OLEH
paneMBAHan MANdaraka
Mbah Man
Tahun 2017
Diterbitkan hanya unutk kalangan terbatas
2
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna
Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga
Hanyalah kecintaan akan sebuah karya
Untuk dilestarikan sepanjang masa
3
“Gila!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur. Dengan segera
diperiksanya kulit lengannya yang tersentuh sisi telapak tangan Ki
Jayaraga. Ternyata sebagian kulitnya telah melepuh dan berwarna
merah kehitaman.
4
secara baik-baik, aku akan mempercepat kematianmu tanpa
merasakan sakit sama sekali.”
Maka kata Ki Jayaraga kemudian, “Ki Sanak aku menjadi tidak sabar
lagi. Sedari tadi engkau selalu mengancam dan mengancam. Aku
benar-benar sudah bosan dan muak mendengar ancamanmu itu.”
5
telah meningkatkan ilmu dan tenaga cadangan yang tersimpan dalam
diri mereka.
6
menduga tentu lawannya telah mengambil sebuah senjata rahasia
yang disimpan di dalam kantong ikat pinggangnya.
7
hanya dibayangi ketakutanku sendiri. Lebih baik aku balas
menyerang. Bukankah aku dapat mengandalkan ilmu kebalku?”
8
mengandung penawar terhadap segala racun. Betapa dahsyatnya
pergolakan itu sehingga telah membuat tubuh Ki Rangga menggigil
keras seperti orang kedinginan. Perlahan-lahan Ki Rangga pun
kemudian terjatuh pada kedua lututnya.
Untunglah Kiai Damar Sasangka tidak menyadari hal itu. Jika di saat
tubuh Ki Rangga melemah karena pengaruh racun itu kemudian
lawannya menyerang, tentu dengan sebuah serangan yang sangat
sederhana pun Ki Rangga akan tumbang.
9
“Nah Ki Rangga,” berkata Kiai Damar Sasangka begitu melihat
lawannya terlihat masih menundukkan kepalanya dalam-dalam,
“Engkau harus mengakui kehebatan perguruan Sapta Dhahana.
Sekarang tataplah langit dan peluklah bumi untuk terakhir kali.
Jangan rindukan lagi Matahari terbit di esok hari.”
Dalam pada itu, Kiai Damar Sasangka yang sama sekali tidak
menduga jika lawannya masih mampu memberikan perlawanan telah
terlontar ke belakang hampir satu tombak jauhnya. Tubuhnya
melayang tanpa terkendali sebelum akhirnya jatuh bergulingan di
atas tanah yang berdebu.
10
berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit
telah menimpa dadanya.
“Jika pada saat dia terjatuh itu aku menyerangnya kembali, tentu
nama besar agul-agulnya Mataram itu kini hanya tinggal kenangan,”
berkata Kiai Damar Sasangka dalam hati kemudian.
11
Dalam pada itu, udara malam terasa semakin dingin menusuk kulit
dan meremas tulang. Dalam keremangan malam tampak beberapa
bayangan berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu dan sesekali
mereka meloncati parit dan meniti pematang.
“Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya, aku harap kita sudah
sampai di rumah Nyi Gede,” berkata salah seorang di antara mereka
yang berbadan tegap dan kekar.
12
“Ah, sudahlah!” potong Ki Jagabaya yang melihat orang yang
mempunyai suara mirip burung hantu itu akan menjawab, “Jangan
bertengkar karena hal-hal yang sepele. Kita mempunyai sebuah kerja
besar malam ini. Jika Nyi Gede dan putranya dapat kita kuasai, aku
yakin Ki Gede Matesih dengan suka rela akan menyerah dan
mendukung perjuangan kita.”
Anak muda yang tak lain adalah Sukra itu tampak menarik nafas
dalam-dalam. Sambil membungkukkan badannya sedikit ke depan
dia pun berkata, “Guru, aku memang telah memutuskan untuk
13
menghindari setiap kekerasan yang terjadi di atas muka bumi ini,
sesuai dengan ajaran Kanjeng Sunan yang telah disampaikan
kepadaku beberapa saat yang lalu.”
