Anda di halaman 1dari 107

MENJAGA NKRI DARI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA

PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)

Penulis : Drs. Valry S.H. Prang


Cover Depan : Tokoh /Pelaku Peristiwa dengan latar belakang
Lambang Garuda
Desain Cover : Drs. Valry S.H. Prang

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG UNDANG


Dilarang keras menerjemahkan, memfoto-kopi, atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis & Penerbit.
PRAKATA

Puji Syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan yang penuh kasih sebagai sumber
segala hikmat, pengetahuan dan kebijaksanaan yang oleh kemurahan-Nya maka
penyusunan buku ini dapat kami selesaikan.

Melihat akan minimnya pengetahuan generasi muda tentang perjalanan sejarah


perkembangan Indonesia khususnya di daerah Indonesia Bagian Timur sesudah
Penyerahan/Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Pemerintah Belanda pada
akhir tahun 1949, disusul dengan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil
Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda yang terdiri dari
beberapa negara bagian bentukan Belanda, menimbulkan pergolakan diberbagai
daerah yang menuntut untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Tuntutan rakyat di berbagai daerah ini memunculkan pro dan
kontra antara pendukung pro NKRI yang disebut kelompok Unitaris, dengan
kelompok yang tetap mendukung RIS atau disebut golongaan Federalis.
Pertentangan ini menimbulkan gejolak bahkan pemberontakan di berbagai daerah
yang mengarah pada perpecahan bangsa Indonesia. Hal ini mendorong penulis
untuk menyusun buku yang berjudul :

“MENJAGA NKRI DARI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA”


Perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi
Pemberotakan
REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)

Penyusunan buku ini mulai dilaksanakan pada tahun 2018 diilhami dari keinginan
dari beberapa pelajar/generasi muda yang ingin mengetahui peristiwa yang menjadi
lembaran hitam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa antara tahun
1950-1961. Dalam setiap budaya mempunyai unsur mengisahan cerita, apakah
cerita tersebut merupakan kisah nyata yang benar-benar terjadi, atau hanya berupa
mitos maupun hanya cerita legenda. Namun semua itu mempunyai maksud dan
tujuan yang positif, karena suatu kisah atau cerita selalu diuraikan dan dicatat untuk
diketahui oleh generasi berikutnya sehingga mereka dapat belajar dari kisah itu dan
menjadi lebih baik.

Adapun maksud dan tujuan penulisan buku ini untuk mencegah sejarah hitam
bangsa Indonesia tersebut agar tak terulang kembali di masa yang akan datang,
serta sebagai bahan referensi pelajaran muatan nasional di sekolah-sekolah, untuk
menambah pemahaman pembaca khususnya generasi muda tentang berbagai
peristiwa disintegrasi bangsa berupa pemberontakan dan pergolakan daerah
khususnya di Indonesia bagian timur masa awal Republik Indonesia Serikat ta
hun 1950 hingga masa Demokrasi terpimpin tahun 1961.

Memang masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini yang perlu
diperbaiki dalam melengkapi kisah sejarah ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat
dan menambah wawasan masyarakat khususnya bagi generasi muda demi
kemajuan pembangunan bangsa Indonesia ke depan.

“ PAKATUAN WO PAKALOWIREN ”

Tareran, 02 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

PRAKATA .....................................................................` i
DAFTAR ISI ...................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. i

BAB II KEADAAN INDONESIA DI AWAL KEMERDEKAAN ...........


A. KEADAAN POLITIK DAN EKONOMI …………………..
B. PERTENTANGAN TENTANG KONSEP NEGARA ............
C. PERKEMBANGAN MILITER PASCA PENGAKUAN
KEDAULATAN

BAB III PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN ........


A. KEADAAN MALUKU PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN..
B. KEADAAN MALUKU PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN
C. LATAR BELAKANG PEMBERONTAKAN RMS....................`
1. Rekayasa Politik Dr. C. Soumokil
2. Awal Pemberontakan RMS
3. Proklamasi RMS
4. Pembentukan Angkatan Perang RMS
D. USAHA PEMERINTAH DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
1. Misi Perdamaian Dr. J. Leimena
2. Misi Perdamaian Kedua Yang Gagal
3. Misi Sipil Belanda

BAB IV OPERASI MILITER APRIS ...................


A. PENGIRIMAN PASUKAN APRIS KE MALUKU SELATAN
B. JALANNYA OPERASI MILITER APRIS
1. Operasi Militer APRIS di Pulau Buru
2. Operasi Militer APRIS di Pulau Seram
3. Operasi Militer APRIS di Ambon
C. STRATEGI PERANG GERILYA RMS
D. DEMOBILISASI EKS-KNIL PASCA PEMBERONTAKAN
RMS
E. PENANGKAPAN PARA TOKOH RMS
F. PEMERINTAHAN RMS DI PENGASINGAN ...................
G. AKSI DAN TEROR SIMPATISAN RMS ..................
1. Teror RMS di Negeri Belanda
2. Aksi Pendukung RMS di Indonesia

BAB IV PENUTUP .....................

LITERATUR ................................................................... VI
PROFIL PENULIS ................................................................... V
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... VI
BAB I

PEDAHULUAN

Sejarah adalah ibu dari pengetahuan manusia dan berusia setua


dengan ingatan manusia. Ketika manusia dilahirkan, ia hidup, bekerja,
berbicara dan memiliki sejarah. Hanya manusialah yang memiliki
sejarah dan sanggup mempelajari berbagai macam sejarah. Dalam
sejarah seperti ini manusia tampil sebagai pencipta sejarah. Dan
karena itu sejarah merupakan agregat dari aktifitas manusia. Inilah
ungkapan dari seorang filsuf dan sejarahwan Michel Foucault.

Salah satu guna sejarah adalah kegunaan edukatif. Maksudnya,


dengan mempelajari sejarah maka orang dapat mengambil hikmah
dari pengalaman yang pernah dilakukan masyarakat pada masa
lampau, yang tentu saja dapat dikaitkan dengan masa sekarang.
Keberhasilan di masa lampau akan dapat memberi pengalaman pada
masa sekarang. Sebaliknya, kesalahan masyarakat di masa lampau
akan menjadi pelajaran berharga yang harus diwaspadai di masa kini.

Eksistensi kehidupan masyarakat di Indonesia khususnya kejadian/


peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa tahun 1945-1950
tentang peristiwa pemberontakan dan pergolakan daerah di
Indonesia, merupakan salah satu lembaran hitam perjalanan sejarah
Indonesia yang masih menimbulkan perdebatan, pro dan kontra
tentang apakah peristiwa tersebut adalah sebuah „pemberontakan‟
atau „Perjuangan‟ yang dapat mengancam integrasi nasional.

Integrasi nasional secara politis berarti penyatuan berbagai kelompok


budaya dan sosial dalam kesatuan wilayah nasional yang membentuk
suatu identitas nasional. Sedangkan secara Antropologis Integrasi
nasional berarti proses penyesuaian di antara unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi
dalam kehidupan masyarakat.

Upaya untuk mencapai integrasi nasional dapat dilakukan dengan


cara menjaga keselarasan antarbudaya. Hal itu dapat terwujud jika
ada peran serta pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam proses
integrasi nasional.

Tantangan di lingkungan internal Indonesia untuk mengawal NKRI


agar tetap utuh dan bersatu, adalah munculnya disintegrasi bangsa,
baik yang datang dari internal pemerintahan sendiri maupun
datangnya dari kalangan militer, khususnya mengenai kebijakan
pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat serta
masuknya kepentingan politik dalam tubuh militer. Hal ini tentu
saja menimbulkan berbagai gejolak dalam negara yang terwujud
dalam suatu gerakan-gerakan protes bahkan mengarah pada
pemberontakan dengan memakai kekuatan militer. Yang dimaksud
dengan Dis-integrasi adalah keadaan yang tidak bersatu padu;
keadaan yang terpecah belah; hilangnya keutuhan dan persatuan;
perpecahan.

Musuh terbesar bangsa kita bukan yang datang dari luar, tetapi
ancaman disintegrasi yang berasal dari dalam sendiri
(C.S.T. Kansil dan Julianto, 1998)

Ancaman Disintegrasi bangsa yang yang pemberontakan dan


pergolakan di Indonesia, khususnya di awal tahun1950-an, berawal
dari hasil keputusan Konferensi Meja Bundar atau KMB yang
dilaksanakan di Den Haag pada tahun 1949. Dimana salah satu
hasilnya pembentukan Republik Indonesia Serikat atau RIS. Dengan
terbentuknya RIS, secara otomatis juga dilakukan pembenahan dalam
tubuh militer.

Dibentuknya APRIS atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat


ternyata menjadi permasalahan tersendiri dalam tubuh militer. Hal ini
disebabkan karena anggota KNIL dan TNI serta badan perjuangan
lainnya, harus bergabung menjadi satu pada APRIS. Kondisi tersebut
pastinya sulit khususnya bagi para anggota KNIL maupun TNI. Di
antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)
banyak yang tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Ringkasnya mereka tidak suka dengan terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada waktu itu bernama
RIS. Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional
Indonesia (TNI).

Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang setia tentu saja agak
sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL sulit bergabung
dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam
pertempuran di masa Perang Kemerdekaan. Kecemburuan juga timbul
dikalangan KNIL terhadap TNI setelah diputuskan bahwa pimpinan
APRIS harus berasal dari TNI. Hal ini diperparah dengan sambutan
rakyat yang lebih simpatik terhadap keberadaan TNI. Pada titik inilah,
kaum reaksioner yang subversif memanfaatkan situasi untuk terus
menyebar hasutan guna merongrong pemerintah Indonesia, Sehingga
menimbulan gejolak dan pemberontakan di daerah-daerah negara
bagian seperti APRA di Bandung, Andi Azis di Makassar dan terakhir
adalah pemberontakan Republik Maluku Selatan ( RMS ) di Ambon
dan sekitarnya.
Bagi pemerintah pada saat itu, apapun bentuk ketidakpuasan daerah
yang berujung pada penggunaan senjata untuk menentang
pemerintah pusat, merupakan suatu penghianatan dan
pemberontakan yang tentu saja harus ditumpas dengan kekuatan
militer karena menjadi ancaman bagi kedaulatan dan keutuhan
wilayah NKRI serta keselamatan bangsa. Yang dimaksud dengan
Ancaman adalah usaha yang bersifat mengubah atau merombak
kebijaksanaan yang dilakukan secara konsepsional melalui tindak
kriminal dan politis. Sedangkan Ancaman militer adalah ancaman
yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang
dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Ancaman militer dapat berasal dari luar negeri maupun dari dalam
negeri. Adapun ancaman nonmiliter adalah ancaman yang tidak
menggunakan senjata, tetapi jika dibiarkan akan membahayakan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan
segenap bangsa.

*******
BAB II

KEADAAN INDONESIA DI AWAL KEMERDEKAAN

A. KEADAAN POLITIK DAN EKONOMI

Keadaan Indonesia pasca


Proklamasi Kemerdekaan
tahun 1945-1950,
merupakan negara yang
penuh gejolak dan
goncangan. Hal ini
diakibatkan masa
kedudukan Jepang ditambah
dengan perang kemerdekaan
sangat mempengaruhi
perekonomian Indonesia.
Hasil produk pertanian dan
perkebunan tidak dapat diexport karena diblokade pihak Belanda.
Berbagai cara pemerintah untuk keluar dari krisis ekonomi dilakukan,
mulai dari program Plan Kasimo yang berisi anjuran untuk
memperbanyak kebun bibit dan padi unggul serta melakukan
rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan perang untuk mengurangi
beban negara, melakukan nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia oleh Menteri Keuangan RI, Mr. A.A. Maramis (1946),
memperlakukan sistem Ekonomi Gerakan Benteng oleh Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, kemudian diganti menjadi sistem ekonomi Ali Baba
yang diprakarsai oleh Mr. Isqak Tjokrohadisurjo, namun semua belum
dapat mengangkat krisis ekonomi Indonesia yang sedang menghadapi
perjuangan mempertahankan kemerdekaan terutama Agresi Militer
Belanda.

Begitupun dibidang politik, sejak tahun pertama lahirnya Republik


Indonesia, gerakan-gerakan dalam Masyarakat yang menentang
keberadaan Republik Indonesia. telah nampak yang cenderung
menentang kekuasaan negara. Meskipun pihak para pendukung
proklamasi menyambut gernbira dan berusaha keras untuk
mempertahankan dan menegakkan kernerdekaan, namun rnasih ada
anasir-anasir lain yang berusaha merusak Republik Indonesia dari
dalam . Gejala-gejala inilah yang mengurangi kekuatan dan kekuasaan
Republik dalam masa Perang Kemerdekaan baik itu dalam bidang politik
pemerintahan negara , maupun militer.

Perkembangan politik di Indonesia Timur sangat berbeda. Berita


proklamasi yang diterima disambut gembira . tetapi segera menggiring
mereka dalam keragu-raguan, karena hubungan dengan para pemimpin
republik di Jakarta sangat larnbat. Keadaan itu ditambah lagi dengan
lagi dengan adanya 15 kelompok-kelompok di dala'm masyarakat yang
pro-republik dan yang lain menginginkan keadaan kembali sebagaimana
sebelum PD. II, yakni dalam pemerintahan Hindia Belanda. Sementara
itu pada tanggal 24 Agustus 1945 dibuat suatu perjanjian antara Inggris
dan Belanda. Dalam perjanjian itu pemerintah pelarian Belanda (NICA)
di Brisbane diizinkan sekutu (lnggris dan Australia) masuk ke Indonesia
Timur. Secara berangsur-angsur mereka membangun aparat
kekuasaannya di sana yang berpusat di Makasar. Selanjutnya secara
berangsur-angsur pula berusaha mengembalikan kekuasaannya di
Indonesia. Inilah yang menimbulkan pertentangan dan ketegangan
antara Republik dan Pemerintah Belanda (NICA).

Ketegangan-ketegangan politik itu diikuti dengan kekacauan-kekacauan


karena tidak adanya jaminan keamanan. Tentara KNIL bertindak
sekehendak hati mereka di
kota-kota besar seolah-olah
tidak pernah ada proklamasi
Kemerdekaan. Tindakan-
tindakan mereka kemudian
dibalas oleh para pemuda
yang tergabung di dalam
badan-badan perjuangan.
Dengan demikian terjadi
pertempuran-pertempuan di
dalam kota maupun di
pinggiran kota sehingga
banyak orang tak dapat
bergerak dengan bebas.
Sumber : FB-Group Sejarah Indonesia, 2018

Setelah Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda dan terbentuklah Republik


Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari beberapa negara bagian
bentukan Belanda. Hal ini sesuai dengan Perjanjian Meja Bundar (KMB)
DI Denhag- Belanda. Keadaan politik dan ekonomi Indonesia semakin
kacau, Timbulnya beberapa pergolakan di daerah akibat adanya
demosntrasi rakyat dinegara-negara bagian yang menuntut dibubarkan
RIS. Kegagalan upaya kudeta oleh kelompok Angkatan Perang Ratoe Adil
(APRA) pada bulan Januari 1950 pimpinan Kapten Raymond
Westerling, mempercepat proses peleburan negara federal sampai yang
tersisa adalah negara Indonesia Timoer dan Soematra Timoer. Walaupun
kedua negara tersebut pada awalnya menolak bergabung dengan negara
Republik Indonesia, mereka akhirnya setuju setelah bertemu dengan
Mohammad Hatta pada bulan Mei. sehingga oleh Presiden Sukarno
mengumumkan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950.

Walaupun di saat pembubaran RIS luas sekali dukungan untuk negara


kesatuan Indonesia, namun kebanyakan pandangan politik di Indonesia
masih sangat menginginkan devolusi (pengurangan) kekuasaan
pemerintah. Otonomi daerah merupakan ciri kunci dari Republik yang
didambakan pada awal tahun 1950-an, suatu pandangan yang diterima
semua pihak, dan mereka lihat sebagai bahagian utama dari proses
demokrasi. Desentralisasi “diterima sebagai bagian yang penting dari
demokrasi baru Indonesia.”(Audrey Kahin,2005)

Setelah pembubaran RIS, kebijakan pemerintah mengenai desentralisasi


dan pemerintah daerah kembali pad UU RI No. 22 Tahun 1948. UU
tersebut dan beberapa UU tambahan membentuk tingkat pemerintahan
provinsi, kabupaten, dan desa dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sebagai otoritas pemerintah setempat.

Persetujuan pembentukan RIS sebelumnya sudah menjanjikan bahwa


pemilihan umum akan dilaksanakan dalam waktu satu tahun. Namun,
janji tersebut batal karena RIS dibubarkan, sehingga pemilihan anggota
DPRD tertunda betahun-tahun. Berhubung DPRD memiliki wewenang
untuk memilih kepala daerah, maka pemilihan kepala daerah pun
ditiadakan.

Keadaan ini menjadi keluhan


utama rakyat di daerah pada
awal tahun 1950-an karena
pemerintah pusat di Jakarta
mengambil jalan keluar
dengan menunjuk sendiri
kepala daerah. Walaupun UU
No. 22 Tahun 1948
menjanjikan bahwa rakyat di
daerah “berhak mengatur dan
mengurus rumah-tangganya
sendiri”, yang sebenarnya
terjadi adalah pemerintah
pusat memonopoli kekuasaan dengan menunjuk kepala daerah yang
kebanyakan berasal dari suku Jawa.

Di tengah vakum kekuasaan di daerah, muncullah gerakan-gerakan


seperti Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh yang
menyatukan kaum beragama dan rakyat daerah yang tidak puas dengan
tingkah laku pemerintah pusat. Maka pengumuman pemilihan umum
pada tahun 1955 memberi harapan untuk membawa pergantian di arus
politik daerah.

Dalam masa Krisis itu, Indonesia memperoleh bantuan kredit dari Exim
Bank of Washington melalui Ir. H. Djuanda, yang pada waktu itu
menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RIS. Bantuan yang diberikan itu
tidak juga mengubah keadaan ekonomi Indonesia. Pembangunan
stagnan. Uang lebih banyak beredar di Jawa untuk membangun
prasarana berupa jalan-jalan raya, telekomunikasi, jalan kereta api,
pelabuhan udara, darat, laut, yang sebagian besar pembangunannya
dipusatkan di pulau Jawa. Hal ini membuat daerah merasa diabaikan.
Rakyat di daerah merasa bahwa pemerintah pusat di Jakarta
tidak bekerja dengan efektif dan daerah seperti dianak-tirikan.
Persaingan di tubuh militer serta pertentangan diantara partai politik
makin meruncing. Kesadaran kedaerahan dan etnis menguat dan
mendorong pergolakan di Sumatera dan Indonesia bagian timur.

Sebagai negara federal


sistem kabinet dengan
sistem multi partai yang
dianut oleh Indonesia,
menjadikan masa itu sebagai
„Masa Kepemimpinan Partai-
Partai Politik‟ dalam sejarah
politik Indonesia. Pada masa
itu partai-partai politik
memegang kemudi
Pemerintahan. Hal ini
menyebabkan Kabinet yang
baru dibentuk yang terdiri dari gabungan beberapa partai hanya
berkuasa rata-rata tidak berumur panjang. Hal ini disebabkan oleh
partai politik yang menjadi saingannya biasanya bertindak sebagai
partai oposisi, lebih sering bersikap mencari kelemahan dari kabinet
untuk menjatuhkannya, jarang sekali menonjolkan hal-hal yang positif
dari kabinet untuk memberi dukungan. Tiap partai politik lebih
mengutamakan kepentingan partainya dari pada kepentingan nasional.
Oleh sebab itu mosi tidak percaya terhadap kabinet yang berkuasa
sering terjadi dan menyebabkan kabinet tidak dapat bertahan lama dan
digantikan dengan kabinet yang baru dengan partai-partai yang
berlainan.

Jatuh bangunnya kabinet di masa itu menyebabkan program-program


kabinet tidak dapat dituntaskan. Hal ini tentu saja sangat mengganggu
kestabilan pemerintahan dan menghambat pembangunan nasional.
Keadaan ini menimbulkan frustasi dan kegelisahan dikalangan rakyat.
Oleh karena itu, memasuki awal tahun 1955, mulai timbul gejala
ketidakpuasan rakyat, yang disusul dengan tuntutan-tuntutan rakyat
dari berbagai daerah. Aksi masa menuntut pembubaran Kabinet serta
tuntutan untuk diadakan Pemilihan Umum, mulai marak diberbagai
daerah.

Golongan regionalis yang tumbuh ini adalah para pemimpin militer dan
politisi yang meningkat rasa sadar akan kedaerahannya yang dipicu oleh
perasaan dianaktirikan oleh negara. Dicatat dua Indonesianis dari
Australia, Daniel S. Lev dan Herbert Feith dalam The End of Indonesian
Rebellion (1963), kelompok regionalis menilai bahwa pemerintah
cenderung sentralistis, birokratis, korup dan membelakangi situasi di
luar Jawa. Mereka menuntut system pemerintahan desentralisasi yang
memberikan otonomi luas bagi daerah. Kecenderungan anti komunis
juga menjadi ciri yang melekat pada kelompok ini. Karena orang-orang di
kelompok ini berasal dari golongan militer dan Partai Masyumi.

****

B. PERTENTANGAN TENTANG KONSEP NEGARA

Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/


Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi
perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah
kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara
golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan
dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara
kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli
1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang
diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat
reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin
Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar
bendera Merah-Putih dan
lagu Indonesia Raya
digunakan atau tidak oleh
Negara Indonesia Timur
(NIT) juga menjadi
persoalan yang tidak bisa
diputuskan dalam
konferensi. Kabinet NIT
juga secara tidak langsung
ada yang jatuh karena
persoalan negara federal
ini (1947).

Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak


pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah
terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama
dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide
Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T.
Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan
Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok
ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap
dipertahankan BFO.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-


nya, pertentangan antara dua kubu ini kian
sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya
kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung
dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari,
Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan
APRA Westerling mempersiapkan
pemberontakan terhadap pemerintah RIS.

Federalisme merupakan salah satu opsi yang banyak dibicarakan dan


didiskusikan, bahkan sejak dalam sidang-sidang BPUPKI pada Mei-
Juni 1945. Bung Hatta salah satu orang yang pernah menyebut bentuk
negara federal dalam sidang BPUPKI. Federalisme mendapatkan cap
buruk karena, terutama, pernah dipakai oleh Belanda pasca
kemerdekaan untuk mempertahankan status quo.

Pemerintah Belanda yang


bermaksud membentuk
pemerintahan federal di
Indonesia, senantiasa
berusaha keras
mempengaruhi golongan-
golongan tertentu.
Kelompok-kelompok
tersebut adalah kaum
politisi yang cenderung
menghendaki adanya
kekuasaan Belanda di
Indonesia. Sementara itu Pemerintah Republik dan kaum nasionalis
Indonesia. juga berusaha untuk mempertahankan kemerdekaan dan
eksistensi negara, demikian pula kedaulatannya atas wilayah bekas
jajahan Hindia Belanda. Segala upaya yang telah ditempuh kedua
belah pihak ternyata selalu menemui kegagalan. Masing-masing pihak
tetap pada prinsipnya. Pihak Indonesia menggunakan media
perundingan untuk mempertahankan prinsipnya dan memenangkan
diplomasi . Belanda pun demikian, yakni dengan "menghalalkan"
berbagai cara, antara lain dengan aksi-aksi militernya yang sekalipun
mendapat tanggapan yang negatif dari dunia intemasional terutama
setelah tindakan aksi militer kedua pada 19 Desember 1948 .

Sejak 1946, satu per satu bermunculan proklamasi kemerdekaan


negara-negara di lingkungan Republik Indonesia. Salah satu
pemicunya adalah Konferensi Malino yang berlangsung pada Juli 1946.
Dari sanalah muncul Negara Borneo dan Negara Indonesia Timur.
Selanjutnya muncul, misalnya, Negara Pasundan, Negara Madura
hingga Negara Jawa Timur. Federalisme bahkan sempat menjadi resmi
pasca Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949.

Dalam KMB yang dimulai pada 23 Agustus 1949, yang berlangsung


selama dua bulan lebih berjalan alot, karena berbagai kebijaksanaan
yang menyangkut kekuasaan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Selain masalah Irian Barat yang merupakan pokok pembicaraan yang
serius, persoalan NIT pun tidak kurang pentingnya. Dalam
memorandum 22 Juni 1949 disebutkan mengenai "kepentingan lain
yang besar artinya " . Memorandum ini telah menimbulkan kesulitan
besar dalam proses penyelesaian KMB. karena wakil-wakil dari
golongan-golongan ini ingin mengemukakan pandangannya. Selain itu
pemerintah Belanda menghendaki agar organisasi separatis Twapro di
Minahasa dan Partai Timur Besar (PTB) masuk dalam golongan
tersebut. Partai Timur Besar
sebagai suatu Badan
Gabungan dari semua aliran
di Indonesia Timur, yang
terdiri atas Minahasa. Ambon
(Maluku Selatan) dan Timor.
Golongan ini ingin
memisahkan diri dari Negara
Indonesia Timur untuk
membentuk hubungan
hukum dan ketatanegaraan
dengan Kerajaan Belanda.

Di Manado timbul pula suatu kelompok yang menamakan dirinya


Komite Ketatanegaraan Minahasa, yang bertujuan memisahkan daerah
Minahasa dari wilayah NIT. Dalam hal ini delegasi Belanda mendesak
agar Twapro dan PTB didengar suaranya oleh KMB. namun Pemerintah
Belanda kemudian menemui kesulitan menghadapi masalah
"kepentingan-kepentingan berharga "tersebut di atas. Partai Timur
Besar Trapro dan Komite Ketatanegaraan Minahasa mendesak kepada
Pemerintah Belanda agar suara mereka didengar oleh KMB sebagai
''peserta resmi yang sejajar kedudukannya" dengan delegasidelegasi
dalam KMB. Permintaan itu tentu tidak dapat dipenuhi karena
bertentangan dengan Peraturan Tatatertib KMB dan Memorandum
KMB 23 Juni 1949.
Ketidakberhasilan itu
menyebabkan
kekecewaan, sehingga
mereka menuduh
Pemerintah Belanda te1ah
meningga1kan mereka.
Padahal dahulunya
mereka diberi janji-janji
muluk o1eh Pemerintah
Belanda, karena mereka
dianggap sebagai
pendukung kepentingan
Belanda yang sangat setia.
Di samping ketiga
kelompok di atas, aqa pula kelompok-kelompok lain yang ingin
didengar pendapatnya juga oleh KMB, yaitu daerah Tapanuli,
Bengkulu, Lampung, Jambi, Palembang, Inderagiri, dan Sumatera
Barat. Pada akhirnya tercapai juga kesepakatan antara delegasidelegasi
RI, Belanda, dan Pertemuan Musyawarah Federal (BFO). Terbentuklah
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pengesahan Undang-
Undang Dasarnya, kemudian diikuti dengan Pengakuan kedaulatan
Indonesia pada 27 Desember 1949. Republik Indonesia (RI) hanyalah
satu dari sekian negara bagian di lingkungan RIS. Namun eksperimen
yang dipicu perundingan KMB itu gagal prematur.

****

C. PERKEMBANGAN MILITER PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN

Setelah Konferensi Meja


Bundar atau KMB (1949),
persaingan antara golongan
Federalis yang menginginkan
bentuk negara Indonesia
memakai sistem Negara Federal
dan golongan Unitaris yang
menginginkan bentuk negara
Indonesia memakai sistem
Negara Kesatuan, makin lama
makin mengarah pada konflik
terbuka yang berimbas pada
bidang militer. Pembentukan
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah
menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB
menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan
lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti
APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu
KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan
sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya
anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian,2012.).
Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz adalah
cermin dari pertentangan ini.

Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan,


pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal
ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin
dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan
rakyat yang ingin agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI

Kondisi politik Indonesia


pasca-pengakuan
kedaulatan oleh Belanda
pada 1949 memang belum
sepenuhnya stabil. Kabinet
yang dibentuk silih berganti
karena munculnya berbagai
konflik politik. Kondisi ini
diperparah adanya
sejumlah pejabat yang
melakukan korupsi dan
tindakan yang merugikan
negara. Keadaan itu membuat rakyat merasa geram dan
menginginkan percepatan pemilihan umum untuk mengganti anggota
parlemen. Ketika itu memang banyak dari anggota militer yang
menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah militer, mereka
memainkan peran dalam perpolitikan daerah. Hal inilah yang
membuat petinggi TNI saat itu, Kolonel Abdul Haris Nasution untuk
bisa merasionalisasi tentara dan mengurangi jumlahnya.

Berdasarkan Konferensi Meja Bundar atau KMB yang dilaksanakan


di Den Haag pada tahun 1949. Dimana salah satu hasilnya
pembentukan Republik Indonesia Serikat atau RIS. Dengan
terbentuknya RIS, secara otomatis juga dilakukan pembenahan dalam
tubuh militer. Dibentuknya APRIS atau Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat ternyata menjadi permasalahan tersendiri dalam
tubuh militer. Hal ini disebabkan karena anggota KNIL dan TNI serta
badan perjuangan lainnya, harus bergabung menjadi satu pada
APRIS. Kondisi tersebut pastinya sulit khususnya bagi para anggota
KNIL maupun TNI. Di antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-
Indische Leger (KNIL) banyak yang tidak puas terhadap hasil
keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Ringkasnya mereka tidak
suka dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
pada waktu itu bernama RIS. Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRIS) bersama Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai pejuang kemerdekaan yang
setia tentu saja agak sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi
KNIL sulit bergabung dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan
satu sama lain dalam pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan.

