Anda di halaman 1dari 99

1

MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )


Drs. Valry S.H. Prang, 2022
MINAHASA DAN PERKEMBANGANNYA (1950 – 1961)
SUATU TINJAUAN DIBIDANG EKONOMI, SOSIAL, POLITIK PEMERINTAHAN
DAN MILITER

Penulis : Drs. Valry S.H. Prang

Cover Depan : Lukisan karya C.W.M. Van de Velde tentang Panorama


Tondano tahun 1898

Dipersembahkan kepada :
Semua masyarakat Inonesia, khususnya Tou Minahasa dimanapun berada.

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG UNDANG


Dilarang keras menerjemahkan, memfoto-kopi, atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis & Penerbit.

2
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
PRAKATA

Puji Syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan yang penuh kasih sebagai sumber segala
hikmat, pengetahuan dan kebijaksanaan yang oleh kemurahan-Nya maka penyusunan buku
ini dapat kami selesaikan.

Melihat akan minimnya pengetahuan generasi muda tentang perjalanan sejarah


perekonomian masyarakat Minahasa, maka penulis mencoba untuk menyusun buku tentang
dengan Judul :

PEREKONOMIAN MASYARAKAT MINAHASA


DAN PERKEMBANGANNYA
DARI MASA KOLONIAL BELANDA HINGGA PERGOLAKAN PERMESTA

Penyusunan buku ini diambil dari beberapa sumber, yang diilhami dari keinginan dari
beberapa anggota pemerhati Sejarah & Budaya Minahasa yang ingin mengetahui
perkembangan Minahasa sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Memang masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini yang perlu diperbaiki dalam
melengkapi kisah sejarah ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
masyarakat khususnya bagi generasi muda demi kemajuan pembangunan bangsa Indonesia
ke depan.

Tareran, Mei 2022

Penulis

3
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
DAFTAR ISI

PRAKATA .....................................................................` i
DAFTAR ISI ...................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. i

BAB II STRUKTUR PEREKONOMIAN MINAHASA


( PERKEMBANGANNYA DARI JAMAN KOLONIAL BELANDA
HINGGA AWAL PERMESTA )
A. SISTEM EKONOMI KERAKYATAN DI MINAHASA
B. AWAL PELAKSANAAN BUDIDAYA TANAMAN KOPI
C. KOPRA SEBAGAI KOMUNITI UNGGULAN DI MINAHASA
1. Tata Niaga Kopra Jaman Kolonial Belanda
2. Tata Niaga Kopra Jaman Pendudukan Jepang
3. Tata Niaga Kopra Di Awal Kemerdekaan Indonesia
4. Monopoli Tata Niaga Kopra Oleh Pemerintah Pusat
5. Berdirinya Yayasan Kopra Minahasa
6. Peran Pelabuhan Bitung.
D. MASUKNYA MILITER DALAM BISNIS KOPRA

BAB III MINAHASA DI MASA PROKLAMASI PERMESTA ( 1957 )


A. KEADAAN EKONOMI, POLITIK DAN MILITER
B. BERDIRINYA BADAN PERJUANGAN PERMESTA
C. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN MASA PERJUANGAN
PERMESTA
1. Perjuangan Permesta di tingkat nasional
2. Kegiatan Pembangunan oleh Permesta
3. Minahasa Menjadi Pusat Perjuangan Permesta
4. Konggres Pemuda Indonesia Timur
5. Pembentukan Pemerintahan Daerah Sulawesi Utara-Tengah
6. Misi Pemerintah Pusat ke Minahasa
7. Kunjungan Presiden Soekarno ke Minahasa
8. Perjuangan Minahasa Dalam MUNAS & MUNAP
\
BAB IV DAMPAK PEREKONOMIAN MINAHASA MASA PERANG
PERMESTA HINGGA PERDAMAIAN ( 1957 )
A. OPERASI MILITER TNI-PUSAT KE MINAHASA
B. DAMPAK TERHADAP EKONOMI DAN SOSIAL
C. MENUJU PERDAMAIAN

BAB V PENUTUP .....................


LITERATUR ...................................................................
PROFIL PENULIS ...................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................

4
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
BAB I
PENDAHULUAN

Para ahli mengatakan bahwa kebanyakan perang yang terjadi di dunia ini karena faktor
ekonomi. Hal ini tidak terlepas dari manusia sebagai makhluk sosial, sekaligus sebagai
“Makhluk Ekonomi” (homo economicus) yang artinya bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
manusia melakukan berbagai aktifitas seperti bekerja, berdagang, bertani, dan lainnya untuk
memenuhi kebutuhannya yang tak lepas dari manusia yang lain. Aktifitas-aktifitas manusia
tersebut dikenal dengan “Tindakan Ekonomi”. Sebagai Makhluk Ekonomi, setiap manusia
tak lepas kebutuhan dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, kebutuhan dan keinginan adalah
dua hal yang berbeda. Kebutuhan adalah sesuatu hal yang sangat diperlukan manusia,
dimana apabila kebutuhan seseorang atau kelompok tidak dapat dipenuhi, kegiatan dan
kelangsungan hidupnya akan terganggu. Adapun keinginan seseorang atau kelompok orang
tidak mutlak untuk dipenuhi atau diwujudkan, karena tanpa hal itupun, seseorang atau
kelompok orang masih dapat melakukan kegiatan dan melangsungkan hidupnya. (K.
Wardiyatmoko,2002)

Dilihat dari sejarah perjalanan bangsa


Indonesia, khususnya sebelum
terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, tanah bumi ibu
pertiwi sudah berulang kali mengalami
penjajahan oleh bangsa lain, dimana
tindakan penjajahan ini didasarkan
pada faktor ekonomi. Bangsa penjajah
memeras kekayaan yang ada di negeri
ini. Para penguasa kolonial memeras
baik itu kekayaan sumber daya alam
dan sumber daya manusia di negeri ini.
Kedatangan bangsa Eropah yang melakukan perjalanan yang jauh dari negerinya dan tiba di
kepulauan Nusantara karena factor ekonomi, yaitu untuk memonopoli rempah-rempah yang
merupakan komuniti yang sangat diperlukan di tanah Eropah, yang mempunyai nilai jual
yang tinggi seperti emas, oleh sebab itu komuniti ini dikatakan sebagai “Emas Hijau”.
Perburuan emas hijau oleh bangsa Eropah ini telah menimbulkan penderitaan rakyat, baik
akibat peperangan, kerja paksa, kerja rodi serta penarikan pajak yang tinggi. Hal ini
berlangsung hingga masuknya bangsa Jepang.

5
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pendudukan Jepang di Indonesia dengan berlangsungnya Perang Dunia II di kawasan Asia
Pasifik, (1941-1945), Jepang berambisi untuk menguasai negara-negara Asia dan
merebutnya dari negara-negara imperalis barat. Tujuannya selain untuk kepentingan
supremasi (keunggulan dan kekuasaan). Jepang juga menjadikan daerah-daerah di Asia
sebagai tempat untuk menguras sumber daya alam sebagai bahan baku dalam menunjang
industrinya khususnya dibidang militer. Hal ini membawa derita dan kesengsaraan rakyat
yang bahkan melebihi ketika masa Kolonial. Hal ini berlangsung hingga proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Dimasa awal Indonesia merdeka, penderitaan rakyat


belum juga usai. Banyak permasalahan dibidang
politik dan ekonomi yang harus dihadapi oleh
pemerintah pertama Republik Indonesia khususnya
dalam meletakkan dasar kehidupan berbangsa dan
bernegara. Buruknya keadaan ekonomi merupakan
akibat masa kedudukan Jepang ditambah lagi dengan
perang kemerdekaan yang membuat pemerintah tak
dapat berbuat banyak dalam mengatasi krisis
ekonomi tersebut. Hasil produk pertanian dan
perkebunan tidak dapat diexport karena diblokade
pihak Belanda.

Sebagian besar rakyat Indonesia menderita kemiskinan dan kelaparan. Banyak sawah dan
ladang tidak dapat dikelola akibat berkecamuknya perang. Apalagi sebagian besar wilayah
Indonesia telah dikuasai oleh Belanda, menyebabkan pemerintah Indonesia tak dapat berbuat
banyak untuk memperbaiki keadaan tersebut. Berbagai cara pemerintah untuk keluar dari
krisis ekonomi dilakukan, mulai dari program Plan Kasimo yang berisi anjuran untuk
memperbanyak kebun bibit dan padi unggul serta melakukan rekonstruksi dan rasionalisasi
angkatan perang untuk mengurangi beban negara, melakukan nasionalisasi de Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia oleh Menteri Keuangan RI, Mr. A.A. Maramis (1946),
memperlakukan sistem Ekonomi Gerakan Benteng oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo,
kemudian diganti menjadi sistem ekonomi Ali Baba yang diprakarsai oleh Mr. Isqak
Tjokrohadisurjo. Namun semua belum dapat mengangkat krisis ekonomi Indonesia,
apalagi dalam keadaan perang yang sedang menghadapi perjuangan mempertahankan
kemerdekaan terutama Agresi Militer Belanda hingga pengakuan kedaulatan Indonesia
dengan membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah pembubaran RIS dan Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1950, keadaan ini tidak berubah. Hal ini diperparah dengan
munculnya beberapa pemberontakan di berbagai tempat yang menyebabkan tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi tak menentu yang akibatnya dirasakan oleh
rakyat Indonesia di berbagai bidang kehidupan.
6
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Indonesia sampai dengan tahun 1950-an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang
berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah
kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial digantikan dengan sistem pemerintahan
parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan kabinet parlementer pertama pada
November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun
kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak
diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan
sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada masa
Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD Sementara 1950
atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.

Di saat pembubaran RIS luas sekali dukungan


untuk negara kesatuan Indonesia, namun
kebanyakan pandangan politik di Indonesia
masih sangat menginginkan devolusi
(pengurangan) kekuasaan pemerintah. Otonomi
daerah merupakan ciri kunci dari Republik yang
didambakan pada awal tahun 1950-an, suatu
pandangan yang diterima semua pihak, dan
mereka lihat sebagai bahagian utama dari proses
demokrasi. Desentralisasi “diterima sebagai
bagian yang penting dari demokrasi baru
Indonesia.” (Audrey Kahin,2005)

Setelah pembubaran RIS, kebijakan pemerintah mengenai desentralisasi dan pemerintah


daerah kembali pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948. UU
tersebut dan beberapa UU tambahan membentuk tingkat pemerintahan provinsi, kabupaten,
dan desa dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai otoritas
pemerintah setempat.

Fenomena ketidakadilan dalam dimensi sosial politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan
budaya seakan menjadi pemicu utama bagi beberapa daerah yang sejak Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya ingin mandiri dari pemerintah pusat. Selain itu realitas
pemerataan pembangunan baik pada tingkat pusat sampai tingkat daerah juga turut
memancing aksi-aksi protes dari masyarakat. Daerah yang memiliki kekayaan alam yang
luas tetapi pada kenyataannya jauh dari sentuhan pembangunan berkeadilan, bahkan
ironisnya banyak daerah yang kaya akan sumberdaya alam, tetapi tingkat pendidikan dan
kesejahteraan penduduknya relatif masih kurang. Inilah juga yang dirasakan oleh rakyat
Minahasa hingga pecahnya pergolakan Permesta.

*****
7
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
BAB II

STRUKTUR PEREKONOMIAN MINAHASA


PERKEMBANGANNYA DARI JAMAN KOLONIAL BELANDA
HINGGA MASA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA

Sejak dahulu sebelum bangsa Eropah


menginjakkan kaki di tanah Toar-
Lumimuut (Minahasa), penduduk sudah
mengenal sistem bercocok tanam. Selain
mercocok tanam mereka juga menjalani
kehidupan sebagai pemburu binatang
dihutan dan mengumpulkan hasil hutan
seperti rotan dan damar. Kedatangan
bangsa Eropah (Portugis, Spanyol,
Belanda) ke tanah Minahasa, tak lain
untuk mendapatkan hasil bumi Minahasa
terutama Padi/beras sebagai penganti gandum sebagai makanan pokok mereka. Namun
hingga akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, penduduk Minahasa masih berorientasi
pada subsistem pertanian keluarga, artinya mereka bekerja mengolah lahan pertanian hanya
untuk kebutuhan keluarga masing-masing.

Pada dasarnya bahwa Sistem ekonomi masyarakat adat Minahasa dilandaskan dengan azas
kekeluargaan (Wem Senduk, 1998). Sistem yang berlaku secara hukum adat adalah salin
memberikan tanpa mengharapkan pamrih karena pada dasarnya segala kepunyaan milik
suku Minahasa adalah sesuatu yang bersifat reservat kultural (cagar budaya) (Joseph M.
Saruan, 2002).
*****

A. SISTEM EKONOMI KERAKYATAN DI MINAHASA.

Sejak dahulu dalam mengolah kebun/lahan pertanian di Minahasa, penduduk


melaksanakannya dengan sistem Mapalus, yaitu suatu sistem kerja bersama (gotong-
royong) yang kemudian saling balas-membalas satu sama lainnya. Hal ini dilakukan
mengingat beratnya lahan perkebunanan yang akan dikerjakan yang membutuhkan
tenaga banyak orang agar pekerjaan menjadi ringan.

8
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Sistem Mapalus ini merupakan bagian dari Hukum adat Minahasa yang berlaku di
seluruh daratan Minahasa. Sistem ekonomi kerakyatan ini mengharuskan setiap
masyarakat ikut berperan aktif secara berkelompok, untuk menunjang kelangsungan
perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. Kegiatan sosial ekonomi
Mapalus nasyarakat minahasa ini didasari oleh moral adat istiadat yang tinggi karena
merupakan peraturan dasar yang sudah ditanamkan sejak zaman dahulu dan tetap
berlaku sama sampai saat ini dan sebagai suatu organisasi adat yang merupakan bagian
dari sistem kehidupan masyarakat etnis Minahasa secara keseluruhan. Sebagai suatu
organisasi adat, Mapalus memiliki azas kekeluargaan, musyawarah dan mufakat,
kerjasama, persatuan dan kesatuan, dan yang terpenting adalah moralitas agama adat
yakni kepercayaan kepada Empu Wailan Wangko Renga-Rengaan. Mapalus
dilaksanakan berdasarkan keterbukaan, cinta kasih, saling percaya dalam suatu kesatuan
dengan harapan adanya sebuah kebaikan dan kesejahteraan bersama kelompok
masyarakat. Tujuan Mapalus itu sendiri adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh anggota masyarakat dalam suatu prinsip keadilan dalam kedamaian dan
ketentraman di waktu sekarang dan waktu yang akan datang dan dapat diwariskan
kepada anak cucu secara turun-temurun. Tempat pelaksanaan kegiatan Mapalus dapat
dimana saja dan kapan saja, dengan memperhatikan kegunaan dan efektivitas dari
pelaksanaan Mapalus tersebut. (Lesza L. Lombok, 2014)

Secara umum, Mapalus adalah nama


atau sebutan untuk satu bentuk
kegiatan sosial ekonomi masyarakat
Minahasa dalam bidang usaha
pertanian, perumahan, dan lain - lain.
Pada hakekatnya, mapalus merupakan
sebuah sistem, prosedur, metode atau
teknik kerjasama untuk kepentingan
bersama dan masing – masing anggota
secara bergiliran.Mapalus adalah suatu
bentung gotong royong tradisional
yang mempunyai perbedaan dengan
bentuk-bentuk gotong royong modern
seperti perkumpulan, asosiasi usaha atau bentuk sejenis lainnya.Sebagai suatu bentuk
kegiatan usaha, Mapalus dapat dikatakan sebagai suatu organisasi karena ada yang
emngatur, ada yang diatur, ada yang membuat, memiliki tujuan, dan ada
aturanaturannya.Yang mengatur dan diatur adalah masyarakat itu sendiri dengan aturan
yang dibuat oleh kelompok itu sendiri untuk suatu kegiatan usaha demi untuk
kepentingan kelompok itu juga. (Lesza L. Lombok, 2014)

*****

9
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
B. AWAL PELAKSANAAN BUDIDAYA TANAMAN KOPI

Perubahan orientasi penduduk Minahasa dalam mengolah lahan pertanian dimulai pada
abad ke-19, manakala pemerintah Hindia Belanda mendorong komersialisasi hasil
pertanian berupa kopi yang kemudian Kelapa (Kopra). (Van den End & J. Weitjen). Di
masa kolonial Belanda, tanaman kopi ini menjadi produk istimewa dalam perekonomian
rakyat Minahasa, walaupun hasilnya sebagian besar hanya dinikmati oleh penguasa
Belanda yang menerapkan tanam paksa
kepada penduduk. Sebelum sistem tanam
paksa diberlakukan, penduduk Minahasa
telah melakukan penanaman kopi yaitu
sejak tahun 1769, yang dipengaruhi oleh
kebiasaan minum kopi orang Eropah yang
kemudian menjalar kebiasaan tersebut
kepada penduduk pribumi. Oleh sebab itu
penjualan kopi menjadi hal yang
menguntungkan, terutama kalau dijual di
kota Manado Penanaman kopi di Minahasa dilakukan dengan mengikuti pola
penanaman kopi di Priangan-Jawa barat yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda setelah pencobaan perkebunan kopi oleh VOC di sekitar Batavia tidak berhasil.
Karena monopoli perkebunan-perkebunan kopi di Priangan-Jawa barat tersebut
mendatangkan keuntungan yang besar, maka pemerintah kolonial Belanda menerapkan
juga di Minahasa serta daerah-daerah lain seperti di Sumatera dan pulau Jawa lainnya.
(L.Z. Leirissa, 1997).

Pelaksanaan tanam paksa mulai di terapkan


pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
Johannes Van de Bosch yaitu dengan
maksud untuk memulihkan perekonomian
Belanda yang memburuk ketika Belgia
memisahkan diri dari Belanda tahun 1830.
Belanda banyak kehilangan lahan industri
sehingga pemasukan negara juga berkurang.
Program ini diberlakukan di tanah jajahan
Belanda termasuk di Hindia
Belanda/Indonesia) terhadap tanaman yang
dapat laku terjual di pasar dunia.

Sesuai dengan keadaan negeri jajahan, maka sistem pananaman harus dikembangkan
dengan memanfaatkan kebiasaan kaum pribumi/petani yang bersifat wajib. Konsep
tanam paksa ini kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel, dimana organisasi dan
10
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
kekuasaan tradisional seperti pegawai bumi putera, kaum priyayi dan kepala desa
diperkokoh kekuasaannya dengan cara diberi hakkepemilikan atas tanah dan hak
istimewa lainnya. Akhirnya para penguasa/pemimpin pribumi menjadi alat kolonial.
Dengan demikian masyarakat umum kehilangan pimpinan mereka sebagai tempat
berlindung di negerinya sendiri. (Sejarah Indonesia, Kemendikbud RI, 2017)

Maka melihat keuntungan yang besar terhadap komuniti kopi di Minahasa, pemerintah
Kolonial Belanda sejak tahun 1822 menerapkan sistem tanam paksa kopi di Minahasa,
dan hal ini baru berakhir sekitar tahun 1899. Tanam paksa kopi di Minahasa berawal di
Remboken yang dilakukan oleh penduduk yang berdiam didataran tinggi sekitar danau
Tondano, menimbulkan kesengsaraan rakyat karena pekerjaan mereka dilakukan dengan
sistem kerja paksa (Hanley). Selain segi negatif dari sistem tanam paksa ini, penduduk
Minahasa mulai terbiasa dengan komersialisasi agraria. Buktinya setelah pemerintah
menghapus pengelolaan agraria, maka rakyat Minahasa melaksanakan sendiri
komersialisasi agraria demi keuntungannya sendiri. (L.Z. Leirissa, 1996).

Dampak lainnya dari pelaksanaan


tanam paksa kopi ini adalah bahwa
cara hidup para petani kopi
Minahasa mengalami perubahan.
Kerja keras mulai tertanam dalam
diri mereka. Banyak desa yang
terpaksa dibagi dua untuk
mendekatkan dengan perkebunan
kopi. Begitupun karena jauhnya
gudang-gudang kopi yang ada,
petani terpaksa harus membawa dan
memikul sendiri hasilnya sampai ke kota-kota pesisir. Hal inilah yang kemudian
membuat pemerintah kolonial membangun gudang-gudang kopi di pegunungan, yang
kemudian diangkut secara profesional ke pesisir untuk di eksport. Walaupun usaha kopi
membawa perubahan, namun daerah-daerah produsen kopi waktu itu terkenal miskin.
(L.Z. Leirissa, 1997).

Salah satu dampak penanaman kopi di Minahasa, yaitu perubahan ekologis, sehingga
Minahasa dalam kegiatan pertanian dibagi kedalam :
1. Wilayah disekitar danau Tondano, menghasilkan kopi, selain itu wilayah ini
diusahakan persawahan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Konsentrasi
penduduk kearah pusat perokonomian ini memunculkan kota-kota baru seperti
Tondano,Kakas dan Lagowan.
2. Wilayah Tonsea yang mencakup hingga penduduk pesisir, daerah ini tidak
terpengaruh dengan sistem tanam paksa kopi, namun menjadi daerah penghasil
Kopra (Kelapa) pada paroh pertama abad ke-20.

11
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
3. Daerah yang terletak ke arah Barat, yaitu daerah yang tidak mengenal bercocok
tanam dengan baik karena struktur tanahnya. Namun pada paroh kedua abad 20,
daerah ini menjadi terkenal karena perkebunan Cengkih Rakyat. (Schouten, 1993, L.Z.
Leirissa, 1997).

Usaha penanaman kopi di Minahasa pada abad 19 hingga awal abad 20 tersebut,
menjadikan Minahasa sebagai salah satu wilayah yang paling penting diantara wilayah-
wilayah kekuasaan Belanda disebelah timur pulau Jawa. (Schouten, 1993)

Perubahan-perubahan dari komersialisme Agraria, selain memunculkan kota-kota baru


di Minahasa, juga dibangun jalan-jalan yang menghubungkan desa dan kota di
Minahasa. Jaringan jalan darat mulai dibangun pada tahun 1853, dan ditingkatkan pada
tahun 1859, sehingga pada rahun 1930an diseluruh Minahasa telah dibangun jalan darat
sepanjang 1.264 km, yang kemudian sangat bermanfaat bagi sistem tanam paksa kopi
walaupun dilakukan dengan cara kerja rodi oleh rakyat sendiri. (L.Z. Leirissa, 1997; Yohanes
Burdam, 2001). Pembangunan sarana dan prasarana ini untuk mendukung sektor ekonomi
dalam membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perkebunan dari daerah
pedalaman kedaerah pesisir/pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke dunia
luar. (Sejarah Indonesia, Kemendikbud RI, 2017)

Krisis ekonomi tahun 1929 dan depresi yang terjadi berikutnya merupakan alasan
pemerintah Hindia untuk melibatkan diri secara sungguh-sungguh dengan budidaya
tanaman gunung. Perkembangan dalam pelibatan itu dilakukan secara bertahap.
Budidaya tanaman kopi, yang pada dekade terakhir abad ke-19 didera penyakit daun,
berkembang kembali setelah tahun 1900. Maka dalam rangka kerja sama ekonomi
antara Belanda dan Hindia-Belanda, pada tahun 1936 dibuat sebuah koffiesteunregeling
(sistem pengaturan bantuan kopi) yang mewajibkan Belanda membeli sejumlah tertentu
kopi dari Hindia-Belanda. Berbeda dengan pembatasan pada produk karet dan teh (dan
juga pada gula!), pembatasan pada kina (1934, yang diperpanjang lagi pada tahun 1938)
bukan lebih bertujuan untuk mempertahankan tingkat harga yang wajar tetapi lebih
untuk menyelaraskan produksi dengan konsumsi: perbaikan teknis memungkinkan
kenaikan produksi yang potensial. (Francien van Anrooij, 2014)

*****

12
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
C. KOPRA SEBAGAI KOMUNITI UNGGULAN DI MINAHASA

1. Tata Niaga Kopra Masa Kolonial Belanda

Memasuki abad ke-20, politik


kolonial memasuki babak baru
yaitu era ”Politik etis”, yang
dipimpin oleh Menteri Jajahan
Alexander W.F. Idenburg, yang
kemudian menjadi Gubenur
Jenderal Hindia Belanda (1909-
1916). Ada tiga program Politik
Etis, yaitu irigasi, edukasi dan
tranmigrasi. Sejalan dengan
politik Etis tersebut, Pemerintah
Kolonial Belanda menerapkan kebijakan
ekonomi yang berbasis pada kapitalisasi barat melalui komersialisasi, sistem
moneter dan komunitas barang. Sistem ini didukung dengan kebijakan pajak
tanah sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
(Sejarah Indonesia, Kemendikbud RI, 2017)

Sistem ini juga diterapkan juga di Minahasa pada awal abad ke-20, dimana
penduduk Minahasa mulai beralih keperkebunan kelapa, yang didorong oleh
kemersialisasi pertanian tersebut. Selain Tonsea, daerah penghasil kelapa lainnya
adalah Amurang, Manado, Tondano serta daerah yang lebih kecil penghasilan
kelapanya seperti Kawangkoan dan Ratahan. Dengan demikian hingga paru
pertama abad ke 20, sekitar 250 desa yang 70 % penduduknya adalah petani
kelapa yang dijadikan kopra sebagai bahan baku eksport yang sangat penting.
(L.Z. Leirissa, 1996).

Kopra merupakan produksi rakyat Minahasa dan menjadi mata pencarian utama
sebagian besar masyarakat petani di Minahasa. Selama periode 1870-1942.
Penelitian tentang pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa dalam
kurun waktu 1870-1942, secara khusus menyoroti struktur pertanian dan pola
pembudidayaan serta sistem perdagangan kopra, dengan menggunakan bahan-
bahan arsip, laporan-laporan sezaman baik yang diterbitkan maupun tidak, serta
literatur yang berkaitan dengan tema tersebut. Hasil penelitian menunjukkan
adanya perubahan pola pertanian di Minahasa karena adanya tuntutan pasar.

13
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Minahasa pada abad ke-17
sampai ke-18 merupakan
lumbung padi bagi daerah
Sulawesi dan Maluku. Adanya
tanaman wajib kopi pada
pertengahan abad ke-19
membuat sebagian petani
Minahasa beralih menjadi
penanam kopi. Kemudian
setelah terjadi boom kopra
sejak akhir abad ke-19 sebagian
petani Minahasa beralih menanam kelapa. Pola perdagangan kopra dilakukan
melalui tiga golongan,yaitu produsen, perdagang perantara, dan pedagang
besar/ekspor. Pola jual-belinya tidak dilakukan di dalam pasar (dalam arti fisik)
secara terbuka tetapi melalui sistem kontrak. Jual beli dengan sistem kontrak ini
lebih merugikan petani. Untuk melindungi petani dari jeratan pedagang perantara
yang sebagian besar dikuasai pedagang Cina, berbagai upaya dilakukan, baik
oleh masyarakat maupun pemerintah, misalnya dengan mendirikan volksbauk
Taa rsea Producferr Verkoop Central,dan yayasan Kopra. (Effendi Wahyono, 1996).

Dalam artikel “ Dinamika Tata Niaga Kopra 1946-1950 “ oleh Hasanuddin


Anwar, menyebutkan bahwa kajian sejarah tentang tata niaga kopra ini hingga
kini belum banyak mendapat perhatian, meskipun disadari bahwa komoditas
kopra menjadi penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia dalam dunia
perdagangan regional dan internasional. Masyarakat daerah Minahasa telah
memahami bahwa kelapa (Cocos nucifera L.) yang dikeringkan menjadi kopra
sejak tahun 1870-an hingga 1970-an, merupakan komoditas utama bagi
kesejahteraan dan kemajuan pembangunan daerah Minahasa. Hal ini terlihat dari
penyebaran budidaya tanaman kelapa hampir di seluruh daerah Minahasa.

Budidaya tanaman kelapa mulai dikembangkan pada akhir abad ke-19, setelah
tingginya permintaan kopra di pasaran dunia membawa dampak bagi masyarakat
Minahasa. Masyarakat Minahasa mulai bergairah menanam pohon kelapa yang
membawa perubahan bagi daerah-daerah pesisir pantai yang diubah menjadi
daerah penanaman pohon kelapa. Minahasa kemudian berkembang menjadi
daerah pemasok kopra. Sejak tahun 1896, Minahasa dan wilayah Karesidenan
Manado lainnya, seperti Gorontalo dan Sangir merupakan pengekspor kopra
keempat terbesar setelah Jawa, Padang, dan Makassar. Munculnya daerah-daerah
produsen kopra menempatkan Hindia Belanda sebagai pengekspor kopra
terbesar di dunia (Wahyono, 1996: 19).

14
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tahun 1930 terdapat sekitar 10 juta pohon kelapa produktif, dan tahun 1939
meningkat dengan jumlah sekitar 21 juta pohon kelapa di Sulawesi Utara.
Statistik ekspor kopra tahun 1928-1939 menunjukkan bahwa rata-rata 103.000
ton kopra diekspor dari Sulawesi Utara (Henley, 2005: 548). Hal ini menunjukkan
bahwa Minahasa menjadi daerah produsen kopra yang cukup diperhitungkan
untuk ekspor kopra ke Makassar dan Singapura sebagai pusat pemasaran kopra.

Pada tahun tahun 1929, Hindia Belanda mengalami Krisis Ekonomi. Hal ini
menimbulkan depresi yang sangat memukul Hindia-Belanda. Ekspor produk
pertanian dan bahan baku merosot tajam. Nilai gulden yang mahal pada saat itu
adalah bencana bagi Hindia. Persediaan menumpuk. Pendapatan baik dari
perusahaan besar barat maupun dari pertanian rakyat Indonesia menurun.
Karyawan dipecat dalam skala besar. Industri Indonesia, terutama masih
merupakan industri rumah, terancam oleh impor besar tekstil Jepang yang
murah. Desa-desa tidak bisa lagi menyerap pengangguran. Pemerintah mendapat
penghasilan yang kurang dari pajak dan penjualan produk pemerintah. (Francien
van Anrooij, 2014)

Sejak krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1929 hingga 1940 ini, telah
membawa dampak bagi perdagangan komoditas kopra dan menyebabkan harga
kopra merosot di pasaran dunia. Hal ini mengakibatkan sejumlah petani
Minahasa menggadaikan kebun-kebun kelapanya kepada para pedagang Cina.
Jatuhnya harga kopra menarik Pemerintah Hindia Belanda kembali memperbaiki
tata niaga kopra, namun tidak banyak mendatangkan hasil akibat masalah
timbulnya perang.

Pada 13 September 1940, Pemerintah Hindia Belanda berusaha mengatasi


masalah kopra dengan membentuk Coprafonds. Lembaga Coprafonds bertujuan
untuk mengatur pembelian dan penjualan kopra, sehingga harga kopra dapat
kembali stabil (Asba, 2007). Kegiatan tata niaga kopra ini berakhir ketika masa
pendudukan Jepang di Minahasa tahun 1942.

