Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

APOLOGETIKA KRISTEN

"TENTANG KETUHANAN TERHADAP ATHEISME"

Mata Kuliah : Apologetika


Dosen Pengampu : DR. Urbanus Sukri, M.Th, M.Pd
Disusun oleh: Macareno Sendi P.Y
NIM : 2016071607

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN

ANAK BANGSA

SURABAYA

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini pemahaman atau keterikatan mengenai ketuhanan sangat banyak


bermunculan apalagi masalah ketidak yakinan seseorang kepada sang maha agung yakni
Tuhan. Baik itu di dunia timur maupun di dunia barat, dikarenakan masalah semakin
majunya teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini. Sehingga orang orang berpaling
kedalam kepercayaan yang di yakini nya sebagai sesuatu yang benar, baik itu dirinya
sendiri maupun alam yang tampak ini. Dan mulai meragukan keyakinan nya kepada yang
di agung nya itu sendiri yakniTuhan. Dan sampai sampai ada yang meyakini bahwa tuhan
itu tidak ada/Atheis. Atheis merupakan aliran filsafat yang ingin mewujudkan sejarah
manusia tanpa Tuhan.Penulis asal Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah
seorang pertama yang menyebut dirinya Atheis. Waktu dia lahir bernama Paul Heinrich
Dietrich di Edesheim, Rhenish Palatinate. Akan tetapi dia tinggal di Paris. Dia terkenal
akan atheismenya dan tulisannya yang anti agama, dengan tulisan yang paling terkenal
adalah System of Nature (1770). dia meninggal umur 65 tahun pada tanggal 21 Januari
1789. Tokoh atheis lain muncul pada tahun 1844 – 1890 yaitu Friedrich Nietzche. Tuhan
dan agama menurutnya dipandang sebagai formula jahat yang diterapkan dalam setiap
fitnah melawan manusia di dunia.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

PENGERTIAN ATHEISME

Atheisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan


Tuhan dan dewa – dewi, ataupun penolakan terhadap theisme. Dalam pengertian yang luas,
atheisme adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau tuhan. Istilah atheisme
berasal dari bahasa Yunani “atheos” yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada
siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama atau kepercayaan yang sudah
mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah dan
kritikan terhadap agama, istilah atheis mulai di spesifikasi untuk merujuk kepada mereka
yang tidak percaya kepada Tuhan. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3 % populasi dunia
mengaku sebagai atheisme, manakala 11,9 % mengaku sebagai nontheis. Sekitar 65 %
orang Jepang mengaku sebagai atheisme, agnostik, ataupun orang yang tidak beragama
dan sekitar 48 % nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara
6 % (Itali) sampai 85% (Swedia).Banyak atheis bersikap skeptis kepada keberadaan
fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen
dengan dasar filosofis, sosial atau sejarah.

Pada kebudayaan Barat, atheis sering kali di asumsikan sebagai tidak beragama
atau ireligius. Beberapa aliran agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah Tuhan
dalam berbagai upacara ritual, namun dalam agama buddha konsep ketuhana yang
dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama
atheistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai atheis cenderung
kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme dan naturalisme, tidak ada
ideologi atau perilaku sfesifik yang di junjung oleh semua atheis.

3
Pada zaman Yunani kuno, atheos berarti tak bertuhan. Kata ini mulai merujuk pada
penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi
memutuskan hubungan dengan tuhan atau dewa atau menolak tuhan atau dewa.
Terjemahan modern pada teks – teks klasik kadang – kadang menerjemahkan atheos
sebagai atheistik. Sebagai nomina abstrak, terdapat pula atheotes yang berarti atheisme.

Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa latin atheos. Istilah ini sering
digunakan pada perdebatan antara umat kristen awal dengan para pengikut agama Yunani
kuno (Helenis), yang mana masing – masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai
atheis secara peyoratif.

Atheisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada kepercayaan tersendiri pada
akhir abad ke-18 di Erapa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.
Pada abad ke-20 globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada
ketidakpercayaan pada semua tuhan atau dewa, walaupun masih umum untuk merujuk
atheisme sebagai ketidakpercayaan kepada tuhan monoteis. Akhir – akhir ini, terdapat
suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang atheisme
sebagai ketiadaan kepercayaan pada dewa dewi, daripada atheisme sebagai kepercayaan itu
sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas atheis walaupun penggunaannya
masih sangat terbatas.

