Anda di halaman 1dari 229

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT

Disusun Oleh : Panitia Penyusunan Sejarah Jemaat


GMIM “Taar Era “ Rumoong Atas

Editor / Penulis : Drs. Valry S.H. Prang


Drs. Donald R.E. Ruindungan, M.Pd

Cover Depan : Alam Pegunungan, Dokumen Foto GMIM Rumoong Lansot,


Rumah-rumah Ibadah GMIM Rumoong-Lansot.

Desain Cover : Sym. Drs. Valry S.H. Prang

Penanggung Jawab Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM Taar Era Rumoong Atas
Pengarah 1. Pdt. P.M. Tampi, S.Th., M.Si
2. Pnt. Prof. Dr. Theo Mautang, M.Kes., AIFO
3. Pnt. Prof. Dr. Ferdy S. Kawatu, M.Si
4. Drs. Roy Tumiwa, M.Pd
Ketua Asiano G. Kawatu, SE,M.Si
Wkl. Ketua H.F. Karundeng
Sekretaris Drs. Donald R.E. Ruindungan, M.Pd
Wkl. Sekretaris Pdt. Ronny Tumewu, S.Th
Bendahara F.I. Kondoy, S.Pd
Anggota Pdt. W. Suoth, S.Th
Anggota Katotje Rumangu-Sumakul, BA
Anggota Pnt. Ir. Vera Kumaat

Dipersembahkan Dalam Rangka :


Mewujudkan Jemaat GMIM Taar Era Rumoong Atas sebagai Jemaat Induk / Jemaat GMIM Sentrum
Rumoong Lansot.

Tareran, Januari 2016


PRAKATA

Syalom,

Sejarah adalah ibu dari pengetahuan manusia dan berusia setua dengan ingatan
manusia. Ketika manusia dilahirkan, ia hidup, bekerja, berbicara dan memiliki
sejarah. Hanya manusialah yang memiliki sejarah dan sanggup mempelajari
berbagai macam sejarah. Dalam sejarah seperti ini manusia tampil sebagai
pencipta sejarah. Dan karena itu sejarah merupakan agregat dari aktifitas
manusia. Inilah ungkapan dari seorang filsuf dan sejarahwan Michel Foucault.

Dalam rangka mewujudkan terbentuknya Gereja Sentral di Jemaat GMIM


Rumoong Lansot serta mengapresiasi misi Pekabaran Injil yang dilakukan oleh
Para misionaris dan Zendeling yang mengorbankan hidupnya untuk melayani
Tuhan di tanah Minahasa dengan berbagai tantangan, baik yang datang dari
keadaan alam maupun keadaan penduduknya yang masih memegang teguh
kepercayaan nenek moyang serta adat istiadat. Maka tergeraklah penulis untuk
mengangkat sebuah sejarah masuknya Injil di Tanah Minahasa oleh para
Zendeling serta sejarah masuknya Injil pertama kali di Rumoong-Lansot yang
dipelopori oleh K.T. Herrmann tahun 1840 dan Sde Velden Cappelen tahun 1851.
Maka perlu dilakukan penelusuran sejarah masuknya Agama Kristen khususnya
berita Injil di Rumoong Lansot.

Buku ini diberi judul : “ SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT “

Buku ini mengungkapkan secara ringkas sejarah masuknya Injil dan


perkembangannya di Indonesia khususnya di Tanah Minahasa termasuk di
Rumoong-Lansot dan pelayanan Penginjil K.T. Herrmann dan S. Van Der Velde
Van Cappelen serta penginjil lainnya yang mungkin sudah dilupakan oleh
masyarakat dan jemaat di Rumoong-Lansot bahkan belum diketahui oleh
generasi muda.

Akhir kata semoga penulisan ini dapat berguna bagi jemaat GMIM di Rumoong
dan Lansot, khususnya dalam rangka menuju pembentukan Gereja Sentral
Rumoong-Lansot.

TUHAN MEMBERKATI.

Tareran, Januari 2016


Panitia Penyusunan Sejarah Gereja

i
DAFTAR ISI

PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
SAMBUTAN-SAMBUTAN iii
DASAR PENGINJILAN vi

BAB I. MASUKNYA AGAMA KRISTEN DI INDONESIA 1


A. LATAR BELAKANG KEDATANGAN BANGSA EROPA 1
B. AWAL PERKEMBANGAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA 2

BAB II. MASUKNYA AGAMA KRISTEN DI TANAH MINAHASA 9


A. KEPERCAYAAN PENDUDUK SEBELUM MASUKNYA INJIL 9
B. SEJARAH MASUKNYA INJIL DI MINAHASA 14
C. PERKEMBANGAN PEKHABARAN INJIL DI AWAL ABAD 20 22

BAB III. SEJARAH NEGERI RUMOONG-LANSOT 25


A. IDENTIFIKASI WILAYAH 25
B. SEJARAH BERDIRINYA NE,G’RI RUMOONG LANSOT 29
C. SEJARAH PEMERINTAHAN DESA 43
D. LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DI RUMOONG LANSOT 74

BAB IV. SEJARAH MASUKNYA INJIL DAN PENDIDIKAN


DI RUMOONG-LANSOT 100
A. AWAL PENGINJILAN DI RUMOONG LANSOT 100
1. KARL TRAGOTT HERRMANN, PELOPOR PENGINJILAN
DI RUMOONG-LANSOT. 100
2. S.DER VAN DER VELDE VAN CAPPELLEN,
PENGINJIL MUDA DENGAN SEMANGAT BERAPI-API 104
3. PENGINJIL LAINNYA DI RUMOONG-LANSOT. 107
B. SEJARAH PENDIDIKAN DI RUMOONG LANSOT. 112

BAB V. PERKEMBANGAN JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 120


A. PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN JEMAAT GMIM
RUMOONG-LANSOT 121
B. PEMISAHAN JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 132
C. BERDIRINYA JEMAAT GMIM “BETLEHEM” LANSOT 136
D. BERDIRINYA JEMAAT GMIM “IMMANUEL” RUMOONG ATAS 138
E. BERDIRINYA JEMAAT “TAAR ERA” RUMOONG ATAS 141
F. BERDIRINYA JEMAAT BARU GMIM ‘NAZARETH VELDEN
CAPPELEN’ LANSOT TIMUR. 146
G. WACANA MENJADIKAN JEMAAT GMIM ‘TAAR ERA “
RUMOONG ATAS MENJADI GEREJA INDUK / SENTRAL GMIM
RUMOONG-LANSOT. 157

BAB VI. P E N U T U P 159

DAFTAR PUSTAKA v
NASKAH / TULISAN DOKUMENTASI vi
LAMPIRAN-LAMPIRAN vii

- SK Susunan Panitia
- Daftar Nama-nama Pelayan Khusus Jemaat Rumoong & Lansot.
- Peristiwa-peristiwa Sejarah di Rumoong Lansot
 Mengenang Peristiwa Penginjilan mula-mula.
 Mengenang Peristiwa heroik Pengibaran Bendera Merah Putih
 Peristiwa Bencana Alam
 Peristiwa penemuan sumber mata air pertama
- Cerita Rakyat Rumoong-Lansot
 Sejarah Asal Mula Nama Tareran
 Legenda Lipan & Konimpis
 Pertempuran Minahasa & Bolaang Mongondow di Kuntung Tareran
- Lagu Lagu Tua [Rumayo wo Numani)
SAMBUTAN
KETUA PANITIA PENULISAN SEJARAH

GAMY ASIANO KAWATU, SE, M.Si


SAMBUTAN
KETUA BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT (BPMJ)
GMIM “ TAAR ERA “ RUMOONG ATAS /
KETUA BADAN PEKERJA GMIM WILAYAH TARERAN SATU

Pdt. TELLY THANOS – SONDAKH, M.Th


SAMBUTAN
KETUA BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT (BPMJ)
GMIM “ IMANUEL “ RUMOONG ATAS II

--------------------------------------------------------
SAMBUTAN
KETUA BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT (BPMJ)
GMIM “ NAZARETH VELDEN CAPELLEN “ LANSOT TIMUR

Pdt. MARTHEN KARUNDENG, S.Th


DASAR PENGINJILAN

Sebelum Yesus Kristus terangkat ke Sorga, dihadapan ke 11 murid-Nya Ia


berpesan :

“ Kepada-Ku telah diberikan kuasa di Sorga dan di Bumi. Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus, dan ajarkan mereka melakukan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai kepada akhir Zaman”. (Injil Matius 28 :18-20)

“Pergilah kamu keseluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk ”. (Injil
Markus 16 :15).

Perintah Yesus inilah yang menjadi dasar pengabaran Injil yang dilakukan oleh
para Rasul dan murid-murid Tuhan Yesus. Dan dengan perintah tersebut maka
pergilah mereka memberitakan Injil mula-mula di Yerusalem dan diseluruh Yudea
dan Samaria, ke Asia kecil hingga kesegala penjuru dunia. Dan Tuhan turut
bekerja dan meneguhkan Firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.

Ilustrasi Pesan Kristus terakhir dihadapan para murid-Nya


sebelum Ia terangkat ke Sorga (Sumber Film “ Son of God”)
BAB I
MASUKNYA AGAMA KRISTEN DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG KEDATANGAN BANGSA EROPA.

Pada akhir abad pertengahan yaitu pada akhir abad ke-15, perhatian tiap
negara di Eropa tertuju terutama kepada penumpukan emas – perak dan
rempah-rempah. Negara-negara yang banyak memiliki timbunan emas dan
perak, dan menguasai jalur perdagangan rempah-rempah maka negeri itu
kaya. Negara yang kaya adalah kuat dan dapat memenangkan peperangan.
Itulah sebabnya maka berlomba-lomba orang Eropa yang dipelopori terutama
oleh Spanyol dan Portugal mengarungi lautan mencari emas dan perak ke
negeri Inca di Peru, dan ke daerah Yucatan di Mexico serta pusat-pusat
kerajaan Indian di benua baru Amerika. Benua baru Amerika dikenal akan
kekayaan alamnya yang banyak mengandung logam mulia yaitu emas dan
perak, sehingga benua Amerika disebut Eldorado yang artinya negeri emas
dan perak.

Mereka juga mengarungi lautan ke arah timur, menyeberangi ujung benua


Afrika menuju kearah jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal
yaitu Halmahera - Maluku yang disebut mereka pulau rempah-rempah.

Semangat inilah maka pada tahun 1494 mulailah jaman penjelajahan


samudera dan perampasan negeri yang dipelopori oleh pelaut-pelaut dari
Spanyol dan Portugal (Portugis) dengan didorong oleh tiga tujuan utama yaitu :

1. Gospel : Melaksanakan tugas suci menyebarkan agama Nasrani (Kristen),


2. Gold : Mencari kekayaan emas dan perak, yaitu dengan menguasai
perdagangan secara monopoli dan paksaan serta menduduki
negeri yang diketemukannya,
3. Glory : Mencari kejayaan, kepahlawanan dan kekuasaan.

Tiga tujuan ini berpada dalam satu tekad yang menjiwai dan merupakan bekal
dari setiap pelaut dan setiap kapal yang berangkat dari Eropa.

Pada setiap kapal yang mengarungi lautan turut serta pula para
penginjil/pendeta yang bertugas selain menjaga keselamatan jiwa anak kapal,
juga bertujuan menyebarkan Agama Kristen kepada orang-orang yang belum
menerima Kristus sebagai Juruselamat di daerah-daerah yang didapatinya.
Layar-layar kapal, peralatan perang, senjata dan pada baju-baju jubahnya
yang terdapat di atas kapal terhias gambar Salib. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka datang bukan saja sebagai pedagang, tetapi juga sebagai prajurit salib
yang bagi pelaut-pelaut Eropa terutama Spanyol dan Portugal dijiwai pula
semangat Reconquesta, yaitu semangat pembalasan atau penaklukkan
kembali terhadap orang-orang Islam yang telah menguasai negeri dan tanah
Iberia (Spanyol dan Portugal) selama tujuh abad lamanya yaitu dari tahun 711
sampai dengan tahun 1492.

Setelah Spanyol menguasai jalur barat yaitu wilayah Mexico, Hawaii dan
sebagian wilayah timur yaitu Philipina, Portugis juga menguasai jalur timur yaitu
dari tanjung harapan hingga ke Halmahera dan sebagian daratan Amerika yaitu
Brasilia yang sesuai dengan perjanjian Thordosilas antara Spanyol dan
Portugal tahun 1521, bangsa-bangsa Eropa lainnya mulai melakukan
penjelajahan samudera yaitu Perancis, Inggris, Belanda, Jerman, dan negara
Eropa lainnya, sehingga mengakibatkan pertentangan, persaingan dan
benturan diantara bangsa-bangsa Eropa itu.

B. AWAL PERKEMBANGAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA

1. Kedatangan Bangsa Portugal.

Masuknya agama Kristen di Indonesia pada mulanya tak terlepas dari peran
orang-orang Portugal (Portugis) dalam mencari dan menguasai jalur
perdagangan rempah-rempah di Asia Timur khususnya di kepulauan
Nusantara.

Pada akhir abad ke-15, Vasco da Gama seorang Portugal menemukan


jalur laut ke Asia Timur. Dengan didasarkan faktor ekonomi, agama dan
jiwa petualang yang dilandasi dengan semangat perang Salib, mendorong
Portugal untuk melepaskan armada lautnya ke arah timur. Pada waktu
armada Portugal sampai di pantai
timur Afrika yaitu Malindi, mereka
berjumpa dan mendegar cerita dari
pedagang-pedagang Islam yaitu
pedagang-pedangang dari Gujarat
dan Arab yang telah berabad-abad
melakukan perdagangan rempah-
rempah dengan Malaka bahwa di
kepulauan Nusantara sangat kaya
akan hasil rempah-rempah yang
dibutuhkan oleh bangsa Eropa.
Bangsa Portugalpun bermaksud
menguasai jalur rempah-rempah
dari tangan pedagang-pedagang
Islam serta berkeinginan merebut
dan menguasai Malaka sebagai
bandar transito mereka.
Vasco da Gama

Setelah tiba di Goa – India, Portugal mendirikan kantor dagang guna


mengatur dan mempermudah misi mereka dalam merebut daerah-daerah
penghasil rempah-rempah. Kemudian mereka mengerahkan armada
lautnya ke arah Malaka dibawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque.
Sepanjang perjalanan menuju Malaka, armada Portugal melakukan
berbagai pembumi-hanguskan kapal-kapal dagang Islam yang ditemuinya.
Mendengar kebengisan armada laut Portugal itu, Kesultanan Malaka
dibawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah yang beragama Islam pada
tahun 1509 menolak surat-surat kepercayaan yang dibawah oleh utusan
Portugal dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan Malaka dari
serbuan armada Portugal. Perlawanan Sultan Mahmud Syah dapat
dipatahkan dan armada Portugal menguasai Malaka pada tahun 1511, dan
membangun benteng yang kuat di Bandar Malaka.

Ambisi orang Portugal tidak berhenti di Malaka saja, untuk menguasai


perdagangan rempah-rempah seutuhnya, mereka harus merebut dan
menguasai kepulauan rempah-rempah yaitu pulau Maluku dan sekitarnya.
Dibawah pimpinan Antonio d’Abreau dan Francisco Serrao maka
berangkatlah armada Portugal menuju Maluku dan tiba di Ternate pada
tahun 1522 dan mendirikan benteng Sao Parlo. Dari sinilah penyebaran
Agama Kristen dimulai oleh para misionaris yang dipelopori oleh
Franciscus Xaverius yang kemudian melaksanakan tugas penginjilan di
Ambon, Ternate dan Halmahera dari tahun 1546 – 1547. Penyebaran
Agama Kristen khususnya Katholik dilakukan sejalan dengan ekspansi
ekonomi. Banyak hambatan yang yang dihadapi dalam melaksanakan
tugas penginjilan tersebut. Hal ini disebabkan bahwa wilayah Maluku
(Ternate, Tidore, Amboina dan Halmahera) penduduknya sudah terlebih
dahulu memeluk agama Islam yang diperkenalkan oleh para pedagang-
pedagang Islam dari Gujarat dan Arab jauh sebelum kedatangan bangsa
Portugal.

Penentangan juga datang dari para penduduk pribumi yang masih


memegang teguh adat kepercayaan dari nenek moyang mereka yang telah
dianutnya turun-temurun yaitu kepercayaan Animisme. Hal inilah yang
menyebabkan Agama Kristen dan penginjilan yang dilakukan tidak
berkembang dengan baik dan hanya terbatas disekitar benteng Portugal.

2. Kedatangan Bangsa Spanyol.

Pada tahun 1519 dimana masih berlangsungnya peperangan antara


Spanyol dan Portugal di daratan Eropa, Raja
Spanyol Phillips II memerintahkan pengiriman
armada lautnya untuk menjelajah semua koloni
Spanyol melalui jalan Barat ke arah Samudera
Atlantik. Armada ini dipimpin oleh Ferdinand
Magellan atau dikenal dengan nama Fernao
Magelhaes yang merupakan orang Portugis
yang bekerja untuk Spanyol. Di bawah
pimpinan Magelhaes, armada ini tiba di benua
Amerika dan menyusuri pantai timur Amerika
Selatan dan tiba diujung selatan Benua
Amerika. Selat diujung Selatan Benua Amerika
tersebut akhirnya diberi nama selat Magelhaes.
Ferdinand Magelhaes
Dari Amerika, mereka melanjutkan perjalanannya dan tiba di lautan yang
luas tapi tenang. Akhirnya Magelhaes menamakan lautan tersebut dengan
nama Samudera Pasifik atau disebut juga Lautan Teduh. Pada tahun 1521
armada Spanyol akhirnya tiba di kepulauan sebelah utara pulau Serawak
(Kalimantan) yang disebut Mectan. Magelhaes mendirikan batu peringatan
dan menyatakan bahwa pulau tersebut milik raja sehingga kepulauan
tersebut diberi nama Philipina sesuai dengan nama Raja Spanyol Phillips II
yang memerintah Spanyol pada waktu itu.

Sesuai dengan missi pelayaran armada Spanyol diantaranya adalah


menyebarkan agama Kristen, maka Magelhaes mulai membujuk penduduk
asli disetiap kepulauan yang datanginya untuk memeluk Agama Nasrani
(Kristen Katholik). Penduduk pribumi di kepulauan tersebut belum mengenal
agama dan masih memegang kepercayaan nenek moyang mereka
(Animisme). Faktor bahasa juga merupakan kendala dalam menyebarkan
agama Nasrani dikalangan penduduk pribumi. Hal inilah yang menghambat
penginjilan dikalangan penduduk pribumi di kepulauan itu.

Dalam menjalankan misinya di kepulauan Philipina, armada Magelhaes


terlibat pertempuran dengan penduduk asli di Mectan. Pada tahun 1521,
dalam pertempuran itu Magelhaes terbunuh. Untuk melanjutkan pelayaran
ke kepulauan Maluku, maka kepemimpinan armada Spanyol dilanjutkan
oleh salah satu anak buahnya yang bernama Yuan Sebastian del Cano.
Armada ini tiba di Tidore, Bacan dan Jailolo.

Kedatangan bangsa Spanyol ini mengelisahkan bangsa Potugal yang telah


lebih dahulu menguasai Ternate. Hal inilah yang menyebabkan pecahnya
peperangan antara Spanyol dan Portugal di kepulauan Maluku. Bangsa
Spanyol dibantu oleh Kesultanan Tidore, berperang dengan bangsa
Portugal yang dibantu oleh Sultan Ternate. Pada tahun 1529, akhirnya
Portugal bersama dengan pasukan Sultan Ternate berhasil mengalahkan
Spanyol yang di bantu oleh Sultan Tidore. Namun kekalahan tersebut tak
menyurutkan kapal-kapal Spanyol untuk tetap mengunjungi kepulauan
Maluku.
Spanyol baru meninggalkan kepulauan Maluku setelah pada tahun 1580,
Raja Spanyol Phillps II menyatakan Portugal dibawah kekuasaan Spanyol
(setelah berhasil menduduki Portugal) dan memerintahkan Gubernur
Jenderalnya di Philipina untuk tidak mencampuri urusan Portugis di Maluku
dan memberi bantuan kepada Portugal bila diperlukan. Tetapi sebelumnya
Portugial terlebih dahulu telah meninggalkan Ternate pada tahun 1575
akibat rakyat Ternate tidak menyukai hak monopoli perdagangan dan
Kristenisasi yang dijalankan Portugal di pulau tersebut.

3. Kedatangan Bangsa Belanda.

Kesulitan ekonomi yang dialami oleh bangsa Belanda akibat dampak dari
perang berkepanjangan dengan Spanyol, telah memaksa mereka untuk
melakukan perjalanan menuju ke pusat rempah-rempah. Semula bangsa
Belanda dapat bekerja sama dengan Portugal dengan mengangkut bahan-
bahan rempah-rempah dari pelabuhan-pelabuhan yang telah dikuasai oleh
Portugal. Tetapi sejak tahun 1580 daerah Portugal telah dikuasai oleh
Spanyol. Karena Belanda sedang berperang melawan Spanyol, maka
tertutuplah daerah kekuasaan Portugal bagi Belanda. Sebab itu bangsa
Belanda terpaksa mencari dan membeli bahan-bahan langsung ke pusat
perdagangan rempah-rempah yaitu kepulauan Nusantara.

Pada tahun 1596 dilepaslah armada Belanda yang pertama dengan 4 buah
kapal laut dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Mereka masuk
kekepulauan Nusantara dan mendarat di Banten. Karena sifat
keserakahannya, mereka dimusuhi oleh orang Banten sehingga terpaksa
menyingkir dan tiba di Bali. Berbeda dengan orang Portugal dan Spanyol,
kedatangan bangsa Belanda hanya didorong oleh dua faktor yaitu ekonomi
dan petualangan. Belanda kurang berminat kepada usaha penyebaran
agama. Perjalanan pertama orang Belanda ini tidak berhasil dan akhirnya
kembali ke negeri Belanda.

Pada tahun 1598 armada kedua Belanda diberangkatkan dibawah pimpinan


Jacob Van Neck dan Wybrecht Van Warwyck dan tiba di Banten untuk
kedua kalinya. Dalam perjalanan kedua ini orang Belanda berubah sikap.
Antipati akibat kekerasan dalam pelayaran pertama menjadi pelajaran
sehingga mereka diterima baik oleh orang-orang Banten dan daerah-daerah
lainnya seperti Tuban dan Maluku (1599) serta Ternate.

Pada tahun 1602 Belanda mendirikan kongsi dagang yang bernama


Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang berarti Kompeni
Serikat Hindia Timur yang bertujuan antara lain untuk mencapai monopoli
perdagangan rempah-rempah yang ada di kepulauan Nusantara.

Usaha untuk memperoleh kekuasaan mutlak dalam perdagangan, VOC


menggunakan dukungan politik dan militer dan tidak segan-segan secara
fisik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara serta kepada para penduduk
pribumi yang tidak menerima mereka.

Arah politik demikian mulai tampak semenjak Jan Pieterzoen Coen


menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia) pada
tahun 1619. Hal ini tentu saja ditentang oleh Portugal dan Spanyol yang
lebih dahulu menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di
kepulauan Nusantara. Begitupun kerajaan-kerajaan yang berada di
Nusantara melakukan perlawanan terhadap ambisi dan sikap Belanda itu.

Armada Laut VOC-Belanda di Maluku

Peperangan antara Belanda dan Portugal serta Spanyol dan kerajaan-


kerajaan di Nusantara / Indonesia berlangsung bertahun-tahun, dan
puncaknya Belanda berhasil merebut kota Malaka dari kekuasaan Portugal
pada tahun 1641.

Sebelumnya Belanda telah berhasil terlebih dahulu menduduki benteng


Portugal di Amboina pada tahun 1605, dan merebut Jayakarta dari tangan
Pangeran Wijayakrana pada tanggal 30 Mei 1619 dan sejak saat itu Kota
Jayakarta diganti namanya menjadi Batavia oleh seorang pegawai VOC
bernama Van Raay. Banten dapat dikuasai oleh VOC dari tangan Sultan
Ageng Tirtayasa pada tahun 1680 dengan bantuan Sultan Haji. Mataram
ditaklukan VOC pada tahun 1678 dari tangan Sultan Amangkurat II. Di
Sulawesi Selatan yaitu Makassar direbut oleh VOC dibawah pimpinan
Cornelis Speelman dengan bantuan Aru Palaka menaklukkan Sultan
Hasanudin dari Gowa pada tanggal 18 Nopember 1667 dibawah
perjanjian Bongaya.

Setelah Belanda menguasai kerajaan-kerajaan besar Nusantara, dan


merampas sebagian besar kepulauan Nusantara dari tangan Spanyol dan
Portugal, maka mulailah para Pengijil dari Zendeling yang terdiri dari para
penginjil Jerman, dan Belanda mulai mengabarkan Injil dikepulauan
Indonesia. Masyarakat yang telah menganut agama Kristen Katholik yang
disebarkan oleh Portugal dan Spanyol sebelum kedatangan bangsa
Belanda, oleh VOC mulai dimasukkan kedalam Gereja Kristen Protestan.
Tetapi perkembangan pengabaran Injil selama VOC berkuasa hingga abad
ke 19 tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Hal ini disebabkan
karena VOC memfokuskan pada misi monopoli perdagangan semata.
Namun demikian di masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Von
Imhoff , dari tanganya berdiri Seminari Theologia Pertama di Indonesia.
Dia adalah salah seorang penguasa VOC yang banyak memperhatikan
pengkabaran Injil di Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan VOC (1602 – 1800) Penginjil atau pendeta-


pendeta Zendeling berjumlah 254 anggota dan 800 anggota Zieketrooster.
Sedangkan Pemeluk Agama Kristen Protestan hingga tahun 1860, tercatat
baru mencapai 80.000 jiwa.

4. Perkembangan Pengkhabaran Injil Pasca VOC Dibubarkan.

Keadaan Pengkabaran Injil di Indonesia berubah pada waktu pemerintahan


di Hindia Belanda (Indonesia) dipegang oleh kerajaan Belanda setelah VOC
dibubarkan pada tahun 1799. Maka sejak saat itu pengkabaran Injil mulai di
lakukan kembali dibawah suatu lembaga penginjilan Belanda yang bernama
Nederlandsch Zendelings Genootscap (NZG) yang didirikan dua tahun
sebelum VOC di bubarkan bertujuan terutama kepada pendidikan anak-
anak negeri (pribumi). NZG merupakan lembaga penginjilan Kristen
Protestan yang berkedudukan di Belanda yang independen dan tidak
mencampuri urusan politik pemerintahan di negara yang didatanginya yang
anggotanya terdiri dari para penginjil selain dari negeri Belanda sendiri juga
dari Jerman, Denmark, dan negara-negara Eropah lainnya.

Disamping itu sebelum NZG didirikan, London Missionary Society (MLS)


sudah lebih dulu berperan sejak tahun 1795 menyusul Lembaga Alkitab
Inggris tahun 1804 dan Lembaga Alkitab Prusia tahun 1805). Kebebasan
menjalankan ibadah dan penyebaran Geraja diakui. Lembaga Alkitab
Belanda kemudian didirikan pada tahun 1819 sementara Gereja Methodis
Epsicopa dari Amerika mulai berkembang dengan pesat mulai tahun 1824
dengan menetapkan Vikariat Apostolik.

Gereja Katholik Roma selama VOC berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia)


tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Nanti pada tahun 1847
kedudukan Gereja Katholik Roma di Hindia Belanda mulai diatur dalam
Perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Paus di Roma. Perkembangan
Gereja Katholik Roma sejak VOC dibubarkan mulai berkembang dimana
Pastor Nelissen di Batavia (Jakarta sekarang) mendapat gelar Prafectus
Apsotolicus yang kemudian berkembang menjadi Vikarus. Pastor Mgr
Groff pada tahun 1842-1845 memberikan wajah yang penuh dalam jabatan
ini. Suster-suster Ursulin sejak tahun 1856 merupakan perintis
pembangunan sekolah-sekolah BK di Hindia Belanda.

Gereja Katholik yang merupakan misi Gereja tertua di Indonesia tentu saja
tetap menggunakan Pahlawan-pahlawan Salib seperti Francisco Xaverius,
Simon Vaz dan Diego Magelhaes dalam semangat heroisme iman yang
lestari. Begitu besar jasa mereka mengabdikan diri bagi kemuliaan Tuhan
dan peradaban umat manusia. Bukan saja gereja-gereja yang nampak
megah, tetapi dunia pendidikan, pengetahuan dan bengunan Rumah Sakit
untuk masyarakat umum terbawa dalam misi Gereja Katholik tersebut.
Tindakan sewenang-wenang dari pemerintah Belanda di Indonesia atau
yang dikenal dengan Pemerintah Hindia Belanda kepada penduduk
setempat, sangat memprihatinkan para Penginjil, sehingga dikalangan para
Penginjil yang datang tersebut tak sedikit yang menentang sikap dan
tindakan tersebut. Salah satunya adalah pendeta yang bernama Ds. Baron
Van Hoevel (1837) yang menentang keras praktek kerja paksa di Pulau
Jawa yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Begitupun salah
seorang pengarang dan penulis dari Belanda bernama Dowes Dekker
yang dikenal di Indonesia dengan nama Multatuli, juga mengambil sikap
tegas terhadap tindakan politik kolonialisme Belanda di Indonesia.
Pengkhabaran Injil dilakukan di Indonesia sejalan dengan dibangunnya
sekolah-sekolah diberbagai daerah untuk mendidik kaum anak negeri dari
segala keterbelakangannya. Pada tahun 1814, NZG mengirimkan Pendeta
Joseph Kam, Brukner dan Adams ke Indonesia dengan tujuan untuk
membantu usaha penginjilan kepada penduduk pribumi serta mendirikan
sekolah-sekolah anak-anak pribumi.

Kota Pelabuhan Rotterdam-Belanda


pada awal abad ke-19 tempat bertolaknya para Zendeling menuju Tanah Minahasa

------------------------
BAB II
SEJARAH PENGINJILAN DI TANAH MINAHASA

A. KEPERCAYAAN PENDUDUK SEBELUM MASUKNYA INJIL

1. Kepercayaan Agama Suku (Alifuru)

Sistem Religi dan kepercayaan penduduk Minahasa Purba pada masa


sebelum Injil masuk ke Minahasa adalah kepercayaan Alifuru atau disebut
juga Agama Suku. Penulis sekalifgus Penginjil N. Graafland pernah meneliti
agama purba Minahasa dengan kesimpulan bahwa agama purba Minahasa
tidak dapat diletakkan diringkat paling rendah dari konsep agama purba.
Memang sepintas lalu terlihat penduduk percaya kepada banyaknya dewa-
dewi (opo-opo) atau polytheisme, tetapi sebenarnya orang Minahasa purba
percaya akan suatu nama yang bukan nama dewa atau dewi, dia
menyebutkan “Aku akan ada, dan Aku ada”. Tuhan tanpa nama itu disebut
‘EMPUNG WAILAN WANGKO’, ‘EMPUNG RENGA-RENGAN’ yang berarti
“TUHAN MAHA MULIA”, “MAHA BESAR”, Tuhan yang selalu
mendampingi manusia dimanapun berada. Ini menunjukkan bahwa agama
purba Minahasa sebenarnya mengandung unsur Monotheisme, tetapi dalam
mengatasi berbagai pengaruh dari roh jahat, maka orang Minahasa
mempergunakan roh leluhur mereka untuk melawan roh jahat tersebut
sehingga mempengaruhi seluruh kehidupan mereka dari lahir hingga
meninggal. Jadi dewa-dewi Minahasa purba bukan berfungsi sebagai Tuhan
melainkan hanya sebagai alat untuk melindungi manusia. Jadi orang
Minahasa purba menganut dua aliran sekaligus yakni satu Tuhan
(monotheisme) dan banyak dewa (polytheisme).

Masa selanjutnya ketika orang Minahasa mulai berubah maka hilanglah cerita
mengenai agama purba Minahasa yang hanya dilafalkan oleh para walian
sebagai pemimpin agama. Keterangan dari Pater Blas Palmino tahun 1619
yang melihat bahwa orang Minahasa mengenai adanya tiga dewa langit, tiga
dewa bumi dan tiga dewa dalam tanah. Di atas opo-opo (dewa-dewi) itu
adalah Empung Wailan Wangko.

Beberapa orang yang menguasai ilmu makatanak menyebutkan sebagai


berikut :
- Opo/dewa Langit : Karema (Tountemboan, To’ar (Tombulu, Lumimu’ut
(Tontewoh)
- Opo/dewa Bumi : Siouw Kurur (Tountemboan), Muntu Untu (Tombulu),
Lingkan Wene (Tountewoh).
- Opo Dalam Tanah : Topo Rundeng (Tountemboan), Makalawang
(Tombulu), Maengkong (Tountewoh).

Empung Wa’ilan Wangko bertempat tinggal di Surga disebut ‘Sinayawan’


(Tountemboan & Tounbulu), ‘Kainawa’an’ (Tonsea). Sedangkan surga untuk
para roh leluhur disebut sesuai dengan lokasi hidup mereka di bumi seperti :
‘Kasendukan’ tepi pantai, ‘Karondoran’ atas gunung tinggi.

Dalam melakukan ritual keagamaan Minahasa purba tersebut terdapat


kepemimpinan formal yang terdiri dari pemuka/pemimpin agama suku yang
sangat dihormati oleh penduduk seperti :

- Karema/Kadema, asal kata dari rema yang berarti kerjakan/laksanakan;


Karema adalah Opo yang dianggap oleh penduduk paling tua dan
bijaksana. Ia adalah kepala agama dan yang mengajarkan adat-istiadat
orang Minahasa kepada nenek moyang suku Minahasa mula-mula yaitu
kepada Toar dan Lumimuut.
- Lelean (lele berarti kabulkan); diangap sebagai penghubung untuk
memintakan kepada Opo Walian Wangko agar permintaan manusia
dikabulkan. Lelean dianggap sebagai lambang hidup yang suci, keadilan,
kejujuran dan kemurahan hati.
- Walian (wali/wadi berarti kawan); adalah pemimpin dalam upacara-
upacara keagamaan seperti upacara pemberian nama, pernikahan,
pengambilan sumpah dan lain-lain. Seorang Walian mahir pula dalam
menentukan waktu yang baik untuk membuka kebun, menanam maupun
berfungsi sebagai perantara manusia dengan Opo-opo.
- Tonaas (tou berarti orang dan taas berarti kuat/kebal); bertugas
mempimpin penduduk dalam mendirikan desa maupun membuka kebun
dan mahir pula menafsirkan bunyi dan tanda burung, mengatasi tipu
muslihat binatang-binatang yang merusak tanaman seperti babi hutan, ular,
tikus, kera, dan lain-lain.

Selain itu terdapat pula pimpinan informal lainnya yang disebut Potouasan (tou
berarti orang dan Osan/posan sama dengan pemali/tabu); mereka dahulu
terdiri dari para tua-tua kampung yang merupakan tempat meminta nasihat
oleh penduduk desa, karena dianggap orang yang ahli dalam menafsirkan
mimpi, ahli ilmu sihir mengusir setan dan juru obat. Pengobatan yang dilakukan
oleh Potouasan untuk menyembuhkan orang sakit dengan cara-cara tradisional
disebut pengobatan Makatanak. Masa sekarang Potuasan ini disebut dukun
dengan keahlian masing-masing seperti seorang perempuan yang ahli
membantu kelahiran bayi disebut dukun bayi atau Byang. Sedangkan orang
yang ahli dalam melakukan upacara untuk mencari pencuri disebut Tukang
Mawi. Begitupun dukun yang melakukan upacara yang merugikan orang lain
(black magic) disebut Pandoti.

2. Pengaruh Kepercayaan Alifuru Dalam Kehidupan Penduduk .

Penduduk Minahasa sekarang ini sekalipun sudah menganut agama Kristen


tetapi dalam kehidupannya sehari-hari masih ada yang dipengaruhi oleh
kepercayaan lama. Pengaruh kepercayaan lama masih terlihat antara lain
dalam hal kematian, melahirkan, melakukan perjalanan, membuka lahan
pertanian, sebelum membuka kebun, mendirikan dan menaiki Rumah baru,
dan kepercayaan penduduk lainnya yang masih kental dengan kepercayaan
alifuru.
Kepercayaan Minahasa Tua (Agama Alifuru) yang sebagian masih tertanam
dalam pikiran penduduk desa Rumoong-Lansot antara lain :

- Kepercayaan akan adanya roh-roh nenek moyang yang mendiami alam


raya ini yang lazim disebut Opo atau Dotu. Opo atau Dotu yang paling
berkuasa adalah Opo Walian Wangko atau oleh penduduk disebut
Kasuruan Wangko adalah Opo yang paling berkuasa karena dianggap
yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya. Dalam menjalankan
tugasnya ia dibantu oleh Opo-opo lainnya dengan tugas masing-masing
seperti :
1. Muntu Untu dipercaya sebagai Opo Agama
2. Menembo-nembo adalah Opo Pengawas
3. Manalinga adalah Opo Pendengar
4. Kumokombak adalah Opo Takdir
5. Tantumotow adalah Opo Kehidupan
6. Mamutung adalah Opo Sumpah
7. Mamarimbing adlah Opo Burung Suci atau Penjaga Rumah.

Kepercayaan Alifuru

- Kepercayaan akan makhluk-makhluk halus (roh-roh dan hantu) yang


berkeliaran dialam semesta seperti pontianak/puntilanak, panunggu,
lulu, mangindek, pokpok dan lain-lain. Salah satu cara penduduk
Rumoong-Lansot mengusir roh-roh jahat seperti puntilanak adalah
membakar pakaian tua atau melempar pecahan-pecahan kaca keluar
rumah. Begitupun apabila seorang ibu yang meninggal dunia dalam
persalinan dipercaya akan menjadi puntilanak untuk mencegah hal tersebut,
penduduk akan meletakkan telur ayam terhadap ibu yang meninggal
tersebut dikedua telapak tangan dan dibawah tiap-tiap ketiak, sedangkan
diujung setiap jari tangan ditusuk dengan paniti, lalu rambut dalam keadaan
terurai menutupi muka.

- Kepercayaan akan roh orang tua atau kerabat yang sudah meninggal,
dianggap masih berada disekitar tempat kediaman penduduk, atau lazim
disebut mukur. Sebab penduduk pada saat itu percaya bahwa seseorang
yang sudah meninggal dapat menggangu orang yang masih hidup. Oleh
sebab itu apabila ada keluarga yang sakit atau meninggal dunia yang belum
dikuburkan, harus dijaga atau jangan ditinggalkan sendirian, sebab orang
yang sakit atau yang mati akan dilarikan oleh si mukur tersebut.

- Kepercayaan akan penyakit akibat tindakan guna-guna dari seseorang atau


oleh karena hilangnya kekuatan orang tersebut, maka oleh penduduk
memanggil seorang ahli obat yang disebut Potouasan (seperti tersebut di
atas). Adapun praktek yang dilakukan oleh Potuasan disebut pengobatan
makatanak.

- Kepercayaan penduduk akan adanya benda-benda tertentu yang


mengandung kekuatan gaib seperti batu-batuan, tumbuh-tumbuhan, air,
angin seperti ada sejenis batu yang keramat sehingga dapat mengusir
akibat buruk yang akan menimpa seseorang, mengobati penyakit, kebal
terhadap penyakit dan lain-lain. Tumbuh-tumbuhan seperti Jeruk atau
karimenga, goraka (Keriit) yaitu jahe merah digunakan untuk mengusir
setan, menurunkan panas dan lain-lain, akar bahar yang dipercaya dapat
mengusir penyakit, roh jahat atau menolak bahaya.

- Kepercayaan kepada bunyi dan tanda-tanda binatang seperti burung


khususnya burung Manguni (Manguni Rondor) yang dianggap keramat
oleh penduduk sebagai sumber pemberi tanda atau peringatan apabila
seseorang atau penduduk melakukan perjalanan.
Khususnya dimalam hari apabila suara
burung manguni merdu, dipercaya tandanya
baik dan menyenangkan yaitu bunyi yang
hampir-hampir merdu tetapi agak terputus-
putus sebagai tanda tidak mengganggu
perasaan, kiik yaitu bunyi yang panjang
sekali dan keras sekali sebagai tanda
sipendegar harus waspada.
Begitupun juga tanda dan bunyi burung
pada siang hari seperti burung lowas
(Warak siang), apabila tertawa terus-
menerus pertanda menyenangkan,
mangoro yaitu bunyi tertawa parau/serak
pertanda tidak menyenangkan. Begitupun
bunyi cecak dan ular, sebab binatang-
benatang tersebut dianggap sebagai suruhan atau pengganti opo yang
datang untuk memperingatkan penduduk akan adanya perbuatan jahat
yang akan menimpa mereka. Para Tonaas dan Walian yang ahli dalam
menterjemahkan bahasa burung, sehingga ada beberapa peristiwa di masa
dahulu yang dapat dihindari karena pertanda dan bunyi dari suara burung,
cecak dan lain sebagainya.

- Beberapa kepercayan lainnya penduduk dalam hal kelahiran anak,


mendirikan dan menaiki rumah baru, dalam hal pertanian, perjalanan, dan
lain-lain.
Dengan bertemunya ajaran Injil dan kebudayaan tersebut, terjadilah proses
yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, sehingga menimbulkan
persoalan-persoalan, ketegangan-ketegangan bahkan pertentangan yang
muncul dalam berbagai bentuk.

Banyak kebudayaan-kebudayaan yang tidak cocok dengan Injil bertumbuh


bersama-sama sampai sekarang ini. Dan yang terbanyak muncul malah sudah
diintegrasikan bersama-sama dengan Injil khususnya yang menyentuh adat
dan agama suku atau kepercayaan kepercayaan tahyul (seperti yang telah
diungkapkan di atas). Dilain pihak banyak juga kebiasaan tradisional yang
sudah beralih dan dicorak-warnai oleh Injil dan dipraktekkan dalam pelayanan,
daya dan dana. Memang tidak semua kebudayaan tersebut tidak dapat
diterima dalam Injil, tetapi banyak aspek-aspek tertentu dari adat, agama suku
dan kepercayaan lainnya yang menimbulkan ketegangan bila bersentuhan
dengan Gereja dan Iman Kristen.

Wanita Minahasa zaman Hindia Belanda

---------------------
B SEJARAH MASUKNYA INJIL DI TANAH MINAHASA

1. Awal kedatangan Bangsa Spanyol

Pada tanggal 10 Agustus 1519 dimulailah ekspedisi Spanyol yang


dipimpin oleh Ferdinand Magellan atau dikenal dengan nama Fernao
Magelhaes seorang Portugal yang bekerja untuk Spanyol. Pada tahun
1521 armada Spanyol akhirnya Mectan (Massava), Philipina. Magelhaes
mulai membujuk penduduk asli disetiap kepulauan yang datanginya untuk
memeluk Agama Nasrani (Kristen Katholik).Dalam menjalankan misinya di
kepulauan Philipina dan kepulauan sekitarnya (Sangir dan Minahasa)
tersebut, armada Magelhaes terlibat pertempuran dengan penduduk asli di
Mectan - Philipina. Magelhaes terbunuh dalam pertempuran tersebut pada
tahun 1521.

Sejak kematian Magelhaes, misi pengkhabaran Injil dikepulauan Philipina


dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Sangir dan Minahasa dilanjutkan
dibawah pengawasan Gubernur Jenderal Spanyol di Philipina. Para
misionaris dari Portugal dan Spanyol yang datang mendapati penduduk
pribumi di kepulauan tersebut belum mengenal agama dan masih
memegang kepercayaan nenek moyang mereka (Animisme). Begitupun
pada waktu orang Spanyol menginjakkan kakinya kembali di tanah
Minahasa sekitar tahun 1565, Seorang missionaris Jesuit Pater Diego
Magelhaez yang memasuki pedalaman Minahasa pada waktu itu
mendapati penduduk setempat telah menganut kepercayaan dari nenek
moyang mereka turun temurun (Alifuru) yang sangat mengakar dikehidupan
penduduk Minahasa saat itu.
Faktor bahasa juga merupakan kendala dalam menyebarkan agama
Nasrani dikalangan penduduk pribumi Minahasa.

Sebelum memasuki pedalaman Minahasa, Pater Magelhaez mendarat di


Pulau Manarow (Manado Tua) yang pada waktu itu merupakan pusat dari
Kerajaan Manarow yang dibangun oleh suku pendatang Babontehu.
Sebagai pusat kerajaan, Pulau Manarow merupakan jalur transit bagi para
pendatang dari luar Minahasa. Pater Magelhaez berhasil membabtis Raja
Manado dengan 1500 orang penduduknya bersama dengan seorang Raja
dari Siau (Sangihe) yang bernama Possuma kemudian dinamakan Don
Jeronimo atau Hieronymus, Raja dari Siau ini kebetulan sedang
berkunjung disana. Pembabtisan ini dilakukan selama lima belas hari
lamanya.

Berita pembabtisan ini terungkap lewat surat dari Pater Diego Magelhaes
yang dirujukan kepada Pater Mascarenhas di Lisabon pada tanggl 28 Juli
1563. Tahun 1569, Pater Blas Polonimo masuk Minahasa dan mencoba
memperkenalkan Injil kepada penduduk Minahasa.

Pada tahun 1585 Peter lain mengunjungi Manarouw, Dan mendapati


bahwa iman Kristen yang pernah disebarkan ternyata telah lenyap, dan
penduduk telah kembali keada keercayaan lama. Tahun 1606 Spanyol
merebut kembali Maluku Utara maka penyebaran agama Kristen kembali
dilakukan di Ternate.

Pada tahun 1614 Spanyol memusatkan kekuatannya di Manarouw untuk


menghadapi serbuan Belanda, dibangun sebuah benteng dipesisir kota itu
yang berhadapan dengan pulau Manado Tua .

Pada tahun 1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama
menjadi Islam. Oleh karena itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke
pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang disebut alifuru
lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan
misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil
sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti
dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia
terbunuh setelah mendarat di antai Kema, dia menulis mengenai sikap
permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris
asal Spanyol. Juga Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali
bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol
untuk masuk ke pedalaman Minahasa.

Pertentangan dengan penduduk pribumi Minahasa bermula takkala bangsa


Spanyol mulai memasuki daerah pedalaman Minahasa dan mencoba
menyentuh kehidupan keagamaan dan perekonomian penduduk yang telah
lama bersifat otonom. Akhirnya terjadilah perang antara penduduk
Minahasa dengan Spanyol sekitar tahun 1644 yang dikenal dengan perang
“Tasikela’, yang menyebabkan bangsa Spanyol berpikir untuk melanjutkan
misinya tersebut. Hal inilah yang menghambat penginjilan dikalangan
penduduk pribumi di tanah Minahasa, sehingga sebagian besar penduduk
yang telah di Kristenkan akhirnya kembali kepada kepercayaan yang lama
(alifuru) hingga kedatangan bangsa Belanda.

Ilustrasi Pendaratan Bangsa Spanyol di Minahasa


2. Masuknya Bangsa Belanda / VOC Di Minahasa.

Pada tahun 1655, Belanda akhirnya memasuki tanah Minahasa di bawah


pimpinan Simon Cos. Setelah bekerja sama dengan Minahasa dalam
mengusir Bangsa Spanyol di Miinahasa. Dengan persetujuan dengan para
Walak-walak di Minahasa, Belanda berhasil mendirikan benteng di Manado
yang diberi nama ‘De Nederlandsche Vestigheid’. Pada tahun 1657
benteng tersebut di ubah namanya menjadi Benteng Ford Amsterdam.
Sejak saat itu mulailah para Pengijil dari Zendeling yang terdiri dari para
penginjil Jerman, dan Belanda mulai mengabarkan Injil di tanah Minahasa.

Pada tahun 1663, datanglah Ds. Burun ke Minahasa sebagai seorang


perintis masa VOC.. Kemudian disusul dengan datangnya Ds. Fransiscus
Dionisius dan Ds. Isaacus Huisman. Keduanya meninggal di Manado,
Ds. Fransiscus Dionisius meninggal pada tahun 1674 dan Ds. Isaacus
Huisman meninggal pada tahun berikutnya [1675].

Belanda berhasil mendirikan benteng di Manado yang diberi nama ‘De Nederlandsche
Vestigheid’. Pada tahun 1657 diubah namanya menjadi Benteng Ford Amsterdam

Penginjil pertama yang bertugas di Manado pada tahun 1675 adalah Ds


Montanus yang datang bukan hanya melayani petugas-petugas VOC,
melainkan juga memberitakan Injil kepada penduduk pribumi. Tahun 1675
Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah
sangat lemah. Dari tulisan Pendeta Montanus-lah diketahui bahwa pada
sekitar abad 17 sudah ada Kerajaan Manado yang menguasai daerah
pantai Bolaang, Gorontalo, Tanjung Pulisan dan Selat Bangka / Lembeh.
Dari Manado Ds. Montanus berangkat ke Taruna dan meninggal di sana
pada tanggal 22 Maret 1676.
Sampai tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke
Indonesia. Kekristenan pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan
tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)

Setelah kematian Ds. Montanus, beberapa pendeta pernah berkunjung ke


Manado tetapi tidak lama menetap, tapi kehadiran mereka di Manado,
cukup membantu perkembangan Injil di tanah Minahasa. Tahun 1677 VOC
menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Kemudian pada
tahun yang sama datang pula Ds. G. Peregrinus yang dipercayakan
menjabat sebagai supervisor bagi gereja-gereja yang ada di Manado. Ia
meninggal dunia pada tahun 1680 setelah hampir tiga tahun ia melakukan
tugasnya. Kemudian datang pula Ds de Leeuw (1680-1689) yang bertugas
di Minahasa dan Ambon.

Sekitar abad 18 datang pula Ds. Arnoldus Branst yang beberapa waktu
bertugas di Manado, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Bolaang-
Mongondow. Dan sampai pada tahun 1728 ketika Ds. Georg Hendric
Wernly yang berasal dari Swiss melayani di Manado, sudah ada sekitar
616 orang Kristen Protestan. Dan pada tahun 1788 datanglah dua orang
pendeta Belanda yaitu Ds. Rousselet dan Ds. John Ruben Adams yang
telah menguasai bahasa Melayu. Hal ini sesuai dengan kententuan dari
VOC yang mengharuskan para pendeta yang datang ke tanah Minahasa
harus menguasai bahasa Melayu. Pendeta Adam di tempatkan di Tondano
dan melakukan penginjilan sampai di pesisir timur pantai Tondano sekitar
daerah Kapataran.

Walaupun para penginjil dari Eropa berusaha untuk memperluas agama


Kristen di Minahasa, dapat dikatakan bahwa hingga akhir abad 19, Agama
Kristen Protestan tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Faktor-faktor
penyebab antara lain seperti halnya yang dialami oleh bangsa Spanyol
yaitu mengakarnya kepercayaan lama penduduk terhadap kepercayaan
nenek moyang, faktor bahasa serta kurangnya dukungan pemerintahan
VOC terhadap penginjilan karena misinya hanya di bidang monopoli
perdagangan semata.

3. Perkembangan Agama Kristen Pasca Berakhirnya Kekuasaan VOC.

Keadaan Pengkabaran Injil di Indonesia berubah pada waktu pemerintahan


VOC di Hindia Belanda (Indonesia) diambil alih oleh Pemerintah Belanda
yang pada saat itu dikuasai oleh Perancis dengan nama Republik Bataaf
(Bataafsche Republiek) yang dipimpin oleh adik Napoleon Bonaparte yaitu
Louis Napoleon. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799. Maka sejak
saat itu pengkabaran Injil mulai di lakukan kembali dibawah suatu lembaga
penginjilan Belanda yang bernama Nederlandsch Zendelings
Genootscap (NZG) yang didirikan dua tahun sebelum VOC di bubarkan
bertujuan terutama kepada pendidikan anak-anak negeri (pribumi). NZG
merupakan lembaga penginjilan Kristen Protestan yang berkedudukan di
Belanda yang independen dan tidak mencampuri urusan politik
pemerintahan di negara yang didatanginya yang anggotanya terdiri dari
para penginjil selain dari negeri Belanda sendiri juga dari Jerman, Denmark,
dan negara-negara Eropa lainnya.
Tahun awal Keuskupan berkembang di tanah Minahasa dimulai pada
tanggal 17 April 1819, sampai masuknya sejumlah suster yang terpanggil
merintis pembangunan sekolah, kegiatan sosial dan kesehatan sebagai
kegiatan awal Gereja Katholik di Minahasa yaitu pada tahun 1886.

Pada tahun 1790 untuk


misinya di Indonesia,
NZG mengirimkan Ds
Johan Ruben Adams
tiba ditanah Minahasa
dan menginjak kakinya
pertama kali di
Kapataran. Pada tahun
1814, Pendeta Joseph
Kam, Brukner ke
Indonesia dengan
semangat Emde dan
cita-cita kesalehan
terutama bertujuan untuk membantu usaha penginjilan kepada penduduk
pribumi serta mendirikan sekolah-sekolah anak-anak pribumi. Mereka
memasuki Batavia dan Surabaya pada tahun 1814. Tak lama kemudian
pada tahun 1817 Penginjil Joseph Kam tiba di Minahasa dalam
perjalanannya menuju Ternate. Inilah tahun dimana secara historis Agama
Kristen Protestan berkembang di tanah Minahasa. Joseph Kam dikenal
sebagai arsitek pengembangan Gereja Protestan di Minahasa, Sangir dan
Ternate dan dikenal dengan sebutan “ Rasul Maluku”.

Ketika berkunjung di tanah Minahasa, Joseph Kam melihat tanah Minahasa


merupakan daerah yang sangat potensial bagi kemajuan Injil. Karena itu ia
lalu memohon kepada Pemerintah Belanda agar mengirimkan penginjil
tambahan. Berdasarkan permintaan itulah maka pada tahun 1819
datanglah Ds Lenting yang kemudian menempati posnya di Amurang. Ds.
Lenting ini kemudin digantikan oleh Jungmichel.

Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada
pelayanan lagi, lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda.
Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim dua orang
penginjil yaitu Ds. L. Lammers yang ditempatkan di Kema dan Ds. D.W.
Muller. Yang ditempatkan di Manado. Ds. L. Lammers karena sakit-
sakitan akhirnya meninggal dunia dua tahun kemudian(1824). Sedangkan
Ds. D.W. Muller. meninggal dunia tiga tahun kemudian ditengah-tengah
daerah pelayanannya (1827) di Manado.

Pada tahun 1827 tibalah Gerrit Jan Hellendoorn yang bertugas sebagai
seorang pendeta di Manado. Dengan dibantu oleh orang-orang pribumi
yang sudah didiknya, ia memasuki derah pedalaman Minahasa untuk
mengembangkan pelayanan penginjilan. Di daerah Tondano, ia bertemu
dengan kepala-kepala negeri Tondano yang sangat merindukan berdirinya
sebuh sekolah. Sambutan kepala-kepala negeri Tondano yang berjanji
akan membantu menyediakan sebuah sekolah asalkan ditempatkan
seorang guru di sana, memicu semangat
Hellendoorn untuk membantu mereka. Akhirnya
pada tahun 1828 berdirilah sekolah yang
pertama di tanah Minahasa di Tondano.
Pekerjaan perintisan pelayanan ke pedalaman
membawa hasil yang sangat bagus sehingga
dia dinyatakan sebagai seorang peletak dasar
misi Protestan dan pendidikan di tanah
Minahasa.

Untuk melanjutkan pelayanannya di Minahasa,


atas permintaan Joseph Kam yang bertanggung
jawab penuh atas kemajuan penginjilan di
Indonesia bagian timur, maka NZG mengirimkan
Johann Gottlieb Schwarz dan Johan Frederik
Riedel, dan bersama Douwes Dekker seorang
itelektual dan penulis (yang kemudian dikenal
dengan nama Multatuli) berangkat dari Belanda
menuju Hindia Belanda (Indonesia) pada bulan November 1830, dengan
menumpang kapal De Jongee Adriana.

Mereka sampai di Batavia,


kemudian ke Surabaya dan
tiba di Ambon pada tanggal
23 November 1830.
Mereka di Sambut oleh
Joseph Kam, wakil resmi
Zending yang berpusat di
Ambon. Selanjutnya Riedel
dan Schwarz tiba di Manado
pada tanggal 12 Juni 1831.
Tanggal tibanya kedua
penginjil ini diperingati oleh
GMIM sebagai Hari Ulang
Tahun Pengkhabaran Injil Di
Minahasa.

Pendeta Johann Gottlieb


Schwarz kelahiran Koningsberg,
21 April 1800 di tempatkan di
Kakas kemudian dipindahkan ke
Langowan. Ia meninggal dunia
pada tanggal 1 Februari 1859.
Selama pelayanannya, ia telah
berhasil menbangun sekolah
yang berjumlah 28 sekolah (14
sekolah ditanggung pemerintah dan 14 sekolah lagi merupakan
tanggungan sendiri) dengan jumlah murid 1200 orang.

Pada akhir tahun 1848 wilayah pelayanannya meliputi walak Langowan,


Ratahan, Kakas, Remboken, Tompaso, Kawangkoan dan Sonder sudah
terdapat 15 sekolah dengan jumlah murid pada waktu itu kurang lebih 1300
orang, Jumlah sidi jemaat kira-kira 100 orang dan 3000 orang sudah di
baptis.

Sedangkan pendeta Johan


Frederik Riedel memulai
pelayanannya di Tondano dan
memprakarsai pengembangan
Gerejani/Jemaat dengan pola
pietes. Kesalehan Kristosentris
adalah ciri utama pekerjaan
pendeta ini yang tanpa pamrih
berjuang diladang Tuhan.

Pendeta Van Rhijn berusaha


mengangkat citra pembantu-pembantu pendeta (penolong) dari masyarakat
pribumi yang sebelumnya hampir tidak ada masyarakat yang bersifat
Curpus Christinaum. Sampai tahun 1879, sudah ditahbiskan 30 anggota
pembantu pendeta (penolong). Pada tahun 1860, pemeluk Agama Kristen
Protestan baru mencapai 80.000 jiwa, dengan bahasa resmi yang dipakai
dalam pengkhabaran Injil adalah Bahasa Melayu.

Pembantu Pendeta pribumi (penolong) yang pertama dikenal di Minahasa


(dari pasca NZG sebelum diserahkan ke GPI ) adalah Andrianus Angkow,
seorang guru di Sonder (1947) yang merupakan murid J.F. Riiedel yang
membantu pelayanan J.G. Schwars di Langowan dan W. Hehanusa murid
pendeta Joseph Kam yang didatangkan dari Ambon untuk melakukan
pekerjaan gerejani dari tahun 1830 hingga tahun 1881.

Dari tangan kedua penginjil inilah perkembangan Gereja Protestan


mengalami pertumbuhan yang pesat. Pengkhabaran Injil dilakukan di
Indonesia khususnya di Minahasa sejalan dengan dibangunnya sekolah-
sekolah diberbagai daerah untuk mendidik kaum anak negeri dari segala
keterbelakangannya.

Dan hal yang paling melegakan dalam sejarah perkembangan Injil di tanah
Minahasa adalah usaha para penginjil meningkatkan kecerdasan
masyarakat pribumi lewat pendidikan. Pada tahun 1826 pendeta
Hellendoorn mendirikan sekolah pertama di Tondano (cikal bakal lahirnya
Sekolah STOVIL (1886) dan sekolah Penolong (Pembantu pendeta) di
Tomohon (1868 – 1879).

Sedangkan misi Gereja pertama di Tanahwangko dipimpin oleh seorang


cendekiawan dan penginjil bernama Nicolaas Graffland ikut mendirikan
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan sebuah penerbitan Surat Kabar
Tjahaja Siang di kota pelabuhan ini pada tahun 1868.
Pendeta-pendeta NZG yang tercatat dan berjasa dalam pembangunan
Jemaat di Minahasa selain Joseph Kam dan Johann Ruben Adams,
tercatat nama-nama Pendeta Muller, Lammers
dan Hollendorn. Dan selanjutnya J.G. Schwarz,
J.F. Riedel, Van Rhijh, dan pendeta N. Ph.
Wilken di Tomohon.

Sedangkan diwilayah Amurang dikenal dengan


pelayanan dari pendeta Karl Traggott Herrmann
(1940) dan pendeta S. Der Van Der Velde Van
Capellen (1951) yang melayani hingga kepelosok-
pelosok pedalaman Amurang dan sekitarnya
hingga ke wilayah pegunungan Tareran. Dan
pernah diutus NZG ke kepulauan Sangihe.

Pada saat itu mereka sudah membagi Minahasa menjadi 10 Ressort


Penginjilan Yaitu :

- Resort Tomohon
- Resort Tondano
- Resort Langowan
- Resort Amurang
- Resort Kumelembuai
- Resort Tanawangko
- Resort Kema
- Resort Talawaan
- Resort Sonder
- Resort Ratahan

Keadaan Jemaat ada suatu Ibadah Minggu Zaman Hindia Belanda

C. PERKEMBANGAN INJIL DI MINAHASA ABAD 20.

Pada mulanya Gereja di Minahasa sebelum abad ke 20 disebut “Indische


Kerk” atau Gereja Hindia Belanda (Gereja Pribumi Indonesia) di bawah
Penjajah Belanda. Tahun 1882 NZG menyerahkan urusan dan pembiayaan
jemaat-jemaat kepada Indische Kerk. Tetapi sekolah masih dibawah
Tanggung jawab NZG.

Pengurus Indische Kerk

Memasuki Abad 20, Indische Kerk atau kemudian disebut Gereja Protestan
di Minahasa mengalami perubahan yaitu diserahkannya pelayanan Jemaat
Minahasa dari NZG kepada Gereja Protestan Indonesia [GPI] dengan
mendirikan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang bersinode
sendiri pada tanggal 30 September 1934, GMIM berdiri sebagai Gereja
yang mandiri (Bersinode), sesuai
dengan Keputusan Pemerintah
Belanda No. 76 Tahun 1935
tertanggal 24 Desember 1935
dalam lingkungan Gereja Protestan
Indonesia (GPI) yang berpusat di
Jakarta.
(Berdasarkan Beslit Gubernur
Jendral Hindia Belanda 17
September 1935 No.5 ).

Pengurus Indische Kerk

Upacara peresmian GMIM 30 September 1934, dilaksanakan di Gedung


Gereja Sion Tomohon. Hadir pada waktu itu Gubernur Jendral Mr. B.C. de
Jonge mewakili pemerintah. Pada malam hari diadakan perjamuan kudus di
gereja Sentrum Manado menjadi pusat GMIM. Hulppredikers Afdeling
/resort diubah menjadi Klasis yang terdiri dari :
- Klasis Airmadidi
- Klasis Amurang
- Klasis Kumelembuai
- Klasis Langowan
- Klasis Maumbi
- Klasis Manado ( Indonesia )
- Klasis Manado ( Eropa )
- Klasis Ratahan
- Klasis Sonder
- Klasis Tomohon
- Klasis Tondano
Hal ini berlangsung sampai
tahun 1942

Sebelumnya telah berdiri juga Kerapatan Gereja Protestan Minahasa


(KGPM) pada tanggal 21 April 1934 oleh kaum Nasionalis pimpinan B.W.
Lapian, hal ini patut disyukuri dan dihormati dedikasinya dalam barisan
reformasi untuk menjadikan eksisistensi gereja ini terasa seperti mengakar
dari tanah Minahasa untuk melepaskan diri dari tenaga asing yang
memonopoli pemerintah Belanda.

Ketika GMIM dinyatakan sebagai gereja yang berdiri sendiri , Gereja ini
tetap menjadi bagian deri gereja Negara. Hal ini berdasarkan pernyataan
dari Mr. J.E. van Hoogstraten seorang anggota Kerkbestuur ( pengurus
Gereja di Negara ) tahun 1933. Jadi pengaturan Gereja di Minahasa tidak
dapat diubah secara principal tanpa persetujuan pemerintah.
Pendeta – pendeta Belanda yang menjabat ketua Sinode adalah :
- Ds. E.A.A. de Verde 1934-1935
- Ds. C.D. Buenk 1935-1937
- Ds. H.H. van Herwerden 1941-1942
- Dr. G.P.H. Locher

Foto Bersama Pengurus Pertama Sinode GMIM

Masa pendudukan Jepang di Minahasa, banyak pendeta berkebangsaan


Belanda di ditawan. Kepemimpinan Gereja mau tidak mau harus di pegang
oleh Pendeta Minahasa. Perubahan ini menjadi awal dari kepemimpinan
Pendeta Minahasa di GMIM tetapi tetap menjalin hubungan dengan GPI.
Ketua Sinode Pribumi pertama adalah : A.Z.R. Wenas Tahun 1939.

Pada awal GMIM berdiri terdapat 11 classis yang diadaptasi dari resort, 360
Jemaat dengan 6000 Majelis Jemaat. Classis dirubah menjadi wilayah, dan
telah tersusun jemaat lingkaran sebanyak 35 lingkaran.

Selanjutnya pertumbuhan gereja-gereja mulai terasa lebih berkembang


pasca berakhirnya pelayanan NZG di Minahasa. Pada tahun 1937 Gereja
Pantekosta di Indonesia (GPdI) didirikan yang berawal dari Gerakan
Pentakosta (Pinkster Beweging) yang didirikan oleh Rev. Johannes
Gerhard Thiessen asal Kitchkas Ukraina yang pada mulanya merupakan
seorang penginjil yang diutus oleh Doopgzinke Kerk bertugas di Sumatera
Utara sebagai guru Injil dan kesehatan penduduk suku Batak pada tahun
1901. Ia kembali ke Belanda setelah menyelesaikan tugas penginjilannya
pada tahun 1916. Pada tahun 1921 ia dan keluarganya kembali ke
Indonesia dan melakukan pelayanan di Pulau Jawa inilah awal berdirinya
GPdI di Indonesia. Di Minahasa, pelopor Gereja Pantekota pasca pendeta
Jocom, Lesnusa, Runtuwilan sampai pada pendeta Pandelaki dan
Kaawoan adalah pimpinan yang paling disegani dilingkungan warga Gereja
Pantekosta. Pada tahun 1951, dari aliran Pantekosta ini muncul Gereja
Sidang Jemaat Allah dan Gereja Sidang Pantekosta Indonesia yang
berpusat di Manado. Dan aliran-aliran Gereja lainnya berturut-turut berdiri.
Pada tanggal 15 September 1951, Gereja-gereja anggota Dewan Gereja
Indonesia (DGI) di kawasan Sulutteng ini sepakat membentuk Dewan
Daerah DGI Sulutteng. Dalam Sidang Raya DGI tahun 1984 di Ambon,
Dewan Gereja Indonesia berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja
Indonesia (PGI) dan mencetuskan Lima Dokumen Keesaan Gereja
(LDKG).

------------------------
BAB III
SEJARAH NEGERI RUMOONG-LANSOT

A. IDENTIFIKASI WILAYAH

Desa Rumoong dan Lansot adalah dua desa di Kecamatan Tareran


Kabupaten Minahasa Selatan yang sejak dahulu telah hidup berdampingan dan
dikenal dengan sebutan Neg’ri Rumoong-Lansot. Kedua desa ini sekarang
merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Tareran dan menjadi salah satu
pintu gerbang memasuki Kabupaten Minahasa Selatan.

Sekarang ini Neg’ri Rumoong & Lansot secara administrasi telah dimekarkan
menjadi 4 (empat) Desa yaitu untuk Rumoong Atas dimekatarkan menjadi 2
(dua) desa yaitu Desa Rumoong Atas & Desa Rumoong Atas Dua. Kemudian
Lansot dimekarkan pula menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Lansot & Desa
Lansot Timur.
1. Letak Dan Keadaan Geografis.
Secara geografis, desa Rumoong dan Lansot adalah dua buah desa di
daerah pengunungan Minahasa Selatan yang terletak diantara 1,15° LU
dan 125,45° BT dengan ketinggian tanah ± 630 M di atas permukaan laut,
sehingga kedua desa ini berhawa sejuk.