Kecemburuan KNIL terhadap TNI semakin menjadi setelah


diputuskan bahwa pimpinan APRIS harus berasal dari TNI. Hal ini
diperparah dengan sambutan rakyat yang lebih simpatik terhadap
keberadaan TNI. Pada titik inilah, kaum reaksioner yang subversif
memanfaatkan situasi untuk terus menyebar hasutan guna
merongrong pemerintah Indonesia.

Untuk menghindari dualisme kepemimpinan dalam kelompok


ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok
pejuang gerilya, pada bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah
mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik
yang tergabung dalam biro perjuangan maupun yang lepas, berada
dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Namun dalam menjalankan proses pergabungan
tersebut, timbul banyak masalah khususnya di daerah yang masih
kuat pengaruh “Belandanya” seperti di Indonesia bagian timur, yang
tergabung dalam Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibukotanya
Makassar.

*****
BAB III

PEMBERONTAKAN
REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)

A. KEADAAN MALUKU PSSCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN


INDONESIA

Ir J A Manusama dalam bukunya Om Recht en Vrijheid


(Memperjuangkan Kemerdekaan) menulis: “Ketika terjadi kapitulasi
oleh Jepang pada 15 Agustus 1945, kebangkitan kemerdekaan
hampir di seluruh Indonesia tumbuh. Sementara masyarakat Maluku
Selatan bersikap apatis dan tidak perduli satu dengan yang lainnya.
Hal ini dapat terjadi karena selama ini masyarakat disini terkucil dan
tidak pernah tersentuh oleh pengenalan nasionalisme dengan kaum
nasionalis dari Maluku yang berada di Jawa yang tak pernah
berhubungan sejak sebelum Perang Dunia II. Kendati ketika
proklamasi Republik Indonesia tercetus, disambut sangat entusias
oleh kaum nasionalis asal Ambon seperti Mr Latuharhary, Oom Piet
de Queljoe dan Sam Malessy. Tetapi sebagian besar dari militer KNIL
asal Ambon yang umumnya menjadi tahanan masa pendudukan
Jepang di Jawa bersikap sama dengan masyarakat di Maluku Selatan.

Pemuda-pemuda asal
Maluku di Jawa seperti
Herman Pieters,
Domingus Nanlohy, Leo
Lopulisa, Gerrit
Latumahina, Gerrit
Siwabessy dan banyak
lainnya- dengan spontaan
ikut masuk dalam barisan
perjuangan kemerdekaan
Indonesia, dan juga
memasuki TKR. Begitu pula
dua perwira eks KNIL seperti Julius Tahja dan J Muskita bergabung
dengan Republik. Bahkan mereka juga membentuk kesatuan asal
Maluku dan turut berperan dalam TNI. Sementara sebagian lainnya
juga menjadi pasukan pengawal Presiden.
Ketika pasukan Sekutu mendarat di Ambon dan mengambil
kekuasaan dari Jepang, penduduk Ambon yang sebagian besar buta
politik, menyambut pasukan Sekutu dan kembalinya kolonialisme
Belanda. Dengan cepat Belanda menguasai dan mengendalikan
pemerintahan, dan membentuk sistem pemerintahan federal yang
merupakan yang pertama diterapkan di Indonesia. Bersama dengan
beberapa kumpulan pulau-pulau lainnya terbentuk kelompok Maluku
Selatan. Kemudian berkembang dengan pengadaan status otonomi
dengan dibentuknya lembaga Zuis-Molukken Raad (ZMR) (Dewan
Maluku Selatan).

Pada bulan April 1946 untuk pertama kalinya dilakukan pertemuan


ZMR. Dewan ini terdiri dari 28 pilihan dan 7 anggota yang ditunjuk.
Juga terdapat dari penduduk yang ikut mendukung proklamasi
kemerdekaan Indonesia 1945 duduk sebagai anggota
dewan. Termasuk pula pemuka Republik, seperti Urbanus Pupella.
Salah seorang Republik, dokter J B Sitanala, pemberantas penyakit
lepra dan dikenal di dunia internasional juga berada di Ambon. Pada
masa pendudukan Jepang, ia berada di Jawa, tetapi pada 1946 ia
kembali ke Ambon . ZMR di pimpin oleh residen Belanda, P M
Vissers.

Pada 24 Desember 1946,


diadakan konferensi akbar di
Denpasar, Bali yang berhasil
membentuk Negara
Indonesia Timur (NIT). Pada
11 Maret 1947, ZMR
memutuskan untuk menjadi
bagian dari NIT. Tetapi
putusan itu ternyata tidak
mendapat dukungan
sepenuhnya, hingga pada
1950, waktu RMS di dirikan
baru diputuskan untuk
menjadi bagian dari NIT. Para pendiri RMS yang terakhir ini pada
awal 1950 tak ingin bergabung dengan Indonesia Timur yang
diperkirakan akan bergabung dalam negara kesatuan RI Proklamasi
1945.

Pada awal 1950 di Ambon terdapat 3 partai politik. Yang pertama


adalah Partai Indonesia Merdeka (PIM) oleh Urbanus Pupella. Partai
ini bertujuan untuk menggabungkan Ambon dalam kesatuan
Republik Indonesia . Yang kedua adalah Gabungan Sembilan
Serangkai (GSS), yang kepemimpinan dan kepengurusannya terdiri
dari pemimpin-pemimpin kampung-kampung ataupun raja-raja yang
berhaluan konservatif dan pendukung-pendukung nya adalah para
ambtenaar atau pegawai-pegawai administrasi pemerintah yang tidak
ingin menggabungkan diri dalam kesatuan Republik Indonesia . Partai
yang ketiga adalah Gerakan Democrat Maluku Selatan (GDMS)
pimpinan J.A Manusama, yang kemudian menjadi Presiden RMS.
Partai ini juga ingin berdiri sendiri dan terpisah dari kesatuan RI.

Orang-orang Ambon umumnya sangat lugu dan memiliki rasa


kesetiakawanan yang tinggi. Hal ini tergambar pada pandangan Ernst
Utrecht dalam bukunya, berpendapat: “Berbicara mengenai dunia
politik, pada umumnya masih asing bagi masyarakat Maluku dan
belum membudaya. Orang Ambon baru sibuk bilamana ia sendiri,
keluarganya atau teman-temannya terancam, dan bersikap spontan
tanpa memahami permasalahannya dahulu dalam mengambil
keputusan. Sikap dan pembawaan ini hingga ia mudah menjadi
korban politik praktis. Padahal mereka sangat setia dan dalam unsur-
unsur keagamaan, rajin kerja di kantor, dan pembawaannya dalam
pergaulan sangat ceria dengan siapapun yang disenanginya.”

Ketika pada 1945, Belanda kembali menguasai Ambon, langsung


dibangun dengan pembangunan rumah-rumah, pertokoan dan
gedung-gedung perkantoran hingga Ambon ini mulai berbentuk
sebagai kota . Kota yang sempat botak, karena pada masa peperangan
pohon-pohon kenari di tebang untuk digunakan sebagai kayu baker.
Sebagai hasilnya, menjelang penyerahan kedaulatan kehidupan
Ambon sudah menjadi lebih baik, dan kota Ambon mulai menjadi
indah dan kehidupan menjadi tenang, karena kegiatan ekonomi
sudah membaik. Bahkan lebih baik di banding dengan kota-kota
besar di Indonesia , terutama Jawa dan Sumatra yang hancur sebagai
akibat dari revolusi. Sementara Ambon tidak pernah mengalami
revolusi sosial ataupun revolusi fisik setelah pasca Perang Dunia II.
(Harry Kawilarng, 2010)

Keadaan Ambon berubah


ketika NICA-Belanda harus
angkat kaki dari Indonesia
sesuai dengan hasil KMB,
dimana seluruh wilayah
Indonesia termasuk Maluku
(kecuali Papua Barat)
diserahkan kepada
Pemerintah Republik
Indonesia. Hal ini
menimbulkan masalah terutama bagi kelompok federalis pro Belanda
di Ambon yang tidak mengingikan Maluku Selatan bergabung dengan
RI. Keadaan semakin rumit ketika proses alih militer eks KNIL
kedalam APRIS/TNI, menimbulkan pertentangan dan hambatan dari
kelompok ini. Apalagi setelah pemerintah membentuk ekspedisi
daerah seberang, dimana pasukan APRIS/TNI yang berjuang dalam
perang kemerdekaan yang berasal dari bebragai daerah seperi
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan lainnya, akan dikirim ke daerah
asal untuk mengamankan situasi di daerah masing-masing. Padahal
didaerah tersebut termasuk Ambon, terdapat kedudukan dari
pasukan KNIL yang belum sempat dilebut ke dalam APRIS/TNI.

7. Plan Metekohi

Alih militer dari KNIL menjadi TNI


disalurkan melalui KMTIT ingin
dibendung oleh Belanda dan
berusaha mempengaruhi
kalangan bintara KNIL
menentang kedatangan pasukan
TNI berintikan Brigade XVI
pimpinan Letkol Joop Warouw.
Kampanye anti TNI di Indonesia
Timur dilakukan Dr. Chris
Soumokil didukung Kolonel
Schotborg, Panglima Komando
Territorial militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan (GOB, Grote
Oost en Borneo) melakukan sebaran anti TNI terhadap tentara KNIL
menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado.Bahkan bermaksud
memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur terpisah dari
Republik Indonesia dengan membentuk ”Garis pertahanan Makassar-
Manado-Ambon” dibawah “Plan Metekohi.”

Plan Matekohy adalah sebuah konsep yang digagas oleh Dolf Metekohy
pemimpin kelompok "Sembilan Serangkai". Sejak pembentukkan Negara
Indonesia Timur di Denpasar pada Desember 1946 telah nampak bahwa
Metekohy mempunyai pandangan yang sangat berbeda dengan kelompok
federalis yang sejak semula menyokong federalisme yaitu menjadikan
negara Indonesia sebagai negara federal. Namun pandangan Matekohy
berbeda, ia mempunyai pandangan yang skeptis terhadap federalisme
Indonesia. Baginya bahwa daerah-daerah di wilayah NIT antara lain
Makassar, Manado dan Ambon, dapat menjadi negara sendiri lepas dari
NIT, dan tidak bergabung dengan RIS. Perbedaan ini terus berlanjut
sampai tahun 1950, sehingga Metekohy disebut pihak Belanda sebagai
„de misr lndonesisch onder de lndonesiche broeders‟.

Sejak Konferensi Malino,Dolf Matehohy telah memperlihatkan sikap


seolah-olah Maluku Selatan dapat berdiri sendiri tanpa daerah-daerah
lain. Konsep inilah yang dicoba Dr. Ch. Soumokil untuk menjadikan
Negara Indonesia Timur menjadi negara yang berdiri sendiri lepas dari
Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk menwujudkannya, ia bolak
balik Makassar, Manado dan Ambon untuk mengkampanyekan
konsepnya itu dengan mempengaruhi para anggota KNIL di daerah-
daerah tersebut agar dapat menyokong tujuannya. Sokongan dari para
anggota KNIL inilah yang kemudian akan menjadi sebuah Pertahanan
yang kuat dalam menghadapi semua tangtangan dan hambatan yang
akan menghalangi maksud tersebut, terutama untuk membendung
kekuatan TNI/APRIS.

8. Gejolak dalam tubuh eks KNIL

Setelah KMB dimana salah satu hasilnya adalah meleburkan semua


angkatan bersenjata kedalam satu wadah yaitu APRIS dan TNI menjadi
intinya, telah memicu pro dan kontra dikalangan KNIL maupun TNI
sendiri, membuat ambisi Sumoukil untuk melaksanakan konsepnya
semakin besar dalam mempengaruhi para eks anggota KNIL untuk anti
terhadap TNI. Apalag diisukan bahwa pihak TNI akan mengambil alih
tugas-tugas KNIL yang ada didaerah-daerah NIT.

Kolonel Schotborg
sendiri menghendaki agar
anggota eks-KNIL di
APRIS-kan dalam formasi
Batalyon dan Kompi
sudah terbentuk sebelum
kedatangan pasukan TNI
dari Jawa. Dalam usaha
ini pihak Belanda
mempengaruhi kalangan
prajurit KNIL di Makassar,
Manado dan Ambon.
Akibat kampanye anti-TNI
tersebut, timbulah berbagai pergolakan daerah di Indonesia, antara lain
kerusuhan di Ambon pada awal Januari 1950, aksi militer oleh prajurit-
prajurit bekas KNIL terutama dari anti Belanda pada bulan April dan
aksi militer pimpinan Kapten Andi Azis dan menyerang markas TNI di
Makassar.

Pemberontakan kapten Andi Azis merupakan hasil


hasutan Dr. Ch. Soumokil. Kapten Andi Azis
sebelumnya adalah ajudan Wali Negara NIT,
Sukowati dan bersama satu kompi KNIL yang telah
resmi masuk TNI pada tanggal 30 Maret 1950.
Namun sehari sebelumnya, Dr.Chris Soumokil
bersama Kolonel Schotborg yang datang dari
Manado menemui Kapten Andi Azis untuk
menentang pendaratan Batalyon Worang di
Makassar yang akan tiba pada tanggal 5 April 1950. Mereka
mempengaruhi Kapten Andi Azis dengan mengatakan bahwa bila telah
APRIS terbentuk di Makassar, tidak perlu lagi kehadiran TNI. Selain
mempengaruhiKapten Andi Aazis, Dr. Chris Soumokil juga
mempengaruhi kalangan pejabat pemerintahan NIT dan berkampanye
“negara Merdeka Indonesia Timur” di Makassar dukungan Belanda
untuk memisahkan Indonesia dari RIS (Republik Indonesia Serikat)
melalui “Plan Metekohi.”

Karena pengaruh tersebut,


Kapten Andi Azis
melakukan aksi militer
menentang TNI, dimana
pada tanggal 5 April 1950
pagi, pasukan Andi Azis
beraksi melakukan
penyerbuan terhadap
kediaman perwira-perwira
TNI, terutama asrama
CPM (dulu Verlengde
Klapper Laan) Makassar
dan menangkap Letkol
A.J. Mokoginta dan
perwira TNI lainnya.
Pasukan Andi Azis memblokir Pelabuhan Makassar untuk membendung
pendaratan Batalyon Worang pimpinan Mayor H.V. Worang. Akibat
kemelut di Makassar hingga kapal-kapal “Waikelo” dan “Bontekoe” yang
mengangkut pasukan Batalyon Worang dialihkan ke Balikpapan, dan
kemudian kembali untuk mendaratkan pasukan Batalion Worang di
Jeneponto.

Akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Kapten Andi Azis dan


pasukannya, Pemerintah RIS menggelar Operasi Militer untuk
mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman separatism tersebut.
Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku Buwono
IX, atas instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi RIS,
mengangkat Kolonel Alex E. Kawilarang setelah bertugas melakukan
integrasi TNI di Sumatera, diangkat menjadi Panglima Komando Tentara
Teritorium Indonesia Timur (KMTIT) pada tanggal 15 April 1950.

Kolonel A.E. Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan


dukungan kekuatan: Brigade Garuda Mataram, pimpinan Letkol
Soeharto, Satuan Brawijaya, pimpinan Letkol Suprapto Sukawati,
Satuan Siliwangi, pimpinan Letkol Kosasih. Kekuatan didukung satuan
Brigade XVI dari Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V. Worang dan
Batalyon Mattalata pimpinan Mayor Andi Matalatta.
Rencana pendahuluan
diadakan penyerbuan pada
tanggal 26 April 1950 ke
Makassar yang dilakukan
oleh Batalyon Worang.
Penyerbuan tersebut tidak
mengalami kesulitan, karena
sehari sebelumnya Andi Azis
sudah terbang dengan
pesawat Catalina dan ke
Jakarta, setelah sehari
sebelumnya menyerah dan
pasukannya dilucuti dan di
konsinyir di Makassar. Sebelumnya, pada malam hari tanggal 24 April
1950, Kapten Andi Azis menemui Kolonel Alex Kawilarang dan
menyatakan ingin bergabung dengan TNI. Penyerahan diri Andi Azis
berlangsung keesokan harinya kepada Letkol Soeharto. Penyerahan diri
Andi Azis hingga pendaratan pasukan Batalion Worang di Makassar
tidak mengalami perlawanan. Berlanjut dengan pendaratan pasukan
induk Brigade XVI dari Surabaya beberapa hari kemudian dengan kapal
pendarat LST di Makassar. Dengan kekuatan ini hingga pasukan TNI
secara bertahap menggusur pengaruh KNIL di Makassar.

Setelah berada di
Makassar, Letkol Joop
Warouw diangkat menjadi
Komandan pasukan
Sulawesi Utara Maluku
Utara (KOMPAS SUMU)
dengan tugas mengambil
alih Komando Territorial
Belanda (Troepen
Commandant Noord
Celebes) oleh Kementerian
Pertahanan dari
Yogyakarta. Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas
permintaan khusus dari Warouw kepada Letkol Zulkifli Lubis yang
waktu itu menjabat Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan.
Kesatuan ini berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan
perang gerilya di Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC
(South East Asia Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan
pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa. Diantara para perwira
dari brigade ini terdapat antara lain Mayor Saleh Lahade, Mayor H.V.
Worang, Mayor Rifai, Mayor Pieterz, Mayor Firmansyah, Mayor
Mochtar, Mayor Abdullah, Kapten Pattinama, Kapten Padang,
Kapten Tenges, Kapten Arie Supit, Kapten Somba, Kapten Wuisan,
Letnan Lendy Tumbelaka, Letnan Maulwi Saelan, Letnan Andi
Odang, Letnan Yan Ekel dll. Kesatuan KOMPAS SUMU selama berada
di Makassar giat melakukan persiapan militer dalam usaha pendaratan
mereka di Manado.

Di Manado, usaha Kolonel Schotborg dan Dr. Ch. Soumokil, tidak


berjalan seperti yang diharapkan. Soumokil datang ke Manado dari
Makassar, dan setiba di lapangan terbang Mapanget-Manado, Soumokil
tidak turun dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud
menemui kelompok KNIL Sersan Mawikere. Namun kedatangan mereka
telah diketahui oleh para pemuda pro republik, yang tergabung dalam
Front Laskar Pemuda (FLP). Ditengah jalan utusan itu dihadang oleh
kalangan pemuda pro Republik, yang sudah mengetahui peristiwa
pemberontakan Kapten Andi Azis di Makassar. Utusan itu tidak
akhirnya kembali ke mapanget, dan tidak berhasil menemui kelompok
Mawikere. Misi Soumokil di Manado-pun mengalami kegagalan.
Soumokil dan rombongan akhirnya terbang menuju ke Ambon pada
tanggal 13 April 1950. Anggota KNIL di Manado sebagian besar tidak
terhasut oleh Soumokil. Bahkan para Anggota KNIL di Manado
melakukan kudeta pengambilalihan kekuasaan dari tangan Komando
Territorial Belanda (Troepen Commandant Noord Celebes). Usaha
dibantu oleh para pemuda pro Republik. Peristiwa ini dikenal dengan
nama Peristiwa 3 Mei 1950.

*****
B. KEADAAN MALUKU PSSCA PENGAKUAN KEDAULATAN

Setelah Pengakuan
Kedaulatan oleh Belanda
dan terbentuklah Republik
Indonesia Serikat (RIS)
yang terdiri dari beberapa
negara bagian bentukan
Belanda, berdasarkan
Perjanjian Meja Bundar
(KMB), keadaan politik dan
ekonomi Indonesia
semakin kacau, Timbulnya
beberapa pergolakan di
daerah akibat adanya demosntrasi rakyat dinegara-negara bagian yang
menuntut dibubarkan RIS. Begitupun peralihan dibidang militer antara
eks tentara Belanda dari kesatuan KNIL, serta kesatuan gerilya lainnya
kedalam satu kesatuan militer APRIS, mengalami banyak goncangan.

Untuk menghindari dualisme kepemimpinan dalam kelompok


ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok
pejuang gerilya, pada bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah
mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik
yang tergabung dalam biro perjoangan maupun yang lepas, berada
dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Namun dalam menjalankan proses pergabungan tersebut, timbul
banyak masalah khususnya di daerah yang masih kuat pengaruh
“Belandanya” seperti di Indonesia bagian timur, yang tergabung dalam
Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibukotanya Makassar.

Masyarakat Ambon dan Minahasa yang berdiam di kota-kota besar di


Jawa merasakan akibatnya. Mereka dianggap cenderung memihak
Belanda sehingga pertentanganper-tentangan antara kedua belah pihak
tidak dapat dielakkan. selama kurang-lebih enam bulan dari saat
proklamasi, kelompok-kelompok loyalis yang kolot di Ambon memegang
inisiatif. Gagasan-gagasan yang paling kongkret yang mereka usulkan
ialah membentuk Gemeenebest Molukken (Persemakmuran Maluku).
Persemakmuran tersebut terdiri atas Maluku Utara, Irian Barat, dan
Maluku Selatan. Usul itu ternyata mendapat dukungan luas dari para
raja patih dan para elit (intelektual) di Ambon dan lingkungan
intelektual (emigran) di Jawa, tetapi gagasan Persemakmuran Maluku
itu kemudian tak dapat diwujudkan, karena sultan 16 Dewan Maluku
Selatan ( 1946-1948) Tentara KNIL 17 Ternate sebagai kepala swapraja
di Maluku Utara tidak menyetujui usul-usul tersebut. Usul dan gagasan
itu diajukan kepadanya oleh suatu tim perundingan Ambon, di bawah
pimpinan Tahitu. Gagasan ini pun kemudian tidak diperdulikan di
dalam konferensi Malino dan terlantar begitu saja.

Pada awal tahun 1946 di tengah suasana konfrontasi terhadap Belanda,


orang-orang Ambon yang setia kepada Hindia Belanda mengadakan
protes keras kepada pemerintah Republik Indonesia. Ketika Van Mook
mengembangkan siasatnya untuk membentuk suatu negara Indonesia
lain dengan bentuk federal, muncul orang-orang Ambon yang loyal
semakin banyak. Mereka ini kemudian ikut pindah ke Negara Indonesia
Timur (NIT).

Setelah Konferensi Meja Bundar


atau KMB (1949), persaingan
antara golongan Federalis yang
menginginkan bentuk negara
Indonesia memakai sistem Negara
Federal dan golongan Unitaris
yang menginginkan bentuk
negara Indonesia memakai sistem
Negara Kesatuan, makin lama
makin mengarah pada konflik
terbuka yang berimbas pada
bidang militer. Pembentukan
Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah
satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS
diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan
anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan
bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar
mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang
masuknya anggota TNI ke negara bagian. (Taufik Abdullah dan AB
Lapian,2012.). Kasus pemberontakan APRA Westerling di Bandung dan
mantan pasukan KNIL Andi Aziz di Makassar adalah cermin dari
pertentangan ini.

Kegagalan atau akhir dari pemberontakan APRA sendiri memang


menyisakan duka karena banyak anggota APRIS maupun rakyat sipil
yang gugur, namun dari adanya pemberontakan tersebut juga
memberikan dampak pemberontakan APRA positif bagi Indonesia. Sejak
adanya peristiwa pemberontakan APRA, muncul berbagai macam
gerakan unitarisme di seluruh wilayah Indonesia.

Pada tanggal 30 Januari 1950, R. A. A. Wiranatakusumah, Wakil


Negara Pasundan mengundurkan diri dan pada tanggal 8 Februari
Perdana menteri mengangkat Sewaka sebagai penggantinya dengan
jabatan komisaris RIS di Pasundan.
Gerakan unitarisme juga meluas ke daerah-daerah lain. Negara Jawa
Timur yang dibentuk oleh Belanda dalam Konferensi Bondowoso,
akhirnya dibubarkan setelah dididesak oleh rakyat. Selanjutnya,
Gubernur Jawa Timur, Samadikoen, pada tanggal 27 Februari
mengeluarkan suatu intruksi kepada segenap residen, bupati, walikota
serta aparat bawahannya dari bekas Negara Jawa Timur agar
menyerahkan pimpinan daerahnya masing-masing kepada pejabat
Republik Indonesia yang telah ditujuk sebelumnya. Tindakan tersebut
diambil oelh Gubernur untuk meredakan suasana panas di kalangan
rakyat yang menuntut dibubarkannya Negara Jawa Timur. Selain
Negara Jawa timur, Negara Madura juga ikut bergabung ke dalam
wilayah RI.

Di Sumatra Selatan, tuntutan hampir unitarisme juga muncul dan


mencapai puncaknya pada awal tahun 1950. Oleh karena itu, RIS harus
menerima pembubaran itu.
Pada 24 Maret 1950,
pemerintah RIS meresmikan
pembubaran Negara Sumatra
Selatan dan daerahnya
dimasukkan ke lingkungan
provinsi Sumatra Selatan di
bawah RI. Peristiwa
unitarisme Sumatra Selatan
kemudian disusul dengan
pembubaran Daerah Istimewa
Bangka Belitung
penyerahannya dilaksanakan
pada tanggal 23 April 1950.

Di Sulawesi Selatan, gerakan-gerakan menuju unitarisme mendapatkan


tantangan dari golongan federal yang ingin mempertahankan Negara
Indonesia Timur (NIT). Berbagai demonstrasi yang menuntut
pembubaran NIT terjadi di Ujungpandang, Gorontalo, Poso, Donggala,
Takalar, dan Jeneponto. Meskipun sempat muncul peberontakan Andi
Aziz, tetapi keinginan rakyat Sulawesi untuk melepaskan diri dari NIT
tidak kendor. Sebelum pemerintah RIS dengan resmi membubarkan NIT,
rakyat provinsi Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara telah menyatakan
melepaskan diri dari ikatan NIT dan menggabungkan diri dengan RI.
Pernyataan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk proklamasi
yang dikeluarkan di Polongbangkeng pada tanggal 17 April 1950 dan
ditandatangai oleh Makkaraeng Dg. Djarung yang mengatasnamakan
gubernur-gubernur Provinsi Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.

Tindakan Westerling di Jawa Barat serta pengkhinatan Sultan Hamid II


juga telah diprotes oleh rakyat Kalimantan. Di daerah ini sejak awal
1950 telah terjadi pergolokanan yang menuntut unitarisme. Pada
pertengahan Januari 1950, dr. Murdjani selaku wakil Pemerintah RI
mengadakan kunjungan ke Kalimantan Timur guna menyaksikan
penggabungan daerah tersebut ke dalam RI. Sementara itu, Dewan
Kalimantan Timur dalam sidangnya telah mengambil suatu resolusi
yang mendesak Dewan Gabungan Kesultanan untuk menyerahkan
mandat secepatnya kepada RIS. Dalam resolusi tersebut disepakati
penggabungan daerah Kalimantan Timur sebagai daerah otonomi Negara
Kesatuan.

Di Kalimantan Selatan juga terjadi pergolakan menuntut unitarise.


Penggabungan tersebut dilakukan setelah bubarnya Dewan Banjar.
Peristiwa penggabungan itu juga disaksikan oleh dr. Murdjani.

Di Kalimantan Barat, kondisinya sedikit berbeda dengan daerah lainnya.


Gerakan-gerakan rakyat yang menuntut unitarisme tidak berhasil.
Hambatan utamanya adalah karena yang dikirimkan ke Kalimantan
Barat sebagai wakil RIS adalah Mr. Indrakusuma, seorang tokoh
pendukung negara federal. Akibatnya, tuntutan rakyat hanya berhasil
membubarkan Dewan Istimewa, tetapi tidak berhasil menuntut
penggabungan. Faktor tersebut menyebabkan Kalimantan Barat menjadi
wilayah terakhir di Kalimantan yang bergabung ke NKRI.

Pembubaran beberapa negara bagian pada 8 Maret 1950 membuat


keadaan bertambah panas. Golongan unitaris mendesak NIT
membubarkan diri dan bergabung ke dalam NKRI, sementara para
federalis berupaya sekuat
tenaga mempertahankan NIT.
Pergolakan politik yang terjadi
di Jawa, Madura dan
Sumatera yang berkisar pada
masalah pertetangan antara
federalisme dan unitarisme
(kesatuan) dan hasrat untuk
mengukuhkan kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia,.
diikuti dengan penuh gairah
oleh golongan republiken di
Indonesia Timur, termasuk
Makasar.

Mulai awal Maret 1950 pergolakan dan pertentangan antara golongan


federalis dan unitaris di Sulawesi Selatan dan terutama di Makasar
berkobar dengan hebat sehingga timbul suasana yang gawat. Kelompok-
kelompok pemuda di jalan-jalan mulai menyatakan sikap mereka
menentang kelanjutan berdirinya Negara Indonesia Timur untuk
menggabungkan diri pada daerah kekuasaan Republik Indonesia. Dari
golongan unitaris yang dipelopori oleh anggota-anggota parlemen Fraksi
Kesatuan Nasional dan Fraksi Indonesia. mendesak kepada pemerintah
untuk diizinkan mengadakan demonstrasi secara besar-besaran dengan
tujuan untuk menyatakan unjuk perasaan agar Negara Indonesia Timur
segera dibubarkan dan dimasukkan ke dalam daerah kekuasaan
Republik Indonesia .

