Anda di halaman 1dari 140

Masa Depan Kota dan Lingkungan

Fitrawan Umar

Penerbit CV Loe
Masa Depan Kota dan Lingkungan
Penulis: Fitrawan Umar
Cetakan Pertama, Juli 2018
vi + 133 hal; 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-5862-08-3
Foto Sampul: Batara al Isra

Diterbitkan Oleh
Penerbit CV. Loe
Jl. Pelita IV No. 52B Makassar
Email: penerbit.shofia@gmail.com

@2018 Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak tulisan dalam buku ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa seizin dari penerbit
Kata Pengantar

Buku “Masa Depan Kota dan Lingkungan” merupakan


bunga rampai pemikiran sebagai respons terhadap isu-isu
perkotaan dan lingkungan hidup mutakhir. Beberapa tulisan
di dalamnya sudah pernah dimuat di media, baik media cetak
maupun media online.
Buku ini berusaha menekankan bahwa persoalan-
persoalan perkotaan dan lingkungan hidup punya irisan yang
besar.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang menjadi teman diskusi, teman mencari inspirasi,
dan pihak-pihak yang membantu tersusun dan terbitnya
buku ini. Penulis selalu berharap adanya masukan-masukan
guna pengembangan karya dan gagasan penulis ke depannya.
Di atas segalanya, penulis mengucapkan rasa syukur dan
puji-pujian kepada Allah, Tuhan yang Maha Memiliki
Pengetahuan, atas seluruh ilmu dan kebaikan-Nya.

Salam,
Fitrawan Umar
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................ iii


Daftar Isi ...................................................................................................... v

Menyongsong Agenda Baru Perkotaan ........................................ 1


Geliat Benteng dan Koloni Permukiman ..................................... 5
Bangkitnya Teknokratisme dan Kesia-siaan ............................ 11
Anak dan Monster Bernama Kota ................................................... 15
Ruang Publik dan Usaha Menuju Masyarakat Kota yang
Bahagia ....................................................................................................... 19
Ruang Publik Perkotaan dan Creative Governance:
Membangun Harapan .......................................................................... 25
Mengenai Kebijakan Ganjil-Genap Kendaraan Pribadi ........ 31
Mengenai Ojek Berbasis Aplikasi ................................................... 37
Bencana Nasional Bernama Mudik ............................................... 43
Kereta Api dan Peradaban Baru ..................................................... 49
Orang Gila di Kota .................................................................................. 55
Revolusi Senyap Perdesaan .............................................................. 61
Pilkada dan City Branding .................................................................. 65
Arsitek untuk Bumi ............................................................................... 71
Sudahkah Kita Peduli Lingkungan? ............................................... 77
Pesan Sheila on 7 Hingga Ammatoa .............................................. 83
Sampah Plastik dan Kecerdasan Ekologis ................................. 87
Penataan Kota dan Penyelamatan Lingkungan ........................ 91
Ikhtiar Mendinginkan Kota ............................................................... 97
Ilmu Lingkungan untuk Perencana Wilayah Kota ................. 101
Memahami Ekologi dan Ekosistem Perkotaan ........................ 107
Kota Zero Run Off ................................................................................... 113
Commuter Marriage: Tren Percintaan dalam Studi Urban . 119
Kota Islami (?) ......................................................................................... 123
Muhammadiyah dan Lingkungan Hidup .................................... 127

Riwayat Publikasi .................................................................................. 131


Tentang Penulis ...................................................................................... 133
Menyongsong Agenda Baru Perkotaan

Gambar 1 Pemandangan Kota Hongkong (Dok. Pribadi)

S
ejarah mencatat, pemerintah kolonial Belanda
mengembangkan kawasan di sekitar Fort
Rotterdam sebagai kota baru yang kelak menjadi
cikal bakal pusat Kota Makassar. Purnawan (2012) menyebut
bahwa Belanda memang lebih memilih membangun kota
baru di wilayah penaklukan daripada mengembangkan
‘kawasan lama’ bekas pusat kota kerajaan. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan mobilitas jalur
perdagangan Belanda ketika itu, dan disinyalir juga sebagai

Masa Depan Kota dan Lingkungan |1


bagian dari upaya pelemahan pengaruh kerajaan yang telah
ditaklukkannya.
Upaya pelemahan fungsi kota bisa diistilahkan sebagai
de-urbanisasi, sedangkan pembangunan kota baru (meng-
kota-kan wilayah) disebut sebagai urbanisasi. Apa yang
dilakukan pemerintah kolonial ketika itu menarik untuk
dicermati, terutama sebab menghangatnya isu mengenai
urbanisasi akhir-akhir ini.
Dunia menanti perhelatan Habitat III di Quito, Ekuador,
17-20 Oktober 2016. ‘Habitat’ merupakan Konferensi Tingkat
Tinggi yang digelar PBB setiap 20 tahun sekali sebagai wadah
pertemuan pemimpin global untuk membahas mengenai
perumahan dan permukiman.
Habitat III Ekuador mengangkat wacana tentang
urbanisasi berkelanjutan yang disebut sebagai “the New
Urban Agenda” (Agenda Baru Perkotaan). Menyambut agenda
ini, wacana mengenai perubahan paradigma dalam
memandang urbanisasi tengah mencuat─ setelah Pertemuan
Regional Asia Pasifik di Jakarta (2015) sebagai pertemuan
awal untuk menyambut Habitat III.
Hasil evaluasi pemerintah menyebut bahwa selama ini
urbanisasi hanya selalu dianggap sebagai masalah.
Pemerintah mulai mencoba beranggapan bahwa urbanisasi
tak bisa dielak dan perlu dipandang sebagai peluang bagi
kemakmuran. Namun, bagaimana kita yakin bahwa
urbanisasi adalah peluang?
Bintarto (1986) mengetengahkan urbanisasi tidak hanya
sebagai peningkatan dan pemadatan jumlah penduduk kota,
tetapi juga pemadatan dan perluasan fisik kota, perubahan
pola hidup masyarakat desa menjadi masyarakat kota, serta
2 | Fitrawan Umar
pertumbuhan jumlah kota di suatu wilayah akibat
perkembangan teknologi dan ekonomi.
Migrasi ke kota, terutama dalam jumlah besar seperti
dalam momen pascalebaran di Indonesia, tentu adalah suatu
ancaman, tetapi sekaligus keniscayaan. Dikatakan ancaman
sebab dapat memicu masalah-masalah baru seperti
densifikasi negatif, kemacetan tak terbendung, permukiman
liar, dan kriminalitas. Kita tidak bisa menutup mata terhadap
persoalan-persoalan tersebut. Dikatakan keniscayaan sebab
kota pada dasarnya memiliki daya tarik ekonomi yang kuat
sehingga masyarakat banyak menggantungkan harapan
hidup di kota. Oleh karenanya, operasi kependudukan untuk
mencegah migrasi ke kota adalah usaha yang percuma, dan
bahkan menurut Marco (2006) adalah suatu ketidakaadilan.
Setiap warga negara berhak mendapatkan keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi di kota yang jauh lebih pesat
dibanding wilayah di luar kota akibat ketidakadilan
pembangunan.
Urbanisasi, atau proses mengkota, hanya akan menjadi
peluang jika dilakukan secara terencana. Perencanaan New
York dapat menjadi contoh (best practice) dalam hal
perencanaan urbanisasi yang memisahkan diri sebagai pusat
ekonomi dari Kota Washington DC yang berfokus pada fungsi
pemerintahan. Proses mengkota di berbagai wilayah
Indonesia sering hanya berupa luberan dari kota utama yang
menjalar ke pinggiran tanpa rencana (urban sprawl). Alhasil,
persoalan-persoalan laten di kota justru berpindah ke
pinggiran alih-alih terselesaikan.
Akan halnya pembangunan kota baru (kota satelit/kota
mandiri) yang berkembang sekarang pun belum dapat
Masa Depan Kota dan Lingkungan |3
menjawab persoalan. Salah satu masalah yang bisa
disebutkan, yaitu invasi kaum pendatang sehingga
kepentingan penduduk lokal terpinggirkan. Penduduk kota
justru ramai-ramai mendominasi kota baru (menjadi
komuter), bukannya menahan para pendatang. Hal ini justru
menguatkan bahwa perencanaan tidak dilakukan dengan
baik.
Belajar dari pemerintah kolonial Belanda, urbanisasi
terencana perlu diiringi oleh usaha de-urbanisasi terhadap
kota yang sudah terlampau berat menerima beban. Kasus
Jakarta, misalnya, bisa dilakukan de-urbanisasi dengan
memindahkan beban fungsi pemerintahan (status ibukota).
Di kota-kota lain, seperti Kota Makassar, bisa dilakukan
dengan memindahkan fungsi kawasan industri atau
perdagangan atau pendidikan atau kesehatan ke wilayah
lainnya. Namun, de-urbanisasi tidak diartikan sebagai usaha
mematikan suatu kota sehingga penduduknya migrasi keluar
sebagaimana Belanda dulu, melainkan hanya sebagai bagian
dari penataan, dan sebagai ikhtiar pemerataan atau keadilan
pembangunan di wilayah-wilayah selain kota utama.

4 | Fitrawan Umar
Geliat Benteng dan Koloni Permukiman

Gambar 2 Perkampungan Kota di Makassar (Dok. Pribadi)

M
enyimak film-film kolosal tentang peperangan,
terkhusus yang mengangkat latar Mesir,
Yunani, Romawi, dan Cina, kita akan
menemukan istilah-istilah seperti “penyerbuan benteng” atau
“penaklukan pintu gerbang”. Benteng dan pintu gerbang
memang adalah dua istilah yang kurang lebih dapat mewakili
kehidupan spasial masyarakat pada zaman itu. Literatur

Masa Depan Kota dan Lingkungan |5


sejarah perkembangan kota mencatat, kota-kota awal dengan
pengaruh kuat kerajaan seperti demikian bertahan hingga
pada abad pertengahan.
Pola spasial kota-kota awal dibentuk oleh adanya
dinding pembatas yang membentengi kota dan memisahkan
kota dengan wilayah lain, serta ditandai dengan adanya pintu
gerbang sebagai akses keluar masuk kota. Kerajaan-kerajaan
dahulu mengondisikan kota dengan tujuan utama pada aspek
keamanan, sehingga musuh perang tidak dengan mudah
memasuki wilayah kekuasannya.
Seiring perjalanan waktu, perkembangan kota dengan
beragam latar pemikiran-sosial-politik melahirkan bentuk-
bentuk kota yang baru─seperti gagasan Kota Taman oleh
Ebenezer Howard─dan akhirnya pada tahun 1980-an muncul
gejala bentuk kota yang kembali menyerupai kota-kota awal,
terutama berkembang di negara-negara maju Eropa dan
Amerika.
Kemudian, oleh semangat globalisasi, bentuk kota
modern yang sebetulnya kembali mengambil gagasan kota-
kota awal juga berkembang cepat di Indonesia. Cikal bakal
kota yang dimaksud adalah permukiman-permukiman yang
banyak dibentuk sendiri oleh para pengembang, berkonsep
dinding pagar untuk membentengi kawasan dan pintu
gerbang sebagai jalur keluar masuk kawasan. Ciri-ciri lain
seperti yang disebut Widhyharto, yakni terdapatnya elemen
pos satpam, portal, palang pintu, dan atribut penanda seperti
“dilarang masuk” atau “tamu harap lapor”. Para peneliti
permukiman dan perkotaan memberikan istilah permukiman
tersebut sebagai gated community atau komunitas berpagar,

6 | Fitrawan Umar
atau urban secession, atau walled communitiy, atau komunitas
pintu gerbang (KPG) menurut Bambang Heryanto.
Perkembangan gated community melahirkan bentuk fisik
kota yang menyerupai kumpulan benteng, dan secara
keruangan seolah terpisah satu sama lain. Graham dan
Marvin dalam “Splintering Urbanism” menyebutnya sebagai
urban fragmentation (fragmentasi kota), yakni pembagian
spasial kota, baik sengaja maupun tidak disengaja, ke dalam
beberapa kelompok manusia (koloni). Fragmentasi kota
pada akhirnya dan kenyataannya adalah hulu dari
ketidakadilan spasial-sosial.
Gated communitiy berkembang dan mewujud di
Indonesia dalam beragam rupa: town house, apartemen,
maupun superblock. Permukiman skala besar tersebut
bahkan telah dapat mengatur dirinya sendiri. Gated
community memiliki infrastruktur mandiri, semisal jalan, air
bersih, drainase, persampahan, dan listrik, sampai pada
keberadaan sarana sekolah, kesehatan, pusat perbelanjaan,
olahraga, dan rumah-rumah ibadah. Kemandirian gated
community membuat mereka punya alasan memisahkan diri
(splintering) dan tidak butuh intervensi atau bantuan dari
pihak luar, atau dalam kondisi ekstrim, Mancebo dalam
“Urbanism” menyingkap, mereka tidak terikat dengan aturan
atau otoritas lokal.
Gated community memicu ketidakharmonisan sosial.
Widhyharto dalam penelitiannya di Yogyakarta
menyebutkan, ada kecenderungan masyarakat gated
community enggan berinteraksi dengan masyarakat kampung
di sekitarnya. Para pemukim dalam lingkaran gated
community cenderung homogen dan eksklusif. Mereka
Masa Depan Kota dan Lingkungan |7
mempunyai kelas ekonomi yang setara, dan berentang jauh
dengan masyarakat kampung-miskin-kumuh di sekelilingnya.
Adapun Bambang Heryanto mengingatkan, gated community
tidak hanya menghilangkan lingkungan kehidupan secara
intangible, tetapi juga secara tangible dengan hilangnya
ruang-ruang terbuka yang ada. Pagar-pagar tinggi seolah
benteng yang mengisolasi masyarakat untuk berbaur satu
sama lain.
Gated Community menciptakan ketidakadilan sosial.
Dengan kekuatan kapital yang dimiliki, gated community
menikmati permukiman dengan aman dan nyaman: bebas
banjir, bebas maling, lingkungan bersih, air dan listrik
terjamin, dan seterusnya. Sedang masyarakat yang tak
mampu menjangkau investasi privat di town house,
apartemen, dan superblock, hanya bisa menerima keadaan
lingkungan seadanya (bahkan perlu dilakukan penelitian,
apakah keberadaan gated community bebas banjir justru
berdampak pada kejadian banjir di wilayah sekitarnya?)
Meluasnya gated community adalah indikasi kelemahan
dan keterbatasan pemerintah dalam banyak hal. Masyarakat
kelas ekonomi atas merasa tak mendapat keamanan yang
cukup untuk tinggal di daerah-daerah permukiman atau
perkampungan biasa. Mereka justru menemukan keamanan
di permukiman berpagar─lengkap CCTV, pos keamanan 24
jam, dan akses pengunjung yang terbatas. Masyarakat
merindukan permukiman bebas banjir, hijau, asri, dengan
infrastruktur dan utilitas yang lengkap, dan masyarakat
menemukannya banyak di gated community, sedang
pemerintah terbatas untuk itu. Yang lebih menyedihkan, di
tengah keterbatasan, pemerintah dan seperangkat aturan
8 | Fitrawan Umar
rencana tata ruang lemah pula dalam menghadang gempuran
investasi swasta untuk menguasai ruang-ruang perkotaan,
dari pusat hingga pinggiran. Ironinya lagi, penguasa kota
seringkali mengaminkan ke-liberal-an kota dengan beragam
modus-daya-upaya. Kepentingan ruang seringkali menjadi
kalah jika berhadap-hadapan dengan uang dan kekuasaan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan |9


10 | Fitrawan Umar
Bangkitnya Teknokratisme dan Kesia-siaan

Gambar 3 Pedagang Kecil di Wonosobo (Dok. Pribadi)

K
egagalan orde baru identik dengan kegagalan
mazhab pembangunan teknokratisme, yaitu cara
pandang pembangunan yang bertumpu pada
kebenaran tunggal pengelola negara, dengan dukungan
insinyur dan ekonom yang dianggap paling memahami
persoalan sebagai satu-satunya sumber masukan dalam
pengambilan kebijakan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 11


Pada banyak aspek, kemajuan pembangunan memang
bisa dirasakan—harus diakui. Tetapi, aspek-aspek lain
menyisakan masalah yang tidak mudah untuk diselesaikan
sampai bertahun-tahun ke depan. Bahkan dalam hal yang
berkaitan dengan lingkungan, pembangunan ala orde baru
mewariskan persoalan yang sangat serius dan tidak bisa
dipulihkan lagi.
Teknokratisme membentangkan jarak antara kebijakan
pembangunan dan masyarakat yang membutuhkannya.
Gagasan pembangunan selalu ‘jatuh’ dari atas, dan
masyarakat hanya ditempatkan pada posisi yang harus siap
menadah—mau tidak mau, suka atau tidak suka.
Teknokratisme sekaligus juga menjauhkan ilmu
pengetahuan, yang dibawa oleh insinyur dan ekonom ala
birokrasi dan kampus ‘menara gading’, dari kepentingan
masyarakat yang berbasis pada pengetahuan lokal dan cara
pandang tertentu dalam menjalani kehidupan. Pengambil
kebijakan seakan-akan adalah sosok yang ‘maha tahu’ atas
segala persoalan rakyat. Ilmu pengetahuan pun dikorbankan
menjadi mitos belaka.
Sikap ‘maha tahu’ pemerintah menjadi bibit tumbuhnya
resistensi masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
pembangunan, yang pada akhirnya mengarah kepada
kegagalan dan kesia-siaan pembangunan. Apa yang dianggap
baik oleh pemerintah selalu dipaksakan ingin sama dengan
anggapan baik oleh masyarakat. Padahal, kenyataannya tidak.
Resistensi pembangunan di era orde baru memang tidak
terlalu mencuat ke permukaan. Namun, bukan karena
diterima secara sahih, melainkan semata-mata karena ruang

12 | Fitrawan Umar
resistensi itu ditutup rapat-rapat dengan berbagai kekuatan
orde baru.
Jatuhnya rezim orde baru ternyata tidak diikuti oleh
tumbangnya model kepemimpinan teknokratisme. Dalam
beberapa hal memang rezim reformasi membawa angin
segar, seperti desentralisasi dan gaung pembangunan
‘bottom up’ yang kian menggema. Akan tetapi, dalam praktek
yang dominan, gaung ‘bottom up’ yang menggema itu tidak
seindah suara aslinya. Teknokratisme masih tetap
dipertahankan dengan gaya-gaya baru.
Dalam hal penataan kota, misalnya, rumah-rumah
masyarakat miskin seringkali dipandang dari perspektif
birokrat; permukiman golongan bawah sering dinilai dari
‘luar’ sehingga sangat mudah melabeli wilayah mereka
sebagai wilayah yang perlu ditata, atau lebih buruknya
berakhir sebagai korban penggusuran paksa.
Pemerintah seolah menjadi pahlawan karena dianggap
menyelesaikan masalah yang sama sekali tidak dianggap
sebagai solusi oleh masyarakat. Pemerintah yang ‘maha tahu’
selalu merasa diri telah menyelamatkan golongan objek
pembangunan yang ‘tidak tahu’ itu. Asumsi-asumsi yang tidak
jarang membawa nama ilmu pengetahuan sering dijadikan
alat legitimasi sah sebagai pembenaran. Masyarakat kecil pun
dianggap tidak berpengetahuan sehingga tidak diberi ruang
untuk berpendapat. Begitulah teknokratisme bekerja.
Di era reformasi, resistensi masyarakat telah menemui
ruangnya. Demonstrasi terhadap program pembangunan
yang merugikan rakyat muncul di mana-mana. Sekadar
menyebut beberapa: protes masyarakat Rembang terhadap
pabrik semen, penolakan masyarakat Bali dan Makassar
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 13
terhadap reklamasi pantai, perlawanan penggusuran di
Buloa, serta Kampung Pulo di Jakarta. Semua itu adalah buah
dari bangkitnya teknokratisme pemerintah sekarang ini.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan
semata-mata karena tidak dekatnya pelaku pembangunan
dengan masyarakat. Pendekatan ke masyarakat masih
banyak hanya bersifat sosialisasi atau pemberitahuan.
Padahal, yang dibutuhkan adalah pendekatan partisipatoris
dan pemberdayaan.
Teknokratisme yang masih terus dipertahankan kini
menjadi ancaman pula bagi pembangunan desa. Program
pembangunan desa yang digiatkan di bawah lembaga
kementerian dengan dukungan dana yang kuat, apabila masih
dilakukan dengan cara-cara lama, berpotensi menemui
kegagalan.
Teknokratisme hanya akan melihat desa dari ‘luar’, dari
perspektif birokrat-insinyur-ekonom yang ‘maha tahu’, tanpa
menimbang ‘kecerdasan’ masyarakat internal desa. Pada
akhirnya bukan ‘pembangunan desa’ yang terjadi, melainkan
‘pembangunan di desa’ atau ‘pembangunan untuk desa’. Bila
demikian, pembangunan hanya akan berujung pada kesia-
siaan.

