Anda di halaman 1dari 104

1

PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946 DI MINAHASA

Perjuangan Rakyat Sulawesi Utara Dalam Mendukung Proklamasi Kemerdekaan


Indonesia

Penulis : Drs. Valry S.H. Prang

Cover Depan : Tokoh /Pelaku Peristiwa dengan latar belakang


Merah Putih

Desain Cover : Drs. Valry S.H. Prang

Penerbit : FORUM PEDULI PENDIDIKAN SULAWESI UTARA (FPP-SULUT)

Dipersembahkan kepada :
Semua masyarakat Inonesia, Papa & Mama, Kakak-kakak & adik-Adik, Istri &
anak-anakku

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG UNDANG


Dilarang keras menerjemahkan, memfoto-kopi, atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis & Penerbit.

2
PRAKATA

Puji Syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan yang penuh kasih sebagai sumber
segala hikmat, pengetahuan dan kebijaksanaan yang oleh kemurahan-Nya maka
penyusunan buku ini dapat kami selesaikan.

Melihat akan minimnya informasi bagi generasi muda tentang perjalanan sejarah
perkembangan Indonesia khususnya di daerah Mianahasa sebelum dan sesudah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, mendorong penulis untuk
menyusun buku yang berjudul :

PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946 DI MINAHASA


Perjuangan Rakyat Sulawesi Utara Dalam Mendukung Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1946

Penulisan buku ini hanyalah merupakan informasi sejarah, yang diilhami dari
keinginan dari beberapa pelajar/generasi muda untuk mengetahui Peristiwa Merah
Putih di Minahasa pada tanggal 14 Februari 1946, yang menjadi bagian dari sejarah
perjuangan bangsa Indonesia diawal Kemerdekaan Republik Indonesia.

Buku ini disusun berdasarkan sumber-sumber literatur sejarah yang berbeda,


sehingga mempunyai informasi yang lebih lengkap dari tulisan-tulisan yang pernah
ada, dipadukan dengani gambar/foto peristiwa yang jarang dipublikasikan. Namun
Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini yang
perlu diperbaiki dalam melengkapi kisah sejarah ini.

Semoga buku ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan masyarakat


khususnya bagi generasi muda demi kemajuan pembangunan bangsa Indonesia ke
depan.

Manado, 17 September 2019

Penulis

Drs. Valy S.H. Prang

3
DAFTAR ISI

PRAKATA .....................................................................` i
DAFTAR ISI ...................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. i

BAB II KEADAAN INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH RROKLAMASI


KEMERDEKAAN INDONESIA .
A. EKSPANSI JEPANG KE HINDIA BELANDA (INDONESIA)
1. Masuknya Balatentara Jepang Ke Hindia Belanda
2. Perjanjian Kalijat – Penyerahan Hindia Belanda Kepada
Jepang
3. Pembagian Walayah Indonesia
4. Organisasi Propaganda Jepang
5. Organisasi Militer Bentukan Jepang
6. Eksploitasi Yang Dilakukan Jepang Di Indonesia
B. PERLAWANAN TERHADAP PENDUDUKAN JEPANG
1. Bentuk Dan Strategi Perlawanan
2. Perlawanan Bersenjata terhadap Jepang
3. Peristiwa Pertempuran Kaneyan - Minahasa
C. JANJI JEPANG UNTUK KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Janji kemerdekaan
2. Pempebtukan BPUPKI
3. Pembentukan PPKI
D. JEPANG MENYERAH TANPA SYARAT KEPADA SEKUTU ..
E. DETIK-DETIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Peristiwa Rengasdengklok
2. Penyusunan Teks Proklamasi Kemerdekaan
3. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Berkumandang
F. PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN PERTAMA INDONESIA
1. Pengesahan UUD 1945
2. Pengangkatan Presiden Dan Wakil Presiden
3. Pembagian Wilayah Indonesia
4. Pembentukan Kementerian
5. Pembentukan Kekuatan Pertahanan dan Keamanan

BAB IV PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946


A. KEADAAN SULAWESI UTARA PASCA PROKLAMASI
KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Berdirinya Barisan Pemuda nasional Indonesia (BPNI)
2. Rencana Boikot BPNI
3. Kedatangan Para Perantau di Minahasa
4. Misi Dr. Sam Ratulangi di Minahasa

B. LATAR BELAKANG AKSI 14 FEBRUARI 1946


C. PELAKSANAAN AKSI KUDETA 14 FEBRUARI 1946
1. Pelaksanaan Aksi di Tangsi Teling-Manado
2. Sang Merah Putih Berkibar di Manado dan Minahasa
2. Gerak Aksi Di Tomohon
3. Tertawannya Penguasa Belanda

4
4. Aksi Perebutan Kamp Tahanan Jepang
5. Maklumat Pemimpin Perjuangan Merah Putih
D. REAKSI PIMPINAN TENTARA SEKUTU
E. AKHIR DARI PERJUANGAN MERAH PUTIH
F. DAMPAK PERISTIWA 14 FEBRUARI 1946

LITERATUR ................................................................... VI
PROFIL PENULIS ................................................................... V

5
BAB I

PEDAHULUAN

Sejarah adalah ibu dari pengetahuan manusia dan berusia setua dengan
ingatan manusia. Ketika manusia dilahirkan, ia hidup, bekerja, berbicara dan
memiliki sejarah. Hanya manusialah yang memiliki sejarah dan sanggup
mempelajari berbagai macam sejarah. Dalam sejarah seperti ini manusia
tampil sebagai pencipta sejarah. Dan karena itu sejarah merupakan agregat
dari aktifitas manusia. Inilah ungkapan dari seorang filsuf dan sejarahwan
Michel Foucault.

Eksistensi kehidupan rakyat di Indonesia khususnya kejadian/ peristiwa


yang terjadi di Indonesia pada masa tahun 1945-1950 tentang peristiwa
pemberontakan dan pergolakan daerah di Indonesia, khususnya dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah menimbulkan pengorbanan
jiwa dan raga, harta benda dari rakyat Indonesia.

Kejadian perebutan kekuasaan di Sulawesi Utara tanggal 14 Februari 1946


oleh Letkol Ch. Taulu dan kawan-kawan, yang kemudian dikenal dalam
sejarah sebagai peristiwa merah putih, langsung diberitakan berulang kali
lewat siaran radio dan telegraf oleh Dinas Penghubung Militer di Manado,
yang diteruskan oleh kapal perang Australia SS „Luna‟ ke markas besar
Sekutu di Brisbane. Radio Australia kemudian menjadikannya sebagai berita
utama yang disebarluaskan oleh BBC London serta Radio San Fransisco
Amerika Serikat.

Perebutan tangsi militer Teling dan pengibaran bendera merah putih tanggal
14 Februari 1946 di seluruh Sulawesi Utara, menjadi pukulan telak untuk
Belanda karena berhasil melumpuhkan provokasi Belanda di luar negeri
bahwa hanya pulau Jawa yang berjuang untuk merebut kemerdekaan di
Indonesia. Pengibaran Dwi Warna diseluruh pelosok Minahasa pasca
perebutan kekuasaan tanggal 14 Februari 1946, yang berlangsung selama
sebulan, menandai hapusnya pemerintahan kolonialisme Hindia-Belanda di
persada Minahasa dan menjadi bagian dari persatuan dan kesatuan
kebangsaan Indonesia.

Dampak peristiwa ini pada tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda)


menggemparkan. Bagi tentara AS yang sudah payah dan ingin pulang ke
tanah airnya, masih harus mendeportasi 8000 tawanan tentara Jepang di
Girian, harus turun tangan mengatasi pemberontakan ini. Apalagi Belanda
telah menjadikan Minahasa sebagai basisnya yang kuat untuk menyerang

6
Republik Indonesia yang berpusat di Yogya, malah harus menyerahkan diri
kepada TRISU-Taulu di Teling.

Peristiwa 14 Februari 1946 di Manado tercatat dalam sejarah dunia, karena


wakil Sekutu-Inggris di Makassar Col Purcell menyatakan pada 24 Februari
1946 di Teling-Manado „‟bahwa pada hari ini tentara Sekutu menyatakan
perang dengan kekuasaan Sulawesi-Utara‟‟.

Inilah tantangan utama rakyat Sulawesi Utara setelah menyatakan diri


berintegrasi dengan NKRI melalui rapat umum rakayat Sulawesi Utara pada
tanggal 22 Februari 1946. Dimana dalam rapat umum tersebut di
proklamasikan bahwa rakyat di Sulawesi Utara menyatakan bergabung
dengan perjuangan kemerdekaan seluruh Indonesia di bawah pemerintah RI
Sukarno-Hatta di Yogyakarta.

Walaupun kemudian perjuangan ini harus berakhir dengan penumpasan


dan penangkapan para tokoh/pelaku peristiwa merah putih ini, namun
peristiwa ini telah membuktikan bahwa rakyat Sulawesi Utara khususnya
orang Minahasa, bukanlah rakyat yang pro Belanda, dimana pada masa itu
setelah Belanda ingin kembali menjajah bangsa Indonesia, banyak orang
Minahasa di perantauan harus mengalami deraan dan pembantaian dengan
tuduhan “Anjing Belanda”. Hal ini terjadi di Pontianak, Banjarmasin,
Salatiga, Semarang, Jakarta dll.

Peristiwa Merah Putih 14 Pebruari 1946 sebagai fakta bukti perjuangan


merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Sulawesi Utara,
telah diakui oleh Pemerintah RI berupa tanggapan dari: 1. Presiden RI
pertama, Ir Sokarno, yang sejak semula yakni beberapa hari sesudah Peris-
tiwa Merah Putih terjadi, te-lah memberikan dukungan melalui berita radio
yang diki-rim dari Yogyakarta. Dan 19 tahun kemudian, dalam suatu
peringatan Peris-tiwa Merah Putih yang diada-kan di Istana Negara Jakarta
pada tanggal 14 Februari 1965, beliau telah mengimbau agar tanggal 14
Februari dapat dicanangkan sebagai “Hari Su-lawesi Utara” dan wajib
diperingati atau dirayakan setiap tahun.

Presiden RI kedua, Soeharto, dalam pidato pada upacara Apel Besar


Pramuka di Cibubur (Bogor) pada tanggal 14 Agustus 1984, telah
merangkaikan “Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946” dalam deretan aksi-
aksi Perang Kemerdekaan yang penting selama masa Revolusi Fisik (1945-
1950) berupa “Peristiwa Kepahlawanan di Sulawesi Utara”.
Dan akhirnya para pelaku “Peistiwa Merah Putih 14 Februari 1946” telah
dianugerahi Bintang Gerilya dan tanda-tanda jasa lainnya oleh Pemerintah,
serta jazad mereka yang telah gugur maupun yang telah wafat mendapat
kehormatan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Manado dan
Jakarta.
*******

7
BAB II

KEADAAN INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH


KEMERDEKAAN

Penderitaan panjang bangsa Indonesia sejak kedatangan bangsa Eropah


(Abad ke-16) di kepulauan Nusantara. telah menguras sumber daya yang
ada baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia Indonesia, yang
mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi bangsa Indonesia
selama berabad-abad. Penindasan, pemaksaan dan perkosaan atas hak-hak
sebagai manusia, telah membawa bangsa Indonesia ke alam perbudakan
yang tak kunjung berakhir. Keadaan ini telah menimbulkan perlawanan
diberbagai daerah dari masa ke masa, agar dapat keluar dari penderitaan
sebagai bangsa yang terjajah. Namun apa yang diharapkan, tak kunjung
datang, walaupun telah mengerahkan segala daya upaya, harta dan nyawa
bahkan hakikat sebagai manusia, namun perlawanan itu dapat
dipadamkan. Sang penjajah tetap perkasa, bahkan lebih menunjukkan
taringnya sebagai sang penguasa.

Memasuki pertegahan abad ke 20,


secercah harapan untuk dapat keluar
dari penderitaan mulai bersemi.
Kedatangan sesama bangsa Asia
(Jepang) yang berhasil mengalahkan
dan mengusir sang penjajah (Belanda)
dari bumi nusantara, datang dengan
memperkenalkan diri sebagai “Saudara
Tua” bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesiapun menyambut dengan
suka cita, dengan tangan terbuka atas
kedatangan bala tentara Jepang yang
telah membebaskan bangsa Indonesia
dari penjajahan bangsa Eropa
(Belanda) selama berabad-abad..

Namun harapan tinggallah harapan, Jepang sebagai „saudara tua‟ mulai


menunjukkan belangnya. Bangsa Indonesia bukannya terbebas dari
penderitaan, melainkan masuk lebih jauh kedalam kemelaratan dan
penindasan. Seperti pepatah mengatakan “ keluar dari mulut buaya, masuk
kedalam mulut singa ”.

8
Sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanah bumi ibu
pertiwi sudah berulang kali mengalami penjajahan oleh bangsa lain. Bangsa
penjajah memeras kekayaan yang ada di negeri ini. Para penguasa kolonial
memeras baik itu kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di
negeri ini. Salah satu negara yang pernah menjajah negeri ini adalah bangsa
Jepang. Pendudukan Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya Perang
Dunia II di kawasan Asia Pasifik, (1941-1945). Jepang berambisi untuk
menguasai negara-negara Asia dan merebutnya dari negara-negara imperalis
barat. Tujuannya selain untuk kepentingan supremasi (keunggulan dan
kekuasaan). Jepang juga menjadikan daerah-daerah di Asia sebagai tempat
menanamkan modal, serta memasarkan hasil industrinya.

A. EKSPANSI JEPANG KE ASIA TIMUR

Sejak awal abad 20 Jepang telah menjadi negara industri dan mulai
melaksanakan imperialisme modern saat itu Jepang berhasil menduduki
korea dan cina. Pada awalnya dulu, Jepang menerapkan politik isolasi
alias menutup diri dari pengaruh asing. Pada zaman Kaisar Meiji,
dilakukan pembaharuan besar-besaran terhadap Jepang. Reformasi yang
dilakukan oleh Meiji sering disebut sebagai restorasi Meiji. Pembaharuan
tersebut dilakukan untuk mengejar ketertinggalan Jepang dari negara
Eropa Barat. Setelah restorasi tersebut, kemudian Jepang tumbuh
menjadi negara imperialias. Jepang memiliki cita-cita ingin membentuk
persemakmuran Asia Timur Raya, dengan slogan yang terkenal yakni
hakko I chiu.

Kemudian Jepang melakukan ekpansi


terhadap negara-negara yang ada di
sekitarnya. Negara raksasa Tiongkok/Cina
didudukinya pada tahun 1937. Ketika
Jepang menduduki Indocina, pada Juli
1941 Amerika Serikat tidak menyetujui
tindakan tersebut. Tindakan protes
Amerika Serikat dilakukan dengan
menghentikan penjualan karet, baja
lempengan, minyak bumi dan lain-lain
yang sangat dibutuhkan Jepang. Jepang
memutuskan untuk menyerang daerah-
daerah koloni Eropa di Asia Tenggara
tujuannya untuk memperoleh barang-
barang kebutuhan perang. Dengan itu
Jepang yakin bahwa serangan tersebut
akan menimbulkan perang dengan
Amerika Serikat. (Doni Setyawan,2016)

9
Jepang mendahului serangan terhadap Pearl Habour, Hawaii pada 7
Desember 1941. Tujuan Jepang menyerang pangkalan perang Amerika
yakni menghancurkan kekuatan militer Amerika Serikat. Setelah
menghancurkan Pearl Harbour, Jepang meneruskan serangan ke
Philipina pada 10 Desember 1941 dan berhasil menduduki Luzon dan
Batoon, lalu pada tanggal 16 Desember 1941, berhasil menduduki Burma.
Kalimantan Barat di serbu oleh AD Jepang dari pangkalan militer
Camranh Bay, Indo Cina.
Penyerbuan Jepang di Asia-
Pasifik di lakukan dalam tiga
tahap dan di selesaikan
dalam waktu lima bulan.
Tahap pertama
menghancurkan basis
kekuatan laut Amerika di
Guam, Wake dan kepulauan
Gilbert. Kemudian
menduduki Thailand, Malaya
Utara, Kalimantan Utara,
Serawak di Timur hingga
Filipina di Barat. dengan cara
ini memberi peluang
menyerbu Singapura pada 8
Februari oleh AD Jepang.

10
B. EKSPANSI JEPANG KE HINDIA BELANDA (INDONESIA)

1. Masuknya Bala Tentara Jepang Ke Hindia Belanda (Indonesia)

Akhirnya pada tanggal 10


Januari 1942, Jepang mendarat
di Hindia Belanda (Indonesia)
yaitu Tarakan, Kalimantan timur
di kota Tarakan. dan berhasil
menduduki pulau Kalimantan
pada tanggal 11 Januari 1942.

Pendudukan ini merupakan


salah satu taktik Jepang dengan
menguasai tempat penghasil
minyak yang dibutuhkan Jepang.
Dari Kalimantan Jepang
meneruskan serangannya ke
Jawa sebagai pusat bertahan
Belanda, dan mulai menduduki
daerah-daerah lainnya. (Doni Setyawan,2016)

Penyerbuan Jepang terus ke selatan setelah menguasai Laut


Sulawesi, perairan Maluku-Utara dan Tarakan. Dalam buku:
Mengindonesiakan Indonesia: Partisipasi Orang Minahasa
Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia (1900–1958) oleh Harry
Kawilarang, , Juli 2011, bahwa setelah Jepang menduduki Minahasa,
sasaran berikutnya adalah kota minyak, Balikpapan di Kalimantan-
Timur oleh kesatuan Skuadron Detroyer ke-IV pimpinan Laksamana-
muda Nishimura yang mendarat pada 23 Januari 1942. Penetrasi ke
selatan berusaha di bendung pihak sekutu di Selat Makasar oleh Task
Force V dari kesatuan Armada Asia pimpinan Laksamana-Muda
William A Glasford.

Perang laut Selat Makassar dilepas pantai Balikpapan bermula


dengan tembakan torpedo oleh kapal selam USS Sturgeon. Walau
peluru-peluru sempat merusak beberapa kapal-kapal perang Jepang,
tetapi Sturgeon di halau oleh kesatuan penyapu ranjau Jepang. Dua
kapal penjelajah ringan dari unit Task Force V di topang kekuatan
udara. Namun kedua kapal tua yang di gunakan pada perang dunia
pertama tidak mampu menghadapi kekuatan Armada Ketiga Jepang
pimpinan Laksamana Takahashi. Walaupun pihak Task Force V
mengkaramkan satu kapal patroli yang memperkuat 12 kapal
pendarat menyerbu Balikpapan.

11
Perang di Selat Makassar merupakan peristiwa pertama kali di alami
Armada Asia (yang kemudian menjadi Armada ke-VII AS di Pasifik)
dan mengalami kekalahan
pada 24 Januari 1942.
Pendaratan di Balikpapan
berjalan mulus tanpa
perlawanan barisan
pertahanan. Pada hari yang
sama Panglima operasi laut
Belanda wilayah Hindia
Belanda, Laksamana Muda
Karel Doorman memimpin
operasi gabungan sekutu
laut ABDA menghadapi
kekuatan Armada
Takahashi di Selat
Makassar.

Kehancuran kekuatan ABDA Kekuatan laut ABDA (pasukan Sekutu


gabungan America, British, Dutch Australia) ketika itu terdiri dari
empat kapal penjelajah, dua milik Belanda dan Amerika dan empat
kapal perusak dari anggota ABDA. Pada pertempuran itu, ABDA
mengalami kekalahan telak. Kapal penjelajah ringan, HNMS de Ruyter
rusak berat akibat serangan udara pesawat tempur Zero Jepang. Yang
parah adalah penjelajah berat, USS Marblehead milik Amerika yang
dalam keadaan pincang kembali kedaratan Amerika.

Pada hari yang sama kesatuan detasemen Kekuatan Timur Jepang


berhasil merebut pangkalan udara Kendari di Sulawesi-Tenggara.
Penduduk ini memperkuat supremasi Jepang menguasai angkasa laut
Jawa dan mengancam pangkalan angkatan Laut Hindia-Belanda di
Surabaya dan Jawa Timur dan Australia Utara. Sejak semenanjung
Sulawesi Tenggara di kuasai, markas Angkatan Laut Gabungan ABDA

12
di evakuasi dari Surabaya ke Cilacap dengan nama sandi "Flapjap"
oleh sekutu.

Perebutan pangkalan
strategis di Kendari
memperkuat posisi Jepang
melakukan penyerbuan di
perairan Maluku. Kota Ambon
di dukung oleh kesatuan
armada kapal induk
pimpinan Laksamana-Muda
Nagumo. Serangan udara
kemudian dilakukan
terhadap kota Ambon dengan
menghantam posisi gabungan
pertahanan Brigade Hindia-
Belanda dan satu batalyon
Australia. Ambon di serbu pada 31 Januari 1942 yang berlanjut
menduduki pangkalan udara Naha pada 3 Februari 1942.

Setelah Armada Ketiga Jepang menguasai Maluku, di lanjutkan


dengan penyerbuan ke Timor yang direbut pada 20 Februari 1942
melibatkan kekuatan pasukan yang menguasai kota Manado dan
Kendari. Yang terakhir ini sebelumnya merebut Bali pada 19 Februari
1942 setelah menguasai Kalimantan-Timur, langsung menyerbu
Sunda Besar (sekarang Bali dan Nusa Tenggara-Barat). (Harry
Kawilarang, Juli 2011).

2. Perjanjian Kalijati - Penyerahan Hindia Belanda Kepada Jepang

Setelah Jepang merebut


Minahasa – Sulawesi
Utara, Balikpapan –
Kalimantan Timur, Ambon
– Maluku Selatan,
Pontianak – Kalimantan
Barat, Makassar –
Sulawesi Selatan,
Banjarmasin – Kalimantan
Tengah, Palembang –
Sumatera Selatan dan
Bali yang berhasil
dikuasai Jepang dari kurang waktu Januari hingga Februari 1942,
Jawa menjadi sasaran terakhir Jepang dikarenakan Jawa merupakan
pusat kekuasaan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia).

13
Tanggal 28 Februari 1942, Tentara ke 16 di bawah pimpinan Letnan
Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di tiga tempat di Jawa –Banten,
Eretan Wetan dan Kragan- dan segera menggempur pertahanan
tentara Belanda. Setelah merebut Pangkalan Udara Kalijati, Letnan
Jenderal Imamura membuat markasnya di sana. Batavia (Jakarta) di
duduki pada tanggal 5 Maret 1942. Tentara Belanda yang berkuasa
di Hindia Belanda (Indonesia) mengalami kekalahan demi kekalahan
menghadapi serangan tentara Jepang, dan akhirnya Hindia Belanda
menyerah tanpa syarat pada Jepang tepatnya pada Pada 8 Maret
1942 di Kalijati-Subang. Sebelumnya Letnan Jenderal Hitoshi
Imamura memberikan ultimatum kepada Belanda, bahwa apabila
tidak menyerah, maka tentara Jepang akan menghancurkan seluruh
tentara Belanda dan sekutunya. .

Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer


bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi
Tentara India-Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan
antara Pemerintah Hindia Belanda dengan pihak tentara Jepang yang
dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura
menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan
menyerah tanpa syarat. Penandatanganan perjanjian Kaljati
dilakukan Jepang diwakili oleh Jenderal Imammura, sedangkan
Hindia Belanda diwakili oleh Jenderal Ter Poorten.

Hari itu juga, Jenderal Hein


ter Poorten memerintahkan
kepada seluruh tentara Hindia
Belanda untuk juga
menyerahkan diri kepada
balatentara Kekaisaran
Jepang. Dengan demikian,
tentara Belanda secara sangat
pengecut dan memalukan,
menyerah hampir tanpa
perlawanan sama sekali.
Dengan demikian, tanggal 9
Maret 1942 bukan hanya
merupakan tanggal menyerahnya Belanda kepada Jepang, melainkan
juga merupakan hari dan tanggal berakhirnya penjajahan Belanda di
bumi Nusantara, karena ketika Belanda kembali ke Indonesia setelah
tahun 1945, bangsa Indonesia telah merdeka.

Para pemimpin Hindia Belanda yang lain, segera melarikan diri. Dr.
Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur Jenderal untuk
India Belanda bagian timur, Dr. Charles Olke van der Plas,
Gubernur Jawa Timur, masih sempat melarikan diri ke Australia.
Bahkan Jenderal Ludolf Hendrik van Oyen, perwira Angkatan Udara

14
Kerajaan Belanda - kabur dengan kekasihnya dan meninggalkan
isterinya di Bandung. Tentara KNIL yang tidak sempat melarikan diri
ke Australia –di pulau Jawa, sekitar 20.000 orang- ditangkap dan
dipenjarakan oleh tentara Jepang; sedangkan orang-orang Eropa lain
dan juga warganegara Amerika Serikat, diinternir. Banyak juga warga
sipil tersebut yang dipulangkan kembali ke Eropa.

Di Eropa, Jerman hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk


menduduki Belanda. Pemerintah Belanda serta keluarga kerajaan
melarikan diri ke Inggris dan mendirikan pemerintahan Exil di London.
Tanggal 7 Desember 1942, Wilhelmina, Ratu Belanda membacakan
pidato di radio, yang isinya menjanjikan pemerintahan sendiri kepada
jajahannya, India Belanda, apabila Perang Dunia selesai dan Jepang
dapat ditaklukkan. Memang kelihatannya sangat lucu, bahwa dia
memberikan janji tersebut, setelah India-Belanda “diserahkan” kepada
Jepang tanpa upaya untuk mempertahankannya. Di kemudian hari,
setelah Jepang kalah perang, Wilhelmina berlaku seperti “The sleeping
beauty”, yang menganggap bahwa masa pendudukan Jepang hanya
sebagai mimpi buruk, dan setelah terbangun, segala sesuatunya akan
kembali seperti dahulu.(http://indonesiadutch.blogspot.com/2010/06/radio
-address-by-queen-wilhelmina-on-7.html)

3. Pembagian Wilayah Indonesia oleh Jepang

Setelah bala tentara Jepang


menduduki dan menguasai
seluruh wilayah Hindia
Belanda, mulailah masa
pendudukan Jepang di
Indonesia. Berbeda dengan
masa penjajahan Belanda,
pemerintah di pegang oleh
pemerintah sipil sedangkan
massa pendudukan Jepang
pemerintahan di pimpin
oleh militer yang sangat
diktator.

Dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia di bagi dalam 3


wilayah kekuasaan militer yaitu sebagai berikut :
1. Wilayah I, meliputi Pulau Jawa dan Madura dengan pusat
komando pertahanan di Batavia dipimpin oleh Tentara ke-16
Angkatan Darat.
2. Wilayah II, meliputi Pulau Sumatera dan Kepulauan di sekitarnya
dengan pusat komando pertahanan di Bukit Tinggi dipimpin oleh
Tentara ke-25 Angkatan Darat.

15
3. Wilayah III, meliputi Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali
dan Nusa Tenggara dengan pusat komando pertahanan di
Makasar dipimpin oleh Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut.

Pemerintahan Angkatan
Darat disebut Gunseibu,
dan pemerintahan
Angkatan Laut disebut
Minseibu. Masing-masing
daerah dibagi menjadi
beberapa wilayah yang
lebih kecil. Pada awalnya,
Jawa dibagi menjadi tiga
provinsi (Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur)
serta dua daerah istimewa,
yaitu Yogyakarta dan
Surakarta. Pembagian ini
dianggap tidak efektif sehingga dihapuskan. Akhirnya, Jawa dibagi
menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah oleh seorang Residen
(Syucokan). Keresidenan terdiri dari kotapraja (Syi), kabupaten (Ken),
kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan (Son), dan desa (Ku).

Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberapa sub-


karesidenan (Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah
Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi
tiga daerah kekuasaan, yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram
(Maluku dan Papua). Masing-masing daerah itu dibagi menjadi
beberapa karesidenan, kabupaten, sub-kabupaten (Bunken), distrik,
dan kecamatan. Pembagian daerah seperti di atas dimaksudkan agar
semua daerah dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan
pemerintah balatentara Jepang. Namun, untuk menjalankan
pemerintahan yang efektif dibutuhkan jumlah personil (pegawai) yang
banyak jumlahnya. (Doni Setyawan,2016)

4. Organisasi Propaganda Jepang

Jepang dalam memperkuat negerinya Nippon, berusaha mengarahkan


semua sumber daya yang ada di Indonesia untuk mendukung dalam
perang melawan Sekutu, selain itu Jepang berupaya untuk
mempertahankan wilayah Indonesia dari ancaman Sekutu dengan
cara melibatkan rakyat Indonesia dalam beberapa organisasi. Namun
sebelumnya, organisasi kebangsaan yang berdiri sejak zaman
penjajahan Belanda dibubarkan. Para pemimpin organisasi
kebangsaan yang telah dibubarkan selalu dicurigai dan diawasi.
Jepang betul-betul menguasai keadaan politik Indonesia. Sebelum
menyerbu Indonesia, tentara Jepang telah dilengkapi berbagai macam

16
dokumen tentang situasi politik Indonesia zaman Hindia Belanda,
termasuk para tokoh pemimpin bangsa Indonesia.

Rakyat Indonesia menyambut dengan gembira kedatangan Jepang ke


Indonesia. Beberapa propaganda yang dibuat oleh Jepang mampu
membuat rakyat bersimpati terhadap kedatangan Jepang. Propaganda
Jepang antara lain: Jepang menyatakan bahwa mereka adalah
saudara tua bagai bangsa-bangsa di Asia. Bangsa Indonesia
menganggap pernyataan tersebut sebagai hal yang benar, karena
bahwa bangsa jepang hampir mirip dan memiliki persamaan dengan
bangsa Indonesia.

Untuk memengaruhi masyarakat Indonesia, agar mau membantu


Jepang maka Jepang melakukan berbagai cara antara lain sebagai
berikut:
1. Bendera Merah Putih diizinkan berkibar.
2. Lagu Indonesia Raya diizinkan untuk dinyanyikan.
3. Bahasa Indonesia diizinkan digunakan sebagai bahasa pengantar.
4. Mendirikan berbagai organisasi.
(Adara Primadia, 2018)

Adanya semboyan bangsa Jepang yang terkenal dengan Gerakan Tiga


A yakni :
 Jepang pemimpin Asia,
 Jepang cahaya Asia,
 Jepang pelindung Asia.
Menarik simpati lewat
pendidikan, para pelajar
Indonesia diundang untuk
belajar di Jepang melalui
program bea siswa yang
mereka sediakan. Jepang
berusaha untuk menarik
simpati lewat program haji ke
Makkah bagi orang-orang yang
beragama Islam. Di bidang ekonomi, Jepang menjalankan politik
dumping, yakni menjual barang-barang dengan harga lebih murah di
luar negeri dari pada di Jepang sendiri. Berbagai Organisai Propagan
kemudian dibentuk oleh Jepang, salah satunya adalah Putera atau
Pusat Tenaga Rakyat, yang merupakan sebuah organisasi yang
dibentuk Jepang pada bulan Maret 1943. Pembentukan Putera
bertujuan menggerakkan rakyat Indonesia untuk mendukung Jepang
dalam berperang menghadapi Sekutu. (Doni Setyawan,2016)

Para pemimpin bangsa Indonesia banyak yang terpaksa bekerja sama


dengan pihak Jepang. Bahkan, para pemimpin tersebut ada yang
menduduki jabatan penting dalam lembaga bentukan Jepang.

17
Misalnya, Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan
K.H. Mas Mansyur (Empat Serangkai). Mereka menduduki pimpinan
Pusat Tenaga Rakyat (Putera).

Setelah Putera dibubarkan, Jepang membentuk Jawa Hokokai.


Sa1ah satu bagian dari Jawa Hokokai adalah barisan pelopor
(Suishintai) yang dipimpin Ir. Sukarno dan dibantu oleh beberapa
tokoh Indonesia yang lain. Melalui barisan pelopor ini, para pemimpin
bangsa Indonesia juga menanamkan semangat nasionalisme ke hati
sanubari para pemuda. Namun gerak-gerik organisasi bentukan
Jepang ini selalu diawasi dengan ketat.

Menghadapi kenyataan yang serba sulit, para pemimpin bangsa


Indonesia tidak kehilangan semangat perjuangan. Mereka selalu
mencari cara yang paling tepat dan baik untuk mewujudkan cita-cita
Indonesia merdeka.

5. Organisasi Militer Bentukan Jepang

Jepang lalu melatih


pribumi menjadi tentara
hanya untuk kepentingan
pertahanan mereka,
namun bagi Indonesia,
pembentukan pasukan di
masa pendudukan Jepang
kemudian sangat
membantu dalam perang
mempertahankan
kemerdekaan yang telah
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Pada bulan Juni 1943, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Selatan,

18
Letnan Jenderal Masazumi Inada, melakukan inspeksi ke Asia
Tenggara, termasuk ke Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Melihat
wilayah yang harus dipertahankan serta terbatasnya jumlah pasukan
Jepang, membuat Inada cemas. Inada memberikan rekomendasi
kepada Panglima Tentara ke 16, Jenderal Harada, yang
menggantikan Letnan Jenderal Imamura dan Panglima Divisi 25 di
Sumatera, Jenderal Moritaka Tanabe, untuk melatih rakyat
setempat guna membantu pertahanan mereka.

Pada bulan Oktober 1943


di Jawa, dibentuk pasukan
yang dinamakan Pembela
Tanah Air (Peta). Dari
pihak Indonesia
pembentukan Peta
tersebut juga atas usul
Gatot Mangkupraja.
Dengan demikian secara
kebetulan keinginan pihak
Indonesia seiring dengan
rencana Jenderal Inada.

Sebelum PETA resmi dibentuk, secara rahasia telah didirikan Seinen


Dojo (Sekolah Kemiliteran), dan dirancang untuk membentuk
kelompok kecil orang Indonesia yang berbahasa Jepang guna
membantu melatih sukarelawan Peta mendatang. Selain itu, Jepang
juga mempersiapkan Peta untuk perang gerilya, apabila tentara
Sekutu masuk ke Jawa. Dengan demikian struktur yang dibentuk,
disesuaikan dengan
rencana tersebut.
Satuan tertinggi adalah
daidan (batalyon)
dengan anggota sekitar
500 – 600 orang, di
bawah pimpinan
daidancho (komandan
batalyon). Di setiap
kabupaten ditempatkan
satu daidan, dengan
beberapa pengecualian
seperti Jakarta dan
Bandung, di mana
ditempatkan 2 atau 3 batalyon.

Bulan September 1943, Markas Besar Tentara Selatan menyetujui


dibentuknya Gyugun di Sumatera. Pusat latihan perwira didirikan di
Kotaraja, Medan, Padang dan Palembang.. Pada bulan Maret 1944

19
telah terbentuk sekitar 30 kompi (chutai). Tugas utama Gyugun
adalah penjagaan pantai, oleh karena itu latihannya dirancang untuk
menghasilkan perwira dan serdadu yang siap untuk tugas bertempur.
Gyugun di Sumatera dibentuk dan dilatih pada tingkat karesidenan,
tidak di dalam suatu kesatuan di bawah satu komando seperti di
Bogor.

Karena dalam perang melawan Sekutu


semakin terdesak, banyak pemuda yang
telah dilatih, dipaksa oleh Jepang untuk
ikut dalam pertempuran, termasuk
sekitar 2.000 Gyugun asal Sumatera
Utara yang dibawa ke Morotai
(Halmahera Utara) untuk bertempur
melawan tentara Sekutu.

Pada akhir tahun 1943 di Bogor


didirikan Renseitai (Satuan Pendidikan
Perwira). Dari catatan Jepang, dapat
diketahui berapa jumlah anggota Peta
yang mendapat pendidikan militer.
Sampai bulan November 1944 tercatat
kekuatan Peta di Jawa sebanyak 33.000 orang dan di Bali 1.500
orang. Di Sumatera telah dilatih sebanyak 6.000 Gyugun.

Pada pembentukan Pasukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA)


angkatan pertama, terdapat 50 orang anggota PETA yang karena
prestasi, diambil dari peserta latihan angkatan pertama itu untuk
mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten
Yanagawa. Di antara
mereka yang ikut latihan
khusus itu adalah Daan
Mogot, Kemal Idris,
Zulkifli Lubis, Kusno
Wibowo, Sabirin Mukhtar,
Syatibi dan Effendi. Dan
diantara mereka, Daan
Mogot karena prestasinya
yang menonjol, diangkat
menjadi pelatih anggota
PETA di Bali, kemudian
dipindahkan di Jakarta.

Tahun 1945, seluruh kekuatan PETA mencapai 66 batalyon di Jawa


dan 3 batalyon di Bali. Selain itu masih terdapat sekitar 25.000
prajurit Heiho. Apabila dalam struktur komando Peta, semua perwira
adalah orang Indonesia, dalam Heiho, seluruh perwiranya adalah

20
orang Jepang. Pangkat tertinggi orang Indonesia dalam Heiho adalah
sersan.

Selain itu jumlah pemuda di seluruh Indonesia yang mendapat


latihan semi-militer terutama latihan disiplin dan baris-berbaris
adalah:
Seinendan (barisan pemuda) : sebanyak 5.600.000 orang,
Keibodan (kelompok pertahanan sipil) : sebanyak 1.286.813 orang,
Shisintai (Korps Perintis) : sebanyak 80.000 orang,
Jibakutai (Korps Berani Mati) : sebanyak 50.000 orang,
Gakutai (Korps Mahasiswa) : sebanyak 50.000 orang,
Hisbullah (Korps Pemuda Muslim) : sebanyak 50.000 orang.

Latihan militer yang


diperoleh para pemuda ini
hanya dengan memakai
bambu runcing. Kelompok-
kelompok ini dipersiapkan
sebagai pendukung PETA,
Heiho dan Gyugun,
sedangkan Keibodan
diperbantukan kepada
kepolisian untuk menjaga
keamanan dan ketertiban
masyarakat.
(Republika.co.id, 2018)

6. Ekspolitasi yang dilakukan Jepang di Indonesia

Pemerintah pendudukan
Jepang merupakan
pemerintahan militer. Oleh
karena itu, sesuai dengan
keadaan perang pada saat itu,
semua jenis kegiatan diarahkan
untuk kepentingan perang.
Pemerintah pendudukan
Jepang telah melakukan
eksploitasi secara besar-
besaran terhadap sumber daya
alam Indonesia serta tenaga
manusia yang ada demi
memenangkan perang melawan sekutu.

Cara-cara Jepang di Indonesia mengeksploitasi sumber kekayaan


alam:

21
 Petani harus menyerahkan hasil panen, ternak dan harta milik
serta mereka yang lain kepada pendudukan Jepang untuk biaya
perang asia pasifik.
 Hasil kekayaan alam di Indonesia yang berupa hasil tambang
perkebunan dan hutan di angkut ke jepang.
 Jepang memaksa penduduk untuk menanam pohon jarak pada
lahan pertanian. (Doni Setyawan,2016)

Dan sebagai negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-


bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar
bagi barang-barang industrinya. Mereka dapat memenuhi industri
dengan mengolah tanah atau daerah jajahan itu. Demikianlah
jelasnya tujuan kedatangan bala tentara Jepang ke Indonesia. Mereka
ingin menanamkan kekuasaannya, dengan kata lain untuk menjajah
Indonesia.

Jepang semakin jelas menjajah Indonesia setelah sumber-sumber


ekonomi dikontrol secara ketat
oleh pasukan Jepang.
Pengontrolan ini dilakukan untuk
kepentingan perang dan kemajuan
industri Jepang. Cara-cara yang
mereka lakukan adalah
mengadakan romusha. Tidak
sedikit para pemuda yang
ditangkap dan dijadikan romusha.
Romusha adalah tenaga kerja
paksa yang diambil dari para
pemuda dan petani untuk bekerja
paksa pada proyek-proyek yang
dikembangkan pemerintah
pendudukan Jepang. Banyak
rakyat kita yang meninggal ketika
menjalankan romusha, karena
umumnya mereka menderita
kelaparan dan berbagai penyakit.

Mereka tidak hanya dipekerjakan di dalam negeri tetapi juga dikirim


ke Malaysia, Vietnam, Myanmar, dan Thailand. Mereka bekerja tanpa
upah dan tanpa makanan yang cukup. Meskipun Jepang hanya
berkuasa selama tiga setengah tahun di Indonesia, namun beban
penderitaan yang dirasakan penduduk Indonesia seperti dijajah
ratusan tahun. (Adara Primadia, 2018)

****

22
C. PERLAWANAN TERHADAP PENDUDUKAN JEPANG DI
INDONESIA.

Jepang pada mulanya


mendapat sambutan baik
oleh sebagian rakyat
Indonesia karena mereka
datang dengan semboyan
sebagai saudara tua yang
akan membebaskan bangsa-
bangsa Asia dari penjajahan
Barat. Namun pendudukan
Jepang di Indonesia dalam
beberapa bulan saja telah
menunjukkan
kekejamannya, bala tentara
Jepang melakukan penindasan, pemerasan tenaga, perampasan
kekayaan alam dan sebagainya. Semua organisasi politik yang ada pada
saat itu dilarang. Satu-satunya organisasi politik berdasarkan agama
Islam dibentuk pada zaman Jepang adalah Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin) pada tanggal 22 November 1943.

1. BENTUK DAN STRATEGI PERLAWANAN

Ada dua strategi yang digunakan para pejuang Indonesia dalam


menghadapi pemerintah penduduk Jepang, yakni :

Kooperatif, cara bekerja


sama dengan Jepang,
dengan mengikuti
organisasi-organisasi
Jepang. Dengan demikian
mereka mendapat
pelajaran militer dari
organisasi-organisasi
tersebut.

Para pemimpin bangsa


Indonesia banyak yang
terpaksa bekerja sama dengan pihak Jepang. Bahkan, para
pemimpin tersebut ada yang menduduki jabatan penting dalam
lembaga bentukan Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur (Empat Serangkai).
Mereka menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera
merupakan sebuah organisasi yang dibentuk Jepang pada bulan

23
Maret 1943 dan bertujuan menggerakkan rakyat Indonesia untuk
mendukung Jepang dalam berperang menghadapi Sekutu. (Doni
Setyawan,2016)

Setelah Putera dibubarkan, Jepang membentuk Jawa Hokokai.


Sa1ah satu bagian dari Jawa Hokokai adalah barisan pelopor
(Suishintai) yang dipimpin Ir. Sukarno dan dibantu oleh beberapa
tokoh Indonesia yang lain. Melalui barisan pelopor ini, para
pemimpin bangsa Indonesia juga menanamkan semangat
nasionalisme ke hati sanubari para pemuda.

Non kooperatif penduduk strategi non


kooperatif, tidak mau bekerjasama
dengan Jepang mereka membentuk
organisasi bawah tanah. Perjuangan
bawah tanah adalah perjuangan yang
dilakukan secara tertutup atau rahasia.
Perjuangan bawah tanah pada umumnya
dilakukan oleh para pemimpin bangsa
Indonesia yang terpaksa bekerja di
instansi pemerintah Jepang. Walaupun
mereka bekerja sebagai pegawai di
instansi pemerintah Jepang, di balik itu
mereka menghimpun dan menyatukan
rakyat untuk meneruskan perjuangan
mencapai Indonesia merdeka.

Perjuangan bawah tanah tidak terbatas di Jakarta, tetapi juga di


Semarang, Bandung, Surabaya, dan Medan. Di Jakarta terdapat
beberapa kelompok yang melakukan perjuangan bawah tanah atau
secara rahasia. Antara kelompok perjuangan satu dengan yang lain
selalu berhubungan. Kelompok perjuangan tersebut, antara lain :
 Kelompok Syahrir, beranggotakan kaum terpelajar di berbagai
kota.
 Kelompok Amir Syarifudin yang antifasis dan menolak bekerja
sama dengan Jepang
 Golongan Persatuan Mahasiswa yang sebagian besar
anggotanya adalah mahasiswa kedokteran
 Kelompok Sukarni, yang anggotanya antara lain Adam Malik,
Pandu Wiguna, Chaerul Saleh dan Maruto Mitimiharjo
 Golongan Kaigun, yang anggotanya bekerja pada angkatan laut
Jepang
 Pemuda Menteng, yang bermarkas di Gedung Menteng 31
Jakarta.

Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Selain


perjuangan dengan memanfaatkan organisasi bentukan Jepang dan

24
perjuangan bawah tanah, para pemimpin bangsa Indonesia juga
berjuang melalui perlawanan bersenjata. Hal itu didorong oleh
kekejaman tentara Jepang yang mengakibatkan penderitaan rakyat.

2. PERLAWANAN BERSENJATA TERHADAP JEPANG

Perlawanan bersenjata melawan Jepang, antara lain sebagai berikut:


 Pemberontakan rakyat Biak di wilayah Papua pada tahun 1943.
 Perlawanan rakyat di daerah Aceh, seperti di Tjot Plieng pada tahun
1942. Perlawanan itu mereda pada tahun 1944.
 Pemberontakan rakyat di Indramayu pada bulan April tahun 1944 di
bawah pimpinan H. Madriyas.
 Perlawanan rakyat di Pontianak pada tahun 1944 yang
mengakibatkan jatuhnya korban rakyat di daerah ini secara besar-
besaran.
 Pemberontakan di Singaparna, Tasikmalaya pada bulan Februari
1944 yang dipimpin oleh Haji Zaenal Mustafa.
 Pemberontakan eks KNIL dan rakyat di Minahasa (Peristiwa
Kaneyan), 1942

Perlawanan yang dilancarkan prajurit Peta, antara lain sebagai berikut:


 Perlawanan Peta di Blitar yang dipimpin oleh Supriyadi pada tanggal
14 Februari 1945;
 Perlawanan Peta di Gumilir, Cilacap;
 Perlawanan Peta di Aceh yang dipimpin oleh Teuku Hamid.

Di antara perlawanan Peta terhadap tentara pendudukan Jepang yang


paling besar adalah perlawanan di Blitar. Perlawanan Peta di Blitar
dapat dipatahkan oleh Jepang, tetapi menyebabkan lemahnya
pertahanan tentara Jepang pada saat menghadapi serangan besar-
besaran tentara Sekutu. (Doni Setyawan,2016).

25
3. PERLAWANAN EKS KNIL DAN RAKYAT DI MINAHASA TERHADAP
BALA TENTARA JEPANG

Minahasa adalah wilayah pertama yang mengalami perang modern di


Indonesia dalam melawan balatentara Jepang . Pertahanan Minahasa
yang berkekuatan 1.500 personal, itupun sebagian besar adalah milisi,
dilengkapi dengan senjata-senjata tua dan sama sekali tidak mengenal
kendaraan tank modern menghadapi kurang lebih 15.000 anggota
pasukan elite Jepang lengkap dengan senjata modern.

Pada awal bulan Januari


1942, Jepang mulai
mendarat di Manado-
Minahasa. Penyerbuan
pasukan Jepang lewat
pantai Manado ini nyaris
tanpa perlawanan. Begitu
mengetahui pasukan
Jepang mendarat, dengan
kekuatan militer yang kuat
disertai dengan kendaraan
lapis baja berupa tank,
Kapten Kroon memberi
instruksi kepada pasukan
mundur ke Tinoor. Beberapa unit pasukan KNIL mencoba menahan
gerak maju pasukan balatentara Jepang yang bergerak dari Manado
untuk menuju ke pedalaman Minahasa, namun perlawanan tersebut
tidak berarti apa-apa bagi pasukan Jepang yang dating menyerbu
lengkap dengan senjata-senjata modern.

Setelah menguasai Manado dan daerah-daerah strategis di Minahasa,


pemerintah Tokyo memaklumkan perang terhadap pemerintah Hindia-
Belanda pada 11 Januari 1942. Perang Gerilya singkat Setelah gagal
mempertahankan Manado dan daerah-daerah strategis lainnya di
Minahasa, Kapten Kroon berusaha mengumpulkan sisa-sisa pasukan
KNIL dari Kompi Manado (sekitar 50 pasukan) yang mundur di daerah
Kembes untuk melakukan perang gerilya. Rencana ini gagal karena dari
jumlah itu, yang tinggal hanya 9 perajurit, karena yang lain sudah di
ringkus lebih dahulu. Semua pasukan turunan Eropa, kecuali Kroon, di
hukum mati oleh tentara Jepang di Langoan pada tanggal 26 Januari
1942. Sersan Maliezer dari Kompi E tidak mau menyerah dan bergerilya
bersama 15 anak-buahnya. (Harry Kawilarang,2011)

Setelah Jepang masuk dan menguasai Minahasa-Sulawesi Utara, pada


sepanjang bulan Januari 1942, beberapa tentara KNIL tetap berusaha
untuk melakukan perlawanan, namun hal tersebut tak dapat

26
membendung kekuatan militer balatentara Jepang yang datang dengan
kekuatan penuh dan semangat yang berapi-api. Beberapa anggota KNIL
tewas dalam pertempuran, dan lainnya tertangkap. Beberapa anggota
KNIL lainnya berhasil melarikan diri dan masuk ke hutan-hutan sambil
melancarkan perang gerilya melawan Jepang.

Walaupun tanah Minahasa


berhasil di duduki oleh
balatentara Jepang,
namun mereka belum bisa
merayaan kemenangannya
sebab perlawanan
terhadap pendudukan
Jepang terus dilakukan
oleh para eks anggota KNIL
dibantu oleh para pemuda
pejuang yang bergabung
untuk melakukan perang
bergerilya. Kibat
perlawanan gerilya tersebut, rakyat di Minahasa menerima akibatnya.
Jepang sering melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap
penduduk yang dicurigai membantu kaum gerilyawan. Tekanan
terhadap rakyat Minahasa yang dilakukan Jepang sering di luar batas
kemanusiaan. Mereka sering melakukan penganiayaan baik lewat
pukulan, cambukan maupun dengan cara-cara yang tak lazim dilakukan
untuk menyiksa para penduduk agar dapat membantu mereka
menemukan para anggota gerilyawan, walaupun sebagian besar mereka
itu tak tahu menahu, bahkan tak mempunyai hubungan sama sekali
dengan para gerilyawan.

Perlawanan terhadap
Jepang di Minahasa
terus dilakukan, dan hal
ini membuat pasukan
Jepang menjadi gerah.
Apalagi sebelumnya
dibeberapa front
pertempuran, pasukan
Jepang mengalami
korban jiwa yang tidak
sedikit, sehingga
menimbulkan dendam
dikalangan pasukan
Jepang. Bala tentara
Jepang di Minahasa memberi perhatian khusus untuk mengejar dan
menghadapi para kaum gerilyawan.

27
1. Peristiwa Pertempuran Kalawiran - Minahasa

Salah satu pertempuran melawan pasukan pasukan Jepang terjadi di


Pangkalan Udara Militer Kalawiran. Pasukan Payung Jepang mendapat
perlawanan yang sengit dari anggota KNIL yang dipimpin oleh Sersan
Robbemond, Sersan Sirus Wungkana, Sersan Kaparang, dengan
anggota Spandri Tinus Neman, Spandri Serei Wurara, Spandri
Sorongan. ,

Hal ini bermula ketika lapangan udara


Kalawiren yang terletak tak jauh dari Danau
Tondano-Minahasa diserbu oleh pasukan para
Jepang dari kesatuan pasukan payung
“Yokosuka” dari korps marinir Tentara Jepang
pimpinan Horiuchi Toyoaki. Mereka menyerbu
dari udara dengan menerjunkan pasukan
mariner di seputar lapangan terbang Kalawiran.
Dalam operasi penerjunan ini, banyak dari
pasukan ini tewas oleh tembakan yang
dilancarkan oleh pasukan KNIL yang
melakukan perlawanan dari darat. Peristiwa ini
ditulis oleh perwira Jepang, Kapten Somaja :
"Diantara yang tewas di pihak Jepang, terdapat
dua perwIra berpangkat letnan, dua tamtama
dan 30 perajurit Jepang lainnya. Selain itu 90 luka-luka".

Kapten van den Berg


memerintahkan dua unit lapis
baja pimpinan Sersan Mayor
Ter Voert untuk mendukung
pertempuran di lapangan
terbang.Unit lapis baja pertama
yang dibawa Sersan Boyoh
berhasil menembus masuk
lapangan, sedangkan unit lapis
baja kedua yang dibawa Ter
Voert terhenti karena mesinnya
hancur terkena tembakan
hingga pincang. Dua prajurit
KNIL, Tauran dan Tumudi
memberondong tembakan dari senapan mesin mereka untuk memberi
kesempatan kepada rekan-rekan mereka melarikan diri. Mereka berhasil
lolos dan lari menuju Kakas.

Atas peristiwa itu, Jepang melakukan pengejaran besar-besaran.


Tumudi berhasil ditangkap dan kemudian di hukum mati oleh tentara

28
Jepang. Karena banyak korban berjatuhan, ketika Jepang menguasai
keadaan dan menduduki Kalawiren, langsung menghukum mati banyak
perajurit KNIL antara lain Letnan Satu J Wielinga, Sersan-Mayor
Robbemond, Sersan B Vischer dan sembilan perajurit KNIL dihukum
pancung dengan pedang samurai. Dua anggota KNIL lainnya gugur
setelah mengalami siksaan berat.

2. Peristiwa Pertempuran Kaneyan - Minahasa

Para anggota lainnya yang tersisa terdiri dari pasukan eks-KNIL dibantu
oleh beberapa pemuda pejuang pimpinan Sersan Johan Meliëzer,
Komandan E Company, peleton Reserve Korps (RC) Oud Militairen, tidak
mau menyerah. Ia dengan beberapa sisa pasukannya melarikan diri dan
masuk hutan untuk bergerilya, sambil mencari tempat yang cocok untuk
menjadi basis pertahanan mereka. Ia lalu memilih Desa Kaneyan di
pegunungan selatan Minahasa, sebagai daerah pertahanan yang
dianggap strategis dalam konsep perang gerilya (gorela) yang telah
dikumandangkan Komandan Garnisun (Troepencommandant) Manado
Mayor B.F.A.Schilmöller.

Beberapa serdadu Meliëzer memang asli


Kaneyan sehingga sangat menguntungkan
rencananya dengan penguasaan medan serta
dukungan moral dan materil dari
penduduk.Kaneyan akan menjadi
pertahanan dan medan laga terakhir dari
sisa-sisa kompi RK pimpinan Kapten Willem
Carel van den Berg yang telah hancur ketika
pasukan jepang menyerbu Minahasa. Meski
sekedar pasukan cadangan, beranggotakan
para pensiunan Koninklijke Nederlandsch-
Indische Leger (KNIL), alias militer tua,
dengan usia rata-rata di atas 50 tahun,
namun semangat juang peleton yang
dipimpinnya tidak luntur.

