com/groups/Kolektorebook/
GEMBONG KARTASURA
KARYA:
Pak Sri Hadijojo
Gambar Luar dan & Dalam
H. Wibowo BA
JILID
1
(Empat Jilid Tamat)
Percetakan Penerbit
SINTA – RISKAN
Jl. Judonegaraan 22 Jogja
GEMBONG KARTASURA
JILID 1
BAGIAN I
Nah ...... , baiklah kita bertanding saja dahulu. Siapa yang menang
dalam main sodoran ini, ...... harus meneoba kekuatan sang
Surapati, setuju?”
“Baik aku terima tantanganmu Kartana.”
Kedua pemuda yang sudah memilih tandingan itu lalu
berkitaran sambil memainkan watang masing-masing. Lingkaran
yang dibuat makin menyempit, hingga jarak dua-tiga meter saja,
…… menanti kesempatan untuk membuka serangan, bila lawan
agak menduduki tempat kurang enak sedikit saja.
Saat demikian itulah yang paling bagus untuk dilihat oleh para
penonton. Pemuda tampan, berdandan serba menarik tetapi rapi dan
singsat praktis, memainkan watangnya yang menggetar ke segala
arah …… membaling pepat disamping kiri kanan atau diatas kepala
dengan gaya luwes, cekatan lagi kuat, hingg ada yang mengaung-
ngaung di udara menimbulkan angin pusaran menyebar lebar.
Lagu Sampak kian berirama menyesak. Saat yang dinantikan
dengan rasa panas dingin oleh para peserta watangan dan penonton
pada umumnya. Tergetarlah alun-alun Kartasura layaknya, karena
pekik-pekik nyaring yang dilanearkan para penyerang minta
perhatian sekaligus untuk menggetarkal lawannya. Dengan watang
terkempit erat yang ujung bantalannya tertuju kepada badan lawan,
penyerang itu menggerakkan kudanya, menerjang dengan gagah
berani. Gemerapyaklah suara gagang watang bertangkisan nyaring,
dengan akibat yang beraneka ragam.
Betapa ramainya, riuh dan gaduhnya pada waktu serang-
menyerang itu, sulitlah rasanya untuk dilukiskan dengan perkataan.
Gagang watang beradu disertai pekik-pekikan orangnya …… suara
gebahan dengan tameng, disusul dengan tusukan watang yang
mengenai dada lawan …… suara membekos orang terkena watang,
jatuh mental dari tunggangannya, gedebugan ditanah terjadi disana-
****
BAGlAN II
“Uwa Baginda pasti tidak yah, .... tetapi kalau kangmas dipati
Anom telah mengenakan mahkota kerajaan apakah jadinya nanti
dengan keluarga kita ini ?
“Hmm . . . sudahlah jangan mempersoalkan tentang kemudian
hari dulu. Biarlah nanti, dihadapi dengan NANTI saja .... paling
perlu adalah soal kita yang sekarang. 'Sebaiknya kau pergilah
ke.pada sahabat ayah, seorang tokoh sakti tiada tandingan diseluruh
jagad Mataram 'ini, sudah semasa mudanya. Kini orang itu sudah
mencucikan diri bertapa dilereng gunung Lawu, dengan gelar “Ajar
CEMARA TUNGGAL” jang juga dijuluki Si KUNYUK SAKTI.
Carilah tokoh itu hingga bertemu, yang pasti tidak mudah, karena
tidak mau atau belum mau digurui seseorang. Kalau kau dapat
diterima sebagai murid orang itu ..... aih, Purbaya, pastilah hidupmu
tidak akan mengecewakan. Biarlah kau mendapat gemblengan luar
biasa dari orang sakti itu, supaya padatlah bekalmu untuk
menghadapi yang kau sebut hari NANTI tadi ..... kau mengerti
Purbaya ?”
“Terima kasih Yah, anak mengerti beberapa bagian. Dengan
doa restu ayah, anak akan berbuat sebaik mungkin. Mudah-
mudahan ayahpun iidak akan kecewa karemanya”
“Anak, masih ada satu pertanyaan lagi, kau sudah kenal putri
raden-ajeng BRANGTI, atau yang biasanya disebut ratu ALIT.? -
Bagaimanapun hendak disembunyikan perasaannya, tetap saja
wajah pemuda tampan itu menjadi merah-padam karena agak malu.
Pemuda manakah dari kota ini yang tidak pemah berebut tempat
mengintai putri keraton .1ang aju manis bagaikan bidadari surga itu,
bila putri beseria teman-temannya putri-putri keraton lainnya,
sekali-sekali pesiar berkereta yang ditarik kuda empat, berkeliling
kota ... ? Maka dengan agak gagap denmas Purbaya menyawab : -
Ak ... ak ... aku sud, ... eh, sudah berkenalan dengan kangmbok
“Ia barus berguru lagi kira-kira tiga tahun lagi lamanya, supaya
jangan kepalang ajar Alit.”
“Betulkah itu dimas Purbaya?”
“Benar kangmbok, maka dengan ini sebaiknya aku minta diri,
untuk jaogka waktu tiga empat tahun.”
“Ih,mengapa demikian lama, dan sebenamya untuk apa berguru
lagi itu. Siapakah tandinganmu dalam kota Kartasura ini, apabila
paman Puger sendiri telah mengaku bukan sainganmu lagi? Berguru
sakti yang akhirnya hanya memperbesar selera berkelahi saja,
berperang-bertending dan membunuh sesama hidup …. apakah
baiknya?”
“Tidak hanya demikian kangmbok . . . . . lihatlah dunia kita ini,
barang siapa tidak mampu mempertahankan diri sendiri, dialah si-
konyol yang akan diganyang orang, dibunuh tanpa dapat membela.
Kemajuan dunia kita ini belum sampai ketaraf: manusia dapat
mencintai sesamanya seperti mencintai diri sendiri, Oleh karena itu
wajiblah kiranya, seseorang memiliki bekal yang cukup kuat, untuk
bertahan bila hendak diganyang orang lain. Berguru adalah baik,
karena mendapat petunjuk guru yang benar, asal guru kita benar-
benar pendita yang baik martabatnya dan luhur budinya. Ingatlah
pula: Semakin padat dan tinggi ilmu manusia yang baik, semakin
runduklah ia, semakin tinggi pula martabat dan peri-budinya.”
“Anak Alit ..... biarkanlah adikmu itu berguru dulu. Tidak
ingatkah kau akan peristiwa tadi pagi, yang pasti akan berekor
panjang? Maka untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,
sebaiknyalah adikmu pergi dulu dari kota ini. Mumpung kalian
masih sangat muda, tiga-empat tahun lagi bersabar pastilah justru
sangat baik, Tiga tahun lagi, kau pasti akan menjadi bidadari yang
mengguncangkan jagad Mataram.”
BAGIAN III
****
BAGIAN IV
****
BAGIAN V
Sudah lebih dari satu jam mereka mengadu tiasa, keras lawan
keras, gesit lawan cepat tipu lawan siasat, maka pertempuran itu
kian menjadi seru demgan kecepatan yang mengaburkan pandangan
mata. Keduanya berusaha keras untuk menindih kekuatan lawan,
namun hingga sekarang mereka masih berhautam seimbang.
Perbedaannya hanya nampak pada sikap masing-masing setelah
bertanding lama iiu, Denmas Purbaya kian menjadi bersemangat,
mantap gagah dan garang berseri-seri, sedang dipihak lain kian
nampak tenang, penuh semangat tetapi juga sangat berhati-hati dan
cermat menghemat tenaga dalam pertahanan gigih.
Hingga disitu sebenamya tahulah ajar Harga Belah, bahwa
pemuda ini sekurang-kurangnya dapat mengimbangi kekuatannya
sendiri, malahan masih mempunyai segi-segi keunggulan. Tetapi ia
belum lagi mau menghentikan percobaannya…... ingin benar ia
tahu hingga manakah pumjak kemampuan pemuda asuhan
sahabatnya, si Kunyuk Sakti itu, Masih ia memancing-mancing
serangan atau pertahanan denmas Purbaya.
Maka celakalah tebing-tebing jurang dimana mereka bertempur
itu, terpaksa mengalami perubahan tergempur di beberapa tepinya,
batu-batu gunung wadas-wadas yang terdapat di dinding relung itu,
banyak yang terbongkah dan pecah berhamburan karena pukulan-
pukulan istimewa. Lebih hebat lagi kerusakan dinding jurang waktu
denmas Purbaya mulai mengunakan jurus. BUMl GENJOT
GONJANG-GANJlNG jang tidak tanggung-tanggung kehebatannya
...... biarpun pemuda itu hanya mengunakan dua jurus saja, yaitu
jurus Bumi Genjot dan Bumi Gonjng Bagaikan hujan batu besar-
besar dari mulut jurang tadi yang melurug kebawab membawa serta
batang-batang pohon yang berada dijalanan.
