Penanggung Jawab Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM Taar Era Rumoong Atas
Pengarah 1. Pdt. P.M. Tampi, S.Th., M.Si
2. Pnt. Prof. Dr. Theo Mautang, M.Kes., AIFO
3. Pnt. Prof. Dr. Ferdy S. Kawatu, M.Si
4. Drs. Roy Tumiwa, M.Pd
Ketua Asiano G. Kawatu, SE,M.Si
Wkl. Ketua H.F. Karundeng
Sekretaris Drs. Donald R.E. Ruindungan, M.Pd
Wkl. Sekretaris Pdt. Ronny Tumewu, S.Th
Bendahara F.I. Kondoy, S.Pd
Anggota Pdt. W. Suoth, S.Th
Anggota Katotje Rumangu-Sumakul, BA
Anggota Pnt. Ir. Vera Kumaat
Syalom,
Sejarah adalah ibu dari pengetahuan manusia dan berusia setua dengan ingatan
manusia. Ketika manusia dilahirkan, ia hidup, bekerja, berbicara dan memiliki
sejarah. Hanya manusialah yang memiliki sejarah dan sanggup mempelajari
berbagai macam sejarah. Dalam sejarah seperti ini manusia tampil sebagai
pencipta sejarah. Dan karena itu sejarah merupakan agregat dari aktifitas
manusia. Inilah ungkapan dari seorang filsuf dan sejarahwan Michel Foucault.
Akhir kata semoga penulisan ini dapat berguna bagi jemaat GMIM di Rumoong
dan Lansot, khususnya dalam rangka menuju pembentukan Gereja Sentral
Rumoong-Lansot.
TUHAN MEMBERKATI.
i
DAFTAR ISI
PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
SAMBUTAN-SAMBUTAN iii
DASAR PENGINJILAN vi
DAFTAR PUSTAKA v
NASKAH / TULISAN DOKUMENTASI vi
LAMPIRAN-LAMPIRAN vii
- SK Susunan Panitia
- Daftar Nama-nama Pelayan Khusus Jemaat Rumoong & Lansot.
- Peristiwa-peristiwa Sejarah di Rumoong Lansot
Mengenang Peristiwa Penginjilan mula-mula.
Mengenang Peristiwa heroik Pengibaran Bendera Merah Putih
Peristiwa Bencana Alam
Peristiwa penemuan sumber mata air pertama
- Cerita Rakyat Rumoong-Lansot
Sejarah Asal Mula Nama Tareran
Legenda Lipan & Konimpis
Pertempuran Minahasa & Bolaang Mongondow di Kuntung Tareran
- Lagu Lagu Tua [Rumayo wo Numani)
SAMBUTAN
KETUA PANITIA PENULISAN SEJARAH
--------------------------------------------------------
SAMBUTAN
KETUA BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT (BPMJ)
GMIM “ NAZARETH VELDEN CAPELLEN “ LANSOT TIMUR
“ Kepada-Ku telah diberikan kuasa di Sorga dan di Bumi. Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus, dan ajarkan mereka melakukan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai kepada akhir Zaman”. (Injil Matius 28 :18-20)
“Pergilah kamu keseluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk ”. (Injil
Markus 16 :15).
Perintah Yesus inilah yang menjadi dasar pengabaran Injil yang dilakukan oleh
para Rasul dan murid-murid Tuhan Yesus. Dan dengan perintah tersebut maka
pergilah mereka memberitakan Injil mula-mula di Yerusalem dan diseluruh Yudea
dan Samaria, ke Asia kecil hingga kesegala penjuru dunia. Dan Tuhan turut
bekerja dan meneguhkan Firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.
Pada akhir abad pertengahan yaitu pada akhir abad ke-15, perhatian tiap
negara di Eropa tertuju terutama kepada penumpukan emas – perak dan
rempah-rempah. Negara-negara yang banyak memiliki timbunan emas dan
perak, dan menguasai jalur perdagangan rempah-rempah maka negeri itu
kaya. Negara yang kaya adalah kuat dan dapat memenangkan peperangan.
Itulah sebabnya maka berlomba-lomba orang Eropa yang dipelopori terutama
oleh Spanyol dan Portugal mengarungi lautan mencari emas dan perak ke
negeri Inca di Peru, dan ke daerah Yucatan di Mexico serta pusat-pusat
kerajaan Indian di benua baru Amerika. Benua baru Amerika dikenal akan
kekayaan alamnya yang banyak mengandung logam mulia yaitu emas dan
perak, sehingga benua Amerika disebut Eldorado yang artinya negeri emas
dan perak.
Tiga tujuan ini berpada dalam satu tekad yang menjiwai dan merupakan bekal
dari setiap pelaut dan setiap kapal yang berangkat dari Eropa.
Pada setiap kapal yang mengarungi lautan turut serta pula para
penginjil/pendeta yang bertugas selain menjaga keselamatan jiwa anak kapal,
juga bertujuan menyebarkan Agama Kristen kepada orang-orang yang belum
menerima Kristus sebagai Juruselamat di daerah-daerah yang didapatinya.
Layar-layar kapal, peralatan perang, senjata dan pada baju-baju jubahnya
yang terdapat di atas kapal terhias gambar Salib. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka datang bukan saja sebagai pedagang, tetapi juga sebagai prajurit salib
yang bagi pelaut-pelaut Eropa terutama Spanyol dan Portugal dijiwai pula
semangat Reconquesta, yaitu semangat pembalasan atau penaklukkan
kembali terhadap orang-orang Islam yang telah menguasai negeri dan tanah
Iberia (Spanyol dan Portugal) selama tujuh abad lamanya yaitu dari tahun 711
sampai dengan tahun 1492.
Setelah Spanyol menguasai jalur barat yaitu wilayah Mexico, Hawaii dan
sebagian wilayah timur yaitu Philipina, Portugis juga menguasai jalur timur yaitu
dari tanjung harapan hingga ke Halmahera dan sebagian daratan Amerika yaitu
Brasilia yang sesuai dengan perjanjian Thordosilas antara Spanyol dan
Portugal tahun 1521, bangsa-bangsa Eropa lainnya mulai melakukan
penjelajahan samudera yaitu Perancis, Inggris, Belanda, Jerman, dan negara
Eropa lainnya, sehingga mengakibatkan pertentangan, persaingan dan
benturan diantara bangsa-bangsa Eropa itu.
Masuknya agama Kristen di Indonesia pada mulanya tak terlepas dari peran
orang-orang Portugal (Portugis) dalam mencari dan menguasai jalur
perdagangan rempah-rempah di Asia Timur khususnya di kepulauan
Nusantara.
Kesulitan ekonomi yang dialami oleh bangsa Belanda akibat dampak dari
perang berkepanjangan dengan Spanyol, telah memaksa mereka untuk
melakukan perjalanan menuju ke pusat rempah-rempah. Semula bangsa
Belanda dapat bekerja sama dengan Portugal dengan mengangkut bahan-
bahan rempah-rempah dari pelabuhan-pelabuhan yang telah dikuasai oleh
Portugal. Tetapi sejak tahun 1580 daerah Portugal telah dikuasai oleh
Spanyol. Karena Belanda sedang berperang melawan Spanyol, maka
tertutuplah daerah kekuasaan Portugal bagi Belanda. Sebab itu bangsa
Belanda terpaksa mencari dan membeli bahan-bahan langsung ke pusat
perdagangan rempah-rempah yaitu kepulauan Nusantara.
Pada tahun 1596 dilepaslah armada Belanda yang pertama dengan 4 buah
kapal laut dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Mereka masuk
kekepulauan Nusantara dan mendarat di Banten. Karena sifat
keserakahannya, mereka dimusuhi oleh orang Banten sehingga terpaksa
menyingkir dan tiba di Bali. Berbeda dengan orang Portugal dan Spanyol,
kedatangan bangsa Belanda hanya didorong oleh dua faktor yaitu ekonomi
dan petualangan. Belanda kurang berminat kepada usaha penyebaran
agama. Perjalanan pertama orang Belanda ini tidak berhasil dan akhirnya
kembali ke negeri Belanda.
Gereja Katholik yang merupakan misi Gereja tertua di Indonesia tentu saja
tetap menggunakan Pahlawan-pahlawan Salib seperti Francisco Xaverius,
Simon Vaz dan Diego Magelhaes dalam semangat heroisme iman yang
lestari. Begitu besar jasa mereka mengabdikan diri bagi kemuliaan Tuhan
dan peradaban umat manusia. Bukan saja gereja-gereja yang nampak
megah, tetapi dunia pendidikan, pengetahuan dan bengunan Rumah Sakit
untuk masyarakat umum terbawa dalam misi Gereja Katholik tersebut.
Tindakan sewenang-wenang dari pemerintah Belanda di Indonesia atau
yang dikenal dengan Pemerintah Hindia Belanda kepada penduduk
setempat, sangat memprihatinkan para Penginjil, sehingga dikalangan para
Penginjil yang datang tersebut tak sedikit yang menentang sikap dan
tindakan tersebut. Salah satunya adalah pendeta yang bernama Ds. Baron
Van Hoevel (1837) yang menentang keras praktek kerja paksa di Pulau
Jawa yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Begitupun salah
seorang pengarang dan penulis dari Belanda bernama Dowes Dekker
yang dikenal di Indonesia dengan nama Multatuli, juga mengambil sikap
tegas terhadap tindakan politik kolonialisme Belanda di Indonesia.
Pengkhabaran Injil dilakukan di Indonesia sejalan dengan dibangunnya
sekolah-sekolah diberbagai daerah untuk mendidik kaum anak negeri dari
segala keterbelakangannya. Pada tahun 1814, NZG mengirimkan Pendeta
Joseph Kam, Brukner dan Adams ke Indonesia dengan tujuan untuk
membantu usaha penginjilan kepada penduduk pribumi serta mendirikan
sekolah-sekolah anak-anak pribumi.
------------------------
BAB II
SEJARAH PENGINJILAN DI TANAH MINAHASA
Masa selanjutnya ketika orang Minahasa mulai berubah maka hilanglah cerita
mengenai agama purba Minahasa yang hanya dilafalkan oleh para walian
sebagai pemimpin agama. Keterangan dari Pater Blas Palmino tahun 1619
yang melihat bahwa orang Minahasa mengenai adanya tiga dewa langit, tiga
dewa bumi dan tiga dewa dalam tanah. Di atas opo-opo (dewa-dewi) itu
adalah Empung Wailan Wangko.
Selain itu terdapat pula pimpinan informal lainnya yang disebut Potouasan (tou
berarti orang dan Osan/posan sama dengan pemali/tabu); mereka dahulu
terdiri dari para tua-tua kampung yang merupakan tempat meminta nasihat
oleh penduduk desa, karena dianggap orang yang ahli dalam menafsirkan
mimpi, ahli ilmu sihir mengusir setan dan juru obat. Pengobatan yang dilakukan
oleh Potouasan untuk menyembuhkan orang sakit dengan cara-cara tradisional
disebut pengobatan Makatanak. Masa sekarang Potuasan ini disebut dukun
dengan keahlian masing-masing seperti seorang perempuan yang ahli
membantu kelahiran bayi disebut dukun bayi atau Byang. Sedangkan orang
yang ahli dalam melakukan upacara untuk mencari pencuri disebut Tukang
Mawi. Begitupun dukun yang melakukan upacara yang merugikan orang lain
(black magic) disebut Pandoti.
Kepercayaan Alifuru
- Kepercayaan akan roh orang tua atau kerabat yang sudah meninggal,
dianggap masih berada disekitar tempat kediaman penduduk, atau lazim
disebut mukur. Sebab penduduk pada saat itu percaya bahwa seseorang
yang sudah meninggal dapat menggangu orang yang masih hidup. Oleh
sebab itu apabila ada keluarga yang sakit atau meninggal dunia yang belum
dikuburkan, harus dijaga atau jangan ditinggalkan sendirian, sebab orang
yang sakit atau yang mati akan dilarikan oleh si mukur tersebut.
---------------------
B SEJARAH MASUKNYA INJIL DI TANAH MINAHASA
Berita pembabtisan ini terungkap lewat surat dari Pater Diego Magelhaes
yang dirujukan kepada Pater Mascarenhas di Lisabon pada tanggl 28 Juli
1563. Tahun 1569, Pater Blas Polonimo masuk Minahasa dan mencoba
memperkenalkan Injil kepada penduduk Minahasa.
Pada tahun 1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama
menjadi Islam. Oleh karena itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke
pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru
lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan
misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil
sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti
dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia
terbunuh setelah mendarat di antai Kema, dia menulis mengenai sikap
permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris
asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali
bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol
untuk masuk ke pedalaman Minahasa.
Belanda berhasil mendirikan benteng di Manado yang diberi nama ‘De Nederlandsche
Vestigheid’. Pada tahun 1657 diubah namanya menjadi Benteng Ford Amsterdam
Sekitar abad 18 datang pula Ds. Arnoldus Branst yang beberapa waktu
bertugas di Manado, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Bolaang-
Mongondow. Dan sampai pada tahun 1728 ketika Ds. Georg Hendric
Wernly yang berasal dari Swiss melayani di Manado, sudah ada sekitar
616 orang Kristen Protestan. Dan pada tahun 1788 datanglah dua orang
pendeta Belanda yaitu Ds. Rousselet dan Ds. John Ruben Adams yang
telah menguasai bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kententuan dari
VOC yang mengharuskan para pendeta yang datang ke tanah Minahasa
harus menguasai bahasa Melayu. Pendeta Adam di tempatkan di Tondano
dan melakukan penginjilan sampai di pesisir timur pantai Tondano sekitar
daerah Kapataran.
Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada
pelayanan lagi, lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda.
Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim dua orang
penginjil yaitu Ds. L. Lammers yang ditempatkan di Kema dan Ds. D.W.
Muller. Yang ditempatkan di Manado. Ds. L. Lammers karena sakit-
sakitan akhirnya meninggal dunia dua tahun kemudian(1824). Sedangkan
Ds. D.W. Muller. meninggal dunia tiga tahun kemudian ditengah-tengah
daerah pelayanannya (1827) di Manado.
Pada tahun 1827 tibalah Gerrit Jan Hellendoorn yang bertugas sebagai
seorang pendeta di Manado. Dengan dibantu oleh orang-orang pribumi
yang sudah didiknya, ia memasuki derah pedalaman Minahasa untuk
mengembangkan pelayanan penginjilan. Di daerah Tondano, ia bertemu
dengan kepala-kepala negeri Tondano yang sangat merindukan berdirinya
sebuh sekolah. Sambutan kepala-kepala negeri Tondano yang berjanji
akan membantu menyediakan sebuah sekolah asalkan ditempatkan
seorang guru di sana, memicu semangat
Hellendoorn untuk membantu mereka. Akhirnya
pada tahun 1828 berdirilah sekolah yang
pertama di tanah Minahasa di Tondano.
Pekerjaan perintisan pelayanan ke pedalaman
membawa hasil yang sangat bagus sehingga
dia dinyatakan sebagai seorang peletak dasar
misi Protestan dan pendidikan di tanah
Minahasa.
Dan hal yang paling melegakan dalam sejarah perkembangan Injil di tanah
Minahasa adalah usaha para penginjil meningkatkan kecerdasan
masyarakat pribumi lewat pendidikan. Pada tahun 1826 pendeta
Hellendoorn mendirikan sekolah pertama di Tondano (cikal bakal lahirnya
Sekolah STOVIL (1886) dan sekolah Penolong (Pembantu pendeta) di
Tomohon (1868 – 1879).
- Resort Tomohon
- Resort Tondano
- Resort Langowan
- Resort Amurang
- Resort Kumelembuai
- Resort Tanawangko
- Resort Kema
- Resort Talawaan
- Resort Sonder
- Resort Ratahan
Memasuki Abad 20, Indische Kerk atau kemudian disebut Gereja Protestan
di Minahasa mengalami perubahan yaitu diserahkannya pelayanan Jemaat
Minahasa dari NZG kepada Gereja Protestan Indonesia [GPI] dengan
mendirikan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang bersinode
sendiri pada tanggal 30 September 1934, GMIM berdiri sebagai Gereja
yang mandiri (Bersinode), sesuai
dengan Keputusan Pemerintah
Belanda No. 76 Tahun 1935
tertanggal 24 Desember 1935
dalam lingkungan Gereja Protestan
Indonesia (GPI) yang berpusat di
Jakarta.
(Berdasarkan Beslit Gubernur
Jendral Hindia Belanda 17
September 1935 No.5 ).
Ketika GMIM dinyatakan sebagai gereja yang berdiri sendiri , Gereja ini
tetap menjadi bagian deri gereja Negara. Hal ini berdasarkan pernyataan
dari Mr. J.E. van Hoogstraten seorang anggota Kerkbestuur ( pengurus
Gereja di Negara ) tahun 1933. Jadi pengaturan Gereja di Minahasa tidak
dapat diubah secara principal tanpa persetujuan pemerintah.
Pendeta – pendeta Belanda yang menjabat ketua Sinode adalah :
- Ds. E.A.A. de Verde 1934-1935
- Ds. C.D. Buenk 1935-1937
- Ds. H.H. van Herwerden 1941-1942
- Dr. G.P.H. Locher
Pada awal GMIM berdiri terdapat 11 classis yang diadaptasi dari resort, 360
Jemaat dengan 6000 Majelis Jemaat. Classis dirubah menjadi wilayah, dan
telah tersusun jemaat lingkaran sebanyak 35 lingkaran.
------------------------
BAB III
SEJARAH NEGERI RUMOONG-LANSOT
A. IDENTIFIKASI WILAYAH
Sekarang ini Neg’ri Rumoong & Lansot secara administrasi telah dimekarkan
menjadi 4 (empat) Desa yaitu untuk Rumoong Atas dimekatarkan menjadi 2
(dua) desa yaitu Desa Rumoong Atas & Desa Rumoong Atas Dua. Kemudian
Lansot dimekarkan pula menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Lansot & Desa
Lansot Timur.
1. Letak Dan Keadaan Geografis.
Secara geografis, desa Rumoong dan Lansot adalah dua buah desa di
daerah pengunungan Minahasa Selatan yang terletak diantara 1,15° LU
dan 125,45° BT dengan ketinggian tanah ± 630 M di atas permukaan laut,
sehingga kedua desa ini berhawa sejuk.
Sungai yang mengalir di wilayah kepolisian desa Lansot umumnya kecil dan
yang terkenal adalah sungai Tu’unan dan Memea’, dan sungai-sungi kecil
lainnya yang mengalir pada musim penghujan.. Sungai Tu’unan oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dipakai untuk pengolahan air bersih
yang dikonsumsi penduduk di beberapa desa di Kecamatan Tareran.
Batas wilayah secara adat antara satu desa dengan desa lainnya tidak
terdapat di daerah Tareran karena merupakan satu wilayah sub suku
Tountemboan. Batas wilayah secara adat hanyalah berdasarkan pembagian
wilayah antara suku-suku Minahasa pasca pertemuan di Watu Pinawetengan
(Th. 1031 M).
Wilayah Kepolisian bagian selatan Rumoong & Lansot, nampak dari jauh pegunungan Soputan.
B. SEJARAH BERDIRINYA NEG’RI RUMOONG DAN LANSOT.
Segala kejadian alam baik gempa bumi maupun sakit penyakit dan kemiskinan
dipercaya sebagai akibat dari ketidak taatan penduduk dihadapan opo-opo
para nenek moyang leluhur dan merupakan ujian dari Opo Kasuruan Wangko
yang dipercaya sebagai pencipta langit dan bumi.
Pada masa dahulu sesuai dengan adat dan tradisi bahwa sebelum mendirikan
kampung, para tonaas selalu melakukan ritual keagamaan dan diakhiri dengan
menancapkan sebuah batu ditengah-tengah perkampungan yang akan
didirikan. Batu itu dinamakan Tumotoa artinya ‘panggilan kepada penduduk
untuk membangun bersama’. Biasanya tempat diletakkan Batu Tumotoa
dijadikan lapangan dan pusat perkampungan untuk tempat berkumpul
(maumung) atau tempat pertemuan (papetaupan) penduduk desa apabila akan
mendengarkan suatu pengumuman oleh pemimpinnya. Tumotoa juga
digunakan sebagai altar untuk acara perkawinan penduduk pada masa itu.
Lapangan tempat batu Tumotoa itu berada itu disebut Lesar.
- Mereka tidak mau meninggalkan lahan pertanian yang telah mereka kelola
dan diwariskan secara turun-temurun begitu saja. Sebab untuk membuka
lahan perkebunan baru dengan membabat hutan sangatlah sulit dan
hasilnya belum tentu lebih baik.
- Mereka tidak mau meninggalkan tempat para leluhur mereka (datu/opo)
disemayamkan/dikuburkan yang dianggap keramat dan menjadi tempat
pemujaan mereka kepada roh-roh dan arwah-arwah para leluhur itu.
Dengan keyakinan bahwa para leluhur mereka (opo-opo) akan melindungi
dan melepaskan mereka dari segala bencana.
Namun demikian pada kira-kira akhir abad 16, penduduk yang tetap tinggal
karena bimbang dan ragu-ragu (cakiowa) tersebut mulai memindahkan
pemukiman mereka tidak jauh letaknya dari pemukiman lama dan kemudian
disebut orang kampung
Kiawa. Nama Kiawa diambil
dari kata Kiowa (Bahasa
Toutemboan) yang berarti
serba tanggung, serba
salah (dalam bahas Melayu
Manado sehari-hari disebut
“salah-salah”) karena waktu
itu penduduk yang
memindahkan kampung
tersebut di lingkupi perasaan
bimbang dan ragu-ragu untuk
meninggalkan daerah itu.
Pada suatu hari (endo makasa) mereka tiba disuatu aliran sungai kecil
(Tu’unan) yang bermuara di sungai besar Nimanga. Mereka percaya bahwa
dengan berjalan menyusuri (lamet) ke arah hulu sungai, mereka akan
menemukan sumber air dari sungai yang berarti bahwa tanah itu subur.
Maka mulailah mereka mengikuti sungai dengan harapan bahwa daerah yang
mereka idam-idamkan semakin dekat. Tak lama kemudian mereka tiba
disuatu aliran sungai kecil (memea’) yang air sangat jernih (leno) mengalir ke
sungai yang mereka telusuri itu. Di arah tenggara sekitar tempat itu (bagian
timur laut jembatan Tu’unan sekarang) terdapat daerah yang dianggap cocok
dan baik sebagai pemukiman. Mereka memutuskan untuk tinggal dan
menetap sementara di daerah itu yang tak jauh (anduru) letaknya dari kedua
sungai tersebut hingga menemukan daerah yang lebih cocok untuk
pemukiman tetap mereka. Tetapi sebagian penduduk tidak menyetujuinya
dan berniat untuk melanjutkan perjalanan. Perselisihan diantara para
pendudukpun terjadi. Akhirnya para dotu mengambil jalan musyawarah
sambil mendengarkan tanda-tanda burung. Setelah mengadakan
musyawarah akhirnya disepakati tempat itu untuk menjadikan tempat
pemukiman sementara.
Kantor Hukum Tua Lansot sekaligus Balai Pertemuan Desa (Foto 2016)
Setelah mandi di aliran sungai itu, tak lama kemudian mereka tiba disuatu
tempat dimana banyak terdengar kicauan burung juga terdapat sumber mata
air (palemboian / lamboi) yang dapat diminum. Melihat keadaan lokasi yang
baik (kasamaan) untuk pemukiman, daerah yang subur dan ramai oleh
kicauan burung, maka para dotu menetapkan daerah itu menjadi tempat
pemukiman yang baru. Dan sebelum mereka membuka perkampungan baru
(Tumani), sesuai kepercayaan penduduk sejak lama, maka dilakukan ritual
keagamaan untuk meminta izin dari opo-opo yang mendiami tempat tersebut
dan restu dari Opo Kasuruan Wangko agar diperkenankan bagi penduduk
untuk membuka pemukiman. Setelah ritual keagamaan dilakukan, mereka
lalu menancapkan batu (Tumotoa) ditengah-tengah lokasi sebagai tanda
bahwa lokasi tersebut telah direstui untuk mendirikan kampung baru. Untuk
menentukan nama yang akan diberikan, maka para dotu mengadakan
musyawarah di dekat batu Tumotoa. Sepanjang musyawarah berlangsung,
para tonaas/dotu belum juga mencapai kata sepakat mengenai nama yang
tepat untuk pemukiman yang akan mereka dirikan. Diantara para dotu ada
yang menginginkan nama kampung lama (Tongkibut) sebagai nama
kampung yang akan dibangun, tetapi dotu yang lain berpendapat berbeda.
Lebih dari seabad penduduk menetap di daerah ini yang diperkirakan awal
berdirinya Desa Lansot (kampung lama) sekitar tahun 1560 Masehi dan
ditempati oleh penduduk mula-mula hingga tahun 1667 Masehi. Tetapi pada
akhir abad 17 penduduk desa Lansot yaitu anak-cucu penduduk Lansot mula-
mula mulai pindah ke atas bukit sebelah utara dari perkampungan lama yaitu di
sebelah utara dari pohon lowian. Hal ini berlangsung pada masa
berkecamuknya pertempuran antara Minahasa dan Spanyol (Perang Takisela)
di Minahasa Selatan pada sekitar tahun 1644 hingga tahun 1667 ditandai
dengan puser intana yaitu kira-kira 10 m diperbatasan Desa Lansot dan desa
Rumoong Atas (sekarang halaman/kintal Keluarga Kawatu). Perpindahan
penduduk desa Lansot ke lokasi pemukiman baru disebabkan karena semakin
bertambahnya penduduk dan sempitnya perkampungan lama. Letak
perkampungan Lansot pada waktu itu masih berada di lokasi yang kemudian
disebut Wale Ure di sekitar Pasar hingga di belokan desa Rumoong Atas
(sekarang jalan setapak (Wetes) menuju Kantor Kecamatan). Sekarang sudah
termasuk wilayah Desa Rumoong Atas sejak tahun 1924 di bawah Hukum Tua
Josepus Lumankun.
