Anda di halaman 1dari 98

LEMBAGA PENELITIAN

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

PENGGALIAN POTENSI DJ<:SAIN CANDI DAN


APLlKASlNYA DAl,AM ARSITEKTUR PASCA HINDU­
BUDHA DIJAWA
MEMBAN(iUN JATI DIRI YANG BE'ID'UMBER PADA
KHASANAH BUDAYA LOKAL

STUDlKASUS:
STUD I REPRESENT AS! DESAIN CANDI DALAM SOSOK
ARSITEKTUR MODERN D I JAWA

I'I�NYUSUN :

Rahadhian PH
Elfan Kedmon

BANDUNG, NOVEMBER 2009


KATA PENGANTAR

Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, k arena berkat berkah dan

bimbingan-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini digunakan untuk menunjang

studi doktoral yang sedang ditempuh. Penelitian ini berisi pembahasan Penggalian Potensi

Desain Candi dan Aplikasinya dalam Dinamika Arsitektur Pasca Hindu-Budha di Jawa,

Membangun jati diri yang bersumbcr pada khas�mah budaya local, dengan studi kasus

Representasi Desain Candi dalam Sosok Arsitektur Modem di Jawa.

Studi ini ditujukan untuk mcmahami d�m mengetahui sej auh mana wuj ud representasi

unsur arsitektur candi pada sosok bangunan pada masa modern di Jawa berikut faktor-faktor

yang mendasari dan melatarbelanginya,. Hal ini bergun a bagi pembelaj aran, pemahaman, dan

pengaj aran keilrnuan arsitektur yang bersumber pada unsure kelolakan di Indonesia.

Penyusun berusaha menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya dalam waktu

yang tersedia. Menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempuma, penyusun dengan

senang h ati menerima kritik dan saran. Penel itian ini merupakan titik awal untuk penelitian

lebih lanjut dengan pengkaj ian yang lebih mandalam.

Akhir kata, penyusun herharap peneliti�m ini dapat memberi sumbangan nyata b agi

pendidikim arsitektur di Unpar pada khususnya dan pendidikan arsitektur di Indonesia pada

umumnya.

Wassalam.

Bandung, November 2009

Hormat kami,

Penyusun
DAFTAR lSI
HAL

+ KATA PENGANTAR. ... . . . . . . . .. i


+ DAFTAR lSI... . . .. . ........ ii
+
. . . . . . . . .

ABSTRAK ...... . ............ iii

BABI.PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG . . . . . ....... I


1.2. PERUMUSAN MASALAH.. . .......2
1.3. KERANGKA PEMIKIRAN .. . ....... 3
I.4. TUJUAN PENELITIAN.. .. . ................. . 3
1.5. MANFAAT PENELlTIAN. . . . ..... . . . . . . . ... 4
1.6. OBJEK PENELITIAN.... . .... . . . . . . · · · ·· 4
1.7. METODA PENELITIAN .. . ... ....... 5

DAB 2. LANDASAN TEORL .. ..... . . . . ........... .............. . ....... 8


2.I . PENDEKAT AN KORELASJ DALAM REPRESENTAS! ARSITEKTUR. .. .. ..............I 0
2.2. REPRESENTASI DALAM KONTEKS POSTMODERNISME .. . . .. . . . ........ H • .20
2.3WACANA IDENTITAS KELOKALAN DALAM REPRESENTASJ
ARSITEKTUR Dl INDONESIA.. ................ ... . ............ .23

DAB 3 RI�PRESI<:NTASI CANDI SEBAGAI IDI<:NTITAS KELOKALAN

3.1 PENGGALIAN POTENSI MASA LALU... . ................ . ...........29


3.2 CANDI SEBAGAI 'LOCAL HISTORICAL PROTOTYPES'.. ... ............35
3.3 UNSURJATRIBUT KlJAT DALAM DESAIN ARSITEKTUR CANDL.. . ......... 46

DAB 4.REPRESENTASJ SOSOK CANDI DAI,AM ARSITEKTUR


MODERN

4.1. MASA KOLONIAL .. . ................ .52


4.2. MASA PASCA KOLONJAL...... . ..... 73

HAB 5. KESIMJ>ULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89

KEPlJSTAKAAN..... . .................... ....... lV

ii
ABSTRAK

Fenomena globalisasi pada saat ini. memungkinkan munculnya keragaman


representasi arsitektur yang hadir di Indonesia. Kecendenmgan pemanfaatan representasi
arsitektur asing tanpa dilandasi oleh semangat kelokalan dikuatirkan dapat menghilangkan
karakterlidentitas. Menghadirkan representasi identitas kelokalan melalui semangat
regionalisme mempakan tanggapan terhadap fimomena tersebut. Representasi yang
bersumber pada tradisi masa lampau dapal menjadi sa/ah satu mjukannya. Upaya untuk
mengembangkan nilai-nilai kelokalan dapat dilakukan melalui pengkajian representasi candi
sebagai sumber reforensi desain. De sa in candi Jawa diperkirakan menjadi salah satu sumber
im]Jirasi pen ling di dalam dinamika arsitektur di Indonesia. Hal ini dapat dikenali mela/ui
representasi unsur-unsur desainnya yang sela/u muncul p<ula masa pasca Hindu-Buda di
Jawa dan Bali.
Studi ini dilakukan untuk mengkaji representasi desain percandian pada bangunan­
bangunan masa Modem di Jawa. Masa Madem dapal dibubungkan dengan masa Kolonial
dan Pasca kolonia/. Jstilah Pasca Kolonial dalam studi ini digunakan untuk menggambarkan
eralmasa sesudah kolonial, bukan memjuk pada pengertian kritik ideologi. Pasca Kolonial
dapat mempunyai konsekuensi pemahaman yang /ebih luas, misalnya ideo/ogi!faham yang
mengkritik keberadaan kolonialisme. seperti halnya kritik postmodernisme terhadap
moden1isme.
J>endekatan kesejarahan secara diakronik-sinkronik dan studi korelasi digunakan
dalam menganisis tran.�jiJmuJsi wujud representasi candi di dalam sosok bangunan­
bangunan Pasca Ko/onial di Jawa tersebut. Pembahasan terhadap sosok menjadi penting
karena sosok mempakan sarana mudah/awallp<mdanganlimpresi pertama sebagai penangkap
visual yang cepat untuk menggambarkan totalitas suatu wujud arsitektur. Sosok mencakup
unsur tiga dimensi berikut tampilan jasadenya yang melingkupinya. A.1pek kesejarahan
diperlukan untuk memahami latar belakang ideologi, politik, ekonomi, sosia/-budaya yang
mendorong motivasi penggunaan representasi candi. Melalui studi ini diharapkan potensi­
potensi arsitektur candi dapat diidentifikasi sebagai salah satu sumber inspirasi desain yang
merujuk pada nilai kelokalan, khususnya dalam membangzm identitas arsitektur di Indonesia.

iii
BAB I.
PENDAHULUAN

I. I. La tar Belakang :

Fenomcna globalisasi pada saat ini memungkinkan masuknya pcngaruh budaya


asmg ke Indonesia. Hal i n i membuka kemungkinan keragaman atau plural itas
representasi arsitektur yang hadir di Indonesia. Kebcragaman rcpresentasi tersebut
menyebabkan karakter a.rsitekturnya menjadi tidak jelas. Lambat laun dikuatirkan dapat
membuat tidak ada bedanya antara wujud arsitektur di Indonesia atau di luar Indonesia.
Faktor 'tempat' (place) yakni ke-Indonesia-an rnenjadi penting dalarn mcmbangun
karaktcr!identitas (Prijotorno, 1988). Schulz (1978) juga mengernukakan pentingnya
pemahaman tentang .1pirit of the place (genius loci) dalam membentuk karakter.
Beberapa karya AMI (A.rsitek Muda Indonesia) dan arsitek lainnya pada saat ini
menunjukkan adanya kesan 'rnemindahkan' tanpa proses penyesuaian lebih Ianjut, baik
menyangkut gaya tcnnasuk aspekaspek yang melatarbelakanginya Landasan yang
d igunakan dalam desainnya menjadi sangat bebas (anything goes).
Oleh karena itu dalam konteks Indonesia saat ini diperlukan penggalian terhadap
nilai-nilai kearifan lokal. Menurut Pangarsa (2006) kearifan setempat atau kearifim
lokal, dikenal secara umum sebagai local wisdom, indigenous knowledge, dsb dapat
difahami mengedepankan kelokalan dan tidak ke-ba.rat-baratan. Pengaruh Barat­
globalisasi atau Erosentrisme tersebut nampak jelas pada aspek politik kebudayaan
Pertemuan antara pengaruh dari luar dengan kearifan setempat menjadi unsur penting di
dalarn muatan metoda pembangunan di negara berkembang. Sejak talmn 2000
organisasi dunia bahkan rnenegaskan rekomendasi program-program identifikasi,
pengembangan dan penyebaran kearifan setempat dalam berbagai bentuk. Di Thailand,
Uganda, dan Afrika Sclatan gerakan mengintergrasikan kearifan setempat dalam
kebijakan pembangunan bahkan dilaporkan relatif telah merata (Pangarsa 2006).
Camli mcrupakan salah satu peninggalan arsitektur purbakala yang mempunyai
kedudukan yang penting dalam sejarah pekembangan arsitektur di Indonesia. Arsitektur
candi di Jawa merupakan hasil dari usaha 'meramu' berbagai seni bangunan suci di luar
dan dari berbagai pusat kesenian dan berbagai jaman yang dipadukan dan diperkaya
dengan unsur-unsur lokal mcnjadi suatu kreasi 'baru'. Dengan demikian menunjukkan
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sebenamya telah mempunyai daya kreatifitas
yang rnemadai guna rnenciptakan seni-seni baru yang kontekstual dengan budaya lokal
dan adaptif terhadap budaya Juar. Scni arsitcktur candi tidak hanya bcrhcnti digunakan

pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, namun irnplikasinya diduga masih cukup

kuat baik dalam tataran konscp maupun aplikasi praktis pada masa Islam, Kolonial, dan

Post Kolonial-Modern di Indonesia. Pcninggalan bangunan masa llindu-Buda tersebut

berpotensi sebagai sumber inspirasi/referensi yang 'stabil' (diduga selaltr muncul pada

tiap masa) di Indonesia. Olch karena itu candi dapat dipandang scbagai salah satu local

hislorical prototype yang pcnting di Indonesia. Dalam perkembangannya representasi

cancli tidak sekedar difahami scbagai bangunan saja melainkan dapat mengandung nilai

'place' di dalam alam pikiran masyarakat khususnya di Jawa-Bali.

Studi ini diharapkan dapat mcmbuka wawasan dan dapat digunakan untuk

mengkaji keragaman bcntuk dan prinsip desain arsitcktural candi Indonesia dan aplikasi

serta ref1eksinya untuk sosok bangunan modern. Pcmbahasan terhadap sosok mcnjadi

penting karena sosok merupakan sarana mudah/awallpandangan/impresi pertama

sebagai penangkap visual yang cepat untuk menggambarkan totalitas suatu wujud

arsitektur. Sosok mencakup unsur tiga dimensi berikut tampilan fasadcnya yang

melingkupinya. Melalui studi ini diharapkan dapat memperkaya pengembangan

identitas bentuk-hentuk arsitektural yang bercirikan Nusantara. Di masa kini gaya

arsitektur yang tidak berhubungan dengan konteks lokal dan sejarah Indonesia telah

haclir eli Nusantara, schingga wujudnya tcrasa terlepas dari 'place' dan 'collective

memory' nya Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mcmahami wujud perkembangan

sosok desain arsitektur percandian berikut reprcsentasinya pada masa pasca

HinduBudha. Hal ini scbagai usaha mcncari model adaptasi dalam desain arsitektur

modern yang mencerminkan kemajuan jaman (progresif visioncr), namun tctap

dibangun herlandaskan pada nilai-nilai budaya adiluhung bangsa

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana wujud representasi desain arsitcktur candi di dalam sosok arsitektur masa

pasca Hindu-Budha di Jawa khususnya pada masa modern. Berdasarkan studi ini

diharapkan potensi-potensi sepcrti apa yang mungkin dapat identifikasi dalam

penggalian unsur-unsur desain yang bersumber dari arsitektur candi di Indonesia

tersebut, sehingga dapat mcnjadi masukan bagi pcngembangan desain yang berakar

pada budaya JokaL

2
1.3. Kcrangka Pcmikiran

Untuk memaharni reprcsentasi dcsain arsitektur caneli pada bangunan sakral

Hinclu-Budha atau candi terscbut maka pcrlu dicari landasan korclasi kcduanya. Selain

itu cligunakan penclekatan kuantitatif clan kualitatif clengan objek-objek nyata untuk

memperkuat pola-pola yang muncul, sehingga memperrnudah untuk penegasan tentang

wujucl aclaptasi dan transfrornasi yang digunakan . Dengan pedoman atau kaidah-kaidah

yang ditemukan diharapkan dapat diretleksikan sebagai guideline dalarn pengembangan

korelasinya.

ARSITEKTUR PADA
! Af�SITEK"l UH BANGUN AN MASA PASCA HINDU­
CANDI Dl JAWA
BUDHA Dl JAWA

Desain
I 01-�S/IJN
SAKflAtdnn
Non SN<RAI

-�- ANALISIS
KOHELASI

li
)
lAl N'l BELAKANG
SEJARAJ-1
I ' KONSEP SOSOK- KONSEP SOSOK­
y
- LATN-1 BElAKANC.i
L.ANDAMN TEOF-11 1 SPASIAL SPASIAL



• ·�-�
I
J
I
I
I ��- • • : • • • • • • • • • • • ' • • • • • • • • • • • • • • ' • •

KESIMPULAN

1.4. Tujuan Pcnclitiao


1. Mcmahami wujud pcrkernbangan dcsain arsitektur percandian serta aspck yang

melatarbclakanginya, dan rnemaharni represcntasi arsitektur candi clalarn wujud

perkembangan arsitektur eli Jawa paela rnasa pasca Hindu-Buelha, khususnya eli dalarn

sosok bangunan modern.

2. Mengdidcntifikasi potensi-potensi yang dapat dikcmbangkan dari arsitektur

percandian untuk desain arsitektur masa kini dan rncndatang Hal ini sebagai usaha

mencari model adaptasi dalam arsitektur modern yang tetap rnencerrninkan kernajuan

jaman (progresif visioner), narnun tetap dibangun berlandaskan pada nilai-nilai

budaya adiluhung bangsa

,
_)
1.5. M:mfaat J>enelitian

1. Diharapkan dapat diketahui wujud pcnggunaan arsitektur candi dalam arsitektur


pacla masa pasca Hindu Budha di Jawa, khususnya modern, baik pada bangunan
sakral dan non sakralnya dan aspek perletakannya dalam kawasan/urbanitasnya.
2. Dapat menambah wawasan tentang pengetahuan desain arsitektur yang
berlandaskan pada kaidah-kaidah arsitektur lokal dimana dapat digunakan sebagai
sebagai bahan pengajaran sejarah dan tcori arsitektur ataupun sebagai bahan
penelitian lcbih lanjut.
3. Dapat mcnambah wawasan pengetahuan tentang proses adaptasi candi pada
bangunan non Hindu-Budha, sehingga bergunna untuk pencarian kemungkinan
kemungkinan penggunaanya kembali pada desain arsitektur secara umum eli
Nusantara saat kini..
4. Diharapkan dapat membuka wacana lebih lanjut tentang pengkajian hubungan
antara desain candi dengan clinamika perkembangannya dalam membangun wujud
arsitektur Nusantara dan pencarian jatidiri ke-Indonesia-an.

1.6. Objck Pcnelitian

Objck pcnelitian meliputi caneli eli Jawa yang signifikan dan bangunan pada masa
pasca llinelu Budha yang mengindikasikan adanya unsur percandian eli Jawa, seperti
bangunan pemerintahan, monumen, bangunan hunian-hotel, bangunan perkantoran,
bangunan pariwisata, museum, bangunan peribadatan, bangunan perdagangan dsb. Oleh
karena itu perlu kiranya kita ambil metode sampling sebagai pengumpulan data, untuk
dapat mengetahui gambaran peninggalan-peninggalan dengan variasi-variasinya secara
umum. Tetapi jika ditemukan hal-hal yang khusus atau istimewa maka metode studi
kasus elapat digunakan. Dalam penentuan objek dilakukan penelekatan ke arab purposive
sampling yakni <liawali dengan pengarnatan bangunan yang menunjukkan adanya
kemungkinan penggunaan reprcsentasi percanelian. Teknik penentuan sample yang
digunakan adalah berdasarkan atas pertimbangan tertentu dan representatif yang
kebanyakan pe11imbangannya dielasarkan atas pengarnatan wujud fisik bangunannya.

4
I.7. Metode Penelitian :

Berdasarkan kajian di atas, pendekatan kesejarahan dan studi korelasi dapat


digunakan sebagai titik tolak dalam studi ini. Pengetahuan terscbut digunakan scbagai
landasan untuk memahami representasinya pada masa Pasca Hindu-Budha di Jawa
Penelitian ini dilakukan untuk memahami representasi arsitektur candi dalam arsitektur
Pasca Hindu-Budha melalui analisis transformasi. Post-modernism yang berkembang
saat ini memungkinkan adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur
pro-histmy. Mctode yang dil,'llnakan adalall Deskriptif Argumentatif

I. Objck studi dipilih berdasarkan uji kclayakan

2. Studi litcratur dan obscrvasi tcntang arsitcktur Candi dan bangunan modern yang

dipcrkirakan dipcngarnhi olch dcsain pcrcandian di Jawa.

3. Menemukan sejauh mana wujud pengaruhnya teii1adap arsitektur candi melalui


pendekatan tipo-morfologi, transtormasi, adaptasi, bcrdasarkan analisis dan
interpretasi objek studi dasar teoritisasi, yang berasal dari literatur.
4. Mcncari potensi--potensi yang dapat dikembangkan berdasarkan proses adaptasi
di dalam desain arsitekturnya.

1.7.1. Langkah Penelitian

I. Objek studi yang dipilih telah diseleksi sesuai dengan uji kelayakan bcrdasarkan
kelengkapan komponen bangunan.
2. Mengumpulkan data baik berupa gambar tampak, denah, perletakan dari objek
maupun foto-foto yang mendukung
J. Mcngndaknn pengukuran pada gambar tampak, denah, perletakan, dan foto
4. Mengkaji dan mcrnbandingkan literatur-litcratur yang berhubungan dengan teori
desain dan aspek-aspeknya bcrdasarkan kaidah yang ada, seperti Manasara, dsb
5. Mcncari hal-hal yang dianggap mempcngaruhi dan menentukan kaidah arsitektur
candi dan arsitcktur Islam di Jawa
6. Melakukan eksperimentasi, interpretasi,analisis berdasarkan pertimbangan kaidah­
kaidah tersebut untuk menemukan kaidah-kaidah adaptasi desain arsitektur candi
pada bangunan pada masa Islam.
7. Menarik kesimpulan untuk kemudian mencari kemungkinan -kemungkinan
pengembangannya pada saat kini serta membuat rekomendasi basil dari
penelitian.

5
I.7.2. Hatasan J>enelitian

Penekanan di dalam studi ini lebih pada wujud representasi candi-candi yang
dianggap mendominasi dan menjiwai sosok arsitcktur pada masa pasca Hindu Budha di
Jawa, khususnya untuk bangunan modern. Sosok merupakan wujud unsur tiga dimensi
bangunan termasuk pengolahan fasadenya Modern dapat dikaitkan dengan masa
Kolonial dan Pasca Kolonial. lstilah Pasca Kolonial dalam studi ini digunakan untuk
menggambarkan era/masa 'sesudah kolonial, bukan merujuk pada pengertian kritik
ideologi Pasca Kolonial dapat mempunyai konsekuensi pemahaman yang lebih luas,
misalnya ideologi/taham yang mengkritik keberadaan kolonialisme, seperti halnya
kritik postmodemisme terhadap modernisme.
Kasus bangunan modern ini dipilih karena diperkirakan terjadi indikasi paradoks
dengan konsep kemodernan itu sendiri, mengingat candi merupakan bangunan ibadat
Hindu-Budha pada masa kuno/klasik. Oleh karena itu perlu dicari fenomena
sustainabilitasnya pada masa yang berbeda tersebut dengan fungsi yang berbeda pula,
misalnya dalam masjid, gereja, kantor, dsb dsh Oleh karena itu aspek yang
melatarbelakangi seperti sejarah, politik, agama, tidak dapat saja diabaikan. Aspek
hentuk-sosok di!,>tmakan untuk menjelaskan fenomena transformasi yang terjadi dengan
Jatar belakang hudaya yang terjadi pada saat itu. Jadi dalam hal ini antara analisis
berdasarkan hentuk dan kesejarahan dapat herlaku secara timhal balik. Pcngkajian
terhadap aspek sosok berikut komponen juga dilakukan pada bangunan modern lainnya
di Jawa. Hal ini untuk mempermudah mencari fenomena korelasi antara candi dengan
jenis arsitektur tersebut.

I.7.3. Teknik Pengumpulan Data

PEDOMAN PENGUMPULAN DATA DILAKlJKAN MELALlJI LANGKAH­

LANGKAH SEBAGAI BERIKUT :

a) Studi kepustakaan awal,


b) Menyusun rancangan penelitian,
c) Memilih dan memanfaatkan informan dan narasumber,
d) Menjajaki dan menilai keadaan daerah penelitian,
e) Memilih daerah dan objek penelitian,

f) Perizinan penelitian,
g) Menyiapkan perlengkapan penelitian,

6
h) Mcngadakan pcngarnatan dan pengarnbilan dokurnentasi dari bangunan yang
dijadikan objek, pengarnbilan data melalui f(Jto di Iokasi, sedangkan gambar pada
Dinas Purbakala,
i) Melengkapi Iiteratur dari yang berhubungan dcngan objek penelitian.

I. 7.4. Prosedur Analisa

1111 Mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan Iatar belakang desain arsitektur candi
dan arsitektur pada masa Pasca Hindu Budha di Jawa rnisalnya meliputi sejarah,
budaya, dsb rnelalui studi Iiteratur, pengamatan, pengam bilan data pada ob jek studi.

1111 Berdasarkan telaah leoritik tersebut di atas, dilakukan 'studi korelasi' yang untuk
mengetahui : wu jud representasinya berupa sosoknya, termasuk pengolahan fasade

dan elcmen lainnya.


1111 Mengkaji wujud transformasinya untuk mencari hubungan antara estetika sosok

arsitekturalnya Berdasarkan hasil studi yang dilakukan kemudian diidentifikasi


potensinya yang dimiliki oleh sem arsitektur candi, sehingga dapat
direkomendasikan pemanfatannya bagi desain banl,'llllan barn yang memjuk pada
citra candi.

7
BAB II
LANDASAN TEORI

Pada dasarnya manusm mcmcrlukan simbol-simbol tertcntu untuk


mengungkapkan idenya. Reprcsentasi merupakan proses perubahan dari konsep­
konsep ideologi (ide) yang abstrak ke dalam bentuk-bentuk yang kongkret Menurut
Nuraini (2000) representasi bcrkaitan dengan proses maupun produk pemaknaan suatu
tanda. Representasi juga dapat merupakan proses perubahan konsep-konsep ideologi
yang abstrak dalam bcntuk-bcntuk yang kongkret Melalui bahasa (simbol-simbol dan
tanda tertulis, lisan, atau gambar) dapat digunakan untuk mengungkapkan pikiran,
konsep, dan ide-ide tcntang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara
'mcrepresentasikannya'. Dengan mengamati kata-kata yang digunakan dan citranya
dalam merepresentasikan sesuatu dapat terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan pada
sesuatu tersebut
Menurut Hall (1997), representasi adalah salah satu praktik penting yang
memproduksi kebudayaan. Bahasa dapat menjadi perantara dalam memaknai sesuatu,
memproduksi dan men1,>ubah makna. Bahasa mampu melakukannya karena beroperasi
sebagai sistem representasi. Wujud pengungkapannya dapat bcrupa seni tari, seni
patung, seni lukis, arsitektur, dsb, dimana 'bahasa' menjadi mcdiumnya. Berkaitan
dengan hal tersebut arsitektur mcrupakan salah satu wujud pengungkapan bahasa
yang nyata (dapat dirasakan melalui panca indra).
Representasi wujud (bentuk) arsitektur dapat berasal dari berbagai sumber­
sumber. Menurut Mark Galenter (1992) penciptaan bentuk (fimn) dalam desain
arsitektural dapat dicapai sebagai berikut •

1. An architectural form is shaped hy intended function Dcsain bentuk suatu


bangunan dapal diciptakan mclalui pcrtimbangan 11mgsi-iungsi tertcntu,
rnisalnya aspck fisik, sosial, psikologi, dan fungsi simbolik. Dalam hal ini
bcntuk rnerupakan rcprescntasi flmgsi.
2. An Architectural form is generated wilhin the creative imagination
Originalitas ide bentuk arsitektural dilahirkan melalui kreativitas imaginatif
dan intuitif pemikiran arsiteknya. Hal ini didasarkan pada kemerdekaan
berfikir intuitif yang mandiri dan tidak terjebak olch batasan-batasan formal,
contoh ekstrimnya adalah desain-desain yang utopis, fimtastik, futuristik,
dekonstruksi, dsb.

8
3 . An Architectural form is shaped by the prevailing Spirit of Age. Bentuk
arsitektural diciptakan mengikuti semangat Jainannya. Pertimbangan
icleologi/semangat/laham global dan dominan dapat berpcngaruh terhadap
penciptaan bentuknya, misal Post-Modernisme yang pro-histmy
4. An Architectural form is determined by the prevailing social and economic
condition. Bentuk arsitektural dapat diciptakan dengan mempertimbangkan
aspek sosial (untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak) dan ekonomi

(efektif-efisien-fungsional).
5. An Architectural form is derives fi·om timeless principles of form that
transcend particular designers, culture, dan climate. Bentuk-bentuk
arsitektural dapat dilahirkan mclalui konscp-konsep masa lalu. Konsep ini
digunakan karena dianggap mempunyai keunikan!kekhasan, untuk tujuan
khusus, pertimbangan budaya (misalnya: lokalitas), dan kontcktualitas iklim,
dsb. Hal ini dapat menyangkut aspek kesejarahan (pro-history), type, dsb.