Repotlah Kyai Harga-belah, menyelamatkan diri dari pukulan-
pukulan geledek pemuda itu, yang anginnya meajesakkan napasnya,
menindih tenaganya bagaikan menahan tubuhnya tugu-baja. Dengan
Nah, sekarang puaslah hatiku .... dan, jaaah .....mana dapat murid-
muridku merendengi pemuda ini. Eh, Kunyuk-tua, coba
perkenankanlah aku kepadanya!”
“Aih, pikun .... kau, benar sudah menjadi amat tua, sampai
bertempur hampir copot semua anggota badanmu, kamu belum
mengenal lawan, bagaimana sih kamu ini? Murid-tunggalku itu
bemama denmas Purbaya, putera Pangeran Puger, yang menjadi
sahabatku. Sebelum denmas berguru kepadaku, sudah mendapat
dasar kuat sekali dari ayahandnya sendiri ... asuhanku hanya bersifat
tambahan dan memperkokoh dasaran saja.”
“Bagaimana kau sudah berhasil, Kunyuk-tua, baguslah!”
Purbaya hanya tersenyum saja seraya membongkok hormat
kepada bekas lawannya, yang temyata sahabat karib gurunya itu.
Berkatalah ajar Hadisuksma: Terima-kasih denmas ..... kau
benar-benar hebat. Tidak lama lagi, denmaslah jago nomor satu
diantara gembong-gembong para sakti di bawah bentangan langit
ini. Sertakanlah kebijaksanaan dalam segala tindakanmu nanti,
pastilah peri kemanusiaan mendapat manfaat besar dari tokoh
sepertimu ini.”
“Terima kasih alas petunjukmu paman Hadisuksma!”
“Heii, Kunyuk-tua .... sudahkah muridmu itu mempunyai nama
julukan? Apakah gerangan yang pantas sekali, baginya. yang
semuda ini, tetapi sudah memiliki kemampuan yang sudah sulit
diukur lagi itu .... Bila saja sudah agak tua dikit, PANEMBAHAN
lah gelarnya!”
“Eh, jangan sekarang disebut begitu …… nanti bila usianya
sudah 40 kesana, baru boleh. Sebaiknya sekarang memakai gelar
PUTUT dulu, julukannya PUNUNG, singkatan dari EMPU (ahli /
nenek-mojang kesaktian) dan GUNUNG (dari gunung dan bukit
bukit) Jadi utuhnya gelar muridku sejak hari ini adalah: PUTUT
PUNUNG ..... yang kemudian setelah berumur 40 tahun menjadi
PANEMBAHAN-PUNUNG..”
“Bagus-bagus julukan itu .... aku menjadi saksinya.
Nah, denmas .... jaga baik-baiklah nama besarmu yang kau
terima dari monyet·monyet pemunggu-gunuug seperti kita-kita,
supaja jangan temoda. nama pemberian kami ini.
“Terima kasih paman berdua, demi kehormatan paman berdua,
akan kujaga nama itu baik-baik, legakanlah hatimu!”
Kini majulah ajar Cemara Tunggal dengan wayah berkerut
angker: “Muridku yang baik, sekali paman memesan ...... apapun
yang terjadi, baik atau buruk dalam pemilaianmu …… itulah
kehendak Maha Agung, yang pasti paling baik …… baik, bagi
semua orang, juga baik untuk denmas. Mungkin manusia tidak
segera dapat mengerti kehendak Tuhan itu. Justru tidak segera
mengerti itulah maka orang t1dak boleh lekas berputus asa, atau
memikir yang tidak-tidak. Hanya kesabaran dan ketahanan hatilah
yang dapat mendekatkan kita kepada kebenaran sewajamya!”
“Terima kasih paman, semoga aku tidak mengecewakan
harapanmu. Sekarang, restuilah aku melanjutkan perjalanan kekota,
menemui keluargaku!” Menyembahlah ia kepada gurunya,
kemudian membongkok hormat kepada ajar Harga Belah terus
melesal pergi dari depan mereka, meluncur pesat menuruni leremg
gunung
Masih terdengar gumam ajar Hadisuksma lirih.
“Aih …... semuda ini, sesakti .itu ...bila sampai bertindak
menyeleweng, apakah jadinya dunia ini ..... siapakah tandinganya.
Kunyuk-tua, hal itu banyak sangkut·pautnya dengan gemblengan
serta asuhanmu.”
****
BAGIAN VI
kaki kirinya, Baru saja pangeran itu datang dari keraton, menghadap
raja untuk merundngkan soal-soal kesulitan negara dikamar
Baginda, sekaligus untuk melihat keadaan geringnya.
Waktu itu sudah Jewat tengah malam .... malam seram tanpa
bulan, malam yang hanya diterangi oleh bintang-bintang melulu
…… Pangeran Puger nampak dari pintu samping, terus berjalan
lambat menuju kekebun bunga dibelakang dalem ka-Pugeran, yang
meliputi setemgah halaman bagian belakang Kebun bunga yang
cukup luas, itulah tempat kesayangan sang pangeran diwaktu
menanggung duka. Bau harum bunga-bungaan selalu membuat
tenang rasa hatinya, menjernihkan pikirannya. Biasanya ia lalu
terhibur sebagian dari rasa beratnya itu.
Terdengar guman lirihnya waktu sudah berada ditemgah kebun
tersebut: “Hmmm .... keadaan negara kian menjadi ruwed-kaka-
prabu entah dapat sembuh dari geringnya atau tidak-sudah lebih dari
satu bulan beliau tidak dapat menghadiri pasewakan, sedang
pangeran dipati-anom makin suka menuruti kehendak sendirr, yang
selalu kurang bijaksana. Aih-aih, Mararam …... apakah yang akan
terjadi atas dirimu diwakru dekat ini? Aku harus herusaha sekuat
renaga, mencari obat yang dapat menyembuhkan kaka prabu dari
lumpuh kaki kirinya ….. kemana aku hendak mencarinya itu.
Cukup hebatlah penderitaan dunia ini. Tambahan pula nasib buruk
anak ajeng Alit yang tinggal menunggu saat kematiannya saja
sayang seribu sayang mati dalam usia muda karena lebih suka mati
daripada menuruti kehendak kakaknya Dipati Anom yang
mengharuskan denajeng Alit bersuamikan salah satu dari dipati
manca-praja dengan dalih kepentingan negara……..
Hemm… benar-benar sulit hidup di dunia ini. bagaimanakah sikap
Purbaya nanti setelah mendengar dan mengerti keadaan yang
sebenamya… Iyaaa ……. Apa jadinya kemudian terserah padamu
ya Tuhan……tidak sesuatu akan terjadi diluar kehendakMu.
yang cepat lagi dahsyat namun, semua pukulan sakti itu lenyap-
musnah tidak berbekas. Seperti masuk kedalam gaib bila hampir
menyentuh sasarannya.
Malahan ajian Guntur geni yang panas membara, ampuh luar
biasa itu, juga amblas tanpa guna terhadap lawan ini.
Gerakan-sakti apakah yang dipergunakan tamu malam ini.
Nampaknya ia hanya menggeraakan tangannya membuat lingkaran-
lingkaran besar-kecil, ..... lurus miring-condong-disebelah badannya
yang akan terkena pukulan saja, kemu udian punahlah segala
macam pukulan dibuatnya, Benar-benar pangeran Puger memjadi
kagum sekali mengalami kenyaraan ini, mau tidak mau ia menjadi
kuwatir .... lebih-lebih karena musuhnya hingga demikian jauh
belum hendak melancarkan pukulan pembalasan, Adakah sikapnya
itu berupa tantangan untuk mempergunakan pusaka Baiklah kalau
demikian. Baru pangeran itu meraba ukiran kerisnya, kjai
Gringsing, terdengarlah suara lawannya :
“Ayah, .... aku, Purbaya menyembahmu.” Berlututlah tokoh
muda itu didepan ayahnya, memdekap lutut orang serta dicimnnya
wanti-wanti
Haru dan kekaguman, meliputi hati pangeran Puger, maka
selintasan kilat ia tak sanggup berkata sepatah juapun.
Bagaimana ia tidak menjadi kagum dibuatnya, karena orang
dengan kemampuan tingkatannya saja tidak lagi mampu melihat
bagaimana Purbaya bergerak, hingga tahu-tahu orangnya sudah
memyelonong maju mendekap lutumya. Misalkan yang
menyelonong secepat kilat itu musuh yang hendak membuat celaka
orang, apakah jadinya dengan lawan orang itu?
Jang dapat dilakukan oleh pangeuan tua itu baru memgelus-elus
rambut putera kesyangannya, yag mengombak-ombak disekitar
****
BAGIAN VII
(Bersambung jilid 2)
GEMBONG KARTASURA
JILID 2
BAGIAN I
****
BAGIAN II
“Dimana ada ilmu yang sulit dicapai orang yang benar benar
hendak memilikinya. Jika orang tidak mernyapai maksudnya itu,
pastilah kesalahan orang itu sendiri, dalam memenuhi sarat-sarat
nya yang tertentu.”