14
Sukra menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Ajar. Dengan
suara yang sedikit sendat, dia pun segera berkata, “Guru, Kanjeng
Sunan mengajarkan kepadaku sebuah laku yang disebut Tapa Ngeli.”
15
kejadian di masyarakat, kita ikuti apa kemauan mereka, namun jika
ada hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang telah diturunkan
oleh Yang Maha Agung melalui utusaNYA, kita tidak boleh terhanyut
dan terseret oleh kemauan mereka.”
“Jadi, apa yang harus aku lakukan, Guru?” sahut Sukra dengan nada
sedikit meragu.
16
jika sekarang ini Ki Rangga sedang terlibat dalam sebuah
pertempuran?”
“Ya Guru,” jawab Sukra kemudian, “Ki Tanpa Aran dan Guru
ibaratnya saudara seperguruan.”
17
Aran berpesan bahwa sebelum Matahari terbit, Ki Gede Matesih dan
pasukan pengawal harus sudah sampai di padepokan Sapta
Dhahana.”
18
“Ya, kami memang saudara seperguruan,” jawab Ki Ajar dengan
senyum yang penuh teka-teki.
19
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Aku mengerti maksudmu Gatra Bumi. Marilah
aku antar menghadap Ki Gede Matesih.”
20
“Anak muda,” berkata pengawal tertua di antara mereka kemudian,
“Malam sudah melewati tengah malam. Sebaiknya kepentinganmu
untuk menghadap Ki Gede itu engkau tunda sampai besok pagi saja.”
21
Serentak mereka berpaling ke arah suara itu berasal. Tampak dari
kegelapan malam muncul sesosok orang yang sudah sangat sepuh
yang berjalan tertatih-tatih bertelekan pada tongkatnya.
22
Sejenak pengawal itu mengatur pernafasannya. Jawabnya kemudian,
“Ki Gede, kedua orang itu mengaku sahabat Ki Rangga Agung
Sedayu dan membawa berita yang sangat penting.”
23
Sejenak kemudian semuanya telah duduk kembali di atas tikar
pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa.
“Mohon maaf Ki Gede,” berkata orang yang sudah sangat sepuh itu,
“Aku adalah Ki Ajar Mintaraga salah seorang murid dan sekaligus
juga sahabat dari Kanjeng Sunan Muria,” Ki Ajar berhenti sejenak.
Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra dia melanjutkan, “Dan ini
adalah Cantrik Gatra Bumi, salah seorang muridku.”
24
perdikan ini, tenyata yang terjadi adalah sebaliknya. Malam ini kita
akan menyerang padepokan di gunung Tidar itu.”
25
Beberapa pengawal jaga segera diperintahkan untuk melontarkan
isyarat panah berapi sesuai dengan yang telah disepakati..
Dalam pada itu Ratri yang gelisah di dalam biliknya semenjak sore
tadi telah bangkit dari pembaringan dan mencoba keluar bilik. Ketika
dia kemudian membuka pintu bilik, tampak ayahnya sedang bergegas
keluar dari biliknya sambil menjinjing senjata kebesaran perdikan
Matesih Kiai Singkir Geni, sebuah tombak bermata tiga.
26
“Ayah akan pergi kemana?” bertanya Ratri kemudian sambil
memandang ke arah tangan kanan ayahnya yang menjinjing senjata
pusakanya.
“Malam-malam begini?”
27
tahu mbok Pariyem untuk sekedar menjamu mereka dengan
minuman hangat.”
“He?” seru pengawal yang berjambang lebat itu, “Apa aku tidak salah
lihat. Ada yang melontarkan panah berapi di udara tiga kali berturut-
turut!”
28
“He lihat!” tiba-tiba pengawal yang berjambang itu berseru kembali,
“Mereka melempar panah berapi lagi!”
Perintah itu sangat jelas dan tidak perlu diulangi sekali lagi.
29
“Bagaimana dengan kami?” tiba-tiba seorang anak muda yang
berambut keriting bertanya.
Sekali dua kali belum ada jawaban. Barulah ketukan yang ketiga
kalinya terdengar suara seseorang bergumam dari dalam rumah.
