipedia Indonesia). Dan mulai
saat itu Yogyakarta menjadi
Ibukota Republik Indonesia hingga pengakuan /penyerahan kedaulatan
dari Belanda pada tahun 1949.

Dan setelah perpindahan Ibukota RI ke Yogyakarta, Batavia (Jakarta),


berada dibawa kendali dan penguasaan tentara Sekutu dan NICA
Belanda.

****

26
BAB III
PERJUANGAN KEBAKTIAN RAKYAT INDONESIA
SULAWESI ( KRIS ) PASCA PROKLAMASI
KEMERDEKAAN

Menjelang akhir perang Pasifik Raya,


sebagian besar dari kawasan Indonesia
Timur yang berada di bawah pemerintahan
Angkatan Laut Jepang,sudah diduduki
pasukan Sekutu SWPA pimpinan Jendral
Mac Arthur sejak awal tahun 1945.
Kekalahan bermula sejak kekuatan
Angkatan laut Jepang dilumpuhkan di
Pasifik Barat Daya bulan April 1943. Pihak
Sekutu berhasil membangun poros
kekuatan dari Pasifik Barat-Daya,
membangun pangkalan militer di pulau
Biak dan pulau Morotai dan menguasai
Laut Maluku Utara hingga Laut Sulawesi.
Dari Morotai, kekuatan sekutu melakukan
pemboman terhadap posisi kekuatan Jepang di Ambon, Manado, Makassar
dan Balikpapan diduduki oleh pasukan Australia, sedangkan di Jawa dan
Sumatera diduduki oleh pasukan Inggris.

Setelah perang Pasific ATAU Perang Timur Raya (Perang Dunia II) antara
Sekutu dan Jepang berakhir dan memulangkan serdadu Jepang keluar dari
tanah pendudukannya termasuk di Indonesia, pihak Sekutu melakukan
proses alih pemerintahan kepada pihak Belanda yang dikelola NICA
(Netherlands Indiesch Civil Administration) di Indonesia Timur. Lembaga ini
di dirikan oleh Dr. H. van Mook di Merauke, sebagai pemerintah
pengasingan Hindia-Belanda pada masa perang Pasifik.

Ternyata alih pemerintahan AFNEI kepada pihak NICA berdampak buruk


bagi citra sekutu dari masyarakat Indonesia Timur yang menolak
kembalinya hegemoni Hindia-Belanda. Pergolakan tak terhindar dan
melanda Kalimantan, Sulawesi dan Maluku hingga merepotkan militer
Australia yang dijebak oleh Belanda memusuhi kalangan nasionalis. Padahal
para nasionalis di Indonesia Timur turut membantu pasukan sekutu
memerangi Jepang dalam berbagai aksi bawah tanah di masa pendudukan
militer Jepang.
******

27
A. TERBENTUKNYA KRIS

Sejak Teks Proklamasi


Kemerdekaan Republik
Indonesia dibacakan oleh Bung
Karno dan Bung Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945,
sebagai realisasi daripada
kemerdekaan tersebut maka
pada tanggal 5 Oktober 1945
Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) dibentuk, hal ini
merupakan langkah pertama
bagi pengisian kemerdekaan
dengan membentuk suatu alat
kekuasaan yang terorganisir. Segenap rakyat di seluruh Nusantara tua-
muda, laki-perempuan mengangkat senjata rela berkorban baik harta
maupun nyawa untuk membela nusa dan hangsa. Disamping Tentara
resmi yang terbentuk dalam organisasi Tentara Keamanan Rakyat,
terdapat pula berbagai macam organisasi-organisasi lain seperti Barisan
Pelopor, Barisan Benteng Indonesia, Laskar Hisbullah, Barisan Rakyat
Indonesia, Angkatan Pemuda Indonesia, Angkatan Pemuda Indonesia
Sulawesi, Gabungan Pemuda Indonesia Sulawesi dan lain-lain.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik


Indonesia, beberapa pemuda asal Sulawesi yang
tergabung dalam organisasi Angkatan Muda
Sulawesi (AMS) yang baru dibentuk di bawah
pimpinan Gajus Gagola, melakukan aksi
pencoretan seperti pada tembok-tembok, kereta api
dan lain-lain, hal ini dimaksudkan untuk
membangkitkan semangat seluruh pemuda dan
rakyat Indonesia. Usia AMS tidak lama, ketika
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) terbentuk, AMS
bergabung ke dalam BKR. Dalam wadah organisasi inilah para pemuda
AMS bertemu dengan para pemuda lainnya seperti Jan Rapar yang sejak
lama telah dibina sebagai pasukan tempur istimewa dibawah bimbingan
politis dari Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis dan Dr. G.S.S.J.
Ratulangi.

Perjuangan para pemuda beserta rakyat bergerak sangat cepat, komando


pemuda berkumandang secara revolusioner dari markasnya di Menteng
Raya 31. Serentak pula kelompok pemuda Sulawesi menggabungkan diri
dengan para pemuda Menteng Raya 31, yang tergabung dalam satu
wadah organisasi Angkatan Pemuda Indoensia (API), sehubungan dengan
itu para pemuda Sulawesi pun membentuk organisasi di bawah

28
koordinator API dengan nama Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi
(APIS) dengan markasnya di Jalan : Dr. Sam Ratu Langie No 2, namun
demikian APIS ini di dalam segala aktivitas perjuangannya bergerak
searah dan satu tujuan dengan formasi perjuangan API Menteng Raya
31, APIS selalu memelihara persatuan dan kesatuan antara pemuda-
pemuda Indonesia yang berjuang untuk melenyapkan segala bentuk
penjajahan atas dasar perjuangan nasional seutuhnya. (Dinas Museum dan
Sejarah DKI Jakarta, 1978)

Proses pembentukan seksi pertahanan KRIS sebagai Seksi Pertahanan


KRIS merupakan suatu keharusan, yang hanya dapat dipahami dalam
konteks zamannya. Kehadiran pemuda-pemuda Sulawesi yang bersedia
membela keselamatan kaum Minahasa sejak jatuhnya korban yang
pertama di Ancol yaitu Ferry Alexander, sudah ada, namun belum
terorganisasi. Di antaranya terdapat kelompok kecil yang biasanya
dikenal sebagai kawanan-kawanan Rapar, Sepang dan Moniaga, yang
mencari nafkahnya dengan menjadi "tukang catut" di daerah Senen dan
Jatinegara (pada zaman itu semua orang Indonesia dapat digolong¬kan
"tukang catut", karena hanya dengan cara itulah orang dapat
menyambung hidup". Oleh umum mereka dikenal sebagai orang-orang
"Senen" di mana daerah Senen kala itu merupakan pusat perdagangan
kesibukan "catut".

Sedang di kalangan pemuda-pemuda Kaigun dan pelajar-pelajar Akademi


Pelayaran yang tinggal dalam asrama Kaigun di Gunung Sahari, sudah
terdapat kesadaran terhadap panggilannya sebagai pemuda bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan. Mereka juga sedang berusaha
menghimpun tenaga dan mencari wadah serta cara yang terbaik guna
membuktikan tenaga dan kemampuan mereka. Untuk itu kelompok
tersebut menjumpai beberapa pemimpin bangsa, yang pada pokoknya
menasihatkan, supaya mereka menggabungkan diri dengan badan

29
perjuangan pemuda yang sudah ada. Sesuai dengan nasehat itu mereka
menjumpai pemimpin gerakan pemuda API di Menteng Raya, di mana
mereka bertemu dengan Cayus Gagola dengan teman-teman lainnya.
Cayus Gagola yang juga anggota pengurus PKC dan AMS mengemukakan
persoalan yang mereka hadapi sebagai golongan yang tersudut, yang
harus diselesaikan segera. Setelah mempercakapkan keadaan secara
panjang-lebar akhirnya disimpulkan untuk membentuk sebuah badan
perjuangan Indonesia yang bersifat kedaerahan.

Pada pertengahan September 1945 badan yang bersifat khusus itu


dibentuk dengan nama Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS)
dengan Cayus Gagola sebagai ketua. (DPP PDS - Partisipasi Damai Sejahtera,
2015).

Setelah itu, para pemimpin


Angkatan Pemuda Indonesia
Sulawesi (APIS) dan Gabungan
Pemuda Indonesia Sulawesi
(GAPIS) mengadakan
perundingan, yang kemudian
diperoleh kesepakatan bahwa
organisasi APIS dan GAPIS
bersepakat untuk meleburkan
diri kedalam satu wadah, yang
akhirya pada tanggal 10
Oktober 1945 terbentuklah
satu badan baru secara resmi
dengan nama Kebaktian
Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dengan formasi pimpinan sebagai
berikut:

Ketua : A.R.S.D. Ratu Langie;


Wakil Ketua : Baharuddin ;
Sekretaris I : Kahar Muzakar ;
Sekretaris II : J. W.Waworuntu ;
Bendahara I : S. A. Pakasi;
Bendahara II : H. M. Idrus;
Pembantu Umum : M. Idris, Mahmud
Pembantu Bidang : Frans Panelewen; Penerangan

Program Perjuangan KRIS sebagai berikut :


1. Berusaha tetap memelihara perjuangan dengan sistem perlawanan
rakyat total, serta selalu kerjasama bahu membahu dengan badan-
badan perjuangan lainnya : Koordinator : Daan Mogot, Kepala
Pasukan : J. Rapar
2. Mengirimkan utusan ke daerah-daerah pedalaman untuk membentuk
cabang-cabang KRIS, serta menampung keluarga-keluarga Minahasa

30
3. Sekolah Rakyat PEKASE dilanjutkan dengan nama baru yaitu Sekolah
KRIS. Mengingat keadaan di Jakarta sering terjadi pertempuran-
pertempuran, para guru diwajibkan mengantar jemput murid-murid
Sekolah KRIS.
4. Disamping itu, juga Sekolah KRIS dijadikan markas KRIS cabang
Jakarta Raya yang bertugas mengatur strategi perjuangan para
pemuda KRIS
5. Menjalankan usaha-usaha sosial, antara lain menangani para
pengungsi akibat peperangan
6. Mengobarkan peperangan diseluruh wilayah Jakarta dengan taktik
“Hadang-Tempur-Rampas”.
(Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1978)

Sebagai badan perjuangan di


masa revolusi, KRIS memiliki
seksi perjuangan fisik yang
disebut seksi pertahanan. Di
dalamnya terhimpun semua
tenaga yang bercita-cita
berbakti untuk kemerdekaan
Indonesia terhadap Belanda
yang ingin menegakkan
kembali kolonialisme di
Indonesia. Sebenarnya tidak
pernah PKC maupun AMS,
yaitu badan-badan organisasi
turunan Sulawesi yang menjelma menjadi KRIS, merencanakan
mengadakan bagian pertahanan fisik atau membentuk barisan pejuang
sendiri.

Dengan demikian hendak dijelaskan hubungan mereka sebagai orang-


orang Sulawesi dengan semangat API, yang pada saat itu sangat disegani,
karena dalamnya terdapat pemuda-pemuda Rengasdengklok antara lain
Wikana, Adam Malik, Sukarni dan Chaerul Saleh.
Afiliasi tersebut tak berarti bahwa antara API dengan APIS terdapat
hubungan organisasi. Jelasnya, hubungan APIS dengan API tidak boleh
diartikan sebagai subordinasi APIS pada API, tetapi sebagai tanda
kesejajaran organisatoris.

Untuk API dan semua badan perjuangan yang didirikan pada waktu itu
hanya ada satu dasar dan tujuan, yaitu Menegakkan Kemerdekaan
Indonesia sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagaimana caranya
sesuatu badan, malah setiap pribadi memperjuangkan tujuan itu tidak
menjadi masalah. Yang pokok adalah dasar dan tujuan perjuangan tidak
menyimpang. Oleh sebab itu, APIS setelah berdiri, secara langsung
bergerak sebagai suatu badan otonom dan berdasarkan kebebasan

31
itulah, setelah terdapat kesepakatan dengan badan baru yang disebut
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).

Dalam situasi dan kondisi tersebut kiranya mudah dipahami, kalau seksi
pertahanan KRIS, sekalipun merupakan bagian dalam organisasi KRIS,
namun tidak selalu sejajar dan seirama dengan proses perkembangan
KRIS. Hal itu harus di pahami, supaya tanggal berdirinya seksi
Pertahanan KRIS yang berlaku dua hari sebelum tanggal peresmian
nama KRIS pada 10 Oktober 1945, dimengerti. Sudah disebut, bahwa
setiap orang bebas bertindak selama tindakannya berada dalam ikatan
perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Di samping itu perkembangan


situasi berjalan begitu cepat
sehingga badan-badan perjuangan
juga harus gesit. Setelah para
pejuang mendengar telah tercapai
persetujuan antara pemimpin-
pemimpin PKC (Pertolongan Kaum
Celebes), AMS (Angkatan Muda
Sulawesi), APIS (Angkatan Pemuda
Indonesia Sulawesi) dengan GPSS
(Gerakan Pemuda Sulawesi
Selatan), melebur diri dalam wadah
baru, Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi (KRIS), para pejuang yang
tergabung dalam kelompok
pertahanan meresmi¬kan diri
sebagai seksi pertahanan KRIS. Nama KRIS baru disetujui, tetapi belum
diresmikan, tidak menjadi masalah. Yang penting sudah punya bendera
yang menyata¬kan indentitas mereka dalam barisan badan-badan
perjuangan Indonesia lainnya. Persetujuan itu terjadi pada malam hari
tanggal 9 Oktober 1945 di Kramat V, Jakarta Pusat. Sejak malam itu
kelompok pejuang Indonesia Sulawesi menyebut sebagai anggota KRIS
dengan pengertian, kelom¬pok-kelompok yang bergabung di dalamnya
bebas dalam pengatu¬ran organisasi masing-masing, tetapi dengan
syarat, untuk membuk¬tikan keterlibatan Sulawesi dalam perjuangan.
Tidak terjadi pele¬buran atau penyatuan komando. Semua orang tetap
bebas memelihara identitas masing-masing.

Para pendiri KRIS sadar, bahwa perjuangan mereka tidak sederhana,


tidak seperti badan-badan perjuangan lainnya yang hanya menghada¬pi
pihak Belanda. Sebelumnya KRIS harus sanggup membuktikan
eksistensinya sebagai orang Indonesia yang cinta bangsa dan tanah air.
Oleh sebab itu, mereka harus membuka front menghadapi kawan-kawan
yang terdapat dalam satuan NICA, yang telah mengobarkan kecurigaan

32
dan antipati terhadap suku Manado/Ambon di kalangan rakyat. (DPP PDS
- Partisipasi Damai Sejahtera, 2015).

Pembentukan KRIS juga akibat


perkembangan keadaan pada bulan-
bulan pertama setelah Proklamasi, yang
hendak merendahkan martabat kaum
Sulawesi dengan menggolongkannya
sebagai pengkhianat, "Londo hitam" dan
"anjing NICA", telah memaksa mereka
membela diri. Tidak ada instansi yang
dapat memberi keadilan pada mereka,
karena Republik masih harus
membuktikan diri sebagai bangsa yang
berdaulat dan memiliki pemerintahan.
Beberapa korban telah jatuh sebagai
akibat fitnah dan tuduhan sewenang-
wenang di tangan massa dari daerah-
daerah tertentu yang percaya, bahwa orang-orang Minahasa adalah
pengkhianat.

Tidak sampai di situ saja. Boikot secara besar-besaran terhadap semua


keluarga Sulawesi dilancarkan di semua pasar-pasar di Jakarta,
sehingga tidak ada pedagang yang berani menjual bahan-bahan
makanan kepada orang-orang Manado. PKC dengan AMS berusaha
mencari jalan keluar dalam masalah itu. Sementara itu mereka sadar,
kalau ingin mengadakan koreksi terhadap pendapat massa, mereka
harus bergerak sebagai satu kelompok, bukan dengan meleburkan diri
dalam suatu badan perjuangan yang sudah ada. Mereka terpaksa
membentuk badan yang menyatakan identitasnya yang diragukan
dengan membuktikan kesejajarannya dengan badan-badan perjuangan
Indonesia lainnya. Untuk mencapai tujuan itu tenaga-tenaga kaum
Minahasa harus di himpun dalam satu badan khusus. Usaha itu dapat
diwujudkan setelah dengan bekerja sama dengan orang-orang Sulawesi
lainnya, sehingga terbentuklah badan perjuangan Kebaktian Rakyat
Indonesia Sulawesi (KRIS). (DPP PDS - Partisipasi Damai Sejahtera, 2015).

Tekanan terhadap orang-orang Minahasa, dimanfaatkan oleh NICA-Belanda


untuk membiayai kepulangan mereka ketempat asal mereka di Minahasa.
Beberapa kapal laut disewa untuk mengangkut orang-orang Minahasa kembali
ke daerah asal mereka. Hal itu dilakukan untuk mengambil hati rakyat
Minahasa yang sejak dahulu mempunyai hubungan historis dan emosional
dengan Belanda. Hal ini bisa dilihat ketika Belanda memerlukan tenaga untuk
menjaga keamanan di negeri jajahan Hindia Belanda dahulu, pemuda Minahasa
menjadi pilihan utama untuk dijadikan tentara bayaran baik sebagai Marsose
maupun kemudian sebagai KNIL.

*****

33
B. PERJUANGAN KRIS MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

Para Pemuda KRIS di


Jakarta mengadakan
perlawanan dalam bentuk
pertempuran-pertempuran
yang terdiri dari kelompok-
kelompok kecil terdiri dari 3
sampai dengan 5 orang.
Dengan keberanian yang
luar biasa mereka
mengadakan serangan dari
berbagai penjuru kota
Jakarta seperti daerah
Senen, Keramat, Cikini,
Jatinegara, Petojo hingga Tanjung Priok secara serentak tanpa
memperdulikan siapa komandan mereka, bertempur dengan hasil yang
gilang gemilang. Kelompok-kelompok kecil seperti Kelompok Lukas Palar,
Jopi Pesak, Endi Ruminggit, Piet Sumilat, Piet Sibih, Alex
Pangemanan dan lainnya, mereka bertempur dengan gayanya masing
masing. Mereka inilah yang membawa harum nama KRIS dimata
masyarakat, tanpa adanya hasil daripada perjuangan kelompok-
kelompok kecil ini, kiranya KRIS tidak akan mungkin menjadi faktor
yang menentukan langkah-langkah perjuangan dalam arti perjuangan
kemerdekaan Rakyat Indonesia kita ini.

Selain perjuangan-perjuangan fisik yang telah disebutkan di atas, KRIS


cabang Jakarta Juga memikul beban tugas untuk mengadakan infiltrasi
ke dalam tubuh pasukan KNIL, guna mencari kontak dengan daerah-
daerah Sulawesi yang masih di bawah kekuasaan KNIL. Untuk
merealisasi tugas tersebut pimpinan KRIS menempuh dua jalan yakni
pertama, mengadakan infiltrasi langsung ke dalam tubuh KNIL untuk
merongrong kekuatan militer Belanda; kedua, mengurus dan membentuk
barisan-barisan rakyat yang berjuang di daerah kekuasaan KNIL. Dengan
kedua cara ini perjuangan KRIS sangat berhasil, hal ini terbukti dengan
terjadinya pernberontakan di Manado yang terkenal dengan peristiwa 14
Februari 1946.

1. Keadaan Di Sulawesi Utara Pasca Proklamasi Kemerdekaan

Tentara Sekutu di bawah Jendral Mac Arthur menduduki Morotai dan


menyerang kubu-kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara lalu beralih
dan menduduki pada 10 Oktober pulau Leyte di Filipina.

34
Pada April-Agustus 1945, pimpinan
tentara Kaigun yang pindah ke Tondano
mempersiapkan Indonesia Merdeka
sesuai janjinya. Bendera Merah-Putih
mulai dikibarkan di samping bendera
Hinomaru sedangkan jabatan-jabatan
sipil berangsur-angsur diserahkan
kepada bangsa Indonesia. Tentara
keamanan diserahkan oleh panglima
Laksamana Hamanaka kepada Indonesia
dalam bentuk pasukan Pembela Tanah
Air (PETA), pimpinan Wangko Sumanti,
tetapi tidak dengan penyerahan senjata.

Setelah dikumandangkan Proklamasi


Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta yang kemudian
berita itu diterima di Sulawesi Utara, disusul dengan menyerahnya
Panglima Hamanaka kepada Tentara Sekutu di Morotai dengan seluruh
pasukannya sejumlah 8000 orang yang kemudian dikumpulkan di kamp
tawanan di Girian-Bitung.

Di Minahasa, Sulawesi Utara, berita proklamasi kemerdekaan pertama


kali diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945. Berita Kemerdekaan
Indonesia ini pertama kali didengar A Sigar Rombot yang waktu itu
bertugas di markas Angkatan Laut Jepang di Tondano sebagai markonis,
mendengar berita itu disiarkan kantor berita Domei di Tokyo. Berita ini
tak menonjol dan hanya diselipkan diantara berita-berita berkisar pada
peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kaputiasi Jepang, dan
perintah gencatan senjata oleh Kaisar Hirohito, dll.

Sigar Rombot lalu menyampaikan berita itu, antara lain kepada Wangko
F Sumanti yang ketika itu menjabat komandan Benteng Pertahanan
Tanah Air di Tondano - Minahasa.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi tersebut


dengan menaikan bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan
Indonesia Raya di Lewet - Tondano. (J.V. Lisangan, 1995) Lisangan adalah
salah seorang yang hadir dalam upacara itu. Di masa itu ia adalah pelajar
pada sekolah menengah pertama Jepang, Chuu Gakko yang melakukan
kegiatan belajar mengajarnya di penyingkiran Koya, Tondano.

Sejak itu para pemuda Tondano memulai gerakan pembelaan proklamasi.


Kegiatan pemuda di Tondano pertama kali terjadi di Sekolah Kepolisian
(Nippon no Tokoubetsu Kaisatsu) yang di dirikan pada jaman pendudukan
Jepang di sebuah gedung gereja Advent di Rerewoken –Tondano,
Minahasa. Jumlah siswanya sekitar 70 orang yang rata-rata berusia 17
tahun dan direkrut dari seluruh penjuru Minahasa yang antara lain

35
terdapat, Alex Lelengboto, Leo Kawilarang, Frans Karepouan, John
Somba, Adolf Wungouw dan Karinda. Sedangkan diantara para guru
terdapat juga orang-orang non-Kawanua, seperti Samsuri, Rusman dan
Massu.

Segera setelah menerima berita dari Sigar dan Rombot, pada tanggal 19
Agustus 1945, para pelajar di Sekolah Kepolisian di Tondano mengadakan
appel menaikkan bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Badan Pemerintah Sementara (Komite Tenaga Rakyat) dibawah
pimpinan E.H.W. Pelenkahu memutuskan pada 23 Agustus, dwiwarna
Merah Putih di kibarkan serentak pada beberapa tempat di Minahasa,
yakni Tondano, Kawangkoan, Kombi dan Sonder. Peristiwa itu terjadi
sebelum penyerahan Jepang pada Sekutu.

Namun, euforia kemerdekaan ini tak berlangsung lama. Jepang di


Indonesia Timur menyerah kepada sekutu 9 September 1945. Itu
dilakukan di Morotai. Sekutu memasuki Indonesia untuk melucuti
tentara Jepang, memulangkan mereka ke Jepang dan membebaskan para
interniran. (Leirissa, 1977).

Penyerahan Jepang kepada


Sekutu di Indonesia Timur pada
tanggal 9 September 1945 di
Morotai itu, diikuti dengan
kedatangan misi-misi militer
Australia yang tiba di Minahasa
pada tanggal 11 September
1945 untuk melaksanakan
tugas perlucutan senjata
tentara Jepang yang berjalan
tanpa keributan. Sejak itupun
kegiatan kelompok Komite
Tenaga Rakyat tak terdengar
lagi.

Tugas pelucutan tentara Jepang ini dilaksanakan oleh Australian Military


Force (AMF) yang diperkuat „Kompi 7 KINL‟. Di dalam „Kompi 7 KNIL‟
terdapat orang-orang Minahasa, dan daerah lain di
nusantara. AMF melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara
Jepang tanpa perlawanan. Tapi tugas mereka hanya berjalan sekira satu
minggu lalu kemudian diganti South East Asia Command, Inggris. Lalu,
tugas itu dikembalikan lagi kepada AMF. Untuk memantapkan tugasnya,
dibentuklah semacam satuan-satuan tugas.

Di Manado, satuan tugas itu bernama Manado Force. Manado


Force dipimpin oleh Letnan Kolonel Muir. Sebelumnya dia juga
memimpin misi militer untuk menerima penyerahan Jepang di Tondano

36
dan Tomohon. Menurut Leirissa, Kekuatan Manado Force terdiri dari 72
orang, 12 perwira dan 33 bintara dan prajurit. Mereka tiba di Manado
pada tanggal 2 Oktober 1945. Manado Force, seperti juga satuan-satuan
lainnya, ketika datang disertai satu dasatasemen Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) atau
Pemerintahan Sipil Hindia
Belanda. NICA dibentuk di
Australia pada 3 April 1944.

Di awal 1944, Letnan


Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, H.J. Van Mook dan
Panglima Tertinggi SWPA,
Jenderal Douglas MacArthur
dari AS, menyepakati bahwa
wilayah Hindia Belanda yang
berhasil direbut oleh pasukan
Sekutu akan diserahkan
kepada pemerintahan sipil
NICA.

2. Berdiri Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI)

Kehadiran NICA menghidupkan memori penjajahan Belanda. Meski tidak


semua kelompok di Minahasa bersikap mutlak anti Belanda, tapi sebuah
kelompok pemuda Minahasa, Sangihe dan dari lain di Sulawesi Utara
punya cara pandang Baru dalam memahami arti Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namanya, Barisan Pemuda Nasional
Indonesia (BPNI).

Sejak Manado Force meninggalkan Minahasa pada awal Februari 1946,


kata Leirissa, NICA mendapat banyak kebebasan untuk menjalankan
pemerintahan. Sejak itu pula, Coomans de Ruyter, yang memulai
menamakan dirinya „Residen‟, memindahkan kantor dan rumahnya ke
Tomohon, yaitu di kompleks rumah sakit Katolik „Gunung Maria‟. (Leirissa,
1977).

Ikut pindah ke Tomohon adalah pimpinan KNIL, Letkol. De Vries yang


menyandang jabatan Troepen Commandant Noord Celebes. Kekuatan
tentara KNIL makin besar. Selain Kompi 7, terdapat pula bekas tentara
KNIL yang baru dibebaskan dari tawanan Jepang. Dengan begitu, NICA
semakin memiliki kekuatan pula untuk memerintah di Minahasa.
Lisangan menuturkan, ketika hadir di Minahasa, NICA melarang
pengibaran bendera Merah Putih di gedung-gedung pemerintah yang
sudah berkibar sejak tanggal 19 Agustus itu. Sekolah-sekolah Jepang
juga ditutup.

37
Kehadiran NICA, menurut Leirissa berhadapan dengan pandangan politik
pemuda dan intelektual-intelektual Minahasa yang terbentuk oleh
pengalaman penjajahan dan perang. Generasi yang menerima doktrin
Jepang tentang keunggulan ras Asia di atas Eropa memunculkan sikap
anti terhadap Belanda. Mereka secara radikal menolak eksistensi Belanda
di Minahasa.

Kelompok lain memiliki


kesadaran bahwa Minahasa
berbeda dengan suku-suku lain
di nusantara, sehingga masa
depan politik Minahasa adalah
„federalisme‟ dalam Indonesia.
Sementara kelompok yang lain,
sepertinya menerima kehadiran
NICA karena menganggap
dapat merealisasikan pidato
Ratu Wilhemina pada tanggal 7
Desember 1942 yang
mengiming-imingi bentuk
persemakmuran antara Negeri
Belanda dengan daerah-daerah
jajahannya.

Namun ternyata dalam bulan-bulan pertama setelah Proklamasi itu pihak


Belanda sama sekali tidak mengetahui adanya kelompok pemuda radikal
itu di Minahasa. (Leirissa, 1977).

Tapi sebetulnya benih-benih anti penjajahan mulai mengkristal sejak


tahun 1930-an dan lebih jelas lagi sejak tahun 1943. Ini antara lain
ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi olah raga yang
mengembleng dan menanamkan rasa kebangsaan kepada pemuda-
pemudi. Menurut Lisangan tokoh-tokoh yang membentuk organisasi itu
adalah O.H. Pantouw, B.W. Lapian, G.E. Dauhan, Frits Kumontoy, ABH
Waworuntu, J.U. Mangowal, Max B. Tumbel, dan dr. Senduk.

Pemuda dan pemudi yang menjadi anggota organisasi itu adalah Bert
Sigarlaki, Eddy Gagola, Parengkuan, Na. Wulur, Nyong Lomban, dan
Mimi Mewengkang. Seorang pemuda lain yang kemudian berperang
penting adalah John Rahasia.

B.W. Lapian adalah seorang intelektual yang ikut membidani lahirnya


Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) pada tahun 1933 sebagai
klimaks dari protes-protes Pangkal Setia terhadap kekuasaan Indische
Kerk. G.E. Dauhan, adalah seorang yang berasal dari Sangihe, wartawan
dan aktivis politik. Menurut Lisangan, pada tahun 1928, Dauhan bersama
Max B. Tumbel, O.H. Pantouw yang mendirikan Partai Nasional

38
Indonesia (PNI) dan juga menerbitkan surat kabar „Suara Kaum‟ di
Manado.

John Rahasia adalah seorang yang berasal


dari Sangihe. Ia kemudian mengikuti
pendidikan perwira kapal di Pare-pare.
Sekolah perwira pelayaran yang
bernama Koto Kaiin Yesyio itu menampung
sejumlah pemuda MULO yang dididik untuk
perwira pelayaran niaga. Dari Minahasa
waktu itu terdapat 60 pemuda asal Utara
Sulawesi, yaitu Ventje Sumual, Freek
Sumanti, Piet Ngantung, Bert Supit, Bob
Pussung, Rolly van Heuven, Daan Mogot,
Albert Tumbelaka, Roel Mamesah, Ernst Sompotan, Hein Montolalu,
Nun Pantouw, Willy Pantouw dan John Rahasia. (Yan Torar, 1985)

Tanggal 19 Agustus 1945, John Rahasia dan kawan-kawannya berangkat


dari Pare-pare menuju Manado. Tapi nanti awal Oktober, atas inisiatif
John Rahasia sejumlah pemuda berkumpul di kediamannya, jalan
Sindulang, Manado. Kelompok itu antara lain terdiri dari Chris Pontoh,
Wim Pangalila, Mohammad Kanon.

Setelah tiba di Manado, John Rahasia mengumpulkan sejumlah pemuda


di rumahnya, Jalan Sindulang. Diantaranya terdapat Chris Pontoh, Wim
Pangalila, Mohammad Kanon, dll. Hasil dari pertemuan ini hingga pada
8 Oktober 1945 terbentuk organisasi pemuda pertama di Minahasa,
Barisan Pemuda Nasional Indonesa (BPNI), sebagai gerakan pendukung
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Wawasan mereka ini disebarluaskan
melalui dua majalah sederhana, yaitu media Catapult (berbahasa
Belanda) dan Suara Indonesia Muda.

Rencana positif BPNI muncul ketika pasukan Australia mengumumkan


niatnya untuk mengundurkan diri dari Minahasa. Mulusnya kekuasaan
NICA dan KNIL Belanda melalui Manado Force, ternyata menghantui
BPNI, sehingga rencana apapun yang mereka lakukan serba terselubung
dan rahasia agar tidak tercium intelijen NEFIS ataupun NICA. Maka, pada
tanggal 8 Oktober 1945 pemuda-pemudi itu mendirikan organisasi politik
pemuda bernama Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Tujuan
mereka adalah mendukung gerakan kemerdekaan yang diproklamasikan
di Jakarta. Wawasan-wawasan mereka itu disebarluaskan melalui dua
majalah sederhana, yaitu Catapult (berhasa Belanda) dan Suara
Indonesia Muda. (Leirissa, 1977). Ketua BPNI adalah John Rahasia,
pelopornya yang lain adalah Mat Kanon, Kris Pontoh, dan lain-lain.
Sementara G.E. Dauhan dan kawan-kawannya membentuk Barisan
Nasional Indonesia (BNI). Salah satu agenda BNI, menurut Lisangan
adalah menyakinkan masyarakat Minahasa untuk berpartisipasi dalam

39
revolusi nasional. Hal ini ditekankan, karena disadari di dalam kelompok-
kelompok masyarakat Minahasa terdapat faksi-faksi dan perbedaan
pandangan mengenai masa depan politik Minahasa. (J.V. Lisangan, 1995)

3. Rencana Boikot BPNI

Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan


Manado. Kini semua urusan ditangani oleh NICA. “BPNI melihat
kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim Pangalila,
merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh
Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling, (Ben Wowor, 1915)

Aktivis BNI mendengar, bahwa NICA berencana akan melaksanakan


perayaan Perjanjian (Verbon) 10 Januari. Itu akan dilaksanakan pada 10
Januari 1946 di lapangan Wenang. Sejak Jepang menduduki Minahasa,
perayaan ini tidak lagi dilaksanakan. Terakhir dirayakan pada tahun
1942. Kali ini pihak NICA ingin menyelenggarakan dengan tujuan untuk
menjalin hubungan Minahasa-Belanda setelah terputus oleh pendudukan
Jepang, Selain itu, perayaan ini untuk mengenang, menghormati,
memperingati dan bahkan untuk membuat orang-orang Minahasa terus
terikat dengan Belanda.

Perjanjian itu terjadi pada tahun


1679, sejumlah pemimpin atau
kepala walak Minahasa menyatakan
perjanjiannya secara tertulis dengan
pihak Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC). Pada abad 20,
perjanjian itu dianggap sebagai tanda
dari „persekutuan‟ antara Minahasa
dan Belanda. Olehnya, tanggal 10
Januari seolah-olah adalah hari
sakral. Setiap tahun dirayakan.
Bahkan, untuk memperingati 250
tahun (1929) perjanjian itu, E.C.
Godee Molsbergen dimita khusus
untuk menulis sejarah itu. Bukunya
berjudul Geschiedenis van de
Minahasa tot 1829. Tidak heran jika di dalam masyarakat Minahasa ada
kelompok yang percaya pada Ratu Wilhemina pada tanggal 7 Desember
1942. Juga berharap Minahasa nanti menjadi Provinsi ke-12 dari
Belanda.

Diam-diam BPNI melakukan pertemuan. Mereka lalu menyusun suatu


aksi yang tergolong berani dan radikal. Memboikot perayaan Perjanjian 10
Januari. BPNI lalu menyusun rencana. Pembicaraan-pembicaraan
dilakukan beberapa kali. “Rencana pokok adalah „memboikot‟ perayaan

40
itu dengan cara menimbulkan kerusuhan pada hari itu, terutama di
lapangan Wenang di mana perayaan akan dipusatkan,” tulis Leirissa.
Tindakan utama yang direncanakan adalah pengibaran bendera Merah
Putih di lapangan upacara dengan perlindungan pemuda. Dengan
maksud agar gerakan protes akan menjalar dan membangkitkan
kekuatan massa. Utusan-utusan memang telah dikirim ke Tondano,
Tonsea dan Tomohon.

Tapi, rencana BPNI ini tercium oleh intelejen NICA. Para aktivis BPNI,
John Rahasia, dan Chris Pontoh ditangkap dan dipenjarakan. Tokoh-
tokoh pemuda lainnya yang juga ditangkap adalah Mohammad Kanon,
Gerrit Kansil, Wim Pangalila, Sukandar, Ben Wowor, Usman
Pulukadang, Louis Paat, Joppi Poliis. Aksi boikot perayaan 10 Januari
gagal.

Kritik terhadap perayaan 10 Januari sebagai „hari sakral‟ rupanya penting


bagi para pemuda dan aktivis politik di masa itu untuk menyatakan sikap
anti penjajahan. Sekira 13 tahun sebelum BPNI merancang aksi mereka,
pada tahun 1933, seorang aktivis politik, J.C. Dauhan, asal Siau saudara
G.E. Dauhan melakukan propaganda bernada sentimen anti Belanda.
J.C. Dauhan menulis pada sebuah surat kabar sebuah artikel berjudul “
“10 Januari Hari Nasional?”. Bersama G.D. Dauhan ia diperiksa oleh
polisi dengan tuduhan telah melakukan penghasutan kebencian. Bagi
pemerintah Belanda dimana tindakan itu adalah suatu masalah besar.

4. Kembalinya Para Perantau Minahasa

Sejak peristiwa penangkapan itu, situasi Manado menjadi tegang. Selain


karena rencana aksi boikot BPNI, juga dipengaruhi oleh kedatangan para
pengungsi dari Jakarta dan Makassar yang membawa berita-berita
tentang perkembangan politik di kedua kota itu. Sebenarnya kedatangan
mereka atas gagasan Kolonel Giebel untuk berbuat baik terhadap orang-
orang Minahasa dengan mendatangkan para perantau yang ingin pulang
karena menjadi korban aksi pembantaian pemuda-pemuda radikal
ekstrimis sektarian di Jawa.

Banyak orang Minahasa di perantauan harus mengalami deraan dan


pembantaian dengan tuduhan “Anjing Belanda” di Pontianak,
Banjarmasin, Salatiga, Semarang, Jakarta dll. Dalam acara pulang
kampung itu, diantara pengungsi terdapat pengungsi pro-Republik.

Kapal pertama bertolak dari Jakarta, “Van Heutz,” singgah di Semarang


dan Surabaya juga mengangkut pengungsi. Terdapat pula anggota-
anggota KNIL yang datang dari Australia yang menyusup di kapal. Antara
lain adalah Kopral Wim Kere yang setiba di Manado dimasukkan dalam
salah satu Kompi KNIL di Teling. Kapal kedua, “Zwartehond,” bertolak
dari Makasar juga mengangkut para pengungsi.

41
4. Misi Dr. Sam Ratulangi

Pada bulan September 1945, sementara para


pemuda Sulawesi Utara membentuk Barisan
Pemuda Nasional Indonesia (BPNI), dan NICA-
Belanda di bawah perlindungan Sekutu menduduki
kembali Indonesia Timur, khususnya Sulawesi
Utara, dan segera berusaha memulihkan
kekuasaannya dari masa Hindia-Belanda tetapi
terlibat clash dengan pasukan pemuda BPNI.

Pada awal Januari 1946 pihak Belanda membongkar sebuah organisasi


rahasia gerakan pemuda Republik yang sudah terbentuk sejak bulan
Oktober 1945. Organisasi rahasia pemuda ini merupakan inisiatif dari
John Rahasia, seorang pemuda asal Sangir-Talaud yang pernah
mengikuti pendidikan perwira kapal di Pare-Pare masa pendudukan
Jepang. Waktu itu sekolah perwira pelayaran Jepang, Koto Kaiin Yesyio
itu menampung sejumlah pemuda lulusan MULO yang di didik untuk
menjadi perwira pelayaran niaga. Ketika itu dari Minahasa terdapat
sekitar 60 pemuda. Setelah kapitulasi Jepang sekolah ini ditutup. Para
pemuda itu dengan berbagai cara berhasil kembali ke Sulawesi Utara
ataupun ke Jawa. John Rahasia bersama sejumlah pemuda berangkat
dari Pare-Pare pada tanggal 19 Agustus 1945 dan baru tiba di Manado
melalui darat pada awal bulan Oktober.

Setelah tiba di Manado, John Rahasia mengumpulkan sejumlah pemuda


di rumahnya, Jalan Sindulang. Diantaranya terdapat Chris Pontoh, Wim
Pangalila, Mohammad Kanon, dll. Hasil dari pertemuan ini hingga pada
8 Oktober 1945 terbentuk organisasi pemuda pertama di Minahasa,
Barisan Pemuda Nasional Indonesa (BPNI), sebagai gerakan pendukung
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Wawasan mereka ini disebarluaskan
melalui dua majalah sederhana, yaitu media Catapult (berbahasa
Belanda) dan Suara Indonesia Muda.

Rencana positif BPNI muncul ketika pasukan Australia mengumumkan


niatnya untuk mengundurkan diri dari Minahasa. Mulusnya kekuasaan
NICA dan KNIL Belanda melalui Manado Force, ternyata menghantui
BPNI, sehingga rencana apapun yang mereka lakukan serba terselubung
dan rahasia agar tidak tercium intelijen NEFIS ataupun NICA.

NICA telah membentuk kembali LOI (organisasi pusat ketentaraan)


sebesar 8 kompi yang terdiri dari tentara KNIL bekas pasukan Sekutu
dengan menerima juga bekas Heiho-Jepang dan pensiunan militer
(reserve corps).

42
Sesuai misi dari Dr. Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi, pasukan
NICA ini harus disusupi oleh para pemuda pejuang militer untuk
kemudian dibantu oleh pemuda (BPNI) mewujudkan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini terlaksana sehingga di asrama
militer di Teling-Manado dibentuk suatu organisasi gelap yang sangat
rahasia oleh Freddy Lumanauw dan Wangko Sumanti yang dinamakan
mereka: „‟Pasukan Tubruk‟‟.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Dr. GSSJ Ratulangi


diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, dengan tugas pokok
memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Sam
Ratulangi, lalu memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat
Keselamatan Rakyat. Tapi, yang paling menarik adalah kemampuannya
menggalang dukungan menyeluruh dalam petisi politik. Petisi ini
ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Petisi ini berisi
pernyataan sikap bahwa seluruh Sulawesi adalah bagian tak terpisah dari
Republik Indonesia.

Untuk maksud tersebut, Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi berhasil


menyelundupkan beberapa kader muda untuk membawa pesan bagi para
pemuda dan pemimpin-pemimpin pergerakan di Tondano. Surat Sam
Ratulangi di bawa oleh seorang wanita yang terpercaya. Surat dibuat di
Makassar, pada bulan Desember 1945, berbunyi:

“Merdeka!
Kami disini baik-baik saja. Anak-anak telah bersekolah kembali,
maksudnya, bersekolah di sekolah nasional kami sendiri, karena kami
lain sekali, bahwa kami akan memenangkan perjuangan nasional ini.
Perjuangan ini kami lakukan secara diplomatik parlementer. Kami
tidak membenci orang-orang Belanda, mereka boleh tinggal disini;
mereka boleh menjadi kaya tanpa diganggu. Tetapi kekuasaan
diplomasi, kekuasaan untuk memerintah, harus ada ditangan kami,
karena ini adalah tanah air kami. Tanah air ini, yang diberi oleh
Tuhan kepada nenek-moyang kami dan pada kami dan turunan kami.
Melalui pekerjaan jasmani dan rohani kami akan membangun bangsa

43
kami dan tanah air kami, agar bisa memberi sumbangsih bagi
perdamaian dunia dan kesejahteraan dunia. Kalian harus selalu ingat
itu dalam apapun yang kalian buat.

Merdeka! Saya telah diangkat menjadi Gubernur Sulawesi oleh


pemerintah Republik. Saya telah menerimanya dan akan
melaksanakannya perjuangan diplomatic, di dukung oleh semua
penguasa Aru dan Karaeng dari Sulawesi Selatan dan Tengah dan oleh
semua Maradia dari Sulawesi Barat, oleh Raja-raja dari Sulawesi
Utara dan oleh para Jogugu dari Gorontalo, yang semuanya telah
menyatakan kesetiaan kepada Yang Mulia Presiden Soekarno. Dengan
hati yang berdarah, saya harus mengakui, bahwa rupanya saya tidak
mendapat dukungan dari orang-orang Minahasa di tanah kelahiran saya
sendiri. Namun tidak apa-apa. Kami, isteri saya dan saya, abak-anak
saya, bukan orang Minahasa lagi, tetapi kami adalah orang Indonesia
yang berjuang bagi kemuliaan dan kebebasan dari suatu bangsa
Indonesia yang besar, yang akan mencapai kemenangan. Doddie
berjuang sebagai seorang perwira dalam jajaran tentara nasional
(Tentara Keamanan Rakyat). Saya harapkan bahwa dia masih hidup.
Kalaupun tidak, maka ia telah memberi sumbangsih yang terbesar bagi
tanah air. Putera dari Mayor Herman “Uttu”Kawilarang berpangkat
Kolonel dalam tentara nasional di Bandung. Putera dari Niko Mogot
berpangkat Kolonel dalam tentara Nasional di Jakarta dan telah
banyak kali berjasa. Bart Ratu Langie dan Zus (Ratu Langie, puteri
tertua, red) adalah anggota dari Parlemen Republik di Jakarta.

Ribuan orang Minahasa di Jawa


turut berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Ribuan
telah menyumbangkan darah dan
jiwanya bagi tanah air.
Mereka berjuang tidak atas
perintah Yang Mulia Soekarno
atau Yang Mulia Hatta, tetapi
atas kemauan sendiri. Sebagai
Gubernur Sulawesi saya
berkata: “Tuhan Memberkati
Mereka.” Yang mulia Soekarno
dan saya sepakat, bahwa
perjuangan akan dilakukan
secara diplomasi, melalui
cara berunding. Dalam hal ini
ia didukung oleh Yang Mulia
Soetardjo yang menjabat
sebagai Gubernur Jawa Barat dan oleh Yang Mulia Soeroso yang
menjabat sebagai Komisaris Tinggi Republik di Surakarta dan
Yogyakarta. Di Medan Yang Mulia Mr Dr Teuku Hasan menjabat sebagai
Gubernur. Dia juga menempuh jalan diplomasi. Disana pun para pemuda
Minahasa (antara lain ketiga putera dari Bolang) berjuang di
barisan terdepan dari tentara nasional. Barangkali mereka masih
hidup, barangkali mereka telah gugur. Sebagai penutup saya
sampaikan yang berikut ini. Kalian mengetahui bahwa beberapa tahun
sebelum meletus saya telah meramalkan akan terjadi perang dunia
kedua yang telah berakhir ini. Hasilnya juga telah saya ramalkan,
tidak berdasarkan hati babi, tetapi dengan memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan politik. Sebab itu, sekarang saya
mengatakan kepada kalian, bahwa berdasarkan faktor-faktor
internasional, Indonesia akan keluar dari perjuangan ini sebagai
wilayah dan bangsa yang merdeka, bahkan dalam waktu yang singkat.
Ingatlah apa yang telah saya katakan ini kalau dalam satu tahun
dari sekarang kita akan bertemu lagi, bersama Yang Mulia Presiden

44
Soekarno saya akan memeriksa apa yang telah kalian lakukan.
Merdeka!

Hormat saya kepada Ernst Pelengkahu, Dr Senduk, B Lapian, H M


Gerungan. Pesan saya adalah: “pertahankan Ketertiban dan
Keamanan.”,

Ttd
Dr. Ratulangi

Dengan adanya petisi tersebut, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi
ditangkap oleh pemerintahan NICA-Belanda, dan dibuang ke Serui (Irian
Barat).

5. Peristiwa Merah Putih Di Manado Dan Minahasa

Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, berawal dari penarikan pasukan


Sekutu (Australia) mulai keluar dari Manado pada akhir tahun 1945, dan
menyerahkan kekuasaannya secara total kepada NICA-KNIL yang
dipimpin oleh seorang Perwira Inggris. Dalam masa transisi tersebut,
John Rahasia dan Wim Pangalila melihat kesempatan untuk melakukan
sebuah revolusi atau pemberontakan yang akan dilakukan oleh pemuda-
pemuda Manado yang tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia
(PPI).

Pada tanggal 28 Januari 1946, Freddy Lumanauw


dan Mantik Pakasi dipanggil Komandan
Garnisun, Kapten Blom, dan langsung dibawa ke
penjara karena sesuai laporan bahwa mereka
sedang mengatur kekuatan untuk menggulingkan
kekuasaan KNIL dari tangan Belanda. Pada 31
Januari Lumanauw dan Mantik dibawa di bawah
pengawalan Polisi Militer ke Tomohon dan
langsung diperiksa oleh Oditur Militer Mr OE
Schravendijck. Selesai pemeriksaan, hari itu juga
mereka dikembalikan ke penjara Manado. Selama
dalam tahanan ini mereka diberitahu oleh Frans
Korah tentang perkembangan rencana persiapan
kudeta yang diatur oleh CH. Taulu, Wuisan dan Sumanti.

Pada 6 Februari 1946 mereka kembali diperiksa di Tomohon, dimana


kepada mereka dinyatakan oleh Oditur Militer bahwa sudah diperoleh
bukti yang jelas menunjukkan, bahwa mereka pada 1944 telah dikirim
ke Sulut dengan tugas khusus dari Dr. Sam Ratulangi yang kini berada
di Makassar untuk melaksanakan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Lumanauw yakin bahwa mata-mata Belanda telah mengikuti
pembicaraan dalam perundingan-perundingan rahasia dari pasukan
Tubruk dan Schravendijck telah mengadakan pengecekan dengan
atasannya di Jakarta. Proses pengusutan ini akan membawa mereka ke

45
sidang mahkamah militer, namun mereka tidak bersedia menuturkan
mission yang diberikan oleh Dr. Sam Ratulangi pada waktu mereka
diberangkatkan dari Jakarta itu.

NICA-Belanda menjadi gelisah


karena setelah gerakan-
gerakan pemuda berhasil
ditekannya, malah tubuh dan
aparatnya sendiri, yakni KNIL,
telah disusupi oleh musuh-
musuh Republik yang
berpemerintahan pusat di
Jogyakarta. Kemudian pribadi-
pribadi Taulu dan Wuisan
semakin besar mendapat
perhatian dan sorotan dari
pimpinan KNIL. Praktek diskriminasi yang di alami prajurit KNIL dan
bekas pasukan Jepang mendorong berkembangnya inspirasi aksi
“pemberontakan” yang juga di ilhami oleh gerakan-gerakan nasionalis
kemerdekaan, seperti Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI),
Pasukan Pemuda Indonesia, Indonesia Muda, Banteng Maesa dan
Barisan Merah Putih. (Ben Wowor,2015)

Markas militer KNIL Belanda di Teling Manado pada dini hari 14 Februari
1946 dikepung kalangan prajurit kompi tujuh KNIL. Yang menjadi
sasaran utama untuk membebaskan rekan-rekan mereka, Sersan-Mayor
Ch. Ch. Taulu, Sersan Mais Wuisan dan Sersan Nelwan. Mereka
ditahan sehari sebelumnya pihak KNIL dengan tuduhan melakukan aksi
makar terhadap pemerintahan NICA Belanda (Netherlands Indies Civil
Administratrion) di Sulawesi Utara.