Persepsi visual dapat dikaitkan dengan permasalahan pengkajian wujud (form)


dengan maknanya (meaning), contoh lingkaran dianggap sebagai bentuk sakral dalam
Budhisme, karena menggambarkan roda-dharma (dinamis). Dalam doktrin Budismc,
kesucian berasal dari kedinamisan tersebut (konsep perputaran dharma-rcinkarnasi)
menuju ke tahapan moksa (hilang). Oleh itu lingkaran digunakan sebagai bentuk
utama/yang paling suci pada bangunan sakralnya (stupa). Berbeda dengan Budisme,
I-Iinduisme menganggap bahwa surgawi adalah suatu wujud kestabilan. Bentuk yang
dianggap merepresentasikannya adalah geometrik-bujursangkar Bujusangkar
mempunyai sifat memusat dan 'stabil' (tidak bergerak seperti lingkaran). Bentuk-
bentuk memusat tersebut rnenunjukkan makna yang lebib utama, penting
dibandingkan dengan bentuk yang lain.
Pada masa pasea Hindu-Buda, misalnya masa Islam bentuk denah memusat
digunakan untuk bangunan-bangunan yang bersifat sakral seperti masjid dan utama
yakni 'eta/em· (rumah tinggal utama). Masjid dengan bentuk denah memusat ternyata
sampai saat ini masih banyak digunakan, meskipun berdasarkan kajian sejarah
diketahui bahwa awalnya dipengaruhi oleh warisan arsitektur sakral Hindu-Buda.
Representasi dapat berubah-ubah, selalu dimungkinkan timbul pemaknaan dan
pandangan baru dalam konsep yang sudah pernah ada. Makna selalu berada dalam
proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. lntinya bahwa makna

9
tidak inhcrcn dalam scsuatu di dunia ini, selalu dikonstruksikan, diproduksi, melalui
proses representasi dan merupakan hasil dari praktik penandaan (Hall, 1997)
Di sisi lain untuk menjclaskan bagaimana representasi makna mclalui bahasa
dapat bertungsi, maka dapat digunakan tiga teori reprcsentasi Hal ini dapat dipakai
sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: dari mana suatu makna berasal, atau
bagaimana membedakan antara makna yang sebenarnya dari scsuatu atau suatu citra
dari sesuatu. Pertama adalah pendekatan 'reflektif. Dalam hal ini bahasa berfungsi

sebagai cermin yang merefleksikan makna sebenarnya. Kedua adalah pendekatan


'intensional', dimana subjek menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesualu
sesuai dengan cara pandangnya terhadap hal tersehut Ketiga adalah pendekatan
'konstruksionis', yakni mengkonstruksi makna melalui bahasa yang subjek
pergunakan (Nuarini, 2000).

2.1 Pendekatan Korelasi dalam Representasi Arsitektur

Untuk mengetahui bahwa representasi suatu karya arsitektur berasal dari karya
lainnya yang sejaman atau masa lalu dapal ditunjukan melalui korelasi persepsi visual.
Namun demikian tidaklah mudah untuk menyatakan korclasi antar keduanya karena
dibutuhkan pemahaman terhadap Jatar hclakang pengadaptasiaan atau
pengadopsiannya. Aspek kesejarahan mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial,
dan budaya mcmpunyai peranan penting di dalamnya. Norberg-Schulz (1978)
menyatakan agar tidak terjebak pada visual (objek) diharapkan dapat menelaah lebih
lanjut dengan melihat secara keseluruhan (utuh). Adaptasi menunjukan adanya hal
psikologis yang menimbulkan objek tersebut berasal.
Menu rut teori gestalt 1 pcrsepsi visual dapat terbentuk karena: kedekatan posisi
(proximity), kesamaan bcntuk (similiarity), penutupan bentuk, keinambungan pola
(continuity), kesamaan arah gerak (commonfate). Dalam Psikologi Gestalt dikenal
dua prinsip utama yakni :
(I) Principle of Totality, 7he conscious experience must be considered globally

(by taking into account all the physical and mental mpects rJf the individual
simultaneously) becm1se the nature cifthe mind demand� that each component
be considered as part of a system rif dynamic relationships.

1 Brownell, P., cd.(2008) Jlandbook}i!r Theory, Research, and Practice in Gestalt "J'heranY, Newcastle
upon Tyne, UK: Cambridge Scholars Publishing

10
(2) Principle of Psychophysical Isomorphism - A correlation exists between
conscious experience and cerebral activity
Penjabaran lebih lanjut dari prinsip tersebut adalah melalui pcndekatan •

( 1 ) Phenomenon l0cperimental Analysis (In relation to the 7(Jtality Principle any


psychological research should take a5 a starting point phenomena and not be
solely.focused on sensory qualities).

(2) Biotic 10cperiment (This signified experimenting in natural situations,


developed in real conditions, in which it would be possible to reproduce,
with higherfidelity what would be habitualfiJr a subject)

Pengkajian tentang persepsi korelasi antar bentuk arsitektural dan maknanya


sepetii di atas rnemerlukan pendekatan yang lebih konkret, yakni rnenyangkut dua
objek yang berbeda. Oleh karena itu dapat dilakukan pendekatan semiotik atau bahasa
tanda. Dalarn rnernpelajari semiologi dalam arsitektur dapat digunakan beberapa
pendekatan serniotik yang menurut Barthes (1964)-diadik dapat terbagi ke dalam
ernpat macam elemen serniologi yaitu• langue dan parole, tanda (sign) terdiri dari
pertanda {.1·ignifie1) dan yang-ditandai (signified), sistem sintagmatik dan
paradigrnatik, dan rnakna denotatif dan konotatif
Sedangkan pendekatan semiotik yang digunakan oleh Charles Sanders Peirce -
triadik, menggunakan tiga macam istilah untuk Ianda yaittL indeks, ikon, dan simbol
(Rahardjo, 1992). Charles Jenks dalam bukunya, Semiology and Architecture
menggunakan istilah context dan metaphor untuk menggantikan sintagmatik dan
paradigmatik. Terdapat dua cara dasln untuk memahami sebuah tanda. Cara pertama
adalah melalui hubungan tanda itu dengan tanda-tanda lain dalam suatu konteks atau
mata rantai. Cara kedua adalah melalui tanda-tanda lain yang telah menjadi metafora
melalui asosiasi atau kesamaan (Jencks, 1969).
Elemen-elemen pada arsitektur terdiri dari berbagai macam bentukan yang
tentunya memiliki makna. Elemen-elernen tersebut terwujud ke dalam indeks, ikon,
dan simbol. lndeks adalah tanda dari suatu bentuk yang dapat dimengerti oleh
kebanyakan atau semua orang tanpa ada perbedaan Iatar belakang. Ikon adalah tanda
dari suatu bentuk yang dapat dimengerti oleh kebanyakan orang karena bentuk
tersebut menyerupai (resemble) sesuatu. Contoh• orang akan mengenal candi dari
salah satu ikonnya yang berupa stupa. Simbol adalah bentuk-bentuk benda yang
hanya dapat dikenali maknanya karena adanya konsensus budaya.

11
Di sampmg pendekatan persepsi visual dalam rnengkaji wujud reprcsentasi
arsitektur masa lalu (candi) di dalam bangunan rnasa kini (dua objek yang berbeda)
diperlukan bcberapa pcndekatan korclasi lainnya •

1. Transformasi Arsitektur
Melalui transformasi dimungkinkan reprcsentasi yang berasal dari masa lalu
digunakan sebagai ,mmber iniJJirasi bagi arsitektur masa kini. Proses transformasi
menyangkut perubahan form (bentuk) dan meaning (makna). Apl i kasinya dapat
berupa wujud tetap-makna berubah atau wujud bembah-makna tetap. Arsitektur pada
jaman Islam di Jawa menggunakan beberapa unsur desain percandian dalarn
bangunannya, demikian juga pada beberapa bangunan modern masa kini, seperti
Hotel dan Museum.
Strategi transformasi dalam desain arsitektur secara umum menumt
Antoniades (J 992) dapat dibagi ke dalam strategi tradisional (umum-konvensional),
peminjaman (borrowing), dan dekonstmksi (deconstmction). Berkaitan dengan hal
tersebut penggunaan representasi yang bersumber pada desain candi pada pasca
Hindu-Iluda dapat mempakan proses tersebut. Secara visual strategi peminjaman
tampak dalam beberapa bangunan masa Islam dan Kolonial, sedangkan strategi
lainnya diperlukan pengkajian lebih l anjut, seperti pendekonstruksian nilai-nilai masa
lalu ke masa kini.
Strategi Peminjaman (borrowing), Adalah pendekatan transfonnasi melalui
peminjaman secara formal suatu bentuk yang berasal dari lukisan, patung, obyek­
obyek dan artefak-artefak lain. Melaluinya juga mempelajari karakter dua dan tiga
dimensional sebagai upaya interpretasi untuk mengetahui aplikasi dan
kemungkinannya. Transformasi 1m mempakan suatu "pictorial tronsferring"
(pemindahan citra) dan juga dapat bempa "pictorial metaphor" (metatora citra).
Contoh• suatu candi dijadikan dasar untuk sebuah transforrnasi dalam membuat hotel,
atau bangunan publik lainnya
Strategi Dekonstmksi (de-conslntction) Adalah pendekatan transformasi
melalui suatu proses dimana seorang perancang mengambil sebuah bentuk secara
keselumhan dan dipecah-pecah atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kecil (yang
masih memiliki makna/arti). Hal ini memiliki tujuan untuk mencari cara baru dalam
mengkombinasikan bagian-bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-

12
kcmungkinan suatu bcntuk kescluruban yang bam (new wholes) dan tatanan baru
(new orders). Contoh: unsur garis l ight-shadow yang berasal dari candi diduga
didekontruksikan dalam wujud fadase dcsain villa modern olch arsitck Belanda.
Proses transformasi dalam desain j uga mclibatkan unsur-unsur yang berkaitan
dengan metafora. Metafora dapat dijadikan alat dalam transformasi, khususnya dalam
stratregi peminj arnan (borrowing). Antoniades ( 1992) mcngulas pcnggunaan
rnetafora dalarn bidang de5ain (arsitcktur). M etafora sangat berguna untuk rnencapai
berbagai "hal/ide baru" pada berbagai unsur suatu bangunan dan proses pcngonscpan
rancangan. "lsi" atau rnakna suatu bangunan akan rnenjadi lebih ekspresif secar·a
kescluruhan. Selain itu, sesuatu hal atau pesan yang hendak dikornunikasikan olch
arsitek suatu bangunan yang dirancangnya, akan rncnjadi lebih eksplisiL
Metafora akan banyak rnembantu untuk menghasilkan/rncmbangkitkan
konsep-konsep baru yang rnerujuk pada autensitas suatu bangunan. Autensitas di sini
berarti identitas asli yang berasal dari suatu bangunan tertentu, yang hams dipaharni
dan diikuti oleh arsitek ketika rncrancang suatu bangunan. Di Indonesia rnelalui
pendekatan rnetafora diharapkan dapat digunakan untuk desain yang bersurnber pada
unsur budaya kelokalan
Metafora rncrupakan upaya yang dilakukan olch manusia untuk mencoba untuk
rnentransfer suatu referensi yang berasal dari suatu subyek (konsep atau objek) pada
suatu hal yang lain, rncncoba untuk "melihat" suatu subjek (konsep atau objek)
sebagai sesuatu benda yang lain, dan mcnggantikan fokus suatu penelitian dari suatu
area konsentrasi atau suatu penyelidikan ke penyelidikan yang lain (dengan harapan
rnelalui perbandingan atau perluasan tcrscbut, dapat rncnjelaskan suatu subjek dengan
cara yang lain (Antoniades 1992).
Secara etimologi, rnetafora (lnggris: metaphor) berasal dari kata latin yaitu
melapherin yakni pemindahan sesuatu yang berasal dari suatu subyek yang
dikandungnya. Metafora juga dapat berarti scrar1gkaian penuturan yang mengalami
pemindahan makna yang dikandung kepada obyek atau konsep Jain yang ditujukan
rnelalui perbandingan (analogi) atau kornparasi (perbandingan). Sementara itu Roman
Jakobson rnernpunyai pengertian bahwa metafora merupakan suatu istilah yang
mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dcngan sebuah kata lain
yang Jebih figuratif. Dasar penggantian ini adalah kcrniripan (analogi) antara kala
yang harfiab dengan kata figuratif (abstrak) tersebut (Kris, 1999).

]J
Mcnurut seorang filsuf Yunani, Aristotclcs, mctafora adalah suatu pcmindahan
makna-makna istilah yang literal (harfiah), baik yang berasal dari makna yang umum
ke yang khusus (spesifik) atau scbaliknya atau melalui analogi (Samuel, 1 977).
Aristoteles juga memberikan pemikiran yang lain mengenai rnetafora yang jauh
berbeda dengan pengertian metafora sebagai analogi. Metafora juga dapat berarti
suatu dekorasi atau ornamentasi yang "rnenghidupkan" suatu gaya (style). Hal ini
dapat dilihat pada banglinan-bangunan modem yang menggunakan 'rnetafora'
bangunan masa lalu atau meminjarn ide-ide yang berasal dari unsur arsitekturnya
sepert.i hotel amanjiwo, beberapa bangunan di kawasan Braga, dsb.

2. Fenomena Akulturasi Arsitektur

Di masa kini dinamika perubahan tidak mungkin terhindarkan. Van Peursen


( 1988) melihat kreativitas sebagai faktor yang amat penting dalam perubahan sosial
budaya. Dengan adanya kreativitas, muncul scsuatu yang baru. Kreativitas ini selalu
memikirkan kembali suatu situasi dari dalam, lalu menemukan suatu pandangan bam.
Secara tidak terduga rintangan lama telah didobrak. Manfaat kreativitas yang
konstruktif misalnya memungkinkan individu atau masyarakat untuk memberikan
tanggapan yang memadai terhadap situasi-situasi bam dan tantangan-tantangan lama,
khususnya dalam menghadapi globalisasi saat kini.
Strategi meminjam (borrowing) dalam proses transforrnasi rnemungkinkan
adanya usaha-usaha menghadirkan kembali rcpresentasi yang bersumber pada masa
lalu. Fenomena ini mendorong munculnya percampuran-akulturasi dalarn desain
arsitekturnya. Akulturasi merupakan suatu proses budaya - "merninjarn" gagasan­
gagasan dan materi-materi yang berasal dari budaya lainnya. (Azimipour & Jones,
2003). Dua faktor yang berperan penting dalam proses akulturasi suatu budaya
dengan budaya lainnya adalah budaya akar seternpat (mainstream or dominant
culture) dan Budaya asal individu/ pengamh kesukuan (ethnic). Tiga premis dasar
dalam akulturasi (Azimipour & Jones, 2003) ( I ) Adanya suatu perbedaan yang
mencolok pada skala masyarakat yang berinteraksi (mempakan contoh yang terbaik
melalui kontak budaya), (2) Masyarakat yang lebih kecil akan mengalami lebih
banyak perubahan (3) Masyarakat yang lebih kecil akan cenderung kehilangan
identitas mereka, dan mengambil banyak karakteristik masyarakat yang besar.

14
Model perpaduan dan penyesuaian dianggap sebagai model p sikologis yang baik
(the most psychologically healthy cuiaptation styles). Beberapa model akulturasi :
(I) Penyesuaian/ adaptasi (m·similated) Adanya proses pcnycsuaian dan adaptasi
satu budaya terhadap budaya lain. Adaptasi adalah to adjust. Adaptasi berarti
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah ada sebelumnya,
(2) Perpaduan/ sirnbiosis (integrated). Perpaduan dua budaya atau lebih sccara
seimhang, dan cenderung membentuk budaya yang baru ("both and" principle),
(3) Peminggiran (marginalized). Terpinggirnya suatu budaya oleh hudaya lain
yang lebih dominan. ("identifying without no particular set of beliefs". : "neither
nor' 'principle)
(4) Pcmilahan/ adopsi (separated). Pemilahan suatu bagian atau elemen tertentu
budaya dan diadopsi oleh budaya Jain. Adopsi : adalah rnelaknkan pengambilan
pada elemen yang ada. Adopsi berarti mengarnbil dan memakai sesuatu yang
telah ada sebelumnya.

Di dalam proses akulturasi dapat melibatkan nilai-nilai inkulturasi didalamnya,


khususnya yang menyangkut religi mengingat candi adalah ban6runan sakral dan
dimungkinkan berkaitan dcngan bangunan sakral lainnya. Mcnumt Koentjaraningrat
inkulturasi atau enkulturasi mengacu pada konsep pembudayaan (internal). Bakker
( 1984) mcnyatakan lafal en atau in-- kulturasi dipergunakan dengan kadar yang sama
(en "' Yunani, in � Latin; ' ke dalam' ) diruiikan sebagai latihan, seorang individu
diintcgrasikan ke dalam kebudayaan sejaman dan setcrnpat.
Menurut Djoko Sukiman (2000) inkulturasi merujuk pada proses pembentukan
budaya antar dua kelompok budaya sarnpai munculnya pranata yang mantap,
khususnya yang berkaitan dengan aspek religi Konsep inkulturasi dipakai pertama
kali oleh 1-lerskovits dalam bukunya Man and His Work : The Science {)( Cultural
Anthropologv, yang memandang bahwa inkulturasi sebagai proses esensial melalui
kondisi sadar atau tidak sadar yang digerakkan oleh adat setempat. Tanpa aclanya
proses adaptasi maka inkulturasi tidak dapat berjalan Iancar.
Inkulturasi sebagai suatu proses dalam perkembangannya berjalan melalui tiga
tahapan. Tahap pertama enkulturasi ditandai oleh pengenalan, penyesuaian adat, serta
terjalinnya relasi interaksi, Tahap kedua, ditandai dengan adanya koeksistensi dan
pluriformitas terhadap Iingkungan sekitarnya, menempatkan kepribadian dasar
sebagai objek Iegitimasi Tahap ketiga, sebagai tahap akhir, proses inkulturasi

15
diformulasikan dalam bcntuk munculnya 'sinkritismc' kcbudayaan, kesenian, dan
agama. Proses inkulturasi yang baik abm mcmunculkan bcntuk pcrpaduan dalam
keharomonisan, sedangkan inkulturasi yang mengalami kegagalan akan
rnendatangkan ketegangan antara inkulturasi dan dayacipta.
Contoh proses percampuran akulturasi-inkulturasi yang rnerepresentasikan
arsitektur masa lalu pada masa Kolonial dapat ditunjukkan di dalarn karya Maclaine
Pont yakni gereja Puh Sarang. Pont rnerupakan orang pertarna yang rnerekonstruksi
dan rnenyelidiki situs peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak
inspirasi yang didapatkan dari peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan
bahan terakota dan omamentasi candi Hal ini narnpak pada karyanya yakni gereja
Puh Sarang di Kediri, dirnana altar·tabenakelnya menggunakan bahan terakota yang
dihiasi ragam hias yang berasal dari unsur percandian Majapahit. Tatanan ruang luar
kompleks ini juga mengindikasikan adanya penggunaan pola geornetrik yang herasal
dari bentuk mandala candi, seperti candi Jago atau Penataran.
Secara umum dinamika dalam kebudayaan menurut Koencaraningrat
mencakup proses mernpelajari kebudayaan secara internal (internalisasi, sosialisasi,
inkulturasi), proses perkembangan hudaya ( evolusi), proses penyebaran ( difusi) dan
interaksi antar budaya (akulturasi, asimilasi), proses pembaruan (inovasi), dan sarnpai
pada penemuan baru (discovoy-invention). Proses difusi antar dua kebudayaan
(acceptor dan donor) dapat dibagi menjadi hubungan simbiotik (bersentuhan namun
tidak menyebabkan perubahan), penetration pacifique (perubahan secara damai­
unconscious), hubungan kekerasan/peperangan (perubahan dengan paksaan). Suatu
proses difusi juga dapat mengalami suatu stimulus dijji1sion, rangkaian difusi yang
herantai (Koentjaraningrat, 1986). Para ahli mengaitkan masuknya budaya I ndia ke
Nusantara dcngan jalan penetration pacifique atau secara damai dan cvolutif, melalui
penycbaran agama.
Dalam kaitannya dengan arsitektur, konsepsi budaya tersebut dapat
dianaloginakan dengan pernbahasan tentang transfonnasi desain arsitektur candi baik
pada rnasanya maupun pasca Hindu-Buda. Candi merupakan represcntasi konsep
pertemuan antara yang asing dan lokal, dan antara yang lama dan yang baru. Dalam
pembahasan dinamika arsitektur candi dapat dikaitkan dengan proses akulturasi-difusi
(damai)-inkulturasi 7 evolusi 7 inovasi 7 penemuan gayaJtampilan arsitektur baru
(dalam konteks desain arsitektural).

16
Akulturasi atau disebut sebagai culture contacts dalam pcngertian luas
rncrupakan proses sosial yang timbul hila suatu kelornpok manusia dcngan suatu
kcbudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan
diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1986).
Secara urnum wujud dan isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi
itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu ( I ) Berupa sistem budaya (cultural
.1ys1em) yang tcrdiri at as gagasan, pikiran, konscp, nilai-nilai, norma, pandangan,
undang-undang, dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh
pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas), (2) Berbagai
aktivitas (activilies) pada pelaku seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang
wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut social sistem atau sistern
kernasyarakatan yang berwujud kelakuan (3) Berwujud benda (artifacts), yaitu
benda-benda, baik rnelalui hasil kmya manusia maupun basil tingkah lakunya yang
berupa benda, yang disebut budaya kultur.
Akulturasi rnerupakan perternuan dua kebudayaan, terdapat penerimaan nilai­
nilai kebudayaan lain, nilai yang baru tersebut diinkorporasi dalam kebudayaau lama.
Akulturasi adalah proses midway antara 'konfrontasi' dan 'fusi'. Ketegangan antara
dua belah pihak itu tidak diruncingkan, melainkan melakukan 'dialog' dapat mencapai
saling penge11ian dan kerjasama. Akulturasi berusaha mencari keseimbangan antara
warisan kebudayaan lama dengan perubahan yang diperlukan.

3. Pendekatan Tipo-Morfologi Arsitektur

Pengkaj ian representasi rna sa lalu dalam arsitektur masa kini berkaitan erat
dengan perrnasa lahan 'form ' dan wujud transformasinya. Oleh karena itu dapat
cligunakan penclekatan Tipo-morfologi Arsitektur. 'Form tran.�formation' tidak dapat
clilepaskan clari permasalahan tentang type (tipe). Di dalam bidang arsitektur, studi
tipologi dignnakan untuk mempelajari dan menganalisa tipe-tipe bangunan. Di sisi
lain studi morfologi dalam arsitektur dapat diartikan sebagai i l mu yang mempelajari
tentang bentuk dalam kaitannya dengan proses penyusunan
stmktur/elemen/komponen atau komposisinya. Pandangan Sukada ( 1 989), di dalam
studi tipologi dikenal tiga tahapan yaitu clit,•1makan untuk mencntukan bentuk dasar

17
pada setiap objek, menentukan sifat dasar berdasarkan bentuk dasar tcrscbut, dan
menjelaskan proses komposisi bentuk dasar (presedent).
Studi tipo-morfologi arsitektur dapat diartikan sebagai pengkajian tipe-tipe
arsitektural dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk (struktur/elemen/
komponen) dan komposisinya tanpa mengabaikan unsur fungsi yang berlaku pada
objek tersebul. Studi tipo-morfologi penekanannya lebih mengarah kepada analisa
unsur-unsur pembentuk/elemen/ komponen/struktur pada suatu tipe. Pendekatan ini
digunakan untuk mengkaji sejauh mana tipe-tipe unsur desain percandian yang
muncul dalam wujud representasi pada konteks masa yang berbeda.
Menurut Quatremere de Quincy, pembentukan tipe arsitektural dipengaruhi oleh
rujukan sejarah, representasi alam, dan aspek kegunaan. Menurut Quatremere de
Quincy, tipe mudah berubah dan mudah terpengaruh oleh tipe lainnya. Arsitek dapat
mengekstrapolasi tipe, menggubab tipe sesuai dengan keinginannya, sehingga
menghasilkan suatu model lain atau baru. Quatremere de Quincy kemudian
mengembangkan teori tipenya menjadi composition 'atau komposisi, yaitu
penyusunan bennacam-macam tipe menjadi suatu model bam.
Pada dasamya di dalam proses type-:fi>rmation, suatu tipe tertentu dapat
merupakan basil suatu perjalanan dari tipe sebelumnya. Tipe ini dapat bertahan atau
diubah sesuai dengan keinginan tetapi tetap berasal dari bentuk dasar yang sama yang
diistilahkan sebagai basic form. Basic form (bentuk dasar) diperoleh dengan
mereduksi tipe menjadi 'bentuk yang paling mendasar' melalui diagram tipologi.
Dalam proses komposisi penggunaan bm·icjorm dalam berbagai model dapat menjadi
tak terbatas. Untuk membatasinya maka digunakanlah pengetahuan kesej arahan/
experience and tradition sebagai mle (aturan/kaidah)-canon dalam penyusunan
komposisi.
Merujuk kepada pernyataan Quatrcrnere, Argan pada tahun I 960
mengernukakan pandangannya tentang tipologi melalui tiga pendekatan, pertama,
sebagai alat untuk mesistematisasi bentuk arsitekturaL Kedua untuk menyelidiki
aspek penyebaran (divergensi) bentuk arsitekturaL Ketiga, sebagai alat d alam proses
desain. Menurut Argan tipologi dapat menjelaskan hubungan antara desain
arsitektural rnasa lalu, sekarang dan rnendatang. Dengan demikian pendekatan ini
digunakan dalam mengkaji permasalaban representasi yang berasal dari arsitektur
masa lalu (candi) ke masa kini.