PEMBEDAAN SERTA RUANG LINGKUP ATHEISME

Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi atheisme kuat dan
lemah dengan atheisme implisit dan eksplisit. Atheis implisit tidak memiliki pemikiran
akan kepercayaan pada tuhan, individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa
kepercayaan kepercayaan pada Tuhan. Atheis eksplisit mengambil posisi terhadap
kepercayaan pada tuhan, individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada Tuhan
(atheisme lemah) ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (atheisme kuat).

4
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian atheisme terletak
pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata – kata seperti dewa dan
tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran
akan penerapan kata atheisme. Dalam konteks theisme didefinisikan sebagai kepercayaan
pada tuhan monoteis, orang – orang yang percaya pada dewa dewi lainnya akan
diklasifikasikan sebagai atheis. Sebaliknya pula, orang – orang Romawi kuno juga
menuduh umat kristen sebagai atheis karena tidaka menyembah dewa dewi paganisme.
Pada abad ke-20 pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya theisme
meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa atau tuhan. Bergantung pada apa yang para
atheis tolak, penolakan atheisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan atau
dewa sampai dengan keberadaan konsep – konsep spiritual dan paranormal seperti yang
pada agama Hindu dan Buddha.

Definisi atheisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus
mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai atheis.
Atheisme kadang – kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan
akan keberadaan tuhan atau dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang – orang
yang tidak memiliki konsep theisme sebagai atheis. Pada tahun 1772, Baron d'Holbach
mengatakan bahwa semua anak – anak dilahirkan sebagai atheis, karena mereka tidak tahu
akan Tuhan. George H. Smith 1979 juga menyugestikan bahwa orang yang tidak kenal
dengan theisme adalah atheis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga
memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu – isu yang terlibat, tapi
masih tidak sadar akan isu – isu tersebut (sebagai atheis). Fakta bahwa anak ini tidak
percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut atheis. Smith menciptakan istilah atheisme
implisit untuk merujuk pada ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara
sadar dilakukan dan atheisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang
dilakukan secara sadar.

Dalam kebudayaan barat, pandangan bahwa anak dilahirkan sebagai atheis


merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18 keberadaan Tuhan diterima dengan
sangat luas sedemikiannya keberadaan atheisme yang benar – benar tidak percaya akan
Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya.

5
Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik) yaitu bahwa semua orang
percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para atheis hanya
menyangkal diri sendiri. Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa atheis akan
dengan cepat percaya pada Tuhan saat krisis, bahwa atheis percaya pada Tuhan saat
meninggal dunia ataupun bahwa tidak ada atheis dalam lubang perlindungan perang.
Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama
membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik. Beberapa atheis
menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di
antaranya contoh – contoh atheis yang benar – benar berada di lubang perlindungan perang.

Para fisuf seperti Antony Flew, Michael Martin dan William L. Rowe membedakan
antara atheisme kuat/positif dengan atheisme lemah/negatif. Atheisme kuat adalah
penegasan bahwa tuhan tidak ada sedangkan atheisme lemah meliputi seluruh bentuk
ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategori ini, siapapun yang bukan theis dapatlah atheis
yang lemah ataupun kuat. Istilah lemah kuat ini merupakan istilah baru namun istilah yang
setara seperti atheisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur –
literatur filosofi dan apologetika katolik (dalam artian yang sedikit berbeda) menggunakan
batasan atheisme ini, kebanyakan agnostik adalah atheis lemah.

Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan atheisme


lemah. Kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari atheisme, yang
mereka lihat atheisme sama saja tidak benarnya dengan theisme. Ketidaktercapaian
pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membatah keberadaan tuhan
kadang – kadang dilihat sebagai indikasi bahwa atheisme memerlukan sebuah lompatan
kepercayaan. Respon atheis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil – dalil keagamaan
yang tidak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama
sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil – dalil tak terbukti lainnya dan bahwa
ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas
keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.

6
ARGUMEN LOGIS DAN BERDASARKAN BUKTI

Atheisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan
personal dalam kekristenan dianggap secara logis tidak konsisten. Para atheis ini
memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan tuhan yang menegaskan
ketidakcocokan antara sifat – sifat tertentu tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta,
kekekalan,kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemaha
adilan dan kemaha pengampunan Tuhan.

