Anda di halaman 1dari 208

Purana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri
Susastra Hindu

Veda
Rgveda · Yajurveda
Samaveda · Atharvaveda
Pembagian Veda
Samhita · Brahmana
Aranyaka  · Upanisad
Upanishad
Aitareya  · Bṛhadāraṇyaka
Īṣa  · Taittirīya · Chāndogya
Kena  · Muṇḍaka
Māṇḍūkya  ·Praśna
Śvetaśvatara
Wedangga
Śikshā · Chanda
Vyakarana · Nirukta
Jyotisha · Kalpa
Itihasa
Mahabharata · Ramayana
Susastra lainnya
Smrti · Purana
Bhagavad Gita · Sutra
Pancaratra · Tantra
Kumara Vyasa Bharata · Stotra
Hanuman Chalisa · Ramacharitamanas
Shikshapatri · Vachanamrut
Lihat pula
Mitologi
Kosmologi
Dewa-Dewi
Portal Hindu
Kotak ini:

 lihat
 bicara
 sunting
Purana (Sanskerta: पुराण ; purāṇa, berarti "cerita zaman dulu") adalah bagian dari
kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata
Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno. Ada 18 kitab Purana yang terkenal dengan
sebutan “Mahapurana”. Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai pada tahun 500
SM.

Daftar kitab Purana (Mahapurana):

1. Matsyapurana
2. Wisnupurana
3. Bhagawatapurana
4. Warahapurana
5. Wamanapurana
6. Markandeyapurana
7. Wayupurana
8. Agnipurana
9. Naradapurana
10. Garudapurana
11. Linggapurana
12. Padmapurana
13. Skandapurana
14. Bhawisyapurana
15. Brahmapurana
16. Brahmandapurana
17. Brahmawaiwartapurana
18. Kurmapurana

Wajrayana
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tantra)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Bagian dari serial
Agama Buddha

Sejarah
Garis waktu
Dewan-dewan Buddhis
Konsep ajaran agama Buddha
Empat Kesunyataan Mulia
Delapan Jalan Utama
Pancasila · Tuhan
Nirvana · Tri Ratna
Ajaran inti
Tiga Corak Umum
Samsara · Kelahiran kembali · Sunyata
Paticcasamuppada · Karma
Tokoh penting
Siddharta Gautama
Siswa utama · Keluarga
Tingkat-tingkat Pencerahan
Buddha · Bodhisattva
Empat Tingkat Pencerahan
Meditasi
Wilayah agama Buddha
Asia Tenggara · Asia Timur
Tibet · India dan Asia Tengah
Indonesia · Barat
Sekte-sekte agama Buddha
Theravada · Mahayana
Vajrayana · Sekte Awal
Kitab Suci
Sutta · Vinaya · Abdhidahamma

Wajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia
lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak juga istilah lain
yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran mantra rahasia, ajaran Buddha
eksoterik. Wajrayana adalah merupakan ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha
Mahayana, dan berbeda dalam hal praktik, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran
Wajrayana, latihan meditasi sering di barengi dengan visualisasi.

Daftar isi
 1 Etimologi
 2 Filosofi
 3 Pandangan Salah
 4 Pentingnya Guru yang Berkualitas
 5 Istilah Ajaran (Mantra) Rahasia
 6 Sejarah dan Silsilah Wajrayana
o 6.1 Silsilah Nyingmapa
o 6.2 Silsilah Sakyapa
o 6.3 Silsilah Kagyudpa
o 6.4 Silsilah Gelugpa
 7 Lihat pula
 8 Pranala luar

Etimologi
Istilah "Wajrayana" berasal dari kata vajra yang dalam bahasa sanskerta bermakna 'halilintar'
atau 'intan'. Wajra melambangkan intan sebagai unsur terkeras di Bumi, maka istilah
Wajrayana dapat bermakna "Kendaraan yang tak dapat rusak".
Filosofi
Filosofi ajaran agama Buddha dapat dibagi dua: Hinayana/Pratimokshayana (salah
satunya Theravada) dan Mahayana. Hinayana menekankan pada pencapaian sebagai
Arahat, sedangkan Mahayana pada pencapaian sebagai Bodhisattva. Tantrayana yang
merupakan bagian dari Mahayana juga sering dikenal dengan nama jalan Boddhisattva.
Hinayana dapat dibagi menjadi Vaibhashika dan Sautrantika. Sedangkan Mahayana dibagi
menjadi Cittamatra dan Madhyamika. Madhyamaka ini terdiri dari Rangtong (yang
mencakup Sautrantika dan Prasangika) dan Shentong (Yogacara). Keempat filosofi ajaran
Buddha ini (Vaibhasika, Sautrantika, Cittamatra, dan Madhyamika) telah ada sejak zaman
Buddha Gautama, muncul karena adanya perbedaan kepercayaan, perbedaan level
pemahaman, perbedaan pencapaian, dan realisasi dari para murid Buddha.

Ajaran Vaibhasika dan Sautrantika banyak terdapat di Thailand, Burma, Sri Lanka, dan
Kamboja. Ajaran Cittamatra ini banyak ditemui di China, Taiwan, Jepang, Hongkong,
Singapur, Malaysia, Indonesia, Tibet, dan sekitarnya. Ajaran Uma Shentongpa merupakan
bagian dari ajaran Madyamika, yang percaya bahwa self-nature (sifat alami kita) sebenarnya
tidaklah sekadar kosong, karena self-nature (sifat alami kita) adalah Buddha-nature (inti
benih ke-Buddhaan), yang memiliki semua kualitas Buddha.

"śūnyatā sarvadriṣṭīṇām proktā niḥsaraṇam jinaiḥ yeṣām tu śūnyatādṛṣṭtis tan asādhyan


babhāṣire"

"Para Penakluk mengatakan bahwa (realisasi) Sunyata mengeliminasi semua pandangan.


Semua yang mencengkeram pandangan Sunyata itu dikatakan tidak dapat diobati."

- Nagarjuna, Mūlamadhyamakakārikā 13.8

Mencengkeram pandangan Sunyata ialah pandangan salah yang belum memahami sunyata.
Di antara semua pandangan salah, Nagarjuna menyatakan bahwa pandangan salah yang satu
ini tidak dapat diobati lagi. Karena ajaran Sunyata ini sedemikian mendalam, maka tidak
sepantasnya dipandang sebagai sekadar 'kosong'.

Ajaran Madyamika ini awalnya banyak terdapat di Pegunungan Himalaya, seperti di Tibet,
Nepal, Bhutan, Sikkim, namun sekarang telah ada di berbagai negara Asia dan di negara
Barat. Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama
Buddha Tibet, yang merupakan bagian dari Mahayana dan diajarkan langsung oleh Buddha
Sakyamuni yang amat cocok untuk dipraktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang
hidup sendiri (tidak menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di
vihara Vajrayana.

Pandangan Salah
Di beberapa negara (terutama di Asia), banyak sekali anggapan bahwa Wajrayana merupakan
ajaran mistik, penuh dengan kegaiban. Hal ini sebenarnya tidaklah benar. Dalam Wajrayana,
terdapat banyak sekali metode dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Wajrayana
yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini
sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus
diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian
adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini
menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil
samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-
an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang
harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka
mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma
yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan/ketidaktahuan (Moha) yang
dimiliki.

Sang Buddha sering berpesan kepada murid-murid-Nya, bahwa mereka tidak boleh
memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula,
para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi
ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya
menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang
memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus
selubung kebodohan, ketidaktahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi
dalam diri murid tersebut.

Menurut catatan, banyak sekali praktisi tinggi Wajrayana yang memiliki kemampuan (siddhi)
yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan yang telah dimakan (Tilopa), terbang
di angkasa (Milarepa), membalikkan arus Sungai Gangga (Biwarpa), menahan matahari
selama beberapa hari (Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya
meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan kuda, mengubah
batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran seseorang ke alam suci Sukavati
(yang dikenal dengan istilah phowa), dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat
kematian & kelahirannya kembali (H. H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak terbakar
ketika dikremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi, dll. Di dalam Wajrayana, semua
hasil yang kita peroleh dari latihan kita, haruslah kita simpan serapi mungkin, bukan untuk
diceritakan pada orang lain. Sebagai pengecualian, kita boleh mendiskusikan hal tersebut
dengan Guru kita, jika memang ada hal yang kurang kita mengerti.

Pentingnya Guru yang Berkualitas


Dalam ajaran Wajrayana, hubungan antara seorang Guru dan seorang murid adalah amat
penting. Seorang murid tidak akan pernah memperoleh pencapaian tanpa bantuan seorang
Guru yang berkualitas, karena Guru yang berkualitas merupakan perwujudan dari Buddha,
Dharma, dan Sangha. Di dalam Wajrayana, seorang guru bisa saja merupakan seorang Yogi
(pertapa), seorang His Holliness, seorang Rinpoche, ataupun seorang Lama. Seorang Guru
berkualitas adalah guru yang telah diakui oleh pimpinan keempat aliran: Nyingmapa,
Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa. Di dalam Vajrayana, seorang praktisi tidak dilarang untuk
menikah, serta juga tidak diharuskan untuk hidup bervegetarian (Catatan: Pada saat bercocok
tanam, banyak juga makhluk yang terbunuh. Hidup sebagai seorang vegetarian tidaklah
menjadikan kita suci, tergantung motivasi kita. Perilaku kita dalam berlatih sehari-harilah
yang amat menentukan, termasuk di dalamnya: perbuatan/tubuh, ucapan, serta pikiran kita).
Banyak dari Guru Vajrayana yang tidak menikah, namun tidak sedikit juga yang menikah.
Pasangan dari seorang Guru Vajrayana bukanlah seorang wanita biasa, mereka biasanya
merupakan seorang dakini (makhluk suci yang telah memperoleh pencapaian) yang
ditugaskan untuk membantu sang Guru dalam memperoleh pencapaian demi kebahagiaan
semua makhluk.
Dalam ajaran Theravada dan Mahayana dikenal dengan istilah tiga akar, yaitu mengambil
perlindungan pada Buddha, Dharma, dan Sangha. Di dalam ajaran Wajrayana, selain
penyerahan total Tubuh, Ucapan, Pikiran dan berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha,
terdapat juga 3 akar tambahan, yaitu: penyerahan total Tubuh, Ucapan, Pikiran dan
berlindung pada Guru, Yidam, dan Protektor. Ketika kita berbicara tentang penyerahan
total dan perlindungan, maka terlihat jelas betapa pentingnya kita mencari seorang Guru yang
benar-benar berkualitas, yang hanya dengan bantuan dan berkah yang diberikan-Nya kita bisa
mencapai pencerahan.

Di dalam latihan, amat diperlukan seorang guru yang berkualitas, sehingga kita perlu
berhati-hati dalam memilih seorang guru (words of my perfect teacher - Patrul Rinpoche).
Seorang guru yang berkualitaslah yang dapat membimbing dan membantu kita dalam
mencapai pencerahan. Kualitas seorang guru dapat kita lihat dari riwayat silsilah beliau
(kebanyakan merupakan seorang Tulku) serta adanya pengakuan dari pimpinan keempat
aliran (Nyingmapa, Sakyapa, Kagyudpa, Gelugpa). Hal ini yang menjadi salah satu unsur
pokok dalam Wajrayana. Pada saat lahirnya seorang Tulku (guru berkualitas), biasanya
ditandai dengan adanya tanda alam yang ikut bergembira, misalnya: adanya pelangi, udara
dipenuhi dengan wangi dupa dan bunga, terdengar alunan musik di angkasa, dll. Pada saat
dikremasi, sering lidah dan jantung seorang Tulku tidak terbakar, adanya tulisan mantra di
batok kepala, juga sering ditemukan relik-relik yang indah. Tidak jarang juga seorang Tulku
mencapai tubuh pelangi saat mereka meninggal (tubuh hilang tanpa bekas, hanya
meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti).

Dalam melaksanakan latihan, sering dianjurkan untuk berlatih tiap hari secara disiplin.
Banyak guru mengatakan bahwa lebih baik berlatih 10 menit tiap hari, daripada berlatih 300
menit secara berturut-turut tanpa henti, lalu istirahat selama sebulan.

Istilah Ajaran (Mantra) Rahasia


Dalam tradisi tertentu, sering ajaran diturunkan secara rahasia dari seorang guru kepada
seorang murid (seperti misalnya ajaran Bisikan Dakini yang diterima oleh Tilopa langsung
dari Dakini, yang diajarkan kepada Naropa, kemudian diturunkan secara rahasia oleh
Milarepa hanya kepada seorang murid saja (Gampopa), sang murid juga menurunkan hanya
kepada seorang muridnya, begitu seterusnya, ajaran ini tidak diberikan kepada umum).
Dengan adanya hal-hal seperti ini, sering juga ajaran Vajrayana dikenal dengan ajaran
rahasia. Karena praktik Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga
dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.

Ajaran Wajrayana sering juga disebut dengan Praktik Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal
ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia
akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan.
Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia
peroleh.

Selain itu dalam Wajrayana terdapat juga latihan Protektor, latihan Channel, dan Cakra. Jika
latihan ini dipublikasi, maka akan mengakibatkan adanya salah tafsir dari arti latihan yang
sebenarnya, yang banyak terjadi pada mereka yang kurang percaya ataupun yang tidak
mengerti. Sebagai contoh: Jika orang mendengar tentang Buddha, maka dalam bayangan
mereka Buddha digambarkan sebagai sesuatu yang tenang, damai, dan indah. Namun
beberapa gambar Protektor terlihat murka/garang, walaupun sebenarnya Protektor adalah
merupakan manifestasi dari Buddha juga. Jika orang awan melihat hal ini, maka mereka akan
mulai mengkritik dan menyalahartikan ajaran Vajrayana, dan hal ini akan berakibat
terjadinya karma buruk, yang tentu amat merugikan diri mereka sendiri. Oleh karena itu,
dalam latihan tingkat tinggi Wajrayana, latihan selalu harus dilakukan secara rahasia.

[tampilkan]

Bagian dari serialAgama Buddha

di Tibet

Sejarah dan Silsilah Wajrayana


Buddhadharma atau Buddhisme mulai masuk ke Tibet sekitar abad ketujuh pada masa
pemerintahan Raja Songtsen Gampo. Pada abad kedelapan, Buddhisme mulai berakar di
Tibet, yaitu pada masa pemerintahan Raja Trisong Detsen. Acharya Padmasambhava dan
Abbot Shantirakshita membantu Raja untuk membawa dharma ke Tibet dan menerjemahkan
ajaran-ajaran Buddha ke dalam bahasa Tibet. Semua ajaran dan praktik Buddhisme Tibet
berasal langsung dari Buddha Sakyamuni. Tidak dapat dimungkiri bahwa ajaran yang
berada di Tibet mempunyai hubungan ke suatu tradisi di India. Vajrayana memiliki 4 tradisi
atau silsilah, yakni: Silsilah Nyingmapa, Silsilah Sakyapa, Silsilah Kagyudpa, dan Silsilah
Gelugpa.

Silsilah Nyingmapa

Silsilah Nyingma (sering disebut silsilah Terma) merujuk pada Buddha Samantabhadra,
Vajrasattva, dan Garab Dorje dari Uddiyana. Sosok yang paling penting dalam Nyingma
adalah mahaguru dari India Guru Padmasambhava, sebagai pendiri dari silsilah Nyingma,
yang datang ke Tibet di abad kedelapan. Padmasambhava diundang oleh Raja Mindrolling
Trichen Trisong Deutsan (742-797) untuk memusnahkan kekuatan jahat dan mendirikan
pusat pengajaran agama Buddha di Tibet. Ia dikenal dengan nama Guru Rinpoche (guru yang
amat berharga). Selama bertahun-tahun Guru Rinpoche dan Abbot Shantarakshita
mengajarkan sutra dan tantra secara menyeluruh di Tibet. Padmasambhava menyembunyikan
secara gaib ratusan Terma (ajaran dan petunjuk) dalam bentuk: kitab suci, gambar,
artikel/teks upacara agama, yang hanya dapat ditemukan oleh orang tertentu yang memiliki
pencapaian, pada masa depan. Sebagian dari Terma ini telah ditemukan, dan diajarkan secara
rahasia dari guru ke murid. Maka muncullah istilah silsilah Terma (wahyu). Pimpinan
Nyingma saat ini adalah Yang Mulia Mindrolling Trichen Rinpoche, yang mendirikan Biara
Mindrolling di Clementown, Dehradun, India.

Silsilah Sakyapa
Silsilah Sakya dimulai dari seorang yogi besar India, Virupa (abad ke-9), salah satu dari 84
Mahasiddhas yang amat terkenal dan memiliki pencapaian serta dapat melakukan berbagai
keajaiban. Melalui Gayadhara (994-1043) silsilah ajaran diturunkan kepada seorang murid
Tibet bernama Drokmi Lotsawa Shakya Yeshe (992-1072 ). Drokmi Lotsawa kemudian
menurunkan silsilah ajaran kepada murid utamanya, Khon Könchok Gyalpo (1034-1102),
yang membangun biara besar di wilayah Tsang, di pusat Tibet. Tradisi garis silsilah Sakya
berhubungan erat dengan keluarga Khon, yang menurut sejarahnya berasal dari makhluk
sempurna yang memiliki pencapaian tinggi. Silsilah ini berlanjut terus hingga sekarang sejak
masa Könchok Gyalpo (1034-l102), sebagai pendiri tradisi sakya. Pimpinan silsilah ajaran
Sakya saat ini adalah Yang Mulia Sakya Trizin (Ngakwang Kunga Thekchen Palbar Samphel
Ganggi Gyalpo), yang lahir pada tahun 1945 di Tsedong, Tibet. Yang Mulia Sakya Trizin
tinggal di Rajpur, India, dan melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk menyebarkan
ajaran silsilah Sakya demi kebahagiaan semua makhluk. Pada tahun 1974, Yang Mulia Sakya
Trizin menikahi Dakmo Tashi Lhakyi dan memiliki dua anak, Ratna Vajra Rinpoche (lahir
tahun 1974) dan Jnana Vajra Rinpoche (lahir tahun 1979).

Silsilah Kagyudpa

Silsilah Kagyud dimulai dari Mahasiddha agung Tilopa (988-1069), salah satu dari 84
mahasiddhas besar India, yang pertama kali mengembangkan wawasan spontan. Pencapaian
ini diperoleh melalui metode yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni hanya kepada murid
terdekat beliau. Tilopa sendiri sebenarnya bukanlah manusia biasa. Ketika Tilopa masih
muda, ada sosok Dakini bertampang seram yang menampakkan diri di hadapannya. Tilopa
menanyakan status, asal-usul dan keluarganya, dan Dakini ini menjawab: “Negrimu adalah
Udiyana, ayahmu adalah Chakrasamvara, ibumu adalah Vajrayogini”. Tilopa kemudian
menurunkan garis silsilah Kagyu kepada Naropa (1016-1100) dan diteruskan kepada Marpa
Lotsawa (1012-1097), berlanjut kepada Milarepa (1052-1135) seorang yogi yang amat
terkenal di Tibet, yang mencapai pencerahan dalam 1 kehidupan (Malarepa awalnya adalah
seorang dukun aliran Bon yang berilmu amat tinggi, yang telah membunuh penduduk sebuah
desa dengan jalan menciptakan batu besar dan menjatuhkannya dari langit, serta menciptakan
kalajengking dan kelabang sebesar sebuah rumah). Milarepa memperoleh pencerahan di
bawah bimbingan yang amat keras dari gurunya, Marpa Lotsawa. Karena keuletan dan devosi
yang besar terhadap Dharma, Milarepa berlatih dengan keras, tanpa mengenal lelah setiap
detik, hingga tidak memikirkan makan serta hal duniawi lainnya. Dengan memperhatikan
pikiran yang muncul, membuang semua noda batin, akhirnya Milarepa mampu mencapai
pencerahan hanya dalam 1 kehidupan dan memiliki banyak sekali kemampuan supranatural.
Milarepa menurunkan silsilah pada Gampopa (1079-1153), yang kemudian diturunkan
kepada Karmapa I – Dusum Kyenpa (1110-1193) dan berlanjut hingga sekarang pada
Karmapa XVII - Ogyen Trinley Dorje (lahir tahun 1985). Silsilah Kagyud dapat dibagi
menjadi 4 aliran besar dan 8 aliran kecil. Keempat aliarn besar tersebut adalah: Phaktru
('phag gru) Kagyud, Kamtsang (kam tshang) atau disebut juga Karma (kar ma) Kagyud,
Tsalpa (tshal pa) Kagyud, dan Barom ('ba' rom) Kagyud. Sedangkan 8 aliran kecil merupakan
subbagian dari Phaktru Kagyud, yaitu: Drikhung Kagyud, Drukpa Kagyud, Taklung Kagyud,
Yasang Kagyud, Trophu Kagyud, Shuksep Kagyud, Yelpa Kagyud, serta Martsang Kagyud.
Pimpinan dari Silsilah Kagyud saat ini adalah Yang Mulia Karmapa XVII - Ogyen Trinley
Dorje, yang merupakan reinkarnasi ke-17 Karmapa, dan sekarang hidup di pengasingan di
India. Ia diyakini sebagai emanasi dari Bodhisattva Chenrezig, dan akan menjadi Buddha ke-
6 yang membabarkan dharma pada masa yang akan datang, dengan nama Buddha Simha
(setelah Boddhisatva Maitreya sebagai Buddha ke-5 yang akan lahir kembali terakhir kali
sebagai Pangeran Ajita). Buddha Sakyamuni-yang terlahir sebagai pangeran Sidharta
Gautama-merupakan Buddha ke-4, Buddha saat ini (akan ada 1002 Buddha dalam Kalpa ini).
Buddha Simha (H. H. Karmapa) ini telah diramalkan oleh Sang Buddha sendiri dan tertulis
dalam Bhadrakalpa Sutra (ditulis dalam bahasa Sanskerta).

Silsilah Gelugpa/kadampa

Silsilah Gelugpa berasal dari tradisi Kadampa, yang diajarkan oleh guru besar dari India,
Atisha (982-1054). Silsilah Gelugpa ini didirikan oleh seorang guru besar Tibet, Je
Tsongkhapa Lobsang Drakpa (1357-1419). Je Tsongkhapa mendirikan Biara Gaden (Drok
Riwo Ganden) yang menjadi pusat pengajaran silsilah Gelug. Pimpinan silsilah Gelug disebut
dengan Gaden Tripa Rinpoche (pemegang takhta). Yang Mulia Gaden Tripa Rinpoche saat
ini adalah Khensur Lungri Namgyel, yang merupakan pemegang silsilah ke-101 dari Gaden
Tripa (sejak 2003).

Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Yang Mulia Dalai Lama XIV. Beliau selain
sebagai seorang spiritual, juga seorang tokoh politik Tibet yang disegani berbagai pihak,
termasuk negara Barat. Dalai Lama XIV saat ini hidup di pengasingan, di Dharamsala
(India).

Lihat pula
 Theravada - Hinayana
 Mahayana

Pranala luar
 Simhas
 Kagyud Office - Kagyudpa
 Zurmang Kagyud Indonesia
 Mindrolling - Nyingmapa
 SakyaTrizin - Sakyapa
 Dalailama - Gelugpa
 Master Sheng Yen Lu
 Master Sheng Yen Lu - English Biografi

0Weda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Veda)
Belum Diperiksa

Weda (Sanskerta: वेद; Vid, "ilmu pengetahuan") adalah kitab suci agama Hindu. Weda
merupakan kumpulan sastra-sastra kuno dari zaman India Kuno yang jumlahnya sangat
banyak dan luas. Dalam ajaran Hindu, Weda termasuk dalam golongan Sruti (secara harfiah
berarti "yang didengar"), karena umat Hindu percaya bahwa isi Weda merupakan kumpulan
wahyu dari Brahman (Tuhan). Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia
yang masih ada hingga saat ini. Pada masa awal turunnya wahyu, Weda diturunkan/diajarkan
dengan sistem lisan — pengajaran dari mulut ke mulut, yang mana pada masa itu tulisan
belum ditemukan — dari guru ke siswa. Setelah tulisan ditemukan, para Resi menuangkan
ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.[1] Weda bersifat apaurusheya, karena berasal dari
wahyu, tidak dikarang oleh manusia, dan abadi.[2] Maharesi Byasa, menyusun kembali Weda
dan membagi Weda menjadi empat bagian utama, yaitu: Regweda, Yajurweda, Samaweda
dan Atharwaweda. Semua itu disusun pada masa awal Kaliyuga.

Daftar isi
 1 Etimologi
 2 Upaweda
 3 Catatan kutipan
 4 Referensi
 5 Pranala luar

Etimologi
Secara etimologi, kata Weda berakar dari kata vid, yang dalam bahasa Sanskerta berarti
"mengetahui", dalam rumpun bahasa Indo-Eropa berakar dari kata weid, yang berarti
"melihat" atau "mengetahui".[3] weid juga merupakan akar kata dari wit dalam Bahasa Inggris,
sebagaimana kata vision dalam bahasa Latin.

Upaweda
Upaweda merupakan turunan dari Weda yang merupakan jurusan ilmu yang lebih spesifik
dalam aplikasi kehidupan. Upaweda digolongkan dalam beberapa jurusan, antara lain:

 Ayurweda - Ilmu pengobatan.


 Dhanurweda - Seni bela diri dan persenjataan.

Ayurveda dan Dhanurveda memiliki beberapa kesamaan dalam kegiatan prakteknya.


Keduanya bekerja dengan memanfaatkan Marma, energi Prana yang mengalir di
dalam tubuh. Ayurveda berfungsi mengobati badan jasmani, sedangkan Dhanurveda
memanfaatkan energi prana sebagai pelindung tubuh. Konsep ini juga dikenal dalam
ilmu pengetahuan di Cina, dalam akupuntur dan seni beladiri-nya.

 Stahapatya Veda - Ilmu Arsitektur, Seni Pahat dan Ilmu Geomansi.


 Gandharv Veda - Seni musik, sajak dan tari

Beberapa bidang ilmu seperti Jyotisha (Ilmu Astrologi), Tantra, Shiksha dan Vyakara (Ilmu
Tata Bahasa) juga bersumber pada Weda.

Catatan kutipan
1. ^ "The Vedas". sacred-texts.com. Diakses 2006-08-30.
2. ^ Prof. D. Prahladachar (2006). "Vedâpauruseyatva" (PDF). D.K. Printworld
(P) Ltd. Diakses pada 30 Agustus 2006.
3. ^ [1]

Referensi
filologis

 Benjamin Walker Hindu World: An Encyclopedic Survey of Hinduism, (Two


Volumes), Allen & Unwin, London, 1968; Praeger, New York, 1968; Munshiram
Manohar Lal, New Delhi, 1983; Harper Collins, New Delhi, 1985; Rupa, New Delhi,
2005, ISBN 81-291-0670-1.
 Maurice Bloomfield, A Vedic Concordance, Harvard Oriental Series, 1907
 Klaus Mylius, Geschichte der altindischen Literatur, Wiesbaden (1983).
 Moriz Winternitz History of Indian Literature, Vol.1 (Calcutta 1926) p.lreligi

 Sri Aurobindo ,The Secret of the Veda[2]. Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry. 1972.
 Sri Aurobindo, The Upanishads [3]. Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry. 1972.
 David Frawley, Wisdom of the Ancient Seers
 Made Titib, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita, Surabaya, 1996,
ISBN 979-9044-04-9

Pranala luar
 (Inggris) Vedic Fire to Dissolve the Negativity
 (Inggris) Read the scientific analysis of ancient vedic mantras that have a healing
effect on human mind and body
 (Inggris) HinduWiki.Com - A collaborated wiki web site covering all aspects of
Hinduism.
 (Inggris) Read the four Vedas online
 (Inggris) Details about Vedas like Origin and meaning, Founder, Significance of
study etc.
 (Inggris) Questions on the Dating of the Vedas
 (Inggris) A great source of information
 (Inggris) The Vedas at sacred-texts.com
 (Inggris) Vedas: Rig, Sama, Yajur, and Artharva
 (Inggris) Excellent site about Vedas (Aurobindo)
 (Inggris) Veda and Upanishads
 (Inggris) VEDA - Vedas and Vedic Knowledge Online (Vaishnava and general)
 (Inggris) Vedic Cosmology
 (Inggris) Vedic Chanting .mp3 audio files
 (Inggris) Photos of the performance of Vedic rituals in India
 (Inggris) Vedic and Spirituel Literature
 (Inggris) Vedic Astronomy
 (Inggris) Photos, Multimedia files, and explanations of Vedic traditional rituals
 (Inggris) Weekly podcast on Vedic Mythology and Vedic Chanting
 (Inggris) Movement for the Restoration of Vedic Wisdom
 (Inggris) Vedas
 (Inggris) Free audio of Vedamantrams to listen
[sembunyikan]

 l
 b
 s

Topik dalam agama Hindu


Śruti Weda • Upanisad • Srauta
Itihasa (Ramayana • Mahabharata • Bhagawadgita) • Purana • Sutra • Agama
Smerti
(Tantra • Yantra)
Awatara • Atman • Brahman • Kosa • Dharma • Karma • Moksa • Maya •
Konsep Istadewata • Murti • Reinkarnasi (Punarbhawa) • Tatwa • Trimurti • Turiya •
Guru
Darshana • Samkhya • Nyaya • Waisiseka • Yoga • Mimamsa • Wedanta •
Filosofi
Tantra • Bhakti Yoga • Jnana Yoga • Karma Yoga
Ritual Aarti • Bhajan • Diksa • Mantra • Puja • Satsang • Stotra • Trisandya • Yadnya
Shankara • Ramanuja • Madhvacharya • Ramakrishna • Sarada Devi •
Vivekananda • Narayana Guru • Aurobindo • Ramana Maharshi • Sivananda •
Guru
Chinmayananda • Sivaya Subramuniyaswami • Swaminarayan • Prabhupada •
Lokenath • Sant Sri Asaramji Bapu • Sathya Sai Baba
Denominasi Waisnawa • Saiwisme • Saktisme • Smartisme • Reformasi Hindu
Dewa-Dewi Hindu • Daftar Dewa-Dewi Hindu • Peperangan dalam mitologi
Mitologi
Hindu • Kosmologi Hindu
Yuga Satyayuga • Tretayuga • Dwaparayuga • Kaliyuga
CaturwarnaBrahmana • Ksatriya • Waisya • Sudra • Dalit

Regweda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Rgveda)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri
Susastra Hindu

Veda
Rgveda · Yajurveda
Samaveda · Atharvaveda
Pembagian Veda
Samhita · Brahmana
Aranyaka  · Upanisad
Upanishad
Aitareya  · Bṛhadāraṇyaka
Īṣa  · Taittirīya · Chāndogya
Kena  · Muṇḍaka
Māṇḍūkya  ·Praśna
Śvetaśvatara
Wedangga
Śikshā · Chanda
Vyakarana · Nirukta
Jyotisha · Kalpa
Itihasa
Mahabharata · Ramayana
Susastra lainnya
Smrti · Purana
Bhagavad Gita · Sutra
Pancaratra · Tantra
Kumara Vyasa Bharata · Stotra
Hanuman Chalisa · Ramacharitamanas
Shikshapatri · Vachanamrut
Lihat pula
Mitologi
Kosmologi
Dewa-Dewi
Portal Hindu
Kotak ini:

 lihat
 bicara
 sunting

Kitab Rg Weda dalam aksara Dewanagari dari abad ke-19.

Regweda (Sanskerta ṛgveda Dewanagari, ऋग्वेद) atau Rigweda adalah kitab Śruti yang
paling utama. Ia terdiri dari 1,017 (+11 appendix = 1,028) nyanyian pujaan (himne) dengan
jumlah total 10.562 baris yang dijelaskan dalam 10 buku. Satu hymne memiliki tiga bagian
dasar. Bagian pertama adalah permohonan (exhortation), bagian kedua adalah pujian terhadap
Dewa tertentu dalam bentuk doa, dan bagian ketiga adalah permohonan khusus. Agama yang
dijelaskan dalam Regweda dapat disebut Brahmanisme atau Wedisme. Dalam Regweda kita
melihat bangsa Arya baru saja menetap di lembah-lembah sungai Indus dan memuja semua
kekuatan alam seperti udara (Bayu), air (Baruna), matahari (Surya), bulan (Soma), dan api
(Agni). Rgweda sebagaimana bukan kitab suci yang disusun selama periode waktu tertentu
tapi satu kitab suci yang disusun dalam tahapan selama beberapa abad.
Satu ide yang paling penting yang datang dari Regweda adalah tatanan kosmik yang disebut
Reta. Reta berarti "tatanan suci dan alam semesta" satu tatanan paling harmonis dan tertinggi
dari struktur realitas. Belakangan tatanan alam semesta yang disebut Reta ini menjadi atau
disebut sebagai Sanathana Dharma atau "kebenaran abadi." Dharma tidak saja menjadi
hukum universal tapi juga hukum moral dari agama Hindu.

Kata Regweda atau dalam bahasa Sanskerta ṛgveda, adalah sebuah kata majemuk berbentuk
tatpuruṣa dari ṛc "pujaan, himne"[1] dan veda "pengetahuan") adalah sebuah kumpulan suci
himne-himne atau nyanyian pujaan dalam bahasa Weda yang berasal dari anakbenua India
dan dipersembahkan para dewa Hindu. Teks ini termasuk empat teks Hindu kanonik (śruti)
yang dikenal sebagai Caturweda. Berdasarkan bukti filologis dan linguistik, Rgweda digubah
kurang lebih antara tahun 1700 – 1100 SM (masa Weda awal) di daerah Sapta Sindhu
("Tanah Tujuh Sungai Agung") yang sekarang terletak di sekitar Punjab. Dengan ini teks ini
termasuk salah satu teks religius tertua dunia yang masih tetap digunakan dan juga termasuk
teks-teks tertua dalam bahasa Indo-Eropa manapun.

Terdapat kemiripan yang erat secara linguistik dan budaya antara Rgweda dan Avesta awal
Iran, yang keduanya diturunkan pada masa Proto-Indo-Iran, dan seringkali dihubungkan
dengan budaya Andronovo yang berasal dari sekitar tahun 2000 SM.[2]

Sekarang, teks ini dimuliakan oleh umat Hindu di seluruh dunia. Bait-baitnya diresitasikan
pada kesempatan berdoa, bersembahyang, dan acara-acara keagamaan atau resmi lainnya.

Daftar isi
 1 Teks
o 1.1 Pelestarian
 2 Terjemahan
 3 Bibliografi
o 3.1 Komentar
o 3.2 Filologi
o 3.3 Sejarah
o 3.4 Archaeoastronomi
 4 Pranala luar
 5 Referensi

Teks
Regweda terdiri[3] atas 1.028 himne (atau 1.017 jika tidak ikut menghitung himne-himne
valakhīlya 8.49–8.59) dalam bahasa Sanskerta. Banyak himne yang ditujukan untuk berbagai
ritual kurban. pasti gila

Kumpulan panjang ini biasanya dipersembahkan sebagai pujaan kepada Dewata. Regweda
dibagi menjadi 10 kitab yang dikenal dengan nama Mandala. Setiap mandala terdiri atas
beberapa syair pujaan atau himne yang disebut sūkta (merupakan kata majemuk su+ukta dan
secara harafiah artinya "resitasi indah") atau eulogi. Pada gilirannya setiap bait terdiri atas
apa yang disebut dengan istilah ṛc, jamak ṛcas. Mandala-mandala ini tidaklah sama
panjangnya atau sama usianya: "kitab-kitab keluarga", mandala 2-7 dianggap bagian tertua
Regweda, dan merupakan kitab-kitab terpendek. Ditilik dari panjangnya, bagian-bagian ini
jumlahnya sekitar 38% dari teks secara keseluruhan.RW 8 dan RW 9, kemungkinan memuat
himne-himne yang usianya berbeda-beda dan jumlahnya sekitar 15% dan 9%. Dan akhirnya,
RW 1 dan RW 10, kedua-duanya merupakan yang terpanjang dan termuda dan membentuk
sekitar 37% dari teks secara keseluruhan..

Pelestarian

Teks ini dalam bentuk yang terlestarikan, digubah pada masa Zaman Besi (antara abad ke-
9SM sampai abad ke-7SM). Teks yang sudah terikat ini dilestarikan selama lebih dari 1000
tahun hanya oleh tradisi lisan saja dan kemungkinan besar tidak dituliskan sampai pada masa
Gupta.[4] Teks ini terlestarikan pada dua cabang atau śākhā utama (maksudnya tradisi atau
mazhab) yaitu Śākala dan Bāṣkala. Ditilik dari usianya yang sudah sangat sepuh, cukup
mencengangkan bahwa teks ini cukup baik terlestarikan dan tidak terdapatkan korupsi yang
berarti. Masih berhubungan dengan Śākala adalah Aitareya-Brahmana. Yang termasuk
Bāṣkala ialah Khilani dan Kausitaki-Brahmana berhubungan dengannya.

Kompilasi atau ini redaksi ini meliputi tata aturan dalam kitab-kitab ini termasuk perubahan
ortoepik, seperti pemadanan sandhi (disebut oleh Oldenberg sebagai orthoepische
Diaskeunase). Hal-hal ini terjadi beberapa abad setelah penggubahan himne-himne tertua,
kurang lebih sama waktunya dengan redaksi Weda lainnya.

Dari masa penggubahannya sampai sekarang, teks ini diturunkan dalam dua versi yang
berbeda: versi Samhitapatha yang memuat semua penerapan hukum sandhi Sanskerta. Versi
inilah yang dipakai untuk mengaji atau resitasi. Sedangkan pada versi Padapatha semua kata-
kata di... dalam bentuk pausa-nya (jadi tanpa penerapan hukum sandhi) dan dipakai sebagai
sarana penghafalan. Seolah-olah Padapatha merupakan komentar terhadap Samhitapatha.
Teks asli ini direkonstruksikan berdasarkan alasan-alasan yang sesuai dengan kaidah metrum
(maksudnya "orisinal" dalam arti bahwa ini mencoba untuk mencapai apa yang telah
dilestarikan oleh para Resi) dan hasilnya terletak di antara kedua versi ini, namun lebih dekat
kepada Samhitapada.

Terjemahan
Rgveda telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dunia, berikut ini adalah beberapa
diantaranya:

 Bahasa Latin: F. Rosen, Rigvedae specimen, London, 1830


 Bahasa Perancis: A. Langlois, Paris 1948-51 ISBN 2-7200-1029-4
 Bahasa Inggris: Ralph T.H. Griffith, Hymns of the Rig Veda (1896)
 Bahasa Jerman: Karl Friedrich Geldner, Der Rig-Veda: Aus dem Sanskrit ins
Deutsche übersetzt Harvard Oriental Studies, vols. 33, 34, 35 (1951), reprint
Harvard University Press (2003) ISBN 0-674-01226-7
 Bahasa Rusia: Tatyana Ya. Elizarenkova, Nauka, Moscow 1989-1999.
 Bahasa Hungaria (Partial): Laszlo Forizs, Rigvéda - Teremtéshimnuszok
(Creation Hymns of the Rig-Veda), Budapest, 1995 ISBN 963-85349-1-5
Hymns of the Rig-Veda in Hungarian
Bibliografi
Komentar

 Sayana (14th century), ed. Müller 1849-75


 Sri Aurobindo: Hymns of the Mystic Fire (Commentary on the Rig Veda), Lotus
Press, Twin Lakes, Wisconsin ISBN 0-914955-22-5 [1]

Filologi

 Thomas Oberlies, Die Religion des Rgveda, Wien 1998.


 Oldenberg, Hermann: Hymnen des Rigveda. 1. Teil: Metrische und textgeschichtliche
Prolegomena. Berlin 1888; Wiesbaden 1982.
 — Die Religion des Veda. Berlin 1894; Stuttgart 1917; Stuttgart 1927; Darmstadt
1977
 — Vedic Hymns, The Sacred Books of the East vo,l. 46 ed. Friedrich Max Müller,
Oxford 1897

Sejarah

 Lal, B.B. 2005. The Homeland of the Aryans. Evidence of Rigvedic Flora and Fauna
& Archaeology, New Delhi, Aryan Books International.
 Talageri, Shrikant: The Rigveda: A Historical Analysis, 2000. ISBN 81-7742-010-0

Archaeoastronomi

 Kak, Subhash: The Astronomical Code of the Rigveda, Delhi, Munshiram


Manoharlal, 2000, ISBN 81-215-0986-6.
 Tilak, Bal Gangadhar: The Orion, 1893.

Pranala luar
 (Inggris) Rigveda - Nominations submitted by India in 2006-2007 for inclusion in the
Memory of the World Register. (.doc format)

Text

 in Devanagari (Wikisource)
 in ASCII transliteration (Wikisource)
 in Devanagari and IAST (sacred-texts.com)

 mp3 audio download (gatewayforindia.com)

Translation
 Griffith translation (sacred-texts.com)

Interpretation

 Rig Veda (Sri Aurobindo Kapali Sastry Institute)

Referensi
1. ^ yang diambil dari akar ṛc "memuja", sesuai Dhātupātha 28.19. Monier-
Williams menerjemahkan "a Veda of Praise or Hymn-Veda"
2. ^ Mallory 1989 "The identification of the Andronovo culure as Indo-Iranian is
commonly accepted by scholars."
3. ^ There is some confusion with the term "Veda", which is traditionally applied
to the texts associated with the samhita proper, such as Brahmanas or Upanishads. In
English usage, the term Rigveda is usually used to refer to the Rigveda samhita alone,
and texts like the Aitareya-Brahmana are not considered "part of the Rigveda" but
rather "associated with the Rigveda" in the tradition of a certain shakha.
4. ^ Manuskrip tertuanya ditarikh berasal dari abad ke-11

Yajurweda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Yajurveda)
Belum Diperiksa

Yayurveda (Sanskrit यजुर्वेदः yajurveda) berasal dari akar kata yajus "pengorbanan", veda
"pengetahuan", adalah salah satu bagian dari Kitab Suci Weda. Memuat sastra suci yang
terfokus pada ritual dan korban suci.

Kesusastraan
 (Inggris)Ralph Thomas Hotchkin Griffith, The Texts of the White Yajurveda.
Translated with a Popular Commentary (1899).
 (Inggris)Devi Chand, The Yajurveda. Sanskrit text with English translation. Third
thoroughly revised and enlarged edition (1980).
 (Inggris)The Sanhitâ of the Black Yajur Veda with the Commentary of Mâdhava
‘Achârya, Calcutta (Bibl. Indica, 10 volumes, 1854-1899)
 (Inggris)Kumar, Pushpendra, Taittiriya Brahmanam (Krsnam Yajurveda), 3 vols.,
Delhi (1998).

Pranala luar
 (Inggris)Terjemahan Bahasa Inggris dari Taittiriya-Samhita dll.
 (Inggris)Sastra Suci Terjemahan Bahasa Inggris dari Taittiriya-Samhita oleh Arthur
Berriedale Keith
Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya.

Samaweda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Samaveda)
Samaveda (Sanskerta: सामवेद, sāmaveda, berakar dari kata sāman "irama" + veda
"pengetahuan") tidak lain adalah himpunan mantra-mantra yang diberi tanda nada untuk
berbagai irama. Samaveda merupakan bagian dari Catur Veda yang disebut juga "Nyanyian
Veda Suci. Samaveda memuat 1875 mantram, dan dimana 1800 mantram merupakan
pengulangan daripada Rgveda dan 75 mantram yang lain memang disusun dan dimuat dalam
sastra ini.

Lihat pula
 Hindu
 Weda

Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya.

Atharwaweda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Atharvaveda)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Hindu Atharweda

Atharvaveda (Sanskerta: अथर्ववेद, atharvavéda, berakar dari kata atharvān, nama seorang
Maharsi, dan veda berarti "pengetahuan") adalah sastra suci bagi umat Hindu, merupakan
bagian dari Catur Veda. Terdapat 9 śākhā (resensi) tentang Atharvaveda, yaitu: Paippalāda,
Dānta, Pradānta, Snāta, Snauta, Brahmadāvala, Śaunaka, Devadarśani, dan Caranavidyā.
Namun śākhā yang masih bertahan hingga kini adalah Śaunakiya dan Paippalāda.

Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya.

Samhita
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Samhita (Bahasa Sanskerta saṃhita "kumpulan" or "gabungan") merujuk pada"

 metrikal dasar pada mantra dari masing-masing Weda

 Beberapa sastra yang dikenal sebagai Samhita:


o Ashtavakra Gita
o Bhrigu Samhita
o Brahma Samhita
o Deva Samhita
o Garga Samhita
o Kashyap Samhita
o Shiva Samhita
o Yogayajnavalkya Samhita

[sembunyikan]

 l
 b
 s

Topik dalam agama Hindu


Śruti Weda • Upanisad • Srauta
Itihasa (Ramayana • Mahabharata • Bhagawadgita) • Purana • Sutra • Agama
Smerti
(Tantra • Yantra)
Awatara • Atman • Brahman • Kosa • Dharma • Karma • Moksa • Maya •
Konsep Istadewata • Murti • Reinkarnasi (Punarbhawa) • Tatwa • Trimurti • Turiya •
Guru
Darshana • Samkhya • Nyaya • Waisiseka • Yoga • Mimamsa • Wedanta •
Filosofi
Tantra • Bhakti Yoga • Jnana Yoga • Karma Yoga
Ritual Aarti • Bhajan • Diksa • Mantra • Puja • Satsang • Stotra • Trisandya • Yadnya
Shankara • Ramanuja • Madhvacharya • Ramakrishna • Sarada Devi •
Vivekananda • Narayana Guru • Aurobindo • Ramana Maharshi • Sivananda •
Guru
Chinmayananda • Sivaya Subramuniyaswami • Swaminarayan • Prabhupada •
Lokenath • Sant Sri Asaramji Bapu • Sathya Sai Baba
Denominasi Waisnawa • Saiwisme • Saktisme • Smartisme • Reformasi Hindu
Dewa-Dewi Hindu • Daftar Dewa-Dewi Hindu • Peperangan dalam mitologi
Mitologi
Hindu • Kosmologi Hindu
Yuga Satyayuga • Tretayuga • Dwaparayuga • Kaliyuga
CaturwarnaBrahmana • Ksatriya • Waisya • Sudra • Dalit
Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya.
Brahmana (Veda)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Halaman ini telah dihapus atau dipindahkan. Sebagai referensi, berikut adalah log
penghapusan atau pemindahan halaman ini.

Apabila Anda berpendapat bahwa halaman ini seharusnya tidak dihapus atau dipindahkan,
Anda dapat meninggalkan pesan ke salah satu Pengurus atau tinggalkan pesan di
Wikipedia:Evaluasi penghapusan

 27 Agustus 2009 19.58 Jagawana (bicara | kontrib) menghapus halaman Brahmana


(Veda) (isinya hanya berupa: '‫( 'بسمﺍﻠﻠﻪﺍﻟﺮﺣﻣﻦﺍﻟﺮﺣﻳم‬dan satu-satunya penyumbang adalah
'125.164.86.70'))

Saat ini tidak ada teks di halaman ini. Anda dapat melakukan pencarian untuk judul ini di
halaman lain atau mencari log terkait.

Sejak Desember 2009 Wikipedia bahasa Indonesia telah membatasi pembuatan halaman-
halaman baru hanya untuk pengguna yang telah masuk log.

Jika Anda belum membuat akun, silakan mendaftarkan diri dulu yang hanya memakan waktu
1 menit.

Aranyaka
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Artikel ini adalah bagian dari seri
Susastra Hindu

Veda
Rgveda · Yajurveda
Samaveda · Atharvaveda
Pembagian Veda
Samhita · Brahmana
Aranyaka  · Upanisad
Upanishad
Aitareya  · Bṛhadāraṇyaka
Īṣa  · Taittirīya · Chāndogya
Kena  · Muṇḍaka
Māṇḍūkya  ·Praśna
Śvetaśvatara
Wedangga
Śikshā · Chanda
Vyakarana · Nirukta
Jyotisha · Kalpa
Itihasa
Mahabharata · Ramayana
Susastra lainnya
Smrti · Purana
Bhagavad Gita · Sutra
Pancaratra · Tantra
Kumara Vyasa Bharata · Stotra
Hanuman Chalisa · Ramacharitamanas
Shikshapatri · Vachanamrut
Lihat pula
Mitologi
Kosmologi
Dewa-Dewi
Portal Hindu
Kotak ini:

 lihat
 bicara
 sunting

Aranyaka (bahasa Sanskerta: आरण्यक, āraṇyaka) merupakan bagian dari Sruti; sastra suci
ini disusun diawal masa awal Sanskerta klasik. Kata Aranyaka diterjemahkan sebagai "sastra
rimba" yang merupakan buku panduan bagi para "sadu" untuk hidup di alam terbuka. Sastra
ini merupakan kebalikan daripada Grhyasutra.