2. Tata Niaga Kopra Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, Jepang menerapkan sistem ekonomi perang, yaitu pembatasan,
pengaturan dan penguasaan factor-faktor ekonomi diambil alih seluruhnya oleh
Jepang. Bidang perdagangan termasuk kopra menjadi lumpuh karena kurangnya
persediaan. Hal ini disebabkan, Jepang lebih memilih untuk melipatgandakan
produksi padi.beras sebagai makanan pokok untuk menunjang logistik perang
melawan Sekutu. Oleh sebab itu rakyat dituntut untuk menyetor padi disamping
juga melaksanakan pekerjaan wajib antara lain menjadi Rosmusha bagi
kepentingan bala tentara Jepang. Akibatnya, penduduk tidak mempunyai waktu

15
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
untuk mengolah ladangnya, sehingga rakyat menjadi sengsara karena dimana-
mana timbul kelaparan serta sakit penyakit khususnya kekurangan gizi, belum
lagi akibat bencana alam. Pada masa pendudukan Jepang ini, perdagangan kopra
mengalami kemacetan, akibat lebih banyak perhatian pada kebutuhan pokok
seperti beras untuk perang,

3. Tata Niaga Kopra Masa Awal Kemerdekaan Indonesia

Setelah berakhirnya masa kedudukan


Jepang yaitu pada periode awal
Kemerdekaan Republik Indonesia,
daerah Minahasa dimasukkan dalam
kekuasaan Negara Indonesia Timur
(NIT). Coprafonds kembali diaktifkan
dengan sejumlah masalah dalam
pengolaan kopra. Persoalan utama
adalah kurang bergairahnya petani
kelapa mengolah kopra, pedagang
perantara mengalami kesulitan dalam
pengumpulan kopra, dan harga
pembelian kopra ditentukan oleh
Coprafonds. Coprafonds sebagai lembaga tata niaga kopra yang dibentuk pada
masa kolonial Belanda mengalami program nasionalisasi ke Yayasan Kopra.

Pada 29 Desember 1954, Coprafonds secara resmi dialihkan menjadi Yayasan


Kopra berpusat di Jakarta (Asba, 2007: 216). Pemusatan tata niaga kopra yang
dikendalikan oleh Yayasan Kopra di Jakarta mengalami banyak persoalan bagi
daerah produsen kopra. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah penghasil kopra
mulai kehilangan haknya dalam menentukan tata niaga kopra, dan ekspor kopra
dari Minahasa harus mendapat izin dari Pusat. Muncul kekecewaan dan
ketidakadilan bagi masyarakat Minahasa. (Hasanuddin Anwar, 2018).

Kebijakan Yayasan Kopra mendapat protes dari para petani kelapa, pedagang
kopra, dan veteran di Manado. (De nieuwsgier, 19 Oktober 1954). Kemudian mereka
membentuk Yayasan Kelapa Minahasa yang otonom (De nieuwsgier, 1 Februari
1955), sebagai bentuk persaingan dengan Yayasan Kopra yang dikelola
Pemerintah Pusat. Permasalahan semakin bertambah setelah dibentuknya
organisasi tata niaga kopra yang dikendalikan oleh militer melalui Opsir Pekerja
Istimewa Teritorium VII Wirabuana. Munculnya integrasi Minahasa dalam
pasaran kopra dunia telah menjadi perebutan antara pemerintah pusat, daerah,
dan militer untuk monopoli tata niaga kopra. Akibat persaingan tersebut muncul
penyelundupan dan sistem barter atas nama kepentingan pembangunan daerah.
16
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Dick dalam artikelnya tentang
dinamika ekonomi Indonesia tahun
1950- an menjelaskan bahwa konflik
regional merupakan akibat dari
persaingan daerah dengan pusat
dalam menguasai sumber-sumber
ekonomi yang melimpah di luar
Jawa, seperti kopra, karet, dan
minyak. Begitupula para komandan
militer di daerah yang terlibat dalam
pemanfaatan ekonomi selama masa
revolusi masih ingin berusaha
melanjutkan aktivitas mereka pasca
pengakuan kedaulatan (Bemmelan & Howard, 2011). Tidak mengherankan setelah
periode Kemerdekaan, terjadi perebutan monopoli tata niaga kopra baik oleh
pemerintah pusat, daerah, maupun militer berusaha menguasai tata niaga
sumber-sumber ekonomi terutama komoditas kopra di Minahasa. Kajian tentang
tata niaga kopra di Minahasa dari perspektif sejarah penting untuk mendapatkan
nuansa baru dalam pemahaman sejarah ekonomi di Indonesia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, perlu mendapat kajian khusus untuk memahami
Minahasa sebagai salah satu daerah produsen kopra terbesar di Indonesia. (
Hasanudin Anwar, 2018)

4. Monopoli Tata Niaga Kopra Oleh Pemerintah Pusat

Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, dibentuk pemerintahan Negara


Indonesia Timur (NIT). Daerah Minahasa dimasukkan dalam sistem
ketatanegaraan “federal” NIT, dan menjadi daerah otonom (Gde Agung, 1985). Pada
tahun 1946, pemerintahan NIT menaruh perhatian utama terhadap tata niaga kopra
dengan mengaktifkan kembali Coprafonds sebagai lembaga yang berpusat di
Makassar.

Pada bulan Mei 1946, dibentuk panitia pemantau kopra dan sejumlah pejabat
Coprafonds diutus ke daerah-daerah produsen kopra di Indonesia Timur.
Tujuannya untuk menyelidiki situasi kopra dan mengajak para petani kelapa
kembali mengembangkan kopra sebagai komoditas ekspor (Asba, 2007: 191-192).
Para petani kelapa di Minahasa mulai kembali bergairah mengurus kebun-kebun
kelapanya yang selama masa krisis ekonomi telah diterlantarkan. Jumlah produksi
kopra tahun 1948-1949 mulai mengalami peningkatan. Untuk menarik gairah
daerah produsen kopra agar lebih serius mengembangkan kopra, maka Badan
Perwakilan Sementara NIT menerapkan Undang-Undang Pajak Kopra yang

17
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
bertujuan memberikan tunjangan intensif per tahun (sesuai banyaknya jumlah
ekspor) bagi setiap daerah produsen kopra.

Pada tahun 1948, daerah Minahasa mendapat tunjangan sejumlah f. 1.878.775,


Sangihe dan Talaud f. 599.500, Maluku Utara f. 930.750, Maluku Selatan f.
311.450, Sulawesi Utara f. 643.500, Sulawesi Tengah f. 2.171.500, Flores f.
199.325, dan Sulawesi Selatan f. 225.000 (Najamuddin, 2012). Setelah pembubaran
NIT, dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia tanggal 29 Desember 1949
ditandai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedudukan
administratif Minahasa berubah status karesidenan menjadi kabupaten dengan
ibukota Manado, dan menjadi bagian pemerintahan Propinsi Sulawesi (Kementerian
Penerangan, 1953).

Peralihan sistem ketatanegaraan


mendorong Pemerintah Pusat
mencari sumber-sumber
pendapatan keuangan bagi negara.
Ekspor komoditas kopra menjadi
salah satu sumber utama
pendapatan negara. Berbagai
kebijakan dikeluarkan dalam usaha
meningkatkan keuntungan dari
ekspor kopra. Pemerintah Pusat
mendirikan Koperasi Kelapa guna
mendorong para pengusaha lokal melakukan perdagangan kopra dan
meningkatkan kesejahteraan petani kelapa (Asba, 2007: 208-210).

Dalam usaha monopoli pembelian kopra, Coprafonds bersaing dengan para


pedagang perantara (tengkulak) dan pedagang asing. Keunggulan Coprafonds
dalam pembelian kopra karena mematok harga kopra lebih tinggi dibandingkan
harga pedagang perantara yang harganya lebih rendah sekitar 60 persen dari harga
resmi Coprafonds. Kemudian Coprafonds berhasil menguasai pembelian kopra.
(Kementerian Penerangan, 1953: 455-456). Jumlah kopra dari hasil pembelian
Coprafonds tahun 1950 sejumlah 88.676 ton, tahun 1951 meningkat sebesar
125.354 ton, dan tahun 1952 mengalami penurunan dengan jumlah 97.123. ton
(Kementerian Penerangan, 1953: 378).

Turunnya pembelian kopra tahun 1952 disebabkan sejumlah pedagang asing


membeli kopra dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga dipatok Coprafonds.
Faktor ini disebabkan meningkatnya jumlah permintaan kopra di pasar dunia,
sedangkan jumlah kopra di Jawa mengalami penurunan akibat kurang berkualitas.
Meningkatnya jumlah produk kopra Minahasa menarik para pengusaha lokal dan

18
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
asing mendirikan pabrik-pabrik pengolahan minyak kelapa dan tepung kelapa
(dessicated coconut) di sekitar daerah Tonsea. Di Manado dibangun dua pabrik
pengolahan minyak kelapa, yakni Suco Intra di Paal 2, dan sebuah pabrik milik
Kong Bae Pae dan Tan Bun Kan di Kampung Islam ( Wawancara dengan Lengkong
oleh Hasanudin, 2018)

Pada tahun 1952, dibangun pabrik


tepung kelapa “Sudesco” (Sukur
Dessicated Coconut) di Sukur
(Airmadidi). Sudesco merupakan
pabrik tepung kelapa terbesar di
Minahasa. Awalnya pabrik ini milik
perusahaan Amerika Serikat. Pada
tahun 1953, kemilikan pabrik Sudesco
beralih kepada Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Perekonomian.
Sebagian besar produksi tepung
kelapa di ekspor ke Amerika Serikat
(Kementerian Penerangan, 1953; De
Setelah Coprafonds menguasai tata
nieuwsgier, 6 Februari 1953:2 & 6 Agustus 1956).
niaga kopra, kemudian Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perekonomian
mengeluarkan kebijakan untuk mengambil-alih Coprafonds yang dipusatkan di
Jakarta. Perubahan ini mendapat penolakan dari petani kelapa dan pedagang
kopra.

Pada 9 Oktober 1954, terjadi demonstrasi besar di Manado. Mereka menolak


campur tangan Pemerintah Pusat dalam monopoli tata niaga kopra. Selain itu,
menolak Dana Kopra dari pusat dan menuntut hasil keuntungan kopra dibagi
untuk pembangunan daerah Minahasa (De nieuwsgier, 19 Oktober 1954: 2).
Akibat peristiwa aksi demonstrasi, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS)
mengundang para tokoh masyarakat Minahasa. Pada bulan November 1954,
perwakilan Minahasa memenuhi panggilan DPRS bagian ekonomi. Anggota
delegasi Minahasa terdiri dari A. Ratulangi, Pastor M. Sondaks, Z. Najoan, S
Boolung, dr. Rampen, S. Moningka, H. Warouw, O. Rindo, dan Unsinlangi.

Dalam pertemuan tersebut, pihak delegasi Minahasa memberi alasan tentang


tuntutan aksi demonstrasi bahwa petani kelapa merasa dirugikan oleh sistem
pembelian kopra, terutama harga kopra Minahasa yang dihargai lebih murah.
Walaupun kopra Minahasa mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan kopra
dari Jawa dan Sumatera. Dalam pertemuan tersebut, delegasi Minahasa
mengusulkan agar membubarkan lembaga Coprafonds (Javabode: nieuws, 23
Nopember 1954; Harvey, 1984).

19
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Setelah mengetahui usul dan saran delegasi Minahasa, DPRS bagian ekonomi
membentuk sebuah komisi terdiri dari Mr. Tjung Tin Jan (ketua), Djoko
Sudjono, Andi Gappa, dan Ngurah Rai. Komisi tersebut bertugas membuat
laporan hasil penyelidikan, sehingga pemerintah dan DPRS bagian ekonomi dapat
menarik simpulan apakah Coprafonds harus dipertahankan atau diganti dengan
badan lain. Ketua komisi Tjung Tin Jan menyatakan bahwa komisi segera
melakukan perjalanan observasi ke Makassar, Manado, Maumere (Flores), Endeh,
dan Kupang. Jika diperlukan anggota komisi mengunjungi Kalimantan. Selain itu,
menyelidiki sampai sejauh mana likuidasi Dana Kopra. Jika Dana Kopra harus
dicabut, maka dibentuk badan baru, sehingga memberi manfaat bagi petani kelapa,
daerah produksi kelapa, dan negara.

Anggota komisi mengadakan


pertemuan dengan manajemen
Coprafonds, Federasi Eksportir
Kopra di Sulawesi, Komite Aksi
untuk Pembubaran Coprafonds,
serikat buruh, dan ikatan produsen
minyak kelapa. Hasil pertemuan dan
penyelidikan dilaporkan kepada
Sekretaris Jenderal Kementerian,
Sumarno dan Kepala Direktorat
Perdagangan dan Industri, Sardju
Ismunandar. Setelah melalui berbagai penyelidikan dan rekomendasi dari komisi,
akhirnya disepakati Coprafonds harus dibubarkan sesuai dengan rancangan
Kementerian Perekonomian (Java-bode: nieuws,25 Nopember 1954).

Pada 29 Desember 1954, Coprafonds sebagai lembaga tata niaga kopra secara
resmi diganti oleh Yayasan Kopra yang dipusatkan di Jakarta. Sejak terpusatnya
lembaga Yayasan Kopra mengakibatkan daerah Minahasa kehilangan haknya
dalam menentukan tata niaga kopra. Masyarakat Minahasa menganggap bahwa
keuntungan ekspor kopra dari Minahasa seharusnya diberikan untuk pembangunan
daerah Minahasa, dan bukan lebih banyak dinikmati daerahdaerah yang bukan
produsen kopra atau membiayai proyek-proyek besar di Jakarta. Masyarakat
Minahasa menuntut agar diberi otonomi ekonomi yang luas dan 100 persen hasil
ekspor kopra Minahasa harus dialokasikan ke daerah Minahasa. Ketidakpuasan
kebijakan Pemerintah Pusat menyebabkan daerah Minahasa secara terang-
terangan mengekspor kopra dengan menyelundup dan sistem barter tanpa
diketahui Pemerintah Pusat (M. Saleh Lahader, 28 Januari 195):

20
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Persoalan-persoalan Yayasan Kopra menarik pula perhatian Kabinet Ali
Sastroamidjojo. Mereka mengadakan Dalam sidang Kabinet pada 29 Mei 1956,
hasil keputusan sidang menyetujui penyelesaian masalah Yayasan Kopra menurut
konsepsi dari Menteri Muda Perekonomian untuk melikuidasi Yayasan Kopra dan
diganti menjadi Koperasi Kopra. Persetujuan tersebut berdasarkan pada berbagai
pertimbangan untuk lebih
memperhatikan daerah dan
berdasarkan hasil keputusan
Konferensi Kopra pada 25 Mei
1956. Peralihan lembaga Yayasan
Kopra kepada Koperasi Kopra
berlangsung pada 12 Juli 1956,
bertepatan dengan Hari Koperasi
(Simpo, 30 Mei 1956: 1).

Persoalan tata niaga kopra semakin rumit setelah dibentuknya OPIK TT VII
Wirabuana sebagai organisasi tata niaga ekspor kopra yang dikuasai militer.
Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya kegiatan penyelundupan dan sistem
barter kopra. Ekspor tata niaga kopra yang sebelumnya memberikan kontribusi
ekonomi bagi daerah, berubah menjadi masalah politik akibat perebutan monopoli
tata niaga kopra antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Minahasa, dan
militer. Kemudian muncul tuntutan dari Permesta agar penghasilan dari
perdagangan kopra dibagi 70 persen untuk daerah produsen kopra, dan 30 persen
untuk Pemerintah Pusat (Arsip pribadi M. Saleh Lahade. No Reg. 325). ( Hasanudin,
Dinamika Tata Niaga Kopra Di Minahasa (1946-1958), Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi
Utara, Manado, 2018)

5. Berdirinya Yayasan Kelapa Minahasa

Setelah dibentuk Yayasan Kopra yang diikuti peralihan Kantor besar Yayasan
Kopra di Makassar pindahkan ke Jakarta. Muncul berbagai persoalan dalam
pelaksanaan kegiatan Yayasan Kopra diantaranya, para petani kelapa merasa
kecewa atas penjualan kopra Minahasa harus memiliki izin ekspor, sedangkan di
Jawa, Bali, Sumatra, dan sebagian Kalimantan diperdagangkan secara bebas (De
nieuwsgier, 25 Mei 1956:; Djenaan, 2005).

Selain itu, kekecewaan dan ketidakpuasan para petani dan pedagang kecil terhadap
pemasaran kopra kepada agen lokal Yayasan Kopra hanya dibayarkan dengan
bukti kwitansi pembelian (bon) yang nantinya akan dilunasi. Sering pembelian
kopra berlarutlarut pembayarannya, sehingga sejumlah petani kelapa menjual
kwitansi pembeliannya lebih murah kepada pedagang perantara untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Walaupun Yayasan Kopra menetapkan harga Rp. 130-140

21
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
per kuintal, kemudian di ekspor keluar negeri dengan harga Rp. 210-225 per
kuintal. Namun, sebagian petani lebih tertarik menjual kopra kepada pedagang
perantara yang hanya dihargai Rp. 70±80 per kuintal tetapi dibayar kontan.
Sejumlah petani menjual kopra kepada kapal-kapal asing lebih menguntungkan,
selain mendapatkan uang juga mendapatkan barang-barang import dari kapal asing
(Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 17 Mei 1956; Leirissa, 1991; Djenaan, 2005).

Munculnya berbagai persoalan dan


diskriminasi tata niaga kopra yang
disebabkan kebijakan Pemerintah
Pusat dan Yayasan Kopra atas
ketidakadilan hasil keuntungan ekspor
kopra bagi daerah-daerah produsen
kopra. Walaupun Menteri Ekonomi RI
Mr. Isqak Tjokrohadisurjo
mengharapkan agar Yayasan Kopra
dapat mengurangi monopolinya
terhadap penjualan kopra, sehingga
eksportir nasional lainnya dapat juga
membeli dan menjual kopra. Mr. Isqak Tjokrohadisurjo mengusulkan agar
eksportir nasional bisa diberikan jatah secara khusus minimal 15.000 ton perbulan.
Dari hasi penjualan itu pemerintah berharap dapat memperoleh komisi sebesar dua
persen. Dari hasil dana itu pemerintah bisa mensubsidi petani kelapa minimal Rp.
3 000.000. per tahun ( Saleh Lahade, Reg. No. 325).

Namun kebijakan itu tidak berhasil karena pihak Yayasan Kopra tetap bertahan
sebagai lembaga ekonomi yang memonopoli kopra. Pemerintah Daerah Minahasa
menuntut keuntungan ekspor kopra sebagian besar diserahkan kepada daerah
produsen kopra untuk pembangunan daerah. Kemudian bulan Januari 1955 terjadi
unjuk rasa dan protes dari para petani kelapa, pedagang kopra, dan veteran.
Mereka menguasai kantor dan fasilitas lain Yayasan Kopra di Manado, dan
mereka sepakat mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa (Harvey, 1984: 54).

Pendirian Yayasan Kelapa Minahasa telah membawa pengaruh bagi daerahdaerah


produsen kopra lainnya, seperti Bolaang Mongondow, Gorontalo, Sangir Talaud,
dan Makassar mendirikan yayasan kelapa daerah. Peristiwa unjuk rasa dan
pengambilalihan berbagai fasilitas Yayasan Kopra menimbulkan kekecewaan
Menteri Perekonomian, Prof. Ir. Roosseno. Kemudian Roosseno mengundang
perwakilan Minahasa untuk membahas masalah pengambil-alihan aset Yayasan
Kopra dan pembentukan Yayasan Kelapa Minahasa. Dalam pertemuan, delegasi
Minahasa menuntut Pemerintah Pusat memberi hak otonomi luas kepada
daerahdaerah produsen kopra; daerah Minahasa telah menghasilkan keuntungan

22
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
ekspor kopra sekitar f. 45 juta setahun, dan seharusnya mendapat f. 30 juta untuk
membiayai pembangunan daerah Minahasa; dan apabila masalah tersebut tidak
dapat diselesaikan sebelum tanggal 14 Februari 1955, maka secara resmi
mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa.

Delegasi Minahasa juga


mengundang Menteri Roosseno
pada 7 Februari 1955 untuk
melakukan pertemuan dengan
petani kelapa, pedagang kopra, dan
tokoh masyarakat Minahasa di
Manado (Javabode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
1 Februari 1955: Menteri
2).
Roosseno kemudian ke Manado
untuk menyelidiki aset Yayasan
Kopra dan membahas masalah
Yayasan Kelapa Minahasa. Roosseno melakukan pertemuan dengan para pejabat
sipil, tokoh masyarakat, dan militer. Kemudian mengunjungi beberapa tempat
untuk mengetahui keadaan kopra di Minahasa. Dukungan dari para pejabat sipil
dan perwira militer di Manado, akhirnya pada 14 Februari 1955 Pemerintah Pusat
menetapkan dan mengakui pendirian Yayasan Kelapa Minahasa. Kemudian
dibentuk suatu komite yang bertugas untuk mengurus pengalihan seluruh usaha
dan aset Yayasan Kopra diserahkan kepada Yayasan Kelapa Minahasa. Ketua
komite dijabat Residen Koordinator Wilayah Utara Propinsi Sulawesi, dan
anggotanya terdiri dari Kepala Daerah Minahasa, Walikota Manado, dan Anggota
Dewan Direksi Yayasan Kopra.

Setelah melalui musyawarah, komite memutuskan antara lain penyerahan aset


Yayasan Kopra kepada Yayasan Kelapa Minahasa berupa keuangan, administrasi,
dan aset yang diperlukan untuk daerah (tidak termasuk pabrik Sudesco), tanah,
dan bangunan di Bitung dan Manado digunakan untuk kepentingan umum.
Seluruh hasil keuntungan dari Yayasan Kelapa Minahasa, setelah dikurangi dana
cadangan untuk menstabilkan harga kopra, digunakan untuk kepentingan
pembangunan daerah; dan pembelian harga kopra ditentukan oleh pemerintah
daerah dan Yayasan Kelapa Minahasa (De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 15 Februari-02-1955).

Pendirian Yayasan Kelapa Minahasa secara langsung memberi dampak kerugian


besar bagi Yayasan Kopra, karena sebelumnya perdagangan kopra Minahasa
merupakan sumber ekonomi yang menguntungkan Yayasan Kopra (Harvey, 1984:
54-55). Yayasan Kelapa Minahasa berada dalam kekuatan ekonomi yang memadai

23
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
dengan pendapatan yang lebih menguntungkan daerah. Sekitar 20.000- 25.000 ton
kopra setiap bulan diekspor, di antaranya 8.000-9.000 ton dari Minahasa diekspor
ke Singapura (Harvey, 1984: 102). Hasil keuntungan ekspor dari Yayasan Kelapa
Minahasa digunakan untuk memberi bantuan kepada petani kelapa, dan mendanai
sejumlah proyek pembangunan di daerah, seperti pembuatan jalan, jembatan, dan
sekolah (De nieuwsgier, 6 Agustus 1956: 2).

Setelah Pelabuhan Bitung ditutup


untuk perdagangan luar negeri oleh
Pemerintah Pusat akibat
penyelundupan dan perdagangan
barter. Kondisi ini memberi dampak
bagi Yayasan Kelapa Minahasa
untuk menghentikan ekspor kopra.
Yayasan Kelapa Minahasa
mengalami kesulitan dalam
keuangan, akibat pembelian kopra
dari pedagang kopra dan petani kelapa belum dapat dibayarkan, dan
menumpuknya kopra di gudang-gudang pelabuhan.

Pada bulan Juli 1956, Pemerintah Daerah Minahasa mengambil keputusan dengan
mengizinkan Yayasan Kelapa Minahasa mengekspor kopra 20.000 ton ke
Singapura tanpa sepengetahuan dari Kementerian Perekonomian. Setelah
diketahui kebijakan tersebut dianggap ilegal, maka Kepala Jaksa melakukan
penyelidikan tentang otorisasi yang dikeluarkan pemerintah daerah. Demikian
pula, Kementerian Perekonomian memanggil pejabat Pemerintah Daerah
Minahasa untuk dimintai pertanggungjawabannya. Menurut pihak pemerintah
daerah bahwa pengambilan keputusan adalah langkah darurat untuk
menyelesaikan persoalanpersoalan kopra di Minahasa (Java-bode: nieuws, 8 Oktober
1956).

Pada bulan Nopember 1956, polemik persoalan kopra dibahas oleh Dewan Daerah
Minahasa. Karel Supit (anggota komite penyelidik Yayasan Kelapa Minahasa)
mengecam tindakan Yayasan Kelapa Minahasa yang dianggap boros membayar
13 orang direkturnya dengan gaji yang tinggi, sehingga mempunyai utang
sejumlah Rp. 20.000.000 dari para produsen kopra. Pihak Yayasan Kelapa
Minahasa menanggapi pernyataan Supit dan menyesalkan sistem kerja dewan
dalam penyelesaian persoalan kopra. Tunggakan utang hanya sejumlah Rp.
3.000.000, dan menyalahkan Pemerintah Pusat menutup Pelabuhan Bitung yang
berdampak pada dihentikannya ekspor kopra ke luar negeri (Harvey, 1984).

24
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tahun 1957, Yayasan Kelapa Minahasa kembali bangkit sebagai kekuatan
ekonomi daerah Minahasa. Ekspor kopra mengalami perkembangan pesat setelah
meningkatnya permintaan kopra di Singapura. Keuntungan kopra terbesar berasal
dari perdagangan ekspor kopra ke luar negeri yang diatur oleh Prof. Soemitro
Djojohadikusumo, Boetje Wantania, Mayor Jan Walandouw, dan Nun
Pantouw. Dana hasil keuntungan kopra kemudian didistribusikan kepada setiap
pemerintahan di daerah Minahasa untuk pembangunan berbagai proyek
kepentingan umum, di antaranya pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan,
irigasi, sekolah, dan pembentukan universitas. (Hasanudin, 2018)

6. Peran Pelabuhan Bitung

Pelabuhan Bitung-Minahasa,
merupakan jalur Penyelundupan
dan Perdagangan Barter. Jaringan
geografi sangat mendukung
terbentuknya perdagangan
antarpelabuhan, pulau, dan lintas
benua. Pelabuhan Bitung terletak di
tepian Pasifik (Pacific Rim)
mempunyai akses yang lebih luas
dan jarak yang lebih pendek dengan
kawasan Asia Pasifik. Dari sisi
geostrategis, Pelabuhan Bitung dapat melayani arus perdagangan regional dan
internasional di kawasan Asia Pasifik. Dalam kaitan jalur perdagangan
internasional, jarak dari Singapura atau Hongkong dengan Bitung hampir sama
jaraknya. Para pemilik kapal, makelar, dan pengusaha yang berbasis di Singapura
dan Hongkong meningkat dalam percateran kapal untuk memuat kopra di
Sulawesi (Dick, 2011)

Sebelum Pelabuhan Bitung (pantai timur Minahasa) diresmikan, terdapat tiga


pelabuhan yang cukup besar di Minahasa yaitu Pelabuhan Manado, Amurang, dan
Kema. Selain Pelabuhan Manado, Kema juga banyak dikunjungi kapal
pengangkut kopra dari Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, Halmahera, dan
Bacan. Tingginya harga kopra di Manado menarik para pedagang kopra Maluku
Utara memasarkan kopranya. Faktor ini didukung karena letak Manado dan Kema
berdekatan dengan Pelabuhan Ternate. Kemajuan perdagangan kopra di Minahasa
juga didukung oleh sejumlah maskapai pelayaran kapal rakyat. Salah satunya
adalah maskapai NV. Nocemo berkantor pusat di Manado. Masakapai NV.
Nocemo melayari jalur daerah-daerah produsen kopra, seperti jalur Manado ±
pantai utara Sulawesi ± ToliToli; Manado ± Teluk Tomini; Manado ± Sangihe
Talaud; dan Manado ± Maluku Utara (Kementerian Penerangan, 1953: 378).
25
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada bulan Februari 1953,
Presiden Soekarno meresmikan
pembangunan Pelabuhan Bitung
dengan fasilitas dermaga dan
gudang yang cukup besar.
Pelabuhan Bitung dapat melayani
tiga kapal melakukan bongkar-
muat barang. Posisinya secara
ekonomis cukup strategis karena
terletak di daerah-daerah
produsen kopra (Minahasa,
Sangir Talaud, dan sepanjang
Teluk Tomini). Pelabuhan Bitung
dapat mengekspor sekitar 250.000 ton kopra per tahun, dan 50.000 ton produksi
hasil hutan lainnya. Dibandingkan Pelabuhan Manado hanya memiliki kapasitas
kecil (80.000 ton), dan sulit dikembangkan akibat angin dan ombak yang besar
(De nieuwsgier, 6 Februari 1953: 2). Pelabuhan Bitung berada di teluk yang
terlindung dan merupakan salah satu pelabuhan paling modern di Indonesia (De
nieuwsgier, 11 Agustus 1956).

Setelah Pelabuhan Bitung diresmikan, Pelabuhan Manado dan Kema berangsur-


angsur mengalami penurunan ekspor-impor. Pelayaran lebih banyak beralih ke
Pelabuhan Bitung karena lebih refresentatif dan strategis. Sejak kapal-kapal asing
merapat di Pelabuhan Bitung dengan menurunkan muatan barang-barang luar
negeri dan mengangkut kopra, dirasakan masyarakat sebagai keuntungan
perdagangan bebas, dan mengakui bahwa perdagangan legal atau ilegal semuanya
mendapat perlindungan dari militer. Gambar 2. Kegiatan bongkar muat barang di
Pelabuhan Bitung, 1950-an Sumber: PT. Pelindo IV (Persero) Cabang Bitung,
2017.

Perdagangan barter semakin meningkat setelah masyarakat Minahasa menentang


kegiatan monopoli Yayasan Kopra. Pelabuhan Bitung menjadi pintu gerbang
perdagangan barter dan penyelundupan kopra oleh kapal-kapal asing ke
Kalimantan Utara, Singapura, Taiwan, dan Eropa. Para pedagang Cina dan Inggris
di Kalimantan Utara melakukan barter kopra dengan peralatan militer dan alat-alat
pertanian (Asba, 2007). Setelah diakuinya Yayasan Kelapa Minahasa oleh
Pemerintah Pusat, kegiatan penyelundupan di Pelabuhan Bitung mengalami
peningkatan. Antara bulan Februari sampai April 1956 paling sedikit enam kapal
asing mengangkut 25.000 ton kopra tanpa izin dari Pemerintah Pusat, tetapi
mendapat persetujuan dari kesatuankesatuan militer daerah dengan imbalan

26
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
menerima sejumlah barang import berupa beras, tekstil, mesin, dan kendaraan
(Harvey, 1984).