Keadaan demikian mengubah suasana politik di Negara Indonesia


Timur. Suasana yang bergelora mewarnai dibukanya sidang Badan
Perwakilan Rakyat 'Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu keadaan
Makasar sedang dalam keadaan tidak tenang, sebab rakyat yang anti
federal mengadakan demonstrasi sebagai desakan agar Negara Indonesia
Timur secepatnya bergabung
dengan Republik Indonesia.
Golongan yang setuju pada
sistem federal juga
mengadakan demonstrasi,
sehingga ketegangan semakin
memuncak hingga pecahnya
pemberontakan Andi Aziz di
Makassar, yang
mennyebabkan NIT
membubarkan diri bergabung
dengan RI.

Di Sulawesi Utara yang juga merupakan bagian dari wilayah NIT, terjadi
peristiwa 3 Mei 1950 di Manado dan Minahasa yang dilakukan oleh
anggota KNIL dan para pemuda yang pro republik dengan mengambil
alih komando militer dari tangan pemerintah Belanda, dan menyatakan
diri bergabung dengan Republik Indonesia.

Inilah beberapa peristiwa yang merupakan suatu gerakan atau upaya


untuk seluruh negara bagian RIS kembali bergabung menjadi satu
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Namun kontra terhadap
pembentukan kembali NKRI terjadi di Maluku, dimana Dr. Chris
Soumokil dan kawan-kawan menghendaki lain, mereka menginginkan
mendirikan negara sendiri di Maluku Selatan, lepas dari NIT & RIS, dan
tidak menyetujui apalagi kelak bergabung dengan NKRI.

Dolf Metekohy pemimpin kelompok "Sembilan Serangkai". Sejak


pembentukkan Negara Indonesia Timur di Denpasar pada Desember
1946 telah nampak bahwa Metekohy mempunyai pandangan yang
sangat berbeda dengan kelompok Ambon Iainnya seperti Kapten J.
Tahiya yang sejak semula menyokong federalisme pada hal mereka
berdua sama-sama diangkat oleh Belanda dalam pertemuan federal.
Perbedaan ini terus berlanjut sampai tahun 1950, sehingga Metekohy
disebut pihak Belanda sebagai de misr lndonesisch onder de lndonesiche
broeders. Sejak Konferensi Malino ia telah memperlihatkan sikap seolah-
olah Maluku Selatan dapat berdiri sendiri tanpa daerahdaerah lain. Jadi,
sejak saat itu ia sudah mempunyai pandangan yang skeptis terhadap
federalisme Indonesia.

Sementara itu golongan Sembilan Serangkai yang juga merupakan


bagian dari PTB menyokong pemikiran dan gagasan Soumokil. Mereka
mengadakan teror terhadap rakyat terutama anggota-anggota PIM. Jelas
golongan ini tidak menyetujui (menolak) RIS bahkan juga NIT. Golongan
ini membuat keadaan menjadi panas dan panasnya keadaan ini diiringi
dengan menjalarnya perasaan benci di kalangan rakyat. Kebencian
mana ditujukan kepada kekuasaan yang bersandar kepada kekuatan
tentara KNIL Pada saat inilah Soumokil mengajarkan agar KNIL
bertindak. Setiap anggota Dewan Maluku Selatan harus dibunuh.
Sesudah itu baru Maluku Selatan dinyatakan sebagai negara merdeka .
Usulan Dr. Soumokil itu ditentang sebagian anggota yang tidak setuju
dengan gagasan yang brutal itu, namun dalam pertemuan itu pula
lahirlah "gagasan RMS" dan untuk memproklamasikannya diusulkan
agar pemerintah daerah yang melakukannya. Hari-hari selanjutnya
keadaan sudah dikuasai oleh pihak-pihak separatis PTB.

*****
C. LATAR BELAKANG PEMBERONTAKAN RMS

Keadaan Ambon setelah pengakuan


kedaulatan dan terbentuknya RIS, mulai
menjadi tegang. Berntrokan-bentrokan terjadi
disemua tempat antara kelompok-kelompok
nasional yang militan melawan kelompok-
kelompok reaksioner termasuk anggota-
anggota KNIL. Situasi semakin memburuk
ketika satu kompi baret hijau bekas anak
buah Westerling mendarat di Ambon pada
tanggal 17 Januari 1950. Pada tanggal 22 Januari 1950 terjadi
kerusuhan dan penganiayaan pada rakyat di dalam kota, yang
mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Aparat pemerintahan dan
aparat keamanan tidak dapat berbuat apa-apa atas peristiwa tersebut.
Keadaan ini bertambah panas dan rnemburuk dengan menjalarnya
kebencian masyarakat Ambon terhadap kekuasaan yang bersandar pada
KNIL.

Untuk mengatasi keadaan itu, Pemerintah Negara Indonesia Timur


segera mengambil tindakan dengan mengirim menteri dalam negeri
Mohammad Djabir Syah, begitupun Pemerintah Republik Indonesia
Serikat rnengirim Putuhena dan Mayor Saleh Lahade, dan pihak KNIL
mengirim Kapten J. Thiya dan beberapa perwira Belanda ke Ambon. Di
Ambon mereka mengadakan perternuan dengan oerganisasi-organisasi
politik dan sosial serta berunding dengan pihak Troepencommandan
Molukken yang diwakili oleh Koning. Hal itu memberikan harapan.
bahwa kekalutan di Ambon segera akan dapat diatasi.

Menurut keterangan Menteri Dalam Negeri NIT Iskandar Djabir


Mohammad Syah, perundingan dengan Koning berhasil dengan
memuaskan Koning menjanjikan akan berusaha supaya kejadian itu
tidak terulang lagi. Namun masih ada kekecewaan dikalangan politik
karena belum ada jaminan mengenai keamanan di Kota Ambon. Setelah
pertemuan tersebut, keadaan kota Ambon mulai membaik. Namun hal
itu tidak berlangsung lama.

Setelah satu per satu negara-negara bagian RIS memutuskan bergabung


dengan RI akibat desakan rakyat diberbagai daerah, menimbulkan
keprihatinan Manusama. Ambruknya kebanyakan negara bagian RIS
tersebut, juga akan megancam kelanjutan NIT, apalagi dengan adanya
gerakan-gerakan pasukan RIS serta kekacauan di Ambon sendiri, akan
menimbulkan pertikaian antara pasukan-pasukan RIS melawan KNIL di
Ambon yang mengakibatkan banjir darah, dengan rakyat sebagai
korbannya. Karena itu Manusama memutuskan untuk mengadakan
rapat raksasa guna memperlihatkan dukungan Ambon kepada
Pemerintah NIT yang pada saat itu sedang berada dalam tahap kritis di
dalam perundingan dengan Jakarta, sesudah ada usaha Andi Azis untuk
merebut kekuasaan. Pertemuan baru diadakan pada 18 April 1950 yaitu
dua hari setelah Dr. Soumokil tiba di Ambon dari Makasar dan Manado.
Dengan penuh perasaan Manusama dalam rapat itu mempertahankan
federalisme. tentang kekejaman-kekejaman revolusi dan ketidakjujuran
pemerintah Jakarta dan menyatakan bahwa andaikata Makasar sampai
jatuh, Ambon akan menjadi benteng pertahanan terakhir. Tindakan-
tindakan Jr. Manusama dalam tiga bulan pertama tahun 1950, bekas
pimpinan moderat Gerakan Demokrasi, Manusama, baru giat
berpolitik.kira-kira akhir bulan Maret 1950.

1. Rekayasa Politik Mr Dr. Christiaan Soumokil

Dr. Chris Soumokil yang memang punya riwayat


kedekatan dengan Belanda menganggap
federalisme sebagai jalan tengah yang layak dicoba.
Ditambah kecurigaan terhadap dominasi Jawa,
federalisme memang memikat banyak kalangan
termasuk Dr. Chris Soumokil. Ia bukan satu-
satunya orang yang tertarik dengan gagasan
federalisme. Lagi pula, bukan hanya orang-orang
yang pernah dekat dengan Belanda saja yang
terbuka dengan federalisme. Bahkan Tan Malaka,
yang seluruh hidupnya dikejar-kejar polisi kolonial, meyakini konsep
Federasi Asli yang cakupannya merentang dari Asia Tenggara hingga
Australia. Namun, eksperimen bersejarah itu memang harus tertelan
oleh realisme politik yang lebih berpihak pada gagasan negara kesatuan.
Segala yang berbau kolonialisme, di negara-negara pasca-kolonial,
dengan mudah diidentifikasi sebagai musuh. Identifikasi yang sampai
batas tertentu, punya alasan psikis yang tidak bisa diremehkan: trauma
kepada kolonialisme.

Dr. Chris Soumokil pernah menjadi Menteri Kehakiman lalu Jaksa


Agung di Negara Indonesia Timur (NIT). Menurut A.H. Nasution, Sekitar
Perang Kemerdekaan Jilid 11: Periode Konferensi Meja Bundar (1977),
ketika berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda,
Dr. C.Soumokil pernah menjabat wakil perdana Menteri NIT juga. Ia
termasuk orang yang menolak kehadiran pasukan APRIS dari Jawa.
Dalam statusnya sebagai jaksa itulah ia terlibat dalam persidangan
Wolter Robert Mongisidi. Dia menuntut hukuman mati Wolter, dan
dikabulkan. Wolter dieksekusi pada 5 September 1949. Ironisnya,
Soumokil di kemudian hari juga tewas dalam eksekusi hukuman mati.
Soumokil dieksekusi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, pada 12 April
1966. (tirto.id – Indepth, Petrik Matanasi)
Dr. Chris R.S. Soumokil lahir di Surabaya pada 13 Oktober 1905.
Ayahnya adalah pejabat rendah di Kantor Pos di Semarang. Soumokil
beruntung bisa menikmati belajar sekolah elit Hogere Burger School
(HBS) Kristen di Surabaya. Menurut De Telegraph (05/09/1964),
setamat HBS, Soumokil kemudian berangkat ke Belanda. mulanya ia
berusaha masuk ke fakultas kedokteran, namun mundur di tengah
jalan. Tak lama kemudian ia masuk fakultas hukum hingga
mendapatkan gelar doktor. Dia lulus pada 1934 dan menjadi seorang
ahli Yurisprudensi. (Richard Chauvel, 1990., Dr. Chris Soumokil bersama
Kusumaatmatmaja dan Soepomo, Soumokil tergolong orang-orang
pertama yang belajar hukum di Universitas Leiden. ( Ratno Lukito, 2008)

Ketika kuliah di Negeri Belanda, Soumokil pernah


ikut serta dalam wajib militer Belanda. Dia
ditempatkan dalam artileri medan. Sebagai
pengikut Kristus, Soumokil adalah pengikut
Gereja Reformis. Begitu pun kembali ke Hindia
Belanda, tak sulit bagi Soumokil untuk meniti
karier. Di Hindia Belanda dia kemudian menjadi
seorang Jaksa. Status hukum dirinya
dipersamakan dengan orang-orang Belanda. Dia
tidak dekat dengan orang-orang Ambon
pergerakan macam Alexander Jacob Patty. Dia
tak seperti Johannes Leimana yang ikut Kongres Pemuda II 28 Oktober
1928. ( De Telegraph (05/09/1964),

Sebagai seorang ahli hukum dan hakim yang terhormat dalam


masyarakat Hindia Belanda, kepentingan-kepentingannya sangat
bertolak belakang dengan aspirasi bangsa Indonesia . Pada tahun 1930
an, ia termasuk salah satu dari kelompok kecil "bumi putera" yang
mendapat status gelijkgesteld. yaitu mereka yang statusnya disama kan
dengan warga negara Belanda. Ketika namanya dicalonkan menjadi
anggota Dewan Rakyat (Volksraad) muncul penentangan dari orang-
orang Ambon-Maluku lainnya pada 1938. Jelang masuknya Jepang,
Soumokil tetap setia kepada Ratu Belanda. Bersama orang-orang
Belanda, Soumokil juga ditawan. Sebagai tawanan Jepang, dia dikirim
ke Siam untuk ikut dalam kerja paksa membuat jalan kereta api di
sana. Setelah Perang Pasifik selesai, barulah dia dibebaskan. Setelah ia
bebas, yang hampir bersamaan dengan juga merdekanya Indonesia,
posisi keberpihakannya tetap tak jauh dari Belanda. (Richard Zakariaz
Leirissa,Prisma (07/08/1978),

Menurut Syaramanual, “Soumokil terkenal sebagai reaksioner dan


musuh gerakan nasional di Sulawesi Selatan.” Jalan Tengah
Federalisme. Namun, menyebutnya semata pengkhianat tidaklah
memberikan gambaran terhadap kompleksitas pasca-kemerdekaan.
Memang ada orang-orang yang ingin Belanda sepenuhnya kembali
berkuasa. Namun jauh lebih banyak lagi yang menyadari zaman telah
berubah dan kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan sudah tak
terhindarkan. Termasuk orang-orang yang di masa kolonial bekerja pada
pemerintahan Hindia Belanda pun banyak yang menyadari zaman telah
berganti. Bagaimana kemerdekaan itu dilaksanakan dan diisi, itulah
pokok pertanyaan yang kerap melahirkan perdebatan panjang.

Sebelum diproklamasikannya
Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai
yang beranggotakan pasukan
KNIL dan partai Timur Besar
terlebih dahulu melakukan
propaganda terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia
untuk memisahkan wilayah
Maluku dari Negara Kesatuan RI.
Di sisi lain, dalam menjelang
proklamasi RMS, Soumokil telah
berhasil mengumpulkan kekuatan
dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu,
sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara
karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil.

Ternyata pengadaan RMS di rekayasa oleh Mr Dr. Christiaan Soumokil


yang sering bersikap eksentrik dan bahkan juga tidak senang pada
Negara Indonesia Timur, dan lebih berpihak pada kembalinya
kolonialisme Belanda. Lagi pula pembentukan RMS sama sekali bukan
aspirasi dari masyarakat Maluku Selatan. Sementara dibawah prakarsa
PIM, pada umumnya para pimpinan politik, kepala-kepala desa,
pemuka-pemuka agama baik Kristen maupun Islam, sepakat untuk
menempatkan Maluku Selatan sebagai bagian dari RIS yang di bentuk
pada tanggal 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan pada
hari yang sama.

Untuk meraih ambisinya, Soumokil melakukan kegiatan kampanye, dan


pertama-tama berkunjung ke Kupang di Timor dan kemudian ke
Manado untuk mempengaruhi masyarakat di sana . Tetapi tujuannya
sama sekali tidak berhasil hingga ia mendarat di Ambon pada 14
Desember. Kesemuanya dengan menggunakan fasilitas Belanda yang
diberikan oleh Kolonel Schotborg untuk mempengaruhi agar Indonesia
Timur tidak bergabung dengan Republik. Setelah berada di Ambon ,
Soumokil giat melakukan penyusunan rencana mempertahankan RMS
dari penyerbuan pasukan APRIS. Sehari setelah cetusan proklamasi,
pihak RMS melakukan perekrutan pada pemuda-pemuda sebagai
sukarelawan mempertahankan RMS dari serangan APRIS. Selain
Ambon, juga berusaha menarik simpati di berbagai kepulauan.

Tetapi kampanye RMS


tidak mendapat sambutan
dari penduduk di Buru,
Aru, Banda, Kei dan
Tanimbar. Sementara
dukungan terbanyak
diperoleh dari penduduk
kota Ambon, Seram dan
beberapa pulau lainnya
sekitar Ambon , dan juga
pulau-pulau seputar
Maluku Tengah. Cetusan
proklamasi RMS kurang
mendapat sambutan, terutama di kalangan pelajar-pelajar dan kalangan
ilmuan Ambon di luar Ambon, terutama di Jawa dan Sumatra karena
memahami pandangan-pandangan nasionalisme. Pendukung RMS
umumnya terdapat dikalangan militer KNIL asal Ambon. Umumnya
militer pro RMS yang terkena demobilisasi menolak untuk masuk sipil di
Jawa. Banyak diantara mereka ini, mau tidak mau, dipaksa oleh
Belanda dan di angkut ke Negeri Belanda. Begitu hebatnya provokasi
Soumokil hingga memerlukan waktu cukup lama untuk meredakan
keadaan.

2. Awal Pemberontakan

Usaha Belanda untuk melaksanakan strategi Garis Pertahanan


Makassar-Manado-Ambon tidak berlanjutnya aksi pemberontakan
Kapten Andi Azis mengecewakan Dr.Chris Soumokil, seorang penentang
integrasi TNI. Pada pertengahan bulan April 1950, dengan menggunakan
pesawat Pembom B-25, Dr. Chris Soumokil meninggalkan Makassar
menuju Manado. Tujuan Soumokil ke Manado, untuk mempengaruhi
pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara dan menemui Sersan (KNIL)
Mawikere, pimpinan TWAPRO guna memperoleh dukungan menentang
integrasi TNI, dan untuk mempengaruhi para anggota KNIL lainnya.

Namun apa yang diharapkan diluar harapannya. Setiba di lapangan


terbang Mapanget-Manado, Dr. Chris Soumokil hanya mengirim utusan
ke Manado dengan maksud menemui kelompok Mawikere. Ia sendiri
tidak turun karena sebelum meninggalkan Makassar, ia telah
mendengar bahwa di Manado mayoritas tentara KNIL yang berasal dari
Sulawesi Utara adalah pro republik seperti halnya para perwira asal
Manado dalam tubuh TNI seperti Kolonel Alex Kawilarang, Letkol J.F.
Warouw , Letkol Ventje Sumual, Mayor H.V. Worang dan lainnya
adalah para perwira senior TNI yang merupakan orang-orang republiken
garis keras. Tentu saja figur mereka ini mempengaruhi para anggota
KNIL di Manado. Hal ini terbukti ketika utusan itu dihadang oleh
kalangan pemuda pro Republik, yang sudah mengetahui peristiwa
pemberontakan Kapten Andi Azis di Makassar. Akhirnya misi Soumokil
di Manado mengalami kegagalan. Soumokil dan rombongan akhirnya
menuju ke Ambon. Ia kemudian mengambil langkah untuk mendirikan
negara sendiri lepas dari NIT & RIS, di daerah asalnya Maluku bagian
selatan.

Pemberontakan Kapten Andi Azis, APRA-


Westerling, dan RMS-Soumokil memiliki
kesamaan tujuan yaitu, mempertahankan NIT
dalam pengaruh Belanda, dan tidak menerima
kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik
Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka
lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa
bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti
setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS
mengatasi keadaan yang membuat masyarakat
semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan
NKRI. Namun, dalam usaha untuk
mempersatukan kembali masyarakat ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang
diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat.
Para biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon
bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan
bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan
untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.

Selain itu keadaan Kota Ambon yang tidak menentu tersebut,


disebabkan oleh dua faktor. yaitu :
- Timbulnya salah paham dalam kalangan KNIL di Ambon, yakni
antara mereka yang mau masuk Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) dengan yang sebaliknya.
- Infiltrasi golongan belanda yang tetap berpaham kolonial dengan
sengaja mengatur kekacauan itu.

Mengenai faktor pertama. orang-orang KNIL bimbang karena tidak tahu


apa dan bagaimana kondisi masuknya KNIL ke dalam APRIS. Akibatnya
timbul kegelisahan di kalangan KNIL yang kemudian membuat keonaran
di Ambon. Keonaran akibat ulah orang-orang KNIL itu baru reda dengan
kedatangan Jenderal Mojet. Adapun mengenai faktor kedua.
sesungguhnya orang-orang KNIL beserta pasukan baret hijau di Ambon
ingin Iekas-lekas masuk APRIS. tetapi pimpinan KNIL (orang Belanda.)
ternyata hendak melambatkannya. sehingga terjadilah keonaran itu.
Selanjutnya gerakan teror ini ditingkatkan lagi oleh pasukan-pasukan
istimewa KNIL yang dinamakan "Baret Hijau''. Pasukan ini adalah bagian
dari "Korps Speciale Troepen" (KST) yang dibentuk oleh Kapten Raymond
Westerling di Batujajar dekat Bandung dan yang merupakan pasukan
penting selama revolusi. Mereka pula yang memainkan peranan utama
dalam pemberontakan Westerling di Bandung dan Jakarta pada awal
tahun 1950. Mula-mula jumlah mereka hanya 60 orang di Ambon. tetapi
kemudian berangsur-angsur bertambah sehingga pada bulan April 1950
ada sekitar 200 orang KST. Mereka inilah yang bertindak sebagai tukang
pukul Soumokil dan yang paling kuat menginginkan terbentuknya
Republik Maluku Selatan.

Tindakan mereka
menimbulkan keprihatinan
di kalangan kaum republiken
setelah melihat Wim
Reawaru. ketua Persatuan
Pemuda Indonesia Maluku
ditangkap dan dibunuh.
Bukan saja penduduk biasa
yang berada dalam keadaan
ketakutan. tetapi juga
melanda sebagian anggota
KNIL biasa. Sampai bulan
April 1950 telah ada sekitar
2000 orang anggota KNIL di
Ambon . Sebagian tinggal di Ambon dalam rangka pengembaliannya ke
masyarakat dan sebagian lagi ingin bergabung dengan Tentara Nasional
Indonesia (TNI). tetapi ada bukti-bukti bahwa tidak sedikit yang sengaja
dikirim ke Ambon lengkap dengan senjata untuk tujuan-tujuan lain.
Teror yang dilancarkan oleh satuan-satuan KST dan polisi dibarengi oleh
propaganda separatisme yang dilancarkan oleh Gabungan Sembilan
Serangkai yang banyak beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar

Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya


mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga
mendorong kabinet NIT untuk meletakan
jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan
dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan
pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel
Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara
Indonesia Timur. Akan tetapi Dr. Ch. Soumokil
bersama para anggotanya tidak akan menyerah
untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan
dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL
beserta Ir. Manusama, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan
dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota
dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul
tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang
melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah
Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu.

3. Proklamasi RMS

Pasca pemberontakan Kapten Andi Aziz di Makassar, Menurut Harry


Kawilrang dalam tulisannya “ Sejarah Maluku hingga RMS”
menyebutkan bahwa di Ambon mulai muncul desas-desus bahwa
wilayah Indonesia Timur sudah di kuasai oleh pasukan Jawa (APRIS),
dan menurut rencana pasukan TNI dari Jawa akan menyerbu Ambon
pada akhir Maret. Desas-desus ini menimbulkan kepanikan, terutama di
kalangan pemerintahan dan kalangan fungsionaris pedesaan. Kemudian
pada 5 April muncul berita yang sangat menyerang pemimpin-pemimpin
anti-Republik bahwa pasukan TNI dari Batalyon Worang akan memasuki
kota Makassar . Tak lama kemudian tersiar berita bahwa seorang
Kapten Bugis muda, bernama Andi Azis bersama batalyonnya telah
menduduki kota Makassar dalam usaha untuk mempertahankan kota
ini dari serbuan Batalyon Mayor H V Worang.

Aksi pemberontakan Kapten


Andi Azis di Makassar di ikuti
dengan seksama dan penuh
kecemasan oleh kalangan anti-
Republik di Ambon . Situasi
Ambon menjadi tak menentu
ketika mengetahui Kapten Andi
Azis sudah ditangkap dan
Makassar sudah aman dari
pemeberontakan setelah Kolonel
Alex Kawilarang di angkat
menjadi Panglima territorial Indonesia Timur.

Bersamaan dengan peristiwa Andi Aziz itu, terjadi pula krisis dalam
Kabinet NIT. Golongan nasionalis (Republik) berusaha membubarkan
NIT dan memasukannya ke dalam Negara Kesatuan RI. Usaha-usaha itu
berupa mosi tidak percaya kepada Kabinet NIT. di masa JE. Tatengkeng
dan Diapari. Pasukan-pasukan TNI yang dikirim dari Jawa di bawah
pimpinan Kawilarang berusaha menguasai keadaan dan mernadamkan
pemberontakan . Koordinasi yang baik dari TNI memaksa Andi Aziz
menyerahkan diri. Pada saat yang sama Kabinet Diapari meletakkan
jabatan dan diteruskan oleh perdanamenteri yang "diangkat" oleh RIS
yakni Ir. M. Putuhena. Keadaan itu memberi alamat kepada Soumokil
bahwa NIT akan tamat riwayatnya. Walaupun demikian ia tidak mel
epas kan cita-citanya untuk mejamin status otonomi bagi Maluku
Tengah. Ia 1alu meninggalkan Makassar dengan alasan yang tidak jelas
pada tanggal 12 April 1950 dan tiba di Ambon tanggal 13 April 1950 dari
Manado . Menurut beberapa pihak ia mengadakan inspeksi kepolisian
karena ia adalah Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung NIT. Setibanya di
Ambon Soumokil mengadakan pertemuan dengan golongan separatis.
Keadaan di Ambon saat itu mulai nampak adanya usaha ke arah
pemisahan dari NIT sejak awal April 1950. Di sini pengaruh !r. J A.
Manusama, Direktur AMS sangat besar di kalangan masyarakat yang
menginginkan kemhalinya kekuasaan Belanda .

Pada bulan April 1950, J A Manusama, yang ketika itu menjabat


direktur urusan sekolah-sekolah menengah di Ambon, memprakarsai
rapat umum di Ambon untuk menenangkan keadaan. Ia mengundang
para raja pari dari Pulau Ambon untuk mengadakan rapat dikantornya .
Pada kesempatan itu Manusama mempropagandakan bahwa penyatuan
Maluku Tengah ke wilayah Indonesia lainnya akan mengundang bahaya.
Hal itu harus disampaikan para raja pati kepada seluruh rakyatnya agar
mereka dapat memahami keadaan sosia! politik yang ada dan yang akan
berlangsung. Para raja pati menyetujui Manusama untuk mengadakan
suatu rapat umum di Kota Ambon. Rapat tersebut diadakan pada 18
April 1950 yang dihadiri pula oleh Soumokil. Di samping kedua tokoh
itu terdapat Dolf Metekohy pemimpin kelompok "Sembilan Serangkai".

Pada tanggal 21 April 1950,


terdengar kabar bahwa Kapten
Andi Azis dengan resmi menjadi
tahanan. Sebelumnya ia datang ke
Jakarta yang katanya di janjikan
akan dibebaskan bila melapor
kepada pemerintah. Penahanan
Andi Azis membuat kota Ambon
menjadi sangat tegang dan tidak
kondusif. Dalam keadaan yang
amat tegang tersebut, pada tanggal
23 April 1950, Dr. Ch. Ir. Soumokil
mengadakan rapat rahasia di Tulehu. Dalam rapat itu hadir golongan
militer, Pegawaipegawai polisi dan pemuka-pemuka rakyat lainnya,
demikian pula Ir. Manusama. Rapat mengambil kesimpulan bahwa
likuidasi dan pembubaran Negara Indonesia Timur dalam waktu yang
sangat singkat akan menjadi suatu kenyataan, melihat terjadinya
perkembangan-perkembangan di Makasar. Pada saat inilah Soumokil
menganjurkan agar KNIL segera bertindak. setiap anggota Dewan
Maluku Selatan harus dibunuh, kemudian daerah itu dinyatakan
sebagai negara merdeka. Untung saja sebagian dari kawan-kawannya
masih sadar dan menolak tindakan yang buas itu. Dalam rapat itu
gagasan pembentukan Republik Maluku Selatan telah lahir. Untuk
melaksanakan "proklamasi", diputuskan oleh rapat agar segera
dihubungi Badan Pemerintahan Harlan Daerah Maluku Selatan untuk
mendesak kepada mereka agar diproklamasikan kemerdekaan daerah
Maluku Selatan.

Rapat ditutup sekitar pukul 16.00 dan dilanjutkan lagi sekitar pukul
18.00. Pada hari yang sama, sore harinya diadakan rapat lagi di Ambon.
Hadir da1am rapat . tersebut Kepala Daerah/Ketua Dewan Maluku
Selatan , Manuhutu , dan Wakil Ketua Dewan Maluku Selatan Wairisan ,
yang didesak oleh Soumokil dan golongan militer untuk menyelesaikan
proklamasi kemerdekaan daerah Maluku Selatan. Keduanya menolak
untuk melakukan hal yang demikian luas konsekuensinya , dan mereka
mengemukakan bahwa dalam hal yang demikian adalah wajar Dewan
Maluku Selatan dipanggil untuk bersidang membicarakan hal tersebut.
Kepala Daerah Manuhutu berjanji untuk membicarakan persoalan yang
penting ini dengan anggota-anggota Dewan Maluku Selatan yang ada di
Kota Ambon dan kepala-kepala jabatannya, tetapi. Manuhutu
mempergunakan kesempatan ini untuk menghubungi Menteri Urusan
Dalam Negeri dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur melalui
telepon untuk melaporkan perkembangan yang gawat di Ambon dan
peranan aktif yang dimainkan oleh Soumokil.