14 | Fitrawan Umar
Anak dan Monster Bernama Kota

Gambar 4 Anak-Anak di Lap. Karebosi Makassar (Dok. Pribadi)

K
ota semacam monster bagi anak-anak. Makhluk
mengerikan yang telah melahap banyak
lingkungan alami, menelan pepohonan,
menggasak para unggas, dan menculik lahan bermain anak-
anak.
Anak-anak, secara terencana dan sistematis, dipaksa
untuk mendekam di rumah masing-masing. Anak-anak kota
tidak mempunyai kesempatan luas untuk menikmati masa-

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 15


masa bermain mereka di luar rumah. Lahan bermain
berkurang. Kualitas lingkungan, semacam kepadatan, polusi,
atau kebisingan juga kurang mendukung sehingga anak-anak
merasa tidak aman dan nyaman (atau tidak diizinkan orang
tua) untuk bermain bebas di lingkungan perkotaan.
Jika pun anak-anak bermain di luar rumah, mereka akan
bermain di tempat-tempat yang rawan: jalan raya, bantaran
sungai, jembatan, dan lain-lain.
Kita lihat, banyak anak yang terpaksa menghabiskan
waktu bermainnya di rumah. Didukung oleh teknologi
canggih yang masuk bagai hantu ke rumah-rumah, telah
sukses membuat anak terlena dengan aktivitas bermain di
dalam rumah. Mereka lebih dekat dengan video game, atau
sekarang smartphone daripada alam terbuka dan segala
permainan yang dapat diciptakan sendiri. Mereka jauh dari
hutan, sawah, rawa, tambak, binatang, dan pepohonan. Dan
justru akrab dengan gedung-gedung modern, pusat
perbelanjaan, dan industri.
Hal di atas-lah yang oleh Richard Louv sebut dengan
nature deficit disorder, yaitu suatu gangguan karena
kekurangan pengalaman langsung atau berkontak langsung
dengan alam. Nature deficit disorder membawa aneka
dampak negatif terhadap anak-anak. Beberapa misal yang
disebutkan dalam beberapa literatur psikologi lingkungan:
obesitas dan kurangnya daya tahan tubuh terhadap penyakit
(anak-anak yang terbiasa bermain di lingkungan alami
terbuka punya tingkat adaptasi kuat terhadap perubahan
lingkungan, semisal cuaca yang tak menentu); kurang kreatif
(lingkungan alami memberi ruang kreativitas pada anak
untuk memilih dan menciptakan sendiri permainannya,
16 | Fitrawan Umar
semisal membuat ‘mobil-mobilan’ atau ‘kapal-kapalan’ dari
kayu dan pohon pisang; peta kognitif yang lemah;
kecendrungan agresivitas pada anak; gangguan psikologis
(stres, autis); sifat apatis terhadap lingkungan.
**
Anak-anak adalah cerminan masa depan bangsa. Kualitas
kehidupan bangsa di masa mendatang sangat ditentukan dari
kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak di masa
sekarang. Anak-anak itulah penerus cita-cita, sehingga jika
berbicara mengenai kemajuan bangsa Indonesia di masa akan
datang, maka perhatian terhadap anak-anak Indonesia adalah
suatu kemestian.
Karenanya, lingkungan kota beserta perkembangan
teknologi yang mengiringinya perlu mendapat perhatian
khusus. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
memperkirakan 60% anak akan tinggal di kota pada tahun
2025.
Sekait dengan itu sebetulnya Majelis Umum PBB pada
tahun 2002 telah memberikan resolusi sebagai rekomendasi
bagi para pemimpin global mengenai “A World Fit for
Children” atau Dunia Layak Anak. Dalam rekomendasi itu
ditekankan pentingnya memperhatikan lingkungan anak
dalam dinamika pembangunan suatu negara.
Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia, atau
dalam hal ini Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak juga telah menerbitkan Peraturan
Menteri No.11 Tahun 2011, yaitu tentang Kebijakan
Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Kota Layak Anak diharapkan dapat memperhatikan
aspirasi anak-anak dalam pembangunan atau rancang
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 17
bangun suatu kota. Selain fasilitas pelayanan dasar semisal
kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi, dan lainnya, anak-
anak perlu diperhatikan dengan menyiapkan lahan-lahan
bermain untuk mereka. Betapa sedihnya jika dalam suatu
kompleks perumahan atau permukiman tidak mempunyai
sepetak lahan tempat anak-anak untuk bermain, berlari-lari,
dan bersenang-senang. Bahkan, di beberapa sekolah dasar
anak-anak tidak punya lapangan untuk sekadar mengisi jam
pelajaran olahraga dan jam istirahat. Betapa tidak
berwarnanya.
Tulisan ini ditutup dengan salah satu pasal UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang sering
terabaikan: “Setiap anak berhak beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya,
bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembang diri”.

18 | Fitrawan Umar
Ruang Publik dan Usaha Menuju
Masyarakat Kota yang Bahagia

Gambar 5 Pantai Losari Makassar (Dok. Pribadi)

R
uang publik dalam pandangan filosof yang
mempopulerkan istilah ini, Jurgen Habermas,
adalah bagian dari fitur demokrasi. Ruang publik
dikatakan sebagai wahana untuk menyuarakan pendapat dan
jembatan komunikasi antarwarga. Medium untuk hal ini
bersifat tak terbatas, dapat berupa ruang berekspresi secara
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 19
fisik, maupun non-fisik yang interaksi warganya dapat
berupa pertemuan tak langsung.
Namun, dalam perspektif arsitektur perkotaan, ruang
publik dapat berfungsi selain dari hal tersebut meski areanya
lebih sempit berupa ruang spasial yang nyata. Dalam hal ini
ialah seluruh ruang yang memungkinkan orang-orang untuk
bertemu, berinteraksi, berkenalan, atau berbicara satu sama
lain secara fisik. Ruang publik dalam konteks ini tidak selalu
terkait dengan demokrasi dan saluran aspirasi masyarakat.
Ruang publik di kota dapat berwujud dalam berbagai
bentuk, seperti terminal, stasiun, jalan, taman-taman, dan
lapangan. Kepentingan pembentukan ruang publik semacam
ini adalah untuk merekatkan ikatan sosial antarwarga kota.
Lebih dari itu adalah untuk memberi kebahagiaan kepada
warga.
Kita menyadari, kota dengan segala dinamikanya dapat
mengancam kesehatan mental penghuninya. Seluruh polusi
bisa mengepung warga kota dalam waktu bersamaan. Oleh
karena itu, ruang publik adalah semacam oase di kota, tempat
warga untuk berbagi cerita sejenak bersama sesama warga
kota. Polusi lingkungan memang tidak benar-benar hilang di
ruang publik, terutama ruang non terbuka hijau, tetapi
dengan berinteraksi dengan orang lain, kejenuhan itu bisa
berkurang. Lebih lanjut dari itu ialah terbitnya kebahagiaan
bagi warga kota.
Kebahagiaan warga kota bisa terpenuhi, salah satunya,
adalah dengan kehadiran ruang publik. Masyarakat bisa
berbaur satu sama lain tanpa mengenal status atau kelompok
sosial manapun. Mereka dapat mengenal dan memahami satu
sama lain. Bagi anak-anak terutama, ruang publik menjadi
20 | Fitrawan Umar
tempat untuk bermain dan mulai mengenali lingkungan
tempatnya tumbuh besar. Ruang publik dapat menjadi pusat-
pusat akivitas seni budaya masyarakat kota. Dengan
demikian, besar harapan agar masyarakat kota yang identik
dengan sifat individualis bisa menjadi masyarakat yang
punya keakraban tinggi satu sama lain. Sumber kebahagiaan
bisa berasal dari hal-hal tersebut.

Ruang yang Banyak tapi Terbatas


Ruang publik ternyata adalah pekerjaan besar para
pemangku kebijakan di kota. Padahal ruang publik berada di
mana-mana di sepenjuru kota. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, jalan adalah ruang publik, halte adalah ruang
publik, tempat parkir dan taman adalah ruang publik, dan
seterusnya.
Namun, kehadiran ruang-ruang tersebut tidak
sepenuhnya optimal berfungsi sebagai ruang publik. Jalan
sekarang ini dominan dikuasai oleh warga kelas menengah ke
atas. Para pejalan kaki dan pesepeda mendapat perlakuan
yang tidak ramah, atau lingkungan yang tidak kondusif untuk
mereka memanfaatkan ruang jalan tersebut.
Halte pun demikian, tidak semuanya berfungsi dengan
baik. Halte-halte dalam banyak kota di Indonesia cenderung
sepi karena tidak fungsional, seiring dengan buruknya
transportasi publik yang cocok untuk semua lapisan
masyarakat.
Taman-taman kota di Indonesia juga masih tak lepas dari
masalah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif, taman yang tergolong ruang terbuka hijau
dituntut berjumlah 30% dari ruang kota, dan hal ini nyaris
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 21
tidak terpenuhi di hampir semua kota di Indonesia. Secara
kualitatif, taman-taman yang dibangun juga masih sering
bermasalah dalam hal pemanfaatan. Beberapa taman yang
dibangun justru sepi pengunjung dan berakhir kepada
ketidakterawatan dan menjadi lahan yang sia-sia.

Peluang di Masa Mendatang


Tema Hari Habitat Dunia “Public Spaces for All” sangat
positif untuk meningkatkan kesadaran seluruh pihak terkait
urgensi ruang publik dan seluruh permasalahan yang
mengikutinya. Kampanye ruang publik memang harus terus
digalakkan agar menjadi perhatian, tidak hanya dari
pemerintah, tetapi juga dari pihak swasta dan lembaga atau
institusi lainnya.
Kita bersyukur karena kepedulian pemerintah kota-kota
di Indonesia belakangan ini cenderung positif terhadap
kehadiran ruang publik. Pemerintah pusat juga sangat
mendukung dengan berbagai instrumen, seperti penyusunan
aturan, pemberian reward di sejumlah kementerian, insentif,
atau gerakan semisal Kota Hijau, dan sebagainya. Termasuk
juga dalam hal ini adalah media yang mencitrakan positif
sejumlah pemerintah kota yang peduli dengan ruang-ruang
publik.
Perkembangan komunitas-komunitas kreatif di kota juga
turut memberi harapan. Komunitas-komunitas kreatif ini
yang cenderung aktif untuk memanfaatkan dan terlibat dalam
pembentukan ruang publik di tengah masyarakat.
Kota diharapkan menjadi ruang sumber kebahagiaan
bagi warganya. Tidak hanya selalu terkait dengan
kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan sosial.
22 | Fitrawan Umar
Kepentingan ekonomi semata tidak membuat orang merasa
memiliki kotanya. Akan halnya dengan kepentingan sosial,
kota akan menjadi tempat yang dinantikan, suatu ruang
hidup yang dirindukan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 23


24 | Fitrawan Umar
Ruang Publik Perkotaan dan Creative
Governance: Membangun Harapan

Gambar 6 Taman Macan di Kota Makassar (Dok. Pribadi)

K
ota berkembang dengan dinamis, cepat, dan
cenderung memerangkap warganya menjadi
individualis dan asing. Warga kota dapat menjadi
asing terhadap orang lain dan juga terhadap dirinya sendiri.
Kota yang berputar di atas roda ekonomi semata nyaris
tidak menyisakan ‘jeda’ bagi warganya untuk beristirahat,
merekreasikan diri, dan berinteraksi dengan orang lain. ‘Jeda’
di sini tidak selalu terkait dengan waktu, tetapi juga adalah
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 25
ruang. Ruang yang dimaksud adalah ruang publik yang
memberi kesempatan kepada warga untuk saling berkumpul
dan saling mengenali sesama.
Ruang publik adalah keniscayaan agar kehidupan kota
berjalan secara sehat dengan warga yang bahagia. Imam
Prasodjo, Sosiolog, seperti dilansir cnnindonesia.com,
menyebut ruang publik dapat menghadirkan kebahagiaan
sosial. Kebahagiaan sosial yaitu lahir dari interaksi terhadap
sesama dan munculnya sikap saling menghargai identitas
masing-masing, dan semuanya dapat berlangsung di ruang
publik.
Interaksi sosial di ruang publik membuat warga dapat
memahami keberadaan satu sama lain, dan mengerti
komunitas masing-masing. Hal ini membawa dampak positif
bagi keberlangsungan pergaulan sosial yang heterogen di
kota. Warga kota di Indonesia heterogen dari banyak unsur,
seperti suku, budaya, agama, dan tingkat kesejahteraan.
Heterogenitas tersebut tidak jarang menimbulkan konflik,
baik yang mengarah kepada konflik fisik, maupun konflik
non-fisik seperti pengabaian dan sebagainya.
Kementerian Pekerjaan Umum melalui Peraturan
Menteri No.12/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau menyadari betul
hal ini. Disebutkan bahwa manfaat ruang terbuka atau dalam
hal ini adalah ruang publik dalam jangka panjang ialah
mereduksi permasalahan dan konflik sosial. Manfaat lainnya
yaitu untuk meningkatkan produktivitas masyarakat,
kelestarian lingkungan, dan peningkatan nilai ekonomis
lahan di sekitarnya.

26 | Fitrawan Umar
Namun, ruang publik di kota-kota Indonesia belum
sepenuhnya memenuhi harapan. Marco Kusumawijaya
(2006) yang mengistilahkan ruang publik sebagai ruang
khalayak menyebut bahwa ruang tersebut sedang mengalami
punciutan dan pemiuhan, terdiri dari dimensi penggunaan,
aksesibilitas, pemaknaan, dan arsitektur.
Salah satu penyebab masalah-masalah tersebut, yaitu
pembiayaan dan minimnya anggaran pemerintah. Maka jalan
lain yang ditempuh ialah melibatkan pihak swasta dalam
mengelola ruang publik warga. Namun, hal ini juga
menimbulkan permasalahan baru, yaitu lebih
didahulukannya kepentingan ekonomi daripada kepentingan
sosial dan lingkungan.
Pembentukan ruang publik oleh swasta seringkali
mereduksi makna ruang publik itu sendiri. Ruang publik yang
seharusnya bisa menjadi milik semua orang bergeser menjadi
milik kelas ekonomi tertentu. Dalam hal ini misalnya adalah
pembangunan mall, plaza, taman di kompleks perumahan
elit, dan pusat-pusat pertemuan yang eksklusif.
Pihak swasta akan sangat membantu keberadaan ruang
publik jika yang dimaksudkan adalah bagian dari coorporate
social responsibility (CSR) dan disumbangkan secara cuma-
cuma untuk pengelola ruang publik. Pemerintah perlu
menangkap peluang ini. CSR untuk pembangunan ruang
publik semisal taman dan alun-alun belum banyak mendapat
perhatian.
Model pembentukan ruang publik Pantai Losari di
Makassar juga bisa menjadi alternatif, yaitu menarik
partisipasi swasta yang terkait langsung dengan lokasi
usahanya. Misal, hotel-hotel dan usaha di sekitarnya turut
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 27
berperan karena keberlanjutan usaha mereka sangat
bergantung dari pengelolaan ruang publik Pantai Losari.
Terlepas dari isu reklamasi, Pantai Losari sekarang ini dapat
menjadi contoh ruang publik yang indah, terbuka, dan gratis
untuk semua orang. Biaya parkir pun gratis.
Permasalahan berikut, yaitu rendahnya partisipasi
warga dalam pemanfaatan ruang publik. Untuk hal ini, dapat
disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya yaitu tidak
dilibatkannya warga dalam pembentukan ruang publik, atau
dari segi arsitektur dan pemaknaan tidak menarik hati warga
di sekitarnya. Hal lain misalnya ialah tidak terpadunya ruang
publik dengan konsep penataan ruang kota. Jejaring ruang
publik belum terbentuk sehingga aksesibilitas warga masih
menjadi penghambat.
Rony Gunawan, dkk (2010) menyebut bahwa
keterlibatan warga yang rendah dalam pembentukan ruang
publik sering dikarenakan terbatasnya waktu pemerintah
dalam penggunaan anggaran. Melibatkan warga memang
butuh waktu yang tidak sedikit sehingga sering bertabrakan
dengan jadwal penganggaran pemerintah dalam
merealisasikannya.
Namun, hal ini tentu saja masih bisa disiasati.
Pemerintah kota memang seharusnya kreatif dalam
mengimplementasikan programnya. Pemerintah kota bisa
menggandeng lembaga swadaya masyarakat yang sekarang
ini banyak berkiprah dalam hal pendampingan warga terkait
proses pembangunan.
Selain good governance, gagasan creative governance
perlu dikembangkan lebih lanjut. Pembangunan taman, atau
apa saja terkait ruang publik menuntut adanya kreativitas
28 | Fitrawan Umar
agar menarik hati masyarakat dalam pemanfaatannya. Tidak
semata political will pemerintah kota.
Pembangunan taman-taman tematik dapat menjadi
contoh yang menarik agar masyarakat punya pilihan dan
terhindar dari kejenuhan. Taman-taman tematik ini misalnya
dapat dilihat di Kota Bandung beberapa tahun terakhir.
Kita mesti bersyukur karena belakangan sudah
berkembang kesadaran para pemerintah daerah dan kota
untuk membangun ruang publik, terutama taman-taman. Hal
ini tak lepas dari kebijakan pemerintah pusat dan civil society
dalam memberikan penghargaan dan citra positif terhadap
pemerintah yang membangun ruang publik. Seluruh
pemimpin yang membangun taman sekarang ini akan
mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Hanya saja, sekali lagi memang perlu creative
governance. Termasuk dalam hal ini yaitu bagaimana
pemerintah kota bisa menyiasati tingginya harga dan
keterbatasan lahan di kota untuk membentuk ruang publik.
Kita masih punya banyak harapan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 29


30 | Fitrawan Umar
Mengenai Kebijakan Ganjil-Genap
Kendaraan Pribadi

Gambar 7 Salah Satu Sisi Kota Yogyakarta (Dok. Pribadi)

W
acana pemberlakuan pembatasan pelat
nomor kendaraan ganjil genap untuk
mengurangi kemacetan masih menyisakan
kontroversi di kalangan masyarakat. Satu pihak ada yang
memuji langkah tersebut sebagai bukti keseriusan
pemerintah untuk mengatasi problem kemacetan, satu pihak
pula menganggap upaya itu sebagai hal yang tidak berguna,
dalam artian tidak akan efektif untuk mengurangi kemacetan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 31


Sebenarnya kebijakan pembatasan pelat nomor
kendaraan bukanlah sesuatu yang baru di dunia ini. Semula,
pada tahun 1979, pemerintah Amerika Serikat
memberlakukan pembatasan pelat nomor kendaraan ganjil
genap untuk menghadapi krisis bahan bakar minyak (BBM).
Pelat nomor kendaraan ganjil hanya dibolehkan mengisi
bahan bakar pada tanggal-tanggal ganjil, sebaliknya pelat
nomor kendaraan genap hanya dibolehkan pada tanggal-
tanggal genap.
Tahun 1982, pemerintah Kota Athena, Yunani, mulai
menerapkan kebijakan pelat nomor kendaraan ganjil genap
untuk membatasi penggunaan ruang jalan. Pada ruas jalan
tertentu, khususnya di pusat kota Athena, kendaraan dengan
pelat nomor ganjil tidak dibolehkan melintasi jalan tersebut
pada tanggal-tanggal ganjil. Pula, kendaraan dengan pelat
nomor genap tidak dibolehkan berkeliaran pada tanggal-
tanggal genap.
Sejak tahun 1989, pembatasan pelat nomor kendaraan
juga diterapkan di Kota Meksiko. Bedanya, pemerintah Kota
Meksiko membatasi nomor digit belakang tertentu untuk
tidak beroperasi selama hari tertentu. Misalkan, pelat dengan
nomor digit belakang 5-6 dilarang beroperasi pada hari
Senin. Pelat dengan nomor digit belakang 7-8 dilarang
beroperasi pada hari Selasa, dan lain seterusnya.
Kota-kota lain di dunia yang juga memberlakukan
pembatasan pelat nomor kendaraan adalah Sao Paulo (Brazil,
1997), Bogota (Kolombia, 2000), dan Beijing (China, 2008).