Salah satu dampak dari penyelundupan dan barter kopra adalah harga beras lebih
murah, dan banyaknya mobil sedan dan jeep melintasi jalan-jalan di Manado.
Menurut catatan resmi di Manado, jumlah kopra yang diangkut oleh kapalkapal
asing dari Pelabuhan Bitung yaitu pada 7 Pebruari 1956, kapal Easterntrade
sejumlah 2.300 ton; 23 Maret, kapal Dorus sejumlah 1.929,9 ton; 29 Maret, kapal
Mina sejumlah 2.075 ton; 2 April, kapal Monica sejumlah 850 ton; 25 April, kapal
Lotte Skow sejumlah 5.000 ton; dan pada 3 Mei terdapat dua kapal mengangkut
kopra yakni kapal Lotte Skow sebanyak 5.000 ton dan kapal Monica sebanyak
850 ton. Pengangkutan kopra oleh kapal-kapal asing belum termasuk yang tercatat
melalui Pelabuhan Manado, Amurang, Belang, dan pelabuhan lainnya di
Minahasa (Simpo, 31 Mei 1956)

Meningkatnya penyelundupan
dan barter kopra oleh kapal-
kapal asing di Pelabuhan Bitung
menyebabkan Andi
Boerhanoeddin (Acting
Gubernur Sulawesi) menyurati
Menteri Dalam Negeri bagian
Biro Politik di Jakarta pada 22
Mei 1956. Dalam isi suratnya
dilaporkan tentang sejumlah
kapal asing melakukan
penyelundupan kopra di Pelabuhan Bitung yaitu Muang Bama, Sout Breeze,
Dorus, Lotte Skow, Sun On, Eastern Trader, Ambouili, Monica, dan de Rozelle
Breeze. Andi Boerhanoeddin mengharapkan agar Pemerintah Pusat segera
mengambil tindakan tegas kepada kapal asing tersebut dengan proses hukum
melalui Jaksa Agung dan Mahkamah Agung (Arsip Propinsi Sulawesi (Rhs), No. Reg.
641). Semakin tingginya kegiatan penyelundupan dan barter kopra melalui
Pelabuhan Bitung menyebabkan Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan tegas
untuk menutup Pelabuhan Bitung bagi pelayaran samudra, pada 1 Juni 1956
(Harvey, 1984).

Keputusan Pemerintah Pusat membawa dampak buruk bagi ekspor kopra


Minahasa, sehingga kopra banyak menumpuk di gudanggudang Pelabuhan Bitung.
Penutupan kegiatan Pelabuhan Bitung juga menjadi pembahasan utama Wakil
Presiden, Moh. Hatta di Manado. Pada awal Juni 1956, Moh. Hatta didampingi
para menteri yaitu Soenarjo, Sudibjo, dan Roesli Abdulwahid melakukan
kunjungan ke Manado untuk menyelesaikan dua isu penting di Minahasa, yaitu

27
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
penyelundupan kopra dan pengangkatan Residen Koordinator Wilayah Utara
Propinsi Sulawesi.

Kedatangan rombongan Wakil Presiden disambut sejumlah poster dari para


demonstran yang menuntut dibukanya kembali Pelabuhan Bitung bagi kapalkapal
asing. Salah satu poster bertuliskan “Penutupan Pelabuhan Bitung memaksa kita
untuk melakukan tindakan illegal” menarik perhatian Hatta. Bahkan ketika
menemui Worang, Hatta menunjukkan poster tersebut. Menurut Hatta bahwa isi
dari poster segera diajukan untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat (Java-
bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 7 Juni 1956 ; 2).

Pertengahan bulan Juni 1956,


kapal Dussedorf berbendera
Jerman merapat di Pelabuhan
Bitung dalam masa penutupan
pelabuhan. Kapal Dussedorf
dicarter oleh Yayasan Kopra Pusat
dan memegang izin khusus dari
otoritas terkait Pemerintah Pusat.
Setelah menurunkan muatan
barangnya berupa kendaraan,
beras, dan tekstil, dan kemudian
mengangkut 6.000 karung tepung
kelapa dari pabrik Sudesco. Pada saat proses pengangkutan tepung kelapa, terjadi
demonstrasi dari para pejabat Pemerintah Daerah Minahasa, partai politik, tokoh
masyarakat, dan organisasi massa. Para demonstran menuntut agar seluruh muatan
kapal kembali dimasukkan ke gudang pelabuhan, sehingga kapal Dusseldorf
meninggalkan Pelabuhan Bitung tanpa muatan barang. Para demonstran kemudian
mengeluarkan ultimatum kepada Pemerintah Pusat agar membuka kembali
Pelabuhan Bitung dalam waktu seminggu, tuntutan itu kemudian disetujui oleh
Pemerintah Pusat (De nieuwsgier, 16 Juni 1956; Nieuwsblad van het Noorden, 18 Juni 1956;
Ricklefs, 2009).

Setelah dikeluarkannya Surat Perintah KSAD No. 1043/KI/56, tanggal 24 Mei


1956 melalui Radiogram; Surat Perintah Panglima/Tentara Territorial VII No. SP.
0158/6-1956 ditandatangani Let.Kol. H.N.V Sumual tentang pelarangan
penyelundupan dalam wilayah Territorial VII (Arsip Propinsi Sulawesi (Rhs), No. Reg.
641); dan sejumlah tuntutan dari masyarakat Minahasa akhirnya Pelabuhan Bitung
dibuka kembali sebagai pelabuhan perdagangan luar negeri berdasarkan Peraturan
Pemerintah, PP No. 17/1956 (De nieuwsgier, 11 Agustus 1956: 1) Sekalipun
Pelabuhan Bitung dibuka kembali, namun beberapa kapal asing tetap melakukan
kegiatan ekspor-impor barang secara ilegal.

28
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada 7 Agustus 1956, kapal Susanne Skow berbendera Denmark dicarter oleh N.V
Kema milik Wantania merapat di Pelabuhan Bitung. Kapal ini memuat barang,
seperti beras, tekstil, bahan-bahan pabrik, dan jenis kendaraan berupa jeep, pickup,
dan ambulance. Menurut laporan Kepala Bea Cukai, Pontoh bahwa muatan
barang dikirim oleh Wantania Morgan Corporation kepada Yayasan Kopra
Minahasa. Kapal Susanne Skow sering merapat di Pelabuhan Bitung dan
mengakut kopra milik Yayasan Kopra Minahasa.

Pada 11 Agustus 1956 memuat 4.600


ton kopra; 31 Agustus memuat kopra
tetapi tidak diketahui jumlahnya; 4
September dilarang memuat kopra
oleh Letnan Sjamsuddin atas
perintah Letkol H.N.V Sumual,
karena tidak mempunyai izin ekspor
ke luar negeri; 23 September
memuat 3.100 ton kopra, namun
sebelum meninggalkan pelabuhan
dihentikan oleh tentara militer.
Laporan Kantor Bea dan Cukai bahwa surat pengangkutan barang tidak lengkap
dan seluruh muatan barang impor disita untuk negara (Arsip Propinsi Sulawesi
(Rhs), No. Reg. 641). Akibat produk kopra Minahasa sebagian besar digunakan
dalam kegiatan penyelundupan dan perdagangan barter kopra ke luar negeri,
membawa dampak terhadap ekonomi Makassar yang disebabkan kekurangan stok
kopra. Sejak bulan Juli 1957, sekitar 10.000 buruh menganggur dan banyak pabrik
minyak kelapa terpaksa ditutup karena kekurangan kopra (Het vrije volk, 8 Januari
1958: 2).

Pada 20 Juni 1957, diselenggarakan Konferensi Kerja Permesta di Gorontalo.


Konferensi dihadiri para tokoh Permesta dan PRRI diantaranya H.N.V Sumual,
D.J Somba, dan Dahlan Djambek. Dalam konferensi, muncul ide pembentukan
propinsi baru. Setelah melalui musyawarah dan akhirnya disepakati membentuk
Propinsi Sulawesi Utara dengan ibukota di Manado. Kemudian mengangkat H.D
Manoppo (Residen-Koordinator Sulawesi Tengah) sebagai gubernur.
Pembentukan Propinsi Sulawesi Utara mendapat dukungan dari partaipartai di
daerah. Partai Masyumi dan Parkindo sebagai partai terbesar di Sulawesi Utara
menyatakan dukungannya karena sesuai dengan aspirasi rakyat di daerah. E.A
Kandou sebagai juru bicara PNI menyatakan partainya telah berjuang selama
bertahun-tahun atas terbentuknya propinsi sendiri. J.A Sondakh dari PSI
menyatakan hal yang baik untuk mendapatkan pengakuan formal dari Pemerintah

29
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pusat atas pembentukan Propinsi Sulawesi Utara, sedangkan dari PSII dan PKI
tidak memberi tanggapan (Harvey, 1984: 97).

Pada tanggal 1 Januari 1958,


Pimpinan Pemerintah di Manado
menyatakan bahwa di Propinsi SUT
[Sulawesi Utara-Tengah] telah
dibentuk jawatan-jawatan tingkat
propinsi mendahului sesuatu putusan
dari Pemerintah Pusat di Jakarta.
Pemerintahan Sulawesi Utara
tersebut dipimpin oleh Gubernur
H.D. Manoppo, bekas Residen
Bolmong. Pangkat Letnan Kolonel
[Overste] resmi disandang oleh
Daniel J. Somba selaku Komandan KDM-SUT terhitung bulan ini.

Pada tanggal 6 Januari 1958, Presiden Soekarno meninggalkan tanah air guna
memulai perjalanan kunjungan kenegaraan ke berbagai negara seperti Jepang,
India, dan negara Asia lainnya. Bersamaan dengan itu, KSAD Mayjen A.H.
Nasution memberikan ceramah di Magelang mengharapkan sebuah dual
role untuk militer: baik untuk kekuatan militer (pertahanan negara) dan organisasi
untuk pengembangan sosial kemasyarakatan (pertahanan kemasyarakatan).
Permulaan dari doktrin "Dwifungsi TNI" (Dwifungsi ABRI).

Suatu konferensi keamanan yang dihadiri perwira senior


dari Jawa dan Indonesia Timur diadakan dari tanggal 7
sampai 9 Januari di Tretes, Jawa Timur. Dari KDM-SST
hadir Letkol Andi Mattalatta, Mayor Her Tasning, dan
Letkol M. Jusuf; KDM-SUT diwakili Mayor Eddy
Gagola, Mayor Wim Joseph, dan Mayor Wim Tenges.
Selain itu, Panglima TT-IV/Diponegoro, Kolonel Soeharto
dalam rapat itu duduk bersebelahan dengan Mayor Wim
Tenges. Dikatakan bahwa Letkol D.J. Somba sakit dan
tidak hadir. Mayjen A.H. Nasution mempertanyakan
kepada delegasi Sulawesi Utara mengenai ketidakhadiran Letkol D.J.Somba, dan
meminta keterangan dimana Letkol Ventje Sumual berada (walaupun ada berita-
berita pers yang mengatakan, ia berada di Sumatera). (Permesta Information Online.
http://www.permesta)

30
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Sementara konferensi keamanan berlangsung, pada tanggal 8 Januari 1958,
Perdana Menteri Ir. Djuanda memerintahkan ADRI, ALRI, AURI dan Jawatan
Pabean untuk menghentikan semua perdagangan barter. Daerah-daerah yang tidak
memenuhi larangan perdangangan barter tersebut diancam akan diblokir.
Selanjutnya pada tanggal 11 Januari 1958, Pemerintah pusat mengeluarkan suatu
pengumuman yang menyatakan tidak sah "semua peraturan dan keputusan baik
yang diambil pejabat militer ataupun sipil di daerah dalam bidang perdagangan
luar negeri yang menyimpang dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah."
Daerah-daerah yang membangkang diperingatkan, jika mereka tidak menaati
ketentuan ini, pemerintah akan mempertimbangkan penghentian subsidi kepada
mereka.

Larangan perdagangan barter ini


mendapat penolakan di Sulawesi Utara,
khususnya dari para perwira militer di
Manado, yang pendukung perjuangan
Permesta. Kepala-kepala berita di surat-
surat kabar menyatakan "Permesta dan
Barter djalan terus!".

Untuk itu, Dewan Perwakilan Minahasa


mengajukan sebuah mosi dan mendesak Pemerintah Pusat agar mengatur
keseimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan undang-undang yang
mengakui keberadaan otonomi daerah (Asba, 2007: 233). Mosi ini sesuai dengan
isi Perjanjian Kinilow 20-21 Maret 1956, bahwa sebelum ada titik temu antara
pemerintah pusat dan daerah, maka sistem barter akan terus dijalankan.
Kekecewaan masyarakat Minahasa terhadap diskriminasi dan ketidakadilan dari
berbagai kebijakan Pemerintah Pusat. Berbagai bentuk ketidakadilan yang
dirasakan masyarakat Minahasa mendorong timbulnya sejumlah aksi protes dan
tuntutan yang puncaknya diproklamirkan Perjuangan Semesta (Permesta).

*****

31
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
D. MASUKNYA MILITER DALAM BISNIS KOPRA

Bagi sebuah negara, militer tentu mempunyai fungsi sebagai garda terdepan dalam
perlingungan terhadap kedaulatan negara. Ketika negara mendapat ancaman dari negara
lain, militer bertanggung jawab untuk melindungi wilayah kedaulatan negara. Saat
Indonesia mulai berdaulat secara de facto pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan sebuah
proses mudah untuk membentuk militernya sendiri. Prosesi pembentukan Tentara
Nasional Indonesia begitu panjang, melalui penggabungan beberapa gerakan, laskar, dan
organisasi militer, baik buatan Belanda ataupun Jepang. Tentunya tiap unsur itu
mempunyai latar belakang dan pandangan yang berbeda-beda. Dilansir dari
dokumentasi Harian Kompas, bahwa diawal tahun 1950-an, campur tangan politik
memang menjadikan persepsi militer terpecah menjadi dua. Ada yang menginginkan
rasionalisasi tentara sesuai fungsi. Di sisi lain, ada juga yang menginginkan tentara tetap
memainkan fungsi ganda, dalam hal ini berpolitik, karena mendapatkan persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Hal ini juga berdampak dengan
munculnya tuntutan untuk membubarkan DPRS. (Kompas.Com, 2015)

Kondisi politik Indonesia pasca-


pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada
1949 memang belum sepenuhnya stabil.
Kabinet yang dibentuk silih berganti
karena munculnya berbagai konflik
politik. Kondisi ini diperparah adanya
sejumlah pejabat yang melakukan korupsi
dan tindakan yang merugikan negara.
Keadaan itu membuat rakyat merasa
geram dan menginginkan percepatan
pemilihan umum untuk mengganti
anggota parlemen. Ketika itu memang
banyak dari anggota militer yang menjadi pimpinan politik. Selain dari ranah militer,
mereka memainkan peran dalam perpolitikan daerah.

Pergolakan di daerah-daerah dipicu selain karena kemelut di tubuh TNI, keadaan politik
dan pemerintahan pasca pemilihan umum yang tidak stabil, juga berpokok pangkal
pada masalah otonomi serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
semakin hari semakin meruncing. Sikap tidak puas daerah tersebut mendapat dukungan
dari sejumlah perwira militer yang bertugas di daerah-daerah, yang merasakan langsung
penderitaan rakyat di daerah tempat mereka betugas.

Awal pergolakan didaerah-daerah sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang


pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat
32
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu
brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB.
Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi
IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan
Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di
wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan
masyarakat yang sangat rendah. (Djoned Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Nogosusanto.
1993)

Kegiatan Militer dalam Penyelundupan


dan Perdagangan Barter Masuknya
militer ke dalam bisnis telah lama
dilaksanakan sampai pada masa
revolusi, sejumlah komandan militer di
daerah melakukan penyelundupan
untuk membiayai anggaran militer
yang tidak mencukupi. Akibatnya,
komandan militer mencari tambahan
dana melalui kegiatan penyelundupan
kopra, karet, kopi dan komoditas
lainnya terus terjadi sepanjang dekade
1950-an.

Kegagalan pembangunan ekonomi sejak akhir tahun 1956, bukan hanya dirasakan
berbagai lapisan dan golongan masyarakat, tetapi juga mengalami kesulitan adalah para
prajurit militer. Kalangan komandan militer kecewa, karena alokasi keuangan bagi
operasioperasi militer dan kesejahteraan prajurit tidak terlaksana sebagaimana mestinya.
Mereka mencari sumber dana dengan cara mengekspor sendiri hasil produksi pertanian
tanpa melalui prosedur atas persetujuan dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat
menamakan kegiatan para panglima tersebut sebagai penyelundupan dan barter (Leirissa,
1991: 12-13).

Kegiatan penyelundupan dan perdagangan barter kopra memberi peluang besar kepada
para panglima teritorial untuk mencari dukungan logistik pada sektor pertahanan dan
keamanan. Kolonel J.F Warouw sebagai Panglima Wilayah Militer Indonesia Timur
mencari dana tambahan untuk membiayai operasi militer dan kesejahteraan prajuritnya.
J.F. Warouw melindungi ekspor kopra melalui berbagai penyelundupan dan barter kopra
(Sutiono, 2000: 777).

Pada akhir bulan Agustus 1954, kapal Cheiplan dan Maung Bama menyelundupkan
kopra dari Pelabuhan Bitung ke Kalimantan Utara setelah mendapat izin dari J.F.

33
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Warouw. Namun dalam pelayarannya, kedua kapal tersebut ditangkap oleh kapal
Angkatan Laut RI yang berpangkalan di Makassar (Harvey, 1984: 22; Asba, 2007: 230).

Pada bulan Agustus 1954, kapal berbendera Republik Rakyat Cina dengan muatan
senjata dari Morotai menuju Pelabuhan Amurang untuk melakukan barter dengan kopra
milik Lourens Saerang (Letnan Satu TNI). Ketika kapal tersebut meninggalkan
pelabuhan berhasil dicegat oleh polisi dan petugas pengawas pelabuhan atas tuduhan
penyelundupan (De locomotief Samarangsch handels- en advertentie-blad, 28 Agustus
1954: 1). Keterlibatan pihak militer dalam penyelundupan kopra terutama kasus
Warouw menjadi berita utama di beberapa media. J.F. Warouw bersama perwira militer
lainnya diperiksa Jaksa Agung, Abdul Mutalib Moro dan pihak Angkatan Darat.

Beberapa perwira militer yang terlibat penyelundupan dimutasikan atau diberhentikan


dari anggota militer, sedangkan J.F. Warouw bebas dari tuntutan dan tetap menjabat
sebagai panglima militer Indonesia Timur (Leirissa, 1991: 15). Kolonel J.F. Warouw
menyatakan bahwa kegiatan penyelundupan telah dilaporkan kepada Kepala Staf
Angkatan Darat dan Menteri Pertahanan. Keterlibatan militer dalam perdagangan barter
dan penyelundupan kopra disebabkan adanya target dari Markas Besar Angkatan Darat
(MBAD) kepada Teritorium VII Wirabuana untuk melakukan operasi militer pada bulan
Desember 1954. Hasil keuntungan penyelundupan dibagi untuk pelaksana langsung
diberikan 5 persen, 45 persen untuk pembangunan daerah, dan 50 persen untuk biaya
operasi militer. Semua hasil penyelundupan di bawah pengawasan dan tanggung jawab
Panglima Teritorium VII Wirabuana (Asba, 2007: 230-231).

Tindakan J.F. Warouw atas


keterlibatan dalam penyelundupan
mendapat dukungan dari masyarakat
Minahasa. Mereka memahami hasil
keuntungan dari penyelundupan dan
barter kopra sebagian diperuntukkan
membiayai proyek-proyek
pembangunan di Minahasa. Pada 9
Oktober 1954 terjadi unjuk rasa dan
demonstrasi di Manado, salah satu
tuntutannya adalah mendukung
tindakan Warouw atas penyelundupan
kopra. Bahkan para demonstran menuntut Kepala Daerah Minahasa, komandan militer
di Manado, dan Walikota Manado bersamasama bertanggung jawab atas hasil
keuntungan dari penyelundupan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat daerah
Minahasa (De nieuwsgier, 19 Oktober 1954).

34
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Setelah Pemerintah Pusat melarang kegiatan penyelundupan dan perdagangan barter
yang dikendalikan oleh TT VII/Wirabuana, kemudian Panglima J.F. Warouw
menyusun sebuah organisasi untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dengan
melegalkan kegiatan barter. Pada 12 Februari 1955, Kolonel J.F. Warouw mengangkat
Mayor M. Saleh Lahade sebagai perwira yang menangani Opsir Pekerjaan Istimewa X
TT VII (OPI X TT VII). Tugas utama Saleh Lahade adalah mengkoordinasi ekspor
kopra di Pelabuhan Bitung dan Morotai untuk ekspor besi tua. Kemudian Saleh Lahade
menghapus kegiatan perjudian kasino di kota-kota besar sebagai pendapatan dana
tambahan (Leirissa, 1991). Pendapatan yang diperoleh OPI X TT VII digunakan untuk
membiayai operasi-operasi militer dan kegiatan sosial ekonomi.

Pada bulan Mei 1956, Kolonel J.F. Warouw memerintahkan Mayor J.M.J (Nun)
Pantouw membuka agen perdagangan bernama Eastern Produce Agency di Singapura.
Pendirian agen dimaksudkan untuk memudahkan penjualan kopra di Singapura (Harvey,
1984: 55). Selain itu, Nun Pantouw mempunyai jaringan perdagangan dengan Andi Selle
(Komandan Batalyon 710) juga menerapkan sistem monopoli perdagangan kopra di
Pare-Pare hingga Majene, (Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sekarang).
Kedua perwira militer juga melakukan ekspor kopra ke Singapura, Tawao, dan Taiwan
sampai pasca Permesta.

Sementara itu ketegangan antara pusat dan


daerah mulai meningkat, baik di kalangan
sipil maupun militer. Hubungan antara
komandan militer di pusat, KSAD
Nasution dengan para komandan militer di
daerah telah mengalami ketegangan.
Penyelundupan dan barter kopra menjadi
sumber pendapatan para perwira militer di
daerah Minahasa, sehingga dengan
pendapatan sumber hasil keuntungan
penyelundupan kopra menuntut otonom
tanpa campur tangan pusat.

Aktivitas penyelundupan dan barter kopra menarik Jaksa Agung, Suprapto melakukan
penyelidikan di Pelabuhan Bitung. Jaksa Agung menyelidiki keterlibatan komandan
militer dan para perwira militer di daerah, terutama peran Kolonel J.F. Warouw dan
Letkol. H.V Worang (Komandan Infanteri Resimen 24). Setelah melakukan
penyelidikan di Bitung dan Manado, Suprapto mengadakan pertemuan dengan Kepala
Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution untuk melaporkan hasil penyelidikan,
dan membahas keterlibatan militer dalam penyelundupan kopra (De nieuwsgier, 21 Juli
1956: 2).

35
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tahun 1956, sejumlah perwira militer yang dituduh terlibat dalam penyelundupan
dan perdagangan barter mendapat sanksi dimutasi dan dinonaktifkan sementara atau
dipecat dari kesatuan militer. Beberapa perwira militer yang dinon-aktifkan adalah
Mayor J.M.J (Nun) Pantouw (Asisten I TTVII/Wirabuana), Letnan Boetje Wantania
(MBAD dan diperbantukan pada TT/III/Siliwangi, Jawa Barat), Lapian, Saraun, dan
Rumengan. Menurut laporan dari Infanteri Resimen 24 bahwa sehubungan Mayor
Nun Pantouw menjabat sebagai Direktur Dewan Yayasan Kelapa Minahasa, maka
untuk sementara dialihkan kepada perwira militer lainnya (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23 Juni1956; Harvey, 1984). H.V Worang
mengeluarkan pernyataan pembelaan atas tuduhan keterlibatan para perwira militer. Isi
pembelaannya dimuat dalam surat kabar “Pedoman Rakyat” tanggal 22 Mei 1956.
Menurut Worang bahwa kegiatan kapalkapal asing dalam pengangkutan kopra adalah
legal. Namun telegram dari Menteri Perhubungan tanggal 17 Mei 1956, No. 139
menyatakan bahwa percateran kapalkapal asing, seperti kapal Mina oleh N.V Indora
dinyatakan ilegal (Arsip Propinsi Sulawesi (Rhs), No. Reg. 641). Perusahaan NV. Indora milik
Laurens Saerang ditunjuk sebagai salah satu perusahaan ekspor kopra oleh Yayasan
Kelapa Minahasa. Hasil keuntungan ekspor sebagian disetor kepada Yayasan Kelapa
Minahasa untuk bantuan kepada petani kelapa dan pembangunan daerah Minahasa (De
nieuwsgier, 6 Agustus 1956).

Pada 13 Agustus 1956, Kolonel J.F.


Warouw melakukan konferensi pers di
Makassar. Warouw mengakui bertanggung
jawab atas seluruh kegiatan
penyelundupan dan barter kopra di
Pelabuhan Bitung. Pokok persoalan dalam
penyelundupan kopra adalah manifestasi
dari bentuk perjuangan daerah, sedangkan
pandangan di pusat menganggap sebagai
daerahdaerah penyelundup kopra. Menurut
Warouw bahwa orang-orang dipusatlah
yang melakukan penyelundupan bukan
rakyat di daerah. Hasil produksi kopra dimanfaatkan Pemerintah Pusat untuk
kepentingan lain, bukan untuk kepentingan daerah produsen kopra (Harvey, 1984).

Selanjutnya pada tanggal 22 Agustus 1956, Kolonel J.F.Warouw telah meletakkan


jabatannya sebagai Panglima Komando TT-VII/Wirabuana dalam rangka pergantian
pimpinan Komando Tentara & Territorium VII/Wirabuana. Serah terima dilakukan pada
23-26 Agustus 1956 Serah-terima antara Panglima TT-VII/Wirabuana - Indonesia
Timur dari Kolonel J.F. Warouw kepada Letkol H.N. Ventje Sumual, Kepala Staf
TT-VII/Wirabuana sebelumnya. Kemudian Kolonel Joop Warouw dipindahkan sebagai
Atase Militer pada Kedubes RI di Peking - Cina.

36
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tanggal 8 September 1956, terjadi penahanan kapal "Susane Skow" di pelabuhan
samudera Bitung oleh Komandan Batalyon 714 Kapten Dolf Runturambi. Hal ini
dilakukan karena surat-surat dari kapal tersebut tidak lengkap sehingga ia
memerintahkan untuk menurunkan mobil-mobil dan mengangkutnya. Hal ini didasarkan
pada radiogram Panglima TT VII pertengahan Juni tahun itu. Penahanan ini segera
dilaporkan kepada Panglima TT VII Let.Kol. H.N.V. Sumual dan Komandan RI-24
Let.Kol. H.V. Worang.

Pada bulan Desember 1956, Mayor D.J.


Somba sebagai Assisten II/Personalia di
TTVII/Wirabuana menggantikan Mayor
H.V. Worang sebagai Komandan Resimen
Infanteri 24 [RI-24] di Manado, karena
Worang saat itu oleh Pemerintah Pusat
diduga terlibat upaya penyelundupan/barter
kopra. H.V. Worang menempati pos barunya
sebagai Komandan Resimen 6
Tanjungkarang, Sumatera Selatan (Harvey,
1984).

=====

37
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
BAB III

PEREKONOMIAN MINAHASA
DI MASA PROKLAMASI PERMESTA
( 1957 )

Pada masa – masa sebelum pemilihan umum tahun 1955,


Indonesia mengalami berbagai perubahan dan ketidak
stabilan politik. Penduduk terbagi ke dalam partai-partai
politik, susana pada disaat-saat akan dilangsungkan
pemilihan umum yang pertama setelah Indonesia
merdeka begitu mencekam. Di Minahasa Sulawesi Utara
juga diperparah dengan munculnya Pasukan Pembela
Keadilan (PPK) yang berkeliaran (Bergorela) dihutan-
hutan di Minahasa yang membuat penduduk ketakutan
dan merasa tidak aman. Begitupun di Sulawesi Selatan,
para pemberontak DI/TII pimpinan Kahar Muzakar,
masih melakukan teror yang meresakan masyarakat.

Pada tanggal 29 September 1955 dilaksanakan pemilihan umum tahap pertama untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dilanjutkan pada pemilihan
umum tahap berikutnya yaitu pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
Konstituante. Keberhasian PKI di pemilu 1955 dan semakin dekatnya golongan komunis
dengan kekuasaan membuat beberapa tokoh dan perwira khawatir Ini yang nanti menjadi
tali penghubung antara kelompok regionalis dengan Amerika Serikat yang sedang
berupaya membendung komunisme. Bahkan Barbara Harvey dalam Permesta :
pemberontakan Setengah Hati (1984), berani berkesimpulan bahwa PRRI bersama
“teman senasibnya”, dua kelompok serupa tapi tak sama ini dibentuk demi membendung
komunisme di Indonesia.

John Foster Dulles, Menteri luar negeri Amerika saat itu sudah sangat cemas melihat
PKI bertambah kuat di Indonesia. Instruksinya kepada Duta besar Allison pada permulaan
tahun 1957 lebih jelas lagi : “ Jangan biarkan Sukarno sampai terikat dengan komunis.
Jangan biarkan dia menggunakan kekerasan melawan Belanda. Jangan dorong
ekstremis-nya. Dan diatas segala galanya, lakukan apa saja yang dapat anda lakukan
agar Sumatera ( pulau penghasil minyak ) tidak sampai jatuh ke tangan komunis “

38
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Dick Howards dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an.
Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa (2011), dinamika ekonomi Indonesia tahun
1950-an menjelaskan bahwa konflik regional merupakan akibat dari persaingan daerah
dengan pusat dalam menguasai sumber-sumber ekonomi yang melimpah di luar Jawa,
seperti kopra, karet, dan minyak. Hasilnya digunakan untuk membiayai anggaran militer dan
sedikit digunakan untuk kebutuhan masyarakat daerah yang tidak dipenuhi negara.

Pemimpin kelompok regionalis di Sulawesi Utara menjalin hubungan niaga illegal dengan
Singapura dalam perdagangan kopra sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.
Kekecewaan orang Minahasa karena pemerintah melakukan monopoli perdagangan kopra.
Hubungan niaga illegal ini mereka sebut dengan pembangunan untuk Indonesia timur.
Begitu juga dengan karet yang dijual secara illegal oleh kelompok regionalis di Sumatera.
(Aris Munandar, 2019).

Kehidupan masyarakat Sulawesi Utara


sebelum terjadinya pergolakan Permesta
sebagian besarnya adalah bertani. Sektor
pertanian yang paling penting di Sulawesi
Utara adalah Kopra, hasil alam ini
merupakan sumber yang sangat menunjang
ekonomi di Sulawesi Utara umumnya.
Sulawesi Utara dalam prospektif regional
maupun internasional berada pada posisi
yang sangat strategis karena terletak di bibir
Pasifik sehingga menjadi lintasan antara dua
benua yaitu Benua Asia dan Australia dan
dua Samudera yaitu Samudera India dan Pasifik. Posisi strategis ini menjadikan Sulawesi
Utara sebagai pintu gerbang Indonesia ke Pasifik dan memiliki potensi untuk menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi dalam AFTA. Komoditi tanaman perkebunan yang potensial di
provinsi ini selain kelapa, juga ada cengkeh, pala, kopi, kakao dan vanilli. Komoditi yang
dihasilkan berupa perikanan laut dan perikanan darat termasuk perikanan umum, tambak,
kerambah dan lain-lain.