Pada 23 April 1950, Sersan Mayor (KNIL) Ibrahim Ohorella, Sersan


Mayor Sapulete bersama Ir Manusama memprakarsai pertemuan
dengan wakil-wakil militer, polisi dan sipil untuk melakukan persiapan
dan menyusun konsep kemerdekaan Maluku Selatan terlepas dari
Republik Indonesia Serikat dengan mencetuskan proklamasi Republik
Maluku Selatan. (Harry Kawiarang, 2011)

Pada tanggal yang sama yaitu 23 April 1950


sekitar jam 16,00 beberapa tokoh/pejabat daerah
Maluku Selatan dipanggil dalam suatu rapat yang
sudah diatur oleh Mr. Dr. Soumokil dan Ir.
Manusama. Dalam rapat itu hadir anggota militer
jang berasal dari KNIL. Para Tokoh/Pejabat
tersebut tidak mengetahui sama sekali akan acara
rapat. Begitupun terhadap Johanes Hermanus
Manuhutu yang waktu itu sebagai Kepala Daerah
Maluku Selatan, ia didatangi orang-orang
bersenjata. Mereka adalah pendukung ide bekas
Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Chr.R.S. Soumokil. Akhirnya,
J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat di bawah ancaman senjata.

Ketika rapat dimulai, maka seorang sersan militer KNIL yang benama
Tanaka berpangkat sersan KNIL, berbicara atas nama seluruh militer
KNIL, minta kepada Manuhutu selaku kepala daerah Maluku Selatan
dan Ketua Dewan Pemerintah Maluku Selatan supaja memproklamirkan
kemerdekaan “RMS” sebelum matahari terbenam. Disamping itu Sersan
Tanaka menuduh J.H. Manuhutu telah mengundang TNI untuk datang
ke Maluku Selatan. Tetapi tuduhan sersan ini disangkal oleh J.H.
Manuhutu. Juga Wairizal selaku wakil Ketua Dewan Pemerintah
Maluku Selatan menyangkal tuduhan Sersan Tanaka itu. J.H.
Manuhutu juga menolak permintaan untuk memproklamirkan RMS, dan
meminta supaja rapat ditunda. Usul itu didukung oleh
Wairizal. Rapatpun ditunda dan akan dilanjutkan pada keesokan
harinya, dan akan dilaksanakan pada waktu sore hari.

Keesokan harinya yaitu dipagi hari tanggal 24 April 1950, J.H.


Manuhutu berinisiatif mengadakan rapat dengan beberapa bawahannya
yang terdiri dari kepala-kepala jawatan Maluku Selatan. Agenda yang
dibicarakan mengenai desakan untuk membentuk RMS. Dalam rapat
tersebut mereka merasa binggung untuk menentukan bagaimana sikap
seharusnya mengenai desakan kaum militer terhadap anggota-anggota
Dewan Pemerintah Maluku Selatan. Mereka kuatir hal ini akan
menimbulkan masalah yang besar dikemudian hari, yang akhirnya akan
merugikan daerah Maluku Selatan sendiri. Rapatpun berakhir tanpa
mngambil keputusan.

Pada sore harinja dihalaman


kantor Kepala daerah,
sebelum dilaksanakan rapat
lanjutan seperti yang telah
direncanakan, datang banyak
sekali orang terutama dari
kalangan militer (KNIL).
Sepertinya keadaan sudah
diatur demikian rupa dimana
telah disiapkan lima kursi
untuk mereka yang akan
memproklamirkan emerdekaan Maluku Selatan. Kursi yang tertinggi
diperuntukkan bagi J.H. Manuhutu, sedang yang lainnya untuk para
tokoh lainnya, diantaranya Wairizal dan Gaspers.

Setelah rapat dimulai, maka Sersan Tanaka mengemukakan lagi supaya


diproklamirkan “RMS”. Namun J.H. Manuhutu menolak keras dan
berkali-kali menyatakan tidak mau. Tetapi orang-orang yang berada
diluar gedung terutama militer, berteriak-teriak sedemikian rupa
sehingga mereka mendesak Manuhutu supaya mau mendjadi “Presiden".
Malahan ada jang menyuruh supaja mereka turun dari kursinya jikalau
tidak mau menuruti kemauan rapat. Tekanan juga datang Dr. Soumokil
dan Manusama dalam rapat itu berbicara dan juga mendesak Manuhutu
seperti jang dilakukan oleh kaum militer.
Karena tekanan jang sangat kuat itu maka oleh Manuhutu
disanggupkan juga karena ia tidak dapat berbuat lain, takut diancam
kaum militer. Setelah Manuhutu menyatakan sanggup maka mereka
orang-orang militer KNIL lalu bersorak dan menjabat tangan para tokoh
jang duduk dikursi.

Tanggal 25 April 1950, mereka menyerahkan penyusunan teks


proklamasi kepada Passuwariza (yang kemudian diangkat jadi Menteri
Penerangan RMS). Setelah teks selesai dibuat, konsep ini diajukan
untuk mendapat persetujuan dari Kongres Rakyat yang berlangsung di
gedung pemerintah di Batugadjah dan dihadiri sekitar 6000 pengunjung.
Walaupun sebagian anggota Dewan Pemerintah Maluku Selatan dengan
berat hati akhirnya secara aklamasi proklamasi RMS disetujui. Pada hari
itu juga “ RMS ” diproklamirkan keseluruh dunia melalui siaran-siaran
radio di Ambon. (Berdasarkan Fakta dalam persidangan dimuat oleh
Majalah Pesat. Mingguan Politik-Ekonomi & Budaja, No. 10, TAHUN XI, 9 MARET
1955).

Kepala Daerah Maluku Selatan, J.H. Manuhutu lalu membacakan


Proklamasi Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950,
yang antara lain berbunyi :
"Memenuhi kemauan jang
sungguh, tuntutan dan desakan
rakjat Maluku Selatan, maka
dengan ini kami proklamir
Kemerdekaan Republik Maluku
Selatan, de facto de jure, yang
berbentuk Republik, lepas dari
pada segala perhubungan
ketatanegaraan Negara Indonesia
Timur dan R.I.S." begitu awal
penggalan proklamasi RMS. RMS
pun resmi berdiri, para pejabatnya
langsung sadar bahwa tindakan
mereka itu akan mendapat
penolakan dari pemerintah dan
perlawanan dari TNI, maka RMS
mulai memperkuat pasukannya.
Teks Proklamasi RMS

Setelah proklamsi berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), J.H


Manuhutu diangkat sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai
Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil,
D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W
Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A.
Manusama, dan Z. Pesuwarissa.

Proklamasi RMS ini didukung oleh banyak sisa-sisa pasukan KNIL,


terutamanya bekas anggota Korps Speciale Troepen ( KST ) yang secara
tegas menyatakan menolak untuk bergabung dengan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS ), sekaligus menolak perintah untuk
demobilisasi. Mereka tadinya sangat berharap bisa ikut ke Negeri
Belanda sebagaimana rekan mereka dari pasukan Koniklijke Leger ( KL ).
Mereka tidak sadar bahwa secara organisator KL dan KNIL tidak sama.
Meski selama 5 tahun terakhir pasukan KNIL bahu membahu bertempur
bersama KL melawan pemerintah Republik, setelah persetujuan KMB
ditandatangani, apa yang diebut Hindia Belanda sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, para anggota KNIL tersebut lantas bagaikan anak
ayam yang sedang kehilangan induknya, tak tahu harus lari kemana.
Didera oleh perasaan putus asa, sebab mereka menolak bergabung
dalam TNI, sebagai dari mereka pun kemudian menjadi pendukung
RMS. (Julius Pour, 2008)

Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan, baik penduduk


beragama Islam atau Kristen, akan menjunjung tinggi budaya "Pela
Gandong". Dengan Pela Gandong ini, dapatlah dikatakan bahwa di
Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku
akan bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam,
maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu.

Pada tanggal 27 April


1950, Dr.J.P. Nikijuluw
ditunjuk sebagai Wakil
Presiden RMS untuk
daerah luar negeri dan
berkedudukan di Den
Haag, Belanda Pada 2
Mei 1950, di atas gedung
pemerintah, berkibar
bendera nasional RMS
empat warna, biru-putih,
hijau dan merah dari
hasil kesepakatan
pemuka-pemuka desa
(raja-raja). Pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai
Presiden Rakyat Maluku Selatan.

4. Pembentukan Angkatan Perang RMS

Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS)


dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi
di angkatan perang tersebut.. Untuk sistem kepangkatannya mengikuti
system dari KNIL. Ratusan bekas KNIL dengan dibantu ribuan pemuda
bersenjata tombak dan panah menjadi kekuatan inti militer RMS ketika
itu. Dengan kekuatan itu, RMS adalah pemberontakan besar yang
pertama kali membuat pemerintahan Soekarno pusing tujuh keliling.
Pasukannya dianggap lebih tangguh dalam bertempur ketimbang TNI.

Kekuatan bersenjata RMS ini di topang oleh barisan sukarela yang


umumnya terdiri dari anak-anak muda usia 16 tahun keatas yang
militant dan fanatic mempertahankan RMS. Pada Juni 1950 pucuk
pimpinan APRMS dibentuk, untuk kepala staf-nya, Soumokil Sersan
Mayor Samson sebagai Panglima dan Sersan-Mayor Pattiwael sebagai
Kepala Staf APRMS. Anggota-anggota Staf antara lain adalah Sersan-
Mayor Kastanja dan Sersan Mayor Pieter dan Sersan Aipassa. Kesemua
mereka ini adalah prajurit-prajurit KNIL tua yang kemudian mendapat
pangkat dari Kolonel hingga Mayor. Pulau Seram juga mendapat tempat
sebagai basis pertahanan, hingga juga terbentuk satuan kekuatan
militer dengan sebutan Tentara Panah terdiri dari sekitar 10.000 orang.

Ketika RMS
diproklamirkan, beberapa
minggu kemudian,
diantara serdadu-serdadu
KNIL asal Maluku
memasuki APRMS dan
jumlahnya berkisar 4.000
personal dan melikuidasi
dari garnisun di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan
Jawa. Mereka menyatakan
solider dengan RMS dan
menolak di pindahkan ke
APRIS, untuk itu
menuntut di demobilisasi
dan di pindahkan di daerah-daerah non-RIS, apakah di wilayah RMS
ataupun di Papua. Tuntutan mereka ini ditolak oleh Belanda yang tidak
mau lagi direpotkan setelah peristiwa pemberontakan Andi Azis yang
dilakukan oleh kalangan militer KNIL asal Ambon di Makassar. Untuk
itu banyak diantara pasukan KNIL asal Ambon di Makassar di evakuasi
ke Jawa, dan disana mereka di kosentrasikan pada 5 daerah garnisun,
masing-masing: Jakarta , Bandung , Surabaya , Malang dan Semarang.
Merekapun mendapat pilihan, demobilisasi di Jawa atau ikut bersama
APRIS membebaskan Maluku dari RMS. Yang menolak, hingga pada
kelima garnisun itu dibentuk panitia untuk melayani dan mengatasi
mereka yang membangkang. Untuk mengatasi keadaan, pihak militer
Belanda melakukan pendekatan dengan Perwakilan Rakyat Maluku,
hingga satu delegasi di pimpin Sersan-Mayor Aponno di kirim ke Negeri
Belanda untuk berunding dengan pemerintah Belanda.

Ketika pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh


pemerintah Belanda, yang sehari sebelumnya, semua personal eks KNIL
diberhentikan. Dalam acara tersebut, Jenderal van Vreden kelahiran
Surakarta menyampaikan pidato dalam dua bahasa. Intinya adalah soal
pembubaran Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijke
Nederlandsch Indische Leger (KNIL). “Seperti telah saya kataken dalam
pidato radio saya, kepada
semua militer KNIL, saya
yakin, di mana pun tuan-
tuan berada dalam
pekerjaan selanjutnya.
Tuan-tuan memperlihatken
di sana sifat-sifat baik yang
sama itu,” kata Buurman
van Vreden. Walau begitu
ke-4000 pasukan
pembangkang yang pro RMS
berada di bawah tanggung
jawab militer Belanda.

Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di wilayah


Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya, tidak ada
pilihan, yakni mengangkut mereka ke Negeri Belanda, dengan biaya satu
juta gulden untuk setiap kapal. Untuk itu, oleh pemerintah Belanda
yang tidak mendukung ataupun mengakui RMS menekan delegasi
Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan tidak dibenarkan
dikembalikan ke Ambon .
Sebagai hasilnya pada
bulan Maret dan April
1951, prajurit-prajurit eks
KNIL di berangkatan ke
Negeri Belanda terdiri dari:
6 pendeta militer; 3
perwira ajudan; 35 sersan-
mayor; 372 sersan dan
fourier; 821 kopral dan
2341 serdadu. Secara
keseluruhan bersama
isteri-isteri dan anak-anak
berjumlah 12.500 orang.

Pada 8 Juni 1950 diputuskan untuk membentuk Perwakilan RMS di


Luar Negeri. Sebelumnya, pada 27 April 1950 pihak RMS menunjuk dr J
P Nikijuluw sebagai pimpinan perwakilan RMS di luar negeri dengan P
W Lokollo sebagai Wakilnya dibantu Komisaris pemerintah, I A
Lebelauw. Ketiga mereka ini berada di Negeri Belanda. Pada 16 Oktober
1950 pihak RMS mengirim kawat kepada dr Nikijuluw dan memberi
kuasa sebagai delegasi RMS ke Dewan Keamanan PBB dan menunggu
laporan dari pihak UNCI mengenai “Masalah RMS” yang katanya akan di
kirim ke Dewan Keamanan. Sebulan sebelumnya pada 4 September
1950, dalam sidang Parlemen RMS di Ambon ditetapkan pada pasal I
UUD RMS berbunyi: “Republik Maluku Selatan adalah Negara sah, yang
bebas dan merdeka sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.” (De Zuid
Molluksi Republiek, 1977).

Departemen Luar Negeri


RMS di Ambon
mengeluarkan pernyataan
yang isinya
mengatakan: RMS sedang
berusaha berhubungan
dengan Amerika Serikat,
terutama dengan Australia
untuk berembuk dalam
usaha untuk melakukan
Pertahanan dan keamanan
bersama di Pasifik-Selatan
menghadapi kemungkinan ancaman agresi komunis. Untuk hal itu, RMS
berusaha menghubungi AS ataupun Australia dengan menawarkan
beberapa tempat strategis bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer
dan penempatan kekuatan armada-armada laut mereka.” Pernyataan ini
mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan merupakan
pengkhianatan terhadap rakyat Maluku.

Pada 15 Juli 1950 pihak pimpinan RMS mengatakan, negara dalam


darurat, Staat van Oorlog en Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Maluku
Selatan. Tetapi pada 8 Agustus 1950, secara resmi pemerintah RMS
membentuk Dewan Parlemen Sementara. Dewan ini terdiri dari 75
anggota, terdiri dari 60 kepala-kepala desa dan 15 orang-orang yang
dikenal masyarakat. W.A. Lokollo di tunjuk menjadi ketua
menggantikan S. Tjokro dari PIM. Selanjutnya RMS menjadi negara
Polisi di pimpin oleh Komisaris H.J. Malaiholo yang tak lama kemudian
meninggal dan kedudukannya diganti oleh seseorang bernama Filippus
yang memimpin intelijen militer. Selain itu juga dibentuk Dewan
Konstitusi yang mulai aktif pada 4 September 1950. Beberapa tahun
kemudian ketika mereka di adili Wairizal dan Manuhutu oleh Pengadilan
militer Indonesia , kedua mereka ini mengakui bahwa mereka dipaksa
untuk menandatangani teks proklamasi ini. Dari pertemuan-pertemuan
yang dilakukan, ternyata tidak satupun secara bulat terjadi persetujuan
dibentuknya RMS oleh kalangan masyarakat Maluku sendiri. (Ernst
Utrecht).

*****
D. USAHA PEMERINTAH DALAM PENYELESAIAN KONFLIK

1. Misi Perdamaian Dr. J. Leimena.

Pemerintah Republik Indonesia berusaha menggunakan jalan damai


untuk mengatasi pemberontakan yang terjadi di wilayah Maluku
ini.Cara yang dilakukan pemerintah antara lain adalah mengirim misi
perdamaian yang dipimpin oleh tokoh asli Maluku yaitu dr. Johanes
Leimena.

Waktu itu Kementerian Pertahanan belum lama mengangkat Kolonel


Alex Kawilarang sebagai Panglima TT-IT. Selain sibuk melakukan
organisasi militer untuk ekspedisi, juga giat menghadapi
pemberontakan oleh pasukan-pasukan KNIL disersi asal Maluku di
Makassar. Sambil merampungkan organisasi APRIS yang untuk
pertama kali melakukan ekspedisi di luar Jawa, dan mengatasi aksi
militer eks KNIL di Sulawesi Selatan,
pemerintah Jakarta mengutus misi perdamaian
ke Maluku pimpinan dr.J. Leimena ke Ambon
dengan maksud melakukan pendekatan
dengan gembong-gembong RMS. Menteri
Republik Leimena di dampingi, ahli medis dari
Surabaya, dr C A Rehatta, Ir Putuhena, dan
Menteri Penerangan Federal, Peloepessy.
dr J. Leimena

Pada 1 Mei 1950, dengan kapal korvet Hang Tuah milik ALRI
rombongan misi perdamaian ini berangkat ke Ambon . Kepergian
mereka ditehui oleh pimpinan RMS, dan mengirim kawat ke Jakarta ,
bersedia berunding tidak di kapal, tetapi melalui komisi
internasional. Balasan kawat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta dan
kapal Hang Tuah sudah terlihat berlabuh di Teluk Ambon. RMS
mengeluarkan syarat bila mengirim delegasinya ke kapal.

Pada 6 Mei 1950, Kantor-berita Antara melaporkan mengenai misi


Leimena sebagai berikut: “ Makassar , 5 Mei 1950. Seperti telah
diberitakan mengenai “Misi-Ambon” pimpinan dr. J. Leimena, yang
pada hari Kamis jam 11 malam telah tiba di Makassar . Pada Jum‟at
pagi dr. J. Leimena pada jumpa pers mengatakan bahwa kapal “Hang
Tuah” yang membawa rombongan misi hanya berada kurang dari satu
jam di Teluk Ambon, dan berlabuh dekat mercu suar. Syahbandar
pelabuhan Ambon yang bertindak sebagai pengubung membawa surat
dari pimpinan “Pemerintah Maluku Selatan‟ yang diminta agar misi ini
langsung menjawab. Tetapi tak sampai satu jam, sebelum pihak misi
damai dapat menjawab surat itu, syahbandar itu langsung di panggil
oleh orang-orang di darat untuk kembali ke darat. Pada surat itu
pihak RMS mengatakan mengusulkan agar dalam perundingan itu,
menempatkan RMS sebagai negara yang berdaulat yang tidak
mungkin dapat dilakukan oleh misi RIS.

Dr. Leimena sangat


kecewa dengan sikap
„saudara-saudara Ambon ‟
ini, dan mengatakan:
“Padahal misi ini adalah
antara sesama “Putra
Bangsa” untuk sama-sama
berembuk dan mengatasi
permasalahan secara
damai.” Waktu syahbandar
kembali ke darat, terlihat
jelas dari korvet, pejabat
itu dipukuli sampai babak
belur oleh prajurit KNIL dari pasukan “Baret Hijau.” Peristiwa
perlakuan pejabat-pejabat RMS ini sangat menyayat hati dr. J.
Leimena dan kawan-kawan sesama asal Ambon Karena yang
dihadapinya adalah orang-orang dungu yang buta politik yang
membawa derita terhadap masyarakat banyak di Maluku. Walau
begitu, dr. J. Leimena masih berusaha melakukan pendekatan dan
meminta kapal “Hang Tuah” berlayar ke Saparua dengan maksud
untuk menemui Manus Pattiradjawane, pimpinan setempat. Tetapi
disana juga pihak penguasa RMS di Saparua melarang kapal merapat.
Padahal Pattiradjawane adalah saudara ipar dari Gubernur Maluku,
Johannes Latuharhary, namun ikatan keluarga tidak meluluhkan
kekerasan sikap RMS hingga memutuskan tali persaudaraan.

2. Misi Perdamaian Kedua yang gagal.

Selanjutnya, mengirimkan misi perdamaian yang terdiri dari dokter,


politikus, pendeta dan wartawan juga tidak dapat bertemu dengan
Chis Soumokil. Hal ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta
yang kurang di awasi. Waktu itu diumumkan tentang percobaan
pengiriman misi perdamaian kedua. Tetapi sang penyiar mengakhiri
siaran itu dengan menggunakan kata “ancaman” jika misi kedua ini
tidak diterima, akan di daratkan 15.000 tentara TNI. Perkataan
“ancaman” pada siaran itu secara psikologis merupakan kesalahan
besar. Karena ketika itu TNI sama sekali belum punya persiapan
untuk mendarat. Dan, benar saja, beberapa hari kemudian, Radio
“RMS” mengumumkan, mereka tidak gentar sekalipun 150.000
tentara TNI akan mendarat. Karena waktu itu Panglima TT-IT sedang
sibuk menempatkan pasukan-pasukan TNI di tempat-tempat yang
perlu di seluruh pulau Sulawesi, Morotai dan Ternate (Maluku Utara),
pulau-pulau Nusatenggara dari Bali sampai Timur. Juga di
Tamimbar, Aru dan Kei di Maluku Selatan. Di tempat-tempat ini
keadaan aman, kecuali di kota Makassar . Sesudah peristiwa
pertempuran bulan Mei 1950, terasa sekali keadaan masih eksplosif.

Selama pasukan KNIL asal


Ambon masih bersenjata dan
memperlihatkan sikap
provokatif, Komandan Sektor
Makassar, Letkol Soeharto
harus siaga 24 jam sehari
dengan sebagian dari
pasukannya terhadap suatu
serangan mendadak. Untuk
menyelesaikan masalah RMS,
perlu di datangkan pasukan
baru dari Jawa, dan di kirim
batalyon Mayor Soeradji dan batalyon Mayor Pelupessy. (Alex
Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, 1988). Blokade Laut APRIS dan
kegagalan misi Schotborgh mengendalikan Tentara KNIL

Manusama pada bukunya, Om Recht en Vrijheid mengungkapkan


bahwa kegagalan misi perdamaian Leimena berlanjut dengan rencana
pemerintah Jakarta melakukan aksi blokade laut terhadap RMS.
Tetapi karena di Ambon terdapat orang-orang Belanda, hingga
pemerintah RIS menghubungi Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta
untuk mengorganisir proses evakuasi.

3. Misi Sipil Belanda

Pada 8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil oleh
Van Hoogstraten dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel
Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan melakukan evakuasi terhadap
militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda. Pihak RMS
membantu misi-misi ini dengan lancar hingga kesemua warga negara
Belanda ini berangkat dengan kapal Kota Intan dari Ambon menuju
Jakarta .

Tugas Kolonel Schotborgh tak hanya berurusan dengan evakuasi,


tetapi juga harus mencegah agar pasukan pasukan eks KNIL dari
Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, yang
merupakan instruksi langsung dari Panglima tentara Belanda di
Jakarta, memerintahkan semua tentara KNIL di konsinyir dan masuk
tangsi-tangsi militer. Mereka yang melanggar akan menerima sangsi
akan di pecat dan semua hak-haknya di cabut, demikian Kantor
Berita Aneta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai Komandan Teritorial
Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan tentara-tentara
KNIL asal Ambon tidak membawa hasil. Bahkan sebagian besar dari
mereka ini langsung mundur dari dinas KNIL dan mendaftarkan diri
menjadi tentara RMS.

Kegagalan ini tentu saja dapat dimaklumi karena sebelum ada RMS,
Kolonel Schotberg sendiri telah datang dengan pasukan baretnya ke
Maluku. Dan ketika terjadi penyerahan kedaulatan pada tanggal 27
Desember 1949, dimana dalam persetujuan KMB, seluruh pasukan
KNIL harus dileburkan dan masuk APRIS, sedangkan senjata-senjata
yang ada ditangan para anggota eks KNIL harus diserahkan kepada
pihak Belanda. Namun yang dilakukan oleh Kol. Schotberg, justru
senjata-senjata itu diserahkan kepada pasukan KNIL jang ada di
Maluku. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi pada waktu itu dimana
terdjadi kegentingan politik di Maluku antara jang pro-RIS dan jang
anti RIS.

******
BAB IV
OPERASI MILITER APRIS
DI MALUKU SELATAN

Karena upaya perdamaian tersebut ditolak, akhirnya Pemerintah pusat


memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata untuk
membersihkan gerakan Republik Maluku Selatan tersebut. Kolonel Abdul
Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) segera
mengambil tindakan. Operasi penumpasan diserahkan pada Kolonel Alex
Evert Kawilarang, kawan Nasution waktu di Akademi Militer Kerajaan di
Bandung. Alex Kawilarang merupakan Panglima Ekspedisi Tentara di
Indonesia Timur. Dalam memenuhi tugas negara ini, merupakan tantangan
tersendiri bagi Kolonel A.E. Kawilarang. Belum lagi masalah
pemberontakan Andi Azis yang berbuntut terjadinya peristiwa Makassar 5
Mei 1950 yang harus diselesaikan,

Dimana pasukan yang dikirim dari Jawa harus mengamankan kota


Makassar dari serangan para anggota KNIL yang memberontak sehingga
tidak bisa ditarik untuk menghadapi pasukan RMS di Maluku Selatan.
Apalag pasukan KNIL di Sulawesi Selatan masih besar, dan dengan
perlengkapan kuat.
Maka segera saja Kawilarang mengerahkan seluruh pasukan yang ada di
Sulawesi Utara yaitu Batalyon Worang dan Batalyon 3 Mei. Persiapan
pasukan tersebut dilakukan oleh Letkol Joop F. Warouw dan Ventje
Sumual yang akan menyerbu ke Maluku dari arah utara. Pemilihan
Batalon 3 Mei yang baru dibentuk di Manado karena hampir seluruh
anggota pasukan dari bekas KNIL, sedangkan lawan yang di hadapi juga
sesama KNIL. Jadi mereka kenal betul taktik-taktik maupun sifat-sifat dari
gerakan, dan juga senjata yang digunakan lawan. (Ventje Sumual, 2011)

****

A. PENGIRIMAN PASUKAN APRIS KE MALUKU SELATAN.

Dalam menghadapi
tentara KNIL di Ambon
yang mendukung
berdirinya Republik
Maluku Selatan (RMS),
pemerintah merekrut
ribuan bekas KNIL yang
statusnya telah dialihkan
sebagai tentara
Indonesia (TNI), sesuai
dengan keputusan
Konferensi Meja Bundar
1949, dimana Indonesia
harus menerima bekas KNIL, yang semasa revolusi 1945-1949 dipakai
Belanda untuk menghadapi para pejuang Republik Indonesia. Beberapa
pasukan juga didatangkan dari Jawa untuk memperkuat dan
mendukung operai militer yang akan dilaksanakan. Hal ini dilakukan
karena kekuatan Angkatan Perang RMS (APRMS), tidak dapat dipandang
ringan karena terdiri dari beberapa anggota Baret Merah dan Baret Hijau
KNIL yang profesional dan terlatih dalam bidang kemiliteran.

Pengerahan pasukan TNI/APRIS ke Ambon tersebut diberi nama


Gerakan Operasi Militer III yang dipimpin sendiri oleh Kolonel A.E
Kawilarang yang menjabat sebagai Panglima tentara dan Teritorium
Indonesia Timur.

Pengerahan pasukan APRIS/TNI dalam usaha penumpasan RMS,


dibagi dalam tiga group yaitu sebagai berikut :

 Group I dipimpin oleh Mayor Achmad Wiranata Kusumah


 Group II dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi
 Group III dipimpin oleh Mayor Suryo Subandrio
GROUP I, Komandan Mayor Achmad Wiranatakusumah, terdiri dari :
- Batalyon 3 Mei dipimpin oleh Mayor Alex mengko
- Batalyon Lukas Kastardjo dipimpin oleh Kapten Lukas Kastardjo
- Batalyon Poniman dipimpin oleh Kapten Poniman
- Pasukan Tambahan

GROUP II, Komandan Letkol Ign. Slamet Rijadi, terdiri dari :


- Batalyon Worang dipimpin oleh Mayor. Hein V. Worang
- Batalyon Claporth dipimpin oleh Kapten Erwin Claproth
- Batalyon Mahmud dipimpin oleh Kapten Mahmud Pasha
- Batalyon Soeradji, pimpinan Mayor Soeradji
Didukung oleh :
- Batalyon Pelupessy, pimpinan Mayor Pelupessy
- Kaveleri Tank, dipimpin oleh Kapten Klees

GROUP III, Komandan Mayor Soerjo Soebandrio, terdiri dari :


- Batalyon Tengkorak Putih, Mayor Suryo Subandrio
- Batalyon 352 Gadjah Merah, dipimpin oleh Mayor Suradji
- Batalyon Soetarno, dipimpin oleh Mayor Soetarno
- Detasemen Faah, dipimpin oleh Kapten Faah
- Batalion Banteng Merah, dipimpin oleh Mayor Yusmin
Didukung oleh :
- Detasemen Artileri Medan
- Skuadron Panser
- Zeni Pioneer

Kekuatan lainnya :
- Dari ALRI dengan Kapal
Perang dipimpin oleh
Laksamana John Lie,
bersama Angkatan Laut,
terdiri atas KRI Patti
Unus, KRI Rajawali, KRI
Hang Tuah, KRI Banteng,
KRI Namlea, KRI
Anggang, KRI Andres, KRI
Amahai, KRI Piru , LST -4
LCVP 10 buah, dan tiga
buah kapal KPM masing-
masing yaitu Waikelo,
Waingapu , dan Waibalong
- Dari AURI antara lain Pesawat bomber B-25 dengan pilot Mayor
Noordraven dan Letnan Ismail, 2 buah pesawat Catalina..