30
Sejenak terdengar langkah-langkah mendekati pintu. Ketika
terdengar bunyi selarak di angkat, pintu pun terbuka dan seraut wajah
laki-laki tampak muncul dari balik pintu.
31
Untuk beberapa saat pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya
diketuknya pintu rumah itu.
32
Badrun menggeleng. Jawabnya kemudian, “Entahlah. Aku juga tidak
begitu jelas peristiwa sebenarnya yang telah terjadi. Namun yang
pasti Ki Gede telah membuat Raden Surengpati itu jatuh pingsan.”
33
”Baiklah,” jawab laki-laki itu kemudian sambil menutup pintu
rumahnya.
34
“Orang ini mampu menguasai tata geraknya dengan begitu
sempurna,” desis Ki Waskita dalam hati sambil terus berloncatan
menghindar, “Karena kecepatannya bergerak itulah, orang ini
seakan-akan mampu berada di beberapa tempat sekaligus.”
35
“Syetan, demit, gendruwo, tetekaan..!” umpat Putut itu tak habis
habisnya sambil mencoba menghindari serangan Ki Waskita yang
datang membadai.
36
mengandung uap air yang sangat panas. Ternyata Galagah Putih
telah mengungkapkan ilmu yang dapat menyerap kekuatan api dan
air sehingga setiap serangannya bagaikan mengandung uap air yang
mendidih.
“Tentu saja dari guruku!” jawab Glagah Putih sambil terus mendesak
lawannya, “Kalau Raden sudah tidak mampu meningkatkan ilmu
Raden lagi, silahkan mengambil jalan terbaik. Menyerahlah, kami
akan memperlakukan setiap tawanan dengan baik. Raden akan tetap
kami beri makan, minum, dan cukup istirahat, kecuali..”
Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih selain merambah pada
tataran tinggi ilmunya. Demikianlah sejenak kemudian ketika Glagah
Putih melihat sebuah kesempatan terbuka untuk menyerang, tanah
sejengkal di hadapan Raden Surengpati pun meledak dengan
dahsyatnya. Tanah bercampur dengan uap air panas pun
berhamburan ke udara.
37
“Anak iblis..!” umpat Raden Surengpati sambil berloncatan
menghindar. Ketika Glagah Putih mencoba memburu, selarik cahaya
api menyambar dadanya.
38
Untuk beberapa saat Ki Rangga belum dapat mengambil sebuah
kesimpulan apapun. Dia tetap bertempur menghindari serangan
lawan yang berputaran. Semakin lama putaran lawannya semakin
cepat sejalan dengan udara yang terasa semakin kering.
Udara yang sangat kering itu terasa telah mencekik leher Ki Rangga.
Beberapa kali dicobanya untuk menarik nafas panjang, namun
usahanya itu selalu gagal. Semakin lama dadanya terasa semakin
pepat dan nafasnya pun menjadi pendek dan tersengal sengal.
“Gila,” geram Ki Rangga dalam hati, “Orang ini mampu menyerap air
yang terkandung dalam udara. Udara menjadi sangat kering di sekitar
arena pertempuran ini. Aku benar-benar kesulitan untuk memenuhi
rongga dadaku dengan udara segar.”
“Semoga ilmu dari kitab peninggalan Empu Windujati ini akan mampu
mengurangi keringnya udara,” berkata Ki Rangga dalam hati.
39
menjadi segar kembali. Ki Rangga pun tidak lagi merasakan
tenggorokannya seperti tercekik.
40
“Persetan!” geram Kiai Damar Sasangka, “Jangan engkau mengira
ilmuku tergantung keadaan bulan. Ilmuku adalah ilmu yang
memerlukan laku khusus yang tidak ada duanya di muka bumi ini.
Dengan demikian ilmuku sudah sempurna dan tidak tergantung
dengan keadaan apapun juga.”
41
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Raden Surengpati yang
menyaksikan kedahsystan ilmu Sapta Dhahana telah berloncatan
mundur mengambil jarak. Mereka berdua telah terpesona dengan
kemampuan Kiai Damar Sasangka untuk mengungkapkan sejenis
ilmu yang sudah sangat langka. Tubuh pemimpin perguruan Sapta
Dhahana itu benar-benar telah berubah ujud menjadi hantu api
sebesar gardu perondan.
