STUDlKASUS:
STUD I REPRESENT AS! DESAIN CANDI DALAM SOSOK
ARSITEKTUR MODERN D I JAWA
I'I�NYUSUN :
Rahadhian PH
Elfan Kedmon
Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, k arena berkat berkah dan
bimbingan-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini digunakan untuk menunjang
studi doktoral yang sedang ditempuh. Penelitian ini berisi pembahasan Penggalian Potensi
Desain Candi dan Aplikasinya dalam Dinamika Arsitektur Pasca Hindu-Budha di Jawa,
Membangun jati diri yang bersumbcr pada khas�mah budaya local, dengan studi kasus
Studi ini ditujukan untuk mcmahami d�m mengetahui sej auh mana wuj ud representasi
unsur arsitektur candi pada sosok bangunan pada masa modern di Jawa berikut faktor-faktor
yang mendasari dan melatarbelanginya,. Hal ini bergun a bagi pembelaj aran, pemahaman, dan
pengaj aran keilrnuan arsitektur yang bersumber pada unsure kelolakan di Indonesia.
yang tersedia. Menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempuma, penyusun dengan
senang h ati menerima kritik dan saran. Penel itian ini merupakan titik awal untuk penelitian
Akhir kata, penyusun herharap peneliti�m ini dapat memberi sumbangan nyata b agi
pendidikim arsitektur di Unpar pada khususnya dan pendidikan arsitektur di Indonesia pada
umumnya.
Wassalam.
Hormat kami,
Penyusun
DAFTAR lSI
HAL
BABI.PENDAHULUAN
HAB 5. KESIMJ>ULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89
ii
ABSTRAK
iii
BAB I.
PENDAHULUAN
I. I. La tar Belakang :
kuat baik dalam tataran konscp maupun aplikasi praktis pada masa Islam, Kolonial, dan
berpotensi sebagai sumber inspirasi/referensi yang 'stabil' (diduga selaltr muncul pada
tiap masa) di Indonesia. Olch karena itu candi dapat dipandang scbagai salah satu local
cancli tidak sekedar difahami scbagai bangunan saja melainkan dapat mengandung nilai
Studi ini diharapkan dapat mcmbuka wawasan dan dapat digunakan untuk
mengkaji keragaman bcntuk dan prinsip desain arsitcktural candi Indonesia dan aplikasi
serta ref1eksinya untuk sosok bangunan modern. Pcmbahasan terhadap sosok mcnjadi
sebagai penangkap visual yang cepat untuk menggambarkan totalitas suatu wujud
arsitektur. Sosok mencakup unsur tiga dimensi berikut tampilan fasadcnya yang
arsitektur yang tidak berhubungan dengan konteks lokal dan sejarah Indonesia telah
haclir eli Nusantara, schingga wujudnya tcrasa terlepas dari 'place' dan 'collective
memory' nya Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mcmahami wujud perkembangan
HinduBudha. Hal ini scbagai usaha mcncari model adaptasi dalam desain arsitektur
Bagaimana wujud representasi desain arsitcktur candi di dalam sosok arsitektur masa
pasca Hindu-Budha di Jawa khususnya pada masa modern. Berdasarkan studi ini
tersebut, sehingga dapat mcnjadi masukan bagi pcngembangan desain yang berakar
2
1.3. Kcrangka Pcmikiran
Hinclu-Budha atau candi terscbut maka pcrlu dicari landasan korclasi kcduanya. Selain
itu cligunakan penclekatan kuantitatif clan kualitatif clengan objek-objek nyata untuk
wujucl aclaptasi dan transfrornasi yang digunakan . Dengan pedoman atau kaidah-kaidah
korelasinya.
ARSITEKTUR PADA
! Af�SITEK"l UH BANGUN AN MASA PASCA HINDU
CANDI Dl JAWA
BUDHA Dl JAWA
Desain
I 01-�S/IJN
SAKflAtdnn
Non SN<RAI
-�- ANALISIS
KOHELASI
li
)
lAl N'l BELAKANG
SEJARAJ-1
I ' KONSEP SOSOK- KONSEP SOSOK
y
- LATN-1 BElAKANC.i
L.ANDAMN TEOF-11 1 SPASIAL SPASIAL
•
•
• ·�-�
I
J
I
I
I ��- • • : • • • • • • • • • • • ' • • • • • • • • • • • • • • ' • •
KESIMPULAN
perkembangan arsitektur eli Jawa paela rnasa pasca Hindu-Buelha, khususnya eli dalarn
percandian untuk desain arsitektur masa kini dan rncndatang Hal ini sebagai usaha
mencari model adaptasi dalam arsitektur modern yang tetap rnencerrninkan kernajuan
,
_)
1.5. M:mfaat J>enelitian
Objck pcnelitian meliputi caneli eli Jawa yang signifikan dan bangunan pada masa
pasca llinelu Budha yang mengindikasikan adanya unsur percandian eli Jawa, seperti
bangunan pemerintahan, monumen, bangunan hunian-hotel, bangunan perkantoran,
bangunan pariwisata, museum, bangunan peribadatan, bangunan perdagangan dsb. Oleh
karena itu perlu kiranya kita ambil metode sampling sebagai pengumpulan data, untuk
dapat mengetahui gambaran peninggalan-peninggalan dengan variasi-variasinya secara
umum. Tetapi jika ditemukan hal-hal yang khusus atau istimewa maka metode studi
kasus elapat digunakan. Dalam penentuan objek dilakukan penelekatan ke arab purposive
sampling yakni <liawali dengan pengarnatan bangunan yang menunjukkan adanya
kemungkinan penggunaan reprcsentasi percanelian. Teknik penentuan sample yang
digunakan adalah berdasarkan atas pertimbangan tertentu dan representatif yang
kebanyakan pe11imbangannya dielasarkan atas pengarnatan wujud fisik bangunannya.
4
I.7. Metode Penelitian :
2. Studi litcratur dan obscrvasi tcntang arsitcktur Candi dan bangunan modern yang
I. Objek studi yang dipilih telah diseleksi sesuai dengan uji kelayakan bcrdasarkan
kelengkapan komponen bangunan.
2. Mengumpulkan data baik berupa gambar tampak, denah, perletakan dari objek
maupun foto-foto yang mendukung
J. Mcngndaknn pengukuran pada gambar tampak, denah, perletakan, dan foto
4. Mengkaji dan mcrnbandingkan literatur-litcratur yang berhubungan dengan teori
desain dan aspek-aspeknya bcrdasarkan kaidah yang ada, seperti Manasara, dsb
5. Mcncari hal-hal yang dianggap mempcngaruhi dan menentukan kaidah arsitektur
candi dan arsitcktur Islam di Jawa
6. Melakukan eksperimentasi, interpretasi,analisis berdasarkan pertimbangan kaidah
kaidah tersebut untuk menemukan kaidah-kaidah adaptasi desain arsitektur candi
pada bangunan pada masa Islam.
7. Menarik kesimpulan untuk kemudian mencari kemungkinan -kemungkinan
pengembangannya pada saat kini serta membuat rekomendasi basil dari
penelitian.
5
I.7.2. Hatasan J>enelitian
Penekanan di dalam studi ini lebih pada wujud representasi candi-candi yang
dianggap mendominasi dan menjiwai sosok arsitcktur pada masa pasca Hindu Budha di
Jawa, khususnya untuk bangunan modern. Sosok merupakan wujud unsur tiga dimensi
bangunan termasuk pengolahan fasadenya Modern dapat dikaitkan dengan masa
Kolonial dan Pasca Kolonial. lstilah Pasca Kolonial dalam studi ini digunakan untuk
menggambarkan era/masa 'sesudah kolonial, bukan merujuk pada pengertian kritik
ideologi Pasca Kolonial dapat mempunyai konsekuensi pemahaman yang lebih luas,
misalnya ideologi/taham yang mengkritik keberadaan kolonialisme, seperti halnya
kritik postmodemisme terhadap modernisme.
Kasus bangunan modern ini dipilih karena diperkirakan terjadi indikasi paradoks
dengan konsep kemodernan itu sendiri, mengingat candi merupakan bangunan ibadat
Hindu-Budha pada masa kuno/klasik. Oleh karena itu perlu dicari fenomena
sustainabilitasnya pada masa yang berbeda tersebut dengan fungsi yang berbeda pula,
misalnya dalam masjid, gereja, kantor, dsb dsh Oleh karena itu aspek yang
melatarbelakangi seperti sejarah, politik, agama, tidak dapat saja diabaikan. Aspek
hentuk-sosok di!,>tmakan untuk menjelaskan fenomena transformasi yang terjadi dengan
Jatar belakang hudaya yang terjadi pada saat itu. Jadi dalam hal ini antara analisis
berdasarkan hentuk dan kesejarahan dapat herlaku secara timhal balik. Pcngkajian
terhadap aspek sosok berikut komponen juga dilakukan pada bangunan modern lainnya
di Jawa. Hal ini untuk mempermudah mencari fenomena korelasi antara candi dengan
jenis arsitektur tersebut.
f) Perizinan penelitian,
g) Menyiapkan perlengkapan penelitian,
6
h) Mcngadakan pcngarnatan dan pengarnbilan dokurnentasi dari bangunan yang
dijadikan objek, pengarnbilan data melalui f(Jto di Iokasi, sedangkan gambar pada
Dinas Purbakala,
i) Melengkapi Iiteratur dari yang berhubungan dcngan objek penelitian.
1111 Mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan Iatar belakang desain arsitektur candi
dan arsitektur pada masa Pasca Hindu Budha di Jawa rnisalnya meliputi sejarah,
budaya, dsb rnelalui studi Iiteratur, pengamatan, pengam bilan data pada ob jek studi.
1111 Berdasarkan telaah leoritik tersebut di atas, dilakukan 'studi korelasi' yang untuk
mengetahui : wu jud representasinya berupa sosoknya, termasuk pengolahan fasade
7
BAB II
LANDASAN TEORI
8
3 . An Architectural form is shaped by the prevailing Spirit of Age. Bentuk
arsitektural diciptakan mengikuti semangat Jainannya. Pertimbangan
icleologi/semangat/laham global dan dominan dapat berpcngaruh terhadap
penciptaan bentuknya, misal Post-Modernisme yang pro-histmy
4. An Architectural form is determined by the prevailing social and economic
condition. Bentuk arsitektural dapat diciptakan dengan mempertimbangkan
aspek sosial (untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak) dan ekonomi
(efektif-efisien-fungsional).
5. An Architectural form is derives fi·om timeless principles of form that
transcend particular designers, culture, dan climate. Bentuk-bentuk
arsitektural dapat dilahirkan mclalui konscp-konsep masa lalu. Konsep ini
digunakan karena dianggap mempunyai keunikan!kekhasan, untuk tujuan
khusus, pertimbangan budaya (misalnya: lokalitas), dan kontcktualitas iklim,
dsb. Hal ini dapat menyangkut aspek kesejarahan (pro-history), type, dsb.
9
tidak inhcrcn dalam scsuatu di dunia ini, selalu dikonstruksikan, diproduksi, melalui
proses representasi dan merupakan hasil dari praktik penandaan (Hall, 1997)
Di sisi lain untuk menjclaskan bagaimana representasi makna mclalui bahasa
dapat bertungsi, maka dapat digunakan tiga teori reprcsentasi Hal ini dapat dipakai
sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: dari mana suatu makna berasal, atau
bagaimana membedakan antara makna yang sebenarnya dari scsuatu atau suatu citra
dari sesuatu. Pertama adalah pendekatan 'reflektif. Dalam hal ini bahasa berfungsi
Untuk mengetahui bahwa representasi suatu karya arsitektur berasal dari karya
lainnya yang sejaman atau masa lalu dapal ditunjukan melalui korelasi persepsi visual.
Namun demikian tidaklah mudah untuk menyatakan korclasi antar keduanya karena
dibutuhkan pemahaman terhadap Jatar hclakang pengadaptasiaan atau
pengadopsiannya. Aspek kesejarahan mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial,
dan budaya mcmpunyai peranan penting di dalamnya. Norberg-Schulz (1978)
menyatakan agar tidak terjebak pada visual (objek) diharapkan dapat menelaah lebih
lanjut dengan melihat secara keseluruhan (utuh). Adaptasi menunjukan adanya hal
psikologis yang menimbulkan objek tersebut berasal.
Menu rut teori gestalt 1 pcrsepsi visual dapat terbentuk karena: kedekatan posisi
(proximity), kesamaan bcntuk (similiarity), penutupan bentuk, keinambungan pola
(continuity), kesamaan arah gerak (commonfate). Dalam Psikologi Gestalt dikenal
dua prinsip utama yakni :
(I) Principle of Totality, 7he conscious experience must be considered globally
(by taking into account all the physical and mental mpects rJf the individual
simultaneously) becm1se the nature cifthe mind demand� that each component
be considered as part of a system rif dynamic relationships.
1 Brownell, P., cd.(2008) Jlandbook}i!r Theory, Research, and Practice in Gestalt "J'heranY, Newcastle
upon Tyne, UK: Cambridge Scholars Publishing
10
(2) Principle of Psychophysical Isomorphism - A correlation exists between
conscious experience and cerebral activity
Penjabaran lebih lanjut dari prinsip tersebut adalah melalui pcndekatan •
11
Di sampmg pendekatan persepsi visual dalam rnengkaji wujud reprcsentasi
arsitektur masa lalu (candi) di dalam bangunan rnasa kini (dua objek yang berbeda)
diperlukan bcberapa pcndekatan korclasi lainnya •
1. Transformasi Arsitektur
Melalui transformasi dimungkinkan reprcsentasi yang berasal dari masa lalu
digunakan sebagai ,mmber iniJJirasi bagi arsitektur masa kini. Proses transformasi
menyangkut perubahan form (bentuk) dan meaning (makna). Apl i kasinya dapat
berupa wujud tetap-makna berubah atau wujud bembah-makna tetap. Arsitektur pada
jaman Islam di Jawa menggunakan beberapa unsur desain percandian dalarn
bangunannya, demikian juga pada beberapa bangunan modern masa kini, seperti
Hotel dan Museum.
Strategi transformasi dalam desain arsitektur secara umum menumt
Antoniades (J 992) dapat dibagi ke dalam strategi tradisional (umum-konvensional),
peminjaman (borrowing), dan dekonstmksi (deconstmction). Berkaitan dengan hal
tersebut penggunaan representasi yang bersumber pada desain candi pada pasca
Hindu-Iluda dapat mempakan proses tersebut. Secara visual strategi peminjaman
tampak dalam beberapa bangunan masa Islam dan Kolonial, sedangkan strategi
lainnya diperlukan pengkajian lebih l anjut, seperti pendekonstruksian nilai-nilai masa
lalu ke masa kini.
Strategi Peminjaman (borrowing), Adalah pendekatan transfonnasi melalui
peminjaman secara formal suatu bentuk yang berasal dari lukisan, patung, obyek
obyek dan artefak-artefak lain. Melaluinya juga mempelajari karakter dua dan tiga
dimensional sebagai upaya interpretasi untuk mengetahui aplikasi dan
kemungkinannya. Transformasi 1m mempakan suatu "pictorial tronsferring"
(pemindahan citra) dan juga dapat bempa "pictorial metaphor" (metatora citra).
Contoh• suatu candi dijadikan dasar untuk sebuah transforrnasi dalam membuat hotel,
atau bangunan publik lainnya
Strategi Dekonstmksi (de-conslntction) Adalah pendekatan transformasi
melalui suatu proses dimana seorang perancang mengambil sebuah bentuk secara
keselumhan dan dipecah-pecah atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kecil (yang
masih memiliki makna/arti). Hal ini memiliki tujuan untuk mencari cara baru dalam
mengkombinasikan bagian-bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-
12
kcmungkinan suatu bcntuk kescluruban yang bam (new wholes) dan tatanan baru
(new orders). Contoh: unsur garis l ight-shadow yang berasal dari candi diduga
didekontruksikan dalam wujud fadase dcsain villa modern olch arsitck Belanda.
Proses transformasi dalam desain j uga mclibatkan unsur-unsur yang berkaitan
dengan metafora. Metafora dapat dijadikan alat dalam transformasi, khususnya dalam
stratregi peminj arnan (borrowing). Antoniades ( 1992) mcngulas pcnggunaan
rnetafora dalarn bidang de5ain (arsitcktur). M etafora sangat berguna untuk rnencapai
berbagai "hal/ide baru" pada berbagai unsur suatu bangunan dan proses pcngonscpan
rancangan. "lsi" atau rnakna suatu bangunan akan rnenjadi lebih ekspresif secar·a
kescluruhan. Selain itu, sesuatu hal atau pesan yang hendak dikornunikasikan olch
arsitek suatu bangunan yang dirancangnya, akan rncnjadi lebih eksplisiL
Metafora akan banyak rnembantu untuk menghasilkan/rncmbangkitkan
konsep-konsep baru yang rnerujuk pada autensitas suatu bangunan. Autensitas di sini
berarti identitas asli yang berasal dari suatu bangunan tertentu, yang hams dipaharni
dan diikuti oleh arsitek ketika rncrancang suatu bangunan. Di Indonesia rnelalui
pendekatan rnetafora diharapkan dapat digunakan untuk desain yang bersurnber pada
unsur budaya kelokalan
Metafora rncrupakan upaya yang dilakukan olch manusia untuk mencoba untuk
rnentransfer suatu referensi yang berasal dari suatu subyek (konsep atau objek) pada
suatu hal yang lain, rncncoba untuk "melihat" suatu subjek (konsep atau objek)
sebagai sesuatu benda yang lain, dan mcnggantikan fokus suatu penelitian dari suatu
area konsentrasi atau suatu penyelidikan ke penyelidikan yang lain (dengan harapan
rnelalui perbandingan atau perluasan tcrscbut, dapat rncnjelaskan suatu subjek dengan
cara yang lain (Antoniades 1992).
Secara etimologi, rnetafora (lnggris: metaphor) berasal dari kata latin yaitu
melapherin yakni pemindahan sesuatu yang berasal dari suatu subyek yang
dikandungnya. Metafora juga dapat berarti scrar1gkaian penuturan yang mengalami
pemindahan makna yang dikandung kepada obyek atau konsep Jain yang ditujukan
rnelalui perbandingan (analogi) atau kornparasi (perbandingan). Sementara itu Roman
Jakobson rnernpunyai pengertian bahwa metafora merupakan suatu istilah yang
mengacu kepada gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dcngan sebuah kata lain
yang Jebih figuratif. Dasar penggantian ini adalah kcrniripan (analogi) antara kala
yang harfiab dengan kata figuratif (abstrak) tersebut (Kris, 1999).
]J
Mcnurut seorang filsuf Yunani, Aristotclcs, mctafora adalah suatu pcmindahan
makna-makna istilah yang literal (harfiah), baik yang berasal dari makna yang umum
ke yang khusus (spesifik) atau scbaliknya atau melalui analogi (Samuel, 1 977).
Aristoteles juga memberikan pemikiran yang lain mengenai rnetafora yang jauh
berbeda dengan pengertian metafora sebagai analogi. Metafora juga dapat berarti
suatu dekorasi atau ornamentasi yang "rnenghidupkan" suatu gaya (style). Hal ini
dapat dilihat pada banglinan-bangunan modem yang menggunakan 'rnetafora'
bangunan masa lalu atau meminjarn ide-ide yang berasal dari unsur arsitekturnya
sepert.i hotel amanjiwo, beberapa bangunan di kawasan Braga, dsb.