18
Sejalan dengan pandangan Argan, Ernesto Roger mendefinisikan tipe sebagai
"Part (if a framework defined by reality which characterized and classified all single
events" Menurut Roger, desain arsitektur pada umumnya didasari oleh konsep-konsep
yang telah ada sebelumnya dan merupakan hasil dari suatu proses keberlanjutan.
Pengidentifikasian suatu tipe bergantung pada konteks permasalahan yang dihadapi,
sehingga mempunyai karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap karakter
mempunyai spesifikasi khusus yang diistilahkan sebagai 'generic type'. Roger lebih
mementingkan bagaimana arsitek mempergunakan instmmen sesua1 dengan
permasalahannya dari pada menggunakan pendckatan metodologis yang sistematis.
Sepe1ti halnya Roger, Aldo Rossi. j uga menekankan teorinya kepada pendekatan
tradisional. Menurut Rossi ( 1982) The logic (if architectural form lies in a definition
i type based on the juxtaposition (if memory and reason.. Dengan kata lain, tipe
cf
arsitektur mempakan basil penjaj aran dari memory dan pemikiran sebelumnya.
Memory sangat penting karena mempakan historical reason yang menjamin
keberlanjutan proses past-present-future. Rossi lebih cenderung menggunakan
tipologi dalam bidang perkotaan, di mana pembahan eksisting tidak akan terlepas dari
konteks kemasyarakatan dan perj alanan sejarah yang melatarbelakanginya. Ia juga
merujuk pada Murratori yang mengkaitkan hubungan antara rnorfologi kota dan
tipologi ball!,>unan di dalarnnya.
Sedangkan menumt Julie Robinson ( 1994), tipe di dalam tipologi bangunan
pada dasarnya digunakan untuk mengkategorisasi variasi dari ragam bangunan.
Pengklasifikasian tipe menurut Robinson harus rnernpertimbangkan dua hal yaitu how
architecture is made dan how architecture received by the audience. Oleh karena itu
terdapat dua pendekatan klasifikasi tipologi yang dapat dilakukan, yaitu dengan
mempertimbangkan
o Physical properties (karakteristik fisik), menyangkut kategori taksonomi dari
material, penyusunan ruang, style, pembagian geometrik, berbagai elemen, dan
sistern konstruksi
o Enviroment that surrounding the objects (Jatar belakang/konsep/ide) menyangkut
,

'how enviroments are made, how enviroments are used, and how enviroment are
understood' Misalnya 'rules and proceses' (aturan dan proses) yang menyangkut
permasalahan 'plan of configuration' (konfigurasi komposisi)

19
Di sisi lain dalam studi tcntang type dikcnal juga istilah archetype. Menurut
Mike Brill, archetype lebih mengarah kepada natura/ language dan charge. A rchetype
merupakan kesepakalan secara alamiah alas bentuk pada suatu objek km·ena
mempunya1 nilai tertentu. A rchetype tempat sakral misalnya mempunyai bentuk­
bentuk dasar spesifik yang mampu menampilkan tema-tema mistik. A rchetype
merupakan medium untuk mengekpresikan makna suatu tempat. Dalam sejarah
architype dapat dipahami sebagai asal (origin) d ari suatu tipe yang dikembangkan
lanjut dcngan tidak mengubah makna atau nilai yang terkandung di dalamya.
A rchitype berbeda dengan prototype yaitu tipe yang dijadikan basic untuk dibuat
duplikasi yang sama. A rchitype lebih bergerak pada kerangka konseptual (ide­
simbolik), sementara prototype lebih bersifat praktis (fisik). Menurut Jung ( 1 987),
architype adalab citra lcluhur yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif
manusia/ketidaksadaran (unconscious), sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret
antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, roh dan materi. Hal ini dapat
dikaitkan dengan fenomena selalu munculnya (dimanfaatkan) representasi arsitektur
candi (citra leluhur) pada tiap era perkembangan arsitektur di Indonesia.

2.2. Rcprcscntasi dalam Kontcks J>ostmodcrnismc

Rcpresentasi arsitcktur yang berkembang saat ini berkaitan erat dengan


semangat postmodemisme yang sedang berkembang, khususnya yang berkaitan
dengan pemanfaatan kembali representasi arsitektur masa lalu. Istilah
postmodernisme, merujuk lhab Hassan, d ipergunakan pertama kali pada talmn 1 930
oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni dalam tulisannya Antologia de Ia Poesia
Espanola a HLI]Janoamericana unt:uk menunjuk kepada reaksi minor terhadap
modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone, 1 988: 202) lstilah ini kemudian
sangat populer di tahun 1 960-an ket:ika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus
scm seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, B arthelme, Fielder dan Sontag
menggunakannya sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut.
Postmodernisme mcncoba mempert:anyakan kemhali posJSI, batas
dan implikasi asumsi-asumsi modemisme yang telah bembah menjadi mitos baru.
Dalam kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan
masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran­
pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value),

20
semiologi Roland Barthes, society f�( spectacle Guy Debord, serta konscp J;lobal
villaJ;e dan medium is meS'«lJ;e Marshal McLuhan, Baudrillard mcnyatakan bahwa

realitas kebudayaan dewasa 1m mcnunjukkan adanya karakter khas yang

membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. lnilah

kebudayaan postmodem yang memiliki em-em h iperealitas, simulasi,

serta didominasi oleh nilai-tanda dan n ilai-simboL l n ilah wacana kebudayaan yang

saat ini sebagai sebuah keni scayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan

ini lah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai

memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.

Postmodernisme muncul sebagai diskursus kebudayaan yang banyak menarik

perhatian Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu sepert i : seni, arsitektur, sastra,

sosiologi, sejarah, antropologi, politik dan filsafat hampir secara bersamaan

memberikan tanggapan terhadap tema postmodemisme. Meskipun tidak mudah atau

malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan postmodemisme, namun

tema ini bukanlah lahir tanpa sejarah.

Postmodemisme hadir setelah melalui perjalanan sej arah yang membentuknya

hingga sampai pada keadaannya saat ini. lnilah po&1modemisme yang menggugat

watak modernisme lanjut yang monoton, positivi stik, rasionalistik dan teknosentris;

modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sej arah yang linear, kebenaran

ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang di idealkan, serta

pembakuan secara ketal tala pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang

kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan

modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994).

Representasi dalam seni postmodern memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan

seni modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari,

runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya

eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi,

merosotnya kedudukan pencipta seni, se1ta adanya asumsi seni sebagai pengulangan,

perpetual art (Piliang, 2003). Peng!,'llnaan istilah postmodemisme selanjutnya

perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. Karakter yang sering

disuarakan postmodemisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme,

keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi,

pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,delegitimasi serta

demistifikasi (Bertens, 1 995)

21
Postmodcrnisme menawarkan rerprescntasi yang be11olak belakang dengan
watak era pcndahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang niSJO, media
ketimbang isi, t anda kctimbang makna, kemajcmukan ketimbang penunggalan,
kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, ketcrbukaan
ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta,
estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1 994).
Gerakan Post-modern yang lahir tahun 1 960an tersebut memungkinkan
adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur masa lampau (titik
perbedaan dengan modernisme) dalam mewarnai desain arsitektur agar tidak terjadi
keseragaman Dalam alam pasca modern d ikenal istilah-istilah yang diungkapkan oleh
Venturi yakni 'both and, ambigui�v, contradiction adapted nya Jencks dengan
- ,

double coding, respect to the past, hybrid-nya, Klotz dengan representasi fiksional,
regionalisme-nya, Kurokawa dengan simbiosis, respect to history-nya, dsb.
(Ikhwanuddin, 2005)
Pendekatan postmodernisme mengacu kepada perlawanan terhadap bentuk­
bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif, praktis,
ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti fungsi menjadi
dewa. Representasi dalam arsitektur postmodern, menawarkan konsep bentuk
asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal,
penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam. Doktrin bentuk mengikuti fungsi
dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.
Namun demikian nilai-nilai yang terkandung dalam post-modernisme
sebenarnya telah berkembang sebelum tahun 60-an namun dengan intensitas yang
kecil dan samar. Jencks (Tanudjaya, 1 992) membagi tradisi-tradisi clalam
perkembangan arsitektur modern ( 1 920 -- 2000an) ke dalam enam pendekatan, tradisi
Idealist dan Logical yang mengacu pada doktrin modernisme secara umum
(fungsionalisme-efisiensi, dsb), tradisi A ktivist dan Intuitive yang mengacu pada
gerakan dan pandangan-pandangan yang fantastik-utopia-visioner (seperti
konstruktivism Rusia, Avant-garde), dan tradisi Self Conscious dan Unself Conscious
yang mengacu pada pandangan yang me-refer pada aspek kesejarahan!masa lampau
baik secara sadar (revival) maupun tidak disadari-alamiah (natural). Meskipun tradisi
Idea/is, Logical, Intuitive dianggap sangat kuat mendominasi arah arsitektur modern
(seperti dalam ClAM), namun sebenarnya pada saat itu masih ada tradisi yang
berusaha mengangkat isu romantisisme masa lalu (Self Conscious dan Unself

22
Conscious). Fenomena tersebut juga ditunjukkan oleh Lcsnikowski ( I 982) dalam
bukunya Raliona/ism and Romanlicism In Archilec/ure_

Pada saat ini di Indonesia muncul kecenderungan 'penerimaan' arsitektur yang


berasal dari luar tanpa diikuti upaya penyaringan yang lebih kritis terhadap arsitektur
yang masuk terscbut. Beberapa gaya-gaya arsitektur yang berkembang saat ini
terkesan terlepas dari kontcks lokal dan nilai-nilai kesejarahan. Usaha-usaha untuk
mengembangkan semangat regionalisme melalui pengembangan unsur-unsur Jokal,
merupakan tanggapan terhadap fenomena tersebut Semangat postmodernisme yang
berkembang dewasa ini sangat mendukung fenomena tersebut. Regionalisme
diharapkan dapat menghasilkan konsep desain yang menyatukan antara arsitektur
tradisional dengan arsitektur modem

2.3 Wacana ldentitas Kelokalan dalam ReJ>n"Sentasi Arsitektur di


Indonesia

Indonesia yang dikenal sebagai negara (yang disebut) berkembang selalu


memberikan ruang yang luas untuk pengaruh peradaban lain dan arsitektur di luar
dirinya, Pengaruh arsitektur luar juga demikian deras masuk ke negeri kita, bahkan
literatur yang banyak ditulis yang tidak memasukkan arsitektur negeri sendiri sebagai
karya yang patut dihargai sebagai bagian dari arsitektur 'dunia'. Dalam era globalisasi
ini memunculkan semangat untuk menggali kern bali potensi arsitektur yang ada di

23
I ndonesia. Diskusi tentang wacana jatidirilidentitas kelokalan dan dcfinisi arsitcktur
I ndonesia sudah pernah dilakukan scjak lama.
Konggres !AI tahun pada tahun 1 982 berusaha mengangkat isu tentang wujud
identitas kc-lndonesiaan melalui wacana pencarian Arsitektur I ndonesia. Dalam
konggres ini kemudian disimpulkan antara lain Arsitcktur Indonesia adalah arsitektur
yang berlandaskan pada konsep budaya Indonesia yakni Bhinneka Tunggal lka,
Pancasila, clan UUD 1 945. Arsitektur Indonesia mcnunjukkan gambaran penghargaan
terhadap konteks budaya Indonesia (Siregar, I 990). Cita-cita untuk mcncapai wujud
arsitektur Indonesia pada hakckatnya tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya,
karena arsitcktur merupakan rcprescntasi dari wujud budaya. Dengan demikian
arsitektur Indonesia mcrupakan representasi wujud budaya ke-lndonesia-an yang
dapat mcnunjukkan adanya cultural resonances eli dalamnya.
Menurut Kultermann ( I 984) bahwa sebuah bangunan clapat dihiasi berbagai
ornamen tradisional. 'Tapi itu sama sekali tidak menjamin, sebuah bangunan bisa
mencerminkan identitas budaya," katanya "today is today." Namun, Udo Kultermann
segera meluruskan pendapatnya, menempelkan ornamen atau mengambil struktur
bangunan lama bukannya tidak baik. Ini scmacam gaya atau inspirasi yang bisa
mcmperkaya. Dan bila arsiteknya mahir, hasilnya pun akan baik. Kultermann
menunjuk karya-karya Almarhum Sujudi antara lain Sekretariat ASEAN eli Jakarta
clan kedubcs I ndonesia di Kuala Lumpur sebagai perkawinan antara arsitektur baru
dan lama yang baik "Bemsaha menunjukkan bangunan Indonesia, tapi yang utama
rancangannya baik," ujar Udo tentang karya-karya Suyudi. Berkenaan dengan
Kolterman, Suwondo ( I 984) menyatakan bahwa Indonesia mcmang kaya dengan
khazanah bentuk arsitektur dari masa lalu. Tidak mcnghcrankan hila penyelesaian
masalah identitas dipecahkan secara visual dengan berkiblat pada peninggalan masa
lalu.
Dengan dcmikian apabila tidak memiliki pandangan yang cukup kuat terhadap
jatidiri peradaban arsitektur bangsa kita, maka kita akan dengan mudah beralih kepada
cara pandang hidup dan peradaban arsitektur yang tidak kita miliki, dikuatirkan akan
memmJam dari bangsa lain untuk urusan peradaban arsitektur. Dengan
memperhatikan kemungkinan yang tidak diinginkan tersebut, maka berusaha untuk
mengenali jatidiri peradaban arsitektur bangsa Indonesia agar lebih berjatidiri. Jadidiri
dapat digali clari memori masa lalu.

24
Dalam kajian yang lebih luas penccrahan semangat baru mclawan globalisasi
dalam konteks mengembangkan kelokalan-regionalisme, dipelopori olch para arsitek
eli dunia ketiga yang sebagian bcsar justru dididik di Barat. Hasan Fathy, B.V Doshi,
Charles Correa, Ken Y eang, adalah sederetan arsitek di dunia ketiga yang menjadi
pelopor dalam mencari identitas arsitektur bam, identitas yang bisa mewakili budaya,
iklim dan budaya lokalnya, identitas yang lentur dalam beradaptasi dengan laju
peradaban modern. Ketetbatasan vernakular dalam mengimbangi kompleksitas
arsitektur kontemporer dan kejenuhan terhadap dominasi arsitektur Barat menjadi
tantangan bagi mereka untuk melakukan pendekatan baru, yaitu regionalisme. Bahkan
Ken Y eang yang membidani 'bioclimatic skycrapers' dengan Menara Mesiniaganya
tidak menolak untuk dikategorikan sebagai arsitek regionalis.
Mereka kemudian berusaha membangun arsitektur yang bisa jujur bertutur
tentang budaya lokal dan karakter iklimnya, namun juga lentur dalam mengakrabi l aj u
teknologi modem Pendekatan yang lebih menekankan pada cara berarsitektur bukan
pada gaya ini kemudian disebut dengan nama Regionalisme. Semangat ini memang
secara tidak langsung Jahir dalam atmosfer gerakan arsitektur Postmodern. lstilah­
istilah rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun reevaluate, menurut kritisi
arsitektur Nan Ell in, telah menjadi wacana kritis sebagai reaksi terhadap Modernisme.
Regionalisme sendiri menurut Ken Y eang ( 1 987) merupakan pengadaptasian
terhadap j iwa tempat, dan respon terhadap iklim lokal dengan mengesampingkan
batasan-batasan politik, maupun keprimordialan. Sementara menurut Curtis ( 1 985),
regionalisme menekankan pada kesinambungan budaya dengan semangat bam dan
menolak konsep yang melihat tradisi sebagai sesuatu yang rigid atau 'fixed'. Curtis
juga berargumen bahwa pendekatan regionalisme hanya mengamb i l dan
mengidentifikasi pola-pola konsep arsitektur yang selalu relevan dengan iklim,
material lokal dan faktor geografis dari layer-layer sejarah arsitektur yang saling
beradu dan berhimpitan. Menurut Cmtis di era globalisasi pendekatan regionalisme
dianggap mampu mengawal proses modemisasi arsitektur dunia ketiga dengan
menyeimbangkan muatan lokal dengan muatan internasionaL
Dalam konteks lain, Yasraf Amir Piliang pun menyebutnya sebagai semangat
Renesans Asia. Semangat untuk melakukan resistensi, mengembangkan pluralisme
dan menguatkan kembali nilai-nilai kearifan lokaL Namun menurut Kenneth Framton
( 1 983), yang harus dikernbangkan bukanlah semangat regionalisme yang romantis,
tetapi yang kritis (critical regionalism) "Contemporary acknowledging, but not

25
bounded by historic definitiom uf the vernacular," lanjut Frarnton. Suatu spirit
berarsitektur yang rnenguatkan makna tempat (genius hx:i), tektonis namun ekspresif
dalam konteks kontemporemya. Menurut Frampton, regionalisme yang rornantis
cenderung rnelahirkan kekakuan berpikir dan sikap menghindari kenyataan (escapist).
Sebagian masyarakat kita memang punya hobi mengadopsi atau rnembekukan bentuk
akhir arsitektur tertentu untuk dipaksakan sebagai identitasnya ketirnbang rnengkritisi
proses dan filosofi pencariarmya.
Berdasarkan kajian tersebut di atas mencari wujud dan definisi arsitektur
Indonesia memang cukup sulit Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu pendekatan
yang pernah diupayakan dalam merepresentasikan i dentitas kelokalan, mengingat
keragarnan yang ada dalam tradisi arsitektur Indonesia. Menghadirkan representasi
identitas kelokalan melalui regionalisme merupakan tanggapan terhadap fenornena
tersebut. Langkah yang dapat dilakukan adalah mengedepankan suasana
mencerrninkan cultural resonances ke-Indonesia-an yang bersumber pada kerarifan
lokal melalui rasa dan suasana, seperti yang pemah diungkapkan oleh Prijotomo
( 1 988), Pangarsa (2003).
Narnun demikian iklim saJa tidak cukup untuk merepresentasikan cultural
resonances ke-lndonesia-an. Oleh karena itu perlu pengkajian terhadap unsur-unsur
kebudayaan rnasa lalu yang mencerminkan kuat unsur kelokalan Indonesia.
B erkembangnya semangat regionalisme dalam arsitektur kontemporer hendaknya
dapat menggugah semangat para pelaku dan pemerhati arsitektur di Indonesia untuk
ikut berperan rnenemukan wujud arsitektur kontemporer yang khas khususnya dalam
kaitannya dengan kesejarahan, budaya, iklim dan kondisi geografis Indonesia.
Representasi yang bersumber pada tradisi masa l ampau dan kelokalan (seperti candi)
dapat rnenjadi salah satu rujukan dalam membangkitkan identitas. Jdentitas tidak bisa
diciptakan secara mendadak (instant), tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu yang
beraturan dan berulang-ulang. ldentitas pada hakekatnya merupakan j ejak peradaban
yang clitarnpilkan sepanjang sejarah.

26
BAB 3
REPRESENTASI CANDI SEHAGAI IDENTITAS KELOKALAN

Dalam perkembangan desain arsitcktur candi telah tcrjadi kedinamisan yang progresif
dan variatif. Desain candi pada masa klasik tua (abad 8), klasik tengah (abad 9-1 0),
klasik mud a (abad 1 4) menunjukkan adanya perkembangan desain yang signifikan.
Beberapa hal yang d ianggap penting dalam perkembangnnya adalah :
• Candi mengalami perubahan-perubahan bentuk (transformasi) seiring dengan
perkembangan politik, agama, ekonomi yang didukung olch tcknologi dan
konteks lingkungan pada jamannya, muncul adanya penyesuaian (adaptasi)
melalui perubahan fisik (pemugaran). Strategi dalam transf(Jmasi desainnya
tidak sekedar mengulang, meminjam dan meniru (mimesis) dari masa
sebelumnya, melainkan lebih merupakan usaha pen-dekonstruksi-an kembali,
sehingga muncul wujud 'yang lain', nampak 'bam' dan terkesan 'merdeka',
khususnya pada setiap periodenya. Tiap periode menghadirkan karakter yang
khas dan karakter ini kemudian digunakan secara berulang pada jama
nnya.
• Muncul ide-ide arsitektur sinkritisme yang didasari oleh sinkritisme Hindu,
Budha, dan Agama Asli/kuno. Tantrayana yang masuk kc Jawa ikut
mendorong terjadinya fenomena tersebut. Suatu wujud arsitektur yang
akomodatif dan menjujung nilai-nilai 'toleransi' terhadap agam a dan budaya
masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa yang diutamakan sebenarnya
adalah hakekat/esensi/isi, tidak sekedar kulit luar atau fisiknya (agama sebagai
ageman -baju). Sinkritisme tersebut menunjukkan akan adanya 'dialog' antar
unsur di dalamnya, meskipun ada yang berlawanan namun dapat menyatu
(melebur) dalam satu kesatuan yang tunggal, Bhirmeka Tunga/ lka Tan Hana
Dharma Mangmwa.
• Perkembangan candi mereprescntasikan adanya dinamika penggunaan unsur­
unsur budaya masa lalu dan aspek lokal genius. Perkembangannya (klasik tua
ke muda) menunjukkan transfromasi dari gubahan 'yang meruang' menjadi
'cenderung mas if seperti tugu, menjadi lebih simbolis dan ekspresif ( dapat
dilihat dari pengolahan kala yang menyeringai, sosok, hiasan lainnya). Muncul
indikasi yang merujuk pula pada tradisi purba megalitikum yang memuj a
tugu-tugu batu dan punden-punden. Bangunan candi akhimya dapat kembali

27
diwujudkan menjadi tugu yang didirikan di atas punden-punden bcrundak
(benda masifyang tak berongga), seperti pclinggih atau padrnasana di Bali.
• Candi menunjukkan adanya konsep dualitas, misalnya dalam perletakannya
Pola susunan candi maupun lingkungannya tersebut menjadi suatu pola yang
khas, yakni menggabungkan antara mandala-gridiron yang konsentris dan
linieritas. Nilai-nilai dualitas sccara umum sebenamya dapat difahami sebagai
konsep-konsep yang mendasari tradisi Jawa (budaya yang melatarbelakngi).
Dualitas ini nampak pada wujud memusat tetapi tidak memusat/bergeser,
linier tetapi radial, unsur horisontal dan vertikal, pemujaan Siwa dan 13udha
sekaligus, maskulin dan feminim, adaptasi lama dan baru, berfikir ke depan
tetapi tetap mcmpertimbangkan aspek yang ada di belakang, dsb.

Berdasarkan hal tersebut di atas dalam perkembangan arsitektur candi dapat


difahami adanya konsep dinamis-adaptif, vtswner (kebaruan), sinkritisme
(akomodatif), dualitas, pro-historis-regionalisme (menghormati masa lalu dan spirit
lokal), dsb. Melalui penjelajahan aspek tersebut dapat dikaitkan pula dengan sifat dan
karakter masyarakatnya, khususnya di Jawa yang dinamis-adaptif-dualitas­
primodialisme, dsb. Hal-hal tersebut di atas dapat d ianggap sebagai karakter/kekhasan
dari arsitektur batu peninggalan Hindu-Budha di Nusantara yang berbeda dengan
India atau tempat lainnya. Nilai-nilai tersebut bukannya tidak mungkin untuk tidak
ditransfer pada generasi pasca jaman Hindu-Budha di Jawa. Manusia Jawa pada
dasarnya sangat menghormati budaya-budaya yang diwariskan oleh lcluhurnya,
meskipun di sisi lain secara fisik ditunjukkan adanya kedinamisan yang tinggi sebagai
wujud sikap adaptif terhadap budaya bam Ide-ide sinkritisme menjadi landasan
akomodatif terhadap adanya silang budaya tersebut, seperti yang ditunjukkan dalam
arsitektur candi. Bangunan candi merupakan bangunan penting dan utama pada masa
Hindu-Budha, sehingga tidak mudah untuk dapat dilupakan dalam memory
masyarakatnya, sekalipun telah beralih ideologi religinya.
Pada masa perkembangan arsitektur modem (Kolonial dan Pasca Kolonial),
khususnya di Jawa-Bali sampai sekarang, penggunaan unsur candi diperkirakan
menjadi rujukan desain. Sebelum masa modern yakni masa Islam di Indonesia,
arsitekturnya secara visual menunjukkan adanya pemanfaatan unsur percandian.
Beberapa motivasi yang diduga mendorong pemanfaatan representasi candi tersebut
adalah pengembangan ide-ide kelokalan, penghormatan terhadap leluhur, dsb.

28
Arsitektur candi Jawa dipandang mengandung kcmandirian yang didorong oleh proses
akulturasi secara evolutif Candi merupakan basil kreativitas kelokalan yang adaptif�
dinamis dan represcntasinya terlihat cukup kuat selama berabad larnanya di I ndonesia.
Desain candi menunjukkan adanya kekbasan dan perbedaan yang signifikan dengan
surnber asalnya (India).

3. 1. Penggalian Potensi Masa Lalu.

Dalam alarn pasca modem di rnasa kini dikenal istilah-istilah yang identik
dengan fenomena tersebut di atas misalnya yang diungkapkan oleh Venturi yakni
'both and, ambiguity, contradiction adapted-nya Jencks dengan
, dou/Jle coding,
respect to the past, hybrid-nya Klotz dengan representasi fiksional, regionalisme-nya,
,

Kurokawa dengan simbiosis, respect to history-nya, dsb. Demikian pula dengan


istilah-istilab dalam filsafat post modem scperti camp (penyimpangan), pastiche
(tiruan-imitasi), parody (parodi- 'plesetan ) and schizophrenia (arnbiguitas), dsb.
' ,

Hal-hal tersebut sebenarnya rnenunjukan nilai duaJitas-dualisme, akomodatif,


sinkritisme, adaptif, dsb seperti tcrcerrnin pada konsep perwujudan arsitektur Hindu­
Budha tersebut. B angunan candi meskipun nampak selalu baru (identik halnya doktrin
modernisme, visioner) namun di sisi lain muncul adanya ambiguitas dengan masib
mengikutsertakan nilai-nilai masa lampau, atau dimungkinkan terjadi 'dialog' antara
yang lama dengan yang baru (tantrayana-mabayana), antara Hindu-Budha, antara
budaya pendatang dan lokal, yang terakultariskan secara alamiah.
Tradisi jawa memungkinkan terjadinya fenomena tersebut di atas. Dalam teori
l majeri India digambarkan babwa 'spirit' kelokalan ikut berperanan dalam
membentuk karakter budaya melalui akulturasi dengan budaya yang masuk. Menurut
Wales dan Subadio, Local genius mengacu pad a kemampuan masyarakat suatu daerah
untuk menerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif melahirkan
ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat daJam wilayah asal budaya tersebut
Fenomena local genius tersebut akan dapat pula memperkuat aspek-aspek yang
mengarab pada genius loci-spirit ofplace dalam membangun identitas/karakter tempat,
seperti memungkinkan adanya nilai-nilai sinkt1itisme d i dalamnya.
Tidak banya pada j aman Hindu-Budba saja, fenomena ini juga akan dibawa
pada masa pasca Hindu-Budba di Jawa. Jika pada masa Hindu Budha yang dianggap
lokal genius adalah budaya Pra-l-Iindu-Budba, maka pada jaman Islam yang dianggap

29
lokal genius adalah budaya pada jaman 1-lindu-Budha, demikian sclanjutnya ketika
budaya Barat masuk ke Nusantara. Penggunaan kembali bcntuk arsitektur masa
lampau juga dilakukan pada masa Islam, Kolonial, dan Post Kolonial. Namun
demikian unsur-unsur arsitektur yang bcrasal dari peradaban I-lindu-Budha dianggap
yang paling kuat berpengamh terhadap pembentukan 'spirit kelokalan' dibandingkan
dengan peradaban berikutnya seperti Islam dan KoloniaL Kemungkinan besar karena
peradaban I-lindu-Budha memang Ielah mewarnai perkembangan kebudayaan
Nusantara kurang lebih 1 200 tahun lamanya.
Gerakan Post-modem di masa modern yang lahir tahun 1 960an
memungkinkan adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur masa
larnpau (titik perbedaan dengan modernisrne) dalam mewarnai desain arsitektur agar
tidak terjadi kesergaman arsitektur yang atomistik. Namun demikian nilai-nilai post­
modern sebenarnya telah ada sebelum tahun 60-an namun dengan intensitas yang
kecil dan samar.
Frank Llyod Wright (FLW) menggunakan salah satu pendekatan desainnya
yang rnerujuk pada arsitektur masa lampau dan konsep kelokalan. Konsep demokrasi
Gb 0 1 . Tradisi Arsitcktur Modem menurut Jencks nerika, oleh karen a itu FL W
menggunakan hmizontal sebagai representasi dari konsep egaliter-demokrasi dalarn
desain arsitekturnya. Di samping aspek horizontal tersebut, nilai kelokalan lainnya
yang berasal dari masa lampau seperti adaptasi ' the prairie house ' (bangunan
vernakular amerika) dengan elemen-elemennya berupa penggunaan batu alam dan
cerobong asap. Di sisi lain nilai modern (kontekstualitas dengan j amannya-kebaruan)
juga ditampilkan disana, yakni horizontal dapat dikaitkan dengan streamline yang
didukung dengan teknologi cantilever beton bertulang (new material).
F.L Wright termasuk arsitek yang juga mengadaptasikan/mendayagunakan
nilai-nilai arsitektur purbakala dalam desain yang bam (modem). Tidak sekedar
dijiplak atau ditiru tetapi d igubah (di-dekonstrusi-kan) kembali menjadi komposisi
yang baru misalnya menjadi kubisme-abstrak. Nilai-nilai purbakala tersebut berasal
dari Amerika/lndian Purba (pre-columbian architecture) - kebudayaan Maya-Inca­
Aztec dan Mesir Purba d imana gaya-gaya ini kemudian berkembang dalam gaya art
deco-nya. Penelitian selanjutnya (Australia) ada yang menyatakan F.L Wright juga
pernah mengadopsi arsitektur purbakala yang berasal dari Indonesia (Hindia Belanda).
Nilai kelokalan dalam desain F.L Wright ditunjukan dengan penggunaan gaya Indian
purba Purba (pre-columbian architecture) tersebut, meskipun nilai kelokalan itu

30
menjadi tidak murni ketika bercampur dengan arsitcktur di luar kcbudayaan asli
seperti tradisional J epang dan Mesir purba. Namun demikian transfromasi dalam
stratcgi desain bempa penggunaan rcferensi yang berasal dari bangunan purbakala
yang berasal dari budaya lokal untuk bangunan modern pernah dilakukan oleh
FLWright.