“Apakah ilmu Kiai Damar Sasangka ini akan mampu melawan ujud
semu Ki Rangga?” bertanya Raden Surengpati kemudian dalam hati
dengan jantung yang berdebaran. Tidak menutup kemungkinan Ki
Rangga akan segera mengetrapkan ilmu semunya.
42
Berpikir sampai disitu, Raden Surengpati segera berpaling ke arah
Glagah Putih yang tampak masih tertegun keheranan melihat ujud
Kiai Damar Sasangka.
43
Ki Rangga benar-benar harus mengerahkan kelincahannya untuk
menghidari serangan lawan. Ki Rangga belum berani mencoba
sejauh mana ilmu kebalnya dapat menahan panasnya ilmu api
lawannya.
Beberapa orang yang melihat kejadian itu telah menarik nafas dalam-
dalam. Sebuah pameran kekuatan yang cukup mengejutkan, namun
bagi Ki Jagabaya perdikan Matesih, itu hanyalah pameran kekuatan
untuk menakut-nakuti kanak-kanak.
44
“Marilah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah masuk,
“Kita akan bertamu secara baik-baik dan membawa Nyi Selasih dan
putranya secara baik-baik pula.”
Untuk beberapa saat orang tua itu justru telah terkejut sehingga
hanya dapat berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu. Dia
benar-benar tidak menyangka di tengah malam menjelang dini hari
yang sepi itu akan mendapat tamu beberapa laki-laki yang tidak
dikenalnya kecuali Ki Jagabaya perdikan Matesih dan seseorang
yang rasa-rasanya dia pernah mengenalnya.
45
“Apakah kami tidak dipersilahkan masuk?” tiba-tiba Ki Jagabaya
menyeluthuk sehingga membuat orang tua itu terkejut bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi buruk.
46
Demikianlah sejenak kemudian Ki Jagabaya dan kawan-kawannya
segera menempatkan diri duduk di pendapa di atas sehelai tikar
pandan yang agak usang. Lampu dlupak yang redup tergantung di
tengah-tengah pendapa menyinari wajah Ki Jagabaya dan kawan-
kawannya yang terlihat buram.
“He!” seru orang tua itu dengan suara sedikit tertahan. Dia benar-
benar tidak menyangka jika tujuan orang-orang itu datang ke
rumahnya adalah untuk menjemput anak perempuan dan cucunya.
“Mengapa?” hanya pertanyaan itu yang terucap dari bibir yang sudah
keriput. Selebihnya hanya tampak wajah yang murung dan memelas.
47
Matesih sebagai pancadan perjuangan mereka. Dengan dukungan
penuh padepokan Sapta Dhahana, mereka akan menggulingkan
Mataram.”
Kerut merut orang tua itu semakin dalam. Berkata orang tua itu
sambil menghela nafas panjang, “Ketamakan hati manusia yang
ternyata justru membuat sengsara manusia yang lain. Anak dan
cucuku tidak mengetahui dan sama sekali tidak berurusan dengan
orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen. Aku sebagai
ayahnya hanya ingin melihat anak dan cucuku dapat menggapai
kebahagiaan menjadi bagian dari rumah tanga Ki Gede Matesih.”
Tiba-tiba jantung orang tua itu berdesir tajam. Betapa wajah-wajah itu
terlihat di mata ayah Nyi Selasih bagaikan batu-batu padas di
gerojokan, wajah-wajah yang kasar dan terlihat sedikit liar.
“Ki Jagabaya,” jawab orang tua itu kemudian, “Bukannya aku tidak
percaya dengan Ki Jagabaya, namun dulu pada saat Ki Gede
meminang anakku, Ki Gede sendiri yang datang kemari. Sekarang
48
aku harap Ki Gede sendirilah yang datang untuk memboyong anak
dan cucuku.’
“Ki Gede sangat sibuk mengatur para pengawal serta para bebahu
perdikan Matesih,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Menyadari kesibukannya, Ki Gede telah mengutus aku
untuk menjemput Nyi Gede. Jika alasan ini memang tidak dapat
diterima, sebaiknya Ki Prana beserta Nyi Selasih dan putranya
sekalian kami boyong bersama-sama.”