Suasana Pasar Tareran- Lansot sebagai pusat perdagangan sebelum Kebakaran thn 2014
(foto 2006)
Pasar Tareran Lansot sesudah direnovasi dari kebakaran ( Foto Feb. 2016)
2. ASAL-USUL DAN SEJARAH BERDIRINYA DESA RUMOONG ATAS
Tonaas Palandi adalah seorang yang ahli memanggil burung (sumoring) dan
menirukan suara burung (soring).
Tonaas Sage adalah seorang yang ahli memasang patok (pasek). Sebab
pada saat dahulu untuk memasang patok/pasek baik untuk tempat
pemukiman, batas kebun dan wilayah tidak boleh sembarangan. Sage inilah
yang konon dikenal sebagai pemasang kepala orang Mongodow yang
ditancapkan di atas patok (pasek) yang ditanamnya dan dijejerkan di
sepanjang pergunungan Tareran. (Lihat cerita rakyat asal nama Tareran).
Tak lama kemudian dari daerah Langowan datang pula dua orang yang
bernama Mawole dan Manimporo serta Lampus dan Waany dari arah
Tompaso untuk berperang di sekitar kuntung Tareran dan mendirikan
pemukiman mula-mula di atas perbukitan sebelah barat kampung yang oleh
penduduk Lansot disebut daerah Lowian. Daerah Lowian yang disebut
penduduk itu diambil dari nama sebuah pohon lowian yaitu sejenis pohon
beringin yang tumbuh di daerah itu atau hingga tahun 1950-an disebut
daerah Sendangan (sekarang bagian utara arah selatan Desa Rumoong
Atas). Pohon lowian ini oleh penduduk Rumoong-Lansot pada waktu itu
dianggap pohon keramat karena pohonnya sangat besar dan kuat, daun-
daunnya sangat rimbun sehingga tidak ditembusi oleh sinar matahari.
Suasana pemukiman Desa Rumoong Atas yang disebut Wale Ure (Rumah Tua) (Foto SP. 2016)
Bukti sejarah bahwa nama Rumoang sebagai nama desa telah berubah
menjadi “ Rumoong ” terlihat jelas pada koleksi lonceng gereja yang di buat
tahun 1898, terdapat catatan di bagian tengah lonceng tersebut
“PAUMUNGAN MESIHI RUMO’ONG LANSOT, dan di bagian bawah tertulis
A BIKKERS & ZOON ROTTERDAM 1898. Jadi nama Rumoong telah
dikenal dan dipakai oleh penduduk serta secara resmi dipakai oleh
Pemerintah Hindia Belanda dan gereja pada tahun 1898.
Kantor Hukum Tua Desa Rumoong Atas Dua yang megah. Tampak Balai pertemuan
dibelakang Kantor Hukum Tua sedang dibangun (Foto 2016)
Sejak saat itu pula pemukiman penduduk desa Rumoang dari daerah Lowian
(Sendangan) dan Uner mulai menempati daerah perkebunan sebelah barat
desa Lansot (Wale Ure) hingga ke ujung barat yang dikenal kemudian dikenal
dengan nama Uner dan Tempok.
Desa Rumoong Atas Dua dilihat dari arah barat / Tempok (Foto.SP.2016)
Pada masa Hukum Tua Josepus Lumankun (1924), terpilih menjadi Hukum
Tua Rumoong yang sebelumnya merupakan Hukum Tua Lansot, maka
sebagian pemukiman desa Lansot yaitu diperbatasan antara pasar dan
tikungan jalan ke kantor kecamatan sekarang (wetes) yang disebut Wale Ure,
dijadikan bagian dari Desa Rumoong. Pembuktian bahwa daerah itu dahulu
merupakan pemukiman desa Lansot yaitu hingga tahun 1950-an, di daerah
Wale Ure terdapat tapal batas yang tetap berdiri yaitu di depan rumah dari
Mantri Kumaat. Juga Puser in tana desa Lansot berada di daerah tersebut
(Kintal Kel. Kawatu Kondoy/Kumaat).
Pemukiman Desa Rumoong Atas yang disebut Wale Ure & Uner (Foto.
SP.2007)
Membuka lahan tidur untuk perkebunan oleh penduduk desa (foto SP 2016)
C. SEJARAH PEMERINTAHAN NEG’RI RUMOONG-LANSOT
Pada awal didirikan desa Lansot dan Rumoong sekitar tahun 1560 hingga
tahun 1840, yaitu pada masa pemerintahan Minahasa dahulu, masyarakat
mengakui akan adanya pelapisan sosial yang bersifat resmi dengan
pembagian hak dan kewajiban tertentu bagi setiap lapisan masyarakat.
Lapisan sosial ini merupakan pemimpin tradisional masyarakat Minahasa
sejak dahulu dan sangat dihormati oleh penduduk pada masa itu.
Pada masa dahulu seorang pemimpin desa berasal dari seseorang yang
memiliki kelebihan-kelebihan baik fisik dan kecakapan antara lain :
Aspek penting yang menjadi faktor penentu bagi seorang pemimpin terkait
dengan budaya kerja, budaya malu, budaya hormat, budi pekerti & sopan-
santun serta tertib dan disiplin. Seorang pemimpin akan menjadi
panutan/contoh (pakiki’iten) di dalam masyarakat terutama yang terkait
dengan norma-norma agama, adat-istiadat, moral & susila serta hukum.
Begitupun pada waktu penduduk melakukan penuaian padi maka Kepala suku
(Lalaya um banua) akan mendapat bagian satu gantang padi yang disebut
wewendu, dan Wawa’an mendapat setengah gantang padi (wewendu). Lelean
juga mendapat setengah gantang padi yang disebut dumen. Adapun
Teterusan, Waliantua dan Gumigirot tak mendapat bagian karena mereka akan
dapat bahagian masing-masing apabila penduduk membutuhkan bantuan
mereka dalam menyelesaikan perkara dan masalahnya masing-masing.
Adapun hak dari penduduk yang di dapat dari para pemimpin mereka di atas
adalah menjamin keamanan diri mereka, keluarga dan harta benda mereka
dari segala macam gangguan yang datangnya dari luar.
Selain itu hak-hak anggota suku yang di dapat dari sudut pengalaman suku
dapat ditentukan sebagai berikut :
- Ia berhak menyampaikan pendapat (hak suara) dalam perang dan damai dan
hak pilih sebagai anggota suku dalam hal yang menyakut kepentingan
umum.
- Ia berhak menuntut untuk dilindungi dan diperhatikan kepentingannya dan
keluarga.
- Ia berhak mendapat jabatan yang sepadan dengan kesanggupannya.
- Sebagai anggota suku, 1a berhak atas milik-milik bersama anggota suku.
Hak-hak ini diberikan kepada seorang penduduk karena leluhur dan nenek
moyangnya dahulu pernah berjasa kepada suku.
Setelah Perancis dikalahkan oleh Inggris yang dibantu oleh beberapa negara
Eropah lainnya antara lain oleh Belanda pada Perang Koalisi Kedua (1813-
1814), maka Negeri Belanda kembali dipulihkan sebagai sebuah Kerajaan
seperti semula. Di Hindia Belanda (Indonesia) pada waktu itu juga telah
dikuasai oleh Inggris dibawah pimpinan Lord Minto dari tangan Jenderal
Janssens maka ditunjuklah penguasa baru Hindia Belanda yaitu Thomas
Stamford Raffles ( 1811-1816). Pada tahun 1816 berdasarkan Perjanjian
London (Convensi London) maka Kerajaan Belanda akan menerima kembali
tanah jajahannya yang direbut oleh Perancis termasuk Hindia Belanda
(Indonesia). Sehubungan dengan itu maka pada tanggal 19 Agustus 1816 di
Batavia berlangsung penyerahan kekuasaan dari Inggris yang diwakili oleh
John Fendall dan dari Belanda diwakili oleh Mr. Elout, Van der Capellen dan
Buyskes.
Pemerintahan desa yang dipimpin oleh seorang Pamatuan ini sejak tahun
1830 disebut juga dengan istilah ‘Mang Ungkung Indoong’. Sedangkan
Pamatuan disebut Ukung Matus, dan dalam tugasnya sehari-hari sebagai
kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari :
- Pamatuan Karua atau Ukung Karua (Hukum Tua Kedua),
- Wowato atau Kepala i Lukar (Kepala Jaga/lingkungan)
- Meweteng (Pembantu Kepala Jaga),
- Mapatik atau Matulis ( Juru Tulis Desa),
- Rurunduan in Doong (Pesuruh Desa),
- Masokad (Pengukur Tanah).
Pada masa Awal Injil masuk di Rumoong-Lansot oleh K.T. Herrmann yaitu
pada tahun 1840, atas usulannya, perkampungan ‘Rumoang’ (Rumoong Atas)
yang berdampingan dengan desa Lansot ditetapkan sebagai satu desa yang
berdiri sendiri dibawah Kepala Distrik Tombasian/Amurang, yang pada
waktu itu dijabat oleh Jurian Benyamin TAMBAJONG (1840-1858) yang
bergelar Mayoor. Dari distrik Am urang, dikirimlah Hukum Tua Pertama
Rumoang yaitu Lumambot Rumangu (1840-1850) asal Amurang. Pada
tahun 1850 Kepala Walak / Distrik Tombasian / Amurang J.B. Tambayong
kemudian menggantikan Lumambot Rumangu dengan Set Rorong (1850-
1863).
Pada masa Pemukiman Rumoang menjadi sebuah desa yang berdiri sendiri di
bawah Walak/Distrik Tombasian/Amurang, di Desa Lansot pada saat itu
berada dalam wilayah Walak/Distrik Kawangkoan. Desa Lansot pada waktu
itu masih dipimpin oleh seorang Pamatuan. Tetapi sejak tahun 1851,
Pamatuan yang dipilih dan diangkat oleh penduduk desa Lansot sejak dahulu
sebagai kepala desa dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan melalui
Kepala Walak/Distrik Kawangkoan pada saat itu dijabat oleh Daniel Mambu,
ditempatkanlah Javet Lapian asal Kawangkoan ke desa Lansot sebagai
Pemimpin Pemerintahan desa. Hal ini atas permohonan seorang Penginjil dari
Zendeling Post Amurang yang bernama S. Van Der Velde Van Cappelen
yang pada waktu itu baru ditugaskan untuk melayani misi pengkhabaran Injil di
Zendeling Pos Amurang hingga ke Rumoong-Lansot. Tindakan ini dilakukan
karena beberapa tonaas dan walian di neg’ri Rumoong Lansot melakukan
penentangan atas masuknya kepercayaan/paham baru menggantikan
kepercayaan nenek moyang yang telah mengakar lama dalam kehidupan
penduduk.
Pada tahun 1863, Hukum Tua Rumoong Set Rorong digantikan oleh Nicolas
Wawolangi yang di kirim dari Kepala Walak/Distrik Tombasian/ Amurang untuk
menjadi Hukum Tua Rumoong. Pada waktu itu Kepala Distrik
Tombasian/Amurang dijabat oleh Laatzar TAMBAJONG, yang menjadi Kepala
Distrik Tombasian/Amurang sejak tahun 1853 mengantikan saudaranya sendiri
J.B. Tambayong.
Pada tahun 1856, Walak sebagai kesatuan adat diganti menjadi distrik.
Kemudian pada tahun 1871, distrik sebagai kesatuan adat dirubah menjadi
kesatuan administrasi. Pada mulanya Kepala Walak merupakan jabatan adat,
tetapi kemudian pada tahun 1881 itu fungsi kepala Walak sebagai kepala adat
dihapuskan dan diganti menjadi pejabat pemerintahan yaitu Kepala Distrik
atau Hukum Besar. Atribut-atribut yang dipakai oleh seorang Kepala Walak
sebagai tanda martabat adalah tongkat yang berkepala emas atau perak dan
sebuah payung. Kepala Walak setiap kali mengadakan rapat bersama
diberikan penghormatan tembakan meriam 9 kali. Begitupun atribut yang
dipakai oleh seorang Pamatuan atau Tua in Taranak/ Paendon Tua adalah
sama yang dipakai oleh Kepala Walak.
Desa Rumoong dan Lansot pada waktu itu kemudian masuk dalam Distrik
Kawangkoan, dimana pada sekitar tahun 1889, desa Rumoong-Lansot
menjadi Pusat Onder Distrik yang diperintah oleh seorang Hukum Kedua
dibawah wilayah Distrik Kawangkoan tersebut. Adapun Hukum Kedua yang
memerintah Onder Distrik yang berkedudukan di Rumoong-Lansot yang
terkenal adalah Hukum Kedua Dengah-Ingkiriwang, Mogot-Waroka, dan
terakhir adalah Hukum Kedua Momoat yang bertugas dari tahun 1915 hingga
tahun 1919.
Pada tahun 1895 dengan berakhirnya masa tugas dari Hukum Tua Lansot
August Mapaliey, maka Pemerintah Hindia Belanda melalui kepala Walak
Kawangkoan menyerahkan kembali pemilihan Hukum Tua desa Lansot kepada
penduduk desa Lansot. Maka dipilihlah Frans Kondoy mengantikan August
Mapaliey sebagai Hukum Tua yang menjabat hingga tahun 1918. Bapak Frans
Kondoy inilah merupakan pejabat Hukum Tua pertama yang dipilih
langsung oleh penduduk Desa Lansot.
Pada tahun 1896, terjadi penggantian Hukum Tua Rumoong yaitu Nicolas
Wawolangi digantikan oleh Amos Rorong yang dikirim oleh Kepala Distrik
Amurang. Amos Rorong menjabat Hukum Tua Desa Rumoong hingga tahun
1924. Bapak Amos Rorong inilah merupakan hukum tua terakhir yang dikirim
oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Kepala Distrik Amurang.
Pada tahun 1918, Semuel Kondoj terpilih oleh penduduk desa Lansot sebagai
Hukum Tua hingga tahun 1922 menggantikan Frans Kondoj.
Pada tahun 1920 dimasa Hukum Tua Amos Rorong (Rumoong) dan Semuel
Kondoj (Lansot), struktur pemerintahan di Minahasa berubah lagi, dari 18
wilayah distrik yang ada menjadi 16 wilayah distrik dan diperkecil lagi
menjadi 7 wilayah distrik, dimana desa Rumoong dan Lansot masuk pada
waktu itu dalam Kedistrikan Kawangkoan dan Onder Distriknya dipindahkan
ke Tumpaan.
Semuel Kondoj memangku sebagai hukum tua desa Lansot hanya 4 tahun
dan digantikan oleh Josephus Lumangkun. Jabatan Hukum Tua yang
dipegang oleh Bapak Josephus Lumankun tidak berlangsung lama yaitu hanya
dari tahun 1922 hingga tahun 1923. Hal ini disebabkan masalah pribadi yang
telah melibatkan beliau yang kurang berkenan di hati penduduk pada waktu
itu. Penduduk Desa Lansot menginginkan beliau untuk mengundurkan diri.
Atas desakan penduduk tersebut akhirnya beliau mengundurkan diri pada
tahun 1923.
Pada pemilihan Hukum Tua yang pertama kali dilakukan oleh penduduk desa
Rumoong itu, akhirnya beliau terpilih sebagai Hukum Tua Rumoong. Bapak
Josepus Lumankun inilah pejabat Hukum Tua Rumoong pertama yang dipilih
lansung oleh penduduk desa Rumoong hingga tahun 1934. Dan diperkirakan
pada masa Josepus Lumankun sebagai Hukum Tua Rumoang, daerah Desa
Lansot lama (Wale Ure) yaitu sekitar tempat tinggalnya dijadikan bagian dari
Desa Rumoong hingga sekarang.
Hal ini terjadi juga di Bekas Kerisidenan Manado oleh Jepang diganti menjadi
Manado-Syu dan kantornya disebut Minsebu, dikepalai oleh seorang yang
disebut Syuco. Begitupun Wilayah bekas Asisten Residen atau Afdeling
Minahasa disebut Ken dan kepalanya disebut Kenkanrikan. Tiap Ken terbagi
atas beberapa wilayah yang disebut Bunken (dahulu Onderafdeeling) yang
dikepalai oleh seorang Bunkenkanrikan (dahulu sama dengan Controleur).
Adapun Wilayah Distrik disebut Gun dan kepalanya disebut Sonco. Wilayah
Distrik bawahan disebut Fukugun dan kepalanya disebut Fukugunco. Desa
disebut Son dan kepala desa disebut Sonco. Bagian dari Sonco adalah Kuco
yaitu Kepala Jaga yang disebut Ku. Pembantu Kepala Jaga yaitu Meweteng
disebut Kumico.
Untuk menghindari pertempuran antara Jepang
dan Sekutu, penduduk desa Rumoong-Lansot
tercerai berai dan mengungsi ke hutan-hutan
atau kebun. Sehingga jabatan Hukum Tua
Lansot pada waktu itu oleh Bapak Sem
Kondoy seringkali mempercayakan jabatan itu
kepada beberapa Pamong Desa (Penjawat)
antara lain kepada Agustinus Kumaat (1942)
dan kemudian tahun 1943 jabatan Hukum Tua
dipegang Istepanus Merentek.
Hal ini terjadi juga di Minahasa. Pemerintah Belanda pada waktu itu dengan
tentara NICA-nya menginjakkan kaki di tanah Minahasa. Konflik bersenjata
terjadi antara Pemuda bekas tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische
= Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang tergabung dalam Pasukan
Pemuda Indonesia (PPI) yang dikenal dengan peristiwa Merah Putih 14
Pebruari 1946 yaitu perebutan tangsi Hitam dan Putih di Teling-Manado.
Begitupun halnya di Minahasa dimana para pemuda berhasil merebut
Markas Belanda di Tondano dan Tomohon. Pemerintahan di Minahasa
juga tidak berjalan dengan baik akibat kejadian-kejadian tersebut.
Pemerintahan dikuasai dan dipegang oleh Tentara NICA dan melarang
penduduk untuk mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Hal ini berlangsung hingga pengakuan kedaulatan oleh
Belanda atas Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1948 masa-masa
awal kemerdekaan tersebut, Hukum Tua Daud Lumankun mengakhiri
masa tugasnya sebagai Hukum Tua Rumoong, dan digantikan oleh Bapak
Manuel Tamboto hingga tahun 1950.
Pada tahun 1950, terjadi pengantian Hukum Tua Rumoong dan Lansot.
Bapak Manuel Tamboto digantikan oleh Bapak Zet Rumangu yang terpilih
oleh penduduk desa Rumoong, sedangkan Bapak Sem Kondoy digantikan
oleh Bapak Johanes G. Sumendap yang terpilih dalam pemilihan kepala
desa Lansot oleh penduduk desa Lansot.
Melihat gelagat yang tidak baik dan dapat menyebabkan korban lebih
lanjut diantara penduduk, beberapa tokoh masyarakat dan tokoh gereja
terpanggil untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Salah satunya
adalah seorang tokoh muda bernama Timotius Kondoy. Beliau sebagai
seorang Pelayan Gereja seringkali dicurigai oleh TNI karena kritikan dan
sindirannya mengenai sikap tidak manusiawi anggota TNI yang dilakukan
terhadap penduduk desa Lansot; seperti penebangan paksa pohon-
pohon cengkih milik petani, penembakan oleh anggota TNI terhadap
Bapak L. Karundeng dan cucunya. Akibat kritikan yang disampaikan
tersebut, beliau pernah di pukul dibawah todongan senjata api oleh 2
orang anggota TNI.
Dengan usaha keras dari panitia, maka pada awal tahun 1962 yaitu pada
bulan Februari terbentuklah dengan resmi wilayah Tareran menjadi sebuah
kecamatan yang disebut Kecamatan Tareran Kab. Minahasa yang
meliputi 12 desa yaitu Rumoong Atas, Lansot, Wiau lapi, Talaitad,
Suluun, Pinapalangkow, Kapoya, Pinamorongan, Wuwuk, Koreng,
Kaneyan dan Tumaluntung. Adapun Hukum Kedua/camat pertama Kec.
Tareran adalah Bapak Nicholas Josis Rumengan yang berkantor
pertama kali di Rumah Kel. B. Kumaat di Wale Ure desa Rumoong Atas.
Diakhir masa tugas dari Hukum Tua desa Lansot Johanes G. Sumendap,
jabatan Hukum Tua Desa Lansot pernah diserahkan sementara kepada
Bapak Lambertus Sumendap yang pada waktu itu merupakan salah satu
pamong desa Lansot. Pada tahun 1964 berakhirlah masa jabatan Hukum
Tua J.G. Sumendap. Untuk itu maka ditunjuklah Timotius Kondoy sebagai
pejabat sementara Hukum Tua Desa Lansot. Dan kemudian karena
Timotius Kondoy oleh penduduk desa Lansot dicalonkan menjadi Hukum
Tua maka jabatan sementara Hukum Tua lalu diserahkan kepada Johanis
Tenda.
Setelah pemilihan Hukum Tua dilakukan maka Bapak Timotius Kondoy
oleh penduduk Desa Lansot terpilih sebagai Hukum Tua desa Lansot yang
baru mengantikan J.G. Sumendap.
Dan ditahun yang sama (1965) Pemerintah Desa Lansot dibawah pimpinan
Hukum Tua Timotius Kondoy di awal jabatannya sebagai Hukum Tua
merintis dibukanya sebuah lapangan olah raga (Sepak Bola) di desa Lansot
yang diberi nama Lapangan Garuda. Pada waktu itu di tengah-tengah
lapangan masih terdapat 11 buah pohon kelapa.
Bangunan Polsek Tareran ini diresmikan pada bulan Juli tahun 1968 dengan
pimpinan/Komandan Sektor Kepolisian Tareran pertama kali adalah putra
Rumoong-Lansot yaitu Bapak Altin Prang dengan pangkat Adjun Inspektur
Polisi yang sebelumnya bertugas sebagai Kepala Bagian
Administrasi/Pembekalan Polres Minahasa di Tondano.
Setahun kemudian yaitu tahun 1971, jabatan Hukum Tua Desa Lansot oleh
Bapak Timotius Kondoj berakhir. Untuk melanjutkan kepemimpinan dalam
pemerintahan desa maka melalui pemerintah kecamatan yang pada waktu itu
dijabat oleh Bapak Erens ‘Eric Kawatu’ sebagai Camat Tareran dibuka
pendaftaran pencalonan Hukum Tua. Dalam pendaftaran calon hukum tua
dijaring 3 (tiga) kandidat calon Hukum Tua yaitu Bapak Altin Prang, Bapak
J.H. Karamoy dan Bapak Timotius Kondoy.
Pemilihan hukum tua dilaksanakan di Balai Desa Lansot, dan oleh penduduk
desa Lansot tetap mempercayakan Bapak Timotius Kondoy untuk kembali
menjabat sebagai Hukum Tua desa Lansot untuk periode kedua.
Di desa Lansot pada masa Hukum Tua Timotius Kondoy, yaitu pada tahun
1973 dibangunlah beberapa fasilitas umum antara lain Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) Tareran di lahan yang berada di Desa lansot.
Puskesmas ini dibangun untuk mengantikan fungsi Rumah Bersalin/Balai KIA,
dimana para dokter yang pernah bertugas di Puskesmas Tareran dari tahun
1973 hingga 2006) adalah : dr. Ulaan, dr. Selvie Ponomban, dr. Ngantung,
dr. Agustien Sumarauw, dr. Djeine Hamp, dr. Juliana Assa, dr. Jandry
Pangemanan, dr. Elda Tampi, dr. Hanna Wungkar.
Pada tahun 1974, masa tugas Hukum Tua Rumoong Atas, Bapak Dirk Mambo
mengakhiri masa tugasnya sebagai Hukum Tua. Maka untuk mengisi
kekosongan pejabat Hukum Tua dan untuk
meyelenggarakan pemilihan Hukum Tua yang baru, maka
melalui Camat Tareran menunjuk Bapak A.U. Slat sebagai
pejabat sementara Hukum Tua desa Rumoong Atas hingga
diangkatnya penjabat yang baru. Tugas Jabatan Sementara
Hukum Tua Rumoong Atas ini dipegang oleh Bapak A.U.
Slat hingga hampir 2 (dua) tahun yaitu hingga terpilihnya
Bapak A.S. Wonte sebagai Hukum Tua Rumoong yang
baru pada tahun 1976.
Bapak A.S. Wonte
Dimasa Pemerintahan Bapak A.S. Wonte ini berbagai
fasilitas Desa Dibangun, Balai Desa dan Kantor Hukum Tua
Rumoong Atas mulai dibangun, fasilitas Oleh-raga seperti
lapangan Sepakbola Rumoong Atas dibuka menggantikan
lapangan sepak bola lama.
Pada tahun 1975 di desa Lansot, masa tugas Hukum Tua Timotius Kondoj
berakhir. Dan untuk mengisi kekosongan pemerintahan desa Lansot maka
Camat Tareran pada waktu itu menunjuk Bapak Pieter J. Karundeng sebagai
pejabat sementara Hukum Tua Lansot hingga tahun 1976 dan untuk
menyelenggarakan pemilihan hukum tua.
