LAKI-LAKI ITU MELETAKKAN BAYI PADA LEMBAR KAIN PUTIH. BEBERAPA SAAT
KEMUDIAN BAYI ITU BERUPA MENJADI GERAKAN KAIN LALU MENJADI REMAJA
YANG PERKASA. IA ADALAH DHAENG SEKARA
KAKEK BANTAL : Wahai keindahan yang cemerlang/ Adakah pancaran sinar pagi
pengembara papa di malam hari/ Engkau adalah mutiara terindah di mulut kerang/
Mungkinkah aku yang tidak pandai berenang dan menyelam ini dapat mencapai-Mu?/
MASIH DALAM GELAP BERIRING MUSIK RITUAL. MUNAJAT ITU TERUS MENGISI
SUNYI.
Engkau datang bagai rembulan di cakrawala yang belum terlihat/ Engkau mahkotai
keindahan-Mu dengan nyala cahaya yang tak kunjung padam/ pantaskah pungguk
celaka ini bertengger di pepohonan iman dan agama untuk menyaksikan keindahan-Mu
yang tiada tara/
PRAJURIT : Semua warga bila mau pepe di sini, mau menghadap raja,
mereka harus bayar dulu.
PRAJURIT : Kisanak, kamu dengar tidak?! Ayo serahkan beberapa uang pada
kami!
DHAENG SEKARA : Maaf, saya tidak punya uang untuk sekedar menyuap kalian
PRAJURIT : Bekerja dulu! bila telah mempunyai, baru datang kemari untuk
pepe lagi!
PRAJURIT : Oh, jadi kamu mau pepe beberapa hari di sini? Silakan, sampai
gosong tubuhmu, kamu tidak akan bisa bertemu dengan Sirimaharaja
SRI MAHARAJA : Bukankah engkau ini Daeng Sekara? Ada hubungan apakah
engkau ini dengan Rakyan Panji Sekara?
DHAENG SEKARA : Ampun beribu ampun Paduka yang Mulia. Hamba menerima surat
dari Aji Boto Dhatu Tanggiling, putra Teja ri Warek. Beliau mengatakan bahwa hamba
adalah putra Sang Panji Sekara, seorang mantan pimpinan bala awajuh Wilwatikta
dengan bukti taji pusaka yang hamba miliki ini adalah milik Sang Panji Sekara
Sekarang ini, setelah engkau menunjukkan jati dirimu lewat taji ini, aku semakin yakin
jika engkau adalah putra Rakryan Panji Sekara, sebab taji ini adalah hadiah yang aku
berikan pada hari pernikahan dengan ibumu.
DHAENG SEKARA : Mohon ampun, Baginda Yang Mulia. Peristiwa itu sangat lekat
dalam relung ingatan hamba, tapi hamba harus mengatakan dengan jujur bahwa
hamba tidak mampu mengenali jati diri para perampok itu, sebab mereka semua
mengenakan selubung tutup kepala. Satu-satunya pimpinan perampok yang hamba
ingat ketika itu adalah orang yang membunuh ibunda hamba. Seingat hamba, orang itu
bertubuh tinggi dan berperut buncit. Pada lengan kirinya terdapat gambar Raja kepala
harimau. Selain itu, dia menyelipkan sebilah keris bergagang gading dengan ukiran
kepalah harimau. Dan yang tidak dapat hamba lupakan , pada perut bagian kiri terdapat
tahi lalat besar yang ditumbuhi rambut.
DHAENG SEKARA : Hamba tidak akan pernah lupa dengan kejadian itu, bahkan
sampai bertahun-tahun hamba pernah bermimpi didatangai pimpinan perampok
tersebut
MAHARAJA : (DIAM)
DHAENG SEKARA : Paduka yang mulia, jika paduka berkenan, hamba mohon diijinkan
untuk menjumpai ramanda hamba Dang Acarya Kalamukha di Bana-Kumeter
KI BAHUBRAJA : Katang?
DHAENG SEKARA : Benar, saya Katang. Apakah tuan tahu dimana ramanda saya
berada?
DHAENG SEKARA : Ada apakah ramandah? Kenama ramanda berteriak seperti itu?
KI BAHUBRAJA : Bagaimana engkau tahu jika dirimu adalah anak Rakyan Panji
Sekara pimpinan pasukan bala-awajuh? Bukankah waktu kejadian itu dirimu masih
terlalu kecil?
DHAENG SEKARA : Dua hari yang lalu, saya diberitahu oleh yang mulia Aji Boto’
Dhatu Tanrigiling, yang dipertuan Luwuk bahwa saya adalah putra Rakryan Panji
Sekara pimpinan bala-awajuh Wilwatikta. Yang mulia Aji Boto’ mengaku bahwa beliau
telah diberitahu oleh mertua saya I La Pitureppa To Linrungripetung.