Pasukan anti gerilya terdiri dari :


- Batalyon Matalatta, dipimpin oleh Mayor Andi Matalata
- Batalyon Rivai, dipimpin oleh Mayor Rivai
Keputusan dengan menunjuk Kol. Alex Kawilarang sebagai Panglima
dan Letkol Slamet Rijadi sebagai komandan operasi merupakan suatu
kombinasi yang menarik. Alex Kawilarang, keturunan Minahasa
kelahiran Jatinegara - Jakarta, pada waktu itu berusia 30 tahun,
merupakan Alumnus Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung,
yang lulusannya dikenal dengan sebutan Corps Reserve Officieren, Korps
Perwira Cadangan. Alex, nama panggilannya, adalah salah satu dari
tujuh orang Indonesia yang dipersiapkan pada masa-masa akhir
pemerintahan Hindia Belanda untuk menjadi perwira infanteri pertama
pribumi, meski kemudian mereka itu : Alex Kawilarang bersama rekan-
rekannya, GPH. Djatikusumo, Abdul Kadir, AH. Nasution, TB.
Simatupang, Adolf Lembong, dan A.J. Mokoginta, semuanya malahan
menjadi tentara Republik begitu Perang Kemerdekaan dimulai. Terbukti
mereka kemudiannya sangat berperan besar dalam TNI dan menduduki
berbagai jabatan yang strategis. Sedangkan Letkol Slamet Rijadi, putra
asli Solo, pada masa itu usianya belum genap 24 tahun. Dia adalah
seorang bekas pelaut semasa pendudukan Jepang, kemudiannya
menjadi perwira militer sejak hari pertama revolusi memanggilnya.
Ketika penunjukannya sebagai komandan Operasi KOPAS MALSEL,
Slamet Rijadi dan pasukannya masih sibuk di wilayah Jawa Barat
menumpas Gerombolan DI/TII nya Kartosuwiryo. Sebelumnya, dari Solo
Brigade V/Senopati masuk ke Jawa Barat untuk mengejar sisa-sisa
gerombolan APRA di Bandung.

Ketika perintah penumpasan


turun, Brigade V/Senopati
langsung dialihkan dan
embarkasi sekaligus
persiapan di Makassar. Di
Makassar, persiapan
dilakukan sambila menunggu
batalyon-batalyon lainnya
yang akan ikut serta dalam
operasi, seperti Batalion
Worang dan Batalion 3 Mei
dari Manado. Karena singgah
di Makassar, Letkol Slamet
Rijadi sempat ketemu dengan Letkol Soeharto, Komandan Brigade
Mataram yang ditugaskan disana untuk menumpas pembangkangan
Kapten Andi Azis. Letkol Slamet Rijadi juga tidak sempat bertemu
dengan Kolonel Alex Kawilarang, karena sudah berangkat duluan ke
garis depan. Briefing awal dari Panglima Kol. Alex Kawilarang baru
bisa dilakukan pada tanggal 17 Juli 1950 di atas KRI Pati Unus, di lepas
pantai Namlea, Pulau Buru.
Pada perang melawan RMS,
hampir satu divisi tentara
dikirim ke luar Jawa. pasukan
yang hampir semuanya bekas
KNIL adalah Batalion 3 Mei.
Dinamai demikian karena
dibentuk di Manado pada 3
Mei 1950, oleh bekas KNIL
dan laskar pejuang yang
berontak kepada Belanda di
Manado. Pemberontakan itu
menjadi pernyataan sikap pro-
Indonesia. Mereka berhasil
menahan pimpinan KNIL di Manado. Setelah perang usai, sebagian
besar personil batalion bekas KNIL itu tak ditugaskan lagi di Manado.
Mereka ditempatkan di Jawa Barat, di antaranya bahkan masuk ke
RPKAD (Kopassus). Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000 pasukan
diberangkatkan dengan kapal “Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan
Kapten Fred Bolang.

Selain itu, terdapat terdapat beberapa pasukan seperti Batalion


Abdullah, Batalion yang mantan pasukan Hizbullah, Batalion dari
Divisi Penembahan Senopati pimpinan Letkol. Slamet Riyadi,
didalamnya terdapat Letkol. Slamet Sudiarto, yang adalah bekas
sersan KNIL yang menjadi salah satu komandan brigade di bawah
komando divisi sama. Salah satu mantan KNIL yang ikut untuk
menumpas RMS adalah Kapten Klees. bekas Sersan KNIL itu menjadi
komandan pasukan lapis baja dalam operasi di Ambon. bekas KNIL lain
yang terkenal adalah Kapten Erwin Claproth yang memiliki darah
Makassar Jerman. Dia pernah menjadi salah satu komandan Korps
Barisan Madoera ketika revolusi
Indonesia. Di KNIL, pangkatnya
Letnan. Dalam operasi
menumpas RMS, Erwin Claproth
memimpin batalionnya sendiri.
Ada pula Kapten Josef Muskita
alias Joost yang paling tersohor.
Sebelum bergabung dengan TNI
pada Agustus 1950, Joost
adalah bekas Letnan KNIL juga.
Dia lulusan sekolah perwira
cadangan Infanteri KNIL
angkatan 1947 di Bandung.
Sepanjang operasi, Muskita tak
diberi jabatan memimpin
pasukan.
Panglima Divisi II/Diponegoro di Jawa Tengah, Kolonel Gatot Subroto,
kemudian memerintahkan bekas anak buah Brigade 6 pimpinan Letkol
Slamet Sudiarto untuk mengawal Kol. Alex Kawilarang, bersama
Batalion Suradji (mantan Brigade Slamet Riyadi), Batalion Sutarno,
Batalion Yusmin.

Letkol Slamet Riyadi dan Letkol Slamet Soediarto sempat dibebas


tugaskan di Jawa Tengah, terkait peristiwa yang terjadi pada tanggal 20
Mei 1948 dimana Divisi Panembahan Senopati berdemonstrasi menolak
reorganisasi & rasionalisasi (RERA) TNI yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat dibawah Perdana Menteri Muh. Hatta. Pada waktu itu
Panglima Kol. Sutarto mereorganisir Divisi Panembahan Senopati
menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS). Di Kediri,
Panglima Divisi Narotama Kolonel Sungkono, memimpin pasukannya
berdemonstrasi menolak Re-Ra karena divisi yang dipimpinnya bersama
Divisi Ronggolawe dan Suropati akan dilebur menjadi satu resimen.
Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap
kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar
Pemerintah membatalkan Re-Ra nya. Sehingga di Jawa sebenarnya
program Re-Ra ini lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan
golongan kiri dalam tubuh TNI.

Walaupun dibebas
tugaskan, namun
mereka berdua tetap
bersama bekas anak
buahnya, sampai
kemudian diberi tugas
oleh Kolonel Alex
Kawilarang sebagai
salah satu komandan
penumpasan RMS. Dari
Jawa Timur, Kol. Alex
Kawilarang
mendapatkan Batalion
Abdullah. sama seperti batalion-batalion dari Jawa Tengah, Mayor
Abdullah Ketiga nama itu—Slamet Riyadi, Slamet Sudiarto, dan
Abdullah, kemudian dikenang, karena semuanya gugur dalam
pertempuran.

********
B. JALANNYA OPERASI MILITER APRIS

1. Operasi APRIS di Pulau Buru.

Setelah memperoleh jumlah pasukan yang cukup, Panglima Kol. A.E.


Kawilarang mulai menggerakan kekuatan APRIS menuju perairan
Maluku di minggu keempat bulan Mei. Sasaran pertama adalah
pendaratan di pulau Buru dan Seram Selatan. Dengan taktik demikian,
pusat RMS di Ambon lambat laun terisolasi. Penumpasan
pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli
1950, dengan mengerahkan pasukan ekspedisi APRIS/TNI yang berhasil
mendarat di Pulau Buru.

Penyerbuan pasukan APRIS


itu membuat pemerintah RMS
pada tanggal 15 Juli 1950,
mengumumkan bahwa Negara
Republik Maluku Selatan
sedang dalam bahaya. RMS
memusatkan kekuatannya di
Pulau Seram dan Ambon,
serta menguasai perairan laut
Maluku Tengah, memblokade
dan menghancurkan kapal-
kapal pemerintah. Kelebihan
pasukan KNIL RMS adalah
mereka memiliki kualifkasi
sebagai pasukan komando.
Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau Ambon dengan medan
perbentengan alam yang kokoh. Bekas benteng pertahanan Jepang juga
dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena medan yang berat ini,
selama peristiwa perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi pertempuran
secara frontal dan dahsyat dengan saling bertahan dan menyerang.

Dalam perjalanan pasukan APRIS yang telah tiba di lautan Maluku,


banyak membuat anggota prajurit mabuk laut setelah empat hari
berlayar dari Makassar. Pasukan APRIS tiba di utara Pulau Buru
pertengahan Juli 1950. Terutama dari Batalyon Pelupessy dan dua
kompani Batalyon Soeradji. Maklum hanya dengan dua LCI dan satu
LST (Landing Ship Tanks). Di utara Buru mereka berkumpul dengan
kapal Waikelo yang membawa Batalyon 3 Mei pimpinan Mayor Alex
Mengko dari Manado.

Esok harinya dua kompani Batalyon Suradji mendarat dahulu kira-kira


lima kilometer sebelah barat Namlea. Tidak ada perlawanan. Menyusul
pendaratan Batalyon Pelupessy yang akan maju ke Namlea. Ternyata
pasukan ini mendapat hadangan dan menderita korban. Selain itu
hampir seluruh pasukan merasa lemas. Karena pada umumnya selama
empat hari muntah-muntah. Waktu pendaratan, “ransom” makan,
berupa biscuit laut untuk dua hari, basah dan tak bisa
dimakan. Kawilarang putuskan, supaya Batalyon 3 Mei, yang masih
segar dan sehat karena diangkut dengan kapal besar Waikelo, untuk
menyerbu Namlea. Pada waktu pasukan menuju Namlea, Batalyon 3 Mei
dipecah menjadi dua kompi, yaitu Kompi D di bawah pimpinan Lettu
Diponegoro dan Kompi L di bawah pimpinan Lettu Lumenta.

Sesampainya Batalion
Patimura di Pal 4 dari Kota
Namlea. pasukan APRIS ini
sudah bertemu dengan
pertahanan RMS.
Pertempuran sengit pun
terjadi antara pasukan APRIS
dengan pasukan RMS. Karena
pasukan APRIS sebagai pihak
yang menyerang berada pada
area yang terbuka , maka
dalam pertempuran ini
pasukan APRIS mendapat
tembakan-tembakan yang
hebat dari pihak pasukan RMS yang telah disiapkan dan menguasai
medan. Tembakan-tembakan hebat yang mendadak ini membuat
pasukan APRIS di front depan menjadi agak panik, namun kemudian
mereka memberi perlawanan dengan membalas tembakan-tembakan ke
arah pertahanan pasukan RMS. Dalam pertempuran pertama ini
pasukan APRIS menderita kerugian tiga orang gugur. yaitu Sersan
Mayor Paliama. Sersan Teraju dan seorang prajurit lain dari Kompi
Lumenta.

Kemudian setelah pasukan APRIS menguasai keadaan, mereka kembali


menyerang pasukan RMS di tempat pertahanan mereka. Di tengah
tengah pertempuran ini. dua peleton pasukan APRIS masing-masing
Peleton Lettu Manuhutu dan Peleton Umar Gafur. dapat menerobos
pertahanan musuh . Peleton Lettu Manuhutu dari sayap kanan Gunung
Batu Boi dan Peleton Umar Gafur dari sayap kiri Tanjung Kerbau .
Setelah kedua peleton berhasil dalam penerobosannya . gerakan
diteruskan ke Kota Namlea dan memasukinya pada sore harinya.

Pada tanggal 15 Juli 1950 pukul 13 .00 dini hari, sebagian dari pasukan
RMS yang mempertahankan Pal 4 di bawah pimpinan Sersan Daud
Lesteluhu. bergerak kembali ke arah kota Namlea untuk menyerang
pasukan APRIS yang sudah berhasil berada di perbatasan kota. Pada
pukul 05 .30, pecah pertempuran antara pasukan APRIS yaitu Peleton
Manuhutu dan Umar Gafur dari Kompi Lumenta dengan pasukan RMS
pimpinan Sersan Daud Lesteluhu. Dalam pertempuran ini Sersan Daud
Lesteluhu dapat disergap oleh dua prajurit APRIS masing-masing
Prajurit Muhammad Said dan Prajurit A. Karim dari Regu Sersan
Abdurahim Maruapey. Dengan disergapnya Sersan Daud Lesteluhu,
pertempuran di dalam Kota Namlea dapat dihentikan.

Meskipun pertempuran
sudah berhenti, tetapi sisa
pasukan RMS pimpinan
Sersan Daud Lesteluhu
sebagai Komandan pasukan
RMS di Namlea masih terus
melakukan perlawanan dan
tidak mau menyerah begitu
saja . Ajakan dari Sersan
Maruapey untuk bertemu
dengan Panglima KO TT-IT
Kolonel Alex Kawilarang
guna bekerja sama dengan
TNI, di tafsirkan oleh Sersan Daud Lesteluhu dianggap kerja sama
untuk mempertahankan RMS. Karena saat itu baik beberapa anggota
pasukan APRIS maupun musuh sama-sama putera Maluku atau putera-
putera Pattimura.

Untuk itu, Sersan Maruapey bersama dua anggotanya masing-masing


Prajurit Pattikawa dan Prajurit Pattinama serta Lettu Manuhutu
dengan perahu naik ke kapal KRI Patti Unus yang pada saat itu berada
di Pelabuhan Namlea. Mereka meminta bantuan sebuah motor untuk
mengangkut Sersan Lesteluhu guna bertemu dengan Panglima KO TT-
IT. Dengan bantuan motor dari KRI Patti Unus, Sersan Maruapey
kembali ke darat menjemput Sersan Lesteluhu dan Komandan
Detasemen Polisi Namlea P. Huku Ubun. Pada pukul 12.00 siang hari
Sersan Maruapey kembali ke kapal membawa Sersan Lesteluhu dengan
Komandan Detasemen Polisi Namlea F . Huku Ubun bersama satu regu
pengawal anak buah Sersan .Lesteluhu untuk ke Lala Ubun . Lesteluhu
bersama seluruh pengawalnya dapat dilucuti dan dijadikan tawanan
perang.

Sementara peristiwa itu terjadi, di dalam Kota Namlea, pertempuran di


Pal 4 masih berlangsung terus. Dengan mendapat bantuan dari Bn
352.dan Bn 3 Mei, pada pukul 15 .00 , musuh dapat dipukul mundur ke
arah Kot a Namlea . Dalam gerakan mundur ini pasukan musuh dapat
bertemu dengan pasukan APRIS dari Kompi Lumenta di Gunung Batu
Boi sehingga berkobar lagi pertempuran sengit. Dengan berhasilnya
pertahanan musuh dipatahkan di Pal 4 , gerakan bersarna antara.ketiga
batalyon diteruskan ke Kota Namlea. Dalam gerakan ini pasukan APRIS
dapat menguasai daerah sepanjang pesisir pantai dan sepanjang bukit-
bukit yang mengelilingi Kota Namlea, sedangkan musuh hanya dapat
mengadakan pertahanan di perbatasan kota. .

Pada tanggal 16 Juli 1950


pukul 05.30, dengan
menyeruak hutan alang-alang
dan kayu putih mulailah
dilakukan gerakan
penyerangan masuk Kota
Namlea, dengan melalui
pertempuran-pertempuran
sengit. Dalam pertempuran ini
pasukan RMS tidak dapat
menahan serangan pasukan
APRIS. Mereka mengundurkan
diri ke luar kota dengan
mempergunakan perahu-
perahu dan perahu motor. Namun di tengah !aut, mereka ditembak dan
ditenggelarnkan oleh kapal-kapal perang ALRI yang selalu siap dalarn
formasi tempur. Pada serangan ini Prajurit Banteng jatuh sebagai
korban pertama dan Sersan Mayor Tandayu luka. Senjata-senjata yang
ditinggalkan di markas RMS antara lain berupa beberapa brengun.
Pasukan penyerbu sangat hati-hati mendekati markas dan gudang RMS
itu. Ternyata tidak ada booby trap.

Pada pukul 07.00 seluruh Kota


Narnlea telah jatuh ke tangan
pasukan APRIS . Selama
pertempuran di Pal 4 sampai
Namlea direbut dari tangan
musuh, mengakibatkan gugurnya
61 anggota pasukan APRIS dan
yang lain mengalami luka-luka .
Keenampuluh satu orang yang
gugur itu terdiri dari 44 orang
dari Bn Pattimura , tiga orang
dari Bn 3 Mei, dan 14 orang dari
Bn 352.

Keesokan haritanggal 17 Juli 1950, Letkol Slamet Rijadi, Komandan


Pasukan Maluku tiba dengan kapal korvet, dan bertemu dengan Mayor
Soeradji, bekas bawahannya. Kemudian datang juga Kapten M Jusuf
yang akan menjadi ajudan Panglima Alex Kawilarang. Mereka
kemudian merencanakan untuk menduduki Piru terlebih dahulu
bersama Batalyon 3 Mei, dengan nama „Operasi Fajar‟.
2. Operasi APRIS Di Pulau Seram

Operasi Fajar adalah gerakan


operasi kedua yang dilakukan
oleh Komando Operasi
Maluku Selatan dibawah
komando Letkol Slamet
Rijadi, untuk membebaskan
Pulau Seram dari
cengkeraman perusuh-
perusuh RMS. Operasi Fajar
dilakukan pada tanggal 21
Juli 1950, dengan kesatuan
inti pendaratan Batalion 3
Mei pimpinan Kapten Alex
Mengko. Satuan pendarat ini mempergunakan LC I Stormvogel dan
Higgens motorboat, dengan dikawal oleh kapalkapal perang RI Patti
Unus dan Rajawali .

Pendaratan dimulai pukul I0.00 waktu setempat di Kampung Telaga


yang terletak 14 Km dari Kota Piru. Di samping Komandan Batalyon 3
Mei, juga ikut serta melakukan pendaratan Panglima Komando Tentara
Teritorial Indonesia Timur (TT-IT) Kolonel Kawilarang dan Panglima
Operasi KOMPAS MALSEL Letnan Kolonel Slamet Riyadi bersama staf.

Dari Telaga gerakan operasi


diteruskan menuju Kota Piru.
Sampai pada jarak kira-kira
10 km dari Piru, pasukan
diistirahatkan guna mengutus
Lettu Langi bersama dua
tawanan RMS masing-masing
Sersan D. Lestiluhu dan
Kaitjili ke Piru untuk
mengadakan hubungan
dengan pihak RMS yang ada
di Piru, supaya bergabung
dengan APRIS atau menyerah.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Sersan D. Lestiluhu adalah
seorang komandan pasukan RMS di Buru, yang ditawan pasukan APRIS
di Namlea. Ia adalah anggota Baret Hijau punya banyak teman di
Batalyon 3 Mei, di Manado satu peleton juga terdiri atas bekas anggota
Baret Hijau dan Baret Merah. Tujuan dikirimnya ketiga orang tersebut,
karena telah banyak mengenal anggota pasukan KNIL di kota Piru.
Namun tragisnya waktu Piru di duduki, ketiga orang itu yaitu Lettu
Langi, Sersan Lestiluhu dan Kaitjili, ternyata sudah di tembak mati
oleh komandan pasukan RMS di Piru, Nussy.

Pada waktu pasukan APRIS


tiba di pertigaan antara
Kota dan Piru , gerakan
pasukan dibagi dua .
Kompi bantuan dengan
pimpinan Kapten Frits
Saerang menuju Kota,
sedangkan pasukan lain
bergerak menuju Kota Piru.
Pada puku l 14 .00
pasukan yang bergerak ke
Piru tiba di Km 6 dan
berhasil menawan dua
anggota RMS yang diitemukan dari sebuah bivak. Pada pukul 17. 50
pasukan mulai melakukan penyerbuan ke Kota Piru. Bersamaan dengan
itu dari arah !aut. kapal perang Rl Rajawali mulai memuntahkan
pelurunya ke darat untuk menghancurkan kubu-kubu pertahanan RMS.
Pada pukul 18.30 kota dapat diduduki tanpa perlawanan yang berarti
dari pasukan RMS. Dengan demikian pada 22 Juli 1950 seluruh Kota
Piru dapat dibebaskan dari tangan RMS .

Sehari setelah Kota Piru dibebaskan. pada 23 Juli 1950 pasukan Bn 352
pirnpinan Soeradji,menyerbu Kota Amahai, yang ter1etak di pantai
selatan Seram. Sebelumnya pasukan APRIS mendarat di teluk, kira-kira
tiga kilometer sebelah utara Amahai (Pulau Buru), dengan dua kompani
dari Batalyon Soeradji. Letkol Slamet Rijadi selalu berada di depan.
Begitupun Batalyon
Worang pertama-tama
mendarat di Amahai untuk
konsolidasi kemudian
mengamankan Masohi.
Serangan pertama untuk
menumpas RMS (Republik
Maluku Selatan) dengan
mendarat di Tulehu
bersama-sama dengan
Batalyon Claproth dan
Batalyon 3 Mei pimpinan
Mayor Mengko.

Di Tulehu Batalion 3 Mei dari Manado pimpinan Kapten Alex Mengko


terlibat petempuran yang sengit dengan pasuka RMS yang telah
menunggu kedatangan mereka. Banyak jatuh korban dikalangan
pasukan Batalion 3 Mei. RMS mempertahankan mati matian selama
sebulan jembatan didesa Waitatiri (Jembatan ini juga merupakan daerah
pertahanan Belanda & Australia untuk menahan Jepang, dan sebaliknya
merupakan pertahanan Jepang dalam menghadapi pasukan Sekutu).
Sesudah pertempuran kurang lebih dua jam dengan dibantu oleh
Batalion Worang disertai dengan tembakan-tmbakan meriam dari
kapal perang pimpinan Mayor Laut John Lie, akhinya Amahai pun di
duduki. Pasukan RMS lari
keluar kota masuk hutan
dan ada juga yang lari
menuju daerah Tehoru.
namun karena medan daerah
Seram terlalu luas. maka
tidak semua kekuatan RMS
dapat dihancurkan. Letkol
Slamet Rijadi sebagai
komandan pasukan Maluku
Selatan,dan kepala staf
Mayor Herman Pieters
mengkonsolidasi
pasukannya.

Pada bulan September 1950 , Batalion 711 pimpinan. Mayor Abdullah


setelah berhasil dalam operasinya dari Maluku Tenggara. Seram utara
(Wahai), dan Seram Timur (Geser) kemudian meneruskan gerakan
operasi ke daerah Seram Selatan . Pada tanggal 9 September 1950.
Batalion 711 telah mecapai Kilmuri. Keesokan harinya Atiaho telah
dapat diduduki. Dalam setiap pertempuran, Batalion 711 selalu berhasil
mengalahkan pasukan RMS. Setelah Atiaho menyusul Werinama
dikuasai, pasukan APRIS bergerak menuju ke Polim , Laha. serta Lalirn .

Dengan gerakan cepat,


kepulauan Banda dan bagian
selatan Pulau Seram dapat di
kuasai pasukan APRIS.
Batalion 711 pimpinan
Mayor Abdullah,
menempatkan pasukannya
dengan pasukan APRIS
lainnya di kepulauan
Tamimbar, Kei, Aru hingga
kepulauan Geser dan
beberapa tempat di Seram
Selatan.

Untuk mencapai stabilitas keamanan, perlu dilakukan serangan


terhadap Tehoru. Namun sebelumnya Lafa dekat Negeri Angus harus
diduduki. Kekuatan Batalion 711 yang ditugaskan untuk merebut Lafa
terdiri atas dua peleton pasukan dan Detasemen Markas. Satu peleton.
Pasukan berjalan kaki menyusur pantai di bawah pimpinan Lettu
Malada, sedangkan satu peleton lagi menyusur pantai dengan perahu
kole-kole, kemudian Detasemen Markas di bawah pimpinan Letda Saleh
Arifin menggunakan motorboat B027.

Dalam melakukan pendaratan di pantai Negeri Angus, terjadi


pertempuran yang sengit. Setelah kurang-lebih dua jam pertempuran,
RMS yang terdiri atas Baret Hijau KNIL dan polisi dapat dipukul
mundur. Dalam pertempuran tersebut, Mayor Abdullah gugur dan tiga
prajurit lainnya menderita 1uka berat. Pada waktu pendaratan paskan
APRIS di Seram Selatan, ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan
sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan
menyerang Amahai. Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan
Mayor Soeradji.

Salah satu Operasi pembersihan yang dilakukan adalah Operasi Kole-


kole I atas dasar Perintah Operasi : PO No.0271/0104/IV/S-
II/D/51,tanggal 24-7-1951. Adapun hari H jatuh pada tanggal 1 Mei
1951. Gerakan Operasi tersebut bertujuan untuk menduduki
Sukaraja/Uwin-Patahu di pantai utara pulau Seram Barat, merebut dan
menguasai daerah segi tiga antara pegunungan Cicilia dan Naimakina.
Gerakan Operasi ini disebut Combat Team “A”. Kapten RR. Andilolo
bersama satuannya dari Sulawesi selatan masih melanjutkan tugas
Operasi selanjutnya dalam Operasi Pembersihan RMS. Dalam Operasi
Pembersihan RMS pada tanggal 1 Mei 1951 itu, Kapten RR Andilolo
gugur karena terkena panah beracun ketika sedang memeriksa
pasukannya yang sedang berkonsolidasi (Sesuai berita yang diterima
keluarga dari pemerintah/APRIS (sekarang TNI) dan di makamkan Pulau
Seram. Setelah keadaan Maluku sepenuhnya
berada dibawah kendali TNI, dilakukan
pemindahan makam RR Andi Lolo dan prajurit
lain yang gugur di Pulau Seram ke Taman
makam Pahlawan Kapahaha di Kota ambon
disamping makam mantan Komandannya
Brigjen (Anumerta)Slamet Riyadi,dan
pangkatnya dinaikkan satu tingkat lebih tinggi
menjadi Mayor (anumerta). Saat ini Nama
Mayor R.Rukka Andilolo diabadikan menjadi
nama salah satu jalan di pusat Kota Makale
Tana Toraja.
Kapten RR. Andilolo

Dengan direbutnya beberapa pulau oleh APRIS dari tangan pasukan


RMS, Pemerintah RMS berusaha untuk meraih dukungan dan simpati
dari pihak asing melalui Departemen Luar Negeri RMS di Ambon.
Mereka mengeluarkan pernyataan yang isinya mengatakan: RMS sedang
berusaha berhubungan dengan Amerika Serikat, terutama dengan
Australia untuk berembuk dalam usaha untuk melakukan Pertahanan
dan keamanan bersama di Pasifik-Selatan menghadapi kemungkinan
ancaman agresi komunis. Untuk hal itu, RMS berusaha menghubungi
AS ataupun Australia dengan menawarkan beberapa tempat strategis
bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer dan penempatan
kekuatan armada-armada laut mereka. Pernyataan ini langsung
mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan bahwa
usaha itu merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Maluku.

Pada 16 Oktober 1950 pihak RMS


mengirim kawat kepada dr
Nikijuluw dan memberi kuasa
sebagai delegasi RMS ke Dewan
Keamanan PBB dan menunggu
laporan dari pihak UNCI mengenai
“Masalah RMS” yang katanya akan
di kirim ke Dewan Keamanan.
Sebulan sebelumnya pada tanggal
4 September 1950, dalam sidang
Parlemen RMS di Ambon
ditetapkan pada pasal I UUD RMS
berbunyi: “Republik Maluku
Selatan adalah Negara sah, yang
bebas dan merdeka sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi.” (Bung
Penonton: De Zuid Molluksi Republiek, 1977). (Harry Kawilarang,
2010, http://www.indonesiamedia.com)

3. Operasi Militer APRIS ke Ambon

Pertempuran empat hari di


Makassar pada tanggal 5-9
Agustus 1950 sempat
memperlambat operasi militer
APRIS ke Ambon selama
sekitar satu bulan. Hal
dikarenakan Panglima Alex
Kawilarang harus kembali ke
Makassar untuk menangani
kerusuhan yang dilakukan
oleh anggota KNIL di sana.
Sementara itu pasukan
tambahan dari Jawa sudah
berdatangan ke Maluku. Sekembalinya Kolonel Alex Kawilarang dari
Makassar, disusunlah rencana penyerbuan selanjutnya yaitu dengan
mendaratkan pasukan di Hitulama - Hitumesing, di utara pulau Ambon,
dan pasukan lain di Tulehu dibagian timur dan sesudah dua pasukan
bertemu di Paso, menyerang kota Ambon dari utara dan ada lagi
pasukan lain yang akan menduduki lapangan terbang di sebelah barat
pulau Ambon .