Iklim desa Rumoong-Lansot seperti halnya daerah Minahasa lainnya


dipengaruhi oleh angin muson. Pada bulan Nopember sampai April bertiup
angin Barat Laut (awoat) yang membawa hujan. Dan pada bulan Mei
sampai Oktober bertiup angin selatan dan tenggara yang kering
sehingga menyebabkan musim panas. Suhu (wolak) rata-rata perbulan
minimum antara 17-23°C dan maksimum antara 25-31°C dengan curah
hujan pertahun rata-rata 2.279 mm dan perbulan rata-rata 189,9 mm.
Kecepatan angin minimum 2 knot/jam dan maksimum 10 knot/jam. Bulan
Agustus dan September merupakan bulan yang baik untuk membuka kebun
dan saat yang baik untuk menanam yaitu pada waktu bulan purnama.
Keadaan tanah dapat dikatakan subur, sehingga banyak jenis tanaman yang
dapat bertumbuh seperti padi, jagung (raang/talende), umbi-umbian (uwi’),
kacang-kacangan, cengkih (cingkeh), kopi, kelapa, kakao, vanili dan tanaman
tropis lainnya. Daerah Lansot juga secara ekonomi merupakan potensi
pengembangan pohon untuk industri perkayuan seperti cempaka, mahoni, jati
dan lainnya. Sedangkan di daerah yang masih berupa hutan terdapat jenis
pohon yang tumbuh secara alami seperti pohon meranti, cempaka (lewo’),
beringin (lowian), kayu lantu, rotan (pondos), linggua (aga) dan pohon-pohon
yang disebut dengan bahasa daerah seperti pohon kamesi, kanonang, leilem,
werang, dan pohon buah-buahan seperti durian (duriang), pakowa (kowal), dan
lain sebagainya.

Sungai yang mengalir di wilayah kepolisian desa Lansot umumnya kecil dan
yang terkenal adalah sungai Tu’unan dan Memea’, dan sungai-sungi kecil
lainnya yang mengalir pada musim penghujan.. Sungai Tu’unan oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dipakai untuk pengolahan air bersih
yang dikonsumsi penduduk di beberapa desa di Kecamatan Tareran.

Sungai Tu’unan Sungai Memea’

Adapun jenis hewan peliharaan (Penamun) yang sering dikembang-biakan


oleh penduduk setempat dalam meningkatkan perekonomian desa antara lain :
babi (wawi), Sapi dan jenis unggas (lumerempar) seperti ayam kampung /
ayam buras/petelur (kokok), itik (wewek), dan hewan peliharaan lainnya
seperti anjing (asu), kucing (tusak) dan lain lain.

2. Batas Wilayah Dan Luas Desa.

Pada mulanya batas-batas wilayah desa di daerah Minahasa didasarkan atas


pembagian adat yaitu Walak atau Pakasaan. Pakasaan terdiri dari kata ‘esa’
yang artinya ‘satu’ dengan mendapat kata depan ‘paka’ dan akhiran an yang
berarti ‘kesatuan’. Istilah pakasaan sebenarnya adalah untuk menanamkan
istilah distrik asli Minahasa yang masih bersifat otonomi dan mempunyai
wilayah tanah sendiri. Wilayah ini diduduki oleh kesatuan adat (suku) yang
mempunyai kesamaan budaya, adat-istiadat, bahasa atau dialek, upacara
agama dan lain-lain. Sebenarnya pakasaan adalah identik dengan walak, yang
kemudian dalam masa pemerintahan Hindia Belanda dinamakan Distrik
(1830). Dalam hukum adat, istilah walak lebih dikenal dengan nama pakasaan.
Kini untuk mengetahui batas antara wilayah desa (ro’ong/wanua) yang satu
dengan desa yang lain ditentukan baik secara alamiah maupun menurut batas
adminitrasi pemerintahan. Batas alamiah terdiri dari gunung, sungai, bukit,
pohon, dan lain-lain, sedangkan batas administrasi adalah sesuai batas yang
ditetapkan sebagai wilayah kepolisian desa dengan dasar bahwa sejak dahulu
kala daerah tersebut sudah dikuasai dan dijadikan lahan/kebun penduduk desa
bersangkutan.

Adapun Batas Wilayah Kedua Neg’ri ini adalah :

Batas wilayah kepolisian Rumoong-Lansot sebagai berikut :


- Sebelah Timur (amicona), berbatasan dengan Wilayah Kepolisian Kec.
Kawangkoan (Desa Kiawa & Tombasian Atas).
- Sebelah Barat (amakona), berbatasan dengan Wilayah Kepolisian Desa
Wuwuk Kec. Tareran.
- Sebelah Utara (amongena), berbatasan dengan Wilayah Kepolisian Desa
Wiau Lapi Kec. Tareran.
- Sebelah Selatan (amekona), berbatasan dengan Wilayah Kepolisian
Desa Ranolambot Kec. Kawangkoan dan Wilayah Kepolisian Desa
Tumaluntung Kec. Tareran.
- Sebelah Tenggara, berbatasan dengan Wilayah Kepolisian Desa
Tombasian Atas Kec. Kawangkoan.

Batas wilayah secara adat antara satu desa dengan desa lainnya tidak
terdapat di daerah Tareran karena merupakan satu wilayah sub suku
Tountemboan. Batas wilayah secara adat hanyalah berdasarkan pembagian
wilayah antara suku-suku Minahasa pasca pertemuan di Watu Pinawetengan
(Th. 1031 M).

Luas wilayah kepolisian Rumoong- Lansot ± 1250 Ha yang terdiri dari :


- Luas Perkampungan/Pemukiman ± 45 Ha (Rumoong Atas 28 Ha & Lansot
17 Ha)
- Lahan perkebunan seluas 982 Ha, (Rumoong Atas 465 Ha & Lansot 517
Ha)
- Tambak ikan & Sawah seluas 32 Ha, (Rumoong Atas 25 Ha & Lansot 7 Ha)
- Luas hutan, Sungai dan Tebing/jurang adalah 153 Ha, (Rumoong Atas 111
Ha & Lansot 42 Ha)
- Dan lain-lain ± 43 Ha.
(Data Th. 2015).

Wilayah Kepolisian bagian selatan Rumoong & Lansot, nampak dari jauh pegunungan Soputan.
B. SEJARAH BERDIRINYA NEG’RI RUMOONG DAN LANSOT.

Sejak dahulu penduduk Desa Rumoong-Lansot dan umumnya orang


Minahasa percaya bahwa mereka adalah keturunan Toar dan Lumimuut.
Tempat kediaman mereka pertama kali di daerah pengunungan Wulur Maatus
yang bernama Niutakan yaitu suatu bukit dekat dengan daerah Tampaso Baru
sekarang. Dari sini mereka berpindah ke arah utara yang disebut Awuan, yaitu
daerah dekat Watu Pinawetengan yang dikenal sebagai batu tempat diadakan
pembagian wilayah. Dahulu turunan pertama Minahasa ini sering berselisih
mengenai wilayah kediaman mereka. Oleh sebab itu ditempat tersebut
diadakan musyawarah yang disebut Pinawetengan u nuwu (pembagian
pemujaan) untuk pembagian wilayah setiap keturunan Toar dan Lumimuut ini.
Menurut catatan dan cerita-cerita Minahasa Tua (Malesung), kejadian ini
berlangsung kira-kira tahun 1031 Masehi.

Hasil musyawarah tersebut menghasilkan pembagian wilayah sebagai berikut :


- Tombulu atau Tou in wulu yaitu orang yang berdiam dibelukar bambu dan
pegunungan, mendapat daerah sebelah utara barat (tenggara Minahasa).
- Tonsea atau Tou in sea yaitu orang yang mengambil jalan lain dan
berdiam di belukar kayu sea, mendapat daerah sebelah utara-timur
Minahasa.
- Tondano/Tolour atau Tou in Rano yaitu orang yang mengitari air/danau
(lour), mendapat daerah timur-selatan Minahasa.
- Tontemboan atau Tou in Temboan yaituorang yang berdiam di
pegunungan, mendapat bagian di daerah selatan-barat Minahasa.

Ke empat kelompok turunan itu merupakan penduduk asli Minahasa yang


merasa bersatu sebagai keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga menamakan
dirinya Minahasa yang artinya telah bersatu menjadi satu kesatuan.
Kemudian Suku Minahasa berkembang menjadi 8 sub suku bangsa dengan
bahasa dan dialek yang berbeda-beda seperti :
- Tombulu atau Tou in wulu dengan dialek Tombulu yang mendiami
daerah sebelah utara barat/tenggara Minahasa (barat laut danau Tondano).
- Tonsea atau Tou in sea dengan dialek Tonsea, mendiami daerah sebelah
utara dan timur laut.
- Tolour atau Tou in Rano dengan dialek Toulour mendiami daerah timur-
selatan dan pesisir Danau Tondano.
- Tontemboan atau Tou in Temboan dengan dialek Tountemboan
(Matanai/Makelai) mendiami bagian di daerah selatan-barat daya Minahasa
atau di selatan Danau Tondano .
- Tonsawang atau Tonsini dengan dialek Tonsawang yang mendiami
daerah bagian tengah dan tenggara Minahasa bagian selatan atau
Tombatu.
- Ratahan yang mendiami daerah bagian tenggara Minahasa.
- Ponosakan yang mendiami daerah bagian tenggara Minahasa.
- Bantik tersebar di beberapa tempat pesisir pantai barat laut utara dan
selatan kota Manado.

Sub suku-suku di Minahasa ini sebelumnya mempunyai kebudayaan asli


sebagai warisan nenek moyang. Tetapi sejak kedatangan bangsa Barat
(Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda) baik untuk kepentingan berdagang
maupun menyiarkan agama Kristen, maka dalam waktu relatif singkat kira-kira
150 tahun telah mempengaruhi kebudayaan nenek moyang Minahasa dengan
kebudayaan barat.

Keturunan pertama Tountemboan mulai menempati daerah sekitar Watu


Pinawetengan (Kec. Tompaso sekarang), dan salah satunya adalah negeri tua
Nimawale yang kemudian dikenal dengan nama Tounkimbut. “Nimawale”
artinya Bekas Rumah/ Bekas Kampung. Negeri Tua Nimawale ini adalah
Pusat pemukiman (Puser in Tana) Tongkibut terletak diperkampungan Kiawa
Lama dikompleks yang kini disebut Lana yang berarti ujung di wilayah yang
sekarang dikenal dengan nama Laundano (sekarang Kec. Kawangkoan).
Dahulu di sekitar daerah ini terdapat tempat permandian (lelean) yang konon
dipakai oleh keturunan pertama Tountemboan sesudah pembagian wilayah.
Pada masa sesudah armada Spanyol memasuki Minahasa (1521-1565),
Tongkibut merupakan suatu wilayah kekuasaan dalam bentuk walak yang
dinamakan walak Tounkimbut.

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, setelah terjadi perpindahan (hijrah)


penduduk dari pusat kampung Tongkibut, Walak Tounkimbut terpecah
menjadi 2 bagian yaitu Tounkimbut Atas (Kumawangkoan/ Kawangkoan)
dan Tounkimbut Bawah (Sumonder/Sonder) Kedua wilayah ini berpusat di
Negeri Tua Nimawale (Kiawa Lama). Dan kemudian pada tahun 1856 wilayah
Tongkibut dijadikan 2 distrik yaitu Distrik Kawangkoan (dahulunya Tongkibut
Atas) dan Distrik Tombasian. Setelah Indonesia Merdeka, kedua Distrik ini
dijadikan sebuah wilayah kecamatan yang disebut Kecamatan Kawangkoan.
1. ASAL – USUL DAN SEJARAH BERDIRINYA DESA LANSOT.

1.1. Latar Belakang Perpidahan Penduduk Mula-mula.

Pada masa sesudah armada


Spanyol yang dipimpin oleh
Fernao Magelhaens
(Ferdinand Magellan) tiba di
pantai Manado pada kira-kira
tahun 1521, dan kedatangan
bangsa Portugis di pantai
Amurang sekitar tahun 1522-
1547, mereka menemukan
penduduk Minahasa pada
waktu itu terdiri dari beberapa
perkampungan/walak yang
mempunyai kekuasaan sendiri-
sendiri dan kehidupan
sosialnya masih sangat
terkebelakang. Agama suku
(alifuru) yang merupakan
kepercayaan dari nenek
moyang turun-temurun sangat
mengakar dalam kehidupan
penduduk Minahasa pada
waktu itu.

Segala kejadian alam baik gempa bumi maupun sakit penyakit dan kemiskinan
dipercaya sebagai akibat dari ketidak taatan penduduk dihadapan opo-opo
para nenek moyang leluhur dan merupakan ujian dari Opo Kasuruan Wangko
yang dipercaya sebagai pencipta langit dan bumi.

Pada masa terjadinya ekspansi orang-orang Mongondow di wilayah Minahasa


Selatan yang mengakibatkan perang antara Minahasa dengan Mongondow
(1460 – 1590), di pedalaman Minahasa sekitar pertengahan abad 16 (Th.
1521- 1560), terjadi sebuah bencana yang menimpa pusat perkampungan
penduduk yang disebut ro’ong Tumotoa (Lana) dipegunungan yang merupakan
bagian dari Walak Tounkimbut (sekarang kampung Kiawa II di sekitar antara
Sonder dan Kawangkoan sekarang). Roong Tumotoa atau juga disebut Lana
(Ujung) merupakan bekas kampung lama disekitar negeri tua yang disebut
Nimawale (artinya bekas kampung/rumah) dari keturunan pertama sub suku
Tountemboan mula-mula. Oleh sebab itu Nimawale dikatakan sebagai “Tuur in
Tana” Sub suku Tountemboan mula-mula karena terdapat sebuah batu tempat
pemujaan yang disebut Tumotoa sehingga perkampungan itu juga dikenal
dengan sebutan kampung Tumotoa.

Pada masa dahulu sesuai dengan adat dan tradisi bahwa sebelum mendirikan
kampung, para tonaas selalu melakukan ritual keagamaan dan diakhiri dengan
menancapkan sebuah batu ditengah-tengah perkampungan yang akan
didirikan. Batu itu dinamakan Tumotoa artinya ‘panggilan kepada penduduk
untuk membangun bersama’. Biasanya tempat diletakkan Batu Tumotoa
dijadikan lapangan dan pusat perkampungan untuk tempat berkumpul
(maumung) atau tempat pertemuan (papetaupan) penduduk desa apabila akan
mendengarkan suatu pengumuman oleh pemimpinnya. Tumotoa juga
digunakan sebagai altar untuk acara perkawinan penduduk pada masa itu.
Lapangan tempat batu Tumotoa itu berada itu disebut Lesar.

Bencana yang terjadi di perkampungan penduduk desa saat itu agak


menakutkan (Kalinter/kaindeenoka). Jenis bencana yang menimbulkan
ketakutan (mainde’em) penduduk Tongkibut ini hingga saat ini masih belum
diketahui. Tetapi dilihat dari situasi dan kondisi daerah dengan keadaan alam
serta cara hidup dan kehidupan sosial-budaya Minahasa Tua pada waktu itu
masih sangat primitif, maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya perpindahan
penduduk pada waktu itu disebabkan oleh beberapa faktor-faktor antara lain :

- Akibat bencana Alam misalnya gempa bumi (mangerok/tanah goyang)


yang menyebabkan tanah di perkampungan penduduk mengalami
penurunan, longsor atau bencana lainnya seperti kemarau yang panjang,
sakit-penyakit dan lain-lain.
- Terjadi pertikaian antar penduduk dalam memperebutkan lahan dan
daerah perburuan hal ini disebabkan semakin padatnya jumlah penduduk di
daerah tersebut sehingga lahan perkebunan dan daerah perburuan
binatang di hutan (manalun) semakin sempit.
- Terjadinya peperangan (maseke’) baik antara orang Minahasa dengan
Mongondow yang pertama (1450-1590) dan kedua (1677-1694), atau
peperangan antara Minahasa dengan Spanyol (1644-1667).

Salah satu faktor tersebut di atas merupakan penyebab sebagian penduduk


Tongkibut berusaha mencari wilayah baru. Sebagian penduduk pada saat itu
menjadi serba salah, tanggung, bimbang dan ragu-ragu (Cakiowa) untuk
meninggalkan negeri leluhur mereka yang selama ini telah mereka tempati
turun temurun. Hal ini dikarenakan beberapa alasan antara lain :

- Mereka tidak mau meninggalkan lahan pertanian yang telah mereka kelola
dan diwariskan secara turun-temurun begitu saja. Sebab untuk membuka
lahan perkebunan baru dengan membabat hutan sangatlah sulit dan
hasilnya belum tentu lebih baik.
- Mereka tidak mau meninggalkan tempat para leluhur mereka (datu/opo)
disemayamkan/dikuburkan yang dianggap keramat dan menjadi tempat
pemujaan mereka kepada roh-roh dan arwah-arwah para leluhur itu.
Dengan keyakinan bahwa para leluhur mereka (opo-opo) akan melindungi
dan melepaskan mereka dari segala bencana.

Tetapi dengan bencana yang terjadi di daerah pemukiman mereka, sebagian


penduduk menganggap bahwa kampung yang mereka tempati itu tak
berkenan/direstui oleh Opo Kasuruan Wangko untuk dihuni lagi. Kelompok
penduduk yang pertama memutuskan untuk mencari pemukiman baru adalah
kelompok yang dipimpin oleh Dotu Ma’abe, Seke’ dan Pisek, disekitar tahun
1555 hingga 1560. Mereka meninggalkan kampung mereka menuju ke arah
Barat (makom/okon) dimana tempat matahari terbenam. Tujuan mereka adalah
daerah pegunungan sebelah barat walak Tongkibut yang belum dihuni oleh
manusia yang sekerang dikenal dengan pegunungan Tareran.

Namun demikian pada kira-kira akhir abad 16, penduduk yang tetap tinggal
karena bimbang dan ragu-ragu (cakiowa) tersebut mulai memindahkan
pemukiman mereka tidak jauh letaknya dari pemukiman lama dan kemudian
disebut orang kampung
Kiawa. Nama Kiawa diambil
dari kata Kiowa (Bahasa
Toutemboan) yang berarti
serba tanggung, serba
salah (dalam bahas Melayu
Manado sehari-hari disebut
“salah-salah”) karena waktu
itu penduduk yang
memindahkan kampung
tersebut di lingkupi perasaan
bimbang dan ragu-ragu untuk
meninggalkan daerah itu.

Batu Kubur (Waruga)


Para Leluhur Walak Tongkibut
yang disebut Lana (Ujung) (foto
2006)

Perkampungan baru Kiawa sudah berdiri dan dihuni sebagian penduduk


Tongkibut (Kiawa lama) kira-kira akhir abad 16 hingga awal abad 17 (1560 –
1600). Dan sejalan dengan mulai berpindahnya penduduk Tongkibut ke
perkampungan baru (Kiawa) tak jauh dari perkampungan lama, disekitar abad
17 hingga awal abad 19, sebagian penduduk Tongkibut juga melakukan hijrah/
perpindahan pemukiman yaitu sebagian mendirikan pemukiman di
Tounkimbut Bawah (Sumonder/Sonder) dan sebagian lagi mendirikan
pemukiman di Tounkimbut Atas (Kumawangkoan/ Kawangkoan). Dari
Tongkibut atas (Wilayah Kawagkoan) beberapa penduduk mendirikan
perkampungan di daerah Minahasa Selatan antara lain Kawangkoan Bawah,
Pondang (Amurang), Maliku, Ritey dan lain-lain.

1.2. Pemukiman Pertama.

Kelompok penduduk pertama yang memutuskan untuk mencari pemukiman


baru sebelum penduduk Tongkibut lainnya pindah adalah
kelompok/rombongan (kawong) yang dipimpin oleh dotu Seke’, Pisek dan
Ma’abe. Walaupun dengan sangat berat hati mereka akhirnya meninggalkan
kampung halaman yang mereka cintai untuk mengungsi ketempat lain
dengan membawa bekal (walun) seadanya dengan mengambil jalan ke arah
Barat.

Dalam melakukan perjalanan para dotu selalu memperhatikan tanda-tanda


dan bunyi (matuus/aparan) binatang terutama dari burung manguni (Wara’
rondor) yang dianggap burung keramat yang selalu memberi tanda/bunyi
(matuus/aparan) apakah itu tanda dan bunyi dari burung manguni malam
(Wara’imbengi) atau burung manguni siang (wara’inendo /lowas) sebagai
petunjuk dan komunikator apakah pejalanan akan diteruskan atau tidak.
Seringkali mereka harus menaiki tebing (dipina) karena aliran sungai terlalu
dalam untuk bisa dilewati., atau menyusuri lereng (Makapapar) apabila
tebingnya terlalu tinggi untuk dinaiki.

Pada suatu hari (endo makasa) mereka tiba disuatu aliran sungai kecil
(Tu’unan) yang bermuara di sungai besar Nimanga. Mereka percaya bahwa
dengan berjalan menyusuri (lamet) ke arah hulu sungai, mereka akan
menemukan sumber air dari sungai yang berarti bahwa tanah itu subur.
Maka mulailah mereka mengikuti sungai dengan harapan bahwa daerah yang
mereka idam-idamkan semakin dekat. Tak lama kemudian mereka tiba
disuatu aliran sungai kecil (memea’) yang air sangat jernih (leno) mengalir ke
sungai yang mereka telusuri itu. Di arah tenggara sekitar tempat itu (bagian
timur laut jembatan Tu’unan sekarang) terdapat daerah yang dianggap cocok
dan baik sebagai pemukiman. Mereka memutuskan untuk tinggal dan
menetap sementara di daerah itu yang tak jauh (anduru) letaknya dari kedua
sungai tersebut hingga menemukan daerah yang lebih cocok untuk
pemukiman tetap mereka. Tetapi sebagian penduduk tidak menyetujuinya
dan berniat untuk melanjutkan perjalanan. Perselisihan diantara para
pendudukpun terjadi. Akhirnya para dotu mengambil jalan musyawarah
sambil mendengarkan tanda-tanda burung. Setelah mengadakan
musyawarah akhirnya disepakati tempat itu untuk menjadikan tempat
pemukiman sementara.

Tak beberapa lama mereka bermukim ditempat itu, penduduk kembali


ditimpa bencana sakit-penyakit yang berupa kudis dan gatal-gatal disekujur
tubuh (kiongen/kiniong) sehingga menyebabkan penderitaan, kemelaratan
dan kemiskinan. Sebagian penduduk yang dahulu menolak dan berselisih
mengenai pemilihan lokasi untuk dijadikan pemukiman itu menganggap
bahwa para dotu telah membuat kesalahan dalam memilih tempat
pemukiman. Konon dari kesalahan memilih lokasi pemukiman tersebut
akhirnya sungai yang menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk
bermukim itu disebut “Memeak” berasal dari bahasa Tountemboan
“Semeak” yang artinya “Salah”.

Setelah kejadian itu, seperti biasanya penduduk meminta pendapat dan


memohon (mangile-ngilek) kepada para dotu untuk mengeluarkan mereka
dari musibah tersebut. Untuk mencari penyebab dan jalan keluar, para dotu
melakukan upacara/ritual keagamaan (ibadah/masoja) yang dipimpin oleh
seorang Walian untuk meminta memohon petunjuk kepada opo-opo
khususnya Opo Walian Wangko. Setelah ritual keagamaan dilakukan, para
dotu berpendapat bahwa air (rano) merupakan pencuci segala yang kotor
termasuk sakit-penyakit dan kemiskinan. Oleh sebab itu penduduk
diharuskan mencari tempat pemukiman baru dengan menyeberangi sungai
Tu’unan dan mandi di sungai tersebut agar mereka terhindar dari musibah.

Akhirnya diputuskan untuk mencari pemukiman baru, tetapi sebagian


penduduk yang pernah berselisih mengenai tempat pemukiman itu
memisahkan diri dan pergi ke arah selatan (amekona) daratan Tareran.
Sedangkan yang lainnya (kurang lebih 7 (tujuh) keluarga dibawah pimpinan
dotu Seke’, Pisek dan Ma’abe memutuskan untuk menyeberangi sungai dan
tiba disuatu aliran sungai kecil dengan air yang sejuk dan jernih yang ada
disisi sungai tak jauh dari tempat mereka menyeberang. Mereka
memutuskan untuk mandi di aliran sungai kecil itu dan membersihkan segala
kotoran sakit penyakit sesuai petunjuk dari para dotu.

Daerah tempat penduduk mandi di air mengalir tersebut kemudian


dinamakan ‘Kelembung” yaitu nama dari sejenis pohon yang getahnya
sangat gatal dan menimbulkan luka bila mengenai tubuh (Penduduk Lansot
menyebutnya pohon Kelemur). Pemberian nama ini menjadi nama kebun di
sebelah Selatan Desa Lansot sekarang yaitu disisi sebelah utara sungai
Tu’unan.

Kantor Hukum Tua Lansot sekaligus Balai Pertemuan Desa (Foto 2016)

1.3. Pemukiman Kedua & Awal Mulanya Nama Desa Lansot.

Setelah mandi di aliran sungai itu, tak lama kemudian mereka tiba disuatu
tempat dimana banyak terdengar kicauan burung juga terdapat sumber mata
air (palemboian / lamboi) yang dapat diminum. Melihat keadaan lokasi yang
baik (kasamaan) untuk pemukiman, daerah yang subur dan ramai oleh
kicauan burung, maka para dotu menetapkan daerah itu menjadi tempat
pemukiman yang baru. Dan sebelum mereka membuka perkampungan baru
(Tumani), sesuai kepercayaan penduduk sejak lama, maka dilakukan ritual
keagamaan untuk meminta izin dari opo-opo yang mendiami tempat tersebut
dan restu dari Opo Kasuruan Wangko agar diperkenankan bagi penduduk
untuk membuka pemukiman. Setelah ritual keagamaan dilakukan, mereka
lalu menancapkan batu (Tumotoa) ditengah-tengah lokasi sebagai tanda
bahwa lokasi tersebut telah direstui untuk mendirikan kampung baru. Untuk
menentukan nama yang akan diberikan, maka para dotu mengadakan
musyawarah di dekat batu Tumotoa. Sepanjang musyawarah berlangsung,
para tonaas/dotu belum juga mencapai kata sepakat mengenai nama yang
tepat untuk pemukiman yang akan mereka dirikan. Diantara para dotu ada
yang menginginkan nama kampung lama (Tongkibut) sebagai nama
kampung yang akan dibangun, tetapi dotu yang lain berpendapat berbeda.

Pada saat musyawarah masih berlangsung, tiba-tiba (kumompok) jatuh dari


atas (letup) buah Langsat (sejenis buah duku yang oleh orang Toutemboan
disebut Lansot) ditengah-tengah mereka. Saat itu para dotu teringat
(kinataneian) bahwa mereka memilih tempat ini sebagai pemukiman baru
karena mereka melihat banyak sekali burung yang berkicau dengan merdu dan
enak didengar yang menjadi petunjuk untuk mendirikan pemukiman. Ternyata
burung-burung tersebut sedang bergembira sambil memakan buah
lansot/lansat yang lagi musim berbuah. Dari peristiwa tersebut akhirnya
disepakati dan disetujui (kinakiitan) bahwa kampung yang akan didirikan
dinamakan ‘Lansot’ yang diambil dari dari nama buah yang jatuh dan tumbuh
disekitar tempat tersebut. Itulah asal-usul nama Lansot sebagai nama desa
hingga sekarang ini. Begitupun sumber air (palemboian) yang mereka temukan
pertama kali di daerah itu dinamakan Rano Lansot karena berada di daerah
yang ditumbuhi oleh pohon Lansat.

Setelah buah Lansot ditetapkan sebagai nama pemukiman, maka mulailah


penduduk membuka lahan untuk mendirikan rumah yang disebut Lawi. Lawi
didirikan penduduk untuk tempat tinggal (nientoan) dari bahan-bahan yang
banyak terdapat di sekitar daerah itu seperti tambelang (bulu/bambu) sebagai
dinding, kayu sebagai tiang penyanggah (arii) dan daun-daun pohon seperti
daun nira/akel/seho (kalekes) atau daun woka sebagai atap.

Sketsa Tonaas Desa Lansot

Lebih dari seabad penduduk menetap di daerah ini yang diperkirakan awal
berdirinya Desa Lansot (kampung lama) sekitar tahun 1560 Masehi dan
ditempati oleh penduduk mula-mula hingga tahun 1667 Masehi. Tetapi pada
akhir abad 17 penduduk desa Lansot yaitu anak-cucu penduduk Lansot mula-
mula mulai pindah ke atas bukit sebelah utara dari perkampungan lama yaitu di
sebelah utara dari pohon lowian. Hal ini berlangsung pada masa
berkecamuknya pertempuran antara Minahasa dan Spanyol (Perang Takisela)
di Minahasa Selatan pada sekitar tahun 1644 hingga tahun 1667 ditandai
dengan puser intana yaitu kira-kira 10 m diperbatasan Desa Lansot dan desa
Rumoong Atas (sekarang halaman/kintal Keluarga Kawatu). Perpindahan
penduduk desa Lansot ke lokasi pemukiman baru disebabkan karena semakin
bertambahnya penduduk dan sempitnya perkampungan lama. Letak
perkampungan Lansot pada waktu itu masih berada di lokasi yang kemudian
disebut Wale Ure di sekitar Pasar hingga di belokan desa Rumoong Atas
(sekarang jalan setapak (Wetes) menuju Kantor Kecamatan). Sekarang sudah
termasuk wilayah Desa Rumoong Atas sejak tahun 1924 di bawah Hukum Tua
Josepus Lumankun.

Pekuburan penduduk (palowengan) pada waktu itu berada disekitar Balai


Desa/Kantor Kepala Desa Lansot sekarang yaitu disekitar pertigaan jalan
menuju desa Wiau Lapi. Pada masa sekarang pemukiman penduduk Lansot
tersebut sebagian besar telah menjadi bagian dari Desa Rumoong Atas.
Adapun Dotu/leluhur yang dianggap sebagai awal keturunan dari sebagian
besar penduduk Desa Lansot sekarang yaitu Dotu Wilar yang hidup diantara
tahun 1560-1650.

Suasana Pasar Tareran- Lansot sebagai pusat perdagangan sebelum Kebakaran thn 2014
(foto 2006)

Pasar Tareran Lansot sesudah direnovasi dari kebakaran ( Foto Feb. 2016)
2. ASAL-USUL DAN SEJARAH BERDIRINYA DESA RUMOONG ATAS

2.1. Awal Kedatangan Pendatang Baru.

Pada masa berlangsungnya perang


antara suku Minahasa melawan
penyerbuan orang-orang Mongondow
(tahap I tahun 1460–1590), diceritakan
bahwa di wilayah pemukiman
penduduk desa Lansot yang terlebih
dahulu sudah berdiri, hidup pula dua
orang kakak-beradik Lipan dan
Konimpis. Tak beberapa lama
kemudian datang pula orang-orang
dari arah kaki gunung Soputan
(Tompaso) yang semuanya adalah
laki-laki yang dipimpin oleh Tonaas
Mamarimbing disertai oleh
pengikutnya Sage dan Palandi.
Penduduk Lansot pada waktu itu
menerima mereka karena dianggap
sebagai orang-orang sakti utusan para
tonaas Minahasa.

Kedatangan para tonaas ini untuk menyelidiki (lumilis) daerah sekitar


pengunungan sebelah barat desa Lansot (Kuntung Tareran sekarang), untuk
mempersiapkan strategi perlawanan terhadap orang-orang Mongondow yang
sudah siap menyerbu ke daerah pedalaman Minahasa. Orang-orang
Mongondow pada waktu itu sudah menetap di wilayah sebelah Barat
Pengunungan Tareran yaitu di tanah berdirinya desa Pinamorongan
sekarang. Penduduk desa Lansot membiarkan ketiga tonaas itu untuk
menetap sementara di bagian sebelah barat pohon Lowian.

Adapun keahlian ketiga tonaas yang datang itu adalah :

Tonaas Mamarimbing dikenal dengan tonaas yang ahli burung di kalangan


para tonaas Minahasa pada waktu itu. Ia dapat menterjemahkan suara
burung khususnya burung Manguni (Warak/Burung hantu) dan burung-
burung lainnya seperti burung Titicak, Srigunting, Tangka lioliowan, dan lain-
lain.

Tonaas Palandi adalah seorang yang ahli memanggil burung (sumoring) dan
menirukan suara burung (soring).

Tonaas Sage adalah seorang yang ahli memasang patok (pasek). Sebab
pada saat dahulu untuk memasang patok/pasek baik untuk tempat
pemukiman, batas kebun dan wilayah tidak boleh sembarangan. Sage inilah
yang konon dikenal sebagai pemasang kepala orang Mongodow yang
ditancapkan di atas patok (pasek) yang ditanamnya dan dijejerkan di
sepanjang pergunungan Tareran. (Lihat cerita rakyat asal nama Tareran).
Tak lama kemudian dari daerah Langowan datang pula dua orang yang
bernama Mawole dan Manimporo serta Lampus dan Waany dari arah
Tompaso untuk berperang di sekitar kuntung Tareran dan mendirikan
pemukiman mula-mula di atas perbukitan sebelah barat kampung yang oleh
penduduk Lansot disebut daerah Lowian. Daerah Lowian yang disebut
penduduk itu diambil dari nama sebuah pohon lowian yaitu sejenis pohon
beringin yang tumbuh di daerah itu atau hingga tahun 1950-an disebut
daerah Sendangan (sekarang bagian utara arah selatan Desa Rumoong
Atas). Pohon lowian ini oleh penduduk Rumoong-Lansot pada waktu itu
dianggap pohon keramat karena pohonnya sangat besar dan kuat, daun-
daunnya sangat rimbun sehingga tidak ditembusi oleh sinar matahari.

Kedatangan pendatang pertama kali di wilayah sekitar desa Lansot yaitu


Mawole dan Manimporo dari Langowan serta Tonaas Mamarimbing, Palandi
dan Sage, Lampus & Warany dari kaki gunung Soputan (Tompaso) kemudian
dituangkan dalam lirik lagu yang bunyi dan notasinya sebagai berikut :

5 5 5 6’55.11.. 1 71’2.1 1.65..


Datanglah dari Langowan, Dan dari negeri Tompaso
1 7 1 2.1 1 .2 3.. 55 56. 6 7.1.7..
Beberapa orang sekawan, Lalu menuju ke Barat
2222 11.23.. 1765 123.31..
Mendirikan satu negeri, Dinamainya Rumoong

Suasana pemukiman Desa Rumoong Atas yang disebut Wale Ure (Rumah Tua) (Foto SP. 2016)

2.2. Awal Berdirinya Desa Rumoong.

Pada sekitar tahun 1644-1660, saat berkecamuk pertempuran di wilayah


Matani dan Uwuran antara Minahasa dan Spanyol yang bersekutu dengan
Raja Bolaang-Mongondow yang disebut ”Perang Tasikela” dari arah barat
berturut-turut berdatanganlah orang-orang yang dipimpin oleh Dotu
Moutang, Lonsu dan Tumewang. Mereka lalu mendirikan pemukiman
disekitar pohon Lowian. Dengan kedatangan kelompok pendatang baru ini,
akhirnya sebagian penduduk Lansot lalu mulai memindahkan pemukiman
mereka ke atas bukit sebelah timur pohon Lowian (yang sekarang dikenal
dengan Wale Ure Desa Rumoong I sekarang.

Kedatangan mereka oleh penduduk desa Lansot yang sudah menempati


sekitar daerah tersebut pada saat itu tetap menerima dengan baik dengan
syarat bahwa sesuai adat istiadat/tradisi apabila ada penduduk yang datang
bertambah ke suatu daerah yang telah dikuasai/dihuni oleh orang lain, maka
mereka harus mencari dan membuka lahan yang belum digarap atau dikelola
oleh penduduk mula-mula, dan tidak menggangu kehidupan penduduk asli.
Para pendatang tersebut mendirikan pemukiman mereka di daerah sekitar
pohon lowian. Karena tempat tersebut khususnya bagian barat pohon lowian
belum dijadikan lahan garapan oleh penduduk desa Lansot. Dotu Moutang
inilah yang dianggap sebagai dotu dari keturunan penduduk Rumoong Atas
sekarang.

Pemukiman yang dibangun oleh penduduk pendatang itu disebut Lowian


sesuai dengan nama pohon yang tumbuh ditempat itu. Sedangkan orang-
orang yang datang bertambah ditempat itu oleh penduduk desa Lansot
menyebut mereka dengan istilah ‘Rumoang’ yang artinya orang yang
datang bertambah pada suatu tempat yang sudah didiami oleh orang
lain. Karena istilah Rumoang sering dipakai oleh penduduk Lansot, maka
lama kelamaan nama pemukiman Lowian itu berubah menjadi nama
kampung yaitu Rumoang. Nama Rumoang sebagai nama kampung dari
penduduk Lowian ini masih dipakai hingga tahun 1942 di masa Jepang mulai
menjajah dan masuk di tanah Minahasa. Pada masa itu Pemukiman Lowian
belum merupakan sebauah desa yang berdiri sendiri hingga tahun 1840 dan
masih merupakan bagian walak Lansot. Walaupun demikian, Nama
Rumoang masih lebih dikenal oleh orang luar dibandingkan dengan nama
Lansot. Hal ini terlihat jelas pada saat penanda-tanganan perjanjian antara
VOC-Belanda dengan pihak Minahasa yang di wakili oleh beberapa kepala
walak termasuk tonaas dari Lansot, yang dilaksanakan di Banua Wenang
(Manado) tanggal 10 Januari 1676 disebutkan bahwa utusan walak
Rumoong-Lansot ditulis dengan kata Romon (Dialek Belanda yang berarti
‘Rumoong’). Kesalahan penulisan ini bisa dimengerti karena pada masa
dahulu orang-orang Minahasa pada umumnya belum mengenal tulisan.

Pada masa Injil masuk di Rumoong-Lansot oleh Karl Tragott Herrmann


pada tahun 1840, barulah perkampungan ‘Rumoang’ (Rumoong Atas) yang
berdampingan dengan desa Lansot ditingkatkan statusnya sebagai sebuah
desa yang berdiri sendiri oleh pemerintah Hindia Belanda dibawah Kepala
Walak Tombasian (Amurang). Dari Walak Tombasian (Amurang)
dikirimlah Lumambot Rumangu sebagai Kepala Kampung/Hukum Tua
Pertama Rumoang yaitu sejak tahun 1840 hingga 1850.

Bukti sejarah bahwa nama Rumoang sebagai nama desa telah berubah
menjadi “ Rumoong ” terlihat jelas pada koleksi lonceng gereja yang di buat
tahun 1898, terdapat catatan di bagian tengah lonceng tersebut
“PAUMUNGAN MESIHI RUMO’ONG LANSOT, dan di bagian bawah tertulis
A BIKKERS & ZOON ROTTERDAM 1898. Jadi nama Rumoong telah
dikenal dan dipakai oleh penduduk serta secara resmi dipakai oleh
Pemerintah Hindia Belanda dan gereja pada tahun 1898.

Memang pada waktu penjajahan Jepang (1942-1945), nama kampung


Rumoong sempat ditulis pada papan nama desa menjadi ‘Rumoon’ karena
dipengaruhi oleh dialek bahasa Jepang. Setelah Indonesia Merdeka kata
Rumoon ini akhirnya dikembalikan ke kata “Rumoong” sebagai nama
kampung.

Dasar nama “Rumoong” ini dipakai mengantikan nama “Rumoang”


mengandung arti, bahwa kata ini dalam bahasa Tountemboan berarti
‘mendirikan kampung’.

Kantor Hukum Tua Desa Rumoong Atas Dua yang megah. Tampak Balai pertemuan
dibelakang Kantor Hukum Tua sedang dibangun (Foto 2016)

Dalam perkembangan selanjutnya, kata “Rumoong” mendapat penambahan


kata ‘Atas’ menjadi “Rumoog Atas”, karena hal itu untuk membedakan
Desa Rumoong yang ada di pegunungan dengan desa Rumoong yang ada di
pesisir laut wilayah Amurang. Maka Rumoong (Tareran) disebut Rumoong
Atas dan Rumoong (Tom basian/Amurang) disebut Rumoong Bawah. Itulah
cikal bakal kampung Rumoong Atas sekarang ini.

Pemukiman Penduduk Desa Rumoong Atas yang disebut Tempok (Foto.SP.2006)


Pada sekitar akhir abad 17, 18 hingga awal abad 19 (1670-1800) beberapa
penduduk dari Tounkimbut (Kiawa Lama) yang mendirikan perkampungan
di Tounkimbut Atas (Kawangkoan) juga melakukan hijrah (pindah) ke arah
barat dan melewati perkampungan desa Rumoong-Lansot. Diantara
penduduk yang pindah ini ada sebagian yang menetap di Rumoong- Lansot
dan sebagian lagi meneruskan perjalanan dan mendirikan beberapa
perkampungan baru seperti Ritey, Maliku, Pondang, Kawangkoan Bawah
dan kampung lainnya diwilayah Minahasa bagian selatan. Setelah
kedatangan pendatang yang menempati daerah sekitar pohon Lowian,
lambat laun pemukiman penduduk Rumoong mulai mendirikan pemukiman di
daerah sebelah barat pemukiman Lansot/Wale Ure yang disebut dengan
nama Uner. Dan perkampungan Lansot mulai menyebar ke daerah-daerah
lahan perkebunan sebelah timur. Karena lokasi tempat penguburan lama
yang berada disebelah timur Wale Ure telah dihuni oleh penduduk, akhirnya
pada akhir abad 18, Pemerintah pada waktu itu mulai memindahkan tempat
penguburan lama ke ujung sebelah timur pemukiman penduduk yaitu ke
lokasi penguburan umum yang masih dipakai hingga sekarang.

Sejak saat itu pula pemukiman penduduk desa Rumoang dari daerah Lowian
(Sendangan) dan Uner mulai menempati daerah perkebunan sebelah barat
desa Lansot (Wale Ure) hingga ke ujung barat yang dikenal kemudian dikenal
dengan nama Uner dan Tempok.

Desa Rumoong Atas Dua dilihat dari arah barat / Tempok (Foto.SP.2016)

Pada masa Hukum Tua Josepus Lumankun (1924), terpilih menjadi Hukum
Tua Rumoong yang sebelumnya merupakan Hukum Tua Lansot, maka
sebagian pemukiman desa Lansot yaitu diperbatasan antara pasar dan
tikungan jalan ke kantor kecamatan sekarang (wetes) yang disebut Wale Ure,
dijadikan bagian dari Desa Rumoong. Pembuktian bahwa daerah itu dahulu
merupakan pemukiman desa Lansot yaitu hingga tahun 1950-an, di daerah
Wale Ure terdapat tapal batas yang tetap berdiri yaitu di depan rumah dari
Mantri Kumaat. Juga Puser in tana desa Lansot berada di daerah tersebut
(Kintal Kel. Kawatu Kondoy/Kumaat).

Pemukiman Desa Rumoong Atas yang disebut Wale Ure & Uner (Foto.
SP.2007)

3. KEHIDUPAN MULA-MULA PENDUDUK RUMOONG DAN LANSOT

Kehidupan masyarakat di desa yang dahulu dikenal dengan neg’ri Rumoong-


Lansot pada mulanya berdiri belum begitu teratur, tetapi lambat laun dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk peran Walian sebagai pemimpin
agama suku dan Tonaas sebagai pemimpin masyarakat mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam menata dan mengatur kehidupan sosial
- keagamaan penduduk desa Lansot. Dalam mengambil segala keputusan di
tengah-tengah persoalan dan aktivitas masyarakat sehari-hari, para Walian
dan Tonaas sangat dipengaruhi oleh tanda-tanda binatang khususnya Burung
Manguni untuk menentukan baik tidaknya keputusan yang akan diambil
maupun yang akan dikerjakan oleh masyarakat/penduduk desa Rumoong-
Lansot. Kebiasaan mendengar tanda-tanda dan bunyi binatang tersebut, lama
kelamaan menjadi suatu tradisi bahkan berkembang menjadi salah satu hukum
adat ditengah-tengah masyarakat.

Tiap Taranak/keluarga/rumah tangga diwajibkan membuka kebun untuk


bercocok tanam. Jenis Tanaman yang ditanam dikebun merupakan tanaman
yang menjadi makanan pokok penduduk sehari-hari baik berupa umbi-umbian,
jagung maupun kemudian penduduk mengenal tanaman padi. Juga jenis
sayur-sayuran seperti gedi dan pepaya maupun jenis sayur-sayuran yang
tumbuh secara alami di kebun-kebun maupun hutan-hutan disekitar
pemukiman penduduk seperti daun paku (pakis), rebung (tunas bambu muda),
kelentut (jantung pisang) dan lain sebagainya. Dalam mengerjakan setiap
kegiatan, penduduk melaksanakannya dengan cara gotong royong yang
dikenal dengan nama Mapalus dan khusus dalam mengerjakan lahan
perkebunan dilakukan secara bergiliran diantara para penduduk yang disebut
Mempaandoan.
Jual beli segala kebutuhan penduduk waktu itu adalah dengan sistem barter
yaitu saling menukar hasil kebun sesuai dengan kebutuhan masing-masing
keluarga. Dalam hal memasak, penduduk pada waktu itu belum mengenal
korek api. Api dibuat dengan cara tradisional yaitu dengan memakai kayu yang
digosok-gosokkan sehingga menimbulkan api pada serabut pohon aren yang
sangat halus dan kering yang telah disediakan sebelumnya. Bagi para
penduduk yang tidak tahu membuat api, akan meminta api kepada
tetangganya dengan memakai gonofu (serabut kelapa) dan mafafa (daun
kelapa kering atau dengan memakai pelepah buah kelapa yang sudah kering.
Pakaian para penduduk pada waktu itu seperti halnya suku-suku primitif
adalah memakai cawat atau cidako yang umumnya terbuat dari kulit kayu na’a
yang ditumbuk dengan benda tumpul sehingga menjadi lembut untuk dipakai
menutup aurat. Cara berbusana penduduk ini berlangsung hingga masuknya
orang-orang barat khususnya penginjil dari Eropa ke Rumoong-Lansot (1840-
1856) yang sudah memperkenalkan kain sebagai pakaian penganti
Cawat/cidako itu.

Membuka lahan tidur untuk perkebunan oleh penduduk desa (foto SP 2016)
C. SEJARAH PEMERINTAHAN NEG’RI RUMOONG-LANSOT

Sejarah pemerintahan Neg’ri Rumoong-Lansot (Sebelum adanya pemekaran


Desa) tak terlepas dari sejarah pemerintahan di daerah Minahasa yang terbagi
dalam masa Minahasa Purba, masa penjajahan Belanda, Jepang dan masa
setelah Indonesia merdeka (Orde Lama, Orde baru dan era Reformasi).

1. Masa Minahasa Purba ( 1560 – 1665 )

Pemerintahan yang tertua di Minahasa yang pada waktu itu disebut


Malesung bersifat patrialchaat, yaitu suatu aturan yang memandang ayah
(Amang) sebagai kepala rumah tangga atau adanya seorang laki-laki
sebagai pemimpin keluarga. Tiap-tiap keluarga berkembang menjadi satu
taranak (gabungan beberapa keluarga seketurunan) yang dipimpin oleh
kepala taranak yang juga sebagai kepala urusan-urusan keagamaan dan
hukum. Dalam tugasnya ia dibantu oleh
beberapa orang anggota taranak sesuai
dengan keahlian masing-masing. Lama-
kelamaan diantara taranak-taranak yang
lain bergabung menjadi suatu kelompok
stam yang disebut walak. Maka kepala
walak ini dipilih diantara kepala-kepala
taranak (keluarga besar) untuk menjadi
pemimpin. Sejak saat itu pengaruh
kepala-kepala keluarga/taranak makin
berkurang.
Rumah Adat Minahasa tempat tinggal satu Taranak

Pada awal didirikan desa Lansot dan Rumoong sekitar tahun 1560 hingga
tahun 1840, yaitu pada masa pemerintahan Minahasa dahulu, masyarakat
mengakui akan adanya pelapisan sosial yang bersifat resmi dengan
pembagian hak dan kewajiban tertentu bagi setiap lapisan masyarakat.
Lapisan sosial ini merupakan pemimpin tradisional masyarakat Minahasa
sejak dahulu dan sangat dihormati oleh penduduk pada masa itu.

Lapisan-lapisan tersebut adalah :


- ‘Makarua Siow’ (Dua kali Sembilan) adalah lapisan pertama yang
diduduki oleh Walian dan Tonaas. Walian adalah golongan yang
mengatur agama dan Tonaas adalah orang yang kuat dan kebal
pemimpin dalam masyarakat.
- ‘Makatelu Pitu’ (Tiga kali Tujuh) adalah lapisan kedua yang diduduki oleh
golongan pemerintah negeri dan penjaga negeri yang disebut ‘Paendon
Tua, (Patuan) atau didesa Rumoong-Lansot disebut ‘Pamatuan’.
- ‘Pasiowan Telu’ (3 Orang Pasiowan) adalah lapisan ketiga yang diduduki
oleh golongan rakyat biasa yang kuat dan pemberani.

Dasar pembentukan pelapisan sosial untuk lapisan atas adalah karena


keturunan, dan senioritas untuk lapisan kedua biasanya orang yang dipilih
sebagai pimpinan adalah mereka yang sudah tua, karena dianggap sudah
berpengalaman. Sedangkan dasar pembentukan golongan ketiga adalah
karena kekuatan dan keberanian. Dari struktur sosial dan pemerintahan
Minahasa, roong/wanua-wanua (Desa, negri) di Minahasa mempunyai
karakter struktur pemerintahan ibarat “Republik Wanua” yang sangat
mandiri (Merdeka). Masing-masing neg’ri (roong/wanua/ desa) mempunyai
kekuasaan sendiri-sendiri yang bersifat otonom.

Pada masa dahulu seorang pemimpin desa berasal dari seseorang yang
memiliki kelebihan-kelebihan baik fisik dan kecakapan antara lain :

- Seseorang yang kuat dan berani dalam segala hal


(Tou keter, entek wo wuya),
- Seorang yang pandai dan mempunyai otak yang
cemerlang (Tou ningnasan, tou pande)
- Orang yang berbudi pekerti yang baik, renda diri
dan baik hati
(Tou semak niatean, tou loor).
Penampilan seorang Walian

Aspek penting yang menjadi faktor penentu bagi seorang pemimpin terkait
dengan budaya kerja, budaya malu, budaya hormat, budi pekerti & sopan-
santun serta tertib dan disiplin. Seorang pemimpin akan menjadi
panutan/contoh (pakiki’iten) di dalam masyarakat terutama yang terkait
dengan norma-norma agama, adat-istiadat, moral & susila serta hukum.

Dalam melaksanakan sistem pemerintahan di masa itu maka diadakan


pembagian jabatan-jabatan seperti :

- Lalaya um Banua yang berarti “ bendera suatu neg’ri” adalah merupakan


Kepala Pemerintahan /kepala suku yang terdiri para Makarua Siow dan
Makatelu Pitu. Mereka terdiri dari para Tonaas, walian, kepala walak
(paendon tua atau pamatuan) yang beranggotakan orang-orang tua,
pengetua yang cerdik dan pandai karena telah berpengalaman dan telah
mengalami dan melihat berbagai hal dalam kehidupan masyarakat. Setiap
mengambil keputusan Lalaya um Banua ini harus merundingkan dahulu
dengan anggota-anggota suku.
- Teterusan yaitu panglima perang suku yang diangkat karena ia telah
membuktikan keberanian dan kecakapannya dalam berbagai jenis
pertempuran baik di dalam maupun diluar suku.
- Lelean (lele berarti kabulkan); diangap sebagai penghubung untuk
memintakan kepada Opo Walian Wangko agar permintaan manusia
dikabulkan. Lelean dianggap sebagai lambang hidup yang suci, keadilan,
kejujuran dan kemurahan hati.
- Waliantua adalah seorang pemimpin upacara-upacara keagamaan dan
mahir dalam mencegah rupa-rupa penyakit.
- Gumigirot adalah semacam hakim yaitu apabila ia menghadapi suatu
perkara, ia membentu suatu Goguta yaitu sejenis mahkamah
pengadilan yang terdiri dari : Gumigirot sebagai Ketua, Mahatula
sebagai Lukita (griffier) semacam sekretaris, Mioyo sebagai anggota
tertua, Toometowtow sebagai jaksa dan Moogot sebagai juru sita.
Untuk membagi-bagikan upah kepada anggota-anggota Goguta
(mahkamah pengadilan) dilakukan oleh Mewetang (Meweteng).
- Wawa’an adalah orang-orang yang dapat menggantikan peran pejabat-
pejabat tersebut di atas jika mereka berhalangan.

Pemimpin-pemimpin tersebut di atas dipilih untuk seumur hidup tanpa digaji.


Akan tetapi dalam pekerjaan-pekerjaan mereka ditengah masyarakat mereka
akan menerima bagian-bagian masing-masing dari penduduk. Adapun
kewajiban dari penduduk suku atau kepala-kepala keluarga/taranak beraneka
ragam seperti :
- Melakukan kewajiban untuk pekerjaan bagi pemimpin mereka atau disebut
Pinontol dan pekerjaan-pekerjaan umum yang disebut Sumawang.
- Memberikan sebagian dari hasil mereka kepada para pemimpinnya seperti
apabila memelihara ternak babi maka apabila melahirkan ia wajib
memberikan anak babi yang terbesar untuk para pemimpinnya. Begitupun
apabila ia memburu binatang dihutan (babi hutan atau rusa) maka ia wajib
memberikan bahagian-bahagian binatang kepada dewan tua-tua
(pemimpin) sebagai berikut :
a. Kepala Lalaya um Banua, mendapat sebuah kaki belakang yang
disebut Kembeng.
b. Walian, mendapat tiga rusuk kiri yang disebut Salasak.
c. Lelean, mendapat tiga rusuk kanan (Salasak)
d. Teteruasan, mendapat daging rusuk kanan yang disebut Lolas.
e. Gumigirot, mendapat daging rusuk kiri (lolas),
f. Wawa’an, mendapat gerahan bawah atau disebut Wo’wo.

Begitupun pada waktu penduduk melakukan penuaian padi maka Kepala suku
(Lalaya um banua) akan mendapat bagian satu gantang padi yang disebut
wewendu, dan Wawa’an mendapat setengah gantang padi (wewendu). Lelean
juga mendapat setengah gantang padi yang disebut dumen. Adapun
Teterusan, Waliantua dan Gumigirot tak mendapat bagian karena mereka akan
dapat bahagian masing-masing apabila penduduk membutuhkan bantuan
mereka dalam menyelesaikan perkara dan masalahnya masing-masing.
Adapun hak dari penduduk yang di dapat dari para pemimpin mereka di atas
adalah menjamin keamanan diri mereka, keluarga dan harta benda mereka
dari segala macam gangguan yang datangnya dari luar.

Selain itu hak-hak anggota suku yang di dapat dari sudut pengalaman suku
dapat ditentukan sebagai berikut :
- Ia berhak menyampaikan pendapat (hak suara) dalam perang dan damai dan
hak pilih sebagai anggota suku dalam hal yang menyakut kepentingan
umum.
- Ia berhak menuntut untuk dilindungi dan diperhatikan kepentingannya dan
keluarga.
- Ia berhak mendapat jabatan yang sepadan dengan kesanggupannya.
- Sebagai anggota suku, 1a berhak atas milik-milik bersama anggota suku.
Hak-hak ini diberikan kepada seorang penduduk karena leluhur dan nenek
moyangnya dahulu pernah berjasa kepada suku.

Demikianlah sistem pemerintahan Minahasa Tua sebelum bangsa barat


memasuki tanah Malesung.
2. Masa Pemerintahan VOC ( 1665 – 1799 )

Pada tahun 1655, orang Belanda memasuki tanah Minahasa di bawah


pimpinan Simon Cos dengan tujuan untuk membantu Tou Minahasa dalam
peperangan menghadapi Spanyol yang merupakan hasil diplomasi para
tonaas-tonaas Minahasa yang pergi ke Maluku yang pada waktu itu telah
dikuasai oleh orang Belanda. Dengan persetujuan para Kepala Walak di
Minahasa, Belanda mendirikan benteng di Manado yang diberi nama ‘De
Nederlandsche Vestigheid’ dan pada tahun 1657 benteng tersebut di ubah
namanya menjadi Benteng Ford Amsterdam.

Bangsa Spanyol akhirnya dikalahkan oleh Minahasa dengan bantuan bangsa


Belanda pada tahun 1667, maka pada tanggal 10 Januari 1679 diadakan
suatu perjanjian antara dua bangsa yakni bangsa Minahasa yang diwakili oleh
para tonaas, dengan bangsa Belanda (VOC). Salah satu kepala walak yang
perwakilan suku Minahasa adalah berasal dari Neg’ri Rumoong-Lansot yang
pada waktu itu disebut Romon. Dimana dalam perjanjian tersebut para tonaas-
tonaas Minahasa tidak pernah mengakui daerah Minahasa sebagai tanah
jajahan oleh bangsa Belanda walaupun Belanda (VOC) dianggap sebagai
penguasa.

Pada masa VOC berkuasa, di Minahasa telah memiliki kepemimpinan


tradisional yang bersifat formal yang disebut Walak (suku) sedangkan
pemimpin Walak disebut Kepala Walak atau Kepala in Balak, yang
mengepalai satuan-satuan adat (Walak) tersebut. Nama atau gelar Kepala
Walak/Kepala in Balak diberikan sesuai dengan satuan adat (Walak/suku).
Pada masa itu, Negri Rumoong dan Lansot dipimpin oleh seorang yang
diangkat dan dipilih oleh penduduk desa diantara para tonaas dan walian
dengan nama ‘Pamatuan’. Masa pemerintahan desa yang dipimpin oleh
pamatuan ini berlangsung sejak desa Lansot dan Rumoong telah berada
dilokasi perkampungan sekarang yaitu antara kira-kira tahun 1625-1675 hingga
di masa pemerintahan Hindia Belanda dan masa penginjilan yaitu antara tahun
1840-1851.

3. Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1799-1942)

Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC sebagai perusahaan dagang di Hindia


Belanda dibubarkan karena mengalami kebangkrutan. Pembubaran VOC ini
dilakukan oleh pemerintah Republik Bataaf (Bataafsche Republiek) yang
dipimpin oleh adik Napoleon Bonaparte yaitu Louis Napoleon. Republik
Bataaf adalah nama pemerintahan baru di Negeri Belanda yang pada waktu itu
telah dikuasai oleh Perancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte dalam
Perang Koalisi (1792-1797). Maka dengan demikian pemerintahan VOC di
Hindia Belanda (Indonesia) diambil alih oleh Republik Bataaf (Pemerintah
Perancis di Belanda) dengan mengangkat Herman Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808 – 1811) dan kemudian diganti oleh
Jenderal Janssens (1811).

Setelah Perancis dikalahkan oleh Inggris yang dibantu oleh beberapa negara
Eropah lainnya antara lain oleh Belanda pada Perang Koalisi Kedua (1813-
1814), maka Negeri Belanda kembali dipulihkan sebagai sebuah Kerajaan
seperti semula. Di Hindia Belanda (Indonesia) pada waktu itu juga telah
dikuasai oleh Inggris dibawah pimpinan Lord Minto dari tangan Jenderal
Janssens maka ditunjuklah penguasa baru Hindia Belanda yaitu Thomas
Stamford Raffles ( 1811-1816). Pada tahun 1816 berdasarkan Perjanjian
London (Convensi London) maka Kerajaan Belanda akan menerima kembali
tanah jajahannya yang direbut oleh Perancis termasuk Hindia Belanda
(Indonesia). Sehubungan dengan itu maka pada tanggal 19 Agustus 1816 di
Batavia berlangsung penyerahan kekuasaan dari Inggris yang diwakili oleh
John Fendall dan dari Belanda diwakili oleh Mr. Elout, Van der Capellen dan
Buyskes.

Pada masa pemerintahan pertama di Minahasa, Pemerintahan Hindia Belanda


sejak penyerahan kekuasaan dari tangan Inggris telah mengakui Walak
sebagai persekutuan hukum. Dengan demikian Minahasa pada waktu itu
merupakan wilayah Onderafdeeling dari Afdeeling Manado (membawahi 3
Onderafdeeling) bagian dari Keresidenan Manado, membagi Onderafdeeling
Minahasa menjadi 27 Walak (27 wilayah satuan adat) yang masing-masing
walak dipimpin oleh seorang Kepala Walak.
Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Walak dibantu oleh kepemimpinan yang
bersifat informal yang disebut Tua in Taranak atau Paendon Tua sedangkan
di Rumoong-Lansot disebut Pamatuan. Pada hakikatnya bahwa Pamatuan
atau Tua in Taranak/Paendon Tua adalah pemimpin suatu kelompok
kekerabatan berdasarkan garis keturunan baik melalui pihak laki-laki maupun
pihak perempuan yang disebut Taranak. Lama kelamaan Pamatuan ini
dianggap sebagai pemimpin adat sekaligus pemimpin pemerintahan desa di
setiap kampung / Roong / wanua dan berkuasa dalam hal pertanahan desa.

Pemerintahan desa yang dipimpin oleh seorang Pamatuan ini sejak tahun
1830 disebut juga dengan istilah ‘Mang Ungkung Indoong’. Sedangkan
Pamatuan disebut Ukung Matus, dan dalam tugasnya sehari-hari sebagai
kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari :
- Pamatuan Karua atau Ukung Karua (Hukum Tua Kedua),
- Wowato atau Kepala i Lukar (Kepala Jaga/lingkungan)
- Meweteng (Pembantu Kepala Jaga),
- Mapatik atau Matulis ( Juru Tulis Desa),
- Rurunduan in Doong (Pesuruh Desa),
- Masokad (Pengukur Tanah).

Pada masa Awal Injil masuk di Rumoong-Lansot oleh K.T. Herrmann yaitu
pada tahun 1840, atas usulannya, perkampungan ‘Rumoang’ (Rumoong Atas)
yang berdampingan dengan desa Lansot ditetapkan sebagai satu desa yang
berdiri sendiri dibawah Kepala Distrik Tombasian/Amurang, yang pada
waktu itu dijabat oleh Jurian Benyamin TAMBAJONG (1840-1858) yang
bergelar Mayoor. Dari distrik Am urang, dikirimlah Hukum Tua Pertama
Rumoang yaitu Lumambot Rumangu (1840-1850) asal Amurang. Pada
tahun 1850 Kepala Walak / Distrik Tombasian / Amurang J.B. Tambayong
kemudian menggantikan Lumambot Rumangu dengan Set Rorong (1850-
1863).
Pada masa Pemukiman Rumoang menjadi sebuah desa yang berdiri sendiri di
bawah Walak/Distrik Tombasian/Amurang, di Desa Lansot pada saat itu
berada dalam wilayah Walak/Distrik Kawangkoan. Desa Lansot pada waktu
itu masih dipimpin oleh seorang Pamatuan. Tetapi sejak tahun 1851,
Pamatuan yang dipilih dan diangkat oleh penduduk desa Lansot sejak dahulu
sebagai kepala desa dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan melalui
Kepala Walak/Distrik Kawangkoan pada saat itu dijabat oleh Daniel Mambu,
ditempatkanlah Javet Lapian asal Kawangkoan ke desa Lansot sebagai
Pemimpin Pemerintahan desa. Hal ini atas permohonan seorang Penginjil dari
Zendeling Post Amurang yang bernama S. Van Der Velde Van Cappelen
yang pada waktu itu baru ditugaskan untuk melayani misi pengkhabaran Injil di
Zendeling Pos Amurang hingga ke Rumoong-Lansot. Tindakan ini dilakukan
karena beberapa tonaas dan walian di neg’ri Rumoong Lansot melakukan
penentangan atas masuknya kepercayaan/paham baru menggantikan
kepercayaan nenek moyang yang telah mengakar lama dalam kehidupan
penduduk.

Dimasa pemerintahan Set Rorong (Rumoong) Javet Lapian (Lansot) istilah


Pamatuan diganti dengan sebutan Hukum Tua. Kata Hukum Tua berasal dari
kata ‘ukung’ yang berarti ‘kepala’. Pemakaian istilah Hukum Tua oleh
Pemerintahan Hindia Belanda diresmikan melalui
Staadsblad No. 69 tahun 1858.

Penunjukan dan penempatan Hukum Tua desa


Lansot oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui
Kepala Walak/Distrik Kawangkoan dilakukan 2 kali
yaitu 1851 hingga tahun 1860 yaitu Javet Lapian
diganti oleh August Mapaliey yang menjadi Hukum
Tua desa Lansot hingga tahun 1895. Hukum tua
kedua desa Lansot ini diangkat pada masa Hendrik
Alanus WAROKKA, (Kawangkoan 1830-
Kawangkoan 3 Juli 1890). sebagai Kepala Distrik
Kawangkoan 1861-1890 (versi lain sebagai kepala
distrik sejak 1856), mengantikan Daniel Mambu
yang adalah iparnya sendiri.

Pada tahun 1863, Hukum Tua Rumoong Set Rorong digantikan oleh Nicolas
Wawolangi yang di kirim dari Kepala Walak/Distrik Tombasian/ Amurang untuk
menjadi Hukum Tua Rumoong. Pada waktu itu Kepala Distrik
Tombasian/Amurang dijabat oleh Laatzar TAMBAJONG, yang menjadi Kepala
Distrik Tombasian/Amurang sejak tahun 1853 mengantikan saudaranya sendiri
J.B. Tambayong.

Dimasa Hukum Tua N. Wawolangi (Rumoong) dan August Mapaliey


(Lansot) tersebut terjadilah perubahan struktur pemerintahan di Minahasa
yaitu dengan dikeluarkannya pernyataan Domeins Verklaring No. 55 / 1877
oleh Pemerintah Hindia Belanda dimana segala hak atas tanah dari Kepala
Walak ditarik kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1856, Walak sebagai kesatuan adat diganti menjadi distrik.
Kemudian pada tahun 1871, distrik sebagai kesatuan adat dirubah menjadi
kesatuan administrasi. Pada mulanya Kepala Walak merupakan jabatan adat,
tetapi kemudian pada tahun 1881 itu fungsi kepala Walak sebagai kepala adat
dihapuskan dan diganti menjadi pejabat pemerintahan yaitu Kepala Distrik
atau Hukum Besar. Atribut-atribut yang dipakai oleh seorang Kepala Walak
sebagai tanda martabat adalah tongkat yang berkepala emas atau perak dan
sebuah payung. Kepala Walak setiap kali mengadakan rapat bersama
diberikan penghormatan tembakan meriam 9 kali. Begitupun atribut yang
dipakai oleh seorang Pamatuan atau Tua in Taranak/ Paendon Tua adalah
sama yang dipakai oleh Kepala Walak.

Pengangkatan Kepala Distrik atau Hukum Besar berdasarkan beslit dan


mendapat gaji dari Pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu setiap Kepala Distrik
boleh ditempatkan dimana saja di wilayah Minahasa dengan taraf pendidikan
sebagai Kepala Distrik sekurang-kurangnya telah menempuh Sekolah Raja di
Tondano. Pada penerapan untuk pertama kali di Minahasa terdapat 26
wilayah Distrik dan kemudian diperkecil menjadi 18 wilayah distrik.