14
Model perpaduan dan penyesuaian dianggap sebagai model p sikologis yang baik
(the most psychologically healthy cuiaptation styles). Beberapa model akulturasi :
(I) Penyesuaian/ adaptasi (m·similated) Adanya proses pcnycsuaian dan adaptasi
satu budaya terhadap budaya lain. Adaptasi adalah to adjust. Adaptasi berarti
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah ada sebelumnya,
(2) Perpaduan/ sirnbiosis (integrated). Perpaduan dua budaya atau lebih sccara
seimhang, dan cenderung membentuk budaya yang baru ("both and" principle),
(3) Peminggiran (marginalized). Terpinggirnya suatu budaya oleh hudaya lain
yang lebih dominan. ("identifying without no particular set of beliefs". : "neither
nor' 'principle)
(4) Pcmilahan/ adopsi (separated). Pemilahan suatu bagian atau elemen tertentu
budaya dan diadopsi oleh budaya Jain. Adopsi : adalah rnelaknkan pengambilan
pada elemen yang ada. Adopsi berarti mengarnbil dan memakai sesuatu yang
telah ada sebelumnya.
15
diformulasikan dalam bcntuk munculnya 'sinkritismc' kcbudayaan, kesenian, dan
agama. Proses inkulturasi yang baik abm mcmunculkan bcntuk pcrpaduan dalam
keharomonisan, sedangkan inkulturasi yang mengalami kegagalan akan
rnendatangkan ketegangan antara inkulturasi dan dayacipta.
Contoh proses percampuran akulturasi-inkulturasi yang rnerepresentasikan
arsitektur masa lalu pada masa Kolonial dapat ditunjukkan di dalarn karya Maclaine
Pont yakni gereja Puh Sarang. Pont rnerupakan orang pertarna yang rnerekonstruksi
dan rnenyelidiki situs peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak
inspirasi yang didapatkan dari peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan
bahan terakota dan omamentasi candi Hal ini narnpak pada karyanya yakni gereja
Puh Sarang di Kediri, dirnana altar·tabenakelnya menggunakan bahan terakota yang
dihiasi ragam hias yang berasal dari unsur percandian Majapahit. Tatanan ruang luar
kompleks ini juga mengindikasikan adanya penggunaan pola geornetrik yang herasal
dari bentuk mandala candi, seperti candi Jago atau Penataran.
Secara umum dinamika dalam kebudayaan menurut Koencaraningrat
mencakup proses mernpelajari kebudayaan secara internal (internalisasi, sosialisasi,
inkulturasi), proses perkembangan hudaya ( evolusi), proses penyebaran ( difusi) dan
interaksi antar budaya (akulturasi, asimilasi), proses pembaruan (inovasi), dan sarnpai
pada penemuan baru (discovoy-invention). Proses difusi antar dua kebudayaan
(acceptor dan donor) dapat dibagi menjadi hubungan simbiotik (bersentuhan namun
tidak menyebabkan perubahan), penetration pacifique (perubahan secara damai
unconscious), hubungan kekerasan/peperangan (perubahan dengan paksaan). Suatu
proses difusi juga dapat mengalami suatu stimulus dijji1sion, rangkaian difusi yang
herantai (Koentjaraningrat, 1986). Para ahli mengaitkan masuknya budaya I ndia ke
Nusantara dcngan jalan penetration pacifique atau secara damai dan cvolutif, melalui
penycbaran agama.
Dalam kaitannya dengan arsitektur, konsepsi budaya tersebut dapat
dianaloginakan dengan pernbahasan tentang transfonnasi desain arsitektur candi baik
pada rnasanya maupun pasca Hindu-Buda. Candi merupakan represcntasi konsep
pertemuan antara yang asing dan lokal, dan antara yang lama dan yang baru. Dalam
pembahasan dinamika arsitektur candi dapat dikaitkan dengan proses akulturasi-difusi
(damai)-inkulturasi 7 evolusi 7 inovasi 7 penemuan gayaJtampilan arsitektur baru
(dalam konteks desain arsitektural).
16
Akulturasi atau disebut sebagai culture contacts dalam pcngertian luas
rncrupakan proses sosial yang timbul hila suatu kelornpok manusia dcngan suatu
kcbudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan
diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1986).
Secara urnum wujud dan isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi
itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu ( I ) Berupa sistem budaya (cultural
.1ys1em) yang tcrdiri at as gagasan, pikiran, konscp, nilai-nilai, norma, pandangan,
undang-undang, dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh
pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas), (2) Berbagai
aktivitas (activilies) pada pelaku seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang
wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut social sistem atau sistern
kernasyarakatan yang berwujud kelakuan (3) Berwujud benda (artifacts), yaitu
benda-benda, baik rnelalui hasil kmya manusia maupun basil tingkah lakunya yang
berupa benda, yang disebut budaya kultur.
Akulturasi rnerupakan perternuan dua kebudayaan, terdapat penerimaan nilai
nilai kebudayaan lain, nilai yang baru tersebut diinkorporasi dalam kebudayaau lama.
Akulturasi adalah proses midway antara 'konfrontasi' dan 'fusi'. Ketegangan antara
dua belah pihak itu tidak diruncingkan, melainkan melakukan 'dialog' dapat mencapai
saling penge11ian dan kerjasama. Akulturasi berusaha mencari keseimbangan antara
warisan kebudayaan lama dengan perubahan yang diperlukan.
Pengkaj ian representasi rna sa lalu dalam arsitektur masa kini berkaitan erat
dengan perrnasa lahan 'form ' dan wujud transformasinya. Oleh karena itu dapat
cligunakan penclekatan Tipo-morfologi Arsitektur. 'Form tran.�formation' tidak dapat
clilepaskan clari permasalahan tentang type (tipe). Di dalam bidang arsitektur, studi
tipologi dignnakan untuk mempelajari dan menganalisa tipe-tipe bangunan. Di sisi
lain studi morfologi dalam arsitektur dapat diartikan sebagai i l mu yang mempelajari
tentang bentuk dalam kaitannya dengan proses penyusunan
stmktur/elemen/komponen atau komposisinya. Pandangan Sukada ( 1 989), di dalam
studi tipologi dikenal tiga tahapan yaitu clit,•1makan untuk mencntukan bentuk dasar
17
pada setiap objek, menentukan sifat dasar berdasarkan bentuk dasar tcrscbut, dan
menjelaskan proses komposisi bentuk dasar (presedent).
Studi tipo-morfologi arsitektur dapat diartikan sebagai pengkajian tipe-tipe
arsitektural dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk (struktur/elemen/
komponen) dan komposisinya tanpa mengabaikan unsur fungsi yang berlaku pada
objek tersebul. Studi tipo-morfologi penekanannya lebih mengarah kepada analisa
unsur-unsur pembentuk/elemen/ komponen/struktur pada suatu tipe. Pendekatan ini
digunakan untuk mengkaji sejauh mana tipe-tipe unsur desain percandian yang
muncul dalam wujud representasi pada konteks masa yang berbeda.
Menurut Quatremere de Quincy, pembentukan tipe arsitektural dipengaruhi oleh
rujukan sejarah, representasi alam, dan aspek kegunaan. Menurut Quatremere de
Quincy, tipe mudah berubah dan mudah terpengaruh oleh tipe lainnya. Arsitek dapat
mengekstrapolasi tipe, menggubab tipe sesuai dengan keinginannya, sehingga
menghasilkan suatu model lain atau baru. Quatremere de Quincy kemudian
mengembangkan teori tipenya menjadi composition 'atau komposisi, yaitu
penyusunan bennacam-macam tipe menjadi suatu model bam.
Pada dasamya di dalam proses type-:fi>rmation, suatu tipe tertentu dapat
merupakan basil suatu perjalanan dari tipe sebelumnya. Tipe ini dapat bertahan atau
diubah sesuai dengan keinginan tetapi tetap berasal dari bentuk dasar yang sama yang
diistilahkan sebagai basic form. Basic form (bentuk dasar) diperoleh dengan
mereduksi tipe menjadi 'bentuk yang paling mendasar' melalui diagram tipologi.
Dalam proses komposisi penggunaan bm·icjorm dalam berbagai model dapat menjadi
tak terbatas. Untuk membatasinya maka digunakanlah pengetahuan kesej arahan/
experience and tradition sebagai mle (aturan/kaidah)-canon dalam penyusunan
komposisi.
Merujuk kepada pernyataan Quatrcrnere, Argan pada tahun I 960
mengernukakan pandangannya tentang tipologi melalui tiga pendekatan, pertama,
sebagai alat untuk mesistematisasi bentuk arsitekturaL Kedua untuk menyelidiki
aspek penyebaran (divergensi) bentuk arsitekturaL Ketiga, sebagai alat d alam proses
desain. Menurut Argan tipologi dapat menjelaskan hubungan antara desain
arsitektural rnasa lalu, sekarang dan rnendatang. Dengan demikian pendekatan ini
digunakan dalam mengkaji permasalaban representasi yang berasal dari arsitektur
masa lalu (candi) ke masa kini.
18
Sejalan dengan pandangan Argan, Ernesto Roger mendefinisikan tipe sebagai
"Part (if a framework defined by reality which characterized and classified all single
events" Menurut Roger, desain arsitektur pada umumnya didasari oleh konsep-konsep
yang telah ada sebelumnya dan merupakan hasil dari suatu proses keberlanjutan.
Pengidentifikasian suatu tipe bergantung pada konteks permasalahan yang dihadapi,
sehingga mempunyai karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Setiap karakter
mempunyai spesifikasi khusus yang diistilahkan sebagai 'generic type'. Roger lebih
mementingkan bagaimana arsitek mempergunakan instmmen sesua1 dengan
permasalahannya dari pada menggunakan pendckatan metodologis yang sistematis.
Sepe1ti halnya Roger, Aldo Rossi. j uga menekankan teorinya kepada pendekatan
tradisional. Menurut Rossi ( 1982) The logic (if architectural form lies in a definition
i type based on the juxtaposition (if memory and reason.. Dengan kata lain, tipe
cf
arsitektur mempakan basil penjaj aran dari memory dan pemikiran sebelumnya.
Memory sangat penting karena mempakan historical reason yang menjamin
keberlanjutan proses past-present-future. Rossi lebih cenderung menggunakan
tipologi dalam bidang perkotaan, di mana pembahan eksisting tidak akan terlepas dari
konteks kemasyarakatan dan perj alanan sejarah yang melatarbelakanginya. Ia juga
merujuk pada Murratori yang mengkaitkan hubungan antara rnorfologi kota dan
tipologi ball!,>unan di dalarnnya.
Sedangkan menumt Julie Robinson ( 1994), tipe di dalam tipologi bangunan
pada dasarnya digunakan untuk mengkategorisasi variasi dari ragam bangunan.
Pengklasifikasian tipe menurut Robinson harus rnernpertimbangkan dua hal yaitu how
architecture is made dan how architecture received by the audience. Oleh karena itu
terdapat dua pendekatan klasifikasi tipologi yang dapat dilakukan, yaitu dengan
mempertimbangkan
o Physical properties (karakteristik fisik), menyangkut kategori taksonomi dari
material, penyusunan ruang, style, pembagian geometrik, berbagai elemen, dan
sistern konstruksi
o Enviroment that surrounding the objects (Jatar belakang/konsep/ide) menyangkut
,
'how enviroments are made, how enviroments are used, and how enviroment are
understood' Misalnya 'rules and proceses' (aturan dan proses) yang menyangkut
permasalahan 'plan of configuration' (konfigurasi komposisi)
19
Di sisi lain dalam studi tcntang type dikcnal juga istilah archetype. Menurut
Mike Brill, archetype lebih mengarah kepada natura/ language dan charge. A rchetype
merupakan kesepakalan secara alamiah alas bentuk pada suatu objek km·ena
mempunya1 nilai tertentu. A rchetype tempat sakral misalnya mempunyai bentuk
bentuk dasar spesifik yang mampu menampilkan tema-tema mistik. A rchetype
merupakan medium untuk mengekpresikan makna suatu tempat. Dalam sejarah
architype dapat dipahami sebagai asal (origin) d ari suatu tipe yang dikembangkan
lanjut dcngan tidak mengubah makna atau nilai yang terkandung di dalamya.
A rchitype berbeda dengan prototype yaitu tipe yang dijadikan basic untuk dibuat
duplikasi yang sama. A rchitype lebih bergerak pada kerangka konseptual (ide
simbolik), sementara prototype lebih bersifat praktis (fisik). Menurut Jung ( 1 987),
architype adalab citra lcluhur yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif
manusia/ketidaksadaran (unconscious), sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret
antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, roh dan materi. Hal ini dapat
dikaitkan dengan fenomena selalu munculnya (dimanfaatkan) representasi arsitektur
candi (citra leluhur) pada tiap era perkembangan arsitektur di Indonesia.
20
semiologi Roland Barthes, society f�( spectacle Guy Debord, serta konscp J;lobal
villaJ;e dan medium is meS'«lJ;e Marshal McLuhan, Baudrillard mcnyatakan bahwa
serta didominasi oleh nilai-tanda dan n ilai-simboL l n ilah wacana kebudayaan yang
saat ini sebagai sebuah keni scayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan
ini lah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai
perhatian Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu sepert i : seni, arsitektur, sastra,
malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan postmodemisme, namun
hingga sampai pada keadaannya saat ini. lnilah po&1modemisme yang menggugat
watak modernisme lanjut yang monoton, positivi stik, rasionalistik dan teknosentris;
modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sej arah yang linear, kebenaran
pembakuan secara ketal tala pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang
kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan
modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994).
seni modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari,
runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya
eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi,
merosotnya kedudukan pencipta seni, se1ta adanya asumsi seni sebagai pengulangan,
21
Postmodcrnisme menawarkan rerprescntasi yang be11olak belakang dengan
watak era pcndahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang niSJO, media
ketimbang isi, t anda kctimbang makna, kemajcmukan ketimbang penunggalan,
kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, ketcrbukaan
ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta,
estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1 994).
Gerakan Post-modern yang lahir tahun 1 960an tersebut memungkinkan
adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur masa lampau (titik
perbedaan dengan modernisme) dalam mewarnai desain arsitektur agar tidak terjadi
keseragaman Dalam alam pasca modern d ikenal istilah-istilah yang diungkapkan oleh
Venturi yakni 'both and, ambigui�v, contradiction adapted nya Jencks dengan
- ,
double coding, respect to the past, hybrid-nya, Klotz dengan representasi fiksional,
regionalisme-nya, Kurokawa dengan simbiosis, respect to history-nya, dsb.
(Ikhwanuddin, 2005)
Pendekatan postmodernisme mengacu kepada perlawanan terhadap bentuk
bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif, praktis,
ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti fungsi menjadi
dewa. Representasi dalam arsitektur postmodern, menawarkan konsep bentuk
asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal,
penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam. Doktrin bentuk mengikuti fungsi
dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.
Namun demikian nilai-nilai yang terkandung dalam post-modernisme
sebenarnya telah berkembang sebelum tahun 60-an namun dengan intensitas yang
kecil dan samar. Jencks (Tanudjaya, 1 992) membagi tradisi-tradisi clalam
perkembangan arsitektur modern ( 1 920 -- 2000an) ke dalam enam pendekatan, tradisi
Idealist dan Logical yang mengacu pada doktrin modernisme secara umum
(fungsionalisme-efisiensi, dsb), tradisi A ktivist dan Intuitive yang mengacu pada
gerakan dan pandangan-pandangan yang fantastik-utopia-visioner (seperti
konstruktivism Rusia, Avant-garde), dan tradisi Self Conscious dan Unself Conscious
yang mengacu pada pandangan yang me-refer pada aspek kesejarahan!masa lampau
baik secara sadar (revival) maupun tidak disadari-alamiah (natural). Meskipun tradisi
Idea/is, Logical, Intuitive dianggap sangat kuat mendominasi arah arsitektur modern
(seperti dalam ClAM), namun sebenarnya pada saat itu masih ada tradisi yang
berusaha mengangkat isu romantisisme masa lalu (Self Conscious dan Unself
22
Conscious). Fenomena tersebut juga ditunjukkan oleh Lcsnikowski ( I 982) dalam
bukunya Raliona/ism and Romanlicism In Archilec/ure_
23
I ndonesia. Diskusi tentang wacana jatidirilidentitas kelokalan dan dcfinisi arsitcktur
I ndonesia sudah pernah dilakukan scjak lama.
Konggres !AI tahun pada tahun 1 982 berusaha mengangkat isu tentang wujud
identitas kc-lndonesiaan melalui wacana pencarian Arsitektur I ndonesia. Dalam
konggres ini kemudian disimpulkan antara lain Arsitcktur Indonesia adalah arsitektur
yang berlandaskan pada konsep budaya Indonesia yakni Bhinneka Tunggal lka,
Pancasila, clan UUD 1 945. Arsitektur Indonesia mcnunjukkan gambaran penghargaan
terhadap konteks budaya Indonesia (Siregar, I 990). Cita-cita untuk mcncapai wujud
arsitektur Indonesia pada hakckatnya tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya,
karena arsitcktur merupakan rcprescntasi dari wujud budaya. Dengan demikian
arsitektur Indonesia mcrupakan representasi wujud budaya ke-lndonesia-an yang
dapat mcnunjukkan adanya cultural resonances eli dalamnya.
Menurut Kultermann ( I 984) bahwa sebuah bangunan clapat dihiasi berbagai
ornamen tradisional. 'Tapi itu sama sekali tidak menjamin, sebuah bangunan bisa
mencerminkan identitas budaya," katanya "today is today." Namun, Udo Kultermann
segera meluruskan pendapatnya, menempelkan ornamen atau mengambil struktur
bangunan lama bukannya tidak baik. Ini scmacam gaya atau inspirasi yang bisa
mcmperkaya. Dan bila arsiteknya mahir, hasilnya pun akan baik. Kultermann
menunjuk karya-karya Almarhum Sujudi antara lain Sekretariat ASEAN eli Jakarta
clan kedubcs I ndonesia di Kuala Lumpur sebagai perkawinan antara arsitektur baru
dan lama yang baik "Bemsaha menunjukkan bangunan Indonesia, tapi yang utama
rancangannya baik," ujar Udo tentang karya-karya Suyudi. Berkenaan dengan
Kolterman, Suwondo ( I 984) menyatakan bahwa Indonesia mcmang kaya dengan
khazanah bentuk arsitektur dari masa lalu. Tidak mcnghcrankan hila penyelesaian
masalah identitas dipecahkan secara visual dengan berkiblat pada peninggalan masa
lalu.
Dengan dcmikian apabila tidak memiliki pandangan yang cukup kuat terhadap
jatidiri peradaban arsitektur bangsa kita, maka kita akan dengan mudah beralih kepada
cara pandang hidup dan peradaban arsitektur yang tidak kita miliki, dikuatirkan akan
memmJam dari bangsa lain untuk urusan peradaban arsitektur. Dengan
memperhatikan kemungkinan yang tidak diinginkan tersebut, maka berusaha untuk
mengenali jatidiri peradaban arsitektur bangsa Indonesia agar lebih berjatidiri. Jadidiri
dapat digali clari memori masa lalu.
24
Dalam kajian yang lebih luas penccrahan semangat baru mclawan globalisasi
dalam konteks mengembangkan kelokalan-regionalisme, dipelopori olch para arsitek
eli dunia ketiga yang sebagian bcsar justru dididik di Barat. Hasan Fathy, B.V Doshi,
Charles Correa, Ken Y eang, adalah sederetan arsitek di dunia ketiga yang menjadi
pelopor dalam mencari identitas arsitektur bam, identitas yang bisa mewakili budaya,
iklim dan budaya lokalnya, identitas yang lentur dalam beradaptasi dengan laju
peradaban modern. Ketetbatasan vernakular dalam mengimbangi kompleksitas
arsitektur kontemporer dan kejenuhan terhadap dominasi arsitektur Barat menjadi
tantangan bagi mereka untuk melakukan pendekatan baru, yaitu regionalisme. Bahkan
Ken Y eang yang membidani 'bioclimatic skycrapers' dengan Menara Mesiniaganya
tidak menolak untuk dikategorikan sebagai arsitek regionalis.