Tepat pukul 01.00 dini hari, Kopral


Mambie Runtukahu dan kawan-
kawan dari Kompi 7, seperti Jus
Kotambunan, Andries Sipon, Sitam
dan Item melumpuhkan penjagaan
oleh Reserve Corps di Teling I
(Tangsi Putih), sementara Korah,
Maleke, Kereh dan lain-lain serta
para milisi melakukan hal serupa di
Teling II (Tangs Hitam).

Pada operasi Teling I sempat terjadi kontak senjata ketika pihak Reserve
Corps berusaha mempertahankan markas. Dalam kemelut itu, Sitam
gugur, sementara dari pihak lawan seorang Sersan Belanda luka-
luka. Sementara di Teling II, Kopral Wim Kere dan Kopral Wim Maleke
dibantu milisi menerobos kawat berduri dan berhasil menguasai Teling.

46
Kemudian Sersan Frans Bisman dari Kompi 7 di jemput dari rumahnya
dan mulai membebaskan para tahanan seperti Taulu, Wangko Sumanti,
Jan Sambuaga, Wim Tamburian dan Oscar Rumambi. Merekapun aktif
merebut tangsi.

Aksi militer tanpa letusan peluru tidak mengganggu penduduk Manado


dari lelap. Kesemua tentara Belanda ditangkap, dilucuti dan dimasukkan
dalam penjara Teling dan Manado. Mereka menggantikan para tahanan
politik nasionalis yang dibebaskan, seperti G E Dauhan, G A Maengkom,
O H Pantow, Kusno Dhanupoyo, Max Tumbel, dr Sabu, F W
Kumontoy, A Manoppo, John Rahasia, Mat Kanon, Nani Wartabone,
dll. Sergapan kilat juga diikuti dengan menguasai pos-pos penting,
terutama hubungan telekomunikasi, yang merupakan bagian yang paling
penting di bidang militer. Penguasaan pos ini diserahkan kepada No
Tooy bersama, G. Sumendap dan A. Sigar Rombot. (Ben Wowor,2015)

Aksi angkatan muda KNIL dari Morotai bersama kalangan bekas anggota
Benteng Pertahanan Tanah Air (PTA) peninggalan militer Jepang)
yang menyatu menjadi barisan nasionalis kemerdekaan Indonesia di
Manadi dan Minahasa ini hanya berlangsung 3 jam. Mereka berhasil
menguasai kota Manado dari pemerintah kolonialis NICA (Netherlands
Indies Civil Administration). Yang memelopori aksi adalah Peleton I:
Mambi Runtukahu, Wkl Kmd Regu I, Gerson Andris, Wkl Kmd Regu II,
Mas Sitam, Wkl Kmd Regu III, Yus Kotambunan, Kmd Verkenner,
Lengkong Item, Anggota regu IV dan Wehantouw Verkenner. (Ben
Wowor,2015)

Pada hari Kamis, tanggal 14 Februari 1946 di pagi


subuh jam 03.00, di Markas tentara di Bukit
Teling (kini bakal jadi Makodam), di bawah
komando Wangko Sumanti dan Mambi
Runtukahu yang sudah siap sebagai inspektur
upacara untuk menaikkan bendera Mrah Putih.
Secara hikmat bendera Merah Putih digerek oleh
Kotambunan dan Sitam untuk kemudian berkibar
pada saat fajar menyingsing di bumi Sulut..
Upacara penyerahan berlangsung dengan pelbagai
campuran perasaan bagi kedua pihak masing-
masing. Bendera merah-putih-biru disobek helai
birunya dan dwi-warna Merah-Putih dinaikkan pada tiangnya. Secara
hikmat Sang Saka Merah Putih digerek oleh Kotambunan dan Sitam
untuk kemudian berkibar dgn megah di angkasa pada saat-saat fajar
menyingsing di Bumi Sulawesi Utara.

Upacara pengibaran Dwi Warna simbolis menandai hapusnya


pemerintahan kolonialisme Hindia-Belanda di persada Minahasa dan
menjadi bagian dari persatuan dan kesatuan kebangsaan Indonesia.

47
Pada pagi hari itu juga satuan-satuan lainnya dikerahkan untuk
menangkap para perwira KNIL Belanda di Sario. Sekitar 32 perwira dan
bintara Belanda berhasil ditangkap pagi itu dan ditempatkan di rumah-
rumah tinggal di Teling. Sejumlah pejabat NICA dan beberapa prajurit
KNIL lainnya dibawa kepenjara kota. Gedung-gedung penting seperti
kantor telepon juga berhasil dikuasai para pemuda yang bekerja ditempat
itu. Gudang-gudang perbekalan dan gedung-gedung penting mendapat
penjagaan ketat untuk menghindari aksi penjarahan dan pengrusakan.
Disebut sebagai aksi kudeta militer, karena alih kekuasaan dilakukan
saat masih berkuasanya pemerintahan NICA di Sulawesi Utara. Saat itu
perlucutan senjata terjadi serentak di Bumi Nyiur Melambai Sulawesi
Utara. Residen Coomans de Ruyter, Komandan NICA, diambil dari tempat
kediamannya di rumah sakit RK Gunung Maria, begitu anggota-anggota
Staf NICA lainnya yang berada di Kaaten-Tomohon dikumpulkan di
kantor polisi dan dengan sebuah truk mereka langsung dibawa ke tempat
penampungan di Manado.

Aksi pembersihan kekuasaan NICA berlanjut di pedalaman Minahasa.


Dibawah pimpinan Freddy Lumanauw, pasukannya masih harus
meneruskan tugas operasi ke pedalaman Minahasa. Di pedalaman
Minahasa, seperti di Tondano, Remboken, Kakas, Langowan dan
Kawangkoan. mereka melakukan pengamanan sekaligus penurunan
bendera “Oranye” dan digantikan dengan bendera Merah Putih di
instansi-instansi pemerintah dan polisi setempat tanpa perlawanan yang
berarti. Penertiban seperlunya di kalangan pamong-praja, mendapat
bantuan penuh dari pasukan-pasukan pemuda. (Ben Wowor,2015). Semua
warga Belanda yang di tangkap, segera dikirim ke interneran di Manado.
Para pejuang di bawah pimpinan Maurits Rotinsulu berhasil menguasai
kamp tawanan Jepang di Girian, yang merupakan pusat penampungan
8.000 tawanan perang Jepang yang dijaga ketat oleh Kompi 143
pimpinan Letnan van Emden.

Pada tanggal 16 Februari 1946,


diadakan sidang darurat Dewan
Minahasa (Minahassa Raad) di
Manado, dengan agenda
menetapkan pemerintahan sipil
untuk menjalankan
pemerintahan di Sulawesi Utara
mengantikan pemerintahan sipil
NICA-Belanda. Pemerintahan
sipil ini dipimpin oleh Kepala
Distrik Manado, BW Lapian,
yang diangkat sebagai Kepala
Pemerintah Merah - Putih Merdeka dengan susunan kabinet dan
departemen, yakni Wolter Saerang (sekretariat), DA Th Gerungan

48
(pemerintahan), Alex Ratulangi (keuangan), drh Wim Ratulangi
(perekonomian), R Hidayat (kehakiman), Mayor SD Wuisan (merangkap
kepolisian), dr Ch Singal (kesehatan), E Katoppo (pengajaran), Max
Tumbel (perhubungan/ pelabuhan).

Pemimpin perjuangan selanjutnya mengeluarkan Maklumat Nomor 2


berisi : “Dimaklumkan bahwa pada tanggal 16 Februari sudah diadakan
rapat umum di gedung Minahasa Raad (DPR) yang dipimpin pucuk
pimpinan Ketentaraan Indonesia di Sulawesi Utara dihadiri oleh Kepala-
Kepala Distrik dan onderdistrik di Minahasa, Raja dari Bolaang
Mongondow, Kepala daerah Gorontalo, Pemimpin-pemimpin dan
Pemuka-Pemuka Indonesia”.

Pada tanggal 22 Februari 1946, diadakan rapat umum di lapangan Tikala


yang diselenggarakan oleh pemerintah merdeka Merah-Putih Sulawesi
Utara dan dihadiri para tokoh militer, sipil, pamongpraja dan masyarakat
rakyat, menyatakan bergabung dengan perjuangan kemerdekaan seluruh
Indonesia di bawah pemerintah RI Sukarno-Hatta di Yogyakarta.

Walaupun kemudian para pemimpin peristiwa pengalihan kekuasaan di


Manado dan Minahasa tersebut ditangkap oleh tentara Sekutu, namun
kejadian perebutan kekuasaan itu dikenal dalam sejarah sebagai
peristiwa merah putih, langsung diberitakan berulang kali lewat siaran
radio dan telegraf oleh Dinas Penghubung Militer di Manado, yang
diteruskan oleh kapal perang Australia SS „Luna‟ ke markas besar
Sekutu di Brisbane. Radio Australia kemudian menjadikannya sebagai
berita utama yang disebarluaskan oleh BBC London serta Radio San
Fransisco Amerika Serikat.

49
6. Perjuangan Laskar KRIS di Jakarta dan sekitarnya

Setelah peristiwa 14 Februari 1946 di Minahasa, perjuangan terus


dilakukan oleh para anggota KRIS. Sabotase-sabotase yang terjadi di
dalam markas Belanda seperti di Makassar, Jayapura dan Kupang.
Terorganisirnya gerakan pasukan gerilya di Sulawesi Selatan dibawah
pimpinan Nan Pondaag, bekas ketua KRIS cabang Jakarta yang dikirim
ke Makassar. Organisasi tersebut ialah Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan (KGSS). (Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1978)

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer ke I pada bulan Juli 1947,


secara paksa sekolah-sekolah Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta
dirampas oleh Belanda (NICA), disebabkan kebanyakan guru serta para
orang tua murid menolak untuk menjadi pegawai Belanda (NICA), juga
para muridnya pun tidak mau lagi masuk sekolah pemerintah akan
tetapi memilih sekolah swasta seperti :
Taman Siswa, Muhammadiyah,
Perguruan Rakyat, Perguruan Sinar
Baru, Perguruan KRIS, dan lain-lain
yang waktu itu tergabung dalam badan
Koordinasi Perguruan Nasional, yang
diketuai oleh M. Said dari Perguruan
Taman Siswa. Pada waktu Belanda
menjalankan kembali Agresi Militer ke II
pada bulan Desember 1948, seluruh
pimpinan Pengurus KRIS antara lain :
H. A. Pandelaki, A. J. Supit, A.Z.
Abidin, W.H.M. Kaunang di tangkap
oleh Belanda karena dianggap orang-
orang republik. (Dinas Museum dan
Sejarah DKI Jakarta, 1978)

Perjuangan dengan penuh keberanian yang diperlihatkan oleh Laskar


KRIS menghadapi pasukan Sekutu, hingga cepat dikenal kalangan
laskar-laskar pejuang lainnya. Laskar ini adalah bagian dari Pertahanan
KRIS pimpinan Evert Langkey, yang di kalangan KRIS lebih dikenal
sebagai Panglima Laskar KRIS. Sebelum Proklamasi, Langkey dikenal
menguasai semua pentolan “preman” daerah Senen dan sekitarnya
hingga berhasil membentuk Pasukan Surya Wirawan yang yang di
pimpinnya dan dikenal luas oleh kalangan pejuang di Jakarta dan
sekitarnya.

Laskar KRIS cepat dikenal karena keberaniannya menghadapi pasukan


Sekutu. Mereka ini di pimpin oleh Jan Rapar, Lombogia dan Hermanus
yang sering menyerang langsung ke markas Batalyon 10 tentara Belanda
di Kwitang. Pos-pos marinir Belanda di Menteng, Cut Meutiah sering

50
menjadi gempuran pasukan-pasukan Piet Sibih, Lukas Palar dan yang
lainnya. Selain itu para anggota Laskar KRIS sering berbaur dengan
kelompok-kelompok pejuang rakyat dimana mana dan mereka sering
aktif di barisan depan dalam setiap pertempuran.

Sejak kedatangan pasukan Sekutu ke Jakarta, yang didahului oleh


rombongan-rombongan kecil sebagai peninjau, mereks sering di hadang
oleh laskar KRIS, misalnya yang di lakukan oleh pasukan-pasukan Alex
Pangemanan dan Ventje Lasut menyerang tangsi militer Sekutu di Jaga
Monyet, daerah Petojo. Alex Pangemanan gugur dalam pertempuran
sengit dengan pihak kepolisian Belanda.

Banyak titik pertempuran yang dilakukan pasukan KRIS pada hampir


setiap sudut kota Jakarta. Termasuk pada pertempuran-pertempuran
terkenal di belakang Hotel Des Indes dan Hotel Schomper. Piet Sumilat
memimpin pasukan KRIS dari daerah Tanah Tinggi bertempur dengan
Sekutu di Kemayoran, dekat bandara menghadapi pasukan Sekutu
untuk mencegah masuknya bantuan sekutu melalui udara. Dalam
pertempuran ini, Laskar KRIS bahu-membahu dengan rakyat setempat
serta laskar pejuang lainnya menghadapi pasukan Sekutu.

Di antara Laskar KRIS yang


terkenal, terdapat “kesebelasan
maut” dan tim terdiri dari Wim
Rimporok, Daan Kawengian,
Rudy Lumanauw, Heintje
Korouw, Loho, Anton Warouw
dll. Mereka terdiri dari 11
tentara terlatih, dan memiliki
persenjataan lengkap.
Mereka meyapu setiap musuh
dimana saja bila dihadapi.
Tidak terkecuali menyergap
pula pasukan Gurkha yang
amat terkenal dan menjadi
andalan pasukan Inggris pada
berbagai peperangan di dunia.
Tim sebelas ini sering
menerima “order berperang”
dari kelompok lain, tidak hanya
dari KRIS tetapi juga diluar
lingkungan organisasi ini jika menghadapi gempuran yang besar.

Hampir setiap hari tentara Sekutu menghadapi gempuran laskar KRIS.


Dengan persenjataan seadanya mereka tak gentar menggempur lawan
sekalipun adalah pemenang Perang Dunia II. Para pemuda KRIS tak
jarang melakukan hadangan terbuka di jalan raya. Begitupun dalam

51
menyerbu pos-pos musuh untuk mendapatkan senjata-senjata bagi
perjuangan kemerdekaan.

Perjuangan dan keberanian Laskar KRIS, diakui oleh laskar-laskar


pejuang lainnya, karena paling sering melakukan aksi pertempuran
melawan pasukan Sekutu di Jakarta dan sekitarnya, dan menjadi
perhatian para pemimpin Republik. Bahkan Presiden Soekarno bersama
Ibu negara Fatmawati menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah
sakit dan menjengkuk Dicky Pontoan dan beberapa rekannya yang
terluka dan dirawat karena pertempuran.

Sekitar bulan Nopember 1945, banyak pemuda-pemuda Indonesia


kembali ke tanah air dari Australia dan India. Di antara mereka terdapat
banyak pemuda asal Manado, sehingga pucuk pimpinan KRIS merasa
perlu memberi penerangan tentang tujuan perjuangan rakyat kepada
mereka, sekaligus menjelaskan dasar, tujuan, tugas serta cara
perjuangan KRIS dalam perjuangan Kemerdekaan Nasional. Disamping
itu, perlu diadakan pendekatan pada mereka yang berasal dari suku lain,
supaya dalam kelompok mereka kelak nanti memberi pengertian tentang
perjuangan KRIS.

Untuk melaksanakan tugas


itu sebaik mungkin, bagian
penerangan KRIS
menerbitkan sebuah
buletin. Bantuan kertas
diperoleh dengan
perantaraan Nelwan,
pegawai percetakan Negara
dan dia pula yang akan
mengurus pencetakannya.
Setelah semua persiapan
selesai, naskah untuk diset
sudah lengkap, Jaap
Gerungan kemudian pergi
mengantarkannya ke percetakan untuk diolah seterusnya. Namun
sebelum tiba di percetakan Jaap Gerungan ditahan tentara Sekutu. Map
yang dibawa diperiksa dan disita oleh NICA untuk pemeriksaan
selanjutnya. Jaap Gerungan sendiri, karena tidak mau mengkhianati
perjuangan, dimasukkan dalam penjara Glodok.

Pada awal Januari 1946, NICA mengadakan pembersihan di Salemba


sementara Gurkha menduduki percetakan. Pegawai-pegawai Percetakan
Negara mengungsi ke Yogya, sehingga buletin yang direncanakan terbit
bulan Nopember-Desember batal terbit. Naskahnya hilang. (Barulah
beberapa bulan kemudian, April 1946, nomor pertama "BERITA KRIS"
untuk kalangan sendiri dengan "Seruan Nusa" untuk umum, berhasil

52
diterbitkan berkat bantuan Percetakan Negara, Yogyakarta). Sementara
itu pergolakan sudah semakin hebat akibat provokasi NICA Belanda.
Utusan yang dikirim KRIS menghubungi orang-orang Manado di daerah
sudah kembali, kecuali utusan Dicky Pantouw yang dikirim ke Jawa
Timur. Karena soal hubungan dengan daerah juga mempunyai kaitan
yang erat dengan usaha-usaha penerangan, Karel Tobing bersama
Mohammad Noor berangkat ke Jawa Timur untuk mengadakan
hubungan dengan orang-orang Manado yang ada di sana. (DPP PDS -
Partisipasi Damai Sejahtera, 2015).

7. Perjuangan Laskar KRIS di Jawa Timur

Dengan kereta api, Karel


Tobing dan Mohammad
Noor berangkat menuju
Surabaya Tetapi di Solo
kereta api mengalami
kerusakan dan sampai
keesokan harinya belum
dapat berangkat. Dengan
bantuan Panji Suroso, yang
menjabat komisaris
pemerintah untuk daerah
Solo, yang sejak zaman
Jepang sudah dikenal K.
Tobing, mereka berhasil mendapatkan mobil, sopir dan uang untuk
meneruskan perjalanan mereka. Hari itu para pemuda berangkat ke
Semarang, di mana pertempuran melawan Jepang baru berakhir, tetapi
bekas-bekas pertempuran masih terlihat.

Dari Semarang mereka berangkat ke Surabaya lewat utara, karena di


daerah Mojosari terdapat satu rombongan, yang menyebut dirinya
"pasukan Sabarudin". Mereka "berjuang" dengan cara merampok dan
memperkosa wanita yang melewati daerah "kekuasaannya". Setelah tiba
di Surabaya K. Tobing dan M. Noor segera menghubungi BPRI di hotel
Grand, untuk mendapatkan keterangan tentang pemuda-pemuda asal
Sulawesi. Disana mereka diperkenalkan dengan seorang pemuda
Sulawesi bernama Supit, yang bersedia mengantarkan mereka ke
markas pemuda Sulawesi yang sudah bergabung dalam Pemuda
Republik Indonesia (PRI).

Di markas PRI Sulawesi, mereka bertemu dengan J. Tamboto. Tetapi


hari itu belum dapat dilakukan perundingan tentang maksud tujuan
mereka datang ke Surabaya, karena hari itu para pemuda Sulawesi di
Surabaya masih sibuk mengurus pasukan dan perlengkapannya.
Barulah pada besok harinya mereka dapat bertemu dengan dua orang
pemimpin lainnya, Lengkong dan Joop Warouw. Waktu itu pemuda

53
Sulawesi di Surabaya berpendapat, bahwa akan sangat merugikan kalau
mereka mendirikan KRIS di Surabaya, karena mereka sudah bergabung
dalam satu wadah, yakni organisasi Barisan Pemberontak Republik
Indonesia atau BPRI. Namun mereka merasa gembira, bahwa usaha itu
sudah ada di Jakarta dan secara pribadi mereka bersedia menjadi
anggota. (DPP PDS - Partisipasi Damai Sejahtera, 2015)

Pada tanggal 20 Agustus 1945 di gedung Nasional Bubutan Surabaya


telah di bentuk organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan
tergabung didalamnya antara lain pemuda P.R.I Sulawesi (PERISAI):
Antara lain J.H.T Tamboto (Pemimpin), J.F Warouw( Wakil pemimpin)
dengan para Komandan komandan pasukan: H.V. „Kembi‟ Worang, D.J
Somba, J.W Tiwatu. J.A. Wuisan, Watung, A.Siwi, R.A.F Lalu, Wim
Tenges, dan beberapa pemuda-pemuda lain di organisasi tersebut
antara lain: W.C. Rory, C.Dapi, Oesman Jafar, H.Suatan,B.A. S.
Gerungan, B. Waworuntu, W.Moningka, H.Pangemanan, Sam Ogi,
L.Inkriwang, Walanda, R.Telwe, H.Worangian, Wenas, W.Rompas,
John Karwur, S.Karouwan, L.Molanda, Aries, P.Lampoh,
L.W.Sampouw, J.A.Komuwal, D.Kawengin, H.Kourouw, N.Rompas,
B.Tumbeleka, R.Luntungan, J.Bolang, Awuy, H.Moningka, M.Muntu,
J.Pesik, Zus Touge, Zus Tampi, Nona Regar, Nona Mumu, dan
lainnya. (Post.Stefanus T, GFB, History Sejarah & Budaya Minahasa, 2020)

Dari PRI Sulawesi, pasukan ini lebih terkenal dengan sebutan Pasukan
Istimewa PRI-100, dibawah pimpinan Mayor Joop Warouw dan Kapten
Kembi Worang sebagai wakilnya. Pasukan Istimewa PRI-100 Surabaya
ini sebenarnya adalah pasukan expedisi untuk ke Sulawesi Utara, sesuai
permintaan dari Dr Sam Ratulangi agar ada pasukan yang ditempatkan
di Sulawesi Utara.

Pertama-tama aksi pasukan PRI di jawa Timur khusunya Surabaya


ditujukan kepada Tentara Jepang dengan melucuti mereka di Gubeng,
mengepung Batalion Jepang di gedung HBS-Ketalang dan menumpas
sampai habis pasukan Kempetai yang tidak mau menyerah. Pada tanggal
8 September 1945, pasukan ini menyerbu penjara-penjara, dan
berhasilmembebaskan tahanan asal Manado dan Ambon antara lain
Muntu, FJ Pangemanan, B Pangemanan, Laoh, Flapro, Titus, Bob
Wenas, dan seorang jaksa Mogot.

Usaha perebutan kekuasaan


dan senjata dari tangan
Jepang yang dimulai tanggal
02 September 1945, dimana
rakyat Surabaya berhasil
merebut kompleks senjata

54
Jepang dan pemancar radio di Embong, mulai memicu konflik dengan
pihak Sekutu sebagai pasukan yang dikirim untuk melaksanakan tugas
pelucutan senjata serta untuk menangani tawanan perang Jepang.

Selain itu, juga terjadi insiden berdarah pada tanggal 19 September


1945 di hotel Yamamoto (Orange), Tunjungan, Surabaya. Beberapa
orang Belanda mengibarkan bendera merah Putih Biru di atap hotel. Hal
itu memicu kemarahan rakyat, sehingga rakyat menyerbu hotel untuk
menurunkan dan merobek warna biru itu dan mengibarkan Merah
Putih.

Upaya perebutan kekuasaan


dan senjata ini
membangkitkan suatu
pergolakan, sehingga
berubah menjadi situasi
revolusi yang konfrontatif.
Para pemuda berhasil
memiliki senjata hasil
rampasan dari tentara
Jepang, juga dari pemuka
pemerintah di Surabaya.
Dengan demikan para pemuda siap menghadapi berbagai ancaman yang
datang dari manapun.

Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 Sekutu di bawah pimpinan


Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya. Pasukan ini merupakan bagian dari Divisi India ke-23,
dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas
melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan
ini berkekuatan 6000 personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan
orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang
telah berpengalaman perang.

Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah


pimpinan Gubernur R.M.T.A. Soeryo semula
enggan menerima kedatangan Sekutu.
Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI
dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan
pertemuan yang menghasilkan kesepakatan
sebagai berikut:
1. Inggris berjanji bahwa di antara tentara
mereka tidak terdapat angkatan perang
Belanda.
2. Kedua belah pihak akan bekerja sama
untuk menjamin keamanan dan
ketenteraman.

55
3. Akan segera dibentuk “Kontact Bureau” (kontrak biro) agar kerjasama
dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
4. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.

Kemudian pihak RI memperkenankan tentara Inggris memasuki kota,


dengan syarat hanya objek-objek yang sesuai dengan tugasnya yang
boleh diduduki, seperti kamp-kamp tawanan. Pihak Inggris juga
menyatakan bahwa diantara tentara mereka tidak terdapat tentara
Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris
mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam satu peleton
dari Field Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huyier,
seorang kolonel angkatan laut Belanda dan kawan-kawannya.

Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet yang berisi


perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka.
Rakyat Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi
Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata-senjata yang diramas
dari Jepang. Pemerintah RI mananyakan perihal tersebut kepada
Mallaby. Akan tetapi Mallaby mengaku tidak mengetahui perihal pamflet
tersebut, tetapi ia berpendirian bahwa sekalipun sudah ada perjanjian
dengan pemerintah RI, ia akan melaksanakan segala tindakan dengan
isis pamflet tersebut. Sikap ini menghilangkan kepercayaan pemerintah
RI twerhadapnya. Pemerintah RI memerintahkan kepada para pemuda
untuk siaga menghadapi segala kemungkinan pihak Inggris mulai
menyita kendaraan-kendaraan yang lewat.

Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada


tanggal 27 Oktober 1945. Salah satu perlawanan dilakukan oleh para
pemuda anggota KRIS antara lain yang terkenal adalah aksi dari Joop
Warouw dan H.V. „Kembi‟ Worang. Peristiwa meluas menjadi serangan
umum terhadap kedudukan Inggris di seluruh kota selama dua hari,
dan pertempuran seru terjadi dibeberapa sektor, serta tank-tank mereka
berhasil dilumpuhkan. Pada tanggal 29 Oktober 1945, beberapa objek
vital dapat direbut kembali oleh pemuda dari berbagai suku yang
tergabung sebagai arek-arek Suroboyo.

Dalam pertempuran didaerah Kajoon, salah satu Kepala Pasukan PRI,


H.V.‟Kembi‟ Worang dengan dibantu para pemuda lain dapat
menewaskan sebagian besar pasukan Inggris dan menawan seorang
Letnan Inggris, Yang didalam bajunya ada perintah rahasia yang
berbunyi: " The Indonesian rebel have a small red-white signed on their
breast, if you have to shoot, shoot them like looters ". Selanjutnya dalam
serangan-serangan pasukan PRI Sulawesi, pasukan Sekutu yang terdiri
dari anggota Gurkha yang terkenal kehebatannya sebagai pasukan elite
pun melarikan diri, sehingga para pejuang dari Minahasa berkelakar:
"Tau lari jo kote dorang" (" bisa melarikan diri juga mereka rupanya ").

56
Pertempuranpun terjadi di dalamkota Surabaya terus berlangsung
sampai bulan Desember, dan akhirnya seluruh arek-arek Suroboyo (
sebutan ini termasuk untuk semua suku bangsa Indonesia yang ada di
Surabaya) mundur dan membuat garis pertahanan di Porong, Sidoarjo,
Wonocolo, Kedurus, dan Jombang.

Beberapa pejuang asal Minahasa di Surabaya bersama-sama pejuang


arek-arek Suroboyo lainnya terus berusaha mempertahankan kota
Surabaya dari intimidasi yang dilakukan oleh NICA-Belanda dengan
memanfaatkan kedatangan tentara Sekutu di Surabaya, hingga pecahnya
peristiwa 10 November 1945.

Untuk menyelamatkan
pasukannya dari bahaya
kehancuran total, pihak Inggris
menghubungi Presiden
Soekarno, dan meminta
presiden untuk memerintahkan
pihak Indonesia menghentikan
serangan. Pada keesokan
harinya, tanggap 29 Oktober
1945 pukul 11.30, Presiden
Soekarno bersama-sama
dengan Mayor Jenderal D.C
Hawtorn tiba di Surabaya.

Presiden Soekarno didampingi oleh wakil presiden Drs. Moh. Hatta dan
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin segera berunding dengan
Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby. Perundingan menghasilkan
keputusan menghentikan kontak senjata. Perundingan dilanjutkan pada
malam hari antara Presiden Soekarno, wakil presiden RI di Surabaya,
wakil pemuda, dan pihak Inggris yang didampingi oleh Jenderal
Howtorn.

Perundingan yang dilaksanakan tersebut didapat suatu kesepakatan


yaitu eksistensi RI diakuai oleh Inggris dan cara-cara menghindari
bentrokan sebjata diatur sebagai berikut:
1. Surat-surat selebaran yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal D.C
Howtorn dinyatakan tidak berlaku.
2. Inggris mengakui eksistensi TKR dari polisi.
3. Pasukan Inggris hanya bertugas menjaga kamp-kamp tawanan, dan
penjagaan dilakukan bersama TKR.
4. Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga oleh TKR, polisi, dan
tentara Inggris guna menyelesaikan tugas menerima obat-obatan
untuk tawanan perang.

57
Sementara itu, dibeberapa tempat masih terjadi pertempuran, sekalipun
sudah diumumkan gencatan senjata. Oleh karena itu, anggota dari
Kontak Biro dari kedua belah pihak mendatangi tenpat-tempat tersebut
dengan maksud menghentikan pertempuran. Pada pukul 17.00 WIB
pada tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro pergi bersama-
sama menuju beberapa tempat. Tempat terakhir yaitu di gedung Bank
International di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki oleh
pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih mengepungnya.

Setibanya di tempat
tersebut terjadi insiden
yaitu pemuda-pemuda
menuntut agat pasukan
Sekutu menyerah, dan
Brigadir Jenderal A W.S.
Mallaby tidak dapat
menerima tuntutan
tersebut. Tiba-tiba
terdengar tembakan gencar
dari dalam gedung yang
dilakukan oleh pasukan
Inggris. Pemuda-pemuda
membalas serangan
tersebut, dan di tengah-tengah keributan dan kekacauan tersebut pada
anggota Kontak Biro mencari perlindungan sendiri-sendiri. Brigadir
Jenderal A W.S. Mallaby menjadi sasaran para pemuda, dia ditusuk
dengan bayonet dan bambu runcing. Pengawal-pengawal melarikan diri
dan Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby terbunuh.

Menurut beberapa kesaksian, bahwa yang menembak mobil yang


ditumpangi Panglima Sekutu Inggris Brigjen Aubrey Mallaby di depan
gedung Internatio hingga terbakar dan sang jenderal tewas adalah Joop
Warouw. Kejadian mana mengakibatkan muncul ultimatum Sekutu agar
laskar rakyat menyerahkan diri dengan senjatanya, berujung pecahnya
Pertempuran Arek-Arek Suroboyo sekitar 10 November 1945.

Ultimatum ini dirasakan


sebagai penghinaan terhadap
martabat bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang cinta damai
tetapi lebih cinta
kemerdekaan. Oleh karena
itu rakyat Surabaya menolak
ultimatum tersebut secara
resmi melalui pernyataan
Gubernur Suryo. Karena

58
penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10
Nopember 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar
No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya. Kontak
senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan Sekutu di
bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri
sebanyak 10.000 – 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal
perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan
“Thunderbolt”.

Dalam pertempuran di Surabaya ini


seluruh unsur kekuatan rakyat dari
berbagai suku di Indonesia bahu
membahu, baik dari TKR, PRI, BPRI,
Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI,
PTKR maupun TKR laut di bawah
Komandan Pertahanan Kota,
Soengkono. Soetomo (Bung Tomo)
melalui radio pemberontakan terus
mengobarkan semangat perlawanan
arek-arek Surabaya agar pantang
menyerah kepada penjajah. Slogan-
slogan revolusi “Merdeka atau mati”
menjadi sumber tekad mereka.

Pertempuran yang berlangsung sampai


akhir November 1945. rakyat Surabaya
berusaha mempertahankan kota Surabaya dari gempuran Inggris
walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak Indonesia. Inggris
berhasil menguasai kota Surabaya setelah melewati pertempuran yang
berlangsung selama berhari-hari.( https://www.google.com/perjuangan
bangsa indonesia).

59
8. Perkembangan KRIS Jawa Timur Pasca Pertempuran Surabaya

Setelah pertempuran Surabaya bulan November 1945 berakhir, maka


memasuki awal tahun 1946 semua kelompok suku Minahasa/Manado di
Surabaya, kecuali yang terdapat dalam BPRI, telah bergabung dengan
TKR Laut yang kemudian disebut Divisi VI Tentara Laut yang
bermarkas di Lawang. Susunan staf komando terdiri dari Komandan
Letkol J. Tamboto, Kepala Staf Letkol J.F. Warouw, para staf Kapten
Dolf Runturambi, Hein Wurangian dan dr. Supit serta sekretaris divisi
Lengkong. Sedangkan pasukan ditempatkan di garis pertahanan
Sidoarjo untuk melakukan infiltrasi dan perlawanan bersenjata tentara
Sekutu dan NICA.

Untuk meningkatkan kemampuan daya tempur dan disiplin


keprajuritan, Divisi VI Tentara Laut - Lawang yang banyak merupakan
anggota KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), mendirikan depot
latihan di Probolinggo dan Pasirputih. Di samping itu juga Divisi VI ini
tidak melupakan tanggung jawab moralnya terhadap keluarga-keluarga
yang mengikuti mereka mundur dari Surabaya. Untuk mengurus para
keluarga tersebut, pimpinan TKR Laut mendirikan sebuah badan sosial
yang disebut Badan Sosial KRIS. Hal itu mereka lakukan karena sejak di
Surabaya mereka sudah menganggap dirinya anggota KRIS.

TRI Laut di Lawang secara resmi tidak pernah menyebut diri TKR Laut
KRIS, namun di kalangan para pejuang Surabaya dan Lawang umumnya
menganggap bahwa mereka sebagai bagian dari KRIS karena semua
anggotanya memakai lencana KRIS. Oleh sebab itu di kalangan badan-
badan perjuangan, mereka lebih dikenal dengan sebutan Tentara Laut
KRIS. Demikian juga sebutan yang tersiar di kalangan pemerintah Jawa
Timur. Hal itu karena orang-orang Lawang tersebutlah yang mendirikan

60
cabang-cabang KRIS di Probolinggo, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi.
Kemudian J. Tamboto sendirilah yang menjadi ketua KRIS pertama di
Lawang yang disebut juga KRIS Surabaya dan secara de facto J.
Tamboto yang menjadi ketua wilayah KRIS di bagian timur Jawa Timur.

Di samping tugas
mempertahankan daerah
perbatasan Sidoarjo-
Probolinggo, pimpinan
Divisi VI TRI Laut Lawang
sebagai orang KRIS
membentuk pasukan
infiltrasi ke Sulawesi.
Untuk itu mereka
membentuk kelompok-
kelompok tempur sukarela
yang digerakkan setiap
saat, yang ditempatkan di
sejumlah pelabuhan pantai utara Jawa Timur, Probolinggo, dan
Pasirputih. Pada mulanya seluruh usaha dan perencanaan latihan hanya
diarahkan ke Sulawesi saja, tetapi sejak Belanda menduduki Madura
pada 1947, usaha infiltrasi juga ditujukan ke sana.

Divisi VI TKR Laut Lawang cukup banyak memberikan bantuan yang


berarti kepada pasukan-pasukan KRIS yang berjuang di front Jawa
Barat, Jakarta, dan Bandung khususnya pada awal tahun 1946.
Sewaktu para pejuang dipaksa meninggalkan Surabaya, Divisi VI
memang meninggalkan seluruh harta benda mereka tetapi senjata-
senjata rampasan perang dibawa seluruhnya. Perlengkapan perang itu
diberikan juga kepada kesatuan lain yang membutuhkan. Mereka
memberikan beberapa pucuk senjata pada Fred Kodongan yang
merupakan komandan Batalyon II KRIS Bandung dan kepada Jan
Rapar, Palar dan Makaminang yang juga pemimpin-pemimpin KRIS
Krawang dan Subang. Divisi VI juga banyak memberi senjata kepada
Kahar Muzakkar yang bertempur di bagian utara Surabaya dan kepada
kelompok-kelompok yang dipersiapkan untuk infiltrasi yang kemudian
disebut Armada 40.

Pada akhir tahun 1945, terjadilah gerakan-gerakan anti suku Ambon dan
Manado di Kota Malang. Pengaruh berita yang simpang siur dari Jakarta
serta berkecamuknya pertempuran di Surabaya karena RAPWI tanpa
mengindahkan tuntutan para pemimpin-pemimpin rakyat,
mengikutsertakan orang-orang Belanda dalam tim pekerja badan ini
sehingga makin memperkeruh suasana kota pegunungan ini. Kejadian
itu sangat mempengaruhi pemikiran rakyat Malang, sehingga mereka
marah.

61
Sama halnya dengan di Jakarta, RAPWI
(Recovery of Allied Prisoners of War and
Internees) di Malang menyelundupkan
serdadu-serdadu NICA yang terdiri dari
orang-orang Ambon dan Manado dalam tim
kerjanya. Bekas tentara KNIL di Malang
dibujuk untuk kembali bergabung dengan
KNIL dengan iming-iming pangkat dan gaji
besar. Di Malang terdapat banyak keluarga
tentara KNIL ditinggalkan para suami dan
pergi bersama Belanda. Penduduk setempat
mencurigai jika serdadu NICA dan RAPWI
menyerbu Malang mereka akan membantu
menghancurkan Republik dan
mengembalikan kekuasaan Belanda. Namun
badan-badan perjuangan tidak terpengaruh
oleh hasutan-hasutan tersebut sehingga
kericuhan yang mulai terjadi di beberapa
bagian kota tidak sempat meluas.

Pemuda-pemuda Minahasa/Manado yang tinggal di Malang dapat


memahami kemarahan yang dialami masyarakat. Oleh karena itu mereka
berusaha menjernihkan kesalahpahaman yang berkembang di
masyarakat. Para pemuda tersebut antara lain Alo Gerung Waworuntu,
John Andrie, Jopie Pesik dan lain-lain yang sudah bergabung dalam
TKR di Malang. Merekalah yang memberi pengertian kepada pemuka-
pemuka masyarakat sehingga tidak terjadi insiden yang lebih luas.
Setelah itu terjalin pengertian dan kerjasama yang baik antara orang
Ambon-Manado dengan penduduk Kota Malang selama masa revolusi.

Ketika keadaan sudah mereda, utusan puncak pimpinan KRIS datang di


Malang untuk menganjurkan supaya mereka mendirikan KRIS. Para
pemuda menyetujui gagasan pendirian KRIS, tetapi hanya sebagai wadah
sosial. Untuk menjadikan KRIS sebagai badan pertahanan bersenjata,
karena sebagian telah bergabung dengan TKR, khususnya detasemen
polisi militer TKR. Dengan demikian KRIS cabang Malang hanya bersifat
sosial dan sebagai ketua yang pertama dijabat oleh Jan Tilaar.

62
Dalam perkembangan
selanjutnya, sebagai tempat
pelarian keluarga-keluarga
bekas daerah pendudukan
Surabaya-Mojokerto, fungsi
dan tugas sosial KRIS Malang
menjadi sangat penting dan
berat. Pada saat itu jumlah
keluarga Manado yang perlu
mendapat perawatan,
termasuk para pengungsi
dari daerah-daerah
pendudukan, tidak kurang
dari 5.000 orang. Umumnya
mereka adalah anak-anak
dan para istri serdadu-serdadu KNIL yang pada waktu Jepang memasuki
Indonesia oleh Belanda diungsikan ke Australia. Selama masa
pendudukan Jepang, khususnya pada tahun 1945, para keluarga
tersebut sangat bergantung pada bantuan dan pimpinan perkumpulan-
perkumpulan Manado setempat. Sehingga wajar kemudian mereka
mengikuti orang-orang itu mengungsi setelah tempat tinggalnya diduduki
Belanda.

Pemerintah RI yang diwakili Menteri Sosial Maria Ulfah SH, sudah


berusaha membantu dengan memberi sejumlah uang tetapi tidak mampu
mengurus mereka. Sedangkan bekas pimpinan perkumpulan sosial
Manado setempat, yang kini berkedudukan sebagai pengungsi, juga tidak
dapat berbuat banyak kecuali menghubungi keluarga Manado di tempat
baru tersebut. Mereka akhirnya dibawa kepada pengurus KRIS Malang.

Semua keluarga Manado terbuka untuk menampung keluarga-keluarga


eks KNIL di rumahnya masing-masing, namun pada umumnya mereka
tidak mampu memberi makan. Seperti yang terjadi di rumah keluarga
Kosiyungan yang menampung 20 orang, padahal keluarga Kosiyungan
yang memiliki empat orang anak berkehidupan pas-pasan. Namun
demikian, selama keadaan memungkinkan mereka tetap mengusahakan
untuk memberi tempat dan makan sekedarnya pada para pengungsi.

Untungnya para pengungsi yang jauh melebihi jumlah orang Manado di


Malang dapat ditampung dan dirawat dengan disediakan makanan dan
pakaian yang layak. Dalam hal ini dapat disebutkan jasa Alo Gerung
Waworuntu, yang secara sukarela memikul tanggung jawab mencari dan
mengumpulkan bantuan untuk para pengungsi. Ia mencari bantuan
sampai Jakarta dan memperoleh bantuan berupa dana dan pakaian dari
berbagai perkumpulan dan perorangan kawanua termasuk dari Menteri
Keuangan Mr. AA Maramis.

63
Pada akhir tahun 1946 dan
awal 1947 beberapa keluarga
eks KNIL meninggalkan
Malang, setelah mendapat
kabar bahwa suami mereka
sudah kembali di Indonesia.
Untuk keluarga kawanua ini
mereka dapat dengan mudah
melintasi garis demarkasi di
daerah yang dijaga pasukan
KRIS dengan surat PMI. Dan
di daerah seberang sebagai
keluarga KNIL, mereka tentu
akan mendapat pelayanan yang baik. Saat itu sikap KRIS tersebut sering
dipertanyakan dan dikecam oleh badan-badan perjuangan lainnya.
Tetapi KRIS berpendapat bahwa justru dengan membantu dan
melindungi keluarga-keluarga itulah dapat ditanam bibit kesadaran
dalam benak anggota KNIL bahwa mereka terlibat dalam perjuangan
bangsa di tanah air. Sebaliknya jika mempersulit mereka maka akan
menimbulkan dendam dan kebencian para suami yang bertugas di KNIL
dan menjadikan mereka lebih kejam dalam bertindak.

Hal itu pernah dialami Adolf Lembong, anggota Divisi VI TRI Laut di
Lawang. Ia semula sebagai anggota pasukan Heiho bentukan Jepang
tetapi melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Sekutu yang
memerangi Jepang di Philipina. Setelah kemerdekaan Indonesia ia
berniat mengabdikan diri pada perjuangan dan bergabung dengan
tentara Indonesia. Dari keluarga-keluarga KNIL yang baru tiba di
pedalaman, Adolf Lembong mengetahui bahwa di daerah perbatasan
Surabaya seluruhnya dikuasai orang-orang Sulawesi. Oleh karena itu ia
pergi ke Surabaya dan berpedoman pada keterangan yang didapat, ia
tiba di Lawang. Setelah melalui berbagai proses pemeriksaan, Lembong
selanjutnya ditampung dan diikutsertakan dalam badan perjuangan.

64
Selanjutnya ia diserahi pimpinan atas sebuah kesatuan dalam Divisi VI
Tentara Laut Lawang dan kemudian dalam kesatuan KRU X dan Brigade
XVI.

Pada masa itu Malang merupakan kota yang paling aman dan nyaman
serta kota yang paling tertib di daerah kekuasaan Republik Indonesia.
Sampai tahun 1947 Malang merupakan kota peristirahatan untuk
anggota pemerintah, tentara dan badan-badan perjuangan. Di kota ini
para anggota KRIS, baik dari seksi pertahanan maupun seksi lainnya,
selalu mendapat sambutan yang baik.Di samping usaha-usaha sosialnya,
KRIS Malang sering harus berperan sebagai penengah dalam pertikaian
demi terpeliharanya wadah kesatuan KRIS.

Dalam pertikaian antara


sesama pasukan KRIS,
orang-orang KRIS
Malang khususnya
pemuda-pemuda yang
terdapat dalam polisi
militer selalu berusaha
menyadarkan mereka
akan kewajiban sebagai
pejuang bangsa. Seperti
dalam kasus pertikanan
antara Batalyon II
Sukapura yang dikenal
sebagai Batalyon KRIS
Bandung dengan pasukan KRIS Karawang. Insiden tersebut karena
penolakan KRIS Bandung menjadi kesatuan pasukan KRIS dalam
konferensi seksi pertahanan KRIS pada Juli 1946 di Solo. Kala itu
rombongan KRIS Bandung hanya terdiri dari komandannya, F.
Kodongan dan empat anggotanya. Mereka dikepung serta senjata dan
kendaraan mereka dilucuti pasukan KRIS Krawang. Pemuda KRIS
Malang bertindak dan berusaha menyadarkan pejuang-pejuang Krawang
atas kekeliruan tindakan mereka, tetapi KRIS Krawang tidak mau tahu
dan malah menentang orang-orang dari KRIS Malang tersebut.

Persoalan menjadi berlarut-larut sehingga KRIS Malang meminta


bantuan dari orang-orang KRIS Lawang. Setelah Joop Warouw dari Divisi
VI Tentara Laut Lawang mendamaikannya. Akhirnya persoalan dapat
diselesaikan. Senjata-senjata KRIS Bandung dikembalikan, tetapi mobil
Packard loreng yang oleh KRIS Bandung direbut dari Inggris di Bandung
dan dibawa masuk ke daerah pedalaman, sudah dilarikan ke Krawang
sehingga tidak dapat dikembalikan lagi. Insiden yang terjadi di Malang
telah semakin memperlebar kesenjangan antara KRIS Bandung dengan
KRIS Krawang. Hal itu kemudian sangat merugikan kedudukan pasukan
KRIS dalam organisasi ketentaraan. Orang-orang KRIS Lawang yang

65
mempunyai pendirian yang sama dengan KRIS Bandung, sudah jelas
tidak dapat membenarkan tindakan KRIS Krawang yang sewenang-
wenang.

Dengan demikian, sekalipun secara resmi hanya seksi sosial KRIS yang
terdapat di Lawang, namun pada hakikatnya gerakan KRIS secara utuh
berfungsi di Surabaya dan Lawang. (KRIS 45 Berjuang Membela Negara,
2018)

9. Perjuangan Di Sulawesi Selatan

Tidak berfungsinya pemerintahan Republik di Sulawesi Selatan akibat


penangkapan Belanda terhadap Gubernur Sulawesi Dr. Sam Ratulangi,
justru merugikan Sekutu pimpinan Brigadir Jendral Chilton, karena
terlalu memberi peluang Belanda untuk mengembalikan hegemoni di
Indonesia. Posisi Belanda juga tidak
menguntungkan, karena dengan aksi penangkapan
yang dilakukan terhadap para pemuka Republik,
justeru di hadapkan pada militansi pelajar dan
pemuda yang tidak menenteramkan posisi Belanda
di Sulawesi Selatan.

Di Makasar tiba beberapa pejuang yang dikirim


KRIS cabang Jakarta untuk melanjutkan usaha-
usaha yang ditinggalkan Dr. Sam Ratulangi setelah
ditangkap dan dibuang ke Serui pada 5 April 1946.
Tugas para pejuang tersebut adalah menghimpun
dan mengorganisasi semua badan perjuangan di
Sulawesi. Usaha mereka berhasil, hingga dapat diselenggarakan

66
konperensi Rannaja, di mana lebih dari 19 organisasi turut hadir di
antaranya terdapat badan-badan perjuangan KRIS Muda dengan KRIS
Sulawesi (bedakan dengan KRIS di Jawa). Badan gabungan baru itu
disebut "Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi" disingkat
LAPRIS. Sebagai anggota terdaftar 26 badan perjuangan.

Menurut perkiraan, sesuai dengan angka-angka yang diperoleh dari


masing-masing pimpinan badan, jumlah laskar pejuang yang pada saat
itu terdapat di Sulawesi Selatan mencapai jumlah 20.000 orang. Itulah
tenaga-tenaga yang setiap saat dapat dikerahkan. Tetapi sama halnya
dengan keadaan para pejuang di Jawa pada permulaan revolusi,
pejuang-pejuang itu belum punya senjata, kecuali pisau dan bambu
runcing. Semua demikian, mereka bertekad meneruskan perjuangan,
sekalipun harus meninggalkan tubuh di medan laga. Keikhlasan itu
tampak pada pengorbanan Monginsidi, yang sampai sekarang masih
tetap diperingati pada tanggal 11 Desember.

Perlawanan Wolter R. Mongisidi Bersama Pasukan Harimau Indonesia


Perlawanan secara besar-besaran tidak berlanjut karena sebagian besar
dari pimpinan senior yang berpengalaman militer telah meninggalkan
Sulawesi Selatan pergi ke Jawa. Sementara yang lainnya, termasuk
pimpinan pemerintahan Sulawesi Selatan, Gubernur DR Sam Ratulangi,
dan pejabat administrasi telah ditangkap, Sehingga yang tinggal dan
tetap melanjutkan perjuangan pada umumnya adalah para pemuda dan
pelajar bersemangat tinggi dan serba emosional sekalipun kurang
berpengalaman. Seperti motivasi nasionalisme yang ditampilkan oleh
para pelajar SMP Nasional Makassar yang didapatkan dari guru-guru
yang umumnya terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan perlawanan tidak
surut. Mereka melakukan perjuangan melawan NICA dengan cara
melakukan berbagai serangan secara sporadis dan serba dadakan
dengan cara „hit and run‟ terhadap pasukan Sekutu maupun NICA-
Belanda sehingga mereka memperoleh dan mengumpulkan senjata.

