KERIS SEMAR MESEM
Ini adalah salah satu lakon legendaris dalam pewayangan. Meski hanya lakon carangan, Semar Mbangun
Kahyangan hampir pasti pernah dimainkan oleh seluruh dalang. Diluar kisahnya yang penuh edukasi
moral, menjadikan sosok punakawan sebagai sentral pertunjukan adalah daya tarik tersendiri bagi dalang
maupun penikmat wayang. Pesan dari lakon ini adalah bahwa Semar sebagai simbol rakyat, menghendaki
para pemimpin untuk membangun jiwa. Pada lakon ini pula terlihat bahwa terkadang penguasa salah
menafsirkan kehendak rakyat, memperlakukan rakyat sebagai objek yang bodoh, penguasa cenderung
bertangan besi dan mau menang sendiri. Pada Semar Mbangun Kahyangan ini terlihat pada akhirnya
penguasa yang lalim akan terkoreksi oleh rakyat jelata.
Semar adalah dewa yang mengejawantah. Semar adalah rakyat jelata yang mengabdi sebagai pengasuh
para raja penegak kebenaran. Ia hanyalah orang kampung, terbalut dalam busana sederhana yang
melayani umat tanpa pamrih namun penuh kesungguhan. Kuncung putihnya menyiratkan makna bahwa isi
kepala Semar adalah fikiran yang suci, positif, penuh hikmah kebenaran. Dalam kehidupan spiritual Jawa,
Semar tak sekadar fakta historis, namun juga mitologi dan simbolisme tentang keEsa-an. Realita ini tidak
lain hanyalah bukti bahwa masyarakat Jawa sejak zaman lampau adalah masyarakat yang Relegius dan
ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Lakon ini dibuka dengan niat Semar membangun jiwa para Pandawa. Kahyangan yang dimaksud Semar
adalah jiwa, rasa dan ruhani keluarga Pandawa. Oleh karenanya Semar mendaulat Petruk untuk
mengundang hadirnya Yudhistira dan para saudaranya ke Karang Kabulutan, tempat tinggal Semar.
Sebagai tokoh senior sekaligus penasihat agung keluarga Pandawa, sangat masuk akal jika Semar
bermaksud membangun ruhani para majikannya. Terlebih undangan itu disertai permintaan untuk
membawa tiga pusaka: Jamus Kalimasada, Tumbak Kalawelang dan Payung Tunggulnaga.
Simbolisme tiga pusaka tersebut cukup menjelaskan niat baik Semar. Kalimasada banyak dimaknakan
sebagai kalimat syahadat. Dengan pusaka syahadat inilah Semar bermaksud membangun ruhani. Tumbak
Kalawelang adalah simbol ketajaman yang dengan personifikasi tersebut Semar bermaksud membangun
ketajaman hati, ketajaman visi dan indera para Pandawa. Sedangkan Payung Tunggulnaga adalah
ungkapan bahwa Pandawa sebagai pemimpin harus memiliki karakter mengayomi sebagaimana fungsi
payung.
Lakon ini membeberkan fakta bahwa penguasa terkadang salah menafsirkan kehendak rakyat. Dan itulah
yang terjadi pada diri Kresna ketika Petruk mengutarakan maksud Semar. Kresna menganggap rencana
Semar sebagai makar, bertentangan dengan kehendak dewata. Setali tiga uang, Yudhistira yang peragu
mengiyakan saja pendapat Kresna. Tak cukup dengan kata-kata kasar yang menciderai hati, Kresna
memerintahkan para satria untuk mencelakakan Petruk sekaligus menyerang Semar di Karang Kabulutan.
Celakanya, ketika Kresna melaporkan secara sepihak kepada Bathara Guru, pimpinan para dewa itu pun
terprovokasi dan bersekutu untuk sama-sama menyerang Semar.
Bukan Semar namanya jika mundur hanya karena ancaman. Merasa punya niat mulia dan meyakini
kebenaran suara hatinya, Semar bersama prajuritnya: Petruk, Bagong dan Gareng memberi perlawanan
kepada pasukan Pandawa yang didukung Kresna dan Bathara Guru. Disinilah kebenaran bertarung
melawan kelaliman. Semar yang jelata, berhasil mengalahkan penguasa pongah yang merasa benar
sendiri. Ending yang memukau. Secara tegas kisah Semar membawa pesan bagi penguasa untuk
responsif mendengar suara rakyat, untuk bijaksana tak hanya mau menang sendiri, dan tidak semena-
mena dalam menegakkan keadilan. Sekaligus pesan bagi rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran
dan gigih dalam mempertahankan kebenaran itu.
Kisah Semar selalu relevan pada setiap kondisi. Kekuasaan selalu memabukkan, menjadikan penguasa
lalai pada amanat dan lupa kepada rakyat. Pesan Semar adalah suara rakyat, yang kendati lirih, terkadang
memuat niat kebaikan dan kebenaran.