32 | Fitrawan Umar
Kelebihan vs Kelemahan
Belajar dari pengalaman kota-kota lain sebagaimana
yang disebutkan di atas, keefektifan pembatasan pelat nomor
kendaraan memang masih diperdebatkan. Sejumlah laporan
dari Kota Athena dan Kota Meksiko bahkan menganggap
kebijakan tersebut adalah sebuah kegagalan.
Penelitian Cambridge Systematic Inc di Athena
menyebutkan bahwa pembatasan pelat nomor kendaraan
justru membuat kepemilikan mobil menjadi meningkat,
warga kota memilih untuk membeli kendaraan kedua,
penggunaan taksi meningkat, dan kemacetan bertambah
parah di luar pusat kota Athena.
Begitu pula yang terjadi di Kota Meksiko. Menurut riset
Bank Dunia, kepemilikan kendaraan dalam rentang waktu 6
bulan justru semakin meningkat pasca diberlakukannya
pembatasan pelat nomor kendaraan.
Adapun untuk Kota Sao Paulo dan Kota Bogota, semenjak
diberlakukannya pembatasan pelat nomor kendaraan,
didapatkan hasil bahwa volume kendaraan berkurang saat-
saat jam sibuk, kecepatan kendaraan meningkat, dan berhasil
mengurangi kemacetan sampai 30 persen.
Namun, jika dipelajari lebih lanjut, ternyata pemerintah
Kota Sao Paulo dan Kota Bogota juga cukup serius dalam
membangun infrastruktur transportasi massal. Sehingga
memunculkan asumsi, berkurangnya kemacetan dan
menurunnya volume kendaraan di dua kota tersebut adalah
bukan karena pembatasan pelat nomor kendaraan,
melainkan karena keberhasilan dalam menyediakan
infrastruktur transportasi massal.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 33


Pelarangan vs Pelayanan
Secara umum, terdapat dua pilihan pemerintah untuk
memuluskan program yang diinginkan. Pertama adalah
pelarangan. Kedua adalah pelayanan. Pemerintah yang baik
dan didambakan masyarakat tentu saja adalah yang lebih
mendahulukan aspek pelayanan daripada pelarangan.
Mari kita mengambil contoh dari kasus-kasus
penggusuran pedagang kaki lima yang selalu menyisakan
kesedihan sosial. Dalam hal ini, pemerintah kebanyakan lebih
menonjolkan aspek pelarangan daripada pelayanan. Semisal
dilarang berdagang di ruas jalan tertentu, di titik tertentu,
dan lain sebagainya. Akan tetapi, pemerintah cukup jarang
menyediakan alternatif tempat yang layak dan bernilai
ekonomis bagi pedagang. Menyediakan alternatif itu yang
kita sebut dengan fungsi pelayanan pemerintah.
Bila saja pemerintah berhasil ‘melayani’ pedagang kaki
lima untuk mendapatkan lokasi yang tepat, maka secara
naluriah, pedagang kaki lima tidak akan menunggu ‘larangan’
untuk berpindah lokasi.
Hal serupa berlaku untuk program mengurangi
kemacetan sebagaimana topik tulisan ini. Aspek pelarangan,
dalam konteks ini adalah pembatasan pelat nomor
kendaraan, diyakini tidak akan berjalan efektif dalam
mengurangi kemacetan. Sementara, kita tahu bahwa aspek
pelayanan, dalam konteks ini menyediakan transportasi
publik yang nyaman, cepat, dan murah, belum bisa dipenuhi
secara baik oleh pemerintah.
Aspek pelarangan sesungguhnya hanyalah instrumen
tambahan untuk mendukung aspek pelayanan. Bukan
sebaliknya, malah aspek pelarangan lebih ditonjolkan
34 | Fitrawan Umar
daripada aspek pelayanan. Keberhasilan untuk mengurangi
kemacetan di Kota Sao Paulo dan Kota Bogota, dan kota-kota
maju lainnya lebih disebabkan karena ketersediaan
transportasi publik yang cepat, murah, dan nyaman untuk
warga. Pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi,
pembatasan pelat nomor kendaraan ganjil genap,
pembatasan penggunaan ruang jalan pada ruas dan waktu
tertentu, ataukah penerapan pajak progresif adalah sebatas
instrumen tambahan dan pendukung saja.
Namun, di atas dari segalanya, komitmen dan inisiatif
pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengurangi masalah
kemacetan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 35


36 | Fitrawan Umar
Mengenai Ojek Berbasis Aplikasi

Gambar 8 Sisi Jalan Maliboro Yogyakarta (Dok. Pribadi)

S
ebelum layanan ojek berbasis aplikasi smartphone
memicu kontroversi di masyarakat, dosen-dosen
Universitas Hasanuddin sudah mengangkat isu
ojek pada seminar-seminar internasional. Sekadar menyebut,
Bambang Heryanto dan Rieke Hehanusa (2010) menulis
judul “Ojek, Newly Urban Transportation in Makassar” pada
seminar internasional City Plan and Environment
Management yang digelar di Jepang. Begitu juga Slamet
Trisutomo (2011) menulis “The Power of Ojek” pada seminar
internasional Urban and Regional Planning di Makassar.
Hasil kedua riset tersebut mengungkapkan bahwa ojek
sebetulnya telah menjadi moda transportasi perkotaan yang
diakui oleh masyarakat. Layanan ojek telah menjadi bagian
dari aktivitas kaum urban yang sangat membantu. Ojek
memberi tawaran alternatif sebab mampu menjangkau
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 37
wilayah-wilayah yang tidak terlayani oleh transportasi publik
(bis atau pete-pete di Makassar). Ojek punya daya jelajah yang
luas, mampu lebih mudah menembus kemacetan, dan relatif
murah. Selain itu, ojek adalah bagian dari usaha ekonomis
rakyat untuk memperoleh penghasilan. Betapa banyak
keluarga yang menggantungkan hidupnya pada upah jasa
tukang ojek.
Intinya, ojek punya ‘power’ atau kekuatan namun selama
ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Ojek masih
dianggap sebagai transportasi umum ilegal oleh Undang-
undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Di sini terjadi bentang jarak antara kebutuhan
masyarakat dan teks-teks aturan yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pemerintah.
Kemunculan ojek berbasis aplikasi smartphone
membawa pembicaraan mengenai ojek kembali menghangat.
Aplikasi smartphone kian membumikan jasa ojek di tengah
masyarakat. Kaum urban yang sudah gandrung dengan
teknologi smartphone merasa sangat terbantu oleh layanan
cepat dan modern ala perusahaan ojek berbasis aplikasi.
Inovasi ojek tersebut menjadikan layanan ojek tidak lagi
perlu selalu diidentikkan dengan transportasi rakyat
menengah ke bawah.
Di permukaan, masalah yang mencuat adalah persaingan
antara ojek konvensional (pangkalan) dan ojek berbasis
aplikasi smartphone. Tukang ojek konvensional merasa
tersaingi dan konsumennya direbut oleh ojek berbasis
aplikasi smartphone. Masyarakat kemudian terjebak pada
membanding-bandingkan kedua jenis layanan ojek tersebut.

38 | Fitrawan Umar
Generasi kekinian umumnya mendukung layanan ojek
berbasis aplikasi smartphone dibanding yang konvensional.
Namun, persoalannya tidak sekadar itu sesungguhnya.
Masalahnya, baik ojek konvensional maupun ojek berbasis
aplikasi smartphone adalah angkutan umum yang ilegal, tidak
mempunyai payung hukum, menurut Undang-undang No. 22
tahun 2009 tadi. Maka tak heran jika gelombang protes
terhadap Gubernur DKI Jakarta yang mendukung ojek
berbasis aplikasi smartphone berdatangan dari berbagai
penjuru.
Jauh hari, berdasarkan riset “The Power of Ojek”
sebagaimana yang disebutkan di awal, Slamet Trisutomo
(2011) memberi rekomendasi agar peraturan mengenai lalu
lintas dan angkutan jalan perlu ditinjau kembali. Ojek perlu
dipertimbangkan untuk dilegalkan dan diakui sebagai
angkutan umum masyarakat.

Pengaturan Usaha
Mengenai layanan ojek berbasis aplikasi smartphone
atau layanan sejenis di luar sistem konvensional, dan apapun
nanti yang berkembang sesuai kemajuan teknologi, jika
seandainya kelak dilegalkan sebagai angkutan umum, maka
sudah barang tentu harus memiliki regulasi yang jelas.
Prinsip-prinsip pengaturan usaha agar tidak terjadi
monopoli perlu dihadirkan dalam konteks ini. Tidak seperti
sekarang, yaitu ojek berbasis aplikasi smartphone yang
didukung oleh kekuatan modal dan teknologi dengan sangat
mudah menguasai pasar pengguna ojek. Tentu wajar bila
layanan ojek konvensional merasa tertindas dengan
keberadaan ojek berbasis aplikasi smartphone tersebut.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 39
Mereka tertindas semata-mata karena wilayah garapan
usahanya direbut atau dikurangi oleh perusahaan ojek
berbasis aplikasi smartphone.
Padahal, selama ini sudah terbangun sistem sosial yang
baik di antara para tukang ojek konvensional. Para tukang
ojek umumnya memiliki pangkalan atau komunitas sosial
tersendiri. Mereka membangun manajemen ojek secara
sederhana lewat pangkalan-pangkalan tersebut, yang
umumnya berbasis pada perumahan-perumahan atau pusat-
pusat aktivitas warga (kampus, sekolah, kantor, atau pusat
perdagangan). Bahkan, dalam beberapa komunitas terbentuk
semacam koperasi yang berusaha untuk mendongkrak
perekonomian anggotanya.
Dan di antara komunitas sosial tersebut telah terbentuk
konsesi atau aturan yang tidak tertulis untuk tidak saling
berebut wilayah konsumen. Sistem sosial di antara tukang
ojek konvensional seperti itu sudah terbangun sedemikian
rupa, dan ojek berbasis aplikasi smartphone ‘yang ada
sekarang’ sama sekali tidak menghargainya. Jika demikian,
keributan antara tukang ojek konvensional dan ojek berbasis
aplikasi smartphone menjadi sulit untuk dihindari.

Transportasi Publik
Terlepas dari semua yang disebut di atas, dalam konteks
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan transportasi publik,
ojek bagaimanapun juga punya kapasitas terbatas, yakni
dalam arti hanya bisa mengangkut satu orang dan sedikit
barang. Sekalipun undang-undang lalu lintas dan angkutan
jalan direvisi, ojek sebaiknya memang hanya diperuntukkan
sebagai moda alternatif, yaitu digunakan pada wilayah
40 | Fitrawan Umar
tertentu yang tidak dijangkau oleh transportasi publik. Tentu
dengan syarat bahwa pemerintah menjamin keberadaan
angkutan umum yang aman dan nyaman bagi masyarakat,
dan terhindar dari kemacetan. Merebaknya ojek sebetulnya
juga adalah indikasi bahwa masyarakat sudah jenuh dengan
ketiadaan transportasi publik yang sesuai dengan kebutuhan
mereka.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 41


42 | Fitrawan Umar
Bencana Nasional Bernama Mudik

Gambar 9 Perahu Nelayan Tepi Pantai Makassar (Dok. Pribadi)

M
udik sudah menjadi bagian tersendiri dalam
ekspresi keberagamaan Islam di Indonesia
pada setiap momen Hari Raya Idul Fitri. Bagi
sebagian orang, Idul Fitri tanpa mudik barangkali seperti
ketupat tanpa opor ayam, dan lain sebagainya.
Secara tradisi, mudik dimanfaatkan untuk bersilaturahim
atau berjumpa kembali dengan keluarga dan kerabat setelah
lama tak bertemu. Para perantau yang bekerja di luar
daerahnya (ke kota) tak akan melewatkan momen mudik Idul
Fitri untuk kembali menghapus rindu terhadap kampung
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 43
halaman. Itu sebab, pada momen-momen seperti ini ramai
diadakan acara reunian (terutama sekali alumni-alumni
sekolahan).
Seluruh sarana transportasi digunakan para pemudik
setiap tahunnya. Dari pesawat terbang, kapal laut, kereta api,
bis, mobil pribadi, sepeda motor, sampai bahkan bersepeda.
Namun, sayangnya, ritual mudik selalu diwarnai dengan
kecelekaan terhadap sarana-sarana transportasi yang ada.
Dari data Korps Lalu Lintas Polri (Selasa, 21/8/2012)
(kompas.com), kecelakaan arus mudik mencapai 3.291
kejadian, dengan jumlah korban meninggal sebanyak 574
orang. Angka ini terus bertambah dengan adanya arus balik.
Bila melihat dari segi kuantitas korban dalam waktu
yang singkat, dan sebaran kecelakaan di hampir seluruh titik
di tanah air, boleh dikatakan ritual mudik ini sebagai Bencana
Nasional. Betapa tidak, Gempa Bumi di Sigi, Sulawesi Tengah
saja ‘hanya’ menelan korban empat orang meninggal, satu
orang luka berat, dan sebelas orang luka ringan (tanpa
bermaksud menyepelekan). Beratus kali lipat dibanding
kecelakaan mudik.
Setiap tahun angka-angka kecelakaan ini bukannya
berkurang, justru semakin bertambah. Tahun 2011,
kecelakaan mudik mencapai 3.260 kejadian, dengan jumlah
korban meninggal sebanyak 549 orang (kompas.com).
Selain memang karena kelalaian para pemudik dalam
menggunakan sarana transportasi, semisal balap-balapan,
mabuk, kelelahan, ketiduran, rem oblong, dan lain
sebagainya, pemerintah memegang peranan dalam
meningkatnya angka kecelakaan transportasi pada setiap
momen mudik dari tahun ke tahun.
44 | Fitrawan Umar
Sekiranya pemerintah sudah ketahui, momen mudik
melibatkan jutaan rakyat Indonesia dan membutuhkan
antisipasi khusus agar tidak menelan korban sebegitu
banyaknya. Dengan banyaknya korban mudik, menandakan
bahwa pemerintah tidak berhasil memberi perlindungan
terhadap rakyatnya.
Sorotan pertama ditujukan terhadap kondisi jalan. Pada
banyak titik di jalan yang berstatus nasional dan provinsi
masih banyak ditemui kerusakan, semisal lubang, yang cukup
rawan bila dilintasi para pemudik. Kedua, tentang buruknya
transportasi publik di tanah air. Para pemudik lebih
cenderung menggunakan kendaraan pribadi, terutama
sepeda motor, dibanding memanfaatkan transportasi publik
yang ada. Dari data Korlantas Polri, pemudik yang
mengendarai sepeda motor inilah yang 70% menjadi korban
kecelakaan. Ketiga, tentang pengetatan aturan keselamatan
jalan terhadap para pemudik. Mereka yang melanggar sudah
semestinya tidak diberi ruang toleransi, demi keselamatan.

Gagalnya Pembangunan
Dari sisi lain, dari perspektif pembangunan, mudik ialah
cerminan gagalnya pembangunan di Indonesia. Musim mudik
akan menampakkan betapa sesungguhnya warga kota
sebagian besarnya merupakan masyarakat pendatang.
Lihatlah betapa sepinya Jakarta, betapa heningnya Makassar,
dan kota-kota besar lainnya bila musim mudik telah tiba.
Masyarakat pendatang ini adalah mereka yang
meninggalkan desa, daerah, atau kampung halaman demi
memeroleh pekerjaan yang layak di kota-kota besar. Desa-
desa di daerah telah melepas kaum mudanya untuk merantau
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 45
ke kota, dan bahkan ke luar negeri (TKI). Wajar saja, desa-
desa dan daerah-daerah kecil seakan dipinggirkan dalam
hiruk pikuk pembangunan sehingga tidak mampu membuka
lapangan kerja dan menyerap tenaga-tenaga kerja potensial
untuk masyarakatnya.
Pembangunan masih saja berpusat di kota-kota,
sementara desa-desa hanya dibiarkan sebagai pemasok
pangan (pertanian dan perikanan) yang sesungguhnya hanya
menyisakan petani-petani dan nelayan-nelayan yang miskin.
Di banyak desa, kaum mudanya sudah meninggalkan
sawah dan laut karena dianggap tidak memberi harapan
hidup yang layak. Memilih hidup di desa berarti membiarkan
takdir mengurungnya hidup dalam keterbatasan. Mereka
akan hijrah ke kota, barangkali menjadi apa saja, kemudian
akan mudik di momen Idul Fitri, entah sukses maupun gagal.
Sementara itu, kota-kota semakin menghias diri, semakin
seksi. Pembangunan infrastruktur yang pesat di kota-kota
menjadi magnet yang sangat kuat para pendatang untuk
mencari penghidupan di kota. Beruntung bila masyarakat
pendatang tersebut memiliki keahlian sehingga mampu
bertahan hidup di kota. Namun, bila tidak, maka mereka
hanya akan menjadi beban kota. Mereka-mereka ini yang
akan memenuhi kawasan-kawasan kumuh, menjadi
pengangguran, dalang kriminalitas, dan lainnya.
Oleh karena itu, keadilan pembangunan semakin
mendesak untuk terus diperjuangkan. Desa-desa di daerah
mesti diperkuat dengan kemajuan infrastruktur, serta
skenario ekonomi pemberdayaan petani dan nelayan yang
notabene merupakan mata pencaharian mayoritas di daerah.