Komoditi sekunder yang diunggulkan di Sulawesi Utara yaitu dari sektor industri
pengolahan yang terdiri atas industri kelapa terpadu, industri minyak goreng kelapa, minyak
atsiri, pengolahan kopi, industri makanan dari kacang-kacangan, pengalengan ikan, tepung
ikan dan industri ikan beku. Kini juga tengah dikembangkan teknik-teknik baru dalam
budidaya perikanan laut, meliputi ikan untuk umpan, ikan kerapu, baronang, rumput laut dan
kerang mutiara. Untuk budidaya perikanan darat fokus diarahkan untuk ikan mas dan nila.
Dari sektor industri telah banyak perusahaan yang sudah beroperasi dan menanamkan
modalnya di provinsi ini. Perusahaan-perusahaan ini bergerak dalam bidang industri

39
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
pengolahan makanan, minuman, kayu, hasil tambang, batubara, minyak bumi, gas bumi,
hasil perkebunan, karet, bahan dasar logam, barang galian furnitur dan industri jasa.

Potensi sumber daya perikanan di Sulawesi Utara sangat potensial. Tetapi, hingga sekarang
potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal, terutama di wilayah perairan laut utara
Sulawesi Utara, perairan Teluk Tomini, serta perairan darat di Bolaang Mongodow dan
Minahasa. Pada tahun 1920-an, Tanah Minahasa, sudah menjadi daerah kelapa. Di era ini,
hampir setiap rumah tangga memiliki kurang lebih 50 pohon kelapa. Tonsea merupakan
daerah yang paling subur untuk ditanami kelapa. Kelapa juga banyak ditanam di Manado,
Amurang, Tondano, Ratahan dan Kawangkoan. Fenomena itu terjadi kurang lebih setengah
abad ketika kelapa dibudiyakan secara massal pada tahun 1870-an. (Budi Santoso, dkk, 2005)

*****

A. KEADAAN EKONOMI, POLITIK DAN MILITER

Setelah pemilihan umum dapat dilaksanakan, keadaan kehidupan masyarakat tidak juga
mengalami perobahan. Pemilu 1955 ini yang begitu lama ditunggu-tunggu sebagai
jembatan emas menuju perubahan dan kesejahteraan, ternyata tidak membawa apa-apa.
Kecuali persaingan konflik politik dengan peta yang baru. PKI tampil dengan kekuatan
besar. Hal ini diperparah dengan gagalnya Konstituante hasil pemilihan umum
melaksanakan tugasnya untuk merumuskan UUD baru sebagai penganti UUDS 1950.
Badan pembuat hukum dasar ini dalam sidang-sidangnya selalu diwarnai adanya
benturan antar partai politik dan golongan sebagai akibat semangat mementingkan
golongan sendiri, sehingga kepentingan nasional terabaikan. Hal ini menyebabkan
negara dilanda kekalutan konstitusional, sehingga bisa membahayakan persatuan bangsa
dan stabilitas nasional. Hal ini mulai dirasakan oleh pemerintah pusat gejolak-gejolak
yang terjadi di daerah-daerah terutama di Sumatera dan di Indonesia bagian Timur yang
puncaknya terjadi pergolakan PRRI di Sumatera dan Pemesta di Indonesia bagian timur
khususnya di Minahasa-Sulawesi Utara.

Dibidang militer, pertentangan mulai timbul


berawal ketika pada tanggal 23 Agustus
1956, Mayor Jenderal Abdul Haris
Nasution selaku Kepala Staf Angkatan
Darat mengganti komandan Tentara dan
Teritorium (TT) VII/Wirabuana dengan
Letnan Kolonel Ventje Sumual. Kolonel
Joop Warouw yang bertugas di seluruh
wilayah Indonesia bagian timur. Alasannya,
Kolonel Joop Warouw selaku komandan

40
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
TT VII/Wirabuana mendukung perdagangan kopra dengan pihak asing dan
mengelakkan kebijakan ekspor pemerintah pusat, sehingga uang dari dagang tersebut
dikantungi oleh daerah. Kolonel Joop Warouw kemudian dimutasikan sebagai Atase
Militer Indonesia yang berkedudukan di peking China.

Pergantian panglima daerah militer ini merupakan perjuangan yang sangat tidak mudah
bagi Nasution. Meski ini telah menjual programnya sejak awal menjabat kembali
sebagai KSAD pada November 1955, terlebih kepada Panglima Siliwangi Kolonel A.E.
Kawilarang, dan Panglima Sumatera Utara Kolonel M. Simbolon. Karena sedari awal,
menurut Nasution, ia merasakan sikap ketidaksukaan mereka terhadapnya. Sebetulnya
bukan hanya mereka, masih ada WKSAD Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Sukanda
Bratamanggala, Abimanyu, dan banyak lagi yang tidak puas akan kebijakan dari
KSAD A.H. Nasution.

Akhirnya KSAD A.H.Nasution mendapat akal. Ia melakukan pendekatan langsung


sambil mengajukan pertanyaan taktis: Siapa yang panglima masing-masing usul untuk
menggantikan mereka? Rupanya cara ini secara prikologi terbukti ampuh, karena yang
diganti tetap merasa berdaulat, bahwa penggantinya dialah yang menentukannya. Dan
mereka pun merasa bahwa orang yang akan menggantikannya adalah tetap “orangnya”.
Kol. Maludin Simbolon akan digantikan oleh Kol. Zulkifli Lubis yang dianggap satu
kubu. Lubis mau, karena memang sejak dari dulu ia berniat membereskan DI/TII di
Aceh. Kol. Abimanyu, juga orang sekubu mejadi Panglima Kalimantan. Hanya Kol.
Askari yang diusulkan oleh Kol. A.E. Kawilarang tidak disetujui oleh Kol. A.H.
Nasution. Sampai akhirnya terpilih Kol. Suprayogi untuk TT-V/Jawa Timur dan TT-
IV/Jawa Tengah-Brawijaya dan Diponegoro pun tidak lancar, sebelum akhirnya pilihan
jatuh kepada Kol.Surrachman dan Kol. Soeharto.

Namun demikian, pergantian Panglima


Siliwangi pada pertengahan Agustus
berlangsung tegang, karena sebelumnya
telah terjadi penangkapan terhadap Menlu
Ruslan Abdulgani yang menggegerkan
itu. Ditambah, pemerintah pusat mendapat
laporan analisa intelijen tentang
kemungkinan PM Ali akan dikudeta bila
menghadiri acara serah terima Panglima
Siliwangi di Bandung. PM Ali takut
datang, ia hanya mewakilkan Menteri
Moh. Roem dari Masyumi. Sedangkan serah terima Panglima Sumatera Utara batal
terus, karena Kolonel Zulkifli Lubis tidak pernah datang. Ia sibuk dengan gerakan
politik di Jakarta, sampai akhirnya dinyatakan sebagai buron dan dipecat dari TNI-AD.

41
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Ketika menentang tindakan KSAD Nasution dan PM Ali yang akan membebaskan
Menteri Ruslan dari tahanan, Kolonel Joop Warouw mengancam tidak akan melepas
jabataan Panglima, yang kedati secara resmi dijadwalkan akan diserahkan ke Letkol.
Ventje Sumual antara tanggal 23-25 Januari 1956. Tapi ternyata kemudian Kol. Joop
Warouw menyerahkan juga Komando Indonesia Timur pada Letkol Ventje Sumual,
malahan lebih cepat dari jadwal semua. Serah terima jabatan di Makassar dipimpin
KSAD Mayjen Nasution berlangsung dibawah guyuran hujan deras. (Ventje Sumual 2011)

Pengganti Kolonel Joop Warouw, yaitu Letnan Kolonel H. N. Ventje Sumual, juga
bersimpati dengan tuntutan otonomi daerah. Pada bulan November, ia ikut serta di acara
reuni Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung, di mana saat
itu Mayjen. A. H. Nasution memberi perintah penahanan beberapa kolonel anggota
Dewan Banteng.

Melihat perlakuan komando militer pusat terhadap rekan-rekan


perwira di Sumatera, membuat Letkol Ventje Sumual
menuntut penggantian pimpinan militer di pusat. Sikap ini
membuat Mayjen A.H. Nasution pada bulan Januari dan
Februari 1957, berusaha membujuk para perwira militer di
Sulawesi untuk tidak memberontak seperti di Sumatera.
Melihat situasi Dewan Banteng di Sumatera, Mayjen A.H.
Nasution memberi janji kepada kelompok Ventje Sumual
bahwa ia akan memanggil pulang empat batalion Jawa dari
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Namun Letkol
Ventje Sumual tidak terbujuk, dan setelah ia bertemu dengan para perwiranya di
Makassar, yang kemudian menyatakan keadaan darurat di wilayah Indonesia timur.

Pada tanggal 3 Februari 1957, sekitar 47 organisasi pemuda di Makassar mengadakan


rapat. Mereka sepakat bahwa penyelesaian keamanan di Indonesia Timur serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat harus bisa dilakukan melalui pelaksanaan
pembangunan. Kemudian mereka membentuk organisasi yang mengkoordinasikan
antar-organisasi pemuda yang ada dengan nama Dewan Pemuda Sulawesi, yang
dipimpin presidium dengan badan pekerja untuk tugas harian, yang kepengurusannya
sbb: Presidium : Nurdin Johan, Mustafa Tari, Abdul Chalik, Mattulada, Ismael
Habi, J.B. Rumbayan, G.W. Bawengan, Sekjen: R.A. Daud, Seksi : Indra Chandra,
Abdul Muis, Husein Achmad, Djihan Njompa, Nahariah. (Permesta Information Online.
http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

Keinginan melaksanakan ide otonomi daerah ini, dinilai sangat mendesak. Kemakmuran
dan keadilan pembangunan manusia di Indonesia timur menjadi prioritas. “Sentralistik,
atau menjadikan Jakarta sebagai pusat dalam mengatur daerah, dinilai tidak cukup baik

42
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
dan sulit menjangkau semua lapisan masyarakat,” kata sejarawan Universitas
Hasanuddin, Edwar Poelinggomang (Historia).

Melihat situasi daerah-daerah yang mulai bergejolak, maka dengan alasan ini, Presiden
Soekarno pada tanggal 21 Februari 1957, mengajukan gagasan yang dikenal dengan
Konsepsi Presiden yang pokoknya mengantikan sistem demokrasi parlementer ala
barat dengan sistem demokrasi terpimpin dengan membentuk Kabinet Gotong Royong
dan Dewan Nasional.

Dalam konsepsi ini, presiden juga


mengetengahkan perlu dibentuknya kabinet
kaki empat dengan Nasakom -nya (Nasional,
Agama, Komunis).yakni PNI, Masyumi, NU
dan PKI. Konsepsi ini menimbulkan
perdebatan dikalangan masyarakat dan dalam
DPR. Beberapa partai seperti Masyumi, NU,
PSII, Partai Katolik, dan PIR tidak menyetujui
karena perubahan sistem pemerintahan adalah
wewenang Konstituante. Namun Mahkamah
Agung RI pada tanggal 12 Maret 1957,
menyatakan bahwa Konsepsi Presiden tentang Konstitusi Kabinet Kaki Empat tidak
menyalahi Undang Undang Dasar.

Dengan dikeluarkannya konsepsi presiden ini, gaya berpolitik dan kebijakan Soekarno
semakin condong ke arah kiri, blok timur, Peking di Cina dan Moskow di Russia. DN
Aidit, Lukman dan Njoto, para pimpinan PKI semakin mendapat tempat di
pemerintahan, dan menjadi orang orang kepercayaan Soekarno. Hal inilah yang
mempersulit upaya negosiasi untuk rekonsiliasi antara pemerintah dengan para perwira
dan tokoh-tokoh di daerah yang bergolak yang anti PKI. Para pejuang di daerah tak
dapat berbuat banyak, karena Presiden Soekarno dikelilingi oleh orang-orang yang pro
PKI. Muh. Hatta yang diharapkan untuk tampil membela kepentingan daerah, tidak lagi
memegang kekuasaan pemerintahan karena mengundurkan diri. Kabinet yang
dibentukpun, tak dapat berbuat apa-apa tanpa restu dari Presiden Soekarno.

Kekisruhan dibidang politik dan pemerintahan ini sangat berdampak pada keadaan
ekonomi dan pembangunan daerah-daerah di Indonesia yang semakin memprihatinkan.

***

43
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
B. BERDIRINYA BADAN PERJUANGAN PERMESTA

Pada awal tahun 1957, pimpinan daerah


di Makassar baik dari pemerintah dan dari
militer mengunjungi Jakarta. Pada bulan
Januari 1957, Letkol Muhammad Saleh
Lahade dan Mayor Andi Muhammad
Jusuf bertemu dengan KASAD Jenderal
Abdul Haris Nasution. Pada waktu itu,
Lahade adalah Kepala Staf Komando
Pengamanan Sulawesi Selatan Tenggara
(Ko-DPSST), sedangkan M. Jusuf adalah
Komandan Resimen Infanteri Hasanuddin
(RI-Hasanuddin). Kemudian pada bulan
Februari, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani bertemu dengan Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo dan Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo. Andi Pangerang
Pettarani mendesak pemerintah pusat untuk mengupayakan otonomi yang lebih besar
untuk daerah di Indonesia timur. Selain otonomi yang lebih besar untuk tingkat daerah,
juga pembagian pendapatan pemerintah yang lebih banyak untuk daerah guna
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan lokal. Sedangkan perwakilan militer dari
Makassar berusaha mendesak pimpinan TNI Angkatan Darat (TNI-AD) untuk
mendukung hal-hal yang sama yaitu otonomi daerah yang lebih besar dan pembagian
pendapatan yang akan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. Selain itu,
mereka juga meminta agar Ko-DPSST yang berada di bawah naungan langsung dari
Markas Besar TNI-AD (daripada di bawah Tentara dan Territorium VII (TT-VII) yang
bermarkas di Makassar) segera digantikan dengan sebuah Komando Daerah Militer
(KDM).

Diantara tanggal 10 - 18 Februari 1957, terbentuk Dewan Manguni di Sulawesi Utara,


atas inisiatif Kapten G.K. Montolalu, dan kawan-kawan. Pimpinannya terdiri atas :
Ketua : Henk L. Lumanauw. Sekretaris: Jan Torar, Anggota: Hein Montolalu &
A.C.J. (Abe) Mantiri (direktur Pelayaran Rakyat Indonesia di Manado), disusul dengan,
diselenggarakan reuni tokoh tokoh PKRS di Kantor Pembangunan Daerah pada tanggal
19 Februari 1957, yang dihadiri lebih kurang 19 orang yang berhasil membentuk wadah
perjuangan baru yaitu Pusat Konsentrasi Tenaga untuk Keselamatan Rakyat Sulawesi
(disingkat Konsentrasi Tenaga), serta hasil sidang Dewan Pemuda se-Sulawesi yang
mengadakan sidang sekali lagi pada tanggal 20 Februari 1957, menyetujui garis
pimpinan organisasi dan suatu program terperinci mengenai politik, ekonomi, dan
kebudayaan. Pokok pertama program itu adalah suatu tuntutan akan otonomi seluasnya.

44
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada keesokan harinya tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno mengemukakan
konsepsinya yang dikenal sebagai "Konsepsi Presiden Soekarno" atau "Konsepsi
Presiden" yang isinya adalah menolak sistem demokrasi parlementer secara Barat yang
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan menggantinya dengan sistem
demokrasi terpimpin, dan menyatakan perlunya suatu kabinet gotong royong yaitu
Kabinet Kaki Empat dengan Nasakom -nya (Nasional, Agama, Komunis).

Konsepsi yang disampaikan oleh Soekarno ini terdapat pro dan kontra dari kalangan
militer dan tokoh masyarakat terutama di daerah Indonesia Bagian Timur. Begitupun dari
mantan Wakil Presiden Drs. Moh.Hatta yang menyatakan ketidaksetujuan atas konsepsi
Soekarno tersebut. Konsepsi ini juga tidak sesuai dengan aspirasi berbagai daerah yang
notabene menolak paham komunisme. Apalagi memadukan antara Nasionalisme, Agama
dan Komunisme yang pada hakikatnya tidak mungkin dapat disatukan.

Pada akhir bulan Februari 1957, Andi


Burhanuddin dan Henk Rondonuwu
sebagai delegasi dari pemerintah Provinsi
Sulawesi berangkat ke Jakarta sebagai
upaya terakhir untuk mendesak
pemerintah pusat tentang hal-hal yang
dibicarakan bulan sebelumnya. Selain
mereka, Panglima TT-VII Letkol Ventje
Sumual juga mengunjungi Jakarta untuk
tujuan yang sama dan untuk bertemu
dengan perwira-perwira yang simpatik
terhadap usaha mereka. Pada tanggal 1
Maret 1957, Sumual bersama Burhanuddin dan Rondonuwu kembali ke Makassar karena
upaya mereka tidak berhasil. Sebelumnya pada tanggal 25 Februari 1957, telah terjadi
rapat pimpinan pemerintah dan militer di Makassar untuk merencanakan proklamasi
Permesta bila tidak ada tanggapan konkrit dari pemerintah pusat. (Wikipedia Indonesia)

Melihat situasi negara tersebut maka pada sore hari tanggan 1 Maret 1957, semua pejabat
di Makassar yang bertolak ke Ibukota - Jakarta, yaitu rombongan Gubernur, delegasi
Konsentrasi Tenaga dan Rombongan Panglima Letkol Sumual, tiba kembali dengan
menumpang satu pesawat. Setibanya di Makassar, diputuskan untuk mengadakan rapat .
Rapat berlangsung hingga pukul 01:00 dinihari tanggal 2 Maret. Dini hari tanggal 2
Maret 1957, sejumlah pejabat, tokoh politik dan tokoh masyarakat di kota Makassar
dijemput kendaraan yang dikawal militer. Ada sekitar 49 tokoh dan 2 wartawan datang
untuk berkumpul di gubernuran. Mereka hendak mengadakan rapat untuk persiapan
sebuah proklamasi dari suatu hasrat luhur yang sudah sangat lama menggejolak. Malam
telah merambat dini hari. Pukul 3 dinihari rapat dibuka oleh Panglima TT-VII/Wirabuana
Letkol H.N. Ventje Sumual yang kemudian membaca naskah Proklamasi SOB yang
45
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
telan oleh Panitia Perwira TT-VII yang lalu. (Permesta Information Online.
http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

Panglima T.T. VII Wirabuana Letkol


Ventje Sumual, bersama 51 orang yang
terdiri dari para tokoh daerah Indonesia
Timur, memproklamasikan PIAGAM
PERJUANGAN SEMESTA dalam
situasi yang disebutnya Staat van Oorlog
en Beleg (SOB), artinya “negara dalam
keadaan darurat perang”. Proklamasi
Keadaan SOB ini berdasarkan pasal 129
UUD Sementara yang memberikan
keleluasaan kepada panglima militer di
daerah memberlakukan SOB (keadaan
darurat perang/militer) dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 (Peraturan yang
memberlakukan SOB sehubungan dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun itu).
(Permesta Information Online. http://www.permesta.8m.net E-
mail:webmaster@permesta)

Proklamasi ini tepatnya dilaksanakan pada hari Jumat, 2 Maret 1957, tepat pukul 03.00
dini hari di Makassar, Letkol Ventje Sumual membacakan naskah proklamasi dalam
situasi yang disebutnya Staat van Oorlog en Beleg (SOB), artinya “negara dalam
keadaan darurat perang”.
Isi dari Proklamasi Permesta sebagai berikut :

PROKLAMASI

Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan


kesedjahteraan Rakjak Indonesia pada umunnya, dan Rakjak Daerah di
Indonesia bahagian Timur pada khususnya, maka dengan ini kami njatakan
seluruh wilayah territorial V11 dalam keadaan darurat perang
serta berlakunya pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang-
undang Dasar Sementera, dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari
Republik Indonesia.
Segala peralihan dan penjesuaianya dilakukan dalam waktu jang sesingkat-
singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dariRepublik
Indonesia.
Semoga Tuhan Jang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan
hidajatNja atas umatnNja.

Makassar, 2 Maret 1957


Panglima tentara & Territorium V11
Ttd
Letk : H.N.V. Sumual
Nrp : 15958

46
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Selanjutnya .Kolonel Saleh Lahade selaku Komando Pengamanan Sulawesi Selatan &
Tenggara (KoDPSST), membacakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Salah satu isinya mengenai konsep otonomi daerah. Permesta menginginkan
pembangunan dilakukan secara adil pada setiap provinsi. Hasil sumber daya daerah
digunakan untuk pembangunan daerah sebanyak 70 persen dan 30 persen untuk
pemerintah pusat. Namun, sebelum Saleh Lahade membacakan piagam Permesta, Ventje
Sumual membacakan proklamasi pemberlakuan kedaan darurat perang di suluruh
Indonesia. Pernyataan itu, dititikberatkan untuk memberantas upaya dan tindakan apapun
yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia. Jakarta menuding, Permesta
adalah upaya memisahkan diri dari Indonesia

Ide Perjuangan Permesta oleh Ventje


Sumual ini dideklarasikan di kediaman
Andi Pangerang Petta Rani, seorang
aristokrat Bugis dan Gubernur Sulawesi,
dan ditandaatangani oleh 51 orang yang
berasal dari para tokoh/ pemimpin
dari Minahasa, Bugis, Makassar, dan
Ambon . Ide dasar Permesta sebenarnya
dimulai sejak Januari 1957. Salah satu
yang memiliki andil besar adalah anggota
dari barisan Partai Kedaulatan Rakyat
(PKR). Para kader partai ini membangun
komunikasi antara orang per orang, para tokoh dari kalangan sipil higga militer.

Pukul 07:00 keluar pengumuman pertama Letkol Ventje Sumual sebagai Kepala
Pemerintahan Militer mengenai organisasi kepemimpinan dibantu dua staf. Staf pertama:
sebuah staf militer [yang terdiri atas staf TT-VII/Wirabuana yang ada], Staf kedua:
sebuah staf Pemerintahan yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede sebagai Kastaf,
Mayor Eddy Gagola sebagai Wakil Kastaf, & Sekretariat yang dipimpin Kapten
W.G.J.Kaligis.

Hubungan dengan seluruh daerah di wilayah Wirabuana [Indonesia Timur] tetap


terpelihara, sekalipun menjelang pertengahan 1957, beberapa daerah telah dipengaruhi
oleh pemerintah pusat serta MBAD. Melalui jaringan pemerintah daerah serta organisasi
pemuda, wanita, mahasiswa dan pers,

Permesta merencanakan pembangunan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Keterangan


dan pengumuman melalui pers dan RRI dilancarkan segera setelah upacara di Gubernuran
itu. Sejak itu berkumandang semboyan "Sekali Dua Maret, Tetap Dua Maret" yang
diciptakan oleh Letkol Saleh Lahede, dan singkatan Permesta untuk Piagam "Perjuangan
Semesta" diciptakan dan dipopulerkan oleh G. Kairupan, seorang pejabat Kantor
47
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Penerangan. Kedua semboyan itu senantiasa terdengar melalui RRI Makassar, Manado,
dan Ambon. 3 Maret 1957 Rapat di Balai Perwira oleh Tim Asistensi Staf Pemerintahan
Permesta yang dipimpin oleh Letkol M. Saleh Lahede [yang terbagi atas 10 seksi]. Dalam
rapat ini dijelaskan bahwa tindakan 2 Maret bertujuan utama untuk mengatasi kekacauan
di wilayah itu.

Hari itu juga Letkol Ventje Sumual


sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana &
Kepala Pemerintahan Militer Indonesia
Timur mengirim laporan tertulis kepada
KSAD di Jakarta mengenai tindakan 2
Maret tersebut yang yang tetap mengakui
Jakarta sebagai pemimpin yang sah. Ia
juga melaporkan bahwa ia telah
meningkatkan ketiga wilayah hukum
Resimen Infanteri TT-VII/Wirabuana
menjadi Komando Daerah Militer [KDM],
yaitu KDM Sulutteng dengan Mayor D.J.
Somba sebagai komandan, KDM Maluku/Irian Barat dengan Mayor Herman Pieters
sebagai komandan, KDM Nusa Tenggara dengan Mayor Minggu sebagai komandan;
sedangkan Sulawesi Selatan dirangkap oleh Gubernur Andi Pangerang Patta Rani
dengan pangkat Letkol Tituler. Keempat tokoh ini juga merangkap sebagai Gubernur
Militer di masing-masing daerah sesuai dengan ketentuan SOB [Staat von Oorlog en
Beleg = Keadaan Darurat Perang. (Permesta Information Online.
http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

Proklamasi Keadaan SOB ini berdasarkan pasal 129 UUD Sementara yang memberikan
keleluasaan kepada panglima militer di daerah memberlakukan SOB (keadaan darurat
perang/militer) dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 (Peraturan yang
memberlakukan SOB sehubungan dengan Pemberontakan PKI Madiun tahun itu). Pada
tanggal 4 Maret 1957 Rapat yang dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual dengan seluruh
stafnya [yang hadir ±120 perwira & bintara]. Ia menekankan bahwa tindakan 2 Maret
sama sekali bukan tindakan kudeta. Melihat situasi di Sulawesi saat itu, KSAD Mayjen
A.H. Nasution menginstruksikan kepada Letkol R. Sudirman - Panglima KoDPSST
(Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara), yang memimpin 9 batalyon
dari Divisi Brawijaya di Sulawesi yang diperbantukan untuk menumpas pemberontakan
DI/TII), untuk tidak perlu mengambil tindakan apapun terhadap Letkol Ventje Sumual
dan Gerakan Permesta-nya.

Pada tanggal 5 Maret 1957, Pemerintah Pusat mengirimkan utusan menemui Letkol
Ventje Sumual di Makassar guna membicarakan masalah Permesta. Bersamaan dengan

48
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
itu datang dukungan dari kelompok pemuda terutama melalui Dewan Pemuda Se-
Sulawesi terhadap perjuangan Permesta.

Pada tanggal 7 Maret 1957 Doktrin Eisenhower [dari Presiden AS waktu itu- Dwight
Eisenhower] dijadikan UU oleh Senat Kongres AS sebagai sikap politik anti-komunis.
Doktrin ini membawa AS untuk terlibat lebih jauh lagi dalam perpolitikan Indonesia
untuk menjatuhkan komunis dengan memberi bantuan senjata kepada pihak2 yang
meminta mereka untuk melawan komunisme internasional. [Permesta pada masa
Pergolakan akhirnya menerima bantuan senjata tersebut, namun semuanya dibeli dengan
cara barter].

Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1957 Terbentuknya Dewan Pertimbangan Pusat


Permesta yang dipimpin Residen Andi Sultan Daeng Raja. Dua hari kemudian yaitu
tanggal 10 Maret 1957, diadakan Rapat umum di Lapangan Karebosi Makassar yang
diselenggarakan oleh Tim Assistensi Staf Pemerintahan Permesta dan DPP Permesta
untuk menyambut Piagam Permesta, yang dihadiri oleh sekitar 100.000 orang dari
berbagai lapisan masyarakat. (Permesta Information Online. http://www.permesta.8m.net E-
mail:webmaster@permesta)

******

49
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
D. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN MASA PERJUANGAN PERMESTA

Proklamasi Permesta walaupun merupakan tuntutan dari


masyarakat di Indonesia Bagian Timur, namun tidak terikat
terkait dengan bekas Negara Bagian Indonesia Timur semasa
RIS. Seperti yang dikatakan oleh Barbara Harvey dalam
bukunya “Permesta, Pemberontakan Setengah Hati
“menulis,bahwa perasaan kecewa orang Minahasa yang semula
didorong faktor ekonomi dan kemudian berbuntut gerakan
bersenjata, dengan cepat menjadi salah satu gejolak paling
hebat yang pernah terjadi di Sulawesi.

Para pemimpin Permesta dari Minahasa, yang menyebut


gerakan mereka sebagai program pembangunan untuk Indonesia timur, menjual kopra
secara ilegal dengan Singapura. Orang Minahasa kecewa terhadap Jakarta karena
langkah pemerintah pusat memonopoli perdagangan kopra dengan menutup Pelabuhan
Bitung di Sulawesi Utara. Mereka memisahkan diri dari provinsi utama Sulawesi di
Makassar, dengan membentuk provinsi Sulawesi Utara pada September 1957. Dengan
menentang pemerintah pusat, para pemimpin Minahasa membangun jalan, sekolah,
jembatan, gereja, dan bahkan universitas lewat uang penjualan kopra. (Barbara
Harvey,1984),

Pada tanggal 14 Maret 1957, satu


setengah jam setelah Perdana Menteri
(dan Kabinet Ali II nya) menyerahkan
mandatnya, maka Presiden Soekarno
menyatakan bahwa seluruh wilayah
teritorial Republik Indonesia "DALAM
KEADAAN DARURAT PERANG"
(SOB=Staat van Oorlog en Beleg). Salah
satu sebab utama dari keadaan ini adalah
karena Proklamasi SOB yang telah
dikumandangkan Panglima TT-
VII/Wirabuana dalam wilayah Indonesia Timur, yang adalah komando daerah terluas di
Indonesia saat itu (mencakup setengah wilayah NKRI) yang seharusnya hanya boleh
dikumandangkan oleh presiden suatu negara.

Bersamaan dengan itu, suatu delegasi yang ditugasi Kepala Pemerintahan Militer
Permesta Letkol Ventje Sumual dan disetujui DPP Permesta, pergi ke Jakarta pada
tanggal 14 Maret 1957, untuk menjelaskan latar belakang proklamasi 2 Maret kepada
Presiden dan pemerintah pusat. Delegasi ini dipimpin oleh Henk Rondonuwu dan Ny.

50
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Mathilda (Milda) Tololiu-Hermanses (Ketua Dewan Kota Makassar), Haji
Makareng Daeng Manjarungi, Sun Bone (Masyumi), Achmad Siala (PNI), J.
Latumahina dan Andi Burhanuddin (PKR dan pejabat kantor Gubernur).