Bacaan lainnya
 Vaidik Sahitya aur Samskriti ka swarup (in Hindi) by Om Prakash Pande. Vishwa
Prakashan (A unit of Wylie Eastern) 1994, New Delhi .ISBN 81-7328-037-1
 Aitareya Aranyaka – English Translation by A.B. Keith, London 1909
 Aitareya Aranyaka – A Study . Dr. Suman Sharma. Eastern Book Linkers. New Delhi
1981
 Taittiriya Aranyaka, with Sayana Bhashya . Anandashram, Pune 1926.
 B.D. Dhawan. Mysticism and Symbolism in Aitareya and Taittiriya Aranyakas, South
Asia Books *(1989), ISBN 81-212-0094-6
 The Aitareya Aranyaka: Edited from the manuscripts in the India Office and the
Library of the Royal Asiatic Society with introduction, translation, notes, ...
unpublished of the Sankhayana Aranyaka, Eastern Book Linkers (1995) ISBN 81-
86339-14-0
 Michael Witzel, Katha Aranyaka  : Critical Edition with a Translation into German
and an Introduction, Harvard Oriental Series, Harvard Department of Sanskrit and
Indian Studies (2005) ISBN 0-674-01806-0
Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya.

Upanisad
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Upanisad (Aksara Dewanagari: उपनिषद्, IAST: upaniṣad) termasuk dalam Sruti merupakan
bagian dari Veda, di samping sastra-sastra Brahmana. Upanisad memuat ajaran filsafat,
meditasi serta konsep ketuhanan.

Upanisad disusun dalam jangka waktu yang panjang, upanisad yang tertua di antaranya
Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad, diperkirakan disusun pada abad
kedelapan sebelum masehi. Merujuk pada Ashtadhyayi yang disusun oleh Maharsi Panini,
jumlah upanisad yang ada sebanyak 900. Begitu pula Maharsi Patanjali menyatakan jumlah
yang sama. Namun saat ini kebanyakan sudah musnah seiring dengan waktu.

Bacaan lainnya
 Edmonds, I.G. Hinduism. New York: Franklin Watts, 1979.
 Eknath Easwaran, The Upanishads. Nilgiri Press, 1987.
 Embree, Ainslie T., ed. The Hindu Tradition. New York: Random House, 1966.
 Merrett, Frances, ed. The Hindu World. London: MacDonald and Co, 1985.
 Pandit, Bansi. The Hindu Mind. Glen Ellyn, IL: B&V Enterprises, 1998.
 Smith, Huston. The Illustrated World’s Religions: A Guide to Our Wisdom
Traditions. New York: Labrynth Publishing, 1995.
 Wangu, Madhu Bazaz. Hinduism: World Religions. New York: Facts on File, 1991.

Lihat pula
1. Advaita Vedanta
2. Bhagavad Gita
3. Dvaita
4. Hindu
5. Filsafat Hindu
6. Vedanta
7. Veda
8. Yoga

9. Aitareya Upanishad
10. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
11. Langsung ke: navigasi, cari
12. Saat ini tidak ada teks di halaman ini. Anda dapat melakukan pencarian untuk judul
ini di halaman lain atau mencari log terkait.

13. Sejak Desember 2009 Wikipedia bahasa Indonesia telah membatasi pembuatan
halaman-halaman baru hanya untuk pengguna yang telah masuk log.

14. Jika Anda belum membuat akun, silakan mendaftarkan diri dulu yang hanya
memakan waktu 1 menit.

15. Brihadaranyaka Upanishad


16. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
17. Langsung ke: navigasi, cari

18. Saat ini tidak ada teks di halaman ini. Anda dapat melakukan pencarian untuk judul
ini di halaman lain atau mencari log terkait.

19. Sejak Desember 2009 Wikipedia bahasa Indonesia telah membatasi pembuatan
halaman-halaman baru hanya untuk pengguna yang telah masuk log.

20. Jika Anda belum membuat akun, silakan mendaftarkan diri dulu yang hanya
memakan waktu 1 menit.

Wedangga
Wedangga atau Vedanga (IAST vedāṅga) yang berarti "bagian-bagian" merupakan sastra
sebagai "alat bantu" dalam memahami Veda. Wedangga merupakan buku sumber dalam
mempelajari dan mendalami secara nyata dari mantra-mantra Veda. Wedangga memiliki
enam bagian, di antaranya adalah:

1. Siksha (śikṣā): fonetika dan fonologi (sandhi).


2. Chanda (chandas): irama.
3. Vyakarana (vyākaraṇa): tata bahasa.
4. Nirukta (nirukta): etimologi.
5. Jyotisha (jyotiṣa): astrologi dan astronomi.
6. Kalpa (kalpa): ilmu mengenai upacara keagamaan.

Wedangga pertama kali dimuat dalam Mudaka Upanishad, sebagai topik kajian bagi para
siswa dalam mempelajari Veda. Kemudian, para siswa tersebut mengembangkan disiplin
ilmu Wedangga sebagai ilmu yang mandiri, dan masing-masing menyusun Sutra.

Kesusastraan
 (Jerman) Moritz, Winternitz (1905 - 1922), Geschichte der Indischen Literatur, Leipzig,
ISBN 0-312-14030-4.

English translation: History of Indian Literatur, Motilal Barnarsidass, Delhi, 1985, Vol I - III
Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya.

Kosmologi Hindu
Kosmologi Hindu merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
alam semesta menurut filsafat Hindu. Dalam ajaran kosmologi Hindu, alam semesta
dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma),
dan ether. Kelima unsur tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima unsur materi.

Daftar isi
 1 Purusa dan Prakerti
 2 Penciptaan alam semesta
o 2.1 Dalam kitab Weda
o 2.2 Dalam kitab Purana dan Upanisad
 3 Stuktur dunia
o 3.1 Lapisan bumi
o 3.2 Lapisan langit
 4 Umur alam semesta
 5 Bacaan lebih lanjut

Purusa dan Prakerti


Dalam ajaran Hindu, Purusa dan Prakerti merupakan dua unsur pokok yang terkandung
dalam setiap materi di alam semesta. Purusa dan Prakerti merupakan unsur yang bersifat
kekal, halus, dan tidak dapat dipisahkan. Purusa adalah unsur yang bersifat kejiwaan
sedangkan Prakerti adalah unsur yang bersifat kebendaan atau material. Pada penciptaan alam
semesta, Prakerti berevolusi menjadi Pancatanmatra yaitu lima benih yang belum berukuran.
Pancatanmatra setelah melalui evolusi yang panjang akhirnya menjadi Pancamahabhuta,
yakni lima unsur materi. Lima unsur materi ini kemudian membentuk anggota alam semesta,
seperti misalnya matahari, bumi, bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan lain-lain.

Penciptaan alam semesta


Dalam kitab Weda

Dalam kitab Regweda terdapat nyanyian yang mengisahkan asal mula alam semesta.
Nyanyian tersebut disebut Nasadiyasukta dan terdiri dari tujuh bait sebagai berikut:

Pada mulanya tidak ada sesuatu yang ada namun tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada
udara, tidak ada langit pula. Apakah yang menutupi itu, dan mana itu? Airkah di sana? Air
yang tak terduga dalamnya?

Waktu itu tidak ada kematian, tidak pula ada kehidupan. Tidak ada yang menandakan siang
dan malam. Yang Esa bernapas tanpa napas menurut kekuatannya sendiri. Di luar daripada Ia
tidak ada apapun.

Pada mulanya kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah
sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu adalah
kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan
yang kosong.

Setelah itu timbullah keinginan, keinginan yang merupakan benih awal dan benih semangat.
Para Rsi setelah bermeditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara
yang ada dan yang bukan ada.

Sinarnya terentang keluar. Apakah ia melintang? Apakah ia di bawah atau di atas? Beberapa
menjadi pencurah benih, yang lain amat hebat. Makanan adalah benih rendah, pemakan
adalah benih unggul.

Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui? Siapakah di dunia ini yang dapat


menerangkannya? Dari manakah kejadian itu, dan dari manakah timbulnya? Para Dewa ada
setelah kejadian itu. Lalu, siapakah yang tahu, darimana ia muncul?

Dia, yang merupakan awal pertama dari kejadian itu, dari-Nya kejadian itu muncul atau
mungkin tidak. Dia yang mengawasi dunia dari surga tertinggi, sangat mengetahuinya atau
mungkin juga tidak.

Menurut filsafat Hindu dalam Regweda, elemen dasar dunia adalah Asat atau ketiadaan yang
sama dengan Aditi yaitu ketidakterbatasan. Semua yang ada adalah Diti yaitu yang terikat.
Ajaran dalam Regweda juga menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Brahman dari
unsur yang sudah ada. Hiranyagharba atau "Janin Emas" muncul dari lautan yang memenuhi
angkasa lalu dari dalamnya muncul Brahma yang membangun dunia yang masih kacau tanpa
bentuk agar teratur rapi.

Dalam kitab Purana dan Upanisad

Menurut kepercayaan Hindu, alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi.
Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad diuraikan seperti laba-laba memintal
benangnya tahap demi tahap, demikian pula Brahman menciptakan alam semesta tahap demi
tahap. Brahman menciptakan alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman
memancarkan panas. Setelah menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya.

Menurut kitab Purana, pada awal proses penciptaan, terbentuklah Brahmanda. Pada awal
proses penciptaan juga terbentuk Purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini bertemu sehingga
terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur, tidak sekaligus. Mula-mula
yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai dipengaruhi oleh Triguna, yaitu
Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang
terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya,
munculah Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh
indria).
Dasendria
Pancabuddhindria Pancakarmendria
1. Srotendria (rangsang pendengar; 1. Garbendria (penggerak perut; indria pada
indria pada telinga) perut)
2. Twakindria (rangsang peraba; 2. Panindria (penggerak tangan; indria pada
indria pada kulit) tangan)
3. Caksuindria (rangsang 3. Padendria (penggerak kaki; indria pada
penglihatan; indria pada mata) kaki)
4. Ghranendria (rangsang pencium; 4. Payuindria (penggerak organ pelepasan;
indria pada hidung) indria pada organ pelepasan)
5. Jihwendria (rangsang pengecap; 5. Upasthendria (penggerak alat kelamin;
indria pada lidah) indria pada alat kelamin)

Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut


berevolusi menjadi Pancatanmatra, yaitu lima benih unsur alam semesta yang sangat halus,
tidak berukuran. Lima benih tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Sabdatanmatra (benih suara)


2. Rupatanmatra (benih penglihatan)
3. Rasatanmatra (benih perasa)
4. Gandhatanmatra (benih penciuman)
5. Sparsatanmatra (benih peraba)

Pancatanmatra merupakan benih saja. Pancatanmatra berevolusi menjadi unsur-unsur benda


materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima Unsur Zat
Alam. Kelima unsur tersebut yaitu:

1. Akasa (ether)
2. Bayu (zat gas, udara)
3. Teja (plasma, api, kalor)
4. Apah (zat cair)
5. Pertiwi (zat padat, tanah, logam)

Pancamahabhuta berbentuk Paramānu, atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat
penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi
kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun
kadangkala ada salah satu unsur yang mendominasi. Unsur Teja mendominasi matahari,
sedangkan bumi didominasi Pertiwi dan Apah.
Stuktur dunia
Lapisan bumi Lapisan langit

Keterangan:
Keterangan:
1. Atala
1. Bhurloka
2. Witala
2. Bhuwahloka
3. Sutala
3. Swahloka atau Swargaloka
4. Talatala
4. Mahaloka
5. Mahatala
5. Janaloka
6. Rasatala
6. Tapaloka
7. Patala
7. Satyaloka atau Brahmaloka
8. Kala Geni Rudra (inti bumi)
Lapisan bumi

Menurut agama Hindu, bumi berbentuk bulat dengan inti yang sangat panas di dalamnya. Inti
bumi tersebut merupakan neraka yang terpanas. Sebelum mencapai inti bumi, ada tujuh
lapisan yang menyusun bumi. Tujuh lapisan itu disebut Saptapatala. Penghuni lapisan
tersebut adalah makhluk supranatural dan naga. Saptapatala terdiri dari: Atala, Witala, Sutala,
Talatala, Mahatala, Rasatala, Patala. Atala identik dengan Mahamaya; Witala dipimpin oleh
manifestasi Siwa yang disebut Hatakeswara; Sutala dipimpin oleh raksasa Bali; Talatala
dipimpin oleh Maya; Mahatala kediaman ular raksasa; Rasatala dihuni para Detya dan
Danawa; Patala dipimpin oleh Basuki, raja para naga.

Lapisan langit

Menurut agama Hindu, langit yang menyelimuti bumi terdiri dari tujuh lapisan. Tujuh lapisan
tersebut dikenal dengan istilah Saptaloka. Bhurloka adalah lapisan yang paling bawah atau
lapisan langit yang menyentuh bumi; Bhuwahloka adalah lapisan udara di atasnya, antara
langit dan matahari; Swahloka atau Swargaloka adalah kediaman Dewa Indra; Maharloka
adalah kediaman Resi Bhrigu; Janaloka adalah kediaman para putera Brahma; Tapaloka
merupakan kediaman ras makhluk yang disebut Weragi; Satyaloka atau Brahmaloka
merupakan kediaman Brahma.

Umur alam semesta


Dalam kitab-kitab suci Hindu disebutkan bahwa alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan
dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau
masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan
bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta
berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat
itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses
itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311
Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.

Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma
atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahma melewati
usianya yang ke-100, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah
dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-
ulang dan tak akan pernah berhenti.

Masa hidup Brahma dibagi setiap satu siklus Mahayuga. Yuga terdiri dari empat bagian, yang
mana dalam setiap bagian merupakan zaman yang memiliki karakter berbeda-beda.
Mahayuga memiliki 71 Divisi, dan setiap divisi merupakan 14 Manvantara (1000) tahun.
Setiap Mahayuga berlangsung 4.320.000 tahun. Manwantara adalah siklus Manu, leluhur
manusia menurut kepercayaan Hindu.
Śruti Weda • Upanisad • Srauta
Itihasa (Ramayana • Mahabharata • Bhagawadgita) • Purana • Sutra • Agama
Smerti
(Tantra • Yantra)
Awatara • Atman • Brahman • Kosa • Dharma • Karma • Moksa • Maya •
Konsep Istadewata • Murti • Reinkarnasi (Punarbhawa) • Tatwa • Trimurti • Turiya •
Guru
Darshana • Samkhya • Nyaya • Waisiseka • Yoga • Mimamsa • Wedanta •
Filosofi
Tantra • Bhakti Yoga • Jnana Yoga • Karma Yoga
Ritual Aarti • Bhajan • Diksa • Mantra • Puja • Satsang • Stotra • Trisandya • Yadnya
Shankara • Ramanuja • Madhvacharya • Ramakrishna • Sarada Devi •
Vivekananda • Narayana Guru • Aurobindo • Ramana Maharshi • Sivananda •
Guru
Chinmayananda • Sivaya Subramuniyaswami • Swaminarayan • Prabhupada •
Lokenath • Sant Sri Asaramji Bapu • Sathya Sai Baba
Denominasi Waisnawa • Saiwisme • Saktisme • Smartisme • Reformasi Hindu
Dewa-Dewi Hindu • Daftar Dewa-Dewi Hindu • Peperangan dalam mitologi
Mitologi
Hindu • Kosmologi Hindu
Yuga Satyayuga • Tretayuga • Dwaparayuga • Kaliyuga
CaturwarnaBrahmana • Ksatriya • Waisya • Sudra • Dalit

Bacaan lebih lanjut


 Ajaran ketuhanan dan kosmologi dalam Veda, oleh: Drs. I Gede Sura.
 Upadeça.

Itihasa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Itihāsa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah-kisah
epik/kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu pada masa lampau dan dibumbui oleh filsafat
agama, mitologi, dan makhluk supernatural. Itihāsa berarti “kejadian yang nyata”. Itihāsa
yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahābhārata.

Kitab Itihāsa disusun oleh para Rsi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Rsi
Walmiki dan Rsi Vyāsa. Cerita dalam kitab Itihāsa tersebar di seluruh daratan India sampai
ke wilayah Asia Tenggara. Pada zaman kerajaan di Indonesia, kedua kitab Itihāsa
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuna dan diadaptasi sesuai dengan kebudayaan lokal.
Cerita dalam kitab Itihāsa diangkat menjadi pertunjukkan wayang dan digubah menjadi
kakawin.

Ramayana
Kitab Ramayana merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Ramayana terdiri dari
24.000 sloka dan memiliki tujuh bagian yang disebut Sapta Kanda. Setiap Kanda merupakan
buku tersendiri namun saling berhubungan dan melengkapi dengan Kanda yang lain. Kitab
Ramayana disusun oleh Rsi Walmiki.

Daftar kitab:

1. Balakanda
2. Ayodhyakanda
3. Aranyakanda
4. Kiskindhakanda
5. Sundarakanda
6. Yuddhakanda
7. Uttarakanda

Mahābhārata
Kitab Mahābhārata merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Mahābhārata berisi
lebih dari 100.000 sloka. Mahābhārata berarti cerita keluarga besar Bharata. Kitab
Mahābhārata memiliki delapan belas bagian yang disebut Astadasaparwa. Selayaknya
Ramayana, setiap Parwa merupakan buku tersendiri namun saling berhubungan dan
melengkapi dengan Parwa yang lain. Kitab Mahābhārata disusun oleh Rsi Vyāsa.

Daftar kitab:

1. Adiparwa
2. Sabhaparwa
3. Wanaparwa
4. Wirataparwa
5. Udyogaparwa
6. Bhismaparwa
7. Dronaparwa
8. Karnaparwa
9. Salyaparwa
10. Sauptikaparwa
11. Striparwa
12. Santiparwa
13. Anusasanaparwa
14. Aswamedikaparwa
15. Asramawasikaparwa
16. Mosalaparwa
17. Prasthanikaparwa
18. Swargarohanaparwa

Balakanda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Balakanda atau kitab pertama Ramayana menceritakan sang Dasarata yang menjadi Raja di
Ayodhya. Sang raja ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kosalya, Dewi Kekayi dan Dewi
Sumitra.

Dewi Kosalya berputrakan Sang Rama, Dewi Kekayi berputrakan sang Barata, lalu Dewi
Sumitra berputrakan sang Laksamana dan sang Satrugna.

Maka pada suatu hari, bagawan Wiswamitra meminta tolong kepada prabu Dasarata untuk
menjaga pertapaannya. Sang Rama dan Laksamana pergi membantu mengusir para raksasa
yang mengganggu pertapaan ini.

Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rama pergi mengikuti sayembara di Wideha
dan mendapatkan Dewi Sita sebagai istrinya.

Ketika pulang ke Ayodhya mereka dihadang oleh Ramaparasu, tetapi mereka bisa
mengalahkannya.

Wiracarita Ramayana oleh Walmiki


Saptakand Balakanda · Ayodhyakanda · Aranyakanda · Kiskindhakanda · Sundarakanda ·
a Yuddhakanda · Uttarakanda
Dasarata · Kosalya · Sumitra · Kekayi · Janaka · Mantara · Rama · Bharata ·
Laksmana · Satrugna · Sita · Urmila · Mandawi · Srutakirti · Wiswamitra ·
Menaka · Ahalya · Sabari · Jatayu · Sempati · Hanoman · Sugriwa · Subali ·
Tokoh
Anggada · Jembawan · Anila · Wibisana · Tataka · Surpanaka · Marica ·
Sumali · Subahu · Kara · Rahwana · Kumbakarna · Mandodari · Mayasura ·
Indrajit · Prahasta · Aksayakumara · Atikaya · Trisirah · Lawa · Kusa
Ayodhya · Mithila · Alengka · Sarayu · Raghuwangsa · Laksmana Rekha ·
Topik lain
Aditya Herdayam · Osadiparwata · Wedawati · Wanara

Ayodhyakanda
Ayodhyakanda adalah kitab kedua epos Ramayana dan menceritakan sang Dasarata yang
akan menyerahkan kerajaan kepada sang Rama, tetapi dihalangi oleh Dewi Kekayi. Katanya
beliau pernah menjanjikan warisan kerajaan kepada anaknya.

Maka sang Rama disertai oleh Dewi Sita dan Laksamana pergi mengembara dan masuk ke
dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka pergi, maka prabu Dasarata meninggal karena
sedihnya. Sang Barata menjadi sedih dan pergi menceri Sri Rama.

Maka setelah ia berjumpa dengan Sri Rama, ia mengatakan bahwa itu bukan haknya tetapi
karena Rama ingin menghormati bapaknya, ia mengatakan bahwa itu sudah kewajiban Barata
untuk memerintah. Lalu sebagai simbol bahwa Barata mewakili Rama, Rama menyerahkan
sandalnya (dalam bahasa Sanskerta: paduka).

Lalu Barata pulang ke Ayodhya dan memerintah di sana.


Aranyakanda
Aranyakanda adalah kitab ke tiga epos Ramayana. Dalam kitab ini diceritakanlah
bagaimana sang Rama dan Laksamana membantu para tapa di sebuah asrama mengusir
sekalian raksasa yang datang mengganggu.

Lalu Laksamana diganggu oleh seorang raksasi yang bernama Surpanaka yang menyamar
menjadi seorang wanita cantik yang menggodanya. Tetapi Laksamana menolak dan hidung si
Surpanaka terpotong. Ia mengadu kepada suaminya sang Trisira. Kemudian terjadi perang
dan para bala raksasa mati semua.

Maka si Surpanaka mengadu kakaknya sang Rawana sembari memprovokasinya untuk


menculik Dewi Sita yang katanya sangat cantik. Sang Rawanapun pergi diiringi oleh Marica.
Marica menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sita. Dewi Sita tertarik
dan memminta Rama untuk menangkapnya. Dewi Sita ditinggalkannya dan dijaga oleh si
Laksamana.

Ramapun pergi memburunya, tetapi si Marica sangat gesit. Lalu iapun menjadi kesal dan
memanahnya. Si Marica menjerit kesakitan lalu mati dan wujudnya kembali menjadi raksasa.

Sementara itu Sita yang mendengar jeritan tersebut merasa cemas dan mengira bahwa tadi
adalah jeritan Rama. Lalu ia menyuruh Laksamana untuk mencarinya. Laksamana menolak
tetapi Sita malah menuduhnya ingin memperistrinya jika Rama mati. Maka iapun terpaksa
pergi, tetapi sebelumnya membuat sebuah lingkaran sakti sekeliling Sita supaya jangan ada
yang bisa menculiknya.

Sementara itu Rawana datang menyamar sebagai seorang tua dan memanggil Sita yang
langsung diculiknya. Rawana bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi Jatayu
kalah dan sekarat. Laksamana yang sudah menemukan Rama menjumpai Jatayu yang
menceritakan kisahnya sebelum ia mati.

Kiskindhakanda
Kiskindhakanda adalah kitab keempat epos Ramayana. Dalam kitab ini diceritakan
bagaimana sang Rama amat berduka cita akan hilangnya Dewi Sita. Lalu bersama
Laksamana ia menyusup ke hutan belantara dan sampai di gunung Resimuka.

Maka di sana berkelahilah sang kera Subali melawan Sugriwa memperebutkan dewi Tara.
Sang Sugriwa kalah lalu mengutus abdinya sang Hanuman meminta tolong kepada Sri Rama
untuk membunuh Bali, Rama setuju dan si Bali mati.
Maka Sugriwa berterima kasih dan ingin membantunya dengan mencari Dewi Sita.

Sundarakanda
Sundarakanda adalah kitab kelima Ramayana. Dalam kitab ini diceritakan bagaimana sang
Hanuman datang ke Alengkapura mencari tahu akan keadaan Dewi Sita dan membakar kota
Alengkapura karena iseng.

Yuddhakanda
Yuddhakanda adalah kitab keenam epos Ramayana dan sekaligus klimaks epos ini. Dalam
kitab ini diceritakan sang Rama dan sang raja kera Sugriwa mengerahkan bala tentara kera
menyiapkan penyerangan Alengkapura. Karena Alengka ini terletak pada sebuah pulau,
sulitlah bagaimana mereka harus menyerang.

Maka mereka bersiasat dan akhirnya memutuskan membuat jembatan bendungan (situbanda)
dari daratan ke pulau Alengka. Para bala tentara kera dikerahkan. Pada saat pembangunan
jembatan ini mereka banyak diganggu tetapi akhirnya selesai dan Alengkapura dapat
diserang.

Syahdan terjadilah perang besar. Para raksasa banyak yang mati dan prabu Rawana gugur di
tangan sri Rama.

Lalu Dewi Sita menunjukkan kesucian dan kesetiaannya terhadap Rama dengan dibakar di
api, ternyata ia tidak apa-apa.

Setelah itu sang Rama, Sita, Laksamana pulang ke Ayodhyapura, disertai para bala tentara
kera yang dipimpin oleh Sugriwa dan Hanuman. Di Ayodhyapura mereka disambut oleh
prabu Barata dan ia menyerahkan kerajaannya kepada sang Rama. Sri Rama lalu memerintah
di Ayodhyapura dengan bijaksana.

Uttarakanda
Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan.
Kitab Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak
diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi
merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.

Isi
 Cerita Rahwana
o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana
o Cerita Serat Arjunasasrabahu

 Cerita Dewi Sita


o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama
o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
o "Kematian" Sita

Ramayana
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Lukisan bergaya Thailand yang menggambarkan suasana pertempuran antara Rama dengan
Rawana

Ramayana (dari bahasa Sanskerta: रामायण, Rāmâyaṇa; yang berasal dari kata Rāma dan
Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama") adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah
oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata.

Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan
gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.

Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin
Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.

Di India dalam bahasa Sanskerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda sebagai
berikut:

1. Balakanda
2. Ayodhyakanda
3. Aranyakanda
4. Kiskindhakanda
5. Sundarakanda
6. Yuddhakanda
7. Uttarakanda

Banyak yang berpendapat bahwa kanda pertama dan ketujuh merupakan sisipan baru. Dalam
bahasa Jawa Kuna, Uttarakanda didapati pula.
Daftar isi
 1 Pengaruh dalam budaya
 2 Daftar kitab
 3 Ringkasan Cerita
o 3.1 Prabu Dasarata dari Ayodhya
o 3.2 Rama hidup di hutan
o 3.3 Rama menggempur Rawana
 4 Kutipan dari Kakawin Ramayana
 5 Referensi
 6 Pranala luar
 7 Lihat pula

Pengaruh dalam budaya


Beberapa babak maupun adegan dalam Ramayana dituangkan ke dalam bentuk lukisan
maupun pahatan dalam arsitektur bernuansa Hindu. Wiracarita Ramayana juga diangkat ke
dalam budaya pewayangan di Nusantara, seperti misalnya di Jawa dan Bali. Selain itu di
beberapa negara (seperti misalnya Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, Philipina, dan lain-
lain), Wiracarita Ramayana diangkat sebagai pertunjukan kesenian.

Daftar kitab
Wiracarita Ramayana terdiri dari tujuh kitab yang disebut Saptakanda. Urutan kitab
menunjukkan kronologi peristiwa yang terjadi dalam Wiracarita Ramayana. Lihat di bawah
ini :

Nama kitab Keterangan


Kitab Balakanda merupakan awal dari kisah Ramayana. Kitab Balakanda
menceritakan Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu:
Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Prabu Dasarata berputra empat orang, yaitu:
Balakanda
Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Kitab Balakanda juga
menceritakan kisah Sang Rama yang berhasil memenangkan sayembara
dan memperistri Sita, puteri Prabu Janaka.
Kitab Ayodhyakanda berisi kisah dibuangnya Rama ke hutan bersama
Dewi Sita dan Lakshmana karena permohonan Dewi Kekayi. Setelah itu,
Ayodhyakanda Prabu Dasarata yang sudah tua wafat. Bharata tidak ingin dinobatkan
menjadi Raja, kemudian ia menyusul Rama. Rama menolak untuk kembali
ke kerajaan. Akhirnya Bharata memerintah kerajaan atas nama Sang Rama.
Kitab Aranyakakanda menceritakan kisah Rama, Sita, dan Lakshmana di
tengah hutan selama masa pengasingan. Di tengah hutan, Rama sering
Aranyakanda membantu para pertapa yang diganggu oleh para rakshasa. Kitab
Aranyakakanda juga menceritakan kisah Sita diculik Rawana dan
pertarungan antara Jatayu dengan Rawana.
Kiskindhakanda Kitab Kiskindhakanda menceritakan kisah pertemuan Sang Rama dengan
Raja kera Sugriwa. Sang Rama membantu Sugriwa merebut kerajaannya
dari Subali, kakaknya. Dalam pertempuran, Subali terbunuh. Sugriwa
menjadi Raja di Kiskindha. Kemudian Sang Rama dan Sugriwa bersekutu
untuk menggempur Kerajaan Alengka.
Kitab Sundarakanda menceritakan kisah tentara Kiskindha yang
membangun jembatan Situbanda yang menghubungkan India dengan
Sundarakanda Alengka. Hanuman yang menjadi duta Sang Rama pergi ke Alengka dan
menghadap Dewi Sita. Di sana ia ditangkap namun dapat meloloskan diri
dan membakar ibukota Alengka.
Kitab Yuddhakanda menceritakan kisah pertempuran antara laskar kera
Sang Rama dengan pasukan rakshasa Sang Rawana. Cerita diawali dengan
usaha pasukan Sang Rama yang berhasil menyeberangi lautan dan
Yuddhakanda mencapai Alengka. Sementara itu Wibisana diusir oleh Rawana karena
terlalu banyak memberi nasihat. Dalam pertempuran, Rawana gugur di
tangan Rama oleh senjata panah sakti. Sang Rama pulang dengan selamat
ke Ayodhya bersama Dewi Sita.
Kitab Uttarakanda menceritakan kisah pembuangan Dewi Sita karena Sang
Rama mendengar desas-desus dari rakyat yang sangsi dengan kesucian
Dewi Sita. Kemudian Dewi Sita tinggal di pertapaan Rsi Walmiki dan
Uttarakanda
melahirkan Kusa dan Lawa. Kusa dan Lawa datang ke istana Sang Rama
pada saat upacara Aswamedha. Pada saat itulah mereka menyanyikan
Ramayana yang digubah oleh Rsi Walmiki.

Ringkasan Cerita

Rama mematahkan busur Dewa Siwa saat sayembara memperebutkan Dewi Sita

Prabu Dasarata dari Ayodhya

Wiracarita Ramayana menceritakan kisah Sang Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala,
di sebelah utara Sungai Gangga, ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah
Prabu Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan Sumitra. Dari
Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi Kekayi, lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi
Sumitra, lahirlah putera kembar, bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat pangeran
tersebut sangat gagah dan mahir bersenjata.

Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama untuk melindungi pertapaan di
tengah hutan dari gangguan para rakshasa. Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi
Wiswamitra dan Sang Rama berangkat ke tengah hutan diiringi Sang Lakshmana. Selama
perjalanannya, Sang Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari Rsi Wiswamitra.
Mereka juga tak henti-hentinya membunuh para rakshasa yang mengganggu upacara para
Rsi. Ketika mereka melewati Mithila, Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan Prabu
Janaka. Ia berhasil memenangkan sayembara dan berhak meminang Dewi Sita, puteri Prabu
Janaka. Dengan membawa Dewi Sita, Rama dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.

Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan tahta kepada Rama. Atas permohonan
Dewi Kekayi, Sang Prabu dengan berat hati menyerahkan tahta kepada Bharata sedangkan
Rama harus meninggalkan kerajaan selama 14 tahun. Bharata menginginkan Rama sebagai
penerus tahta, namun Rama menolak dan menginginkan hidup di hutan bersama istrinya dan
Lakshmana. Akhirnya Bharata memerintah Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.

Rama hidup di hutan

Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana bertemu dengan berbagai
raksasa, termasuk Surpanaka. Karena Surpanaka bernafsu dengan Rama dan Lakshmana,
hidungnya terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka mengadu kepada Rawana bahwa ia
dianiyaya. Rawana menjadi marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke tempat Rama
dan Lakshmana kemudian dengan tipu muslihat, ia menculik Sinta, istri Sang Rama. Dalam
usaha penculikannya, Jatayu berusaha menolong namun tidak berhasil sehingga ia gugur.

Rama yang mengetahui istrinya diculik mencari Rawana ke Kerajaan Alengka atas petunjuk
Jatayu. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan
Sang Rama, Sugriwa berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan kakaknya, Subali. Untuk
membalas jasa, Sugriwa bersekutu dengan Sang Rama untuk menggempur Alengka. Dengan
dibantu Hanuman dan ribuan wanara, mereka menyeberangi lautan dan menggempur
Alengka.

Rama menggempur Rawana

Rawana yang tahu kerajaannya diserbu, mengutus para sekutunya termasuk puteranya –
Indrajit – untuk menggempur Rama. Nasihat Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah
diusir. Akhirnya Wibisana memihak Rama. Indrajit melepas senjata nagapasa dan
memperoleh kemenangan, namun tidak lama. Ia gugur di tangan Lakshmana. Setelah sekutu
dan para patihnya gugur satu persatu, Rawana tampil ke muka dan pertarungan berlangsung
sengit. Dengan senjata panah Brahmāstra yang sakti, Rawana gugur sebagai ksatria.

Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan kepada Wibisana. Sinta kembali
ke pangkuan Rama setelah kesuciannya diuji. Rama, Sinta, dan Lakshmana pulang ke
Ayodhya dengan selamat. Hanuman menyerahkan dirinya bulat-bulat untuk mengabdi kepada
Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan takzim dan
menyerahkan tahta kepada Rama.
Kutipan dari Kakawin Ramayana
Kutipan Terjemahan
Hana sira Ratu dibya rēngőn, praçāsta Ada seorang Raja besar, dengarkanlah. Terkenal di
ring rāt, musuhnira praṇata, jaya dunia, musuh baginda semua tunduk. Cukup mahir
paṇdhita, ringaji kabèh, Sang akan segala filsafat agama, Prabu Dasarata gelar Sri
Daçaratha, nāma tā moli Baginda, tiada bandingannya
Sira ta Triwikrama pita, pinaka bapa, Beliau ayah Sang Triwikrama, maksudnya ayah
Bhaṭāra Wiṣḥnu mangjanma inakaning Bhatara Wisnu yang sedang menjelma akan
bhuwana kabèh, yatra dōnira menyelamatkan dunia seluruhnya. Demikian tujuan
nimittaning janma Sang Hyang Wisnu menjelma menjadi manusia.
Hana rājya tulya kèndran, kakwèhan Ada sebuah istana bagaikan surga, dipenuhi oleh
sang mahārddhika suçila, ringayodhyā orang-orang bijak serta luhur perbuatan, di
subbhagêng rāt, yeka kadhatwannirang Ayodhya-lah yang cukup terkenal di dunia, itulah
nṛpati istana Sri Baginda Prabu Dasarata
Sudah lama Sri Baginda menikah, saling mencintai
Malawas sirār papangguh, masneha
dengan para permaisurinya, kenikmatan rasa
lawan mahādewī, suraseng sanggama
pertemuan itu telah dapat dirasakan, bercumbu rayu
rinasan, alinggana cumabanā dinya
dan sejenisnya
Mahyun ta sira maputra, mānaka Timbullah niat Sri Baginda agar berputra, agar
wetnyar waṛēg rikang wiçaya, malawas berputra karena sudah puas bercinta, namun lama
tan pānakatah, mahyun ta sirā gawe nian beliau tidak berputra, lalu beliau berniat
yajña mengadakan ritual
Sakalī kāraṇa ginawe, āwāhana len Semua perlengkapan upacara sudah dikerjakan, alat
pratiṣṭa ānnidhya, Parameçwara upacara pengundang serta tempat para Dewa sudah
hinangēnangēn, umungu ring kuṇḍa tersedia, Bhatara Çiwa yang dipuja-Pūja, agar
bahni maya berstana pd api suci itu
Sisa sesaji yang dihaturkan oleh Sang Maha
Çeṣa mahārsī mamūjā, pūrnāhuti dibya
Pendeta, sesajen yang sempurna, santapan yang
pathya gandharasa, yata pinangan
nikmat rasa serta baunya, itulah yang disantap oleh
kinabehan, denira Dewi maharāja
beliau, permaisuri Sri Baginda Raja
Demikianlah tidak diceritakan lagi selang waktu itu,
Ndata tīta kāla lunghā, mānak tā Sang
para permaisuri kesayangan Prabu Dasarata
Daçarathā sih, Sang Rāma nak matuha,
melahirkan putera, Sang Rama putera yang sulung,
i sira mahādewī Kauçalya
dari permaisuri Dewi Kosalya
Sang Kekayi makānak, Sang Bharatya Adapun putera Dewi Kekayi, Sang Bharata yang
kyāti çakti dibya guṇa, Dewi sirang terkenal sakti mandraguna, sedangkan Dewi
Sumitrā, Laksmaṇa Çatrughna Sumitra, berputra Sang Lakshmana dan Sang
putranira Satrugna
Sang Rāma sira winarahan, ringastra de Sang Rama diberi pelajaran tentang panah memanah
Sang Wasiṣṭa tar malawas, kalawan oleh Bagawan Wasista dalam waktu tidak lama,
nantēnira tiga, prajñeng widya kabeh beserta ketiga adik-adiknya, semuanya pintar
wihikan cekatan tentang ilmu memanah

Referensi
 Milner Rabb, Kate, National Epics, 1896 - See eText Project Gutenburg
 Raghunathan, N. (Trans), Srimad Valmiki Ramayanam, Vighneswara Publishing
House, Madras (1981)
 A different Song - Article from "The Hindu" August 12, 2005 - [1]
 Dr. Gauri Mahulikar Effect Of Ramayana On Various Cultures And Civilisations,
Ramayan Institute
 Goldman, Robert P., The Ramayana of Valmiki: An Epic of Ancient India Princeton
University Press, 1999 ISBN 0-691-01485-X
 S. S. N. Murthy, A note on the Ramayana, Jawaharlal Nehru University, New Delhi
[2]
 Arya, Ravi Prakash (ed.). Ramayana of Valmiki: Sanskrit Text and English
Translation. (English translation according to M. N. Dutt, introduction by Dr.
Ramashraya Sharma, 4-volume set) Parimal Publications: Delhi, 1998 ISBN 81-7110-
156-9

Pranala luar
Ramayana disusun menggunakan bahasa Sanskerta

 रामायण (Devanagari versi di Wikisource)

Terjemahan bahasa Inggris

 Valmiki Ramayana translated by Ralph T. H. Griffith (1870-1874)


 (Inggris) Site with Valmiki Ramayana Text with Meaning
 (Inggris) Ramayana by Tulsidas
 Sundar Kanda Translated by Swami Satyananda, Devi Mandir (ISBN 1-877795-25-9)
 The Ramayana as told by Lynne Jessup, illustrated by Ruth Glen Little (ISBN 1-
928875-02-5)

Informasi dalam jaringan

 Templat:Gu (Inggris) Tulsi Ramayana text, its Gujarati translation alongwith


glossary of Ramayana characters and its places
 Fast Facts on the Ramayana
 Abridged Ramayana and Mahabharata by R.C. Dutt (1899)
 Online Ramayana (Registration Required)
 NASA Shuttle image of Palk Strait Satellite Photo of the Ancient Bridge known
presently as Rama's Bridge
 Clay Sanskrit Library publishes classical Indian literature, including the Mahabharata
and Ramayana, with facing-page text and translation. Also offers searchable corpus
and downloadable materials.

Karya yang terinspirasi dari Ramayana

 Illustrated Ramayana contains paintings, sculptures, and other Indian art inspired by
Ramayana.
 Google Ramayana the story of rama and shinta which reappointed by Google.
 The Ramayana reliefs at Prambanan
 Marathi lyrical representation of Ramayana by G D Madgulkar and Sudhir Phadke
 Sita Sings the Blues - clips of a 21st century animated portrayal of the Ramayana from
Sita's perspective
 Antiquus An Epic Power Metal band from Canada, uses Ramayana themed Lyrics in
their Debut album called "Ramayana".

Artikel Riset

 Effect of Ramayana on Various Cultures and Civilisations - (pdf format)


 The storyboard of the RAMAYANA - discusses adaptations in other nations

Lihat pula
 Ramakien
 Sastra Hindu
 Sastra Dunia
 Sastra Jawa
 Sastra Melayu

Mahabharata
Mahabharata (Sanskerta: महाभारत) adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis
oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka
dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang
meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang
semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.

Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara
sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara
Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran
berlangsung selama delapan belas hari.

Daftar isi
 1 Pengaruh dalam budaya
 2 Versi-versi Mahabharata
 3 Daftar kitab
 4 Suntingan teks
 5 Ringkasan cerita
o 5.1 Latar belakang
o 5.2 Para Raja India Kuno
o 5.3 Prabu Santanu dan keturunannya
o 5.4 Pandawa dan Korawa
o 5.5 Permainan dadu
o 5.6 Pertempuran di Kurukshetra
o 5.7 Penerus Wangsa Kuru
 6 Silsilah
o 6.1 Silsilah keturunan Maharaja Yayati
o 6.2 Silsilah keluarga Bharata
 7 Catatan kaki
 8 Bahan bacaan
 9 Pranala luar

Pengaruh dalam budaya

Ilustrasi pada sebuah naskah bersungging mengenai perang Bharatayuddha di Kurusetra.

Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai


Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini
dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam
bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti
perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara.

Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa,


Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam
bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa
pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri. Karena sifatnya itu,
bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.

Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam
bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu
yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan Arjuna) gubahan
mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984)
dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja
Dharmawangsa.

Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh mpu
Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini
dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa
pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga menulis kakawin
Hariwangśa pada masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gaţotkacāśraya pada
masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya
adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) dan Bhomāntaka (pengarang tak dikenal) keduanya
dari zaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir zaman Majapahit.
Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga
diketahui tersimpan di Bali.

Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi
berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni
patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan
seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa yang lebih belakangan, kitab
Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa
Jawa modern pada sekitar abad ke-18.

Dalam dunia sastera popular Indonesia, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk
komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal
adalah karya dari R.A. Kosasih.

Versi-versi Mahabharata
Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sanskerta yang agak berbeda
satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan "Versi Selatan".
Biasanya versi utara dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.

Daftar kitab
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering
disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan kronologi peristiwa dalam kisah
Mahābhārata, yakni semenjak kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru,
Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa di surga.

Nama kitab Keterangan


Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu,
seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan
Dhomya yang menguji ketiga muridnya, kisah para leluhur
Adiparwa Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa, kisah masa
kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya rakshasa
Hidimba di tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan
Dropadi.
Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa di
sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena
usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh
Sabhaparwa
Korawa sehingga sesuai perjanjian, Pandawa harus mengasingkan
diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu melalui masa
penyamaran selama 1 tahun.
Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun
pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan
Wanaparwa kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh
senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut menjadi bahan cerita
Arjunawiwaha.
Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran
Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan
selama 12 tahun. Yudistira menyamar sebagai ahli agama, Bhima
Wirataparwa
sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai
penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai
penata rias.
Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang keluarga
Bharata (Bharatayuddha). Kresna yang bertindak sebagai juru damai
gagal merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan
Udyogaparwa
Korawa mencari sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru
Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno terbagi
menjadi dua kelompok.
Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan
tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya
terselip suatu percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang
Bhismaparwa perang berlangsung. Percakapan tersebut dikenal sebagai kitab
Bhagavad Gītā. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan
gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna
yang dibantu oleh Srikandi.
Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan
Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha
menangkap Yudistira, namun gagal. Drona gugur di medan perang
Dronaparwa karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia sedang tertunduk
lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya,
Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya
Abimanyu dan Gatotkaca.
Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna sebagai
panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona,
dan sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya
Karnaparwa
Dursasana oleh Bhima. Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian
terjadi pertengkaran antara mereka. Akhirnya, Karna gugur di
tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17.
Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai
panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya
gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya,
Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan
Salyaparwa
pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para
Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan
Bhima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia
sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima.
Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam Aswatama
kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan
Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan
membunuh banyak orang, kecuali para Pandawa. Setelah itu ia
Sauptikaparwa
melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul oleh
Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna.
Byasa dan Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya
Aswatama menyesali perbuatannya dan menjadi pertapa.
Striparwa Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang
ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira
menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang
gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu
pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi
rahasia pribadinya.
Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah
membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia
Santiparwa diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka
menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat
melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira
kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma
Anusasanaparwa mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai
upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya,
Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan upacara
Aswamedha oleh Raja Yudistira. Kitab tersebut juga menceritakan
kisah pertempuran Arjuna dengan para Raja di dunia, kisah
Aswamedhikaparwa
kelahiran Parikesit yang semula tewas dalam kandungan karena
senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh Sri
Kresna.
Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Drestarastra,
Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk
meninggalkan dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya
Asramawasikaparwa
kepada Yudistira. Akhirnya Resi Narada datang membawa kabar
bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh api sucinya
sendiri.
Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsa Wresni. Sri
Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan.
Arjuna mengunjungi Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut
Mosalaparwa
telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa, Pandawa dan Dropadi
menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan
meninggalkan dunia fana.
Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan
Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta
Mahaprastanikaparwa kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam
pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa (kecuali Yudistira),
meninggal dalam perjalanan.
Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang
mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai
surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh
Swargarohanaparwa
seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika
disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan
wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.

Suntingan teks
Antara tahun 1919 dan 1966, para pakar di Bhandarkar Oriental Research Institute, Pune,
membandingkan banyak naskah dari wiracarita ini yang asalnya dari India dan luar India
untuk menerbitkan suntingan teks kritis dari Mahabharata. Suntingan teks ini terdiri dari
13.000 halaman yang dibagi menjadi 19 jilid. Lalu suntingan ini diikuti dengan Harivaṃsa
dalam 2 jilid dan 6 jilid indeks. Suntingan teks inilah yang biasa dirujuk untuk telaah
mengenai Mahabharata.[1]

Ringkasan cerita

Peta "Bharatawarsha" (India Kuno) atau wilayah kekuasaan Maharaja Bharata

Latar belakang

Mahabharata merupakan kisah kilas balik yang dituturkan oleh Resi Wesampayana untuk
Maharaja Janamejaya yang gagal mengadakan upacara korban ular. Sesuai dengan
permohonan Janamejaya, kisah tersebut merupakan kisah raja-raja besar yang berada di garis
keturunan Maharaja Yayati, Bharata, dan Kuru, yang tak lain merupakan kakek moyang
Maharaja Janamejaya. Kemudian Kuru menurunkan raja-raja Hastinapura yang menjadi
tokoh utama Mahabharata. Mereka adalah Santanu, Chitrāngada, Wicitrawirya, Dretarastra,
Pandu, Yudistira, Parikesit dan Janamejaya.

Para Raja India Kuno

Mahabharata banyak memunculkan nama raja-raja besar pada zaman India Kuno seperti
Bharata, Kuru, Parikesit (Parikshita), dan Janamejaya. Mahabharata merupakan kisah besar
keturunan Bharata, dan Bharata adalah salah satu raja yang menurunkan tokoh-tokoh utama
dalam Mahabharata.

Kisah Sang Bharata diawali dengan pertemuan Raja Duswanta dengan Sakuntala. Raja
Duswanta adalah seorang raja besar dari Chandrawangsa keturunan Yayati, menikahi
Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa, kemudian menurunkan Sang Bharata, raja
legendaris. Sang Bharata lalu menaklukkan daratan India Kuno. Setelah ditaklukkan, wilayah
kekuasaanya disebut Bharatawarsha yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata
(konon meliputi Asia Selatan)[2].

Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat
pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan Para Raja Hastinapura. Dari
keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan menyucikan sebuah daerah luas
yang disebut Kurukshetra (terletak di negara bagian Haryana, India Utara). Sang Kuru
menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa. Dalam Dinasti tersebut, lahirlah Pratipa,
yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Korawa.