DHAENG SEKARA : Saya mohon agar agar ramanda merestui perkawinan saya
DHAENG SEKARA : Selama ini saya belum pernah mendengarnya, Ramanda. Tapi
bagi saya hal itu tidak penting, sebab segala sesuatu yang sedang terjadi sudah
menjadi kehendak Sangyang Tunggal Yang Maha Kuasa
Ketahuilah anakku, jika seseorang sudah berhasil menguasai alam semesta karena
sudah menjadi dewa maka ia akan memiliki kekuasaan untuk memahami segalah-
galahnya. Semua apa yang kukatakan itu dapat engkau buktikan dengan mengikuti
upacara-upacara yang telah ditetapkan caranya dan diajarkan secara turun temurun.
DHAENG SEKARA : Kalau mau jujur saya juga tidak suka Ramanda menjadi seorang
pendeta bhairawa!
DHAENG SEKARA : Saya tidak mengecam, Ramanda. Saya hanya bicara jujur.
Sebab, saat saya masih kecil, ibunda sering menakut-nakuti saya dengan bhairawa-
heruka yang katanya suka menculik dan memakan daging anak-anak. Nah sekarang ini
yang saya hadapi justru bhairawa-heruka itu adalah ramanda saya sendiri.
DHAENG SEKARA : Bagi Ramanda yang menjadi bhairawa mungkin hal itu tidak
menakutkan. Bagaimana dengan perasaan para orang tua yang ketakutan anaknya
diculik dan dijadikan korban persembahan oleh para bhairawa seperti Ramnda?
PANJI SEKARA : Hukum alam berlaku di mana saja. Harimau memangsa kijang.
Kijang pun memangsa rumput. Rumput pun memangsa tanah. Tanah pun pada
akhirnya memangsa bangkai harimau.
PANJI SEKARA : Engkau rupanya sudah pintar bicara, anakku. Otakkmu pasti
sudah diracuni oleh orang-orang yang sesat dari kaum mlecca
DHAENG SEKARA : Saya tidak ingat apa-apa, Ramanda. Sebab para perampok ketika
itu menggunakan topeng, hanya yang saya ingat pada lengan kiri perampok ada
gambar raja kepala harimau. Selain itu, pada pangkal gagang pedangnya terdapat pula
ukiran kepala harimau. Dan yang tidak dapat saya lupakan, pada perut kiri perampok itu
ada tahi lalat hitam sebesar ibu jari yang ditumbuhi rambut.
KI BAHUBRAJA : Aku tidak menduga kalau binatang rendah itu menghianati aku!
KI BAHUBRAJA : Dulu dia adalah salah seorang perwira pemantuku sama seperti
Pu Landhi mertuamu. Tapi, sungguh tak kusangka kalau dia bakal berkhianat.
DHAENG SEKARA : Ramanda, kenapa dia bisa menggantikan Ramanda? Kenapa Sri
Baginda Maharaja tidak memilih orang lain?
DHAENG SEKARA : Sebaiknya, kita menghadap Sri baginda Maharaja besok pagi
untuk membicarakan masalah ini, sebab bagaimanapun Sang Panji Daksa adalah
pejabat kerajaan.
DHAENG SEKARA : Menghadap malam ini? Apakah tidak mengganggu Sri Baginda
Maharaja?
KEBOH GALUH : Paman Bahubajra, lupakah paman dengan saya? Saya adalah
Kebo Galuh, Tuhakuwu Watesnegara
AJI BOTO : Saya Aji Boto, Dhatu Tanrigiling, Paman. Saya putra Teja Ki
Warek , Datunna Sunaeng, Yang dipertuan Wira Langit
AJI BOTO : Jika paman mau menjumpai Sri Baginda Maharaja sebaiknya
diurungkan saja.
AJI BOTO : Ya paman. Urungkan seja. Sebab kami berdua sore tadi telah
diutus oleh Sri Baginda Maharaja untu menemui paman di sini untuk membicarakan
sesuatu.
AJI BOTO : Paman Bahubraja dan Engkau Dhaeng Sekara. Sri Baginda telah
mendengar semua apa yang akan pamanda laporkan. Dan Sri baginda Maharaja telah
membuat keputusan .
DHAENG SEKARA : Ramanda, apakah tadi menerapkan aji sirep Megananda milik
Indrajit Putra Rahwana?
PANJI SEKARA : Hmh, aku ingin agar urusanku dengan Shimarodra tidak diributkan
oleh keterlibatan prajurit-prajurit rendahan tak bersalah.