“Apakah saratnya itu?”-
“Sarat yang umum sekali tuan, ialah: l. temen … 2. mantep ......
3. berani menjalankan latihannya dengan tekun…… 4. tidak mudah
menyeleweng karena pengaruh lain. Itulah sarat mutlak, tentang tata
nadi dan otot-otoi, mudah dihafal. Tetapi untuk memiliki tenaga
saktinya yang dibutuhkan dalam ilmu itulah yang menjadi agak sulit
dan rumit!”
“Ya-ya .... itulah soalnya, harus mencari guru berwenang
mengajarkannya, dan setelah guru didapat, itulah yang menjadi
halangan besar. Terbanglah segala maksud baik yang diinginkan
orang.”
Asjik benar orang-orang bertukar pikiran tentang segala ilmu
dan kesaktian dijaman itu. Maka banyak yang terbuka matanya tahu
benar bahwa pemuda awut-awutan ini, seorang digjaya
mandraguna, yang kesakiiannya tak mungkin di raba-raba lagi luas
dan tinggi dalamnya. Dialah orang serba tahu dan mumpuni pantas
disebut empu kesaktian dari jamannya jaman Kartasura awal. yang
mengagumkan itu, karena orangnya masih semuda ini, baru lepas
urnur 24 tahun. Calon aulikah pemuda gagah perkasa ini?
Diantara waris yang ikut menyampaikan layon kemakam agung
Imagiri, ada seorang pemuda yang ganteng luar biasa malahan
hampir dapat dikatakan cantik, hitam-hitam manis seperti gadis.
Nampalmja pemuda bagus itu sangat mengagumi Putut Punung.
Dengan mata sayu jarang berkedip, pemuda pesolek, dandanannya
selalu rapi dan bersih tadi terus memanndang kepada penolong sakti
itu, biar pemudanya berdandan awut-awutan juga. Nama pemuda itu
lebih. Namun nyatanya sejak lepas Isja tadi sudah ada orang yang
duduk bersimpuh dimuka makam ratu Alit, dengan wajah duka,
pilu-saju. Itu lah pemuda pesolek yang ganteng langsing, peserta
iringan-layon dalam kelompok waris. Ia tidak ikut kembali kekota.
Entah masih ada urusan yang bagaimana. Nampaknya ia tidak
gentar duduk sendirian dimakam sepi itu. Kadang-kadang ia
menoleh kebelakang sambil mempertajam pendengaran. Ternyata
dalam sikapnya hu, bahwa ia mengharapkan sesuatu yang tnungkin.
segera terjadi.
Berbisiklah pemuda itu kepada gundukan tanah, kubnran ajeng
Alit, seolah-olah berkata kepada roh orang yang telah meninggal.-
Kangmbok-ayu kau menitahkan kepada bekas, kekasihmu, denmas
Purbaya bawalah dia kemari, karena aku belum mengenal orangnya.
Mungkinkah denmas Purbaya itu sedang menyamar sebagai
pemuda awut-awutan yang sangat sakti, penolong iringanmu, waktu
disergap berandal gunung Sewu minggu yang lalu itu. Itulah
terkaanku belaka kangmbok …. maka aku masib ada disini, karena
ingin sekali membuktikan rabaanku itu.
Legakan hatimu roh yang tersunyi dari segala asap didunia ini,
aku pasti akan mernenuhi pesanmu, menyampaikan tiitip-titip
perkataanmu itu, hanya sangat sulitlah bagiku untuk menjadi
gantimu, mengarnbil alih kekasih itu darirnu. Bukankah Ind cinta
kasih iru tergantung k epa da orang bersangkutan sendiri. Kedua
pihak harus setuju, karena paduan hatinya seudiri-sendiri, bukan ....
Nah, bagaimana bila dia atau aku, atau kedua-duanya tidak dapat
bertemu hati? Maaf, kangmbok ... dalam hal pesan bagian terakhir
itu, serahkan sajalah kepada kehendak Tuhan, sulit bagis u untuk
mengatakannya kepada bekas kekasihmu itu, Aku hanya dapat
mengucap terima kasih banyak-banyak kepadarnu yang berrnaksud
baik sekali terhadapku dan terhadap orangmu.
... haruskah aku mengikuti saja jejakmu ini …. mati dalam usia
muda tanpa perjuangan yang bernilai dimasarakat …. ?”
“Tidak, tidak boleh kau mengikuti jejak kangmbok Alit jang
sudah terlanjur mati konyol, hanya karena Putri raja, yang sempit
sekali tempat bergeraknya.” Tiba·tiba terdengar orani berkata
demikian sebagai jawaban roh Alit.
Pasti saja Putut Punung terkejut sekali, karena tidak mengira
ada orang lain kecuali ia sendiri dimakam itu. Waktu ia meluruska-n
sikap duduknya, matanya langsung berpandangan dengan sepasang
mata yang bagus sekali bentuknya. Orang itu ternyata sudah duduk
tiiseberang gundukan kuburan baru tadi, berhadap-hadapan dengan
Punung, hanya berjarak sepanjang nisan·tanah Alit, entah kapan
datangnya. Mungkin waktu Punung sedang menangis dengan kepala
ditundukan tadi.
“Ah-kata pemuda awut-awutan itu mengenal orang.”
Kaulah pemuda ganteng dalam rombongan kerabat mendiaag
ajeng Alit, bukan? Mengapa belum kembali kekota seperti jang lain
... apakah hubunganmu dengan mendiang ratu Alit?”
“Saudara Punung …… ketahuilah, aku ini masih terhitung
saudara-sepupunya, dari pihak ibu. Mas-ayu Wida1ari, adalah
kakak perempuan ayahku, bekel desa Samakaton. Bila aku belum
pulang kekota, itulah karena aku membawa pesan mbokayu
denajeng Alit, untuk disampaikan kepada bekas kekasihnya, yang
bernama Denmas Purbaya. Maka dimana aku akan mencarinya,
kecuali menantikan kedatangannya di1ini, ia belum mau kembali
kekota …… betulkah itu?”
“Tidak salah jalan pemikiranmu saudara. Pastilah yang kau
nanti-nantikan itu akan datang kemari, mengunjungi makam ini.”
“Betulkah ia datang sekaraug ini?”
“Maksudmu . . . . . kawan?”
“Bukankah aku sekarang sudah berhadap-hadapan dengan
denmas Purbaya sendiri, biarpun ia mengaku bernama Putut Punung
segala?”
“Jadi saudara tidak meragukan keadaan saya yang sekarang
macam begini?”
“Hmm …… orang lain mungkin meragukannya, tetapi aku
tidak. Sejak pertempuran anda dengan kelompok brandal gunung
Sewu, sebenarnya aku sudah mulai meraba-raba kekasih kangmbok
Alit, tinggal membuktikan saja. Dan kini bukti itu sudah ada, sikap
dan segala pertanyaan adalah yang menjelaskan segala sesuatunya.”
“Ya .... demikianlah kiranya, saudara mengatakan sendiri
dengan yakin. Baiklah, aku mengaku ... Akulah Purbaya adapun
Putut Punung, adalah julukanku yang sejak sekarang kupakai
sebagai pengganti namaku semula, yang sudah kurelakan dipakai
adikku. Maka dengan itu, hilanglah Purbaya yang sekarang ini,
Putut Punung sirakyat jembel, abdi rakyat jelata yang benar dan
adil.”
“O, demikianlah ketetapanmu. Bagiku malahan lebih leluasa
lagi berurusan dan bergaul dengan anda daripada dengan denmas
Purbaya, sibangsawan tinggi. Kata pemuda pesolek itu dengan
tersenyum-senyum manis.
“Siapakah namamu saudara-kecil? Sejak aku melihatmu dalam
rombongan-duka itu, aku sudah merasa tertarik kepadamu karena
bentuk mata dan bibirmu sangat mirip ajeng Alit.-.
“Namaku Suwarna ….. sayang bukan?-
****
BAGIAN III
Hmm, sayang kami bukan orang liar seperti tuduhanmu, maka kami
tidak dapat berbuat yang tidak senonoh, namun lubang hidung
kalian harus dikili-kili dulu, supaya kemudian dapat berhati-hati
sedikit dalam segala tindakanmu.”
“Adik cilik, jangan mencelakai orang. Mari kita tinggalkan
saja mereka itu, supaya menginsjafi kesalah-fahamannya dulu.”
Ujar pemuda gagah itu sarnbil meraih lengan ternan hendak diajak
pergi.
Narnpak terkejutlah kedua pernuda itu tiiggi. Lengan teman
yang baru dipegangnya, segera dilepaskan lagi, karena Punung
mengira salah mernegang orang. Lengan yang dipegang itu, berkulit
halus lumer, kijal tetapi lunak seperti lengan wanita. Terpaksa ia
melirik kearah ternan, unruk mejakinkan bahwa yang dipegang itu,
adalah teman prija.