Kerabat Wangsa Kaurawa (Dinasti Kuru) adalah Wangsa Yadawa, karena kedua Wangsa
tersebut berasal dari leluhur yang sama, yakni Maharaja Yayati, seorang kesatria dari Wangsa
Chandra atau Dinasti Soma, keturunan Sang Pururawa. Dalam silsilah Wangsa Yadawa,
lahirlah Prabu Basudewa, Raja di Kerajaan Surasena, yang kemudian berputera Sang Kresna,
yang mendirikan Kerajaan Dwaraka. Sang Kresna dari Wangsa Yadawa bersaudara sepupu
dengan Pandawa dan Korawa dari Wangsa Kaurawa.

Prabu Santanu dan keturunannya

Prabu Santanu dan Dewi Satyawati, leluhur para Pandawa dan Korawa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Santanu

Prabu Santanu adalah seorang raja mahsyur dari garis keturunan Sang Kuru, berasal dari
Hastinapura. Ia menikah dengan Dewi Gangga yang dikutuk agar turun ke dunia, namun
Dewi Gangga meninggalkannya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Hubungan
Sang Prabu dengan Dewi Gangga sempat membuahkan anak yang diberi nama Dewabrata
atau Bisma. Setelah ditinggal Dewi Gangga, akhirnya Prabu Santanu menjadi duda.

Beberapa tahun kemudian, Prabu Santanu melanjutkan kehidupan berumah tangga dengan
menikahi Dewi Satyawati, puteri nelayan. Dari hubungannya, Sang Prabu berputera Sang
Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada wafat di usia muda dalam suatu pertempuran,
kemudian ia digantikan oleh adiknya yaitu Wicitrawirya. Wicitrawirya juga wafat di usia
muda dan belum sempat memiliki keturunan. Atas bantuan Resi Byasa, kedua istri
Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, melahirkan masing-masing seorang putera, nama
mereka Pandu (dari Ambalika) dan Dretarastra (dari Ambika).

Dretarastra terlahir buta, maka tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandu, adiknya. Pandu
menikahi Kunti kemudian Pandu menikah untuk yang kedua kalinya dengan Madrim, namun
akibat kesalahan Pandu pada saat memanah seekor kijang yang sedang kasmaran, maka
kijang tersebut mengeluarkan (Supata=Kutukan) bahwa Pandu tidak akan merasakan lagi
hubungan suami istri, dan bila dilakukannya, maka Pandu akan mengalami ajal. Kijang
tersebut kemudian mati dengan berubah menjadi wujud aslinya yaitu seorang pendeta.

Kemudian karena mengalami kejadian buruk seperti itu, Pandu lalu mengajak kedua istrinya
untuk bermohon kepada Hyang Maha Kuasa agar dapat diberikan anak. Lalu Batara guru
mengirimkan Batara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti sehingga lahir anak yang pertama
yaitu Yudistira Kemudian Batara Guru mengutus Batara Indra untuk membuahi Dewi Kunti
shingga lahirlah Harjuna, lalu Batara Bayu dikirim juga untuk membuahi Dewi Kunti
sehingga lahirlah Bima, dan yang terakhir, Batara Aswin dikirimkan untuk membuahi Dewi
Madrim, dan lahirlah Nakula dan Sadewa.

Kelima putera Pandu tersebut dikenal sebagai Pandawa. Dretarastra yang buta menikahi
Gandari, dan memiliki seratus orang putera dan seorang puteri yang dikenal dengan istilah
Korawa. Pandu dan Dretarastra memiliki saudara bungsu bernama Widura. Widura memiliki
seorang anak bernama Sanjaya, yang memiliki mata batin agar mampu melihat masa lalu,
masa sekarang, dan masa depan.

Keluarga Dretarastra, Pandu, dan Widura membangun jalan cerita Mahabharata.

Pandawa dan Korawa

Pandawa dan Korawa merupakan dua kelompok dengan sifat yang berbeda namun berasal
dari leluhur yang sama, yakni Kuru dan Bharata. Korawa (khususnya Duryodana) bersifat
licik dan selalu iri hati dengan kelebihan Pandawa, sedangkan Pandawa bersifat tenang dan
selalu bersabar ketika ditindas oleh sepupu mereka. Ayah para Korawa, yaitu Dretarastra,
sangat menyayangi putera-puteranya. Hal itu membuat ia sering dihasut oleh iparnya yaitu
Sangkuni, beserta putera kesayangannya yaitu Duryodana, agar mau mengizinkannya
melakukan rencana jahat menyingkirkan para Pandawa.

Pada suatu ketika, Duryodana mengundang Kunti dan para Pandawa untuk liburan. Di sana
mereka menginap di sebuah rumah yang sudah disediakan oleh Duryodana. Pada malam hari,
rumah itu dibakar. Namun para Pandawa diselamatkan oleh Bima sehingga mereka tidak
terbakar hidup-hidup dalam rumah tersebut. Usai menyelamatkan diri, Pandawa dan Kunti
masuk hutan. Di hutan tersebut Bima bertemu dengan rakshasa Hidimba dan membunuhnya,
lalu menikahi adiknya, yaitu rakshasi Hidimbi. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Gatotkaca.

Setelah melewati hutan rimba, Pandawa melewati Kerajaan Panchala. Di sana tersiar kabar
bahwa Raja Drupada menyelenggarakan sayembara memperebutkan Dewi Dropadi. Karna
mengikuti sayembara tersebut, tetapi ditolak oleh Dropadi. Pandawa pun turut serta
menghadiri sayembara itu, namun mereka berpakaian seperti kaum brahmana.
Pandawa ikut sayembara untuk memenangkan lima macam sayembara, Yudistira untuk
memenangkan sayembara filsafat dan tatanegara, Arjuna untuk memenangkan sayembara
senjata Panah, Bima memenangkan sayembara Gada dan Nakula - Sadewa untuk
memenangkan sayembara senjata Pedang. Pandawa berhasil melakukannya dengan baik
untuk memenangkan sayembara.

Dropadi harus menerima Pandawa sebagai suami-suaminya karena sesuai janjinya siapa yang
dapat memenangkan sayembara yang dibuatnya itu akan jadi suaminya walau menyimpang
dari keinginannya yaitu sebenarnya yang diinginkan hanya seorang Satriya.

Setelah itu perkelahian terjadi karena para hadirin menggerutu sebab kaum brahmana tidak
selayaknya mengikuti sayembara. Pandawa berkelahi kemudian meloloskan diri.
sesampainya di rumah, mereka berkata kepada ibunya bahwa mereka datang membawa hasil
meminta-minta. Ibu mereka pun menyuruh agar hasil tersebut dibagi rata untuk seluruh
saudaranya. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat bahwa anak-anaknya tidak hanya
membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Tak pelak lagi, Dropadi
menikahi kelima Pandawa.

Permainan dadu

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sabhaparwa

Agar tidak terjadi pertempuran sengit, Kerajaan Kuru dibagi dua untuk dibagi kepada
Pandawa dan Korawa. Korawa memerintah Kerajaan Kuru induk (pusat) dengan ibukota
Hastinapura, sementara Pandawa memerintah Kerajaan Kurujanggala dengan ibukota
Indraprastha. Baik Hastinapura maupun Indraprastha memiliki istana megah, dan di sanalah
Duryodana tercebur ke dalam kolam yang ia kira sebagai lantai, sehingga dirinya menjadi
bahan ejekan bagi Dropadi. Hal tersebut membuatnya bertambah marah kepada para
Pandawa.

Untuk merebut kekayaan dan kerajaan Yudistira, Duryodana mengundang Yudistira untuk
main dadu ini atas ide Sangkuni, hal ini dilakukan sebenarnya untuk menipu Pandawa
mengundang Yudistira untuk main dadu dengan taruhan. Yudistira yang gemar main dadu
tidak menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura.

Pada saat permainan dadu, Duryodana diwakili oleh Sangkuni sebagai bandar dadu yang
memiliki kesaktian untuk berbuat curang. Permulaan permainan taruhan senjata perang,
taruhan pemainan terus meningkat menjadi taruhan harta kerajaan, selanjutnya prajurit
dipertaruhkan, dan sampai pada puncak permainan Kerajaan menjadi taruhan, Pandawa kalah
habislah semua harta dan kerajaan Pandawa termasuk saudara juga dipertaruhkan dan yang
terakhir istrinya Dropadi dijadikan taruhan.

Dalam peristiwa tersebut, karena Dropadi sudah menjadi milik Duryodana, pakaian Dropadi
ditarik oleh Dursasana karena sudah menjadi harta Duryodana sejak Yudistira kalah main
dadu, namun usaha tersebut tidak berhasil membuka pakaian Dropadi, karena setiap pakaian
dibuka dibawah pakaian ada pakaian lagi begitu terus tak habisnya berkat pertolongan gaib
dari Sri Kresna.

Karena istrinya dihina, Bima bersumpah akan membunuh Dursasana dan meminum darahnya
kelak. Setelah mengucapkan sumpah tersebut, Dretarastra merasa bahwa malapetaka akan
menimpa keturunannya, maka ia mengembalikan segala harta Yudistira yang dijadikan
taruhan.

Duryodana yang merasa kecewa karena Dretarastra telah mengembalikan semua harta yang
sebenarnya akan menjadi miliknya, menyelenggarakan permainan dadu untuk yang kedua
kalinya. Kali ini, siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, setelah
itu hidup dalam masa penyamaran selama setahun, dan setelah itu berhak kembali lagi ke
kerajaannya. Untuk yang kedua kalinya, Yudistira mengikuti permainan tersebut dan sekali
lagi ia kalah. Karena kekalahan tersebut, Pandawa terpaksa meninggalkan kerajaan mereka
selama 12 tahun dan hidup dalam masa penyamaran selama setahun.

Setelah masa pengasingan habis dan sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak
untuk mengambil alih kembali kerajaan yang dipimpin Duryodana. Namun Duryodana
bersifat jahat. Ia tidak mau menyerahkan kerajaan kepada Pandawa, walau seluas ujung jarum
pun. Hal itu membuat kesabaran Pandawa habis. Misi damai dilakukan oleh Sri Kresna,
namun berkali-kali gagal. Akhirnya, pertempuran tidak dapat dielakkan lagi.

Pertempuran di Kurukshetra

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang di Kurukshetra

Pandawa berusaha mencari sekutu dan ia mendapat bantuan pasukan dari Kerajaan Kekaya,
Kerajaan Matsya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha,
Wangsa Yadawa, Kerajaan Dwaraka, dan masih banyak lagi. Selain itu para ksatria besar di
Bharatawarsha seperti misalnya Drupada, Satyaki, Drestadyumna, Srikandi, Wirata, dan lain-
lain ikut memihak Pandawa. Sementara itu Duryodana meminta Bisma untuk memimpin
pasukan Korawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa.
Korawa dibantu oleh Resi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa yaitu
Jayadrata, serta guru Krepa, Kretawarma, Salya, Sudaksina, Burisrawas, Bahlika, Sangkuni,
Karna, dan masih banyak lagi.

Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Dalam pertempuran itu, banyak ksatria yang
gugur, seperti misalnya Abimanyu, Drona, Karna, Bisma, Gatotkaca, Irawan, Raja Wirata
dan puteranya, Bhagadatta, Susharma, Sangkuni, dan masih banyak lagi. Selama 18 hari
tersebut dipenuhi oleh pertumpahan darah dan pembantaian yang mengenaskan. Pada akhir
hari kedelapan belas, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka
adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kretawarma.

Penerus Wangsa Kuru

Setelah perang berakhir, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah
selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, yaitu Parikesit. Kemudian,
Yudistira bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir
perjalanan mereka. Di sana mereka meninggal dan mencapai surga. Parikesit memerintah
Kerajaan Kuru dengan adil dan bijaksana. Ia menikahi Madrawati dan memiliki putera
bernama Janamejaya. Janamejaya menikahi Wapushtama (Bhamustiman) dan memiliki
putera bernama Satanika. Satanika berputera Aswamedhadatta. Aswamedhadatta dan
keturunannya kemudian memimpin Kerajaan Wangsa Kuru di Hastinapura.
Silsilah
Silsilah keturunan Maharaja Yayati

     

     

Nahusa Asokasundari
       

                 

                     

Dewayani Yayati Sarmista


                         

                                   

               
                                 

Yadu  

Turwasu  

Druhyu  

Anu  

Puru

                                         

 
Yadu menurunkan                          
Puru menurunkan
wangsa Yadawa wangsa Paurawa

Silsilah keluarga Bharata

                   

Puru

                             

                   
Wangsa
Paurawa

                             

             
Generasi        

Paurawa

                             
 

           

Sakuntala Duswanta  

   

                           

               

Bharata Watsa  

   

                             

             
Keluarga          

Bharata

                             

           

Yasodari Hasti  

   

                               

                       
Para Raja  

Hastinapura

                           

               

Kuru Yamadi  

   

                               

             
Dinasti        

Kuru
                             
 

           

Sunanda Pratipa  

   

                         

Gangg
                   

Santanu Satyawati  

a                        

                     

                         

                   

Citrānggad
 

Wicitrawirya  

Ambika  

       

Bisma    

Ambalika
a        

                                           

   

Dretarastr Gandar
           

Madri  

Kunti Pandu    

a i
       

                                           

             

                     

   

                     

 
Pandawa          

Korawa  

Catatan kaki
1. ^ Bhandarkar Institute, Pune—Virtual Pune
2. ^ History of Bharatavarsha

Bahan bacaan
 S Pendit, Nyoman (2003), Mahabharata, PT Gramedia Pustaka Utama, ISBN 979-22-
0352-4.
 Haryanto, S. (1988), Pratiwimba Adiluhung, sejarah dan perkembangan wayang.,
Penerbit Djambatan, Jakarta., ISBN.
 Zoetmulder P.J. (1983), Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang, Penerbit
Djambatan, ISBN

Pranala luar
 Kitab Mahabharata menurut versi India - situs tentang Mahabharata

[Wiracarita Mahabharata oleh Krishna Dwaipayana Wyasa


Adiparwa · Sabhaparwa · Wanaparwa · Wirataparwa ·
Udyogaparwa · Bhismaparwa · Dronaparwa · Karnaparwa ·
Daftar Salyaparwa · Sauptikaparwa · Striparwa · Santiparwa ·
kitab Anusasanaparwa · Aswamedikaparwa · Asramawasikaparwa ·
Mosalaparwa · Prasthanikaparwa · Swargarohanaparwa ·
Hariwangsa

Abimanyu · Adirata · Arjuna · Abyasa (Byasa) · Amba · Ambalika ·


Ambika · Babruwahana · Baladewa (Balarama) · Barbarika ·
Basudewa · Bharata · Bima · Bisma · Burisrawa · Citrānggada ·
Citrānggadā · Cekitana · Drestadyumna · Dretarastra · Drona ·
Tokoh Dropadi · Drupada · Dursala · Dursasana · Duryodana · Duswanta ·
pentin Ekalawya · Gandari · Gangga · Hidimba · Hidimbi · Irawan ·
g Janamejaya · Jarasanda · Karna · Kertawarma · Krepa · Kresna ·
Kunti · Kuru · Nakula · Pandu · Parikesit · Pratipa · Radha ·
Sadewa · Sakuntala · Santanu · Satyaki · Satyawati (Durgandini) ·
Sisupala · Srikandi · Subadra · Ulupi · Utara · Wesampayana ·
Widura · Wirata (Matsyapati) · Yudistira · Yuyutsu

Pandawa · Korawa · Hastinapura · Indraprastha · Kerajaan yang


Topik disebut dalam Mahabharata · Kurukshetra · Perang di Kurukshetra ·
terkait Astadasaparwa · Bhagawadgita · Baratayuda · Kerajaan Kuru ·
Silsilah Pandawa dan Korawa
Portal Mahabharata

Adiparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari


Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Bali.

Adiparwa (bahasa Sanskerta: आदिपर्व) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama
dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita
Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata,
hingga masa muda Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai
dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah
keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang
mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.

Daftar isi
 1 Bagian-bagian
 2 Ringkasan isi Kitab Adiparwa
o 2.1 Mangkatnya Raja Parikesit
o 2.2 Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
o 2.3 Wesampayana menuturkan Mahabharata
 2.3.1 Garis keturunan Maharaja Yayati
 2.3.2 Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
 2.3.3 Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
 2.3.4 Terbakarnya rumah damar
 2.3.5 Pandawa mendapatkan Dropadi
 2.3.6 Arjuna mengasingkan diri ke hutan
 3 Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
o 3.1 Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
o 3.2 Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
o 3.3 Kisah pemutaran Mandaragiri
o 3.4 Kisah Sang Garuda dan para Naga
 4 Bahasa dan sejarah
 5 Pengaruh dalam budaya
 6 Bahan bacaan
 7 Lihat pula
 8 Referensi

Bagian-bagian
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu diantaranya:

 Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian


Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan
Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan
maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan
cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas
kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga Taksaka,
yang telah membunuh raja Pariksit.
o Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang
menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing
parwa.

 Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan
kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.

 Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu
dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang
Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang
Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau
upacara pengorbanan ular.

 Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat
dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk
mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja
Janamejaya.

 Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga
perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya
para naga oleh ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan
garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
o Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk
mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan
bulan.

 Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga
Taksaka.

 Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan
Astika mengurungkan kurban ular ini.

 Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala
(Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata.
Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan
Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya
Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya
Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para Pandawa, dan
sang Widura.

 Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan Pandawa
kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.

 Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma)
mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran
Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina
menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun
dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya
hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.

Catatan: Cerita-cerita ini dianyam dalam bentuk cerita bingkai.

Ringkasan isi Kitab Adiparwa


Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang
Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa[1].
Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah
kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan
Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah
kisah besar keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).

Mangkatnya Raja Parikesit

Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di
Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada
suatu hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak.
Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja
menanyakan kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan
bisu). Hal tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil bangkai ular, kemudian
mengalungkannya di leher sang pendeta.

Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang
Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit
ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut,
maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan
para patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular.
Pada hari ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang
bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja.
Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat
dalam jambu[1].

Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular

Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan


tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian,
kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari
Kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan
bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang
Raja berhasil menaklukkan desa Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan
mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa
penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.

Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang
Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk
membalas Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan
mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang
Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus
Sang Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut
lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon
agar Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan
terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk
kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Wesampayana menuturkan Mahabharata

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan
Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang
bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan
Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar
keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan
Wesampayana menuturkan sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja
lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur
sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur Maharaja Janamejaya
(Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu
Pandawa dan Korawa.

Garis keturunan Maharaja Yayati

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Silsilah Dinasti Kuru dan Yadu

Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama
Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta.
Dewayani melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu,
dan Puru. Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut
Paurawa.[1]

     

     

Nahusa Asokasundari
       

                 

                     

Dewayani Yayati Sarmista


                         

                                   

               
                                 

Yadu  

Turwasu  

Druhyu  

Anu  

Puru

                                         

 
Yadu menurunkan                          
Puru menurunkan
wangsa Yadawa wangsa Paurawa

Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang
kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah
jajahannya kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha[1]. Sang Bharata menurunkan Dinasti
Bharata. Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang
disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru[1].

Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu
Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan
Bhisma, sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada
wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka Wicitrawirya
melanjutkan pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika
dan Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu.
Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan
Pandu memiliki lima putera yang disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu).

                   

Puru

                             

                   
Wangsa
Paurawa
                             

             
Generasi        

Paurawa

                             

           

Sakuntala Duswanta  

   

                           

               

Bharata Watsa  

   

                             

             
Keluarga          

Bharata

                             

           

Yasodari Hasti  

   

                               

                       
Para Raja  

Hastinapura

                           

                   

Kuru Yamadi
   

                               

             
Dinasti        

Kuru

                             

           

Sunanda Pratipa  

   

                         

Gangg
                   

Santanu Satyawati  

a                        

                     

                         

                   

Citrānggad
 

Wicitrawirya  

Ambika  

       

Bisma    

Ambalika
a        

                                           

   

Dretarastr Gandar
           

Madri  

Kunti Pandu    

a i
       

                                           

             

                     

   

                     

 
Pandawa          

Korawa  

Kisah Prabu Santanu dan keturunannya


Prabu Santanu jatuh cinta kepada Satyawati, anak seorang nelayan (dilukis oleh Raja Ravi
Varma).
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Santanu

Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru
atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama
Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut,
Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera
8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri,
sedangkan puteranya yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh
Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama
Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati.
Satyawati melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.

Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu
pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya,
Wicitrawirya[1]. Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama
setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda
Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika
melahirkan Drestarastra yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas
anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut
melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit pincang[1]. Drestarastra menikahi
Gandari kemudian memiliki seratus putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan
Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan
Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.

Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pandawa


Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik
mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu
mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya
yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para
Pandawa dan hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru
menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima
yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-
adiknya kesal.

Terbakarnya rumah damar

Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta
Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-
sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan
yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk
menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.

Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai


putra mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga
ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan
Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama
Kunti dengan cara menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana
terdapat bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan
akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur.
Segala sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang
merupakan paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh
seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh
karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama
kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke hutan rimba.

Pandawa mendapatkan Dropadi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dropadi

Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di
Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di
penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang
Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil
memanah sasaran tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi.
Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat.
Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik.
Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu
lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.

Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana.
Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak
menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana
tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan
Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa
melarikan Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami
datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang
dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian
peroleh". Ketika ia menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja
membawa hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta,
membuat anak-anaknya untuk berbagai istri[1].

Arjuna mengasingkan diri ke hutan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Arjuna

Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan
mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari
Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang
pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa.
Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil
senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi
sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil
senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas
perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna
menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau


daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka
adalah: Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra
anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada
anaknya bernama Babruwahana.

Kisah lain dalam Kitab Adiparwa


Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada
Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak
mengalir ke depan melainkan meloncat-loncat[1].

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya

Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki


3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji
kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang
Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah
hujan membawa air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air
tersebut akan merusak tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air.
Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai
pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang
Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak
diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia
menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka
Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut
mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering.
Sampai sore, Sang Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika
dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian
mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang
Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan
Dhomya.

Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang
terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk
sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda
dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru

Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici,
cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri
tersebut bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira,
Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan
Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan
Kasyapa. Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua
anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan
Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur
masing-masing dengan baik.

Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang
terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang
Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka
telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian
tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena
ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak
oleh Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan
menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna,
karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya[1].

Kisah pemutaran Mandaragiri

Kurma Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kurma Awatara

Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat
untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta
tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan
tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya,
Naga Wasuki mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat
pengaduk. Gunung tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar
menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian
para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa
Indra berdiri di puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.

Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi,
kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian,
munculah Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta
tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun
menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya
Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para
rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan
menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa
tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.

Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran
antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata
chakra-nya. Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para
rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada
yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil
membawa tirta amerta ke surga.

Kisah Sang Garuda dan para Naga

Lukisan Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19. Sekarang lukisan ini
disimpan di Universitas Leiden.

Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa,
mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran
Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut
putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih
sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa
yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna
kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.

Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya


mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.
Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya
untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-
anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.
Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara
pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-
anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda
Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru
memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.

Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa
yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada
akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang
Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari
kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan
untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu
membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda
menyanggupi permohonan tersebut.

Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat
tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan
bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku,
nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta
kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal
tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”.
Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus
menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga
akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta,
namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda
mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.

Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum
amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga
mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi
setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra.
Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun
ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun
ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke
surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.

Bahasa dan sejarah


Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam
bahasa Inggris pada tahun 1990.

Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam
bahasa Sanskerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat
kapan persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam
bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa
kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa
Teguh (kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).

Pengaruh dalam budaya


Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sanskerta ke Bahasa Jawa Kuno atau
Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa yang
diterjemahkan dari bahasa Sanskerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon
pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala
sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau
yang mampu memindah alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India
menjadi Jawa Asli[2]. Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti
Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa
ke tanah Jawa[2].

Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri
dari lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut
Mulyono dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan
Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala
antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh
perkembangan agama Islam di tanah Jawa[3]. Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi
dalam kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam
pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang
saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka
dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu
menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga ataupun seniman Islam
mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam[3]. Pancawala yang sebenarnya
merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera
Yudistira saja[3].

Bahan bacaan
1. Ganguli, K. Mohan (translator). The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa,
Adi Parva (First Parva, or First Book), translated into English Prose from the Original
Sanskrit Text [1883-1896]. The Project Gutenberg EBook #7864. April, 2005.
2. Widyatmanta, S. Kitab Adiparwa, jilid I. Cabang Bagian Bahasa – Jogyakarta,
Jawatan Kebudayaan Kementerian PP dan K. 1958.
3. Zoetmulder, P.J. Kalangwan, sastra Jawa Kuno selayang pandang. Penerbit
Djambatan, Jakarta. 1994.

Lihat pula
 Astadasaparwa

Referensi
1. ^ a b c d e f g h i j k Adiparwa, kitab pertama dari seri Astadasaparwa –
Mahābhārata. Ditulis oleh: Krishna Dvaipayana Vyāsa
2. ^ a b c d Kitab Adiparwa – Kata pengantar: "Kisah pewayangan Jawa tidak
sedikit yang mengutip dari Kitab Adiparwa. Dalam kitab Adiparwa terdapat
perbedaan dengan lakon wayangnya, sehingga memberi kesan bahwa semua
kejadian dalam Mahabharata terjadi di tanah Jawa, termasuk para tokohnya, nama
kerajaannya, semua berasal dari Jawa" .
3. ^ a b c "Dewi Dropadi: Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa".
Artikel dalam Warta Hindu Dharma No.290 edisi Juli 1991. Menurut Mulyono:
“Dropadi sebenarnya bersuami lima orang, yaitu Panca Pandawa. Namun karena
pengaruh Agama Islam terhadap kesenian wayang, maka kisah Dropadi bersuami
lima orang diubah menjadi bersuami satu orang saja”

[sembunyikan]

 l
 b
 s

Wiracarita Mahabharata oleh Krishna Dwaipayana Wyasa


Adiparwa · Sabhaparwa · Wanaparwa · Wirataparwa ·
Udyogaparwa · Bhismaparwa · Dronaparwa · Karnaparwa ·
Daftar Salyaparwa · Sauptikaparwa · Striparwa · Santiparwa ·
kitab Anusasanaparwa · Aswamedikaparwa · Asramawasikaparwa ·
Mosalaparwa · Prasthanikaparwa · Swargarohanaparwa ·
Hariwangsa
Abimanyu · Adirata · Arjuna · Abyasa (Byasa) · Amba · Ambalika ·
Ambika · Babruwahana · Baladewa (Balarama) · Barbarika ·
Basudewa · Bharata · Bima · Bisma · Burisrawa · Citrānggada ·
Citrānggadā · Cekitana · Drestadyumna · Dretarastra · Drona ·
Tokoh Dropadi · Drupada · Dursala · Dursasana · Duryodana · Duswanta ·
pentin Ekalawya · Gandari · Gangga · Hidimba · Hidimbi · Irawan ·
g Janamejaya · Jarasanda · Karna · Kertawarma · Krepa · Kresna ·
Kunti · Kuru · Nakula · Pandu · Parikesit · Pratipa · Radha ·
Sadewa · Sakuntala · Santanu · Satyaki · Satyawati (Durgandini) ·
Sisupala · Srikandi · Subadra · Ulupi · Utara · Wesampayana ·
Widura · Wirata (Matsyapati) · Yudistira · Yuyutsu

Pandawa · Korawa · Hastinapura · Indraprastha · Kerajaan yang


Topik disebut dalam Mahabharata · Kurukshetra · Perang di Kurukshetra ·
terkait Astadasaparwa · Bhagawadgita · Baratayuda · Kerajaan Kuru ·
Silsilah Pandawa dan Korawa

Sabhaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang
Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12
tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka
berjudi dan kalah dari Duryodana.

Daftar isi
 1 Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa
o 1.1 Niat licik Duryodana dan Sangkuni
o 1.2 Pandawa dan Korawa main dadu
o 1.3 Dropadi dihina di muka umum
o 1.4 Pandawa dibuang ke tengah hutan
 2 Sabhaparwa di Indonesia
 3 Bacaan lebih lanjut

Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa


Niat licik Duryodana dan Sangkuni

Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk
mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali
mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara
mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun
dicegah oleh Sangkuni.

Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain
dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan.
Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama
anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian,
anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan".

Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka


mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu.
Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra
ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat
hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan
Widura.

Pandawa dan Korawa main dadu

Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa kalah main dadu dengan Korawa.

Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura
untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para
Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan
pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan
mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu
hari, kemudian menuju ke arena perjudian.

Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para
orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan".
Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Maaf paduka Prabu. Saya kira
jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara.
Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula
jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada
di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?"

Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu
pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab
dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi
merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.

Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan


harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai
taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya,
namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi
sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk
dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga
sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan,
namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

Dropadi dihina di muka umum

Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana.
Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali
lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam
membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni,
Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan
tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.

Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan
Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para
pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat
peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal,
Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak
untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi
menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan
para iparnya berkumpul.

Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di
Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang,
tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah,
memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua
orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut
tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.

Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata,
"Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang
menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama,
saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman
Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia
telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi
Dropadi tidak sah!"

Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak
setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di
ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak
lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau
berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi
seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami
sampai lima orang?"

Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan
seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi
yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi
berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi.
Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan
Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan
Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil.
Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri
Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Pandawa dibuang ke tengah hutan

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia
akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah
lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui
firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia
memanggil Pandawa beserta Dropadi.

Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang
menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang
telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".

Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.
Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira.
Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah,
maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat
anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk
bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan
selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah
harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.

Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua
kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka
Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama
12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para
Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.

Sabhaparwa di Indonesia
Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.

Bacaan lebih lanjut


 Sabhaparwa, ditulis oleh Krishna Dwaipayana Wyasa, buku kedua dari seri
Astadasaparwa kitab Mahābhārata.
[sembunyikan]

 l
 b
 s

Wiracarita Mahabharata oleh Krishna Dwaipayana Wyasa


Adiparwa · Sabhaparwa · Wanaparwa · Wirataparwa ·
Udyogaparwa · Bhismaparwa · Dronaparwa · Karnaparwa ·
Daftar Salyaparwa · Sauptikaparwa · Striparwa · Santiparwa ·
kitab Anusasanaparwa · Aswamedikaparwa · Asramawasikaparwa ·
Mosalaparwa · Prasthanikaparwa · Swargarohanaparwa ·
Hariwangsa

Abimanyu · Adirata · Arjuna · Abyasa (Byasa) · Amba · Ambalika ·


Ambika · Babruwahana · Baladewa (Balarama) · Barbarika ·
Basudewa · Bharata · Bima · Bisma · Burisrawa · Citrānggada ·
Citrānggadā · Cekitana · Drestadyumna · Dretarastra · Drona ·
Tokoh Dropadi · Drupada · Dursala · Dursasana · Duryodana · Duswanta ·
pentin Ekalawya · Gandari · Gangga · Hidimba · Hidimbi · Irawan ·
g Janamejaya · Jarasanda · Karna · Kertawarma · Krepa · Kresna ·
Kunti · Kuru · Nakula · Pandu · Parikesit · Pratipa · Radha ·
Sadewa · Sakuntala · Santanu · Satyaki · Satyawati (Durgandini) ·
Sisupala · Srikandi · Subadra · Ulupi · Utara · Wesampayana ·
Widura · Wirata (Matsyapati) · Yudistira · Yuyutsu

Pandawa · Korawa · Hastinapura · Indraprastha · Kerajaan yang


Topik disebut dalam Mahabharata · Kurukshetra · Perang di Kurukshetra ·
terkait Astadasaparwa · Bhagawadgita · Baratayuda · Kerajaan Kuru ·
Silsilah Pandawa dan Korawa

Santiparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Santiparwa adalah kitab ke-12 Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa
kuna.

Dalam kitab ini diceritakan tentang nasihat-nasihat bagawan Bisma ketika berada di atas
saratalpa atau "ranjang panah" ketika sudah dikalahkan pada perang Bharatayuddha. Ia
terutama memberikan nasihat-nasihat penting kepada Raja Yudistira.

Anusasanaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Anusasanaparwa adalah kitab ke-13 Mahabharata dan merupakan terusan Santiparwa,


tentang percakapan antara Yudistira dan Bisma. Kitab ini tidak terdapatkan dalam bahasa
Jawa kuna.

Dalam kitab ini diceritakan pula meninggalnya Bisma dan berpulangnya beliau ke surga.

Aswamedikaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Aswamedikaparwa adalah kitab ke 14 Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam


bahasa Jawa kuna.

Kitab ini terutama menceritakan penobatan Parikesit, putra Abimanyu, cucu Arjuna untuk
menjadi Raja Hastina sampai ke akhir hayatnya, tewas digigit si naga Taksaka.

Cerita tentang digigitnya Parikesit oleh Taksaka terdapat pula pada kitab pertama Adiparwa,
yang terdapati dalam bahasa Jawa kuna.

Asramawasikaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Asramawasikaparwa atau dalam versi Jawa Kuna disebut Asramawasanaparwa adalah


buku ke 15 Mahabharata. Adapun kisah ceritanya adalah sebagai berikut: Sehabis perang
Bharatayuddha, sang Drestarastra diangkat menjadi raja selama limabelas tahun di Astina. Ini
bermaksud untuk menolongnya sebab putra-putra dan keluarganya sudah meninggal semua.
Para Pandawa taat dan berbakti kepadanya dan menyanjung-nyanjungkannya supaya ia tidak
teringat akan putra-putranya. Tetapi sang Wrekodara selalu merasa jengkel dan mangkel
terhadapnya karena teringat akan perbuatan sang Duryodana yang selalu berbuat jahat.

Maka kalau tidak ada orang sang Drestarastra dicaci maki olehnya dan ditunjukkan atas
kesalah-salahannya. Akhirnya sang Drestarastra tidak tahan lagi karena merasa segan dan
meminta diri kepada raja Yudistira akan pergi dan tinggal di dalam hutan. Lalu ia berangkat
diantarkan oleh orang tua-tua: Arya Widura, dewi Gandari dan dewi Kunti. Selama dalam
pertapaan para Pandawa pernah mengunjunginya namun tak lama kemudian sang
Drestarastara meninggal karena api suci yang diciptakan tubuhnya ketika bertapa, disusul
oleh para pengiringnya.
Sumber
 Kapustakan Djawi oleh Poerbatjaraka, (1952)

Mosalaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Para pemuda membawa Samba yang menyamar sebagai wanita hamil ke hadapan para resi.

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata.
Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah
kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga
menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Daftar isi

1 Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa


1.1 Kutukan para brahmana
1.2 Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
1.3 Hancurnya Kerajaan Dwaraka
2 Lihat pula
3 Bacaan lebih lanjut
4 Pranala luar

Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga
atau zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah
memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh
Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak
pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang
minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda
yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani
Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu
dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka
berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya.
Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian
mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang
tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba,
keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan
senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya.
Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk.
Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi
kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu
Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa
serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman
seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang
sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan
lalu dijual kepada seorang Jara seorang pemburu. Pemburu yang bernama Jara membeli ikan
itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu
lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di Prabhasatirtha.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa
Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka
melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di
pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan
kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki
berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau
telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan
tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk
tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma
marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang
meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu
memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu
menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah
beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap
orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk
tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman
tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para
keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau
lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyadari bahwa
rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia
mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak
kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di
tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak
dan mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan
disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti
misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana
yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan
jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka
dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam
hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka
disuruh untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di
Hastinapura.

Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia dalam tapanya. Kemudian keluar naga dari
mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah
menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa
bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara
tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata
mosala di dalam ikan yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah
seekor rusa, Jara meminta ma'af kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata, "Apapun
yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku". Sebelum Kresna wafat,
teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu
para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah
Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa
keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di
antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih
tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa.
Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa
dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar
Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang
lunglai. Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai
dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa
kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna,
kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.

Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan


perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan
perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa
orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra,
para Yadawa dipimpin oleh Bajra.

Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi
Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan
perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Lihat pula

Wresni (kisah hancurnya Wangsa Wresni)

Bacaan lebih lanjut

"Mosala, Mahaprastanika, Swargarohanika Parwa". Diterjemahkan oleh Ketut Nila.


Penerbit Upada sastra.
"Kepustakaan Jawa". Oleh Poerbatjaraka 1952
Shrimad Bhagawatam

Pranala luar

(Inggris) The Disappearance of the Yadu-dynasty


Prasthanikaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh


belas. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi
mengundurkan diri dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini
karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali
prabu Yudistira.

Daftar isi
 1 Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa
o 1.1 Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura
o 1.2 Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi
 2 Lihat pula

Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa


Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura

Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi

Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang
berkata akan mengangkatnya ke surga tanpa harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika
anjingnya juga diperbolehkan ikut. Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira
bersikeras dan akhirnya dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin
mengetesnya.

Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata
mereka berada di neraka. Lalu beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab
kenikmatan sorga adalah sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini
dilanjutkan di buku ke 18 Swargarohanaparwa

Swargarohanaparwa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini


dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi
ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-
saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.

Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya


sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka
tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah
berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik
sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa

Smrti
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri
Susastra Hindu

Veda
Rgveda · Yajurveda
Samaveda · Atharvaveda
Pembagian Veda
Samhita · Brahmana
Aranyaka  · Upanisad
Upanishad
Aitareya  · Bṛhadāraṇyaka
Īṣa  · Taittirīya · Chāndogya
Kena  · Muṇḍaka
Māṇḍūkya  ·Praśna
Śvetaśvatara
Wedangga
Śikshā · Chanda
Vyakarana · Nirukta
Jyotisha · Kalpa
Itihasa
Mahabharata · Ramayana
Susastra lainnya
Smrti · Purana
Bhagavad Gita · Sutra
Pancaratra · Tantra
Kumara Vyasa Bharata · Stotra
Hanuman Chalisa · Ramacharitamanas
Shikshapatri · Vachanamrut
Lihat pula
Mitologi
Kosmologi
Dewa-Dewi
Portal Hindu
Kotak ini:
 lihat
 bicara
 sunting

Smrti (Sanskrit स्मति


ॄ , "yang di ingat") merupakan satu dari dua kelompok pembagian
susastra Hindu. Smrti bukanlah wahyu sebagaimana hal-nya Sruti, dan diposisikan setelah
Śruti sebagai sastra utama.

Klasifikasi dalam Smrti


Secara garis besar, Smrt diklasifikan sebagai berikut:

1. Dharmasastra, atau sastra hukum dan perundang-undangan.


2. Itihasa, atau sejarah.
3. Purana, sastra keagamaan.
4. Sutra.
5. Agama
6. Darshana, filsafat Hindu. Yang termasuk didalamnya adalah apa yang disebut Sad
Darshana, enam ajaran filsafat Hindu, yaitu: Samkhya, Yoga, Mimamsa, Vaisiseka,
Nyaya dan Vedanta.

Lihat pula
 Sastra Hindu
 Śruti

Pranala luar
 (Inggris) Arsha Vidya Gurukulam
 (Inggris) Sanskrit site with comprehensive library of texts

Artikel bertopik agama Hindu ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
  Wikipedia dengan mengembangkannya

Bhagawadgita
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Bhagavad Gita)

Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari


Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair.
Dalam dialog ini, Kresna, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang
menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna
yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri
Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki
kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang
abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang
sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).

Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa".
Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna
berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa.
Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak
saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai
rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Kresna yang berlaku sebagai sais
Arjuna pada saat itu.

Daftar isi
 1 Penulis
 2 Daftar isi
 3 Bhagawadgita dalam budaya Jawa Kuna dan Bali
o 3.1 Bhismaparwa
o 3.2 Bharatayuddha
 4 Lihat pula
 5 Pranala luar

Penulis
Penulis Bhagawadgita adalah Sri Krishna Dvipayana Vyasa atau Resi Byasa. Bhagawadgita
merupakan ajaran universal yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, sepanjang
masa. Untuk mengetahui rahasia kehidupan sejati di dunia ini sehingga dapat terbebaskan
dari kesengsaraan dunia dan akhirat . Umat Hindu meyakini, Bhagawadgita merupakan ilmu
pengetahuan abadi, yakni sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan
ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.

Daftar isi
Kitab ini terdiri dari 18 bab, yaitu:

 BAB 1 Arjuna Wisada Yoga (Meninjau tentara-tentara di medan perang


Kurukshetra). Tentara-tentara kedua belah pihak siap siaga untuk bertempur. Arjuna,
seorang ksatria yang perkasa, melihat sanak keluarga, guru-guru, dan kawan-
kawannya dalam tentara-tentara kedua belah pihak siap untuk bertempur dan
mengorbankan nyawanya. Arjuna tergugah kenestapaan dan rasa kasih sayang,
sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya bingung, dan dia tidak dapat
bertabah hati untuk bertempur.

 BAB II Ringkasan isi Bhagavad-gita, menguraikan tentang Arjuna menyerahkan diri


sebagai murid kepada Sri Kresna, kemudian Kresna memulai pelajaran-Nya kepada
Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok antara badan jasmani yang bersifat
sementara dan sang roh yang bersifat kekal. Kresna menjelaskan proses perpindahan
sang roh, sifat pengabdian kepada Yang Mahakuasa tanpa mementingkan diri sendiri
dan ciri-ciri orang yang sudah insaf akan dirinya.

 BAB III Karma Yoga, menguraikan mengenai semua orang harus melakukan kegiatan
di dunia ini. Tetapi perbuatan dapat mengikat diri seseorang pada dunia ini atau
membebaskan dirinya dari dunia. Seseorang dapat dibebaskan dari hukum karma
(perbuatan dan reaksi) dan mencapai pengetahuan sejati tentang sang diri dan Yang
Mahakuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Tuhan, tanpa mementingkan diri
sendiri.

 BAB IV Jnana Yoga, menguraikan pencapaian yoga melalui pengetahuan rohani-


pengetahuan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara
sang roh dan Tuhan-menyucikan dan membebaskan diri manusia. Pengetahuan seperti
itu adalah hasil perbuatan bhakti tanpa mementingkan diri disebut karma yoga.
Krishna menjelaskan sejarah Bhagavad-gita sejak zaman purbakala, tujuan dan makna
Beliau sewaktu-waktu menurun ke dunia ini, serta pentingnya mendekati seorang
guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya.

 BAB V Karma Yoga, Perbuatan dalam kesadaran Krishna, orang yang bijaksana yang
sudah disucikan oleh api pengetahuan rohani, secara lahiriah melakukan segala
kegiatan tetapi melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan dalam hatinya. Dengan
cara demikian, orang bijaksana dapat mencapai kedamaian, ketidakterikatan,
kesabaran, pengelihatan rohani dan kebahagiaan.

 BAB VI Dhyana Yoga, menguraikan tentang astanga yoga, sejenis latihan meditasi
lahiriah, mengendalikan pikiran dan indria-indria dan memusatkan perhatian kepada
Paramatma (Roh Yang Utama, bentuk Tuhan yang bersemayam di dalam hati).
Puncak latihan ini adalah samadhi. samadhi artinya sadar sepenuhnya terhadap Yang
Maha Kuasa.

 BAB VII Pengetahuan tentang Yang Mutlak, Sri Krishna adalah Kebenaran Yang
Paling Utama, Penyebab yang paling utama dan kekuatan yang memelihara segala
sesuatu, baik yang material maupun rohani. Roh-roh yang sudah maju menyerahkan
diri kepada Krishna dalam pengabdian suci bhakti, sedangkan roh yang tidak saleh
mengalihkan obyek-obyek sembahyang kepada yang lain.

 BAB VIII Cara Mencapai Kepada Yang Mahakuasa, Seseorang dapat mencapai
tempat tinggal Krishna Yang Paling Utama, di luar dunia material, dengan cara ingat
kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, khususnya pada saat meninggal.

 BAB IX Raja Widya Rajaguhya Yoga (Pengetahuan Yang Paling Rahasia), hakikat
Ketuhanan sebagai raja dari segala ilmu pengetahuan (widya), Krishna adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan tujuan tertinggi kegiatan sembahyang, sang roh mempunyai
hubungan yang kekal dengan Krishna melalui pengabdian suci bhakti yang bersifat
rohani. Dengan menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat kembali
kepada Krishna di alam rohani.

 BAB X Wibhuti Yoga, Kehebatan Tuhan Yang Mutlak, menguraikan mengenai sifat
hakikat Tuhan yang absolut/mutlak. Segala fenomena ajaib yang memperlihatkan
kekuatan, keindahan, sifat agung atau mulia, baik di dunia material maupun di dunia
rohani, tidak lain daripada perwujudan sebagian tenaga-tenaga dan kehebatan rohani
Krishna. Sebagai sebab utama segala sebab serta sandaran dan hakekat segala sesuatu.
Krishna,Tuhan Yang Maha Esa adalah tujuan sembahyang tertinggi bagi para mahluk.

 BAB XI Wiswarupa Darsana Yoga, Bentuk Semesta, menguraikan tentang Sri


Krishna menganugrahkan pengelihatan rohani kepada Arjuna. Ia memperlihatkan
bentuk-Nya yang tidak terhingga dan mengagumkan sebagian alam semesta. Dengan
cara demikian, Krishna membuktikan secara meyakinkan identitas-Nya sebagai Yang
Mahakuasa. Krishna menjelaskan bahwa bentuk-Nya Sendiri serba tampan dan dekat
dengan bentuk manusia adalah bentuk asli Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang dapat
melihat bentuk ini hanya dengan bhakti yang murni

 BAB XII Bhakti Yoga, Pengabdian Suci Bhakti, menguraikan tentang cara yoga
dengan bhakti, bhakti-yoga, pengabdian suci yang murni kebada Sri Krishna, adalah
cara tertinggi dan paling manjur untuk mencapai cinta bhakti yang murni kepada
Krishna, tujuan tertinggi kehidupan rohani. Orang yang menempuh jalan tertinggi ini
dapat mengembangkan sifat-sifat suci.

 BAB XIII Ksetra Ksetradnya Yoga, Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan
Kesadaran, menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan
purusa dan prakrti, orang yang mengerti perbedaan antara badan, dengan sang roh dan
Roh Yang Utama yang melampaui badan dan roh, akan mencapai pembebasan dari
dunia material.

 BAB XIV Guna Traya Wibhaga Yoga, Tiga Sifat Alam Material, membahas Triguna
(tiga sifat alam material) - Sattvam, Rajas dan Tamas, semua roh terkurung dalam
badan di bawah pengendalian tiga sifat alam material; kebaikan (sattvam), nafsu
(rajas) dan kebodohan (tamas). Sri Krishna menjelaskan arti sifat-sifat tersebut dalam
bab ini, bagaimana sifat-sifat tersebut mempengaruhi diri kita, bagaimana cara
melampaui sifat-sifat tersebut serta ciri-ciri orang yang sudah mencapai keadaan
rohani (orang yang sudah lepas dari tiga sifat alam).

 BAB XV Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi,
Hakikat Ketuhanan, Tujuan utama pengetahuan veda adalah melepaskan diri dari
ikatan terhadap dunia material dan mengerti Krishna sebagai Kepribadian Tuhan
Yang Maha Esa. Orang yang mengerti identitas Krishna yang paling utama
menyerahkan diri kepada Krishna dan menekuni pengbdian suci kepada Krishna.

 BAB XVI Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas mengenai hakikat tingkah-
laku manusia, sifat rohani dan sifat jahat. Orang yang memiliki sifat-sifat jahat dan
hidup sesuka hatinya, tanpa mengikuti aturan Kitab Suci, dilahirkan dalam keadaan
yang lebih rendah dan diikat lebih lanjut secara material, tetapi orang yang memiliki
sifat-sifat suci dan hidup secara teratur dengan mematuhi kekuasaan Kitab Suci,
berangsur-angsur mencapai kesempurnaan rohani.

 BAB XVII Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan mengenai golongan-


golongan keyakinan. Ada tiga jenis keyakinan, yang masing-masing berkembang dari
salah satu di antara tiga sifat alam. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
keyakinannya bersifat nafsu dan kebodohan hanya membuahkan hasil material yang
sifatnya sementara, sedangkan perbuatan yang dilakukan dalam sifat kebaikan,
menurut Kitab Suci, menyucikan hati dan membawa seseorang sampai pada tingkat
keyakinan murni terhadap Sri Krishna dan bhakti kepada Krishna.

 BAB XVIII Moksa Samnyasa Yoga, Kesempurnaan pelepasan ikatan, merupakan


kesimpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan agama yang tertinggi. Dalam
bab ini Krishna menjelaskan arti dari pelepasan ikatan dan efek dari sifat-sifat alam
terhadap kesadaran dan kegiatan manusia. Krishna menjelaskan keinsafan Brahman,
kemuliaan Bhagawadgita, dan kesimpulan Bhagavad-gita; jalan kerohanian tertinggi
berarti menyerahkan diri sepenuhnya tanpa syarat dalam cinta-bhakti kepada Sri
Krishna. Jalan ini membebaskan seseorang dari segala dosa, membawa dirinya sampai
pembebasan sepenuhnya dari kebodohan dan memungkinkan ia kembali ke tempat
tinggal rohani Sri Krishna yang kekal.