Desa Rumoong dan Lansot pada waktu itu kemudian masuk dalam Distrik
Kawangkoan, dimana pada sekitar tahun 1889, desa Rumoong-Lansot
menjadi Pusat Onder Distrik yang diperintah oleh seorang Hukum Kedua
dibawah wilayah Distrik Kawangkoan tersebut. Adapun Hukum Kedua yang
memerintah Onder Distrik yang berkedudukan di Rumoong-Lansot yang
terkenal adalah Hukum Kedua Dengah-Ingkiriwang, Mogot-Waroka, dan
terakhir adalah Hukum Kedua Momoat yang bertugas dari tahun 1915 hingga
tahun 1919.

Pada tahun 1895 dengan berakhirnya masa tugas dari Hukum Tua Lansot
August Mapaliey, maka Pemerintah Hindia Belanda melalui kepala Walak
Kawangkoan menyerahkan kembali pemilihan Hukum Tua desa Lansot kepada
penduduk desa Lansot. Maka dipilihlah Frans Kondoy mengantikan August
Mapaliey sebagai Hukum Tua yang menjabat hingga tahun 1918. Bapak Frans
Kondoy inilah merupakan pejabat Hukum Tua pertama yang dipilih
langsung oleh penduduk Desa Lansot.

Pemilihan Hukum tua atau kepala Desa


sebenarnya telah kembali dilakukan sejak
tahun 1854 tetapi penerapannya didesa
Lansot baru pada tahun 1895. Pemilihan
Hukum Tua oleh penduduk desa dilakukan
sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dan
dilakukan dihadapan Panitia yang terdiri dari
seorang kontrolir dan seorang Kepala Distrik.

Makam Hukum Tua Lansot


Frans Jondoj (foto 2006)

Pada tahun 1896, terjadi penggantian Hukum Tua Rumoong yaitu Nicolas
Wawolangi digantikan oleh Amos Rorong yang dikirim oleh Kepala Distrik
Amurang. Amos Rorong menjabat Hukum Tua Desa Rumoong hingga tahun
1924. Bapak Amos Rorong inilah merupakan hukum tua terakhir yang dikirim
oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Kepala Distrik Amurang.
Pada tahun 1918, Semuel Kondoj terpilih oleh penduduk desa Lansot sebagai
Hukum Tua hingga tahun 1922 menggantikan Frans Kondoj.

Pada tahun 1920 dimasa Hukum Tua Amos Rorong (Rumoong) dan Semuel
Kondoj (Lansot), struktur pemerintahan di Minahasa berubah lagi, dari 18
wilayah distrik yang ada menjadi 16 wilayah distrik dan diperkecil lagi
menjadi 7 wilayah distrik, dimana desa Rumoong dan Lansot masuk pada
waktu itu dalam Kedistrikan Kawangkoan dan Onder Distriknya dipindahkan
ke Tumpaan.

Semuel Kondoj memangku sebagai hukum tua desa Lansot hanya 4 tahun
dan digantikan oleh Josephus Lumangkun. Jabatan Hukum Tua yang
dipegang oleh Bapak Josephus Lumankun tidak berlangsung lama yaitu hanya
dari tahun 1922 hingga tahun 1923. Hal ini disebabkan masalah pribadi yang
telah melibatkan beliau yang kurang berkenan di hati penduduk pada waktu
itu. Penduduk Desa Lansot menginginkan beliau untuk mengundurkan diri.
Atas desakan penduduk tersebut akhirnya beliau mengundurkan diri pada
tahun 1923.

Setelah pengunduran diri Hukum Tua Josephus


Lumankun itu, akhirnya penduduk desa Lansot lalu
memilih Sem Kondoj sebagai Hukum Tua desa Lansot
menggantikan Josepus Lumankun.Pada tahun 1924,
Penduduk Desa Rumoong oleh pemerintahan Distrik
Kawangkoan melalui Onder Distriknya Tumpaan
diberikan kepercayaan untuk memilih Hukum Tuanya
sendiri. Dan salah satu kandidat calon Hukum Tua
adalah Bapak Josephus Lumankun yang merupakan
mantan Hukum Tua Lansot.
Makam Josephus Lumankun

Pada pemilihan Hukum Tua yang pertama kali dilakukan oleh penduduk desa
Rumoong itu, akhirnya beliau terpilih sebagai Hukum Tua Rumoong. Bapak
Josepus Lumankun inilah pejabat Hukum Tua Rumoong pertama yang dipilih
lansung oleh penduduk desa Rumoong hingga tahun 1934. Dan diperkirakan
pada masa Josepus Lumankun sebagai Hukum Tua Rumoang, daerah Desa
Lansot lama (Wale Ure) yaitu sekitar tempat tinggalnya dijadikan bagian dari
Desa Rumoong hingga sekarang.

Pada tahun 1926, Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan status


pemerintahan Minahasa dari Onderrafdeeling menjadi Afdeeling untuk
pemantapan pemerintahannya. Sehingga para Hukum Besar tidak tunduk lagi
kepada Controleur melainkan pada Asisten Residen. Setahun kemudian
yaitu tahun 1927, kedistrikan didaerah Minahasa diperkecil menjadi 6 Wilayah
Distrik yaitu Distrik Manado, Tonsea, Tolour, Kawangkoan, Amurang dan
Ratahan. Desa Rumoong dan Lansot tetap menjadi bagian dari Kedistrikan
Kawangkoan. Hal ini berlangsung hingga tahun 1942 dimana Pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan
pendudukan Jepang.
Pada tahun 1934, Masa tugas Hukum Tua Rumoong Josephus Lumankun
berakhir dan oleh penduduk desa Rumoong memilih Bapak Hendrikus
Kumaat sebagai pejabat Hukum Tua Rumoong yang baru hingga tahun 1937
dan kemudian digantikan sementara oleh Wellem Rumangu untuk
mempersiapkan pejabat Hukum Tua yang baru. Pada pemilihan Hukum Tua
yang Baru di desa Rumoong tahun 1938, maka terpilihlah Bapak Daud
Lumankun sebagai Hukum Tua Rumoong yang menjabat hingga tahun 1948.

4. Masa Penjajahan Jepang (1942 – 1945)

Pada masa penjajahan Jepang, istilah-istilah yang sering dipakai dalam


sebuah instansi/lembaga pemerintahan maupun swasta yang menggunakan
bahasa Indonesia atau bahasa Belanda diganti dengan bahasa Jepang. Desa
Rumoong dan Lansot disebut Son Rumoon dan Son Lansot (Son Bahasa
Jepang = Desa) dipimpin Hukum Tua pada waktu itu oleh Jepang disebut
Sonco (Kepala Desa). Tetapi dikalangan penduduk desa Lansot tetap
memakai istilah Hukum Tua.

Hal ini terjadi juga di Bekas Kerisidenan Manado oleh Jepang diganti menjadi
Manado-Syu dan kantornya disebut Minsebu, dikepalai oleh seorang yang
disebut Syuco. Begitupun Wilayah bekas Asisten Residen atau Afdeling
Minahasa disebut Ken dan kepalanya disebut Kenkanrikan. Tiap Ken terbagi
atas beberapa wilayah yang disebut Bunken (dahulu Onderafdeeling) yang
dikepalai oleh seorang Bunkenkanrikan (dahulu sama dengan Controleur).
Adapun Wilayah Distrik disebut Gun dan kepalanya disebut Sonco. Wilayah
Distrik bawahan disebut Fukugun dan kepalanya disebut Fukugunco. Desa
disebut Son dan kepala desa disebut Sonco. Bagian dari Sonco adalah Kuco
yaitu Kepala Jaga yang disebut Ku. Pembantu Kepala Jaga yaitu Meweteng
disebut Kumico.
Untuk menghindari pertempuran antara Jepang
dan Sekutu, penduduk desa Rumoong-Lansot
tercerai berai dan mengungsi ke hutan-hutan
atau kebun. Sehingga jabatan Hukum Tua
Lansot pada waktu itu oleh Bapak Sem
Kondoy seringkali mempercayakan jabatan itu
kepada beberapa Pamong Desa (Penjawat)
antara lain kepada Agustinus Kumaat (1942)
dan kemudian tahun 1943 jabatan Hukum Tua
dipegang Istepanus Merentek.

Makam Bapak Sem Kondoj (foto 2006)

Ketidak stabilan pemerintahan desa tersebut berlangsung hingga Jepang


angkat kaki dari Indonesia setelah dijatuhinya Bom Atom di Nagasaki dan
Hirosima, dan menyerah kalah dalam perang dunia II dari Sekutu pimpinan
Amerika Serikat. Dengan dijatuhinya bom atom di Nagasaki dan Hirosima-
Jepang, dikalangan masyarakat dan Jemaat Lansot sangat bersuka cita dan
menyambutnya dengan gembira karena terbebas dari penderitaan. Sehingga
Bom Atom yang dijatuhkan tersebut dipelesetkan menjadi “Allah Tolong
Orang Masehi” singkat ATOM.
5. Masa Indonesia Merdeka. ( 1945 – 1965 )

a. Keadaan Pemerintahan Diawal Indonesia Merdeka.

Masa-masa awal Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17


Agustus 1945, Sulawesi Utara belum berbentuk sebagai sebuah propinsi,
tetapi kemudian menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi dengan Ibukota
Makassar. Hukum Tua desa Lansot pada waktu itu masih dijabat kembali
oleh Sem Kondoj. Masa tersebut masih diliputi oleh ketidak pastian
pemerintahan sebab Pemerintah Belanda sejak Jepang angkat Kaki dari
Indonesia, kembali lagi ingin menjajah bangsa Indonesia.

Hal ini terjadi juga di Minahasa. Pemerintah Belanda pada waktu itu dengan
tentara NICA-nya menginjakkan kaki di tanah Minahasa. Konflik bersenjata
terjadi antara Pemuda bekas tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indische
= Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang tergabung dalam Pasukan
Pemuda Indonesia (PPI) yang dikenal dengan peristiwa Merah Putih 14
Pebruari 1946 yaitu perebutan tangsi Hitam dan Putih di Teling-Manado.
Begitupun halnya di Minahasa dimana para pemuda berhasil merebut
Markas Belanda di Tondano dan Tomohon. Pemerintahan di Minahasa
juga tidak berjalan dengan baik akibat kejadian-kejadian tersebut.
Pemerintahan dikuasai dan dipegang oleh Tentara NICA dan melarang
penduduk untuk mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Hal ini berlangsung hingga pengakuan kedaulatan oleh
Belanda atas Indonesia pada tahun 1949. Pada tahun 1948 masa-masa
awal kemerdekaan tersebut, Hukum Tua Daud Lumankun mengakhiri
masa tugasnya sebagai Hukum Tua Rumoong, dan digantikan oleh Bapak
Manuel Tamboto hingga tahun 1950.

Pada tahun 1949 di Desa Rumoong-Lansot terjadi peristiwa heroik yang


sangat mengemparkan yaitu pengibaran Bendera Merah Putih di Desa
Lansot pada tanggal 09 hingga 10 September 1949 yang didalangi oleh
kelompok pemuda yang tergabung dalam Laskar Rakyat Republik
Indonesia (LRRI) Daerah VI yang berkedudukan di Rumoong Lansot
dibawah pimpinan Bung Alex Tujuwale. Lokasi Pengibaran Bendera yang
terbuat dari kertas minyak berwarna merah dan Putih ini dilakukan di dua
tempat yaitu di depan Gedung Vervolgschool (Sekarang Gedung GMIM
Betlehem Lansot) dan di pertigaan antara desa Rumoong-Atas dan Lansot.
Pengibaran ini dilakukan oleh 2 (dua) orang anggota LRRI Daerah VI yaitu
Benyamin Merentek (Dorek) dan Frans Mirah dibantu oleh seorang anak
kelas V SD yaitu Alfius B. Mirah (Piuk). Tindakan pengibaran Bendera
Merah Putih ini memancing kemarahan pemerintah Belanda (NICA) yang
berkedudukan di Kawangkoan. Pemerintahan Belanda (NICA) lalu
menurunkan 6 (enam) personil kepolisiannya ke Desa Rumoong-Lansot
untuk menangkap pelaku pengibaran bendera tersebut. (Selengkapnya
baca Mengenang Kisah Kepahlawanan Pengibaran Bendara Merah Putih
Di Desa Lansot).

Pada tahun 1949, setelah mengadakan perjanjian Meja Bundar di negeri


Belanda, maka hasil perjanjian itu membawa Indonesia menjadi sebuah
negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan 16
negara bagian yang salah satunya adalah Negara Indonesia Timur (NIT)
dimana Sulawesi Utara/Minahasa merupakan negara bagian tersebut.
Gejolak yang terjadi untuk mengembalikan negara Indonesia Serikat (RIS)
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai bergelora diseluruh
negeri. Negara-negara bagian bentukan Belanda mulai membubarkan diri.
Sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) masih dalam pendiriannya untuk
tetap berdiri. Akan tetapi dengan tekanan rakyat yang terus-menerus
dilancarkan diseluruh pelosok tanah air yang menuntut untuk bergabung
kembali dengan Republik Indonesia, maka pada peringatan 17 Agustus
1950, Presiden Soekarno mengumumkan berdirinya
Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Untuk mengamankan
situasi pasca pembubaran Negara
bagian Indonesia Timur, di Sulawesi
Utara mendaratlah Batalion Worang
dan berhasil mengamankan Manado
dan sekitarnya dari gejolak tersebut.

Zet Rumangu Johanes G. Sumendap

Pada tahun 1950, terjadi pengantian Hukum Tua Rumoong dan Lansot.
Bapak Manuel Tamboto digantikan oleh Bapak Zet Rumangu yang terpilih
oleh penduduk desa Rumoong, sedangkan Bapak Sem Kondoy digantikan
oleh Bapak Johanes G. Sumendap yang terpilih dalam pemilihan kepala
desa Lansot oleh penduduk desa Lansot.

Pada masa pemerintahan kedua Hukum Tua ini pemerintahan di Indonesia


khususnya di Minahasa mengalami berbagai perubahan dan ketidak
stabilan politik khususnya menjelang pemilihan umum tahun 1955.
Penduduk pada waktu itu terbagi ke dalam partai-partai politik, susana pada
disaat-saat akan dilangsungkan pemilihan umum yang pertama setelah
Indonesia merdeka begitu mencekam. Hal ini juga diperparah dengan
munculnya Pasukan Pembela Keadilan (PPK) yang berkeliaran
(Bergorela) dihutan-hutan di Minahasa. Pada tanggal 29 September 1955
dilaksanakan pemilihan umum tahap pertama untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dilanjutkan pada pemilihan umum
tahap berikutnya yaitu pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota Konstituante.

Setelah pemilihan umum dapat dilaksanakan, keadaan kehidupan


masyarakat tidak mengalami perobahan. Pasukan PPK masih sering
mengganggu ketentraman penduduk sehingga perekonomian pedesaan
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini terus berlangsung hingga
pecahnya pergolakan Permesta tahun 1958.
b. Masa Pergolakan PERMESTA.

b.1. Keadaan Pemerintahan

Pada masa pergolakan Permesta ini, roda pemerintahan Minahasa


terutama di wilayah kekuasaan Permesta tetap dijalankan baik struktur
pemerintahan tingkat distrik, distrik bawahan, hingga ke desa-desa.
Masing-masing tingkat pemerintahan tersebut dibawah tanggung-jawab
seorang pejabat. Begitupun instansi baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal tetap diadakan meskipun fungsinya disesuaikan dengan situasi
yang ada. Pemerintahan Daerah Minahasa ada
dibawah pimpinan Wakil Perdana Menteri (WPM)
PRRI/Permesta yang dijabat oleh Joop Warouw
yang bermarkas di Tonsawang dan secara darurat
Kantor Pemerintah Daerah terletak di desa
Pinaras.
Letkol Joop Warouw pemimpin Permesta di masa
peergolakan Permesta pernah berkunjung ke Rumoong
Lansot

Letkol Joop Warouw pemimpin Permesta di masa


peergolakan Permesta pernah berkunjung ke Rumoong
Lansot

Pada akhir tahun 1960 markas pemerintahan bersama-sama markas


SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) yang
dipimpin oleh Mayjen Alex E. Kawilarang
dipindahkan ke desa Tangkuney yaitu
diantara sungai Nimangga dan sungai
Ulou di Wilayah WK. III pimpinan Letkol.
(overste) Wem Tenges. Kepala daerah
Minahasa yang definitif waktu itu dijabat oleh
Bupati Laurens Saerang mengalihkan
jabatan Bupati tersebut kepada Ari Mandagi
selaku pelaksana harian. Hal ini dilakukan
karena kesibukannya memimpin Brigade
Manguni yang menguasai basis wilayah
disekitar gunung Kawatak di daerah
Langowan.
Mayjen Alex E. Kawilarang

Pada waktu pergolakan Permesta masih berlangsung yaitu pada tanggal


13 Desember 1960, Pemerintah Pusat menetapkan Daerah Sulawesi
Utara sebagai sebuah Propinsi yang daerahnya meliputi Sangir-Talaud,
Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Dimasa itu pedalaman Minahasa masih terjadi pertempuran antara
pejuang Permesta dengan TNI. Penduduk Desa Lansot banyak yang
mengungsi ke luar desa untuk menghindari korban pertempuran. Para
pemuda-pemudanya banyak yang bergabung dan memanggul senjata
sebagai bagian dari pejuang Permesta.
b.2 Keadaan Penduduk Desa Rumoong-Lansot..

Akibat pergolakan Permesta ini banyak penduduk dan pemuda desa


Rumoong Lansot dibawah pimpinan Hukum Tua Rumoong Zet
Rumangu dan Hukum Tua Lansot Johanis G. Sumendap menjadi
korban pertempuran. Desa dikuasai oleh Tentara Pusat (TNI) sedangkan
diluar desa yaitu kebun dan hutan-hutan disekitar desa dikuasai oleh
pejuang Permesta. Pemerintahan desa pada waktu itu tidak berjalan
secara efektif karena dikontrol langsung oleh Tentara Pusat (TNI). Hal ini
berlangsung hingga tahun 1961 dimana terjadinya perjanjian perdamaian
antara TNI dan pimpinan Permesta.

Pada akhir masa pergolakan Permesta, di Desa Rumoong-Lansot pada


waktu itu telah dikuasai oleh TNI (Tentara Pusat) yang di pimpin oleh
seorang Komandan yaitu Letnan Dua R. Sutadji. Kamandan R. Sutadji
ini dikenal oleh penduduk sebagai orang Kristen yang telah merenovasi
rumah Ibadah yang pada waktu itu masih berdinding papan menjadi
sebuah bangunan semi permanen. Pada masa itu daerah sekitar desa
masih dikusai oleh pejuang Permesta, sehingga sering terjadi kontak
senjata antara TNI dengan Permesta Sikap saling curiga baik oleh
pejuang Permesta dan TNI terhadap penduduk menyebabkan banyak
penuduk menjadi korban.. Sikap sewenang-wenang beberapa anggota
TNI seringkali memicu kemarahan penduduk.

Melihat gelagat yang tidak baik dan dapat menyebabkan korban lebih
lanjut diantara penduduk, beberapa tokoh masyarakat dan tokoh gereja
terpanggil untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Salah satunya
adalah seorang tokoh muda bernama Timotius Kondoy. Beliau sebagai
seorang Pelayan Gereja seringkali dicurigai oleh TNI karena kritikan dan
sindirannya mengenai sikap tidak manusiawi anggota TNI yang dilakukan
terhadap penduduk desa Lansot; seperti penebangan paksa pohon-
pohon cengkih milik petani, penembakan oleh anggota TNI terhadap
Bapak L. Karundeng dan cucunya. Akibat kritikan yang disampaikan
tersebut, beliau pernah di pukul dibawah todongan senjata api oleh 2
orang anggota TNI.

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sangat meresahkan penduduk


sehingga Komandan Kompi TNI turun tangan dan memerintahkan laporan
dari kedua anak buahnya tersebut untuk dikenakan hukuman. Tetapi dari
kalangan Tokoh Gereja pada waktu itu memintakan kepada sang
komandan untuk tidak menghukum kedua orang tersebut, karena
tindakan mereka tersebut akan dipertanggung-jawankan di depan Tuhan.
Perkataan tersebut terbukti karena beberap hari kemudian anak dari
seorang pelaku meninggal dunia, sedangkan pelaku lainnya terkena
musibah sakit penyakit berupa luka gatal disekujur tubuhnya hingga tidak
tertolong lagi. Kedua orang yang meninggal tersebut akhirnya dikuburkan
oleh penduduk desa dengan penuh sukarela walaupun mereka telah
ditindas. Melihat peristiwa itu Sang Komandan akhirnya menjadi seorang
Kristen yang aktif sekaligus menjadi Penginjil dikemudian hari.
c. Keadaan Pemerintahan Pasca Berakhirnya Permesta.

Pada tahun 1960, pada saat berakhirnya pergolakan Permesta, di Desa


Lansot terbentuklah suatu organissi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak
di bidang kedukaan yang disebut Organisasi Mapalus Duka
Pinasungkulan Desa Lansot. Orgnisasi Mapalus duka ini terbentuk pda
tanggal 1 Juni 1960. Adapun misi dari mapalus duka ini adalah mengatur
dan menkoordinir semua bantuan duka yang diberikan oleh penduduk desa
untuk meringankan beban penderitaan keluarga yang berduka. Organisasi
ini hingga sekarang masih berdiri dan sangat besar manfaatnya bagi
penduduk desa. Begitupun di Desa Rumoong Atas terbentuk organisasi
sosial duka yang diberi nama “Pinaesaan” Rumoong Atas.

Pada tahun 1961 diwacanakan pembentukan sebuah wilayah kecamatan


yang menaungi desa-desa disekitar wilayah Kuntung Tareran yang
merupakan distrik bawahan Kawangkoan atau dalam berjemaat berada
dalam Lingkaran Tareran untuk menjadi sebuah Kecamatan yang berdiri
sendiri dengan membentuk sebuah panitia persiapan pembentukan
kecamatan yang umumnya terdiri dari orang-orang Rumoong-Lansot yaitu
Bapak Jootje. N. Kawatu, Bapak Dirk Mambo dan Sdr. Johanis Prang
dengan beberapa anggota panitia lainnya.

Dengan usaha keras dari panitia, maka pada awal tahun 1962 yaitu pada
bulan Februari terbentuklah dengan resmi wilayah Tareran menjadi sebuah
kecamatan yang disebut Kecamatan Tareran Kab. Minahasa yang
meliputi 12 desa yaitu Rumoong Atas, Lansot, Wiau lapi, Talaitad,
Suluun, Pinapalangkow, Kapoya, Pinamorongan, Wuwuk, Koreng,
Kaneyan dan Tumaluntung. Adapun Hukum Kedua/camat pertama Kec.
Tareran adalah Bapak Nicholas Josis Rumengan yang berkantor
pertama kali di Rumah Kel. B. Kumaat di Wale Ure desa Rumoong Atas.

Diresmikannya distrik bawahan Tareran dilakukan oleh Bupati Minahasa


pada waktu itu dijabat oleh F. Sumampow, berdasarkan pada jemaat
GMIM di wilayah Tareran yang berasal dari 2 classis Yaitu :
Dari klassis Sonder adalah Suluun dan Pinapalangkow. Dari klasis
Amurang adalah Rumoong Lansot, WiauLapi, Talaitad, Wuwuk,
Tumaluntung, Koreng, Pinamorongan, Kaneyan dan Kapoya.

Nama Tareran yang dipergunakan sebagai nama dari kecamatan Tareran


berasal dari nama sebuah puncak bukit yang disebut Kuntung Tareran yang
terletak disebelah barat Desa Rumoong-Lansot. Asal kata dari nama
Tareran yang menurut cerita orang-orang tua dahulu berasal dari kata
“Rinareran” yang berarti berjejer, berderet atau berbaris, yaitu diambil
dari peristiwa berjejernya/ berbarisnya (tareirei) mayat-mayat
korbanpertempuran antara orang-orang Minahasa dengan Mongondow,
dimana kepala-kepala orang Mongondow yang dipancung ditancapkan
ditiang berjejeran disepanjang Kuntung (bukit/gunung) Tareran ( Rinareran
e Mongondow). Juga cerita mengenai legenda Lipan & Konimpis yang
dikenal dengan istilah “Taar Era” yang berarti “pesan mereka.” Kedua
cerita ini tak lepas dari peristiwa mengenai pertempuran tapal batas antara
suku Minahasa dan Mongondow yang terjadi di pegunungan Tareran
sebelum bangsa Eropah memasuki pedalaman Minahasa.

Setelah pergolakan permesta berakhir maka pada tahun 1961 dilakukan


wacana pemekaran pemukiman di desa Lansot yaitu perkebunan di
sebelah utara desa (di sekitar lapangan olah raga
Garuda sekarang), dan perkebunan disebelah
selatan desa (di sekitar Jalan Pinasungkulan
sekarang) dibuka untuk dijadikan pemukiman
penduduk desa.

Hal ini dilakukan oleh Pemerintah desa Lansot


dengan membentuk panitia pemekaran desa yang
dipimpin oleh Bapak Timotius Kondoy selaku
Ketua Panitia dan Sdr. Johanis Prang sebagai
Sekretaris.
Tugu Peringatan Pelebaran Kampung Lansot

Pada tahun 1963 dilakukanlah peletakan batu pertama pelebaran kampung


disisi bagian utara Desa Lansot (sekarang disekitar Lapangan OR Garuda
Lansot) oleh Camat Tareran yang pada waktu itu disebut Hukum Kedua
Bapak Nicholas Josis Rumengan pada tanggal 06 Pebruari 1963. Setelah
pemekaran desa itu, wilayah desa Lansot dibagi dalam 3 (tiga) Jaga
(Lingkungan).

Diakhir masa tugas dari Hukum Tua desa Lansot Johanes G. Sumendap,
jabatan Hukum Tua Desa Lansot pernah diserahkan sementara kepada
Bapak Lambertus Sumendap yang pada waktu itu merupakan salah satu
pamong desa Lansot. Pada tahun 1964 berakhirlah masa jabatan Hukum
Tua J.G. Sumendap. Untuk itu maka ditunjuklah Timotius Kondoy sebagai
pejabat sementara Hukum Tua Desa Lansot. Dan kemudian karena
Timotius Kondoy oleh penduduk desa Lansot dicalonkan menjadi Hukum
Tua maka jabatan sementara Hukum Tua lalu diserahkan kepada Johanis
Tenda.
Setelah pemilihan Hukum Tua dilakukan maka Bapak Timotius Kondoy
oleh penduduk Desa Lansot terpilih sebagai Hukum Tua desa Lansot yang
baru mengantikan J.G. Sumendap.

Pada masa Pemerintahan Hukum Tua Timotius Kondoy, terjadi


pemekaran wilayah desa dari 3 (tiga) Jaga menjadi 4 (empat) Jaga.
Pamong Desa/Penjawat pada waktu itu beberapa kali terjadi perubahan dan
pengantian yang disesuaikan dengan kondisi dan
situasi yang diperlukan.

Pada saat itu juga terjadi perubahan pemerintahan di


Sulawesi Utara yaitu Daerah Sulawesi Tengah yang
merupakan bagian dari Propinsi Sulawesi Utara
dimekarkan menjadi Propinsi baru yaitu Propinsi
Sulawesi Tengah pada tanggal 23 September 1964,
dengan ibukota Palu.
Bapak Timotius Kondoy

d. Masa Pemberontakan G.30.S.PKI.

Pasca pemisahan/pemekaran Propinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964


yaitu di masa kepemimpinan Hukum Tua Zet Rumangu (Rumoong) dan
Timotius Kondoj (Lansot), ketidak stabilan politik kembali terjadi.
Penduduk desa Rumoong-Lansot diperhadapkan pada persaingan antara
partai-partai politik yang menjurus pada pertikaian masing-masing anggota
partai politik disertai perasaan saling curiga (kinatean) diantara penduduk
desa.

Salah satu partai politik yang sangat dominan mempengaruhi dan


mendotrinasi penduduk desa adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Semua unsur di dalam masyarakat dan pemerintahan diusahakan oleh
partai ini untuk dikuasai dan dipengaruhi oleh paham komunis yang mereka
anut. Hal ini sangat dirasakan oleh penduduk desa Rumoong-Lansot
khususnya di kalangan Gereja, karena paham komunis yang dianut oleh
PKI tidak mengakui adanya Tuhan, sangat bertentangan dengan ajaran
Gereja. Pelayanan dan kegiatan acara yang dilakukan oleh Gereja selalu
diamat-amati. Bilamana pemberitaan dan khotbah yang disampaikan
bertentangan dengan dotrin partai mereka, Sang pengkhotbah tersebut
akan ditangkap dan diiterogasi oleh pihak militer (ODM) yang pada waktu
itu telah dipengaruhi dan dikuasai oleh orang-orang PKI.
Hal ini berlangsung dari tahun 1964 hingga tahun 1966
dengan pecahnya pemberontakan G.30.S/PKI di
Indonesia. Dan gejolak balas dendam diantara penduduk
yang tejadi dalam masa penumpasan dan pengejaran
sisa-sisa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat
mencekam.

Bp. Julius Kumaat (Foto SP.2007)

Di dalam suasana yang serba tidak menentu pasca pecahnya


pemberontakan G.30.S/PKI tersebut, pada tahun 1965, Di Desa Rumoong
Atas terjadi penggantian Hukum Tua yaitu terpilihnya Bapak Julius
Kumaat menjadi Hukum Tua menggantikan Bapak Zet Rumangu dan
menjabat sebagai Hukum Tua Rumoong Atas hingga tahun 1970.

Dan ditahun yang sama (1965) Pemerintah Desa Lansot dibawah pimpinan
Hukum Tua Timotius Kondoy di awal jabatannya sebagai Hukum Tua
merintis dibukanya sebuah lapangan olah raga (Sepak Bola) di desa Lansot
yang diberi nama Lapangan Garuda. Pada waktu itu di tengah-tengah
lapangan masih terdapat 11 buah pohon kelapa.

Nama Garuda diambil dari nama


sebuah lagu yang berjudul Garuda
Pancasila yang diusulkan oleh Bapak
Johanis Prang yang pada waktu itu
merupakan seorang pemimpin
organisasi kemasyarakatan yaitu
sebagai Ketua dan Pendiri Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI) Tareran di mana Lagu Garuda
Pancasila pada waktu itu merupakan
lagu wajib dari anggota IPKI.
Lapangan “Garuda” Lansot (2006)

6. Masa Pemerintahan Orde Baru ( 1966 – 1999 ).

Setelah bangsa Indonesia terbebas dari Pemberontakan PKI, maka mulailah


pemerintahan Orde Baru dimana pemerintahan daerah dan desa ditata dan
mulai berjalan dengan baik. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Desa
Rumoong-Lansot merupakan bagian dari Kecamatan Tareran Kab. Dati II
Minahasa Prop. Sulawesi Utara. yang dipimpin oleh Hukum Tua Julius
Kumaat (Rumoong) dan Hukum Tua Timotius Kondoj (Lansot).

Jabatan Hukum Tua (Kepala Desa) adalah pemegang kekuasaan tertinggi di


desa. Aparatur pemerintahan di desa yang terdiri dari Hukum Tua beserta staf
pamong desa merupakan lembaga pimpinan formal di desa. Adapun tugas
pokok yang diberikan kepada seorang Hukum Tua sebagai aparatur tertinggi di
desa adalah :
- Memelihara keamanan dan ketertiban desa,
- Memajukan kesejahteraan rakyat di desa (Kewajiban utama),
- Memelihara jalan-jalan dan jembatan di desa,
- Memelihara pengairan,
- Melaksanakan pembangunan masyarakat desa ke arah swadaya dan
swasembada,
- Memelihara administrasi pemerintahan dan kesehatan/kebersihan desa,
- Memunggut pajak yang ditetapkan oleh pemerintah,
- Sebagai pembendaharaan bantuan PMD dan lain-lain.

Hukum Tua dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Kepala Jaga,


Meweteng, Kepala Jaga Polisi, Juru Tulis, Pengukur Tanah, Mantri Air dan
Tukang Palakat, serta sebuah Badan yang disebut Lembaga Sosial Desa
(Desa). Lembaga ini pada awal tahun 1980 dihapuskan dan diganti oleh 2
lembaga baru yaitu Lembagaq Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) sebagai penjabaran dari Undang-
Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan desa yang baru
diundangkan.

Pada tahun 1968, Kecamatan Tareran dalam


mendekatkan pelayanan keamanan
penduduk maka dari Kepolisian Resort
Minahasa di Tondano mendirikan Kantor
Polsek yang baru. Pembangunan Kantor ini
melibatkan panitia pembangunan yang
dipimpin oleh Bapak Timotius Kondoy
sebagai Ketua dan Bapak Johanis Prang
sebagai Sekretaris.

Tugu Pendirian Polsek Tareran

Bangunan Polsek Tareran ini diresmikan pada bulan Juli tahun 1968 dengan
pimpinan/Komandan Sektor Kepolisian Tareran pertama kali adalah putra
Rumoong-Lansot yaitu Bapak Altin Prang dengan pangkat Adjun Inspektur
Polisi yang sebelumnya bertugas sebagai Kepala Bagian
Administrasi/Pembekalan Polres Minahasa di Tondano.

Pada Tahun 1970, Hukum Tua desa Rumoong Atas Bapak


Julius Kumaat berakhir dan digantikan oleh Bapak Dirk
Mambo yang terpilih menjadi Hukum Tua Rumoong Atas
hingga tahun 1974. Dimasa pemerintahan desa di bawah
pimpinan Bapak Dirk Mambo ini, beberapa fasilitas umum
seperti jalan-jalan desa dibangun.
Bapak Dirk Mambo

Setahun kemudian yaitu tahun 1971, jabatan Hukum Tua Desa Lansot oleh
Bapak Timotius Kondoj berakhir. Untuk melanjutkan kepemimpinan dalam
pemerintahan desa maka melalui pemerintah kecamatan yang pada waktu itu
dijabat oleh Bapak Erens ‘Eric Kawatu’ sebagai Camat Tareran dibuka
pendaftaran pencalonan Hukum Tua. Dalam pendaftaran calon hukum tua
dijaring 3 (tiga) kandidat calon Hukum Tua yaitu Bapak Altin Prang, Bapak
J.H. Karamoy dan Bapak Timotius Kondoy.

Pemilihan hukum tua dilaksanakan di Balai Desa Lansot, dan oleh penduduk
desa Lansot tetap mempercayakan Bapak Timotius Kondoy untuk kembali
menjabat sebagai Hukum Tua desa Lansot untuk periode kedua.

Pada tahun yang sama (1971) penduduk desa Rumoong-Lansot juga


mengikuti Pemilihan Umum pertama di masa Orde Baru. Walaupun suasana
dan suhu politik diantara para penduduk yang terbagi dalam beberapa partai
politik seperti PNI, Golkar dan Parkindo, tetapi pemilihan umum yang pertama
ini dapat berjalan dengan sukses.

Di desa Lansot pada masa Hukum Tua Timotius Kondoy, yaitu pada tahun
1973 dibangunlah beberapa fasilitas umum antara lain Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) Tareran di lahan yang berada di Desa lansot.
Puskesmas ini dibangun untuk mengantikan fungsi Rumah Bersalin/Balai KIA,
dimana para dokter yang pernah bertugas di Puskesmas Tareran dari tahun
1973 hingga 2006) adalah : dr. Ulaan, dr. Selvie Ponomban, dr. Ngantung,
dr. Agustien Sumarauw, dr. Djeine Hamp, dr. Juliana Assa, dr. Jandry
Pangemanan, dr. Elda Tampi, dr. Hanna Wungkar.

Pada tahun 1974, masa tugas Hukum Tua Rumoong Atas, Bapak Dirk Mambo
mengakhiri masa tugasnya sebagai Hukum Tua. Maka untuk mengisi
kekosongan pejabat Hukum Tua dan untuk
meyelenggarakan pemilihan Hukum Tua yang baru, maka
melalui Camat Tareran menunjuk Bapak A.U. Slat sebagai
pejabat sementara Hukum Tua desa Rumoong Atas hingga
diangkatnya penjabat yang baru. Tugas Jabatan Sementara
Hukum Tua Rumoong Atas ini dipegang oleh Bapak A.U.
Slat hingga hampir 2 (dua) tahun yaitu hingga terpilihnya
Bapak A.S. Wonte sebagai Hukum Tua Rumoong yang
baru pada tahun 1976.
Bapak A.S. Wonte
Dimasa Pemerintahan Bapak A.S. Wonte ini berbagai
fasilitas Desa Dibangun, Balai Desa dan Kantor Hukum Tua
Rumoong Atas mulai dibangun, fasilitas Oleh-raga seperti
lapangan Sepakbola Rumoong Atas dibuka menggantikan
lapangan sepak bola lama.

Bapak Pieter J. Karundeng

Pada tahun 1975 di desa Lansot, masa tugas Hukum Tua Timotius Kondoj
berakhir. Dan untuk mengisi kekosongan pemerintahan desa Lansot maka
Camat Tareran pada waktu itu menunjuk Bapak Pieter J. Karundeng sebagai
pejabat sementara Hukum Tua Lansot hingga tahun 1976 dan untuk
menyelenggarakan pemilihan hukum tua.

Namun pada saat itu pula Bapak Pieter J. Karundeng


dicalonkan oleh penduduk desa Rumoong Atas untuk
mengikuti pencalonan Hukum Tua Desa Rumoong Atas.
Maka jabatan sementara Hukum Tua Desa Lansot harus
dilepas. Untuk melanjutkan tugas menyelenggarakan
pemilihan Hukum Tua di Desa Lansot, oleh Pemerintah
Kecamatan Tareran menunjuk Wellem H. Prang sebagai
penjabat sementara Hukum Tua Desa Lansot.

Dengan ketokohan yang melekat dalam kepribadian Bapak Timotius Kondoy


yang berhasil dalam melaksanakan tugasnya sebagai Hukum Tua di masa-
masa sebelumnya, akhirnya dalam pemilihan Hukum Tua tersebut terpilih
kembali untuk menduduki jabatan Hukum Tua untuk periode ketiga hingga
tahun 1982. Kepercayaan Penduduk Desa Lansot kepada Bapak Timotius
Kondoy sebagai Hukum Tua Desa Lansot yang berlangsung hingga 3 periode
berturut-turut (1964 – 1982), karena semasa kepemimpinannya banyak terjadi
perubahan di desa Lansot. Pembangunan Desa digalakkan perbaikan
selokan-selokan, jalan-jalan desa dan kebun diperhatikan. Begitupun Sosial
Budaya masyarakat dikembangkan, Mapalus digalakkan, Hukum Adat
ditegakkan. Berbagai penghargaan dari pemerintah pernah diterima selama
bertugas sebagai Hukum Tua Desa Lansot.

Pada tahun 2006, Pemerintah dan masyarakat Desa lansot menganugerahkn


gelar “ TOU PAKIKI’ITEN” kepada Timotius Kondoy sebagai tokoh yang
dapat menjadi contoh/panutan masyarakat. Hal ini juga tak terlepas dari peran
masyarakat desa Lansot beserta perangkat desa pada waktu itu.

Pada tahun 1977, penduduk desa Rumoong-Lansot kembali menghadapi


pemilihan umum yang kedua di era Orde Baru. Seperti biasanya suhu politik
dikalangan para penduduk cukup memanas dimana sebagian besar penduduk
merupakan pemilih Golkar dan sebagian lagi adalah PDI. Namun pemilihan
dapat dilaksanakan dengan aman, tertib dan lancar tanpa mempengaruhi
aktifitas penduduk sehari-hari.

Pada tahun 1977 hingga 1978, Balai Desa Lansot yang masih terbuat dari
papan dan beratapkan sirap, telah mulai di bangun secara permanen yang
merupakan proyek Bandes 1977/1978 dibawah pimpinan Hukum Tua
Timotius Kondoj. Pembangunan Balai Desa sekaligus sebagai Kantor
Hukum Tua desa Lansot sebagian besar merupakan biaya swadaya murni
masyarakat desa Lansot. Pada tahun 1978 Balai Desa dan Kantor Hukum Tua
Desa Lansot selesai dibangun dan diresmikan oleh Mayjen TNI H.V. Worang
selaku Gubernur Kepala Daerah Tkt I Prop. Sulawesi Utara .

Tahun 1979, dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan


Desa maka yang disebut Pemerintah Desa adalah Kepala Desa, Lembaga
Musyawarah Desa (LMD) dan Perangkat Desa. Perangkat desa sesuai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1981 terdiri dari Sekretaris
Desa, Kepala-kepala Urusan dan Kepala Dusun.

Adapun prestasi lainnya yang pernah diraih desa Lansot pada masa
pemerintahan Hukum Tua Timotius Kondoj adalah Juara Pertama Lomba
KANTIBMAS tingkat Kabupaten Minahasa (1977), Juara III Lomba Desa Tkt.
Kab. Minahasa (1978).

Pada tahun 1982, pada masa penduduk desa Lansot menghadapi pemilihan
umum yang ke tiga di masa Orde Baru, dan pada tahun yang sama pula masa
tugas Hukum Tua Timotius Kondoj berakhir. Penduduk desa Lansot kembali
melakukan pesta demokrasi pemilihan Hukum Tua. Dalam pemilihan tersebut
penduduk menghadapi hal yang baru dimana pemilihan Hukum Tua ini diikuti
oleh 3 (tiga) orang calon kandidat Hukum Tua. Bapak Timotius Kondoj tidak
lagi mencalonkan diri sebagai Hukum Tua. Ketiga kandidat calon hukum tua
tersebut adalah Bapak Alex Karamoy, Bapak Eddy Prang, dan Bapak
Zakius Mapaliey. Dalam pemilihan Hukum Tua tersebut dimenangkan oleh
Bapak Zakius Mapaliey yang dikenal sebagai tokoh pemuda desa dan
pemimpin pemuda GMIM.
Pada tahun 1985, dalam masa tugas Hukum Tua Zachius
Mapaliey, terjadi krisis pemerintahan desa sehingga
menyebabkan beliau mengundurkan diri dan berhenti
sebagai Hukum Tua. Prestasi desa Lansot lainnya yang
pernah diraih pada masa pemerintahan Hukum Tua
Zachius Mapaliey adalah Juara Pertama Pawai Prosesi
KNPI tkt Prop. Sulawesi Utara tahun 1984.
Bp. Zachius Mapaliey

Untuk mengisi kekosongan pemerintahan desa serta untuk menyelenggarakan


pemilihan Hukum tua kembali, maka Bupati TKT II Minahasa melalui Camat
Tareran menunjuk bapak U.E.I Kawatu asal Rumoong Atas untuk menduduki
jabatan sementara kepala desa sebelum terpilihnya pejabat definitif Hukum
Tua yang baru.

Pada tahun 1987, penduduk desa Rumoong-Lansot kembali mengikuti


Pemilihan Umum yang ke empat di masa Orde Baru. Walaupun suasana dan
suhu politik sempat memanas diantara para penduduk yang terbagi dalam
beberapa partai politik, tetapi pemilihan umum yang pertama ini dapat berjalan
dengan sukses.

Pada pemilihan Hukum Tua tahun 1986 ini diikuti juga oleh 3
kandidat calon Hukum Tua yaitu Bapak Alex Karamoy, Bapak
Ventje Kumaat dan Bapak Freddy Kondoy. Dalam pemilihan
Hukum Tua tersebut, oleh penduduk desa Lansot
mempercayakan kepada Bapak Freddy Kondoj selaku Hukum
Tua Desa Lansot yang baru dan bertugas hingga tahun 1994.

Bapak Freddy Kondoy

Pada tahun 1991, penduduk desa Rumoong Atas mengadakan pemilihan


Hukum Tua Baru untuk menggantikan Hukum Tua A.S. Wonte yang telah
mengakhiri masa tugasnya. Dalam pemilihan tersebut akhirnya penduduk desa
Rumoong Atas mempercayakan kepemimpinan desa kepada U.E. I. Kawatu,
BA sebagai Hukum Tua Rumoong Atas yang baru. Dimasa beliau bertugas,
banyak terjadi perubahan di Desa Rumoong Atas sehingga pernah
dianugerahkan sebagai Kepala Desa/Hukum Tua teladan yang mewakili
Prop. Sulawesi Utara ke tingkat Pusat.

Di masa pemerintahan Hukum Tua Lansot Bapak Freddy Kondoj dan Hukum
Tua Rumoong Atas Bapak U.E.I. Kawatu, BA, istilah
Kepala Desa mulai digunakan sebagai penganti istilah
Hukum Tua yang selama ini dikenal. Sedangkan istilah
Kepala Jaga/Meweteng diganti menjadi Kepala Dusun dan
Wakil Kepala Dusun. Hal ini sesuai dengan UU No. 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1981.

Bapak U.E.I. Kawatu, BA

Pada tahun 1993, Bapak U.E.I. Kawatu meletakkan jabatannya sebelum masa
tugasnya berakhir. Untuk mengisi lowongan jabatan itu maka melalui Camat
Tareran menunjuk Bapak Jan Pieter Karundeng sebagai pejabat sementara
Kepala Desa Rumoong Atas hingga masa pemilihan Kepala Desa Rumoong
Atas yang baru. Pada tahun 1995 dilaksanakan pemilihan Kepala Desa di
Rumoong Atas dan Bapak Altin Wurangian, BA, akhirnya terpilih selaku
Kepala Desa Rumoong Atas yang baru.

Pada tahun 1994, masa tugas Hukum Tua Freddy Kondoj juga berakhir.
Untuk mengisi kekosongan pemerintah desa maka ditunjuklah Sekretaris Desa
pada waktu itu dipegang oleh J.M. Tampi selaku pejabat Kepala Desa Lansot
dengan tugas mempersiapkan pemilihan Kepala Desa yang
baru.

Pada pemilihan Hukum Tua tahun 1994 ini juga diikuti juga
oleh 5 (lima) kandidat calon Kepala Desa. Dan dalam
pemilihan yang dilakukan secara damai dan sukses, oleh
penduduk desa Lansot memilih figur Bapak Fentje Kumaat
selaku Kepala Desa Lansot yang baru dan bertugas hingga
tahun 2003.
Bp. Ventje Kumaat

Pada masa Pemerintahan Bapak Fentje Kumaat ini dan di akhir masa
jabatan Bapak Altin Wurangian, BA, istilah Hukum Tua dan perangkat
desanya seperti Kepala Jaga dan Meweteng telah dipakai kembali di era
berlakunya Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah di masa-masa era
Reformasi.

Dimasa reformasi itu lembaga pengganti LMD & LKMD dibentuk yaitu Badan
Perwakilan Desa (BPD) Dan kemudian Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa (LPMD). Ketua Pertama BPD di desa Lansot adalah Bp.
Max Th. Prang, sedangkan di desa Rumoong Atas adalah Bapak Rolly
Porong, SMHk.

7. Era Reformasi ( 1999 – Sekarang )

Pada tahun 1987, Negara Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter
yang cukup parah, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika merosot tajam.
akibatnya harga-harga kebutuhan pokok di tengah masyarakat mengalami
kenaikan yang sangat memberatkan rakyat Indonesia. Maka timbullah rasa
tidak puas terhadap pemerintah. Dikalangan Mahasiswa muncul demonstrasi-
demonstrasi yang melahirkan gerakan reformasi. Akibat gerakan reformasi ini,
suhu politik Indonesia semakin memanas. Kerusuhan 13-14 Mei 1998 serta
tekanan-tekanan dari mahasiswa dan tokoh politik nasional akhirnya memaksa
Presiden Soeharto meletakkan jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Itulah akhir perjalanan kekuasaan Orde Baru. Setelah Presiden Soeharto


mengundurkan diri, maka diangkatlah B.J. Habibie sebagai Presiden Republik
Indonesia dan membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Untuk mengatasi
multikrisis yang di hadapi bangsa Indonesia, maka diselenggarakan Pemilihan
Umum pada tanggal 7 Juni 1999. Penduduk desa Lansot bersama-sama
dengan penduduk Indonesia lainnya kembali mengadakan pemilu pertama di
era reformasi. Walaupun penduduk desa Lansot terbagi dalam beberapa
partai, akhirnya pemilu dapat dilangsungkan dengan aman dan sukses.

Pada Tahun 2003 dimasa tugas Hukum Tua Fentje Kumaat (Lansot) dan
Hukum Tua Altin Wurangian, BA akan berakhir,
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan
Desa yang dijiwai dengan semangat reformasi. Setelah
berakhirnya masa tugas Hukum Tua Fentje Kumaat, maka
melalui Camat Tareran ditunjuklah Bapak Joppy H. Kondoj,
BA asal Lansot sebagai pelaksana harian (PLH) kepala desa
sebelum terpilihnya pejabat Hukum Tua yang baru.
Joppie H. Kondoy, BA

Begitupun di desa Rumoong-Atas diadakanlah pemilihan Hukum Tua Baru


untuk mengantikan Hukum Tua Altin Wurangian, BA yang telah melaksanakan
tugas sebagai Hukum Tua dalam sejak tahun 1995 hingga tahun 2003. Dalam
pemilihan yng berlangsung tersebut, terpilihlah Bapak Alex Kumaat selaku
Hukum Tua Rumoong Atas yang baru.

Pada tahun 2003, terjadilah perobahan pemerintahan di Minahasa


yaitu dibentuknya kabupaten baru yakni Kabupaten Minahasa
Selatan dengan ibukota Amurang sebagai hasil pemekaran dari
Kabupaten Minahasa melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2003,
tertanggal 25 Pebruari 2003. Dan secara resmi dilaksanakan pada tanggal 4
Agustus 2003 di Tondano oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
Republik Indonesia No. 131.51 – 421 tanggal 25 Juli tahun 2003.

Desa Rumoong-Lansot yang merupakan salah satu desa di Kecamatan


Tareran sekarang berada di wilayah daerah Kab. Minahasa
Selatan. Pada tahun yang sama, dilangsungkan pula
pemilihan Hukum Tua Desa Lansot yang diikuti oleh 3 (tiga)
calon Hukum Tua yaitu : Bapak Fentje Kumaat, Bapak
Ferry Kondoy & Bapak Jootje Sumendap. Pemilihan
sempat dilangsungka n dua kali untuk memilih 2 pasangan
calon yang akan menjabat sebagai Hukum Tua Desa Lansot
periode sebelumnya.
Joutje Sumendap

Dalam pemilihan kedua, penduduk desa Lansot mempercayakan


kepemimpinan desanya kepada Bapak Jootje Sumendap selaku Hukum Tua
Desa Lansot yang baru. Bapak Joutje Sumendap yang merupakan seorang
pensiunanPolri.

Pada masa kepemimpinan Bapak Joutje Sumendap selaku Hukum Tua desa
Lansot untuk pertama kalinya diwacanakan penyelenggaraan acara peringatan
Hari Jadi Desa Lansot yaitu pada tanggal 09 Juli 2006 sesuai penetapan
yang telah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Untuk menyelenggarakan
acara akbar ini maka dibentuklah Panitia Penyelenggara Perayaan Hari Jadi
Desa Lansot ke 446 dibawah pimpinan Bp. Dr. (HC) Ferry J. Sendow, SH
selaku Ketua Panitia.
Pada tahun 2004, penduduk desa Rumoong-Lansot menghadapi lagi pesta
demokrasi yang kedua di era Reformasi. Pemilu kali ini merupakan pemilu
yang lain dari pada biasanya. Selain untuk memilih wakil rakyat yang akan
duduk di DPR Pusat, DPRD Prop, DPRD Kabupaten/Kota, juga diadakan
pemilu untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) yang akan duduk di
MPR serta pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden. Walaupun
situasi politik di tengah masyarakat lebih memanas, tetapi pemilihan tersebut
dapat berjalan dengan baik dan sukses dengan terpilihnya Bapak Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dan Bapak H. Jusuf Kalla sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru dan yang pertama dipilih
langsung oleh rakyat.

Pada tahun 2005, penduduk desa Rumoong-Lansot juga untuk pertama kali
mengikuti secara langsung pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Minahasa yang baru dibentuk. Dimana Bapak Drs. Ramoi Luntungan dan
Bapak Ventje Tuela. S.Sos dipercaya untuk memimpin Kab. Minahasa
Selatan 5 tahun ke depan, dan merupakan pemilihan Bupati/Wakil Bupati yang
pertama secara langsung oleh Rakyat.

Tak berselang beberapa lama diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil


Gubernur Sulawesi Utara yang baru. Penduduk desa Lansot kembali
menghadapi pesta demokrasi tersebut dengan sukses dan aman dan
mempercayakan kepemimpinan daerah Prop. Sulut kepada figur yang
dianggap dapat memajukan Sulawesi Utara 5 tahun ke depan yaitu Bapak
Drs. Sinyo Harry Sarundayang dan Freddy Harry Sualang sebagai
Gubernur dan Wakil Gebernur Prop. Sulawesi Utara yang baru dan yang
pertama dipilih rakyat Sulut secara langsung.

Pada Tahun 2004, Undang-Undang mengenai Otonomi Daerah dikeluarkan


yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk itu sesuai
dengan semangat tentang Otonomi Daerah tersebut maka dikeluarkan UU
Pemerintahan Desa yang baru yaitu UU No. 32 Tahun 2005 tentang
Pemerintahan Desa. Dimana fungsi Badan Perwakilan Desa (BPD) diatur
kembali sesuai dengan semangat UU Otonomi Daerah tersebut.

Pada tahun 2007 Desa Rumoong Atas secara administratif dimekarkan


menjadi 2 (dua) desa yaitu Desa Rumoong Atas dan Desa Rumoong II. Desa
Rumoong Atas dengan Hukum Tuanya Bapak Alex Kumaat dan Desa
Rumoong II adalah Bapak Frits Kawatu sebagai pelaksana tugas Hukum Tua.

Untuk kelancaran jalannya pemerintahan desa dan pelayanan kepada


masyarakat, maka tak lama setelah pemekaran yaitu dimasa kepemimpinan
Hukum Tua yang terpilih Bapak Johny Kondoj, SH, masyarakat desa
Rumoong Atas II dengan swadaya murni masyarakat lalu membangun Kantor
Hukum Tua yang permanen dan representatif.

Begitupun pada awal tahun 2012 pada masa Hukum Tua Alfrets F. Kondoj,
SE, Desa Lansot dimekarkan menjadi 2 (dua ) desa yaitu Desa Lansot dengan
Hukum tuanya tetap sedangkan Desa pemekaran Lansot Timur ditunjuk
Bapak Joppie H. Kondoj, BA sebagai Pejabat Hukum Tua.
Kantor Hukum Tua Rumoong Atas II (Foto SP 2016)

Kemudian dalam persiapan pemilihan Hukum Tua Difinitif di desa Lansot


Timur, dibentuklah Panitia Pemilihan Hukum Tua Desa lansot Timur yang
diambil dari unsur LPMD dengan susunan Panitia : Ketua Bernhard
J.Pangemanan S.Pd, Sekretaris Drs. Valry S.H. Prang & Bendahara
Chrisvivany Prang, ST. Karena Pejabat Hukum Tua ikut dalam pemilihan
Hukum Tua, maka ditunjuklah Sekretaris Desa Jantje B. Mirah sebagai
Pelaksana Tugas Hukum Tua dengan tugas utama Pemilihan Hukum Tua.
Dalam pemilihan tersebut terpilihlah Zachius Mapaliey, SE yang dilantik
sebagai Hukum Tua Desa lansot Timur diawal tahun 2013.

Demikianlah sekilas sejarah pemerintahan desa Rumoong-Lansot yang dapat


menjadi pendorong bagi pemerintah dan masyarakat Rumoong dan Lansot
dimasa sekarang pada masa-masa yang akan datang untuk lebih berprestasi
membawa kedua desa ini ke arah kemajuan dalam segala bidang. Penulisan
tersebut di atas belum seluruhnya memaparkan kejadian dimasa-masa
pemerintahan desa Rumoong-Lansot terdahulu.

Foto Bersama Awal


pembukaan Kantor
Kecamatan (Di Depan
Rumah Mantri Bernard
Kumaat) Tampak Dlm
Gambar Hukum Kedua
Bp. Josis N. Rumengan,
Hukum Tua Lansot J.G.
Sumendap, Hukum Tua
Rumoong Atas Bp. Zet
Rumangu, Bp. Timotius
Kondoy, Dirk Mambo,
dan pegawai Kantor
Kecamatan pertama a/l.
John Iroth, Elsye F.
Kumaat, dan lain-lain.
(foto 1962)
Kepala Pemerintahan Desa yang pernah memimpin Neg’ri Rumoong-Lansot
Sebelum pemekaran Desa adalah :

I. DESA LANSOT

- Masa Kepemimpinan Para Dotu/Tonaas

(Sejak Pendirian Desa Lansot Lama oleh Dotu Ma’abe, Seke,


dan Pisek) ± Tahun 1560-1644

- Masa Pemerintahan Pamatuan

(Sejak Perpindahan Pemukiman Desa Lansot ke atas bukit yang


ada sekarang) ± Tahun 1644-1851

- Masa Pemerintahan Hukum Tua :


a. Penempatan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Distrik Kawangkoan.

1. Javet Lapian Tahun 1851 – 1860


2. August Mapaliey Tahun 1860 – 1895

b. Hukum Tua Dipilih Oleh Penduduk Desa Lansot & Pejabat sementara :

1. Frans Kondoj Tahun 1895 – 1918


2. Semuel Kondoj Tahun 1918 – 1922
3. Josepus Lumankun Tahun 1922 – 1923
4. Sem Kondoj Tahun 1923 - 1950
5. Agustinus Kumaat Tahun 1942 ( Pejabat Sementara )
6. Estepanus Merentek Tahun 1943 ( Pejabat Sementara )
7. Johanis G. Sumendap Tahun 1950 - 1964
8. Timothius Kondoj Tahun 1953 ( Pejabat Sementara )
9. Johanis Tenda Tahun 1964 ( Pejabat Sementara )
10. Lambertus Sumendap Tahun 1964 ( Pejabat Sementara )
11. Timothius Kondoj Tahun 1964 - 1971
12. Timotius Kondoj Tahun 1971 - 1975
13. J. Pieter Karundeng Tahun 1975 - 1976 (Pejabat Sementara)
14. Wem Tampi Tahun 1976 ( Pejabat Sementara )
15. Wellem H. Prang Tahun 1976 ( Pejabat Sementara )
16. Timotius Kondoj Tahun 1976 - 1982
17. Zakius Mapaliey Tahun 1982 - 1985
18. U.E.I. Kawatu,BA Tahun 1985 - 1986 (Pejabat Sementara )
19. Fredy Kondoy Tahun 1986 - 1994
20. J.M. Tampi Tahun 1994 ( Pejabat Sementara )
21. Fentje Kumaat Tahun 1994 - 2002
22. Joppy H. Kondoy, BA Tahun 2003 (Pelaksana Harian)
23. Joutje Sumendap Tahun 2003 – 2007
24. Alfrets F. Kondoj, SE Tahun 2007 – Masa Pemekaran Desa.

Hukum Tua Lansot & Lansot Timur sesudah pemekaran Desa adalah :
Lansot : Alferts F. Kondoj, SE Tahun 2012-2016
Refly Karamoy (PLT) Tahun 2016
Lansot Timur : Joppie H. Kondoj, BA (PLT) Tahun 2012
Jantje B. Mirah (PLH) Tahun 2012
Zachius Mapaliey, SE Tahun 2013-Skrg.
II. DESA RUMOONG ATAS

- Masa Kepemimpinan Para Dotu/Tonaas

(Sejak Pendirian Pemukiman Lowian oleh Tonaas Mamarimbing,


Palandi & Sage serta Lampus dan Waany) ± Tahun 1590-1644

- Masa Pemerintahan Pamatuan

(Sejak Perpindahan Pemukiman Lowian menjadi Rumoang yang ada sekarang oleh
Dotu Moutang, Lonsu & Tumewang) ± Tahun 1644-1840

- Masa Pemerintahan Hukum Tua :


a. Penempatan oleh Pemerintah Hindia Belanda (Walak/Distrik Amurang)

1. Lumambot Rumangu Tahun 1840 – 1850


2. Set Rorong Tahun 1850 – 1863
3. Nicolas Wawolangi Tahun 1863 - 1896
4. Amos Rorong Tahun 1896 - 1924

b. Hukum Tua Dipilih Oleh Penduduk Desa Rumoong :

1. Josephus Lumankun Tahun 1924 – 1934


2. Hendrikus Kumaat Tahun 1934 – 1937
3. Welem Rumangu Tahun 1937 - 1938 (Pejabat Sementara)
4. Daud Lumangkun Tahun 1938 - 1948
5. Manuel Tamboto Tahun 1948 - 1950
6. Zet Rumangu Tahun 1950 - 1965
7. Julius Kumaat Tahun 1965 - 1970
8. Dirk Mambo Tahun 1970 - 1974
9. A.U. Slat Tahun 1974 - 1976 (Pejabat Sementara)
10. A.S. Wonte Tahun 1976 - 1991
11. U.E.I. Kawatu, BA Tahun 1991 - 1993
12. J.P. Karundeng Tahun 1993 - 1995 (Pejabat Sementara)
13. Altien Wurangian, BA Tahun 1995 - 2003
14. Alex Kumaat,SE Tahun 2003 - Masa pemekaran

Hukum Tua Rumoong Atas & Rumoong Atas II sesudah pemekaran Desa adalah :

Desa Rumoong Atas : Alex Kumaat, SE Tahun 2007


Hans Karundeng Tahun 2008
Alfons Kondoj Tahun 2014
Desa Rumoong Atas II : Drs. Frits Kawatu (PLT) Tahun 2007
Johny Kondoj, SH Tahun 2008
D. LATAR BELAKANG SOSIAL & BUDAYA NEG’RI RUMOONG-LANSOT.

I. BUDAYA MAPALUS

Dari mulanya penduduk Neg’ri Rumoong-Lansot telah mengenal sistem


masyarakat gotong royong yang dikenal dengan nama Mapalus.

Kata Mapalus berasal dari bahasa Alifuru (bahasa Minahasa tua) yaitu
‘Ma’ dan ‘Palus’. Palus artinya Kena atau Dapat, dan setelah diberi awalan
Ma, maka Palus akan berarti ‘kena-mengena’ atau ‘dapat-mendapat’.
Dengan demikian Mapalus berarti kena mengena atau dapat mendapat
yang sama dengan Bantu-membantu dan gotong royong.

Selain kata Mapalus, terdapat istilah lain yang dipakai khususnya di sub
suku Toutemboan yaitu Maando atau Ma’endo. Ma’ando atau Ma’endo
berasal dari kata ‘endo’ yang berarti hari. Mapalus Maendo artinya
mapalus berhari. Jenis Mapalus Ma’endo ini di Rumoong-Lansot dikenal
dengan istilah Mapaandoan. Wujud dari kegiatan mapalus ini telah
dilakukan penduduk yang merupakan wujud prilaku turun-temurun dan telah
membudaya di dalam masyarakat.

Kegiatan mapalus yang dilaksanakan penduduk terlihat nyata pada :


 Mengolah lahan pertanian (pauman) atau membuka kebun.
 Mendirikan rumah atau memindahkan rumah.
 Membantu keluarga yang terkena musibah seperti kemartian, sakit,
kebakaran, dan lain-lain.
 Guna acara perkawinan
 Membangun desa seperti pembuatan balai desa, Rumah Ibadah,
memperbaiki jalan, selokan air, dan lain-lain.

1. Bentuk-bentuk Kegiatan Mapalus.

Istilah-istilah yang dipakai oleh penduduk Rumoong-Lansot dalam


melakukan kegiatan Mapalus tersebut di atas adalah :

- Mapaandoan yaitu istilah yang dipakai untuk mengolah dan membuka


lahan pertanian yaitu istilah untuk menentukan hari mapalus. Biasanya
pengambilan hari mapalus ini dilakukan dalam sebuah kelompok mapalus
dimana setiap individu dalam kelompok tersebut mendapat giliran hari kerja.
Apabila satu kelompok mapalus berjumlah 15 orang, maka ditentukanlah 15
hari kerja secara bergilir diantara anggota tersebut. Sistem Mapalus ini
merupakan mapalus yang paling menonjol di Rumoong - Lansot.
- Mensembongan yaitu pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama
penduduk desa tanpa membentuk suatu kelompok mapalus, sebab
kegiatan ini dilakukan sewaktu-waktu dan secara suka rela. Mensembongan
berasal dari kata ‘Sembong’ (bahasa Tontemboan) yang berarti bersama-
sama/beramai-ramai dalam melakukan pekerjaan/kegiatan tertentu. Dahulu
Mensembongan ini dilakukan penduduk desa untuk pekerjaan seperti :
 Pemotongan padi, panen jagung, cengkih, dan memanen tanaman
lainnya.
 Mendirikan dan memindahkan rumah.
 Memperbaiki saluran air, jalan-jalan kebun.
 Mengangkat pasir serta batu disungai,
 Dan lain-lain pekerjaan yang membutuhkan tenaga banyak orang.

Mensembongan ini adalah kegiatan gotong-royong penduduk untuk


membantu penduduk yang lain yang tidak dapat mengerjakan pekerjaan
tersebut sendirian. Dan penduduk akan dijamu oleh tuan rumah sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Disini nampaklah kesetiakawanan
penduduk desa dalam hidup bermasyarakat.
- Sumakey atau Bantuan Duka, yaitu bantuan penduduk desa untuk
meringankan beban bagi keluarga yang berduka (kawenduan), baik berupa
tenaga, Beras, Kue, dan lauk pauk (ticoo) lainya, barang atau benda
ataupun berupa uang. Dahulu penduduk desa dalam setiap kedukaan
memberikan bantuan yang nyata dalam pekerjaan seperti :
 Mendirikan bangsal (Sabuwa/terung) untuk tempat berteduh para
pelayat.
 Membuat peti jenasah.
 Meminjam atau mengumpulkan peralatan/barang yang diperlukan
berupa peralatan dapur, kursi, meja, dan lain-lain.
 Mengumpulkan makanan berupa kue, beras serta minuman.
 Mengumpulkan uang sebagai sumbangan bagi keluarga yang kena
kedukaan.
 Menggali lubang kubur/tempat pemakaman.
 Dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan dalam upacara kedukaan.

Pada masa sekarang penaganan kedukaan diatur oleh suatu organisasi


duka yang anggota-anggotanya terdiri dari seluruh penduduk desa dan
warga di luar desa yang masih terikat keluarga atau berasal dari Rumoong-
Lansot.

- Mapetoran (Mendu) adalah istilah yang dipakai apabila penduduk


melaksanakan kewajiban bagi desa atau dengan kata lain mapalus yang
dilakukan untuk keperluan desa atau negeri yang dikenal sekarang dengan
istilah Kerja Bhakti. Pekerjaan ini biasanya dikoordinir oleh pemerintah desa
dalam hal ini Hukum Tua dibantu oleh perangkat-perangkat desa seperti
Kepala Jaga dan Meweteng. Biasanya dalam melaksanakan kegiatan ini
diwajibkan kepada seluruh penduduk desa (kecuali Anak-anak, PNS,
Manula, orang Cacat) yang berusia 17 hingga 60 tahun yang disebut Wajib
Kerja.

Adapun jenis pekerjaan yang sering dilakukan adalah :


 Membuat dan membersihkan Jalan Desa, Jalan kebun, jalan setapak,
dll.
 Mendirikan balai pertemuan/Balai desa, dan fasilitas desa lainnya.
 Membersihkan lapangan olah-raga, membangun bangsal upacara, dll.
 Dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan bagi pembangunan desa.
Bagi yang tidak wajib kerja terutama para PNS (Pegawai Negeri), tidak
menutup kemungkinan untuk turut membantu baik berupa tenaga, makanan,
rokok, atau apa saja yang dibutuhkan dalam pekerjaan kerja bhakti tersebut.