,, ;j: ··'' ;.'


·'

Gb 3.1. Adaptasi arsitektur amerika purba , mesir purba dan tradisional Jepang pada
karya FLW

31
.,

;;:::\�:.:>·
..-_-r-.
,. .

G b 3.2. Pcngaruh arsitcktur candi Jaw a '! (lingga yoni dan p rofil m o u l ding)

32
Terdapat tiga rnacam pcndekatan transformasi dalam dcsain arsitektur
(Antoniades 1 992) ( 1 ) Strategi Tradisional (The traditional strategy) rnerupakan
pendekatan transformasi melalui cvolusi progresif dari suatu bentuk melalui
penyesuaian bertahap (langkah dcrni Iangkah) terhadap "konstrain" yang ada seperti:
Secara ekstemal: tapak, view, orientasi, pergcrakan angin, matahari, kriteria-kriteria
lingkungan lainnya, Secara internal: fungsional, programatik, kriteria structural,
Secara artistik: kemampua:n, keinginan, kcccnderungan dan perilaku si arsitek dalam
memanipulasi bentuk, bersamaan dengan penyikapan terhadap dana, kemudahan
konstruksi dan kriteria pragmatis lainnya. Pendekatan (2) Peminjaman (Borrowing)
merupakan pendekatan transformasi melalui peminjaman secara formal suatu bentuk
(unrelatedfimn) dari lukisan, patung, obyek-obyek, artefak-artefak lain, dsb. Melalui
strategi ini juga mempelajari karakter dua dan tiga dimensional sebagai upaya
interpretasi untuk mengetahui aplikasi dan kemungkinannya. Transformasi i n i
merupakan suatu "pictorial tramferring" (pemindahan citra) dan juga dapat berupa
"pictorial metaphor " (metafora citra). Desain candi (bangunan sakral) dimungkinkan
untuk sebuah transformasi (unrelated .ftmn) dalam membuat rumah, hotel, atau
bangunan publik lainnya (bangunan non sakral). Pendekatan (3) adalah De-konstruksi
(De-construction), mempakan pendekatan transformasi rnelalui suatu proses dimana
seorang perancang mengambil scbuah bentuk secara keseluruhan dan dipecah-pecah
atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kccil (yang masih memiliki makna/arti). Hal
ini memiliki tujuan untuk mencari cara baru/lain dalam mcngkombinasikan bagian­
bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan suatu bentuk
keseluruhan yang baru (new wholes) dan tatanan bam (new orders). FLW secara tidak
langsung telah melakukan hal tersebut terhadap arsitektur purbakala. Post modern
(pad a pasca masa FL W) sangat memungkinkan penggunaan ketiga strategi tersebut di
at as dalam desain kontemporer, khususnya Borrowing dan Deconstruction.
Jencks lebih lanjut dalam perkembangan arsitektur post-modern tahun 60an
mengidcntifikasi adanya 6 a:kar yang membentuk karakter arsitekturnya, yakni
Historicism dan Straight Revivalism, Nco-Vernacular dan Ad-Hoc Urbanist,
Metaphor-Metaphysical, Post-modem Space (menuju dekonstmksism, sementara
Antoniades membedakan antara pendekatan history dan historicism. Historicism
menurut Antoniades d ianggap dapat rnemunculkan eklektisme berlebihan (fanatisme)
sehingga menghilangkan makna hakiki yang sesungguhnya dan dimungkinkan
menjadi mannerist dan menghambat kreatitifitas. Dengan demikian d iperlukan studi
'precedent ' yang memadai dalam menanggapi isu kesejarahan. Bcntuk-bentuk masa

lampau tidak hanya diadopsi begitu saja namun hams dikaji melalui analisis yang

mendalam melalui studi preseden tersebut. FLW dianggap mampu mendayagu nakan

sejarah tanpa menjadi mannerist. Dalam kaitannya dengan proses analisis mcnurut

Antoniades hendaknya desainer memahami : reference to 'local historical prototypes ',


r�ference to global prototypes (cross-cultural), reference to 'remote ' as well as
'closer ' historic times, rdunded exploration of the historic precedent, and critical
judgment in the selection and kind of precedent.
Ke enam akar Jencks di alas adalah keniscayaan untuk dapat dihindari dalam

desain arsitcktur masa kini, apalagi mcnanggapi isu globalisasi dimana nilai-nilai

nasionalisme, regionalisme ikut berkembang kuat sebagai penyeimbangnya (global­

paradok). Penghargaan terhadap nilai kelokalan (budaya, iklim, tradisi, dsb) dan aspek

kesejarahan mulai menjadi acuan kembali. Dekontruksivism (abad 20-akhir) dalam

arsitektur menyebabkan arsitek terlihat tidak mempunyai 'pegangan' yang jelas

(anything goes), sehingga ikut berperanan mendorong munculnya 'romantisi sme

kepada nilai-nilai dengan akar yang jelas dan kontekstual (spirit kelokalan).

Berkaitan dengan hal diatas bangunan candi dapat difahami sebagai material
artifact, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak atau sebagai teks

sejarah (historical texts) dan dapat menjadi collective imagination (khususnya

berhubungan dengan warisan tradisi arsitektur masa lalu) yang muncul dalam

pemikiran pasca Hindu-Budha. Candi dapat menjadi sebuah Place sebagai

reperesentasi dari masa lampau dan mengakar kuat serta menjadi collective memmy
secara alamiah pada masa pasca Hindu-Budha. Menurut Abramson ( I 999) sejarah

merupakan suatu pendirian yang disepakati, namun terbuka terhadap kritik. Monumen

sepe1ii halnya sejarah dapat terus berdiri menghubungkan masa lalu ke masa depan

karena adanya kesepakatan dan kemauan keras. Perjalanan waktu mcnuntut adanya

perubahan-perubahan. Perubahan membutuhkan kesepakatan yang berujung pada

pendirian tertentu. Keyakinan terhadap suatu pendirian seharusnya terbuka untuk di

debat. Dengan adanya debat, akan terjadi perubahan. Dalam hal ini, Abramson

melihat memon tidak bisa didebat, sedangkan sej arah dapat. Tetapi tidak berarti

sejarah harus melenyapkan memori, karena memori tetap diperlukan untuk menguji

sejarah secara kritis, 'through memory toward history'.

Memori berkaitan era! alam bawah sadar masyakaratnya yang dapat bermuara

dalam wujud arketipe. Jung dengan teorinya: arketipe adalah citra leluhur yang

34
terdapat dalam alam bawah sadar kolektif manusia/ ketidaksadaran (unselj'conscious),
sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret antara yang nyata dan yang semu, ide dan
perasaan, roh dan materi. Arsitektur candi tidak sekedar difahami sebagai bangunan
melainkan mengandung nilai 'place ' yang secara bawah sadar berada di dalam alam
pikiran masyarakat Jawa pada saat itu. Berkaitan dengan pendekatan post modern,
candi dapat dianggap merupakan reference yang berakar pada 'local historical
protozvpes '. Melalui historic precedent dapat dikaji peranannya dalam membentuk
'karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an yang diperkirakan mampu bertahan sampai
saat ini.

3.2 Candi sebagai 'Local Historical Prototypes'

Dalam kaitannya dengan proses analisis kesejarahan dalam dcsain, desainer


hendaknya memahami : reference to 'local historical prototypes', rej'erence to global
prototypes (cross-cultural), reference to 'remote ' as well as 'closer ' historic times,
rounded exploration (if the historic precedent, and critical judgment in the selection
and kind rifprecedent (Antoniades, 1992).
Berkaitan dengan hal diatas banf,'lJnan candi dapat difahami sebagai material
artifact, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak atau sebagai teks
scjarah (historical texts) dan dapat menjadi collective imagination (khususnya
berhubungan dcngan warisan tradisi arsitektur masa lalu) yang muncul dalam
pemikiran pasca Hindu-Buda. Candi dapat menjadi sebuah Place scbagai
reperesentasi masa Jampau dan mengakar kuat serta menjadi collective memory secara
alamiah pada masa pasca Hindu-Buda.
Menurut Abramson ( 1 999) sejarah merupakan suatu pendirian yang disepakati,
namun terbuka terhadap kritik. Monumen seperti halnya scjarah dapat terus berdiri
menghubungkan masa lalu ke masa dcpan karena adanya kescpakatan dan kcmauan
keras. Pcrjalanan waktu menuntut adanya pembahan-perubahan. Perubahan
membutuhkan kesepakatan yang berujung pada pendirian te1tentu. Keyakinan
tcrhadap suatu pendirian seharusnya terbuka untuk di debat. Dengan adanya debat,
akan terjadi perubahan. Dalam hal ini, Abramson melihat memori tidak bisa didebat,
sedangkan sejarah dapat. Tetapi tidak berarti sejarah hams melenyapkan memori,
karena memori tetap diperlukan untuk menguji scjarah secara kritis, 'through memory
toward history'.

35
Memori berkaitan erat alam bawah sadar masyakaratnya yang dapat berrnuara
dalarn wujud arketipe. Arsitektur candi tidak sekedar dif1.tlmmi sebagai bangunan
melainkan mengandung nilai-nilai di bawah sadar berada di dalam alam pikiran
masyarakat Jawa pada saat itu. Berkaitan dengan pendekatan post modern, candi
dapat dianggap merupakan reference yang berakar pada local historical prototypes.
Melalui historic precedent dapat dikaji peranan candi dalam membentuk salah satu
'karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an (identitas) yang diperkirakan mampu bertahan
saat ini.
Candi mengandung unsur-unsur yang merujuk pada nilai-nilai kelokalan
Nusantara. Banyak perbedaan yang ditemukan antara candi-candi di Jawa dengan di
India (Suleiman Satyawati, 1 984). Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur kelokalan
melatarbelakangi desain candi-candi tersebut. Local Genius berperanan disana. Wales
dan Subadio merujuk pada nilai-nilai sebelum masuknya pengaruh budaya luar. Nilai­
nilai tersebut lahir melalui proses alami berdasarkan pada pengalaman-pengalaman
budaya dan sosial yang bersifat lokaL Nilai-nilai tersebut menjadi penyaring dalam
menerima budaya dari luar. Sebelum masuknya tradisi India pada sekitar awal tarich
masehi, sulit ditentukan budaya seperti apa yang telah berkembang di Indonesia. Pada
saat pengaruh Islam masuk ke Indonesia, yang dijadikan sebagai aspek lokal di
Indonesia adalah akulturasi budaya Hindu · Buda dengan budaya asli.
Menurut Wales, Subadio, local genius mengacu pada kemarnpuan masyarakat
suatu daerah untuk rnenerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif
melahirkan ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat dalam wilayah asal budaya
tersebut. Quaritch Wales mendefinisikan local genius adalah the sum of the cultural
characteristics which the vest majority of the people have in common as a result '!f the
eksperiences in early life, what I meant by local is simply pre-indian. Menurut Haryati
Subadio, focal genius dapat diartikan sebagai kemarnpuan menyerap sambi I
mengadakan seleksi dan rnengolah secara aktif pengaruh kebudayaan asing, sampai
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat dalam budaya asalnya
Bosch menghubungkan fenomena local genius tersebut dengan kernampuan
para silpin (pembuat candi) priburni. yang pemah belajar keagamaan di India, terbukti
dengan adanya dua asrama bagi orang Indonesia, di Nalanda (India Utara) dan
Nagapatnam (di India Selatan). Setelah kembali ke Indonesia para silpin mulai
mendirikan bangunan-ban6>unan suci Hindu maupun Buda, dan mereka berusaha
menggabungkan berbagai unsur kcsenian India dengan kesenian lokal menjadi suatu

36
krcasi bam yang sangat unik. Hal ini rnembuktikan adanya hubungan antara focal
genius dan kcmampuan daya cipta rncngolah. Jika pirnpinan proyck pembangunan
candi-candi di Indonesia adalah orang India rnaka bentuknya pun dapat dipastikan
tidak jauh bcrbcda dcngan di I ndia. Jadi ' lok.al genius' memang sangat berpengamh
pada desain candi-candi di l n doensia tersebut.
Meskipun Bosch berpendapat bahwa pembangunan candi di Dieng dalam hal
bentuk dan proporsi terutama eandi Arjuna sangat patuh terhadap aturan Vasusastra,
t etapi tidak ditemukan bukti bahwa Vastusastra benar-benar digunakan sebagai
Iandasan pembangunan candi-candi klasik awal. Bahkan bcberapa hasil pcnclitian
membuktikan adanya pcrbedaan dan penyimpangan. Dapat dimungkinkan pula
adanya penafsiran lain Vastusastra tersebut. Penafsiran yang berbeda tersebut
kemungkinan disebabkan adanya faktor local genius, misalnya menyangkut aspek
geografis, kondisi sosial, dan kepercayaan asli yang telah ada sebelurn rnasuknya
tradisi India. Di sisi lain contoh konkretnya adalah adanya budaya pengagungan
terhadap nenek moyang yang rnenyebabkan bergesernya fungsi kuil sebagai tempat
pemujaan dewa rnenjadi sekaligus tempat pemujaan terhadap nenek moyang atau raja
yang sudah wafat.
Namun demikian menurut Soekmono (1986) hal ini dapat dihubungkan
dengan usaha 'meramu' berbagai sem bangunan suci di India yang berasal dari
berbagai pusat kesenian dan berbagai jaman, menjadi suatu kreasi barn yang
diperkaya dengan unsur-unsur lokal. Dengan demikian menunjukkan bahwa nenek
moyang Indonesia sebenarnya telah mempunyai daya kreativitas yang memadai guna
menciptakan seni-seni baru, khususnya dalam desain arsitektur candi-candinya.
Bosch dalam hipotesisnya menolak istilah peleburan atau campuran atau
pengaruh atau mempengaruhi dan menggunakan istilaJ1 'pembuahan' dalam
menanggapi hal tersebut. Pembuahan dapat terjadi melalui bahan-bahan hidup
masyarakat Nusantara yang bakal berkembang menjadi suatu organisme tersendiri,
dimana yang asing dan yang pribumi menjadi satuan yang tidak terpisahkan.
Para Indiolog seperti Brandes, Kern, Krom seperti yang ditulis W.P.H.
Coolhaas, rnelakukan perubahan pendekatannya setelah mereka tinggal lama d i
Indonesia. Mereka kemudian tidak lagi memfokuskan pada supremasi budaya Hindu
yang superior atas Nusantara. Namun akhirnya tertarik mempelajari esensi peradaban
Indonesia jauh sebelum Hindu tiba, seperti batik, gamelan, dan kerajinan. Dengan
kata lain dalam proses peradaban di Nusantara bukan seberapa besar pengaruhnya,

37
tctapi scbcrapa bcsar kx:al genius dalam mcncipta, menyerap, dan mcngolah unsur
budaya luar sesuai dengan orientasi, presepsi, pola atau sikap, dan gaya hidup bangsa,
yang kemudian hasilnya menjadi kebudayaan nasionalnya. (Purwasito, 2002).
Menurut Koentj araningrat ( J 984) unsur-unsur yang berasal dari India
mengalami perubahan (transformasi) dalam bentuk, sifat, dan konsepsinya.
Puspowardojo ( I 984) menyatakan hakekat local genius merupakan kemampuan
mengintergrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli-lokal, memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arab perkembanganya.
Magetsari ( 1 984) membagi pemahaman local genius dalam kehidupan
beragama pada masa Hindu Buda menjadi 2 jenis yakni abad 9 (Mataram) dan abad
1 4 (Majapahit). Kedua masa ini memiliki kesamaan yakni menunjukkan adanya
konsep sinkritisme antara Paramitayana dengan Mantrayana pada abad 9 dan antara
Siwa dan Buda pada abad 14. Fenomena ini menggambarkan adanya usaha-usaha
kreatif penggubahan kaidah-kaidah yang berasal di India menjadi baru, seperti dalam
kitab Sang Hyang Kamahayanikan pada abad 9 dan Sutasoma pada abad 1 4. Dalam
Sutasoma tersirat bahwa agama-agama pada akhirnya bermuara pada tujuan yang
sama (Bhinneka limggal lka). Proses kreativitas sinkritisme ini juga digambarkan
pada wujud arsitektur bangunan sakralnya, yakni Candi. Sehubungan dengan hal ini
dapat dikatakan bahwa lndialah yang di-Jawanisasi atau di-lokalkan, bukan Jawa yang
di Jndiakan.
Dalam proses difusi kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya akulturasi di
Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan istilah lndianisasi tersebut. lndianisasi
mengacu pada proses penyebaran pengaruh kebudayaan dan agama dari India ke
kawasan Asia termasuk Indonesia. Namun lstilah Indianisasi menjadi perdebatan
besar, banyak para ahli mempertanyakannya. Indianisasi mengakibatkan adanya
pemahaman bahwa Nusantara pasi( terkesan tidak berdaya dalam menerima budaya
asing tersebut. Pendekatan mutakhir dalam permasalahan ini kemudian digunakan
istilah silang budaya seperti yang digunakan oleh Lombard ( J 994) sehingga menjadi
aktif kedua-duanya. Interpretasi ini didukung oleh Brandes dan Kern yang
berpendapat bahwa telah terjadi akulturasi antara budaya pendatang dengan budaya
2
lokal (local genius berperanan di dalamnya)

2
Fontein, Jan & Sockmono R, Edi Scdyawati ( 1 990), The Sculpture ofIndonesia, Washington, USA,
National Gallery of Art, hal 98

38
Candi-candi pada masa Majapahit mcnunjukkan perbedaan yang signifikan
dengan candi-candi scbelumnya. Nilai-nilai budaya asing (India- Cina, Hindu-Buda)
dipadukan dengan nilai-nilai lokal (genius loci dan kepcrcayaan asli) Camli
menunjukkan suatu gambaran hasil perpaduan budaya yang menghasilkan karya yang
baru. Dinamika perkembangan arsitektur candi tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan Budaya. Namun demikian pengaruh lndianisasi masih tampak pada
penggunaan tulisan Pallawa dan bahasa Sanskerta di dalam prasasti-prasasti yang
menurut para ahli berasal dari Kerajaan Indonesia kuno yang mempunyai hubungan
dengan kerajaan-kerajaan di India Selatan. Raja-raj a Indonesia kuno diperkirakan
mengadopsi konsep-konsep Hindu dan Buda dengan perantaraan ahli-ahli golongan
Brahmana atau pendeta yang diundang ke Indonesia 3
Arsitektur candi di Indonesia dipcrkirakan sedikit banyak dipengaruh olch gay a
India Selatan 4 . Narnun bcrdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa gaya candi di Indonesia mempunyai bcntuk yang berbeda dengan India.
Artinya hasil pengadaptasian banyak dipengaruhi oleh pemikiran lokal. Para ahli
meragukan bahwa arsitek-arsitek semua candi di Jawa adalah orang-orang .Hindu
India sendiri, karena sudah banyak unsur asli pribumi di dalamnya. ' Pannono Atmadi
dalam disertasinya membuktikan adanya penyimpangan tersebut, terutama dalam hal
proporsi bangunan. Penyimpangan tersebut akan tampak Iebih nyata Iagi apabila
dibandingkan dengan bentuk candi-candi yang bcrcorak Majapahit.
Pada akhirnya para ahli sepakat bahwa kebudayaan Hindu hanyalah merupakan
lapisan tipis yang terdapat dalam budaya Indonesia, India hanyalah 'lmajeri' .
Eksistensi kebudayaan Hindu hanya menyentuh pada lapisan elite dan bangsawan,
sedangkan pada masyarakat umum yang kehidupannya jauh dari pusat kerajaan masi h
tetap menjalan kehidupan asalnya. Identik dengan fenomena penetrasi budaya
Byzantium kc dalam budaya Rusia Kuno. Dalam proses pembudayaan di Rusia,
model Byzantium menjadi pola yang terukir dalam peradaban Rusia. Orang
cenderung menarik diri untuk mempelajari budaya Byzantium meskipun Rusia tidak
pernah mengalami Byzantiumisasi (Purwasito, 2002).
Kebudayaan Hindu-Buda yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja.
Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia telah rnemiliki dasar-dasar kebudayaan yang

3 Koentjaraningrat, ( 1 997), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Djambatan, hal 2 1


4 Cardoso S.L ( 1 966), Seni India, Seri Monografi 1 , Kursus B I Tertulis Sedjarah , Bukittinggi, hal 46
5 Sumintarja, Jauhari ( 1 966), Kompendium Sejarah Arsitektur, Bandung, Lcmbaga Penye1idikan
Masalah Bangtman Bandung, hal 30

39
cukup kuat, sehingga masuknya kebudayaan asmg kc Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan I ndonesia. Bangunan eandi merupakan representasi
wujuc! akulturasi (sinkritisme), berupa usaha-usaha penggubahan yang krcatif yang
melibatkan unsur kclokalan eli dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa camii
mempakan local historical prototype.

3.3 lJnsur/Atribut kuat dalam Oesain Arsitektur Candi

Candi scbagai banf,>unan sakral tidak hanya difahami dalam konteks sekala
(rupa) saja namun juga melibatkan unsur-unsur yang bersifat niskala (arupa) .
Pemahaman tentang ruang candi, tidak hanya ditcrjcmahkan mcnyangkut aspek fisik
' ruang dalam' tctapi harus dipandang scbagai satu kesatuan yang kompleks dengan
ruang-ruang luar yang ada di sekitarnya. Pemahaman tentang ruang dalam konteks
arsitektur Nusantara atau arsitektLII Timur dapat ditafsirkan bcrbcda dcngan
pcndckatan Barat sehingga wujudnya bcrbeda (lain I liyan 6) Hal ini dapat
dianalogikan dengan konsep ruang dalam pemahaman dunia Timur yakni tectonic,
stereotomic, dan ruang antara7 (antara ada dan tiada).
Pada umumnya bangunan suci peninggalan Jaman Hindu di I ndonesia, dikenal
dengan scbutan "candi". Di Jawa Timur bangunan-bangunan tersebut dinamakan
"cungkup". Istilah " candi" dikenal pula di Sumatra bagian Selatan seperti Candi
Jepara di Lampung, dan eli Sumatra bagian Tengah seperti Muara Takus. Sedangkan
di Sumatra lJtara istilah yang digunakan adalah "biaro"seperti candi-candi di
Padanglawas. Di Kalimantan Selatan dapat kita jumpai Candi Agung dekat Amuntai.
Narnun di Bali tidak didapatkan istilah "candi", dalarn arti bahwa bangunan-bangunan
purbakalanya tidak satu pun yang oleh rakyat disebut sebagai candi 8

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia candi diartikan sebagai bangunan kuno
yang dibuat dari batu, berupa ternpat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja
atau pendeta-pendeta Hindu atau Buda. Dalam kamus besar Bahasa Sanskerta
dijumpai keterangan, bahwa candi adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut
candika, sedangkan candigreha atau candikagrha atau candikalaya adalah penarnaan
tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Dalam Bahasa Kawi, candi atau cinandi atau

6 Prijotomo, Josef (2008), Arsitektur Nusantara : Arsitektur Pertedulwn dan Arsitektur 'Liyan
',Pidato
Pcngukuh;rn untuk Jabatan Gum l3csar dalam Bidang Ilrnu/Mata Kuliah Tcori dan Mctode Rancangan
pada Fakultas Tcknik Sipil dan Perencanaan lnstitut Teknologi Sepuluh Nopcrnbcr, Surabaya
7 Van de Yen, Comelis (1991), Ruang dalamArsitektur, Jakarta, PT. Gmrnedia Pustaka Utama

8 Sockmono, R ( 1 974), Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia.

40
sucandi berarti 'yang dikuburkan ', sedangkan dalam pemahaman arkeologi, cancli
dapat dihubungkan dengan bangunan untuk pemakaman maupun pemujaan. Dalam
prasasti Prambanan istilah candi dapat dikaitkan dengan graha (rumah) yakni
Siwagraha (mmah Siwa - candi Siwa Prambanan). Dalam Negarakretagama dan
Pararaton dikenal istilah dharma, sudharma (dharma hajj), puralpuri (tempat) seperti
Wisesapura, Wisnubhawanapura, Bajrajinaparamitapura yang berkaitan dengan
percandian.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasamya candi dapat mempunyai dua fungsi
utama yaitu sebagai makam dan sebagai kui L Sesuai dengan ungkapan Soekmono
( 1 974) dalam disertasinya, lhngsi candi adalah mempakan tempat/kuil pemujaan, dan
apabila dikaitkan dengan makam raja, maka candi merupakan bangunan yang
dibangun hanya untuk memuliakan raja atau bangsawan yang sudah wafat.
Dumarcay dalam bukunya ' lhe Temple of Java menggolongkan periodisasi
pendirian camli .. Meski secara khusus hanya membahas sejarah perkembangan bentuk
percandian di pulau Jawa. Literatur yang lebih umum atau yang mencakup
pembahasan percandian di luar jawa dapat dilihat di dalam karya Bernett Kempres
yaitu 'Ancient Indonesian Art · dan encyclopedia Glorier yang berjudul " Indonesian
Heritage " volume I dan 6. Literatur pendukung juga dapat digunakan karya Jan
Fontein yaitu 'The Sculpture (Jf Indonesia '.yang banyak mernbahas seni patung pada
candi-candi tersebut.
Empat literatur di atas dapat dipergunakan sebagai mjukan dasar di dalam
rnenganalisa candi di Indonesia, rnelalui Jatar belakang sejarah, sosial-budaya,
teknologi, bahan, geografis, agarna, politik, kosmologi. Sedangkan untuk rujukan
proporsi dan bentuk bangunan dapat dipeq,'llnakan karya Parrnono Atmadi yaitu
'Some Architectural Design Principles of Temples in Java ', karya Andreas
Volwashen . Selain perrnasalahan
prop<Jrsr, alam-ekologi lingkungan ikut
9
mempengaruhi konsepsi desain candi tersebut Topos setempat (lokal) dapat ikut
mempengaruhi orientasi kosmologi tata mang suatu bangunan 10 dan kota, khususnya
bangunan sakraL Hal ini dapat dilihat melalui keterkaitan kosmologi dengan
penerapan wujud mandalanya, seperti penggunaan mandala cartesian (India) dengan

9 Mundardjito (2002), Pertimbangan Ekologis, Penempatan Situs Masa Hindu-Budha di Daemh

Yogyakarta, Jakarta, Wedatama Widya Sastra-Ecole Francaise ])'Extreme-Orient


10
Tuan, Yi Fu ( 1 989), Space and Place, The perspective of experience, Minnepolis

41
axis linieritas (seperti dalam tata ruang permukiman masyarakat austronesia purba)
gunung-laut, dsb.
Kaidah pendidirian bangunan sakral kuno di India diatur di dalam Vatusastra 1 1 .
(Kitab tentang arsitektur) atau S'ilpasastra (kitab pegangan Silpin), yang jumlahnya
cukup banyak, di antaranya Manasara, Mayamata, Silpaprakasa,
Visnudharmottaram, aturan di dalam kitab Purana, atau kitab keagamaan. Bosch
mengkaitkan percandian dl Indonesia dengan kitab manasara yang berasal dari India
Selatan Kitab ini berisi tentang patokan membuat kuil beserta komponennya dan
bangunan profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks
kota/desa, dsb. (Acharya 1933) Sampai saat ini keterkaitan manasara dengan
arsitektur candi Indonesia masih diperlukan pcnelitian lebih lanjut.
Pemball!,>unan suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pimpinan proyek).
Yajamana membawahi dua orang arsitek yaitu Sthapaka ( arsitek pendeta guru) dan
Sthapati (arsitek perencana). Sthapaka bertugas membuat persiapan yang
berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan hal-hal 'gaib' di dalam proses
pembangunan atau perencanaan suatu candi sedangkan Sthapati betanggung jawab
atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Sthapali membawahi Sutragrahin
(pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni hias) dan
Taksaka (ahli pahat).
Terdapat beberapa pnns1p arsitektural 12 pada bangunan candi. Terdapat
beberapa atribut kuat yang selalu muncul dalam desainnya, yaitu: komposisi
geometris-cartesian, unsur garis pada jasade-ejek gelap terang, sosok volumelrik,
ejek prespektifis khu.l<�.mya JXlda atap candi, kesimetrisan, penggunaan aturan
perbandingan skala-proporsi, a.;pek pembagian tiga, pendangan, ragam hias (lihat
lampiran).