Bhagawadgita dalam budaya Jawa Kuna dan Bali

Cuplikan adegan Arjuna yang menghadap Bhatara Wisnu dalam komik Mahabharata oleh
R.A. Kosasih.

Orang Jawa Kuna dan Bali sudah mengenal Bhagavad-gita karena kontak dengan India dan
pengaruh agama Hindu pada masa dahulu.

Bhismaparwa

Dalam buku keenam Mahabharata yaitu Bhismaparwa yang disalin ke dalam bahasa Jawa
Kuna, sebuah ringkasan Bhagavad-gita ada pula. Tetapi menurut banyak pakar, penerjemah
Jawa Kuna kurang paham akan bahasa Sanskerta, sehingga terjemahannya kurang sempurna.
Bhagawadgita dalam Bhismaparwa ini terdiri dari sloka-sloka dalam bahasa Sanskerta yang
diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuna setelah setiap sloka.

Bharatayuddha
Dalam kakawin Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuna, yang konon digubah dari aslinya
dalam bentuk prosa, Bhagawadgita tidaklah didapati. Hanya dua bait saja ditulis untuk
menguraikan wejangan-wejangan Kresna kepada Arjuna. Bait-bait ini berasal dari pupuh 10,
bait 12 dan 13:

(12)

mulat mara sang Arjunâsemu kamânuṣan kasrepan


ri tingkah i musuhnira n paḍa kadang taya wwang waneh
hana wwang anaking yayah mwang ibu len uwânggeh paman
makâdi Krpa Salya Bhiṣma sira sang dwijânggeh guru

(13)

ya kâraṇaniran pasabda ri narârya Krṣṇâteher


aminta wurunga ng lagâpan awelas tumon Korawa
kuneng sira Janârdanâsekung akon sarṣâpranga
apan hila-hila ng kṣinatriya surud yan ing paprangan
Terjemahan

(12)

Maka melihat merekalah sang Arjuna dan iapun terliputi rasa kasihan
sebab musuh-musuhnya bukanlah orang asing
ada sanak saudara dari pihak ayah maupun ibu, dan juga paman-paman
seperti Krepa, Salya, Bisma dan gurunya (Bhagawan Drona).

(13)

Oleh sebab itu, ia lalu berbicara kepada prabu Kresna,


meminta supaya ia menghentikan peperangan, karena kasihan melihat para Korawa.
Akan tetapi sang Janardana (Kresna) menyuruhnya tetap berperang
sebab seseorang yang dianggap sebagai ksatria tidaklah diperbolehkan mengundurkan
diri dari peperangan.

Lihat pula
 Bhismaparwa
 Hindu
 Sastra Hindu
 Mahabharata
 Kresna

Pranala luar
 Parisada Hindu Dharma Indonesia - Bhagawad Gita Online
Sutra (kitab)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari sutra atau sutera, lihat Sutra (disambiguasi).

Sūtra (Sanskrit: sū́ tra, Devanagari: सूत्र, Pali: sutta), berarti benang atau untaian yang
menyatukan benda-benda, dan dalam perumpamaan merujuk kepada sebuah pepatah (atau
kalimat, peraturan dan rumus), atau sekumpulan pepatah yang serupa menjadi sebuah buku
petunjuk. Kata ini berasal dari akar-kata siv-, yang berarti menjahit (kata-kata ini, termasuk
Latin suere dan Bahasa Inggris to sew, semuanya sesungguhnya berasal dari PIE *siH-/syuH-
'menjahit')

Dalam Hinduisme, 'sutra' merupakan komposisi kesusasteraan jenis tertentu, berdasarkan


pernyataan dari pepatah-pepatah pendek, biasanya menggunakan beragam istilah teknis.
Bentuk kesusasteraan dari sebuah sutra dibuat sebagai ringkasan, karena pelajar dalam
beberapa metode resmi akan kitab-kitab suci dan pelajaran ilmiah (Sanskrit: svādhyāya)
diharapkan untuk dapat menghafalkan naskah-naskah ini. Oleh karena setiap kalimatnya
mengandung arti yang padat, bentuk kesusasteraan lain muncul yang mana komentar
(Sanskrit: bhāṣya) akan sutra ditambahkan, untuk memperjelas dan memberikan penjelasan.
[1]
.

Dalam garis keturunan Brahmana, setiap keluarga diharapkan untuk memiliki satu Gotra, dan
satu Sutra, yang berarti bahwa Veda Śruti) tertentu dihormati oleh keluarga ini dengan cara
mempelajarinya dengan seksama (membacanya berulang-ulang dan menghafalnya).

Sebuah definisi yang paling terkenal akan Sutra, dalam literatur India merupakan sebuah
sutra dan berasal dari Vayu Purana:

alpākṣaraṃ asandigdhaṃ sāravad viśvato mukham / astobhyaṃ anavadyaṃ ca


“ sūtram sūtra vido viduḥ

Of minimal syllabary, unambiguous, pithy, comprehensive, / non-


redundant, and without flaw: who knows the sūtra knows it to be thus.
Dengan suku kata yang sedikit, tidak samar-samar, ringkas, lengkap, /
tidak-berlebihan, dan tanpa kekurangan: siapa yang mengetahui sūtra
mengetahuinya demikian. ”
Di dalam Agama Buddha, istilah "sutra" kebanyakan merujuk kepada kitab-suci keagamaan
Kitab, yang banyak diangap sebagai salinan akan pengajaran lisan dari Gautama Buddha.
Dalam bahasa Cina, hal ini dikenal dengan 經 (pinyin: jīng). Pengajaran yang demikian
disusun bersama di dalam Tipitaka dengan sebutan Sutta Pitaka. Terdapat juga beberapa
naskah Agama Buddha lain, seperti Platform Sutra (atau lebih dikenal dengan sebutan Sutra
Hui-Neng), yang disebut sebagai Sutra walaupun disandangkan kepada penulis setelahnya.
Beberapa sejarawan menganggap bahwa pemeluk Agama Buddha menggunakan kata Sutra
dalam bentuk yang tidak berkaitan dengan Sutta dalam bahasa Sanskerta, yang kemudian
diwakili dalam bahasa Sanskrit dengan sūkta(pengucapan benardiucapkan dengan benar)

Bentuk kata dalam bahasa Pali, sutta hanya digunakan untuk merujuk kepada kitab suci
Agama Buddha, yang dikenal juga sebagai Tipitaka atau Pali Canon

Daftar isi
 1 Sutra yang berhubungan dengan Agama Hindu
o 1.1 Vedanga
o 1.2 Filsafat Hindu
 2 Sutra yang berkaitan dengan Agama Buddha
 3 Sutra lainnya
 4 Referensi
 5 Lihat pula
 6 Pranala luar

Sutra yang berhubungan dengan Agama Hindu


Vedanga

 Shiksha (fonetik)
 Chanda (metrik)
 Vyakarana (tata bahasa)

 Ashtadhyayi (Panini), diskusi tata bahasa

 Nirukta (etimologi)
 Jyotisha (astrologi)
 Kalpa (ritual)

 Srauta Sutra, pelaksanaan persembahan


 Smarta Sutra

 Grhya Sutra, mencakup kehidupan rumah tangga


 Samayacarika atau Dharma Sutra

 Sulba Sutra, arsitektur tempat pelaksanaan persembahan

Filsafat Hindu

 Yoga Sutra
 Nyaya Sutra
 Vaisheshika Sutra
 Purva Mimamsa Sutra
 Brahma Sutra (atau Vedanta Sutra) (Badarayana)
Sutra yang berkaitan dengan Agama Buddha
Informasi lebih lanjut: Naskah Agama Buddha dan Daftar Sutta

Sutra lainnya
Berhubungan dengan Agama Kristen

 lihat pula: Jesus Sutra (berhubungan dengan Nestorianisme di Cina)

Referensi
1. ^ (Inggris) untuk diskusi mengenai bentuk kesusasteraan dari sūtras, bentuk
singkat sebagai ide ringkasan untuk penghafalan, dasar pembuatan pendapat dalam
bentuk kesusateraan sebagai tambahan kepada sūtras, lihat: Tubb & Boose 2007,
hlm. 1-2

Lihat pula
 Sastra
 Smriti
 Ananda Sutram
 Kama Sutra

Pranala luar
 (Indonesia)Buddhist Information Network
 (Indonesia)DhammaCitta - Perpustakaan & Komunitas Buddhis Online
 (Inggris)Buddhist Scriptures in Multiple Languages
 (Inggris)Chinese repository of Buddhist Sutras translated into English. Also has other
texts.
 (Inggris)Mahayana Buddhist Sutras in English
 (Inggris)More Mahayana Sutras
 (Inggris)The Hindu Vedas, Upanishads, Puranas, and Vedanta Sacred-texts.com
 (Inggris)A Modern Sutra
 (Inggris)Digital Sanskrit Buddhist Canon
 (Inggris)Pali Suttas at Access to Insight
 (Inggris)Ida B. Wells Memorial Sutra Lirary (Pali Suttas)
 (Inggris)Suttas read aloud

Mitologi Hindu
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian.
Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya.

Ilustrasi dalam kitab Purana, salah satu sumber mitologi Hindu.


Artikel ini adalah bagian dari seri
Agama Hindu

Topik
Mitologi · Kosmologi · Dewa-Dewi
Sejarah
Sejarah agama Hindu ·
Sejarah agama Hindu di Nusantara
Lima keyakinan dasar
Brahman · Atman · Karmaphala ·
Samsara · Moksa
Filsafat
Samkhya · Yoga · Mimamsa ·
Nyaya · Waisiseka · Wedanta
Susastra
Weda · Samhita · Brāhmana ·
Aranyaka · Upanisad
Hari Raya
Galungan · Kuningan · Saraswati ·
Pagerwesi · Nyepi · Siwaratri

Kumpulan artikel tentang Hindu


 lihat
 bicara
 sunting

Mitologi Hindu adalah suatu istilah yang digunakan oleh para sarjana masa kini kepada
kesusastraan Hindu yang luas, yang menjabarkan dan menceritakan tentang kehidupan tokoh-
tokoh legendaris, Dewa-Dewi, makhluk supernatural, dan inkarnasi Tuhan yang dijelaskan
dengan panjang lebar dalam aliran filsafat dan ilmu akhlak. Mitologi Hindu juga
menjabarkan kisah-kisah kepahlawanan yang diklaim sebagai sejarah India masa lampau,
seperti Ramayana dan Mahabharata.

Cerita-cerita dalam mitologi Hindu terjalin dalam empat jenjang zaman yang disebut Catur
Yuga. Masing-masing Yuga memiliki karakter yang berbeda. Berbagai legenda, kisah tentang
Dewa-Dewi dan awatara diyakini terjadi pada zaman yang berbeda-beda pula. Cerita itu
dapak disimak dalam kesusastraan Hindu. Kesusastraan mitologi Hindu terjalin oleh etos
agama Weda kuno dan kebudayaan Weda, dan cerita-cerita tersebut didasari oleh sistem
filsafat Hindu.

Daftar isi
 1 Sumber
 2 Kemunculan dan perkembangan
 3 Kosmologi
o 3.1 Dunia
 3.1.1 Dunia atas
 3.1.2 Dunia bawah
 4 Makhluk Supranatural
o 4.1 Dewa-Dewi
o 4.2 Asura
o 4.3 Raksasa
 5 Para raja dan kesatria
o 5.1 Kesatria
o 5.2 Para raja kuno
 6 Awatara
 7 Kisah legendaris
o 7.1 Air bah
o 7.2 Pertempuran
 7.2.1 Senjata
 8 Lihat pula
 9 Referensi

Sumber

Suatu ilustrasi dalam Bhagawatapurana, kitab yang memuat legenda dan mitologi agama
Hindu.
Akar dari segala mitologi Hindu dan cerita-cerita keagamaannya berasal dari kebudayaan
Weda, dan merupakan agama kuno yang berkembang pada saat Weda muncul. Weda
berjumlah empat, yaitu: Rigweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Di samping itu,
terdapat bagian-bagian dalam tubuh Weda yang luas, dan merupakan kitab-kitab tersendiri,
seperti Jyotisha, Purana, Itihasa, Niti Sastra, Sulwa Sutra, Tantra, Darsana, dan lain-lain.
Ajaran yang terkandung dalam bagian tubuh Weda tersebut adalah: filsafat, teologi,
astronomi, ilmu tata negara, cerita keagamaan, dan biografi tokoh-tokoh masa lampau.
Ajaran tersebut menjadi dasar kepercayaan dan peradaban agama Hindu dan memberikannya
beragam mitologi.

Kitab yang memuat cerita keagamaan, seperti Purana dan Itihāsa, sangat terkenal sebagai
sumber mitologi Hindu yang utama. Kitab Purana merupakan kitab yang memuat legenda
Hindu dan kisah-kisah makhluk supernatural (Dewa, Asura, Detya, Raksasa, Yaksa, dan lain-
lain) dalam kaitannya dengan kejadian di alam semesta. Kitab Purana banyak sekali jenisnya.
Masing-masing kitab menceritakan tokoh-tokoh Hindu (Raja-Raja kuno, para resi), dewa-
dewi, inkarnasi Tuhan (awatara), dan legenda.

Lukisan yang menggambarkan pertempuran di Kurukshetra, sebuah babak dalam kitab


Mahabharata, salah satu Itihasa.

Selain Purana, ada kitab yang disebut Itihasa. Itihasa adalah kitab yang memuat tentang kisah
kepahlawanan (epos atau wiracarita) dan diyakini memiliki hubungan dengan sejarah India.
Kisah kepahlawanan tersebut adalah Ramayana dan Mahabharata. Kisah tersebut dihimpun
oleh para Maharesi yang terkenal, yakni Resi Walmiki dan Resi Byasa. Berbagai sudut
pandang muncul akan kebenaran kisah yang terjadi dalam Itihasa. Sebagian orang meyakini
bahwa kisah dalam Itihāsa merupakan fakta sejarah, sementara yang lain menganggap bahwa
cerita tersebut hanyalah karangan, atau suatu cerita kiasan, bahwa kejahatan selalu kalah oleh
kebajikan.

Kemunculan dan perkembangan


Mitologi Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun kemunculan
mitologi ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat. Mitologi ini diyakini muncul
bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak benua India. Pada saat itu lagu-lagu
pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai dinyanyikan. Lagu tersebut memuji-muji alam
dan unsur-unsurnya, seperti: udara, air, petir, matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut
diwujudkan dalam bentuk Dewa-Dewa yang memiliki gelar masing-masing sesuai dengan
unsur alam, seperti Bayu, Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-Dewi inilah
yang akan menjadi bagian dari mitologi Hindu.
Menurut para sarjana masa kini, pada zaman Weda, Dewa-Dewi dalam mitologi Hindu masih
dikonsepkan. Pada zaman ini, pemujaan dan mitologi mengenai Dewa-Dewa merupakan
pengetahuan akan ilmu ketuhanan. Setelah zaman Weda, disusul oleh kebudayaan zaman
Brahmana. Pada zaman ini, ilmu Weda dikembangkan dengan pengetahuan akan upacara
keagamaan. Zaman ini ditandai dengan cenderungnya pelaksanaan upacara daripada
pengajaran filsafat. Pada zaman ini mulai disusun kitab-kitab yang menceritakan tentang
mitologi, legenda, kosmologi, dan sebagainya. Pada zaman Weda umat Hindu memohon
anugerah dari para Dewa, sedangkan pada zaman Brahmana para Dewa memiliki kedudukan
yang penting terutama dalam sistem upacara.

Reruntuhan jembatan kuno antara India dan Sri Lanka, seperti terkisah dalam wiracarita
Ramayana. Kini berada di dasar laut.

Zaman Purana merupakan perkembangan dari kebudayaan terdahulu. Zaman ini merupakan
masa-masa ketika mitologi Hindu dihimpun. Pada zaman tersebut, Dewa-Dewi tersebut
memiliki karakter khusus dan dilukiskan secara detail. Pada zaman ini pula, terjadi kisah epos
Ramayana dan Mahabharata, yang dipercaya sebagai kejadian bersejarah. Pada epos
Ramayana, dikisahkan bahwa Sri Rama dan bala tentaranya membangun sebuah jembatan
dari India menuju Alengka (kini Sri Lanka). Reruntuhan jembatan kuno yang
menghubungkan antara India dan Sri Lanka yang kini terpendam di dasar laut dianggap dan
diyakini sebagai bukti sejarahnya. Bukti arkeologi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan
apakah cerita tersebut merupakan bagian dari sejarah atau mitologi belaka.

Pada zaman modern, selama agama Hindu masih memiliki penganut, mitologi Hindu masih
eksis dan diceritakan, namun sebagian belum terkenal dan jarang diketahui. Mitologi Hindu
mudah beradaptasi dengan budaya lokal tanpa melupakan format aslinya (Weda, Purana,
Itihasa). Pada masa penyebaran agama Hindu ke wilayah Asia Tenggara, seperti: Thailand,
Kamboja, Laos, Vietnam, Nusantara (terutama Semenanjung Malaka, Sumatra, Kalimantan,
Jawa, Bali dan lain-lain), beberapa bagian dari mitologi Hindu yang asli dari India telah
bercampur dengan budaya lokal dan diadaptasi agar lebih mudah dicerna. Mitologi Hindu
tersebut diadaptasikan sesuai dengan kepercayaan lokal (seperti Islam, Animisme dan
Dinamisme), dengan menambahkan atau mengurangi format aslinya. Di Indonesia, pada
beberapa bagian dari kesusastraan Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, adaptasi
budaya dapat ditoleransi selama tidak mencemarkan atau melupakan versi aslinya. Sebagai
catatan, sebagian dari mitologi Hindu yang datang ke Indonesia telah beradaptasi dengan
budaya lokal.

Kosmologi
Brahma, manifestasi Brahman sebagai dewa pencipta dalam agama Hindu.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kosmologi Hindu

Dalam ajaran Hindu, gambaran mengenai keadaan awal dari alam semesta dituliskan dalam
suatu lagu dalam kitab Rigweda. Di sana dikisahkan, pada mulanya, alam semesta adalah
sesuatu yang kosong dan tak berbentuk. Kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Di
alam semesta dahulu tidak ada sesuatu yang ada namun juga tidak ada sesuatu yang tidak ada.
Tidak ada bumi, matahari, bulan, planet-planet, bintang-bintang, maupun segala benda
kosmik di alam semesta, namun hanya terdapat Brahman, sesuatu yang bernapas namun
tanpa napas menurut kekuatannya sendiri, ia tidak terikat oleh waktu, tidak berawal namun
juga tidak berakhir, tidak memiliki umur, di luar kehidupan dan kematian, yang tiada lain
adalah Tuhan. Dari kekosongan yang tak beraturan itu Brahman menciptakan sesuatu yang
seperti lautan luas, apakah itu merupakan air, namun dalamnya tak terhingga. Lautan tersebut
merupakan kekacauan yang tak berbentuk. Dari sana munculah Hiranyagharba yang berarti
"janin emas", yang mengeluarkan Brahma, yang bergelar sebagai Dewa pencipta. Dari segala
hal yang tak beraturan tersebut Brahma mengaturnya kembali menjadi suatu alam semesta
yang rapi dan teratur. Tidak ada yang sungguh-sungguh mengetahui kejadian apa yang
sebenarnya terjadi, bahkan para Dewa sekalipun.

Dalam kitab Purana disebutkan, alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang
menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu
Yuga. Satu Kalpa sama dengan 432.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu
Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama
satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat
selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya
(Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi
manusia) yang merupakan umur Brahma.

Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma
atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahmā meninggal,
siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan
kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah
berhenti.

Relief di kuil Angkor Wat yang menggambarkan Apsari, makhluk surgawi dalam mitologi
Hindu.

Deskripsi modern mengenai "Kerajaan Yama" atau neraka. Karya Dominique Amendola.

Dunia

Mitologi Hindu mengenal adanya empat belas dunia (bukan planet) selain bumi, yang mana
tujuh dunia berada di atas, tujuh dunia lagi berada di bawah. Dunia-dunia tersebut merupakan
wilayah khusus yang menjadi tempat persinggahan sementara bagi jiwa yang sudah
meninggalkan raganya. Setelah mencapai dunia yang sesuai dengan karma (perbuatan)
semasa hidup, jiwa dilahirkan kembali (reinkarnasi). Di antara empat belas dunia tersebut,
tujuan yang tertinggi merupakan moksa, yakni filsafat Hindu yang mengatakan bahwa jiwa
berada dalam keadaan bahagia, lepas dari siklus reinkarnasi, tidak terikat pada sesuatu dan
tidak dipenuhi oleh berbagai nafsu, atau menyatu dengan Tuhan.

Dunia atas

Dalam mitologi Hindu, "Swarga" adalah dunia ketiga di antara tujuh dunia yang lebih tinggi
(dunia atas). Dalam penggunaan sehari-hari, kata "Swarga" sering disamakan dengan
"Sorga", dunia yang tertinggi dalam gambaran umum, tempat orang-orang hidup bahagia
setelah meninggalkan dunia yang fana. Menurut agama Hindu, Swarga merupakan
persinggahan sementara bagi orang-orang yang berjiwa baik sebelum bereinkarnasi.

Menurut mitologi Hindu, dunia atas merupakan dunia suci, dunia para dewa, atau kahyangan.
Sesuatu yang bersifat jahat, kasar, dan nafsu duniawi (hubungan seks, arak, uang, dan
sebagainya) sangat dilarang karena kebahagiaan di sana tidak diperoleh dengan pemuasan
nafsu. Di sana terdapat beragam makhluk supernatural, yaitu: Dewa, Apsari, Gandharwa,
Yaksa, Kinnara, dan lain-lain. Di Swarga juga tinggal penari-penari yang cantik, seperti
misalnya: Urwasi, Menaka, Ramba, dan Tilottama. Tugas mereka adalah menghibur para
penghuni swarga atas perintah dari Dewa Indra. Selain itu mereka juga ditugaskan untuk
menguji iman para pertapa yang memohon kesaktian kepada para Dewa.

Dunia bawah

Dalam mitologi Hindu, salah satu dunia yang berada di bawah disebut "Naraka" (bahasa
Indonesia: Neraka), dan istilah tersebut digunakan dengan sangat terkenal. Dunia bawah
dipenuhi oleh para Asura. Naraka dikuasai oleh Dewa Yama yang bergelar sebagai Raja
Neraka, Dewa kematian, dan Dewa keadilan. Naraka merupakan tempat dimana jiwa
seseorang diadili oleh Dewa Yama dan dihukum menurut perbuatannya semasa hidup dan
setelah itu dilahirkan kembali untuk menebus kesalahan di kehidupan sebelumnya agar
mendapat kesempatan untuk mencapai moksha (kebahagiaan tertinggi).

Makhluk Supranatural

Lukisan Trimurti (tiga dewa utama dalam agama Hindu) dari Andra Pradesh.

Mitologi Hindu tak lepas dari cerita para makhluk supranatural, seperti misalnya: Dewa,
Asura, Raksasa, Detya, Gandharwa, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk supernatural yang paling
terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa.
Dewa-Dewi

Dalam mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut
merupakan personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan
Tuhan. Kepercayaan tentang dewa-dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman
Weda, yaitu pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut
dalam Weda sebagai makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, dewa-dewi banyak
dipuja sebagai pelindung diri manusia.

Para Dewa dan Dewi tinggal menurut tempatnya masing-masing, seperti misalnya: Dewa
Siwa di gunung Kailasha, Dewa Wisnu di Waikuntha, Dewa Brahma di Satyaloka dan
sebagainya. Namun, atas sifat-sifat gaib yang dimilikinya, para dewa dan dewi dapat muncul
dengan cepat kapan saja dan dimana saja sesuai dengan keinginannya.

Dalam kebudayaan India, penggambaran terhadap para dewa dan Ddewi dituangkan dalam
bentuk pahatan, ukiran, dan lukisan sesuai dengan atributnya. Atribut yang dimiliki oleh para
Dewa disesuaikan dengan karakternya, misalnya: Dewa Agni berambut api, Dewa Wisnu
bertangan empat dan memegang cakram, Dewa Brahma berwajah empat, dan sebagainya.

Lukisan India bercorak Rajasthan, menggambarkan adegan Rama bertarung melawan para
Asura (kiri).

Asura

Asura adalah bangsa Detya, kadangkala disamakan dengan raksasa atau makhluk yang jahat
dalam mitologi Hindu. Mereka merupakan golongan makhluk supranatural dan memiliki sifat
negatif, yakni memusuhi para Dewa. Meskipun demikian, beberapa Asura merupakan Dewa,
seperti Kubera, golongan bangsa Yaksa, adalah Dewa keuangan dan kekayaan. Para Asura
mengatur fenomena sosial di muka bumi seperti Baruna, Dewa air, yang juga mengatur
hukum rta. Sedangkan Dewa, mengatur fenomena alam, seperti Indra, Dewa hujan, Dewa
petir dan cuaca. Dalam beberapa kitab, para dewa adalah golongan bangsa yang memiliki
sifat mulia sedangkan Asura sebaliknya.
Raksasa

Dalam mitologi Hindu, Raksasa adalah makhluk jahat atau jiwa yang bersifat jahat. Dalam
bahasa Sanskerta, kata "raksasa" berarti kekejaman dan merupakan lawan kata dari "raksha"
(sentosa). Mereka adalah bangsa pemakan daging manusia atau kanibal. Menurut mitologi
Hindu, beberapa raksasa merupakan reinkarnasi dari orang-orang berdosa pada kehidupannya
yang lampau. Meskipun bersifat jahat dan suka bertikai dengan para dewa, namun mereka
juga memohon kesaktian dengan menyembah dewa tertentu, misalnya Brahma. Dalam
Hindu, tidak selamanya raksasa berwujud mengerikan, mukanya sangar dan bertubuh besar.
Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya
raksasa, seperti misalnya: Kamsa, Duryodana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala. Tokoh-tokoh
tersebut muncul dalam kisah Mahabharata. Raksasa betina disebut Rakshasi, sedangkan
raksasa dalam wujud manusia disebut Manushya Raksasa.

Relief di Kuil Preah Khan, negara Kamboja, yang melukiskan adegan para raksasa melawan
para wanara (dari wiracarita Ramayana).

Para raja dan kesatria


Mitologi Hindu tidak hanya bercerita tentang dewa-dewi dan makhluk supranatural saja,
namun juga menceritakan tentang kisah para kesatria, raja-raja, dan pertempuran akbar yang
digunakan untuk mengungkap sejarah masa lampau.

Kesatria

Dalam ajaran Hindu, Ksatria adalah golongan (kasta) para bangsawan, raja-raja, kesatria dan
prajurit. Mitologi Hindu tidak lepas dari kisah-kisah para kesatria. Dalam berbagai legenda
Hindu, kesatria jumlahnya sangat banyak, dan yang terkenal hanya beberapa saja. Dalam
kitab Purana, kesatria yang paling terkenal adalah Parasurama dan Rama. Mereka adalah
awatara Wisnu. Parasurama merupakan seorang brahmana (pemuka agama) yang juga
seorang kesatria. Dalam legenda, ia merupakan brahmana bersenjata kapak yang paling
ditakuti kasta Ksatria. Dalam kisah Ramayana, Rama merupakan ksatria pemanah yang
terkenal. Dia adalah putera Raja Dasarata, seorang keturunan Ksatria dari Dinasti Surya.
Selain berperan sebagai ksatria pemanah dan putera mahkota, ia merupakan awatara ketujuh
Dewa Wisnu. Pasangannya adalah Dewi Sita, yang menurut kitab Ramayana, ia diculik oleh
Rahwana, Raja Alengka. Parasurama pernah menantang Rama untuk membuktikan
kesaktiannya dengan membengkokkan busur Wisnu. Rama mampu melakukannya.
Kemudian ia mengakui bahwa Rama merupakan awatara Wisnu.
Para raja kuno

Para Raja kuno dalam mitologi Hindu banyak sekali jumlahnya. Raja-raja yang disebut-sebut
dalam mitologi Hindu merupakan keturunan dari beragam dinasti yang berbeda pada zaman
India kuno. Menurut mitologi Hindu, maharaja yang diduga pertama kali ada di muka bumi
ini adalah Manu. Ia diyakini sebagai putera Wiwaswan, Dewa matahari. Dalam kitab Purana,
beliau merupakan Maharaja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah dengan
membuat bahtera besar atas amanat Dewa Wisnu. Ia menurunkan ajarannya kepada Ikswaku,
salah satu dari sepuluh anaknya. Ajarannya dikenal sebagai Manusmrti.

Dalam Mahabharata juga banyak disebutkan nama Raja-Raja. Raja-Raja utama dalam kisah
tersebut digolongkan ke dalam dua Dinasti besar yang merupakan keturunan dari Yayati. Dua
dinasti tersebut adalah Dinasti Kuru dan Dinasti Yadu. Para Raja yang termasuk dalam
dinasti Kuru misalnya Santanu, Citrānggada, Pandu, Dretarastra, Yudistira, dan lain-lain.
Para Raja yang termasuk dalam dinasti Yadu misalnya Basudewa, Kresna, Surasena,
Hredika, dan lain-lain. Dalam Mahabharata, para putera mahkota dari Dinasti Kuru berselisih
untuk menjadi penerus yang terbaik. Di lain pihak, terdapat seorang Raja dari Dinasti Yadu
yang masih sekerabat dengan Dinasti Kuru, Kresna, yang akan menjadi penengah dalam
perselisihan tersebut. Namun ketika konflik tak bisa dihindari lagi, dua keluarga dalam satu
dinasti terpaksa harus bertarung. Akhirnya keturunan dinasti Kuru yang paling mulialah yang
akan menjadi penerus tahta.

Awatara

Sepuluh Awatara Wisnu.


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Awatara

Dalam ajaran Hindu, beberapa Dewa-Dewi diyakini berinkarnasi ke dalam suatu bentuk
material yang disebut awatara, seperti yang dilakukan Wisnu. Dalam kitab suci Hindu
disebutkan, bahwa Wisnu turun ke dunia pada setiap zaman (Yuga) untuk menegakkan
kembali ajaran agama, membinasakan orang jahat, dan menyelamatkan orang saleh. Dalam
kitab Purana disebutkan adanya dua puluh lima awatara Wisnu, yang mana sepuluh dari dua
puluh lima awatara tersebut merupakan awatara utama yang paling terkenal. Awatara tersebut
adalah:

 Matsya (Sang ikan)


 Kurma (Sang kura-kura)
 Waraha (Sang babi hutan)
 Narasinga (Sang manusia berkepala singa)
 Wamana (Brahmana mungil, orang kerdil)
 Parasurama (Sang Brahmana-Ksatria)
 Rama (Raja Ayodhya)
 Kresna (Sang pengembala)
 Buddha (Sang pemuka agama, Siddhartha Gautama)
 Kalki (Sang penghancur).

Dari sepuluh awatara tersebut, sembilan diyakini sudah turun ke dunia, sedangkan awatara
terakhir, Kalki, merupakan awatara terakhir dan diprediksi akan muncul pada akhir zaman
Kali. Awatara-awatara tersebut turun secara periodik dan membawa makna menurut
zamannya, misalnya: masa para Raja meraih kejayaan dengan pemerintahan Rama Awatara
pada masa Treta Yuga, dan keadilan sosial dan Dharma dilindungi oleh Sri Kresna pada masa
Dwapara Yuga. Makna dari turunnya para Awatara selama masa Satya Yuga menuju Kali
Yuga juga menunjukkan evolusi makhluk hidup dan perkembangan peradaban manusia.
Kisah-kisah mengenai para awatara dan filsafatnya dimuat dalam kitab Purana.

Kisah legendaris
Kisah-kisah legendaris dalam mitologi Hindu dimuat dalam kitab Purana dan Itihasa
(Ramayana dan Mahabharata). Kitab Purana memuat tentang kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan para Dewa, Detya, dan makhluk supranatural lain. Kisah-kisah tersebut
berkembang menjadi mitologi yang menjelaskan tentang asal mula sesuatu, kejadian zaman
dahulu, dan penjelmaan-penjelmaan Tuhan (Awatara). Kitab Itihasa memuat kisah-kisah
ksatria dan para Raja zaman dulu, pertempuran, dan diyakini sebagai sejarah.

Air bah

Kisah mengenai air bah yang terkenal, terdapat dalam berbagai mitologi dari bermacam-
macam kebudayaan dunia, seperti Yunani, Yahudi, dan lain-lain. Kisah tersebut juga terdapat
dalam mitologi Hindu. Dalam mitologi Hindu, bencana air bah pertama kali terjadi dalam
sejarah manusia pada masa Satya Yuga. Pada masa tersebut bertahtalah Maharaja Manu,
seorang Raja yang bijaksana dan suci. Manu mendapat pesan dari Dewa Wisnu dalam wujud
Matsya (ikan besar), agar segera membuat bahtera karena bencana air bah akan datang. Manu
pun mengikuti amanat tersebut. Bahtera tersebut diisi beragam jenis binatang yang jumlahnya
masing-masing sepasang (betina-jantan), dan tak lupa beliau turut menyelamatkan tumbuh-
tumbuhan ke dalam bahtera.

Pertempuran
Lukisan bergaya Thailand yang menggambarkan pertempuran antara pasukan Rama dan
Rahwana.

Kisah pertempuran dalam mitologi Hindu tidak jarang muncul dalam kitab-kitab Purana dan
Itihasa. Dalam kitab-kitab tersebut, terdapat tiga macam pertempuran:

1. pertempuran antar individu


2. pertempuran antara individu dengan kelompok
3. pertempuran antara kelompok dengan kelompok.

Dalam filsafat Hindu, pertempuran adalah jalan terakhir yang ditempuh jika usul perdamaian
tidak ditanggapi atau jika kejahatan sulit untuk berkompromi. Peperangan dalam mitologi
Hindu melibatkan senjata-senjata sakti, pusaka, makhluk supranatural, dan kekuatan gaib.

Dalam kitab Itihasa, terdapat dua kisah kepahlawanan yang sangat terkenal, yaitu Ramayana
dan Mahabharata. Dalam kedua kisah tersebut, ditampilkan pertempuran antara dua
kelompok besar—yang satu bertindak dalam kebajikan, yang satu lagi bersifat jahat—yang
bertarung untuk mencapai tujuan masing-masing. Pertempuran tersebut selalu memiliki akhir
yang sama, yakni kemenangan selalu berada di pihak yang benar. Kisah-kisah peperangan
dengan tema seperti itu dan dengan akhir kisah yang sama merupakan filsafat terkenal yang
mengatakan bahwa kemenangan dan kejayaan yang direbut melawan orang baik tak akan bisa
dicapai dalam orang yang bersifat jahat.

Senjata

Dalam mitologi Hindu terdapat banyak sekali senjata, dan biasanya digunakan oleh para
ksatria, Raja, dan Dewa. Dalam kisah-kisah pertempuran juga disebutkan adanya bermacam
senjata. Senjata tersebut digunakan untuk bertempur, melindungi diri, membasmi kejahatan,
membela kebenaran, atau hanya sebagai atribut Dewa. Senjata yang muncul dalam mitologi
Hindu misalnya: Gada, hakram, Trisula, Agneyastra, Brahmastra, Garudastra, Kaumodaki,
Narayanastra, Pasupati, Siwa Danus, Sudarsana, Waisnawastra, Bajra, Warunastra, dan
Wayawastra. Para Dewa tertentu juga memiliki senjata-senjata tertentu.

Lihat pula
 Mitologi Weda
 Mitologi India
 Mitologi Arya
 Purana
 Itihasa (Epos Hindu):
o Ramayana
o Mahabharata

Topik dalam agama Hindu


Śruti Weda • Upanisad • Srauta
Itihasa (Ramayana • Mahabharata • Bhagawadgita) • Purana • Sutra • Agama
Smerti
(Tantra • Yantra)
Awatara • Atman • Brahman • Kosa • Dharma • Karma • Moksa • Maya •
Konsep Istadewata • Murti • Reinkarnasi (Punarbhawa) • Tatwa • Trimurti • Turiya •
Guru
Darshana • Samkhya • Nyaya • Waisiseka • Yoga • Mimamsa • Wedanta •
Filosofi
Tantra • Bhakti Yoga • Jnana Yoga • Karma Yoga
Ritual Aarti • Bhajan • Diksa • Mantra • Puja • Satsang • Stotra • Trisandya • Yadnya
Shankara • Ramanuja • Madhvacharya • Ramakrishna • Sarada Devi •
Vivekananda • Narayana Guru • Aurobindo • Ramana Maharshi • Sivananda •
Guru
Chinmayananda • Sivaya Subramuniyaswami • Swaminarayan • Prabhupada •
Lokenath • Sant Sri Asaramji Bapu • Sathya Sai Baba
Denominasi Waisnawa • Saiwisme • Saktisme • Smartisme • Reformasi Hindu
Dewa-Dewi Hindu • Daftar Dewa-Dewi Hindu • Peperangan dalam mitologi
Mitologi
Hindu • Kosmologi Hindu
Yuga Satyayuga • Tretayuga • Dwaparayuga • Kaliyuga
CaturwarnaBrahmana • Ksatriya • Waisya • Sudra • Dalit

Referensi
 Sejarah Agama Hindu, oleh: Sudirga, Ida Bagus, dkk. Widya Dharma Agama Hindu.
Ganeca Exact
 Pembagian Weda, oleh: Sukartha, I Ketut. Agama Hindu. Ganeca Exact
 Ajaran Ketuhanan dan Kosmologi dalam Weda, oleh: Drs. I Gede Sura
 Ngakan Made Madrasuta. Saya beragama Hindu. Penerbit: Warta Hindu Dharma
 Ramayana, oleh: I Gusti Made Widia. Penerbit BP

Dewa (Hindu)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri
Agama Hindu
Topik
Mitologi · Kosmologi · Dewa-Dewi
Sejarah
Sejarah agama Hindu ·
Sejarah agama Hindu di Nusantara
Lima keyakinan dasar
Brahman · Atman · Karmaphala ·
Samsara · Moksa
Filsafat
Samkhya · Yoga · Mimamsa ·
Nyaya · Waisiseka · Wedanta
Susastra
Weda · Samhita · Brāhmana ·
Aranyaka · Upanisad
Hari Raya
Galungan · Kuningan · Saraswati ·
Pagerwesi · Nyepi · Siwaratri

Kumpulan artikel tentang Hindu


 lihat
 bicara
 sunting

Dalam ajaran agama Hindu, Dewa (Devanagari: दे व) adalah makhluk suci, makhluk
supernatural, penghuni surga, malaikat, dan manifestasi dari Brahman (Tuhan Yang Maha
Esa). Dalam agama Hindu, musuh para Dewa adalah Asura.

Dalam tradisi Hindu umumnya seperti Advaita Vedanta dan Agama Hindu Dharma, Dewa
dipandang sebagai manifestasi Brahman dan enggan dipuja sebagai Tuhan tersendiri dan para
Dewa setara derajatnya dengan Dewa lain. Namun dalam filsafat Hindu Dvaita, para Dewa
tertentu memiliki sekte tertentu pula yang memujanya sebagai Dewa tertinggi. Dalam hal ini,
beberapa sekte memiliki paham monotheisme terhadap Dewa tertentu (lihat: Waisnawa).

Daftar isi
 1 Etimologi
 2 Dewa dalam Weda
 3 Beberapa Dewa dan Dewi dalam agama Hindu
 4 Lihat pula
 5 Pranala luar

Etimologi
Kata “dewa” (deva)berasal dari kata “div” yang berarti “bersinar”. Dalam bahasa Latin
“deus” berarti “dewa” dan “divus” berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah
Dewa sama dengan “deity”, dalam bahasa Perancis “dieu” dan dalam bahasa Italia “dio”.
Dalam bahasa Lithuania, kata yang sama dengan “deva” adalah “dievas”, bahasa Latvia:
“dievs”, Prussia: “deiwas”. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. “Devi” (atau
Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita. Para Dewa (jamak) disebut
dengan istilah “Devatā” (dewata).

Dewa dalam Weda


Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana
ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang
Maha Esa. Dewa yang banyak disebut adalah Indra, Agni, Waruna dan Soma. Baruna, adalah
Dewa yang juga seorang Asura.

Menurut ajaran agama Hindu, Para Dewa (misalnya Baruna, Agni, Bayu) mengatur unsur-
unsur alam seperti air, api, angin, dan sebagainya. Mereka menyatakan dirinya di bawah
derajat Tuhan yang agung. Mereka tidak sama dan tidak sederajat dengan Tuhan Yang Maha
Esa, melainkan manifestasi Tuhan (Brahman) itu sendiri.

Dalam kitab-kitab Veda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa
kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak
Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak
Tuhan.

Dalam kitab suci Bhagawad Gita diterangkan bahwa hanya memuja Dewa saja bukanlah
perilaku penyembah yang baik, hendaknya penyembah para Dewa tidak melupakan Tuhan
yang menganugerahi berkah sesungguhnya. Para Dewa hanyalah perantara Tuhan. Tuhan
Yang Maha Esa melalui perantara Sri Krishna bersabda:

sa tayā śraddhayā yuktas


tasyārādhanam īhate
labhate ca tatah kaman
mayaiva vihitān hi tān

(Bhagavad Gītā, 7.22)

Arti:

setelah diberi kepercayaan tersebut,


mereka berusaha menyembah Dewa tertentu
dan memperoleh apa yang diinginkannya. Namun sesungguhnya
hanya Aku sendiri yang menganugerahkan berkat-berkat tersebut.
Beberapa Dewa dan Dewi dalam agama Hindu
 Agni (Dewa api)
 Aswin kembar (Dewa pengobatan, putera Dewa Surya)
 Brahma (Dewa pencipta, Dewa pengetahuan, dan kebijaksanaan)
 Chandra (Dewa bulan)
 Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa Siva)
 Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan, putera Dewa Siva)
 Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja surga)
 Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
 Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi kesuburan, istri Dewa Visnu)
 Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa Brahmā)
 Shiwa (Dewa pelebur)
 Sri (Dewi pangan)
 Surya (Dewa matahari)
 Waruna (Dewa air, Dewa laut dan samudra)
 Wayu / Bayu (Dewa angin)
 Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
 Yama (Dewa maut, Dewa akhirat, hakim yang mengadili roh orang mati)

Brahma

Saraswati

Lakshmi

Kartikeya

Agni

Indra

Surya

Durga

Kali

Lihat pula
 Daftar Dewa Hindu
 Dewa
 Dewata
 Hindu
 Brahman

Pranala luar
 (Inggris)http://www.shaivam.org/shpvediy.htm
 (Inggris)http://www.veda.harekrsna.cz/encyclopedia/demigods.htm Penjelasan lain
tentang Dewa
 (Inggris)Hinduisme: antara Tuhan dan para Dewa

Daftar Dewa-Dewi Hindu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Daftar Dewa Hindu)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini merupakan daftar Dewa-Dewi dalam agama Hindu. Nama Dewa-Dewi telah
diadaptasi dengan ejaan di Indonesia, seperti: Vishnu menjadi Wisnu; Shiva menjadi Siwa;
Aśhvin menjadi Aswin. Karena mengalami adaptasi, beberapa nama Dewa atau Dewi yang
diawali dengan huruf W mengalami perubahan menjadi huruf B, dan demikian juga
sebaliknya. Beberapa Dewa memiliki nama lain (misalnya: Kumara = Kartikeya = Murugan)
dan terasa seperti ada Dewa yang berbeda-beda, namun sebenarnya hanya ada satu. Semua
nama tersebut dicantumkan dalam daftar ini namun Dewanya tetap satu.

Daftar isi
 1A
 2B
 3C
 4D
 5G
 6H
 7I
 8J
 9K
 10 L
 11 M
 12 N
 13 P
 14 R
 15 S
 16 T
 17 U
 18 W
 19 Y
 20 Dewa istimewa
 21 Lihat pula

A
 Adimurti
 Aditi
 Aditya
 Agni
 Amman (Mariamman)
 Ammawaru
 Anala
 Anila
 Anumati
 Anurada
 Aranyani
 Ardanari
 Ardra
 Arundati
 Aryman
 Aslesa
 Astamatara
 Aswin

B
 Budha
 Badi Mata
 Bagala
 Bagalamukhi
 Bahuchara Mata
 Balaji
 Banka-Mundi
 Baruna
 Bayu
 Bhadra
 Bhaga
 Bhairawi
 Bharani
 Bharat Mata
 Bharati
 Bhawani
 Bumidewi
 Bhumiya
 Bhutamata
 Bhuwaneswari
 Biralingeswara
 Bombay Kamayan
 Brahma
 Brihaspati (Wrehaspati)
 Buddhi

C
 Camunda
 Candra
 Chhinnamasta
 Chinnamastaka
 Citragupta

D
 Daksa
 Daksayani
 Danu
 Dhanwantari
 Dhara
 Dhatri
 Dhumawati
 Diti
 Durga
 Dyaus

G
 Ganesa
 Gangga
 Gayatri
 Gansyam
 Girinata
 Gowinda
 Gauri

H
 Hari
 Hara

I
 Indra
 Indrani
 Isana
 Iswara

J
 Jagaddhatri
 Jyotiba
 Jagadnata

K
 Kala
 Kali
 Kama
 Kamakshi
 Kamalatmika
 Kannaki
 Kartikeya
 Katyayini
 Kandoba
 Khatushyamji
 Khresna
 Kuwera

L
 Laksmi
 Lalitha

M
 Madurai Wirana
 Mahadewa
 Mahawidya
 Maheswara
 Manasa
 Mariamman
 Marut
 Matanggi
 Minaksi
 Mitra
 Mohini
 Mukambika
 Mukyaprana
 Muniandi
 Murugan
 Muthappan
 Muthyalamma

N
 Nagaraja
 Naina Dewi
 Nataraja
 Neriti
 Nirrta
 Nukambika (Nukalamma)

P
 Parasiwa
 Parjanya
 Parwati
 Pertiwi
 Prajapati
 Pusan

R
 Radha
 Ranganatha
 Ratih
 Ratri
 Rabi
 Rewanta
 Rudra

S
 Sangkara
 Saranya (Saranyu)
 Saraswati
 Sarwana
 Sati
 Sawitar
 Sawitri
 Shakti Pitha
 Sakti
 Sambu
 Siwa
 Skanda
 Soma
 Sri Mahalasa
 Subramanya
 Surya
 Swaha
 Swaminarayan

T
 Tara
 Taraka
 Tejaji
 Tirupati Thimmappa
 Tripura Sundari
 Twastri

U
 Uma
 Usas
W
 Wasa
 Wasu
 Wenkateswara
 Wirabhadra
 Wisnu
 Wiswakarman
 Witoba
 Wiwaswan
 Wrehaspati

Y
 Yama
 Yami
 Yellamma

Dewa istimewa
Selain memuja Dewa-Dewi yang berwujud halus, beberapa sekte umat Hindu di India juga
memuja makhluk dengan jiwa terberkati. Mereka bukan Dewa yang gaib, namun makhluk
yang dekat hubungannya dengan Tuhan. Sebagian besar merupakan Awatara atau penitisan
Brahman maupun manifestasinya.

Dewa-Dewi tersebut tercatat dalam daftar berikut ini.

 Balarama
 Dattatreya
 Garuda
 Hanoman
 Kresna
 Laksmana
 Matsya
 Narada
 Narasinga
 Parasurama
 Rama
 Sesa
 Wamana
 Waraha

Baladewa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Balarama)
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Baladewa

Awatara Wisnu sebagai kesatria Yadawa


bersenjata luku
Ejaan Dewanagari बलराम
Ejaan IAST Balarāma
Balarama; Balabhadra;
Nama lain
Halayudha; dan lain-lain
Golongan manusia awatara
Senjata Bajak dan Gada
Pasangan Rewati

Untuk kegunaan lain dari Baladewa, lihat Baladewa (disambiguasi).


Prabu Baladewa dalam lukisan versi India, bergaya Rajasthan.