Setelah menyusun kekuatan, mereka


menyerang kota Makassar dari kampung
Tidung yang menjadi salah satu basis. Sasaran
penyerbuan adalah posisi-posisi Belanda di
Limbung, Monco Bolang dan Paciro. Taktik ini
berhasil dan dalam aksi penyerangan ini
merebut senjata-senjata milik Belanda untuk
digunakan bagi aksi perlawanan. Setelah
menduduki Paciro, para pemuda/pelajar
membentuk pasukan khusus yang mobil
dengan sebutan Harimau Indonesia, yang
intinya terdiri dari para pelajar SMP Nasional
pimpinan Muhammad Syah, didampingi Wolter
Robert Mongisidi sebagai Wakil dan Maulwi Saelan sebagai kepala Staf.

67
Yang juga menarik dari pasukan ini adalah satuan Laskar Wanita dan
Palang Merah pimpinan Emmy Saelan dengan wakil, Sri Mulyati.

Pasukan Harimau Indonesia beroperasi di wilayah kota Makassar dan


sekitarnya terbagi dalam unit-unit kecil antara 3-4 orang. Mereka ini
sangat mobil dan selalu bergerak cepat dan berpindah-pindah tempat
melalui pangkalan/basis masing-masing, dan selalu berkoordinasi dan
saling menukar informasi. Wolter Monginsidi berperan sebagai pimpinan
operasional untuk Makassar kota dan sekitarnya. Bersama anak
buahnya ia beraksi siang dan malam di tengah kota. Sasaran utama
melucuti senjata-senjata polisi Belanda.

Aksi pasukan Harimau Indonesia


khususnya keberanian Wolter
Mongisidi dalam melakukan
perlawanan terhadap Sekutu dan
NICA-Belanda, menjadi buah bibir
penduduk disekitar yang mengagumi
keberanian mereka. Sejumlah
perlawanan sudah dilakukan setelah
serdadu NICA mendarat di Makassar
pada 23 September 1945. Namun
perlawanan lebih bersifat sporadis.
Setelah dibentuknya Laskar
Pemberontak Rakyat Indonesia
Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946
oleh figur-figur pejuang seperti
Makkaraeng Daeng Manjurungi,
Ranggong Daeng Romo, Baso Lanto,
Dg. Sila Karaeng Loloa dan Ali
Malaka. Monginsidi pun masuk dalam
petinggi LAPRIS dengan jabatan
sebagai Sekretaris. Saat menjadi
pejuang inilah, Monginsidi mendapat julukan "Harimau dari Malalayang".

Makassar menjadi tidak aman baik bagi militer maupun sipil Belanda.
Laskar giat melakukan aksi di Makassar dengan pelemparan granat
ataupun rentetan tembakan terhadap kamp-kamp militer dan rumah-
rumah pembesar Belanda. Mereka juga melakukan perang psikologis
dengan penyebaran pamflet diberbagai pelosok kota. Makassar
dikucilkan, jalan-jalan raya di blokir dengan penebangan pohon-pohon
yang melintang di jalan-jalan yang dibantu sepenuhnya oleh masyarakat
luas. Semua jaringan komunikasi militer di Makassar terputus karena
kabel-kabel telepon sudah dipotong oleh laskar Harimau Indonesia yang
sebagian besar adalah pelajar-pelajar SMP Nasional. Lagi pula sebagian
besar dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan telah dikuasai sepenuhnya
oleh para gerilyawan Republik, seperti di Madjene, Polewali,

68
Polombangkeng, Goa, Bone, Kolaka, Makale, Pinrang, Enrekang dan
Pangkajene.

Begitu paniknya orang-orang Belanda, hingga mereka bersama semua


keluarga harus naik kapal di malam hari untuk istirahat dan baru turun
ke kota di pagi hari. Keadaanpun menjadi tambah runyam ketika
pasukan Sekutu menarik semua pasukannya dari Indonesia pada 30
November 1946, termasuk pasukan Australia di Makassar dan Indonesia
Timur. Sejak itupun kekuasaan beralih kepada pihak Belanda, tetapi
tidak menyenangkan karena aksi para laskar Harimau Indonesia yang
tiada henti-hentinya. Wolter sebagai Komandan Operasi III daerah kota
Makassar dan sekitarnya, mengobrak-abrik kekuatan militer Belanda di
kota. Banyak Laskar Harimau Indonesia tidak dikenali oleh mata-mata
Belanda, dan berkeliaran dimana-mana dengan menyamar memakai baju
seragam KNIL dari hasil rampasan lengkap dengan seragam, pangkat dan
senjata, dan tiba-tiba menyerang pos-pos militer Belanda.

Walau begitu aksi perlawanan Laskar Harimau Indonesia tak dapat


memenangkan pertarungan, karena sebagian besar pemuka-pemuka
laskar berada di Jawa. Dilain pihak laskar tidak terorganisasi rapi
mengimbangi militer Belanda, yang lebih baik dalam sistem pertempuran
maupun persenjataan. Lagi pula sebagian besar dari pasukan khusus
DST terlatih di Amerika-Serikat. (Harry Kawilarang, 2015)

Perjuangan yang dilakukan oleh Wolter Mongisidi


bersama rekan-rekannya dari pasukan Harimau
Indonesia memaksa orang-orang Belanda berusaha
menemukan cara lain guna mengamankan diri
terhadap amukan para pejuang. Cara kolonialisme
lama, menundukkan dan menindas bangsa
Indonesia di Sulawesi Selatan dengan kekuatan dan
keganasan, gagal total. Sebaliknya cara itu
menghasilkan potensi perlawanan yang hebat yang
lama kelamaan, kalau diteruskan akan
menghancurkan mereka sendiri. Karena itu harus
dicari jalan lain. Tak hanya Monginsidi yang rela
mengorbankan nyawa demi kemerdekaan bangsa.
Seorang wanita muda Emmy Saelan rela melakukan jibaku dalam
pertempuran sebagai gerilya, pada tanggal 27 Januari 1947: Andi Suppa
Lolo, disiksa, diseret dengan mobil dan setelah dia benar-benar tidak
sadar lagi dia ditembak mati. Datu Suppa Toa, disiksa dan dibunuh
dengan memecahkan biji-biji kemaluannya. Jenazahnya dibuang ke laut;
dan banyak lagi. Semua kejadian itu dilakukan Belanda untuk
menanamkan rasa takut dan takluk pada bangsa Indonesia. Di Sulawesi
berlaku pepatah, "Patah satu tumbuh seribu".

69
Wolter Robert Monginsidi dengan
nama panggilan sehari-hari “Bote”
adalah seorang guru di sekolah
menengah pertama, Jalan Goa 56
Makasar. Tanggal 28 Peburari 1947. Ia
lahir di desa pesisir Malalayang, tak
jauh dari Manado, pada tanggal 14
Februari 1925 alias tepat di hari kasih
sayang. Meski lahir dari pasutri Petrus
Monginsidi dan Kina Suawa yang
berprofesi sebagai petani kelapa, Bote -
-sapaan Wolter-- kecil sudah diajarkan
akan pentingnya pendidikan. Ia
mengenyam bangku sekolah
Hollandsch-Inlandsche School (HIS,
setingkat SD) dan tamat Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO,
setingkat SMP) Frater Don Bosco di
Manado.

Tahun 1942 jadi masa cobaan setelah ibunda tercinta meninggal dunia.
Namun Bote tak terlalu lama larut dalam kesedihan. Bersamaan dengan
pendudukan Jepang, ia mulai menimba ilmu di sekolah pertanian yang
didirikan pemerintah Dai Nippon serta di saat bersamaan menekuni
Bahasa Jepang di Sekolah Keguruan Bahasa Jepang. Keduanya berada
di Tomohon. Setelah lulus, ia menjadi guru Bahasa Jepang di beberapa
wilayah termasuk kampung halamannya.

Usai menamatkan pendidikan dasarnya, Bote langsung merantau.


Pergilah ia ke Manado untuk melanjutkan studi ke Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco di Manado. MULO adalah sekolah
menengah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dan di Manado,
sekolah yang dinaungi Yayasan Katolik Don Bosco itu terbilang bagus.

Bote lulus dari MULO ketika kekuasaan Belanda di Indonesia baru saja
berakhir, digantikan oleh pendudukan militer Jepang sejak tahun 1942.
Ia kemudian masuk ke dua sekolah sekaligus, yakni sekolah pertanian
bentukan Jepang dan Sekolah Keguruan Bahasa Jepang, keduanya di
Tomohon – Minahasa.

Mengantongi kemampuan berbahasa Jepang, ia pulang ke Malalayang


dan menjadi guru di sana. Bote yang pada saat itu berusia 18 tahun juga
mengajar di beberapa daerah lainnya seperti Minahasa, Liwutung, hingga
Luwuk Banggai. Tapi, 2 tahun berselang, tak lama setelah Indonesia
merdeka pada 17 Agustus 1945, Bote hijrah ke Makassar.

70
Di pusat peradaban Sulawesi Selatan itu, Bote atau yang kini sudah
cukup dikenal dengan nama aslinya, Monginsidi, terhenyak karena
kemerdekaan yang baru dinikmati sesaat tiba-tiba terancam. Belanda
datang lagi dengan wujud anyar: Netherlands Indies Civil Administration
alias NICA dengan tujuan berkuasa kembali di Indonesia.

Tak pelak, darah muda Bote mendidih, dan dengan tegas ia memutuskan
untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia di usianya yang masih remaja. Robert Wolter Monginsidi turut
dalam pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia
Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946.

Meski masih belia, keberanian Monginsidi sudah teruji. Beberapa kali ia


turut dalam peperangan melawan NICA yang bersenjatakan lebih
canggih. Kecakapan inilah yang membuatnya dipercaya menjadi salah
satu pimpinan LAPRIS. Ia memimpin pasukan sendiri untuk memberikan
tekanan terhadap Belanda di Makassar dan sekitarnya.

Secara struktural, jabatan Monginsidi di LAPRIS adalah sekretaris.


Namun, ia juga berperan sebagai perencana operasi militer dan tak
jarang harus menyamar untuk menentukan sasaran
(Agussalim, Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, 2016:219).
Cukup banyak serangan LAPRIS yang berhasil berkat informasi Wolter
Monginsidi.

Kemudian dia ditangkap Nefis berdasarkan tuduhan, bahwa dia adalah


seorang pemimpin pemberontak yang sangat berbahaya. Monginsidi,
sekalipun menjalani siksaan ala Jepang dan Jerman, namun tidak
mengubah pendirian dan keyakinan yang dinyatakan dengan kata-kata:

71
"Saya berani berjuang untuk nusa dan bangsa saya dan saya berani
menanggung segala akibatnya, Saya hanya tunduk pada bathin saya".

Kawan-kawan seperjuangan, yang tergabung dalam gabungan badan-


badan perjuangan rakyat Sulawesi, LAPRIS, sekalipun merasa terpukul,
karena pimpinan mereka ditangkap, tidak jadi kendur. Malah sebaliknya,
mereka mempertinggi frekuensi serangan terhadap pos-pos tentara NICA.
Dua orang kawan seperjuangan Monginsidi, Adam dan Abdullah, berhasil
menyelundupkan sepucuk pistol dan beberapa peluru padanya di
penjara. Setelah itu Monginsidi menunggu kesempatan baik untuk
melarikan diri.

Salah satu sudut Kota


Makassar itu masih sepi
ketika sebuah jip militer milik
Belanda menembus sunyi
menuju tangsi. Di depan
sana, telah menunggu 4
orang, berpakaian tentara
juga yang tidak lain adalah
Monginsidi bersama 3
pejuang lainnya yaitu
Abdullah Hadade, HM
Yoseph, dan Lewang Daeng
Matari.
Jip dihentikan, Monginsidi menodongkan pistol ke arah kepala satu-
satunya orang yang ada di mobil itu, seorang kapten rupanya. Seragam
dan tanda pangkat sang kapten dilucuti, lalu dikenakan oleh Monginsidi.

Mobil pun diambil-alih, Monginsidi dan seperkawanan menjalankannya


ke arah tangsi. Tak dikenali,mereka berhasil masuk ke kandang musuh.
Suasana mendadak riuh saat Monginsidi memberondongkan senapannya
ke area tangsi. Para penghuninya pun panik, bubar, dan lari
menyelamatkan diri ke segala penjuru.

Salah satu aksi heroik Monginsidi lainnya terjadi sepanjang pekan ketiga
Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda
dan berhasil memukul mundur lawan (Syahrir Kila, Kelaskaran 45 di
Sulawesi Selatan,1995:87). Beberapa hari kemudian, terjadi saling
tembak-menembak lagi. Monginsidi nyaris saja tertangkap, tapi lolos.

Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda kini mengenali sosok


Monginsidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk
menangkapnya. Tanggal 28 Februari 1947, ia terjaring dan dipenjarakan.

Pada 27 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Monginsidi berhasil


menyelundupkan 2 granat yang dimasukan ke dalam roti. Granat pun

72
diledakkan, seisi kompleks penjara kacau-balau. Melalui cerobong asap
dapur, Monginsidi dan ketiga rekannya berhasil membongkar genting
dan melarikan diri. Sejak semula Monginsidi sadar, bahwa Belanda tidak
akan berhenti mencarinya sampai dapat. Dengan demikian dia
dihadapkan pada pilihan: melarikan diri ke daerah aman dan
meninggalkan semua teman-teman seperjuangan; atau tinggal di daerah
Makasar dengan risiko ditangkap kembali, yang pasti berarti mati.
Perhitungan tersebut dapat disimpulkan berdasarkan keterangan, bahwa
banyak mata-mata disebar Belanda ke segala penjuru untuk mencari
jejaknya. Maka pada suatu waktu pasti ada yang berhasil
menemukannya.

Monginsidi tak pernah berpikir meninggalkan kawan-kawan


seperjuangan. Malah sebaliknya dia berpikir, sebelum dia tertangkap dan
menghadap ajalnya, Belanda harus membayar mahal dulu. Sebelum
kematiannya, Monginsidi telah menewaskan prajurit-prajurit Belanda
yang mendahuluinya. Sepuluh hari lamanya Monginsidi mengamuk
sebelum dia berhasil disergap dan ditangkap kembali. Dalam sepuluh
hari itu 10 tempat dan pos tentara Belanda dihancurkan dan semua
serdadu dan kaki-tangan NICA yang ditemukan dibunuh.

Tempat-tempat itu segera diperkuat dan


dijaga ketat oleh Belanda, tetapi
Monginsidi tak kembali ke sana, dan
menyerang pos lain. Tetapi pada malam
ke-11, ketika kelompoknya menyerang
tempat ke-11, seperti sudah
direncanakan, Monginsidi dikepung di
sebuah gang. Ia tidak mengira posisinya
diketahui oleh Belanda. Kesiapan
pasukan Belanda menyergapnya
menunjukkan ada mata-mata yang
membocorkan rencana penyerbuannya.
Rupanya ada yang berkhianat.
Belakangan diketahui bahwa mereka
yang menikam dari belakang itu justru
tiga kawan Monginsidi yang sebelumnya
sama-sama tertangkap, yakni Abdullah
Hadade, HM Yoseph, dan Lewang Daeng
Matari (Noldi Mandagie, belanegarari.com, 2009). Mereka menerima uang
suap dari Belanda.

Monginsidi sebenarnya punya sebuah granat yang bisa saja ia


lemparkan. Tapi, terlalu tinggi risikonya karena gang tempatnya
terkepung itu juga menjadi area pemukiman warga. Monginsidi pun
akhirnya menyerah demi keselamatan rakyat. Tangan dan kaki

73
Monginsidi dibelenggu dengan rantai, kemudian dikaitkan ke dinding
tembok tahanan di Kiskampement Makassar.

Dalam masa penahanan itu, Belanda kerap membujuk Monginsidi agar


mau bekerjasama, tapi ia selalu tegas menolak. Pihak Belanda masih
sempat menyarankan kepada Monginsidi mengajukan grasi agar
mendapatkan pengampunan, setidaknya lolos dari vonis mati, dengan
syarat, ia bersedia bekerjasama. Tapi, Monginsidi tetap tidak mau. Ia
memang telah dikhianati, namun ia anti menjadi pengkhianat.
Monginsidi yang saat itu sedang membaca buku pelajaran berbahasa
Jerman, langsung bangkit dan berkacak pinggang. “Minta grasi? Minta
grasi berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman!” (Yusuf
Bauti, Intisari, Maret 1975). Dua pejabat itu tertegun dan hampir serentak
berkata, “Dat is pas een man.” (Ini baru benar-benar seorang jantan).
Mereka pergi dan onginsidi kembali membaca seakan-akan tidak terjadi
apa-apa.

Setelah setahun lebih berada dalam tahanan, akhirnya tanggal 26 Maret


1949 Monginsidi dihadapkan kepada sebuah pengadilan NICA yang
menghukumnya berdasarkan tuduhan mengacau dan merampok, dan
dijatuhi dengan hukuman mati. Setelah divonis hukuman mati
dijatuhkan oleh hakim Meester B Damen. Permohonan Grasi yang
pernah ditawarkan dua pejabat Belanda yakni Overste Komandan
Territoriale Troepen di Makassar dan seorang Majoor Titulair „inlander‟
dari Raad van Justitie (pengadilan), tetap ditolak. (Geographic.co.id, Jumat
(4/8/2017).

Bahkan sewaktu kedua


orangtuanya didatangkan
dalam usaha untuk
memintakan grasi ini dan
membujuknya, ternyata tak
mampu meluluhkan
keteguhan Wolter
Monginsidi. “Sampaikan
salam saya kepada Papa,
saudara-saudara saya di
Malalayang serta teman-
teman seperjuangan, saya
jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang,” tulisnya dalam surat
kepada ayah dan ibunya, Petrus Monginsidi dan Lina Suawa.

Selama menunggu maut menjemput di sel tahanan, Monginsidi kian


mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melahap ayat-ayat Alkitab.
Selain itu, Monginsidi juga sempat mengguratkan sejumlah catatan berisi
pesan-pesan perjuangan, bahwa ia pantang menyerah, bahwa ia tak
pernah takut maut demi harga diri dan bangsa. “Saya telah relakan diri

74
sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat
masyarakat kini dan yang akan datang. Saya percaya penuh bahwa
berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang
Maha Esa.”

“Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku. Rohku


saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata dan
darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang
kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.” Begitu bunyi
sebagian guratan pena bermakna Monginsidi dari dalam penjara yang
ditulisnya di lembaran kertas dengan judul “Setia Hingga Terakhir dalam
Keyakinan”.

Ketika tiba pada hari Senin tanggal 05 September 1949 sebagai hari
penghukuman pada sekitar jam 05.00 subuh, di Panaikang Tello, putera
bangsa terbaik Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani berdiri
tegak di hadapan regu penembak. Monginsidi ingin menikmati saat-saat
terakhirnya dengan kebanggaan, “Saya jalani hukuman tembak mati ini
dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan
bangsa Indonesia tercinta.”

Sesaat sebelum menuju ke tempat penembakan Wolter menjabat tangan


semua yang hadir dan kepada regu penembak. Wolter berkata;
“ Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan
tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga
Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara.“

Sesaat sebelum pelatuk


ditekan, Monginsidi berucap
kepada para algojo
Ketegaran dan keteguhan hati
menghadapi moncong-
moncong senjata yang
dibidikan kepadanya dan
menolak ketika matanya akan
ditutup, ia berucap; “ Dengan
hati dan mata terbuka, aku
ingin melihat peluru penjajah
menembus dadaku.“

Dengan pekikan‟ Merdeka….merdeka..merdeka.. !!! dari Wolter, maka 8


butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya, 4 peluru di dada kiri, 1 di dada
kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di
pusar, dan seketika ia terkulai. Wolter gugur dalam usia 24 tahun.

Dan, bersamaan dengan tiga kali pekikan merdeka, 8 peluru menembus


raganya: 4 di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus

75
ketiak kanan, 1 di pelipis kiri, dan 1 di tepat pusar. Monginsidi
tersimpuh, gugur pada waktu subuh di umur yang juga masih terbilang
dini, 24 tahun.

Wolter menulis surat pada secarik kertas sebagai pernyataan


keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk Kemerdekaan
Bangsa Indonesia tidak pernah pudar yaitu:
- Setia Hingga Akhir di Dalam
Keyakinan,
- Saya minta dimakamkan di
Polombangkeng karena
disana banyak kawan saya
yang gugur.
- Sampaikan salam saya
kepada Papa, saudara-
saudara saya di Malalayang
serta teman-teman
seperjuangan, saya jalani
hukuman tembak mati ini
dengan tenang, tidak ada
rasa takut dan gentar demi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercinta. (Drs. A. Noldi. Mandagie, 2005)

„SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN” itulah sebuah tulisan


Wolter yang ditemukan pada Alkitab yang dibawahnya ketika eksekusi
dilakukan. Itulah akhir kisah perjuangan Robert Wolter Monginsidi.

Pembantaian Pasukan Westerling Terhadap Rakyat Sulawesi Selatan


Dalam mengatasi berbagai perlawanan rakyat di Indonesia khususnya di
Sulawesi Selatan, maka pada 11 Desember 1946, pemerintahan
administrasi Belanda, Binnenlands Bestuur (BB) memberlakukan Negara
Dalam Keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg, SOB). Khusus untuk
mengatasi keadaan di Sulawesi Selatan, pihak Belanda mendatangkan
bantuan dari Divisi 7 Desember 1946, KL langsung dari negeri Belanda
dan satu unit Dienst Speciale Troepen (DST, Pasukan Khusus Baret
Merah) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling guna
mengamankan Makassar dan sekaligus memadamkan aksi perjuangan
para “ekstrimis.” Dalam konsepnya, Westerling menerapkan caranya
yakni: “Apabila kita hendak membunuh seekor tikus yang
membahayakan rumah, yang paling mudah ialah, kita harus membakar
rumah tersebut.

Jadinya, apabila kita hendak menangkap seorang exktrimis yang


bersembunyi dalam masyarakat, jalan yang paling ampuh adalah
membunuh semua orang di sekitar tempat itu.”
Cara ini diterapkan oleh Westerling untuk menciptakan suasana shock
therapy hingga terjadi ketakutan psikologis (angst psychose) pada

76
masyarakat untuk tidak membantu para “ekstrimis.” Operasi
pembantaian yang dilakukan Westerling dengan diberlakukannya
Unsang-Undang SOB antara 10 Desember 1946 hingga 5 Februari 1947
telah menghilangkan ribuan nyawa pejuang dan gerakan bawah tanah
PNI dan pro-Republik di Sulawesi Selatan.

Operasi pembantaian Kapten Raymon Westerling dilakukan dalam


beberapa tahap yaitu:
Tanggal 11-16 Desember 1946, aksi pembantaian di Makassar dan
sekitarnya.
Tanggal 17-16 Desember 1946, operasi di Gowa. Takalar, Jeneponto,
Polombangkeng dan Binamu.
Tanggal 2-16 Januari 1947, operasi di Bonthain, Gantaran, Bulukumba
dan Sinjai.
Tanggal 17 Januari-5 Maret 1947 operasi di Maros, Pangkajene, Sigeri,
Tanete, Barru, Parepare, Polewali, Mandar, Sidenreng dan Rappang.

Kedatangan Pasukan Eksepedisi TRIPS


Aksi pembantaian yang
dilakukan Kaptem Westerling
dengan pasukan khusus
DST dan situasi di Sulawesi
diikuti oleh Soekarno-Hatta
dan para pimpinan TRI di
Yogyakarta. Untuk itu TRI
membentuk pasukan
ekspedisi Tentara Republik
Indonesia Persiapan
Sulawesi (TRIPS) yang
mayoritas berasal dari KRIS,
dikirim dari Jawa secara
bergelombang di akhir 1946
hingga awal 1947.
Rombongan ini mendarat
dan berada di daerah operasi Laskar Harimau Indonesia. Kedatangan
ekspedisi TRIPS, selain memperkuat dan mengkoordinasi laskar laskar
perjuangan, juga membentuk dan membina satuan-satuan untuk
menjadi Divisi Tentara Republik Indonesia (TRI).

TRIPS gelombang pertama, masing-masing dipimpin Kapten


Muhammadong, Kapten Mohammad Jusuf, Lettu A Latif, Lettu M
Said dan Pelda Murtala. Rombongan berikut dipimpin Kapten Andi
Sarifin dan Lettu Andi Sapada. Dua hari kemudian tiba rombongan
Kapten Andi Mattalatta. Disusul kemudian dengan pendaratan
rombongan Kapten Saleh Lahade dan Lettu Andi Oddang.

77
Pendaratan gelombang
pertama TRIPS terjadi kontak
senjata oleh hadangan
pasukan KNIL. Pertempuran
terjadi di daerah Suppa, yang
ketika itu pihak TRIPS hanya
berkekuatan satu peleton,
sedangkan yang dihadapi
satu kompi KNIL dengan
senjata serba lengkap
hinggga tidak seimbang.
Akibatnya, banyak dari
personal TRIPS gugur,
terutama dalam pertempuran
di Muntala.

Sejak itupun pendaratan dilakukan ditempat-tempat yang di rahasiakan


yang aman dan tidak diketahui pasukan KNIL. Umumnya rombongan
ekspedisi dari Jawa memusatkan kekuatan gerilya di Paccekke, di atas
Parepare. Ditempat ini terjadi pertemuan bagi pembentukan Tentara
Republik Indonesia Sulawesi, sesuai instruksi Panglima Besar Jendral
Sudirman dalam surat perintahnya yang dibawa Andi Mattalatta.
Proses pembentukannya memerlukan sekitar satu bulan untuk
menghadirkan para pimpinan berbagai badan laskar perjuangan di
Sulawesi Selatan.

Konferensi Paccekke berlangsung pada 20-22 Januari 1947 yang dihadiri


antara lain oleh:
- Andi Selle Mattola dan Muhammad Taib, mewakili Suppa,
- Hamid Aki dan Hussen, mewakili Masseurengpulu/Enrekang,
- Rahmansyah dan M A Latif mewakili Ganggawa,
- Andi Domeng dan Andi Cabambang mewakili Soppeng,
- Andi Parengrengi mewakili Mandar,
- Andi Mattalatta, Saleh Lahade, Andi Sapada, Andi Oddang sebagai
eksponen TRI Persiapan Sulawesi,
- Muhammad Syah dan Maulwi Saelan mewakili Harimau Indonesia dari
Makassar.

Pimpinan laskar dari Masamba, Malili, Palopo, Polombangkeng tidak bisa


hadir karena ketatnya patroli pasukan Belanda, sedangkan Andi Mayulai
baru tiba setelah konferensi selesai. Pasukan yang dikerahkan di Pacekke
sekitar 700 personal dengan persenjataan, setengah dari kekuatan terdiri
dari senjata ringan dan senjata otomatis. Mereka ini bertugas melakukan
pengamanan di sekitar konferensi yang terbagi dalam tiga lapis.
Konferensi itu memutuskan: Membentuk Divisi TRI Sulawesi Selatan
dengan nama Divisi Hasanuddin, terdiri dari 3 resimen, masing-masing

78
membawahi daerah pertahanan Makassar dan sekitarnya, Parepare dan
sekitarnya, Palopo dan sekitarnya. Susunan Staf komando Divisi:
Panglima (pelaksana) : Mayor Andi Mattalatta,
Kepala Staf : Mayor Saleh Lahade,
Seksi I : Kapten Muhammad Syah,
Seksi II : Kapten Maulwi Saelan,
Seksi III : Kapten Andi Sapada,
Seksi IV : Kapten Andi Oddang,

Konderensi Pacekke juga membentuk


bagian operasi dan merencanakan
serangan umum pada tanggal 2
Februari 1947, untuk membangkitkan
kembali semangat juang rakyat
sebelum kedatangan Westerling. Tetapi
operasi ini gagal, karena yang dihadapi
adalah pasukan khusus DST pimpinan
Kapten Westerling yang sangat terlatih
dan professional. Banyak diantara
mereka ini di didik di AS dan Inggris
sebelum diberangkatkan ke Indonesia.
Operasi gabungan KL/KNIL pimpinan
Westerling dengan mobilitas tinggi dan
terus menerus terhadap lima afdeling di
Sulawesi Selatan, ditambah dengan
blokade total, dan semua orang yang
dicurigai ditangkap untuk kemudian
ditembak mati, membuat Staf Komando
Hasanudin harus memperhitungkan dan perlu melakukan strategi.

Untuk itu Staf Divisi melakukan hijrah ke Jawa guna menyusun


kekuatan baru. Atas dasar pertimbangan perjuangan jangka panjang,
sebagian pimpinan teras Divisi Hasanuddin hijrah ke Jawa untuk
melakukan konsolidasi dan sebagian lagi meneruskan perlawanan
dengan taktik perang gerilya. Umumnya mereka yang hijrah, berlayar
naik perahu-perahu pinisi yang bergerak terutama pada malam hari.
KRIS

Mempermasalahkan Penahanan Gubernur Sam Ratulangi


Jakarta, 8 April 1946. Kediaman Perdana Menteri Sutan Syahrir hari itu
didatangi oleh kalangan anggota pengurus KRIS masing-msing : Mohede,
Supit, Alex Wenas dan Bart Ratoe Langie. Yang menjadi pokok
pembahasan adalah penahanan DR.GSSJ "Sam" Ratulangi sebagai
Gubernur Sulawesi di Makassar oleh pemerintahan NICA. Pertemuan itu
diakhiri dengan penyerahan surat-kabar "Kebenaran" yang diberikan
Alex Wenas kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

79
Usaha Letkol Kahar Muzakar Membentuk Pasukan Sulawesi
di Yogyakarta.

Dua orang utusan Sulawesi Selatan, masing-masing


Kapten Saleh Lahade dan Kapten Andi Matalatta
tiba di Yogyakarta lewat Tegal. Mereka meminta
bantuan senjata dan pelatih-pelatih ketentaraan.
Kahar Muzakar berusaha memenuhi permintaan
mereka dan baru dipertengahan 1946 mereka
berhasil mendaratkan pasukan yang pertama di
bawah pimpinan Andi Sopada dengan Andi Sarifin.
Setelah beberapa waktu berada di sana, pimpinan
diserahkan pada Sarifin. Sopada kembali ke Jawa
memberi laporan tentang perjuangan di Sulawesi
Selatan. Berdasarkan laporan itu Letkol Kahar
Muzakar menyusun pasukan baru yang lebih besar, yang kemudian
diserahkan pada pimpinan Kapten Andi Matalatta dengan Kapten
Saleh Lahade. Mereka berhasil mendarat di daerah pendaratan pasukan
pertama, yaitu di Suppa.

Beberapa waktu kemudian Kapten Saleh Lahade kembali ke Jawa dan


tiba di Yogya pada awal bulan September 1946 bersama Lendi
Tumbelaka untuk memberi laporan tentang perkembangan perjuangan
di Sulawesi. Di kantor pusat KRIS mereka menemui ketua dan kepala
penerangan. Waktu itulah mereka memberitahukan tentang pembantaian
massal di Sulawesi Selatan oleh Westerling, yang telah meminta korban
40.000 jiwa. Laporan itu oleh pucuk pimpinan diteruskan kepada
Kementerian Penerangan (Moh. Natsir) yang meminta bertemu sendiri
dengan para pelopor. Sementara itu "Berita KRIS" dalam terbitan
menyambut kongres KRIS bulan Oktober 1946 dengan huruf besar
menyiarkan kabar tersebut sebagai bukti kekejaman Belanda dan
kedengkian mereka melihat bangsa Indonesia maju.

Aksi pembantaian yang dilakukan Westerling dengan pasukan DST


menggema hingga di dunia internasional, dan agar tidak terpojok, pihak
Belanda menarik mundur pasukan Westerling pada 4 Maret 1947.
Hal ini terjadi ketika wartawan A Karim DP melaporkan peristiwa
kekejaman Westerling yang dimuat pada harian Berita Indonesia. Berita
ini menggemparkan dan menjadi ramai. Padahal Belanda berusaha
menyangkal dan membreidel harian yang memberitakan peristiwa
tersebut. Di Yogyakarta, Soekarno bertanya kepada Letkol. Kahar
Muzakar mengenai jumlah korban pembantaian yang dilakukan pasukan
Westerling di Makassar yang di jawab singkat oleh Kahar: “40.000 yang
tewas.” (Harry Kawilarang).

*****

80
10. Perjuangan Arie Lasut.

Salah satu pejuang dari KRIS yang terkenal


adalah Arie Lasut. Arie Lasut dilahirkan di
Tondano, Sulawesi Utara, 6 juli 1918. Anak
pertama dari delapan bersaudara ini lahir
dari pasangan Darius Lasut dan Ingkan
Supit. Darius Lasut adalah seorang guru
yang membesarkan anak-anaknya dalam
lingkungan agama yang kental. Arie kecil
merupakan anak yang pintar, ia bersekolah
di HIK (Hollands Inlandse School), sebuah
sekolah di Tondano, Ambon hingga ke
Bandung karena mendapat predikat siswa
terbaik. Di Bandung ia pindah kesekolah
umum tingkat atas (Algemeene Middlebare
School) dengan jurusan IPA di Jakarta.

Setelah tamat dari AMS tahun 1937 ia meneruskan ke sekolah


kedoktera (FKU UI saat ini), namun tak diteruskannya karena kesulitan
biaya saat itu. Ia sempat bekerja di Departemen Ekonomi milik Belanda
selama setahun. Pada tahun 1939 ia mendaftar beasiswa dan diterima
untuk masuk ke sekolah Teknik (ITB sekarang), namun sekolah ini pun
tidak dilanjutkannya karena persyaratan dari Belanda yang
mengharuskan menjadi warna negara Belanda serta merta ia tolak. Arie
muda pun gagal menjadi dokter dan insinyur.

Tahun 1939 itu juga ia mengikuti ujian masuk kursus asisten geologi
pada Dienst van den Mijnbuow (Direktorat Jendral Geologi dan Sumber
Daya Mineral saat ini). Ia lulus dua terbaik dari 400 peserta. Disinilah ia
bertemu dengan Soenoe Soemosoesastro. Mereka berdua menjadi
asisten geologi pribumi pertama di Indonesia. Selama mengikuti kursus,
Ari juga masuk dalam CORO (Corps Opleiding Reserve Officer) yang
dilatih oleh Belanda untuk membantu pertahan melawan Jepang.

Selama kependudukan Jepang, Jepang merubah nama Dienst van den


Mijnbuow menjadi Chishitsu Chosacho. Arie dan Soenoe dan beberapa
karyawan masih bekerja disana, bahkan ia diangkat menjadi asisten di
departemen ini. Sebuah jabatan strategis bagi pribumi saat itu. Ia juga
menemukan mineral "yarosit" pada saat meneliti di daerah Ciater.
Laporan-laporan penelitian Arie dan kawan-kawan masih bisa kita lihat
di Perpustakaan Pusat Penelitian Geologi, Badan Geologi di Bandung.

Jepang menyerah kalah pada perang pasific tahun 1945 dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Melalui instruksi presiden, segala
asset harus di nasionalisasikan. Arie berperan penting dalam

81
pengambilan Chishitsu Chosacho dari Jepang dan mengubahnya
menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi (PDTG). Berbekal
pengetahuannya akan ilmu Geologi, Arie ditetapkan menjadi kepala
Djawatan tersebut dan Soenoe sebagai wakilnya. Saat itu usianya baru
28 tahun. Usia yang boleh terbilang muda untuk memegang suatu
jabatan di Jawatan yang merupakan terbesar di Asia ini.
Masa awal kemerdekaan tidaklah berjalan mulus, Belanda masih belum
bisa move on, dan masih ingin menjajah Indonesia lewat agresi militer I
dan II nya. Dan Djawatan Geologi dan Tambang yang dipegang Arie
merupakan salah satu target operasi Belanda yang harus dikuasai. Arie
juga menjadi incaran Belanda saat itu.

Semula orang yang meragukan kesetiaan Arie karena ia orang Manado


(orang dahulu berpendapat bahwa orang Manado lebih berpihak pada
Belanda - M.M. Poerbo - senior geologist, murid Arie dan Soenoe),
ternyata menolak mentah-mentah untuk bekerjasama dengan Belanda.
Bahkan Arie tergabung dalam KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi), sebuah gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Ia sering ikut merebutkan pos-pos yang dijaga Belanda,
mengambil senjatanya dan membagikan kepada anak buahnya. Arie
yang juga berjuang bersama adiknya, Willy Lasut (TNI AD) juga
membantu para pejuang dengan menyumbangkan bahan-bahan kimia
pembuat bom yang ia ambil dari laboratoriumnya.

Sebagai seorang kepala Djawatan, Arie paham betul pentingnya


dokumen-dokumen yang berisi informasi kekayaan pertambangan
negara ini. Ia beberapa kali memmindahkan kantor Djawatannya ke
berbagai tempat guna menghindari Belanda. Dari Bandung ia berpindah
ke Tasikmalaya, kemudian ke Magelang, Arie juga sempat melarikan
dokumen-dokumen tersebut ke Bukittinggi, lalu kembali ke Magelang,
dan terakhir ia berpindah ke Yogyakarta. Selama pelariannya, Arie dan
Soenoe mendirikan sekolah Geologi untuk mencetak generasi-generasi
penerus.

Disamping jabatannya sebagai kapala Djawatan Geologi, Arie tergabung


dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Poesat)dengan wewenang setara
DPR saat ini. Arie juga masuk dalam anggota delegasi Mohamad Roem
dalam berunding dengan Van Roijen. Jabatan-jabatan penting Arie ini
semakin membuat ia menjadi incaran Belanda. Beragam cara yang
dikeluarkan Belanda agar Arie mau bekerjasama dan memberikan
dokumen-dokumen penting tentang kekayaan pertambangan Indonesia
ini. Mulai dari jabatan tinggi, gaji dan fasilitas mewah, bahkan sekolah
di luar negeri. Namun semua tawaran tersebut kembali ditolak mentah-
mentah oleh Arie. Setelah segala upaya bujuk rayu gagal, dan usaha
terakhir Belanda untuk menariknya dalam perundingan Roem Royen
pun kandas. Hal ini membuat Belanda semakin meradang.

82
Puncaknya pada pagi tanggal 9 Mei 1949, masuk radiogram dari
Pemerintah Belanda di Jakarta kepada Komandan Pasukan Belanda di
Yogyakarta yang berisi : "A.F. Lasut secepat mungkin dihilangkan". Arie
Lasut kemudian "dijemput" dikediaman dan dibawa ke Pakem,
Kaliurang. Dalam perjalan ia menerima berbagai siksaan agar mau
memberitahukan informasi dan dokumen-dokumen kekayaan geologi
Indonesia. Arie tetap tak bergeming, bahkan makin menimbulkan
semangat berani mati untuk bangsa dan negaranya. Hingga akhirnya
dengan gagah ia menatap tentara Belanda yang mengarahkan moncong
senjatanya kearah Arie. Arie ditembak dengan keji oleh Belanda yang
putus asa. Arie meninggal dihari tepat ditandatanginya perjanjian Roem
Roijen diusia 30 tahun. Jenazahnya ditemukan terbujur kaku
mengenakan celana dan kaus putih serta tangan yang menggenggam
granat.

Arie gugur sebagai pahlawan dalam menjaga dokumen dan informasi


mengenai kekayaan negara yang ada padanya. Untuk mengenang sepak
terjang Aire F. Lasut, pemerintah memberikan gelar pahlawan Nasional
melalui SK Presiden RI No. 12/T.K/1969 tanggal 20 Mei 1969.

****

83
E. AGRESI MILITER BELANDA PERTAMA

Setelah Perundingan
Linggarjati ditandatangani
oleh Indonesia dan Belanda
pada tanggal 15 November
1946, merupakan wujud
pengakuan internasional
terhadap Kemerdekaan dan
kedaulatan Indonesia. Inilah
perjanjian resmi pertama
yang dilakukan Belanda dan
Indonesia setelah
kemerdekaan
Indonesia. Dr. Van
Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, didampingi oleh
Schermerhom sedangkan Indonesia mengutus Sutan
Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris
sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord KiIllearn. Namun, realisasi di
lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus hingga Pada tanggal 15 Juli
1947, Van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur
pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Permintaan tersebut tentu
saja di tolak oleh Indonesia karena melanggar perjanjian yang sudah
dibuat.

1. Latar Belakang Agresi Militer Belanda I

Belanda jelas tidak mau kehilangan Jawa di mana banyak perkebunan


bekas milik mereka, sementara Sumatera memiliki banyak cadangan
minyak bumi. Perjanjian Linggarjati tidak berumur lama, karena tidak
sampai dua bulan, Pimpinan Militer Belanda Van Mook pada
tanggal 27 Mei 1947, lalu mengirimkan nota ultimatum kepada
Indonesia untuk keluar dari Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah,
dan dengan mudah menerobos wilayah RI, yang harus dijawab dalam
14 hari,

Adapun isi Nota Ultimatum, antara lain :


1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa
bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di
daerah-daerah yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk
daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda
(gendarmerie bersama); dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor

84
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak
gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari
kalangan parpol-parpol di Republik.

Ketika jawaban yang memuaskan tidak


kunjung tiba, Belanda terus
"mengembalikan ketertiban" dengan
"tindakan kepolisian". Pada tanggal 20
Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21
Juli 1947) mulailah
pihak Belanda melancarkan 'aksi
polisionil' mereka yang pertama.
(Wikipedia Indonesia).

Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook


menyatakan melalui siaran radio
bahwa Belanda tidak terikat lagi pada
hasil Perundingan Linggarjati. Kurang
dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer
Belanda I pun dimulai. Pada masa itu
terdapat 100.100 lebih tentara Belanda
yang siap berperang dengan
menggunakan persenjataan yang canggih pada jamannya.Senjata
tersebut adalah senjata berat hadiah dari pasukan Inggris dan
Australia. Setelah tanggal 20 Juli 1947, Van Mook melancarkan
serangan di beberapa ruas daerah seperti di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Mulai dari sinilah situasi antara Belanda dan Indonesia
semakin memanas.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah


perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam,
terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional,
Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan
menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.

Sebagai panglima besar TNI, Jenderal Sudirman menyerukan kepada


para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu
Pertiwi memanggil!,[dan kemudian menyampaikan beberapa pidato
melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk
berperang melawan Belanda. Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang
tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat. (Wikipedia
Indonesia)

Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka


telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis.
Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki

85
Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk
menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang
lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian,
Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di
Sumatra, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi
minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang
diamankan.

2. Kronologi Agresi Militer Belanda I

Agresi militer Belanda diawali


dari Perjanjian Linggarjati.
Belanda berupaya
memaksakan kehendaknya
untuk membentuk negara
bagian berbasis Negara
Indonesia Serikat (RIS). Hal ini
merupakan tujuan utama
mereka yang ingin
mengelompokan negara
jajahan menjadi satu dan
diberi label merdeka secara de
jure. Untuk memuluskan
rencananya, Belanda
mengadakan berbagai konferensi di kepulauan Sulawesi, Malino, dan
Denpasar Bali.

Dari konferensi inilah Belanda berhasil membujuk beberapa tokoh


kontra republik untuk bersekutu membentuk Negara boneka. Sejak
awal mula perjanjian Linggar Jati ditandatangi Belanda memang
berniat untuk membentuk sebuah negara serikat. Didalam negara ini
belanda menempatkan berbagai negara jajahan di dalam naungannya
dengan kedok Republik Indonesia Serikat.

Upaya Belanda berlanjut dengan mengajukan berbagai tuntutan aneh


yang terkesan mempersempit ruang gerak pemerintah Indonesia.
Tujuan awal agresi militer Belanda 1 pada fase ini sudah jelas untuk
menghilangkan asas de facto indonesia. Dengan demikian Indonesia
akan kehilangan sifat kedaulatannya dan jatuh menjadi negara boneka
seperti denpasar. Selain itu Belanda juga bertujuan menghapuskan TNI
serta perwakilan negara yang berada di luar negeri.

Sebelum agresi militer Belanda pertama dilakukan keadaan kas


Belanda memang sedang mengalami masa kritis. Jika Indonesia tidak
segera ditaklukan maka akan menjadi masalah yang serius. Indonesia
dianggap penting karena merupakan negara yang paling produktif bagi
Belanda. Untuk mencegah bangkrutnya Belanda akhirnya mereka

86
mulai melancarkan operasi militer dengan tujuan tidak lain adalah
untuk menghapus segala bentuk atribut negara sehingga Indonesia
kehilangan kedaulatan dan kembali menjadi negara jajahan.

Konferensi pers pada


malam tanggal 20 Juli
1947 di istana, di mana
Gubernur Jenderal Ilham
Ard mengumumkan pada
wartawan tentang
dimulainya Aksi Polisionil
Belanda pertama .
Serangan di beberapa
daerah, seperti di Jawa
Timur, bahkan telah
dilancarkan tentara
Belanda sejak tanggal 21
Juli 1947 malam, sehingga
dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai
tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah
yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur,


Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka
adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka
menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran
utamanya adalah wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-
pabrik gula.

Pada agresi militer pertama


ini, Belanda juga
mengerahkan kedua
pasukan khusus,
yaitu Korps Speciale
Troepen (KST) di bawah
Kapten Westerling, dan
Pasukan Para I (1e para
compagnie) di bawah
Kapten C. Sisselaar.
Pasukan KST
(pengembangan dari DST)
yang sejak kembali dari
Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi,
kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke
Sumatra Barat. Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah

87
di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti
kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Sasaran dari serangan agresi militer Belanda pertama tersebut pada


mulanya adalah Yogyakarta yang menjadi markas besar perjuangan
republik. Selain itu Belanda juga berencana menduduki berbagai
daerah yang dirasanya strategis seperti area perkebunan, batu bara,
dan minyak bumi di pulau Jawa dan Sumatera. karena serangan yang
mendadak akhirnya operasi militer Belanda berhasil dilaksanakan.

Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa


bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa
yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat
keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk
melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van
Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu
pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan
Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional'
tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan
penaklukan sepenuhnya terhadap Republik. (Wikipedia Indonesia).

Dari hasil rampasan Belanda tersebut terkumpulah berbagai sumber


daya yang jika dijual mencapai US $300 juta. Padahal agresi militer
Belanda 1 pada masa itu diperkirakan menelan biaya US $200 juta.
Sehingga jika dikalkulasi Belanda masih mendapatkan keuntungan US
$100 juta dari agresi militer 1 yang dilakukan. Sayangnya tujuan
utama belanda yakni menduduki yogyakarta gagal karena dewan
keamanan PPB menyerukan untuk melakukan gencatan senjata.

Pada tanggal 29 Juli 1947,


pesawat Dakota Republik dengan
simbol Palang Merah di badan
pesawat yang membawa obat-
obatan dari Singapura,
sumbangan Palang Merah
Malaya ditembak jatuh oleh
Belanda dan mengakibatkan
tewasnya Komodor Muda Udara
Mas Agustinus Adisucipto,
Komodor Muda Udara dr.
Abdulrahman Saleh dan Perwira
Muda Udara I Adisumarno
Wiryokusumo.

Perhitungan yang kurang matang dan kurangnya perencanaan diawal


membuat agresi militer Belanda pertama ini berdapak buruk bagi
negara itu sendiri. Pemerintah Republik Indonesia secara resmi

88
mengadukan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke PBB,
melalui jalur diplomasi. karena agresi militer tersebut dinilai telah
melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan
Linggarjati.

Jalur diplomasi dipilih sebagai opsi pertama


untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia
yang akan dijajah kembali oleh Belanda.
Meskipun pejuang TNI yang ada di dalam negeri
sedang digempur habis habisan namun tidak
untuk delegasi Indonesia di luar negeri. Dibawah
pimpinan Juru Bicara Indonesia di PBB L.N.
Palar, Perwakilan inilah yang terus
memperjuangkan kemerdekaan lewat jalur
diplomasi. Mereka berhasil meyakinkan banyak
negara bahwa Indonesia adalah negara yang mampu berdaulat dan
merdeka atas perjuangannya sendiri. Diplomasi yang dilakukan
perwakilan Indonesia berjalan dengan baik dan mendapatkan
dukungan dari berbagai negara.

3. Perjuangan KRIS dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I

Sejak tanggal 21 Juli 1947


Belanda mulai melancarkan
agresi militer I akibat
pembatalan sepihak
perjanjian Linggarjati. Di
Jawa Timur, Belanda
mengerahkan Divisi A
pimpinan Jenderal Mayor de
Bruyne yang berhadapan
dengan Divisi VI pimpinan
Jenderal Mayor Sungkono
dan Divisi VII pimpinan
Jenderal Mayor Imam Sujai,
laskar-laskar, dan pasukan
TRIP Jawa Timur. Sasaran serangan Belanda ialah untuk menduduki
wilayah Karesidenan Malang dan Besuki, karena daerah ini merupakan
pusat perkebunan.

Pada bulan Juli 1947 jatuh saat bulan Ramadhan, sehingga semua
umat Muslim sedang melaksanakan ibadah puasa, termasuk pasukan
TNI. Pada sekitar pukul 3.00 pasukan terdepan menerima perintah dari
Komandan Markas Pertempuran Oentoeng Soeropati (MPOS) Letkol
Hamid Rusdi, yang berisi agar siap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan atas serangan pihak Belanda. Pada pukul 4.30 dengan
kode “Bibit Disirami‟ seluruh pasukan sudah siap di perkubuannya

89
masing-masing. Pada pukul 5.15 ada lima buah pesawat terbang
Belanda terbang di atas pertahanan Republik sambil menyebarkan
pamflet yang berisi agar tentara kita menyerah kepada tentara Belanda.
Kemudian pukul 5.30 muncul pesawat Belanda tipe P.51/Mustang
(Cocor Merah) dan B.25/Bomber yang menembaki daerah pertahanan
RI di Watukosek-Japanan-Bulusari yang mengakibatkan seorang gugur
dan 4 luka-luka. Hubungan dengan komando terputus dan Tretes hari
itu juga diduduki Belanda, para korban langsung diangkut ke Rumah
Sakit Malang.