I. Komposisi Geometrik

Bentuk geometris merupakan bentuk dasar (basic type) yang signifikan dan
dominan dalam pengolahan desain suatu candi. Pengolahan desain candi selalu
menggunakan komposisi bentuk dasar geometrik, seperti bentuk dasar
persegiempat berikut ornamentasinya pada setiap bagian. Meskipun beberapa
bagian menggunakan ornamentasi ragam bias tumbuhan, binatang, manus1a

11 Volwahsen, Andreas ( I 969), Living Architecture : India, New York, Grosset & Dunlap, Inc., hal 1 3 8
12
Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) lntcmasional Simposium : Jelajah Arsitektur Nusantara, A Studv
on Indonesian 'Temple 'Candi ' A esthetic)

42
namun kcscrnuanya itu dibingkai dan atau diolah di atas bcntuk-bcntuk gcomctrik
(lingkaran, pcrsegi em pat, nJrciform).
Dominasi bentuk g'"'<Jmetris yang digunakan adalah perseg1 cmpat
(bujursangkar maupun persegipanjang). Secara umum sosok candi dapat
digambarkan sebagai bentuk geometris baik dalarn pengolahan ekpresi tampak
maupun denah dan perletakannya. Bentuk denah pada candi selalu menggunakan
bentuk-bentuk geometrik yang memi liki titik pusat yang bedungsi sebagai inti
sakral. Bentuk-bentuk ini bempa l ingkaran, bujursangkar dan cruciform (bentuk
persegi panjang yang digunakan untuk tempat sernedi/ditinggali).

2. Elemen Garis

Garis rnerniliki peranan yang signifikan dalarn rnernbentuk estetika pada setiap
bagian dari candi. Pengolahan garis dapat bempa garis-garis horisontal seperti
pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan vertikal bempa bingkai pengapit
(kolorn sernu) pada badan dan kaki, rnaupun dudukan kepala. Garis terscbut diolah
tirnbul dari permukaan bempa hiasan moulding. Pengolahan garis pada suatu
candi biasanya d idorninasi olch unsur horizontal seperti pelipil pada bagian
peralihan sctiap bagian dan unsur vertikal bempa bingkai pengapit (kolom sernu)
pada badan dan kaki, maupun dudukan kepala.
Pcngolahan garis ini diwujudkan melalui penggunaan hiasan moulding yang
dapat rnenirnbulkan efek gelap-terang/ fibTtJre-ground dan pcrrnainan kedalaman
perrnukaan candi bila terkena sinar matahari. MmJ/ding pada candi sclalu berada
dalarn suatu fi'ame yang terdapat pada setiap segrncn candi. Sepcrti pada kaki
candi, terdapat moulding yang rnembentuk suatu frame. Antara peralihan segmen
candi, selalu ditandai dengan bentuk moulding yang berbeda dengan moulding di
bawahnya.

3. Sosok V olumetrik dan Siluet Segitiga

Pengolahan yang digunakan pada tiap bagian candi biasanya cenderung tidak
didorninasi pendekatan substraktif dibandingkan aditif sehingga berkesan masii�
volumetrik. D i samping itu bentuk yang volurnctrik tersebut disusun rnembentuk
siluet sosok yang rnernbentuk kesan segitiga. Elemen kepala-badan-kaki
dikomposisikan dan diintegrasikan untuk rnernbentuk satu sosok yakni bentuk
segitiga. (secara filosofis bentuk segitiga mengacu pada konsep bentuk Gunung -
candi rnerupakan manifestasi dari Mahameru ) . Meskipun ada elemen yang

43
menonjol, semuanya dikomposisikan sedemikian rupa sehingga secara total tctap
mcnggambarkan satu kesatuan yang tercermin dalam bentuk segitiga tersebut.
Siluct bentuk scgitiga terscbut mcnunjukkan suatu bentuk yang stabil, sesuai
dengan konsep surgawi. Dalam satuan yang lebih kecil bentuk segitiga juga
ditunjukkan oleh sosok atap candi berikut elemen penghiasnya. Atap candi tidak
lain adalah gambaran tempat kedudukan dewa-dewa di Mahameru, sehingga tidak
heran jika sosok segitig'a banyak ditemukan di sana.

4. Efek Perspektifis

Bagian kepala pada suatu candi memiliki ornamen-ornamen dengan aturan


perbandingan antara panjang dan Iebar sehingga menimbulkan kesan perspekti f
pada bagian kepala. Pada bagian kepala elemen-lernennya disusun semakin k e atas
semakin mengecil. Hal ini merepresentasikan kesan menjauh, lalu menghilang
sebagai gambaran dari dunia dewa yang tinggi dan jauh. Kesan prespektif ini
ditampilkan dalam wujud sosok elemen maupun dalam bentuk ornamentasinya.

5 . Kesimetrisan
Keseimbangan berhubungan dengan kualitas gerakan mata ketika mata
melihat sebuah objek secara keseluruhan. Pada candi hal ini nampak jelas dan
dibantu oleh adanya beberapa elemen yang menonjol pada bagian kanan, kiri, dan
tengah untuk menunjukkan kesimetrisan dari bangunan tersebut. Pengolahan
arsitektur candi menerapkan keseimbangan yaitu adanya kesimetrisan bagian kiri
dan kanannya. Keseimbangan yang simetris juga nampak pada semua komposisi
elemen estetikanya, seperti ornamentasi, elemen atap, dan sebagainya.
Bagian tengah pada pengolahan kepala, badan, dan kaki merupakan titik aksen
yang memperkuat adanya garis simetri yang membagi sama kuat antara bagian
kiri dan kanannya. Dapat dikatakan sccara vertikal bahwa bagian kiri merupakan
cermman dari bagian kanannya, demikian pula sebaliknya. Komposisi
keseimbangan yang selalu ditekankan pada tiga titik (pada kepala dengan elemen
simbar, pada badan elemen pintu dan relung area, dan pada kaki pada elemen
tangga dan ornamen bingkai) pada semua bagiannya.
Komposisi demikian pada candi Hindu bisa dihubungkan dengan konsep
Trimutri atau konsep menyebarnya atman dari Brahman ke penjuru dunia. Irama
dan ritme serta perulangan diciptakan pada pemberian elemen pelipit pada setiap

44
bagian peral ihan bidang. Ketcraturan pada pernberian elernen m1 menyebabkan
bangunan menjadi tidak monoton atau sekedar datar saja.

6. Proporsi dan Skala

Secara keseluruhan, proporsi digunakan untuk mendukung kaitan antara elemen


yang satu dengan yang lain. Hal ini diatur dalarn Manasara terdapat beberapa hal
penting yang digunakan :
1 . Ukuran dasar untUk bangunan adalah 'basta', satu hasta setara dengan 26
Angula atau 26 dhanur musti atau kurang lebih berkisar 50 em. Perkiraan
terscbut didasarkan pada I all!,'Ula atau Iebar ibu jari yaitu sekitar o/. inc atau 2
em.
2. Ukuran dasar untuk ornamen adalah 'tala', satu tala setara dengan jarak antara
ujung ibu jari sampai ujung jari tengah jika keduanya dibentangkan secara
maksimal atau setara dengan jarak antara ujung dagu sampai ujung atas dahi.
3 . Rasio perbandingan antara ukuran umum pada banf,>unan satu lantai, jika
perbandingan rasio antara tinggi ballf,>unan (T) dan Iebar bangunan (L)�
(T/L)
a. sama dengan 1 dinarnakan Santika (besar)
b. sarna dengan 1 '/. dinamakan Pausthika (besar)
C. sama dengan 1 y, dinamakan Jayada (medium)
d. sama dengan I % dinarnakan Dhanada (kecil)
e. sama dengan 2 dinamakan Adbhuta (kecil)

4. Jika bangunan diukur berdasarkan tingginya maka bangunan tersebut


dinamakan Sthanaka, Jika bal1!,>u nan tersebut diukur berdasarkan Iebar muka
nya maka dinamakan Asana, Jika bangunan tersebut diukur berdasarkan Iebar
sam ping nya maka dinamakan Sayana.
5 . Terdapat perbandingan rasio tetap antara tinggi kaki bangunan (TK) dengan
tinggi bangunan (T) kescluru han yaitu 1 /8 dengan variasi modular jika tinggi
bangunan terbagi atas :
a. 8 bagian atau dengan modul I /8 T maka I X 1 /8 T
b. I 0 bagian atau dengan modul 1 / 1 0 T maka 1 ,25 X 1 /8 T
C. 1 2 bagian atau dengan modul 1 / 1 2 T maka 1,5 X 1 /8 T
d. 1 4 bagian atau dengan modul 1114 T maka 1 ,75 x i /8 T
e. 1 6 bagian atau dengan modul I /1 6 T maka 2 X 1 /8 T
j ika digunakan untuk kolom maka perbandingan sisanya adalah V< T

6. Rasio perbandingan Iebar pintu (lp) dengan tinggi pintu (tp) � lp/tp adalah y,

45
7. Untuk bangunan dua lantai, tinggi dari kaki candi 3/28 0, 1 0 dari tinggi
diukur dari puncak atap sampai dasar
Proporsi mcnunjukkan pcrbandingan panjang, Iebar, dan tinggi, dan semuanya
pada umumnya dapat dinyatakan dalam pcrbandingan numerik. Proporsi diatur
sedemikian rupa untuk menghasilkan kesan vertikal yang kuat (nampak dari
bentuk elemen penghias yang umumnya ramping), namun diimbangi oleh
elemen yang melebar ke arah samping untuk menciptakan kesan kokoh dan
stabil. Proporsi merupakan salah satu unsur yang turut menentukan aspek
kesatuan pada bangti'nan candi tcrscbut, karena proporsi berkaitan era! dengan
hubungan geometrik, rasio/perbandingan antar bagian dalam suatu komposisi.
Berdasarkan penelitian tcrdahulu ", diambil contoh misalnya pada masa abad
1 3 candi-candinya menunjukan adanya penyimpangan dari lata aturan baku
dalam manasara, semakin muda umurnya maka pcnyimpangannya semakin
jelas

Skala perbandingan antara kaki, badan dan kepa1a disusun untuk menimtmlkan
kesan stabil. lni dapat dilihat pada komposisi kesatuan kaki yang terlihat dominasi
I ebar terhadap tingginya, karena kaki bcrfungsi landasan. Mnlai bagian badan,
skalanya mcngecil terhadap Iebar, dan berubah ke arah tinggi, untuk menunjukkan
irama yang meningkat. Kemudian pada bagian kepala, kesan vertikalitas 1m

akhirnya mengecil menuju satu titik untuk membcrikan pengakhiran.

7. Pembagian Tiga

Pengolahan elcmcn estetika pada candi didominasi menggunakan sistem


komposisi "pcmbagian tiga" yang sama dengan pcmbagian sosok candi (kepala,
badan, dan kaki), baik secara horisontal maupun vertikal, dan sampat
ornamcntasinya. Pengolahan sosok candi menunjukkan adanya pembagian
tiga'/tripatitc. Prinsip ditunjukkan adanya kaki-tubuh-kepala atau alas-tubuh-atap
atau bawah-tengah-atas. Pada masing-masing elcmen pada bagian tersebut berlaku
pula prinsip tripatite yang mencakupi elemen atas, elemen tengah, atau elemen
bawah atau jika diputar maka akan ditemukan elemen kiri, tengah, kanan

1 3 Prajudi, Rahadhian (2002): Penelitian : Kajian Proporsi Arsitektnr Candi Klasik Muda di Jawa
Timur, Lcmbaga Pencliti:m Unpar

46
8. I>t�rulangan

Desain candi menunjukkan adanya aspek perulangan �- perulangan elemennya�


Hal ini menunjukkan adanya integrasi dalam pengolahan desain candi untuk
membentuk kesatuan dan keteraturan di dalamnya. Keselarasan antara elernen
penghias dengan sosoknya yang m enggunakan bentuk dasar yang sama, ataupun
dalam komposisi perletakan ornarnen penghias pada titik - titik tertentu juga
rnenunjukkan usaha urituk menciptakan kesatuan yang tercermi n dalam ekspresi
bangunannya. Perulangan bentuk yang sama tcrsebut akan rnenimbulkan kesan
dominasi, dirnana dominasi ini akan rnenimbulkan kesatuan antara clernen atau
bagian yang satu dengan lainnya, seperti bentuk dasar geometrik persegiernpat
yang didapatkan pada setiap clernen atau bagian.
Perulangan dapat berupa bentuk mahkota ataupun clcmen dalarn sosok candi
itu sendiri baik, elernen simbar, bingkai/pengapitlpelipit pada bagian peralihan
bidang vertikal maupun horisontal berupa : elemen garis (kolorn semu - vertikal,
pelipit - horisontal) yang sclalu rnembingkai bidang (jendela semu) pada badan.
Fenornena perulangan ditunjukkan pada kaki, badan, serta bagian atap yang
ditunjukkan oleh pengolahan dudukan elemen penghias kepala. Adanya
perulangan yang bempa irama dan ritme tcrtcntu tersebut rnenimbulkan ekspresi
bangunan candi menjadi tidak monoton. Keseragaman bentuk elemen penghias
yang menempcl pada candi dengan bentuk dasarnya mempcrkuat kesan
kesatuan/keselarasan pada candi itu sendiri�

9. Ragam Hias

Mcnurut Bosch, terdapat beberapa perbedaan yang menyangkut seni bias dan
seni area pada candi. Hal ini disebabkan karena dalam manasara tidak terdapat
ketentuan jenis relief macam apa yang seharusnya dipahat di dinding bangunan
suci, hanya disebut bahwa kuil dapat diberi hiasan agar terlihat indah (Bosch
1 924: 26)� Di Jawa, simbolisme dari keistimewaan dekoratif lebih kaya clari
daerah manapun juga. Empat macam kategori dari dekorasi yang bisa dibedakan
pada candi :
a� Relief naratif, menceritakan peristiwa-peristiwa hidup, legenda-legenda dewa­
dewa atau tema syair kepahlawanan yang selalu memainkan peranan utama
dalam kesenian di Indonesia.

47
b. Patung besar dari dew<Hlewa (bodhisa/lva), biasanya diukir di dalam rclung
atau di antara pilaster dari candi.
c. Dekorasi yang diinspirasikan secara utama dari tumbuhan yang hidup, seperti
daun-daun ornamental, lotus, pohon yang "memberikan keinginan", simbol­
simbol menguntungkan yang diwarisi d ari India.
d. Kepala Kala-makara, yang berberwujudkan binatang (siluman/monster)
bertanduk dengan mata yang melihat dengan tajam, sama seperti "topeng
kemenangan" (kirtimukha) dari ikonografi bangsa India dan diletakkan di
puncak arch (lengkungan). Setiap ujungnya diberi hiasan dengan kepala
makara (sebuah rnakhluk !aut dengan bclalai gajah). Kala dan makara sering
berfimgsi sebagai y;argoyle (hiasan patung makhluk rnenyeramkan pada gercja
Gothic -· juga berfungsi sebagai talang air) yang dibuat di sekeliling bangunan.

Ragam Hias candi rnenunjukkan pula adanya elemen yang mendominasi pada
setiap bagian memberikan kesan adanya "point of interest". Pada bagian kepala
ditunjukan oleh bagian ornamen yang lebih besar pada bagian tengah, kanan dan kiri.
Pada bagian badan kita bisa rnenemukannya pada elemen pintu masuk yang memiliki
detail yang lebih baik dan lebih menonjol dan konscp ini pada bagian kaki diterapkan
dengan adanya elemen tangga. Dari semua elemen yang menjadi "point of interest"
tersebut, bagian lengah memiliki di antara ketiganya. Point of interest tersebut akan
memperkual kesimetrisan yang dapat mendukung keseimbangan (adanya kesimetrisan
bagian kanan yang merupakan penceminan bagian kirinya - dan juga sebaliknya). Hal
ini mencerminkan kesan stabil dari bangunan itu sendiri.
Pengkajian desain arsitektural secara umurn tidak dapat dilepaskan dari aspek
tala ruang-massa, anatomi sosok-fasade, unsur dekoratif, material, dan lingkungan,
tennasuk di dalam menganalisis kaitan percandian dengan bangunan lainnya.
KarakteristiklAtribut yang tercermin dalam desain percandian di atas dapat
diwujudkan ke dalam tata ruang-massa, anatomi sosok-fasade, unsur dekoratif,
material, dan lingkungan. Berdasarkan studi tersebut akan diketahui kontinuitas dan
diskontinuitas elemen-elemnya. Latar belakang kescjarahan menjadi landasan dalam
memahami kontekstualitas penggunaan kembali representasi percandian. Melalui
pengkajian tersebut diharapkan dapat diketahui peluang pengembangannya dalam
desain arsitektur pada masa modem

48
j
___ ___!
Efck Pcrspektifis
Garis dan Efek Gelap Tcrang

Geometrik
Simetris - Keseimbangan

Perulangan dan Kesatuan

Pembagian Tiga

Gb 3.3. Atribut Kuat dari desain Candi Jaw a

49
I '

. P. .D.... r-
.
.
.
u:
"
"
.,
�:-�e-=-�---��liL�,_-- - {
�--· J'" ._,
•.•

J
�·�
r:·I �\t�
['4"�J" �r t.
�"
___

Candi Pcnatamn \r.


. 1\
.
C. an
, JJ (iT<Jongso
Hindu - Late Classic
ngo · 'I I·[�cco=r,
'"L····•�t
"\\ . .. . ..
.




Hindu b.rrly Class1 c

.1> .
.
. I E

I

\1
\\1\

fDl
L;t.d l �' I
:

.
..,. . . . . .. . . ..... . ..... ... .... .
KomPleks rCandi
..
· .p. rrr"\
.·.

[) I
A-\'j:J , J u m bu r\�\
·
Dieng • I_ 11ldU V
.
l'
.. arly Classic -
1- :
:

Candt. Sewu - !Julmh -LumhJmg


. .
Candi
.,.
Buddha
c - MI(Idle Cla._.;;sJc
Borohudu:_.;·_l':twon .
M erILl
" 'ttt Buddu< Cand• J i
• .

Mid<lle ClaSSIC
Hindu-Saivd
. Buddha

Late ClassJc
.·-----���::������ . �--�
Gb 3.4. K 0 nsep D uahsme da�����JP�
lam l�;�tkkan
Perleta ;k;��-
;n.:::·�-���"i,near dan Konsetris
Cand•,
·
. . '
· ·

· · ·

Middle Classic

50
BAH 4
REPRESENTASI CANDI Dl DALAM SOSOK ARSITEKTUR
MODERN DI I NDONESIA

Pandangan umum menyatakan modern berasal dari bahasa Latin pada abad kc-5,
yakni modemas yang digunakan untuk mcmbedakan orang Kristen dan Rornawi dari
zarnan Pagan. Mcnurut Turner (2003), istilah ini digunakan untuk rnenunjukkan ' masa
kini' yang berbeda dengan masa lalu. Menurut Habcrmas dalarn Turner (2003) istilah
modern mernpunyai pcngertian ' kesadaran akan jaman bam yang rnembentuk dirinya
sendiri dengan cara rnemperbami hubungannya dengan rnasa lalu. Di sisi lain,
hubungan dengan rnasa lalu hanya merupakan metode untuk menunjukkan te1jadinya
suatu keharusan. Menumt Calinescu, istilah modernisme rnerupakan perwujudan
kesusastraan universal dari krisis kejiwaan yang ditemukan dalarn seni, ilmu
pengetahuan, agama, dan politik secara bertahap dalarn semua aspek kehidupan (Turner,
2003).
Dalam konteks Barat, Berman ( 1 983) membagi tahapan perkembangan
modernisme atas tiga bagian. Pertama, antara awal abad ke 1 6 sampai akhir abad 1 8,
yakni sejak manusia mengenal kehidupan modern (didorong oleh renaisancc) Kedua,
masa setelah revolusi Prancis, saa1 terjadi kekacauan di bidang sosial, politik, dan
individu. Ketiga, pada saat te1jadi globalisasi kebudayaan modern (Turner 2003).
Sedangkan dalam konteks arsitektur, modernisme dipicu oleh munculnya pemikiran­
pemikiran bam yang d idorong oleh revolusi industri di dunia Barat. Le Corbusier pada
tahun 1 920 dalam majalah L ?osprit Nouveau menyatakan " Jaman agung sudah mulai,
Di sana terdapat eli jiwa bam : jiwa bam tersebut ada1ah jiwa pcmbangunan dan jiwa
sintesis yang dituntun oleh suatu konsepsi yangjelas."
Di sisi lain Jencks ( 1 992) membagi tradisi-tradisi dalam perkembangan
arsitektur modern ( 1 920 -·· 2000an) ke dalam enam pendekatan, tradisi Idealist dan
Logical yang mengacu pada doktrin modernisme secara umum (fungsionalisme­
efisiensi, dsb), tradisi Activist dan Intuitive yang mengacu pada gerakan dan pandangan­
pandangan yang fantastik-utopia-visioner (seperti konstruktivism Rusia, Avant-garde),
dan tradisi Self Conscious dan Unself Conscious yang mengacu pada pandangan yang
me-refer pada aspek kesejarahanlmasa lampau baik secara sadar (revival) rnaupun tidak
disadari-alamiah (natural). Meskipun tradisi Idea/is, Logical, Intuitive dianggap sangat
kuat mendominasi arah arsitektur modern (seperti dalam ClAM}, namun sebenarnya

51
tidak semua berpandangan scperti yang telah digariskan Tradisi Idealist , Logical,
Intuitive, Activist adalah cerminan dari konsep modernisme yang menekankan pada
fungsionalismc. Pemikiran ini mendominasi desain arsitektur di tahun 20-an. Namun
harus diakui di sisi lain juga muncul tradisi S'elf Conscious dan Unself conscious yang
menekankan pada konscp romantisisme-kcscjarahan.
Pembakakan perkembangan arsitektur modern di Indonesia secara eksplisit
belum didefnisikan dengan jelas. Dalam konteks arsitektur masa modem ditandai
seiring dengan masuknya pendekatanlpemikiran-pemikiranlkonsep bam/modern yakni
sekitar awal abad 20an-masa kolonial yang berlanjut sampai saat ini (Sumalyo, 1 997).
Pemahaman modern secara luas dimulai dengan adanya inovasi-inovasi bam dalam
desain yang menunjukkan adanya perbedaan dengan masa scbelumnya.
Berdasarkan beberapa dcfinisi di atas pengertian arsitektur modem tidak terbatas
hanya menyangkut permasalahan modernisme saja narnun juga mengarah pada
postmodernisme. Dalam studi ini perkembangan arsitektur yang dijadikan patokan
dalam pemahaman tentang arsitektur modern adalah dimulai tahun 20-an (masuknya
faham-faham bam seperti modernismc) sampai saat ini (globalisasi ·Turner 2003). Pada
masa Modcrn-Kolonial pengadaptasian arsitcktur candi mengarah pada scmangat
pencarian identitas /karakter yang khas Indonesia dan program misionaris. Candi
dianggap sebagai salah satu seni arsitektur yang dapat mcrepresentasikan keunggulan
nilai-nilai yang berasal dari kelokalan, meskipun beberapa arsitck Belanda masih
memandang bahwa candi-candi di Jawa masih 'kental' dengan kebudayaan India.
Model strategi pengadaptasian yang dilakukan pada masa kolonial dapat secara
langsung maupun tidak langsung.