Atheis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat – sifat yang
terdapat pada Tuhan dan dewa – dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog.
Mereka berargumen bahwa kemaha tahuan, kemaha kuasaan dan kemaha belas kasihan
Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan dan
belas kasih Tuhan adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga
diberikan oleh Siddhartha Gautama pendiri agama Buddha.

POKOK – POKOK PEMIKIRAN FRIEDRICH NIETZCHE

Pokok – pokok filsafatnya di antaranya mengenai kehendak manusia, manusia sempurna


dan kritikan terhadap agama kristen. Pokok – pokok filsafatnya sebagai berikut :

"kehendak untuk berkuasa merupakan dasar dan sumber tingkah laku manusia. Kehendak
untuk berkuasa memasuki semua bidang kegiatan manusia: kesadaran hidup, perwujudan
nilai – nilai agama, kebudayaan dan lainnya. Kehendak untuk berkuasa bahkan
merupakan kenyataan yang benar akan dunia ini. Dunia ini adalah kehendak untuk
berkuasa, lain tidak."

Kehendak untuk berkuasa ini tampak dalam ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan,
manusia ingin menyelidiki dunia untuk menemukan kenyataan dunia yang menjadi.
Dengan ilmu, semua yang dapat didefinisikan sebagai penjelmaan alam menjadi konsep -
konsep dengan tujuan menguasai alam.

7
Tentang agama juga dinyatakan sebagai perwujudan keehendak untuk berkuasa.
Semua agama pada hakikatnya berasal dari kehendak untuk berkuasa. Karena kehendak
untuk berkuasa ini tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri, maka manusia
menyerahkan usahanya kepada pribadi yang lebih tinggi. Manusia lari kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena ia sendiri tidak dapat mengalahkan kekuatan yang dihadapinya.

Kritik terhadap agama kristen walau Nietzsche terdidik di lingkunan kristen namun
akhirnya ia menjadi filosof atheis yang paling ekstrim. Kritik terhadap agama kristen
mencapai puncaknya dalam bukunya anti kristus.

"Agama kristen dinyatakan sebagai lambang pemutarbalikkan nilai – nilai, sebab jiwa
kristiani menolak segala yang alamiah dan memusuhi segala yang nafsani. Pengertian
Allah agama kristen adalah penertian yang paling rusak dari segala penertian tentang
Allah, sebab Allah dipandang sebagai Allah anak – anak piatu, janda – janda dan orang
sakit. Allah dipandang sebagai roh yang bertentangan sekali dengan hidup ini. Jiwa
kristiani adalah jiwa yang tidak memberi penguasaan dan kebangsawanan. Semua itu
harus dibongkar sehingga ditimbulkan nilai – nilai baru, moral tuan"

Bagi Nietzsche peristiwa yang paling menonjol dalam sejarah di Barat pada zaman
modern adalah bahwa Allah sudah mati. Dimaksudkan dengan itu ialah bahwa
kepercayaan kristiani akan allah sudah layu dan hampir tidak mempunyai peranan riil lagi
dan Nietzsche merasa terpanggil untuk mewujudkan sejarah baru tanpa tuhan. Jika Allah
sudah mati, jika Allah kristiani dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak
merupakan rintangan lagi, itu berarti bahwa dunia sudah terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi kepada sesuatu di belakang atau di atas dunia
dimana ia hidup, tetapi harus setia terhadap dunia ini.

8
BAB III

PEMBAHASAN

APOLOGETIKA TERHADAP ATHEISME

Inkonsistensi Logis

Orang Atheis selalu berusaha untuk rasional. Rasionalitas membutuhkan hukum-


hukum logika. Contohnya, ada argumen berikut: “Jika ada makanan enak maka pastilah
saya akan tinggal dirumah. Ada makanan enak. Oleh karena itu saya tinggal dirumah.”
Argumen ini benar karena menggunakan hukum logika yang disebut modus ponens.
Hukum-hukum logika, seperti modus ponens, adalah sesuatu yang immaterial, universal,
tak pernah berubah, dan entitas abstrak. Immaterial, karena kamu tidak dapat
menyentuhnya atau menggenggamnya. Universal dan invariant, karena berlaku di semua
tempat dan segala waktu (modus ponens berlaku di Jogja maupun di kutub utara, baik di
hari Natal maupun Waisak). Abstrak, karena hukum-hukum ini berhubungan dengan
konsep.