Pertempuran itu terjadi di Kota Malang sepekan pasca-Agresi Militer I


(21 Juli 1947). Sekira sebulan, Koninklijke Landmacht (KL) atau
Angkatan Darat Belanda dan Mariniersbrigade atau Marinir Belanda
“kucing-kucingan” dengan pasukan republik. Kedua pasukan akhirnya
terlibat pertempuran dahsyat pada 31 Agustus 1947 di front Malang
timur. Pertempuran melibatkan semua unsur perjuangan untuk
melawan Balanda. Pasukan dari Brigade 13 Divisi Untung Suropati
pimpinan Letkol Zainal Abidin, dari AURI pimpinan Opsir Muda Udara
(OMU) III Hanandjoeddin, ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia,
kini TNI AL) yang anggotanya kebanyakan dari KRIS pimpinan Letkol
Joop Warouw.

Di front tengah, menurut Haril M. Andersen dalam Sang Elang:


Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi
Kemerdekaan RI, formasi pasukan republik diisi Brigade Mobile
(Brimob), Laskar Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI),
kesatuan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Sementara,
front barat jadi tanggungjawab TRIP Batalyon 5000. Hanandjoeddin
memimpin Pasukan Pertahanan Teknik dari PPU III/930 Malang,
sebuah unit tempur para teknisi AURI Lanud Bugis yang dipimpin OMU
II Soedirman. (Historia, ID, 2018)

****

90
F. INTEGRASI KRIS DALAM TRI

Setelah Jepang menyerah dan terjadi pelucutan


senjata, lahirlah organisasi-organisasi pelajar di
seluruh daerah. Selain tentara formal, para pelajar
juga membentuk kesatuannya sendiri. Badan
Keamanan Rakyat (BKR) pun dibentuk Tanggal 5
Oktober 1945 BKR berubah menjadi TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) Tahun 1946 TKR berubah
menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia)
Maka Sudah menjadi keputusan KRIS (Kebaktian
Rakyat Indonesia Sulawesi) untuk memperjuangkan
laskarnya berintegrasi ke dalam TRI. TRI, Tentera
Republik Indonesia, nama resmi tentara regular RI sejak kahir Januari
1946. Menggantikan nama TKR yang baru digunakan beberapa bulan
sebelumnya, sejak Oktober 1945. Proses integrasi ini buka sekadar
urusan adimistrasi. Ini perlu perjuangan. Kami harus berupaya
membereskan internal Laskar KRIS, menata organisasi, menertibkan
pasukan, tegas dan keras menegakkan disiplin militer. Disamping itu ada
upaya-upaya khusus pendekatan ke Markas Besar TRI dan Kementerian
Pertahanan. Di Kementerian Pertahanan ada Biro Perjuangan, bagian
inilah yang menangani urusan-urusan kelaskaran. Pucuk pimpinan KRIS
dan Laskar KRIS menyerahkan tanggungjawab untuk urusan integrasi
ini kepada Ventje H.N Sumual, dan sebagai Kepala Staf KRIS ada Henk
Lumanuw.

Pada prinsipnya Laskar KRIS tidak ada masalah dalam integrasi ini. Beda
dengan umumnya satuan laskar lain, kami tidak berada dalam partai
politik tertentu, sehingga tidak ada ganjalan apa-apa kalau berhadapan
dengan pejabat pemerintahan yang kebetulan adalah orang daripada
partai yang berseberangan. Faktor terpenting yang membuat sulit bagi
pemerintah untuk menghalangi integrasi Laskar KRIS kedalam TRI
adalah prestasi Laskar KRIS sendiri yang sedemikian menonjolnya.
Pasukan-pasukan KRIS di Bandung dan sekitarnya, ketika bersama
beberapa kelompok laskar lainnya berintegrasi dalam TRI, sampai berani
minta diresmikan dengan nama “Pelopor” untuk menyatakan
kepeloporan mereka dalam perjuangan membela tanah air, dan pimpinan
TRI mengakui itu.

Panglima Divisi III Kolonel AH.Nasution meresmikan Kesatuan Pelopor


Divisi III. Mereka terdiri dari 5 Detasemen. Pasukan dan Laskar KRIS
Bandung ini kemudian menjadi Detasemen Stoottroepen Garuda, salah
satu andalan Divisi Siliwangi.

91
Bagi pemerintah dan pimpinan TRI sendiri, integrasi dengan semua
badan kelaskaran semakin menjadi kebutuhan untuk menghadapi
musuh. Tapi integrasi dilangsungkan sebagai proses reoganisasi,
restrukturisasi dan rasionalisasi. Rasionalisasi inilah ynag konsekuannya
berupa pengurangan jumlah pasukan. Banyak yang dinilai tidak layak
untuk menjadi tentara resmi. Banyak satuan dan laskar yang ditolak
integrasi secara antero, namun hanya diterima secara individual atau
dalam satuan-satuan kecil terpilih saja, atau juga dilebur dalam
kesatuan resmi yang sudah ada. Salah satu ukuran terbilang jelas
mengenai faktor persenjataan. Jumlah senjata dalam pasukan harus 1
berbanding 1 dengan jumlah anggota. Dalam hal ini pimpinan TRI sudah
cukup obyektif, tidak benar kalau dituduh pilih kasih. Pasukan Siliwangi
saja diciutkan menjadi setengahnya.

Laskar KRIS diintegrasikan kedala TRI secara menyeluruh, sebagai


kesatuan, dan menjadi salah satu brigade dalam TRI. Beberapa hal
segera disesuaikan, baik soal kepangkatan, pucuk pimpinan /
Komandan, jumlah pasukan dalam tiap-tiap satuan disesuaikan dengan
aturan yang berlaku.

Struktur pimpinan inti Brigade XII tak berubah dari Laskar KRIS.
Komandan Kolonel Evert Langkai, Wakil Komandan Letkol Jan Rapar,
Kepala Staf Mayor Henk Lumanuw,Staf Intelijen dan Operasi Kapten
Ventje Sumual. Walau sudah menjadi TRI, umumnya orang tetap
merasa ini pasukan KRIS. Itulah mengapa sering disebut Brigade XII -
KRIS.

Dengan status dan posisi sebagai tentara reguler, anggota KRIS yang
tergabung dalam Brigade XII, semakin gigih berjuang. Brigade XII tetap

92
sebagai pasukan yang banyak mencatat prestasi di banyak front. Karena
hal tersebut, banyak pasukan lain yang mau bergabung dengan Brigade
XII - KRIS. Melihat kenyataan ini, MBT lantas mempercayakan Brigade
XII untuk menghimpun pasukan-pasukan lain. Dengan kriteria yang
sudah ditentukan untuk menjadi satu Divisi. Adapun pasukan yang
menyatakan diri untuk bergabung dalam Brigade XII, di Laskar
Hizbullah/Fisabilillah, BPRI dibawah pimpinan Bung Tomo, Barisan
Banteng, resiman Pattimura, Resimen Ngurah Rai, Resimen Hasanuddin,
juga pasukan-pasukan Kalimantan. Masing-masing terdiri dari banyak
personil, bahkan ada yang sangat besar, misalnya Hizbullah yang
personilnya mencapai dua ribuan. Oleh karenanyai Brigade XII - KRIS ini
mendapat kehormatan dengan nama Divisi 17 Agustus. Panglimanya
Kolonel Evert Langkai dan rencananya akan segera diresmikan pada
HUT II RI 17 Agustus 1947.

Tetapi menjelang akhir Juli 1947 terjadi Agresi Militer Belanda. Semua
rencana pembentukan Divisi baru pun buyar, kendati pasukan-pasukan
yang akan diresmikan sudah gladi parade. Malah, bukan saja divisi baru
yang dibatalkan, keseluruhan pasukan-pasukan TRI harus
direorganisasi, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Meskipun Divisi 17
Agustus batal berdiri, namun sejak inilah Brigade XII mendapat
kepercayaan, baik pemerintah maupun pasukan-pasukan yang
bergabung untuk menjadi penggalang semua pasukan yang orang-
orangnya berasal dari luar Jawa dan Sumatera, untuk kemudiannya
disiapkan sebagai rintisan TNI bagi daerah masing-masing. Rintisan ini
terkenal dengan nama Pasukan Seberang.

93
Pada bulan Agustus 1947, Brigade XII - KRIS bukan saja mengalami
batalnya rencana menjadi Divisi 17 Agustus, tapi malah kehilangan
panglimanya. Kolonel Evert Langkai tiba-tiba mengundurkan diri di
akhir bulan Agustus 1947, dalam suatu Upacara militer yang digelar
mendadak di halaman Markas Brigade XII. Wakil Komandan Brigade XII
Letkol Jan Rapar langsung mengambil alih pimpinan upacara, dan sejak
itupun berfungsi sebagai Komandan Brigade XII. (Memoar Ventje Sumual,
2009)

******

94
G. TERBENTUKNYA BRIGADE SEBERANG

Bulan-bulan akhir 1948 TNI di Jawa direorganisasi lagi. Disesuaikan


dengan kondisi yang ada, dan kebutuhan yang dihadapi. Salah satu
kebutuhan utamanya adalah bersiap-siap menghadapi agresi besar-
besaran Belanda. Sudah sangat jelas Belanda ingin merebut langsung
jantung RI, Yogyakarta sebagai upaya merampungkan pelenyapan RI.

Pada akhir Oktober 1948, rencana reorganisasi telah selesai. Ada 4 Divisi
Teritorial. Divisi I, Divisi II, Divisi III dan Divisi IV. Divisi-divisi ini tidak
sama dengan 3 divisi yang ada sebelumnya. Dalam reorganisasi
sekarang, semua pasukan masuk dalam brigade-brigade. Disiapkan 17
Brigade. Kami KRU-X menjadi Brigade XVI. Empat Divisi baru itu
membawahi 15 Brigade. Sedang 2 Brigade lainnya, Brigade XVI dengan
Komandan Brigade Letkol AG. Lembong, Wadan Letkol Joop. F
Warouw. dan Brigade XVII langsung dibawah Panglima Komando
Teritorium Djawa, Kolonel AH. Nasution.

Kemudian terjadi perubahan setelah Letkol AG. Lembong disiapkan


untuk menjadi Atase Militer di Filipina. Struktur organisasi yang baru
adalah sebagai berikut, :
Komandan : Letkol Joop. F Warouw
Wakil Komandan : Letkol Kahar Muzakkar
Kepala Staf : Mayor I Gusti Mataram
Wakil Kepala Staf : Mayor M. Saleh Lahade
Komandan Yon A : Mayor Andi Mattalatta
Komandan Yon B : Mayor HV. Worang
Komandan Yon C : Mayor Pudu Mas‟ud
Komandan Yon D : Mayor Palupessy

95
Komandan Yon E : Mayor Lukas Palar
Komandan Depo Batalyon : Mayor Ventje HN. Sumual

Dalam struktur organisasi inilah terjadinya Agresi Militer Belanda II


Desember 1948. Sesuai kebutuhan strategi perang gerilya, diadakan lagi
reorganisasi sejumlah kesatuan TNI. Sesuai kebutuhan strategi, Joop
Warouw sudah berangkat ke Jawa Timur dan bermarkas di Gunung
Kawi. Di Yogyakarta Mayor Ventje Sumual diangkat menjadi Komandan
Sektor Barat, membawahi sebagian besar pasukan Brigade Seberang,
ditambah sangat banyak pasukan-pasukan lainnya. (Memoar Ventje
Sumual, 2009)

*****

96
BAB III

PERJUANGAN MENGHADAPI
AGRESI MILITER BELANDA II

A. LATAR BELAKANG AGRESI MILITER II

Pada bulan Oktober 1948,


terjadi penggantian pimpinan
tertinggi pemerintahan Belanda
di Indonesia. Gubenur Jenderal
Batavia Dr. H.J. van Mook yang
telah menjabat Gubernur
Jenderal Hindia Belanda sejak
1942- 1948, diganti oleh Dr.
L.J.M. Beel selaku Wakil Tinggi
Mahkota Kerajaan Belanda di
Indonesia. Upacara penyerahan
dilakukan pada tanggal 4
November 1948.

Pengantian pimpinan Belanda ini, tidak mengurangi keinginan Belanda


untuk melanggengkan kekuasaannnya di Indonesia. Belanda terus
berusaha mencari dalih dan celah agar dapat mengingkari perjanjian
yang telah disepakati. Saat diadakannya perjanjian Linggarjati Belanda
mengingkarinya dengan melancarkan Agresi militer yang pertama kepada
bangsa Indonesia. Kemudian datang Dewan Keamanan PBB melalui KTN
(Komisi Tiga Negara) kemudian tercetuslah sebuah perjanjian yang
diadakan di pelabuhan Jakarta di sebuah kapal Amerika USS Renville
yang dikenal dengan Perjanjian Renville. Perjanjian ini antara lain
menyepakati adanya gencatan senjata di sepanjang garis demarkasi atau
dikenal dengan Garis Van Mook yakni suatu garis buatan yang
menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam
kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak
Republik di dalamnya (M.C.Rickleffs,1998,340).

Namun pelaksanaan hasil Perundingan Renville ini mengalami


kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan oleh KTN selalu mentah
kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda.
Indonesia melalui Hatta (wakil presiden merangkap perdana menteri)

97
tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda
terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia.

Saat ketegangan semakin memuncak Indonesia dan Belanda


mengirimkan nota kepada KTN. Nota itu sama-sama berisi tuduhan
terhadap pihak lawan yang tidak menghormati hasil Perundingan
Renville. Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember
1948, Wali Tinggi Kota Mahkota Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa
Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Renville.

Sementara itu keadaan dalam


negeri sudah sangat tegang
berhubung dengan oposisi yang
dilakukan oleh Front
Demokrasi Rakyat (PKI dan
sekutunya) terhadap politik
yang dijalankan oleh Kabinet
Hatta. Oposisi ini meningkat
setelah seorang tokoh komunis
kawakan, Muso, yang
memimpin pemberontakan PKI
tahun 1926, kembali ke
Indonesia dari Uni Soviet. Muso
sejak mudanya memang selalu
bersikap radikal dan ia yang mendorong PKI untuk memberontak pada
tahun 1926.

Oposisi terhadap kabinet Hatta mencapai pucaknya ketika Sumarsono,


pemimpin Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) mengumumkan
pembentukan pemerintahan Soviet di Madiun tanggal 18 September
1948. Pemberontakan ini segera ditumpas pemerintah Republik. Belanda
hendak mempergunakan pemberontakan PKI itu sebagai alasan yang
sangat baik untuk menyerang Republik dengan dalih membantu
Republik melawan komunisme.

Belum lagi pasukan-pasukan


Republik dapat beristirahat
setelah beroperasi terus-menerus
melawan PKI, dan kemudian
dikerahkan untuk melakukan
pengejaran dan pembersihan
para pemimpin PKI dan
pendukungnya, Belanda
menyerang lagi.

Dini hari tanggal 19 Desember


1948, pesawat terbang Belanda

98
memborbardir Maguwo (sekarang Bandara Adisucipto) dan sejumlah
bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi militer
Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara.
Dalam waktu singkat, Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.

Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan


menghasilkan keputusan darurat berikut.
1. Melalui radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat RI
(PDRI) di Sumatera.
2. Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko
ditangkap Belanda, agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di
Kaliurang).
3. Pimpinan TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya
dengan membentuk wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan
Sumatera.

Pengumuman pun dilayangkan


lewat radio Belanda, bahwa
mereka tak lagi terikat Perjanjian
Renville pada tanggal 18
Desember jam 12 tengah malam
(atau 19 Desember pukul 00.00).
Namun pengumuman radio
Belanda itu baru disiarkan pada
Minggu pagi, 19 Desember 1948,
ketika Landasan Udara Maguwo,
Yogyakarta (Kini Lanud
Adisoetjipto), sudah dikuasai
pasukan elite Belanda, Korps
Speciale Troepen (KST).

1. Strategi dan Tujuan Agresi Belanda II

Menurut Kahin (2013) Belanda melakukan beberapa strategi untuk


menghadapi bangsa Indonesia yang mulai ditetapkan pada akhir tahun
1948 yang dikenal sebagai strategi tiga sisi, berikut penjelasannya.
1. Pertama, Belanda berharap dengan menerapkan kekuatan militer
secukupnya agar dapat menghancurkan Republik dan Militer
Indonesia secara menyeluruh.
2. Kedua, menjadikan bangsa Indonesia sebagai Negara Federal Serikat
demi melaksanakan program pemecah belah bangsa atau politik adu
domba (devide et impera)
3. Yang ketiga, Belanda berharap bangsa Indonesia akan mendapatkan
sanksi internasional melalui pemberian kedaulatan pada federasi
Indonesia yang dikuasai oleh Belanda secara tidak langsung.

99
Adapun tujuan Agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap
bangsa Indonesia memiliki tujuan untuk memperlihatkan pada dunia
Internasional bahwa Republik Indonesia dan tentaranya TKR itu
sesungguhnya sudah tidak ada. Dengan begitu Belanda memiliki hak
untuk berbuat semaunya terhadap bangsa Indonesia.

Menurut Ide Anak Agung Gde Agung (1983, 183), Ada dua alasan
utama mengapa Beel melancarkan agresi militer tersebut, yakni
sebagai berikut:
1. Menghancurkan Republik yang merupakan suatu kesatuan sistem
ketatanegaraan,
2. Membentuk Pemerintah Interim Federal yang didasarkan atas
Peraturan Pemerintahan dalam Peralihan,
3. Wakil-wakil dari daerah-daerah federal dan unsur-unsur yang
kooperatif dan moderat dari bekas Republik harus ikut ambil bagian
dalam PIF tanpa mewakili bekas Republik.

Menurut Kahin (2013) Belanda memiliki dua kelompok kepentingan


yang menginginkan bangsa Indonesia tetap dalam kekuasaan Belanda,
diantaranya sebagai berikut.
1. Elemen pertama, merupakan mayoritas orang Belanda yang memiliki
investasi yang ditanamkan di bidang pengelolaan di Indonesia
termasuk kalangan pengusaha yang tentunya memiliki kepentingan
ekonomis didalamnya.
2. Elemen kedua, berasal dari tentara militer dari KNIL dan pegawai
negeri Belanda. Ini merupakan kelompok yang memiliki kepentingan
utama didalam kedudukan militer Belanda dan aparat pemerintah.

Dan apabila ditilik dari tujuan utama dalam setiap gerakan militer
Belanda terhadap Indonesia, ada beberapa segi yang melatar belakangi
hal tersebut. Diantaranya sebagai berikut.
1. Dari segi ekonomi, bersamaan kembalinya Indonesia dibawah
kekuasaan masa penjajahan Belanda di Indonesia segala

100
kepentingan ekonomi investasi yang ditanam oleh Belanda akan
semakin luas dan mendapat keuntungan laba yang besar.
2. Dari segi sosial, ini memiliki keterkaitan dengan masalah
kependudukan orang Belanda yang masih tetap tinggal di Indonesia.
3. Dari segi eksistensi, kedudukan Belanda di mata dunia melalui
upaya perundingan yang gagal semakin memperburuk citra Belanda
di mata dunia Internasional. Dan melalui Agresi Militer Belanda
berusaha melancarkan tujuannya melalui dukungan Militer dan
sekutu.

Di sisi lain, serangan ke


Yogyakarta itu sedianya
sudah diajukan untuk
dimintai persetujuan ke
Parlemen Belanda. Namun
baru bisa terlaksana pada
Desember 1948, setelah
terjadi perdebatan alot di
antara para politisi Belanda
di Den Haag. “Terlepas dari
pro kontra elite politik
Belanda, akhirnya
parlemen Belanda memutuskan, „tindakan pengamanan dan
menegakkan ketertiban di Yogya. Setelah itu, Spoor mendapat lampu
hijau untuk menjalankan agresi,” ujar penggiat sejarah, Wahyu Bowo
Laksono kepada Okezone.

Dengan Agresi Militer kedua yang dilancarkan pihak Belanda, hal


tersebut dianggap sebagai sebuah kemenangan besar yang diperoleh
Belanda. Sebab dapat menawan pucuk pimpinan bangsa Indonesia.
Dan dengan jatuhnya ibukota ditangan mereka, dapat melumpuhkan
pertahanan bangsa Indonesia. Namun dalam serangan tersebut
ternyata Jenderal Sudirman berhasil lolos. Dan kemudian memimpin
perang gerilya bersama pasukannya ditengah kesehatannya yang
memburuk.

2. Detik-detik Agresi Militer Belanda II

Detik-detik akan datangnya serangan itu sedianya


sudah mulai dirasakan pihak Indonesia. Kolonel Tahi
Bonar Simatupang dalam buku „Doorstoot naar
Djokja‟, bahkan sudah menaruh curiga ketika delegasi
Belanda di KTN menyatakan akan ada pengumuman
penting pada Minggu pagi, 19 Desember 1948. Hal ini
juga oleh siaran radio Antara dari Jakarta pada
tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, menyebutkan,
bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota

101
Belanda, Dr. Beel, akan menyampaikan pidato yang penting.

Sementara itu Jenderal Spoor yang telah


berbulan-bulan mempersiapkan rencana
pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada
seluruh tentara Belanda
di Jawa dan Sumatra untuk memulai
penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi
tersebut dinamakan "Operasi Kraai" .
Operasi Kraai ini tampaknya sedikit banyak
dipengaruhi oleh Blitzkrieg yang digunakan
Jerman pada Perang Dunia II, terutama ketika
menguasai Polandia pada 1939. Jerman dengan
kekuatan penuhnya mengagresi dan menguasai
tetangganya, Polandia. Itu mengapa, syarat
utama Operasi Kraai adalah kekuatan Angkatan
Perang Belanda yang ada di Jawa dan Sumatera
tidak boleh dikurangi. (Helmi Firdaus, CNN Indonesia | Selasa, 25/08/2015)

Pukul 2.00 pagi, 1e para-compgnie (pasukan para I) KST


di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat
keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing
terakhir. Pukul 3.45, Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara
Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan
inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST
di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30
pesawat Dakota pertama
tinggal landas. Rute
penerbangan ke arah timur
menuju Maguwo diambil
melalui Lautan Hindia. Pukul
6.25 mereka menerima berita
dari para pilot pesawat
pemburu, bahwa zona
penerjunan telah dapat
dipergunakan. Pukul 6.45
pasukan para mulai
diterjunkan di Maguwo.
(Wikipedia Indonesia)

Sabtu, 18 Desember malam, sebuah surat pun sampai ke meja Sekjen


Delegasi RI untuk KTN, Mr. Soedjono yang bertuliskan, “Perjanjian
harus dihapuskan dan tak lagi mengikat (RI-Belanda) terhitung sejak
Minggu, 19 Desember, jam 00.00 waktu Batavia,”. Soedjono yang
terkejut pun segera memerintahkan pejabat penghubung, Joesoef
Ronodipoero untuk mengontak Yogya. Sayang, semua saluran
komunikasi sudah diputus. Joesoef pun menemui Ketua KTN yang juga

102
diplomat Amerika Serikat (AS), Merle Cochran di Hotel Des Indes dan
melaporkan hal tersebut. Mendengar laporan ini, diplomat Amerika
Serikat tersebut sangat kaget, dan memutuskan untuk berangkat ke
Yogyakarta, namun nahas, upaya mereka ke Yogya dari Landasan Udara
Kemayoran, kandas karena tak mendapat izin terbang dari petugas
landasan. Bandara dinyatakan tertutup untuk lalu lintas penerbangan.

Mereka mencoba menemui


Delegasi Belanda, Elink
Schuurman namun upaya
itu pun sia-sia. Laporan
Joesoef ini juga disampaikan
kepada Prof. dr. Soepomo
yang pernah jadi teman
masa kuliah Schuurman.
Tapi Soepomo tak bisa
mendapat penjelasan dari
Schuurman, lantaran
sambungan telefonnya juga
sudah diputus intel Belanda.

Di sisi lain, Jenderal Spoor sebagai perwira tertinggi pelaksana operasi


mulai memerintahkan persiapan sejak 19 Desember 2015 dini hari.
Operatie Kraai yang diusung Spoor, punya tiga misi. Yaitu :
Pertama, menangkap pimpinan sipil dan militer republik.
Kedua, menguasi sentra politik dan militer.
Ketiga, omsingelen en uitschakelen – melakukan aksi
pengepungan sekaligus menghancurkan konsentrasi
perlawanan bersenjata tentara republik.

3. Serangan Belanda ke Jantung Ibukota RI Yogyakarta

Belanda menyerang dengan


kekuatan dua kompi KST dari
Lanud Andir (kini Lanud
Husein Sastranegara,
Bandung), dua batalion baret
hijau, T Brigade (Tijger Brigade)
pimpinan Letkol van Langen
dari Lanud Kalibanteng (Kini
Bandara Achmad Yani,
Semarang). Pasukan darat itu
mengepung Yogya dari arah
Solo, perbatasan Gombong,
Kroya dan Ambarawa. Itu ada
tiga divisi KL (Koninklijke
Landmacht/AD Belanda), 23 Batalion KNIL, ditambah kavaleri, artileri

103
didukung pesawat angkut dan pesawat tempur, Tapi dari kesaksian
pasukan TNI saat itu yang jaga perbatasan (garis demarkasi) Kebumen-
Gombong, tidak banyak yang tahu bahwa infantri pelopor Belanda
merangsek ke Yogya, menyamar dengan kendaraan PBB sejak 18
Desember malam.

Sementara di Lanud Andir jelang serangan, Jenderal Spoor menggelar


briefieng singkat kepada para pasukan KST pimpinan Kolonel Van
Beek. “Kalian terpilih
untuk de laatste actie.
Diterjunkan di Maguwo
sebelum fajar, kemudian
membebaskan Yogya dari
tangan ekstremis serta
menangkap Soekarno
bersama pengikutnya.
Saya menaruh
kepercayaan. Semoga
Tuhan melindungi,” kata
Spoor dalam buku
„Doorstoot naar Djokja‟.

Serangan udara pada pukul 05.15 pun mengawali Operatie Kraai.


Pesawat Pembom B-25 Mitchell memuntahkan sejumlah bom yang
segera disusul tembakan senapan mesin lima pesawat pemburu P-51
“Mustang”, serta sembilan pesawat P-40L “Kittyhawks”.

Pukul 06.45 perlawanan minim dari pasukan dan kadet Angkatan Udara
Republik Indonesia (AURI) dengan mudah dilumpuhkan. Tak berapa
lama, pasukan KST pun terjun. Singkat kata, Yogyakarta sudah bisa
dikuasai pada tengah hari dengan ditangkapnya Soekarno.

Sementara, Wakil Agung Mahkota Belanda, Louis Beel, baru


menyatakan Belanda tak terikat lagi dengan Perjanjian Renville, lewat
Radio Batavia pada pukul 08.00 pagi atau tiga jam 45 menit setelah
serangan pertama Belanda dilancarkan ke Maguwo. Adapun berita ini
tersebar ke dunia internasional lewat All India Radio di New Delhi,
Minggu malam, 19 Desember 1949. Belanda melancarkan serangan
menggunakan taktik perang kilat (blitkrieg) disegala sisi wilayah
Republik Indonesia. Dimulai dari merebut pangkalan udara Maguwo
(saat ini bernama Adi Sucipto) dengan menerjunkan pasukan payung
dan dengan gerak cepat mampu mengambil alih kendali kota Yogyakarta
yang merupakan ibukota Republik Indonesia saat itu.

104
Pukul 05.45, 13 pesawat
tempur Belanda
membombardir Lapangan
Terbang Maguwo, kemudian
diikuti dengan Dakota yang
menerjunkan pasukan Linud.
Pertahanan Maguwo ternyata
sangat lemah, tidak seperti
yang digembar-gemborkan
beberapa perwira MBT.
Maguwo hanya dijaga oleh
seratusan tentara dengan
persenjataan minim. Mitraliyur 12.7 hanya sebuah. Ada 1 Kompi AD,
tapi entah kenapa beberapa jam sebelum serangan justru ditarik keluar
Jogja. 14 pesawat milik RI, antaranya 8 buah dalam hanggar, hancur
terbakar. Ditambah sebuah pesawat Catalina AURI yang kembali dari
Sumatera dan tidak mengira kalau Maguwo sudah dikuasai oleh musuh,
ditembak jatuh. Setelah tidak sampai 1 jam Maguwo sudah dikuasai,
berturut-turut tiba Dakota menerjunkan pasukan dalam jumlah besar.
15 Dakota Belanda mondar mandir Semarang-Maguwo menjemput dan
menerjunkan pasukan dan peralatan. Sementara digerbang Jogja
pasukan darat Belanda lengkap dengan lapis bajanya merengsek dengan
cepat memasuki Kota Jogja.

Pukul 10.00 posisi-posisi vital


di Jogja sudah menerima
tekanan hebat dari Belanda
baik darat maupun udara.
Kekuatan Pasukan Pertahanan
Kota sangat kecil dan tidak
dapat berbuat banyak
menghadapi serangan dadakan
ini. Ini juga karena memang
sudah adanya perintah
menyingkir ke daerah gerilya
yang langsung dilaksanakan
pada jam itu juga.

Pasukan Belanda dengan Tijger Brigade nya dibawah pimpinan Kolonel


Van Langen menyerbu Gedung Agung, tempat kediaman Presiden dan
Wakil Presiden. Pucuk pimpinan RI, beberapa Menteri, KSAU kemudian
menjadi tawanan dan dibawa untuk menghadap Mayjen Meir, pimpinan
Agresi Belanda untuk dipaksa menyerahkan kekuasaan. Karena Bung
Karno menolak, dia beserta Hatta dan sejumlah menteri diasingkan ke
Sumatera. Sejak ditangkap, maupun saat sudah ditempat pengasingan,
beberapa kali Bung Karno dan Bung Hatto nyaris dihabisi.

105
Pesawat-pesawat tempur Belanda
sejak pagi menderu-deru dilangit
Yogyakarta. Ada sekitara 20 pesawat
yang terdiri dari Jager, Bomber, dan
Fighter bergentayangan sambil terus
menerus memuntahkan
tembakannya. Mereka menembak
setiap objek yang terlihat dan
bergerak. Mobil, delman, gerobak,
kereta api, sepeda, mobil, juga
penduduk yang berlarian mengungsi
tidak luput dari hantaman mereka.
Mayat bergelimpangan, korban jatuh dimana-mana.

Kapten Abdul Latief dan segelintir prajurit yang tersisa beruntung bisa
meloloskan diri dari kepungan tentara Belanda pada 1 Maret 1949 itu.
Dua orang anak buahnya gugur, 12 orang lainnya mengalami luka-luka.
Sementara 50 orang pemuda dari laskar gerilya kota tewas tertembus
peluru, kemudian dikuburkan di makam tak bernama di dekat Stasiun
Tugu Yogyakarta. Dengan berlumuran darah dan nafas terengah-engah,
mereka terpaksa mundur dari ajang pertempuran dalam serangan
umum tersebut. Tujuannya adalah markas gerilya di daerah Kuncen, sisi
barat Kota Yogyakarta, yang juga menjadi tempat tinggal sementara
Latief dan kawan-kawan selama perang.

Tiba di markas, Kapten


Latief dan pasukannya yang
berjumlah tidak lebih dari 10
orang berjumpa dengan
Letkol Soeharto yang sedang
duduk makan soto babat,
dan memberi laporan situasi.
Letkol Soeharto lalu
memerintahkan Kapten Latief
dan anak buahnya untuk
kembali menggempur tentara
Belanda yang masih ada di
sekitar wilayah itu. (Iswara N Raditya, Tirto ID- 1 Maret 2018)

Pasukan TNI yang berada di Yogyakarta dan disekitarnya melakukan


perlawanan seadanya sambil menggerak mundur untuk mengadakan
perlawanan secara bergerilya seperti yang diperintahkan oleh Panglima
Besar Sudirman, yang juga turut mengungsi walaupun dalam keadaan
sakit. (Ventje Sumual, 2009).

****

106
B. KEADAAN PEMERINTAHAN RI PASCA AGRESI MILITER
BELANDA KEDUA

Agresi besar-besaran yang dilancarkan tentara Belanda pada 19


Desember 1948 merupakan keberhasilan luar biasa dipihak mereka,
baik secara militer maupun politik. NKRI yang secara de facto sudah
mengecil wilayahnya, kali ini langsung sekaligus hendak dimusnahkan
dengan cara menduduki langsung Ibukotanya, Yogyakarta. Pemerintah
Belanda ternyata sudah merancang dengan sangat matang agresi
mereka kali ini. Semua perlengkapan dan mesin perang termodern yang
ada dalam inventorinya dikerahkan. Dengan mengandal kan armada
udaranya beserta pasukan lintas udara, langsung menghujam ke
jantung pemerintahan RI.

Serangan berlangsung pada hari


Minggu agar tidak terduga,
karena Belanda yang Kristen
biasanya ke Gereja. Pasukan
mereka sejak dinihari lagi mulai
bergerak menuju Jogja, saat
semua orang masih terlelap
dimalam dingin penghujung
Bulan Desember yang biasanya
selalu turun hujan. Dan dipagi
buta itu juga, PM Kerajaan
Belanda Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Dr. L.J.M. Bell
mengumumkan secara sepihak pembatalan gencatan senjata dan
perjanjian Renville. Pengumuman yang tentu saja hanya tatakrama, agar
didengar di dunia internasional.

1. Masalah Persiapan Kekuatan TNI di Yogyakarta

Direbutnya Lapangan terbang


Maguwo dengan mudah oleh
pasukan Belanda, karena
persiapan TNI yang ditempatkan
disana sangat jauh dari
memadai. Bom-bom yang sudah
dipasang di sisi-sisi landasan
belum bisa difungsikan alat
pemicu ledaknya, cuma tinggal
detonatornya tapi ternyata juga
tidak beres. Satuan keamanan
lapangan terbang cuma
berjumlah seratusan orang dengan persenjatana sangat minim. Tadinya

107
sempat ditambah perkuatan pasukan AD dengan persenjataaan lengkap,
tapi hnya 1 Kompi, dan itupun malah ditarik lagi hanya beberapa jam
sebelum serangan Belanda tiba. Akibatnya parah. Pesawat-pesawat
AURI yang ada di Maguwo dihancurkan semua. Pasukan payung
Belanda diterjunkan dengan aman, pesawat-pesawat Dakota
pengangkutnya bolak balik lenggang kangkung dengan amannya
mendrop pasukan dan perlengkapan.

Di Jogja, TNI kocar kacir tanpa adanya koordinasi yang memadai. Baik
kordinasi untuk melakukan perlawanan seperlunya, maupun
pengungsian kedaerah gerilya. Meski sudah ada Perintah Siasat
Panglima Besar sejak bulan Juni 1948 untuk bergerilya, tapi pada 19
Desember itu ternyata tetap saja banyak pasukan yang bingung mau
melakukan apa dan bagaimana.

Pada jam-jam serangan Belanda


tiba. Eksodus dan pengungsian
pasukan-pasukan TNI beserta
keluarganya mengalir dengan
banyaknya kearah barat. Cuma
sedikit satuan yang berinisiatif
melakukan penghambatan.
Diantaranya Brigade X Letkol
Soeharto yang tetap bertempur
menghambat kemajuan musuh
dari Maguwo, juga Brigade XVI
pasukan Mayor Ventje Sumual
yang berinisiatif melakukan
penghambatan dan memberi
perlindungan dibelakang pasukan-pasukan Siliwangi yang ribuan
jumlahnya ber long march untuk kembali ke Jawa Barat.

Dan yang paling bertanggungjawab atas fakta begitu mudahnya Ibukota


RI jatuh dan tertawannya para pemimpin pemerintahan RI ketangan
musuh pada pagi hari 19 Desember 1949, pada hari-hari itu juga
langsung ditudingkan kepada Kolonel AH. Nasution sebagai Panglima
Komando Jawa. Terlebih, karena pada hari-hari itu Panglima Besar
Sudirman baru aktif kembali setelah lama cuti sakit, sementara
Nasution yang padahal sudah tahu pasti segera akan terjadinya agresi
Belanda itu ternyata masih melakukan perjalanan meninggalkan ibukota
sampai beberapa hari tanpa lebih dulu melakukan persiapan-persiapan
yang matang dalam menghadapi serangan Belanda, sebagaimana
dikatakan perwira intelijen Kolonel Zulkifli Lubis, sudah diketahui jelas
akan terjadi. Nasution bersama hampir semua staf Markas Besar
Komando Djawa sejak beberapa hari sebelum 19 Desember sedang
melakukan perjalanan dinas ke Jawa Timur. Lantaran itulah, maka para
perwira dan pemimpin politik yang menyesalkan tindakan Nasution

108
tersebut hingga memunculkan sindiran : “MBKD itu singkatan dari
Markas Belanda Keliling Djawa!” (Ventje Sumual, 2011)

2. Rapat Darurat Pemerintah RI

Serbuan pasukan Belanda ke jantung


ibukota RI Yogyakarta, membuat
Panglima Besar Jenderal Sudirman
yang waktu itu sedang dalam masa
cuti sakit, terpaksa bangkit dari
perbaringannya dan segera menuju ke
Istana Presiden di Yogyakarta guna
melaporkan diri kepada Presiden utuk
bertugas kembali. Dalam perjalanan
menuju istana, Jenderal Soedirman
didampingi oleh Kolonel
Simatupang, Komodor
Suryadarma serta dokter pribadinya
dr. Suwondo. Setibanya di istana,
para pemimpin pemerintahan saat itu
sedang melakukan rapat guna
mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota Yogyakarta
akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial.

Presiden Soekarno lalu menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman,


dan dalam pertemuan itu Jenderal Sudirman mendesak agar presiden
dan wakil presiden segera meninggalkan kota dan berperang sebagai
gerilyawan bersama para pejuang lainnya. Begitupun saran dari Kolonel
T.B. Simatupang agar sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut juga
bergerilya. Namun saran itu ditolak. Menteri Laoh mengatakan bahwa
sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi
Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu
dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB.

Setelah dipungut suara,


hampir seluruh Menteri yang
hadir mengatakan, Presiden
dan Wakil Presiden tetap
dalam kota. (Wikipedia
Indonesia). Mendengar bahwa
presiden dan wakil presiden
memutuskan untuk tetap
tinggal di Yogyakarta, Jenderal
Sudirman walaupun dokter
melarangnya, ia lalu memohon
ijin Presiden untuk melakukan
perang gerilya bersama pasukan TNI dalam menghadapi Belanda.

109
Melihat kondisi Jenderal yang saat itu sedang sakit, Presiden
menyarankan untuk beristirahat saja. Namun Jenderal Sudirman tetap
bersikeras akan niatnya itu. Akhirnya dengan berat hati, Presiden
Soekarno terpaksa memberikan izin kepada Jenderal Soedirman untuk
bergabung dengan anak buahnya.

Untuk menjaga kelangsungan pemerintahan dan tetap tegaknya RI,


Sultan Hamengkubuwono IX mendesak agar Pemerintah pusat
dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Namu rencana
tersebut gagal karena para pemimpin pemerintahan keburu tertangkap
dan kemudian diasingkan oleh Belanda.

Sebelumnya Panglima Besar Jenderal Soedirman Kabinet


mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak
diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu
di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan
yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk
tidak meninggalkan Ibu kota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta
keputusan yang diambil dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember
1948.

Dalam penyerangan ini, Yogyakarta


berhasil dikuasai Belanda. Presiden
Sukarno, Mohammad Hatta dan para
menterinya ditangkap dan diasingkan,
Jenderal Sudirman pun dalam kondisi
sakit dan diungsikan dari Yogyakarta
untuk melanjutkan strategi perang
gerilya. Sehingga saat itu hanya tinggal
Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang
tinggal di Kraton.

Di tengah absennya pemerintahan


Republik dan keadaan Indonesia yang
tidak pasti, pemerintah Belanda
melakukan pendekatan kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dengan mengajukan penawaran untuk
membentuk Negara Bagian Jawa Tengah di bawah kekuasaan Belanda.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dijanjikan untuk menjadi penguasa
Negara Bagian Jawa Tengah dengan kekuasaan seluas seluruh daerah
pulau Jawa dan Madura. Hal ini menunjukkan pengakuan Belanda atas
kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Yogyakarta serta bahwa
beliau merupakan benteng terakhir pertahanan RI. Namun hal ini
ditolak oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di tengah keadaan
Indonesia yang penuh ketidakpastian, kesetiaan Yogyakarta pada
Indonesia justru semakin kuat.

110
3. Tertawannya Para Pemimpin Pemerintahan RI

Dalam serangan ke Ibukota


Yogyakarta, pasukan Belanda
berhasil menangkap pemimpin
Republik Indonesia yakni
Soekarno dan Mohammad Hatta.
Selain itu tentara Belanda dalam
serangannya juga menawan
Sutan Syahrir, Agus Salim,
Mohammad Roem serta A.G.
Pringgodigdo. Yang oleh Belanda
langsung diberangkatkan ke
pengasingan di Prapat Sumatra
dan pulau Bangka, namun
sebelum diasingkan Presiden
Sokarno telah memberikan surat kuasa kepada Safrudin Prawiranegara
yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat.

Menteri lainnya yang berada di Jawa namun sedang berada di luar


Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap ialah sebagai berikut.
1. Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman,
2. Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo,
3. Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan
4. Menteri Kehakiman, Mr. Susanto.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat


dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III,
seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat

111
diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van
Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke
Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang
jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25
milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan
pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di
dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin
republik.

Setelah mendarat di Pelabuhan


Udara Kampung Dul
Pangkalpinang (sekarang
Bandara Depati Amir) para
pemimpin republik baru
mengetahui, bahwa mereka
diasingkan ke Pulau Bangka,
akan tetapi rombongan
Presiden Soekarno, Sutan
Sjahrir, dan Menteri Luar
Negeri Haji Agus Salim terus
diterbangkan lagi
menuju Medan, Sumatra Utara,
untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara
Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf
Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo
(Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul
Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan
dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan
pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen. (Wikipedia Indonesia).

Langkah Soekarno-Hatta tidak


turut bergerilya sebenarnya
memang sudah menjadi
keputusan Sidang Pemerintah
RI dan dalam sidang kabinet 19
Desember pagi itu melibatkan
para pimpinan APRI, kecuali
Nasution tentunya yang sedang
tour keluar kota. Pertemuan
dan hasil sidang ini sudah
disepakati bersama Panglima
Besar Sudirman. Ternyata
kemudian langkah politik
Soekarno-Hatta ini sangat tepat. Jenderal Spoor, pucuk pimpinan

112
tentara Belanda, kecewa luar biasa mendengar laporan bahwa tidak
terjadi pertempuran dikediama Presiden dan Wakil Presiden RI. Karena
itu berarti tidak bisa menembak pucuk pimpinan RI itu. Tatakrama
politik internasional hanya bisa memaklumi kalau tewas pada saat
pertempuran, killed during action.

Jenderal Spoor lebih marah besar lagi mendengar Soekarno-Hatta


ditawan karena menyerah, tidak melakukan perlawanan. Padahal dalam
rencana operasi militer Belanda ini, bilamana pucuk pimpinan RI turut
bergerilya maka pasukan elit Belanda yang sudah dipersiapkan dan
dilengkapi perlengkapan tempur dalam jumlah besar akan langsung
menyerbu kemanapun Soekarno-Hatta berada. Belanda berpikir, dengan
begitu maka sempurnalah operasi pemusnahan RI, Agresi Militer ke II
Ibukota RI diduduki, dan pucuk pemerintahan RI tewas terbunuh dalam
pertempuran. Nmaun karena hanya menyerah maka hanya bisa
ditawan, tidak bisa dieksekusi pada saat itu.

Setelah dicoba untuk


memaksa pemerintahan
Soekarno-Hatta untuk
menyerahkan kekuasaan,
seperti ketika pucuk
pemerintaha Belanda
menyerahkan kekuasaan
kepada tentara Jepang
tahun 1942 , maka
diperintahkan agar
diusahakan agar Bung
Karno-Hatta terdorong
untuk melarikan diri, supaya ada alasan untuk ditembak ditempat.
Namun semua muslihat Belanda gagal. Dengan langkah serta sikap
Bung Karno-Hatta yang berani dan konsisten itu maka perjuangan
diplomasi diarena politik internasional pun mancapai hasil yang terbaik.
(Ventje Sumual, 2009)

4. Pembentukan Pemerintahan Darurat di Sumatera

Sebelum para pemimpin Indonesia ditawan oleh


Belanda, Dewan siasat telah membuat suatu
rencana bahwa basis pemerintahan akan dibentuk
di Sumatra, maka Presiden pun membuat surat
kuasa yang dikirimkan melalui radiogram kepada
Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin
Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi.
Surat tersebut berisi mandat yang diberikan
kepada Syafruddin Prawiranegara bahwa ia
ditunjuk sementara untuk membentuk sebuah

113
kabinet serta mengambil alih tugas Pemerintah Pusat. Yang kemudian
pemerintahan pimpinan Syafruddin ini dikenal dengan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Presiden pun berjaga-jaga bila nanti Syafruddin Prawiranegara gagal


membentuk pemerintahan di Sumatera, maka dibuat juga sebuah
surat kepada Duta Besar RI yang berada di New Delhi India, yakni dr.
Sudarsono, serta staf Kedutaan RI L. N. Palar dan Menteri Keuangan
Mr. A.A. Maramis. Tak satupun dari mereka mengetahui tentang
adanya Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan
tentang pemberian mandat untuk membentuk Pemerintah Darurat di
Bukittinggi kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara. Dan jika Menteri
Syafrudin Prawiranegara tidak dapat melaksanakan amanat dari
Presiden Sukarno tersebut atau mengalami kegagalan, diharapkan
supaya ketiga menteri tersebut membentuk Exile Goverment of
Republic Indonesia di New Delhi, India. 21 Desember 1948, empat
Menteri tersebut berkumpul untuk melakukan rapat bersama yang
hasilnya disampaikan pada seluruh petinggi militer yakni Gubernur
Militer serta seluruh Gubernur sipil dan Residen yang berada di
wilayah Jawa. Yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah Pusat
diberikan kepada tiga Menteri tersebut yakni Menteri Dalam Negeri,
Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Maka sesuai dengan


instruksi Presiden untuk
membentuk pemerintahan
darurat jika pemerintah
Republik Indonesia di
Yogyakarta tidak dapat
berfungsi lagi, maka
dibentuklah PDRI yang
berkedudukan di
Bukittinggi, Sumatra
Barat.

Adapun susunan pemerintahan PDRI antara lain sebagai berikut:


1. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana
Menteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan.
2. A.A Maramis, Menteri Luar Negeri
3. Mr. TM Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama.
4. Ir. SM Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial,
Pembangunan dan Pemuda.
5. Lukman Hakim selaku Menteri Keuangan merangkap Menteri
Kehakiman.
6. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri
Kesehatan.

114
7. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
8. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Tentara
9. Kolonel AH Nasution sebagai Panglima Tentara Jawa.
10. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.

Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus, Syafruddin dan kawan-


kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya
pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan
cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Selama berada di
hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap
mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup. Pada masa
agresi militer Belanda II ini Ahmad hussein bersama anak buahnya
berhasil mengamankan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
dari serangan Belanda.

Kontak bersenjata menghadapi


Belanda beberapa kali terjadi.
Dalam pertempuran di Lubuak
Selasih pada tanggal 11
Januari 1949, pasukan
pimpinan Letkol Ahmad
Hussein memperoleh
kemenangan. Namun upaya
Syafruddin menyelamatkan
bangsa dari ketiadaan
pemerintahan boleh dikata
berhasil. Melalui pemancar
radio di Koto Tinggi, PDRI
telah membukakan mata
internasional untuk mengakui kedaulatan RI. Ahmad hussein dan
kompi Harimau kuranjinya yg ikut keluar masuk hutan mengawal PDRI
kadang harus kucing kucingan dengan patroli Belanda. Tak jarang pula
mereka musti babak belur bahkan lari lintang pukang bersama MR.
Syafrudin untuk menyelamatkan diri karena jika tertangkap itu artinya
selesai pulalah NKRI yg diproklamasikan 4 tahun yg lalu. Beruntunglah
seluruh rakyat di ranah Minang kala itu membantu mereka seratus
persen. Tak ketinggalan pula peranan ulama dan niniak mamak
(pemangku adat) juga tak kepalang besarnya dalam membantu mereka
saat itu. (Liga Chaniago, 2013)

Walaupun pusat pemerintahan PDRI di Sumatera sering berpindah-


pindah karena adanya serangan dari pasukan belanda, PDRI yang
dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara berhasil mengatur peran
penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah
RI. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. PDRI dapat digunakan
sebagai mandataris yang mengendalikan pemerintah RI dan peran
sebagai pemerintah pusat.

115
PDRI juga berperan sebagai kunci di dalam arus informasi, membuat
mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah
yang lain. Radiogram tentang masih berdirinya PDRI menghadiri Ketua
Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya yang
berada di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. (Budi Setiyono,
2018)

PDRI juga berhasil menjalin hubungan dan berbagi tugas dengan


perwakilan RI di India. Dari India, informasi-informasi tentang
pertemuan dan perjuangan bangsa dan negara dapat disebarluaskan ke
berbagai penjuru. Tentang dunia yang terkait dengan RI.

PDRI berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa


pemerintah Indonesia masih ada. Pada tanggal 23 Desember 1948, PDRI
memberikan instruksi lewat radio kepada wakil Indonesia di PBB.
Isinya, pihak Indonesia bersedia menghentikan tembak-menembak dan
berunding dengan Belanda. Tindakan ini berhasil mengangkat wibawa
Indonesia sekaligus mengundang simpati dunia internasional.

5. Pengungsian TNI dan rakyat Yogyakarta

Beberapa rombongan-rombongan pasukan TNI yang mengungsi setelah


Yogyakarta jatuh ketangan Belanda, antara lain rombongan Brigade XVI,
rombongan Kapten Frits Runtunuwu dan Jan Wowiling, rombongan
pasukan pimpinan Gerard Lombogia.

Dipinggiran barat Jogja terdapat Markas Batalyon salah satu pasukan


dari Yon Palar. Rombongan Brigade XVI pun secara bertahap berhenti
di markas Yon Palar, dan melakukan stelling mengantisipasi serangan
musuh. Rombongan TNI mengungsi melewati daerah Yon Palar semakin
banyak, mengalir dari dalam kota lengkap dengan keluarganya masing-
masing. Beberapa pasukan TNI bersiaga di daerah Yon Palar untuk
secara tidak langsung melindungi bagian belakang pengungsian
pasukan-pasukan TNI yang mengalir dari dalam kota mengungsi kearah
selatan, menghindari gempuran pasukan Belanda dari arah utara.