Suasana Mapalus (Gotong royong) Masyarakat Desa


Dalam menjalankan Kewajiban Kerja Bhakti Pembukaan Jalan Baru (2006)

- Sawang dan Pinontol adalah bentuk mapalus yang dilakukan penduduk desa
Rumoong-Lansot sebagai kewajiban untuk membantu pekerjaan Kepala
Desa/Hukum Tua di bidang pertanian. Biasanya kewajiban ini dilakukan oleh
penduduk desa 2 kali dalam setahun yaitu pada masa penanaman dan masa
panen. Pada masa dahulu seorang pemimpin mayarakat baik ia sebagai seorang
kepala walak, Kepala Distrik, Hukum Besar hingga Pamatuan merupakan orang-
orang yang dihormati dan mempunyai lahan perkebunan yang luas. Karena
kesibukannya sebagai pemimpin masyarakat menyebabkan ia tidak dapat
mengerjakan sendiri lahan perkebunannya. Oleh sebab itu dengan semangat
mapalus yang dimiliki oleh penduduk desa, maka penduduk dengan sukarela turut
membantu mengerjakan perkebunan tersebut. Lama kelamaan pekerjaan
membantu pemimpin desa oleh penduduk ini menjadi tradisi dan lambat laun
memjadi kewajiban penduduk desa kepada pemimpinnya. Inilah bentuk mapalus
yang disebut sekarang Sawang dan Pinontol.

Sumawang asal kata dari Sawang yang berarti “ Bantu “ atau “Bersama-sama
mengerjakan sesuatu” adalah kewajiban seluruh penduduk desa mulai dari
anak-anak hingga usia lanjut yang secara sukarela membantu Hukum Tua dalam
hal memanen hasil perkebunan yang biasa dilakukan 5 – 7 bulan sekali.
Sedangkan Pinontol berasal dari kata “Pontol” artinya “putuskan atau
tentukan” yaitu Hari yang ditentukan/diputuskan untuk bekerja bhakti adalah
kewajiban penduduk desa yang dianggap sebagai wajib kerja berumur 17 sampai
55 tahun untuk membantu Hukum Tua dalam hal pertanian baik dilakukan untuk
mengolah kebun maupun untuk memanen hasil perkebunan tersebut yang
dilakukan 3 – 5 bulan sekali dalam setahun.
Dalam melakukan pekerjaan mapalus ini, warga dijamu oleh Hukum Tua pada
saat selesai melakukan pekerjaan.
Pada saat sekarang Mapalus ini sudah jarang dilakukan oleh penduduk desa
Rumoong-Lansot.
- Dan jenis-jenis kegiatan Gotong royong lainnya seperti mapalus uang dalam
bentuk arisan keluarga, gereja dan lain sebagainya.

2. Atribut-atribut Mapalus.

Dalam melakukan kegiatan mapalus khususnya Mapalus–Mapaandoan maupun


Mapalus –Mapetoran terdapat keunikan tersendiri yang sudah mulai dilupakan
oleh penduduk desa Rumoong-Lansot. Hal ini perlu dilestarikan karena
mempunyai unsur budaya yang tinggi serta menunjukkan kekayaan budaya
Minahasa yang merupakan identitas terhadap adanya kegiatan mapalus itu
sendiri. Adapun keunikan dan atribut mapalus yang dahulu dipakai oleh penduduk
desa Lansot antara lain :

- Bendera Mapalus, Pada masa penjajahan Belanda, bendera merupakan


ciri khas dari mapalus tersebut. Dimana bendera yang dibawa oleh kelompok
mapalus pada waktu itu adalah bendera Belanda sebagai tanda bahwa mapalus
yang dilakukan adalah untuk kepentingan Belanda. Setelah Indonesia merdeka,
bendera Belanda tersebut diganti dengan bendera Sang Merah Putih. Kelompok
mapalus yang membawa bendera Sang Merah Putih tersebut, merupakan
mapalus yang dilakukan untuk keperluan desa/negeri. Biasanya bendera tersebut
dibawa ketempat kegiatan mapalus dengan cara dipikul lalu ditancapkan di
tengah kebun. Dengan ditancapkan bendera itu di tengah lahan/kebun,
menandakan bahwa lahan/kebun tersebut merupakan lokasi pekerjaan mapalus.

- Tambur (Genderang) Mapalus, Tambur ini dipakai sebagai alat komunikasi


bagi anggota mapalus dimana untuk mengumpulkan anggota, tambur mapalus
ini dibunyikan oleh salah seorang anggota mapalus dengan irama yang khas
sambil berkeliling desa sebagai tanda panggilan kepada anggota mapalus
untuk berkumpul. Tambur ini juga berfungsi mengiringi langkah kelompok
mapalus ke tempat pekerjaan yang akan dilakukan. Selain dipakai untuk
mapalus, tambur ini juga dipakai untuk mengiringi tarian Maengket dan Tarian
Kabasaran (Sakalele). Irama panggilan untuk memanggil penduduk untuk
berkumpul mengadakan Tarian Maengket atau Kabasaran/Sakalele, berbeda
dengan panggilan untuk Mapalus. Dari irama yang di perdengarkan tersebut,
penduduk desa akan mengetahui dan mengerti mana bunyi untuk panggilan
mapalus, dan bunyi irama untuk mengadakan tarian Maengket atau
kabasaran/cakalele.

- Nyanyian Tradisional Mapalus, sudah menjadi kebiasaan (kanaramen)


penduduk desa dalam melaksanakan pekerjaan mapalus di kebun, selalu
melantunkan lagu-lagu tradisional untuk melepaskan kejenuhan atau untuk
saling menghibur antar anggota/teman mapalus (kaando). Nyanyian ini adalah
nyayian tradisional dengan bahasa daerah Tontemboan yang disebut Matolok,
Mauregeh dan Mawinson. Nyanyian ini dilantunkan secara berbalas-balasan
antara anggota mapalus baik antara laki-laki dan perempuan, maupun dengan
sesama jenis.

- Angkat Mapongkol/Mapontol (Pimpinan Mapalus), Pengangkatan pimpinan


mapalus biasanya dilakukan pada saat permulaan periode dalam mapalus-
Mapaandoan yang disebut oleh penduduk desa Lansot dengan istilah
Mapongkol atau dalam bahasa Tontemboan lainnya yaitu Mapontol atau
Kumeter. Mapontol berasal dari kata ‘pontol’ yang berarti ‘tentukan,
putuskan’, dan Kumeter berasal dari kata ‘keter’ yang artinya ‘kuat’. Jadi
Mapontol atau Kumeter berarti pemutus kerja atau penguasa.

Cara pengangkatan Mapontol/Kumeter (Mapongkol) oleh anggota Mapalus ini


tergolong unik yaitu dilakukan dengan pemilihan secara rahasia oleh tua-tua
mapalus dalam musyawarah. Anggota yang terpilih dalam musyawarah
dirahasiakan dahulu dan diusahakan anggota mapalus yang dipilih tidak
mengetahuinya. Selesai musyawarah maka dicarilah orang yang badannya
kuat dan kekar untuk menahan dengan cara memeluk dari belakang anggota
yang telah dipilih agar tidak berontak. Setelah anggota yang dipilih sebagai
Mapontol itu dalam dekapan orang yang kuat tadi, maka datanglah 2 atau 3
orang dengan rotan pemukul (lidi batang daun akel/ijuk) lalu mencambuki
anggota yang dipilih tersebut. Cambukan rotan itu merupakan tanda bahwa
orang itu telah sah terpilih sebagai Pimpinan Mapalus untuk periode yang
berjalan. Adapun tugas Mapontol/Kumeter ini adalah sebagai pemutus dan
pemberi perintah dan mengawasi anggota mapalus untuk bekerja sebaik
mungkin. Apabila ada anggota yang lalai dan malas atau kurang rapi dalam
pekerjaannya, maka sang Mapongkol ini memberikan hukuman baik berupa
teguran, cambukan rotan atau dipermalukan didepan anggota mapalus yang
lain. Dengan adanya Mapongkol ini membuat para anggota mapalus bekerja
lebih baik, disiplin, rapi dan tidak malas.

3. Perkembangan Mapalus.

Pada masa sekarang budaya mapalus terutama bentuk-bentuk mapalus yang


disebutkan di atas dengan segala atribut dan keunikannya, sudah mulai
memudar bahkan tidak nampak lagi dalam kehidupan bermasyarakat
penduduk desa Lansot. Untuk itu diperlukan pelestarian dan pengenalan
khususnya kepada generasi muda desa Lansot agar mengenal budaya
mapalus yang telah hidup dan berkembang sejak dahulu sebagai dasar
kehidupan gotong royong penduduk Minahasa.

Untuk itu dalam menggugah upaya pelestarian budaya mapalus terhadap


generasi muda, penulis mencoba memberikan suatu pemahaman mengenai
perkembangan nilai-nilai budaya mapalus sejak masa nenek moyang suku
Minahasa dahulu hingga sekarang ini.

Awal perkembangan mapalus ditandai dengan bau ritual yang secara


nasional mengharuskan pimpinan mapalus sebagai komunikator harus akrab
dengan lingkungan. Sifat paternalistik dan keperkasaan tercermin dari
kepekaan menerima komunikasi dalam bentuk yang gaib maupun konkrit.
Yang gaib dari makhluk halus di luar jangkauan dimensi penglihatan, dan
yang konkrit melihat tanda-tanda bintang dilangit. Hal ini dimaksudkan
apakah prakarsa mapalus itu sudah bisa dilaksanakan atau masih menunggu
waktu. Suara burung Manguni sebagai sarana komunikasi tradisional masih
merupakan faktor penentu. Juga melihat gejala astrologi, yaitu melihat
gerakan bintang-bintang di langit untuk mendapatkan musim tanam yang
memadai. Itulah sarana pengetahuan nenek moyang Minahasa jauh sebelum
datangnya zaman kolonial. Datangnya ekspansi dari luar baik dari armada
Spanyol, Belanda maupun dari perompak-perompak Mindanau, telah
menyebabkan para tonaas terhimpun dalam suatu marga yang siap tempur
menghadapi setiap serangan yang datang dari pesisir pantai. Watu
Pinawetengan dijadikan pusat komunikasi bagi putera-putera Toar-Lumimuut
yang terbaik. Sifat Mapalus pada zaman ini sudah mengarah pada
pembagian logistik, teritorial, dan batas-batas pertahanan. Taktik dan strategi
diciptakan di bawah kaki gunung Soputan. Dan burung Manguni dijadikan
lambang komunikator yang siap memberikan peringatan awal untuk bertindak
atau tetap bertahan ditempat sambil menunggu iklim dan kondisi yang baik.
Watak para Tonaas yang tergali dari nilai-nilai kultur tertentu, pantang
terhadap sikap diam dan cenderung mengambil prakarsa untuk bergerak
yang merupakan sifat karakteristik dan alami suku Minahasa.

Dalam proses perkembangan Mapalus era Kristiani, telah menggeser system


tradisional itu, baik dalam proses alami maupun dalam peradaban yang
berkembang dari dunia barat. Sistem irigasi yang lebih memadai dan
berkembang di pulau Jawa mulai diterapkan di Minahasa pada awal abad 19
ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch (1850-1870)
menanamkan tanam paksa pada penduduk. Dalam periode sejarah ini,
eksistensi Mapalus di Minahasa nyaris mengalami kemunduran total. Pihak
Kolonial Belanda melancarkan politik etis dan sekaligus mengadakan sistem
‘Social Engineering’. Tanaman kelapa dan kopi dilancarkan secara masal.
Pekerja-pekerja perkebunan di datangkan dari luar karena penduduk
Minahasa relatif kurang. Sistem Mapalus mulai goyah dari permukaan
masyarakat petani dimana pihak kolonial Belanda nyaris berhasil menyentuh
tempramen tertentu dikalangan para walak yang mudah diperalat.

Masa penjajahan Jepang dari tahun 1942-1945, merupakan tragedi tersendiri


bagi penduduk Minahasa, dimana kerja paksa, korohosi untuk kepentingan
pihak pasukan Jepang dilaksanakan secara sistematik. Kehidupan Mapalus
dihidupkan lagi tetapi sifatnya sudah berbentuk komunal dan paksaan. Para
pemimpin Mapalus diambil alih oleh para Hukum Tua yang berkoloborasi
dengan tentara kependudukan Jepang. Sebagian penduduk dikerahkan untuk
membangun barikade-barikade, sedangkan yang mengerjakan kebun dan
sawah kebanyakan wanita dan lelaki yang berusia lanjut. Dalam masa
Kemerdekaan yaitu pada kurun waktu revolusi fisik, seluruh rakyat Indonesia
khususnya di Minahasa melibatkan diri dalam kancah perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Peristiwa Merah Putih 14
Pebruari 1946). Petani produsen lebih banyak mengharapkan hasil produksi
kopra dan pala. Kegiatan Mapalus di daerah pedalaman pada tahun-tahun
lima-puluhan nyaris tertinggal, karena gangguan keamanan dari gerombolan
Pasukan Pembela Keadilan (PPK) sampai memasuki pergolakan Permesta
benar-benar mencekam. Petani produsen bekerja secara perorangan. Sistem
Mapalus tak berfungsi lagi untuk beberapa waktu.

Memasuki era Pembangunan Orde Baru, kehidupan Mapalus mulai


berkembang dan dihidupkan lagi, karena faktor keamanan terjamin.
Masyarakat petani dapat bekerja dengan aman. Komponen-komponen
pembangunan dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Perguruan Tinggi,
ABRI Masuk Desa (AMD), Komunikasi merambah hingga ke desa-desa, telah
ikut memberikan semangat pada sistem Mapalus.
( Ch. A. Rondonuwu dalam bukunya “Tentang Minahasa” ).
Sekarang memasuki masa pemerintahan Reformasi, akankah semangat
Mapalus tetap hidup dan berkembang di era kehidupan masyarakat modern
sekarang ini, atau kah budaya dan semangat mapalus akan ditinggalkan
seiring dengan kemajuan industri, komunikasi dan informasi ? Semoga saja
semangat mapalus tetap lestari dan akan menjadi alat yang paling ampuh
untuk menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan oleh
globalisasi yang melanda dunia sekarang ini.

II. HUKUM ADAT

Tanah Adat.

Peranan Hukum Adat di desa Rumoong-Lansot saat ini tidak begitu dominan lagi
dalam kehidupan penduduk desa Lansot. Perselisihan yang terjadi diantara
penduduk biasanya langsung berurusan dengan pihak berwajib dalam
memutuskan suatu perkara. Tetapi dalam segi pertanahan, Hukum Adat masih
memegang peranan yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa atau
perselisihan diantara penduduk. Hal ini dapat dimaklumi sebab segala sesuatu
mengenai tanah di Rumoong - Lansot didasarkan pada tanah adat yang asal
usulnya terdaftar dalam register desa. Sejak dahulu status tanah di Minahasa
khususnya di Rumoong - Lansot diatur dalam hukum adat yang pada umumnya
terdapat 2 jenis tanah adat yaitu tanah milik bersama diwariskan secara turun-
temurun yang disebut Tanah Kalakeran, dan Tanah Pasini yaitu tanah milik
perorangan/pribadi yang diperoleh baik melalui warisan atau dengan jalan
membeli.

Menurut Hukum Adat, tanah kalakeran adalah tanah milik bersama dari kelompok
kekerabatan (famili) dan tak boleh dijual. Umumnya tanah Kalakeran di desa
Lansot tak begitu jelas lagi, kalaupun ada tidak begitu luas apabila dibandingkan
dengan yang pemakainya berjumlah banyak, Pada masa dahulu tanah kalakeran
dipakai atau dikelola secara bergiliran menurut jadwal yang telah ditetapkan oleh
orang yang tertua dalam keluarga. Ada kalanya tanah kalakeran dijual oleh
anggota kerabat tanpa sepengetahuan dan izin dari anggota kerabat/keluarga
yang lain. Hal-hal semacam ini sering terjadi dan mendatangkan perselisihan
antara para pemilik kalakeran. Penyelesaian perselisihan tersebut biasanya
dilakukan dengan perantara Hukum Tua sebagai pemimpin adat di desa. Dan
apabila Hukum Tua tidak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut, diteruskan
lewat pengadilan negeri.

Hal Pembagian Harta Warisan.

Mengenai harta warisan baik berupa kebun, tanah perkarangan/Kintal atau rumah,
maka secara hukum yang berhak mendapat warisan adalah anak kandung, anak
angkat, anak tiri, duda atau janda yang ditinggalkan, yang telah turut memikul
beban biaya sewaktu si pewaris meninggal dunia. Anak kandung harus membagi
warisan orang tuanya secara merata apabila mempunyai saudara tiri, atau
saudara angkat setelah mereka diakui sebagai anak kandung oleh orang tuanya.
Jika anak kandung tidak ada, maka sebagai ahli waris adalah anak angkat atau
anak tiri. Dan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan baik anak kandung,
anak angkat ataupun anak tiri, maka yang berhak mendapat warisan adalah
kerabat/saudara terdekat atau saudara kandung dari pewaris yang sudah
meninggal. Seringpula keluarga/kerabat dekat yang turut menjaga serta memikul
biaya selama pewaris masih hidup sampai meninggal, berhak menerima warisan.
Penyelewengan atau pelanggaran akan ketentuan ini, penyelesaiannya akan
ditangani oleh Hukum Tua. Dan apabila tidak berhasil akan diteruskan ke
Pengadilan Negeri. Selain kasus-kasus pelanggaran yang disebutkan di atas,
masih banyak pelanggaran lainnya yang tidak sesuai dengan hukum adat yang
berlaku seperti perselisihan mengenai batas kebun (kasupu), kintal/perkarangan,
Hidup bersama diluar nikah sebagai suami-istri (kumpul kebo/baku-piara) dan lain
sebagainya. Semua permasalahan dan perselisihan tersebut di atas diselesaikan
melalui pemerintah desa yang di pimpin oleh Hukum Tua sebagai kepala adat
desa berdasarkan hukum dan adat-istiadat yang berlaku.

III. TRADISI DAN KEBIASAAN PENDUDUK.

Dalam kehidupan bermasyarakat penduduk Rumoong-Lansot sejak dahulu hingga


sekarang ini terdapat beberapa tradisi dan kebiasaan yang dilakukan dalam
kehidupannya sehari-hari. Baik tradisi yang bersifat positif, maupun tradisi
kebiasaan yang berdasarkan pengaruh dari kepercayaan lama (Alifuru). Adapun
tradisi dan kebiasaan tersebut antara lain :

CARA BERTANI

Merombak hutan

Asal pertanian pada umumnya hutan lebat. Untuk membuka hutan mempunyai
beberapa tahap kegiatan:

Kegiatan Temumek
(=kunjungan pertama di hutan
yang dicalonkan untuk di
rombak). Kegiatan ini dilakukan
oleh seorang yang mahir. Pada
waktu ia melaksanakan tugas
ini yaitu pergi ke hutan harus
membawa tutu’ inempas (nasi
bungkus), telur ayam yang
direbus secukupnya, siri
pinang, dan kapur. Bila
persiapan sudah rampung
setibanya di hutan itu dipilih
tempat yang baik ; seluruh
makanan yang dibawa
diletakkan di sana. Merombak Hutan oleh penduduk

Kegiatan itu dilanjutkan dengan percakapan bersama opo – opo (yang tidak
nampak). Di tempat itu orang tumemek harus menunggu tanda dari burung hantu
siang (wara inen do) berupa bunyi “lowas” (=bunyi siul). Bila bunyi yang di dengar
bukan lowas berarti kebun itu tidak boleh dirombak. Kalau bunyi lowas pertanda
hutan itu boleh dirombak berarti sukses. Oleh orang yang tumumek barulah boleh
memotong sebatang pohon kayu yang dapat dibawa pulang ke rumah. Kayu itu
dipikul dan berjalan sambil muka tunduk, mulut dikatup rapat – rapat selama dalam
perjalanan sampai di rumah tidak boleh bercakap atau member hormat. Orang –
orang yang bertemu dengan orang yang pulang ke rumah mereka minggir
disamping, sebagai tanda saling menghargai.

Setibanya di rumah kayu itu dilepaskan dan langsung masuk ke kamar tidur sesaat
saja lalu bangun mendadak, terus kembali ke hutan tadi guna melanjutkan
perombakan hutan. Pada saat perombakan hutan bila melihat tikus, maka tikus
tersebut dikejar dan sedapat mungkin harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup
atau mati. Kemudian tikus itu dibunuh dan dikuburkan di tengah hutan yang
dirombak, sebagai korban mula – mula (sosoring) untuk meminta tanda bunyi
burung yang baik (mujur).

Kuburan sosoring diberi tanda patok dan ditanami rempah – rempah salimbatak –
sereh, disekitarnya seraya mengucapkan: Kiit pe mio se tinanem anio asi uma anio
(= Kiranya tanaman dikebun ini akan bertumbuh subur sama dengan pertumbuhan
sereh ini). Hutan yang telah dibersihkan dan siap ditanam masih harus mendengar
tanda bunyi burung. Bunyi burung yang didengar apabila tandanya baik berarti
sudah mendapat keluasan / persetujuan untuk penanaman. Lokasi yang diadakan
penanaman yaitu disekitar patok sosoring sebanyak 9 lobang yang cara menanam
ditugal / pawayuk baru dilanjutkan penanaman seluruh kebun itu. Kegiatan
bercocok tanam ditarikan dalam maengket disebut “maowey”.

Panen Hasil

Pada usia tanaman yang hendak di panen sebelum kegiatan panen menyeluruh di
kebun itu maka diundang seorang pemuka = tonaas meminta keluasan melalui
tanda bunyi burung. Bunyi yang diberikan oleh burung bila tandanya sudah
meluaskan untuk dipanen, maka pemilik kebun harus mengelilingi kebun lebih
dahulu sambil membawa kayu jelatang (lana) berapi, selesai keliling kebun kayu
itu ditanamkan di tempat sosoring. Padi / jagung sebelum dipetik maka bakul
penampungan hasil harus disembur oleh tonaas dengan karemenga atau goraka
(jahe). Panen mula – mula dilaksanakan oleh tonaas beberapa rumpun lalu
disendirikan sebagai persembahan kepada opo – opo sebagai penjaga dan sudah
memberkati hasil kebun dengan ucapan “Camo em parior – rior”. Padi / jagung
yang dipetik mula – mula sejumlah 9 tangkai / 9 tongkol digantung di atas
lumbung.

Kumamberu – Kamberu

Yang makan mula –mula hasil panen dikebun itu diberikan pada orang tua –tua
dalam keluarga. Panen yang dilaksanakan diakhiri dengan tarian kegembiraan =
rumeindeng. Rumeindeng dilaksanakan oleh para tonaas merupakan tarian
rekreasi (menyanyi nyanyian pujian / doa). Dalam tarian maengket kegiatan
bercocok tanam sampai makan hasil kebun baru ditarikan pada babakan maowey
Kamberu.
BERBAGAI UPACARA ADAT

Upacara kelahiran anak

Apabila ada seorang anak lahir, tali pusar yang dipotong dibungkus dengan daun
woka = simbel lalu sang ayah anak itu tali pusar ditanam di tempat yang dirasa
tidak mudah kehujanan, katanya agar anak terhindar serangan sakit perut. Selama
± satu minggu sang bayi tidak boleh keluar ruangan, sementara itu didepan tempat
tidur dibuat perapian disamping itu dipenjuru rumah didirikan bambu dan
diujungnya diberi jeruk (=popontolen / lemon suangi) guna mengusir roh jahat.

Pada umur ± satu minggu dibuat acara rumeges = acara selamatan bagi bayi,
mengenal angin mengundang keluarga dekat dan katanak = tetangga untuk
minum bersama pada waktu pagi. Pada jam yang dianggap baik bagi bayi itu
diangkat oleh orang yang sudah tua dan dikeluarkan dari kamar. Seorang ibu
memeluk bayi itu dan seorang yang lainnya membawa sepotong kayu api bekas
(=pinias) selama satu minggu di perapian. Pemegang kayu berjalan berada
didepan sedangkan yang memeluk bayi berada dibelakangnya. Mereka harus
berjalan mengelilingi rumah.

Selesai mengelilingi rumah, sang bayi dimasukkan kembali ke rumah / kamar


semula disertai dengan ucapan “È marengem è mange masu” (= sudah pulang
yang mengambil air). Kedatangan keluarga dan tetangga datang membawa
pemberian untuk orang tua bayi, berupa padi satu bakul dan diatasnya diberi uang
logam bolong = 5 sen atau 1 picis (10 sen) dibungkus dengan kertas.

Tradisi Pernikahan (Kaweng).

Dari dahulu hingga sekarang, penduduk Rumoong & Lansot sangat


mengagungkan pernikahan sebagai ikatan yang sah untuk hidup berkeluarga dan
melanjutkan keturunan. Proses pernikahan secara tradisi harus melalui beberapa
tahap.
Tetapi disini penulis hanya memberikan gambaran secara umum maksud dari
tahapan-tahapan pernikahan sebagai berikut :

Tomerang (Pelamaran/Memberi Khabar).

Perkawinan dilaksanakan setelah hubungan muda –mudi / saat pertunanganan


calon suami isteri sudah cukup. Calon suami dengan cara memberi tahu maksud
bahwa antara dia dengan perempuan itu sudah punya hubungan dan sedang
mempersiapkan diri menghadapi perkawinan. Untuk memberitahu maksud itu
digunakan seseorang yang dirasa punya kemampuan menjelaskan maksud itu
agar diterima oleh orang tua si gadis / perempuan. Acara itu disebut “tumerang”.

Tumerang dilakukan apabila antara dua orang pria dan wanita telah saling
mencintai (me ontolen/baku suka) dan bersepakat untuk melanjutkan ke jenjang
perkawinan, maka pihak keluarga pria melakukan lamaran ke pihak keluarga
wanita. Tomerang ini dilakukan oleh pihak keluarga Pria dengan mengunjungi
rumah dari keluarga wanita untuk menyampaikan maksud kedatangannya yaitu
meminang/melamar kepada pihak keluarga wanita. Apabila maksud lamaran itu
diterima, maka selanjutnya antara pihak keluarga pria dan pihak keluarga wanita
bermusyawarah/ tawar menawar (Tumantua/Meteles) mengenai proses ikatan
yang lebih resmi menuju ke Pertunangan (tukar cicin) sebelum ke perkawinan
yang sah.

Sumominta/Basominta atau Tukar Cincin.

Disusun rencana bilamana acara peminangan disebut “Sumominta”. Pada waktu


yang ditetapkan biasanya dilakukan diwaktu malam. Rombongan sang laki – laki
datang ke rumah sang gadis terdiri dari sang pria, orang tua, saudara – saudara
(keluarga) dan juga teman – temannya, disamping itu mereka membawa air panas
penganan untuk minum bersama di rumah keluarga perempuan, setelah selesai
acara sumominta / peminangan. Dirumah sang gadis diatur sebagai berikut :
Rumah ditutup menggunakan palang. Rumah tidak punya cahaya lampu yang
terang kecuali sebuah lampu kecil. Rombongan sang pria datang dan harus
mengetok pintu berulang – ulang. Setelah merasa jemu pintu dibuka oleh tuan
rumah. Barulah dipasang lampu terang benderang.

Acara peminangan didahului dengan kata pengantar dari wakil keluarga pria
dengan memberi tahu maksud. Sang gadis masih berada di dalam kamar. Bila
permintaan sudah diterima / dikabulkan maka barulah sang pria menampakkan diri
sambil memberi hormat dan dipersilahkan mengundang gadisnya. Kamar diketuk –
ketuk sampai beberapa kali dengan ketukan yang sangat sopan nan
mendambakan. Sang gadis biasanya membuka pintu dalam suasana malu.
Keduanya dipersilahkan berjabat tangan dihadapan orang tua kedua belah pihak
menunjukkan bahwa keduanya memang sungguh sudah bersedia, seia – sekata
membentuk rumah tangga. Rombongan sang pria memberi bingkisan yang
biasanya sudah diatur sebelumnya, umpama: kebun, rumah, peralatan rumah
tangga, dsb-nya, dan biasanya dalam acara itu oleh sang pria menyampaikan
sampul kepada keluarga sang gadis yang diacarakan. Pada penyerahan bingkisan
dalam sampul disertai ucapan (tertulis): “Yawes teles lenso” (= tambah pembeli
sapu tangan). Minum bersama dilanjutkan dengan penyusunan rencana waktu
perkawinan dilaksanakan di rumah sang gadis.

Basominta (batunangan) adalah proses ikatan sementara antara Pria dan Wanita
yang dilakukan melalui tukar cincin antar kedua calon suami-istri yang bertujuan
agar pria dan wanita itu lebih mengenali pribadi masing-masing dari calon suami
dan istri serta untuk memantapkan diri kejenjang ikatan yang lebih serius yaitu
pernikahan. Seorang pria atau wanita yang telah bertunangan (tukar cincin),
masing-masing harus menjaga sikap dan membatasi diri dalam pergaulan sehari-
hari terutama dengan pemuda atau pemudi lainnya agar tidak gagal dalam proses
ke jenjang pernikahan. Dalam proses ini ditetapkan juga mas kawin (Me’emoko,
sumominta).

Peneguhan Pernikahan ( Kaweng).

Setelah pria dan wanita mengetahui lebih mendalam mengenai pribadi masing-
masing calon pasangannya dan memantapkan diri untuk menuju proses ikatan
yang sah dalam perkawinan, maka pihak keluarga pria melakukan musyawarah
dengan keluarga wanita mengenai acara pernikahan serta pemberian mas kawin
(irang.. Setelah masing-masing telah sepakat maka proses pernikahan dilakukan.
Selesai perkawinan disusul dengan acara “antar” yaitu isteri dijemput oleh suami
bersama orang tua, saudara, kenalan – kenalan. Isteri diantar oleh orang tuanya,
saudara, tetangga ke rumah sang suami dan disana diadakan acara makan
bersama.

Pada masa sekarang peneguhan penikahan dilakukan di Rumah Ibadah (Gedung


Gereja). Seorang Pendeta yang akan memimpin ibadah peneguhan perkawinan
telah diberi kepercayaan oleh pemerintah selaku petugas pencatatan sipil untuk
mensahkan kedua mempelai dalam ikatan suami isteri.

Membuat Rumah

Biasanya bahan ramuan rumah sudah disiapkan lebih dahulu. Bila seluruh sudah
rampung, maka diundanglah tonaas. Tonaas itu melakukan kegiatan sumoring
kemudian mendengar tanda burung. Bila tanda yang didengar tidak baik berarti
permintaan belum dikabulkan. Tetapi bila tanda burung menurut tonaas sudah baik
tandanya sudah diperkenankan untuk diadakan peletakan batu (= lumukut im watu
wale). Dimana batu I didirikan di bawah batu biasanya diletakkan uang yang
gunanya untuk opo – opo dan untuk berkat bagi yang akan mendiaminya pada
sekitar batu juga di sajikan sirih pinang, kapur, dan tembakau.

Selama pekerjaan membangun rumah semua ramuan kayu diberi tanda mana
pangkal mana ujung. Sebab bila ujung dan pangkal tidak diketahui, maka yang
akan mendiami rumah akan selalu sial (sakit, rugi, kena bencana, dll). Apabila
bangunan sudah selesai dibuat acara rumambak = naik rumah baru. Acara
dipersiapkan sebagaimana mestinya. Dalam rumah (di kamar) sudah disediakan
tikar bantal. Diadakan pemasangan lampu minyak dan dipimpin oleh tonaas.
Kemudian pemilik rumah diajak masuk kamar tidur ± 3 menit. Lalu mereka
dibangunkan mendadak diiringi ucapan: “E Temooren! Mandom rè è!”. Di atas
meja sudah diatur makanan yang sudah disiapkan lebih dahulu. Didahului dengan
acara minuman dilanjutkan dengan makan bersama. Makanan yang disediakan
diusahakan tidak kehabisan di atas meja. Maksudnya agar yang mendiami rumah
tidak pernah kehabisan. Lampu dipasang siang malam selama ± 3 hari dan
selama itu disediakan sajian (ay welet / ayumper) terdiri dari nasi bungkus, telur
rebus, ikan, dan tembakau.

Tradisi Mendirikan Dan Menaiki Rumah Baru.

Tradisi lainnya yang dilakukan oleh penduduk Rumoong-Lansot pada dahulu kala
adalah tradisi mendirikan dan menaiki rumah baru yaitu bahwa dahulu sebelum
agama Kristen masuk, untuk mendirikan rumah, seseorang harus mengikuti
beberapa persyaratan seperti mempersembahkan sirih dan pinang serta rokok
pada waktu peletakan batu pertama, dalam meletakkan bantal rumah dan plat
hingga dalam memasang balok-balok (balak) bagian atas.

Upacara ini dilakukan dengan maksud untuk meminta restu para arwah/opo-opo
agar rumah tersebut tidak mengalami hambatan dalam proses pendiriannya. Letak
rumah yang akan didirikan terlebih dahulu harus melalui sebuah tanda dari
binatang khususnya Burung Manguni Makasiouw. Apabila bertanda baik maka
rumah itu boleh didirikan. Setelah rumah selesai sebelum ditinggali harus
mendengar pertanda atau bunyi burung manguni makasiow setelah itu membuat
api atau memasang lampu dirumah baru tersebut. Sajian makanan yang diberikan
terlebih dahulu dipersembahkan kepada opo-opo dan para tukang yang membuat
bagunan rumah itu diutamakan untuk menaiki dan menyatap terlebih dahulu sajian
makanan (rutuk) yang diberikan lalu diikuti dengan undangan yang lain. Secara
tradisional acara mendirikan dan menaiki rumah baru mulai ditinggalkan penduduk
dan diganti dengan acara ibadah dalam bentuk syukuran sesuai dengan ajaran
Kristiani.

Tradisi dalam Kematian & Pemakaman.

Masamper.

Dalam hal Kematian, sejak dahulu apabila


ada orang meninggal dunia dan belum dikuburkan, jenasahnya harus dijaga
selama belum dikuburkan. Apabila malam hari dilakukan penjagaan mayat
(lungus) oleh keluarga, kerabat bersama penduduk yang disebut Masamper untuk
membuat keluarga atau kerabat yang menjaga jenasah jangan sampai tertidur.
Penduduk pada waktu dahulu percaya akan roh orang tua atau kerabat yang
sudah meninggal, yang dianggap masih berada disekitar tempat kediaman
penduduk, atau lazim disebut mukur. Seseorang yang sudah meninggal dapat
menggangu orang yang masih hidup. Oleh sebab itu jenasah harus dijaga atau
jangan ditinggalkan sendirian, sebab orang yang mati akan dilarikan oleh si mukur
(arwah/roh) tersebut. Sebelum dikuburkan di dalam peti jenasah (pangko),
keluarga mengikut sertakan benda-benda yang disukai almarhum/a semasa
hidupnya, dan menyajikan makanan untuk arwah yang meninggal tersebut sambil
melakukan percakapan yang diyakini dapat didengar oleh orang yang sudah
meninggal.

Prosesi Penguburan.

Rangkaian acara penguburan dilaksanakan dengan ibadah penguburan yang


sebelumnya dilaksanakan panggilan
kepada penduduk lewat lonceng gereja
dan kemudian dilakukan pemukulan
tetengkoren (kentongan) yang
menandakan bahwa acara penguburan
akan segera dilaksanakan. Sebelum
ibadah di mulai dilakukan rangkaian acara
berupa pembacaan daftar riwayat hidup,
sambutan-sambutan pemerintah desa dan
diteruskan dengan ibadah. Setelah acara
ibadah dirumah duka selesai dan akan
dilanjutkan di tempat pemakaman, maka
dilakukan prosesi penutupan peti
jenasah, dilanjutkan dengan pemberian
karangan bunga oleh keluarga dan
penyiraman wangi-wangian.
Mengiring Jenasah Ke Pekuburan.

Pada saat pengantaran jenasah menuju


pekuburan, pada masa tahun 1960an hingga
tahun 1970an, peti jenasah di usung dengan
kereta yang ditarik oleh beberapa orang. Kereta
tersebut khusus dibuat untuk pemakaman.
Memasuki tahun 1980an peti jenasah tidak lagi di
bawah dengan kereta, melainkan memakai
usungan yang terbuat dari besi yang diusung
lansung oleh 8 (delapan) orang yang memakai
seragam.

Dan sepanjang perjalanan menuju kepekuburan,


posisi paling depan ditempati oleh para pemuda
dan pemudi dengan menjinjing karangan bunga
sambil bernyanyi lagu-lagu religius yang sifatnya
menghibur dan menguatkan bagi keluarga yang ditingalkan.

Posisi selanjutnya para pengusung peti jenasah


dan keluarga dan kemudian masyarakat pada
umumnya yaitu terdiri dari para orang-orang tua
khususnya Bapak-bapak. Para ibu-ibu tidak turut
serta mengantar jenasah, melainkan tetap tinggal
di rumah duka sambil menyayikan lagu-lagu
penghiburan dan menikmati suguhan makanan
dan minuman ringan yang telah disediakan.
Sesampainya di liang lahat, ibadah dilanjutkan
hingga selesai dan proses penguburan
dilaksanakan. Selesai penguburan, pihak
keluarga mengundang para pengantar untuk
kembali ke rumah duka karena akan disuguhkan
makanan dan minuman ringan. Setelah para
pengantar kembali ke rumah duka, para ibu-ibu
yang masih berada di rumah duka kembali pulang
ke rumah masing-masing dan kursi-kursi yang
kosong digantikan oleh para bapak-bapak/orang
tua dan pemuda-pemudi yang datang dari
pekuburan.

Posisi Jenasah yang dikebumikan.

Tradisi dan kebiasaan penduduk dalam hal pemakaman jenasah keliang kubur,
pada umumnya jenasah disemayamkan dengan posisi tidur terlentang dengan
melipat kedua tangan yang seringkali disisipkan serangkaian bunga atau sapu
tangan (lenso). Jenasah dibaringkan ke dalam peti jenasah yang dibalut dengan
memakai kain hitam dan dilukis memakai benang katun berwarna putih. Biasanya
bentuk gambar yang ditampilkan adalah bentuk bunga teratai dengan garis-garis
putih, dan penutup peti jenasahnya bergambarkan salib. Sedangkan lapisan
didalam peti jenasah dibalut dengan kain putih. Pada saat jenasah akan
dimasukkan keliang kubur (dikebumikan), menurut tradisi sejak dahulu bahwa
posisi jenasah yaitu kepalanya diletakkan disebelah barat menghadap ke arah
timur. Sedangkan batu nisan yang dibuat atau ditancapkan, bukan berada pas di
atas kepala seperti umumnya pemakaman daerah yang lain, melainkan berada di
atas kaki jenasah menghadap kearah barat.

Menurut tua-tua desa bahwa kebiasaan/tradisi ini dimaksudkan agar yang


meninggal dunia dapat melihat namanya di batu nisan tersebut. Sedangkan
posisinya menghadap kesebelah timur dengan maksud bahwa orang yang sudah
meninggal dapat melihat matahari terbit yang diyakini bahwa pada suatu saat
kelak mereka akan dibangkitkan dan hidup kembali seperti matahari yang
terbenam (mati/meninggalkan dunia) di ufuk barat dan kembali lagi hidup (terbit)
dipagi hari. Itulah sebabnya bahwa pekuburan umum di Rumoong-Lansot
umumnya batu nisannya menghadap ke barat. Tetapi pada masa sekarang tradisi
pemakaman tersebut mulai ditinggalkan dimana posisi kepala dan batu nisan
untuk perkuburan yang baru ada yang telah menghadap ke selatan atau ke utara.

Peringatan 3 hari dan 40 hari.

Kebiasaan berkumpul sesudah penguburan dan peringatan 3 hari dan 40 hari


seseorang yang meninggal dunia tetap dilakukan oleh keluarga, kerabat dan
penduduk desa Lansot. Menurut cerita dahulu bahwa orang yang meninggal dunia,
belum mengetahui bahwa ia telah mati. Nanti ia mengetahuinya setelah 3 hari 3
malam ia meninggal dunia. Begitupun dalam memperingati 40 hari meninggal
dunia, konon apabila seseorang meninggal dunia, maka selama 40 hari itu
arwahnya masih ada disekitar kehidupan manusia, dan mengetahui akan segala
apa yang dilakukan oleh keluarga, kerabatnya. Nanti sesudah 40 hari ia meninggal
dunia, maka ia akan diangkat ke asalnya yaitu Sorga. Mungkin hal ini dikaitkan
dengan kisah Injil tentang kematian Tuhan Yesus Kristus setelah mati, bangkit
pada hari yang ketiga dan naik ke Sorga pada hari yang ke 40.

Tradisi sesudah upacara penguburan jenasah


Bila ada seorang meninggal maka pada saat mayat di antar kepekuburan maka
orang yang tinggal di rumah membuat api yang dibuat dari sisa – sisa kayu peti
mayat. Mereka saling bergantian mengasapi tubuhnya disekitar api itu. Khusus
bagi keluarga terdekat (orang tua, adik, kakak) di samping itu mereka menggosok
telapak kaki, tangan dan dahi dengan arang dari api. Juga mereka mengambil sisa
kain kafan (putih / hitam), dipintal atau dililitkan di lengan tangan, nanti dibuka
sesudah genap 40 hari. Sejak saat meninggal sampai 40 hari selama itu diujung
meja atau kalau kekebun disajikan dipiring kecil / daun, sajian apa yang dimakan
saat itu untuk roh yang meninggal. Hari yang kedua dari yang meninggal maka
keluarga dan sanak saudara bersama – sama ke kebun / kuburan membawa
makanan sayur, jagung, untuk roh yang meninggal sebagai bekal (= lu ma’lu).

Pada saat 3 malam dan 40 hari meninggal dibuat acara “mumpur”. Keluarga dan
saudara menuju ke kuburan mengundang roh yang meninggal dan saudara –
saudara yang sudah lama meninggal pulang ke rumah. Di rumah disajikan sajian
yang di atur seperti makan bersama. Semua sajian dibuat sesuai resep, makanan
diatur piring, garpu sendok. Setiba di rumah mereka dipersilahkan duduk
menghadap makanan lalu dipersilahkan makan. Acara di ruang makan sampai
selesai dipimpin oleh seorang tua yang katanya matanya tajam mampu melihat
rupa dari roh yang meninggal dan teman – teman yang meninggal. Bila sudah
selesai makan mereka disuruh pulang ke kubur dengan mendapat nasihat bahwa
mereka sudah mati, pulang saja tinggal dikubur dan selalu harus berbuat baik.
Makanan yang ada diundang keluarganya untuk makan dengan harapan agar
mereka jadi berani.

Acara 40 hari dan 3 malam itu ada perbedaan yaitu khusus pada acara 40 hari
sebelum ke kubur sudah disediakan sebuah periuk tanah. Selesai acara memberi
makan roh itu maka dimuka pintu / tangga dilemparkan periuk itu sampai pecah
dan diiringi ucapan: “Bagaimana periuk ini pecah hancur lembur tidak dapat
dipersatukan lagi begitulah hubungan antara kita yang masih hidup dengan yang
sudah mati tidak dapat dipertemukan lagi”. Acara seterusnya adalah acara lumalu
di pasar dan di kebun – kebun untuk hari – hari ke dua atau ke tiga atau ke empat
sesudah meninggal.

Setelah agama Kristen masuk, tradisi-tradisi tersebut disesuaikan dengan ajaran


Kristiani, dan kegiatan upacara pemakaman dilakukan oleh Pemerintah Desa.
Begitupun untuk peringatan 3 malam dan 40 hari yang digunakan sebagai malam
penghiburan dalam bentuk ibadah evanglisasi sesuai dengan golongan agama
yang dianut.

Ziarah di pekuburan.

Kebiasaan ziarah (berkunjung) yang dilakukan keluarga ke pekuburan dilakukan


setiap hari hingga 40 hari meninggalnya anggota keluarga. Biasanya kunjungan
(ziarah) ke pekuburan dilakukan
setelah makan siang. Begitupun
setelah 40 hari setelah
pemakaman, keluarga dan
kerabat dekat melakukan ziarah
ke pekuburan hanya pada hari
Minggu dan selebihnya paling
sedikit 1 kali dalam sebulan
hingga 1 tahun jenasah
meninggal dunia. Setelah itu
kunjungan dipekuburan
dilakukan pada hari-hari raya
agama Kristen baik Natal dan
Tahun Baru maupun
Pengucapan syukur.

Suasana ziarah oleh penduduk di pekuburan (Foto. JK. 1977)

Kebiasaan pemasangan lilin di pekuburan dalam menyambut 1 hari sebelum Natal


dan Tahun Baru, telah menjadi tradisi hingga sekarang penduduk Rumoong-
Lansot. Pada sore menjelang malam hari yaitu tanggal 24 dan 31 Desember di
malam menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, penduduk tua maupun muda
bahkan anak-anak berbondong-bondong ke pekuburan dengan membawa lilin
yang akan di letakkan di atas batu nisan keluarga atau kerabatnya yang telah
meninggal. Pekuburan yang biasanya terlihat sepi dan angker, di malam itu akan
terang benderang disinari cahaya lilin dan kelihatan sangat indah dan syahdu.
Tetapi dimasa sekarang hal tersebut mulai berubah. Kesyahduhan dan
ketenangan yang tercipta pada saat lilin-lilin dinyalakan telah disertai suara
petasan dan kilatan kembang api bahkan tempat pekuburan berubah menjadi
ajang canda para kaum muda.

Memang pemasangan lilin di pekuburan merupakan hal yang bertentangan


dengan iman Kristiani. Tetapi tradisi yang dilakukan oleh penduduk hanya
merupakan sukacita menyambut datangnya hari besar, dan tidak merupakan
kepercayaan akan roh/arwah orang yang sudah meninggal. Pemasangan lilin oleh
penduduk dimaksudkan hanya untuk memperingati jasa-jasa para leluhur,
keluarga/kerabat yang telah meninggal dunia atas segala kebaikan yang telah
dilakukan dimasa mereka masih hidup.

Tradisi Saling Menghormati (Baku Hormat).

Pada masa dahulu penduduk desa Rumoong dan Lansot sangat menjunjung tinggi
akan etika sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat terutama kepada
mereka yang lebih tua usianya. Sikap saling menghormati dan saling menghargai
dikalangan penduduk desa Lansot terasa sangat kental dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari.

Tradisi untuk saling menghargai atau saling menghormati terlihat jelas pada saat
penduduk melakukan kegiatan sehari-hari seperti apabila seseorang yang sedang
berjalan, berpapasan (melangkoian) dengan orang lain yang lebih tua usianya, ia
lebih dulu menyapa dan memberi hormat (sumirik) dengan ucapan ‘Siambae’ (bila
pagi hari), ‘Tabea’ (bila siang hari) dan ‘Malambae’ (bila malam hari). Begitupun
apabila seseorang melewati rumah orang lain yang lagi duduk atau berdiri didepan
rumah, maka yang sedang lewat akan menyapa sama dengan yang di atas atau
menyapa seperti permintaan permisi untuk lewat, dll. Si tuan rumah yang di sapa
akan balik dan membalas menyapa atau dengan basa-basi mengajak seorang
yang lewat untuk singgah.

Begitupun apabila seseorang bertamu, ia akan mengetuk pintu apabila pintu


tertutup, atau memanggil dengan hormat sambil memberi salam apabila tuan
rumah belum kelihatan. Begitupun apabila ia ingin pamit, ia memohon diri sambil
memberikan salam. Bila seseorang akan melewati ditengah-tengah orang yang
lagi bercakap-cakap (papaaran), ia akan meminta jalan/permisi sambil
membungkukkan badan melewati orang yang lagi bercakap-cakap tersebut. Dan
cara-cara lainnya yang menunjukkan sikap hormat dan menghargai orang lain
terutama kepada orang yang lebih tua. Sikap demikian pada masa sekarang perlu
dibudayakan kembali karena mengandung nilai-nilai etika dan sopan-santun yang
berlaku umum di masyarakat.

Tradisi Hari Pungucapan (Pengucapan Syukur)

Pada masa dahulu penduduk desa dalam setiap habis panen selalu melakukan
ritual agama suku (alifuru) yaitu mempersembahkan hasil panen pertama (padi
atau jagung /raang, dll) kepada para leluhur, opo khususnya kepada Amang
Kasuruan Wangko atas berkat yang telah diberikan sehingga panen dapat
dilaksanakan.

Setelah Agama Kristen masuk ke Minahasa, ritual keagamaan suku tersebut telah
ditinggalkan, dan diganti dengan hari pengucapan syukur yang disebut
Pungucapan. Pungucapan ini biasanya dilakukan hari Minggu pada pertengahan
tahun yaitu antara bulan Juni hingga bulan Agustus, bersamaan dengan Ibadah
Mingguan umat Kristen. Pengucapan syukur (Pungucapan) yang dilakukan
penduduk bukan lagi mempersembahkan hasil panen kepada para leluhur, opo
khususnya kepada Amang Kasuruan Wangko seperti pada masa nenek moyang
mereka dahulu, melainkan dalam bentuk persembahan syukur sesuai acaran
Kristiani di rumah ibadah (gereja).

Pada hari Pungucapan ini, semua penduduk mempersiapkan jamuan makan bagi
para tamu, handai taulan yang datang dari luar desa sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Untuk mencegah terjadinya pemborosan dalam bentuk pesta
pora, pemerintah maupun para pemuka agama selalu memberikan himbauan
untuk menyelenggarakannya secara sesederhana mungkin. Sering pula bentuk
pengucapan syukur ini di buat bersama-sama dirumah ibadah yaitu semua
keluarga/jemaat masing-masing membawa makanan ke gereja dan setelah selesai
mengadakan ibadah, keluarga maupun para tamu diundang untuk makan bersama
(marengkom) dengan penuh suka cita.

Kebiasaan penduduk dalam melakukan pungucapan ini telah menjadi tradisi yang
tak dapat dihilangkan. Sehingga baik pemerintah daerah maupun pemerintah desa
bersama-sama dengan pemimpin/pemuka agama setiap tahun menentukan hari
dan menetapkan kapan waktunya untuk melakukan pungucapan. Seringkali waktu
pungucapan dilakukan serentak di semua wilayah Kabupaten atau kecamatan,
atau dilakukan secara bergiliran antara daerah/wilayah kecamatan yang satu dan
kemudian di wilayah yang lain.

Tradisi Pemilihan Hukum Tua.

Suatu hal yang menyolok dalam proses pemilihan Hukum Tua adalah kebiasaan
dari para calon untuk mengadakan kampanye pemilihan selama kurang lebih 1
atau 2 minggu. Selama itu mereka mengadakan pesta makan-minum yang
semuanya memerlukan biaya yang sangat besar. Adapun tujuan dari pada
kampanye, para calon
bersaing dalam
mengadakan berbagai
kegiatan untuk menarik
hati warga desa agar
dalam pemilihan berpihak
pada mereka.

Suasana masyarakat dalam


Pemilihan Hukum Tua Di Balai
Desa Lansot (1971)

Pelaksanaan pemilihan Hukum Tua berlangsung selama 1 hari di gedung Balai


Desa. Aparat pemerintah yang hadir adalah Kepala Kecamatan (Camat) yang
bertindak sebagai Ketua Panitia bersama 2 orang pembantunya. Setelah
pemilihan selesai, Camat akan membacakan nama calon yang mendapat suara
terbanyak dan disahkan hasil tersebut oleh camat dengan kata-kata ucapan
selamat kepada calon
yang terpilih dan diakhiri
dengan ketukan palu 3
kali. Acara selanjutnya
dilaksanakan di rumah
Hukum Tua yang baru
dalam bentuk pesta
syukur dan jamuan
makan bersama.

Pidato Camat Tareran Bapak


Erens “Erik” Kawatu
pada Acara Pemilihan
Hukum Tua Di Bali Desa
Lansot Tahun 1971

Tradisi dan kepercayaan penduduk lainnya.

Tradisi dan kepercayaan lainnya yang dilakukan penduduk dahulu antara lain :
- Dalam hal melakukan perjalanan, masih banyak penduduk yang percaya
bahwa apabila bersin atau memotong-motong apa saja dengan pisau atau
parang, merupakan penghalang untuk berangkat. Dan apabila dalam
perjalanan ada ular hitam, kucing dan burung hantu tiba-tiba memotong
ditengah jalan atau mendengar suara burung yang kurang enak didengar,
orang tersebut harus berhenti sementara waktu lalu kembali melakukan
perjalanan. Dan apabila hal tersebut dilanggar, orang tersebut akan tertimpa
malapetaka.
- Dalam hal pertanian, beberapa larangan dan pantangan (sigil) kepercayaan
sebagian penduduk sebelum membuka kebun, harus mendengar tanda atau
bunyi burung hantu (warak siang). Apabila tanda dan bunyi dari burung baik,
maka kebun tersebut dapat dibuka, apabila tidak maka dilakukan penundaan
untuk membuka kebun. Begitupun dalam melakukan penanaman padi
diladang, sesudah penanaman dilarang keluar masuk ladang tersebut selama
2 bulan. Dan apabila melewati ladang itu harus membawa bambu mentah
(bulu muda). Begitupun bila melakukan panen, maka hasil pertama harus
diberikan sesajian kepada opo-opo (Makatanak).

Inilah beberapa tradisi/kebiasaan serta kepercayaan penduduk desa Lansot sejak


dahulu yang pada masa sekarang sudah mulaipudar walaupun sebagian
penduduk masih melakukannya.
IV. KESENIAN TRADISIONAL

Dalam bidang Kesenian khususnya kesenian tradisional berupa tarian dan alat
musik tradisional yang selalu diperagakan oleh penduduk desa Rumoong-Lansot
dikenal adalah tarian Maengket dan tarian Kabasaran serta alat musik yang sering
digunakan adalah Kolintang, Musik bambu dan Tetengkoren.

a. Tarian Maengket.

Tarian ini biasanya dilakukan oleh penduduk desa baik tua maupun muda pada
saat penduduk selesai melakukan panen hasil perkebunan dan sekaligus sebagai
ucapan syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rejeki/berkat kepada
penduduk. Tarian ini mengambarkan kehidupan penduduk sehari-hari mulai dari
mengolah, memelihara hingga panen hasil perkebunan dan dirangkai dengan
iringan lagu-lagu tradisional berbahasa Tountemboan, dirilis dalam bentuk dialog
dan saling berbalasan antara peserta maengket. Puisi dan melodi yang
dilantunkan selaras dan serasi dengan diiringi oleh tambur (genderang) mapalus.
Seorang Kapel sebagai pemimpin tarian ini menghidupkan suasana dengan
nyayian yang bermakna religius.

Tarian ini biasanya dilakukan dalam 3


(tiga) babak yaitu :
- Owey Kamberu (Makamberu) yaitu
babak pertama dalam tarian Maengket
yang mengambarkan proses pekerjaan
pertanian mulai dari membuka lahan,
pembibitan hingga masa panen.
- Marambak yaitu babak Kedua dari
tarian Maengket yang mengambarkan
acara menaiki rumah baru atau lainnya.
- Lalaian yaitu babak terakhir dari tarian
Maengket yang mengambarkan
romantika pergaulan muda-mudi.

Tarian Maengket melambangkan semangat mapalus dari masyarakat yang agraris


yang dengan perkembangannya sekarang dilakukan penduduk dalam acara
pengucapan syukur menaiki rumah baru (Rumambak) dan perkawinan.
Romantisme akan lebih dihayati apabila tarian maengket ini dilakukan di bawah
langit terbuka di malam hari pada saat disinari oleh bulan purnama.

b. Tarian Kabasaran.

Tarian Cakalela atau Sakalele (asal kata dari Saka = Bertempur/ berperang,
berkelahi dan lele = tarian) ini biasanya dilakukan oleh penduduk desa khususnya
kaum pria karena tarian ini mengambarkan tarian perang yang khas Minahasa.
Konstum yang dipakai sebagai penutup tubuh didominasi oleh warna merah
(raindang) dan hitam (wuring) dengan kedua tangannya memegang peralatan
perang seperti tombak (bilak/wengkow), pedang (santi) dan perisai (kelung/keliit).
Kepala dihiasi topi (porong) yang terbuat dari akar dan serabut pohon dengan
ditancapkan bulu ayam atau burung. Tombak dan pakaian dihiasi oleh rumbai-
rumbai yang terbuat dari janur/ daun muda pohon kelapa yang berwarna kuning.

Gerakan-gerakan tariannya sangat dinamis dan


diselingi dengan tambur/genderang (momongan )
mapalus disertai dengan teriakan yang bernada
heroisme/kepahlawanan “I Yayat U Santi “ atau
“Maka Petor” yang artinya ‘Demi Kebenaran’
yaitu dua kalimat yang menunjukkan siap menuju
medan laga dengan menjunjung tinggi kebenaran.
Persiapan untuk melakukan tarian ini selalu
didegungkan kata “Wangunan Ungkeret” artinya
Berteriak (Bakuku) dengan gagah, “Tumbak
Keliit Wangunan” artinya Perindah Tombak dan
Perisai. Seringkali wajah mereka dihiasi coretan
dengan garis-garis hitam yang menimbulkan suasana yang lebih seram tapi
bermakna. Sebagai sebuah tarian maka pemainnya (artis) selalu dipilih orang yang
gagah dan lincah.

Dalam tarian Kabasaran Sakalele yang biasanya di lakukan di Desa Lansot terdiri
dari beberapa perintah gerakan yang dilakukan oleh Pemimpin Kabasaran
(Tonaas). Setiap perintah pemimpin yang dikeluarkan seperti: “Wangunan !“
(=Bangun/bersiap dan bentuk barisan) akan disambut dengan teriakan anggota
kabasaran dengan berteriak (bakuku) “Huy…..” sebagai tanda bahwa perintah
sudah dimengerti dan dengan iringan tambur/genderang maka perintah tersebut
dilaksanakan dengan gerakan sesuai dengan yang diperintahkan yang didahului
dengan gerakan mengankat kaki secara bergantian dan tombak diayunkan
kekanan dan kekiri sambil mengapit perisai. Tarian Kabasaran Sakalele ini
menggambarkan perilaku tou Minahasa di bawah pimpinan para tonaas untuk
menghadapi segala tantangan. Tarian ini pada mulanya berasal dari daerah
Tareran (Rumoong-Lansot) dan Tompaso dimana kedua daerah ini dahulunya
sebagai daerah pertempuran Tou Minahasa menghadapi orang-orang Mongondow
pada masa dahulu.

Kedua tarian tradisional Maengket dan Kabasaran ini merupakan bentuk


komunikasi sosial dan kepercayaan yang sudah mengakar dalam budaya
Minahasa. Semangat gotong royong (Mapalus) dan dinamika masyarakatnya yang
cenderung mordenis dipantulkan kembali dalam kedua tarian yang khas ini. Gaya
verbalnya dalam bentuk bahasa yang lirik, romantik serta religius, dan gaya non
verbalnya terlihat dalam gerakan-gerakan serta irama yang ekspresif, dinamis dan
kreatif yang terlihat jelas dalam penampilan kedua tarian khas Minahasa ini.
Semoga kedua tarian ini tetap di lestarikan oleh penduduk desa Rumoong-Lansot.

3. Alat Musik Tradisional

Kolintang & Musik Bambu.

Penduduk desa Rumoong-Lansot sebenarnya sangat gemar dan ahli memainkan


kedua alat musik yaitu Musik bambu dan musik Kolintang. Musik Kolintang dan
Musik Bambu merupakan alat musik yang menjadi ciri khas Minahasa dalam
berbagai kegiatan acara. Sebab itu perlu dikembangkan dan dilestarikan
keberadaannya.

Pada masa-masa dahulu, musik bambu dan kolintang sering mengisi acara-acara
desa baik resmi maupun tidak resmi yang dimainkan oleh penduduk. Musik
Bambu adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang terdiri dari rangkaian alat
musik untuk melodi biasanya dimainkan dengan suling bambu, beberapa pengiring
yaitu terbuat dari potongan bambu dengan berbagai ukuran yang ditiup dengan
memakai bambu yang lebih kecil. Setiap peserta mempunyai nada pengiring yang
berbeda-beda dan saling bergantian. Begitupun pengiring yang mengeluarkan
nada bass juga terbuat dari bambu yang bentuknya seperti terompet raksasa.
Apabila musik bambu ini dimainkan, akan mengeluarkan paduan irama bunyi yang
khas dan enak didengar. Sedangkan alat musik Kolintang adalah alat musik
yang terbuat dari potongan kayu yang dipotong sedemikian rupa hingga bila di
ketuk menimbulkan irama/nada yang pas sesuai komposisi nada pada alat musik
modern pada umumnya. Satu tumpukan alat musik Kolintang ini terdiri dari 1 buah
perangkat untuk melodi, 4-5 perangkat pengiring, dan 1-2 perangkat bass.

Pada masa sekarang ini, musik Kolintang telah digalakkan lagi di desa Rumoong-
Lansot. Salah satunya adalah Group Musik Kolintang “Marukupan” GMIM
Betlehem Lansot Wil. Tareran Satu. Berbagai ajang perlombaan baik tingkat
kabupaten, Provinsi bahkan Nasional pernah diikuti bahkan pernah meraih
prestasi tertinggi menjadi Juara I baik di Tingkat Kabupaten, provinsi maupun
Nasional.

Salah satu penampilan Group Musik Kolintang Marukupan dalam suatu perlombaan

Untuk itu diharapkan, kiranya dapat diusahakan pelestarian kedua alat musik
sebagai asset desa agar generasi muda sekarang dapat mengenal lebih dekat
dan dapat memainkannya kedua alat musik tersebut. Dengan demikian pada
pentas-pentas/acara-acara di desa maupun diluar desa, kedua alat musik ini dapat
ditampilkan dan digunakan sebagai daya tarik para wisatawan baik dalam maupun
luar negeri.
Alat Musik Tetengkoren (Kentongan).

Begitupun dengan perkembangan yang terjadi desa Rumoong- Lansot dengan


darah seni yang mengalir di kalangan penduduk desa sehingga dapat
mengembangkan alat musik baru yaitu alat musik tetengkoren yang terbuat dari
bambu yang bagian sisinya di buat lubang sehingga bila diketuk/dipukul akan
mengeluarkan bunyi yang nyaring. Tetengkoren ini dapat dimainkan dengan irama
yang khas. Alat musik ini diciptakan menurut tradisi penduduk desa Rumoong-
Lansot bila sedang bekerja dikebun karena Tetengkoren ini merupakan alat
komunikasi penduduk desa Rumoong-Lansot sejak jaman dahulu hingga sekarang
yaitu apabila seseorang tiba dikebun, ia akan menyembunyikan tetengkoren
begitupun apabila ia pulang dari kebun, tetengkoren akan dibunyikan sebagai
isyarat kepada penduduk lainnya yang ada di sekitar kebun tersebut. Lama-
kelamaan tetengkoren ini menjadi sebuah alat hiburan dikala penduduk
beristirahat dan melepas lelah dari pekerjaan dikebun, ia akan makan di
sabuah/terung dan selesai makan ia akan membunyikan tetengkoren tersebut.
Untuk menciptakan bunyi yang beragam yang enak didengar, maka dibuatlah
beberapa buah tetengkoren dengan ukuran yang berbeda agar bunyi yang
dihasilkan juga berbeda sehingga bila dimainkan akan menimbulkan irama musik
yang khas dan dapat mengiringi subuah nyayian. Biasanya untuk memainkannya,
tetengkoren tersebut ditancapkan di atas tanah atau di gantung menurut ukuran
bentuk dari yang terbesar hingga yang terkecil dan di bunyikan dengan memakai
dua tangan yang masing-masing memegang kayu pemukul. Cara memainkan
tetengkoren dengan memukul bergantian sesuai irama yang diinginkan dan perlu
keahlian khusus untuk itu. Keahlian tersebut akan diperoleh dengan sendirinya
apabila sering memainkannya.

Alat ini pernah ditampilkan dalam


acara pembukaan dan penutupan
HUT Desa Lansot yang ke 446
tahun 2006 dan mendapat respon
yang luar biasa dari penduduk dan
para undangan yang
menghadirinya. Semoga alat musik
yang baru ini dapat dikembangkan
sebagai alat musik tradisional
sebagai salah satu obyek
pariwisata.

Salah satu aktrasi alat tradisional “Tetengkoren”


Dalam Penutupan HUT Desa Lansot Ke 446 Thn 2006

4. Pencipta Lagu (Komposer) & Group Musik Trasisional.

Desa Rumoong-Lansot merupakan dua desa yang banyak memunculkan


komposer/pencipta lagu yang sangat dikenal di Minahasa bahkan secara nasional.
Darah seni yang mengalir pada putera-putera Tareran ini telah mengharumkan
nama desa Rumoong Lansot.

Pada sekitar tahun 1900-1930 dikenal seorang pencipta lagu yang bernama
Petrus Rompas seorang guru, guru jemaat/kepala sekolah Volk School (1890-
1910) asal desa Wiau Lapi, kemudian muncullah lagu-lagu ciptaan Johanis M.
Kumaat (Om Buang) bercirikan lagu-lagu tua juga Frets Lumangkun dan Piet
Sendow dimana lagu ciptaan mereka sering dinyayikan dalam koor-koor gereja
yang membangkitkan semangat iman gerejani. Lagu-lagu berbahasa
Tountemboan tak luput dari karya mereka yang bersifat tradisional, lirik dan alunan
lagunya yang gemulai menunjukkan sifat asli Toutemboan yang halus budi
bahasanya. Seringkali lagu-lagu tradisional iru disebut juga lagu-lagu yang disebut
Makaaruyen/makatanak (Kalelon) yang pada tahun 70-an sering dinyanyikan oleh
Group musik ‘Tumareran’ asal Lansot.

Group Tumareran ini didirikan pada tahun 1973 dengan pengurus adalah Bapak
J.H. Karamoj (Ketua), dibantu oleh Bapak Johanis Prang dan Bapak H.
Wensen. Group musik “Tumareran” walaupun dengan peralatan musik yang
sangat sederhana, mampu memukau
masyarakat musik Sulawesi Utara
sekaligus membawa harum nama desa
Lansot khususnya Kec. Tareran. Pada
masa tahun 70-an lagu-lagu rekamannya
pernah menduduki tangga teratas
permintaan lagu-lagu yang disiarkan oleh
Pemancar Radio di kota Manado dan
sekitarnya

Adapun personil Group musik Tumareran pada mulanya terdiri dari Johny Tampi,
Syultje & Vonny Tenda (Vocalis) dengan personil pengiringnya adalah Frans
Prang, Maxie Kondoy, Buce Kondoy (Gitaris) serta Johny Karundeng
(Drumer). Kemudian muncul group musik lainnya yaitu ‘Marukupan’ pimpinan
Joppy H. Kondoy dengan vocalisnya Masye Prang, menambah nuangsa
permusikkan di Minahasa.

Tahun 1957 muncullah komposer muda tunanetra Johny Mapaliej yang juga
banyak memunculkan lagu-lagu bernafaskan Kekristenan yang dipakai dan
digunakan dalam berbagai even perlombaan Paduan Suara di Minahasa bahkan
secara nasional. Begitupun para pencipta lagu yang bermunculan diera 50-an
hingga 70-an antara lain Hendrik Rompas, Eddy Tenda dan Erens ‘Erick’
Kawatu yang banyak menciptakan lagu yang bernafaskan kecintaan terhadap
desa kelahirannya.

Itulah darah-darah seni putra Rumoong Lansot yng berkiprah dalam dunia musik
yang tetap lestari dan dikenang hingga sekarang ini.