Pada tahun 1977 hingga 1978, Balai Desa Lansot yang masih terbuat dari
papan dan beratapkan sirap, telah mulai di bangun secara permanen yang
merupakan proyek Bandes 1977/1978 dibawah pimpinan Hukum Tua
Timotius Kondoj. Pembangunan Balai Desa sekaligus sebagai Kantor
Hukum Tua desa Lansot sebagian besar merupakan biaya swadaya murni
masyarakat desa Lansot. Pada tahun 1978 Balai Desa dan Kantor Hukum Tua
Desa Lansot selesai dibangun dan diresmikan oleh Mayjen TNI H.V. Worang
selaku Gubernur Kepala Daerah Tkt I Prop. Sulawesi Utara .
Adapun prestasi lainnya yang pernah diraih desa Lansot pada masa
pemerintahan Hukum Tua Timotius Kondoj adalah Juara Pertama Lomba
KANTIBMAS tingkat Kabupaten Minahasa (1977), Juara III Lomba Desa Tkt.
Kab. Minahasa (1978).
Pada tahun 1982, pada masa penduduk desa Lansot menghadapi pemilihan
umum yang ke tiga di masa Orde Baru, dan pada tahun yang sama pula masa
tugas Hukum Tua Timotius Kondoj berakhir. Penduduk desa Lansot kembali
melakukan pesta demokrasi pemilihan Hukum Tua. Dalam pemilihan tersebut
penduduk menghadapi hal yang baru dimana pemilihan Hukum Tua ini diikuti
oleh 3 (tiga) orang calon kandidat Hukum Tua. Bapak Timotius Kondoj tidak
lagi mencalonkan diri sebagai Hukum Tua. Ketiga kandidat calon hukum tua
tersebut adalah Bapak Alex Karamoy, Bapak Eddy Prang, dan Bapak
Zakius Mapaliey. Dalam pemilihan Hukum Tua tersebut dimenangkan oleh
Bapak Zakius Mapaliey yang dikenal sebagai tokoh pemuda desa dan
pemimpin pemuda GMIM.
Pada tahun 1985, dalam masa tugas Hukum Tua Zachius
Mapaliey, terjadi krisis pemerintahan desa sehingga
menyebabkan beliau mengundurkan diri dan berhenti
sebagai Hukum Tua. Prestasi desa Lansot lainnya yang
pernah diraih pada masa pemerintahan Hukum Tua
Zachius Mapaliey adalah Juara Pertama Pawai Prosesi
KNPI tkt Prop. Sulawesi Utara tahun 1984.
Bp. Zachius Mapaliey
Pada pemilihan Hukum Tua tahun 1986 ini diikuti juga oleh 3
kandidat calon Hukum Tua yaitu Bapak Alex Karamoy, Bapak
Ventje Kumaat dan Bapak Freddy Kondoy. Dalam pemilihan
Hukum Tua tersebut, oleh penduduk desa Lansot
mempercayakan kepada Bapak Freddy Kondoj selaku Hukum
Tua Desa Lansot yang baru dan bertugas hingga tahun 1994.
Di masa pemerintahan Hukum Tua Lansot Bapak Freddy Kondoj dan Hukum
Tua Rumoong Atas Bapak U.E.I. Kawatu, BA, istilah
Kepala Desa mulai digunakan sebagai penganti istilah
Hukum Tua yang selama ini dikenal. Sedangkan istilah
Kepala Jaga/Meweteng diganti menjadi Kepala Dusun dan
Wakil Kepala Dusun. Hal ini sesuai dengan UU No. 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1981.
Pada tahun 1993, Bapak U.E.I. Kawatu meletakkan jabatannya sebelum masa
tugasnya berakhir. Untuk mengisi lowongan jabatan itu maka melalui Camat
Tareran menunjuk Bapak Jan Pieter Karundeng sebagai pejabat sementara
Kepala Desa Rumoong Atas hingga masa pemilihan Kepala Desa Rumoong
Atas yang baru. Pada tahun 1995 dilaksanakan pemilihan Kepala Desa di
Rumoong Atas dan Bapak Altin Wurangian, BA, akhirnya terpilih selaku
Kepala Desa Rumoong Atas yang baru.
Pada tahun 1994, masa tugas Hukum Tua Freddy Kondoj juga berakhir.
Untuk mengisi kekosongan pemerintah desa maka ditunjuklah Sekretaris Desa
pada waktu itu dipegang oleh J.M. Tampi selaku pejabat Kepala Desa Lansot
dengan tugas mempersiapkan pemilihan Kepala Desa yang
baru.
Pada pemilihan Hukum Tua tahun 1994 ini juga diikuti juga
oleh 5 (lima) kandidat calon Kepala Desa. Dan dalam
pemilihan yang dilakukan secara damai dan sukses, oleh
penduduk desa Lansot memilih figur Bapak Fentje Kumaat
selaku Kepala Desa Lansot yang baru dan bertugas hingga
tahun 2003.
Bp. Ventje Kumaat
Pada masa Pemerintahan Bapak Fentje Kumaat ini dan di akhir masa
jabatan Bapak Altin Wurangian, BA, istilah Hukum Tua dan perangkat
desanya seperti Kepala Jaga dan Meweteng telah dipakai kembali di era
berlakunya Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah di masa-masa era
Reformasi.
Dimasa reformasi itu lembaga pengganti LMD & LKMD dibentuk yaitu Badan
Perwakilan Desa (BPD) Dan kemudian Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa (LPMD). Ketua Pertama BPD di desa Lansot adalah Bp.
Max Th. Prang, sedangkan di desa Rumoong Atas adalah Bapak Rolly
Porong, SMHk.
Pada tahun 1987, Negara Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter
yang cukup parah, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika merosot tajam.
akibatnya harga-harga kebutuhan pokok di tengah masyarakat mengalami
kenaikan yang sangat memberatkan rakyat Indonesia. Maka timbullah rasa
tidak puas terhadap pemerintah. Dikalangan Mahasiswa muncul demonstrasi-
demonstrasi yang melahirkan gerakan reformasi. Akibat gerakan reformasi ini,
suhu politik Indonesia semakin memanas. Kerusuhan 13-14 Mei 1998 serta
tekanan-tekanan dari mahasiswa dan tokoh politik nasional akhirnya memaksa
Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.
Pada Tahun 2003 dimasa tugas Hukum Tua Fentje Kumaat (Lansot) dan
Hukum Tua Altin Wurangian, BA akan berakhir,
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan
Desa yang dijiwai dengan semangat reformasi. Setelah
berakhirnya masa tugas Hukum Tua Fentje Kumaat, maka
melalui Camat Tareran ditunjuklah Bapak Joppy H. Kondoj,
BA asal Lansot sebagai pelaksana harian (PLH) kepala desa
sebelum terpilihnya pejabat Hukum Tua yang baru.
Joppie H. Kondoy, BA
Pada masa kepemimpinan Bapak Joutje Sumendap selaku Hukum Tua desa
Lansot untuk pertama kalinya diwacanakan penyelenggaraan acara peringatan
Hari Jadi Desa Lansot yaitu pada tanggal 09 Juli 2006 sesuai penetapan
yang telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Untuk menyelenggarakan
acara akbar ini maka dibentuklah Panitia Penyelenggara Perayaan Hari Jadi
Desa Lansot ke 446 dibawah pimpinan Bp. Dr. (HC) Ferry J. Sendow, SH
selaku Ketua Panitia.
Pada tahun 2004, penduduk desa Rumoong-Lansot menghadapi lagi pesta
demokrasi yang kedua di era Reformasi. Pemilu kali ini merupakan pemilu
yang lain dari pada biasanya. Selain untuk memilih wakil rakyat yang akan
duduk di DPR Pusat, DPRD Prop, DPRD Kabupaten/Kota, juga diadakan
pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) yang akan duduk di
MPR serta pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun
situasi politik di tengah masyarakat lebih memanas, tetapi pemilihan tersebut
dapat berjalan dengan baik dan sukses dengan terpilihnya Bapak Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dan Bapak H. Jusuf Kalla sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru dan yang pertama dipilih
langsung oleh rakyat.
Pada tahun 2005, penduduk desa Rumoong-Lansot juga untuk pertama kali
mengikuti secara langsung pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Minahasa yang baru dibentuk. Dimana Bapak Drs. Ramoi Luntungan dan
Bapak Ventje Tuela. S.Sos dipercaya untuk memimpin Kab. Minahasa
Selatan 5 tahun ke depan, dan merupakan pemilihan Bupati/Wakil Bupati yang
pertama secara langsung oleh Rakyat.
Begitupun pada awal tahun 2012 pada masa Hukum Tua Alfrets F. Kondoj,
SE, Desa Lansot dimekarkan menjadi 2 (dua ) desa yaitu Desa Lansot dengan
Hukum tuanya tetap sedangkan Desa pemekaran Lansot Timur ditunjuk
Bapak Joppie H. Kondoj, BA sebagai Pejabat Hukum Tua.
Kantor Hukum Tua Rumoong Atas II (Foto SP 2016)
I. DESA LANSOT
b. Hukum Tua Dipilih Oleh Penduduk Desa Lansot & Pejabat sementara :
Hukum Tua Lansot & Lansot Timur sesudah pemekaran Desa adalah :
Lansot : Alferts F. Kondoj, SE Tahun 2012-2016
Refly Karamoy (PLT) Tahun 2016
Lansot Timur : Joppie H. Kondoj, BA (PLT) Tahun 2012
Jantje B. Mirah (PLH) Tahun 2012
Zachius Mapaliey, SE Tahun 2013-Skrg.
II. DESA RUMOONG ATAS
(Sejak Perpindahan Pemukiman Lowian menjadi Rumoang yang ada sekarang oleh
Dotu Moutang, Lonsu & Tumewang) ± Tahun 1644-1840
Hukum Tua Rumoong Atas & Rumoong Atas II sesudah pemekaran Desa adalah :
I. BUDAYA MAPALUS
Kata Mapalus berasal dari bahasa Alifuru (bahasa Minahasa tua) yaitu
‘Ma’ dan ‘Palus’. Palus artinya Kena atau Dapat, dan setelah diberi awalan
Ma, maka Palus akan berarti ‘kena-mengena’ atau ‘dapat-mendapat’.
Dengan demikian Mapalus berarti kena mengena atau dapat mendapat
yang sama dengan Bantu-membantu dan gotong royong.
Selain kata Mapalus, terdapat istilah lain yang dipakai khususnya di sub
suku Toutemboan yaitu Maando atau Ma’endo. Ma’ando atau Ma’endo
berasal dari kata ‘endo’ yang berarti hari. Mapalus Maendo artinya
mapalus berhari. Jenis Mapalus Ma’endo ini di Rumoong-Lansot dikenal
dengan istilah Mapaandoan. Wujud dari kegiatan mapalus ini telah
dilakukan penduduk yang merupakan wujud prilaku turun-temurun dan telah
membudaya di dalam masyarakat.
- Sawang dan Pinontol adalah bentuk mapalus yang dilakukan penduduk desa
Rumoong-Lansot sebagai kewajiban untuk membantu pekerjaan Kepala
Desa/Hukum Tua di bidang pertanian. Biasanya kewajiban ini dilakukan oleh
penduduk desa 2 kali dalam setahun yaitu pada masa penanaman dan masa
panen. Pada masa dahulu seorang pemimpin mayarakat baik ia sebagai seorang
kepala walak, Kepala Distrik, Hukum Besar hingga Pamatuan merupakan orang-
orang yang dihormati dan mempunyai lahan perkebunan yang luas. Karena
kesibukannya sebagai pemimpin masyarakat menyebabkan ia tidak dapat
mengerjakan sendiri lahan perkebunannya. Oleh sebab itu dengan semangat
mapalus yang dimiliki oleh penduduk desa, maka penduduk dengan sukarela turut
membantu mengerjakan perkebunan tersebut. Lama kelamaan pekerjaan
membantu pemimpin desa oleh penduduk ini menjadi tradisi dan lambat laun
memjadi kewajiban penduduk desa kepada pemimpinnya. Inilah bentuk mapalus
yang disebut sekarang Sawang dan Pinontol.
Sumawang asal kata dari Sawang yang berarti “ Bantu “ atau “Bersama-sama
mengerjakan sesuatu” adalah kewajiban seluruh penduduk desa mulai dari
anak-anak hingga usia lanjut yang secara sukarela membantu Hukum Tua dalam
hal memanen hasil perkebunan yang biasa dilakukan 5 – 7 bulan sekali.
Sedangkan Pinontol berasal dari kata “Pontol” artinya “putuskan atau
tentukan” yaitu Hari yang ditentukan/diputuskan untuk bekerja bhakti adalah
kewajiban penduduk desa yang dianggap sebagai wajib kerja berumur 17 sampai
55 tahun untuk membantu Hukum Tua dalam hal pertanian baik dilakukan untuk
mengolah kebun maupun untuk memanen hasil perkebunan tersebut yang
dilakukan 3 – 5 bulan sekali dalam setahun.
Dalam melakukan pekerjaan mapalus ini, warga dijamu oleh Hukum Tua pada
saat selesai melakukan pekerjaan.
Pada saat sekarang Mapalus ini sudah jarang dilakukan oleh penduduk desa
Rumoong-Lansot.
- Dan jenis-jenis kegiatan Gotong royong lainnya seperti mapalus uang dalam
bentuk arisan keluarga, gereja dan lain sebagainya.
2. Atribut-atribut Mapalus.
3. Perkembangan Mapalus.
Tanah Adat.
Peranan Hukum Adat di desa Rumoong-Lansot saat ini tidak begitu dominan lagi
dalam kehidupan penduduk desa Lansot. Perselisihan yang terjadi diantara
penduduk biasanya langsung berurusan dengan pihak berwajib dalam
memutuskan suatu perkara. Tetapi dalam segi pertanahan, Hukum Adat masih
memegang peranan yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa atau
perselisihan diantara penduduk. Hal ini dapat dimaklumi sebab segala sesuatu
mengenai tanah di Rumoong - Lansot didasarkan pada tanah adat yang asal
usulnya terdaftar dalam register desa. Sejak dahulu status tanah di Minahasa
khususnya di Rumoong - Lansot diatur dalam hukum adat yang pada umumnya
terdapat 2 jenis tanah adat yaitu tanah milik bersama diwariskan secara turun-
temurun yang disebut Tanah Kalakeran, dan Tanah Pasini yaitu tanah milik
perorangan/pribadi yang diperoleh baik melalui warisan atau dengan jalan
membeli.
Menurut Hukum Adat, tanah kalakeran adalah tanah milik bersama dari kelompok
kekerabatan (famili) dan tak boleh dijual. Umumnya tanah Kalakeran di desa
Lansot tak begitu jelas lagi, kalaupun ada tidak begitu luas apabila dibandingkan
dengan yang pemakainya berjumlah banyak, Pada masa dahulu tanah kalakeran
dipakai atau dikelola secara bergiliran menurut jadwal yang telah ditetapkan oleh
orang yang tertua dalam keluarga. Ada kalanya tanah kalakeran dijual oleh
anggota kerabat tanpa sepengetahuan dan izin dari anggota kerabat/keluarga
yang lain. Hal-hal semacam ini sering terjadi dan mendatangkan perselisihan
antara para pemilik kalakeran. Penyelesaian perselisihan tersebut biasanya
dilakukan dengan perantara Hukum Tua sebagai pemimpin adat di desa. Dan
apabila Hukum Tua tidak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut, diteruskan
lewat pengadilan negeri.
Mengenai harta warisan baik berupa kebun, tanah perkarangan/Kintal atau rumah,
maka secara hukum yang berhak mendapat warisan adalah anak kandung, anak
angkat, anak tiri, duda atau janda yang ditinggalkan, yang telah turut memikul
beban biaya sewaktu si pewaris meninggal dunia. Anak kandung harus membagi
warisan orang tuanya secara merata apabila mempunyai saudara tiri, atau
saudara angkat setelah mereka diakui sebagai anak kandung oleh orang tuanya.
Jika anak kandung tidak ada, maka sebagai ahli waris adalah anak angkat atau
anak tiri. Dan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan baik anak kandung,
anak angkat ataupun anak tiri, maka yang berhak mendapat warisan adalah
kerabat/saudara terdekat atau saudara kandung dari pewaris yang sudah
meninggal. Seringpula keluarga/kerabat dekat yang turut menjaga serta memikul
biaya selama pewaris masih hidup sampai meninggal, berhak menerima warisan.
Penyelewengan atau pelanggaran akan ketentuan ini, penyelesaiannya akan
ditangani oleh Hukum Tua. Dan apabila tidak berhasil akan diteruskan ke
Pengadilan Negeri. Selain kasus-kasus pelanggaran yang disebutkan di atas,
masih banyak pelanggaran lainnya yang tidak sesuai dengan hukum adat yang
berlaku seperti perselisihan mengenai batas kebun (kasupu), kintal/perkarangan,
Hidup bersama diluar nikah sebagai suami-istri (kumpul kebo/baku-piara) dan lain
sebagainya. Semua permasalahan dan perselisihan tersebut di atas diselesaikan
melalui pemerintah desa yang di pimpin oleh Hukum Tua sebagai kepala adat
desa berdasarkan hukum dan adat-istiadat yang berlaku.
CARA BERTANI
Merombak hutan
Asal pertanian pada umumnya hutan lebat. Untuk membuka hutan mempunyai
beberapa tahap kegiatan:
Kegiatan Temumek
(=kunjungan pertama di hutan
yang dicalonkan untuk di
rombak). Kegiatan ini dilakukan
oleh seorang yang mahir. Pada
waktu ia melaksanakan tugas
ini yaitu pergi ke hutan harus
membawa tutu’ inempas (nasi
bungkus), telur ayam yang
direbus secukupnya, siri
pinang, dan kapur. Bila
persiapan sudah rampung
setibanya di hutan itu dipilih
tempat yang baik ; seluruh
makanan yang dibawa
diletakkan di sana. Merombak Hutan oleh penduduk
Kegiatan itu dilanjutkan dengan percakapan bersama opo – opo (yang tidak
nampak). Di tempat itu orang tumemek harus menunggu tanda dari burung hantu
siang (wara inen do) berupa bunyi “lowas” (=bunyi siul). Bila bunyi yang di dengar
bukan lowas berarti kebun itu tidak boleh dirombak. Kalau bunyi lowas pertanda
hutan itu boleh dirombak berarti sukses. Oleh orang yang tumumek barulah boleh
memotong sebatang pohon kayu yang dapat dibawa pulang ke rumah. Kayu itu
dipikul dan berjalan sambil muka tunduk, mulut dikatup rapat – rapat selama dalam
perjalanan sampai di rumah tidak boleh bercakap atau member hormat. Orang –
orang yang bertemu dengan orang yang pulang ke rumah mereka minggir
disamping, sebagai tanda saling menghargai.
Setibanya di rumah kayu itu dilepaskan dan langsung masuk ke kamar tidur sesaat
saja lalu bangun mendadak, terus kembali ke hutan tadi guna melanjutkan
perombakan hutan. Pada saat perombakan hutan bila melihat tikus, maka tikus
tersebut dikejar dan sedapat mungkin harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup
atau mati. Kemudian tikus itu dibunuh dan dikuburkan di tengah hutan yang
dirombak, sebagai korban mula – mula (sosoring) untuk meminta tanda bunyi
burung yang baik (mujur).
Kuburan sosoring diberi tanda patok dan ditanami rempah – rempah salimbatak –
sereh, disekitarnya seraya mengucapkan: Kiit pe mio se tinanem anio asi uma anio
(= Kiranya tanaman dikebun ini akan bertumbuh subur sama dengan pertumbuhan
sereh ini). Hutan yang telah dibersihkan dan siap ditanam masih harus mendengar
tanda bunyi burung. Bunyi burung yang didengar apabila tandanya baik berarti
sudah mendapat keluasan / persetujuan untuk penanaman. Lokasi yang diadakan
penanaman yaitu disekitar patok sosoring sebanyak 9 lobang yang cara menanam
ditugal / pawayuk baru dilanjutkan penanaman seluruh kebun itu. Kegiatan
bercocok tanam ditarikan dalam maengket disebut “maowey”.
Panen Hasil
Pada usia tanaman yang hendak di panen sebelum kegiatan panen menyeluruh di
kebun itu maka diundang seorang pemuka = tonaas meminta keluasan melalui
tanda bunyi burung. Bunyi yang diberikan oleh burung bila tandanya sudah
meluaskan untuk dipanen, maka pemilik kebun harus mengelilingi kebun lebih
dahulu sambil membawa kayu jelatang (lana) berapi, selesai keliling kebun kayu
itu ditanamkan di tempat sosoring. Padi / jagung sebelum dipetik maka bakul
penampungan hasil harus disembur oleh tonaas dengan karemenga atau goraka
(jahe). Panen mula – mula dilaksanakan oleh tonaas beberapa rumpun lalu
disendirikan sebagai persembahan kepada opo – opo sebagai penjaga dan sudah
memberkati hasil kebun dengan ucapan “Camo em parior – rior”. Padi / jagung
yang dipetik mula – mula sejumlah 9 tangkai / 9 tongkol digantung di atas
lumbung.
Kumamberu – Kamberu
Yang makan mula –mula hasil panen dikebun itu diberikan pada orang tua –tua
dalam keluarga. Panen yang dilaksanakan diakhiri dengan tarian kegembiraan =
rumeindeng. Rumeindeng dilaksanakan oleh para tonaas merupakan tarian
rekreasi (menyanyi nyanyian pujian / doa). Dalam tarian maengket kegiatan
bercocok tanam sampai makan hasil kebun baru ditarikan pada babakan maowey
Kamberu.
BERBAGAI UPACARA ADAT
Apabila ada seorang anak lahir, tali pusar yang dipotong dibungkus dengan daun
woka = simbel lalu sang ayah anak itu tali pusar ditanam di tempat yang dirasa
tidak mudah kehujanan, katanya agar anak terhindar serangan sakit perut. Selama
± satu minggu sang bayi tidak boleh keluar ruangan, sementara itu didepan tempat
tidur dibuat perapian disamping itu dipenjuru rumah didirikan bambu dan
diujungnya diberi jeruk (=popontolen / lemon suangi) guna mengusir roh jahat.
Pada umur ± satu minggu dibuat acara rumeges = acara selamatan bagi bayi,
mengenal angin mengundang keluarga dekat dan katanak = tetangga untuk
minum bersama pada waktu pagi. Pada jam yang dianggap baik bagi bayi itu
diangkat oleh orang yang sudah tua dan dikeluarkan dari kamar. Seorang ibu
memeluk bayi itu dan seorang yang lainnya membawa sepotong kayu api bekas
(=pinias) selama satu minggu di perapian. Pemegang kayu berjalan berada
didepan sedangkan yang memeluk bayi berada dibelakangnya. Mereka harus
berjalan mengelilingi rumah.
Tumerang dilakukan apabila antara dua orang pria dan wanita telah saling
mencintai (me ontolen/baku suka) dan bersepakat untuk melanjutkan ke jenjang
perkawinan, maka pihak keluarga pria melakukan lamaran ke pihak keluarga
wanita. Tomerang ini dilakukan oleh pihak keluarga Pria dengan mengunjungi
rumah dari keluarga wanita untuk menyampaikan maksud kedatangannya yaitu
meminang/melamar kepada pihak keluarga wanita. Apabila maksud lamaran itu
diterima, maka selanjutnya antara pihak keluarga pria dan pihak keluarga wanita
bermusyawarah/ tawar menawar (Tumantua/Meteles) mengenai proses ikatan
yang lebih resmi menuju ke Pertunangan (tukar cicin) sebelum ke perkawinan
yang sah.
Acara peminangan didahului dengan kata pengantar dari wakil keluarga pria
dengan memberi tahu maksud. Sang gadis masih berada di dalam kamar. Bila
permintaan sudah diterima / dikabulkan maka barulah sang pria menampakkan diri
sambil memberi hormat dan dipersilahkan mengundang gadisnya. Kamar diketuk –
ketuk sampai beberapa kali dengan ketukan yang sangat sopan nan
mendambakan. Sang gadis biasanya membuka pintu dalam suasana malu.
Keduanya dipersilahkan berjabat tangan dihadapan orang tua kedua belah pihak
menunjukkan bahwa keduanya memang sungguh sudah bersedia, seia – sekata
membentuk rumah tangga. Rombongan sang pria memberi bingkisan yang
biasanya sudah diatur sebelumnya, umpama: kebun, rumah, peralatan rumah
tangga, dsb-nya, dan biasanya dalam acara itu oleh sang pria menyampaikan
sampul kepada keluarga sang gadis yang diacarakan. Pada penyerahan bingkisan
dalam sampul disertai ucapan (tertulis): “Yawes teles lenso” (= tambah pembeli
sapu tangan). Minum bersama dilanjutkan dengan penyusunan rencana waktu
perkawinan dilaksanakan di rumah sang gadis.
Basominta (batunangan) adalah proses ikatan sementara antara Pria dan Wanita
yang dilakukan melalui tukar cincin antar kedua calon suami-istri yang bertujuan
agar pria dan wanita itu lebih mengenali pribadi masing-masing dari calon suami
dan istri serta untuk memantapkan diri kejenjang ikatan yang lebih serius yaitu
pernikahan. Seorang pria atau wanita yang telah bertunangan (tukar cincin),
masing-masing harus menjaga sikap dan membatasi diri dalam pergaulan sehari-
hari terutama dengan pemuda atau pemudi lainnya agar tidak gagal dalam proses
ke jenjang pernikahan. Dalam proses ini ditetapkan juga mas kawin (Me’emoko,
sumominta).