Untuk lebih mengamankan pengungsian pasukan yang tidak putus-


putus, khususnya ribuan pasukan Siliwangi yang bergerak kearah barat
daya, untuk kemudiannya kembali ke Jawa Barat sesuai dengan
rencana induk gerilya, pasukan Brigade XVI setelah konsolidasi singkat
kembali ke arah kota. Secara hit and run pasukan TNI bertempur
dengan ujung tombak pasukan Belanda yang mencoba mengejar
rombongan-rombongan pasukan Siliwangi yang hendak melaksanakan
long march.

116
Sekitar pukul 16.00, datang serombongan kecil perwira TNI dari arah
barat daya. Mereka adalah rombongan dari MBKD (Markas Besar
Komando Djawa), dipimpin Letkol Sukanda Bratamanggala yang
sedang berkeliling melakukan konsolidasi. Letkol Sukanda
Bratamanggala adalah Wakil Kepala Staf Teritorial, tapi saat itu ia satu-
satunya perwira tertinggi Komando Djawa yang ada di ibukota
Yogyakarta. Para pejabat lainnya sedang mengikuti Panglima MBKD
Kolonel AH. Nasution ke Jawa Timur

Sekitar jam 20.00 dari arah


selatan datang rombongan
Komandan Brigade X. Letkol
Soeharto, juga sedang
berkeliling untuk melakukan
konsolidasi. Teritori Brigade X
memang meliputi seluruh
wilayah Kesultanan
Yogyakarta, termasuk daerah
Godean ini. Markas
komandonya sekarang
berpindah ke Segoroyoso,
sebelah timur Kali Opak,
sebelah tenggara kota Jogja. Jadi ia sudah jauh berkeliling melakukan
konsolidasi.

Pada malam tanggal 19 Desember 1948, pasukan


TNI dari Sektor Barat pimpinan Mayor Ventje
Sumual melakukan serangan kedalam kota.
Pertempuran seru di Jl.Tanjung yang dilancarkan
Pasukan Combat Brigade XVI pimpinan Letnan
Sigar. Penyerangan malam ini memang tidak
direncanakan sebelumnya, namun diperjalanan
datang bergabung pasukan Yon 151 yang dari sektor
lain. Memang serangan ini hanya spontan saja,
begitu juga Yon 151 yang spontan bergabung. Dalam
kontak senjata di daerah Tugu, Komandan Yon 151 Kapten F. Hariadi
gugur bersama sepuluhan anggotanya. Selanjutnya Yon 151 yang baru
saja kehilangan pimpinannya meminta bergabung dengan pasukan
sektor barat.

****

117
C. STRATEGI PERLAWANAN MENGHADAPI AGRESI MILITER
BELANDA KEDUA

1. Perintah Kilat dan Perintah Siasat No. 1 TNI.

Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk


merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat,
lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda
di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari
serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan
bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih –
sebagai gerilyawan. Sebelum Panglima Jenderal Sudirman meninggalkan
Yogyakarta untuk bergerilya, ia mengeluarkan Perintah Kilat No.
1/PB/D/48, melalui radio yang isinya :
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948, Angkatan Perang Belanda
menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan
Senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan
untuk menghadapi serangan Belanda.[x]
(Imran, 1980)

Setelah itu Jenderal Sudirman meninggalkan Yogyakarta untuk


memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan
bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Tidak jarang Sudirman harus ditandu atau digendong karena
dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa
desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10
Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan


Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan
rakyat Totaliter yang kemudian dikenal
sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya
ialah: Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari
daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup
ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-
kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan
menjadi medan gerilya yang luas.

Perintah Siasat No. 1, sebagaimana dikutip dari buku “Yogyakarta 19


Desember 1948, Jenderal Spoor versus Jenderal Sudirman” (2006)
karangan Letjen (Purn) Himawan Soetanto, Bahwa pada bulan Mei
1948, (sebelum Belanda melancarkan Agresi Militer II), telah
diadakanlah rapat panglima TKR. Dalam rapat itu kemudian disepakati

118
beberapa hal yang kemudian dirangkum dalam Perintah Siasat No.1
Panglima Besar. Perintah Siasat No.1 itu secara garis besar bisa
disimpulkan adalah melakukan perang gerilya. Perang kecil-kecil secara
terus menerus yang melelahkan. Perintah Siasat No.1 itu dikeluarkan
Jenderal Soedirman pada 12 Mei 1948 pukul 13.00 WIB. Persoalan
kemudian adalah kapan perintah siasat itu akan dijalankan. Pada saat
Agresi Militer II Belanda 19 Desember 1948, Perintah Siasat No.1 itu
dijalankan oleh Perintah Kilat No.1 yang kabarnya ditulis tangan
langsung oleh Jenderal Soedirman.

Salah satu pasukan yang harus melakukan penyusupan (wingate)


adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah
pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong
yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan
nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi
sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan
letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat
terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

2. Pengorganisasian TNI Di Wilayah Wehrkreise III

setelah pasukan Belanda menguasai Yogyakarta, pasukan TNI hampir


tiap malam melakukan penyusupan-penyusupan dan serangan
kedalam kota. Inilah sebetulnya konsep prinsip gerilya, yang
menentukan kapan dan dimana untuk bertempur, bukan pihak
musuh. Begitu juga ketika tanggal 22 Desember Letkol Soeharto
memimpin pasukan masuk kedaerah Taman Sari dekat Kraton,
bersama pasukan Combat Brigade XVI yang dipimpin langsung oleh
komandannya, Kapten Kandou,

Pengorganisasian TNI di wilayah baru Wehrkreise III atau WK-III.


Pimpinan Letkol Soeharto berlangsung awal Januari 1949. Adapun
susunannya terdiri dari 6 Sub-Wehrkreise atau SWK :

119
SWK 101 di daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sekri
Soenarto.
SWK 102 di daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono.
SWK 103 di daerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje HN.
Sumual.
SWK 104 di daerah Sleman dengan Komandan Mayor Soekasno.
SWK 105 di daerah Gunung Kidul dengan Komandan Mayor Soejono
SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan Komandan Letkol R.
Soedarto.

Dalam perkembangan selanjutnya disesuaikan dengan pergeseran real


di pasukan-pasukan, juga dengan pertimbangan-pertimbangan lain.
Sejak pertengahan Januari 1949, beberapa perubahan dilakukan
antara lain :
1. SWK 101 untuk clandestine dalam kota Jogja, lebih sebagai mata-
mata dan satuan penghubung gerilya. Komandan Letnan
Marsudi.
2. SWK 102, Komandannya tetap Mayor Sardjono, tapi wilayahnya
sudah mencakup hingga Bantul Timur yang sebelumnya masuk
SWK lain.
3. SWK 103, bermarkas di Gamping dengan Komandan Letkol
Suhud.
4. SWK 103A, didaerah Godean dengan Komandan Mayor Ventje
Sumual,
5. SWK 104, di daerah Sleman tetap dengan Komandan Mayor
Soekasno.
6. SWK 105, di daerah Gunung Kidul tetap dengan Komandan Mayor
Soejono.
7. SWK 106, di daerah Kulon Progo tetap dengan Komandan Mayor
Sekri Soedarto.

Sejak hari-hari pertama


bergerilya, beberapa pasukan TNI
datang bergabung ke Sektor
Barat sejumlah pasukan dari luar
Brigade XVI. Ada 2 pasukan
Mobile Brigade Kepolisian
dipimpin oleh Ajatiman dan
Soebroto. Lalu ada Kolonel Laut
Darwis Djamin, Panglima ALRI
Pangkalan Tegal bersama-sama
anak buahnya juga mengungsi
kesektor barat. Ada pula Laskar
Burhanuddin Harahap, yang
bersama beberapa politisi berlindung di sektor barat, mengkonsolidasi
Barisan Hizbullah. Banyak tokoh politik berlindung di daerah sektor ini
termasuk Mr. Kasman Singodimedjo, Sukarni dari KNIP, juga apa

120
Pandu Wiguna, Ir. Sakirman, Setiadi. Chairul Saleh, yang kemudian
mengatakan akan ke daerah Jawa Barat, bergerilya disana.

Masih dalam suasana Natal tanggal 26 Desember


1948, dikeluarkan Surat Perintah Operasi dari
Lekol Soeharto untuk mengerahkan pasukan
secara besar-besaran untuk serangan umum
tanggal 29 Desember 1948. Inilah serangan umum
yang pertama. Pukul 7 malam pasukan TNI
disemua sektor mulai bergerak. Serangan dimulai
tepat pukul 21.00. Tembakan bergema diseantero
kota. Letusan senjata yang diselingi siulan mortir
terdengar dahsyat dari seluruh penjuru kota.
Tujuan utama operasi adalah untuk
mengembalikan kepercayaan rakyat, disamping itu untuk mengetahui
kekuatan pasukan lawan. Cukup banyak prajurit yang gugur malam
itu. Pertempuran berlanjut hingga pukul 03.00 dinihari,

Begitupun menjelang tahun baru 1949 yaitu pada tanggal 31 Desember


1948 malam berlangsung serangan singkat yang dipimpin oleh Mayor
Ventje Sumual dari Sektor barat, dengan titik-titik sasaran yang tegas,
serangan dari Sektor Barat melibatkan sejumlah komandan operasi
andalan Brigade XVI pun turun lapangan. Diantaranya Kapten Willy
Sumanti, Kapten Runtunuwu, Mayor Gustav Kamagie, Letnan
Kailola. Begitu juga jagoan-jagoan tempur Tim Khusus Combat Brigade
XVI seperti Letnan Kandou, Letnan Woimbon, Letnan Sigar, dan
lain-lain. (Ventje Sumual, 2009)

Serangan-serangan secara sporadis di daerah kedudukan Belanda di


Yogyakarta dan sekitarnya berlangsung terus, membuat tentara
Belanda tak dapat bernafas lega. Namun demikian, diperlukan suatu
serangan untuk mendapatkan perhatian dunia internasional bahwa
TNI masih ada untuk menangkis propaganda Belanda yang
menyatakan bahwa TNI dan Pemerintah Indonesia sudah lenyap. (Ventje
Sumual,2009)

3. Perjalanan Gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman

Minggu pagi, tanggal 19 Desember 1948, suasana Yogyakarta di


sepanjang jalan protokol masih lengang. Hanya beberapa warga dan
penduduk sekitar yang berlalu lalang untuk berdagang menuju Pasar
Beringharjo. Beberapa anggota kompi I dan II dari Markas
Besar Polisi Tentara (MBPT) yang bertugas mengawal Jenderal
Soedirman, yang sedang beristirahat sakit di rumah Jalan Bintaran
Timur Nomor 8 yang menjadi tempat tinggal Jenderal Soedirman di
Yogyakarta. Sementara itu, Jenderal Sudirman sedang berbaring lemah
di tempat tidur ditemani Bu Dirman, serta orang-orang terdekatnya,

121
(mantan Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman, Mayor (Purn) Pendeta Abu
Arifin).

Kondisi Jenderal Soedirman yang lemah,


membuatnya harus mendapat perawatan
intensif oleh dokter pribadinya Mayor
Suwondo. Namun, kedamaian pagi itu di
Yogyakarta dikagetkan dengan melintasnya
satu pesawat bomber dan pemburu 'cocor
merah' milik pasukan Belanda yang
menembaki beberapa bangunan secara
membabi buta.Mmang saat itu ada kabar
kalau pasukan TNI sedang melakukan
latihan perang-perangan di lapangan udara
Maguwo sekitar pukul 06.00. Tap tak
dsangka itu adalah serangan Belanda yang
dlanjtkan dengan penerunan pasukan di
Maguwo. Setelah itu pesawat perang
Belanda melintas dan menembak membabi buta hingga menyebabkan
pabrik peniti, yang dikira markas tentara, di Lempuyangan hancur,

Kondisi tersebut kemudian dilaporkan komandan Kompi I Kapten


Cokropranolo tentang adanya serangan di Belanda tersebut kepada Pak
Dman. Usai mendapat laporan Jnderal Sudirman berusaha bangkit,
padahal saat itu Pak Dirman baru saja selesai operasi yang dilakukan
Profesor Asikin di Rumah Sakit Panti Winoto yang berada di dalam
keratin.

Keadaan genting itu, membuat


Jenderal Soedirman mengambil
langkah untuk menentukan
keputusan strategis. Ia lalu
mengutus ajudan I Suparjo
Rustam untuk melaporkannya ke
Istana presiden yang berada
kurang lebih 1 kilometer dari
rumah Jenderal Soedirman. Dalam
dalam perjalanan menuju Istana,
Suparjo sempat mendapat
tembakan berasal dari udara yang
dimuntahkan pesawat Belanda.
Namun, saat sampai ke istana, Suparjo Rustam justru tidak bisa masuk
ke dalam Istana. Alasan saat itu karena ada beberapa pemberlakuan
saat kondisi genting di kalangan tentara, yaitu di saat keadaan genting,
para penjaga istana diwajibkan menjalankan aturan untuk saling
mencurigai satu dengan yang lain untuk menghindari kondisi yang tidak
diinginkan.

122
Lama menunggu dan tidak mendapat kabar dari Supardjo Rustam,
akhirnya Jenderal Soedirman memutuskan untuk menemui Presiden
Soekarno di Istana, walaupun saat itu Soedirman dilarang untuk
bepergian. Lalu disiapkan dua mobil, yakni satu sedan hitam dan satu
mobil bak terbuka yang diisi pasukan. Pak Dirman lalu menaiki mobil
sedan hitam bersama supirnya Sudirman, yang namanya memang sama
dengan beliau. Kemudian komandan pasukan pengawal Kompi I
Kapten Cokropranolo berada di sisi kiri supir dan Jenderal Sudirman
bersama Letnan dua Suwondo..

Akhirnya, iring-iringan pengawalan pun


memasuki Istana kepresidenan. Namun
sayang, Jenderal Soedirman saat itu
tidak diperkenankan menemui Presiden
Soekarno kerena sedang menggelar
rapat dengan pejabat menteri di dalam
ruang rapat Istana. Ia lalu meminta
untuk dipapah keluar bangunan Istana
dan berada di taman, sambil
menyaksikan pesawat bomber
menembak membabi buta. Jenderal
Sudirman sempat marah melihat
kondisi itu, hingga akhirnya, ia
memanggil Cokropranolo untuk
kembali menuju Bintaran Timur,
kerumah dinas dan membakar semua
dokumen. Selain itu, ia juga diminta untuk mengantar istri dan anak-
anak Soedirman ke dalam benteng keraton. Perintah itu kemudian
dilakukan Cokropranolo dan setelah selesai melakukan tugasnya, ia
kembali dan melapor. Jenderal Sudirman lalu memutuskan untuk
kembali ke rumah dinas di Jalan Bintaran Timur.

Sesampainya di rumah, Jenderal Soedirman membuat keputusan


penting, yakni menyingkir keluar dari kota Yogyakarta bersama pasukan
pengawalnya untuk perang gerilya. Keputusan spontan ini membuat
kaget beberapa pasukannya. Namun, keputusan tersebut diterima
anggota pasukan yang menjadi pengawal setia Jenderal Soedirman,
karena saat itu terdengar kabar, Pasukan Belanda dibagi dua. Kedua
pasukan tersebut bertugas menangkap Soekarno dan memerintahkan
menangkap Soedirman, baik hidup atau mati.

Sekitar pukul 11.30 WIB pasukan berjalan keluar wilayah Yogyakarta


menuju wilayah selatan. Menurutnya, banyak tentara yang tidak
membawa bekal perlengkapan. Selain itu, juga banyak dokumen yang
dimiliki mereka terbakar untuk menghilangkan jejak. Saat berangkat,
Soedirman menaiki mobil sedan hitam dan mobil compreng.

123
Rombongan pasukan Sudirman lalu menyusuri wilayah selatan
Yogyakarta mulai dari Bantul hingga Parangtritis. Mereka lalu berhenti
dan beristirahat ditempat lurah Grogol yang bernama Pak Hadi. Di
rumah Pak Hadi, para pemimpipasukan mengadakan rapat untuk
membuat rute perjalanan menuju Gunung Wilis di Kediri. Sedangkan
Jenderal Sudirman mendapat pemeriksaan kesehatan oleh dokter
pribadinya, Dokter Suwondo.

Rute perjalanan menuju ke


Gunung Wilis di Kediri diambil
karena ada perlengkapan komando
disana, yakni pemancar radio.
Setibanya disana, semua komando
dari Jenderal Soedirman
disampaikan melalui pemancar
tersebut. Namun itu tidak
bertahan lama karena fasilitas
pemancar ketahuan Belanda dan
akhirnya markas tersebut
dibombardir. Merekapun
melanjutkan perjalanan,
melanjutkan, setelah dari Grogol, pasukan kemudian berjalan menuju
Parangtritis. Namun, saat itu dua kendaraan yang digunakan tidak bisa
melanjutkan perjalanan karena ada sungai besar yang membelah dan
tidak ada jembatan di sungai itu. Sejak itu, perjalanan terus dilanjutkan
dengan konsekuensi Jenderal Sudirman harus ditandu, hingga sampai
di Desa Playen yang masih berada di wilayah Yogyakarta. Sesampainya
di desa tersebut, Soedirman dipinjami sado milik perkebunan.

Jenderal Sudirman, bersama sekelompok kecil tentara dan dokter


pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan menuju
Kretek, Parangtritis, Bantul. Setibanya di sana, mereka disambut oleh
bupati pada pukul 18.00. Selama di Kretek, Sudirman mengutus
tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki oleh Belanda
untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual
perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah
beberapa hari di Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke
timur di sepanjang pantai selatan menuju Wonogiri. Sebelum Belanda
menyerang, sudah diputuskan bahwa Sudirman akan mengontrol para
gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih memiliki beberapa pangkalan
militer.[ Sementara itu, Alfiah dan anak-anaknya diperintahkan untuk
tinggal di Kraton.

Sadar bahwa Belanda sedang memburu mereka, pada tanggal 23


Desember 1948, Jenderl Sudirman memerintahkan pasukannya untuk
melanjutkan perjalanan ke Ponorogo. Di sana, mereka berhenti di rumah

124
seorang ulama bernama Mahfuz; Mahfuz memberi sang jenderal sebuah
tongkat untuk membantunya berjalan, meskipun Soedirman terus
dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang perjalanan. Mereka
kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.

Di dekat Trenggalek, Jenderal


Sudirman dan kelompoknya
dihentikan oleh prajurit TNI
dari Batalion 102. Para
tentara ini diberitahu bahwa
Soedirman –yang saat itu
berpakaian sipil dan dan
tidak dikenali oleh tentara
yang menghentikan mereka –
adalah tahanan dan menolak
untuk melepaskan
Soedirman dan kelompoknya; mereka mencurigai konvoi Jenderal
Sudirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda
yang mungkin dimiliki oleh mata-mata. Ketika sang komandan, Mayor
Zainal Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa
orang itu memang Jenderal Sudirman. Menyadari hal itu, segera ia
meminta maaf. Mayor Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya
sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga
menyebutkan tentang sebuah pos di Kediri dan menyediakan mobil
untuk mengangkut Jenderal Sudirman dan pasukannya.

Setelah beberapa saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih


jauh ke timur; setelah mereka meninggalkan kota pada tanggal 24
Desember 1948, Belanda berencana untuk menyerang Kediri. Serangan
Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Jenderal Sudirman harus
mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah

125
seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan
dengan wajah Jenderal Sudirman. Kesser diperintahkan untuk menuju
selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan
diam-diam kembali ke utara, sedangkan Jenderal Sudirman menunggu
di Karangnongko.

Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember 1948, Jenderal


Sudirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba
pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa
menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno,
Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Jenderal
Sudirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa
tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka
menetap selama seminggu lebih. Namun, pada tanggal 21 Januari 1949,
tentara Belanda mendekati desa. Jenderal Sudirman dan rombongannya
terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam
hujan lebat.

Jenderal Sudirman dan


pasukannya terus melakukan
perjalanan melewati hutan dan
rimba, akhirnya tiba di Sobo, di
dekat Gunung Lawu, pada
tanggal 18 Februari 1949.
Selama perjalanannya ini,
Panglima Sudirman
menggunakan sebuah radio
untuk memberi perintah pada
pasukan TNI setempat jika ia
yakin bahwa daerah itu aman.
Merasa lemah karena kesulitan
fisik yang ia hadapi, termasuk
perjuangannya melewati hutan
dan kekurangan makanan,
Jenderal Sudirman yakin bahwa
Sobo aman dan memutuskan
untuk menggunakannya sebagai
markas gerilya. Komandan
tentara setempat, Letnan
Kolonel dr. Wiliater
Hutagalung, berperan sebagai
perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain.

Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan


Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan
yang lebih besar, Jenderal Sudirman dan Letkol dr. W. Hutagalung
mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-

126
besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang
mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda
tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.
(Wikipedia Indonesia)

Letkol Soeharto sebagai Komandan Brigade X / Wehrkreis III ikut serta


sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Kurang dari satu
bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang diluncurkan pada bulan
Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan
terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon,
merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta melakukan
sabotase lainnya.

Belanda menerima memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar


yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti
kekuatan pasukan Belanda tersebar di pos-pos kecil diseluruh daerah
republik yang sekarang merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan
pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI
melakukan serangan terhadap Belanda.

Di Jawa Timur terjadi


pertempuran besar di daerah
Kopajen-Blitar terhadap
pasukan Belanda yang
dilakukan oleh Batalion Worang
(KRIS) pimpinan Kembi Worang
bersama Corps Mahasiswa Jawa
Timur (CMDT) pimpinan Mayor
Suhario. Pertempuran
berlangsung selama tiga jam
melawan pasukan Zeni Belanda
yang sedang memperbaiki
jembatan yang dirusak. Dalam
pertempuran tersebut, gugur
Letda Gerungan, dan Dee
Gerungan tertangkap oleh
Belanda.

Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur,


Letkol. dr. Wiliater Hutagalung yang sejak September 1948, ditunjuk
menjadi Perwira Teritorial & ditugaskan untuk membuat jaringan
pesiapan gerilya di wilayah Divisi II & III-bertemu dengan Panglima
Besar Jenderal Sudirman guna memperoleh bantuan dari Dewan
Keamanan Indonesia sudah tak ada lagi. (Ki Hermawan Poerbocarito, 2016),
Panglima Besar Sudirman melalui Radio Rimba Raya, telah mendengar
berita propaganda tersebut dan menginstruksikan untuk memilih

127
langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda
Belanda itu.

4. Perencanaan Serangan Umum

Dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan & Tindakan Saya yg ditulis G.


Dwipayana & Ramadhan KH itu diungkapkan bahwa Letnan Kolonel
Soeharto yg menjabat sbg Komandan Brigade 10/Wehkreise III mulai
mencari cara perebutan kembali Yogyakarta.
"Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya untuk
mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI."
"Bagaimana meyakinkan mereka, bahwa TNI masih mampu mengadakan
perlawanan."
"Satu-satunya jalan adalah melakukan serangan balasan secepat
mungkin ke ibu kota," kata Soeharto dalam buku itu.

Akhir Desember 1948, Letkol Soeharto mulai menyusun strategi


serangan balik terhadap tentara Belanda yg telah merebut Yogyakarta.
Rencana itu sejalan dengan keinginan Panglima Besar Jenderal
Sudirman dalam upaya untuk mengcounter propaganda yang terus
dilancarkan oleh Belanda, yang sangat menyudutkan posisi Indonesia di
mata dunia Internasional, dan untuk menumbuhkan kepercayaan
rakyat kepada TNI. Kepercayaan rakyat terhadap TNI mulai merosot
ketika TNI tidak mampu menangkal serangan Belanda atas Ibukota
negara Yogyakarta.

Panglima Besar Jenderal Sudirman kemudian memerintahkan Letkol


W. Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran,
dengan menampilkan prajurit TNI berseragam yang akan menyerang
Belanda, serta mununjukkan kekuatan mereka
di depan wartawan asing dan tim investigasi
PBB.

Atas perintah tersebut, Letkol W. Hutagalung,


bersama para prajurit dan komandannya,
Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat
pemerintahan di bawah pimpinan
Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu
beberapa hari dengan membahas cara-cara
untuk memastikan agar serangan itu
berhasil. Pertemuan ini menghasilkan
rencana Serangan Umum ke Yogyakarta.
(Wikipedia Indonesia)

Letkol dr. W.Hutagalung lalu membentuk jaringan di Divisi II & III,


untuk dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal

128
Sudirman. Ia kemudian menjadi penghubung antara Panglima Besar
Jenderal Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto
& Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter
spesialis paru, setiap ada peluang, ia juga dapat ikut merawat Panglima
Besar Sudirman yang saat ini menderita penyakit paru-paru. Guna
membantu dan merawat Panglima Besar Sudirman, Letkol. dr. W.
Hutagalung masih tinggal beberapa hari, sebelum kembali ke
markasnya di Gunung Sumbing.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Letkol W. Hutagalung adalah, perlu


dipastikan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris,
bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan
[Pemerintah Darurat Republik Indonesia-PDF], ada organisasi TNI & ada
tentaranya.

Untuk membuktikan hal ini, maka diperlukan cara untuk menembus


isolasi, seperti adanya serangan spektakuler, yang tak dapat
disembunyikan oleh Belanda, dan harus dipahami oleh UNCI [Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan wartawan-wartawan asing agar dapat
disebarluaskan ke seluruh dunia, bahwa Negara Republik Indonesia
masih ada. Maka untuk melaksanakan rencana itu, diperlukan pemuda-
pemuda yang berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang bisa
berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis.
Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam
melaksanakan rencana tersebut, maka diadakan pertemuan Pimpinan
Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang
dilaksanakan pada tanggal 18
Februari 1949 di markas yang
terletak di lereng Gunung
Sumbing. Hadir dalam rapat
tersebut, selain Gubernur Militer /
Panglima Divisi III Kol. Bambang
Sugeng, Letkol Wiliater
Hutagalung, juga hadir Komandan
Wehrkreis II, Letkol. Sarbini
Martodiharjo, dan pucuk
pimpinan pemerintahan sipil, yaitu
Gubernur Sipil, Bapak KRMT
Wongsonegoro, Residen
Banyumas R. Budiono, Residen
Kedu Salamun, Bupati
Banjarnegara RA Sumitro
Kolopaking dan Bupati Sangidi.

Adapun hasil pertemuan tersebut antara lain untuk mengadakan


penyerangan besar-besaran terhadap kedudukan Belanda dengan
langkah-langkah sebagai berikut :

129
1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III,
yang didukung Wehrkreise I, II & III,
2. Mengerahkan seluruh potensi militer & sipil di bawah Gubernur
Militer III,
3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di
wilayah Divisi III,
4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar mencapai efek lebih besar,
5. Serangan tersebut harus diakui dunia internasional, untuk itu perlu
mendapat dukungan dari: Wakil Kepala Staf Angkatan Perang
dukungan dengan pemancar radio yang disetujui oleh AURI &
Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT [Pendidikan Politik
Tentara] Kementerian Pertahanan.

Tujuan utama dari rencana ini menunjukkan eksistensi TNI dan dengan
demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada
dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota
UNCI, para wartawan serta para pengamat militer harus melihat
perwira-perwira yang berseragam TNI. (Ki Hermawan Poerbocarito, 2016).

Setelah dilakukan pembahasan yang berhasil, grand desain yang


diminta oleh Hutagalung telah disetujui, & khusus mengenai "serangan
spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III / GM III
Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, siapa yang harus diserang
secara spektakuler adalah Yogyakarta. Ada tiga alasan penting yang
dikemukakan Kol` Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai
sasaran utama yaitu :
 Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga dapat direbut walau hanya
untuk beberapa jam, akan berdampak besar terhadap perjuangan
Indonesia melawan Belanda.
 Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih memiliki anggota delegasi
UNCI [KTN] serta pengamat militer dari PBB.

130
 Langsung di bawah wilayah Divisi III / GM III sehingga tidak perlu
disetujui Panglima / GM lain & semua misi memperbaiki dan
mengendalikan wilayah / operasi.

Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949


dari Panglima Divisi III / Gubernur Militer III, untuk selalu melakukan
serangan terhadap tentara Belanda, telah melancarkan beberapa
serangan umum di Divisi III / GM III. Seluruh Divisi III dapat disetujui
telah disetujui dlm serangan Pertahanan tentara Belanda. Selain itu,
sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintahan sipil dari mulai
Gubernur Wongsonegoro dan juga para Residen dan Bupati, selalu
diikutsertakan dlm rapat & pengambilan keputusan yg penting dan
kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan
dukungan utama untuk logistik dari seluruh rakyat. (Ki Hermawan
Poerbocarito, 2016).

Selanjutnya, untuk menjalankan rencana tersebut, Kolonel Wiyono,


Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga
berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda
yang sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan, yang khusus fasih
berbahasa Belanda & Inggris. Untuk skenario seperti yang disebut di
atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yang
mengerti bahasa Belanda, Inggris atau Prancis, kemudian akan
dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai
topi. Sebelum penyerangan, mereka sudah harus siap di dalam kota,
dan pada waktu penyerangan sudah mulai, mereka harus masuk ke
Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI
dan juga sebagai pendengar yang berada di hotel tersebut. Hal penting
yg kedua adalah, dunia internasional harus tahu tentang Serangan
Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama
terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik.

Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia


internasional maka ditugaskan kepada Kol. TB
Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan
Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi
pemancar radio Angkatan Udara [AURI] di Playen,
dekat Wonosari, agar dapat dilancarkan berita
terkini tentang penyerangan besar-besaran oleh TNI
dan Yogyakarta segera disiarkan. Hal ini karena TB
Simatupang dalam kapasitasnya sebagai Wakil
Kepala Staf Angkatan Perang, lebih kompeten
menyampaikan hal ini kepada pihak AURI dari
perwira Angkatan Darat lainnya.

Diperkirakan Belanda melihat Yogyakarta adalah besar, dipastikan


mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa

131
Tengah, di mana ada misi Belanda yang kuat seperti Magelang,
Semarang dan Solo. Jarak tempuh [waktu itu] Magelang-Yogya hanya
sekitar 3-4 jam saja; Solo-Yogya, sekitar 4-5 jam, & Semarang-Yogya,
sekitar 6-7 jam. Magelang & Semarang [bagian Barat] berada di bawah
wewenang Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima
Divisi II / GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di
wilayah Divisi II dan Divisi III harus juga dilakukan serempak.

Pimpinan pemerintahan sipil,


Gubernur Wongsonegoro,
Residen Budiono, Residen
Salamun, Bupati Sangidi
dan Bupati Sumitro
Kolopaking ditugaskan
untuk mengkoordinasi
persiapan & penyediaan
perbekalan di wilayah
masing-masing. Pada waktu
bergerilya, para pejuang
harus selalu pindah tempat,
jadi sangat tergantung dari
bantuan rakyat dalam
penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah
dan Kepala Desa sangat memerlukan dalam persiapan dan penyediaan
perbekalan dan keperluan bagi para gerilyawan. Ini semua telah
disepakati dan akan ditentukan oleh pemerintah militer lokal.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran


PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah
Siasat Panglima Besar. Dalam Konsep Pertahanan Rakyat Total-sebagai
pelengkap Perintah Siasat No.1. Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA
yang juga adalah Ketua PMI [Palang Merah Indonesia], meminta
pengiriman obat-obatan untuk gerilyawan di depan. Beberapa dokter
dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada
juga yang mati tertembak.

132
Setelah pertemuan selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat
sipil pulang ke tempat masing-masing guna menyiapkan segala sesuatu,
sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk
menghadiri pertemuan di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949
kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II / Gubernur
Militer II Kolonel Gatot Subroto. (Ki Hermawan Poerbocarito, 2016).

Seperti yang digariskan dlm pedoman pengiriman


berita dan pengiriman pesanan, perintah yg sangat
penting dan rahasia, harus disampaikan langsung
oleh atasan kepada komandan pasukan yg
diundang. Maka rencana penyerangan atas
Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise III di
bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan
disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III
Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim ke
Komandan Wehrkreise III / Brigade 10,
Letkol. Suharto, untuk bertemu dengan Panglima
Divisi III serta menyiapkan pertemuan. Diputuskan
untuk segera tiba saat itu juga guna dikirim grand desain ke pihak-
pihak yang terkait. Ikut dlm rombongan Panglima Divisi selain
Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen [dokter pribadi
Bambang Sugeng], Bambang Surono [adik Bambang Sugeng], seorang
mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung
[ajudan Letkol Hutagalung] & beberapa anggota staf Gubernur Militer
[GM] serta pengawal. (Ki Hermawan Poerbocarito, 2016).

Dalam perjalanan meembawa misi rahasi tersebut, pertama-tama


rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang
bermarkas tak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas
untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa
Belanda, Inggris atau Prancis yang akan memakai pakaian perwira
TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi menemui rombongan, dan
datang juga di Pedukuhan Banaran, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang
Kol. T.B. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng,
dalam rapat tersebut juga hadir M. Ali Budiarjo, yang kemudian
menjadi ipar Simatupang.

Kol. T.B. Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi


pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen & di
Wiladek, yang dikelola oleh Koordinator Pemerintah Pusat. Setelah
Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi
segera mengeluarkan izin rahasia kepada Komandan Wehrkreise I
Kolonel Bachrun, yang akan dikirim sendiri oleh Kol. Sarbini.

133
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan
melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke
Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan
melanjutkan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan
beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli
Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari
Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui daratan
Menoreh untuk persetujuan atas Komandan Wehrkreis III
Letkol. Suharto. Kolonel Bambang Sugeng bersama rombongan
mampir di Pengasih, di tempat kediaman mertua Bambang Sugeng.
Disana ia masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih
[Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang
Sugeng, yg sekarang tinggal di Temanggung].

Pertemuan dengan Letkol. Suharto


berlangsung di Brosot, dekat
Wates. Semula pertemuan akan
dilakukan di dlm satu gedung
sekolah, namun karena kuatir
telah dibocorkan, maka pertemuan
dilakukan di dlm sebuah gubug di
tengah sawah. Hadir dlm rapat
tersebut lima orang, yaitu Panglima
Divisi III / Gubernur Militer III
Kol. Bambang Sugeng, Perwira
Teritorial Letkol. dr. Wiliater
Hutagalung bersama ajudan
Letnan Amron Tanjung,

Kepada Komandan Wehrkreise III /


Brigade X Letkol. Suharto
diberikan perintah untuk
mengadakan penyerangan antara
tanggal 25 Februari dan 1 Maret
1949. Kepastian tanggal baru dapat
ditentukan kemudian, setelah
disetujui dan disesuaikan dengan semua pihak terkait, antara lain
dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

Setelah semua disiapkan matang, baru mulai diputuskan [keputusan


diambil antar tanggal 24 atau 25 Februari 1949], maka serangan
tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06. 00
pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. (Ki
Hermawan Poerbocarito, 2016).

134
5. Serangan Umum 1 Maret 1949

Rencana untuk melakukan Serangan Umum besar-besaran terhadap


Belanda di Yogyakarta untuk membuka mata dunia Internasinal bahwa
Republik Indonesia dan TNI masih ada, dalam menangkis propaganda
Belanda yang mengatakan bahwa Republik Indonesia telah lenyab.
Menurut beberapa sumber bahwa gagasan serangan umum ini pertama
datangnya dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan kemudian
rencana ini diterima Panglima Besar Jenderal Sudirman dan
ditindaklanjuti dengan memerintahkan Letkol Soeharto untuk
melaksanakan serangan kilat selama enam jam.(Wikipedia)

Dalam biografi Soeharto versi Roeder (1969) dikatakan bahwa sebelum


menjalankan Serangan Umum 1 Maret, Soeharto kerap kali menyusup
ke dalam Keraton Yogyakarta untuk bertemu dan berdiskusi dengan
Sultan. Dalam kesempatan itu, Soeharto dan Sultan yang berpangkat
kolonel kemudian sepakat untuk menjalankan sebuah rencana yang
mereka sebut sebagai Serangan Umum. Kesaksian ini diperkuat oleh
Hendrobujono yang saat itu menjadi abdi dalem keraton. Ia mengaku
sering mengantarkan Soeharto menemui Sultan setelah sebelumnya
Soeharto menyamar sebagai petani yang membawa sayuran ke keraton.
Saat itu, Sultan merupakan satu-satunya figur di Yogyakarta yang
disegani oleh pihak Belanda. Belanda tidak berani memasuki Keraton
secara sembarangan karena mengetahui bahwa Sultan merupakan
simbolisasi dari kekuatan rakyat. Menyakiti Sultan berarti
membangkitkan perlawanan dari seluruh rakyat Yogyakarta yang hingga
kini dikenal patuh pada rajanya.

Demikianlah Kolonel Soeharto yang sering berkoordinasi dengan Sultan


dalam setiap usaha untuk membebaskan Yogjakarta dari tangan
Belanda yang merupakan wilayah tanggung jawabnya.

135
Puncak serangan umum terhadap kota Yogyakarta akan dilakukan pada
tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto,
Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, dimulai terlebih dahulu
dengan menghubungi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta. Letkol Soeharto, sebagai komandan Wilayah
Wehrkreise III yang bertanggung jawab di wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya, lalu membuat rencana untuk menemui Sultan dengan
menyusup ke Keraton. Dalam penyusupan itu, Letkol Soeharto diantar
oleh Marsoedi menuju ke Keraton Yogyakarta dan berhasil menghadap
Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 14 Februari 1949. Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
menyambut baik dan merestui serta siap membantu untuk pelaksanaan
serangan umum tersebut.

Kemudian untuk
melaksanakan rencana itu,
beberapa perwira pemimpin
sektor dipanggil untuk
maksud tersebut. Diantara
yang dipanggil adalah
Mayor Ventje Sumual
sebagai Komandan SWK
103A, berkedudukan di
daerah Godean, dan Mayor
Sekri Soedarto, Komandan
SWK 106, yang
berkedudukan di daerah Kulon Progo. Dalam pertemuan tersebut,
dibicarakan tentang strategi kedepan, sambil mengevaluasi langkah-
langkah yang sudah dan sedang dilaksanakan, yang disesuai dengan
strategi umum perang gerilya, tentu saja mengenai serangan umum yang
akan dilakukan lagi.

Dalam rapat tersebut, Mayor Ventje Sumual mengusulkan agar


serangan umum yang akan dilaksanakan, dilakukan pada siang hari,
mengingat beberapa kali dilakukan serangan umum semuanya dimalam
hari. Hal itu dimaksudkan agar supaya mendapat perhatian luas,
diberitakan dikoran-koran, sebab berita di Koran selama ini hanya
menguntungkan pihak Belanda. Usul itu diterima dan dilanjutkan
dengan pembahasan teknis untuk pelaksanaan serangan umum
tersebut. Selesai pertemuan, hasil rapat tersebut di sampaikan kepada
semua komandan sektor agar melakukan persiapan-persiapan yang
diperlukan. (Ventje Sumual, 2009)

Dalam penyerangan umum ini, Letkol Soeharto akan langsung


memimpin pasukan dari sektor barat hingga ke batas Malioboro.
Wilayah barat dipimpin Mayor Ventje Sumual, Selatan dan Timur

136
dipimpin Walikota Sardjono, Utara oleh Walikota Kusno. Di wilayah
kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki
sebagai pimpinan. (Merdeka.Com, 2013)

Namun sebelum serangan umum tersebut


dilaksanakan, pagi-pagi tiba-tiba tentara Belanda
menyerang Godean dengan kekuatan besar.
Mereka mengepung dari beberapa jurusan, disertai
bantuan tembakan dari pesawat udara. Dalam
pertempuran sengit jarak dekat di daerah
perbukitan Godean, dipihak TNI gugur 3 orang.
Yaitu Letnan Bos Kandou, Sersan Jack
Runtukahu, dan Ipda Toet Harsono. Bos Kandou
adalah sorang perwira lapangan yang pernah
mengikuti pendidikan di Akademi Militer.
Runtukahu juga seorang pemberani yang
merupakan bekas anggota pejuang KRIS.
Sedangkan Ipda Toet Harsono adalah seorang
pejuang yang telah beberapa kali ikut dalam pertempuran melawan
Belanda.

Walaupun sempat mendapat serangan dari Belanda, besoknya sejak


pagi, para pejuang terus melakukan persiapan-persiapan untuk
serangan umum. Sekitar jam 01.00 pasukan sudah bergerak kearah
timur, menuju kota Jogja. Tidak dalam barisan bersaf banyak,
melainkan berbanjar satu persatu, ada juga yang berdua. Pasukan
berjalan memanjang menembus kegelapan malam, yang langsung
dipimpin oleh komandannya masing-masing. Semua kekuatan Brigade
XVI, simpatisan pejuang, pasukan –pasukan luar yang berlindung di
sektor barat, ALRI, Brigade Mobile Kepolisian, satuan AURI, Resimen
Hasanuddin, Resiman Pattimura, Resimen Bali, pasukan Hizbullah,
bergabung menjadi satu dalam barisan yang sangat panjang. Inilah
kekuatan TNI terbesar dalam serangan umum ini.
Sesuai dengan intruksi Letkol Soeharto, semua pasukan yang akan
menyerbu mengenakan sehelai janur-daun kelapa yang masih berwarna
kuning muda, diikat dipangkal lengan kiri atau meneggantung dibahu.
Dengan sandi ini pasukan gerilya maju mengalir dari seluruh penjuru
mengepung kota Jogja dari semua arah. (Ventje Sumual, 2009)

Sementara pasukan lainnya menyusup ke dalam


kota Yogyakarta untuk melakukan serangan umum,
tiba-tiba terdengan letusan senjata dan pertempuran
disebuah pos Belanda. Tenyata Letnan Komarudin
komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan
Mayor Sardjono bersama pasukannya menyerang
salah satu tangsi Belanda pada tanggal 28 Februari
1949. Padahal seharusnya serangan dilakukan

137
keesokan harinya pada 1 Maret 1949. Akibatnya dia hampir
mengacaukan jadwal serangan ke Kota Yogyakarta. Namun di sisi lain
akibat serangan Pasukan Komarudin yang salah tanggal itu membuat
Belanda lengah karena mengira serangan yang Komarudin lakukan
merupakan serangan besar yang santer akan terjadi. Sindonews.com,2017)

Belum pukul 05.00 semua


pasukan sudah memasuki
kota melalui jalur dan kearah
sasaran. Makin mendekati
sasaran pasukan mulai
mengendap-endap, bahkan
lainnya harus tiarap. Semua
sudah siap dengan senjata
masing-masing dalam jarak
tembak yang efektif. Sekitar
pukul 05.45 semua pasukan
sudah dalam posisi senjata
terbidik pada titik sasaran
masing-masing. Tinggal menunggu saat yang tepat, yaitu sirene
berakhirnya jam malam pukul 06.00 tepat, sirene ini dibunyikan tiap
hari oleh pemerintah pendudukan Belanda di Jogja. Jadi tentara
Belanda sendiri yang akan memberikan komando bagi semua pasukan
untuk mulai menembaki mereka.

Tepat pukul 06.00 sirene Belanda itu berbunyi meraung-raung, namun


langsung tenggelam oleh bunyi letusan ribuan tembakan, ledakan
granat, siulan mortir yang serentak dan terus menerus, sehingga tidak
ada lagi yang mendengar bunyi sirene kapan berhentinya. Serangan ini
luar biasa dahsyatnya, petempuran pecah seantero kota disemua tangsi
dan pos dan markas-markas tentara Belanda. Serangan Umum 1 Maret
yang kemudian terkenal ini sudah dimulai.

Para pejuang menghantam Markas Brigade Tjiger, Markas Yon 1-15RI di


Benteng Vredeburg, Hotel Merdeka yang menjadi sarang perwira-perwira
Belanda. Sebagian pasukan juga menyerbu pos-pos Belanda yang
berada disepanjang jalan Malioboro. Bahkan semakin semangatnya, satu
pasukan TNI dari sektor barat dibawah pimpinan Letnan Ajatiman
menyerbu jauh, sampai Lempuyangan. Begitu juga pasukan yang lain
menyerang Benteng Vredeburg. Benteng Vredeburg diobrak-abrik
sehingga tentara Belanda lari kearah Kotabaru. Beberapa pasukan TNI
juga menekan tentara Belanda yang bermarkas di daerah Tugu,
sehingga mereka terkepung, hanya bisa bertahan didalam markas
masing-masing. (Ventje Sumual. 2009)

Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan dalam jumlah besar,
dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan

138
dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang oleh besar-besaran -
Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, dapat dilakukan pergerakan
bantuan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik,
& sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00. (Ki Hermawan Poerbocarito,
2016).

Setelah serangan itu,


TNI dan gerilyawan
memenuhi hampir
kesemua jalan-jalan
raya dipusat kota Jogja,
terlebih disepanjang
jalan Mlaioboro dan
daerah Tugu. Tentara
Belanda sebagian besar
sudah mundur keluar
kota. Pekik “ Merdeka!”
terdengar dimana-
mana. Beberapa bendera Belanda yang sudah sempat dinaikkan
dikantor-kantor resmi milik Belanda diturunkan dan diganti dengan
merah putih atau merobek bagian birunya oleh para pejuang. Melihat
kenyataan ini, tentara Belanda itu lebih mementingkan nyawanya
masing-masing daripada kewajiban menaikan dan mempertahankan
bendera yang merupakan eksitensi kekuasaan negaranya.

Sepanjang pagi hingga siang, TNI dan gerilyawan menguasai kota Jogja.
Memang serangan umum ini tidak dimaksudkan untuk masuk dan
menduduki markas-markas Belanda, kecuali di Benteng Vredeburg,
Pabrik Anem, dan beberapa pos yang kuasai sepenuhnya oleh para
pejuang. Pasukan Belanda yang berada ditempat-tempat tersebut sudah
lebih dulu melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka.

Belanda di Jogja shock!.


Tentaranya terdesak
dimana-mana, walau
sudah mengerahkan
seluruh mesin-mesin
perangnya di Jogja. Mereka
meminta bantuan pasukan
dari kota-kota disekitar
Jogja, dan ini bisa karena
TNI di daerah lain tidak
diperintahkan oleh pucuk
pimpinan untuk untuk
mengikat kedudukan tentara Belanda diwilayahnya masing-masing.
Barangkali kalau serangan umum ini serentak juga terhadap kota-kota

139
disekitar Yogyakarta, apalagi seluruh Jawa Tengah, mungkin sejarah
akan mencatat lain. Tentara Belanda pasti bisa langsung dihabisi dan
merebut kota jogja pada waktu itu juga. (Ventje Sumual. 2009)

Peran keraton dalam serangan umum ini tampak pada beberapa laporan
Belanda yang mengatakan bahwa pasukan Republik berpusat di
lingkungan Keraton. Dalam buku yang ditulis Elson mengatakan
beberapa orang bahkan melepaskan tembakan dari pucuk pohon di
dalam keraton.

Belanda juga melaporkan, pengejaran yang dilakukan terhadap para


pejuang Republik berpusat di lingkungan keraton. Beberapa orang
bahkan melepaskan tembakan dari pucuk pohon dalam keraton. Mereka
juga melaporkan, upaya pengejaran para pejuang Republik terhenti saat
para pejuang itu menghilang di lingkungan keraton.

Berdasarkan bukti-bukti ini, bagi Elson dan lebih dapat diterima oleh
akal bila menganggap Sultan-lah sebagai penggagas Serangan Umum 1
Maret. Baginya, sangat tidak mungkin ide serangan ini dilontarkan oleh
Soeharto yang saat itu masih terhitung sebagai perwira junior dengan
pengalaman terbatas.

Aspek diplomatis dari tujuan penyerangan ini tentunya lebih mungkin


dihasilkan dari pemikirian seseorang yang memiliki wawasan luas,
memahami sisi lain dari politik, serta kegiatan militer, seperti yang
dimiliki oleh Sultan Hamengkubuwono IX.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto menyatakan bahwa penyusupan


ke keraton itu dilakukan sebelum dilangsungkannya Serangan Umum 1
Maret. Menurutnya, penyamaran yang ia lakukan ke dalam keraton
dilakukan pada Mei 1949, yaitu untuk membicarakan masalah
penyerahan kekuasaan oleh Belanda.

140
Pengunduran dan Masuknya Bantuan Tentara Belanda
Setelah melakukan pengintaian dengan pesawat Auster, Kolonel Van
Zanten, Komandan Brigade tentara Belanda di Magelang, mengirimkan
2 batalyon andalannya. Batalyon “Andjing Nica” dan Batalyon “Gadjah
Merah”. Sekitar jam 11.00 mereka sudah tiba di Jogja, tapi itupun harus
mengalami hambatan dan
penghadangan oleh
pasukan-pasukan TNI,
antaranya Kompi Martono.
Sesudah jam 11.00 situasi
mulai berubah. Terutama
karena pasukan-pasukan
TNI dan para pejuang
lainnya sesuai rencana
operasi sudah mundur ke
pangkalan masing-masing.
Tembakan-tembakan yang
dilepaskan oleh para
pejuang hanya sebagai
penghambatan.

Bala bantuan tentara Belanda sudah berdatangan dengan tank, panser,


bahkan hujan peluru dari pesawat udara. Sejumlah mobil yang
dilengkapi dengan senapan mesin mengejar gerilyawan disetiap ruas
jalan. Pertempuran dari lorong ke lorong, jalan ke jalan berlanjut.