Sudah benar, pernuda Suwarna-lah yang dipegang tadi ......
maka tenteramlah hatinya, Narnun hal itu pasti saja menarnbah
pikiran Punung yang masih ruwed karena duka-nya ...... karena
lapat-lapat ia melihat lirikan ratu Alit dalam kerlingan mata ternan
pria ini. Mengapa dapat dernikian? “Ah .... masih saja aku dimabuk
bayangan roh kangmbok Alit ….. liai, nasibku yang belum mau
baik.” demikian pikir pernuda itu.
Sentuhan Putut Punung tadi, bagi hagus Suwarna dirasakan
sebagai sentuhan barang yang rengah membara maka sangat
mengejurkannya, sekaligus mendebarkan jantungnya lebih keras,
Otomatis lengan itu digerakan sedikit, bebaslah ia, juga karena lima
jari yang memegangnya megar seketika setelah bersenruhan ....
mustahil ada orang dapat membebaskan diri dari genggaman
pemuda sakti ini, tanpa dikehendakinya. Berkatalah bagus Suwarna
dengan suara. agak gugup: “Ih, …. kak Punung, kau mau apa ya?”
jauh dari yang lain lainnya, mungkin aku hanya dapat menyamai
kakak jaka BLUWO, sibisu.”
“Aih .... aku pernah bertempur dengan dia, kakak se
perguruanmu itu, hampir saja aku roboh ditangannya.”
“Hajaaa . . . tidak mungkin, kau dengan kekuatanmu itu dapat
dirobohkan oleh siapapun. Aku sebenarnya sangat kagum, mengapa
kau dengan sekali meraih saja dapat menangkap tanganku,
sekalipun aku bergerak dengan jurus Palwaranu juga.”
“Mengapa kau ini terus memujiku dik ... sedang menjual obat
manyurkah adik ini …. atau sedang membuat pengumuman tentang
kakakmu yang awut-awutan ini untuk dilihat orang-orang banyak.
Ha ha, adik …. kita ini sudah menyeleweng dari pembicaraan kita.
Aku sekarang bertanya, kemanakah adik hendak pergi? Adakah
tujuan tertentu bagi adik?”
“Akupun akan pergi kelereng Lawu, kedesa Sarnakaton, tempat
ajahku ... bekel didesa itu. Tetapi aku harus kekota dulu, untuk
menghibur uwakku dan memberi tahukan kepada beliau segala-
galanya tentang penguburan kangmbok Alit. Kak Punung, biarpun
kita nanti terpaksa berpisah, namun hingga beberapa jauh, kita bisa
berjalan bersama-sama, bukan?”
“Pasti dik . . . sampai disekitar Tembayat.”
“Ada perlu disana kak?”
“Tidak, hanya untuk mengawani adik saja.”
Berujarlah bagus Suwarna dengan suara sungguh -sungguh.
“Sukakah kak Punung selalu berdekatan dengan adikmu ini?”
“Mengapa tidak adik, asal adik membawaku kelingkungan
bangsawan lagi saja, pastilah bukan soal aku selalu bersama dengan
adik.
“Kau lupa kak Punung, bahwa aku ini bukan bangsawan. Kalau
aku kedalem keraden ajon di kraton itu karena mengunjungi
uwakku den aju Widasari, ibu ratu Alit alrnarhum, Ajahku hanya
seorang Bekel saja didesa Samakaton, daerah Matesih. Aku juga
kurang suka bergerak didalam lingkungan para ningrar itu. Paling
banter aku hanya harus melajani mereka saja. Maka pasti aku lebih
suka bergaul dengan sesamaku sendiri yang pasti lebih bebas dan
leluasa.
“Lamakah adik nanti di Kartasura itu?”
“Entahlah kak , mudah mudahan saja tidak usah terlalu lama,
aku diperkenankan kembali kedesa, Maukah kemudian kakak
mengunjungi aku dirumah orang tuaku didesa Samakaton iiu?”
“Ja, aku akan mencarimu didesa orang tuamu, setelah aku dapat
menyelesaikan latihanku nanti . . . kira-kira satu tahun lagi.
“Baiklah kak, waktu itu kita pedomani, Sejak kira berpisah
nanti atau kapan saja, dalam jangka setahun kita barus hertemu Jagi
tanpa sarat-saratan, selesai atau tidaknya berlatih ilmu segala,
setuju?”
“Boleh-boleh ..... demikianpun baik juga.”
Dengan berornong-omong dernikian datanglah mereka disuatu
perdesan yang cukup besar. Disitutah mereka hendak beristirahat
menantikan sang pagi. Mudah diketernukan sebuah langgar, dirnana
mereka dapat leluasa merebahkan diri. Bagus Suwarna terus saja
masuk kedalam langgar itu, lalu merebahkan diri pada alas tikar
pandan seteuaah bedol. Berkatalah ia kepada temannya: “Kak
Punung, kau terpaksa mengalah, disini hanya ada tikar bodol
sempit, tidak bisa untuk beristirahat orang dua .... maka kau harus
menerima nasib duduk diluar saja, ya?”
tidak mau alm harus menjauhi air dahulu. Pergi sendirilah kak, aku
menantimu disini saja!”
“O, begitu ..... baiklah, kau tinggallah disini dulu aku akan
segera datang. Tak usah berenang saja. Maka pergi sendirilah Putut
Punung, diiringi pandangan wajah menyengir setan dari Suwarna,
sambil mengguman “Asem …. hampir celakalah aku ....!”
****
BAGIAN IV
“Akulah iblis hina itu…. kau mau berbuat apa terhadap setan alas
ini. tahu-tahu ada tubuh manusia gagah perkasa menyelinap masuk
****
BAGIAN V
Sekali lagi sang malamlah yang menjadi soa yang rumit dan
gawat bagi bagus Suwarna, yang sebenarnya seorang gadis molek
remaja bernama Sasanti niken Sawarni atau Suwarni nama yang
“Heee ...... kak Punung, masakan masih mau tidur bgi. Hari
sudah siang, malu ah..... orang semua telah sibuk, kamu masih sibuk
menutup mata saja. Bungunlah!”
“Apakah matahari sudah tinggi?” Punung balik bertanya
kepada temannya, ' '
“Bukalah matamu itu .... masakan membuka mata sebentar
saja merasa rugi, uwah-uwah …. rajin benar kakak ini.” jawab
teman itu,
“Hayaaa, kedahuluan matahari …… tapi tak apalah untuk kali
ini, bukansah kira ini ramu-tamu terhorrnat, yang dibenarkan
berbuat lain dari pada yang lain. Mari kita mandi saja dahulu!”
dengan sengaja ia menguijapkan permintaannya yang terakhir itu
tanpa memandang langsung kepada orangnya, namun krlasan
lirikan sudut matanya justru sangat tajam.
Maka tahulah ia bagaimana warna kulit hitam manis itu
menjadi lebih merah pada kedua belah pipinya yang halus.
Terdengar jawabannya sebagai terlontar dari mulut mungil itu,
“Uila ... sudah siang begini mengajak mandi kesungai …. pergilah
sendiri kalau tidak malu dilihat orang banyak!”
“Apa salahnya orang melihat orang …. juga, masakan kilta
tidak dapat mencari tempat yang aman tidak dilalui orang. Apakah
kau sudah mandi dahuluan? Atau …. masihkah demammu kernarin-
dulu itu?”
“Sudalah! jangan banyak bicara kak, mau mandi .. mandilah
sendiri, tak usah mernusingkan orang lain! Seperti penakut saja
kakak ini, tidur minta ditemani, mandi juga minta kawan …. apa sih
yang ditakuti itu?”
“Hmm ... memang aku ini sebenarnya penakut ulung, ada-ada
saja yang kutakuti .... Kadang kadang bayanganku sendiri, tetapi
Apakah yang sedang kita lakukan ini ... mengapa tidak lekas
berceritera untuk melunasi janji.
“Baik-baik, aku segera bicara .... Dalam mimpi itu aku
kedatangan putri Alit. Nasehat yang diberikan kepadaku dalam
mimpi itu, mengapa sarna benar dengan nasehat jang adik ucapkan
tadi pagi. Tidakkah itu sangat ajaib. Perbedaannya hanya pada
bagian-bagian terakhir, jakni kangmbok Alit mengatakan, bahwa
didunia ini ada seorang dara yang serupa benar dengan dia, dan
gadis itu adalah saudara sepupunya sendiri yang harus kucari dan
kuanggap sebagai ganti kangmbok Alit, bila gadis itu dapat
menerima aku sebagai teman hidup. Oleh karena itulah aku
mengatakan, masih ada harapan bagiku tadi pagi. Pastilah gadis iru
akan kucari kernudian, setelah aku selesai dengan latihanku
terakhir.
“Apakah nama dan rumah gadis itu juga disebut oleh
kangmbok Alit?” tanya Suwarna dengan mata penuh selidik.