Dalam mitologi Hindu, Baladewa (Dewanagari: बलदोव; IAST: Baladeva) atau Balarama


(Dewanagari: बलराम; IAST: Balarāma), disebut juga Balabhadra dan Halayudha, adalah
kakak Kresna, putra Basudewa dan Dewaki. Dalam filsafat Waisnawa dan beberapa tradisi
pemujaan di India Selatan, ia dipuja sebagai awatara kesembilan (versi lain menyebut
ketujuh) di antara sepuluh Awatara dan termasuk salah satu dari 25 awatara dalam Purana.
Menurut filsafat Waisnawa dan beberapa pandangan umat Hindu, ia merupakan manifestasi
dari Sesa, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu.

Daftar isi
 1 Kemunculan Baladewa
 2 Ciri-ciri fisik
 3 Baladewa dalam susastra Hindu
o 3.1 Bhagawatapurana
o 3.2 Mahabharata
 4 Akhir riwayat hidup
 5 Tradisi dan pemujaan
 6 Baladewa dalam pewayangan Jawa
 7 Silsilah
 8 Pranala luar
Kemunculan Baladewa
Baladewa sebenarnya merupakan kakak kandung Kresna karena terlahir sebagai putra
Basudewa dan Dewaki. Namun karena takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia
dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin.

Kamsa, kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan terbunuh di
tangan putra kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke
penjara dan membunuh setiap putra yang dilahirkan oleh Dewaki. Secara berturut-turut,
setiap puteranya yang baru lahir mati di tangan Kamsa. Pada saat Dewaki mengandung
putranya yang ketujuh, nasib anaknya yang akan dilahirkan tidak akan sama dengan nasib
keenam anaknya terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini
yang sedang menginginkan seorang putra. Maka dari itu, Baladewa disebut pula Sankarsana
yang berarti "pemindahan janin".

Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai putranya. Pada masa kecilnya, ia bernama
Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama yang
kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang
pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikah dengan Rewati, putri
Raiwata dari Anarta.

Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang di
Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan Raja Rukmi, ia tidak
memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima hendak membunuh Duryodana, ia
mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan menyadarkan
kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah kewajiban untuk
memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa akan segala prilaku buruk
Duryodana.

Ciri-ciri fisik
Lukisan India modern, yang menggambarkan Baladewa berdiri di dekat sungai Yamuna.

Balarama seringkali digambarkan berkulit putih, khususnya jika dibandingkan dengan


saudaranya, yaitu Kresna, yang dilukiskan berkulit biru gelap atau bercorak hitam.
Senjatanya adalah bajak dan gada. Secara tradisional, Baladewa memakai pakaian biru dan
kalung dari rangkaian bunga hutan. Rambutnya diikat pada jambul dan ia memakai giwang
dan gelang. Baladewa digambarkan memiliki fisik yang sangat kuat, dan kenyataannya, bala
dalam bahasa Sanskerta berarti "kuat". Selain sebagai saudara, Baladewa merupakan teman
kesayangan Kresna yang terkenal.

Baladewa dalam susastra Hindu


Bhagawatapurana

Baladewa, bersama dengan Kresna dan Subadra, diasuh oleh Nanda (teman Basudewa)
selama orang tua kandung mereka masih dipenjara. Pada suatu hari, Nanda menyuruh
Gargamuni, pendeta keluarga, untuk mengunjungi rumah mereka dalam rangka memberikan
nama kepada Kresna dan Baladewa. Ketika Gargamuni tiba di rumahnya, Nanda
menyambutnya dengan ramah dan kemudian menyuruh agar upacara pemberian nama segera
dilaksanakan. Gargamuni memperingatkan Nanda Maharaja bahwa Kamsa mencari putera
Dewaki dan jika upacara dilaksanakan secara mewah maka akan menarik perhatian Kamsa,
dan ia akan mencurigai Kresna sebagai putera Dewaki. Maka Nanda menyuruh Gargamuni
untuk melangsungkan upacara secara rahasia, dan Gargamuni memberi alasan mengenai
pemberian nama Balarama sebagai berikut:

Karena Balarama, putra Rohini, mampu menambah pelbagai berkah, namanya


“ Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia dipanggil Baladewa. Ia mampu ”
menarik Wangsa Yadu untuk mengikuti perintahnya, maka dari itu namanya
Sankarshana.

(Bhagawatapurana, 10.8.12)

Mahabharata

Baladewa terkenal sebagai pengajar Duryodana dari Korawa dan Bima dari Pandawa seni
bertarung menggunakan gada. Ketika perang meletus antara pihak Korawa dan Pandawa,
Baladewa memiliki rasa sayang yang sama terhadap kedua pihak dan memutuskan untuk
menjadi pihak netral. Dan akhirnya ketika Bima (yang lebih kuat) mengalahkan Duryodana
(yang lebih pintar) dengan memberikan pukulan di bawah perutnya dengan gada, Baladewa
mengancam akan membunuh Bima. Hal ini dicegah oleh Kresna yang mengingatkan
Baladewa atas sumpah Bima untuk membunuh Duryodana dengan menghancurkan paha yang
pernah ia singkapkan kepada Dropadi.

Akhir riwayat hidup

Arca Krishna-Balarama dari Krishna-Balarama Mandir, Vrindavan, India.

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran


yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu, dan setelah ia menyaksikan Kresna yang
menghilang, ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan
mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu
Sesa.

Tradisi dan pemujaan


Dalam tradisi Waisnawa dan beberapa sekte Hindu di India, Baladewa dipuja bersama Sri
Kresna sebagai kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa dan dalam pemujaan mereka sering
disebut "Krishna-Balarama". Mereka memiliki hubungan yang dekat dan selalu terlihat
bersama-sama. Jika diibaratkan, Kresna merupakan pencipta sedangkan Baladewa merupakan
potensi kreativitasnya. Baladewa merupakan saudara Kresna, dan kadang-kadang dilukiskan
sebagai adik, kadang-kadang dilukiskan sebagai kakaknya. Baladewa juga merupakan
Laksmana pada kehidupan Wisnu sebelum menitis pada Kresna, dan pada zaman Kali, beliau
menitis sebagai Nityananda, sahabat Sri Caitanya.

Dalam Bhagawatapurana diceritakan, setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran


antara wangsa Yadu dan Wresni, dan setelah ia menyaksikan Kresna mencapai moksa, ia
duduk untuk bermeditasi agar mampu meninggalkan dunia fana lalu mengeluarkan ular putih
dari dalam mulutnya. Setelah itu ia diangkut oleh Sesa dalam wujud ular.

Baladewa dalam pewayangan Jawa

Baladewa dalam kesenian wayang kulit Jawa.

Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang
waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura
dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, dan
mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu
Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu
bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, seorang swarawati
keraton Mandura.

Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar
Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati
atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang
putera bernama Wisata dan Wimuka.

Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat
mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa
mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Brahma. Ia
juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa
adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.

Sebenarnya Baladewa memihak Kurawa, maka dalam Kitab Jitabsara ketika ditulis
skenarionya oleh para dewa tentang Perang Baratayuda, Prabu Kresna tahu bahwa para dewa
merencanakan Baladewa akan ditandingkan dengan Raden Anantareja dan Baladewa mati.
Ketika melihat catatan itu Prabu Kresna ingin menyelamatkan Prabu Baladewa dan Raden
Anantareja agar tak ikut perang sebab kedua orang itu dianggap Prabu Kresna tak punya
urusan dalam perang Baratayuda. Prabu Kresna menyamar menjadi kumbang lalu terbang
dan menendang tinta yang dipakai dewa untuk menulis, tinta tumpah dan menutupi kertas
yang ada tulisan Anantarejo kemudian kumbang jelmaan Prabu Kresna juga menyambar pena
yang dipakai tuk menulis dan pena tersebut jatuh. Akhirnya dalam Kitab Jitabsara yaitu kitab
skenario perang Baratayuda yang ditulis dewa tak ada tulisan Raden Anantareja dan Prabu
Baladewa. Maka sebelum perang Baratayuda Prabu Kresna membujuk Anantareja supaya
bunuh diri dengan cara menjilat telapak kakinya sendiri, akhirnya Raden Anantareja mati
sebagai tawur/tumbal kemenangan Pandawa. Prabu Kresna juga punya siasat untuk
mengasingkan agar Prabu Baladewa tidak mendengar dan menyaksikan Perang Baratayuda
yaitu dengan meminta Prabu Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air
Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Baratayuda, Baladewa tidak
dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan
membangunkannya nanti Baratayuda terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di
Grojogan Sewu terjadilah perang Baratayuda.

Ada yang mengatakan Baladewa sebagai titisan naga sementara yang lainnya meyakini
sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah
selesai perang Baratayuda, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja
negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar
Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.

Silsilah

   

Ahuka  

             

         

           

Raja
Ugrase Dewak
                 
 

Surasena        
   
     

Cedi
na a
                                       

                                 

                                         

Damago
Dewak    

Kamsa  

Basudewa  

9 putera            

3 puteri Srutasrawa sa  

i
       

                                                               

Sisupa
           

Kresna                

Kunti Pandu        

   
la
                                   

                         

                                 

           
Balade  
Subad  
Yudisti  
Bim  
Arjun  

wa ra ra a a

Pranala luar
 (Inggris) Siapakah Prabu Baladewa?
 (Inggris) Prabu Baladewa memiliki 1000 nama
 (Inggris) Ensiklopedia Weda - Sri Balarama
 (Inggris) Balarama awatara - Bhagavata Purana
 (Inggris) Kuil Krishna-Balarama
 (Inggris) Krishna & Balarama Galeri - Vrindavan.com
 (Inggris) Krishna & Balarama Galeri - Vrindavan-dham.com

Baladewa

Sebelumnya: Awatara Wisnu Berikutnya:


Kresna ke-9 Kalki

Ganesa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ganesa

Dewa pengetahuan, kecerdasan,


kebijaksanaan dan pelindung terhadap
segala bencana
Ejaan Dewanagari गणेश
Ejaan IAST gaṇeśa
Golongan dewa
parasu (kapak), pasa (jerat),
Senjata
angkusa (kait)
Wahana tikus
Buddhi (kebijaksanaan), Riddhi
Pasangan (kemakmuran), Siddhi
(keberhasilan)
ॐ गणेशाय नमः
Mantra
(Oṃ Gaṇeśāya Namaḥ)

Ganesa (Sanskerta गणेश ; ganeṣa dengarkan (bantuan·info)) adalah salah satu dewa terkenal
dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu, yang memiliki gelar sebagai Dewa
pengetahuan dan kecerdasan, Dewa pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa
kebijaksanaan. Lukisan dan patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India;
termasuk Nepal, Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering
digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia dikenal pula dengan
nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara
Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam
agama Hindu memujanya tanpa memedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat
luas hingga menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.[1]

Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah membuatnya
mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala rintangan" dan lebih umum
dikenal sebagai "Dewa saat memulai pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa,
Wigneswara), "Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan
kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai
pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara.[2] Beberapa kitab
mengandung anekdot mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-
cirinya yang tertentu.

Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4 sampai abad
ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat pelopornya pada zaman
Weda dan pra-Weda.[3] Ketenarannya naik dengan cepat, dan ia dimasukkan di antara lima
dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para
pemujanya yang disebut Ganapatya, (Sanskerta: गाणपत्य; gāṇapatya), yang menganggap
Ganesa sebagai dewa yang utama, muncul selama periode itu.[4] Kitab utama yang
didedikasikan untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati
Atharwashirsa.

Daftar isi
 1 Etimologi dan nama lain
 2 Penggambaran
o 2.1 Atribut umum
o 2.2 Wahana
 3 Asosiasi
o 3.1 Rintangan
o 3.2 Buddhi
o 3.3 Aum
o 3.4 Cakra pertama
 4 Mitologi
o 4.1 Kelahiran
o 4.2 Keluarga dan istri
 5 Pemujaan dan festival
o 5.1 Ganesa Caturti
o 5.2 Kuil
 6 Sejarah ketenaran
o 6.1 Kemunculan pertama
o 6.2 Pengaruh memungkinkan
o 6.3 Sastra Weda dan wiracarita
o 6.4 Zaman Purana
o 6.5 Buku dan sastra
 7 Di luar India dan agama Hindu
 8 Catatan kaki
 9 Referensi
 10 Gallery
 11 Pranala luar

Etimologi dan nama lain

Patung Ganesa dari Karnataka, India. Patung ini dibuat pada abad ke-13.

Ganesa memiliki banyak gelar dan nama pujian, termasuk Ganapati dan Wigneswara. Gelar
dalam agama Hindu yang dipakai sebagai penghormatan, yaitu Sri (Sanskerta: श्री; śrī, juga
dieja Shri atau Shree) seringkali ditambahkan di depan namanya. Salah satu cara yang
terkenal dalam memuja Ganesa adalah dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama, sebuah
doa pengucapan "seribu nama Ganesa". Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti
berbeda-beda dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-kurangnya ada dua
versi Ganesa Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu sastra Hindu
untuk menghormati Ganesa.

Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata gana
(Sanskerta: गण; gaṇa), berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan
isha (Sanskerta: ईश; īśa), berarti penguasa atau pemimpin.[5] Kata gana ketika dihubungkan
dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para gana, pasukan makhluk setengah dewa yang
menjadi pengikut Siwa.[6] Istilah itu secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas,
persekutuan, atau perserikatan.[7] Ganapati (Sanskerta: गणपति ; gaṇapati), nama lain
Ganesa, adalah kata majemuk yang terdiri dari kata gana, yang berarti "kelompok", dan pati,
berarti "pengatur" atau "pemimpin". [7] Kitab Amarakosha, yaitu kamus bahasa Sanskerta,
memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka, Wignaraja (sama dengan Wignesa),
Dwaimatura (yang memiliki dua ibu), Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa),
Ekadanta (yang memiliki satu gading), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak
periuk, atau, secara harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana (yang bermuka
gajah).[8]

Winayaka (Sanskerta: विनायक ; vināyaka) adalah nama umum bagi Ganesa yang muncul
dalam kitab-kitab Purana Hindu dan Tantra agama Buddha.[9] Nama ini mencerminkan
sebutan terhadap delapan kuil Ganesa yang terkenal di Maharashtra yang mahsyur sebagai
astawinayaka. Nama Wignesa (Sanskerta: विघ्नेश; vighneśa) dan Wigneswara (Sanskerta:
विघ्नेश्वर; vighneśvara) (Penguasa segala rintangan) merujuk kepada tugas utamanya dalam
mitologi Hindu sebagai pencipta sekaligus penyingkir segala rintangan (vighna).

Lukisan Ekadanta atau "Ganesa bergading satu", dari daerah Mysore, negara bagian
Karnataka, India.

Nama yang mahsyur bagi Ganesa dalam bahasa Tamil adalah Pille atau Pilleyar ("anak
kecil"). A. K. Narain membedakan arti istilah-istilah tersebut dengan mengatakan bahwa pille
berarti seorang "anak" sementara pilleyar berarti seorang "anak yang mulia". Dia
menambahkan bahwa kata pallu, pella, dan pell dalam bahasa-bahasa rumpun Dravida berarti
"gigi atau gading gajah", namun lebih lazim diartikan "gajah".[10] Seorang penulis buku yang
bernama Anita Raina Thapan menambahkan bahwa akar kata pille pada nama Pillaiyar
mungkin aslinya berarti "gajah muda", karena kata pillaka dalam bahasa Pali berarti "gajah
muda".[11]

Penggambaran
Ganesa adalah figur yang terkenal dalam kesenian India. Citra tentang Ganesa menjamur di
berbagai penjuru India sekitar abad ke-6.[12] Tidak seperti dewa-dewi lainnya, penggambaran
sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan pola-pola berbeda yang berubah dari
waktu ke waktu. Dia kadangkala digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani
melawan para iblis, bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau
bersikap manis dalam suatu keadaan.

Biasanya Ganesa digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya memiliki
empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa. Dia membawa patahan
gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa kudapan manis, yang ia comot dengan
belalainya, pada tangan kiri bawah. Motif Ganesa yang belalainya melengkung tajam ke kiri
untuk mencicipi manisan pada tangan kiri bawahnya adalah ciri-ciri yang utama dari zaman
dulu. Patung yang lebih primitif di Gua Ellora dengan ciri-ciri umum tersebut, ditaksir
berasal dari abad ke-7.[13] Dalam perwujudan yang biasa, Ganesa digambarkan memegang
sebuah kapak atau angkusa pada tangan sebelah atas dan sebuah jerat pada tangan atas
lainnya.

Pengaruh unsur-unsur kuno dalam susunan penggambaran tersebut masih bisa diamati dalam
penggambaran Ganesa secara kontemporer. Dalam sebuah penggambaran modern, satu-
satunya variasi terhadap unsur-unsur kuno adalah tangan kanan bawah Ganesa tidak
memegang patahan gading namun seolah-olah terarah ke mata pengamat dengan gerak
tangan yang melambangkan perlindungan atau penyingkir ketakutan (abhaya mudra).[14]
Kombinasi yang sama terhadap empat lengan dan atribut, muncul pada patung Ganesa yang
sedang menari, yang merupakan tema terkenal.

Atribut umum
Patung Ganesa di Maharashtra, India. Patung tersebut dibuat sesuai dengan makna atribut-
atributnya.

Ganesa digambarkan berkepala gajah semenjak awal kemunculannya dalam kesenian India.
[15]
Mitologi dalam Purana memberi beberapa penjelasan mengenai kejadian yang
menyebabkannya berkepala gajah. Salah satu perwujudannya yang terkenal, yakni Heramba-
Ganapati, memiliki lima kepala gajah, dan variasi kecil lainnya pada jumlah kepala diketahui.
Sementara beberapa kitab mengatakan bahwa Ganesa terlahir dengan kepala gajah, pada
cerita yang terkenal dikatakan bahwa ia memperoleh kepala gajah di kemudian hari. Motif
utama yang terulang dalam cerita-cerita tersebut adalah bahwa Ganesa lahir dengan tubuh
dan kepala manusia, kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan
antara Siwa dan Parwati. Kemudian Siwa mengganti kepala asli Ganesa dengan kepala gajah.
Detail kisah pertempuran dan penggantian kepala, memiliki beragam versi menurut sumber
yang berbeda-beda. Dalam kitab Brahmawaiwartapurana terdapat kisah yang cukup
menarik. Saat Ganesa lahir, ibunya, Parwati, menunjukkan bayinya yang baru lahir ke
hadapan para dewa. Tiba-tiba, Dewa Sani (Saturnus), yang konon memiliki mata terkutuk,
memandang kepala Ganesa sehingga kepala si bayi terbakar menjadi abu. Dewa Wisnu
datang menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala gajah. Kisah lain
dalam kitab Warahapurana mengatakan bahwa Ganesa tercipta secara langsung oleh tawa
Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat perhatian, ia memberinya kepala gajah
dan perut buncit.

Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada gadingnya yang
utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah. Beberapa citra menunjukkan ia
sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting di balik penampilan khusus ini dikandung
dalam kitab Mudgalapurana, yang mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua
adalah Ekadanta. Perut buncit Ganesa muncul sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian patung
sejak zaman dulu, yang ditaksir sejak periode Gupta (sekitar abad IV-VI).[16] Penampilan ini
amat penting, karena menurut Mudgalapurana, dua penjelmaan Ganesa yang berbeda
memakai nama yang diambil dari Lambodara (perut buncit, atau, secara harfiah, perut
bergelantungan) dan Mahodara (perut besar).[17] Kedua nama tersebut merupakan kata
majemuk dalam bahasa Sanskerta yang melukiskan bagaimana keadaan perutnya. Kitab
Brahmandapurana mengatakan bahwa Ganesa bernama Lambodara karena segala semesta
(yaitu "telur alam semesta"; IAST: brahmāṇḍa) pada masa lalu, sekarang, dan yang akan
datang ada di dalam tubuhnya. Jumlah lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang terkenal
memiliki sekitar dua sampai enam belas lengan.[18] Banyak penggambaran tentang Ganesa
yang menampilkan ia bertangan empat, yang telah disebut dalam Purana dan ditetapkan
sebagai wujud standar dalam beberapa kitab tentang ikonografi. Wujudnya pada masa awal
memiliki dua lengan.[19] Wujud dengan 14 dan 20 lengan muncul di India Tengah selama
abad ke-9 dan abad ke-10.[20] Ular adalah tampilan yang umum dalam penggambaran tentang
Ganesa dan muncul dalam beragam bentuk.[21] Menurut Ganesapurana, Ganesa melilitkan
ular Basuki di lehernya. Penggambaran lain tentang ular meliputi kegunaannya sebagai
benang suci (IAST: yajñyopavīta) yang dililitkan melingkari perut sebagai sabuk, dipegang di
tangan, dililitkan di pergelangan kaki, atau dipakai sebagai mahkota. Pada dahi Ganesa
kemungkinan ada mata ketiga atau simbol sekte Siwa (Sanskerta: tilaka), yang berupa tiga
garis mendatar. Ganeshapurana mengatakan bahwa tanda tilaka sama saja dengan bulan sabit
pada dahi kepala. Wujud tertentu dari Ganesa yang disebut Bhalachandra (IAST:
bhālacandra; "Bulan di dahi") memasukkan unsur penggambaran tersebut. Namun warna
lain yang spesifik dihubungkan dengan wujud tertentu.[22] Beberapa contoh mengenai
hubungan warna dengan gerakan meditasi tertentu dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah
buku tentang ikonografi dalam Hinduisme. Sebagai contoh, putih dihubungkan dengan wujud
Ganesa sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-Mochana-Ganapati (Ganapati yang
membebaskan dari belenggu). Ekadanta-Ganapati digambarkan berwarna biru selama
bermeditasi dalam wujud itu.

Sebuah lukisan bergaya Tajore, menampilkan Ganesa yang sedang mengendarai wahananya,
yaitu tikus. Di belakangnya tampak seorang pelayan yang setia menemaninya.

Wahana

Citra Ganesa pada mulanya tidak disertai dengan wahana (tunggangan).[23] Pada delapan
penjelmaan Ganesa yang dinyatakan dalam Mudgalapurana, Ganesa lima kali menggunakan
tikus dalam lima penjelmaannya, menggunakan singa saat menjelma sebagai Wakratunda,
seekor merak saat menjelma sebagai Wikata, dan menggunakan Sesa, naga ilahi, dalam
penjelmaannya sebagai Wignaraja. Pada empat penjelmaan Ganesa yang terdaftar dalam
Ganesapurana, Mohotkata menunggangi singa, Mayureswara menunggangi merak,
Dumraketu menunggangi kuda, dan Gajanana menunggangi tikus. Dalam pandangan agama
Jaina terhadap Ganesa, wahananya ada bermacam-macam, seperti misalnya tikus, gajah,
penyu, domba, atau merak.[24]

Ganesa seringkali digambarkan menunggangi atau diantar oleh seekor tikus. Martin-Dubost
mengatakan bahwa tikus muncul sebagai wahana yang utama dalam sastra tentang Ganesa, di
wilayah India Tengah dan Barat selama abad ke-7; tikus juga selalu ditempatkan dekat
dengan kakinya. Tikus sebagai wahana muncul pertama kali dalam kitab Matsyapurana dan
kemudian dalam Brahmandapurana dan Ganesapurana, dimana Ganesa menggunakannya
sebagai kendaraan hanya pada inkarnasi terakhirnya. Ganapati Atharwashirsa mengandung
sloka tentang Ganesa yang menyatakan bahwa gambar tikus terdapat dalam benderanya.
Nama Musakawahana (berwahana tikus) dan Akuketana (berbendera tikus) muncul dalam
Ganesa Sahasranama.

Tikus ditafsirkan dalam berbagai pengertian. Seorang penulis buku tentang Ganesa bernama
John A. Grimes telah menafsirkan makna tikus sebagai atribut Ganesa. Michael Wilcockson
mengatakan bahwa tikus melambangkan orang-orang yang ingin mengatasi keinginan dan
mengurangi sifat egois.[25] Yuvraj Krishan, seorang penulis buku Ganesa, mengatakan bahwa
tikus itu bersifat merusak dan mengancam pertanian. Kata Sanskerta mūṣaka (tikus) diambil
dari akar kata mūṣ (mencuri, merampok). Merupakan hal yang penting untuk menaklukkan
tikus sebagai hama penghancur, sejenis wighna (rintangan) yang perlu untuk diatasi. Jadi
menurut teori tersebut, Ganesa sebagai penguasa tikus menunjukkan fungsinya sebagai
Wigneswara (dewa segala rintangan) dan memberi bukti terhadap perannya sebagai grāmata-
devatā (dewa pedesaan) bagi rakyat yang kemudian meningkat kemuliaannya.[26] Paul Martin-
Dubost yang juga pernah menulis buku tentang Ganesa memberi sebuah pandangan bahwa
tikus adalah simbol yang memberi sugesti bahwa Ganesa, seperti halnya tikus, mampu
menembus bahkan memasuki tempat-tempat rahasia.[27]

Asosiasi

Patung Ganesa di sebuah kuil di Orissa, India.

Rintangan

Ganesa adalah Wigneswara atau Wignaraja, dewa segala rintangan, baik yang bersifat
material maupun spiritual. Ia mahsyur dipuja sebagai penyingkir segala rintangan, meski ia
juga memasang rintangan pada umatnya yang perlu diberi cobaan. Paul Courtright
mengatakan, "pekerjaannya adalah menempatkan dan menyingkirkan rintangan. Itu
merupakan kekuasaannya yang utama..."[28]

Yuvraj Krishan menyatakan bahwa beberapa nama Ganesa mencerminkan perannya yang
berkembang dari waktu ke waktu.[29] M. K. Dhavalikar beranggapan bahwa karena cepatnya
ketenaran Ganesa di antara dewi-dewi Hindu, dan kemunculan para Ganapatya, sehingga ada
perubahan tekanan suara dari wignakartā (pencipta rintangan) menjadi wignahartā
(penyingkir rintangan).[30] Bagaimana pun, dua fungsi tersebut menjadi amat penting dalam
karakter Ganesa, seperti yang dijelaskan Robert Brown, "bahkan setelah Ganesa dalam
Purana digambarkan dengan baik, Ganesa meninggalkan banyak hal-hal penting untuk peran
gandanya sebagai pencipta dan penyingkir rintangan, sehingga memiliki aspek negatif
maupun positif.".[31]

Buddhi

Ganesa dianggap sebagai Dewa Aksara dan Pelajaran. Dalam bahasa Sanskerta, kata buddhi
adalah kata benda feminin yang banyak diterjemahkan menjadi kecerdasan, kebijaksanaan,
atau akal.[32] Konsep buddhi erat dikaitkan dengan kepribadian Ganesa, khususnya pada
zaman Purana, ketika banyak kisah menonjolkan kepintarannya dan cinta terhadap
kecerdasan. Salah satu nama Ganesa dalam Ganeshapurana dan Ganesa Sahasranama
adalah Buddhipriya. Nama ini juga muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa
Sahasranama yang menurut Ganesa amat penting. Kata priya bisa berarti "yang tercinta", dan
dalam konteks suami-istri bisa berarti "kekasih" atau "suami",[33] maka nama Buddhipriya
bisa saja berarti "Yang dicintai oleh kecerdasan" atau "Suami Buddhi".[34]

Aum

Ganesa dalam perhiasan berbentuk simbol Aum.

Ganesa diidentikkan dengan mantra Aum dalam agama Hindu (Simbol: ॐ, juga dieja 'Om').
Istilah oṃ(ng)kāraswarūpa (Aum adalah wujudnya), ketika diidentikkan dengan Ganesa,
merujuk pada sebuah pemahaman bahwa ia menjelma sebagai bunyi yang utama.[35] Kitab
Ganapati Atharwashirsa memberi penjelasan mengenai hubungan ini. Swami
Chinmayananda menerjemahkan pernyataan yang relevan berikut ini:

(O Hyang Ganapati!) Engkaulah (Tritunggal) Brahma, Wisnu, dan Mahesa. Engkaulah Indra.
Engakulah api (Agni) dan udara (Bayu). Engkaulah matahari (Surya) dan bulan (Candrama).
Engkaulah Brahman. Engkaulah (tiga dunia) Bhuloka [bumi], Antariksa-loka [luar angkasa],
dan Swargaloka [sorga]. Engkaulah Om. (Itu sebagai tanda, bahwa Engkaulah segala hal
tersebut).[36]

Beberapa pemuja melihat kesamaan antara lekukan tubuh Ganesa dalam penggambaran
umum dengan bentuk simbol Aum dalam aksara Dewanagari dan Tamil.[37]

Cakra pertama

Menurut Kundalini yoga, Ganesa menempati cakra pertama, yang disebut muladhara. Mula
berarti "asal, utama"; adhara berarti "dasar, pondasi". Cakra muladhara adalah hal penting
yang merupakan manifestasi atau pelebaran pokok-pokok kekuatan ilahi yang terpendam.[38]
Hubungan Gansea dengan hal ini juga diterangkan dalam Ganapati Atharwashirsa.
Courtright menerjemahkan pernyataan sebagai berikut: "[O Ganesa,] Engkau senantiasa
menempati urat sakral di pondasi tulang punggung [mūlādhāra cakra]."[39] Maka dari itu,
Ganesa memiliki kediaman tetap dalam setiap makhluk yang terletak pada Muladhara.
Ganesa memegang, menopang dan memandu cakra-cakra lainnya, sehingga ia mengatur
kekuatan yang mendorong cakra kehidupan.[38]

Mitologi

Parwati dan Siwa memandikan Ganesa. Sebuah lukisan dari Kangra, dibuat sekitar abad ke-
18.

Kelahiran

Meski Ganesa terkenal sebagai putera dari Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam Purana
memiliki ketidakpastian mengenai kelahirannya. Dia bisa saja diciptakan oleh Siwa, atau oleh
Parwati, atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul secara misterius dan ditemukan oleh Siwa
dan Parwati. Terdapat berbagai versi mengenai kelahiran Ganesa, namun kisah yang paling
terkenal berasal dari kitab Siwapurana.

Dalam kitab Siwapurana dikisahkan, suatu ketika Parwati (istri Dewa Siwa) ingin mandi.
Karena tidak ingin diganggu, ia menciptakan seorang anak laki-laki. Ia berpesan agar anak
tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya selagi Dewi Parwati mandi dan
hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati saja. Perintah itu dilaksanakan sang anak
dengan baik.
Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, ia tidak dapat masuk karena
dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Bocah tersebut melarangnya karena ia
ingin melaksanakan perintah Parwati dengan baik. Siwa menjelaskan bahwa ia suami Parwati
dan rumah yang dijaga si bocah adalah rumahnya juga. Namun sang bocah tidak mau
mendengarkan perintah Siwa, sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah
siapapun. Akhirnya Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan anaknya sendiri.
Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Siwa menggunakan Trisulanya dan memenggal
kepala si bocah. Ketika Parwati selesai mandi, ia mendapati puteranya sudah tak bernyawa. Ia
marah kepada suaminya dan menuntut agar anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar akan
perbuatannya dan ia menyanggupi permohonan istrinya.

Atas saran Brahma, Siwa mengutus abdinya, yaitu para gana, untuk memenggal kepala
makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara. Ketika turun ke
dunia, gana mendapati seekor gajah sedang menghadap utara. Kepala gajah itu pun dipenggal
untuk mengganti kepala Ganesa. Akhirnya Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan
sejak itu diberi gelar Dewa Keselamatan.

Keluarga dan istri

Lukisan "Riddhi Siddhi" karya Raja Ravi Varma, menggambarkan Ganesa yang didampingi
kedua istrinya, Riddhi dan Siddhi.

Dalam keluarga Ganesa ada saudaranya yang bernama Skanda, yang juga disebut Kartikeya,
Murugan, dan lain-lain. Perbedaan wilayah memberikan versi berbeda tentang jenjang
kelahiran mereka. Di India Utara, Skanda biasanya dianggap yang lebih tua, sementara di
India Selatan, Ganesa dianggap yang lebih dahulu lahir. Skanda merupakan dewa perang
yang mahsyur sekitar tahun 500 SM sampai 600 M, ketika pemujaan terhadapnya berkurang
secara signifikan di India Utara. Seiring dengan memudarnya Skanda, Ganesa mulai
berkembang. Beberapa kisah menceritakan persaingan antara kedua bersaudara tersebut dan
bisa saja mencerminkan ketegangan yang terjadi antar sekte (pemuja Ganesa dan pemuja
Skanda).[40]

Status orangtua Ganesa, subjek pembicaraan yang luas bagi para sarjana, memiliki beragam
versi dalam cerita-cerita mitos. Salah satu pola dalam mitos mengidentifikasi Ganesa sebagai
seorang brahmacarya yang tak menikah.[41] Pandangan ini biasa terdapat di India Selatan dan
di beberapa wilayah India Utara. Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan konsep Buddhi
(kecerdasan), Siddhi (kekuatan spiritual), dan Riddhi (kemakmuran); tiga kualitas ini
kadangkala dipersonifikasikan sebagai para dewi, yang konon menjadi para istri Ganesa. Dia
bisa juga digambarkan dengan satu pasangan saja atau seorang pelayan tanpa nama
(Sanskerta: daşi). Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan dewi kebudayaan dan kesenian,
yaitu Saraswati atau Śarda (umumnya di Maharashtra).[42] Dia juga disangkutpautkan dengan
dewi keberuntungan dan kemakmuran, Laksmi.[43] Contoh lainnya, terutama yang menonjol
di wilayah Benggala, menghubungkan Ganesa dengan pohon pisang, Kala Bo.[44]

Kitab Siwapurana mengatakan bahwa Ganesa memiliki dua putera: Ksema (kemakmuran)
dan Laba (keuntungan). Menurut kisah versi India Utara, puteranya seringkali disebut Suba
(keselamatan) dan Laba. Film berbahasa Hindi tahun 1975 berjudul Jai Santoshi Maa
menampilkan Ganesa yang menikahi Riddhi dan Siddhi lalu memiliki puteri bernama
Santoshi Ma, dewi kepuasan. Kisah ini tidak memiliki dasar dari kitab Purana.[45]

Pemujaan dan festival

Festival Ganesa yang dirayakan oleh umat Hindu di Paris, Perancis, pada tahun 2004.

Ganesa banyak dipuja saat acara kerohanian maupun kegiatan sehari-hari; khususnya saat
mulai berniaga seperti misalnya membeli kendaraan atau memulai bisnis. K.N. Somayaji
berkata, "jarang ada rumah (Hindu di India) yang tidak memiliki arca Ganapati. [..] Ganapati,
sebagai dewa yang termahsyur di India, dipuja oleh hampir seluruh kasta dan di seluruh
penjuru negara".[46] Pemujanya percaya bila Ganesa dibuat senang, ia akan memberi
kesuksesan, kemakmuran dan perlindungan terhadap bencana.

Ganesa bukan dewa bagi sekte tertentu, dan umat Hindu dari seluruh denominasi memanggil
namanya saat memulai persembahyangan, memulai usaha yang penting, dan upacara
keagamaan. Penari dan musisi, khususnya di India Selatan, memulai pertunjukkan seni
seperti misalnya tari Bharatnatyam dengan terlebih dahulu memuja Ganesa. Mantra-mantra
seperti misalnya Om Shri Gaṇeshāya Namah (Om, hormat pada Hyang Ganesa yang
mahsyur-mulia) seringkali dipakai. Salah satu mantra paling terkenal yang diasosiasikan
dengan Ganesa adalah Om Gaṃ Ganapataye Namah.

Pemujanya memberi persembahan berupa manisan seperti misalnya modaka dan bola-bola
kecil manis (laddu). Dia seringkali digambarkan memegang semangkuk manisan, yang
disebut modakapātra. Karena ia diidentifikasikan dengan warna merah, ia seringkali dipuja
dengan pasta cendana merah (raktacandana) atau bunga merah. Rumput Dūrvā (Cynodon
dactylon) dan benda lainnya sering dipakai dalam memujanya.

Festival yang dikaitkan dengan Ganesa adalah Winayaka caturti (Ganesa Caturti) pada
śuklapakṣa (hari keempat bulan purnama) di bulan bhadrapada (Agustus/September) dan
Ganesa jayanti (ulang tahun Ganesa) dirayakan pada cathurthī dalam kṛṣṇapakṣa (hari
keempat bulan mati) di bulan magha (Januari/Februari).

Patung besar Ganesa saat festival Ganesa Caturti di Mumbai, tahun 2004.

Ganesa Caturti

Festival tahunan untuk memuja Ganesa yang berlangsung selama sepuluh hari, dimulai pada
Ganesa Caturti, yang jatuh pada akhir bulan Agustus atau awal September. Festival
memuncak pada hari Ananta Caturdasi, ketika arca (murti) Ganesa dicelupkan ke dalam air.
Pada tahun 1893, Lokmanya Tilak mengubah festival tahunan ini dari perayaan keluarga
secara pribadi menjadi acara bagi masyarakat luas.[47] Ia melakukannya untuk mengatasi
kesenjangan antara golongan Brahmana dan non-Brahmana dan menemukan konteks tak
lazim yang dimaksud untuk membangun akar persatuan di antara mereka, dalam cita-cita
nasional menentang penjajahan Inggris di Maharashtra.[48] Karena Ganesa dipuja secara luas
sebagai "dewa bagi semua orang", Tilak memilihnya sebagai tempat menampung protes
rakyat India terhadap pemerintahan Inggris.[49] Tilak adalah orang pertama yang memasang
citra Ganesa yang besar bagi masyarakat umum di sebuah paviliun, dan menetapkan tradisi
untuk mencelupkan semua citra Ganesa pada hari kesepuluh.[50] Di masa kini, umat Hindu di
penjuru India merayakan festival Ganapati dengan semangat menyala, meskipun hal itu
paling populer di negara bagian Maharashtra. Festival itu juga mendapat proporsi yang besar
di Mumbai dan di sekitar kuil-kuil Astawinayaka.

Kuil
Arca Ganesa di Birla Mandir (Pura Birla) di Jaipur, India.

Dalam tempat suci Hindu, Ganesa dapat diuraikan beraneka macam: sebagai dewa bawahan
(parswadewata); sebagai dewa yang erat dengan dewa utama (pariwaradewata); atau sebagai
dewa utama di sebuah kuil (pradhana), dijamu bagaikan dewa tertinggi di antara dewa-dewi
Hindu.[51] Sebagai dewa keluar-masuk, dia banyak ditempatkan di pintu gerbang kuil Hindu
untuk menghalau hal-hal buruk, yang sama dengan perannya sebagai penjaga pintu rumah
Parwati. Dan juga, beberapa kuil didedikasikan untuk Ganesa sendiri, misalnya
Astawinayaka (Sanskerta: अष्टविनायक; aṣṭavināyaka; "delapan (kuil) Ganesa") di
Maharashtra yang paling mahsyur. Terletak di jarak sekitar 100 kilometer dari kota Pune,
masing-masing dari delapan kuil ini memuliakan wujud utama Ganapati, lengkap dengan
cerita dan legendanya; bersama-sama mereka membentuk sebuah mandala, menandai
wilayah suci Ganesa.

Ada banyak kuil Ganesa yang penting di tempat-tempat berikut ini: Wai di Maharashtra;
Ujjain di Madhya Pradesh; Jodhpur, Nagaur dan Raipur (Pali) di Rajasthan; Baidyanath di
Bihar; Baroda, Dhokala, dan Balsad di Gujarat dan Kuil Dhundiraj di Benares, Uttar Pradesh.
Kuil Ganesa yang utama di India Selatan yaitu sebagai berikut: Kuil Jambukeśvara di
Tiruchirapalli; di Rameshvaram dan Suchindram di Tamil Nadu; Hampi, Kasargod, dan
Idagunji di Karnataka; dan Bhadrachalam di Andhra Pradesh.

T. A. Gopinatha berkata, "Setiap desa, meskipun desa kecil, memiliki citra Wigneswara-nya
sendiri dengan atau tanpa kuil untuk menempatkannya. Di jalan masuk menuju desa atau
sebuah benteng, di bawah pohon bodhi […], dalam sebuah relung […], di kuil Wisnu
maupun Siwa dan juga pada bangunan suci yang khususnya dibangun dalam kuil Siwa […];
figur Wigneswara kelihatan tak berubah-ubah."[52] Kuil Ganesa juga dibangun di luar India,
termasuk Asia Tenggara, Nepal, dan di beberapa negara barat.

Sejarah ketenaran
Arca Ganesa yang cukup tua, dibuat pada abad ke-8, kini disimpan di Mueseum Cham,
Vietnam.

Kemunculan pertama

Ganesa muncul dalam wujud klasiknya sebagai dewa yang mudah dikenali dengan atribut-
atribut yang tergambar dengan baik pada permulaan abad ke-4 sampai abad ke-5. Shanti Lal
Nagar mengatakan bahwa arca paling awal, yang diketahui sebagai wujud Ganesa ada dalam
sebuah ceruk di kuil Siwa di Bhumra, yang ditafsir berasal dari zaman kerajaan Gupta.[53]
Pemujaan tersendiri terhadapnya muncul sekitar abad ke-10.[54] Narain mengikhtisarkan
kontroversi antara pemuja Ganesa dan pandangan akademis terhadap perkembangan Ganesa
sebagai berikut:

[A]pa yang selama ini tak terduga adalah kemunculan Ganesa yang agak dramatis menurut
pandangan sejarah. Pelopornya tak jelas. Keterbukaan dan ketenarannya yang luas, yang
melampaui batas mahzab dan teritorial, sungguh menakjubkan. Di satu sisi ada kepercayaan
bagi umat yang ortodoks terhadap asal-usul Ganesa dari zaman Weda dan dalam Purana
terdapat penjelasan yang membingungkan, namun merupakan mitologi yang cukup menarik.
Di sisi lain terdapat keraguan mengenai adanya gagasan dan arca tentang dewa ini sebelum
abad keempat sampai kelima Masehi. ...[54]

Pengaruh memungkinkan

Buku yang ditulis Thapan tentang perkembangan Ganesa mengandung sebuah bab tentang
spekulasi mengenai peran kepala gajah pada zaman awal di India, namun berkesimpulan
bahwa, "meski pada abad ke-2 Masehi ada perwujudan yaksa berkepala gajah, itu tidak bisa
dianggap menggambarkan Ganapati-Winayaka. Tidak ada bukti mengenai dewa yang disebut
memiliki wujud gajah atau berkepala gajah pada permulaan zaman ini. Ganapati-Winayaka
masih membuat debutnya."[55]
Lukisan Ganesa berlengan empat yang dibuat pada abad ke-19. Berasal dari Nurpur, India.

Suatu teori mengenai asal-usul Ganesa mengatakan bahwa ia perlahan-lahan menjadi tenar
sehubungan dengan empat Winayaka.[56] Dalam mitologi Hindu, para Winayaka adalah
kelompok empat makhluk jahat yang membuat rintangan dan kesulitan, namun mudah untuk
ditenangkan. Nama Winayaka adalah nama yang biasa bagi Ganesa, baik dalam Purana-
Purana maupun Tantra Buddha.[57] Krishan adalah salah satu sarjana yang menerima teori
ini, yang berkomentar datar tentang Ganesa, "Dia bukan dewa dalam Weda. Asal-usulnya
mengikuti jejak empat Winayaka, roh jahat, dari Manawagrehyasutra (abad VII-IV SM)
yang menyebabkan berbagai jenis kejahatan dan penderitaan".[58] Penggambaran figur
manusia berkepala gajah, yang beberapa di antaranya diidentifikasikan dengan Ganesa,
muncul dalam kesenian dan koin India pada permulaan abad ke-2.[59]

Sastra Weda dan wiracarita

Gelar "Pemimpin kelompok" (Sanskerta: ganapati) muncul dua kali dalam Regweda, namun
keduanya tidak merujuk pada Ganesa yang sekarang. Istilah itu muncul dalam Regweda (Rw
2.23.1) sebagai gelar untuk Brahmanaspati, menurut para komentator.[60] Saat sloka itu tak
diragukan lagi merujuk pada Brahmanaspati, sloka itu kemudian diadopsi untuk memuja
Ganesa dan masih dipakai hingga sekarang.[61] Dalam pembantahan bahwa pernyataan
tersebut merupakan bukti keberadaan Ganesa dalam Regweda, Ludo Rocher mengatakan
bahwa itu dengan jelas merujuk kepada Wrehaspati—dewa himne-himne—dan hanya
Wrehaspati.[62] Hal yang juga mirip, yaitu pernyataan kedua (Rw 10.112.9) merujuk pada
Indra, yang diberi gelar 'ganapati', diterjemahkan menjadi "Pemimpin perkumpulan (bagi
para Marut)." Tetapi, Rocher menyatakan bahwa sastra-satra Ganapatya terkini seringkali
mengutip sloka-sloka Regweda untuk menghormati Ganesa.[63]

Dua sloka dalam kitab yang termasuk Yajurweda hitam, yaitu Maitrayaniya Samhita (2.9.1)
dan Taittiriya Aranyaka (10.1), menyatakan permohonan kepada dewa yang "bertaring satu"
(Dantih), "bermuka gajah" (Hastimuka), dan "berbelalai bengkok" (Wakratunda). Nama-
nama ini mengingatkan kita pada Ganesa, dan seorang komentator dari abad ke-14 bernama
Sayana dengan tegas memastikan identifikasi ini.[64] Deskripsi tentang Dantin, yang memiliki
belalai bengkok (wakratunda) dan memegang jagung, tebu, dan gada, merupakan
karakteristik Ganapati yang utama secara Purana, seperti yang dikatakan Heras, "tidak bisa
dibantahkan lagi untuk menerima identifikasinya (ciri-ciri Ganesa) dengan (ciri-ciri) Dantin
ini".[65] Tapi, Krishan menganggap bahwa himne-himne ini adalah tambahan (carangan) pasca
zaman Weda.[66] Thapan menambahkan bahwa pernyataan-pernyataan itu lazimnya dianggap
sebagai sebuah sisipan. Dhavalikar mengatakan, "referensi mengenai dewa berkepala gajah di
Maitrayani Samhita telah terbukti sebagai sisipan paling akhir, maka tidak begitu berguna
dalam menentukan informasi paling awal mengenai sang dewa (Ganesa)".[67]

Ganesa tidak muncul dalam wiracarita India pada zaman Weda. Sebuah sisipan pada
wiracarita Mahabharata mengatakan bahwa Resi Byasa meminta Ganesa untuk
membantunya sebagai seorang penulis untuk mencatat wiracarita yang didikte oleh sang resi
kepadanya. Ganesa setuju namun dengan syarat bahwa Byasa harus membeberkan wiracarita
itu tanpa diselingi, yaitu, tanpa berhenti. Sang resi setuju, namun sadar bahwa untuk
melakukan jeda, ia perlu menceritakan suatu pernyataan yang sangat kompleks sehingga
Ganesa akan bertanya untuk mengklarifikasi. Kisah tersebut tidak dianggap sebagai sebuah
bagian dalam kitab orisinilnya oleh editor dalam kitab Mahabharata edisi kritikan. Hubungan
antara Ganesa dengan ketangkasan pikiran dan pembelajaran adalah salah satu alasan
sehingga ia ditampilkan sebagai penulis dikte yang dijabarkan Byasa tentang Mahabharata
dalam sisipan tersebut.[68] Richard L. Brown memperkirakan waktunya terjadi sekitar abad
ke-8, dan Moriz Winternitz menyimpulkan bahwa kisah itu dikenal pada awal th. 900, namun
tidak ditambahkan ke dalam Mahabharata sampai sekitar 150 tahun kemudian. Winternitz
juga menambahkan bahwa versi berbeda dalam naskah Mahabharata di India Selatan adalah
penghapusan terhadap legenda Ganesa tersebut.[69] Istilah winayaka ditemukan dalam
beberapa resensi dalam Santiparwa dan Anusasanaparwa yang dianggap sebagai sisipan.[70]
Sebuah referensi tentang Wignakartrinam ("Pencipta rintangan") dalam Wanaparwa juga
dipercaya sebagai sebuah sisipan dan tidak muncul dalam edisi kritikan.[71]

Lukisan Ganesa yang terdapat dalam kitab Bhagawatapurana, dibuat sekitar awal abad ke-
19.