Hukum-hukum logika datang dari Tuhan, hukum-hukum ini adalah refleksi dari
cara Dia berpikir. Hukum-hukum logika itu immaterial, universal, invariant, entitas
abstrak, karena Tuhan itu immaterial (roh), omnipresent (maha hadir), tidak pernah
berubah dan memiliki segala macam hikmat dan pengetahuan (Kolose 2:3).
Contohnya hukum non-kontradiksi muncul dari fakta bahwa Tuhan tidak dapat
menyangkal dirinya sendiri (II Timotius 2:13). Orang Kristen dapat menggunakan hukum-
hukum logika; karena itu adalah standar yang benar untuk bernalar karena Tuhan berdaulat
atas segala kebenaran. Kita dapat mengetahui seperti apa Tuhan berpikir (walaupun kita
tidak dapat mengerti semuanya) karena Tuhan sendiri yang menyatakan dirinya melalui
firmanNya di kitab suci dan melalui pribadi Yesus Kristus. Namun, Atheis seharusnya
tidak boleh menggunakan hukum-hukum logika. Hukum-hukum logika itu menjadi tidak
masuk akal dalam sudut pandangnya terhadap dunia.

9
Bagaimana bisa, hukum yang immaterial, universal, invariant dan abstrak terbentuk
dari big bang? Mengapa ada standar yang mutlak untuk bernalar jika semuanya hanya
sekedar molekul-molekul yang bergerak? Kebanyakan Atheis memiliki sudut
pandang materialism – yang berarti (nih, saya copy dari wikipedia)mereka tidak mengakui
entitas-entitas nonmaterial seperti: roh, hantu, setan dan malaikat Pelaku-pelaku
immaterial tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia dikodrati/supranatural. Realitas satu-
satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas
materi. Segala yang ada adalah materi. Namun hukum-hukum logika bukanlah materi! Jika
materialism benar, maka tidak mungkin ada hukum-hukum logika, karena hukum-hukum
itu bersifat immaterial. Jadi tidak mungkin kita dapat bernalar!

Tidak ada yang menyangkal bahwa orang Atheis dapat bernalar dan menggunakan
hukum-hukum logika dengan benar. Poinnya adalah, Atheis harusnya tidak dapat bernalar
dan menggunakan hukum-hukum logika karena hal semacam tu tidak akan memiliki
arti. Fakta bahwa orang Atheis dapat berlogika menunjukkan bahwa dia salah. Dengan
menggunakan sesuatu yang tidak masuk akal menurut pandangannya terhadap dunia, orang
Atheis menjadi sangat sangat tidak konsisten. Dia menggunakan hukum-hukum logika
yang berasal dari Tuhan, sekaligus menyangkal Tuhan yang memungkinkan adanya
hukum-hukum itu. Bagaimana bisa ada peraturan tanpa ada yang memberikan peraturan
itu?

Atheis tidak dapat menjelasakan eksistensi hukum-hukum logika, mengapa hukum-


hukum itu immaterial, mengapa universal, mengapa tidak berubah sejalan dengan waktu,
dan bagaimana manusia dapat mengetahui hukum-hukum itu dengan sifat sifatnya. Namun,
tentu saja itu semua masuk akal dari sudut pandang kekristenan. Hukum-hukum logika ada
karena Tuhan ada. Hukum-hukum ini dibutuhkan untuk bernalar dan berlogika dan untuk
membuktikan sesuatu. Tuhan harus ada agar kemampuan bernalar ada. Jadi, bukti
keberadaan Tuhan adalah tanpa Dia kita tidak dapat membuktikan apapun. Keberadaan
Tuhan dibutuhkan untuk mendapatkan pengetahuan dan bernalar. Argumen ini disebut
‘transcendental argument for God’ atau disingkat TAG. Hanya sedikit orang yang berani

10
mencoba untuk membuktikan bahwa itu salah (dan tidak ada yang berhasil).

Reaksi Logis atau Emosional?