“Tidak, tetapi kangmbok bilang, bahwa dara itu pasti tidak
terlampau jauh dariku, Bagiku itulah bukan yang sulit, namun
adanya putri yang mirip sekali wujud kangmbok Alit cukuplah
bagiku untuk menghidupkan sernangat juangku kembali, Akan
kucari dia hingga dapat kutemukan” jawab Punung tanpa melihat
kepada orangnya secara langsung.
“Kau kira mudah bukan, mencari orang segelintir diantara
ribuan manusia ini. Kemana hendak kau cari gadis itu?”
“Aku sudah bilang tadi, itupun bukan soal. Apa sih sulitnya
mencari barang atau orang yang sudah pasti adanya! ….. Sekalipun
bersembunyi dibalik bumi bila dicari sungguh-sungguh masakan
tidak dapat diketemukan.”
****
BAGIAN VI
akan tindakan sang pangeran dipati Anom, caIon pengganti raja itu.
Siapa pula berani menentang pendapat putra mahkota ini ....
Bukankah itu sama artinya dengan mencalonkan lehernya berurusan
dengan tali ditiang gantungan.
Walaupun ketegangan itu tidak lama, namun bagi para hadirin
dirasakan sebagal siksaan batin yang cukup lama mengganggu saraf
mereka. Orang merasakan benar akan kesulitan Baginda raja .....
pastilah Sunan tidak akan menegur putra mahkota, untuk menjaga
perasaan sang putra, tetapi sangatlah janggal untuk dibenarkannya.
Pangeran Puger adalah adik Baginda yang tertua dan paling
dihormati oleh beliau, juga disegani. Pangeran Puger sendiri tahu
tentang hal itu, maka pastilah ia mengerti akan kesulitan kakaknya.
Berda1ang sembahlah gembong terbesar negara itu, dengan
suara datar tiada berkesan.
“Kakak Prabu .... perkenankanlah aku menghadapi kjai Puspa
Bandang.”
Nampak Sri Sunan bernafas lega, tetapi segera pula terbayang
kekuatiran diwajah agung itu, sabdanya: Yajimas Puger ……
baiklah aku perkenankan kau menghadapi bahaya, bawalah kjai
Pleret pusaka keraton paling ampuh itu.”
“Tidak usah kangmas, ingin adik Bagiuda ini mencoba
tangannya dulu beserta pusaka keris kjai Gringsing.”
Berkatalah kini pangeran Harja MATARAM, adik yang
kedua Baginda, “Biarlah aku yang membawa kjai Pleret kaka Pra
bu, umuk mendampingi kangmas pangeran Puger dari jauh. Bila
ternyata kjai Gringsing belum mencukupi dalam penundukan Puspa
Bandang, perkenankanlah aku menolong kakangmas.
“Bagus harja Mataram bawalah tombak keramat itu.
Dampingilah kakakmu dari jauh dulu!”
****
BAGIAN VII
****
manis, lebih rjantik dipersada bumi Mataram ini, dari pada putrimu
yang lemah janyi itu!”
“Bukankah den ...... eh, adik mengalami sendiri kegetiran
hidup muda, dalam soal demikian?”
“Ya, memang akupun pernah merasakannya, Tetapi putri itu
kukuh sekali dalam janyinya, hingga lebih baik mati daripada
ingkar ubayanya. Sekalipun demikian, dia masih memberi nasihat
kepadaku, unruk tidak bercupat pandangan.
Justru karena anjurannyalah terbuka pengertianku,
bahwasannya didunia ini masih banyak sekali bentuk-bentuk
keadaan jaag bernilai tinggi dari soal wanita dan asmara melulu.
Pengabdian kepada TUHAN lah bentuk yang tertinggi itu, bukan.
Tetapi pada hekekatnya, Tuhan lah bentuk pengabdian janig paling
sempurna, Dia-lah Maha Pengabdian. Siapakah yang memberi
hidup ...... siapakah yang memeliharanya ...... siapakah yang
memberi, memberi dan terus menerus memberi itu? Maka pastilah
Tuhan tidak membutuhkan pengabdian secara langsung terhadap-
Nya, karena Tuhan tidak berwujud tidak bertempat, berarah,
berjaman dan bermakam …….. tidak segala-galanya, hingga
penyernbahan kepada-Nya sering saja salah kiblat.
Bersambung ke Jilid 3
GEMBONG KARTASURA
JILID 3
BAGIAN I
kau dapat, tetapi kau akan kehilangan gaja sarna sekali alias,
lumpuh iiu.
Aturlah demikian seterusnya, pagi dan sore, kau berlatih silat
tangan kosong dan pedang, siang kau mencari makananrnu, akar-
akaran dan buah-buahan liar, atau berburu untuk mendapat
persediaan daging, Malamnya kau bertekun semadi membangkit
gaja sakti sampai kira-kira tengah malam, kemudian kau harus
berietlrahat.
Sejak besok, kau akan kuringgalkan di gua ini untuk waktu
enam bulan atau lebih, guna merenungi pelajaranmu semuanya.
Pesanku jangan tergesa-gesa hendak mencapai kemajuan dengan
mengorbankan kesehatanrnu. llmu yang ditekuni dengan sabar
pastilah lebih mendalam dari ilmu yang dipelajari secara
serampangan.
Kau jangan sekali-sekali mencari aku kepuncak sana, sebelum
kau dapat mempergunakan gaya saktimu, dengan leluasa sekali
supaya jangan mendapat kecelakaan karena kabut beracun yang
disebut ampuhan.”
“Baik kyai, (demikiaulah ia menyebut Putut Punung
sekarang) pasti aku dapat mematuhi pesan kyai, tegakanlah aku.
Maka dengan hati lega dan gembira karena asuhannya
nampak berhasil baik, pergilah Punung meoeruskan perjalanannya
untuk mencari pedang Janur Naga Sura.
Dengan enaknya Punung mendaki tebing·tebing yang terjal
Sungai-sunga1 yang curam mengerikan dilon1jatinya tanpa was-
was sedikitpun.
Semua itu bagi Punung merupakan suatu tamasya yang indah.
Bagi orang biasa perjalanan itu pastilah merupakan suatu perjalanan
yang menakutkan yang sangat ditakuti orang dilereng gunung itu
****
BAGIAN II
****
****
BAGIAN III
“Kau serahkan saja kerismu, atau kau boleh keluar dari ikatan
keluarga Puger!”
“Ambillah Yah, inilah kerisku …. Setengah jiwaku aku
persembahkan kepadamu yah…”
“Bagus .... hayo, kalian juga Dipanegara, Sasangka dan
Sudama tidak ada satu keturunan Puger yang bersikap penakut ...
Ke-empat pusaka itu lalu diserahkan kepada kiturnenggung
Sindhupraja, untuk disimpan dalam peti penjagaan.
Dengan sendirinya sirnalah ketegangan yang timbul karena
keberanian ke-empat putra gembong Kartasura tadi, Masuknya
pangeran Puger kedalam pambedekan, di-ikuti dengan rasa penuh
haru oleh teman-teman baiknya dan oleh harnpir seluruh peneluduk
ibukota yang mengenal baik keluarga itu. Biarpun dernikian tidak
seorangpun berani mempersoalkan, lebih-lebih mengadakan
pernbelaan terhadap beliau, karena sernua tahu bahwa dasar
hukurnan ini hukanlah keadilan, kebenaran dan kejujuran.
Agalmja baginda belum lagi puas member] hukurnan yang .
sebesar itu kepada pa man yang sekaligus mertuanya itu ... sebagai
tambahan hinaan terhadap beliau, putri pangeran Puger yang sudah
menjadi isteri raja, denajeng IMPUN, dikernbalikan kepada
ayahnya dengan surat-pegat. Lengkaplah kiranya keganasan raja itu
terhadap orang yang sangat di benci dari dulu.
Diwaktu siang saja penjagaan di pambedekan sudah sangat
kuat dan ketat, apalagi diwaktu malam. Saking kuatnya penjagaan
itu, hingga dapat dikatakan; seekor tikuspun tak mungkin dapat
lolos dari pengamatan mereka. Jadi tak seorangpun dapat
membayangkan bahwa ada manusia dapat memasuki parnbedekan
itu, tanpa dilihat oleh penjaganya.
****
BAGIAN IV
terlalu jelek …. Karena aku hanya melihat gunung baja saja, yang
tiba-tiba saja menjulai dihadapan Kyai dan teman-temannya ….
Mungkin itu berarti penghadang tak terlawan saja oleh pasukan
kyai!”
“Bagaimanapun juga, tugas ini harus diselesaikan sebaik
mungkin. Terlawan atau tidak terlawan, aku harus menerjangnya.
Bila hanya batas harus berwaspada melulu …. Baiklah aku berjanji,
akan memperhatikan keadaan dengan hati-hati. nah, kalian
berdoalah untuk keselamatan negara dan keluarga kita!”