Namun sebagian besar


para pejuang telah
mengundurkan diri ke
arah selatan lebih
dulu, karena jalan
yang ke barat sudah
diblokade dan
dipenuhi pasukan
Belanda. dengan
tentara Belanda yang
sudah menguasai
kota. (Ventje Sumual.
2009)

****

141
D. DAMPAK SERANGAN UMUM 1 MARET 1949

1. Reaksi Dunia Internasional

Akibat Agresi Militer Belanda II, timbullah reaksi dari negara-negara


Asia. Mereka mengutuk Belanda dan mendukung Indonesia. Atas
prakarsa Burma (Myanmar) dan India, terselenggaralah Konferensi
Asia di New Delhi – India, pada tanggal 23 Januari 1949, yang
dihadiri oleh beberapa negara Asia, Afrika, dan Australia. Konfrensi
tersebut menghasilkan resolusi mengenai Indonesia yang kemudian
disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.
Isi resolusi itu antara lain :
a. Pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Pembentukan pemerintahan sementara yang mempunyai
kemerdekaan dalam politik luar negeri sebelum tanggal 15 Maret
1949.
c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia.
d. Pnyerahan kedaulatan kepada pemerintahan Indonesia Serikat
paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
(K. Wardiatmoko, 2012)

Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949; dimana pasukan TNI


menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah di bawah
komando Letnan Kolonel Soeharto, berhasil merebut kembali
Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, dan menjadi unjuk
kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka
di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI
sudah diberantas.

Serangan ini diliput oleh


media massa dan
disiarkan keseluruh
dunia sehingga serangan
umum yang dilakukan
TNI dan rakyat pada
tanggal 1 Maret 1949,
telah membuka mata
dunia tentang
keberadaan Indonesia
yang sebenarnya. Agresi
Mliter Belanda II ini
langsung menuai
kecaman keras dari luar
negeri yang sebelumnya tidak diduga oleh mereka. Kecaman tersebut
salah satunya datang dari Amerika Serikat, yang menunjukkan

142
simpatinya kepada Indonesia dengan memberikan beberapa
pernyataan.

Berikut pernyataan Amerika Serikat kepada Belanda :


1. Jika Belanda masih saja melakukan tindakan militer terhadap
bangsa Indonesia, Amerika Serikat akan menghentikan segala
bantuan yang diberikan pada pemerintah Belanda.
2. Mendorong Belanda untuk menarik pasukannya berada di
belakang garis status quo renville.
3. Mendorong dibebaskannya pemimpin Bangsa Indonesia oleh
Belanda.
4. Mendesak agar Belanda dibuka kembali sebuah perundingan yang
jujur berdasarkan perjanjian Renville.
(Adara Primadia & tbnnewsWIKI/Widi Hermawan,2019)

Pernyataan Amerika Serikat ini untuk mendesak Belanda menarik


mundur pasukannya dari wilayah RI (dengan ancaman menghentikan
bantuannya). Tindakan Amerika Serikat ini dengan melihat dan
memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai
pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan
Renville dengan melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan
pemerintah Indonesia pada penumpasan pemberontakan komunis di
Madiun 1948 yang menambah simpatik pihak Amerika (yang anti-
komunis) terhadap Indonesia. Ditambah dengan penyalahgunaan
alokasi dana setelah Perang Dunia II yang seharusnya digunakan
Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk
menyerang negara lain. (Glenn Ardi, 2015)

Dewan Keamanan PBB juga mengeluarkan Resolusi yang intinya


mendesak Belanda untuk menghentikan operasi militer dan
membebaskan para pemimpin Indonesia. Menanggapi resolusi yang

143
dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB tersebut, Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dpimpin oleh Mr.
Syafrudin Prawiranegara, menyatakan bersedia untuk
melaksanakan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
e. Belanda harus menarik
pasukannya ke
kedudukannya semula.
f. Belanda harus menarik
semua tentaranya dari
wilayah Republik Indonesia.
g. Semua tahanan politik harus
dibebaskan oleh Belanda.
h. Pngakuan se facto atas
Sumetera, Jawa dan Madura.
i. Pembentukan pemerintahan
tanpa perantaraan Belanda.

Walaupun tindakan Belanda dalam melancarkan agresi militernya


yang kedua, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa RI beserta
TNI-nya secara de facto tidak ada lagi. Namun tujuan Belanda itu
dapat digagalkan oleh perjuangan diplomasi. Para pejuang diplomasi
antara lain L.N. Palar, Sujatmoko, Sumitro, dan Sudarpo yang
berkeliling di luar negeri. Tindakan yang dilakukan dalam perjuangan
diplomasi antara lain sebagai berikut:
1. Menunjukkan pada dunia internasional bahwa agresi militer
Belanda merupakan bentuk tindakan melanggar perjanjian damai
(hasil Perundingan Renville).
2. Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap,
mentaati hasil Perundingan Renville dan penghargaan terhadap
KTN.
3. Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih
berlangsungnya pemerintahan melalui PDRI dan keberhasilan TNI
menguasau Yogyakarta selama 6 jam (Serangan Oemoem 1 Maret).

Kerja keras perjuangan


diplomasi mampu
mengundang simpati
internasional terhadap
Indonesia.

Desakan yang gencar dari


dunia internasional
akhirnya dapat membuat
Belanda mengakhiri
militernya kedua.

144
2. Pembentukan UNCI

Karena semakin meningkatnya


tekanan dari PBB, yang
berawal dari serangan yang
dilakukan dari pihak Belanda
kepada Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan,
dimana Belanda kerapkali
melanggar perjanjian yang
telah dibuat sehingga
menimbulkan reaksi
internasional yang mengecam
tindakan Belanda tersebut.

Agresi Militer Belanda II terhadap Ibukota RI berhasil menahan


pemimpin RI, dan kemudian menyebarkan propaganda bahwa TNI
telah hancur dikalahkan oleh pasukan mereka. Propaganda ini
memicu kecaman dari berbagai pihak khususnya masyarakat
Indonesia yang terus berjuang untuk dapat mempertahankan
kemerdekaanya.. Bahkan, dunia internasional seperti Amerika turut
mengecam aksi Belanda kala itu. Karena situasi semakin memanas
tekanan dari luar negeri ini membuat Dewan PBB memandang perlu
untuk dilakukan genjatan senjata dan membawa masalah Indonesia
dan Belanda ke meja perundingan.

Untuk menyelesaikan
penyelesaian konflik ini
maka DK PBB
membentuklah UNCI
(Komisi PBB untuk
Indonesia) atau Komisi
PBB untuk Indonesia
sebagai upaya KTN. KTT
UNCI memiliki kelebihan
yang lebih besar
daripada KTN. UNCI
berhak mengambil
keputusan yang
mengikat atas suara
disetujui. UNCI memiliki tugas dan kewajiban sebagai berikut:
1. Anggota untuk DK PBB dan pihak-pihak yang bersengketa
(Indonesia dan Belanda).
2. Membantu mereka yang mengambil keputusan dan melaksanakan
resolusi DK PBB.

145
3. Mengajukan saran ke DK PBB tentang cara-cara yang dianggap
terbaik untuk memindahkan kekuasaan di Indonesia
berkelanjutan dengan tenteram.
4. Membantu memulihkan pemerintahan pemerintah RI dengan
segera.
5. Mengajukan rekomendasi ke DK PBB tentang bantuan yang dapat
diberikan untuk membantu ekonomi penduduk di daerah-daerah
yang dikembalikan kepada RI.
6. Memberi saran tentang penggunaan tentara Belanda di daerah-
daerah yang diperlukan perlu ketenteraman rakyat.
7. Mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia
mengadakan pemilihan.

Ketika Presiden, Wakil Presiden dan Pembesar Republik ditawan


Belanda di Bangka, delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg)
melaporkan hal tersebut dan mengadakan perundingan. UNCI
mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik, Belanda dan BFO
telah menyetujui persetujuan tentang akan diselenggarakannya KMB.
UNCI juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Sementara peran
itu juga tampak sampai penyerahan dan pemulihan pemerintahan RI
di Indonesia.(Budi Setiyono, 2018)

3. Pelaksanaan Perjanjian Roem-Royen

Perundingan antara Indonesia


dan Belanda ini dimulai pada
tanggal 14 April 1948 di Hotel
Des Indes Batavia (Jakarta).
Dalam perundingan ini, pihak
Indonesia yang diwakili
oleh Mohammad Roem dan
beberapa anggota seperti Ali
Sastro Amijoyo, Dr. Leimena,
Ir. Juanda, Prof. Supomo,
dan Latuharhary. Sedangkan
dari pihak Belanda diwakili
oleh Dr. J. Herman van Royen
dengan anggotanya seperti
Blom, Jacob, dr. Van, dr. Gede, Dr. P. J. Koets, Van
Hoogstratendan dan Dr. Gieben. Sementara dari pihak penengah
yaitu UNCI (United Nations Comission for Indonesia) yang dipimpin
oleh Merle Cochran yang berasal dari Amerika Serikat.

Kemudian perundingan dengan Indonesia lebih diperkuat


dengan hadirnya Drs. Moh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX. Perundingan yang berjalan dengan alot ini baru selesai pada
tanggal 7 Mei 1949 yang bertempat di Hotel Des Indes, Jakarta.

146
Perjanjian ini mulai ditandatangani dan nama dari perjanjian ini
kemudian diputuskan diambil dari nama kedua pemimpin delegasi
dari dua belah pihak, yaitu Mohammad Roem dari pihak Indonesia
dan Herman van Royen dari pihak Belanda, maka dijadikanlan
perundingan ini bernama Perjanjian Roem Royen.

Akhirnya pada tanggal 7


Mei 1949 dicapai
persetujuan, kemudian
dibacakan kesanggupan
kedua belah pihak
untuk disetujui Dewan
Keamanan PBB
tertanggal 28 Januari
1949 dan disetujuinya
pada tanggal 23 Maret
1949. Pernyataan
Pemerintah Republik
Indonesia dibacakan
oleh Ketua Delegasi Indonesia, Moh Roem, yang dibagikan lain:
1. Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah
penghentian perang gerilya.
2. Bekerja sama dalam hal persetujuan perdamaian dan menjaga
keamanan serta ketetiban.
3. Turut dan dalam KMB yang ditujukan untuk mempercepat
penyerahan kedaulatan yang lengkap dan tidak berhubungan
dengan negara Republik Indonesia Serikat.

Kemudian menerima delegasi


Belanda dibacakan oleh Dr. HJ
van Royen, yang berisi antara
lain :
1. sebuah Pemerintah Belanda
menyetujui bahwa Republik
Indonesia harus bebas dan
menerima pembayaran dalam
bahasa Indonesia Yogyakarta
2. Pemerintah Belanda
membebaskan para
pemimpin Republik Indonesia
dan pemimpin politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember
1948.
3. Republik Indonesia akan menjadi bagian dan Republik Indonesia
Serikat (RIS)
4. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan digelar di Den Haag setelah
Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yoyakarta.

147
Dengan tercapainya kesepakatan
dalam prinsip-prinsip Roem-
Royen, Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatera
menerima Sri Sultan
Hamengkubuwono IX untuk
mengambil alih pemerintahan
Yogyakarta dan pihak Belanda.

Perjanjian Roem Royem ini


merupakan perjanjian yang
sangat penting bagi masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan karena
dalam perjanjian tersebut termuat beragam isi yang mendukung bagi
pihak Indonesia untuk Merdeka. Pihak PBB telah setuju dan
mengakui bahwa Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang
berdaulat.

Oleh karena itu di dalam perjanjian Roem Royem ini pihak Indonesia
mendapat banyak sekali keuntungan di dalamnya, salah satunya
adalah Indonesia mendapat kedaulatan seutuhnya. Disini Belanda
harus menyerahkan kedaulatan Indonesia tanpa syarat apapun.

Dengan keputusan tersebut maka Indonesia secara resmi mendapat


kedaulatan yang penuh, bebas melakukan pemerintahan, dan tidak
ada tekanan lagi dari pihak Belanda. Sehingga Indonesia bisa
berbenah kembali pasca Agresi Militer Belanda II yang hampir
membuat Negara Indonesia hancur lebur.

****

148
BAB IV

PENGAKUAN KEDAULATAN INDONESIA

Setelah sekian lama berjuang melawan penjajah dari Belanda, Indonesia


pertama kali diakui sebagai negara yang berdaulat adalah saat Perjanjian
Roem Royen dibuat. Hal tersebut menjadi keuntungan yang sangat besar
bagi Indonesia, dimana Indonesia bisa menunjukkan bahwa Indonesia bisa
berdiri dan memerintah secara penuh di negaranya sendiri.

Banyak dari anggota PBB yang juga sudah mulai memberi perhatian khusus
untuk Indonesia, bantuan mulai berdatangan dari pihak manapun untuk
membuat Indonesia kembali memiliki sistem pemerintahan yang baik dan
berdaulat. Masyarakat juga mulai percaya
dengan sistem pemerintahan yang ada
waktu itu.

Kepercayaan Indonesia ini semakin


memuncak karena dalam Konferensi Meja
Bundar (KMB) nantinya Negara Indonesia
pasti memiliki keuntungan yang besar, hal
ini disebabkan oleh adanya Perjanjian
Roem Royen yang telah membuat Indonesia
sendiri semakin percaya diri dalam
membangun negara yang berdaulat secara
penuh tanpa campur tangan oleh negara
lainnya.

A. PASUKAN GERILYA TNI TURUN GUNUNG.

Pada tanggal 22 Juni 1949,


diadakan perundingan segi
tiga antara Republik
Indonesia, BFO, dan Belanda
di bawah pengawasan komisi
PBB yang dipimpin oleh
Christchley, yang
menghasilkan tiga
keputusan, yaitu:
 Pengembalian Pemerintah
RepubIik Indonesia ke

149
Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949.
 Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah
Pemerintah Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1
Juli 1949.
 KMB akan dilaksanakan di Den Haag.

Oleh karena itu, pada


tanggal 1 Juli 1949
Pemerintah Republik
Indonesia kembali ke
Yogyakarta, bersamaan
dengan penarikan
pasukan Belanda.
Soekarno lalu
memerintahkan
Soedirman untuk
kembali ke Yogyakarta,
tetapi Soedirman
menolak untuk
membiarkan Belanda
menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat
itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun
ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta,
Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang
menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju
untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang
pengirimnya masih diperdebatkan.

Pihak Angkatan Perang (TNI) melalui Panglima Besar Jenderal


Sudirman mendukung proses politik yang sedang dilakukan oleh
pemerintah, dan menginstruksikan kepada seluruh Komando Kesatuan
agar tidak meinikirkan masalah perundingan. Untuk mempertegas
amanat Panglima Besar itu Panglima Tentara dan Teritonium Jawa
Kolonel AH Nasution dapat ditelusuri untuk meminta komando untuk
kepentingan politik dan kepentingan militer.

Pemerintah PDRI kecewa sebab telah terjadi kesepakatan perjanjian


Roem-Royen yang dianggap akan melemahkan wibawa Indonesia
padahal kedudukan Indonesia telah kuat sehingga mampu menuntut
lebih banyak kepada Belanda.

Karena kekecewaan para pemimpin PDRI maka melakukan pertemuan


pada tanggal 13 Juli 1949 dengan pimpinan Indonesia yang di tawan di
Bangka. Hasil pertemuan itu antara lain :
– PDRI menyerahkan keputusan mengenai hasil perundingan Roem-Royen
kepada kabinet, Badan Pekerja KNIP, dan pimpinan TNI.

150
– Pada tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan
mandat secara resmi kepada Wakil Presiden Hatta.

Pemerintah PDRI kecewa sebab


telah terjadi kesepakatan
perjanjian Roem-Royen yang
dianggap akan melemahkan
wibawa Indonesia padahal
kedudukan Indonesia telah kuat
sehingga mampu menuntut lebih
banyak kepada Belanda.

Pada umumnya kalangan TNI tidak


mempercayai sepenuhnya hasil-
hasil perundingan, karena
pengalaman menghasilkan seperti
persetujuan Linggarjati dan Renville hasil perundingan selalu merugikan
perjuangan, dan selalu dilanggar oleh Belanda dengan melakukan dua
kali agresi militer ke wilayah Indonesia.

Sekalipun hasil perundingan itu ditanggapapi dengan perasaan curiga


namun Jenderal Sudirman taat untuk putusan politik pemerintah.
Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke
Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima
dengan hangat oleh para elit politik di sana. Wartawan Rosihan Anwar,
yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus
kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan
antar pemimpin tertinggi republik".

Setelah tercapainya
kesepakatan antara
Indonesia dan
Belanda dalam
Perjanjian Roem-
Royen, beribu-ribu
pasukan TNI dan
rakyat yang berjuang
diseluruh Indonesia
mulai turun gunung.
Di Yogyakarta,
hampir setiap hari di
awal bulan Juli 1949,
banyak pasukan TNI yang begerilya memasuki kota, dan puncaknya
mereka mengadakan deville dan apel pasukan yang dihadiri oleh
Panglima Besar Jenderal Sudirman serta jajaran petinggi TNI. Walaupun
dalam keadaan tubuh lemah dan hanya dibantu dengan tongkat,
Jenderal Sudirman kemudian berjalan menghampiri barisan pasukan,

151
dan menyapa satu-persatu anggota pasukan yang berbaris dengan rapi
bersama senjata mereka masing-masing.

Jenderal Sudirman saat itu


terlihat haru dan kagum
kepada seluruh pejuang yang
ada, yang selama ini telah
bahu-membahu
mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dengan
berani tanpa kenal takut.

Setelah Pemerintah Republik


Indonesia kembali ke
Yogyakarta, pada tanggal 13
Juli 1949, diadakan Sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan
itu Mr. Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada
Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet itu juga diputuskan
untuk mengangkat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Menteri
Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan. (Pustaka: Erlangga)

Pada awal Agustus, Jenderal


Sudirman menemui Presiden
Soekarno dan memintanya
untuk melanjutkan perang
gerilya; Jenderal Sudirman tidak
percaya bahwa Belanda akan
mematuhi Perjanjian Roem-
Royen, belajar dari kegagalan
perjanjian sebelumnya.
Soekarno tidak setuju, yang
menjadi pukulan bagi Sudirman.
Jenderal Sudirman
menyalahkan ketidak-
konsistenan pemerintah sebagai penyebab penyakit tuberkulosisnya dan
kematian Oerip Sumohardjo pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam
akan melakukan hal yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran
dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan, Soedirman tetap
menjabat, dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan
pada tanggal 11 Agustus 1949. (Wikipedia Indonesia)

****

152
B. KONFERENSI INTER-INDONESIA

Pertentangan mengenai konsep Negara Federal dan “Persekutuan”


Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau
menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri
setelah kemerdekaan.

Masalah yang berhubungan


dengan negara federal mulai
timbul ketika berdasarkan
perjanjian Linggajati,
Indonesia disepakati akan
berbentuk negara
serikat/federal dengan nama
Republik Indonesia Serikat
(RIS). RI menjadi bagian RIS.
Negara-negara federal lainnya
misalnya adalah negara
Pasundan, negara Madura,
Negara Indonesia Timur. BFO sendiri adalah badan musyawarah
negara-negara federal di luar RI yang dibentuk oleh Belanda. Awalnya,
BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan ini
makin bertindak netral, tidak lagi semata-mata memihak Belanda.
Prokontra tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga
menimbulkan pertentangan. (Kemendikbud, 2017)

Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang


ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris
yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi
Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan
untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari
berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para
politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan
begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar
bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak
oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menadi persoalan yang tidak
bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak
langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).

Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak


pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah
terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama
dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.
Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan

153
Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok
ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap
dipertahankan BFO.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara


dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap
terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II.

Untuk itu, demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara


delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak
31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan
di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia
Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip
dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi
pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia
di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar
di Den Haag. (Wikipedia Indonesia)

Konferensi Inter-Indonesia
merupakan tindak lanjut dari
Perjanjian Roem-Royen, dan
persiapan Pemerintah
Indonesia dalam menghadapi
Konferensi Meja Bundar
(KMB). Pemerintah kemudian
mengadakan pendekatan
dengan pihak BFO atau
Badan Musyawarah Negara
Federal dengan tujuan untuk
menciptakan satu front
menghadapi Belanda dalam
KMB.

Pembicaraan dalam konferensi itu hampir seluruhnya mengenai


masalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), terutama
mengenai tata susunan dan hak Pemerintah RIS disatu pihak dan hak
negara-negara bagian dipihak lain, serta bentuk kerjasama RIS dengan
Pemerintah Belanda dalam Perserikatan Uni, serta masalah kewajiban
RIS dan Belanda sehubungan dengan penyerahan kekuasaan.

Keputusan penting lainnya yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah


bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesiaa atas penyerahan
kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik atau ekonomi. (Nico Thamiend R,
2018)

******

154
C. KONFERENSI MEJA BUNDAR (KMB)

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan


kekerasan oleh Belanda berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat
kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia
kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan
masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan
Linggarjati dan perjanjian, Renville, dan semua perjanjian tersebut
selalu dilanggar oleh Belanda. Pada 28 Januari 1949, Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang
mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di
Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik.
Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan
penyelesaian damai antara dua pihak. (Wikipedia Indonesia)

Menyusul Perjanjian Roem-


Royen pada 6 Juli, yang secara
efektif ditetapkan oleh resolusi
Dewan
Keamanan, Mohammad
Roem mengatakan bahwa
Republik Indonesia, yang para
pemimpinnya masih
diasingkan di Bangka, bersedia
ikut serta dalam Konferensi
Meja Bundar untuk
mempercepat penyerahan
kedaulatan. Pemerintah
Indonesia, yang telah
diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara
di Yogyakarta pada 6 Juli 1949.

1. Pelaksanaan KMB

Realisasi dari perjanjian Roem-Royen adalah diselenggarakannya


Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi
tersebut berlangsung selama 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Dalam pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB) tersebut, Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta, delegasi Belanda dipimpin
oleh JH van Maarseveen, delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federal
Overleg) atau Badan Musyawarah Negara-negara Federal dipimpin
Sultan Hamid II, dan United Nations Security Council (Dewan
Keamanan PBB) diwakili oleh Chritchley. Sebagai penengah adalah
wakil dari UNCI, Critley R. Heremas dan Marle Cochran.

155
Konferensi Meja Bundar menghasilkan beberapa kesepakatan,
terutama terkait kedaulatan Indonesia. Sejumlah dokumen yang
dihasilkan di antaranya adalah Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan,
kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan
militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara
Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia
Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda.
Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan
perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih
kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia

Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah


kolonial Belanda dan status Papua Barat. (Wikipedia Indonesia)

Perundingan men
genai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda
berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak
menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai
apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh
Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi
Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang
menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer
terhadap Indonesia. (Wikipedia Indonesia)

Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk


Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar
sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi
memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju
untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia
Belanda. (Wikipedia Indonesia)

156
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan
pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa
Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak
lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak
memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya. Meskipun
opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat
kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat
meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati. (Wikipedia
Indonesia)

Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan


diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan
antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun
setelah penyerahan kedaulatan. (Wikipedia Indonesia)

3. Hasil KMB

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2


November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:
1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang
sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak
bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar
ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi
telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30
Desember 1949. (Wikipedia Indonesia)

157
3. Rancangan Piagam Penyerahan Kedaulatan.

Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut :


 Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari
pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat,
kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan
Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah
karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan
mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua
bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah
ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.[12][13][14][15]
 Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan
pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara
 Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia
Serikat.

Parlemen Belanda memperdebatkan kesepakatan tersebut, dan Majelis


Tinggi dan Rendah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh
mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya
mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat
yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal
14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik
Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

*****

158
D. PEMBENTUKAN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (RIS)

Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung di Den Haag Negeri Belanda


dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Hasilnya adalah
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Hasil KMB kemudian
diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi. KNIP yang bersidang pada
tanggal 6 Desember 1949 berhasil menerima KMB dengan 226 pro lawan
62 kontra. dan 31 anggota meningalkan sidang. Selanjutnya pada tanggal
15 Desember 1949 diadakan pemilihan presiden RIS dengan calon tunggal
Ir. Soekarno. Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden RIS pada 16 Desember
1949 dan keesokan harinya. tanggal 17 Desember 1949. presiden RIS
diambil sumpahnya. Pada tanggal 20 Desember 1949 Kabinet RIS yang
pertama di bawah pimpinan Drs. Mohammad Hatta selaku Perdana
Menteri dilantik o1eh presiden.

Akhirnya pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi RIS yang dipimpin o1eh
Drs. Mohammad Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangi "akte
penyerahan" kedaulatan dari Pemerintah Belanda .

Pada tanggal 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun Belanda


diadakan upacara penandatanganan naskah penyerahan
kedaulatan.bertempat di Ruang Tahta Amsterdam. Ratu Juliana , Perdana
Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AMJ A. Sassen
dan Ketua Delegasi RIS Drs. Mohammad Hatta bersama-sama
membubuhkan tandatangannya pada naskah penyerahan kedaulatan
kepada RIS. Pada waktu yang sama di Jakarta Sri Sultan Hamengku
Bowono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda AHJ. Lovink dalam suatu
upacara membubuhkan tandatangannya pada naskah penyerahan
kedaulatan. Dengan demikian secara formal Belanda mengakui

159
kemerdekaan Indonesia dan mengakui kedaulatan penuh Negara Indonesia
di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda dengan bentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS). Indonesia Serikat dibentuk seperti republik
federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan
persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal


yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah
sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005,
pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan de
facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi
di Jakarta, Perdana Menteri
Belanda Ben
Bot mengungkapkan
"penyesalan sedalam-dalamnya
atas semua penderitaan" yang
dialami rakyat Indonesia
selama empat tahun Revolusi
Nasional, meski ia tidak secara
resmi menyampaikan
permohonan maaf. Reaksi
Indonesia kepada posisi
Belanda umumnya
positif; Menteri Luar Negeri
Indonesia Hassan
Wirayuda mengatakan bahwa,
setelah pengakuan ini, "akan
lebih mudah untuk maju dan
memperkuat hubungan
bilateral antara dua negara".
Terkait utang Hindia Belanda,
Indonesia membayar sebanyak
kira-kira 4 miliar gulden dalam
kurun waktu 1950-1956
namun kemudian memutuskan
untuk tidak membayar sisanya.
(Wikipedia Indonesia)

1. Negara-Negara Bagian RIS

Republik Indonesia Serikat terdiri atas 16 negara bagian dengan


masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang
berbeda. Negara Bagian adalah sebuah negara yang kedaulatannya
diakui secara de-facto namun berada di bawah negara lain. Artinya
negara tersebut hanyalah negara palsu yang dikendalikan untuk
mendapatkan keuntungan tertentu. Seperti yang dilakukan oleh
Belanda setelah Jepang kalah dan keluar dari Indonesia. Belanda

160
melakukan segala cara untuk kembali menguasai semua kawasan
Indonesia dengan bantuan tentara sekutu. untuk mencapai maksud
tersebut, Belanda membuat Negara-negara „boneka‟ dengan tujuan
utama memecah belah. Belanda membuat negara boneka ini menjadi
negara baru hingga harus membantu mereka dalam perang. Artinya
akan ada pertempuran saudara antara pejuang Indonesia dan pejuang
negara boneka yang pro Belanda.

Adapun ke 16 Belas negara bagian RIS terbagi sebagai berikut :


1.) Negara Bagian:
a. Negara Republik Indonesia
b. Negara Indonesia Timur
c. Negara Pasundan
d. Negara Jawa Timur
e. Negara Madura
f. Negara Sumatera Timur
g. Negara Sumatera Selatan

2.) Negara Satuan yang Berdiri Sendiri


a. Jawa Tengah
b. Belitung
c. Kalimantan Barat
d. Daerah Banjar
e. Kalimantan Timur
f. Bangka
g. Riau
h. Dayak Besar
i. Kalimantan Tenggara

161
a. Negara Indonesia Timur (1946-1950)

Negara Indonesia Timur adalah


sebuah negara boneka pertama
yang dibentuk oleh Belanda.
Pembentukan ini didasarkan
pada Konferensi Malino dan
Konferensi Denpasar. Akhirnya
diputuskan jika wilayah Negara
Indonesia Timur meliputi
wilayah Sulawesi, Sunda Kecil
(Nusa Tenggara), dan
Kepulauan Maluku. Secara resmi Negara Indonesia Timur
diresmikan pada Desember 1946 dengan presiden bernama
Tjokorda Gde Raka Soekawati.

Awalnya negara ini loyal dengan Belanda karena mendapatkan


asupan dana dari mereka. Namun lambat laun keloyalan ini lenyap
setelah Belanda melakukan Agresi Militer ke-II. Kabinet Negara
Indonesia Timur melakukan protes besar. Akhirnya melalui perdana
menterinya yang bernama Ide Anak Agung Gde Agung melakukan
lobi untuk bergabung dengan Indonesia pada tahun 1949. Akhirnya
pada 17 Agustus 1950 Negara Indonesia Timur menjadi bagian
NKRI. (Adi Nugroho,2018)

b. Negara Sumatra Timur (1947-1950)

Negara Sumatra Timur adalah negara boneka yang dibentuk Belanda


untuk melindungi ladang minyak, kebun karet, dan tembakau. Jika
mereka ingin menjajah lagi maka dibutuhkan dana yang cukup
banyak. Itulah mengapa Belanda sebisa mungkin memengaruhi
bangsawan dan penduduk kaya di sana untuk membentuk negara
baru. Akhirnya setelah dilakukan perundingan sebuah Negara
Sumatra Timur terbentuk dengan Presidennya Tengku Mansur.

Pembentukan Negara Sumatera Timur. Pembentukan NST ini


mendapatkan pro dan kontra. Pihak pro menganggap pembentukan
negara ini akan melindungi mereka dari gerakan anti kemapanan.
Sedangkan pihak kontra tidak menginginkan kembali di bawah
kekuasaan Belanda. Akhirnya selama tiga tahun negara ini berjalan
dengan banyak sekali tekanan. Setelah Konferensi Meja Bundar usai
NST diwakilkan presidennya setuju dan bergabung dengan
Indonesia. Akhirnya pada 15 Agustus terbentuklah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (Adi Nugroho,2018)

162
c. Negara Sumatra Selatan (1948-1950)

Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda melancarkan sebuah


serangan di seluruh daerah di Sumatra Selatan. Serangan ini
dinamai dengan Agresi Militer ke-I yang mengakibatkan banyak
daerah runtuh. Akibat agresi ini banyak wilayah di Sumatra Selatan
yang dikuasai oleh Belanda hingga dibentuklah sebuah negara
boneka bernama Negara Sumatra Selatan dengan pimpinannya
bernama Abdul Malik.

Belanda membentuk negara ini untuk melindungi sumber daya alam


yang ada di sini. Mereka ingin mengeruk semua keuntungan dari
Negara Sumatra Selatan dengan membuat mereka sebagai sekutu.
Eksistensi Negara Sumatra Selatan akhirnya berakhir pada 1950
setelah NKRI terbentuk. Negara Sumatra Selatan akhirnya
memutuskan untuk bergabung dan menjadi salah satu provinsi di
Indonesia. (Adi Nugroho,2018)

d. Negara Jawa Timur (1948-1950)

Pembentukan Negara Jawa Timur adalah buntut panjang Serangan


10 November 1945 yang dilakukan oleh arek-arek Surabaya.
Akhirnya membentuk sebuah negara boneka bernama Negara Jawa
Timur dengan pemimpinnya bernama R.T.P Achmad
Kusumonegoro. Akhirnya Jawa Timur benar-benar dikuasai oleh
Belanda hingga pemerintahan Provinsi harus dipindah ke beberapa
kota.

Belanda beberapa kali melakukan Agresi Militer di Jawa Timur pada


tahun 1948. Salah satunya dilakukan di Blitar yang saat itu masih
digunakan sebagai tempat pemerintahan darurat. Agresi ini akhirnya
berakhir setelah terjadi kesepakatan pada persetujuan Roem-Royen
di tahun 1949. Saat Konferensi Meja Bundar memberikan Indonesia
kedaulatan, Negara Jawa Timur bergabung dalam NKRI.

e. Negara Pasundan (1949-1950)

Berbeda dengan negara bagian lainnya. Negara Pasundan adalah


negara yang dibentuk secara politik untuk membela Indonesia.
Belanda memang membentuknya, bahkan memberikan fasilitas
pemilihan pemimpin Negara Pasundan. Saat itu Wiranataskusuma
sangat pro republik hingga kemenangannya atas Negara Pasundan
adalah kemenangan Indonesia. Wiranatakusumah berjuang menjadi
presiden Negara Pasundan agar Jawa Barat tetap jadi bagian dari
Indonesia.

163
Negara Pasundan. Saat agresi militer Belanda dilancarkan Negara
Pasundan kian lemah. Apalagi
saat peristiwa Angakatan Perang
Ratu Adil yang dipimpin oleh
Westerling. Presiden Negara
Pasundan akhirnya
menyerahkan mandatnya
kepada parlemen. Akhirnya
pada 8 Maret di rumah presiden
diputuskan jika Negara
Pasundan resmi bubar dan
kembali bersatu dengan
Republik Indonesia.

f. Negara Madura (1948-1950)

Negara Madura adalah sebuah negara yang


dibentuk oleh Belanda atas perintah Van der
Plas. Negara ini hanyalah rekayasa saja agar
wilayah Jawa Timur mudah ditaklukkan.
Wilayah negara ini meliputi Pulau Madura
dan juga pulau kecil di sekitarnya. Negara
Madura dibentuk melalui pemungutan suara
„palsu‟ karena Belanda melakukan intimidasi
kepada semua pihak. Akhirnya 20 Februari
1949, Negara Madura terbentuk dengan
R.A.A Tjakraningrat sebagai pemimpinnya.

Negara ini sepenuhnya mendapatkan


sokongan dana dari Belanda. Itulah mengapa
saat dukungan Belanda menipis negara ini tak bisa apa-apa. Negara
Madura terus mendapatkan tekanan dari pihak pro-republik.
Akhirnya pada 19 Maret 1950 pemerintah Negara Madura
memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia. Dan akhirnya
menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur.

Itulah enam negara bagian yang menjadi negara boneka yang dibentuk
Belanda saat Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan. Niat
Belanda dalam memecah belah Indonesia tidak akan pernah berhasil.
Karena setelah proklamasi, seluruh masyarakat Indonesia akan
berjuang mempertahankannya. Semoga hingga sekarang.

****

164
E. PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN RIS

Pada masa RIS tidak sedikit kesukaran yang dihadapi oleh pemerintah
dan rakyat. Sebagai suatu negara yang baru diakui kedaulatannya ,
Indonesia harus menghadapi rongrongan dari dalam yang dilakukan oleh
beberapa golongan yang mendapat dukungan dan bantuan dari pihak
Belanda atau mereka yang takut akan kehilangan hak-haknya bila
Belanda meninggalkan Indonesia.

Setelah terbentuklah Republik


Indonesia Serikat (RIS) yang
terdiri dari 16 negara bagian.
Pemerintah pusat dapat
memerintahkan setiap
warganegaranya secara
langsung dalam hal-hal yang
menjadi tugasnya, khususnya
mengatur hal-hal yang bersifat
umum seperti peranan dan
urusan luar negeri. Sedangkan
negara bagian berhak
membuat undang-undang
dasar sendiri. Namun dalam
Menjalankan pemerintahannya, Perdana Menteri Muhammad Hatta
diperhadapkan pada tuntutan sebagian besar rakyat untuk kembali
kebentuk Negara Kesatuan.

RIS yang berbentuk federal, tidak disenangi oleh sebagian besar rakyat.
Hal ini disebabkan bahwa sejak semula sistem federal digunakan oleh
Belanda sebagai muslihat menghancurkan negara Republik Indonesia
hasil Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Disamping itu,
konstitusi federal dianggap hanya menimbulkan perpecahan. Hal inilah
yang mendorong keinginan rakyat untuk mebubarkan RIS.

1. Dampak dari Perjanjian KMB Dalam tubuh Militer

Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara


golongan Federalis yang menginginkan bentuk negara Indonesia
memakai sistem Negara Federal dan golongan Unitaris yang
menginginkan bentuk negara Indonesia memakai sistem Negara
Kesatuan, makin lama makin mengarah pada konflik terbuka yang
berimbas pada bidang militer.

Ketika pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh


pemerintah Belanda, yang sehari sebelumnya, semua personal eks
KNIL diberhentikan. Dalam acara tersebut, Jenderal van Vreden

165
kelahiran Surakarta menyampaikan pidato dalam dua bahasa. Intinya
adalah soal pembubaran Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau
Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL). “Seperti telah
saya kataken dalam pidato
radio saya, kepada semua
militer KNIL, saya yakin, di
mana pun tuan-tuan berada
dalam pekerjaan selanjutnya.
Tuan-tuan memperlihatken di
sana sifat-sifat baik yang
sama itu,” kata Buurman van
Vreden.

Walau begitu terdapat 4000


pasukan eks KNIL pembangkang yang pro RMS bentukan Dr. Ch.
Soumokil yang masih berada di bawah tanggung jawab militer
Belanda. Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di
wilayah Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya,
tidak ada pilihan, yakni mengangkut mereka ke Negeri Belanda,
dengan biaya satu juta gulden untuk setiap kapal. Untuk itu, oleh
pemerintah Belanda yang tidak mendukung ataupun mengakui RMS
menekan delegasi Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan
tidak dibenarkan dikembalikan ke Ambon . Sebagai hasilnya pada
bulan Maret dan April 1951, prajurit-prajurit eks KNIL di berangkatan
ke Negeri Belanda. ( De Zuid Molluksi Republiek, 1977).

Dengan terbentuknya RIS, secara


otomatis juga dilakukan
pembenahan dalam tubuh
militer. Dibentuknya APRIS atau
Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat ternyata
menjadi permasalahan tersendiri
dalam tubuh militer.
Pembentukan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat
(APRIS) telah menimbulkan
masalah psikologis. Salah satu
ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS
diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan
anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama
dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL
menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan
mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik
Abdullah dan AB Lapian,2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan
pasukan KNIL Andi Aziz serta RMS yang melakukan pemberontakan
adalah cermin dari pertentangan ini.

166
Hal ini disebabkan karena
anggota KNIL dan TNI serta
badan perjuangan lainnya,
harus bergabung menjadi
satu pada APRIS. Kondisi
tersebut pastinya sulit
khususnya bagi para
anggota KNIL maupun TNI.
Di antara anggota
pasukan Koninklijk
Nederlands-Indische
Leger (KNIL) banyak yang
tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Ringkasnya mereka tidak suka dengan terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang pada waktu itu bernama RIS. Apalagi KNIL
harus bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bagi TNI
sebagai pejuang kemerdekaan yang setia tentu saja agak sulit
menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung
dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam
pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan.

Kecemburuan KNIL
terhadap TNI semakin
menjadi setelah diputuskan
bahwa pimpinan APRIS
harus berasal dari TNI. Hal
ini diperparah dengan
sambutan rakyat yang lebih
simpatik terhadap
keberadaan TNI. Pada titik
inilah, kaum reaksioner
yang subversif
memanfaatkan situasi
untuk terus menyebar hasutan guna merongrong pemerintah
Indonesia.

2. Tuntutan Rakyat Untuk Kembali Ke NKRI.

Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan,


pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal
ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin
dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan
rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI

167
Kondisi politik Indonesia
pasca-pengakuan kedaulatan
oleh Belanda pada 1949
memang belum sepenuhnya
stabil. Kabinet yang dibentuk
silih berganti karena
munculnya berbagai konflik
politik. Kondisi ini diperparah
adanya sejumlah pejabat yang
melakukan korupsi dan
tindakan yang merugikan
negara. Keadaan itu membuat
rakyat merasa geram dan menginginkan percepatan pemilihan umum
untuk mengganti anggota parlemen. Ketika itu memang banyak dari
anggota militer yang menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah
militer, mereka memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal
inilah yang membuat petinggi TNI saat itu, Abdul Haris Nasution
untuk bisa merasionalisasi tentara dan mengurangi jumlahnya.

Memasuki Juni 1950, ketika harga minyak dan karet melonjak


Perang Korea, Indonesia sebagai penghasil minyak ikut menikmati
kenaikan itu, sehingga mendongkrak dan membuat anggaran belanja
pemerintah tahun 1951 surplus. Namun disisi lain nafsu mengimport
barang-barang lain yang mengurus devisa dari luar negeri mendadak
naik, diikuti kenaikan upah dan harga yang membuat inflasi.
Ditambah lagi utang Indonesia yang harus dibayarkan sesuai dengan
Perjanjian KMB, sangat memberatkan ekonomi indonesia.

Hal inilah yang menyebabkan keadaan politik dan ekonomi Indonesia


semakin kacau, Timbulnya beberapa pergolakan di daerah akibat
adanya demonstrasi rakyat dinegara-negara bagian yang menuntut
dibubarkan RIS.

Sejak adanya peristiwa


pemberontakan APRA,
muncul berbagai macam
gerakan unitarisme di
seluruh wilayah Indonesia.
Pada tanggal 30 Januari
1950, R. A. A
Wiranatakusumah, Wakil
Negara Pasundan
mengundurkan diri dan pada
tanggal 8 Februari Perdana
menteri mengangkat Sewaka sebagai penggantinya dengan jabatan
komisaris RIS di Pasundan.

168
Gerakan unitarisme juga
meluas ke daerah-daerah
lain. Negara Jawa Timur
yang dibentuk oleh
Belanda dalam
Konferensi Bondowoso,
akhirnya dibubarkan
setelah dididesak oleh
rakyat. Selanjutnya,
Gubernur Jawa Timur,
Samadikoen, pada
tanggal 27 Februari
mengeluarkan suatu intruksi kepada segenap residen, bupati,
walikota serta aparat bawahannya dari bekas Negara Jawa Timur agar
menyerahkan pimpinan daerahnya masing-masing kepada pejabat
Republik Indonesia yang telah ditujuk sebelumnya. Tindakan tersebut
diambil oleh Gubernur untuk meredakan suasana panas di kalangan
rakyat yang menuntut dibubarkannya Negara Jawa Timur. Selain
Negara Jawa timur, Negara Madura juga ikut bergabung ke dalam
wilayah RI.

Di Sumatra Selatan, tuntutan hampir unitarisme juga muncul dan


mencapai puncaknya pada awal tahun 1950. Oleh karena itu, RIS
harus menerima pembubaran itu. Pada 24 Maret 1950, pemerintah
RIS meresmikan pembubaran Negara Sumatra Selatan dan daerahnya
dimasukkan ke lingkungan provinsi Sumatra Selatan di bawah RI.
Peristiwa unitarisme Sumatra Selatan kemudian disusul dengan
pembubaran Daerah Istimewa Bangka Belitung penyerahannya
dilaksanakan pada tanggal 23 April 1950.

Keadaan yang sama juga


terjadi di Negara bagian
Sumatera Timur,
tuntutan pembubaran
Negara boneka ini begitu
memuncak. Sehingga pada
tanggal 15 Agustus 1950,
diadakan Rapat
pembubaran Negara
Sumatera Timur.

Di Sulawesi Selatan, gerakan-gerakan menuju unitarisme


mendapatkan tantangan dari golongan federal yang ingin
mempertahankan Negara Indonesia Timur (NIT). Berbagai demonstrasi
yang menuntut pembubaran NIT terjadi di Ujungpandang, Gorontalo,
Poso, Donggala, Takalar, dan Jeneponto. Meskipun sempat muncul
peberontakan Andi Aziz, tetapi keinginan rakyat Sulawesi untuk

169
melepaskan diri dari NIT tidak kendor. Sebelum pemerintah RIS
dengan resmi membubarkan NIT, rakyat provinsi Sulawesi, Maluku,
dan Nusa Tenggara telah menyatakan melepaskan diri dari ikatan NIT
dan menggabungkan diri
dengan RI. Pernyataan tersebut
kemudian diwujudkan dalam
bentuk proklamasi yang
dikeluarkan di Polongbangkeng
pada tanggal 17 April 1950 dan
ditandatangai oleh
Makkaraeng Dg. Djarung yang
mengatasnamakan gubernur-
gubernur Provinsi Sulawesi,
Maluku dan Nusa Tenggara.

Tindakan Westerling di Jawa


Barat serta dugaan pengkhinatan Sultan Hamid II juga telah diprotes
oleh rakyat Kalimantan. Di daerah ini sejak awal 1950 telah terjadi
pergolokanan yang menuntut unitarisme. Pada pertengahan Januari
1950, dr. Murdjani selaku wakil Pemerintah RI
mengadakan kunjungan ke Kalimantan Timur
guna menyaksikan penggabungan daerah
tersebut ke dalam RI. Sementara itu, Dewan
Kalimantan Timur dalam sidangnya telah
mengambil suatu resolusi yang mendesak Dewan
Gabungan Kesultanan untuk menyerahkan
mandat secepatnya kepada RIS. Dalam resolusi
tersebut disepakati penggabungan daerah
Kalimantan Timur sebagai daerah otonomi
Negara Kesatuan.

Di Kalimantan Selatan juga terjadi pergolakan menuntut unitarise.


Penggabungan tersebut dilakukan setelah bubarnya Dewan Banjar.
Peristiwa penggabungan itu juga disaksikan oleh dr. Murdjani. Di
Kalimantan Barat, kondisinya sedikit berbeda dengan daerah lainnya.
Gerakan-gerakan rakyat yang menuntu unitarisme tidak berhasil.
Hambatan utamanya adalah karena yang dikirimkan ke Kalimantan
Barat sebagai wakil RIS adalah Mr. Indrakusuma, seorang tokoh
pendukung negara federal. Akibatnya, tuntutan rakyat hanya berhasil
membubarkan Dewan Istimewa, tetapi tidak berhasil menuntut
penggabungan. Faktor tersebut menyebabkan Kalimantan Barat
menjadi wilayah terakhir di Kalimantan yang bergabung ke NKRI.

170
Di Sulawesi Utara
terjadi peristiwa 3 Mei
1950 di Manado dan
Minahasa yang
dilakukan oleh anggota
KNIL yang pemuda pro
republik dengan
mengambil alih
komando militer dari
tangan pemerintah
Belanda, dan
menyatakan diri
bergabung dengan
Republik Indonesia.

Nusa Tenggara juga telah menyatakan melepaskan diri dari ikatan


NIT dan menggabungkan diri dengan RI. Pernyataan tersebut
kemudian diwujudkan dalam bentuk proklamasi yang dikeluarkan di
Polongbangkeng pada tanggal 17 April 1950 dan ditandatangai oleh
Makkaraeng Dg. Djarung yang mengatas namakan gubernur-gubernur
Provinsi Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.

Inilah beberapa peristiwa yang merupakan suatu gerakan atau upaya


untuk seluruh negara bagian RIS kembali bergabung menjadi satu
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

171
3. Pembubaran RIS Dan Kembali Ke NKRI.

Dengan melihat tuntutan rakyat serta pembubaran diri dari negara-


negara bagian RIS, maka pemerintah RIS dibawah kabinet Perdana
Menteri Muhammad Hatta berusaha memecahkan persoalan itu
melalui undang-undang dan ketetapan-ketetapan seperti yang
digariskan oleh Konstitusi RIS. Pemerintah maupun Parlemen RIS
tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan negara-negara
bagian. Dalam Pasal 43 dan 44 Konstitusi RIS disebutkan bahwa
peleburan negara-negara bagian dan penggabungan dengan negara
bagian lain harus berdasarkan aturan-aturan. Aturan-aturan itu
ditetapkan berdasarkan Undang Undang Federal dengan
memperhatikan kehendak rakyat, berdasarkan demokrasi. Oleh
karena itu, pada tanggal 20 Februari 1950 pemerintah mengusulkan
RUU kepada DPR RIS. RUU itu mengatur persoalan negara-negara
bagian dan daerah-daerah. Pada tanggal 8 Maret 1950, disahkan
Undang Undang Darurat sebagai dasar hukum bagi penggabungan
negara-negara bagian dan daerah-daerah dengan RI.

Pada tanggal 19 Mei 1950, di Jakarta berlangsung pertemuan antara


Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta dan Perdana Menteri RI, Dr.
Halim. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk melaksanakan
penggabungan RIS dan RI menjadi negara kesatuan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.

Untuk melaksanakan penggabungan, terlebih dulu disusun undang-


undang dasar baru. Tugas ini diserahkan kepada sebuah panitia
bersama RIS-RI. Hasil kerja panitia kemudian disampaikan kepada
pemerintah RIS dan RI pada tanggal 30 Juni 1950. Kedua
menyampaikan rancangan UUD Sementara (UUDS) kepada Badan
Pekerja KNIP, DPR RIS, dan Senat RIS. Ketiga badan itu menyetujui

172
rancangan UUDS itu menjadi UUDS Negara RI. Hasil persetujuan itu
ditetapkan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1950.

Pada tanggal 15 Agustus dihadapan Sidang DPRS dan Senat RIS di


Jakarta, Presiden Soekarno mengumumkan terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, Perdana Menteri RIS
Muh. Hatta menyatakan mengundurkan diri.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta, Presiden Soekarno


mengumumkan kembali tentang terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan demikian, berlakulah UUDS Negara
Kesatuan RI. Pada hari yang sama, Presiden Soekarno berangkat ke
Yogjakarta dan membubarkan Negara Republik Indonesia Serikat.

Maka saat itu resmilah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang


merdeka, bersatu, berdaulat menuju masyarakat adil dan makmur
sesuai dengan cita-cita Proklamasi kemerdekaan Republik Inonesia
17 Agustus 1945.

*****

173
F. KEADAAN MILITER PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN

Setelah Konferensi Meja Bundar


atau KMB (1949), persaingan
antara golongan Federalis yang
menginginkan bentuk negara
Indonesia memakai sistem
Negara Federal dan golongan
Unitaris yang menginginkan
bentuk negara Indonesia
memakai sistem Negara
Kesatuan, makin lama makin
mengarah pada konflik terbuka
yang berimbas pada bidang
militer. Pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan
dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI,
sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI
sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya,
yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan
sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya
anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian,2012.).
Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz adalah
cermin dari pertentangan ini.

Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan


bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat
ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan
setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin
agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI

Kondisi politik Indonesia pasca-pengakuan kedaulatan oleh Belanda


pada 1949 memang belum sepenuhnya stabil. Kabinet yang dibentuk
silih berganti karena munculnya berbagai konflik politik. Kondisi ini
diperparah adanya sejumlah pejabat yang melakukan korupsi dan
tindakan yang merugikan negara. Keadaan itu membuat rakyat merasa
geram dan menginginkan percepatan pemilihan umum untuk
mengganti anggota parlemen. Ketika itu memang banyak dari anggota
militer yang menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah militer, mereka
memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal inilah yang membuat
petinggi TNI saat itu, Kolonel Abdul Haris Nasution untuk bisa
merasionalisasi tentara dan mengurangi jumlahnya.

