Anda di halaman 1dari 80

1

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH


JILID 06

OLEH

paneMBAHan MANdaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Mbah Man

Tahun 2017
Diterbitkan hanya unutk kalangan terbatas

2
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna
Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga
Hanyalah kecintaan akan sebuah karya
Untuk dilestarikan sepanjang masa

Sekar keluwih, Agustus 2017

Terima kasih atas dukungan:


Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua

3
“Gila!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur. Dengan segera
diperiksanya kulit lengannya yang tersentuh sisi telapak tangan Ki
Jayaraga. Ternyata sebagian kulitnya telah melepuh dan berwarna
merah kehitaman.

“Setan, iblis laknat jahanam!” umpat Ki Brukut tak habis habisnya


sambil menyeringai menahan pedih yang menyengat kulit lengannya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Jayaraga kemudian begitu melihat lawannya


sedang sibuk memeriksa lukanya, “Silahkan beristirahat sebentar
untuk mengobati luka Ki Sanak. Jika Ki sanak tidak membawa obat,
aku ada sedikit yang dapat dipakai sementara untuk menahan pedih
di luka Ki Sanak.”

“Persetan!” geram Ki Brukut dengan wajah merah padam, “Jangan


engkau sangka aku sudah habis sampai di sini. Aku masih
mempunyai bermacam-macam ilmu yang lain yang cukup untuk
membuatmu bertekuk lutut. Aku peringatkan sekali lagi, jangan
mencoba bergurau dengan Ki Brukut, nyawamu sudah berada di
ujung rambutmu.”

Namun Ki Jayaraga menanggapi ancaman Ki Brukut dengan sebuah


senyuman, senyuman yang tampak sangat menyakitkan hati
lawannya.

Dengan cepat Ki Brukut segera mengeluarkan sebuah bungkusan


dari kantong ikat pinggangnya. Setelah menaburkan bubuk yang
berwarna putih di atas lukanya, Ki Brukutpun kemudian menyimpan
kembali sisa obat dalam bungkusan itu ke kantong ikat pinggangnya
kembali.

“Nah,” berkata Ki Brukut kemudian, “Sekarang bersiaplah untuk


menerima hukuman. Aku sudah tidak akan bermain-main lagi.
Ungkapan ilmu yang akan aku tunjukkan mungkin akan sangat
membingungkanmu. Tapi percayalah, jika Ki Sanak menyerahkan diri

4
secara baik-baik, aku akan mempercepat kematianmu tanpa
merasakan sakit sama sekali.”

Guru Glagah Putih itu menarik nafas dalam-dalam. Menilik dari


ucapannya, lawannya itu sangatlah sombong sekali. Namun Ki
Jayaraga berpendapat, jika tidak memiliki bekal yang lebih dari
cukup, tentu lawannya itu tidak akan berani berkata seperti itu.

“Baiklah Ki Brukut,” berkata Ki Jayaraga kemudian menanggapi, “Kita


akan bertempur kembali. Namun kali ini kita harus membuat sebuah
perjanjian terlebih dahulu. Selama pertempuran berlangsung, tidak
diperkenankan untuk mengambil istirahat, makan atau minum
misalnya. Bahkan mengobati luka pun juga termasuk dilarang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Brukut dengan wajah yang merah padam.


Giginya terdengar bergemelutuk menahan kemarahan yang sudah
mencapai ubun-ubun.

“Aku peringatkan sekali lagi. jangan menghina Ki Brukut!” geram Ki


Brukut kemudian sambil tangan kirinya menunjuk ke arah wajah
lawannya, “Aku dapat berbuat apa saja bahkan diluar batas
kewajaran seorang manusia sekalipun.”

Diam-diam Ki Jayaraga tersenyum dalam hati. Pancingannya


ternyata berhasil. Lawannya menjadi waringuten dan tentu saja Ki
Jayaraga berharap penalaran lawannya pun akan menjadi buram
serta pengetrapan ilmunya menjadi tumpang suh.

Maka kata Ki Jayaraga kemudian, “Ki Sanak aku menjadi tidak sabar
lagi. Sedari tadi engkau selalu mengancam dan mengancam. Aku
benar-benar sudah bosan dan muak mendengar ancamanmu itu.”

Belum selesai Ki Jayaraga mengatupkan bibirnya, serangan lawan


telah meluncur deras mengarah ke dada.

Demikianlah akhirnya, setelah Ki Brukut dikejutkan dengan


kemampuan lawannya yang mampu melontarkan kekuatan api
melalui telapak tangannya, kedua orang itu pun kemudian kembali
terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Masing-masing

5
telah meningkatkan ilmu dan tenaga cadangan yang tersimpan dalam
diri mereka.

Dalam pada itu di halaman depan Ki Rangga terlihat sedang


bertempur melawan pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai
Damar Sasangka.

Ternyata pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu langsung


menyerang ki Rangga pada tataran tinggi ilmunya, walaupun belum
merambah sampai ke puncak. Namun serangan-serangannya benar-
benar dilambari tenaga cadangan dengan kekuatan yang dahsyat
dan nggegirisi.

Sejauh itu Ki Rangga masih mampu melayani serangan-serangan


lawannya, baik dalam hal kecepatan maupun tata gerak. Ketika
lawannya semakin meningkatkan kecepatan geraknya, Ki Rangga
pun mulai mengungkapkan ilmu yang mampu menghilangkan bobot
tubuhnya.

“Ternyata nama besar Ki Rangga Agung Sedayu hanyalah sebuah


omong kosong,” desis Kiai Damar Sasangka sambil terus
meningkatkan serangannya, “Bagiku ilmu loncat-loncatan ini tak
ubahnya permainan kanak-kanak yang baru belajar berjalan. Mereka
senang meloncat-loncat karena ingin menirukan polah tingkah seekor
katak.”

Sekilas Ki Rangga terlihat tersenyum. Dia menanggapi ejekan


pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dengan senyum dikulum. Ki
Rangga sudah terbiasa menghadapi berbagai macam perangai
lawan dalam setiap pertempuran.

Tiba-tiba lawan Ki Rangga itu meloncat ke belakang beberapa


langkah untuk mengambil jarak. Sekejap dia terlihat seperti meraba
kantong ikat pinggangnya. Belum sempat Ki Rangga mengetahui apa
yang sedang dilakukan oleh lawannya, serangan Kiai Damar
Sasangka telah meluncur kembali dengan membadai.

Berbagai dugaan timbul dalam benak ki Rangga. Senapati pasukan


khusus yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu

6
menduga tentu lawannya telah mengambil sebuah senjata rahasia
yang disimpan di dalam kantong ikat pinggangnya.

“Mungkin sebuah paser kecil atau jarum yang sangat beracun,”


berkata Ki Rangga dalam hati menduga-duga.

Walaupun pada dasarnya tubuh Ki Rangga telah dikaruniai


kemampun untuk menolak segala jenis racun, namun Ki Rangga
tidak mau tubuhnya terluka hingga mengeluarkan darah..

“Dengan lontaran kekuatan yang dahsyat serta jarak yang sangat


dekat, apapun jenis senjata rahasia itu, tentu akan mampu
menembus kulitku,” berpikir Ki Rangga sambil terus mengawasi
setiap gerakan tangan kanan lawannya yang tampak menggegam
sesuatu.

Maka sejenak kemudian, Ki Rangga pun mulai melindungi tubuhnya


dengan meningkatkan ilmu kebalnya selapis demi selapis walaupun
belum sampai ke puncak. Ki Rangga benar-benar tidak mau lengah
walaupun hanya sekejap.

Namun untuk beberapa saat lawannya tidak menampakkan


perubahan yang berarti. Serangannya tetap melanda Ki Rangga
bagaikan ombak yang bergulung-gulung menerjang pantai.
Sementara tangan kanannya tetap dalam keadaan menggenggam
tanpa terlihat usaha untuk melemparkan sesuatu ke arah Ki Rangga.

Ki Rangga benar-benar sempat dibuat gelisah. Dia sedang


menantikan lawannya menyerang dengan senjata rahasianya itu
sehingga dia lebih banyak menunggu dan menghindar. Dengan
loncatan-loncatan panjang dan kadang meloncat tinggi sekali, semua
serangan lawannya dapat dihindarkan dengan mudah.

Namun lama kelamaan Ki Rangga menjadi tidak telaten. Ki Rangga


tidak mau dirinya hanya menjadi sasaran serangan lawan, sementara
senjata rahasia yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba.

“Mungkin dia tidak benar-benar menggenggam sebuah senjata


rahasia,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting tinggi, “Aku

7
hanya dibayangi ketakutanku sendiri. Lebih baik aku balas
menyerang. Bukankah aku dapat mengandalkan ilmu kebalku?”

Berpikir sampai disitu Ki Rangga segera mengambil keputusan untuk


balas menyerang.

Demikianlah akhirnya, ketika kesempatan itu terbuka, serangan Ki


Rangga pun datang melanda lawannya bagaikan angin puting beliung
yang melanda apa saja yang dilewatinya.

Namun ternyata saat-saat itulah yang sedang ditunggu oleh


lawannya. Begitu tubuh Ki Rangga meluncur deras ke depan, Kiai
Damar Sasangka tampak mengangkat tangan kanannya dan
membuka telapak tangan yang sedari tadi selalu tergenggam.

Ki Rangga terkejut. Ternyata sama sekali tidak ada senjata paser


atau jarum dan sejenisnya dalam genggaman tangan lawannya. Yang
meluncur deras menyambar wajah Ki Rangga adalah segumpal
serbuk berwarna kekuning-kuningan yang segera menebar
bercampur dengan udara malam.

Dalam keadaan yang sedemikian cepat itu Ki Rangga masih sempat


memalingkan wajahnya. Namun tak urung serbuk yang telah
bercampur dengan udara malam itu telah terhirup oleh pernafasan Ki
Rangga.

Dengan cepat ki Rangga segera meloncat ke belakang mengambil


jarak. Untuk sejenak Ki Rangga belum merasakan pengaruh serbuk
yang ikut terhirup pernafasannya itu. Namun lambat laun Ki Rangga
merasakan tubuhnya menjadi lemah dan lemas. Pandangan matanya
menjadi kabur dan mulai berkunang-kunang serta pernafasannya
menjadi sedikit sesak dan tersengal. Agaknya serbuk berwarna
kekuning-kuningan itu sejenis racun yang sangat kuat dan jahat.

Perlahan tapi pasti, racun itu mulai meresap melalui paru-parunya


dan selanjutnya beredar mengikuti aliran darahnya.

Agaknya di dalam tubuh Ki rangga telah terjadi pertarungan yang


dahsyat antara racun itu dengan darah Ki Rangga yang telah

8
mengandung penawar terhadap segala racun. Betapa dahsyatnya
pergolakan itu sehingga telah membuat tubuh Ki Rangga menggigil
keras seperti orang kedinginan. Perlahan-lahan Ki Rangga pun
kemudian terjatuh pada kedua lututnya.

“Kakang..!” terdengar teriakan Glagah Putih beberapa tombak dari


tempat Ki Rangga terjatuh. Dengan sekuat tenaga Glagah Ptih
mencoba melepaskan diri dari pusaran pertempuran itu. Namun
lawannya tidak membiarkannya keluar dari lingkaran pertempuran.

Sejenak Kiai Damar Sasangka hanya berdiri diam sambil bertolak


pinggang. Sebuah senyum kemenangan telah menghiasi bibirnya.

“Ternyata agul-agulnya Mataram ini hanya sampai disini saja


kehebatannya,” seru Kiai Damar Sasangka sambil tertawa terkekeh-
kekeh, “Alangkah mudahnya melawan orang sesakti Ki Rangga
Agung Sedayu yang namanya telah kawentar dari ujung sampai ke
ujung tanah ini. Aku yakin, sebenarnya Kakang Pideksa pun tidak
mungkin dapat dikalahkan kecuali dengan sebuah kecurangan.”

Ki Rangga Agung Sedayu yang mendengar suara tertawa lawannya


itu tidak mengambil sikap apapun. Ki Rangga tetap berdiri pada
kedua lututnya. Justru sekarang kepala Ki Rangga terlihat tertunduk
dalam-dalam.

Sebenarnyalah racun yang terdapat dalam serbuk kekuning-kuningan


itu sangat kuat dan dahsyat. Darah di tubuh Ki Rangga memerlukan
waktu beberapa saat untuk mengendapkan kekuatan racun itu.

Untunglah Kiai Damar Sasangka tidak menyadari hal itu. Jika di saat
tubuh Ki Rangga melemah karena pengaruh racun itu kemudian
lawannya menyerang, tentu dengan sebuah serangan yang sangat
sederhana pun Ki Rangga akan tumbang.

Namu ternyata Ki Rangga masih mendapat perlindungan dari Yang


Maha Agung. Perlahan tapi pasti pengaruh racun itu mulai
menghilang dan Ki Rangga pun merasakan tubuhnya sehat kembali
seperti sedia kala.

9
“Nah Ki Rangga,” berkata Kiai Damar Sasangka begitu melihat
lawannya terlihat masih menundukkan kepalanya dalam-dalam,
“Engkau harus mengakui kehebatan perguruan Sapta Dhahana.
Sekarang tataplah langit dan peluklah bumi untuk terakhir kali.
Jangan rindukan lagi Matahari terbit di esok hari.”

Selesai berkata demikian Kiai Damar Sasangka segera mengerahkan


tenaga cadangan di kepalan tangan kanannya. Sambil berteriak
nyaring, tubuhnya melesat ke depan sambil mengayunkan kepalan
tangannya untuk meremukkan kepala Ki Rangga Agung Sedayu.

Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan pemimpin


perguruan Sapta Dhahana itu. Disaat serangannya hampir mencapai
sasaran, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata Ki Rangga
telah menyilangkan kedua tangannya tepat di atas kepala. Benturan
yang dahsyat pun tak terelakkan lagi.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Udara


malam terasa bergetar dengan dahsyat. Getarannya telah
merontokkan dedaunan serta menghamburkan debu di sekitar
lingkaran pertempuran itu. Bahkan getaran udara itu terasa
menghentak dada Glagah Putih dan Raden Surengpati yang sedang
bertempur tidak jauh dari tempat itu.

“Gila!’ teriak Glagah Putih dan Raden Surengpati hampir bersamaan.


Dengan cepat kedua anak muda itu pun segera meloncat mundur
sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan getaran yang
tetah menyesakkan dada.

Dalam pada itu, Kiai Damar Sasangka yang sama sekali tidak
menduga jika lawannya masih mampu memberikan perlawanan telah
terlontar ke belakang hampir satu tombak jauhnya. Tubuhnya
melayang tanpa terkendali sebelum akhirnya jatuh bergulingan di
atas tanah yang berdebu.

Sedang Ki Rangga yang mempunyai kedudukan lebih


menguntungkan ternyata telah terdorong surut beberapa langkah ke
belakang dengan tetap bertumpu pada kedua lututnya. Rasa-rasanya

10
berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit
telah menimpa dadanya.

Ki Rangga segera bangkit berdiri sambil mengibas-kibaskan debu


yang melekat di kain panjangnya. Ketika pandangan matanya
kemudian melihat ke arah depan. Tampak lawannya telah bangkit
berdiri sambil mengumpat tak habis-habisnya.

“Syetan, iblis, gendruwo, tetekan..!” geram Kiai Damar Sasangka


sambil mengusap wajahnya yang penuh debu, “Syetan mana yang
merasuki tubuhmu, he?!”

Ki Rangga tersenyum mendengar umpatan lawannya. Jawabnya


kemudian sambil tetap tersenyum, “Aku tidak pernah berkawan
dengan syetan, Kiai. Aku selalu memohon perlindungan kepada Yang
Maha Agung.”

“Omong kosong!” sergah Kiai Damar Sasangka, “Ternyata tubuhmu


kebal terhadap serbuk racunku. Baiklah pertempuran belum berakhir.
Aku masih mempunyai segudang ilmu untuk membunuhmu.”

Namun sebenarnyalah telah terlintas sebuah penyesalan dalam


benak pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu.

“Sekebal apapun seseorang itu terhadap pengaruh racun, dia pasti


memerlukan waktu untuk menawarkannya. Dan aku ternyata telah
menyia-nyiakan kesempatan itu,” sesalnya kemudian dalam hati.

Kiai Damar Sasangka benar-benar telah menyesali kesempatan yang


terbuka di hadapannya. Pada saat Ki Rangga sedang berjuang
menawarkan racun yang masuk ke dalam aliaran darahnya melalui
pernafasannya, tentu pertahanan Ki Rangga menjadi sangat lemah.

“Jika pada saat dia terjatuh itu aku menyerangnya kembali, tentu
nama besar agul-agulnya Mataram itu kini hanya tinggal kenangan,”
berkata Kiai Damar Sasangka dalam hati kemudian.

Demikianlah, sejenak kedua orang itu pun segera memulai lagi


pertempuran yang dahsyat mengadu kerasnya tulang dan liatnya
kulit.

11
Dalam pada itu, udara malam terasa semakin dingin menusuk kulit
dan meremas tulang. Dalam keremangan malam tampak beberapa
bayangan berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu dan sesekali
mereka meloncati parit dan meniti pematang.

“Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya, aku harap kita sudah
sampai di rumah Nyi Gede,” berkata salah seorang di antara mereka
yang berbadan tegap dan kekar.

“Ki Jagabaya,” sahut seorang yang berperawakan tinggi dan kurus,


“Apakah Nyi Gede akan percaya bahwa kita adalah utusan Ki Gede
Matesih untuk menjemput mereka?”

Orang yang dipanggil Ki Jagabaya itu tertawa pendek. Jawabnya


kemudian, “Nyi Gede sudah sangat mengenal aku sebagai Jagabaya
perdikan Matesih. Dengan seribu satu macam alasan, kita pasti dapat
memboyong Nyi Gede dan putranya.”

Sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah deru nafas


orang-orang itu yang sedang berpacu dengan waktu.

“Ki Jagabaya,” kembali terdengar orang yang tinggi kururs itu


menyeluthuk, “Menurut berita telik sandi kita menjelang sirep uwong
tadi, Ki Wiyaga dan beberapa pengawal telah berangkat untuk
menjemput Nyi Gede atas perintah Ki Gede. Aku khawatir jika
rombongan kita ini nantinya justru akan berjumpa dengan mereka di
rumah yang ditempati Nyi Gede.”

“Apa engkau takut?” tiba-tiba terdengar suara mirip burung hantu


memotong, “Jika engkau takut, masih ada kesempatan untuk
kembali. Sebenarnya cukup aku sendiri saja untuk melakukan tugas
ini. Apakah susahnya membawa seorang perempuan dan anak yang
masih kecil? Walaupun mereka dilindungi pasukan segelar sepapan,
sendirian saja aku sanggup mengatasinya.”