46 | Fitrawan Umar
Pusat-pusat industri juga seyogianya tidak dikuasai oleh kota,
melainkan juga tersebar di desa-desa.
Jangan sampai fenomena mudik dianggap ‘terlalu biasa’
oleh pemerintah sebagai sebuah tradisi. Melainkan,
sesungguhnya para pemudik adalah korban ketidakmerataan
pembangunan di negeri ini.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 47


48 | Fitrawan Umar
Kereta Api dan Peradaban Baru

Gambar 10 Stasiun Lempuyangan, DIY (Dok. Pribadi)

H
ari itu anak-anak SD Tanete Rilau, Barru,
menghampiri Presiden RI, Bapak Joko Widodo.
Itu hari bersejarah. Hari yang dinanti. Mereka
bersorak dan bernyanyi ceria, masih dengan seragam merah
putih yang melekat di badannya, “Naik kereta api, tut, tut, tut,
siapa hendak turut. Ke Makassar…. Parepare.”
Sang Presiden tersenyum, memperlihatkan barisan
giginya yang khas, secerah kemeja putih yang ia kenakan. Di
samping, Pak Gubernur tertawa lebar. Ia tampak lebih
bahagia dari anak-anak itu. Seluruh hadirin ikut tersenyum
dan tertawa.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 49


“Kereta Api ini merupakan peradaban baru bagi
masyarakat Sulsel,” ungkap Pak Gubernur Sulsel.
Ya, peradaban baru. Hari itu anak-anak SD tidak lagi
hanya mendengar kereta api menuju ‘Bandung-Surabaya’
seperti lirik lagu yang sebenarnya tadi. Kelak mereka juga
akan menikmati kereta api di tanah kelahirannya. Orang-
orang tua turut terharu. Tujuh puluh tahun negeri ini
merdeka, tetapi baru sekarang mereka akan bisa menikmati
apa yang setiap hari dinikmati orang-orang di Jawa.
**
Dalam sejarah, kereta api di Sulawesi Selatan memang
juga sudah pernah ada. Beroperasi pada tahun 1923 dengan
rel sepanjang 47 km tujuan Makassar-Takalar. Namun, tidak
bertahan lama karena Penjajah Belanda yang membangun
jaringan rel tersebut terusir pasca Perang Dunia II meletus.
Penjajahan segera beralih ke tangan Jepang. Dan oleh Jepang,
rel kereta api dibongkar dan tak pernah terbangun lagi.
Kembali ke tentang peradaban baru. Peradaban baru apa
yang dibawa oleh kereta api?
Dipandang dari aspek transportasi, kereta api
merupakan transportasi publik yang lebih unggul dibanding
transportasi darat yang lain. Kereta api mengangkut
penumpang jauh lebih banyak, dan tentu lebih cepat sampai
ke tujuan. Kehadiran transportasi dapat menjadi solusi untuk
mengurai kemacetan di jalan raya. Kereta api yang murah dan
nyaman akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di
jalan.
Kereta api kian mempermudah akses suatu wilayah.
Mempersingkat jalur tempuh perjalanan dan memperpendek
jarak antarruang. Pergerakan orang dan barang akan semakin
50 | Fitrawan Umar
dinamis. Mobilitas akan semakin tinggi. Wilayah satu dan
wilayah yang lain kian terkoneksi dengan baik. Biaya
produksi ekonomi dapat ditekan.
Imbas akhir kemudian diharapkan kereta api dapat
merangsang pertumbuhan ekonomi regional. Namun,
seorang penulis esai Uruguay, Eduardo Gaelano,
mengingatkan bahwa konektivitas ruang oleh transportasi
seperti kereta api bisa memicu masalah baru. Yaitu ketika
konektivitas tidak menumbuhkan perkembangan ekonomi
wilayah, melainkan semakin memperbesar jurang
ketidakadilan ekonomi. Sama gambaran dengan sejarah awal
kereta api di Indonesia.
Kereta api di Indonesia awalnya dibangun oleh penjajah
dengan tujuan mengangkut hasil-hasil bumi, untuk kemudian
dibawa ke Eropa. Kereta api pada masa itu adalah alat untuk
mempermudah dan mempercepat perpindahan kekayaan
Indonesia menuju luar negeri agar dapat diperdagangkan.
Perkembangan waktu kemudian mengantarkan kereta api
digunakan sebagai transportasi massal bagi penduduk.
Itulah sebabnya pembangunan kereta api di Kalimantan
(proyek yang serupa dengan pembangunan kereta api di
Sulawesi) menimbulkan pro kontra. Aktivis-aktivis
lingkungan menganggap keberadaan kereta api di
Kalimantan tidak dimaksudkan untuk membantu
menghadirkan transportasi publik, melainkan hanya upaya
untuk semakin mempermudah perusahaan-perusahaan
dalam mengeruk kekayaan alam, terutama sumber daya tak
terbarukan Batubara.
Beruntunglah, sejauh ini perdebatan tentang kereta api
di Sulsel tidak mengemuka.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 51
Karakteristik regional Sulsel tentu berbeda dengan
Kalimantan. Akan tetapi, benang merah masalahnya bisa
saling terhubung. Wacana mengenai hal ini perlu
disemarakkan untuk mengantisipasi dampak negatif yang
berpotensi timbul (perlu dicatat, hal ini tidak untuk kontra
terhadap kereta api).
Kereta api di Sulsel, jika tidak diantisipasi sejak awal,
berpotensi semakin menguatkan cengkeraman Kota
Makassar terhadap wilayah-wilayah di bawahnya.
Transportasi yang mudah dan cepat menciptakan mobilitas
tinggi sehingga sumber daya alam dan manusia kian mudah
berpindah. Wilayah mapan akan menghisap wilayah-wilayah
yang belum mapan.
Kota Makassar sebagai pusat segala hal kian menyedot
potensi daerah sampai ke desa-desa. Kita tahu, Kota
Makassar adalah pusat segalanya di Sulsel: pusat ekonomi,
pusat kesehatan, pusat pendidikan, pusat pariwisata, pusat
industri, pusat perdagangan, dan lain-lain. Bahkan kelak jika
kereta api di Pulau Sulawesi saling terhubung, Kota Makassar
masih menjadi pusat yang punya daya tarik yang sangat kuat.
Ketiadaan perencanaan wilayah yang matang membuat
pemerintah daerah bisa gagal dalam memanfaatkan
momentum keberadaan kereta api nanti. Salah satu sektor
yang perlu segera dipersiapkan yaitu infrastruktur pariwisata
di daerah-daerah. Kemudahan transportasi berdampak
positif terhadap minat wisata masyarakat. Olehnya, peluang
tersebut bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan
ekonomi daerah.

52 | Fitrawan Umar
Peradaban baru apalagi yang akan datang? Yaitu
urbanisasi (proses meng-kota) daerah-daerah kian
meningkat. Mengenai hal ini akan panjang uraiannya.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 53


54 | Fitrawan Umar
Orang Gila di Kota

Gambar 11 Mural di Yogyakarta (Dok. Pribadi)

S
eorang dosen pernah berkata bahwa salah satu
indikator kemajuan suatu kota adalah apabila
terdapat orang gila di dalamnya. Pernyataan ini
menarik sekaligus mengandung makna paradoksial. Terlepas
dari keliru atau tidak logika tersebut, tapi faktanya adalah
kota-kota besar di Indonesia menyimpan banyak orang gila
atau katakanlah stress (gangguan kejiwaan).
Gangguan kejiwaan warga kota jarang dibicarakan,
apalagi hendak diurai sebab-akibatnya. Pun, biasanya yang
diperbincangkan hanya seputar kesehatan individu dan sisi
kepribadian warga kota. Tidak sering kita memberi korelasi
antara kesehatan jiwa warga kota dengan kesehatan
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 55
lingkungan kota. Mungkin kita harus bertanya, apa yang salah
dengan kota sehingga muncul kegilaan warganya?

Dampak Kota
Kota diartikulasikan sebagai pemukiman yang relatif
besar, terdiri dari kelompok-kelompok individu yang
heterogen dari segi sosial. Kota tumbuh dan berkembang
dikarenakan oleh banyak faktor, antara lain daya tarik
ekonomi pada suatu wilayah sehingga menyebabkan
munculnya aglomerasi pemukiman penduduk dan menjadi
cikal bakal suatu kota terbentuk.
Dalam perkembangannya, kota menjadi pusat
pertemuan kepentingan antara lingkungan, sosial, dan
ekonomi. Pertemuan elemen perkembangan kota tersebut tak
jarang menimbulkan konflik yang justru mengganggu
keberlanjutan suatu kota.
Dalam perspektif psikologi perkotaan, dampak dari
perkembangan kota menyebabkan masyarakat mengalami
apa yang disebut dengan gangguan kesehatan mental. DK
Halim (2008) menyebutkan bahwa kesehatan mental tidak
hanya berhubungan dengan karakteristik individu dan rumah
tangga, tetapi juga dengan fitur-fitur sosial, konteks, dan
ekologi di mana individu berada.
Perencana-perencana kota di Indonesia masih sedikit
yang memberi perhatian pada aspek psikologi sebagai
penentu kebijakan perencana kota. Itu sebab, lingkungan fisik
yang hadir hanya menjadi beban bagi warga kota. Kota
menjadi tidak sehat. Sakit.
Agresivitas/strees masyarakat akan timbul dalam
kondisi perkotaan seperti demikian. Kota bisa menjadi
56 | Fitrawan Umar
stressor bagi masyarakat. Kota menjadi kekuatan eksternal
untuk menciptakan rasa stress dalam diri masyarakat. Maka
tidak heran kegilaan dan agresivitas seperti kasus-kasus
kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan
terorisme marak terjadi di perkotaan.

Kota Sehat
Kota sehat menurut WHO yaitu kota yang secara terus-
menerus menciptakan dan meningkatkan lingkungan-
lingkungan fisik dan sosial serta mengembangkan sumber
daya masyarakat sehingga memungkinkan warganya untuk
satu sama lain saling mendukung dalam menyelenggarakan
semua fungsi kehidupan dan mengembangkan potensi
maksimal mereka.
Lebih lanjut, WHO mengidentifikasi sebelas kualitas
sebuah kota dikatakan sehat (DK Halim, 2008). Pertama,
sebuah lingkungan fisik yang bersih, aman, dan berkualitas
tinggi. Lingkungan kota-kota di Indonesia masih amat buruk.
Kebersihan biasanya hanya ditemukan di pusat-pusat kota
atau pemerintahan yang sering menjadi perhatian umum.
Namun, bila ditelusuri ke belakang, lingkungan-lingkungan
kumuh, sanitasi yang buruk, banyak dijumpai dan abai dari
perhatian penentu kebijakan. Kalau pun ada pemukiman yang
bersih dan terawat, hanya bisa ditemukan di kompleks-
kompleks pemukiman elit dan milik golongan pemilik modal.
Kedua, sebuah ekosistem yang stabil dan berdaya
dukung (sustainable) untuk kehidupan jangka panjang. Oleh
karena kepentingan ekonomi dan dominasi hasrat politik,
ekologi kota-kota di Indonesia semakin terancam. Kepedulian
para penentu kebijakan terhadap aspek lingkungan dan
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 57
keberlanjutan agak susah ditunjukkan komitmennya. Lahan-
lahan konservasi dan daerah serapan air banyak disulap
menjadi lahan bisnis. Demi kepentingan segelintir kelompok
pengusaha.
Ketiga, sebuah komunitas yang kuat, noneksploitatif, dan
saling mendukung satu sama lain. Dari pengamatan selama
ini, justru relasi-relasi sosial di perkotaan amat renggang
dibanding hubungan sosial komunitas masyarakat desa.
Bukan hanya renggang, melainkan mengarah ke kompetisi
yang negatif. Saling mengeksploitasi.
Keempat, memiliki tingkat partisipatif dan kontrol publik
yang tinggi terhadap kebijakan-kebijakan yang memengaruhi
hidup, kesehatan, dan kesejahteraan warganya. Intinya ialah
prinsip demokrasi ditegakkan dalam pengambilan kebijakan
pemerintah kota. Sejauh ini partisipasi masyarakat masih
sangat rendah dalam memengaruhi kebijakan pemerintah.
Selain karena memang kepedulian masyarakat kurang, juga
karena logika pemerintah yang hanya memandang persoalan
dari sudut pandang teknokrat dan birokrat (top down).
Kelima, adanya pemenuhan kebutuhan dasar (makanan,
air bersih, hunian, keselamatan, penghasilan, dan pekerjaan)
untuk semua warga kota. Ini yang sulit. Persoalan terbesar
ialah penyediaan lapangan kerja bagi warga kota.
Ketersediaan lapangan kerja akan berkaitan dengan
kesejahteraan masyarakat dan populasi warga miskin kota.
Tanpa pekerjaan dan penghasilan, kebutuhan dasar akan sulit
terpenuhi.
Keenam, adanya akses yang luas kepada pengalaman
hidup dan sumber daya kota dengan berbagai kesempatan
terhadap kontak sosial, interaksi, dan komunikasi. Sekarang
58 | Fitrawan Umar
ini akses ke sumber daya kota semakin sulit. Ruang-ruang
publik dengan sengaja dipagari dan menjadi ruang segelintir
orang. Warga kota tak lagi bebas berinteraksi sebab ruang-
ruang publik semakin terkikis.
Ketujuh, ekonomi kota yang inovatif, vital, dan beragam.
Kota kita sudah dicengkeram oleh globalisasi dan
kepentingan kaum kapitalis. Ekonomi yang dijalankan oleh
warga kota terkesan dimatikan dan tidak mendapat tempat.
Usaha-usaha yang mendapat perhatian dan perlakuan
istimewa justru berasal dari orang tertentu yang kebetulan
memiliki kapital yang besar. Pedagang-pedagang kaki lima
tidak diberi kesempatan untuk bangkit. Kios-kios kecil
dilenyapkan oleh serbuan hypermarket asing yang tak jelas
aturannya itu.
Kedelapan, adanya dorongan untuk selalu berhubungan
dengan sejarah, warisan biologis, dan warisan budaya warga
kota, serta kelompok-kelompok komunitas masyarakat
lainnya. Tempat-tempat bersejarah yang menjadi ruh sebuah
kota juga semakin hari semakin terabaikan. Dengan dalih
revitalisasi, berbagai tempat bersejarah di kota-kota besar
beralih fungsi dan terancam kelestariannya. Di saat
bersamaan pula, warga kota menjadi apatis terhadap sejarah
dan kebudayaannya.
Kesembilan, kompatibel dan mampu meningkatkan
karakteristik kota yang telah ada. Kesepuluh dan kesebelas,
adanya pelayanan optimum terhadap kesehatan masyarakat
yang layak bagi semua warga yang sakit, serta memiliki status
kesehatan yang baik (tingkat penyakit rendah). Meski
tersedia fasilitas kesehatan gratis, namun kenyataannya di
lapangan tidak mudah bagi warga miskin untuk
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 59
memperolehnya. Selain itu, kesehatan gratis tidak dibarengi
dengan peningkatan kualitas lingkungan yang menyebabkan
penyakit itu muncul.
Sekarang, kita bisa menilai seberapa sehat kota kita.
Dengan beragam stressor perkotaan, bukankah warga kota,
kita semuanya bisa berpotensi sakit mental?

60 | Fitrawan Umar
Revolusi Senyap Perdesaan

Gambar 12 Suasana Perdesaan Pinggir Kota Mamuju (Dok. Pribadi)

I
nteraksi antara desa dan kota telah menjadi kajian
tersendiri dalam literatur planologi. Secara ringkas,
desa dapat dicirikan sebagai wilayah yang
masyarakatnya bergantung pada kondisi sumberdaya alam
dan lingkungan, serta segala kondisi sosial budaya yang
menyertainya. Desa adalah sumber penyedia bahan baku bagi
aktivitas perkotaan. Di Indonesia, desa identik dengan
penggunaan lahan sawah, tambak, dan perkebunan.
Sementara kota merupakan penyedia jasa, pusat modal, atau
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 61
pelayanan produksi untuk kemudian terdistribusi lagi ke
wilayah hinterland atau desa di sekitarnya.
Desa dan kota secara ideal dapat menjalin siklus
metabolisme yang seimbang guna realisasi pembangunan
berkelanjutan. Alih-alih, pada kenyataan, desa dan kota
seolah merupakan dua hal yang bertentangan—yang mana
desa acap berada pada pihak lemah. Urbanisasi dengan dua
pengertiannya menjadi momok bagi desa sehingga berada
dalam kondisi sulit—kendati tak dapat dipungkiri “berkah
pembangunan” juga hadir sebagai sesuatu yang positif.
Urbanisasi pertama, tentang perpindahan penduduk dari
desa ke kota. Perpindahan semacam ini bila dilihat dari kaca
pembesar berarti perpindahan modal, sumber daya manusia,
atau energi dari desa ke kota. Kota-kota menyedot segala
potensi di desa sehingga kota semakin maju pesat sementara
desa kian tertinggal. Maka dalam beberapa kasus, desa
tinggal dihuni oleh masyarakat usia tua, tidak terdidik, nan
tidak produktif.
Urbanisasi kedua, ekspansi nuansa perkotaan ke
perdesaan. Ciri-ciri fisikal kota, semisal lahan terbangun,
tumbuh di tengah penggunaan lahan desa, seperti lahan
pertanian atau perkebunan. Seiring waktu lahan pertanian
menyusut sementara lahan terbangun berkembang cepat.
Nuansa desa akan kalah perlahan. Masyarakat desa
berangsur-angsur beralih menjadi masyarakat urban dengan
segala kelebihan dan kekurangannya.
Kehidupan desa sebagai akibat interaksi dengan kota
mengalami perubahan atau dinamika seperti terpapar di atas.
Meminjam istilah Darmawan Salman (2012), desa-desa
mengalami apa yang disebut dengan “Revolusi Senyap”.
62 | Fitrawan Umar
Dalam kaitannya dengan kota, perubahan senyap di desa
seringkali tidak disadari, atau bahkan dianggap tidak perlu
disadari sehingga desa-desa mengalami transformasi menjadi
‘bukan desa’ secara perlahan.
**
Sebagai suatu kasus, wilayah desa Moncongloe,
Kabupaten Maros, alih-alih terpisah dari hiruk pikuk Kota
Makassar, ternyata bergeliat di tengah kesunyian. Desa di sisi
timur Kota Makassar—dapat diakses melalui pintu belakang
Bumi Tamalanrea Permai (BTP)—ini pelan tapi pasti
mengalami transformasi untuk menyatu dengan lahan
kekotaan utama Kota Makassar.
Penduduk Moncongloe didominasi oleh petani yang dari
tahun ke tahun mengalami penurunan jumlah. Sepintas bila
melihat keadaan fisik Moncongloe, yaitu mulai maraknya
pembangunan perumahan dan fasilitas umum lain, maka
nyata bahwa petani sudah menyerahkan lahan-lahan
sawahnya kepada pelaku pembangunan yang dimaksud.
Dari wawancara bersama masyarakat atau pihak terkait,
tersiar kabar kurang lebih separuh luas wilayah desa
Moncongloe telah dibeli oleh warga luar Moncongloe.
Sebagian besar pembeli berasal dari Kota Makassar, baik
perusahaan, maupun perorangan. Telah nampak lahan yang
berganti tangan tersebut bakal menjadi lahan terbangun
perumahan ataupun peruntukan komersil yang lain.
Lebih jauh lagi, kelak, penduduk pendatang lambat laun
mendominasi wilayah Moncongloe. Termasuk di antaranya
hegemoni pemikiran dan gaya hidup sehingga karakter
penduduk asli lenyap perlahan. Hadi Sabari Yunus, ahli
permukiman kota Indonesia, (2004) menyebutkan bahwa
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 63
kehadiran penduduk pendatang di wilayah desa (calon kota)
dapat mempengaruhi keadaan sosial budaya masyarakat
desa, seperti melemahnya kohesi sosial, meningkatnya
kecemburuan akibat kesenjangan ekonomi, ataupun
lunturnya tradisi dan kearifan lokal yang selama ini
mendekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Sebagai satu misal, dari hasil wawancara penulis,
terungkap salah satu alasan petani rela melepas lahan
sawahnya adalah karena ingin memiliki kendaraan
bermotor—minimal roda dua. Maka berarti budaya urban
telah merebak di tengah masyarakat desa.
**
Moncongloe adalah satu dari banyak desa yang terimbas
megaproyek Mamminasata. Perhatian terhadap desa-desa di
sekitar Kota Makassar sekarang ini masih dianggap kurang.
Revolusi senyap yang berlangsung cenderung terbawa ke
arah negatif. Lahan pertanian menyusut tanpa terkendali—
tidak ada zonasi yang jelas mengenai batas wilayah konversi
pertanian. Petani hidup segan di tengah kepungan aktor-
aktor perkotaan. Produktivitas bahan pangan menurun.
Penduduk asli setempat cenderung tidak dapat bersaing
dengan penduduk pendatang yang memiliki banyak modal.
Sekelompok orang berhasil menguasai tanah-tanah yang luas
untuk kepentingan pribadi. Bila dirangkum, maka dapat
dikatakan bahwa interaksi antara Kota Makassar dan desa-
desa di sekitarnya telah berlangsung secara tidak adil, tidak
seimbang, dan zalim.