Menurut laporan delegasi, dalam


pertemuan Sukarno tampak lega setelah
mendengar jaminan bahwa Permesta
tidak bermaksud untuk pecah dari
negara Republik Indonesia. Sedangkan
dalam pertemuan dengan Hatta, ia
terkesan dengan isi piagam Permesta
setelah membacanya. Pada hari yang
sama Perdana Menteri Sastroamidjojo
menyerahkan mandatnya kembali
kepada Soekarno yang kemudian
menyatakan negara dalam keadaan darurat perang atas usulan Nasution. Sukarno
menunjuk Ir. Juanda sebagai perdana menteri baru.(Wikipedia Indonesia)

Di Jakarta pada tanggal 21 Maret 1957 seluruh anggota Tim MBAD Korps Perwira
SSKAD (sebuah korps reuni siswa SSKAD) mengadakan rapat yang menilai bahwa
masalah pergolakan daerah mempunyai aspek sangat penting yang justru diabaikan dan
dianggap sepele oleh KSAD Mayjen A.H. Nasution dalam keputusan dan tindakannya.
Hasil rapat ini kemudian menimbulkan kemarahan KSAD Mayjen A.H. Nasution.
Petisi 45 orang perwira tersebut dipaksa untuk mencabut pernyataan tersebut. Hanya 10
orang yang bertahan atas petisi tersebut. (Permesta Information Online.
http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

Bulan April sesuai dengan Piagam Permesta, Dewan Pertimbangan Pusat (DPP)
Permesta menyusun delegasi untuk bertemu dengan para pejabat di Jakarta. Henk
Rondonuwu bertindak sebagi ketua delegasi dengan Andi Burhanuddin, Achmad
Siala, dan Ny. Towoliu-Hermanses sebagai anggotanya. Delegasi ini ternyata bisa
bertemu dengan Presiden Soekarno dan Muh. Hatta, tetapi tidak sempat bertemu
dengan Kabinet yang saat itu telah demisioner menyusul berita Peristiwa Proklamasi
Permesta - 2 Maret di Makassar tersebut. Kepada Presiden, delegasi DPP mengusulkan
agar 70% anggota Dewan Nasional yang akan dibentuknya itu terdiri atas wakil daerah.
Selain itu sangat diharapkan agar Dwitunggal kembali rujuk untuk memimpin bangsa
Indonesia selanjutnya. Delegasi juga menyampaikan undangan kepada Presiden dan
Bung Hatta untuk menghadiri Kongres Bhinneka Tunggal Ika yang akan
diselenggarakan pada bulan Mei 1957 mendatang. Dalam kesempatan ini, tentu saja
delegasi mengalami hambatan dari pihak yang kurang senang dengan perkembangan di
Indonesia Timur. Malah beberapa tokoh asal daerah Sulawesi menerima surat kaleng
yang mengancam jiwa mereka.

51
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tanggal 1 April 1957, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang diangkat oleh Kepala
Pemerintahan Militer Permesta, Letkol Ventje Sumual sebagai Gubernur Militer
Sulawesi Selatan-Tenggara dengan pangkat Letkol tituler TNI.

1. Perjuangan Permesta Di Tingkat Nasional

Presiden Soekarno membentuk


kabinet baru setelah Kabinet Ali II
meletakkan jabatan pada tanggal 4
Maret yang lalu. Setelah Suwirjo
(dari PNI) gagal membentuk
kabinet, maka Soekarno mengajak
KSAD Mayjen A.H. Nasution ke
Cipanas - Bogor pada tanggal 9
April 1957 untuk bersama
membentuk kabinet itu. Kabinet
Darurat Ekstraparlementer ini tidak
tergantung pada dukungan partai.
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana
Menteri Ir. H. Djuanda, seorang tokoh tak berpartai. Kabinet Djuanda ini diberi
nama Kabinet Karya dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan
Bersenjata. Kedudukan Ir. Djuanda juga pada hakikatnya tidak terlalu kuat. Yang
menentukan perkembangan yang sesungguhnya di pusat adalah Presiden Soekarno
(Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi) dan KSAD Mayjen A.H.
Nasution.

Pada bulan Mei 1957, Permesta melakukan pembersihan terhadap semua anggota
pimpinan PKI / orang komunis di Minahasa dan anak organisasinya, termasuk
beberapa pemuka PNI yang disebut golongan ASU, atas perintah Gubernur Militer
Sulutteng, berdasarkan bukti-bukti yang ada tentang usaha mereka menentang
Permesta. Kemudian mereka ini dikarantinakan di Gorontalo. Anggota PKI dan
PNI-ASU yang masih bebas berkeliaran terus diikuti dan bila terbukti bahwa
mereka juga membahayakan, mereka akan segera ditahan. Kemudian organisasi
PKI oleh Permesta dilarang dan dianggap sudah tidak ada lagi. ). (Permesta
Information Online. http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

Namun, gebrakan Permesta terhadap orang-orang komunis ini justru menimbulkan


reaksi keras di tingkat nasional. Kemelut politik mulai terjadi terutama di tingkat
pemerintah pusat. Karena gerakan Permesta dipelopori oleh tokoh militer, dengan
sendirinya menimbulkan pula friksi di kalangan militer ketika itu. Puncaknya
kemudian, adalah Letkol Ventje Sumual dibebaskan dari jabatannya sebagai
52
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Panglima TT-VII/Wirabuana, dengan dihapuskannya jajaran TT-VII dari strategi
komando TNI AD.

Untuk meningkatkan hubungan bilateral


antara Indonesia dan Uni Soviet, pada
tanggal 6 Mei 1957 hingga tanggal 19 Mei
1957, Presiden Soekarno menerima
kunjungan dari Presiden Uni Soviet,
Vorosylov, pemimpin Komunis
Internasional. Kunjungan ke Indonesia ini
dalam rangka untuk memastikan bahwa
Komunis Internasional mendukung
Soekarno, antara lain dengan mengirim
persenjataan dan menumpas PRRI &
Permesta yang tidak sejalan dengan
program pemerintah dalam Nasakom, terutama kedua gerakan ini yang merupakan
gerakan anti-Komunis.

Dewan Pertimbangan Pusat [DPP] Permesta menyusun delegasi untuk bertemu


dengan para pejabat di Jakarta. Henk Rondonuwu bertindak sebagi ketua delegasi
dengan Andi Burhanuddin, Achmad Siala, dan Ny. Towoliu Hermanses sebagai
anggotanya. Delegasi ini ternyata bisa bertemu dengan Presiden Soekarno dan
Muhammad Hatta, tetapi tidak sempat bertemu dengan Kabinet yang saat itu telah
demisioner menyusul berita Peristiwa Proklamasi Permesta - 2 Maret di Makassar
tersebut. Kepada Presiden, delegasi DPP mengusulkan agar 70% anggota Dewan
Nasional yang akan dibentuknya itu terdiri atas wakil-wakil daerah. Selain itu
sangat diharapkan agar Dwitunggal kembali rujuk untuk memimpin bangsa
Indonesia selanjutnya. Delegasi juga menyampaikan undangan kepada Presiden dan
Muh. Hatta untuk menghadiri Kongres Bhinneka Tunggal Ika yang akan
diselenggarakan pada bulan Mei 1957 mendatang. Dalam kesempatan ini, tentu saja
delegasi mengalami hambatan dari pihak yang kurang senang dengan
perkembangan di Indonesia Timur. Malah beberapa tokoh asal daerah Sulawesi
menerima surat kaleng yang mengancam jiwa mereka.

Pada tanggal 8 - 12 Mei 1957, Kongres Bhinekka Tunggal Ika dapat


diselenggarakan untuk memenuhi Piagam Permesta, dengan panitia yang
dipimpin oleh Henk Rondonuwu, dan ada 122 orang yang hadir (47 orang dari
Sulsel, 12 orang dari Sulteng, 6 orang dari Gorontalo, 6 orang dari Bolaang
Mongondow, 6 orang dari Minahasa, 6 orang dari Manado, 6 orang dari Sangir
Talaut, 6 orang dari Maluku Utara, 5 orang Maluku Tengah dan Selatan, 7 orang
dari Ambon, 8 orang dari Irian Barat, 7 orang dari Bali, dan 1 dari Flores.), dari 30
kabupaten se-Indonesia Timur, wakil dari kodya Makassar, tokoh asal Papua, para
53
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
anggota DPP Permesta, wakil daerah di DPR (di Jakarta) dan Konstituante (di
Bandung), yang mana seluruhnya berjumlah sekitar 1500 orang (merupakan
pertemuan terbesar pertama di Indonesia Timur waktu itu). Undangan juga dikirim
kepada para pejabat di Jakarta dan para gubernur se-Indonesia.

Presiden Soekarno yang


sebelumnya menyanggupi akan
hadir, ternyata tidak hadir.
Sedangkan Muhammad Hatta
hanya mengirimkan prasarannya
melalui rombongan pimpinan
adat Sumatra Barat, namun
rombongan tersebut ditahan di
Bandar Udara Kemayoran oleh
KMKB Jakarta. Beberapa
pemimpin yang juga diundang
namun tidak hadir antara lain antara lain Perdana Menteri Ir. Djuanda, Letjen
T.B. Simatupang (bekas KSAP), Kolonel M. Simbolon, Letkol Ahmad Husein,
Gubernur Sulawesi Andi Pangerang, Mayor M. Jusuf (padahal sudah dimasukkan
dalam acara untuk berbicara mengenai persoalan keamanan). Beberapa rombongan
dari Ibukota Jakarta yang akan ke kongres tersebut juga ditahan. Para delegasi
tersebut dibagi dalam seksi yang pada dasarnya didasarkan pada Piagam Permesta.

Dalam rancangan mengenai pembangunan yang dirumuskan dalam kongres,


ditetapkan adanya rencana jangka pendek dan jangka panjang. Rencana jangka
pendek terutama bertujuan menggerakkan industri rakyat seperti penggaraman,
modernisasi alat penangkap ikan, pengolahan sabuk kelapa, benang tenun,
penggergajian kayu, pembuatan genteng, alat-alat dari kulit, pembuatan perahu,
pabrik sabun, penyelaman mutiara, berbagai minyak cengkeh, dan tembakau rakyat.
Rencana jangka panjang meliputi pembangunan pembangkit tenaga listrik, pabrik
tekstil, minyak kelapa, semen, kapal, belerang, rokok, assembling kendaraan
bermotor, pertambangan nikel di Pomala dan Sanggalopi, besi di Sumbawa, aspal di
Buton, emas, perak, niel, bauksit, asbes, minyak tanah, dan lain sebagainya.
Rencana lain yang dihasilkan Kongres Bhinneka Tunggal Ika dari Seksi Pertahanan,
berjudul "Dokrin Pertahanan Wilayah Indonesia Bagian Timur".

Ditinjau dari segi strategi militer, Indonesia Bagian Timur menduduki posisi
penting untuk perjuangan Irian Barat. Selain itu, diperlukan juga kewaspadaan agar
konflik antara Blok Timur [komunis] dan Blok Barat tidak menjalar ke wilayah ini
sehubungan dengan letaknya yang berbatasan dengan Negara-negara yang terikat
dengan Blok Barat [Filipina dan Australia]. Untuk itu, sangat diperlukan satu
komando untuk seluruh Wilayah Indonesia Timur. Sebab itu TT VII/Wirabuana
54
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
harus dipertahankan [Wilayahnya mencakup 4 propinsi: Sulawesi, Maluku,
Kep.Sunda Kecil, Irian Barat]. Dari segi ekonomi, dokrin pertahanan tersebut
mengandalkan pembangunan ekonomi yang bermaksud agar daerah ini mandiri
[self-supporting], dalam hal ini bahan-bahan vital yang akan juga membuka
lapangan kerja baru.

Pada tanggal 14 Mei 1957, Direktur CIA, Allan Dulles dalam rapat National
Security Council (NSC) Amerika Serikat melaporkan bahwa proses dis-integrasi di
Indonesia telah terjadi, dimana hanya Pulau Jawa saja yang masih dikendalikan oleh
pemerintah pusatnya. State Departement AS mengirim Gordon Mein, Wakil
Direktur kantor Urusan Pasifik Barat Daya, ke Jakarta untuk meneliti kebenaran
berita disintegrasi tersebut. Dua hari di Jakarta, Gordon Mein mengirim laporan,
membantah teori disintegrasi tersebut. (Permesta Information Online.
http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan Di Minahasa Dan Indonesia Bagian


Timur

Untuk melaksanakan pembangunan di daerah


Indonesia bagian timur, Pada tanggal 18 Mei 1957,
Permesta melakukan pemimjaman uang sebesar Rp
15.000.000 dipinjam dari Bank Indonesia Cabang
Manado untuk mendanai beberapa proyek
pembangunan. Ada juga laporan bahwa Rp
12.000.000 telah diambil oleh Permesta dari Bank
Indonesia Cabang Ambon. Rp 1.000.000 dipinjam
dari Bank Indonesia Cabang Makassar oleh
Permesta pada tanggal 22 Mei 1957, untuk
mendanai beberapa proyek pembangunan. Ada
laporan bahwa adanya penyalangunaan uang
tersebut. Beberapa orang yang berhubungan dengan
gerakan Permesta kelihatannya menjadi lebih
makmur. Namun hal tersebut tidak terbukti, sebab dana tersebut di bagikan
kedaerah-daerah di Indonesia bagian timur untuk mengiatkan pembangunan yang
ada.

Pada tanggal 20 Mei 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual secara resmi
mengadakan perjanjian pinjaman darurat sebesar Rp.100.000.000 dengan Bank
Indonesia Cabang Makassar, sebagai dana pembangunan Indonesia Timur. Pada
hari ini juga dikeluarkan perintah kepada semua Daerah Tingkat II di wilayah
Wirabuana (enam provinsi) untuk membentuk Panitia Pembangunan Daerah yang
diketuai oleh kepala daerah dengan 10 anggota (tokoh. Ormas, partai dan militer).

55
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Panitia ini bertugas melaksanakan perbaikan pembangunan di daerah berdasarkan
semangat gotong-royong, seperti perbaikan jalan dan sebagainya yang langsung
dapat dipahami dan dirasakan faedahnya oleh rakyat banyak.

Untuk itu, setiap kabupaten di Indonesia Timur menerima jatah Rp. 2.000.000
untuk proyek pembangunan yang direncanakan daerah bersangkutan. Misalnya di
Sulawesi Selatan, PLTD (Pusat Listrik Tenaga Diesel) Makale, Tana Toraja,
dibangun dengan dana Permesta. Demikian pula pasar seperti di Matoangin
(Makassar), Markas Resimen 23 di Pare-pare, pusat latihan infanteri di Bilibili,
depot batalion di Malino, dan Markas Resimen Hasanuddin di Jalan Lanto Daeng
Pasewang. Kemudian, setiap provinsi diwajibkan menyusun rencana pembangunan
lima tahun sesuai dengan ketetapan dalam Piagam Permesta dan keputusan Kongres
Bhinneka Tunggal Ika. Dana pembangunan diperoleh melalui ekspor kopra wilayah
Sulawesi Utara, Malaku Utara dan beberapa tempat lain. Seperti ditentukan dalam
Piagam, daerah yang tidak memiliki komoditi ekspor, ditunjang daerah lainnya,
sehingga pembangunan bisa dilaksanakan secara merata. Setelah peminjaman itu,
beberapa sarana dan prasarana yang selama ini tidak tersentuh oleh pemerintah
pusat, mulai dilaksanakan pembangunannya oleh pemerintah Permesta sesuai
dengan keputusan Konggres Bhineka Tunggal Ika.

Dengan ditunjang pinjaman tersebut, sejak Juni 1957, khususnya di daerah


Minahasa rakyat berbondong-bondong melaksanakan pelbagai proyek dengan
ditunjang semangat mapalus [gotong-royong]. Lebih dari 100 orang desa Tompaso,
Amurang, Radey, Sapa, Tengah, Pakuweru dan Pakuure berhasil membangun jalan
sepanjang 6 km yang menghubungkan desa-desa itu. Jalan antara Manado dan
Tomohon sepanjang 25 km pun mulai ditingkatkan dan diperlebar. Dengan bantuan
TNI yang ada didaerah masing-masing, rakyat berhasil membangun jalan-jalan
daerahnya. Begitupun jalan yang menghubungkan desa Kinalawiran dan Tompaso
Baru di Minahasa Selatan berhasil di laksanakan dengan baik. Desa-desa lainnya

56
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
seperti Liningaan, Kinaweruan dan Tumani berhasil membangun sebuah bendungan
di Sungai Ranoyapo untuk mengairi sekitar 100 hektar lahan pertanian. Rakyat
Tonsea dengan pimpinan Bupati juga berhasil merehabilitasi jalan di wilayah itu
sepanjang 120 km. Di Tombasian, rakyat bermapalus membangun pelbagai proyek
seperti rumah sakit umum, gedung SMP, gedung SD, saluran air, serta jalan-jalan
baru yang menghubungkan desa itu dengan desa sekitarnya. Di desa
Pinangsungkulan, sebuah bank desa berhasil dibangun. Dan masih banyak lagi
proyek yang tidak seluruhnya dapat dilaporkan dalam pers setempat.

Tidak saja Kabupaten Minahasa mendapat alokasi dana untuk pembangunan. Juga
Kabupaten Bolaang Mongondow memperlihatkan kegairahan yang luar biasa pada
1957. Demikian pula Kabupaten Sangir Talaud. Setiap distrik mendapat
kesempatan membangun jalan baru atau merehab jalan-jalan lama, serta
membangun dan merehab gedung-gedung sekolah, poliklinik dan lainnya.

Di Sulawesi Tengah,
pembangunan berjalan lancar di
sekitar kota Poso, Banggai
sampai Kabupaten Makale,
Rentepao di Tanah Toraja.
Sulawesi Utara mampu
mengerahkan sekitar 10.000
tenaga kerja untuk
pembangunan. Terutama
pembangunan jalan arteri yang
menghubungkan Manado dan
Bitung. Jalan antara Manado dan
Gorontalo lewat Kotamobagu mulai dirintis Permesta dengan menggunakan tenaga
para pemuda yang tergabung dalam KoP2 itu. Pemerintah Militer senantiasa
menyediakan pelbagai peralatan seperti truk, buldoser, semen, aspal, dan lainnya
untuk pelbagai proyek yang spontan direncanakan penduduk desa. (Permesta
Information Online. http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta)

Dengan adanya pembangunan tersebut, para penduduk lebih bergairah melakukan


pekerjaannya, petani lebih mudah mengeluarkan dan memperdagangkan hasil
pertanian karena akses jalan antar desa dan kota telah dapat dilalui dengan
kendaraan bermotor, maupun dengan angkutan tradisional seperti roda sapi, dan
lain-lain. Perekonomian di Indonesia bagian timur mulai bergerak naik seiring roda
pemerintahan Permesta yang berjalan dengan baik serta mendapat dukungan rakyat.

57
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
3. Minahasa Menjadi Pusat Perjuangan Permesta

Melihat situasi yang tidak lagi


kondusif di Makassar akibat politik
adu domba yang dijalankan Mayjen.
A.H. Nasution dikalangan para
perwira di Indonesia bagian Timur,
dan juga karena secara formal Staf
TT-VII telah dibubarkan, dengan
demikian berimbas juga pada Staf
Pemerintah Militer yang dipimpin
Letkol Saleh Lahede. Maka
diputuskan bahwa pusat pejuangan
Permesta akan dipindahkan ke
Minahasa – Sulawesi Utara. Dipilihnya Minahasa sebagai pusat perjuangan
Permesta, selain karena sebagian besar rakyat Minahasa sangat mendukung
perjuangan Permesta, serta para perwira asal Minahasa mempunyai loyalitas tinggi
terhadap perjuangan Permesta, juga merupakan tempat strategis yang jauh dari
pusat pemerintahan, sehingga dengan mudah dapat melakukan kerjasama dengan
pihak luar, khususnya untuk mendapatkan bantuan dari luar negeri.

Sebelum meninggalkan Makassar menuju Manado, Letkol Ventje Sumual


membentuk Dewan Tertinggi Permesta dengan pucuk pimpinan Permesta adalah
sebagai berikut :
Ketua : Letkol H.N. Ventje Sumual
Wakil Ketua : Letkol M. Saleh Lahede
Sekretaris : Kapten Bing Latumahina
Anggota : al. Letkol dr. O.E. Engelen, Ny. Mathilda Towoliu-Hermanses,
Makaraeng Mandarungi, Mochtar Lintang, Hutagalung, J. Mewengkang, J.E.
Tatengkeng, aodo Manoarfa, Abdul Muluk Makatita.

Letkol H.N. Ventje Sumual dan sebagian besar perwira TT-VII dari Sulawesi
Utara/Minahasa, seperti Mayor J.W. (Dee) Gerungan, Mayor Eddy Gagola,
Kapten Lendy R. Tumbelaka, Kapten John Ottay, kembali ke Minahasa.
Anggota Batalyon 702 yang berasal dari Minahasa/Sulawesi Utara juga pergi ke
Utara pada waktu itu, dan dua kompi di Sulawesi Utara yang terdiri dari sebagian
besar orang Bugis dan Makassar pergi ke Selatan Sulawesi dan menduduki tempat
yang ditinggalkan mereka di KDM-SST.

Letkol Ventje Sumual kemudian membuat markas Permesta di kompleks


peristirahatan Persanggrahan Indraloka yang kala itu bernama "Thermo mandi
58
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Kinilow" – Tomohon. Tercatat P.M. Tos anggota Kopedua (KoP2) yang menjadi
kurir dari Panglima Permesta tersebut. Dalam sebuah siaran radio pada tanggal 13
Juni 1957, Mayor D.J. Somba menyatakan, ia akan selalu mendukung Letkol
Ventje Sumual sebagai Panglima TT-VII/Wirabuana, dan mengulangi pernyataan
tanggal 8 Mei tentang hal yang sama.

4. Kongres Pemuda Indonesia Timur

Pada tanggal 5-9 Juli 1957,


dilaksanakan Kongres Pemuda
Indonesia Timur digelar. Ide Kongres
itu lahir setelah Bhinneka Tungga Ika
di Ujungpandang, Mei 1957. Ketika
itu, Ketua Badan Musyawarah Dewan
Pemuda Indonesia Timur, R.A.
Daud, mengusulkan para pemuda
harus juga mengadakan kongresnya
sendiri. Pelaksanaannya diserahkan
kepada Komando Pemuda Sulawesi Utara oleh tokoh-tokoh yang pernah bergabung
dalam Dewan Manguni di Manado sebelum 2 Maret 1957.

Kongres Pemuda Indonesia Timur ini dilangsungkan di Tondano, dengan Jan Torar
sebagai Ketua Panitia. Berbagai organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa seluruh
Indonesia Timur mengirimkan wakil-wakilnya ke Tondano, malah wakil-wakil
tersebut diambil dari wilayah tingkat II dan mendapat bantuan pemerintah setempat.
Salah satu keputusan penting dalam Kongres Pemuda Indonesia Timur ini adalah
pembentukan suatu wadah tunggal yang dinamakan Komando Pemuda Permesta
[KoP2] dengan suatu pimpinan utama dan beberapa departemen, seperti Departemen
Pengerahan Tenaga, Pertahanan, Pendidikan dan Kebudayaan, Ekonomi dan Sosial,
Keuangan, Agama dan Umum.

Untuk periode pertama Kongres memilih Jan Torar yang memimpin Departemen
Pengerahan Tenaga untuk menjadi Pemimpin Umum KoP2. Pimpinan lainnya adalah
P.M. Tos [Departemen Pertahanan], Badar Alkatiri [Departemen Agama], Assegaf
[Departemen Sosial Ekonomi], Abdul Chalil [Departemen Umum]. Ketika timbul
konflik senjata pada 1958, sejumlah besar anggota KoP2 di wilayah Sulawesi Utara
dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta.
Sebelum itu, kegiatan KoP2 adalah membantu pemerintah daerah masing2
mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah-daerah.
Hasil yang dicapai organisasi pemuda ini secara swadaya, misanya seperti
pembangunan berbagai gedung yang dijadikan kantor Gubernur Daerah Sulawesi
Utara sampai sekarang 80 buah - dan jalan cukup membanggakan. Selain itu di
59
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Sulawesi Selatan terbentuk Parlemen Pemuda Permesta Wirabuana dengan pimpinan
Matulada. Kemudian pada tanggal 11 November 1957, Letkol Ventje Sumual,
sebagai pimpinan tertinggi Permesta, menggabungkan organisasi pemuda itu menjadi
Dewan Tertinggi Pemuda Permesta dengan kedudukan di Makassar. (Permesta
Information Online. http://www.permesta)

5. Pembentukan Pemerintahan Daerah Sulawesi Utara-Tengah

Dengan pindahnya pusat


pertahanan Permesta diMinahasa,
pada tanggal 19 Juni 1957, sekitar
30 orang anggota PKI, ditangkap
di Minahasa dan ditahan di
Gorontalo. Dan pada keesokan
harinya tanggal 20 Juni 1957,
diproklamirkan provinsi Sulawesi
Utara, yang dihadiri Letkol
Ventje Sumual, Mayor D.J.
Somba, Kolonel Dahlan
Djambek, dll. Konferensi dinas
yang diselenggarakan di Kotamobagu itu dihadiri oleh Letkol H.N. Ventje Sumual
dan stafnya, Kolonel Dahlan Djambek, dll.

Malah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang ketika itu


berada di Manado juga menghadirinya. Prof. Soemitro memang
telah berada di Manado sejak tahun 1956 hingga tahun 1957,
akibat kemelut politik. Ia adalah salah satu pimpinan Partai
Sosialis Indonesia/PSI yang menikah dengan orang Minahasa
yaitu Dorah Sigar asal Langowan. Nanti pada Konferensi Sungai
Dareh di Sumatera pada akhir 1957, ia baru keluar daerah
ituMinahasa dan berangkat dengan Letkol H.N. Ventje Sumual
dan stafnya ke Sumatera.

Dalam rapat itu diputuskan, mengangkat H.D. Manoppo, seorang Residen-


koordinator Sulawesi Tengah (sekaligus raja Bolaang Mongondow terakhir) yang
banyak pengalaman dalam masalah pemerintahan daerah, sebagai Gubernur Sulawesi
Utara dan Tengah. Wilayahnya dibagi dalam enam kabupaten dan satu kotamadya
yaitu :
1. Kotamadya Manado
2. Kabupaten Minahasa
3. Kabupaten Gorontalo
4. Kabupaten Bolaang Mongondow

60
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
5. Kabupaten Sangir Talaud
6. Kabupaten Sulawesi Tengah
7. Kabupaten Tanah Toraja

Dalam sebuah rapat di Kinilow


pada tanggal 23 Juni 1957, Letkol
Ventje Sumual mengumumkan
kesediaannya untuk memenuhi
keinginan masyarakat untuk
mempertahankan dirinya sebagai
Panglima TT-VII/Wirabuana.
Namun ia menandaskan, gerakan
Permesta bukanlah gerakan
separatisme. Penyelesaian yang
wajar dengan pemerintah pusat,
tetap tujuannya.

Sepanjang sejarah Permesta, lambang kebangsaan Indonesia seperti bendera Merah


Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang Bhineka Tunggal Ika, serta hari
Proklamasi, tetap dijunjung tinggi dan bermakna seperti wilayah lain di Indonesia.
Perayaan hari Proklamasi 1957, umpamanya tidak kurang meriah daripada tahun
sebelumnya. Rapat umum yang diselenggarakan di lapangan Sario - Manado, dihadiri
sekitar 40.000 orang, dilanjutkan dengan resepsi di Gubernuran. Gubernur H.D.
Manoppo, Panglima Kolonel Ventje Sumual dan Mayor D.J.Somba memberi
sambutan yang meyakinkan.

Pada tanggal 26 Juni 1957, Letkol Herman Pieters dilantik


sebagai komandan Komando Daerah Militer Maluku dan Irian
Barat. Pada tanggal 4 Juli 1957, Letkol M. Saleh Lahede diperiksa
oleh tim bentukan Mabes TNI-AD (MBAD) berkaitan dengan
keterlibatannya yang nyata dalam gerakan Permesta. Pada keesokan
harinya, Letkol Herman Pieters, Letkol Minggu, Mayor D.J.
Somba, ditunjuk sebagai administrator militer dari daerah mereka
sesuai dengan Hukum Darurat Perang oleh Pemerintah Pusat.

6. Misi Pemerintah Pusat Ke Minahasa

Melihat situasi didaerah-daerah terutama di Indonesia Bagian Timur semakin


memanas, Pemerintah Pusat mengambil inisiatif untuk mengirimkan sebuah misi ke
Sulawesi Utara yang terdiri dari pejabat tinggi yang berasal dari Minahasa sendiri
yaitu Menteri Kehakiman Gustaf A. Maengkom, Menteri Perindustrian Ir. Fred J.
Inkiriwang, Duta Besar RI di Kanada Lambertus Nicodemus Palar, Anggota
61
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Konstituante Arnold Isaac Zacharias Mononutu. Mereka mengadakan perjalanan
ke Sulawesi Utara dari tanggal 17 Juli sampai 5 Agustus 1957. Pada saat yang sama,
Gubernur Sulawesi Utara H.D. Manoppo sedang menghadiri Konferensi Gubernur
se-Indonesia di Jakarta. Ia mendapat kepastian dari beberapa menteri di Jakarta,
bahwa pembentukan provinsi di Sulawesi Utara adalah maksud pemerintah pula.

Sebelum mengadakan pembicaraan dengan Dewan Tertinggi Permesta, misi


Maengkom mengadakan peninjauan ke pelbagai daerah. Mereka menyaksikan
sendiri, pembangunan wilayah ini oleh Permesta memang benar berhasil. Di mana-
mana rakyat menyambut mereka dengan gembira. Rapat umum diselenggarakan di
berbagai tempat untuk memberikan kesempatan kapada rombongan dari pusat untuk
menjelaskan kepada rakyat tentang maksud tujuan kedatangan mereka.

Setelah pertemuan dengan Letkol Ventje Sumual pada tanggal 23 Juli 1957,
delegasi mengumumkan hal-hal yang telah disepakati, termasuk pengakuan provinsi-
provinsi berotonomi di Indonesia timur yang salah satu di antaranya adalah Provinsi
Sulawesi Utara. Juga disepakati pembentukan sebuah universitas di Sulawesi Utara.
Satu lagi hal yang disepakati adalah penyelengaraan Musyawarah Nasional
(MUNAS) untuk meredakan ketegangan di daerah-daerah. Pada akhir misi mereka di
Minahasa, dikeluarkannya persetujuan Kinilow yang berbunyi sebagai berikut :

Kemudian Misi Pemerintah Pusat itu


kembali ke Jakarta setelah sebelumnya
meninjau perkembangan pembangunan
yang dilakukan Permesta, dan
melaporkan hasil perundingan tersebut.
Namun tampaknya Pemerintah Pusat
yakni Kabinet Djuanda tidak
menanggapi hasil laporan tersebut
bahkan seolah-olah tidak mempedulikan
isi dari persetujuan yang telah
disepakati.(Permesta Information Online. http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta).