“Ah, sombongnya!” geram orang tinggi kurus itu, “Sesekali aku


memang ingin mencoba untuk membuktikan kesombonganmu itu!”

12
“Ah, sudahlah!” potong Ki Jagabaya yang melihat orang yang
mempunyai suara mirip burung hantu itu akan menjawab, “Jangan
bertengkar karena hal-hal yang sepele. Kita mempunyai sebuah kerja
besar malam ini. Jika Nyi Gede dan putranya dapat kita kuasai, aku
yakin Ki Gede Matesih dengan suka rela akan menyerah dan
mendukung perjuangan kita.”

Tampak kedua orang yang sedang bertengkar itu menarik nafas


dalam-dalam. Keduanya berusaha untuk menahan diri sejauh dapat
mereka lakukan. Namun tanpa terasa bibit-bibit dendam itu mulai
tumbuh di hati mereka.

“Kita tetap lewat jalan pintas,” berkata Ki Jagabaya kemudian ketika


mereka keluar dari sebuah pategalan dan mendapatkan sebuah jalur
jalan yang membujur kearah timur dan barat, “Kita lewat padang
perdu itu kemudian membelok ke timur. Setelah melewati belakang
pasar dukuh Salam, kita akan sampai di rumah Nyi Selasih, janda
anak satu yang telah dinikahi Ki Gede hampir setahun yang lalu.”

Orang-orang yang mengikuti Ki Jagabaya itu tampak mengangguk-


anggukkan kepala mereka. Demikian mereka menaiki tanggul di sisi
selatan jalan itu, mereka pun kemudian menyeberangi jalan untuk
kemudian melintasi sebuah padang perdu yang cukup luas.

Dalam pada itu, di kedalaman hutan sebelah timur gunung Tidar,


tampak Ki Ajar Mintaraga sedang duduk di atas sebuah batu yang
terletak di tengah-tengah padang rumput yang tidak seberapa luas. Di
hadapannya duduk seorang anak muda dengan kepala yang
ditundukkan dalam-dalam.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar kemudian dengan sareh, “Aku memang


sempat kecewa dengan keputusanmu yang menolak ajakan Ki
Rangga untuk mengadakan penyelidikan di perguruan Sapta Dahana.
Namun aku dapat menyadari keputusanmu itu. Engkau memang
berhak untuk memilih jalan hidupmu sendiri.”

Anak muda yang tak lain adalah Sukra itu tampak menarik nafas
dalam-dalam. Sambil membungkukkan badannya sedikit ke depan
dia pun berkata, “Guru, aku memang telah memutuskan untuk

13
menghindari setiap kekerasan yang terjadi di atas muka bumi ini,
sesuai dengan ajaran Kanjeng Sunan yang telah disampaikan
kepadaku beberapa saat yang lalu.”

Sejenak Ki Ajar Mintaraga mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Ajar


kemudian dengan nada suara yang terdengar tetap sareh, “Pelajaran
apakah yang dapat engkau petik dari ajaran Kanjeng Sunan itu?”

Sukra tidak langsung menjawab. Digeser duduknya beberapa jengkal


ke depan sebelum menjawab pertanyaan gurunya.

“Guru,” jawab Sukra kemudian, “Kanjeng Sunan mengajarkan sebuah


laku yang harus kita jalani dengan ikhlas jika kita ingin bergaul dan
hidup di antara kawula dalam bebrayan agung.”

Ki Ajar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai murid dan


sekaligus sahabat Kanjeng Sunan, tentu saja Ki Ajar sudah paham
betul dengan ajaran itu. Namun Ki Ajar tetap saja melanjutkan
pertanyaannya.

“Apakah engkau dapat menjelaskan kepadaku tentang laku itu?”

Untuk beberapa saat Sukra terdiam. Berbagai tanggapan hilir mudik


dalam benaknya. Ada sedikit keseganan yang timbul dalam hatinya
jika harus menjelaskan kepada gurunya tentang ajaran Kanjeng
Sunan itu.

“Apakah guru hanya ingin mengujiku sejauh mana aku memahami


ajaran Kanjeng Sunan itu?” pertanyaan itu bergejolak di dalam
dadanya.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar kemudian begitu melihat muridnya


hanya diam saja, “Jika seorang guru bertanya kepada muridnya,
bukan berarti guru itu belum mengetahui persoalan yang sebenarnya.
Namun ada kalanya seorang guru ingin mengetahui sejauh mana
seorang murid telah memahami persoalan yang sedang mereka
hadapi.”

14
Sukra menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Ajar. Dengan
suara yang sedikit sendat, dia pun segera berkata, “Guru, Kanjeng
Sunan mengajarkan kepadaku sebuah laku yang disebut Tapa Ngeli.”

Ki Ajar tersenyum mendengar keterangan Sukra. Bertanya Ki Ajar


kemudian, “Gatra Bumi, apakah engkau dapat menjelaskan makna
dari Tapa Ngeli itu?”

Kembali Sukra terdiam beberapa saat. Namun akhirnya Sukra pun


menjawab, “Maafkan aku Guru. Sejauh yang aku pahami tentang laku
Tapa Ngeli, adalah sebuah sikap diri untuk menerima segala
keadaan, pasrah kepada Yang Maha Agung tentang takdir yang
akan berlaku pada diri kita. Kita ikuti saja aliran air ke mana kita
dibawanya.”

Tampak kerut merut di dahi Ki Ajar semakin dalam. Sambil menarik


nafas panjang, Ki Ajar pun kemudian bertanya, “Apakah dengan
dasar pemikiran seperti itu engkau telah menolak ajakan Ki Rangga
untuk menemaninya mengadakan penyelidikan di padepokan Sapta
Dhahana?”

Sejenak Sukra ragu-ragu. Namun akhirnya dia menjawab perlahan,


“Guru, memang aku merasa bahwa apa yang akan dilakukan Ki
Rangga adalah sikap yang tidak pasrah dan kurang percaya terhadap
apa yang akan berlaku sesuai kehendak Yang Maha Agung. Aku
merasa usaha Ki Rangga dalam mengadakan penyelidikan adalah
sebuah usaha mencurigai sekaligus rasa ketidak percayaan kita
terhadap sesama.”

“Ah,” Ki Ajar berdesah perlahan sambil menggeleng-gelengkan


kepalanya. Sepasang mata tua namun yang terlihat masih sangat
jernih itu memandang Sukra dengan penuh rasa belas kasih.

Berkata Ki Ajar kemudian, “Gatra Bumi, Tapa Ngeli memang sebuah


laku kepasrahan diri. Namun itu bukan berarti bahwa kita ibaratnya
hanyalah sebuah batang pisang yang terhanyut oleh aliran sebuah
sungai. Makna Ngeli dan Keli itu sangat berbeda. Ngeli mempunyai
makna sengaja menghanyutkan diri namun tidak sampai keli atau
terhanyut. Ngeli ning aja nganti keli. Dalam menyikapi sebuah

15
kejadian di masyarakat, kita ikuti apa kemauan mereka, namun jika
ada hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang telah diturunkan
oleh Yang Maha Agung melalui utusaNYA, kita tidak boleh terhanyut
dan terseret oleh kemauan mereka.”

Sukra tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.


Pemahamannya tentang Tapa Ngeli itu memang sedikit berbeda.

“Selain itu,” berkata Ki Ajar selanjutnya, “Tapa Ngeli mengajarkan kita


untuk selalu rendah hati, mengalir wajar dan tidak neko-neko.
Membuat kita peka terhadap kejadian apa saja yang kita lihat
sepanjang aliran sungai, sepanjang aliran kehidupan masyarakat
yang selalu berubah dan bergolak bagaikan aliran sebuah sungai.”

Untuk kali ini tampak kepala Sukra terangguk-angguk. Ketika dia


kemudian menengadahkan wajahnya, Ki Ajar pun sedang
memandang ke arahnya dengan sebuah senyum yang tersungging di
bibir, sebuah senyum yang sareh.

“Nah, Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar selanjutnya, “Kita bersama telah


mengetahui bahwa sekarang ini Ki Rangga dan kawan-kawannya
sedang mendekati padepokan Sapta Dhahana. Segala sesuatunya
bisa saja terjadi. Kita berdua sengaja dikirim oleh Kanjeng Sunan
untuk membantu Ki Rangga, namun bukan bantuan berupa tenaga
untuk menghadapi sebuah pertempuran, namun bantuan pemikiran
atau usaha agar apa yang dilaksanakan oleh Ki Rangga dan kawan-
kawannya itu berhasil.”

“Jadi, apa yang harus aku lakukan, Guru?” sahut Sukra dengan nada
sedikit meragu.

“Beri tahu Ki Gede Matesih bahwa kemungkinannya sekarang ini Ki


Rangga dan kawan-kawannya sedang berada di padepokan Sapta
Dhahana. Tidak menutup kemungkinan mereka sedang terlibat dalam
sebuah pertempuran yang dahsyat,” jawab Ki Ajar cepat.

Tergetar hati Sukra mendengar penjelasan gurunya. Tanpa sadar dia


beringsut setapak sambil bertanya, “Bagaimana Guru bisa menduga

16
jika sekarang ini Ki Rangga sedang terlibat dalam sebuah
pertempuran?”

Kembali Ki Ajar Mintaraga tersenyum sareh. Jawabnya kemudian,


“Aku telah menerima aji pameling dari Ki Tanpa Aran,” Ki Ajar
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah engkau mengenal
Ki Tanpa Aran?”

“Ya Guru,” jawab Sukra kemudian, “Ki Tanpa Aran dan Guru
ibaratnya saudara seperguruan.”

Ki Ajar tertawa. Katanya kemudian, “Bukan ibaratnya saja, Gatra


Bumi. Kami memang saudara seperguruan.”

Sukra tanpa sadar menengadahkan wajahnya sambil mengulang,


“Saudara seperguruan?”

“Ya, kami memang saudara seperguruan,” jawab Ki Ajar dengan


senyum yang penuh teka-teki.

“Ah sudahlah,” berkata Ki Ajar selanjutnya mengalihkan pembicaraan,


“Menurut aji pameling yang baru saja aku terima, telah terjadi
pertempuran di perguruan Sapta Dhahana. Ki Tanpa Aran telah
menebar sirep yang sangat tajam sehingga pertempuran yang
sedang berlangsung sekarang hanyalah antara Ki Rangga dan
kawan-kawannya melawan para petinggi perguruan Sapta Dhahana.”

“Apakah Ki Tanpa Aran ikut terlibat dalam pertempuran?” bertanya


Sukra kemudian.

Sejenak Ki Ajar termenung. Namun akhirnya Ki Ajar menjawab, “Ki


Tanpa Aran memang terlibat dalam sebuah pertempuran namun jauh
di luar lingkungan padepokan Sapta Dhahana.”

“Mengapa?” bertanya Sukra dengan serta merta, “Apakah Ki Tanpa


Aran tidak membantu Ki Rangga dan kawan-kawannya di dalam
padepokan?”

Ki Ajar menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu siapa


lawan Ki Tanpa Aran. Yang jelas dalam aji pameling tadi Ki Tanpa

17
Aran berpesan bahwa sebelum Matahari terbit, Ki Gede Matesih dan
pasukan pengawal harus sudah sampai di padepokan Sapta
Dhahana.”

Sejenak Sukra termangu-mangu. Kemudian sambil mengerutkan


keningnya dalam-dalam dia mengajukan sebuah pertanyaan yang
kelihatannya masih mengganjal dalam hatinya.

Bertanya Sukra kemudian, “Untuk apa sepasukan pengawal jika para


cantrik padepokan Sapta Dhahana sudah terlelap dalam sirep?”

“Itulah permasalahannya,” sahut Ki Ajar cepat, “Kekuatan sirep akan


pudar seiring denga terbitnya Matahari. Yang dikhawatirkan oleh Ki
Tanpa Aran adalah jika pertempuran Ki Rangga dan kawan-
kawannya belum berakhir dan Matahari keburu terbit di langit Timur.”

“Dan para cantrik, manguyu, jejanggan serta Putut yang terpengaruh


sirep akan sadar bersamaan dengan terbitnya Matahari,” Sukra
kemudian menyahut dengan dada yang berdebaran, “Begitu
menyadari apa yang sedang terjadi di padepokan mereka, mereka
akan berduyun-duyun mengeroyok Ki Rangga dan kawan-kawannya.”

“Dugaanmu sangat tepat, Gatra Bumi,” Ki Ajar menimpali, “Jika itu


yang terjadi, maka Ki Rangga dan kawan-kawannya akan mengalami
kesulitan.”

Sukra termenung. Sejenak suasana menjadi sunyi. Keduanya telah


tenggelam dalam lamunan masing-masing.

“Guru,” berkata Sukra kemudian setelah beberapa saat keduanya


terdiam, “Aku akan menghadap Ki Gede Matesih sekarang juga.
Namun aku mohon bantuan Guru. Jarak hutan tempat kita ini dengan
perdikan Matesih cukup jauh. Aku khawatir tidak bisa sampai di
perdikan Matesih sebelum fajar,” Sukra berhenti sejenak untuk
sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Demikian juga Ki Gede
memerlukan waktu untuk mengumpulkan para pengawalnya serta
perjalanan menuju ke gunung Tidar.”

18
“Ya, kami memang saudara seperguruan,” jawab Ki Ajar dengan
senyum yang penuh teka-teki.

19
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Aku mengerti maksudmu Gatra Bumi. Marilah
aku antar menghadap Ki Gede Matesih.”

Sukra cepat-cepat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan


senyumnya. Dia benar-benar merasa lega jika Ki Ajar berkenan
mengantarkannya ke perdikan Matesih. Perjalanan dari tempat
mereka sekarang ini ke perdikan Matesih memerlukan waktu yang
cukup lama, namun dengan aji pangrupak jagad yang diajarkan oleh
Kanjeng Sunan kepada Ki Ajar, tentu perjalanan mereka dapat
dipersingkat.

Demikianlah sejenak kemudian Sukra segera membantu gurunya


berdiri dari tempat duduknya. Dengan bertelekan pada tongkatnya, Ki
Ajar yang sudah sangat sepuh sekali itupun berjalan tertatih-tatih
dituntun muridnya menembus pekatnya malam dan lebatnya hutan
menuju ke perdikan Matesih.

Dalam pada itu di regol penjagaan depan kediaman ki Gede Matesih,


tampak seorang anak muda berjalan dalam gelapnya malam
mendekati regol.

Serentak para penjaga segera berloncatan menghadang jalan.

Ketika sinar oncor yang disangkutkan di sebelah menyebelah regol


itu menerangi wajahnya, tampak wajah seorang anak muda dengan
warna kulit kehitam-hitaman.

“Selamat malam,” berkata anak muda itu kemudian sesampainya di


depan para pengawal yang berdiri berjajar-jajar di depan regol,
“Namaku Sukra atau cantrik Gatra Bumi. Jika diperkenankan aku
ingin menghadap Ki Gede Matesih.”

Sejenak para pengawal penjaga regol itu saling pandang. Adalah


sangat aneh jika ada seseorang ingin menghadap Ki Gede di waktu
seperti itu.

20
“Anak muda,” berkata pengawal tertua di antara mereka kemudian,
“Malam sudah melewati tengah malam. Sebaiknya kepentinganmu
untuk menghadap Ki Gede itu engkau tunda sampai besok pagi saja.”

Tampak kerut merut di dahi Sukra. Tanpa sadar dilayangkannya


pandangan matanya ke arah pendapa. Dari tempatnya berdiri Sukra
dapat melihat melalui regol yang terbuka, tampak beberapa orang
sedang duduk-duduk berbincang di pendapa.

Agaknya pengawal tertua itu mengikuti arah pandang Sukra. Maka


katanya kemudian, “Mereka adalah para bebahu perdikan Matesih.
Sejak sore tadi mereka telah mengadakan pertemuan dan agaknya
pertemuan itu sudah selesai. Sebentar lagi mereka akan pulang ke
rumah masing-masing.”

Tampak Sukra menelan ludah beberapa kali untuk membasahi


kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Sukra memang
belum terbiasa berbicara panjang lebar dengan orang yang lebih tua
dan belum dikenalnya.

Akhirnya dengan memberanikan diri, Sukra pun kemudian


menyampaikan maksudnya, “Maafkan aku sebelumnya Ki Sanak, aku
ingin menghadap Ki Gede sehubungan dengan pesan Ki Rangga
Agung Sedayu.”

“Ki Rangga Agung Sedayu?” hampir bersamaan orang-orang yang


hadir di regol depan itu mengulang. Sukra memang dengan sengaja
menggunakan nama Ki Rangga agar menarik perhatian. Berbeda jika
dia menyebut nama Ki Tanpa Aran, kemungkinannya tidak ada
seorang pun di antara mereka yang akan mengenalnya.

Sejenak wajah-wajah para pengawal itu terlihat ragu-ragu. Namun


akhirnya pengawal tertua itu pun bertanya, “Apakah engkau
mempunyai saksi atau dapat membuktikan bahwa pesan yang
engkau bawa itu benar-benar dari Ki Rangga Agung Sedayu.”

Belum sempat Sukra menjawab, tiba-tiba terdengar suara menjawab,


“Akulah saksinya Ki Sanak.”

21
Serentak mereka berpaling ke arah suara itu berasal. Tampak dari
kegelapan malam muncul sesosok orang yang sudah sangat sepuh
yang berjalan tertatih-tatih bertelekan pada tongkatnya.

“Guru,” desis Sukra kemudian sambil menarik nafas panjang.


Dengan kemunculan gurunya itu dia menganggap dirinya telah gagal
dalam menjalankan tugas untuk meyakinkan para pengawal.

“Sudahlah Gatra Bumi. Engkau masih mempunyai banyak


kesempatan dilain waktu,” berkata Ki Ajar kemudian sambil
tersenyum sareh begitu melihat wajah Sukra yang kecewa.

Kemudian kepada para pengawal, Ki Ajar pun kemudian berkata,


“Tolonglah Ki Sanak semua. Sampaikan maksud kami untuk
menghadap kepada Ki Gede. Kami membawa berita yang sangat
penting yang harus segera ditindak lanjuti malam ini juga.”

Entah engapa, begitu para pengawal menatap sepasang mata sepuh


itu, hati mereka telah tergetar dan tidak kuasa untuk menolak
permintaannya.

Dalam pada itu, di pendapa perdikan Matesih, Ki Gede baru saja


akan beranjak memasuki pintu pringgitan ketika seorang pengawal
yang bertugas jaga di regol depan tampak berlari-larian menuju ke
pendapa.