Yang akan mendarat di Hitulama dan Hitumesing adalah pasukan


Mayor Jusmin dengan di pimpin oleh Letkol Soediarto. Pasukan 3 Mei
pimpinan Mayor Alex Mengko akan mendarat di Tuleho. Dalam
pendaratan di Tuleho, Letkol Slamet Rijadi mendarat di sebelah selatan
Tuleho dan Kolonel Kawilarang bersama Kapten Jusuf, Leo Lopulisa,
Joost Muskita dan Kapten Claproth di sebelah utara Tulehu.

Untuk pendaratan itu, APRIS sudah terima 10 LCM. Enam LCM akan
digunakan untuk Tulehu dan empat lainnya untuk Hitu. Alex
Mamusung, merupakan wartawan foto perang dari Indonesia Press
Photo Service (Ipphos) yang turut meliput operasi penumpasan RMS
melalui lensa foto sangat bermanfaat mengisi lembaran sejarah. Sejak
pertempuran- pertempuran di Makassar, Buru, Piru, Amahai dan Ambon
ia selalu ikut meliput dan mendokumentasi secara visual. Dari hasil
karya foto, wartawan foto perang ini, ia dianugerahi bintang oleh
Pemerintah Republik Indonesia.

4. Operasi Senopati

Pada tanggal 28 September 1950, Panglima Kolonel Alex Kawilarang


mengeluarkan perintah untuk melakukan serangan umum gabungan
dengan sandi „Senopati‟ untuk membebaskan Ambon. Untuk pertama
kalinya, pasukan Pemerintah Republik Indonesia Serikat yang baru saja
terbentuk pada 1950 melakuan operasi gabungan tiga angkatan dengan
pengerahan jumlah personel yang besar. Operasi Senopati yang
bertujuan untuk membebaskan Pulau Ambon, sesuai Perintah Operasi
ditetapkan jangka waktunya empat atau lima hari, tetapi karena waktu
yang ditetapkan dalam Perintah Operasi ini tidak berhasil dan
kuranglebih satu setengah bulan baru Ambon seluruhnya dapat
dibebaskan, maka operasi Senopati dibagi atas dua fase, yaitu :
- Gerakan Operasi Senopati fase I di1akukan pada tanggal 28
September 1950 sampai tanggal 2 Nopember 1950.
- Gerakan Operasi SenopatiFase II, dilakukan pada tanggal 3
Nopember 1950 sampai dikuasainya Pulau Ambon.

Pasukan APRISyang dikerahkan sesuai Perintah operasi adalah :


- Angkatan Darat, yang terdiri atas Bn 352 Komandan Mayor Suradji,
Bn 3 Mei-Komandan Mayor Alex Mengko, Bn Claport Komandan
Kapten Claproth, Bn Worang Komandan Mayor Hein V. Worang yang
terdiri dari Kompi Pisok komandan Lettu Kapojos, Kompi Pask.
Terpendam Komandan Lettu M.O. Maruapey, Co. Troep Komandan
Lettu Lumanau. Bn Banteng Merah Komandan Mayor Yusmin, Bn
Tengkorak Putih Komandan Mayor Suryo Subandrio. dan Sie Staf
Dekking 35 Komandan Letda Sumardi.
- Angkatan Laut, terdiri atas KRI Patti Unus, KRI Rajawali, KRI Hang
Tuah, KRI Banteng, KRI Namlea, KRI Anggang, KRI Andres, KRI
Amahai, KRI Piru , LST -4
LCVP 10 buah, dan tiga
buah kapal KPM masing-
masing yaitu Waikelo,
Waingapu , dan
Waibalong. (3)
- Angkatan Udara , yang
terdiri atas 2 buah
pesawat Bomber B 25, 2
buah pesawat Catalina
yang berpangkalan di
Namlea.
- KRI Hang Tuah

Gerakan Operasi Senopati Fase I dibagi atas dua sektor, yaitu Sektor
Tulehu dan Sektor Hitu. Jalannya Operasi/Pendaratan Sektor Tulehu
dilakukan di tiga tempat, yaitu di daerah Wairuton , Air Panas, dan
Pelabuhan Tulehu , di bawah Komandan Pasukan Maluku Selatan
Letnan kolonel Slamet Riyadi. Pasukan yang mendarat di Wairaton
ialah Bn 352 pimpinan Mayor Suradji dan Kompi Pasukan terpendam
pimpinan Lettu M.O. Maruapey. Pasukan yang mendarat di Air Panas
adalah Bn 3 Mei pimpinan Kapten Alex Mengko, sedangkan yang
mendarat di pelabuhan Tulehu adalah Bn. Worang pimpinan Mayor
Hein Victor Worang, Bn. Claproth pimpinan Kapten Claproth ,
Kompi Pisek. Skunadron berlapis baja, dan Staf Komando Operasi
Maluku Selatan. Pendaratan di lindungi oleh kapal-kapal perang KRI
Rajawali dan KRI Patti Unus.

Karena belum terbentuknya pasukan reguler di wilayah Indonesia


Timur, menyebabkan Kawilarang terpaksa merekrut pasukan tambahan
dari daerah-daerah lain dengan segala macam kesulitannya. Sebagai
pasukan yang harus melakukan operasi gabungan, sama sekali belum
pernah berjumpa, apalagi latihan bersama. Pasukan sebanyak itu harus
dikumpulkan dari daerah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga
Sulawesi Utara.

Serangan umum dilakukan sekaligus pada 28 September 1950, dengan


pendaratan serentak di dua sasaran. Sasaran pertama Hitu, di pesisir
utara Ambon, dipimpin Letkol Soediarto. Sasaran kedua di Tulehu
dipimpin Letkol Slamet Rijadi. Dalam rencana serbuan yang sudah
disusun Kawilarang, sesudah kedua pasukan berhasil mendarat, mereka
langsung akan melakukan link-up di Passo, sebelum menyerbu
langsung secara bersama-sama ke Ambon.
Invasi APRIS berkekuatan 6,5
batalyon infantry dengan
menggunakan kapal-kapal
amfibi LCM yang di dukung
oleh tembakan-tembakan dari
4 kapal korvet dan dua
pembom B-25. Pendaratan
dilakukan pada pukul 06 .00 di
pantai Wairuton disambut
dengan tembakan musuh,
sehingga mengakibatkan
gugurnya seorang prajurit
bernama Anwar dari Bn 352.
Adapun pendaratan di Air
Panas tidak mendapat perlawanan yang berarti. Karena medan
pertempuran sangat menguntungkan musuh, maka pertempuran
berjalan dengan sengit, walaupun pada akhirnya musuh dapat dipukul
mundur dan lari menuju Suli. Hari berikutnya, tanggal 29 September
1950. pasukan menuju Suli. dan hari itu juga musuh dapat diusir dari
Suli, sedangkan Partai Netsepa dapat dikuasai pada tanggal 30
September 1950.

Usaha berikutnya dari pasukan APRIS adalah untuk menembus daerah


Waitatiri yang penuh parit dan kubu-kubu peninggalan Belanda.
Namun sejak sejak tanggal 1 - 6 Oktober 1950, usaha itu belum
berhasil.

5. Gugurnya Letkol Sudiarto

Pada tanggal 8 Oktober 1950 dimulai Gerakan


Operasi Senopati Fase II. Jalannya
Operasi/Pendaratan Sektor Hitu yang dipimpin oleh
l.etnan Kolonel Sudiarto dapat dilakukan pada
tanggal 28 September 1950, dengan dilindungi oleh
tembakan-tembakan meriam dari KRI Hang Tuah,
pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) mendarat di Hitu pada pukul 07.00.
Pendaratan pertama ini dilakukan oleh Kompi II dan
III dari Batalion Banteng Merah pimpinan Letkol
Sudiarto di Tanjung Mamua dengan memakai kapal LCM yang
digunakan sebagai kapal komando pendaratan. Beberapa anak buah
Banteng Merah berhasil mendarat, namun kapal LCM yang mengangkut
Letkol Sudiarto dan anak buahnya belum dapat mendarat karena
terbentur pada kapal yang tenggelam. Bersamaan dengan itu tembakan
gencar dilakukan oleh pasukan RMS. Saat itu Letkol Sudiarto bersama
Kompi I yang berusaha mendarat di Batu Hitam yang berjarak dua
kilometer dari Tanjung Mamua. Akibat tembakan yang gencar itu,
menimbulkan kerugian di pihak TNI, yaitu seorang gugur, 11 orang luka
dan lima orang luka berat termasuk Letkol. Sudiarto dan Letnan
Ismail.

Komandan pasukan pendarat


Letkol Soediarto, Komandan
Batalion Banteng Merah
tersebut, tertembak sebelum
LCM (Landing Craft Medium)
yang dia naiki mendarat di
bibir pantai. Seorang sniper
RMS yang bersembunyi di
pasir melihat pintu LCM agak
sedikit terbuka, peluang itu
tidak disia-siakan. Sebutir
peluru dilepaskan dan tepat
mengenai bawah perut Danyon
Banteng Merah ini. Pada pukul 21.00 akibat luka yang diderita terlalu
berat menyebabkan l.etkol Sudiarto gugur di atas kapal Rumah Sakit
Waibalong. Sebelum Letkol Sudiarto gugur, pimpinan Banteng Merah
diserahkan kepada wakilnya yakni Mayor Yusmin merangkap sebagai
komdan Operasi Jazirah Hitu.

Jika pendaratan di Hitu


memakan korban gugurnya
seorang perwira menengah
Letkol Sudiarto, pendaratan di
Tulehu berlangsung relatif
aman. Letkol Slamet Rijadi ,
dan pasukan Batalion Worang
Batalion 252, dan Batalion 3
Mei mendarat di sebelah
selatan Tulehu. Sedangkan,
Panglima Kolonel Kawilarang
bersama ajudannya, Kapten
Muhammad Jusuf, diikuti oleh dua orang perwira remaja, Letnan Leo
Lopulissa dan Letnan Muskita, mendarat di sebelah utara Tulehu.
Turut serta Alex Mamusung, seorang wartawan perang, juru foto Ipphos
untuk membuat dokumentasi.

Pendaratan di Tulehu memang berlangsung relatif aman, tetapi hanya


satu kilometer setelah pantai, pertempuran hebat berkobar. Dalam
pertempuran antara sesama bekas anggota KNIL itu, Batalion 3 Mei
yang bermarkas di Manado kehilangan 20 orang personelnya. Meskipun
bekas anggota KNIL, mereka tidak mendukung RMS dan menentang
separatis.
Pada pendaratan di Tulehu itu, terjadi peristiwa tragis. Menurut
pasukan cadangan yang menonton dari atas kapal Waikelo, melihat
ketika pendaratan LCM dan keluarnya pasukan 3 Mei dari LCM sesudah
kandas, merupakan suatu pemandangan yang tidak akan mereka
lupakan. Kolonel Alex Kawilarang menceritakan: “Sesudah pendaratan,
saya bersama pasukan maju ke Tulehu. Begitu juga Slamet Rijadi. Lalu
kami berkelompok di Tulehu dan terus maju menuju Ambon . Tetapi
baru saja kira-kira satu kilometer dari Tulehu kami sudah mendapat
perlawanan hebat. Dalam pertempuran ini 20 anggota “3 Mei” gugur.
Waktu itu ajudan saya, Kapten Jusuf, berkata dengan suara risau, “Kijk,
Soekirmo is geraakt”

Soekirmo, ajudan Letkol. Slamet Rijadi


itu tersenyum-senyum saja, seperti tidak
menderita apa-apa. Sambil memegang
lengan yang tergantung dengan tangan
lain, ia berjalan ke Tulehu. Sayapun
kaget melihatnya bercampur bangga atas
kekuatannya. Baru pada jam 3 sore
pasukan maju lagi, tetapi delapan
kilometer kemudian, di suatu tempat,
dengan hutan lebat sebelah kanan kami,
terjadi lagi pertempuran. Sedang hari
sudah mulai menggelap. Lalu kami tidur
di sebelah jalan, di pinggir hutan, dalam
keadaan basah kuyup, karena hujan
lebat mengguyur kami. Saya melihat
Slamet Rijadi, ajudan lainnya, Soendjoto, Jusuf dan Muskita, semuanya
kedinginan. Sementara itu kami sudah tahu bahwa Letkol Soediarto
gugur di Hitulama/Hitumesing . Ia gugur sebelum mendarat. Masih di
atas LCM, waktu kandas dan pintu LCM dibuka, ia kena tembakan di
perutnya. Dalam keadaan luka parah sempat di bawa ke kapal rumah
sakit, “Waibalong” dan di operasi oleh Mayor Dokter Soejoto. Peluru
menembus enam usus dan waktu sedang di operasi, Letkol Soediarto
menghembuskan nafasnya terakhir.”

Setelah melalui pertempuran yang sengit, pada 29 September 1950


pukul 06 00 Hitu dapat dikuasai oleh TNI Gerakan Operasi diteruskan
untuk menguasai Kota Ambon. Setelah Hitu dikuasai, sasaran
berikutnya adalah daerah Hasal, Wanat, Telaga Kodok, dan Durian
Patah. Karena medan pertempuran yang sangat menguntungkan RMS,
maka hingga 7 Oktober 1950 daerah Wanat dan Telaga Kodok sebelum
dapat dikuasai oleh TNI
Penyerbuan ke Ambon
berlanjut. Gerakan
pasukan Mayor Jusmin,
dibantu pasukan Mayor
Soerjo Soebandrio,
terhenti dekat Telaga
Kodok, karena ada
perlawanan hebat dari
RMS. Gerakan dari Tulehu
diteruskan, tetapi juga
sangat lamban, karena
terus menerus di
perlamban oleh sniperfire
RMS, dan di daerah itu
sulit sekali untuk melambung. Sesudah beberapa hari baru pasukan
APRIS tiba di Suli. Pihak pertahanan RMS di Ambon ketika itu
berkekuatan 700 pasukan bersenjata lengkap, menghadapi pasukan
penyerbu melalui perlawanan cukup gigih. Korban di pihak pasukan
pendarat tidak sedikit, dan senjata-senjata mereka ini berpindah tangan
untuk memperkuat 1.200 pasukan RMS memperoleh senjata, hingga
pertempuran sengit berlangsung antara 30 September hingga 1 Oktober
1950 untuk kemudian dikuasai oleh APRIS.

Perlawanan gerilyawan RMS


turut memperlambat
gerakan pasukan APRIS
memasuki Ambon . Letkol
Slamet Rijadi sempat
kecolongan, ketika di pagi
hari, ia mengemudikan jeep
dari Tulehu menuju
Suli. Seorang anggota RMS
mencoba menghentikan
jeep-nya sambil menembak
dari samping. Nasib baik
bagi Slamet Rijadi, karena
saat ditembak, dengan
gerakan refleks ia memutar
badannya. Tetapi lengannya kena dari jarak satu meter. Masih untung
lagi, tulangnya tidak kena. Malahan ia sempat menghentikan jeep,
melompat keluar untuk mengejar si penembak. Tetapi orang yang
menghadang dan menembaknya dengan sigap sudah lari menghilang
masuk hutan

Usaha berikutnya dari pasukan APRIS sejak tanggal 1 - 6 Oktober 1950


untuk menembus daerah Waitatiri yang penuh parit dan kubu-kubu
peninggalan Belanda be1um berhasil, karena itu, sejak 8 Oktober 1950
dimulai Gerakan Operasi Senopati Fhase II. Ja1annya

Operasi/Pendaratan Sektor Hitu yang dipimpin o1eh l.etnan Kolonel


Sudiarto dapat dilakukan pada 28 September 1950. Pendaratan
pertama dilakukan oleh Kompi II dan III dari Bn Sudiarto (Banteng
Merah) di Tanjung Mamua, tetapi l.etkol Sudiarto bersama Kompi I yang
berusaha mendarat di Batu Hitam yang berjarak dua kilometer dari
Tanjung Mamua mendapat perlawanan yang hebat dari musuh sehingga
menimbulkan kerugian di pihak TNI, yaitu seorang gugur, 11 orang lu
ka dan lima orang luka berat termasuk Letkol. Sudiarto, Pada pukul
21.00 akibat luka yang diderita terlalu berat menyebabkan l.etkol
Sudiarto gugur di atas kapal Rumah Sakit Waibalong. Sebelum Letkol
Sudiarto gugur, pimpinan Bn Banteng Merah diserahkan kepada
wakilnya yakni Mayor Yusmin merangkap sebagai komandan Operasi
Jazirah Hitu.

Di awal November datang pasukan tambahan dari Jawa melalui


Makassar , yakni pasukan Kapten Poniman dan pasukan Mayor Lukas
Kustarjo. Untuk itu rencana
penyerbuan kota Ambon
disusun. Pasukan Poniman
akan mendarat di selatan kota
Ambon sementara pasukan
Lukas Kustarjo di sebelah utara.
Sesudah itu Batalyon 3 Mei
akan menduduki daerah
pegunungan tenggara kota
Ambon . Sementara itu pasukan
Mayor Jusmin dan Mayor
Soerjo Soebandrio menyerang
dari Telaga Kodok menuju ke
jurusan Paso dan sebagian ke
lapangan terbang.

Detasemen Kapten Faah akan mendarat di pantai selatan Teluk


Baguala, tidak jauh dari sebelah timur Paso dan dari Waitatiri maju
pasukan-pasukan dari Kapten Claproth, Mayor Worang, Kapten
Mahmud Pasha, Mayor Soeradji. Letkol Slamet Rijadi dan Kapten
Muskita ikut dengan pasukan yang berangkat ke Waitatiri.

Kolonel Alex Kawilarang akan berangkat dengan kapal dari Tulehu,


bersama dengan pasukan akan mendarat dekat kota Ambon. Mayor
Achmad Wiranatakoesoemah akan memimpin pasukan ini, sementara
Letkol Daan Yahya akan diperbantukan kepada Kawilarang. Kekuatan
APRIS terdiri dari tiga korvet, yakni, “Patiunus” dengan Mayor Laut
Rais, “Banteng” yang membawa Kolonel Kawilarang dan “Rajawali” yang
bertugas melindungi pendaratan jika perlu. Perwira liaison ALRI adalah
Mayor Alex Langkay. Selain itu masih ada dua bomber B-25 dari AURI
dengan pilot Mayor Noordraven dan Letnan Ismail.

Pada tanggal 2 November 1950, sehari sebelum berangkat dari Tulehu,


Kol. Alex Kawilarang bertemu dengan Menteri J. Leimena yang datang
dari Jakarta bersama Ir Putuhena dan Dokter Rehatta. Mereka di utus
oleh Pemerintah Jakarta untuk mencoba melakukan misi perdamaian
yang ketiga dengan RMS. Mereka juga berharap agar supaya tugas
APRIS cepat selesai dan sedapat mungkin dengan sedikit korban. Secara
khusus harus dijaga, jangan sampai rakyat Maluku yang sudah banyak
menderita dan tidak bersalah, menjadi korban dalam pertempuran di
Ambon . Tetapi sayang harapan ini tak dapat terlaksana dan sudah
terlambat. Karena perang sudah terjadi sejak 28 September dan pihak
RMS tidak akan mau berunding. Lagi pula mereka berada dalam posisi
kocar-kacir. Pertempuran dalam kota selalu makan banyak korban jiwa
dan juga harta. Sebagian besar rumah akan hancur atau terbakar.

Pada tanggal 3 November


1950 di pagi hari, pasukan
Kapten Poniman mendarat
di kota Ambon bagian
selatan. Disini Kapten
Sumitro gugur. Nasib
serupa dialami Letnan
Komar, yang kena
tembakan dan langsung
tersungkur. Musuh waktu
itu sempat maju lagi sambil
menusuk mati beberapa
prajurit APRIS yang
ketinggalan dan luka-luka.
Rupanya musuh mengira Komar sudah mati. Padahal ia berpura-pura
tidak bernafas lagi. Seorang RMS mendekatinya sambil berkata kepada
temannya, “Ini orang Ambon . Beta ambil arlojinya saja.” Letnan Komar
baru tertolong sewaktu pasukan APRIS maju lagi dan berhasil
menghalau musuh.

Pasukan Mayor Lukas Koestaryo mendarat tepat di benteng Victoria ,


di sebelah utara pelabuhan. Sebelum pukul 11.00 pasukan Mayor
Lukas, Kapten Poniman dan Batalyon 3 Mei sudah menduduki
sebagian besar kota Ambon dekat pantai. Mayor Achmad
Wirahadikoesoemah dengan stafnya berada di pelabuhan. Sementara
itu pasukan dari Waitatiri sudah sampai di Paso dan bertemu dengan
Detasemen Faah dan kemudian juga dengan pasukan yang datang dari
Telag Kodok. Letkol Slamet Rijadi dengan pasukan Mayor H.V. Worang
dan Kapten Claproth hari itu sudah berada dekat Halong. Esok
harinya, tanggal 4 November 1950, mereka meneruskan gerakan ke kota
Ambon dan sampai di utara kota pukul 15.00.
Sementara itu, di sekitar Fort Victoria , pada pukul 12.00 siang hari itu,
keadaan berubah. Pasukan
RMS dengan panser menyerang
Fort itu hingga dekat
pelabuhan. Waktu itu pasukan
APRIS terpisah di sebelah utara
kota Ambon , di Batumerah.
Untung tak lama kemudian
datang pasukan Letkol.
Slamet Rijadi yang terdiri dari
Batalyon Worang bersama
Batalion Claproth membantu
dan mematahkan serangan
RMS.

6. Bantuan Pasukan “Baret Hijau” dadakan dari Manado

Dalam menjalankan operasi


di kota Ambon ini, pihak TNI
kesulitan untuk secepatnya
menguasai Ambon dari
tangan pasukan RMS.
Selama satu bulan pasukan
TNI tidak dapat maju karena
ketangguhan pasukan „baret
hijau‟ eks KNIL-Belanda
didikan Westerling. Mereka
sangat kuat dan taktis.
Pasukan-pasukan APRIS
sering kelabakan dibuatnya, dan menderita banyak korban. Pasukan
RMS juga mempunyai penembak yang jitu dan jempolan. Salah satu
korbannya adalah Slamet Riyadi yang menjadi Komandan Operasi
Penumpasan RMS. Melihat hal ini, Kolonel A.E. Kawilarang harus
memutar otak untuk mengatasi masalah tersebut. Ia lalu mengontak
Letkol Ventje Sumual melalui telegram ke Manado untuk mengirimkan
“Pasukan Baret Hijau” dari Manado. Permintaan itu membuat Letkol
Ventje Sumual kelabakan dalam memenuhi permintaan tersebut. Kol.
AE. Kawilarang tidak tahu bahwa jumlah personil “Baret Hijau” mantan
KNIL di Manado sudah sangat sedikit sekali, cuma sekitar 20 orang yang
masih aktif, banyak yang sudah pensiun dan keluar. Lainnya sudah
masuk kedalam Batalion 3 Mei yang sudah dikirim lebih dulu ke
Maluku.
Ventje Sumual dalam memorialnya menuturkan bahwa ketika ia
mendapat telegram Kolonel A.E Kawilarang dari Maluku, ia sempat
kebigungan. Namun mau tidak mau perintah tersebut harus
dilaksanakan. Maka untuk itu Letkol Ventje Sumual meminta bantuan
Empie Kanter, menyiapkan rencana untuk membuat pasukan ,Baret
Hijau”. Kebetulan pasukan yang ada di manado, ada Depo Batalyon yang
dipimpin oleh Mamengko. Pasukan inilah yang dipilih untuk menjadi
pasukan “Baret Hijau”. Memang waktu pelaksanaan restrukturisasi dan
reorganisasi TNI, sebagian pejuang pro republik yang berjasa dalam
melakukan kudeta pada tanggal 3 Mei di Manado dan Minahasa
terancam tidak diterima
dalam APRIS, soalnya MBAD,
Kolonel A.H. Nasution
menerapkan syarat-syarat
teknis kemiliteran yang
terlalu ketat, dan Kol. A.E.
Kawilarang pun menjalankan
intruksi MBAD itu. Pasukan
Mamengko ini hanya terdiri
dari umumnya laskar pemuda
yang belum terlatih secara
militer, namun pemberani.
Pasukan Depo Mamengko ini
merupakan bagian dari
kesatuan, Batalyon 3 Mei ex
KNIL Alex Mengko dan Lexy
Anes.

Depo Batalyon Frans Mamengko, dan 3 Kompi lainnya sudah


diresmikan sebagai APRIS melalui program Restrukturisasi tersebut
yang berwujud penyaringan kembali semua pasukan secara individu.
Individu yang dinilai tidak memenuhi syarat, tidak boleh terus sebagai
TNI, mereka akan disalurkan keberbagai bidang-bidang pekerjaan lain
melalui Badan Restrukturisasi Nasional (BRN). Sekarang proses
penyaringan itu masih berjalan, dan pasukan anak-anak dibawah Frans
Mamengko ini banyak yang kena. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
Letkol Ventje Sumual untuk menolong para bekas laskar yang tidak jelas
nasibnya itu.

Dengan dibantu oleh Empie Kanter, Ventje Sumual lalu memesan ke


tukang jahit, untuk dibuatkan topi Baret Hijau sebanyak 800 buah,
padahal, Panglima Alex Kawilarang hanya minta beberapa peleton saja.
Latihan kilat pun segeradimulai secara intensif siang dan malam,
walaupun tingkat latihan pasukan tidak sampai mendekati kualitas
pasukan komando atau Raiders, namun sudah ditingkatkan jauh lebih
baik daripada biasanya, dan hasilnya diluar dugaan. Setelah semua
persiapan selesai, Pasukan “Baret Hijau” dadakan inipun dikirim ke
Ambon. (Ventje Sumual, 2011).

Setelah datangnya bantuan dari


Depo Frans Mamengko dari
Manado bergabung dibawah
komando Batalion 3 Mei
pimpinan Mayor Alex Mengko,
akhirnya setelah tiga bulan
berjuang, pasukan TNI bisa
mendekati Kota Ambon,
bersama kekuatan pasukan
Batalion Worang dan pasukan
Siliwangi yang dipimpin Mayor
Ahmad Wiranatakusumah
dengan salah satu komandan
batalionnya Kapten Poniman
yang masuk dan mendarat dari arah pelabuhan.

Memang ternyata, fakta dilapangan membuktikan, bahwa pasukan yang


terdiri dari para pemuda yang disulap menjadi pasukan “Baret Hijau”
gadungan ini, yang sebelumnya tidak terpilih masuk ke Batalion 3 Mei
dari Manado ini, luar biasa beraninya di medan front menghadapi
pasukan RMS yang terdiri dari pasukan Baret Hijau dan Merah asli.
Bahkan, teman-teman mereka
di Batalyon 3 Mei sampai
terkagum-kagum. Sedemikian
hebatnya Green Barret
gadungan ini, sehingga tidak
ada yang mempertanyakan
kesahihan “ Baret Hijau”
mereka. Pasukan KNIL Baret
Hijau dan Merah kocar kacir
dibuatnya, banyak yang tewas
oleh mereka, sisanya menjadi
tawanan. Mungkin KNIL Green
Barret asli yang tertawan
terheran-heran, karena
merasa tidak mengenal
mereka, merasa tidak pernah
bertemu dalam latihan
komando.

Selesai operasi di Maluku Selatan, pasukan yang kemudian dikenal


dengan nama Detasemen Mamengko ini tidak langsung kembali ke
Minahasa. Mereka selanjutnya ditugaskan di wilayah Kendari Sulawesi
Tenggara. Komandannya, Frans Mamengko hanya murni laskar pemuda,
tapi luar biasa beraninya dan sangat cerdas. Baru berumur 20 tahun
sudah dipercayakan menjadi Komandan Depo Batalyon. Tidak sedikit
yang lebih senior dan berpengalaman diantara pasukan yang
dipimpinnya. Frans Mamengko pernah bertugas sebagai Komandan
Kodim di Minahasa dan terakhir bertugas sebagai Direktur Penelitian
dan Pengembangan Intelijen TNI-AD dengan pangkat terakhir Kolonel
Inf.

7. Gugurnya Letkol Slamet Riyadi

Peristiwa tertembaknya Letkol Slamet Riyadi pada


tanggal 4 Nopember 1949 siang, dituturkan oleh
seorang saksi mata bahwa ketika pasukan TNI
menyerbu benteng Victoria. Letkol Slamet
Riyadi, Kapten Muskita dan Aloysius menunggu
di selokan sebelah utara benteng Victoria, sambil
menunggu saat yang tepat untuk menyerbu.
Namun sebelumnya ia memerintahkan Batalyon
Kapten Lucas untuk menyerbu masuk dari sisi
barat benteng. Namun, tiba-tiba datanglah
pasukan tank TNI di bawah pimpinan Kapten Klees yang langsung
menembak ke arah benteng, dengan asumsi bahwa pasukan Batalyon
Lukas sudah ada di dalam, Letkol Slamet Riyadi memerintahkan tank
untuk menghentikan tembakan. Lalu berjalan di depan tank untuk
memasuki Benteng Victoria.