Mereka kemudian berusaha membangun arsitektur yang bisa jujur bertutur
tentang budaya lokal dan karakter iklimnya, namun juga lentur dalam mengakrabi l aj u
teknologi modem Pendekatan yang lebih menekankan pada cara berarsitektur bukan
pada gaya ini kemudian disebut dengan nama Regionalisme. Semangat ini memang
secara tidak langsung Jahir dalam atmosfer gerakan arsitektur Postmodern. lstilah
istilah rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun reevaluate, menurut kritisi
arsitektur Nan Ell in, telah menjadi wacana kritis sebagai reaksi terhadap Modernisme.
Regionalisme sendiri menurut Ken Y eang ( 1 987) merupakan pengadaptasian
terhadap j iwa tempat, dan respon terhadap iklim lokal dengan mengesampingkan
batasan-batasan politik, maupun keprimordialan. Sementara menurut Curtis ( 1 985),
regionalisme menekankan pada kesinambungan budaya dengan semangat bam dan
menolak konsep yang melihat tradisi sebagai sesuatu yang rigid atau 'fixed'. Curtis
juga berargumen bahwa pendekatan regionalisme hanya mengamb i l dan
mengidentifikasi pola-pola konsep arsitektur yang selalu relevan dengan iklim,
material lokal dan faktor geografis dari layer-layer sejarah arsitektur yang saling
beradu dan berhimpitan. Menurut Cmtis di era globalisasi pendekatan regionalisme
dianggap mampu mengawal proses modemisasi arsitektur dunia ketiga dengan
menyeimbangkan muatan lokal dengan muatan internasionaL
Dalam konteks lain, Yasraf Amir Piliang pun menyebutnya sebagai semangat
Renesans Asia. Semangat untuk melakukan resistensi, mengembangkan pluralisme
dan menguatkan kembali nilai-nilai kearifan lokaL Namun menurut Kenneth Framton
( 1 983), yang harus dikernbangkan bukanlah semangat regionalisme yang romantis,
tetapi yang kritis (critical regionalism) "Contemporary acknowledging, but not
25
bounded by historic definitiom uf the vernacular," lanjut Frarnton. Suatu spirit
berarsitektur yang rnenguatkan makna tempat (genius hx:i), tektonis namun ekspresif
dalam konteks kontemporemya. Menurut Frampton, regionalisme yang rornantis
cenderung rnelahirkan kekakuan berpikir dan sikap menghindari kenyataan (escapist).
Sebagian masyarakat kita memang punya hobi mengadopsi atau rnembekukan bentuk
akhir arsitektur tertentu untuk dipaksakan sebagai identitasnya ketirnbang rnengkritisi
proses dan filosofi pencariarmya.
Berdasarkan kajian tersebut di atas mencari wujud dan definisi arsitektur
Indonesia memang cukup sulit Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu pendekatan
yang pernah diupayakan dalam merepresentasikan i dentitas kelokalan, mengingat
keragarnan yang ada dalam tradisi arsitektur Indonesia. Menghadirkan representasi
identitas kelokalan melalui regionalisme merupakan tanggapan terhadap fenornena
tersebut. Langkah yang dapat dilakukan adalah mengedepankan suasana
mencerrninkan cultural resonances ke-Indonesia-an yang bersumber pada kerarifan
lokal melalui rasa dan suasana, seperti yang pemah diungkapkan oleh Prijotomo
( 1 988), Pangarsa (2003).
Narnun demikian iklim saJa tidak cukup untuk merepresentasikan cultural
resonances ke-lndonesia-an. Oleh karena itu perlu pengkajian terhadap unsur-unsur
kebudayaan rnasa lalu yang mencerminkan kuat unsur kelokalan Indonesia.
B erkembangnya semangat regionalisme dalam arsitektur kontemporer hendaknya
dapat menggugah semangat para pelaku dan pemerhati arsitektur di Indonesia untuk
ikut berperan rnenemukan wujud arsitektur kontemporer yang khas khususnya dalam
kaitannya dengan kesejarahan, budaya, iklim dan kondisi geografis Indonesia.
Representasi yang bersumber pada tradisi masa l ampau dan kelokalan (seperti candi)
dapat rnenjadi salah satu rujukan dalam membangkitkan identitas. Jdentitas tidak bisa
diciptakan secara mendadak (instant), tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu yang
beraturan dan berulang-ulang. ldentitas pada hakekatnya merupakan j ejak peradaban
yang clitarnpilkan sepanjang sejarah.
26
BAB 3
REPRESENTASI CANDI SEHAGAI IDENTITAS KELOKALAN
Dalam perkembangan desain arsitcktur candi telah tcrjadi kedinamisan yang progresif
dan variatif. Desain candi pada masa klasik tua (abad 8), klasik tengah (abad 9-1 0),
klasik mud a (abad 1 4) menunjukkan adanya perkembangan desain yang signifikan.
Beberapa hal yang d ianggap penting dalam perkembangnnya adalah :
• Candi mengalami perubahan-perubahan bentuk (transformasi) seiring dengan
perkembangan politik, agama, ekonomi yang didukung olch tcknologi dan
konteks lingkungan pada jamannya, muncul adanya penyesuaian (adaptasi)
melalui perubahan fisik (pemugaran). Strategi dalam transf(Jmasi desainnya
tidak sekedar mengulang, meminjam dan meniru (mimesis) dari masa
sebelumnya, melainkan lebih merupakan usaha pen-dekonstruksi-an kembali,
sehingga muncul wujud 'yang lain', nampak 'bam' dan terkesan 'merdeka',
khususnya pada setiap periodenya. Tiap periode menghadirkan karakter yang
khas dan karakter ini kemudian digunakan secara berulang pada jama
nnya.
• Muncul ide-ide arsitektur sinkritisme yang didasari oleh sinkritisme Hindu,
Budha, dan Agama Asli/kuno. Tantrayana yang masuk kc Jawa ikut
mendorong terjadinya fenomena tersebut. Suatu wujud arsitektur yang
akomodatif dan menjujung nilai-nilai 'toleransi' terhadap agam a dan budaya
masa lampau. Hal ini menunjukkan bahwa yang diutamakan sebenarnya
adalah hakekat/esensi/isi, tidak sekedar kulit luar atau fisiknya (agama sebagai
ageman -baju). Sinkritisme tersebut menunjukkan akan adanya 'dialog' antar
unsur di dalamnya, meskipun ada yang berlawanan namun dapat menyatu
(melebur) dalam satu kesatuan yang tunggal, Bhirmeka Tunga/ lka Tan Hana
Dharma Mangmwa.
• Perkembangan candi mereprescntasikan adanya dinamika penggunaan unsur
unsur budaya masa lalu dan aspek lokal genius. Perkembangannya (klasik tua
ke muda) menunjukkan transfromasi dari gubahan 'yang meruang' menjadi
'cenderung mas if seperti tugu, menjadi lebih simbolis dan ekspresif ( dapat
dilihat dari pengolahan kala yang menyeringai, sosok, hiasan lainnya). Muncul
indikasi yang merujuk pula pada tradisi purba megalitikum yang memuj a
tugu-tugu batu dan punden-punden. Bangunan candi akhimya dapat kembali
27
diwujudkan menjadi tugu yang didirikan di atas punden-punden bcrundak
(benda masifyang tak berongga), seperti pclinggih atau padrnasana di Bali.
• Candi menunjukkan adanya konsep dualitas, misalnya dalam perletakannya
Pola susunan candi maupun lingkungannya tersebut menjadi suatu pola yang
khas, yakni menggabungkan antara mandala-gridiron yang konsentris dan
linieritas. Nilai-nilai dualitas sccara umum sebenamya dapat difahami sebagai
konsep-konsep yang mendasari tradisi Jawa (budaya yang melatarbelakngi).
Dualitas ini nampak pada wujud memusat tetapi tidak memusat/bergeser,
linier tetapi radial, unsur horisontal dan vertikal, pemujaan Siwa dan 13udha
sekaligus, maskulin dan feminim, adaptasi lama dan baru, berfikir ke depan
tetapi tetap mcmpertimbangkan aspek yang ada di belakang, dsb.
28
Arsitektur candi Jawa dipandang mengandung kcmandirian yang didorong oleh proses
akulturasi secara evolutif Candi merupakan basil kreativitas kelokalan yang adaptif�
dinamis dan represcntasinya terlihat cukup kuat selama berabad larnanya di I ndonesia.
Desain candi menunjukkan adanya kekbasan dan perbedaan yang signifikan dengan
surnber asalnya (India).
Dalam alarn pasca modem di rnasa kini dikenal istilah-istilah yang identik
dengan fenomena tersebut di atas misalnya yang diungkapkan oleh Venturi yakni
'both and, ambiguity, contradiction adapted-nya Jencks dengan
, dou/Jle coding,
respect to the past, hybrid-nya Klotz dengan representasi fiksional, regionalisme-nya,
,
29
lokal genius adalah budaya pada jaman 1-lindu-Budha, demikian sclanjutnya ketika
budaya Barat masuk ke Nusantara. Penggunaan kembali bcntuk arsitektur masa
lampau juga dilakukan pada masa Islam, Kolonial, dan Post Kolonial. Namun
demikian unsur-unsur arsitektur yang bcrasal dari peradaban I-lindu-Budha dianggap
yang paling kuat berpengamh terhadap pembentukan 'spirit kelokalan' dibandingkan
dengan peradaban berikutnya seperti Islam dan KoloniaL Kemungkinan besar karena
peradaban I-lindu-Budha memang Ielah mewarnai perkembangan kebudayaan
Nusantara kurang lebih 1 200 tahun lamanya.
Gerakan Post-modem di masa modern yang lahir tahun 1 960an
memungkinkan adanya usaha-usaha untuk membangkitkan kembali unsur-unsur masa
larnpau (titik perbedaan dengan modernisrne) dalam mewarnai desain arsitektur agar
tidak terjadi kesergaman arsitektur yang atomistik. Namun demikian nilai-nilai post
modern sebenarnya telah ada sebelum tahun 60-an namun dengan intensitas yang
kecil dan samar.
Frank Llyod Wright (FLW) menggunakan salah satu pendekatan desainnya
yang rnerujuk pada arsitektur masa lampau dan konsep kelokalan. Konsep demokrasi
Gb 0 1 . Tradisi Arsitcktur Modem menurut Jencks nerika, oleh karen a itu FL W
menggunakan hmizontal sebagai representasi dari konsep egaliter-demokrasi dalarn
desain arsitekturnya. Di samping aspek horizontal tersebut, nilai kelokalan lainnya
yang berasal dari masa lampau seperti adaptasi ' the prairie house ' (bangunan
vernakular amerika) dengan elemen-elemennya berupa penggunaan batu alam dan
cerobong asap. Di sisi lain nilai modern (kontekstualitas dengan j amannya-kebaruan)
juga ditampilkan disana, yakni horizontal dapat dikaitkan dengan streamline yang
didukung dengan teknologi cantilever beton bertulang (new material).
F.L Wright termasuk arsitek yang juga mengadaptasikan/mendayagunakan
nilai-nilai arsitektur purbakala dalam desain yang bam (modem). Tidak sekedar
dijiplak atau ditiru tetapi d igubah (di-dekonstrusi-kan) kembali menjadi komposisi
yang baru misalnya menjadi kubisme-abstrak. Nilai-nilai purbakala tersebut berasal
dari Amerika/lndian Purba (pre-columbian architecture) - kebudayaan Maya-Inca
Aztec dan Mesir Purba d imana gaya-gaya ini kemudian berkembang dalam gaya art
deco-nya. Penelitian selanjutnya (Australia) ada yang menyatakan F.L Wright juga
pernah mengadopsi arsitektur purbakala yang berasal dari Indonesia (Hindia Belanda).
Nilai kelokalan dalam desain F.L Wright ditunjukan dengan penggunaan gaya Indian
purba Purba (pre-columbian architecture) tersebut, meskipun nilai kelokalan itu
30
menjadi tidak murni ketika bercampur dengan arsitcktur di luar kcbudayaan asli
seperti tradisional J epang dan Mesir purba. Namun demikian transfromasi dalam
stratcgi desain bempa penggunaan rcferensi yang berasal dari bangunan purbakala
yang berasal dari budaya lokal untuk bangunan modern pernah dilakukan oleh
FLWright.
Gb 3.1. Adaptasi arsitektur amerika purba , mesir purba dan tradisional Jepang pada
karya FLW
31
.,
;;:::\�:.:>·
..-_-r-.
,. .
G b 3.2. Pcngaruh arsitcktur candi Jaw a '! (lingga yoni dan p rofil m o u l ding)
32
Terdapat tiga rnacam pcndekatan transformasi dalam dcsain arsitektur
(Antoniades 1 992) ( 1 ) Strategi Tradisional (The traditional strategy) rnerupakan
pendekatan transformasi melalui cvolusi progresif dari suatu bentuk melalui
penyesuaian bertahap (langkah dcrni Iangkah) terhadap "konstrain" yang ada seperti:
Secara ekstemal: tapak, view, orientasi, pergcrakan angin, matahari, kriteria-kriteria
lingkungan lainnya, Secara internal: fungsional, programatik, kriteria structural,
Secara artistik: kemampua:n, keinginan, kcccnderungan dan perilaku si arsitek dalam
memanipulasi bentuk, bersamaan dengan penyikapan terhadap dana, kemudahan
konstruksi dan kriteria pragmatis lainnya. Pendekatan (2) Peminjaman (Borrowing)
merupakan pendekatan transformasi melalui peminjaman secara formal suatu bentuk
(unrelatedfimn) dari lukisan, patung, obyek-obyek, artefak-artefak lain, dsb. Melalui
strategi ini juga mempelajari karakter dua dan tiga dimensional sebagai upaya
interpretasi untuk mengetahui aplikasi dan kemungkinannya. Transformasi i n i
merupakan suatu "pictorial tramferring" (pemindahan citra) dan juga dapat berupa
"pictorial metaphor " (metafora citra). Desain candi (bangunan sakral) dimungkinkan
untuk sebuah transformasi (unrelated .ftmn) dalam membuat rumah, hotel, atau
bangunan publik lainnya (bangunan non sakral). Pendekatan (3) adalah De-konstruksi
(De-construction), mempakan pendekatan transformasi rnelalui suatu proses dimana
seorang perancang mengambil scbuah bentuk secara keseluruhan dan dipecah-pecah
atau dipilah-pilah menjadi bagian-bagian kccil (yang masih memiliki makna/arti). Hal
ini memiliki tujuan untuk mencari cara baru/lain dalam mcngkombinasikan bagian
bagian tersebut, serta menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan suatu bentuk
keseluruhan yang baru (new wholes) dan tatanan bam (new orders). FLW secara tidak
langsung telah melakukan hal tersebut terhadap arsitektur purbakala. Post modern
(pad a pasca masa FL W) sangat memungkinkan penggunaan ketiga strategi tersebut di
at as dalam desain kontemporer, khususnya Borrowing dan Deconstruction.
Jencks lebih lanjut dalam perkembangan arsitektur post-modern tahun 60an
mengidcntifikasi adanya 6 a:kar yang membentuk karakter arsitekturnya, yakni
Historicism dan Straight Revivalism, Nco-Vernacular dan Ad-Hoc Urbanist,
Metaphor-Metaphysical, Post-modem Space (menuju dekonstmksism, sementara
Antoniades membedakan antara pendekatan history dan historicism. Historicism
menurut Antoniades d ianggap dapat rnemunculkan eklektisme berlebihan (fanatisme)
sehingga menghilangkan makna hakiki yang sesungguhnya dan dimungkinkan
menjadi mannerist dan menghambat kreatitifitas. Dengan demikian d iperlukan studi
'precedent ' yang memadai dalam menanggapi isu kesejarahan. Bcntuk-bentuk masa
lampau tidak hanya diadopsi begitu saja namun hams dikaji melalui analisis yang
mendalam melalui studi preseden tersebut. FLW dianggap mampu mendayagu nakan
sejarah tanpa menjadi mannerist. Dalam kaitannya dengan proses analisis mcnurut
desain arsitcktur masa kini, apalagi mcnanggapi isu globalisasi dimana nilai-nilai
paradok). Penghargaan terhadap nilai kelokalan (budaya, iklim, tradisi, dsb) dan aspek
kepada nilai-nilai dengan akar yang jelas dan kontekstual (spirit kelokalan).
Berkaitan dengan hal diatas bangunan candi dapat difahami sebagai material
artifact, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak atau sebagai teks
berhubungan dengan warisan tradisi arsitektur masa lalu) yang muncul dalam
reperesentasi dari masa lampau dan mengakar kuat serta menjadi collective memmy
secara alamiah pada masa pasca Hindu-Budha. Menurut Abramson ( I 999) sejarah
merupakan suatu pendirian yang disepakati, namun terbuka terhadap kritik. Monumen
sepe1ii halnya sejarah dapat terus berdiri menghubungkan masa lalu ke masa depan
karena adanya kesepakatan dan kemauan keras. Perjalanan waktu mcnuntut adanya
debat. Dengan adanya debat, akan terjadi perubahan. Dalam hal ini, Abramson
melihat memon tidak bisa didebat, sedangkan sej arah dapat. Tetapi tidak berarti
sejarah harus melenyapkan memori, karena memori tetap diperlukan untuk menguji
Memori berkaitan era! alam bawah sadar masyakaratnya yang dapat bermuara
dalam wujud arketipe. Jung dengan teorinya: arketipe adalah citra leluhur yang
34
terdapat dalam alam bawah sadar kolektif manusia/ ketidaksadaran (unselj'conscious),
sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret antara yang nyata dan yang semu, ide dan
perasaan, roh dan materi. Arsitektur candi tidak sekedar difahami sebagai bangunan
melainkan mengandung nilai 'place ' yang secara bawah sadar berada di dalam alam
pikiran masyarakat Jawa pada saat itu. Berkaitan dengan pendekatan post modern,
candi dapat dianggap merupakan reference yang berakar pada 'local historical
protozvpes '. Melalui historic precedent dapat dikaji peranannya dalam membentuk
'karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an yang diperkirakan mampu bertahan sampai
saat ini.
35
Memori berkaitan erat alam bawah sadar masyakaratnya yang dapat berrnuara
dalarn wujud arketipe. Arsitektur candi tidak sekedar dif1.tlmmi sebagai bangunan
melainkan mengandung nilai-nilai di bawah sadar berada di dalam alam pikiran
masyarakat Jawa pada saat itu. Berkaitan dengan pendekatan post modern, candi
dapat dianggap merupakan reference yang berakar pada local historical prototypes.
Melalui historic precedent dapat dikaji peranan candi dalam membentuk salah satu
'karakter' dan 'spirit' ke- Indonesia-an (identitas) yang diperkirakan mampu bertahan
saat ini.
Candi mengandung unsur-unsur yang merujuk pada nilai-nilai kelokalan
Nusantara. Banyak perbedaan yang ditemukan antara candi-candi di Jawa dengan di
India (Suleiman Satyawati, 1 984). Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur kelokalan
melatarbelakangi desain candi-candi tersebut. Local Genius berperanan disana. Wales
dan Subadio merujuk pada nilai-nilai sebelum masuknya pengaruh budaya luar. Nilai
nilai tersebut lahir melalui proses alami berdasarkan pada pengalaman-pengalaman
budaya dan sosial yang bersifat lokaL Nilai-nilai tersebut menjadi penyaring dalam
menerima budaya dari luar. Sebelum masuknya tradisi India pada sekitar awal tarich
masehi, sulit ditentukan budaya seperti apa yang telah berkembang di Indonesia. Pada
saat pengaruh Islam masuk ke Indonesia, yang dijadikan sebagai aspek lokal di
Indonesia adalah akulturasi budaya Hindu · Buda dengan budaya asli.