64 | Fitrawan Umar
Pilkada dan City Branding

Gambar 13 Branding 'City of Dreams' Kota Macau (Dok. Pribadi)

H
al menarik yang tak pernah luput dari perhatian
saya bila melintasi gerbang utama tiap
kabupaten dalam perjalanan Pinrang ke
Makassar, atau kabupaten apa saja di Sulsel, ialah slogan tiap-
tiap kabupaten. Sebut saja Pinrang Berseri, Parepare
Bersahaja, Barru Hibrida, Maros Baik, dan lain-lain.
Begitupun daerah lain di Pulau Jawa.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 65
Tapi, itu dulu. Slogan-slogan yang pernah jaya, kini
nyaris lenyap dari ingatan publik. Bukan hanya karena
ketidakpahaman pemerintah daerah tentang pentingnya
slogan sehingga tak lagi dipopulerkan, melainkan juga
dipengaruhi oleh munculnya mekanisme sosial yang dikenal
dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pilkada secara langsung menuntut adanya usaha keras
dari para calon jika ingin memenangkan ‘pertarungan’. Oleh
karena itu, beragam pula cara mereka lakukan guna
mendapatkan simpati rakyat, seperti di antaranya
pertarungan slogan politik.
Celakanya, dalam beberapa kasus, slogan politik ini
kemudian menjelma menjadi slogan kabupaten/kota jika
kandidat yang mempopulerkan slogan tersebut berhasil
memenangi pemilihan. Hal ini tentu saja dilakukan untuk
kepentingan jangka panjang politisi bersangkutan, sekaligus
hanya untuk kepentingan jangka pendek bagi daerah.
Sebutlah misalnya slogan “Makassar Kota Dunia” yang
tiba-tiba populer beberapa tahun terakhir. Slogan ini, entah
dipikirkan secara matang dan rasional atau tidak, kemudian
menegasikan slogan Kota Makassar seperti “Makassar The
Great Experience”. “Makassar Kota Dunia” yang notabene
bukan brand resmi yang disepakati, justru lebih dipopulerkan
sebab kepentingan politik, dibanding brand “Makassar The
Great Experience” yang sering dipampang pada acara-acara
wisata.

City Branding
Dalam disiplin ilmu pengembangan wilayah dan kota,
city branding secara sederhana diartikan sebagai upaya
66 | Fitrawan Umar
membangun brand atau merek guna memasarkan kota
tersebut. City branding merupakan salah satu kunci
keberhasilan dari suatu kota untuk bisa maju dan bersaing
dengan kota-kota lain. Kota-kota sekarang ini memang saling
bersaing untuk merebut pasar, baik pasar wisata ataupun
investasi.
Kita lihat saja Hong Kong. Dengan city branding yang
kuat “Hong Kong Asia’s World City”, kota tersebut menjadi
pilihan banyak perusahaan internasional untuk membuka
kantor perwakilan di sana. Hong Kong berhasil menjadi pusat
bisnis penting di dunia. Slogan “Asia’s World City” menjiwai
ruh kota dengan infrastruktur perkotaan yang amat canggih
dan modern. Benar-benar kelas dunia.
Kota-kota di Indonesia yang dianggap berhasil
membangun city branding di antaranya ialah Jogja dengan
“Never Ending Asia” dan Solo dengan “The Spirit of Java”.
Jogja, misalnya, memikat para wisatawan domestik maupun
mancanegara dengan menyajikan tempat-tempat wisata yang
lekat dengan sejarah dan kebudayaan.
Begitu pula dengan Solo, belakangan ini. Melalui brand
“The Spirit of Java”, Solo ingin menghadirkan budaya Jawa
sebagai bagian dari jiwa kota. Apabila kita berkunjung ke
Solo, melalui semangat dari brand tersebut, Solo ingin
pengunjung merasakan semangat dan sensasi orang Jawa.
Alhasil, saat ini Solo menjadi pilihan beragam event
internasional di tanah air.

Tidak Main-Main
Menjelang pilkada di beberapa daerah di Sulsel,
terkhusus Kota Makassar, marak lagi kandidat yang
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 67
mengusung slogan-slogan politik sebagai andalan. Sayangnya,
slogan politik tersebut, beberapa di antaranya, entah sadar
atau tidak, menyinggung tentang city branding. Muncul kesan,
bila kandidat tersebut terpilih, maka city branding itu yang
akan digunakan ke depan.
Perilaku politik demikian sesungguhnya mengacaukan
pembangunan kota berkelanjutan. Sebuah kota semestinya
mempunyai visi jangka panjang, tak mengenal periode
pergantian kepemimpinan. City branding adalah cita-cita
jangka panjang, yang tidak harus berganti bila pemimpinnya
berganti. Membangun sebuah merek kota untuk dipasarkan
ke dunia butuh waktu yang tidak sedikit, mungkin lintas
batas periode kepemimpinan.
Setelah slogan “Makassar Kota Dunia”, beberapa
kandidat walikota Makassar memunculkan slogan baru, sebut
saja satu: “Makassar The Home of Asia.”
Konsep city branding semestinya tidak dipahami sebagai
keinginan atau jargon para kandidat semata. City branding
memerlukan kajian serius, “tidak main-main”, dan menjadi
keinginan masyarakat secara bersama. Tidak diasosiasikan
oleh orang-orang tertentu.
Sudah waktunya pemerintah daerah, Makassar dan
kabupaten-kabupaten lain di Sulawesi Selatan, dan Indonesia
secara umum memiliki city branding yang kuat guna
memasarkan daerahnya masing-masing. Hemat saya, slogan
atau motto tiap-tiap daerah yang selama ini terpajang di
gapura selamat datang, perlu dikaji ulang secara serius.
Apakah memang masih layak dipertahankan, ataukah perlu
mencari slogan yang lebih ‘menjual’.

68 | Fitrawan Umar
City branding bukan hanya berbicara mengenai slogan.
City branding adalah jiwa dan falsafah pembangunan dari
suatu kota atau daerah. Dengan demikian, kita berharap
daerah-daerah tersebut menjadi tempat tujuan wisata,
investasi, hunian, ataupun penyelenggaraan event yang
terkenal di masa mendatang.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 69


70 | Fitrawan Umar
Arsitek untuk Bumi

Gambar 14 Sisi Kota Hongkong (Dok. Pribadi)

M
enciptakan arsitektur adalah memanfaatkan
dan menjunjung martabat alam, kata Y.B.
Mangunwijaya dalam bukunya yang sangat
terkenal di dunia arsitektur Indonesia: “Wastu Citra”. Romo
Mangun, demikian kerap disapa, menekankan agar para
arsitek dapat mencari jawaban permasalahan arsitektur yang
sesuai dengan ‘tempat’ dan ‘waktu’. Seorang arsitek tidak
sepantasnya sekadar ‘tempel’ sana-sini hanya untuk memberi

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 71


kesan indah pada hasil rancangan, tetapi tidak punya
kebermaknaan di dalamnya. Seorang arsitek harus indah
karena benar.
**
Bumi—atau katakan bentang alam dan bentang
budaya—dipengaruhi banyak oleh arsitek. Mereka adalah
‘tangan-tangan tuhan’ yang mengisi bumi ini dengan ragam
bangunan fisikal. Mereka yang membuat segala rupa wujud
arsitektur guna menjadikan bumi ini laik dihuni oleh umat
manusia.
Maka itu, isu-isu lingkungan hidup dan kerusakan bumi
sudah barang tentu menjadi hal yang tidak lepas dari seorang
arsitek. Mau tidak mau pula, menurunnya daya dukung bumi
tahun-tahun belakangan dapat dikatakan adalah cermin dari
kegagalan arsitek dewasa ini.
Dalam konteks bentang budaya, arsitek memengaruhi
pola pikir dan pola hidup umat manusia. Arsitek zaman dulu
membawa peradaban manusia dari hidup berpindah-pindah
menuju hidup bertempat tinggal secara tetap, dan seterusnya.
Arsitek mengisi kebudayaan melalui lingkungan fisikal dan
visual sehingga manusia dapat hidup sebagaimana
hakikatnya seorang manusia, pada waktu dan tempat
tertentu. Mengenai arsitektur dan kebudayaan ini dapat
dengan mudah kita temui melalui filosofi rumah-rumah
tradisional atau vernikular di Nusantara.
Dan perkembangan mutakhir, arsitek mulai menggeser
peradaban manusia menjadi sangat bergantung kepada
energi. Peradaban ‘jalan kaki’ kini terbawa ke peradaban
yang bergantung kepada mesin kendaraan. Bangunan-
bangunan begitu bergantung kepada pengatur suhu ruangan
72 | Fitrawan Umar
dan pengatur cahaya listrik, dan seterusnya. Ketergantungan
semacam ini tentu memiliki dampak yang sangat luas bagi
kebudayaan umat manusia. Termasuk di antaranya adalah
menjadikan manusia serba instan, hidup dalam ketergesaan,
dan mungkin saja akan kembali kepada kehidupan nomaden.
Lebih jauh dari itu, arsitek (sebagai wujud dari kegagalan
arsitek) kini sesungguhnya kian mengasingkan manusia dari
alam, manusia dari sesama manusia, dan manusia dari
dirinya sendiri.
**
Romo Mangun dijuluki sebagai Bapak Arsitektur Modern
Indonesia. Ia telah meletakkan pijakan-pijakan dasar
arsitektur untuk kemudian memengaruhi perkembangan
arsitektur yang meng-Indonesia di kemudian hari. Karyanya
berupa renovasi permukiman miskin di tepi Kali Code
Yogyakarta yang pernah meraih penghargaan Aga Khan
untuk Arsitektur membuatnya kian bersinar dan selalu
dikenang sampai saat ini sebagai arsitek yang peduli dengan
kemanusiaan.
Di tangan Romo Mangun, arsitektur tidak sekadar
merancang fisik bangunan, tetapi juga memanusiakan
bangunan. Memanusiakan arsitektur. Dalam pengertian yang
lebih luas, arsitektur dipandang sebagai upaya untuk
menghadirkan semangat kemanusiaan di lingkungan hidup
umat manusia—menciptakan apa yang disebut Pramoedya
Ananta Toer sebagai Bumi Manusia. Bukan sebaliknya, yaitu
arsitektur yang kerap menjebak manusia untuk diperdaya
oleh ruang.
**

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 73


Memasyarakatkan arsitektur adalah gagasan yang lain.
Generasi baru arsitek Indonesia, dipelopori atau
dipopulerkan oleh Yu Sing, berusaha untuk membumikan
cita-cita tersebut. Yu Sing dikenal melalui gerakannya
mengenai desain rumah murah dan aktivitas filantropis
“Papan untuk Semua”. Juga sebagai perintis Jaringan Arsitek
Indonesia Merakyat yang fokus untuk memberi desain hunian
atau ruang publik yang ramah bagi golongan ekonomi lemah.
Persoalan arsitektur lainnya memang adalah bahwa
arsitek sudah terlalu berjarak dengan masyarakat kelas
menengah ke bawah. Arsitek terkesan elitis dan hanya
menjadi milik orang-orang kaya. Arsitek terlalu dikendalikan
oleh kepentingan modal yang jika ditarik lebih jauh bermuara
kepada isu globalisasi: keseragaman dan tidak berpihak
kepada keberagaman.
Arsitek berperan penting untuk menangani persoalan-
persoalan hak dasar masyarakat yang tidak terlayani, seperti
rumah murah. Arsitek tentu saja bisa melakukan pengaturan
sedemikian rupa sehingga terwujud rumah dengan tanpa
menghilangkan nilai-nilai estetika arsitektural tapi
terjangkau bagi lapisan masyarakat bawah. Dengan demikian,
kehadiran seorang arsitek menjadi terasa
kebermanfaatannya.
Yu Sing adalah harapan dari yang tidak terlalu banyak. Ia
kini menjadi inspirasi bagi para arsitek muda dan calon
arsitek di kampus-kampus. Kendati mendesain banyak rumah
murah, ia tidak bisa tidak untuk tetap menerima proyek-
proyek besar demi kepentingan ‘asas subsidi silang’ dan
untuk tetap menghidupkan studio yang menampung
idealismenya. Warga Makassar bisa menikmati salah satu
74 | Fitrawan Umar
desain Yu Sing yang menang sayembara: Menara Phinisi
UNM—gedung tinggi pertama di Indonesia dengan fasade
hiperbolic paraboloid—sarat nilai-nilai Bugis-Makassar.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 75


76 | Fitrawan Umar
Sudahkah Kita Peduli Lingkungan?

Gambar 15 Keasrian Taman Macan Kota Makassar (Dok. Pribadi)

B
enarlah apa yang pernah diucap Mahatma
Gandhi, dunia ini mampu menampung semua
kebutuhan manusia, tetapi tidak akan sanggup
memenuhi keinginan atau nafsu manusia. Beragam polemik
umat manusia dewasa ini tidak lain dan tidak bukan
disebabkan oleh keserakahan nafsu manusia.
Nafsu politik menjadikan manusia akan bertindak apa
saja dalam merebut kekuasaan, lalu kemudian menjadi rezim
otoriter demi mempertahankan kekuasaan. Nafsu ekonomi
membuat manusia menghalalkan segala cara, dari mencuri,
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 77
korupsi, penipuan, sampai menggerus kekayaan alam seperti
menghabisi hutan, demi memperoleh uang.
Kasus-kasus kerusakan lingkungan ialah contoh paling
nyata serta membahayakan bagi manusia dan seluruh alam.
Lingkungan terus menerus dijarah, dieksploitasi sedemikian
rupa, seolah manusia adalah penguasa alam raya. Istilah-
istilah bencana semacam pemanasan global, kebakaran
hutan, badai salju, banjir, longsor, kekeringan, gelombang
panas, dan naiknya permukaan air laut menjadi tak asing di
telinga kita.
Bila keadaan semisal ini terus menerus berlanjut, maka
di masa depan cerita kehidupan akan dipenuhi dengan
kesengsaraan dan kesedihan. Lingkungan wajib untuk tidak
dibiarkan menjadi momok penderitaan generasi mendatang.

Pendidikan Lingkungan
Kesadaran tentang lingkungan sangat penting
ditanamkan kepada masyarakat. Kita bersyukur, sejak tahun
1984, pendidikan lingkungan hidup dimasukkan ke dalam
sistem kurikulum pendidikan formal. Persoalan lingkungan
hidup dituangkan secara integratif ke dalam semua mata
pelajaran.
Setelah itu, tahun 1996, terbit Memorandum Bersama
antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan
Hidup. Selanjutnya, rutin diadakan penataran guru,
menggelar bulan bakti lingkungan, penyusunan modul
pengajaran, program sekolah asri, dan lain sebagainya.
Hingga saat ini, persoalan lingkungan masih terus diajarkan.
78 | Fitrawan Umar
Bahkan, di beberapa daerah, pendidikan lingkungan hidup
sudah menjadi mata pelajaran untuk muatan lokal.
Namun, cita-cita pembentukan karakter melalui
pendidikan lingkungan hidup rupanya kalah cepat dari
kencangnya arus kerusakan lingkungan. Kita berharap terlalu
banyak pada pendidikan sementara skala masalahnya sangat
luas. Kita harus sabar menanti sementara bencana
lingkungan kian menghantui. Bisa jadi, proses belajar kita
memahami lingkungan akan lebih dulu ditelan oleh banjir,
dilahap oleh api sisa kebakaran hutan, ditenggelamkan oleh
naiknya permukaan laut, dimatikan oleh kekeringan, dan
dibekukan oleh badai salju.
Pendidikan lingkungan selama ini mungkin memang
lebih mudah diterima oleh peserta didik sebab materi tentang
lingkungan biasanya adalah materi umum dan tidak menemui
kesulitan bagi sekolah dasar dan menengah. Begitu pun
dengan perguruan tinggi karena materi lingkungan bisa
mencakup semua disiplin ilmu.
Namun, yang menjadi persoalan ialah terjebaknya
pendidikan lingkungan pada kurikulum yang sifatnya statis
dan monolitis. Pendidikan lingkungan hari ini lebih banyak
mewujud dalam buku, modul, dan sejenisnya. Aspek yang
dikena adalah hapalan dan kognisi. Ini sama saja dengan
PPKn bahkan Pendidikan Agama yang dianggap belum efektif
membentuk karakter peserta didik.
Bisa kita perhatikan, kedua mata pelajaran tersebut
adalah pelajaran paling mudah dan banyak sekali yang
mendapat nilai 80 hingga 90. Namun, nilai-nilai itu rupanya
tidak mewujud dalam karakter pribadinya sebagai peserta
didik yang berkewarganegaraan dan beragama.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 79
Pendidikan seyogianya diarahkan pada upaya
mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar, serta
pengembangan kreativitas yang dimiliki. Pendidikan
lingkungan secara khusus juga semestinya mampu
menyentuh ketiga hal tersebut.
Pendidikan lingkungan lebih condong pada aspek
afektif—meski aspek kognitif tak berarti ditinggalkan—yakni
menekankan pada tingkah laku, nilai dan komitmen. Para
pendidik dituntut mampu mengemas pendidikan ini menjadi
lebih menarik dan terjadi proses internalisasi nilai di
dalamnya.
Beberapa contoh sangat bagus pernah diterapkan
beberapa sekolah, seperti melibatkan anak prasekolah dan
sekolah dasar dalam pembersihan lingkungan. Misalnya juga,
bagi sekolah menengah, dilatih untuk mendaur ulang limbah,
melakukan kunjungan terhadap kasus kerusakan lingkungan,
dan mempelajari kearifan lokal di suatu tempat dalam
melestarikan lingkungan. Sedangkan perguruan tinggi bisa
melalui pelibatan dalam seminar, kampanye penyelamatan
lingkungan, dan penyehatan atau perbaikan lingkungan
melalui program KKN (kuliah kerja nyata).

Teologi Lingkungan
Sama dengan pendidikan, ruang agama menjadi penting
untuk mengambil peran dalam mencipta pribadi-pribadi yang
peduli terhadap lingkungan semesta. Kesadaran bertuhan
mesti dihadirkan dalam merespon masalah-masalah
lingkungan.
Semua tahu, lingkungan ialah anugerah, titipan Ilahi
untuk semua kita. Baik generasi lalu, hari ini, maupun
80 | Fitrawan Umar
generasi mendatang. Lingkungan boleh disebut sebagai
subyek sekaligus obyek dalam perjalanan kehidupan
manusia.
Namun, dalam perjalanan, manusia menjadi titik
sentrum, dan lingkungan dianggap hanya sebagai upaya
untuk memenuhi keinginan dan tuntutan dari manusia itu
sendiri.
Semua agama mengajarkan bahwa manusia bukanlah
Tuhan di bumi yang boleh bertindak apa saja terhadap alam.
Bahkan, dalam beberapa keyakinan, unsur-unsur alam justru
dijadikan Tuhan atau perwakilan Tuhan oleh manusia. Ini
mengingatkan betapa sesungguhnya secara naluriah manusia
begitu menyadari pentingnya lingkungan untuk dijaga dan
dilestarikan.
Dalam Islam, misalnya, kita sudah diingatkan bahwa,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yan benar)” (Ar-Rum:41).
Sebuah hadis juga mengajarkan kita agar terbiasa untuk
menanam pohon, sebab menanam itu sama dengan sedekah.
“Seorang muslim yang menanam pohon atau tanaman, lalu
sebagian hasilnya dimakan burung, manusia, atau binatang,
maka orang yang menanam itu mendapat pahala.” (H.R.Al-
Bukhari).
Penulis teringat dengan lomba da’i yang digelar
Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulsel yang
mengangkat tema tentang perlindungan laut dan terumbu
karang pada tahun 2008. Tentu saja ini adalah langkah
progresif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 81
menjaga lingkungan melalui pendekatan khutbah atau
ceramah-ceramah. Meminjam istilah Pengurus Wilayah
Pemuda Muhammadiyah Sulsel, contoh demikian disebut
dengan “Dakwah Lingkungan”.
Para orang tua dulu, menjadikan mitos-mitos sebagai
rem pengendali agar manusia tidak menghancurkan
lingkungan. Di zaman serba nalar ini, tentu saja pendidikan
dan agama menjadi relevan dan perlu selalu untuk
ditingkatkan.
Tanggal 5 Juni, Hari Lingkungan Hidup, adalah momen
untuk menyadari kembali hakekat keberadaan kita di muka
bumi.

82 | Fitrawan Umar
Pesan Sheila on 7 hingga Ammatoa Kepada
Calon Pemimpin

Gambar 16 Keselarasan Sawah dan Hotel di Ubud, Bali


(Dok. Pribadi)

“...Bersama kita bagai hutan dan hujan, aku ada karena


kau telah tercipta...”