Dari 5 peleton awal Reserve Korps, tinggal pasukannya yang tersisa


setelah mereka mundur dari Kakas dan Langowan. Pertempuran yang
begitu sengit, sehingga banyak menewaskan serdadu Jepang, dan juga
banyak korban di pihaknya. Peletonnya ikut menderita kerugian tak
terkira, sebab dari tiga brigade (regu) dibawahnya, tinggal tersisa satu
regu berkekuatan 15 anggota. Banyak perwira dan rekannya telah
ditahan atau gugur dan dibunuh oleh Jepang yang tidak mengindahkan
aturan baku internasional tentang perlakuan terhadap para tahanan
perang (POW). Dari Kompi Manado pimpinan Kapten W.F.J.Kroon, telah
dieksekusi di Langowan pada tanggal 26 Januari 1942, Sersan Mayor
Infantri Jan Hendrik Kersten, Sersan Mayor Gerrit Bottinga, Sersan

29
J.W.Meijer, Sersan G.H.J.Wissink, Sersan Charles Hendrik Couzijn
dan Sersan H.J.A.Rolff . (Andrianus Koyongian, 2013)

Namun naas, kubu pertahanan gerilya di Kaneyan diketahui oleh


Jepang. Di subuh hari Senin tanggal 9 Maret 1942, ketika sebagian
besar penduduk Kaneyan masih terlelap tidur, secara mendadak
pasukan Jepang datang menyerang untuk menangkap Sersan Johan
Meliëzer beserta sisa-sisa peletonnya bertahan di desa tersebut.

Pasukan Dai Nippon /Jepang datang dari dua arah dengan kekuatan
satu kompi organik. Dari arah jembatan Ranotua‟na ke Kaneyan dating
pasukan Jepang dengan berjalan kaki, sedangkan pasukan lainnya
datang dengan menggunakan puluhan kendaraan dari jurusan Ritey.
Mereka dihantar langsung Kepala Distrik Amurang, Hukum Besar
(Guntjo) Dirk „Dicky‟ August Theodorus Gerungan serta Kepala Distrik
Kedua (Hukum Guntjo) Amurang-Tenga, Hukum Kedua Hein „Notji‟
Constantjin Mantiri.

Pasukan Jepang segera mengepung dengan mengambil posisi di sebelah


utara, barat, timur dan selatan negeri untuk mencegah siapa pun
meloloskan diri. Ketika penduduk bangun pagi dan mengetahui
kedatangan pasukan Jepang, segera terjadi kepanikan dan ketakutan
dari penduduk desa. Mereka berlarian tunggang-langgang ke berbagai
arah. Namun, dengan
mudah ditangkapi, sebab
pasukan Jepang yang
telah menyebar dan
mencegat di tempat-
tempat penting. Penduduk
yang ditangkap langsung
diinterogasi disertai
dengan penyiksaan untuk
mendapatkan informasi
dimana pasukan gorela
Sersan Johan Meliëzer
bersembunyi.

Salah satu yang dicari oleh pihak Japang adalah Pieter Joseph
Houtman yang merupakan keturunan Belgia yang memperistri wanita
asal Kaneyan bernama Carolina Pratasis. Pieter Houtman adalah orang
terpandang dan mantan kepala dinas Pekerjaan Umum serta polisi di
Kotamobagu Bolaang Mongondow dimasa pemerintahan Hindia Belanda.
Ia salah seorang warga sipil penerima gelar kehormatan Ridder (ksatria)
in de Militaire Willems-Orde (MWO), yang biasa diberikan untuk
tindakan keberanian dan loyalitas. Pieter Houtman diketahui pula
seorang yang kaya dan menyimpan puluhan batangan emas murni yang
diperolehnya sejak masih bertugas di Kotamobagu. Pieter Houtman

30
dicari Jepang karena dianggap sebagai pejabat dari regu
pembumihangus (Vernielings Corps) yang dibentuk Belanda untuk
menghalangi gerak-maju pasukan Jepang di Minahasa. Regu tersebut
bertugas menghancurkan jembatan, gudang-gudang persediaan beras
dan kopra yang akan menguntungkan bila nanti jatuh ke tangan
Jepang. Selain itu, ia dianggap membantu bekas Reserve Korps KNIL
yang bersembunyi di Kaneyan. (Andrianus Koyongian, 2013)

Pasukan Jepang segera


menyisir menuju ke tengah-
tengah negeri dan melakukan
penggerebekan. Mereka
berhasil menangkap Pieter
Houtman dan menyita puluhan
batangan emas murni miliknya.
Carolina Pratasis istri Pieter
berhasil meloloskan diri, lari
bersembunyi di hutan bersama-
sama dengan keluarga Pratasis
lain disertai hukum tua dan
keluarga-keluarga dari pasukan
Johan Meliëzer.

Marah tidak menemukan orang-orang yang dicari meski telah


menangkap Pieter Houtman, pasukan Jepang mulai membabi-buta.
Mereka segera membumihanguskan Kaneyan. Dalam sekejab Kaneyan
berubah menjadi lautan api yang melalap seisi kampung. Sebuah
jembatan di tengah Kaneyan ikut dihancurkan.Kebakaran hebat
melanda Kaneyan selama hampir tujuh jam. Akibatnya tiga perempat
bagian negeri tersebut musnah terbakar, bersama barang-barang
perabot rumah, persediaan padi, jagung dan kopi yang belum lama
dipanen, bahkan semua ternak peliharaan seperti babi, ayam dan anjing
turut terbakar. Beberapa penduduk yang melarikan diri, berhasil
ditangkap dan dijadikan sandera, dijaga ketat pasukan bersenjata
lengkap yang beringas. Tidak memandang bulu apakah sandera masih
anak-anak balita atau remaja, wanita dan orang tua tidak berdaya.
Mereka semua dicampur-aduk menjadi satu. Pieter Joseph Houtman
yang juga tertangkap bersama emas sitaan, langsung dibawa ke
Langowan dan dikabarkan telah dieksekusi mati.

Akibat perbuatan biadap dari pasukan Jepang itu, pasukan gerilyawan-


KNIL pimpinan Sersan Johan Meliëzer melakukan serangan balik.
Personil Meliëzer yang awalnya hanya terdiri satu regu (15 orang) telah
berkembang menjadi 30 orang setelah sejumlah pemuda Kaneyan, Ritey
dan Maliku dibawah pimpinan Simon Penu dan Yahya Rumagit secara
sukarela datang bergabung untuk melawan Jepang. (Andrianus Koyongian,
2013) Pertempuran sengit pun terjadi antara keduabelah pihak, diwarnai

31
dentuman mortir pasukan Jepang dan balasan tembakan peluru para
gorela dan pemuda yang bertahan di bukit-bukit. Walaupun pasukan
Jepang menggunakan senjata berat dengan persenjataan yang lebih
lengkap, namun melihat kedudukan mereka yang tak menguntungkan
yang mengakibatkan beberapa serdadu mereka telah menjadi korban
dari serangan para gerilyawan, akhirnya pasukan Jepang
mengundurkan diri meninggalkan rekan-rekan mereka yang tewas.
Pertempuran pun berakhir dramatis. Tak ada korban di pasukan
Meliëzer. Justru korban jiwa ada di pihak Jepang Serdadunya banyak
menderita luka, bahkan tewas terkena peluru tembakan eks KNIL yang
terkenal sebagai penembak-penembak jitu. Delapan tentara Jepang
tewas, sedangkan komandannya Baron Masakaze Takasaki menderika
luka-luka.

Kemarahan tentara Jepang


tak terbendung. Mereka lalu
melakukan pembersihan
besar-besaran ke desa
Kaneyan dan sekitarnya.
Sejumlah gerilyawan
bersama keluarganya, yang
tertangkap langsung disiksa,
dipukul dan ditendang
bahkan di bunuh. Ada enam
orang tahanan yang dibunuh
di perkebunan Tolongko
yang terletak di ujung desa
Kaneyan. Pembunuhan
dilakukan dengan sangat sadis, mata mereka ditutup kain hitam,
mereka diperintah membuka mulut, lalu ditusuk menggunakan bayonet.
Mayat keenam korban pembunuhan dibiarkan begitu saja, tergeletak di
pinggir jalan. Baru berselang beberapa hari kemudian keluarga dan
penduduk memberanikan diri mengambil serta menguburkan jenasah
mereka.

Usai melakukan pembunuhan, pasukan Jepang kembali. ke Amurang.


Namun dalam perjalanan pulang ke markas mereka di Amurang, mereka
kembali dihadang oleh pasukan Meliëzer sehingga sempat berlangsung
bakutembak. Namun pertempuran tersebut tak berlangsung lama.

Karena pasukan Jepang belum berhasil menangkap pemimpin


gerilyawan Sersan Johan Meliezer, yang telah membuat pihak Jepang
menderita kerugian serta telah memakan korban yang banyak dipihak
mereka. Maka selang beberapa hari kemudian, yaitu pada tanggal 17
Maret 1942, tentara Jepang dengan kekuatan lebih besar dan bersenjata
lengkap kembali mendatangi Desa Kaneyan. Sisa-sisa rumah penduduk
yang masih berdiri langsung dibakar habis.Mereka terus mencari

32
keberadaan pasukan Meliezer dengan melakukan penyisiran di wilayah-
wilayah perkebunan sekitar perkampungan untuk mencari para
gerilyawan beserta keluarga Pratasis. Penyisiran tersebut dipimpin oleh
Suoth dan Kawung sebagai penunjuk jalan.

Karena belum juga berhasil menangkap para gerilyawan pimpinan


Meliezer, yang masih bersembunyi di hutan sekitar perkampungan,
pasukan Jepang lalu membuat ancaman bahwa apabila pasukan
Meliezer tidak menyerah, maka seluruh penduduk kampung akan
dibunuh. Ancaman ini bukan main-main, karena selama ini pasukan
Jepang telah beberapa kali melakukan hal serupa untuk mencapai
tujuannya.

Pada keesokan harinya, Sersan Johan Meliëzer, bersama beberapa


pengikutnya antara lain Simon Penu, Carolina Houtman-Pratasis, Joel
Pratasis, Hukum Tua Kaneyan, Althin Gode Pratasis, Musa Pratasis,
Yahya Rumagit, Jus Sumoked, Ulrich Umboh dan Agam Penu, dengan
berat hati terpaksa keluar dari persembuyiannya untuk menyerahkan
diri secara sukarela tanpa melakukan perlawanan. Mereka tak ingin
penduduk Kaneyan menderita lagi bahkan akan mendapat musibah
yang lebih besar karena diancam akan dibunuh semua.

Akhirnya semua tahanan


tersebut diangkut ke
Langowan, sekitar 28
kilometer dari Kaneyan. Di
Langowan, mereka
digabungkan dengan
kelompok yang sudah
terlebih dahulu ditangkap di
pasar Tumpaan pada tanggal
9 Maret 1942 yang lalu.
Dikarenakan demikian
banyaknya para tahanan
perang yang ditangkap,
mereka disuruh setengah
berlutut sambil menjepit
balok kayu sepanjang enam meter di antara kedua betis dan paha
mereka, dengan tangan terikat di belakang badan. Mereka berjajar
memanjang hingga ke bagian belakang pekarangan markas komando
tempur Jepang itu.

Dan tak lama kemudian, diperkirakan di awal bulan April 1942 mereka
dibawa ke Totolan Kakas dan dibunuh secara kejam yaitu di pancung,
dan digantung sampai mati serta dikuburkan dalam satu lubang.
Sumber-sumber menyebut sebanyak 27 anggota pasukan dan
masyarakat Kaneyan yang dibunuh saat itu. Sersan Johan Meliëzer

33
bersama 12 anak buahnya dan sisanya adalah para penduduk. Dan
yang luput dari eksekusi Jepang hanya Agam Penu. (Andrianus Koyongian,
2013)

Dan sesudah itu, seluruh


penduduk Kaneyan tanpa
pengecualian baik laki-laki,
perempuan, tua dan muda
termasuk anak-anak,
diperintahkan berkumpul di
Amurang. Maka, semua
penduduk Kaneyan, berjalan
kaki sejauh 15 kilometer dengan
hanya pakaian di badan dan
tanpa membawa bekal. Ketika
tiba di lokasi mereka dipisah-
pisah. Kaum pria segera
diinterogasi tentara Jepang dan
Guntjo Dicky Gerungan serta Huku Guntjo Hein Mantiri. (Andrianus
Koyongian, 2013). Dalam pemeriksaan itu, tentara Jepang tanpa segan-
segan menyiksa mereka baik dengan pukulan atau cambuk sapi yang
terbuat dari rotan. Usai pemeriksaan, mereka disuruh pulang kembali
dengan berjalan kaki tanpa diberi makan dan minum.

Sekalipun pertempuran di Minahasa berjalan singkat, tetapi dalam arsip


sejarah militer Belanda maupun Jepang dilukiskan bahwa pertempuran
tersebut cukup sengit dan memuji keberanian pasukan pribumi
memberi perlawanan. (Harry Kawilarang, Juli 2011).

****

34
D. JANJI JEPANG UNTUK KEMERDEKAAN INDONESIA

Pada akhir tahun 1944,


Jepang semakin terdesak,
beberapa pusat pertahanan di
Jepang termasuk kepulauan
Saipan jatuh ke tangan
Amerika Serikat. Tentara
Sekutu di bawah Jendral
Mac Arthur juga berhasil
menduduki Morotai
pangkalan utama Jepang
dan menyerang kubu-kubu
pertahanan Jepang di
Sulawesi Utara dan
sekitarnya lalu beralih dan menduduki pulau Leyte di Filipina pada
tanggal 10 Oktober 1944.

1. Janji Kemerdekaan

Memasuki tahun 1945, semua


kekuatan Jepang di kawasan
Asia Timur dan Tenggara
sebagian besar telah jatuh
ketangan Sekutu. Bala tentara
Jepang hanya bisa bertahan
dari serbuan pasukan Sekutu
yaang datang merebut satu
demi satu daerah pendudukan
Jepang. Keadaan tersebut
membuat Perdana Menteri
Jepang Jenderal Koiso
Kuniaki yang mengantikan
Tojo, pada tanggal 7 September
1944 menjanjikan kemerdekaan
bagi “Hindia Timur” atau To-
Indo, (istilah dalam bahasa
Jepang yang terus dipakai secara resmi sampai bulan April 1954).
Akan tetapi, Koiso Kuniaki tidak menentukan tanggal kemerdekaan
itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas
janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan rasa
terima kasih. Sementara pihak angkatan laut masih tetap menentang
setiap usaha untuk memajukan nasionalisme di wilayah
kekuasaannya, seorang perwira angkatan laut yang luar biasa
ditempatkan di Jawa melakukan peranan aktif.

35
Laksamana Madya Maeda Tadashi bertugas menangani kantor
penghubung angkatan darat-angkatan laut di Jakarta. Dia
mempunyai pandangan-pandangan maju mengenai nasionalisme
Indonesia. Dia menggunakan dana angkatan laut untuk membiayai
perjalanan pidato keliling Sukarno dan Hatta, bahkan mengirim
mereka ke Makasar pada bulan April 1945
serta ke Bali dan Banjarmasin pada bulan
Juni. Pada bulan Oktober 1944 dia juga
mendirikan asrama Indonesia Merdeka di
Jakarta, atau untuk melatih para
pemimpin pemuda yang baru bagi sebuah
negara yang merdeka, atau untuk
menemukan cara menembus jaringan-
jaringan bawah tanah pemuda yang telah
ada. Maeda menjadi orang kepercayaan
banyak orang Indonesia terkemuka dari
berbagai tingkat usia, dan memberikan
sumbangan pada proses yang menjadikan
para pemimpin dari generasi muda dan
tua saling mengenal dan memahami (jika
tidak selalu saling menghormati) satu
sama lain di Jakarta.

2. Pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia

Pada taggal 1 Maret 1945,


panglima bala tentara
Jepang mengumumkan
pembentukan Dokoritsu
Zyumbi Tjosakai atau
Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dan
pembentukannya dilakukan
pada tanggal 29 Aprl 1945.
Keanggotaannya mewakili
sebagian besar pemimpin di
Jawa yang masih hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran
yang penting. Slanjnya pada tanggal 28 M 1945, dlaksanakan
pelantikan anggota BPUKI dengan susunan antara lain :
Dr.Radjiman Wediodiningrat menduduki jabatan ketua, sedangkan
Soekarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus
Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mohammad Yamin, dan yang lain
duduk sebagai anggotanya.

36
Pihak Jepang memutuskan bahwa bilamana kemerdekaan terwujud
hendaknya kemerdekaan itu berada di tangan para pemimpin dari
generasi tua yang mereka pandang lebih mudah untuk bekerja sama
daripada generasi muda yang tidak dapat diramalkan.

Pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, dilaksanakan Sidang Umum I


BPUPKI di gedung Volksraad Penjambon – Jakarta, dalam rangka
merumuskan dasar negara.

Pada pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, Ir.


Soekarno mengemukakan Pancasila-nya,
“lima dasar” yang akan menjadi falsafah resmi
dari Indonesia merdeka: Ketuhanan,
Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Kesejahteraan, dan
Demokrasi. Walaupun Pancasila itu pada
umumnya diterima oleh anggota-anggota
Badan Penyelidik, akan tetapi para pemimpin
Islam merasa tidak senang karena Islam
tampaknya tidak akan memainkan peranan
yang istimewa.

Pada tanggal 2 Juni – 9 Juni 1945, masa Sidang Umum I dan II,
dimana pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia 9 yang diketuai oleh Ir.
Soekarno, merumuskan rancangan pembukaan „Hukum Dasar‟
dimana mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam
Jakarta yang menyebutkan bahwa negara akan didasarkan atas
“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Piagam Jakarta ini diterima oleh Pantia Kecil
Penyelidik usul-usul.

Pada tanggal 10 Juli – 16 Juli 1945,


dlaksanakan Sidang Umum II BPUPKI. Pada
sidang II ini, Panitia Sembilan pimpinan
Soekarno, melaporkan hasil kerja yakni
Piagam Jakarta. Pada tanggal 11 Juli 1945,
dilakukan pembentukan Panitia-panitia,
antara lain Panitia Parancang Undang
Undang Dasar (UUD) yang diketuai oleh Ir.
Soekarno. Dalam dalam sidang Panitia
Parancang UUD ini, kata syariat Islam dalam
Piagam Jakarta di persoalkan, karena
ditengarai akan menjadi sumber pertentangan-
pertentangan sengit di masa mendatang antara pemeluk agama Islam
dan negara, demikian halnya dengan pemeluk agama non-Islam.
Akhirnya, sebagai kompromi, dibentuk sub Panitia Kecil yang

37
dipimpin oleh Dr. Soepomo beserta dengan 6 orang anggota yang
mengadakan rapat pada tanggal 12 Juni 1945. Dan hasil dari Panitia
Kecil ini dibawa dalam rapat Panitia Perancang UUD pada keesokan
harinya yaitu pada tanggal 13 Juli 1945. Pada tanggal 14 Juli 1945,
Rancangan Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) di terima oleh Sidang
Umum BPUPKI.

Dan setelah melalui


perdebatan sengit pada
tanggal 15 Juli 1945, yang
membahas tentang Batang
Tubuh UUD dalam hal
„agama‟ dan „hak-hak dasar
warga negara‟, akhirnya
Batang Tubuh UUD,
diterima oleh Sidang Umum
BPUPKI. (Drs. Saptono, 2007)

BPUPKI mengakhiri
tugasnya pada tanggal 16
Juli 1945, dan berhasil
merancang konstitusi
pertama Indonesia yang
menghendaki sebuah
republik kesatuan dengan jabatan kepresidenan yang sangat kuat,
dan dengan menetapkan bahwa negara baru tersebut tidak hanya
akan meliputi Indonesia saja tetapi juga Malaya dan wilayah-wilayah
Inggris di Kalimantan (Borneo).

Pada bulan Juli 1945 Jepang di Jawa


berusaha mempersatukan gerakan-gerakan
pemuda, Masyumi dan Jawa Hokokai ke
dalam satu Gerakan Rakyat Baru. Akan
tetapi, upaya tersebut gagal ketika para
pemimpin pemuda menuntut langkah-
langkah nasionalistis yang dramatis. Pihak
Jepang menangkap Muhammad Yamin
yang menurut keyakinan mereka telah
mengobarkan semangat kaum aktivis muda,
tetapi kini kejadian-kejadian bergerak terlalu
cepat bagi pihak Jepang untuk melakukan
usaha mempersatukan pemimpin-pemimpin dari golongan tua dan
golongan muda. Di dalam BPPK di Jakarta, Ir. Soekarno mendesak
agar versinya tentang nasionalisme yang bebas dari agama disetujui.
Karena konsep ini memang merupakan satu-satunya dasar yang
dapat disepakati pemimpin lainnya, maka menanglah Sukarno.

38
Dan kemudian semua unsur di kalangan orang-orang Jepang sepakat
bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia dalam waktu
beberapa bulan. Pada akhir bulan Juli 1945, para pemimpin Sekutu
di Potsdam mengeluarkan tuntutan agar Jepang menyerah tanpa
syarat. Jepang tidak dapat lagi memikirkan tentang kemenangan
ataupun tindakan untuk terus mempertahankan wilayah-wilayah
pendudukannya. Tujuannya di Indonesia kini adalah membentuk
sebuah Negara yang merdeka dalam rangka mencegah berkuasanya
kembali lawan, yaitu Belanda.

Pada akhir bulan Juli 1945, angkatan darat dan angkatan laut
Jepang mengadakan suatu pertemuan di Singapura guna
merencanakan pengalihan perekonomian ke tangan bangsa Indonesia.
Jepang memutuskan bahwa Jawa akan diberi kemerdekaan pada
awal bulan September, sedangkan daerah-daerah lainnya segera
menyusul.

3. Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Pembentukan Dokoritsu Zyumbi Inkai


atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang
diumumkan di Jakarta oleh Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi
untuk mengantikan tugas BPUPKI. PPKI diketuai oleh Ir. Soekarno
dan wakilnya Drs. Moh. Hatta ditambah dengan Mr. A. Soebarjo
sebagai Penasihat. Lembaga tersebut 21 orang terdiri dari wakil-
wakil dari Jawa maupun dari daerah luar Jawa, didominasi oleh
generasi tua, dan dijadwalkan mengadakan pertemuan pada tanggal
19 Agustus 1945.

Sebelumnya pada tanggal 6 Agustus 1945, pihak Sekutu (Amerika


Serikat), telah menjatuhkan bom pertama atas kota Hiroshima. Tiga

39
hari kemudian yaitu pada tanggal 9 Agustus1945, Sukarno, Hatta,
dan Radjiman terbang ke Saigon untuk memenuhi undangan dari
Panglima Tertinggi Wilayah Selatan, Jenderal Terauchi Hisaichi.
Saat mereka dalam perjalanan, diperoleh berita bahwa Sekutu
kembali menjatuhkan bom atom kedua atas atas kota Nagasaki. Hal
ini tentu saja akan membuat Jepang cepat atau lambat akan
menyerah.

Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi baru mereka temui di Dalat


pada tanggal 11 Agustus 1945. Kepada
mereka Terauchi menjanjikan
kemerdekaan bagi seluruh bekas
wilayah Belanda, tetapi memveto
penggabungan Malaya dan wilayah-
wilayah Inggris di Kalimantan.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Ir.


Soekarno dan rekan-rekannya tiba
kembali di Jakarta. Pada tanggal 15
Agustus 1945 bom atom kedua
dijatuhkan di Nagasaki dan pihak Soviet
menyerbu Manchuria.

*****

40
E. JEPANG MENYERAH TANPA SYARAT KEPADA SEKUTU

Pada akhir tahun 1944, Jepang


semakin terdesak, beberapa
pusat pertahanan di Jepang
termasuk kepulauan Saipan
jatuh ke tangan Amerika Serikat.
Terdesaknya pasukan Jepang
diberbagai front menjadi berita
menggembirakan bagi bangsa
Indonesia. Harapan bangsa
Indonesia agar terjadi perubahan
sikap terhadap penguasa Jepang
ternyata terwujud. Jepang
semakin terpuruk, semangat
tempur tentara Jepang makin merosot dan persediaan senjata dan
amunisi terus berkurang dan banyak kapal perang yang hilang, keadaan
semakin diperburuk dengan perlawanan rakyat yang semakin menyala.

Setelah kekalahan demi kekalahan dalam setiap front pertempuran


dengan pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat dalam Perang Pasific
Raya, Jepang mulai menyadari bahwa kedudukan mereka di daerah-
daerah pendudukan di Asia timur dan tenggara yang direbutnya pada
tahun 1942, tak bisa dipertahankan lagi.

Sejak awal tahun 1945, sebagian


wilayah Asia Tenggara termasuk
Philippina dan Indonesia telah
dikuasai oleh tentara Sekutu.
Satuan tentara Sekutu dari
Australia telah mendaratkan
pasukannya di Makasar-Sulawesi
dan Banjarmasin-Kalimantan,
sedangkan Balikpapan telah
diduduki oleh pasukan
Australia sebelum Jepang menyat
akan menyerah kalah.
Sementara Pulau
Morotai dan Irian Barat bersama-
sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di
bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando
Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Begitupun pasukan Sekutu dari Rusia telah menyerbu Manchuria –
Tiongkok.

41
Walaupun hamper semua wilayah pendudukan Jepang telah dikuasai
oleh pasukan Sekutu, namun Jepang belum menampakkan tanda-tanda
untuk menyerah. Oleh sebab itu, persiapan pasukan Sekutu secara
besar-besaran disiapka untuk menyerbu langsung ke jantung
pertahanan Jepang di wilayah Jepang sendiri.. Sementara persiapan
tentara Sekutu dilakukan, Presiden Amerika Serikat Donald Truman,
yang mengantikan Presiden Rossevelt yang baru meninggal dunia,
berpendapat bahwa penyerbuan besar-besaran tersebut akan memakan
korban yang terlalu besar di pihak Sekutu, dengan mengambil
pengalaman penyerbuan tentara Sekutu terhadap Jerman di Normandia-
Perancis pada Perang Dunia II di Eropah, dan akan memakan waktu
yang lebih lama. Semakin lama petempuran terjadi, akan lebih banyak
korban yang akan berjatuhan.

Untuk itu pemerintah Amerika Serikat mempersiapkan suatu cara yang


lebih efektif dan akurat untuk dapat menundukkan Jepang agar segera
menyerah. Rencana itu begitu rahasia yang khususnya menyangkut
pembuatan bom atom yang mempunyai daya ledak yang tinggi, yang
dapat menghancurkan sebuah kota yang besar. Bom itulah yang akan
digunakan terhadap Jepang, walaupun resikonya akan memakan
korban dari pihak penduduk sipil yang sangat besar, beserta efek
sampingnya berupa radiasi setelah bom itu meledak, akan membuat
penderitaan cacat tubuh bagi manusia yang terkontaminasi akan radiasi
tersebut. Keputusan yang berat ini diambil oleh pemerintah Amerika
Serikat guna untuk mengakhiri perang yang sudah memakan korban
yang sangat besar.