Harus diakui, walaupun sudah dipaparkan dengan begitu jelas tentang TAG, tetap
tidak dapat meyakinkan semua orang Atheis. Mungkin butuh waktu bagi mereka untuk
memahaminya, atau mungkin karena mereka memang sangat termotivasi untuk tidak
percaya pada Tuhan (seperti yang sudah saya tulis dalam artikel sebelumnya). Reaksi
penyangkalan ini adalah reaksi emosional, bukan logis. Oleh karena TAG, secara logika
mereka tahu bahwa Tuhan ada. Atheis menyangkal Tuhan, bukan karena alasan logis,
namun karena alasan psikologis. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa hal ini tidak
sekedar masalah emosional saja, namun juga masalah rohani yang serius (I Korintus 2:14).

Keadilan Tuhan dan Eksistensi Penderitaan

Asal mula kejahatan dan penderitaan

Persoalan pertama yang diberikan adalah masalah filsafat klasik dari Epicurus tentang
asal mula kejahatan. Penulis mempermasalahkan sifat mahatahu, mahahadir, dan
mahakuasa dari Tuhan yang memiliki kontradiksi satu dengan lain, demikian kutipannya
Epicurus, seorang filsuf Yunani memiliki ungkapan terkenal “Epicurus’ Problems of Evil”
yang kurang lebih berbunyi

11
“Kalau Tuhan sanggup tetapi tidak mau menghilangkan penderitaan manusia, maka
dia jahat. Kalau Tuhan mau tetapi tidak sanggup menghilangkan penderitaan, maka dia
tak maha kuasa. Kalau Tuhan sanggup dan mau menghilangkan penderitaan, maka
penderitaan tidak seharusnya ada. Kalau Tuhan tidak mau dan tidak sanggup
menghilangkan penderitaan, kenapa disebut Tuhan?”

Jawaban paling logis dari pertanyaan Epicurus di atas adalah “Karena tuhan tidak
tahu kalau ada penderitaan.” Hanya saja atribut Maha-Tahu yang juga diberikan kepada
sosok tuhan, membuat jawaban logis yang tersisa adalah “Di dunia yang memiliki
penderitaan tidak mungkin ada tuhan yang Maha-Kuasa sekaligus Maha-Baik sekaligus
Maha-Tahu.” Andai pun ada sosok yang bisa dianggap tuhan, maka sosok itu entah tidak
Maha-Kuasa, atau tidak Maha-Baik, atau tidak Maha-Tahu.

Secara sederhana, konflik ini terjadi antara tiga konsep: Adanya kejahatan,
kemahakuasaan Tuhan, dan kebaikan Tuhan. Sepintas, kesimpulan yang dicapai si penulis
adalah wajar. Biasanya solusi untuk masalah ini adalah kita mengubah satu atau lebih dari
tiga konsep yang ada; entah dengan membatasi kuasa Tuhan, membatasi kebaikan Tuhan
atau memodifikasi keberadaan kejahatan (misalnya menganggap kejahatan sebagai ilusi).

Permasalahannya, Tuhan mengklaim diriNya baik. Dia juga mengklaim diriNya


mahakuasa. Sedangkan jika kejahatan hanya ilusi, maka permasalahan ini tidak perlu
diangkat. Penderitaan manusia datang dari kejahatan, entah itu kejahatan moral (perang,
kriminalitas, dikriminasi, perbudakan, genosida, bom bunuh diri, dll), atau kejahatan
alam (hujan badai, tsunami, hal-hal yang tidak secara langsung disebabkan oleh manusia
seperti dalam kejahatan moral).

Kejahatan Moral

Sebelum kita mulai, marilah terlebih dahulu kita mengerti apa itu kejahatan dan kriteria
apa yang dipakai untuk menentukan sesuatu itu baik atau jahat. Dari blog atheis yang
sama, dalam artikel lain yang berjudul Mengapa saya memutuskan menjadi Atheis? Ada
kutipan sebagai berikut:

12
"Atheis bukanlah orang tanpa etika dan moral, hanya saja atheisme tidak mendasarkan
moralitas dan etikanya pada ajaran Tuhan, melainkan pada akal budi manusia."

Tentu saja saya percaya jika orang Atheis memiliki etika dan moral. Moralitas
diperlukan untuk menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang jahat. Namun,
bagaimana kita dapat menyebut sesuatu itu baik atau jahat? Alat pengukur moral apa yang
dipakai untuk mengukurnya? Sangat sulit mengukurnya jika kita tidak punya titik acuan
yang tidak terbatas yang benar-benar baik. Titik acuan inilah yang hanya ditemukan dalam
pribadi Tuhan karena Dialah yang tidak terbatas baiknya. Jika Tuhan tidak ada maka tidak
ada pula standar moral mutlak untuk kita mengatakan sesuatu/seseorang jahat. Jika
dasarnya ada pada akal budi manusia – atau jika mau lebih materialis lagi, hanya sekedar
arus listrik di otak – maka kita tidak dapat memaksakan standar moral kita pada orang lain.