Menurut Wales, Subadio, local genius mengacu pada kemarnpuan masyarakat
suatu daerah untuk rnenerima pengaruh luar secara selektif dan melalui proses kreatif
melahirkan ciptaan baru yang unik dan tidak terdapat dalam wilayah asal budaya
tersebut. Quaritch Wales mendefinisikan local genius adalah the sum of the cultural
characteristics which the vest majority of the people have in common as a result '!f the
eksperiences in early life, what I meant by local is simply pre-indian. Menurut Haryati
Subadio, focal genius dapat diartikan sebagai kemarnpuan menyerap sambi I
mengadakan seleksi dan rnengolah secara aktif pengaruh kebudayaan asing, sampai
dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat dalam budaya asalnya
Bosch menghubungkan fenomena local genius tersebut dengan kernampuan
para silpin (pembuat candi) priburni. yang pemah belajar keagamaan di India, terbukti
dengan adanya dua asrama bagi orang Indonesia, di Nalanda (India Utara) dan
Nagapatnam (di India Selatan). Setelah kembali ke Indonesia para silpin mulai
mendirikan bangunan-ban6>unan suci Hindu maupun Buda, dan mereka berusaha
menggabungkan berbagai unsur kcsenian India dengan kesenian lokal menjadi suatu
36
krcasi bam yang sangat unik. Hal ini rnembuktikan adanya hubungan antara focal
genius dan kcmampuan daya cipta rncngolah. Jika pirnpinan proyck pembangunan
candi-candi di Indonesia adalah orang India rnaka bentuknya pun dapat dipastikan
tidak jauh bcrbcda dcngan di I ndia. Jadi ' lok.al genius' memang sangat berpengamh
pada desain candi-candi di l n doensia tersebut.
Meskipun Bosch berpendapat bahwa pembangunan candi di Dieng dalam hal
bentuk dan proporsi terutama eandi Arjuna sangat patuh terhadap aturan Vasusastra,
t etapi tidak ditemukan bukti bahwa Vastusastra benar-benar digunakan sebagai
Iandasan pembangunan candi-candi klasik awal. Bahkan bcberapa hasil pcnclitian
membuktikan adanya pcrbedaan dan penyimpangan. Dapat dimungkinkan pula
adanya penafsiran lain Vastusastra tersebut. Penafsiran yang berbeda tersebut
kemungkinan disebabkan adanya faktor local genius, misalnya menyangkut aspek
geografis, kondisi sosial, dan kepercayaan asli yang telah ada sebelurn rnasuknya
tradisi India. Di sisi lain contoh konkretnya adalah adanya budaya pengagungan
terhadap nenek moyang yang rnenyebabkan bergesernya fungsi kuil sebagai tempat
pemujaan dewa rnenjadi sekaligus tempat pemujaan terhadap nenek moyang atau raja
yang sudah wafat.
Namun demikian menurut Soekmono (1986) hal ini dapat dihubungkan
dengan usaha 'meramu' berbagai sem bangunan suci di India yang berasal dari
berbagai pusat kesenian dan berbagai jaman, menjadi suatu kreasi barn yang
diperkaya dengan unsur-unsur lokal. Dengan demikian menunjukkan bahwa nenek
moyang Indonesia sebenarnya telah mempunyai daya kreativitas yang memadai guna
menciptakan seni-seni baru, khususnya dalam desain arsitektur candi-candinya.
Bosch dalam hipotesisnya menolak istilah peleburan atau campuran atau
pengaruh atau mempengaruhi dan menggunakan istilaJ1 'pembuahan' dalam
menanggapi hal tersebut. Pembuahan dapat terjadi melalui bahan-bahan hidup
masyarakat Nusantara yang bakal berkembang menjadi suatu organisme tersendiri,
dimana yang asing dan yang pribumi menjadi satuan yang tidak terpisahkan.
Para Indiolog seperti Brandes, Kern, Krom seperti yang ditulis W.P.H.
Coolhaas, rnelakukan perubahan pendekatannya setelah mereka tinggal lama d i
Indonesia. Mereka kemudian tidak lagi memfokuskan pada supremasi budaya Hindu
yang superior atas Nusantara. Namun akhirnya tertarik mempelajari esensi peradaban
Indonesia jauh sebelum Hindu tiba, seperti batik, gamelan, dan kerajinan. Dengan
kata lain dalam proses peradaban di Nusantara bukan seberapa besar pengaruhnya,
37
tctapi scbcrapa bcsar kx:al genius dalam mcncipta, menyerap, dan mcngolah unsur
budaya luar sesuai dengan orientasi, presepsi, pola atau sikap, dan gaya hidup bangsa,
yang kemudian hasilnya menjadi kebudayaan nasionalnya. (Purwasito, 2002).
Menurut Koentj araningrat ( J 984) unsur-unsur yang berasal dari India
mengalami perubahan (transformasi) dalam bentuk, sifat, dan konsepsinya.
Puspowardojo ( I 984) menyatakan hakekat local genius merupakan kemampuan
mengintergrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli-lokal, memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arab perkembanganya.
Magetsari ( 1 984) membagi pemahaman local genius dalam kehidupan
beragama pada masa Hindu Buda menjadi 2 jenis yakni abad 9 (Mataram) dan abad
1 4 (Majapahit). Kedua masa ini memiliki kesamaan yakni menunjukkan adanya
konsep sinkritisme antara Paramitayana dengan Mantrayana pada abad 9 dan antara
Siwa dan Buda pada abad 14. Fenomena ini menggambarkan adanya usaha-usaha
kreatif penggubahan kaidah-kaidah yang berasal di India menjadi baru, seperti dalam
kitab Sang Hyang Kamahayanikan pada abad 9 dan Sutasoma pada abad 1 4. Dalam
Sutasoma tersirat bahwa agama-agama pada akhirnya bermuara pada tujuan yang
sama (Bhinneka limggal lka). Proses kreativitas sinkritisme ini juga digambarkan
pada wujud arsitektur bangunan sakralnya, yakni Candi. Sehubungan dengan hal ini
dapat dikatakan bahwa lndialah yang di-Jawanisasi atau di-lokalkan, bukan Jawa yang
di Jndiakan.
Dalam proses difusi kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya akulturasi di
Nusantara tidak dapat dipisahkan dengan istilah lndianisasi tersebut. lndianisasi
mengacu pada proses penyebaran pengaruh kebudayaan dan agama dari India ke
kawasan Asia termasuk Indonesia. Namun lstilah Indianisasi menjadi perdebatan
besar, banyak para ahli mempertanyakannya. Indianisasi mengakibatkan adanya
pemahaman bahwa Nusantara pasi( terkesan tidak berdaya dalam menerima budaya
asing tersebut. Pendekatan mutakhir dalam permasalahan ini kemudian digunakan
istilah silang budaya seperti yang digunakan oleh Lombard ( J 994) sehingga menjadi
aktif kedua-duanya. Interpretasi ini didukung oleh Brandes dan Kern yang
berpendapat bahwa telah terjadi akulturasi antara budaya pendatang dengan budaya
2
lokal (local genius berperanan di dalamnya)
2
Fontein, Jan & Sockmono R, Edi Scdyawati ( 1 990), The Sculpture ofIndonesia, Washington, USA,
National Gallery of Art, hal 98
38
Candi-candi pada masa Majapahit mcnunjukkan perbedaan yang signifikan
dengan candi-candi scbelumnya. Nilai-nilai budaya asing (India- Cina, Hindu-Buda)
dipadukan dengan nilai-nilai lokal (genius loci dan kepcrcayaan asli) Camli
menunjukkan suatu gambaran hasil perpaduan budaya yang menghasilkan karya yang
baru. Dinamika perkembangan arsitektur candi tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan Budaya. Namun demikian pengaruh lndianisasi masih tampak pada
penggunaan tulisan Pallawa dan bahasa Sanskerta di dalam prasasti-prasasti yang
menurut para ahli berasal dari Kerajaan Indonesia kuno yang mempunyai hubungan
dengan kerajaan-kerajaan di India Selatan. Raja-raj a Indonesia kuno diperkirakan
mengadopsi konsep-konsep Hindu dan Buda dengan perantaraan ahli-ahli golongan
Brahmana atau pendeta yang diundang ke Indonesia 3
Arsitektur candi di Indonesia dipcrkirakan sedikit banyak dipengaruh olch gay a
India Selatan 4 . Narnun bcrdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa gaya candi di Indonesia mempunyai bcntuk yang berbeda dengan India.
Artinya hasil pengadaptasian banyak dipengaruhi oleh pemikiran lokal. Para ahli
meragukan bahwa arsitek-arsitek semua candi di Jawa adalah orang-orang .Hindu
India sendiri, karena sudah banyak unsur asli pribumi di dalamnya. ' Pannono Atmadi
dalam disertasinya membuktikan adanya penyimpangan tersebut, terutama dalam hal
proporsi bangunan. Penyimpangan tersebut akan tampak Iebih nyata Iagi apabila
dibandingkan dengan bentuk candi-candi yang bcrcorak Majapahit.
Pada akhirnya para ahli sepakat bahwa kebudayaan Hindu hanyalah merupakan
lapisan tipis yang terdapat dalam budaya Indonesia, India hanyalah 'lmajeri' .
Eksistensi kebudayaan Hindu hanya menyentuh pada lapisan elite dan bangsawan,
sedangkan pada masyarakat umum yang kehidupannya jauh dari pusat kerajaan masi h
tetap menjalan kehidupan asalnya. Identik dengan fenomena penetrasi budaya
Byzantium kc dalam budaya Rusia Kuno. Dalam proses pembudayaan di Rusia,
model Byzantium menjadi pola yang terukir dalam peradaban Rusia. Orang
cenderung menarik diri untuk mempelajari budaya Byzantium meskipun Rusia tidak
pernah mengalami Byzantiumisasi (Purwasito, 2002).
Kebudayaan Hindu-Buda yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja.
Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia telah rnemiliki dasar-dasar kebudayaan yang
39
cukup kuat, sehingga masuknya kebudayaan asmg kc Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan I ndonesia. Bangunan eandi merupakan representasi
wujuc! akulturasi (sinkritisme), berupa usaha-usaha penggubahan yang krcatif yang
melibatkan unsur kclokalan eli dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa camii
mempakan local historical prototype.
Candi scbagai banf,>unan sakral tidak hanya difahami dalam konteks sekala
(rupa) saja namun juga melibatkan unsur-unsur yang bersifat niskala (arupa) .
Pemahaman tentang ruang candi, tidak hanya ditcrjcmahkan mcnyangkut aspek fisik
' ruang dalam' tctapi harus dipandang scbagai satu kesatuan yang kompleks dengan
ruang-ruang luar yang ada di sekitarnya. Pemahaman tentang ruang dalam konteks
arsitektur Nusantara atau arsitektLII Timur dapat ditafsirkan bcrbcda dcngan
pcndckatan Barat sehingga wujudnya bcrbeda (lain I liyan 6) Hal ini dapat
dianalogikan dengan konsep ruang dalam pemahaman dunia Timur yakni tectonic,
stereotomic, dan ruang antara7 (antara ada dan tiada).
Pada umumnya bangunan suci peninggalan Jaman Hindu di I ndonesia, dikenal
dengan scbutan "candi". Di Jawa Timur bangunan-bangunan tersebut dinamakan
"cungkup". Istilah " candi" dikenal pula di Sumatra bagian Selatan seperti Candi
Jepara di Lampung, dan eli Sumatra bagian Tengah seperti Muara Takus. Sedangkan
di Sumatra lJtara istilah yang digunakan adalah "biaro"seperti candi-candi di
Padanglawas. Di Kalimantan Selatan dapat kita jumpai Candi Agung dekat Amuntai.
Narnun di Bali tidak didapatkan istilah "candi", dalarn arti bahwa bangunan-bangunan
purbakalanya tidak satu pun yang oleh rakyat disebut sebagai candi 8
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia candi diartikan sebagai bangunan kuno
yang dibuat dari batu, berupa ternpat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja-raja
atau pendeta-pendeta Hindu atau Buda. Dalam kamus besar Bahasa Sanskerta
dijumpai keterangan, bahwa candi adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut
candika, sedangkan candigreha atau candikagrha atau candikalaya adalah penarnaan
tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Dalam Bahasa Kawi, candi atau cinandi atau
6 Prijotomo, Josef (2008), Arsitektur Nusantara : Arsitektur Pertedulwn dan Arsitektur 'Liyan
',Pidato
Pcngukuh;rn untuk Jabatan Gum l3csar dalam Bidang Ilrnu/Mata Kuliah Tcori dan Mctode Rancangan
pada Fakultas Tcknik Sipil dan Perencanaan lnstitut Teknologi Sepuluh Nopcrnbcr, Surabaya
7 Van de Yen, Comelis (1991), Ruang dalamArsitektur, Jakarta, PT. Gmrnedia Pustaka Utama
8 Sockmono, R ( 1 974), Candi, Fungsi dan Pengertiannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia.
40
sucandi berarti 'yang dikuburkan ', sedangkan dalam pemahaman arkeologi, cancli
dapat dihubungkan dengan bangunan untuk pemakaman maupun pemujaan. Dalam
prasasti Prambanan istilah candi dapat dikaitkan dengan graha (rumah) yakni
Siwagraha (mmah Siwa - candi Siwa Prambanan). Dalam Negarakretagama dan
Pararaton dikenal istilah dharma, sudharma (dharma hajj), puralpuri (tempat) seperti
Wisesapura, Wisnubhawanapura, Bajrajinaparamitapura yang berkaitan dengan
percandian.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasamya candi dapat mempunyai dua fungsi
utama yaitu sebagai makam dan sebagai kui L Sesuai dengan ungkapan Soekmono
( 1 974) dalam disertasinya, lhngsi candi adalah mempakan tempat/kuil pemujaan, dan
apabila dikaitkan dengan makam raja, maka candi merupakan bangunan yang
dibangun hanya untuk memuliakan raja atau bangsawan yang sudah wafat.
Dumarcay dalam bukunya ' lhe Temple of Java menggolongkan periodisasi
pendirian camli .. Meski secara khusus hanya membahas sejarah perkembangan bentuk
percandian di pulau Jawa. Literatur yang lebih umum atau yang mencakup
pembahasan percandian di luar jawa dapat dilihat di dalam karya Bernett Kempres
yaitu 'Ancient Indonesian Art · dan encyclopedia Glorier yang berjudul " Indonesian
Heritage " volume I dan 6. Literatur pendukung juga dapat digunakan karya Jan
Fontein yaitu 'The Sculpture (Jf Indonesia '.yang banyak mernbahas seni patung pada
candi-candi tersebut.
Empat literatur di atas dapat dipergunakan sebagai mjukan dasar di dalam
rnenganalisa candi di Indonesia, rnelalui Jatar belakang sejarah, sosial-budaya,
teknologi, bahan, geografis, agarna, politik, kosmologi. Sedangkan untuk rujukan
proporsi dan bentuk bangunan dapat dipeq,'llnakan karya Parrnono Atmadi yaitu
'Some Architectural Design Principles of Temples in Java ', karya Andreas
Volwashen . Selain perrnasalahan
prop<Jrsr, alam-ekologi lingkungan ikut
9
mempengaruhi konsepsi desain candi tersebut Topos setempat (lokal) dapat ikut
mempengaruhi orientasi kosmologi tata mang suatu bangunan 10 dan kota, khususnya
bangunan sakraL Hal ini dapat dilihat melalui keterkaitan kosmologi dengan
penerapan wujud mandalanya, seperti penggunaan mandala cartesian (India) dengan
41
axis linieritas (seperti dalam tata ruang permukiman masyarakat austronesia purba)
gunung-laut, dsb.
Kaidah pendidirian bangunan sakral kuno di India diatur di dalam Vatusastra 1 1 .
(Kitab tentang arsitektur) atau S'ilpasastra (kitab pegangan Silpin), yang jumlahnya
cukup banyak, di antaranya Manasara, Mayamata, Silpaprakasa,
Visnudharmottaram, aturan di dalam kitab Purana, atau kitab keagamaan. Bosch
mengkaitkan percandian dl Indonesia dengan kitab manasara yang berasal dari India
Selatan Kitab ini berisi tentang patokan membuat kuil beserta komponennya dan
bangunan profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks
kota/desa, dsb. (Acharya 1933) Sampai saat ini keterkaitan manasara dengan
arsitektur candi Indonesia masih diperlukan pcnelitian lebih lanjut.
Pemball!,>unan suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pimpinan proyek).
Yajamana membawahi dua orang arsitek yaitu Sthapaka ( arsitek pendeta guru) dan
Sthapati (arsitek perencana). Sthapaka bertugas membuat persiapan yang
berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan hal-hal 'gaib' di dalam proses
pembangunan atau perencanaan suatu candi sedangkan Sthapati betanggung jawab
atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Sthapali membawahi Sutragrahin
(pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni hias) dan
Taksaka (ahli pahat).
Terdapat beberapa pnns1p arsitektural 12 pada bangunan candi. Terdapat
beberapa atribut kuat yang selalu muncul dalam desainnya, yaitu: komposisi
geometris-cartesian, unsur garis pada jasade-ejek gelap terang, sosok volumelrik,
ejek prespektifis khu.l<�.mya JXlda atap candi, kesimetrisan, penggunaan aturan
perbandingan skala-proporsi, a.;pek pembagian tiga, pendangan, ragam hias (lihat
lampiran).
I. Komposisi Geometrik
Bentuk geometris merupakan bentuk dasar (basic type) yang signifikan dan
dominan dalam pengolahan desain suatu candi. Pengolahan desain candi selalu
menggunakan komposisi bentuk dasar geometrik, seperti bentuk dasar
persegiempat berikut ornamentasinya pada setiap bagian. Meskipun beberapa
bagian menggunakan ornamentasi ragam bias tumbuhan, binatang, manus1a
11 Volwahsen, Andreas ( I 969), Living Architecture : India, New York, Grosset & Dunlap, Inc., hal 1 3 8
12
Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) lntcmasional Simposium : Jelajah Arsitektur Nusantara, A Studv
on Indonesian 'Temple 'Candi ' A esthetic)
42
namun kcscrnuanya itu dibingkai dan atau diolah di atas bcntuk-bcntuk gcomctrik
(lingkaran, pcrsegi em pat, nJrciform).
Dominasi bentuk g'"'<Jmetris yang digunakan adalah perseg1 cmpat
(bujursangkar maupun persegipanjang). Secara umum sosok candi dapat
digambarkan sebagai bentuk geometris baik dalarn pengolahan ekpresi tampak
maupun denah dan perletakannya. Bentuk denah pada candi selalu menggunakan
bentuk-bentuk geometrik yang memi liki titik pusat yang bedungsi sebagai inti
sakral. Bentuk-bentuk ini bempa l ingkaran, bujursangkar dan cruciform (bentuk
persegi panjang yang digunakan untuk tempat sernedi/ditinggali).
2. Elemen Garis
Garis rnerniliki peranan yang signifikan dalarn rnernbentuk estetika pada setiap
bagian dari candi. Pengolahan garis dapat bempa garis-garis horisontal seperti
pelipit pada bagian peralihan setiap bagian dan vertikal bempa bingkai pengapit
(kolorn sernu) pada badan dan kaki, rnaupun dudukan kepala. Garis terscbut diolah
tirnbul dari permukaan bempa hiasan moulding. Pengolahan garis pada suatu
candi biasanya d idorninasi olch unsur horizontal seperti pelipil pada bagian
peralihan sctiap bagian dan unsur vertikal bempa bingkai pengapit (kolom sernu)
pada badan dan kaki, maupun dudukan kepala.