“Ada apa?” hampir bersamaan para bebahu yang sudah bersiap


meninggalkan pendapa itu bertanya.

“Ada tamu yang ingin menghadap Ki Gede,” jawab pengawal itu


dengan nafas sedikit memburu.

Ki Gede yang sudah berada di depan pintu pringgitan dan mendengar


kata-kata pengawal itu segera melangkah kembali ke pendapa.

“Siapakah tamu yang datang malam-malam begini?” bertanya Ki


Gede kemudian sesampainya dia di hadapan pengawal itu.

22
Sejenak pengawal itu mengatur pernafasannya. Jawabnya kemudian,
“Ki Gede, kedua orang itu mengaku sahabat Ki Rangga Agung
Sedayu dan membawa berita yang sangat penting.”

Hampir setiap orang yang hadir di tempat itu mengerutkan kening


dalam-dalam. Nama Ki Rangga Agung Sedayu memang telah
mereka dengar dan merupakan harapan bagi mereka untuk
mengeluarkan perdikan Matesih dari kemelut yang sedang terjadi.
Namun sebagian dari mereka belum pernah bertemu.

Namun Ki Gede yang sudah pernah bertemu dengan mereka di


banjar padukuhan Klangon itu segera tanggap. Katanya kemudian
kepada pengawal itu, “Bawa mereka kemari!”

“Baik, Ki Gede,” jawab pengawal itu kemudian sambil berlari menuju


regol kembali.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian mempersilahkan para bebahu


yang sedianya sudah mau meninggalkan tempat itu, “Agaknya malam
ini kita harus bersiaga semalam suntuk. Semoga perjuangan kita ini
tidak sia-sia.”

Para bebahu tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil


mengambil tempat duduk kembali di atas tikar pandan di tengah-
tengah pendapa.

Sejenak kemudian mereka yang hadir di pendapa itu segera melihat


seorang yang sudah sangat sepuh berjalan tertatih-tatih berpegangan
pada sebatang tongkat dan dituntun oleh seorang anak muda.

Serentak mereka yang berada di pendapa itu segera berdiri


menyambut.

“Silahkan..Silahkan.,” berkata Ki Gede kemudian dengan ramah


sambil mempersilahkan kedua tamunya untuk mengambil tempat
duduk.

“Terima kasih, mohon dimaafkan telah merepotkan semuanya,” jawab


orang yang sudah sangat sepuh itu.

23
Sejenak kemudian semuanya telah duduk kembali di atas tikar
pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa.

“Sebelumnya, perkenankan kami memperkenalkan diri,” berkata ki


Gede kemudian, “Aku sendiri adalah kepala tanah perdikan Matesih.”

Tampak kepala kedua tamunya itu terangguk-angguk. Kemudian


selanjutnya satu persatu Ki Gede memperkenalkan para bebahu
yang hadir di pendapa itu.

“Mohon maaf Ki Gede,” berkata orang yang sudah sangat sepuh itu,
“Aku adalah Ki Ajar Mintaraga salah seorang murid dan sekaligus
juga sahabat dari Kanjeng Sunan Muria,” Ki Ajar berhenti sejenak.
Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra dia melanjutkan, “Dan ini
adalah Cantrik Gatra Bumi, salah seorang muridku.”

Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di pendapa itu


mengangguk-anggukkan kepala. Nama Kanjeng Sunan Muria sudah
tidak asing bagi mereka. Kanjeng Sunan Muria adalah putra dari
seorang Wali yang waskita, Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Maafkan kami sebelumnya, Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian,


“Apakah memang benar bahwa kedatangan Ki Ajar berdua ini ada
hubunganya dengan Ki Rangga Agung Sedayu?”

“Benar Ki Gede,” jawab Ki Ajar dengan serta merta, “Keadaan di


padepokan Sapta Dhahana sekarang sedang terjadi pertempuran
dahsyat. Ki Gede dimohon memberikan bantuan para pengawal
untuk membantu Ki Rangga dan kawan-kawannya.”

Kemudian secara singkat Ki Ajar segera menceritakan Ki Rangga


Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang telah berangkat ke
gunung Tidar sejak waktu sepi uwong tadi.

Untuk sejenak Ki Gede mengedarkan pandangan matanya ke arah


para bebahu. Betapa wajah-wajah para bebahu itu menjadin tegang.

“Agaknya pertempuran sudah tidak dapat dielakkan lagi,” desis Ki


Gede sambil menarik nafas dalam-dalam, “Jika semenjak sore tadi
kita menyusun rencana jika padepokan Sapta Dhahana menyerang

24
perdikan ini, tenyata yang terjadi adalah sebaliknya. Malam ini kita
akan menyerang padepokan di gunung Tidar itu.”

Wajah-wajah di pendapa itu pun menjadi semakin tegang.

“Berhubung Ki Wiyaga sedang mengemban tugas khusus, aku


mohon Ki Kamituwa mengumpulkan para pengawal, khususnya
pengawal padukuhan induk perdikan Matesih ini terlebih dahulu.
Untuk selanjutnya pengawal dari padukuhan yang lain dapat
menyusul kemudian.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil menegakkan


badannya, “Apakah diperkenankan untuk melemparkan isyarat?”

Sejenak Ki Gede tertegun. Sambil berpaling ke arah Ki Ajar, Ki Gede


pun meminta pertimbangan.

“Bagaimanakah sebaiknya, Ki Ajar?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Tidak ada masalah Ki Gede,” jawab Ki Ajar kemudian, “Namun


sebaiknya isyarat yang dilontarkan jangan menimbulkan bunyi yang
dapat memancing perhatian lawan atau bahkan meresahkan para
kawula yang tidak mengetahui duduk permasalahannya. Lemparkan
saja panah berapi sesuai dengan kesepakatan yang telah diketahui
oleh para pengawal Matesih.”

Ki Gede tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil


berpaling ke arah Ki Kamituwa, Ki Gede pun kemudian berkata,
“Lontarkan panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Sesuai
kesepakatan kita, para pengawal harus segera berkumpul di banjar
padukuhan induk secepat mungkin. Usahakan lontaran isyarat itu
jangan hanya sekali. Jika para pengawal di gardu-gardu perondan
melihat, mereka akan segera menghubungi kawan-kawannya.”

“Baik Ki Gede, aku mohon diri untuk mengumpulkan para pengawal,”


jawab Ki Kamituwa kemudian sambil bangkit berdiri.

Setelah menganggukkan kepalanya kepada semua yang hadir di


pendapa itu, Ki Kamituwa pun segera bergerak menuju regol depan.

25
Beberapa pengawal jaga segera diperintahkan untuk melontarkan
isyarat panah berapi sesuai dengan yang telah disepakati..

Sepeninggal Ki Kamituwa, Ki Gede segera membagi tugas di antara


para bebahu Matesih.

Berkata Ki Gede kemudian, “Mohon maaf Ki Ajar. Apakah Ki Ajar


akan ikut ke gunung Tidar?”

Ki Ajar tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku


hanya akan merepotkan saja. Lebih baik aku tinggal di sini bersama
muridku untuk ikut mengawasi keadaan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,


“Biarlah aku bangunkan perempuan-perempuan yang bekerja di
dapur. Mungkin Ki Ajar berdua memerlukan semangkuk minuman
panas sekedar untuk menghangatkan diri dan mencegah kantuk.”

“Ah,” desah Ki Ajar dan Sukra hampir bersamaan.

Jawab Ki Ajar kemudian, “Janganlah keberadaan kami berdua


menjadikan beban bagi keluarga Ki Gede.”

“Kalian berdua adalah tamu-tamuku. Sudah sewajarnya jika aku


menghormati tamu-tamuku,” potong Ki Gede sambil tersenyum.

Demikianlah akhirnya, Ki Gede telah minta diri sejenak untuk masuk


ke dalam sekedar mengambil senjata serta membangunkan
perempuan yang bekerja di dapur.

Dalam pada itu Ratri yang gelisah di dalam biliknya semenjak sore
tadi telah bangkit dari pembaringan dan mencoba keluar bilik. Ketika
dia kemudian membuka pintu bilik, tampak ayahnya sedang bergegas
keluar dari biliknya sambil menjinjing senjata kebesaran perdikan
Matesih Kiai Singkir Geni, sebuah tombak bermata tiga.

“Ayah,” desis Ratri begitu melihat ayahnya berpaling ke arahnya.

“Ada apa Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian sambil berjalan


mendekat.

26
“Ayah akan pergi kemana?” bertanya Ratri kemudian sambil
memandang ke arah tangan kanan ayahnya yang menjinjing senjata
pusakanya.

“Aku akan nganglang sebentar, Ratri,” jawab Ki Gede yang kemudian


berdiri selangkah saja di hadapan anak permepuannya itu.

“Malam-malam begini?”

“Ya, Ratri. Apa salahnya?”

Sejenak Ratri termangu-mangu. Ada sedikit rasa segan untuk


bertanya lebih jauh karena Ratri sudah mendengar berita yang terjadi
siang tadi antara ayahnya dengan Raden Surengpati.

“Apakah pertemuan para bebahu di pendapa sudah selesai?”


bertanya Ratri kemudian mengalihkan pembicaraan.

Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil memandang putri satu-


satunya itu dengan tajam sehingga Ratri telah menundukkan
kepalanya dalam-dalam.

“Ratri,” berkata Ki Gede kemudian sambil menepuk pundak putrinya


dengan tangan kirinya, “Sudahlah. Kembalilah ke bilikmu. Masih
cukup waktu untuk beristirahat. Biarlah mbok Pariyem saja yang
mengurusi kedua tamu yang berada di pendapa itu.”

“Tamu?” tanpa sadar Ratri mengulang dengan nada sedikit terkejut


sambil mengangkat wajahnya.

Ki Gede menarik nafas panjang. Ada sedikit penyesalan atas


keterlanjurannya menyebut tentang kedua tamunya itu. Namun
semua sudah terlanjur dan Ki Gede pun menyadari sifat anak
perempuan satu-satunya itu, dia pasti ingin mengetahui siapa kedua
tamunya itu.

Namun Ki Gede tidak begitu khawatir dengan keberadaan kedua


tamunya itu. Maka jawabnya kemudian, “Ya, Ratri. Ada dua orang
tamu yang sekarang sedang berada di pendapa. Aku sudah memberi

27
tahu mbok Pariyem untuk sekedar menjamu mereka dengan
minuman hangat.”

“Aku akan membantu mbok Pariyem,” sahut Ratri cepat tanpa


meminta persetujuan ayahnya sambil keluar biliknya. Sebelum
melangkah menuju dapur, Ratri pun telah menutup biliknya terlebih
dahulu.

Untuk beberapa saat Ki Gede hanya dapat berdiri termangu-mangu


sambil mengikuti langkah anak perempuan satu-satunya itu dengan
pandangan kosong. Setelah bayangan Ratri kemudian hilang di balik
pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur, barulah Ki
Gede melanjutkan langkahnya.

Dalam pada itu, para pengawal bersama anak-anak muda yang


berjaga di gardu-gardu perondan hampir di seluruh padukuhan induk
memang telah melihat panah berapi itu melesat di udara tiga kali
berturut-turut.

Seorang pengawal berjambang lebat di sebuah gardu perondan di


ujung lorong padukuhan induk dekat pasar telah melihat panah berapi
itu.

“He?” seru pengawal yang berjambang lebat itu, “Apa aku tidak salah
lihat. Ada yang melontarkan panah berapi di udara tiga kali berturut-
turut!”

Kawan-kawannya yang sedang bermain mul mulan dan tidak sempat


melihat panah berapi itu telah mendongakkan kepala mereka. Namun
mereka sudah tidak melihat lagi panah berapi itu di langit yang gelap.

“Ah mungkin matamu saja yang salah,” desis pengawal yang


bertubuh pendek, “Itu mungkin lampor atau ilu-ilu banaspati yang
dengan sengaja telah menunjukkan diri kepadamu. Hati-hati, kamu
bisa dimakannya.”

“Omong kosong!” sergah pengawal berjambang lebat itu sambil tetap


mengawasi langit.

28
“He lihat!” tiba-tiba pengawal yang berjambang itu berseru kembali,
“Mereka melempar panah berapi lagi!”

Serentak kawan-kawannya memandang ke langit. Dan memang


benar apa yang dikatakan oleh kawannya itu. Tampak tiga larik sinar
kemerah-merahan menghisai langit yang buram.

“Kita segera berkumpul di banjar padukuhan induk!” hampir


bersamaan mereka telah berseru sambil bangkit berdiri. Permainan
mul mulan itu pun dengan sendirinya telah terhenti.

“Bangunkan mereka!” perintah pengawal yang tertua di antara


mereka sambil menunjuk ke dalam gardu. Tampak beberapa orang
sedang terlelap berselimutkan kain panjang mereka.

Seorang pengawal segera meloncat ke dekat gardu. Diguncang-


guncangnya kaki-kaki para pengawal dan anak-anak muda yang
sedang tidur itu.

Sambil berdesis dan menggeliat, satu persatu mereka pun kemudian


dengan malasnya membuka mata. Namun beberapa di antara
mereka telah menarik kain panjangnya dan meringkuk lagi.

Pengawal itu menjadi tidak sabar. Ditariknya kain-kain panjang yang


digunakan untuk selimut itu sambil berteriak, “He! Bangunlah. Ada
isyarat panah berapi tiga kali berturut-turut. Kita harus segera
berkumpul di banjar padukuhan induk!”

Barulah para pengawal dan anak-anak muda itu terkejut. Serentak


mereka segera bangkit dan kemudian duduk.

“Sisakan dua orang untuk menjaga di gardu ini,” perintah pengawal


tertua itu begitu melihat mereka sudah terbangun semua, “Yang
lainnya menuju ke banjar padukuhan induk. Sambil berjalan menuju
padukuhan induk, jika kalian melewati rumah kawan-kawan kita yang
sedang tidak bertugas, bangunkan mereka dan beri tahu untuk
segera berangkat dan berkumpul di banjar padukuhan induk.”

Perintah itu sangat jelas dan tidak perlu diulangi sekali lagi.

29
“Bagaimana dengan kami?” tiba-tiba seorang anak muda yang
berambut keriting bertanya.

Pengawal tertua itu sejenak memandang ke arahnya. Bertanya


pengawal itu kemudian, “Berapa jumlah kawanmu yang ikut berjaga?”

Sejenak anak muda itu berpaling ke arah kawan-kawannya.


Jawabnya kemudian, “Tiga orang.”

Pengawal tertua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bertanya


kembali pengawal tertua itu kemudian, “Apakah kalian membawa
senjata?”

“Kami membawanya,” hampir serentak ketika anak muda itu


menjawab.

“Baiklah kalian bertiga ikut kami. Sedangkan dua pengawal di antara


kita akan tinggal menjaga keadaan di gardu ini.” berkata pengawal
tertua itu kemudian.

Demikianlah para pengawal bersama ketiga anak muda itupun


kemudian segera berangkat menyusuri jalur jalan utama padukuhan
induk menuju ke banjar.

Di tengah perjalanan tampak seorang pengawal keluar dari jalur jalan


utama padukuhan induk dan kemudian berbelok ke kiri ke arah jalan
yang lebih sempit. Sesampainya di ujung lorong itu, dia segera
memasuki halaman sebuah rumah yang kecil namun terlihat asri.

Untuk beberapa saat pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya


diketuknya pintu rumah itu.

Sekali dua kali belum ada jawaban. Barulah ketukan yang ketiga
kalinya terdengar suara seseorang bergumam dari dalam rumah.

“Siapa?” terdengar suara seorang laki-laki bertanya dari dalam


rumah.

“Aku kakang, Badrun,” jawab pengawal itu yang ternyata bernama


Badrun.

30
Sejenak terdengar langkah-langkah mendekati pintu. Ketika
terdengar bunyi selarak di angkat, pintu pun terbuka dan seraut wajah
laki-laki tampak muncul dari balik pintu.

“Ada keperluan apa malam-malam begini?” bertanya laki-laki itu


kemudian dengan suara sedikit serak.

“Maaf kakang, ada perintah untuk berkumpul di banjar padukuhan


induk sekarang juga,” jawab Badrun kemudian.

Sejenak laki-laki itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Jawabnya


kemudian, “Aku sedang tidak bertugas.”

“Panah berapi itu tiga kali berturut-turut, kakang. Tidak ada


pengecualian, semua pengawal harus berkumpul, apapun
keadaannya.”

“Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” laki-laki itu kembali


bertanya.

“Aku tidak tahu, kakang,” jawab Badrun sambil menggelengkan


kepalanya, “Mungkin ada hubungannya dengan kejadian siang tadi.”

“Kejadian apa?” kembali laki-laki itu bertanya dengan raut wajah


keheranan.

Badrun mengerutkan keningnya sambil balik bertanya, “Apakah


kakang belum mendengarnya?”

Laki-laki itu menggeleng. Katanya kemudian, “Seharian aku di rumah


saja. Menunggu istriku yang sedang sakit.”

Badrun menarik nafas panjang sambil berdesis perlahan. Seolah-olah


takut suaranya di dengar oleh orang selain mereka berdua, “Ki Gede
telah bertempur melawan Raden Surengpati siang tadi di bulak
sewaktu nganglang.”

“He?!” laki-laki itu benar-benar terkejut mendengar berita dari Badrun.

“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” bertanya laki-laki itu


selanjutnya.

31
Untuk beberapa saat pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya
diketuknya pintu rumah itu.

32
Badrun menggeleng. Jawabnya kemudian, “Entahlah. Aku juga tidak
begitu jelas peristiwa sebenarnya yang telah terjadi. Namun yang
pasti Ki Gede telah membuat Raden Surengpati itu jatuh pingsan.”

Wajah laki-laki itu sejenak menegang. Namun ketika dia memandang


wajah Badrun, tampak Badrun justru telah tersenyum.

Laki-laki itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil


berdesis perlahan, “Ternyata adik orang yang mengaku Trah Sekar
Seda Lepen itu bukan orang yang tak terkalahkan. Ternyata Ki Gede
Matesih mampu mengalahkannya.”

Badrun sekali lagi tersenyum. Katanya kemudian, “Nah, kakang. Aku


diberi tugas untuk memberi tahu kakang. Sekarang juga seluruh
pengawal padukuhan induk Matesih segera berkumpul di banjar.”

Untuk beberapa saat laki-laki itu tampak mengerutkan keningnya.


Jawabnya kemudian, “Istriku sedang tidak enak badan dan tidak ada
saudara yang menemaninya jika aku pergi. Tolong sampaikan
kepada Ki Wiyaga kepala pengawal perdikan Matesih, aku ijin tidak
dapat mengikuti kegiatan ini.”