Zaman Purana

Kisah mengenai Ganesa seringkali muncul dalam kitab-kitab Purana. Brown mengatakan,
sementara kitab-kitab Purana tidak menyebutkan kapan tepatnya suatu peristiwa terjadi,
penuturan kisah hidup Ganesa yang lebih detail ada dalam kitab yang muncul belakangan,
sekitar th. 600–1300.[72] Yuvraj Krishan mengatakan bahwa mitos mengenai kelahiran Ganesa
dan bagaimana ia memperoleh kepala gajah, ada dalam Purana yang digubah dari th. 600 dan
seterusnya. Ia meneliti masalah dan mengungkapkan bahwa referensi tentang Ganesa yang
terdapat dalam Purana-purana awal, seperti misalnya Bayupurana dan Brahmandapurana,
adalah sisipan di kemudian hari yang dibuat dari abad ke-7sampai abad ke-10.[73]
Bangkitnya ketenaran Ganesa dikodifikasikan pada abad ke-9, ketika secara formal ia
dimasukkan ke dalam lima dewa utama dalam aliran Smarta. Filsuf abad ke-9 bernama
Shankaracarya memopulerkan "pemujaan terhadap lima wujud" (pañcāyatana pūjā), sebuah
sistem di antara kaum brahmana yang ortodoks dalam tradisi Smarta. Dalam pemujaan ini
dilakukan pemanggilan lima dewa yaitu Ganesa, Wisnu, Siwa, Dewi, dan Surya.
Shankaracarya mendirikan tradisi itu dengan tujuan utama untuk menyatukan dewa-dewi
utama dari lima sekte besar pada status yang sama. Hal ini sungguh-sungguh membuat peran
Ganesa sebagai seorang dewa komplementer.

Buku dan sastra

Lukisan Ganesa yang sedang menari, berasal dari Tibet Tengah. Wujud ini juga dikenal
sebagai "Maharakta".

Ketika Ganesa diterima sebagai salah satu dari lima dewa utama dalam Brahmanisme,
beberapa brahmana memilih untuk memuja Ganesa sebagai dewa utama mereka. Mereka
mengembangkan tradisi Ganapatya, seperti yang dapat disimak dalam Ganeshapurana dan
Mudgalapurana.

Masa penggubahan Ganeshapurana dan Mudgalapurana (dan waktunya tidak tetap antara
satu sama lain) telah mengobarkan perdebatan para sarjana. Kedua-duanya berkembang dari
waktu ke waktu dan mengandung isi yang bertumpuk-tumpuk. Anita Thapan mengutarakan
komentar tentang masa penggubahan dan mengukuhkan pendapatnya. "Sepertinya, mungkin
pokok-pokok isi dari Ganeshapurana muncul sekitar abad keduabelas dan ketigabelas", dia
berkata, "namun kemudian diberi sisipan."[74] Lawrence W. Preston berpikir bahwa waktu
yang memungkinkan untuk penggubahan Ganeshapurana antara tahun 1100 dan 1400,
bersamaan dengan waktu berdirinya tempat-tempat suci seperti yang disebutkan dalam kitab
itu.[75]

R.C. Hazra mengatakan bahwa Mudgalapurana lebih tua daripada Ganeshapurana, yang
menurutnya digubah pada tahun 1100 dan 1400.[76] Tetapi, Phyllis Granoff menemukan
masalah terhadap waktu yang tidak tetap ini dan berkesimpulan bahwa Mudgalapurana
adalah kitab filsafat terakhir yang menyinggung masalah Ganesa. Ia mengemukakan
alasannya berdasarkan sebuah fakta bahwa, di antara bukti-bukti internal lainnya,
Mudgalapurana secara spesifik menyebut Ganeshapurana sebagai salah satu dari empat
Purana (Brahma, Brahmanda, Ganesha, dan Mudgalapurana) yang menyinggung masalah
Ganesa.[77] Sementara isinya sudah usang, kitab itu diberi sisipan sampai abad ke-17dan ke-
18, sehubungan dengan pemujaan Ganapati yang menjadi penting dalam wilayah tertentu.[78]
Kitab lain yang memuji Ganesa, yaitu Ganapati Atharwashirsa, ada kemungkinan digubah
pada abad ke-16 atau ke-17.[79]

Arca Ganesa dari marmer. Dibuat pada abad ke-5. ditemukan di Gardez, Afganistan,
sekarang di Dargah Pir Rattan Nath, Kabul.

Di luar India dan agama Hindu


Altar Ganesha dengan patung seukuran manusia yang juga digunakan oleh umat Hindu di
Klenteng Sanggar Agung.

Hubungan dagang dan budaya telah memperluas pengaruh India di Asia Barat dan Tenggara.
Ganesa adalah salah satu dari banyaknya dewa-dewi Hindu yang menjamah negeri asing
sebagai akibatnya.[80]

Ganesa khususnya disembah oleh para pedagang dan rombongannya, yang pergi ke luar India
untuk malakukan hubungan dagang. Periode dari sekitar abad ke-10 sampai seterusnya
ditandai oleh perkembangan jaringan-jaringan baru terhadap hal pertukaran, pembentukan
serikat dagang, dan bangkitnya sirkulasi keuangan. Selama masa ini, Ganesa menjadi dewa
utama yang dikaitkan dengan para pedagang.[81] Tulisan paling awal yang mengandung
seruan kepada Ganesa sebelum memanggil dewa-dewi lainnya dikaitkan dengan komunitas
rombongan pedagang.[82]

Umat Hindu bermigrasi ke nusantara dan membawa budaya mereka, termasuk Ganesa,
bersama mereka. Arca-arca Ganesa ditemukan di sepanjang wilayah Nusantara dalam jumlah
yang banyak, seringkali di samping kuil Siwa. Wujud Ganesa didapati dalam kesenian Hindu
di Jawa, Bali, dan Kalimantan yang menunjukkan pengaruh regional yang spesifik.[83]
Penyebaran budaya Hindu secara perlahan-lahan ke Asia Tenggara telah membuat wujud
Ganesa dimodifikasi di Burma, Kamboja, dan Thailand. Di Indochina, agama Hindu dan
Buddha dijalankan dengan berdampingan, dan pengaruh timbal balik bisa dilihat dalam
penggambaran Ganesa di wilayah itu. Di Thailand, Kamboja dan di Vietnam, Ganesa
terutama dianggap sebagai penyingkir segala rintangan. Bahkan kini oleh umat Buddha di
Thailand, Ganesa dihormati sebagai penyingkir segala rintangan, atau dewa keberhasilan.[84]

Arca Ganesa di candi Prambanan, Indonesia.

Sebelum kedatangan Islam, Afganistan memiliki ikatan budaya yang erat dengan India, dan
pemujaan terhadap dewa-dewi Hindu maupun Buddha sama-sama dijalankan. Beberapa
contoh arca dari abad ke-5 sampai abad ke-7 telah bertahan, mencerminkan bahwa pemujaan
Ganesa adalah hal yang populer di wilayah itu.[85]

Ganesa muncul dalam agama Buddha Mahayana, tidak hanya dalam wujud dewa Vināyaka
dalam agama Buddha, namun juga sebagai wujud raksasa dengan nama yang sama.[86]
Citranya muncul dalam arca-arca agama Buddha selama akhir masa kerajaan Gupta. Sebagai
dewa Vināyaka dalam agama Buddha, ia seringkali digambarkan sedang menari. Wujud ini,
disebut Nṛtta Ganapati, dan termahsyur di wilayah India Utara, kemudian diadopsi di Nepal,
lalu di Tibet.[87] Di Nepal, wujud Ganesa secara Hindu, dikenal sebagai Heramba, sangat
terkenal; ia memiliki lima kepala dan menunggangi singa. Penggambaran Ganesa di Tibet
menunjukkan pandangan yang bertentangan terhadapnya.[88] Ganapati versi Tibet adalah
tshogs bdag.[89] Dalam versi Tibet, Ganesa digambarkan sedang diinjak oleh kaki Mahākāla,
yaitu dewa bangsa Tibet yang terkenal. Penggambaran lain menampilkan wujudnya sebagai
pemusnah segala rintangan, kadangkala dalam wujud sedang menari. Ganesa muncul di Cina
dan Jepang dalam wujud yang menampilkan karakter wilayah yang berbeda. Di Cina Utara,
ada patung batu dari zaman awal yang dikenal sebagai Ganesa, disertai tulisan yang berangka
tahun 531.[90] Di Jepang, pemujaan terhadap Ganesa pertama kali disebutkan pada tahun 806.
[91]

Sastra agama Jaina (Jainisme) tidak menyebutkan adanya pemujaan terhadap Ganesa.
Namun, Ganesa dipuja oleh banyak umat Jaina, muncul sebagai pengambil alih fungsi
Kubera.[92] Hubungan Jaina dengan komunitas perdagangan mendukung gagasan bahwa
Jainisme mengambil tradisi pemujaan Ganesa sebagai akibat dari hubungan perdagangan.[93]
Patung Ganesa tertua versi Jaina ditaksir berasal dari abad ke-9.[94] Sebuah kitab Jaina dari
abad ke-15 memaparkan prosedur untuk memasang citra Ganapati.[95] Citra Ganesa muncul
dalam kuil Jaina di Rajasthan dan Gujarat.[96]

Catatan kaki
1. ^ Martin-Dubost, hal. 311–320.
2. ^ Getty, hal. 5.
3. ^ Narain, A. K. "Gaṇeśa: The Idea and the Icon" in Brown 1991, hal. 27
4. ^ For history of the development of the gāṇapatya and their relationship to the
wide geographic dispersion of Ganesha worship, see: Chapter 6, "The Gāṇapatyas" in:
Thapan (1997), hal. 176–213.
5. ^ Narain, A. K. "Gaṇeśa: A Protohistory of the Idea and the Icon". Brown,
hal. 21–22.
6. ^ For the derivation of the name and relationship with the gaņas, see: Martin-
Dubost. hal. 2.
7. ^ a b Apte, hal. 395.
8. ^ Krishan hal. 6
9. ^ Thapan, hal. 20.
10. ^ Narain, A. K. "Gaṇeśa: The Idea and the Icon". Brown, hal. 25.
11. ^ Thapan, hal. 62.
12. ^ Brown, hal. 175.
13. ^ See photograph 2, "Large Ganesh", in: Pal, hal. 16.
14. ^ Martin-Dubost, hal. 197–198.
15. ^ Pal, hal. 41–64.
16. ^ "Ganesha in Indian Plastic Art" and Passim. Nagar, hal. 101.
17. ^ Granoff, Phyllis. "Gaṇeśa as Metaphor". Brown, hal. 91.
18. ^ For an inconographical chart showing number of arms and attributes
classified by source and named form, see: Nagar, hal. 191–195. Appendix I.
19. ^ Krishan 1999, hal. 89
20. ^ Martin-Dubost, hal. 120.
21. ^ Martin-Dubost, hal. 202, For an overview of snake images in Ganesha
iconography.
22. ^ "The Colors of Ganesha". Martin-Dubost, hal. 221–230.
23. ^ Krishan, hal. 48, 89, 92.
24. ^ Maruti Nandan Tiwari and Kamal Giri, "Images of Gaṇeśa In Jainism", in:
Brown, hal.101-102.
25. ^ A Student's Guide to AS Religious Studies for the OCR Specification, by
Michael Wilcockson, pg.117.
26. ^ Krishan hal. 49–50.
27. ^ Martin-Dubost, hal. 231.
28. ^ Courtright, hal. 136.
29. ^ For Krishan's views on Ganesha's dual nature see his quote: "Gaṇeśa has a
dual nature; as Vināyaka, as a grāmadevatā, he is vighnakartā, and as Gaṇeśa he is
vighnahartā, a paurāṇic devatā." Krishan, hal. viii.
30. ^ For Dhavilkar's views on Ganesha's shifting role, see Dhavalikar, M. K.
"Gaṇeśa: Myth and reality" in Brown 1991, hal. 49
31. ^ Brown, hal. 6.
32. ^ Apte, hal. 703.
33. ^ Practical Sanskrit Dictionary By Arthur Anthony MacDonell; hal. 187
(priya); Published 2004; Motilal Banarsidass Publ; ISBN 81-208-2000-2
34. ^ Krishan 1999; hal. 60-70 discusses Ganesha as "Buddhi's Husband".
35. ^ Grimes, hal. 77.
36. ^ Chinmayananda, hal. 127. In Chinmayananda's numbering system, this is
upamantra 8.
37. ^ For examples of both, see: Grimes, hal. 79–80.
38. ^ a b Tantra Unveiled: Seducing the Forces of Matter & Spirit By Rajmani
Tigunait; Contributor Deborah Willoughby ; Published 1999; Himalayan Institute
Press; hal. 83; ISBN 0-89389-158-4.
39. ^ Translation. Courtright, hal. 253.
40. ^ Gupta, hal. 38.
41. ^ Getty 1936, hal. 33. "According to ancient tradition, Gaṇeśa was a
Brahmacārin, that is, an unmarried deity; but legend gave him two consorts,
personifications of Wisdom (Buddhi) and Success (Siddhi)."
42. ^ For associations with Śarda and Sarasvati and the identification of those
goddesses with one another, see: Cohen, Lawrence, "The Wives of Gaṇeśa", in:
Brown 1991, hal. 131–132.
43. ^ For associations with Lakshmi see: Cohen, Lawrence, "The Wives of
Gaṇeśa", in: Brown 1991, hal. 132–135.
44. ^ For discussion of the Kala Bo, see: Cohen, Lawrence, "The Wives of
Gaṇeśa", in: Brown 1991, hal. 124–125.
45. ^ Cohen, Lawrence. "The Wives of Gaṇeśa". Brown, hal. 130.
46. ^ K.N. Somayaji, Concept of Ganesha, hal. 1 as quoted in Krishan hal. 2-3
47. ^ Metcalf and Metcalf, hal. 150.
48. ^ Thapan, hal. 225. For Tilak's role in converting the private family festivals
to a public event in support of Indian nationalism.
49. ^ Brown (1991), hal. 9. For Ganesha's appeal as "the god for Everyman" as a
motivation for Tilak.
50. ^ For Tilak as the first to use large public images in maṇḍapas (pavilions or
tents) see: Thapan, hal. 225.
51. ^ Krishan hal. 92
52. ^ T.A.Gopinatha; Elements of Hindu Iconography, pp 47-48 as quoted in
Krishan hal. 2
53. ^ Nagar, hal. 4.
54. ^ a b Narain, A. K. "Gaņeśa: A Protohistory of the Idea and the Icon", in:
Brown, hal. 19.
55. ^ Thapan, hal. 75.
56. ^ Rocher, Ludo. "Gaņeśa's Rise to Prominence in Sanskrit Literature". Brown,
hal. 70–72.
57. ^ Thapan, hal. 20.
58. ^ Krishan, hal. vii.
59. ^ For a discussion of early depiction of elephant-headed figures in art, see
Krishan 1981–1982, hal. 287–290 or Krishna 1985, hal. 31–32
60. ^ Wilson, H. H. Ŗgveda Saṃhitā. Sanskrit text, English translation, notes, and
index of verses. Parimal Sanskrit Series No. 45. Volume II: Maṇḍalas 2, 3, 4, 5.
Second Revised Edition; Edited and Revised by Ravi Prakash Arya and K. L. Joshi.
(Parimal Publications: Delhi, 2001). ISBN 81-7110-140-9 (Vol. II); ISBN 81-7110-
138-7 (Set). RV 2.23.1 (2222) gaṇānāṃ tvā gaṇapatiṃ havāmahe kaviṃ
kavīnāmupamaśravastamam | 2.23.1; "We invoke the Brahmaṇaspati, chief leader of
the (heavenly) bands; a sage of sages."
61. ^ Nagar, hal. 3.
62. ^ Rocher, Ludo. "Gaņeśa's Rise to Prominence in Sanskrit Literature". Brown,
hal. 69. Bṛhaspati is a variant name for Brahamanaspati.
63. ^ For use of RV verses in recent Ganapatya literature, see Rocher, Ludo.
"Gaņeśa's Rise to Prominence in Sanskrit Literature" in Brown 1991, hal. 70.
64. ^ For text of Maitrāyaṇīya Saṃhitā 2.9.1 and Taittirīya Āraṇyaka 10.1 and
identification by Sāyaṇa in his commentary on the āraṇyaka, see: Rocher, Ludo,
"Gaņeśa's Rise to Prominence in Sanskrit Literature" in Brown 1991, hal. 70.
65. ^ Heras, hal. 28.
66. ^ Krishan 1981–1982, hal. 290
67. ^ Krishan 1999, hal. 12–15. For arguments documenting interpolation into the
Maitrāyaṇīya Saṃhitā.
68. ^ Brown, hal. 4.
69. ^ Winternitz, Moriz. "Gaṇeśa in the Mahābhārata". Journal of the Royal
Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1898:382). Citation provided by Rocher,
Ludo. "Gaņeśa's Rise to Prominence in Sanskrit Literature". Brown, hal. 80.
70. ^ For interpolations of the term vināyaka see: Krishan 1999, hal. 29.
71. ^ For reference to Vighnakartṛīṇām and translation as "Creator of Obstacles",
see: Krishan 1999, hal. 29.
72. ^ Brown, hal. 183.
73. ^ Krishan, hal. 103.
74. ^ For a review of major differences of opinions between scholars on dating,
see: Thapan, hal. 30–33.
75. ^ Preston, Lawrence W., "Subregional Religious Centers in the History of
Maharashtra: The Sites Sacred to Gaṇeśa", in: N. K. Wagle, ed., Images of
Maharashtra: A Regional Profile of India. hal. 103.
76. ^ R.C. Hazra, "The Gaṇeśa Purāṇa", Journal of the Ganganatha Jha Research
Institute (1951);79–99. R.C. Hazra, "The Gaṇeśa Purāṇa", Journal of the Ganganatha
Jha Research Institute (1951);79–99.
77. ^ Phyllis Granoff, "Gaṇeśa as Metaphor", in Brown, hal. 94–95, note 2.
78. ^ Thapan, hal. 30–33.
79. ^ Courtright, hal. 252.
80. ^ Nagar, hal. 175.
81. ^ Thapan, hal. 170.
82. ^ Thapan, hal. 152.
83. ^ Getty, hal. 55–66.
84. ^ Brown, hal. 182.
85. ^ Martin-Dubost, hal. 311.
86. ^ Getty, hal. 37–45.
87. ^ Getty, hal. 38.
88. ^ Nagar, hal. 185.
89. ^ Wayman, Alex (2006). Chanting the Names of Manjushri. Motilal
Banarsidass Publishers: hal. 76 . ISBN 81-208-1653-6
90. ^ Martin-Dubost, hal. 311.
91. ^ Martin-Dubost, hal. 313.
92. ^ Thapan, hal. 157.
93. ^ Thapan, hal. 151, 158, 162, 164, 253.
94. ^ Krishan, hal. 122.
95. ^ Krishan, hal. 121.
96. ^ Thapan, hal. 158.

Referensi
 Agrawala, Prithvi Kumar (1978), Goddess Vināyakī: The Female Gaṇeśa, Indian
Civilization Series, Varanasi: Prithivi Prakashan
 Apte, Vaman Shivram (1965), The Practical Sanskrit Dictionary, Delhi: Motilal
Banarsidass Publishers, ISBN 81-208-0567-4 (fourth revised and enlarged edition).
 Avalon, Arthur (1933), Śāradā Tilaka Tantram, Motilal Banarsidass Publishers,
ISBN 81-208-1338-3 (1993 reprint edition).
 Bailey, Greg (1995), Ganeśapurāna: Introduction, translation, notes and index,
Harrassowitz, ISBN 3-447-03647-8
 Bhattacharyya (Editor), Haridas (1956), The Cultural Heritage of India, Calcutta: The
Ramakrishna Mission Institute of Culture Four volumes.
 Brown, Robert (1991), Ganesh: Studies of an Asian God, Albany: State University of
New York, ISBN 0-7914-0657-1
 Chinmayananda, Swami (1987). Glory of Ganesha. Bombay: Central Chinmaya
Mission Trust.
 Courtright, Paul B. (1985), Gaṇeśa: Lord of Obstacles, Lord of Beginnings, New
York: Oxford University Press, ISBN ISBN 0-19-505742-2
 Danielou, Alain (1954), The meaning of Ganapati, Madras: The Adyar Library
bulletin
 Doniger, Wendy (1996), Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions,
Merriam-Webster, ISBN 0877790442
 Flood, Gavin (1996), An Introduction to Hinduism, Cambridge: Cambridge
University Press, ISBN 0-521-43878-0
 Getty, Alice (1936), Gaņeśa: A Monograph on the Elephant-Faced God (ed. 1992
reprint), Oxford: Clarendon Press, ISBN 81-215-0377-X Check |isbn= value (help).
 Grimes, John A. (1995), Ganapati: Song of the Self, SUNY Series in Religious
Studies, Albany: State University of New York Press, ISBN 0-7914-2440-5
 Gupta, Shakti M. (1988), Karttikeya: The Son of Shiva, Bombay: Somaiya
Publications Pvt. Ltd., ISBN 81-7039-186-5
 Heras, H. (1972), The Problem of Ganapati, Delhi: Indological Book House
 Jansen, Eva Rudy (1993), The Book of Hindu Imagery, Havelte, Holland: Binkey Kok
Publications BV, ISBN 90-74597-07-6
 Khokar, Ashish; S. Saraswati (2005), Ganesha-Karttikeya, New Delhi: Rupa and Co,
ISBN 81-291-0776-7
 Krishan, Yuvraj (1981–1982), "The Origins of Gaṇeśa", Artibus Asiae 43 (4): 285–
301, diakses 2007-09-11
 Krishan, Yuvraj (1999), Gaņeśa: Unravelling An Enigma, Delhi: Motilal Banarsidass
Publishers, ISBN 81-208-1413-4
 Krishna, Murthy, K. (1985), Mythical Animals in Indian Art, New Delhi: Abhinav
Publications, ISBN 0391032879
 Macdonell, Arthur Anthony (1996), A Practical Sanskrit Dictionary, Munshiram
Monoharlal Publishers, ISBN 81-215-0715-4
 Martin-Dubost, Paul (1997), Gaņeśa: The Enchanter of the Three Worlds, Mumbai:
Project for Indian Cultural Studies, ISBN 81-900184-3-4
 Mate, M. S. (1988), Temples and Legends of Maharashtra, Bombay: Bharatiya Vidya
Bhavan
 Metcalf, Thomas R.; Metcalf, Barbara Daly, A Concise History of India
 Nagar, Shanti Lal (1992), The Cult of Vinayaka, New Delhi: Intellectual Publishing
House, ISBN 81-7076-043-9 Check |isbn= value (help)
 Oka, Krishnaji Govind (1913), The Nāmalingānuśāsana (Amarakosha) of
Amarasimha: with the Commentary (Amarakoshodghāṭana) of Kshīrasvāmin, Poona:
Law Printing Press, diakses 2007-09-14.
 Pal, Pratapaditya (1995), Ganesh: The Benevolent, Marg Publications, ISBN 81-
85026-31-9
 Ramachandra Rao, S. K. (1992), The Compendium on Gaņeśa, Delhi: Sri Satguru
Publications, ISBN 81-7030-828-3
 Saraswati, Swami Tattvavidananda (2004), Gaṇapati Upaniṣad, Delhi: D. K.
Printworld Ltd., ISBN 81-246-0265-4
 Śāstri Khiste, Baṭukanātha (1991), Gaṇeśasahasranāmastotram: mūla evaṁ
srībhāskararāyakṛta ‘khadyota’ vārtika sahita, Vārāṇasī: Prācya Prakāśana. Source
text with a commentary by Bhāskararāya in Sanskrit.
 Śāstri, Hargovinda (1978), Amarkoṣa with Hindi commentary, Vārānasi:
Chowkhambā Sanskrit Series Office
 Thapan, Anita Raina (1997), Understanding Gaņapati: Insights into the Dynamics of
a Cult, New Delhi: Manohar Publishers, ISBN 81-7304-195-4
 Wilson, H. H. (1990), Rgveda-Samhita, Text in Devanagari, English translation
Notes and indices by H. H. Wilson, Ed. W.F. Webster, New Delhi: Nag
Publishers,11A/U.A. Jawaharnagar

Gallery
Gallery of free to use images




Pranala luar

Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai:


Ganesha

 (Inggris) Ganesh: Symbol and presence


 (Inggris) Ganesha: The Elephant-faced God

http://www.vedasastra.com/bhagavad-gita/

Bhagavad-gita
Sinopsis singkat Bhagavad-g?t?

BAB SATU

Meninjau tentara-tentara di medan perang kuruksetra


Tentara-tentara kedua belah pihak siap siaga untuk bertempur. Arjuna, seorang kesatria yang
perkasa, melihat sanak keluarga, guru-guru dan kawan-kawannya dalam tentara-tentara kedua
belah pihak siap untuk bertempur dan mengorbankan nyawanya. Arjuna tergugah
kenestapaan dan rasa kasih sayang, sehingga kekuatannya menjadi lemah, pikirannya
bingung, dan dia tidak dapat bertabah hati untuk bertempur.

BAB DUA

Ringkasan isi Bhagavad Gita

Arjuna menyerahkan diri sebagai murid kepada Sri Krishna, kemudian Krishna memulai
pelajaran-Nya kepada Arjuna dengan menjelaskan perbedaan pokok antara badan jasmani
yang bersifat sementara dan sang roh yang bersifat kekal. Sri Krishna menjelskan proses
perpindahan sang roh, sifat pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa
mementingkan diri sendiri dan ciri-ciri orang yang sudah insaf akan dirinya.

BAB TIGA

Karma-yoga

Semua orang harus melakukan kegiatan di dunia material. Tetapi perbuatan dapat mengikat
diri seseorang pada dunia ini atau membebaskan dirinya dari dunia. Seseorang dapat
dibebaskan dari hukum karma dan mencapai pengetahuan rohani tentang sang diri dan Yang
Maha Kuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Yang Maha Kuasa, tanpa
mementingkan diri sendiri.

BAB EMPAT

Pengetahuan Rohani

Pengetahuan rohani tentang sang roh, Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara sang roh
dengan Tuhan – menyucikan dan membebaskan diri manusia. Pengetahuan seperti itu adalah
hasil perbuatan bhakti tanpa mementingkan diri sendiri (karma yoga). Krishna menjelaskan
sejarah Bhagavad Gita sejak jaman purbakala, tujuan dan makna Beliau ketika menurun ke
dunia material, serta pentingnya mendekati seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan
dirinya.

BAB LIMA

Karma-yoga;

Perbuatan dalam Kesadaran akan Krishna

Orang bijaksana yang sudah disucikan oleh api pengetahuan rohani, secara lahiriah
melakukan segala kegiatan tetapi melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan dalam hatinya.
Dengan cara demikian, orang bijaksana dapat mencapai kedamaian, ketidakterikatan,
kesabaran, penglihatan rohani dan kebahagiaan.

BAB ENAM
Dhyana-yoga

Astangga-yoga, jenis latihan meditasi lahiriah, pengendalian pikiran dan indria-indria dan
memusatkan perhatian kepada Paramaman (Roh yang utama yang bersemayam di dalam
hati). Puncak latihan ini adalah samadhi. Samadhi berarti kesadaran sepenuhnya kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa.

BAB TUJUH

Pengetahuan tentang Yang Mutlak

Sri Krishna adalah Kepribadian Yang Paling Utama, Penyebab yang paling utama dan
kekuatan yang memelihara segala sesuatu, baik material maupun rohani. Roh-roh yang sudah
maju menyerahkan diri kepada Krishna dalam pengabdian suci bhakti, sedangkan roh yang
tidak saleh mengalihkan pikirannya kepada obyek-obyek sesembahan yang lain.

BAB DELAPAN

Cara mencapai kepada Yang Maha Kuasa

Seseorang dapat mencapai tempat tingal Krishna, Kepribadian Yang paling Utama, di luar
dunia material, dengan cara ingat kepada Sri Krishna dalam bhakti semasa hidupnya, dan
khususnya pada saat meninggal.

BAB SEMBILAN

Pengetahuan yang paling rahasia

Krishna adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tujuan tertinggi kegiatan sembahyang. Sang roh
mempunyai hubungan yang kekal dengan Krishna melalui pengabdian suci bhakti yang
bersifat rohani. Dengan menghidupkan kembali bhakti yang murni, seseorang dapat kembali
kepada Sri Krishna di alam rohani.

BAB SEPULUH

Kehebatan Tuhan Yang Mutlak

Segala fenomena ajaib yang memperlihatkan kekuatan, keindahan, sifat agung atau mulia,
baik di dunia material maupun di dunia rohani, tidak lain dari pada perwujudan sebagian
tenaga-tenaga dan kehebatan rohani Tuhan, Sri Krishna. Sebagai sebab utama segala sebab
serta sandaran dan hakekat segala sesuatu. Krishna, Tuhan Yang Maha Esa, adalah tujuan
sembahyang tertinggi bagi para mahluk.

BAB SEBELAS

Bentuk Semesta

Sri Krishna menganugrahkan penglihatan rohani kepada Arjuna. Krishna memperlihatkan


bentuk-Nya yang tidak terhingga dan mengagumkan sebagai alam semesta. Dengan cara
demikian, Krishna membuktikan secara meyakinkan identitas-Nya sebagai Yang Maha
Kuasa. Krishna menjelaskan bahwa bentuk-Nya sendiri yang serba tampan dan dekat dengan
bentuk manusia adalah bentuk asli Tuhan Yang Maha Esa. Seseorang dapat melihat bentuk
ini hanya dengan bhakti yang murni.

BAB DUA BELAS

Pengabdian suci bhakti

Bhakti-yoga, pengabdian suci yang murni kepada sri Krishna, adalah cara tertinggi dan paling
manjur untuk mencapai cinta bhakti yang murni kepada Krishna, tujuan tertinggi kehidupan
rohani. Orang yang menempuh jalan tertinggi ini dapat mengembangkan sifat-sifat suci.

BAB TIGA BELAS

Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan Kesadaran

Orang yang mengerti perbedaan antara badan, dengan sang roh dan Roh Yang Utama yang
melampaui badan dan roh, akan mencapai pembebasan dari dunia material.

BAB EMPAT BELAS

Tiga sifat alam material

Semua roh terkungkung dalam badan di bawah pengendalian tiga sifat alam material;
kebaikan, nafsu dan kebodohan. Sri Krishna menjelaskan arti sifat-sifat alam tersebut,
bagaimana sifat-sifat itu mempengaruhi diri kita, bagaimana cara melampaui sifat-sifat alam
sera cirri-ciri orang yang sudah mencapai keadaan rohani.

BAB LIMA BELAS

Yoga berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama

Tujuan utama pengetahuan Veda adalah melepaskan diri dari ikatan terhadap dunia material
dan mengerti Sri Krishna sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang mengerti
identitas Krishna yang paling utama menyerahkan diri kepada Krishna dan menekuni
pengabdian suci kepada Krishna.

BAB ENAM BELAS

Sifat rohani dan sifat jahat

Orang yang mempunyai sifat-sifat jahat dan hidup seska hatinya, tanpa mengikuti peraturan
Kitab Suci, dilahirkan dalam kehidupan yang lebih rendah dan diikat lebih lanjut secara
material. Tetapi orang yang memiliki sifat-sifat suci dan hidup secara teratur, dengan
mematuhi kekuasaan Kitab Suci, berangsur-angsur mencapai kesempurnaan rohani.

BAB TUJUH BELAS

Golongan-golongan keyakinan
Ada tiga jenis keyakinan, yang masing-masing berkembang dari salah satu di antara tiga sifat
alam. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang keyakinannya bersifat nafsu dan kebodohan
hanya membuahkan hasil material yang bersifat sementara, sedangkan perbuatan yang
dilakukan dalam sifat kebaikan, menurut Kitab Suci, menyucikan hati dan membawa
seseorang sampai tingkat keyakinan murni terhadap Sri Krishna dan bhakti kepada Krishna.

BAB DELAPAN BELAS

Kesempurnaan pelepasan ikatan

Krishna menjelakan arti pelepasan ikatan dan efek dari sifat-sifat alam terhadap kesadaran
dan kegiatan manusia. Krishna menjelaskan keinsafan Brahman, kemuliaan Bhagavad Gita,
dan kesimpulan utama Bhagavad gita; jalan kerohanian tertinggi berarti menyerahkan diri
sepenuhnya tanpa syarat dalam cinta bhakti kepada sri Krishna. Jalan ini membebaskan
seseorang dari segala dosa, membawa dirinya sampai pembebasan sepenuhnya dari
kebodohan dan kemungkian ia kembali ke tempat tinggal rohani Krishna yang kekal.

http://hinduismegue.blogspot.com/2012/11/sumber-sumber-pokok-kitab-suci-
hindu.html

Jumat, 16 November 2012


SUMBER-SUMBER POKOK KITAB SUCI HINDU

Kitab Itihasa,  Purana, Agama, Tantara, darsana dan kitab Upanisad


I.                   PENDAHULUAN
Sebagaimana di jelaskan bahwa sumber pokok ajaran hindu ada dalam weda yang
merupakan kitab utama,Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan
yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku
weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar
yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan
semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan
tumbuh menurut tafsir sebagaimana yang akan di jelaskan di makalah ini.
II.                Kitab Itihasa dan Purana

1.      Kitab Itihasa

Kitab Itihasa termasuk kelompok Upaweda. Kata Itihasa, berasal dari  iti-ha-asa,
artinya sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya. Nama Itihasa pada mulanya diberikan
oleh penulis kitab Mahabharata, pada bagian Adi Parwa, yaitu Bhagawan Byasa. Itihasa
adalah kitab epos atau wiracarita, yang menceritrakan sejarah perkembangan raja-raja dan
kerajaan Hindu di masa lampau. Itihasa merupakan karya sastra yang bersifat spiritual, di
mana ceritranya penuh fantasi, romantis,kewiraan dan mythologi.
Kitab Itihasa terdiri dari Ramayana dan Mahabharata Kitab Ramayana digubah oleh
Maharesi Walmiki. Kitab ramayana ini terdiri dari atas 48.000 baitnpenyusunya mungkin
pada abad ke 5 SM[1].

Kitab Ramayana merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Ramayana terdiri
dari 24.000 sloka dan memiliki tujuh bagian yang disebut Sapta Kanda. Setiap Kanda
merupakan buku tersendiri namun saling berhubungan dan melengkapi dengan Kanda yang
lain. Kitab Ramayana disusun oleh Rsi Walmiki.
Daftar kitab Ramayana:

a.       Balakanda
b.      Ayodhyakanda
c.       Aranyakanda
d.      Kiskindhakanda
e.       Sundarakanda
f.       Yuddhakanda
g.      Uttarakanda

Disamping Ramayana, lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh Maharesi
Wyasa. Isinya adalah kisah peperangan antara Pandhawa dengan Korawa dan kemenangan
ada dipihak Pandhawa. Njadi himpunan tertulis di dalam bentuk yang ada sekarang ini ialah
sekitar abad ke 2 SM satu hal yang menonjol adalha pembagian masyarakat menjadi 4 kasta .
Bersifat hirarkis vertikal yaitu brahmana, waisya, dan sudra, Kitab Mahabharata terdiri dari
18 Parwa disebut Astadasa Parwa.

Daftar Kitab Mahabarata:

1.      AdiparwaSabhaparwa 9.      Sauptikaparwa


2.      Wanaparwa 10.  Striparw
3.      Wirataparwa 11.  Santipa
4.      Udyogaparwa 12.  Anusasanapar
5.      Bhismaparwa 13.  Aswamedikaparwa
6.      Dronaparwa 14.  Asramawasikaparw
7.      Karnaparwa 15.  Mosalaparwa
8.      Salyaparwa 16.  Prasthanikaparwa
17.  Swargarohanaparwa

2.      Kitab Purana

Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan
kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno. Penulisan kitab-
kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana
yang disebut Mahapurana.
Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:

1.       Matsyapurana 10.  Garudapurana


2.      Wisnupurana 11.  Linggapurana
3.      Bhagawatapurana 12.  Padmapurana
4.      Warahapurana 13.  Skandapurana
5.      Wamanapurana 14.  Bhawisyapurana
6.      Markandeyapurana 15.  Brahmapurana
7.      Bayupurana 16.  Brahmandapurana
8.      Agnipurana 17.  Brahmawaiwartapurana
9.      Naradapurana 18.  Kurmapurana
Kitab purana  berisi tentang mitologi dan dongeng dongeng kuno yang hidup di
kalangan kesatria, sedangkan naskah purana  berisi tentang silsilah para dewa. Cerita ini
disampaikan oleh para sutra(juru bicara) pada waktu upacara korban di selenggarakan di
kerajaan, ternyata para brahmana telah mampu memasukan pengaruh dan pahamnya melalui
cerita-cerita ini yang sudah di bakukan. Di antara isinya yang terpenting adalah sarga, ajaran
penciptaan alam pada tahap mula, dan pratisarga, yaitu tentang terciptanya alam pada tahap
yang kedua[2].

Pada umumnya Purana memuat lima (5) hal yang menjadi corak khusus, yang disebut
Pancalaksana,yaitu:
a.       Sarga, yaitu penciptaan alam semesta.
b.      Pratisarga, yaitu penciptaan kembali dunia, setiap kali dunia yang ada itu lenyap.
Berlangsungnya dunia ini hanyalah satu hari Brahma.
c.       Wamsa, yaitu asal usul para dewa dan para Resi.
d.      Manwantarani, yaitu pembagian waktu satu hari Brahma dalam 14 masa. Dalam tiap-tiap
masa itu diciptakanlah manusia baru sebagai turunan Manu, manusia pertama.
e.       Wamsanucarita, yaitu  sejarah raja-raja yang memerintah di dunia.
III.             Kitab Agama Tantra dan Darsana
A.    Kitab Agama
Kitab-kitab agama mengajarkan penyembahan Tuhan dalam manifestasi tertentu. Ada
tiga macam kitab agama yaitu: Saiwa Agama, Waisnawa Agama, dan Sakta Agama. Saiwa
Agama mengantarkan orang pada ajaran Saiwa Sidhanta dan Pratyabhijna. Dalam ajaran
Saiwa Agama orang memuja siwa sebagai Tuhan yang tertingggi dalam bermacam-macam
wujud. Ajara kekuatan dewan Saiwa Sidhanta amat besar peranannya dalam perkembangan
Agama Hindu di Indonesia. Waisnawa Agama, Tuhan di puja sebagai Wisnu dan pada Sakta
Agama, Tuhan di puja sebagai Dewi, Ibu Dunia sebagai Sakti
B.     Kitab Tantra
Mengenai tantraada anggapan bahwa naskah atau kitab tersebut diberikan oleh shiwa
untuk agama hindu untuk zaman kali-yuga sekaranga ini (satu kalpa terbagi menjadi 1000
mahayuga dan ssetiap mahayuga terdiri dari empat yuga, yaitu krta-yuga, Trta yuga, Dvapara
yuga, Kali yuga) penyusuny dilakukan oleh para rhesi. Kitab ini penuh dengan ajaran-ajaran
rahasia dan sulit di pahami maksudnya. Pada garis besrnya isi kitab tantra tentang penciptaan
dunia, dan dialog antara siwa dengan sakti(istrinya) yaitu parawati yang menempati
kedudukan terpenting sebagai inti[3].

Kata Sansekerta dari Tantra artinya "memperluas", Berbeda dengan agama Hindu
pada umumnya, sebagian dari Tantra percaya kepada kenikmatan hidup material. Tidak
seorangpun mengetahui secara tepat kapan Tantra mulai atau Mahareshi mana yang
memulainya. Bukti menunjukkan bahwa Tantrisme ada selama zaman Weda. Bahkan
Sankara menyebut keberadaannya dalam bukunya Saundarya Lahari. Ada sekitar seratus
delapan buku mengenai Tantra. Tantrisme dan Saktiisme hampir satu dan sama. Dalam
Tantrisme, Istadewa yang dipuja adalah Siwa-Sakti, kombinasi dari Siwa dan saktinya
Parwati. Tantra adalah satu sistem dari praktek-praktek yang dipergunakan untuk
meningkatkan spiritual.

C.    Kitab Darsana

Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", menjadi kata
darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darsana
berarti pandangan tentang kebenaran.

Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar
dari Filsafat Hindu.   Kitab kitab yang lain yang khusus mengajarkan filsafat Hindu adalah
termasuk kelompok kitab Darsana. Kitab Darsana yang mengakui kekuasaan Weda dan
mendasarkan ajarannya pada Upanisad ada enam Darsana disebut Sad Darsana. Keenam
Darsana itu yaitu:
Samkhya, Yoga, Waisesika, Nyaya, Mimamsa dan Wedanta.

IV.             Kitab Upanisad

Uphanisad berisikan tentang bahasan yang mistik dan filosofis tentang brahman, dan
kejadian alam semesta, diri, jiwa dan atman serta cara memulangkan atman kedalam
brahman  Jumlahnya amat banyak, lebih dari 200 judul ada juga yang mengatakan jumlahnya
108 buah dan banyak di antaranya berasal dari jaman yang tidak terlalu tua, dari 108 hanya
16 yang di akui otentik yaitu: katha,isha, kena, prasna, anduka mandukya, taitriya,aitareya,
chandogya,bridahardayaka, kaivalaya, svetasvatara arsheya, satapatha, kaushitaki, dan
Jaiminiya[4].adapun penyusunanya terjadi di perkirakan antara tahun 600 dan 300 SM[5].

Adapun Kata Upanisad itu diturunkan dari kata Upa dan ni, artinya dekat, di
dekatkannya dan sad, artinya duduk. Jadi kata itu artinya duduk dekat artinya duduk di dekat
seorang guru untuk menerima daripadanya pandangan atau pengetahuan yang lebih tinggi[6].

Uphanisad juga merupakan kesimpulan dari kitab-kitab Aranyaka,karena itu upanisad


disebut Vedanta, Vedanta tidak hanya berarti akhir dari Veda tetapi uga merupakan puncak
tertinggi dari dari ajaran Veda. Kitab Upanisad memberikan pemaparan tentang rahasia
teringgi terhadap umat manusia.
V.                KESIMPULAN
Kitab itihasa  artinya sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya. Kitab Itihasa terdiri
dari Ramayana dan Mahabharata, sedngkan Purana berarti sejarah kuno atau cerita kuno
Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana

Kitab-kitab agama mengajarkan penyembahan Tuhan dalam manifestasi tertentu. Ada


tiga macam kitab agama yaitu: Saiwa Agama, Waisnawa Agama, dan Sakta Agama,  adapun
Kata Sansekerta dari Tantra artinya "memperluas" namun Pada garis besrnya isi kitab tantra
tentang penciptaan dunia, dan dialog antara siwa dengan sakti, Sad Darsana berarti Enam
pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu.

Sedangkan Uphanisad itu, artinya duduk di dekat seorang guru untuk menerima
daripadanya pandangan atau pengetahuan yang lebih tinggi, yang merupakan penyempurna
dari kitab veda adapaun  berisikan tentang bahasan yang mistik dan filosofis tentang
brahman, dan kejadian alam semesta, diri, jiwa dll.
Daftar Pustaka

  A.B Keith, The Religion and Philosophi of Veda and Upanisads.


  A.G Honig Jr. Ilmu Agama.(Jakarta: Gunung Mulia, 2005)
  Ali Mukti.Agama-Agama  di Dunia (Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga Press,1988)
  Sou’yb ,Joesoef. Agama-Agana Dunia.(Jakarta:PT. Al Husna Zikra1996)
  Umar, Munim.Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga Press,1989)
  Arifin, HM,Prof, M.Ed. Menguak Misteri Agama-Agama Besar.(Jakarta: pt golden Terayon
Press,1995)
.Sou’yb,Joesoef. Agama-AganaDunia.(Jakarta:PT. Al Husna Zikra1996)h.35]1[
Umar Munim,Drs,H.Agama-Agama di Dunia(Yogyakarta:IAINSunanKalijaga]2[
Press,1988). h.58
.Ali Mukti.Agama-Agama diDunia(Yogyakarta:IAINSunanKalijaga Press,1988). h.58]3[
.Ibid, h.31-32]4[
.A.B Keith, The Religion and Philosophi of Veda and Upanisads, h. 489  ]5[
.A.G Honig Jr. Ilmu Agama.(Jakarta: GunungMulia, 2005).h.110]6[
Diposkan oleh Innani Musyarofah di 06.56
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

SEJARAH AGAMA HINDU; PERIODE WEDA ZAMAN BRAHMANA DAN


UPANISHAD

A.       PENDAHULUAN Dari kitab-kitab suci Weda dapat diketahui perkembangan


agama Hindu menurut corak dan pandangan hidupnya, ya...

Kitab Suci ( Sruti dan Smriti ), Kitab Brahmana dan Kitab Anyaraka

       I.             Pendahuluan Dalam agama Hindu ada kepercayaan bahkan agama itu
“diwahyukan” melalui “orang-orang yang meliha...

 Asal Usul Nama Hindu dan Sejarah India Kuno

      I.              India adalah negeri yang serba ganda, ganda dalam suku bangsa, ganda
dalam budaya, dan ganda dalam soal kepercay...

Sejarah Agama Hindu; Interaksi dengan Peradaban Dravida, Arya dan Peradaban dan
agama lembah sungai Indus

I.       Pendahuluan Sebelum mengupas habis tentang Agama Hindu, terlebih dahulu
kita perlu membicarakan bangsa yang menganut dan...

 SUMBER-SUMBER POKOK KITAB SUCI HINDU

Kitab Itihasa,  Purana, Agama, Tantara, darsana dan kitab Upanisad I.                   
PENDAHULUAN Sebagaimana di jelas...
 SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU

I.                    Pendahuluan             Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman,


merupakan asal dari semua yang adayang pernah ada ...

 PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI

1.      Pendahuluan Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat
dalam   Gerakan Kemerdekaan India . Dia adalah  ...

 PERKEMBANGAN AGAMA HINDU SETELAH ZAMAN AGAMA BUDDHA

A. Pendahuluan Secara garis besar perkembangan agama Hindu dapat dibedakan


menjadi tiga tahap [1] . Tahap pertama sering disebut d...

 SAD DARSANA; FILSAFAT SAMKHYA

1.              Pendahuluan Dewasa ini agama Hindu telah menjadi agama besar dunia
yang tidak hanya menghasilkan seorang Dayananda...

 FILSAFAT WAISESIKA; 7 UNSUR ALAM

Vaishesika dan Nyaya Darsana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat
dan hakekat sang Diri dan teori atom alam semes...

Labels
 Ajaran (11)
 Kitab Suci (2)
 Link (8)
 Makalah (1)
 Sejarah (16)
 Tokoh (5)
 Videos (7)

Blog Archive
 ▼  2012 (27)
o ►  Desember (1)
o ▼  November (26)
 MAHATMA GANDHI
 MOKSA
 Hindu Dharma, Sanàtana Dharma dan Vaidika Dharma
 Karakteristik Hindu Dharma
 SEJARAH AGAMA HINDU
 Hinduism - 1
 Hinduism - 5
 Hinduism - 4
 Hinduism - 3
 Hinduism - 2
 Hinduism Real History - Part 1
 History of Hindu
 List of Hindu Websites
 ASTHANGA YOGA
 SUMBER-SUMBER POKOK KITAB SUCI HINDU
 GURU NANAK DAN AJARAN-AJARANNYA
 FILSAFAT WEDANTA
 PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI
 PERKEMBANGAN AGAMA HINDU SETELAH ZAMAN AGAMA
BUDDH...
 Kitab Suci ( Sruti dan Smriti ), Kitab Brahmana da...
 Asal Usul Nama Hindu dan Sejarah India Kuno
 SAD DARSANA; FILSAFAT SAMKHYA
 SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU
 Sejarah Agama Hindu; Interaksi dengan Peradaban Dr...
 FILSAFAT WAISESIKA; 7 UNSUR ALAM
 SEJARAH AGAMA HINDU; PERIODE WEDA ZAMAN
BRAHMANA D...