62
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tanggal 16 Agustus 1957, Letkol H.N. Ventje
Sumual berpidato di radio dalam rangka
menyambut Hari Proklamasi 17 Agustus 1957
membuat pihak umum di Jakarta mengetahui
sikapnya. Dalam pidato tersebut Sumual
menyerukan mutlaknya diusahakan adanya situasi
tenang, baik di ibukota negara maupun di daerah-
daerah, sebagai prasyarat berlangsungnya Musyawarah Nasional bulan September
yang akan datang. Ia juga menganjurkan agar penyelenggaraan Munas itu
diselenggarakan kepada pihak-pihak yang dapat diandalkan, termasuk pihak
Angkatan Darat. Selain itu, Sumual juga menjelaskan beberapa masalah mendasar
yang menyangkut fungsi dan tugas pemerintah, serta peran Permesta. Menurut
pendapatnya, "Kemakmuran rakyat adalah wewenang tertinggi suatu negara."
Dalam hal ini, Permesta telah memberi contoh nyata, seperti tampak dalam usaha-
usaha pembangunan serta swadaya masyarakat yang dibangkitkannya. Ia juga
menilai, pembentukan Permesta serta tindakan-tindakannya didasarkan pada prinsip
yang luas, yaitu 'legal idealisme'. (Permesta Information Online. http://www.permesta)

Pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1957, Perayaan hari Proklamasi


Kemerdekaan Indonesia di Sulut tidak kurang meriah dari pada tahun-tahun
sebelumnya. Hari itu juga diadakan Rapat umum yang diselenggarakan di lapangan
Sario (Manado), dihadiri kurang lebih 40.000 orang, dilanjutkan dengan resepsi di
Gubernuran. Gubernur H.D. Manoppo, Panglima Letkol Ventje Sumual dan
Mayor D.J. Somba memberi sambutan yang meyakinkan.Pameran alat-alat
pembangunan seperti truk, tippers, alat-alat besar untuk pembuatan jalan seperti
stoomwals-buldozer-grader, dll.

7. Kunjungan Presiden Soekarno Ke Minahasa

Dalam meredam gejolak yang terjadi di


daerah-daerah khususnya di Sulawesi
sesudah diproklamirkan Piagam
Permesta pada tanggal 2 Maret 1957,
maka pada tanggal 30 September 1957
Presiden Soekarno berangkat ke
Sulawesi Utara setelah membuka PON
di Makassar. Presiden Soekarno
mengadakan kunjungan selama dua hari
didampingi oleh tokoh nasional Ruslan
Abdulgani dan Duta Besar AS untuk
Indonesia John M. Allison serta diterima oleh Gubernur Militer/Panglima KDM-SUT
(KDM/ Kodam Sulutteng) Overste D.J. Somba dan Gubernur Sulawesi Utara yang
63
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
diangkat Permesta, H.D. Manoppo. Sebagai Ketua Panitia Penyambutannya adalah
Mayor Wim Tenges selaku Kepala Seksi Logistik Tim Assistensi Pemerintahan
Militer KDM-SUT.

Presiden kemudian berpidato di Sekolah


Tinggi Seminari Katholik di Desa
Pineleng dan kemudian berkunjung ke
Tomohon dan Tondano dengan mobil
jeep terbuka, dan berkacamata hitam serta
menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM
ke-23 di Gereja SION Tomohon dan
berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah
sendi utama Republik Indonesia.
Demikian Tuhan adalah pegangan
kita," serta ayat dalam Injil Yohanes
pasal 1 ayat 1: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama dengan Allah
dan Firman itulah adalah Allah."

Dalam kedatangannya di Minahasa, ternyata sambutan rakyat Minahasa diluar


dugaan. Mereka menyambut kedatangan Soekarno selain dari para tokoh masyarakat,
tokoh agama juga sebagian besar rakyat Minahasa yang dengan antusias datang dari
beberapa pelosok desa. Kedatangan Presiden Soekarno dimeriahkan pula dengan tari-
tarian khas Minahasa seperti Kabasaran dan Maengket. Bahkan setiap Presiden
berpidato, selalu mendapat sambutan yang luar biasa dari rakyat Minahasa baik di
Tomohon maupun di Pineleng. Bahkan beberapa tentara yang nyata-nyata
merupakan para pejuang pro Permesta berjaga-jaga dengan penuh disiplin akan
kedatangan Presiden yang mereka cintai. Ini menjadi bukti bahwa Perjuangan
Permesta bukan untuk mengantikan pemerintahan Presiden Soekarno atau ingin
mendirikan negara baru, melainkan hanya sebagai bentuk koreksi dan tuntutan agar
pemerintah memperhatikan pembangunan yang ada di daerah-daerah.

Kemudian Presiden Soekarno


kembali ke Jakarta dengan selamat
tanpa gangguan apapun seperti yang
dikuatirkan oleh beberapa pejabat
negara. Dari Manado, Presiden
singgah ke Gorontalo dan Palu,
didampingi Kastaf KDM-SUT Mayor
Dolf Runturambi. Di Gorontalo, ia
menginap satu malam, kemudian
meneruskan perjalanan ke Makassar
untuk menghadiri penutupan PON-IV
64
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
yang sedang berlangsung di Makassar. Mayor Dolf Runturambi juga ikut selaku
Ketua Rombongan olahragawan se-Sulutteng.

Sambutan rakyat Minahasa terhadap


kedatangan Presiden Soekarno seperti
tiada berarti karena setelah presiden
kembali ke Jakarta, tuntutan rakyat
Minahasa belum juga dapat terealisasi
sebagaimana yang diharapkan.
Memang situasi dan kondisi saat itu
sedang memanas, antara Pusat dengan
Permesta, namun dengan kedatangan
Presiden Soekarno di Sulawesi Utara
ini mendapatkan keuntungan tersendiri
bagi Permesta karena dianggap bahwa Presiden mendukung perjuangan Permesta
sehingga menambah dukungan moril bagi Permesta, dan menumbuhkan keyakinan
pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah sah saja oleh pemerintah
pusat.

8. Perjuangan Permesta Dalam Musyawarah Nasional (Munas)

Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet


Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas)
yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, di antaranya adalah mantan
Wakil Presiden Mohammad Hatta. Musyawarah ini dilaksanakan di gedung
Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini membahas
permasalahan-permasalahan pemerintahan, persoalan daerah, ekonomi, keuangan,
angkatan perang, kepartaian serta masalah dwitunggal Soekarno Hatta., kecuali
Letkol. Achmad Husein dari Komando Militer Sumatera Tengah.

Delegasi dari Sulawesi Utara adalah


Komandan KDM-SUT Mayor D.J. Somba,
Letkol H.N. Ventje Sumual (penasihat
delegasi), Gubernur H.D. Manoppo
(secara resmi, ia adalah Residen-koordinator
Sulawesi Tengah), W.J. Ratulangie
(Residen-koordinator Sulawesi Utara),
Sabu, Sam Kesaulya, Bija, A.C.J. (Abe)
Mantiri. Sedangkan delegasi dari Sulawesi
Selatan adalah Gubernur/Gubernur Militer
SST Kol.Tituler Andi Pangerang, Letkol M. Saleh Lahede (penasihat delegasi),
Mayor Andi Muhammad Jusuf (Kastaf KMDSST), Henk Rondonuwu (Ketua
65
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Komite Eksekutif Dewan Pimpinan Permesta), Andi Burhanuddin (Residen
Makassar), Haji Makkaraeng Daeng Mandjarungi (Ketua Dewan Pertimbangan
Pusat Permesta).

Sedangkan masalah "larangan terhadap komunisme" tidak diangkat untuk


dibicarakan dalam Munas ini. Pada hari pertama tidak kurang dari 19 orang yang
mengajukan sarannya, yaitu para Panglima/Penguasa Militer serta Komandan KDM.
dan para gubernur. Diantaranya adalah Komadan KDM Maluku/Irian Barat Letkol
Herman Pieters, Gubernur Nusa Tenggara T.M. Daudsjah, Gubernur Militer
Sulawesi Selatan dan Tenggara Kolonel Tituler Andi Pangerang, Panglima TT-II
Letkol Barlian, Komandan KDM Sulawesi Utara Mayor D.J. Somba. Banyak
diantara para perwira, yang bersangkutan dengan masalah Angkatan Darat justru
tidak diundang. Letkol Ventje Sumual pun angkat bicara dan mempersoalkan
perlunya Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Maludin Simbolon dan Kolonel
Sukanda Bratamanggala, diundang dalam musyawarah yang bertekad
menyelesaikan semua persoalan bangsa dan negara.

Hasil keputusan Munas ini adalah :


(a) masalah Dwitunggal, setuju untuk dipulihkan kembali
(b) pembangunan, segera akan diadakan Munap
(c) masalah AD ditangani oleh Panitia-7 (Ir.Soekarno, bekas Wapres Drs.
Moh.Hatta, Waperdam III Dr.J. Leimena, bekas Menhan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan Kol.Dr. Azis Saleh, KSAD Mayjen
A.H. Nasution).

Musyawarah ini kemudian menghasilkan


keputusan yang mencerminkan suasana
saling pengertian. Pada akhir acara
Munas dibacakan pernyataan bersama
yang ditandatangani oleh Soekarno Hatta
yang bunyinya antara lain bahwa: “...
adalah kewajiban mutlak kami untuk
turut serta dengan seluruh rakyat
Indonesia, pemerintah RI serta segenap
alat-alat kekuasaan negara, membina dan
membela dasar-dasar proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga adanya”.

Disela-sela pelaksanaan Munas, KSAD Mayjen Nasution mengadakan rapat dengan


para pemimpin TNI dari daerah bergolak. Dalam rapat tersebut terjadi suatu
perdebatan tajam antara KSAD Mayjen Nasution dengan Panglima Kolonel Ventje
Sumual. KSAD tetap berpegang pada legalitas dan disiplin militer tanpa
66
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
menghiraukan kenyataan yang memaksa TT-VII menyimpang dari disiplin. Dalam
rapat itu KSAD Nasution sudah menyatakan niatnya untuk menggeser Kolonel
Ventje Sumual dari kursi panglima TT-VII dan mengirimnya ke Filipina untuk
menjadi Atase Militer KBRI di sana. Mendengar niat Mayjend A.H. Nasution
tersebut, Kolonel Ventje Sumual tidak lagi dapat menahan emosinya. Ia lalu
memukul meja di depan Nasution, dan dalam keadaan marah-marah dia langsung
meninggalkan rapat, disusul oleh Kastaf Gubernur Militer Sulut Mayor Dolf
Runturambi, langsung menuju ke tempat penginapan di Hotel des Indes.

Pasca peristiwa tersebut, Letkol Ventje


Sumual bertemu dengan Letkol Ahmad
Husein dan Letkol Barlian di Palembang.
Letkol Ahmad Husein adalah
ketua Dewan Banteng yang
memperjuangkan hal-hal yang sama
dengan Permesta di Sumatra Barat.
Sedangkan Letkol Barlian memprakarsai
Dewan Garuda dengan tujuan yang sama.
Ketiga perwira ini menanda-
tangani Piagam Persetujuan Palembang yang berisi tuntutan-tuntutan kepada
pemerintah pusat antara lain "pemulihan Dwitunggal", "mengganti pimpinan
Angkatan Darat sebagai langkah pertama terhadap stabilisasi TNI", "desentralisasi
dalam sistem pemerintahan negara yang antaranya meliputi pemberian otonomi yang
luas bagi daerah", dan "melarang komunisme". (Hakiem (2019)Itulah sebabnya
ketika terbentuk PRRI dan Permesta, oleh pemerintah pusat dianggap sebagai
“pemberontakan PRRI/Permesta”.

9. Misi Pemerintah Pusat Ke Minahasa Dan Pembentukan KDM-SUT

Pada tanggal 17 September 1957,


Pemerintah Pusat kembali mengirim Menteri
Kehakiman G.A. Maengkom ke Sulawesi
Utara/Minahasa untuk menemui tokoh-tokoh
Permesta guna penyelesaian secara damai
masalah Permesta. Untuk menjelaskan
maksud misi pemerintah pusat ini, maka
diadakan rapat umum di Lapangan GMIM
Pinaesaan Langowan. Turut berbicara dalam
rapat itu Panglima TT-VII Wirabuana
Letkol H.N.Ventje Sumual.

67
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pada tanggal 28 September 1957, Komando
Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah
(KDM-SUT) dibentuk secara resmi oleh
KSAD Mayjen A.H. Nasution
menggantikan komando Resimen Infanteri
24 (RI-24), dengan Mayor Daniel Julius
(Yus) Somba sebagai komandannya dengan
kenaikan pangkat secara otomatis menjadi
Letnan Kolonel (Overste). Diantara yang
hadir dalam upacara ini hadir juga Letkol
Ventje Sumual dan Gubernur Sulawesi
Utara Permesta H.D. Manoppo. Dalam pidatonya Mayor D.J. Somba memberikan
gambaran, ia dan perwira-perwira lain tidak akan dapat menyelesaikan konflik
kesetiaan yang ada pada bulan-bulan mendatang: "Ideologi TNI, ialah
mempertahankan negara, dan bagi Sulawesi Utara ideologi tentara harus disesuaikan
dengan keinginan dan hasrat rakyat."

Pada bulan November 1957, KDM-SUT mengumumkan rencana melaksanakan suatu


reorganisasi atas satuan-satuan militer yang berada dibawah wewenangnya. Batalyon
714 akan dipecah menjadi dua batalyon, masing-masing dengan tanda pengenal "P"
dan "S", dan seterusnya dua batalyon, "Q" dan "R", akan dibentuk dari kedua kompi
dari Batalyon 719 dibawah Mayor Lukas J. Palar dan kompi yang satu dibawah
Kapten Frans Karangan di Sulawesi Tengah, dan masing-masing perwira akan
menjadi komandan masing-masing batalyon yang baru terbentuk itu.

Pada tanggal 22-25 Oktober 1957, Letkol Ventje Sumual dimasukkan dalam suatu
rapat kerja KADIT (Komando Antar Daerah Indonesia Timur) yang diadakan di Bali.
Tetapi pada tanggal 26 Oktober diumumkan, ia akan ditempatkan di MBAD di
Jakarta, dan kedudukannya akan ditentukan Panitia Tujuh. Letkol Saleh Lahede,
walaupun tidak mempunyai kedudukan resmi semenjak KoDPSST dibubarkan, tidak
menerima tawaran mengikuti SSKAD (sekarang SESKOAD) di Bandung. Kemudian
pada tanggal 11 November 1957, Letkol Ventje Sumual menggabungkan organisasi
pemuda Permesta menjadi Dewan Tertinggi Pemuda Permesta yang berkedudukan di
Makassar. . (Permesta Information Online. http://www.permesta)

10. Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) Dan Peristiwa Cikini

Untuk menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat


pembangunan dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP).
Musyawarah ini bertujuan khusus untuk membahas dan merumuskan usaha-usaha
pembangunan sesuai dengan keinginan daerah. Oleh karena itu, kegiatan ini dihadiri

68
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
juga oleh tokoh-tokoh pusat dan daerah serta semua pemimpin militer dari seluruh
teritorium

Musyawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) dilaksanakan di Jakarta pada


tanggal 25 November 1957. Letkol H.N. Ventje Sumual mengikuti MUNAP
(Musyawarah Nasional Pembangunan) di Jakarta yang dipimpin Presiden Soekarno
ini. Kemudian Letkol Ventje Sumual melaporkan esensi Proklamasi Permesta 2
Maret 1957. MUNAP ini tidak dihadiri oleh Letkol Achmad Husein dari KDM
Sumatera Tengah yang memimpin pemerintah sendiri di Sumatera Barat dengan
Dewan Bantengnya.

Disela-sela MUNAP tersebut terjadinya


Tragedi Nasional yang
disebut Peristiwa Cikini yaitu pada
tanggal 30 November 1957,. Aksi
spontanitas penggranatan sebagai
percobaan pembunuhan terhadap
Presiden Soekarno di Perguruan Cikini
yang dituduhkan oleh orang-orang
tertentu (terutama PKI) untuk
mendiskreditkan dan memfitnah
Daerah-daerah Bergolak sebagai
dalangnya. Akibatnya beberapa tokoh politik dan militer di Ibukota mulai
menyingkir ke daerah-daerah yang dianggap aman dari fitnahan dan aksi kekerasan
(dari golongan komunis) akibat dari Tragedi Cikini ini. Mereka antara lain Mr.
Sjarifuddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Prof. Soemitro
Djojohadikusumo, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, dan lain-
lain.

Letkol Ventje Sumual dan beberapa perwira yang sedang mengikuti Musyawarah
Nasional Pembangunan (Munap) sempat ditahan namun segera dibebaskan dan
diijinkan untuk mengikuti lanjutan Munap tersebut. MUNAP ini berakhir tanggal 4
Desember1957.

Peristiwa Cikini bermula dari kunjungan Presiden Soekarno datang ke Perguruan


Cikini, tempat bersekolah putra-putrinya dalam rangka perayaan ulang tahun ke-15
Percik. Guntur dan Megawati adalah murid SD Yayasan Perguruan Cikini. Bung
Karno sempat meninjau berkeliling sekitar 25 menit, dan kemudian Granat tiba-tiba
meledak di tengah pesta penyambutan presiden. Sembilan orang tewas, 100 orang
terluka, termasuk pengawal presiden. Soekarno sendiri beserta putra-putrinya
selamat.

69
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pasca peristiwa Cikini keadaan Jakarta bagaikan bara api yang dapat meledak dan
membakar siapa saja yg bertentangan dengan sang pemimpin besar revolusi. Fitnah
yg berhembus entah dari mana menimpa setiap lawan politiknya terutama yang
terkenal sangat memusuhi PKI. Rumah MR. Mohammad Roem di Jakarta dikepung
massa, untunglah dia beserta keluarganya dapat menyelamatkan diri lepas dari
kepungan massa yg di sinyalir digerakkan oleh unsur unsur Pemuda Rakyat dan
SOBSI, organisasi underbouwnya PKI. Hal yg sama juga dialami oleh para tokoh
Masyumi yg saat itu menjadi lawan politik Soekarno seperti Mohammad Natsir,
mereka lalu mengungsi ke Sumatera dan bergabung dengan Dewan Banteng. Hal ini
sangatlah wajar jika mengingat Sumatera Tengah adalah basis massa Masyumi dan
nyaris terbebas dari unsur unsur PKI sehingga mereka merasa aman dari ancaman
orang orang PKI yang bersembunyi dibalik nama Soekarnois. Bahkan seorang tokoh
Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang juga
menjabat menteri keuangan yg dituduh
korupsi oleh pihak militer juga ikut
mengungsi ke Sumatera dan bergabung
dengan Dewan Banteng. Maka
berkumpulah para lawan politik
Soekarno dan orang orang PKI yang
sedang menjadi benalu di sisinya di
Sumatera tengah untuk melancarkan
perlawanan terhadapnya. (Liga
chaniago,2013).

11. Perkembangan Tuntutan Politik Dan Ekonomi Daerah Piagam Permesta

Pada tanggal 17 Januari 1958, dalam


pengiriman kawat (cable tersebut juga
diterima S.S. 'Artemis') kepada Letkol
D.J. Somba di Sulawesi Utara, sehabis
pertemuan di Sungai Dareh dan
memberitahukan garis-garis besar
keputusan yang diambil dan keanggotaan
pemerintah revolusioner yang diusulkan.
Walaupun kawat itu mengingatkan agar
hati-hati terhadap "provokasi Jakarta", ia
juga memerintahkan agar Mayor Dee
Gerungan, dengan dibantu para perwira
staf lainnya, membuat rencana atau studie untuk perebutan Kota Jakarta secara
physik termasuk segala jumlah kebutuhan material,rencana operasi akan
dilaksanakan oleh tiga daerah bergolak.

70
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
KDM-SST (Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan-Tenggara) pada tanggal 22
Januari 1958, dibagi lagi antara Komando Militer Kota Besar (KMKB), Resimen
Infateri Hasanuddin (RI-Hasanuddin), Resimen Infanteri 23 (RI-23). Dengan
pembentukan KDM-SST dan permulaan penarikan pasukan Jawa dari Sulawesi
Selatan.

Pada tanggal 1 Februari 1958, Letkol D.J. Somba bertemu


Mayjen A.H. Nasution di Jakarta. Dalam pertemuan ini, Letkol
D.J. Somba meminta agar tuntutan politik dan ekonomi Piagam
Permesta dipenuhi secepat-cepatnya mengingat ketegangan yang
semakin memuncak di dalam negeri. Mayjen A.H. Nasution
menjawab, itu adalah urusan yang harus ditangani DPR. Mayjen
A.H. Nasution kembali meminta daftar senjata yang diimpor;
namun Letkol D.J. Somba menjawab bahwa tidak ada senjata
yang dimasukkan. Memang Letkol D.J. Somba telah
menyetujui penghentian perdagangan barter di Sulawesi Utara. Letkol D.J. Somba
kemudian kembali ke Manado pada tanggal 6 Februari 1958. . (Permesta
Information Online. http://www.permesta)

KADIT, Komando Antardaerah Indonesia bagian Timur (akhirnya menjadi


KOANDA-IT) yang telah ditetapkan tanggal 20 Agustus 1957, akhirnya memiliki
komandan/panglimanya, dengan dilantiknya Brigjen Gatot Subroto sebagai
panglima KOANDAIT pada tanggal 4 Februari 1958. Letkol Jonosewojo, bekas
Kepala Staf TT-VII/ Wirabuana telah menjadi penjabat kepala stafnya sejak KADIT
diumumkan.

Letkol Ventje Sumual pada tanggal 5 Februari 1958


dihadapan pers di Tokyo menyatakan bahwa dia dan
kawan-kawannya akan berjuang terus melawan kaum
komunis dan semua kaki tangan mereka. Di Tokyo juga
dia sempat bertemu dan mengadakan pembicaraan
dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Letkol
Sumual juga diberitakan bahwa ia telah bertemu dengan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster
Dulles (yang baru usai menghadiri Konferensi SEATO
di Manila), di Taipei - Taiwan. Sebelumnya, Letkol
Sumual sudah menghubungi Kolonel Joop Warouw di
posnya sebagai Atase Militer RI pada KBRI di Peking
(Beijing). Ia kemudian bertemu dengan Kolonel Joop
Warouw di Hongkong.

71
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Kemudian Kolonel J.F. (Joop) Warouw hari itu juga bertemu dengan Presiden
Soekarno di Tokyo yang saat itu sedang mengadakan kunjungan ke luar negeri
dengan harapan, krisis yang memuncak akan menjadi reda selama ketidakhadirannya
di dalam negeri. Joop Warouw sudah dikenal sejak dahulu sebagai anak-mas
Presiden; ia bertindak keras atas namanya sesudah peristiwa 17 Oktober 1952, dan
menyertai Presiden dalam perjalanan ke Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina pada
tahun 1956. Sebelumnya pada masa Perang Kemerdekaan, ia menyelamatkan nyawa
Presiden Soekarno saat sedang mendarat di bandara Surabaya yang hendak ditembak
oleh pasukan musuh yang sedang berada di bandara. Saat itu Joop Warouw sedang
bertugas di bandara dan mendapat info bahwa pesawat itu ditumpangi Presiden
Soekarno, dan meminta pasukan itu untuk tidak menembak.

Para pegawai sipil Minahasa pada


tanggal 15 Februari 1958,
mengadakan sumpah setia secara
resmi kepada para pemimpin
Permesta dalam rangka
melaksanakan Piagam Permesta
dengan dukungan kepada PRRI.
Kemudian dillanjutkan dengan
seleksi kilat tentara pelajar CTP
(Corps Tentara Peladjar - Permesta)
dilaksanakan di beberapa daerah
Minahasa. Antara lain di asrama Desa Sumarayar - kompleks kediaman Bupati/KDM
Minahasa Laurens F. Saerang (pemimpin Batalyon Manguni, kemudian dijadikan
Brigade Manguni) dan memulai latihan kemiliteran dalam Kompi I Batalyon
Manguni dengan Kapten Penjata Gustaf Rungkat sebagai Komandan Kompi.

Ketika tersebar berita berdirinya Pemerintah tandingan PRRI di Sumatera dimana


Letkol Saleh Lahede dan Mochtar Lintang telah dijadikan menteri penerangan dan
menteri agama PRRI, pihak Jakarta mendesak agar kedua orang itu menyatakan
sikapnya. Dalam situasi itu, Letkol. M. Saleh Lahede menerima undangan rapat
dengan para perwira TNI di Makassar untuk membicarakannya. Dalam rapat itulah
diputuskan agar Sulawesi Selatan tidak mengakui PRRI. Masalah ganguan keamanan
Kahar Mudzakkhar merupakan prioritas utama di wilayah itu. Sekalipun tidak
menerima keputusan ini, Saleh Lahede tidak bisa berbuat banyak.

*****

72
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
BAB IV

DAMPAK PEREKONOMIAN MINAHASA


DI MASA PERANG PERMESTA HINGGA PERDAMAIAN
( 1958 – 1961 )

PERMESTA atau “Perjuangan Semesta” yang diproklamirkan oleh para pemimpin rakyak
di wilayah Indonesia Bagian Timur, pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar, oleh Panglima
T.T. VII Wirabuana Letkol Ventje Sumual dan didukung oleh rakyat di Indonesia Bagian
Timur al. Makasar Sulsel, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku Utara. Yang dinyatakan dengan ditandatangani Naskah Proklamasi
Permesta (Piagam Perjuangan Semesta) oleh 50 orang petinggi-petinggi militer dan sipil.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah Permesta dikatakan sebagai “Pembangunan Rakyak
Semesta” atau “Perjuangan Rakyat Semesta”, yang mengambarkan bahwa perjuangan ini
bukan dilakukan oleh segelintir orang demi kepentingannya sendiri, melainkan bahwa
perjuangan ini dilakukan oleh rakyat Indonesia khususnya Indonesia Bagian Timur yang
selama Indonesia Merdeka, selalu terpinggirkan dan tidak adil dan tidak meratanya
pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Menurut Dick Howards, bahwa


konflik regional ini merupakan akibat
dari persaingan daerah dengan pusat
dalam menguasai sumber-sumber
ekonomi yang melimpah di luar Jawa,
seperti kopra, karet, dan minyak.
Hasilnya digunakan untuk membiayai
anggaran militer dan sedikit digunakan
untuk kebutuhan masyarakat daerah
yang tidak dipenuhi negara. (Dick
Howards,2011). Masalah ketidak
adilan ini dirasakan oleh para Perwira
Tinggi di daerah-daerah yang melihat langsung penderitaan rakyat di wilayah militernya.
Ditambah lagi dengan munculnya masalah intern dikalangan Angkatan Darat pada akhir
tahun 1955, dimana semua Perwira tinggi berpangkat Kolonel (Overste)
mempermasalahkan ajaran Komunis. Keberhasian PKI di pemilu 1955 dan semakin
dekatnya golongan komunis dengan kekuasaan membuat beberapa tokoh dan perwira
khawatir Ini yang nanti menjadi tali penghubung antara kelompok regionalis dengan
Amerika Serikat yang sedang berupaya membendung komunisme. John Foster Dulles,
73
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Menteri luar negeri Amerika saat itu sudah sangat cemas melihat PKI bertambah kuat di
Indonesia. Instruksinya kepada Duta besar Allison pada permulaan tahun 1957 lebih jelas
lagi : “ Jangan biarkan Sukarno sampai terikat dengan komunis. Jangan biarkan dia
menggunakan kekerasan melawan Belanda. Jangan dorong ekstremis-nya. Dan diatas
segala galanya, lakukan apa saja yang dapat anda lakukan agar Sumatera ( pulau penghasil
minyak ) tidak sampai jatuh ke tangan komunis “

Inilah awal ketidak puasan daerah, dan kekuatiran para perwira Pancasilais terhadap kinerja
pemerintah pusat sehinggga diproklamirkan Piagam Perjuangan Semesta pada tanggal 2
Maret 1957, dengan mengumumkan wilayah bagian Indonesia Timur dalam keadaan darurat
Perang dengan penekanan bahwa perjuangan mereka bukan untuk melepaskan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sedangkan di Sumatera didirikan pemerintah tandingan dengan nama Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Kolonel Achmad Husein dan kawan-kawan
yang diproklamasikan pada tanggal 10 Februari 1958 disertai ultimatum kepada Pemerintah
Pusat.

Proklamasi PRRI segera mendapat sambutan di Indonesia bagian Timur. Dan puncaknya
adalah pernyataan pemutusan hubungan daerah dengan Pemerintah Pusat pada tanggal 17
Februari 1958, oleh Letnan Kolonel D.J Somba sebagai Komandan Daerah Militer Sulawesi
Utara dan Tengah (KDM-SUT). Barbara Harvey, berkesimpulan bahwa PRRI bersama
“teman senasibnya” (Permesta), dua kelompok serupa tapi tak sama ini dibentuk demi
membendung komunisme di Indonesia. (Barbara Harvey,1984).

*****

74
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
A. OPERASI MILITER TNI - PUSAT

Tindakan kedua gerakan tersebut (PRRI & Permesta) dianggap sebagai


pembangkangan daerah terhadap Pemerintah Pusat yang harus dilawan dengan
kekuatan militer dengan membentuk Operasi Militer. Dalam operasi militer yang
terkenal yaitu Operasi “17 Agustus” di Sumatera dipimpin oleh Kolonel Achmad
Yani, yang didahului dengan „Operasi Tegas‟ disertai pemboman di kota Padang.

Di Indonesia bagian timur dilaksanakan Operasi “Merdeka” dipimpin oleh Letnan


Kolonel Rukmito Hendradiningrat, yang didahului dengan pemboman obyek vital di
kota Ambon dan Manado pada bulan Maret 1950.

Tindakan operasi militer gabungan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, membuat
Permesta terpaksa harus angkat senjata mempertahankan diri melawan Pemerintah
Pusat. Tindakan pemboman kota Manado & Padang oleh TNI Pusat, telah
membangkitkan kemarahan para perwira senior asal Minahasa yang sebenarnya tidak
terlibat dalam perjuangan PRRI/Permesta antara lain Brigjen Alex Kawilarang yang
saat itu sebagai Atase Militer di Amerika Serikat, dan Kolonel Joop Warouw sebagai
Atase Militer di Beijing-China. Mereka terpaksa harus meninggalkan tugas negara

75
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
demi kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran Minahasa. Di satu sisi mereka
berjuang untuk kepentingan rakyat khususnya yang ada di daerah-daerah, disisi lain
mereka harus berhadapan dengan APRI/TNI karena dianggap sebagai pemberontak.
Inilah Permesta diantara Perberontakan dan Perjuangan, suatu „perjuangan yang
dilematis.