Akhirnya keputusan untuk


menjatuhkan bom ke wilayah
Jepang diambil terhadap dua kota
strategis di Jepang. Amerika Serikat
lalu melaksanakan misinya untuk
menjatuhan bom atom atas kota
Hiroshima dan Nagasaki pada
tanggal 6 dan 15 Agustus 1945.
Hancurnya Hiroshima dan Nagasaki
akibat bom atom tersebut, membuat
pemerintah Jepang tak berdaya lagi
menghadapi Sekutu. Jepang
kemudian menyatakan menyerah
tanpa syarat kepada Sekutu pada
15 Agustus 1945, namun kapitulasi
Jepang secara resmi ditandatangani
tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS
Missouri, di teluk Tokyo.

42
Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilaksanakan di
Singapura pada tanggal 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral
Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia
Command, mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan
Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi,
Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah
Selatan.

Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus 1945 dan 2 September


1945 terjadi vacuum of power (Kekosongan kekuasaan) di seluruh
wilayah yang diduduki oleh Jepang, karena pasukan sekutu yang
mengambil alih kekuasaan dari Jepang belum dapat segera dikirim ke
negara-negara yang diduduki oleh tentara Jepang. (Muhammad Subarkah,
1918)
****

43
G. DETIK-DETIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Pada tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat, dan dengan


demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah
yang berat. Karena sekutu tidak menaklukkan Indonesia, maka kini
terjadi suatu kekosongan politik, pihak Jepang masih tetap berkuasa
namun telah menyerah, dan belum tampak kehadiran pasukan Sekutu
yang akan menggantikan mereka.

Rencana bagi kemerdekaan yang


disponsori pihak Jepang kini
tampaknya terhenti, dan pada
hari berikutnya Gunseikan telah
mendapat perintah khusus
supaya mempertahankan
keadaan politik yang ada sampai
kedatangan pasukan Sekutu.
Sukarno, Hatta, dan generasi
tua ragu-ragu untuk berbuat
sesuatu dan takut memancing
konflik dengan pihak Jepang.

Namun tidak demikian dengan golongan pemuda,


mereka melihat kondisi ini adalah kesempatan
emas untuk segera menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Para pemimpin pemuda menginginkan
suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di
luar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan
dalam hal ini mereka didukung oleh Sutan Sjahrir.
Akan tetapi, tak seorang pun berani bergerak tanpa
peran Sukarno dan Hatta. Dilain pihak, Laksamada
Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara
cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir
terhadap kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupun
pasukan Jepang yang kehilangan semangat.

1. Peristiwa Rengasdengklok

Setelah Soekarno dan Hatta tiba di Jakarta pada tanggal 14 Agustue


1945, mereka disambut oleh Sutan Syarir yang menyampaikan berita
kekalahan Jepang yang didengarnya dari radio luar negeri. Sutan
Syarir lalu menyarankan agar Soekarno segera menyatakan
kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Saran itu ditolak oleh
Soekarno Hatta. Mereka berpendapat bahwa soal kemerdekaan

44
Indonesia datangnya dari pemerintah Jepang atau dari hasil
perjuangan bangsa Indonesia sendiri, tidak menjadi soal, karena
Jepang sudah kalah. Menurut Soekarno dan Hatta, yang terpenting
adalah bagaimana kita menghadapi Sekutu yang ingin mengembalikan
kekuasaan Belanda di Indonesia. Dan hal itu akan dibicarakan lebih
dahulu dalam sidang PPKI. Pendapat ini tidak diterima oleh Sutan
Syarir dan para pemuda. Mereka berpendirian bahwa PPKI adalah
badan buatan Jepang, tidak berhak menentukan nasib dan
kemerdekaan bangsa Indonesia. (Amrin Imran,1998).

Menghadapi sikap Soekarno dan Hatta ini, para pemuda bertindak


lain. Mereka tetap mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Pada
keesokan harinya tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda mengadakan
rapat di Jalan Cikini No. 71, dan berhasil memutuskan bahwa
kemerdekaan harus segera diproklamirkan oleh bangsa Indonesia
sendiri tanpa campur tangan pihak asing. Keputusan rapat para
pemuda ini oleh Wikana dan Darwis, lalu disampaikan kepada
Soekarno dan Hatta. Usulan pemuda itu ditolak oleh Soekarno dan
Hatta dengan alasan menunggu berita resmi tentang menyerahnya
Jepang. Akhirnya Wikana dan Darwis kembali ke Jalan Cikini 71
untuk menemui para pemuda. Mendegar penolakan itu, para pemuda
lalu mengadakan rapat kembali. Hasil rapat tersebut memutuskan
untuk mengungsikan Soekarno dan Hatta dengan alasan bahwa
semangat rakyat sudah meluap sehingga keamanan mereka terancam
apabila terjadi bentrokan antara rakyat dengan pihak Jepang. Namun
tujuan utama mereka adalah untuk menekan Soekarno dan Muh.
Hatta, aga segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. (Amrin
Imran,1998).

Pada tanggal 16 Agustus 1945


pukul 08.00 pagi, Soekarno dan
Hatta tidak ditemukan di
Jakarta. Pada malam harinya
mereka telah dibawa oleh para
pemimpin pemuda ke garnisun
PETA di Rengasdengklok,
sebuah kota kecil yang terletak
utara jalan raya ke Cirebon,
dengan dalih melindungi mereka
bilamana meletus suatu
pemberontakan Peta dan Heiho.
Ternyata tidak terjadi satu
pemberontakan, sehingga
Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan
suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di
luar rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak.

45
Hilangnya Ir. Sekarno dan Drs. Muh. Hatta menimbulkan kepanikan
di kalangan para pemimpin pergerakan di Jakarta. Peristiwa ini baru
diketahui oleh Mr. Ahmad Soebardjo pada pukul 08.00 pagi. Mr.
Ahmad Soebardjo berusaha mencari tahu dimana Soekarno dan Hatta
berada. Ia lalu menghubungi berbagai pihak termasuk Wikana. Wikana
lalu menunjukkan tempat Soekarno dan Hatta berada, setelah
memperoleh jaminan dari Mr. Ahmad Soebardjo sekirannya kedua
tokoh tersebut dikembalikan ke Jakarta.

Setelah tiba di Rengasdengklok, Mr. Ahmad


Soebardjo lalu mengadakan negosiasi dan
memberikan jaminan kepada Komandan PETA di
sana bahwa dirinya siap mati apabila besok
Soekarno dan Hatta tdak memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia. Laksamana Maeda juga
mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan
dengan selamat, maka ia dapat mengatur agar
pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana
kemerdekaan dicanangkan. Akhirnya atas
jaminan tersebut, Soekarno dan Muh. Hatta
diperbolehkan untuk kembali ke Jakarta.
Perjalanan dipimpin oleh Mr. Ahmad Soebardjo dan dikawal oleh para
pemuda. Mereka tiba di Jakarta malam hari pukul 23.00 WIB.

2. Penyusunan Teks Proklamsi Kemerdekaan Indonesia

Pada malam itu Soekarno dan Hatta tidak dibawa ke rumah Soekarno
di Jalan Pengangsaan Timur 56, namun langsung dibawa ke rumah
Laksamana Maeda di jalan Meiji (Showa) Doori No. 1 Jakarta (sekarang
Jl. Imam Bonjol), karena telah mendapat jaminan dari Maeda. Hal ini
dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama
dari gangguan pihak militer Jepang, yang selalu ingin menghalangi
dilaksanakannya kemerdekaan Indonesia. Namun Soekarno dan Hatta
mencoba menghubungi para pejabat Jepang untuk menjajaki sikap
mereka terhadap Proklamasi Kemerdekaan. Ternyata tanggapan para
pejabat Jepang tersebut mengecewakan.

Rumah Laksamana Maeda pada malam itu dipenuhi oleh pemuda dan
anggota PPKI, setelah mereka mendengar bahwa Soekarno dan Hatta
berada di tempat itu. Soekarno dan Hatta, bersama Mr. Ahmad
Soebardjo malam itu juga merancang pernyataan kemerdekaan
Indonesia di ruang makan rumah itu hingga pukul 03.00 subuh.

46
Untuk merumuskan teks proklamasi kemerdekaan, kaum muda
menginginkan agar pernyataan bahasa yang digunakan dramatis dan
berapi-api, tetapi golongan tua menginginkan menggunakan bahasa
yang lebih bersahaja. Akhirnya dengan alasan untuk menghormati
Maeda (Jepang), supaya tidak menyakiti perasaan Jepang serta agar
tidak mendorong terjadinya kekerasan maka disetujuilah pernyataan
proklamasi kemerdekaan Indonesia yang tenang dan bersahaja. Teks
dan isi proklamasi lalu ditulis tangan oleh Ir. Soekarno dengan
menerima masukan dari
Drs. Muh. Hatta dan Mr.
Achmad Soebardjo. Selesai
teks tersebut dibuat,
Soekaralu membacakan
rumusan proklamasi
kemerdekaan itu secara
perlahan-lahan dan
berulang-ulang di hadapan
pemuda dan anggota PPKI
yang hadir.

Ketika sampai pada siapa yang akan menandatanganinya, timbul


pertentangan pendapat. Para pemuda menolak menandatangani
bersama para anggota PPKI, bagi mereka PPKI adalah budak Jepang.
Akhirnya Sukarni mengusulkan agar naskah proklamasi kemerdekaan
itu hanya ditanda-tangani oleh dua orang saja yaitu Soekarno dan
Muh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul itu diterima oleh semua
pihak, dan Soekarno lalu meminta Sayuti Melik untuk mengetiknya.

47
Draf naskah proklamasi diadakan perbaikan dimana kata “tempoh”
diganti menjadi “tempo” ,dan kata „Djakarta, 17-08-05” diganti menjadi
“Djakarta hari 17 boelan 08 tahoen 05”, serta kata “wakil-wakil bangsa
Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”, dengan
dibawah kata tersebut dicantumkan nama Soekarno/Hatta.

Selesai diketik, naskah proklamasi kemerdekaan diserahkan kepada


Soekarno dan Hatta untuk ditanda-tangani. Penandatangan naskah
proklamasi kemerdekaan dilakukan menjelang subuh, Jumat, 17
Agustus 1945. Selanjutnya mereka membicarakan tempat untuk
dibacakan Proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut. Dan demi
keamanan, Ir. Soekarno mengumumkan bahwa proklamasi
kemerdekan akan diadakan di rumah kediamannya di Jalan
Pengangsaan Timur 56, pada pukul 10.00 pagi.

2. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Berkumandang

Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jum‟at jam 10.00 pagi, Soekarno
didampingi Moh. Hatta dan beberapa orang dari generasi muda serta
para anggota PPKI dan masyarakat yang telah memenuhi halaman
rumah kediaman Soekarno. Disekitar rumah tersebut, telah dijaga oleh
beberapa anggota Barisan Pelopor dan PETA serta dibantu oleh para
pemuda untuk berjaga-jaga agar jangan sampai acara Proklamasi
Kemerdekaan itu mendapat gangguan.

Akhirnya tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh bangsa Indonesia yaitu


pembacaan pernyatakan Kemerdekaan Indonesia. Ir. Soekarno yang
didampingi oleh Drs. Muh. Hatta tampil didepan microfon yang telah
disiapkan, dengan didahului pidato singkat, sebagai berikut :
“ Saudara-saudara sekalian ! Saya minta saudara-saudara
untuk hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa maha
penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita Bangsa Indonesia telah berjuang
untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-
ratus tahun !

48
Gelmbang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada
naiknya dan turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju cita-
cita.
Juga di zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan
nasional tidak berhenti-henti. Di dalam zaman Jepang ini,
tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi
pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri,
akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan
pemuka-pemuja Rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia.
Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat, bahwa
sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan
kita.
Saudara-saudara ! Dengan ini kami menyatakan kebulatan
tekat itu.
Dengarlah Poklamasi kami :
(Drs. Saptono, 2007)

Lalu kemudian Ir. Soekarno mengambil kertas teks proklamasi dan


mulai membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia secara
perlahan-lahan dan penuh wibawa :

PROKLAMASI

“ Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemedekaan


Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan
lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakata, 17 Agustus 1945


Atas Nama Bangsa Indonesia
Sekarno – Hatta

Demikianlah saudara-saudara !
Kita Sekarang telah merdeka !
Tdak ada suatu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan
Bangsa kita.

49
Mulai saat ini kita menyusun Negara kita !
Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia merdeka, kekal
dan aabadi.
Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.
(Drs. Saptono, 2007)

Setelah pembacaan pernyataan kemerdekaan, dilanjutkan dengan


pengibaran Bendera Merah Putih, diiringan secara spontal oleh hadirin
dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Maka saat itu juga Lahirlah
Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya Walikota Jakarta


Soewiryo memberikan
sambutan atas penyataan
kemerdekaan Indonesia
tersebut, ditengah keharuan
para pemuda dan para tokoh
masyarakat yang hadir.

Proklamasi kemerdekaan ini


selanjutnya disebarluaskan
melalui kantor berita yang ada
ke berbagai pihak terkait dengan berdirinya negara kesatuan Republik
Indonesia.

****

50
I. PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN PERTAMA INDONESIA

Proklamasi Kemerdekaan
1945 berarti bahwa bangsa
Indonesia telah memutuskan
ikatan dengan tatanan
hukum sebelumnya. Tatanan
Hindia Belanda ataupun
tatanan hukum pendudukan
Jepang. Dengan kata lain,
bangsa Indonesia mulai saat
itu telah mendirikan tatanan
hukum yang baru, yaitu
tatanan hukum Indonesia.
Di dalamnya berisikan
hukum Indonesia, yang ditentukan dan dilaksanakan sendiri oleh bangsa
Indonesia.

Sehari setelah proklamasi dikumandangkan, yaitu pada hari Sabtu


tanggal 18 Agustus 1945, para pemimpin bekerja keras membentuk
lembaga pemerintahan sebagaimana layaknya suatu negara merdeka.
PPKI kemudian menyelenggarakan rapat pada 17 Agustus 1945. Atas
inisiatif Soekarno dan Hatta, mereka merencanakan menambah sembilan
orang sebagai anggota baru yang terdiri dari para pemuda, seperti Chairul
Saleh dan Sukarni. Namun, para pemuda memutuskan untuk
meninggalkan tempat karena menganggap PPKI adalah bentukan Jepang.
Namun rapat tetap dilanjutkan guna untuk mengesahkan UUD yang telah
disusun oleh PPKI sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

51
1. Pengesahan UUD 1945

Rapat pertama PPKI untuk mengesahkan UUD 1945 tanggal 18


Agustus 1945 dilaksanakan di Pejambon Jakarta. Sebelumnya,
Soekarno dan Hatta meminta Ki Bagus Hadikusumo, K.H.Wachid
Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr.Teuku Mohammad
Hassan untuk mengkaji rancangan pembukaan UUD. Hal ini
sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta yang dianut oleh
BPUPKI pada 22 Juni 1945, khususnya berkaitan dengan kalimat
“Berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Hal ini dianggap perlu dan penting untuk dikaji ulang, karena pemeluk
agama lain terutama yang berada di Indonesia bagian Timur merasa
keberatan jika kalimat itu dimasukkan dalam UUD. Keberatan ini
disampaikan kepada Drs. Muh. Hatta. Akhirnya, setelah dilakukan
pembicaraan yang dipimpin oleh Muh. Hatta, dicapai kata sepakat
bahwa kalimat tersebut dihilangkan untuk menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa. Maka kalimat tersebut diubah menjadi :
“Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”, atas usul dari Ki
Bagus Hadikusumo. (Drs. Saptono, 2007)

Rapat pleno dimulai pada pukul 11.30 di bawah pimpinan Ir. Soekarno
dan Drs. Muh. Hatta. Dalam membicarakan UUD ini, rapat
berlangsung lancar. Rapat berhasil menyepakati bersama rancangan
Pembukaan dan UUD Negara Republik Indonesia. Rancangan yang
dimaksud adalah Piagam Jakarta yang dibuat oleh BPUPKI dengan
sedikit perubahan disahkan menjadi UUD. Isi dari UUD meliputi
Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 37 Pasal, 4 Pasal Aturan

52
Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan disertai dengan penjelasan.
Dengan demikian, Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat
dalam hidup bernegara dengan menentukan arahnya sendiri.

2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Pada hari yang sama, dalam rapat untuk


membahas Rancangan Undang Undang
Dasar Bab III, tampil Otto
Iskandardinata yang mengusulkan agar
pemilihan presiden dan wakil presiden,
dilakukan secara mufakat. Ia sendiri
mengajukan Ir. Soekarno dan Drs.
Muhammad Hatta masing-masing
sebagai presiden dan wakil presiden.
Tentunya hal ini sesuai dengan UUD
yang baru disahkan.

Dalam musyawarah untuk mufakat,


secara aklamasi peserta sidang
menyetujui dan menetapkan Soekarno
dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden pertama Republik
Indonesia, diiringi dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

3. Pembagian Wilayah Indonesia

Rapat PPKI pada 19 Agustus 1945 memutuskan pembagian wilayah


Indonesia menjadi delapan provinsi dengan penempatan Gubernur di
seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, serta Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Surakarta.

53
Kedelapan provinsi dan penempatan Gubernur di seluruh Indonesia
sebagai berikut :

1. Jawa Timur, : R.A. Soerjo


2. Jawa Tengah, : R. Panji Soeroso
3. Jawa Barat, : Soetardjo Kartohadikoesoemo
4. Borneo (Kalimantan), : Ir. Pangeran Mochamad Noor
5. Maluku, : Mr. J. Latuharhary
6. Sulawesi, : Dr. G.S.S.J. Ratulangie
7. Sunda Kecil (Nusa Tenggara), : Mr. I. Gusti Ktut Pudja
8. Sumatra, : Mr. Teuku Mochamad Hasan
(Nico Tamiend R,2018)

4. Pembentukan Kementerian

Setelah rapat menetapkan wilayah, Panitia Kecil yang dipimpin oleh


Mr. Ahmad Soebardjo menyampaikan laporannya. Panitia Kecil
mengajukan tiga belas kementerian. Sidang kemudian membahas
usulan tersebut dan menetapkan perihal kementerian.

Selanjutnya, rapat memutuskan adanya dua belas departemen dan


satu kementerian negara :
1. Menteri Luar Negeri : Mr. Achmad Soebardjo
2. Menteri Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Koesoema
Wakil Menteri Dalam Negeri : Mr. Harmani
3. Menteri Keamanan Rakyat : Soelrijadi
4. Menteri Kehakiman : Prof. Dr. Soepomo
5. Menteri Penerangan : Mr. Amir Sjarifuddin
Wakil Menteri Penerangan : Ali Sastroamidjojo
6. Menteri Keuangan : Mr. Alexander A. Maramis
7. Menteri Kemakmuran : Ir. Soerachman Tjokroadisoerjo
8. Menteri Pekerjaan Umum : Abikoesno Tjokrosoejoso

54
9. Menteri Perhubungan : Abikoesno Tjokrosoejoso
10. Menteri Sosial : Mr. Iwa Koesoemasoemantri
11. Menteri Pengajaran : Ki Hadjar Dewantara
12. Menteri Kesehatan : Dr. Boentaran Martoatmodjo
(Nico Tamiend R,2018)

Menteri Negara :
Dr. R. Mohammad Amir
Wachid Hasjim
Mr. R.M. Sartono
R. Otto Iskandardinata
(Nico Tamiend R,2018)

Pejabat setingkat menteri :

Ketua Mahkamah Agung Dr. Koesoema Atmadja


Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja
Sekretaris Negara Abdoel Gaffar Pringgodigdo
Juru bicara negara Soekarjo Wirjopranoto

5. Pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

Pada 22 Agustus 1945, PPKI kembali menyelenggarakan rapat


pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang akan
menggantikan PPKI.
Soekarno dan Hatta
mengangkat 135 orang
anggota KNIP yang
mencerminkan keadaan
masyarakat Indonesia.
Seluruh anggota PPKI,
kecuali Soekarno dan
Hatta menjadi anggota
KNIP. Mereka kemudian
dilantik pada 29
Agustus 1945.

Susunan pengurus KNIP adalah sebagai berikut :


Ketua KNIP : Mr. Kasman Singodimejo
Wakil Ketua I : Sutarjo Kartohadikusumo
Wakil Ketua II : Mr. J.Latuharhary
Wakil Ketua III : Adam Malik
Sekretaris : Soewirjo

Tugas dan wewenang KNIP adalah menjalankan fungsi pengawasan


dan berhak ikut serta dalam menetapkan GBHN.

55
6. Membentuk Kekuatan Pertahanan dan Keamanan

Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan


Republik Indonesia, Jepang mengeluarkan perintah untuk
membubarkan kesatuan-kesatuan Petadan Heiho. Sehari kemudian,
panglima terakhir Tentara Keenambelas di Jawa, Letnan Jenderal
Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan. Selanjtnya tugas
untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).

Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada


tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk
Tentara Kebangsaan. Pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI mengusulkan
pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), sehingga keesokan
harinya, yaitu pada tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno
mengesahkan secara resmi berdirinya BKR sebagai badan kepolisian
yang bertugas menjaga keamanan, yang merupakan bagian dari Badan
Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang merupakan induk
organisasi dengan tujuan memelihara keselamatan masyarakat serta
merawat para korban perang. Walaupun mayoritas angota BKR terdiri
dari mantan anggota PETA, KNIL, dan Heiho, namun bukan
merupakan kesatuan militer yang resmi.( K. Wardiatmoko,2012). Terpilih
sebagai pimpinan BKR pusat adalah Kaprawi.

Fungsi BKR sebagai


organisasi
kepolisian, terutama karena
pemimpin politik saat itu
yang berniat memanfaatkan
diplomasi sebagai sarana
penggalangan bantuan
internasional terhadap
negara baru, dan juga untuk
memungkinan tentara
Jepang melihatnya sebagai
sebuah ancaman bersenjata
sehingga mencegah
kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara.[

Dalam perkembangannya, kebutuhan untuk


membentuk tentara tidak dapat diabaikan lagi.
Apalagi setelah Sekutu membebaskan para serdadu
Belanda bekas tawanan Jepang dan melakukan
tindakan-tindakan yang mengancam pertahanan
dan keamanan. Presiden Soekarno kemudian
memanggil mantan Mayor KNIL Oerip
Soemohardjo dari Yogyakarta ke Jakarta. Oerip

56
Soemohardjo diberi tugas untuk membentuk tentara nasional.

Berdasarkan maklumat Presiden RI, pada 5 Oktober 1945 berdirilah


Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Soepriyadi (tokoh perlawanan
tentara PETA terhadap Jepang di Blitar) terpilih sebagai pimpinan TKR.
Atas dasar maklumat itu, Oerip Soemohardjo segera membentuk
Markas Besar TKR yang dipusatkan di Yogyakarta. Namun dalam
perkembangannya, Soepriyadi tidak pernah muncul untuk memegang
jabatannya. Maka pada tanggal 12 November 1945, dilaksanakan
konferensi TKR untuk

Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR,


Kolonel Sudirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui
pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip
mengumpulkan 21 suara, sedangkan Kolonel Sudirman unggul
dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatra semuanya memilih
Kolonel Sudirman. Kolonel Sudirman, yang saat itu berusia 29 tahun,
terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas
posisi tersebut kepada Oerip Soemohardjo, namun para peserta rapat
tidak mengizinkannya. Oerip Soemohardjo, yang telah kehilangan
kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai,
merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR.

Kolonel Sudirman tetap menunjuk


Oerip Soemohardjo sebagai kepala
staff. Sesuai dengan jabatan barunya,
Sudirman dipromosikan menjadi
Jenderal. Setelah pertemuan,
Soedirman kembali ke Banyumas
sembari menunggu persetujuan
pemerintah dan mulai mengembangkan
strategi mengenai bagaimana mengusir
tentara Sekutu. Rakyat Indonesia
khawatir bahwa Belanda, yang
diboncengi oleh Nederlandsch Indië
Civil Administratie (NICA), akan
berupaya untuk merebut kembali
nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa
pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi
di Surabaya pada akhir Oktober dan awal November
1945. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi
Kolonel Sudirman, menyebabkan terlambatnya pengangkatan Kolonel
Sudirman sebagai pemimpin TKR

Keberhasilan mengusir tentara Sekutu dalam Pertempuran Ambarawa,


membuat Kolonel Sudirman lebih diperhatikan di tingkat
nasional, dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia

57
tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman
militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah. Pada
akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan,
sementara kesetiaan Oerip Soemohardjo kepada Belanda dipandang
dengan penuh kecurigaan. .(Wikipedia Indonesia)

Untuk menghilangkan kesimpangsiuran mengenai keanggotaan TKR,


Markas Besar TKR pada tanggal 6 Desember 1945, mengeluarkan
sebuah maklumat yang menyatakan bahwa selain tentara resmi (TKR),
diperbolehkan juga adanya laskar, sebab hak dan kewajiban
mempertahankan negara bukan monopoli tentara.

Akhirnya pada tanggal 18 Desember 1945, pemerintah mengangkat


Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat
Jenderal, dan sebagai Kepala Staf TKR adalah Mayor Oerip
Soemohardjo dengan pangkat Letnan Kolonel. .( K. Wardiatmoko,2012).

Posisi Kolonel Sudirman sebagai kepala Divisi V digantikan oleh


Kolonel Sutiro, dan mulai berfokus pada masalah-masalah
strategis. Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk
dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-
masalah politik dan militer. Oerip sendiri menangani masalah-masalah
militer. Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi
perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan
tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia
tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti
komandan batalion pilihan mereka. (Wikipedia Indonesia).

Pada perkembangannya, Tentara Keamanan Rakyat berubah menjadi


Tentara Keselamatan Rakyat pada 7 Januari 1946. Nama itu berubah

58
kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 24 Januari
1946 dengan Jendral Sudirman sebagai Panglima Besar Jenderal TRI.

Dalam upacara pengangkatannya, Jenderal Sudirman bersumpah


untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan."

Pada awal bulan Juni 1947, nama Tentara Republik Indonesia diubah
menjadi Tentara Nasional Indonesia, dengan singkatan “TNI” dan
diresmikan pada tanggal 3 Juni 1947. Pucuk pimpinan TNI dipegang
oleh; Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar, Letjen Urip
Sumohardjo sebagai Kepala Staf, Jenderal Mayor Djokosujono
sebagai Panglima TNI-Masyarakat, Laksamana Muda M. Nazir sebagai
KSAL dan Komodor Suryadarma sebagai KSAU.

Dengan demikian, hingga pertengahan 1947 pemerintah telah berhasil


menyusun, mengonsolidasi, sekaligus menyatukan alat pertahanan
dan keamanan.

*****

59
BAB III

PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946


DI MANADO DAN MINAHASA

A. KEADAAN DI SULAWESI UTARA PASCA PROKLAMASI


KEMERDEKAAN

Tentara Sekutu di bawah Jendral Mac


Arthur menduduki Morotai dan
menyerang kubu-kubu pertahanan
Jepang di Sulawesi Utara lalu beralih dan
menduduki pada 10 Oktober pulau Leyte
di Filipina.

Pada April-Agustus 1945, pimpinan


tentara Kaigun yang pindah ke Tondano
mempersiapkan Indonesia Merdeka
sesuai janjinya. Bendera Merah-Putih
mulai dikibarkan di samping bendera
Hinomaru sedangkan jabatan-jabatan
sipil berangsur-angsur diserahkan
kepada bangsa Indonesia. Tentara keamanan diserahkan oleh panglima
Laksamana Hamanaka kepada Indonesia dalam bentuk pasukan Pembela
Tanah Air (PETA), pimpinan Wangko Sumanti, tetapi tidak dengan
penyerahan senjata.