“Ah,” desis Badrun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,


“Kakang, bukankah engkau telah mengambil ijin sewaktu menikah
dua pekan yang lalu? Sekarang masih minta ijin lagi. Bagaimana aku
harus menyampaikannya kepada Ki Wiyaga.”

Tampak wajah laki-laki itu penuh kebimbangan. Namun tiba-tiba


terdengar suara perempuan dari dalam bilik, “Pergilah kakang. Aku
tidak apa-apa sendirian di rumah. Pagi hari nanti ayah sudah berjanji
akan datang menjengukku sekalian membuatkan kandang ayam di
belakang rumah.”

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Badrun.

Badrun pun tersenyum. Kemudian sambil melangkah pergi dia


berkata, “Aku berangkat dulu, kakang. Kita bertemu di banjar
padukuhan induk.”

33
”Baiklah,” jawab laki-laki itu kemudian sambil menutup pintu
rumahnya.

Demikianlah sejenak kemudian, di malam menjelang dini hari itu


berbodong-bondong para pengawal dari gardu-gardu perondan dan
juga dari rumah-rumah berjalan menuju ke Banjar padukuhan induk.

Dalam pada itu beberapa pengawal telah berkumpul di banjar


padukuhan induk yang terletak tidak jauh dari kediaman Ki Gede.
Ternyata Ki Gede telah berkenan untuk memimpin para pengawal itu
sendiri. Sebagian pengawal yang sedang bertugas jaga di banjar
padukuhan induk itu pun telah dibawa serta.

“Kekuatan jaga kalian memang berkurang,” berkata Ki Gede memberi


pesan kepada kepala pengawal jaga malam itu, “Namun itu bukan
berarti kalian boleh lengah. Tidak ada yang istirahat sampai
menjelang pagi hari nanti. Semua tetap dalam keadaan siap siaga.”

“Baik Ki Gede,” jawab kepala pengawal jaga itu sambil


menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

Demikianlah ketika para pengawal yang berkumpul itu sudah


mencapai tiga puluh orang, Ki Gede segera membawa mereka
berangkat menuju ke gunung Tidar.

“Ki Kamituwa,” pesan Ki Gede sebelum berangkat, “Tunggulah


beberapa saat lagi. Jika para pengawal sudah terkumpul lagi sekitar
tiga puluh orang, kalian dapat berangkat menyusul aku.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian.

Dalam pada itu, Ki Waskita yang bertempur di halaman belakang


padepokan mulai merasakan tekanan lawannya yang bertubi-tubi.
Lawannya yang masih muda itu mampu bergerak dengan kecepatan
yang kadang tidak dapat dinalar. Pada satu kesempatan lawannya
yang bertubuh tinggi besar itu menyerang dari depan, namun ketika
Ki Waskita mencoba bergerak menghindar ke arah kiri, tiba-tiba
lawannya justru telah menghadangnya dengan serangan yang lain
dari arah yang berbeda.

34
“Orang ini mampu menguasai tata geraknya dengan begitu
sempurna,” desis Ki Waskita dalam hati sambil terus berloncatan
menghindar, “Karena kecepatannya bergerak itulah, orang ini
seakan-akan mampu berada di beberapa tempat sekaligus.”

Menyadari hal itu Ki Waskita segera mengungkapkan ilmu yang


selama ini sangat akrab digunakannya untuk mengelabuhi lawan.
Walaupun pada kenyataannya jika lawannya itu mempunyai ilmu
pada tataran yang tinggi, dia dengan mudah akan segera dapat
mengenali ilmu itu.

Demikianlah sejenak kemudian, tiba-tiba saja Ki Waskita telah


meloncat ke dua arah yang berbeda. Sejenak lawannya tertegun
ketika mendapatkan lawannya telah berubah ujud menjadi dua.

Namun akhirnya Putut Sambernyawa pun dengan cepat segera


mengenali bayangan semu Ki Waskita.

“Permainan yang memuakkan,” geram Putut kepercayaan perguruan


Sapta Dhahana itu, “Jika Ki Sanak mempertontonkan ilmu ini di
halaman pasar, tentu Ki Sanak akan dikagumi banyak orang dan
tentu saja akan mendapatkan banyak uang,” Putut itu berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun bagiku, bayangan semu Ki
Sanak ini tidak banyak berarti.”

Selesai berkata demikian Putut Sambernyawa segera menerjang ujud


Ki Waskita yang asli.

Namun Ki Waskita ternyata telah menggunakan ilmu semunya itu


dengan sangat cerdik. Betapapun tinggi ilmu lawannya, namun
lawannya tetap memerlukan waktu sekejap untuk mengenali ujud Ki
Waskita yang asli.

Demikanlah, sambil menghindari serangan lawan, ujud Ki Waskita


kadang berubah jadi dua, tiga atau bahkan sampai lima sekaligus.
Tentu saja ini sangat menjengkelkan lawannya. Walaupun Putut
Sambernyawa itu dengan mudah menemukan ujud yang asli, namun
tetap membutuhkan waktu sekejap, dan waktu yang sekejap itu telah
digunakan oleh Ki Waskita untuk balas menyerang.

35
“Syetan, demit, gendruwo, tetekaan..!” umpat Putut itu tak habis
habisnya sambil mencoba menghindari serangan Ki Waskita yang
datang membadai.

Dalam pada itu pertempuran di halaman depan padepokan semakin


dahsyat. Raden Surengpati mulai merambah pada tataran tinggi
ilmunya. Telapak tangannya bagaikan membara dan mengeluarkan
asap tipis. Setiap sentuhan akan sangat membahayakan lawannya.
Bukan hanya kulit saja yang dapat terkelupas, daging pun akan
hangus terbakar.

Glagah Putih memang tidak mempunyai sejenis ilmu kebal seperti


kakak sepupunya. Namun anak laki-laki Ki Widura itu mempunyai
kecepatan gerak yang mengagumkan. Kedua aliran ilmu dari sumber
yang berbeda telah luluh di dalam dirinya, ilmu dari jalur Ki Sadewa
maupun dari Ki Jayaraga.

Pengalamannya semasa bergaul dengan Raden Rangga juga telah


menambah perbendaharaan ilmu di dalam diri Glagah Putih. Ilmu
Glagah Putih pun semakin lengkap ketika dia dan istrinya tanpa
sengaja telah menemukan sebuah kitab peninggalan Kiai
Namaskara.

Sedangkan Raden Surengpati bukanlah anak kemarin sore yang


hanya mampu bermain loncat-loncatan. Kekalahannya dari Ki Gede
Matesih beberapa saat yang lalu disebabkan oleh keragu-raguan
yang sempat menyelinap di sudut hatinya. Wajah Ratri yang cantik
dan manja itu telah membuatnya ragu-ragu menghadapi Ki Gede
Matesih, ayah kandung Ratri sendiri.

Demikianlah, kedua anak muda itu telah bertempur dengan segenap


kemampuan mereka. Glagah Putih yang menyadari betapa
berbahayanya jika kulitnya sempat tersentuh oleh telapak tangan
lawannya telah memilih untuk meningkatkan kecepatan geraknya.
Sejalan dengan itu Glagah Putih pun mulai mengungkapkan ilmu
yang disadapnya dari Ki Jayaraga.

Sejenak kemudian, serangan-serangan Glagah Putih berikutnya bagi


lawannya rasa-rasanya bagaikan menebarkan udara yang

36
mengandung uap air yang sangat panas. Ternyata Galagah Putih
telah mengungkapkan ilmu yang dapat menyerap kekuatan api dan
air sehingga setiap serangannya bagaikan mengandung uap air yang
mendidih.

“Gila..!” teriak lawannya sambil meloncat menghindar, “Dari mana


engkau dapatkan ilmu syetan ini, he?!”

“Tentu saja dari guruku!” jawab Glagah Putih sambil terus mendesak
lawannya, “Kalau Raden sudah tidak mampu meningkatkan ilmu
Raden lagi, silahkan mengambil jalan terbaik. Menyerahlah, kami
akan memperlakukan setiap tawanan dengan baik. Raden akan tetap
kami beri makan, minum, dan cukup istirahat, kecuali..”

Glagah Putih tidak meneruskan kata-katanya sehingga telah


membuat Raden Surengpati penasaran.

“Kecuali apa?” bertanya Raden Surengpati kemudian sambil tetap


bertempur.

Glagah Putih tersenyum. Jawabnya kemudian sambil lalu, “Kecuali


dijenguk oleh Ratri, putri Ki Gede Matesih.”

“Cukup..!” potong Raden Surengpati sambil menerjang ke depan dan


memutar tangan kanannya ke atas. Seleret cahaya api menyambar
mulut Glagah Putih.

“Hampir saja,” desis Glagah Putih sambil melontarkan dirinya ke


samping. Namun belum sempat kedua kaki Glagah Putih tegak
dengan sempurna di atas tanah, selarik cahaya api pun kembali
mengejarnya.

Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih selain merambah pada
tataran tinggi ilmunya. Demikianlah sejenak kemudian ketika Glagah
Putih melihat sebuah kesempatan terbuka untuk menyerang, tanah
sejengkal di hadapan Raden Surengpati pun meledak dengan
dahsyatnya. Tanah bercampur dengan uap air panas pun
berhamburan ke udara.

37
“Anak iblis..!” umpat Raden Surengpati sambil berloncatan
menghindar. Ketika Glagah Putih mencoba memburu, selarik cahaya
api menyambar dadanya.

Demikianlah kedua anak muda itu pun kemudian saling serang


dengan kekuatan ilmu yang nggegirisi. Silih ungkih singa lena.

Dalam pada itu, beberapa tombak dari lingkaran pertempuran antara


Glagah Putih melawan adik orang yang menyebut dirinya Trah Sekar
Seda Lepen, Ki Rangga Agung Sedayu sedang menyabung nyawa
melawan Kiai Damar Sasangka dengan dahsyatnya.

Selapis demi selapis Ki Rangga telah meningkatkan ilmu kebalnya.


Namun Ki Rangga menganggap belum saatnya untuk mencapai
puncak ilmu kebalnya sehingga udara di sekitar arena pertempuran
itu pun belum terasa menghangat.

Namun agaknya lawannya telah meningkatkan ilmunya selapis lagi.


Tata gerak lawannya semakin rumit dan cepat. Bahkan kini pemimpin
perguruan Sapta Dhahana itu tampak semakin mempercepat gerakan
kedua tangannya. Tubuhnya pun ikut berputaran seperti sebuah
kitiran. Udara di sekitar lingkaran pertempuran itu pun bagaikan ikut
berputaran.

Sejenak kemudian Ki Rangga merasakan kesegaran udara di sekitar


arena pertempuran perlahan-lahan menyusut. Tidak dirasakannya
lagi udara malam yang dingin dan segar. Udara terasa pepat dan
pengap bahkan perlahan-lahan udara yang bertiup pun terasa sangat
kering.

“Aneh,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil berusaha menarik nafas


dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, udara terasa sangat kering dan
sama sekali tidak dapat membuat tubuhnya menjadi segar.

“Apakah ini pengaruh lontaran ilmu pemimpin perguruan Sapta


Dhahana ini?” bertanya Ki Rangga dalam hati sambil memperhatikan
tubuh lawannya yang bergerak berputaran dengan kedua tangannya
bagaikan sebuah kitiran.

38
Untuk beberapa saat Ki Rangga belum dapat mengambil sebuah
kesimpulan apapun. Dia tetap bertempur menghindari serangan
lawan yang berputaran. Semakin lama putaran lawannya semakin
cepat sejalan dengan udara yang terasa semakin kering.

Udara yang sangat kering itu terasa telah mencekik leher Ki Rangga.
Beberapa kali dicobanya untuk menarik nafas panjang, namun
usahanya itu selalu gagal. Semakin lama dadanya terasa semakin
pepat dan nafasnya pun menjadi pendek dan tersengal sengal.

“Gila,” geram Ki Rangga dalam hati, “Orang ini mampu menyerap air
yang terkandung dalam udara. Udara menjadi sangat kering di sekitar
arena pertempuran ini. Aku benar-benar kesulitan untuk memenuhi
rongga dadaku dengan udara segar.”

Disaat udara terasa semakin kering itulah, tiba-tiba di benak Ki


Rangga terlintas sebuah ilmu yang mungkin dapat digunakan untuk
melawan ilmu lawannya.

“Semoga ilmu dari kitab peninggalan Empu Windujati ini akan mampu
mengurangi keringnya udara,” berkata Ki Rangga dalam hati.

Sejenak kemudian, tanpa diketahui dari mana datangnya, selembar


kabut tipis tampak turun di arena pertempuran Ki Rangga melawan
Kiai Damar Sasangka.

Pada awalnya pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu mengira kabut


tipis yang turun di tempat itu adalah kabut sewajarnya. Malam
memang sangat dingin di bukit Tidar. Adalah sangat wajar jika di
saat-saat seperti itu ada kabut yang turun di tempat itu.

“Walaupun kabut turun di tempat ini, tidak akan mempengaruhi


ilmuku untuk membuat udara di sekitar ini menjadi sangat kering,”
berkata Kiai Damart Sasangka dalam hati sambil terus menyerang
lawannya dengan putaran udara yang aneh.

Namun Kiai Damar Sasangka menjadi berdebar debar ketika kabut


yang turun itu semakin banyak. Kabut yang banyak mengandung uap
air itu ternyata telah membuat udara di sekitar arena pertempuran

39
menjadi segar kembali. Ki Rangga pun tidak lagi merasakan
tenggorokannya seperti tercekik.

“Luar biasa..!” seru Kiai Damar Sasangka kemudian sambil meloncat


mundur mengambil jarak.

Ki Rangga yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha


untuk mengejar. Dibiarkan saja lawannya itu menilai keadaan.

“Sekarang aku benar-benar mengakui nama besar senapati agul-


agulnya Mataram,” berkata Kiai Damar Sasangka kemudian sambil
bertolak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Pada
tingkatan ilmuku ini, biasanya lawan sudah tidak akan mampu lagi
untuk bertahan. Udara yang sangat kering akan mencekiknya
sehingga dia tidak akan mampu bernafas lagi dengan sempurna.
Dengan sebuah serangan kecil saja, aku akan mudah untuk
melumpuhkannya.”

“Terima kasih atas pujian Kiai,” sahut Ki Rangga sambil tersenyum,


“Ilmu Kiai benar-benar sudah jarang ada duanya. Aku hampir
berputus asa untuk mengatasi udara yang sangat kering tadi.”

Kiai Damar Sasangka tersenyum kecut. Katanya kemudian, “Jangan


berbangga dulu Ki Rangga. Agaknya kali ini aku harus melepaskan
ilmu pamungkasku.”

Sejenak pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tampak


mendongakkan kepalanya melihat ke langit. Gumamnya kemudian
perlahan seperti di tujukan kepada diri sendiri, “Sayang bulan tua
masih muncul sehingga ilmuku tidak benar-benar pada puncaknya.”

“O,” sahut Ki Rangga yang mendengar gumam lawannya itu sambil


ikut menengadahkan wajahnya. Di antara mendung tipis yang
berpencaran, tampak bulan tua yang melengkung tipis.

“Apakah Kiai bermaksud untuk menunda pertempuran ini sambil


menunggu malam benar benar gelap tanpa bulan?” bertanya Ki
Rangga kemudian.

40
“Persetan!” geram Kiai Damar Sasangka, “Jangan engkau mengira
ilmuku tergantung keadaan bulan. Ilmuku adalah ilmu yang
memerlukan laku khusus yang tidak ada duanya di muka bumi ini.
Dengan demikian ilmuku sudah sempurna dan tidak tergantung
dengan keadaan apapun juga.”

Selesai berkata demikian, Kiai Damar Sasangka segera meloncat


mundur lagi untuk mengambil jarak. Hanya sekejab pemimpin
perguruan Sapta Dhahana itu tampak menggosok-gosokkan kedua
telapak tangannya. Sekejap tampak asap putih menyelimuti sekujur
tubuhnya, semakin lama semakin tebal.

“He?” seru Ki Rangga dalam hati dengan penuh keheranan


menyadari perubahan yang mencolok pada tubuh lawannya,
“Mungkinkah ini ilmu pamungkas Kiai Damar Sasangka?”

Ki Rangga pun segera meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke


puncak. Sejenak kemudian udara di sekitar itu mulai terasa panas.

Tiba-tiba asap tebal yang menyelimuti tubuh Kiai Damar Sasangka


terlihat mulai membara. Sekejap kemudian, didahului dengan suara
ledakan kecil, tiba-tiba tubuh pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu
tampak menyemburkan api ke segala arah. Tubuh Kiai Damar
Sasangka itu tidak lagi diselimuti oleh asap tebal, melainkan api yang
dahsyat berkobar-kobar..

“Luar biasa!” seru Ki Rangga dalam hati dengan penuh takjub,


“Ternyata inilah ilmu Sapta Dhahana itu. Ilmu yang berlandaskan
pada kekuatan api yang berasal dari alam kegelapan. Ilmu yang
bersumber pada kepercayaan terhadap api sebagai sumber dari
segala sumber kekuatan.”

Menyadari hal itu Ki Rangga segera mengurai cambuk yang melilit


pinggangnya. Dia harus menggunakan senjata yang mempunyai
jangkauan jauh untuk menyentuh tubuh lawannya yang telah berubah
menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan itu. Ki Rangga harus
menjaga jarak karena dia belum mengetahui sejauh mana pancaran
api dari tubuh lawannya itu dapat menembus ilmu kebalnya.

41
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Raden Surengpati yang
menyaksikan kedahsystan ilmu Sapta Dhahana telah berloncatan
mundur mengambil jarak. Mereka berdua telah terpesona dengan
kemampuan Kiai Damar Sasangka untuk mengungkapkan sejenis
ilmu yang sudah sangat langka. Tubuh pemimpin perguruan Sapta
Dhahana itu benar-benar telah berubah ujud menjadi hantu api
sebesar gardu perondan.

“Semoga kakang Agung Sedayu mampu mengatasi hantu api itu,”


berkata Glagah Putih dalam hati dengan jantung yang berdebaran.

Sedangkan Raden Surengpati yang berdiri beberapa langkah dari


Glagah Putih telah tersenyum penuh kebangaan.

“Tidak salah kakanda Wirasena memilih perguruan Sapta Dhahana


sebagai kawan seperjuangan,” berkata Raden Surengpati kemudian
dalam hati, “Malam ini benar-benar akan menjadi malam terakhir bagi
agul-agulnya Mataram itu.”

Namun tiba-tiba terselip sebuah keraguan di hati adik orang yang


menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.