Namun awal dilaksanakannya operasi militer, dengan direbutnya beberapa kota dan
desa penting dari kekuasaan PRRI & Permesta di Sumatera dan di Indonesia bagian
timur, perjuangan ini menjadi goncang dan rapuh khususnya gerakan PRRI setelah
operasi militer TNI menjadi hilang kekuatannya. Begitupun Permesta dengan
dimulainya operasi militer TNI, sebagian besar Deklarator dan pendukung Permesta
mulai mengundurkan diri, membelot atau ditangkap. Di Indonesia bagian timur, hanya
sekitar 16 dari 51 deklarator Piagam Permesta saja yang berasal dari Sulawesi Utara
yang meneruskan gerakan Permesta ini khususnya di KDM Minahasa. Sehingga
Minahasa kemudian menjadi pusat Komando perlawanan Permesta terhadap
bobroknya kekuasaan dan kekuatan Pemerintah Pusat yang mulai terkontaminasi dan
dipengaruhi oleh paham
komunisme. Dengan kata lain
bahwa perjuangan Permesta
bukan untuk memisahkan diri
dengan NKRI, melainkan
untuk mempertahankan
ideologi Pancasila dari
ancaman Komunisme di
Negara Kesatuan Republik
Indonesia, walaupun harus
berhadapan dengan Pemerintah
Republik Indonesia yang sah.
Inilah perjuangan yang dilematis bagi Permesta.
76
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Dampak dari operasi militer TNI di Minahasa walaupun dapat menguasai kota-kota
dan desa-desa dijalur utama Minahasa, tak mempengaruhi kekuatan Permesta yang
masih terorganisir dengan baik di daerah-daerah pedalaman Minahasa. Dengan kata
lain bahwa Minahasa sebagian besar masih dikuasai oleh Permesta. Pasukan TNI-
Pusat hanya praktis menjaga kota-kota dan desa-desa yang berada di jalur jalan utama
Minahasa dengan menempatkan beberapa pasukan untuk menjaga pos-pos yang
dibangun disetiap kota dan desa tersebut. Bahkan inisiatif untuk menyerang ada
ditangan Permesta yang dengan memakai strategi dan taktik perang gerilya, bebas
untuk menentukan kapan waktu menyerang, kapaan waktu untuk istirahat. Berbeda
dengan pasukan TNI-Pusat yang harus menjaga pos-pos pertahanan mereka siang dan
malam dari serangan pasukan Permesta.

Pada tanggal 17 Pebruari 1959 Permesta


secara serentak melakukan serangan
besar besaran yang di beri nama
operasi Operation Djakarta Special One.
Tujuan dari serangan itu adalah.
menduduki beberapa Kota Srategis
seperti Langowan, Tondano dan
Amurang-Tumpaan. untuk
menghancurkan segala prasarana musuh.
Namun, operasi tersebut mengalami
kegagalan walaupun Permesta sempat
menduduki beberapa tempat hanya untuk beberapa jam saja karena tempat tersebut
berhasil direbut kembali oleh Pasukan APRI dan AURI. Setelahnya pasukan APRI dan
AURI bahkan berhasil menduduki beberapa tempat yang sebelumnya merupakan basis
terkuat dari Permesta, namun belum dapat menguasai secara total kekuasaan Permesta.

Memang sejak Operasi Merdeka dilancarkan oleh pasukan APRI sejak tahun 1958,
pasukan APRI berhasil menguasai kota-kota dan desa-desa penting dari kekuasaan
Permesta di Minahasa. Namun diluar kota dan desa, khususnya di desa-desa
pedalaman, pasukan APRI tidak dapat berbuat banyak, karena wilayah tersebut
dikuasai sepenuhnya oleh Pejuang Permesta. Bahkan beberapa kali pasukan Permesta
melakukan serangan umum baik di Kota Tomohon, maupun di Kota Amurang dan
sekitarnya, serta beberapa pertempuran kecil secara sporadis dilancarkan pasukan
Permesta terhadap pasukan APRI. Hal ini membuat pasukan APRI sulit mematahkan
strategi perang gerilya dari Permesta. Mereka hanya dapat berpatroli disekitar wilayah
kekuasaannya disekitar kota dan desa yang dikuasainya. Apabila mereka beroperasi
diluar wilayah atau pos militer, hal itu harus didukung sepenuhnya oleh pesawat udara
AURI yang memang menjadi momok yang menakutkan bagi pasukan Permesta.

77
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Situasi tersebut berlangsung hingga tercapainya usaha perdamaian antara kedua belah
pihak.

Bahwa strategi penyelesaian konflik secara militer


atau dengan kekerasan tidak sepenuhnya dapat
menyelesaikan masalah secara utuh, bahkan hanya
menimbulkan kerugian harta benda, nyawa serta
penderitaan rakyat yang tidak berdosa. Setelah
militer menguasai Sumatera dari tangan PRRI,
belum dapat dikatakan bahwa keadaan sudah
membaik, karena para tokoh-tokoh PRRI sebagian
besar belum berhasil ditangkap. Hal ini membuat
daerah Sumatera belum sepenuhnya aman dari
pengaruh PRRI. Untuk itu, pemerintah
mengeluarkan kebijakan bahwa para tokoh-tokoh
PRRI yang menyerahkan diri, akan diberi
pengampunan dari pemerintah. Ternyata usaha ini
berhasil, dimana beberapa pimpinan PRRI mulai
menyerah satu persatu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein
melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain, baik militer
maupun sipil. Akhirnya konflik di Sumatera bisa selesai. Ternyata strategi pendekatan
secara persuasif dalam meredam pergolakan diberbagai daerah, terbukti dapat
menyelesaikan konflik secara utuh tanpa menimbulkan kerugian harta benda, nyawa
dan penderitaan rakyat pada umumnya.

*****

B. DAMPAK TERHADAP KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL

Perjuangan daerah yang oleh pemerintah dianggap pemberontakan ini telah membawa
dampak besar terhadap hubungan politik luar negeri Indonesia.Dukungan dari negara
Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia
dengan Amerika menjadi tidak harmonis, palagi dukungan dari Amerika Serikat
terhadap PRRI dan PERMESTA. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin
sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan
Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung
gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata
bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel),
dan Taiwan juga mendukung gerakan perjuangan yang dilakukan oleh PRRI &
Permesta. Serbuan pasukan TNI-Pusat ini mengakibatkan pertumpahan darah dan
jatuhnya korban jiwa dikedua belah pihak. Selain itu, pembangunan menjadi

78
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
terbengkalai, juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat di Sumatera dan di Indonesia
bagian timur.

Di Minahasa sebagian besar pemuda


masuk menjadi tentara simpatisan
Permesta. Mereka meninggalkan
bangku sekolah, kebun dan bidang
pekerjaan lainnya untuk beralih menjadi
tentara. Cangkul dan peralatan sekolah
diganti dengan senjata api. Para
penduduk mengungsi keluar desa
memasuki hutan dan kebun untuk
menghindari pertempuran. Ladang-
ladang dan kebun tak dikelola lagi
dengan semestinya. Apabila mereka
bercocok tanam, itupun untuk makanan keperluan sehari-hari dan sebagian hasilnya
diberikan kepada para pejuang Permesta yang sedang bergerilya di hutan-hutan. Hal ini
menyebabkan roda perekonomian di Minahasa menjadi mati suri. Tak ada bahan baku
yang dapat di import maupun di eksport, karena TNI-Pusat memblokade semua jalur
keluar masuk barang dari maupun keluar Minahasa. Kalaupun ada, itu semata-mata
untuk keperluan militer baik untuk operasional dan logistic TNI-Pusat. Akibat blockade
ini, pihak Permesta dalam memenuhi kebutuhannya dari luar terpaksa dilakukan dalam
bentuk perdagangan gelap, barter illegal yang hasilnya untuk peralatan militer Permesta.

Dengan terjadinya pemboman dan serbuan TNI Pusat ke Minahasa, mengakibatkan


banyak pemuda beralih status yaitu dari pekerjaan semula apakah petani, pedagang
bahkan pelajar masuk menjadi tentara simpatisan Permesta. Dikampung-kampung
banyak dari para petani meninggalkan cangkul & parangnya berganti dengan senjata api
untuk membela Permesta. Pasca Pergolakan Permesta di Sulawesi Utara, areal
persawahan maupun perladangan penduduk, suasana semua tampak sangat
menyedihkan. Semua lahan sumber penghidupan penduduk tampak terlantar tak
digarap. Persawahan sebagian besar telah berubah menjadi daerah rawa. Tak lagi ada
tanaman padi yang tumbuh disawah, melainkan tumbuhan liar seperti nokano dan
enceng gondok. Disana sini masih tampak sisa-sisa bambu runcing yang dipancang
sebagai ranjau oleh pihak Permesta. Ranjau ini untuk menangkal kemungkinan
penerjunan tentara TNI waktu lalu. Padahal pada masa sebelum pergolakan terjadi
sawah ini bisa menghasilkan padi sampai tiga kali panen dalam setahun. (Phill M. Sulu,
2011).

Keadaan Perladangan sama saja, semuanya sudah menjadi hutan belukar. Maklum tak
ada penduduk yang berani mempertarukan nyawanya pergi mengerap lahan pertanian
yang sering menjadi ajang Pertempuran. Jangankan ke Kebun untuk bekerja, sekedar

79
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
menjenguk saja resikonya cukup Berat. Selain ancaman keselamatan jiwa, bisa juga
dituduh sebagai mata-mata dari kedua pihak. Bukan itu saja faktor penyebab
terlantarnya kegiatan pertanian penduduk. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa tenaga
kerja Tani memang tingal sedikit. Yang ada tinggal tenaga kerja wanita, dan pria yang
sudah lanjut Usia. Tenaga kerja Pria yang Produktif semuanya sudah terkuras untuk
memangul senjata. Hal ini tentu berpengaruh langsung pada keadaan perekonomian
rakyat yang banyak bergantung dari hasil pertanian.

Di kala itu penduduk sipil berada dalam posisi yang berada dalam posisi yang sulit dan
serbah salah. Tidak gampang menempatkan diri berpihak ke salah satu. Sikap itu tak
terkecuali bagi penduduk yang berdiam di wilayah yang dikuasai Permesta. Begitupun
Penduduk yang tingal di wilayah pendudukan TNI, sebab yang tinggal dikota tetap
berkepentingan dengan angota keluarganya yang terlibat dengan Permesta. Semua
kebutuha terpenuhi lewat penduduk yang datang dari Kota, termasuk kebutuhan
informasi yang sangat penting bagi kelanjutan Perjuangan. Apalagi praktis wilayah yang
diduduki Permesta lebih luas dari wilayah yang diduduki TNI. Pasukan TNI hanya
menguasai kota-kota strategis, sedangkan daerah pedalaman termasuk sebagian besar
pedesaan dikuasai pasukan Permesta. Kecuali kampung-kampung yang terletak di jalan
raya yang menghubungkan kota-kota pendudukan TNI lazimnya merupakan daerah tak
bertuan. Kampung-kampung seperti inilah yang biasanya menjadi daerah patroli TNI,
atau menjadi daerah penghadangan Permesta. (Murdiono Prasetio Mokoginta, Dampak Gejolak
Sparatisme Permesta terhadap Ekonomi di Sulawesi Utara Tahun 1958-1963, Universitas Negeri
Gorontalo,2015)

Kehidupan ekonomi penduduk sangat


memperihatinkan pada masa pergolakan
Permesta. Dalam keadaan demikian
terkadang ada sebagian penduduk yang
bersimpati kepada Permesta. Dalam
keadaan tenang, lazimnya pasukan
pasukan tempur Permesta, mereka
mendapatkan bahan pangan berupa
beras dan lauk yang dikumpul dari
rakyat. Bahan pangan ini dimasak
sendiri di dapur umum masing-masing
pasukan. Kecuali dalam keadaan
darurat, dimana situasi tidak memungkinkan pasukan menyelengarakan dapur umum,
jatah pangan disediakan oleh rakyat dalam bentuk makanan masak. Jadi penduduk pada
waktu itu, ketika krisis pangan dan ekonomi menimpa mereka dalam keadaan perang,
masyarakat juga harus menyediakan kebutuhan yang ditetapkan oleh pasukan Permesta.
Jika tidak maka mereka akan menjadi sasaran serta tuduhan sebagai pihak pendukung

80
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Pemerintah sehingga banyak juga penduduk yang menjadi korban eksekusi Pasukan
Permesta. (Phill M. Sulu, 2011).

Diakui juga bahwa terkadang beberapa penduduk di Minahasa juga rata-rata memiliki
sanak keluarga yang terlibat pasukan Permesta.mereka umumnya tergabung dalam
pasukan gerilya yang bersarang di lereng Gunung Lokon dan Mahawu. Malahan
kadang-kadang markas pasukan permesta hanya berada di perkebunan penduduk, tak
Jauh dari kampung. Tak heran bahwa terjadi kontak sejata sewaktu-waktu antara
pasukan Permesta dan TNI yang tentu menyebabkan juga rusaknya sebagian tanaman
pertanian penduduk yang ditanam beberapa waktu sebelum terjadi pergolakan.
Tanaman-tanaman tersebut seperti Jagung, Singkong, pohon Kelapa yang masih baru
ditanam, ada juga tanaman lain yang sudah siap panen tapi akhirnya terbakar terkena
granat tentara kedua belah pihak. Suasana yang terjadi diatas tentu saja membuat
keamanan dan keselamatan setiap saat terancam.

Dalam kondisi keamanan dan ekonomi


yang tidak menentu, masyarakat
banyak yang lari ke hutan dan
perkebunan kemudian menggali lubang
untuk tempat persembunyai mereka.
Adapun untuk kebutuhan makanan,
makanan yang dikonsumsi oleh
masyarakat biasanya pisang yang
ditanam di kebun mereka. Tapi
terkadang pisang-pisang para petani
dikebun tersebut juga telah ditebang
dan dibawa lari oleh pasukan Permesta
disaat mereka mulai krisis persediaan makanan. Hasil pertanian penduduk yang siap
panen terpaksa belum bisa dipanen kembali, hal ini karena untuk pengelolahaannya
sangat beresiko bagi petani. Bahkan ada petani yang sedang mencari pisang untuk
kebutuhan keluarganya tewas ketika dikebun ditembak oleh orang yang tidak dikenal
entah itu TNI atau pasukan Permesta. Dalam suasana yang demikian penderitaan dan
ekonomi sosial rakyat makin lama tersus memprihatinkan. (Murdiono Prasetio Mokoginta,
Dampak Gejolak Sparatisme Permesta terhadap Ekonomi di Sulawesi Utara Tahun 1958-1963,
Universitas Negeri Gorontalo,2015)

Di Minahasa Selatan ketika terjadi pertempuran antara TNI dan Pasukan Permesta maka
banyak kampung-kampung yang dibumi hanguskan oleh pasukan Permesta dan
dibiarkan dalam keadaan Kosong. Penduduk umumnya telah mengungsi keperkebunan
dan kedalam hutan. Keadaan yang terjadi disana sangat menyedihkan seperti yang di
ungkapkan oleh Phill M. Sulu dalam bukunya Permesta dalam Romantika, Kemelut dan
Misteri ketika dia mengunjungi kampung halamanya di Minahasa. Dalam tulisannya dia

81
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
menjelaskan bahwa pembakaran rumah-rumah di sana sangat menyimpan kisah yang
sangat tragis. Bahkan ada rumah yang dibakar bersama penghuninya. Tragedi ini
menyimpan kisah duka yang dalam, karena dia melihat ada penduduk yang mati
terpangang di dalam lubang perlindungan yang terletak di kolong rumahnya. Namun
menurtnya pembakaran itu bukan dilakukan oleh pasukan Permesta atau Pasukan TNI
melainkan pasukan Partisan anti Permesta. (Phill M. Sulu, 2011).

Awal 1960-an setelah setelah


masa-masa pergolakan sedang
berlangsung, bukan saja bangunan,
seperti rumah-rumah Penduduk,
Sekolah dan sarana-sarana lainnya
yang hancur, melainkan juga
dinamika struktur sosial politik dan
ekonomi masyarakat yang ikut
Lumpuh Total. Suasana indah yang
damai, lenyap tak berbekas di
hampir sebagian besar Desa-desa
di Minahasa dan Bolaang
Mongondow. Rumah-rumah Penduduk yang sederhana dan mungil, halamanya yang
ditanami beraneka ragam kembang dahlia, mawar, anyelir, aster, hebras, gladiol, seruni,
dan lainnya, lenyap semua. Keindahan taman bungga disetiap pekarangan penduduk
telah menjelma menjadi semak belukar yang menyeramkan. Rumah-rumah tinggal
menjadi Puing berserakan menjadi tumpukan arang abu. Rumah-rumah Penduduk
menjadi ratah dan yang tersisa tinggal rumah Ibadah seperti Masjid dan Gereja yang
masih tampak utuh. Di Minahasa selatan banyak rumah yang dibakar pasukan Permesta
ketika dalam keadaan kosong karena penduduk umumnya telah mengungsi dari situasi
yang tidak kondusif bagi keamanan mereka. Ketika pasukan Permesta telah terdesak
dengan pasukan TNI , sebelum angkat kaki dari kampung itu, bangunan yang ada
biasanya dimusnahkan dengan Api. (Phill M. Sulu, 2011).

Cukup berat derita yang dialami oleh pendududuk ketika pergolakan dan kerusuhan
akibat perang saudara ini. Bukan saja berat memikul beban hidup dalam kondisi
ekonomi yang parah, melainkan juga karena berbagai peristiwa tragis yang dialami.
Banyak keluarga yang kehilangan angota keluarganya, baik yang gugur dalam
pertempuran karena berani mengambil resiko dengan mempertaruhkan jiwa raganya
dalam perjuangan, maupun yang menjadi korban sia-sia, mati konyol dibantai begitu
saja dengan tuduhan sebagai mata-mata musuh, oleh pasukan kedua belah pihak yang
sedang bertikai. (Phill M. Sulu, 2011).

Kekuatan pejuang Permesta bukan hanya terletak pada persenjataan modern yang
dimilikinya, juga bukan karena kondisi alam serta keadaan terotorial yang dipenuhi
82
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
hutan rimba dan pegunungan yang menguntungkan pihak Permesta, namun kekuatan
sesungguhnya datang dari dukungan yang sangat tinggi dari rakyat Minahasa pada para
pejuang Permesta. Bantuan yang diberikan selain berupa tenaga para pemuda yang
hampir seluruh pemuda dari pelosok desa masuk menjadi pejuang Permesta, juga
bantuan berupa logistik, baik makanan dan pakaian yang dengan suka rela mereka
berikan kepada para pejuang Permesta. Bantuan juga di berikan dalam bentuk informasi
tentang keberadaan pasukan APRI di wilayah masing-masing. Jadi hampir semua rakyat
Minahasa mendukung Permesta. Dengan kata lain bahwa di Minahasa,”Rumput, hewan
dan tanahpun adalah Permesta”. (Johanis Prang, Masa Mudaku di rimba Permesta, 2013)

Belum lagi bantuan yang juga datangnya dari


pasukan APRI sendiri terutama yang anggota
pasukannya berasal dari Minahasai maupun
dari Toraja yang diam-diam bersimpati
kepada perjuangan Permesta. Selain karena
merasa saudara sendiri, juga karena unsur
sentimen agama dan sentimen anti
komunisme dikalangan anggota APRI. Hal
ini terlihat apabila pasukan APRI akan
menyerang pos pejuang Permesta, banyak
diantaranya telah ditinggal kosong. Padahal
sebelumnya pihak intelejen telah mengamati
pos itu merupakan tempat para pasukan
Permesta. Juga cerita yang berasal dari pasukan APRI asal Minahasa yang merupakan
pasukan Panser, bahwa dalan setiap serbuan tentara APRI terhadap Permesta sering
didahului dengan tembakan panser ke arah pejuang Permesta. Namun tembakan pertama
sering diarahkan ketempat lain tak jauh dari keberadaan pasukan Permesta. Hal itu
katanya sebagai pertanda kepada pihak Permesta bahwa ada penyerbuan dari APRI,
sehingga pasukan Permesta bisa bersiap diri atau menghindari penyerbuan tersebut.
Kode tembakan tersebut sudah diketahui oleh para pasukan Permesta sehingga mereka
lebih banyak menghindar diri dari pertempuran langsung, untuk menghindari korban
jiwa karena diantara para pasukan APRI yang datang menyerbu terdapat saudara atau
teman sendiri. Inilah kesulitan APRI dalam menumpas para pejuang Permesta, dan ini
berlangsung hingga tahun 1961. (Johanis Prang, Masa Mudaku di rimba Permesta, 2013)

Kekuatan pasukan Permesta juga datang dari hal-hal yang bersifat supranatural. Pada
umumnya Caper (Calon Prajurit) Permesta percaya pada hal-hal yang mistik yang
disebut Opo-opo. Mereka katakan hal itu sebagai „pegangan‟ atau „pakaian‟ untuk
menjaga diri agar terhindar dari terjangan peluru alias kebal. Fenomena supranural ini
tidak hanya dianut oleh Calon Prajurit saja melainkan hampir seluruh Pasukan Permesta
dari prajurit hingga keperwira tinggi memegang apa yang dinamakan opo-opo itu.
(Johanis Prang, Masa Mudaku di rimba Permesta, 2013)

83
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Namun demikian korban jiwa dalam setiap pertempuran dari kalangan pejuang Permesta
tidak sedikit. Hal ini disebabkan kurangnya pelatihan dan pengalaman pertempuran para
pejuang Permesta yang umumnya terdiri dari para pemuda yang sangat minim
pengetahuannya tentang teknik bertempur. Kebanyakan dari mereka hanya
mengandalkan keberanian dan semangat.

Begitupun dari kalangan penduduk,


banyak juga yang menjadi korban oleh
pasukan APRI maupun dari pasukan
Permesta sendiri karena sikap saling
curiga. Memang pada masa pergolakan
saat itu, penduduk menghadapi suatu
dilema yang tidak dihindari. Disatu sisi
mereka adalah bagian dari Permesta
yang diam-diam memberikan bantuan
dan dukungan kepada pejuang
Permesta, yang tentu saja bila ketahuan oleh anggota APRI akan ditangkap dan disiksa.
Disisi lain mereka harus bekerja sama dan membantu APRI dalam mencari keberadaan
para pejuang Permesta. Tentu saja tindakan ini akan menimbulkan kemarahan dari para
pejuang Permesta, sehingga sewaktu-waktu mereka harus menghadapi resiko di
eksekusi oleh para pejuang Permesta tanpa pandang bulu. (Johanis Prang, Masa Mudaku di
rimba Permesta, 2013)

Keadaan ini berlangsung hingga tercapainya kesepakatan damai antara Permesta dan
Pemerintah Pusat/TNI dipertengahan tahun 1961.

*******

C. PENUJU PERDAMAIAN

Perubahan sikap Pemerintah Pusat dalam


menyelesaikan konflik dengan Permesta
dengan melihat situasi di Sulawesi Utara
khususnya Minahasa dimana Permesta
tetap gigih memperjuangkan tuntutannya
dengan strategi perang gerilya, membuat
APRI tidak dapat berbuat banyak untuk
dapat menguasai seluruh tanah
Minahasa, apalagi untuk menumpas para
pejuang Permesta. Perlawanan yang
berlarut-larut dari pihak Permesta terhadap APRI, telah banyak menimbulkan

84
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
pengorbanan jiwa dan harta benda dikalangan rakyat pada umumnya, membuat
beberapa tokoh masyarakat dan agama terutama di Minahasa merasa prihatin karena
penyelesaian konflik dengan kekuatan militer belum sepenuhnya membawa perubahan
yang berarti, bahkan telah memperkeruh situasi dan kondisi masyarakat yang tidak
berdosa. Untuk itu maka pada awal tahun 1960, dimulailah penjajakan perdamaian
antara Pemerintah Pusat dan Permesta. Hal ini juga dipicu ketika pada tanggal 5 Juli
1959, Presiden Soekarno di Jakarta mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan
pemberlakuan kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara tahun
1950, dalam menanggapi ketidak stabilan politik dan ekonomi Indonesia sebagai
pemicu pergolakan di daerah-daerah.

Usaha untuk mempertemukan kubu Permesta


dengan pemerintah pusat dilakukan hampir
bersamaan oleh dua orang yaitu Albertus
Zacharias Roentoerambi (A. Z. R.)
Wenas dan Frits Johannes (F. J.) Tumbelaka.
Wenas pada waktu itu adalah Ketua Gereja Masehi
Injili di Minahasa (GMIM). Wenas menyerukan
kepada kedua belah pihak untuk meletakkan
senjata dan mencari jalan damai dalam khotbah-
khotbah, surat-surat, dan siaran radionya. Pada
bulan Oktober 1959, ia bertemu dengan Kawilarang untuk membahas kemungkinan
perdamaian dengan pemerintah pusat. Ia juga bertemu dengan Warouw di Remboken.
Selain itu, ia menulis surat kepada Presiden Sukarno yang berisi usul-usul untuk
mencapai perdamaian.

Pada bulan Oktober 1959, Tumbelaka yang


juga dipanggil "Broer" menghubungi Kolonel
Surachman yang pada waktu itu adalah
Panglima TT-V/Brawijaya guna membahas
situasi di Sulawesi Utara. Tumbelaka sendiri
pernah menjabat sebagai perwira senior di TT-
V/Brawijaya dan juga ikutserta dalam perang
kemerdekaan di Jawa Timur bersama Somba
dan Warouw. Dalam pertemuannya dengan
Tumbelaka, Surachman mengungkapkan
keprihatinannya terhadap pengaruh PKI di
Jawa Timur yang semakin besar dan bahwa
perang melawan Permesta telah menguras tenaga TNI yang adalah keuntungan buat
PKI. Setelah beberapa pertemuan dengan staf Brawijaya yang lain, mereka setuju untuk
mengirim Tumbelaka ke Manado untuk berusaha mengadakan kontak dengan Somba.

85
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Walaupun Warouw mempunyai posisi lebih tinggi dalam Permesta, adalah Somba yang
memimpin pasukan paling berpengalaman yang sebagian berasal dari TNI.

Usaha pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Minahasa terlihat juga pada Seruan
berkala oleh KODAM XIII/Merdeka dilakukan antara tanggal 27 November 1959 dan
11 Mei 1960 yaitu menyerukan kepada kaum "Permesta" untuk "kembali ke pangkuan
ibu pertiwi". Seruan ini disusul dengan tawaran pemberian amnesti kepada Permesta
diajukan oleh Komandan Operasi Merdeka, Letnan Kolonel Roekmito Hedraningrat
pada tanggal 10 Desember 1959. Walaupun juga tawaran amnesti yang dianjurkan oleh
Komandan Operasi Merdeka itu ditanggapi oleh Joop Warouw : "Bila kami menerima
amnesti maka ini diartikan bahwa kami bersalah. Kami merasa bahwa kami tidak
bersalah".

Juga usaha Pemerintah Pusat melalui Panglima Kodam 17 Agustus Kolonel Sunardjadi
di Manado pada tanggal 31 Desember 1959, yang meminta Menteri Penerangan RI
Arnold Mononutu supaya dapat memberikan pidato radio penutupan tahun 1959 dan
menyongsong Tahun Baru 1960 kepada masyarakat Sulawesi, khususnya Sulawesi
Utara dan Sulawesi Tengah. Dalam pidato tersebut, ia mengemukakan dengan serius
kepada para pimpinan Permesta agar menghayati penderitaan rakyat yang begitu besar
akibat pergolakan Permesta, terutama masyarakat di Tanah Toar-Lumimuut.

Begitupun diawal tahun 1960, Kolonel Hein Victor


Worang (Mantan Komandan Batalion Worang)
kembali ke Minahasa sebagai Perwira Menengah
SPRI Menteri Pertahanan/KASAD TNI dengan
menjabat sebagai Ketua Team Penyelesaian /
Penertiban Permesta. Hampir bersamaan dengan
kedatangan F.J. (Broer) Tumbelaka di Manado
untuk memprakarsai perdamaian antara Permesta
dan Pemerintah Pusat. Mula-mula ia bertemu dengan
beberapa orang pilihan Kodam XIII/Merdeka,
terutama dengan asisten intel Kapten Aris
Mukadar yang kemudian membantunya dalam misi
perdamaian dengan Permesta. Ia memutuskan untuk
bertemu dengan D.J. Somba, karena Sombalah yang mengeluarkan dukungan terhadap
PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah Soekarno saat menjabat sebagai
Komandan KDM-SUT.

Dari daerah Minahasa sendiri, misi perdamaian mulanya datang dari kalangan Tokoh
Agama khususnya dari Gereja Masehi Injili di Minahasa pimpinan Domini A.Z.R.
Wenas yang sejak awal telah menyeruhkan untuk perhentian tembak-menembak antara
Permesta dan APRI. Sebagai Ketua Sinode GMIM yang berpengaruh dan dikenal oleh
86
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
para pemimpin Permesta, ia memprakarsai pertemuan antara kedua belah pihak APRI
dengan Permesta di meja perundingan. Untuk maksud itu, ia sempat membicarakannya
dengan Presiden Soekarno dan Ventje Sumual, bahkan jauh sebelumnya pernah di
bicarakan dengan Kolonel Yoop Warouw sebagai Wakil Perdana Menteri Permesta di
Remboken, sebelum Yoop Warouw dibunuh, Pertemuan Ketua Sinode GMIM dengan
Kol. J.F. Warouw di desa Remboken itu terjadi pada tanggal 17 Januari 1960. Wacana
ini selanjutnya dilaksanakan oleh Broer Tumbelaka yang saat itu menjabat sebagai
Wakil Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah yang juga dikenal dekat dengan para
pemimpin Permesta. Dia mulai mengontak para pemimpin Permesta untuk
menyampaikan rencana perdamaian ini,

Usaha perdamaian ini harus dilakukan karena dari kalangan APRI sendiri telah timbul
perasaan jenuh dikalangan angota militer yang sudah sekian lama harus terpisah dari
keluarga juga telah menimbulkan banyak korban dikalangan TNI dalam melakukan
tugas negara, namun belum ada tanda-tanda akan berakhir. Begitupun dari para pejuang
Permesta, perasaan yang sama juga muncul manakalah mereka harus hidup di hutan,
bergerilya tanpa tahu kapan hal ini akan berakhir. Kerinduan akan perdamaian antara
anggota APRI dan pejuang Permesta begitu besar.

Hal ini terbukti ketika pada bulan Oktober 1960, Kol.


D.J Somba mengadakan pertemuan dengan pemimpin
TNI/APRI di desa Lahendong. Hadir juga saat itu Broer
Tumbelaka untuk mengawali usaha perdamaian. Pada
saat usaha perdamaian itu berlangsung, secara spontan
para pejuang Permesta dari kesatuan Batalion Kala
Hitam WK III yaitu Kompi Londok yang beroperasi
disekitar wilayah Lahendong, tanpa perasaan takut turun
ke desa Lahendong dan bertemu dengan pasukan APRI
yang sedang berjaga di pertemuan tersebut. Pertemuan
kedua pasukan yang saling bermusuhan ini tentu saja
tidak direncanakan, kemudian yang terjadi antar kedua
pasukan tersebut ketika bertemu I saling berangkulan
sebagai luapan rasa gembira dan sukacita dari kedua
belah pihak. Memang usaha perdamaian ini belum
mencapai kata sepakat dan masih bersifat rahasia dan terbatas di level pimpinan.
Walaupun demikian, kabar berita tentang usaha perdamaian ini telah terhembus
dikalangan prajurit APRI dan pejuang Permesta. Hal ini berdampak pada intensitas
pertempuran antara Permesta dan APRI yang semakin menurun.