“Masih ada sedikit kyai .. sudahkah Den Mas Suryakusuma
tahu, bahwa ayahnya, kanjeng pangeran Puger mendapat pidana-
pambedekan? Baiklah, karena tindakan sang anak, ayah beserta
keluarga menanggung pidana demikian berat? Coba bicarakan itu
dengan Den Mas Suryakusuma ……mungkin beliau akan
menginsyafi kesalahan tidakannya.”
“Lalu ... beliau akan menyerahkan diri, bukan. Uwah-uwah . .
. itulah bukan tugasku, dan sangat merendahkan derajadku sebagai
senapati tempur,. menundukkan lawan dengan siasat menekan jiwa
lawan. Tidak, nyai ... tidak mungkin aku berbuat demikian.
Sudahlah, jangan terlalu banyak mencampuri urusan negara, salah-
salah bisa miendapat celaka karenanya. Masakan negara tidak lebih
bijaksana dari orang-orang biasa ini.”
Itulah kiranya yang dibekal oleh ki dipati Jayarumeksa dari
rumah, mau tidak mau menarnbah pemikiran saja …. dan
membayang dimukanya. Kal)au berrnula ia merendcngkan dirinya
dengan Den Mas Suyakusuma, sebagai senapati Manggalajuda yang
perkasa …. karena impian isterinya itu terpaksa ia merasa
kerendahannya dalam soal siasat perang.
Perjalanan laskar Kartasura itu dikuntit dari jarak jauh oleh
seorang pemuda yang berdandan secara acak-acakan, berambut
bertemu dengan tongkat pengemis itu. Tidak terlalu lama tiga puluh
orang kuat itu sudah tak bergegama lagi, malahan sebagian besar
sudah berdiri mematung sebagai arca hidup, karena masih dapat
berkedip-kedip. Mulut menjadi kancing, mata menjulung .....
mungkin karena menahan sakit, tetapi mereka sama sekali tidak
terluka.
Anehnya mereka tidak sampai dapat melihat cara bagaimana
pengemis itu bergerak ….. kapan datangnya dan kapan pula
perginya. Tahu-tahu sudah ada, kemudian tahu-tahu sudah tak
nampak lagi batang hidungnya. Keruan saja orang menyangka
bahwa dia itu bukan manuiiia biasa …... mungkin demit atau
jejadian yang membela Den Mas Suryakusuma entah sebab yang
bagaimana. Mungkin sekali demit itu suka akan kebenaran dan
keadilan, maka ia memilih teman dan lawan.
..... Hai-hai .... adakah demit berhati ksatria …... , yang
membela kebenaran dan keadilan?....... Itulah mustahil, tetapi
siapakah orang dapat berbuat seperti dia dijagat Mataram ini ……
Sibuklah orang orang kuat kelompok kanan yang tidak mendapat
cedera itu, mengurusi teman temannya yang sudah menjadi
setengah hidup dan setengah mati tersebut, menyingkirkan mereka
dari ternpat pertempuran. Segera juga hal yang ajaib ini dilaporkan
kepada Sang Senapati.
Alangkah terkejutnya hati kidipati Jayarumeksa karena
sekaligus mendapat laporan yang harapir sama dari kelompok
orang-orang kuat ini .... mula-rnula dari kelompok kanan jang
segera disusul oleh laporan kelornpok kiri . . . . hahwasanya
kelompok pasangan orang kuatnya dilumpuhkan oleh tokoh jang tak
dapat dikatakan sangkan-parannya.
Mau tidak mau ki dipati teringat akan mimpi ajaib isteri, nya.
Mungkinkah ini yang terlihat sebagai gunung baja penghalang
perjalanannya? Tetapi apakah yang harus diperbuatnya, karena ia
adalah petugas yang harus berrindak mernenuhi perintah negara.
Sekalipun menjadi abu, lebur tanpa arah ... ia harus maju. Baru
sampai disitu ia meninjau keadannya keburu datang seorang tetindih
kesetanan, berkuda yang memegangi Tumenggung Dibyapragola
didepan penanya Kelihatan ki Tumenggung menyeringai kejang tak
dapat berkutik.
Dengan suara gugup bertanyalah kidipati Diaja : “Hai, adi
Jayawatangan ..... berbahaja-kah luka adi Tumenggung
Dibyapragola itu, Siapakah lawan bertandingnya?”
“Hanya nampak sekelebatan pengemis jernbel, menghadapi
arnukan kitumenggung yang perkasa itu ..... tahu-tahu batang
tombak kilurah mental keatas, patah menjadi dua ….. lambung
kilurah kena senggolan orang acak- acakan tersebut .... lalu
jengkarlah kyai Tumenggung. Lenyap, entah kemana orang itu
menelusup kedalam barisan orang bnyak, dan aku segera meloncat
kebelakang kyai Lurah untuk mernbawanya kernari ini.”
Sukan main marah ki dipari Jayarumeksa, dengan menggeram
keras meloncatlah ia keatas punggung kudanya. “Den Mas
Suryakusurna .... permainan apakah yang Den Mas suguhkan
kepada orang kawakan sepertiku ini? Hayo-hadapilah aku si tua
bangka!”
Kuda perang ki dipati meluncur cepat seperti kilat, menyerbu
gelar cakra muauhnya. Tetapi dipinggiran gelar itu, kudanya
terhernak berhenti, karena tali keangnya dipegang oleh tangan
perkasa. Hampir-harnpir Sang Senapati jatuh terjerunuk, namun
Dipati Jayarumaksa adalah tokoh kuat yang telah ternyata
****
BAG IAN V
palsu yang tebal. Tak seorangpun dapat mengira bahwa dialah yang
mewakili kakaknya melawan dipati Harya Banyakwide tadi pagi.
Setelah memberi hormat kepada Den Mas Surya Panewu
Jayawatangan, yang membawa surat tugas, maju kedepan untuk
menyampaikan surat itu. dengan tersenyum ramah, dipersilakan
menunggu diluar dahulu. Segera surat itu dibaca oleh Den Mas
Suryakusuma ….. ternyata isinya mengabarkan bahwa baginda
berkenan melepaskan Pangeran Puger dari hukurnan pambedekan,
jika Den Mas Suryakusuma mau menyerah dan menrrima hukuman
buang ke Selon. Bila kehendak baik baginda ini tidak mendapat
sambutan baik dari Den Mas Suryakusuma maka bolehlah ia
melanjutkan pernbangkangannya, hanya jangan menyesalkan nasib
ayah beserta keluarganya, yang harus mewakili hukumannya, Surat
itu ditanda tangani oleh pangeran sentana Harya Narakusuma dan
ditaati Manggalayuda yang mendapat tugas khusus dari Kartasura
dan sekarang sudah berada diperkemahan Gondang.
Setelah surat itu habis dibaca lalu diberikan kepada adiknya
untuk diketahui pula isinya. Gumam Den Mas Surya. “Hmm ...
lambat atau cepat, pastilah beginii juga jadinya! Baiklah, aku akan
menyerah asal baginda tidak berbuat licik sadja benar-benar mau
membebaskan ayah dan keluarga semua.”
“Jangan buru-buru menyerah kangmas, sebelum kita tahu
benar, sampai dimana baginda menepati janyinya. Kita harus
berwaspada akan kelicikan orang!”
“Baiklah dimas, sekarang kita membagi pekerjaan saja. Aku
akan menyerahkan diri besok kepada rarna Riyo Natakusuma dan
Paman Mangunyuda, kau barns pergi kekota, melihat keadaan ayah
beserta para ibu. Bila setelah aku menyerab, mereka belum
dibebaskan, kau harus 'mencari aku lagi, untuk menetapkan sikap
terakhir. Aku bertekad bulat, menerima segala macam hukumanku
****
BAGIAN VI
berjalan sendirian. Orang itu bukan orang lain, kecuali baginda raja
sendiri tengah menuju kekeraton, pulang dari rumah pemondokan
seorang selirnya, yang berada didekat kolam pemandian para putri
didalam taman itu. Nampak, benar bahwa raja muda yang baru saja
naik tahta kerajaan itu masih belum merasa tenang dan tenieram,
ternyata dalam segala tingkah lakunya yang berbahu kegelisahan,
lagi kurang pereaja kepada diri sendiri.
Siapakah yang tidak mengerti dan tahu bahwa kesulitan orang
yang menjadi raja itu berbentuk seribu satu macarn, yang harus
dihadapi dengan hati tabah serta bijaksana, untuk dapat
mengatasinya dengan baik, Hanya kesabaran, ketekunan dan
kejakinan asan kemampuan pribadinya saja yang akan dapat
membawanya kepada kemenangan, Terapi sajang, raja muda yang
baru ini, memilih cara yang salah untuk melupakan dan
menyisihkan segala kerewelan negaranya,
Mungkin sekali beliau menglra, bahwa macam-macam
hiburan serba menyenangkan dapat melenyapkan segala
kegelisahannya, sekaligus kesusahannya, Namun adakah kesusahan
karena kesulitan dapat dihindarkan dengan bermacam macam
hiburan? Itulah barang mustahil. Setelah jeniii hiburan itu selesai,
kesulitan orang tidak menjadi berkurang, bahkan bisa sekali
bertambah besar dan ruwet.