Mengenai Saya

Innani Musyarofah Lihat profil lengkapku

Jumat, 16 November 2012


FILSAFAT WAISESIKA; 7 UNSUR ALAM

Vaishesika dan Nyaya Darsana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat
dan hakekat sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula bahwa Vaishesika
merupakan tambahan dari filsafat Nyaya, yang memiliki analisa pengalaman sebagai obyektif
utamanya.
Jika ke empat sistem pemikiran India lainnya (samkhya, yoga, purva-mimamsa, dan
vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam arti bahwa mereka menjelaskan alam semesta
sebagai satu kesatuan menyeluruh, maka sistem Nyaya-vaishesika mewakili tipe filsafat
analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem nyaya adalah
penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis.
Sistem Nyaya dan Vaishesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang
ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi
pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. Bagian yang
logis dan fisik menjadi ciri utama dalam tradisi Nyaya-Vaishesika. Sistem Nyaya menjelaskan
mekanisme pengetahuan secara mendetail serta berargumen melawan skeptisisme yang
menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Sedangkan sistem Vaishesika memiliki tujuan untuk
menganalisis pengalaman.
Vaishesika  yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke dalam
Sad Darsana agaknya lebih tua dibandingkan dengan filsafat Nyaya. Waisesika muncul pada
abad ke-4 SM, dengan tokohnya ialah Kanada (Ulaka).[1]  Sistem ini juga dikenal sebagai
Aulukya darsana dan juga dengan nama Kasyapa dan dianggap seorang Deva-rsi.(I Wayan
Maswinara, 2006 : 142)
Buku karyanya adalah Waisesika-Sutra yang merupakan sumber dari dengan Nyaya,
sehingga banyak para filosof  menyebutnya Nyaya-Waisesika.
Tujuan pokok Vaishesika bersifat metafisis.  Isi pokok ajarannya menerangkan
tentang  Dharma, yaitu apa yang memberikan kelepasan yang menentukan.[2]
Sistem  filsafat vaisesika mengambil nama dari kata Visesa yang artinya  kekhususan, 
yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang
diuraikan didalamnya adalah  kekhususan  Padartha atau kategori yang nanti akan disebutkan
secara lebih terperinci.(I Wayan Maswinara, 2006 : 141)
Sistem filsafat ini terutama dimaksudkan untuk menetapkan tentang Padartha , tetapi
rsi Kanada membuka pokok permasalahan dengan sebuah pengamatan tentang intisari dari
Dharma, yang merupakan sumber dari pengetahuan inti dari Padartha. Sutra pertama
berbunyi : ”YATO BHYUDAYANIHSREYASA SIDDHIH SA DHARMAH” – artinya,
Dharma adalah yang memuliakan dan memberikan kebaikan tertinggi atau Moksa
(penghentian dari penderitaan).
Padartha , secara harfiah artinya adalah : arti dari sebuah kata ; tetapi di sini padartha
adalah satu permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padartha merupakan suatu objek
yang dapat dipikirkan (artha) dan diberi nama (Pada). Semua yang ada, yang dapat di amati
dan di namai, yaitu semua objek pengalaman adalah Padartha. Benda-benda majemuk saling
bergantung dan sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan
bebas.
Padartha dan Vaisesika darsana, seperti yang disebutkan oleh rsi Kanada sebenarnya
hanya 6 buah kategori, namun satu katagori ditambahkan oleh penulis-penulis berikutnya,
sehingga akhirnya berjumlah 7 katagori (padartha),[3] yaitu :
1.      Substansi (drawya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur
lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Substansi (drawya) dapat menjadi
sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawya dapat menjadi tidak ada pada
apa yang dihasilkannya. Contoh : tanah sebagai substansi telah terdapat pada periuk yang
terjadi dari tanah.
Jadi tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu
tidak dapat terjadi tanpa substansi (tanah). Demikian pula halnya kategori lain tidak dapat ada
tanpa substansi (zat) seperti :beraneka ragam minuman tidak dapat terjadi tanpa air (zat cair),
tapi air dapat ada walaupun tidak adanya bermacam-macam minuman.
Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Waisesika yaitu : (1) Tanah (prthivi);
(2) Air (apah,   jala); (3) Api (tejas); (4) Udara (vayu); (5) Ether (akasha); (6) Waktu (kala);
(7) ruang (dik); (8) diri (atman); (9) pikiran (manas). Semua substansi tersebut diatas riel,
tetap dan kekal. Namun hanya udara, waktu, akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari
sembilan itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang
berlaku terhadap semua yang ada di alam ini baik bersifat physik maupun yang bersifat
rohaniah.
Adapun yang termasuk substansi badani (physik) adalah : bumi, air, api, udara, ruang,
waktu dan akasa. Sedang yang tergolong substansi rohaniah terdiri dari akal (manas/pikiran),
diri (atman/jiwa). Kedua substansi rohaniah ini bersifat kekal dan pada setiap mahluk
(manusia) hanya terdapat satu jiwa dan satu manas. Demikianlah pribadi (diri/atma) itu
bersifat individu dan menjadi sumber kesadaran setiap mahluk yang senantiasa berhubungan
dengan kegiatan badani (physik). Setiap pribadi (atma) memiliki manas tersendiri yang
dipakai sebagai alat untuk mengenal dan mengalami segala sesuatu melalui alat physik
termasuk juga dipakai sebagai alat untuk mencapai kebebasan. Namun di lain pihak manas
juga diakui dapat menyebabkan kelahiran kembali.
Oleh karena setiap mahluk (manusia) di jiwai oleh pribadi (jiwa/atma). Maka
pandangan Waisesika terhadap jiwa adalah riil dan pluralis, yaitu jiwa itu benar-benar ada
dan tak terbatas jumlahnya.
2.      Kualitas (guna).
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guna sesungguhnya nyata dan
terpisah dari benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi
yang diberi sifat.[4]
Guna atau sifat-sifat atau ciri-ciri dari substansi yang jumlahnya ada 24, yaitu : (1)
warna (rupa) ; (2) rasa (rasa); (3) bau (gandha); (4) sentuhan/raba (sparsa); (5) jumlah
(samkhya); (6) ukuran (parimana); (7) keaneragaman (prthaktva); (8) persekutuan (samyoga);
(9) keterpisahan (vibhaga); (10) keterpencilan (paratva); (11) kedekatan (aparatva); (12)
bobot (gurutva); (13) kecairan/keenceran (dravatva); (14) kekentalan (sneha); (15) suara
(sabda); (16) pemahaman/pengetahuan (buddhi/jnana); (17) kesenangan (sukha); (18)
penderitaan (dukha); (19) kehendak (iccha); (20) kebencian/keengganan (dvesa); (21) usaha
(prayatna); (22) kebajikan/manfaat (dharma); (23) kekurangan/cacat (adharma); dan (24) sifat
pembiakan sendiri (samskara). Sejumlah 8 sifat yaitu : buddhi/jnana, iccha, dvesa, sukha,
dukha, dharma, adharma dan prayatna merupakan milik dari roh, sedangkan 16 lainnya
merupakan milik dari substansi material.[5]
3.      Aktifitas (karma).
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur
dan kualitas, namun juga memiliki realitas mandiri.[6]
Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya substansi yang bersifat terbatas
saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya. Sedangkan substansi yang tak terbatas (atma,
hawa nafsu dan akasa) tidak dapat bergerak karena telah memenuhi segala yang ada.
Gerakan-gerakan dari benda-benda di alam ini bukan bersumber dari dirinya,
melainkan ada sesuatu yang berkesadaran yang menjadi sumber gerakan itu. Benda-benda
hanya dapat menerima gerakan dari sesuatu yang berkesadaran. Bila terlihat kenyataan yang
terjadi di alam ini seperti adanya hembusan angin, peredaran bumi dan planet-planet, maka
tentu ada sumber penggerak yang adikodrati. Sumber yang adikodrati itulah Tuhan.
Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini, maka Tuhan Maha mengetahui
segala gerak dan perilaku benda-benda di alam ini. Termasuk mengetahui benar perilaku
(karma) manusia.
Ada 5 macam gerak, yaitu : (1) Utksepana (gerakan ke atas); (2) Avaksepana
(gerakan  ke bawah); (3) A-kuncana (gerakan membengkok); (4) Prasarana (gerakan
mengembang); (5) Gamana (gerakan menjauh atau mendekat).[7]
4.      Universalia (samanya).
Samanya, bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu : (i) sifat umum
yang lebih tinggi dan lebih rendah (ii) jenis kelamin dan spesies.
[8]                                                                                                                                                  
                                                                                   
Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan konsep universalia dan agak mirip dengan
idenya Plato. Ia ada dalam semua dan dalam masing-masing objek, namun tidak berbeda
dalam objek partikular yang berbeda. Karena nya ide ‘kesapian’ adalah tunggal dan tidak
dapat dianalisis. Ide itu selalu hidup, tetapi tidak dapat dimengerti melalui dirinya sendiri,
namun hanya melalui seekor ‘sapi’ khusus. Walaupun tampak bersama, namun ‘sapi’ dan
‘kesapian’ dipahami sebagai dua entitas berbeda. Dari universalia-universalia ini, ‘Ada’
(Being, Satta) adalah yang tertinggi, karena ia memberikan ciri pada banyak sekali entitas.[9]
5.      Individualitas (visesa).
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek
lainnya. Sistem Vaishesika diturunkan dari kata ‘Visesha’, dan merupakan aspek objek yang
mendapat penekanan khusus dari para filsuf  Vaishesika. Kategori ini berurusan dengan ciri-
ciri khusus ke sembilan substansi (dravyas). Dalam sistem Vaishesika, unsur tanah, air, api,
udara, dan pikiran dibangun dari atom (paramanu), sedangkan eter, ruang, waktu dan jiwa
dianggap sebagai substansi sangat khusus tanpa dimensi atau visibilitas.[10]

6.      Hubungan Niscaya (samavaya).


Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-
kualitasnya yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (samyoga) atau
permanen (samavaya). Samyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan
tangan yang memegangnya. Hubungan selesai ketika buku dilepaskan dari tamgan. Di sisi
lain, samavaya adalah sebuah hubungan yang tetap dan hanya berakhir ketika salah satu di
antara keduanya dihancurkan.  Ada lima jenis hubungan yang tetap dan entitas yang tetap
atau tidak terpisahkan ini (ayuta-siddha):
(i)                 Hubungan keseluruhan dengan bagian-bagiannya, seperti sehelai kain dan benang-
benangnya.
(ii)               Hubungan kualitas dengan objek yang memilikinya, seperti kendi air dan warna merahnya.
(iii)             Hubungan antara tindakan dan pelakunya, seperti tindakan melompat dan kuda yang
melakukannya.
(iv)             Hubungan antara partikular dengan yang universal, ibarat satu jenis sapi dengan seekor sapi
atau bangsa jepang dan seorang jepang.
(v)               Hubungan antara substansi kekal dan substansi khusus. Menurut sistem Vaishesika, partikel
subatomis (paramanu) setiap substansi abadi memiliki ciri-ciri khusus yang tidak
membiarkan atom dari satu substansi bercampur dengan atom substansi lainnya. Ciri khusus
(Visesha) dipertahankan oleh partikel subatomis masing-masing melalui ‘hubungan tak
terpisahkan’ (samavaya).[11]

7.      Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhava).


Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel
subatomis terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan
(nothingness). Semua benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava,
sedangkan entitas yang sudah tidak ada digolongkan sebagai abhava. Sebenarnya kategori ini
bukan merupakan sebuah klasifikasi seperti kategori lainnya, namun hanya modus
pengaturan negatif.
Abhava, yang merupakan kategori ke 7, ada 4 macam, yaitu :
(i)                 Pragabhava,  yaitu ketidak adaan dari suatu benda sebelumnya ; contohnya : ketidak adaan
periuk sebelum dibuat oleh pengrajin periuk.
(ii)               Dhvansabhava, yaitu penghentian keberadaan, misalnya periuk  yang dipecahkan; dimana
dalam pecahan periuk itu tak ada periuk.
(iii)             Atyantabhava, atau ketidak adaan timbal balik, seperti misalnya udara yang dari dulu tidak
pernah berwarna atau pun berbentuk.
Ketiga ketidak adaan ini disebut sebagai Samsarga-bhava, yaitu ketidak adaan suatu benda
dalam benda yang lain.
(iv)              Anyonyabhava, atau ketidak adaan mutlak , dimana antara benda yang satu sama sekali
tidak ada persamaannya dengan yang lain, seperti sebuah periuk yang tidak sama dengan
sepotong pakaian, demikian pula sebaliknya.[12]

[1]   Yayasan Dharma Sarathi. TATTWA DARSANA , hal. 30.


[2]  Hadiwijono, H. Sari Filsafat India , hal. 58.
[3] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), hal. 143.
[4] Yayasan Dharma Sarathi Jakarta.Tattwa Darsana, hal. 32.
[5] Maswinara, I Wayan. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha), hal.143-144.
[6] Ali, Matius. Filsafat India : sebuah pengantar Hinduisme & Buddhisme, hal. 36.
[7] Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144.
[8] Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144.
[9] Hiriyanna, M. Outline of Indian Philosophy, hal.233.
[10] Ali, Matius. Ibid, hal. 37.
[11] Ali, Matius. ibid, hal. 38.
[12] Maswinara, I Wayan. Ibid, hal. 144-145.
  
Diposkan oleh Innani Musyarofah di 06.02

Jumat, 16 November 2012


SEJARAH AGAMA HINDU; PERIODE WEDA ZAMAN BRAHMANA
DAN UPANISHAD

A.      PENDAHULUAN
Dari kitab-kitab suci Weda dapat diketahui perkembangan agama Hindu menurut corak dan
pandangan hidupnya, yang dibedakan menjadi beberapa jaman, yaitu jaman Weda, jaman
Brahmana, jaman Upanisad, dan jaman Tantrayana. Namun pada makalah ini hanya
membahas dua jaman saja, yaitu jaman Brahmana dan jaman Upanisad.      

B.       ZAMAN WEDA (VEDIC PERIOD)


a.    Zaman Brahmana
Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna(sesaji) dan upacara-
upacaranya, yang meliputi arti suatuyajna serta tenaga ghaib apa yang tersimpul dalam
upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan cermat sekali menurut
peraturan-peraturannya. Penyimpangan sedikit saja dari peraturan-peraturan itu dapat
menyebabkan batal dan tidak sahnya suatuyajna.
Untuk yajna yang demikian pentingnya dan upacara-upacara yang begitu rumit,
diadakanlah kitab-kitab penuntun, yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua macamnya
sesuai dengan adanya dua macam yajna, yaitu:
-    Grhyasutra, yang merupakan penuntun untuk yajna-yajna kecil dalam lingkungan keluarga
-  Srautasutra, yang merupakan penuntun untuk yajna-yajna besar dalam lingkungan raja-raja
dan negara.[1]
Pada zanman ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, diantaranya yaitu:
1. Kaum pendeta
Pendeta adalah sesepuh agama atau orang yang mengerti dalam suatu hal yang berbau agama.
Dalam agama Hindu pendeta adalah orang yang suci sekaligus orang yang paling dekat
dengan para dewa-dewa.  
2. Korban
Pergeseran penting dalam hal korban ialah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada
korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung
pada kekuatan yang addidalam korban itu sendiri, tidak tergantung pada kemurahan dewa
tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam
korban tersebut. Dalam hal ini pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan
dalam hal persembahan sebuah korban.[2]
Dalam kitab Brahmana dan kitab Weda korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua
macam korban, yaitu:
-       Korban besar
Korban besar ini menggunakan empat macam api suci dan dilakukan oleh para pendeta atas
permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini disebut
dengansomayajna. Salah satu somayajna ialah korban kuda (Aswameda). Setiap raja
berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai ujian bagi kekuasaan dan
kekuatannya.Dengan korban ini ia akan menjadi seorang Cakrawartin, raja seluruh alam
semesta, pencipta perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan.Seperti halnya dalam agama
Weda, korban dalam agama Brahmana ini juga dilakukan oleh empat orang pendeta yang
dibantu oleh pembantu masing-masing. Pendeta adwaryumenyelenggarakan kurban dengan
mengucapkan lafal-lafal yang diambil dari Yajurweda. Korban besar diuraikan dalam
Srautra-Sutra.
-       Korban kecil
Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya-Sutra. Korban ini hanya memerlukan
kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh di setiap rumahtangga. Api
tersebut dibuat oleh kepala keluarga begitu ia membentuk rumahtangga. Nityatermasuk
korban kecil yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti permulaan musim baru,
bulan muda, bulan purnama, waktu menyemaikan benih dan waktu permulaan panen, dan
kurban untuk para pitara.Upacara korban tersebut sebenarnya bukan lagi merupakan upacara
agama yang sebenarnya. Korban di sini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada
manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang
bersifat magis saja.

3. Kasta
        Agama Brahmana mengenal adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta),
Ksatria (pemegang tampuk pemerintah), Waisya(pekerja), dan Sudra (rakyat biasa).
Sebenarnya dalam Rigwedahanya ada dua “varna”saja, yaitu Arya Varna (kulit kuning) dan
Dasyu Varna (kulit hitam).Jumlah kasta itu sendiri sebenarnya sangat banyak. Menurut
Bleeker, sistem ini berpangkal pada keempat golongan tua dari suku Arya,yaitu dari
golongon pendeta Brahmana, golongan perwira(ksatria),golongan pedagang atau petani
(waisya),dan golongan buruh atau budak (sudra).Di luar keempat kasta ini masih ada lagi
suatu kasta atau golongan yang tidak boleh di dekati atau disentuh, yaitu kasta
Paria(outcast).E.A.Gait mengatakan bahwa pada umumya bangsa Arya tidak suka akan
perkawinan antar suku, tidak suka makan bersama denga suku yang lebih rendah apalagi
dengan yang berkulit hitam. Akan tetapi, akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri
sehingga terpaksa kawin dengan orang–orang pribumi. Jelas bahwa anak-anakmereka iniakan
di anggap lebih rendah status sosial mereka. Demikianlah keturunan kedua telah
menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dan bangsa pribumi, yaitu orang-orang yang
berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian menimbulkan adanya prinsip dasar
peraturan catur varna (empat kasta) adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak
diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya, seorang laki-laki harus hanya kawin dengan
wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.
[3]

4. Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan
hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat
tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu
upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai anggota kasta, serta
siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak
tadi akan  meninggalkan rumah orang tunya dan menetap sebagai siswa (sisya)di kediaman
seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainya. Ia harus
tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan harus
mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalanya dia akan menerima
pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci. Kalau sudah selesai, anak
segera pulang dan kawin. Mulaiah ia memasuki tingkatan kedua, Grhasta, yang dimulai
dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan
di rumah. Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh
langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami
sambil mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap
dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami-istri. Ia menjadi kepala
keluarga yang bertanggungjawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban
terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus
melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan mayasarakat. Tingkatan ketiga
adalah Vanaprastha(kehidupan di hutan,vana=hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang
harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai
kepala keluaraga diserahkan kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama
istrinya supaya memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai
kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya
mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin,
yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih hidup di
dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalah dunia sehingga
kesempatan untuk mencapai moksa.[4]

5. Dewa-dewa
Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan saat ini dewa-dewa dalam kitab suci Veda,
khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lain, nampaknya tidak dipuja lagi. Mengapa hal
tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada
zaman kitab-kitab Purana disusun tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya digantikan
oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Murti. Dewa Agni
diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh
Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri
diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan
“parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula
pengiringnya) mendapat pujaan yang khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud tertentu, dimaksudkan untuk lebih mudah
membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang didambakan oleh umat kepada-Nya. Selanjutnya
disampaikan penggambaran dewa-dewa dalam Veda,  di antaranya sebagai berikut:[5]
1. Dyaus
Dewa Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa dan merupakan dewa
tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu. Di dalam mantram Veda
dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal sebagai dewa yang paling berkuasa
atas surga. Di dalam mantram pujian (stava) Dyaus sering dikaitkan dengan Prithivi sehingga
terbaca Dyavaprthivi,sebagai lambang bapak-ibu yang bersifat paternal. Nama Dyaus di
dalam Rgveda terbaca tidak kurang dari 50 kali. Ia digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan
energik yang mengajarkan kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra
Rgveda, ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia digambarkan
dalam bentuk fisik yang kekar, berewok. Ia disebut Dyaus Pitar yang berarti bapak Sorga.
Dalam bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Zeuspitar
atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata div (memancarkan sinar atau cahaya) yang
artinya sama dengan dewa.
2. Prthivi
Dewi Perthivi adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang sangat ramah dan
merupakan dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali di dalam kitab Veda
(Rgveda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah bumi. Ia
dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura ia disebut melahirkan seorang putra yang
bernama Bhoma (Neraka), dalam Ramayana, ia disebut menjelma sebagai Sita. Nama lainya
adalah : Vashundari, Ksitidharani dan lain-lain.

3. Aditi dan Aditiya


Aditi selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut sebagai dewi yang
memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu alam semesta, Hiranyagarbhah
dalam Rgveda. Ia disebut maha pengampun, melenyapkan dosa manusia. Dalam Regveda
dinyatakan Aditi lahir dari Daksa, tetapi versi yang lain menyatakan bahwa Daksa adalah
putra dewi Aditi. Versi yang lainnya menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa,
ibu dari Vivasit. Aditiya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa
yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai
kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam
semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum dunia. Ia bersemayam di langit, di alam
yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan materi sebagai mantra (elemen).
4. Agni (dewa api)
Agni sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Surya. Di dalam mantram pertama,
Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Rgveda, Agni disebut Purohita para devata
dan penganugrahkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ia disebut sebagai saksi yang tetap eksis
sampai kini dalam setiap pemujaan umat Hindu. Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta,
sebagai pemberi berkah, sebagai akhil Veda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain
sebagainya menyebabkan Agni tetap dimulyakan.
5. Surya
Surya adalah dewa matahari, ia  dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Rgveda x. 7. 3),
matanya Mitra dan Varuna, sebagai dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti
telah disebutkan di depan adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah
saudaranya perempuan. Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya
dihubungkan dengan matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa Surya
berwarna merah tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan
ketakutan, dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat perlindungan
diseluruh penjuru (NilarudraUpanisad I.9).    Dan masih banyak lagi dewa-dewi  dalam Veda
di Antaranya: Varuna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma, Visvakarma, Yama, Rudra,
Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga, Ganesa, Sri Laksmi.[6]       
Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa corak ke Tuhanan Hinduisme
adalah poytheisme yang infinitive (tidak terbatas) di dalam mana dewa-dewa digambarkan
secara fantastis dalam bentuk manusia biasa atau pun luar biasa, yang dipatungkan.[7]

6. Sutra-sutra
Sutra yang artinya petunjuk.[8] Kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri
dari 2 macam kitab sebagai berikut :[9]
a) SrautraSutra: berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/ kurban-kurban yang wajib dikerjakan
oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
-       Raja Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
-       Aswameda ialah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai tanda kebesaran
raja (sabagai maha raja).
-       Purushameda yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).
b) Gerha-Sutra : ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari :
-       Nitya yaitu kurban wajib diakukan setiap hari oleh kepala kelurga terhadap roh-roh nenek
moyang (pitana)
-       Naimittika ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian
ini ada hubungannya dengan periode hidup manusia (samskara) misalnya pada saat kelahiran,
pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan sebagainya.
-       Upanayana ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur
8-12 tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara ialah
upacara kematian yang berupa pembakaran mayat. 

b.   Zaman Upanishad


Istilah Upanishad sendiri berasal dari kata upa, ni dan shad:upani: dekat, di dekatnya
dan shad = duduk. Jadi Upanishad berarti duduk dekat, yaitu duduk di dekat seorang guru
untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi. Istilah iniselanjutnya menjadi
nama agama. Kitab Upanishad berbentuk dialog antara seorang guru dan muridnya, atau
antara seorang Brahmana dengan Brahmana lainnya. Kitab Upanishad adalah salah satu
bagian saja dari kitab-kitab Aranyaka, yang isinya menekankan pada ajaran rahasia yang
bersifat mistik atau magis.
Kegiatan keagamaan di jaman Upanisad lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang
Brahman dan segala ciptaan-Nya. Pandangan yang menonjol di dalam kitab-kitab Upanisad
itu adalah ajaran yang monistis dan absolut, artinya ajaran yang mengajarkan bahwa segala
sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu asas, satu Realitas yang tertinggi.[10]
Lima pokok ajaran pada zaman Upanishad:
1. Brahman
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brahman dalam Upanishad dengan
pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahman berarti do’a dan
kemudian kekuatan goib yang terkandung dalam do’a.[11]
Brahman adalah sumberalam semesta. Brahman adalah pencipta, yang menjadikan alam
semesta ini. Brahman yang transcendent (Nirguna Brahman) yang berada di luar alam
semesta dan jauh di atas alam semesta itu, adalah juga Brahman yang immanent (Saguna
Brahman) yang berada di alam semesta dan di dalam diri manusia yang disebut Atman.
2. Atman
Atman adalah jiwa individu. Dan Brahman adalah jiwa yang universal. Atman bukan
jasmani, bukan indrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat
terdalam dari jiwa individu itu sendiri.[12]Karena itu Upanisad mengajarkan: Tat twam asi
yang berarti: Itu (Brahman) adalah kamu (atman). Oleh karena atman setiap orang adalah
sama-sama merupakan percikan-percikan kecil dari Brahman, maka tat twam asi dapat
diartikan : saya adalah kamu.[13]
3. Karma
Upanisad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik
manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang
dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat 
dari perbuatan sebelumnya.
Hubungan antara ajaran karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa
merupakan hal yang penting dalam ajaran Upanisad. Vamedawa telah mengembangkan
ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia mati
pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia.
4. Reinkarnasi
Reinkarnasi adalah kelahiran kembali.[14] Reinkarnasi adalah perputaran kalahiran kembali.
[15] Hanya manusia yang telah  mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja
yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa.
5. Moksa
Moksa adalah pencerahan dan keterlepasan dari keterbatasan.[16] Moksa yaitu kelepasan,
dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan
berhak disebut sebagai jiwanmukta.[17]

C.      KESIMPULAN
Bahwasanya pada jaman Brahmana itu memuat atau menguraikan tentang masalah
sesaji kepada dewa-dewa dan upacara-upacaranya, serta berkaitan dengan tenaga gaib yang
tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya, sedangkan pada jaman Upanisad hanya memuat 
berbagai ajaran yang membahas tentang ajaran ketuhanan (Bramawidya) yang merupakan
dasar kehidupan beragama Hindu. Dan lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang
Brahman dan segala citaannya.

Daftar Pustaka
Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita,
2002
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet. Ke-1
Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU. Surabaya: Paramita,
2003
Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon
Press, 1986
Viresvarananda Svami. Brahma Sutra Pengetahuan Tentang Ketuhanan. Surabaya: Paramita,
2004
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet.

[1] Ardhana Suparta.Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia.Surabaya:


Paramita, 2002. h. 11-12
[2] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet.
Ke-1. h. 68   
[3]Ibid. h. 70-71
[4]Ibid. h. 71-72
[5] Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU.Surabaya: Paramita,
2003. h. 165
[6]Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU. Surabaya: Paramita,
2003. h. 171
[7] Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden
Terayon Press, 1986. h. 65
[8]Viresvarananda Svami. Brahma Sutra Pengetahuan Tentang Ketuhanan.Surabaya:
Paramita, 2004. h. 3
[9] Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: Golden
Terayon Press, 1986. h. 60
[10]Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya:
Paramita, 2002. h. 14
[11]Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet.
Ke-1. h. 73
[12]Ibid.74
[13]Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya:
Paramita, 2002. h. 15
[14] Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer.Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet. I
[15]Ibid. h. 75
[16] Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer.Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet. I
[17] Ibid. h. 75

Diposkan oleh Innani Musyarofah di 05.49


Jumat, 16 November 2012
SEJARAH AGAMA HINDU

Label: Sejarah

PENGANTAR
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang
pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu
diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah
agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu
pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan
pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu
sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai
sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu
diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan
upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai
dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang
polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta
merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman
yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan
penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta
pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

AGAMA HINDU DI INDIA

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni
Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-
benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang
tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu
peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa.
Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah
dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa. 
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu,
sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah
Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi,
mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya.
Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan
Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai
pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas
kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum
brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman
Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab
Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata
Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci
Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji
saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka
tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah
agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang
tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak
jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama
"Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan
semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari
sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di


Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi
dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu
menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan
akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke
Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.


Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa
masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang
dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).


Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para
pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka
mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya.
Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang
berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)


Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran
agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang
dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke
Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang
menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai
Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya
dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):


Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura
suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)


Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya.
Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau,
diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal
kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena
mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan
adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya
tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan
keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu
didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain
menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja
dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya
jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja
Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur
kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di
Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun,
Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa
Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja
Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan
dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa
Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa
Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan
Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti
Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih
muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi,
Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf
Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra
Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan
Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8
Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi,
merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu
berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota
Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara
besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para
Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan
Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua
kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri
Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian
sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah
kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban
agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab
Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari
(tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari
sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar
meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan
perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci
Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-
8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra
Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal
dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan
datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup
besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui
Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam
Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan
sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad
ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem
Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha
(Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula
dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan


sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita
Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja,
Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun
1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar
dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember
tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang
menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada
tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan
bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang
selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
Source: http://www.parisada.org/

Jumat, 16 November 2012


MOKSA

Dalam agama Hindu kita percaya adanya Panca Srada yaitu lima keyakinan yang terdiri dari, Brahman, Atman,
Karma Pala, Reinkarnasi, dan Moksa. Moksa berasal dari bahasa sansekreta dari akar kata "MUC" yang artinya
bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau
kebahagian rohani yang langgeng. Jagaditha dapat juga disebut dengan Bukti artinya membina kebahagiaan,
kemakmuran kehidupan masyarakat dan negara.

Jadi Moksa adalah suatu kepercayaan adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman.
Kalau orang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan
bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran,
kebahagian).

Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa
semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam
kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebesan asal persyaratan2 moksa dilakukan, jadi
kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal.

Mencapai Moksa.

Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses
mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam mencapai
Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

1. Dharma.

Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan dari
kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan
kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan
bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna
mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban
dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi
oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.

Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan
keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap
sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman
dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman
mempunyai karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga
latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerochanian yang
baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk Dwapara latihan kerochanian yang baik
adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian
yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama
Tuhan yang suci.

2. Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa

Untuk mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu
yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan
cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat
menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan
sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala
permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.

3. Kesucian.

Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman
dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir
Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati,
tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.

Setiap kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang Widhi
Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja
demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut
mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi
Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.

Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para
atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah
tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat
manusia (jagadhita).

Ciri2 orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.


1. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
3. Tidak terikat dengan keduniawian.
4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).

Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan2 tergantung dari karma (perbuatannya) selama
hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran2 agama Hindu. Tingkatan2 seseorang yang telah
mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut.

1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.

2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi
meninggalkan bekas2 misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.

3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak
membekas disebut Parana Moksa.

Catur Marga.

Untuk mencapai Moksa beberapa cara yang dapat ditempuh sesuai dengan bakat dan bidang yang digeluti saat
ini yang disebut dengan Catur Marga ada juga yang menyebutkan dengan Catur Yoga yaitu empat jalan yang
ditempuh untuk mencapai Moksa. Adapun keempat Catur Marga terdiri dari :

1. Jnana Marga Yoga.

Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan dalam pembangunan
nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha sekuat tenaga dengan
menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK, siapa yang menguasai IPTEK maka
merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga
berasal dari urat kata YUJ yang artinya menghubungkan diri.

Jadi Janana Marga Yoga artinyga jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan
Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan
pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai
dengan bakat yang diberikan oleh Sangyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan
yang sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah yang
sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi sebagai manusia.
Apabila kita ingin mengabdi kan diri dibidang ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan adalah ilmu pengetahuan
yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi kehidupan ini.

Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut.

Pada zaman sekarang banyak manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang
belum diketemukan obatnya seperti AID, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu
kedokteran tidak dapat mengejar penyakit 2 yang timbul dalam masyarakat, peralatan rumah sakit masih
menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita sampai sekarang masih cukup
tinggi.

Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus menerus melakukan penelitian atau Research And
Development (R&D) sehingga semua kesulitan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan
diketemukan obat2 yang mujarab. Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut
dengan Jnana Marga Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.

2. Karma Marga Yoga.

Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu
berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri
(amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita
sebagai umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan
masyarakat banyak dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau
kita selalu berpikir hasilnya akan timbul keterikatan2, kalau keterikatan2 telah tumbuh dalam
jiwa kita, maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni
oleh Sad Ripu yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada,
Moha,Kroda, Matsarya (napsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan,iri hati). Didalam
Bhagawad Gita disebutkan bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan
tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu.
Tujuan Krisna memberikan wejangan kepada Arjuna agar jangan melihat hasil nya adalah,
kita sebagai pelaku benar2 dalam bekerja semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi
Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan maka ini
disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang sudah dapat melakukan pekerjaan
tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar2 bijaksana (Stithaprajna),
yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau gembira dan sedih.

Perbuatan adalah karma , setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan mati dalam karma, karma
sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya
karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam kehidupan merupakan masalah yang sangat penting.

Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.

Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang menyebabkan jarum
jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan tenaga, manusia tidak dapat
berbuat apa apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga
(batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling
panjang disebut jarum detik, jarum yang menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek
disebut jarum jam. Ketiga jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan
satu sama lainnya, tetapi masing2 jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.

Apabila jarum detik telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat
jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya dengan
menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma (perbuatan), untuk gerakan
jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum jam kita umpamakan adalah
kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus kita harus selalu berbuat (berkarma) baik,
setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan
kebaikan tersebut sehingga kita merasa senang.

Apabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat (karma) baik
terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab karma (perbuatan),
perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar saling ketergantungan satu sama
lainnya.

Makin banyak kita ber karma baik maka perasaan dan kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran
jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam Kebahagian
akan dicapai dalam kehidupan ini apabila kita selalu berkarma baik

3. Bakti Marga Yoga.

Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan Tuhan dengan
melakukan sujud bakti kehadapan Yang Widhi Wasa. Bakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat
tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti
Marga Yoga dengan menyanyikan nama2 Tuhan secara ber ulang2, bergaul dengan orang2 Suci yang
mempunyai bakti, konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah
dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga kali sehari.

Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Yang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai kecil dididik mengucapkan
Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing2 bait, sehingga meresap dalam pikiran
mereka dan dapat menuntun ajaran2 kebenaran (Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan
usahakan dengan suara yang lembut sehingga benar2 meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan
Brahman ada dalam pikiran dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan
selalu melantunkan Gayatri Mantra terus menerus , maka kita seolah olah menyatu dengan Tuhan atau
bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan dan
kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di Pura2 diseluruh Indonesia,
masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan) secara baku, dimanapun kita
melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra Gayatri selalu dilantunkan sebelum
persembahyangan dimulai.

Pada saat Pendeta melakukan upacara piodalan juga dinyanyikan lagu2 warga sari sebagai pemujaan
kehadapan Yang Widhi Wasa yang mempunya makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita
sudah mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman.

4. Raja Marga Yoga.

Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata, Yoga, dan Semadi.
Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan2 untuk mengatasi Sadripu disebut dengan Tapa, Brata,
sebab apabila Sadripu kita sudah dapat kendalikan maka jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping
mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan latihan2 untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang
disebut dengan Yoga dan Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan
suasana syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.

Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.

Didalam suatu pesraman di Hutan rimba ada seorang resi yang bernama Resi Suka yang memberikan dharma
wecana kepada murid2nya yaitu yoga, semadi diantara murid2 nya ada seorang raja bernama raja Jenaka.Raja
Jenaka disamping mempunyai kerajaan yang sangat besar dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual
(Yoga,semadi) kepada Resi Suka yang sangat terkenal ilmu spiritualnya. Banyak ujian2 yang diberikan kepada
para siswanya agar dapat mencapai moksa dalam kehidupan ini dengan meninggalkan keduniawian dengan
melepaskan semua keterikatan2 sehingga Atman menyatu dengan Brahman.Pada suatu hari Resi Suka agak
terlambat memberikan dharma wecana sehubungan Raja Jenaka ada keperluan kerajaan yang sangat
mendesak yang tidak boleh diwakili. Resi Suka dengan sengaja menunggu Raja Jenaka, ingin menguji
kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang sad ripu sebagai dasar pelajaran Yoga.

Dari pengamatan Resi Suka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan kadang2 timbul marah tidak sabar
menunggu sampai ada yang protes bahwa pelajaran dimulai saja, mengapa kita di beda2kan orang biasa
dengan raja Setelah raja datang dharma wecana baru dimulai dan resi Suka memberikan wejangan, kita harus
dapat mengendalikan sad ripu sehingga kita dapat ketenangan bathin. Setelah dharma wecana selesai maka
pelajaran dilanjutkan dengan yoga, semadi, dan pelajaran ini harus dilakukan dengan konsentrasi pikiran secara
penuh.

Dengan suasana hening sepi hanya suara jengkrik yang kedengaran, para muridnya sedang asyik melakukan
yoga semadi, tiba2 Resi dengan berteriak bahwa sedang ada kebakaran di kota kerajaan, murid2nya pada bubar
berlari lari pergi ke kota kerajaan ingin menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi raja Jenata
tidak bergeming sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan Semadi, beliau berbahagia dalam Atman.

Resi mengamati wajah raja dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid2 yang lari kembali bahwa
dikota tidak ada kebakaran dan resipun memberikan penjelasan arti dari peristiwa tersebut. Penundaan mulainya
dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah menghapuskan keakuannnya
kebanggaannya dan mempunyai kerendahan hati dan melatih mengendalikan sadripu dan berhasil dengan baik
dan ini perlu dicontoh oleh semua muridnya. Dan peristiwa kebakaran di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah
terjadi, peristiwa kebakaran adalah rekayasa Resi dan ini merupakan ujian dari Resi Suka.Kalau mau berhasil
sebagai seorang spiritual (Yogi) harus berani melepaskan semua keduniawian yaitu keterikatan2, tanpa ada
kemauan untuk menghilangkan keterikatan2 ini tidak mungkin tercapai tujuannya yaitu sebagai seorang Yogi.

Semua latihan2 ini membutuhkan ketekunan, tulus iklas, kesujudan iman dan tanpa pamerih. Pada akhir2 ini
banyak generasi muda sudah melakukan latihan2 Yoga dan Semadi, dan buku2 penuntun untuk yang baru
memulai belajar Yoga dan Semadi sudah cukup banyak beredar di toko2 buku, dan suasana ini sangat
membantu bagi umat hindu untuk belajar masalah spiritual melalui Raja Marga Yoga.

Diantara keempat Marga Yoga tersebut diatas semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi
kedudukannya, umat Hindu dapat memilih dari keempat Marga Yoga tersebut tergantung dari bakat masing2 dan
jalan yang satu akan berhubungan dengan yang lain semuanya akan mencapai tujuan yang sama yaitu Moksa.

Penutup.

Menjalankan Spiritual dalam kehidupan sehari hari sering mengalami kendala, banyak
pertanyaan2 yang timbul terutama generasi muda, apakah kita melakukan kegiatan spiritual
harus mengurangi kegiatan untuk mencari harta yaitu bekerja (karma). Ada juga yang
berpendapat bahwa melakukan kegiatan spiritual sebaiknya dilakukan setelah MPP (masa
persiapan pensiun) disamping banyak waktu juga tanggung jawab atau kewajiban sudah
berkurang. Pada saat bekerja aktif dimana ada suatu jabatan tidak memungkinkan untuk
melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan dengan pekerjaan2 yang kadang
menyimpang dari Dharma akibat tugas yang membutuhkan untuk mengambil keputusan
sesuai dengan kebutuhan atasan (manajemen. Pada hal pada saat menjabatlah memanfaatkan
kesempatan untuk menegakkan Dharma yaitu kebenaran2, setiap keputusan yang diambil
harus menguntungkan masyarakat banyak. Kadang2 banyak orang yang tidak sabar dalam
mengumpulkan harta dalam bidang pekerjaannya dengan mengambil jalan pintas yaitu KKN
(korupsi, kolusi, nep
otisme), pada hal dalam mengumpulkan harta tidak harus ber KKN banyak jalan atau cara
yang ditempuh asal mau sabar dan tetap berlandaskan Dharma. Banyak orang kaya tanpa
KKN tetapi mereka berhasil dalam bidang profesinya dan hasil kekayaannya mereka
manfaatkan untuk orang banyak dengan mendirikan Yayasan untuk orang yang tidak mampu
(fakir miskin) atau mendirikan Sekolah2 yang dapat menunjang Pendidikan bangsa demi
masa depan rakyat Indonesia.

Untuk mencapai moksa dapat memilih diantara Catur Marga Yoga apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma
Marga Yoga, Bakti Marga Yoga dan Raja Marga Yoga sesuai dengan kemampuan serta bidang yang digeluti
saat ini Pada saat perang Berata Yuda selesai dimana kemenangan berada dipihak Pandawa, semua musuh2
sudah kalah perang tinggal Pendawa yang hidup. Yudistira sebagai pemimpin Pandawa memutuskan pergi
kehutan untuk mengasingkan diri dengan maksud mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa dengan Raja
Marga Yoga salah satu Catur Marga Yoga. Arjuna sebagai orang yang bijaksana yang mempunyai Visi dan Misi
jauh kedepan menganjurkan kepada Prabu Yudistira agar kembali untuk memimpin kerajaan, siapa yang akan
memimpin kerajaan, seandai nya semua keluarga Pandawa pergi kehutan, padahal untuk mencapai
kemenangan perang Brata Yuda dalam menegakkan Dharma sudah banyak pengorbanan baik jiwa maupun
raga, banyak pahlawan2 yang telah berguguran dalam perang.

Untuk mencapai moksa tidak harus pergi kehutan melakukan Semadi, Yoga, didalam
kerajaanpun dengan berbuat dan menegakkan kebenaran yaitu Dharma dapat mencapai
Moksa.
Keterikatan adalah Moha, kebebasan adalah Moksa, selama kita masih menderita keterikatan,
Moksa tidak mungkin dapat dicapai. Kadang2 kita agak sulit melepaskan keterikatan2, dan
ini memerlukan latihan2 secara rutin. Untuk mengendalikan Sad Ripu saja tidak mudah,
membutuhkan kesabaran dan ketekunan dan kita selalu melakukan introspeksi terhadap diri
kita sendiri sampai dimana kita telah melakukan latihan2. Apalagi kita akan melakuan Catur
Marga Yoga memang membutuhkan mental yang tangguh tidak mudah menyerah dan kita
harus tahu kemampuan kita terutama bakat yang dikarunia oleh Yang Widhi Wasa sehingga
dalam melaksanakan salah satu Catur Marga kita tidak mendapat halangan atau kendala
sehingga dengan waktu yang relatif singkat kita sudah dapat melakukan dengan sempurna
walaupun belum mencapai Moksa tetapi kita sudah rasakan hasilnya.

Oleh: T.G. Putra

Source: http://www.parisada.org 

Jumat, 16 November 2012


SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU

Label: Ajaran
I.                   Pendahuluan
            Tuhan Yang Maha Esa adalah Brahman, merupakan asal dari semua yang adayang
pernah ada dan yang akan ada, baik yang bersifat nyata (sekala) amaupun yang sersifat tidak
nyata (niskala). Alam semesta jagad raya ini adalah ciptaan Tuhan, sebagai wujud nyata akan
kemaha beradaan Tuhan. Alam semesta jagad raya ini sangat luas bahkan tiada ujung akhir
dan pangkalnya, namun ada di dalam Tuhan. Sejauh-jauh kita memandang, sejauh apapun
kita menghayalkan tentang luasnyaalam semesta ini, masih tetap tak terbayangkan. Dilangit
kita melihat bintang dengan ggugusannya, diatas bintang masih ada langit dengan gugusan
bintang-bintangnya. Miliaran bintang baik yang terlihat maupun yang tidak dapat dilihat,
galaksi yang nampak sebagai gugusan bintang-bintang,  dan planet-planet yang mengorbit
pada masing-masing bintang atau tata surya itu tidak terlihat karena jaraknya yang sangat
jauh. Alam semesta yang penuh rahasia dengan luas yang tiada batasnya ini mengandung
rahasia Ilahi yang tak terjangkau oleh alam pikir manusia, walau dibantu dengan tehnologi
secanggih apapun. Demikian maha agung dan maha luasnya alam semesta jagad raya ini
sebagai wujud nyata adanya Sang Pencipta Yang Maha Agung yang menciptakan segala yang
ada di alam semesta ini.
            Setelah memahami kemaha agungan Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya bagaimana
metode mendekatkan diri kehadapan-Nya, sehingga keberadaan Tuhan betul-betul dirasakan
dan rasa sujud bakti selalu menggema dalam diri. Banyak jalan yang ditempuh oleh umat
manusia untuk melakukan pendekatan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak agama
dengan sekte-sektenya dan aliran kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat
manusia mendekatkan diri dan menempuh jalan ketuhanan. Secara bersama-sama dalm
kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun aliran kepercayaan
melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai jenis acara dan upacara. Seperti dalan
agama Hundu muncul beberapa Sekte yang dikenal dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte
Siwa, Sekte Sakti  
II.                Sekte-sekte dalam Agama Hindu
a.       Sekte Bhakti
Sekitar tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau
kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa. Pemujaan
dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya kadang-kadang
dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan bunga-bungaan
kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara mengitari kuil-kuil tertentu. Puja
dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat dan sikap badan tertentu, seperti sikap
merebahkan dan meniarapkan diri di dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-
tempat yang dianggap suci lainnya sambil mengucapkan beberapa doa.[1]
Urain tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra.
Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat di
India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu “pengetahuan” dan juga
bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan “sistem keagamaan”, tetapi
merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti
adalah “pasrah” setulus-tulusnya (prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi
tetapi hanya kepada “dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya. Karena itu
barang kali ada benarnya kalau dari pengertian di atas dikatakan bahwa bhakti lebih tinggi
daripada meditasi falsafi.[2]
Wujud bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan
rasa bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya:[3]
Menghormati adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua
ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun tidak nyata. Kita patut saling hornat menghormati
sesama makhluk hidup, sesama ciptaan Tuhan yang mana masing-masing ciptaan-Nya itu
telah memiliki hukumnya masing-masingyang seharusnya berjalan selaras dengan perputaran
roda hukumnya masing-masing.
Memuja adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan
kepada kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat ketuhananyang
memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini. Puji-pujian yang dikidungkan dalam
pemujaan adalah untuk ymenyenangkan yang dipuja, mewujudkan rasa senang dan rasa
tenang dalam kebahagiaan.
Berdoa adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan
kehadapan-Nya. Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita wajib berdoa agar diberkati dan
diampunu segala dosa serta kekurangan- kekurangan kita.berdoa adalah sebagai wujud
rendah hati, sebagai wujud  kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia.
Menyembah adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan
tulus dan penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.
b.      Sekte Wisnu
Sekte ini lebih mmengutamakan pemujaan kepada dewa Wisnu karena dewa ini
sangat sympatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang berdasar pada perasaan  bhakti
(cinta).
Pandangan pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan
Bhaktinya ialah yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya,
karena itu cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala
kebaikan bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab Purana
Didalam kitab tersebut diceritakan bagaimana manifestasi can kebaikan bhakti Wisnu
dalam usahanya menolong ummat manusia dari segala bentuk kehancuran dan kejahatan.
Dengan jelma (melakukan avatara) menjadi berbagai makhluk ajaib dalam 10 rupa, maka
kehancuran dan kejahatan dapat dihindari.
Kesepuluh avatara tersebut adalah:[4]
(1)   Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir besar melanda
dunia yang akan menenggelamkannya.
(2)   Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk samudera
guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana diminum orang akan
mengalami hidup kekal abadi.
(3)   Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang tidak bisa
dibunuh olehsiapapun.
(4)   Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi yang pada
saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh manusia.
(5)   Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang bernama
Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
(6)   Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang
menyebarkan ilmu palsu.
(7)   Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak) membunuh beberapa
kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas penghinaan tersebut.
(8)   Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan belantara, dimana
ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka (Rahmana) yang berwatak rakus
dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama dapat membunuh Rahwana serta
dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang Rama tersebut diuraikan dalam kitab
Ramayana).
(9)   Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang mengalami
kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
(10)  Kresnavatara, sebagai Kresna yang kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura
kemenakan Kresna).
Semua avatara Wisnu tersebut merupakan salah satu gambaran simbolis yang
mencerminkantentang kebenaran kepercayaan Wisnuisme kepada adanya “juru selamat” di
dunia dan manusia dari kehancuran hidupnya.
Wisnu biasanya dibedakan menjadi 4 sampradaya pokok atau sekte, diantaranya yang
sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira
pertengahan abad ke-12. Para Pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta
inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja atau Sri Sanpradayin atau Sri Waisnawa.
[5]

c.       Sekte Siwa


Penganut Hindu dari sekte Siwa meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk
pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra
yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.[6]
Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta
untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut:

1. Om Ang Prasada Kala Siwaya namah


2. Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
3. Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
4. Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
5. Om Ang Suksma Siwaya namah
6. Om Ang Anta-kala Siwaya namah
7. Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
8. Om Ang Parama Siwaya namah
9. Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
10. Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
11. Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
12. Om Ang Sada Siwaya namah
13. Om Ang Parama Siwaya namah
14. Om Ang Sunia Siwaya namah

Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra Catur Dasa Siwa ingin
mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian bawah tubuh sampai ke bagian
atas tubuh, yakni:

1. Mantra nomor 1 untuk kaki kanan


2. Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
3. Mantra nomor 3 untuk perut
4. Mantra nomor 4 untuk pusar
5. Mantra nomor 5 untuk hati
6. Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
7. Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
8. Mantra nomor 8 untuk mata kanan
9. Mantra nomor 9 untuk mata kiri
10. Mantra nomor 10 untuk telinga kanan
11. Mantra nomor 11 untuk telinga kiri
12. Mantra nomor 12 untuk sela-sela alis
13. Mantra nomor 13 untuk ujung hidung
14. Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun

Pemeluk-pemeluk aliran ini sangat optimis terhadap kebulatan kekuasaan dewa Siwa
ini, karena ia dipercayai dapat menjelma menjadi berbagai bentuk kedewataan yang
menggambarkan akan kekuasaannya yang besar. Kekuasaannya meliputi: penentuan hidup
dan matinya manusia dan kekuasaannya adalah yang tertinggi diantara dewa-dewa.
Pada masa permulaan Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana
halnya Wisnu. Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan
tangan empat. Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada
dewa atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi
dewa Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan suka
membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya sebagai guru, dia
disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat (cemara) dan tasbih
( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi Mahakala, maka watak serta
sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas merusak apa yang dikehendaki dan kejam.
Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda (amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak),
Trisula (lembing dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[7]
Jadi keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi
yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian
mereka memberikan korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah pimpinan
pendeta-pendetanya.
d.      Sekte Sakti
Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai bagian dari aliran Siwa, tetapi
karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa melainkan saktinya dalam bentuk Darga,
dan karena lebih luasdan lebih mendalam, maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu
aliran keagamaan tersendiri dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang
menyebabkan Siwa mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat
apa-apa karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting daripada
Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif dengan prinsip aktif.
Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[8]
Persatuan antara Siwa dan Saktinyaadalah persatuan antara laki-laki dan perempuan,
yang dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti yang
ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta melalui persatuan
tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti Siwa. Bentuk-bentuk tertentu
dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada yang tidak baik. Hanya orang yang tidak
mengerti saja yang beranggapan bahwa ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru,
karena anggapan itu hanya didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai
kebenaran dan kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan
ini. Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran bahwa
segala sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua adalah baik.[9]
e.       Sekte Tantra
Aliran ini dalan usaha mencapai Nirwana lebih mementingkan cara penbacaan
manter-mantera rahasia dan membebaskan ruang gerak hawa nafsu. Dalam kitab Tantrisme
yang disebut kitab “AGAMA” dan “TANTRA” dinyatakan bahwa “Hendaknya manusia
jangan mengekang hawa nafsunya tetapi sebaliknya hawa nafsu harus dibebaskan dan diberi
kepuasan. Dengan demikian, maka jiwa manusia menjadi merdeka dari segala tekanan-
tekanan psikisnya”.
Cara-cara yang ditempuh ialah menjalankan 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya:
makan ikan sebanyak-banyaknya. Mada: meminum tuak sebanyak mungkin. Mansa: makan
daging sebanyak-banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya.
Akhirnya Mauethua: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[10]
Dengan kepuasan nafsu tersebut, manusia dapat melepaskan diri dari samsara.
Adapun sistem ajaran Tantrayana tersebut diberikan dalam bentuk percakapan antara Siwa
dengan Durga (isteri Siwa).