“Apakah ilmu Kiai Damar Sasangka ini akan mampu melawan ujud
semu Ki Rangga?” bertanya Raden Surengpati kemudian dalam hati
dengan jantung yang berdebaran. Tidak menutup kemungkinan Ki
Rangga akan segera mengetrapkan ilmu semunya.

Sebagai orang yang melihat sendiri kedahsyatan ujud semu Ki


Rangga ketika melawan Ki Kebo Mengo, hati Raden Surengpati
menjadi sedikit ragu-ragu.

Namun keraguan itu segera ditepisnya sendiri. Berkata Raden


Surengpati itu selanjutnya dalam hati, “Tentu Kiai Damar Sasangka
akan dapat memecahkan rahasia ilmu semu Ki Rangga, atau justru Ki
Rangga akan segera terbunuh sebelum sempat mengetrapkan ilmu
semunya itu.”

42
Berpikir sampai disitu, Raden Surengpati segera berpaling ke arah
Glagah Putih yang tampak masih tertegun keheranan melihat ujud
Kiai Damar Sasangka.

“Nah, Glagah Putih,” berkata Raden Surengpati kemudian sambil


tertawa kecil, “Kita tidak usah ikut campur urusan mereka itu. Kita
selesaikan saja urusan kita sendiri.”

“Baiklah Raden,” jawab Glagah Putih sambil beringsut setapak


mempersiapkan diri, “Aku sudah tidak sabar untuk segera
menyelesaikan pertempuran ini. Aku masih banyak urusan di
Perdikan Matesih.”

“Tutup mulutmu!” bentak Raden Surengpati dengan wajah memerah


darah, “Jangan mengigau. Engkau tidak akan pernah keluar dari
padepokan ini dalam keadaan hidup.”

Tetapi Glagah Putih justru telah tertawa. Sebuah tawa yang


terdengar sangat menyakitkan hati di telinga lawannya.

Namun lawannya tidak membiarkan Glagah Putih menyelesaikan


tawanya. Sebuah serangan yang dahsyat segera melandanya.

Dalam pada itu Kiai Damar Sasangka agaknya sudah bersiap


menyerang lawannya. Sejenak kemudian terdengar suara tawa yang
berkepanjangan. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu bagaikan
telah menjelma menjadi hantu bertubuh api. Ketika dia kemudian
menggerakkan tangannya, seleret api meluncur dengan kecepatan
yang hampir tidak kasat mata menerjang Ki Rangga.

Ki Rangga terkejut bukan alang kepalang. Dengan mengerahkan


kemampuan untuk mengurangi bobot tubuhnya, Ki Rangga pun
berloncatan untuk menghindari serangan lawan.

Namun serangan itu kemudian datang beruntun tidak ada putus-


putusnya. Sambil berdiri tegak di tempatnya, hantu bertubuh api itu
tak henti-hentinya menggerakkan kedua tangannya mengeluarkan
sinar api yang meluncur susul-menyusul menyerang lawannya.

43
Ki Rangga benar-benar harus mengerahkan kelincahannya untuk
menghidari serangan lawan. Ki Rangga belum berani mencoba
sejauh mana ilmu kebalnya dapat menahan panasnya ilmu api
lawannya.

Dalam pada itu, di antara rumah-rumah yang berjajar-jajar di depan


pasar dukuh Salam, beberapa laki-laki yang sebagian berwajah keras
tampak sedang mendekati regol sebuah rumah yang tidak seberapa
besar.

“Diselarak dari dalam,” desis orang yang berperawakan tinggi dan


kurus sambil mencoba mendorong pintu regol.

“Minggirlah!” tiba-tiba terdengar suara yang mirip burung hantu


menghardiknya, “Serahkan kepadaku. Membuka pintu yang di
selarak adalah sebuah pemainan kanak-kanak. Aku akan
membukanya hanya dengan sekali sentuhan.”

Berdesir dada orang tinggi kurus itu. Ada rasa ketersinggungan


mendengar kata-kata orang itu. Namun dia segera surut selangkah,
membiarkan orang itu melakukannya.

Sejenak orang yang suaranya mirip burung hantu itu menggosok-


gosokkan kedua telapak tangannya. Dengan membusungkan
dadanya, telapak tangan kanannya pun kemudian mendorong daun
pintu regol yang diselarak dari dalam itu.

Sejenak kemudian terdengar suara kayu yang mulai berderak patah.


Dengan menghentakkan tenaganya, orang yang suaranya mirip
burung hantu itu pun kemudian mendorong daun pintu regol sehingga
terbuka lebar.

Beberapa orang yang melihat kejadian itu telah menarik nafas dalam-
dalam. Sebuah pameran kekuatan yang cukup mengejutkan, namun
bagi Ki Jagabaya perdikan Matesih, itu hanyalah pameran kekuatan
untuk menakut-nakuti kanak-kanak.

44
“Marilah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah masuk,
“Kita akan bertamu secara baik-baik dan membawa Nyi Selasih dan
putranya secara baik-baik pula.”

Ketika mereka kemudian menaiki tlundak pendapa kecil di rumah itu,


dengan sedikit keras Ki Jagabaya pun mulai mengetuk pintu.

Ki Jagabaya harus mengulang beberapa kali sampai terdengar suara


seorang laki-laki tua yang terbatuk-batuk.

Sejenak terdengar seseorang berjalan tertatih tatih sebelum akhirnya


orang itu berkata dari balik pintu, “Siapa?”

“Aku, Ki Jagabaya perdikan Matesih,” jawab Ki Jagabaya sedikit


keras.

“O, Ki Jagabaya kiranya,” terdengar suara itu sedikit terkejut. Sejenak


kemudian terdengar selarak pintu dibuka dan muncullah seraut wajah
tua di hadapan mereka, wajah tua ayah Nyi Selasih

Untuk beberapa saat orang tua itu justru telah terkejut sehingga
hanya dapat berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu. Dia
benar-benar tidak menyangka di tengah malam menjelang dini hari
yang sepi itu akan mendapat tamu beberapa laki-laki yang tidak
dikenalnya kecuali Ki Jagabaya perdikan Matesih dan seseorang
yang rasa-rasanya dia pernah mengenalnya.

“Apakah kami tidak dipersilahkan masuk?” tiba-tiba Ki Jagabaya


menyeluthuk sehingga membuat orang tua itu terkejut bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi buruk.

Sejenak orang tua itu mengerutkan keningnya. Setelah berpaling ke


belakang, barulah dia menjawab, “Sebaiknya kita berbicara di
pendapa saja.”

Ki Jagabaya sejenak berpaling ke arah kawan-kawannya untuk


meminta pertimbangan. Namun sama sekali tidak ada kesan yang
tergores di wajah mereka.

45
“Apakah kami tidak dipersilahkan masuk?” tiba-tiba Ki Jagabaya
menyeluthuk sehingga membuat orang tua itu terkejut bagaikan
terbangun dari sebuah mimpi buruk.

46
Demikianlah sejenak kemudian Ki Jagabaya dan kawan-kawannya
segera menempatkan diri duduk di pendapa di atas sehelai tikar
pandan yang agak usang. Lampu dlupak yang redup tergantung di
tengah-tengah pendapa menyinari wajah Ki Jagabaya dan kawan-
kawannya yang terlihat buram.

Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, barulah ayah Nyi


Selasih itu kemudian menanyakan maksud kedatangan mereka.

“Aku benar-benar tidak menyangka malam-malam begini akan


mendapat tamu sebanyak ini,” berkata orang tua Nyi Selasih
kemudian, “Tentu ada sesuatu yang sangat penting yang telah
membawa Ki Jabagaya dan semua Ki Sanak ini ke gubukku.”

“Maafkan kami sebelumnya yang telah menggangu istirahat keluarga


ini,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “Kedatangan kami ke rumah ini
adalah atas perintah Ki Gede Matesih.”

Orang tua itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.


Tanyanya kemudian, “Sedemikian pentingkah sehingga harus
disampaikan dalam keadaan seperti ini?”

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga hatinya


sedikit tergetar setiap memandang wajah tua itu. Wajah yang
sederhana dan tidak neko-neko.

“Maafkan kami sekali lagi,” jawab Ki Jagabaya kemudian sambil


mengeraskan hatinya, “Kami diutus oleh Ki Gede untuk menjemput
Nyi Gede dan putranya.”

“He!” seru orang tua itu dengan suara sedikit tertahan. Dia benar-
benar tidak menyangka jika tujuan orang-orang itu datang ke
rumahnya adalah untuk menjemput anak perempuan dan cucunya.

“Mengapa?” hanya pertanyaan itu yang terucap dari bibir yang sudah
keriput. Selebihnya hanya tampak wajah yang murung dan memelas.

“Keadaan sudah sedemkian gawatnya Ki,” berkata Ki Jagabaya


berusaha memberi penjelasan, “Orang-orang yang mengaku Trah
Sekar Seda Lepen itu agaknya akan berusaha menguasai perdikan

47
Matesih sebagai pancadan perjuangan mereka. Dengan dukungan
penuh padepokan Sapta Dhahana, mereka akan menggulingkan
Mataram.”

Kerut merut orang tua itu semakin dalam. Berkata orang tua itu
sambil menghela nafas panjang, “Ketamakan hati manusia yang
ternyata justru membuat sengsara manusia yang lain. Anak dan
cucuku tidak mengetahui dan sama sekali tidak berurusan dengan
orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen. Aku sebagai
ayahnya hanya ingin melihat anak dan cucuku dapat menggapai
kebahagiaan menjadi bagian dari rumah tanga Ki Gede Matesih.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Masing-masing


tenggelam dalam lamunan mereka. Betapa sesungguhnya harapan
orang tua itu sangat sederhana dan tidak muluk-muluk.

“Maafkan aku sekali lagi, Ki,” berkata Ki Jagabaya kemudian


memecah kesunyian, “Apapun yang terjadi, perintah Ki Gede adalah
jelas. Kami berempat harus membawa Nyi Gede sekarang juga.”

Ayah Nyi Selasih itu kembali tertegun. Tanpa sadar diedarkan


pandangan matanya ke sekelilingnya. Wajah-wajah itu sama sekali
tidak dikenalnya kecuali Ki Jagabaya perdikan Matesih dan
seseorang yang rasa-rasanya pernah dikenalnya, namun entah di
mana.

Tiba-tiba jantung orang tua itu berdesir tajam. Betapa wajah-wajah itu
terlihat di mata ayah Nyi Selasih bagaikan batu-batu padas di
gerojokan, wajah-wajah yang kasar dan terlihat sedikit liar.

“Siapakah sebenarnya mereka itu?” pertanyaan itu yang bergelayut di


dalam dada Ayah Nyi Selasih.

“Bagaimana Ki?” desak Ki Jagabaya membangunkan orang tua itu


dari lamunannya.

“Ki Jagabaya,” jawab orang tua itu kemudian, “Bukannya aku tidak
percaya dengan Ki Jagabaya, namun dulu pada saat Ki Gede
meminang anakku, Ki Gede sendiri yang datang kemari. Sekarang

48
aku harap Ki Gede sendirilah yang datang untuk memboyong anak
dan cucuku.’

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah


kawan-kawannya. Ketiga orang itu pun telah menampakkan wajah
yang tegang.

“Apakah tidak ada jalan lain, Ki?’ bertanya Ki Jagabaya kemudian.

“Maksud, Ki Jagabaya?” sahut orang tua itu cepat.

“Ki Gede sangat sibuk mengatur para pengawal serta para bebahu
perdikan Matesih,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Menyadari kesibukannya, Ki Gede telah mengutus aku
untuk menjemput Nyi Gede. Jika alasan ini memang tidak dapat
diterima, sebaiknya Ki Prana beserta Nyi Selasih dan putranya
sekalian kami boyong bersama-sama.”

Tawaran itu sebenarnya terdengar sangat wajar. Namun entah


mengapa panggraita Ki Prana, ayah Nyi Selasih telah memberikan
isyarat yang mendebarkan.

Namun akhirnya Ki Prana pun harus memberikan tanggapannya.


Maka berkata Ki Prana kemudian, “Terima kasih Ki Jagabaya atas
tawaran tersebut. Namun entah mengapa aku lebih senang
menunggu Ki Gede sendiri yang akan menjemput anak cucuku.”

“Persetan!” tiba-tiba mereka yang duduk di pendapa itu terkejut ketika


salah satu kawan Ki Jagabaya itu mengumpat. “Kita tidak usah
berputar-putar, Ki Jagabaya. Kita sudah terlalu lama membuang
waktu. Sebaiknya kita cekik saja orang tua yang banyak cakap ini
sampai mampus. Kemudian Nyi Gede dan anaknya segera kita bawa
sebagai sandera.’

Jika saja ada guntur meledak di langit saat itu, tentu tidak akan
membuat Ayah nyi Selasih sekaget itu. Tanpa sadar dia telah
bergeser setapak mudur dari tempat duduknya.

Agaknya Ki Jagabaya pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. maka
katanya kemudian, “Baiklah Ki Prana. Sebenarnya kami telah berlaku

49
cukup baik untuk membawa Nyi Gede dan anaknya malam ini.
Namun karena tingkah polahmu sendiri yang rewel, terpaksa kami
menempuh jalan kekerasan.”

Berdesir dada orang tua itu. Ternyata panggraitanya cukup tajam


menghadapi keberadaan orang-orang tak dikenal itu. Namun
permasalahannya sekarang adalah, di rumah itu hanya ada tiga laki-
laki, dirinya sendiri, Gandhung pembantu rumah tangganya yang
berbadan seperti raksasa namun agak dungu dan cucu laki-lakinya
yang masih kanak-kanak.

Di saat yang menggelisahkan itulah, tiba-tiba dari samping rumah


terdengar seseorang bergumam. Ketika mereka yang berada di
pendapa itu kemudian berpaling, tampak seseorang yang bertubuh
raksasa muncul sambil menjinjing tombak pendek di tangan
kanannya dan sebilah pedang di tangan kirinya.

“Gandhung!” seru Ki Prana dengan nada gembira. Hatinya yang


tinggal semenir itu bagaikan mengembang kembali karena tersiram
banyu sewindu.

“He, kau gajah dungu!” tiba-tiba Ki Jagabaya yang mengenal


Gandhung telah ikut berseru, “Apa kerjamu di sini, he?”

Gandhung yang berjalan tersuruk-suruk di sisi pendapa itu tidak


menjawab. Setelah menaiki tlundak samping pendapa, barulah dia
menjawab, “Aku di sini atas perintah Ki Gede untuk menjaga Ki Prana
dan keluarganya.”

Jawaban itu telah membuat wajah Ki Jagabaya dan kawan-kawannya


merah padam menahan kemarahan yang menghentak dada.
Sebaliknya bagi Ki Prana, jawaban Gandhung itu telah menguatkan
dugaannya sejak semula bahwa Ki Gede memang dengan sengaja
telah menempatkan Gandhung di rumahnya dengan suatu tujuan.

Melihat Gandhung sudah menaiki pendapa, dengan cepat Ki Prana


segera meloncat berdiri dan kemudian setengah berlari menghampiri
Gandhung.

50
Gandhung yang melihat Ki Prana melangkah ke arahnya segera
mengulurkan pedang di tangan kirinya.

“Ini senjatamu, Ki Prana,” berkata Gandhung sambil mengulurkan


pedang di tangan kirinya, “Kita harus berhati-hati menghadapi ular
kepala dua. Jika patukan salah satu kepalanya sudah dapat kita
hindari, tidak menutup kemungkinan kepala yang satunya telah
bersiap menggigit kita pula.’

“Tutup mulutmu Gandhung!”: geram Ki Jagabaya sambi meloncat


berdiri yang serentak diikuti oleh kawan-kawannya.

“Kita akan bertempur!” geram kawan Ki Jagabaya yang bersuara


mirip seekor gagak yang telah melangkah mendekati Ki Prana, “Dan
jangan pernah berbelas kasihan kepada musuh-musuh kita. Sudah
menjadi kebiasan kita untuk tidak memberikan ampun kepada lawan-
lawan kita!”

Sadarlah Ki Prana sekarang bahwa yang dihadapinya adalah


sekelompok orang-orang yang sudah terbiasa hidup dalam dunia
kelam.

Ki Prana yang menyadari kalah jumlah segera berbisik kepada


Gandhung, “Gandhung, kita turun ke halaman agar lebih leluasa. Kita
bertempur berpasangan beradu punggung.”

Gandhung segera tanggap maksud Ki Prana. Dengan sebuah


bentakan nyaring tiba-tiba saja ujung tombaknya bergerak mematuk
dada salah seorang lawannya yang berdiri paling dekat.

Orang itu terkejut mendapat serangan tiba-tiba dari Gandhung. Tanpa


berpikir panjang dia segera meloncat mundur.

Melihat kesempatan yang terbuka lebar, Ki Parana dan Gandhung


pun segera meloncat menghambur ke halaman.

Ketika Ki Jagabaya dan kawan-kawannya menyadari apa yang telah


terjadi, mereka pun kemudian segera berlari menyusul dan
mengepung Ki Prana dan Gandhung yang terlebih dahulu telah
berada di halaman.

51
Sejenak kemudian Ki Jagabaya dan kawan-kawannya segera
mencabut senjata masing-masing. Tanpa memberi kesempatan
kepada Ki Prara dan Gandhung, serangan mereka pun segera
datang silih berganti.

“Kita selesaikan kedua orang ini secepat mungkin!” teriak Ki


Jagabaya sambil memutar senjatanya menerjang lambung
Gandhung.

Namun raksasa itu walaupun orang-orang menganggapnya dungu,


ternyata sangat tangkas menyambut serangan Ki Jagabaya. Dengan
landeyan tombak pendeknya dia menangkis senjata lawannya. Ketika
benturan itu kemudian terjadi, dengan cepat landeyan tombak itu
bergerak menghantam wajah Ki Jagabaya.

Tentu saja Ki Jagabaya tidak ingin wajahnya remuk. Dengan menarik


kaki depannya selangkah mundur, landeyan tombak itu meluncur
sejengkal di depan wajahnya. Ketika Gandhung mencoba memburu
lawannya yang melangkah mudur, sebuah ujung pedang lawannya
yang berdiri di kanan Ki Jagabaya telah terjulur lurus mengarah dada.

Gandhung yang sudah bersiap melangkah maju segera


mengurungkan serangannya. Dengan memutar tubuhnya ke kiri,
ujung tombak pendeknya mencoba menggores lengan lawannya
yang sedang menjulurkan senjata ke arahnya.

Agaknya lawan tidak ingin mengurungkan serangannya. Untuk


menghindari goresan ujung tombak itu dia hanya merendahkan
dirinya serendah-rendahnya. Sementara ujung senjatanya tetap
meluncur mengarah dada.