Ternyata Kompi Lucas belum


sepenuhnya dapat masuk dari
sisi barat, karena mendapat
serangan pasukan baret hijau
dari basment benteng. Tiba tiba
Slamet Riyadi tersungkur
tertembak oleh penembak jitu
pasukan RMS. Peluru 12,7mm
menembus perut sebelah kiri
nya. Melihat hal tersebut, dua
orang pasukan tank segera
menarik tubuhnya untuk
menghindari terjangan peluru yang dilancarkan pasukan RMS dari
dalam benteng. Namun beberapa peluru juga menerjang kedua orang
tersebut.

Peristiwa lengkap tentang tewasnya Slamet Riyadi ditutukan oleh


Repblika Co.Id,Selasa 12 Mei 2015 dengan judul „Sniper di Balik Benteng‟
sebagai berikut : Pada tanggal 4 November 1950 Letnan Kolonel Infanteri
Slamet Rijadi mengirim kawat pesan dari ke seluruh pasukan di Group
II, yang bunyinya "Kita harus merebut Benteng Victoria. Sebab,
keberhasilan dalam menguasai benteng tersebut adalah batas
penentuan, bisa tidaknya kita merebut Ambon”. Dalam Operasi Senoati
II dipimpin Komandan Pasukan Maluku Selatan Kolonel Infanteri AE
Kawilarang, dibagi dalam tiga grup. Sebagai komandan Grup II, Letkol
Slamet Rijadi diperkuat oleh pasukan yang terdiri dari: Batalion Worang,
Batalion Claporth, Batalion Mahmud, Detasemen Faah, Detasemen
Artileri Medan, Skuadron Panser, dan Kompi Zeni Pioneer.

Setelah memastikan pasukannya berhenti di jembatan, Letkol. Slamet


Rijadi segera memberikan perintah kepada Kapten Kavaleri Klees,
Komandan Satuan Kavaleri untuk melanjutkan perjalanan. Tiga buah
panser bergerak perlahan mendekati Benteng Victoria. Slamet
didampingi Kapten Klees menaiki panser pertama. Sekitar 30 meter
mendekati Benteng Victoria, persis di simpang tiga, tembakan gencar
dari dalam benteng
bergemuruh, diarahkan
kepada iring-ringan panser
TNI. Sebuah tembakan
dengan tepat mengenai
periskop panser yang dinaiki
Slamet dan Klees. Secara
otomatis, Klees ingin
menjawab tembakan musuh
dengan meriam 2 cm yang
terpasang di pansernya.
"Stop het vuren...!" teriak
Slamet.

Perintah jangan tembak dikeluarkan Slamet. Ia berpendapat pasukan


yang menembak adalah anak buah Mayor Infanteri Lukas Kastardjo
dari Siliwangi. Mungkin iring-ringan panser dikira pasukan RMS
(Republik Maluku Selatan), padahal teman sendiri.
"Ini pasti hanya salah paham. Mereka pasti mengira panser ini
kepunyaan musuh," lanjut Slamet.

Namun, Kapten Klees langsung berkata, "Overste, saya ini bekas KNIL.
Saya tahu persis, mereka bukan TNI. Mereka hanya ingin mengelabui
kita dengan sengaja memakai seragam TNI." Slamet melihat Klees, tanpa
memberi komentar. "Overste, izinkan saya membalas. Saya mau
menghajar mereka!" katanya. "Stop het vuren! Jangan tembak! Saya
mau turun memeriksa!" jawab Slamet. "Siap Overste! kata Klees.
Kemudian tangan kanannya menarik tuas pengunci kubah panser.

Tanpa memakai helm pelindung, Slamet keluar melalui lubang pintu


kubah panser. Ia berkalung teropong serta memegang owen gun
kesayangannya. Sesampai di luar, dia meloncat ke bawah dan berdiri
tegap di samping panser, menghadap 30 meter dari Benteng Victoria.
Peristiwa itu tertuang dalam buku Mengenang Ignatius Slamet Rijadi.
"Dorrrr…!"

Satu peluru dilepaskan dari balik Benteng Victoria. Slamet roboh


bersimbah darah sambil memegangi perutnya. Melihat itu, Klees segera
memerintahkan Skuadron Panser membalas. Kanon 2cm dari ketiga
panser menyalak sejadi-jadinya, tembakan riuh rendah, pertempuran
pun pecah kembali.

Selain melakukan
pembalasan, langkah itu
sengaja dilakukan untuk
melindungi ajudan Letnan
Satu Infanteri Soedjoto yang
menarik komandannya ke
tempat berlindung. Tiba-tiba
Mayor Infanteri Lukas
Kastardjo dari Grup III sudah
berdiri di sampingnya. Setelah
melihat kondisi Slamet, Lukas
langsung mengambil alih
komando dan memerintahkan,
"Letnan, segera amankan
Overste ke belakang. Saya
melindungimu!"
Karena terluka parah dan tidak bisa berjalan sendiri, Slamet diseret
Soedjoto sampai ke simpang tiga Batu Merah. Slamet dilarikan ke
Tulehu dengan jeep. Sesampainya di Pelabuhan Tulehu, suasana mulai
gelap. Soedjoto melaporkan peristiwa ini kepada Panglima TT Indonesia
Timur, Kolonel Infanteri AE Kawilarang.

Berita tertembaknya Slamet Rijadi langsung menyebar ke seluruh


pasukan TNI. Banyak yang shock, perwira-perwira lapangan mereka
yang terkenal andal, Kapten Abdullah, Letkol Soedarto, Letnan Kalangie,
Kapten Soemitro, dan kini Komandan Komando Pasukan Maluku
Selatan Letkol Slamet Rijadi, turut menjadi korban. Akibat luka parah
yang dideritanya, Letkol Slamet Rijadi gugur.

Letkol Slamet Riyadi dilarikan ke Tulehu untuk dirawat di kapal


(rumah sakit) „Waibalong‟. Selama dalam perjalanan Letkol Slamet
Riyadi dengan bersimbah darah masih dalam keadaan sadar,
memberikan perintah komando untuk terus berusaha merebut benteng
Victoria. Perintah itu langsung dijalankan oleh pasukannya dengan
penuh semangat disertai amarah karena komandan mereka telah
tertembak. Dan ternyata kemudian pasukannya yang terdiri dari
Batalion Worang, Batalion Lucas dan lainnya berhasil menguasai
Benteng Nieuw Victoria pada hari itu juga.

Di atas kapal (rumah sakit) „Waibalong‟ Letkol Slamet Riyadi mendapat


perawatan oleh Mayor dr. Engelen. Namun dalam perawatan, nyawa
Letkol Slamet Riyadi tak dapat ditolong, ia wafat sekitar jam 11 malam,
dan keesokan harinya dimakamkan di Tulehu.

Kolonel AE Kawilarang yang ikut kapal perang


pimpinan Laksamana John Lie, baru dapat tiba
di Tulehu setelah pemakaman selesai dan
berkesempatan melihat makam Letkol Slamet
Riyadi pada tanggal 6 Nopember 1950. Kol. Alex
Kawilarang mengisahkan bahwa ia tidak melihat
sendiri bagaimana Slamet Rijadi waktu kena
tembak itu. Tetapi dari keterangan yang ia
dengar, bahwa Letkol. Slamet Riyadi sempat
dibawa ke kapal (rumah sakit) „Waibalong‟ di
Tulehu. namun belum bisa di operasi, karena masih kena shock.

Laporan kemudian menceritakan adegan


sebelumnya, yakni pada 4 November
1950 itu, Letkol Slamet Rijadi bergerak
dari Galala ke Batumerah, di tepi kota
Ambon. Tindakan ini diambil oleh
Slamet Rijadi karena suasana dan
keadaan dalam kota masih
menunjukkan adanya pertempuran
antara pihak RMS dengan pasukan
Mayor Achmad Wiranatakoesoemah.
Slamet Rijadi berhasil memasuki kota
dan segera terlibat dalam pertempuran
yang sengit.

Menurut cerita lainnya, Letkol Slamet


Rijadi berada di depan duduk di atas
tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bern dari
seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal
dari belt-nya (ikat pinggang) dan karena itu jadi dum-dum. Lukanya
besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet
Rijadi gugur. Jenasah Letkol Slamet Rijadi di makamkan di pekuburan
Pasir Putih di Tulehi. Sepuluh tahun kemudian jenasahnya dipindahkan
ke makam pahlawan Kapaha, yang letaknya sekitar 3 km sebelah timur
kota Ambon Letkol Joop Warouw menggantikan posisi Slamet Rijadi
membebaskan Ambon.
8. Kota Ambon Berhasil dikuasai APRIS

Pada tanggal 7 November 1950, tiga hari setelah Letkol Slamet Rijadi
gugur, Kolonel Kawilarang mengirim kabar ke Manado dan Makassar,
dan meminta supaya Letkol Joop Warouw segera datang ke Ambon
untuk mengisi posisi Letkol Slamet Rijadi sebagai Komandan Pasukan
Maluku.

Minggu 5 November, Mayor Worang, Kapten Klees


dari Skuadron Kavaleri, dan pasukan dari Yon 3 Mei
menyerbu Benteng Victoria, serangan pamungkas
sekaligus pembalasan." Overste Slamet Rijadi gugur
tertembak ketika bersama-sama Kompi Wuisan, hari
ini, kita menuntut balas..!" kata Worang membakar
semangat anak buahnya.

Pertempuran yang menetukan dipagi hari itu dimulai dengan dentuman


meriam Detasemen Artileri. Yon Worang, Yon 3 Mei, Yon Pattimura,
dan Skuadron Kavaleri Kapten Klees menyerbu dari depan Benteng
Victoria. Group III Pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah
menyerbu dari lambung kiri, sedangkan dilambung kanan Group I
merengsek maju. Pertempuiran yang paling menentukan sudah dimulai.
Tembak menembak berlangsung dahsyat, korban berguguran dikedua
belah pihak. Korban berguguran dipihak TNI. Terutama sektor depan
dimana serbuan massal dilaksanakan oleh Yon Worang, Yon 3 Mei,
Yon Pattimura, dibantu Yon 352, anak buah Slamet Rijadi asal Solo.
Semakin sore, pertempuran makin menghebat. Lambung kiri Benteng
Victoria sudah dijebol oleh anak-anak Siliwangi pimpinan Mayor Lukas,
kembali perkelahian satu lawan satu terjadi disana. Di sektor kanan,
sebuah panser RMS terlihat keluar berjibaku menyongsong serangan
dari Group III, namun langsung diserbu secara nekat oleh 1 peleton TNI,
dan hancur. Peleton tersebut juga gugur semuanya. (Pusat Persenjataan &
Sejarah Militer, 2018)

Dari atas Benteng Victoria, Baret Merah RMS kembali meraja lela
dengan tembakan-tembakan jitu sniper-sniper nya. Tembakan sniper ini
lah yang banyak memakan korban dipihak pasukan pemerintah. Letnan
Pakinang, kelahiran Tondano dari Yon 3 Mei, bersenjatakan Bazooka
rampasan dari RMS berhasil memusnahkan sebuah panser RMS,
kemudian membabat panser ke dua. Setelah itu dia merengsek maju
untuk memusnahkan panser yang ketiga. Dalam percobaan ke tiga ini,
sebutir peluru sniper menembus kepalanya. Ia gugur seketika. Teman
disebelahnya merebut bazooka tersebut, namun belum sempat
membidik, ia juga terkena tembakan tepat didada, dan gugur.
Lebih enam jam berlangsung pertempuran hebat memperebutkan
Benteng Victoria, sering duel satu lawan satu terjadi. Tingginya
kemampuan tempur lawan, dengan andalan pasukan elite eks KNIL yang
sudah kenyang pengalaman tempur diberbagai front, sangat
menyulitkan TNI. Tidak heran korban diderita cukup banyak.Tapi
akhirnya, setelah melewati pertempuran yang melelahkan, menjelang
senja, pasukan gabungan TNI akhirnya menjebol pertahanan RMS di
Benteng Victoria. Dengan demikian, Ambon kembali jatuh ke tangan
pemerintah, sisa-sisa RMS melarikan diri keluar kota.

Selama beberapa malam, Baret Merah RMS masih melakukan serangan-


serangan pendadakan ala komando terhadap pos-pos pertahanan TNI
didalam kota, tidak sedikit yang menjadi korban. Malah, mereka berhasil
merebut sebuah bukit di tenggara kota Ambon dan membuat benteng
kokh disana. Mitraliur dan meriam dipasang berderet menunggu
serbuan pasukan pemerintah. Namun tentu saja hal tersebut tidak
dibiarkan.

Menurut Worang, " Bukit tersebut saya tetapkan sebagai target yang
harus direbut. Tanggal 10 November, persisi disaat kita memperingati
Hari Pahlawan, setelah melalui pertempuran sengit, Bukit Karang
Panjang jatuh ke tangan TNI, dan setelah itu, Ambon benar-benar aman,
dan bersih dari segala aktifitas RMS.

Rabu siang, 8 November 1950, Letkol Joop F.


Warouw tiba di Ambon untuk menggantikan posisi
Slamet Rijadi. Warouw langsung terbang dari
tempat tugasnya di Manado setelah mendapat
radiogram dari Kawilarang. (Pusat Persenjataan &
Sejarah Militer, 2018). Bersamaan dengan itu, Kol. A.E.
Kawilarang sebagai Panglima, berkeliling kota
Ambon sebelah utara dan timur laut untuk
memantau keadaan pasukan APRIS. Dalam
pemantauan itu, ia menemui Kapten D.J. Somba
dan Letnan Wim Tenges. Kedua mereka ini dari
Batalyon Worang pimpinan Mayor Hein Victor
Worang. Kol. Alex Kawilarang lalu menugaskan
mereka untuk menyerang di sore hari dan
mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS
di pelabuhan, dan harus berhasil.

Menerima perintah itu, Letkol D.J Somba yang


mengatakan: “Tidak perlu panglima bicara dengan
kami dan memberi semangat. Perintah saja sudah
cukup. Kami laksanakan.” Ucapan itu oleh Kapten
M. Jusuf, menyampaikannya kepada Kol. Alex
Kawilarang. Di sore hari itu juga, Batalyon 3 Mei
yang di dukung Batalyon Worang berhasil menguasai seluruh kota dan
pinggirannya, yang sebelumnya pasukan berhasil merebut Fort Victoria.
Setelah Fort Vctoria jatuh, pasukan Kapten D.J. Somba sambil
berlarian maju terus untuk mengembalikan hubungan dengan pasukan
APRIS yang terpisah di pelabuhan. Sedangkan pasukan pimpinan
Letnan Wim Tenges, saat itu telah bergerak lebih ke sebelah timur kota,
dan berhasil berhubungan dengan pasukan dari Bataliyon 3 Mei, dan
dengan pasukan yang baru tiba via pelabuhan di bawah pimpinan
Mayor Soetarno.

Pada tanggal 9 November


1950, Panglima Kawilarang
memeriksa kota Ambon, yang
sebagian besar kota terlihat
hancur. Bersamaan dengan
itu, ternyata pada hari itu
juga Letkol Joop Warouw
sudah berada di Ambon
untuk memegang Komandan
pasukan Maluku
mengantikan Letkol Slamet
Riyadi dan Mayor Herman
Pieters sebagai Kepala
Staf. Kapten Joop Warouw
datang dengan kapal terbang
ke Buru, dan dari sana ia naik kapal laut ke Ambon .Pasukan
musuhpun terdesak dan menjauhi kota Ambon dan memindahkan
kekuatan di Seram.

Pada 16 November 1950 bandar udara Laha berhasil di kuasai oleh


pasukan APRIS. Musuh kebanyakan lari ke Soya diatas, untuk terus ke
Seram. Pihak RMS berusaha bergerilya di Haruku dan Saparua, tetapi
dapat di duduki oleh APRIS tanpa ada korban.

Pada 25 November 1950, Kolonel A.E. Kawilarang tiba kembali di


Ambon setelah lebih dari dua minggu berada di Makassar . Ketika
berada di Ambon, Kolonel Alex Kawilarang didampingi oleh Mayor H.V.
Worang, Mayor Wiranatakusuma, & Kapten Claporth meinjau
keadaan kota dengan melewati Jembatan Waltatiri, yang telah direbut
oleh Pasukan APRIS. Keadaan kota sudah cukup aman dan bersih dari
puing-puing pertempuran. Penduduk sudah mulai berani keluar di
jalan-jalan sehingga kota menjadi cukup ramai, walaupun sebagian
besar rumah-rumah nampak rusak oleh pertempuran.

Kol. Alex Kawilarang juga meninjau bandar udara Laha yang baru
direbut, dan kemudian bertemu dengan Dokter J B Sitanala, ayah dari
Mayor Sitanala, komandan APRIS di Bali. Kepada Kol. Alex Kawilarang
dengan terus terang ia mengatakan bahwa “Tahun 1942 Jepang datang
di Ambon selama dua hari mengambil barang milik rakyat. Tahun 1945
pasukan Australia datang dan selama tujuh hari mengambil barang
rakyat. Tahun 1950 TNI datang dan setelah selama 14 hari mengambil
barang rakyat, baru ada tindakan.” Mendengar ini Kol. Alex Kawilarang
tak dapat berkomentar karena memang masih terdapat banyak
advonturier dalam tubuh TNI, dan diantara pasukan APRIS yang datang
menyerbu.

****
C. STRATEGI PERANG GERILYA RMS

Jatuhnya Ambon bersama benteng


Fort Victoria pada tanggal 8
November 1950, merupakan puncak
dari pertempuran yang telah
menimbulkan banyak korban jiwa
dari kedua belah pihak. Dan secara
definitif hal itu telah
menghancurkan kelanjutan
perlawanan RMS. Banyak di antara
elit-elit politik yang membentuk
ataupun mendukung RMS secara
tidak sadar mereka telah termakan
verdeel-en-heerst- politiek (politik
adu domba) yang di terapkan oleh
kolonial Belanda untuk saling
membunuh di antara anak-anak bangsa penghuni gugusan nusantara
ini. Bagi RMS untuk membentuk suatu negara juga waktunya sangat
singkat, dan tanpa melalui suatu proses yang memerlukan waktu
pendalaman yang cukup lama untuk membentuk suatu bangsa. Lagi
pula pengadaan RMS hanya melalui emosi sentimen, dan hanya menjadi
korban impulsif dari kalangan yang tidak meraih kepentingannya.

Pada pertengahan 1951, Komandan pasukan Maluku Letkol Joop F


Warouw diganti oleh Kolonel Soeprapto Sokowati. Letkol J.F. Warouw
ditugaskan kembali ke Manado untuk melanjutkan tugasnya sebagai
Komandan KOPASUMU.

Setelah Ambon di rebut oleh


pasukan APRIS, pucuk pimpinan
Angkatan Perang RMS ( APRMS)
yang tersisa membentuk kekuatan
organisasi militer gerilya.
Organisasi bersenjata ini di pimpin
oleh Kolonel Tahapary sebagai
Panglima, Kolonel W F Sopacua
sebagai Kepala Staf, sementara
Kolonel Nussy dan Kolonel
Sopamena menjabat sebagai staf.
Selain Staf juga mengangkat
Penasehat, yakni Letkol. I.J.
Tamaela. Tetapi perang gerilya
RMS justru menjadi kemahiran Panglima Alx Kawilarang dan perwira-
perwira TNI lainnya waktu melawan pasukan Belanda di Jawa dan
Sumatra. Para gerilyawan RMS di Seram tidak diberi peluang untuk
istirahat dan digempur terus. Akibatnya banyak dari RMS menjadi
korban, terutama di kalangan pasukan dan pucuk pimpinan APRMS.
Juga banyak menteri terbunuh. Sementara Manusama dan Wairizal
melarikan diri ke Papua.

Sementara operasi anti gerilya


dilaksanakan oleh pasukan
APRIS, Kol. Alex Kawilarang
menyempatkan diri untuk
memeriksa keadaan pasukan
anti gerilya dari Batalyon
Matalatta dan Batalyon
Rivai di pulau Seram. Ia
sangat kagum perhatikan cara
mereka bergerak sebagai
pasukan anti-gerilya. Mereka
dilatih oleh Kapten Muskita,
menjadikan pasukan ini
sangat disiplin, dan hebat
dalam menembak. Pasukan ini terus bergerak, dan tidak memberikan
kesempatan pada musuh untuk beristirahat. Kolonel A.E.
Kawilarangpun teringat pada ilmu itu yang pernah dipelajarinya, „Lebih
baik banyak keringat dari pada darah‟. Begitulah cara perang anti-
gerilya. Yang tidak mengetahui ilmu itu, kadang-kadang mereka mau
mengambil jalan pintas, supaya cepat. Padahal di lapangan yang
terbuka, seringkali itu berbahaya. Sebab itu lebih baik mengambil jalan
berkeliling tetapi aman, dan bisa menyerang mendadak daripada
mengambil jalan pintas tetapi terbuka dan gampang ditembak dan
disergap musuh.

Walapun pasukan gerilya


RMS kekuatannya tak
seberapa, namun mereka
selalu berpindah-pindah di
dalam hutan pulau Seram
yang luas dan hutannya
lebat. Hal inilah yang
menjadi kendala bagi
pasukan anti-gerilya APRIS
untuk menjalankan operasi
mencari gerilya RMS di
sana. Keadaan itu tentu
saja akan makan waktu
lama untuk menumpas
sisa-sisa pasukan RMS.
Dimasa berlangsungnya perang gerilya tersebut, pada permulan
November 1951, Kol. Alex Kawilarang di pindahkan tugaskan ke Jawa
Barat untuk menjabat sebagai Panglima TT-III Siliwangi. Sebenarnya
tugasnya belum selesai dan masih berada di Seram, untuk menangkap
gembong RMS, Dr. Chris Soumokil yang masih bertahan dan
menyembunyikan diri di pulau Seram dari kejaran TNI. Namun operasi
pengejaran tetap dilanjutkan oleh pasukan APRIS, yang sesekali terlibat
dalam pertempuran-pertempuran secara sporadis.

****

D. DEMOBILISASI EKS-KNIL PASCA PEMBERONTAKAN RMS

Ketika KNIL dibubarkan


pada 26 Juli 1950.
Kekuatan eks-KNIL sekitar
9000 orang. 4000
diantaranya adalah orang
Ambon (Maluku).
Menunggu demobilisasi
yang diperkirakan akan
memakan waktu beberapa
bulan lagi (sampai April
1951) . KNIL masalah
Maluku itu diberi status
sementara sebagai KL
sehingga dengan demikian mereka masih terikat pada disiplin militer.
Selain itu mereka dikumpulkan di sejumlah asrama yang dikawal oleh
KL Belanda . Upaya demobilisasi itu pada mulanya diperkirakan akan
berjalan lancar. Mereka yang ingin memasuki APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) dipersilakan melakukannya secara
perorangan . Mereka yang ingin kembali ke masyarakat dipersilakan
mencari tempatnya. Persoalan timbul ketika di Indonesia Timur muncul
tuntutan bahwa penggabungan dengan APRIS itu dilakukan secara
kelompok (satuan tentara). Untuk sebagian ini sudah dilakukan di
Makassar (Andi Aziz) dan di Bali. tetapi muncul pula tuntutan agar
selama satu tahun satuan-satuan asal TNI tidak dimasukkan dalam
wilayah Indonesia Timur. Masalah ini an tara lain menim bulkan
"peristiwa Andi Aziz'·. Dengan munculnya RMS padatanggal 2 5 Mei 19
50 sesungguhnya upaya demobilisasi di Maluku Tengah sudah
terganggu. (RZ. Leirissa GA, 1983)

Setelah itu perundingan-perundingan tentang demobilisasi eks-KNIL


pasca pemberontakan RMS, dilakukan oleh pimpinan KL di Jakarta
dengan KSAP KoL. Kol. T.B. Simatupang, namun tidak menghasilkan
jalan keluar yang memuaskan. Pada tingkat lebih tinggi diadakan
perundingan pada tanggal 25 November 1950 antara Perdana Menteri
Beelden dan Mr. Mohammad Roem. Usul agar demobilisasi dilakukan
di Maluku tetapi tidak di Ambon juga tidak dapat diterima . Sementara
itu pihak KNIL Ambon juga bertindak, mereka mengirim sebuah delegasi
dipimpin Aponno untuk memperjuangkan agar demobilisasi tidak
dilakukan di Jawa , satu-satunya altematif yang ada ketika itu. Delegasi
ini mengusulkan kepada Kabinet Belanda agar KNIL didemobilisasi di
Pulau Seram yang ketika itu menjadi pusat pertahanan RMS.

Ketika Pemerintah Belanda menolak tuntutan itu, pada bulan Desember


1950 delegasi tersebut mengajukan permasalahannya kepada
pengadilan di S-Gravenhage (Arrondissements rechtbank). Tuntutan
mereka adalah agar Pemerintah Belanda tidak mendemobilisasi KNIL
Ambon di Ambon ataupun di wilayah lain di Indonesia. Ketua
pengadilan membenarkan serta menerima tuntutan itu dengan alasan
bahwa bekas KNIL itu tidak akan terjamin keamanannya.

****
E. KORBAN AKIBAT PEMBERONTAKAN RMS

Dalam Operasi Militer APRIS


untuk menumpas RMS ini,
banyak korban yang
berjatuhan di kedua belah
pihak. Bgtpn di pihak
APRIS/TNI, beberapa
perwira/prajurit sejati,
pejuang Kemerdekaan gugur
dalam tugas antara lain :
Letnan Kolonel Slamet
Riyadi, Letnan Kolonel
Soediarto dan Mayor Abdulah, mereka gugur tertembak dalam tugas.
Mayor Abdullah meninggal saat memimpin pendaratan; tertembak di
atas kapal oleh peluru RMS pada 25 September 1950 di sekitar Seram.
Setelahnya, pada 28 September 1950, pasukan TNI akan mendarat di
Hitumeseng, dan Letkol Slamet Sudiarto kena tembak saat hendak
keluar dari kapal. Sebulan setelahnya, Slamet Riyadi menyusul.
Tertembak ketika menyerbu benteng Vctoria di Ambon.

Adapun hasil rekapitulasi korban pertempuran dengan RMS di pihak


APRIS adalah sebagai berikut :

GROUP I Komandan Mayor Achmad Wiranatakusumah.


- Batalyon 3 Mei ( KIA 392 )
- Batalyon Lukas Kastardjo ( KIA 262 )
- Batalyon Poniman ( KIA 149 )
Pasukan Tambahan : KIA 398, MIA 43 personil.
GROUP I Komandan Letkol Ign. Slamet Rijadi
- Batalyon Worang ( KIA 260 )
- Batalyon Claporth ( KIA 112 )
- Batalyon Mahmud ( KIA 181 )
- Detasemen Faah ( KIA 193 )
- Detasemen Artileri Medan ( KIA 29 )
- Skuadron Panser ( KIA 62 )
- Zeni Pioneer ( KIA 13 )

GROUP I Komandan Mayor Soerjo Soebandrio.


- Batalyon Tengkorak Putih ( KIA 195 )
- Batalyon 352 Gadjah Merah ( KIA 210 )
- Batalyon Soetarno. ( KIA 189 )
(LBUM V : Ambon)

Dari kalangan perwira gugur antara lain :


1. Letkol Slamet Riyadi
2. Letkol Soediarto
3. Mayor Abdullah
4. Kapten R.R. Andilolo
5. Kapten Soemitro

*****
F. PENANGKAPAN PARA TOKOH RMS.

Setelah pasukan TNI menyerbu ke daerah Ambon Pada tanggal 28


September 1950, dan baru tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah
Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria. Maka dengan
jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, membuat
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada
tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat
pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau
Seram.

Mengenai para pelaku RMS, banyak yang melarikan diri, dan beberapa
diantaranya menteri seperti Gasperz dan Tom Pattiradjawane
menyerahkan diri. Presiden Manuhutu dan beberapa menteri lainnya
bersama beberapa perwira APRMS lainnya melarikan diri ke pulau
Seram melalui Rutung dan Hutumuri untuk melanjutkan perlawanan.
Juga terdapat Wairizal, Soumokil, Manusama, Ohorella, Pesuwarissa,
Henk Pieter dll.

Di dalam hutan Pulau


Seram mereka membentuk
pemerintah perjuangan
dengan susunan: Presiden
Manuhutu, PM Wairizal
merangkap Menteri Dalam
Negeri, Mr. Dr. Soumokil
(Menteri Luar Negeri
merangkap Menteri
Kehakiman), Manusama
(menteri pertahanan),
Ohorella (Menteri
Sandang-pangan) , G H
Apituley (Menteri Keuangan), M A Tetelepta (Menteri Pendidikan, Z
Pesuwarissa (Menteri penerangan dan sosial), dokter M Haulussy
(Menteri kesehatan) dan Henk Pieter (Menteri Lalu-lintas dan
pengairan).

Pada tahun 1952, J.H Munuhutu yang tadinya menjabat sebagai


presiden RMS tertangkap di pulau Seram, kemudian diadili dalam
persidangan militer di Yogjakarta. Sementara itu sebagian pimpinan
RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS
kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan
pemerintahan di pengasingan (Government In Exi
le).
Pemberontakan ini berhasil
digagalkan secara tuntas
pada bulan November 1950,
sementara para pemimpin
RMS mengasingkan diri ke
Belanda. Pada 1951 sekitar
4.000 orang Maluku Selatan,
tentara KNIL beserta
keluarganya (jumlah
keseluruhannya sekitar
12.500 orang), mengungsi ke
Belanda. pada hal menurut
keputusan KMB bekas
tentara Belanda itu harus
didemobilisasi di tempat yang mereka pilih , yaitu tempat asal mereka
atau di Jawa.

Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang tertangkap
akhirnya dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim
menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
1. J.H Munuhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
2. Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di
jatuhi hukuman 5 Tahun
3. D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi
hukuman 4 ½ Tahun
4. J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi
hukuman selama 4 ½ Tahun
5. G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi
hukuman selama 5 ½ Tahun
6. Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi
hukuman selama 4 ½ Tahun
7. J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi
hukuman selama 5 ½ Tahun
8. D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi
hukuman selama 5 ½ Tahun
9. Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di
jatuhi hukuman selama 3 Tahun
10. F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi
hukuman selama 4 Tahun
11. T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi
hukuman selama 7 tahun
12. D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di
jatuhi hukuman selama 10 Tahun.

Melihat situasi bahwa keberadaan pemerintahan RMS tak dapat lagi


dipertahankan setelah pasukan RMS mengalami kekalahan dari TNI di
berbagai front pertempuran, Dr. Soumokil bersama pengikut lainnya
menyingkir masuk hutan, dan bertahan di hutan-hutan di pulau Seram
Setelah 12 tahun kemudian yaitu pada 12 Desember 1963, Dr. Chis
Soumokil tertangkap di dekat Wahai, Seram Utara bagian tengah oleh
prajurit-prajurit TNI dari Batalyon Endjo, Siliwangi.

Riwayat petualangan gembong RMS, Mr Dr. Soumokil yang menjadi


penyebab pemberontakan Andi Azis di Makassar dan pemerontakan
RMS, berakhir dengan di jatuhi hukuman mati oleh Mahkmah Militer
Luar Biasa di Jakarta pada 22 April 1964.
(http://www.indonesiamedia.com, Posted on October 21 2010 by Harry
Kawilarang/IM.)

Pada Tahun 1964,


Soumokil dimajukan ke
meja hijau. Selama
persidangan Soumokil
berlangsung, meskipun ia
bisa berbahasa Indonesia,
namun pada saat itu ia
selalu memakai Bahasa
Belanda, sehingga pada
saat persidangan di mulai,
hakim mengutus seorang
penerjemah untuk
membantu persidangan
Soumokil. Pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi
hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966
dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu
di sebelah Utara Kota Jakarta.

****
G. PEMERINTAHAN RMS DI PENGASINGAN

Kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh beberapa tokoh


masyarakat, ditunjang oleh anggota eks KNIL serat sebagian rakyat
Maluku Selatan, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang
oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, dan
mengultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan
berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepada
pemerintah RI, sehingga semua aktifis serta pendukung RMS itu harus
berhadapan dengan kekuatan Pasukan APRIS yang dikirim dari berbagai
batalion tentara dari luar Maluku Selatan, mengakibatkan kekalahan
besar di pihk RMS. Hal ini menyebabkan sebagian besar pendukung dan
simpatisan dan para
pimpinan teras RMS
tersebut, untuk
menghindar kan diri
menuju ke Negeri Belanda.
Mengungsinya para para
pimpinan dan pendukung
RMS ini mendapat bantuan
sepenuhnya dari
Pemerintah Belanda pada
saat itu.
Para pengungsi dari Maluku Selatan di Negeri Belanda

Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk


mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya
dari Pemerintah Belanda, maka sebagian rakyat di Maluku Selatan yang
beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah
ke Negeri Belanda dengan jumlah lebih dari 12.000orang. Pindahnya
sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta,
diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS"., lalu
dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri
RMS dan para
aktifisnya yang tak
sempat melarikan diri
ke negeri Belanda.
Mereka dadili dan
dipanjarakan oleh
pengadilan militer RI,
dengan hukuman berat
bahkan ada yang
dieksekusi Mati.

Pengungsi Maluku tiba di negeri Belanda


Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan
Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri.
Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri
dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini
membuat pemerintahan Sukarno tidak bisa berpangku tangan
menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku Selatan, sehingga
dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan
semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa
Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam
pengasingan . Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS,
para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS
di pengasingan. Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di
pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan
Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992,
selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010
dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.

Para tokoh dan pimpinan RMS di Belanda


membentuk pemerintahan RMS di pengasingan.

*****
H. AKSI DAN TEROR PENDUKUNG DAN SIMPATISAN RMS

Sejak pemberontakan RMS di Maluku dipadamkan, dan sebagian tokoh


RMS mendirikan pemerintahannya di pengasingan-Belanda, terjadi
beberapa aksi teror dan aksi-aksi lainnya, yang mengambarkan bahwa
sisa-sisa RMS masih nampak antara lain :

1. Teror RMS di Negeri Belanda

Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun


1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen
pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda
sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di
Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para
aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan
karena pemerintah Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS.
Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena
pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati
memberikan dukungan sejak semula. Di antara kegiatan yang di lansir
Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS
menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-
Wassenaar.

Selama tahun 70an, teror


seperti ini dilakukan juga
oleh beberapa kelompok
sempalan RMS, seperti
kelompok Komando Bunuh
Diri Maluku Selatan yang
dipercaya merupakan nama
lain (atau setidaknya sekutu
dekat) Pemuda Maluku
Selatan Merdeka. Kelompok
ini merebut sebuah kereta
api dan menyandera 38
penumpangnya di tahun
1975. Ada juga kelompok
sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100
orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50
orang di sebuah kereta api. Namun sejak tahun 1980-an hingga
sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.

2. Aksi pendukung RMS di Indonesia

Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15
dilakukan, diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat
dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah
penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima
penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum
yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku
beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai
propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi
pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004,
ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati.
Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di
bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut,
terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan


keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak
segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den Haag untuk
menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan
menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan
terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi pada tanggal 29
Juni 2007, dimana pada
saat itu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono
sedang menghadiri hari
Keluarga Nasional yang
berlangsung di Ambon,
Maluku. Ironisnya, pada
saat penari Cakalele masuk
ke dalam lapangan, mereka
tidak tanggung-tanggung
untuk mengibarkan
bendera RMS di hadapan
presiden SBY.

Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara tahun 1999-2004, RMS
kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan
dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-
namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan
diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa
itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai
sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.

Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil


menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang
dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan
tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku
menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari
upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat
membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan
bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para
penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian
yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat.
Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki. Beberapa hasil
investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai
Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang
dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.

Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan beragama Islam


dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela
Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh
lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan,
baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha,
semuanya bersatu. Demikian saat ini, RMS dahulu berbeda dengan
sekarang, sudah banyak pendatang-pendatang baru dari daerah
Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah
lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil masyarakat yang
mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda,
yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat
Maluku kontemporer melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai
masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan
keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan
Ambon.

Pada tanggal 24 April 2008, John Watilette perdana menteri


pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa
mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong. Hal
ini dikatakannya dalam acara peringatan 58 tahun proklamasi
kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang
menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat.

Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya


keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur
yang bersedia menyisihkan dananya, bahkan pemerintah Belanda
menganggap bahwa RMS hanya sebagai organisasi kemasyarakat seperti
organisasi kemasyarakatan lainnya yang diatur dalam hukum Belanda.
Kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial ekonomi.
Perdana menteri RMS berkeinginan bahwa Maluku tidak menutup
kemungkinan akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh, walaupun
tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh.

*******
BAB V

PENUTUP

Upaya menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia banyak menghadapi


ujian dan cobaan yang berat yang tidak hanya datang dari kekuatan asing
yang meliputi Sekutu dan NICA, tetapi juga menghadapi berbagai ancaman
dis-integrasi bangsa dari dalam negeri. Namun dengan kesiapan TNI
dengan segala keterbatasannya, mampu membendung setiap ancaman
terhadap Negara.

Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945-1950, merupakan


negara yang penuh gejolak dan goncangan. Pemerintahan tidak stabil,
jatuh bangun kabinet yang dibentuk akibat mosi tidak percaya membuat
program pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik. Menjamurnya
partai politik dengan kepentingan masing-masing, memperparah keadaan
politik Indonesia. Hal ini menimbulkan berbagai gejolak di daerah-daerah
yang menuntut perbaikan nasib. Di lain pihak beberapa kelompok politisi
saling bertikai tentang bentuk negara yang cocok bagi Indonesia, baik dari
golongan federalis maupun dari golongan unitaris.

Setelah KMB, pertentangan ini makin lama makin mengarah pada konflik
terbuka yang berimbas pada bidang militer. Pembentukan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis.
Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS
diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota
KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas
musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka
ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya
anggota TNI ke negara bagian.

Pemberontakan APRA oleh Raymond Westerling dan anggota KNIL-nya


merupakan wujud dari pertentangan ini, Kegagalan atau akhir dari
pemberontakan APRA sendiri memang menyisakan duka karena banyak
anggota APRIS maupun rakyat sipil yang gugur, namun dari adanya
pemberontakan tersebut juga memberikan dampak pemberontakan
APRA positif bagi Indonesia. Sejak adanya peristiwa pemberontakan APRA,
muncul berbagai macam gerakan unitarisme di seluruh wilayah Indonesia.
Hampr semua negara bagian menyatakan diri untuk bergabung kedalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebab itu, pemberontakan RMS seperti halnya APRA dan Andi Aziz,
merupakan pemberontakan yang timbul karena adanya kepentingan
(Vested Interest) , yang merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat
pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk mengontrol
suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka juga
enggan untuk melepas posisi atau kedudukan yang diperolehnya sehingga
sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS, dan Andi
Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau
Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda, yang tidak mau menerima
kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka
kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflik pun terjadi. (Kemendikbud 2017).

Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan RMS-Soumokil memiliki


kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya
RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang
mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status
mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Hal ini merupakan
ancaman disintegrasi bangsa yang harus secepatnya diatasi. Keberhasilan
anggota APRIS/TNI mengatasi keadaan yang membuat masyarakat
semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI.

Namun demikian, dalam menghadapi berbagai konflik dalam negeri,


pemerintah dan TNI menghadapi hal yang dilematis. Disatu sisi mereka
harus menegakkan kedaulatan dan kehormatan negara, di sisi lain,
mereka harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri yang tentu saja
menimbulkan korban jiwa, harta benda dan peradaban.

Memang penyelesaian pertikaian atau konflik seharusnya diselesaikan


melalui cara-cara damai. Bukan dengan kekerasan dan arogansi
kekuasaan dan kekuatan bersenjata yang mengorbankan harta benda dan
jiwa rakyat Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, perang harus dihindari.
Perang merupakan jalan terakhir dan dilakukan jika semua usaha dan
penyelesaian secara damai tidak berhasil. Untuk itu diperlukan kearifan
baik dari pemerintah yang berkuasa maupun rakyat untuk menemukan
jalan terbaik dalam menyelesaikan segala konflik yang terjadi tanpa
mengorbankan rakyat yang tidak berdosa.

Dalam kasus RMS, penyelesaian damai telah dilakukan oleh pemerintah


pusat dengan mengutus misi perdamaian ke Maluku yang dipimpinan dr.J.
Leimena ke Ambon dengan maksud melakukan pendekatan dengan
gembong-gembong RMS. Menteri Republik Leimena di dampingi, ahli medis
dari Surabaya, dr C A Rehatta, Ir Putuhena, dan Menteri Penerangan
Federal, Peloepessy. Namun misi ini gagal akibat penolakan dari Dr. Chs
Sumokil dan para pendukungnya. Penolakan tersebut tidak membuat
Pemerintah Pusat putus harapan. Selanjutnya Pemerintah Pusat
mengirimkan kembali misi perdamaian yang terdiri dari dokter, politikus,
pendeta dan wartawan juga tidak dapat bertemu dengan Chis Soumokil.
Namun misi ini gagal sebelum dilaksanakan karena issu yang tidak
kondusif di Ambon. Hal ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta
yang kurang di awasi.
Selain dari Pemerintah Pusat, misi juga datang dari pihak Kerajaan
Belanda. Pada 8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil
oleh Van Hoogstraten dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel
Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan melakukan evakuasi terhadap
militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda, juga untuk mencegah
agar pasukan pasukan eks KNIL dari Ambon tidak terlibat dengan urusan
Republik Maluku Selatan, yang merupakan instruksi langsung dari
Panglima tentara Belanda di Jakarta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai
Komandan Teritorial Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan
tentara-tentara KNIL asal Ambon agar pasukan pasukan eks KNIL dari
Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, tidak
membawa hasil.

Karena upaya perdamaian tersebut ditolak, akhirnya Pemerintah pusat


memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata untuk
membersihkan gerakan Republik Maluku Selatan tersebut.

Sejak penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan TNI


(APRIS) pantas bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan
mengusir pasukan Belanda yang mencoba kembali untuk menjajah
Indonesia. Merah Putih telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru
untuk selama lamanya. Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh
rakyat termasuk para pejoang gerilya yang telah bahu membahu berjuang
dengan pasukan APRIS. Sebuah fenomena monumental yang mencatat
dengan tinta emas dalam buku sejarah Nasional tentang kebesaran TNI.
Walau bagaimanapun tentara kita pernah jaya dan akan tetap jaya untuk
selama-lamanya. Hal ini antara lain disebabkan karena pucuk
pimpinannya sangat cermat dan memiliki kewaspadaan serta kedalaman
berfikir dalam mengatur strategi.

Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan persoalan main-


main. Tak hanya merupakan masalah di masa lalu. Potensi disintegrasi
pada masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi. Karena itulah kita harus
terus dan selalu memahami betapa berbahayanya proses disintegrasi
bangsa apabila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah
menunjukkan hal tersebut. Pentingnya kesadaran terhadap integrasi
bangsa dapat dihubungkan dengan masih terdapatnya potensi konflik di
beberapa wilayah Indonesia pada masa kini. Kementerian Sosial saja
memetakan bahwa pada tahun 2014 Indonesia masih memiliki 184 daerah
dengan potensi rawan konflik sosial. Enam di antaranya diprediksi
memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta,
Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah. (Kemendikbud, 2017)

Ada baiknya bila kita coba kembali merenungkan apa yang pernah ditulis
oleh Mohammad Hatta pada tahun 1932 tentang persatuan bangsa.
Menurutnya :
“Dengan persatuan bangsa, satu bangsa tidak akan dapat dibagi-bagi. Di
pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat berbagai paham politik, tetapi
kalau datang marabahaya… di sanalah tempat kita menunjukkan persatuan
hati. Di sanalah kita harus berdiri sebaris. Kita menyusun „persatuan‟ dan
menolak „persatuan‟”
(Meutia Hatta, mengutip Daulat Rakyat, 1931).

Konflik bahkan bukan saja dapat mengancam persatuan bangsa. Kita juga
harus menyadari betapa konflik yang terjadi dapat menimbulkan banyak
korban dan kerugian. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana
pemberontakanpemberontakan yang pernah terjadi selama masa tahun
1948 hingga 1965 telah menewaskan banyak sekali korban manusia.
Ribuan rakyat mengungsi dan berbagai tempat pemukiman mengalami
kerusakan berat. Belum lagi kerugian yang bersifat materi dan psikis
masyarakat. Semua itu hanyalah akan melahirkan penderitaan bagi
masyarakat kita sendiri.

Diharapkan bahwa pembinaan terhadap generasi muda terutama kepada


para peserta didik dapat ditingkatkan, terutama dalam pemahaman
tentang pentingnya integrasi bangsa ditegah-tengah kemajemukan bangsa
Indonesia, lepas dari sifat kedaerahan, agama dan budaya yang sempit,
dengan menceritakan kembali sejarah tentang terjadinya disintegrasi
bangsa yang menimbulkan penderitaan rakyat.

Peristiwa pergolakan dan pemberontakan RMS dapat menjadi suatu


pelajaran yang berharga bagi Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia
dalam rangka membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan
bangsa dalam bingkai NKRI.

Bahwa Persatuan dan kesatuan bangsa yang BERBHINEKA TUNGGAL IKA


dalam bingkai NKRI berdasarkan PANCASILA dan UUD 1945 adalah suatu
kekayaan yang tak ternilai harganya, dan merupakan suatu HARGA MATI
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

=====
DAFTAR LITERATUR

o Abdullah, Taufiq (editor), Sejarah Lokal di Indonesia. Jakarta;Gajah Mada University


Press, 1996.
o Abdullah, Taufiq, Lapian, A.B, Indonesia. Dalam Arus Sejarah, Ichtiar Baru van Hove,
Jakarata 2012.
o Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama,
1992
o Agung, Anak Agung Gde, Dari Negara Indonesia Timur Ke Republik Indonesia
Serikat. Yogyakarta : Gajah Mada University Press 1985.
o Anderson, David Charles, Peristiwa Madiun 1948: Kudeta Atau Konflik Internal Tentara,
o Bahar, Safroedin, dan Tangdigiling (ed) Integrasi Nasional: Teori Masalah Dan Stategi.
Jakarta, Ghalia, Indonesia, 1996.
o Bosscher, Dooke dan Berteks Waaldrjk . Ambon : Eer en Schuld Politiek en Pressie
Rand de Republiek Zuid Molukken. Weeps : Van Ho1kema dan Warendoprf 1985.
o Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Tanpa Tahun Dan
Penerbit. Sinar Harapan. 1970,
o Groen . P.M. H. Marsrouten en Dwaalsporen. Het .Vederlands Militair Stra tegish
Beleid in lndonesie, 1945 - 19 50. s-Gravenhage : ADU Uitgeverij 1991.
o Gazalba, Sidi,. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta; Bharatara Karya Aksara, 1981
o George Mc. Turnan Kahin, “Indonesia” , Mayor Goverments of Asia Ithaca,New York:
Cornell University Press, 1959
o Gottschalk, Louis, Understanding History. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto
dengan judul “Mengerti Sejarah” Jakarta: UI Press, 1986.
o Hatta, Moh, Past And Future. Cornell Modern Indonesia Project, 1960,.
o Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jenderal Polisi Datuk Rangkayo Basa: Gubernur
di Tengah Pergolakan (1998)
o Hatipeuw Frans. Dr. Johannes Leimena hary, S.H Hasil Karya dan Pengabcliannya.
Jakarta : IDSN 1982/1983 . 110
o Julius Pour, Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan,1993
o Kaho, J.R Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Fisip-UGM dan
Rajawali Press, 1988.
o Kahim, Audry R.. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan (terjemahan). Jakarta :
Grafiti Press 1990.
o Kaam, Ben Van. Ambon Door de Eenwen. Baarn : Anthos Voek. 1977. Dieter Barsels.
Moluccans in .Eile A Struggle For Ethnic Survival. Publication No. 3 2, Center For the
Study of Social Conflicts. Faculty of Socieal Siences, University of Leiden 1989.
o Kartodirjo, Sartono, 1971. Messianisme Dan Millenarisme Dalam Sejarah Indonesia.
Jogjakarta: Harvey, Sillars Barbara, 1989.
o Kawilarang, Harry, Sejarah Maluku hingga RMS, 2010
o Koentjaraningrat,1993. Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional. Jakarta, UI
Press
o Koesoemahatmadja, 1979. Pengantar Kearah Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Bandung, Bina Cipta
o Kintowihjoyo,1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
o Leirissa R.Z. Jr. Martinus Patuhena. Kary a dan Pengabdiannya. Jakarta : IDSN 1985.
o Leirissa R.Z. Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Jakarta : Lembaga Sejarah
FSUI 1975. Leirissa R. Z. Sejarah So sial di Daerah Maluku . Jakarta : IDSN 1983 /1
984.
o Leirissa GA. RZ, Ohorella P. Suryo Harjono Triana Wulandari, Tantangan Dan
Rongrongan Terhadap Keutuhan -Negara Dan Kesatuan Rl : Kasus Republik Maluku Selatan .
Departemen Pendikikan Dan Kebudayaan Didektorat Jenderal Kebudayaan Didektorat
Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentail Sejarah Nasional
Jakarta 1983,
o Mestika Zed & Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang
(2001).
o Mestika Zed dalam makalah bertajuk DekadePergolakan Daerah: Mendekati Isu-
Isu Konflik Pusat-Daerah dalam Perspektif Pembangunan Nasional Tahun 1950-an (2010)
o Meulen, SJ.WJ. Van Der, 1987. Ilmu Sejarah Dan Filsafat. Yogyakarta, Kanisius
o Muhaimin A Yahya, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia, 1950 -1980,
Jakarta, LP3ES, 1991
o Nasution, A.H. 1984. Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung
o Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 11: Periode Konferensi Meja Bundar (1977)
o Nanulaita I.O. Johannes Lat uharhary, S.H., Hasil Karya dan Pengabdinnya. Jakarta : IDSN
1982/ 1993 .
o Nico Thamiend R. Sejarah, Untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira-Jakarta, 2000.
o Projodikoro, wiryono. 1980. Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta, Dian
rakyat
o Pour, Julius, IGN SLAMET RIJADI Dari Mengusir Kempetai sampai Menumpas
RMS, Gramedia ,2008
o Rahkmat, redi et.all, 1992. Tantangan Dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Dan Kesatuan
Bangsa: Kasus PRRI. Jakarta: Jarahnitra.
o Renier, G,J, 1997. History Its Purpose And Method, diterjemahkan oleh muin umar dengan judul
Metode Dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
o Scott, Peter Dale,1999. CIA Dan Penggulingan Soekarno. Yogyakarta: Lembaga Analisis
Informasi
o Suhardiman, Prof,Dr,SE, Pembangunan Politik Satu Abad, Yayasan Lestari Budaya,1996.
o Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2017)
o Soe Hok Gie. Kisah Penumpasan "RMS " (Gerakan Operasi Militer). Jakarta Mega
Bookstore dan Pusdjarah ABRI.
o Soekamto, Soerjono, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
o Suhadi : Ignatius Slamet Rijadi, Jakarta : P.T. INAL TU, 1976.
o The Liang Gie, 1994, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara RI. Jilid II, Yogyakarta:
Liberty
o The Liang Gie, 1967, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jilid
III, Yogyakarta: Gunung Agung.
o Yoseph Tugio Taher, Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia, 2010,
o Yusnawan Lubis, dkk, Pendidikan Kewargaan Negara, untuk SMA/SMK Kls XI,
KEMENDIKBUD, Jakarta, 2017.
o Tampubolon, L. T. Inplasi dan Kebijaksanaan yang telah dijalankan di Indonesia, 1945-1962,
Skipsi Sarjana EUI, 1965
o Van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan.
o Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan
Resolusi dalam Sistem Hukum di Indonesia (2008)
o Richard Chauvel, Nationalist, Soldiers and Separatist: Ambonese Island from Colonialism
and Revolt 1880-1950, (1990),
o Richard Zakariaz Leirissa, Pemberontakan Republik Maluku Selatan, Prisma 07
Agustus 1978.
o Siwabessy Fr. G.A. Upuleru Memoar Dr. G.A . Siwabessy. Jakarta : Gunung Agung
1879
o Westerling, Raymond Paul Pierre (1952). Mes aventures en Indonesie (dalam bahasa
Prancis). – diterjemahkan dari bahasa Prancis ke Inggris oleh Waverley Root sebagai –
Challenge to terror. London: W. Kimber.
o Yusuf. A. Puar. Peristiwa R epubli k Maluku Selatan. Jakarta : Bulan Bintang. 1956.
o Media Sosial/Internet :
- Iverdixon Tinungki,Sumber: bluezevas.wordpress.commengutip:
http://www.geocities.ws/permesta2004/organisasi.html
- http://www.geocities.ws,redaksi@sulutiptek.com, Juni 2011 © LSM Pendidikan Silo
(NGO) & LSM Pemberdayaan Teknologi dan Perkotaan (NGO), Penanggung Jawab
:Prof.Dr. Fabian J. Manoppo
- Sejarah andi azis kahar muzakkar, faktor penyebab pemberontakan andi azis kahar
muzakkar di makasar , kamis, 23 februari 2012.
- Http://www.virtapay.com/r/rabbanin,pertempuran makassar 1950.
- Dr. Suryadi, MA.Johanes Hermanus Manuhutu: Presiden Pertama „Republik Maluku Selatan‟
(„RMS‟) yang Berkuasa Hanya 8 Hari Saja, 2 Juli 2016 18:06 Diperbarui: 22 Juli 2016
- https://www.dosenpendidikan.co.id, /Pemberontakan PKI Madiun 1948

,
BIODATA PENULIS

Penulis adalah seorang pemerhati sejarah dan budaya


Minahasa dilahirkan di Desa Lansot Kec. Tareran Kab. Minahasa pada
tanggal 17 September 1966 dengan nama lengkap Valry Sonny Henry
Prang. Pendidikan dasar dan menegah ditempuhnya di desa
kelahirannya Rumoong-Lansot. Pendidikan terakhir ditempuhnya di
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial - Institut Keguruan Dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Manado dan lulus pada Tahun 1992.
Ayahnya Johanis Prang adalah seorang pejuang Permesta dengan
pangkat Letnan II (PLTD) dengan jabatan sebagai Wakil Kepala Staff II
Bidang Operasi WK III, pimpinan Overste Wim Tenges, dan sebagai anggota/petugas
Liaison Group Kontak Pos RTP 11 Permesta/TNI yang berkedudukan di Lopana.
Sejak kecil ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita rakyat dari para tua-tua
desanya serta gemar membaca buku-buku cerita rakyat dan cerita mengenai kepahlawanan
para nenek moyang dahulu. Pada tahun 1993 ia merantau ke Jakarta dan bekerja di salah
satu Perusahaan Swasta Nasional di bidang General Insurance (1993 – 2003) dengan
beberapa kali memimpin kantor cabang antara lain di Bandar Lampung, 1994, Semarang
1997, Jakarta, 1998, dan terakhir di Surabaya. 2001-2003. Pada tahun 2000 ia menikahi
seorang gadis asal Wanosobo-Jawa Tengah dan dikaruniai dua orang anak perempuan
yang keduanya lahir di Jakarta, satu orang Putra lahir di Minahasa Selatan. Kemudian pada
Tahun 2014, ia diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara/PNS dilingkungan Pendidikan.
Selama dalam perantauannya di pulau Jawa ia tak meninggalkan kegemarannya
untuk mencari dan membaca buku-buku sejarah –budaya dan cerita-cerita rakyat khususnya
tentang Sejarah–Budaya dan cerita-cerita rakyat diberbagai daerah di Indonesia.
Keprihatinannya muncul ketika kerinduannya untuk membaca buku-buku cerita sejarah-
budaya mengenai tanah kelahirannya Minahasa sangat sulit dijumpai baik di toko-toko buku
maupun diperpustakaan-purpustakaan di tempat dimana ia ditugaskan. Sejak saat itu ia
bertekad untuk menyusun beberapa tulisan mengenai sejarah-budaya serta cerita-cerita
rakyat Minahasa dengan tujuan mengangkat sejarah dan budaya serta cerita-cerita rakyat
Minahasa yang baginya tak kalah dengan sejarah-budaya dan cerita rakyat dari daerah-
daerah lain di Indonesia.
Setelah menikah, ia kembali dari perantauannya pada tahun 2004, ia mulai menulis
buku yang dimulai dari desa kelahiran. Buku pertama ditulisnya mengenai Sejarah Desa
Kelahirannya serta sejarah Injil yang berisi sejarah terbentuknya desa serta budaya, adat
istiadat penduduk setempat yang dahulu pernah hidup serta sejarah masuknya Injil di Tanah
Minahasa. Beberapa tulisan mengenai ulasan sejarah Minahasa pernah juga ditampilkan di
beberapa media surat khabar lokal dan mendapat sambutan yang baik dari para pemerhati
sejarah Minahasa.

Sebagai seorang aktivis LSM, beberapa jabatan organisasi yang pernah


dipegangnya antara lain :
- Ketua Bidang Minat Bakat Senat Mahasiswa FPIPS IKIP Negeri Manado. (1987-1991);
- Pengurus Inti KNPI Kec. Tareran, (1988-1991)
- Ketua Bid. Seni Budaya & Olah Raga KOSGORO Kec. Tareran, (1987-1999);
- Ketua Umum Karang Taruna Desa Lansot. (1992-1995);
- Penggurus Persatuan Keluargaan Marukupan Tareran Di Jakarta (1995-1999).-
- Ketua Rukun Keluarga Besar Dotu J.M. Prang-Kondoj – Tareran. (2007-2010)
- Wakil Ketua FSPSI Bid. Jasa Keuangan & Perbankan Cab. PT. ASWU-Jakarta (1997-
2003)
- Tim Pengamat/ Pemantau SDM pada : Yayasan API-Jakarta, Klif & IHRDP Jakarta
(1998);
- Chairman Executive, Int’l H R D Program, Jakarta. (1997-2003);
- Chairman, Citra Int’l Indonesia, The Int’ HRD Found., Jakarta (2003-2008).
- Ketua Bidang Peng. & Pemb. Generasi Muda DPP Forum Peduli Sulut (2006-sekarang)
- Sekretaris Umum Forum Peduli Pendidikan - Sulawesi Utara.(2006-sekarang)
- Ketua Umum DPP PRAKTISI DAMAI, Prop. SULUT. (2007-sekarang)
- Pengajar Sejarah Indonesia & PKn di SMK Negeri 1 Tareran, (2010-Sekarang).

Anda mungkin juga menyukai