Setelah pria dan wanita mengetahui lebih mendalam mengenai pribadi masing-
masing calon pasangannya dan memantapkan diri untuk menuju proses ikatan
yang sah dalam perkawinan, maka pihak keluarga pria melakukan musyawarah
dengan keluarga wanita mengenai acara pernikahan serta pemberian mas kawin
(irang.. Setelah masing-masing telah sepakat maka proses pernikahan dilakukan.
Selesai perkawinan disusul dengan acara “antar” yaitu isteri dijemput oleh suami
bersama orang tua, saudara, kenalan – kenalan. Isteri diantar oleh orang tuanya,
saudara, tetangga ke rumah sang suami dan disana diadakan acara makan
bersama.
Membuat Rumah
Biasanya bahan ramuan rumah sudah disiapkan lebih dahulu. Bila seluruh sudah
rampung, maka diundanglah tonaas. Tonaas itu melakukan kegiatan sumoring
kemudian mendengar tanda burung. Bila tanda yang didengar tidak baik berarti
permintaan belum dikabulkan. Tetapi bila tanda burung menurut tonaas sudah baik
tandanya sudah diperkenankan untuk diadakan peletakan batu (= lumukut im watu
wale). Dimana batu I didirikan di bawah batu biasanya diletakkan uang yang
gunanya untuk opo – opo dan untuk berkat bagi yang akan mendiaminya pada
sekitar batu juga di sajikan sirih pinang, kapur, dan tembakau.
Selama pekerjaan membangun rumah semua ramuan kayu diberi tanda mana
pangkal mana ujung. Sebab bila ujung dan pangkal tidak diketahui, maka yang
akan mendiami rumah akan selalu sial (sakit, rugi, kena bencana, dll). Apabila
bangunan sudah selesai dibuat acara rumambak = naik rumah baru. Acara
dipersiapkan sebagaimana mestinya. Dalam rumah (di kamar) sudah disediakan
tikar bantal. Diadakan pemasangan lampu minyak dan dipimpin oleh tonaas.
Kemudian pemilik rumah diajak masuk kamar tidur ± 3 menit. Lalu mereka
dibangunkan mendadak diiringi ucapan: “E Temooren! Mandom rè è!”. Di atas
meja sudah diatur makanan yang sudah disiapkan lebih dahulu. Didahului dengan
acara minuman dilanjutkan dengan makan bersama. Makanan yang disediakan
diusahakan tidak kehabisan di atas meja. Maksudnya agar yang mendiami rumah
tidak pernah kehabisan. Lampu dipasang siang malam selama ± 3 hari dan
selama itu disediakan sajian (ay welet / ayumper) terdiri dari nasi bungkus, telur
rebus, ikan, dan tembakau.
Tradisi lainnya yang dilakukan oleh penduduk Rumoong-Lansot pada dahulu kala
adalah tradisi mendirikan dan menaiki rumah baru yaitu bahwa dahulu sebelum
agama Kristen masuk, untuk mendirikan rumah, seseorang harus mengikuti
beberapa persyaratan seperti mempersembahkan sirih dan pinang serta rokok
pada waktu peletakan batu pertama, dalam meletakkan bantal rumah dan plat
hingga dalam memasang balok-balok (balak) bagian atas.
Upacara ini dilakukan dengan maksud untuk meminta restu para arwah/opo-opo
agar rumah tersebut tidak mengalami hambatan dalam proses pendiriannya. Letak
rumah yang akan didirikan terlebih dahulu harus melalui sebuah tanda dari
binatang khususnya Burung Manguni Makasiouw. Apabila bertanda baik maka
rumah itu boleh didirikan. Setelah rumah selesai sebelum ditinggali harus
mendengar pertanda atau bunyi burung manguni makasiow setelah itu membuat
api atau memasang lampu dirumah baru tersebut. Sajian makanan yang diberikan
terlebih dahulu dipersembahkan kepada opo-opo dan para tukang yang membuat
bagunan rumah itu diutamakan untuk menaiki dan menyatap terlebih dahulu sajian
makanan (rutuk) yang diberikan lalu diikuti dengan undangan yang lain. Secara
tradisional acara mendirikan dan menaiki rumah baru mulai ditinggalkan penduduk
dan diganti dengan acara ibadah dalam bentuk syukuran sesuai dengan ajaran
Kristiani.
Masamper.
Prosesi Penguburan.
Tradisi dan kebiasaan penduduk dalam hal pemakaman jenasah keliang kubur,
pada umumnya jenasah disemayamkan dengan posisi tidur terlentang dengan
melipat kedua tangan yang seringkali disisipkan serangkaian bunga atau sapu
tangan (lenso). Jenasah dibaringkan ke dalam peti jenasah yang dibalut dengan
memakai kain hitam dan dilukis memakai benang katun berwarna putih. Biasanya
bentuk gambar yang ditampilkan adalah bentuk bunga teratai dengan garis-garis
putih, dan penutup peti jenasahnya bergambarkan salib. Sedangkan lapisan
didalam peti jenasah dibalut dengan kain putih. Pada saat jenasah akan
dimasukkan keliang kubur (dikebumikan), menurut tradisi sejak dahulu bahwa
posisi jenasah yaitu kepalanya diletakkan disebelah barat menghadap ke arah
timur. Sedangkan batu nisan yang dibuat atau ditancapkan, bukan berada pas di
atas kepala seperti umumnya pemakaman daerah yang lain, melainkan berada di
atas kaki jenasah menghadap kearah barat.
Pada saat 3 malam dan 40 hari meninggal dibuat acara “mumpur”. Keluarga dan
saudara menuju ke kuburan mengundang roh yang meninggal dan saudara –
saudara yang sudah lama meninggal pulang ke rumah. Di rumah disajikan sajian
yang di atur seperti makan bersama. Semua sajian dibuat sesuai resep, makanan
diatur piring, garpu sendok. Setiba di rumah mereka dipersilahkan duduk
menghadap makanan lalu dipersilahkan makan. Acara di ruang makan sampai
selesai dipimpin oleh seorang tua yang katanya matanya tajam mampu melihat
rupa dari roh yang meninggal dan teman – teman yang meninggal. Bila sudah
selesai makan mereka disuruh pulang ke kubur dengan mendapat nasihat bahwa
mereka sudah mati, pulang saja tinggal dikubur dan selalu harus berbuat baik.
Makanan yang ada diundang keluarganya untuk makan dengan harapan agar
mereka jadi berani.
Acara 40 hari dan 3 malam itu ada perbedaan yaitu khusus pada acara 40 hari
sebelum ke kubur sudah disediakan sebuah periuk tanah. Selesai acara memberi
makan roh itu maka dimuka pintu / tangga dilemparkan periuk itu sampai pecah
dan diiringi ucapan: “Bagaimana periuk ini pecah hancur lembur tidak dapat
dipersatukan lagi begitulah hubungan antara kita yang masih hidup dengan yang
sudah mati tidak dapat dipertemukan lagi”. Acara seterusnya adalah acara lumalu
di pasar dan di kebun – kebun untuk hari – hari ke dua atau ke tiga atau ke empat
sesudah meninggal.
Ziarah di pekuburan.
Pada masa dahulu penduduk desa Rumoong dan Lansot sangat menjunjung tinggi
akan etika sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat terutama kepada
mereka yang lebih tua usianya. Sikap saling menghormati dan saling menghargai
dikalangan penduduk desa Lansot terasa sangat kental dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari.
Tradisi untuk saling menghargai atau saling menghormati terlihat jelas pada saat
penduduk melakukan kegiatan sehari-hari seperti apabila seseorang yang sedang
berjalan, berpapasan (melangkoian) dengan orang lain yang lebih tua usianya, ia
lebih dulu menyapa dan memberi hormat (sumirik) dengan ucapan ‘Siambae’ (bila
pagi hari), ‘Tabea’ (bila siang hari) dan ‘Malambae’ (bila malam hari). Begitupun
apabila seseorang melewati rumah orang lain yang lagi duduk atau berdiri didepan
rumah, maka yang sedang lewat akan menyapa sama dengan yang di atas atau
menyapa seperti permintaan permisi untuk lewat, dll. Si tuan rumah yang di sapa
akan balik dan membalas menyapa atau dengan basa-basi mengajak seorang
yang lewat untuk singgah.
Pada masa dahulu penduduk desa dalam setiap habis panen selalu melakukan
ritual agama suku (alifuru) yaitu mempersembahkan hasil panen pertama (padi
atau jagung /raang, dll) kepada para leluhur, opo khususnya kepada Amang
Kasuruan Wangko atas berkat yang telah diberikan sehingga panen dapat
dilaksanakan.
Setelah Agama Kristen masuk ke Minahasa, ritual keagamaan suku tersebut telah
ditinggalkan, dan diganti dengan hari pengucapan syukur yang disebut
Pungucapan. Pungucapan ini biasanya dilakukan hari Minggu pada pertengahan
tahun yaitu antara bulan Juni hingga bulan Agustus, bersamaan dengan Ibadah
Mingguan umat Kristen. Pengucapan syukur (Pungucapan) yang dilakukan
penduduk bukan lagi mempersembahkan hasil panen kepada para leluhur, opo
khususnya kepada Amang Kasuruan Wangko seperti pada masa nenek moyang
mereka dahulu, melainkan dalam bentuk persembahan syukur sesuai acaran
Kristiani di rumah ibadah (gereja).
Pada hari Pungucapan ini, semua penduduk mempersiapkan jamuan makan bagi
para tamu, handai taulan yang datang dari luar desa sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Untuk mencegah terjadinya pemborosan dalam bentuk pesta
pora, pemerintah maupun para pemuka agama selalu memberikan himbauan
untuk menyelenggarakannya secara sesederhana mungkin. Sering pula bentuk
pengucapan syukur ini di buat bersama-sama dirumah ibadah yaitu semua
keluarga/jemaat masing-masing membawa makanan ke gereja dan setelah selesai
mengadakan ibadah, keluarga maupun para tamu diundang untuk makan bersama
(marengkom) dengan penuh suka cita.
Kebiasaan penduduk dalam melakukan pungucapan ini telah menjadi tradisi yang
tak dapat dihilangkan. Sehingga baik pemerintah daerah maupun pemerintah desa
bersama-sama dengan pemimpin/pemuka agama setiap tahun menentukan hari
dan menetapkan kapan waktunya untuk melakukan pungucapan. Seringkali waktu
pungucapan dilakukan serentak di semua wilayah Kabupaten atau kecamatan,
atau dilakukan secara bergiliran antara daerah/wilayah kecamatan yang satu dan
kemudian di wilayah yang lain.
Suatu hal yang menyolok dalam proses pemilihan Hukum Tua adalah kebiasaan
dari para calon untuk mengadakan kampanye pemilihan selama kurang lebih 1
atau 2 minggu. Selama itu mereka mengadakan pesta makan-minum yang
semuanya memerlukan biaya yang sangat besar. Adapun tujuan dari pada
kampanye, para calon
bersaing dalam
mengadakan berbagai
kegiatan untuk menarik
hati warga desa agar
dalam pemilihan berpihak
pada mereka.
Tradisi dan kepercayaan lainnya yang dilakukan penduduk dahulu antara lain :
- Dalam hal melakukan perjalanan, masih banyak penduduk yang percaya
bahwa apabila bersin atau memotong-motong apa saja dengan pisau atau
parang, merupakan penghalang untuk berangkat. Dan apabila dalam
perjalanan ada ular hitam, kucing dan burung hantu tiba-tiba memotong
ditengah jalan atau mendengar suara burung yang kurang enak didengar,
orang tersebut harus berhenti sementara waktu lalu kembali melakukan
perjalanan. Dan apabila hal tersebut dilanggar, orang tersebut akan tertimpa
malapetaka.
- Dalam hal pertanian, beberapa larangan dan pantangan (sigil) kepercayaan
sebagian penduduk sebelum membuka kebun, harus mendengar tanda atau
bunyi burung hantu (warak siang). Apabila tanda dan bunyi dari burung baik,
maka kebun tersebut dapat dibuka, apabila tidak maka dilakukan penundaan
untuk membuka kebun. Begitupun dalam melakukan penanaman padi
diladang, sesudah penanaman dilarang keluar masuk ladang tersebut selama
2 bulan. Dan apabila melewati ladang itu harus membawa bambu mentah
(bulu muda). Begitupun bila melakukan panen, maka hasil pertama harus
diberikan sesajian kepada opo-opo (Makatanak).
Dalam bidang Kesenian khususnya kesenian tradisional berupa tarian dan alat
musik tradisional yang selalu diperagakan oleh penduduk desa Rumoong-Lansot
dikenal adalah tarian Maengket dan tarian Kabasaran serta alat musik yang sering
digunakan adalah Kolintang, Musik bambu dan Tetengkoren.
a. Tarian Maengket.
Tarian ini biasanya dilakukan oleh penduduk desa baik tua maupun muda pada
saat penduduk selesai melakukan panen hasil perkebunan dan sekaligus sebagai
ucapan syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rejeki/berkat kepada
penduduk. Tarian ini mengambarkan kehidupan penduduk sehari-hari mulai dari
mengolah, memelihara hingga panen hasil perkebunan dan dirangkai dengan
iringan lagu-lagu tradisional berbahasa Tountemboan, dirilis dalam bentuk dialog
dan saling berbalasan antara peserta maengket. Puisi dan melodi yang
dilantunkan selaras dan serasi dengan diiringi oleh tambur (genderang) mapalus.
Seorang Kapel sebagai pemimpin tarian ini menghidupkan suasana dengan
nyayian yang bermakna religius.
b. Tarian Kabasaran.
Tarian Cakalela atau Sakalele (asal kata dari Saka = Bertempur/ berperang,
berkelahi dan lele = tarian) ini biasanya dilakukan oleh penduduk desa khususnya
kaum pria karena tarian ini mengambarkan tarian perang yang khas Minahasa.
Konstum yang dipakai sebagai penutup tubuh didominasi oleh warna merah
(raindang) dan hitam (wuring) dengan kedua tangannya memegang peralatan
perang seperti tombak (bilak/wengkow), pedang (santi) dan perisai (kelung/keliit).
Kepala dihiasi topi (porong) yang terbuat dari akar dan serabut pohon dengan
ditancapkan bulu ayam atau burung. Tombak dan pakaian dihiasi oleh rumbai-
rumbai yang terbuat dari janur/ daun muda pohon kelapa yang berwarna kuning.
Dalam tarian Kabasaran Sakalele yang biasanya di lakukan di Desa Lansot terdiri
dari beberapa perintah gerakan yang dilakukan oleh Pemimpin Kabasaran
(Tonaas). Setiap perintah pemimpin yang dikeluarkan seperti: “Wangunan !“
(=Bangun/bersiap dan bentuk barisan) akan disambut dengan teriakan anggota
kabasaran dengan berteriak (bakuku) “Huy…..” sebagai tanda bahwa perintah
sudah dimengerti dan dengan iringan tambur/genderang maka perintah tersebut
dilaksanakan dengan gerakan sesuai dengan yang diperintahkan yang didahului
dengan gerakan mengankat kaki secara bergantian dan tombak diayunkan
kekanan dan kekiri sambil mengapit perisai. Tarian Kabasaran Sakalele ini
menggambarkan perilaku tou Minahasa di bawah pimpinan para tonaas untuk
menghadapi segala tantangan. Tarian ini pada mulanya berasal dari daerah
Tareran (Rumoong-Lansot) dan Tompaso dimana kedua daerah ini dahulunya
sebagai daerah pertempuran Tou Minahasa menghadapi orang-orang Mongondow
pada masa dahulu.
Pada masa-masa dahulu, musik bambu dan kolintang sering mengisi acara-acara
desa baik resmi maupun tidak resmi yang dimainkan oleh penduduk. Musik
Bambu adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang terdiri dari rangkaian alat
musik untuk melodi biasanya dimainkan dengan suling bambu, beberapa pengiring
yaitu terbuat dari potongan bambu dengan berbagai ukuran yang ditiup dengan
memakai bambu yang lebih kecil. Setiap peserta mempunyai nada pengiring yang
berbeda-beda dan saling bergantian. Begitupun pengiring yang mengeluarkan
nada bass juga terbuat dari bambu yang bentuknya seperti terompet raksasa.
Apabila musik bambu ini dimainkan, akan mengeluarkan paduan irama bunyi yang
khas dan enak didengar. Sedangkan alat musik Kolintang adalah alat musik
yang terbuat dari potongan kayu yang dipotong sedemikian rupa hingga bila di
ketuk menimbulkan irama/nada yang pas sesuai komposisi nada pada alat musik
modern pada umumnya. Satu tumpukan alat musik Kolintang ini terdiri dari 1 buah
perangkat untuk melodi, 4-5 perangkat pengiring, dan 1-2 perangkat bass.
Pada masa sekarang ini, musik Kolintang telah digalakkan lagi di desa Rumoong-
Lansot. Salah satunya adalah Group Musik Kolintang “Marukupan” GMIM
Betlehem Lansot Wil. Tareran Satu. Berbagai ajang perlombaan baik tingkat
kabupaten, Provinsi bahkan Nasional pernah diikuti bahkan pernah meraih
prestasi tertinggi menjadi Juara I baik di Tingkat Kabupaten, provinsi maupun
Nasional.
Salah satu penampilan Group Musik Kolintang Marukupan dalam suatu perlombaan
Untuk itu diharapkan, kiranya dapat diusahakan pelestarian kedua alat musik
sebagai asset desa agar generasi muda sekarang dapat mengenal lebih dekat
dan dapat memainkannya kedua alat musik tersebut. Dengan demikian pada
pentas-pentas/acara-acara di desa maupun diluar desa, kedua alat musik ini dapat
ditampilkan dan digunakan sebagai daya tarik para wisatawan baik dalam maupun
luar negeri.
Alat Musik Tetengkoren (Kentongan).
Pada sekitar tahun 1900-1930 dikenal seorang pencipta lagu yang bernama
Petrus Rompas seorang guru, guru jemaat/kepala sekolah Volk School (1890-
1910) asal desa Wiau Lapi, kemudian muncullah lagu-lagu ciptaan Johanis M.
Kumaat (Om Buang) bercirikan lagu-lagu tua juga Frets Lumangkun dan Piet
Sendow dimana lagu ciptaan mereka sering dinyayikan dalam koor-koor gereja
yang membangkitkan semangat iman gerejani. Lagu-lagu berbahasa
Tountemboan tak luput dari karya mereka yang bersifat tradisional, lirik dan alunan
lagunya yang gemulai menunjukkan sifat asli Toutemboan yang halus budi
bahasanya. Seringkali lagu-lagu tradisional iru disebut juga lagu-lagu yang disebut
Makaaruyen/makatanak (Kalelon) yang pada tahun 70-an sering dinyanyikan oleh
Group musik ‘Tumareran’ asal Lansot.
Group Tumareran ini didirikan pada tahun 1973 dengan pengurus adalah Bapak
J.H. Karamoj (Ketua), dibantu oleh Bapak Johanis Prang dan Bapak H.
Wensen. Group musik “Tumareran” walaupun dengan peralatan musik yang
sangat sederhana, mampu memukau
masyarakat musik Sulawesi Utara
sekaligus membawa harum nama desa
Lansot khususnya Kec. Tareran. Pada
masa tahun 70-an lagu-lagu rekamannya
pernah menduduki tangga teratas
permintaan lagu-lagu yang disiarkan oleh
Pemancar Radio di kota Manado dan
sekitarnya
Adapun personil Group musik Tumareran pada mulanya terdiri dari Johny Tampi,
Syultje & Vonny Tenda (Vocalis) dengan personil pengiringnya adalah Frans
Prang, Maxie Kondoy, Buce Kondoy (Gitaris) serta Johny Karundeng
(Drumer). Kemudian muncul group musik lainnya yaitu ‘Marukupan’ pimpinan
Joppy H. Kondoy dengan vocalisnya Masye Prang, menambah nuangsa
permusikkan di Minahasa.
Tahun 1957 muncullah komposer muda tunanetra Johny Mapaliej yang juga
banyak memunculkan lagu-lagu bernafaskan Kekristenan yang dipakai dan
digunakan dalam berbagai even perlombaan Paduan Suara di Minahasa bahkan
secara nasional. Begitupun para pencipta lagu yang bermunculan diera 50-an
hingga 70-an antara lain Hendrik Rompas, Eddy Tenda dan Erens ‘Erick’
Kawatu yang banyak menciptakan lagu yang bernafaskan kecintaan terhadap
desa kelahirannya.
Itulah darah-darah seni putra Rumoong Lansot yng berkiprah dalam dunia musik
yang tetap lestari dan dikenang hingga sekarang ini.
=========
BAB IV
SEJARAH MASUKNYA INJIL DAN PENDIDIKAN
DI NEG’RI RUMOONG-LANSOT
Salah satu cara yang ditempuh oleh K.T. Herrmann untuk membantu
tugasnya dalam pengkhabaran Injil di Rumoong Lansot adalah dengan
meminta dari Pemerintah Hindia Belanda melalui Distrik Amurang agar
mengirimkan seorang Kepala Desa untuk ditempatkan di Rumoong yang
pada waktu itu belum berstatus sebagai sebuah desa.
Namun sudah ada yang dibaptis di Rumoong Lansot tetapi secara resmi
dinyatakan Rumoong Lansot merupakan jemaat nanti 3 tahun sesudah itu
yaitu tahun 1845.
TAHUN 1842
Makam K.T. Herrmann [tengah] diapit oleh makam Istri dan anaknya
Tugu peringatan pembaptisan pertama penduduk Rumoong Lansot [di dekat makam
Bapak Daniel Lumankun-orang pertama yang dibaptis oleh K.T. Herrmann tahun 1842]
2. S. VAN DER VELDE VAN CAPELLEN, PENGINJIL MUDA DENGAN
SEMANGAT YANG MEMBARA.
Sde Velden Cappelen tiba di tanah Minahasa pada tanggal 16 Juli 1851
dan langsung ditempatkan di Amurang untuk membantu pelayanan K.T.
Herrmann. Setelah K.T. Hermann meninggal dunia pada tahun 1851, Ia lalu
mengambil alih sebagian besar pekerjaan penginjilan yang sangat
memerlukan tangan yang kuat dan semangat yang baru pula. Hanya dalam
waktu yang relatif singkat, Amurang di bawah kepemimpinannya mengalami
perubahan yang sangat besar. Semangatnya dalam pelayanan begitu luar
biasa sehingga dapat dirasakan di mana-mana, bahkan sampai di dalam
kehidupan keluarga dan dalam berbagai hubungan kemasyarakatan.
Velde Capellen amat agresif tapi positif dalam pelayanan, karena itu tanpa
mengenal lelah ia masuk sampai ke daerah-daerah pegunungan dan
melayani jemaat dengan penuh gairah. Dengan sekuat tenaga ia berusaha
menaklukkan setiap tantangan dan rintangan yang menghalangi penginjilan
termasuk di daerah pelayanannya di Rumoong-Lansot.
Sde. Velden Capellen dikenal sebagai penginjil muda yang enerjik serta
keras dalam menerapkan disiplin yang merupakan bagian dalam pelayanan
pengkhabaran Injil di tengah-tengah penduduk yang kehidupan sosialnya
masih sangat perimitif. Walaupun sifatnya dan tindakannya yang begitu
agresif dan disegani dikalangan penduduk, belum juga dapat mengoyahkan
keyakinan beberapa tonaas dan walian yang ada di Rumoong-Lansot.
Maka pada tahun 1951 dikirimlah dari Kawangkoan Javet Lapian untuk
menjadi kepala desa menggantikan peran Pamatuan. Usaha penempatan
Kepala Desa itu mulanya mendapat tantangan dari para tonaas dan walian.
Mereka mengangap bahwa apa yang dilakukan oleh Sde Velden Capellen
merupakan pelanggaran terhadap adat-istiadat yang selama ini berlaku dari
awal berdirinya ro’ong Lansot. Tetapi usaha menempatkan seorang kepala
desa di Lansot tetap dilanjutkan.
Tindakan para tonaas dan walian ini sangat memuakkan Velde Van
Cappelen sehingga dengan kemarahan yang besar, ia lalu membuat
sebuah lagu dalam bahasa Tountemboan yang dapat dimengerti oleh
penduduk setempat dan selalu dinyanyikannya sebagai sindiran kepada
para Tonaas dan walian yaitu :
Terjemahan Bahasanya:
Berapa orang kamu hai Tona’as,
Tiga orang kamu hai Tona’as.
Kamu bertiga akan akan dicincang
dan akan dipanggang seperti ikan
Puji-Puji Tuhan, Puji-Puji Tuhan.
Baptisan
Tahun Sidi Nikah Oleh
Dewasa Anak Jumlah
Van de
1874 - 54 54 25 2 Lief
Liefde
1875 1 30 31 - 1 Sda
1878 - 24 24 10 20 Sda
1879 2 64 66 1 2 Sda
1880 9 71 80 - 14 sda
Jumlah 12 223 255 36 39
Nyanyian Persembahan :
“Sen jadi rupiah, rupiah jadi ringgit, ringgit menjadi ratus ribu rupiah”
(Oleh Petrus Rompas)
B. Pejabat Gereja:
Petrus Rompas : Guru Jemaat
3. Hukum Tua Lansot Frans Kondoy, adalah Hukum Tua pertama yang dipilih
oleh penduduk Desa Lansot yang menjabat dari tahun 1895 – 1918.