Setelah dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh


Soekarno-Hatta yang kemudian berita itu diterima di Sulawesi Utara,
disusul dengan menyerahnya Panglima Hamanaka kepada Tentara
Sekutu di Morotai dengan seluruh pasukannya sejumlah 8000 orang yang
kemudian dikumpulkan di kamp tawanan di Girian-Bitung.

Di Minahasa, Sulawesi Utara, berita proklamasi kemerdekaan pertama


kali diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945. Berita Kemerdekaan
Indonesia ini pertama kali didengar A Sigar Rombot yang waktu itu
bertugas di markas Angkatan Laut Jepang di Tondano sebagai markonis,
mendengar berita itu disiarkan kantor berita Domei di Tokyo. Berita ini
tak menonjol dan hanya diselipkan diantara berita-berita berkisar pada
peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kaputiasi Jepang, dan
perintah gencatan senjata oleh Kaisar Hirohito, dll.

60
Sigar Rombot lalu menyampaikan berita itu, antara lain kepada Wangko
F Sumanti yang ketika itu menjabat komandan Benteng Pertahanan
Tanah Air di Tondano - Minahasa.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi tersebut


dengan menaikan bendera Merah Putih diiringi lagu kebangsaan
Indonesia Raya di Lewet - Tondano. (J.V. Lisangan, 1995) Lisangan adalah
salah seorang yang hadir dalam upacara itu. Di masa itu ia adalah pelajar
pada sekolah menengah pertama Jepang, Chuu Gakko yang melakukan
kegiatan belajar mengajarnya di penyingkiran Koya, Tondano.

Sejak itu para pemuda Tondano memulai gerakan pembelaan proklamasi.


Kegiatan pemuda di Tondano pertama kali terjadi di Sekolah Kepolisian
(Nippon no Tokoubetsu Kaisatsu) yang di dirikan pada jaman pendudukan
Jepang di sebuah gedung gereja Advent di Rerewoken –Tondano,
Minahasa. Jumlah siswanya sekitar 70 orang yang rata-rata berusia 17
tahun dan direkrut dari seluruh penjuru Minahasa yang antara lain
terdapat, Alex Lelengboto, Leo Kawilarang, Frans Karepouan, John
Somba, Adolf Wungouw dan Karinda. Sedangkan diantara para guru
terdapat juga orang-orang non-Kawanua, seperti Samsuri, Rusman dan
Massu.

Segera setelah menerima berita dari Sigar dan Rombot, pada tanggal 19
Agustus 1945, para pelajar di Sekolah Kepolisian di Tondano mengadakan
appel menaikkan bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Badan Pemerintah Sementara (Komite Tenaga Rakyat) dibawah
pimpinan E.H.W. Pelenkahu memutuskan pada 23 Agustus, dwiwarna
Merah Putih di kibarkan serentak pada beberapa tempat di Minahasa,
yakni Tondano, Kawangkoan, Kombi dan Sonder. Peristiwa itu terjadi
sebelum penyerahan Jepang
pada Sekutu.

Namun, euforia kemerdekaan


ini tak berlangsung lama.
Jepang di Indonesia Timur
menyerah kepada sekutu 9
September 1945. Itu dilakukan
di Morotai. Sekutu memasuki
Indonesia untuk melucuti
tentara Jepang, memulangkan
mereka ke Jepang dan
membebaskan para interniran.
(Leirissa, 1977).

Penyerahan Jepang kepada Sekutu di Indonesia Timur pada tanggal 9


September 1945 di Morotai itu, diikuti dengan kedatangan misi-misi
militer Australia yang tiba di Minahasa pada tanggal 11 September 1945

61
untuk melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara Jepang yang
berjalan tanpa keributan. Sejak itupun kegiatan kelompok Komite Tenaga
Rakyat tak terdengar lagi.

Tugas pelucutan tentara Jepang ini dilaksanakan oleh Australian Military


Force (AMF) yang diperkuat „Kompi 7 KINL‟. Di dalam „Kompi 7 KNIL‟
terdapat orang-orang Minahasa, dan daerah lain di
nusantara. AMF melaksanakan tugas perlucutan senjata tentara
Jepang tanpa perlawanan. Tapi tugas mereka hanya berjalan sekira satu
minggu lalu kemudian diganti South East Asia Command, Inggris. Lalu,
tugas itu dikembalikan lagi kepada AMF. Untuk memantapkan tugasnya,
dibentuklah semacam satuan-satuan tugas.

Di Manado, satuan tugas itu


bernama Manado Force.
Manado Force dipimpin oleh
Letnan Kolonel Muir.
Sebelumnya dia juga
memimpin misi militer untuk
menerima penyerahan Jepang
di Tondano dan Tomohon.
Menurut Leirissa,
Kekuatan Manado Force terdiri
dari 72 orang, 12 perwira dan
33 bintara dan prajurit.
Mereka tiba di Manado pada
tanggal 2 Oktober 1945.
Manado Force, seperti juga
satuan-satuan lainnya, ketika datang disertai satu
dasatasemen Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. NICA dibentuk di Australia pada 3
April 1944.

Di awal 1944, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. Van Mook
dan Panglima Tertinggi SWPA, Jenderal Douglas MacArthur dari AS,
menyepakati bahwa wilayah Hindia Belanda yang berhasil direbut oleh
pasukan Sekutu akan diserahkan kepada pemerintahan sipil NICA.

1. Berdiri Barisan Pemuda Nasioanl Indonesia (BPNI)

Kehadiran NICA menghidupkan memori penjajahan Belanda. Meski tidak


semua kelompok di Minahasa bersikap mutlak anti Belanda, tapi sebuah
kelompok pemuda Minahasa, Sangihe dan dari lain di Sulawesi Utara
punya cara pandang Baru dalam memahami arti Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namanya, Barisan Pemuda Nasional
Indonesia (BPNI).

62
Sejak Manado Force meninggalkan Minahasa pada awal Februari 1946,
kata Leirissa, NICA mendapat banyak kebebasan untuk menjalankan
pemerintahan. Sejak itu pula, Coomans de Ruyter, yang memulai
menamakan dirinya „Residen‟, memindahkan kantor dan rumahnya ke
Tomohon, yaitu di kompleks rumah sakit Katolik „Gunung Maria‟. (Leirissa,
1977).

Ikut pindah ke Tomohon adalah


pimpinan KNIL, Letkol. De
Vries yang menyandang
jabatan Troepen Commandant
Noord Celebes. Kekuatan tentara
KNIL makin besar. Selain Kompi
7, terdapat pula bekas tentara
KNIL yang baru dibebaskan dari
tawanan Jepang. Dengan
begitu, NICA semakin memiliki
kekuatan pula untuk
memerintah di Minahasa.
Lisangan menuturkan, ketika
hadir di Minahasa, NICA
melarang pengibaran bendera
Merah Putih di gedung-gedung
pemerintah yang sudah berkibar sejak tanggal 19 Agustus itu. Sekolah-
sekolah Jepang juga ditutup.

Kehadiran NICA, menurut Leirissa berhadapan dengan pandangan politik


pemuda dan intelektual-intelektual Minahasa yang terbentuk oleh
pengalaman penjajahan dan perang. Generasi yang menerima doktrin
Jepang tentang keunggulan ras Asia di atas Eropa memunculkan sikap
anti terhadap Belanda. Mereka secara radikal menolak eksistensi Belanda
di Minahasa.

Kelompok lain memiliki kesadaran bahwa Minahasa berbeda dengan


suku-suku lain di nusantara, sehingga masa depan politik Minahasa
adalah „federalisme‟ dalam Indonesia. Sementara kelompok yang lain,
sepertinya menerima kehadiran NICA karena menganggap dapat
merealisasikan pidato Ratu Wilhemina pada tanggal 7 Desember 1942
yang mengiming-imingi bentuk persemakmuran antara Negeri Belanda
dengan daerah-daerah jajahannya.

Namun ternyata dalam bulan-bulan pertama setelah Proklamasi itu pihak


Belanda sama sekali tidak mengetahui adanya kelompok pemuda radikal
itu di Minahasa. (Leirissa, 1977).

63
Tapi sebetulnya benih-benih anti penjajahan mulai mengkristal sejak
tahun 1930-an dan lebih jelas lagi sejak tahun 1943. Ini antara lain
ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi olah raga yang
mengembleng dan menanamkan rasa kebangsaan kepada pemuda-
pemudi. Menurut Lisangan tokoh-tokoh yang membentuk organisasi itu
adalah O.H. Pantouw, B.W. Lapian, G.E. Dauhan, Frits Kumontoy, ABH
Waworuntu, J.U. Mangowal, Max B. Tumbel, dan dr. Senduk.

Pemuda dan pemudi yang menjadi anggota organisasi itu adalah Bert
Sigarlaki, Eddy Gagola, Parengkuan, Na. Wulur, Nyong Lomban, dan
Mimi Mewengkang. Seorang pemuda lain yang kemudian berperang
penting adalah John Rahasia.

B.W. Lapian adalah seorang intelektual yang


ikut membidani lahirnya Kerapatan Gereja
Protestan Minahasa (KGPM) pada tahun 1933
sebagai klimaks dari protes-protes Pangkal
Setia terhadap kekuasaan Indische Kerk. G.E.
Dauhan, adalah seorang yang berasal dari
Sangihe, wartawan dan aktivis politik.
Menurut Lisangan, pada tahun 1928, Dauhan
bersama Max B. Tumbel, O.H. Pantouw yang
mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI)
dan juga menerbitkan surat kabar „Suara Kaum‟ di Manado.

John Rahasia adalah seorang yang berasal dari Sangihe. Ia kemudian


mengikuti pendidikan perwira kapal di Pare-pare. Sekolah perwira
pelayaran yang bernama Koto Kaiin Yesyio itu menampung sejumlah
pemuda MULO yang dididik untuk perwira pelayaran niaga. D
Dari Minahasa waktu itu terdapat 60 pemuda asal Utara Sulawesi,
yaitu Ventje Sumual, Freek Sumanti, Piet Ngantung, Bert Supit, Bob
Pussung, Rolly van Heuven, Daan Mogot, Albert Tumbelaka, Roel
Mamesah, Ernst Sompotan, Hein Montolalu, Nun Pantouw, Willy
Pantouw dan John Rahasia. (Yan Torar, 1985)

Tanggal 19 Agustus 1945, John Rahasia dan kawan-kawannya berangkat


dari Pare-pare menuju Manado. Tapi nanti awal Oktober, atas inisiatif
John Rahasia sejumlah pemuda berkumpul di kediamannya, jalan
Sindulang, Manado. Kelompok itu antara lain terdiri dari Chris Pontoh,
Wim Pangalila, Mohammad Kanon.

Setelah tiba di Manado, John Rahasia mengumpulkan sejumlah pemuda


di rumahnya, Jalan Sindulang. Diantaranya terdapat Chris Pontoh, Wim
Pangalila, Mohammad Kanon, dll. Hasil dari pertemuan ini hingga pada
8 Oktober 1945 terbentuk organisasi pemuda pertama di Minahasa,
Barisan Pemuda Nasional Indonesa (BPNI), sebagai gerakan pendukung
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Wawasan mereka ini disebarluaskan

64
melalui dua majalah sederhana, yaitu media Catapult (berbahasa
Belanda) dan Suara Indonesia Muda.

Rencana positif BPNI muncul ketika pasukan Australia mengumumkan


niatnya untuk mengundurkan diri dari Minahasa. Mulusnya kekuasaan
NICA dan KNIL Belanda melalui Manado Force, ternyata menghantui
BPNI, sehingga rencana apapun yang mereka lakukan serba terselubung
dan rahasia agar tidak tercium intelijen NEFIS ataupun NICA. Maka, pada
tanggal 8 Oktober 1945 pemuda-pemudi itu mendirikan organisasi politik
pemuda bernama Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI). Tujuan
mereka adalah mendukung gerakan kemerdekaan yang diproklamasikan
di Jakarta. Wawasan-wawasan mereka itu disebarluaskan melalui dua
majalah sederhana, yaitu Catapult (berhasa Belanda) dan Suara
Indonesia Muda. (Leirissa, 1977). Ketua BPNI adalah John Rahasia,
pelopornya yang lain adalah Mat Kanon, Kris Pontoh, dan lain-lain.
Sementara G.E. Dauhan dan kawan-kawannya membentuk Barisan
Nasional Indonesia (BNI). Salah satu agenda BNI, menurut Lisangan
adalah menyakinkan masyarakat Minahasa untuk berpartisipasi dalam
revolusi nasional. Hal ini ditekankan, karena disadari di dalam kelompok-
kelompok masyarakat Minahasa terdapat faksi-faksi dan perbedaan
pandangan mengenai masa depan politik Minahasa. (J.V. Lisangan, 1995)

2. Rencana Boikot BPNI

Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan


Manado. Kini semua urusan ditangani oleh NICA. “BPNI melihat
kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim Pangalila,
merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh
Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling, (Ben Wowor, 1915)

Aktivis BNI mendengar, bahwa NICA berencana akan melaksanakan


perayaan Perjanjian (Verbon) 10 Januari. Itu akan dilaksanakan pada 10
Januari 1946 di lapangan Wenang. Sejak Jepang menduduki Minahasa,

65
perayaan ini tidak lagi dilaksanakan. Terakhir dirayakan pada tahun
1942. Kali ini pihak NICA ingin menyelenggarakan dengan tujuan untuk
menjalin hubungan Minahasa-Belanda setelah terputus oleh pendudukan
Jepang, Selain itu, perayaan ini untuk mengenang, menghormati,
memperingati dan bahkan untuk membuat orang-orang Minahasa terus
terikat dengan Belanda.

Perjanjian itu terjadi pada tahun


1679, sejumlah pemimpin atau
kepala walak Minahasa menyatakan
perjanjiannya secara tertulis dengan
pihak Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC). Pada abad 20,
perjanjian itu dianggap sebagai tanda
dari „persekutuan‟ antara Minahasa
dan Belanda. Olehnya, tanggal 10
Januari seolah-olah adalah hari
sakral. Setiap tahun dirayakan.
Bahkan, untuk memperingati 250
tahun (1929) perjanjian itu, E.C.
Godee Molsbergen dimita khusus
untuk menulis sejarah itu. Bukunya
berjudul Geschiedenis van de
Minahasa tot 1829. Tidak heran jika di dalam masyarakat Minahasa ada
kelompok yang percaya pada Ratu Wilhemina pada tanggal 7 Desember
1942. Juga berharap Minahasa nanti menjadi Provinsi ke-12 dari
Belanda.

Diam-diam BPNI melakukan pertemuan. Mereka lalu menyusun suatu


aksi yang tergolong berani dan radikal. Memboikot perayaan Perjanjian 10
Januari. BPNI lalu menyusun rencana. Pembicaraan-pembicaraan
dilakukan beberapa kali. “Rencana pokok adalah „memboikot‟ perayaan
itu dengan cara menimbulkan kerusuhan pada hari itu, terutama di
lapangan Wenang di mana perayaan akan dipusatkan,” tulis Leirissa.
Tindakan utama yang direncanakan adalah pengibaran bendera Merah
Putih di lapangan upacara dengan perlindungan pemuda. Dengan
maksud agar gerakan protes akan menjalar dan membangkitkan
kekuatan massa. Utusan-utusan memang telah dikirim ke Tondano,
Tonsea dan Tomohon.

Tapi, rencana BPNI ini tercium oleh intelejen NICA. Para aktivis BPNI,
John Rahasia, dan Chris Pontoh ditangkap dan dipenjarakan. Tokoh-
tokoh pemuda lainnya yang juga ditangkap adalah Mohammad Kanon,
Gerrit Kansil, Wil Pangalila, Sukandar, Ben Wowor, Usman
Pulukadang, Louis Paat, Joppi Poliis. Aksi boikot perayaan 10 Januari
gagal.

66
Kritik terhadap perayaan 10 Januari sebagai „hari sakral‟ rupanya penting
bagi para pemuda dan aktivis politik di masa itu untuk menyatakan sikap
anti penjajahan. Sekira 13 tahun sebelum BPNI merancang aksi mereka,
pada tahun 1933, seorang aktivis politik, J.C. Dauhan, asal Siau saudara
G.E. Dauhan melakukan propaganda bernada sentimen anti Belanda.
J.C. Dauhan menulis pada sebuah surat kabar sebuah artikel berjudul “
“10 Januari Hari Nasional?”. Bersama G.D. Dauhan ia diperiksa oleh
polisi dengan tuduhan telah melakukan penghasutan kebencian. Bagi
pemerintah Belanda itu suatu masalah besar

3. Kembalinya Para Perantau Minahasa

Sejak peristiwa penangkapan itu, situasi Manado menjadi tegang. Selain


karena rencana aksi boikot BPNI, juga dipengaruhi oleh kedatangan para
pengungsi dari Jakarta dan Makassar yang membawa berita-berita
tentang perkembangan politik di kedua kota itu. Sebenarnya kedatangan
mereka atas gagasan Kolonel Giebel untuk berbuat baik terhadap orang-
orang Minahasa dengan mendatangkan para perantau yang ingin pulang
karena menjadi korban aksi pembantaian pemuda-pemuda radikal
ekstrimis sektarian di Jawa.

Banyak orang Minahasa di perantauan harus mengalami deraan dan


pembantaian dengan tuduhan “Anjing Belanda” di Pontianak,
Banjarmasin, Salatiga, Semarang, Jakarta dll. Dalam acara pulang
kampung itu, diantara pengungsi terdapat pengungsi pro-Republik.

Kapal pertama bertolak dari Jakarta, “Van Heutz,” singgah di Semarang


dan Surabaya juga mengangkut pengungsi. Terdapat pula anggota-
anggota KNIL yang datang dari Australia yang menyusup di kapal. Antara
lain adalah Kopral Wim Kere yang setiba di Manado dimasukkan dalam
salah satu Kompi KNIL di Teling. Kapal kedua, “Zwartehond,” bertolak
dari Makasar juga mengangkut para pengungsi.

4. Misi Dr. Sam Ratulangi

Pada bulan September 1945, sementara para pemuda Sulawesi Utara


membentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI), dan NICA-
Belanda di bawah perlindungan Sekutu menduduki kembali Indonesia
Timur, khususnya Sulawesi Utara, dan segera berusaha memulihkan
kekuasaannya dari masa Hindia-Belanda tetapi terlibat clash dengan
pasukan pemuda BPNI.

Baru pada awal Januari 1946 pihak Belanda membongkar sebuah


organisasi rahasia gerakan pemuda Republik yang sudah terbentuk sejak
bulan Oktober 1945. Inisiatif ini dilakukan oleh John Rahasia, seorang
pemuda asal Sangir-Talaud yang pernah mengikuti pendidikan perwira

67
kapal di Pare-Pare masa pendudukan Jepang. Waktu itu sekolah perwira
pelayaran Jepang, Koto Kaiin Yesyio itu menampung sejumlah pemuda
lulusan MULO yang di didik untuk menjadi perwira pelayaran niaga.
Ketika itu dari Minahasa terdapat sekitar 60 pemuda. Setelah kapitulasi
Jepang sekolah ini ditutup. Para pemuda itu dengan berbagai cara
berhasil kembali ke Sulawesi Utara ataupun ke Jawa. John Rahasia
bersama sejumlah pemuda berangkat dari Pare-Pare pada tanggal 19
Agustus 1945 dan baru tiba di Manado melalui darat pada awal bulan
Oktober.

Setelah tiba di Manado, John Rahasia mengumpulkan sejumlah pemuda


di rumahnya, Jalan Sindulang. Diantaranya terdapat Chris Pontoh, Wim
Pangalila, Mohammad Kanon, dll. Hasil dari pertemuan ini hingga pada
8 Oktober 1945 terbentuk organisasi pemuda pertama di Minahasa,
Barisan Pemuda Nasional Indonesa (BPNI), sebagai gerakan pendukung
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Wawasan mereka ini disebarluaskan
melalui dua majalah sederhana, yaitu media Catapult (berbahasa
Belanda) dan Suara Indonesia Muda.

Rencana positif BPNI muncul ketika pasukan Australia mengumumkan


niatnya untuk mengundurkan diri dari Minahasa. Mulusnya kekuasaan
NICA dan KNIL Belanda melalui Manado Force, ternyata menghantui
BPNI, sehingga rencana apapun yang mereka lakukan serba terselubung
dan rahasia agar tidak tercium intelijen NEFIS ataupun NICA.

NICA telah membentuk kembali LOI (organisasi pusat ketentaraan)


sebesar 8 kompi yang terdiri dari tentara KNIL bekas pasukan Sekutu
dengan menerima juga bekas Heiho-Jepang dan pensiunan militer
(reserve corps).

Sesuai misi dari Dr. Sam Ratulangi sebagai


Gubernur Sulawesi, pasukan NICA ini harus
disusupi oleh para pemuda pejuang militer untuk
kemudian dibantu oleh pemuda (BPNI) mewujudkan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini
terlaksana sehingga di asrama militer di Teling-
Manado dibentuk suatu organisasi gelap yang
sangat rahasia oleh Freddy Lumanauw dan
Wangko Sumanti yang dinamakan mereka:
„‟Pasukan Tubruk‟‟.
Dr. Sam Ratulangi

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Dr. GSSJ Ratulangi


diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, dengan tugas pokok
memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Sam
Ratulangi, lalu memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat
Keselamatan Rakyat. Tapi, yang paling menarik adalah kemampuannya

68
menggalang dukungan menyeluruh dalam petisi politik. Petisi ini
ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Petisi ini berisi
pernyataan sikap bahwa seluruh Sulawesi adalah bagian tak terpisah dari
Republik Indonesia.

Untuk maksud tersebut, Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi berhasil


menyelundupkan beberapa kader muda untuk membawa pesan bagi para
pemuda dan pemimpin-pemimpin pergerakan di Tondano. Surat Sam
Ratulangi di bawa oleh seorang wanita yang terpercaya. Surat dibuat di
Makassar, pada bulan Desember 1945, berbunyi:

“Merdeka!
Kami disini baik-baik saja. Anak-anak telah bersekolah kembali,
maksudnya, bersekolah di sekolah nasional kami sendiri, karena kami
lain sekali, bahwa kami akan memenangkan perjuangan nasional ini.
Perjuangan ini kami lakukan secara diplomatik parlementer. Kami
tidak membenci orang-orang Belanda, mereka boleh tinggal disini;
mereka boleh menjadi kaya tanpa diganggu. Tetapi kekuasaan
diplomasi, kekuasaan untuk memerintah, harus ada ditangan kami,
karena ini adalah tanah air kami. Tanah air ini, yang diberi oleh
Tuhan kepada nenek-moyang kami dan pada kami dan turunan kami.
Melalui pekerjaan jasmani dan rohani kami akan membangun bangsa
kami dan tanah air kami, agar bisa memberi sumbangsih bagi
perdamaian dunia dan kesejahteraan dunia. Kalian harus selalu ingat
itu dalam apapun yang kalian buat.

Merdeka! Saya telah diangkat menjadi Gubernur Sulawesi oleh


pemerintah Republik. Saya telah menerimanya dan akan
melaksanakannya perjuangan diplomatic, di dukung oleh semua
penguasa Aru dan Karaeng dari Sulawesi Selatan dan Tengah dan oleh
semua Maradia dari Sulawesi Barat, oleh Raja-raja dari Sulawesi
Utara dan oleh para Jogugu dari Gorontalo, yang semuanya telah
menyatakan kesetiaan kepada Yang Mulia Presiden Soekarno. Dengan
hati yang berdarah, saya harus mengakui, bahwa rupanya saya tidak
mendapat dukungan dari orang-orang Minahasa di tanah kelahiran saya
sendiri. Namun tidak apa-apa. Kami, isteri saya dan saya, abak-anak
saya, bukan orang Minahasa lagi, tetapi kami adalah orang Indonesia
yang berjuang bagi kemuliaan dan kebebasan dari suatu bangsa
Indonesia yang besar, yang akan mencapai kemenangan. Doddie

69
berjuang sebagai seorang perwira dalam jajaran tentara nasional
(Tentara Keamanan Rakyat). Saya harapkan bahwa dia masih hidup.
Kalaupun tidak, maka ia telah memberi sumbangsih yang terbesar bagi
tanah air. Putera dari Mayor Herman “Uttu”Kawilarang berpangkat
Kolonel dalam tentara nasional di Bandung. Putera dari Niko Mogot
berpangkat Kolonel dalam tentara Nasional di Jakarta dan telah
banyak kali berjasa. Bart Ratu Langie dan Zus (Ratu Langie, puteri
tertua, red) adalah anggota dari Parlemen Republik di Jakarta.

Ribuan orang Minahasa di Jawa


turut berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Ribuan
telah menyumbangkan darah dan
jiwanya bagi tanah air.
Mereka berjuang tidak atas
perintah Yang Mulia Soekarno
atau Yang Mulia Hatta, tetapi
atas kemauan sendiri. Sebagai
Gubernur Sulawesi saya
berkata: “Tuhan Memberkati
Mereka.” Yang mulia Soekarno
dan saya sepakat, bahwa
perjuangan akan dilakukan
secara diplomasi, melalui
cara berunding. Dalam hal ini
ia didukung oleh Yang Mulia
Soetardjo yang menjabat
sebagai Gubernur Jawa Barat dan oleh Yang Mulia Soeroso yang
menjabat sebagai Komisaris Tinggi Republik di Surakarta dan
Yogyakarta. Di Medan Yang Mulia Mr Dr Teuku Hasan menjabat sebagai
Gubernur. Dia juga menempuh jalan diplomasi. Disana pun para pemuda
Minahasa (antara lain ketiga putera dari Bolang) berjuang di
barisan terdepan dari tentara nasional. Barangkali mereka masih
hidup, barangkali mereka telah gugur. Sebagai penutup saya
sampaikan yang berikut ini. Kalian mengetahui bahwa beberapa tahun
sebelum meletus saya telah meramalkan akan terjadi perang dunia
kedua yang telah berakhir ini. Hasilnya juga telah saya ramalkan,
tidak berdasarkan hati babi, tetapi dengan memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan politik. Sebab itu, sekarang saya
mengatakan kepada kalian, bahwa berdasarkan faktor-faktor
internasional, Indonesia akan keluar dari perjuangan ini sebagai
wilayah dan bangsa yang merdeka, bahkan dalam waktu yang singkat.
Ingatlah apa yang telah saya katakan ini kalau dalam satu tahun
dari sekarang kita akan bertemu lagi, bersama Yang Mulia Presiden
Soekarno saya akan memeriksa apa yang telah kalian lakukan.
Merdeka!

Hormat saya kepada Ernst Pelengkahu, Dr Senduk, B Lapian, H M


Gerungan. Pesan saya adalah: “pertahankan Ketertiban dan
Keamanan.”,

Ttd
Dr. Ratulangi

Dengan adanya petisi tersebut, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi
ditangkap oleh pemerintahan NICA-Belanda, dan dibuang ke Serui (Irian
Barat).
======

70
B. LATAR BELAKANG AKSI 14 FEBRUARI 1946

Akhir Desember 1945, seluruh pasukan


Sekutu (Australia) meninggalkan Manado dan
tugas Sekutu diserahkan kepada NICA-KNIL
di bawah pimpinan Tentara Inggris yang
berpusat di Makassar. Pada bulan Januari
1946, BPNI melihat kesempatan ini dan
pemimpinnya, John Rahasia dan Wim
Pangalila, merancangkan suatu
pemberontakan pemuda yang akan dibantu
oleh Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk
di Teling.