5. PELESTARIAN PENINGGALAN SEJARAH.

Pelestarian benda-benda peninggalan (telaawen) sejarah yang banyak terdapat


dibekas pekuburan (palowengan) penduduk desa Rumoong-Lansot dahulu seperti
Waruga, Batu Perkuburan Leluhur Desa Lansot serta benda-benda peninggalan
lainnya seperti Lonceng Gereja Tua di Rumoong Atas, perlu mendapat perhatian
pemerintah desa dan masyarakat pada umumnya dalam menjaga dan merawat
peninggalan sejarah itu. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun
1992 bahwa segala benda-benda buatan manusia yang telah berumur lebih dari
50 tahun dan mewakili masa gaya yang khas serta dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dilindungi oleh negara.

Peninggalan sejarah yang ada di desa


Rumoong dan Lansot adalah berupa
WARUGA atau kuburan batu para leluhur
(abad 18), TUGU Peringatan Penginjil
Sde Velden Capellen (1856) dan Gedung
Gereja Tua GMIM Rumoong-Lansot
(1916), serta benda-benda peninggalan
sejarah lainnya yang ditemukan di sekitar
lokasi waruga seperti peralatan dapur
berupa piring, mangkuk dan lain-lain, serta
yang berada di tengah perkampungan desa
Lansot sekarang. Benda-benda
peninggalan sejarah ini sudah termasuk
Benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh
Undang-undang.
Tugu pengnjil S.Der Vander Velde Van Capelen, setelah direnovasi.

Pada masa Minahasa Tua dahulu, seseorang


sebelum meninggal dunia khususnya yang
dipandang sebagai pemimpin, orang tersebut
atau keluarga sudah menyiapkan tempat
pemakamannya berupa batu yang telah diukir
(Waruga) dan memberikan kedalam batu
tersebut segala macam benda sebagai bekal
apabila ia telah meninggal dunia, seperti
peralatan dapur (piring, mangkuk, dll) atau
benda-benda berharga lainnya.

Waruga /Batu Kubur Para Leluhur Di Desa Lansot

Setelah orang tersebut meninggal dunia, akan dikuburkan bukan dengan


dibaringkan, melainkan dalam posisi duduk bersila atau dalam posisi seperti janin
dalam kandungan tepat di atas benda-benda yang telah dikuburkan terlebih
dahulu.
Pelestarian dan perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya peninggalan
sejarah tersebut di atas perlu segera dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut. Peranan pemerintah desa dan masyarakat desa Rumoong-Lansot sangat
penting dalam melestarikan dan melindungi benda-benda peninggalan sejarah ini.

=========
BAB IV
SEJARAH MASUKNYA INJIL DAN PENDIDIKAN
DI NEG’RI RUMOONG-LANSOT

A. MASUKNYA INJIL DI RUMOONG LANSOT

Sudah sejak Spanyol dan belanda menginjakkan kakinya di tanah Minahasa


antara tahun 1565 - 1667, Neg’ri Rumoong-Lansot hingga awal belum juga
tersentuh dengan pengkhabaran Injil. Hambatan yang menjadi faktor utama
dalam misi Penginjilan di Minahasa khususnya di daerah pedalaman adalah
sulitnya merubah kepercayaan lama penduduk dan sulitnya medan yang harus
ditempuh untuk memasuki pedalaman Minahasa serta faktor bahasa dan masih
terbatasnya para Penginjil yang datang untuk menjangkau semua wilayah di
daratan Minahasa.

1. KARL TRAGOTT HERRMANN, PELOPOR PENGINJILAN DI RUMOONG-


LANSOT.

Masuknya Injil mula-mula di Rumoong-Lansot dilakukan pada tahun 1840


oleh K.T. Herrmann atau dengan nama lengkapnya KARL TRAGOTT
HERRMANN setahun setelah istrinya meninggal dunia di Amurang. K.T.
Herrmann datang ke tanah Minahasa setelah menikah di Rotterdam dengan
Magdalena Bertha Cammerrer pada
tanggal 29 Juli 1835. K.T. Herrmann
lahir di Jerman pada tanggal 30
Agustus 1808.

Dibawah bendera NZG, ia diutus ke


Minahasa pada tanggal 17 Desember
1836 dan mendapat kepercayaan
bertugas di Zendeling Post yang ada di
Amurang. Tepat pada tanggal 1 Januari
1837 ia memulai pekerjaannya di
daerah selatan Minahasa dengan
menyampaikan khotbah perdananya.

Makam dari K.T. Herrmann

Dalam masa pelayanannya di wilayah Amurang ia mendapat cobaan yang


bertubi-tubi baik yang datang dari penduduk maupun ujian lainnya dari
Tuhan. Cobaan pertama yang diterimanya adalah kematian anak
tunggalnya yang masih berusia satu tahun yang diberi nama Minahasa
Beby Lontoh. Tak lama kemudian istrinya M.B. Cammerrer turut dipanggil
pula menghadap Tuhan pada tanggal 17 Juli 1839. Cobaan lainnya
datangnya dari para penduduk yang masih memegang adat-istiadat
berdasarkan kepercayaan alifuru. Mereka sangat menentang ajaran Injil
yang bertentangan dengan kepercayaan mereka.

Cobaan-cobaan ini tak menyurutkan langkahnya untuk bekerja di ladang


Tuhan, bahkan hal ini dianggap tantangan sehingga menimbulkan
semangat baru baginya untuk terus mengabarkankan Injil hingga ke
daerah-daerah pedalaman.

Pada tahun 1840, ia melayani daerah pegunungan yang penduduknya


masih sangat primitif. Dengan tidak mengenal lelah ia menggarap ladang
pelayanannya di Desa Wuwuk dengan sangat baik. Dari Wuwuk, ia menuju
ke Desa Kapoya dan kemudian ke Rumoong-Lansot. Usaha penginjilan
ini pada mulanya kurang mendapat simpati dari penduduk terutama dari
para tonaas dan walian karena masih kuatnya kepercayaan suku yang telah
mengakar dalam ikehidupan penduduk. Memang untuk memasukkan
paham baru untuk merobah sikap dan keyakinan ditengah kehidupan
penduduk yang masih sangat primitif serta masih berpegang teguh pada
kepercayaan yang lama yang dianut secara turun-temurun, merupakan
suatu pekerjaan yang tak mudah.

Salah satu cara yang ditempuh oleh K.T. Herrmann untuk membantu
tugasnya dalam pengkhabaran Injil di Rumoong Lansot adalah dengan
meminta dari Pemerintah Hindia Belanda melalui Distrik Amurang agar
mengirimkan seorang Kepala Desa untuk ditempatkan di Rumoong yang
pada waktu itu belum berstatus sebagai sebuah desa.

Maka pada tahun itu juga dikirimlah Lumambot Rumangu (1840-1850)


asal Amurang untuk ditempatkan sebagai seorang kepala desa di
Rumoong. Maka mulai saat itu Rumoong dengan sah menjadi desa yang
berdiri sendiri pisah dari desa Lansot dibawah Kepala Distrik Amurang.

Pengiriman seorang kepala desa ini berdampak positif bagi keberhasilan


penginjilan. Setelah dua tahun ditempatkannya kepala desa di Rumoong,
seiring dengan kerja keras K.T. Herrmann melakukan misi pelayanan untuk
pengkhabaran Injil ditengah penduduk yang masih terikat dengan
kepercayaan lama, akhirnya pada tahun 1842 beberapa penduduk yang
merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati oleh penduduk
setempat menyediakan diri untuk pertama
kali dibaptis sebagai orang Kristen.

Mereka adalah TIMBONG, TUKUSAN &


LELET kemudian dibabtis menjadi DANIEL
LUMANKUN, ANTONIUS SUMAKUL dan
HERMANUS TENDA.

Kemudfian menyusul dibaptis KAREL


RUMANGU dan pada masa akhir pelayan
K.T. Herrmann dan awal pelayanan S.Der
Velde Van Cappelen Tahun 1851
dibabtislah MARKUS TAWAS. Karena
melihat posisi mereka adalah orang kuat
mereka – mereka pun diangkat menjadi Kerkraad (majelis). Rumoong
Lansot masih tetap merupakan wilayah perkunjungan Zendeling pos
Amurang. Oleh karena yang dibabtis merupakan sesepuh masyarakat,
maka tidaklah mengherankan apabila kemudian banyak masyarakat yang
ikut dan turut dibabtis.

Namun sudah ada yang dibaptis di Rumoong Lansot tetapi secara resmi
dinyatakan Rumoong Lansot merupakan jemaat nanti 3 tahun sesudah itu
yaitu tahun 1845.

Penerimaan Injil oleh penduduk Rumoong-Lansot pertama ini diabadikan


dalam sebuah lagu :

TAHUN 1842

Taun empat puluh dua, datanglah terang


Orang di keg’lapan dosa menerima Injil.

Hal ini sudah jadi, di Rumoong-Lansot.


Orang beragama kafir, sudah dibaptiskan.

Bapa, ibu dan anak, mari kita s’mua


Tinggalkan keg’lapan dosa,
dan terimalah Injil.

Makam K.T. Herrmann [tengah] diapit oleh makam Istri dan anaknya

Dalam pelayanannya K.T. Herrmann merasa sangat bangga dengan apa


yang dilakukannya. Bahkan ia begitu menikmatinya sehingga ia dapat
menaklukkan orang-orang alifuru (kafir) bahkan para Tonaas dan Walian
yang ada di daerah pegunungan termasuk di Rumoong-Lansot. Setelah
berhasil menyampaikan Injil di daerah-derah pegunungan Wuwuk, Kapoya
dan Rumoong-Lansot, ia menyusuri daerah pegunungan di belakang
Amurang sampai di daerah Tonsawang. Kemudian misi penginjilan terus
dikembangkannya di salah satu sisi sungai Ranoyapo dan terus
melanjutkan misinya sampai di Kumelembuai. Disetiap daerah yang
disingahinya, K.T. Herrmann mendirikan sekolah dan membangun jemaat.

K.T. Hermann dianggap sebagai seorang yang rapi dalam melakukan


pekerjaannya. Tak heran setiap pekerjaan yang dilakukannya selalu
berhasil karena dipersiapkan dengan baik dan matang. Ia merupakan satu-
satunya penginjil di Tanah Minahasa yang mengusahakan penjelmahan
Injil Matius ke dalam Bahasa Melayu rendah. Untuk menjangkau pelayanan
Injil yang lebih luas, K.T. Hermann juga mencoba memakai literatur sebagai
medianya untuk menyususn buku-buku pelajaran Injil. Sayangnya usahanya
dibidang pelayanan literatur ini tidak mendapat dukungan dari rekan-
rekannya sehingga cara penyampaian Injil melalui literatur tidak
berkembang sama sekali.

Setelah melayani dan berkarya selama 14 tahun di daerah Minahasa, pada


tanggal 27 September 1951, K.T. Herrmann meninggal dunia kembali
kepangkuan Bapa di sorga dan jasadnya dikebumikan di Amurang di
samping jasad istrinya dan anaknya yang lebih dahulu dipanggil Tuhan. Ia
dikuburkan ditengah-tegah jemaat di Desa Ranoyapo- Amurang.

Lagu : HAI ISI DUA NEG’RI RUMOONG-LANSOT

Hai isi dua neg’ri Rumoong-Lansot 2 X


Panggil kami semua datang kepada untung
Suara Maha Tuhan, sudah lama disini.
Panggil kami semua datang pada untung
Jangan kami semua, masuk hukuman kekal.

Tugu peringatan pembaptisan pertama penduduk Rumoong Lansot [di dekat makam
Bapak Daniel Lumankun-orang pertama yang dibaptis oleh K.T. Herrmann tahun 1842]
2. S. VAN DER VELDE VAN CAPELLEN, PENGINJIL MUDA DENGAN
SEMANGAT YANG MEMBARA.

Untuk melanjutkan misi pengkhabaran Injil serta membimbing iman bagi


mereka yang telah di-Kristenkan,
yang telah dirintis oleh K.T.
Hermann maka pada tahun itu juga (
1851) dari Amurang datanglah
seorang pendeta muda yang
dipanggil dengan nama Velden
Capellen.

Velden Cappelen atau dengan


nama lengkap S. VAN DER VELDE
VAN CAPPELEN, adalah satu-
satunya pekabar Injil muda dari
Belanda yang menyandang nama
begitu sulit diucapkan oleh orang
Minahasa.. Sekalipun namanya sulit
diingat orang, tetapi gairah dan
semangatnya yang berapi-api sulit
dilupakan oleh mereka yang
dilayaninya.
Tugu Peringatan Penginjilan
Sde Velden Capellen (1851-1856) sebelum pemugaran

Sde Velden Cappelen tiba di tanah Minahasa pada tanggal 16 Juli 1851
dan langsung ditempatkan di Amurang untuk membantu pelayanan K.T.
Herrmann. Setelah K.T. Hermann meninggal dunia pada tahun 1851, Ia lalu
mengambil alih sebagian besar pekerjaan penginjilan yang sangat
memerlukan tangan yang kuat dan semangat yang baru pula. Hanya dalam
waktu yang relatif singkat, Amurang di bawah kepemimpinannya mengalami
perubahan yang sangat besar. Semangatnya dalam pelayanan begitu luar
biasa sehingga dapat dirasakan di mana-mana, bahkan sampai di dalam
kehidupan keluarga dan dalam berbagai hubungan kemasyarakatan.

Usaha-usaha yang dilakukan Velde Cappelen di daerah pelayanannya tidak


terbatas pada penginjilan semata, tetapi seperti Penginjil yang datang ke
Tanah Minahasa usaha memajukan pendidikan selalu menjadi prioritas
utama. Ia terkenal sangat kreatif dan menghargai nilai-nilai estetika karena
ia mendukung setiap usaha yang mengagungkan keindahan. Di dinding-
dinding sekolah Velde Cappelen menggantungkan rumus-rumus ejaan dan
aksara bahkan pada balok-balok tertulis peribahasa-peribahasa, huruf-huruf
indah serta angka-angka yang terpampang indah. Hal ini dilakukan agar
setiap muridnya dengan mudah mengingatnya dan dapat juga mendorong
anak-anak untuk menulis indah.

Velde Capellen amat agresif tapi positif dalam pelayanan, karena itu tanpa
mengenal lelah ia masuk sampai ke daerah-daerah pegunungan dan
melayani jemaat dengan penuh gairah. Dengan sekuat tenaga ia berusaha
menaklukkan setiap tantangan dan rintangan yang menghalangi penginjilan
termasuk di daerah pelayanannya di Rumoong-Lansot.

Tantangan pertama yang dihadapi pendeta ini dalam pelayanannya di


Rumoong-Lansot, sama dengan yang di alami oleh K.T. Herrmann yaitu
begitu dominannya kepercayaan nenek moyang (Agama suku/Alifuru)
dalam kehidupan penduduk Rumoong-Lansot saat itu. Hambatan yang
paling besar datangnya dari beberapa orang Tonaas dan Walian yang
merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti penduduk di masa itu. Mereka begitu
menentang kehadiran paham baru yang dibawah oleh para Penginjil, dan
mencoba menghalangi misi penginjilan yang dilakukan oleh Velde
Ceppelen.

Sde. Velden Capellen dikenal sebagai penginjil muda yang enerjik serta
keras dalam menerapkan disiplin yang merupakan bagian dalam pelayanan
pengkhabaran Injil di tengah-tengah penduduk yang kehidupan sosialnya
masih sangat perimitif. Walaupun sifatnya dan tindakannya yang begitu
agresif dan disegani dikalangan penduduk, belum juga dapat mengoyahkan
keyakinan beberapa tonaas dan walian yang ada di Rumoong-Lansot.

Maka untuk membantu melaksanakan misinya itu, ia dengan berani


menerima bantuan dari pemerintah Hindia Belanda melalui Distrik
Kawangkoan untuk menempatkan seorang Hukum Tua mengantikan peran
Pamatuan yang selama ini dipilih dan diangkat oleh penduduk.

Maka pada tahun 1951 dikirimlah dari Kawangkoan Javet Lapian untuk
menjadi kepala desa menggantikan peran Pamatuan. Usaha penempatan
Kepala Desa itu mulanya mendapat tantangan dari para tonaas dan walian.
Mereka mengangap bahwa apa yang dilakukan oleh Sde Velden Capellen
merupakan pelanggaran terhadap adat-istiadat yang selama ini berlaku dari
awal berdirinya ro’ong Lansot. Tetapi usaha menempatkan seorang kepala
desa di Lansot tetap dilanjutkan.

Dengan ditempatkannya seorang Hukum Tua di Lansot, usaha penginjilan


mulai mendapat tempat di hati penduduk Rumoong-Lansot. Sehingga pada
tahun 1856 diakhir hidupnya sebagian besar penduduk di Desa Rumoong-
Lansot dapat di Kristenkan, walaupun dengan usaha kerja keras dalam
menghadapi berbagai tantangan yang datang dari para tonaas/dotu serta
walian yang ada di Desa Rumoong-Lansot.

Memang kehadiran Velde Van Cappelen sebenarnya disamping dia


bertugas juga bermaksud untuk berobat, karena pada saat itu dia mengidap
sejanis penyakit (mungkin typus). Pendeta Van Cappelen sempat berjuang
dengan gigih mengkristenkan penduduk. Sehari-hari ia berada di atas
punggung kuda naik turun gunung menjumpai penduduk. Malah ia pernah
dengan di kawal oleh Kerkraad yang waktu itu dianggap orang kuat sempat
mencambuk para tonaas yang sedang menari “Mareindeng” (tari pujaan
kepada opo – opo selesai memetik panen).

Tindakan para tonaas dan walian ini sangat memuakkan Velde Van
Cappelen sehingga dengan kemarahan yang besar, ia lalu membuat
sebuah lagu dalam bahasa Tountemboan yang dapat dimengerti oleh
penduduk setempat dan selalu dinyanyikannya sebagai sindiran kepada
para Tonaas dan walian yaitu :

PIRA KAMO EN TONAAS


Cip. Sde Velden Capellen (1851-1856)

Pira kamo en tonaas, Hale…..


Telu kamo en tonaas, Hale …..
Telu kamo en topoken,
Wo ragien tanu serak
Hale-haleluyah, Hale-haleluyah.

Terjemahan Bahasanya:
Berapa orang kamu hai Tona’as,
Tiga orang kamu hai Tona’as.
Kamu bertiga akan akan dicincang
dan akan dipanggang seperti ikan
Puji-Puji Tuhan, Puji-Puji Tuhan.

Mula – mula untuk menopang penginjilan ditengah penduduk agar dapat


diterima dengan baik, dia mengajar dengan lagu – lagu berbahasa
Tountemboan dan lama kelamaan dia mendirikan sekolah dan iapun sendiri
menjadi guru mula – mula di Rumoong Lansot.

Pada tahun 1855 oleh NZG, ia diperintahkan untuk membantu penginjilan di


Kepulauan Sangihe-Talaud. Disana ia membabtis 5033 orang secara
marathon tanpa kenal lelah. Hanya beberapa waktu di sana ia kembali lagi
ke Amurang dan melanjutkan pelayanannya di daerah Pegunungan. Tanpa
menghiraukan kesehatan dan kondisi fisiknya ia terus berjuang melayani
jemaat. Mungkin karena kerjanya yang terlampau bersemangat itu sehingga
ia tidak dapat menahan semua keletihan, kesedihan, kekecewaan,
perlawanan, dan agitasi yang terus menerus ditambah dengan penyakit
yang telah lama mengorogoti tubuhnya, akibatnya pada tanggal 6 Oktober
1856, S. Van Der Velde Van Capellen jatuh pingsan ditengah-tengah
jemaatnya di Rumoong-
Lansot dan meninggal
dunia. Ia kemudian
dikuburkan di desa Lansot
ditengah-tengah penduduk
yang telah berhasil di
bawah ke dalam terang
Injil. Kuburnya berhadapan
dengan waruga – waruga
yang oleh penduduk
dikeramatkan. Dan sejak
saat itu waruga tidak di
anggap lagi tempat
keramat.
Peresmian Tugu Velden Cappelen setelah direnovasi
oleh Ketua Sinode GMIM Pdt. P.M. Tampi, S.Th
3. PENGINJIL LAINNYA YANG DATANG DI RUMOONG-LANSOT.

Setelah dibabtisnya penduduk Rumoong-Lansot, beberapa orang yang


merupakan kaum muda antara lain Daniel Lumankun, Antonius Sumakul,
Hermanus Tenda Karel Rumangu, Markus Tawas yang oleh K.T.
Herman dan Velde Cappelen dibina dengan maksud untuk membantu
tugas-tugas pengkhabaran Injil di Rumoong-Lansot. Diantara para pemuda
itu terdapat seorang yang yang paling menonjol dalam pemberitaan Injil
ditengah-tengah masyarakat Rumoong-Lansot. Ia adalah Kemboan yang
telah dibabtis dengan nama Yunus Rumangu yang kemudian menjadi
seorang Penlong dari kalangan penduduk Rumoong-Lansot yang paling
terkenal dan fasih dalam membawakan firman-firman Tuhan kepada jemaat
baik melalui mimbar gereja maupun dalam acara-acara pertemuan jemaat.
Bapak Yunus Rumangu ini dipakai Tuhan hingga usia yang sudah lanjut
(umur 105 tahun) dan dipanggil menghadap Tuhan pada usia 119 tahun.

Untuk menggantikan pelayanan Sde Velden Capellen maka pada tanggal


10 Mei 1857, NZG mendatangkan Pendeta H.J. Tendeloo untuk
menempati post Amurang dan melayani jemaat-jemaat di wilayah
pelayanan resort Amurang. Dibawah asuhannya masyarakat menjadi agak
terbuka untuk hal-hal yang berhubungan dengan agama dan usaha
pembentukan peradaban. Dengan sarana yang ada, ia mencoba
mewujudkan cita-citanya, yakni dengan menyuruh orang mencari sendiri
dan bekerja tanpa berusaha mendorong dan mendesak jemaat
melakukannya dengan moral yang amat tinggi. Pada tahun 1878, Pendeta
H.J. Tendeloo meninggalkan pelayanannya di Amurang dan pindah ke
Tonsea.

Untuk meneruskan hasil dari pengkhabaran Injil dan membina jemaat


menuju pada peradaban, maka pada tanggal 7 Juli 1861 datanglah
Pendeta Van de Liefde untuk menggantikan Pendeta H.J. Tendeloo.
Alasan penggantian ini karena Pendeta Liefde memiliki metode yang
menyerupai Pendeta S, Der Van Der Velde Cappelen.

Dimasa playanannya, jemaat di Rumoong-Lansot mengalami


perkembangan yang sangat pesat. Selama bertugas 6 tahun berturut – turut
pendeta Van de Liefde telah sempat membaptis ± 250 orang baik dewasa
maupun anak – anak. Namun sidi hanya 36 orang.

Untuk meningkat pelayanan dfi Rumoong-Lansot, pada tahun1867, dibawah


pelayanan Pendeta Van de Liefde inilah maka datanglah Pendeta Simon
Simson Tumbelaka dari Resort Amurang untuk melayani jemaat
Rumoong-Lansot. Dalam masa pelayanannya, ia jatuh cinta kepada gadis
anak dari Karel Rumangu (Kelkraad pertama) bernama Maria Rumangu
dan menikah pada tahun 1875. Sebelum menjadi Pendeta, S.S. Tumbelaka
adalah seorang Guru merangkap Hulp Predikant (Penulong Injil) sekolah
Zending lulusan Tahun 1868.
Setelah sekian lama melayani misi penginjilan di Rumoong Lansot,
Pendeta S.S. Tumbelaka lalu dilanjutkan oleh Pdt. Siliwanus Walintukan
pada tahun 1890 dan melayani penginjilan di Rumoong-Lansot sampai
tahun 1897. Ia juga sekaligus merangkap sebagai Guru. Ia mati dan
dikuburkan di Lansot tahun 1897. lalu digantikan oleh Pdt. A. Rumengan
pada tahun `1897 dibawah pimpinan resort Amurang pada waktu itu
Nicolaas Grafland. Pada masa kecil Pdt A. Rumengan merupakan “Anak
piara” dari K.T. Herrmann. Iatilah ‘anak piara’ merupakan istilah yang
dipakai sebelum munculnya Sekolah Zending.

Usaha peningkatan kehidupan gerejawi di Rumoong Lansot dapat terlihat


pada satu table hasil usaha penginjilan tahun 1874 s/d 1880, sbb.:

Baptisan
Tahun Sidi Nikah Oleh
Dewasa Anak Jumlah
Van de
1874 - 54 54 25 2 Lief
Liefde
1875 1 30 31 - 1 Sda
1878 - 24 24 10 20 Sda
1879 2 64 66 1 2 Sda
1880 9 71 80 - 14 sda
Jumlah 12 223 255 36 39

Dengan ditempatkannya penginjil tetap di Rumoong-Lansot, penginjilan


berkembang dengan pesat hal ini tercatat hingga pada tahun 1897, bahwa
sudah 1328 orang yang dibaptis, sedangkan pada tahun 1908 mencapai
1410 orang.

Selanjutnya secara berturut-turut nama-nama Penginjil/Penolong /Pendeta


yang pernah bertugas di Jemaat Rumoong-Lansot hingga tahun 1934
sebelum GMIM berdiri adalah :

NO. Nama Penolong / Pendeta Masa Kerja Ket.


1 Simon S. Tumbelaka 1884 – 1890
2 Silvanus Walintukan 1890 – 1897
3 A. Rumengan 1897 – 1902
4 J. Turangan 1903 – 1906
5 J. Tawas 1906 – 1912
6 M. F. Warouw 1914 – 1919
7 L. Mundung 1920 – 1927
8 E. Rompas 1927 – 1930
9 S. Siwu 1931 – 1935
4. AWAL PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH

Dimasa pelayanan Pdt. M.F. Warow, Jemaat Rumoong-Lansot sudah


mendirikan Gereja yang sangat sederhana. Halaman Gereja ini dahulunya
merupakan tempat yang sering dipakai untuk upacara agama suku oleh para
pendiri desa Rumoong Lansot sebelum
agama Kristen masuk di Neg’ri Rumoong-
Lansot. Dan dimasa pelayanan S. Van
Der Velde Van Cappelen tempat ini
dirubah menjadi Rumah Ibadah yang
bangunannya masih sangat sederhana.
Bukti sejarah adalah koleksi lonceng
gereja yang di buat tahun 1898, terdapat
catatan di bagian tengah lonceng tersebut
“PAUMUNGAN MESIHI RUMOONG
LANSOT, dan di bagian bawah tertulis A
BIKKERS & ZOON ROTTERDAM 1898.
Pada tahun 1934 sesudah sinode GMIM
berdiri maka gedung gereja tersebut
diberi nama GMIM RUMOONG LANSOT.

Perencanaan pembangunan Gereja mulai dimulai dimasa pelayanan Pdt. M.F.


Warouw tahun 1914. Pada saat proses pembangunan tempat ibadah (Rumah
Gereja) Rumoong Lansot yang berada di jalan raya perbatasan Rumoong Atas
dan Lansot, maka untuk sementara tempat ibadah dipindahkan di halaman
rumah/kintal milik Semuel Slat jalan belakang (kompleks pohon Lowian).
Kemudian sekitar tahun 1916 pembangunan gedung gereja baru selesai
dilaksanakan dan diresmikan pemakaiannya pada 16 Juni 1916.
Pembangunan gedung gereja itu adalah swadaya murni jemaat dan bertindak
selaku bendahara ialah bapak J. P. Mapaliey (Kerkraad) berjalan tanpa panitia
dan dilaksanakan bersama-sama jemaat, kerkraad dan pemerintahan. Untuk
menggugah masyarakat maka populerlah sebuah lagu:

Nyanyian Persembahan :

“Sen jadi rupiah, rupiah jadi ringgit, ringgit menjadi ratus ribu rupiah”
(Oleh Petrus Rompas)

Disamping itu ada juga nyanyian pelaksanaan pembangunan:

“Perusahaan ini jadilah lekas, Dikuatkan tuan Momuat


Tuan Kondoj dan Rorong jadi penongkat
Kami bala pengiring,Tuan Waroka pelindung
Damai ramai jadilah”. (Oleh Petrus Rompas)

Pada waktu itu berlangsungnya pembangunan gedung gereja itu pejabat-


pejabat waktu itu ialah:
A. Pejabat Pemerintahan:
1. Waroka : Hukum Besar Kawangkoan
2. Momuat : Hukum Kedua
3. Frans Kondoy : Hukum Tua Lansot
4. Amos Rorong : Hukum Tua Rumooong Atas

B. Pejabat Gereja:
Petrus Rompas : Guru Jemaat

Beberapa kali bentuk bangunan itu dirobah, baik bangunan bubungannya,


menara dan dinding. Akhirnya bangunan kini terbengkalai. Bangunan ini pun
berfungsi serbaguna sebagai tempat ibadah maupun tempat sekolah. Pada
tahun 1947 gereja pernah dirusak oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab dengan mencabut kaca jendela.

Catatan Profil Pejabat Pemerintah/Gereja pada masa itu :

1. Hukum Besar WAROKKA, dengan nama lengkap Lambertus ‘Lalanos’


Alanus Warokka, sejak bulan September 1909 menjadi Hukum Kedua (Kepala
Distrik Kedua) Klas 1 Kawangkoan. Kemudian menjadi Kepala Distrik
Kawangkoan November 1909 hingga Oktober 1924, versi lain memerintah
1912/1913 hingga 1920. Naik menggantikan Theodorus Gerungan. Masanya,
berdiri sekolah zending di Kawangkoan 1923. Kemudian diganti
C.J.Tambajong. Ia anggota Landraad Manado voor Afdeeling Amurang dalam
kapasitas Hukum Kedua Rumoong (Bawah) hingga Februari 1897. Anak
Hendrik Alanos. Kawini Ester Nicoline Sumayku, dan ayah 7 anak.

2. Hukum Kedua Momoat, berasal dari Kawangkoan. Ia bertugas sebagai Hukum


Kedua Rumoong Lansot dari tahun 1915 hingga tahun 1919.

3. Hukum Tua Lansot Frans Kondoy, adalah Hukum Tua pertama yang dipilih
oleh penduduk Desa Lansot yang menjabat dari tahun 1895 – 1918.

4. Hukum Tua Amos Rorong, adalah Hukum Tua yang keempat dan yang
terakhir yang ditunjuk oleh Kepala Distrik Tombasian/Amurang untuk menjabat
sebagai Hukum Tua desa Rumoong. Ia menjabat Hukum Tua Rumoong sejak
tahun 1896 – 1924. Kemudian pada masa Petrus Benjamin TAMBAJONG,
sebagai Hukum Besar Tombasian/Amurang (Desember 1881-Mei 1898).
jabatan Hukum Tua Rumoong lalu dipilih oleh penduduk Rumoong.

5. Petrus Rompas asal Wiau Lapi adalah kepala sekolah pertama Volkschool
(Sekolah Desa) yang terdiri dari 3 kelas yang didirikan oleh NZG pada tahun
1890 – 1910, sekaligus sebagai Guru Jemaat Rumoong Lansot. Selain
sebagai Guru Jemaat, Ia juga dikenal sebagai pengarang lagu-lagu tua untuk
dinyanyikan oleh jemaat di Rumoong Lansot, yang hingga sekarang terus
dilestarikan.
5. PENCIPTAAN LAGU-LAGU GEREJA

Dalam membawakan lagu-lagu pujian di rumah Ibadah, jemaat Rumoong


Lansot mulanya hanya memakai buku nyanyian protestan berupa ‘Mazmur’
dan ‘Tahlil’ yang dinyanyikan dalam bahasa melayu yang mulai beredar pada
tahun 1887. Namun memasuki tahun 1900, dalam rangka upaya membangun
jemaat bermuncullah lagu dari tokoh/anggota jemaat dari Rumoong Lansot. Hal
ini nampak pada waktu guru jemaat berada di tangan Petrus Rompas, banyak
lagu yang sudah digubahnya pada sekitar tahun 1900-1930. Lagu-lagu
ciptaannya berirama tradisional budaya dan adat istiadat yang berkembang di
Rumoong Lansot. Dan kemudian dikenal dengan lagu-lagu tua.

Kemudian muncul lagu-lagu ciptaan komponis Sdr. Piet Sendow (keadaan


jasmaninya yang pincang dan matanya yang kurang terang tidak
mempengaruhi semangatnya dalam mencipta lagu. Lagu yang digemari adalah
lagu untuk dinyanyikan oleh koor-koor gereja (pemuda, kaum ibu) jugapun
lagu-lagu perjuangan / lagu nasional banyak digubahnya demikian juga lagu
maengket (imbasan). Lagu-lagu ciptaannya mula pertama dipesan oleh orang-
orang Rumoong Lansot yang ada diperantauan umpama di Ujung Pandang,
Jakarta, dll kota di Indonesia. Karena lagunya dia pernah hijrah ke Ujung
Pandang pada tahun 1950-an. Kemudian beliau dalam keadaan lelah dan tidak
dapat berbuat apa lagi, sudah menetap menghabiskan waktu di masa tuanya di
jemaat Lansot wilayah Tareran.

Dikalangan para pendidikpun tidak ketinggalan berinisiatif mengubah lagu


antara lain: bapak John Kondoy, J. F. Tenda, E. P. Kawatu. Lagu mereka
waktu itu banyak beredar di sekolah tempat mereka bertugas bahkan di koor
Pemuda dalam bentuk lagu gereja/rohani dan lagu perjuangan nasional.
Menyusul muncul seorang komponis muda lainnya sekitar tahun 1957 yaitu
Sdr. Johny Mapaliey. Komponis ini “tunanetra” sama sekali tidak dapat
melihat. Dengan semangat juang yang tinggi iapun mulai mengubah lagu satu
demi satu. Lagu gereja sudah sekitar 150 buah, yang sudah ditulis dengan
tangan satu buku. Lagu-lagunya sudah dikenal di wilayah GMIM.

Darah seni nyanyi yang dimilikinya pun menyebar ke lagu maengket. Diapun
penggubah dan pelatih lagu maengket. Dapat juga dicatat disamping lagu-lagu
maka dia termasuk pelopor musik kolintang. Sebab sekitar tahun 1957 dia dan
beberapa temannya, berdemonstrasi menggunakan perangkat musik kolintang.

--------------------------
B. SEJARAH PENDIDIKAN DI RUMOONG LANSOT

1. AWAL MULA MASUKNYA PENDIDIKAN FORMAL .

Sejarah pendidikan di Minahasa, tak lepas dari sejarah masuknya Injili di


tanah Minahasa khususnya di Neg’ri Rumoong Lansot. Pada akhir abad 19,
dimasa Hukum Tua Nicolas Wawolangi (Rumoong) dan August Mapaliey
(Lansot), Perubahan terjadi di Neg’ri Rumoong-Lansot, dimana Pemerintah
Hindia Belanda dan kemudian Nederlandsch Zendelings Genootscap
(NZG) yang merupakan lembaga pengkhabaran Injil dari Belanda sesuai
dengan misinya yaitu salah satunya membuka pendidikan untuk anak-anak
pribumi akhirnya terealisasi di Rumoong-Lansot.

Hal ini bermula pada tahun 1885 – 1890, dengan dibukalah sekolah mula-
mula di Rumoong-Lansot oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dikenal
dengan nama Twede Klasse School (Sekolah Kelas Dua) yaitu sekolah
untuk anak-anak masyarakat biasa, yang oleh penduduk dikenal dengan
nama Gubernmen. Adapun kepala sekolahnya bernama Govel Man. Murid
yang pertama bersekolah antara lain Pilet Mapaliey dan Johanes
Rumangu. Sekolah ini dikelolah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun 1890 – 1910, NZG mendirikan
sekolah dengan nama Volkschool (Sekolah Desa) yang terdiri dari 3 kelas
dengan kepala sekolah pertama adalah Petrus Rompas asal Wiau Lapi.
Bpk Petrus Rompas juga sebagai Guru Jemaat Rumoong Lansot.
Selanjutnya Kepala sekolah Volkschool adalah Zacheus Sinaulan 1929-
1941 berasal dari Lapi. Adapun Guru-guru Volkschool Rumoong Lansot
sejak tahun 1890 adalah : Petrus Rompas, J.G. Manengkey, J. Aseng,
A.Rantung, Zacheus Sinaulan, S. Worotitjan semuanya berasal dari
Wiau Lapi.

Pada tahun 1923, sekolah Volk School yang didirikan pada tahun 1890
yang hanya terdiri dari 3 kelas, membuka sekolah lanjutan untuk kelas IV,
V, dan VI dengan nama Vervolgschool (Sekolah Sambungan) dengan
kepala sekolah pertama adalah Benyamin Pandelaki asal Paleloan-
Tondano. Sedangkan Volg School pada waktu itu dijabat oleh Zacheus
Sinaulan asal Wiau Lapi.

Dengan berdirinya sekolah ini, akhirnya sekolah Gubernmen yang didirikan


oleh Pemerintah Hindia Belanda lambat laun berakhir.. karena kalah
bersaing dengan sekolah yang didirikan oleh NZG.

Tahun 1898, di Minahasa tercatat 133 sekolah Zending telah didirikan oleh
NZG, dengan jumlah murid 8378. [4961 laki-laki – 347 Perempuan]. Yang
tersebar di 200-an Jemaat. Sedangkan Jumlah Orang Kristen ada waktu itu
telah 154.817 orang, Islam, 7023 dan Orang Kafir 8371.

Tahun 1932 Indische Kerk Mengambil alih semua sekolah NZG hingga
pecahnya Perang dunia II.
2. BERDIRINYA SEKOLAH DASAR GMIM RUMOONG-LANSOT.

Pada tanggal 10 Oktober 1935 dengan berdirinya GMIM yang


menggantikan palayanan Pengkhabaran Injil dari NZG tersebut, maka
sekolah Volg School diserahkan pengelolaannya oleh NZG kepada GMIM
dengan nama Sekolah Rakyat GMIM Rumoong Lansot.. Dan pada tahun
1941 Sekolah Rakyat dan Vervolg School digabung menjadi satu dengan
nama Sekolah Rakyat 6 Tahun.

Dimasa Jepang, Sekolah Rakyat GMIM Rumoong-Lansot diambil alih oleh


tentara Jepang dan diberi nama Fut Su Jioqu Kokako dengan kepala
sekolah pada waktu itu dipegang oleh Benyamin Pandelaki. Setelah
Jepang menyerah yaitu pada tahun 1945 nama sekolah kembali menjadi
Sekolah Rakyat GMIM Rumoong-Lansot.

Pada masa-masa sebelum pecahnya perang pergolakan Permesta yaitu


pada tahun 1957, di Sekolah Rakyat GMIM Rumoong-Lansot terjadi
pengantian Kepala Sekolah yaitu Benyamin Pandelaki digantikan oleh
Alfius Lumintang asal Kanonang. Ia menjabat sebagai kepala sekolah
sampai tahun 1958 setelah itu digantikan oleh Jootje N. Kawatu asal
Rumoong-Lansot yang menjabat kepala sekolah hingga tahun 1962.

Dengan perkembangan yang terjadi seusai pergolakan Permesta dimana


jumlah murid yang bersekolah semakin meningkat, maka pada tanggal 1
Agustus 1962 terjadilah pemisahan Sekolah Rakyat GMIM Rumoong –
Lansot menjadi 2 sekolah yaitu :

- Sekolah Dasar GMIM I Rumoong–Lansot. yang mayoritas muridnya


berasal dari Rumoong-Atas
- Sekolah Dasar GMIM II Rumoong-Lansot. yang mayoritas muridnya
dari Desa Lansot.

Kepala Sekolah Dasar GMIM I


Rumoong–Lansot pada waktu itu ditunjuk
Bapak Erens Kawatu (Erik) tetapi karena
beliau diangkat menjadi Camat Tareran
maka diangkatlah Bapak J.L.S. Tampi
asal Tondano sebagai kepala sekolah
pertama., dan Sekolah Dasar GMIM II
Rumoong-Lansot dengan kepala sekolah
pertama bernama Semuel Worotitjan
(1962-1965) asal Wiau Lapi. Pada tahun
1968 Kepala sekolah SD GMIM II
Rumoong-Lansot dijabat sementara oleh
Bapak Eddy Kumaat.
Bapak Erens Kawatu (Erik)

Pada Massa kepala sekolah dijabat oleh Ibu H.J. Lendo-Passa, SD GMIM
II Rumoong-Lansot yang pada awal berdirinya merupakan satu lokasi
dengan SD GMIM I Rumoong-Lansot yaitu terletak diantara desa Rumoong
Atas dan Lansot, nanti baru pada tahun 1978 SD GMIM II Rumoong-Lansot
pindah ke gedung sekolah sendiri yang dibangun di desa Lansot tepatnya di
jalan raya menuju desa Wiau Lapi (Samping halaman rumah Kel. Piet
Prang-Sumendap) yang berdiri hingga sekarang. Sedangkan gedung SD
GMIM II Rumoong Lansot yang lama di pakai oleh SD GMIM I Rumoong-
Lansot dengan kepala sekolahnya Bapak Eddy Kumaat. Setelah itu
Kepala sekolah SD GMIM II Rumoong-Lansot selanjutnya berturut-turut
dijabat oleh Fredrik E Kellah asal Wuwuk (1984-1989), Martin Rantung
(1989) asal Lansot, Ibu M. Slat-Kowel (1989-2000) asal Rumoong Atas,
Ibu A. Wongkar- Karundeng (2000-Sekarang/2006)asal Lansot, Drs.
Albert Kapero asal Tombasian Atas, dan sekarang (2014) dijabat oleh
Bapak Tommy Kondoj, SPd asal Lansot.

SD GMIM II Rumoong-Lansot yang berlokasi sekarang di Desa lansot


3. BERDIRINYA SEKOLAH-SEKOLAH LANJUTAN.

Pada tahun 1952 untuk menampung lulusan SD GMIM Rumoong-Lansot maka


didirikan Sekolah Menegah Pertama (SMP) swasta yang pertama di
Rumoong-Lansot dengan kepala sekolah pertamanya adalah Hendrik
Rompas yang kemudian berdomisili di Luwuk Bangai (Sulteng). Gedung yang
dipakai untuk mengajar adalah gedung bekas Vervolg School yang lokasinya
sekarang didirikan Gereja GMIM Betlehem Lansot yang sebelum didirikan
Gereja merupakan lokasi Rumah Bersalin-Tareran.

Untuk memberdayakan SMP Swasta Tareran menjadi sebuah sekolah Negeri


yang berdiri sendiri, maka dibentuklah Panitia Pembangunan SMP Negeri
Tareran. Dan atas perjuangan Panitia pembangunan SMP Tareran yang
dipimpin oleh Bapak A. Prang (Oleng) sebagai ketua panitia, Bapak Jan
Tenda – Kumean (Wkl Ketua 1), Bapak Johanis Prang (Sekretaris), dan lain-
lain, maka dibukalah SMP Negeri kelas jauh dari SMP Negeri Langowan.
Pada saat pergolakan Permesta pecah, sekolah tersebut di kuasai oleh TNI
Pusat hingga tahun 1961, dimana kepala sekolah pada waktu itu adalah Jootje
Merentek asal desa Wuwuk kec. Tareran.

Sekolah SMP Negeri Tareran di Rumoong-Lansot

Pada tahun 1962 tersebut berdirilah sekolah lanjutan atas swasta yang
pertama di Tareran yang bernama Sekolah Guru A (SGA)
swasta yang pada waktu itu dibawah pimpinan Bapak Johanis
Prang asal desa Lansot. Sekolah ini berdiri hingga tahun 1964
dan murid-muridnya dipindahkan ke Sekolah Guru A
Kawangkoan. Pada tahun yang sama, SMP Negeri Kelas Jauh
Tareran dijadikan Filial SMP Negeri Langowan hingga tahun
1964 sebagai persiapan untuk menjadikan SMP Negeri yang
berdiri sendiri.
Bapak Johanis Prang

Pada tahun 1964 berdirilah SMEA Kristen Tareran yang kepala sekolahnya
adalah G.A. Kumaat, BA (1964-1966) yang digantikan oleh Johanis Prang
(1967-1968) dan terakhir dipegang oleh Max Pongoh, BA (1989-1972).
Pasca Pemberontakan G.30.S.PKI pada tahun 1965, Filial SMP
Negeri Langowan di Rumong Lansot dijadikan SMP Negeri
Tareran dengan pejabat sementara kepala sekolah adalah
Bapak Ruben Imbar asal Rumoong-Atas.

Bapak Ruben Imbar

Kepala Sekolah SMP Negeri Tareran di Rumoong-Lansot setelah menjadi


negeri dijabat berturut-turut oleh Bapak Jootje Rende (1967-1968), Bapak
Johanis Prang pejabat sementara pada tahun 1968, kemudian Bapak A.C.
Mandagie asal Malalayang (1969-1979), Bapak Johanis Prang pada tahun
1979 hingga 1980 sebagai pejabat sementara.

Dalam upaya menampung lulusan SMP Negeri Tareran khusunya siswa yang
berasal dari Desa Rumoong dan Lansot, maka pada tahun 1970 dibukalah
SMA Negeri Kelas Jauh Amurang yang dipimpin oleh Bapak Johanis Prang
(1970-1972) kemudian digantikan oleh Ny. Lengkong-Kasenda asal desa
Wuwuk pada tahun 1972 yang
sebelumnya adalah guru SMA
Amurang.

Dan setelah itu pada tahun 1980


kepala sekolah SMP Negeri
Tareran dijabat oleh Drs. J.G.
Lepar asal Manado kemudian
beliau pada tahun 1985 menjadi
Kepala Sekolah SMA Negeri
Tareran, dan SMP Negeri
Tareran dijabat oleh Ruben
Imbar.

Pada tahun 1973-1974 berdirilah SD Inpres di Lansot. dan di Rumoong Atas.


Untuk SD Inpres (1073) Lansot, Kepala Sekolah pertama dijabat oleh Bapak
Freddy Kondoj kemudian berturut-turut dijabat oleh Drs. Wellem Tampi
(1986-1989), Johny Tamboto (1989-1998), Ny. Len Tumbelaka-Kumaat
(1998-1999) dan sekarang
dijabat oleh Ny. E. Kumaat-
Rorong (1999-sekarang/2006).

Untuk SD Inpres (1074)


Rumoong Atas dijabat oleh
Bapak Hans Karundeng
kemudian secara berturut-turut
dijabat oleh Bapak Wem
Rompas, Ibu Riet Kumaat-
Kondoy, Ibu Sien Kumaat.

SD Inpres Di Rumoong Atas


Kemudian ditahun 1983 dibuka lagi SD Inpres ketiga yang berkedudukan di
Rumoong Atas dengan kepala sekolah pertamanya adalah Ibu Sien Merentek
dan kemudian dijabat oleh Ibu Maslin Slat-Kowel. Ketiga sekolah yang
dibangun ini merupakan sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah.

Setelah itu pada tahun 1979 dibukalah SMA Swasta Tareran yang berdiri
sendiri dengan kepala sekolahnya Drs. J.G. Lepar yang juga pada waktu itu
menjabat sebagai kepala sekolah SMP Negeri Tareran dan menjabat kepala
sekolah hingga tahun 1985 sampai sekolah tersebut berubah status menjadi
SMA Negeri Tareran.

Setelah perobahan status SMA Tareran dari swasta menjadi negeri pada tahun
1985, maka ditunjuklah kepala sekolah sementara yaitu Bapak Albert Taroreh,
BA yang juga merupakan kepala Sekolah SMA Negeri Kawangkoan.
Kemudian beliau
digantikan oleh Drs. J.G.
Lepar. Setelah itu secara
berturut-turut yang
menjadi Kepala sekolah
SMA Negeri Tareran yang
kemudian menjadi SMA
Negeri 1 Tareran adalah :
Drs. Drs. Berty Lendo,
F.P.J. Liando, Pelaksana
tugas J. Pangkey, SmH,
Drs. M.J. Panoppo dan
Drs. A.J. Talumewo.

SMA Negeri 1 Tareran di Rumoong-Lansot (foto 2006)

Lembaga pendidikan SMP Negeri 1 Tareran & SMA Negeri 1 Tareran yang terletak di
ujung sebelah barat Desa Rumoong Atas II (Foto SP 2016)

Beberapa tahun kemudian yaitu Pada tahun 2010 berdirilah SMK Negeri 1
Tareran yang berkedudukan di desa Lansot. Pendirian sekolah ini dilakukan
oleh Pemerintah Desa Lansot lewat kepemimpinan Hukum Tua Bapak Jotje
Sumendap, yang merupakan usaha keras dari Bapak Drs. Leopold
Rumerung, dimana keinginan tersebut telah dituangkan dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (MUSRENBANGDES) Tahun 2009 dan
2010, dilanjutkan dengan Rapat Perangkat Desa dan Tokoh Masyarakat Desa
Lansot tanggal 06 Pebruari 2010, yaitu tentang Kesiapan Pendirian Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Tareran di Desa Lansot. Maka untuk merealisasi
atas hasil Musyawarah dan Rapat tersebut, dibentuklah Panitia Pendirian SMK
Tareran untuk melakukan berbagai usaha kegiatan demi terwujudnya
pendirian SMK di Desa Lansot Kecamatan Tareran. Melalui Surat Keputusan
Hukum Tua Desa Lansot Kecamatan Tareran yang saat itu Hukum Tua telah
dijabat oleh Bapak Alfrets Kondoj, SE yang pada waktu itu telah terpilih
menjadi hukum tua desa Lansot menggantikan Bapak Jotje Sumendap.

Situasi SMK Negeri I Tareran bersama siswa dan guru-guru di depan sekolah dilokasi
Lapangan Olahraga Garuda Lansot [Tribun OR disulap menjadi ruang kelas]
Foto 2010

Dengan waktu yang


sangat singkat, usulan
tersebut diterima
dengan baik oleh
Dinas Pendidikan
Pemuda Dan Olah
Raga Kab. Minahasa
Selatan. Dan
dikeluarlah Izin
Operasional Sekolah
dengan Kepala
Sekolah Sementara
adalah Ir. Ivone R.
Memah yang menjabat sebagai Ketua Panitia Pendirian. Sehubungan dengan
pemberian izin operasional itu, maka untuk melaksanakan proses Belajar-
Mengejar dan penerimaan siswa angkatan pertama SMK Tareran, Panitia
Pendirian membentuk Tim Sosialisasi yang diketuai oleh Bapak Drs. Jansen
Kondoj, dan Panitia Penerimaan Siswa Baru Pertama kali di Tahun Ajaran
2010/2011 yang diketuai oleh Drs. Valry S,H. Prang. Dan hanya dalam waktu
2 bulan sejak dioperasikannya kegiatan sekolah, maka keluarlah Surat
Keputusan Bupati Minahasa Selatan No. 789 Tahun 2010 dimana SMK
Tareran di Lansot bersama-sama 2 SMK lainnya di Minahasa Selatan di
jadikan sekolah Negeri. SMK Tareran Di Lansot berubah status menjadi SMK
Negeri 1 Tareran.

Telah banyak lulusan-lulusan yang dihasilkan oleh Sekolah-sekolah yang ada


di Rumoong Lansot dan berhasil menyelesaikan studinya ketingkat yang lebih
tinggi, bahkan telah mengharumkan nama Desa ditingkat pusat, maupun
daerah.

Lagu :
RUMOONG LANSOT TEMPAT SEKOLAHKU
Cip. Hendrik Rompas (1950)

Rumooong – Lansot tempat sekolahku,


Negeri tempat tumpah darahku,
Negeri subur hawanya sejuk, Di antara Tu’unan dan Tareran,

Disitu tempatku belajar, Tambang Ilmu dan pengajaran,


Ayo mari kita majukan, Majukan persekolahan kita
Reff.
Jika sekolah kita majulah,
Negara kita tentu makmurlah
Sadarkanlah kau rakyat kita,
Kobarkan kemajuan nusa dan bangsa.

--------------
BAB V
PERKEMBANGAN JEMAAT GMIM
DI RUMOONG LANSOT

Setelah GMIM berdiri pada tanggal 30 September 1934,


sesuai dengan Keputusan Pemerintah Belanda No. 76 Tahun
1935 tertanggal 24 Desember 1935 dalam lingkungan Gereja
Protestan Indonesia (GPI) yang berpusat di Jakarta, maka jemaat
Kristen di Rumoong-Lansot berada dibawah pembinaan sinode
GMIM.

GEDUNG GEREJA LAMA GMIM RUMOONG-LANSOT

Dan mulai saat itu perkembangan Jemaat Kristen di Rumoong-Lansot berkembang


dengan pesat dengan segala tantangan dan hambatan yang datang baik dari
dalam maupun dari luar. Beberapa peristiwa yang mengiringi jejak sejarah
perkembangan Jemaat sejak masuknya penjajahan Jepang ke Minahasa,
terjadinya Pergolakan Permesta hingga ke peristiwa pemberontakan G.30.S. PKI.

Peristiwa-peristiwa tersebut telah telah dilalui dengan pengorbanan keringat, darah


dan air mata dan memperteguh iman Jemaat untuk menghadapi tantangan dan
rintangan dimasa yang akan datang. Dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak akan
membiarkan Jemaat-Nya dalam bahaya dan selalu hadir menyelamatkan Jemaat-
Nya pada saat yang diperlukan. Seperti domba-domba di tengah-tengah serigala,
begitupun kehidupan Jemaat ditengah-tengah dunia ini.
Selanjutnya secara berturut-turut nama- Pendeta yang pernah bertugas di
Jemaat Rumoong-Lansot hingga tahun sesudah GMIM berdiri hingga masa
Pemisahan Jemaat GMIM Rumoong Lansot adalah :

1 Th. Manengkey 1935 – 1940


2 S. Watung 1940 – 1942
3 J. Wokas 1943 – 1944
4 A. Tumbelaka 1944 – 1947
5 S. Goni 1947 – 1951
6 W. Kambey 1951 – 1953
7 S. Sayow 1953 – 1955
8 V. M. Rumondor 1953 - 1955
9 S. Lengkong 1956 –
10 H. Wowiling 1956 – 1959
11 Th. Manengkey 1959 – 1961
12 M. L. Sondakh 1961 – 1966
13 F. M. Kowel 1967 – 1972
14 W. R. Rondonuwu 1972 – 1979

A. PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN JEMAAT GMIM RUMOONG -


LANSOT.

1. Masuknya golongan lain di Rumoong Lansot.

Perkembangan penginjilan di Rumoong – Lansot yang merupakan buah-


buah roh dari pada para Zendeling yang datang membawa kabar baik bagi
penduduk, bukan saja dirasakan oleh mereka yang telah menerima Kristus
sebagai Juruselamat yang melahirkan Gereja Masehi Injili Di Minahasa
(GMIM) sebagai Gereja yang menginjili, namun telah memuluskan jalan
bagi mereka yang datang kemudian dengan maksud untuk mengajak
sebagian anggota jemaat GMIM dan masuk kedalam aliran/paham gereja
mereka yang baru.

Dengan mengetahui dan memahami pengorbanan para zendeling yang


telah merintis pekerjaan membangun fundamen gereja di Minahasa yang
merupakan etika penginjilan yang dianut oleh GMIM yang diteladani dari
Rasul Paulus yang tertulis dalam Roma 15 : 20-21 :

“ Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku,


bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus
telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang
telah diletakkan orang lain, tetapi sesuai dengan yang ada tertulis ‘ Mereka,
yang belum pernah menerima berita tentang Dia, akan melihat Dia, dan
mereka, yang tidak pernah mendengarnya, akan mengertinya ”.

Disini jelas bahwa Rasul Paulus tak akan melakukan tugas penginjilan
pada mereka yang telah menerima Kristus yang telah diberitakan oleh
Rasul lain, melainkan akan mencari tempat atau mereka yang belum
mengenal nama Yesus Kristus. Inilah etika penginjilan yang dipegang teguh
oleh Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) hingga sekarang ini.
Namun sejarah telah mencatat bahwa banyak diantara para Penginjil
datang kemudian menabur di tempat yang telah ditabur orang terlebih
dahulu, sehingga gesekan diantara jemaat tak dapat dihindari bahkan
sering menimbulkan perselisihan. Hal ini juga terjadi di Jemaat Rumoong
Lansot yang telah sekian lama telah menerima Kristus sebagai
Juruselamat, namun dengan masuknya paham/aliran baru telah
mempengaruhi sebagian jemaat untuk meninggalkan apa yang selama ini
telah ditaburkan oleh para Zendeling dan mengikuti paham/ aliran baru
tersebut.

Berikut ini akan di paparkan latar belakang masuknya beberapa aliran


/paham serta golongan agama Kristen yang datang ke Rumoong Lansot.

1.1 Masuknya Golongan Gereja Masehi Advend Hari ketujuh (GMHK)


di Rumoong- Lansot.

a. Latar Belakang Sejarah.

Bedirinya Gereja Masehi Advent Hari Ke Tujuh


bermula dari suatu kebangunan Rohani besar-
besaran di Amerika bagian utara oleh suatu kelompok
yang menamai dirinya Adventist. Perintis pertama
gerakan ini adalah William Miller seorang petani dari
desa Low Hamton, New York.

Pada tahun 1948 hingga tahun 1950 beberapa kelompok gerakan


adventist di New England dan New York telah membuat suatu
perbedaan dengan anggota pergerakan Miller yaitu dengan memulai
meletakkan garis-garis besar ajaran dasar gereja khususnya
menyucikan Hari Sabat dan ajaran Kedatangan Tuhan Yesus yang
kedua kali ke dunia.

Pada tahun 1860 pergerakan ini diberi nama “Seventhday


Adventist” atau dalam bahasa Indonesia disebut Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh disingkat GMAHK dan secara resmi nama
gereja ini ditetapkan pada tanggal 21 Mei 1863 dengan jumlah
jemaat pada waktu itu 125 Jemaat yang bersatu ke dalam organisasi
resmi GMAHK. Tokoh-tokoh sebagai peletak dasar-dasar Gereja ini
antara lain, James White, Elleh Wahite, Joseph Bates, dan Hiram
Edson. Adapun utusan misionaris pertama Gereja ini yaitu J.N.
Andrew yang dikirim ke Switzerland (Swiss). Gereja ini berkembang
di Amerika utara hingga tahun 1874 kemudian memasuki benua
Afrika pada tahun 1879 oleh Dr. H.P. Repton serta Rusia pada tahun
1886.

Pada akhir tahun 1899 Gereja ini masuk di Indonesia yang pada
waktu itu dikenal dengan nama Hindia Belanda oleh Misionari Ralph
Waldo Munson dan keluarganya di Kota Padang, dan kemudian
berkembang ke Medan. Pada tanggal 1 Maret 1900, Muson dengan
telah memperoleh izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk
membuka secara resmi sekolah bahasa Inggris yang merupakan
cikal bakalnya pekabaran Advent ke seluruh pelosok nusantara
termasuk Minahasa.

Masuknya GMAHK ke Minahasa bermula dari dibabtisnya Semuel


Rantung pemuda asal Ratahan yang bekerja sebagai pegawai
perkebunan Karet di Batavia pada tanggal 29 Maret 1911 oleh
Misionari Ralph Waldo Munson. Semuel Rantung menerima
pekabaran GMAHK dari seorang pemuda Batak bernama Immanuel
Siregar di Batavia (Jakarta). Pada tahun 1920 Semuel Rantung
mendapat cuti karena sakit dan menjalaninya di desa Lowu-Ratahan.
Selama cuti tersebut dia menyampaikan pengkhabaran GMAHK
kepada sanak saudaranya di Ratahan sehingga pada tanggal 30
Desember 1921 dibabtislah Jemaat pertama GMAHK di Minahasa
sebanyak 22 orang dan tanggal 31 Desember dibabtis lagi 3 orang
sehingga menjadi 25 orang, dan terus mengalami perkembangan.

b. Berdirinya Gereja Masehi Advent Hari Ke Tujuh (GMAHK)


di Rumoong-Lansot.

Masuknya GMHK ke Rumoong Lansot


berawal dari kedatangan Bapak Petrus
Willar asal Rumoong Atas dan Istrinya
Luisa Rumengan asal Wuwuk dari
perantauan yaitu Sangihe pulang ke desa
Rumoong Atas pada tahun 1936. Selama
di Sangihe, Petrus Wilar mendapat
pelajaran Alkitab yang mengajarkan Hari
Sabat dan dibabtis sebagai anggota
GMAHK oleh Pendeta Khim pada bulan
Pebruari 1935.

Kemudian Ia bertekad membawa


keyakinanya tersebut ke kampung
halamannya Rumoong Atas. Atas usaha pelayanannya, maka untuk
pertama kali dibaptislah Martje Rumengan sebagai anggota GMAHK
pertama. Kemudian pada saat Jepang mulai menginjakkan kakinya di
tanah Minahasa, secara berturut-turut dibaptislah Alfius Kumaat,
Ariet Mambo, George Mambo (1942), dan setelah berakhirlah
perang dunia kedua, dibabtislah Hendrik Mandey (1946), Jeetje
Kumaat (1947), Alfius Tenda & Betsy Prang (1950). Mereka yang
dibaptis tersebut diatas dianggap sebagai Pioneer Gereja MAHK
Rumoong Lansot. Adapun tempat Ibadah kelompok kecil anggota
GMAHK tersebut pada mulanya menggunakan rumah penduduk milik
dari keluarga Alfius Kumaat-Mambo, dan baru pada tahun 1953
dibangunlah sebuah gedung gereja Advent di desa Lansot yang
terbuat dari bambu dan beratapkan rumbia. Dengan berdirinya
gedung gereja tersebut, maka kelompok jemaat GMAHK tersebut
diorganiser menjadi satu jemaat dengan keluarnya Surat Keputusan
(SK) dari Dirjen Bimas Kristen Protestan No. 124 tertanggal 25
Mei 1988.
Setelah beberapa tahun kemudian dengan melihat perkembangan
jemaat yang terus bertambah, maka dibangunlah gedung gereja semi
permanen dan kemudian baru tahun 1999 atas bantuan semua pihak
dan swadaya dari Jemaat GMAHK Rumoong-Lansot, dibangunlah
Gedung GMAHK yang permanen di Desa Lansot terdiri dari 3 lantai
yang digunakan hingga saat ini. Jumlah Anggota Jemaat GMAHK
Rumoong-Lansot adalah 217 orang.

Adapun Pendeta-pendeta yang pernah bertugas di GMAHK


Rumoong-Lansot adalah : Pdt. H. Pattirany (1945), Pdt. W.F. Walean
(1950), Pdt. J. Manembu (1963), Pdt. Z. Mandias (1964), Pdt. A.
Taliwongso (1964), Pdt F.A. Massie (1964-1965), Pdt. W.E. Emor (1966),
Pdt. A. Sondakh (1966), Pdt. A.R. Prang (1967-1968), Pdt. Welly Rumambi
(1968-1969), Pdt. F. Togas (1970), Pdt. A. Mumek (1972), Pdt. Sem Wullur
(1976), Pdt. Hendrik Sumendap (1977), Pdt. A.R. Prang (1978), Pdt. Y.
Boyoh (1979), Pdt. Sem Sakul (1980), Pdt. Jantje Gerungan (1981-1984),
Pdt. Paulus Rantung (1985-1987), Pdt. A.R. Prang (1988-1990), Pdt.
Marthen Kapahang (1990), Pdt. Yedy Kumajas (1991-1993), Pdt. D.
Surentu (1994-1997), Pdt. S.P. Raranta (1997-2001), Pdt. Jerry Pandelaki
(2001), Pdt. Fransje Ngantung (2002), Pdt. Sonny Sjahirudin (2003-2004),
dan sekarang Pdt. Marthin Supit (2005).

1.2. Masuknya Golongan Gereja Pentekosta di Indonesia (GPdI)


di Rumoong- Lansot.

a. Latar Belakang Sejarah

Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) didirikan yang


berawal dari Gerakan Pentakosta (Pinkster Beweging)
yang didirikan oleh Rev. Johannes Gerhard Thiessen
asal Kitchkas - Ukraina yang pada mulanya merupakan
seorang penginjil yang diutus oleh Doopgzinke Kerk untuk
bertugas di Sumatera Utara sebagai guru Injil dan
kesehatan penduduk suku Batak pada tahun 1901.
Ia kembali ke Belanda setelah menyelesaikan tugas
penginjilannya pada tahun 1916.

Pada waktu itu gerakan Pentakosta yang dimulai dari Amerika


Serikat melanda benua Eropa.
J.G. Thielsen akhirnya
bergabung dengan gerakan ini
setelah berkenalan dengan
Pastor Jonathan Paul yang
merupakan perintis gerakan
Pentakosta di Jerman dan Br.
Roelof Polman pelopor Pinskter
Beweging di Belanda. Pada
tahun 1921 ia dan keluarganya
kembali ke Indonesia dan
melakukan pelayanan di Pulau
Jawa. Inilah awal berdirinya GPdI di Indonesia hingga merambah ke
Tanah Minahasa.

Di Minahasa, pelopor Gereja Pantekota adalah Pendeta Jocom,


Lesnusa, Runtuwilan, sampai pada Pendeta Pandelaki dan
Kaawoan, yang adalah pimpinan yang paling disegani dilingkungan
warga Gereja Pantekosta.

b. Masuknya Gereja Pantekosta di Rumoong-Lansot.

Setelah Gereja Pantekosta berdiri Di Minahasa maka pada tahun


1950 hingga tahun 1952 berdirilah untuk pertama kali Gereja
Pantekosta di Rumoong-Lansot oleh Pdt. J.B. Wotulo asal Tondey
yang berdomisili di Desa Wiau Lapi. Pada mulanya tempat kebaktian
berupa sebuah bangsal kecil yang sangat sederhana dengan Pastori
waktu itu masih berupa rumah pinjaman yang berlokasi di Desa
Lansot. Pada awal pelayanannya, Pdt Wotulo memenangkan jiwa
pertama di Desa Lansot yaitu Bapak Zakeus Kondoy. Pelaksanaan
Baptisan pertama kali dilakukan di sungai Tu’unan. Bapak Zakeus
Kondoy inilah yang disebut sebagai ‘Buah Sulung’ Jemaat GPDI
Lansot. Dalam perkembangan kemudian, jemaat ini mulai
berkembang baik yang berasal dari Rumoong dan Lansot, ada juga
yang datang dari desa-desa sekitarnya. Untuk menampung jumlah
jemaat beribadah, memerlukan tempat beribadah yang luas. Maka
dimulailah perluasan gedung gereja yang pembangunannyaa
berlangsung pada tahun 1990 di bawah kepemimpinan Pdt B.
Mumu, STh, dan diresmikan pemakaiannya pada bulan April 1991.

Adapun Pendeta/gembala yang pernah bertugas di GPdI Jemaat


Lansot adalah sebagai berikut :

Pdt. J.B. Wotulo (1950), Pdt. Rantung melanjutkan pelayanan


hingga tahun 1958, Pdt. Worotitjan (1958 – 1960). Namun
demikian Pelayanan Gereja ini pernah mengalami kevacuman yaitu
pada tahun 1961-1963. Namun setelah datangnya Pdt Wowiling
(1964 – 1965), pelayanan jemaat mulai digiatkan lagi.

Kemudian datang melayani Pdt. Sigar (1966 – 1968), Pdt. Oping


(1968 – 1970), Pdt. Winerungan (1970 – 1982), Pdt. D. Kanisius
(1982 – 1989), Pdt B. Mumu, STh (1989 – 2000), dan sekarang
adalah Pdt. J.F. Sumendap, STh
(2000–Sekarang).