Pcngolahan garis ini diwujudkan melalui penggunaan hiasan moulding yang
dapat rnenirnbulkan efek gelap-terang/ fibTtJre-ground dan pcrrnainan kedalaman
perrnukaan candi bila terkena sinar matahari. MmJ/ding pada candi sclalu berada
dalarn suatu fi'ame yang terdapat pada setiap segrncn candi. Sepcrti pada kaki
candi, terdapat moulding yang rnembentuk suatu frame. Antara peralihan segmen
candi, selalu ditandai dengan bentuk moulding yang berbeda dengan moulding di
bawahnya.
Pengolahan yang digunakan pada tiap bagian candi biasanya cenderung tidak
didorninasi pendekatan substraktif dibandingkan aditif sehingga berkesan masii�
volumetrik. D i samping itu bentuk yang volurnctrik tersebut disusun rnembentuk
siluet sosok yang rnernbentuk kesan segitiga. Elemen kepala-badan-kaki
dikomposisikan dan diintegrasikan untuk rnernbentuk satu sosok yakni bentuk
segitiga. (secara filosofis bentuk segitiga mengacu pada konsep bentuk Gunung -
candi rnerupakan manifestasi dari Mahameru ) . Meskipun ada elemen yang
43
menonjol, semuanya dikomposisikan sedemikian rupa sehingga secara total tctap
mcnggambarkan satu kesatuan yang tercermin dalam bentuk segitiga tersebut.
Siluct bentuk scgitiga terscbut mcnunjukkan suatu bentuk yang stabil, sesuai
dengan konsep surgawi. Dalam satuan yang lebih kecil bentuk segitiga juga
ditunjukkan oleh sosok atap candi berikut elemen penghiasnya. Atap candi tidak
lain adalah gambaran tempat kedudukan dewa-dewa di Mahameru, sehingga tidak
heran jika sosok segitig'a banyak ditemukan di sana.
4. Efek Perspektifis
5 . Kesimetrisan
Keseimbangan berhubungan dengan kualitas gerakan mata ketika mata
melihat sebuah objek secara keseluruhan. Pada candi hal ini nampak jelas dan
dibantu oleh adanya beberapa elemen yang menonjol pada bagian kanan, kiri, dan
tengah untuk menunjukkan kesimetrisan dari bangunan tersebut. Pengolahan
arsitektur candi menerapkan keseimbangan yaitu adanya kesimetrisan bagian kiri
dan kanannya. Keseimbangan yang simetris juga nampak pada semua komposisi
elemen estetikanya, seperti ornamentasi, elemen atap, dan sebagainya.
Bagian tengah pada pengolahan kepala, badan, dan kaki merupakan titik aksen
yang memperkuat adanya garis simetri yang membagi sama kuat antara bagian
kiri dan kanannya. Dapat dikatakan sccara vertikal bahwa bagian kiri merupakan
cermman dari bagian kanannya, demikian pula sebaliknya. Komposisi
keseimbangan yang selalu ditekankan pada tiga titik (pada kepala dengan elemen
simbar, pada badan elemen pintu dan relung area, dan pada kaki pada elemen
tangga dan ornamen bingkai) pada semua bagiannya.
Komposisi demikian pada candi Hindu bisa dihubungkan dengan konsep
Trimutri atau konsep menyebarnya atman dari Brahman ke penjuru dunia. Irama
dan ritme serta perulangan diciptakan pada pemberian elemen pelipit pada setiap
44
bagian peral ihan bidang. Ketcraturan pada pernberian elernen m1 menyebabkan
bangunan menjadi tidak monoton atau sekedar datar saja.
6. Rasio perbandingan Iebar pintu (lp) dengan tinggi pintu (tp) � lp/tp adalah y,
45
7. Untuk bangunan dua lantai, tinggi dari kaki candi 3/28 0, 1 0 dari tinggi
diukur dari puncak atap sampai dasar
Proporsi mcnunjukkan pcrbandingan panjang, Iebar, dan tinggi, dan semuanya
pada umumnya dapat dinyatakan dalam pcrbandingan numerik. Proporsi diatur
sedemikian rupa untuk menghasilkan kesan vertikal yang kuat (nampak dari
bentuk elemen penghias yang umumnya ramping), namun diimbangi oleh
elemen yang melebar ke arah samping untuk menciptakan kesan kokoh dan
stabil. Proporsi merupakan salah satu unsur yang turut menentukan aspek
kesatuan pada bangti'nan candi tcrscbut, karena proporsi berkaitan era! dengan
hubungan geometrik, rasio/perbandingan antar bagian dalam suatu komposisi.
Berdasarkan penelitian tcrdahulu ", diambil contoh misalnya pada masa abad
1 3 candi-candinya menunjukan adanya penyimpangan dari lata aturan baku
dalam manasara, semakin muda umurnya maka pcnyimpangannya semakin
jelas
Skala perbandingan antara kaki, badan dan kepa1a disusun untuk menimtmlkan
kesan stabil. lni dapat dilihat pada komposisi kesatuan kaki yang terlihat dominasi
I ebar terhadap tingginya, karena kaki bcrfungsi landasan. Mnlai bagian badan,
skalanya mcngecil terhadap Iebar, dan berubah ke arah tinggi, untuk menunjukkan
irama yang meningkat. Kemudian pada bagian kepala, kesan vertikalitas 1m
7. Pembagian Tiga
1 3 Prajudi, Rahadhian (2002): Penelitian : Kajian Proporsi Arsitektnr Candi Klasik Muda di Jawa
Timur, Lcmbaga Pencliti:m Unpar
46
8. I>t�rulangan
9. Ragam Hias
Mcnurut Bosch, terdapat beberapa perbedaan yang menyangkut seni bias dan
seni area pada candi. Hal ini disebabkan karena dalam manasara tidak terdapat
ketentuan jenis relief macam apa yang seharusnya dipahat di dinding bangunan
suci, hanya disebut bahwa kuil dapat diberi hiasan agar terlihat indah (Bosch
1 924: 26)� Di Jawa, simbolisme dari keistimewaan dekoratif lebih kaya clari
daerah manapun juga. Empat macam kategori dari dekorasi yang bisa dibedakan
pada candi :
a� Relief naratif, menceritakan peristiwa-peristiwa hidup, legenda-legenda dewa
dewa atau tema syair kepahlawanan yang selalu memainkan peranan utama
dalam kesenian di Indonesia.
47
b. Patung besar dari dew<Hlewa (bodhisa/lva), biasanya diukir di dalam rclung
atau di antara pilaster dari candi.
c. Dekorasi yang diinspirasikan secara utama dari tumbuhan yang hidup, seperti
daun-daun ornamental, lotus, pohon yang "memberikan keinginan", simbol
simbol menguntungkan yang diwarisi d ari India.
d. Kepala Kala-makara, yang berberwujudkan binatang (siluman/monster)
bertanduk dengan mata yang melihat dengan tajam, sama seperti "topeng
kemenangan" (kirtimukha) dari ikonografi bangsa India dan diletakkan di
puncak arch (lengkungan). Setiap ujungnya diberi hiasan dengan kepala
makara (sebuah rnakhluk !aut dengan bclalai gajah). Kala dan makara sering
berfimgsi sebagai y;argoyle (hiasan patung makhluk rnenyeramkan pada gercja
Gothic -· juga berfungsi sebagai talang air) yang dibuat di sekeliling bangunan.
Ragam Hias candi rnenunjukkan pula adanya elemen yang mendominasi pada
setiap bagian memberikan kesan adanya "point of interest". Pada bagian kepala
ditunjukan oleh bagian ornamen yang lebih besar pada bagian tengah, kanan dan kiri.
Pada bagian badan kita bisa rnenemukannya pada elemen pintu masuk yang memiliki
detail yang lebih baik dan lebih menonjol dan konscp ini pada bagian kaki diterapkan
dengan adanya elemen tangga. Dari semua elemen yang menjadi "point of interest"
tersebut, bagian lengah memiliki di antara ketiganya. Point of interest tersebut akan
memperkual kesimetrisan yang dapat mendukung keseimbangan (adanya kesimetrisan
bagian kanan yang merupakan penceminan bagian kirinya - dan juga sebaliknya). Hal
ini mencerminkan kesan stabil dari bangunan itu sendiri.
Pengkajian desain arsitektural secara umurn tidak dapat dilepaskan dari aspek
tala ruang-massa, anatomi sosok-fasade, unsur dekoratif, material, dan lingkungan,
tennasuk di dalam menganalisis kaitan percandian dengan bangunan lainnya.
KarakteristiklAtribut yang tercermin dalam desain percandian di atas dapat
diwujudkan ke dalam tata ruang-massa, anatomi sosok-fasade, unsur dekoratif,
material, dan lingkungan. Berdasarkan studi tersebut akan diketahui kontinuitas dan
diskontinuitas elemen-elemnya. Latar belakang kescjarahan menjadi landasan dalam
memahami kontekstualitas penggunaan kembali representasi percandian. Melalui
pengkajian tersebut diharapkan dapat diketahui peluang pengembangannya dalam
desain arsitektur pada masa modem
48
j
___ ___!
Efck Pcrspektifis
Garis dan Efek Gelap Tcrang
Geometrik
Simetris - Keseimbangan
Pembagian Tiga
49
I '
•
. P. .D.... r-
.
.
.
u:
"
"
.,
�:-�e-=-�---��liL�,_-- - {
�--· J'" ._,
•.•
J
�·�
r:·I �\t�
['4"�J" �r t.
�"
___
t·
�
•
�
.1> .
.
. I E
I
�
\1
\\1\
fDl
L;t.d l �' I
:
.
..,. . . . . .. . . ..... . ..... ... .... .
KomPleks rCandi
..
· .p. rrr"\
.·.
[) I
A-\'j:J , J u m bu r\�\
·
Dieng • I_ 11ldU V
.
l'
.. arly Classic -
1- :
:
Mid<lle ClaSSIC
Hindu-Saivd
. Buddha
Late ClassJc
.·-----���::������ . �--�
Gb 3.4. K 0 nsep D uahsme da�����JP�
lam l�;�tkkan
Perleta ;k;��-
;n.:::·�-���"i,near dan Konsetris
Cand•,
·
. . '
· ·
· · ·
Middle Classic
50
BAH 4
REPRESENTASI CANDI Dl DALAM SOSOK ARSITEKTUR
MODERN DI I NDONESIA
Pandangan umum menyatakan modern berasal dari bahasa Latin pada abad kc-5,
yakni modemas yang digunakan untuk mcmbedakan orang Kristen dan Rornawi dari
zarnan Pagan. Mcnurut Turner (2003), istilah ini digunakan untuk rnenunjukkan ' masa
kini' yang berbeda dengan masa lalu. Menurut Habcrmas dalarn Turner (2003) istilah
modern mernpunyai pcngertian ' kesadaran akan jaman bam yang rnembentuk dirinya
sendiri dengan cara rnemperbami hubungannya dengan rnasa lalu. Di sisi lain,
hubungan dengan rnasa lalu hanya merupakan metode untuk menunjukkan te1jadinya
suatu keharusan. Menumt Calinescu, istilah modernisme rnerupakan perwujudan
kesusastraan universal dari krisis kejiwaan yang ditemukan dalarn seni, ilmu
pengetahuan, agama, dan politik secara bertahap dalarn semua aspek kehidupan (Turner,
2003).
Dalam konteks Barat, Berman ( 1 983) membagi tahapan perkembangan
modernisme atas tiga bagian. Pertama, antara awal abad ke 1 6 sampai akhir abad 1 8,
yakni sejak manusia mengenal kehidupan modern (didorong oleh renaisancc) Kedua,
masa setelah revolusi Prancis, saa1 terjadi kekacauan di bidang sosial, politik, dan
individu. Ketiga, pada saat te1jadi globalisasi kebudayaan modern (Turner 2003).
Sedangkan dalam konteks arsitektur, modernisme dipicu oleh munculnya pemikiran
pemikiran bam yang d idorong oleh revolusi industri di dunia Barat. Le Corbusier pada
tahun 1 920 dalam majalah L ?osprit Nouveau menyatakan " Jaman agung sudah mulai,
Di sana terdapat eli jiwa bam : jiwa bam tersebut ada1ah jiwa pcmbangunan dan jiwa
sintesis yang dituntun oleh suatu konsepsi yangjelas."
Di sisi lain Jencks ( 1 992) membagi tradisi-tradisi dalam perkembangan
arsitektur modern ( 1 920 -·· 2000an) ke dalam enam pendekatan, tradisi Idealist dan
Logical yang mengacu pada doktrin modernisme secara umum (fungsionalisme
efisiensi, dsb), tradisi Activist dan Intuitive yang mengacu pada gerakan dan pandangan
pandangan yang fantastik-utopia-visioner (seperti konstruktivism Rusia, Avant-garde),
dan tradisi Self Conscious dan Unself Conscious yang mengacu pada pandangan yang
me-refer pada aspek kesejarahanlmasa lampau baik secara sadar (revival) rnaupun tidak
disadari-alamiah (natural). Meskipun tradisi Idea/is, Logical, Intuitive dianggap sangat
kuat mendominasi arah arsitektur modern (seperti dalam ClAM}, namun sebenarnya
51
tidak semua berpandangan scperti yang telah digariskan Tradisi Idealist , Logical,
Intuitive, Activist adalah cerminan dari konsep modernisme yang menekankan pada
fungsionalismc. Pemikiran ini mendominasi desain arsitektur di tahun 20-an. Namun
harus diakui di sisi lain juga muncul tradisi S'elf Conscious dan Unself conscious yang
menekankan pada konscp romantisisme-kcscjarahan.
Pembakakan perkembangan arsitektur modern di Indonesia secara eksplisit
belum didefnisikan dengan jelas. Dalam konteks arsitektur masa modem ditandai
seiring dengan masuknya pendekatanlpemikiran-pemikiranlkonsep bam/modern yakni
sekitar awal abad 20an-masa kolonial yang berlanjut sampai saat ini (Sumalyo, 1 997).
Pemahaman modern secara luas dimulai dengan adanya inovasi-inovasi bam dalam
desain yang menunjukkan adanya perbedaan dengan masa scbelumnya.
Berdasarkan beberapa dcfinisi di atas pengertian arsitektur modem tidak terbatas
hanya menyangkut permasalahan modernisme saja narnun juga mengarah pada
postmodernisme. Dalam studi ini perkembangan arsitektur yang dijadikan patokan
dalam pemahaman tentang arsitektur modern adalah dimulai tahun 20-an (masuknya
faham-faham bam seperti modernismc) sampai saat ini (globalisasi ·Turner 2003). Pada
masa Modcrn-Kolonial pengadaptasian arsitcktur candi mengarah pada scmangat
pencarian identitas /karakter yang khas Indonesia dan program misionaris. Candi
dianggap sebagai salah satu seni arsitektur yang dapat mcrepresentasikan keunggulan
nilai-nilai yang berasal dari kelokalan, meskipun beberapa arsitck Belanda masih
memandang bahwa candi-candi di Jawa masih 'kental' dengan kebudayaan India.
Model strategi pengadaptasian yang dilakukan pada masa kolonial dapat secara
langsung maupun tidak langsung.
4. 1 Masa Kolonial
Pada masa Kolonial pcngaruh percandian nampak pada aristektur di awal abad
20-an. Di awal masa kolonial (VOC) arsitektur yang dibangun lebih mcngacu kepada
banb'tman-bangunan yang ada di Eropa (Belanda), seperti Stadhuis-Batavia (sekarang
museum Fatahilah) yang identik dengan balaikota lama di Amsterdam, kemudian
setelah runtuhnya VOC, muncul gaya Empire Style yang diperkenalkan pada jaman
Deandels di Hindia Belanda. Gaya ini juga mengacu pada gaya Neo-Klasik dan unsur
unsur Barok di Eropa. B aru pada akhir abad 19 dan awal ke-20 mulai timbul gejala
lndisch dalam arsitektumya, yakni terjadinya percampuran atau sinktrismc/hybrida
52
antara arsitektur Barat dan tradisional di Indonesia, misalnya penggunaan atap joglo
dengan kolom klasik (dorik/ionik), penggunaan teras dan teritis (tanggapan terhadap
tropis), pcnggunaan ornamcntasi yang berasal dari pcreandian, scpcrti kala makara, dsb.
Gb 4.1 Balai Kota Lama di Amsterdam dan Batavia (Museum Fatab.ill ah sekarang).
Politik Etis (Ethische) di Belanda sangat j el as i mp li kas inya dalam bidang arsitektur
yaitu mcndorong dibuatnya fungsi-fungsi bangunan modern pada area perkotaan misalnya
seperti rumab sakit, bank dan sekolab-sekolab, dsb. Selain itu pada masa ini dimulailah
tersebut membawa pengaruh dari aliran-aliran arsit ektur yang berkem bang di B eland a .
Kebang k itan kembali arsitektur Belanda sebenarnya dimulai dari Hulswit and Cuypers
b eraliran Nieuwe Kunst, M. de Klerk-dkk ( ! 884- ! 927) dari Amsterdam School, Retvielt
dkk dari aliran ne Stijl, Prof Granpre dari Delji School Aliran-aliran tersebut pada
umumnya d i k enal sebagai bagian dari aliran Modernisme yang berkembang pesat di Eropa
A walnya pad a era ini karya arsitektur Belanda di Indonesia banyak mengacu kepada
B erlage b any a k mengkritik karya arsitektur yang tidak tanggap t erhadap konteks lokal,
yang dianggapnya seperti kandang anj ing y ang d ipcrind ab. Berlage mengusulkan
p en tingnya acuan terhadap kelokaJan baik dari gaya ataupun bahan untuk dapat
dikembangkan menjadi gaya arsitektur baru di Hindia Belanda. Pada awal tahun 20-an
ars itekturnya. Menurut Berlage ' bangsa Indonesia harus memilki gaya dan langgam
arsitekturnya sendiri '. Dalam bukunya 'Myn lndishce Reis ' tahun 1 93 1 , B erlage
menyatakan ' bahwa kelak kita bakal menyadari, babwa akan labir suatu gaya arsitektur
53
lndon es ia E ropa
- , yang terwujud dari s intesa perpaduan system struktur bangunan Barat
d engan bentuk seni budaya Timur. Dari perpaduan teknik dan gaya arsitektur seperti itulah,
sosok bangunan bam dapat d i k cmbangkan '. Kritik yang dikcmukru1 Bcrlagc tcrscbut
kernudian. Wujud aliran yang berkembang di Hindia Belanda kemudian dapat dibedakan
menJ ad J dua yakm ( I ) ahran yang menggunakan adaptasi gaya lokal dan (2) aliran yang
mengadaptasi modernisme d i Barat Meskipun terbagi menjadi dua aliran tetapi tidak
dalam karya-karyanya.
Nusantara, realisasi dari konsep asimilasi desain arsitektur modern Eropa dan
ba ngu nan kolonial Belanda merupakan salah satu media yang dipakai oleh para arsitek
Belanda pada waktu itu, untuk memenuhi tuntutan akan pembentukan citra Arsitektur
arsitek yang ada pada waktu itu seperti Edward Cuypers, BJ. Ouendag dan J.F.
gaya lokal masih belum terasa eksistensinya, dan kalaupun ada masih berupa elemen
tempelan yang agak dipaksakan. Hal ini dapat d ibuktikan pada bangunan Javasche Bank
yang ada di Bandung dan d i Jakarta, dimana hiasan candi seperti kepala kala dan
makara letaknya tersamar dan tersembunyi. Namun demikian Jambat laun penggunaan
54
Early Classic Middle Classic Late Classic
kaki), studi tentang elemen pengolahan fasadenya seperti order pada elemen garis
(moulding)-bidang (jendcla dan kolom semu)-volum (kemasifan), studi tcntang elemen
dan dekorasinya (ornamen, relief, patung), studi tentang perletakannya ( orientasi
komposisi tata mang-massa), dan studi tentang bahan-teknologi (batu, terakota).