4. 1 Masa Kolonial
Pada masa Kolonial pcngaruh percandian nampak pada aristektur di awal abad
20-an. Di awal masa kolonial (VOC) arsitektur yang dibangun lebih mcngacu kepada
banb'tman-bangunan yang ada di Eropa (Belanda), seperti Stadhuis-Batavia (sekarang
museum Fatahilah) yang identik dengan balaikota lama di Amsterdam, kemudian
setelah runtuhnya VOC, muncul gaya Empire Style yang diperkenalkan pada jaman
Deandels di Hindia Belanda. Gaya ini juga mengacu pada gaya Neo-Klasik dan unsur­
unsur Barok di Eropa. B aru pada akhir abad 19 dan awal ke-20 mulai timbul gejala
lndisch dalam arsitektumya, yakni terjadinya percampuran atau sinktrismc/hybrida

52
antara arsitektur Barat dan tradisional di Indonesia, misalnya penggunaan atap joglo
dengan kolom klasik (dorik/ionik), penggunaan teras dan teritis (tanggapan terhadap
tropis), pcnggunaan ornamcntasi yang berasal dari pcreandian, scpcrti kala makara, dsb.

Gb 4.1 Balai Kota Lama di Amsterdam dan Batavia (Museum Fatab.ill ah sekarang).

Politik Etis (Ethische) di Belanda sangat j el as i mp li kas inya dalam bidang arsitektur

yaitu mcndorong dibuatnya fungsi-fungsi bangunan modern pada area perkotaan misalnya
seperti rumab sakit, bank dan sekolab-sekolab, dsb. Selain itu pada masa ini dimulailah

masa masuknya arsitek-arsitek Belanda ke kawasan Hindia B elanda . Arsitek-arsitek

tersebut membawa pengaruh dari aliran-aliran arsit ektur yang berkem bang di B eland a .

Kebang k itan kembali arsitektur Belanda sebenarnya dimulai dari Hulswit and Cuypers

( ! 827- ! 92 J ) yang beraliran Neo-Gothic, d isus u l UP Berlage-dkk (1 856 J 934) yang

b eraliran Nieuwe Kunst, M. de Klerk-dkk ( ! 884- ! 927) dari Amsterdam School, Retvielt­

dkk dari aliran ne Stijl, Prof Granpre dari Delji School Aliran-aliran tersebut pada
umumnya d i k enal sebagai bagian dari aliran Modernisme yang berkembang pesat di Eropa

<lim Amerika (Bauhaus di Jerman, Chicago School di Amerika, Organic-Art-Deco-Frank L

W di Amerika, Art Nouveau di Belgia, dsb).

A walnya pad a era ini karya arsitektur Belanda di Indonesia banyak mengacu kepada

arsitektur vernacular di Belanda yang dibawa oleh arsitek-arsitek Belanda terscsbut

B erlage b any a k mengkritik karya arsitektur yang tidak tanggap t erhadap konteks lokal,

yang dianggapnya seperti kandang anj ing y ang d ipcrind ab. Berlage mengusulkan

p en tingnya acuan terhadap kelokaJan baik dari gaya ataupun bahan untuk dapat

dikembangkan menjadi gaya arsitektur baru di Hindia Belanda. Pada awal tahun 20-an

merupakan tit ik to!ak penerapan pemikiran-pemikiran baru tersebut di dalam wujud

ars itekturnya. Menurut Berlage ' bangsa Indonesia harus memilki gaya dan langgam
arsitekturnya sendiri '. Dalam bukunya 'Myn lndishce Reis ' tahun 1 93 1 , B erlage

menyatakan ' bahwa kelak kita bakal menyadari, babwa akan labir suatu gaya arsitektur

53
lndon es ia E ropa
- , yang terwujud dari s intesa perpaduan system struktur bangunan Barat

d engan bentuk seni budaya Timur. Dari perpaduan teknik dan gaya arsitektur seperti itulah,

sosok bangunan bam dapat d i k cmbangkan '. Kritik yang dikcmukru1 Bcrlagc tcrscbut

rnendorong perubahan konsep dasar ru·sitcktur yang berkemban g di Hindia Belanda

kernudian. Wujud aliran yang berkembang di Hindia Belanda kemudian dapat dibedakan

menJ ad J dua yakm ( I ) ahran yang menggunakan adaptasi gaya lokal dan (2) aliran yang

mengadaptasi modernisme d i Barat Meskipun terbagi menjadi dua aliran tetapi tidak

menutup kemungkinan bahwa arsitck Belanda dapat menggunakannya s ecara bersamaan di

dalam karya-karyanya.

Gb 4.2 Kandang Anjing yang dipcrindal1? (HP Berlagc)

Pada dua d asawarsa awal periode modern arsitektur kolonial Belanda d i

Nusantara, realisasi dari konsep asimilasi desain arsitektur modern Eropa dan

tradisional belum dapat sepenuhnya dijalankan. Penggunaan estetika candi dalam

ba ngu nan kolonial Belanda merupakan salah satu media yang dipakai oleh para arsitek

Belanda pada waktu itu, untuk memenuhi tuntutan akan pembentukan citra Arsitektur

lndo-Eropa (lndisch) Sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan akan berbagai

bangunan pu b l i k , Dinas Pekerjaan Umum !Iindia Belanda (Bureau van Openbare


Werken atau B . O.W) banyak rnend i r i k an berbagai bangunan publik. Melalui arsitek­

arsitek yang ada pada waktu itu seperti Edward Cuypers, BJ. Ouendag dan J.F.

Klinkhamer, rnulailah dibangun Javasche Bank d i kota-kota besar d i Jawa. Unsur-unsur

gaya lokal masih belum terasa eksistensinya, dan kalaupun ada masih berupa elemen

tempelan yang agak dipaksakan. Hal ini dapat d ibuktikan pada bangunan Javasche Bank

yang ada di Bandung dan d i Jakarta, dimana hiasan candi seperti kepala kala dan

makara letaknya tersamar dan tersembunyi. Namun demikian Jambat laun penggunaan

unsur-unsur arsitektur candi dalarn arsitektur kolonial rnulai muncul ke permukaan d i

akhir tahun 20-an ini.

54
Early Classic Middle Classic Late Classic

Gb 4.3.Penggunaan Ornamentasi Kala Makara

Penggunaan unsur percandian tidak hanya berupa memmJam aspek


ornamentasinya (eklektik) melainkan di!,,>unakan pula secara konseptual yang lebih
mendalam. Bentuk yang menggunakan adaptasi Jokal diistilahkan sebagai bentuk
hibrida Jokal. Dalam memahami desain candi, arsitek Belanda bemsaha menggali
aspek-aspek estetikanya kcmudian bemsaha mcntransfernya kc dalam bangunan
modem Aspek yang digali dari arsitektur candi bempa studi tentang sosok-bentuk
dan ruang (komposisi geometrik tektonika p cngol ah an massa siluct · kcpala-badan-

kaki), studi tentang elemen pengolahan fasadenya seperti order pada elemen garis
(moulding)-bidang (jendcla dan kolom semu)-volum (kemasifan), studi tcntang elemen
dan dekorasinya (ornamen, relief, patung), studi tentang perletakannya ( orientasi­
komposisi tata mang-massa), dan studi tentang bahan-teknologi (batu, terakota).
Karsten mengkritik para arsitek Belanda yang sekedar "menempel" elemen
tradisional pada bangunan yang dirancangnya. Menurutnya, penempatan ornamen
kepala kala di atas pintu masuk hanyalah sekedar karikatur. Karsten juga memberikan
pernyataan mengenai arsitektur Hindu-Jawa. !a menyatakan bahwa arsitektur Hindu-

55
Jawa perlu dipertimbangkan kctika mcmilih clemen lokal. Arsitcktur Hindu-Jawa 1111

tidak "hidup" lagi di dalam masyarakat Jawa. Teknik pembuatan bangunan dari batu
sudah tidak dipergunakan lagi. Bcntuk-bcntuk sepcrti candi, ornamennya serta konsepsi
rancangannya sudah tidak lagi dipcrgunakan dalam rnasyarakat Jawa. Bangunan­
bangunan sedernikan tidak rnengernbangkan interior, melainkan lebih rnementingkan
pengolahan kulit bangunan (eksterior). Oleh karcnanya dapat dimungkinkan untuk
rnenghubungkan arsitektur Hindu-Jawa dengan bangunan modern namun perlu
diperhatikan jangan sampai hal ini hanya sekedar tempelan atau sekedar penyamaran
saja. Pont memiliki gagasan yang serupa dengan Karsten mengenai bagaimana
seharusnya Arsitektur lndo-Eropa itu. Ia juga mengkritik sistem politik pernerintah
kolonial yang walaupun telah menggunakan Politik Etis tetapi terlalu menekan
masyarakat tradisional beserta budayanya sehingga sulit untuk berkembang. Oleh
karenanya arsitektur Indo-Eropa sulit untuk menemukan jati dirinya karena menjadi
lemah akibat tekanan sistem politik kolonial yang belum banyak terbuka untuk
menerirna kebudayaan lokal
Maclaine Pont merupakan saJah satu arsitek Belanda yang berupaya menggunakan
pendekatan lokaJ dalam desain modemnya Misalnya karya Maclaine Pont untuk bangunan
Tcchnische I-Ioogeschool ( 1 9 1 9- 1 920)-aula Barat-Timur ITB. Atap bangunan tersebut
sekilas mirip dengan atap bangunan Batak (mandailing), tetapi disisi lain juga diidentikan
dcngan atap Sunda (sunda besar), bahkan ada yang berpendapat terdapat unsur-unsur atap
Minangkabau-Padang. Dalam relief percandian juga ditemukan gambaran bentuk atap yang
sejenis. Pont juga menggunakan beberapa unsur candi, seperti tampak pada pcngolahan
tangga. Terlepas dari silang pendapat yang terjadi di dalam menganalisis bangunan tersebut
namun pada dasarnya bangunan tersebut merupakan hasil dari adaptasi konteks lokal yang
berasal dari arsitektur tradisional lndonesia atau mengacu pada modifikasi bentuk arsitektur
Austronesia Purba. Pont juga seorang peneliti purbakala, sehingga wawasan yang diperoleh
dari penelitian arsitektur purbakaJa menjadi referensi daJam desainnya. Di samping adanya
kelokalan unsur kemodernannya ditunjukkan pada teknologi struktur yang inovatif pada
jamannya. Semangat modern tetap ditampilkan tetapi unsur kelokalan juga tidak
ditinggaJkan (terjadi sinkritisme di dalarnnya) khususnya yang berasal dari wawasan
arsitektur purbakala di Jawa.
Pont merupakan orang pertama yang merekonstruksi dan menyelidiki situs
peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak inspirasi yang didapatkan dari
peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan bahan terakota dan omamentasi

56
candi . Hal ini nampak pada karyanya yakni gercj a Puh Sarang di Kediri, dimana altar­

tabenakelnya menggunakan bahan terakota yang dihiasi ragam hi as yang berasal dari unsur

percandiau Ma]apahit Tatanan ruang luar kompleks ini juga mengindikasikan adanya

pengguna;m pol a gcornetrik yang berasal dari bentuk mandala candi, seperti candi .Jago atau

Penataram. Area ini sekarang difungsikan sebagai rnakam pastur. Seperti halnya Aula

Barat-Tirnur ITB unsur kelokalan - candi juga disandingkan dengan unsur yakni teknologi

strukturnya yang inovatif (kabel di tahun 20-an). Bangunan pada kompleks mi juga

menggunakan jenis atap yang tergarnbar di dalam relief percandian di Jawa

Gb 4.4. Aula ITB - Tangga dan Tangga Candi


Gb 4.5 Denab Candi dan Puh Sarang



G b 4.6. Cereja l'uh Sarang ( interior dan gerbang masuk)

'i 8
Gb 4.7.Candi dan Elcmcn Arsitcktur Gereja

59
Selain Pont adaptasi unsur-unsur yang berasal dari arsitcktur candi juga
d itunj ukkan oleh Gerber dalam desain Gedung Sate. 13angunan ini dapat dikategorikan
kc dalam hibrida lokal, yakni mengandung unsur lokal dan pengaruh dari luar. Di sana
tercermin gaya-gaya arsitektur yang berasal dari luar seperti India, Moor, dsb. Namun di
dalamnya juga tercermin adanya unsur-unsur lokal, khususnya berasal dari arsitcktur
percandian. Gedung Sate direncanakan sebagai pusat pemerintahan Gubernur Jendral
Hindia Belanda, sehingga sebenarnya unsur ke-Belanda-annya juga tampak, tipologi
sosoknya mengingatkan pada bangunan Stadhuis (Museum Fatahillah) yang mempunyai
cupola di tengahnya (seperti balaikota lama eli Amsterdam). Namun karena bertempat di
I ndonesia maka unsur lokalnya harus ditonjolkan, sehingga cupolanya diganti dengan
bentuk meru seperti atap candi-candi di Jawa. Sosok gedung sate kemudian dapat
dikaitkan dengan sosok siluet candi Borobudur. Menurut majalah Oesterreichs Bau Und
Werkunst, Wien tahun 1 924, dinyatakan bahwa Gedung Sate banyak diilhami oleh
keanggungan candi Borobudur. J>ada masa itu candi-candi mulai direkonstruksi dan
dipugar, sehingga tidak heran jika kemudian dijadikan referensi dalam desainnya.
Namun karena candi-candi di Jawa masih dalam taraf pemugaran maka dimungkinkan
bahwa gerber kemudian menyadur bentuk-bentuk dari India yang d ianggap sebagai akar
aritektur candi.

:-:,-�;?f/.
•..

Gb 4.8 Gedung Balai Kota Lama .Jakarta dan Gedung Sate

Unsur arsitektur percandian dalam desain Gedung Sate dapat dilihat pada
elemen yang berupa moulding di bagian kaki dari gedung ini. 'J>ermainan' pelipit pada

bagian kaki bangunan sangat identik dengan pelipit yang terdapat pada kaki cancli
(seperti Candi Borobudur). Pelipit ini juga dapat dijumpai pada skala dan ukuran yang
lebih kecil seperti pada leher pilaster yang membentuk !rave. Selain itu pada bagian
pintu masuk, terdapat penebalan dinding untuk mempertegas entrance, yang juga
menggunakan perrnainan pilaster. Sedangkan untuk moulding vertikal, dapat terlihat
pada penggunaan elemen kolom semu. Kolom semu ini mengingatkan pada fasade yang
ditampilkan pada percandian klasik tua dan tengah di Jawa. Kolom semu pada Gedung

60
Sate dapat dibcdakan rncnjadi dua macam. Tipe pertama adalah kolom semu yang
bersifat dua dimensi yang ditonjolkan pada setiap pilmter gcdung. Sedangkan kolom
semu tipe kcdua adalah kolom senm yang bcrupa tonjolan perscgi cnam dcngan ukuran
yang cukup besar pada pengakhiran kiri dan kanan bangunan. Selain pengolahan
moulding, unsur candi juga nampak pada pengolahan pintu masuk Gedung Sate, hiasan
pada pintu masuk ( candi klasik muda-Maj apahit), dan penggunaan meru untuk
mahkotanya. Awalnya gaya ornamentasi gedung ini dikaitkan dengan gaya arsitektur
Thailand, namun hal ini kurang berdasar, meskipun konon tukang-tukang yang
membangunnya scbagian d idatangkan dari Siam. Arsitektur Gcdung Sate adalah salah
satu yang dipuji olch Berlage sebagai gaya arsitcktur baru yang kontckstual di !·!india
Belanda.

Gb 4.9 Profil
Moulding
pada kolom,
Entance, dan
kaki

61
••
• •••

Gb 4.1 0. Hibrida ( Lokal- meru-borobudur-klasik muda, Moor, India)

Contoh bangunan lain adalah Gedung HVA Surabaya (Sekarang P.T.

Perkebunan). Mahkota atap dihisasi motif yang rnenggarnbarkan candi klasik rnuda,

selain itu penggunaan moulding horizontal yang berkarakter candi, terdapat pada pelipit

bagian kaki bangunan yang sebenarnya rnerupakan fondasi bangunan. Pelipit pada kaki

ini sebenarnya cukup identik dengan karak1er pelipit yang ada pada kaki Gedung Sate.

Penggunaan pelipit juga didapati pada bagian kolom pengakhiran pada sisi kiri dan

kanan. Tampak pada kapital dan dasar kolom dihiasi dengan pelipit. Selain itu elernen

pelipit juga terdapat pada bagian porch yang berbentuk kubus, tepatnya pada bagian

kepala dari porch

62
Gb 4.1 I . gedung HVA dan candi

63
Terobosan lain yang dilakukan dalam adaptasi desain candi dalam bangunan

modern pada jaman kolonial adalab yang dilakukan CPW. Schoemaker. Schoemaker

merupakan arsitek yang beral iran Art-Deco dan produktif menghasilkan karya-karyanya

di Bandung. Karya-karya Schoemaker sedikit banyak juga terimbas karya-karya Frank

LW (Schoemaker pernah bertemu Frank LW). Hal ini dapat dilihat dari keidentikan

karyanya, seperti tcrlihat dalam pengolahan fasade muka bangunan. Seperti halnya

Frank LW, seni arsitektur yang dikembangkan oleh Schoemaker salah satunya adalah

penggalian arsitektur purbakala, seperti candi. secara umum prinsip arsitektural candi

didasarkan kepada prinsip religiusitas dan prinsip keseimbangan dengan alam Oleh

karenanya tidak mudah untuk mengadaptasikan desain arsitektur candi kepada

bangunan modern. Ia berpendapat bahwa arsitektur dan budaya tradisional dari

Indonesia harus dipelajari dan dikembangkan oleh para arsitek agar perkembangan

Arsitektur Indo-Eropa dapat terwujud dan d ipercepat. Oleh karenanya para arsitek harus

mempelajari arsitektur Hindu-Jawa atau arsitektur candi, karena hal ini merupakan

peninggalan budaya dan peradaban yang ada di Indonesia. Schoemaker bemsaha

mencari terobosan-terobosan lain dalam mengadaptasi arsitektur candi, tidak sekedar

menim omamentasinya tetapi dapat di-dekonstruksi-kan sehingga menjadi wujud

arsitektur yang khas.

Dalam desain candi salah satu unsur estetika yang ditampilkan adalah

penggunaan elemen garis-garis fasadenya baik vertikal maupun horisontal. Pada masa

klasik muda/Majapahit fasadenya lebih banyak menggunakan dominasi unsur garis­

garis horisontal baik pada moulding, ragam hias, dsb. Garis-garis ini jika terkena sinar

matahari (tropis) memunculkan efek gelap terang, jigure and ground, sehingga terkesan

menjadi 3 dimensi. Schoemaker pernah melakukan studi make! suatu candi untuk

melihat efek bayangan cahaya pada pelipit-pelipit pada candi. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa penggunaan unsur garis pelipit horisontal pada bangunan modern

mempakan hasil transformasi yang dilakukan Schoemaker sehingga menghasilkan

paradigma baru dalam sintagmatik bangunannya.

64
Gb 4.12. Studi Maket Candi dan Candi

Karya Schoemaker yang meng!,'llnakan pendekatan di atas adalah perancangan

Villa Isola. Villa Isola merupakan bangunan dengan desain yang terlihat 'baru' atau

'modern', namun mengandung unsur-unsur candi di dalamnya (basil pen-dekonstruksi­

an estetika garis dari percandian). S chocmaker pada beberapa karyanya juga

berusaba'belajar' dari arsitektur candi di Indonesia Ia mengadakan uj i maket candi untuk

melihat efek bayangan, efek gelap terang, dan beberapa komponen garis dan bidang pada

dinding candi. Bangunan Villa Isola didominasi oleh unsur-unsur garis horizontal bempa

pelipit bangunan. Garis-garis moulding ini diwujudkan dengan permainan maju-mundur

dari kulit bangunan. !'ada bangunan ini Schocmaker menerapkan prinsip penggunaan

moulding yang sebelumnya tidak pernah digunakan oleh para perancang dari bangunan

Belanda lainnya.

G b 4. 1 3 Villa Isola

65
Moulding pada Villa Isola bempa teritisan dan lantai kantilever yang

difungsikan sebagai balk on. Bcntuk dari moulding ito sendiri berupa garis lcngkung dan

garis datar Garis l engkung diletakkan sebagai foreground scdangkan garis datar

difl.mgsikan scbagai background Garis l engkung sifatnya lcbib mcndorninasi

dibandingkan dengan garis datar Moulding vertikal pada bangunan ini tidak dijurnpai

karena tidak ada clernen seperti kolorn sernu yang biasa terdapat pada candi. Kalaupun

ada elemen vertikal yang · narnpak adalab semacam menara kernbar pada tampak

mukanya. Sosok dari Villa Isola terkomposisi oleb bentukan-bentukan geometrik

apabila kita l ibat dari tampak muka. Bagian tengah merupakan bentuk persegi empat

yang diapit oleb dua menara yang juga berbentuk persegi panjang. Pengakhiran dari

sayap kiri dan kanan bangunan juga merupakan bentukan perscgi empat yang berundak

makin rendab ke arah kiri dan kanan. Kemudian benmdak makin mengecil ke arab kiri

dan kanan. Prinsip pengomposisian sosok dengan bentuk d i tengah yang lebih tinggi

atau dengan kata lain berkarakter segitiga simetris merupakan prinsip komposisi yang

serupa dengan candi.

Gb 4.14.Pengolahan Garis

Bentuk lain yang memiliki unsur geometrik adalah bingkai-bingkai jendela yang

terbentuk dari moulding horizontaL Moulding Villa Isola selalu berada dalam komposisi

geometrik, seperti candi . Komposisi geometrik merupakan bagian dari prinsip estetika

candi, terlibat pada tampak bangunan babwa bentuk geometrik yang ada seperti pada

jendela, selalu berada pada bingkai (frame) yang tcrbungkus oleh moulding Elemen

moulding selalu membentukfiwne baik pada segmen badan maupun kaki candi. Setiap

segrnen candi selalu dilengkapi moulding atas dan bawah yang mernberikan titik

peraliban pada segmen berikutnya.

Dalam perletakannya, Schoemaker menggunakan sumbu i m aj iner utara-selatan

dengan arab u t ara mengh ad a p Gunung Tangkuban Perahu dan arab selatan rn eng ha c! ap

K ota Bandung. Pcnggunaan suntbu utara-seiatan dcngan berorientasi pada sesuatu yang

66
sakral (gunung atau ]aut) merupakan orientasi kosrnis masyarakat di Pulau J awa Hal

yang s a rn a diterapkan d a l a m pengolahan tapak Teclmi sche Hoogheschool t e Bandoeng

(lnstitut Tcknologi Bandung/JTB) yang berorientasi pada Gunung Tangk uban Pcrahu

dan Kota Yogyakarta pada Gunung Mera p i . Orientasi sumbu-sumbu ini j i k a ditinjau

lebih jauh juga diternukan pad a tat a letak percandian di Jawa.

Gb 4.15. Perletakan Isola dan ITB

Unsur-unsur garis-garis pada candi sebenarnya mempakan bagian dari

pcngolahan geometris. Geometrik adalah u nsur yang paling kuat dalam seni arsitektur

percandi a n . Pcngadaptasian candi tidak dapat d i l cpaskan dari studi tentang gcomctrik

candi, seperti di dalam wuju d denah dan tampaknya. K arakter geometrik i n i dapat

berwujud ornamentasinya maupun gubahan massa dan ruangnya. Karakter guba han

massa geometrik yang bcrasal dari percanclian menunj u k kan rcprcscntasi yang kbas.

Art-Deco yang d i kembangkan olch arsitek belanda sangat sclaras dengan unsur-unsur

desain pcrcandian tersebut, sehingga dapat memperkaya pcrwujudan art-dcco yang rnc­

lokal (mengacu pada unsur Indonesia). Art-dcco scndiri adalah gaya arsitektur yang

mengkomoclasi unsur-unsur geometrik b a i k berupa ornamental maupun gubaban massa.

apalagi diramu dengan De-Stijl yang kubisme (modern) ataupun .Jugentslj! yang plastis­

d i n a m i s d i Hindia Belanda. Schoemaker adalah salah satu arsitek yang menganut art­

deco tcrsebut, sehingga tidak heran jika pengaruh Frank LW muncul dalam clesainnya.

Jika Frank LW mengadopsi arsitektur Amerika purba maka Schoemaker meramunya

dengan unsur lokal Indonesia, yakni percandian.

67
Gb 4.16. Karya Fl Wright (kiri) dan Schoemaker(kanan)
Pont dan Schoemaker mempunyai kesamaan visi dalam mengadaptasi desain

percandian. Namun di sisi lain adapula yang benar-benar memindahkan gaya arsitektur

candi untuk fungsi yang lain, seperti bangunan gerej a Ganjuran. Kompleks gereja

Ganjuran mulai dibangun pada tahun 1 924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan

Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Pembangunan gereja yang dirancang oleh

arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu bentuk semangat sosial gereja

(Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bcrsaudara. Nuansa percandian terlihat pada

elemen sakralnya berupa altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont

(wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan

Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga d igambarkan tengah memakai

pakaian patung-patung pada percandian Demikian pula relief-relief pada tiap

pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta

Hindu. Selain gereja ganjuran arsitektur candi secara 'eksplisit' juga digunakan pada

bangunan pavillion Hindia Belanda d i World Fair, San Fransisco tahun 1 939. Bentuk

atap gaya candi Panataran ( candi-candi klasik muda) digunakan sebagai atap bangunan

dalam pavilion tersebut. Belanda membangun pavilion ini digunakan sebagai promosi

dalam pembangunan daerah jajahannya. Gaya arsitektur candi klasik muda dianggap

sebagai representasi dari karakter arsitektur Indonesia pada saat itu.

68
G b 4. 1 7 Gcrcja Ganjuran, Patung Bunda .">1 a ria- Ycsus

69
Arsitck Bclanda dalam mengadaptasi arsitcktur candi, melakukan pendekatan

secara ornamcntal-eklektik dan non eklektik (mencari model adaptasi yang lebih

abstrak), atau mengkombinasikan antar keduanya. Proses ini menunjukkan bahwa candi

mempunyai peranan yang kuat dalam membentuk karakter yang bersumber pada unsur

lokal. Candi dapat d ianggap sebagai reference yang berakar pada 'local historical
prototypes '.