Adapun yang menjadi buah pikirannya pada waktu itu adalah
tentang pembebasan pamannya Pangeran Puger sekeluarga dari
pambedekaa tadi siang, setelah mendengar kabar dari medan
pertempuran bahwasanya Den Mas Suryakusuma sudah
menyerahkan diri kepada utusannya terakhir. Apabila tidak
mengkhawatirkan bakal pendapat umum, pastilah Baginda tidak
rela melepas Sang paman dengan dalih yang bisa dibuae-buat,
Namun penilaian orang banyakpun tidak boleh diremehkan, maka
untuk somentara wa.ktu apa salahnya, bila Baginda memperlihatkan
****
BAGIAN VII
yang luar biasa hebatnya antara Sang Pangeran melawan utusan itu.
Siapakah pula yang keluar sebagai pemenang?
Menurut perhitungan dengan penilaian kesaktian, mungkin
sekali sang paman tidak mudah dikalahkan sekalipun tidak mudah
pula mendapat kemenangan atas lawannya yang nampak demikian
kuat dan digdaya. Andaikata Sang Pangeran jang dapat menghalau
lawan .... apakah Pangeran Puger tidak akan memandangnya dengan
mata sebelah? ... Ya-ya, hal itu bisa terjadi, tetapi itulah sama
halnya dengan tindakan membunuh diri beserta keluarganya.
Seandainya Pangeran Puger yang terbunuh dalam
pertempuran itu, tidakkah itu lebih berbahaya bagi baginda, karena
Tenung Jalanda, cepat atau lambat pasti datang lagi
mengunjunginya, untuk menghinanya telah berbuat curang yang
rendah.
Pemikiran-pemikiran semacam itulah yang sangat
menggelisahkan baginda, hingga tidak dapat tidur sama sekali.
Tilam yang hangat lunak lagi nyaman, malam itu tidak dapat
membuai baginda dalam alam mimpi, tetapi justr dirasakan sebagai
penghambat rasa kantuknya, karena terlalu panas. Baru menjelang
pagi baginda terjatuh tidur karena kelelahan namun juga tidak
terlalu lama, baru sepemakan sirih sudah meloncar bangun karena
mimpi buruk.
****
“Tidak kyai, aku tidak ingin hidup sendiri. Aku sudah berjanji
kepsdaku, bahwa aku akan mengabdi kepadarnu sarnpai hari tuaku,
tidak ada suatu kekuatan apapun yang dapat memisahkan aku dari
kyai kecuali maut merenggut jiwaku, atau kyai sendiri menolak
pengabdianku ini!”
“Bila itu sudah mendjadi tekadrnu, aku juga tidak
berkeberatan, kakang selalu didekatku dalam pengabdian kepada
umum ini. Kita bisa mengadakan kerja-sarna yang baik, dalam
segala hal.”
“Apakah yang dapat kita kerjakan diwaktu terdekat ini kyai,
nampaknya kyai sudah ada rencana kerja yang harus segera
dikerjakan, bukan?”
“Begitulah kiranya kakang, tetapi kali ini kesibukanku masih
agak bersifat pribadi dalam lingkungan keluarga , Ketahuilah,
bahwa kakakku yang tertua Den Mas Suryakusuma, dalam waktu
dekat ini akan dibawa orang ke Semarang, untuk menjalani
hukuman buang ke Selon. Aku hendak membayangi rombongan
yang mengantar kangmas itu, untuk melihat gelagat.”
“Ya-ya, pastilah kyai sudah mempunyai rencana kerja, untuk
menolong kakak kyai itu. Dapatkah kiranya aku menolong kyai
dalam pekerjaan ini, katakanlah!” desak Putut pamuk,
Setelah mereka berada didalam gua menikmati hidangannya.
Sejenak Putut Punung termenung-menung, kemudian berkatalah ia :
“Memang kakang, aku sudah mempunyai rencana untuk menolong
kakakku itu, tetapi nada-nadanya terpaksa aku sendiri yang harus
bertindak, karena sangat berbahaya, sedang yang mirip kangmas
Suryakusuma memang hanya aku seorang.
Ditengah perjalanan, aku akan memasuki tempat penahanan
kakakku, untuk bertukar pakaian. Aku akan menggantinya dalam
****
celakanya ...... karena kuda pemuda itu kini sudah tertancap anak
panah pada pangkal paha kaki sebelah kanan, hingga mengganggu
sekali kelancaran larinya.
Kini tahulah Bagus Suwarna, dialah pemuda pesolek, yang
dikejar-kejar itu bahwa kudanya tidak mungkin dapat berlari terus-
terusan, Karena sayang akan kuda itu tersiksa sekali dalam
melanyutkan larinya, meloncnt turunlah ia dari Pelananya, dengan
loncatan yang indah dan ringan sekali.
Demikia, kakinya menyentuh ranah. mengkeredaplah
pedangnya ditangan kanannya. Dengan mata berapi-api ia
menantikan musuh-musuhnya. Lima anak-panah berebutan
menghujaninya, tetapi sekali pemuda itu menggerakkan pedangnya,
mental terhamburlah kelima panah tersebut.
“Kurcaci berbau busuk, majulah kalian bersama-sama,
Nampaknya nama radenaju Widasari, ibu almarhum ratu Alit belum
cukup sebagai jaminan keamanan perjalanan keponakannya. Hmm,
terpaksa pedang dan kerislah yang harus ikut menjamin
keselamatan seseorang dalam jaman Amangkurat III ini. Hayo
majulah, jangan bersembunyi dibalik kudamu. Tak usah kamu maju
seorang demi seorang, hayo keroyoklah aku, biar lekas ada
pemberesan!”
“Sombong sekali, kau-kira prajurit tempekah-kelima praurit
kusumatali pilihan ini. Masakan lima orang kusumatali tidak
sanggup membekuk pemuda banel sepertimu ...?”
“Hajo, maju berbareng, cincang saja jangan
tanngung-tanggung. Dalam keadaan negara menghadapi keruwetan
besar ini, tak seorangpun yang dicurigai boleh diloloskan keluar-
masuk kota. Ganyang dia ... seru pemimpinnya. Majulah kelimanya
dari beherapa jurusan dengan pedang dan golok terhunus berkilauan
ditangan.
dijatuhkan pesolek ahli gerak ini saja pastilah mereka dapat merebut
kemenangan dengan siasat menguras tenaga sipemuda. Kini mereka
tidak sengaja menyerang lagi tetapi, memperkokoh daya tahan
mereka bersarna. Tahu akan siasat lnyik lawan-Iawannya, Bagus
Suwar na jadi semakin marah. Ia lalu mempercepat perrnainannya,
hingga musuh menjadi kalang-kabut untuk sementara waktu, tetapi
kemudian dapat memperbaiki mereka lagi setelah mendapatkan
iramanya.
Pertempuran itu berjalan hingga lebih dari setengah jam ......
Mau tidak mau Bagus Suwarna menjadi gelisah, karena merasa
akan segera berkuranglah kekuatannya, sedang kelancaran
pernafasannya juga mulai terganggu. Haruskah ia mati konyol
dalam periempuran keroyokan ini ... tidak, ia tidak boleh mati
sekarang karena ia belumbertemu dengan pemuda pujaannya justru
karena ia mempunyai berita penting yang harus disampaikan kepada
Putut Punung. Tetapi cara bagaimanakah ia bisa selamat keluar dari
pertempuran ini?
Bersambung ke Jilid 4
GEMBONG KARTASURA
JILID IV
BAGIAN I
****
Tenaga kalian akan pulih kembali, setelah dilatih dua jam setiap
hari dalam tiga bulan. Cukuplah rasanya waktu itu untuk merenungi
kehidupan gelap kalian. Tinggalkan cara hidup busuk itu
kembalilah kejalan yang benar, pastilah kalian bisa hidup
berbabagia. Tetapi bila kalian masih merasa penasaran tunggulah
aku sampai datang meninjau kalian setelah waktu itu sudah lewat.
Bapak Suradipa, perkenankan anak berpamitan melanjutkan
perjalanan petualangan anak sekarang juga. Anggaplah peristiwa ini
persembahanku kepada bapak dan teman, yang sudah sangat
berbaik hati terhadap aku, sebagai pembalasan budi sedarh~a,
Selamat tmggal kakek Yang baik.
“Pergilah dengan dao-restu penduduk kampung nelayan
sederhana ini anak baik, ingatiah selalu bahwa rumah bobrok bapak
Sura selalu terbuka lebar untuk kuperluanmu nak setiap saat,” kata
pak Sura yang masih terdengar oleh Putut Punung dari kejauhan,
karena ia sudah. melesat lari jauh dari tempat pertempuran tadi,
dengan tujuan kearah pegugungan Dieng.