Pada saat yang gawat itulah pedang Ki Prana kemudian dengan


kerasnya menangkis senjata yang terjulur ke arah dada gandhung.
Terdengar dentingan keras dua senjata yang beradu. Bunga api pun
memancar menerangi gelapnya malam.

Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.


Keempat orang pengikut Trah Sekar Seda lepen itu dengan
dahsyatnya berusaha menggempur pertahanan Ki Prana dan

52
Gandhung. Namun kedua orang itu bukanlah anak kemarin sore yang
silau dan menangis melihat kilauan senjata. Mereka berdua telah
kenyang makan asam garamnya pertempuran. Ki Prana adalah
bekas prajurit Demak yang telah purna. Sedangkan Gandhung
adalah pengawal khusus Ki Gede Matesih yang sengaja di tempatkan
di rumah Ki Prana untuk menjaga segala kemungkinan.

Semakin lama pertempuran itu terlihat semakin berat sebelah.


Bagaimana pun juga tenaga Ki Prana sudah jauh menyusut. Dia
bukan lagi prajurit wira tamtama yang gagah perkasa seperti di masa
mudanya. Semakin lama pertempuran berlangsung, semakin terasa
tenaga Ki Prana semakin melemah dan pernafasannya pun mulai
terganggu.

“Gila!” geram Ki Prana dalam hati sambil merunduk menghindari


sambaran senjata lawannya, “Aku bisa mati kehabisan nafas. Aku
tidak boleh terpancing dengan gerakan lawan. Kelihatannya mereka
sengaja memancing aku untuk bergerak terus sehingga tenagaku
akan cepat terkuras habis.”

Berpikir sampai disitu, Ki Para segera mendekat ke arah Gandhung


sambil berbisik, “Gandhung, kita bertukar senjata. Aku memerlukan
senjata panjang agar tidak terpancing untuk banyak bergerak.”

Gandhung segera menyadari akan maksud Ki Parana. Maka


jawabnya kemudian juga sambil berbisik, “Baiklah Ki Prana. Dalam
hitungan ketiga, kita bertukar senjata.”

Sejenak kemudian tiba-tiba saja gandhung telah memutar ujung


tombaknya sambil berteriak, “Satu..!”

Mendengar Gandhung telah memulai menghitung, Ki Prana segera


meloncat mendekat sambil memutar pedangnya bagaikan kitiran
untuk menahan serangan lawan.

“Dua..!” teriak Gandhung kemudian sambil bergeser ke kanan. Ujung


tombaknya pun bergerak ke atas dan ke bawah dengan sangat cepat
bagaikan sebuah pagar yang tak tertembus.

53
Ki Jagabaya dan kawan-kawannya untuk beberapa saat belum
mampu menangkap maksud dari rencana lawannya. Mereka hanya
menunggu sambil terus memberikan serangan-serangan dari segala
arah.

“Tiga..!”

Begitu suara teriakan Gandhung lenyap, kedua senjata itu sudah


berpindah tangan. Sebelum lawan-lawannya menyadari apa yang
terjadi, tombak di tangan Ki Prana telah terjulur dan menggores dada
lawan yang berada di dekatnya.

Lawannya benar-benar tidak mengira bahwa senjata Ki Prana telah


berganti menjadi sebuah tombak pendek. Tentu saja sebuah tombak
pendek mempunyai jangkauan yang berbeda dengan sebuah
pedang. Begitu ujung tombak itu terjulur ke arah dadanya, lawan Ki
Prana sangat terkejut bukan buatan. Namun dia masih sempat
meloncat menjauh. Walaupun begitu ujung tombak itu masih sempat
menggores lengan kirinya.

“Iblis..! “ teriak lawan Ki Prana itu sambil sekali lagi meloncat menjauh.
Ketika Ki Prana mencoba maju selangkah sambil menjulurkan
tombaknya sejauh-jauh jangkauan tangannya, sebuah pedang
ternyata telah menangkisnya.

Demikianlah, kedua orang itu telah berganti senjata. Ki Prana tidak


perlu lagi berloncat-loncatan menghindari serangan lawan-lawannya.
Dengan senjata yang mempunyai jangkauan lebih panjang, Ki Prana
mempunyai banyak kesempatan untuk menghemat tenaga dan
mengatur pernafasannya.

Pertempuran pun kemudian berlangsung dengan cukup seimbang.


Salah satu lawan yang telah tergores ujung tombak Ki Prana itu
ternyata telah sempat menaburkan sejenis serbuk obat di atas luka
itu. Sejenak kemudian, orang itu pun telah terlibat lagi dalam
pertempuran.

Menyadari keseimbangan pertempuran telah berubah, Ki Jagabya


menggeram keras-keras. Hatinya benar-benar gelisah. Dia dan

54
kawan-kawannya harus berpacu dengan waktu sebelum Ki Wiyaga
dan para pengawal utusan Ki Gede Matesih sampai di tempat itu.

Tiba-tiba suatu akal licik terlintas dalam benak Ki Jagabaya. Maka


katanya kemudian setengah berbisik kepada kawannya yang
bertempur di sebelahnya, “Tinggalkan tempat ini. Masuki rumah itu
dan cari Nyi Gede dan putranya. Kita jadikan mereka sebagai
sandera agar mereka segera menyerah.”

Perintah itu tidak perlu diulang lagi. Dengan sekali loncat orang itu
segera melepaskan diri dari pusaran pertempuran. Sambil
menyarungkan senjatanya, dia segera berlari menyeberangi pendapa
untuk kemudian memasuki rumah itu.

“Gila!” teriak Ki Prana keras-keras, “Apa yang akan engkau lakukan,


he?!”

Namun orang yang berlari menuju rumah itu sudah membuka pintu
pringgitan dan kemudian menghilang.

Menggelegak darah Ki Prana sampai ke ubun-ubun. Dengan


menghentakkan segenap kekuatannya dia mencoba lolos dari
pertempuran itu untuk menyusul lawan yang telah memasuki rumah.

“Tenanglah Ki Prana,” berkata Ki Jagabaya sambil terus berusaha


menahan lawannya agar tidak meninggalkan medan, “Bukankah
engkau masih ingat orang itu? Kawanku itu sangat paham bagaimana
caranya memperlakukan seorang perempuan. Apalagi sebelum
dinikahi oleh Ki Gede, anak perempuanmu itu sudah cukup lama
menjanda. Dan akhir-akhir ini pun Ki Gede agaknya jarang
mengunjunginya. Bukankah sudah sewajarnya jika anak
perempuanmu itu mendapat perhatian dan perlakuan yang khusus
dari kawanku tadi?”

“Gila!..Gila..! Gilaa!” teriak Ki Parana dengan dada yang pepat karena


menahan kegelisahan yang sangat.

Sedang Gandhung yang bertempur di sebelah Ki Prana tak kalah


gelisahnya. Dia telah diberi kepercayaan oleh Ki Gede untuk

55
melindungi keluarga itu. Namun sekarang dia benar-benar tidak
berdaya menghadapi serangan-serangan lawan-lawannya.

Sebenarnya ada niat dari Gandhung untuk lolos meninggalkan


lingkaran pertempuran. Namun hal itu tentu saja tidak mungkin
dilakukannya. Jika dia nekat meninggalkan pertempuran, dalam
hitungan yang tidak lebih banyak dari jumlah jari-jari tangannya, Ki
Prana tentu akan mengalami tekanan yang tak tertahankan.

Dalam pada itu, kawan Ki Jagabaya yang masuk rumah melalui pintu
pringgitan segera menerobos ruang tengah. Ketika dia sedang
mencari-cari bilik Nyi Gede dan putranya, tiba-tiba telinganya yang
sangat tajam lamat-lamat mendengar isak tangis yang tertahan-tahan
dari arah ruang dalam.

Orang itu tersenyum, sebuah senyum yang mirip seringai serigala.


Dengan langkah yang mantap diayunkan kakinya menuju ke ruang
dalam.

Ketika dia kemudian membuka pintu ruang tengah yang berbatasan


dengan ruang dalam, suara isak tangis itu terdengar semakin jelas
namun tetap tertahan-tahan.

“Hem,” orang itu berdesah dalam hati sambil berkali-kali menelan


ludah. Entah mengapa tiba-tiba saja darah yang mengalir di sekujur
tubuhnya telah menghangat dan membuat nafasnya menjadi sedikit
memburu.

“Inilah kesempatan bagiku untuk membalas dendam,” desis orang itu


dalam hati sambil terus berjalan berjingkat menuju ke arah satu-
satunya bilik yang terdapat di ruang dalam. Dari bilik itulah suara
tangis yang tertahan itu terdengar.

Tiba-tiba dalam benak orang itu telah terlintas sebuah pikiran yang
sangat kotor. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk dia segera
mengetuk pintu bilik yang tampaknya diselarak dengan rapat dari
dalam.

56
Ketukan itu memang sangat perlahan namun telah membuat jantung
Nyi Selasih bagaikan copot dari tangkainya.

Namun dengan sekuat tenaga dicobanya untuk bertanya, walaupun


suaranya terdengar parau dan tercekat di tenggorokan.

“Siapa..?” bertanya Nyi Selasih kemudian dengan suara perlahan dan


sedikit parau sambil mendekap anak laki-lakinya yang tertidur lelap di
atas amben.

Mendengar suara perempuan yang sedikit serak itu, darah kawan Ki


Jagabaya itu terasa mendidih dan menggelegak membakar sekujur
tubuhnya. Ada desakan dahsyat yang ingin segera dituntaskan
menggelepar-gelepar di dalam dadanya.

“Aku Nyi,” orang itu mencoba menjawab dengan suara tersamar


agar tidak menimbulkan kecurigaan Nyi Gede.

“Aku siapa?” kembali terdengar suara dari dalam bilik. Kali ini suara
itu agak sedikit tenang.

Untuk sejenak tidak terdengar jawaban. Agaknya orang itu sedang


mereka-reka jawaban untuk meyakinkan Nyi Gede. Akhirnya
terdengar jawaban dari balik pintu dengan nada suara yang datar dan
pelan, “Aku Nyi, pengawal dari Matesih. Semuanya sudah berakhir
dan aku diperintah untuk menjemput Nyi Gede.”

Nyi Gede yang sedang memeluk anaknya itu sejenak tertegun.


Namun setelah berpikir sesaat, dia segera bangkit dan kemudian
duduk di bibir pembaringan. Dibenahinya kain dan baju serta
sanggulnya terlebih dahulu sebelum bangkit berdiri dan menuju ke
pintu.

“Siapa tahu orang ini benar-benar pengawal Matesih yang dikirim


kemari,” demikian pikir Nyi Selasih mencoba menghilangkan
kecurigaan sambil berjalan mendekati pintu.

Namun ternyata panggraita seorang perempuan sangatlah tajam.


Begitu langkahnya tinggal sejengkal dari pintu bilik dan tangan

57
kanannya sudah meraba selarak pintu, dia mendengar sesuatu yang
aneh. Sesuatu yang telah membuat bulu kuduknya berdiri.

Dari balik pintu bilik itu Nyi Selasih dengan sangat jelas dapat
mendengar deru nafas yang memburu. Nafas dari seorang laki-laki
yang sedang dalam puncak gairahnya. Nyi Selasih yang telah
mengalami berumah tangga sebanyak dua kali itupun sudah sangat
paham dengan deru nafas seperti itu.

Menyadari bahaya yang mungkin dapat menyergapnya setiap saat,


tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Keringat
dingin segera saja membasahi sekujur tubuhnya. Kedua lututnya
lemas dan rasa-rasanya sudah tidak bertulang lagi. Degup
jantungnya yang melonjak-lonjak tak terkendali ternyata telah
membuat kepalanya menjadi pening dan matanya berkunang kunang.

Ketika Nyi Selasih kemudian mencoba melangkah mundur, kedua


kakinya benar-benar tidak mampu untuk digerakkan sama sekali.
Dengan demikian hanya tubuhnya saja yang condong ke belakang
tanpa ada tumpuan sama sekali. Sejenak kemudian dengan sebuah
jeritan kecil yang tertahan, Nyi Selasih pun jatuh terjerembab di lantai
bilik yang dingin.

Tepat pada saat Nyi Selasih jatuh terjerembab, sesosok bayangan


ramping yang berpakaian serba gelap dengan penutup wajah
meloncat masuk melalui jendela yang telah dibuka paksa.

Sejenak orang bertubuh ramping dengan penutup wajah itu


termangu-mangu. Namun begitu didengarnya suara gedoran di pintu
bilik, dia segera menyelinap ke arah sisi pintu yang berlawanan
dengan arah selarak pintu.

“Nyi? Nyi Selasih? Engkau tidak apa-apa?” terdengar suara bergetar


dari balik pintu. Namun tidak terdengar jawaban sama sekali.

Agaknya orang itu sudah benar-benar tidak sabar. Dengan


mengerahkan tenaga cadangannya, pintu bilik itu dihentakan sekuat
tenaga. Sejenak kemudian terdengar suara selarak pintu yang
berderak-derak patah.

58
Begitu pintu bilik terbuka sejengkal, dengan bergegas orang itu
segera mendorong pintu bilik dan melangkah masuk.

Namun alangkah terkejutnya orang itu begitu mendapatkan Nyi


Selasih tergolek diam di atas lantai yang dingin.

“Alangkah malang nasibmu Nyi Selasih,” desis orang itu dengan


nafas yang semakin memburu melihat Nyi Selasih tergolek diam,
“Sudah lama aku memimpikan saat-saat seperti ini. Saat kita dapat
berduaan dan melampiaskan hasrat yang terpendam ini.”

Selesai berkata demikian orang itu memandang ke depan. Tampak


anak laki-laki Nyi Selasih yang masih kanak-kanak tetap tertidur lelap
berselimutkan kain panjang.

“Tidurlah yang nyenyak, Nak,” berkata laki-laki itu sambil tersenyum,


“Aku akan bermain kuda-kudaan sejenak dengan biyungmu.
Seharusnya memang akulah yang mendapatkan biyungmu ini, bukan
Ki Gede.”

Tidak mau membuang waktu lagi, orang itu segera maju selangkah
sambil membungkuk untuk mengangkat tubuh Nyi Selasih yang
tergeletak di lantai. Dalam benaknya sudah terpikir untuk membawa
Nyi Selasih yang masih tidak sadarkan itu ke bilik yang lain sehingga
dengan bebasnya dia akan mempermainkan korbannya.

Namun agaknya dia tidak menyadari bahwa sedari tadi seseorang


sedang bersembunyi di balik pintu bilik. Begitu orang itu
membungkukkan badannya, secepat kilat orang yang bersembunyi di
balik pintu itu meloncat sambil mengayunkan sisi telapak tangannya
yang terbuka tepat ke arah tengkuk.

Hanya terdengar sebuah keluhan tertahan sebelum akhirnya tubuh


orang itu jatuh terjerembab menimpa Nyi Selasih.

Dengan cepat orang yang memakai penutup wajah itu segera


menyeret tubuh laki-laki itu keluar bilik. Setelah mendudukkan laki-
laki itu di sebuah tiang yang berada di tengah-tengah ruang dalam,

59
dia segera mengikat tangan laki-laki itu ke belakang dengan
menggunakan ikat kepala laki-laki itu sendiri.

Agaknya orang yang memakai penutup wajah itu masih belum


merasa puas. Dia segera masuk ke bilik lagi. Ketika terpandang
olehnya sebuah kain panjang untuk selimut anak laki-laki Nyi Selasih,
segera saja kain panjang itu diambilnya.

“Maaf, nak,” bisik orang dengan penutup wajah itu sambil dengan
sangat hati-hati dan perlahan menarik selimut itu, “Aku pinjam
sebentar untuk mengikat penjahat itu.”

Demikianlah setelah mengikat erat-erat laki-laki yang pingsan itu


dengan kuat pada tiang yang terdapat di ruang dalam, orang dengan
penutup wajah itu segera mengangkat tubuh Nyi Selasih ke atas
amben.

“Beristirahatlah Nyi,” bisik orang itu, “Aku akan melihat pertempuran


di halaman.”

Selesai berkata demikian sambil berjingkat orang yang memakai


penutup wajah itu beranjak keluar bilik untuk seterusnya menuju ke
pringgitan. Namun sebelumnya dia telah menutup kembali jendela
yang telah dibukanya paksa serta menutup pintu bilik.

Dalam pada itu pertempuran di halaman rumah Ki Prana semakin


sengit. Ki Jagabaya dan kedua kawannya belum menyadari apa
yang telah terjadi pada kawan mereka yang telah memasuki rumah.
Sedangkan Ki Prana dan Gandhung telah bertempur dengan
mencurahkan segenap tenaga mereka karena menyadari bahaya
yang sedang mengancam Nyi Selasih dan putranya.

Pedang di tangan Gandhung berputar cepat sambil sesekali


menyambar-nyambar lawannya yang mencoba mendekat. Sementara
Ki Prana yang telah tua lebih menghemat tenaga. Dia tidak
terpancing gerakan lawannya yang berloncat-loncatan. Namun
tombak pendek di tangan Ki Parana benar-benar bergerak sangat
lincah mematuk-matuk bagian-bagian tubuh lawannya yang
berbahaya.

60
“Menyerahlah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menghindari
sambaran pedang lawannya, “Aku membayangkan kawanku
sekarang ini mungkin sedang bersenang-senang dengan Nyi Selasih.
Bukankah sewaktu Nyi selasih masih menjanda, kawanku itu telah
mencoba melamarnya namun telah engkau tolak dengan mentah-
mentah?”

Mendengar ucapan Ki Jagabaya itu, barulah Ki Prana teringat siapa


sebenarnya orang yang rasa-rasanya pernah dikenalnya itu. Segera
saja darah di sekujur tubuhnya menggelegak sampai ke ubun-ubun.

“Persetan!” geram Ki Prana kemudian dengan kegelisahan yang tiada


taranya menghentak dada, “Semoga kawanmu itu mati dicekik setan!”

“Ah,” terdengar Ki jagabaya dan kedua kawannya tertawa pendek.

Berkata salah satu kawan Ki Jagabaya itu kemudian, “Tentu saja


tidak. Justru setan itulah yang sekarang mengajak mereka berdua
bersenang-senang tak ubahnya seperti pengantin baru.”

“Tutup mulutmu!” teriak Ki Prana. Dadanya terasa panas dan degup


jantungnya pun semakin melonjak-lonjak. Dia benar-benar sangat
mengkhawatirkan keselamatan anak perempuan semata wayangnya
itu.

Namun selagi mereka yang berada di halaman itu sedang bertempur


dengan sengitnya, pendengaran mereka telah menangkap derap
langkah beberapa orang yang berlari-larian menuju ke tempat itu.
Agaknya orang-orang itu telah mendengar denting senjata beradu
pertanda adanya sebuah pertempuran.