4. Hukum Tua Amos Rorong, adalah Hukum Tua yang keempat dan yang
terakhir yang ditunjuk oleh Kepala Distrik Tombasian/Amurang untuk menjabat
sebagai Hukum Tua desa Rumoong. Ia menjabat Hukum Tua Rumoong sejak
tahun 1896 – 1924. Kemudian pada masa Petrus Benjamin TAMBAJONG,
sebagai Hukum Besar Tombasian/Amurang (Desember 1881-Mei 1898).
jabatan Hukum Tua Rumoong lalu dipilih oleh penduduk Rumoong.
5. Petrus Rompas asal Wiau Lapi adalah kepala sekolah pertama Volkschool
(Sekolah Desa) yang terdiri dari 3 kelas yang didirikan oleh NZG pada tahun
1890 – 1910, sekaligus sebagai Guru Jemaat Rumoong Lansot. Selain
sebagai Guru Jemaat, Ia juga dikenal sebagai pengarang lagu-lagu tua untuk
dinyanyikan oleh jemaat di Rumoong Lansot, yang hingga sekarang terus
dilestarikan.
5. PENCIPTAAN LAGU-LAGU GEREJA
Darah seni nyanyi yang dimilikinya pun menyebar ke lagu maengket. Diapun
penggubah dan pelatih lagu maengket. Dapat juga dicatat disamping lagu-lagu
maka dia termasuk pelopor musik kolintang. Sebab sekitar tahun 1957 dia dan
beberapa temannya, berdemonstrasi menggunakan perangkat musik kolintang.
--------------------------
B. SEJARAH PENDIDIKAN DI RUMOONG LANSOT
Hal ini bermula pada tahun 1885 – 1890, dengan dibukalah sekolah mula-
mula di Rumoong-Lansot oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dikenal
dengan nama Twede Klasse School (Sekolah Kelas Dua) yaitu sekolah
untuk anak-anak masyarakat biasa, yang oleh penduduk dikenal dengan
nama Gubernmen. Adapun kepala sekolahnya bernama Govel Man. Murid
yang pertama bersekolah antara lain Pilet Mapaliey dan Johanes
Rumangu. Sekolah ini dikelolah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1890 – 1910, NZG mendirikan
sekolah dengan nama Volkschool (Sekolah Desa) yang terdiri dari 3 kelas
dengan kepala sekolah pertama adalah Petrus Rompas asal Wiau Lapi.
Bpk Petrus Rompas juga sebagai Guru Jemaat Rumoong Lansot.
Selanjutnya Kepala sekolah Volkschool adalah Zacheus Sinaulan 1929-
1941 berasal dari Lapi. Adapun Guru-guru Volkschool Rumoong Lansot
sejak tahun 1890 adalah : Petrus Rompas, J.G. Manengkey, J. Aseng,
A.Rantung, Zacheus Sinaulan, S. Worotitjan semuanya berasal dari
Wiau Lapi.
Pada tahun 1923, sekolah Volk School yang didirikan pada tahun 1890
yang hanya terdiri dari 3 kelas, membuka sekolah lanjutan untuk kelas IV,
V, dan VI dengan nama Vervolgschool (Sekolah Sambungan) dengan
kepala sekolah pertama adalah Benyamin Pandelaki asal Paleloan-
Tondano. Sedangkan Volg School pada waktu itu dijabat oleh Zacheus
Sinaulan asal Wiau Lapi.
Tahun 1898, di Minahasa tercatat 133 sekolah Zending telah didirikan oleh
NZG, dengan jumlah murid 8378. [4961 laki-laki – 347 Perempuan]. Yang
tersebar di 200-an Jemaat. Sedangkan Jumlah Orang Kristen ada waktu itu
telah 154.817 orang, Islam, 7023 dan Orang Kafir 8371.
Tahun 1932 Indische Kerk Mengambil alih semua sekolah NZG hingga
pecahnya Perang dunia II.
2. BERDIRINYA SEKOLAH DASAR GMIM RUMOONG-LANSOT.
Pada Massa kepala sekolah dijabat oleh Ibu H.J. Lendo-Passa, SD GMIM
II Rumoong-Lansot yang pada awal berdirinya merupakan satu lokasi
dengan SD GMIM I Rumoong-Lansot yaitu terletak diantara desa Rumoong
Atas dan Lansot, nanti baru pada tahun 1978 SD GMIM II Rumoong-Lansot
pindah ke gedung sekolah sendiri yang dibangun di desa Lansot tepatnya di
jalan raya menuju desa Wiau Lapi (Samping halaman rumah Kel. Piet
Prang-Sumendap) yang berdiri hingga sekarang. Sedangkan gedung SD
GMIM II Rumoong Lansot yang lama di pakai oleh SD GMIM I Rumoong-
Lansot dengan kepala sekolahnya Bapak Eddy Kumaat. Setelah itu
Kepala sekolah SD GMIM II Rumoong-Lansot selanjutnya berturut-turut
dijabat oleh Fredrik E Kellah asal Wuwuk (1984-1989), Martin Rantung
(1989) asal Lansot, Ibu M. Slat-Kowel (1989-2000) asal Rumoong Atas,
Ibu A. Wongkar- Karundeng (2000-Sekarang/2006)asal Lansot, Drs.
Albert Kapero asal Tombasian Atas, dan sekarang (2014) dijabat oleh
Bapak Tommy Kondoj, SPd asal Lansot.
Pada tahun 1962 tersebut berdirilah sekolah lanjutan atas swasta yang
pertama di Tareran yang bernama Sekolah Guru A (SGA)
swasta yang pada waktu itu dibawah pimpinan Bapak Johanis
Prang asal desa Lansot. Sekolah ini berdiri hingga tahun 1964
dan murid-muridnya dipindahkan ke Sekolah Guru A
Kawangkoan. Pada tahun yang sama, SMP Negeri Kelas Jauh
Tareran dijadikan Filial SMP Negeri Langowan hingga tahun
1964 sebagai persiapan untuk menjadikan SMP Negeri yang
berdiri sendiri.
Bapak Johanis Prang
Pada tahun 1964 berdirilah SMEA Kristen Tareran yang kepala sekolahnya
adalah G.A. Kumaat, BA (1964-1966) yang digantikan oleh Johanis Prang
(1967-1968) dan terakhir dipegang oleh Max Pongoh, BA (1989-1972).
Pasca Pemberontakan G.30.S.PKI pada tahun 1965, Filial SMP
Negeri Langowan di Rumong Lansot dijadikan SMP Negeri
Tareran dengan pejabat sementara kepala sekolah adalah
Bapak Ruben Imbar asal Rumoong-Atas.
Dalam upaya menampung lulusan SMP Negeri Tareran khusunya siswa yang
berasal dari Desa Rumoong dan Lansot, maka pada tahun 1970 dibukalah
SMA Negeri Kelas Jauh Amurang yang dipimpin oleh Bapak Johanis Prang
(1970-1972) kemudian digantikan oleh Ny. Lengkong-Kasenda asal desa
Wuwuk pada tahun 1972 yang
sebelumnya adalah guru SMA
Amurang.
Setelah itu pada tahun 1979 dibukalah SMA Swasta Tareran yang berdiri
sendiri dengan kepala sekolahnya Drs. J.G. Lepar yang juga pada waktu itu
menjabat sebagai kepala sekolah SMP Negeri Tareran dan menjabat kepala
sekolah hingga tahun 1985 sampai sekolah tersebut berubah status menjadi
SMA Negeri Tareran.
Setelah perobahan status SMA Tareran dari swasta menjadi negeri pada tahun
1985, maka ditunjuklah kepala sekolah sementara yaitu Bapak Albert Taroreh,
BA yang juga merupakan kepala Sekolah SMA Negeri Kawangkoan.
Kemudian beliau
digantikan oleh Drs. J.G.
Lepar. Setelah itu secara
berturut-turut yang
menjadi Kepala sekolah
SMA Negeri Tareran yang
kemudian menjadi SMA
Negeri 1 Tareran adalah :
Drs. Drs. Berty Lendo,
F.P.J. Liando, Pelaksana
tugas J. Pangkey, SmH,
Drs. M.J. Panoppo dan
Drs. A.J. Talumewo.
Lembaga pendidikan SMP Negeri 1 Tareran & SMA Negeri 1 Tareran yang terletak di
ujung sebelah barat Desa Rumoong Atas II (Foto SP 2016)
Beberapa tahun kemudian yaitu Pada tahun 2010 berdirilah SMK Negeri 1
Tareran yang berkedudukan di desa Lansot. Pendirian sekolah ini dilakukan
oleh Pemerintah Desa Lansot lewat kepemimpinan Hukum Tua Bapak Jotje
Sumendap, yang merupakan usaha keras dari Bapak Drs. Leopold
Rumerung, dimana keinginan tersebut telah dituangkan dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (MUSRENBANGDES) Tahun 2009 dan
2010, dilanjutkan dengan Rapat Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat Desa
Lansot tanggal 06 Pebruari 2010, yaitu tentang Kesiapan Pendirian Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Tareran di Desa Lansot. Maka untuk merealisasi
atas hasil Musyawarah dan Rapat tersebut, dibentuklah Panitia Pendirian SMK
Tareran untuk melakukan berbagai usaha kegiatan demi terwujudnya
pendirian SMK di Desa Lansot Kecamatan Tareran. Melalui Surat Keputusan
Hukum Tua Desa Lansot Kecamatan Tareran yang saat itu Hukum Tua telah
dijabat oleh Bapak Alfrets Kondoj, SE yang pada waktu itu telah terpilih
menjadi hukum tua desa Lansot menggantikan Bapak Jotje Sumendap.
Situasi SMK Negeri I Tareran bersama siswa dan guru-guru di depan sekolah dilokasi
Lapangan Olahraga Garuda Lansot [Tribun OR disulap menjadi ruang kelas]
Foto 2010
Lagu :
RUMOONG LANSOT TEMPAT SEKOLAHKU
Cip. Hendrik Rompas (1950)
--------------
BAB V
PERKEMBANGAN JEMAAT GMIM
DI RUMOONG LANSOT
Disini jelas bahwa Rasul Paulus tak akan melakukan tugas penginjilan
pada mereka yang telah menerima Kristus yang telah diberitakan oleh
Rasul lain, melainkan akan mencari tempat atau mereka yang belum
mengenal nama Yesus Kristus. Inilah etika penginjilan yang dipegang teguh
oleh Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) hingga sekarang ini.
Namun sejarah telah mencatat bahwa banyak diantara para Penginjil
datang kemudian menabur di tempat yang telah ditabur orang terlebih
dahulu, sehingga gesekan diantara jemaat tak dapat dihindari bahkan
sering menimbulkan perselisihan. Hal ini juga terjadi di Jemaat Rumoong
Lansot yang telah sekian lama telah menerima Kristus sebagai
Juruselamat, namun dengan masuknya paham/aliran baru telah
mempengaruhi sebagian jemaat untuk meninggalkan apa yang selama ini
telah ditaburkan oleh para Zendeling dan mengikuti paham/ aliran baru
tersebut.
Pada akhir tahun 1899 Gereja ini masuk di Indonesia yang pada
waktu itu dikenal dengan nama Hindia Belanda oleh Misionari Ralph
Waldo Munson dan keluarganya di Kota Padang, dan kemudian
berkembang ke Medan. Pada tanggal 1 Maret 1900, Muson dengan
telah memperoleh izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk
membuka secara resmi sekolah bahasa Inggris yang merupakan
cikal bakalnya pekabaran Advent ke seluruh pelosok nusantara
termasuk Minahasa.
Ceritanya sebagai berikut : Menurut jadwal kerja ternyata hari itu yang
bertindak khadim ialah Bapak Pendeta MANUEL SONDAKH yang
merupakan ketua klassis Amurang saat itu. Selesai mengadakan persiapan di
konsistori lonceng gerejapun dibunyikan 3 x. Namun ketika akabn menuju ke
Mimbar, pintu telah terkunci rapat. Apa lacur? Rupanya dimimbar sudah ada
khadim (salah seorang anggota jemaat GMIM asal jemaat Rumoong Lansot).
Oknum tersebut adalah Sdr. H. S. Kumaat, salah seorang guru pada sekolah
rendah (SR. GMIM) Rumoong Lansot yang pernah dididik selain sebagai
guru juga sebagai guru injil. Kepala SR. GMIM ialah Bapak Benyamin
Pandelaki.
Pada masa itu, GMIM terbagi menjadi 11 Clasis yaitu: Airmadidi, Maumbi,
Manado Indonesia, Manado Eropah, Tomohon, Langowan, Ratahan,
Tondano, Sonder, Amurang, dan Kumelembuai meliputi sekitar 368 jemaat.
Rumoong Lansot kebetulan masuk Clasis Amurang dari 11 Clasis. Wilayah
Clasis ini berjalan terus sampai struktur organisasi GMIM di robah
menjadi 35 lingkaran.
Pada tanggal 21 April 1946 dalam sebuah ramah tamah dan rapat pemuda
di rumah Kel. F.H. Kondoy-Mapaliey maka disepakati pemberian nama PPKM
Jemaat Lansot menjadi ”EBENHAEZER” yang berarti ” Sampai disini
Tuhan Menolong Kita” sesuai bunyi dalam Kitb Injil pada I Semuel 7 : 12.
Nama Ebenhaezer ini diambil dengan alasan bahwa Bangsa Indonesia
khususnya Jemaat Kristen Minahasa baru saja terbebas dari cengkeraman
Jepang. Mulai saat itulah Anggota Jemaat GMIM Rumoong-Lansot bersama
pemuda mulai bangkit kembali dengan berbagai macam kegiatan pelayanan
Injil walaupun ditengah-tengah kesulitan hidup jemaat yang sangat miskin
dan kekurangan pakaian dan harta benda lainnya.
Satu hal yang perlu diingat, setelah terbentuknya lingkaran Tareran ( Yang
sekarang disebut Wilayah ) sebagai salah satu realisasi dari GMIM harus
membiayai sendiri tidak lagi bergantung dan berharap pada biaya
Pemerintah, betapa menderitanya para Pendeta yang tidak mendapatkan gaji
seperti biasa hal tersebut mengakibatkan adanya Pendeta yang pindah
Profesi pekerjaan demi mencakupi kebutuhan keluarga setiap hari, hal
tersebut dimulai pada tahun 1951. Pendapatan Pundi dalam setiap ibadah
minggu pada saat itu hanya berkisar di Rp. 15 dapat kita bayangkan
pendapatan para Pendeta pada waktu itu, Merekalah para pejuang Gereja
yang tidak boleh dilupakan oleh pendeta-pendeta di Zaman sekarang ini.
Pada masa itu daerah sekitar desa masih dikusai oleh pejuang Permesta,
sehingga sering terjadi kontak senjata antara TNI dengan Permesta. Sikap
saling curiga baik oleh pejuang Permesta dan TNI terhadap penduduk
menyebabkan banyak penduduk menjadi korban. Terutama sikap sewenang-
wenang beberapa anggota TNI yang seringkali memicu kemarahan
penduduk.
Melihat gelagat yang tidak baik dan dapat menyebabkan korban lebih lanjut
dikalangan penduduk, beberapa tokoh masyarakat dan tokoh gereja
terpanggil untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Salah satunya adalah
seorang tokoh muda bernama Timotius Kondoy. Beliau sebagai seorang
Pelayan Jemaat seringkali dicurigai oleh TNI karena kritikan dan sindirannya
terhadap sikap tidak manusiawi anggota TNI yang dilakukan terhadap
penduduk desa Rumoong-Lansot; Adapun beberapa kritikan beliau antara
lain mengenai penebangan paksa pohon-pohon cengkih milik petani oleh
TNI, penembakan oleh anggota TNI terhadap Bapak L. Karundeng dan
cucunya, dan pada waktu membawakan khotbah mengenai pagar makan
tanaman dan penyembahan opo-opo. Akibat kritikan yang disampaikan
tersebut, beliau pernah di pukul dan ditodong dengan senjata api oleh dua
orang anggota TNI.
Suasana saling curiga ini terjadi hingga ketingkat Sinode GMIM yang
berpusat di Tomohon di bawah kepemimpinan Pdt. A.Z. Wenas. Slogan-
slogan dan teriakan-teriakan yang sifatnya mengancam seperti
“Ganyang Ketua Sinode, ganyang Domini Wenas “ selalu saja di dengungkan
oleh sebuah partai yang beraliran komunis. Dan akhirnya semua yang
menentang akan kebenaran Firman Tuhan akan dikalahkan. Partai Komunis
Indonesia yang selama ini sangat menentang ajaran Kristiani akhirnya
tumbang setelah mencoba melakukan kudeta yang dikenal dengan nama
Gerakan 30 September 1965 atau disingkat G 30 S / PKI. Gerakan ini
ditumpas dan dianggap sebagai partai terlarang di Indonesia. Dengan
berakhirnya pergolakan G 30 S / PKI maka lahirlah masa pemerintahan Orde
Baru. Dimasa Orde Baru ni kehidupan pelayanan Injil di Minahasa meningkat
dengan pesat begitupun di jemaat GMIM Rumoong-Lansot.
C. PEMISAHAN JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT.
Pada masa sebelum Jemaat Rumoong dan Lansot berdiri sendiri, kedua
jemaat bersama-sama mengadakan ibadah di satu Rumah Ibadah yang
terletak di perbatasan desa Lansot dan Rumoong-Atas (Sekarang dipakai
oleh Jemaat GMIM ‘Taar Era” Rumoong-Atas).
Pada masa pelayanan pendeta F.M. Kowel di Jemaat GMIM Rumoong-
Lansot pada tahun 1970, dari Sinode GMIM di Tomohon mengeluarkan
Tata Gereja Baru yang berlaku diseluruh wilayah pelayanan GMIM, untuk
dipakai sebagai pedoman dan aturan bagi seluruh pelayanan GMIM yang
ada di Minahasa. Salah satu aturan yang mengatur tentang Jemaat adalah
bahwa setiap desa diseluruh pelayanan GMIM harus menjadi satu jemaat.
Pada tanggal 5 Mei 1970 diadakan Rapat Majelis Jemaat GMIM Rumoong-
Lansot yang menghasilkan kesepakatan mengenai pemisahan administrasi
antara Jemaat yang berada di Rumoong Atas dengan Jemaat yang berada
di Lansot. Selanjutnya pada tanggal 29 Maret melalui suatu Rapat Majelis
disepakati pemisahan keuangan yaitu pendapatan pundi/persembahan
jemaat dalam setiap kebaktian di rumah ibadah (Gereja) dibagi dua
berdasarkan tempat duduk yaitu dua baris tempat duduk jemaat Lansot
berada disebelah timur, sedangkan dua baris disebelah Barat ditempati
oleh Jemaat Rumoong Atas.
Pada tahun 1972 masa pelayanan pendeta F.M. Kowel berakhir dan
digantikan oleh Pendeta baru yaitu pendeta W.R. Rondonuwu (1972-
1980). Dimasa pelayanan pendeta ini telah timbul suatu gagasan baru bagi
jemaat Rumoong-Lansot tentang pemisahan kebaktian di rumah
peribadatan. Hal ini ditindak lanjuti dengan diadakannya Rapat Mejelis
Jemaat GMIM Rumoong-Lansot pada tanggal 26 April 1975 yang
menghasilkan kesepakatan pemisahan tempat peribadatan kedua jemaat
tersebut yaitu minggu I sampai minggu III ibadah dilangsungkan di Jemaat
masing-masing dan Minggu IV pada setiap bulan Jemaat GMIM Rumoong
dan Lansot beribadah bersama-sama di Rumah Ibadah.
Masa-masa terakhir
jemaat dari Lansot
menuju ke rumah
gereja GMIM
RUMOONG-LANSOT
di Rumoong Atas.
(Foto 1995)
Memang tak dapat disangkal bahwa pemisahan yang terjadi antara Jemaat
Rumoong-Lansot banyak disesalkan oleh tua-tua Jemaat karena telah
sekian lama Jemaat Rumoong-Lansot hidup bersama dalam satu jemaat
sejak awal berdirinya Jemaat Rumoong-Lansot. Hal ini memang sudah
kehendak Roh Kudus dimana Rumah Gereja yang ada sekarang ini tak
dapat lagi menampung jumlah jemaat yang berada di Rumoong-Lansot
yang berkembang dengan pesat.
Peribadatan Jemaat Lansot yang di langsungkan di Balai Desa Lansot
terakhir dilakukan pada Minggu 26 Juni 1976. Sebab pembangunan
Gedung Gereja baru dimana peletakan batu pertama telah dilakukan pada
tanggal 30 Nopember 1975, yang dilaksanakan dengan swadaya
masyarakat baik di dalam maupun diluar desa Lansot, sudah mulai
rampung dan digunakan pertama kali pada hari Minggu tanggal 1 Agustus
1976. Adapun lokasi dibangunnya gedung gereja yang baru yaitu bertempat
di bekas Rumah Bersalin Tareran (dahulu Gedung Vervolegscool) yang
berlokasi di jalan Pisek ke arah desa Wiau Lapi tepatnya di belakang Balai
Desa Lansot yang menghadap kearah Barat.
Foto bersama Jemaat dan masyarakat desa Lansot dengan Ketua Jemaat dan
Hukum Tua Lansot Bapak Timotius Kondoy, 1 Januari 1974.
Pdt. S.M.I. Sompie memperkenalkan diri didepan Jemaat GMIM Lansot pada
tanggal 22 Juli 1984 dan memulai pelayanannya pada tanggal 29 Juli 1984.
Inilah pendeta pertama Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot setelah berdiri
sendiri.
Gedung Gereja Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot Sebelum direnovasi (Foto MS 1982)
D. BERDIRINYA GMIM “IMANUEL” RUMOONG ATAS.
Setelah pemisahan Jemaat GMIM Rumoong dan Lansot, Jemaat Rumoong
Atas akhirnya beribadah sendiri di
Gereja Tua dengan nama Jemaat
GMIM Rumoong Atas.
Dan sejak saat itu seiring dengan pemekaran yang terjadi maka jemaat
GMIM Rumoong Atas pun memulai pembangunan gereja baru yang terletak
di bagian tengah kampung Rumoong Atas yang diberi nama GMIM
“Imanuel” Rumoong Atas. Akibatnya seluruh jemaat Rumoong Atas
melaksanakan ibadah menyatu di gereja baru dan secara perlahan gedung
gereja lama yang bersejarah yaitu GMIM Rumoong Lansot dalam waktu
yang cukup lama tidak di gunakan lagi sebagai tempat ibadah.
Gedung Gereja & Balai Pertemuan Jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong Atas
(Foto SP 2016)
Gedung Gereja jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong Atas II dilihat dari Perbatasan Desa
Rumoong Atas (Foto SP 2016)
Pemukiman penduduk/jemaat Rumoong Atas Dua dilihat dari ujung desa sebelah barat
/Tempok (Foto SP 2016)
E. BERDIRINYA GMIM “TAAR ERA” RUMOONG ATAS.
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan ini, maka mulai awal tahun 2000
resmilah pemekaran jemaat Rumoong Atas menjadi dua jemaat yaitu
Jemaat yang berada di sebelah timur desa Rumoong Atas menjadi Jemaat
GMIM “Taar Era” Rumoong Atas dengan memakai Gedung Gereja Tua
bekas Gedung Gereja GMIM Rumoong-Lansot sebagai tempat beribadah,
sedangkan Jemaat yang berada disebelah Barat tetap sebagai Jemaat
GMIM ‘Imanuel’ Rumoong Atas.
Gedung Baru GMIM “ Taar Era “ Rumoong Atas berdiri megah di atas bekas
berdirinya Gedung gereja Tua GMIM Rumoong Lansot (Foto DR 2015)
Sejalan dengan perkembangan jemaat yang ada, maka diawal tahun 2010
diwacanakan untuk membangun gedung gereja baru bagi warga Jemaat
GMIM Taar Era. Maka dibentuklah Panitia pembangunan yang diketuai oleh
Asiano Gamy Kawatu, SE, MSi. Kendala utama yang dihadapi panitia
adalah mencari lokasi tempat berdirinya Gereja baru. Segala upaya penitia
untuk mencari lokasi pembangunan gereja tidak memenuhi hasil, sehingga
dengan sangat berat hati dipilihlah lokasi Gereja Tua Rumoong-Lansot
sebagai lokasi Pembangunan gedung GMIM Taar Era. Konsekuensinya
bahwa gedung Gereja Tua yang merupakan saksi bisu perjalanan
penginjilan di Rumoong-Lansot harus di bongkar.
Niat panitia tersebut menuai pro dan kontra dikalangan jemaat baik
Rumoong Atas maupun Lansot yang selama ini telah menyimpan kenangan
serta telah menjadi bagian dari kehidupan berjemaat selama ini. Namun
dengan gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh Panitia kepada Jemaat
Rumoong dan Lansot, akhirnya dengan berat hati Gedung Gereja Tua yang
telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penginjilan di
Rumoong dan Lansot harus dibongkar. Jalannya pembongkaran gereja tua
ini diliputi suasana haru dikalangan jemaat.
Gedung gereja Jemaat GMIM “ Taar Era “ Rumoong Atas tampak sedang membangun ruang
tambahan (Foto SP 2016)
F. BERDIRINYA JEMAAT BARU GMIM “NAZARETH VELDEN CAPPELEN“
LANSOT TIMUR.
Namun wacana ini terus bergulir dan terangkat kembali setelah adanya
rencana untuk pemekaran Desa Lansot menjadi 2 (desa ). Pada akhir
tahun 2012, akhirnya Desa Lansot dengan resmi dimekarkan yaitu Desa
Lansot sebagai desa induk yang berada di sebelah barat serta Desa
Lansot Timur sebagai hasil pemekaran yang berada di bagian Timur.