Karsten mengkritik para arsitek Belanda yang sekedar "menempel" elemen
tradisional pada bangunan yang dirancangnya. Menurutnya, penempatan ornamen
kepala kala di atas pintu masuk hanyalah sekedar karikatur. Karsten juga memberikan
pernyataan mengenai arsitektur Hindu-Jawa. !a menyatakan bahwa arsitektur Hindu-
55
Jawa perlu dipertimbangkan kctika mcmilih clemen lokal. Arsitcktur Hindu-Jawa 1111
tidak "hidup" lagi di dalam masyarakat Jawa. Teknik pembuatan bangunan dari batu
sudah tidak dipergunakan lagi. Bcntuk-bcntuk sepcrti candi, ornamennya serta konsepsi
rancangannya sudah tidak lagi dipcrgunakan dalam rnasyarakat Jawa. Bangunan
bangunan sedernikan tidak rnengernbangkan interior, melainkan lebih rnementingkan
pengolahan kulit bangunan (eksterior). Oleh karcnanya dapat dimungkinkan untuk
rnenghubungkan arsitektur Hindu-Jawa dengan bangunan modern namun perlu
diperhatikan jangan sampai hal ini hanya sekedar tempelan atau sekedar penyamaran
saja. Pont memiliki gagasan yang serupa dengan Karsten mengenai bagaimana
seharusnya Arsitektur lndo-Eropa itu. Ia juga mengkritik sistem politik pernerintah
kolonial yang walaupun telah menggunakan Politik Etis tetapi terlalu menekan
masyarakat tradisional beserta budayanya sehingga sulit untuk berkembang. Oleh
karenanya arsitektur Indo-Eropa sulit untuk menemukan jati dirinya karena menjadi
lemah akibat tekanan sistem politik kolonial yang belum banyak terbuka untuk
menerirna kebudayaan lokal
Maclaine Pont merupakan saJah satu arsitek Belanda yang berupaya menggunakan
pendekatan lokaJ dalam desain modemnya Misalnya karya Maclaine Pont untuk bangunan
Tcchnische I-Ioogeschool ( 1 9 1 9- 1 920)-aula Barat-Timur ITB. Atap bangunan tersebut
sekilas mirip dengan atap bangunan Batak (mandailing), tetapi disisi lain juga diidentikan
dcngan atap Sunda (sunda besar), bahkan ada yang berpendapat terdapat unsur-unsur atap
Minangkabau-Padang. Dalam relief percandian juga ditemukan gambaran bentuk atap yang
sejenis. Pont juga menggunakan beberapa unsur candi, seperti tampak pada pcngolahan
tangga. Terlepas dari silang pendapat yang terjadi di dalam menganalisis bangunan tersebut
namun pada dasarnya bangunan tersebut merupakan hasil dari adaptasi konteks lokal yang
berasal dari arsitektur tradisional lndonesia atau mengacu pada modifikasi bentuk arsitektur
Austronesia Purba. Pont juga seorang peneliti purbakala, sehingga wawasan yang diperoleh
dari penelitian arsitektur purbakaJa menjadi referensi daJam desainnya. Di samping adanya
kelokalan unsur kemodernannya ditunjukkan pada teknologi struktur yang inovatif pada
jamannya. Semangat modern tetap ditampilkan tetapi unsur kelokalan juga tidak
ditinggaJkan (terjadi sinkritisme di dalarnnya) khususnya yang berasal dari wawasan
arsitektur purbakala di Jawa.
Pont merupakan orang pertama yang merekonstruksi dan menyelidiki situs
peninggalan Majapahit di Trowulan. Oleh karena itu banyak inspirasi yang didapatkan dari
peninggalan Majapahit tersebut khususnya penggunaan bahan terakota dan omamentasi
56
candi . Hal ini nampak pada karyanya yakni gercj a Puh Sarang di Kediri, dimana altar
tabenakelnya menggunakan bahan terakota yang dihiasi ragam hi as yang berasal dari unsur
percandiau Ma]apahit Tatanan ruang luar kompleks ini juga mengindikasikan adanya
pengguna;m pol a gcornetrik yang berasal dari bentuk mandala candi, seperti candi .Jago atau
Penataram. Area ini sekarang difungsikan sebagai rnakam pastur. Seperti halnya Aula
Barat-Tirnur ITB unsur kelokalan - candi juga disandingkan dengan unsur yakni teknologi
strukturnya yang inovatif (kabel di tahun 20-an). Bangunan pada kompleks mi juga
'i 8
Gb 4.7.Candi dan Elcmcn Arsitcktur Gereja
59
Selain Pont adaptasi unsur-unsur yang berasal dari arsitcktur candi juga
d itunj ukkan oleh Gerber dalam desain Gedung Sate. 13angunan ini dapat dikategorikan
kc dalam hibrida lokal, yakni mengandung unsur lokal dan pengaruh dari luar. Di sana
tercermin gaya-gaya arsitektur yang berasal dari luar seperti India, Moor, dsb. Namun di
dalamnya juga tercermin adanya unsur-unsur lokal, khususnya berasal dari arsitcktur
percandian. Gedung Sate direncanakan sebagai pusat pemerintahan Gubernur Jendral
Hindia Belanda, sehingga sebenarnya unsur ke-Belanda-annya juga tampak, tipologi
sosoknya mengingatkan pada bangunan Stadhuis (Museum Fatahillah) yang mempunyai
cupola di tengahnya (seperti balaikota lama eli Amsterdam). Namun karena bertempat di
I ndonesia maka unsur lokalnya harus ditonjolkan, sehingga cupolanya diganti dengan
bentuk meru seperti atap candi-candi di Jawa. Sosok gedung sate kemudian dapat
dikaitkan dengan sosok siluet candi Borobudur. Menurut majalah Oesterreichs Bau Und
Werkunst, Wien tahun 1 924, dinyatakan bahwa Gedung Sate banyak diilhami oleh
keanggungan candi Borobudur. J>ada masa itu candi-candi mulai direkonstruksi dan
dipugar, sehingga tidak heran jika kemudian dijadikan referensi dalam desainnya.
Namun karena candi-candi di Jawa masih dalam taraf pemugaran maka dimungkinkan
bahwa gerber kemudian menyadur bentuk-bentuk dari India yang d ianggap sebagai akar
aritektur candi.
:-:,-�;?f/.
•..
Unsur arsitektur percandian dalam desain Gedung Sate dapat dilihat pada
elemen yang berupa moulding di bagian kaki dari gedung ini. 'J>ermainan' pelipit pada
bagian kaki bangunan sangat identik dengan pelipit yang terdapat pada kaki cancli
(seperti Candi Borobudur). Pelipit ini juga dapat dijumpai pada skala dan ukuran yang
lebih kecil seperti pada leher pilaster yang membentuk !rave. Selain itu pada bagian
pintu masuk, terdapat penebalan dinding untuk mempertegas entrance, yang juga
menggunakan perrnainan pilaster. Sedangkan untuk moulding vertikal, dapat terlihat
pada penggunaan elemen kolom semu. Kolom semu ini mengingatkan pada fasade yang
ditampilkan pada percandian klasik tua dan tengah di Jawa. Kolom semu pada Gedung
60
Sate dapat dibcdakan rncnjadi dua macam. Tipe pertama adalah kolom semu yang
bersifat dua dimensi yang ditonjolkan pada setiap pilmter gcdung. Sedangkan kolom
semu tipe kcdua adalah kolom senm yang bcrupa tonjolan perscgi cnam dcngan ukuran
yang cukup besar pada pengakhiran kiri dan kanan bangunan. Selain pengolahan
moulding, unsur candi juga nampak pada pengolahan pintu masuk Gedung Sate, hiasan
pada pintu masuk ( candi klasik muda-Maj apahit), dan penggunaan meru untuk
mahkotanya. Awalnya gaya ornamentasi gedung ini dikaitkan dengan gaya arsitektur
Thailand, namun hal ini kurang berdasar, meskipun konon tukang-tukang yang
membangunnya scbagian d idatangkan dari Siam. Arsitektur Gcdung Sate adalah salah
satu yang dipuji olch Berlage sebagai gaya arsitcktur baru yang kontckstual di !·!india
Belanda.
Gb 4.9 Profil
Moulding
pada kolom,
Entance, dan
kaki
61
••
• •••
Perkebunan). Mahkota atap dihisasi motif yang rnenggarnbarkan candi klasik rnuda,
selain itu penggunaan moulding horizontal yang berkarakter candi, terdapat pada pelipit
bagian kaki bangunan yang sebenarnya rnerupakan fondasi bangunan. Pelipit pada kaki
ini sebenarnya cukup identik dengan karak1er pelipit yang ada pada kaki Gedung Sate.
Penggunaan pelipit juga didapati pada bagian kolom pengakhiran pada sisi kiri dan
kanan. Tampak pada kapital dan dasar kolom dihiasi dengan pelipit. Selain itu elernen
pelipit juga terdapat pada bagian porch yang berbentuk kubus, tepatnya pada bagian
62
Gb 4.1 I . gedung HVA dan candi
63
Terobosan lain yang dilakukan dalam adaptasi desain candi dalam bangunan
modern pada jaman kolonial adalab yang dilakukan CPW. Schoemaker. Schoemaker
merupakan arsitek yang beral iran Art-Deco dan produktif menghasilkan karya-karyanya
LW (Schoemaker pernah bertemu Frank LW). Hal ini dapat dilihat dari keidentikan
karyanya, seperti tcrlihat dalam pengolahan fasade muka bangunan. Seperti halnya
Frank LW, seni arsitektur yang dikembangkan oleh Schoemaker salah satunya adalah
penggalian arsitektur purbakala, seperti candi. secara umum prinsip arsitektural candi
didasarkan kepada prinsip religiusitas dan prinsip keseimbangan dengan alam Oleh
Indonesia harus dipelajari dan dikembangkan oleh para arsitek agar perkembangan
Arsitektur Indo-Eropa dapat terwujud dan d ipercepat. Oleh karenanya para arsitek harus
mempelajari arsitektur Hindu-Jawa atau arsitektur candi, karena hal ini merupakan
Dalam desain candi salah satu unsur estetika yang ditampilkan adalah
penggunaan elemen garis-garis fasadenya baik vertikal maupun horisontal. Pada masa
garis horisontal baik pada moulding, ragam hias, dsb. Garis-garis ini jika terkena sinar
matahari (tropis) memunculkan efek gelap terang, jigure and ground, sehingga terkesan
menjadi 3 dimensi. Schoemaker pernah melakukan studi make! suatu candi untuk
melihat efek bayangan cahaya pada pelipit-pelipit pada candi. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penggunaan unsur garis pelipit horisontal pada bangunan modern
64
Gb 4.12. Studi Maket Candi dan Candi
Villa Isola. Villa Isola merupakan bangunan dengan desain yang terlihat 'baru' atau
melihat efek bayangan, efek gelap terang, dan beberapa komponen garis dan bidang pada
dinding candi. Bangunan Villa Isola didominasi oleh unsur-unsur garis horizontal bempa
dari kulit bangunan. !'ada bangunan ini Schocmaker menerapkan prinsip penggunaan
moulding yang sebelumnya tidak pernah digunakan oleh para perancang dari bangunan
Belanda lainnya.
G b 4. 1 3 Villa Isola
65
Moulding pada Villa Isola bempa teritisan dan lantai kantilever yang
difungsikan sebagai balk on. Bcntuk dari moulding ito sendiri berupa garis lcngkung dan
garis datar Garis l engkung diletakkan sebagai foreground scdangkan garis datar
dibandingkan dengan garis datar Moulding vertikal pada bangunan ini tidak dijurnpai
karena tidak ada clernen seperti kolorn sernu yang biasa terdapat pada candi. Kalaupun
ada elemen vertikal yang · narnpak adalab semacam menara kernbar pada tampak
apabila kita l ibat dari tampak muka. Bagian tengah merupakan bentuk persegi empat
yang diapit oleb dua menara yang juga berbentuk persegi panjang. Pengakhiran dari
sayap kiri dan kanan bangunan juga merupakan bentukan perscgi empat yang berundak
makin rendab ke arah kiri dan kanan. Kemudian benmdak makin mengecil ke arab kiri
dan kanan. Prinsip pengomposisian sosok dengan bentuk d i tengah yang lebih tinggi
atau dengan kata lain berkarakter segitiga simetris merupakan prinsip komposisi yang
Gb 4.14.Pengolahan Garis
Bentuk lain yang memiliki unsur geometrik adalah bingkai-bingkai jendela yang
terbentuk dari moulding horizontaL Moulding Villa Isola selalu berada dalam komposisi
geometrik, seperti candi . Komposisi geometrik merupakan bagian dari prinsip estetika
candi, terlibat pada tampak bangunan babwa bentuk geometrik yang ada seperti pada
jendela, selalu berada pada bingkai (frame) yang tcrbungkus oleh moulding Elemen
moulding selalu membentukfiwne baik pada segmen badan maupun kaki candi. Setiap
segrnen candi selalu dilengkapi moulding atas dan bawah yang mernberikan titik
dengan arab u t ara mengh ad a p Gunung Tangkuban Perahu dan arab selatan rn eng ha c! ap
K ota Bandung. Pcnggunaan suntbu utara-seiatan dcngan berorientasi pada sesuatu yang
66
sakral (gunung atau ]aut) merupakan orientasi kosrnis masyarakat di Pulau J awa Hal
(lnstitut Tcknologi Bandung/JTB) yang berorientasi pada Gunung Tangk uban Pcrahu
dan Kota Yogyakarta pada Gunung Mera p i . Orientasi sumbu-sumbu ini j i k a ditinjau
pcngolahan geometris. Geometrik adalah u nsur yang paling kuat dalam seni arsitektur
percandi a n . Pcngadaptasian candi tidak dapat d i l cpaskan dari studi tentang gcomctrik
candi, seperti di dalam wuju d denah dan tampaknya. K arakter geometrik i n i dapat
berwujud ornamentasinya maupun gubahan massa dan ruangnya. Karakter guba han
massa geometrik yang bcrasal dari percanclian menunj u k kan rcprcscntasi yang kbas.
Art-Deco yang d i kembangkan olch arsitek belanda sangat sclaras dengan unsur-unsur
desain pcrcandian tersebut, sehingga dapat memperkaya pcrwujudan art-dcco yang rnc
lokal (mengacu pada unsur Indonesia). Art-dcco scndiri adalah gaya arsitektur yang
apalagi diramu dengan De-Stijl yang kubisme (modern) ataupun .Jugentslj! yang plastis
d i n a m i s d i Hindia Belanda. Schoemaker adalah salah satu arsitek yang menganut art
deco tcrsebut, sehingga tidak heran jika pengaruh Frank LW muncul dalam clesainnya.
67
Gb 4.16. Karya Fl Wright (kiri) dan Schoemaker(kanan)
Pont dan Schoemaker mempunyai kesamaan visi dalam mengadaptasi desain
percandian. Namun di sisi lain adapula yang benar-benar memindahkan gaya arsitektur
candi untuk fungsi yang lain, seperti bangunan gerej a Ganjuran. Kompleks gereja
Ganjuran mulai dibangun pada tahun 1 924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan
Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Pembangunan gereja yang dirancang oleh
arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu bentuk semangat sosial gereja
(Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bcrsaudara. Nuansa percandian terlihat pada
elemen sakralnya berupa altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont
(wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan
Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga d igambarkan tengah memakai
pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta
Hindu. Selain gereja ganjuran arsitektur candi secara 'eksplisit' juga digunakan pada
bangunan pavillion Hindia Belanda d i World Fair, San Fransisco tahun 1 939. Bentuk
atap gaya candi Panataran ( candi-candi klasik muda) digunakan sebagai atap bangunan
dalam pavilion tersebut. Belanda membangun pavilion ini digunakan sebagai promosi
dalam pembangunan daerah jajahannya. Gaya arsitektur candi klasik muda dianggap
68
G b 4. 1 7 Gcrcja Ganjuran, Patung Bunda .">1 a ria- Ycsus
69
Arsitck Bclanda dalam mengadaptasi arsitcktur candi, melakukan pendekatan
secara ornamcntal-eklektik dan non eklektik (mencari model adaptasi yang lebih
abstrak), atau mengkombinasikan antar keduanya. Proses ini menunjukkan bahwa candi
mempunyai peranan yang kuat dalam membentuk karakter yang bersumber pada unsur
lokal. Candi dapat d ianggap sebagai reference yang berakar pada 'local historical
prototypes '.
·
----- · ·-- -· ·
- ··--
4.18. Atap Klasik Muda pada bangunan Pavilion di Worldfair 1939 dan
rumab tinggal di Malang
70
Kebanyakan contob yang dihadirkan adalah karya-karya arsitck Bclanda.
Sebenarnya di masa ini juga muncul beberapa arsitek Indonesia yang juga bekarya
konsep candi adalah gedung museum pers d i Surakarta yang berasal dari gedung
Societeit Sasono Suko. Hal i n i berkaitan dengan perencanaan kota Solo. Konsep kota
Surakarta sebagai "Solo Berseri" sebenarnya telah muncul sejak masa pernerintahan
Mangkunegara VlL Hal in· ditandai dengan pembangunan sarana urnum antara lain:
Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS). Societeit
Sasono Suko (SSS) rnulai dibangun pada tahun 1918 oleh seorang arsitck pribumi yang
bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan "Kamar Bola"
karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi i n i
setiap malam selalu dipakai oleh orang-orang Belanda untuk bermain bola sodok atau
billiard
Aboekasan Atmodirono ( 1 860-1 920). merupakan arsitek lulusan pertama
Technische School) yang berhasil mencapai jenjang opzichter. Setelah naik pangkat, ia
dikenal sebagai de eerste inlandse architect (arsitek pribumi pertama) dan bekerja d i
hadir d i Kongres I Boedi Oetomo dan masuk dalam daftar caJon ketua. Ketika
ditunjuk duduk di parlemen sebagai tokoh Boedi Oetomo yang juga mewaki l i
mempunyai gagasan baru untuk mendirikan sebuah wadah yang lebih merangkul semua
difungsikan sebagai Monumen Pers NasionaL Monumen Pers nasional terdiri dari tiga
unit gedung dengan tambahan lantai atas pada bangunan induk. Sebagai monumen yang
71
Gb 4. 1 8. Candi dan Gedung Museum Pers Surakarta-Atmodirnno
2. Masa l'ost Kolonial di .Jawa
Pada masa ini pengadaptasian representasi arsitektur percandian mengarah kepada
kontekstual dengan Indonesia, dan penghargaan terhadap peninggalan warisan masa lalu
(semangat pelestarian) Di samping ketiga hal tersebut tujuan lainnya yang sedang
I ndonesia. Kemerdckaan Indonesia seeara d e jure, scbenarnya baru diakui setelah KMB
sebagai titik berangkat dalam membangun Indonesia. Nation Building adalah salah satu
Indonesia, Masj i d Istiqlal, dsb. Arsitektur yang berkembang pada masa ini ditujukan untuk
dilihat melalui pembangunan : C..elora Bung Karno yang mempakan stadion terbesar di Asia
saat itu, Masji d Istiqlal (karya S ilaban) yang merepresentasi sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, dsb (Kusno, 2000). Penghargaan terhadap candi juga
ditunjukkan dengan pemugaran candi induk Prambanan oleh Van Ramondt dan
Semangat kecintaan terhadap tanah air perlu didorong ke depan mengingat us1a
kemerdekaan yang relatif masih muda. Di dunia Barat, arsitektur Gothic dianggap
sebagai simbolisasi dari akar kemodernan yang mengandung nilai rasionalitas dan
inovatif (seperti ungkapan Viollet le due-guru Frank LW d i Ecole des Beaux Arts).