******
****
BAGIAN II
Terapi gusti, kita ini bangsa prajurit yang tidak gentar menghadapi
apapun bersama gusti, a pa pun kehendak gusti, itulah pula Yang
akan kita kerj.ikan tanpa tawar-menawar ...... terserah kepada
putusan gustilah segala galanya.”
“Kau benar Sura, perintahku tadi pagi kiranya sangat tergesa-
gesa, karena hatiku seperti terbakar. Setelah kupikir setengah hari
bolak-balik, terasalah olehku, bahwa tindakan acam itu adalah sama
artinya dengan membunuh diri. Aku memang sudah memilih jalan
yang kau tunjukkan itu. Biar agak memakan waktu, tetapi
kemenangan terakhirlah yang akan membuktikan. Baiklah Sura,
suruh anak buahmu mengendorkan ketegangannya lagi, tetapi
jangan berlengah-lengah juga. Nanti malam, kau sendiri ikut aku
bersama-sama adi dipati Surabaya menghadap pangeran Puger.
Rahasiakan pembicaraan ini, tak seorangpun boleh mendengarnya!”
“Sendika gusti…” jawab Suramenggala, lalu mengundurkan
diri dengan hati lega tiada terperi.
****
BAGIAN III
BAGIAN IV
“HAYO Suwami ….. teruskanlah ceriteramu itu, lalu
bagaimana?” tegur kakaknya yang kedua, bagus Sarasa, tak sabar
lagi, waktu adiknya masih menjusuti peluhnya, beristirahat
sebentar.
“Biarkanlah adikmu beristirahat sebentar Rasa …. kau sendiri
hampir mandi keringat ketegangan seperti kami ini semua. Ada
baiknya diam beberapa saat, untuk memulihkan tarikan otot
mengencang.” kata ki Bekel Samakaton sambil mengibas-kibaskan
kepalanya. Kedua pemuda lainnya nampak tenang-tenang saja,
namun tak luput dari rasa kepanasan, hingga mau tak mau terpaksa
menyeka dahi dan lehemya, karena berpeluh banyak. Bukan karena
niken Suwami pandai berceritera dengan mulutnya yang mungil itu,
tetapi ceriteranya sendirilah yang memang menegangkan otot para
pendengarnya, seolah-olah mereka sendiri pelaku-pelaku utama
dalam riwajat itu.
Kali ini mereka beristirahat sepemakan sirih guna
memulihkan segala ketenangan. Kemudian mulailah dara itu
melanjutkan ceriteranya :
“Dapat dimengerti bagi orang-orang yang bersangkutan,
bagaimana mereka merasakan ketegangan lahir-batin …. terutama
keluarga ka-Pugeran beserta anak-buah kapangeranan tersebut.
Tidak seorangpun mau ketinggalan untuk lolos dari kota nanti.
ditengah- tengah barisan berani mati yang tidak besar jumlahnya itu
...... hanya kira2 enam-puluh orang saja.
Rombongan yang paling akhir, adalah kelompok denmas
Sasangka, terdiri dari sebelas pemuda sebaja termasuk denmas
sendiri. Kesebelas pemuda itu mengendarai kuda lengkap dengan
perabotnya sebagai prajurit kusumatali. Memang mereka merampas
kuda para penjaga gapura yang teugah dalam keadaan berunding
mati-matian tadi, untuk dimanfaatkan. Paling tidak mereka itu
masih harus duduk-duduk demikian selama tiga jam lagi, baru
mereka dapat menggerakkan anggota badannya dan menemukan
lidahnya kembali. ·
Apabila tidak kebetulan ada peronda menyambangi penjagaan
digapura butulan tersebut, tidak nanti kepergian pangeran Puger
segera menggegerkan ibukota Kartasura dua jam kemudian.
Peronda itu datang dipenjagaan butulan, maka segera pula ia merasa
keajaiban dipondok penjagaan. Tak seorangpun terdapat disitu,
sedang pintu gapura nampak terpentang lebar-lebar. Pastilah ada
kejadian yang tidak wajar. Buru-buru peronda itu mengadakan
penjelidikan keluar. Astaga ..... kiranya kesebelas orang itu sedang
mengaaakan pembicaraan rahasia dibawah pohon asem di tepi jalan.
“Hai…!” tegur peronda itu, “Kalian sudah menjadi gila
semuakah, berani meninggalkan penjagaan itu, hah?”
Beberapa kali ia menegur dengan suara lantang, malahan
disertai maki-makian juga, namun tak seorangpun dari kesebelas
penjaga itu yang menggubrisnya. “Setan alas …. kalian berani tidak
mengacuhkan seorang petugas .... baiklah rasakan saja gebuganku
ini, mungkin bisa membuka mulut kalian!”
Dengan hati panas peronda itu turun dari kudanya, hendak
melakukan ancamannya .... Astaga, datang mendekat, barulah ia
tahu bahwa kesebelas teman itu menderita siksaan menjadi patung
****
BAGIAN V
raja Mataram Islam itu. Maka setelah terjadi peristiwa lolos dari
kota ini ... tak perlu disangsikan lagi kiblat kebanyakan orang-orang
Mataram.
Tengah menimang-nimang penilaian mereka, Putut Punung
meloncat kedalam gerumbulan yang lebat sambil memberi
peringatan:
“Awas ada orang mendatang mempergunakan ilmu lari cepat,”
Maka segera pula ia diikuti oleh ke-empat temannya yang lain.
Belum lama mereka mendekam digerumbul itu ...... nampak ada
orang lima berdandan serba ringkas, lari cepat sekali seperti diburu
demit. Tak lama kemudian datang rombongan pelari cepat lagi tiga
orang berjubah lamuk dan mendatang dari kejauhan lebih dari
sepuluh orang. Terang sekali bahwa mereka itu semuanya menuju
ke Kartasura.
Berbisiklah ki bekel Samakaton keheranan: “Hai, kiranya
pendekar-pendekar kenamaan bermunculan menuju ke-ibukota.”
“Ah, aku ingat sesuatu ... Kata orang pepatih dalem raden
Adipati Kusumabrata, mendatangkan tokoh-tkoh orang sakti dari
pelosok-pelosok dan lain daerah, untuk menguatkan barisan
pemerintah, menghadapi guna menundukkan pangeran Puger,
Siapakah orang-orang tadi yah, tahukah ayah tokoh-tokoh yang baru
lewat itu?” bertanya niken Suwami.
“Kalau tidak salah lima orang yang paling depan tadi adalah
hima saudara perampok Gunung Kendeng, yang sangat ditakuti
orang. Tiga orang berjubah tadi aku hanya kenal yang dua orang,
jakni kyai Kijing Miring, dan kyai Tameng-Waja tokoh-tokoh sakti
dari lambung gunung Wilis. Orang yang ketiga itu aku belum
pemah bertemu. Rombongan yang datang kemudian, kiranya murid-
murid utama dari ketiga orang berjubah tadi.”
bukankah itu lebih aman banyak yang dapat dilihat dengan terang?”
kata seorang dintaranya lagi.
“Jangan terlalu tolol, ... kata Barong tertua ….. kami pasti
lebih letuasa bergerak diwaktu malam daripada di siang hari, supaya
lepas dari gangguan orang lain. Yang suka iseng. Bila toh mereka
menghendaki, biarlah mereka bergerak sendiri, jangan membonceng
pekerjaan orang lain.”
Karena hidangan sudah datang, maka berhentilah
pembicaraan mereka. Namun itupun sudah cukup bagi sipemuda
dusun untuk menentukan langkahnya kemudian setelah
meninggalkan warung. Yang sekarang menjadi bahan analisanya
ialah justru hantu yang menunggu rumah ayahnya.
****
BAGIAN VI
.
BARU SAJA Panca Barong itu meninggalkan halaman dalem
pangeran Puger, belum lagi gandarwa tua yang bukan lain ki-ajar
Cemara Tunggal, kembali kedalam persembunyiannya, menyambar
datang kesiur angin lembut yang bampir tidak terdengar oleh kyai
Kunjuk Sakti,
Karena mengira diserang oleh lawan sakti lagi, malka cepat
sekali orang tua itu mereaksi menyambut kedatangan lawan dengan
jurus cengkeraman yang ampuhnya mudah dibayangkan.
Pada waktu itu pula terdengar suara berbisik, “Guru, aku,
Putut Punung!” Karena yang datang kali ini adalah si-pemuda desa
tersebut.
Namun suara bisikan itu datang agak terlambat, jurus
cengkeraman tadi sudah tidak dapat ditarik lagi, mendarat dengan
hebatnya pada punggung yang diserangnya. Sebenarnya pastilah
Punung dapat menghindari cengkeraman gurunya, tetapi ia takut
kalau sang guru mendapat malu karenanya, maka dengan
****
****
BAGIAN VII
TAMAT