Setelah terbentuknya RIS, diadakan perubahan struktur di kalangan


militer Indonesia yaitu Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS), Panglima Besar Sudirman menjadi KSAP dengan

174
pangkat Letnan Jenderal, Kolonel AH. Nasution menjadi KSAD,. Wakil
KSAP Kolonel TB. Simatupang. Mendampingi Nasution di MBAD,
Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf G atau Umum. Kolonel
Hidayat menjadi Kepala Staf Q, Letkol Soehoed menjadi Kepala Staf A
(Ajudan Jenderal). (Ventje Sumual 2011)

Berdasarkan Konferensi Meja Bundar atau KMB yang dilaksanakan di


Den Haag pada tahun 1949. Dimana salah satu hasilnya pembentukan
Republik Indonesia Serikat atau RIS. Dengan terbentuknya RIS, secara
otomatis juga dilakukan pembenahan dalam tubuh militer.
Dibentuknya APRIS atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
ternyata menjadi permasalahan tersendiri dalam tubuh militer. Hal ini
disebabkan karena anggota KNIL dan TNI serta badan perjuangan
lainnya, harus bergabung menjadi satu pada APRIS. Kondisi tersebut
pastinya sulit khususnya bagi para anggota KNIL maupun TNI. Di
antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)
banyak yang tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Ringkasnya mereka tidak suka dengan terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada waktu itu bernama
RIS. Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat(APRIS) bersama Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang setia
tentu saja agak sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL
sulit bergabung dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu
sama lain dalam pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan.

Kecemburuan KNIL
terhadap TNI semakin
menjadi setelah
diputuskan bahwa
pimpinan APRIS harus
berasal dari TNI. Hal ini
diperparah dengan
sambutan rakyat yang
lebih simpatik terhadap
keberadaan TNI. Pada
titik inilah, kaum
reaksioner yang
subversif memanfaatkan situasi untuk terus menyebar hasutan guna
merongrong pemerintah Indonesia.

Untuk menghindari dualisme kepemimpinan dalam kelompok


ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok
pejuang gerilya, pada bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah
mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik
yang tergabung dalam biro perjuangan maupun yang lepas, berada
dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia

175
(TNI). Namun dalam menjalankan proses pergabungan tersebut, timbul
banyak masalah khususnya di daerah yang masih kuat pengaruh
“Belandanya” seperti di Indonesia bagian timur, yang tergabung dalam
Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibukotanya Makassar.

Sejak pengakuan kedaulatan,


Brigade XVI di likwidasi dan
berbagai personal dimutasi
oleh Kementerian Pertahanan
RI yang bermarkas di
Yogyakarta. Situasi ini
merisaukan kalangan perwira
TNI asal Indonesia Timur yang
tergabung dalam kesatuan
KRU-X (Korps Reserve Umum
X). Wadah ini adalah bagian
dari TNI Perjuangan (Bekas
Laskar Rakyat) yang
terbentuk pada pertengahan
tahun 1948. Kesatuan ini
dipimpin Letkol A.G. Lembong dengan wakilnya, Letkol J.F. Warouw
didampingi Mayor H.N. Sumual, Letnan Satu Lendy Tumbelaka.
Kapten Piet Ngantung, Kapten Eddy Gagola, Kapten Matulessi,
Kapten E.J. Kanter. Kapten J. Mandang dll.

Wadah kekuatan militer ini aktif di masa revolusi fisik di Jawa


berkekuatan 4 batalyon tempur yang masing-masing terdiri dari:
-Batalyon “A” di Jawa Tengah, dibawah komando Kapten J. Palar; -
.Batalyon “B” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor H.V. Worang; -
.Batalyon “C” di Jawa Timur dibawah komando Kapten A. Rifai; -
.Batalyon “D” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor A. Mattalata.
Wadah KRU-X mengalami reorganisasi menjadi Brigade XVI dan giat
memberangus pemberontakan PKI di Madiun dan juga gigih dalam
pertempuran pada aksi agresi militer kedua pihak Belanda.

Pada bulan Oktober 1948, Brigade XVI menyusun rencana


membebaskan Kalimantan dan Indonesia Timur dari pengaruh
Belanda. Letkol Lembong mempersiapkan Komando Groepen. Ia
dibantu Kapten Piet Ngantung mengembangkan integrasi TNI
terhadap prajurit eks-KNIL di Sulawesi Utara. Rencana penyerbuan
Sulawesi Utara akan dilakukan dari Filipina yang pernah menjadi
daerah perjuangan Letkol Lembong ketika menjadi anggota pasukan
Sekutu melakukan perang gerilya melawan pasukan Jepang masa
perang Pasifik Raya.

Adanya rencana ini hingga kepemimpinan Brigade XVI dari Letkol


Adolf Lembong di alih-tugaskan kepada Letkol Joop Warouw. Namun

176
rencana keberangkatan pasukan pimpinan Letkol Lembong ke Filipina
tidak kesampaian ketika Belanda melakukan agresi militer kedua pada
19 Desember 1948. Yogyakarta diduduki dan Presiden Soekarno,
Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Syahrir
ditangkap. Belanda itu juga menangkap Letkol Lembong. Kemudian
dimasa pasca penyerahan kedaulatan, terjadi aksi militer APRA Letkol
Adolf Lembong bersama Kapten Leo Kailola dan beberapa prajurit
tewas pada peristiwa penyerbuan APRA pimpinan Mayor Raymond
Westerling di Bandung pada bulan Januari 1950.

Sekalipun aksi militer kedua


Belanda sempat mempengaruhi
rencana, tetapi proses integrasi
tetap di jalankan oleh perwira-
perwira TNI sudah yang diutus
ke Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Utara. Pengadaan Komando
Groepen Sulawesi Utara TNI
dilakukan oleh Piet Ngantung
menggalang kekuatan dibantu
pemuda-pemuda setempat,
yakni Frans Wowor, Sam Ogi,
Lexi Anes dan Alo Tambuwun.

Pengakuan kedaulatan kerajaan


Belanda terhadap Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949
menggema di berbagai pelosok nusantara. Termasuk Sulawesi Utara,
wilayah paling utara Indonesia. Kondisi luar Jawa di Indonesia Timur
di masa revolusi kemerdekaan antara 1945-1950 masih terpecah-pecah
antara yang pro-integrasi (Unitaris) dengan pro-Belanda (Federalis).
Pihak Belanda berusaha memanfaatkan kelompok federalis didukung
anggota KNIL untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia,
khususnya di Indonesia bagian Timur dengan membentuk poros
Makassar-Ambon-Manado.

Ekspedisi ke daerah
Seberang (Luar Jawa), di
Indonesia Timur pimpinan
Letkol. Joop Warouw
sebagai komandan Pasukan
Komando Sulawesi Utara-
Maluku Utara (KOMPAS
SUMU) pada bulan Mei 1950.
Sebelumnya, Kementerian
Pertahanan RI mengutus
Mayor Ventje Sumual,

177
Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet Ngantung
ke Manado dengan tugas melakukan proses alih keamanan dari
Komando territorial Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para
prajurit eks KNIL menjadi TNI di Sulawesi Utara.

Antara bulan Desember 1949 – April 1950, banyak perwira asal


Indonesia Timur bertugas sebagai unsur APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) di luar Jawa dan diperbantukan pada
KMTIT (Komisi Militer Territorial Indonesia Timur) pimpinan Letkol
Ahmad Yunus Mokoginta dan Ir. Putuhena. Diantara perwira-perwira
TNI dari Brigade XVI terdapat Lettu J. Wowiling, Lettu H. Montolalu,
Lettu Lendy R. Tumbelaka, Kapten Usman Djaffar, Kapten M.
Jusuf, Kapten Idrus, Lettu D. Nanlohy, Mayor Saleh Lahade, Lettu
A, Sapada dll. Sedangkan Mayor Jendral Suhardjo ditugaskan menuju
Banjarmasin bersama beberapa perwira Brigade XVI asal Kalimantan.

6. Persaingan dikalangan perwira militer di Indonesia Bagan Timur

Pasca Pengakuan Kedaulatan, terbentuknya RIS dengan Angkatan


Perang RIS (APRIS), banyak sekali tentara yang berasal dari Indonesia
Timur, dikirim untuk mengamankan daerah ini dari ancaman
disintegrasi bangsa pada masa-masa transisi menuju ke Negara
kesatuan republik Indonesia. Dominannya perwira asal Manado-
Sulawesi Utara menduduki jabatan strategis di wilayah Negara Bagian
Indonesia Timur (NIT) yang berpusat di Makassar, membuat perwira
lainnya yang berasal dari Sulawesi Selatan merasa terpinggirkan. Ini
membuat persaingan antara perwira dari „Utara‟ (Manado-Sulawesi
Utara) dengan perwira asal „Selatan” (Makassar-Sulawesi Selatan)
terasa makin meningkat. Dikotomi antara tentara dari “Utara” dan

178
“Selatan” kian terasa yang puncaknya terjadinya pemberontakan
“Kahar Muzakar” dan “Andi Azis” di Sulawesi Selatan dan tengah. (Andi
Makmur Makka, 2008).

Pada tanggal 16 November


1952, Kepala Staf TT-
VII/TTIT Letkol Jacob
Frederik (Joop)
Warouw mendaulat
Kolonel Gatot Subroto
sebagai Panglima TT-
VII/TTIT akibat Panglima
TT-nya berada di
Kelompok pro-17 Oktober.
Reaksi rakyat di Makassar
atas tahanan rumah bagi
Kolonel Gatot Subroto dan
tahanan asrama bagi
polisi militer Jawa ini cukup besar (CPM), menangkap inti dimensi
daerah dalam peristiwa ini: "Orang Jawa dilucuti orang Manado."
Kemudian ia menjadi penjabat sementara Panglima TT-VII/TTIT tanggal
5 Januari 1953, dan pada tanggal 1 Agustus 1954 resmi sebagai
Panglima TT-VII/Indonesia Timur dengan pangkat Kolonel. Kepala Staf
TT-VII/Wirabuana saat itu dijabat oleh Letkol H.N. Ventje Sumual,
yang sebelumnya adalah Kasi-I Inspektorat Infanteri di Bandung.

Seperti yang dituturkan oleh Andi Makmur Matta dalam tulisannya


yang berjudul “Konspirasi diam-diam masa lalu : Tentara dari „Utara‟
dan „ selatan‟, bahwa mantan pejuang asal Sulawesi-Selatan yang jadi
dilantik masuk ke TNI, memang cukup banyak , tetapi sukses dalam
karier militer dikalangan senior mereka hanya bisa dihitung jari.
Sebaliknya mantan-mantan perwira yang berasal dari utara (Manado)
dalam waktu beberapa tahun, mendominasi kepemimpinan militer di
TT VII Wirabuana ( l950-l957). Karena itu, tidak aneh jika dulu ada
dikotomi dalam masyarakat isu adanya “Tentara asal “Utara” dan
tentara asal “Selatan”. Bahkan bukan isapan jempol, jika secara diam-
diam timbul persaingan tajam antar dua kubu ini.

Hanya saja ketika itu, tentara-tentara yang berasal dari kesatuan Jawa
Timur ( Batalyon Brawijaya ) dan kesatuan dari Jawa Tengah (Batalyon
Diponegoro) juga masih berbaur dengan kesatuan anak daerah,
membuat persaingan itu tidak terlalu mencolok. Masalah yang selalu
memberikan posisi “kelas dua” bagi tentara asal “Selatan”, adalah
faktor pendidikan.

179
Rata-rata tentara termasuk para perwira asal “Selatan” belum pernah
mengecap pendidikan militer profesional, apalagi lulus dari akademi
militer Belanda. Secara kebetulan pejabat tertinggi di Sulawesi-Selatan
ketika itu, Kolonel Alex Kawilarang Panglima TT VII Wirabuana (dari
Manado) bersikeras meneruskan kebijakan Markas Besar Angkatan
Perang di Jakarta untuk menjadikan seluruh TNI menjadi militer
profesional. Hal ini berarti tidak ada jalan akan munculnya tentara
“Selatan” duduk dalam struktur penting pimpinan militer. Rata-rata
perwira menengah asal “Selatan”, tidak ada yang memiliki pendidikan
militer profesional. Mereka menjadi tentara, hanya secara kebetulan
karena panggilan pengabdian untuk mempertahankan kemerdekaan
bangsanya. Walaupun pendidikan formal mereka, sebutlah A.
Mattalatta, Saleh Lahade, Hertasning, Usman Djafar, juga lepasan
pendidikan Belanda, tetapi dalam, profesi militer mereka nol. Sejumlah
perwira muda yang mendapatkan pangkat secara kebetulan ketika
bergerilya di Jawa,
hanyalah menempuh
pendidikan dasar
kemiliteran. Bandingkan
dengan perwira senior
dari “Utara” seperti A.
Kawilarang, Vence
Sumual, Dee Gerungan,
semuanya pernah
mengecap pendidikan
militer ( Hogere
Krigschool) Breda di
Belanda.

Persaingan makin kentara, ketika Panglima TT-VII Kolonel Warouw


(Manado) oleh pusat akan di pindahkan ke pos lain karena TNI akan
memberlakukan reorganisasi territorial. Perwira asal Minahasa di
Makassar mulai gelisah, karena wewenang dan peranan mereka akan
hilang, padahal dengan pendidikan militer mereka yang memenuhi
syarat, bisa mendominasi struktur dalam TT VII Wirabuana. Calon
penggatinya walaupun tetap perwira tinggi asal Minahasa yaitu Letkol
H.V.N. Vence Sumual sebagai Panglima TT VII, tetapi tidak akan sama
dengan kharisma Kolonel J.F.Warouw.

Tahun 1955, Mayor D.J. Somba menjadi Assisten II/Personalia di TT-


VII/Wirabuana, dan pada bulan Desember 1956 menggantikan Letkol
H.V.Worang sebagai Komandan RI-24 di Manado. Saat Letkol Joop
Warouw inilah TT-VII diberi nama WIRABUANA (oleh Kolonel Ahmad
Yani) dari bahasa Sansekerta yang artinya: negeri yang terang,
dimana Wira = satria, terang, dan Buana = wilayah/daerah, karena
wilayah ini adalah wilayah matahari terbitnya Indonesia, dan juga
wilayah/daerah ini disiapkan untuk suatu wilayah militer.

180
Sementara para perwira asal
“Selatan”, juga berkeinginan
agar jabatan panglima
diberikan kepada anak
daerah . Perwira tinggi yang
memenuhi syarat ketika itu
adalah Kolonel
A.Mattalatta. Rupanya
reorganisasi yang dirancang
Markas Besar Angkatan
Perang adalah pembentukan
KoDPSST (Komando
Pertempuran Sulawesi-
Selatan Tenggara). Dengan terbentuknya, KoDPSST , Kolonel
A.Kawilarang, Kolonel J.P. Warouw dipindahkan ke pos luar negeri
sebagai Atase Militer. Reorgananisasi ini sebenarnya juga konspirasi
terselubung, karena Pusat sudah mulai mencium jika para perwira
tinggi di daerah ini, sudah mulai melakukan tindakan indisipliner,
melakukan perdagangan barter. Dan ini betul terjadi. KoDSST akhirnya
tidak memunculkan perwira asal “Selatan” maupun “Utara”, tetapi
pusat menunjuk Kolonel R. Sudirman dari Brawijaya dan Kolonel
R.A.Nasuhi dari Siliwangi sebagai Kepala Staf. (Andi Makmur Makka,
2008). Dan puncak dari kekecewaan para perwira dari Indonesia bagian
timur ini terhadap kebijakan pemerintah pusat dan TNI dengan
meletusnya pergolakan Permesta.

*****

181
G. GEJOLAK DI INDONESIA TIMUR

Konferensi Meja Bundar


(KMB) yang dimulai pada 23
Agustus 1949, yang
berlangsung selama dua bulan
lebih berjalan alot, karena
berbagai kebijaksanaan yang
menyangkut kekuasaan dan
kedaulatan Republik Indonesia.
Selain masalah Irian Barat
yang merupakan pokok
pembicaraan yang serius,
persoalan NIT pun tidak kurang pentingnya. Dalam memorandum 22
Juni 1949 disebutkan mengenai "kepentingan lain yang besar artinya ".
Memorandum ini telah menimbulkan kesulitan besar dalam proses
penyelesaian KMB. karena wakil-wakil dari golongan-golongan ini ingin
mengemukakan pandangannya.

Selain itu pemerintah Belanda


menghendaki agar organisasi
separatis Twapro di
Minahasa dan Partai Timur
Besar (PTB) masuk dalam
golongan tersebut. Partai
Timur Besar sebagai suatu
Badan Gabungan dari semua
aliran di Indonesia Timur,
yang terdiri atas Minahasa.
Ambon (Maluku Selatan) dan
Timor. Golongan ini ingin
memisahkan diri dari Negara
Indonesia Timur untuk membentuk hubungan hukum dan
ketatanegaraan dengan Kerajaan Belanda.

Di Manado timbul pula suatu kelompok yang menamakan dirinya


Komite Ketatanegaraan Minahasa, yang bertujuan memisahkan
daerah Minahasa dari wilayah NIT. Dalam hal ini delegasi Belanda
mendesak agar Twapro dan PTB didengar suaranya oleh KMB. namun
Pemerintah Belanda kemudian menemui kesulitan menghadapi masalah
"kepentingan-kepentingan berharga "tersebut di atas. Partai Timur
Besar Trapro dan Komite Ketatanegaraan Minahasa mendesak kepada
Pemerintah Belanda agar suara mereka didengar oleh KMB sebagai
''peserta resmi yang sejajar kedudukannya" dengan delegasidelegasi
dalam KMB. Permintaan itu tentu tidak dapat dipenuhi karena

182
bertentangan dengan Peraturan Tatatertib KMB dan Memorandum KMB
23 Juni 1949.

Ketidakberhasilan itu menyebabkan kekecewaan, sehingga mereka


menuduh Pemerintah Belanda telah meningga1kan mereka. Padahal
dahulunya mereka diberi janji-janji muluk oleh Pemerintah Belanda,
karena mereka dianggap sebagai pendukung kepentingan Belanda yang
sangat setia. Di samping ketiga kelompok di atas, ada pula kelompok-
kelompok lain yang ingin didengar pendapatnya juga oleh KMB, yaitu
daerah Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Jambi, Palembang, Inderagiri,
dan Sumatera Barat. Pada akhirnya tercapai juga kesepakatan antara
delegasidelegasi RI, Belanda, dan Pertemuan Musyawarah Federal (BFO).
Terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pengesahan
Undang-Undang Dasarnya, kemudian diikuti dengan Pengakuan
kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Republik Indonesia (RI)
hanyalah satu dari sekian negara bagian di lingkungan RIS. Namun
eksperimen yang dipicu perundingan KMB itu gagal prematur.

1. Plan Metekohi

Alih militer dari KNIL menjadi


TNI disalurkan melalui KMTIT
ingin dibendung oleh Belanda
dan berusaha mempengaruhi
kalangan bintara KNIL
menentang kedatangan
pasukan TNI berintikan Brigade
XVI pimpinan Letkol Joop
Warouw. Kampanye anti TNI di
Indonesia Timur dilakukan Dr.
Chris Soumokil didukung
Kolonel Schotborg, Panglima
Komando Territorial militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan
(GOB, Grote Oost en Borneo) melakukan sebaran anti TNI terhadap
tentara KNIL menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado.Bahkan
bermaksud memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur
terpisah dari Republik Indonesia dengan membentuk ”Garis
pertahanan Makassar-Manado-Ambon” dibawah “Plan Metekohi.”

Plan Matekohy adalah sebuah konsep yang digagas oleh Dolf


Metekohy pemimpin kelompok "Sembilan Serangkai". Sejak
pembentukkan Negara Indonesia Timur di Denpasar pada Desember
1946 telah nampak bahwa Metekohy mempunyai pandangan yang
sangat berbeda dengan kelompok federalis yang sejak semula
menyokong federalisme yaitu menjadikan negara Indonesia sebagai
negara federal. Namun pandangan Matekohy berbeda, ia mempunyai
pandangan yang skeptis terhadap federalisme Indonesia. Baginya

183
bahwa daerah-daerah diwilayah NIT antara lain Makassar, Manado dan
Ambon, dapat menjadi negara sendiri lepas dari NIT, dan tidak
bergabung dengan RIS.

Perbedaan ini terus berlanjut sampai tahun 1950, sehingga Metekohy


disebut pihak Belanda sebagai „de misr lndonesisch onder de
lndonesiche broeders‟. Sejak Konferensi Malino ia telah
memperlihatkan sikap seolah-olah Maluku Selatan dapat berdiri sendiri
tanpa daerah-daerah lain. Konsep inilah yang dicoba Dr. Ch. Soumokil
untuk menjadikan Negara Indonesia Timur menjadi negara yang
berdiri sendiri lepas dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk
menwujudkannya, ia bolak balik Makassar, Manado dan Ambon untuk
mengkampanyekan konsepnya itu dengan mempengaruhi para anggota
KNIL di daerah-daerah tersebut agar dapat menyokong tujuannya.

Setelah KMB dimana salah


satu hasilnya adalah
meleburkan semua angkatan
bersenjata kedalam satu
wadah yaitu APRIS dan TNI
menjadi intinya, telah memicu
pro dan kontra dikalangan
KNIL maupun TNI sendiri,
membuat ambisi Sumoukil
untuk melaksanakan
konsepnya semakin besar
dalam mempengaruhi para
eks anggota KNIL untuk anti
terhadap TNI. Apalagi diisukan bahwa pihak TNI akan mengambil alih
tugas-tugas KNIL yang ada didaerah-daerah NIT.

2. Keadaan Politik Di Negara Bagian Indonesia Timur (NIT)

Di awal-awal pengakuan kedaulatan ini terjadi


gejolak dalam negara kesatuan Indonesia. Sejumlah
daerah yang sebelumnya menjadi negara federasi
dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) masih
menginginkan menjadi negara bagian yang berdiri
sendiri, termasuk Negara Indonesia Timur (NIT)
dengan presiden Sukawati.

NIT mencakup Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan


Kepulauan Maluku dengan ibukota di Makassar.
Sepanjang Januari sampai Maret tokoh-tokoh
politik NIT seperti Sukawati dan Soumokil dari
Maluku melakukan perundingan untuk

184
mempertahankan NIT. NIT juga didukung oleh masyarakat yang masih
pro-Belanda.

Pembubaran beberapa negara bagian pada 8 Maret 1950 membuat


keadaan bertambah panas. Golongan unitaris mendesak NIT
membubarkan diri dan bergabung ke dalam NKRI, sementara para
federalis berupaya sekuat tenaga mempertahankan NIT. Pergolakan
politik yang terjadi di Jawa, Madura dan Sumatera yang berkisar pada
masalah pertetangan antara federalisme dan unitarisme (kesatuan) dan
hasrat untuk mengukuhkan kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia,. diikuti dengan penuh gairah oleh golongan republiken di
Indonesia Timur, termasuk Makasar.

Mulai awal Maret 1950


pergolakan dan pertentangan
antara golongan federalis dan
unitaris di Sulawesi Selatan
dan terutama di Makasar
berkobar dengan hebat
sehingga timbul suasana
yang gawat. Kelompok-
kelompok pemuda di jalan-
jalan mulai menyatakan
sikap mereka menentang
kelanjutan berdirinya Negara
Indonesia Timur untuk
menggabungkan diri pada
daerah kekuasaan Republik
Indonesia. Dari golongan unitaris yang dipelopori oleh anggota-anggota
parlemen Fraksi Kesatuan Nasional dan Fraksi Indonesia. mendesak
kepada pemerintah untuk diizinkan mengadakan demonstrasi secara
besar-besaran dengan tujuan untuk menyatakan unjuk perasaan agar
Negara Indonesia Timur segera dibubarkan dan dimasukkan ke dalam
daerah kekuasaan Republik Indonesia . Keadaan demikian mengubah
suasana politik di Negara Indonesia Timur. Suasana yang bergelora
mewarnai dibukanya sidang Badan Perwakilan Rakyat 'Negara
Indonesia Timur. Pada waktu itu keadaan Makasar sedang dalam
keadaan tidak tenang, sebab rakyat yang anti federal mengadakan
demonstrasi sebagai desakan agar Negara Indonesi a Timur secepatnya
bergabung dengan Republik Indonesia. Golongan yang setuju pada
sistem federal juga mengadakan demonstrasi, sehingga ketegangan
semakin memuncak yang tentunya akan dapat membahayakan
ketertiban dan keamanan umum.

Berdasarkan atas pertimbangan ini, dan untuk meredakan suasana


serta menghindarkan timbulnya bentrokan fisik antar golongan, maka
Kabinet Tatengkeng yang telah demisioner mengambil keputusan

185
untuk melarang demonstrasi oleh semua pihak dan golongan dengan
penjelasan bahwa masalah penentuan azas federasi atau kesatuan
harus diputuskan melalui saluran yang demokratis, yaitu melalui
Badan Perwakilan Rakyat. dewan-desan yang dipilih secara demokratis
atau plebisit. Keputusan Kabinet Tatengkeng Demisioner ini ditentang
keras oleh golongan unitaris (kesatuan).

Dihadapkan pada suasana yang tegang dan tekanan-tekanan keras


baik dari kalangan parlemen tertentu maupun dari kalangan
masyarakat untuk menyelenggarakan demonstrasi dan berdasarkan
atas pemikiran bahwa jika terjadi demonstrasi liar mungkin akan
timbul kegaduhan yang akan membawa korban,
Pemerintah Diapari membatalkan keputusan
Kabinet Tatengkeng mengenai larangan demonstrasi
pada tanggal 16 Maret 1950, karena itu pada tanggal
17 Maret 1950 golongan unitaris menyelenggarakan
demonstrasi besar-besaran di Makasar sebagai suatu
unjuk perasaan mereka untuk mendesak agar
Negara Indonesia Timur segera dibabarkan dan
dimasukkan ke dalam Negara Republik Indonesia.
(RZ. Leirissa GA, 1983)

Temuan dokumen berisi dorongan untuk membubarkan NIT membuat


pemerintah NIT mengirim surat protes kepada pemerintah RIS. NIT
bahkan ingin memisahkan diri dari RIS dan mendirikan Republik
Indonesia Timur. Salah satu yang mendukung NIT adalah Kapten Andi
Azis. Nampaknya ke tegangan yang telah timbul dalam parlemen dan
meruncingnya suasana di kalangan masyarakat telah menjerumuskan
Negara Indonesia Timur pada suatu krisis politik yang hebat dan
bergejolak pada 5 April 1950 yang terkenal dalam sejarah sebagai
Peristiwa Andi Azis.

2. Pengiriman Pasukan APRIS

Untuk mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman gerakan


separatis, Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku
Buwono IX, atas instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima
Tertinggi RIS, mengangkat Kolonel Alex E. Kawilarang setelah
bertugas melakukan integrasi TNI di Sumatera, sebagai Panglima
Komando Tentara Teritorium Indonesia Timur (KMTIT) pada 15 April
1950.

Karena gerakan politik-militer NIT membahayakan, dan demi menjaga


wibawa pemerintah, Brigjen T.B Simatupang Kepala Staf Angkatan
Perang segera memerintahkan Kolonel Alex Evert Kawilarang yang
baru tiga bulan jadi Panglima teritorial untuk menumpas pembelotan
Andi Aziz. Pemerintah lalu membentuk pasukan gabungan Ekspedisi

186
Indonesia Timur. Pasukan ini terdiri dari batalyon Ankatan Darat RIS
dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur didukung oleh
Angkatan Udara, angkatan Laut RIS,dan Kepolisian di bawah pimpinan
Kolonel A.E. Kawilarang. Pasukan militer dalam jumlah besar pun
dengan segera didatangkan ke Makassar. Tak hanya Batalyon Worang
lagi, tapi Brigade Mataram pimpinan Letnan Kolonel Soeharto juga.

Kolonel A.E. Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan


dukungan kekuatan: Brigade Garuda Mataram, pimpinan Letkol
Soeharto, Satuan Brawijaya, pimpinan Letkol Suprapto Sukawati,
Satuan Siliwangi, pimpinan Letkol Kosasih. Kekuatan didukung
satuan Brigade XVI dari Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V.
Worang dan Batalyon Mattalata pimpinan Mayor Andi Matalatta.

Ketika pasukan besar APRIS


sedang dipersiapkan
keberangkatannya ke
Makassar,,lebih dahulu
diberangkatkan Batalyon Worang
yang tiba di Sulawesi Selatan pada
tanggal 11 April 1950. Saat aksi
Kapten Andi Azis dan pasukannya
menguasai Makassar, Kapal
Waekelo dan Bontekoe yang
mengangkut seribu prajurit TNI
Batalyon Worang dari Jawa, telah
berada di perairan dekat Makassar,
dan siap untuk berlabuh. Namun
setelah mendengar laporan akan
peringatan yang dikeluarkan oleh
Kapten Andi Azis agar kapal-kapal
tersebut jangan mendekat di
Makassar, terpaksa kapal-kapal itu
berbalik arah guna untuk
menamankan para anggota
keluargate Batalyon Worang yang ikut diangkut dalam kapal-kapal
tersebut. Untuk sementara, anggota keluarga ditinggalkan di
Balikpapan. Kemudian pasukan Batalion Worang kembali ke Makassar
dan mendarat di Jeneponto.

Meskipun Batalion Worang tidak dapat langsung mendarat di Makassar


tapi di Jeneponto yang letaknya 100 km keselatan, rakyat
menyambutnya dengan sukacita. Sebuah foto yang disiarkan majalah
Merdeka terbitan 13 Mei 1950 menggambarkan hal tersebut. Terlihat 3
orang anggota tentara APRIS (Batalion Worang) yang berjalan menuju
kerumunan massa dimana dilatar belakang tampak spanduk
bertuliskan “ SELAMAT DATANG TENTARA KITA”.

187
Mendaratnya Batalion
Worang di Jeneponto
bukan tanpa perhitungan.
Di daerah ini, terdapat
laskar rakyat dan pasukan
gerilya yang pro republik.
Disana mereka juga
disambut dan dijamu
dengan gembira oleh Raja
Gowa Andi Ijo Karaeng
Lalolang bersama tokoh-
tokoh masyarakat di istana
Raja “ Balla Lompoa
“Gowa.

Dari sana Batalion Worang menuju Makassar untuk mengamankan


situasi guna memuluskan pendaratan pasukan ekspedisi pimpinan
Kolonel Alex Kawilarang bersama Brigade Mataram pimpinan Letkol
Soeharto. Pertempuran besar memang tidak terjadi antara pasukan
APRIS dari Batalon Worang dengan KNIL di Makassar.

Di Makassar, pasukan
Batalion Worang langsung
mengamankan obyek-obyek
vital, serta menguasai
pelabuhan Makassar yang
sebelumnya dikuasai oleh
pasukan Andi Aziz.
Pengamanan Makassar
berjalan dengan baik, tanpa
perlawanan yang berarti,
karena Kapten Andi Azis
menyatakan diri untuk
menanggapi ultimatum yang
diberikan oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 26 April 1950, ekspedisi pimpinan Kol. Alex Kawilarang


mendarat di Makassar, mereka langsung disambut oleh pasukan
Batalion Worang yang telah mengamankan kota Makassar, dan
menguasai pelabuhan laut Makassar. Bebarapa hari kemudian
berlanjut dengan pendaratan pasukan induk Brigade XVI Mataram
pimpinan Letkol Soeharto dari Surabaya dengan kapal pendarat LST
di Makassar. .

Kota Makasar dikepung dari darat, sedangkan dari !aut terdapat


"Korvet" Hang Tuah mengadakan blokade. Pengepungan itu ternyata

188
berhasil juga karena Kota Makasar mulai menderita kekurangan
makanan. Dengan kekuatan ini, pasukan TNI segera disusun siasat
untuk merebut Kota Makasar dari sisa-sisa pemberontak, dan secara
bertahap mulai menggusur pengaruh KNIL di Makassar

Setelah pasukan APRIS mulai mengendalikan keadaan kota Makassar,


Letkol Joop Warouw diangkat menjadi Komandan pasukan Sulawesi
Utara Maluku Utara (KOMPAS SUMU) dengan tugas mengambil alih
Komando Territorial Belanda (Troepen Commandant Noord Celebes)
oleh Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta. Mayor Suharyo
ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus dari Joop
Warouw kepada Letkol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat
Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini
berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya
di Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC (South East
Asia Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan
pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa.

======

189
BAB V
PERISTIWA 3 MEI 1950
DI MANADO DAN MINAHASA

Di awal pasca perang dunia kedua, situasi


politik di Sulawesi Utara terpecah-pecah oleh
berbagai kelompok baik yang pro maupun
anti-republik seperti dari barisan Republik,
Unitaris, Federalis, Hoofden Bond, Twapro
(Twaalfde Provintie) dll. Kelompok Twapro yang
menguasai Dewan Minahasa (Minahassa raad)
menghadapi aksi barisan oposisi, GIM
(Gerakan Indonesia Merdeka) dengan
pemukanya, Uttu J.A Maengkom (mantan
Menteri Kehakiman RI), dan didukung kalangan pemuda pro-Republik
terutama dari Tomohon, Langowan dan Tondano.

Setelah Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan tanggal 17 Agustus


1945, dan keesokan harinya dilanjutkan dengan pengesahan UUD 1945
serta pembentukan Pemerintahan Pertama Republik Indonesia, dimana
DR. Sam Ratulangi ditunjuk sebagai Gubernur Pertama Sulawesi, usaha
untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia di seluruh Sulawesi
dilakukan. Untuk maksud tersebut, Dr. Sam Ratulangi dengan diam-diam
mengirimkan misi ke Sulawesi Utara, dengan mengirimkan para pemuda
pro republik untuk mempengaruhi para pemuda dan KNIL di Manado dan
Minahasa. Mereka yang dikirim antara lain Freddy Lumanauw dan
Mantik Pakasi. Walaupun misi mereka ini ketahuan oleh pihak Belanda
dan ditangkap, namun usaha untuk merebut kekuasaan terus
dilanjutkan. Puncaknya
pada tanggal 14 Februari
1946, beberapa serdadu
KNIL pimpinan Sersan
Taulu dan kawan-kawan
berhasil menduduki dan
menguasai tangsi-tangsi
KNIL di Manado, Tomohon
dan Amurang dikuasai.
Merah putihpun berkibar di
seluruh tanah Minahasa.

190
Di sepanjang jalan rakyat menyambut kemenangan ini dengan sorak-
sorakan „‟Hidup Merah Putih‟‟. Dalam kup selama beberapa hari ini semua
warga Belanda dari KNIL maupun dari NICA berhasil ditawan. (Ben
Wowor,2015)

Pada tanggal 22 Februari 1946,


dilakukan rapat umum di
lapangan Tikala yang
diselenggarakan oleh pemerintah
merdeka Merah-Putih Sulawesi
Utara dan dihadiri para tokoh
militer, sipil, pamongpraja dan
masyarakat rakyat, menyatakan
bergabung dengan perjuangan
kemerdekaan seluruh Indonesia
di bawah pemerintah RI
Sukarno-Hatta di Yogyakarta.
Pernyataan ini jelas menyatakan
bahwa wilayah Sulawesi Utara
adalah bagian dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945, dan sesuai dengan misi dan keinginan Dr. Sam
Ratulangi.

Walaupun aksi yang dilakukan oleh para serdadu KNIL pro republik ini
kemudian ditumpas, namun telah membawa dampak yang besar bagi
para serdadu KNIL lainnya serta seluruh rakyat di Minahasa. Timbulnya
ketidak-senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal Sulawesi Utara
terhadap NICA-Belanda, karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme
Belanda. Pemerintahan NICA melarang penduduk untuk mengibarkan
Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang
sebelumnya hampir 1 bulan setelah peristiwa 14 Februari 1946 penduduk
bebas melakukannya. Hal ini berlangsung hingga pengakuan kedaulatan
oleh Belanda atas Indonesia pada tahun 1949. Namun gerakan bawah
tanah untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di Minahasa dan
Manado tetap dilakukan, terutama oleh kelompok pemuda yang salah
satunya tergabung dalam kelompok Pasukan Pemuda Indonesia (PPI)
dan Laskar Rakyat Republik Indonesia (LRRI). Kelompok Pemuda PPI
bersama LLRI ini tetap melaksanakan aksinya mempengaruhi penduduk
dan anggota KNIL untuk menentang Belanda dan setia pada Republik
Indonesia.

****

191
A. LATAR BELAKANG PERISTIWA 3 MEI

1. Keresahan Dikalangan Serdadu KNIL

Setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, banyak serdadu


KNIL yang kuatir soal nasib mereka ke depan. Termasuk soal uang
pensiun. Banyak dari mereka ragu bergabung dengan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS), sesuai dengan persetujuan antara
pemerintah Indonesia dengan pihak kerajaan Belanda dalam KMB..
Namun untuk bergabung ke APRIS juga tak bebas ancaman mereka
mungkin akan dilucuti atau didiskriminasi karena di waktu Revolusi
Kemerdekaan mereka adalah tentara musuh Republik.

Peristiwa pemberontakan Andi


Azis sampai pula di Manado dan
mendapat perhatian khusus dari
kalangan kubu republik. Mereka
tidak ingin peristiwa ini terjadi di
Minahasa. Untuk itu dalam
mempertebal rasa kesatuan dan
kebangsaan, prajurit-prajurit
bekas KNIL sering mengikuti
berbagai pertemuan dengan
kalangan Republik dan
mendengar pandangan nasionalisme. seperti dari Karel Supit, guru
perguruan Bhakti KRIS di Kawangkoan. Juga mengikuti berbagai rapat
gerakan rahasia dikantor surat kabar “Pikiran Rakyat” pimpinan
Wolter Saerang dan Hermanus. Dari pertemuan malam hari dirumah
Fred Bolang, ajakan Front Laskar Pemuda (FLP) melakukan aksi
gerakan untuk mengambil alih kekuasaan disetujui Fred Bolang.

Sebelum pemberontakan terjadi, Mayor H.N.V Sumual diam-diam


sudah muncul di Manado. Sumual belakangan memberi jaminan para
KNIL tak harus memberontak untuk bisa masuk APRIS. Namun
terlambat, pemberontakan terlanjur terjadi. Kedatangan Kedatangan
Ventje Sumual merupakan utusan dari Kementerian Pertahanan RI,
dengan tugas melakukan proses alih keamanan dari Komando
territorial Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para prajurit eks
KNIL menjadi TNI di Sulawesi Utara. Tugas itu diberikan selain Mayor
Ventje Sumual, juga dikirim Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy
Gagola dan Kapten Piet Ngantung ke Manado. Kemudian tugas
tersebut menjadi bagian dari ekspedisi ke daerah Seberang (Luar
Jawa), di Indonesia Timur pimpinan Letkol. Joop Warouw sebagai
komandan Pasukan Komando Sulawesi Utara-Maluku Utara (KOMPAS
SUMU) pada bulan Mei 1950. dengan tugas mengambil alih Komando

192
Territorial Belanda (Troepen Commandant Noord Celebes) oleh
Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta.

2. Aksi Front Laskar Pemuda (FLP),

Di Manado yang masih dikuasai Tentara KNIL Belanda, orang-orang


pro-Republik bertahan di sana. yang dipimpin oleh Laurens Saerang,
Lexi Anes dan Frans Wowor. Organisasi ini dikenal sebagai kelompok
pro Republik yang menentang kembalinya kekuasaan Belanda di
Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara. Berbagai cara mereka
lakukan untuk mempengaruhi masyarakat terutama dari kalangan
militer yaitu eks KNIL asal Minahasa untuk mendukung Republik
Indonesia yang telah diakui
oleh Belanda sebagai negara
yang merdeka sesuai dengan
Perjanjian Meja Bundar (KMB),
dan menolak Rencana
Metekohi yaitu usaha dari
pemerintah Belanda untuk
mempertahankan Negara
Indonesia Timur dan
membendung integrasi TNI
dengan melakukan Garis
Pertahanan Makassar-Manado-Ambon.

Memang keadaan dan situasi waktu itu tak pasti bagi mereka. Namun
bagi mereka hanya mau Manado-Minahasa masuk Republik Indonesia.
Di luar tangsi KNIL, pada 14 April 1950, sekelompok orang-orang pro-
Republik yang tergabung dalam Front Laskar Pemuda (FLP), dengan
sangat hati-hati mulai menyusun rencana penyerangan tangsi KNIL di
Manado. Tentu saja, mereka memberitahu kawan-kawan KNIL yang
sepaham dengan mereka yang berada dalam tangsi. Sayangnya,
seorang sersan bernama Rawung membocorkan rencana tersebut.
Kapten van Leur bahkan memegang data siapa saja orang sipil dan
KNIL Minahasa yang terlibat.

Bocornya rencana penyerangan itu, membuat pimpinan KNIL


melakukan pembersihan terhadap para pemuda Front Laskar Pemuda
(FLP). Ketika orang-orang sipil mulai dikejar, serdadu-serdadu KNIL
Minahasa yang sudah pro-Republik pun gelisah di dalam tangsi.
Beberapa dari mereka kurang lebih 20 orang serdadu KNIL melarikan
diri dari tangsi, dipimpin Sersan Tuturoong. Mereka berhasil
membongkar gudang senjata dari markas militer Teling. Bersama
dengan senjata-senjata yang di peroleh, mereka menuju ke Tomohon
dan membagikan kepada para pemuda pro Republik untuk menyerbu
Manado. Penyerbuan di markas militer KNIL Teling gagal karena
diketahui dinas rahasia NEFIS, dan dipatahkan oleh KNIL pimpinan

193
Mayor Nues bersama korps komando Baret Merah pimpinan Letnan
Antoinette dan Baret Hijau pimpinan Letnan Hetaria.

Pelarian 20 serdadu itu membuat berapa


sersan macam A.H Mengko, F. Bolang,
Angkow, Pontoh, dan Mamengko ditahan.
Mereka diperiksa langsung oleh Mayor Neus,
selaku komandan KNIL di wilayah Minahasa,
Sulawesi Utara. Para sersan itu menyangkal
akan memberontak. Tak lupa, mereka juga
meyakinkan Neus bahwa ikut APRIS tak
menguntungkan. Para sersan itu lalu
dibebaskan karena dianggap masih loyal pada
KNIL. Para pelarian tentu saja dicari para
petinggi KNIL. Sersan Fred Bolang dan
beberapa serdadu lainnya diperintahkan
Kapten van Leur mencari 20 KNIL pimpinan
Kopral Tuturoong.

Namun semangat juang pemuda mengusir Belanda dari Minahasa


tidak padam. Mereka didukung perwira-perwira TNI, Ventje Sumual,
Eddy Gagola, Piet Ngantung dll. yang melakukan misi rahasia
kampanye integrasi bekas prajurit KNIL memasuki TNI dan menggalang
aksi kekuatan menentang Belanda. Penempatan sejumlah perwira asal
Minahasa seperti Kolonel A.E. Kawilarang, Letkol Joop Warouw,
Letkol Evert Langkey, dll. dalam jabatan teras TNI mempengaruhi
para bintara KNIL seperti Sersan Fourier Alex Mengko, Sersan Fred
Bolang, Sersan Phillip Tumonggor, Sersan Jootje Angkau, Kopral
Tuturoong dll. beralih berhaluan Republik. Termasuk di kalangan
anggota Baret Merah dan Baret Hijau Belanda asal Sulawesi Utara.

Pada 28 April 1950, rapat Laskar Front Pemuda (LFP) digelar dengan
Lexy Anes sebagai pemimpin. Rapat dilakukan lagi pada 2 Mei 1950,
membahas posisi orang-orang Belanda yang harus mereka serang.
Para sersan lainnya kemudian memberitahu rekan-rekan KNILnya pro-
Republik untuk bersiap. Malam 2 Mei 1950 serdadu-serdadu KNIL pro-
Republik sudah siap untuk membangkang terhadap para perwira
Belanda. Mereka hanya menunggu serangan LFP ke tangsi mereka, dan
mereka akan membantu LFP dari dalam tangsi. Jelang serangan LFP,
di kota Manado, diperkirakan hanya terdapat dua peleton pasukan
KNIL yang loyal pada perwira Belanda. Ditambah sepeleton Militaire
Police (MP) alias polisi militer yang tentu juga tunduk pada Belanda,
sepeleton pasukan cadangan pro-Belanda, dan sekitar 50 orang Polisi
Negara Indonesia Timur.

194
3. Usaha Belanda dalam Rencana Matekohi.

Usaha pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan TNI diseluruh


wilayah Indonesia, dengan mengirimkan pasukan TNI ke wilayah
Indonesia Timur membuat Komando militer KNIL Troepen Commando
Noord Celebes di Manado pada akhir bulan Maret 1950,
menyelenggarakan rapat militer Belanda yang dilaksanakan oleh
komandan garnisun di tangsi militer Reserve Corps KNIL di Wanea,
Manado Selatan. Tujuan pertemuan itu, untuk membendung
pendaratan pasukan TNI ke Minahasa. Sulawesi Utara. Manado dan
Minahasa, yang pada waktu itu berada dibawah Komando militer KNIL
Troepen Commando Noord Celebes, yang terdiri dari staf komando,
dinas-dinas perhubungan dan logistik. Komando ini membawahi
kurang lebih satu batalyon infantri, satuan cadangan, Reserve Corps
KNIL, dinas radio/ PHB, polisi militer dan satuan logistik. Sebagian
besar dari kalangan prajurit dan bintara adalah turunan Minahasa.
Sedangkan perwira-perwira staf dari komandan batalyon, kompi hinga
peleton adalah turunan Belanda. Sedangkan pangkat pribumi hanya
Prajurit Dua dan paling tinggi Pembantu Letnan Dua.

Pertemuan itu berusaha mematangkan “Rencana Metekohi”,


membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon, yang dihadiri
oleh militer Belanda yang khusus di kirim Kolonel Schotborg dari
Makassar. Pertemuan itu berusaha meraih kesepakatan menggagalkan
proses alih keamanan militer dari Komando Teritorial Belanda kepada
TNI di Indonesia Timur. Rapat itu mengusulkan mengaktifkan kembali
prajurit-prajurit pensiunan KNIL (Papo) dibawah naungan Reserve
Corps KNIL Manado. Tetapi usulan tersebut di tentang keras oleh
kalangan anggota KNIL pribumi yang cenderung berpihak pada RI.

Dalam pertemuan itu terjadi perdebatan sengit , bermula dari komentar


Kopral Y Salmon, salah seorang KNIL pribumi yang menetang
kekuasaan Belanda adalah Kopral Y Salmon. Sekalipun berpangkat
rendah dan hanya menjabat sebagai staf schrijver (juru-tulis bagian
personalia KNIL), Salmon kritis mengemukakan komentarnya. Pada
forum itu Yan Salmon mengingatkan bahwa pada kenyataannya
Kerajaan Belanda telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.
Pengakuan ini secara otomatis menempatkan Minahasa merdeka dan
secara otomatis pula masuk kedalam wilayah Indonesia. Sebagai
sebagai prajurit KNIL asal Minahasa jika melawan TNI, adalah suatu
pengkhianatan.

Pada bagian lain Salmon juga mengemukakan bahwa jika terjadi


pertempuran dengan saudara-saudara dari TNI, dan para pensiunan
prajurit-prajurit KNIL asal Minahasa yang sudah tua dan sudah lemah
fisik terbunuh, siapa yang menjamin dan membayar pensiun keluarga
mereka, dan mereka tidak mau mati konyol. Komentar Kopral Salmon

195
ternyata mempengaruhi suasana rapat dan semua yang hadir hening
seketika, dan para perwira Belanda sempat terbelalak dengan
pandangan kritis itu. Para pensiunan yang hadir terdiam dan sama
sekali tidak menyanggah pandangan Kopral Salmon. Pandangan dan
pertanyaan Salmon tidak memperoleh jawaban tegas dari perwira-
perwira Belanda hingga menimbulkan antipati hadirin.

Pada pertemuan itu, para perwira Belanda gagal


menguasai keadaan dan tidak berhasil
menggolkan konsep mengaktifkan kembali para
pensiunan KNIL di Sulawesi Utara. Padahal
waktu itu Dr. Soumokil juga di utus markas
militer Belanda di Makassar menghadiri
pertemuan itu di Manado. Namun bekas Jaksa
Tinggi NIT yang memvonis mati pemuda
Kawanua, Wolter Robert Monginsidi di
Makassar yang kemudian di hukum tembak
mati pada tanggal 5 September 1949. Hal ini
membuat para anggota KNIL tidak bersimpati kepadanya. Ditambah
lagi sebagian besar KNIL pribumi di Manado tidak mau lagi berada
dibawah kekuasaan Belanda. Hal ini disebabkan bahwa para perwira
Belanda sebagai pemimpin KNIL dianggap penakut dan langsung
menyerah tanpa perlawanan ketika tentara Jepang datang menyerang
Manado.

Setelah utusan militer Belanda gagal melakukan misi mewujudkan


rencana Metekohi di Manado, Soumokil bersama para perwira Belanda
terbang menuju Makassar untuk menghasut Andi Azis memberontak.
Hasutan itu membuahkan hasil, Andi Azis dan pasukan KNILnya
melakukan pemberontakan, namun kemudian pemberontakan itu
gagal.

4. Kudeta di Minahassa Raad

Kudeta di Minahassa Raad


pada pertengahan April terjadi
perdebatan sengit di Dewan
Minahasa (waktu itu Minahasa
Raad), Manado. Sebelumnya
lembaga legislatif dikuasai
kelompok TWAPRO (Twaalfde
provintie) pimpinan Mawikere
yang pro-Belanda. Namun
pengaruh TWAPRO menurun
tajam terutama di kalangan
bekas prajurit-prajurit KNIL

196
yang pernah bertempur baik di front peperangan Pasifik dibawah
naungan AS, maupun di Asia-Tenggara dibawah komando Inggris.