Jika saja ada guntur meledak di langit saat itu, tentu tidak akan
membuat Ayah nyi Selasih sekaget itu. Tanpa sadar dia telah
bergeser setapak mudur dari tempat duduknya.
Agaknya Ki Jagabaya pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. maka
katanya kemudian, “Baiklah Ki Prana. Sebenarnya kami telah berlaku
49
cukup baik untuk membawa Nyi Gede dan anaknya malam ini.
Namun karena tingkah polahmu sendiri yang rewel, terpaksa kami
menempuh jalan kekerasan.”
50
Gandhung yang melihat Ki Prana melangkah ke arahnya segera
mengulurkan pedang di tangan kirinya.
51
Sejenak kemudian Ki Jagabaya dan kawan-kawannya segera
mencabut senjata masing-masing. Tanpa memberi kesempatan
kepada Ki Prara dan Gandhung, serangan mereka pun segera
datang silih berganti.
52
Gandhung. Namun kedua orang itu bukanlah anak kemarin sore yang
silau dan menangis melihat kilauan senjata. Mereka berdua telah
kenyang makan asam garamnya pertempuran. Ki Prana adalah
bekas prajurit Demak yang telah purna. Sedangkan Gandhung
adalah pengawal khusus Ki Gede Matesih yang sengaja di tempatkan
di rumah Ki Prana untuk menjaga segala kemungkinan.
53
Ki Jagabaya dan kawan-kawannya untuk beberapa saat belum
mampu menangkap maksud dari rencana lawannya. Mereka hanya
menunggu sambil terus memberikan serangan-serangan dari segala
arah.
“Tiga..!”
“Iblis..! “ teriak lawan Ki Prana itu sambil sekali lagi meloncat menjauh.
Ketika Ki Prana mencoba maju selangkah sambil menjulurkan
tombaknya sejauh-jauh jangkauan tangannya, sebuah pedang
ternyata telah menangkisnya.
54
kawan-kawannya harus berpacu dengan waktu sebelum Ki Wiyaga
dan para pengawal utusan Ki Gede Matesih sampai di tempat itu.
Perintah itu tidak perlu diulang lagi. Dengan sekali loncat orang itu
segera melepaskan diri dari pusaran pertempuran. Sambil
menyarungkan senjatanya, dia segera berlari menyeberangi pendapa
untuk kemudian memasuki rumah itu.
Namun orang yang berlari menuju rumah itu sudah membuka pintu
pringgitan dan kemudian menghilang.
55
melindungi keluarga itu. Namun sekarang dia benar-benar tidak
berdaya menghadapi serangan-serangan lawan-lawannya.
Dalam pada itu, kawan Ki Jagabaya yang masuk rumah melalui pintu
pringgitan segera menerobos ruang tengah. Ketika dia sedang
mencari-cari bilik Nyi Gede dan putranya, tiba-tiba telinganya yang
sangat tajam lamat-lamat mendengar isak tangis yang tertahan-tahan
dari arah ruang dalam.
Tiba-tiba dalam benak orang itu telah terlintas sebuah pikiran yang
sangat kotor. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk dia segera
mengetuk pintu bilik yang tampaknya diselarak dengan rapat dari
dalam.
56
Ketukan itu memang sangat perlahan namun telah membuat jantung
Nyi Selasih bagaikan copot dari tangkainya.
“Aku siapa?” kembali terdengar suara dari dalam bilik. Kali ini suara
itu agak sedikit tenang.
57
kanannya sudah meraba selarak pintu, dia mendengar sesuatu yang
aneh. Sesuatu yang telah membuat bulu kuduknya berdiri.
Dari balik pintu bilik itu Nyi Selasih dengan sangat jelas dapat
mendengar deru nafas yang memburu. Nafas dari seorang laki-laki
yang sedang dalam puncak gairahnya. Nyi Selasih yang telah
mengalami berumah tangga sebanyak dua kali itupun sudah sangat
paham dengan deru nafas seperti itu.