Nah, sekarang untuk menjawab dari mana asal kejahatan itu sendiri, Apa yang
menyebabkannya dan Mengapa Tuhan mengizinkannya ada jika Dia sanggup
mencegahnya?

Kita mulai lagi dari aspek Tuhan yaitu kasih. Di dalam Dia terdapat bentuk kasih
yang paling murni dan paling mutlak. Ada pendapat menarik di artikel blog tersebut:

Dengan menggunakan Logika, kita bisa membuktikan bahwa konsep tuhan yang sering
diajukan memiliki kontradiksi. Maka saya juga akan menggunakan Logika. Segala
tindakan Tuhan tidak mungkin bertentangan dengan semua aspekNya (hukum logika non-
kontradiksi), dalam hal ini, kasih. Ketika Tuhan menciptakan manusia, penciptaan itu
didasari kasih. Oleh karena itu Dia memberikan kita kehendak bebas agar kita dapat
mencintaiNya dengan sukarela. Cinta tidak dapat diprogram. Tuhan menginginkan umat
manusia menunjukkan cintanya secara bebas. Tentu saja, jika manusia bebas untuk
mengasihi, manusia bebas juga untuk memberontak dan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan kebaikan, memberontak terhadap Tuhan. Inilah asal mula kejahatan:
kehendak bebas manusia. Saya sudah membahasnya dalam artikel tentang kehendak
bebas di sini, jadi tidak perlu saya perpanjang lagi.

13
Kejahatan Alam

Sebagai seorang Kristen, saya percaya apa yang Alkitab katakan bahwa segala hal-hal
yang mengerikan dari alam adalah efek dari dosa manusia, yang mana dosa itu berasal dari
kehendak bebas manusia. Ini adalah efek tidak langsung dari dosa, di mana kutukan dosa
juga berakibat pada alam tempat manusia tinggal.

Tapi tentu saja, dari sudut pandang Atheis, ini adalah pertanyaan yang lain lagi:
‘Apakah Alkitab dapat diterima keabsahannya?’ ‘Apakah Alkitab dapat dipercaya?’. Perlu
ada artikel tersendiri yang membahas kasus ini, karena itu saya akan menjawab
pertanyaan: mengapa Tuhan mengizinkan semua itu terjadi. Sulitnya kita menemukan
alasan tidak berarti tidak ada alasan apapun atas hal-hal tadi. Dari perspektif manusia yang
terbatas oleh waktu, kita tidak dapat melihat gambaran besar seperti yang Tuhan lihat,
yang melihat baik masa lalu, sekarang, dan masa depan secara bersamaan. Hanya Dialah
yang memiliki gambaran utuh, oleh karena itu Ia memanggil kita untuk percaya padaNya.

Dalam keterbatasan manusia, adalah mungkin untuk menemukan hal baik dari rasa
sakit untuk mencegah kejahatan yang lebih besar (anak-anak hanya perlu sekali seumur
hidup menyentuh kompor panas untuk tidak menyentuhnya lagi). Manusia terbatas dalam
menentukan maksud-maksud baik dari kejahatan, namun Tuhan yang tidak terbatas
hikmatNya memiliki maksud-maksud baik untuk setiap penderitaan. Kadang ‘kebaikan’
yang Tuhan datangkan dari penderitaan melibatkan hal-hal yang membawa kita lebih dekat
padanya, kadang ‘kebaikan’ ini menghasilkan perubahan positif dalam
karakter kita.Tuhan mengundang kita untuk memandang hidup dan kematian dari sudut
pandang kekekalanNya.

14
Keadilan Tuhan

Sekarang persoalan kontradiksi kedua:

Maha-Adil dengan Neraka bagi orang yang tidak menyembahnya/Kafir/Infidel/Non-


Believer Adil adalah memberikan apa yang sepantasnya.
Adil adalah memberikan semua orang kesempatan yang sama. Adil adalah memberikan
semua orang kesempatan yang sama. Namun Tuhan tidak bertanggung jawab untuk
memberikan pengetahuan yang lebih besar tentang siapa diriNya ketika kita belum siap
menanggapi pengetahuan yang kita miliki.