S
ebaris lirik lagu Sheila on 7 di atas sempat populer
pada tahun 2003. Lagu berjudul “Melompat Lebih
Tinggi” itu menjadi soundtrack dari film 30 Hari
Mencari Cinta. Tapi, tulisan ini tidak sedang ingin mengulas
sisi roman dari lagu tersebut. Kita lihat sisi lain saja, terutama
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 83
soal hutan dan hujan. Hujan ada karena hutan tercipta.
Sebaliknya pun begitu.
Jauh hari sebelum band asal Jogja itu melantunkan lagu
tersebut, masyarakat adat Suku Kajang sudah paham benar
perihal hutan dan hujan. Ajaran pappaseng—pesan keyakinan
yang diwariskan turun temurun—menyebutkan, “Anjo
boronga angngontaki bosiya.” Artinya, “Hutanlah yang
mendatangkan hujan.” Pesan ini juga sudah diabadikan
pemerintah di papan informasi sebelum memasuki kawasan
hutan Kajang.
Dari pengetahuan hutan dan hujan ini saja kita bisa tahu
betapa pengetahuan lokal masyarakat Kajang terhadap
ekologi atau dengan dengan kata lain kecerdasan ekologis
masyarakat Kajang sudah sangat maju sejak zaman dulu.
Masyarakat Kajang memang tidak bisa dipisahkan dari
hutan. Pappaseng lain menyebutkan, “Anjo boronga anre
nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki
kalennu”. Artinya “Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau
merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu
sendiri”. “Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi
tanayya rettoi ada”. Artinya, “Hutan bisa lestari karena dijaga
oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat”.
**
Adalah Rachel Carson pernah menulis buku “Musim Semi
yang Sunyi” (Silent Spring) tahun 1962. Rachel Carson
menggambarkan sebuah keadaan ketika musim semi tiba,
yang mana sebelum pembangunan ekonomi marak, awal
musim semi adalah kicauan burung yang menyambut
segarnya nafas tumbuh-tumbuhan. Namun, ketika geliat
pembangunan ekonomi merajalela, awal musim semi dilanda
84 | Fitrawan Umar
sunyi, orang-orang jarang lagi mendengar kicauan burung
atau suara-suara alam lainnya.
Buku yang juga mengkritik penggunaan bahan kimia
untuk memberantas hama dan pupuk di bidang pertanian itu
mencuri perhatian banyak orang. Karya Rachel Carson
tersebut bahkan dianggap telah menginspirasi lahirnya
Konferensi Tingkat Tinggi United Nation Conference on
Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia, 5 Juni
1972. Peristiwa konferensi pertama di bidang lingkungan
hidup itu juga yang sekarang kita peringati sebagai Hari
Lingkungan Hidup Sedunia.
**
Dewasa ini pemikiran dan gerakan pro lingkungan hidup
sudah semakin berkembang. Kesadaran masyarakat semakin
meningkat. Contoh kecil, masyarakat banyak protes terhadap
seorang warga Jogja yang menembak banyak kucing dan
mengunggahnya ke media sosial internet. Bentuk protes itu
adalah buah kesadaran dari kecintaan terhadap ekologi yang
meningkat. Termasuk juga di antaranya yaitu gerakan anti
pemaku pohon, gerakan hemat tisu, hemat kantong plastik,
dan lain sebagainya.
Tetapi kesadaran ekologi yang demikian belumlah cukup
untuk memastikan agenda pembangunan berkelanjutan
(yang sampai sekarang pun tertatih-tatih untuk berlanjut).
Perlu kekuatan politik yang kuat untuk memenangkan
keadilan ekologis.
Menjelang pemilu, politik ekologi perlu diwacanakan
kembali. Pertama untuk mengevaluasi pemerintahan
sebelumnya, dan kedua untuk mewujudkan pemerintahan
yang pro lingkungan hidup pada periode mendatang.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 85
Masyarakat lokal Kajang mengajarkan kita: pemimpin
dikatakan gagal ketika hutan rusak, panen gagal, kemarau
panjang, atau peristiwa alam lainnya yang merugikan umat
manusia. Masyarakat percaya, alam akan berbahasa untuk
memberi tanda-tanda capaian seorang pemimpin. Maka dari
itu calon pemimpin Kajang, Ammatoa, biasanya disumpah
ketika dilantik, yaitu bahwa masyarakat akan percaya dan
tunduk padanya bila, “Napararakkang juku, napaloloiko
raung kaju, napabambangiko riallo, napaturungiko ere bosi,
napalolorangko ere tua’, nakajariangko tinanang” (ikan tetap
berkembang biak, daun-daun kayu tetap bersemi, matahari
bersinar, air hujan turun, air tuak tetap menetes, dan
tanaman tumbuh subur).
Dari pengetahuan ini kita bisa sedikit mengukur
keberhasilan pemerintahan sebelumnya. Berhasilkah?
Dan kepada calon pemimpin di masa mendatang,
pappaseng Kajang memberikan peringatan: “Punna
addanggangmo pamarenta, panra mintu lamung-lamunga.
Punna panrami lamung-lamunga, bangkuru’mi tau ni
parentaya. Rontomi pa’rasangangnga” (Jika pemerintah
sudah berdagang, maka rusaklah tumbuh-tumbuhan. Jika
tumbuh-tumbuhan rusak, maka melaratlah rakyat. Maka
hancurlah negeri ini).

86 | Fitrawan Umar
Sampah Plastik dan Kecerdasan Ekologis

Gambar 17 Sampah di Ruang Publik, Makassar (Dok. Pribadi)

K
ementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
mengeluarkan kebijakan uji coba tentang
kantong plastik berbayar sejak 21 Februari, pada
Hari Peduli Sampah Nasional 2016. Kebijakan ini berlaku
serentak di 22 kota se-tanah air yang dimulai dari retail-retail
modern.
Sebagian menyambut positif kebijakan tersebut dan
mendorong dikuatkan dengan peraturan menteri. Namun, tak
sedikit pula yang memandang sinis dengan pertanyaan-
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 87
pertanyaan: Apakah kebijakan kantong plastik berbayar
efektif untuk mengurangi penggunaan kantong plastik?
Kenapa minimal Rp 200, bukankah terlalu rendah? Mengapa
tidak lebih mahal lagi?
Sebenarnya tiap kota dibebaskan untuk menentukan
besaran pembayaran. Balikpapan misalnya mencanangkan
Rp 1500 per kantong plastik, dan Makassar berencana
mematok biaya Rp 4500, dan sebagainya. Tetapi, itu bukan
masalah besar.
**
Kantong plastik adalah momok bagi lingkungan hidup.
Sampah kantong plastik sangat sulit terurai di alam sehingga
mengganggu dan mencemari lingkungan. Menurut berbagai
penelitian, sampah kantong plastik butuh waktu 50 tahun
sampai ribuan tahun untuk terurai. Jauh lebih lama dibanding
umur manusia penggunanya sendiri. Sementara
penggunaannya hanya sekitar 30 menit dan langsung
terbuang menjadi sampah.
Andaikan saja setiap orang menggunakan minimal satu
kantong plastik setiap hari, maka setiap hari kita punya sejuta
sampah kantong plastik. Ke mana perginya sampah-sampah
itu?
Konon, pemulung pun enggan mengambil sampah
kantong plastik. Daur ulang kantong plastik adalah pekerjaan
yang sulit diharapkan. Jika pun ada, hanya 1% sampah
kantong plastik yang terdaur ulang. Sisanya tetap menjadi
sampah. Maka betapa sibuknya Dinas Kebersihan mengurus
sejuta sampah kantong plastik setiap hari. Dan betapa
repotnya alam untuk menampung sampah-sampah itu.

88 | Fitrawan Umar
Fatalnya, banyak sampah kantong plastik berakhir di
lautan. Persoalan ini sudah jadi bahan pembicaraan di
kalangan petinggi negara di Eropa. Sejumlah penelitian
menyebutkan, hewan-hewan laut, seperti burung laut dan
penyu, mati dalam jumlah ribuan akibat pencemaran sampah
kantong plastik di laut. Dan kita, Indonesia, menurut rilis
Science Mag, adalah pembuang sampah kantong plastik
terbesar kedua di dunia setelah China.
**
Mengurangi penggunaan kantong plastik adalah
mengurangi sampah yang menumpuk di alam. Selama ini kita
sudah teramat boros. Membeli barang kecil pun, bahkan
dalam jumlah satuan, kita tetap menggunakan kantong
plastik. Olehnya, memang sudah tepat ada regulasi mengenai
pembatasan penggunaan kantong plastik. Salah satu caranya
yaitu dengan pendekatan ekonomi, yakni penerapan kantong
plastik berbayar.
Kebijakan kantong plastik berbayar di Indonesa tidak
lepas dari peranan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik
(GIDKP) melalui petisi #Pay4Plastic. Mereka memulai
melalukan petisi daring pada tahun 2013 dan mengumpulkan
dukungan hingga 60ribu orang yang kemudian disampaikan
ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pendekatan ekonomi terbukti efektif di berbagai negara
untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Di Irlandia,
misalnya, sebagaimana dilansir dw.com, menerapkan pajak
penggunaan kantong plastik sebesar 22 sen, dan berhasil
mengurangi 90% penggunaan kantong plastik. Rata-rata
masyarakat Irlandia kini hanya menggunakan 18 kantong
plastik per tahun.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 89
Bagaimana dengan di Indonesia nanti, akankah efektif?
Seharusnya kita tetap optimis. Efektivitas kebijakan
tidak hanya ditentukan oleh regulasi pemerintah, melainkan
juga, dan terutama, adalah kepatuhan dan kesadaran
masyarakat. Jumlah uang, misalnya Rp 200 atau bahkan Rp
20.000, tidak akan terlalu berpengaruh jika kesadaran
masyarakat terhadap pelestarian lingkungan hidup masih
rendah.
Pemberlakuan kantong berbayar minimal Rp 200 adalah
sebuah pesan moral, dan sebagian tahap awal dari
perjuangan perlindungan lingkungan hidup. Pandangan sinis
yang meminta agar besaran biaya kantong plastik dinaikkan
adalah pandangan yang menganggap manusia seperti
kambing. Yakni masyarakat harus diberi rumput supaya
menurut.
Intervensi ekonomi sebenarnya adalah tamparan bagi
sisi kemanusiaan kita. Rupa-rupanya kita hanya akan
berubah jika diberi ‘sanksi ekonomi’ berupa pembayaran
kantong plastik. Selama ini kita tidak peduli tetapi tetap
merasa sebagai khalifah di bumi, utusan Tuhan untuk
menjaga lingkungan hidup.
Apakah kita hanya akan berubah jika nanti kantong
plastik diberi harga yang sangat mahal? Barangkali masih
terlalu jauh kita kepada Daniel Goleman, penulis “Kecerdasan
Ekologis”. Alih-alih berbicara kecerdasan, kita masih
bermasalah besar terhadap kepedulian. Kepedulian itulah
padahal yang membedakan manusia dengan kambing.

90 | Fitrawan Umar
Penataan Kota dan Penyelamatan Lingkungan

Gambar 18 Sudut Taman Macan, Kota Makassar (Dok. Pribadi)

K
risis lingkungan hidup telah menjadi ancaman
serius bagi seluruh penghuni bumi. Perubahan
iklim yang tidak terkendali membentuk sebuah
kecemasan global, yaitu suatu saat nanti bumi dan alam raya
tidak akan berpihak kepada manusia. Bencana atau
marabahaya akan datang menimpa bila manusia

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 91


mengabaikan keberadaan lingkungan hidup sebagai elemen
yang mesti diperhatikan dalam konteks pembangunan.
Kesadaran bersama tentang hal itu pertama kali
menyeruak pada tahun 1972, ketika PBB menghelat
Konferensi tentang Lingkungan Hidup di Stokholm.
Pertemuan tersebut melahirkan banyak pemikiran untuk
menyelamatkan bumi yang dianggap tengah berjalan menuju
kehancuran.

Green City
Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Tahun 2005 di
San Fransisco, Amerika Serikat, muncul gagasan Green City
(Kota Hijau) sebagai salah satu jawaban untuk menekan
degradasi lingkungan hidup perkotaan. Konsep Green City
kemudian menjadi pijakan pemikiran untuk
mengintegrasikan isu ekologis dalam perencanaan
pembangunan kota.
Nuansa Green City di Indonesia sudah sangat terasa
dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Disebutkan, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan
untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang.
92 | Fitrawan Umar
Penataan tata ruang kota memiliki peran strategis dalam
upaya menyelamatkan lingkungan, terlebih dalam kaitannya
dengan perubahan iklim atau pemanasan global. Kita tahu
bahwa penyebab terbesar pemanasan global ialah tingginya
kadar CO2 di udara. Itu sebab, dalam konferensi-konferensi
internasional, selalu muncul desakan agar negara-negara
maju mampu menekan emisi gas CO2 yang merupakan
dampak dari produksi industri.
Kaitannya dengan Green City, selain aktivitas industri,
sektor transportasi juga merupakan penyumbang terbesar
CO2 di udara (Miller, 1979). Bila kita ingin serius dalam
mengurangi emisi gas CO2, maka rekayasa transportasi dalam
tata ruang kota perlu mendapat perhatian. Sejauh ini masih
jarang pemerintah kota yang melihat ini sebagai
permasalahan serius. Padahal, tanpa adanya ikhtiar demikian,
berarti bisa jadi tak lama lagi kutub es mencair, dan banyak
daratan yang tenggelam.
Rekayasa transportasi di beberapa kota masih berangkat
dari masalah kemacetan, bukan karena persoalan lingkungan.
Itu sebab, pada beberapa kota di Indonesia, solusi yang
ditawarkan hanya berfokus pada infrastruktur jalan, entah
pelebaran atau penambahan jalan baru—termasuk flyover
dan lain sebagainya. Padahal, bila kita berangkat dari
persoalan lingkungan dengan cita-cita mengurangi emisi CO 2,
maka tentu saja persoalan kemacetan bisa teratasi dengan
sendirinya.
Green City menekankan rekayasa ruang yang dapat
mengurangi keinginan warga kota menggunakan kendaraan
pribadi. Ini dapat dilakukan dengan mengatur sedemikian
rupa tata ruang agar wilayah pemukiman tidak terlalu jauh
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 93
dengan pusat-pusat perdagangan, atau pusat perkantoran,
dan lain-lain. Jalur-jalur pedestrian dan pengguna sepeda
perlu dikembangkan. Pada saat bersamaan, transportasi
publik yang ramah lingkungan juga perlu dihadirkan. Dengan
berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi, maka sisa
pembakaran gas CO2 tentu akan berkurang di kota.
Selain rekayasa transportasi yaitu Green Transportation,
menurut Imam S.Ernawi, Green City dapat dilakukan dengan
pendekatan-pendekatan seperti Green Planning and Design,
Green Open Space, Green Water, Green Energy, Green Waste,
Green Building, dan Green Community. Green Planning and
Design menekankan pada aspek penataan ruang berbasis
adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Green Open Space merupakan upaya peningkatan
kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau perkotaan.
Undang-undang sebenarnya sudah sangat tegas mengatur
mengenai hal ini, yakni dalam Pasal 29 UU No.26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa proporsi ruang
terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit tiga puluh
persen dari luas wilayah kota, di mana minimal dua puluh
persen adalah milik publik, selebihnya boleh milik privat.
Sayangnya, kota-kota besar di Indonesia masih belum bisa
merealisasikan aturan ini.
Sebagian besar pemerintah kota lebih memilih
pemenuhan kebutuhan pemukiman, industri, atau jasa yang
dinilai lebih ekonomis-praktis daripada memenuhi
ketersediaan lahan untuk ruang terbuka hijau. Padahal, selain
dapat menjadi buffer untuk menyelamatkan lingkungan dan
mengurangi efek pemanasan global, RTH menjadi
pembentuk estetika kota dan menjadi area refleksi terhadap
94 | Fitrawan Umar
stressor perkotaan, sekaligus menjadi bagian dari interaksi
sosial masyarakat.
Di antara beberapa pendekatan di atas, Green
Community adalah upaya yang patut diapresiasi oleh
Pemerintah Kota Makassar. Dengan digalakkannya Makassar
Green and Clean, muncul kesadaran bersama masyarakat di
tiap-tiap lingkungan untuk berlomba-lomba membenahi
lingkungan sekitarnya. Pada beberapa wilayah, program ini
sukses menjadikan lingkungan tersebut hijau, bersih, dan
indah dipandang.
Gerakan Green and Clean perlu didukung
keberlanjutannya. Bahkan, mesti lebih digalakkan dengan
gencar melakukan pendidikan lingkungan ke sekolah-sekolah
dan kampus-kampus. Kesadaran untuk menjaga lingkungan
adalah salah satu kunci agar masyarakat bisa dilibatkan
dalam program-program penyelamatan lingkungan.
Termasuk di antaranya, bila infrastruktur sudah mendukung,
masyarakat akan berupaya menghemat penggunaan
kendaraan pribadi dan lebih memilih bersepeda atau berjalan
kaki.

Green Governance
Apa yang penulis sebut di atas bukanlah sesuatu yang
baru orang bicarakan. Upaya penyelamatan lingkungan
dalam konteks penataan kota beberapa kali menjadi kajian
dalam seminar-seminar atau pertemuan-pertemuan ilmiah.
Hanya saja, upaya tersebut masih sebatas wacana, oleh
karena tidak adanya politicall will dari pemerintah kota.
Untuk itu, kita butuh apa yang disebut dengan Green
Governance.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 95
Green Governance (Richard Register, 1987) ialah
pemerintah yang bisa berorientasi pada lingkungan hidup
dan pembangunan berkelanjutan. Dapat membangun kota
mandiri, yang dapat menggunakan sumber energi ramah
lingkungan, polusi kota sangat rendah, gedung-gedung
bermaterial ramah lingkungan, dan meminimalisi terjadinya
perubahan iklim.
Apa yang dicanangkan oleh pemerintah pusat sebagai
empat pilar pembangunan perlu ditindaklanjuti oleh
pemerintah kota dalam menata dan membangun daerahnya,
yakni Pro Growth, Pro Job, Pro Poor, serta Pro Green.

96 | Fitrawan Umar
Ikhtiar Mendinginkan Kota

Gambar 19 Taman Kota Hong Kong (Dok. Pribadi)

K
ota, dari waktu ke waktu, berkembang
sedemikian pesat. Barangkali sudah semacam
tuntutan, kota akan terus memperbaharui
dirinya. Terlebih di era otonomi daerah sekarang ini, kota-
kota di Indonesia saling memburu, berlomba-lomba mengejar
ketertinggalan satu sama lain.
Dalam sejarah peradaban manusia, kota memang selalu
memiliki daya tarik untuk ditinggali. Sekitar sepuluh ribu
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 97
tahun lampau, kehadiran sebuah kota dimulai dari pinggiran-
pinggiran lembah. Kota, saat itu, dipahami sebagai wilayah-
wilayah yang subur, yang memungkinkan untuk
berkembangnya kehidupan agraris.
Hingga kemudian pemikiran manusia berkembang, dan
meletusnya revolusi industri di Inggris, kota-kota di dunia
tidak lagi mengacu pada daerah-daerah subur pertanian.
Bahkan, kota lebih cenderung menjauhkan diri dari aktivitas-
aktivitas pertanian. Itu sebab, muncul teori tentang defenisi
kota, termasuk yang diadopsi oleh UU No.26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, bahwa kota adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama bukan pertanian.
Akhirnya kota saat ini kita kenal sebagai pusat
pemukiman, ekonomi, pemerintah, dan pelayanan jasa
semata. Meski demikian, kota tetap punya tabiat untuk
menarik manusia berbondong-bondong memasukinya. Bagi
banyak manusia di dunia ini, kota adalah harapan. Urbanisasi
kemudian menjadi pilihan untuk memenuhi harapan-harapan
itu.

Tingginya Urbanisasi
Menurut data PBB, penduduk dunia yang bermukim di
wilayah kota akan mencapai lima milyar orang pada tahun
2025. Di Indonesia, berdasarkan proyeksi Badan Pusat
Statistik (BPS), arus urbanisasi akan meningkat hingga
mencapai rata-rata 68% pada tahun 2025.
Tingginya arus urbanisasi akan memberi dampak
terhadap banyak hal di wilayah perkotaan, seperti di
antaranya ialah tingginya angka kepadatan penduduk dan
meningkatnya permintaan kebutuhan atas lahan perkotaan.
98 | Fitrawan Umar
Permintaan kebutuhan atas lahan perkotaan yang
meningkat ditambah lemahnya pengendalian tata guna lahan
oleh pemerintah menjadi dua sebab utama atas perubahan
penggunaan lahan di wilayah perkotaan. Perubahan
penggunaan lahan tersebut pada akhirnya mendesak
ketersediaan lahan ruang terbuka hijau di kota.