Arsitektur gothic juga menjadi sumber ide pencakar langit bagi Sullivan (Chicago
dianggap sebagai sirnbol keunggulan bangsa Indonesia d i masa lalu, khususnya dalam
tradisi berarsitektur. Prambanan termasuk bangunan high rise pertama d i Asia Tenggara
(abad ke 9 M) yang tentunya d ibangun dengan teknologi yang inovat i f pada jamannya
Karya yang mengadaptasi dari bentuk yang berasal percandian dapat dili hat pada
bangunan Monumen Nasional (Monas). Monas merupakan basil dari sayembara yang
73
adanya variasi namun kurang ditunjang olch n i l ai--nilai yang bcsumbcr pada lokaL
M i salnya Silaban mengajukan karya rancangan Monas yang berbentuk kubisme seperti
bangunan modern di Barat. Pada akhirnya Monas yang dibangun adalah yang
n i l a i yang berasal dari bentuk-bentuk yang berasal dari percandian, yakni l i ngga dan
yom. L ingga dan yoni adalah unsur yang paling sakral dalam bangunan candi Hindu
yang terletak d i dalam ruang inti candi. Lingga merupakan simbolisasi dari Siwa
(Dewa) dan yoni merupakan simbolisasi Parwati (pasangan I cakti Sywa). Persatuan
l i ngga dan yoni mcrupakan simbolisasi dari penciptaan makhluk hidup (sangkan
paraning dumadi) sebagai rnanifestasi dari kesuburan. Monas ( kaJYa Sudarsono) didesain
bentuk lingga dan yoni (sculptural form) di pinjam (borrowing) untuk dijadikan
(metafor) ban�o,>unan.
kemakmuran bangsa Indonesia yang tidak akan pernah padam (berkobar-api monas
yang selalu menyala dan terbuat bahan yang utama-cmas). Nilai-nilai dasar dari
Monas. Candi merupakan sirnbol dari kesuburan, hal ini dapat ditinjau dari proses
74
pcmbuatanny<L Filosofi yang mcndasarinya adalah bahwa tanah tcmpat candi dibangun
mcrupakan penampung bcnih dari segala apa yang tumbuh, maka bcnih kuil (garbha)
pun diserahkan kepadanya agar bangunan sucinya nanti mcnyerap dan mcngcmbangkan
sari-sari yang terpendam dalam tanah yang telah disucikan itu. Bila tanahnya sudah
tidak subur maka kuil di atasnya dapat dikatakan kurang Jayak di!,'lmakan
Dalam bahasa postmodern dapat dinyatakan bahwa bentuk lingga dan yom
(sculptural form) d i pinjam (borrowing) untuk dijadikan (metafor) bangunan. Lingga
dan yoni bukan bangunan melainkan elemen dari bangunan candi yang kemudian
ditransformasikan ke dalam wujud ban!,'Unan Monas. Pengambilan bentuk ini
didasarkan pada surnber referensi yang berasal dari unsur lokal, mcskipun lingga yoni
juga ditemukan eli India, Kamboja. Namun demikian lingga dan yoni telah dianggap
sebagai perwakilan dari bentuk yang mengakar pada nilai-nilai Indoncsiawi, karena
berasal dari bangunan candi-candi dan menjadi unsur utama disana. Lebih jauh dari
l i ngga dan yoni, sebenamya tradisi nusantara pra-Hindu juga telah mcngenal tradisi
pemujaan terhadap tugu-tugu batu yang dikenal sebagai menhir yang identik dengan
lingga. Pemujaan terhadap tiang/tU!,'ll dapat dikatakan merupakan nilai-nilai yang lebih
bersifat universal karena juga ditemukan d i peradaban Mesir purba (Obelisk), India
Purba, dan Indian Purba. Tugu dianggap sebagai aksis mundi penghubung dunia
manusia dengan dunia dewa. Axis mundi ditempatkan di tengah sistem mandala. Secara
wujud denah pada kuil Hindu axis mundi ini diletakkan pada ruang utama kuil yang
dinamakan garbhagriha atau 'rahim' yang dianggap sebagai ruang paling suci. Di
dalam ruang ini terdapat lambang perwujudan dari 'atman' atau asal mula kchidupan
yaitu pcrsatuan l ingga-yoni. Sesuai dengan posisinya yang sakral maka Monas
diletakkan di tengah lapangan merdeka sebagai 'yoni' nya Indonesia.
Penggunaan unsur candi juga ditunjukkan oleh Silaban dalam karyanya berupa
gerbang taman makam Pahlawan kalibata. TMP Kalibata adalah termasuk karya-karya
awal F. Silaban. Bentuk dasar denah yang digunakan pada gerbang TMP Kalibata
adalah bujursangkar yang digabung dengan persegipanjang. Pcngolahan tasade
bangunan didominasi dengan ornamen-omamen yang mengacu pada candi. Hal i n i
terlihat jelas pada pembagian bentuk fasade yang terbagi kepala, badan dan kaki
Adaptasi bentuk candi pada omamen-ornamen yang sifatnya tidak struktural menghiasi
sudut-sudut bangunan. Bentuk gerbang ini mengambi l modifikasi dari bentuk-bentuk
candi-candi di Jawa bempa peng!,'llnaan moulding candi, gubahan gcometrik dan
volumetrik pada pengolahan sosoknya.
75
G b 4.20. Gerbang TMP Kalibata
Pengolahan gerbang yang identik dengan candi ini kemudian juga digunakan
pada komponen lainnya (bangunan kantornya). Pada sudut-sudut bangunan ini
menggunakan perulangan dari gerbang sementara atapnya bcrbcntuk pcrisai. Bentuk
bangunan ini identik dengan candi-candi pada masa klasik muda atau seperti bangunan
gedong dalam pura di bali. Atap perisai menggunakakan teritis yang Iebar (tropis)
sehingga ekspresinya menunjukkan adanya kesan ringan, rnengingatkan pada
pengolahan yang dilakukan Frank L Wright, dcngan teritis-teritisnya. Bangunan candi
tidak selalu bcratap batu. Candi dimungk inkan menggunakan kombinasi dengan atap
kayu yang berbentuk perisai. Pada masa kini candi dengan atap kayu sulit ditemukan,
karen a telah musnah. Namun bcrdasarkan gambaran relief pada percandian seperti candi
Tegowangi di Pare menunjukkan adanya gambaran bangunan candi yang beratap non
batu. Bukti nyatanya ditemukan pada kompleks candi Penataran terdapat salah satu
candinya beratap non batu, karena sisa atap batu tidak ditemukan disekitarnya. Dengan
dernikian dapat diketahui bahwa atap candi tidak selalu berbahan batu (dapat bersusun
ataupun tidak bersusun). Jadi penggunaan atap perisai dalam percandian adalah hal yang
biasa, khususnya candi-candi di era klasik muda atau Majapahit. Penggunaan atap non
batu sebagai elemen dalam desain percandian dapat dilihat di masa kini pada bangunan
gedong di pura-pura (pengaruh candi Jawa di Bali). Demikian pula penggunaannya pada
TMP Kalibata. Melalui arsitektur Bali bentuk ini dapat dijembatani.
76
Gb 4.2 1 . Bangunan di Bali dan TMP Kalibata
Pada desain gerbang TMP Kalibata ini jelas representasi yang bcrasal arsitektur
cancl i dapat dimunculkan disana mclalui karakateristik desain candi pada umumnya.
Perlu diakui bahwa Silaban tidak langsung mcniru scpcrti candi aslinya, tetapi lcbih
sederhana dari asalnya. Menuut Silaban keindahan hadir dari kcscderhanaan. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun yang diadopsi adalah arsitektur candi namun hasil
akhirnya candi yang 'modern' yakni yang sederhana. Secara alamiah keindahan muncul
dari tekstur bahan yang digunakan. Ornamentasi digunakan seperlunya untuk
memberikan karaktcr yang berasal dari percandian.
77
Penggunaan konsep eandi mcmang sesum untuk fimgsi TMP sebagai
dikaitkan dcngan bangunan untuk pemuliaan raja yang telah wafat. Para ahli
menyangsikan bahwa candi adalah makam, karena dalam tradisi Hindu abu jenasah
tidak pernah disimpan melainkan dibuang k e !aut atau pertirtaan. Jika dikaitkan dengan
kematian, maka candi mempakan bangunan yang d ipergunakan sebagai penanda dari
raja yang telah wafat tersebut. Namun secara fungsional eandi tidak berbeda dengan
kuil atau pura-pura di Bali dimana digunakan sebagai tempat beribadat. Penggunaan
unsur candi dalam desain TMP Kalibata juga merupakan penghargaan terhadap
regionalisme ini diperkuat dengan adanya penghargaan terhadap nilai Iokal, baik fisik
kepariwisataan yang berbasis pada wisata sejarah dan budaya termasuk candi d i
Pada masa Orde Baru (Suharto) pasca Orde Lama (Sukamo) ini, arsitektur yang
Semangat pencarian identitas atau jati diri menjadi isu penting pada masa ini. Masj id Amal
Bhakti Muslim Pancasila dengan atap tumpangnya, dsb. Penghargaan terhadap warisan
budaya rnasa lalu juga ditunjukkan dengan pemugaran candi-candi, dsb. Pada masa i n i
tidak sedikit arsitek asing yang terlibat dalam proyek-proyek arsitekturnya Meskipun
78
Desain bangunan modern yang mengadaptasi arsitektur candi dapat dilihat pada
dan museum (Persada Sukarno ), dsb. Penggunaan adaptasi desain yang berasal dari
bangunan sakral H i ndu-Buda (mem) juga dilakukan oleh arsitek Sujudi dalam bangunan
Kedutaan Besar RI eli Malaysia. Representasi yang berasal dari konteks tempat juga
menginspirasikan Baskoro Tedjo pada tahun 2000an dalam desain Persada Sukarno eli
Blitar, khususnya yang berkaitan dengan arsitektur candi. Desain Persada Sukarno
juga dilakukan oleh Sujudi dalam bangunan Kedutaan Besar Rl di Malaysia, meskipun
tidak secara langsung. Bangunan ini mengadaptasi unsur arsitektur meru. Meru
merupakan jenis atap yang umumnya digunakan untuk komponen bangunan suatu
kompleks Pura di Indonesia. Bentuk Meru sering di scbut pula scbagai bentuk atap yang
bersusun-susun atau tumpang. Kata Mcm mengacu pada istilah ' Sumeru', sebutan bagi
gunung suci dalam tradisi Hinduisme dan Budhisme. Sumeru merupakan istilah yang
digunakan untuk simbolisasi gunung tempat para dewa bersemayam. Namun secara
harfiah, Sumeru dapat disebut sebagai 'Mahameru' gunung yang terbentang eli daerah
India Utara dan Nepal. Di Jawa Sumeru sering diindikasikan sebagai Semeru, gunung
tertinggi di Pulau Jawa. Atap meru diperkirakan mulai dikenal di Indonesia khususnya
eli Jawa pada abad 1 1 M, dan kemudian dibawa ke Bali oleh mpu Kuturan.
79
G b 4.24. Adaptasi Meru
80
hanya sampai badannya, dimana komponcn atapnya telah musnah. Di dinding cancli
Jaj aghu dipahatkan pula garnbaran kompleks bangunan sakral yang mempunyai
komponen meru yang mirip dengan garnbaran kornposisi kompleks bangunan suci yang
kita kenai sebagai Punl. Bentuk rneru pada pura rnenonjolkan keindahan atap
bertingkat-tingkat yang berjumlah ganj i l 3, 5, 7, 9 dan I I. Tingkatan atap rnenunjukkan
derajat kesakralan, semakin banyak tingkatannya bcrarti kedudukannya semakin
tinggi/sakraL Meru terdiri dari tiga komponen yaitu atap, ruang pernujaan, dan
bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat pemujaan utarna bagi Tuhan, Dewa, dan
nenek moyang.
Penggunaan unsur Meru pada bangunan KBRI ini menunjukkan adanya usaha
usaha untuk mengangkat nilai kelokalan yang bersumber pada arsitektur Indonesia.
Meru yang banyak diternukan di Bali digunakan sebagai acuan dalarn rnenampilkan
karakter Indonesia ke Internasional, rnelalui perwujudan meru (atap candi) yang
ditransformasikan ke dalam bangunan modern. Unsur kelokalan lain yang
direpresentasikan oleh meru adalah unsur ketropisannya, yakni adanya teritisan. Sujudi
adalah salah seorang arsitek yang mengembangkan unsur kekontektualitasan terhadap
iklim namun juga menampilkan sifat kemodernan (visioner). Prinsip kemodeman yang
dimunculkan dalam desain ini adalah penggunaan beton dalam teritis-teritisnya.
Karakter umum yang dikembangkan Sujudi dalam desain-desainnya adalah
penggunaan unsur-unsur garis-garis horisontal berupa listplank --listplank beton (tropis)
sebagai sirip yang menimbulkan efek light mul shadow. Karakter yang lainnya adalah
ekspresi volumentrik dan anti ornamentasi. Bangunan biasanya bersifat polos, putih
dan licin. Sujudi banyak menggunakan bentuk - bentuk geometris untuk dikembangkan
81
melalui kckreativitasannya Bahan beton yang berkarakter berat dan kaku dapat digubah
menjadi terkesan ringan. Mem menampilkan garis-garis teritis horisontal, sehingga
sangat sesuai dengan karaktcr desainnya yang rnemang menonjolkan adanya ekspresi
horisontalisme (pengamh arsitektur modern di Barat-Streamline, perjalanan ke
Skandinavia, dsb ), sementara yang memk>dakannya adalah kepolosan dan kedinarnisan
asimetri dalam pengolahannya.
Gb 4.27. Perbandingan
KBRJ, Gedung
Gubernuran Jawa
Tengah, dan Dharmafa
82
Dcsain bangunan modern yang mcnadaptasi arsitektur candi dapat dilihat pada
bcberapa fimgsi kantor, hotel, dsb. Fcnorncrna dc-sakralisasi arsitcktur candi muncul
seperti halnya pada rnasa lalu. · candi' sebagai bangunan sakral di adaptasikan rnenjadi
bangunan non sakraL Dalarn hal ini terjadi penggubahan pemahaman candi menjadi
suatu gaya arsitektur, seperti halnya gaya arsitektur klasik yang disadur berdasarkan
kuil-kuil Yunani. Hyatt Regency Yogyakarta rncnampilkan desain yang rnencerrninkan
sosok candi Borobudur. Dalam konteks ini Borobudur tidak sekedar diposisikan sebagai
bangunan suci tetapi dianggap sebagai reference yang bcrakar pada 'focal histm·ica!
prototypes '. Mernaknai Borobudur tidak sempit hanya sebagai bangunan suci tetapi
dapat bcrlapis, scpert.i simbolisasi dari 'place' yang mempunyai 'spirit' genius loci.
83
Denah Hotel ini berbentuk crucil(Jrm sepcrti dcnah pada candi Borobudur
namun lebih disederhanakan Aksis Hyatt Regency berjumlah empat yang
direpresentasikan dcngan jalur entcrancc dari empat penjuru mata angin. Aksi s ini
terlihat dengan jelas karena pada aksis ini terdapat tangga dari teras yang bawah menuj u
teras paling atas Denah curciform Hyatt Regency Y ogyakarta disusun bertingkat
sebanyak 7 lantai mengikuti sosok candi borobudur yang mempunyai 7 tingkatan: 3
tingkat teras utama stupa dan 4 tingkat teras galeri. Hyatt Regency Yogyakarta
mengadaptasi bentuk vajradhatu mandala candi Borobudur berupa bcntuk cruciform.
Nuansa candi ditampilkan pada pengolahan i nterior dan eksterior yang didominasi
clemen garis-garis dan elemen-elcmcn geometrik. !'ada desain ini juga digunakan
beberapa ornamentasi candi Borobudur scpcrti pintu gerbang, kepala kala, makara.
Nuansa ekspresi bahan percandian tctap dijaga dengan padanya penggunaan material
bahan batu candi/batu alam dan pcnggunaan warna batu, abu-abu. Namun dernikian
desain ini adalah merupakan adaptasi inovatif terhadap candi Borobudur untuk fungsi
modern.
Contoh lain adaptasi lain dari candi Borobudur adalah pada Hotel Amanjiwo
(Hotel Butik berkelas utama-eksklusif-khusus). Amanjiwo berasal dari bahasa
Sanskcrta, artinya berarti jiwa yang damai. Scsuai dengan narnanya kedamaian bagi
tamu yang menginap merupakan hal utama yang diberikan oleh hotel Amanjiwo.
Penataan visual (tata m assa, pencahayaan, dsb) menimbulkan aura religius Pengaruh
dari ilmu kebatinan kehidupan Jawa berusaha ditampilkan disana dengan keheningan.
Sesuatu yang tidak tampak, tersernbunyi rapat tetapi mampu mempesonakan. Sosok
yang ditransforrnasikan adalah tingkatan Ampadatu (paling sakral) pada candi
Borobudur, yang terdiri dari stupa besar Induk, stupa-stupa kecil yang rnengeli linginya,
dan selasar pradaksina patha. Stupa lnduk ditransformasikan ke dalam bentuk fungsi
lobby-lounge-restaurant, stupa-stupa kecil ditransforrnasikan ke dalam bentuk cottage.
Potensi view yang mengarah pada candi Borobudur dimanfaatkan dalam desain i n i
dengan menernpatkan bukaan ke arab sana. Candi Borobutdur dirnanfaatkan sebagai
potensi view yang dapat dilihat selama 24 jam dari Hotel ini dari k ejauhan. Hotel 1111
khususnya pada konteks religi (tataran Arupadatu-terti nggi menjadi tataran fungsi
profan), namun pernahamannya tidak selalu demikian dalarn konteks yang lain.
Borobudur rnempakan simbol dari kedudukan keutamaan (kesakralan dapat pula
84
ditafsirkan sebagai utama/pcnting) demikian pula dcngan posisi Amanjiwo dalam
konteks yang lain. Borobudur dapat dianggap rcprescntasi dari n i l ai-nilai kontckstualitas
d i mana bangunan itu bcrada. Hotel Amanjiwo ini terlctak jauh dari kota, terscmbunyi
dari keramaian. Sehingga hotel Amanjiwo sangat sunyi identik seperti halnya fu ngsi
candi Borobudur iru scndiri. l'engunjung yang datang kc Amanjiwo tidak disediakan
fas i l itas televisi pada kamarnya, karena ingin menjaga karakatcrnya scbagai hotel yang
berkonsep kembali kc a l am, jauh dari keramaian kota, jauh dari kegiatan, santai dan
damai, serta !erasing dari kehidupan layaknya orang yang sedang bersemedi, suatu ritual
yang dilakukan pada candi-candi. Antara Amanjiwo dan area sawah penduduk dan
l ingkungan desa hanya dibatasi olch sungai Sileng scbagai pembatas alami, tanpa harus
arsitektur candi yang terdapat pada Borobudur terlihat jelas digunakan dalarn
85
Rcpresentasi yang berasal dari konteks tempat juga menginspirasikan Baskoro
Tedjo pada tahun 2000an dalam desain Persada Sukarno di B litar, khususnya yang
berkaitan dcngan arsitektur candi. Desain Pcrsada Sukarno mcngadaptasi desain
bangunan candi induk Penataran di B litar. Candi penataran dianggap merupakan
representasi dari Kota Blitar, mcskipun yang d iadaptasi dalam desain persada Sukarno
hanya bagian kaki yang tcrsisa dari candi induknya. Candi pcnataran dianggap sebagai
aset budaya penting yang dimiliki oleh kota Blitar, di samping makam presiden
Sukarno. Candi ini merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur dan
merupakan peninggalan · · dari masa Mpu Sindok sampai Majapahit. Candi Ill !
menggunakan atap jenis meru (telah hancur) dan susunan tata ruangnya identik dengan
pura-pura di Bali.