Bagian NEFIS-Belanda mulai mencurigai Lumanauw dan Pakasi yang


kedapatan telah disusupkan oleh Dr. Sam Ratulangi dari Jakarta ke
dalam KNIL. Mereka berdua dimasukkan dalam penjara di Manado oleh
oditur militer Schravendijk dan akan diproses untuk diadili.

Rencana John Rahasia dan Wim Pangalila untuk merebut kekuasaan


pada upacara NICA 10 Januari, juga diketahui NEFIS dan semua tokoh
pemuda BPNI di Manado dan Tondano telah ditangkap pada hari
sebelumnya. Dua minggu kemudian mereka dilepaskan karena belum ada
bukti hukum untuk dapat dituntut di mahkamah militer.

Pada bulan Februari 1946, komplotan militer KNIL di Teling masih


dicurigai oleh bagian intel NEFIS dan panglima KNIL yang bermarkas di
Tomohon memerintahkan supaya menahan dalam „‟streng arrest‟‟ di
Teling para pemimpinnya, yakni Furir Taulu, Sersan Wuisan, Wangko
Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian, karena
mereka telah menghasut tentara KNIL Indonesia dari kompi-kompi di
Teling, Tomohon dan di Girian supaya berontak karena kekurangan gaji,
ransum, rokok, berbeda dengan jaminan yang terima oleh sesama tentara
bangsa Belanda. Apalagi tentara Indonesia yang berpegang di bawah
pimpinan Sekutu dalam Perang Dunia II dihargai dan dijamin sama
terhadap seluruh pasukan.

Belanda tidak mengetahui bahwa hasutan-hasutan di seluruh kalangan


militer Indonesia hanyalah untuk menutupi rahasia yang bertujuan
sebenarnya untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan menegakkan
kemerdekaan Indonesia. Pimpinan rencana kuseta ini hanya
menggunakan strategi kampanye untuk memuluskan pelaksanaannya
dengan melancarkan provokasi tentang ketidakadilan jaminan antara
tentara Indonesia dan tentara Belanda. Tentara KNIL umumnya bukan
inginkan kemerdekaan.

71
Di awal pasca perang dunia kedua, situasi politik di Sulawesi Utara
terpecah-pecah oleh berbagai kelompok baik yang pro maupun anti-
republik seperti dari barisan Republik, Unitaris, Federalis, Hoofden Bond,
Twapro (Twaalfde Provintie) dll. Kelompok Twapro yang menguasai Dewan
Minahasa (Minahassa raad) menghadapi aksi barisan oposisi, GIM
(Gerakan Indonesia Merdeka) dengan pemukanya, Uttu J.A Maengkom
(mantan Menteri Kehakiman RI), dan didukung kalangan pemuda pro-
Republik terutama dari Tomohon, Langowan dan Tondano.

Setelah Indonesia
memproklamasikan
Kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945, dan keesokan
harinya dilanjutkan dengan
pengesahan UUD 1945 serta
pembentukan Pemerintahan
Pertama Republik Indonesia,
dimana DR. Sam Ratulangi
ditunjuk sebagai Gubernur
Pertama Sulawesi, usaha
untuk menegakkan
kemerdekaan Indonesia di
seluruh Sulawesi dilakukan.
Untuk maksud tersebut, sebelumnya Dr. Sam Ratulangi dengan diam-
diam mengirimkan misi ke Sulawesi Utara, dengan mengirimkan para
pemuda pro republik untuk mempengaruhi para pemuda dan KNIL di
Manado dan Minahasa. Mereka yang dikirim antara lain Freddy
Lumanauw dan Mantik Pakasi. Namun misi ini ketahuan oleh pihak
Belanda.

Dalam perang Pasifik, Jepang mulai mengalami kekalahan dalam setiap


pertempuran melawan pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Kekalahan ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu
pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara yang
dimulai pada bulan Juli tahun 1944. Di bulan yang sama, seorang Dr.
Sam Ratulangi dengan kecakapan geopolitik mengutus pemuda-pemuda
untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan
dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan
hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu.

Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy


Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi,
serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka
diberangkatkan dengan kereta api ke Surabaya dan mereka menaiki
kapal Dai Yu Maru langsung ke Manado. Sebelumnya mereka dihentar ke

72
stasiun Gambir di Jakarta oleh Dr. Sam Ratulangi, Mr. A.A. Maramis
dan perwira Kaigun-Jepang, Laksamana Maeda.

Waktu itu Sulawesi Utara khususnya


Manado dan Minahasa masih dikuasai
oleh balatentara Jepang. Dua bulan
setelah pengutusan pemuda oleh Dr. Sam
Ratulangi menuju Manado, tiba-tiba
Manado diserang oleh puluhan pesawat
pembom B-29 milik Angkatan Udara
Sekutu. Pesawat-pesawat itu menghujani
Manado dengan puluhan bom, sehingga
kota Manado hancur total, meninggalkan
puing-puing bangunan yang hampir rata
dengan tanah, dan menimbulkan korban
jiwa yang banyak dikalangan penduduk.
Hal ini kemudian memicu kecurigaan
Jepang bahwa ada mata-mata Sekutu
yang berperan ganda sebagai tokoh
nasionalis.

Beberapa tokoh nasional dicurigai Jepang sebagai mata-mata sekutu,


sebagian nya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan
beberapa penjabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman
mati.

Di bulan September 1944 ini


juga kubu pertahanan
Jepang di Sulawesi Utara
dan Morotai berhasil
ditaklukkan oleh Jenderal
Mac Arthur sebelum ia
bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun
April 1945 hingga awal
Februari 1946, terjadi lagi
banyak konflik atau hal-hal
yang menuntun kepada
terjadinya peristiwa merah
putih di Manado. Pada bulan
April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun
menyiapkan kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia
janjikan dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih dikibarkan
bersebelahan dengan bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru.

Pada bulan terakhir tahun 1945, pasukan Sekutu mulai keluar dari
Manado dan menyerahkan kekuasaannyasecara total kepada NICA-KNIL

73
yang dipimpin oleh seorang Perwira Inggris. Dalam masa transisi
tersebut, John Rahasia dan Wim Pangalila melihat kesempatan untuk
melakukan sebuah revolusi atau pemberontakan yang akan dilakukan
oleh pemuda-pemuda Manado.

NEFIS-Belanda mulai mencurigai kedua orang itu akan melakukan


pemberontakan ini. Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang ada
di Teling dicurigai pula oleh pihak Belanda. Pihak Belanda juga
mengeluarkan perintah mengawasi para pemimpin mereka, yaitu Furir
Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan
Sambuaga karena mereka dinilai merupakan penghasut tentara
Indonesia.

Menurut Ben Wowor dalam


tulisannya tentang Peristiwa
Merah Putih 14 Februari
1946, mengatakan bahwa
pada 28 Januari 1946,
Freddy Lumanauw dan
Mantik Pakasi dipanggil
Komandan Garnisun,
Kapten Blom, dan langsung
dibawa ke penjara karena
ada laporan bahwa mereka
sedang mengatur komplot
untuk menggulingkan
kekuasaan KNIL di tangan Belanda. Pada 31 Januari Lumanauw dan
Mantik dibawa di bawah pengawalan MP ke Tomohon dan langsung
diperiksa oleh Oditur Militer Mr OE Schravendijck. Pada hari itu mereka
dikembalikan ke penjara Manado karena mereka tidak bersedia
mengungkapkan sebab dan latarbelakang sehingga mereka mulai
berkomplot. Selama dalam tahanan ini mereka diberitahu oleh Frans
Korah tentang perkembangan rencana persiapan kudeta yang diatur oleh
Taulu, Wuisan dan Sumanti.

Pada 6 Februari 1946 mereka kembali diperiksa di Tomohon, dimana


kepada mereka dinyatakan oleh Oditur Militer bahwa sudah diperoleh
bukti yang jelas menunjukkan, bahwa mereka pada 1944 telah dikirim
ke Sulut dengan tugas khusus dari Dr. Sam Ratulangi yang kini berada
di Makassar untuk melaksanakan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Lumanauw yakin bahwa mata-mata Belanda telah mengikuti
pembicaraan dalam perundingan-perundingan rahasia dari pasukan
Tubruk dan Schravendijck telah mengadakan pengecekan dengan
atasannya di Jakarta. Proses pengusutan ini akan membawa mereka ke
sidang mahkamah militer, namun mereka tidak bersedia menuturkan
mission yang diberikan oleh Dr. Sam Ratulangi pada waktu mereka
diberangkatkan dari Jakarta itu.

74
NICA-Belanda menjadi gelisah karena setelah gerakan-gerakan pemuda
berhasil ditekannya, malah tubuh dan aparatnya sendiri, yakni KNIL,
telah disusupi oleh musuh-musuh Republik yang berpemerintahan pusat
di Jogyakarta. Kemudian pribadi-pribadi Taulu dan Wuisan semakin
besar mendapat perhatian dan sorotan dari pimpinan KNIL.

Praktek diskriminasi yang di alami prajurit KNIL dan bekas pasukan


Jepang mendorong berkembangnya inspirasi aksi “pemberontakan” yang
juga di ilhami oleh gerakan-gerakan nasionalis kemerdekaan, seperti
Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI), Pasukan Pemuda
Indonesia, Indonesia Muda, Banteng Maesa dan Barisan Merah Putih.

Bermula pada pertemuan Sersan Mayor Taulu


bersama Sersan Mais Wuisan dan Sersan Wim
Waney serta Kopral Sigar Mende. Pada
pertemuan itu mereka sepakat untuk
ber”kampanye” melakukan aksi untuk melucuti
dan menangkap semua warga Belanda, dan
orang-orang Indonesia yang dicurigai, serta
menguasai semua pos militer dan polisi. Sebagai
pendukung adalah kalangan intern KNIL.
Sasaran pertama adalah mendekati Kompi 7
yang baru tiba dari front pertempuran pimpinan
Frans Bisman yang baru tiba setelah bertugas
sebagai pasukan sekutu di Balikpapan, yang
akan berperan sebagai “striking Force.”

Persiapan dilakukan dengan menyebarkan guna memperoleh dukungan


rencana aksi diantara KNIL dan pemuda. Sebagai penghubung Wim
Waney bertugas di Amurang, Wangko Sumanti di Manado dan Tondano,
No Korompis di Tomohon, Kawangkoan, Langoan dan Tondano.
Sedangkan No Tooy bertugas di Manado. Sersan Pare juga diberi tugas
menghubungi kalangan KNIL di perantauan untuk kembali dan
membantu aksi militer. Surat Pare pernah diterima oleh Sersan Arie
Sumanti di Hollandia yang kemudian pulang ke Manado.

Pertemuan untuk menentukan


hari “H” terjadi pada 10 Februari
dikediaman Mais Wuisan di
Titiwungan, Manado. Rapat yang
dipimpin Ch. Taulu dihadiri
beberapa bintara antara lain, W
Saerang, N Tooy dan beberapa
pemuka BPNI seperti Wim
Pangalila, Chris Pontoh, John
Rahasia, Mat Pulukadang dll.

75
Setelah pemungutan suara, disepakati bahwa aksi pemberontakan akan
dilakukan pada pukul 00.00, 11 Februari yang dimulai dengan
menguasai markas KNIL di Teling, Manado.

Pertemuan itu juga melakukan pembagian tugas kerja, masing-masing


sebagai berikut :
a). Pasukan Tempur Kompi 7 pimpinan Mambi Runtukahu di dampingi
Jus Kotambunan, Gerson Andries, Mas Sitam, Lengkong Item,
Nico Anes bertugas melucuti dan menciduk para perwira KNIL dan
pejabat-pejabat NICA; Sasaran utama menguasai semua depot logistik
makanan, senjata, mesiu, obat-obatan dan pakaian);
b). Kompi 148 pimpinan Wim Waney didampingi Wim Tamburian,
Wangko Sumanti, Frans Lantu, Jan Sambuaga, Bert Sigarlaki,
Samuel Kumaunang, Oscar Rumambi dll. Mereka bertugas
menangkap semua tentara KNIL turunan Belanda dan pejabat-pejabat
NICA dari rumah-rumah mereka;
d). Kompi 143 pimpinan Wuisan bertugas menguasai kamp tawanan
Jepang di Girian. Sigar Mende dan Polot Malonda menguasai Kompi
144 di Manado dan Suparmin menguasai Kompi 142 di Tomohon;
e). Keamanan markas pusat KNIL di Tomohon dan jaringan
telekomunikasi diserahkan kepada markonis telegrafis, Sigar
Rombot, No Tooy menguasai semua jaringan telepon dan Mauritz
Rotinsulu mengawasi dinas pengangkutan;
f). No Korompis, Guustaf Sumarauw, Jan Sambuaga dan Wim
Tamburian mendapat peranan tambahan sebagai penghubung
dengan para pemuda di Manado, Tondano dan pedalaman Minahasa
untuk memuluskan gerakan aksi militer.

Rencana aksi militer


sebenarnya sudah tercium
oleh Belanda. Rumah
kediaman Mais Wuisan di
Titiwungen sering di amati
oleh dinas intelejen NEFIS
dan PID. Pihak pimpinan
KNIL di Manado juga sudah
menduga bakal terjadi aksi
dikalangan prajurit-prajurit
pribumi karena kondisi sosial
ekonomi yang parah tetapi
tak dapat diatasi. Lagi pula
cetusan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta menyebar di luar
Jawa dan berkembang pula di Sulawesi Utara hingga mengkwatirkan
penguasa kolonial. Tetapi rumah Wuisan selalu diiringi dengan pesta
ramai pengunjung hingga setiap pertemuan rahasia berjalan mulus
tanpa gangguan.

76
Opsir-opsir Belanda telah beberapa kali mengadakan pertemuan antara
mereka sendiri, yakni Blom, Verwaayen, De Leeuw, Molenburgh,
Brouwers dan lain-lain untuk menemukan jalan, cara bagaimana mereka
dapat menumpas gerakan-gerakan bawah tanah dalam tubuh KNIL,
supaya tidak menjalar ke seluruh jajaran KNIL. Mereka semakin bingung,
karena setelah penangkapan pemuda-pemuda pada tanggal 9 Januari
1946 lalu dan kemudian pada tanggal 28 Januari 1946, Lumanauw dan
Pakasi diamankan di penjara, sebenarnya sudah tidak ada lagi anasir-
anasir Republik yang mereka harus takuti.

Kecurigaan berawal ketika Freddy Lumanauw dan Mantik Pakasi


dipanggil dan ditahan oleh Komandan Garnisun, Kapten Blom pada
tanggal 28 Januari 1946. Tetapi mereka melakukan gerakan tutup
mulut ketika di intorigasi oleh oditur militer tiga hari kemudian.

Cara serupa juga terjadi pada pemeriksaan tanggal 6 Februari 1946,


Mereka disodori bukti berupa berkas bahwa mereka dikirim oleh
Gubernur Sulawesi, Dr. GSSJ Ratulangi ke Sulawesi Utara melakukan
misi khusus. Antara lain melakukan gerakan bawah tanah dilingkungan
KNIL turunan pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kecurigaan
terhadap gerakan bawah tanah meningkat ketika Belanda melucuti
senjata dan mesiu para prajurit pribumi terutama anggota kesatuan
Kompi 7.

Pada tanggal 9 Februari 1946, pimpinan KNIL melakukan tindakan


pengamanan di kompleks tentara Teling. Mereka lalu menangkap
Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian,
dan dimasukkan dalam sel Tangsi Putih. Setelah dicek dengan laporan-
laporan yang masuk, NICA mendapat bukti yang jelas tentang kegiatan
mereka, termasuk menghubungi pemuda-pemuda ekstremis dan pejabat-
pejabat tertentu yang dicurigai.

Pada tanggal 13 Februari


1946, jam 9 pagi, Taulu
dipanggil komandan Kapten
Blom, kemudian senjatanya
dilucuti oleh sersan-mayor
Brouwers, kemudian ia juga
dimasukkan dalam sel
tahanan. Sersan Bisman juga
dipanggil dan diperiksa oleh
Kapten Blom, tetapi ia tidak
ditahan, mungkin karena ia
memiliki tanda jasa dari
Tentara Sekutu. Bisman
dalam Perang Dunia ke-2
mendapat latihan intelejen di Australia dan sering turut dalam kapal

77
selam Sekutu untuk dilepaskan di perairan daerah musuh untuk
mencari tahu kekuatan tentara Jepang, seperti yang dilakukannya di
Tarakan dan di Manado pada 1944. Mereka divonis hukuman 14 hari
karena melakukan tindakan in-disipliner.

Selanjutnya Komandan Kompi VII, Letnan Carlier, dipanggil oleh


Komandan Korps, Kapten Blom, yang menanyakan kepadanya
bagaimana dengan keadaan Kompi VII. Dijawab oleh Letnan Carlier
bahwa Kompi VII dapat mengamankan seluruh Sulut, karena prajurit-
prajuritnya banyak berpengalaman dalam perang yang baru lampau,
lagipula kompi ini adalah pemberani, namun patuh dan setia pada
atasannya.

****

78
C. PELAKSANAAN AKSI KUDETA 14 FEBRUARI 1950

1. Pelaksanaa Aksi di Tangsi Teling - Manado

Markas militer KNIL Belanda


di Teling Manado pada dini
hari 14 Februari 1946
dikepung kalangan prajurit
kompi tujuh KNIL. Yang
menjadi sasaran utama
untuk membebaskan rekan-
rekan mereka, Sersan-Mayor
Ch. Ch. Taulu, Sersan Mais
Wuisan dan Sersan Nelwan.
Mereka ditahan sehari
sebelumnya pihak KNIL
dengan tuduhan melakukan
aksi makar terhadap pemerintahan NICA Belanda (Netherlands Indies
Civil Administratrion) di Sulawesi Utara.

Sesuai dengan tugas yang telah disepakati,bahwa Kompi-VII dijadikan


combat troop, dipimpin Mambi Runtukahu, Yus Kotambunan, Gerson
Andris, Mas Sitam, Lengkong Item dan Niko Anes, bertugas menguasai
dan mengamankan perwira-perwira Belanda KNIL dan NICA. Yang
pertama harus dikuasai bahan makanan, senjata, mesiu dan pakaian.
Sedangkan Kompi-148 dibawah pimpinan Wim Waney, dibantu Wim
Tamburian, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga, Bert
Sigarlaki, Samel Kumaunang, Oscar Rumambi, bertugas menjalankan
aksi penangkapan terhadap anggota tentara Belanda dan pejabat-
pejabat NICA di rumah mereka. Atas tugas tersebut, aksipun mulai
dilaksanakan.

Di penjara Manado para tahanan nasionalis pada tengah malam itu


dengan hati berdebar-debar menunggu saat dimulaikan aksi di Teling.
Karena mereka juga telah
diberitahu tentang saat dan
awal aksi ini sebelumnya
melalui titipan surat yang
disembunyikan dalam
makanan. Mereka amat
cemas dan hampir saja putus
asa ketika mendengar bahwa
unsur-unsur pimpinan
pemberontakan sudah
tertangkap.
Parade Pasukan KNIL

79
Tepat pukul 01.00 dini hari, Kopral Mambie Runtukahu bersama
Gerson Andries, Jus Kotambunan, Lengkong Item, Andries Sipon,
Juliap, Wim Kere, No
Korompis dan Mas Sitam dari
kesatuan Kompi 7 KNIL
merayap mendekati pos
penjagaan tangsi
putih. Sekalipun bersenjata
tanpa peluru, bersenjata,
tetapi hanya bermodal
semangat “nekat” melakukan
aksi solidaritas terhadap
rekan-rekan mereka yang
ditahan.
Serdadu KNIL keluar Tangsi

Penjaga piket lengah ketika dengan kecepatan mengagumkan,


Runtukahu mengokang houderbak sten-gun tanpa peluru dan
mengacungkan senjata di berangi suara gertakan: “Angkat Tangan,
atau semua yang bergerak kutembak.” Setelah meringkus para penjaga
piket, rekan-rekan lainnya bergerak cepat dan dalam waktu singkat
berhasil menguasai Tangsi Putih. Didalam penjara, ketegangan
memuncak ketika pintu besi dari penjara berbunyi gemerincing:
Apakah aksi telah gagal dan Belanda akan memperkeras tindakan-
tindakan penekanan? Demikianlah Lumanauw dan Pakasi bertanya-
tanya. Melalui trali-trali sel tampaklah pada mereka bukanlah Polisi
Militer (PM) yang muncul melainkan kawan-kawan Frans Lantu dan
Yus Kotambunan. Mereka memasuki halaman penjara dengan
menyandang beberapa perlengkapan senjata serta didampingi oleh sipir
yang membawa kunci-kunci. Semuanya lalu bersorak-sorak gembira.
Lumanauw dan Pakasi diberikan masing-masing senapan dan pistol,
karena mereka harus melanjutkan tugas untuk menyelesaikan aksi
kup itu yang tengah berjalan dan masih berbentuk tanda tanya.
Setelah itu, mereka membangunkan anggota-anggota KNIL lainnya
Tangsi Hitam.

Runtukahu dan kawan-kawan dari Kompi 7, seperti Jus Kotambunan,


Andries Sipon, Sitam dan Item melumpuhkan penjagaan oleh Reserve
Corps di Teling I (Tangs Putih), sementara Korah, Maleke, Kereh dan
lain-lain serta para milisi melakukan hal serupa di Teling II (Tangs
Htam). Pada operasi Teling I sempat terjadi kontak senjata ketika pihak
Reserve Corps berusaha mempertahankan markas. Dalam kemelut itu,
Sitam gugur, sementara dari pihak lawan seorang Sersan Belanda
luka-luka.

80
Sementara di Teling II, Kopral Wim Kere dan Kopral Wim Maleke
dibantu milisi menerobos kawat berduri dan berhasil menguasai Teling.
Kemudian Sersan Frans Bisman dari Kompi 7 di jemput dari rumahnya
dan mulai membebaskan para tahanan seperti Taulu, Wangko
Sumanti, Jan Sambuaga, Wim Tamburian dan Oscar Rumambi.
Merekapun aktif merebut tangsi.

Komandan Garnisun Manado, Kapten Blom, yang berdiam di Sario


dibangunkan oleh ajudannya dengan kata-kata: „‟Kapten diminta
datang segera ke Teling karena keadaan agak berbahaya. Letnan
Verwaayen mendesak agar segera datang!‟‟ Juga ditegaskan oleh
ajudannya, bahwa para pengawal sudah siap menunggu di luar dengan
sebuah jeep, bahwa perjalanan aman dan penjagaan cukup kuat.

Kapten Blom langsung menaiki jeep yang telah disiapkan untuk


menuju ke Tangsi Teling. Ternyata laporan sang ajudan berbeda
dengan kenyataan, dan Blom merasa dikhianati oleh ajudannya hingga
dijebak. Setibanya di Teling, Kapten Blom langsung dilucuti senjatanya
dan menjadi tawanan. Tak lama kemudian menyusul pula Letnan
Verwayen di ikuti tentara-tentara Belanda lainnya menjadi tawanan.

Aksi militer tanpa letusan peluru tidak mengganggu penduduk Manado


dari lelap. Kesemua tentara Belanda ditangkap, dilucuti dan
dimasukkan dalam penjara Teling dan Manado. Mereka menggantikan
para tahanan politik nasionalis yang dibebaskan, seperti G E Dauhan,
G A Maengkom, O H Pantow, Kusno Dhanupoyo, Max Tumbel, dr Sabu,
F W Kumontoy, A Manoppo, John Rahasia, Mat Kanon, Nani
Wartabone, dll. Sergapan
kilat juga diikuti dengan
menguasai pos-pos penting,
terutama hubungan
telekomunikasi, yang
merupakan bagian yang
paling penting di bidang
militer. Penguasaan pos ini
diserahkan kepada No Tooy
bersama, G. Sumendap dan
A. Sigar Rombot. (Ben
Wowor,2015)
Penjara Teling –Manado di lihat dari udara
Foto: National Collection/Australian War Memorial

Aksi angkatan muda KNIL dari Morotai bersama kalangan bekas


anggota Benteng Pertahanan Tanah Air (PTA peninggalan militer
Jepang) yang menyatu menjadi barisan nasionalis kemerdekaan
Indonesia di negeri Nyiur melambai ini hanya berlangsung 3 jam.
Mereka berhasil menguasai kota Manado dari pemerintah kolonialis
NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

81
Yang memelopori aksi adalah Peleton I: Mambi Runtukahu, Wkl Kmd
Regu I, Gerson Andris, Wkl Kmd Regu II, Mas Sitam, Wkl Kmd Regu
III, Yus Kotambunan, Kmd Verkenner, Lengkong Item, Anggota regu
IV dan Wehantouw Verkenner. (Ben Wowor,2015)

2. Sang Merah Putih Berkibar di Manado dan Minahasa.

Pada hari Kamis, tanggal 14 Februari 1946 di pagi subuh jam 03.00, di
Markas tentara di Bukit Teling , di bawah komando Wangko Sumanti
memberikan perintah mengambil bendera Belanda Merah Putih Biru di
rumah jaga lalu merobek helai birunya dan menyerahkan bagian dwi
warna kepada Mambi Runtukahu yang sudah siap sebagai inspektur
upacara didekat tiang bendera. Secara hikmat bendera Merah Putih
digerek oleh Kotambunan dan Sitam untuk kemudian berkibar pada
saat fajar menyingsing di bumi Sulut.. Upacara penyerahan
berlangsung dengan pelbagai campuran perasaan bagi kedua pihak
masing-masing. Komandan KNIL itu terharu dan bercucuran air mata
ketika bendera merah-putih-biru disobek helai birunya dan dwi-warna
Merah-Putih dinaikkan pada tiangnya. Secara hikmat Sang Saka Merah
Putih digerek oleh Kotambunan dan Sitam untuk kemudian berkibar
dgn megah di angkasa pada saat-saat fajar menyingsing di Bumi
Sulawesi Utara.

Upacara pengibaran Dwi Warna simbolis menandai hapusnya


pemerintahan kolonialisme Hindia-Belanda di persada Minahasa dan
menjadi bagian dari persatuan dan kesatuan kebangsaan Indonesia.