PANJI DAKSA : Anak muda tidak tahu tata krama! Ada urusan apa engkau ini,
tanpa hujan tanpa angin membuat kerusuhan di sini? Tidak tahukah engkau bahwa di
sini adalah kediaman Sang Panji Daksa, pimpinan pasukan bala-awujuh Wilwatikta?!
DHAENG SEKARA : (TERTAWA MENGEJEK) Lucu sekali, bajingan tua berbau tengik
tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba berbicara soal tata krama. He Shimorodra, keparat tua
Bangka, tidak sadarkah bahwa dirimu adalah seorang bajingan paling tengik di dunia?!
DHAENG SEKARA : Kau tentu sudah pikun tidak mengetahui siapa aku, he bajingan
tua. Perlu kuberi tahu kepadamu bahwa namaku adalah katang. Aku datang ke sini
hendak menagih nyawa ibu, nenek, bibi, paman, dan seluruh kerabataku yang telah
engkau basmi belasan tahun silam di Ktah.
PANJI DAKSA : Katang?! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Lagi pula aku
tidak pernah melakukan kebiadapan seperti yang engkau tuduhkan itu, anak muda.
DHAENG SEKARA : Dasar bajingan tua Bangka pikun. Apapun yang dilakukan para
bajingan selalu dipungkiri sendiri. Shimarodra, bahwa laki-laki bernama katang yang
saat ini berdiri di hadapanmu adalah putra Sang Panji Sekara pimpinan pasukan bala-
Awajuh Wilwatikta yang telah engkau khianati.
PANJI DAKSA : Tidak, Rakyan Panji Sekara pasti belum mengetahui, sebab jika ia
sudah mengetahui, pasti sudah melabrakku habis-habisan.
JARAN DAWUK : Yang mulia, apa tidak sebaiknya kita meminta bantuan ke kuwu
kota raja?
PANJI DAKSA : Hmmmm, kuwu kota raja? Kakean keboh galuh? Tidak perluh.
Siapkan saja busur dan anak panah untukku sekarang juga!
JARAN DAWUK : Saya sudah menyiapkan anak panah dan busurnya, yang Muliah
PANJI DAKSA : Ampunilah aku Rakryan Panji Sekara. Ampuni aku, Yang
Termulia di antara bhairawa
DHAENG SEKARA : Tubuh saya terasa panas sekali, Ramanda. Saya terkena cakaran
racun jahat, ramanda,
KI BAHUBRAJA : Meminta ampun?! Kau pikir dia mau memberi ampun kepada ibu,
nenek, bibi, paman dan keluargamu yang lain? Binatang rendah macam Shimarodra
tidak pantas diberi ampun. Sebab ia adalah racun yang berbahaya bagi kehidupan.
DHAENG SEKARA : Bagaimana Ramanda bisa memastikan hidup dan mati saya
KI BAHUBRAJA : Bocah bodoh! Apa kau pikir nyawa ibu, nenek, bibi, paman dan
semua kerabatmu yang lain cukup hanya ditebus dengan nyawa khunyuk busik
Shimarodra? Oh tidak anakku. Kita harus menghabiskan seluruh keluarganya.
DHAENG SEKARA : Saya tidak bersilat lidah, Ramanda. Tapi saya ingin hidup sebagai
ksatria sejati yang berkewajiban melindungi dan mengayomi orang-orang lemah dan tak
berdaya
DHAENG SEKARA : Saya tidak berkata demikian, Ramanda. Tapi jika Ramanda akan
melakukan pembantaian terhadap perempuan, anak-anak dan orang tua yang tanpa
daya, maka saya harap ramanda membunuh saya terlebih dahulu. Sebab saya tidak
dapat hidup menanggung malu karena tidak dapat menunaikan tugas sebagai ksatria
sejati.
KAKEK BANTAL : Wahai Yang Mutlak/ Aku adalah kedip cahaya kunang-kunang
yang melenyap tanpa makna di hadirat matahari keindahan-Mu/ Aku adalah setetes air
yang sirna ditelan hamparan samudera tanpa batas-Mu/ Aku adalah kejakaman yang
menyatu ke dalam ketunggalan Tauhid-Mu/ Keterbatasanku hanyut ditelan kemutlakan-
Mu/ dan saat kusadari segala tidak kesadaran dalam sadarku, kudapati Engkau
sebagai Penguasa yang menggerakkan seluruh jagad raya hidupku//
TAMAT
*Diadaptasi dari beberapa adegan novel Dhaeng Sekara (Telik Sandi Tanah Pelik
Majapahit) karya Agus Sunyoto