58
Begitu pintu bilik terbuka sejengkal, dengan bergegas orang itu
segera mendorong pintu bilik dan melangkah masuk.
Tidak mau membuang waktu lagi, orang itu segera maju selangkah
sambil membungkuk untuk mengangkat tubuh Nyi Selasih yang
tergeletak di lantai. Dalam benaknya sudah terpikir untuk membawa
Nyi Selasih yang masih tidak sadarkan itu ke bilik yang lain sehingga
dengan bebasnya dia akan mempermainkan korbannya.
59
dia segera mengikat tangan laki-laki itu ke belakang dengan
menggunakan ikat kepala laki-laki itu sendiri.
“Maaf, nak,” bisik orang dengan penutup wajah itu sambil dengan
sangat hati-hati dan perlahan menarik selimut itu, “Aku pinjam
sebentar untuk mengikat penjahat itu.”
60
“Menyerahlah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menghindari
sambaran pedang lawannya, “Aku membayangkan kawanku
sekarang ini mungkin sedang bersenang-senang dengan Nyi Selasih.
Bukankah sewaktu Nyi selasih masih menjanda, kawanku itu telah
mencoba melamarnya namun telah engkau tolak dengan mentah-
mentah?”
“Ki Jagabaya!” seru orang yang bersuara mirip burung hantu itu
kemudian dengan nada yang gelisah, “Mereka telah datang!”
61
Namun tenryata tidak terdengar jawaban sama sekali. Ketika Ki
Jagabaya kemudian berpaling ke arah regol, tampak beberapa orang
telah berloncatan memasuki regol dengan senjata tergenggam di
tangan kanan.
62
Namun langkahnya tertegun ketika mendapatkan seseorang sedang
duduk terikat pada salah satu tiang yang terdapat di ruang dalam itu.
Tampaknya orang itu sedang tidak sadarkan diri. Ki Prana pun
segera mengenali orang itu sebagai salah satu kawan Ki Jagabaya
yang telah memasuki rumahnya beberapa saat tadi.
63
“Bersyukurlah Ki, kemungkinannya seseorang telah menolong Nyi
Gede dari niat jahat orang ini.”
Nyi Selasih yang sedang tidak sadarkan diri itu agaknya mulai
menyadari keadaannya. Lamat-lamat telinganya mendengar
seseorang sedang memanggil-manggil namanya serta tubuhnya
terasa diguncang-guncang.
Nyi selasih yang sudah duduk di bibir amben itu segera memeluk
anaknya sambil berdesis, “Biyung di sini, nak. Biyung di sini.”
64
Ki Wiyaga dan para pengawal yang telah sampai di depan pintu bilik
itu segera menarik nafas dalam-dalam. Hati mereka telah tersentuh.
Betapa Nyi Selasih yang telah menjadi istri Ki Gede hampir setahun
yang lalu itu lebih memilih hidup sederhana di rumah ayahnya sendiri
dari pada harus menahan hati setiap hari dan bersitegang dengan
seorang anak tiri.
Serentak mereka yang berkerumun di depan pintu bilik itu pun segera
menyingkir.
65
Alangkah terkejutnya Nyi Selasih. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan
terlepas dari tangkainya. Wajah itu adalah wajah yang pernah
dikenalnya namun sekaligus juga yang sangat dibencinya.
66
gemetar kepala pengawal itu menyambung pecahan kayu selarak itu
dengan sisa kayu selarak yang masih tersangkut di pegangan pintu.
67
Selesai berkata demikian Ki Prana menunjuk ke arah orang yang
masih dalam keadaan pingsan dan terikat di salah satu tiang ruang
dalam.
Ketika kedua orang itu merasa semakin berat menahan dingin dan
kantuk, tiba-tiba saja terdengar derit pintu pringgitan terbuka. Begitu
kedua orang itu berpaling, tampak seorang perempuan tua membawa
nampan berisi minuman hangat dan beberapa penganan. Di
belakangnya berjalan sambil menengadahkan wajahnya seorang
gadis cantik yang sedang beranjak dewasa.