Walaupun Desa Lansot telah dimekarkan menjadi dua desa, namun Jemaat
masih beribadah bersama di gedung gereja yang terletak di desa induk.
Memang sebelum desa Lansot dimekarkan, rencana pembangunan gedung
gereja baru di di wilayah Desa Lansot Timur sekarang, sudah mulai
direncanakan.
Pada masa pelayanan Pdt. Sem Kindangen, STh sebagai Ketua BPMJ
GMIM “ Betlehem “ Lansot, hal ini mulai diwujudkan dengan membentuk
Panitia Pembangunan Foundasi Gereja Baru pada tahun 2010 yang
diketuai oleh Drs. Leopold Rumerung,
untuk melanjutkan pembangunan gereja
dari panitia yang sebelumnya sudah
terbentuk namun tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Tugas panitia ini hanya
membangun foundasi gereja di tanah yang
merupakan hasil hibah dari Kel. Robby
Kandow-Supit (Cong) yang tinggal diluar
desa Lansot yaitu yang keluarganya
berasal dari desa Lansot. Dan kemudian
untuk memperluas halaman gedung gereja
maka oleh Kel. Drs. Leopold Rumerung-
Prang menghibahkan tanahnya dengan
cara tukar guling.
Sketsa/gambar rencana awal bentuk pembangunan Gereja NVC
B. Pemekaran Jemaat
Setelah Pdt. Christian Luwuk, STH digantikan oleh Pdt. Gariet H. Mawa –
Sigarlaki, MTh, rencana Pemekaran Jemaat mulai diwujudkan pada tahun
kedua periode berjalan yaitu pada bulan Oktober 2014 dengan membentuk
Panitia Pemekaran Jemaat yang diketuai oleh Bapak Joppie H. Kondoj,
BA melalui Sidang Majelis Jemaat. Dan pada Sidang-sidang Mejelis Jemaat
selanjutnya mulai ditetapkan waktu dilaksanakan pemekaran jemaat serta
penetapan nama Jemaat yang baru.
Untuk pemberian nama jemaat yang baru hasil pemekaran telah disebutkan
bernama “Nazareth” yang merupakan usulan dari keluarga yang
menghibahkan tanahnya untuk dijadikan rumah ibadah. Namun pada
perkembangan selanjutnya muncul masukan dari berbagai kalangan untuk
memberi nama jemaat yang baru dengan mengambil nama dari salah satu
penginjil yang datang menginjili di Rumoong Lansot bahkan mati dan
dikuburkan di desa Lansot, yakni S. Der Van Der Velde Van Cappellen
(1851-1856) atau dikenal oleh penduduk Rumoong Lansot dengan nama
“Velden Cappelen”.
Dena Jemaat GMIM “Betlehem”Lansot sebelum pemekaran terbagi pada dua desa yaitu
Desa Lansot (Sebelah Barat) dan Desa Lansot Timur (Sebelah Timur) yang merupakan
cikal bakal pembagian Jemaat.
Usulan nama itu memang sempat menjadi perdebatan, namun dengan arif
dan bijaksana serta berkat tuntunan Tuhan, BPMJ dan Panitia Pemekaran
mengambil kebijakan untuk memberi nama jemaat yang baru dengan nama
“Jemaat GMIM ‘Nazareth – Velden Cappellen’ Lansot Timur”, sebagai
jalan tengah untuk mengakomodir berbagai pendapat mengenai nama
jemaat yang baru tersebut. Nama inilah yang diusulkan ke BPMS GMIM di
Tomohon untuk ditetapkan menjadi nama jemaat yang baru.
Dari hasil kajian yang dilakukan maka Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM,
usulan Pemekaran Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot Wilayah Tareran Satu,
diterima dengan mengeluarkan pilihan waktu pemekaran yaitu pada akhir
Agustus 2015 atau pada awal bulan September 2015. Pilihan waktu
Pemekaran ini dibahas dalam Sidang Majelis Jemaat, dan kemudian
diputuskan bahwa untuk hari peresmian Pemekaran Jemaat dilakukan pada
hari Minggu, 06 September 2015. Dan akan dirangkaikan bersama-sama
dengan peletakan batu pertama Pembangunan Pastori I bagi Jemaat GMIM
“Betlehem” Lansot.
Foto bersama Pelayanan Khusus GMIM “Betlehem” Lansot pada saat detik-detik terakhir
Pemekaran jemaat Minggu, 06 September 2015.
Penandatangan peresmian jemaat baru GMIM “Nazareth – Velden Cappelen” Lansot Timur oleh
Ketua Sinode GMIM Pdt. DR. H.B.L. Sumakul, M.Th serta Oleh Ketua Panitia Bapak Joppie H.
Kondoj, BA, disaksikan oleh BPMJ GMIM “Betlehem” Lansot serta para para Pelayanan Khusus dan
Undangan.
Acara ini dihadiri oleh seluruh Jemaat serta para undangan yang datang
dari dalam maupun dari luar jemaat. Untuk membantu pelayanan di jemaat
yang baru, maka Pdt. Meyni Tulangow-Makarawung, S.Th yang
sebelumnya adalah pendeta jemaat GMIM “Betlehem “ Lansot,
ditugaskan/diperbantukan ke Jemaat GMIM “ Nazareth Velden Cappelen “
Lansot Timur sebagai Pendeta Jemaat. Kebaktian/Ibadah Peresmian
Pemekaran jemaat baru ini dilaksanakan di gedung gereja yang baru dalam
suasana yang penuh hikmat disertai rasa haru dan ucapan syukur
walaupun dibuat dalam gedung gereja yang belum rampung
pembangunannya.
C. Keadaan Jemaat
Jemaat GMIM “ Nazareth – Velden Cappelen “ Lansot Timur ini terdiri dari 9
(sembilan) Kolom dengan Jumlah Keluarga 199 dengan jumlah anggota
jemaat 631 jiwa yang terdiri dari : a. Laki-laki : 334 orang
b. Perempuan : 297 orang
Jumlah Anggota Jemaat yang telah dibabtis 631 jiwa, dan dengan Sidi
Jemaat berjumlah 466 jiwa. [Data bulan September 2015].
Ibadah Minggu Pertama Jemaat GMIM “NVC“ dipimpin oleh Pdt. Christian Luwuk, STH.
D. Keadaan Pelayan Khusus
Pelantikan Pdt. Marthen Karundeng, S.Th, sebagai Ketua Jemaat GMIM “ Nazareth Velden
Cappelen “ Lansot Timur
Untuk Kompelka P/KB dan WKI dimana Penatua/Ketua yang juga terpilih
pada Periode Pelayanan 2014-2017 berada di wilayah pelayanan GMIM
“Betlehem” Lansot. Maka untuk mengisi jabatan pelayanan tersebut
dilakukanlah pemilihan yang di laksanakan oleh Badan Pekerja GMIM
Wilayah Tareran satu. Kemudian terpilihlah :
Penatua Kompelka P/KB : Rionaldo Prang, ST
Penatua Kompelka W/KI : Chrisvivani Prang, SP
Ibadah Pelantikan Penatua / Pengurus Kompelka PKB & WKI serta Komisi-komisi kerja
(Foto SP 2015)
Rapat Perdana Pelayan Khusus Jemaat GMIM “Nazareth – Velden Cappelen” Lansot
Timur (Foto S.P.Sept. 2015)
Peneguhan Sidi Jemaat Pertama Jemaat GMIM “Nazareth – Velden Cappelen” Lansot
Timur (Foto S.P. Des. 2015)
=========
G. WACANA MENJADIKAN JEMAAT GMIM “TAAR ERA” RUMOONG ATAS
MENJADI JEMAAT INDUK/SENTRAL GMIM RUMOONG-LANSOT.
Merindukan suatu Jemaat GMIM di Rumoong dan Lansot yang bersatu seperti
dahulu setelah terjadinya pemekaran kampung dan pemisahan/pemekaran
jemaat, membuat para tokoh yang berasal dari Rumoong Lansot baik di dalam
maupun diluar jemaat Rumoong dan Lansot mewacanakan untuk membuat
suatu Jemaat Induk yang akan menjadi simbol pemersatu bagi jemaat GMIM di
Rumoong dan Lansot. Hal ini bisa diwujudkan melalui Jemaat GMIM ‘Taar Era”
Rumoong Atas yang kembali menempati lokasi gereja Tua GMIM Rumoong
Lansot.
7. Hasil seminar yang dilaksanakan yang dihadiri oleh BPMJ GMIM Taar Era’
Rumoong Atas, Panitia Penyusunan Sejarah Gereja seperti Asiano G.
Kawatu, SE,M.Si, Pnt. Prof. Dr. Theo Mautang, M.Kes, Drs. Donald
R.E. Ruindungan, M.Pd, H.F. Karundeng, Margo Tawas, SH, Dll,
Tokoh-Tokoh Agama seperti Pdt. Piet M. Tampi S.Th,M.Si, Matrthen
Karundeng, S.Th, serta beberapa nara sumber/penulis sejarah seperti Sym.
Drs. Valry S.H. Prang, Bapak Freddy Kondoj, didampingi pakar sejarah
Dr.Ivan R.B. Kaunang, M.Hum
Melihat latar belakang masuknya Injil di Tanah Minahasa, kita akan mendapati
bahwa akar sesungguhnya dari Gereja kita sekarang ini adalah gereja yang sangat
mengagungkan kesucian hidup. Di era globalisasi sekarang ini dengan segala
kemajuan teknologi-informasi yang menyebar secara global di tengah-tengah
kehidupan jemaat, nilai kesucian hidup ini mulai terkikis dari kehidupan kita
berjemaat.
Bila kita melihat dan menelusuri kebelakang jejak para Zendeling datang ke Tanah
Minahasa, akan kita tahu bahwa kehadiran mereka bukan untuk mencari
kesenangan diri apalagi untuk mengumpulkan harta. Seperti Yesus Tuhan yang
mereka sembah dan agungkan, kehadiran mereka bukan untuk mencari
popularitas melainkan untuk mempersembahkan diri bagi keselamatan umat
manusia dan demi kemajuan Injil di Tanah Minahasa. Karena para pengkhabaran
Injil khususnya yang dikirim oleh NZG hanya dituntut kesalehan dan keterbukaan
bagi kebenaran-kebenaran Injil yang akan disampaikan kepada orang lain,
terutama kepada mereka yang masih dianggap kafir.
Para Zendeling meninggalkan negeri leluhur mereka yang telah maju dan
berkembang, meninggalkan keluarga dan kesenangan serta orang-orang yang
mereka cintai untuk datang ke Tanah Minahasa yang kehidupan sosialnya masih
sangat terbelakang dan serba primitif jauh dari peradaban, hanya untuk melayani
orang-orang di Tanah Minahasa dengan cinta dan kasih Yesus Kristus.
Hal inilah yang menjadi teladan kita orang Kristen apalagi bagi kita yang
menyatakan diri sebagai pelayan Yesus Kristus baik sebagai Pendeta, Penatua-
Syamas serta kita selaku jemaat Tuhan, untuk melihat totalitas para Zendeling
yang memberi dan mengorbankan hidupnya demi pelayanan yang mereka
lakukan. Dengan mengetahui dan memahami pengorbanan para zendeling akan
menolong kita menghargai pekerjaan mereka yang telah merintis pekerjaan
membangun fundamen gereja di Minahasa yang merupakan etika penginjilan yang
dianut oleh Rasul Paulus yang ditulisnya dalam Roma 15 : 20-21 : “ Dan dalam
pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak
melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang,
supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain,
tetapi sesuai dengan yang ada tertulis ‘ Mereka, yang belum pernah menerima
berita tentang Dia, akan melihat Dia, dan mereka, yang tidak pernah
mendengarnya, akan mengertinya ‘.
Dengan kita belajar sejarah masuknya Injil ke Tanah Minahasa khususnya di neg’ri
Rumoong Lansot, dengan pengorbanan para Zendeling, sudah saatnya kita
bercermin pada mereka para Zendeling melalui sejarah penginjilan di bumi Toar-
Lumimuut ini. Dengan mengetahui dan belajar dari sejarah masuknya Injil ini, kita
dapat memilih budaya leluhur mana kita yang pantas di bawah dan dipertahankan
atau ditinggalkan dalam hidup beriman kita kepada Yesus Kristus di tengah-tengah
dunia yang dengan cepat mengalami perubahan.
Sejalan dengan itu, upaya mewujudkan suatu Gereja Sentral yang akan menjadi
tali pengikat sejarah berjemaat di Rumoong Lansot, patut di dukung dan ditindak
lanjuti keberadaannya. Hal ini mengingat bahwa Jemaat GMIM Rumoong Lansot
yang dahulunya adalah satu, adalah hasil usaha para Zendeling yang datang di
neg’ri Rumoong-Lansot. Namun dengan perkembangan yang terjadi, jemaat yang
dahulunya satu ini sudah terbagi menjadi beberapa jemaat yang berdiri sendiri. Hal
ini menyebabkan hubungan yang dahulunya terjalin dengan baik diantara jemaat
Rumoong Lansot, mulai mengalami pengikisan dan penurunan, bahkan telah
bersikap acuh tak acuh diantara jemaat..
Untuk itu upaya menghidupkan kembali Jemaat GMIM Rumoong Lansot yang
sudah sekian lama hilang akan menjadi momentum sejarah bagi perkembangan
jemaat, serta akan menjadi wadah pemersatu untuk mempererat tali persaudaraan
antara jemaat yang berada di kedua Desa Rumoong dan Lansot seperti sebelum
masa pemisahan/pemekaran jemaat.
Semoga dengan penulisan ini dapat menyadarkan kita jemaat Rumoong Lansot
untuk tetap bersatu dalam iman kepada Yesus Kristus serta menjadi garam dan
terang dunia bagi kemuliaan Allah Bapa.
===============
DAFTAR PUSTAKA
- Assa, Rudy N., Ziarah Injil di Tanah Minahasa, Yayasan Militia Christy. Kakas Sulut 2008.
- End, Th. Van den, Ragi Cerita I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1987
- Graafland, N, Minahasa Masa Lalu Dan Masa Kini, Terjemahan Yoots Kullit, Lemb.
Perpustakaan Dokumentasi Dan Informasi, Jakarta, 1987.
- Godee Molsbergen, Dr. Geschiedenis Van De Minahasa, 1929
- Karundeng, Moudy, SE, Selayang Pandang/Sejarah Gereja Masehi Advent Hari Ke Tujuh Di
Rumoong-Lansot, 2006.
- Kawatu, Erens, Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas, Panitia Yubelium, 1985
- Kondoj, Timothius, Sejarah Jemaat Lansot; 50 Tahun GMIM Bersinode, Dan Peringatan
Tahun Yobel, Lansot-Tareran,1984.
- Kotambunan. R.E.H. Drs,Sejarah Minahasa Jld II & III, 1985
- Lomban, H, dkk, Struktur Bah. Totemboan,1977
- Lumoindong, P, Etimology Minahasa.
- Mangindaan, J.C, Totemboan Poezi, 1973
- Mantiri, Stella B, Datoe Binankang, Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara
Utara, Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Prop. SULUT, 1990
- Notosusanto, Nugroho, dkk, Sejarah Nasional Indonesia 2, Depertemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Indonesia, Jakarta, 1992
- Prang, Valry S.H. Drs, Neg’ri Rumoong-Lansot, Tareran 2006.
- Prang, Valry S.H. Drs, Ziarah Injil di Neg’ri Rumoong-Lansot, Tareran 2007.
- Restu Gunawan, Sardiman AM, Amurwani Dwi L., Mestika Zed,Wahdini Purba, Wasino,
dan Agus Mulyana. Sejarah Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Politeknik
Negeri Media Kreatif, Jakarta , 2013.
- Riedel, J. G. F. The Minahasa, 1862.
- Rondonuwu, Boy. E.L., Minahasa Tanah Tercinta,DPD KNPI Minahasa,1983.
- Rondonuwu Ch. A. “Tentang Minahasa”
- Sagimun, M.D, dkk, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Utara; Proyek
Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan,
Manado 1980/81.
- Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen, Silsila/Tarsilas (Genealogies) And
Historical Narratives In Saranggani Bay And Davao Gulf Regions, South Mindanao, Philippines, And
Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia.
- Sumendap, Johanis, STh, Sejarah Gereja Pantekosta Di Indonesia Lansot, Lansot, 2006.
- Sulu, Phill M, Permesta, Dalam Romantika, Kemelut & Misteri, PT. Gramedia Pustaka
utama, Jakarta,2011
- Taulu, H.M, Sejarah Minahasa, Manado 1968.
- Taulu, H. M. Bunga Rampai: Sejarah dan Anthropology Budaya Minahasa. Cetakan IV-Manado: Tunas
Harapan, 1981
- Thamiend, Nico R., Sejarah Untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira, Jakarta 2000.
- Teguh Asmar, Drs. dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986
- Walukow, Alffian, W.P.S.Pd, Sejarah Wiau Lapi - 116 Tahun Desa Wiau Lapi, Sangihe 2008
- Waroka, J.H, Kamus Bahasa Daerah Manado-Minahasa,2005
- Watuseke, F. S. Sejarah Minahasa, Percetakan Negara Manado, 1968
- Wenas, Jessy. Sejarah & Budaya Minahasa, 2007
- Wenas, Jessy. Watu Pinawetengan dan Watu Tumotoa, 2007
- Wowor, Fredy, “ Menguak Akar Positivisme Dalam Wacana Tentang Pemerintahan Tou Minahasa”
Harian Media Sulut, Edisi 3 Oktober 2012.
- Van Aernsbergen, A.J. “De Katholieken en hare Missie”.
- Verlag, Peter Delius, GmbH, “Visual History of The World”, National Geographic Society, Berlin 2005,
diterjemahkan oleh Hikmah Ubaidillah dalam “Buku Pintar Sejarah Dunia Untuk Pelajar” Penerbit
Lintas Kata, Depok, 2011.
Dokumentasi lainnya :
Ketua, Sekretaris,
Ketua Pdt. CH, Weken Tanor, STh / Pdt. Willem Suoth, STh
Wakil Ketua Pnt. Johny Karundeng
Sekretaris Sy. Douvi Angow
Bendahara Pnt. Johan J. Kawatu
Anggota Pnt. George Kumaat, SH., M.Si
Pnt. M. Karamoy Tawas, S.Sos
Pnt. Hence Tumbelaka, ST
Pnt. Jems Karundeng
Pnt. Ferdy I. Kondoy, BA
Pnt. Dra. E.N. Ruindungan Kumaat
Pnt. R. Porong Mamarimbing
Catatan pelayanan di periode ini yang terkait dengan pembangunan rumah ibadah
baru yang menggantikan bangunan gereja tua sebagai tempat beribadah jemaat
GMIM Rumoong Lansot pada waktu yang lalu.
*******
III. DAFTAR PELAYAN KHUSUS GMIM “BETLEHEM” LANSOT.
KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
Jhon F. Sumendap Syamas
2 Johanis Tenda Penatua
Fredrik Kondoj Syamas
3 Johanis Prang Penatua
Jotje Sumendap Syamas
4 Willem Kondoy Penatua
W.H. Prang Syamas
5 Altin Tenda Penatua
Jan L. Kondoj Syamas
6 Willem B. Tampi Penatua
W.H. Oroh Syamas
P/KB Jan H. Karamoy Ketua
W/KI Ibu A. Prang – Kondoy Ketua
Pemuda/Remaja Zachius Mapaliey Ketua
Anak-anak Servius Tenda Ketua
BADAN PEKERJA
Catatan :
Periode 1970 s/d 1973 adalah periode bersama-sama sebagai Jemaat GMIM
Rumoong Lansot.
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1974-1977
KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
Jhon F. Sumendap Syamas
2 Johanis Tenda Penatua
Fredrik Kondoj Syamas
3 Serfius A. Sumendap Penatua
Albert W. Prang Syamas
4 Willem B. Tampi Penatua
F. Rumerung Syamas
5 Altin Tenda Penatua
Jan L. Kondoj Syamas
6 Willem Kondoy Penatua
H.S. Kumaat Syamas
P/KB Jan H. Karamoy Ketua
W/KI Ibu A. Prang – Kondoy Ketua
Pemuda Freddy Kondoj Ketua
Anak-anak H.F. Karundeng Ketua
BADAN PEKERJA
Catatan :
Periode 1974 s/d 1977 adalah masa pemisahan jemaat Rumoong Lansot.
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1978-1981
KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
E. Todar Prang Syamas
2 Johanis F. Tenda Penatua
Fredrik Kondoj Syamas
3 Zachius Mapaliey Penatua
Hans Rumangu Syamas
4 Jhon Iroth Penatua
Ny. J. Kumaat – Tampi Syamas
5 Willem Kondoj Penatua
Ny. F. Karundeng Kumaat Syamas
6 Penatua
Syamas
7 Penatua
Willem A. Oroh Syamas
P/KB Jan H. Karamoy Ketua
W/KI Ibu A. Prang – Kondoy Ketua
Remaja/Pemuda Jantje Lendeng Ketua
Anak-anak Johanis L. Tampi Ketua
BADAN PEKERJA
Catatan :
Periode 1978 s/d 1981 terjadi pemekaran Kolom dari 6 Kolom menjadi 7 Kolom &
Masa Pentahbisan Rumah Ibadah GMIM Betlehem Lansot yang baru.
PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1982-1986
( Data Menyusul)
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1991-1994
KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
Ny. A. Prang Korengkeng Syamas
2 Jantje F. Prang Penatua
Jan W. Karundeng Syamas
3 Ny. M. Robot Kindangen Penatua
Ny. A. Rorimpandey Kesek Syamas
4 John F. Sumendap Penatua
Rien B. Kondoj Syamas
5 Johanis Prang Penatua
Ibu O.S. Rantung Lapian Syamas
6 Bernhard J. Pangemanan Penatua
Jantje Lendeng Syamas
7 Maxie j. Rumangu Penatua
Ny. E. Kumaat Rorong Syamas
8 Vicky Kellah Penatua
Servius Prang Syamas
9 Johanis L. Tampi Penatua
Altin Tenda Syamas
10 Johny Rumerung Penatua
Ferry Kondoj Syamas
11 Willem B. Tampi Penatua
John F. Sumendap Syamas
12 Jensen Momongan Penatua
V. Kondoj Syamas
P/KB Timotius Kondoj Ketua
W/KI Ny. A. Prang Kondoj Ketua
Remaja Richard Wensen Ketua
Pemuda Zachius Mapaliey Ketua
Anak-anak J.J. Wurangian Ketua
BADAN PEKERJA
Catatan :
Nama Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat Periode 1991-1994
(Data Menyusul)
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2010-2013
KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Ir. Jootje Rumangu Penatua
Ny. Mieke S. Kalumata Syamas
2 Noldi Ventje Karundeng Penatua
Ny. A. Malingkonor Kondoj Syamas
3 Jansen Momongan, S.Pd Penatua
Servius Kondoj, S.Pd Syamas
4 Ny. Altje Wongkar Karundeng Penatua
Ny. Diane L. Rumangu - Tawas Syamas
5 Yorry Sumakul Penatua
Ny. Vidya E. Rorong,S.Th Syamas
6 Maxie J. Sumendap Penatua
Ny. Juliana B. Nayoan Rembet Syamas
7 Jansen Kondoj, S.Sos Penatua
Ny. Henny R. Prang Rumangu Syamas
8 Maxie J. Kumaat Penatua
Rosye M. Tampi, S.Pd Syamas
9 Maximillian E.I.M. Mambo Penatua
Johanis Hendrik Umboh, SE Syamas
10 Bernhard J. Pangemanan, s.Pd Penatua
Ny. Jenny M.. Sumendap Rumangu Syamas
11 Joppie H. Kondoj, BA Penatua
Ny. Annie M. Karamoy Sendow Syamas
12 Ny. Kartini L.S. Mirah Kondoj, S.Pd Penatua
Ny. Jansje Rorong-Lumangkun Syamas
13 Ny. Jurike D.A.. Lengkong Ratu Penatua
Ny. Olfi .M. Walean Lempoy Syamas
14 Jopi F.A. Prang, Am.Pd Penatua
Ny. Chrisvivani Sumakul Prang, SP Syamas
15 Vicky Prang Penatua
Ny. Aneke Rorimpandey Kesek Syamas
16 Happy V. Kawatu, SS Penatua
Ny. Olga S. Kondoj Lapian Syamas
17 Yan W. Karundeng Penatua
Ny. Merlin M. Tanamange-Pasiowan Syamas
18 Ny. Ariantje M. Prang Korengkeng Penatua
Tommy Kondoj Syamas
P/KB Novie H. Kondoj Ketua
W/KI Ny. Dra. Inke Prang Karamoy Ketua
KP/Remaja Donny Ch. Karundeng, S.Pi Ketua
KP/Pemuda Andreas S. Oroh Ketua
KP/Anak Fenky R. Kondoj Ketua
Christian Luwuk, S.Th Ketua Jemaat
Andreta Suoth, S.Th Pdt Jemaat
Intan Wokas –Walangitan, S.Th Pdt. Pelayanan
Inri Walalangi Momor, S.Th Vikcaris Pdt.