Berawal dari belum ada jiwa /


jemaat, dan sekarang dalam
perkembangannya telah
mempunyai anggota jemaat dengan
jumlah kurang lebih 110 Jiwa atau
kurang lebih 30 Kepala Keluarga
yang berasal dari desa Lansot dan
diluar desa Lansot.
Pada tahun 1980-an, dari beberapa
anggota Jemaat GPdI ini telah
mendirikan Gereja Segala Bangsa
(GESBA) yang telah mempunyai
Rumah Ibadah secara permanen di
Desa Lansot dan Gereja Pantekosta
di Rumoong Atas yang dipelopori
oleh Pdt. Hers Runtuwene asal
Kapoya.

Dan kemudian berdirilah Jemaat GPSD di Rumoong Atas.

2. Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)

Pada masa penjajahan Jepang, kehidupan beragama penduduk sangat


dikekang, semua golongan agama Kristen di Rumoong-Lansot hanya boleh
beribadah apabila dilakukan bersama-sama dengan golongan agama Kristen
lainnya. Begitupun di Jemaat
Rumoong Lansot, Rumah Ibadah
masih boleh digunakan oleh jemaat
untuk beribadah yang memang
pada waktu itu jemaat Rumoong
Lansot 100 % adalah GMIM.
Namun lembaran hitam sempat
mencoreng rumah ibadah ini. Suatu
peristiwa yang terjadi pada tahun
1943 tepatnya hari Minggu tanggal
21 Maret 1943.
Serdadu Nipon/Jepang

Ceritanya sebagai berikut : Menurut jadwal kerja ternyata hari itu yang
bertindak khadim ialah Bapak Pendeta MANUEL SONDAKH yang
merupakan ketua klassis Amurang saat itu. Selesai mengadakan persiapan di
konsistori lonceng gerejapun dibunyikan 3 x. Namun ketika akabn menuju ke
Mimbar, pintu telah terkunci rapat. Apa lacur? Rupanya dimimbar sudah ada
khadim (salah seorang anggota jemaat GMIM asal jemaat Rumoong Lansot).
Oknum tersebut adalah Sdr. H. S. Kumaat, salah seorang guru pada sekolah
rendah (SR. GMIM) Rumoong Lansot yang pernah dididik selain sebagai
guru juga sebagai guru injil. Kepala SR. GMIM ialah Bapak Benyamin
Pandelaki.

Setelah ditelusuri oknum tersebut bertindak dimotori oleh Kepala Sekolahnya


dibantu oleh beberapa majelis gereja waktu itu bertujuan untuk mengambil
alih jemaat GMIM Rumoong Lansot menjadi jemaat sidang KGPM. Saat
lonceng dibunyikan 3x maka sang khadim (palsu) saat itu telah berdiri di
mimbar dan mentahbiskan kebaktian disusul menyanyi Tahlil 1 : 1). Pendeta
M. Sondakh sebagai ketua Classis yang bertindak selaku khadim saat itu
karena tidak sempat masuk naik mimbar yang terkunci itu segera keluar dari
konsistori langsung masuk dimuka mimbar berdoa tahbisan.
Suasana kebaktianpun menjadi kacau. Jemaat menjadi binggung karena ada
dua khadim yang berdiri di depan mereka. Bersamaan dengan itu maka
pemerintah desa Rumoong Atas yaitu Hukum tua Daud Lumangkun segera
bertindak menghentikan kebaktian yang telah kacau. Peristiwa itu kemudian
dilaporkan pada Ganoo (Polisi) di Kawangkoan. Kebetulan Ganco
Kawangkoan waktu itu ialah Bapak Wenas. Persoalan ini ditangani secara
tuntas oleh Ganco / Polisi, akhirnya dengan pertolongan Kasih Allah yang
rahmani diputuskanlah bahwa kegiatan KGPM yang menggunakan gereja
GMIM di Rumoong Lansot tidak dibenarkan. Kegiatan GMIM jalan terus.

Pada masa itu, GMIM terbagi menjadi 11 Clasis yaitu: Airmadidi, Maumbi,
Manado Indonesia, Manado Eropah, Tomohon, Langowan, Ratahan,
Tondano, Sonder, Amurang, dan Kumelembuai meliputi sekitar 368 jemaat.
Rumoong Lansot kebetulan masuk Clasis Amurang dari 11 Clasis. Wilayah
Clasis ini berjalan terus sampai struktur organisasi GMIM di robah
menjadi 35 lingkaran.

Untuk menghindari pertempuran antara Jepang dan Sekutu, penduduk desa


Rumoong-Lansot tercerai berai dan mengungsi ke hutan-hutan atau kebun.
Rumah Ibadah dijadikan gudang penyimpanan senjata dan logistik. Beberapa
penduduk dipaksa untuk bekerja membangun kubu-kubu pertahanan, goa-
goa. Pelayanan penginjilan terasa sulit untuk dilaksanakan apalagi dibawah
todongan senjata.

Dua tahun kemudian dengan dijatuhinya bom atom di Nagasaki dan


Hirosima- Jepang, akhirnya Jepang menyerah kalah dalam perang dunia II
dari Sekutu pimpinan Amerika Serikat. Peristiwa penyerahan Jepang kepada
tentara Sekutu itu dikalangan Jemaat Rumoong-Lansot sangat bersuka cita
dan menyambutnya dengan gembira karena terbebas dari penderitaan.
Sehingga Bom Atom yang dijatuhkan tersebut pada waktu itu oleh penduduk
dipelesetkan menjadi “Allah Tolong Orang Masehi” singkat ATOM.

3. Masa Awal Kemerdekaan Indonesia (1945 – 1958)

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, GMIM mencoba membenah diri,


dan membangun kembali kehidupan kerohanian masyarakat yang porak-
poranda selama masa pendudukan Jepang. Salah satu usaha yang dilakukan
adalah membentuk komisi-komisi pemuda jemaat sebagai salah satu tulang
punggung Gereja. Untuk itu maka di akhir tahun 1945 dibentuklah
Pergerakan Pemuda Kristen Minahasa (PPKM).

Di Jemaat GMIM Rumoong-Lansot, PPKM pun didirikan dengan ketua


pertamanya adalah Saudara J.M. Wurangian dan sekretarisnya adalah
Timotius Kondoy. Tugas utama pengurus ini adalah untuk mengkoordinir
seluruh Pemuda Kristen menuju pada satu kesatuan organisasi. Maka tak
lama kemudian terbentuklah PPKM Jemaat Lansot dengan Ketua adalah F.H.
Tenda, Sekretaris Saudara Timotius Kondoy sedangkan Bendahara I dan II
dipegang oleh A.W. Prang dan Corry Kumaat.
Tak lama kemudian terjadilah perubahan pengurus dimana F.H. Tenda
meninggalkan karena tugas. Maka dibentuklah pengurus yang baru dimana
Timotius Kondoj yang pada pengurusan yang lalu sebagai sekretaris
diangkat menjadi Ketua, sedangkan A.W. Prang menjadi Ketua II dan Corry
Kumaat menjadi Bendahara.

Pada tanggal 21 April 1946 dalam sebuah ramah tamah dan rapat pemuda
di rumah Kel. F.H. Kondoy-Mapaliey maka disepakati pemberian nama PPKM
Jemaat Lansot menjadi ”EBENHAEZER” yang berarti ” Sampai disini
Tuhan Menolong Kita” sesuai bunyi dalam Kitb Injil pada I Semuel 7 : 12.
Nama Ebenhaezer ini diambil dengan alasan bahwa Bangsa Indonesia
khususnya Jemaat Kristen Minahasa baru saja terbebas dari cengkeraman
Jepang. Mulai saat itulah Anggota Jemaat GMIM Rumoong-Lansot bersama
pemuda mulai bangkit kembali dengan berbagai macam kegiatan pelayanan
Injil walaupun ditengah-tengah kesulitan hidup jemaat yang sangat miskin
dan kekurangan pakaian dan harta benda lainnya.

Wanita Kaum Ibu dalam suatu kegiatan

Pada tahun 1956 terbentuklah pengurus pertama Kompelsus Wanita Kaum


Ibu dengan Ketuanya Ibu L. Manengkey Sagrang, Sekretaris Ibu J. Weol-
Prang dan Bendahara Ibu D. Turangan.

Beberapa tahun kemudian organisasi GMIM menjadi 35 lingkaran. Salah


satu lingkaran yang terbentuk ialah lingkaran Tareran dengan pusat lingkaran
Rumoong Lansot. Lingkaran Tareran terdiri dari: Rumoong – Lansot, Wiau
Lapi, Talaitad, Suluun, Pinapalangkow, Kapoya, Pinamorongan, Wuwuk,
Kaneyan, Koreng, Tumaluntung yang masing – masing merupakan sebagai
jemaat sebagian.

Satu hal yang perlu diingat, setelah terbentuknya lingkaran Tareran ( Yang
sekarang disebut Wilayah ) sebagai salah satu realisasi dari GMIM harus
membiayai sendiri tidak lagi bergantung dan berharap pada biaya
Pemerintah, betapa menderitanya para Pendeta yang tidak mendapatkan gaji
seperti biasa hal tersebut mengakibatkan adanya Pendeta yang pindah
Profesi pekerjaan demi mencakupi kebutuhan keluarga setiap hari, hal
tersebut dimulai pada tahun 1951. Pendapatan Pundi dalam setiap ibadah
minggu pada saat itu hanya berkisar di Rp. 15 dapat kita bayangkan
pendapatan para Pendeta pada waktu itu, Merekalah para pejuang Gereja
yang tidak boleh dilupakan oleh pendeta-pendeta di Zaman sekarang ini.

4. Masa Pergolakan Permesta (1958-1961)

Pada masa pergolakan Permesta ini banyak jemaat menjadi korban


pertempuran. Desa dikuasai oleh Tentara Pusat (TNI) sedangkan diluar desa
yaitu kebun dan hutan-hutan disekitar desa dikuasai oleh pejuang Permesta.
Pemerintahan desa pada waktu itu tidak berjalan secara efektif karena
dikontrol langsung oleh Tentara Pusat (TNI). Hal ini berlangsung hingga
tahun 1961 dimana terjadinya perjanjian perdamaian antara TNI dan
pimpinan Permesta.

Kunjungan Presiden Soekarno di Minahasa di masa-masa pergolakan


Dalam gambar Presiden didampingi Ketua Sinode GMIM Domini A.Z.R. Wenas dalam
kunjungannya di Kantor Sinode GMIM

Dengan meletusnya perang saudara PERMESTA pada tanggal 17 Februari


1958, pelayanan Jemaat tidak teratur lagi disebabkan sebagian besar
pengurus gereja terpencar-pencar di tempat penyingkiran, dan permusuhan
antar anggota satu dan lainnya tidak dapat terelakan, banyak anggota jemaat
yang terpisah dari anggota keluarganya termasuk para pelayan-pelayan
Jemaat. Begitupun ada waktu pelaksanaan Sidang Sinode GMIM dimana
anggota Sinode “N. Mirah” dari Wuwuk sebagai utusan Lingkar Tareran
karena terpisah dan tidak dapat dihubungi, maka untuk menghadiri sidang
sinode pada tahun 1960 ditunjuklah Timotius Kondoj sebagai anggota Sinode
pengganti sampai Tahun 1962 dan dalam Sidang Lingkar Tareran pada
tanggal 15 Mei 1962 yang dihadiri oleh Ketua Sinode Ds. A.Z.R Wenas telah
memilih Badan Pekerja dan utusan Sinode Tareran.

Beberapa peristiwa yang terjadi di kalangan jemaat Rumoong-Lansot yaitu


bahwa pada waktu masa pelayanan Pdt. Th. Manengkey di akhir pergolakan
Permesta, di Desa Rumoong-Lansot dikuasai oleh TNI (Tentara Pusat) yang
di pimpin oleh seorang Komandan yaitu Letnan Dua R. Sutadji. Kamandan
R. Sutadji ini dikenal oleh penduduk sebagai orang Kristen yang telah
merenovasi rumah Ibadah yang pada waktu itu masih berdinding papan
menjadi sebuah bangunan semi permanen. Pada tanggal 12 Pebruari 1961
dengan dipolopori oleh Letnan Sutadji berdirilah Kaum Bapa di Rumoong-
Lansot dan pada tanggal 19 Maret 1961, Kaum Bapa di jemaat Rumoong-
Lansot diberi nama ‘SION’. Pengurus pertama Kaum Bapa adalah Bapak F.
Rumerung dan Bapak A. Tenda sebagai Ketua I dan II, Bapak G,
Manengkey dan Bapak W.B. Tampi sebagai Sekretaris I dan II, serta Bapak
J. Aseng sebagai Bendahara.

Pada masa itu daerah sekitar desa masih dikusai oleh pejuang Permesta,
sehingga sering terjadi kontak senjata antara TNI dengan Permesta. Sikap
saling curiga baik oleh pejuang Permesta dan TNI terhadap penduduk
menyebabkan banyak penduduk menjadi korban. Terutama sikap sewenang-
wenang beberapa anggota TNI yang seringkali memicu kemarahan
penduduk.

Melihat gelagat yang tidak baik dan dapat menyebabkan korban lebih lanjut
dikalangan penduduk, beberapa tokoh masyarakat dan tokoh gereja
terpanggil untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Salah satunya adalah
seorang tokoh muda bernama Timotius Kondoy. Beliau sebagai seorang
Pelayan Jemaat seringkali dicurigai oleh TNI karena kritikan dan sindirannya
terhadap sikap tidak manusiawi anggota TNI yang dilakukan terhadap
penduduk desa Rumoong-Lansot; Adapun beberapa kritikan beliau antara
lain mengenai penebangan paksa pohon-pohon cengkih milik petani oleh
TNI, penembakan oleh anggota TNI terhadap Bapak L. Karundeng dan
cucunya, dan pada waktu membawakan khotbah mengenai pagar makan
tanaman dan penyembahan opo-opo. Akibat kritikan yang disampaikan
tersebut, beliau pernah di pukul dan ditodong dengan senjata api oleh dua
orang anggota TNI.

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sangat meresahkan penduduk sehingga


Komandan Kompi TNI turun tangan dan memerintahkan laporan
pertanggung-jawaban dari kedua anak buahnya dan akan menghukum
mereka sesuai dengan tindakan mereka. Tetapi dari kalangan Tokoh Gereja
pada waktu itu memohon kepada sang komandan agar kedua oknum TNI
tersebut tidak dihukum, melainkan mereka akan mempertanggung-jawabkan
sendiri tindkn mereka kepada Tuhan. Hal ini terbukti karena beberapa hari
kemudian anak dari seorang pelaku meninggal dunia, sedangkan pelaku
lainnya terkena musibah sakit penyakit berupa luka gatal disekujur tubuhnya
hingga tidak tertolong lagi. Kedua orang yang meninggal tersebut akhirnya
dikuburkan oleh penduduk desa dengan penuh sukarela walaupun mereka
telah ditindas. Melihat peristiwa itu Sang Komandan akhirnya menjadi
seorang Kristen yang aktif sekaligus menjadi Penginjil dikemudian hari.
6. Masa Pergolakan G 30 S PKI

Setelah pergolakan permesta berakhir, kehidupan jemaat kembali dibangun,


Pdt. Th. Manengkey diganti oleh Pdt M.L. Sondakh untuk melayani Jemaat.
GMIM Rumoong-Lansot. Dimasa pelayanan beliau, jemaat GMIM Rumoong
Lansot diperhadapkan lagi dengan masa-masa sulit disekitar situasi politik
bangsa Indonesia yang memanas. Hal ini mulai terasa di tahun 1964 dimana
ketegangan antar partai politik berimbas dalam kehidupan jemaat khususnya
di Rumoong-Lansot. Misi pelayananpun selalu dicurigai bila menyampaikan
khotbah-khotbah di setiap ibadah jemaat. Apabila suatu tema khotbah
bertentangan dengan paham suatu partai politik, maka sang pengkhotbah
akan segera ditangkap dan diperiksa oleh pemerintah militer yang dikenal
dengan nama O.D.M.

Pengurus Sinode GMIM bergambar bersama di depan kantor Sinode

Suasana saling curiga ini terjadi hingga ketingkat Sinode GMIM yang
berpusat di Tomohon di bawah kepemimpinan Pdt. A.Z. Wenas. Slogan-
slogan dan teriakan-teriakan yang sifatnya mengancam seperti
“Ganyang Ketua Sinode, ganyang Domini Wenas “ selalu saja di dengungkan
oleh sebuah partai yang beraliran komunis. Dan akhirnya semua yang
menentang akan kebenaran Firman Tuhan akan dikalahkan. Partai Komunis
Indonesia yang selama ini sangat menentang ajaran Kristiani akhirnya
tumbang setelah mencoba melakukan kudeta yang dikenal dengan nama
Gerakan 30 September 1965 atau disingkat G 30 S / PKI. Gerakan ini
ditumpas dan dianggap sebagai partai terlarang di Indonesia. Dengan
berakhirnya pergolakan G 30 S / PKI maka lahirlah masa pemerintahan Orde
Baru. Dimasa Orde Baru ni kehidupan pelayanan Injil di Minahasa meningkat
dengan pesat begitupun di jemaat GMIM Rumoong-Lansot.
C. PEMISAHAN JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT.

1. Wacana Pemisahan Jemaat Rumoong Lansot

Pada masa sebelum Jemaat Rumoong dan Lansot berdiri sendiri, kedua
jemaat bersama-sama mengadakan ibadah di satu Rumah Ibadah yang
terletak di perbatasan desa Lansot dan Rumoong-Atas (Sekarang dipakai
oleh Jemaat GMIM ‘Taar Era” Rumoong-Atas).
Pada masa pelayanan pendeta F.M. Kowel di Jemaat GMIM Rumoong-
Lansot pada tahun 1970, dari Sinode GMIM di Tomohon mengeluarkan
Tata Gereja Baru yang berlaku diseluruh wilayah pelayanan GMIM, untuk
dipakai sebagai pedoman dan aturan bagi seluruh pelayanan GMIM yang
ada di Minahasa. Salah satu aturan yang mengatur tentang Jemaat adalah
bahwa setiap desa diseluruh pelayanan GMIM harus menjadi satu jemaat.

Untuk melaksanakan aturan Tata Gereja tersebut, Jemaat GMIM


Rumoong-Lansot yang terdiri dari dua desa yang bertetengga yang selama
ini merupakan satu jemaat, tergugah dengan himbauan dari Sinode GMIM
tersebut. Untuk menindak-lanjutinya maka pada tanggal 8 Pebruari 1970
diawali dengan diadakanlah pemilihan Penatua dan Syamas di Rumoong-
Lansot dengan pembagian Kolom (Daerah Sektor Pelayanan) yaitu
Rumoong-Atas dengan 9 Kolom dan Lansot menjadi 6 Kolom. Setiap
Kolom memilih Penatua dan Syamas masing-masing. Begitupun disetiap
Jemaat baik Rumoong dan Lansot membentuk Komisi-komisi pelayanan
seperti Komisi Pelayanan Khusus Kaum Ibu, Komisi Kaum Bapa, Komisi
Pemuda, dimana setiap ketua-ketua komisi pelayanan tersebut diangkat
sebagai Penatua. Dan khusus Komisi Pelayanan Anak-anak dipilih oleh
Majelis Jemaat yang telah terbentuk.

Pada tanggal 5 Mei 1970 diadakan Rapat Majelis Jemaat GMIM Rumoong-
Lansot yang menghasilkan kesepakatan mengenai pemisahan administrasi
antara Jemaat yang berada di Rumoong Atas dengan Jemaat yang berada
di Lansot. Selanjutnya pada tanggal 29 Maret melalui suatu Rapat Majelis
disepakati pemisahan keuangan yaitu pendapatan pundi/persembahan
jemaat dalam setiap kebaktian di rumah ibadah (Gereja) dibagi dua
berdasarkan tempat duduk yaitu dua baris tempat duduk jemaat Lansot
berada disebelah timur, sedangkan dua baris disebelah Barat ditempati
oleh Jemaat Rumoong Atas.

Suasana Jemaat GMIM Rumoong-Lansot dalam suatu ibadah (Foto WT 1970)

Pada tahun 1972 masa pelayanan pendeta F.M. Kowel berakhir dan
digantikan oleh Pendeta baru yaitu pendeta W.R. Rondonuwu (1972-
1980). Dimasa pelayanan pendeta ini telah timbul suatu gagasan baru bagi
jemaat Rumoong-Lansot tentang pemisahan kebaktian di rumah
peribadatan. Hal ini ditindak lanjuti dengan diadakannya Rapat Mejelis
Jemaat GMIM Rumoong-Lansot pada tanggal 26 April 1975 yang
menghasilkan kesepakatan pemisahan tempat peribadatan kedua jemaat
tersebut yaitu minggu I sampai minggu III ibadah dilangsungkan di Jemaat
masing-masing dan Minggu IV pada setiap bulan Jemaat GMIM Rumoong
dan Lansot beribadah bersama-sama di Rumah Ibadah.

Hasil kesepakatan ini disempurnakan/dirampungkan dalam rapat Mejelis


Jemaat pada tanggal 5 Mei 1975 dan mulai diumumkan di depan Jemaat
pada hari Minggu tanggal 11 Mei 1975 sebagai pengumuman pertama dan
dilanjutkan dengan pengumuman kedua dengan penjelasan teknis
pelaksanaannya yaitu pemakaian rumah ibadah dipakai secara bergantian
setiap satu bulan antara jemaat Rumoong Atas dengan Jemaat Lansot.

2. Pemisahan Tempat Ibadah

Pada hari Minggu tanggal 01 Juni 1975 pelaksanaan keputusan


pemisahan tempat ibadah mulai dilaksanakan dimana Jemaat Lansot
mengadakan Ibadah Kebaktian Minggu bertempat di Balai Desa Lansot,
sedangkan Jemaat Rumoong Atas memakai Gedung Gereja. Dan bulan
berikutnya sebenarnya merupakan giliran Jemaat Lansot beribadah di
Rumah Ibadah (Gereja), dan Jemaat Rumoong Atas mencari tempat di luar
Rumah Ibadah. Tetapi berhubung Jemaat Lansot mempunyai Balai Desa
yang layak untuk mengadakan Ibadah sedangkan Jemaat Rumoong Atas
belum ada tempat selain gedung gereja, maka diputuskan bahwa kebaktian
Jemaat Lansot tetap di adakan di Balai Desa Lansot dan Jemaat Rumoong
Atas memakai Gedung Gereja.

Masa-masa terakhir
jemaat dari Lansot
menuju ke rumah
gereja GMIM
RUMOONG-LANSOT
di Rumoong Atas.
(Foto 1995)

Memang tak dapat disangkal bahwa pemisahan yang terjadi antara Jemaat
Rumoong-Lansot banyak disesalkan oleh tua-tua Jemaat karena telah
sekian lama Jemaat Rumoong-Lansot hidup bersama dalam satu jemaat
sejak awal berdirinya Jemaat Rumoong-Lansot. Hal ini memang sudah
kehendak Roh Kudus dimana Rumah Gereja yang ada sekarang ini tak
dapat lagi menampung jumlah jemaat yang berada di Rumoong-Lansot
yang berkembang dengan pesat.
Peribadatan Jemaat Lansot yang di langsungkan di Balai Desa Lansot
terakhir dilakukan pada Minggu 26 Juni 1976. Sebab pembangunan
Gedung Gereja baru dimana peletakan batu pertama telah dilakukan pada
tanggal 30 Nopember 1975, yang dilaksanakan dengan swadaya
masyarakat baik di dalam maupun diluar desa Lansot, sudah mulai
rampung dan digunakan pertama kali pada hari Minggu tanggal 1 Agustus
1976. Adapun lokasi dibangunnya gedung gereja yang baru yaitu bertempat
di bekas Rumah Bersalin Tareran (dahulu Gedung Vervolegscool) yang
berlokasi di jalan Pisek ke arah desa Wiau Lapi tepatnya di belakang Balai
Desa Lansot yang menghadap kearah Barat.

Foto bersama Jemaat dan masyarakat desa Lansot dengan Ketua Jemaat dan
Hukum Tua Lansot Bapak Timotius Kondoy, 1 Januari 1974.

Minggu-minggu Terakhir Jemaat


Rumoong-Lansot beribadah bersama
di Gereja Tua
Foto bersama seusai Ibadah Minggu
(foto 1975)
D. BERDIRINYA JEMAAT GMIM “BETLEHEM” LANSOT.

Dengan adanya pemisahan Jemaat


Rumoong-Lansot ini dimana Jemaat
GMIM Lansot sudah mempunyai
rumah ibadahnya sendiri maka
berdasarkan usulan Badan Pekerja
Majelis Jemaat GMIM Lansot melalui
Badan Pekerja GMIM Wilayah
Tareran maka Badan Pekerja
Sinode GMIM di Tomohon
mengeluarkan pengesahan melalui
Kutipan Daftar Beslit B.P.S GMIM
No. 57 tertanggal 8 Juli 1978.
Maka dengan demikian terhitung
mulai tanggal 1 April 1978 Jemaat
Rumoong dan Lansot dinyatakan
sebagai jemaat yang berdiri sendiri.
Untuk Jemaat Lansot diberi nama
GMIM ‘Betlehem” Lansot.

Beberapa waktu kemudian sesudah disahkannya Jemaat GMIM Lansot


sebagai jemaat yang berdiri sendiri, maka pada tanggal 9 Juli 1978 jemaat
GMIM Lansot memasuki sejarah baru dengan ditahbiskannya Rumah Ibadah
(Gereja) yang baru oleh Sinode GMIM melalui Wakil Ketuanya Bapak Dr.
W.A. Roeroe.

Foto bersama MajelisJemaat GMIM Betlehem Lansot & Tokoh masyarakat


dengan Pdt. W.R. Rondonuwu

Pada tahun 1980, Pendeta W.R. Rondonuwu mengakhir masa


pelayanannya di Jemaat Rumoong dan Lansot dan digantikan oleh pendeta
J. Ruus terhitung Januari 1980. Selama pemisahan Jemaat dan Gereja
antara Rumoong Atas dan Lansot, pelayanan sementara di kedua
Jemaat/Gereja tersebut masih dilakukan oleh seorang Pendeta. Sedangkan
di Jemaat Lansot sebelum dipimpin oleh seorang Pendeta Jemaat sendiri,
dilakukan dibawah pimpinan Ketua Jemaat Timothius Kondoj.
Baru pada tanggal 15 Juli 1984 oleh Badan Pekerja Sinode mengirimkanlah
seorang Pendeta muda/calon pendeta (Vikaris) untuk melayani Jemaat GMIM
Lansot yang bernama Stella Multatuli Ichnatius Sompie.SmTh.

Pdt. S.M.I. Sompie memperkenalkan diri didepan Jemaat GMIM Lansot pada
tanggal 22 Juli 1984 dan memulai pelayanannya pada tanggal 29 Juli 1984.
Inilah pendeta pertama Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot setelah berdiri
sendiri.

Foto bersama Majelis Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot.bersama Pendeta Pertama

Selanjutnya secara berturut-turut pendeta yang ditempatkan di Jemaat GMIM


‘Betlehem’ Lansot adalah Ibu Pdt. Altje Lumingkewas-Kawengian, Ibu Pdt
Meggy Torar- Mundung, Ibu Pdt. Ireyne Ratu-Mangala (Ketua Jemaat) &
Ibu Pdt. Wowor Manoppo sebagai Pendeta pelayanan Jemaat. Dan
kemudian pada tahun 2006 ditempatkabn Pdt. Sem Kindangen, STh
sebagai Ketua Jemaat dibantu oleh Pendeta Pelayanan Andretta Suoth,
S.Th. Pada tahun 2009, terjadi lagi pengantian Pendeta yaitu ditempatkannya
Pdt Christian Luwuk, S.Th
dengan pendeta pelayanan
Intania
Walangitan,S.Th,Pdt. Meyni
Makarawung, S.Th, dan Inri
Momor, S.Th sebagai
Vicaris. Setelah pemilihan
pelayanan khusus
(Panatua/Syamas) Periode
2014/2017, maka
ditempatkanlah Pdt. Gariet
H. Sigarlaki, M.Th sebagai
Ketua Jemaat.

Gedung Gereja Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot Sebelum direnovasi (Foto MS 1982)
D. BERDIRINYA GMIM “IMANUEL” RUMOONG ATAS.
Setelah pemisahan Jemaat GMIM Rumoong dan Lansot, Jemaat Rumoong
Atas akhirnya beribadah sendiri di
Gereja Tua dengan nama Jemaat
GMIM Rumoong Atas.

Hal ini bermula dengan dikirimnya


surat tertanggal 1 Desember 1977
NO. 25/MJ/XII/77 disertai dengan
Rekomenasi dari Badan Pekerja
Wilayah Tareran tertanggal 5
Januari 1978 NO. 03 / BPW / Tar/
I/ 78. Berdasarkan rapat Badan
Pekerja Sinode tgl. 22 Maret 1978,
maka dikeluarkanlah surat
keputusan tertanggal 8 Juli 1978
No. 57 terhitung mulai 1 April 1978
:
Gedung GMIM ‘Imanuel” Rumoong
Atas setelah beberapa kali direnovasi
Foto SP 2014

I. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi surat keputusan Badan


Pekerja Sinode No. 22 tanggal 31 Maret 1970 menyangkut jemaat
Rumoong Lansot.
II. Menetapkan pembentukan Jemaat Rumoong Atas dan Jemaat Lansot
dan keduanya berada dalam wilayah Tareran.

Dengan demikian resmilah jemaat Rumoong Atas menjadi Jemaat penuh


mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan jemaat GMIM lainnya.
Tetapi biarpun sudah resmi sebagai Jemaat yang baru, namun sarana
tempat ibadah belum memadai, nyatanya usaha Jemaat tidak sia – sia.
Sebab pada 18 April 1978
peletakan batu pertama untuk
pembangunan Gereja Jemaat
GMIM Rumoong Atas
dilaksanakan yang tadinya masih
diwarnai dengan perbedaan
pendapat, di mana sebelumnya
diadakan acara peletakan batu
pertama di kompleks bangunan
gereja tua. Dengan semangat
keesaan perbedaan pendapat
dapat diselesaikan dengan gereja
yang baru didirikan dan megah
dipertengahan desa Rumoong
Atas.

Gedung GMIM “Imanuel” Dalam Proses Pemugaran (Foto SP 200^)


Gedung gereja tersebut mulai dipakai pada tanggal 19 Oktober 1978 dan
nanti diresmikan oleh Bapak Bupati KDH. TK II Minahasa Bapak B. G.
LAPIAN, BA a.n. GKDH Tkt. I Sulut bersama rombongan bapak ketua
Sinode GMIM. Gedung gereja baru tersebut terbangun dengan swadaya
murni jemaat Rumoong Atas.

Dan sejak saat itu seiring dengan pemekaran yang terjadi maka jemaat
GMIM Rumoong Atas pun memulai pembangunan gereja baru yang terletak
di bagian tengah kampung Rumoong Atas yang diberi nama GMIM
“Imanuel” Rumoong Atas. Akibatnya seluruh jemaat Rumoong Atas
melaksanakan ibadah menyatu di gereja baru dan secara perlahan gedung
gereja lama yang bersejarah yaitu GMIM Rumoong Lansot dalam waktu
yang cukup lama tidak di gunakan lagi sebagai tempat ibadah.

Adapun pendeta yang pernah melayani Jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong


Atas sebelum pemekaran jemaat adalah :

Pdt. W.R. Rondonuwu periode pelayanan 1974 s.d. 1977


Pdt. Johanis Ruus, SmTh, mengantikan Pdt. W.R. Rondonuwu pada
periode pelayanan 1982 s.d. 1985
Pdt. S. Lumingkewas, mengantikan Pdt. Johanis Ruus, SmTh pada
periode pelayanan 1986 s.d. 1989 dan melayani jemaat sampai periode
pelayanan 1990 s.d. 1994
Pdt. A. Turangan mengantikan Pdt. S. Lumingkewas pada periode
pelayanan 1990 s.d. 1994 hingga masa pemekaran Jemaat GMIM ‘ Taar
Era’ Rumoong Atas.

Gedung Gereja & Balai Pertemuan Jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong Atas
(Foto SP 2016)
Gedung Gereja jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong Atas II dilihat dari Perbatasan Desa
Rumoong Atas (Foto SP 2016)

Pemukiman penduduk/jemaat Rumoong Atas Dua dilihat dari ujung desa sebelah barat
/Tempok (Foto SP 2016)
E. BERDIRINYA GMIM “TAAR ERA” RUMOONG ATAS.

I. ALASAN PEMEKARAN JEMAAT

Pada akhir tahun 1999 dengan semakin bertambahnya jemaat GMIM


“IMMANUEL” Rumoong
Atas serta terjadinya
pemekaran Desa
menjadi dua yaitu Desa
Rumoong Atas yang
berada di sebelah Timur
serta Desa Rumoong
Atas Dua yang berada
disebelah barat, maka
untuk lebih
meningkatkan pelayanan
kepada jemaat dengan
mendengar usulan dan
masukan dari jemaat,
maka diwacanakan untuk
melakukan pemekaran
Jemaat\

Gedung GMIM “Taar Era” Rumoong Atas yang memakai


Gereja Tua GMIM Rumoong-Lansot sebelum dibongkar

Rencana pemekaran ini mulai nampak di tahun pelayanan 1999 (tahun


terakhir periode 1995 – 1999 BPMJ GMIM “Imanuel” Rumoong Atas): salah
satu agenda berdasarkan keputusan Sidang Majelis Jemaat, bahwa
bangunan yang pernah menjadi tempat ibadah GMIM Rumoong Lansot
difungsikan kembali sebagai tempat ibadah bersamaan dengan pemekaran
jemaat GMIM Rumoong Atas, yang diwacanakan akan menjadi 3 (tiga)
jemaat, namun prioritas menjadi 2 jemaat, sedangkan untuk persiapan
jemaat yang satu baru pada penyiapan lahan, yakni berdomisili di bagian
ujung desa Rumoong Atas arah ke Amurang (Kompleks SMP Negeri 1
Tareran).

Wacana itu lalu dibahas dalam Sidang-sidang Majelis Jemaat mengenai


pemekaran jemaat dan disepakati untuk dibawa usulan tersebut ke Badan
Pekerja Sinode GMIM di Tomohon.

Usulan pemekaran mendapat persetujuan dari Badan Pekerja Sinode


GMIM, dengan dikeluarkannya Kutipan dari Daftar beslit-beslit Badan
Pekerja Sinode GMIM Nomor 179 tertanggal 6 Desember 1999, yang
menetapkan :
1. Memekarkan Jemaat Imanuel Rumoong Atas menjadi 2 (dua) Jemaat :
a. Jemaat Imanuel Rumoong Atas
b. Jemaat Taar Era Rumoong Atas
2. Jemaat Taar Era Rumoong Atas sebagai Jemaat ke 742, dimasukkan
dalam lingkungan Pelayanan Wilayah Tareran Satu
3. Keputusan ini terhitung peresmiannya pada tanggal 19 Desember 1999.
Surat Keputusan ini ditandatangani oleh Ketua Sinode GMIM Pdt. M.L.H.
Mosal, STh, dan Sekretaris Sinode Pdt. J.N. Gara, STh.MA.

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan ini, maka mulai awal tahun 2000
resmilah pemekaran jemaat Rumoong Atas menjadi dua jemaat yaitu
Jemaat yang berada di sebelah timur desa Rumoong Atas menjadi Jemaat
GMIM “Taar Era” Rumoong Atas dengan memakai Gedung Gereja Tua
bekas Gedung Gereja GMIM Rumoong-Lansot sebagai tempat beribadah,
sedangkan Jemaat yang berada disebelah Barat tetap sebagai Jemaat
GMIM ‘Imanuel’ Rumoong Atas.

Gedung Baru GMIM “ Taar Era “ Rumoong Atas berdiri megah di atas bekas
berdirinya Gedung gereja Tua GMIM Rumoong Lansot (Foto DR 2015)

Sebelum terjadi pemekaran, dalam persiapannya, bangunan gereja “tua”


setelah dipugar/renovasi maka dijadikan tempat ibadah sampai pada
pemekaran hari pemekaran. Maka pada tanggal 19 Desember 1999.
gedung gereja bersejarah GMIM Rumoong Lansot yang telah di renovasi
dipergunakan kembali serta mendapatkan nama baru yaitu GMIM “TA’AR
ERA” Rumoong Atas.

Mengambil inspirasi dari kearifan local yaitu dalam bahasa Tontemboan,


TA’AR ERA berarti PESAN MEREKA. Pesan penginjilan, kerukunan,
persatuan, kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam kehidupan
jemaat, pesan mapalus yang adalah pesan Firman Tuhan itulah yang di
terus-teruskan untuk diberitakan dan di wujudkan dalam kehidupan jemaat
RumoongAtas.
Tiang-tiang yang berdiri kokoh yang selama puluhan tahun itu telah menjadi
bukti tegaknya pelayanan, lengkungan kubah seng di atap gereja telah
menyaringkan dan memantulkan berita serta cahaya keselamatan yang
menerangi langkah hidup umat Tuhan, batu-batu yang tersusun itu telah
menjadi bukti kerukunan, kebersamaan yang telah dan pernah menjadi akar
persatuan dan kasih persaudaraan jemaat Rumoong dan Lansot. Kiranya
semangat dan spirit mapalus ini tidak hanya menjadi kenangan manis tetapi
senantiasa hidup dan di abadikan dalam tekad serta karya pelayanan
jemaat GMIM “TA’AR ERA” Rumoong Atas turun temurun.

II. PEMBONGKARAN GEREJA TUA DAN PEMBANGUNAN GEDUNG


GEREJA BARU.

Sejalan dengan perkembangan jemaat yang ada, maka diawal tahun 2010
diwacanakan untuk membangun gedung gereja baru bagi warga Jemaat
GMIM Taar Era. Maka dibentuklah Panitia pembangunan yang diketuai oleh
Asiano Gamy Kawatu, SE, MSi. Kendala utama yang dihadapi panitia
adalah mencari lokasi tempat berdirinya Gereja baru. Segala upaya penitia
untuk mencari lokasi pembangunan gereja tidak memenuhi hasil, sehingga
dengan sangat berat hati dipilihlah lokasi Gereja Tua Rumoong-Lansot
sebagai lokasi Pembangunan gedung GMIM Taar Era. Konsekuensinya
bahwa gedung Gereja Tua yang merupakan saksi bisu perjalanan
penginjilan di Rumoong-Lansot harus di bongkar.

Niat panitia tersebut menuai pro dan kontra dikalangan jemaat baik
Rumoong Atas maupun Lansot yang selama ini telah menyimpan kenangan
serta telah menjadi bagian dari kehidupan berjemaat selama ini. Namun
dengan gencarnya sosialisasi yang dilakukan oleh Panitia kepada Jemaat
Rumoong dan Lansot, akhirnya dengan berat hati Gedung Gereja Tua yang
telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penginjilan di
Rumoong dan Lansot harus dibongkar. Jalannya pembongkaran gereja tua
ini diliputi suasana haru dikalangan jemaat.

Pembangunan gedung Gereja baru/rumah ibadah berlangsung dengan baik


sehingga dapat diresmikan pemakaiannya pada tahun 2013.

Dalam perkembangan kemudian, dengan terbentuknya Jemaat GMIM “


Taar Era” Rumoong Atas yang menempati bangunan gereja Tua, beberapa
jemaat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berada di jemaat Rumoong dan
Lansot mewacanakan untuk membentuk Gereja Sentral yang berkedudukan
di GMIM Taar Era Rumoong Atas mengingat kedudukannya berada di
antara Jemaat Rumoong dan Lansot
Beberapa lokasi Pemukiman Penduduk/Jemaat Rumoong Atas (Foto SP 2016)
Menara Gedung Gereja Jemaat GMIM “Taar Era” dilihat dari arah Utara Desa Rumoong
Atas (Foto SP 2016)

Gedung gereja Jemaat GMIM “ Taar Era “ Rumoong Atas tampak sedang membangun ruang
tambahan (Foto SP 2016)
F. BERDIRINYA JEMAAT BARU GMIM “NAZARETH VELDEN CAPPELEN“
LANSOT TIMUR.

Sejarah JEMAAT GMIM ‘NAZARETH VELDEN CAPPELEN” LANSOT


TIMUR, tak lepas dari perjalanan sejarah yang panjang dari Jemaat GMIM
Rumoong Lansot yang dalam perkembangannya kemudian melahirkan jemaat
GMIM “Betlehem” Lansot dan Jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong Atas.

Jemaat GMIM “Imanuel” Rumoong Atas kemudian dimekarkan dan melahirkan


Jemaat GMIM “ Taar Era” Rumoong Atas pada akhir tahun 1999, sedangkan
Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot, pada tanggal 06 September 2015
dimekarkan lagi dan melahirkan Jemaat yang baru yaitu Jemaat GMIM
“Nazareth – Velden Cappelen” Lansot Timur.

A. Latar Belakang Pendirian

Bahwa perjalanan Gereja memasuki Abad 21, merupakan perjalanan yang


semakin di tantang dengan komplesitas permasalahan seiring dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan derasnya arus globalisasi.
Kenyataan ini tidak boleh dihindari oleh Gereja khususnya Gereja Masehi
Injili di Minahasa (GMIM)
termasuk di dalamnya seluruh
komponen pelayanan Gereja,
semuanya perlu disiapkan
sebagai penerus misi Gereja
yang tidak hanya memiliki
kualitas iman yang mampu
mengambil keputusan-
keputusan etis Kristiani tetapi
juga mampu menjadi terang
dunia dan saksi Kristus demi
terwujudnya Syaloom Tuhan
bagi dunia ini dan sesamanya.
Gedung Gereja & Pastori Jemaat GMIM
“Betlehem” Lansot, Sebagai Gereja Induk.

Bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan kesaksian di


tengah-tengah aktifitas hidup dalam menghadapi perubahan nilai budaya
dan tuntutan sikap hidup modern di kalangan jemaat dan generasi muda
gereja dewasa ini, khususnya di Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot,
diperlukan suatu sarana peribadatan yang representatif yang bertujuan
untuk mempertebal iman kristiani, mampu mempertahankan kenabian
Gereja serta jati dirinya sebagai garam dan terang dunia.

Perkembangan Jemaat GMIM “ Betlehem “ Lansot yang begitu pesat


dengan Jumlah Kolom telah mencapai 18 kolom, maka untuk
memaksimalkan pelayanan kepada jemaat, wacana pemekaran mulai
diangkat kepermukaan. Hal ini bermula dari rencana mendirikan suatu
Kanisah diujung sebelah timur Desa Lansot ditanah yang disumbangkan
oleh salah satu keluarga, maka dimasa pelayanan Pendeta Meggy Torar-
Mundung, S.Th, dibentuklah Panitia pembangunan Kanisah. Peletakan
batu pertamapun dilakukan. Namun setelah itu pembangunan kanisah tak
kunjung terealisasi karena berbagai masalah; terutama dana.

Namun wacana ini terus bergulir dan terangkat kembali setelah adanya
rencana untuk pemekaran Desa Lansot menjadi 2 (desa ). Pada akhir
tahun 2012, akhirnya Desa Lansot dengan resmi dimekarkan yaitu Desa
Lansot sebagai desa induk yang berada di sebelah barat serta Desa
Lansot Timur sebagai hasil pemekaran yang berada di bagian Timur.

Walaupun Desa Lansot telah dimekarkan menjadi dua desa, namun Jemaat
masih beribadah bersama di gedung gereja yang terletak di desa induk.
Memang sebelum desa Lansot dimekarkan, rencana pembangunan gedung
gereja baru di di wilayah Desa Lansot Timur sekarang, sudah mulai
direncanakan.

Pada masa pelayanan Pdt. Sem Kindangen, STh sebagai Ketua BPMJ
GMIM “ Betlehem “ Lansot, hal ini mulai diwujudkan dengan membentuk
Panitia Pembangunan Foundasi Gereja Baru pada tahun 2010 yang
diketuai oleh Drs. Leopold Rumerung,
untuk melanjutkan pembangunan gereja
dari panitia yang sebelumnya sudah
terbentuk namun tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Tugas panitia ini hanya
membangun foundasi gereja di tanah yang
merupakan hasil hibah dari Kel. Robby
Kandow-Supit (Cong) yang tinggal diluar
desa Lansot yaitu yang keluarganya
berasal dari desa Lansot. Dan kemudian
untuk memperluas halaman gedung gereja
maka oleh Kel. Drs. Leopold Rumerung-
Prang menghibahkan tanahnya dengan
cara tukar guling.
Sketsa/gambar rencana awal bentuk pembangunan Gereja NVC

Setelah tugas Panitia Pembangunan Foundasi gedung gereja berhasil


melaksanakan tugasnya dengan baik, maka pada tahun 2012 di masa
pelayanan Pdt. Christian Luwuk, STh panitia ini dibubarkan dan sebagai
gantinya dibentuk panitia baru yaitu Panitia Pembangunan Gedung
Gereja Baru melalui Sidang Majelis jemaat. Panitia ini diketuai oleh Bapak
Ir. H.T.R. Korah, MSi, dan Sekretaris Bapak Ir. Jootje Rumangu, M.Pd.
Dengan dilanjutkan pembangunan gereja baru ini, maka mulailah
diwacanakan tentang pemekaran Jemaat GMIM “ Betlehem “ Lansot
menjadi dua jemaat.

Wacana pemekaran jemaat mulai direalisasikan bentuknya dengan


dilakukan pemetaan wilayah pelayanan [Kolom] dalam rangka untuk
pemekaran kolom. Tugas ini oleh BPMJ diberikan kepada Panitia Pemilihan
Pelayan Khusus Periode 2014 s/d 2017 untuk Aras Jemaat yang diketuai
oleh Bapak Johny Rumerung, S.Pd bersama Sekretaris Bapak Drs. Valry
S.H. Prang. Dalam rancangan wilayah pemetaan kolom akan mengikuti
wilayah administrasi pemerintahan desa dengan membagi kolom menjadi
20 kolom dimana kolom 1 s/d 11 berada di wilayah Desa Lansot, dan Kolom
12 s/d 20 berada diwilayah Desa Lansot Timur. Hasil dari pemetaan dan
pembagian Wilayah pelayanan/Kolom ini, lalu dibawa dalam Rapat BPMJ
dan kemudian dibahas dan diputuskan dalam Sidang Majelis Jemaat.

Setelah pemilihan Pelayan Khusus Periode 2014 s/d 2017 dilaksanakan


dimasing-masing kolom, maka dalam menetapkan Program Kerja Jemaat
GMIM “ Betlehem “ Lansot untuk Periode Pelayanan Tahun 2014, didahului
dengan diadakan Rapat Sidi Jemaat disetiap kolom dan hasilnya
disampaikan dalam Rapat Sidi Jemaat tingkat Jemaat. Dalam Rapat Sidi
Jemaat itu, beberapa kolom mengusulkan untuk dilakukan pemekaran
jemaat. Usulan ini kemudian dibahas dalam Sidang Majelis Jemaat dan
kemudian disetujui untuk menjadi salah satu Program Kerja Jemaat GMIM “
Betlehem “ Lansot ditahun 2014.

Gambar awal kegiatan pembangunan Gereja Nazareth/Sketsa baru bentuk bangunan

B. Pemekaran Jemaat

Setelah Pdt. Christian Luwuk, STH digantikan oleh Pdt. Gariet H. Mawa –
Sigarlaki, MTh, rencana Pemekaran Jemaat mulai diwujudkan pada tahun
kedua periode berjalan yaitu pada bulan Oktober 2014 dengan membentuk
Panitia Pemekaran Jemaat yang diketuai oleh Bapak Joppie H. Kondoj,
BA melalui Sidang Majelis Jemaat. Dan pada Sidang-sidang Mejelis Jemaat
selanjutnya mulai ditetapkan waktu dilaksanakan pemekaran jemaat serta
penetapan nama Jemaat yang baru.

Pemekaran jemaat didahului dengan pembicaraan dan pembagian aset-


aset gereja melalui Sidang Majelis Jemaat yang dilaksanakan pada
Minggu, 26 Januari 2015. Dalam sidang Majelis Jemaat saat itu ditetapkan
antara lain :
1. Memekarkan Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot menjadi dua jemaat yang
masing-masing terdiri dari 11 Kolom (Kolom 1 s/d 11) untuk Jemaat
GMIM “Betlehem” Lansot, dan 9 Kolom ( Kolom 12 – 20 ) untuk Jemaat
baru/pemekaran [Sesuai hasil Pemetaan dan Pemekaran Kolom].
2. Batas wilayah pelayanan adalah mengikuti batas wilayah pemerintahan
Desa yaitu Desa Lansot (Kolom 1 s/d 11) merupakan Jemaat GMIM
“Betlehem” Lansot, dan Desa Lansot Timur (Kolom 12 s/d 20) merupakan
jemaat baru/pemekaran.
3. Membagi Aset gereja berupa “
- Kendaraan Dinas gereja berupa kendaraan Daihatzu APV dijual
sesuai dengan harga pasar untuk dibagi dua.
- Kendaraan Dinas Gereja berupa Sepeda Motpr merk Beijing menjadi
milik Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot.
- Tanah berupa lahan kebun dan kintal yang letaknya berada di daerah
masing-masing, menjadi milik dari jemaat masing-masing.
4. Meubeler berupa Kursi dan meja serta Sound system dan genset menjadi
milik Jemaat GMIM “ Betlehem” Lansot dengan konsekuensi bahwa
Jemaat baru akan mendapat meubeler, Sound system serta genset yang
baru yang dikeluarkan dari kas jemaat GMIM “Betlehem” Lansot.

Setelah semua persiapan pemekaran telah dirampungkan oleh Panitia


Pemekaran Jemaat, maka BPMJ GMIM “ Betlehem “ Lansot membawa
usulan pemekaran jemaat itu ke Badan Pekerja Sinode GMIM di Tomohon
lewat surat tertanggal 28 Mei 2015.

Untuk pemberian nama jemaat yang baru hasil pemekaran telah disebutkan
bernama “Nazareth” yang merupakan usulan dari keluarga yang
menghibahkan tanahnya untuk dijadikan rumah ibadah. Namun pada
perkembangan selanjutnya muncul masukan dari berbagai kalangan untuk
memberi nama jemaat yang baru dengan mengambil nama dari salah satu
penginjil yang datang menginjili di Rumoong Lansot bahkan mati dan
dikuburkan di desa Lansot, yakni S. Der Van Der Velde Van Cappellen
(1851-1856) atau dikenal oleh penduduk Rumoong Lansot dengan nama
“Velden Cappelen”.

Dena Jemaat GMIM “Betlehem”Lansot sebelum pemekaran terbagi pada dua desa yaitu
Desa Lansot (Sebelah Barat) dan Desa Lansot Timur (Sebelah Timur) yang merupakan
cikal bakal pembagian Jemaat.

Usulan nama itu memang sempat menjadi perdebatan, namun dengan arif
dan bijaksana serta berkat tuntunan Tuhan, BPMJ dan Panitia Pemekaran
mengambil kebijakan untuk memberi nama jemaat yang baru dengan nama
“Jemaat GMIM ‘Nazareth – Velden Cappellen’ Lansot Timur”, sebagai
jalan tengah untuk mengakomodir berbagai pendapat mengenai nama
jemaat yang baru tersebut. Nama inilah yang diusulkan ke BPMS GMIM di
Tomohon untuk ditetapkan menjadi nama jemaat yang baru.

Dari hasil kajian yang dilakukan maka Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM,
usulan Pemekaran Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot Wilayah Tareran Satu,
diterima dengan mengeluarkan pilihan waktu pemekaran yaitu pada akhir
Agustus 2015 atau pada awal bulan September 2015. Pilihan waktu
Pemekaran ini dibahas dalam Sidang Majelis Jemaat, dan kemudian
diputuskan bahwa untuk hari peresmian Pemekaran Jemaat dilakukan pada
hari Minggu, 06 September 2015. Dan akan dirangkaikan bersama-sama
dengan peletakan batu pertama Pembangunan Pastori I bagi Jemaat GMIM
“Betlehem” Lansot.

Foto bersama Pelayanan Khusus GMIM “Betlehem” Lansot pada saat detik-detik terakhir
Pemekaran jemaat Minggu, 06 September 2015.

Maka sesuai rencana, pada Minggu, 06 September 2015 ditahbiskanlah


jemaat baru dengan nama Jemaat GMIM “Nazareth – Velden Cappelen”
Lansot Timur Wilayah Tareran Satu yang sebelumnya dilakukan acara
Peletakan Batu Pertama Pastori Satu bagi Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot
oleh ketua Sinode GMIM Bapak DR. H.B.L. Sumakul, M.Th. Dalam acara
peresmian jemaat ini, langsung dirangkaikan dengan diteguhkannya Pdt.
Marthen Karundeng, S.Th, sebagai Ketua Jemaat yang pertama.

Penandatangan peresmian jemaat baru GMIM “Nazareth – Velden Cappelen” Lansot Timur oleh
Ketua Sinode GMIM Pdt. DR. H.B.L. Sumakul, M.Th serta Oleh Ketua Panitia Bapak Joppie H.
Kondoj, BA, disaksikan oleh BPMJ GMIM “Betlehem” Lansot serta para para Pelayanan Khusus dan
Undangan.
Acara ini dihadiri oleh seluruh Jemaat serta para undangan yang datang
dari dalam maupun dari luar jemaat. Untuk membantu pelayanan di jemaat
yang baru, maka Pdt. Meyni Tulangow-Makarawung, S.Th yang
sebelumnya adalah pendeta jemaat GMIM “Betlehem “ Lansot,
ditugaskan/diperbantukan ke Jemaat GMIM “ Nazareth Velden Cappelen “
Lansot Timur sebagai Pendeta Jemaat. Kebaktian/Ibadah Peresmian
Pemekaran jemaat baru ini dilaksanakan di gedung gereja yang baru dalam
suasana yang penuh hikmat disertai rasa haru dan ucapan syukur
walaupun dibuat dalam gedung gereja yang belum rampung
pembangunannya.

C. Keadaan Jemaat

Jemaat GMIM “ Nazareth – Velden Cappelen “ Lansot Timur Wilayah


Tareran Satu, terletak di Desa Lansot Timur Kec. Tareran Kab. Minahasa
Selatan, dan diresmikan sebagai satu jemaat dalam lingkungan GMIM yaitu
sebagai Jemaat GMIM ke-931.

Jemaat GMIM “ Nazareth – Velden Cappelen “ Lansot Timur ini terdiri dari 9
(sembilan) Kolom dengan Jumlah Keluarga 199 dengan jumlah anggota
jemaat 631 jiwa yang terdiri dari : a. Laki-laki : 334 orang
b. Perempuan : 297 orang

Dengan perincian sebagai berikut :


- Kolom 1 terdiri dari 25 KK
- Kolom 2 terdiri dari 16 KK
- Kolom 3 terdiri dari 23 KK
- Kolom 4 terdiri dari 21 KK
- Kolom 5 terdiri dari 21 KK
- Kolom 6 terdiri dari 21 KK
- Kolom 7 terdiri dari 25 KK
- Kolom 8 terdiri dari 23 KK
- Kolom 9 terdiri dari 24 KK
Keadaan Jemaat dalam sebuah Ibadah Minggu

Jumlah Anggota Jemaat yang telah dibabtis 631 jiwa, dan dengan Sidi
Jemaat berjumlah 466 jiwa. [Data bulan September 2015].

Ibadah Minggu Pertama Jemaat GMIM “NVC“ dipimpin oleh Pdt. Christian Luwuk, STH.
D. Keadaan Pelayan Khusus

Pelayan Khusus Pertama Jemaat GMIM “Nazareth – Velden Cappelen”


Lansot Timur Wilayah Tareran Satu, yaitu Syamas dan Penatua yang
terpilih pada Periode Pelayanan 2014-2017 yang berada di Kolom 12 s/d
Kolom 20 Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot, dan kemudian setelah
pemekaran jemaat menjadi Kolom 1 s/d kolom 9 Jemaat GMIM “Nazareth –
Velden Cappelen” Lansot Timur, Dengan susunan sebagai berikut “

Kolom 1 - Syamas : Drs. Valry S.H. Prang


- Penatua : Bernhard J. Pangemanan, S.Pd

Kolom 2 - Syamas : Moudy Ch.S. Tenda


- Penatua : Christian D.V. Karamoy, SE

Kolom 3 - Syamas : Pingkan Karundeng, SP


- Penatua : Jurike Ratu, S.Pd

Kolom 4 - Syamas : Olfi Lempoy


- Penatua : Kartini Kondoj, S.Pd

Kolom 5 - Syamas : Richard F. Wensen, Am.Pd


- Penatua : Jopi F.A. Prang, S.Pd
Kolom 6 - Syamas : Anneke Kesek, S.Pd
- Penatua : Vicky V. Prang, Am.Pd

Kolom 7 - Syamas : Meity Merentek


- Penatua : Samuel Karundeng

Kolom 8 - Syamas : Meylin Pasiowan


- Penatua : Jan W. Karundeng

Kolom 9 - Syamas : Olga S. Lapian, S.Pd


- Penatua : Happy V.O. Kawatu, SS

Untuk Kompelka BIPRA adalah para Penatua/Ketua BIPRA yang juga


sudah terpilih pada Periode Pelayanan 2014-2017 di Jemaat GMIM
“Betlehem” Lansot, yang kedudukannya berada di wilayah pelayanan
Jemaat yang baru tetap menjabat sebagai Ketua/penatua Kompelka yaitu :

Penatua Kompelka Anak : Fentky Kondoj, Amd.TS

Penatua Kompelka Remaja : Donny Karundeng, S.Pi

Penatua Kompelka Pemuda : Andreas S. Oroh, S.Pd


Sedangkan untuk Ketua Jemaat dan Pendeta jemaat sebelumnya oleh
Badan Pekerja Sinode GMIM telah menetapkan, yaitu :

Pendeta/Ketua Jemaat : Pdt. Marthen Karundeng, S.Th


Pendeta Jemaat : Pdt. Meyni Tulangow-Makarawung, S.Th

Penempatan kedua pendeta ini untuk melayani Jemaat GMIM “Nazareth –


Velden Cappelen” Lansot Timur Wilayah Tareran Satu, atas permintaan dan
keinginan jemaat yang disampaikan lewat Pelayan Khusus, serta diteruskan
oleh BPMJ dan Panitia Pemekaran ke BPS GMIM di Tomohon untuk
melayani Jemaat yang baru GMIM NVC.

Pelantikan Pdt. Marthen Karundeng, S.Th, sebagai Ketua Jemaat GMIM “ Nazareth Velden
Cappelen “ Lansot Timur

Untuk Kompelka P/KB dan WKI dimana Penatua/Ketua yang juga terpilih
pada Periode Pelayanan 2014-2017 berada di wilayah pelayanan GMIM
“Betlehem” Lansot. Maka untuk mengisi jabatan pelayanan tersebut
dilakukanlah pemilihan yang di laksanakan oleh Badan Pekerja GMIM
Wilayah Tareran satu. Kemudian terpilihlah :
Penatua Kompelka P/KB : Rionaldo Prang, ST
Penatua Kompelka W/KI : Chrisvivani Prang, SP

Tak lama setelah pemekaran jemaat, disusunlah perangkat pelayanan


lainnya yang lowong seperti Komisi-komisi kerja (KPDP, Komisi
Pembangunan, PSDD, Musik, dll),

Ibadah Pelantikan Penatua / Pengurus Kompelka PKB & WKI serta Komisi-komisi kerja
(Foto SP 2015)

Pemilihan juga dilakukan oleh Pelayan Khusus terhadap BPMJ yang


lowong yaitu untuk jabatan Sekretaris, dimana dalam pemilihan tersebut
terpilihlah Pnt. Happy V.O. Kawatu, SS, sebagai Sekretaris BPMJ GMIM “
Nazareth-Velden Capellen” Lansot Timur. Dengan demikian susunan BPMJ
GMIM “ Nazareth-Velden Capellen” Lansot Timur sesuai Tata Gereja GMIM
hanya 7 (tujuh) anggota, menjadi sebagai berikut :

Ketua : Pdt. Marthen Karundeng, S.Th


Wakil Ketua : Pnt. Bernhard J. Pangemanan, S.Pd
Sekretaris : Pnt. Happy V.O. Kawatu, SS
Bendahara : Sym. Olga Lapian, S.Pd
Anggota :
1. Pnt. Fentky Kondoj, Amd.TS - Penatua Kompelka Anak
2. Pnt. Donny Karundeng, S.Pi - Penatua Kompelka Remaja
3. Pnt. Andreas S. Oroh, S.Pd - Penatua Kompelka Pemuda

Dan dalam Rapat Majelis Jemaat bulan Desember 2015, menetapkan


Bapak Jemmy Prang dan Bapak Hence Pasiowan sebagai Kostor
pertama Jemaat GMIM “Nazareth-Velden Capellen” Lansot Timur, dan
untuk pegawai gereja untuk sementara ditangani oleh Bapak Dresta Prang
yang adalah pegawai gereja Jemaat GMIM “Betlehem” Lansot.

Ibadah minggu-minggu pertama mendapat respon yang posotif dari jemaat


walaupun beribadah digedung yang belum rampung pembangunannya.
Dengan hadirnya Jemaat GMIM “ Nazareth Velden Cappelen” Lansot Timur,
akan lebih melebarkan misi Penginjilan serta akan menjadi penerus misi Gereja
yang tidak hanya memiliki kualitas iman yang mampu mengambil keputusan-
keputusan etis Kristiani tetapi juga mampu menjadi terang dunia dan saksi
Kristus demi terwujudnya Syaloom Tuhan bagi dunia ini dan sesamanya.
Tuhan Yesus Kristus Kepala Gereja akan menyertai kita sampai pada akhir
zaman. Amin.

GAMBAR & PERISTIWA SEJARAH NVC

Rapat Perdana Pelayan Khusus Jemaat GMIM “Nazareth – Velden Cappelen” Lansot
Timur (Foto S.P.Sept. 2015)

Peneguhan Sidi Jemaat Pertama Jemaat GMIM “Nazareth – Velden Cappelen” Lansot
Timur (Foto S.P. Des. 2015)

=========
G. WACANA MENJADIKAN JEMAAT GMIM “TAAR ERA” RUMOONG ATAS
MENJADI JEMAAT INDUK/SENTRAL GMIM RUMOONG-LANSOT.

Merindukan suatu Jemaat GMIM di Rumoong dan Lansot yang bersatu seperti
dahulu setelah terjadinya pemekaran kampung dan pemisahan/pemekaran
jemaat, membuat para tokoh yang berasal dari Rumoong Lansot baik di dalam
maupun diluar jemaat Rumoong dan Lansot mewacanakan untuk membuat
suatu Jemaat Induk yang akan menjadi simbol pemersatu bagi jemaat GMIM di
Rumoong dan Lansot. Hal ini bisa diwujudkan melalui Jemaat GMIM ‘Taar Era”
Rumoong Atas yang kembali menempati lokasi gereja Tua GMIM Rumoong
Lansot.

Beberapa catatan penting tentang hal ini adalah :


1. Sejarah pelayanan GMIM di Wilayah Tareran sejak sebelum dimekarkan
menjadi 2 Wilayah (Tareran Satu dan Tareran Dua), jemaat yang menjadi
pusat pelayanan / kantor Badan Pekerja Wilayah adalah Jemaat GMIM
Rumoong Lansot, Jemaat GMIM Rumoong Atas, Jemaat GMIM Taar Era
Rumoong Atas; di mana ke tiga Jemaat tersebut menggunakan gereja Tua
yang sekarang telah dibangun menjadi tempat ibadah Jemaat Taar Era
Rumoong Atas
2. Sejak GMIM Rumoong Lansot dimekarkan menjadi: GMIM Rumoong Atas
dan GMIM Betlehem Lansot, maka GMIM Rumoong Lansot tidak ada lagi.
Hal ini menjadi pertanyaan generasi berikutnya terkait dengan sejarah
pelayanan gereja khususnya GMIM di Rumoong Lansot.
3. Pemekaran jemaat Rumoong Atas menjadi dua, yaitu GMIM Rumoong Atas
(yang selanjutnya menjadi GMIM Imanuel Rumoong Atas Dua, sejalan
dengan pemekaran desa) dan GMIM Taar Era Rumoong Atas (yang
menggunakan Gereja Tua / Tempat Ibadah Jemaat GMIM Rumoong
Lansot) perlu diluruskan pada pemaknaan sejarah pelayanan GMIM di
Rumoong Lansot, sehingga secara administrasi Taar Era adalah jemaat
“baru”, namun sebenarnya kembali pada Jemaat Induk GMIM Rumoong
Lansot.
4. Refleksi terhadap usaha meluruskan sejarah GMIM di Rumoong Lansot
menjadi cikal bakal dilaksanakannya Seminar Sejarah Gereja/Jemaat GMIM
Rumoong Lansot yang dilaksanakan di Jemaat Taar Era Rumoong Atas,
Juni 2015.
5. Wacana untuk mengembalikan nama Jemaat Taar Era Rumoong Atas ke
Jemaat GMIM Centrum Rumoong Lansot telah direkomendasikan oleh
peserta Seminar, dan disetujui oleh Sidang Majelis Jemaat GMIM Taar Era
Rumoong Atas.
6. Catatan wawancara dengan salah seorang Putra Rumoong Lansot, Bapak
Drs. Roy Tumiwa, M.Pd: ’
“Sejarah yang perlu ditelusuri dan disusun harus berpijak pada Jemaat
Rumoong Lansot jangan melihat Gereja Taar Era. Perlu ditelusuri kembali
dan diluruskan, sehingga akan jelas bagaimana perjalanan pelayanan sejak
Jemaat Rumoong Lansot sampai saat ini, dimana semestinya sekalipun
telah terjadi pemekaran jemaat tapi jemaat induk (Rumoong Lansot) tetap
ada sampai saat ini. Dan jemaat induk tersebut, sebenarnya adalah yang
menjadi tempat beribadah dari Jemaat GMIM Taar Era. Karena itu, perlu
ada pertimbangan dalam seminar sejarah jemaat agar nama jemaat perlu
diluruskan dan ditawarkan menjadi Jemaat GMIM Centrum Rumoong
Lansot. Perlu jadi bahan refleksi, mengapa kantor wilayah/pusat wilayah
sejak masih Wilayah Tareran, kemudian menjadi Wilayah Tareran Dua
adalah Jemaat Rumoong Atas (sekarang Jemaat Taar Era). Barangkali
karena Jemaat/Gereja inilah yang merupakan induk dari Rumoong Lansot
(Centrum)”.

7. Hasil seminar yang dilaksanakan yang dihadiri oleh BPMJ GMIM Taar Era’
Rumoong Atas, Panitia Penyusunan Sejarah Gereja seperti Asiano G.
Kawatu, SE,M.Si, Pnt. Prof. Dr. Theo Mautang, M.Kes, Drs. Donald
R.E. Ruindungan, M.Pd, H.F. Karundeng, Margo Tawas, SH, Dll,
Tokoh-Tokoh Agama seperti Pdt. Piet M. Tampi S.Th,M.Si, Matrthen
Karundeng, S.Th, serta beberapa nara sumber/penulis sejarah seperti Sym.
Drs. Valry S.H. Prang, Bapak Freddy Kondoj, didampingi pakar sejarah
Dr.Ivan R.B. Kaunang, M.Hum

Menghasilkan rekomendasi bahwa perlu dibentuknya suatu Gereja


Sentral/Induk untuk jemaat GMIM di Rumoong-Lansot yang kedudukannya
sekarang di Jemaat GMIM “Taar Era “ Rumoong Atas.
Adapun beberapa usulan nama antarta lain :
1. Jemaat GMIM ‘Sentrum’ Rumoong-Lansot.
2. Jemaat GMIM Sentrum “ Taar Era “ Rumoong-Lansot.