Selain itu beberapa karya yang merujuk pada percandian j uga dapat dilihat pada
karya AT6 yakni gedung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang biasanya dikenal
dengan gedung Sapta-Pesona pada masa Orde Baru. Gedung ini didesain dengan
pendekatan konsep yang merujuk pada konsep gerbang candi Bentar khas candi-candi
Nus,mtara yang digab ungk an dengan konsep masa kini yakni Satelit di mahkotanya.
86
Pengolahan fiJSad tengahnya mcnggambarkan adanya unsur barong/kala seperti halnya
hiasan di dalam candi-candi. Penggunaan konsep kla�ik ini sangat sesuai dengan fungsi
!'ada saat ini wujud arsitektur yang berkembang eli Indonesia menjadi lebih
bervarias i seiring dengan semakin cepatnya teknologi informasi dan kuatnya arus
gloibalisasi. Tidak menutup kemungkinan arsitek mencari sumber ruJukan dari berbagai
sumber di tempat lain dengan mudah dan cepat, sehingga menimbulkan permasalahan
terhadap wujud bangunan yang dihasilkan. Pada beberapa desainya terkesan sekedar meniru
bentuk-bentuk dari luar. Fenomena ini secara signifikan dapat membuat wajah arsitekturnya
menjadi tidak mempunyai karakter, tidak ada bedanya dengan tempat lainnya. Oleh karena
itu studi ini berupaya untuk menggali pemahaman kembali tentang konsep kemodernan
namun tetap kontekstualitas terhadap unsur kelokalan, m isalnya seperti yang pemal1
pada tatanan spasial kawasan. Pola perletakan candi d iperkirakan idcntik pula dengan
menggunakan mandala sebagai acuannya. Namun demikian seperti halnya candi, pola
pola yang berlandaskan pada masa pra-1-lindu-Buda juga ikut mcwarnai tatanan fisik
spasialnya, seperti unsur linieritas -- aksis sumbu-sumbu tinier yang mengacu pada
Pola susunan candi maupun l ingkungannya tersebut mcnjadi suatu pola yang khas
nilai dualitas secara umum dapat difahami scbagai konsep-konsep yang mendasari
budaya/trad isi Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Pigeaud ( 1 948) dan Gunawan
87
Tjahjono ( 1 990). Pol a tat a spasial i n i kemudian di pcrkirakan diwariskan pad a kota- kota
klasik pasca H i ndu-Buda di Jawa. Berdasarkan uraian d i alas d i k etahui bahwa potensi
arsitcktur candi tclah d iupayakan untuk diadaptasikan pada masa pasca H i ndu-Buda
Roma
88
BAB S
KES J M PlJ LAN
Mclalui uraian d i atas dapat diketahui bahwa potensi yang berasal dari arsitektur
candi (arsitektur sakral Hindu-Budha) telah diupayakan untuk diadaptasikan pada masa
indikasi yang mengarah pada semangat ke arah hal ini telah ada. 'Candi' merupakan
wujud peninggalan rnasa lampau yang masih dapal dilihat sampai sekarang, sehingga
di harapkan dapat menjadi jembatan untuk memahaminya. Candi dapat dipahami sebagai
sebuah 'Place ' atau mempunyai nilai 'place' yang mereperesentasikan arsitektur
purbakala masa lampau dan dianggap telah menjadi collective memory secara unsel(
conscious/ alamiah pada masa pasca Hindu-Budha. Candi dianggap mcrupakan salah
satu basil dari local genius-nya Nusantara dan dapat merupakan reference yang berakar
pada 'local historical prototypes '. Melalui historic precedent dapat dikaj i peranannya
Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia telah rnemiliki dasar-dasar kebudayaan yang
akulturasi (sinkritisme), berupa usaha-usaha penggubahan yang kreatif yang mel ibatkan
unsur kelokalan di dalamnya. Hal ini menunj ukkan bahwa candi merupakan local
historical prototype.
Desain Arsitektur candi menunjukkan adanya konsep yang dinamis-adaptit;
lokal dengan pcngaruh luar, dsb. Pengadaptasiannya eli masa kini dapat melalui strategi
89
Desain candi yang eli-transfer ke dalam wujud lainnya dikuatirkan menimbukan
menimbulkan eklektiki sme, meskipun dalam pandangan postmodern hal tersebut bukan
sesuatu yang anomali dan bahkan ' sengaja' dikembangkan. Pemahaman tentang
pengambilan desain masa lalu ke dalam masa kini memang dapat menjadi ' naif atau
lucu (parodi) karcna kemudian dapat menjadi de-sakralisasi, namun hal ini hams dilihat
adanya makna berlapis (multi-layer) atau yang tersurat dan tersirat /konotatif denotatif
dalam memahami sebuah tanda, khususnya apabila dikaitkan dengan tradisi Jawa
Kraton Jogyakarta ditandai dengan simbol dua naga yang saling membelit bersatu
pendirian Keraton (Dwi = 2, Nogo ='8, Roso = 6, Tunggal = I; 1 682 jawa atau 1 756 M),
simbolisasi lapis dua berupa simbolisasi manunggalnya perjuangan lahir dan batin,
simbolisasi lapis ketiga tidak lain adalah Sultan HB I sendiri sebagai pendiri
arsitektur modern. Makna lapis satu dapat dipahami adalah mendukung kepentingan
ketiga Borobudur sebagai simbol representasi dari Indonesia (karena di negara lain
lapis lima Borobudur sebagai representasi arketipe dari genius loci yang mengakar
pada kontcks lokal, lapis enam Borobudur scbagai reprcsentasi dari keunggulan
kreativitas nenek moyang bangsa Indonesia (lokal genius) yang dapat mendorong
Borobudur dalam arsitektur modern sebenamya tidak sekedar dapat difahami secara
lain yang lebih mendalam.Menurut Jung arketipe adalah citra leluhur yang terdapat
dalam alam bawah sadar kolektif manusia, sebagai simbolisasi kesatuan yang kongkret
antara yang nyata dan yang semu, ide dan perasaan, roh dan materi.
90
Representasi yang bersumber pada tradisi rnasa larnpau dan kelokalan dalam
ldentitas tidak bisa diciptakan secara mendadak (instant), tetapi melalui tahapan
tahapan tertentu yang beraturan dan berulang-ulang. Sehingga identitas pada hakekatnya
pentingnya pemahaman tentang spirit of the place (genius loci) khususnya dalam
membangun identitas.
.
"..
,__,. ,. -.- .- '-' .._.,.__ .,.. . ..
(" , ..
- ' . .
Pengadaptasian arsitektur candi pada jaman Islam adalah mengarah pada adanya
semangat pelestarian/penga�o,>1mgan yang ' m emusakakan' budaya masa lalu dan strategi
penyebaran agama. 'Islam' mendayagunakan apa yang telah ada dan melakukan
kemudian terdapat aliran-aliran Islam yang mcngarah pada radikalismc yang menolak
cara-cara yang dilakukan oleh para sufi terscbut). Pada masa Kolonial pengadaptasian
91
arsitektur candi mcngarah pada semangat pcncanan idcntitas /karakter yang khas
Indonesia dan program misionaris. Candi dianggap scbagai salah satu seni arsitcktur
yang dapat merepresentasikan keunggulan nilai-nilai yang berasal dari kelokalan,
meskipun beberapa arsitck Belanda masih memandang bahwa candi-candi di Jawa
masih ' kental' dengan kebudayaan India. Model stratcgi pcngadaptasian yang dilakukan
pada masa kolonial dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pada masa Post
kolonial pengadaptasian arsitektur yang mengacu pada pcrcandian mengarah pada
penekanan semangat nasionalisme (kebanggaan), wacana pencarian jatidiri yang
kontckstual dcngan Indonesia, dan pcnghargaan tcrhadap pcninggalan warisan masa lalu
(semangat pelcstarian). Di samping kctiga hal tcrsebut tujuan lainnya yang sedang
menggejala adalah kepentingan kcpariwisataan (ekonomi-devisa) Hubungan dengan
masa lalu adalah keharusan bagi munculnya tradisi yang baru dan penuh kepercayaan
diri (keoptimisan). Berdasarkan pembahasan di atas maka nyatalah bahwa arsitektur
candi merupakan unsur terpenting dalam perkembangan arsitektur di Indonesia.
Gb 5.2. Transformasi
92
Kepustakaan
I. Abramson, H. ( 1 980). Assimilation and pluralism. In S. Thernstrom (Ed.), Harvard en(yc/opedia of
American ethnic groups (pp. 1 50-1 60). Cambridge, MA: Harvard University Press.
2_ Acharya, Prasanna K, ( 1 979), Hindu Architecture in India and A broad. New Delhi : Oriental Books
J{cprint Corporation.
3. Akihary, Huib ( 1 990), Architectuur & Stedehouw in lndones.ie, Zutphcn., De Walburg Pers Zutphcn
4. Antoniades, Anthony C . ( 1 992), Poetics OfArchitecture, Theory OJDesign, New York, Van Nostrand
Reinhold.
5. Atmadi, Pannono ( 1 994), ._)orne Architectural Design Principles of Temples in Java, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Prt-'-SS.
6. /\ricl l-Icryanto ( 1994), Postmodernisme: Yang Aftma?". Jtnnal Kalam� 1 ( 1 ).
7. Azimipour & Jones, (2003) Akulturasi - Artikcl
8. AyatrohacJi, cd ( 1 986), Kepribadian Budaya Ba11gsa (Local Genius), Jakarta, Pus!ab .Jay·a
9. Bakker, J . W.M ( 1 984), Filwifat Kebudaya<m sebuah pengantar, Y ogyakarta, Kanisius.
l 0. l-3ertcns, I L ( 1 995), The Idea of the Postmoden1: A History, Routledge, London
I I . Budiman, Kris ( 1 9 99) Kosa Semiotika, LKiS, Y ogyakarta
1 2 . Brownell, P., ed.(2008) Handbook for 77reory, Research, curd Practice in Gestalt 1'lrerapy, Newcastle
upon Tyne, UK: Cambridge Scholars Publi shing
1 3 . Cardoso S.L ( 1966), Seni India, Seri Monografi 1, Kursus B 1 Tertulis Scdjarah , Bukittinggi
1 4. Curtis, William ( 1 985), Regiona/is,.-I in A rchitecture, Concept Media, Singapore
1 5 . Dumarcay, J. ( 1 985), La Clwrpenterie des mosquees Javanaises, Archipc1 30, Paris.
1 6. Dumarcay, Jacques & Michael Smithies (translate) ( 1 9 9 1 ), The Temples ofJava, Singapore, Oxford
University Press.
1 7 . Featherstone, Mike-. ( 1 988) ln Pursuit of the Postmodern: An lntrorhJction. Theory, Culture and
Society.
1 8. Fontein, Jan & Soekmono R, Edi Setyawati ( 1 990), The 5ku/pture ofIndonesia, Washington, USA,
National Gallery of Art
! 9. Frampton , K . , Foster, J-1, Editor ( 1 983) Place-Form tmd Cultural Identity ji-om The !Inti-Aesthetic:
Essays on Postrnoden1 Culture ",
20 Frank, Karen A, etc editor ( 1 994) Ordering Space, Types in Architecture and Design, New York, Van
Nocstrand Reinhold
2 J . (Jalcntcr, Mark ( 1 995), ,)'mace oJA rchitectura/ Form, Great Britain
22. Gicdion, S. ( 1 956), ...)pace, Time and Architecture, Libr'dl)' of Congres Catalog, USA.
23. Groslier, Bemard Philippe (2002), Jndocina : Persilangan Kebudayaan, Jakarta, KPG (Kcpustakaan
Populcr Gnuncdia)
24 I Jail, S. ( 1 997) Representation: Cultural Representations and Signifying Practices
25. Ikhwanuddin (2005), Nlenggali Pemikiran Posmodemise dalmn Arsilektur, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press
26. Jencks, Charles. (1 984), The Language ofPost-A1odern Architecwre, Fourth Edition, USA, l�jzzoli
27. Jencks, Charles ( l 969),.)erniology and Architecture USA? Rizzoli
28. Jung, C. Gustav ( 1 987) Menjadi Diri Se1uiiri, (I'crjcmahan dari judul asli: .ll ion. Researches into the
Phenomenology of the Self), Gramcdia, Jakarta.
29. Kultcrmann, Suwondo, Jan PieJX!f ( 1 984) Peranan Jdentitas Kebudayaan dalam Arsitektur" Tempo,
Edisi. 30/XIV/22 - 28 September 1 984
30. Kunardi, Marco dan Prajudi (2003) lntemasional Simposium : Jclajah Arsitektur Nusantara, /1 S'tudy
on Indonesian Temple 'C"'andi 'Aesthetic.
3 1 . Kusno, Abidin (2000) Behilul the Postcolonial, Architecture, Urban 5"'pace and Political Cultures in
Indonesia, Routledge, London.
32. Lesnikowski, Wojciech G. ( 1 982), Rationalism and Romanticism In A rchitecture, USA, McGraw-1-Iill,
Inc.
3 3 . Leupcn, Ilemard, etc ( 1 9 97) Design andAnalysis, New York, Van Nocstrand Reinhold
3 4 . Lombard, Denys ( 1 996), NusaJawa : ::.liang Budaya Vo/ 1,2,3, Jakarta, Pt Gramcdia Puslaka \Jtama.
3 5 . Mocno, Raphael ( 1 986), On Typo/ogi, dalam Paul Vcrmuclcn., Leuven !3elgia
lV
36. Norbcrg-Schulz, Christian ( 1 978), Genius l-Oci ToHYITrb A Phenomenology q(Architecture, New Y or k ,
1\iz;.oli lutcinational Publications, Inc:
37 Nurarini (2000), http :1/kunci_or. id/csai/nws/04/rcprt.�scntasi .him
38 Pangarsa, Galih W ( 2006), Aderafz }Jutih Arsitektur Nusantara� Yogyakalia, i\nd1.
39. Pcursen, Van, C. A. ( 1 988), Strategi Kebudayaan, Yogyakarta, Pt.-n erhi t Kanisius
40. Piliang, Yasraf Amir (2004), llipersemiotika, Tafasir Cultural S'/u(/ies Alas !vfatinya !viakna,
Yogyakarta, Jalasutra
41 Prajudi, Rahadhian, H, (1 999), Kajian Tipo-Morfologi Arsitekntr Candi di Jawa, Thesis, 1\rsitcktur
Institute Teknologi B<m dtm g,, Bandung
42. Prijotomo, Josef ( I 988), Pasang S'untt Arsitektur Indonesia, Surabaya, Wastu J,anas Grafika.
41 Prijotomo, Josef (2008), Arsitektur Nusantara : Arsilektur Pertedu}um dan Arsitektur 'Uyan ', Pidato
Pcngukuhan untuk Jabatan Guru Bcsar dalam Bi(hm g Ilmu/Mat.a Kuliah Teori dan Mct(x1e Ranc<mgtm
pada Fakultas Teknik Sipil dan Pcrcncanaan Institut Tckn ologi Scpulnh Nopcrnbcr, Surabaya
'14. Punva sito, AIHh· ik (2002), Jmajeri Indio .- S'tudi Tam/a dalam Wacmw, Surakarta, YayasaJl Pustaka
C-:tknt
45 Rahardjo, Supra! ikno (2002), Feradohan .Jawa : Dinamika pranata politik, agamo, dan ekonomijawa
kuno, Jakarta, Komtmitas Barnhu
46 R.arx)port, Amos ( 1 978), Ilouse Fonn and Culture, Mil waukee, University of Wisconsin
4 7. Roesmanto, Totok (2007), Pemr.ol.ftmtan Potensi Lokal dallun Arsitektur Indonesia, Pidato JK'ngukuhan
Guru Bcsar Arsitcktur, Semarang, Universitas Diponcgoro
48. 1\ossi, J\ldo ( 1 982) The Architecture ofthe City, The MIT Press, Cambridge
49. Sarnuel, Levin ( 1 977), The ,Wmantic Metaphor, The John Hopkins University Press
1 0 Santiko, Hariani ( 1 99 5 ), ..)eni Bangunan ,)'akral A-fasa J-lindu-13uda di indonesia Analisis Arsitektu r
dan A1akna Simbolik, Piclato Pc·ngu.kuhan G-uru Be.sa r Madya Tetap JJ<ida Faknlt<Js Saslra Universitas
Indonesia, Dqx)k
5 I . Sal iya, Y( 1 986), Notes on Architectural Jdentity in Cultural Context, in Mimar publ ication.
52. Sockiman, Djoko (2000), Kebudayaan Jndis, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya.
5.1. Soegiyono, dkk (2007), Metodologi Penelitian Kualitati!fKuantitatifdlm R&D Bnmhmg, All�1bcta.
511 Sukada, Budi, ( 1 989), Memahami Ifrsitektur Tradisional dengan pendekatan Tipolof!,i, dalam Eko
l3udiarjo, Mcrnahami Jatidiri Arsitektm· Indonesia, Bandtmg, Alumni
55. Surnalyo, Yul ianto ( 1 993), Arsitektur Kolonial di Jndonesia� Yogyakar-ta, Gadjah Mada UnivLl"Sity
Press
56 Sumintarja, Jaubari ( 19(>6), Kompendiwn iY.!jorah A rsitektur, Bandung, Lcmbaga Fenyclidikan
Masalah Bangunan J bndung.
57 lanudjapr, F. Christian J Sinar ( I 992), Arsitektur Mrxlem : Tradi.•i 71·<kii.H dan J]lir<m A/iran Serta
Permum Politik Politik, Yogyakarta, PCI1erbitan Universitas 1\tma Jaya
58. Tjahjono, Gmwwan, editor ( 1 998), Indonesian lleritage - A rchitecture, Singapore, Editions Didier
Millct
59. Tuan, Yi Fu ( 1 989), .)'pace (md Place, 71w perspective ofexperience, Minnepolis
60 Van de Yen, Cornel is ( 1 9 9 1 ) , R.uang dalam A rsitektur � Jakarta, PT. Gr<m1Cdia Pustaka Utama
6 1 . Volwahscn, Andreas ( 1 969), Living A rchitec/ure : India, New York, Grosset & Dunlap
62. Ycang, Ken, ( 1 987) Tropical Urban Regionalism : Building in a South-Fast Asian
City", S i ng apore, Concept Media.
Rujukan Disertasi
1. i\tmadi, Pannono ( 1 979), ,)�orne Architectural Design Principles of Temples in Java, Doctoral
Dissertation, Gadjah Mada University.
2. Kusno, Abidin (2000) Behind the Postcolonial, Architecture, Urb(lJ1 5'pace and Political ('ultures in
Indonesia, Doctoral Dissertation, The History and Theory of Art and Arhitt.."Cturc Graduate Programme,
State University, New York . .
3. Soekmono R ( 1 974), C(mdi, FUngsi dan Pengertiannya, Discrtasi Doktor, Universitas Indonesia,
Jakarta.
4. Sudradjat� Iwan ( 1 99 1 ), A ,_)'tudy ofIndonesi(m Archilectural History, Cibcsis for Doctor of P h i losophy,
/Jcpartment of Archi tecture University of Sydney.