“Ki Jagabaya!” seru orang yang bersuara mirip burung hantu itu
kemudian dengan nada yang gelisah, “Mereka telah datang!”

Ki Jagabaya pun segera tanggap bahwa yang di maksud kawannya


itu tentu Ki Wiyaga dan para pengawal Matesih.

Tanpa membuang waktu lagi, Ki Jagabaya segera bersuit nyaring


memanggil salah satu kawan mereka yang beberapa saat tadi telah
memasuki rumah Ki Prana.

61
Namun tenryata tidak terdengar jawaban sama sekali. Ketika Ki
Jagabaya kemudian berpaling ke arah regol, tampak beberapa orang
telah berloncatan memasuki regol dengan senjata tergenggam di
tangan kanan.

Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Jumlah orang yang


memasuki regol itu terlihat dua kali lipat dari jumlah Ki Jabagaya dan
kawan-kawannya. Maka sejenak kemudian terdengar suitan dua kali
berturut-turut. Bersamaan dengan hilangnya suara suitan yang
membelah malam itu, Ki Jagabaya dan kedua kawannya telah
berloncatan menghindar dari tempat itu.

Ki Prana dan Gandhung berusaha mengejar mereka selangkah dua


langkah. Namun ketika Ki Jagabaya dan kedua kawannya itu
kemudian berhasil mencapai gerumbul-gerumbul dan pepohonan
lebat di halaman samping, Ki Prana dan Gandhung pun segera
menghentikan langkah. Adalah sangat berbahaya mengejar lawan
yang telah memasuki gerumbul dan semak belukar. Lawan dapat
saja menjebak mereka sewaktu mereka memasuki gerumbul.

“Ki Prana!” tiba-tiba terdengar seruan panggilan dari arah belakang.


Ketika Ki Prana kemudian berpaling, tampak Ki Wiyaga dan para
pengawal berlari mendekat.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Wiyaga kemudian sesampainya dia di


hadapan Ki Prana.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Ki Prana bagaikan baru tersadar


dari sebuah mimipi buruk. Tanpa menjawab pertanyaan Ki Wiyaga
dia segera meloncat berlari sambil berteriak nyaring.

“Selasih..? Selasih..? Engkau tidak apa-apa?” teriak Ki Prana


bagaikan orang kesurupan sambil menerobos pintu pringgitan menuju
ruang tengah.

Ketika disadarinya ruang tengah itu kosong, Ki Prana pun segera


berlari menuju ke ruang dalam.

62
Namun langkahnya tertegun ketika mendapatkan seseorang sedang
duduk terikat pada salah satu tiang yang terdapat di ruang dalam itu.
Tampaknya orang itu sedang tidak sadarkan diri. Ki Prana pun
segera mengenali orang itu sebagai salah satu kawan Ki Jagabaya
yang telah memasuki rumahnya beberapa saat tadi.

“Kau..?” geram Ki Prana dengan suara serak. Tanpa berpikir panjang,


tombak pendek di tangan kanannya telah diangkat tinggi-tinggi. Siap
untuk dihujamkan ke dada orang itu.

“Ki Prana tunggu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang tepat di


belakangnya. Dengan segera tangan orang itu menahan tombak di
tangan Ki Prana yang sudah diangkat tinggi-tinggi.

Ki Prana berpaling sekilas. Ternyata ki Wiyaga yang telah menahan


tombaknya.

“Biarkan aku Ki Wiyaga!” geram Ki Prana, “Biar aku bunuh sekalian


orang yang telah menghancurkan anak perempuanku ini.”

“Apakah engkau yakin, Ki Prana?” bertanya Ki Wiyaga kemudian


sambil tetap menahan tombak yang sudah terangkat tinggi-tinggi itu.

“Maksud Ki Wiyaga?” sahut Ki Prana dengan nada sedikit keheranan.


Namun terasa di tangan Ki Wiyaga tombak yang terangkat tinggi-
tinggi itu menjadi sedikit mengendur.

“Sudahlah Ki Prana,” jawab Ki Wiyaga kemudian sambil menarik


tombak itu perlahan, “Aku yakin semuanya masih dalam keadaan
seperti sediakala, tidak kurang suatu apapun.”

Ki Prana memandang Ki Wiyaga dengan heran sambil membiarkan


saja tombak di tangannya diambil alih oleh kepala pengawal perdikan
Matesih itu.

“Dari mana Ki Wiyaga tahu?” bertanya Ki Prana kemudian.

Ki Wiyaga tersenyum. Jawabnya kemudian sambil menunjuk orang


yang masih dalam keadaan pingsan dan terikat pada tiang itu,

63
“Bersyukurlah Ki, kemungkinannya seseorang telah menolong Nyi
Gede dari niat jahat orang ini.”

Begitu mendengar nama Nyi Gede disebut, Ki Prana segera teringat


kembali akan keselamatan anak perempuan satu-satunya itu.

Maka sambil berlari menuju bilik satu-satunya yang berada di ruang


dalam itu, orang tua itu kembali berteriak-teriak memangil manggil
nama anak perempuannya.

“Selasih..selasih? engkau selamat, nduk?”

Begitu kakinya menginjak lantai bilik, pandangan Ki Prana segera


tertuju pada dua sosok tubuh yang tergeletak diam di atas amben
bambu.

“Selasih..?” teriak Ki Prana kemudian. Dengan sekali lompatan saja


Ki Prana telah berada di samping amben.

Nyi Selasih yang sedang tidak sadarkan diri itu agaknya mulai
menyadari keadaannya. Lamat-lamat telinganya mendengar
seseorang sedang memanggil-manggil namanya serta tubuhnya
terasa diguncang-guncang.

Ketika dia kemudian membuka mata, seraut wajah tepat berada


beberapa jengkal saja dari wajahnya. Walaupun masih terlihat
remang-remang, namun wajah itu sangat dikenalnya.

“Ayah!” seru Nyi Selasih bercampur isak tangis.

“Selasih, engkau tidak apa-apa, nduk?” bertanya Ki Prana kemudian


sambil membantu anak perempuannya itu bangkit.

Agaknya anak laki-laki yang tidur lelap di sebelah biyungnya itupun


mulai terusik. Sambil menggeliat dan membuka matanya, dia mulai
merengek memangil biyungnya.

Nyi selasih yang sudah duduk di bibir amben itu segera memeluk
anaknya sambil berdesis, “Biyung di sini, nak. Biyung di sini.”

64
Ki Wiyaga dan para pengawal yang telah sampai di depan pintu bilik
itu segera menarik nafas dalam-dalam. Hati mereka telah tersentuh.
Betapa Nyi Selasih yang telah menjadi istri Ki Gede hampir setahun
yang lalu itu lebih memilih hidup sederhana di rumah ayahnya sendiri
dari pada harus menahan hati setiap hari dan bersitegang dengan
seorang anak tiri.

“Syukurlah,” berkata Ki Prana kemudian sambil mengelus-elus kepala


cucunya, “Semua telah berlalu dan kita wajib bersyukur bahwa Yang
Maha Agung telah berkenan menolong kita semua.”

“Melalui perantara orang yang telah menolong Nyi Selasih,” sahut Ki


Wiyaga sambil memandang Nyi Gede. Agaknya kepala pengawal
Matesih itu ingin segera mendengar cerita Nyi Selasih.

Namun tampak raut wajah Nyi Gede kebingungan. Tanpa sadar


pandangan matanya diedarkan ke sekelilingnya. Sepertinya Nyi
Selasih sedang mencari sesuatu.

“Apa yang engkau cari, nduk?” bertanya ayahnya kemudian.

Sejenak Nyi Selasih ragu-ragu. Namun jawabnya kemudian, “Orang


yang mengetuk pintu itu.”

“O,” desis Ki Prana kemudian sambil memberi isyarat kepada orang-


orang yang berkerumun di depan bilik untuk menyingkir.

Serentak mereka yang berkerumun di depan pintu bilik itu pun segera
menyingkir.

“Nah,” berkata Ki Prana kemudian, “Apakah engkau mengenali orang


itu, nduk?”

Selesai berkata demikian, Ki Prana segera menunjuk ke arah orang


yang terikat di ruang dalam itu.

Untuk sejenak Nyi Selasih mengerutkan keningnya. Dari pintu bilik


yang terbuka itu, Nyi Selasih dapat melihat dengan jelas wajah orang
yang sedang pingsan dan duduk terikat di tiang ruang dalam.

65
Alangkah terkejutnya Nyi Selasih. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan
terlepas dari tangkainya. Wajah itu adalah wajah yang pernah
dikenalnya namun sekaligus juga yang sangat dibencinya.

“Ayah,” desis Nyi Selasih kemudian dengan suara bergetar sambil


menundukkan wajahnya dalam-dalam, “Mengapa orang itu ada di
sini?”

“Engkau masih mengenalinya?” ayahnya balik bertanya.

Nyi Selasih tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk


kecil.

Ki Prana menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang


pepat. Katanya kemudian, “Selasih, kami sangat mengkhawatirkan
keselamatanmu. Ketika aku dan Gandhung sedang bertempur
melawan Ki Jagabaya dan kawan-kawannya di halaman depan,
orang itu telah meninggalkan medan dan memasuki rumah ini.
Apakah engkau sempat bertemu dengannya?”

Dengan tetap menundukkan wajahnya, terlihat kepala Nyi Selasih


menggeleng lemah.

Ki Prana menarik nafas dalam sambil memandang wajah-wajah di


sekelilingnya yang menegang. Bertanya Ki Prana kemudian, “Selasih,
apakah engkau masih ingat apa yang telah terjadi?”

Nyi Selasih tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Untuk


sejenak dia terlihat mengumpulkan ingatannya. Baru sejenak
kemudian dia menjawab lirih, “Ayah, aku hanya ingat seseorang telah
mengetuk pintu bilik ini dan dia mengaku pengawal dari Matesih
yang diutus untuk menjemput kita. Aku mencoba mendekati pintu bilik
untuk mengetahui siapa dia sebenarnya. Namun aku begitu
ketakutan sehingga ketika melangkah, aku telah terjatuh dan tidak
ingat lagi apa yang terjadi.”

Orang-orang yang hadir di situ menjadi bertambah tegang. Tanpa


sadar Ki Wiyaga maju selangkah untuk memungut pecahan kayu
selarak pintu yang terjatuh di lantai. Kemudian dengan tangan sedikit

66
gemetar kepala pengawal itu menyambung pecahan kayu selarak itu
dengan sisa kayu selarak yang masih tersangkut di pegangan pintu.

“Orang itu telah mematahkan selarak,” desis Ki Wiyaga dengan


jantung yang berdebaran.

“Gila!” tiba-tiba Ki Prana menggeram membayangkan kemungkinan


yang terjadi saat anak perempuannya jatuh pingsan, “Katakan
kepadaku, Selasih! Apa yang telah diperbuat orang gila itu
kepadamu? Jika dia telah berbuat kurang ajar, aku sudah siap untuk
memenggal lehernya!”

Sejenak suasana menjadi sangat mencekam. Mereka semua


menunggu jawaban Nyi Selasih.

Namun suasana mencekam itu menjadi cair kembali ketika Nyi


Selasih berkata perlahan sambil merangkul lengan ayahnya,
“Sebagaimana yang ayah lihat, aku tidak kurang suatu apapun.”

Orang-orang yang hadir di situ tampak menarik nafas lega, demikian


juga Ki Prana. Memang ketika pertama kali Ki Prana memasuki bilik
itu, dia menyaksikan anak perempuannya itu masih berpakaian
lengkap. Tidak tampak bekas-bekas adanya suatu usaha dari
seseorang yang telah memaksakan kehendaknya untuk melakukan
sebuah perbuatan kotor terhadapnya.

“Sudahlah Ki Prana,” berkata Ki Wiyaga kemudian untuk mencairkan


ketegangan, “Kami datang ke sini atas perintah Ki Gede untuk
menjemput Nyi Gede dan putranya.”

Ki Prana menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Nyi


Selasih. Beberapa saat yang lalu Ki Jagabaya juga telah mengatakan
sebagai utusan Ki Gede. Untunglah panggraitanya sebagai seorang
ayah sangat peka sehingga keluarga kecil itu masih mendapat
perlindungan dari Yang Maha Agung.

“Baiklah Ki Wiyaga,” jawab Ki Prana, “Biarlah anak dan cucuku


berkemas terlebih dahulu,” Ki Prana berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Bagaimana dengan orang itu?’

67
Selesai berkata demikian Ki Prana menunjuk ke arah orang yang
masih dalam keadaan pingsan dan terikat di salah satu tiang ruang
dalam.

“Kita akan membawanya sebagai tawanan,” jawab Ki Wiyaga


kemudian, “Jika terpaksa kita akan membawanya dalam keadaan
terikat.”

Orang-orang yang hadir di situ mengangguk-anggukkan kepala


mereka. Sementara Gandhung yang sedari tadi berdiri agak jauh dari
bilik Nyi Selasih segera melangkah mendekat untuk membantu
menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan.

Dalam pada itu, di pendapa rumah Ki Gede Matesih, Ki Ajar dan


Sukra tampak duduk terkantuk-kantuk sambil menahan hawa dingin
yang terasa semakin menggigit tulang. Mereka berdua tidak berani
beranjak dari pendapa dan kemudian pindah ke ruang pringgitan
yang lebih hangat. Bagaimanapun juga, mereka berdua merasa tetap
diawasi oleh para pengawal yang berjaga dari regol depan. Dalam
keadaan seperti ini, segala sesuatunya memang bisa saja terjadi.

Ketika kedua orang itu merasa semakin berat menahan dingin dan
kantuk, tiba-tiba saja terdengar derit pintu pringgitan terbuka. Begitu
kedua orang itu berpaling, tampak seorang perempuan tua membawa
nampan berisi minuman hangat dan beberapa penganan. Di
belakangnya berjalan sambil menengadahkan wajahnya seorang
gadis cantik yang sedang beranjak dewasa.

Berdesir dada Sukra begitu memandang seraut wajah cantik namun


terkesan sedikit tinggi hati itu. Sejenak dua pasang mata itu beradu
dengan kesan masing-masing. Namun dengan cepat Sukra segera
menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Sedang Ki Ajar yang melihat kedua orang perempuan itu melangkah


mendekat segera membungkukkan badan sedikit ke depan sambil
berkata, “Terima kasih, terima kasih. Mohon kehadiran kami tidak
merepotkan.”

68
Berdesir dada Sukra begitu memandang seraut wajah cantik namun
terkesan sedikit tinggi hati itu. Sejenak dua pasang mata itu beradu
dengan kesan masing-masing...........

69
“O, tentu saja tidak, Ki,” jawab perempuan tua itu, “Sudah menjadi
kewajiban kami untuk mempersiapkan hidangan sekedarnya bagi
tamu-tamu Ki Gede.”

Selesai berkata demikian, perempuan tua itu segera berlutut.


Sedangkan gadis cantik disebelahnya juga ikut berlutut. Kemudian
dengan cekatan jari-jemari yang terlihat halus dan lentik itu
menurunkan dua mangkuk minuman dan sepiring penganan.

“Silahkan, Ki,” berkata perempuan tua itu kemudian sambil bangkit


berdiri diikuti oleh gadis di sebelahnya. Sejenak kemudian keduanya
pun telah kembali ke pringgitan.

Namun sebelum menutup pintu pringgitan, gadis cantik itu sempat


berpaling ke arah Sukra. Akan tetapi yang diharapkannya ternyata
sia-sia belaka. Gadis itu berharap anak muda yang berkulit kehitam-
hitaman itu menengadahkan wajahnya dan kemudian memandang ke
arahnya, mengagumi kecantikannya. Namun yang terjadi ternyata
diluar apa yang diharapkannya. Anak muda itu tetap diam sambil
menundukkan wajahnya.

“Anak gila!” geram gadis itu sambil sedikit membanting pintu


pringgitan sehingga membuat perempuan tua itu terkejut dan
berpaling.

“Ada apa Ratri?” bertanya perempuan tua itu kemudian sambil


terheran-heran.

Namun gadis cantik yang ternyata adalah Ratri putri satu-satunya Ki


Gede Matesih itu hanya menggeleng lemah sambil berlalu.

Mbok Pariyem perempuan tua itu tampak hanya dapat meggeleng-


gelengkan kepalanya mendapatkan kelakuan aneh momongannya
itu.

Ketika dilihatnya Ratri yang setengah berlari itu kemudian memasuki


ruang dalam dan hilang masuk ke dalam biliknya, mbok Pariyem pun
segera kembali ke dapur.

70
Dalam pada itu Ratri yang gelisah segera menghempaskan tubuhnya
ke pembaringan. Sejenak sepasang mata yang ndamar kanginan itu
menatap langit-langit biliknya. Terdengar bibirnya yang bak manggis
karengat itu berkali-kali berdesah.

“Anak muda yang sombong!” desis Ratri kemudian sambil menarik


nafas panjang. Ada rasa jengkel yang menyelinap di sudut hati gadis
itu.

“Mengapa dia tidak memandang sebelah matapun padaku?” kembali


gadis itu berangan-angan, “Semua anak muda di perdikan Matesih ini
tidak ada yang tidak mengagumiku, itu bisa aku lihat dari cara mereka
memandang kepadaku,” sejenak Ratri berhenti berangan-angan.
Kemudian dia melanjutkan angan-angannya, “Namun anak muda
setengah gila tadi sangat memandang rendah padaku. Seolah-olah
aku ini sesuatu yang menjijikkan. Begitu melihatku, cepat-cepat dia
membuang muka.”

Entah mengapa Ratri gadis cantik putri kepala tanah perdikan


Matesih itu benar-benar telah dibuat penasaran dengan sikap Sukra.
Sikap yang cenderung mengacuhkannya justru di saat keduanya
berjumpa pada pandangan pertama.

Tiba-tiba Ratri teringat kepada Raden Mas Harya Surengpati, anak


muda trah bangsawan yang telah jatuh hati kepadanya.

Bibir tipis bak manggis karengat itu tersenyum manis begitu teringat
akan kekasihnya. Betapa segala perhatian, sanjungan dan pujian
selalu tertumpah kepadanya setiap kali mereka berdua bertemu.

Namun senyuman kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba


saja Ratri teringat saat pertemuan mereka yang terakhir. Jantung
Ratri pun rasa-rasanya berdetak semakin cepat.

“Apa sebenarnya maksud kakangmas Raden Surenpati itu?’ bertanya


Ratri dalam hati sambil mengingat-ingat kejadian beberapa saat yang
lalu.