Tetapi setelah kembali dari peperangan, mereka kembali harus berada


dibawah komando Belanda. Mereka juga kecewa, karena tiada jaminan
keselamatan dan keamanan yang dilakukan pihak militer Belanda
terhadap keluarga mereka yang ditinggalkan di Jawa. Banyak dari
keluarga mereka di-bantai oleh pemuda-pemuda radikal ekstrimis
dengan tuduhan sebagai “anjing NICA.” Mereka ini disiksa tanpa
perlawanan seperti aksi pembantaian yang terjadi di Salatiga.
Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS.

Kegagalan utusan Kolonel Schotborg melakukan kampanye anti-TNI


pada pertemuan Wanea ternyata mempengaruhi posisi TWAPRO di
Minahasa Raad (Dewan Minahasa). Pada sidang Dewan Minahasa di
Manado, pihak TWAPRO berusaha meraih dukungan rencana
Metekohi. Tetapi mendapat reaksi hebat barisan oposisi melalui
perdebatan seru. Dari perdebatan ini terjadi keraguan dari kelompok
pro Belanda ketika pihak oposisi mengingatkan bakal terjadi perang
saudara dan Manado dilanda banjir darah. Lagi pula masyarakat di
Sulawesi Utara jenuh dengan peperangan dan tidak ingin mengulangi
penderitaan yang dan pernah di alami pada masa pendudukan Jepang.
Para orang-tua juga tidak ingin lagi mengorbankan putera-putera
mereka digunakan untuk bertarung dalam berbagai pertempuran
seperti dengan Sekutu maupun oleh Jepang.

Argumentasi kalangan pro republik terhadap ancaman perang saudara,


karena yang di hadapi adalah barisan pemuda dukungan Angkatan
Muda KNIL terutama dari Morotai penentang Belanda. Situasi ini
menguntungkan barisan pro Republik dan berhasil melakukan aksi
“Kudeta” di Dewan Minahasa.

5. Hasutan Dr. C. Soumokil.

Usaha Belanda untuk melaksanakan strategi Garis


Pertahanan Makassar-Manado-Ambon (Metekohi)
kurang membuahkan hasil. Tidak berlanjutnya aksi
pemberontakan Kapten Andi Azis mengecewakan
Dr. Chris Soumokil, seorang penentang integrasi
TNI. Dengan menggunakan pesawat Pembom B-25,
Pada tanggal 12 April 1950, Dr. Chris Sumokil
meninggalkan Makassar menuju Manado. Tujuan
Soumokil ke Manado, untuk mempengaruhi
pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara dan menemui Sersan (KNIL)
Mawikere, pimpinan TWAPRO guna memperoleh dukungan menentang
integrasi TNI. Sersan Mawikere adalah seorang yang pro federalis, yang
menentang kedatangan TNI di Manado.

197
Setiba di lapangan terbang Mapanget-Manado, Soumokil tidak turun
dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud menemui
kelompok KNIL Sersan Mawikere. Namun kedatangan mereka telah
diketahui oleh para pemuda pro republik, yang tergabung dalam Front
Laskar Pemuda (FLP). Ditengah jalan utusan itu dihadang oleh
kalangan pemuda pro Republik, yang sudah mengetahui peristiwa
pemberontakan Kapten Andi Azis di Makassar. Utusan itu tidak
akhirnya kembali ke mapanget, dan tidak berhasil menemui kelompok
Mawikere. Misi Soumokil di Manado-pun mengalami kegagalan.
Soumokil dan rombongan akhirnya terbang menuju ke Ambon pada
tanggal 13 April 1950.

Menurut Ventje Sumual


dalam memoarnya
dituturkan bahwa setelah
Soumokil melihat situasi
makin lemah bagi pihak
mereka di Makassar
(Pemberontakan Andi
Azis), Mr. Ch. R.S.
Soumokil bersama
Overste Gisjberts, Kepala
Staf Teritorial Tentara
Belanda di Indonesia
Timur, tanggal 15 April
1950 berangkat dengan
pesawat ke Manado. Rencananya, mereka akan menggerakkan KNIL di
Minahasa dan mendirikan Republik Timur Besar, karena mereka tahu
orang-orang Minahasa lebih pro-Belanda. Tapi mereka tidak tahu kalau
justru di Sulawesi Utara sudah lebih dulu kami konsolidasikan.
Terbayang juga bagaimana sekiranya Sulut belum sempat
dikonsolidasikan, pasti peristiwa APRA di Bandung dan Andi Azis di
Makassar akan terulang di Manado. Bahkan mungkin lebih hebat lagi.

Di Markas KNIL ia bertemu dengan Mangundap. Ajakan Soumokil


ditolak mentah-mentah. Begitu juga ketika Soumokil bertemu pemuka-
pemuka masyarakat, dia ditolak dimana-mana. Begitupun warga kota
Manado dan pedalaman, Amurang, pedalaman Minahasa, sama ditolak
keras. “ Kami pilih Indonesia Merdeka, bukan Timur Besar!” kata para
pemimpin pemuda. Di Amurang malah Soumokil hampir saja dihabisi
oleh para pemuda, dia sampai harus meloloskan diri tengah malam
dengan perahu nelayan dari pantai Tanawangko, takut kembali ke
Manado. Juga dia berpikir, tidak mungkin lagi juga kembali ke
Makassar. Maka ia lari ke Pulau Seram, Maluku Selatan. Disini ia
mendirikan Republik Maluku Selatan. Satu lagi bom waktu “dipasang”
oleh sang petualang ini. (Ventje Smual, 2011)

198
Aksi menentang TNI berlanjut di Ambon ketika Dr. Chris Soumokil,
Jaksa Tinggi NIT tiba disana. Dan ia dengan ditunjang oleh kekuatan
KNIL di Ambon dengan ancaman senjata memaksakan para pejabat
daerah Maluku Selatan untuk memproklamasikan Republik Maluku
Selatan (RMS) pada 25 April 1950 dan menyatakan memisahkan diri
dari NIT atau RIS. Cetusan proklamasi RMS di dukung Ir. Manusama,
Han Boen Hiong dan sekitar 2.000 pasukan KNIL termasuk kesatuan
komando Baret Merah dan Baret Biru. Proklamasi itu menempatkan Ir.
Manusama sebagai Presiden RMS dengan Ambon sebagai pusat
pemerintahan RMS. Namun 8 hari kemudian Dr. Chris Soumokil
mengambil alih jabatan Presiden RMS dari Ir. Manusama. Untuk
memperkuat kekuasaan rezim, pihak RMS menangkap Pupella cs. dari
Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Ambon yang pro Republik.

*****

B. GERAKAN AWAL AKSI PRO REPUBLIK

Awal Gerakan Aksi Di Manado


di mulai pada hari Selasa, 25
April 1950, jam 20.00 malam,
rumah Sersan (KNIL) Fred
Bolang ditemui Laurens
Saerang, Lexi Anes dan Frans
Wowor dari kelompok Front
Laskar Pemuda (FLP) yang
mengenakan jaket Merah
Putih. Pada pertemuan itu
Bolang di ajak bergabung
dengan Republik memimpin
operasi militer bersama pemuda melakukan kudeta terhadap Belanda.
Bolang dipilih karena pengalamannya sebagai militer profesional.

Prestasi militer Sersan Fred Bolang dikenal sebagai pasukan khusus


Sekutu dibawah komando Mayor Tom Harrisson dari Inggris ketika
memimpin perang gerilya melawan tentara Jepang di pedalaman
Kalimantan. Sekembalinya di Minahasa, Bolang sering dikenal vokal
terhadap penguasa Belanda. Sekalipun Bolang tidak terlibat pada
Gerakan 14 Februari 1946, tetapi ia dicurigai militer Belanda di
Manado. Jebolan bintara KNIL Angkatan 1939 di Gombong disegani
karena prestasinya dan berperang sebagai prajurit profesional hingga
Fred Bolang menyandang berbagai penghargaan militer dari Sekutu.
Antara lain, “British Empire Medal,” dari Inggris, oleh Laksamana
Mountbatten, “Pacific Medal,” dari Panglima Sekutu, Jendral Mac

199
Arthur, bintang militer “Ridderlijke Orde” dari Belanda oleh Letnan
Jendral Spoor, Panglima militer Belanda di Indonesia karena prestasi
militer masa perang dunia kedua.

Dari prestasinya itu hingga Bolang luput dari penangkapan. Tidak


berlanjutnya Gerakan Peristiwa Bendera Merah Putih 1946 dan
penangkapan para pelaku di kirim ke Jawa, hingga Manado diawasi
ketat oleh pasukan komando Baret Merah dan Hijau Belanda. Tetapi
kehadiran Belanda di Manado tidak mengatasi keadaan karena sering
dihadapi oleh serbuan sporadis terutama dari kelompok pemuda
Tondano, Langowan dan Tomohon pimpinan Pratu (KNIL) Laurens
Saerang, mantan Angkatan Muda KNIL dari Morotai. Termasuk
penyerbuan pada 14 April ketika kelompok pemuda ini berusaha
melucuti markas militer di Teling.

Kelompok Pertama (semuanya bertempat tinggal di Asrama Teling) pada


jam 23.00 melucuti semua senjata tentara KNIL di asrama dan
membuka gudang senjata dan amunisi. Kelompok II tepat jam 23.00
akan menyerbu asrama Teling menerima senjata dan membantu dari
kemungkinan perlawanan. Semua kendaraan disiapkan di daerah
Titiwungen oleh para pemuda yang akan mengangkut pasukan menuju
Tomohon untuk menyusun kubu pertahanan di Tomohon dari
kemungkinan perlawanan dari detasemen-detasemen KNIL dari luar
kota Manado. Pada 2 Mei jam 21.00 malam, Sersan Bolang dengan
seragam militer bersenjata lengkap berada didepan barak Teling Hitam.
Menurut rencana, Bolang akan
mengumpulkan dan memimpin
satu peleton pasukan KNIL
didampingi Kopral Tuturoong.
Namun malam itu tak disangka
ia dijemput dengan jip oleh
seorang Kapten KNIL Belanda
untuk menuju ke markas
Troepen Commandant. Sersan
Bolang sempat kuatir, jangan-
jangan gerakan mereka sudah
bocor dan bakal ditahan di
Markas CPM.
Pasukan KNIL Minahasa

Setiba di markas besar territorial, semua perwira staf sedang


berkumpul karena di konsinyir. Beberapa rekan bintara (pro-Belanda)
menyindir dia sebagai “Pengkhianat.” Mendengar sindiran ini, Sersan
Fred Bolang sempat naik pitam sambil mencabut pangkatnya dan
melemparkannya ke arah mereka. Tetapi Kapten yang menjemputnya
tadi lalu memungut tanda pangkat itu sambil berkata bahwa pangkat
itu diberikan Kerajaan Belanda, sambil memasang kembali tanda

200
pangkat pada kedua pundak Bolang. Kemudian bersama mereka
masuk keruangan komandan untuk menemui Mayor Nues.

Pertemuan dengan Mayor Nues membahas tentang masalah yang


terjadi diantara pasukan KNIL pro Belanda dan yang pro Republik. Ia
berharap agar Kapten Bolang dapat mengatasi akan hal itu, karena
diantara mereka akan saling baku tembak. Nues menjelaskan bahwa
pihaknya bermaksud akan melakukan promosi kenaikan pangkat
perwira dan jabatan kepada para prajurit pribumi, hingga semua
perwira staf di kumpulkan pada malam itu. Dia akan membentuk satu
batalyon APRIS dengan
Komandan Batalyon
adalah Onder
Luitenant Purukan
dan Kepala Staf,
Adjudanct Sembel.
Purukan berpangkat
Mayor dan Sembel
menjadi Kapten. Dan
Kapten Bolang akan
berada dalam formasi
sebagai komandan
Kompi IV berpangkat
Kapten.

Dalam pertemuan itu percakapan mereka seringkali terganggu oleh


bunyi tembakan yang ternyata dilepaskan oleh Kopral Tuturoong.
Kapten Nues diperintahkan untuk kembali ke Teling dan kumpulkan
semua anak buah untuk menghadap kepadanya besok paginya.
Percakapan berakhir ketika Nues memerintahkan Kapten yang
menjemputnya tadi untuk mengantar Sersan Bolang kembali ke Teling.
Kapten Bolang lega, karena rencana penyerbuan ke markas Belanda
tidak bocor.

******

C. PEMBELOTAN KNIL KE PRO REPUBLIK INDONESIA

Setibanya di tangsi militer, Sersan Fred Bolang segera mengumpulkan


prajurit di muka rumah jaga, yang jumlahnya 78 prajurit. Ia lalu
membagi para prajurit tersebut dalam tiga peleton, masing-masing
terdiri dari Peleton I langsung dibawah pimpinannya, Peleton II
dipimpin Sersan Angkow dan Peleton III pimpinan Sersan
Mengko.Setelah pasukan disiagakan, Sersan Fred Bolang melapor
kepada Kapten dan mengatakan pasukan sudah siap menjalankan
tugas agar esok hari memperoleh wejangan Mayor Nues di Teling
Hitam. dengan kode (pengenalan pasukan) “9 – 0.”

201
Pada saat pasukan mulai keluar
dari gerbang tangsi militer Teling,
terdengar bentakan kasar dari
Letnan Antoinette, seorang
komandan pasukan Baret Merah
bersama bawahannya. Ia
menanyakan mengapa pasukan
Bolang keluar dari tangsi. Namun
Kapten Bolang balas membentak
dan mengatakan bahwa ini
perintah Mayor Nues (troepen
Commandant). Mendengar
bentakan ini sang Kapten itu tak lagi melanjutkan perkataannya.
Pasukan Bolang terus bergerak keluar dari tangsi menuju Titiwungen,
tempat yang direncanakan Front Laskar Pemuda (FLP). Melihat
banyaknya prajurit KNIL menuju ke tempat para pemuda, para pemuda
sempat panik karena mengira rencana mereka sudah bocor dan mereka
akan dibantai. Merekapun lalu melarikan diri mencari tempat
sembunyi.

Melihat para pemuda melarikan diri, Sersan Fred Bolang


mengerahkan satu regu untuk mencari mereka. Setelah melihat bahwa
yang datang adalah pasukan dari Sersan Fred Bolang, tak lama
kemudian Laurens Saerang, Wolter Saerang, Lexy Annes, dan
lainnya keluar dari persembunyiannya. Kapten Bolang mengatakan
bahwa pasukannya sudah siap, dan siapa yang akan memimpin
operasi ini. Diantara mereka lalu menjawab bahwaa atas nama
Pemuda, kepemimpinan operasi ini diserahkan kepada saudara Fred
Bolang . Saat itu juga semua pasukan mencopot pangkat masing-
masing dan menjadi pemuda pejuang bersama Laskar Front Pemuda.

****

D. PELAKSANAAN AKSI GERAKAN 3 MEI

Setelah semua persiapan telah matang, mulailah gerakan


pengambialihan kekuasaan KNIL dilakukan. Semua Pasukan naik
truk-truk yang disiapkan Lexy Gozal dan kawan-kawan menuju
Tomohon. Konvoi bergerak melakukan berbagai manouver seputar kota
Manado agar terhindar dari pencegatan. Kemudian keluar kota melalui
Airmadidi, Tenggari dan Tondano. Tiba di Tomohon pukul 03.00 subuh
dan disambut oleh R.C.L. Lasut, Hukum Besar Tomohon/Tombariri.
Pasukan disiagakan menunggu kabar dari Manado diatur oleh Laurens
Saerang, Sam Ogi dan kawan-kawan membentuk jaringan intelejen.

202
Pada jam 04.00 terdengar
berita Belanda memindahkan
senjata-senjata berat dari
gudang amunisi Teling. Dan
pada waktu bersamaan,
Mayor Ventje Sumual dan
Kapten Piet Ngantung
bergerak menuju Tomohon
untuk bergabung. Misi ini
dirahasiakan, karena bila
ditangkap, operasi ini akan
gagal dan menjadi sia-sia.
Setelah memperoleh laporan dari jaringan intel pemuda mengenai
situasi Manado yang sepi dari pertahanan KNIL, Bolang memimpin
satu kompi bersenjata lengkap menyerbu Manado pada jam 05.15.

Sasaran utama menyerbu semua markas KNIL dan merebut senjata.


Setiba di Manado, formasi kekuatan di bagi dan dua peleton bertugas
mengepung markas Komando/ Staf Kwartier dan satu peleton menutup
simpang tiga Tanjung Batu, Sario dan Jln. Sam Ratulangie. Aksi
kudeta militer kedua (setelah peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946
berjalan mulus dan serba gerak cepat.

Pada Jam 10.00, Fred Bolang bersama Laurens Saerang memimpin


penyerbuan markas komando dan melucuti pasukan termasuk Mayor
Nues yang menyerah tanpa syarat. Semua pasukan KNIL di markas
militer mengikuti perintah
pihak penyerbu dan masing-
masing Dan-Yon yang didekap
menjadi sandera
memerintahkan anak-buah
mereka untuk tidak melawan
dan meletakkan senjata.
Setelah penyerbuan singkat,
seluruh pasukan penyerbu
meninggalkan basis pertahanan
mereka dari Tomohon menuju
Manado dan menempati markas
militer di Teling.

Setelah menguasai keadaan, dilanjutkan dengan upacara singkat


dengan pernyataan penyerahan alih kekuasaan militer dan
pemerintahan sipil dari Mayor Nues kepada para pemuda atas nama
pemerintahan Republik Indonesia. Para perwira, bintara berikut
keluarga Belanda dikenakan tahanan rumah. Keamanan dan logistik
tahanan di jamin dan diperlakukan dengan baik. Tetapi dilarang

203
memasang bendera Belanda untuk mencegah kemarahan pemuda.
Sedangkan prajurit KNIL yang tidak bergabung dengan LFP disuruh
kembali ke rumah masing-masing dan diperkenankan membawa
barang-barang pribadi milik mereka.

Setelah penyerahan alih kekuasaan, dilanjutkan


dengan penurunan bendera Merah Putih biru
berganti dengan pengibaran sang saka Merah Putih
dipimpin Laurens Saerang. Pada jam 14.00,
Manado dikuasai sepenuhnya oleh barisan
Republik, dan bendera merah putih berkibar di
berbagai pelosok kota Manado.

Simpang Siur Aksi militer di Manado dan kekalahan Belanda dipantau


oleh Panglima GOB, Kolonel Schotborg di Makassar yang langsung
terbang ke Manado keesokan harinya. Menjelang pendaratan,
Schotborg melakukan kontak radio dengan para pemuda yang
dianggap “pemberontak” dan minta izin mendarat di lapangan
Mapanget untuk menemui troepen-commandant, Mayor Nues. Walau
mendapat izin dari pimpinan pemuda LFP, tetapi ketika pesawat
pembom B-25 mendarat, Schotborg melihat banyak prajurit berada di
lapangan. Iapun tidak ingin mengambil risiko untuk turun hingga
pesawat terbang langsung lepas landas dan mengudara meninggalkan
Mapanget kembali ke Makassar.

Berita peristiwa 3 Mei di Manado cepat menyulut


di Makassar. Kolonel Alex Kawilarang mulanya
mendapat laporan sepihak bahwa Manado
dilanda aksi pemberontakan terhadap TNI mirip
aksi Andi Azis. Dari kalangan perwira Belanda
dilaporkan bahwa aksi militer dipimpin oleh
Sersan Fred Bolang yang katanya dikenal sangat
radikal melakukan “Aksi Pemberontakan” di
Manado. Laporan ini sempat mempengaruhi
markas besar KMTIT di Makassar, seolah aksi
tersebut berpihak kepada Belanda. Mendengar
laporan ini, Kolonel Kawilarang memerintahkan
Batalion Worang dan Batalyon Mudjain berangkat ke Manado untuk
menumpas “pemberontakan 3 Mei.” Aksi militer 3 Mei di Manado juga
menggemparkan kalangan perwira Belanda di Jakarta.

Kepala staf Belanda, Mayor Jendral Pareira terbang ke Makassar


untuk menemui Kolonel Alex Kawilarang. Mereka mendesak agar
pasukan KNIL yang akan di APRIS-kan, sebaiknya tetap menjadi KNIL.
Biar mereka mengatur dan memilih siapa-siapa saja yang memenuhi
syarat menjadi APRIS. Alasan Pareira: “Jika berontak cara begini akan
mengacaukan administrasi.” Tetapi Kolonel Alex Kawilarang dengan

204
tegas menolak desakan Pareira dengan jawaban bahwa Itu bukan
urusan mereka. Dan TNI yang AKAN me-reorganisasi mereka. Hal ini
sesuai keputusan KMB di Den Haag yang sepakat membubarkan KNIL
setelah pengakuan kedaulatan Belanda pada RI. (KNIL dibentuk 10
Maret 1832 dan bubar 26 Juli 1950).

Untuk mengetahui situasi kota Manado, Letkol Joop Warouw sebagai


komandan KOMPAS SUMU menyertakan Mayor Jendral Peraira
menggunakan pesawat KNILM (Koninklijk Nederlands Indiesch
Luchtvaart Maatschappij) menuju Manado. Sebelumnya, berita
kedatangan Letkol Joop Warouw bersama rombongan sudah diketahui
diterima oleh pimpinan Laskar Front Pemuda, Karel Supit dan Mayor
Alex Mengko. Pihak LFP memberi instruksi kepada para anggota
untuk menyambut rombongan dari Makassar yang tiba di lapangan
terbang Mapanget dengan upacara militer.

Rombongan Letkol Joop Warouw dari Makassar sempat terkejut


karena laporan di Makassar lain dengan kenyataan sebenarnya.
Rombongan disambut dengan upacara kebesaran militer sebagaimana
lazimnya penyambutan kepada tamu-tamu yang dihormati. Sambutan
“Show of Force” dan pasukan berbaris rapi dan di inspeksi Letkol Joop
Warouw. Sedangkan Mayor
Jendral Pareira hanya
menyaksikan dari pesawat
karena LFP tidak
memperkenankan turun
selama upacara berlangsung.
Pareira juga dilarang masuk
kota Manado menemui
Komandan Batalyon KNIL
yang ditahan di Sario. Pada
hari itu juga Mayor Jendral
Pareira kembali ke
Makassar.

Setelah mendapat laporan keadaan sebenarnya di Manado, Kolonel


Alex Kawilarang merasa lega. Dan untuk membuktikan keadaan itu,
untuk pertama kali ia mengunjungi tanah leluhurnya Manado pada
tanggal 10 Mei 1950. Dengan peristiwa yang terjadi di Manado, telah
meringankan beban dalam usaha menumpas RMS di Maluku.
Kedatangan Kolonel Alex Kawilarang, bersamaan dengan mendaratnya
Batalion Worang pada tanggal 10 Mei dengan tugas untuk
mengendalikan situasi keamanan pasca peristiwa 3 Mei 1950 oleh
anggota KNIL dan kelompok pro Republik di Manado & Minahasa.
Pendaratan Batalion Worang, disambut hangat masyarakat Manado
yang diorganisir LFP hingga Manado terhindar dari konflik militer.

205
Kesuksesan pemberontakan ini seolah jadi pengobat dari
pemberontakan serdadu KNIL Minahasa yang gagal pada hari Valentine
1946, saat bendera Merah-Putih-Biru mereka jadikan Merah-Putih.
Batalyon ini pun segera mendapat tugas berat karena sejak 25 April
1950, Republik Maluku Selatan sedang mengganas di Ambon.

****

E. PEMBENTUKAN BATALION 3 MEI

Sebagai penghargaan atas peristiwa Gerakan 3 Mei, maka anggota


KNIL di Manado dan Minahasa dileburkan dalam APRIS dan menjadi
kesatuan sendiri dengani nama “Batalyon 3 Mei” dan dikukuhkan
pada 20 Mei 1950 di lapangan Tikala dengan Komandan Batalion
Mayor Alex Mengko, dibantu oleh Sersan Fred Bolang. Letkol J.F.
Warouw atas nama pemerintah RI menganugerahkan Bintang
Gerilya kepada para pelaku. (Harry Kawilarang, 2015)

Batalyon 3 Mei terdiri dari bekas prajurit KNIL dengan pemuda LFP
dibentuk dengan susunan:
- Komandan : Mayor Alex Mengko;
- Wakil Komandan dan Kepala Kompi Staf: Kapten Fred Bolang;
- Kompi I : Kapten Alex Angkow;
- Kompi II : Kapten Tumonggor;
- Kompi III : Kapten Simon Pontoh;
- Kompi IV : Kapten Lexi Anes;
- Kompi Bantuan : Kapten Laurens Saerang.

206
Kekuatan senjata batalyon 3 Mei terdiri dari: 1000 pucuk senjata
L.E., 4 Vickers Mitraliur, M-23, 3 Mortir 81, 100 pucuk sten-gun, dll.
Seluruh senjata yang direbut dari KNIL berjumlah 2500 pucuk
termasuk sejumlah peti amunisi peluru.

Batalyon 3 Mei dikembangkan dengan merekrut pemuda terutama


dari LFP untuk mengikuti pendidikan menjadi militer oleh para
bekas prajurit KNIL yang menjadi instruktur. Setelah pendidikan
mereka kemudian disertakan dalam operasi
menumpas pemberontakan RMS di Maluku.
Penugasan dilakukan oleh Kolonel Alex
Kawilarang sebagai Panglima Panglima KTTIT
(kemudian menjadi KO TT-VII) pada bulan Juli
1950. Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000
pasukan diberangkatkan dengan kapal
“Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan Kapten
Fred Bolang.

Disana mereka bergabung dengan kesatuan TNI dari Jawa dan


berhasil menghantam RMS yang berkekuatan sekitar 2.000 prajurit
KNIL yang berhasil di lumpuhkan dan Ambon direbut TNI pada 4
November 1950. Sedangkan Manusama dan anggota RMS lainnya
terbang ke Jakarta dan dengan bantuan Belanda bermukim ke
negeri Belanda. Soumokil dan sisa pengikutnya lari ke Seram dan
ditangkap pada 12 Desember 1963 di Wahai oleh Batalyon Endjo
dari Siliwangi.Soumokil di jatuhi hukuman mati oleh Mahkamah
militer di Jakarta pada 22 April 1964.

Masuk Siliwangi
Setelah penumpasan
RMS, Batalyon 3 Mei
mengalami pergantian
pimpinan dan Mayor
Mengko diganti oleh
Mayor Mamusung.

Walau dibentuk di
Manado, namun
setelah selesai operasi
RMS di Maluku,
menurut Harry
kawilarang, batalyon
ini tak pulang ke Manado. Mereka didislokasi ke Jawa Barat, dan
oleh Kolonel Alex Kawilarang, anggota Batalion 3 Mei ini
ditempatkan dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Di Jakarta, Wadan
Yon 3 Mei diserahkan kepada Kapten G. H. Mantik. Sedangkan
Kapten Fred Bolang bertugas sebagai Staf I TT-7 di Makassar.

207
Kemudian Batalyon 3 Mei dibagi dua, masing-masing di Jakarta di
Kesatuan Korps Cadangan, yang lainnya ditempatkan di Cimahi,
Jawa Barat.

Bagi kalangan prajurit Batalyon 3 Mei, terutama eks-KNIL, daerah


Jawa Barat tidak asing, karena Bandung adalah Markas Besar
Militer KNIL sebelum Perang Dunia Kedua. Jawa Barat juga sudah di
kenal masyarakat Sulawesi Utara sejak 1880‟an, ketika 5.000
pemuda Minahasa direkrut dan di didik menjadi pasukan komando
“Rangers” bersama rekan-rekan dari Jawa, terutama asal Banyumas.
Mereka di didik menjadi pasukan khusus dan dilibatkan dalam
berbagai ekspedisi militer Hindia Belanda. Banyak dari mereka
berada di Subang, yang menjadi pusat latihan militer KNIL. Subang
dan daerah-daerah Jawa Barat bagian Selatan waktu itu sangat
strategis dan merupakan pusat perkebunan komoditi ekspor sebagai
asset utama bagi perekonomian Hindia-Belanda. Untuk itu
keamanan di wilayah-wilayah ini diprioritaskan hingga turunan
Minahasa hidup turun temurun di Jawa Barat. (Harry Kawilarang,
2015)

======

208
BAB VI

PENUTUP

Pengakuan kedaulatan kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia


pada 27 Desember 1949 menggema di berbagai pelosok nusantara.
Termasuk Sulawesi Utara, wilayah paling utara Indonesia. Kondisi luar Jawa
di Indonesia Timur di masa revolusi kemerdekaan antara 1945-1950 masih
terpecah-pecah antara yang pro-integrasi (Unitaris) dengan pro-Belanda
(Federalis). Pihak Belanda berusaha memanfaatkan kelompok federalis
didukung anggota KNIL untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia,
khususnya di Indonesia bagian Timur dengan membentuk poros Makassar-
Ambon-Manado.

Pasca Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang salah satunya


menyepakati Negara Republik Indonesia berbentuk federal dengan nama
Republik Indonesia Serikat dengan beberapa negara bagian didalamnya, dan
semua kekuatan bersenjata baik dari TNI dan badan perjuangan lainnya
termasuk personel mantan anggota KNIL dilebur menjadi satu ke dalam
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Jadi inti anggota
APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan
anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan
bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar
mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang
masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB
Lapian,2012.).

Peleburan seluruh unsur angkatan bersenjata baik dari kalangan TNI dan
dari KNIL, menimbulkan permasalahan tersendiri. Kondisi tersebut pastinya
sulit khususnya bagi para anggota KNIL maupun TNI. Di antara anggota
pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) banyak yang tidak puas
dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada waktu
itu bernama RIS. Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang setia tentu saja
agak sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung
dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam
pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan.

Kondisi ini diperparah dengan persaingan antara golongan Federalis yang


menginginkan bentuk negara Indonesia memakai sistem Negara Federal dan
golongan Unitaris yang menginginkan bentuk negara Indonesia memakai
sistem Negara Kesatuan, makin lama makin mengarah pada konflik terbuka

209
yang berimbas pada bidang militer. Pembentukan Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. banyak
serdadu KNIL yang kuatir soal nasib mereka ke depan. Termasuk soal uang
pensiun. Banyak dari mereka ragu bergabung dengan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun untuk bergabung ke APRIS juga
tak bebas ancaman mereka mungkin akan dilucuti atau didiskriminasi
karena di waktu Revolusi Kemerdekaan mereka adalah tentara musuh
Republik.

Kondisi ini digunakan oleh kelompok yang tidak menginginkan terjadinya


integrasi TNI ke negara-negara bagian RIS. Dikalangan pejabat Belanda di
Indonesia juga mendukung hal itu. Di Bandung terjadi aksi brutal dari
kelompok Kapten Raymond Westerling dengan Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA) yang terdiri dari para anggota KNIL pro Belanda.. Di Sulawesi yang
merupakan bagian Negara Indonesia Timur (NIT), Kolonel Schotborg
menghendaki agar anggota eks-KNIL di APRIS-kan dalam formasi Batalyon
dan Kompi dan sudah terbentuk sebelum kedatangan pasukan TNI dari
Jawa. Dalam usaha ini pihak Belanda dibantu oleh Dr.Chris Soumokil
mempengaruhi kalangan prajurit KNIL di Makassar, Manado dan Ambon.
Dr. Chris Soumokil juga mempengaruhi kalangan pejabat pemerintahan NIT
dan berkampanye “negara Merdeka Indonesia Timur” di Makassar dukungan
Belanda untuk memisahkan Indonesia dari RIS (Republik Indonesia Serikat)
melalui “Plan Metekohi.” Akibat kampanye anti-TNI, dan RIS INI, timbulah
berbagai pergolakan daerah di Indonesia. Misalnya kerusuhan di Ambon di
awal Januari 1950, aksi militer oleh prajurit-prajurit bekas KNIL terutama
dari anti Belanda pada bulan April dan aksi militer pimpinan Kapten Andi
Azis dan peristiwa Makassar dimana KNIL menyerang markas TNI di
Makassar pasca tertangkapnya Andi Azis.

Usaha Belanda untuk melaksanakan strategi Garis Pertahanan Makassar-


Manado-Ambon (Metekohi) kurang membuahkan hasil. Gagalnya
pemberontakan Kapten Andi Azisdi Makassar sangat mengecewakan. Namun
usaha ini belum sepenuhnya gagal, bila di Makassar tidak berhasil, masih
ada Manado dan Ambon. Pasca gagalnya aksi Andi Azis, Dr. Chris
Soumokil, seorang penentang integrasi TNI langsung meninggalkan
Makassar menuju Manado dengan tujuan untuk kembali mempengaruhi
pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara. Memang sebelumnya ia pernah ke
Manado bersama Kolonel Schotborg untuk menyampaikan strategi
Matekohi. Namun di Manado, ia mendapat batu sandungan dari para
pemuda pro republik. Karena sebelumnya Mayor H.N.V Sumual bersama
Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet
Ngantung.diam-diam sudah muncul di Manado sebagai utusan dari
Kementerian Pertahanan RI, dengan tugas melakukan proses alih keamanan
dari Komando territorial Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para
prajurit eks KNIL menjadi TNI di Sulawesi Utara. Tugas tersebut menjadi
bagian dari ekspedisi ke daerah Seberang (Luar Jawa), di Indonesia Timur
pimpinan Let-Kol. Joop Warouw sebagai komandan Pasukan Komando

210
Sulawesi Utara-Maluku Utara (KOMPAS SUMU) pada bulan Mei 1950.
dengan tugas mengambil alih Komando Territorial Belanda (Troepen
Commandant Noord Celebes) oleh Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta.

Hal inilah yang menghalangi tujuan Dr. Chris Soumokil ke Manado,


sehingga tujuannya gagal total. Bahkan beberapa hari kemudian terjadilah
kudeta militer dari para anggota KNIL pro republik dibantu oleh para
pejuang yang tergabung dalam Laskar Front Pemuda (LFP) pada tanggal 3
Mei 1950. Aksi kudeta ini berhasil menguasai markas KNIL di Manado dan
Minahasa tanpa menimbulkan korban yang berarti, sehingga Sang Merah
Putih berkibar di Sulawesi Utara.

Sebagai penghargaan atas peristiwa Gerakan 3 Mei, maka anggota KNIL di


Manado dan Minahasa dileburkan dalam APRIS dan menjadi kesatuan
sendiri dengani nama “Batalion 3 Mei” dan dikukuhkan pada 20 Mei 1950.

Berhasilnya APRIS membendung semua gejolak yang terkasi pasca


penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan APRIS pantas
bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan mengusir pasukan
Belanda yang mencoba kembali untuk menjajah Indonesia. Merah Putih
telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru untuk selama lamanya.
Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh rakyat termasuk para
pejuang gerilya yang telah bahu membahu berjuang dengan pasukan APRIS.
Sebuah fenomena monumental yang mencatat dengan tinta emas dalam
buku sejarah Nasional tentang kebesaran TNI. Walau bagaimanapun tentara
kita pernah jaya dan akan tetap jaya untuk selama-lamanya. Hal ini antara
lain disebabkan karena pucuk pimpinannya sangat cermat dan memiliki
kewaspadaan serta kedalaman berfikir dalam mengatur strategi. Sehingga
ancaman disintegrasi bangsa pasca pengakuan kedaulatan dapat diatasi dan
diselesaikan.

Namun demikian, dalam menghadapi berbagai konflik dalam negeri,


pemerintah dan TNI menghadapi hal yang dilematis. Disatu sisi mereka
harus menegakkan kedaulatan dan kehormatan negara, di sisi lain, mereka
harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri yang tentu saja menimbulkan
korban jiwa, harta benda dan peradaban.

Memang penyelesaian pertikaian atau konflik seharusnya diselesaikan


melalui cara-cara damai. Bukan dengan kekerasan dan arogansi kekuasaan
dan kekuatan bersenjata yang mengorbankan harta benda dan jiwa rakyat
Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, perang harus dihindari. Perang
merupakan jalan terakhir dan dilakukan jika semua usaha dan penyelesaian
secara damai tidak berhasil. Untuk itu diperlukan kearifan baik dari
pemerintah yang berkuasa maupun rakyat untuk menemukan jalan terbaik
dalam menyelesaikan segala konflik yang terjadi tanpa mengorbankan
rakyat yang tidak berdosa.

211
Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan persoalan main-
main. Tak hanya merupakan masalah di masa lalu. Potensi disintegrasi pada
masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi. Karena itulah kita harus terus
dan selalu memahami betapa berbahayanya proses disintegrasi bangsa
apabila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah menunjukkan
hal tersebut. Pentingnya kesadaran terhadap integrasi bangsa dapat
dihubungkan dengan masih terdapatnya potensi konflik di beberapa wilayah
Indonesia pada masa kini. Kementerian Sosial saja memetakan bahwa pada
tahun 2014 Indonesia masih memiliki 184 daerah dengan potensi rawan
konflik sosial. Enam di antaranya diprediksi memiliki tingkat kerawanan
yang tinggi, yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi
Tengah, dan Jawa Tengah. (Kemendikbud, 2017)

Ada baiknya bila kita coba kembali merenungkan apa yang pernah ditulis
oleh Mohammad Hatta pada tahun 1932 tentang persatuan bangsa.
Menurutnya:
“Dengan persatuan bangsa, satu bangsa tidak akan dapat dibagi-bagi. Di
pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat berbagai paham politik, tetapi
kalau datang marabahaya… di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan
hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun „persatuan‟ dan
menolak „persatuan‟” (Meutia Hatta, mengutip Daulat Rakyat, 1931).

Konflik bahkan bukan saja dapat mengancam persatuan bangsa. Kita juga
harus menyadari betapa konflik yang terjadi dapat menimbulkan banyak
korban dan kerugian. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana
pemberontakanpemberontakan yang pernah terjadi selama masa tahun
1948 hingga 1965 telah menewaskan banyak sekali korban manusia. Ribuan
rakyat mengungsi dan berbagai tempat pemukiman mengalami kerusakan
berat. Belum lagi kerugian yang bersifat materi dan psikis masyarakat.
Semua itu hanyalah akan melahirkan penderitaan bagi masyarakat kita
sendiri.

Diharapkan bahwa pembinaan terhadap generasi muda terutama kepada


para peserta didik dapat ditingkatkan, terutama dalam pemahaman tentang
pentingnya integrasi bangsa ditegah-tengah kemajemukan bangsa Indonesia,
lepas dari sifat kedaerahan, agama dan budaya yang sempit, dengan
menceritakan kembali sejarah tentang terjadinya disintegrasi bangsa yang
menimbulkan penderitaan rakyat.

Diharapkan bahwa pembinaan terhadap generasi muda terutama kepada


para peserta didik dapat ditingkatkan, terutama dalam pemahaman tentang
pentingnya integrasi bangsa ditegah-tengah kemajemukan bangsa Indonesia,
lepas dari sifat kedaerahan, agama dan budaya yang sempit, dengan
menceritakan kembali sejarah tentang terjadinya disintegrasi bangsa yang
menimbulkan penderitaan rakyat.

212
Peristiwa pergolakan dan pemberontakan PRRI dapat menjadi suatu
pelajaran yang berharga bagi Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia
dalam rangka membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan
bangsa dalam bingkai NKRI.

Bahwa Persatuan dan kesatuan bangsa yang BERBHINEKA TUNGGAL IKA


dalam bingkai NKRI berdasarkan PANCASILA dan UUD 1945 adalah suatu
kekayaan yang tak ternilai harganya, dan merupakan suatu HARGA MATI
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

=========

213
LITERATUR

o Abdullah, Taufiq (editor), Sejarah Lokal di Indonesia. Jakarta;Gajah Mada University Press,
1996.
o Abdullah, Taufiq, Lapian, A.B, Indonesia. Dalam Arus Sejarah, Ichtiar Baru van Hove,
Jakarata 2012.
o Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama,
1992
o Bahar, Safroedin, dan Tangdigiling (ed) Integrasi Nasional: Teori Masalah Dan Stategi. Jakarta,
Ghalia, Indonesia, 1996.
o Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Tanpa Tahun Dan
Penerbit. Sinar Harapan. 1970,
o Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6.
o Gazalba, Sidi,. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta; Bharatara Karya Aksara, 1981
o George Mc. Turnan Kahin, “Indonesia” , Mayor Goverments of Asia Ithaca,New York:
Cornell University Press, 1959
o Gottschalk, Louis, Understanding History. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto
dengan judul “Mengerti Sejarah” Jakarta: UI Press, 1986.
o Hatta, Moh, Past And Future. Cornell Modern Indonesia Project, 1960,.
o Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jenderal Polisi Datuk Rangkayo Basa: Gubernur di
Tengah Pergolakan (1998)
o Kaho, J.R Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Fisip-UGM dan
Rajawali Press, 1988.
o Kartodirjo, Sartono, 1971. Messianisme Dan Millenarisme Dalam Sejarah Indonesia. Jogjakarta:
Harvey, Sillars Barbara, 1989.
o Kahin, George (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornel University Press. ISBN 0-
8014-9108-8.
o Kreutzer, Rudi (1981). The Madiun Affair: Hatta's Betrayal of Indonesia's First Revolution. James
Cook University. ISBN 0-86443-027-2.
o Kawilarang, Harry, Sejarah Gerakan Kudeta 3 Mei 1950 di Minahasa, Manado, 3 Mei 2011
o Koentjaraningrat,1993. Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional. Jakarta, UI Press
o Koesoemahatmadja, 1979. Pengantar Kearah Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Bandung, Bina Cipta
o Kintowihjoyo,1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
o Manus, Laurens dkk, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara(1991)
o Mestika Zed & Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang (2001).
o Mestika Zed dalam makalah bertajuk DekadePergolakan Daerah: Mendekati Isu-
Isu Konflik Pusat-Daerah dalam Perspektif Pembangunan Nasional Tahun 1950-an (2010)
o Meulen, SJ.WJ. Van Der, 1987. Ilmu Sejarah Dan Filsafat. Yogyakarta, Kanisius
o Muhaimin A Yahya, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia, 1950 -1980, Jakarta,
LP3ES, 1991
o Nasution, A.H. 1984. Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung
o Nico Thamiend R. Sejarah, Untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira-Jakarta, 2000.
o Pinardi (1966). Peristiwa Coup Berdarah P.K.I. September 1948 di Madiun. Inkopak-Hazera.
o Poeze, H. A. (2008). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia. ISBN 9789794616970.

214
o Poeze, Harry A. (2009). "The Cold War in Indonesia, 1948". Journal of Southeast Asian
Studies. 40 (Special Issue 3: Asian Cold War Symposium): 497–
517. doi:10.1017/S002246340999004X.
o Projodikoro, wiryono. 1980. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta, Dian rakyat
o Rahkmat, redi et.all, 1992. Tantangan Dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Dan Kesatuan
Bangsa: Kasus PRRI. Jakarta: Jarahnitra.
o Renier, G,J, 1997. History Its Purpose And Method, diterjemahkan oleh muin umar dengan
judul Metode Dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
o Suhardiman, Prof,Dr,SE, Pembangunan Politik Satu Abad, Yayasan Lestari Budaya,1996.
o Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2017)
o Soekamto, Soerjono, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
o Soe, Hok Gie (1997). Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yayasan Bentang Budaya.
o Sugiyama, Akiko (2011). "Remembering and forgetting Indonesia's Madiun Affair:
personal narratives, political transitions, and historiography, 1948–2008"
o The Liang Gie, 1994, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara RI. Jilid II,
Yogyakarta: Liberty
o The Liang Gie, 1967, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jilid III,
Yogyakarta: Gunung Agung.
o Yoseph Tugio Taher, Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia, 2010,
o Yusnawan Lubis, dkk, Pendidikan Kewargaan Negara, untuk SMA/SMK Kls XI,
KEMENDIKBUD, Jakarta, 2017.
o Tampubolon, L. T. Inplasi dan Kebijaksanaan yang telah dijalankan di Indonesia, 1945-1962,
Skipsi Sarjana EUI, 1965
o Wowor, Ben, Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, bpnbmanado, 9 Mei 1915
o Westerling, Raymond Paul Pierre (1952). Mes aventures en Indonesie (dalam bahasa
Prancis). – diterjemahkan dari bahasa Prancis ke Inggris oleh Waverley Root sebagai –
Challenge to terror. London: W. Kimber.

o Media Sosial/Internet :
- Iverdixon Tinungki,Sumber: bluezevas.wordpress.commengutip:
http://www.geocities.ws/permesta2004/organisasi.html
- http://www.geocities.ws,redaksi@sulutiptek.com, Juni 2011 © LSM Pendidikan Silo (NGO)
& LSM Pemberdayaan Teknologi dan Perkotaan (NGO), Penanggung Jawab :Prof.Dr. Fabian
J. Manoppo
- Pemberontakan Di Indonesia, Pemberontakan Andi Aziz, Doni Setyawan, September 1,
2016.
- Pemberontakan di Indonesia, Pemberontakan Republik Maluku Selatan (Rms), Doni
Setyawan, Agustus 14, 2016.
- Sejarah Andi Azis Kahar Muzakkar, Faktor penyebab Pemberontakan Andi Azis Kahar
Muzakkar di Makasar , Petrik Matanasi, Tirto.Id – Humaniora,Kamis, 23 Februari
2012.
- Pertempuran Makassar 1950, http://www.virtapay.com/r/rabbanin.
- “Sejarah Gerakan Kudeta Militer di Minahasa 3 Mei 1950” oleh Harry Kawilarang,, Petrik
Matanasi, tirto.id – Humaniora, Mei 2011.
- http://www.facebook.com/profile.php?id=100000212354865#%21/notes/albert-
kusen/demi-merah-putih-peran-waraney-waraney-minahasa-dalam-
mempertahankan-kemerdekaan

215
BIODATA PENULIS

Penulis adalah seorang pemerhati sejarah dan budaya Minahasa dilahirkan di


Desa Lansot Kec. Tareran Kab. Minahasa pada tanggal 17 September 1966
dengan nama lengkap Valry Sonny Henry Prang. Pendidikan dasar dan
menegah ditempuhnya di desa kelahirannya Rumoong-Lansot. Pendidikan
terakhir ditempuhnya di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial -
Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Manado dan lulus pada
Tahun 1992.

Sejak kecil ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita rakyat dari para tua-tua desanya
serta gemar membaca buku-buku cerita rakyat dan cerita mengenai kepahlawanan para
nenek moyang dahulu. Pada tahun 1993 ia merantau ke Jakarta dan bekerja di salah satu
Perusahaan Swasta Nasional di bidang General Insurance (1993 – 2003) dengan beberapa
kali memimpin kantor cabang antara lain di Bandar Lampung, 1994, Semarang 1997,
Jakarta, 1998, dan terakhir di Surabaya. 2001-2003. Pada tahun 2000 ia menikahi seorang
gadis asal Wanosobo-Jawa Tengah dan dikaruniai dua orang anak perempuan yang
keduanya lahir di Jakarta, satu orang Putra lahir di Minahasa Selatan. Kemudian pada Tahun
2014, ia diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara/PNS dilingkungan Pendidikan.

Selama dalam perantauannya di pulau Jawa ia tak meninggalkan kegemarannya untuk


mencari dan membaca buku-buku sejarah –budaya dan cerita-cerita rakyat khususnya
tentang Sejarah–Budaya dan cerita-cerita rakyat diberbagai daerah di Indonesia.
Keprihatinannya muncul ketika kerinduannya untuk membaca buku-buku cerita sejarah-
budaya mengenai tanah kelahirannya Minahasa sangat sulit dijumpai baik di toko-toko buku
maupun diperpustakaan-purpustakaan di tempat dimana ia ditugaskan. Sejak saat itu ia
bertekad untuk menyusun beberapa tulisan mengenai sejarah-budaya serta cerita-cerita
rakyat Minahasa dengan tujuan mengangkat sejarah dan budaya serta cerita-cerita rakyat
Minahasa yang baginya tak kalah dengan sejarah-budaya dan cerita rakyat dari daerah-
daerah lain di Indonesia.

Setelah menikah, ia kembali dari perantauannya pada tahun 2004, ia mulai menulis buku yang
dimulai dari desa kelahiran. Buku pertama ditulisnya mengenai Sejarah Desa Kelahirannya
serta sejarah Injil yang berisi sejarah terbentuknya desa serta budaya, adat istiadat penduduk
setempat yang dahulu pernah hidup serta sejarah masuknya Injil di Tanah Minahasa.
Beberapa tulisan mengenai ulasan sejarah Minahasa pernah juga ditampilkan di beberapa
media surat khabar lokal dan mendapat sambutan yang baik dari para pemerhati sejarah
Minahasa.

Sebagai seorang aktivis LSM, beberapa jabatan organisasi yang pernah dipegangnya antara
lain :
- Ketua Bidang Minat Bakat Senat Mahasiswa FPIPS IKIP Negeri Manado. (1987-1991);
- Pengurus Inti KNPI Kec. Tareran, (1988-1991)
- Ketua Bid. Seni Budaya & Olah Raga KOSGORO Kec. Tareran, (1987-1999);
- Ketua Umum Karang Taruna Desa Lansot. (1992-1995);
- Penggurus Persatuan Keluargaan Marukupan Tareran Di Jakarta (1995-1999).-
- Ketua Rukun Keluarga Besar Dotu J.M. Prang-Kondoj – Tareran. (2007-2010)
- Wakil Ketua FSPSI Bid. Jasa Keuangan & Perbankan Cab. PT. ASWU-Jakarta (1997-
2003)
- Tim Pengamat/ Pemantau SDM pada : Yayasan API-Jakarta, Klif & IHRDP Jakarta (1998);
- Chairman Executive, Int’l H R D Program, Jakarta. (1997-2003);
- Chairman, Citra Int’l Indonesia, The Int’ HRD Found., Jakarta (2003-2008).
- Ketua Bidang Peng. & Pemb. Generasi Muda DPP Forum Peduli Sulut (2006-sekarang)
- Sekretaris Umum Forum Peduli Pendidikan - Sulawesi Utara.(2006-sekarang)
- Ketua Umum DPP PRAKTISI DAMAI, Prop. SULUT. (2007-sekarang)
- Pengajar Sejarah Indonesia & PKn di SMK Negeri 1 Tareran, (2010-Sekarang).

216

Anda mungkin juga menyukai