Gedung Gereja GMIM “ Taar Era “ Rumoong Atas berdiri megah


Disampingnya telah berdiri Mini market (Foto SP 2016)
---------------------
BAB VI
PENUTUP

Melihat latar belakang masuknya Injil di Tanah Minahasa, kita akan mendapati
bahwa akar sesungguhnya dari Gereja kita sekarang ini adalah gereja yang sangat
mengagungkan kesucian hidup. Di era globalisasi sekarang ini dengan segala
kemajuan teknologi-informasi yang menyebar secara global di tengah-tengah
kehidupan jemaat, nilai kesucian hidup ini mulai terkikis dari kehidupan kita
berjemaat.

Pada permulaan Injil diberitakan kepada penduduk Rumoong-Lansot, tantangan


berat yang dihadapi pada waktu itu adalah kebudayaan-kebudayaan yang
berhubungan dengan agama suku yang sudah berakar sekian lama. Dengan
bertemunya ajaran Injil dan kebudayaan tersebut, terjadilah proses yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya, sehingga menimbulkan persoalan-persoalan,
ketegangan-ketegangan bahkan pertentangan yang muncul dalam berbagai
bentuk.

Banyak kebudayaan-kebudayaan yang tidak cocok dengan Injil bertumbuh


bersama-sama sampai sekarang ini. Dan yang terbanyak muncul malah sudah
diintegrasikan bersama-sama dengan Injil khususnya yang menyentuh adat dan
agama suku atau kepercayaan kepercayaan tahyul (seperti yang telah
diungkapkan di atas). Dilain pihak banyak juga kebiasaan tradisional yang sudah
beralih dan dicorak-warnai oleh Injil dan dipraktekkan dalam pelayanan, daya dan
dana. Memang tidak semua kebudayaan tersebut tidak dapat diterima dalam Injil,
tetapi banyak aspek-aspek tertentu dari adat, agama suku dan kepercayaan
lainnya yang menimbulkan ketegangan bila bersentuhan dengan Gereja dan Iman
Kristen. (Timothius Kondoy, Sejarah Jemaat GMIM Lansot, 1984)

Bila kita melihat dan menelusuri kebelakang jejak para Zendeling datang ke Tanah
Minahasa, akan kita tahu bahwa kehadiran mereka bukan untuk mencari
kesenangan diri apalagi untuk mengumpulkan harta. Seperti Yesus Tuhan yang
mereka sembah dan agungkan, kehadiran mereka bukan untuk mencari
popularitas melainkan untuk mempersembahkan diri bagi keselamatan umat
manusia dan demi kemajuan Injil di Tanah Minahasa. Karena para pengkhabaran
Injil khususnya yang dikirim oleh NZG hanya dituntut kesalehan dan keterbukaan
bagi kebenaran-kebenaran Injil yang akan disampaikan kepada orang lain,
terutama kepada mereka yang masih dianggap kafir.

Para Zendeling meninggalkan negeri leluhur mereka yang telah maju dan
berkembang, meninggalkan keluarga dan kesenangan serta orang-orang yang
mereka cintai untuk datang ke Tanah Minahasa yang kehidupan sosialnya masih
sangat terbelakang dan serba primitif jauh dari peradaban, hanya untuk melayani
orang-orang di Tanah Minahasa dengan cinta dan kasih Yesus Kristus.

Hal inilah yang menjadi teladan kita orang Kristen apalagi bagi kita yang
menyatakan diri sebagai pelayan Yesus Kristus baik sebagai Pendeta, Penatua-
Syamas serta kita selaku jemaat Tuhan, untuk melihat totalitas para Zendeling
yang memberi dan mengorbankan hidupnya demi pelayanan yang mereka
lakukan. Dengan mengetahui dan memahami pengorbanan para zendeling akan
menolong kita menghargai pekerjaan mereka yang telah merintis pekerjaan
membangun fundamen gereja di Minahasa yang merupakan etika penginjilan yang
dianut oleh Rasul Paulus yang ditulisnya dalam Roma 15 : 20-21 : “ Dan dalam
pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak
melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang,
supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain,
tetapi sesuai dengan yang ada tertulis ‘ Mereka, yang belum pernah menerima
berita tentang Dia, akan melihat Dia, dan mereka, yang tidak pernah
mendengarnya, akan mengertinya ‘.

Dengan kita belajar sejarah masuknya Injil ke Tanah Minahasa khususnya di neg’ri
Rumoong Lansot, dengan pengorbanan para Zendeling, sudah saatnya kita
bercermin pada mereka para Zendeling melalui sejarah penginjilan di bumi Toar-
Lumimuut ini. Dengan mengetahui dan belajar dari sejarah masuknya Injil ini, kita
dapat memilih budaya leluhur mana kita yang pantas di bawah dan dipertahankan
atau ditinggalkan dalam hidup beriman kita kepada Yesus Kristus di tengah-tengah
dunia yang dengan cepat mengalami perubahan.

Sejalan dengan itu, upaya mewujudkan suatu Gereja Sentral yang akan menjadi
tali pengikat sejarah berjemaat di Rumoong Lansot, patut di dukung dan ditindak
lanjuti keberadaannya. Hal ini mengingat bahwa Jemaat GMIM Rumoong Lansot
yang dahulunya adalah satu, adalah hasil usaha para Zendeling yang datang di
neg’ri Rumoong-Lansot. Namun dengan perkembangan yang terjadi, jemaat yang
dahulunya satu ini sudah terbagi menjadi beberapa jemaat yang berdiri sendiri. Hal
ini menyebabkan hubungan yang dahulunya terjalin dengan baik diantara jemaat
Rumoong Lansot, mulai mengalami pengikisan dan penurunan, bahkan telah
bersikap acuh tak acuh diantara jemaat..

Untuk itu upaya menghidupkan kembali Jemaat GMIM Rumoong Lansot yang
sudah sekian lama hilang akan menjadi momentum sejarah bagi perkembangan
jemaat, serta akan menjadi wadah pemersatu untuk mempererat tali persaudaraan
antara jemaat yang berada di kedua Desa Rumoong dan Lansot seperti sebelum
masa pemisahan/pemekaran jemaat.

Semoga dengan penulisan ini dapat menyadarkan kita jemaat Rumoong Lansot
untuk tetap bersatu dalam iman kepada Yesus Kristus serta menjadi garam dan
terang dunia bagi kemuliaan Allah Bapa.

===============
DAFTAR PUSTAKA

- Assa, Rudy N., Ziarah Injil di Tanah Minahasa, Yayasan Militia Christy. Kakas Sulut 2008.
- End, Th. Van den, Ragi Cerita I, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1987
- Graafland, N, Minahasa Masa Lalu Dan Masa Kini, Terjemahan Yoots Kullit, Lemb.
Perpustakaan Dokumentasi Dan Informasi, Jakarta, 1987.
- Godee Molsbergen, Dr. Geschiedenis Van De Minahasa, 1929
- Karundeng, Moudy, SE, Selayang Pandang/Sejarah Gereja Masehi Advent Hari Ke Tujuh Di
Rumoong-Lansot, 2006.
- Kawatu, Erens, Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas, Panitia Yubelium, 1985
- Kondoj, Timothius, Sejarah Jemaat Lansot; 50 Tahun GMIM Bersinode, Dan Peringatan
Tahun Yobel, Lansot-Tareran,1984.
- Kotambunan. R.E.H. Drs,Sejarah Minahasa Jld II & III, 1985
- Lomban, H, dkk, Struktur Bah. Totemboan,1977
- Lumoindong, P, Etimology Minahasa.
- Mangindaan, J.C, Totemboan Poezi, 1973
- Mantiri, Stella B, Datoe Binankang, Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara
Utara, Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Prop. SULUT, 1990
- Notosusanto, Nugroho, dkk, Sejarah Nasional Indonesia 2, Depertemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Indonesia, Jakarta, 1992
- Prang, Valry S.H. Drs, Neg’ri Rumoong-Lansot, Tareran 2006.
- Prang, Valry S.H. Drs, Ziarah Injil di Neg’ri Rumoong-Lansot, Tareran 2007.
- Restu Gunawan, Sardiman AM, Amurwani Dwi L., Mestika Zed,Wahdini Purba, Wasino,
dan Agus Mulyana. Sejarah Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Politeknik
Negeri Media Kreatif, Jakarta , 2013.
- Riedel, J. G. F. The Minahasa, 1862.
- Rondonuwu, Boy. E.L., Minahasa Tanah Tercinta,DPD KNPI Minahasa,1983.
- Rondonuwu Ch. A. “Tentang Minahasa”
- Sagimun, M.D, dkk, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Utara; Proyek
Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan,
Manado 1980/81.
- Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen, Silsila/Tarsilas (Genealogies) And
Historical Narratives In Saranggani Bay And Davao Gulf Regions, South Mindanao, Philippines, And
Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia.
- Sumendap, Johanis, STh, Sejarah Gereja Pantekosta Di Indonesia Lansot, Lansot, 2006.
- Sulu, Phill M, Permesta, Dalam Romantika, Kemelut & Misteri, PT. Gramedia Pustaka
utama, Jakarta,2011
- Taulu, H.M, Sejarah Minahasa, Manado 1968.
- Taulu, H. M. Bunga Rampai: Sejarah dan Anthropology Budaya Minahasa. Cetakan IV-Manado: Tunas
Harapan, 1981
- Thamiend, Nico R., Sejarah Untuk Kelas 3 SMU, Yudhistira, Jakarta 2000.
- Teguh Asmar, Drs. dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986
- Walukow, Alffian, W.P.S.Pd, Sejarah Wiau Lapi - 116 Tahun Desa Wiau Lapi, Sangihe 2008
- Waroka, J.H, Kamus Bahasa Daerah Manado-Minahasa,2005
- Watuseke, F. S. Sejarah Minahasa, Percetakan Negara Manado, 1968
- Wenas, Jessy. Sejarah & Budaya Minahasa, 2007
- Wenas, Jessy. Watu Pinawetengan dan Watu Tumotoa, 2007
- Wowor, Fredy, “ Menguak Akar Positivisme Dalam Wacana Tentang Pemerintahan Tou Minahasa”
Harian Media Sulut, Edisi 3 Oktober 2012.
- Van Aernsbergen, A.J. “De Katholieken en hare Missie”.
- Verlag, Peter Delius, GmbH, “Visual History of The World”, National Geographic Society, Berlin 2005,
diterjemahkan oleh Hikmah Ubaidillah dalam “Buku Pintar Sejarah Dunia Untuk Pelajar” Penerbit
Lintas Kata, Depok, 2011.

Sumber lisan/Wawancara tentang sejarah Desa, Pemerintahan dan Penginjilan :

- Timotius Kondoy, Lansot 1991/2006


- Set Rumangu, Rumoong Atas, 2007
- Altin Tenda, Lansot, 2006
- Johanis Prang, Lansot, 2006
- Decky Mambo, Rumoong Atas, 2007
- Eddy Kumaat, Rumoong Atas, 2007
- Freddy Kondoj, Lansot, 2007
- Tokoh-tokoh masyarakat dan agama lainnya di Rumoong-Lansot.

Dokumentasi lainnya :

- Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas, Panitia Yubelium, 1985


- Ketikan Pengalaman Hidup & Otobiografi dari Bapak Set Rumangu.
- Ketikan Otobiografi “ Masa Mudaku di Rimba” Permesta oleh Bapak Johanis Prang,
Tareran 2013.
- Sejarah Jemaat, Dok. STT ke 66 Tahun 1988
- Sejarah jemaat, Dok. Bapak Freddy Kondoj.
- Majalah Dodoku “Sejarah jemaat GMIM Rumoong-Lansot”,.
- “SEJARAH JEMAAT RUMOONG ATAS”, disusun oleh Tim Pelaksana “Seminar dan Penulisan
Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas”, diterbitkan di Rumoong Atas tahun 1984
- Sejarah Desa Rumoong Atas, Pemerintah desa Rumoong Atas, 1979.
- Sejarah Desa Lansot, Pemerintah Desa Lansot, 1985
LAMPIRAN-LAMPIRAN

GEREJA MASEHI INJILI di MINAHASA


WILAYAH TARERAN SATU
JEMAAT TAAR ERA RUMOONG ATAS
Alamat: GMIM Jemaat Taar Era, Rumoong Atas Tareran

Lampiran Surat Keputusan Nomor 01/SK/BP-TERA/WT.1/I-2015


Tanggal : 31 Januari 2015
Tentang : PANITIA PENULISAN SEJARAH JEMAAT

Penanggung Jawab Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM Taar Era


Rumoong Atas
Pengarah 1. Pdt. P.M. Tampi, S.Th., M.Si
2. Pnt. Prof. Dr. Theo Mautang, M.Kes., AIFO
3. Pnt. Prof. Dr. Ferdy S. Kawatu, M.Si
4. Drs. Roy Tumiwa, M.Pd
Ketua Asiano G. Kawatu, SE,M.Si
Wkl. Ketua H.F. Karundeng
Sekretaris Drs. Donald R.E. Ruindungan, M.Pd
Wkl. Sekretaris Pdt. Ronny Tumewu, S.Th
Bendahara F.I. Kondoy, S.Pd
Anggota Pdt. W. Suoth, S.Th
Anggota Katotje Rumangu-Sumakul, BA
Anggota Pnt. Ir. Vera Kumaat
Sie. Penelusuran Sejarah 1. H. M. Kumaat, BA (Kordinator)
Jemaat
2. Pnt. George Kumaat, SH, M.Si
3. Drs. Djemmie Kembau, ST
4. Drs. Dani Tumbelaka
5. Ir. Tommy Rumangu
Sie.Acara/Seminar 1. Margo Karamoy Tawas,S.Sos (Kordinator)
2. Sym. Rolly Oroh, ST, MT
3. David Mapaliey, ST, MT
4. Yobel Kawatu, Am. Par.
5. Arther Mokalu
6. Adiyanto Mambo
7. Ronald Lumangkun
8. Pnt. Diana Lombogia, SE
9. Sym. Wilma Karundeng, Am.Ts
Sie. Usaha Dana 1. Lucky Tampi, SH, M.Si (Kordinator)
2. Pnt. Robinson Ch. Kumaat, S.Si, ME
(Kordinator)
3. Servi Prang, ST
4. Rudy Kowel, S.Sos
5. Boyke Tumbel, SE.Ak
6. Srikandi Kawatu, SE, MAP
Sie. Komsumsi 1. Sym. Dra. Ester Wilar (Kordinator)
2. Sym. Rosye Slat, SE
3. Pnt. Jansye Pandey, S.Pd
4. Pnt. Jakob Rorong
5. Pnt. Douvy Angouw, SP
6. Pnt. Dra. E.N. Kumaat, M.Pd
7. Sym. Nontje Tumiwa

Badan Pekerja Majelis Jemaat


GMIM TAAR ERA Rumoong Atas,

Ketua, Sekretaris,

Pdt. Telly Thanos Sondakh, M.Th Pnt. Johan Kawatu, SP


DATA MAJELIS JEMAAT, BPMJ dan BEBERAPA CATATAN PELAYANAN
(Sejak pemekaran dari GMIM Rumoong Lansot menjadi GMIM Rumoong Atas dan Lansot
hingga pemekaran jemaat tahun 1999 s/d 2015)

I. DAFTAR PELAYAN KHUSUS GMIM RUMOONG ATAS

MAJELIS JEMAAT PERIODE TAHUN PELAYANAN 1974 s.d. 1977

Kolom 1 Penatua Daniel Lapian


Syamas Jost M. Turangan (merangkap Kostor)
Kolom 2 Penatua Albert Lumangkun
Syamas Lumi
Kolom 3 Penatua Hendrik M. Kumaat, BA
Syamas M. Kumaat – Kondoy
Kolom 4 Penatua A.S. Wonte
Syamas J. Wilar – Wungkar
Kolom 5 Penatua Zakius Slat
Syamas E. Kawatu – Kondoy
Kolom 6 Penatua Johny M. Prang
Syamas Maxi Slat
Kolom 7 Penatua Set Rumangu
Syamas N. Rumengan – Sumakul
Kolom 8 Penatua Marthen L. Rorong
Syamas Gabriel Sumajow
Kolom 9 Penatua Ferdinand J. Kowel
Syamas A Rorong - Slat
Komisi ASM Penatua Dirk Mambo (Ketua)
Komisi Pemuda Penatua Hendrik M. Kumaat (Ketua)
Kolom W/KI Penatua S. Imbar – Porong (Ketua)
Komisi P/KB Penatua Ruben Imbar (Ketua)

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT


Ketua Pdt. W.R. Rondonuwu
Wakil Ketua Pnt. Hendrik M. Kumaat, BA
Sekretaris Pnt. Ferdinand J. Kowel
Bendahara Pnt. Ruben Imbar
Anggota Pnt. Dirk Mambo
Pnt. A.S. Wonte
Pnt. Albert Lumangkun

MAJELIS JEMAAT PERIODE TAHUN PELAYANAN 1978 s.d. 1981

Kolom 1 Penatua Altien Wurangian, BA


Syamas Ny. Adelina Rorong – Slat
Kolom 2 Penatua Set Rumangu
Syamas Ny. Erna Mumu – Rumangu
Kolom 3 Penatua Ny. N. Rumengan – Sumakul
Syamas Ayub Kowel
Kolom 4 Penatua Jozep M. Prang
Syamas Ny. J. Sumakul – Sumayow
Kolom 5 Penatua Ruben Imbar
Syamas Maxie J. Slat
Kolom 6 Penatua Berns Slat
Syamas Maxie Weol
Kolom 7 Penatua Adam S. Wonte
Syamas Erns Rumangu
Kolom 8 Penatua Hendrik M. Kumaat, BA
Syamas Ny. Magrit Kumaat – Kondoy
Kolom 9 Penatua Leopold Weol
Syamas Joop Rumengan
Kolom 10 Penatua Daniel Lapian
Syamas Albert Lumangkun
Kolom 11 Penatua Hans F. Karundeng
Syamas Jan P. Karundeng
Komisi ASM Penatua Ny. Sintje Karundeng – Merentek
Komisi Pemuda Penatua J.P Karundeng / Dolfie Karundeng
Kolom W/KI Penatua Santje Imbar – Porong
Komisi P/KB Penatua Dirk Mambo

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT


Ketua Pdt. W.R. Rondonuwu / Pdt. J. Ruus, SmTh
Wakil Ketua Pnt. Adam S. Wonte
Sekretaris Pnt. Hans F, Karundeng
Bendahara Pnt. Ruben Imbar
Anggota Pnt. Hendrik M. Kumaat, BA
Pnt. Dirk Mambo
Pnt. J.M. Prang

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN TAHUN 1982 s.d. 1985

Kolom 1 Penatua Alfrets Lumangkun


Syamas Ny. Wilhelmina Robot – Tampi
Kolom 2 Penatua Dirk Mambo
Syamas Albert Lumangkun
Kolom 3 Penatua Daniel Lapian
Syamas Joop Rumengan
Kolom 4 Penatua Hertog J. Rattu
Syamas Ny. Elsye Karundeng – Lapian
Kolom 5 Penatua Altien Tamboto
Syamas Nicolaas Kondoy
Kolom 6 Penatua Leopold Weol
Syamas Josis Mamarimbing
Kolom 7 Penatua Hendrik M. Kumaat, BA
Syamas Ny. Magrit Kumaat – Kondoy
Kolom 8 Penatua Adam S. Wonte
Syamas Philipus Sumajow
Kolom 9 Penatua Erns Rumangu
Syamas George Kumaat
Kolom 10 Penatua Jan P. Kawatu
Syamas Alex L. Slat
Kolom 11 Penatua Karel Slat
Syamas Ny. Jeny Sumakul – Sumajow
Kolom 12 Penatua Maxie J. Slat
Syamas Maxie A. Weol
Kolom 13 Penatua Junus Mamarimbing
Syamas Jantje Slat
Kolom 14 Penatua Ayub Kowel
Syamas Ny. Nelly Rumengan – Sumakul
Kolom 15 Penatua Fredy J. Kondoy
Syamas Ny. Jetje Porong – Mamarimbing
Kolom 16 Penatua Johny M. Prang
Syamas Ny. Masye J. Wilar – Kondoy
Kolom 17 Penatua Berns Slat
Syamas Marthen L. Rorong
Kolom 18 Penatua Alfrets Rumengan
Syamas Ny. Jacomina Watung - Wawolangi
Kolom 19 Penatua Set Rumangu
Syamas Ny. Erna Mumu – Rumangu
Kolom 20 Penatua Frans Rumengan
Syamas Ny. Jeaneke S.Porong - Kumaat
Komisi ASM Penatua Ny. Sintje Karundeng – Merentek
Komisi Pemuda Penatua Dolfie Karundeng
Kolom W/KI Penatua Santje Imbar – Porong
Komisi P/KB Penatua Ruben Imbar

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT


Ketua Pdt. Johanis Ruus, SmTh
Wakil Ketua Pnt. Dirk Mambo / Pnt. Adam S. Wonte
Sekretaris Pnt. Hendrik M. Kumaat, BA
Bendahara Pnt. Ruben Imbar
Anggota Pnt. Maxie Slat
Pnt. J.M. Prang
Pnt. Erns Rumangu
Pnt. Santje Imbar Porong
Pnt. Dolfie Karundeng
Pnt. Ny. Siente Karundeng - Merentek

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN TAHUN 1986 s.d. 1989

Kolom 1 Penatua Alfrets Lumangkun


Syamas W. Robot – Tampi
Kolom 2 Penatua Dirk Mambo
Syamas F.I. Kondoy, BA
Kolom 3 Penatua Daniel Lapian
Syamas Albert Lumangkun
Kolom 4 Penatua Hertog J. Rattu
Syamas Johan Kondoy
Kolom 5 Penatua Altin Tamboto
Syamas Joop Rumengan
Kolom 6 Penatua Leopold Weol
Syamas Josis Mamarimbing
Kolom 7 Penatua Hendrik M. Kumaat
Syamas M. Kumaat – Kondoy
Kolom 8 Penatua Philipus Sumayow
Syamas J. Wilar – Wungkar
Kolom 9 Penatua Erns Rumangu
Syamas Arie A. Karundeng
Kolom 10 Penatua M. Slat – Kowel
Syamas Ventje Turangan
Kolom 11 Penatua Jan P. Kawatu
Syamas Alex L. Kawatu
Kolom 12 Penatua Ruben Imbar
Syamas Maxi J. Slat
Kolom 13 Penatua N.E. Mamentu – Tampanguma
Syamas Max A. Weol
Kolom 14 Penatua Hendrik M. Wurangian
Syamas S. Rumengan – Sumakul
Kolom 15 Penatua F.J.R. Kondoy
Syamas J. Slat – Kumaat
Kolom 16 Penatua Johny M. Prang
Syamas J.M. Wilar – Kondoy
Kolom 17 Penatua J. Watung-Wawolangi
Syamas Jetje Porong-Mamarimbing
Kolom 18 Penatua Ferdinand Mumu
Syamas E. Mumu-Rumangu
Kolom 19 Penatua Ayub Kowel
Syamas Jan Z. Kumaat
Kolom 20 Penatua Altien Wurangian, BA
Syamas J. Porong – Kumaat
Kolom 21 Penatua Berns Slat
Syamas Albert Rumangu
Komisi ASM Penatua S. Karundeng-Merentek
Komisi Pemuda Penatua Dolfie Karundeng
Kolom W/KI Penatua S. Imbar – Porong
Komisi P/KB Penatua Adam S. Wonte

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT

Ketua Pdt. Johan Ruus / Pdt. S.Lumingkewas


Wakil Ketua Pnt. H.M. Kumaat
Sekretaris Pnt. Ruben Imbar
Bendahara Sy. E. Mumu-Rumangu
Anggota Pnt. A.S. Wonte
Pnt. S. Imbar – Porong
Pnt. Dolfie Karundeng
Pnt. S. Karundeng - Merentek
MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN TAHUN 1990 s.d. 1994

Kolom 1 Penatua Willem Robot


Syamas Djemi Kembau / M. Rumangu – Tamboto
Kolom 2 Penatua Dirk Mambo
Syamas F.I. Kondoy, BA
Kolom 3 Penatua Daniel Lumangkun
Syamas Albert Lumangkun
Kolom 4 Penatua John Mundung / Johan Kondoy
Syamas Aror – Rampengan
Kolom 5 Penatua Altien Tamboto
Syamas Joop Rumengan
Kolom 6 Penatua Hendrik M. Kumaat
Syamas M. Kumaat – Kondoy
Kolom 7 Penatua Leopold Weol
Syamas E. Porong – Mamarimbing
Kolom 8 Penatua Philipus Sumayow
Syamas George Kumaat
Kolom 9 Penatua Erns Rumangu
Syamas Johan Kawatu
Kolom 10 Penatua M. Slat – Kowel
Syamas Ventje Turangan
Kolom 11 Penatua Jan P. Kawatu
Syamas Tommy Tumiwa
Kolom 12 Penatua Ruben Imbar
Syamas Alex M. Tumiwa
Kolom 13 Penatua Dolfie Karundeng
Syamas N. Mamentu – Tampanguma
Kolom 14 Penatua Joudy Slat
Syamas N. Slat-Sumayow
Kolom 15 Penatua Hendrik M. Wurangian
Syamas P. Wawolangi – Porayow
Kolom 16 Penatua Jusuf Wungkar
Syamas J. Slat – Kumaat
Kolom 17 Penatua Frederik Rorong
Syamas S. Kawatu – Kondoy
Kolom 18 Penatua Johanis Sumajow
Syamas M.J. Wilar - Kondoy
Kolom 19 Penatua Ayub Kowel
Syamas Jan Z. Kumaat
Kolom 20 Penatua Altien Wurangian, BA
Syamas J. Porong – Kumaat
Kolom 21 Penatua Berns Slat
Syamas Albert Rumangu
Komisi ASM Penatua
Komisi Pemuda Penatua Rolly Porong
Kolom W/KI Penatua S. Imbar – Porong
Komisi P/KB Penatua A.S. Wonte
BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT

Ketua Pdt. S. Lumingkewas


Wakil Ketua Pnt. H.M. Kumaat, BA
Sekretaris Pnt. Berns Slat
Bendahara Sy. E. Mumu-Rumangu
Anggota Pnt. M. Kumaat-Kondoy
Pnt. M. Slat – Kowel
Pnt. A.S. Wonte
Pnt. S. Imbar Porong

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN TAHUN 1995 s.d. 1999

Kolom 1 Penatua Jan P. Karundeng


Syamas Jerry T. Sumakul
Kolom 2 Penatua Ferdy I. Kondoy, BA
Syamas Lendy A. Mambo / Donald R.E. Ruindungan
Kolom 3 Penatua Albert Lumangkun / Danile Lumangkun
Syamas K. Rumangu – Sumakul
Kolom 4 Penatua Johan Kondoy
Syamas Levie Rosang
Kolom 5 Penatua Altien Tamboto
Syamas M. Rumangu – Tamboto
Kolom 6 Penatua M. Kumaat – Kondoy
Syamas F. Lumintang – Wungkar
Kolom 7 Penatua Dra. A. Rumangu – Sumakul
Syamas Ir. R. Wonte-Laihad/ L. Slat – Rumengan
Kolom 8 Penatua Reflien Porong-Mamarimbing
Syamas Rachel Rumengan – Longdong
Kolom 9 Penatua Philipus Sumajow
Syamas Johan J. Kawatu
Kolom 10 Penatua M. Slat – Kowel
Syamas Ventje Turangan
Kolom 11 Penatua Tommy N. Tumiwa
Syamas Jootje Kawatu / S. Pasiowan – Imbar
Kolom 12 Penatua Ruben Imbar
Syamas Alex M.J. Tumiwa
Kolom 13 Penatua N.E. Mamentu – Tampanguma
Syamas Dra. A. Rantung – Terok
Kolom 14 Penatua Joudy Slat
Syamas K. Slat – Sumajow
Kolom 15 Penatua Hendrik M. Wurangian
Syamas P. Wawolangi-Porajow
Kolom 16 Penatua Jusuf Wungkar
Syamas J. Slat – Kumaat
Kolom 17 Penatua E. Prang –Liud
Syamas Robinson CH. I. Kumaat
Kolom 18 Penatua Johanis Sumajow
Syamas M. Wilar – Kondoy
Kolom 19 Penatua M. Kumaat – Turangan
Syamas M. Rorong – Karundeng
Kolom 20 Penatua Jetje Porong – Mamarimbing
Syamas Benly T. Watung
Kolom 21 Penatua Ayub Kowel
Syamas E. Mumu-Rumangu
Kolom 22 Penatua Jan Z. Kumaat
Syamas J.S. Porong – Kumaat
Kolom 23 Penatua Jappy R. Tumiwa
Syamas M. Slat – Rorong
Kolom 24 Penatua Jantje Kowel
Syamas S.O. Wurangian - Sumakul
Komisi ASM Penatua Jacob D. Rorong
Komisi Pemuda Penatua Dolfie Karundeng
Komisi Remaja Penatua Berns Slat
Kolom W/KI Penatua S. Imbar – Porong
Komisi P/KB Penatua Hendrik M. Kumaat, BA

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT

Ketua Pdt. S. Lumingkewas / Pdt. A. Turangan


Wakil Ketua Pnt. Albert Lumangkun / Pnt. H.M. Kumaat, BA
Sekretaris Pnt. Ruben Imbar
Wkl. Sekretaris Sy. Johan Kawatu
Bendahara Sy. E. Mumu-Rumangu
Anggota Pnt. H.M. Kumaat, BA
Pnt. S. Imbar – Porog
Pnt. Dolfie Karundeng
Pnt. Berns Slat
Pnt. Jacob D. Rorong
Pnt. M. Kumaat - Kondoy
Pnt. M. Slat – Kowel
Pnt. Hendrik M. Wurangian
Pnt. Jusuf Wungkar
Pnt. Ayub Kowel
II. MAJELIS JEMAAT GMIM “TAAR ERA” SEJAK MASA PEMEKARAN
TAHUN 2000 HINGGA SEKARANG INI

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN


TAHUN 2000 s.d. 2004

Kolom 1 Penatua Phiipus Sumajow


Syamas Cherly Kawatu Kowel
Kolom 2 Penatua Johan J. Kawatu
Syamas Ir. Tommy Rumangu
Kolom 3 Penatua Vonne Kawatu Kumaat
Syamas Martha Tawas Tampi
Kolom 4 Penatua M. Weol Lumintang
Syamas Douvi Angow
Kolom 5 Penatua R. Porong Mamarimbing
Syamas J. Loupatty Tundoong
Kolom 6 Penatua S. Tumiwa Lumangkun
Syamas S. Wawointana Pandey
Kolom 7 Penatua Johny Karundeng
Syamas E. Rumengan Montol
Kolom 8 Penatua Jacob D. Rorong
Syamas Levi Rosang
Kolom 9 Penatua Alexander Kawatu
Syamas K. Rumangu – Sumakul, BA
Kolom 10 Penatua Altien Tamboto
Syamas R. Slat Rumengan
Kolom 11 Penatua Dra. E.N. Ruindungan Kumaat
Syamas H. Karundeng Tumbelaka
Kolom 12 Penatua A. Kalangi / N. Kondoy Mamarimbing
Syamas M. Karamoy Tawas
Kolom 13 Penatua M. Rumangu Tamboto
Syamas Jerry T. Sumakul
Komisi ASM Penatua F.I. Kondoy, BA
Komisi Remaja Penatua Jems Karundeng
Komisi Pemuda Penatua Drs. Donald R.E. Ruindungan
Kolom W/KI Penatua M. Kumaat Kondoy
Komisi P/KB Penatua Hendrik M. Kumaat, BA

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT


Ketua Pdt,. Ch. Weken Tanor, STh
Wakil Ketua Pnt. Philipus Sumajow
Sekretaris Pnt. Jacob D. Rorong
Bendahara Pnt. Johan J. Kawatu
Anggota Pnt. H.M. Kumaat, BA
Pnt. M.Kumaat-Kondoy
Pnt. Drs. Donald R.E. Ruindungan
Pnt. Jems Karundeng
Pnt. Ferdy I. Kondoy, BA
Sy. K. Rumangu Sumakul, BA
Pnt. Altien Tamboto
Pendeta Jemaat, Pegawai/Pekerja Organik, Kostor

1. Pendeta Jemaat : - Pdt. Robert Weken, STh


- Pdt. Bepsy Rampisela, STh
2. Guru Agama : GA. Henny Kowel Lapian
3. Pegawai Gereja : Alexander Kawatu
4. Kostor : Manuel Kalangi dan Jantje Weol

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN


TAHUN 2005 s.d. 2009

Kolom 1 Penatua H. Kumaat Wilar


Syamas Christian Tampi
Kolom 2 Penatua Johan J. Kawatu
Syamas N. Rumangu Tumiwa
Kolom 3 Penatua H.M. Kumaat, BA
Syamas V. Kawatu Kumaat
Kolom 4 Penatua R. Porong Mamarimbing
Syamas Douvi Angow
Kolom 5 Penatua J. Loupatty Tundoong
Syamas S. Wawointana Pandey
Kolom 6 Penatua S. Tumiwa Lumangkun
Syamas K. Karundeng Sagrang
Kolom 7 Penatua Johny Karundeng
Syamas E. Rumengan Montol
Kolom 8 Penatua Jacob D. Rorong
Syamas Levie Rosang
Kolom 9 Penatua Alexander Kawatu
Syamas Drs. Djemmy Kembau
Kolom 10 Penatua T. Lumangkun Paisa
Syamas M. Tawas Tampi
Kolom 11 Penatua Dra. E.N. Ruindungan Kumaat
Syamas W. Kumaat Wawointana
Kolom 12 Penatua N.E. Mamentu Tampanguma
Syamas J. Kondoy Pandey
Kolom 13 Penatua N. Kondoy Mamarimbing
Syamas M. Tambajong / Ledy Wonte, S.Pd
Kolom 14 Penatua M. Rumangu Tamboto
Syamas N. Karamoy, SH
Komisi ASM Penatua Ferdy I. Kondoy, BA
Komisi Remaja Penatua Jems Karundeng
Komisi Pemuda Penatua Hence Tumbelaka, ST
Kolom W/KI Penatua M. Karamoy Tawas, S.Sos
Komisi P/KB Penatua George Kumaat, SH., M.Si

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT

Ketua Pdt. CH, Weken Tanor, STh / Pdt. Willem Suoth, STh
Wakil Ketua Pnt. Johny Karundeng
Sekretaris Sy. Douvi Angow
Bendahara Pnt. Johan J. Kawatu
Anggota Pnt. George Kumaat, SH., M.Si
Pnt. M. Karamoy Tawas, S.Sos
Pnt. Hence Tumbelaka, ST
Pnt. Jems Karundeng
Pnt. Ferdy I. Kondoy, BA
Pnt. Dra. E.N. Ruindungan Kumaat
Pnt. R. Porong Mamarimbing

Pendeta Jemaat, Pegawai/Pekerja Organik, Kostor

1. Pendeta Jemaat : Pdt. Santy Wior Regar, STh


2. Guru Agama : GA. Henny Kowel Lapian
3. Vicaris Pdt : Wanly Karundeng, STh dan Rifke Tiwa, STh
4. Pegawai Gereja : Alexander Kawatu
5. Kostor : Manuel Kalangi dan Jantje Weol

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN


TAHUN 2010 s.d. 2013

Kolom 1 Penatua H. Kumaat Wilar


Syamas Dra. Ch. Kawatu Kowel
Kolom 2 Penatua Johan J. Kawatu, SP
Syamas N. Rumangu Tumiwa
Kolom 3 Penatua H.M. Kumaat, BA
Syamas Dra. E. Wilar Kumaat
Kolom 4 Penatua Diana Prang Lombogia, SE
Syamas Wilma Karundeng, AMd.T
Kolom 5 Penatua J. Loupatty Tundoong
Syamas Jefry Wawointana
Kolom 6 Penatua T. Lumangkun Paisa
Syamas M. Tawas Tampi
Kolom 7 Penatua J. Lumangkun Wawointana
Syamas Noldy Mawati
Kolom 8 Penatua Jacob D. Rorong
Syamas Levie H. Rosang
Kolom 9 Penatua D. Prang Tumiwa
Syamas R. Masengi Slat, SE
Kolom 10 Penatua Douvi Angow, SP
Syamas Ronny Piri
Kolom 11 Penatua Dra. E.N. Ruindungan Kumaat
Syamas W. Kumaat Wawointana
Kolom 12 Penatua Ferdy I. Kondoy, S.Pd
Syamas Boyke R. Kembau
Kolom 13 Penatua N. Kondoy Mamarimbing
Syamas L. Kembau Wonte, S.Pd
Kolom 14 Penatua Teddy Sumakul, Am.G
Syamas Notje Karamoy, SH
Komisi ASM Penatua R.Porong Mamarimbing
Komisi Remaja Penatua Joike Sumajow, S.Pd
Komisi Pemuda Penatua dr. Widya Kumaat
Kolom W/KI Penatua Ir. V. Kembau Kumaat
Komisi P/KB Penatua George Kumaat, SH., M.Si

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT

Ketua Pdt. Willem Suoth, STh / Pdt. E. Massie Lintang, STh


Wakil Ketua Pnt. H.M. Kumaat, BA
Sekretaris Pnt. Douvi Angow, SP
Bendahara Sy. Dra. E. Kumaat Wilar
Anggota Pnt. George Kumaat, SH., M.Si
Pnt. Ir. V. Kembau Kumaat
Pnt. dr. Widya Kumaat
Pnt. Joike Sumajow, S.Pd
Pnt. Reflin Porong Mamarimbing

Pendeta Jemaat, Pegawai/Pekerja Organik, Kostor

1. Pendeta Jemaat : Pdt. Santy Wior Regar, STh


Pdt. Rifke Tiwa, STh
2. Vicaris Pdt : Fransiske Rorong Tamboto STh
3. Guru Agama : Grace Lumi Rumengan
4. Pegawai Gereja : Alexander Kawatu
5. Kostor : Jantje Weol dan Sinyo Rumangu

Catatan pelayanan di periode ini yang terkait dengan pembangunan rumah ibadah
baru yang menggantikan bangunan gereja tua sebagai tempat beribadah jemaat
GMIM Rumoong Lansot pada waktu yang lalu.

MAJELIS JEMAAT PERIODE PELAYANAN


TAHUN 2014 s.d. 2017

Kolom 1 Penatua George Kumaat, SH., M.Si


Syamas Tonny R. Tawas, SH
Kolom 2 Penatua Johan J. Kawatu, SP
Syamas N. Rumangu Tumiwa
Kolom 3 Penatua Max A. Kondoy
Syamas Dra. E. Kumaat Wilar
Kolom 4 Penatua D. Prang Lombogia, SE
Syamas Wilma Karundeng, AMd.T
Kolom 5 Penatua J. Loupatty Tundoong
Syamas Jefry Wawointana
Kolom 6 Penatua T. Lumangkun Paisa
Syamas M. Tawas Tampi
Kolom 7 Penatua J. Lumangkun Wawointana, S.Pd
Syamas E. Rumengan Montol, S.Pd
Kolom 8 Penatua Jacob D. Rorong
Syamas Ivans Batara Karundeng, SE
Kolom 9 Penatua D.Prang Tumiwa
Syamas R. Slat Masengi, SE
Kolom 10 Penatua Douvi Angow, SP
Syamas Ronny Piri
Kolom 11 Penatua Dra. E.N. Ruindungan Kumaat, M.Pd
Syamas Rolly Oroh, ST., MT
Kolom 12 Penatua J. Kondoy Pandey
Syamas Feibert Tamuntuan, S.Pd
Kolom 13 Penatua N. Kondoy Mamarimbing
Syamas L. Kembau Wonte, S.Pd
Kolom 14 Penatua Nootje Karamoy, SH
Syamas L. Rumengan Palempung
Komisi ASM Penatua N..E. Mamentu Tampanguma, S.Pd
Komisi Remaja Penatua Joike Sumajow, S.Pd
Komisi Pemuda Penatua Randy Rumengan, SE
Kolom W/KI Penatua Ir. V. Kembau Kumaat
Komisi P/KB Penatua Robinson Ch.I. Kumaat, S.Si., ME

BADAN PEKERJA MAJELIS JEMAAT

Ketua Pdt. E. Massie Lintang, S.Th/Pdt. Telly Tanos Sondakh, M.Th


Wakil Ketua Pnt. Nootje Karamoy, SH
Sekretaris Pnt. Johan J. Kawatu, SP
Bendahara Sy. Dra. E. Kumaat Wilar
Anggota Pnt. Robinson CH.I. Kumaat, S.Si., ME
Pnt. Ir. V. Kembau Kumaat
Pnt. Randy Rumengan, SE
Pnt. Joike Sumajow, S.Pd
Pnt. N.E. Mamentu Tampanguma, S.Pd

Pendeta Jemaat, Pegawai/Pekerja Organik, Kostor

1. Pendeta Jemaat : Pdt. Rifke Tiwa, STh (pindah ke Jemaat GMIM


Ranomea - Amurang)
Pdt. Fransiske Rorong Tamboto, STh
(pindah ke Jemaat GMIM Nasaret Matani
Tomohon)
Pdt. Ronny Tumewu, STh dan
Pdt. Deiske Tumewu
Lendo, STh (masuk pada 2014)
2. Guru Agama : Grace Lumi Rumengan, S.PAK
3. Pegawai Gereja : Ronald Lumangkun dan Adiyanto Mambo
4. Kostor : Sinyo Rumangu (meninggal tahun 2014)
Moudy Rumangu, Riedel Suryono.

*******
III. DAFTAR PELAYAN KHUSUS GMIM “BETLEHEM” LANSOT.

NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1970-1973

KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
Jhon F. Sumendap Syamas
2 Johanis Tenda Penatua
Fredrik Kondoj Syamas
3 Johanis Prang Penatua
Jotje Sumendap Syamas
4 Willem Kondoy Penatua
W.H. Prang Syamas
5 Altin Tenda Penatua
Jan L. Kondoj Syamas
6 Willem B. Tampi Penatua
W.H. Oroh Syamas
P/KB Jan H. Karamoy Ketua
W/KI Ibu A. Prang – Kondoy Ketua
Pemuda/Remaja Zachius Mapaliey Ketua
Anak-anak Servius Tenda Ketua

BADAN PEKERJA

1. Thimotius Kondoy Ketua Ketua Jemaat


2 Willem B. Tampi Sekretaris
3 Johanis Tenda Bendahara
4 Johanis Prang Anggota
5 Fredy Kondoj Anggota

Catatan :

Periode 1970 s/d 1973 adalah periode bersama-sama sebagai Jemaat GMIM
Rumoong Lansot.
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1974-1977

KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
Jhon F. Sumendap Syamas
2 Johanis Tenda Penatua
Fredrik Kondoj Syamas
3 Serfius A. Sumendap Penatua
Albert W. Prang Syamas
4 Willem B. Tampi Penatua
F. Rumerung Syamas
5 Altin Tenda Penatua
Jan L. Kondoj Syamas
6 Willem Kondoy Penatua
H.S. Kumaat Syamas
P/KB Jan H. Karamoy Ketua
W/KI Ibu A. Prang – Kondoy Ketua
Pemuda Freddy Kondoj Ketua
Anak-anak H.F. Karundeng Ketua

BADAN PEKERJA

1. Thimotius Kondoy Ketua Ketua Jemaat


2 Willem B. Tampi Sekretaris
3 Johanis Tenda Bendahara
4 H.S. Kumaat Anggota
5 Hans F. Karundeng Anggota

Catatan :

Periode 1974 s/d 1977 adalah masa pemisahan jemaat Rumoong Lansot.
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1978-1981

KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
E. Todar Prang Syamas
2 Johanis F. Tenda Penatua
Fredrik Kondoj Syamas
3 Zachius Mapaliey Penatua
Hans Rumangu Syamas
4 Jhon Iroth Penatua
Ny. J. Kumaat – Tampi Syamas
5 Willem Kondoj Penatua
Ny. F. Karundeng Kumaat Syamas
6 Penatua
Syamas
7 Penatua
Willem A. Oroh Syamas
P/KB Jan H. Karamoy Ketua
W/KI Ibu A. Prang – Kondoy Ketua
Remaja/Pemuda Jantje Lendeng Ketua
Anak-anak Johanis L. Tampi Ketua

BADAN PEKERJA

1. Thimotius Kondoy Ketua Ketua Jemaat


2 Fredy Kondoj Sekretaris
3 Fredrik Kondoj Bendahara
4 Altin Tenda Anggota
5 Willem B. Tampi Anggota

Catatan :

Periode 1978 s/d 1981 terjadi pemekaran Kolom dari 6 Kolom menjadi 7 Kolom &
Masa Pentahbisan Rumah Ibadah GMIM Betlehem Lansot yang baru.
PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1982-1986

Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat Periode 1982-1986

PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1987-1990

Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat Periode 1987-1990

( Data Menyusul)
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1991-1994

KOLOM /
NAMA JABATAN KETERANGAN
KOMISI
1 Fredy Kondoj Penatua
Ny. A. Prang Korengkeng Syamas
2 Jantje F. Prang Penatua
Jan W. Karundeng Syamas
3 Ny. M. Robot Kindangen Penatua
Ny. A. Rorimpandey Kesek Syamas
4 John F. Sumendap Penatua
Rien B. Kondoj Syamas
5 Johanis Prang Penatua
Ibu O.S. Rantung Lapian Syamas
6 Bernhard J. Pangemanan Penatua
Jantje Lendeng Syamas
7 Maxie j. Rumangu Penatua
Ny. E. Kumaat Rorong Syamas
8 Vicky Kellah Penatua
Servius Prang Syamas
9 Johanis L. Tampi Penatua
Altin Tenda Syamas
10 Johny Rumerung Penatua
Ferry Kondoj Syamas
11 Willem B. Tampi Penatua
John F. Sumendap Syamas
12 Jensen Momongan Penatua
V. Kondoj Syamas
P/KB Timotius Kondoj Ketua
W/KI Ny. A. Prang Kondoj Ketua
Remaja Richard Wensen Ketua
Pemuda Zachius Mapaliey Ketua
Anak-anak J.J. Wurangian Ketua
BADAN PEKERJA

1. Ny. Ruus Kawengian, S.Th Ketua


2 Sekretaris
3 Bendahara
4 Anggota
5 Anggota

Catatan :
Nama Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat Periode 1991-1994

NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1995-1998

NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 1999-2002

NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2003-2006

NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2007-2010

(Data Menyusul)
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2010-2013

KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Ir. Jootje Rumangu Penatua
Ny. Mieke S. Kalumata Syamas
2 Noldi Ventje Karundeng Penatua
Ny. A. Malingkonor Kondoj Syamas
3 Jansen Momongan, S.Pd Penatua
Servius Kondoj, S.Pd Syamas
4 Ny. Altje Wongkar Karundeng Penatua
Ny. Diane L. Rumangu - Tawas Syamas
5 Yorry Sumakul Penatua
Ny. Vidya E. Rorong,S.Th Syamas
6 Maxie J. Sumendap Penatua
Ny. Juliana B. Nayoan Rembet Syamas
7 Jansen Kondoj, S.Sos Penatua
Ny. Henny R. Prang Rumangu Syamas
8 Maxie J. Kumaat Penatua
Rosye M. Tampi, S.Pd Syamas
9 Maximillian E.I.M. Mambo Penatua
Johanis Hendrik Umboh, SE Syamas
10 Bernhard J. Pangemanan, s.Pd Penatua
Ny. Jenny M.. Sumendap Rumangu Syamas
11 Joppie H. Kondoj, BA Penatua
Ny. Annie M. Karamoy Sendow Syamas
12 Ny. Kartini L.S. Mirah Kondoj, S.Pd Penatua
Ny. Jansje Rorong-Lumangkun Syamas
13 Ny. Jurike D.A.. Lengkong Ratu Penatua
Ny. Olfi .M. Walean Lempoy Syamas
14 Jopi F.A. Prang, Am.Pd Penatua
Ny. Chrisvivani Sumakul Prang, SP Syamas
15 Vicky Prang Penatua
Ny. Aneke Rorimpandey Kesek Syamas
16 Happy V. Kawatu, SS Penatua
Ny. Olga S. Kondoj Lapian Syamas
17 Yan W. Karundeng Penatua
Ny. Merlin M. Tanamange-Pasiowan Syamas
18 Ny. Ariantje M. Prang Korengkeng Penatua
Tommy Kondoj Syamas
P/KB Novie H. Kondoj Ketua
W/KI Ny. Dra. Inke Prang Karamoy Ketua
KP/Remaja Donny Ch. Karundeng, S.Pi Ketua
KP/Pemuda Andreas S. Oroh Ketua
KP/Anak Fenky R. Kondoj Ketua
Christian Luwuk, S.Th Ketua Jemaat
Andreta Suoth, S.Th Pdt Jemaat
Intan Wokas –Walangitan, S.Th Pdt. Pelayanan
Inri Walalangi Momor, S.Th Vikcaris Pdt.
BADAN PEKERJA

1 Christian Luwuk, S.Th Ketua


2 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Wakil Ketua
3 Ir. Jootje Rumangu Sekretaris
4 Rosye M. Tampi Bendahara
5 Ny. Inke Prang Karamoy, S.Pd Anggota
6 Donny Karundeng, S.Pi Anggota
7 Andreas S. Oroh Anggota
8 Fenky R. Kondoj Anggota
9 Ny. Inke N. Prang Karamoy, S.Pd Anggota

Catatan :
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2014-2015

KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Ventje Karundeng Penatua
Ny. Anita Malingkonor Kondoj Syamas
2 Jansen Momongan Penatua
Ny. Youke Kondoj-Lumempouw Syamas
3 Ir. Jootje Rumangu Penatua
Ny. Mieke Kalumata Syamas
4 Ny. Altje Wongkar Karundeng Penatua
Ny. J. Rumerung-Karundeng Syamas
5 Johny Rumerung, S.Pd Penatua
Servius Kondoj, S.Pd Syamas
6 Maxie Sumendap Penatua
Yorry Sumakul, S.Km Syamas
7 Drs. Alex Rompas Penatua
Ny. Juliana B. Nayoan Rembet Syamas
8 Ny. Grace Sumakul Kondoj, SH Penatua
Ny. Henny R. Prang Rumangu Syamas
9 Ny. L. Pangkey Rosang Penatua
Ny. Susan Kondoj Berhimpon Syamas
10 Maximillian E.I.M. Mambo Penatua
Levi Rorong Syamas
11 Johanis Hendrik Umboh, SE Penatua
Hard B. Karamoy, S.sos Syamas
12 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Penatua
Drs. Valry Sonny H. Prang Syamas
13 Christian Karamoy Penatua
Moudy Tenda Syamas
14 Ny. Jurike D.A. Lengkong Ratu, S.Pd Penatua
Ny. Pingkan Rungkat Karundeng Syamas
15 Ny. Kartini L.S. Mirah Kondoj, S.Pd Penatua
Ny. Olfi M. Walean Lempoy Syamas
16 Jopi F.A. Prang, Am.Pd Penatua
Richard Wensen Syamas
17 Vicky Prang Penatua
Ny. Aneke Rorimpandey Kesek, S.Pd Syamas
18 Samuel Karundeng Penatua
Ny. Meity Wurangian-Merentek Syamas
19 Yan W. Karundeng Penatua
Ny. Merlin Tanamange Pasiowan Syamas
20 Happy O. Kawatu, SS Penatua
Ny. Olga Kondoj Lapian Syamas
P/KB dr. Rio Nayoan Ketua
W/KI Ny. Elvie Momongan Soputan Ketua
KP/Remaja Donny Karundeng, S.Pi Ketua
KP/Pemuda Andreas S. Oroh Ketua
KP/Anak Fenky R. Kondoj Ketua
Ny. M. Mawa-Sigarlaki, M.Th Ketua Jemaat
Meyni Tulangow-Makarawung,S.Th Pdt. Jemaat
Inri Walalangi-Momor, S.Th Pdt Pelayanan
BADAN PEKERJA

1 Ny. M. Mawa-Sigarlaki, M.Th Ketua


2 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Wakil Ketua
3 Ir. Jootje Rumangu Sekretaris
4 Ny. O. Kondoj Lapian Bendahara
5 dr. Rio Nayoan Anggota
6 Ny. Elvi Momongan Soputan Anggota
7 Andreas S. Oroh Anggota
8 Donny Ch. Karundeng, S.Pi Anggota
9 Fenky R. Kondoj Anggota

Catatan :

Periode ini terjadilah pemekaran Jemaat Kolom 1 s/d 11 merupakan Jemaat


GMIM “Betlehem” Lansot, dan Kolom 12 s/d 20 merupakan Jemaat baru GMIM
“Nazareth Velden Cappellen” Lansot Timur.
Diawali dengan pemekaran Kolom dari jumlah 19 Kolom, menjadi 20 Kolom.

Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat Periode 2014-2017- Peride Terakhir sebelum


Pemisahan Jemaat (Foto HK 2014)
NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT PERIODE 2015-2017

KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Ventje Karundeng Penatua
Ny. Anita Malingkonor Kondoj Syamas
2 Jansen Momongan Penatua
Ny. Youke Kondoj-Lumempouw Syamas
3 Ir. Jootje Rumangu Penatua
Ny. Mieke Kalumata Syamas
4 Ny. Altje Wongkar Karundeng Penatua
Ny. J. Rumerung-Karundeng Syamas
5 Johny Rumerung, S.Pd Penatua
Servius Kondoj, S.Pd Syamas
6 Maxie Sumendap Penatua
Yorry Sumakul, S.Km Syamas
7 Drs. Alex Rompas Penatua
Ny. Juliana B. Nayoan Rembet Syamas
8 Ny. Grace Sumakul Kondoj, SH Penatua
Ny. Henny R. Prang Rumangu Syamas
9 Ny. L. Pangkey Rosang Penatua
Ny. Susan Kondoj Berhimpon Syamas
10 Maximillian E.I.M. Mambo Penatua
Levi Rorong Syamas
11 Johanis Hendrik Umboh, SE Penatua
Hard B. Karamoy, S.sos Syamas
P/KB dr. Rio Nayoan Ketua
W/KI Ny. Dra. M. Podung-Prang Ketua
KP/Remaja Ny. S. Robot-Karundeng Ketua
KP/Pemuda Pmd Kondoj Ketua
KP/Anak Ny. Titi Rasu Ketua
Ny. M. Mawa-Sigarlaki, M.Th Ketua Jemaat
Inri Walalangi-Momor, S.Th Pdt Pelayanan
BADAN PEKERJA

1 Ny. M. Mawa-Sigarlaki, M.Th Ketua


2 Maximillian E.I.M. Mambo Wakil Ketua
3 Ir. Jootje Rumangu Sekretaris
4 Ny. M. Kalumata Bendahara
5 dr. Rio Nayoan Anggota
6 Anggota
7 Anggota
IV. DAFTAR PELAYAN KHUSUS GMIM “ NAZARETH VELDEN CAPPELLEN”
LANSOT TIMUR.

NAMA PELAYAN KHUSUS/ MAJELIS JEMAAT (Pertama) PERIODE 2015-2017

KOLOM /
NAMA JABATAN KET.
KOMISI
1 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Penatua
Drs. Valry Sonny H. Prang Syamas
2 Christian Karamoy Penatua
Moudy Tenda Syamas
3 Ny. Yurike D.A. Lengkong Ratu, S.Pd Penatua
Ny. Pingkan Rungkat Karundeng Syamas
4 Ny. Kartini L.S. Mirah Kondoj, S.Pd Penatua
Ny. Olfi M. Walean Lempoy Syamas
5 Jopi F.A. Prang, S.Pd Penatua
Richard Wensen Syamas
6 Vicky Prang Penatua
Ny. Aneke Rorimpandey Kesek, S.Pd Syamas
7 Samuel Karundeng Penatua
Ny. Meity Wurangian-Merentek Syamas
8 Yan W. Karundeng Penatua
Ny. Meylin M. Tanamange-Pasiowan Syamas
9 Happy O. Kawatu, SS Penatua
Ny. Olga S. Kondoj Lapian Syamas
P/KB Rionaldo Prang, ST Ketua
W/KI Ny. Chrisvivanie0 Sumakul Prang, SP Ketua
KP/Remaja Donny Ch. Karundeng, S.Pi Ketua
KP/Pemuda Andreas S. Oroh Ketua
KP Anak Fenky Kondoj Ketua
Marthen Karundeng, S.Th Ketua Jemaat
Pdt. Meiny Tulangow - Makarawung Pdt. Jemaat
BADAN PEKERJA

1 Marthen Karundeng, S.Th Ketua


2 Bernhard J. Pangemanan, S.Pd Wakil Ketua
3 Happy O. Kawatu, SS Sekretaris
4 Ny. Olga S. Kondoj Lapian Bendahara
5 Andreas S. Oroh Anggota
6 Donny Ch. Karundeng, S.Pi Anggota
7 Fenky R. Kondoj Anggota

Catatan :
Periode ini adalah Pelayan Khusus yang pertama di Jemaat Baru NVC Lansot
Timur.
Pelayan Khusus/ Majelis Jemaat (Pertama) GMIM “Nazareth Velden Cappellen”
Lansot Timur Periode 2015-2017

Jemaat GMIM “Nazareth Velden Cappellen” Lansot Timur sedang beribadah


minggu pagi.
Lampiran :

MENGENANG PERISTIWA-PERISTIWA PENTING DI RUMOONG LANSOT

Mengenang Peristiwa Pengkhabaran Injil mula-mula di Desa Rumoong dan


Lansot.

BATU MAKAREAK

Pada jaman penduduk Rumoong Lansot masih sedikit yang menerima Injil,
ada suatu peristiwa yang sangat memberikan pengajaran kepada penduduk
pada waktu itu untuk menerima Injil. Kejadiannya sebagai berikut :

Disebuah lereng perbukitan kuntung Makereak, terdapat sebuah batu yang


sangat besar tertanam dilereng bukit itu. Setiap kali penduduk akan
membersihkan lahan perkebunan di bawah lereng yang terdapat batu itu,
penduduk selalu diliputi perasaan was-was. Mereka selalu dihinggapi
perasaan takut apabila sedang bekerja di bawah batu di lahan perkebunan
itu yang sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa mereka apabila batu itu
terguling dan menimpa mereka. Akibat dari ketakutan penduduk itu, pada
suatu hari pemilik lahan perkebunan mengambil keputusan untuk
mengulingkan batu itu ke bawah lereng agar para penduduk yang bekerja
tidak ketakutan lagi.

Pada suatu hari para penduduk mulai melaksanakan pengalian batu itu
secara mapalus. Pada waktu pengalian sudah selesai, dan tanah yang
menganjal batu tersebut sudah di angkat, namun batu itu tidak juga bergerak.
Penduduk menjadi sangat heran sebab batu itu tidak juga terguling ke bawah
padahal tidak ada lagi yang menganjal batu itu. Mereka mencoba mendorong
dengan sekuat tenaga bahkan telah berusaha mengakalinya dengan segala
macam cara agar batu itu dapat terguling ke bawah. tetapi batu itu tetap tegar
berada ditempatnya. Penduduk menjadi putus asa.

Beberapa dari mereka lalu menuju ke kampung untuk memanggil seorang


yang dianggap oleh penduduk pada waktu itu mempunyai ilmu/kekuatan
yang dapat mengulingkan batu itu. Mereka lalu mengajak Bapak Hermanus
Tenda yang merupakan seorang yang telah menerima Injil. Tak lama
kemudian tibalah Bapak Hermanus Tenda dikebun itu ditengah para
penduduk yang tadi menggali batu tersebut. Ia lalu berdoa menurut ajaran
Injil yang telah diterimanya. Pada saat diakhir doanya yang ditutup dengan
kata “Amin”, tiba-tiba batu itu terguling dengan sendirinya ke bawah lereng.

Dengan peristiwa tersebut, beberapa penduduk lalu menjadi percaya dan


menerima Injil sebagai agama baru mereka menggantikan agama Alifuru
yang mereka anut selama turun-temurun.

=========
Mengenang Peristiwa Heroik Pengibaran Bendera Merah Putih Di Desa Rumoong-Lansot :

ALFIUS BENYAMIN MIRAH “ PIUK “


Sang Anak Pemberani

Di desa Rumoong-Lansot pernah terjadi peristiwa yang sangat mengemparkan yaitu pengibaran
Bendera Merah Putih pada saat pemerintahan di kendalikan oleh Pemerintahan Belanda melalui
NICA yang ingin kembali menjajah tanah air Indonesia yang sudah menyatakan Kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa berawal dari keinginan Kerajaan Belanda untuk menjajah
kembali Indonesia dengan mendirikan Negara Boneka yaitu Negara Indonesia Timur (NIT). Niat
Belanda ini sangat di tentang oleh para tokoh pejuang di tanah Minahasa yang tergabung dalam
Laskar Rakyat Republik Indonesia (LRRI).

Wilayah Tareran pada waktu itu masuk dalam LRRI Daerah VI dibawah pimpinan Bung Alex
Tujuwale. Para Pemuda di Desa Lansot, banyak yang menjadi anggota LRRI pada waktu itu. Untuk
melawan NICA Belanda secara terang-terangan, tentu saja sangat besar resikonya sebab
persenjataan yang ada jauh dari persenjataan NICA Belanda pada waktu itu sudah sangat modern.
Untuk itu jalan satu-satunya hanyalah melalui cara sembunyi-sembunyi dengan menanamkan rasa
cinta tanah air dan rasa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dikalangan penduduk.
Salah satu rencana yang disusun oleh LLRI Daerah VI adalah pengibaran Bendera Merah Putih di
Rumoong Lansot sebagai peryantaan bahwa Penduduk Desa Rumoong Lansot dan umumnya
penduduk Tareran dan Minahasa menginginkan Republik Indonesia sebagai tanah air mereka.

Rencana ini lalu diserahkan kepada 2 (dua) orang pemuda anggota LLRI asal desa Lansot yaitu
Frans Mirah dan Benyamin Merentek (Dorek) untuk melaksanakan Pengibaran Bendera Merah
Putih tersebut. Untuk mempermulus rencana ini, mereka lalu memakai seorang anak bernama
Alfius Benyamin Mirah yang biasa dipanggil “PIUK” adik dari Frans Mirah. Anak ini masih duduk
dibangku Kelas 5 Sekolah Rakyat dan dikalangan teman-temannya dikenal anak yang pandai dan
pemberani. Melalui kakaknya Frans Mirah, ia disuruh untuk membeli kertas minyak (fuya) berwarna
merah dan putih. Anak ini lalu menuruti permintaan kakaknya yaitu membeli kertas minyak di warung
milik tante Opik Tampi. Tetapi kertas yang ada hanya tinggal yang warna putih. Lalu ia ke warung
yang satunya milik om Nyong Porong dengan membeli kertas minyak yang warna merah. Setelah
pembelian dilakukan, maka mulailah mereka bertiga (Frans Mirah, Dorek & Piuk) membuat bendera
dari kertas minyak tersebut dan rencananya akan dinaikkan di dua tempat yang dianggap strategis
pada tengah malam pada saat penduduk desa terlelap dalam tidur.

Pada saat tengah malam yaitu tanggal 09 September 1949, mereka mulai melaksanakan rencana
mereka untuk memasang bendera. Pilihan pertama jatuh pada pohon cemara yang berada di depan
Vervolk School (sekarang Gedung GMIM Betlehem Lansot). Di tempat itu terdapat 3 pohon cemara
dan yang tertinggi adalah pohon cemara yang berda ditengah-tengah. Pilihan kedua yaitu
dipertigaan jalan antara desa Rumoong Atas dan Lansot yang pada waktu itu terdapat papan
penunjuk arah di depan Kintal Kel. P. Mapaliey-Kondoy (Tetek Philip Mapaliey). Untuk mengibarkan
bendera itu diperlukan bambu dan tali dan kebetulan disekitar tempat tersebut terdapat sebuah
bambu yang ujungnya ditancapkan jeruk (lemong suangi) milik Kel. Karundeng-Pinorik yang
menandakan bahwa keluarga tersebut baru melahirkan seorang anak. Sedangkan tali yang dipakai
adalah tali yang disebut oleh penduduk setempat “tali rote” (tali yang berasal dari batang tanaman
sejenis pohon pisang) yang diambil dibelakang halaman rumah Kel Herman Prang-Karundeng.

Pemasangan benderapun dilakukan oleh Benyamin Merentek (Dorek) dengan memanjat pohon
cemara yang dibantu oleh Frans Mirah serta disaksikan oleh Alfius “Piuk” B. Mirah. Setelah
pemasangan selesai maka dilanjutkan dengan pemasangan di pertigaan jalan Rumoong-Lansot.
Selesai pemasangan bendera dilakukan Frans Mirah dan Benyamin Merentek (Dorek)
memberitahukan kepada “Piuk” agar hal ini dirahasiakan dan jangan diberitahukan kepada siapapun.
Mereka lalu menugaskan Piuk untuk memeriksa bendera yang telah dipasang tersebut hingga pagi
hari. Perintah itu dituruti oleh Piuk.

Pada tanggal 10 September 1949 dipagi hari sebelum matahari terbit, Piuk melihat bendera yang
berada d ipertigaan jalan Rumoong-Lansot sedang diturunkan oleh Tetek (Opa) Philip Mapaliey.
Sedangkan Bendera yang berada di depan Vervolk school masih tetap berkibar di atas pohon
cemara. Melihat ada bendera Merah putih berkibar di kampungnya, pendudukpun menjadi gempar.
Sebagian penduduk menjadi ketakutan dan mnemilih mengurung diri di dalam rumah mereka sambil
sekali-kali mengintip keluar rumah atau melihat bendera yang masih berkibar tersebut. Kecemasan
penduduk semakin bertambah pada waktu Polisi-NICA dari Kawangkoan turun dengan mengendarai
sebuah mobil pick Up bertuliskan “Tampusu” berisi 6 (enam) orang personil polisi dengan
persenjataan lengkap.

Melihat polisi datang, Piuk lalu menyuruh kakaknya Frans Mirah dan Benyamin Merentek (Dorek)
untuk segera melarikan diri keluar dari kampung dan nanti dia sendiri yang akan mengakuinya
apabila polisi telah mengetahui pelakunya. Penyelidikan polisi dilakukan pertama kali dengan
mendatangi Hukum Tua desa Lansot yang pad waktu itu dijabat oleh Sem Kondoj, lalu menanyakan
kewarung-warung penduduk perihal pembelian kertas yang dijadikan bendera tersebut. Polisi lalu
mengancam penduduk desa Lansot yaitu apabila pelaku tidak menyerahkan diri, maka seluruh
pemuda desa Lansot akan ditangkap dan diangkut ke dalam tahanan.

Melihat ancaman tersebut, Piuk lalu menyerahkan diri dan mengaku bahwa dialah pelakunya. Polisi
pada waktu itu seakan-akan tidak percaya bahwa bendera tersebut dinaikkan hanya oleh seorang
anak berumur 12 tahun. Namun untuk menyelidikinya lebih lanjut, piuk lalu ditangkap dan dinaikkan
ke atas mobil dengan tangan diborgol ke depan. Sebelum berangkat menuju Kawangkoan, para
polisi menyuruh Bapak Bernard Oroh yang pada waktu itu bertugas sebagai patroli desa untuk
menurunkan bendera di atas pohon cemara. Lalu mereka singgah sebentar diwarung om Nyong
Porong mungkin ingin membeli sesuatu. Om Nyong Porong pada waktu itu memberikan Piuk sejenis
kue (kukis) yang disebut Baleko (sekarang disebut kukis bepang) sebagai bekal dijalan. Dalam
perjalanan menuju Kawangkoan, Piuk diturunkan 2 kali yaitu di perkebunan Pala dan Paso untuk
diinterogasi dibawah todongan senjata. Tetapi pengakuan Piuk tetap bahwa hanya dialah pelakunya.
Hal ini juga berlangsung pada waktu dalam tahanan di Kawangkoan dimana Piuk beberapa kali
diperintahkan untuk membuat kronologis kejadian tersebut berulang kali di atas kertas. Tetapi
pengakuannya tetap sama dan tak berubah. Akhirnya setelah 2 hari 2 malam ia ditahan, ia lalu
dibebaskan dan dijemput oleh Bapak Altin Mambo bersama rekannya Abdul Madjid seorang
wartawan pemilik Surat Khabar yang datang menggunakan sebuah mobil jenis Jip dari Manado. Tiba
di di Desa Lansot, Piuk lalu diberikan pembinaan oleh Hukum Tua Sem Kondoy. Kemudian setelah
kejadian itu LRRI Daerah VI mengadakan rapat dirumah Decky Mambo yang dihadari oleh Abdul
Madjid dan beberapa anggota LRRI asal Rumoong-Lansot.

Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatannya dari Belanda, Piuk lalu mendapatkan bea siswa dan
melanjutkan sekolahnya di SMP Kawangkoan kemudian diteruskan di sekolah Tehnik di Makassar
dan selanjutnya mengikuti peetukaran pelajar di Polandia.
Itulah hikmah yang didapat atas keberanian yang telah dilakukan oleh Alfius B. Mirah.
Peristiwa tersebut masih tetap dikenang oleh penduduk desa Lansot dan tercatat dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia.
Mengenang penemuan Sumber mata air petama di Rumoong Lansot

RANO TERANG (AER TERANG)


Sumber Mata Air Yang Tak Pernah Kering

Pada masa setelah lokasi perkampungan penduduk Lansot telah menetap di bukit sebelah utara
perkampungan lama dan disebelah barat terdapat pemukiman lowian yang disebut orang Rumoang,
penduduk di kedua perkampungan itu mengalami penderitaan karena kemarau yang sangat panjang.
Sungai-sungai menjadi kering, sehingga penduduk pada waktu itu kesulitan untuk mencari air bersih.
Sumber air penduduk desa Lansot di dapat dari Sumber air pertama yang disebut Rano Lansot juga
mulai mengering. Sungai Tu’unan yang biasa melimpah airnya tinggal menetes sebesar jari
kelingking. Hal ini mulai menimbulkan kecemasan dikalangan penduduk karena banyak tanaman
pertanian tak bisa lagi bertumbuh karena kekurangan air.

Pada saat penduduk mulai kuatir akan keringnya sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari, tiba-
tiba oleh beberapa orang penduduk dari Rumoong yang sedang mangasu/ berburu (manalun) hewan
rusa dan babi hutan (Songkai/kolowatan), menemukan sebuah sumber mata air (palemboian)
yang sangat jernih (leno) di lokasinya sebelah timur tak jauh dari Rano Lansot. Air itu keluar dari
celah-celah batu dan akar-akar pohon yang berada disekitar hutan pada saat kemarau yang panjang
sedang melanda daerah tersebut. Karena sumber mata air (lemboi) yang diketemukan itu tidak
berhenti mengalir, maka oleh penduduk yang menemukannya dinamakan Rano Terang / Ranotan
asal kata dari “Rano”berarti air, dan “Terang” yang artinya benar-benar/sungguh-sungguh yang
artinya benar-benar air atau sungguh-sunguh air. Dinamakan demikian karena dengan kemarau
yang panjang sumber mata air tersebut tidak pernah kering dan tetap mengalir. Lambat laun nama
Rano Terang oleh penduduk desa Lansot sekarang diberi nama Aer Terang (air yang benar-benar
jernih).

Di masa Hukum Tua Timotius Kondoy, sumber mata air itu di pugar secara permanen sebagai
tempat mencuci pakaian sekaligus menjadi tempat pemandian umum (lelean). Bila kemarau panjang
menimpa penduduk dan sumur-sumur air di dalam desa mengalami kekeringan, maka Air terang
merupakan alternatif bagi penduduk desa Lansot sebagai tempat pengambilan air minum sekaligus
sebagai tempat mandi dan mencuci pakaian. Mata air (palemboian) Aer Terang ini hingga sekarang
ini tak pernah mengalami kekeringan.
B. CERITA RAKYAT ASAL MULA NAMA TARERAN.

Pada masa sekarang penduduk desa Rumoong-Lansot tak banyak lagi mengetahui lagi cerita-
cerita kepahlawanan yang sering dikisahkan (sisil) oleh orang-orang tua dahulu kepada anak-
anaknya. Cerita dan kisah-kisah legenda dan mithos mengenai jiwa kepahlawanan nenek
moyang Minahasa dahulu, khususnya kisah legenda yang berkaitan dengan sejarah desa
seperti terkubur bersama berlalunya generasi tua. Generasi muda sekarang kurang atau tidak
lagi mengetahui cerita rakyat yang pernah berkembang turun-temurun di desa Rumoong-Lansot.

Salah satu kendala ketidak tahuan generasi yang ada sekarang mengenai cerita-cerita rakyat
tersebut karena para orang tua tidak lagi pernah menyampaikan cerita-cerita tersebut kepada
anak-anakmya. Kendalah lainnya adalah bahwa dahulu anak-anak dilarangnya untuk turut
mendengarkan pembicaraan orang-orang tua. Apabila orang-orang tua melakukan pembicaraan
apakah itu mengenai urusan keluarga atau mengenai masalah lainnya, hasil pembicaraan
mereka merupakan rahasia bagi mereka sendiri dan jarang diperdengarkan bahkan diceritakan
terutama kepada anak-anak.

Pada masa dahulu apabila seorang anak menguping atau mendengar pembicaraan orang
tuanya, maka orang tua akan melarang bahkan menghardik anak tersebut agar tidak menguping
atau mendengarkan orang-orang tua bercerita. Kalimat seperti ini seringkali kita dengar yaitu
“Masih kecil so babadengar orang tua pe bacerita”. Kalimat ini selalu dilontarkan orang-
orang tua kita dahulu bahkan hingga sekarang terhadap seorang anak. Sehingga dengan
hardikan ini lambat lauh sang anak tak berani mendengar pembicaraan orang tuannya. Padahal
pembicaraan tersebut kadangkala sangat penting untuk diketahui oleh seorang anak khususnya
pembicaraan orangtua mengenai adat itiadat, budaya, cerita-cerita yang berkembang pada
masa dahulu atau kejadian dan peristiwa yang mungkin akan menjadi sebuah sumber sejarah
yang penting kelak dikemudian hari.

Salah satu cerita rakyat yang mulai dilupakan oleh penduduk desa Rumoong-Lansot, adalah
cerita mengenai asal-usul nama yang sekarang digunakan sebagai nama kecamatan yaitu
Tareran. Kecamatan Tareran adalah sebuah kecamatan yang terdiri dari 13 Desa yang berdiri
pada tahun 1962. Nama Tareran diambil dari nama sebuah puncak Bukit yang berada disebelah
barat desa Rumoong-Lansot yang bernama Kuntung Tareran (Kuntung = gunung atau bukit).
Awal nama Tareran ini tak terlepas dari sejarah Minahasa khususnya sejarah terjadinya perang
tapal batas antara Minahasa dan Mongondow sekitar tahun 1460 – 1590 yang merupakan
ekspansi Mongondow yang pertama di Minahasa bagian Selatan dikaitkan juga dengan cerita
rakyat yaitu perseteruan antara dua kakak beradik yaitu Lipan dan Konimpis.Walaupun berbagai
versi dan alur cerita yang berbeda-beda yang berkembang hingga sekarang ini tetapi inti
ceritanya adalah sama.

Penulis akan menuturkan kembali cerita ini yang penulis dapatkan dari beberapa sumber.
CERITA RAKYAT

LIPAN & KONIMPIS

Dikisahkan bahwa pada awal nenek moyang desa Lansot mendirikan kampung Lansot,
dahulu disekitar wilayah kampung tersebut hiduplah dua orang kakak-beradik yang saling
menyayangi satu dengan yang lainnya. Mereka berdua anak yatim piatu. Sang kakak
bernama Lipan dan sang adik bernama Konimpis. Mereka tinggal di pondok peninggalan
orang tua mereka di hutan sekitar Desa Lansot yang bernama Lowian. Kedua Kakak beradik
ini mempunyai postur tubuh dan perangai yang sangat berbeda satu sama lain seperti
perbedaan antara langit dan bumi. Sang Kakak Lipan mempunyai postur tubuh yang tinggi
besar, berwajah kasar dan mempunyai perangai yang buruk. Pekerjaannya sehari-hari
adalah berburu binatang di hutan. Sedangkan sang adik Konimpis sangat berbeda jauh
dengan sang kakak, badannya kecil, berkulit halus serta sifatnya yang sopan, ramah
dengan perangai yang lembut. Pekerjaannya sehari-hari adalah bertani.

Pada awalnya antara Lipan dan Konimpis hidup rukun dan damai dan saling mendukung
seperti biasanya kakak-beradik. Tetapi hal tersebut berubah setelah Lipan melihat adiknya
sangat disenangi dan disegani oleh para penduduk setempat karena sifatnya yang suka
menolong. Sedangkan Lipan justru sebaliknya, penduduk selalu menghindar apabila
bertemu dengannya, sebab sifatnya yang kasar dan sering mengganggu kehidupan para
penduduk desa.

Akibat perbedaan perlakuan penduduk desa tersebut, lama-kelamaan timbul rasa benci,
cemburu dan iri hati Lipan terhadap Konimpis adiknya. Persaingan antar keduanya mulai
terjadi berawal dari pada waktu Konimpis ingin memasak makanan hasil pertanian di dalam
sebuah bambu, ia kesulitan untuk meletakkan bambu tersebut bila hanya ditopang oleh
kayu yang selalu patah apabila bambu itu di letakkan. Oleh sebab itu ia menyuruh kakaknya
Lipan untuk mengambil sebuah batu di sungai. Tak beberapa lama kemudian Lipan datang
dan meletakkan batu yang sangat besar dihadapan Konimpis. Konimpis menjadi kaget
dengan perbuatan kakaknya. Karena batu yang diharapkan adalah batu yang kecil yang
hanya untuk menopang bambu untuk tempat memasak makanan. Hal ini dilakukan Lipan
hanya untuk memamerkan kekuatan dan kesaktiannya dihadapan adiknya Konimpis. Itulah
asal mula batu yang sekarang terletak di sebelah kanan jalan menuju kebun Lopana dekat
sungai memea’ yang oleh penduduk setempat disebut Batu Lipan.

Perbuatan kakaknya Lipan membuat Konimpis sakit hati dan ingin membalas perbuatan
kakaknya yang memamerkan kekuatan dan kesaktiannya. Kesempatan tersebut tiba
manakala pada waktu Lipan ingin memasak hewan hasil buruannya, ia menyuruh adiknya
Kolimpis untuk membantunya menyiapkan tempat memanggang. Tak lama kemudian
Konimpis datang juga dengan membawa batu yang sangat besar dihadapan Lipan.
Walaupun Konimpis tubuhnya lebih kecil dari Lipan, ia juga mempunyai kesaktian yang tidak
kala dengan kakaknya. Melihat perbuatan adiknya yang memamerkan kesaktiannya
tersebut, Lipan menjadi marah dan memukul batu tersebut hingga batu tersebut berbekas
akibat tepukan telapak tangannya.

Bekas tepukan tangan Lipan di batu yang dibawah oleh Konimpis tersebut, hingga sekarang
masih terdapat di daerah perkebunan wilayah desa Wiau Lapi yang oleh penduduk
setempat dinamakan Batu Konimpis. Dan kebun terdapatnya batu Konimpis itu dinamakan
Kobong Konimpis (Kebun Konimpis). Selanjutnya dikisahkan, setelah itu mereka berdua
terlibat pertengkaran hingga ke perkelahian. Nafsu untuk saling mengalahkan telah
menguasai hati mereka. Perkelahian mereka berlangsung hampir dua hari dua malam
disepanjang bukit yang mereka sering berlalu-lalang untuk menunjukkan siapa diantara
mereka yang lebih kuat dan sakti. Setelah perkelahi berlangsung sekian lama tetapi tidak
ada yang saling mengalahkan, akhirnya Konimpis memutuskan untuk menghindar sambil
berlari ke arah bukit. Tetapi kakaknya Lipan terus saja mengejar Konimpis dengan pukulan-
pukulan. Tak beberapa lama kemudian mereka tiba di suatu pantai yang cukup luas.
Daerah tersebut tidak dikenal oleh kedua kakak beradik itu. Konon Daerah tersebut
kemudian dinamakan Rumoang yang diartikan adalah pertemuan yang tidak disangka-
sangka, atau tiba disuatu tempat yng tidak terduga sebelumnya.

Selanjutnya dikisahkan bahwa dengan perkelahian antara kedua kakak-beradik tersebut


yang mengeluarkan kesaktian masing-masing, tiba-tiba air laut di pantai itu menyusut
hingga beberapa kilometer jauhnya. Daerah tempat air menyusut tersebut dinamakan
Pinaroyongan yang artinya tempat air mengalir dengan derasnya. Inilah asal mula nama
Desa Pinamorongan sekarang. Sedangkan tempat dimana batas air berhenti mengalir
dinamakan Tumpaan yang artinya tempat tertumpahnya air. Akibat menyusutnya air laut itu,
maka daerah Rumoang menjadi daratan tinggi, dan pantai sudah berpindah di daerah
Tumpaan. Melihat air laut menyusut akibat ulah mereka, Konimpis lalu berlari ke arah
selatan dan tiba disungai Memea’ sambil meminum air sungai yang jernih dan sejuk untuk
melepas dahaga. Karena begitu lelahnya Konimpis akibat perkelahiannya dengan sang
kakak, badannya terasa sangat lelah. Ia lalu membaringkan diri di sebuah batu yang dahulu
pernah diangkat oleh kakaknya untuk tempat memasak yang ada didekat sungai tersebut.
Tiba-tiba Konimpis terkejut karena hantaman kaki kakaknya yang keras menimpa batu
tempat ia berbaring. Akibat hantaman kaki Lipan itu, batu tersebut berbekas telapak kaki
Lipan yang besar. Kolimpis menjadi sangat marah karena kakaknya tetap saja ingin
membunuhnya.

Konimpis lalu berdiri diatas batu itu sambil berteriak kepada kakaknya bahwa bekas telapak
kaki Lipan dibatu itu ( Batu Lipan ) serta telapak tangan di batu yang ditepuk Lipan di daerah
sebelah utara (Batu Konimpis) adalah sebagai saksi atas permusuhan diantara mereka. Dan
menjadi pesan kepada keturunan mereka bahwa hubungan persaudaraan mereka sebagai
kakak beradik sudah putus. Untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu, mereka
menaiki bukit dan memilih daerah yang dianggap pusat diantara batu Lipan yang ada di
selatan dan batu konimpis di yang ada dibagian utara. Setiba di atas bukit tersebut, masing-
masing mengangkat sumpah (tumiwa) bahwa “mereka bukan saudara lagi dan siap
angkat perang”. Bukit tempat Lipan dan Konimpis membuat perjanjian dan pesan tersebut
kemudian oleh penduduk dikenal dengan istilah ‘Taar Era” berasal dari kata Taar =
Pesan/Perintah dan Era = Mereka yang berarti “Pesan Mereka”. Sehingga “Taar Era”
merupakan bagian dari asal usul nama bukit tersebut yaitu Kuntung Tareran (Kuntung =
bukit/gunung). Kemudian setelah berdirinya beberapa desa yang berada disekitar kuntung
Tareran, maka daerah tempat desa-desa itu berdiri disebut dengan nama Wilayah Tareran
yang kemudian menjadi sebuah kecamatan yang bernama Kecamatan Tareran.

Selanjutnya dikisahkan bahwa setelah mengangkat sumpah untuk saling bermusuhan


antara Lipan dan Konimpis, maka Kolimpis kemudian pergi ke arah Barat dan bertemu
dengan pasukan Mongondow yang akan menyerbu ke wilayah Minahasa. Sedangkan Lipan
setelah kejadian tersebut oleh penduduk tersebar khabar bahwa ia menjadi seorang kanibal
pemakan manusia.

Tak lama kemudian pecahlah pertempuran antara Tou Minahasa di bawah pimpinan para
tonaas dengan orang-orang Mongondow di kaki kuntung Tareran. Lipan dan para Tonaas
Minahasa bahu-membahu menghalau penyerbuan dari Suku Mongondow tersebut. Pada
waktu itu di daerah sebelah Barat Kuntung Tareran banyak terdapat Pohon Seho yang
besar-besar yang oleh penduduk dan para tonaas serta pengikutnya pohon tersebut isinya
dimbil untuk membuat Sagu sebagai bekal makanan dalam peperangan.

Dalam pertempuran antara Minahasa dan Mongondow, digunakn untuk tempt berlindung
para Tonaas dn pengikutnya. Begitu juga Lipan, pohon seho bekas mengambilan Sagu itu
digunakan oleh Lipan untuk bersembunyi menunggu kedatangan Konimpis. Ia memilih
pohon seho dengan jalan yang dahulu sering digunakan oleh Konimpis. Lipan yakin bahwa
Konimpis akan menggunakan jalan ini. Dari pesuruh (mata-mata) yang dikirimkan oleh para
tonaas Minahasa ke daerah markasnya Mongondow yang ada di Pinamorongan, bahwa
gerakan dari orang-orang Mongondow untuk menyerbu ke pedalaman Minahasa melalui
Kuntung Tareran sudah semakin dekat. Sambil menunggu kedatangan adiknya tersebut,
Lipan masuk ke dalam pohon seho dengan memegang parang (santi). Tak beberapa lama
kemudian orang Mongodow tiba. Lipan merasakan bahwa pohon seho tempat dirinya
bersembunyi tiba-tiba bergoyang. Ia mengetahui bahwa Konimpis sedang menginjakkan
kakinya di atas pohon seho, tiba-tiba Lipan mengayunkan parangnya ke kaki adiknya
Konimpis. Karena kesaktian Konimpis, kaki Konimpis tidak tertebas melainkan hanya tulang
kakinya saja yang patah. Melihat adiknya roboh kesakitan, Lipan lalu merasa tidak tega
untuk membunuh saudara kandungnya sendiri. Lipan berniat untuk meninggalkan Konimpis
begitu saja tetapi Konimpis memohon kepada kakaknya untuk menolong dia karena
Konimpis tak bisa lagi berjalan. Lipan lalu menurut apa yang diminta oleh adiknya. Lipan lalu
memopong adiknya dengan punggungnya sambil menuruni bukit.

Di tengah jalan timbul niat jahat dari Lipan untuk menjatuhkan Konimpis ke jurang. Niat itu
lalu diwujudkannya manakala pada waktu ia menuruni bukit, terdapat jurang yang sangat
terjal. Ia lalu melemparkan Konimpis ke dalam jurang itu. Karena begitu kerasnya tubuh
Konimpis terhempas di dasar jurang menyebabkan debu-debu berterbangan. Melihat hal
tersebut, Lipan menganggap bahwa adiknya Konimpis telah mati. Tapi tak beberapa lama
kemudian Lipan terkejut mendengar adiknya memanggil untuk meminta tolong. Melihat
adiknya belum mati juga, lalu Lipan menolong adiknya keluar dari jurang tersebut. Lipan
mencari akal bagaimana membunuh adiknya secara tidak langsung yang mempunyai
kesaktian tak jauh bedanya dengan dirinya tanpa melalui tanganya. Pada saat mereka
melewati sebuah sungai yang banyak terdapat batu-batu yang besar, Lipan melanjutkan
aksinya untuk membunuh Konimpis. Pada saat dari atas tebing Lipan melihat sebuah batu
yang besar di sungai, ia lalu menjatuhkan adiknya ke arah batu tersebut. Saat tubuh
Konimpis menimpa batu itu, darahnya mengalir membasahi seluruh sungai sehingga sungai
tersebut bewarna merah. Inilah cikal bakal nama dari Sungai Lelemak yang asal kata dari
“ Lema’ ” yang artinya warna merah yang keluar bila mengunyah buah pinang.
Selanjutnya setelah tubuh Konimpis menimpah batu dengan keras disertai banyaknya ia
mengeluarkan darah, akhirnya Konimpis menjadi lemah dan sekarat. Melihat keadaan
adiknya sudah diujung kematian, Lipan merasa menyesal, ia mengangkat tubuh adiknya
untuk dibawah pulang kembali ke arah Kuntung Tareran tempat mereka dahulu mengangkat
sumpah untuk saling berperang.

Setibanya di atas gunung Tareran akhirnya diujung ajal Konimpis diadakanlah perjanjian
diantara mereka berdua dengan berpesan bahwa pertikaian dan pemusuhan tidak dapat
menyelesaikan masalah dan hanya menimbulkan kerugian dan penyesalan di kemudian
hari. Dan untuk menghentikan pertikaian yang berlangsung antara mereka berdua dan
pertikaian antara Tou Minahasa dengan orang-orang Mongondow, maka disepakati
ditetapkanlah batas daerah masing-masing yaitu perbatasan disungai besar (sekarang
sungai Poigar) setelah sungai besar sebelumnya (Sungai Ranoyapo) yang waktu itu menjadi
perbatasan antara kedua suku tersebut. Itulah batas antara Kabupaten Minahasa (sekarang
daerah Kab Minahasa Selatan) dengan Kab. Bolaang Mongondow hingga sekarang ini.
Setelah kematian adiknya Konimpis, Lipan lalu mencari tempat yang cocok untuk
menguburkan Konimpis adiknya. Setelah ditemukan maka Lipan menguburkan Kolompis di
tempat yang sekarang disebut Kobong Tinanak (Kebun Tinanak). Kata “Tinanak” berasal
dari kata “Tinanaan” yang berarti “tempat kuburan” dari Konimpis. Setelah Konimpis
dikuburkn, Lipan merasa sangat bersalah dan dan menyesal. Ia sadar dan ingin merubah
sikapnya. Karena penyesalannya tersebut, sudah berhari-hari ia tidak makan dan minum.
Pada saat tubuhnya sangat lelah dan haus, ia melihat ada seorang anak kecil sedang
mengambil air nira (Batifar Saguer/kumeet) ia memohon agar anak tersebut memberinya
minum saguer. Melihat yang meminta itu adalah Lipan yang didengarnya adalah seorang
yang jahat dan pemakan manusia, anak itu menjadi takut dan kemudian ia turun melalui
batang daun aren (akel/seho) yang menjulur ke arah telaga (kolam). Melihat anak itu
menjatuhkan diri ke dalam telaga, Lipan lalu memasuki telaga tersebut dan menghampiri
tempat dimana anak itu jatuh untuk menolongnya. Tetapi tiba-tiba anak muncul dari dasar
sungai dan menusuk perut Lipan dengan kolombik (Keong) yang tajam ujungnya yang ia
ambil dari dasar sungai Lipan tak menyangka ia akan ditusuk oleh seorang anak kecil
dengan keong yang dapat menembus kekebalan tubuhnya yang lagi lemah karena sudah
berhari-hari tidak makan dan minum. Akhirnya perut Lipan terburai keluar dan mati ditelaga
itu.

Pembuktian bahwa cerita legenda tersebut pernah hidup, terlihat pada batu yang dikenal
oleh penduduk desa Rumoong-Lansot dengan nama “KOPAT LIPAN” yang artinya
langkah kaki Lipan yang berbentuk seperti jejak kaki dengan ukuran besar yang lokasinya
disekitar sungai (Kali/kuala) Memeak di perbatasan wilayah kepolisian Desa Lansot dan
Rumoong Atas sekarang. Juga Batu Konimpis di perkebunan yang disebut Kebun
Konimpis wilayah kepolisian Desa Wiau Lapi. Itulah akhir cerita perseteruan antara Lipan
dan Konimpis yang diceritakan oleh orang-orang tua dahulu. Walaupun banyak versi yang
berkembang dan penuturannya saling berbeda, tetapi inti ceritannya adalah sama yaitu
terjadinya sumpah antara kakak beradik yang menjurus pada pembunuhan terhadap
sesama saudaranya sendiri.

=================
KISAH PERTEMPURAN MINAHASA & MONGONDOW
DI PEGUNUNGAN TARERAN

Dikisahkan pada masa orang-orang Mongondow memperluas wilayahnya ke daerah selatan


Minahasa, para tonaas-tonaas suku Minahasa merasa tergerak hatinya untuk membantu
dan mempertahankan wilayah nenek moyang turun temurun. Untuk itu para tonaas-tonaas
mengadakan musyawarah di Watu Pinawetengan, daerah sekitar kaki gunung Soputan.
Musyawarah yang dilakukan oleh para tonaas Minahasa ini adalah untuk menyusun strategi
dalam menghalau ekspansi orang Mongondow yang sudah menguasai wilayah sebelah
barat Kuntung Tareran.

Untuk mempersiapkan rencana menghadang (mataranak) suku Mongondow ini agar tidak
memasuki wilayah pedalaman Minahasa, maka dikirimlah 3 Tonaas yang mempunyai
keahlian masing-masing. Ketiga tonaas itu adalah :

Tonaas Mamarimbing dikenal dengan tonaas yang ahli burung di kalangan para tonaas
Minahasa pada waktu itu. Ia dapat menterjemahkan suara burung khususnya burung
Manguni (Warak malam) dan burung-burung lainnya seperti burung Titicak, Srigunting,
Tangka lioliowan, dan lain-lain.
Tonaas Palandi adalah seorang yang ahli memanggil burung (sumoring) dan menirukan
suara burung (soring).
Serdangkan Tonaas Sage adalah seorang yang ahli memasang patok (pasek). Sebab
pada saat dahulu untuk memasang patok baik untuk tempat pemukiman, batas kebun dan
wilayah tidak boleh sembarangan dan harus mengetahui tata letaknya.

Adapun tugas mereka adalah untuk menyelidiki daerah sekitar pengunungan sebelah barat
desa Lansot ( Kuntung Tareran sekarang) dalam mempersiapkan strategi perlawanan
terhadap orang-orang Mongondow yang sudah siap menyerbu ke daerah pedalaman
Minahasa. Orang-orang Mongondow pada waktu itu sudah menetap di daerah sebelah barat
kuntung Tareran dan mendirikan markasnya di daerah yang disebut sekarang desa
Pinamorongan. Ketiga tonaas itu dizinkan oleh penduduk desa Lansot pada waktu itu untuk
menetap sementara di Lowian, yaitu nama sebuah pohon besar yang berada di bagian
sebelah barat kampung Lansot, dan disebelah timur kuntung Tareran.

Setelah mempelajari dengan seksama lokasi yang cocok untuk menjadi medan
pertempuran, maka disimpulkan bahwa di kaki bukit di sebelah barat (berdirinya desa
Wuwuk sekarang) adalah tempat yang sangat ideal (lokasi yang cocok/kasama’an) untuk
mengepung dan menghadang (mataranak) usaha Mongondow memasuki pedalaman
Minahasa. Daerah itu di dikelilingi / diapit oleh bukit-bukit dan pohon-pohon yang lebat.
Setelah berhasil memetakan dan menyelidiki daerah sekitar puncak bukit tersebut, maka
mulailah berdatangan para tonaas dan pengikut-pengikutnya (warani/waraney) di daerah
sekitar kuntung Tareran untuk berperang (maseke’) melawan orang Mongondow.

Tak beberapa lama kemudian datanglah orang-orang Mongondow dan melalui deerah yang
ditetapkan untuk menjadi tempat penghadangan. Tiba-tiba dengan suara teriakan (bakuku)
menyerbulah para warany/waraney yang dipimpin oleh para tonaas dari segala penjuru bukit
dan mengepung tempat tersebut. Maka pecahlah pertempuran antara tou Minahasa dengan
orang-orang Mongondow disebelah barat kaki gunung Tareran yaitu di lokasi tempat
berdirinya desa Wuwuk kecamatan Tareran sekarang. Pertempuran berjalan tak seimbang,
dimana tou Minahasa (warani/waraney) kekuatan pasukannya kecil apabila dibandingkan
dengan orang-orang Mongodow yang datang dengan kekuatan yang besar. Tetapi dengan
pengenalan lokasi yang baik dan semangat yang tinggi para Warany/ waraney dengn
pimpinan para Tonaas yang gagah berani, dapat memporak-porandakan orang-orang
Mongondow dan akhirnya orang-orang Mongondow yang selamat kembali mundur ke
markasnya Pinamorongan.

Nama desa Pinamorongan konon menurut penuturan berasal dari jenis topi (porong) yang
biasa dipakai oleh orang-orang Mongondow pada waktu itu yang modelnya seperti Kopiah
sekarang. Begitupun nama desa tetangga Pinamorongan yaitu desa Kapoya yang konon
juga berasal dari kata Kopiah yaitu jenis topi (porong) yang selalu dipakai orang-orang
Mongodow di daerah itu. Sebab pada masa dahulu daerah Pinamorongan dan Kapoya
(kedua desa merupakan wilayah Kec. Tareran) adalah wilayah yang telah dikuasai oleh
orang-orang Mongondow.

Setelah orang Mongondow dapat dipukul mundur untuk sementara, pejuang Minahasa
kembali ketempat pertahanan mereka dibukit dengan sisa kekuatan yang sudah jauh
berkurang serta sangat kelelahan. Dan untuk menghadapi serbuan orang Mongondow
selanjutnya yang mungkin datang dengan kekuatan yang sangat besar, para Tonaas tak
dapat lagi mengharapkan bantuan dari pedalaman Minahasa. Untuk itu para tonaas lalu
mengadakan musyawarah di puncak bukit untuk menyusun strategi berikutnya.

Melihat sisa kekuatan pasukan Minahasa yang terdiri dari para waraney dan warany
(prajurit) yang sudah berkurang dan kelelahan, akhirnya muncul suatu pemikiran dari para
Tonaas bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi serbuan berikutnya dari orang-orang
Mongondow adalah dengan cara menakutinya. Caranya adalah dengan mengambil batok
kepala/tengkorak (talang) korban-korban orang Mongondow yang sebagian besar lehernya
tertebas (popongkolen) di daerah pertempuran yang hanya ditinggalkan begitu saja. Konon
bahwa senjata yang dipegang oleh para Tonaas dalam pertempuran tersebut bukan berupa
tombak atau pedang, melainkan hanya memakai 3 batang lidi hitam yang berasal dari pohon
Nira (akel /Seho) yang diikat menjadi satu, serta batang tawaang yang diapakai sebagai
perisai. Dalam setiap tebasan lidi yang dilakukan oleh para Tonaas, maka kepala orang
Mongodow yang menghadang akan tertebas. Itulah sebabnya dalam pertempuran tersebut
banyak sekali kepala orang Mongondow yang tertebas.

Tonaas Sage yang merupakan ahli patok (pasek) ditugaskan untuk membuat dan menanam
patok-patok disepanjang leher bukit Kuntung Tareran dengan cara dijejerkan lurus agar
dapat dilihat dari arah sebelah barat datangnya sebuan Mongondow berikutnya. Sebelum
patok-patok tersebut di pasang, Tonaas Palandi dengan keahliannya meniru suara burung
(soring) lalu memanggil (sumoring) burung Manguni untuk memberi tanda yang akan
diterjamahkan oleh Tonaas Mamarimbing. Setelah Burung Manguni datang dan
memberikan tanda yang baik, maka mulailah Tonaas Sage memasang patok-patok (pasek)
disepanjang bukit itu. Setelah patok-potak selesai di tanam, maka kepala-kepala orang-
orang Mongondow yang tertebas sebatas leher (popongkolen) dalam pertempuran yang lalu
mulai ditancapkan di atas patok. Setelah pekerjaan pemasangan kepala orang Mongodow
tersebut selesai, maka para waraney dan warany yaitu sisa kekuatan pasukan Minahasa
disebarkan disepanjang bukit Tareran sambil bersembunyi.

Tak lama kemudian datanglah orang-orang Mongondow dengan kekuatan penuh dengan
keyakinan bahwa kali ini mereka pasti dapat merebut bukit pertahanan orang-orang
Minahasa yang dianggapnya sudah jauh berkurang karena pertempuran yang pertama.
Pada saat mereka melewati lokasi pertempuran (pangetokolan) yang pertama, bau busuk
bangkai manusia menyelimuti daerah itu. Menurut penuturan orang-orang tua bahwa konon
desa Wuwuk yang berdiri kemudian di tempat itu selain namanya diambil dari nama pohon,
juga berarti membusuk.

Sketsa Pertempuran Minahasa – Mongondow (Gbr.SP.2007)

Setelah melewati daerah tersebut Orang Mongondow melanjutkan perjalanan mereka


mendekati bukit. Sepanjang perjalanan ini mereka tidak mendapat perlawanan dari orang-
orang Minahasa. Hal ini menambah keyakinan mereka bahwa orang-orang Minahasa sudah
mundur atau lari melihat kekuatan orang Mongondow. Mereka terus bergerak ke kaki
kuntung/bukit Tareran. Tiba-tiba mereka terkejut mendengar teriakan (kumeret/bakuku) dari
seluruh penjuru bukit seperti yang mereka dengar pada pertempuran yang pertama. Mereka
melihat bahwa pasukan Minahasa justru kekuatannya lebih besar dari kekuatan semula
sebab disepanjang leher bukit hingga di puncak (purukna) bukit berjejeran orang-orang
Minahasa yang sedang menanti dan siap menyambut kedatangan mereka. Orang
Mongondow tidak mengetahui bahwa yang mereka lihat itu sebagian besar merupakan
kepala-kepala teman-temannya sendiri yang tewas dalam pertempuran pertama yang
kepalanya ditancapkan di atas patok disepanjang pegunungan. Melihat hal tersebut, orang-
orang Mongodow mulai gentar dan ketakutan sebab pada pertempuran pertama walaupun
orang Minahasa dengan kekuatan yang jauh lebih kecil dapat memukul mundur mereka,
apalagi sekarang dengan kukuatan yang lebih besar. Melihat situasi yang tidak
memungkinkan tersebut akhirnya orang-orang Mongodow mundur dan sebagian pontang-
panting melarikan diri (matewo-tewo).

Pada pertempuran selanjutnya orang-orang Mongondow kemudian dapat dipukul mundur


dari markasnya di Pinamorongan hingga ke sungai Ranoyapo yaitu sungai di daerah
Amurang diperbatasan anatara Desa Rumoong Bawah dengan Buyungon sekarang.
Sedangkan pada perang antara Minahasa dan Mongondow yang kedua, orang-orang
Mongodow akhirnya dapat dihalau hingga ke sungai besar berikutnya yaitu sungai Poigar.
Di daerah itulah para tonaas mendirikan barikade dari bambu (Bulu/ tambelang) disepanjang
garis sungai. yang hingga sekarang ini dapat dilihat di daerah Poigar dimana terdapat
rumpun/pohon bambu yang berjejeran lurus bekas barikade orang Minahasa dahulu. Itulah
hingga sekarang sungai Poigar menjadi tapal batas antara Kab. Minahasa khususnya
Minahasa Selatan dan Kab. Bolaang Mongondow.

Dari kisah tersebut di atas yaitu dari peristiwa berjejernya kepala orang Mongondow yang
disebut “Rinareran e Mongondow ” yang kemudian kata itu digunakan sebagai nama bukit
terjadinya peristiwa tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Kuntung Tareran. Asal
kata dari nama Tareran yang menurut cerita orang-orang tua dahulu berasal dari kata
“Rinareran” yang berarti berjejer, berbaris, dalam bahasa Melayu Manado disebut
Tareirei yaitu berjejernya/ berbarisnya (tareirei) kepala-kepala manusia disepanjang
Kuntung (bukit/gunung) Tareran..

Itulah akhir cerita asal-usul nama Tareran yang diceritakan turun-temurun yang dalam
penuturannya terdapat berbagai versi dan alur cerita. Cerita Legenda Lipan dan Kolimpis,
berkaitan erat dengan cerita asal-usul nama Tereran yang muncul disaat ekspansi orang-orang
Mongondow ke wilayah pedalaman Selatan Minahasa.

Lagu :
KUNTUNG TARERAN
Cip. Piet Sendow

Angkuntung Tareran, Awean Ruanga Roong


Serua roong itu meruru,
Tanu rua metuari royor
Ngaren e rua roong itu Rumoong-Lansot
Amangembitu talus aruyen,
aruyen wo kasaleen royor
Ameko na e rua roong itu e royor
Kita makere rua royongan si tuunan wo memeak royor.

================
Mengenang Kejadian Bencana Alam.

GEMPA BUMI
( Mangerok/ Tanah Goyang )

Beberapa bencana alam pernah menimpa penduduk desa Rumoong-Lansot khususnya penduduk Minahasa.
Bencana yang terbesar adalah bencana gempa bumi (mangerok/tanah goyang) yang terjadi pada tanggal 8
Pebruari 1845 yang meluluh-lantakkan pemukiman penduduk.. Beberapa cerita orang-orang tua dahulu
mengisahkan bahwa gempa bumi (Mangerok) yang terjadi itu berlangsung berkepanjangan selama seminggu
lebih yang mengakibatkan banyak rumah yang roboh dengan korban-korban berjatuhan diseluruh tanah
Minahasa. Penduduk tidak dapat memasak (masiwo/matiro) di dalam rumah sehingga harus menanak nasi
dan lauk di luar rumah dengan menggunakan bulu/tambelang (winowoyan yaitu sejenis bambu untuk
memasak), Apabila memasak pada periuk/belanga (belangang), belanga harus digantung dengan
menggunakan tiang yang ditancapkan ke tanah.

Dengan kejadian tersebut maka pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menganjurkan kepada penduduk
agar tidak lagi mendirikan rumah panggung (rumah adat Minahasa). Reruntuhan rumah panggung inilah yang
telah menimbulkan banyak korban jiwa dikalangan penduduk pada waktu itu. Dengan anjuran yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda tersebut, mulai saat itu, penduduk Minahasa termasuk penduduk
desa Rumoong dan Lansot mulai jarang mendirikan rumah panggung dan hanya mendirikan rumah-rumah
yang lebih kecil untuk tempat tinggal mereka.

===========

LETUSAN GUNUNG SOPUTAN


Sumber Kesuburan Tanah Minahasa

Di desa Rumoong-Lansot dikenal dengan pemandangan alam yang indah karena dari kejauhan dikelilingi oleh
gunung-gunung yang nampak jelas terlihat dari Desa Rumoong-Lansot. Disebelah selatan desa Rumoong-
Lansot menjulang dengan megah Gunung Soputan dan gugusan anak-anak gunungnya. Di sebelah Timur
agak ke utara terlihat Gunung Lokon dan anak-anak gunungnya bagaikan sepasang anak kembar yang
sedang bergandengan tangan. Begitupun disebelah timur agak keselatan terbentang pengunungan
Lengkoan yang hijau kebiru-biruan. Di sebelah Barat terdapat perbukitan atau disebut Kuntung Tareran
dengan nuansa magisnya seperti sedang melindungi desa Rumoong dan Lansot dari terjangan angin Barat
(Awoat), serta di sebelah barat agak ke selatan terdapat perbukitan Makareak dengan pohon-pohon yang
berjejeran dan berbaris rapi seperti para warany/waraney yang siap menghadapi musuh.

Pegunungan Soputan dilihat dari Desa Rumoong & Lansot (Foto SP 2016)
Tetapi keindahan itu akan sirna apabila alam berkata lain. Pada sekitar akhir abad 19 dan awa1 abad 20
(kira-kira Tahun 1936), pernah terjadi suatu peristiwa di Minahasa yaitu meletusnya Gunung Soputan.
Letusan Gunung Soputan pada waktu itu sangat dasyat yang menyemburkan bebatuan kerikil hingga ke desa
Lansot. Kejadian tersebut membuat panik dan ketakutan penduduk desa Lansot pada waktu itu. Dan untuk
menghindar dari terjangan batu, penduduk desa Lansot terpaksa mengungsi ke Desa tetangga Wiau Lapi,
dimana perkampungan tersebut telah ditinggalkan penduduknya yang menyingkir ke desa tetangga lainnya
yaitu Talaitad.
Peristiwa ini diabadikan dalm sebuah lagu yaitu :

SI KUNTUNG ANU MEKO

Si kuntung anu meko, menginde-ngindeke


Waya se tow maka licir, tumintas inowak 2x

Horas endow o ntaun, lumangkay ke’ waya


Tanitu kai katowanta, lumangkoy ke’ waya 2x

Ane itu kita imbaya, tumanei-tanei


Maler walun ini mukur, mento akar nure 2x

Horas endo on bengi, mantangai si serap


Aku makataney oka, se poow an tayang 2x

Hampir satu abad kemudian yaitu tahun 1986, terjadi pula letusan Gunung Soputan. Pada tahun awal
Soputan menyemburkan bebatuan, debu dan larvanya, memang keindahan terpancar dari jauh dan dinikmati
oleh masyarakat desa seperti melihat kembang api yang indah pada malam hari. Hal ini bisa dimaklumi sebab
penduduk sudah terbiasa melihat semburan Gunung Soputan yang telah beberapa kali terjadi tapi dalam
skala yang kecil. Tetapi pada keesokan harinya keindahan itu tiba-tiba berubah. Penduduk dikejutkan dengan
jatuhnya material gunung berupa pasir dan debu diseluruh desa dengan jumlah yang tidak seperti biasanya.
Langit menjadi gelap dan matahari tidak kelihatan sinarnya. Di siang hari penduduk harus memasang lampu.
Semua jendela dan lubang ventilasi di dalam rumah ditutup karena debu berterbangan mengotori isi rumah.
Ketebalan debu di atap rumah mulai menguatirkan penduduk karena dapat menyebabkan ambruknya atap
akibat beratnya debu yang menempel.

Kejadian tersebut berlangsung hampir seminggu tetapi tidak menimbulkan korban jiwa dikalangan penduduk.
Akibat semburan material Gunung Soputan tersebut, banyak tanaman baik di pekarangan rumah maupun
yang ada dikebun menjadi rusak bahkan mati. Selama beberapa bulan penduduk tak dapat menanam karena
tebalnya pasir yang menutupi lahan perkembunan.

Dengan kejadian tersebut penduduk desa Lansot dapat mengambil hikmahnya. Sebab kesuburan tanah di
desa Lansot dan umumnya tanah Minahasa merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya yang
diberikan melalui material dari letusan gunung yang ada di tanah Minahasa.

==============
LAMPIRAN LAGU-LAGU TUA

KAKANTAREN E TOOW IN DIOR


RUMAYO WO NUMANI

DAFTAR LAGU

1. Mande Susah O Wendu. 21. Mayo E Karapiku, Inang-Amang Waya


2. Tano Rano Maroyong 22. Mayo E Sobatku
3. E Poow Kaitu Maka Tekur Oka 23. Tow Berdosa
4. Karetuk Rondor 24. Oh Inang-Amangku, Haleluyah
5. Opo Wananatas 25. Lalan Pawayanta
6. Poow Waya Am Paumungan I Tuhan 26. Terima Kasih Asi Allah
7. Endo I Yasa 27. Ase Endo Tani Yasa
8. Asi Endo Mangewisa 28. Ane Itu E Poow Ku
9. Sawo Aku Lume Lempar 29. Pada Pagi Tuhan Hua
10. O Inang – Amangku 30. Tahun 1842
11. Sa Aku Wo Tumaney 31. Hai Isi Seg’nap Alam
12. Pira Kamo En Tonaas 32. Hai Isi Dua Neg’ri Rumoong-Lansot
13. Kuntung Tareran 33. Siapa Serta Dengan Allah
14. Si Kuntung Anu Meko 34. Kami Orang yang Berdosa
15. Sumirik Se Inang-Amang Waya 35. Sawo Aku Tanuke Se Burung
16. Ampuruk Si Kuntung Tareran 36. Ore Mama Si Anak Yow
17. Amang Wangko 37. E Mukur Ku Ya Anuner
18. Toyaang Tare Tumow 38. Amang Kasuruan
19. Karapi Ku Masehi 39. Rumoyor Wo Kita
20. Mayo E Karapiku
1. TANU RANO MAROYONG

Tanu ing kakeli ndano maroyong,


Ang kuntung wo rumoyong al
Mengenet-ngenet raca maento,
Maroyong endo wengi
***
Tanitu nupus inang wo amang,
Tanitu kai enupus i Allah
Si Amang ta an Sorga,
Si Amang ta an Sorga

Laksana air degan limpahnya,


Mengalir dari gunung-gunung
Selalu dengan tidal putusnya,
Mengalir siang malam
***
Demikian kasih ibu-bapa,
Begitupun kasih Tuhan Allah
Kasih Bapa di sorga,
Kasih Bapa di sorga.

===========

2. E POOW KAITU MAKA TEKUR OKA

E poow Kaitu maka tekur oka, Wona ree rawey-rawoy oka


Kaitu rawoi oka e poow ku, Ambisa ree si Kalaleinu
Si kapaarnu wo ma arui-arui co, Pangeren maai ang karapi nu.

Sakamo rona oka mewali, Mewali wali esa pamale


Karengan kamo maupu-upusan, Mengelesengan masaru tawoyen
Wo masule-sulean wo maaru-aruyen, Situ sama wo pakakamangen

Poow-poow waya am balesa, Mengelengan masaru im pamale


Memang doo keli en sangkumen, Se kaaruyen wo kawenduan
Karengan way nitu mento sangkueman, Ana itu masaba-sabar waya.

Sakita sumangkum kawenduan, Wo se waya-waya pangepean


Raca rona kita maruimambang, Kumapa kita malupa oka
Karengan rumangat si Amang Kasuruan, Si maarui wo maturuk lalan.

=============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 214


3. KARETUK RONDOR

Karetuk rondor karetuk sama, raatja keli nang kayobaan


Karetuk rondor timboyan sama, sia maatas ampamulengen

Sia maatas ampamulengen, raitja kawisa sia sumeleng


Papaan keli nang kayobaan, siowakna ke penere-nere

Siawokna ke penere-neren, raitja masere se tow walina


Se tow tanitu empasambean-sambean, palilin na ko en sama-sama

Palilin na ko ensama-sama, ayen in bendu ko selenganna


Sia tumayang kalupaana, imbaya nupusnu anesia.

Embaya upusmu ane sia, raiyo kawisa sia sumeleng


Mande ko wendu rayo serena, ko talicurana tayanganan.

***

Dimana dapat sobat yang tulus, Tak dapat banyak di dunia ini
Siapa dapat janganlah boros, adalah intan permata ini

Adalah intan permata ini, siapa dapat beruntung ia


Karena sungguh didunia ini, sayangnya banyak sia-sia

Sayangnya banyaklah sia-sia, ingatkan diri terlalu amat


Janganlah harapkan pada dia, ia bencanalah sampai tamat.

Ia bencanalah sampai tamat, mengajar orang berhati-hati


Janganlah sobat yang amat rapat, jadilah seteru sampai mati.

===========

17. AMANG WANGKO

Amang Kasuruan, Amang Wangko, Talus tu pus ase cita imbaya


Ane itu e poow karapi, mayo kita rumayo
Kita runayo endow o mbengi
Waya se tow siak wo se lengei, Rumayo si Amangta 2x

Inang-amang wo set tare tumow, Mewali-wali kita numani


Tuama karapi se wewene, matua wo i toyaang
Karengan rumayo wo numani

=============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 215


8. ASI ENDO MANGEWISA

Asi endo mange wisa, kita imbaya e poow


Tumela ung kayobaan, ase poow karoong
***
Situ wo maale-aler, walun paalin ta mange
Andior i kasuruan, amang ta karondoran.

Kita tanu ke’ manangkey, ang kayobaan yasa


Endoong akar i nure, warengan ta imbaya.
***
Sapa-sapa ane cita, raica wana empa’linta
Kasamaan i nate ta, mamuali walunta.

Roong warenganta mange, rayo wana masusah


Rayo kawisa ma ame, masale-sale oka.
=====
Aku ini orang asing, asing dalam dunia
Manusia masing-masing, akan lalu hidupnya
***
Pindah dunia sia sia, begitupun harta benda,
Tapi jiwa akan dapat kehidupan akhirat.

Waktu mana aku pindah, dari dunia yang fana


Melayang dengan malaikat, pergi tempat yang baka.
***
K’situ aku akan duduk, serta dengan mukhalisku
K’situ aku akan rasa, s’lamatlah bersentosa.
===========

7. ENDO IYASA

Asi endo iyasa, endo pataneyanta,


in susah wo naruyen, ai pesungkul
e cita imbaya, taan se poow-poow,
sobat e cita tumelaawen cita
Ya talus palelon ta imbaya
Taan tumambisam karu, ai tantuman
Ase cita raca wana tou limawang.

Mande wo inta nitu e soba two karapi,


Tioo bimbang nate matuney si Tuhan
Kawasa, sia nimee,
sia kaai nimindo.
Ngarana em parayo, parayo ta imbaya
Ya ulit ia sia karu eng kawasa,
Maator se rica imbaya raca wana toro.
============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 216


6. POOW WAYA AM PAUMUNGAN I TUHAN

Poow waya am paumungan i Tuhan


Milek ange i lalan e serem kita,
Raca kua ree ke e lalan.

Tanitu pangileken Injil a cita


Sawo rona esa lalan wo paeman,
Worona kita maka ere ing kamang.

Tambisa nitu wo rona mamuali


Itu karengan mamuali a cita,
Sa kita masale kumiit si Tuhan.
=====
Dosaku yang banyak hilangkan hal suci
Olehnya menggelap hidupan yang suci,
Hendaklah sembahyang mendapat menanglah.

===========

9. SAWO AKU LUME LEMPAR

Sawo aku lume lempar,


tumelew tumaya-tayang
Papaan yo ka popoanku,
Waya se pasangkumen.

Taan aku rumayo ke’,


si Amang Kasuruan
Papan raca i waya Na,
aku mamuleng imbaya.

Keter ami e nateku,


sa aku karapi Na,
Siake mawee aruyen,
sa aku ang kawenduan.

Se penamun paandean,
katuusana si Apona,
Tanitu kai kita in touw,
ca toro lupa si Apota.

=========

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 217


12. PIRA KAMO EN TONAAS
Cip. Sde Velden Capellen (1851-1856)

Pira kamo en tonaas, Hale…..


Telu kamo en tonaas, Hale …..
Telu kamo en topoken
Wo ragien tanu serak

Hale-haleluyah, Hale-haleluyah.

============

10. O INANG AMANGKU

O inang amangku, seren wo teiran nai so anak yow


Mande si anak yow, talus keli memak kamesean
**Ampungenai kami wo mangilek kamang
Yoreka kami mate in dosa.

Amang Kasuruan, loindongen wo maai kami mbaya


Mande kami talus, keli kamesean asi Amang.
**Ampungan nai kami, wo pakakamengan,
Situ kami arui akar i nure.

Toyaang tare tumow, ma linga mange se matua yow


Lumoo-loorane asi inang asi amang
**Situ kamo lower, wo pakakamangen
Asi roong pakanroan yow

Ya papa dan mama ingat anak kamu jangan biar,


Sungguh anak kamu sudah banyak kali buat salah
**Tolong minta berkat akan anak kamu
Janganalah jatuh ke dalam dosa.

Ya Tuhan Allahku dengarlah kiranya sembahyangku,


Ya Tuhan Allahku dengarlah kiranya sembahyangku,
** Tolong ya Tuhanku, tolonglah anak-Mu
Janganlah jatuh ke dalam dosa.

===========

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 218


11. SA AKU WO TUMANEY
Versi Tua

Sa aku wo tumaney, waya ngkameseanku


Tumiis endano mberenku, talus wendu nateku.

Ya karu tambisanem, katowanku ntarepe,


Cawana eng kaaruyen, ore weta e karu.

Sa aku wo tumaney, lalan winayaanku


Karaneyanku atarepe, engkameseanku

** O kasuruan ampengen se waya-waya,


Kameseanku tumena se kakeleku.

============

14. SI KUNTUNG ANU MEKO

Si kuntung anu meko, menginde-ngindeke


Waya se tow maka licir, tumintas inowak 2x

Horas endow o ntaun, lumangkay ke’ waya


Tanitu kai katowanta, lumangkoy ke’ waya 2x

Ane itu kita imbaya, tumanei-tanei


Maler walun ini mukur, mento akar nure 2x

Horas endo on bengi, mantangai si serap


Aku makataney oka, se poow an tayang 2x
**
Penghidupan manusia sunggu sia-sia
Dunia persinggahan saja, ku tinggakan dia 2x

=============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 219


18. TOYAANG TARE TUMOW

Toyaang tare tumow, matua waya kemua


Terima kasih keli, asi amang talus topus.

***
Mangilek-mangilek, paka lowiren waya
Mangilek-mangilek, paka kamangen waya

Toyaang pe aku wo pangebow-ngebow era


Akar ni matua, raica ree yakar era

***
Mangilek-mangilek, paka lowiren waya
Kumaset-kumaset, wayaan e tow lengei.

==============

18. MAYO E KARAPIKU INANG AMANG WAYA

Mayo e karapiku, Ianang amang waya


Karapi se tare tumow, mai luminga waya.

O inang amang waya, wo se tare tumow


Mai kita mewali-wali, ambale pomungan.

Injil i Tuhan Yesus, Mawee popokei


Pakasa se tow berdosa, rona empngan na.

Sa si sei e mangaku, ing kamesean na


We an oka ka ampungan, se mauli-ulit.

============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 220


19. MAYO E SOBAT KU

Mayo e sobatku, mewali mangen sama


Mange luminga im popokei, Situ kita eng kamangen.

Sa kita mange ambitu, ca toro mawera-wera


Karengan lekep en deken, situ ampungan en dosa.

Sa maai em pengepean, ca toro wo maka tekur


Awes tare sumombayang, situ maka era arui.

Sa in tow makere kasiaan, pe’ rona kuangan ing kamang


Papan waya ini itu, cawana em paalinta.

Mayo kita e karapi, esa lalan wo pa eman


Karapi mo lolit en deken, situ siak akar i nure.

Sa si poow pa welesan, ca toro pa suliin


Sarakan ta waya mange, asi Amang Kasuruan.

==========
23. TOW BERDOSA

Kita imbaya tow berdosa, Talus keli kamesean


Kita mengilek asi Tuhan, Ampungan ai waya kami.

Amang Kasuruan Wangko, teteranei waya kami


Sa kami ang kalembian, weenai keter a cami.

Tarenai kami Tuhan, Sa raca ang karondoran,


Tiow pawaya-waya kami, turuan lalan rondor.

Coupusai kami o Tuhan, ca masiri se matua,


Kami mangilek o Tuhan, ampungenei waya kami.

Sa kami raca masiri, se matua wo kekele.


Pedisenai kami Tuhan, wo turuan lalan sama.

Coupus ai kami o Tuhan, sapakah kami touw lengei


Lengei siowak wo paeman, we anai paeman kami.

============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 221


24. O INANG – AMANGKU, HALELUYAH

O inang, o amangku, Hale


Rumayo mange si Tuhan, Hale
Yoreka kamo mate karapi, ndosa akar i nure, Hale
Hale, Hale, Haleluyah.

Se toyaang tare tumow, Hale


Rumayo mange si Tuhan, Hale
Yoreka kamo mate karapi, ndosa tanu yaku, Hale, Hale
Hale, Hale, Haleluyah.

Mangalaun, manglitow, Hale


Masiri mange se matua ta
Situ kamo mpakatuan wo Pakalowiren, Hale, Hale
Hale, Hale, Haleluyah.

Karetuk wo se kabalei, Hale


Mewali mange en sama, Hale
Asi wale paumungan luminga in aisinauen, Hale
Hale, Hale, Haleluyah.

========

25. LALAN PAWAYANTA

Lalan pawayaan ta angkayobaan yasa


Keli susah o wendu, katowan susur nendo.

Mande susah o wendu, aku raica rumaimbang


Papaan kalekanku, karapi ku si amang

Karapiku si Amang alonindong wo mawali


Wa maturu ing kamang, keter wo kalowiren.

Si owak wo si mukurku, wangenku ane sia


Kater arun e nateku sa aku karapina.
***
Dengan Yesus saudara, aku jalan dalam t’rang
Damal duka sengsara, Ia yang b’ri senang.

Aku jalan sertanya, dalam dunia yang fana


Jalanku menujulah, surga tempat yang baka.

==========

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 222


27. ASE ENDO TANI YASA
(Ragam Mzm. 25)

Ase endo tani yasa, endo patanaeyan ta


Waya se aipesungkul ta, asi taun lumangkoy
Keli susah wo wendu, tamanei se waya-waya
Kita raca rumaimbang, ai tantunam ase cita.

Poow-poow wo karapi, tico talus masusah


Am papaan kalenkanta, Karapi ta si Amang
Maloindong wo mawali, akar wising katowanta
Sia kaai mee kamang, karapi ing kaaruyen.

Asi Amang Kasuruan, talus topus ambaya


Sia empangilekan ta, keter wo kalowiren
Wo mawee kaampungan, waya ing kameseanta
Situ kita maeman, mange mento karapina.

============

26. TERIMA KASIH ASI ALLAH


I CAUPUS AKU EMPUNG
( Ragam thl. 42)

Icaupus aiaku Empung lingan pangilekenku


Ampungen engka mesean pisinai emwenangku
Wenangku talus keli aku keli mesea’
Linganai pangileken ku le’nasen kamesean ku.

Terima kasih asi Allah, ena comape maai.


Sa kita imbaya tumanei, se poow rayo wia.
Ya karapi in bendu, wo maame a nate,
Taan tumambisam karu, ai tantu nam ase cita.

Asi endo mange wisa, kita imbaya e poow


Tumelau ing kayobaan, ase poow karoong
Situ wo maale-aler, walun paalin ta mange
Asi Allah karondoran, mange mento tampa loor.

Sayangkanlah aku Hua, dengar permintaanku.


Ampunilah salah jua, hapuskanlah hutangku
Sungguh hutangku besar, ku durhaka sebenar
Bapa dengar mohon aku, sucikanlah s’g’nap dosaku.

============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 223


28. ANE ITU E POOW KU

Ane itu e poow ku, tio makete-ketek reken


Am papan siang kawasa, maka teter se wayo touw.

Mayo e poow karapi, tumanei-tanei waya


Papan endo makasa, Kitai saru m’paputusan.

Se tow keli kamesean, ca masiri si Amang


Sina diam en tampana, asi api neraka.

Taan se tow maeman, ate monei wo ta lesen


Tinutulen en tampana, aruyen akar i nure.

Si apo ta Apo Yesus, an sorga wo tumayorai


Sia anak i Kasuruan, mangere se tow berdosa.

==============

31. HAI ISI SEGENAP ALAM

Hai isi seg’nap alam, puji hua siang malam.


Berbaktilah pada-Nya dengan nyanyi di muka-Nya.

Mari juga sobat kami, pergi masuk sama-sama


Dengar pengajaran Isa, itu kami dapat selamat.

Kalau kami pergi masuk, jangan dengan sia-sia.


Harus dngan seg’nap hati, itu dapat ampun dosa.

Kalau datang pencobaan, jangan tinggal murung-murung.


Minta doa bersembahyang, itu dapat penghiburan.

Kalau orang jadi kaya, jangan sebut ia berkat.


Karena sungguh sia-sia, barang apa ia dapat.

Orang buta berteriak, duduk di tepi jalan


Sambil minta kasihan-Nya, datang pada Maha Tuhan.

Selamat jalan hai saudara, engkau sambut selamat tinggal.


Meski sobat cerai jauh, siang malam jangan lupa.

============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 224


32. SIAPA SERTA DENGAN ALLAH

Siapa serta dengan Allah, ia hidup dalam t’rang


Meski rasa banyak susah, hatinya tidak bimbang.

Siapa serta dengan Allah, ia tahan dalam p’rang


Meski manis bujuk iblis, dilawannya t’rus menang.

Siapa serta dengan Allah, ia takut buat salah


Perkataan dan kerjanya, setuju Firman Allah.

Siapa serta dengan Allah, tulus dalam hidupnya


Bagaimana t’rang katanya, begitulah kerjanya.

Siapa serta dengan Allah, ia banyak hiburan


Karena tahu dengan tentu, ia ada milik Hu.

Jika kurang kebenaran, tanda jauh dari Allah


Jika kurang perdamaian, tanda jauh dari Allah.

Jika kurang kesabaran, tanda jauh dari Allah


Jika kurang mengampuni, tanda jauh dari Allah.

Jika kurang penghiburan, tanda jauh dari Allah


Jika kurang bersembahyang, tanda jauh dari Allah.

Hai Masehi ingatlah, tolan-Mu yang setia


Ia mati disalibkan, di negeri sia-sia.

Jangan mungkir Masehi, dari jalan yang benar


Jangan harapanmu itu, menjadi sia-sia.

Jangan harap pahala, dari dunia yang fana


Karena pahalamu ada, dalam surga yang baka

Jangan mungkir Masehi, dari Injil Almasih


Biar kalah cara dunia, asal menang di surga.

Hai kamu ibu-bapa, janganlah kamu lupa


Ajarlah Injil itu, pada anak-anakmu.

Tuhan sudah berpesan, “Jangan kamu takut,


Aku besertalah kamu, sampai putusan alam”.

=============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 225


33. AMANG KASURUAN

Amang Kasuruan, Kasuruan Wangko, Wukaan nai lalan wayaan nami


Pakulu-kulunai, paloindong-loindongen, Pekama-kamangen wayaan nami

Keli-kelianai, Wutu-wutulen nai


Embaya waya, kasaleen, kaaruyen enkatowan nami
Tawa-tawangenai, aki-akingenai embaya-waya
Kasaleen kaaruyen engkatowan nami, Pakatuan Pakalowiren.
***
Ya Bapa di Sorga, Bapa Maha Kuasa, Tunjukkanlah jalan bagi umat-Mu
Janganlah kiranya, b’rikan perlindungan, Curahkanlah berkat bagi umat-Mu

Curahkanlah berkat-Mu pada umat-Mu, ya semuanya


Penghiburan, sukacita di dalam hidup kami
B’ri pertolongan dan bombing kami, ya semuanya
Penghiburan, sukacita di dalam hidup kami
Panjang umur oleh berkat-Nya.

===========

34. KAMI ORANG YANG BERDOSA


CAMI WAYA TOU MESEAK

Cami waya tow meseak, maka keli mengasea’


Mangilek kami oh Empung, ampungenai mesea’ ku.

Sa aien impangepe’an tio’o mentok maka tekur


Mangilek ma ngale-ngaley wo makere ka aruyen.

I wangenku asi Empung si owak wo katowanku


Merot Amang maupusai wali cami ansendot Nu.

I caupusai oh Empungku lingan empanga leyanku


Ulit kamese’anku ami ampungen ‘nai waya nitu.

***
Kami orang yang berdosa, banyak kali buat salah
Kami minta pada Tuhan, Ampun itu pada kami.

Kalau datang pencobaan, jangan tinggal murung-murung


Minta doa bersembahyang, itu dapat penghiburan.

Pada-Mu Hu ku serahkan g’nap, tubuh jiwa bertetap


Kiranya Bapa sayangkan, hentarkan kami dalam t’rang.

S’lamat jalan hai saudara, engkau sambut s’lamat tinggal


Meski sobat cerai jauh, siang malam jangan lupa.
================
SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 226
29. PADA PAGI TUHAN HUA

Pada pagi Tuhan Hua, aku bangun beri syukur


Pujilah nama-Mu jua, dan tahlilkan bermazmur.
Karena seg’nap malam gelap, Engkau juga bertetap.

Matahari nyatakan, fajar cahayanya


Burung semua dalam pohon bersuka
Nyanyi ramai bersuka, dngar suara-Nya.

==========

36. SAWO AKU TANUKE SE BURUNG

Sawo aku tanuke se burung, tumelew aku maya-tayang


Papaan yo ka popoanku, sewaya-waya pasangkumen
Ang katowan, matantum ree wulengenku.

Taan aku raca maruimambang, papan karapi si Amang


Si Amang ma popo yaku, sa aku uter pamulengen
Cai waya na, aku maka pendam arien.

Inang amang wo se tare tumow, kita imbaya keli kamesean


Mai kita meloo-looran, wo maeman asi amangta
Kasuruan, sia mawee kaampungan.

Se toyaang wo se tare tumow, siriin si inang wo si amang


Situ em pakalowiren, asi roong pakatoan yow
Kamang wo elur, wo aruyen akar i nure.

Mangalitow wo se mangalaun, se pamangena i wawangunen


Karengan kamo i tulis, si tuliran lenas wo ure
Situ ang keter, lumalaus im wawabfubab.

=============

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 227


37. ORE MAMA SI ANAK YOW

Ore mama si anak yow, talus susah wendu


Tumaney sewaya-waya, am pasangkumen ku
Sama mam beteng i mukur, waya nitu pamange ke’
Ang kaupusan i Tuhan.

Aku makapuruk kuntung, pareges-regesa


Aku sumere i nataran, talus kasaleen
Kaaruyen - kasaleen, kasaleen - kaaruyen
Waya nitu maturu i, Kajalnoan i Tuhan.

***

Mata benda dalam surga, b’lum kamu memandang


Jikalau kami percaya, tentu akan dapat
Mahkota yang termulia, yang dilengkap bagi kami
Harap duduk sehidangan, dengan Tuhan Mukhalis ku.

Harta benda yang termulia, ku cari di dunia


Emas, intan sia-sia, harta yang binasa
Bukai itu, bukan itu, jangan harap sebegitu
Biar ku cari bergemar, ilmu pancaran ramaian.

Gunung tinggi hutan besar, cerai kita g’rang


Dengan saudara yang benar, ditempat jauh g’rang
Senantiasa tidak lupa, welakin duduk berduka
Kiranyalah ya saudara, jangan lupa akan kami.

Cucur air mata saya, ingat dosaku


Air mata turun jua, hatiku terpecah
Kalau boleh ampunilah, segala kesalahan ku
Yang ku buat senantiasa, lawan Dikau ya Allah ku.

Hiburanku tempo dulu, itu sudah lalu


Karena pada masa ini, banyak peperangan
Harap juga pada Tuhan, Ia-lah yang sempat tolong
Hati kita yang t’lah bimbang, Tuhan akan hiburkan.

===========

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 228


38. E MUKUR YA ANUNER

E mukur ya anuner, indosa wendu wo licoko


Tana yasa ya rua aru, inowak wo katowanta
Taan sis amah lenas wo ure, rayo wendu wo maame
Rayo wana kasulitan, sale mukurku, sale mukurku.
***
Hai jiwaku diantara dosa, susah, huru-hara
Dunia ini menghiburkan diri dengan penghidupan
Itu yang kemal suci dan kekal, mana tidak penyakitan
Tidak susah dan tangisan, sorak jiwaku, sorak jiwaku.

Hai perhimpunan pujilah nama Hua Allah Bapa


Lagi dengan Tuhan Isa, sudah dengan Tuhan Isa
Sudah mati ganti kami, orang berdosa, Ingat ini g’rang,
Untung s’lamat jiwa kami, Hari yang datang-hari yang datang.

Hai Jerusalem samawi, tidak bulan, matahari


Harus Engkau nmenerangkan, t’rang-Mu ada Maha Tuhan
Kemuliaan ingin jiwaku, ingin masuk perhimpunan
Yang dalamnya mentahlilkan, Haleluyah gah – Haleluyah gah.

=============

39. RUMOYOR WO KITA

Rumoyor wo kita, maregem mange ambale


Kita meta’ licur, karapi masale-sale
Sapa cua ta imbaya,
Kamang paka lowiren waya
Allah mee, Kamang ase cita o waya se tow

Reff.

Mangile-mangile pakalowiren waya,


Mangile-mangile pakakamangen maya.

===========

SEJARAH JEMAAT GMIM RUMOONG-LANSOT 229

Anda mungkin juga menyukai