68
Berdesir dada Sukra begitu memandang seraut wajah cantik namun
terkesan sedikit tinggi hati itu. Sejenak dua pasang mata itu beradu
dengan kesan masing-masing...........
69
“O, tentu saja tidak, Ki,” jawab perempuan tua itu, “Sudah menjadi
kewajiban kami untuk mempersiapkan hidangan sekedarnya bagi
tamu-tamu Ki Gede.”
70
Dalam pada itu Ratri yang gelisah segera menghempaskan tubuhnya
ke pembaringan. Sejenak sepasang mata yang ndamar kanginan itu
menatap langit-langit biliknya. Terdengar bibirnya yang bak manggis
karengat itu berkali-kali berdesah.
Bibir tipis bak manggis karengat itu tersenyum manis begitu teringat
akan kekasihnya. Betapa segala perhatian, sanjungan dan pujian
selalu tertumpah kepadanya setiap kali mereka berdua bertemu.
71
Namun sampai sejauh ini Ratri belum dapat menarik sebuah
kesimpulan apapun atas kejadian itu.
72
tidak memerlukan bantuan apapun untuk mengetrapkan ilmu apinya
itu.”
73
menangkis serangan lawannya yang datang bertubi-tubi, tiba-tiba
saja Ki Kebo Mengo yang melihat dada lawannya terbuka telah
membenturkan kepalanya ke dada lawan.
“Tidak ada pilihan lain,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati sambil
berusaha mengambil jarak, “Tekanan ini sudah melampaui batas.
Terpaksa aku mengetrapkan ilmu simpananku.”
74
beberapa langkah sambil terhuyung-huyung. Belum sempat dia
memperbaiki kedudukannya, serangan salah satu kaki lawannya
meluncur menghentak lambung.
75
Ki Kebo Mengo segera tanggap. Walaupun lawannya mampu
melenyapkan diri dari penglihatannya, namun desir angin yang
mendahului serangannya tidak dapat disembunyikan.
76
Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya dalam-dalam. Rasa-
rasanya dia pernah mendengar nama aji itu. Namun dia belum
mengetahui jika salah satu kedahsyatan aji mahesa kurda itu terletak
pada penggunaan kepala sebagai senjata.
“Aku belum berani menjajagi panas api yang memancar dari tubuh
Kiai Damar Sasangka ini,” batin Ki Rangga sambil terus berloncatan
menghindari sambaran lidah api yang tak habis-habisnya, “Apakah
cambukku mampu bertahan menghadapi panasnya aji sapta dhahana
ini?”
77
Tidak ada jalan lain bagi ki Rangga selain mengungkapkan ilmu yang
dapat memecah perhatian lawan sehingga memberi kesempatan
bagainya untuk balas menyerang.
“Anak iblis!” geram Kiai Damar Sasangka dari balik ujudnya yang
telah berubah menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan itu,
“Dari mana engkau dapatkan ilmu itu, he?”
Dalam pada itu, Raden Surengpati yang bertempur agak jauh dari
arena pertempuran Ki Rangga telah terkejut bukan alang kapalang.
Dengan cepat dia segera meloncat mengambil jarak. Dengan jantung
berdebaran serta keringat dingin yang membasahi punggung,
dipandanginya ketiga ujud Ki Rangga itu dari kejauhan.
78
“Persetan!” geram Raden Surengpati sambil memutar tubuhnya
menghadap Glagah Putih kembali, “Aku yakin Kiai Damar Sasangka
pasti akan mampu mengatasinya.”
“Kenapa tidak? Kiai Damar Sasangka memiliki ilmu yang tak terukur.
Jangankan hanya melawan tiga orang, melawan pasukan segelar
sepapan pun Kiai Damar Sasangka pasti akan dapat mengatasinya.”
“Tidak mungkin. Kiai Damar Sasangka lah yang akan keluar sebagai
pemenang!”
79
baiknya oleh Ki Rangga untuk mempersiapkan puncak ilmu
cambuknya.
Kiai Damar Sasangka terkejut. Dia sama sekali tidak menduga bahwa
kedua ujud semu Ki Rangga akan mampu melakukan serangan
sebagaimana ujud aslinya.
Bersambung ke jilid 7
80