Panasnya Kota
Dampak dari itu semua ialah meningkatnya suhu iklim
mikro perkotaan. Barangkali semua masyarakat kota di
Indonesia telah merasakan, kota kini berubah menjadi ‘pusat
pendidihan’ massal. Kota terasa begitu panas. Menggerahkan.
Terlebih di wilayah-wilayah padat bangunan, suhu udara
menjadi sangat tinggi, dan membentuk apa yang disebut
dengan Urban Heat Island (UHI).
Suhu udara yang tinggi membuat stressor perkotaan
semakin tinggi. Beban pikiran masyarakat kota semakin
meningkat, dan bisa saja mengurangi produktivitas dan
kreativitas masyarakat kota.
Penggunaan energi berlebih juga menjadi pilihan yang
sulit dielakkan. Dalam keadaan demikian, pemakaian mesin
pendingin seperti AC adalah kebutuhan yang tampaknya sulit
untuk dihindari. Aktivitas jalan kaki dan pesepeda juga
terkendala oleh tingginya suhu udara perkotaan. Dan
akhirnya akan terjadi lingkaran setan penggunaan energi
penyebab perubahan iklim global.
Olehnya, ikhtiar mendinginkan kota sangat perlu disikapi
serius oleh kita semua. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku
usaha di perkotaan mesti didesak untuk turut berkontribusi
terhadap upaya menurunkan suhu udara perkotaan.
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 99
Beberapa kota di Indonesia sangat sulit membendung arus
perubahan penggunaan lahan. Batas-batas wilayah
peruntukan lahan menjadi kabur. Ruang terbuka hijau
kemudian menjadi korban. Banyak sekali kota di Indonesia
belum mencapai syarat minimal ruang terbuka hijau, yaitu
30% dari total luas lahan wilayah.
Di luar faktor kongkalikong pemilik usaha, target
pencapaian pendapatan daerah oleh institusi yang menangani
izin mendirikan bangunan (IMB) adalah juga faktor
penghambat untuk menekan penggunaan lahan yang tidak
berwawasan lingkungan. Dinas terkait diberi beban untuk
menyumbang pendapatan daerah sehingga izin mendirikan
bangunan, asalkan bisa menambah kas daerah, sangat mudah
untuk dikeluarkan tanpa memedulikan faktor lingkungan,
seperti sempadan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar
bangunan, ataupun koefisien daerah hijau.
Para pengusaha dan masyarakat juga sekiranya bisa
berbuat banyak untuk mendinginkan kota. Penanaman
vegetasi di lahan-lahan yang bisa dimanfaatkan adalah aksi
konkret untuk mewujudkan hal itu. Perusahaan, melalui
Corporate Social Responsibility (CSR), bisa memulai hal-hal
kecil seperti penggunaan green roof atau green wall di
gedung-gedung kantornya yang tinggi itu.

100 | Fitrawan Umar


Ilmu Lingkungan dan Perencana Wilayah Kota

Gambar 20 Salah Satu Sisi Kota Makassar (Dok. Pribadi)

S
ekarang ini ilmu lingkungan sangat dibutuhkan
untuk menunjang perencanaan wilayah dan kota.
Bahkan, sudah menjadi kemestian ilmu lingkungan
dapat terintegrasi dengan disiplin ilmu perencanaan wilayah
dan kota. Ilmu lingkungan dapat menjadi modal dasar bagi
perencana untuk mewujudkan konsep kota berkelanjutan.
Kita semua sadari bersama, salah satu faktor penting
penyebab menurunnya kualitas lingkungan perkotaan adalah

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 101


lemahnya kesadaran dan pengetahuan perencana untuk
membangun wilayah dan kota yang berwawasan lingkungan.
Soeriaatmadja (1997) mengatakan bahwa banyak gejala
penting yang harus dipertimbangkan sewaktu melakukan
perencanaan dan perancangan pengembangan wilayah
ternyata memiliki akibat ekologi.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
mengisyaratkan adanya keharmonisan antara
keberlangsungan pembangunan dengan kelestarian
lingkungan hidup. Hal ini sebagaimana yang tercetus dari
KTT Bumi di Rio, Brazil pada tahun 1992. Menurunnya
kualitas lingkungan, sebagaimana yang terjadi belakangan ini,
berarti satu ciri dari tidak diterapkannya konsep
pembangunan berkelanjutan. Hal demikian terjadi di
sebagian besar wilayah perkotaan, baik di luar negeri
maupun yang terjadi di dalam negeri.
Berikut ini adalah contoh menurunnya kualitas
lingkungan perkotaan akibat tidak terintegrasinya ilmu
lingkungan dengan perencanaan wilayah dan kota:
(1) Kota saat ini merupakan pusat pencemaran udara.
Wilayah perkotaan memberi sumbangsih yang cukup besar
terhadap meningkatnya polusi udara dan emisi gas rumah
kaca. Pengaruh terbesar yaitu aktivitas industri dan
penggunaan energi untuk transportasi. Aktivitas industri dan
transportasi sama-sama menghasilkan limbah berupa zat
pencemar udara, seperti CO2 dan semacamnya.
(2) Meningkatnya suhu udara di perkotaan. Fenomena ini
disebut dengan Urban Heat Island (UHI), di mana suhu udara
di wilayah kota lebih tinggi dari pada suhu udara di pinggiran
kota atau di desa. Akibat dari fenomena ini, masyarakat kota
102 | Fitrawan Umar
menjadi tidak nyaman, terjadi pemborosan energi, serta
rentan terhadap penyakit-penyakit baru (Tursilowati, 2002).
(3) Hilangnya keanekaragaman hayati di perkotaan. Di
Amerika, pernah terkenal apa yang disebut dengan The
Silence of Spring atau musim semi yang sunyi. Di mana
masyarakat menyadari hilangnya suara-suara burung yang
selalu berkicau setiap musim semi di kota. Keadaan seperti
itu terjadi di hampir seluruh kota, termasuk kota-kota di
Indonesia. Kota-kota sudah kehilangan keanekaragaman
hayatinya. Burung-burung dan spesies-spesies lain telah
kehilangan habitatnya, seperti tanaman dan pepohonan,
akibat pembangunan kota yang tidak ekologis.
(4) Kota rentan terhadap bencana banjir. Penataan ruang
yang tidak sehat mengakibatkan daerah resapan air di
perkotaan tertutupi oleh bangunan sehingga limpasan air
tertahan di permukaan dan menjadi penyebab banjir.
Beberapa contoh di atas setidaknya memberi gambaran
betapa ilmu lingkungan perlu menjadi pijakan bagi perencana
wilayah dan kota. Berdasarkan undang-undang pun,
perencanaan tata ruang sekarang ini diharuskan untuk
memasukkan kajian lingkungan hidup strategis sebagai
upaya menyelaraskan keberlangsungan pembangunan
dengan keberlanjutan lingkungan hidup. Tanpa adanya
pengetahuan tentang lingkungan, seorang perencana hanya
akan merencanakan kegagalan kota tersebut.
Menurut A.Hermanto Dardak, Direktur Jenderal
Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2006),
adanya degradasi lingkungan bukan disebabkan karena tidak
adanya visi lingkungan hidup dalam penataan ruang,
melainkan karena faktor lain seperti kurangnya pemahaman
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 103
para pemangku kepentingan akan pentingnya aspek
keberlanjutan lingkungan hidup, terutama dalam tahap
implementasi tata ruang.
Pernyataan di atas semakin menunjukkan pentingnya
pemahaman mengenai ilmu lingkungan dalam perencanaan
wilayah dan kota. Ilmu lingkungan mempelajari hubungan
manusia dengan lingkungannya. Ilmu lingkungan mencakup
aspek abiotik, biotik, dan culture (sosial). Seorang perencana
semestinya dapat memasukkan ketiga unsur lingkungan
tersebut ke dalam proses perancangan dan pengambilan
kebijakan.
Aplikasi ilmu lingkungan dalam perencanaan wilayah
dan kota dapat diuraikan sebagai berikut:
(1)Perencanaan wilayah dan kota memperhatikan aspek
kesatuan ekosistem, yang menekankan bahwa ekosistem
saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Kerusakan ekosistem di hulu daerah aliran sungai, akan
mempengaruhi ekosistem yang ada di hilir. Pengetahuan
mengenai hal ini akan memudahkan seorang perencana
untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya banjir di kota.
Misalnya kejadian banjir di Jakarta. Dengan pemahaman
mengenai ekosistem, maka seharusnya Jakarta tidak sibuk
dengan dirinya sendiri untuk mengatasi banjir, akan tetapi
memperhatikan hulu sungai yang ada, misalnya di Bogor.
(2)Perencanaan wilayah dan kota memperhatikan nilai
jasa ekosistem “barang” biologi. Misalnya pepohonan yang
ada di kota. Seorang perencana akan menyediakan ruang
yang banyak untuk vegetasi, ruang terbuka hijau, ataupun
hutan kota karena menyadari manfaatnya secara ekologis.
Seorang perencana yang memahami jasa ekosistem akan
104 | Fitrawan Umar
dengan mudah mempertimbangkan untung rugi bila lahan
terbuka hijau berhadapan dengan kepentingan ekonomi.
(3)Perencanaan wilayah dan kota memperhatikan aspek
energi yang terbuang di kota. Energi banyak terbuang oleh
transportasi di kota. Perencanaan yang ekologis akan
memperhatikan pola penggunaan ruang di kota yang dapat
menghemat energi perjalanan (Wunas, 2011). Perencanaan
yang ekologis akan mendukung terciptanya kota yang ramah
pejalan kaki dan pesepeda, serta tersedianya fasilitas
transportasi publik yang aman dan nyaman.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa ilmu lingkungan sangat
penting untuk perencanaan wilayah dan kota.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 105


106 | Fitrawan Umar
Memahami Ekologi dan Ekosistem Perkotaan

Gambar 21 Lanskap Lapangan Karebosi, Makassar (Dok. Pribadi)

S
egala sesuatu di alam raya ini saling berhubungan
dan saling mempengaruhi. Keseimbangan alam
raya terletak pada konsep saling berhubungan dan
saling mempengaruhi tersebut. Pola hubungan dan pola
pengaruh unsur-unsur alam raya bisa terjadi dalam banyak
hal. Seperti di antaranya ialah adanya siklus alam yang terjadi
pada kejadian tertentu.
Contoh siklus hidrologi: air di permukaan dan yang
tertahan di dedaunan mengalami proses evaporasi dan
transpirasi akibat pengaruh panas matahari; kemudian uapan
dari evapotranspirasi tersebut akan membentuk awan; lalu
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 107
akibat pengaruh perubahan suhu, awan tadi menjadi hujan;
kemudian hujan kembali menjadi limpasan air di permukaan
atau tertahan dalam intersepsi.
Adapun pola saling berhubungan tadi bisa dipahami
dalam perpindahan energi dan materi makhluk hidup, seperti
rantai makanan. Contoh dalam ekosistem sawah terdapat
mata rantai makanan padi-tikus-ular-elang-jasad renik-padi.
Pemakaian kata lingkungan bisa juga menggunakan
istilah lingkungan alam dan lingkungan hidup. Lingkungan
alam terdiri dari lingkungan fisik, kimia, biologi, dan
termasuk juga lingkungan manusia yang mencakup sosial-
ekonomi dan sosial budaya (Suratmo, 1993). Lingkungan
hidup lebih menekankan pada unsur-unsur lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan manusia.
Untuk mempelajari konsep saling berhubungan dan
saling mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan tadi, bisa
melalui pendekatan ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari
interaksi antarmakhluk hidup dan antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Arnest Hackel (1860) mendefinisikan ekologi
sebagai ilmu yang mempelajari tentang “makhluk hidup
dalam rumahnya” atau “rumah tangga makhluk hidup”.
Ekologi bertujuan menyelidiki bagaimana perpindahan
energi dan materi dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup
lain, perubahan-perubahan dalam suatu ekosistem, dan
komponen sebab-akibat yang saling mempengaruhi dalam
sistem kehidupan sehingga para ahli menyebut ekologi
sebagai dasar dari ilmu lingkungan. Perbedaannya dengan
ilmu lingkungan yaitu ilmu lingkungan lebih mempelajari
tentang lingkungan hidup dan aktivitas manusia yang

108 | Fitrawan Umar


mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan. Ilmu
lingkungan lebih ke antroposentris.
Ekosistem itu sendiri adalah seluruh komponen biotik
maupun abiotik yang membentuk sistem kehidupan.
Ekosistem lebih menekankan pada komponen-komponen
tersebut dalam suatu ruang atau habitat. Menurut UU No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, ekosistem adalah tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh
menyeluruh dan saling memengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup. Pemahaman tentang ekosistem nantinya berkaitan
dengan ekologi.
Dalam ekosistem, terjalin interaksi antar komponen,
seperti interaksi simbiosa, interaksi antagonistik, dan
interaksi netralistik. Interaksi simbiosa terjadi di mana kedua
belah pihak yang berhubungan tidak saling merugikan.
Misalnya tumbuhan polong-polongan (leguminosa) dengan
bakteri yang ada di akarnya. Bakteri yang ada di akar akan
mendapat zat hidrat arang (C) dari tumbuhan, sedangkan
bakteri sendiri menghasilkan zat lemas (N) yang berguna
bagi tumbuhan.
Interaksi antagonistik dapat berupa interaksi antibiosa
(mematikan makhluk lain), eksploitasi (dapat mengkonsumsi
makhluk lain), dan kompetisi (saling bersaing untuk
mempertahankan eksistensinya dalam memperoleh sumber
daya).
Sedangkan interaksi netralistik yaitu hubungan tidak
saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama,

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 109


yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak pula
merugikan, seperti capung dan sapi.
Mempelajari ekosistem perkotaan adalah suatu
keperluan bagi perencana kota sebagai bahan pertimbangan
dalam perencanaan. Ekosistem perkotaan bisa dimaknai
sebagai segala komponen biotik maupun abiotik, dan juga
sosial budaya masyarakat yang saling mempengaruhi dalam
ruang kota. Interaksi dari komponen-komponen tersebut
sangat menentukan keberlanjutan suatu kota.
Faktor sosial budaya amat dominan dalam
mempengaruhi kualitas ekosistem perkotaan. Sosial budaya
meliputi kebutuhan ekonomi masyarakat kota dengan
pertumbuhan yang begitu cepat, juga meliputi nuansa politis
dalam masyarakat kota, serta kehidupan budaya yang
mencerminkan perilaku masyarakat dalam menjalani
kehidupan sosial di perkotaan.
Menurut Dadang A.Suriamiharja, terdapat empat tipologi
ekosistem kota. Yaitu: ekosistem absorbsi, ekosistem
produksi, ekosistem komposit, dan ekosistem alamiah.
Ekosistem absorbsi meliputi wilayah urban dan industri yang
mencirikan wilayah padat modal, padat teknologi, padat
penduduk, menyerap sumber daya alam dan manusia,
memproduksi limbah padat, cair, dan gas.
Ekosistem produksi meliputi wilayah pertanian dan
perkebunan, mencirikan wilayah agribisnis, padat teknologi
dan modal, penduduk kurang padat, memproduksi buangan
dan bersifat toksik. Ekosistem komposit meliputi wilayah
pemukiman, pedesaan, sawah, ladang, yang mencirikan
keragaman penghidupan, kebutuhannya terpenuhi dari
sumber daya alam setempat, dan jarang penduduk. Adapun
110 | Fitrawan Umar
ekosistem alamiah meliputi hutan, pegunungan, yang
mencirikan sangat jarang penduduk.
Mempelajari ekosistem perkotaan lebih menekankan
pada dampak pembangunan kota terhadap lingkungan dan
manusia di dalamnya. Dewasa ini, kita bisa merasakan
terganggunya ekosistem perkotaan. Kenaikan suhu perkotaan
adalah salah satu contoh yang paling bisa kita rasakan.
Kenaikan suhu perkotaan bisa disebabkan oleh polusi sisa
pembakaran energi dan meningkatnya perubahan penutup
lahan seiring dengan menurunnya vegetasi perkotaan. Selain
suhu udara perkotaan yang semakin tinggi, degradasi
lingkungan perkotaan akibat tidak seimbangnya sistem
kehidupan kota juga bisa dirasakan dari kejadian banjir,
intrusi air laut, penurunan muka tanah, dan juga krisis air
bersih.
Semua penyebab degradasi lingkungan kota bisa kita
pelajari melalui tinjauan ekologi dan ilmu lingkungan. Pada
bencana banjir, kita mempelajari ekologi manusia dalam
memanfaatkan ruang. Di sini dapat dideteksi faktor penyebab
kejadian banjir oleh ulah manusia. Sedangkan dalam tinjauan
ilmu lingkungan, banjir bisa dilihat dari kesesuaian lahan
wilayah, topografi, curah hujan, dan sistem drainase, serta
bagaimana upaya mengatasi persoalan banjir tersebut. Begitu
pula untuk degradasi lingkungan lainnya.
Ekosistem perkotaan memiliki persoalan yang begitu
rumit dan kompleks. Untuk itu, memang perlu perencanaan
dan pembangunan kota yang berwawasan lingkungan, yaitu
mampu menyeimbangkan kepentingan komponen ekosistem:
abiotik, biotik, dan sosial budaya.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 111


112 | Fitrawan Umar
Kota Zero Run Off

Gambar 22 Saat Hujan di Makassar (Dok. Pribadi)

M
usim hujan tidak selalu menyenangkan di kota.
Bukan soal hujan menghalangi aktivitas warga,
melainkan bahwa air langit itu sering
mendatangkan banjir atau genangan akibat limpasan air
permukaan (run off) di jalan-jalan. Run off dalam jumlah
melimpah sangat mengganggu warga, jalan dan hunian
terendam, serta menimbulkan macet kendaraan dalam tempo
lama.
Masalah ini sudah menjadi rutin dan selalu terulang
setiap tahun di banyak kota di Indonesia. Bahkan, dalam
banyak wilayah, area run off justru semakin meluas, alih-alih
berkurang. Warga kota jadinya tidak lagi menikmati hujan