III.             Kesimpulan
Sebagai yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, dalam agama hindi juga
terdapat aliran-aliran atau Sekte-sekte yang masing-masing mempunyai konsep tersendiri
dalam nenanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting daripada ajaran
pokoknya.
Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I 1988.
Arifin. Menguak Misteri Alaran Agama-agama Besar.
Madra, I Ketut. Tuhan Siva dan Pemujaannya. Surabaya: Paramita, 2007
Parbasana, I Noman. Panca Sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan yang Universal. Denpasar:
Widya Dharma, 2009
Sivananda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003
http://stitidharma.org/pemujaan-siwa/

[1] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
[2] Ibid., hal., 76
[3] I Nyoman Parbasan. Panca sradha: Sebagai Dasar Kepercayaan (Denpasar: Widya Dharma, 2009) h. 65
[4] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986) h. 84
[5] Sri Swami Siwanada. Intisari ajaran hindu (Surabaya: PARAMITA, 2003) h. 144
[6] http://stitidharma.org/pemujaan-siwa/. 200912 01:55
[7] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1086) h. 86
[8] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[9] H.A. Mukti Ali.  Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[10] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press) h. 88
Diposkan oleh Innani Musyarofah di 06.10

Jumat, 16 November 2012


Kitab Suci ( Sruti dan Smriti ), Kitab Brahmana dan Kitab Anyaraka

Label: Kitab Suci

       I.            Pendahuluan

Dalam agama Hindu ada kepercayaan bahkan agama itu “diwahyukan” melalui
“orang-orang yang melihat” , yang disebut Resi. Karena Resi adalah orang-orang yang telah
“mendengar”, pengetahuan tadi lalu sering disebut dengan “sruti”. Apa yang didengar
biasanya lalu dijadikan teks-teks, yang adakalanya disebut dengan mantra-mantra yang
sangat dipentingkan dalam melakukan meditasi; juga sering dikatakan sebagai “kemampuan
menyelamatkan akal pikiran”.
Kitab dalam agama Hindu adalah tulisan keagamaan yang paling tua dan dan paling
besar didunia. Sangatlah sulit untuk mengklasifikasikan dan menyatakan kapan kitab-kitab
ini ditulis dengan benar karena terdapat banyak penulis yang terlibat dalam kurun waktu
ribuan tahun. Dan juga, kebiasaan yang ada pada zaman dahulu bahwa seorang penulis tidak
akan menuliskan nama mereka pada hasil karyanya yang juga mempersulit masalah ini.
Namun, semua  itu tidak menyurutkan niat penulis untuk membuat makalah ini. Dan
untuk memudahkan pembaca dalam memahami materi  tersebut, penulis berusaha
menerangkan sesuai kemampuan penulis.

     II.            Kitab Suci

a)      Kitab Sruti ( Weda )


Kitab Sruti termasuk kitab utama dari agama Hindu yaitu Weda. Weda mengajarkan
ajaran tertinggi yang diketahui oleh manusia, dan membentuk sumber yang mutlak dalam
Agama Hindu. Kata Veda diambil dari kata “Vid” yang berarti “mengetahui”. Sruti dalam
bahasa sanskerta berarti “apa yang didengar”.[1] Veda ini adalah kebenaran yang abadi
dimana pengamat weda, yang disebut dengan para Resi, yang mendengar wahyu ini ketika
mereka melakukan meditasi yang mendalam. Weda bukanlah hasil dari pemikiran manusia,
tetapi ungkapan apa yang disadari melalui persepsi intuisi oleh para Resi Weda, yang
memiliki kekuatan yang dianggap berasal dari Tuhan.
Kaum Resi menerima wahyu ini atau mendengarnya, dan kemudian direkam dalam
empat Weda. Weda-weda tersebut adalah Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa
Weda. Wahyu ini dimunculkan dalam kesadaran para guru, dan pengalaman-pengalaman,
intuisi-intuisi mereka, apa yang mereka dengarkan tentang Yang Ilahi dimuat dalam teks
empat kitab Weda tersebut. Wahyu Weda, dan oleh karenanya Weda sendiri dirujuk sebagai
Sruti, atau “yang didengarkan”; ini kemudian ditambah dengan Smriti, atau “kenangan” yaitu
tradisi.[2]
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang disebut Weda
Samhita, yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma. Hanya para resi saja yang mampu
menerima isi Weda tersebut. Isi Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian
disusun dalam bentuk puji-pujian. Keempat Kitab Suci Weda Samitha tersebut yaitu:[3]
1)      Rig Weda. Rigweda berasal dari kata “rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-
pujian kepada para dewa dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi
dalam beberapa bait. Bagian akhir Rig Weda membicarakan perawatan orang mati,
pembakaran dan penguburannya. Menurut umat Hindu, Rig Weda ini sangat penting .
didalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan agama yang monoteistis dengan falsafah
yang monistik. Arah monoteisme tersebut muncul sekitar Dewa Prajapati, tuhan Pencipta.
Akan tetapi monoteisme disini belum dalam pengertian yang tajam seperti pengertian
monoteisme modern.
2)      Sama Weda. Sama Weda merupakan suatu bunga-rampai Rig Weda, dan sangat menekankan
pada tanda-tanda irama musik. Tanda-tanda musik ini kemudian  memunculkan musik
Karnatik India, music klasik India yang asli. Music Karnatik berhubungan dengan lagu
pengabdian pada para dewa dan didasarkan atas tujuh suara: Sa, Re, Ga, Ma, Pa, Dha dan
Ni. Kombinasi dan permutasi dari tujuh suara ini digunakan untuk menciptakan irama yang
dikenal dengan raga. Sama Weda terdiri dari 1.549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti
dengan irama musikoleh para pendeta yang disebut udgatar, dan biasanya dilakukan pada
waktu upacara korban diselenggarakan.
3)      Yajur weda. Weda ini tidak hanya memuat mantra-mantra dan persembahan Soma saja, akan
tetapi juga mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajur weda
memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rig weda dan Sama Weda, dan ketiganya sering
disebut dengan “Tri-Wedi”.
4)      Atharwa-weda. Para Atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini
dijumpai lagi kidung-kidung yang harus diucapkan pada waktu mempersembahkan Soma. Isi
Atharwa Weda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri
sudah dianggap sudah memiliki kekuatan.
Beberapa contoh nyanyian Rig Weda:[4]
POSYAN, DEWA TEMPAT GEMBALA
1.      Hai Posyan, dewa masa keemasan,
Istana engkau, dan lembah jalan pengembala,
Engkau dapat mengalahkan setiap musuh asing,
Jadikanlah jalan kami aman dari segala bahaya,
Hai Posyan, hai pengendara awan !
Tunjukilah kami selamanya, sebagaimana engkau menunjuki kami sebelum ini.

2.      Binasakanlah serigala liar yang jahat itu,

Yang bersembunyi didalam gelap diselat yang sempit,

Dan binasakanlah setiap perampok dan pencuri,

Yang akan beranak pinak untuk membinasakan dan menghabiskan hayat kami.

Posyan, pengendara awan !

Tunjukilah kami, sebagaimana engkau tadinya telah menunjuki kami.

3.      Barulah dalam murkamu, hai Posyan,

Segala perampok yang menjarah kami, di jalan-jalan yang tidak dilalui orang.

Yang mempunyai hati keras tidak menaruh kasihan,

Membunuh dengan anak panahnya yang tidak kelihatan,

Hai anak awan, tunjukilah kami selamanya,

Sebagaimana tadinya engkau menunjuki kami.

Demikianlah beberapa contoh tentang puji dan pujian pengikut-pengikut Rig Weda
kepada Tuhan yang disini disebut dengan Dewa, akan tetapi melihat kepada modusnya, maka
Tuhan tersebut adalah memiliki alam ini, alam atas dan bawah, alam lahir dan bathin, yang
menyatakan kepada kita bahwa Tuhan mereka adalah tinggi, tetapi penuh dengan berbagai
kabut kemusyrikan, sesuai dengan perkembangan pengetahuan beragama yang baru ada pada
masa itu. Ataupun pada masa itu telah baik, tetapi perkembangan kitab-kitab kemudian
harinya telah membawa apa yang sampai kepada kita telah terjadi berbagai perubahan
atasnya, sebagaimana yang biasanya kita dapati dan ketahui adanya.[5]
b)     Kitab Smriti
Smriti berarti “Yang diingat”. Kitab Smriti berasal dari Weda dan dianggap berasal
dari manusia bukan dari Tuhan. Smriti ditulis untuk dan menjelaskan Weda, membuat Weda
dapat dimengerti dan lebih berarti bagi manusia pada umumnya. Semua sumber tulisan selain
Weda dan Baghavad Gita secara kolektif disebut dengan Smriti.[6]
1)      Dharma Sastra. Tulisan ini menggambarkan tentang peraturan dalam tingkah laku manusia
yang benar, kesehatan pribadi, administrasi social, etika dan kewajiban moral. Dharma Sastra
yang paling terkenal adalah Manu Smriti atau Kode manu, yang terdiri dari 2.694 stanza
dalam 12 bab. Manu, nenek moyang ke-65 (inkarnasi dari Tuhan dalam bentuk manusia)
Rama, yang menggambarkan tingkah laku dasar untuk mengendalikan diri, tidak melukai,
penuh kasih dan dan terikat, yang ditekankan sebagai syarat untuk membentuk masyarakat
yang baik. Manu Smriti, adalah kode hokum untuk hidup dengan benar, yang secara terus
menerus mendominasi kehidupan etika orang Hindu.
2)      Nibandha. Nibandha adalah bacaan, pedoman, dan ensiklopedia hokum Weda yang
menyingggung tentang tingkah laku manusia, pemujaan dan ritual. Nibandha juga membahas
tentang topic pemberian hadiah, tempat perziarahan suci, dan menjaga tubuh manusia.
3)      Purana. Purana membentuk sebagian besar kesustraan Smriti. Purana ini muncul dalam
bentuk pertanyaan dan jawaban, dan menjelaskan ajaran bawah sadar dari Weda melalui
cerita dan legenda dari raja zaman dahulu, pahlawan, dan sifat-sifat kedewataan. Purana
adalah merupakan alat yang sangat terkenal untuk mengajarkan ajaran keagamaan.
4)      Epos (Cerita Kuno). Dua epos (itihasa) yang paling terkenal dalam agama Hindu adalah
Ramayana dan Mahabhrata. Epos ini adalah cerita yang paling terkenal diantara orang Hindu.
5)      Agama atau Tantara. Agama, juga dikenal dengan Tantra, adalah kitab sekterian dari tiga
theology Hindu yang utama dalam tradisi agama Hindu, yang bernama Vaisnavism, Sivism,
dan Saktism. Vaisnava-Agama memuja kenyataan yang mutlak sebagai Dewa Visnu; Siva-
Agama yang memuliakan kenyataan Mutlak yang disebut dengan Dewa Siva;,dan Sakti-
Agama yang menyatakan bahwa kenyataan mutlak itu adalah Ibu Mulia jagat raya ini.
6)      Vedanga. Vedanga berarti “penggerak Weda”. Vedanga terdiri dari enam bagian dan juga
dianggap sebagai tambahan Weda pada bagian tertentu. Keenam bagian dari Vedanga
tersebut membahas tentang hal berikut: Siksa (pengucapan yang benar), Chanda (ukuran),
Nirukta (etimologi), Vyakarana (tata bahasa), Jyotisa (astronomi), dan Kalpa (peraturan
dalam melaksanakan upacara dan ritual).
7)      Darsana. Kesusastraan keagamaan dibagi menjadi dua bagian, heterodok dan orthodok.
Pemikiran heterodok menolak sumber-sumber Weda dan termasuk didalamnya Buddhisme,
Jainisme, dan Carvaka (materialistis). Sedang kelompok orthodok menerima Weda dan
kesustraan Weda sebagai sumber ajaran. Kedua pemikiran ini didasarkan pada kesusastraan 
Weda. Setiap Darsana atau pemikiran memiliki atribut tulisan penulisnya, termasuk
didalamnya sejumlah komentar yang ditulis oleh pengikut dari pemikiran ini.
  III.            Kitab Brahmana dan Anyaraka

Berbeda dari naskah atau kitab Samhita, kitab Brahmana disusun oleh para pendeta
Brahmana sekitar abad ke-8 SM. Untuk menjelaskan tentang daya kekuatan korban. Dengan
kata lain, kitab tersebut bukanlah kitab puji-pujian kepada para dewa, tetapi merupakan kitab
yang berisi keterangan-keterangan dari para brahmana tentang korban dan sesaji. Uraian-
uraian didalamnya banyak yang membosankan dan sukar dipahami padahal pikiran dasarnya
justru sangat sederhana. Keterangan-keterangan tersebut disertai dengan mitos dan legenda
tentang manusia dan para dewa dengan memberikan ilustrasi ritus-ritus korban.[7] Brahmana
juga menekankan dan membahas upacara pengorbanan dan teknik yang benar dalam
pelaksanaannya. Termasuk penjelasan dalam menggunakan mantra dalam upacara dan
menimbulkan kekuatan mistik dari pengorbanan itu. Bagian ini disebut dengan Brahmana
karena mereka membahas tugas dari para Brahim (pendeta) yang melakukan pada saat
upacara pengorbanan.[8]
Pada bagian akhir kitab Brahmana terdapat tambahan, kemudian tambahan inilah
yang disebut sebagai kitan Anyaraka. Kitab ini berisi tentang renungan sekitar masalah
korban sehingga dianggap sakti. Karena itu mempelajarinya harus ditempat-tempat yang jauh
dari tempat tinggal manusia, yaitu ditengah-tengah hutan, Aranya = hutan. Aranya (“kitab
yang berasal dari hutan”; yaitu buku yang dihasilkan dengan bermeditasi di hutan yang sepi)
yang menandai transisi dari pengorbanan Brahmanikal menuju filsafat dan spekulasi
metafisika, yang kemudian dimuat dalam Upanisad. Aranyaka terdiri dari interpretasi mistik
dari mantra dan upacara, yang disatukan pada saat mengasingkan diri di hutan, yang
menimbulkan kedisiplinan. Pengetahuan yang didapat oleh para asketis ini dianggap sebagai
wahyu.[9]

  IV.            Daftar Pustaka


Abbas, Zainal Arifin. Perkembangan Pikiran Terhadap Agama. Jakarta: Al-Husna, 1984.

Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998.

Honing. A.G. Ilmu Agama. Jakarta: Gunung Mulia, 1997.

Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita, 2006.

Ruslani. Wacana Spiritualitas Timur dan Barat. Yogyakarta: Qalam, 2000.


[1] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 22
[2] Ruslani, Wacana Spiritualitas Timur dan Barat (Yogyakarta: Qalam,2000), h.92
[3] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 60
[4] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta:Al-Husna,1984),
h.196
[5] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta: Al-Husna,1984),
h.198
[6] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita,2006), h.33
[7] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988), h. 66
[8] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h.27.
[9] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h. 27
Diposkan oleh Innani Musyarofah di 06.26
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Jumat, 16 November 2012


Hindu Dharma, Sanàtana Dharma dan Vaidika Dharma

Label: Ajaran, Sejarah, Tokoh

Dalam  upaya memantapkan pandangan kita  terhadap ajaran Hindu Dharma terlebih dahulu kami
ingin menekankan kembali nama dan sumber ajaran Hindu atau Hindu Dharma yang kita kenal
sebagai satu agama tertua yang masih dianut oleh umat manusia. Hal ini kami pandang sangat perlu
mengingat sampai sekarang masih ada pandangan dan buku-buku yang mendiskreditkan agama
Hindu dan menganggap agama Hindu sebagai agama yang tidak bersumber pada wahyu Tuhan
Yang Maha Esa. Bahkan Prof. Dr. Mukti Ali, sebagai tokoh ahli perbandingan agama di Indonesia
pada Kongres Agama-Agama di Indonesia, tanggal 11 Oktober 1993 di Yogyakarta menyatakan
bahwa agama Hindu tidak mengenal missi karena dibatasi oleh sistem kasta. Bilama Hindu tidak
mengenal missi, bagaimana orang Indonesia di masa yang lalu memeluk agama Hindu?
Siapakah yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia? Selanjutnya tentang kasta adalah bentuk
penyimpanan dan interpretasi yang keliru dari pengertian Varna sebagai tersebut dalam kitab suci
Veda. Yang dimaksud dengan Varna adalah pilihan profesi sesuai dengan Guóa  (bakat pembawaan
orang) dan Karma (kerja yang dia lakoni) oleh setiap orang.

Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma
mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam
bahasa Indonesia.  Dalam kontek pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan
agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang
diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi  dengan  penduduk  di  lembah 
sungai  Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah
sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang  datang
kemudian menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai
Shindu sampai yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa yang
disebut juga Jambhudvìpa.   

Kata Sanàtana Dharma   berarti  agama yang bersifat abadi   dan  akan  selalu dipedomani oleh umat manusia
sepanjang Nama   asli  dari  agama ini masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat
universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun
waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu
Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan, 1984: 13).

Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu. Para åûi atau mahàrûi yakni
orang-orang suci dan bijaksana di India jaman dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-
intuisi mereka (Aparokûa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya
langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman para mahàrûi di jaman dahulu itu
sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya). Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para
mahàrûi dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh karena itu
Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda, 1988: 4)

Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh pernyataan yang terdapat
dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda, 1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip
oleh mahàrûi Yàûka (Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat Hindu   kebenaran Veda
adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati,
pimpinan tertinggi Úaýkara-math yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan : Dengan
pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam atau non human being) maka
para maharsi penerima wahyu disebut Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia.
Bila Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta (karangan/buatan manusia)
dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui
kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman rohani)nya, merealisasikan kebenaran  Veda, bukan dalam
pengertian atau mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus menemukan
Amerika ? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas
Edison dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam semesta
diciptakan. Demikian  pula para maharsi diakui sebagai penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa
yang memang telah ada sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi agung.
Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi
berbagai kurun waktu. Oleh karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi
mampu menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dihubungkan dengan
Sùkta (himpunan mantra), Devatà (Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda
(irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan
kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau merapalkan mantra-
mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).

Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-agama yang lain,
melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità)
yang dikenal dengan Catur Veda (Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing
kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu diyakini
sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Úruti. Kata
Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu
direkam melalui kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan
kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya
mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi Agung, yakni Vyàsa yang disebut
Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra
Veda yang terpencar pada berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.

Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti) yakni wahyu Tuhan Yang
Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki sumber ajaran agama Hindu yang lain yang
merupakan sumber hukum Hindu adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum
Hindu), Úìla  (yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa (sejarah) dan
Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam
berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan
yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu
dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang berhak mengeluarkan Bhisama
(semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber  ajaran Hindu
yang kedudukannya lebih tinggi.

Source: http://www.parisada.org/

Diposkan oleh Innani Musyarofah di 08.34

Jumat, 16 November 2012


Sejarah Agama Hindu; Interaksi dengan Peradaban Dravida, Arya dan
Peradaban dan agama lembah sungai Indus

Label: Sejarah

I.       Pendahuluan
Sebelum mengupas habis tentang Agama Hindu, terlebih dahulu kita perlu
membicarakan bangsa yang menganut dan membawanya. Sejarah merupakan
faktor penting dalam memahami sebuah agama, termasuk Agama Hindu. Dengan
begitu bisa mengetahui latar belakang berdirinya dan keadaan sosial, politik maupun
spiritual yang terjadi saat itu.
Maka setidaknya itulah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini, meskipun
didalamnya hanya menyinggung sebagian kecil dari sejarah munculnya Agama
Hindu sejauh pemahaman pemakalah dari sumber yang tersedia.
II.      Peradaban Bangsa Dravida dan Bangsa Arya
India termasuk salah satu tonggak peradaban tertua di dunia dengan situsnya di
sekitar lembah Sungai Indus. Dari penemuan fosil-fosil, tampak bahwa di daerah itu
terdapat dua tipe penduduk. Pertama, penduduk asli dengan ciri-ciri: kulit gelap,
kecil dan pendek, hidung lebar dan pesek dengan bibir tebal menonjol. Keturunan
dari tipe ini sampai sekarang masih dapat kita jumpai di antara kasta rendah
masyarakat India. Kedua, mereka yang seketurunan dengan suku Mediteranian. Ini
berhubungan erat dengan orang-orang yang hidup pada masa pradinasti di Mesir,
Arab, dan Afrika Utara. Kulit mereka lebih terang, berbadan tegap, hidung mancung,
dan bermata lebar[1].
A.    Bangsa Dravida Suku Asli India
Bangsa-bangsa yang peradabannya mirip dengan kebudayaan bangsa Sumeria di
daerah Sungai Eufrat dan Tigris, telah menetap di Lembah Sungai Sindhu (Indus)
antara 3000 tahun sampai 2000 tahun Sebelum Masehi. Berbagai cap dari pada
gading dan tembikar yang ada tanda-tanda tulisan dan lukisan-lukisan binatang,
menceritakan kepada kita adanya persesuaian di dalam peradaban tersebut[2].
Sisa-sisa kebudayaan di Lembah Sungai Indus, terutama terdapat di dekat kota
Harappa di Punjab dan di sebelah utara Karachi. Orang-orang di kota tersebut telah
mempunyai rumah-rumah yang berdinding tebal dan bertangga. Penduduk India
pada zaman itu terkenal sebagai “bangsa Dravida”[3]. Mereka adalah bangsa-
bangsa yang berkulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut
keriting.
Pada mulanya mereka tinggal di seluruh negeri, zaman ini sering disebut zaman
Chalcolithic [4]. Tetapi lama-kelamaan hanya tinggal di sebelah selatan dan
memerintah negerinya sendiri, karena di sebelah utara mereka hidup sebagai orang
taklukan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut negeri itu.
Peradaban lembah Indus pernah berlangsung di lembah Sungai Indus sejak 3.000-
500 SM. Mungkin dimulai sebagai penggembala yang pindah ke lembah sungai
selama musim dingin. Seiring waktu, mereka mungkin telah memutuskan untuk
bercocok tanam. Mereka mulai berdagang dengan perahu sepanjang Indus turun ke
Laut Arab, ke Teluk Persia, dan naik Tigris dan Efrat ke Mesopotamia[5].
B.     Bangsa Arya di India
Dalam kamus New Oxford Dictionary 2009, menyebutkan bahwa Arya berart[6]i; a
member of a people speaking an Indo-European language who invaded northern
India in the 2nd millenniumbc, displacing the Dravidian and other aboriginal peoples
Sekitar 1.500 tahun SM, bangsa Arya sebagai pejuang dan gembala yang tangguh,
berpindah ke selatan menyeberangi Pegunungan Hindu Kush untuk berdiam di anak
benua India. Bencana alam berupa musim kemarau atau wabah penyakit, atau
perang saudara memaksa bangsa Arya meninggalkan kampung halaman di Rusia
selatan. Mereka menyebar ke Anatolia, Persia, dan India. Mereka hidup dalam
rumah-rumah kayu di desa terpencil, tidak seperti penduduk kota yang tinggal dalam
rumah-rumah berbatu bata di lembah Sungai Indus[7].
Mungkin sekali bangsa-bangsa Arya itu, ketika mereka masuk ke India, kurang
beradab dibandingkan bangsa Dravida yang ditaklukkannya. Tetapi, mereka lebih
unggul di dalam ilmu peperangan dibandingkan bangsa Dravida. Pada waktu
bangsa Arya masuk ke India, Mereka itu masih merupakan bangsa setengah
nomaden (pengembara), yang baginya peternakan lebih dibutuhkan daripada
pertanian. Bagi bangsa Arya, kuda dan lembu adalah binatang-binatang yang sangat
dihargai sehingga binatang-binatang tersebut dianggap suci. Dibandingkan dengan
bangsa Dravida yang tinggal di kota-kota dan yang mengusahakan pertanian serta
menyelenggarakan perniagaan di sepanjang pantai, maka bangsa Arya bisa
dikatakan lebih primitif. Misalnya saja bangsa Arya belum mempunyai patung-patung
dewa sedangkan bangsa Dravida sudah[8].
III.    Runtuhnya Peradaban Mohenjodaro
Menurut Mitchael Witzel seorang guru besar di Universitas Harvad dalam buku The
Home of Aryans tahun 1750 sebelum Masehi, peradaban Harappa mulai mengalami
perubahan baik dalam sifat manfaat maupun lingkungan kotanya. Barang-barang
yang ditemukan sebelumnya sudah lenyap dan rumah-rumah mengecil. Di sebelah
selatan Mohenjo-daro dekat Indus yaitu kota Chanhu-daro merupakan golongan
kota yang mengalami kehancuran peradaban Indus, yang disebut sebagai kota yang
bernama Jhkar dan Jhanger.
Lanjutnya, tahun 1700 peradaban Indus yang pernah berjaya itu berakhir,
disebabkan karena banjir akibat gerakan bumi. Perhiasan ditemukan pada tempat
yang tinggi di Mohenjodaro, alat masak ditemukan berserakan dan kepingan tiang
telah terbakar,ditemukan juga beberapa kerangka orang yang melarikan diri waktu
terjadi bencana atau waktu dibantai oleh penjajah. Begitu pula dengan Harappa
telah sangat hancur, kota kerajaan dengan benteng yang sangat menakjubkan telah
hilang dan lenyap secara drastis[9]. Jadi sebelum bangsa Arya melakukan invasi ke
Peradaban India Kuno, perabadan disana sudah hilang.
IV.    Interaksi Peradaban Bangsa Dravida dengan Bangsa Arya
Dimasa tertulisnya kitab-kitab suci Hindu, telah didiami oleh bangsa Arya. Bangsa itu
berwarna putih, tubuhnya besar dan kuat. Mereka berasal dari Asia Tengah dan
kemudian hari menduduki Iran, Mesopotamia dan Eropa Selatan. Sebagian dari
bangsa itu pindah dari Iran ke India melalui pegunungan Hindu Kush dan
menaklukkan bangsa asli di daerah Punjab atau negeri Lima Sungai. Mereka juga
mendesak penduduk asli yaitu bangsa Dravida ke India bagian selatan. Lambat laun
bangsa Arya itu bercampur dengan bangsa asli dari bagian India Tengah dan
Selatan, ialah bangsa Dravida yang berwarna hitam.Kebudayaan bangsa Dravida
mungkin lebih tua lagi dari pada kebudayaan bangsa Arya.[10]
Orang Arya mengukur kekayaan dari jumlah ternak yang dimiliki. Sekalipun tidak
semaju penduduk asli India, mereka lebih tangguh. Mereka dikenal sebagai prajurit
dan penjudi, senang memakan daging sapi dan minum anggur serta menyukai
music, tari, dan perlombaan balap kereta perang. Perlahan, mereka pun menetap
dan mengadopsi banyak cara hidup penduduk asli India, yaitu menjadi petani dan
pandai besi. Padi adalah salah satu tanaman yang dibudidayakan. Sebelumnya,
bangsa Arya tidak mengenal padi, walaupun padi telah ditanam di lembah Sungai
Indus[11].
Dalam bidang bahasa, seni dan sastra bangsa Dravida independen namun banyak
terpengaruh oleh Bangsa Arya. Bahasa Sanskrit di bawa oleh bangsa Arya, rumpun
bahasa Indo Eropa (Persia + Yunani+Latin+Inggris) Kesamaan arti rumpun bahasa
Indo Eropa: pitâ (Sanskrit), patër (Yunani), pater (Latin), vater (Jerman), vader
(Belanda),  father (Inggris). Semuanya berarti: ayah. Yang kemudian bahasa Indo
Eropa sebagai bahasa ibu; setelah itu Hindi & Bengali. Bahasa Sanskrit eksis dalam
tiga bentuknya masa Magadha ( abad 4 SM) [12]:

 Sanskrit Brahmana
 Sastra

 Untuk politik, hukum, dan seni

1. Kasta Brahmana (golongan pendeta, kasta tertinggi)

1. Kasta Ksatria (golongan bangsawan dan prajurit),

1. KastaWaisya (golongan pedagang dan buruh), dan

1. KastaSudra (golongan petani dan buruh kasar).

Sanskrit lebih pantas dianggap sebagai eskpresi kesusastraan pada masa Weda
karena Sanskrit dialeknya berbeda dengan Sanskrit yang berlaku di lokalitas lainnya.
Bangsa Arya merasa dirinya lebih tinggi dari pada bangsa Dravida. Untuk menjaga
kemurnian darahnya, mereka menciptakan sistem kasta (warna) dalam masyarakat.
Ada empat kasta (catur warna) di India, yaitu
Ada golongan yang paling rendah derajatnya, yaitu golongan budak yang
disebutkasta Paria atau Candala[13].
V.       Interaksi Kepercayaan dan Agama Sungai Indus, Lahirnya Hindu
Jauh sebelum bangsa Arya masuk ke India Kuno, bangsa asli India, bangsa Dravida
sudah memiliki kepercayaan. Obyek yang paling umum dipuja-puja orang
nampaknya adalah tokoh“Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam ibu pertiwi, yang
banyak dipuja orang di daerah Asia kecil. Dia digambarkan pada banyak lukisan
kecil pada periuk belanga serta pada materi maupun jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain
nampaknya juga digambarkan dengan bentuk tokoh bertanduk, yang berpadu
dengan pohon suci pipala. Seorang Dewa yang bermuka tiga dan bertanduk
dijumpai lukisannya pada salah sebuah materi batu, dengansikap duduk dikelilingi
oleh binatang. Tokoh ini dipersamakan dengan tokoh Siwa-Mahadewa pada zaman
kemudian. Dugaan ini kemudian diperkuat oleh penemuan gambar lingam yang
merupakan lambang Siwa[14].
Sebagai dampak dari berkembangnya budaya Indo-Eropa adalah munculnya Agama
Hindu. Menurut sejarahnya, Agama Hindu mempunyai usia yang cukup tua dan
panjang, dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh umat manusia. Kami
mencoba mendefinisikan kapan dan dimana Hindu di sebarkan dan berkembang.
Agama Hindu pada kelanjutannya telah melahirkan kebudayaan yang sangat
kompleks baik dalam bidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat, dan ilmu-ilmu yang
lain. Sehingga kadang ada kesan rumit ketika kita berniat memahami ajaran Agama
Hindu[15].
Perkembangan Agama Hindu di India pada dasarnya terjadi selama empat fase.
Zaman Weda, zaman Bharmana, zaman Upanisad dan zaman Budha[16]. Zaman
Weda disinyalir telah berkembang pada masa perdaban Mohenjodaro dan Harappa.
Bukti yang menunjukan fase ini adalah adanya patung yang menyerupai perwujudan
Siwa. Selain itu pada masa ini masyarakat India kuno juga telah menyembah dewa-
dewa. Tetapi kepastian dimulainya fase Weda adalah pada masa Bangsa Arya
berada di Punjab di lembah sungai Indus sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum
Masehi.
Setelah terdesak bangsa Dravida akhirnya hijrah ke arah Selatan di dataran tinggi
Dekkan, dan sebagian ada yang membaur dan berasimilasi dengan kebudayaan
bangsa Arya. Bangsa Arya sendiri telah menyembah beberapa dewa, Surya (Dewa
Matahari), Soma (Dewa Bulan),  Agni (Dewa Api), Indra (Dewa Hujan),dan Yama
(Dewa Maut). Untuk memuja para dewa itu, orang mengadakan upacara sesaji.
Kepercayaan bangsa Arya kemudian bercampur dengan kepercayaan bangsa
Dravida. Hasil percampuran itu dikenal sebagai agama Hindu.
VI.    Kesimpulan
Bangsa Dravida yang merupakan suku asli di India kuno terdesak oleh datangnya
bangsa Arya, Indo-Eropa sampai ke sebelah selatan India, di lembah sungai Indus.
Pada mulanya bangsa Arya ini tetap mempertahankan kemurnian keturunan
mereka, tetapi karena jumlah mereka semakin banyak sehingga melakukan
persebaran penduduk hingga sampai di daerah Gangga yang ditempati bangsa
Dravida dan terjadilah asimilasi dengan penduduk lokal setempat.
Bahasa Dravida yang independen, kemudian banyak dipengaruhi bahasa bangsa
Arya akibat dari asimilasi. Bahasa Sanskrit, rumpun bahasa Indo Arya (Persia +
Yunani+Latin+Inggris) Kesamaan arti rumpun bahasa Indo Eropa: pitâ (Sanskrit),
patër (Yunani), pater (Latin), vater (Jerman), vader (Belanda),  father (Inggris).
Semuanya berarti: ayah.
Dari hasil asimilasi lainnya, antara kebudayaan dan kepercayaan bangsa Dravida
dan bangsa Arya ini lahirlah Hindu. Pada mulanya istilah Hindu digunakan untuk
orang-orang yang tinggal di daerah lembah sungai Indus, yang merupakan hasil
asimilasi atau sinkrestisme dari kebudyaaan dan kepercayaan bangsa Dravida dan
bangsa Arya. Namun, istilah Hindu sekarang digunakan untuk orang yang menganut
agama Hindu.

Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet ke- I
1988.
Bull, Victoria (editor). New Oxford Dictionary. China : Oxford University Press. 2009
Erdosy, G. (ed.),The Indo-Aryans of Ancient South Asia. (Indian Philology and South
Asian Studies, IPSAS) 1, Berlin/New York: de Gruyter. 1995.
Honing, A. G. Ilmu Agama. (diterjemahkan Koesoemosoesastro dan Soegiarto).
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Ibrahim, Asma. The Indus Valley Civilization.
Nigosian, S. A. World Faiths. New York : St. Martin’s press. 1990.
Noss , John B. Man’s Religion. New York :The Macmilan Company. 1949.
Rifa’I, Mohammad. Perbanding Agama. Semarang: Wicaksana. Cet ke – 5. 1980.
Schade, Johannes P. Encyclopedia of World Religions. New York: Concord
Publishing. 2006
Syahrastani, Asy-, Muhammad. Al-Milal wa an-Nihal. Kairo : Maktabah, Juz II. 1968
Witzel, Mitchael. The Home of Aryans. New York : Harvad University Press.

[1] S. A. Nigosian. World Faiths. (New York : St. Martin’s press, 1990). h. 251.

[2] A.G. Honig Jr. Ilmu Agama. (diterjemahkan Koesoemosoesastro dan Soegiarto).
(Jakarta: Gunung Mulia, 2005) . h.77

[3]Johannes P. Schade. Encyclopedia of World Religions. (New York: Concord


Publishing, 2006). h. 273
[4] Chalcolithic adalah nama yang diberikan untuk periode di Timur Dekat dan Eropa
setelah Neolitik dan Zaman Perunggu, kira-kira antara sekitar 4500 dan 3500 SM.

[5] S. A. Nigosian. World Faiths. (New York : St. Martin’s press, 1990). h. 254

[6] Victoria Bull (editor). New Oxford Dictionary. (China : Oxford University Press.
2009). h. 20

[7]Johannes P. Schade. Encyclopedia of World Religions. h. 73

[8] A.G. Honig Jr. Ilmu Agama. (diterjemahkan Koesoemosoesastro dan Soegiarto).
78-79

[9] Mitchael Witzel. The Home of Aryans. ( New York : Harvad University Press, )

[10]John B. Noss. Man’s Religion.( New York : The Macmilan Company, 1949) h. 97

[11] Mohammad Rifa’I. Perbanding Agama. (Semarang : Wicaksana, 1980). Cet ke –


5. h.  83-85

[12] S. A. Nigosian. World Faiths. h. 252

[13] Asma Ibrahim. The Indus Valley Civilization.

[14] G. ERDOSY (ed.),The Indo-Aryans of Ancient South Asia, (Indian Philology and
South Asian Studies, IPSAS) 1, Berlin/New York: de Gruyter 1995. h 155-173.

[15] Johannes P. Schade. Encyclopedia of World Religions. h. 407

[16]Muhammad Asy Syahrastani. Al-Milal wa an-Nihal. (Kairo : Maktabah, 1968) Juz


II. h. 10

Gambar di bawah ini merupakan peta India Kuno, persebaran ras Arya yang
merupakan leluhur orang Iran dan Irak sekarang. Mereka berhasil mencapai India
Kuno. Bangsa Arya menyerbu Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaibar.
Bangsa Arya berasal dari dataran tinggi Iran (Parsi). Mereka sampai di daerah
Punjab atau daerah aliran lima sungai denganmengendarai kuda dan kereta.
Diposkan oleh Innani Musyarofah di 06.06
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Jumat, 16 November 2012


SAD DARSANA; FILSAFAT SAMKHYA

Label: Ajaran

1.             Pendahuluan

Dewasa ini agama Hindu telah menjadi agama besar dunia yang tidak hanya
menghasilkan seorang Dayananda dan Tilak tetapi juga seorang Gandhi dan Sarvepalli
Radhakrishnan, seorang Aurobindo Ghose dan Krishnamurti, warga dunia yang
sesungguhnya dan nabi-nabi bagi sebuah agama universal. Apa yang telah terjadi atas agama
Hindu ini tidak terlepas dari ajaran agamanya juga tentang ke filsafatannya yaitu filsafat
India.
Dalam konteks keilmuan bahasa Sanskerta filsafat India ini dikenal dengan  istilah
Sad Darshana yang merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus
dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan
kebahagiaan yang tertinggi dan abadi (moksa).[1]
Kata Darshanasendiri berarti “Melihat”, “pengelihatan” atau “pandangan” Dalam
ajaran Filsafat Hindhu darshana berarti “Pandangan tentang Kebenaran”
Sad darshana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana merupakan dasar dari
filsafat Hindu.Adapun pokok pokok ajaran Sad darshana antara lain:
1.SAMKHYA                                                     
2.YOGA.                                    
3.MIMASA,
4.NYAYA,
5.WAISISEKA,dan
6.WEDANTA.[2]
Namun dalam makalah ini kami hanya mencantumkan pengertian dari filsafat
sankhya saja karena pembahasan mengenai filsafat lainnya akan dibahas dalam pembahasan
lain.
Adapun pengertian dari kata Sankya berarti ”Pemantulan”, yaitu pemantulan falsafati.
Oleh karenaitu aliran ini mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan kenyataan
terakhir dari filsafat ini dengan pengetahuan.
Pembangun konsep dari filsafat ini adalah Rsi Kapila yang diperkirakan hidup pada
zaman sebelum Buddha.Sistem filsafat Samkhya kadangkala dinamakan pula dengan istilah
Nir Iswara Samkhya tidak menyebut nama Tuhan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh
Kapila adalah karenaTuhan itu sulit untuk dibuktikan. Inilah suatu pernyataan yang menarik
untuk diperbincangkan karena Samkhya mengakui adanya Purusa (roh) sebagai asas tertinggi.
Cukup banyak penulis yang menyinggung tentang Samkhya dan dapat kita nikmati sampai
detik ini, salah satunya adalah Samkhya Karika yang ditulis oleh Iswarakresna.[3]

2.             Konsep Purusa dan Prakerti

Ajaran pokok dari samkhya ialah bahwa adanya dua zat asasi yang bersama-sama
membentuk realitas dunia ini yaitu purusa dan prakrti, roh dan benda atau asas rohani dan
asas bendani .[4]
Purusa adalah asas bendani yang kekal, yang berdiri sendiri serta tidak berubah,
berbeda dengan upanishad, samkhya tdak mengakui adanya satu roh atau satu jiwa yang
bersifat universal atau umum, yang kemudian dengan bermacam-macam.
Sekalipun purusa tidak dapat diamati, namun ada dengan nyata hal ini dibuktikan
dengan:
1.    Susunan alam semesta Menunjukan, bahwa beradanya alam semesta alam itu tentu bukan
demi kepentingan diri sendiri, melainkan demi kepentingan sesuatu yang berbeda dengan
alam semesta itu sendiri. Hal ini dapat disamakan dengan tempat tidur itu sendiri, melainkan
demi kepentingan orang yang akan menidurinya. Demikianlah dunia berada bukan demi
kepentingan dunia sendiri, melainkan untuk kepentingan yang bukan bukan dunia, yang
bukan benda yaitu roh, purusa.
2.    Segala manusia berusaha untuk mendapatkan kelepasan. Hal ini mengharuskan kita
menyimpulkan, bahawa tentu ada sesuatu yang dapat mendapat kelepasan itu yang tentu
bukan yang bersifat badani yaitu purusa.
3.    Tiap hal yang ada, berada secara sendiri-sendiri, artinya dilahirkan sendiri, mati sendiri,
memiliki organismenya sendiri dan seterunya.yang jika disimpulkan banyak sekali individu,
ada banyak sekali purusa.
Mengenai prakrti diuraikan bahwa  prakrti atau asas bendani adalah sebab
pertama alam semesta, yang terdiri dari unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan atau psikologis.
Sama halnya dengan purusa, prakerti juga tidak dapat diamati, namun nyata-nyata ada.
Bahwa prakerti ada dengan kesimpulan yang diambil dari pertimbangan – pertimbangan
berikut:
1.    Tiap hal yang ada di dalam dunia berifat terbatas. Apa yang bersifat terbatas bergantung
kepada sesuatu yang tidak terbatas, dan yang berdiri sendiri, yang menyebabkan adanya hal-
hal yang terbatas itu. Adapun yang bersifat tidak terbatas ituadalah prakrti.
2.    Tiap hal memiliki sifat-sifat tertentu yang juga dimiliki oleh segala sesuatu yang lain.sifat-
sifat itu umpamanya: kesenangan dan kesusahan. Hal ini menunjukan bahwa ada satu sumber
bersama yang mengalirkan sifat-sifat itu. Sumber itu adalah prakrti.
3.    Segala akibat timbul dari aktifitas suatu sebab aktifitas yang menyebabkan dunia ini tentu
berasal dari suatu sebab pertama.yaitu prakrti.
4.    Suatu akibat tidak mungkin menjadi sebabnya sendiri. Oleh karena itu tentu ada suatu sebab
asasi. Yang menyebabkan adanya segala macam akibat itu. Sebab asasi itu tidak lain adalah
prakrti.
5.    Alam semesta mewujudkan suatu kesatuan . adanya suatu kesatuan mewujudkan adanya
suatu sebab yang menyatukan. Yaitu prakrti.[5]
Menurut ajaran Samkhya ada tiga sumber pengetahuan yang benar (Tri Pramana).
yaitu Pratyaksa (pengamatan langsung), Anumana (didasarkan atas kesimpulan), dan Sabda
pramana (pernyataan). Tentang pengetahuan yangdidapat atas dasar Sabda dapat dibagi dua
yaitu Laukika = kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya; Waidika =
kesaksian Weda.
Di dalam etika Samkhya tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk
mempelajari kitab suci Weda. Setiap orang dianjurkan untuk mengendalikan pikiran agar
terjadi keseimbangan di dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Samkhya pribadi
yang tampak bukanlah pribadi yang sebenarnya melainkan khayalan, pribadi yang
sesungguhnya adalah purusa atau roh itu sendiri.
Tujuan akhir dari ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh
seseorang bila ia menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan dan
badan jasmani. Bila seseorang belum menyadari akan hal itu, maka ia tidak akan dapat
mencapai kelepasan. Akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang – ulang
(samsara/punarbhawa). Jalan untuk mencapai kelepasan adalah melalui pengetahuan yang
benar, latihan kerohanian yang terus – menerus untuk merealisasikan perbedaan purusa dan
prakerti dan cinta kasih terhadap semua mahluk (tatwam asi). Dengan demikian Samkhya
menekankan pada jalan jnana dalam wujud wiweka [6] dan kebijaksanaan untuk melepaskan
purusa dari jebakan prakerti (tri guna).
  
DAFTAR PUSTAKA
Filsafat Samkhya http://mahabhrata.wordpress.com/mahabharata/bhagawadgita/ samkhya-yoga/ fil
safat-samkhya/
Intisari Sad Darshana Dan Hubungannya dengan Sistem Ilmu Percandian Dalam Dunia Arkeologi
http://bayuarkeologjawa.blogspot.com/2011/11/intisari-sad-darshana-dan-hubungannya.html

Hadiwijono, Harun 1985, Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang.
Suparta, Ardhana . Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita,
2002

[1]   Di akses dari  http://mahabhrata.wordpress.com/mahabharata/bhagawadgita/samkhya-yoga/filsafat-samkhya/ padatanggal


18 oktober 2012
[2]    Diakses dari http://bayuarkeologjawa.blogspot.com/2011/11/intisari-sad-darshana-dan-hubungannya.html pada tanggal 18
oktober 2012
[3]     Harun, Hadiwijono,  Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985 .h 65
[4]    Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita, 2002. h. 43
[5]HarunHadiwijono,Sari Filsafat India, Jakarta, BPK Gunung Mulia Kwitang, 1985. h. 68

[6]     Wiweka adalah perilaku yang hati-hati dan penuh petimbangan artinya tidak pernah ceroboh dalam bertindak. Wiweka
selalu mempergunakan akal sehat dan pikiran yang fositif, serta selalu mengutamakan perbuatan yang baik dan menghindari
perbuatan yang tidak baik. Perilaku seperti ini patut diikuti dan dilaksanakan oleh umat Hindu.
Diposkan oleh Innani Musyarofah di 06.14

Anda mungkin juga menyukai