·
----- · ·-- -· ·
- ··--

4.18. Atap Klasik Muda pada bangunan Pavilion di Worldfair 1939 dan
rumab tinggal di Malang

70
Kebanyakan contob yang dihadirkan adalah karya-karya arsitck Bclanda.

Sebenarnya di masa ini juga muncul beberapa arsitek Indonesia yang juga bekarya

dengan mcnggunakan candi sebagai referensinya. Karya yang menunjukan adanya

konsep candi adalah gedung museum pers d i Surakarta yang berasal dari gedung

Societeit Sasono Suko. Hal i n i berkaitan dengan perencanaan kota Solo. Konsep kota

Surakarta sebagai "Solo Berseri" sebenarnya telah muncul sejak masa pernerintahan

Mangkunegara VlL Hal in· ditandai dengan pembangunan sarana urnum antara lain:

Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS). Societeit
Sasono Suko (SSS) rnulai dibangun pada tahun 1918 oleh seorang arsitck pribumi yang

bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan "Kamar Bola"

karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi i n i

setiap malam selalu dipakai oleh orang-orang Belanda untuk bermain bola sodok atau

billiard
Aboekasan Atmodirono ( 1 860-1 920). merupakan arsitek lulusan pertama

Indonesia. Ia lulus Sekolah Tekni k Menengah Jurusan Ban�o>unan (Middelbare

Technische School) yang berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia

dikenal sebagai de eerste inlandse architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja d i

Departement van Burgerlijke Openbare Werken (Departemen }>ekerjaan Umum). Ia

hadir d i Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam daftar caJon ketua. Ketika

pemerintah Hindi a Belanda membentuk Dewan Rakyat (volksraad) di tahun I 9 I 8, ia

ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewaki l i

Perhimpunan Pamong Praja P r ibumi "Mangoenhardjon

Para wartawan seperti Soedarjo Tjokrosisworo, BM. Diah dan rekan-relannya

mempunyai gagasan baru untuk mendirikan sebuah wadah yang lebih merangkul semua

wartawan d i Indonesia. Mereka lalu mengadakan Konggres di Solo, tepatnya di gedung

Sositet Sasono Suko, Mangkunegaran. Gedung Sositet Sasono Suko kemudian

difungsikan sebagai Monumen Pers NasionaL Monumen Pers nasional terdiri dari tiga

unit gedung dengan tambahan lantai atas pada bangunan induk. Sebagai monumen yang

sekaligus berfungsi sebagai museum, gedung i n i banyak menyimpan dan mengoleksi

benda-benda bersejarah peninggalan wartawan pejuang tempo dulu.

71
Gb 4. 1 8. Candi dan Gedung Museum Pers Surakarta-Atmodirnno
2. Masa l'ost Kolonial di .Jawa
Pada masa ini pengadaptasian representasi arsitektur percandian mengarah kepada

pengembangan semangat nasional isme (kebanggaan), wacana pencarian jatidiri yang

kontekstual dengan Indonesia, dan penghargaan terhadap peninggalan warisan masa lalu

(semangat pelestarian) Di samping ketiga hal tersebut tujuan lainnya yang sedang

menggejala adalah kepentingan kepariwi sataan (ekonomi-devisa)

Post Kolonial ditandai dengan masa berakhirnya masa penjajahan Belanda d i

Indonesia. Masa pembangunan d i Indonesia d i era kemcrdckaan dapat dikatakan

dimulai setelah selesainya agresi mil iter Bclanda dan pergolakan-pergolakan di

I ndonesia. Kemerdckaan Indonesia seeara d e jure, scbenarnya baru diakui setelah KMB

di Belanda tahun 1 949. Presiden Sukarno mengembangkan semangal nasionalisme

sebagai titik berangkat dalam membangun Indonesia. Nation Building adalah salah satu

program yang d icanangkan untuk membangkitkan semangat nasional isme di Indonesia.

Bangunan-bangunan yang mendukung Nation Building antara lain Monas, Bank

Indonesia, Masj i d Istiqlal, dsb. Arsitektur yang berkembang pada masa ini ditujukan untuk

merepresentasikan kebesaran Indonesia dalam kancah dunia l nternasionaL Hal i n i dapat

dilihat melalui pembangunan : C..elora Bung Karno yang mempakan stadion terbesar di Asia

saat itu, Masji d Istiqlal (karya S ilaban) yang merepresentasi sebagai negara dengan

penduduk Muslim terbesar di dunia, dsb (Kusno, 2000). Penghargaan terhadap candi juga

ditunjukkan dengan pemugaran candi induk Prambanan oleh Van Ramondt dan

diresrnikan oleh Presiden Sukamo.

Semangat kecintaan terhadap tanah air perlu didorong ke depan mengingat us1a

kemerdekaan yang relatif masih muda. Di dunia Barat, arsitektur Gothic dianggap

sebagai simbolisasi dari akar kemodernan yang mengandung nilai rasionalitas dan

inovatif (seperti ungkapan Viollet le due-guru Frank LW d i Ecole des Beaux Arts).

Arsitektur gothic juga menjadi sumber ide pencakar langit bagi Sullivan (Chicago

School). Sebenarnya Prambanan juga dapat dianalogikan demikian. Prambanan dapat

dianggap sebagai sirnbol keunggulan bangsa Indonesia d i masa lalu, khususnya dalam

tradisi berarsitektur. Prambanan termasuk bangunan high rise pertama d i Asia Tenggara

(abad ke 9 M) yang tentunya d ibangun dengan teknologi yang inovat i f pada jamannya

Karya yang mengadaptasi dari bentuk yang berasal percandian dapat dili hat pada

bangunan Monumen Nasional (Monas). Monas merupakan basil dari sayembara yang

diprakarsai oleh Presiden Sukarno. Sebenarnya karya-karya nominasinya menunjukkan

73
adanya variasi namun kurang ditunjang olch n i l ai--nilai yang bcsumbcr pada lokaL

M i salnya Silaban mengajukan karya rancangan Monas yang berbentuk kubisme seperti

bangunan modern di Barat. Pada akhirnya Monas yang dibangun adalah yang

menccrminkan nilai-nilai kelokalan, yakni kmya dari Sudarsono. M onas mengam b i l

n i l a i yang berasal dari bentuk-bentuk yang berasal dari percandian, yakni l i ngga dan

yom. L ingga dan yoni adalah unsur yang paling sakral dalam bangunan candi Hindu

yang terletak d i dalam ruang inti candi. Lingga merupakan simbolisasi dari Siwa

(Dewa) dan yoni merupakan simbolisasi Parwati (pasangan I cakti Sywa). Persatuan

l i ngga dan yoni mcrupakan simbolisasi dari penciptaan makhluk hidup (sangkan

paraning dumadi) sebagai rnanifestasi dari kesuburan. Monas ( kaJYa Sudarsono) didesain

scbagai representasi Lingga-Yoni. Dalam bahasa postmodem dapat dinyatakan bahwa

bentuk lingga dan yoni (sculptural form) di pinjam (borrowing) untuk dijadikan

(metafor) ban�o,>unan.

Gb 4. 1 9 Monas - Lingga dan Yoni

Jadi Monas tidak lain merupakan simbolisasi dari nilai-nilai kesuburan­

kemakmuran bangsa Indonesia yang tidak akan pernah padam (berkobar-api monas

yang selalu menyala dan terbuat bahan yang utama-cmas). Nilai-nilai dasar dari

arsitektur sakral Hindu-Budha yakni kesuburan ditransformasikan ke dalam bentuk

Monas. Candi merupakan sirnbol dari kesuburan, hal ini dapat ditinjau dari proses

74
pcmbuatanny<L Filosofi yang mcndasarinya adalah bahwa tanah tcmpat candi dibangun
mcrupakan penampung bcnih dari segala apa yang tumbuh, maka bcnih kuil (garbha)
pun diserahkan kepadanya agar bangunan sucinya nanti mcnyerap dan mcngcmbangkan
sari-sari yang terpendam dalam tanah yang telah disucikan itu. Bila tanahnya sudah
tidak subur maka kuil di atasnya dapat dikatakan kurang Jayak di!,'lmakan
Dalam bahasa postmodern dapat dinyatakan bahwa bentuk lingga dan yom
(sculptural form) d i pinjam (borrowing) untuk dijadikan (metafor) bangunan. Lingga
dan yoni bukan bangunan melainkan elemen dari bangunan candi yang kemudian
ditransformasikan ke dalam wujud ban!,'Unan Monas. Pengambilan bentuk ini
didasarkan pada surnber referensi yang berasal dari unsur lokal, mcskipun lingga yoni
juga ditemukan eli India, Kamboja. Namun demikian lingga dan yoni telah dianggap
sebagai perwakilan dari bentuk yang mengakar pada nilai-nilai Indoncsiawi, karena
berasal dari bangunan candi-candi dan menjadi unsur utama disana. Lebih jauh dari
l i ngga dan yoni, sebenamya tradisi nusantara pra-Hindu juga telah mcngenal tradisi
pemujaan terhadap tugu-tugu batu yang dikenal sebagai menhir yang identik dengan
lingga. Pemujaan terhadap tiang/tU!,'ll dapat dikatakan merupakan nilai-nilai yang lebih
bersifat universal karena juga ditemukan d i peradaban Mesir purba (Obelisk), India
Purba, dan Indian Purba. Tugu dianggap sebagai aksis mundi penghubung dunia
manusia dengan dunia dewa. Axis mundi ditempatkan di tengah sistem mandala. Secara
wujud denah pada kuil Hindu axis mundi ini diletakkan pada ruang utama kuil yang
dinamakan garbhagriha atau 'rahim' yang dianggap sebagai ruang paling suci. Di
dalam ruang ini terdapat lambang perwujudan dari 'atman' atau asal mula kchidupan
yaitu pcrsatuan l ingga-yoni. Sesuai dengan posisinya yang sakral maka Monas
diletakkan di tengah lapangan merdeka sebagai 'yoni' nya Indonesia.
Penggunaan unsur candi juga ditunjukkan oleh Silaban dalam karyanya berupa
gerbang taman makam Pahlawan kalibata. TMP Kalibata adalah termasuk karya-karya
awal F. Silaban. Bentuk dasar denah yang digunakan pada gerbang TMP Kalibata
adalah bujursangkar yang digabung dengan persegipanjang. Pcngolahan tasade
bangunan didominasi dengan ornamen-omamen yang mengacu pada candi. Hal i n i
terlihat jelas pada pembagian bentuk fasade yang terbagi kepala, badan dan kaki
Adaptasi bentuk candi pada omamen-ornamen yang sifatnya tidak struktural menghiasi
sudut-sudut bangunan. Bentuk gerbang ini mengambi l modifikasi dari bentuk-bentuk
candi-candi di Jawa bempa peng!,'llnaan moulding candi, gubahan gcometrik dan
volumetrik pada pengolahan sosoknya.

75
G b 4.20. Gerbang TMP Kalibata

Pengolahan gerbang yang identik dengan candi ini kemudian juga digunakan
pada komponen lainnya (bangunan kantornya). Pada sudut-sudut bangunan ini
menggunakan perulangan dari gerbang sementara atapnya bcrbcntuk pcrisai. Bentuk
bangunan ini identik dengan candi-candi pada masa klasik muda atau seperti bangunan
gedong dalam pura di bali. Atap perisai menggunakakan teritis yang Iebar (tropis)
sehingga ekspresinya menunjukkan adanya kesan ringan, rnengingatkan pada
pengolahan yang dilakukan Frank L Wright, dcngan teritis-teritisnya. Bangunan candi
tidak selalu bcratap batu. Candi dimungk inkan menggunakan kombinasi dengan atap
kayu yang berbentuk perisai. Pada masa kini candi dengan atap kayu sulit ditemukan,
karen a telah musnah. Namun bcrdasarkan gambaran relief pada percandian seperti candi
Tegowangi di Pare menunjukkan adanya gambaran bangunan candi yang beratap non
batu. Bukti nyatanya ditemukan pada kompleks candi Penataran terdapat salah satu
candinya beratap non batu, karena sisa atap batu tidak ditemukan disekitarnya. Dengan
dernikian dapat diketahui bahwa atap candi tidak selalu berbahan batu (dapat bersusun
ataupun tidak bersusun). Jadi penggunaan atap perisai dalam percandian adalah hal yang
biasa, khususnya candi-candi di era klasik muda atau Majapahit. Penggunaan atap non
batu sebagai elemen dalam desain percandian dapat dilihat di masa kini pada bangunan
gedong di pura-pura (pengaruh candi Jawa di Bali). Demikian pula penggunaannya pada
TMP Kalibata. Melalui arsitektur Bali bentuk ini dapat dijembatani.

76
Gb 4.2 1 . Bangunan di Bali dan TMP Kalibata

Pada desain gerbang TMP Kalibata ini jelas representasi yang bcrasal arsitektur
cancl i dapat dimunculkan disana mclalui karakateristik desain candi pada umumnya.
Perlu diakui bahwa Silaban tidak langsung mcniru scpcrti candi aslinya, tetapi lcbih
sederhana dari asalnya. Menuut Silaban keindahan hadir dari kcscderhanaan. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun yang diadopsi adalah arsitektur candi namun hasil
akhirnya candi yang 'modern' yakni yang sederhana. Secara alamiah keindahan muncul
dari tekstur bahan yang digunakan. Ornamentasi digunakan seperlunya untuk
memberikan karaktcr yang berasal dari percandian.

G b 4.22. Beberapa Detail Gerbang TMP Kalibata - Candi

77
Penggunaan konsep eandi mcmang sesum untuk fimgsi TMP sebagai

makam!bcrkaitan dengan kematian. Bangunan candi adalah bangunan sakral yang

dikaitkan dcngan bangunan untuk pemuliaan raja yang telah wafat. Para ahli

menyangsikan bahwa candi adalah makam, karena dalam tradisi Hindu abu jenasah

tidak pernah disimpan melainkan dibuang k e !aut atau pertirtaan. Jika dikaitkan dengan

kematian, maka candi mempakan bangunan yang d ipergunakan sebagai penanda dari

raja yang telah wafat tersebut. Namun secara fungsional eandi tidak berbeda dengan

kuil atau pura-pura di Bali dimana digunakan sebagai tempat beribadat. Penggunaan

unsur candi dalam desain TMP Kalibata juga merupakan penghargaan terhadap

arsitektur yang berakar dari sum her lokal di Indonesia.

Pada masa pemerintahan Suharto, semangat penghormatan terhadap budaya/

tradisi semakin d iperkuat dalam program-program yang dicanangkan dalam

pembangunan nasional, contohnya adalah program pemban�o,>unan TMII. Semangat

regionalisme ini diperkuat dengan adanya penghargaan terhadap nilai Iokal, baik fisik

maupun spiritual. Penggalian terhadap arsitektur lokal-tradisional sampai wacana

tentang penemuan jatidiri arsitektur Indonesia mulai marak muncul ke permukaan.

Kondisi i n i sesuai pula dengan semangat postmodernisme yang sedang berkembang

pesat. Kepentingan kepariwistaan (ekonomi - devisa) juga ikut mendorong munculnya

semangat regionalitas dan kelokalan tersebut. Banyak candi-candi yang dipugar,

termasuk penyelesaian pemugaran candi Borobudur dan pengembangan daerah

kepariwisataan yang berbasis pada wisata sejarah dan budaya termasuk candi d i

dalamnya. Pemerintah mencanangkan program Visit Indonesian Year, dengan objek


percandian menjadi salah satu andalannya.

Pada masa Orde Baru (Suharto) pasca Orde Lama (Sukamo) ini, arsitektur yang

berkembang di Indonesia rnenjadi sernakin bervariasi. Namun dernikian desain yang

merujuk pada modernisme juga masih bertahan, di samping posmodemisme. Sujudi

termasuk rnengembangkan ide-ide modem tetapi kontekstual dengan lokal (tropis).

Semangat pencarian identitas atau jati diri menjadi isu penting pada masa ini. Masj id Amal

Bhakti Muslim Pancasila dengan atap tumpangnya, dsb. Penghargaan terhadap warisan

budaya rnasa lalu juga ditunjukkan dengan pemugaran candi-candi, dsb. Pada masa i n i

tidak sedikit arsitek asing yang terlibat dalam proyek-proyek arsitekturnya Meskipun

rnelibatkan arsitek asing namun penggunaan sumber-sumber kelokalan tetap dilakukan,

seperti Bandara S ukarno-Hatta, Wisma Dharrnala, dsb.

78
Desain bangunan modern yang mengadaptasi arsitektur candi dapat dilihat pada

beberapa fungsi kantor (Bank Mandiri Semanggi), hotel(Amanjiwo, Hyatt Yogyakarta),

dan museum (Persada Sukarno ), dsb. Penggunaan adaptasi desain yang berasal dari

bangunan sakral H i ndu-Buda (mem) juga dilakukan oleh arsitek Sujudi dalam bangunan

Kedutaan Besar RI eli Malaysia. Representasi yang berasal dari konteks tempat juga

menginspirasikan Baskoro Tedjo pada tahun 2000an dalam desain Persada Sukarno eli

Blitar, khususnya yang berkaitan dengan arsitektur candi. Desain Persada Sukarno

mengadaptasi desain bangunan candi induk Penataran d i Blitar.

4.23. Candi dan Gedung Mandiri

Penggunaan adaptasi desain yang berasal drui bangunan sakral Hindu-Budha

juga dilakukan oleh Sujudi dalam bangunan Kedutaan Besar Rl di Malaysia, meskipun

tidak secara langsung. Bangunan ini mengadaptasi unsur arsitektur meru. Meru

merupakan jenis atap yang umumnya digunakan untuk komponen bangunan suatu

kompleks Pura di Indonesia. Bentuk Meru sering di scbut pula scbagai bentuk atap yang

bersusun-susun atau tumpang. Kata Mcm mengacu pada istilah ' Sumeru', sebutan bagi

gunung suci dalam tradisi Hinduisme dan Budhisme. Sumeru merupakan istilah yang

digunakan untuk simbolisasi gunung tempat para dewa bersemayam. Namun secara

harfiah, Sumeru dapat disebut sebagai 'Mahameru' gunung yang terbentang eli daerah

India Utara dan Nepal. Di Jawa Sumeru sering diindikasikan sebagai Semeru, gunung

tertinggi di Pulau Jawa. Atap meru diperkirakan mulai dikenal di Indonesia khususnya

eli Jawa pada abad 1 1 M, dan kemudian dibawa ke Bali oleh mpu Kuturan.

79
G b 4.24. Adaptasi Meru

Berdasarkan penehtian di lapangan, bentuk atap candi mulai pada abad ke I J di


Jawa d iperkirakan terbagi menjadi dua yaitu berbcntuk prisma scgitiga monolit pejal
berpuncak kubus dengan komponen berukir (batu/bata) dan berbentuk meru
tumpang/bersusun (ijuk). Jika beratap monolit pejal maka tubuh penyangganya terbual
dari batulbata, sedangkan jika atapnya'meru' maka tubuh penyangganya dapat terbuat
dari batulbata atupun kayu berikut umpaknya. Kedua jenis atap ini sama-sama
menunjukkan adanya jenjang tingkatan. Bentukan atap ini sangat khas dan berbeda
sekali dengan candi-candi peninggalan Mataram Kuno.
Bentuk candi yang dihasilkan pada masa ini mempunyai ' style dasar' yang dapat
berlaku untuk sernua desain candi baik yang bersifat Hindu ataupun Budha. Hal tersebut
sangat mungkin terjadi akibat adanya sinkrititasi antara Siwa - Budha tersebut. Filosoll
atap meru pada candi-candi tersebut tidak berbeda dengan atap batu pada candi lainnya
yaitu melambangkan Swahloka atau dunia atas atau alarn para dewa. Tingkatan meru
pada candi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tingkatan langit ataupun tingkatan
surgaw1, baik dalam konteks Hinduisrne ataupun Budhisme . . Candi Jajaghu (Candi
Jago) di desa Turnpang Malang tempal pemuliaan Raja Wisnuwardahana sebagai
Budha, menggunakan atap yang berbentuk ' meru'/ tumpang. Candi pemuliaan yang
bersifat Budha lainnya yang diduga juga menggunakan atap meru atap susun adalah
Candi Bayalangu, di Tulungagung Jawa Timur tempat pernuli aan Dewi Gayatri
permaisuri raja Majapahit. Candi-candi yang bersifat Hindu dan diduga beratap meru
antara lain adalah Surowono dan Tegowangi di Pare, Wonorejo di Madiun,
Gambarwetan dan Kates di Bhtar, Mirigambar di Tulungagung, Kedhaton di
Probolinggo, dsb. Candi-candi tersebut ditemukan hanya tinggal bagian kaki ataupun

80
hanya sampai badannya, dimana komponcn atapnya telah musnah. Di dinding cancli
Jaj aghu dipahatkan pula garnbaran kompleks bangunan sakral yang mempunyai
komponen meru yang mirip dengan garnbaran kornposisi kompleks bangunan suci yang
kita kenai sebagai Punl. Bentuk rneru pada pura rnenonjolkan keindahan atap
bertingkat-tingkat yang berjumlah ganj i l 3, 5, 7, 9 dan I I. Tingkatan atap rnenunjukkan
derajat kesakralan, semakin banyak tingkatannya bcrarti kedudukannya semakin
tinggi/sakraL Meru terdiri dari tiga komponen yaitu atap, ruang pernujaan, dan
bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat pemujaan utarna bagi Tuhan, Dewa, dan
nenek moyang.

Gb 4.25. Cnndi-candi bcratap mcru

Penggunaan unsur Meru pada bangunan KBRI ini menunjukkan adanya usaha­
usaha untuk mengangkat nilai kelokalan yang bersumber pada arsitektur Indonesia.
Meru yang banyak diternukan di Bali digunakan sebagai acuan dalarn rnenampilkan
karakter Indonesia ke Internasional, rnelalui perwujudan meru (atap candi) yang
ditransformasikan ke dalam bangunan modern. Unsur kelokalan lain yang
direpresentasikan oleh meru adalah unsur ketropisannya, yakni adanya teritisan. Sujudi
adalah salah seorang arsitek yang mengembangkan unsur kekontektualitasan terhadap
iklim namun juga menampilkan sifat kemodernan (visioner). Prinsip kemodeman yang
dimunculkan dalam desain ini adalah penggunaan beton dalam teritis-teritisnya.
Karakter umum yang dikembangkan Sujudi dalam desain-desainnya adalah
penggunaan unsur-unsur garis-garis horisontal berupa listplank --listplank beton (tropis)
sebagai sirip yang menimbulkan efek light mul shadow. Karakter yang lainnya adalah
ekspresi volumentrik dan anti ornamentasi. Bangunan biasanya bersifat polos, putih
dan licin. Sujudi banyak menggunakan bentuk - bentuk geometris untuk dikembangkan

81
melalui kckreativitasannya Bahan beton yang berkarakter berat dan kaku dapat digubah
menjadi terkesan ringan. Mem menampilkan garis-garis teritis horisontal, sehingga
sangat sesuai dengan karaktcr desainnya yang rnemang menonjolkan adanya ekspresi
horisontalisme (pengamh arsitektur modern di Barat-Streamline, perjalanan ke
Skandinavia, dsb ), sementara yang memk>dakannya adalah kepolosan dan kedinarnisan­
asimetri dalam pengolahannya.

Seperti halnya percandian yang menampilkan kesan volumetrik dan monumental,


karya Sujudi juga menampilkan kesan demikian. Elemen rumit dalam arsitektur meru
digubab (distilasi) menjadi bentuk yang sederhana sebagai wujud simbolisasi
kemodernan. Sujudi dikenal sebagai sosok yang memperkenalkan arsitektur modern
yang konstekstual d engan Indonesia. Karya Sujudi KBRl Malaysia ini kemungkinan
besar menginspirasikan karya desain berikutnya seperti Wisma Dharmala (Paul Rudolp)
di Jakarta, kantor Pemda kawasan Sirnpang Lima Semarang. Dua bangunan ini
mempunya1 tipe pengolahan yang sama (teritis segitiga beton horisontal), yang
membedakanya misalnya denah bangunan Wisma D harmala d idesain secara
superimpose yang diputar. Namun demikian dapat diketahui bahwa peng.[,>tmaan nilai­
nilai lokal yang berasal dari percandian telah digunakan untuk bangunan modern.

Gb 4.27. Perbandingan
KBRJ, Gedung
Gubernuran Jawa
Tengah, dan Dharmafa

82
Dcsain bangunan modern yang mcnadaptasi arsitektur candi dapat dilihat pada
bcberapa fimgsi kantor, hotel, dsb. Fcnorncrna dc-sakralisasi arsitcktur candi muncul
seperti halnya pada rnasa lalu. · candi' sebagai bangunan sakral di adaptasikan rnenjadi
bangunan non sakraL Dalarn hal ini terjadi penggubahan pemahaman candi menjadi
suatu gaya arsitektur, seperti halnya gaya arsitektur klasik yang disadur berdasarkan
kuil-kuil Yunani. Hyatt Regency Yogyakarta rncnampilkan desain yang rnencerrninkan
sosok candi Borobudur. Dalam konteks ini Borobudur tidak sekedar diposisikan sebagai
bangunan suci tetapi dianggap sebagai reference yang bcrakar pada 'focal histm·ica!

prototypes '. Mernaknai Borobudur tidak sempit hanya sebagai bangunan suci tetapi
dapat bcrlapis, scpert.i simbolisasi dari 'place' yang mempunyai 'spirit' genius loci.

Gb 4.28. Grand Hyatt Yogyakarta

83
Denah Hotel ini berbentuk crucil(Jrm sepcrti dcnah pada candi Borobudur
namun lebih disederhanakan Aksis Hyatt Regency berjumlah empat yang
direpresentasikan dcngan jalur entcrancc dari empat penjuru mata angin. Aksi s ini
terlihat dengan jelas karena pada aksis ini terdapat tangga dari teras yang bawah menuj u
teras paling atas Denah curciform Hyatt Regency Y ogyakarta disusun bertingkat
sebanyak 7 lantai mengikuti sosok candi borobudur yang mempunyai 7 tingkatan: 3
tingkat teras utama stupa dan 4 tingkat teras galeri. Hyatt Regency Yogyakarta
mengadaptasi bentuk vajradhatu mandala candi Borobudur berupa bcntuk cruciform.
Nuansa candi ditampilkan pada pengolahan i nterior dan eksterior yang didominasi
clemen garis-garis dan elemen-elcmcn geometrik. !'ada desain ini juga digunakan
beberapa ornamentasi candi Borobudur scpcrti pintu gerbang, kepala kala, makara.
Nuansa ekspresi bahan percandian tctap dijaga dengan padanya penggunaan material
bahan batu candi/batu alam dan pcnggunaan warna batu, abu-abu. Namun dernikian
desain ini adalah merupakan adaptasi inovatif terhadap candi Borobudur untuk fungsi
modern.
Contoh lain adaptasi lain dari candi Borobudur adalah pada Hotel Amanjiwo
(Hotel Butik berkelas utama-eksklusif-khusus). Amanjiwo berasal dari bahasa
Sanskcrta, artinya berarti jiwa yang damai. Scsuai dengan narnanya kedamaian bagi
tamu yang menginap merupakan hal utama yang diberikan oleh hotel Amanjiwo.
Penataan visual (tata m assa, pencahayaan, dsb) menimbulkan aura religius Pengaruh
dari ilmu kebatinan kehidupan Jawa berusaha ditampilkan disana dengan keheningan.
Sesuatu yang tidak tampak, tersernbunyi rapat tetapi mampu mempesonakan. Sosok
yang ditransforrnasikan adalah tingkatan Ampadatu (paling sakral) pada candi
Borobudur, yang terdiri dari stupa besar Induk, stupa-stupa kecil yang rnengeli linginya,
dan selasar pradaksina patha. Stupa lnduk ditransformasikan ke dalam bentuk fungsi
lobby-lounge-restaurant, stupa-stupa kecil ditransforrnasikan ke dalam bentuk cottage.
Potensi view yang mengarah pada candi Borobudur dimanfaatkan dalam desain i n i
dengan menernpatkan bukaan ke arab sana. Candi Borobutdur dirnanfaatkan sebagai
potensi view yang dapat dilihat selama 24 jam dari Hotel ini dari k ejauhan. Hotel 1111

dapat dianggap sebagai sarana merefleksikan citra keagungan desain Borobudur.