Kejadian menarik dan menengangkan detik-detik sebelum dan pasca


bendera Merah Putih berkibar; – Sekitar jam 00.15, untung saja
kontrole appel dari Komandan Kompi Letu Carlier dan Komandan
Peleton I Serma Wijszier tdk membuka kelambu dan mengangkat
selimut dari prajurit yang akan melakukan kudeta krn mereka pura2
tidur berbaring dgn menggunakan pakaian lapangan, – Jam 00.45,
semua anggota kelompok penyerbu diberi minum cap tikus sebanyak
dua gelas kecil sebagai pemanas badan menghadapi pertempuran, –
Jam 01.00, aksi heroik dalam malam gelap, sunyi dan senyap di
Tangasi Putih Teling dipimpin Runtukahu dan Kotambunan dan
pasukannya lalu membebaskan, Taulu, Wuisan, Sumanti dkk dari
tahanan sel, ternyata senjata-senjata so tangan tidak berpeluru, – Jam
04.30 Frans Bisman dan Freddy Lumanauw dgn 2 peleton siap tempur
ditugaskan ke Tomohon untuk melucuti Komandan KNIL De Vries,
ternyata peluru yang dibawah pasukan tidak cocok dgn senjata Lee
Enfield. Ada kekeliruan dan keteledoran. Peristiwa yang menegangkan
itu seperti yang diceritakan Freddy Lumanauw, bahwa ketika dalam
persiapan untuk menyerbu markas De Vries, kedapatan olehnya bahwa
peluru-peluru yang dibawa pasukan tidak cocok dengan senjata Lee

82
Enfield, karena buatan Jepang. Wangko Sumanti di Teling Manado
segera dihubungi melalui telepon dan ternyata memang ada kekeliruan
dan diakui Sumanti sebagai keteledoran akibat kesibukan pada waktu
pasukan disiapkan di malam buta untuk dikirim ke Tomohon.
Seandainya ada terjadi penyerbuan dan pertempuran maka senapan-
senapan yang dibawa akan tidak berdaya dan tidak ada gunanya.

Pada pagi hari itu juga satuan-satuan lainnya dikerahkan untuk


menangkap para perwira KNIL Belanda di Sario. Sekitar 32 oerwira dan
bintara Belanda berhasil ditangkap pagi itu dan ditempatkan di rumah-
rumah tinggal di Teling. Sejumlah pejabat NICA dan beberapa prajurit
KNIL lainnya dibawa kepenjara kota. Gedung-gedung penting seperti
kantor telepon juga berhasil dikuasai para pemuda yang bekerja
ditempat itu. Gudang-gudang perbekalan dan gedung-gedung penting
mendapat penjagaan ketat untuk menghindari aksi penjarahan dan
pengrusakan. Disebut sebagai aksi kudeta militer, karena alih
kekuasaan dilakukan saat masih berkuasanya pemerintahan NICA di
Sulawesi Utara.

Saat itu perlucutan senjata terjadi serentak di Bumi Nyiur Melambai


Sulawesi Utara. Residen Coomans de Ruyter, Komandan NICA, diambil
dari tempat kediamannya di
rumah sakit RK Gunung
Maria, begitu anggota-
anggota Staf NICA lainnya
yang berada di Kaaten-
Tomohon dikumpulkan di
kantor polisi dan dengan
sebuah truk mereka
langsung dibawa ke tempat
penampungan di Manado.

Anggota KNIL Minahasa


3. Gerakan Aksi di Tomohon

Ternyata pasukan-pasukan KNIL yang ada di Tomohon dan Girian


masih dikuasai oleh perwira-perwira Belanda dan perlu mendapat
penyelesaian dari Manado. Perintah dan persiapan dilakukan oleh
Wangko Sumanti untuk meneruskan aksi kup ini di Tomohon dan
Girian. (Ben Wowor,2015)

Untuk aksi militer ke Tomohon, para pejuang akan menghadapi satu


kompi KNIL pimpinan Letnan-Kolonel de Vries. Situasi Markas Besar
KNIL di Tomohon senantiasa diberitahukan oleh AS Rombot melalui FW
Sumanti yang bertindak sebagai ordonans umum. Berdasarkan
pembagian tugas yang ditetapkan oleh Ch Taulu dan SD Wuisan untuk
aksi di Tomohon adalah :

83
 S.D. Wuisan menguasai Kompi-143 dan akan mengawasi kamp
tawanan Jepang di Girian-Bitung; Sigar Mende dan Polet Malonda
Kompi-144 di Manado dan Suparmin Kompi-142 di Tomohon.
 Pengamanan markas besar di Tomohon dan telekomunikasi
ditugaskan kepada telegrafis-markonis AS Rombot yang
selanjutnya akan menguasai semua dinas radio.
 No Tooy menguasai semua dinas telepon dan Maurits Rotinsulu
dinas pengangkutan.
 Kurir-kurir istimewa untuk menghubungi pemuda-pemuda di
Manado, Tondano dan pedalaman Minahasa adalah No Korompis,
Gustaf Sumarauw, Jan Sambuaga dan Wim Tamburian.

Segera Sersan Frans Bisman dan Freddy Lumanauw ditugaskan


dengan dua peleton dan dua power wagon siap tempur untuk menuju
Tomohon. Pada jam 04.30 di tanggal 14 Februari 1946, mereka
berangkat dengan empat kendaraan, yaitu 2 jeep dan 2 truck/power.
Jeep depan berbendera Merah-Putih dikendarai oleh Frans Bisman
dengan beberapa pengawal penembak bren, menyusul jeep kedua
dengan perlengkapan dan pengawalan yang sama; yang ditempati oleh
Freddy Lumanauw. Di luar Kota Manado konvoi ini sedikit mengalami
hambatan karena jeep terdepan terjerumus dalam selokan, sehingga
agak memakan waktu untuk menariknya, namun tak ada kerusakan
apa-apa.

Setelah tiba di Tomohon, mereka melakukan “stelling,” Wangko


Sumanti menghubungi komandan detasemen polisi Tomohon,
Samsuri. Wangko Sumanti berhasil meyakinkan Samsuri mengenai
tujuan dari aksi tersebut hingga bergabung menuju Markas KNIL
sebagai misi perunding. Sebelum tentara Sekutu dan NICA-Belanda
masuk ke Tomohon,
tentara Jepang
menempatkan satuannya
dan membangun markas
dengan sebutan „Katsura
Butai” yang berlokasi di
Kakaskasen Tomohon.
Setelah Jepang menyerah
kalah, markas ini
kemudian diambil alih
oleh NICA-Belanda
pimpinan Overste De
Vries di Tomohon.
Katsura Butai – Jepang di Kakaskasen Tomohon

Sebelum perundingan dilaksanakan, tiba-tiba seorang serdadu KNIL


turunan Indo dari arah Tomohon, tiba-tiba melepaskan tembakan
kearah pasukan Bisman. Sehingga tembak-menembakpun terjadi

84
dipagi buta itu dan menewaskan serdadu KNIL itu, dan dipihak
pasukan Bisman, gugur Alo Porayow. Ternyata serdadu KNIL itu
berpangkat sersan bernama Gelaerts, yang waktu terjadi kudeta
sedang berada di Manado, dan ingin melaporkan kejadian itu kepada
verste De Vries di Tomohon lewat telepon. Karena hubungan telepon
terputus, ia langsung mengendarai motornya menuju ke Tomohon.
Namn sewaktu mau kembali ke Manado pagi itu dan berada di pompa
bensin untuk mengisi minyak ia berpapasan dengan pasukan penyerbu
dari Bisman. Beberapa anak buah Bisman bermaksud untuk
menghentikan motornya, namun ketika melihat ada pasukan yang
ingin menghentikan motornya dengan membawa bendera merah putih,
justru ia melaju motornya dengan kecepatan tinggi menerobos barikade
pasukan sambil melepaskan tembakan membabi buta. Letusan senjata
dan ledakan peluru tidak terelakkan lagi hingga membangunkan dan
membuat panik penduduk Tomohon di pagi hari itu.

Tembakan yang membabi buta tersebut menyebabkan Alo Porayouw,


pengemudi yang membawa pasukan Angkatan Muda KNIL, tewas
diterjang peluru. Tembakan Sersan Celaerts dibalas dengan
berondongan peluru oleh pasukan Bisman hingga ia kemudian
terjerembab dan langsung tewas ditempat itu juga. Sersan Celaerts
ternyata diutus ke
Tomohon untuk
melaporkan kepada de
Vries mengenai aksi
militer yang telah
terjadi di Manado.
Karena hubungan
komunikasi telepon di
Manado sudah
dikuasai Angkatan
Muda KNIL

Insiden ini tidak menghalangi misi Wangko Sumanti bersama Samsuri


menemui Overste de Vries. Komandan Polisi Samsuri yang menjadi
penghubung antara Pasukan Bisman dan Komandan KNIL De Vries,
membawa ultimatum dari Bisman agar De Vries dan seluruh pasukan-
pasukannya di Tomohon yang terdiri dari Kompi-142 dan satu kompi
stafnya untuk menyerahkan diri.

Untuk menuju ketempat ke Markas De Vries, Samsuri harus berjalan


menempuh jarak duaratus meter lebih dengan dua tangannya diangkat
ke atas, agar tidak ditembak oleh De Vries, di mana komandan ini
sudah siap dengan stellingnya. Setelah bertemu dengan D Vries,
Samsuri lalu menjelaskan kepada De Vries bahwa pasukan dari
Manado telah tiba di persimpangan jalan di depan kantor polisi
Tomohon dan meminta Overste De Vries bersama pasukannya di

85
Tomohon menyerahkan diri. Namun De Vries menolak untuk
menyerah. Samsuri kembali untuk menyampaikan jawaban ini ke
Bisman.

Mendengar jawaban tersebut, Bisman harus berpikir keras agar


misinya di Tomohon tidak gagal dan tidak terjadi pertumpahan darah,
dimana pasukannya akan kalah kuat dibandingkan dengan pasukan
De Vries yang ada di Tomohon. Untuk itu perlu strategi yang jitu untuk
menekan serta memaksa De Vries agar menyerah. Dan untuk kedua
kalinya Bisman memerintahkan Samsuri kembali memberitahukan
kepada De Vries dengan penekanan bahwa pasukan dari Manado akan
segera mengadakan serangan jika dia dan pasukannya tidak mau
menyerah.

Sementara perundingan dengan de Vries berlangsung dengan alot


karena ia tetap tidak ingin menyerah, tiba-tiba Sigar Rombot masuk di
tempat perundingan dan memberitahukan kepada De Vries bahwa pos
PHB sudah dikuasai dan markas KNIL sudah terkepung. Mendengar
laporan itu, De Vries menjadi luluh hatinya, dan memutuskan bahwa
ia akan menyerahkan diri
bersama pasukan-pasukan di
Tomohon, termasuk para
penguasa sipil NICA kepada
pasukan Bisman. (Ben
Wowor,2015). Atas permintaan
Bisman maka De Vries menuju
ke kendaraan yang tersedia
dan bersama-sama mereka
menuju ke kantor polisi untuk
meneruskan perjalanan ke
Manado.
Beberapa serdadu KNIL sedang menodong ke pemimpinnya

Aksi pembersihan kekuasaan NICA berlanjut di pedalaman Minahasa.


Dibawah pimpinan Freddy Lumanauw, pasukannya masih harus
meneruskan tugas operasi ke pedalaman Minahasa. Mereka menaiki
kendaraan jeep dengan pengemudi Oscar Pandeiroth yang
menggantikan Alo Porayouw yang telah gugur dalam insiden di
Tomohon, sebagai seorang pahlawan kemerdekaan dan menjadi
pahlawan 14 Februari 1946 yang pertama. Di pedalaman Minahasa,
seperti di Tondano, Remboken, Kakas, Langoan dan Kawangkoan.
mereka melakukan pengamanan sekaligus penurunan bendera
“Oranye” dan digantikan dengan bendera Merah Putih di instansi-
instansi pemerintah dan polisi setempat tanpa perlawanan yang
berarti. Penertiban seperlunya di kalangan pamong-praja, mendapat
bantuan penuh dari pasukan-pasukan pemuda. (Ben Wowor,2015).

86
Semua warga Belanda yang di tangkap, segera dikirim ke interneran di
Manado.

4. Aksi Perebutan di Kamp Tawanan Jepang-Girian

Pada subuh 14 Februari 1945, juga suatu pasukan dari Manado di


bawah pimpinan Maurits Rotinsulu yang ditugaskan ke Girian untuk
menguasai kamp tawanan Jepang. Kamp tawanan di Grian, merupakan
pusat penampungan 8.000 tawanan perang Jepang yang dijaga ketat
oleh Kompi 143 pimpinan Letnan van Emden.

Setibanya di Girian, pasukan lebih dahulu menuju keasrama tentara


Belanda, dan berhasil menangkap anggota-anggota tentara Belanda di
asrama Girian tersebut. Namun komandan kampemen tawanan yang
bermarkas di Wangurer, Letnan Van Emden, bertahan dan tetap
menguasai seluruh kamp
tawanan Jepang. Perwira
ini tidak mengakui
penyerahan pimpinan
KNIL kepada pihak
pemberontak, sedangkan
ia adalah komandan dari
Sekutu. Malah ia sempat
menahan seorang anggota
pasukan Rotinsulu yang
bernama Makalew.

Pasukan KNIL sedang beristirahat

Ketika ditemui Mauritz Rotinsoeloe, ia menolak untuk menyerah, dan


tidak percaya bahwa atasannya, de Vries telah menyerah di Tomohon.

Sikap keras kepala van Emden dilaporkan kepada Taulu, maka Taulu
bersama Sumanti pergi ke Sario untuk meminta perintah tertulis dari
Kapten Blom buat Van Emden, agar ia segera menyerahkan diri
kepada pasukan Sumanti yang akan dikirim ke Girian. Taulu juga
mengutus Samuel Kaunang dan Hans Lengkoan melakukan taktik
perundingan membawa surat perintah Kapten Blom agar menyerah.
Bert Sigarlaki yang adalah ordonans tetap untuk Van Emden diterima
untuk masuk ke dalam kampemen dan menemui Van Emden. Setelah
surat dari Blom dibacanya, surat itu diludahinya dengan melemparkan
kata-kata kotor terhadap Blom dengan mengatakan bahwa semua
mereka sebangsa di Manado adalah pengecut dan bukan militer.

Kumaunang dan Lengkoan yang telah menguasai asrama tentara di


Girian memikirkan suatu siasat lain untuk menangkap Van Emden,
yaitu menunggu saatnya mereka berdua memegang pos di kamp
tawanan di lokasi Wangurer.

87
Begitulah pada 17 Februari 1946 pada jam 06.00 pagi kedua pejuang
ini masuk dalam kelompok jaga, seluruhnya terdiri dari 8 orang.
Mereka ini sepakat untuk menunjuk Samel Kumaunang yang akan
menangkap Van Emden, mengingat tubuhnya yang besar dan kekar
akan dapat menguasai perwira Belanda itu, bila terpaksa harus adu
kekuatan.

Tidak lama kemudian datang komandan


Van Emde itu dengan jeepnya, lengkap
dengan senjata dua pistol pada masing-
masing pinggangnya dan satu stegun yang
disandang. Waktu ia turun dari
kendaraannya menuju ke pos, Kumauang
berseru: „„Komandan, Green
bizonderheden!‟‟ (tidak kurang apa-apa
dalam penjagaan), namun disambungnya
lagi: „‟Letnan, kenapa kami tidak dapat
jatah rokok dari Manado, apakah saya
boleh merokok?‟‟ „‟Oh, tentu saja‟‟, jawab
Van Emden, dan tangannya sibuk
memeriksa dan mengeluarkan sebungkus
rokok dari sakunya. Ketika ia menyampaikan sebatang rokok sambil
menyiapkan apinya kepada Kumaunang, maka secepat kilat tangan
letnan yang diulurkan itu ditarik dengan sekuat-kuatnya, badannya
condong jatuh ke depan dan setelah tangannya itu diputar, stegun
jatuh ke tanah dan kedua pistolnya dapat dilucut oleh Kumaunang.
Pada saat itu kawan-kawan lain menyergap perwira itu, mengikat
kedua tangan kakinya dan menyeretnya ke dalam jeep. Ia dibiarkan
dalam keadaan terikat dan di bawah pengawasan, sampai seluruh
kampemen tawanan dan pennjagaan telah ditertibkan dan dapat
berjalan normal kembali, kini di bawah kekuasaan Tentara Nasional
Indonesia.

Para anggota tentara Belanda lainnya sudah lebih dahulu diangkut


secara terpisah dari komandan kampemen dengan adanya berita :
„‟Perintah dari korps komandan supaya para perwira dan perwira
bawahan harus segera berkumpul di Manado tanpa membawa senjata‟‟.
Kemudian rombongan yang dipimpin oleh Kumaunang mengantar Van
Emden ke Manado, disusuli rombongan dari Sumanti yang ditugaskan
oleh Taulu dengan maksud yang sama.

Di sepanjang jalan rakyat menyambut kemenangan ini dengan sorak-


sorakan „‟Hidup Merah Putih‟‟. Dalam kudeta selama beberapa hari ini
semua warga Belanda dari KNIL maupun dari NICA berhasil ditawan.
Seorang pengusaha perkebunan Belanda, Van Loon, yang coba

88
melarikan diri dengan perahu kecil ke Ternate, terpaksa harus kembali
di pantai Likupang dan ia langsung menyerahkan diri. (Ben Wowor,2015)

5. Maklumat Pemimpin Perjuangan Merah Putih.

Menyusul kemenangan itu, pemimpin perjuangan Ch. Taulu pada


tanggal 15 Februari 1946 mengeluarkan Maklumat Nomor 1 yang berisi :

1. Kemarin malam jam 01.00 tanggal 14 Februari 1946, oleh pejuang-


pejuang KNIL dibantu para pemuda telah merebut kekuasaan dari
pemerintahan Belanda (NICA) Sulawesi Utara dalam rangka
mempertahankan Kemerdekaan RI yang diproklamirkan Ir Soekarno
dan Mohammad Hatta;
2. Rakyat Diminta membantu sepenuhnya perjuangan itu;
3. Kepada pejuang untuk mengambil alih pemerintahan Belanda;
4. Keamanan di seluruh Sulut dijamin Tentara RI Sulawesi Utara;
5. Kantor-kantor pemerintaha harus bekerja seperti biasa;
6. Kegiatan ekonomi harus tetap jalan seperti biasa (pasar-pasar, toko-
toko, sekolah-sekolah). Bila ada pasar atau toko tidak buka akan
disita;
7. Barangsiapa yang berani melakukan pengacauan berupa
penganiayaaan, penculikan, perampokan, pembunuhan dan sebagai
akan segera dihukum mati di muka umum.

Pada tanggal 16 Februari 1946,


diadakan sidang darurat Dewan
Minahasa (Minahassa Raad) di
Manado, dengan agenda
menetapkan pemerintahan sipil
untuk menjalankan
pemerintahan di Sulawesi Utara
mengantikan pemerintahan sipil
NICA-Belanda. Pemerintahan
sipil ini dipimpin oleh Kepala
Distrik Manado, BW Lapian,
yang diangkat sebagai Kepala
Pemerintah Merah - Putih Merdeka dengan susunan kabinet dan
departemen, yakni Wolter Saerang (sekretariat), DA Th Gerungan
(pemerintahan), Alex Ratulangi (keuangan), drh Wim Ratulangi
(perekonomian), R Hidayat (kehakiman), Mayor SD Wuisan (merangkap
kepolisian), dr Ch Singal (kesehatan), E Katoppo (pengajaran), Max
Tumbel (perhubungan/ pelabuhan).

Pemimpin perjuangan selanjutnya mengeluarkan Maklumat Nomor 2


berisi : “Dimaklumkan bahwa pada tanggal 16 Februari sudah diadakan
rapat umum di gedung Minahasa Raad (DPR) yang dipimpin pucuk
pimpinan Ketentaraan Indonesia di Sulawesi Utara dihadiri oleh Kepala-

89
Kepala Distrik dan onderdistrik di Minahasa, Raja dari Bolaang
Mongondow, Kepala daerah Gorontalo, Pemimpin-pemimpin dan
Pemuka-Pemuka Indonesia”. Rapat ini telah menetapkan BW Lapian
menjadi Kepala Pemerintahan Sipil Sulawesi Utara. Maklumat itu
ditandatangani Letkol Ch Taulu, SD Wuisan, J Kaseger, AF Nelwan
dan F Bisman.

Selanjutnya barisan pemuda PPI dipercayakan


untuk memelihara keamanan di seluruh wilayah
di bawah hulubalang-besar ED Johannes dan
para hulubalang dengan kota serta kecamatan,
yakni untuk kota besar Manado John Rahasia,
selanjutnya untuk berbagai wilayah kecamatan
para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo
Supit, John Malonda, Max Roringkon, Ton
Lumenta dan lain-lain. Sedangkan untuk
markas besar PPI di Tondano terdapat nama-
nama Wim Pangalila, Chris Ponto, Ben Wowor,
Engel Parengkuan, Andi Masengi, Mat dan
Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit dan lain-
lain.

Pada tanggal 22 Februari


1946, diadakan rapat
umum di lapangan Tikala
yang diselenggarakan oleh
pemerintah merdeka
Merah-Putih Sulawesi
Utara dan dihadiri para
tokoh militer, sipil,
pamongpraja dan
masyarakat rakyat,
menyatakan bergabung
dengan perjuangan
kemerdekaan seluruh
Indonesia di bawah pemerintah RI Sukarno-Hatta di Yogyakarta.

Kejadian perebutan kekuasaan yang kemudian dikenal dalam sejarah


sebagai peristiwa merah putih, langsung diberitakan berulang kali lewat
siaran radio dan telegraf oleh Dinas Penghubung Militer di Manado, yang
diteruskan oleh kapal perang Australia SS „Luna‟ ke markas besar
Sekutu di Brisbane. Radio Australia kemudian menjadikannya sebagai
berita utama yang disebarluaskan oleh BBC London serta Radio San
Fransisco Amerika Serikat.

****

90
D. REAKSI PIMPINAN TENTARA SEKUTU

Perebutan tangsi militer Teling dan pengibaran bendera merah putih


menjadi pukulan telak untuk Belanda karena berhasil melumpuhkan
provokasi Belanda di luar negeri bahwa hanya pulau Jawa yang
berjuang untuk merebut kemerdekaan di Indonesia.

Dampak peristiwa ini pada tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda)


menggemparkan. Bagi tentara AS yang sudah payah dan ingin pulang ke
tanah airnya, masih harus mendeportasi 8000 tawanan tentara Jepang
di Girian.

Tentara Belanda yang menjadikan Minahasa sebagai basisnya yang kuat


untuk menyerang Republik Indonesia yang berpusat di Yogya, malah
harus menyerahkan diri kepada TRISU-Taulu di Teling. Peristiwa 14
Februari 1946 di Manado tercatat dalam sejarah dunia, karena wakil
Sekutu-Inggris di Makassar
Col Purcell menyatakan
pada 24 Februari 1946 di
Teling-Manado „‟bahwa pada
hari ini tentara Sekutu
menyatakan perang dengan
kekuasaan Sulawesi-Utara
(Lapian-Taulu)‟‟.
Suasana Manado setelah aksi 14 Februari 1946

Peristiwa Merah Putih ini menjadi perhatian khusus Sekutu yang


bermarkas di Makassar dengan mengirimkan Letkol Purcell yang
didampingi pimpinan NICA-Belanda dan Panglima KNIL Kol Giebel untuk
berunding dengan BW Lapian yang ditetapkan sebagai Kepala
Pemerintahan Sipil dan Letkol Ch Ch Taulu yang menjadi Komandan
Militer yang membawahi Tentara Republik Indonesia Sulawesi Utara
(TRISU) di atas Kapal El Libertador.

Perundingan ini terjadi setelah Proklamasi Penggabungan Wilayah ex-


Keresidenan Manado dengan Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 1946. Perundingan segi tiga Wakil
Sekutu, Belanda dan Indonesia di atas kapal perang Sekutu, El
Libertador di pelabuhan Manado, dilangsungkan pada tanggal 23 dan 24
Februari 1946.

Dalam perundingan itu, pimpinan Sekutu dari Makassar yang datang,


dipimpin oleh kepala perutusannya, Letkol Purcell didampingi
pimpinan NICA-Belanda dan Panglima KNIL Kol Giebel. Perutusan
Pemerintah Merah-Putih dipimpin oleh BW Lapian didampingi
komandan Ch Taulu, Pemuda PPI dan anggota stafnya.

91
Dalam perundingan tersebut,
delegasi Sekutu menuntut untuk
mengembalikan kekuasaan NICA
atau meneruskan perundingan di
Makassar setelah ditolak oleh
pihak Indonesia, masih diberi
kesempatan untuk mendengar
keputusan akhir dari rakyat
pada esok harinya yang
diselenggarakan di Tomohon.

Pasukan Sekutu dari kesatuan Manado


Force mendarat di Manado

Namun dalam perundingan itu, tidak terjadi kata sepakat, sebab


permintaan Sekutu agar BW Lapian dan Ch Taulu mengembalikan
kekuasaan kepada NICA ditolak.

Akhirnya pada 24 Februari 1946 di Teling-Manado Kolonel Purcell


menyatakan tentara Sekutu berperang dengan kekuasaan Sulawesi
Utara (Lapian-Taulu). Keputusan Sekutu yang disampaikan oleh
wakilnya Purcell menyatakan mulai saat itu „‟Kekuasaan daerah
setempat berada dalam status perang dengan Sekutu, namun meminta
supaya seluruh warga Belanda dievakuasi ke Morotai dan kamp tawanan
Jepang tetap dijaga atas nama Sekutu‟‟. Delegasi Indonesia menerima
pernyataan perang dan permintaan Sekutu tersebut.

Pada tanggal 25 Februari 1946, diadakan referendum di kalangan


anggota KNIL di Tangsi Teling Manado yang menghasilkan pernyataan
dukungan terhadap Pimpinan TRISU. Hal itu mendapat dukungan dari
Kongres Rakyat di Tomohon yang memutuskan menolak
tuntutan/ultimatum Tentara Sekutu yang disampaikan sehari
sebelumnya di kapal El Libertador. Rapat rakyat ini dihadiri oleh semua
tokoh nasionalis, pemuda dan para wakil dari daerah-daerah Sulut yang
akhirnya juga menolak pemulihan kekuasaan Belanda di daerah ini.

Atas penolakan dari pihak Merah Putih, maka pada tanggal 26 Februari
1946, seluruh warga Belanda termasuk Pimpinan Militer dan
Pemerintahan Sipil NICA yang pernah ditahan/ditawan sebelumnya,
diungsikan dari Manado dengan menggunakan kapal El Libertador ke
Morotai, Maluku Utara. Setelah pengangkutan para pengingsi yang
dilakukan Kapal El Libertador selama dua hari, lalu delegasi Sekutu itu
kembali ke Makassar. Tindakan Sekutu-Belanda selanjutnya ialah
meletakkan blokade di sekitar perairan Sulawesi Utara dan melakukan
embargo terhadap suplai kebutuhan bahan dan makanan yang datang
dari luar daerah ini.
*****

92
E. AKHIR DARI PERJUANGAN MERAH PUTIH.

Pada tanggal 10 Maret 1946, setelah 24 hari mengalami blokade Sekutu,


rakyat di daerah Minahasa mulai gelisah dan kaum militer yang ikut
memberontak untuk tujuan perbaikan nasib beralih sikap dan mulai
menentang pimpinan TRISU. Kapten Kaseger menyiapkan suatu kontra
aksi dari kalangan militer dan menunggu saatnya untuk menggulingkan
pemerintah merdeka Merah-Putih
Lapian-Taulu, sedangkan PPI
masih menuntut supaya para
anggotanya dipersenjatai.
Ternyata semua senjata dari
tentara Jepang setelah
dikumpulkan Sekutu yang segera
dibuang ke dasar laut sedang
TRISU tidak dapat meluluskan
senjata yang dipegang oleh
anggota pasukannya untuk
diserahkan atau dibagikan
kepada PPI.
Barisan Anggota KNIL

Timbulnya aksi lawan dari sebagian anggota KNIL/TRISU yang


berkhianat atas kepemimpinan Ch. Taulu dan mengalihkan pimpinan
kepada Kapten Kaseger, purnawirawan KNIL yang pernah mendapat
tawaran memimpin TRISU tetapi menolak, bahwa tindakannya itu
dilakukan dengan alasan ia terikat “Sumpah Setia Perwira” kepada Ratu
Belanda (Wilhelmina). Akhirnya beberapa anggota pasukan pengikut
Taulu-Wuisan mulai berbalik memihak kepada Kaseger yang sedang
memulihkan kekuasaan KNIL kembali ke tangan Belanda.