Saya akan memberikan ilustrasi dari Norman Geisler, seorang Apologist.

Bayangkan kamu tersesat di padang gurun dan hari mulai gelap. Kamu lapar, haus dan
tahu jika kamu tidak segera menemukan makanan dan tempat berlindung, kamu akan mati.
Lalu kamu melihat secercah cahaya di garis batas cakrawala yang menunjukkan bahwa
ada kehidupan di kejauhan sana. Jika kamu bukannya mendekati namun sebaliknya malah
berjalan menjauhinya, salah siapakah jika kamu mati? Salahmu, bukan? Jika kamu
memilih untuk menuju cahaya, bukankah cahaya itu akan semakin terang, menunjukkan
siapa yang ada di sana?

Demikian pula, Tuhan tidak bertanggungjawab untuk memberikan cahaya yang lebih
terang jika kita tidak menanggapi cahaya yang telah dia berikan melalui pewahyuan umum
(general revelation), yaitu pernyataan Tuhan melalui hal-hal yang bersifat umum yang ada
di alam, misalnya alam semesta, bintang-bintang, gunung-gunung, hukum-hukum logika,
moralitas dan lain sebagainya, dan juga dari hal umum yang ada di dalam diri manusia:
rasa kosong dan hampa yang tidak dapat diisi oleh apapun (uang atau kesuksesan) atau
siapapun (orang-orang yang kamu kasihi).

15
Masalahnya adalah: manusia tidak mau mempercayai pewahyuan umum ini.
Mereka menyangkal pengetahuan tentang Tuhan sehingga menjadi tidak ada maknanya.
Mereka menolak Tuhan. Mereka tidak percaya adanya Tuhan.

16
Ada kutipan lainnya dari blog Atheis itu:

"Memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa tapi juga pada saat yang sama bersusah payah
menyembunyikan diriNya sendiri tidak membantu manusia dalam cara apapun, kapanpun,
dan di manapun, kecuali untuk menenangkan hati sendiri akan adanya kepastian mutlak
dan harapan akan hadirnya keadilan sejati di alam lain."

Dia tidak menyembunyikan dirinya. Dosalah yang menyembunyikan kita dari Tuhan.
Tuhan kudus, tidak ada yang jahat dalam pribadinya. Dosa menjauhkan manusia dari
pribadi Tuhan yang kudus. Dan “Tuhan tidak membantu kita dalam cara apapun” adalah
pernyataan yang salah. Dia melakukannya segalanya dalam pribadi Yesus Kristus. Dia
adil, Dosa harus ada hukumannya: hukuman dosa adalah keterpisahan kekal dengan
Tuhan. Dia mengasihi, karena itu Yesus mati bagi umat manusia, seorang korban yang
tanpa dosa, sehingga dengan kehendak bebas, kita dapat memilih untuk mendapatkan
kembali relasi kita dengan Tuhan.

17
BAB IV

KESIMPULAN

Atheisme tidak dapat menjelaskan keteraturan dan keindahan alam semesta dan
juga tidak bisa menjelaskan asal-usul kehidupan atau memberikan pengharapan apapun
kepada manusia tentang kehidupan yang akan datang dalam kekekalan karena bagi Atheis,
kehidupan ini adalah segala sesuatu yang dia miliki. Lebih mudah untuk percaya kepada
Kejadian 1:1 dari pada untuk percaya pada segala sesuatu yang kita lihat sebagai akibat
dari kebetulan yang membawa keteraturan, keindahan, arti alam semesta dan segala
sesuatu yang ada. Kita diciptakan dalam rupa dari yang paling bijaksana, berkuasa, adil
dan kasih yaitu Allah. Kita tidak berada disini secara kebetulan dan kita akan menikmati
kehidupan bersamaNya dalam kekekalan tidak secara kebetulan. Kita perlu mentaati
firmanNya dengan setia, hari demi hari, agar kita dapat menikmati pahala surgawi yang
telah disediakan pada hari terakhir.

18
KATA PENUTUP

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya rujukan atau referensi. Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang
budiman memberikan kritik saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.

Terima kasih. Tuhan memberkati.

19

Anda mungkin juga menyukai