71
Namun sampai sejauh ini Ratri belum dapat menarik sebuah
kesimpulan apapun atas kejadian itu.

Dalam pada itu di halaman belakang padepokan Sapta Dhahana, Ki


Waskita telah berhasil mengurangi tekanan lawannya. Dengan
berbekal ilmu semunya walaupun tidak sesempurna ilmu semu Ki
Rangga, namun dengan sangat cerdiknya Ki Waskita mampu
mengelabuhi lawannya walaupun hanya sesaat sesaat.

“Orang gilaa..!” tiba-tiba Putut Sambernyawa mengumpat sambil


meloncat mundur mengambil jarak.

“Orang tua!” geram Putut itu kemudian dengan gigi bergemeretakkan,


“Aku terpaksa mengeluarkan ilmu pamungkasku. Engkau akan
segera terpanggang hidup-hidup tanpa seorang pun yang akan
dapat menyelamatkanmu.”

Selesai berkata demikian, tanpa menghiraukan lawannya, Putut


Sambernyawa segera mengambil sesuatu dari balik bajunya.
Sekejap kemudian di kedua tangan Putut itu telah tergenggam
beberapa bumbung kecil.

Belum sempat Ki Waskita menebak apa yang akan dilakukan oleh


lawannya, dengan cepat lawannya itu membuka sumbat bumbung-
bumbung itu dan kemudian menuangkan isinya ke sekujur tubuhnya.
Ternyata bumbung-bumbung itu berisi serbuk berwarna hitam pekat.

Sejenak kemudian Putut itu tampak menyalakan sebuah titikan.


Dalam sekejap api pun telah berkobar membakar sekujur tubuhnya.
Ternyata serbuk itu terbuat dari semacam bahan yang sangat mudah
terbakar.

Ki Waskita terkejut bukan alang kepalang. Walaupun ayah Rudita itu


sudah mendengar keterangan dari Ki Jayaraga bahwa perguruan
Sapta Dhahana itu senang bermain-main dengan api. Namun tak
urung jantungnya berdetak semakin cepat.

“Ilmu Sapta Dhahana yang belum sempuran,” desis Ki Waskita dalam


hati, “Jika orang ini sudah menguasai ilmunya dengan sempurna, dia

72
tidak memerlukan bantuan apapun untuk mengetrapkan ilmu apinya
itu.”

Namun Ki Waskita tidak sempat berangan-angan terlampau jauh.


Lawannya terlihat sudah siap melontarkan serangannya.

Tanpa membuang waktu lagi. Ki Waskita segera melepas ikat


pinggangnya. Ternyata Ki Waskita mengenakan dua buah ikat
pinggang. Ikat pinggang yang pertama adalah ikat pinggang
kebanyakan yang lebar dan mempunyai beberapa kantong tempat
menyimpan sesuatu. Sedangkan ikat pinggang satunya yang
membelit di depan ikat pinggang yang lebar, sebuah ikat pinggang
yang kecil hanya selebar tiga jari. Ikat pinggang khusus terbuat dari
kulit yang sangat lentur dan bertimangkan besi baja pilihan.

Sejenak kemudian serangan pertama Putut Sambernyawa pun


meluncur dengan dahsyatnya. Seberkas api yang terlontar dari
telapak tangan kanannya melesat menerjang Ki Waskita.

Ki Waskita yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran


itu segera bergeser setapak ke samping. Sebelum lawannya sempat
mengirim serangan susulan, ikat pinggang di tangan kanan Ki
Waskita pun meluncur mematuk dada.

Demikianlah selanjutnya, kedua orang yang mempunyai ilmu ngedab-


edabi itu segera terlibat kembali dalam perkelahian yang sengit.

Dalam pada itu di halaman samping padepokan, Ki Bango Lamatan


bertempur dengan dahsyatnya melawan Ki Kebo Mengo. Kedua-
duanya telah merambah pada tataran tinggi ilmu mereka.

Tandang Ki Kebo Mengo ternyata telah mendebarkan jantung Ki


Bango Lamatan. Lawannya itu tidak hanya menyerang menggunakan
tangan dan kaki. Namun selebihnya Ki Kebo Mengo telah
menggunakan kepalanya juga untuk menyerang.

Ki Bango Lamatan yang pada awalnya tidak menyangka bahwa


lawan akan menggunakan kepala untuk menyerang, benar-benar
terkejut dan tidak siap. Ketika kedua tangan Ki Bango Lamatan sibuk

73
menangkis serangan lawannya yang datang bertubi-tubi, tiba-tiba
saja Ki Kebo Mengo yang melihat dada lawannya terbuka telah
membenturkan kepalanya ke dada lawan.

Akibatnya adalah sangat diluar dugaan. Ki Bangp Lamatan yang


sama sekali tidak pernah menduga serangan lawan seperti itu telah
terpental ke belakang beberapa langkah. Tubuhnya jatuh bergulingan
beberapa kali sebelum akhirnya dengan tangkas melenting berdiri.

Untunglah Ki Bango Lamatan mempunyai ketahanan tubuh yang luar


biasa. Namun tak urung dadanya terasa sesak dan nafasnya menjadi
agak tersumbat.

“Gila!” geram Ki Bango Lamatan kemudian dalam hati, “Orang ini


benar-benar berkelahi seperti seekor kerbau. Menyeruduk lawan
dengan kepalanya.”

Namun belum sempat Ki Bango Lamatan berangan-angan lebih jauh,


serangan lawan berikutnya telah menerjangnya.

Untuk beberpa saat Ki Bango Lamatan memang dibuat kerepotan


dengan serangan-serangan lawannya. Ki Kebo Mengo telah
menggunakan seluruh anggota tubuhnya untuk menyerang. Dua
tangan dan dua kaki serta sebuah kepala benar-benar telah membuat
Ki Bango Lamatan terdesak hebat.

“Tidak ada pilihan lain,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati sambil
berusaha mengambil jarak, “Tekanan ini sudah melampaui batas.
Terpaksa aku mengetrapkan ilmu simpananku.”

Memang kenyataannya beberapa serangan Ki Kebo Mengo berhasil


menyentuh tubuhnya, walaupun belum membahayakan
keselamatannya. Namun jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tidak
menutup kemungkinan Ki Bango Lamatan akan dapat mengalami
cidera yang membahayakan keselamatannya.

Berpikir sampai disitu, Ki Bango Lamatan sudah tidak dapat menunda


lagi. Ketika sekali lagi tanpa diduga kepala lawannya menanduk
pundaknya, tubuh Ki Bango Lamatan pun terdorong ke samping

74
beberapa langkah sambil terhuyung-huyung. Belum sempat dia
memperbaiki kedudukannya, serangan salah satu kaki lawannya
meluncur menghentak lambung.

Ki Bango Lamatan benar-benar dalam keadaan yang sulit. Demikian


tumit kaki lawannya menyentuh lambung, Ki Bango Lamatan kembali
terdorong beberapa langkah. Ketika lawannya kemudian
memburunya, tiba-tiba saja tubuh Ki Bango Lamatan hilang dari
pandangan bagaikan embun pagi yang menguap ketika tertimpa sinar
Matahari pagi.

Lawannya terkejut bukan buatan sehingga telah menghentikan


langkahnya.

“He?!” teriak Ki Kebo Mengo kemudian kebingungan.

Kesempatan ini ternyata telah dipergunakan oleh lawan sebaik-


baiknya. Belum sempat Ki Kebo Mengo menyadari apa yang sedang
terjadi terasa sebuah desir angin yang sangat deras menyambar
tengkuknya.

Terkejut Ki Kebo Mengo. Dengan cepat dia segera membungkukkan


badannya. Serangan lawan yang tidak kasat mata itu memang dapat
dihindarinya. Namun serangan berikutnya telah menghajar
punggungnya.

“Iblis, syetan, demit, gendruwoo..!” umpat Ki Kebo Mengo sambil


bergulingan ke depan beberapa kali.

Ki Kebo Mengo memang sengaja mengambil jarak dari lawannya


sejauh mungkin. Setelah dirasa cukup jauh, Ki kebo Mengo pun
segera melenting berdiri tegak dengan kedua kaki yang renggang.

Dengan cepat Ki Kebo Mengo segera memusatkan segenap nalar


dan budinya untuk mengetahui keberadaan lawan. Namun untuk
beberapa saat ki Kebo Mengo belum berhasil.

Di saat Ki Kebo Mengo masih belum mendapat titik terang tentang


keberadaan lawannya, tiba-tiba kembali sebuah desir angin yang
cukup deras menerpanya dari samping kiri.

75
Ki Kebo Mengo segera tanggap. Walaupun lawannya mampu
melenyapkan diri dari penglihatannya, namun desir angin yang
mendahului serangannya tidak dapat disembunyikan.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Ki Kebo Mengo pun


kemudian memutar tubuhnya sambil menyambut serangan lawan
dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Benturan yang terjadi ternyata sangat dahsyat. Getarannya telah


mampu mengguncang tempat itu. Daun-daun pun berguguran dari
pepohonan di sekitar arena pertempuran. Debu pun berhamburan
bagaikan diterjang angin lesus.

Ternyata kedua-duanya telah terlempar ke belakang. Demikian


pemusatan nalar dan budi Ki Bango Lamatan terganggu akibat
benturan itu, ujud wadagnya pun perlahan muncul kembali.

Sedangkan Ki Kebo Mengo yang sekali lagi terlempar ke belakang,


merasakan dadanya bagaikan rontok dan tulang-tulang iganya
berpatahan. Cepat-cepat dikerahkan tenaga cadangannya untuk
mengurangi nyeri di dalam dadanya.

“Luar biasa..!” seru Ki Kebo Mengo sambil menarik nafas dalam-


dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya, “Sebuah pameran
ilmu yang sudah sangat langka. Aku tahu aji halimunan sekarang
sudah hampir punah karena tidak ada yang ingin menekuninya lagi.
Aji halimunan memang memerlukan laku yang sangat berat.”

“Terima kasih Ki Sanak,” berkata Ki Bango Lamatan yang merasakan


dadanya bagaikan retak, “Aku tidak tahu ilmu apa yang Ki Kebo
Mengo tunjukkan. Namun sejujurnya aku mengakui, aku belum
pernah menjumpai seseorang yang bertempur sebagaimana Ki Kebo
Mengo lakukan. Menggunakan seluruh bagian tubuh untuk
menyerang, termasuk kepala.”

Ki Kebo Mengo tertawa bangga mendengar pujian lawannya.


Jawabnya kemudian, “Ketahuilah, ilmu yang sedang aku ungkapkan
ini aku beri nama aji mahesa kurda.”

76
Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya dalam-dalam. Rasa-
rasanya dia pernah mendengar nama aji itu. Namun dia belum
mengetahui jika salah satu kedahsyatan aji mahesa kurda itu terletak
pada penggunaan kepala sebagai senjata.

“Nah, sebut namamu sebelum aku membunuhmu!” berkata Ki Kebo


Mengo kemudian dengan penuh percaya diri, “Aku tidak peduli lagi
apakah Ki Sanak mau menggunakan ilmu petak umpet lagi atau ilmu
yang lain. Aku pasti dapat menghancurkannya.”

Berdesir dada Ki Bango Lamatan. Dia memang belum mengetrapkan


aji halimunan itu sampai ke puncak. Jika itu yang terjadi, dia yakin
lawannya tidak akan mampu lagi untuk mengetahui keberadaan
dirinya.

Dalam pada itu Ki Rangga yang bertempur melawan pemimpin


perguruan Sapta Dhahana di halaman depan benar-benar harus
mengerahkan kemampuannya untuk menghindari serangan lawan
yang datang beruntun tak henti-hentinya. Hampir tidak ada
kesempatan maupun celah bagi Ki Rangga untuk balas menyerang.

“Aku belum berani menjajagi panas api yang memancar dari tubuh
Kiai Damar Sasangka ini,” batin Ki Rangga sambil terus berloncatan
menghindari sambaran lidah api yang tak habis-habisnya, “Apakah
cambukku mampu bertahan menghadapi panasnya aji sapta dhahana
ini?”

Ki Rangga benar-benar diliputi oleh keragu-raguan untuk


menghentakkan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya. Jika
ujung cambuk itu tidak tahan mengatasi panas aji sapta dhahana,
tentu juntai cambuk itu akan hangus terbakar dan tentu saja lilitan
cambuk itu akan rusak.

Namun untuk mengetrapkan ilmu puncak cambuknya Ki Rangga


benar-benar tidak medapatkan kesempatan. Setiap kali dia berusaha
memutar cambuknya di atas kepala untuk mengungkapkan puncak
ilmu cambuknya, serangan lidah api yang menjulur dari kedua tangan
lawannya sudah mendahului meluncur ke arahnya.

77
Tidak ada jalan lain bagi ki Rangga selain mengungkapkan ilmu yang
dapat memecah perhatian lawan sehingga memberi kesempatan
bagainya untuk balas menyerang.

Demikianlah akhirnya, bersamaan dengan loncatan Ki Rangga


menghindari terjangan lidah api yang panas membara itu, lawannya
telah dikejutkan oleh ujud Ki Rangga yang meloncat ke tiga arah
sekaligus. Ki Rangga telah mengetrapkan aji kakang pembarep dan
adi wuragil.

“Anak iblis!” geram Kiai Damar Sasangka dari balik ujudnya yang
telah berubah menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan itu,
“Dari mana engkau dapatkan ilmu itu, he?”

Ki Rangga tidak menjawab. Dipusatkan segala nalar dan budinya


untuk mengetrapkan ilmu puncak cambuknya yang dipelajari dari
kitab warisan Empu Windujati.

Dalam pada itu, Raden Surengpati yang bertempur agak jauh dari
arena pertempuran Ki Rangga telah terkejut bukan alang kapalang.
Dengan cepat dia segera meloncat mengambil jarak. Dengan jantung
berdebaran serta keringat dingin yang membasahi punggung,
dipandanginya ketiga ujud Ki Rangga itu dari kejauhan.

“Gila!” geram Raden Surengpati dalam hati, “Sewaktu melawan Ki


Kebo Mengo, ujud semu Ki Rangga hanya satu, itu saja Ki Kebo
Mengo sudah mengalami kesulitan untuk menghadapinya. Apalagi
sekarang ini Ki Rangga justru telah menjadi tiga.”

Melihat lawannya seperti orang kebingungan memandangi ketiga


ujud Ki Rangga, Glagah Putih telah tersenyum geli. Dia sudah
mengetahui serba sedikit ilmu kakak sepupunya itu sehingga tidak
menjadi terlalu terkejut. Namun tetap saja ada rasa kekaguman
terhadap kakak sepupunya itu.

Berkata Glagah Putih kemudian, “Raden, apakah Raden sudah puas


mengagumi ilmu Ki Rangga?”

78
“Persetan!” geram Raden Surengpati sambil memutar tubuhnya
menghadap Glagah Putih kembali, “Aku yakin Kiai Damar Sasangka
pasti akan mampu mengatasinya.”

“Apakah Raden yakin?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Kenapa tidak? Kiai Damar Sasangka memiliki ilmu yang tak terukur.
Jangankan hanya melawan tiga orang, melawan pasukan segelar
sepapan pun Kiai Damar Sasangka pasti akan dapat mengatasinya.”

“Bagaimana kalau kita bertaruh?” sahut Glagah Putih kemudian.

“Apa maksudmu?” sergah Raden Surengpati

“Kita bertaruh. Aku yakin Ki Rangga akan keluar sebagai pemenang.”

“Tidak mungkin. Kiai Damar Sasangka lah yang akan keluar sebagai
pemenang!”

Glagah Putih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Baiklah kita


memegang jago kita masing-masing. Sekarang yang penting adalah
taruhannya.”

“Baik. Apa yang akan engkau pertaruhkan?”

Glagah Putih tersenyum menggoda. Jawabnya kemudian perlahan


namun sangat jelas di telinga Raden Surengpati, “Bagaimana kalau
putri Matesih itu?”

“Tutup mulutmu..!” bentak Raden Surengpati menggelegar sambil


tangannya diputar di atas kepala. Segera saja tercipta sebuah badai
kecil yang berputar dan kemudian meluncur melibas Glagah Putih.

Glagah Putih terkejut. Agaknya lawan telah meningkatkan ilmunya


selapis lebih tinggi lagi. Maka dengan tangkasnya Glagah Putih pun
meloncat mengindar sambil mempersiapkan ilmu yang dipelajarinya
dari Ki Jayaraga, aji sigar bumi.

Dalam pada itu, diam-diam Ki Rangga telah bersyukur dalam hati.


Agaknya lawan telah tertarik dengan aji kakang kawah dan adi
wuragil itu. Waktu yang sekejap itu telah dipergunakan sebaik-

79
baiknya oleh Ki Rangga untuk mempersiapkan puncak ilmu
cambuknya.

Melihat Ki Rangga tidak menjawab pertanyaannya, hantu api sebesar


gardu perondan itu tertawa. Katanya kemudian, “Tidak akan banyak
berarti bagiku. Ki Rangga akan berubah menjadi tiga, empat, sepuluh
atau seribu sekalipun, aku tidak akan gentar. Aku akan dengan
mudahnya menemukan ujud aslimu.”

Selesai berkata demikian, kembali hantu api itu menggerakkan


kedua tangannya. Dua lidah api yang membara pun pun meluncur
bagaikan tatit di udara menerjang ujud Ki Rangga yang asli.

Namun Ki Rangga sudah menduga sebelumnya. Maka dengan


tangkasnya ujud Ki Rangga yang asli meloncat menghindar.
Bersamaan dengan itu, kedua ujud Ki Rangga yang lain telah
memutar cambuknya di atas kepada beberapa kali. Sejenak
kemudian dengan hentakan sendal pancing, dari masing-masing
ujung cambuk itu meluncur selarik cahaya kebiru-biruan menerjang
lawannya.

Kiai Damar Sasangka terkejut. Dia sama sekali tidak menduga bahwa
kedua ujud semu Ki Rangga akan mampu melakukan serangan
sebagaimana ujud aslinya.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah umpatan yang sangat


kotor. Bersamaan dengan itu, gumpalan api sebesar gardu perondan
itu tersentak surut beberapa langkah ke belakang.

Ki Rangga terkejut bukan alang kepalang mendapatkan puncak


ilmunya yang terlontar dari ujung cambuk kedua ujud semunya itu
hanya membuat lawan surut beberapa langkah ke belakang. Ki
Rangga pun segera menyadari bahwa lawannya selain memiliki
ketahanan tubuh yang luar biasa, juga memiliki kekebalan yang tidak
sewajarnya. Kekebalan yang didapatkan dari laku yang
menghambakan diri kepada penguasa kegelapan.

Bersambung ke jilid 7

80

Anda mungkin juga menyukai