BADAN PEKERJA
Catatan :
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2014-2015
KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Ventje Karundeng Penatua
Ny. Anita Malingkonor Kondoj Syamas
2 Jansen Momongan Penatua
Ny. Youke Kondoj-Lumempouw Syamas
3 Ir. Jootje Rumangu Penatua
Ny. Mieke Kalumata Syamas
4 Ny. Altje Wongkar Karundeng Penatua
Ny. J. Rumerung-Karundeng Syamas
5 Johny Rumerung, S.Pd Penatua
Servius Kondoj, S.Pd Syamas
6 Maxie Sumendap Penatua
Yorry Sumakul, S.Km Syamas
7 Drs. Alex Rompas Penatua
Ny. Juliana B. Nayoan Rembet Syamas
8 Ny. Grace Sumakul Kondoj, SH Penatua
Ny. Henny R. Prang Rumangu Syamas
9 Ny. L. Pangkey Rosang Penatua
Ny. Susan Kondoj Berhimpon Syamas
10 Maximillian E.I.M. Mambo Penatua
Levi Rorong Syamas
11 Johanis Hendrik Umboh, SE Penatua
Hard B. Karamoy, S.sos Syamas
12 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Penatua
Drs. Valry Sonny H. Prang Syamas
13 Christian Karamoy Penatua
Moudy Tenda Syamas
14 Ny. Jurike D.A. Lengkong Ratu, S.Pd Penatua
Ny. Pingkan Rungkat Karundeng Syamas
15 Ny. Kartini L.S. Mirah Kondoj, S.Pd Penatua
Ny. Olfi M. Walean Lempoy Syamas
16 Jopi F.A. Prang, Am.Pd Penatua
Richard Wensen Syamas
17 Vicky Prang Penatua
Ny. Aneke Rorimpandey Kesek, S.Pd Syamas
18 Samuel Karundeng Penatua
Ny. Meity Wurangian-Merentek Syamas
19 Yan W. Karundeng Penatua
Ny. Merlin Tanamange Pasiowan Syamas
20 Happy O. Kawatu, SS Penatua
Ny. Olga Kondoj Lapian Syamas
P/KB dr. Rio Nayoan Ketua
W/KI Ny. Elvie Momongan Soputan Ketua
KP/Remaja Donny Karundeng, S.Pi Ketua
KP/Pemuda Andreas S. Oroh Ketua
KP/Anak Fenky R. Kondoj Ketua
Ny. M. Mawa-Sigarlaki, M.Th Ketua Jemaat
Meyni Tulangow-Makarawung,S.Th Pdt. Jemaat
Inri Walalangi-Momor, S.Th Pdt Pelayanan
BADAN PEKERJA
Catatan :
KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Ventje Karundeng Penatua
Ny. Anita Malingkonor Kondoj Syamas
2 Jansen Momongan Penatua
Ny. Youke Kondoj-Lumempouw Syamas
3 Ir. Jootje Rumangu Penatua
Ny. Mieke Kalumata Syamas
4 Ny. Altje Wongkar Karundeng Penatua
Ny. J. Rumerung-Karundeng Syamas
5 Johny Rumerung, S.Pd Penatua
Servius Kondoj, S.Pd Syamas
6 Maxie Sumendap Penatua
Yorry Sumakul, S.Km Syamas
7 Drs. Alex Rompas Penatua
Ny. Juliana B. Nayoan Rembet Syamas
8 Ny. Grace Sumakul Kondoj, SH Penatua
Ny. Henny R. Prang Rumangu Syamas
9 Ny. L. Pangkey Rosang Penatua
Ny. Susan Kondoj Berhimpon Syamas
10 Maximillian E.I.M. Mambo Penatua
Levi Rorong Syamas
11 Johanis Hendrik Umboh, SE Penatua
Hard B. Karamoy, S.sos Syamas
P/KB dr. Rio Nayoan Ketua
W/KI Ny. Dra. M. Podung-Prang Ketua
KP/Remaja Ny. S. Robot-Karundeng Ketua
KP/Pemuda Pmd Kondoj Ketua
KP/Anak Ny. Titi Rasu Ketua
Ny. M. Mawa-Sigarlaki, M.Th Ketua Jemaat
Inri Walalangi-Momor, S.Th Pdt Pelayanan
BADAN PEKERJA
KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Penatua
Drs. Valry Sonny H. Prang Syamas
2 Christian Karamoy Penatua
Moudy Tenda Syamas
3 Ny. Yurike D.A. Lengkong Ratu, S.Pd Penatua
Ny. Pingkan Rungkat Karundeng Syamas
4 Ny. Kartini L.S. Mirah Kondoj, S.Pd Penatua
Ny. Olfi M. Walean Lempoy Syamas
5 Jopi F.A. Prang, S.Pd Penatua
Richard Wensen Syamas
6 Vicky Prang Penatua
Ny. Aneke Rorimpandey Kesek, S.Pd Syamas
7 Samuel Karundeng Penatua
Ny. Meity Wurangian-Merentek Syamas
8 Yan W. Karundeng Penatua
Ny. Meylin M. Tanamange-Pasiowan Syamas
9 Happy O. Kawatu, SS Penatua
Ny. Olga S. Kondoj Lapian Syamas
P/KB Rionaldo Prang, ST Ketua
W/KI Ny. Chrisvivanie0 Sumakul Prang, SP Ketua
KP/Remaja Donny Ch. Karundeng, S.Pi Ketua
KP/Pemuda Andreas S. Oroh Ketua
KP Anak Fenky Kondoj Ketua
Marthen Karundeng, S.Th Ketua Jemaat
Pdt. Meiny Tulangow - Makarawung Pdt. Jemaat
BADAN PEKERJA
Catatan :
Periode ini adalah Pelayan Khusus yang pertama di Jemaat Baru NVC Lansot
Timur.
Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat (Pertama) GMIM “Nazareth Velden Cappellen”
Lansot Timur Periode 2015-2017
BATU MAKAREAK
Pada jaman penduduk Rumoong Lansot masih sedikit yang menerima Injil,
ada suatu peristiwa yang sangat memberikan pengajaran kepada penduduk
pada waktu itu untuk menerima Injil. Kejadiannya sebagai berikut :
Pada suatu hari para penduduk mulai melaksanakan pengalian batu itu
secara mapalus. Pada waktu pengalian sudah selesai, dan tanah yang
menganjal batu tersebut sudah di angkat, namun batu itu tidak juga bergerak.
Penduduk menjadi sangat heran sebab batu itu tidak juga terguling ke bawah
padahal tidak ada lagi yang menganjal batu itu. Mereka mencoba mendorong
dengan sekuat tenaga bahkan telah berusaha mengakalinya dengan segala
macam cara agar batu itu dapat terguling ke bawah. tetapi batu itu tetap tegar
berada ditempatnya. Penduduk menjadi putus asa.
=========
Mengenang Peristiwa Heroik Pengibaran Bendera Merah Putih Di Desa Rumoong-Lansot :
Di desa Rumoong-Lansot pernah terjadi peristiwa yang sangat mengemparkan yaitu pengibaran
Bendera Merah Putih pada saat pemerintahan di kendalikan oleh Pemerintahan Belanda melalui
NICA yang ingin kembali menjajah tanah air Indonesia yang sudah menyatakan Kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa berawal dari keinginan Kerajaan Belanda untuk menjajah
kembali Indonesia dengan mendirikan Negara Boneka yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Niat
Belanda ini sangat di tentang oleh para tokoh pejuang di tanah Minahasa yang tergabung dalam
Laskar Rakyat Republik Indonesia (LRRI).
Wilayah Tareran pada waktu itu masuk dalam LRRI Daerah VI dibawah pimpinan Bung Alex
Tujuwale. Para Pemuda di Desa Lansot, banyak yang menjadi anggota LRRI pada waktu itu. Untuk
melawan NICA Belanda secara terang-terangan, tentu saja sangat besar resikonya sebab
persenjataan yang ada jauh dari persenjataan NICA Belanda pada waktu itu sudah sangat modern.
Untuk itu jalan satu-satunya hanyalah melalui cara sembunyi-sembunyi dengan menanamkan rasa
cinta tanah air dan rasa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dikalangan penduduk.
Salah satu rencana yang disusun oleh LLRI Daerah VI adalah pengibaran Bendera Merah Putih di
Rumoong Lansot sebagai peryantaan bahwa Penduduk Desa Rumoong Lansot dan umumnya
penduduk Tareran dan Minahasa menginginkan Republik Indonesia sebagai tanah air mereka.
Rencana ini lalu diserahkan kepada 2 (dua) orang pemuda anggota LLRI asal desa Lansot yaitu
Frans Mirah dan Benyamin Merentek (Dorek) untuk melaksanakan Pengibaran Bendera Merah
Putih tersebut. Untuk mempermulus rencana ini, mereka lalu memakai seorang anak bernama
Alfius Benyamin Mirah yang biasa dipanggil “PIUK” adik dari Frans Mirah. Anak ini masih duduk
dibangku Kelas 5 Sekolah Rakyat dan dikalangan teman-temannya dikenal anak yang pandai dan
pemberani. Melalui kakaknya Frans Mirah, ia disuruh untuk membeli kertas minyak (fuya) berwarna
merah dan putih. Anak ini lalu menuruti permintaan kakaknya yaitu membeli kertas minyak di warung
milik tante Opik Tampi. Tetapi kertas yang ada hanya tinggal yang warna putih. Lalu ia ke warung
yang satunya milik om Nyong Porong dengan membeli kertas minyak yang warna merah. Setelah
pembelian dilakukan, maka mulailah mereka bertiga (Frans Mirah, Dorek & Piuk) membuat bendera
dari kertas minyak tersebut dan rencananya akan dinaikkan di dua tempat yang dianggap strategis
pada tengah malam pada saat penduduk desa terlelap dalam tidur.
Pada saat tengah malam yaitu tanggal 09 September 1949, mereka mulai melaksanakan rencana
mereka untuk memasang bendera. Pilihan pertama jatuh pada pohon cemara yang berada di depan
Vervolk School (sekarang Gedung GMIM Betlehem Lansot). Di tempat itu terdapat 3 pohon cemara
dan yang tertinggi adalah pohon cemara yang berda ditengah-tengah. Pilihan kedua yaitu
dipertigaan jalan antara desa Rumoong Atas dan Lansot yang pada waktu itu terdapat papan
penunjuk arah di depan Kintal Kel. P. Mapaliey-Kondoy (Tetek Philip Mapaliey). Untuk mengibarkan
bendera itu diperlukan bambu dan tali dan kebetulan disekitar tempat tersebut terdapat sebuah
bambu yang ujungnya ditancapkan jeruk (lemong suangi) milik Kel. Karundeng-Pinorik yang
menandakan bahwa keluarga tersebut baru melahirkan seorang anak. Sedangkan tali yang dipakai
adalah tali yang disebut oleh penduduk setempat “tali rote” (tali yang berasal dari batang tanaman
sejenis pohon pisang) yang diambil dibelakang halaman rumah Kel Herman Prang-Karundeng.
Pemasangan benderapun dilakukan oleh Benyamin Merentek (Dorek) dengan memanjat pohon
cemara yang dibantu oleh Frans Mirah serta disaksikan oleh Alfius “Piuk” B. Mirah. Setelah
pemasangan selesai maka dilanjutkan dengan pemasangan di pertigaan jalan Rumoong-Lansot.
Selesai pemasangan bendera dilakukan Frans Mirah dan Benyamin Merentek (Dorek)
memberitahukan kepada “Piuk” agar hal ini dirahasiakan dan jangan diberitahukan kepada siapapun.
Mereka lalu menugaskan Piuk untuk memeriksa bendera yang telah dipasang tersebut hingga pagi
hari. Perintah itu dituruti oleh Piuk.
Pada tanggal 10 September 1949 dipagi hari sebelum matahari terbit, Piuk melihat bendera yang
berada d ipertigaan jalan Rumoong-Lansot sedang diturunkan oleh Tetek (Opa) Philip Mapaliey.
Sedangkan Bendera yang berada di depan Vervolk school masih tetap berkibar di atas pohon
cemara. Melihat ada bendera Merah putih berkibar di kampungnya, pendudukpun menjadi gempar.
Sebagian penduduk menjadi ketakutan dan mnemilih mengurung diri di dalam rumah mereka sambil
sekali-kali mengintip keluar rumah atau melihat bendera yang masih berkibar tersebut. Kecemasan
penduduk semakin bertambah pada waktu Polisi-NICA dari Kawangkoan turun dengan mengendarai
sebuah mobil pick Up bertuliskan “Tampusu” berisi 6 (enam) orang personil polisi dengan
persenjataan lengkap.
Melihat polisi datang, Piuk lalu menyuruh kakaknya Frans Mirah dan Benyamin Merentek (Dorek)
untuk segera melarikan diri keluar dari kampung dan nanti dia sendiri yang akan mengakuinya
apabila polisi telah mengetahui pelakunya. Penyelidikan polisi dilakukan pertama kali dengan
mendatangi Hukum Tua desa Lansot yang pad waktu itu dijabat oleh Sem Kondoj, lalu menanyakan
kewarung-warung penduduk perihal pembelian kertas yang dijadikan bendera tersebut. Polisi lalu
mengancam penduduk desa Lansot yaitu apabila pelaku tidak menyerahkan diri, maka seluruh
pemuda desa Lansot akan ditangkap dan diangkut ke dalam tahanan.
Melihat ancaman tersebut, Piuk lalu menyerahkan diri dan mengaku bahwa dialah pelakunya. Polisi
pada waktu itu seakan-akan tidak percaya bahwa bendera tersebut dinaikkan hanya oleh seorang
anak berumur 12 tahun. Namun untuk menyelidikinya lebih lanjut, piuk lalu ditangkap dan dinaikkan
ke atas mobil dengan tangan diborgol ke depan. Sebelum berangkat menuju Kawangkoan, para
polisi menyuruh Bapak Bernard Oroh yang pada waktu itu bertugas sebagai patroli desa untuk
menurunkan bendera di atas pohon cemara. Lalu mereka singgah sebentar diwarung om Nyong
Porong mungkin ingin membeli sesuatu. Om Nyong Porong pada waktu itu memberikan Piuk sejenis
kue (kukis) yang disebut Baleko (sekarang disebut kukis bepang) sebagai bekal dijalan. Dalam
perjalanan menuju Kawangkoan, Piuk diturunkan 2 kali yaitu di perkebunan Pala dan Paso untuk
diinterogasi dibawah todongan senjata. Tetapi pengakuan Piuk tetap bahwa hanya dialah pelakunya.
Hal ini juga berlangsung pada waktu dalam tahanan di Kawangkoan dimana Piuk beberapa kali
diperintahkan untuk membuat kronologis kejadian tersebut berulang kali di atas kertas. Tetapi
pengakuannya tetap sama dan tak berubah. Akhirnya setelah 2 hari 2 malam ia ditahan, ia lalu
dibebaskan dan dijemput oleh Bapak Altin Mambo bersama rekannya Abdul Madjid seorang
wartawan pemilik Surat Khabar yang datang menggunakan sebuah mobil jenis Jip dari Manado. Tiba
di di Desa Lansot, Piuk lalu diberikan pembinaan oleh Hukum Tua Sem Kondoy. Kemudian setelah
kejadian itu LRRI Daerah VI mengadakan rapat dirumah Decky Mambo yang dihadari oleh Abdul
Madjid dan beberapa anggota LRRI asal Rumoong-Lansot.
Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatannya dari Belanda, Piuk lalu mendapatkan bea siswa dan
melanjutkan sekolahnya di SMP Kawangkoan kemudian diteruskan di sekolah Tehnik di Makassar
dan selanjutnya mengikuti peetukaran pelajar di Polandia.
Itulah hikmah yang didapat atas keberanian yang telah dilakukan oleh Alfius B. Mirah.
Peristiwa tersebut masih tetap dikenang oleh penduduk desa Lansot dan tercatat dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia.
Mengenang penemuan Sumber mata air petama di Rumoong Lansot
Pada masa setelah lokasi perkampungan penduduk Lansot telah menetap di bukit sebelah utara
perkampungan lama dan disebelah barat terdapat pemukiman lowian yang disebut orang Rumoang,
penduduk di kedua perkampungan itu mengalami penderitaan karena kemarau yang sangat panjang.
Sungai-sungai menjadi kering, sehingga penduduk pada waktu itu kesulitan untuk mencari air bersih.
Sumber air penduduk desa Lansot di dapat dari Sumber air pertama yang disebut Rano Lansot juga
mulai mengering. Sungai Tu’unan yang biasa melimpah airnya tinggal menetes sebesar jari
kelingking. Hal ini mulai menimbulkan kecemasan dikalangan penduduk karena banyak tanaman
pertanian tak bisa lagi bertumbuh karena kekurangan air.
Pada saat penduduk mulai kuatir akan keringnya sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari, tiba-
tiba oleh beberapa orang penduduk dari Rumoong yang sedang mangasu/ berburu (manalun) hewan
rusa dan babi hutan (Songkai/kolowatan), menemukan sebuah sumber mata air (palemboian)
yang sangat jernih (leno) di lokasinya sebelah timur tak jauh dari Rano Lansot. Air itu keluar dari
celah-celah batu dan akar-akar pohon yang berada disekitar hutan pada saat kemarau yang panjang
sedang melanda daerah tersebut. Karena sumber mata air (lemboi) yang diketemukan itu tidak
berhenti mengalir, maka oleh penduduk yang menemukannya dinamakan Rano Terang / Ranotan
asal kata dari “Rano”berarti air, dan “Terang” yang artinya benar-benar/sungguh-sungguh yang
artinya benar-benar air atau sungguh-sunguh air. Dinamakan demikian karena dengan kemarau
yang panjang sumber mata air tersebut tidak pernah kering dan tetap mengalir. Lambat laun nama
Rano Terang oleh penduduk desa Lansot sekarang diberi nama Aer Terang (air yang benar-benar
jernih).
Di masa Hukum Tua Timotius Kondoy, sumber mata air itu di pugar secara permanen sebagai
tempat mencuci pakaian sekaligus menjadi tempat pemandian umum (lelean). Bila kemarau panjang
menimpa penduduk dan sumur-sumur air di dalam desa mengalami kekeringan, maka Air terang
merupakan alternatif bagi penduduk desa Lansot sebagai tempat pengambilan air minum sekaligus
sebagai tempat mandi dan mencuci pakaian. Mata air (palemboian) Aer Terang ini hingga sekarang
ini tak pernah mengalami kekeringan.
B. CERITA RAKYAT ASAL MULA NAMA TARERAN.
Pada masa sekarang penduduk desa Rumoong-Lansot tak banyak lagi mengetahui lagi cerita-
cerita kepahlawanan yang sering dikisahkan (sisil) oleh orang-orang tua dahulu kepada anak-
anaknya. Cerita dan kisah-kisah legenda dan mithos mengenai jiwa kepahlawanan nenek
moyang Minahasa dahulu, khususnya kisah legenda yang berkaitan dengan sejarah desa
seperti terkubur bersama berlalunya generasi tua. Generasi muda sekarang kurang atau tidak
lagi mengetahui cerita rakyat yang pernah berkembang turun-temurun di desa Rumoong-Lansot.
Salah satu kendala ketidak tahuan generasi yang ada sekarang mengenai cerita-cerita rakyat
tersebut karena para orang tua tidak lagi pernah menyampaikan cerita-cerita tersebut kepada
anak-anakmya. Kendalah lainnya adalah bahwa dahulu anak-anak dilarangnya untuk turut
mendengarkan pembicaraan orang-orang tua. Apabila orang-orang tua melakukan pembicaraan
apakah itu mengenai urusan keluarga atau mengenai masalah lainnya, hasil pembicaraan
mereka merupakan rahasia bagi mereka sendiri dan jarang diperdengarkan bahkan diceritakan
terutama kepada anak-anak.
Pada masa dahulu apabila seorang anak menguping atau mendengar pembicaraan orang
tuanya, maka orang tua akan melarang bahkan menghardik anak tersebut agar tidak menguping
atau mendengarkan orang-orang tua bercerita. Kalimat seperti ini seringkali kita dengar yaitu
“Masih kecil so babadengar orang tua pe bacerita”. Kalimat ini selalu dilontarkan orang-
orang tua kita dahulu bahkan hingga sekarang terhadap seorang anak. Sehingga dengan
hardikan ini lambat lauh sang anak tak berani mendengar pembicaraan orang tuannya. Padahal
pembicaraan tersebut kadangkala sangat penting untuk diketahui oleh seorang anak khususnya
pembicaraan orangtua mengenai adat itiadat, budaya, cerita-cerita yang berkembang pada
masa dahulu atau kejadian dan peristiwa yang mungkin akan menjadi sebuah sumber sejarah
yang penting kelak dikemudian hari.
Salah satu cerita rakyat yang mulai dilupakan oleh penduduk desa Rumoong-Lansot, adalah
cerita mengenai asal-usul nama yang sekarang digunakan sebagai nama kecamatan yaitu
Tareran. Kecamatan Tareran adalah sebuah kecamatan yang terdiri dari 13 Desa yang berdiri
pada tahun 1962. Nama Tareran diambil dari nama sebuah puncak Bukit yang berada disebelah
barat desa Rumoong-Lansot yang bernama Kuntung Tareran (Kuntung = gunung atau bukit).
Awal nama Tareran ini tak terlepas dari sejarah Minahasa khususnya sejarah terjadinya perang
tapal batas antara Minahasa dan Mongondow sekitar tahun 1460 – 1590 yang merupakan
ekspansi Mongondow yang pertama di Minahasa bagian Selatan dikaitkan juga dengan cerita
rakyat yaitu perseteruan antara dua kakak beradik yaitu Lipan dan Konimpis.Walaupun berbagai
versi dan alur cerita yang berbeda-beda yang berkembang hingga sekarang ini tetapi inti
ceritanya adalah sama.
Penulis akan menuturkan kembali cerita ini yang penulis dapatkan dari beberapa sumber.
CERITA RAKYAT
Dikisahkan bahwa pada awal nenek moyang desa Lansot mendirikan kampung Lansot,
dahulu disekitar wilayah kampung tersebut hiduplah dua orang kakak-beradik yang saling
menyayangi satu dengan yang lainnya. Mereka berdua anak yatim piatu. Sang kakak
bernama Lipan dan sang adik bernama Konimpis. Mereka tinggal di pondok peninggalan
orang tua mereka di hutan sekitar Desa Lansot yang bernama Lowian. Kedua Kakak beradik
ini mempunyai postur tubuh dan perangai yang sangat berbeda satu sama lain seperti
perbedaan antara langit dan bumi. Sang Kakak Lipan mempunyai postur tubuh yang tinggi
besar, berwajah kasar dan mempunyai perangai yang buruk. Pekerjaannya sehari-hari
adalah berburu binatang di hutan. Sedangkan sang adik Konimpis sangat berbeda jauh
dengan sang kakak, badannya kecil, berkulit halus serta sifatnya yang sopan, ramah
dengan perangai yang lembut. Pekerjaannya sehari-hari adalah bertani.
Pada awalnya antara Lipan dan Konimpis hidup rukun dan damai dan saling mendukung
seperti biasanya kakak-beradik. Tetapi hal tersebut berubah setelah Lipan melihat adiknya
sangat disenangi dan disegani oleh para penduduk setempat karena sifatnya yang suka
menolong. Sedangkan Lipan justru sebaliknya, penduduk selalu menghindar apabila
bertemu dengannya, sebab sifatnya yang kasar dan sering mengganggu kehidupan para
penduduk desa.
Akibat perbedaan perlakuan penduduk desa tersebut, lama-kelamaan timbul rasa benci,
cemburu dan iri hati Lipan terhadap Konimpis adiknya. Persaingan antar keduanya mulai
terjadi berawal dari pada waktu Konimpis ingin memasak makanan hasil pertanian di dalam
sebuah bambu, ia kesulitan untuk meletakkan bambu tersebut bila hanya ditopang oleh
kayu yang selalu patah apabila bambu itu di letakkan. Oleh sebab itu ia menyuruh kakaknya
Lipan untuk mengambil sebuah batu di sungai. Tak beberapa lama kemudian Lipan datang
dan meletakkan batu yang sangat besar dihadapan Konimpis. Konimpis menjadi kaget
dengan perbuatan kakaknya. Karena batu yang diharapkan adalah batu yang kecil yang
hanya untuk menopang bambu untuk tempat memasak makanan. Hal ini dilakukan Lipan
hanya untuk memamerkan kekuatan dan kesaktiannya dihadapan adiknya Konimpis. Itulah
asal mula batu yang sekarang terletak di sebelah kanan jalan menuju kebun Lopana dekat
sungai memea’ yang oleh penduduk setempat disebut Batu Lipan.
Perbuatan kakaknya Lipan membuat Konimpis sakit hati dan ingin membalas perbuatan
kakaknya yang memamerkan kekuatan dan kesaktiannya. Kesempatan tersebut tiba
manakala pada waktu Lipan ingin memasak hewan hasil buruannya, ia menyuruh adiknya
Kolimpis untuk membantunya menyiapkan tempat memanggang. Tak lama kemudian
Konimpis datang juga dengan membawa batu yang sangat besar dihadapan Lipan.
Walaupun Konimpis tubuhnya lebih kecil dari Lipan, ia juga mempunyai kesaktian yang tidak
kala dengan kakaknya. Melihat perbuatan adiknya yang memamerkan kesaktiannya
tersebut, Lipan menjadi marah dan memukul batu tersebut hingga batu tersebut berbekas
akibat tepukan telapak tangannya.