Selanjutnya pada tanggal 14 April 1960, Broer Tumbelaka bertemu dengan KSAD TNI
Jenderal A.H. Nasution dan mendapat dukungan sepenuhnya untuk melanjutkan usaha
mencapai suatu penyelesaian. Kemudian Pertemuan pertama antara Kolonel D.J.
87
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Somba dengan Broer Tumbelaka diadakan pada tanggal 15 Maret 1960 di desa
Matungkas, dekat Airmadidi. Broer menegaskan, ia datang sebagai teman lama,
meskipun diketahui oleh Kolonel Surachman dan Kolonel Soenarjadi (Kastaf
Komando Operasi Merdeka di Sulawesi Utara yang baru), dengan harapan akan dapat
membantu memulihkan perdamaian di Minahasa. Kolonel D.J. Yus Somba
mengatakan bahwa Joop Warouw selamanya memang menganjurkan bahwa "pintu
belakang" dibiarkan terbuka bagi penyelesaian atas pemberontakan PRRI ini, dan bahwa
Joop Warouw, Alex Kawilarang, Ventje Sumual, dan dia sendiri sepakat mengenai
ini.

Atas pertemuan tersebut, maka untuk menyampaikan hasil perundingannya dengan


Broer Tumbelaka, Kolonel D.J. Somba selaku Panglima KDPM Permesta, melakukan
koordinasi dan berkunjung ke wilayah pertahanan Permesta yang merupakan tanggung
jawabnya dari WK I sampai ke WK VI. Usaha itu hampir mengalami kegagalan karena
perundingan perdamaian tersebut oleh Kolonel D.J. Somba belum di koordinasikan
dengan Kolonel Ventje Sumual sebagai KSAD Permesta. Karena sebagai proklamator
Permesta Kol. Ventje Sumual merasa telah dilangkahi kewenangannya oleh
bawahannya, apalagi menyangkut masalah perundingan dengan pihak lawan merupakan
masalah yang sangat prinsipil dan merupakan kewenangan pucuk pimpinan tertinggi
Permesta. Namun usaha itu kemudian oleh D.J. Somba diberikan kepada Lendy
Tumbelaka dari SUAD Permesta dan Abe Mantiri seorang tokoh politik yang
tergabung dalam staf Pemerintahan Agung Permesta, untuk dilanjutkan dengan Broer
Tumbelaka hingga usaha perdamaian rampung.

Untuk mengakomodir salah satu


tuntutan Permesta, pada tanggal 30
Maret 1960, Sistem pemerintahan
daerah otonom Daerah Tingkat I
Sulawesi Utara diberlakukan
dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah RI No.5/Tahun 1960
yang menetapkan pembagian
wilayah administratif provinsi
Sulawesi menjadi dua wilayah
administratif masing-masing
provinsi Sulawesi Utara-Tengah (Sulutteng) dan provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara
(Sulseltra). Arnold A. Baramuli, SH ditunjuk sebagai pejabat Gubernur Sulawesi Utara
dan Tengah.

Dalam usaha untuk membawa perdamaian di Sulawesi Utara yang selama ini telah
diusahan oleh Broer Tumbelaka, maka pada tanggal 25 Mei 1960, F.J. (Broer)
Tumbelaka diangkat sebagai Wakil Gubernur provinsi Sulawesi Utara.
88
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
Kemudian pada tanggal 13 Desember 1960, dengan melihat pertumbuhan yang pesat
disegala bidang baik di sektor pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan,
Pemerintah Pusat menganggap perlu mengubah sebutah provinsi Sulawesi Utara Tengah
menjadi Daerah Tingkat I (Dati I atau Daerah Swantara tingkat Pertama) Sulawesi Utara
Tengah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 47 Prp. Tahun 1960.
Gubernur Sulawesi Utara (Sulutteng) yang baru -pertama kali (versi Pemerintah Pusat)
adalah Arnold Achmad Baramuli, SH. yang dijabat dari tanggal 23 September 1960
sampai 15 Juni 1962 yang adalah gubernur termuda di Indonesia saat itu (30 tahun).
Sebelumnya ia adalah Jaksa Distrik Militer provinsi Sulawesi dan wilayah Indonesia
Timur dengan pangkat Letkol Tituler.

Pada tanggal 17 Desember 1960, diadakan pertemuan antara F.J. (Broer) Tumbelaka,
A.C.J. (Abe) Mantiri, Arie W. Supit, persetujuan dicapai mengenai prosedur yang
akan diambil untuk mengakhiri pemberontakan. KSAD TNI Mayor Jenderal A.H.
Nasution secara pribadi menjamin kepada Broer Tumbelaka, bahwa ia "tetap kuat
untuk membela terhadap tarikan kiri-kanan", dan dalam sebuah pidatio yang disiarkan
RRI Manado pada hari ini, ia membahas hal ini dan hal-hal lain yang penting dalam
perundingan antara Permesta dan TNI. Ia mengumumkan ditetapkannya peraturan yang
memberikan hak otonomi kepada provinsi Sulawesi Utara-Tengah yang akan berlaku
sejak Januari 1961. (Permesta Information Online. http://www.permesta)

Perundingan pertama, diadakan di


perkebunan Ritey, dekat hulu Sungai
Malenos. Pihak pemerintah diwakili
Broer Tumbelaka sebagai Wakil
Gubernur Sulut, sedangkan pihak
Permesta diwakili oleh Johan
Tambajong. Perundingan ini
menghasilkan kesepakatan untuk
mengadakan perundingan lanjutan di
desa Malenos dan akan mempertemukan
pimpinan pasukan Permesta dan TNI.

Perundingan lanjutan diadakan di gedung Gereja GMIM Malenos, yang dihadiri utusan
pemerintah RI adalah Wagub Broer Tumbelaka dan Perwira Staf Kodam
XIII/Merdeka, Kol. Supangat. Sedangkan utusan Permesta diwakili oleh Johan
Tambajong dan Letkol Wim Tenges selaku Komandan Brigade WK III. Selama
perundingan berlangsung, keamanannya dijaga ketat oleh pasukan Batalion A/Kompi
Buaya di bawah pimpinan Kapten Permesta Anthon Tenges. Perundingan berjalan baik
dimana masing-masing pihak saling memahami dan berjabat tangan, maka lahirlah
persetujuan perdsamaian untuk mengakhiri perang saudara. Dalam perundingan
89
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
tersebut, telah diputuskan bersama untuk mengadakan gencatan senjata dan upacara
pembuatan naskah perdamaian antara pemerintah RI dengan pasukan Permesta, dan
disepakati diadakan di Desa Malenos Baru yang sekarang ini sudah jadi pemukiman
penduduk. Jarak dari Desa Malenos ke Desa Malenos Baru cukup dengan menempuh
kira-kira 1.500 meter.

Sebelum usaha perundingan dalam


proses penyelesaian, sebuah peristiwa
terjadi tepatnya pada tanggal 10 Februari
1961, beberapa pejuang Permesta
pimpinan Lourens Saerang dengan
kekuatan kurang lebih 10.000 personil
Brigade Manguni dan Anoa turun (WK I)
gunung untuk menyatakan diri kembali
kepangkuan Ibu pertiwi dan diterima
dalam upacara militer oleh Panglima
Kodam XIII Merdeka Kolonel
Soenandar Pryosudarmo di lapangan Langowan. Hai ini dilakukan untuk menanggapi
himbauan dari KSAD TNI Mayjen A.H. Nasution untuk mengajak pasukan PRRI dan
Permesta untuk menghentikan perlawanan terhadap APRI sebagai alat negara Republik
Indonesia dan kembali kepangkuan Ibu Pertiwi.

Puncak dari usaha damai antara keduabelah pihak yang terjadi di desa Malenos,
Minahasa bagian selatan tanggal 4 April 1961 yang disebut Kesepakatan Damai
Malenos. Dengan demikian terhitung mulai 4 April 1961, Permesta sudah dinyatakan
berakhir, dan telah berdamai dengan pusat tanpa ada yang kalah, maupun menang.
Salah satu inti dari kesepakatan antara Permesta dan TNI yang termaktup dalam
perjanjian Malenos adalah „Segenap anggota Permesta yang turut di dalam
penyelesaian ini akan dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas segala kegiatan
mereka selama sengketa ini‟.

Kesepakantan Malenos ini disambut


baik oleh para Pejuang Permesta dan
TNI. Dan sejak saat itu pertempuran
antara TNI/APRI dan Permesta
semakin menurun. Hal ini dilakukan
untuk menanggapi himbauan dari
APRI tidak lagi melakukan operasi
penyerangan terhadap kedudukan
Permesta, sebaliknya pejuang
Permesta tidak lagi melakukan
serangan gerilya/penghadangan

90
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
terhadap pasukan APRI. Kedua pihak mengambil posisi defensif. Pasca kesepakatan
Malenos, tak lama kemudian diumumkan gencatan senjata secara menyeluruh baik
dipihak Tentara Pusat/TNI maupun di pihak Permesta. Memang sebelumnya gencatan
senjata telah dilakukan di pihak Permesta dan hanya berlaku dikalangan WK-III saja.

Kesepakatan Malenos ini kemudian dilanjutkan dengan Upacara Penanda tanganan


Perdamaian di Desa Woloan-Tomohon pada tanggal 14 April 1961, yang dihadiri
oleh perwakilan dari Pemerintah Pusat dan TNI, antara lain Wakil Menteri Keamanan
Nasioanl Mayjen TNI. Hidayat, Panglima Komando Antar Dearah Indonesia Timur
(kondait) Brigjend TNI. Achmad Yani, Broer Tumbelaka selaku Wakil Gubernur
SULUTENG. Sedangkan dari pihak Permesta hadir antara lain Panglima Besar
Permesta Mayjen. Alex Kawilarang, Kolonel D.J. Somba, Letko Wim Tenges dan
sejumlah perwira Permesta lainnya, disaksikan oleh George Benson sebagai Atase
Militer Amerika Serikat (mewakili Blok Barat) dan Atase Militer Yugoslavia (Mewakili
Blok Timur).

Upacara defile "Penyelesaian"


penyambutan kembalinya Permesta ke
pangkuan RI secara resmi diadakan di
Susupuan, yaitu perbatasan kota
Tomohon dengan Desa Woloan, yang
mana GMIM selaku fasilitator yang
mempersiapkan lahan upacara
pertemuan. Sekitar 30.000 tentara
Permesta di Sulawesi Utara saat itu
keluar dari hutan-hutan setelah
diadakan perundingan damai antara
Permesta-Pemerintah Pusat. Dalam
upacara tersebut, disiapkan pasukan Permesta dan TNI masing-masing berkekuata n satu
brigade, berparade di lapangan upacara Woloan.

Hadir dalam parade tersebut, utusan pusat Wakil Menteri Pertahanan Mayjen TNI-AD
Hidayat (perwira senoir TNI-AD), Brigjen TNI Ahmad Yani, Panglima Kodam
XIII/Merdeka Kolonel TNI Soenandar Priosoedarmo beserta staf, dan petinggi
Permesta; Panglima Besar Permesta Mayjen Alex E. Kawilarang, KSAP Permesta
Kolonel Dolf Runturambi, Kastaf AUREV Kolonel AUREV Petit Muharto
Kartodirdjo, Panglima KDM-SUT Kolonel D.J. Somba, Komandan WK-III Kolonel
Permesta Wim Tenges, Staf Markas Komando Permesta, a.l. Kolonel Permesta Lendy
R. Tumbelaka, Letkol tituler Permesta A.C.J. Mantiri (Sekjen Dephan Permesta),
staf komando Angkatan Perang Permesta lainnya, Atase militer negara asing antara lain
Kolonel George Benson dari Kedubes Amerika Serikat (yang dulunya ikut
mengkoordinasikan penyaluran senjata kepada Permesta), Gubernur Sulutteng Arnold
91
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
A. Baramuli, SH, Wagub F.J. (Broer) Tumbelaka, dan stafnya, anggota pemerintahan
setempat, serta masyarakat.

Parade diadakan dua kali, yaitu untuk


Wakil Menteri Pertahanan RI Mayjen
TNI Hidayat dan kedua kalinya untuk
Panglima Besar Permesta Mayjen Alex
E. Kawilarang. Dalam upacara ini juga
WAKASAD (Wakil KSAD) Mayjen
TNI Hidayat menerima Mayjen
Permesta Alex E. Kawilarang sebagai
seorang teman lamanya, selain beberapa
perwira seperti Pangdam XII/Merdeka
Kolonel TNI Soenandar dengan Kastaf
Angkatan Perang Permesta, Kolonel Permesta Dolf Runturambi, yang adalah sekelas di
SSKAD 54/55.

Untuk merealisasi hasil kesepakatan perdamaian Woloan, maka pada tanggal 12 Mei
1961 dilakukan temuan antara KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution dengan Mayor
Jenderal Alex Kawilarang di desa Kamasi – Tomohon dalam rangka membicarakan
tentang penanganan eks anggota Permesta terutama mereka yang akan melanjutkan
karirnya di bidang militer.

Setelah pertemuan itu, hampir 30.000


tentara Permesta di Sulawesi Utara
keluar dari hutan-hutan. Alex
Kawilarang dan Abdul Haris
Nasution sepakat untuk bersama-sama
menghadapi kekuatan komunis di Pulau
Jawa. Tetapi belakangan Kawilarang
kecewa pada Nasution yang tidak
menepati janjinya. Sejumlah perwira
Permesta ditahan dan yang lainnya
diturunkan pangkat. Ribuan pasukan
Permesta setiba mereka di pulau Jawa
dilucuti dan dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi. Sebagian lagi dikirim ke
perbatasan Kalimantan Utara dan berperang melawan tentara Inggris Ghurka dalam
masa konfrontasi dengan Malaya.

Dengan rampungnya proses kesepakatan perdamaian ini, maka Pemerintah Pusat


menempati janjinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 322 tahun 1961
tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi kepada para pengikut Gerakan Permesta
92
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
dibawah pimpinan Letkol Ventje Sumual, Brigjend. Alex Kawilarang, Laurens
Saerang, dan D.J Somba yang memenuhi panggilan Pemerintah RI kembali
kepangkuan Ibu Pertiwi pada tanggal 22 Juni 1961. Maka selesailah sudah Perjuangan
Permesta. Rakyat mulai kembali mengolah ladangnya yang selama 3 tahun (1958-1961)
terbengkalai karena perang. Roda perekonomian Minahasa mulai bergerak kembali,
walaupun belum pulih sebagaimana mestinya. Dan sampai saat ini perjuangan Permesta
masih terus membekas di hati mantan-mantan pejuang Permesta dan keturunannya serta
penduduk Minahasa pada umumnya.

Bagi sebagian besar penduduk Minahasa menganggap bahwa pejuang Permesta adalah
pahlawan. Dan para keturunan pejuang Permestapun merasa bangga bahwa orang tua
mereka turut andil dalam Perjuangan Permesta, walaupun oleh sejarah mencatat bahwa
Permesta adalah sebuah “Pemberontakan”. Dan kemudian sejarah mencatat pula bahwa
Perjuangan Permesta telah mempengaruhi bentuk kebijakan pemerintah Republik
Indonesia dikemudian hari, baik di masa Orde Baru maupun dimasa Reformasi sekarang
ini. Perjuangan Permesta juga banyak menimbulkan hal-hal yang positif di tanah Toar
Lumimuut yang kita rasakan sekarang ini, dan mempunyai andil besar berdirinya
Provinsi Sulawesi Utara. Inilah Permesta diantara „Pemberontakan‟ dan „Perjuangan‟,
suatu perjuangan yang dilematis !

Beberapa Tokoh Pejuang Permesta

*****

93
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
BAB V

PENUTUP

Kegagalan pembangunan ekonomi pemerintah


Indonesia sejak pembubaran Negara RIS 1950
hingga akhir tahun 1956, bukan hanya dirasakan
berbagai lapisan dan golongan masyarakat, tetapi
juga mengalami kesulitan adalah para prajurit
militer yang ada didaerah. Kalangan komandan
militer kecewa, karena alokasi keuangan bagi
operasioperasi militer dan kesejahteraan prajurit
tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Mereka
mencari sumber dana dengan cara mengekspor
sendiri hasil produksi pertanian tanpa melalui
prosedur atas persetujuan dari Pemerintah Pusat.

Pemerintah Pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya,
dan menamakan kegiatan para panglima tersebut sebagai penyelundupan dan barter.
Sebaliknya daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah pusat tidak sesuai dengan
daerah. Gejolak di daerah merupakan upaya untuk melakukan koreksi terhadap kondisi
bangsa yang morat-marit.Inilah salah satu penyebab kurang harmonisnya Pemerintah Pusat
dengan daerah, yang puncaknya terjadi pergolakan diberbagai daerah khususnya di Sumatera
dan Indonesia bagian timur yang melahirkan gerakan PRRI dan Permesta yang akhirnya
berbuntut pada perang saudara. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya
korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI dan Permesta. Selain itu, pembangunan menjadi
terbengakalai, perekonomian masyarakat menjadi lumpuh dan juga menimbulkan rasa
trauma di masyarakat.

Di Minahasa sebagian besar pemuda masuk menjadi tentara simpatisan Permesta. Mereka
meninggalkan bangku sekolah, kebun dan bidang pekerjaan lainnya untuk beralih menjadi
tentara. Cangkul dan peralatan sekolah diganti dengan senjata api. Para penduduk mengungsi
keluar desa memasuki hutan dan kebun untuk menghindari pertempuran. Ladang-ladang dan
kebun tak dikelola lagi dengan semestinya. Apabila mereka bercocok tanam, itupun untuk
makanan keperluan sehari-hari dan sebagian hasilnya diberikan kepada para pejuang
Permesta yang sedang bergerilya di hutan-hutan. Hal ini menyebabkan roda perekonomian
di Minahasa menjadi mati suri. Taka ada bahan baku yang dapat di import maupun di

94
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
eksport. Kalaupun ada, itu semata-mata untuk keperluan militer yaitu terjadinya perdagangan
gelap, barter illegal yang hasilnya untuk peralatan militer Permesta.

Padahal sebelumnya kehidupan masyarakat Minahasa


sebelum terjadinya pergolakan Permesta sebagian
besarnya adalah bertani yang cukup makmur
dibandingkan daerah-daerah lain. Walaupun
infrastruktur belum memadai seperti halnya di pulau
Jawa, namun roda perekonomian masyarakat masih
berjalan dengan baik. Sektor pertanian yang paling
penting di Minahasa adalah Kopra, hasil alam ini
merupakan sumber yang sangat menunjang ekonomi di
Sulawesi Utara umumnya. Hasil komuniti Kopra ini
menjadi rebutan pengolaannya antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Monopoli perdagangan Kopra oleh
Pemerintah Pusat ditentang oleh daerah.Hal ini
disebabkan bahwa hasil komoniti kopra hanya sebagian
kecil saja yang kembali ke daerah, sedangkan sebagian
besar keuntungannya dipakai untuk pembangunan di
pulau jawa. Hal inilah salah satu yang menimbulkan kecemburuan daerah sehingga terjadi
berbagai pergolakan di daerah-daerah di Indonesia masa kurun waktu 1955-1960.

Inilah salah satu lembaran hitam perjalanan sejarah Indonesia yang masih menimbulkan
perdebatan, pro dan kontra tentang apakah Perjuangan Permesta adalah sebuah
„pemberontakan‟ atau „Perjuangan‟. Perjuangan Permesta dahulu dianggap sebuah
pemberontakan bahkan selalu ditulis dalam buku-buku sejarah Indonesia dan diajarkan di
sekolah-sekolah. Namun eksistensi sejarah Permesta tidak pernah pudar seiring waktu terus
bergilir, rezim pemerintahan di Indonesia silih berganti dari Orde Lama jaman Soekarno
yang menganggap Permesta sebagai gerakan separatis dan pemberontak, berganti ke resim
Orde Baru jaman Soeharto dimana gerakan dan paham Komunis dihancurkan, Permesta
secara tidak langsung dianggap sebagai peletakkan dasar cita-cita bangsa, khususnya
mengenai program otonomi daerah dan negara yang bebas dari paham Komunisme. Cita-
cita dan tujuan Permesta terwujud secara nyata dalam gerakan reformasi yang dilakukan
oleh para mahasiswa diakhir tahun 1990an, dan melahirkan suatu masa pemerintahan
reformasi yang kita rasakan sekarang ini.

=====

95
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
LITERATUR

o Abdullah, Taufiq, Sejarah Lokal di Indonesia. Jakarta;Gajah Mada University Press, 1996.
o Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1992
o Alisyahbana,S. Takdir, Perjuangan Untuk Autonomi Dan Kedudukan Adat di Dalamnya. Jakarta;
Pustaka Rakyat. 1957
o Anwar, H. Rosihan, Sukarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965.
Jakarta.
o Anrooij, Francien van, De koloniale staat, 1854-1942; Gids voor het archief van het Ministerie van
Koloniën; De Indonesische archipel (, Desember 2009; Den Haag: Nationaal Archief) atas tugas dari
Arsip Nasional Den Haag,Terj. Nurhayu W. Santoso & Susi Moeiman, 2014
o Bahar, Safroedin, dan Tangdigiling, Integrasi Nasional: Teori Masalah Dan Stategi. Jakarta, Ghalia,
Indonesia. 1996
o Barbara Harvey, Permesta: PERMESTA Pemberontakan Setengah Hati, Cetakan kedua,
Jakarta,Pustaka Utama Grafiti,1984,
o Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat, 2010
o Burdam, Yohanes, Konflik Otonomi Gereja Di Minahasa, Tesis Pasca Sarjana, Fak. Sasra UNSRAT-
Manado, 2001
o Chambert, Henri dam Ambari, Hasan Muarrif (editor),, Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof.
Dr Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999
o Conboy, Kenneth; Morrison, James., Feet to the Fire CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958.
Annapolis: Naval Institute Press. ISBN 1-55750-193-9.1999
o Compton, Boyd R., Kemelut Demokrasi Liberal, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1993
o Dick Howards, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an.
Pembongkaran Narasi Besar IntegrasiBangsa (2011),
o Feith, , The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Tanpa Tahun Dan Penerbit.
o Sinar Harapan, 1970.
o Fletcher Prouty,Kolonel, Mantan perwira Angkatan Udara Amerika dalam The Secret Team,1973,
o Gardner, Faul, Lima Puluh Tahun Hubungan Amerika Serikat-Indonesia. Jakarta, Pustaka,1999.
o George Mc. Turnan Kahin, “Indonesia” dalam kahin (ed), 1959 Mayor Goverments of Asia
Ithaca,New York: Cornell University Press
o Gonggong, Anhar, Abdul Kahar Mudzakkar dari Patriot hingga Pemberontak, Jakarta:
Grasuindo,1992,
o Gottschalk, Louis, Understanding History. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto dengan
judul “Mengerti Sejarah” Jakarta: UI Press, 1986
o Hatta, Moh, Past And Future. Cornell Modern Indonesia Project. 1960
o Hasanudin, Dinamika Tata Niaga Kopra Di Minahasa (1946-1958), Balai Pelestarian Nilai
Budaya Sulawesi Utara, Manado, 2018
o Iswara N Raditya, Pemberontakan MMC, PRRI dan Permesta, 02 Maret, 2017
o John WilsonIntroduktion To Sosial Movements, New York: Basic Books, Inc Publisher, 1973
o Julius Pour, Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan,1993
o Kahin, Audrey R; Kahin, George McT (Subversion as Foreign Policy The Secret Eisenhower and Dulles
Debacle in Indonesia. Seattle and London: University of Washington Press. 1997).

96
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
o Kahin, Audrey, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926–
1998, 2005
o Kaho, J.R., Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Fisip-UGM dan Rajawali
Press, 1988
o Kartodirjo, Sartono, 1971. Messianisme Dan Millenarisme Dalam Sejarah Indonesia. Jogjakarta:
Harvey, Sillars Barbara, 1989.
o Kasenda, Peter, Kolonel Misterius di Tengah Pergolakan TNI AD, Kompas, 2012
o Kawilarang, A.E,:Uuntuk Sang Merah Putih, 1988.
o Ken Conboy , Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia,2007,
o Ken Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia,1999,
o Koentjaraningrat,. Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional. Jakarta, UI Press, 1993
o Koesoemahatmadja, Pengantar Kearah Pemerintahan Daerah di Indonesia. Bandung, Bina Cipta, 1979.
o Legge, Kroef, Central Autority And Regional In Indonesia, Itaca N.Y. Cornell university press, 1961.
o Lahade, M. Saleh Arsip pribadi No Reg. 325
o Leirissa,R.Z.: PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, cet.1 Jakarta, Pustaka
Utama Graffiti, 1991
o Leirissa, R.Z., Copra Contracten : an indication of economic development in Minahasa during the late colonial
period, 1996 ; J.Th. Lindblad (ed), Historical Foundation of a National Economic in Indonesia
1890s-1990, Amsterdam, North Holland/Oxfort/New York, Tokyo..
o Lombok, Lesza L, Pendidikan Tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan Dalam Hukum Adat Minahasa
Dengan Metode Value Clarification Technique Sebagai Metode Pencapaian Efektifnya, Fakultas Ilmu Sosial,
Universita Manado, 2014.
o Mestika Zed & Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein, Perlawanan Seorang Pejuang , 2001.
o Mestika Zed dalam makalah bertajuk DekadePergolakan Daerah: Mendekati Isu-Isu Konflik Pusat-
Daerah dalam Perspektif Pembangunan Nasional Tahun 1950-an, 2010
o Mokoginta, Murdiono Prasetio, Dampak Gejolak Sparatisme Permesta terhadap Ekonomi di Sulawesi
Utara Tahun 1958-1963, Universitas Negeri Gorontalo,2015.
o Munandar, Aris, PRRI Antara Tuntutan dan Pemberontakan, 2019
o Muzakkar, Abdul Kahhaar. Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemikiran Politik
Pemerintahan Soekarno. Jakarta, Madina Press, 1999.
o Muhaimin A Yahya, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia, 1950 -1980, Jakarta,
LP3ES, 1991
o Nasution, A.H., Memenuhi Panggilan Tugas, Jakarta: Gunung Agung, 1984
o Nico Thamiend R. Sejarah, Untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira-Jakarta, 2000.
o Notosusanto, Nugroho, dkk, Sejarah Nasional Indonesia 3 Untuk SMA, Jakarta: Depdikbud.
1992.
o Pamungkas, Sri Bintang,. Ganti Rezim Ganti Sistem – Pergulatan Menguasai Nusantara. Jakarta: El
Bisma. 2014
o Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku Perjuangannya dalam Pembangunan
Bangsa (1996)
o Ricklefs, M.C., History of Modern Indonesia Since C.1200. Palo Alto/Basingstoke: Stanford University
Press, 2008
o Richard Zacharias Leiriza, PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, 1996,
o Santoso, Budi, dkk, Ingatan Hikmat Indonesia Masa Kini, Hikmah Masa Lalu, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius. 2005.
o Santoso, Budi, dkk,. Masihkah Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2007
o Prang.,Johanis : Masa Mudaku di Rimba Permesta, , disunting oleh Drs Valry S.H. Prang, 2013.
97
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
o Pye, Lucian, The Roots Of Insurgensi Development Of Rebellion, dalam Harry Eckstein (ed) Internal War
Problem And Approaches, London: The Freee Press Of Glencoe Collier- Macmillan, 1964
o Rahkmat, Redi et.all, Tantangan Dan Rongrongan Terhadap Keutuhan Dan Kesatuan Bangsa: Kasus
PRRI. Jakarta: Jarahnitra. 1992
o Renier, G,J, History Its Purpose And Method, diterjemahkan oleh muin umar dengan judul Metode Dan
Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 1997
o Sartono, S, S.Pd, dkk, Sejarah Umum dan Nasional 3, SMU, PT. Pabelan Surabaya, 1996.
o Scott, Peter Dale, CIA Dan Penggulingan Soekarno. Yogyakarta: Lembaga Analisis Informasi, 1999
o Scholten, Mieke, Legitimasi sementara : Pemerintahan Desa di Minahasa, PT. Gramedia, Jakarta, 1988.
o Suhardiman, Prof,Dr,SE, Pembangunan Politik Satu Abad, Yayasan Lestari Budaya,1996.
o Sulu, Phill M., PERMESTA,Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2011.
o Soekamto, Soerjono, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
o Sundhaussen, Ulf, 1988, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES
o Tamin, Nico R, Manus, M.P.B, Sejarah, untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira, Jakarta 2000.
o The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara RI. Jilid II, Yogyakarta: Liberty,1994
o The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jilid III, Yogyakarta:
Gunung Agung, 1967
o Tampubolon, L. T. Inplasi dan Kebijaksanaan yang telah dijalankan di Indonesia, 1945-1962, Skipsi
Sarjana EUI, 1965
o Usman, Syafaruddin & Isnawita, Neoribelarisme Menguncang Indonesia,Narasi Yogjakarta, 2019
o Usman, Tampubolon, Pemborontakan PRRI/Permesta: Tahap Akhir Pemerintahan yang Labil,
Prisma No. 7, 1978
o Sumual, Ventje, Memoar Ventje H.N. Sumual. Suntingan Edi Lapian, Frieke Ruata dan BE
Matindas. - Terbitan Bina Insani Jakarta, 2009
o Wahyono, Effendi, Tesis Pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa (1870-1942),
Perpustakaan Unuversitas Indonesia
o Wardaya, Baskara T. Bung Karno Menggugat (2010)
o Wardiatmoko, K, Ilmu Pengetahuan Sosial, Erlangga, Jakarta 2002
o Wijaya, A.W., Titik Berat Otonomi, Jakarta: Raja Grafindo Persada1995
o Wenas Ds. A.Z.R Pelajan Geredja di Minahasa, Bulletin Dewan Gerejagereja Sulutteng (1897-1967), 1968.
o Yoseph Tugio Taher, Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia, 2010,
o Yusnawan Lubis, dkk, Pendidikan Kewargaan Negara, untuk SMA/SMK Kls XI, KEMENDIKBUD,
Jakarta, 2017.

o Media Sosial/Internet :
- Permesta Information Online. http://www.permesta.8m.net E-mail:webmaster@permesta
- Iverdixon Tinungki,Sumber: bluezevas.wordpress.commengutip:
http://www.geocities.ws/permesta2004/organisasi.html
- Paguyubanpulukadang, Sejarah Permesta, 2019
- Tribunmanado.Co.Id, Manado Jumat, 13 September 2013 – KSAD AH Nasution Tolak Permintaan
Alex Kawilarang, https://manado.tribunnews.com/2013/09/13/ksad-ah-nasution-tolak-permintaan-
alex-kawilarang.
- Ttribunmanado.co.id dengan judul Kolonel Alex Kawilarang Kecam Pemerintah
Pusat, https://manado.tribunnews.com/2013/09/13/kolonel-alex-kawilarang-kecam-pemerintah-pusat.

98
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022
- Ttribunmanado.co.id dengan judul Letkol Ventje Sumual Perintahkan Bersiap Hadapi Militer
Jakarta, https://manado.tribunnews.com/2013/09/13/letkol-ventje-sumual-perintahkan-bersiap-
hadapi-militer-jakarta.
- Eko usdianto, Permesta dan Awal Otonomi Daerah, Historia, 08 Januari 2016.

99
MINAHASA & PERKEMBANGANNYA ( 1950-1961 )
Drs. Valry S.H. Prang, 2022

Anda mungkin juga menyukai