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 113


sebagai keindahan ciptaan Tuhan, melainkan mengeluh dan
merutuk.
Run off merupakan konsekuensi logis dari maraknya
pembangunan—terlebih bila tidak diimbangi pengetahuan
dan kepekaan lingkungan yang memadai. Kita tahu, tutupan
lahan alami di kota semakin sempit dan selalu mengalami
tren penurunan setiap tahun, digantikan oleh tutupan lahan
buatan berupa aspal, beton, dan semacamnya.
Air yang seharusnya terserap ke tanah mengalami
kesulitan sehingga terperangkap di atas aspal dan beton, dan
akhirnya menjadi run off.
Dalam pendekatan teknik, drainase kota menjadi salah
satu kunci mengatasi run off. Sebagian masalah limpasan air
hujan diakibatkan oleh drainase yang bermasalah.
Permasalahan drainase tersebut di antaranya meliputi
kerusakan bangunan drainase, sudah berkurangnya daya
tampung drainase akibat peningkatan debit air di sekitar, dan
penyumbatan aliran drainase (misal oleh sampah).
Permasalahan terkait bangunan drainase memang sudah
menjadi perhatian pemerintah. Di banyak titik, kerusakan
bangunan drainase pelan-pelan diatasi, termasuk pelebaran
bangunan drainase yang sudah melampaui daya tampung.
Hanya saja, masalah pembangunan drainase ini sering
mengalami tumpang tindih antara kewenangan pemerintah
kota dan kewenangan pemerintah provinsi, atau bahkan
pemerintah pusat.
Sebagai contoh kasus, di Kota Makassar, run off yang
paling banyak dan sering dikeluhkan tiap tahun berada di
jalan tingkat provinsi dan nasional akibat jaringan drainase
yang buruk. Pemerintah kota tidak bisa disalahkan sebab
114 | Fitrawan Umar
tanggung jawab bangunan drainase tersebut berada di tangan
pemerintah provinsi dan pusat.
Di kota-kota lain pun seperti itu. Misal di Jakarta, pada
jalan nasional, pemerintah kota dan provinsi saling berharap
dengan pemerintah pusat untuk mengatasi jaringan drainase
yang bermasalah.
Akibat perbedaan kewenangan, sering terjadi
ketidaksinkronan antara jaringan drainase primer, sekunder,
dan tersier di perkotaan. Hal ini tentu mengganggu sebab
aliran air tidak mengenal kewenangan pemerintah. Aliran air
tidak mengenal batas-batas administrasi dan hanya
mengikuti hukum-hukum alam yang bekerja.
Usaha pemerintah kota untuk menangani permasalahan
penyumbatan aliran drainase sudah tampak baik. Di Kota
Makassar, khususnya, pemerintah membentuk Satgas
Drainase untuk membersihkan atau mengeruk drainase yang
bermasalah. Dalam hal ini masyarakat juga dituntut berperan
aktif dalam membenahi aliran drainase di lingkungannya,
serta tentu tidak menjadikan drainase sebagai tempat
pembuangan sampah.
Namun, pendekatan teknik melalui pembenahan
drainase dirasa belum cukup.
Tantangan sekarang dan masa depan ialah bagaimana
mewujudkan kota zero run off (nol limpasan), terutama
dalam menghadapi perubahan iklim, secara terencana dan
jangka panjang. Pengarusutamaan zero run off menjadi
penting sebab tidak hanya berkaitan dengan genangan dan
banjir, tetapi juga menyangkut manajemen konservasi air di
perkotaan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 115


Perlu diingat, permasalahan kita tidak hanya mengenai
genangan dan banjir saat musim hujan, tetapi juga dan tak
kalah penting ialah soal kelangkaan air di musim kemarau.
Manajemen konservasi air perkotaan mau tidak mau harus
memiliki paradigma seperti ini.
Kota-kota di masa mendatang diprediksi mengalami
persoalan besar terkait masalah ketersediaan air bersih.
Pengambilan air tanah pun sekarang ini sudah dirasa tidak
berimbang antara pengambilan dan pengisian kembali air
tanah.
Musim hujan seharusnya menjadi berkah sebab
merupakan kesempatan bagi kota untuk menyerap air
sebanyak-banyaknya. Sayangnya run off justru melarikan air
hingga terbuang percuma atau bahkan menjadi genangan dan
banjir yang menyusahkan warga.
Konsep zero run off bukanlah barang baru, tetapi belum
terlalu menggema di sini. Jika kita berbicara tentang zero run
off, maka pendekatan yang kita lakukan tidak semata tentang
drainase, tetapi juga berkaitan dengan manajemen ruang
biru, bangunan hijau, termasuk rekayasa material tutupan
lahan yang telah mengurangi tutupan lahan alami di
perkotaan.
Konsep zero run off bisa mulai diterapkan di kawasan
perkantoran milik pemerintah, menyusul kemudian kampus-
kampus, sekolah, sampai mengharuskan pihak swasta,
terutama pusat-pusat perbelanjaan dan kawasan perumahan.
Sebagai gambaran bagi awam, zero run off berarti
mengharuskan pengelola bangunan atau kawasan untuk
menyerap air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah
sebelum mengalir ke drainase dan sungai—sampai nol
116 | Fitrawan Umar
persen. Semakin sedikit air yang teralirkan ke drainase, maka
semakin baik konsep itu berjalan. Hal ini nantinya
mengurangi beban drainase untuk menampung air sehingga
tidak terjadi yang namanya luapan.
Kampus-kampus besar seperti Institut Pertanian Bogor
dan Universitas Gadjah Mada sudah beberapa tahun lalu
menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan konsep zero
run off di kawasannya masing-masing. Alhasil, genangan dan
banjir perlahan-lahan mulai berkurang di sekitarnya. Beban
pemerintah kota pun sedikit berkurang. Kampus-kampus
besar lain tentu saja diharapkan bisa menyusul sehingga
menjadi contoh di tempat lain.
Akhir kata, tantangan kehidupan perkotaan di masa
mendatang perlu kita hadapi bersama. Musim hujan dan
musim kemarau tidak pernah salah jika kita mampu bersiap
menjalaninya.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 117


118 | Fitrawan Umar
Commuter Marriage: Tren Percintaan dalam
Studi Urban

Gambar 23 Pelabuhan Kapal Fery Hongkong (Dok. Pribadi)

D
alam studi urban, dikenal istilah commuter atau
penglaju. Mereka ialah orang yang bekerja di
kota, tetapi menetap di pinggiran atau di luar
kota. Sehari-hari mereka harus pulang pergi dari luar ke
dalam kota.
Belakangan muncul tren commuter yang berbeda, yakni
“commuter marriage”. Commuter marriage ialah sepasang
suami istri yang terpisah oleh jarak. Mereka bertemu hanya
dalam waktu-waktu tertentu: sekali sepekan, sekali sebulan,
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 119
sekali setahun, dan lain-lain. Commuter marriage, tulis
Rhodes, adalah pria dan wanita dalam suatu pernikahan yang
tetap hendak mempertahankan hubungan, tetapi secara
sukarela memilih untuk menjalankan karir masing-masing
dan dipisahkan jarak.
Umumnya pihak suami pergi meninggalkan rumah yang
didiami sang istri—untuk mencari nafkah atau melanjutkan
studi ke daerah yang memungkinkan mencari penghidupan
yang lebih baik daripada tanah yang ditinggalkan.
Anderson menulis penyebab lain dari commuter
marriage, yaitu meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita
dan meningkatnya jumlah pasangan yang sama-sama bekerja.
Suami istri sama-sama bekerja bisa dikarenakan oleh
tuntutan ekonomi ataupun gaya hidup. Para istri kini sudah
dapat meniti karir tanpa kendala sehingga memungkinkan
suami dan istri bekerja di lokasi geografis yang berbeda.
Faktor lain yaitu pekerjaan yang menuntut orang berpindah-
pindah lokasi.
Namun, secara umum, salah satu akar dari commuter
marriage ialah ketimpangan pembangunan wilayah—
terutama wilayah kota yang kian waktu kian kuat menarik
segala sumber daya di wilayah sekitarnya. Baik sumber daya
alam, maupun sumber daya manusia. Para pria produktif
akan memilih mencari penghidupan baru di wilayah kota
(produktif). Tak heran jika pada desa-desa tertentu
ditemukan banyak wanita, ibu rumah tangga, anak-anak, dan
hanya menyisakan sedikit pemuda atau pria dewasa.
Commuter marriage barangkali tertolong oleh teknologi
informasi yang berkembang pesat sekarang ini. Mereka masih
bisa rutin berinteraksi lewat teks, gambar, hingga video
120 | Fitrawan Umar
secara langsung. Tetapi, perjumpaan fisik adalah kebutuhan
yang niscaya. Pertemuan langsung dan hidup dalam satu atap
adalah impian yang sempurna untuk melanjutkan hubungan
pernikahan yang utuh. Sepasang suami istri harus bisa—
meminjam istilah penyair Sapardi—menebas jarak. Bukan
soal ‘jarak ialah perawat rindu yang baik’ atau ‘setia tak
mengenal jarak’, tetapi cinta memang seharusnya bisa saling
mendekatkan.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 121


122 | Fitrawan Umar
Kota Islami (?)

Gambar 24 Ruas Jalan Kota Palopo (Dok. Pribadi)

P
ada salah satu pertemuan mata kuliah Teori Kota
di salah satu perguruan tinggi Islam yang penulis
ajar, mahasiswa-mahasiswa berdiskusi tentang
perencanaan kota islami. Subjek kota islami masuk sebagai
salah satu topik dalam silabus mata kuliah, dan bukan hal
yang baru dalam kajian ‘urban planning and design’.
Beberapa artikel internasional pernah mengulas
tentang tema ini, seperti Idrus. M.T. dalam Between Western
Values and Islamic Ideals in Town Planning, Challenges of
transformation built env. in Islamic countries., Mortada H

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 123


dalam Traditional Islamic Priciples of Built Environment, dan
yang terbaru lainnya.
Namun, wacana mengenai subjek kota islami memang
belum begitu berkembang dan belum memasyarakat dengan
baik.
Mahasiswa-mahasiswa pun dominan berdiskusi hanya
berputar pada persoalan perencanaan fisik perkotaan.
Misalnya, bangunan fisik masjid sebagai pusat gravitasi kota.
Barangkali karena mereka dari Fakultas Teknik sehingga
pembahasan hanya menyinggung tentang aspek fisik. Namun,
tidak salah sepenuhnya.
Penulis teringat juga pada debat pemilihan calon
walikota Makassar tahun 2009 yang disiarkan langsung oleh
salah satu TV swasta. Seorang calon walikota berkata bahwa
ingin menjadikan Kota Makassar sebagai kota yang islami,
seperti Makkah, dan bukan kota maksiat seperti kota-kota
Amerika.
Pernyataan calon walikota itu menarik, sekaligus
menumbuhkan banyak pertanyaan yang cukup serius secara
akademik. Apa itu kota yang islami? Apa betul kota-kota
Amerika itu buruk dan layak jadi objek percontohan sebagai
kota yang perlu dihindari?
Beberapa waktu lalu Maarif Institute mengekspos
tentang Indeks Kota Islami (IKI). Gagasan ini cukup brilian
untuk memberi pengantar kepada pemahaman mengenai
kota islami. Indikator yang digunakan yaitu Aman (meliputi
kebebasan menjalankan agama/ keyakinan dan pemenuhan
hak dasar negara), Sejahtera (meliputi pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, dan kesehatan), serta Bahagia (meliputi

124 | Fitrawan Umar


kenyamanan, dimensi kolektif, dan kepedulian lingkungan)
(Republika Online, 30/8/15).
Kajian mengenai kota islami sejauh ini memang tidak
banyak disentuh oleh ulama fikih. Dyayadi (2008) dalam
buku “Tata Kota Menurut Islam” menyebutnya sebagai Fikih
Perkotaan, yaitu ilmu tentang pengaturan kepentingan
manusia yang bermukim di kota berupa hukum, peraturan,
dan kebijaksanaan yang bernapaskan ajaran Islam. Hanya
saja Dyayadi dalam bukunya pun tidak memberi penjelasan
mendalam mengenai solusi Islam dalam penataan kota.
Jawaban-jawaban yang diberikan masih bersifat universal.
IKI Maarif Institut juga sebenarnya menggunakan
indikator-indikator yang universal. Maka tidak heran jika
muncul pertanyaan menggelitik, kalau memang IKI memiliki
kesamaan nilai universal, kenapa harus dikatakan kota
islami? Bukankah indeks penilaian kota sudah cukup banyak
dikembangkan dan sejalan dengan prinsip IKI sebagaimana
yang dimaksud Maarif Institut? Apa yang berbeda?
Hemat penulis, bagaimana pun juga perlu ada
pembedaan, misal secara teknis desain suatu kota.
Dalam sejarah perkembangan kota, seperti di Indonesia,
terdapat perbedaan cukup signifikan ketika agama Islam
mulai meluas. Ajaran-ajaran Islam tercermin melalui desain
penataan kota. Sebagai misal, setelah Islam masuk, susunan
ruang perkotaan lebih menegaskan batas-batas publik dan
privat, serta penyatuan ruang ekonomi, politik, dan agama
yang sebelumnya terpisah-pisah (Markus Zahnd, 2008).
Peranan masjid tentu juga sangat signifikan.
Oleh sebab itu, seberapa pun demokratis dan
sejahteranya suatu kota, misal sebut saja Macau, tidak serta
Masa Depan Kota dan Lingkungan | 125
merta bisa dikatakan sebagai kota yang paling islami. Napas
islami pada aspek lain mungkin besar, tetapi pada aspek
desain kota tentu tidak.
Terlepas dari semua itu, yang mendesak untuk
dikembangkan lebih lanjut ialah Fikih Perkotaan
sebagaimana disebut tadi, dengan lebih mendalam. Ajaran-
ajaran Islam diharapkan bisa memberi jawaban terhadap
persoalan-persoalan menyangkut hajat hidup di perkotaan.
Salah satu misal, bagaimana status kepemilikan tanah yang
ideal dalam Islam? Apakah perlu warga negara punya hak
milik atas tanah? Bagaimana penerapan hadist riwayat Al-
Bukhari, “Siapa yang membuka tanah yang tidak berpunya,
dialah yang lebih berhak memilikinya”? Atau cukupkah
negara saja yang memiliki tanah dan warga hanya
memanfaatkan?
Pertanyaan-pertanyaan lainnya yaitu sejauh mana
batasan kepemilikan sumber daya air? Batasan penebangan
pohon dan pembukaan hutan? Dengan mencari jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, ajaran-ajaran
Islam dirasa lebih membumi.

126 | Fitrawan Umar


Muhammadiyah dan Lingkungan Hidup

S
ampai sekarang ini, isu pembangunan lingkungan
hidup masih hangat-hangatnya dibicarakan. Tidak
hanya karena persoalan lingkungan hidup belum
sepenuhnya terpecahkan, tetapi juga karena tuntutan
pembangunan ekonomi yang masih dominan dan menebar
kekhawatiran dapat memperparah keseimbangan
lingkungan. Yang mana tantangan sejauh ini adalah
perubahan iklim yang mengancam seluruh dunia.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 127


Agenda perlindungan dan pencegahan kerusakan
lingkungan hidup di Indonesia sebenarnya banyak dibantu
oleh sistem pengetahuan tradisional masyarakat yang
berkembang turun temurun. Sistem pengetahuan atau
dengan kata lain kearifan lokal mewujud dalam berbagai
bentuk, semisal mitos, ritual, dan lainnya.
Mitos pohon keramat yang banyak beredar di tengah
masyarakat, termasuk Sulawesi Selatan, misalnya, bila
ditelusuri ternyata berkaitan juga dengan pengetahuan
tradisional masyarakat untuk mempertahankan keselarasan
lingkungan, yaitu dengan menjaga dan menghargai pohon-
pohon.
Akan tetapi, sistem kepercayaan mitos tidaklah selalu
dapat diterima oleh agama Islam. Mitos seringkali terbawa
kepada hal-hal—bahwa yang demikian adalah takhayul dan
khurafat. Ritual penghormatan terhadap pohon-pohon pun
sering bersitabrak dengan larangan agama, yaitu bid’ah,
bahkan lebih jauh diyakini dapat terseret dalam kesyirikan.
Muhammadiyah, kita tahu, adalah gerakan keagamaan
yang berjuang untuk purifikasi agama. Dakwah
Muhammadiyah berpengaruh besar terhadap pemberantasan
takhayul, bid’ah, dan khurafat di tengah masyarakat
Indonesia. Sistem pengetahuan tradisional, meski bertujuan
baik, sering terbahasakan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan agama. Olehnya, Muhammadiyah selama lebih dari
seabad ini berjuang supaya praktik-praktik ber-Islam
kembali kepada ajaran yang murni, yang tidak bercampur
dengan keyakinan-keyakinan animisme ataupun dinamisme.
Gerakan pencerahan Muhammadiyah pada dasarnya
adalah gerakan untuk memenangkan aspek rasionalitas
128 | Fitrawan Umar
dalam kehidupan dan beragama. Akan tetapi, sejauh ini,
persoalan yang sebelumnya berkaitan dengan sistem
pengetahuan tradisional ternyata belum sepenuhnya
terjawab. Terutama menyangkut pada aspek kelestarian
lingkungan hidup.
Sebagai ilustrasi, masyarakat sebelumnya sangat takut
menebang pohon tertentu di suatu tempat karena diyakini
(dimitoskan) bahwa pohon tersebut punya ‘penunggu’ dan
dapat membawa malapetaka bila diganggu. Namun, setelah
pengetahuan rasional berkembang dan purifikasi agama
untuk menghilangkan takhayul dan khurafat digiatkan,
pohon-pohon tidak lagi dikeramatkan, dan dalam banyak
kasus masyarakat sudah dapat dengan mudah menebang
pohon-pohon. Padahal, ternyata, pohon keramat itu sering
berhubungan dengan pohon yang bertujuan untuk konservasi
mata air.
Agenda Muktamar Muhammadiyah di Makassar 2015
mendatang adalah momentum yang baik untuk mengkaji
dilema ini. Dengan pertanyaan, mampukah gerakan
Muhammadiyah membumikan pendekatan yang lain dalam
perlindungan lingkungan hidup untuk menggantikan hal-hal
yang dianggap takhayul, bid’ah, dan khurafat itu?
Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejauh ini memang
sudah berusaha untuk mempopulerkan apa yang disebut
dengan “Teologi Lingkungan”. Sejumlah buku sudah
diterbitkan oleh Pimpinan Pusat bekerja sama dengan
Kementerian Lingkungan Hidup. Termasuk buku-buku
semisal “Akhlak Lingkungan” dan “Fiqh Air” atau lainnya.
Akan tetapi dirasa masih belum membumi. Pembumian itu

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 129


tidak hanya berkaitan dengan sosialisasi, tetapi memang
bersentuhan dengan penerimaan alam pikir masyarakat.
Masyarakat Indonesia dalam perspektif Ekologi Manusia
masih lebih mudah terpengaruh dengan aspek kebudayaan
daripada timbangan agama. Dalam hal perlindungan
lingkungan hidup, masyarakat tidak dilandasi oleh niat
bahwa menjaga lingkungan, misal untuk tidak menebang
pohon, adalah bagian dari sumber pahala yang dijamin oleh
agama. Masyarakat jauh lebih kuat melindungi pohon jika
diyakini dapat menimbulkan malapateka apabila tidak
dijalankan. Pendekatan mengenai hal ini perlu dikembangkan
lebih jauh oleh Muhammadiyah agar lingkungan dapat lestari,
sekaligus tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam
yang murni.

130 | Fitrawan Umar


Riwayat Publikasi

Menyongsong Agenda Baru Perkotaan. Tribun-Timur, 18


Juli 2016
Geliat Benteng dan Koloni Permukiman. Koran TEMPO
Makassar, 21 September 2013
Bangkitnya Teknokratisme dan Kesia-siaan. Harian Fajar,
Juli 2015
Anak dan Monster Bernama Kota. Koran TEMPO
Makassar, 8 Februari 2014
Kereta Api dan Peradaban Baru. Koran TEMPO Makassar,
15 Januari 2016
Orang Gila di Kota. Harian Cakrawala, Maret 2012
Arsitek untuk Bumi. Koran TEMPO Makassar, 6 Juli 2015
Revolusi Senyap Perdesaan. Koran TEMPO Makassar, 06
November 2014 (judul semula Revolusi Senyap Moncongloe)
Pesan Sheila on 7 hingga Ammatoa Kepada Calon
Pemimpin. Koran TEMPO Makassar, 4 Juni 2014
Sampah Plastik dan Kecerdasan Ekologis. Koran TEMPO
Makassar, 4 Maret 2016

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 131


132 | Fitrawan Umar
Tentang Penulis

Fitrawan Umar, S.T., M.Sc, lahir di Pinrang,


Sulawesi Selatan, 27 Desember 1989.
Alumnus Teknik Pengembangan Wilayah
dan Kota Universitas Hasanuddin dan
Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas
Gadjah Mada.
Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Prodi
Arsitektur, Universitas Muhammadiyah
Makassar. Sebelumnya ia juga mengajar di Universitas Islam
Negeri (UIN) Alauddin Makassar, dan menjadi tenaga ahli
pengembangan wilayah Satuan Kerja Pengembangan
Kawasan Permukiman Provinsi Sulawesi Barat. Tulisan-
tulisannya tersebar di berbagai media, baik lokal, nasional,
maupun internasional. Selain menulis karya ilmiah dan esai,
juga menulis beberapa karya fiksi. Ia mendirikan portal
berkota.co, media kajian isu-isu perkotaan dan
kamustataruang[dot]com. Email: fitrawan.umar@gmail.com.

Masa Depan Kota dan Lingkungan | 133

Anda mungkin juga menyukai