Tindakan Kaseger ini didukung oleh kapal perang Belanda HMS Piet
Hein yang bersama kapal perang HMS Evertsen yang sedang
mengangkut pasukan KL Divisi 7-Desember dari negeri Belanda untuk
disebarkan di Indonesia. Mula-mula Gorontalo diduduki oleh tentara
marinir Belanda dari kapal perang HMS Piet Hein. Melihat hal ini,
beberapa pasukan yang pernah ikut pemberontakan pimpinan Ch. Taulu
di Teling berbalik mulai menyerang pimpinan TRISU di Manado,
Tomohon, dan Girian. Beberapa pertempuran pecah antara pasukan
Kaseger dengan pihak pasukan TRISU pimpinan CH. Taulu. Salah satu
pimpinan pejuang utama peristiwa Merah putih, Mambi Runtukahu
tewas dalam pertempuran yang sengit di Girian.

Pada pagi hari tanggal 10 Maret, itu juga pimpinan TRISU ditangkap di
Teling oleh pasukan Kapten Kaseger, dan selanjutnya terus bergerak
mematahkan seluruh pertahanan pemuda PPI pro republik di Manado
dan selanjutnya di Tomohon dan Kakas. Akibatnya pada tanggal 16

93
Maret 1946, markas PPI dan seluruh pimpinannya di Tondano ditangkap
oleh pasukan Kaseger dan dimasukkan dalam penjara Manado.

Begitupun pimpinan pemerintahan sipil di Minahasa seperti B.W. Lapian


ditangkap dan dipenjarakan di
Manado. Dia kemudian
dipindahkan ke Cipinang di
Jakarta tahun 1947, terus di
pindahkan lagi ke
Sukamiskin
di Bandung tahun 1948. Ia
dibebaskan pada tanggal 20
Desember 1949
setelah Konferensi Meja
Bundar.

B.W. Lapian sewaktu menjabat Gubernur Sulawesi, 1950

Pada tanggal 11 Maret 1946, sesudah peralihan kepemimpinan tentara


kepada Kapten Kaseger maka Pemerintahan sipil NICA dipulihkan
kembali dengan dukungan satu batalion tentara Belanda yang
didatangkan khusus dari Negeri Belanda dan didaratkan dengan kapal
perang „Piet Hein‟ di pelabuhan Manado, dan langsung mengamankan
Manado dan Minahasa dari sisa-sisa para pejuang merah putih 14
Februari 1946.

Kisah Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 itu, berakhir dengan


penangkapan dan penahanan para pemimpin TRISU, Pemerintah Sipil
Merah Putih dan PPI,
kemudian mereka dijatuhi
hukuman penjara yang di-
jalankan di Manado,
Morotai dan Jakarta.
Namun pengorbanan
mereka tidaklah sia-sia,
karena peristiwa tersebut
telah menyemangati
perjuangan politik dan
perlawanan rakyat
selanjutnya di Sulawesi
Utara bahkan perlawanan
putera-puteri Minahasa dalam mempertahankan kemerdekaan diseluruh
Indonesia.

******

94
F. DAMPAK PERISTIWA 14 FEBRUARI 1946

Walaupun aksi yang dilakukan


oleh para serdadu KNIL pro
republik ini kemudian ditumpas,
namun telah membawa dampak
yang besar bagi para serdadu KNIL
lainnya serta seluruh rakyat di
Minahasa. Selain itu wibawa
perwira Belanda sudah turun di
kalangan pasukan KNIL pribumi.
Masa itu banyak dari KNIL
pribumi berhasil lolos dari
penangkapan Jepang, dan bergabung dengan Sekutu dan gigih
bertempur di Guadalcanal, Filipina dan perebutan berbagai kota di
Indonesia menghadapi Jepang. Namun sejak Perang Dunia Kedua usai,
dan ketika tentara Sekutu datang ke Indonesia yang juga dibonceng
NICA-Belanda, banyak dari mereka kecewa, karena harus kembali
berada dibawah pimpinan Belanda. Mereka kembali mendapat
perlakuan diskriminatif dari bekas kolonialnya.

Begitupun dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu


cs. Membuat NICA-Belanda lebih berhati-hati dan melakukan
pengawasab yang ketat terhadap serdadueks- KNIL asal Minahasa,
sehingga menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-
KNIL asal Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi dari
kolonialisme Belanda. Pemerintahan sipil kembali dikuasai dan dipegang
oleh NICA-Belanda, dan melarang penduduk untuk mengibarkan
Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal ini
berlangsung hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Indonesia
pada tahun 1949.

Walaupun aksi kudeta 14 februari 1946 dapat di redam, tapi gerakan


bawah tanah untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di Minahasa
dan Manado tetap dilakukan, terutama oleh kelompok pemuda yang
salah satunya tergabung dalam kelompok Pasukan Pemuda Indonesia
(PPI) dan Laskar Rakyat Republik Indonesia (LRRI). Kelompok Pemuda
PPI bersama LLRI ini tetap melaksanakan kampanye mempengaruhi
penduduk dan anggota KNIL untuk menentang Belanda dan setia pada
Republik Indonesia.

Namun dilain pihak, peristiwa Merah Putih di Minahasa


menggembirakan pemerintahan RI yang waktu itu berpusat di
Yogyakarta setelah menerima berita dari radio Australia dan Kantor
Berita United Press International dari AS. Berita utama Harian Merdeka
di Jakarta edisi 22 Februari 1946 memberi judul besar “Pemberontakan
besar di Minahasa.” Aksi kudeta diperoleh media Australia dan AS dari

95
berita Sigar Rombot yang disiarkan melalui telekomunikasi ke dunia
luar. Pemberitahuan ini dipantau oleh Robert Ensleigh di markas
Sekutu di Makassar yang langsung disebarkan pada markas-markas
sekutu lainnya. Peristiwa tersebut kemudian di ikuti media-media BBC
London, Radio Australia dan Radio San Fransisco. Peristiwa di Manado
menjadi pergunjingan kalangan perwira TRI, termasuk Letnan Jendral
Oerip Soemihardjo.

Berita kudeta 14 Februari 1946 di Minahasa, membangkitkan semangat


kalangan pejuang asal Kawanua terutama yang tergabung dalam
organisasi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia) di Jawa, maupun di
Sulawesi Selatan mempertahankan Proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Aksi militer di Minahasa memberi kekuatan spiritual pula
bagi perwira-perwira TNI dan para pejuang asal Minahasa seperti Wolter
Robert Mongisidi, Alex
Kawilarang, Joop Warouw,
Ventje Sumual, Adolf
Lembong, H.V. Worang, D.J.
Somba dll. Pada masa
perjuangan mereka giat
mempertahankan
kemerdekaan menghadapi
agresi militer Belanda di
Jawa, Sumatra, Sulawesi dll,
serta memberikan andil dalam
menegakkan NKRI.Bahkan
juga membangkitkan
semangat diplomasi
Nicodemus “Babe” Palar
dalam memperjuangkan
pengakuan kemerdekaan
Indonesia di dunia
internasional melalui forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa
di New York, AS.

Peristiwa Merah Putih juga memberikan motivasi kepada para serdadu


KNIL dan para pemuda pro republik Minahasa untuk melakukan
perebutan kekuasaan pada tanggal 3 Mei 1950 dalam upaya Minahasa
keluar dari garis pertahanan Makassar, Manado, Ambon (Plan Matekohi)
buatan Belanda seperti yang si kampenyekan oleh Dr. Ch. Soumokil.
Sehingga melalui kudeta tanggal 3 Mei 1950, rakyat Minahasa dengan
bulat menyatakan bergabung dengan RI. Sehingga hal ini membungkam
anggapan bahwa orang Minahasa adalah pro Belanda.

****

96
BAB V

PENUTUP

Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 memberikan tugas
kepada seluruh bangsa Indonesia:
„‟Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain,
diselenggarakan dengan cara
seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Soekarno-
Hatta.‟‟ Tugas ini telah dilaksanakan
oleh Lapian-Taulu dengan sangat
berhasil melalui kudeta 14 Februari
1946, walaupun hanya dapat
bertahan selama 24 hari dan kemudian dilanjutkan dengan revolusi
kemerdekaan sampai akhir 1950 (KMB).

Selama perang kemerdekaan RI dari 1945-1949, hanya kudeta 14 Februari


1946 yang berhasil merebut kekuasaan Belanda dan menggantikannya
dengan suatu pemerintahan nasional yang merdeka di bawah pimpinan
Lapian-Taulu. Semua pejabat Belanda NICA-KNIL ditangkap, ditawan dan
dideportasi ke Morotai. Di tahun 1946-1948 sesuai perjanjian Linggarjati
dan Renville oleh kedua pihak RI dan Belanda, wilayah nusantara yang di
luar Jawa-Sumatera tidak termasuk dalam kekuasaan RI yang berpusat di
Yogya, namun pemerintah Merah-Putih Lapian-Taulu pada 22 Februari 1946
menyatakan dalam rapat umum di Lapangan Tikala Manado, bahwa
Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI yang berpusat di Yogya.

Peristiwa Merah-Putih di Sulawesi Utara meliputi seluruh perjuangan


kemerdekaan di daerah Gorontalo, Bolaang Mongondow, Manado, Minahasa
dan Sangir-Talaud yang dinyatakan oleh Bung Karno dipusatkan pada 14
Februari sebagai Hari Sulawesi Utara. Hal ini dilandasi pada fakta di
Sulawesi Utara sendiri, karena pada saat itu tokoh-tokoh perintis
kemerdekaan di daerah, Nani Wartabone, Raja Manoppo, OH Pantouw,
GEDA Dauhan berada dan turut serta dalam menegakkan kemerdekaan
Merah Putih di Manado.

LN Palar wakil Indonesia di PBB menyatakan sendiri bahwa RI


diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia, termasuk rakyat Sulawesi
Utara, buktinya dengan peristiwa Merah-Putih di Manado, seraya
membantah Wakil Belanda Kleffen yang berargumentasi bahwa perjuangan
kemerdekaan RI hanya untuk Jawa dan Sumatera.

97
Bangkitnya warga Manado, Minahasa dan seluruh rakyat Sulut merebut
kekuasaan dari tangan penjajahan Belanda yang bersumber pada jiwa dan
semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 bermakna sangat positif bagi upaya
diplomasi Indonesia di luar negeri. Proses ini kemudian diakui mempercepat
pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI.

Provokasi Belanda gagal total, sebab lewat peristiwa 14 Februari 1946, dunia
menjadi yakin, perjuangan kemerdekaaan Indonesia milik seluruh rakyat
dari Sabang sampai Marauke. Belanda gagal memanfaatkan mitos
persahabatan Belanda-Minahasa yang dikenal dengan Verbond Minahasa –
Nederland (10 Januari 1679) sebagai senjata untuk meninabobokkan warga
Minahasa. Sebab, bagi putra-putri Indonesia di tanah Minahasa, persatuan
dan kesatuan dalam kemerdekaan Indonesia tidak bisa ditawar-tawar.

Aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu dan kawan-kawan, yang
dikenal dengan Peristiwa Merah Putih telah berhasil merebut tangsi militer
Belanda di Manado dan Minahasa, serta mengibarkan Sang merah putih di
tanah Minahasa selama hampir sebulan. Walaupun akhirnya aksi tersebut
kemudian dapat diredam oleh militer Belanda, dan pemerintahan dikuasai
dan dipegang kembali oleh NICA. Sejak saat itu, pemerintah NICA melarang
penduduk untuk mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu
Indonesia Raya di seluruh tanah Minahasa, serta menghukum pelaku
gerakan 14 Februari 1946. Tindakan NICA-Belanda tersebut, telah
menimbulkan ketidak
senangan kalangan bekas
prajurit eks-KNIL asal
Sulawesi Utara. Ditambah
lagi dengan diskriminasi
yang mereka perolah dari
kolonialisme Belanda, telah
menciptakan suatu gerakan
bawah tanah untuk
menumbangkan kekuasaan
Belanda di Minahasa dan
Manado.
BW. Lapian bersama Ir. Soekarno

Disela-sela tugas mereka untuk menjaga keamanan daerah demi


kepentingan kolonial Belanda, mereka mulai menyusun kembali kekuatan
bersama-sama dengan beberapa kelompok pemuda pro republik untuk
dapat menumbangkan kekuasaan Kolonial Belanda. Keadaan ini
berlangsung hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda atas Indonesia
pada tahun 1949, dan pecahnya peristiwa 3 Mei 1950 yang dilakukan oleh
para serdadu KNIL bersama para pemuda pro republik yang berhasil
mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Belanda, serta
menyatakan diri untuk bergabung dengan NKRI. Hal ini dilakukan ditengah-

98
tengah upaya kelompok federalis dukungan Belanda yang mencoba untuk
menjadikan Minahasa sebagai negara yang berdiri sendiri lepas dari NIT dan
NKRI seperti halnya RMS di Ambon.

Peristiwa Merah Putih di Manado dan Minahasa, berhasil memadukan aksi


kudeta militer dan aksi Petisi Politik yang berdampak secara nasional dan
internasional. Dunia menjadi tahu bahwa Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945 telah menjadi sikap bulat seluruh bangsa Indonesia.

Peristiwa Merah Putih 14 Pebruari 1946 sebagai fakta bukti perjuangan


merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Sulawesi Utara,
telah diakui oleh Pemerintah RI berupa tanggapan dari: 1. Presiden RI
pertama, Ir Soekarno, yang sejak semula yakni beberapa hari sesudah Peris-
tiwa Merah Putih terjadi, telah memberikan dukungan melalui berita radio
yang dikirim dari Yogyakarta.

Dan ini membuktikan bahwa rakyat Minahasa bukanlah “ Anjing Belanda “


seperti yang selalu digembar-gemborkan oleh kelompok sektetarian di
Indonesia.

Dan 19 tahun kemudian, dalam suatu


peringatan Peristiwa Merah Putih yang
diadakan di Istana Negara Jakarta pada
tanggal 14 Februari 1965, Presiden
Soekarno telah mengimbau agar tanggal 14
Februari dapat dicanangkan sebagai “Hari
Sulawesi Utara” dan wajib diperingati atau
dirayakan setiap tahun.

Presiden RI kedua, Soeharto, dalam


pidato pada upacara Apel Besar
Pramuka di Cibubur (Bogor) pada
tanggal 14 Agustus 1984, telah
merangkaikan “Peristiwa Merah Putih
14 Februari 1946” dalam deretan
aksi-aksi Perang Kemerdekaan yang
penting selama masa Revolusi Fisik
(1945-1950) berupa “Peristiwa
Kepahlawanan di Sulawesi Utara”.

Dan akhirnya para pelaku “Peistiwa


Merah Putih 14 Februari 1946” telah dianugerahi Bintang Gerilya dan
tanda-tanda jasa lainnya oleh Pemerintah, serta jazad mereka yang telah
gugur maupun yang telah wafat mendapat kehormatan dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan di Manado dan Jakarta.

99
Untuk mengenang peristiwa merah putih 14 Februari 1946, didirikan
Monumen Merah Putih Sangasanga (sindonews.net)

=========

100
LITERATUR
o Abdullah, Taufiq (editor), Sejarah Lokal di Indonesia. Jakarta;Gajah Mada University Press,
1996.
o Abdullah, Taufiq, Lapian, A.B, Indonesia. Dalam Arus Sejarah, Ichtiar Baru van Hove,
Jakarata 2012.
o Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama,
1992
o Bahar, Safroedin, dan Tangdigiling (ed) Integrasi Nasional: Teori Masalah Dan Stategi. Jakarta,
Ghalia, Indonesia, 1996.
o Gazalba, Sidi,. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta; Bharatara Karya Aksara, 1981
o George Mc. Turnan Kahin, “Indonesia” , Mayor Goverments of Asia Ithaca,New York:
Cornell University Press, 1959
o Gottschalk, Louis, Understanding History. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto
dengan judul “Mengerti Sejarah” Jakarta: UI Press, 1986.
o Hatta, Moh, Past And Future. Cornell Modern Indonesia Project, 1960,.
o Kartodirjo, Sartono, 1971. Messianisme Dan Millenarisme Dalam Sejarah Indonesia. Jogjakarta:
Harvey, Sillars Barbara, 1989.
o Kawilarang, Harry, Sejarah Gerakan Kudeta 3 Mei 1950 di Minahasa, Manado, 3 Mei 2011
o Kawilarang, Harry, Mengindonesiakan Indonesia: Partisipasi Orang Minahasa Memperjuangkan
Kemerdekaan Indonesia 1900-1958
o Koentjaraningrat,1993. Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional. Jakarta, UI Press
o Koesoemahatmadja, 1979. Pengantar Kearah Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Bandung, Bina Cipta
o Kintowihjoyo,1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
o Leirissa, R.Z., Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia:
Peristiwa Merah Putih dan Sebab-musababnya, 1977.
o Lisangan, J.V., Perjuangan Pemuda Minahasa Indonesia, 1995.
o Manus, Laurens dkk, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara(1991)
o Mestika Zed dalam makalah bertajuk DekadePergolakan Daerah: Mendekati Isu-
Isu Konflik Pusat-Daerah dalam Perspektif Pembangunan Nasional Tahun 1950-an (2010)
o Meulen, SJ.WJ. Van Der, 1987. Ilmu Sejarah Dan Filsafat. Yogyakarta, Kanisius
o Nasution, A.H. 1984. Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung
o Nico Thamiend R. Sejarah, Untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira-Jakarta, 2000.
o Rahkmat, redi et.all, 1992. Tantangan Dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Dan Kesatuan
Bangsa: Kasus PRRI. Jakarta: Jarahnitra.
o Renier, G,J, 1997. History Its Purpose And Method, diterjemahkan oleh muin umar dengan
judul Metode Dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
o Torar, Jan, Peranan Minahasa dalam Perang Kemerdekaan, terbit
1985
o Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2017)
o Soekamto, Soerjono, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
o Suhardiman, Prof,Dr,SE, Pembangunan Politik Satu Abad, Yayasan Lestari Budaya,1996.
o Sumual, Ventje, Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE
Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta, 2009
o The Liang Gie, 1967, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jilid III,
Yogyakarta: Gunung Agung.
o Yoseph Tugio Taher, Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia, 2010,

101
o Yusnawan Lubis, dkk, Pendidikan Kewargaan Negara, untuk SMA/SMK Kls XI,
KEMENDIKBUD, Jakarta, 2017.
o Tampubolon, L. T. Inplasi dan Kebijaksanaan yang telah dijalankan di Indonesia, 1945-1962,
Skipsi Sarjana EUI, 1965
o Wowor, Ben, Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, bpnbmanado, 9 Mei 1915
o Wowor, Ben, Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, Harian manado Post, 13 Feb. 2009
o Westerling, Raymond Paul Pierre (1952). Mes aventures en Indonesie (dalam bahasa
Prancis). – diterjemahkan dari bahasa Prancis ke Inggris oleh Waverley Root sebagai –
Challenge to terror. London: W. Kimber.
o Media Sosial/Internet :
- “Sejarah Gerakan Kudeta Militer di Minahasa 3 Mei 1950” oleh Harry Kawilarang,, Petrik
Matanasi, tirto.id – Humaniora, Mei 2011.
- http://www.facebook.com/profile.php?id=100000212354865#%21/notes/albert-
kusen/demi-merah-putih-peran-waraney-waraney-minahasa-dalam-
mempertahankan-kemerdekaan
- Dewan Redaksi Dan Tim Penulis KPMP, Peristiwa 14 Februari 1946 di Minahasa,
Korps Pembangunan Merah Putih 14 Februari 1946 Dewan Harian Khusus DKI
Jakarta,
- Ref: http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/feb_16/lkOpin001.html
- TRIBUN-VIDEO.COM, Peristiwa Merah Putih (14 Februari 1946), Perlawanan
Rakyat Manado Terhadap penjajah,Rabu, 14 Agustus 2019 11:55 WIB
TribunnewsWiki
- Sulawesi Utara di awal Pasca Perang Pasifik Hingga Aksi Kudeta Militer 14 Februari
1946 Oleh: Harry Kawilarang
- Denni Pinontoan,Kaum Muda Revolusioner di Sekitar Peristiwa Merah Putih 14
Februari 1946
- Jerry,Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 Momentum Strategis Pengakuan NKRI,
GPPMP Usul BW Lapian Pahlawan Nasional, Kamis, 23 April 2015
- http://search.tb.ask.com/search/GGmain.jhtml?st=bar&ptb=4CEB9643-4F4E-
438B-B620-
- 47933EBD5C56&n=780c93e2&ind=2014090210&p2=^BDG^xdm174^YYA^id&s
i=awidzipunzip164026&searchfor=PERISTIWA%20MERAH%20PUTIH%20DI%
20MANADO
- http://www.dimensionnews.com/2013/10/peristiwa-merah-putih-di-manado.html
- http://infominahasa.blogspot.com/2009/02/peristiwa-merah-putih-14-februari-
1946.html
- Lapian, Andre; Mambu, Eddy; Mawikere, F. R.; Lapian, Gideon; Lumintang, Jimmy M. R.;
Burdam, John; Manarisip, Joyce (2012). B.W. Lapian: Nasionalis Religius dari Timur 1892–
1977. Jakarta: Komunitas Bambu. ISBN 978-602-940-221-6.
- "Profile Pahlawan Nasional 2015" (PDF). Kementerian Sosial Republik Indonesia. January 4,
2016. Diakses tanggal December 23, 2016.
- Taroreh, Osvald (January 26, 2012). "Pionir Gereja dan Pahlawan Kemerdekaan dari
Minahasa: Bernard Wilhelm Lapian". Bejana Advent Indonesia Timur.
- Parlina, Ina (November 6, 2015). "Five Named as National Heroes". The Jakarta Post (dalam
bahasa English). Jakarta. Diakses tanggal December 23, 2016.
- Mapaliey, Y. F. Rocky (November 10, 2015). "Silsilah Pahlawan Nasional, BW
LAPIAN". Berita Kawanua. Diakses tanggal December 23, 2016.

102
- "Mengenal Nama Walikota dan Wakil Walikota Manado". Pemerintah Kota Manado.
November 2, 2016. Diakses tanggal December 23, 2016.

103
BIODATA PENULIS

Penulis adalah seorang pemerhati sejarah dan budaya Minahasa


dilahirkan di Desa Lansot Kec. Tareran Kab. Minahasa pada tanggal 17
September 1966 dengan nama lengkap Valry Sonny Henry Prang.
Pendidikan dasar dan menegah ditempuhnya di desa kelahirannya
Rumoong-Lansot. Pendidikan terakhir ditempuhnya di Fakultas Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial - Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Negeri Manado dan lulus pada Tahun 1992.

Sejak kecil ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita rakyat dari para tua-tua desanya
serta gemar membaca buku-buku cerita rakyat dan cerita mengenai kepahlawanan para
nenek moyang dahulu. Pada tahun 1993 ia merantau ke Jakarta dan bekerja di salah satu
Perusahaan Swasta Nasional di bidang General Insurance (1993 – 2003) dengan beberapa
kali memimpin kantor cabang antara lain di Bandar Lampung, 1994, Semarang 1997,
Jakarta, 1998, dan terakhir di Surabaya. 2001-2003. Pada tahun 2000 ia menikahi seorang
gadis asal Wanosobo-Jawa Tengah dan dikaruniai dua orang anak perempuan yang
keduanya lahir di Jakarta, satu orang Putra lahir di Minahasa Selatan. Kemudian pada Tahun
2014, ia diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara/PNS dilingkungan Pendidikan.

Selama dalam perantauannya di pulau Jawa ia tak meninggalkan kegemarannya untuk


mencari dan membaca buku-buku sejarah –budaya dan cerita-cerita rakyat khususnya
tentang Sejarah–Budaya dan cerita-cerita rakyat diberbagai daerah di Indonesia.
Keprihatinannya muncul ketika kerinduannya untuk membaca buku-buku cerita sejarah-
budaya mengenai tanah kelahirannya Minahasa sangat sulit dijumpai baik di toko-toko buku
maupun diperpustakaan-purpustakaan di tempat dimana ia ditugaskan. Sejak saat itu ia
bertekad untuk menyusun beberapa tulisan mengenai sejarah-budaya serta cerita-cerita
rakyat Minahasa dengan tujuan mengangkat sejarah dan budaya serta cerita-cerita rakyat
Minahasa yang baginya tak kalah dengan sejarah-budaya dan cerita rakyat dari daerah-
daerah lain di Indonesia.

Setelah menikah, ia kembali dari perantauannya pada tahun 2004, ia mulai menulis buku yang
dimulai dari desa kelahiran. Buku pertama ditulisnya mengenai Sejarah Desa Kelahirannya
serta sejarah Injil yang berisi sejarah terbentuknya desa serta budaya, adat istiadat penduduk
setempat yang dahulu pernah hidup serta sejarah masuknya Injil di Tanah Minahasa.
Beberapa tulisan mengenai ulasan sejarah Minahasa pernah juga ditampilkan di beberapa
media surat khabar lokal dan mendapat sambutan yang baik dari para pemerhati sejarah
Minahasa.

Sebagai seorang aktivis LSM, beberapa jabatan organisasi yang pernah dipegangnya antara
lain :
- Ketua Bidang Minat Bakat Senat Mahasiswa FPIPS IKIP Negeri Manado. (1987-1991);
- Pengurus Inti KNPI Kec. Tareran, (1988-1991)
- Ketua Bid. Seni Budaya & Olah Raga KOSGORO Kec. Tareran, (1987-1999);
- Ketua Umum Karang Taruna Desa Lansot. (1992-1995);
- Penggurus Persatuan Keluargaan Marukupan Tareran Di Jakarta (1995-1999).-
- Ketua Rukun Keluarga Besar Dotu J.M. Prang-Kondoj – Tareran. (2007-2010)
- Wakil Ketua FSPSI Bid. Jasa Keuangan & Perbankan Cab. PT. ASWU-Jakarta (1997-
2003)
- Tim Pengamat/ Pemantau SDM pada : Yayasan API-Jakarta, Klif & IHRDP Jakarta (1998);
- Chairman Executive, Int’l H R D Program, Jakarta. (1997-2003);
- Chairman, Citra Int’l Indonesia, The Int’ HRD Found., Jakarta (2003-2008).
- Ketua Bidang Peng. & Pemb. Generasi Muda DPP Forum Peduli Sulut (2006-sekarang)
- Sekretaris Umum Forum Peduli Pendidikan - Sulawesi Utara.(2006-sekarang)
- Ketua Umum DPP PRAKTISI DAMAI, Prop. SULUT. (2007-sekarang)
- Pengajar Sejarah Indonesia & PKn di SMK Negeri 1 Tareran, (2010-Sekarang).

104

Anda mungkin juga menyukai