Bekas tepukan tangan Lipan di batu yang dibawah oleh Konimpis tersebut, hingga sekarang
masih terdapat di daerah perkebunan wilayah desa Wiau Lapi yang oleh penduduk
setempat dinamakan Batu Konimpis. Dan kebun terdapatnya batu Konimpis itu dinamakan
Kobong Konimpis (Kebun Konimpis). Selanjutnya dikisahkan, setelah itu mereka berdua
terlibat pertengkaran hingga ke perkelahian. Nafsu untuk saling mengalahkan telah
menguasai hati mereka. Perkelahian mereka berlangsung hampir dua hari dua malam
disepanjang bukit yang mereka sering berlalu-lalang untuk menunjukkan siapa diantara
mereka yang lebih kuat dan sakti. Setelah perkelahi berlangsung sekian lama tetapi tidak
ada yang saling mengalahkan, akhirnya Konimpis memutuskan untuk menghindar sambil
berlari ke arah bukit. Tetapi kakaknya Lipan terus saja mengejar Konimpis dengan pukulan-
pukulan. Tak beberapa lama kemudian mereka tiba di suatu pantai yang cukup luas.
Daerah tersebut tidak dikenal oleh kedua kakak beradik itu. Konon Daerah tersebut
kemudian dinamakan Rumoang yang diartikan adalah pertemuan yang tidak disangka-
sangka, atau tiba disuatu tempat yng tidak terduga sebelumnya.
Konimpis lalu berdiri diatas batu itu sambil berteriak kepada kakaknya bahwa bekas telapak
kaki Lipan dibatu itu ( Batu Lipan ) serta telapak tangan di batu yang ditepuk Lipan di daerah
sebelah utara (Batu Konimpis) adalah sebagai saksi atas permusuhan diantara mereka. Dan
menjadi pesan kepada keturunan mereka bahwa hubungan persaudaraan mereka sebagai
kakak beradik sudah putus. Untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu, mereka
menaiki bukit dan memilih daerah yang dianggap pusat diantara batu Lipan yang ada di
selatan dan batu konimpis di yang ada dibagian utara. Setiba di atas bukit tersebut, masing-
masing mengangkat sumpah (tumiwa) bahwa “mereka bukan saudara lagi dan siap
angkat perang”. Bukit tempat Lipan dan Konimpis membuat perjanjian dan pesan tersebut
kemudian oleh penduduk dikenal dengan istilah ‘Taar Era” berasal dari kata Taar =
Pesan/Perintah dan Era = Mereka yang berarti “Pesan Mereka”. Sehingga “Taar Era”
merupakan bagian dari asal usul nama bukit tersebut yaitu Kuntung Tareran (Kuntung =
bukit/gunung). Kemudian setelah berdirinya beberapa desa yang berada disekitar kuntung
Tareran, maka daerah tempat desa-desa itu berdiri disebut dengan nama Wilayah Tareran
yang kemudian menjadi sebuah kecamatan yang bernama Kecamatan Tareran.
Tak lama kemudian pecahlah pertempuran antara Tou Minahasa di bawah pimpinan para
tonaas dengan orang-orang Mongondow di kaki kuntung Tareran. Lipan dan para Tonaas
Minahasa bahu-membahu menghalau penyerbuan dari Suku Mongondow tersebut. Pada
waktu itu di daerah sebelah Barat Kuntung Tareran banyak terdapat Pohon Seho yang
besar-besar yang oleh penduduk dan para tonaas serta pengikutnya pohon tersebut isinya
dimbil untuk membuat Sagu sebagai bekal makanan dalam peperangan.
Dalam pertempuran antara Minahasa dan Mongondow, digunakn untuk tempt berlindung
para Tonaas dn pengikutnya. Begitu juga Lipan, pohon seho bekas mengambilan Sagu itu
digunakan oleh Lipan untuk bersembunyi menunggu kedatangan Konimpis. Ia memilih
pohon seho dengan jalan yang dahulu sering digunakan oleh Konimpis. Lipan yakin bahwa
Konimpis akan menggunakan jalan ini. Dari pesuruh (mata-mata) yang dikirimkan oleh para
tonaas Minahasa ke daerah markasnya Mongondow yang ada di Pinamorongan, bahwa
gerakan dari orang-orang Mongondow untuk menyerbu ke pedalaman Minahasa melalui
Kuntung Tareran sudah semakin dekat. Sambil menunggu kedatangan adiknya tersebut,
Lipan masuk ke dalam pohon seho dengan memegang parang (santi). Tak beberapa lama
kemudian orang Mongodow tiba. Lipan merasakan bahwa pohon seho tempat dirinya
bersembunyi tiba-tiba bergoyang. Ia mengetahui bahwa Konimpis sedang menginjakkan
kakinya di atas pohon seho, tiba-tiba Lipan mengayunkan parangnya ke kaki adiknya
Konimpis. Karena kesaktian Konimpis, kaki Konimpis tidak tertebas melainkan hanya tulang
kakinya saja yang patah. Melihat adiknya roboh kesakitan, Lipan lalu merasa tidak tega
untuk membunuh saudara kandungnya sendiri. Lipan berniat untuk meninggalkan Konimpis
begitu saja tetapi Konimpis memohon kepada kakaknya untuk menolong dia karena
Konimpis tak bisa lagi berjalan. Lipan lalu menurut apa yang diminta oleh adiknya. Lipan lalu
memopong adiknya dengan punggungnya sambil menuruni bukit.
Di tengah jalan timbul niat jahat dari Lipan untuk menjatuhkan Konimpis ke jurang. Niat itu
lalu diwujudkannya manakala pada waktu ia menuruni bukit, terdapat jurang yang sangat
terjal. Ia lalu melemparkan Konimpis ke dalam jurang itu. Karena begitu kerasnya tubuh
Konimpis terhempas di dasar jurang menyebabkan debu-debu berterbangan. Melihat hal
tersebut, Lipan menganggap bahwa adiknya Konimpis telah mati. Tapi tak beberapa lama
kemudian Lipan terkejut mendengar adiknya memanggil untuk meminta tolong. Melihat
adiknya belum mati juga, lalu Lipan menolong adiknya keluar dari jurang tersebut. Lipan
mencari akal bagaimana membunuh adiknya secara tidak langsung yang mempunyai
kesaktian tak jauh bedanya dengan dirinya tanpa melalui tanganya. Pada saat mereka
melewati sebuah sungai yang banyak terdapat batu-batu yang besar, Lipan melanjutkan
aksinya untuk membunuh Konimpis. Pada saat dari atas tebing Lipan melihat sebuah batu
yang besar di sungai, ia lalu menjatuhkan adiknya ke arah batu tersebut. Saat tubuh
Konimpis menimpa batu itu, darahnya mengalir membasahi seluruh sungai sehingga sungai
tersebut bewarna merah. Inilah cikal bakal nama dari Sungai Lelemak yang asal kata dari
“ Lema’ ” yang artinya warna merah yang keluar bila mengunyah buah pinang.
Selanjutnya setelah tubuh Konimpis menimpah batu dengan keras disertai banyaknya ia
mengeluarkan darah, akhirnya Konimpis menjadi lemah dan sekarat. Melihat keadaan
adiknya sudah diujung kematian, Lipan merasa menyesal, ia mengangkat tubuh adiknya
untuk dibawah pulang kembali ke arah Kuntung Tareran tempat mereka dahulu mengangkat
sumpah untuk saling berperang.
Setibanya di atas gunung Tareran akhirnya diujung ajal Konimpis diadakanlah perjanjian
diantara mereka berdua dengan berpesan bahwa pertikaian dan pemusuhan tidak dapat
menyelesaikan masalah dan hanya menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian
hari. Dan untuk menghentikan pertikaian yang berlangsung antara mereka berdua dan
pertikaian antara Tou Minahasa dengan orang-orang Mongondow, maka disepakati
ditetapkanlah batas daerah masing-masing yaitu perbatasan disungai besar (sekarang
sungai Poigar) setelah sungai besar sebelumnya (Sungai Ranoyapo) yang waktu itu menjadi
perbatasan antara kedua suku tersebut. Itulah batas antara Kabupaten Minahasa (sekarang
daerah Kab Minahasa Selatan) dengan Kab. Bolaang Mongondow hingga sekarang ini.
Setelah kematian adiknya Konimpis, Lipan lalu mencari tempat yang cocok untuk
menguburkan Konimpis adiknya. Setelah ditemukan maka Lipan menguburkan Kolompis di
tempat yang sekarang disebut Kobong Tinanak (Kebun Tinanak). Kata “Tinanak” berasal
dari kata “Tinanaan” yang berarti “tempat kuburan” dari Konimpis. Setelah Konimpis
dikuburkn, Lipan merasa sangat bersalah dan dan menyesal. Ia sadar dan ingin merubah
sikapnya. Karena penyesalannya tersebut, sudah berhari-hari ia tidak makan dan minum.
Pada saat tubuhnya sangat lelah dan haus, ia melihat ada seorang anak kecil sedang
mengambil air nira (Batifar Saguer/kumeet) ia memohon agar anak tersebut memberinya
minum saguer. Melihat yang meminta itu adalah Lipan yang didengarnya adalah seorang
yang jahat dan pemakan manusia, anak itu menjadi takut dan kemudian ia turun melalui
batang daun aren (akel/seho) yang menjulur ke arah telaga (kolam). Melihat anak itu
menjatuhkan diri ke dalam telaga, Lipan lalu memasuki telaga tersebut dan menghampiri
tempat dimana anak itu jatuh untuk menolongnya. Tetapi tiba-tiba anak muncul dari dasar
sungai dan menusuk perut Lipan dengan kolombik (Keong) yang tajam ujungnya yang ia
ambil dari dasar sungai Lipan tak menyangka ia akan ditusuk oleh seorang anak kecil
dengan keong yang dapat menembus kekebalan tubuhnya yang lagi lemah karena sudah
berhari-hari tidak makan dan minum. Akhirnya perut Lipan terburai keluar dan mati ditelaga
itu.
Pembuktian bahwa cerita legenda tersebut pernah hidup, terlihat pada batu yang dikenal
oleh penduduk desa Rumoong-Lansot dengan nama “KOPAT LIPAN” yang artinya
langkah kaki Lipan yang berbentuk seperti jejak kaki dengan ukuran besar yang lokasinya
disekitar sungai (Kali/kuala) Memeak di perbatasan wilayah kepolisian Desa Lansot dan
Rumoong Atas sekarang. Juga Batu Konimpis di perkebunan yang disebut Kebun
Konimpis wilayah kepolisian Desa Wiau Lapi. Itulah akhir cerita perseteruan antara Lipan
dan Konimpis yang diceritakan oleh orang-orang tua dahulu. Walaupun banyak versi yang
berkembang dan penuturannya saling berbeda, tetapi inti ceritannya adalah sama yaitu
terjadinya sumpah antara kakak beradik yang menjurus pada pembunuhan terhadap
sesama saudaranya sendiri.
=================
KISAH PERTEMPURAN MINAHASA & MONGONDOW
DI PEGUNUNGAN TARERAN
Untuk mempersiapkan rencana menghadang (mataranak) suku Mongondow ini agar tidak
memasuki wilayah pedalaman Minahasa, maka dikirimlah 3 Tonaas yang mempunyai
keahlian masing-masing. Ketiga tonaas itu adalah :
Tonaas Mamarimbing dikenal dengan tonaas yang ahli burung di kalangan para tonaas
Minahasa pada waktu itu. Ia dapat menterjemahkan suara burung khususnya burung
Manguni (Warak malam) dan burung-burung lainnya seperti burung Titicak, Srigunting,
Tangka lioliowan, dan lain-lain.
Tonaas Palandi adalah seorang yang ahli memanggil burung (sumoring) dan menirukan
suara burung (soring).
Serdangkan Tonaas Sage adalah seorang yang ahli memasang patok (pasek). Sebab
pada saat dahulu untuk memasang patok baik untuk tempat pemukiman, batas kebun dan
wilayah tidak boleh sembarangan dan harus mengetahui tata letaknya.
Adapun tugas mereka adalah untuk menyelidiki daerah sekitar pengunungan sebelah barat
desa Lansot ( Kuntung Tareran sekarang) dalam mempersiapkan strategi perlawanan
terhadap orang-orang Mongondow yang sudah siap menyerbu ke daerah pedalaman
Minahasa. Orang-orang Mongondow pada waktu itu sudah menetap di daerah sebelah barat
kuntung Tareran dan mendirikan markasnya di daerah yang disebut sekarang desa
Pinamorongan. Ketiga tonaas itu dizinkan oleh penduduk desa Lansot pada waktu itu untuk
menetap sementara di Lowian, yaitu nama sebuah pohon besar yang berada di bagian
sebelah barat kampung Lansot, dan disebelah timur kuntung Tareran.
Setelah mempelajari dengan seksama lokasi yang cocok untuk menjadi medan
pertempuran, maka disimpulkan bahwa di kaki bukit di sebelah barat (berdirinya desa
Wuwuk sekarang) adalah tempat yang sangat ideal (lokasi yang cocok/kasama’an) untuk
mengepung dan menghadang (mataranak) usaha Mongondow memasuki pedalaman
Minahasa. Daerah itu di dikelilingi / diapit oleh bukit-bukit dan pohon-pohon yang lebat.
Setelah berhasil memetakan dan menyelidiki daerah sekitar puncak bukit tersebut, maka
mulailah berdatangan para tonaas dan pengikut-pengikutnya (warani/waraney) di daerah
sekitar kuntung Tareran untuk berperang (maseke’) melawan orang Mongondow.
Tak beberapa lama kemudian datanglah orang-orang Mongondow dan melalui deerah yang
ditetapkan untuk menjadi tempat penghadangan. Tiba-tiba dengan suara teriakan (bakuku)
menyerbulah para warany/waraney yang dipimpin oleh para tonaas dari segala penjuru bukit
dan mengepung tempat tersebut. Maka pecahlah pertempuran antara tou Minahasa dengan
orang-orang Mongondow disebelah barat kaki gunung Tareran yaitu di lokasi tempat
berdirinya desa Wuwuk kecamatan Tareran sekarang. Pertempuran berjalan tak seimbang,
dimana tou Minahasa (warani/waraney) kekuatan pasukannya kecil apabila dibandingkan
dengan orang-orang Mongodow yang datang dengan kekuatan yang besar. Tetapi dengan
pengenalan lokasi yang baik dan semangat yang tinggi para Warany/ waraney dengn
pimpinan para Tonaas yang gagah berani, dapat memporak-porandakan orang-orang
Mongondow dan akhirnya orang-orang Mongondow yang selamat kembali mundur ke
markasnya Pinamorongan.
Nama desa Pinamorongan konon menurut penuturan berasal dari jenis topi (porong) yang
biasa dipakai oleh orang-orang Mongondow pada waktu itu yang modelnya seperti Kopiah
sekarang. Begitupun nama desa tetangga Pinamorongan yaitu desa Kapoya yang konon
juga berasal dari kata Kopiah yaitu jenis topi (porong) yang selalu dipakai orang-orang
Mongodow di daerah itu. Sebab pada masa dahulu daerah Pinamorongan dan Kapoya
(kedua desa merupakan wilayah Kec. Tareran) adalah wilayah yang telah dikuasai oleh
orang-orang Mongondow.
Setelah orang Mongondow dapat dipukul mundur untuk sementara, pejuang Minahasa
kembali ketempat pertahanan mereka dibukit dengan sisa kekuatan yang sudah jauh
berkurang serta sangat kelelahan. Dan untuk menghadapi serbuan orang Mongondow
selanjutnya yang mungkin datang dengan kekuatan yang sangat besar, para Tonaas tak
dapat lagi mengharapkan bantuan dari pedalaman Minahasa. Untuk itu para tonaas lalu
mengadakan musyawarah di puncak bukit untuk menyusun strategi berikutnya.
Melihat sisa kekuatan pasukan Minahasa yang terdiri dari para waraney dan warany
(prajurit) yang sudah berkurang dan kelelahan, akhirnya muncul suatu pemikiran dari para
Tonaas bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi serbuan berikutnya dari orang-orang
Mongondow adalah dengan cara menakutinya. Caranya adalah dengan mengambil batok
kepala/tengkorak (talang) korban-korban orang Mongondow yang sebagian besar lehernya
tertebas (popongkolen) di daerah pertempuran yang hanya ditinggalkan begitu saja. Konon
bahwa senjata yang dipegang oleh para Tonaas dalam pertempuran tersebut bukan berupa
tombak atau pedang, melainkan hanya memakai 3 batang lidi hitam yang berasal dari pohon
Nira (akel /Seho) yang diikat menjadi satu, serta batang tawaang yang diapakai sebagai
perisai. Dalam setiap tebasan lidi yang dilakukan oleh para Tonaas, maka kepala orang
Mongodow yang menghadang akan tertebas. Itulah sebabnya dalam pertempuran tersebut
banyak sekali kepala orang Mongondow yang tertebas.
Tonaas Sage yang merupakan ahli patok (pasek) ditugaskan untuk membuat dan menanam
patok-patok disepanjang leher bukit Kuntung Tareran dengan cara dijejerkan lurus agar
dapat dilihat dari arah sebelah barat datangnya sebuan Mongondow berikutnya. Sebelum
patok-patok tersebut di pasang, Tonaas Palandi dengan keahliannya meniru suara burung
(soring) lalu memanggil (sumoring) burung Manguni untuk memberi tanda yang akan
diterjamahkan oleh Tonaas Mamarimbing. Setelah Burung Manguni datang dan
memberikan tanda yang baik, maka mulailah Tonaas Sage memasang patok-patok (pasek)
disepanjang bukit itu. Setelah patok-potak selesai di tanam, maka kepala-kepala orang-
orang Mongondow yang tertebas sebatas leher (popongkolen) dalam pertempuran yang lalu
mulai ditancapkan di atas patok. Setelah pekerjaan pemasangan kepala orang Mongodow
tersebut selesai, maka para waraney dan warany yaitu sisa kekuatan pasukan Minahasa
disebarkan disepanjang bukit Tareran sambil bersembunyi.
Tak lama kemudian datanglah orang-orang Mongondow dengan kekuatan penuh dengan
keyakinan bahwa kali ini mereka pasti dapat merebut bukit pertahanan orang-orang
Minahasa yang dianggapnya sudah jauh berkurang karena pertempuran yang pertama.
Pada saat mereka melewati lokasi pertempuran (pangetokolan) yang pertama, bau busuk
bangkai manusia menyelimuti daerah itu. Menurut penuturan orang-orang tua bahwa konon
desa Wuwuk yang berdiri kemudian di tempat itu selain namanya diambil dari nama pohon,
juga berarti membusuk.
Dari kisah tersebut di atas yaitu dari peristiwa berjejernya kepala orang Mongondow yang
disebut “Rinareran e Mongondow ” yang kemudian kata itu digunakan sebagai nama bukit
terjadinya peristiwa tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Kuntung Tareran. Asal
kata dari nama Tareran yang menurut cerita orang-orang tua dahulu berasal dari kata
“Rinareran” yang berarti berjejer, berbaris, dalam bahasa Melayu Manado disebut
Tareirei yaitu berjejernya/ berbarisnya (tareirei) kepala-kepala manusia disepanjang
Kuntung (bukit/gunung) Tareran..
Itulah akhir cerita asal-usul nama Tareran yang diceritakan turun-temurun yang dalam
penuturannya terdapat berbagai versi dan alur cerita. Cerita Legenda Lipan dan Kolimpis,
berkaitan erat dengan cerita asal-usul nama Tereran yang muncul disaat ekspansi orang-orang
Mongondow ke wilayah pedalaman Selatan Minahasa.
Lagu :
KUNTUNG TARERAN
Cip. Piet Sendow
================
Mengenang Kejadian Bencana Alam.
GEMPA BUMI
( Mangerok/ Tanah Goyang )
Beberapa bencana alam pernah menimpa penduduk desa Rumoong-Lansot khususnya penduduk Minahasa.
Bencana yang terbesar adalah bencana gempa bumi (mangerok/tanah goyang) yang terjadi pada tanggal 8
Pebruari 1845 yang meluluh-lantakkan pemukiman penduduk.. Beberapa cerita orang-orang tua dahulu
mengisahkan bahwa gempa bumi (Mangerok) yang terjadi itu berlangsung berkepanjangan selama seminggu
lebih yang mengakibatkan banyak rumah yang roboh dengan korban-korban berjatuhan diseluruh tanah
Minahasa. Penduduk tidak dapat memasak (masiwo/matiro) di dalam rumah sehingga harus menanak nasi
dan lauk di luar rumah dengan menggunakan bulu/tambelang (winowoyan yaitu sejenis bambu untuk
memasak), Apabila memasak pada periuk/belanga (belangang), belanga harus digantung dengan
menggunakan tiang yang ditancapkan ke tanah.
Dengan kejadian tersebut maka pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menganjurkan kepada penduduk
agar tidak lagi mendirikan rumah panggung (rumah adat Minahasa). Reruntuhan rumah panggung inilah yang
telah menimbulkan banyak korban jiwa dikalangan penduduk pada waktu itu. Dengan anjuran yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tersebut, mulai saat itu, penduduk Minahasa termasuk penduduk
desa Rumoong dan Lansot mulai jarang mendirikan rumah panggung dan hanya mendirikan rumah-rumah
yang lebih kecil untuk tempat tinggal mereka.
===========
Di desa Rumoong-Lansot dikenal dengan pemandangan alam yang indah karena dari kejauhan dikelilingi oleh
gunung-gunung yang nampak jelas terlihat dari Desa Rumoong-Lansot. Disebelah selatan desa Rumoong-
Lansot menjulang dengan megah Gunung Soputan dan gugusan anak-anak gunungnya. Di sebelah Timur
agak ke utara terlihat Gunung Lokon dan anak-anak gunungnya bagaikan sepasang anak kembar yang
sedang bergandengan tangan. Begitupun disebelah timur agak keselatan terbentang pengunungan
Lengkoan yang hijau kebiru-biruan. Di sebelah Barat terdapat perbukitan atau disebut Kuntung Tareran
dengan nuansa magisnya seperti sedang melindungi desa Rumoong dan Lansot dari terjangan angin Barat
(Awoat), serta di sebelah barat agak ke selatan terdapat perbukitan Makareak dengan pohon-pohon yang
berjejeran dan berbaris rapi seperti para warany/waraney yang siap menghadapi musuh.
Pegunungan Soputan dilihat dari Desa Rumoong & Lansot (Foto SP 2016)
Tetapi keindahan itu akan sirna apabila alam berkata lain. Pada sekitar akhir abad 19 dan awa1 abad 20
(kira-kira Tahun 1936), pernah terjadi suatu peristiwa di Minahasa yaitu meletusnya Gunung Soputan.
Letusan Gunung Soputan pada waktu itu sangat dasyat yang menyemburkan bebatuan kerikil hingga ke desa
Lansot. Kejadian tersebut membuat panik dan ketakutan penduduk desa Lansot pada waktu itu. Dan untuk
menghindar dari terjangan batu, penduduk desa Lansot terpaksa mengungsi ke Desa tetangga Wiau Lapi,
dimana perkampungan tersebut telah ditinggalkan penduduknya yang menyingkir ke desa tetangga lainnya
yaitu Talaitad.
Peristiwa ini diabadikan dalm sebuah lagu yaitu :
Hampir satu abad kemudian yaitu tahun 1986, terjadi pula letusan Gunung Soputan. Pada tahun awal
Soputan menyemburkan bebatuan, debu dan larvanya, memang keindahan terpancar dari jauh dan dinikmati
oleh masyarakat desa seperti melihat kembang api yang indah pada malam hari. Hal ini bisa dimaklumi sebab
penduduk sudah terbiasa melihat semburan Gunung Soputan yang telah beberapa kali terjadi tapi dalam
skala yang kecil. Tetapi pada keesokan harinya keindahan itu tiba-tiba berubah. Penduduk dikejutkan dengan
jatuhnya material gunung berupa pasir dan debu diseluruh desa dengan jumlah yang tidak seperti biasanya.
Langit menjadi gelap dan matahari tidak kelihatan sinarnya. Di siang hari penduduk harus memasang lampu.
Semua jendela dan lubang ventilasi di dalam rumah ditutup karena debu berterbangan mengotori isi rumah.
Ketebalan debu di atap rumah mulai menguatirkan penduduk karena dapat menyebabkan ambruknya atap
akibat beratnya debu yang menempel.
Kejadian tersebut berlangsung hampir seminggu tetapi tidak menimbulkan korban jiwa dikalangan penduduk.
Akibat semburan material Gunung Soputan tersebut, banyak tanaman baik di pekarangan rumah maupun
yang ada dikebun menjadi rusak bahkan mati. Selama beberapa bulan penduduk tak dapat menanam karena
tebalnya pasir yang menutupi lahan perkembunan.
Dengan kejadian tersebut penduduk desa Lansot dapat mengambil hikmahnya. Sebab kesuburan tanah di
desa Lansot dan umumnya tanah Minahasa merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya yang
diberikan melalui material dari letusan gunung yang ada di tanah Minahasa.
==============
LAMPIRAN LAGU-LAGU TUA
DAFTAR LAGU
===========
=============
***
Dimana dapat sobat yang tulus, Tak dapat banyak di dunia ini
Siapa dapat janganlah boros, adalah intan permata ini
===========
=============
7. ENDO IYASA
===========
Se penamun paandean,
katuusana si Apona,
Tanitu kai kita in touw,
ca toro lupa si Apota.
=========
Hale-haleluyah, Hale-haleluyah.
============
===========
============
=============
***
Mangilek-mangilek, paka lowiren waya
Mangilek-mangilek, paka kamangen waya
***
Mangilek-mangilek, paka lowiren waya
Kumaset-kumaset, wayaan e tow lengei.
==============
============
==========
23. TOW BERDOSA
============
========
==========
============
============
==============
============
=============
===========
***
Kami orang yang berdosa, banyak kali buat salah
Kami minta pada Tuhan, Ampun itu pada kami.
==========
=============
***
===========
=============
Reff.
===========