Seperti halnya fenomena di atas desakralisasi muncul dalam desain Hotel m1

khususnya pada konteks religi (tataran Arupadatu-terti nggi menjadi tataran fungsi
profan), namun pernahamannya tidak selalu demikian dalarn konteks yang lain.
Borobudur rnempakan simbol dari kedudukan keutamaan (kesakralan dapat pula

84
ditafsirkan sebagai utama/pcnting) demikian pula dcngan posisi Amanjiwo dalam

konteks yang lain. Borobudur dapat dianggap rcprescntasi dari n i l ai-nilai kontckstualitas

d i mana bangunan itu bcrada. Hotel Amanjiwo ini terlctak jauh dari kota, terscmbunyi

dari keramaian. Sehingga hotel Amanjiwo sangat sunyi identik seperti halnya fu ngsi

candi Borobudur iru scndiri. l'engunjung yang datang kc Amanjiwo tidak disediakan

fas i l itas televisi pada kamarnya, karena ingin menjaga karakatcrnya scbagai hotel yang

berkonsep kembali kc a l am, jauh dari keramaian kota, jauh dari kegiatan, santai dan

damai, serta !erasing dari kehidupan layaknya orang yang sedang bersemedi, suatu ritual

yang dilakukan pada candi-candi. Antara Amanjiwo dan area sawah penduduk dan

l ingkungan desa hanya dibatasi olch sungai Sileng scbagai pembatas alami, tanpa harus

dilindungi secara f1sik bangunan terhadap lingkungannya. Amanjiwo tetap terlihat

anggun dan elegan sebagai ternpat peristirahatan yang eksklusif Ornamen-ornamen

arsitektur candi yang terdapat pada Borobudur terlihat jelas digunakan dalarn

pengolahan eksterior dan interior Hotel ini.

Gb 4.29. Aman j iwo

85
Rcpresentasi yang berasal dari konteks tempat juga menginspirasikan Baskoro
Tedjo pada tahun 2000an dalam desain Persada Sukarno di B litar, khususnya yang
berkaitan dcngan arsitektur candi. Desain Pcrsada Sukarno mcngadaptasi desain
bangunan candi induk Penataran di B litar. Candi penataran dianggap merupakan
representasi dari Kota Blitar, mcskipun yang d iadaptasi dalam desain persada Sukarno
hanya bagian kaki yang tcrsisa dari candi induknya. Candi pcnataran dianggap sebagai
aset budaya penting yang dimiliki oleh kota Blitar, di samping makam presiden
Sukarno. Candi ini merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur dan
merupakan peninggalan · · dari masa Mpu Sindok sampai Majapahit. Candi Ill !

menggunakan atap jenis meru (telah hancur) dan susunan tata ruangnya identik dengan
pura-pura di Bali.

G b 4.30. Kaki candi Induk Penataran dan Persada Sukamo

Selain itu beberapa karya yang merujuk pada percandian j uga dapat dilihat pada

karya AT6 yakni gedung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang biasanya dikenal
dengan gedung Sapta-Pesona pada masa Orde Baru. Gedung ini didesain dengan
pendekatan konsep yang merujuk pada konsep gerbang candi Bentar khas candi-candi
Nus,mtara yang digab ungk an dengan konsep masa kini yakni Satelit di mahkotanya.

86
Pengolahan fiJSad tengahnya mcnggambarkan adanya unsur barong/kala seperti halnya

hiasan di dalam candi-candi. Penggunaan konsep kla�ik ini sangat sesuai dengan fungsi

gedung ini sebagai 'gerbang' Pariwisata di Indonesia.

Gb 4.30. gerbang Bentar dan Gedung Budpar.

!'ada saat ini wujud arsitektur yang berkembang eli Indonesia menjadi lebih

bervarias i seiring dengan semakin cepatnya teknologi informasi dan kuatnya arus

gloibalisasi. Tidak menutup kemungkinan arsitek mencari sumber ruJukan dari berbagai

sumber di tempat lain dengan mudah dan cepat, sehingga menimbulkan permasalahan

terhadap wujud bangunan yang dihasilkan. Pada beberapa desainya terkesan sekedar meniru

bentuk-bentuk dari luar. Fenomena ini secara signifikan dapat membuat wajah arsitekturnya

menjadi tidak mempunyai karakter, tidak ada bedanya dengan tempat lainnya. Oleh karena

itu studi ini berupaya untuk menggali pemahaman kembali tentang konsep kemodernan

namun tetap kontekstualitas terhadap unsur kelokalan, m isalnya seperti yang pemal1

dicontohkan pada masa lalu.

Selain dalam wujud bangunan, rerprcsentasi candi juga dipandang berpcngaruh

pada tatanan spasial kawasan. Pola perletakan candi d iperkirakan idcntik pula dengan

pol a tat<man I ingkungan urbanitasnya khususnya di pusat/inti kerajaan yang

menggunakan mandala sebagai acuannya. Namun demikian seperti halnya candi, pola­

pola yang berlandaskan pada masa pra-1-lindu-Buda juga ikut mcwarnai tatanan fisik

spasialnya, seperti unsur linieritas -- aksis sumbu-sumbu tinier yang mengacu pada

elemen fisik alam/unsur topos-nya-konsep gunung-laut.

Pola susunan candi maupun l ingkungannya tersebut mcnjadi suatu pola yang khas

yakni menggabungkan antara mandala-gridiron yang konsentris dan l i n i eritas. Nilai­

nilai dualitas secara umum dapat difahami scbagai konsep-konsep yang mendasari

budaya/trad isi Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Pigeaud ( 1 948) dan Gunawan

87
Tjahjono ( 1 990). Pol a tat a spasial i n i kemudian di pcrkirakan diwariskan pad a kota- kota

klasik pasca H i ndu-Buda di Jawa. Berdasarkan uraian d i alas d i k etahui bahwa potensi

arsitcktur candi tclah d iupayakan untuk diadaptasikan pada masa pasca H i ndu-Buda

melalui kreativitas yang inovatif

Roma

Gb. 4.3 1 . Memindahkan dari luar ( Kiri) ke dalam ( Kanan)

88
BAB S
KES J M PlJ LAN

Mclalui uraian d i atas dapat diketahui bahwa potensi yang berasal dari arsitektur

candi (arsitektur sakral Hindu-Budha) telah diupayakan untuk diadaptasikan pada masa

pasca H i ndu-Budha. Mesk1pun d1 Jawa istilah postmodemisme tidak dikenal, namun

indikasi yang mengarah pada semangat ke arah hal ini telah ada. 'Candi' merupakan

wujud peninggalan rnasa lampau yang masih dapal dilihat sampai sekarang, sehingga

di harapkan dapat menjadi jembatan untuk memahaminya. Candi dapat dipahami sebagai

sebuah 'Place ' atau mempunyai nilai 'place' yang mereperesentasikan arsitektur

purbakala masa lampau dan dianggap telah menjadi collective memory secara unsel( ­
conscious/ alamiah pada masa pasca Hindu-Budha. Candi dianggap mcrupakan salah

satu basil dari local genius-nya Nusantara dan dapat merupakan reference yang berakar

pada 'local historical prototypes '. Melalui historic precedent dapat dikaj i peranannya

dalam membentuk ' karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an.

Kebudayaan Hindu-Buda yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saJ a.

Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia telah rnemiliki dasar-dasar kebudayaan yang

cukup kuat, sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah

perbendaharaan kebudayaan Indonesia. Bangunan candi merupakan representasi wujud

akulturasi (sinkritisme), berupa usaha-usaha penggubahan yang kreatif yang mel ibatkan

unsur kelokalan di dalamnya. Hal ini menunj ukkan bahwa candi merupakan local
historical prototype.
Desain Arsitektur candi menunjukkan adanya konsep yang dinamis-adaptit;

VJSJoner (kebaruan-modern), sinkritisme (akomodatif), dualitas, pro-historis­

regionalisme, seperti pendckatan yang dikembangkan dalam posrnodcrnis 1 000 tahun

kemudian yakni double-coding, plurarist, semiotic form-articulation, hybrid expression,


complexcity, eclectic, pro organic (dinamic), pro-metaphor, pro historical reference,
pro-.1ymbolic. Di sana terjadi 'dialog' seperti antara yang lama dengan yang baru, yang

lokal dengan pcngaruh luar, dsb. Pengadaptasiannya eli masa kini dapat melalui strategi

yang diungkapkan Antoniades yakni tradisional, borrowing, dan decontruction.


Wujudnya dapat berupa transfer ornamental atau sosok secara langsung maupun tidak

langsung (melalui pcndckomposisian). Contoh tramifer secara langsung misalnya

pemindahan kala-makara, pemindahan wujud 3D, sedangkan yang tidak l angsung

rn i salnya pendekonstuksian elemen garis-gelap terang, elemen geometrik, dsb.

89
Desain candi yang eli-transfer ke dalam wujud lainnya dikuatirkan menimbukan

efek historisism bagi arsiteknya. Historisism dalam arsitektur cenderung akan

menimbulkan eklektiki sme, meskipun dalam pandangan postmodern hal tersebut bukan

sesuatu yang anomali dan bahkan ' sengaja' dikembangkan. Pemahaman tentang

pengambilan desain masa lalu ke dalam masa kini memang dapat menjadi ' naif atau

lucu (parodi) karcna kemudian dapat menjadi de-sakralisasi, namun hal ini hams dilihat

dahuku tendesi dan Jatar bclakangnnya. Semiotika (dalam postmodern) memungkinkan

adanya makna berlapis (multi-layer) atau yang tersurat dan tersirat /konotatif denotatif
dalam memahami sebuah tanda, khususnya apabila dikaitkan dengan tradisi Jawa

misalnya dalam menafsirkan (melalui hermeneutik) candrasengkala. Simbol pcndirian

Kraton Jogyakarta ditandai dengan simbol dua naga yang saling membelit bersatu

dengan sebutan Dwinogorosotunggal, simbolisasi lapis satu dapat berupa tahun

pendirian Keraton (Dwi = 2, Nogo ='8, Roso = 6, Tunggal = I; 1 682 jawa atau 1 756 M),

simbolisasi lapis dua berupa simbolisasi manunggalnya perjuangan lahir dan batin,

simbolisasi lapis ketiga tidak lain adalah Sultan HB I sendiri sebagai pendiri

Kesultanan, dan lapis-lapis berikutnya.

Pemahaman adaptasi dengan mengambil bentuk percandian kiranya dapat

dianalogikan sama, misalnya dalam pengadaptasian arsitektur Borobudur pada

arsitektur modern. Makna lapis satu dapat dipahami adalah mendukung kepentingan

pariwisata-devisa (makna yang paling dangkal-naif), lapis dua Borobudur scbagai

simbol representasi Yogyakarta (karena Borobudur hanya ada di Yogyakarta), lapis

ketiga Borobudur sebagai simbol representasi dari Indonesia (karena di negara lain

tidak mempunyai Borobudur), lapis keempat Borobudur sebagai simbol representasi

arsitektur lokal yang khas (Identitas-Karakter) Indonesia (kontekstual dengan tempat),

lapis lima Borobudur sebagai representasi arketipe dari genius loci yang mengakar

pada kontcks lokal, lapis enam Borobudur scbagai reprcsentasi dari keunggulan

kreativitas nenek moyang bangsa Indonesia (lokal genius) yang dapat mendorong

munculnya semangat nasionalisme, dan scterusnya (lapis-lapis berikutnya). Adaptasi

Borobudur dalam arsitektur modern sebenamya tidak sekedar dapat difahami secara

'dangkal' (tuntutan ekonomi-komoditi pariwisata) sebagaimana halnya yang dikuatirkan

oleh historisism, melainkan dapat disesuaikan dan di-dialog-kan dengan tujuan-tujuan

lain yang lebih mendalam.Menurut Jung arketipe adalah citra leluhur yang terdapat

dalam alam bawah sadar kolektif manusia, sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret

antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, roh dan materi.

90
Representasi yang bersumber pada tradisi rnasa larnpau dan kelokalan dalam

'alam' post-modern menjadi salah satu mjukan dalam membangkitkan identitas.

ldentitas tidak bisa diciptakan secara mendadak (instant), tetapi melalui tahapan­

tahapan tertentu yang beraturan dan berulang-ulang. Sehingga identitas pada hakekatnya

merupakan j ej ak peradaban yang ditarnpilkan sepanjang sejarah. Schulz mengemukakan

pentingnya pemahaman tentang spirit of the place (genius loci) khususnya dalam

membangun identitas.

.
"..
,__,. ,. -.- .- '-' .._.,.__ .,.. . ..

(" , ..
- ' . .

Gb 5 . 1 J>engadaptasian Karakter arsitektur kuno Cina pad a bangunan Modern di Cina

Pengadaptasian arsitektur candi pada jaman Islam adalah mengarah pada adanya

semangat pelestarian/penga�o,>1mgan yang ' m emusakakan' budaya masa lalu dan strategi

penyebaran agama. 'Islam' mendayagunakan apa yang telah ada dan melakukan

penggubahan pemaknaannya secara evolutif menjadi lcbih Islami (rneskipun eli

kemudian terdapat aliran-aliran Islam yang mcngarah pada radikalismc yang menolak

cara-cara yang dilakukan oleh para sufi terscbut). Pada masa Kolonial pengadaptasian

91
arsitektur candi mcngarah pada semangat pcncanan idcntitas /karakter yang khas
Indonesia dan program misionaris. Candi dianggap scbagai salah satu seni arsitcktur
yang dapat merepresentasikan keunggulan nilai-nilai yang berasal dari kelokalan,
meskipun beberapa arsitck Belanda masih memandang bahwa candi-candi di Jawa
masih ' kental' dengan kebudayaan India. Model stratcgi pcngadaptasian yang dilakukan
pada masa kolonial dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pada masa Post
kolonial pengadaptasian arsitektur yang mengacu pada pcrcandian mengarah pada
penekanan semangat nasionalisme (kebanggaan), wacana pencarian jatidiri yang
kontckstual dcngan Indonesia, dan pcnghargaan tcrhadap pcninggalan warisan masa lalu
(semangat pelcstarian). Di samping kctiga hal tcrsebut tujuan lainnya yang sedang
menggejala adalah kepentingan kcpariwisataan (ekonomi-devisa) Hubungan dengan
masa lalu adalah keharusan bagi munculnya tradisi yang baru dan penuh kepercayaan
diri (keoptimisan). Berdasarkan pembahasan di atas maka nyatalah bahwa arsitektur
candi merupakan unsur terpenting dalam perkembangan arsitektur di Indonesia.

Gb 5.2. Transformasi

Pengunaan representasi candi sebagai sumbcr inspirasi merupakan hasil dari


kreativitas arsitektur baru namun tidak meninggalkan masa laJu. Di masa kini dinamika
perubahan tidak mungkin terhindarkan. Van Peursen ( 1 988) melihat kreativitas sebagai
faktor yang amat penting dalam perubahan sosial budaya. Dengan adanya kreativitas,
muncul sesuatu yang baru. Kreativitas ini selalu memikirkan kembali suatu situasi dari
dalam, lalu menemukan suatu pandangan baru. Secara tidak terduga rintangan lama
telah didobrak. Manfaat kreativitas yang konstruktif misalnya memungkinkan individu
atau masyarakat untuk memberikan tanggapan yang memadai terhadap situasi-situasi
baru dan tantangan-tantangan l ama, khususnya dalam menghadapi globalisasi saat kini.

92
Kepustakaan
I. Abramson, H. ( 1 980). Assimilation and pluralism. In S. Thernstrom (Ed.), Harvard en(yc/opedia of
American ethnic groups (pp. 1 50-1 60). Cambridge, MA: Harvard University Press.
2_ Acharya, Prasanna K, ( 1 979), Hindu Architecture in India and A broad. New Delhi : Oriental Books
J{cprint Corporation.
3. Akihary, Huib ( 1 990), Architectuur & Stedehouw in lndones.ie, Zutphcn., De Walburg Pers Zutphcn
4. Antoniades, Anthony C . ( 1 992), Poetics OfArchitecture, Theory OJDesign, New York, Van Nostrand
Reinhold.
5. Atmadi, Pannono ( 1 994), ._)orne Architectural Design Principles of Temples in Java, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Prt-'-SS.
6. /\ricl l-Icryanto ( 1994), Postmodernisme: Yang Aftma?". Jtnnal Kalam� 1 ( 1 ).
7. Azimipour & Jones, (2003) Akulturasi - Artikcl
8. AyatrohacJi, cd ( 1 986), Kepribadian Budaya Ba11gsa (Local Genius), Jakarta, Pus!ab .Jay·a
9. Bakker, J . W.M ( 1 984), Filwifat Kebudaya<m sebuah pengantar, Y ogyakarta, Kanisius.
l 0. l-3ertcns, I L ( 1 995), The Idea of the Postmoden1: A History, Routledge, London
I I . Budiman, Kris ( 1 9 99) Kosa Semiotika, LKiS, Y ogyakarta
1 2 . Brownell, P., ed.(2008) Handbook for 77reory, Research, curd Practice in Gestalt 1'lrerapy, Newcastle
upon Tyne, UK: Cambridge Scholars Publi shing
1 3 . Cardoso S.L ( 1966), Seni India, Seri Monografi 1, Kursus B 1 Tertulis Scdjarah , Bukittinggi
1 4. Curtis, William ( 1 985), Regiona/is,.-I in A rchitecture, Concept Media, Singapore
1 5 . Dumarcay, J. ( 1 985), La Clwrpenterie des mosquees Javanaises, Archipc1 30, Paris.
1 6. Dumarcay, Jacques & Michael Smithies (translate) ( 1 9 9 1 ), The Temples ofJava, Singapore, Oxford
University Press.
1 7 . Featherstone, Mike-. ( 1 988) ln Pursuit of the Postmodern: An lntrorhJction. Theory, Culture and
Society.
1 8. Fontein, Jan & Soekmono R, Edi Setyawati ( 1 990), The 5ku/pture ofIndonesia, Washington, USA,
National Gallery of Art
! 9. Frampton , K . , Foster, J-1, Editor ( 1 983) Place-Form tmd Cultural Identity ji-om The !Inti-Aesthetic:
Essays on Postrnoden1 Culture ",
20 Frank, Karen A, etc editor ( 1 994) Ordering Space, Types in Architecture and Design, New York, Van
Nocstrand Reinhold
2 J . (Jalcntcr, Mark ( 1 995), ,)'mace oJA rchitectura/ Form, Great Britain
22. Gicdion, S. ( 1 956), ...)pace, Time and Architecture, Libr'dl)' of Congres Catalog, USA.
23. Groslier, Bemard Philippe (2002), Jndocina : Persilangan Kebudayaan, Jakarta, KPG (Kcpustakaan
Populcr Gnuncdia)
24 I Jail, S. ( 1 997) Representation: Cultural Representations and Signifying Practices
25. Ikhwanuddin (2005), Nlenggali Pemikiran Posmodemise dalmn Arsilektur, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press
26. Jencks, Charles. (1 984), The Language ofPost-A1odern Architecwre, Fourth Edition, USA, l�jzzoli
27. Jencks, Charles ( l 969),.)erniology and Architecture USA? Rizzoli
28. Jung, C. Gustav ( 1 987) Menjadi Diri Se1uiiri, (I'crjcmahan dari judul asli: .ll ion. Researches into the
Phenomenology of the Self), Gramcdia, Jakarta.
29. Kultcrmann, Suwondo, Jan PieJX!f ( 1 984) Peranan Jdentitas Kebudayaan dalam Arsitektur" Tempo,
Edisi. 30/XIV/22 - 28 September 1 984
30. Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) lntemasional Simposium : Jclajah Arsitektur Nusantara, /1 S'tudy
on Indonesian Temple 'C"'andi 'Aesthetic.
3 1 . Kusno, Abidin (2000) Behilul the Postcolonial, Architecture, Urban 5"'pace and Political Cultures in
Indonesia, Routledge, London.
32. Lesnikowski, Wojciech G. ( 1 982), Rationalism and Romanticism In A rchitecture, USA, McGraw-1-Iill,
Inc.
3 3 . Leupcn, Ilemard, etc ( 1 9 97) Design andAnalysis, New York, Van Nocstrand Reinhold
3 4 . Lombard, Denys ( 1 996), NusaJawa : ::.liang Budaya Vo/ 1,2,3, Jakarta, Pt Gramcdia Puslaka \Jtama.
3 5 . Mocno, Raphael ( 1 986), On Typo/ogi, dalam Paul Vcrmuclcn., Leuven !3elgia

lV
36. Norbcrg-Schulz, Christian ( 1 978), Genius l-Oci ToHYITrb A Phenomenology q(Architecture, New Y or k ,
1\iz;.oli lutcinational Publications, Inc:
37 Nurarini (2000), http :1/kunci_or. id/csai/nws/04/rcprt.�scntasi .him
38 Pangarsa, Galih W ( 2006), Aderafz }Jutih Arsitektur Nusantara� Yogyakalia, i\nd1.
39. Pcursen, Van, C. A. ( 1 988), Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, Pt.-n erhi t Kanisius
40. Piliang, Yasraf Amir (2004), llipersemiotika, Tafasir Cultural S'/u(/ies Alas !vfatinya !viakna,
Yogyakarta, Jalasutra
41 Prajudi, Rahadhian, H, (1 999), Kajian Tipo-Morfologi Arsitekntr Candi di Jawa, Thesis, 1\rsitcktur
Institute Teknologi B<m dtm g,, Bandung
42. Prijotomo, Josef ( I 988), Pasang S'untt Arsitektur Indonesia, Surabaya, Wastu J,anas Grafika.
41 Prijotomo, Josef (2008), Arsitektur Nusantara : Arsilektur Pertedu}um dan Arsitektur 'Uyan ', Pidato
Pcngukuhan untuk Jabatan Guru Bcsar dalam Bi(hm g Ilmu/Mat.a Kuliah Teori dan Mct(x1e Ranc<mgtm
pada Fakultas Teknik Sipil dan Pcrcncanaan Institut Tckn ologi Scpulnh Nopcrnbcr, Surabaya
'14. Punva sito, AIHh· ik (2002), Jmajeri Indio .- S'tudi Tam/a dalam Wacmw, Surakarta, YayasaJl Pustaka
C-:tknt
45 Rahardjo, Supra! ikno (2002), Feradohan .Jawa : Dinamika pranata politik, agamo, dan ekonomijawa
kuno, Jakarta, Komtmitas Barnhu
46 R.arx)port, Amos ( 1 978), Ilouse Fonn and Culture, Mil waukee, University of Wisconsin
4 7. Roesmanto, Totok (2007), Pemr.ol.ftmtan Potensi Lokal dallun Arsitektur Indonesia, Pidato JK'ngukuhan
Guru Bcsar Arsitcktur, Semarang, Universitas Diponcgoro
48. 1\ossi, J\ldo ( 1 982) The Architecture ofthe City, The MIT Press, Cambridge
49. Sarnuel, Levin ( 1 977), The ,Wmantic Metaphor, The John Hopkins University Press
1 0 Santiko, Hariani ( 1 99 5 ), ..)eni Bangunan ,)'akral A-fasa J-lindu-13uda di indonesia Analisis Arsitektu r
dan A1akna Simbolik, Piclato Pc·ngu.kuhan G-uru Be.sa r Madya Tetap JJ<ida Faknlt<Js Saslra Universitas
Indonesia, Dqx)k
5 I . Sal iya, Y( 1 986), Notes on Architectural Jdentity in Cultural Context, in Mimar publ ication.
52. Sockiman, Djoko (2000), Kebudayaan Jndis, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya.
5.1. Soegiyono, dkk (2007), Metodologi Penelitian Kualitati!fKuantitatifdlm R&D Bnmhmg, All�1bcta.
511 Sukada, Budi, ( 1 989), Memahami Ifrsitektur Tradisional dengan pendekatan Tipolof!,i, dalam Eko
l3udiarjo, Mcrnahami Jatidiri Arsitektm· Indonesia, Bandtmg, Alumni
55. Surnalyo, Yul ianto ( 1 993), Arsitektur Kolonial di Jndonesia� Yogyakar-ta, Gadjah Mada UnivLl"Sity
Press
56 Sumintarja, Jaubari ( 19(>6), Kompendiwn iY.!jorah A rsitektur, Bandung, Lcmbaga Fenyclidikan
Masalah Bangunan J bndung.
57 lanudjapr, F. Christian J Sinar ( I 992), Arsitektur Mrxlem : Tradi.•i 71·<kii.H dan J]lir<m A/iran Serta
Permum Politik Politik, Yogyakarta, PCI1erbitan Universitas 1\tma Jaya
58. Tjahjono, Gmwwan, editor ( 1 998), Indonesian lleritage - A rchitecture, Singapore, Editions Didier
Millct
59. Tuan, Yi Fu ( 1 989), .)'pace (md Place, 71w perspective ofexperience, Minnepolis
60 Van de Yen, Cornel is ( 1 9 9 1 ) , R.uang dalam A rsitektur � Jakarta, PT. Gr<m1Cdia Pustaka Utama
6 1 . Volwahscn, Andreas ( 1 969), Living A rchitec/ure : India, New York, Grosset & Dunlap
62. Ycang, Ken, ( 1 987) Tropical Urban Regionalism : Building in a South-Fast Asian
City", S i ng apore, Concept Media.

Rujukan Disertasi
1. i\tmadi, Pannono ( 1 979), ,)�orne Architectural Design Principles of Temples in Java, Doctoral
Dissertation, Gadjah Mada University.
2. Kusno, Abidin (2000) Behind the Postcolonial, Architecture, Urb(lJ1 5'pace and Political ('ultures in
Indonesia, Doctoral Dissertation, The History and Theory of Art and Arhitt.."Cturc Graduate Programme,
State University, New York . .
3. Soekmono R ( 1 974), C(mdi, FUngsi dan Pengertiannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia,
Jakarta.
4. Sudradjat� Iwan ( 1 99 1 ), A ,_)'tudy ofIndonesi(m Archilectural History, Cibcsis for Doctor of P h i losophy,
/Jcpartment of Archi tecture University of Sydney.

Anda mungkin juga menyukai